Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Karya Stefanus Sp Bagian 3
Lu-siok, utusan dewa yang saktinya bukan
Mulut Macan 4 44 alang-kepalang itu. Kudengar-dengar pula,
suami Nyonya akan menjadi salah seorang dari
lima orang pembantu Yang Mulia Wong untuk
menegakkan ajaran suci di kota ini. Kuucapkan
selamat, Nyonya. Keluargamu akan menjadi
salah satu dari lima keluarga pilihan para dewa
di kota ini." "Siapa lima orang yang hendak dipilih itu?
Apa alasan pemilihan itu?" tanya Nyonya Pang.
Mereka mengobrol sambil berdiri di pinggir
jalan, sambil sekali-sekali bertukar salam
dengan orang-orang yang lewat.
Orang yang diajak ngobrol Nyonya Pang itu
adalah seorang perempuan setengah baya
bertubuh gemuk, terkenal sebagai tukang jahit
ulung di Seng-tin. Dasarnya ia memang orang
yang doyan ngomong, maka biarpun di pinggir
jalan ya diladeni. Tuturnya dengan bersemangat, "Semalam
terjadi perang ilmu gaib antara Yang Mulia
Wong dengan Si Kepala Bandit Beng Hek-hou.
Orang-orang Seng-tin yang mengikuti Yang
Mulia ternyata tidak semuanya pemberani.
Mulut Macan 4 45 Hanya ada lima orang yang tetap teguh
bersama-sama Yang Mulia, yaitu Ek Yam-lam,
Yao Kang-beng, Giam Lok, Pang Se-bun
suamimu dan Pang Se-hiong adik iparmu.
Merekalah yang benar-benar mempertaruhkan
nyawa bagi kebebasan kota kita, di samping
Yang Mulia Wong sendiri!"
Tiba-tiba seseorang yang lewat di jalan itu
menyeletuk. "Sungguh tidak adil!"
Ketika Nyonya Pang dan lawan bicaranya
menoleh, mereka melihat Lui Kong-sim.
Berbeda dengan orang-orang kota yang
umumnya berwajah cerah gembira, pagi itu Lui
Kong-sim justru nampak kusut pakaiannya,
murung wajahnya, dan mulutnya berbau arak
ketika berkata-kata, bahkan di tangannya masih
ada buli-buli arak. Dengan lidah kaku karena arak sambil
menuding-nudingkan telunjuk, Lui Kong-sim
mengoceh. "Aku adalah orang yang paling
banyak berkorban, paling mempertaruhkan
nyawa sehingga Seng-tin bebas, tetapi aku
malah dilupakan. Aku berkorban banyak. Calon
Mulut Macan 4 46 isteriku, A-kiam, diperkosa gerombolan, aku
juga pernah membunuh anggota gerombolan
dengan pertaruhan nyawa. Tapi heran, sekarang
yang diangkat-angkat malahan orang lain yang
perjuangan dan pengorbanannya tak sebesar
aku. Coba pikir, Giam Lok itu bisa apa? Setiap
kali diajak bertindak, dia selalu ragu, alasannya
harus mempertimbangkan pembalasan gerombolan terhadap warga kota yang tak
bersalah. Pejuang macam apa itu? Tidak tahu
bahwa setiap perjuangan selalu butuh
pengorbanan! Dan apa yang diperbuat Pang Sebun selama ini? Hidup tenang demi diri sendiri,
bahkan berkompromi dengan gerombolan,
tetapi sekarang dia menjadi salah seorang dari
lima orang yang akan menegakkan ajaran suci!
Cuh! Benar-benar tidak adil! Benar-benar aku
penasaran!" Lalu Lui Kong-sim pun melangkah
sempoyongan meninggalkan mereka sambil
menenggak arak dari buli-bulinya.
Si Nyonya Tukang Jahit menghibur Nyonya
Pang, "Tidak usah dihiraukan omongan Si
Mulut Macan 4 47 Pemabuk itu. Bagaimanapun warga kota tetap
mengakui jasa suamimu, Nyonya Pang. Warga
kota tahu, bahwa suamimu sering berunding
dengan Beng Hek-hou bukan untuk
"Terima kasih, Nyonya Ai."
"Sudah, ya? Aku mau berbelanja dulu. Eh,
nanti sore mau ikut tidak?"
"Ikut apa?" Nyonya Pang balik bertanya
dengan rasa ingin tahu. "Nanti sore seluruh warga kota akan
mendengarkan ajaran suci Yang Mulia Wong.
Semua boleh datang, asal memakai baju putih.
Aku mau datang, kok. Katanya ajaran itu
membawa keberuntungan dan keselamatan,
buktinya kota kita dibebaskan."
Nyonya Pang masih ragu-ragu, tetapi
Nyonya Ai terus mendesak, "Ingat, suamimu
adalah salah satu dari lima orang kepercayaan
Yang Mulia Wong. Tidak pantas kalau kau
sebagai isterinya malah tidak kelihatan batang
hidungnya. Nyonya harus datang, bahkan harus
duduk di tempat yang mudah kelihatan oleh
semua orang." Mulut Macan 4 48 Agaknya Nyonya Pang sudah disudutkan
oleh sesuatu keharusan maka meski dengan
rasa enggan, dia mengangguk juga.
Setelah berpisah dengan Nyonya Ai, Nyonya
Pang meneruskan langkahnya menuju pasar.
Ketika mereka lewat di sebuah warung barangbarang porselin, tiba-tiba A-kun yang digandeng
ibunya itu berhenti melangkah dan menunjuk
ke dalam warung sambil berkata. "Lho, itu Ahwe!"
Nyonya Pang ikut berhenti melangkah dan
ikut memandang ke arah yang ditunjuk
puterinya. Pagi tadi, ketika puterinya bangun
tidur dan menyebut nyebut A-hwe, Nyonya
Pang sudah heran karena tidak melihat siapasiapa. Kini ia mengikuti arah pandangan
puterinya dan berharap melihat seperti apa
"teman baru" puterinya yang bernama A-hwe
itu. Tak terduga yang dilihatnya hanyalah
sebuah boneka porselin setinggi sejengkal,
berwujud seorang anak perempuan kecil
berwajah manis, berkuncir dua, berbaju merah
dan bercelana merah dan sepatunya juga
Mulut Macan 4 49 merah. Pipinya yang putih montok sengaja
diberi warna kemerah-merahan yang tipis,
membuat tambah eloknya boneka porselin itu.
Matanya sengaja dibuat dari batu akik yang
hitam mengkilap sehingga seolah-olah hidup.
Ketika Nyonya Pang menatap patung kecil yang
ditaruh dl rak itu, patung itu serasa hidup dan
balas menatapnya, sampai jantung Nyonya Pang
berdebar. Warung Itu memang kepunyaan Ban Kellong, seorang pengrajin sekaligus penjual
barang-barang keramik. Barang-barang bikinannya memang berkualitas unggul. Ada pot
bunga, jambangan, mangkuk, bahkan patungpatung dewa-dewl yang biasa dipuja dalam
keluarga-keluarga. Tetapi patung "A-hwe" Itu
agaknya dibuat demikian istimewa.
Ban Ke-liong baru saja membuka
warungnya, ketika melihat Nyonya Pang dan
anaknya di depan warung sambil menatap
terpesona ke patung "A-hwe" ini, Ban Ke-liong
tercengang heran sambil bergumam. "Ini
sungguh ajaib!" Mulut Macan 4 50 Nyonya Pang menoleh dan bertanya. "Tuan
Ban, apa yang ajaib?"
Dengan mimik muka yang bersungguhsungguh, Ban Ke-liong bercerita. "Beberapa hari
yang lalu, aku bermimpi ketemu seorang anak
perempuan berbaju merah. Kutanya rumahnya,
katanya rumahnya jauh sekali, tetapi ia akan
tinggal di Seng-tin di rumah keluarga Pang. Aku
belum bercerita siapa-siapa saat itu, sebab
kuanggap hanya mimpi. Tetapi mimpi itu
berulang dua kali di malam-malam berikutnya,
dan ketika kukerjakan keramik, terdorong
hatiku untuk mewujudkan anak dalam mimpi
itu menjadi boneka porselin ini. Kubuat dengan
sepenuh perasaanku, dan aku bertekad hanya
untuk keluarga Pang, sesuai pesan anak itu.
Cucu perempuan juragan Hoan juga mengingininya, tetapi tidak kuberikan, meskipun kakeknya yang amat menyayangi
cucunya itu menawariku tiga potong perak."
Ban Ke-liong bicara sampai di situ, Nyonya
Pang tetap bersikap biasa-biasa saja, la anggap
semua omongan Ban Ke-liong hanyalah alasan
Mulut Macan 4 51 untuk memasang harga yang tinggi bagi boneka
porselin yang memang amat indah itu.
Prasangka Nyonya Pang sirna ketika Ban
Ke-liong dengan penuh sukacita mengambil
boneka "A-hwe" itu dari rak dan ditaruhnya ke
pelukan A-kun yang tentu saja menyambutnya
dengan gembira. Kata Ban Ke-liong, "Anak
manis, Si Baju Merah ini dalam mimpi mengaku
sebagai temanmu dan hendak tinggal di
rumahmu, maka biarlah dia bersamamu."
"Berapa harganya, Tuan Ban?" tanya
Nyonya Pang sambil mengeluarkan kantong
uangnya. "Tetapi jangan mahal-mahal lho.
Keluarga kami tidak sekaya Ban Ke-liong
menjawab di luar dugaan. "Tidak sesen pun
Nyonya harus membayar. Ini gratis. Benarbenar gratis, supaya hatiku tenang... aku yakin
dengan berbuat ini kudapat berkah."
Yang paling girang adalah si cilik A-kun,
boneka porselin itu dipeluknya erat-erat seakan
hendak disatukan dengan dirinya sendiri. Dia
pun mengucap terima kasih kepada Ban Keliong.
Mulut Macan 4 52 Sudah diberi gratis, Nyonya Pang sungkan
kalau harus pergi begitu saja, maka beberapa
saat dia menemani ngo-brol Ban Ke-liong di
depan warung barang-barang porselinnya. Yang
dibicarakan adalah peristiwa semalam, peristiwa "dewa-dewa turun dari langit untuk
menolong penduduk Seng-tin."
Sementara ibunya ngobrol der.gan Ban Keliong, A-kun pun ngobrol dengan ... boneka
porselinnya yang benar-benar ia namai A-hwe,
seperti nama anak perempuan yang dilihatnya
di pinggir ranjangnya pagi tadi. Kadang-kadang
A-kun menempelkan mulut boneka porselin itu
ke kupingnya, seolah-olah boneka itu bisa
bicara dan ia dapat mendengarkannya. Ulah Akun berbicara dengan bineka tentu saja terlihat
wajar karena dilakukan oleh kanak-kanak.
Kanak-kanak asyik bermain sambil bicara
sendiri adalah tidak aneh.
Ketika itulah Giam Lok tiba-tiba datang
membawa sepikul tanah liat. Sebelum datang,
ketika Seng-tin masih normal dulu, Giam Lok
memang pekerja serabutan untuk mencari
Mulut Macan 4 53 penghasilan. Antara lain memasok tanah liat
untuk bahan porselin buatan Ban Ke-liong. Ban
Ke-liong sendiri sudah terlalu tua untuk pergipulang dengan pikulan ke penggalian tanah liat
yang agak jauh di luar kota. Kini setelah Sengtin ditinggalkan gerombolan, Giam Lok agaknya
melakukan lagi apa yang pernah dikerjakannya,
salah satunya adalah memasok tanah-liat mutu
terbaik untuk Ban Ke-liong.
Munculnya Giam Lok mengherankan Ban
Ke-liong. "Lho, A-lok, kenapa kau kemari?"
Giam Lok pun heran ditanya begitu.
"Lho, Paman Ban ini bagaimana? Bukankah
sudah bertahun-tahun kulakukan ini untuk
Paman, kecuali ketika aku harus sembunyi ke
luar kota karena jadi buronan gerombolan.
Sekarang kuantar lagi, kenapa Paman Ban
heran? Atau Paman sudah punya pemasok
tanah liat lain?" "Bukan begitu maksudku. Tak ada tanah liat
Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sebaik yang kaukirim selama ini." sahut Ban Keliong. "Tetapi maksudku, kenapa kau malah cari
tanah liat dan dibawa kemari?"
, Mulut Macan 4 54 "Harusnya ya bersama-sama Tuan Wong
untuk mempersiapkan dirimu menjadi salah
seorang pembantu utama Tuan Wong, dan itu
kedudukan yang sangat istimewa! Bayangkan,
sekian puluh ribu penduduk Seng-tin, hanya
lima orang yang terpilih, dan namamu disebutsebut!"
Tetapi Giam Lok menjawab seenaknya. "Aku
ikut membebaskan Seng-tin bukan karena ingin
menonjol. Aku cuma ingin warga kota bebas
dari ketakutan dan bisa bekerja seperti biasa.
Kakek Un berjualan bakpao lagi, Bibi Joan jualan
kue-kue lagi, Paman Ban membuat jam-banganjambangan indah lagi...."
Meski Giam Lok tidak menyinggung
suaminya sedikit pun, namun Nyonya Pang
merasa perlu menjelaskan. "Suamiku juga tidak
ingin menonjolkan diri. Meski ia sering bertemu
dan berbicara dengan Beng Hek-hou, itu
semata-mata demi menghindarkan warga kota
yang tidak bersalah dari kematian."
Buru-buru Giam Lok membungkuk hormat
kepada Nyonya Pang dan berkata, "Harap
Mulut Macan 4 55 Nyonya tidak salah paham terhadap katakataku tadi. Aku pun tidak mengecam orangorang yang dipilih Tuan Wong untuk
membantunya memimpin warga kota ini ke
jalan suci. Aku tahu mereka semua melakukan
ini demi warga kota, bukan demi sendiri. Aku
juga tahu hlat baik Kakak Pang Se-bun, bahkan
ketika Kakak Pang hendak menangkap kami
berempat dulu." "Aku mewakili suamiku memohon maaf
kepada Saudara Giam."
"Nyonya jangan minta maaf, sebab Kakak
Pang tidak bersalah. Dalam pertemuan di
rumah Kakak Pang kemarin malam, aku dan
Kakak Pang sudah bicara, sudah saling
memahami keadaan masing-masing yang sulit
waktu itu dan sekarang tidak ada ganjalan apaapa lagi antara kami berdua."
Tiba-tiba si kecil A-kun nyeletuk bicara,
"Paman Lok, kata A-hwe temanku, Paman harus
bersedia membantu Tuan Wong menegakkan
jalan suci di kota ini."
Mulut Macan 4 56 Giam Lok tertawa sambil mengusap kepala
A-kun, katanya, "Tentu saja, anak manis, setiap
warga kota ini harus bahu-membahu
menegakkan kebaikan di tempat tinggal ini. Ada
Tuan Wong atau tidak ada Tuan Wong, kita
akan membuat kota ini makin nyaman dan
aman ditinggali, benar tidak?"
"Tidak!" adalah di luar dugaan siapa pun,
termasuk Nyonya Pang sebagai ibu A-kun,
bahwa si Kecil manis ini tiba-tiba menjawab
begitu galak sambil melangkah mundur dan
menepis lengan Giam Lok yang memegangi
kepalanya. "Sekarang ini di Seng-tin hanya Tuan
Wong seorang yang berhak mengajarkan jalan
suci! Kalau tidak ada Tuan Wong, mana bisa
seluruh kita bebas? Seluruh Seng-tin harus
mengikuti ajaran yang dibawanya, atau kena
kutuk para dewa!" Giam Lok tercengang, kemarin malam ia
memang hadir di rumah Pang Se-bun dan
melihat sendiri ketika Si Kecil ini ikut
bersemedhi dengan khusyuk, lalu Wong Lu-siok
Mulut Macan 4 57 mengucapkan selamat kepada suami-isteri Pang
karena anak mereka "dipilih dewa".
Tetapi Giam Lok masih menganggap
omongan A-kun sebagai omongan bocah belaka.
Maka ia tidak menggubrisnya lagi, apalagi Giam
Lok enggan sampai bertengkar dengan Nyonya
Pang yang dihormatinya. Maka sambil tertawa
dan mengangkat pikulan tanah liatnya iagi, ia
bertanya kepada Ban Ke-liong, "Paman Ban,
tanah liatnya ditaruh di tempat biasanya?"
Sebelum Ban Ke-lionng menjawab, malah Akun yang mengangkat tinggi-tinggi boneka
porselinnya sambil berteriak marah, "Paman
Lok akan celaka karena tidak menurut dewadewa! Paman Lok akan celaka!"
Giam Lok tertegun, dan Nyonya Panglah
yang menegur puterinya dengan gusar, "A-kun,
jangan kurang ajar kepada Paman Lok! Kurotan
kau nanti di rumah!"
"Temanku A-hwe yang bilang! Temanku Ahwe yang bilang!"
Nyonya Pang gusar dan sudah hendak
memukul anaknya di tempat itu juga, tetapi
Mulut Macan 4 58 Giam Lok cepat mencegah, "Nyonya, hanya
perkataan anak-anak, aku tidak menaruhnya di
hati." "Tetapi kelakuan Anakku memalukan, tetap
saja dia harus dididik lebih keras! A-kun, ayo
pulang!" A-kun berlari pulang sambil mewek-mewek
hendak menangis. Sedangkan Giam Lok setelah mendapat
sedikit uang dari Ban Ke-liong, lalu pergi ke
tempat lain. Ia memang bekerja serabutan,
asalkan dapat uang secara halal. Rencananya ia
akan mencari kayu bakar untuk ditawarkan
kepada Ao Khim si juragan rumah makan,
namun sambil melangkah tiba-tiba Giam Lok
merasa tubuhnya berkeringat dingin dan
kepalanya berat, la heran karena sebelumnya
sehat-sehat saja, dalam pikirannya sempat
terbetik, "Apakah ini gara-gara ucapan si kecil
A-kun tadi? Ucapan dari seorang anak yang
sudah "dipilih dewa"?
Mulut Macan 4 59 Tiba di rumahnya, Giam Lok langsung tidur
berkerudung selimut tebal, sampai keluarganya
merasa heran. * ** Dalam perjalanannya, Liu Yok, Siau Hiangbwe dan Cu Tong-liang sudah memasuki
kawasan padang ilalang yang bukan kepalang
luasnya sampai ke kaki langit. Hutan-hutan
jarang yang pohonnya kecil-kecil terlihat
sejumput di sana sejumput di sini.
"Mudah-mudahan sebelum matahari terbenam, kita temui tempat kediaman manusia
yang bisa kita tumpangi." kata Cu Tong-liang.
"Kalau tidak, kita harus bermalam di udara
terbuka." "Itu pengalaman menarik, aku belum
pernah mengalaminya." sahut Siau Hiang-bwe
alias A-kui dengan gembira, "Tidur di bawah
langit yang amat luas, sambil memandang
bintang-bintang." "Dan dirunduk serigala-serigala kelaparan...." sambung Cu Tong-liang . "Sebab di
Mulut Macan 4 60 tempat-tempat seperti ini biasanya banyak
serigalanya...." "Kakak Liang bicaranya kok selalu
mengecilkan hati?" "Lho, aku bicara kenyataannya saja, tanpa
bermaksud mengecilkan hatimu."
"Kakak Yok mengajar, ada kenyataan yang
didukung perasaan batin, ada kenyataan yang
didukung panca indera. Kakak Liang selalu
bicara berdasar panca indera."
Biarpun namanya disebut-sebut, Liu Yok
diam saja. Ia biarkan saja kedua "murid"nya itu
saling mengasah. Ia melihat Siau Hiang-bwe
lebih cepat menyerap apa yang diajarkannya,
dibanding Cu Tong-liang. Namun Liu Yok pun
tidak mau memacu-macu Cu Tong-liang,
dibiarkannya pengertian-pengertian akan ajaran-ajarannya berkembang menurut daya
tangkap Cu Tong-liang sendiri biarpun wajar.
Cu Tong-liang tetap mengalami kemajuan
rohani juga biarpun tidak sepesat Slau Hiangbwe.
Mulut Macan 4 61 Dan apa yang dikuatirkan Cu Tong-liang
pun ternyata benar-benar harus mereka alami,
setelah sekian lama berjalan sampai terbenamnya matahari, mereka tidak menjumpai kediaman manusia satu pun. 3adi
mereka harus bermalam di sebuah pinggiran
nutan. Ketika mereka membabat ilalang dan
belukar yang hendak digunakan untuk tempat
istirahat, Cu Tong-liang tak henti-hentinya
menggerutu, "Ini artinya, sepanjang malam
nanti harus kita atur giliran jaga, yang tiap saat
akan memberi tahu kalau ada gerombolan
serigala mendekat, supaya kita sempat
menyelamatkan diri dengan memanjat pohon."
Liu Yok yang diam dari tadi, kini berkata
dengan tenang sambil memunguti kayu-kayu
kering untuk persiapan api unggun. "Kita
bertiga butuh istirahat setelah seharian berjalan
hampir tanpa henti. Giliran jaga itu tidak perlu,
Kakak Liang." "Tetapi serigala-serigala itu...."
Mulut Macan 4 62 "Sang Pencipta menaruh semua mah-luk di
bawah perintah kita, mahluk tersayang-Nya.
jadi tinggal perintahkan saja."
Dengan Liu Yok yang dianggapnya manusia
dengan berbagai keajaiban, Cu Tong-liang tidak
berani berbantah seperti terhadap Siau Hiangbwe. Namun otaknya susah juga untuk
menerima begitu saja kata-kata Liu Yok tentang
"tinggal perintahkan saja" itu, meski Liu Yok
pun sudah berulang kali menganjurkan agar Cu
Tong-liang menerima ajaran itu dengan hatinya
lebih dulu. Cu Tong-liang menarik napas sambil
berdesah. "Nampaknya malam Ini harus berjaga
sendirian." Liu Yok membaringkan tubuhnya di
rerumputan, kepalanya berbantal batu, matanya
merem-melek dan nampak santai sekali.
Katanya sambil menguap lebar, "Kau pun
beristirahat saja, Kakak Liang."
Kata-kata Liu Yok diseling suara lolong
serigala tidak jauh dari tempat itu, suara lolong
yang membuat wajah Cu Tong-liang jadi tegang.
Mulut Macan 4 63 Namun Liu Yok meneruskan kata-katanya
dalam sikap dan nada yang sama santainya, "...
ditanggung aman...."
"Tidakkah Saudara Liu mendengar suara
lolong serigala itu?"
"Ya tentu saja mendengar, aku kan tidak
tuli?" "Apakah kita abaikan begitu saja?"
Bersambung jilid V Sumber Image : Koh Awie Dermawan
first share in Kolektor E-book
Pringsewu 10/08/2018 21 : 11 PM
Mulut Macan 4 64 Mulut Macan 5 1 JILID V * Karya : STEVANUS S.P. pelukis : WIDODO Percetakan & Penerbit
CV "G E M A" Mertokusuman 761 RT 02 RW VII
Telp 35801 - SOLO 57122
Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mulut Macan 5 2 Mulut Macan 5 1 Dari Mulut Macan ke Mulut Buaya
Karya : STEFANUS S.P. Jilid V K ITA sedang belajar lebih mendengar suara
Hati daripada mendengar dengan kuping,
lebih melihat dengan mata hati berdasar
keyakinan daripada melihat dengan mata
jasmani." "Tetapi, di samping memohon, kan kita
harus bertindak juga?" bantah Cu Tong-liang.
"Kita mohon perlindungan dari Yang Maha
Kuasa terhadap serigala-serigala itu, tetapi juga
harus ada usaha...."
"Tentu saja...!"
"Nah, kenapa Saudara Liu tidak setuju
diadakan giliran jaga? Itu suatu usaha." sambar
Cu Tong-liang yang merasa kali ini
memenangkan perdebatan. "Aku sudah berusaha."
Mulut Macan 5 2 "Dengan tidur-tiduran dan bicara saja?"
saking jengkelnya, nada Cu Tong-liang agak
kasar juga. "Sosok batiniahku yang bertindak, bukan
sosok ragaku yang kau lihat dengan indera
penglihatanmu, Saudara Cu. Sosok batinku
sudah mengambil kekuatan berlimpah-limpah
dari hadirat Yang Maha Kuasa, sampai
memenuhi hatiku, dan perkataanku sudah
mengalirkan kekuatan itu keluar dan
menetapkannya sebagai sebuah keputusan yang
tak bisa lagi dilanggar oleh mahluk-mahluk
yang lebih rendah derajatnya dari kita."
Cu Tong-liang merasa tidak ada gunanya
lagi berdebat dengan "guru kerohanian"nya itu.
Gerutunya dalam hati, "Kalau nanti malam kau
digerogoti serigala, ingin kulihat apa yang bakal
dilakukan sosok batiniahmu itu."
Sementara itu, Siau Hiang-bwe sudah
menyalakan api dan membuat makan malam
yang sederhana dari bahan seadanya. Ketiga
pengembara itu menikmati sejenis ubi yang
Mulut Macan 5 3 terdapat di sekitar tempat itu, dipanggang, dan
rasanya mirip kentang. Sebelum tidur, seperti biasanya Liu Yok
bertanya-jawab sebentar dengan kedua teman
seperjalanannya itu. Habis itu Liu Yok dan Siau
Hang-bwe merebahkan diri berbantal batu di
rerumputan dan pelan-pelan mulai pulas.
Namun sebelum amblas sama sekali ke dunia
mimpi Liu Yok masih sempat berkata meski
sudah kurang jelas suaranya, "Tidurlah, Kakak
Liang, malam ini takkan ada seekor semut pun
atau seekor nyamuk pun menggigit kita, apalagi
serigala." Tetapi mendengar lolongan dan salak
serigala yang terdengar tidak lebih dari dua
ratus langkah dari tempat istirahatnya itu, mana
bisa Cu Tong-liang tidur?
Cu Tong-liang terus berjaga-jaga meski
tubuhnya terasa lelah dan menuntut tidur.
Tetapi ketika malam makin larut, pelupuk mata
Cu Tong-liang pun semakin berat rasanya.
Beberapa kali Cu Tong-liang tertidur sesaatMulut Macan 5 4 sesaat lalu geragapan bangun. Akibatnya malah
kepalanya yang terasa sakit.
Suatu saat, melihat betapa nyenyak kedua
teman seperjalanannya tidur di atas rerumputan berbantal batu yang dilapis
bungkusan pakaian mereka, Cu Tong-liang
diam-diam membatin dalam hati, "Benarkah
bahwa mereka benar-benar tidak digigit semut
atau nyamuk sedikit pun? Benarkah kata Liu
Yok bahwa ia tinggal perintahkan saja'?"
Di bawah cahaya api, Cu Tong-liang melihat
banyak semut di tanah, juga banyak melihat
nyamuk hitam yang besar-besar beterbangan di
sekitarnya, namun dengan terheran-heran Cu
Tong-liang menyadari suatu kenyataan sejak
tadi ia tidak merasakan gigitan nyamuk atau
semut sedikit pun! Akhirnya Cu Tong-liang pun takluk kepada
tuntutan kantuknya. Ia tidur pulas.
Ia baru bangun geragapan ketika sorot
matahari pagi menimpa pelupuk matanya. Ia
bangun sambil menendang-nendang dan
tangannya menggapai-gapai tetapi matanya
Mulut Macan 5 5 tetap terpejam, sarnbil berteriak-teriak,
"Serigala! Serigala!"
Namun yang masuk ke telinganya bukan
geram serigala melainkan suara tertawa Liu Yok
dan Siau Hiang-bwe, yang membuat Cu Tongliang sadar kembali. Dan ketika matanya
terbuka, yang dilihatnya adalah hidangan pagi
yang sudah tersedia. "Sampai larutkah Kakak Liang berjaga-jaga
semalam?" tanya Siau Hiang-bwe. "Kelihatannya
Kakak masih mengantuk."
Cu Tong-liang cuma menyeringai, lalu
bangkit menuju ke sebuah parit kecil di pinggir
hutan. Di situ ia membersihkan diri hingga
segar dan sempat buang hajat pula hingga
perutnya lega. Ketika ia melangkah kembali ke
tempat Liu Yok dan Siau Hiang-bwe, ia terkejut
sekali jejak puluhan ekor serigala begitu dekat
dengan tempat semalam ia dan kawankawannya tidur.
Begitu bergabung dengan Liu Yok dan Siau
Hiang-bwe yang tengah menikmati sarapan
paginya, Cu Tong-liang langsung saja berkata,,
Mulut Macan 5 6 "Apa kubilang? Ternyata semalam nyawa kita
sudah seperti telur di ujung tanduk. Kalau
kalian periksa sekitar tempat: ini, akan kalian
dapati betapa dekatnya seriga-serigala itu
dengan kita semalam."
"Ya." sahut Liu Yok kalem.
"Makanya lain kali tidak ada salahnya
tindakan berjaga-jaga...."
"Kakak Liang, semalam serigala-serigala itu
begitu dekat, tetapi bagaimana dengan kita?
Terbunuhkan kita? Terkoyak-koyakkah tubuh
kita?" Cu Tong-liang bungkam. Kenyataannya,
mereka bertiga tak terluka seujung rambut pun.
Apalagi gigitan serigala, bahkan gigitan nyamuk
atau semut pun tak ada sama sekali.
Cu Tong-liang tersudut ke sebuah
pengakuan bahwa semalam ia dan kedua teman
seperjalanannya benar-benar terlindung total
secara ajaib. Dan biarpun Cu Tong-liang ini
kadang-kadang suka berdebat karena menganggap sikap Liu Yok dan Siau Hiang-bwe
kelewat batas, tidak masuk akal, namun Cu
Mulut Macan 5 7 Tong-liang juga seorang yang berjiwa lapang
dan mau mengakui kenyataan secara jujur,
biarpun kenyataannya kelewat aneh.
"Rupanya aku memang kelewat kuatir...."
akunya. Ketika Siau Hiang-bwe menyodorkan
sesunduk ubi liar yang sudah matang dan sudah
dikupas, Cu Tong-liang pun menerima dan
mulai menyantapnya pelan-pelan sambil
sesekali meniupinya karena masih panas.
Kata Liu Yok tanpa bernada menyalahkan.
"Kakak Liang hanya periu lebih banyak berlatih
'mendengar dengan batin' melihat dengan mata
hati ." Cu Tong-liang mengangguk-angguk. "Tadi
Saudara Liu dan A-kui sedang membicarakan
apa?" "Mimpi A-kui semalam."
"Apakah setiap mimpi harus dibicarakan
seserius ini? Bisa-bisa hidup kita hanya habis
untuk membicarakan mimpi."
"Apakah Kakak Liang melihat kami berdua
setiap saat membicarakan mimpi?" Liu Yok
balas bertanya. Mulut Macan 5 8 "Tidak juga...." sahut Cu Tong-liang. "Tiap
malam kita bermimpi, tetapi aku belum dapat
membedakan mana yang sekedar kembangnya
tidur dan mana yang merupakan isyarat dari
dunia lain...." "Mimpi-mimpi biasa mudah dilupakan oleh
A-kui. Tetapi mimpi A-kui semalam membuat
hatinya terusik." "Mimpi apa kau, A-kui?"
"Aku melihat manusia-manusia di sebuah
kota, ketakutan dikejar-kejar seekor macan
hitam yang kejam. Orang-orang di kota itu,
saking takutnya kepada macan itu lalu
berlindung masuk ke sebuah gua. Tetapi gua itu
adalah moncong seekor buaya putih yang
menganga lebar...." "Lalu Saudara Liu tahu mimpinya?"
Liu Yok menggeleng. "Aku hanya
menganjurkan A-kui agar menatap isyarat itu
dengan jernih." Cu Tong-liang mengedangkan kedua
tangannya. "Kalau begitu, apa lagi? Mimpi
Mulut Macan 5 9 tinggal mimpi dan kita akan melupakannya.
Nah, kapan kita lanjutkan perjalanan?"
Mereka menyelesaikan sarapan, lalu
beberapa saat bersama-sama menundukkan diri
di depan Sang Maha Pencipta, sebelum
melanjutkan langkah. Perjalanan sehari-hari mereka ternyata
hanya melihat hamparan padang ilalang amat
luas yang diselang-seling hutan-hutan kecil dan
bukit-bukit kecil. Pemandangan yang itu-itu saja
sepanjang beberapa hari membuat Cu Tongliang sering menggerutu karena jemu.
"Ke mana kita?" tanyanya.
"Ke sebuah kota yang sedang memerlukan
pertolongan." "Kenapa? Kena wabah? Atau menghadapi
ancaman penjahat?" "Penjahat-penjahat dari langit yang menyamar sebagai penolong-penolong."
Cu Tong-liang sudah agak hapal dengan Liu
Yok. Urusannya pasti bersangkut-paut dengan
mahluk-mahluk yang tak terlihat. Tetapi justru
Cu Tong-liang rela meninggalkan jabatan
Mulut Macan 5 10 empuknya sebagai perwira istana untuk
mengikuti Liu Yok juga untuk belajar tentang
itu. Pemandangan menjemukan yang padang
ilalang melulu itu tiba-tiba jadi sedikit lebih
menyegarkan ketika mereka melihat sebuah
telaga kecil di kaki sebuah bukit. Telaga di
tempat seperti itu biasanya mendapatkan air
bukan dari mata air melainkan hanya
menampung air hujan atau lelehan salju dari
puncak bukit. Di tepi telaga nampak ada sebuah pondok
kayu yang terbuat dari batang-batang pohon
cemara. Sekeliling pondok itu ada kebun luas,
selain tanaman pangan juga tanaman obatobatan. Dan seorang tua bercaping nampak
sedang berjongkok di tengah-tengah tanaman
itu sambil melakukan sesuatu, entah apa.
Orang tua bercaping itu mengangkat
wajahnya ketika Liu Yok mengucapkan salam
dari luar pagar kebun yang setinggi perut. Pagar
Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang terbuat dari batu yang ditumpuk-tumpuk
dengan direkat tanah liat. Lalu orang tua itu
Mulut Macan 5 11 melangkah ke pagar dengan wajahnya yang
cerah dan ramah di bawah tudung bambunya.
Meski rambut, kumis dan jenggotnya sudah
putih semua, ia nampak segar dan langkahnya
tidak gemetar. Liu Yok mengangguk hormat. "Selamat sore,
Tuan. Kami bertiga adalah tiga sahabat yang
sedang mengembara, kalau diijinkan malam ini
kami ingin menumpang bermalam di tempat
Tuan." Orang tua itu mengamati ketiga tamunya,
dan ia mendapat kesan bahwa mereka tidak
jahat. Cu Tong-liang memang berwajah rada
angker, tapi tidak terlihat seperti orang jahat,
apalagi Liu Yok yang bersorot mata amat jernih
dan menyejukkan itu. Juga Siauw Hiang-bwe
yang cantik. "Tentu saja kalian boleh menginap di sini,
silakan masuk." kata orang tua itu sambil
membukakan pintu pagar. "Tidak hanya
semalam juga boleh kok. Aku senang ditemani."
"Apakah tidak ada tetangga yang di dekatdekat sini?"
Mulut Macan 5 12 "Beberapa li dari sini ada kota Seng-tin,
mereka kukenal semua."
"Bapak ini seorang peladang?" tanya Liu
Yok sambil melangkah di antara tanamantanaman yang beraneka ragam dan teratur rapi
itu. "Bukan. Aku seorang Tabib."
Liu Yok bertiga heran. Tabib yang tinggal di
tempat terpencil begini, siapa yang jadi
pasiennya? Keterangan Si Orang Tua berikutnya
menjelaskan keheranan Liu Yok, "Penduduk
Seng-tin biasa berobat kepadaku. Sengaja aku
tinggal di sini agar dengan leluasa menanam
tanaman obat-obatan dan mempelajari bukubuku tentang obat-obatan."
"Dengan siapa Bapak tinggal di sini?"
Wajah orang tua itu tiba-tiba nampak agak
sedih ketika menjawab, "Dulu ya bersama
isteriku, tetapi dia sudah meninggal...."
"O, maafkan pertanyaanku tadi, Bapak. Aku
tidak sengaja telah membangkitkan kenangan
pahit Bapak." Mulut Macan 5 13 "Ah, tidak apa-apa. Semua orang harus mati
kan? Isteriku orang baik."
Mungkin karena lama hidup sendiri, Tabib
Kian jadi orang yang gemar bicara banyakbanyak. Apalagi Liu Yok bertiga juga
menanggapinya dengan senang, maka mereka
jadi cepat akrab. Bahkan Tabib Klan memohon
agar Liu Yok bertiga berada cukup lama di
rumahnya. Setelah bersepakat dengan Cu Tongliang dan
Siau Hiang-bwe, mereka menyetujui
permintaan orang tua itu.
"Dengan satu syarat!" kata Cu Tong-liang.
"Apa?" "Ijinkan kami bertiga melayani diri sendiri,
jangan Paman Kian yang jadi repot melayani
kami seolah-olah kami ini orang-orang
bangsawan dari ibu kota kerajaan."
"Lakukanlah semaumu." sahut Tabib Kian.
"Kutambahkan satu syarat lagi...." sambung
Siau Hiang-bwe. "Syarat apalagi, Nona Siau?"
Mulut Macan 5 14 "Panggil aku A-kui saja, jangan Nona Siau.
Setuju?' Tabib Kian tertawa terkekeh-kekeh, "Baik.
A-kui? Si Mawar? Cocok dengan orangnya, hehe-he...."
"Dan panggil aku A-yok saja, Kakak Liang
boleh Paman panggil A-liang saja. Bukankah
begitu, Kakak Liang? Jadi seperti keluarga
sendiri...." Cu Tong-liang mengangguk. "Benar, Jadi aku
tidak sungkan makan banyak di sini...."
Semuanya tertawa, dan suasana kekeluargaan pun tercipta dengan cepat hanya
dalam waktu beberapa jam di antara orangorang yang sebelumnya belum saling kenal itu.
Jauh dari basa-basi dan kepura-puraan. Tabib
Kian merasa mendapat keluarga baru.
Ketika menyiapkan makan malam, Siau
Hiang-bwe banyak membantu di dapur, bahkan
hampir mengerjakan segalanya, sehingga Tabib
Kian pura-pura menggerutu. "Uh, bisa-bisa aku
jadi tamu di rumahku sendiri."
Mulut Macan 5 15 Mereka lalu makan malam dalam suasana
akrab, duduk mengelilingi sebuah meja kayu
yang kasar dengan diterangi sebatang lilin. Di
meja itu pula mereka saling lebih mengenal.
Tabib Kian heran setelah tahu bahwa Liu Yok
yang tampangnya begitu sederhana itu ternyata
adalah calon menantu Gubernur Sun di Propinsi
Ho-lam, bahkan ada adik sepupu Liu Yok yang
menjadi isteri Jenderal Wan Lui, tangan kanan
Kaisar Kian-liong yang berkuasa masa itu. Juga
ketika mengetahui bahwa Cu Tong-liang adalah
bekas seorang perwira istana yang cukup
berkedudukan tetapi rela meninggalkannya
demi "belajar hidup" kepada Liu Yok.
Yang paling gembira ialah ketika Tabib Kian
tahu bahwa Siau Hiang-bwe adalah puteri dari
seorang yang seprofesi dengannya, ahli obatobatan dan perta-biban. Namun Siau Hiang-bwe
tidak merasa perlu untuk bercerita bahwa
ayahnya menopang ilmu pengobatannya
dengan kekuatan-kekuatan gaib yang menuntut
tumbal, dan Siau Hiang-bwe pernah jadi
tumbalnya selama bertahun-tahun.
Mulut Macan 5 16 Karena dalam pribadi Tabib Kian sendiri
tidak banyak yang bisa diceritakan, maka tabib
ini jauh lebih banyak bercerita tentang kota
Seng-tin. Apalagi di Seng-tin baru saja terjadi
sesuatu yang menggemparkan, bagaimana
warga Seng-tin membebaskan diri dari
gerombolan jahat. Tapi Tabib Kian sedikit pun
lidak menyinggung soal campur tangan "dewadewi" atau "mahluk-mahluk suci' sebab Tabib
itu kurang suka hal-hal ber bau gaib, la cuma
menyebutnya dengai "keberanian yang berlandaskan kebenaran telah mengalahkan
kejahatan." Cu Tong-llang mengomentari, "Seandainya
separuh saja dari rakyat kekaisaran ini seberani
rakyat Seng-tin, pastilah seluruh negeri ini
aman. Para penjahat tak berkutik."
".... dan para perwira menganggur tanpa
pekerjaan." olok Siau Hiang-bwe kepada Cu
Tong-liang yang bekas perwira.
Cu Tong-liang cuma nyengir, sementara Llu
Yok dan Tabib Kian tertawa.
Mulut Macan 5 17 Tetapi suasana makan malam yang akrab itu
diselingi suara ketukan di pintu depan,
dibarengi suara seorang anak perempuan
memanggil-manggil, "Tabib Kian! Tabib Kian!"
Tabib Kian mengerutkan alis mendengar
suara itu, ia bangkit dari tempat duduknya
sambi) mendesis kaget, "Astaga, anak itu!
Bagaimana dia sampai ke sini setelah hari
segelap ini? Padahal ia harus melewati daerah
yang sering ada serigalanya."
"Siapa anak itu?" tanya Siau Hiang-bwe.
"Seorang anak yang tinggal di kota. Ia pasti
datang untuk memintakan obat bagi kakaknya
yang sedang sakit." jawab Tabib Kian sambil
melangkah ke pintu untuk membukanya.
Ketika pintu dibuka, seorang anak
perempuan berusia kira-kira empat belas tahun,
dengan pakaian yang sederhana dan sepatu
yang nampak terlalu besar karena bukan
kepunyaannya, dengan tangan memegang
lentera lampu bertangkai, berdiri di ambang
pintu dengan wajah menyiratkan kecemasannya. Mulut Macan 5 18 "Tabib Kian! Kakakku kambuh lagi. Ia tidak
bisa bernapas sampai mukanya biru. Kalau
tidak ditolong, ia bisa mati!"
"Dengan siapa kau ke sini, A-lik?"
"Sendiri!" sahut Si Anak. "Tetapi aku bawa
ini sebagai pelindung dari binatang-binatang
buas dan orang-orang jahat.!" kata anak
bernama A-lik itu sambil menunjukkan patung
kecil yang digenggam dengan tangan kirinya.
"Patung ini sudah diberkati Tuan. Wong dalam
pertemuan kemarin." Tabib Kian tidak terlalu menggubris
keterangan tentang tuah benda keagamaan itu,
ia mengambil keranjang obatnya yang terbuat
dari anyaman rotan itu, katanya, "Mari cepat
kita ke rumahmu!" Cu Tong-liang tiba-tiba saja berkata, "Paman
Kian, kuantar kalian ke Seng-tin."
Lalu berangkatlah mereka bertiga menuju
5eng-tin. Sambil berjalan diterangi lampion kertas,
Tabib Kian berkata kepada Cu Tong-iiang,
"Meski gerombolan bandit sudah terusir pergi,
Mulut Macan 5 19 tapi daerah belukar di luar kota belum betulbetul aman. Masih ada anggota gerombolan
yang barangkali saja berkeliaran membawa
dendam. Kesediaanmu menemani kami sangat
berarti, A-liang." Giam Lok yang sedang sakit, sore itu
dikunjungi oleh Pang Se-bun yang membawakan makanan-makanan.
Ketika diantar oleh ibu Giam Lok yang
sudah janda dan melihat tubuh Giam Lok yang
kurus kering di atas dipan, keharuan pun
menyesak di dada Pang Se-bun. Dulu saudara
seperguruannya itu bertubuh tegap dan segar,
tak terduga dalam beberapa hari saja sudah
berubah seperti kerangka hidup seperti itu.
Beberapa saat duduk di pinggir pembaringan itu, Pang Se-bun tak mampu
berkata-kata menatap tubuh kurus yang
kembang-kempis di atas tempat tidur itu. Lalu
tatap mata Pang Se-Bun tertuju kepada ibu
Giam Lok yang sudah tua dan janda itu,
bertanya tanpa kata-kata.
Mulut Macan 5 20 "Patung ini sudah diberkati Tuan Wong dalam
pertemuan kemarin" Mulut Macan 5 21 Nyonya Janda Giam menarik napas dan
mengusap matanya yang basah, suara tergetar
lemah, "Aku juga tidak tahu penyebabnya, Abun. Tidak ada tanda-tanda sakit sebelumnya,
tahu-tahu pada suatu siang beberapa hari yang
lalu, dia mengeluh sakit kepala lalu berbaring
dan tidak mampu bangkit lagi sampai
sekarang." Pang Se-bun menarik napas. Sementara
Nyonya Giam merasa mendapat tempat untuk
mencurahkan isi hatinya, sebab selama
beberapa hari ini baru Pang Se-bun yang
menjenguk anaknya untuk pertama kalinya,
warga kota yang lain sedang sibuk bersukaria
atas kebebasan Seng-tin sekaligus sedang
Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
keranjingan jalan suci yang diajarkan Wong Lusiok sehingga melupakan Giam Lok.
Karena itu Nyonya Giam pun terus
berbicara tanpa diminta. "Kadang-kadang dia
berteriak-teriak dalam tidurnya, seolah-olah
ada yang memaksa dia tetapi dia menolak. Di
Mulut Macan 5 22 lain saat dia tercekik hebat sampai mukanya
biru." "Penyakit yang aneh...." cuma itu yang
didesiskan Pang Se-bun, karena ia pun tidak
tahu harus berkata bagaimana.
"Dan sore ini kembali dia tercekik, baru saja
kusuruh A-lik pergi memanggil Tabib Kian."
"Astaga, Bibi Giam ini bagaimana?" Pang Sebun kaget. "A-lik, Bibi suruh ke tempat Tabib
Kian di malam gelap ini, melewati tempat yang
sering dilewati kawanan serigala? Bagaimana
kalau dia ketemu serigala?"
Nyonya Giam tak dapat menahan tangisnya.
"Kalau tidak kusuruh A-lik mau kusuruh siapa
lagi? A-lik biarpun anak perempuan tetapi bisa
lari cepat mudah-mudahan mahluk-mahluk suci
melindunginya. Dia membawa patung seorang
panglima langit sebagai pelindung nya."
"Kenapa Bibi tidak minta tolong kenalankenalan terdekat, misalnya tetangga-tetangga?"
"Aku minta kepada tetanggaku Cong Tiat si
tukang kayu, tetapi ia tidak berani melanggar
Mulut Macan 5 23 saat ibadahnya menurut jalan suci, jadi tidak
bisa mengantar. Begitu juga beberapa tetangga."
Pang Se-bun menarik napas, "Kenapa A-lik
tidak disuruh ke rumahku dulu" Sesibuksibuknya aku, demi hubunganku dengan
Saudara Giam Lok, tentu akan kuantar A-lik ke
tempat Tabib Kian biarpun malam-malam
begini." "Aku tidak berani, sebab...." tiba-tiba Janda
Giam menghentikan kata-katanya, merasa
sudah terlanjur bicara. Perkataan yang dihentikan mendadak itu
membuat Pang Se-bun penasaran. "Kenapa
tidak berani. Bibi? Apakah karena Bibi sudah
menganggapku bukan sahabat Saudara Giam
Lagi? Atau karena aku sudah menjadi salah
seorang pembantu dekat Yang Mulia Wong Lusiok yang menjadi guru suci di kota ini?"
Janda Giam membungkam terus, dan ini
membuat Pang Se-bun kian penasaran lalu
mendesak terus. Karena didesak terus, juga melihat betapa
sungguh-sungguhnya Pang Se-bun ingin
Mulut Macan 5 24 menolong, akhirnya Janda Giam menyahut juga
meski dengan takut-takut. "Aku kuatir kau akan
marah, A-bun." "Marah? Marah kepada Bibi yang sejak aku
kecil sudah kukenal baik dan hampir-hampir
kuanggap seperti ibuku sendiri? Memangnya
aku sudah kehilangan hati nurani sehingga
marah kepada Bibi?" "Bisa saja kau marah. Kemarin keluarga
Adikku bertengkar sengit karena Adikku
menuntut suaminya beribadat menurut cara
baru yang diajarkan Guru Wong, tetapi
suaminya menolak. Rumah tangga yang sudah
rukun hampir dua puluh tahun itu sekarang
terguncang hampir pecah."
Pang Se-bun merasa Janda Giam sedang
menyindir ajaran baru yang sedang membuat
warga Seng-tin keranjingan itu. Namun ia
menjawab juga, "Beda keyakinan takkan
membuatku marah kepada Bibi Giam. Nah,
katakan, kenapa Bibi takut aku marah
mendengar jawaban Bibi?"
Mulut Macan 5 25 Setelah ragu sejenak, akhirnya Janda-Giam
berkata, "Jangan marah ya? Ada kata orang,
anakku jadi seperti ini karena dikutuk oleh
anakmu, A-kun...." lalu buru-buru menambahkan, "... tetap itu kata orang lho,
bukan kataku, dai aku pun tidak terburu-buru
mempercaya kata orang begitu saja."
Pang Se-bun termangu-mangu. Sesungguhnya ia sendiri sedang bingung
menghadapi perubahan tingkah laku puteriny
belakangan ini. Pang Li-kun alias A-kut
sekarang lebih senang menyendiri dengan
boneka porselinnya yang diberi nama "A-hwe"
dan diajaknya bercakap-cakap, bahkan kadangkadang diperlakukan seolah-olah "A-hwe" itu
benar-benar hadir dan bisa diraba, dilihat,
didengar. Pernah isteri Pang Se-bun, karena
menguatirkan perkembangan jiwa anak satusatunya akan jadi ganjil dan aneh, diam-diam
menyembunyikan boneka "A-hwe". Tak tahunya
itu membuat A-kun marah besar, dan suasana
rumah pun jadi berubah. Nyonya Pang tiba-tiba
kehilangan rasa aman dalam rumahnya sendiri,
Mulut Macan 5 26 ada perasaan terancam yang entah dari mana
datangnya. Sampai suatu hari ia mengembalikan "A-hwe" kepada A-kun dan
pulihlah suasana rumah, kecuali A-kun yang
makin akrab dengan "A-hwe"nya. A-kun betah
berjam-jam mengobrol dengan bonekanya,
daripada berkumpul dengan keluarganya atau
bermain dengan teman-temannya. Suatu hari
yang lain ada teman A-kun, seorang anak lelaki
yang nakal, membuat jengkel A-kun. Lalu A-kun
menyumpahi anak laki-laki itu dan anak lakilaki itu pun sakit beberapa hari, semakin
ketakutan hari demi hari, entah takut kepada
apa. Sembuhnya setelah Si Anak Lelaki menurut
anjuran Wong Lu-siok untuk berlutut minta
maaf di depan patung "A-hwe"! Pernah juga
Pang Se-bun membicarakan keanehan puterinya ini dengan Wong Lu-siok, tetapi Si
"Guru Suci" ini cuma tersenyum ramah sambil
menyebut A-kun sebagai "penghubung antara
manusia fana dengan mahluk-mahluk suci" dan
bahkan menyebut A-kun sebagai "anugerah
besar bagi kota Seng-tin, sebab melalui A-kun
Mulut Macan 5 27 orang-orang Seng-tin bisa memperoleh petunjuk dari mahluk-mahluk suci".
Sekarang mendengar Janda Giam menyebut
A-kun sebagai penyebab sakitnya Giam Lok, hati
Pang Se-bun terasa tidak enak juga. Biarpun
Janda Giam mengembel-embelinya dengan
"menurut kata orang" serta "tidak terburu-buru
mempercayai kata orang".
"Memangnya A-kun itu Sam-koh?" Pang Sebun mencoba meringankan tanggung jawab
puterinya. Sam-koh atau "bibi ketiga" adalah sebutan
dalam masyarakat tradisionil terhadap perempuan yang oleh karena bakat alam atau
karena belajar, memiliki kemampuan berhubungan dengan mahluk-mahluk halus,
entah sebutannya "arwah leluhur" atau "dewa"
atau "mahluk suci" atau entah apalagi.
"Entahlah...." kata Janda Giam sambil
mengangkat bahunya. Ketika itulah adik Giam Lok yang bernama
Giam Lik, sudah kembali bersama Tabib Kian,
bahkan bersama seorang lelaki muda yang
Mulut Macan 5 28 gagah, yang belum pernah dilihat di Seng-tin
sebelumnya. Kemunculan anak perempuannya dalam
keadaan selamat melegakan Janda Giam, juga
Pang Se-bun yang bersahabat baik dengan
keluarga itu. "Syukurlah kau selamat, A-lik." kata ibunya.
"Patungnya sudah kautaruh kembali di altar?"
"Sudah, Ibu." Saat itu di Seng-tin memang sedang beredar
banyak benda yang diembel-embeli "suci"
seperti patung suci, lukisan suci, kalung suci,
jubah suci, air suci, ini suci itu suci, sejalan
dengan ajaran baru yang dibawa Wong Lu-siok.
Warga Seng-tin begitu mudah menerima itu
semua, akibat pengalaman buruk ditindas
gerombolan Beng Hek-houw dulu, di saat Beng
Hek-houw menggunakan sihir hitam untuk
menguasai kota. Kini sebagai pelindung, warga
Seng-tin jadi akrab dengan "perlindungan" baru
yang diperkenalkan Wong Lu-siok itu.
Pang Seng-bun berdiri dengan sopan untuk
menyambut Tabib Kian, sementara matanya
Mulut Macan 5 29 menatap dengan rasa ingin tahu ke arah Cu
Tong-liang. Ketika Cu Tong-liang mengangguk
ramah, Pang Se-bun mengangguk sama
ramahnya. Dengan perasaan agak bangga, Tabib Kian
memperkenalkan Cu Tong-liang, "Tamuku ini
datang dari ibukota kerajaan di Pak-khia, dia
bekas perwira istana bawahannya Kaisar
sendiri lho!" Orang-orang Seng-tin yang hidup terpencil
di kawasan barat-laut dan berjarak puluhan
ribu li dari Pak-khia itu memang kaget.
Sementara Tabib Kian memperkenalkan lebih
lanjut. "Namanya Cu Tong-liang. Aku
memanggilnya A-Liang saja"
Inilah yang amat membanggakan Tabib
Kian, bahwa ia boleh memanggil Si Bekas
Perwira bawahan Kaisar ini dengan "A-liang"
saja. Pang Se-bun membungkuk dalam sekali
sambil menjura, "Aku mengucapkan selamat
datang kepada Perwira Cu di kota ini. Aku Pang
Mulut Macan 5 30 Se-bun, pekerjaanku sehari-hari ialah berjualan
rempah-rempah dan bumbu-bumbu."
Cu Tong-liang membalas sama hormatnya,
"Harap Saudara Pang tidak memanggilku
Perwira Cu, cukup kalau Saudara Cu begitu saja,
sebab dulu aku memang perwira kerajaan,
tetapi sekarang sudah bukan lagi. Aku juga
sudah mendengar cerita dari Paman Tabib ini
tentang kegagahan warga Seng-tin membebaskan diri dari penjahat-penjahat, aku
sungguh kagum." Janda Giam juga menyambut Cu Tong-liang,
"Maafkan tempatku yang sangat buruk ini, Tuan
Cu." "Jangan panggil aku Tuan. Panggil saja
seperti Paman Tabib ini memanggilku, Bibi."
Kemudian Tabib Kian mulai memeriksa
Giam Lok sambil bertanya-tanya kepada Janda
Giam tentang sakitnya Giam Lok Janda Giam
menerangkannya. Habis memeriksa, Tabib Kian
meramu beberaps bahan obat-obatan dari
keranjang obatnya, dan menerangkan penggunaan masing-masing obatnya.
Mulut Macan 5 31 "Jika dalam dua hari belum ada perubahan,
kabari aku." kata Tabib Kian.
Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Janda Giam mengangguk-angguk. "Berapa
harus kubayar untuk obat ini?"
"Serelamulah, Nyonya Giam. Jangan sampai
memberatkanmu." Janda Giam membayar beberapa keping
uang yang diterima Tabib Kiah, dan tiba-tiba
saja Janda Giam bertanya, "Sinshe, apakah ada
kemungkinan... penyakit Anakku ini disebabnya
suatu yang... tidak alamiah, begitu?"
"Sesuatu yang tidak alamiah bagaimana
maksudmu?" "Misalnya... karena diganggu roh-roh jahat,
atau karena menggusarkan dewa dewi atau
mahluk-mahluk suci lain...."
Pang Se-bun sudah ikut tegang mendengarnya, biarpun Janda Giam sedikit pun
tidak menyinggung tentang Pang Li-kun.
Sementara Cu Tong-liang diam-diam mengkritik
dalam hati, "Dasar orang dari tempat terpencil,
masih percaya tahyul-tahyul macam ini."
Mulut Macan 5 32 Tetapi Cu Tong-liang pun sadar bahwa di
kota besar macam Pak-khia pun tukang-tukang
menghubungi dunia gaib masih laris dihubungi
orang. Entah untuk mencari kesembuhan, cari
jodoh, hendak buka toko dan bahkan kadangkadang untuk menikahkan anggota keluarga
yang sudah di alam baka alias pernikahan
arwah. Jawab Tabib Kian kepada Janda Giam, "Maaf,
Nyonya. Soal itu aku tidak tahu menahu. Selama
ini yang kupelajari adalah bahan-bahan obatobatan, bukan yang aneh-aneh begitu."
Pang Se-bun cepat-cepat menyambung,
"Aku percaya Saudara Giam akan segera
sembuh, Bibi." Tabib Kian dan Cu Tong-liang langsung
berpamitan, karena saat itu sudah larut malam.
Pang Se-bun pun berpamitan pada saat yang
bersamaan. Sebelum berpisah dengan Tabib Kian dan
Cu Tong-iiang di simpang jalan, Pang Se-bun
sempat mengundang, "Saudara Cu, akan
menjadi kehormatan sangat besar buatku,
Mulut Macan 5 33 apabila Saudara Cu mengunjungi rumahku.
Kami yang hidup di kota kecil ini jarang sekali
melihat tamu yang dari ibu kota kerajaan."
"Tetapi sekarang malam sudah larut,
Saudara Pang." "Kalau begitu, kapan sajalah kumohon
Saudara Cu mengunjungi rumahku. Jangan
sampai tidak, ya?" "Mana bisa kutolak keramah-tamahan
seperti ini?" Ketika Tabib Kian dan Cu Tong-liang sudah
ada di tengah-tengah padang ilalang dengan
diterangi lentera, Cu Tong-liang berkomentar,
"Sebuah kota yang ramah. Aku jadi ingin
berkenalan lebih banyak dengan orangorangnya."
"Bukan hanya ramah, tetapi belakangan ini
juga amat saleh dan rajin menjalankan agama."
"Dulunya tidak?"
"Tidak, sebelum gerombolan jahat dengan
sihir hitamnya menguasai kota ini. Kini warga
kota menyadari perlunya menempuh jalan suci
untuk terlindung dari sihir jahat para siluman."
Mulut Macan 5 34 "Paman percaya?"
"Aku sampai bingung menentukan sikapku
sendiri. Mau tidak percaya, nyatanya warga kota
benar-benar pernah menjadi sasaran empuk
sihir hitam. Contohnya, orang gila yang kita
lihat sedang mencari makanan di tempat
sampah tadi." "Orangnya masih muda."
"Ya, namanya Ho Tong. Dia jadi begitu
karena sihir hitam."
"Ooo...." "Tetapi untuk percaya begitu saja, rasanya
otakku yang sudah biasa berpikir nalar ini tidak
mau dikesampingkan begitu saja."
Sementara itu, meski sedang prihatin soal
anaknya yang sakit, dasar manusia, Janda Giam
sempat bercerita kepada tetangga-tetangga
dengan rasa bangga bahwa rumahnya
dikunjungi "perwira utusan kaisar dari ibu kota
kerajaan". Sebagian tetangga tidak percaya, tetapi ada
juga yang setengah percaya.
Mulut Macan 5 35 * ** Esoknya, Cu Tong-liang bersama Liu Yok
dan Siau Hiang-bwe ikut membantu Tabib Kian.
Ada yang di kebun, ada yang di dapur.
Usai sarapan pagi, Cu Tong-liang memakai
pakaian rapi dan menuju Seng-tin untuk
memenuhi undangan Pang Se-bun.
Namun Cu Tong-liang tidak langsung ke
rumah Pang Se-bun, meski semalam la sudah
diberi ancar-ancar letak rumah pedagang
rempah-rempah itu. Cu Tong-liang Jebih dulu
berjalan berkeliling menikmati suasana kota
kecil itu, kemudian ketika perutnya terasa lapar
dia masuk ke sebuah rumah makan di ujung
jalan, la sudah sarapan, tetapi bau masakan dari
rumah makan itu membangkitkan kembali rasa
laparnya. Cu Tong-liang yang asing di Seng-tin itu
ditatap dengan rasa curiga oleh orang-orang
Seng-tin. Baik ketika di jalanan, maupun ketika
memasuki rumah makan. Mulut Macan 5 36 Apalagi karena pemilik rumah makan itu
adalah Ao Khim, warga Seng-tin yang pertama
"mencicipi" sihir hitam Beng Hek-hou, digigiti
ribuan semut. Kini melihat ada lagi orang asing
datang di Seng-tin, biarpun sendirian dan tidak
bersenjata, namun rasa curiganya bangkit.
Namun Ao Khim sekarang tidak gentar lagi.
Ia sudah jadi pengikut ajaran Wong Lu-siok
yang sakti. Ia sudah belajar beberapa mantera
suci untuk beberapa keperluan termasuk
perlindungan dan keberuntungan, ia juga sudah
memasang beberapa jimat pelindung dan
penglaris di beberapa sudut rumah makannya
itu. Seandainya Beng Hek-hou datang kembali
pun, Ao Khim sudah tidak gentar dalam urusan
sihir-menyihir. Tetapi urusan main kepruk, Ao
Khim masih merasa perlu membisiki seorang
pegawainya untuk diam-diam menghubungi Lui
Kong-sim dan beberapa kawannya yang
mengangkat diri sendiri sebagai "penanggung
jawab keamanan" bagi warga Seng-tin.
Kebetulan Lui Kong-sim dan teman-temannya
memang nongkrong di sebuah warung arak
Mulut Macan 5 37 murahan tidak jauh dari rumah-rumah Ao
Khim, jadi mudah dihubungi.
Sementara seorang pegawainya menemui
Lui Kong-sim, Ao Khim mendekati Cu Tongliang dan bertanya dengan pura-pura hormat,
"Selamat siang, Tuan. Agaknya Tuan ini seorang
baru di kota ini?" Cu Tong-liang mengangguk hormat pula,
"Benar, aku seorang pengembara. Namaku Cu
Tong-liang." "Maaf, Tuan. Kalau didengar dari logat Tuan,
Tuan ini sepertinya dari Propinsi Ho-pak."
"Memang. Aku lahir dan besar di Pak-khia."
"Selamat datang di Seng-tin, Tuan Cu.
Bagaimana kesan Tuan terhadap kota kecil
terpencil ini?" Diam-diam Cu Tong-liang canggung juga.
Tamu datang ke rumah makan kok tidak
langsung ditanyai mau pesan apa, malah
ditanya macam-macam yang tak ada sangkutpautnya dengan urusan perut. Ada kesan
sedang mengulur waktu, tetapi mengulur waktu
buat apa? Mulut Macan 5 38 Namun Cu Tong-liang meladeninya juga,
"Kota ini penduduknya ramah, rukun taat
beribadah, tenteram."
Ao Khim merasa bangga juga. "Itu berkat
jalan suci yang kami anut. Agama yang
merangkum semua agama yang ada sebelumnya, agama yang menurut Guru Wong
kelak akan menguasai seluruh dunia dan
menyatukan semua agama yang ada di bawah
sayapnya. Guru Wong sendiri mengetahui ini
bukan hasil pikirannya sendiri melainkan
diberitahu dewa-dewa dari langit yang
menunggangi piring cahaya berwarna biru
menyilaukan." Melihat Cu Tong-liang memperhatikan
ceritanya, Ao Khim malah semakin bersemangat
dalam bercerita. "Meski penduduk sini nampak
ramah, tetapi jangan ada yang coba-coba
melawan kami. Sebuah gerombolan jahat yang
dipimpin seorang penyihir hitam, pernah kami
usir pergi dari sini. Sihir jahatnya kami
kalahkan karena kami ditolong para dewa dan
mahluk-mahluk suci."
Mulut Macan 5 39 Cu Tong-liang merasa tak ada perlunya
mengutik-utik keyakinan orang lain. Maka
ketika Ao Khim sedang berhenti berbicara
untuk mengambil napas, cepat-cepat Cu Tongliang menyela, "Syukurlah, kalau keadaan kota
ini seperti yang Tuan katakan. Tetapi bolehkah
aku tahu, makanan dan minuman apa yang
tersedia dirumah makan Tuan ini?"
Ketika itu Ao Khim sudah melihat Lui Kongsim dan enam atau tujuh orang temantemannya yang bertubuh kekar-kekar sudah
diambang pintu. Diam-diam! ia memberi isyarat
kedipan kepada Lui. Kong-sim, sementara
kepada Cu Tong-liang dia masih pura-pura
ramah dengan menyebutkan sederetan makanan dan minuman di rumah makannya.
Ketika Cu Tong-liang sudah memesan, Ao Khim
puni beranjak ke dapur. Sementara menunggu pesanan, "naluri
perang" Cu Tong-liang bekerja ketika melihat
pemuda-pemuda kekar mengambil tempat
duduk berpencaran dan mengurungnya, serta
sering melirik ke arah dirinya dengan curiga.
Mulut Macan 5 40 Cu Tong-liang coba menenangkan hatinya
sendiri, "Sikap yang lumrah, karena kota ini
baru saja terancam orang asing maka lalu
semua orang asing dicurigai, termasuk aku...."
Tetapi sikap menenang-nenangkan diri Cu
Tong-liang mau tidak mau harus berakhir
ketika Lui Kong-sim mendekatinya dan
bertanya langsung tanpa basa-basi, "Siapa kau?
Apa tujuanmu berada di kota ini?"
"Saudara ini siapa?"
"Aku penanggung jawab keamanan kota ini.
Aku harus memastikan bahwa takkan ada
warga kota yang terganggu atau dirugikan
olehmu." "Kalau begitu, Saudara boleh merasa
tenteram. Aku memang tidak berniat
mengganggu orang sedikit pun. Aku cuma
seorang pengembara yang kebetulan lewat,
namaku Cu Tong-liang."
Salah seorang teman Lui Kong-sim yang
bertubuh gemuk berotot tertawa dingin, "Mana
bisa kami telan kata-katamu begitu saja? Kau
bilang tidak akan mengganggu siapa-siapa
Mulut Macan 5 41 karena melihat kami bertujuh yang pasti takkan
terlawan olehmu. Tetapi coba kau bertemu
Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan perempuan yang lemah atau anak kecil,
pastilah kau tergoda untuk berbuat jahat atas
mereka!" "Ya, betul. Saudara Lui, jangan biarkan
bajingan ini bersikap bertele-tele. Langsung
gebuki saja, paksa untuk mengaku di mana sisa
gerombolannya bersembunyi, apa rencana
jahatnya untuk menyerang kembali kota ini!"
"Ya, betul. Gebuki saja!"
"Dia pasti suruhan Beng Hek-hou untuk
memata-matai kita!" Dan macam-macam suara yang senada, Lui
Kong-sim sendiri menyeringai girang, merasa
kali ini mendapat "sedikit permainan" untuk
mengobati kekecewaannya. Kekecewaannya
karena dia tidak terpilih menjadi salah seorang
dari lima pembantu kepercayaan Wong Lu-siok,
padahal ia merasa jasanya cukup besar.
Malahan yang terpilih ke dalam kelompok lima
adalah Pang Se-bun "si pengkhianat" dan Giam
Lok "si lemah hati" yang kini sedang sakit berat
Mulut Macan 5 42 dan kabarnya tetap menolak dijadikan salah
satu dari "kelompok lima" itu. Untuk mengobati
kekecewaannya itulah Lui Kong-sim men-caricari kegiatan sendiri, mengumpulkan beberapa
teman lalu menganggap diri mereka sebagai
"penanggung jawab keamanan" di Seng-tin, agar
orang-orang Seng-tin tidak melupakannya.
Sementara Cu Tong-liang sudah berdebardebar jantungnya, dicobanya menahan diri
sekuatnya sambil mengingat-ingat kata-kata Liu
Yok bahwa "manusia alamiah"nya jangan
dimanjakan. Tetapi darah Cu Tong-liang makin hangat,
ketika Si Gemuk Berotot tiba-tiba menarik
kuncir rambut Cu Tong-liang dari belakang
sehingga wajah Cu Tong-liang mendongak ke
atas. Orang-orang tertawa semuanya, sedang Si
Gemuk berkata, "He, bandit, cepat katakan apa
yang ingin kami ketahui, jangan menunggu kami
habis sabar dan bertambah marah!"
Sementara yang lain lagi dengan telapak
tangannya yang lebar dan kuat menjepit pipipipi Cu Tong-liang hingga bibirnya monyong,
Mulut Macan 5 43 lalu mengguncang-guncangnya disertai gelak
tawa teman-teman Lui Kong-sim lainnya.
Hati Cu Tong-liang sudah amat panas
diperlakukan demikian. Namun dalam kepalanya seolah terngiang-ngiang perkataan
Liu Yok, "Sangkal manusia alamiahmu sampai
ke bagian-bagian yang sekecil-kecilnya, yang
buruk maupun yang baik, dengan demikian
barulah manusia-batiniahmu yang sudah
dipulihkan kepada citra Sang Pencipta itu bisa
tampil keluar." Pada kesempatan lain, Liu Yok juga
memberikan pendapatnya tentang ilmu silat,
"Ilmu itu mengajarkan dirimu penting, maka
harus kau lindungi, kaupertahankan. Juga harga
dirimu, kehormatanmu, perasaanmu, kepentinganmu. Ilmu silat mempertahankan
apa yang seharusnya diremukkan. Tanpa
peremukan wadah, isi takkan keluar menjadi
berkah bagi umat manusia."
Tubuh Cu Tong-liang bergetar, mukanya
yang dijepit pipinya itu amat pucat. Getar
tubuhnya bukan oleh ketakutan melainkan oleh
Mulut Macan 5 44 pertentangan hebat dalam diri sendirinya.
Antara pribadi alamiah yang menuntut
dipertahankannya harga diri dan pribadi
batiniah yang terbentuk sejak berkenalan
dengan Liu Yok, dengan Sesembahan Liu Yok
yang mengajar, "Sebiji benih akan tetap tinggal
sebiji kalau tidak rela jatuh dan remuk di
tanah." Namun kuncirnya yang ditarik-tarik, suara
tertawa mengejek orang-orang, mukanya yang
dicengkeram dan diguncang-guncang, semuanya ibarat minyak yang disiramkan ke
nyala api yang hampir padam tetapi belum
padam benar. Nyala api itu adalah manusia
alamiahnya yang menuntut suatu tindakan atas
nama harga diri, atas nama kesadaran akan
keberadaan diri sendiri. Segala yang pernah dianjurkan Liu Yok pun
lenyap seperti asap ditiup angin.
Satu tangan Cu Tong-liang tiba-tiba sudah
naik untuk mencengkeram salah satu jari dari
tangan yang mencengkeram pipinya. Detik
berikutnya adalah lolong kesakitan dari Si
Mulut Macan 5 45 Pencengkeram karena salah satu jarinya
dipatahkan. Menyusul tubuh Cu Tong-liang yang sedang
duduk di kursi itu tiba-tiba melejit begitu saja
bersalto ke belakang, ke arah orang yang
menarik kuncir rambutnya. Begitu cepat yang
dilakukan Cu Tong-liang sehingga sukar terlihat
jelas, tahu-tahu saja Si Gendut yang menarik
kuncir itu sudah terkapar dengan dua tangan
mendekap mulutnya yang penuh darah karena
hampir semua giginya rontok.
Lima orang lainnya, termasuk Lui Kong-sim,
kaget melihat ketangkasan Cu Tong-liang. Tak
seorang pun di Seng-tin yang memiliki
ketangkasan seperti itu, bahkan seandainya
guru silat Ciu Koan masih hidup.
Tetapi sebagai "penanggungjawab bidang
keamanan" Lui Kong-sim lebih dikuasai rasa
gusar dan ditantang, teriaknya kepada kawankawannya. "Bereskan dia! Jangan sampai dia
kembali kepada gerombolannya dan melaporkan tentang situasi kota ini kepada
Beng Hek-hou!" Mulut Macan 5 46 Teman-temannya agak ragu, tetapi mengandalkan jumlah, mereka jadi berani.
Seorang menerjang dari depan untuk
memancing perhatian bersamaan dengan
seorang lainnya hendak menjejak belakang
lutut Cu Tong-liang sekuatnya.
Tetapi kedua-duanya menemui sasaran
kosong, sebab Cu Tong-liang menyelinap maju
sambil merendahkan diri. Penyerang dari depan
itu ditangkap lengannya lalu dihempaskan ke
belakang, menimpa penyerangnya yang dari
belakang. Keduanya jatuh bertumpukan di
lantai. Cu Tong-liang yang sudah dikuasai
kemarahannya itu melompati tubuh kedua
orang itu, keluar pintu dan ke jalanan. Katanya
kepada Lui Kong-sim yang masih di dalam,
"Sebenarnya dari tadi ingin kukatakan bahwa
kalian bertujuh tak berarti apa-apa, tetapi
kalian semakin kurang ajar dan akulah yang
akan menghajar kalian."
Mulut Macan 5 47 Cu Tong-liang yang sudah dikuasai
kemarahannya itu melompati tubuh kedua
orang itu, keluar pintu dan ke jalanan.
Mulut Macan 5 48 Lui Kong-sim tidak membawa tombaknya,
tetapi ia membawa pedang pendek yang lalu
dihunusnya. Ia tidak langsung melangkah
keluar, melainkan memejamkan mata sekejap
dengan bibir berkomat-kamit.
Cu Tong-liang berdebar juga melihat itu,
teringat pengalamannya ketika masih sebagai
perwira dan ditugaskan di Lam-koan dulu,
berhadapan dengan orang-orang Pek-lian-hwe
(Serikat Teratai Putih) yang pandai ilmu gaib.
Apakah yang dihadapinya sekarang juga bisa
ilmu gaib? Hati Cu Tong-liang guncang,
meskipun ia mencoba membesarkan hati
dengan mengingat-ingat perkataan bekas
komandannya dulu, Oh Tong-peng, yang
mengatakan, "Ilmu gaib tak berpengaruh
banyak terdapat yang jiwanya teguh".
Namun Cu Tong-liang ingat juga bahwa dua
rekan perwiranya yang sudah jelas berhati
teguh, ditambah dirinya sendiri yang mental
bajanya yang juga tidak diragukan, ternyata
menjadi korban sihir hitam kaum Pek-lian-hwe.
Rekannya yang bernama Pang Hui-beng
Mulut Macan 5 49 menjadi orang gila yang berkeliling kota sambil
menari dan menyanyi lupa daratan, yang
bernama Lo Lam-hong lupa dirinya sendiri dan
menjadi antek Pek-lian-hwe sampai mau
disuruh menyerang rekan-rekannya sendiri,
dan Cu Tong-liang sendiri pernah lumpuh total,
bukan hanya Jasmaninya tetapi juga jiwanya
yang rasanya dibawa ke suatu tempat asing
yang amat menakutkan. (Dalam "Menaklukkan
Kota Sihir"). Kini melihat lagak Lui Kong-sim sepertinya
hendak mempraktekkan semacam ilmu gaib,
jantung Cu Tong-liang berdebar kencang.
Keringat dinginnya tiba-tiba keluar dan
kepalanya berdenyut-denyut.
Cu Tong-liang jadi gugup sendiri, dan
berusaha memperbaiki keadaan dirinya dengan
berkata kepada sendiri. "Tidak. Aku sehat, aku
tidak terpengaruh. Aku kuat."
Namun nyatanya ia makin pusing dan makin
tidak enak badannya, apalagi ketika Lui Kongsim memperdengarkan bacaan manteranya.
Mulut Macan 5 50 Kemudian teman-teman Lui Kong-sim,
kecuali yang patah jarinya dan masih pingsan,
mulai menyerang Cu Tong-liang dengan sengit.
Cu Tong-liang merasakan pandangannya
kabur dan kepalanya amat sakit seolah ditekan
dengan gelang besi yang makin menyempit. Saat
seperti itu, empat kawan Lui Kong-sim
menyerangnya dengan sengit dan bertubi-tubi.
Biarpun kepalanya pusing dan pandangannya kabur, Cu Tong-liang berusaha
melawan juga. Dalam hal silat, memang ia jauh
lebih matang daripada anak-anak muda Sengtin yang hanya gagah-gagahan itu. Maka
biarpun kondisinya jauh dari sempurna,
perlawanannya lumayan juga. Tetapi keempat
lawan yang memukulinya pun semakin ganas
dan beringas. Bahkan meskipun tanpa bukti
apa-apa, mereka yakin Cu Tong-liang adalah
anggota gerombolan Beng Hek-hou, maka
mereka menyerang terus dengan sengit.
Ketika sakit kepala dan pandangan kabur Cu
Tong-liang menghebat, maka tangan dan kaki
teman-teman Lui Kong-sim pun beberapa kali
Mulut Macan 5 51 berhasil menerobos pertahanannya dan
mengenainya. Sekuat apa pun tubuh Cu Tongliang, lama-lama terasa sakit juga.
Ketika itulah dari ujung jalan ada orang
melangkah mendekat dan meneriaki anak-anak
muda yang sedang main hakim sendiri itu, "He,
kalian sedang berbuat apa?"
Yang datang adalah Pang Se-bun, orang
yang dibenci Lui Kong-sim tetapi dihormati
warga Seng-tin karena sekarang menjadi salah
satu pembantu kepercayaan Wong Lu-siok.
Keempat anak muda itu berhenti
menyerang Cu Tong-liang, Lui Kong-sim
melangkah keluar dari rumah makan, dengan
suara dingin ia menjelaskan,
"Kakak Pang, orang ini mencurigakan sekali.
Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dia adalah seorang anggota gerombolan yang
sedang memata-matai kewaspadaan kota ini
untuk kelak menyerang kembali!"
"Kalian benar-benar gegabah!" potong Pang
Se-bun dengan gusar. "Aku mengenal Tuan Cu
ini sebagai tamu terhormat kota kita, dia adalah
bekas perwira Kaisar di Pak-khia! Dan kalian
Mulut Macan 5 52 sudah memperlakukan orang terhormat ini
seperti maling jemuran saja!"
Lalu kepada Cu Tong-liang, Pang Se-bun
berkata penuh sesal. "Saudara Cu, maafkan
teman-temanku ini. Apakah Saudara tidak apaapa?"
Cu Tong-liang masih pusing, tetapi berlagak
gagah dan menjawab, "Syukurlah belum sampai
terjadi apa-apa." Sementara Lui Kong-sim dan temantemannya kaget mendengar penjelasan Pang Sebun itu. Perwira istana? Alangkah hebatnya
akibat tindakan mereka yang gegabah itu kalau
sampai Si Bekas Perwira istana ini marah lalu
menggunakan sisa-sisa pengaruhnya di Pakkhia untuk membalas kota kecil ini.
Lui Kong-sim dan teman-temannya lalu
hendak mengeloyor pergi begitu saja, tetapi
Pang Se-bun menegur mereka, "He, tunggu!
Bukankah Guru Wong mengajarkan bahwa
kalau kalian bersalah harus berani minta maaf?
Dengan kelakuan yang baik, barulah kalian
dapat menempuh jalan suci yang diajarkan Guru
Mulut Macan 5 53 Wong! Kalian harus minta maaf kepada Saudara
Cu!" Liu Kong-sim mengutuk dalam, kebenciannya kepada Pang Se-bun makin
berkobar dalam hati namun tidak berani
melawan terang-terangan. Saat itu banyak
orang Seng-tin sudah yakin bahwa Pang Se-bun
sebagai orang kepercayaan Wong Lu-siok juga
punya "kekuatan para dewa" meskipun tidak
sehebat Wong Lu-siok. Banyak orang Seng-tin
percaya, kalau mereka berani membantah
Wong Lu-siok atau orang-orang kepercayaannya, misalnya Pang Se-bun, maka
orang itu akan mengalami bencana karena
kemarahan para dewa dan mahluk-mahluk
sucinya. Bahkan anak Pang Se-bun yang masih
kecil, Pang Li-kun, alias A-kun, sudah diketahui
seluruh warga kota sebagai "anak dewa" yang
punya macam-macam kemampuan gaib, dan
kabarnya Giam Lok jatuh sakit berat karena
perkataan bertuah dari A-kun si bodoh cilik.
Karena takut menggusarkan penguasapenguasa gaib itulah makanya Lui Kong-sim
Mulut Macan 5 54 memaksa diri untuk memberi hormat sambil
minta maaf dengan gaya yang kaku kepada Cu
Tong-liang, barulah ngeloyor pergi. Begitu juga
teman-temannya. "Aku minta maaf sekali lagi buat mereka,
Saudara Cu...." kata Pang Se-bun pula dengan
amat sungkan. "Untung Saudara Cu dapat
membela diri dengan baik, coba orang lain, pasti
sudah babak belur dan kami bersalah kepada
orang baik-baik." Cu Tong-liang sudah berkurang banyak
pusingnya sejak Lui Kong-sim menghentikan
manteranya. Sahutnya sambil tertawa, "Tidak
jadi soal, Saudara Cu, malah aku pun merasa
tidak enak karena menciderai beberapa orang
dari mereka. Tolong kapan-kapan Saudara Pang
sampaikan permintaan maafku kepada mereka.
Aku bisa memaklumi, sebagai kota yang pernah
mengalami hal tidak enak dengan kawanan
penjahat, lumrah saja sikap mereka. Sikap
berjaga-jaga." "Tetapi kadang-kadang kelewatan." sambung Pang Se-bun. "Nah, Tuan Cu,
Mulut Macan 5 55 mumpung sudah sampai di sini, bagaimana
kalau mengunjungi rumahku sekalian? Kuperkenalkan dengan keluargaku."
Cu Tong-liang diam-diam membatin,
keluarga Pang Se-bun pastilah keluarga
harmonis sehingga hendak dipamer-pamerkan.
"Akulah yang merasa terhormat mengunjungi
Saudara Pang...." Lalu keduanya pun berjalan berendeng
menuju ke rumah Pang Se-bun, sambil
bercakap-cakap. Pang Se-bun menanyakan
apakah Cu Tong-liang sudah berkeluarga, Cu
Tong-liang lalu menceritakan tentang anak
isterinya di Pak-khia. Tetapi Cu Tong-liang
belum mau menceritakan tentang pengembaraannya, sebab kalau mengakui itu
berarti harus menceritakan tentang Liu Yok,
dan ia kuatir bahwa Liu Yok akan "kelewat
aneh" buat Pang Se-bun.
, Selama melangkah di jalan kota Seng-tin, Cu
Tong-liang melihat banyak orang memberi
hormat kepada Pang Se-bun. Dengan sendirinya
Cu Tong-liang jadi "kecipratan" hormat orangMulut Macan 5
56 orang ini juga, karena berjalan bersama Pang
Se-bun. Diam-diam Cu Tong-liang teringat, ketika ia
masih menjadi perwira kepercayaan Jenderal
Wan Lui, sedang Jenderal Wan Lui sendiri
adalah tangan kanan Kaisar Kian-liong, maka Cu
Tong-liang dihormati di Pak-khia. Bahkan
kalangan atas pun menghormatinya. Kemudian
ketika ia mengembara bersama Lui Yok,
kehormatan macam itu tidak pernah lagi
dialaminya. Di mana-mana dia dipandang
sebagai pengembara biasa, bahkan tidak jarang
diremehkan, disangka tidak punya uang. Liu
Yok sendiri kelihatannya tidak ambil pusing
akan sikap orang-orang yang tidak menghargainya, namun Cu Tong-liang sering
merasa kehilangan sesuatu. Kadang Cu Tongliong bertanya diri sendiri, waraskah pikirannya
ketika dulu ia bertekad melepaskan kedudukan
empuknya di istana untuk mengembara bagai
gelandangan bersama Liu Yok? Kini berjalan
bersama Pang Se-bun, Cu Tong-liang
membayangkan kembali dulu ketika dia
Mulut Macan 5 57 berjalan dalam pakaian perwiranya dan orangorang menghormatinya, meski penghormatan
orang dari kota terpencil macam Seng-tin tentu
jauh nilainya dari penghormatan orang-orang di
Pak-khia. Tetapi lumayanlah untuk sedikit
mengobati "dahaga"nya akan apa yang
dirasakannya hilang sejak dia
mengikut Liu Yok. "Warga kota ini sangat menghormatiSaudara Pang."
"Begitulah. Tetapi mereka juga diwajibkan
saling menghormati dan menyayangi satu sama
lain, itulah ajaran jalan suci yang dibawa oleh
Guru Wong. Dengan menempuh jalan suci, kami
akan dilindungi dari segala yang jahat."
"Itu bagus! Kalau bisa dijalankan dengan
sempurna, kota ini akan jadi sepotong sorga di
bumi!" "Mudah-mudahan."
Langkah mereka terhambat, ketika seorang
perempuan setengah baya tiba-tiba menghadang jalan mereka. Perempuan itu
membungkuk dengan amat khidmat kepada
Mulut Macan 5 58 Pang Se-bun, dan melaporkan nasibnya dengan
rasa sedih, "Guru muda Pang, semalam anakku
Ho Tong kabur kembali dengan membongkar
kayu pasungannya." Wajah Pang Se-bun menjadi sedih,
sahutnya, "Memang harus sabar, Bibi Ho. Sihir
peninggalan Beng Hek-hou yang menguasai diri
Saudara Ho Tong masih cukup kuat, tidak
mudah dihilangkan pengaruhnya begitu saja.
Hendaknya Bibi rajin memuja Ibunda Ratu
langit, mudah-mudahan Ho Tong akan
tertolong." Agaknya kata-kata singkat Pang Se-bun itu
sudah cukup menghibur hati perempuan tua itu,
dia mohon diberkahi, lalu pergi.
"Siapakah Ho Tong?" tanya Cu Tong-liang
setelah perempuan itu minggir.
"Seorang pemuda kota ini yang sekarang
otaknya miring karena disihir oleh para
penjahat dulu. Kami yakin, asal keluarganya
bisa membawa Ho Tong ke jalan suci dengan
melakukan kebajikan sebanyak-banyaknya,
barangkali Ho Tong akan sembuh."
Mulut Macan 5 59 Sambil bercakap-cakap, tak terasa mereka
berdua tiba di depan sumah Pang Se-bun.
Sebuah rumah yang cukup besar dan bagus
untuk ukuran Seng-tin. Cu Tong-liang menerima sambutan ramah
dari seisi rumah, bahkan si kecil A-kun
mengingatkan Cu Tong-liang kepada anaknya
sendiri yang ditinggal di Pak-khia. Dalam
pelukan A-kun, ada boneka porselen yang
dinamainya A-hwe. Gerak-gerik A-kun yang lucu tapi sopan
ketika diperkenalkan dengan Cu Tong-liang,
sungguh membuat lega kedua orang tuanya.
Sebab belakangan ini kadang-kadang A-kun
mengucapkan kata-kata kasar tanpa pandang
bulu siapa yang diajaknya bicara. Tetapi
untunglah, ketika dihadapkan Cu Tong-liang,
kebiasaan barunya yang buruk itu tidak muncul.
Kemudian A-kun menggoyang-goyangkan
boneka porselennya sambil berkata, "A-hwe
juga mengucapkan selamat datang kepada
Paman Cu." Mulut Macan 5 60 Cu Tong-liang menganggap tindakan itu
hanyalah tindakan anak-anak yang penuh
fantasi, maka Cu Tong-liang pun menyesuaikan
diri dengan alam anak-anak dan dia pun
memberi salam kepada Si Boneka porselin
sambil berkata, "Paman Cu juga senang ketemu
A-hwe. Apa kabar, A-hwe?"
Suami isteri Pang Se-bun tersenyum melihat
Cu Tong-liang, bekas orang berpangkat di ibu
kota kerajaan itu ternyata begitu mudah
bergaul dengan anak-anak. Yang paling senang
tentu saja adalah A-kun, ia menempelkan
kupingnya ke mulut boneka porselennya sekian
lama seolah-olah mendengar boneka itu bicara,
lalu A-kunlah yang bicara, "A-hwe gembira
Paman Cu baik kepada A-hwe. A-hwe mau
selalu membantu Paman Cu di mana pun,
boleh?" Waktu A-kun "mendengarkan A-hwe" itu
sebenarnya Pang Se-bun dan isterinya sudah
berdebar-debar. Sebab sudah terjadi dua kali,
sehabis "mendengarkan A-hwe" lalu A-kun
mengucapkan sesuatu "atas nama A-hwe"
Mulut Macan 5 61 kepada orang tertentu, dan orang-orang itu
mengalami tepat seperti yang dikatakan A-kun.
Kebetulan yang dialarru orang-orang itu buruk.
Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Untunglah sekarang di depan Cu Tong-liang,
A-kun mengucapkan sesuatu yang baik, meski
berlagak mewakili A-hwe. Masih menganggap kata-kata A-kun itu
sekedar fantasi kanak-kanak, tanpa pikir
panjang Cu Tong-liang menjawab untuk
menyenangkan keluarga yang ramah itu. "Tentu
Paman suka sekali dibantu A-hwe."
Ketika mengucapkan itu, Cu Tong-liang
merasa di punggungnya ada sesuatu yang
dingin selama satu detik, lalu lenyap kembali.
Hati Cu Tong-liang sendiri merasa tidak enak,
tetapi karena Cu Tong-liang lebih terbiasa
mengandalkan akalnya, maka urusan punggung
terasa dingin dan hati tidak enak itu cepat
menyingkir begitu saja dari pikirannya.
Tadi di rumah makan Ao Khim, Cu Tongliang batal makan karena gangguan Lui Kongsim, tetapi sekarang di rumah sahabat barunya
ini Cu Tong-liang menikmati makanan lezat
Mulut Macan 5 62 setelah sekian lama hanya makan makanan
darurat para pengembara bersama Liu Yok dan
Siali Hiang-bwe. Dalam percakapan ramah-tamah dengan
Pang Se-bun, Cu Tong-liang mendengar tentang
si kecil A-kun yang punya "bakat ajaib" bisa
meramalkan keberuntungan dan kecelakaan.
Cu Tong-liang mendengarnya dengan
perasaan ringan saja, perasaan bahwa itu tidak
ada salahnya. Cu Tong-liang masih di rumah itu, ketika
rumah itu kedatangan seorang lelaki yang
mengantar puteranya yang sebaya dengan Akun. Dengan wajah amat bersungguh-sungguh,
lelaki itu memohon kepada Pang Se-bun agar
diperbolehkan bertemu dengan A-kun dan
boneka porselennya. Melihat kesungguhan orang itu, Pang Se-bun
memanggil puterinya agar keluar menemui.
Setelah A-kun keluar, adegan yang terjadi di
depan Cu Tong-liang sungguh terasa
menggelikan dan tidak masuk akal, namun
benar-benar terjadi. Mulut Macan 5 63 Si Lelaki yang mengantar anaknya itu
dengan suara amat menghormat membujuk Akun, "Nona Pang, aku memohonkan maaf
sebesar-besarnya kepadamu atas kenakalan
Anakku kepadamu tadi. Tolong Nona
membatalkan kata-kata Nona tentang diri
anakku tadi." Cu Tong-liang sampai geleng-geleng kepala
sendiri menyaksikan peritiwa ganjil itu.
Pikirnya. "Dasar orang masih dikuasai tahyul.
Begitu ada desas-desus A-kun punya
kemampuan gaib, lalu orang-orang pada
ketakutan kepada kata-katanya, kuatir kalau
benar-benar terjadi. Hem, padahal cuma
omongan anak-anak." Bersambung jilid VI Sumber Image : Koh Awie Dermawan
first share in Kolektor E-book
Pringsewu 21/08/2018 22 : 07 PM
Mulut Macan 5 64 Mulut Macan 6 1 JILID VI * Karya : STEVANUS S.P. pelukis : WIDODO Percetakan & Penerbit
CV "G E M A" Mertokusuman 761 RT 02 RW VII
Telp 35801 - SOLO 57122 Mulut Macan 6 2 Mulut Macan 6 1 Dari Mulut Macan ke Mulut Buaya
Karya : STEFANUS S.P. Jilid VI S EMENTARA A-kun menjawab, "Kutanyakan
du! kepada A-hwe." Lalu dengan gaya seperti
biasanya, menempelkan kuping di mulut Si
Boneka seperti sedang mendengarkan, dan
sesaat kemudian menjawablah A-kun, "A-hwe
bilang, karena kau minta maaf, maka kau tidak
akan mengalami bencana. Tetapi temanmu yang
gundul itu benar-benar sudah membuat A-hwe
marah tetapi tidak mau minta maaf ke sini,
maka temanmu yang gundul itu akan
mengalami banyak bencana sampai dia dan
seluruh keluarganya mentaati jalan suci!"
"A-kun!" cegah Pang Se-bun dengan kaget,
karena puterinya kembali mengucapkan katakata yang dipercaya banyak orang bisa
mencelakakan orang. Mulut Macan 6 2 Tetapi malah Cu Tong-lianglah yang sambil
tertawa berkata kepada Pang Se-bun, "Hanya
perkataan anak-anak, Saudara Pang. Kenapa
kau seserius itu?" Dalam tegang dan cemasnya, tak terasa
Pang Se-bun mengucapkan sesuatu yang
sebenarnya harus disimpannya sendiri.
Katanya, "Saudara Cu, temanku Giam Lok yang
menganggap kata-kata Anakku hanya sekedar
omongan anak-anak, dan sekarang...."
Sampai di situ barulah Pang Se-bun
menghentikan kata-katanya, sadar telah terlalu
gegabah bicara. Tidak enak rasanya kalau
sampai kata-kata itu sampai ke keluarga Giam
Lok. Di kota kecil macam Seng-tin, kata-kata
seorang mudah sampai ke kuping orang lain,
bahkan sudah "ditambahi bumbu".
Sementara itu A-kun berkata kepada
ayahnya, "Jangan takut, Ayah. A-hwe tidak
marah kepada Paman Cu kok.... betul bukan, Ahwe?"
Lalu boneka itu digerakkan sendiri oleh Akun seolah-olah mengangguk.
Mulut Macan 6 3 Cu Tong-liang tertawa ringan saja, tetapi
Pang Se-bun suami isteri benar-benar
berkeringat dingin menyaksikan gerak-gerik Akun dengan boneka A-hwe-nya. Untunglah
setelah berkata begitu, A-kun segera masuk
kembali ke dalam. Sementara ayah dan anak yang baru saja
dibebaskan dari akibat kata-kata A-kun itu pun
mengucap terima kasih berulang kali sebelum
berpamitan pulang. Menyaksikan semuanya itu, diam-diam Cu
Tong-liang membatin, "Agaknya penduduk kota
ini memiliki semacam kepercayaan yang agak
tidak masuk akal." Tetapi soal tidak masuk akal, tiba-tiba Cu
Tong-liang pun teringat bahwa dia pun sedang
mengikuti Liu Yok yang kepercayaannya kadang
begitu aneh. Sehingga Cu Tong-liang mulai
membandingkan antara kepercayaan warga
Seng-tin dan kepercayaan Liu Yok entah mana
yang lebih aneh? Apakah kedua kepercayaan itu
berasal dari sumber yang sama? Atau berlainan,
bahkan berlawanan? Mulut Macan 6 4 Kemudian datanglah Pang Se-hiong, adik
Pang Se-bun, yang bertubuh penuh otot karena
pekerjaannya sebagai tukang besi. Setelah
diperkenalkan kepada Cu Tong-liang, Pang Sehiong melapor kepada kakaknya, "Kak, Kakak
ditunggu di lapangan latihan untuk meninjau
latihan pengawal-pengawal kota, karena Guru
Wong sedang berhalangan. Beliau sedang
bersemedhi dan tidak bisa diganggu siapa pun."
Pang Se-bun menoleh ke arah Cu Tongliang, ajaknya, "Saudara Cu, kau sebagai perwira
istana yang berpengalaman tentu punya
petunjuk-petunjuk berharga bagi kelompok
keamanan kota yang baru saja kami bentuk dan
sekarang sedang berlatih di lapangan. Maukah
Saudara Cu menemani aku untuk melihat
mereka?" "Jadi kota ini mengandalkan keamanannya
kepada warga sendiri, karena tidak ada prajurit
kerajaan?" "Benar. Tetapi dengan petunjuk-petunjuk
dari Saudara Cu, mutu pengawal-pengawal kami
pasti akan meningkat, Saudara Cu adalah bekas
Mulut Macan 6 5 perajurit kawakan di bawah perintah Kaisar
sendiri." kalimat terakhir ini ditujukan kepada
Pang Se-hiong adiknya. Hari itu Cu Tong-liang merasa jiwanya agak
segar karena menikmati penghargaan yang
sudah lama tidak dinikmatinya. Kini terbuka
lagi sebuah kesempatan untuk dia memamerkan Peng-hoat (Teori Militer)-nya di
depan kelompok "hansip" Seng-tin yang pasti
lugu dan akan dibuatnya terkagum-kagum
dengan peng-hoatnya. Tetapi Cu Tong-liang pura-pura merendah,
"Ah, warga kota ini sudah menunjukkan
prestasi hebat dengan mengusir gerombolan
Beng Hek-hou, rasanya mereka tidak
membutuhkan banyak petunjuk lagi. Barangkali
aku hanya bisa sedikit 'memoles' saja dengan
petunjuk-petunjuk kecil tak berharga."
Cu Tong-liang lalu ikut kakak beradik she
Pang ke tempat latihan. Sepanjang jalan, dalam
hatinya Cu Tong-liang sudah mereka-reka
petunjuk apa saja yang bakal diberikan kepada
kelompok "hansip" Seng-tin itu? Petunjuknya
Mulut Macan 6 6 harus menunjukkan bobotnya sebagai perwira
istana. Dan setelah tiba di tempat latihan, Cu Tongliang melihat lebih kurang ada dua puluh lima
orang sedang berlatih, yang di luar dugaannya
ada juga beberapa orang perempuan sedang
ikut latihan, tak kalah giatnya dengan yang lakilaki.
Hal lain yang tak diduga Cu Tong-liang, yang
membuat Cu Tong-liang terpaksa membatalkan
semua petunjuk yang sudah disiapkan di
otaknya, ialah karena melihat latihannya orangorang Seng-tin itu jauh dari bayangan Cu Tongliang.
Tadinya Cu Tong-liang menyangka akan
melihat sekelompok warga sedang berlatih
memanah atau bermain senjata, atau caranya
bekerja sama berkelompok melawan musuh.
Ternyata yang dilihatnya sekarang ialah
sekelompok orang, ada yang sedang berlari-lari
hilir-mudik dengan kaki telanjang di atas
tumpukan bara menyala yang ditaruh
memanjang, ada yang sedang memanjat tangga
Mulut Macan 6 7 tetapi bukan sembarang tangga melainkan
anak-tangganya terbuat dari pedang-pedang
tajam yang mata pedangnya menghadap ke atas
dan diinjak kaki telanjang pula, ada yang sedang
"menggoreng" tangannya di dalam minyak yang
mendidih, ada yang sedang menusuk lidahnya
atau pipinya atau bahkan tenggorokannya
dengan kawat, tembus tetapi tidak mengeluarkan darah sedikit pun, ada yang
sedang memamerkan kekebalan tubuhnya
dengan dihantami tongkat besi maupun senjata
tajam tetapi tidak cidera sedikit pun.
Cu Tong-liang jadi garuk-garuk kepala, mau
memberi petunjuk apa kepada kelompok
macam ini? Akhirnya Cu Tong-liang duduk menonton
saja, setelah diambilkan kursi oleh seorang
warga kota. Ia duduk berendeng dengan Pang
Se-bun sambil menonton dan mengomentari.
Ia berada di situ sampai matahari hampir
terbenam. Cu Tong-liang kemudian mohon
pamit untuk kembali ke kediaman Tabib Kian,
Mulut Macan 6 8 agar Liu Yok dan Siau Hiang-bwe jangan sampai
menguatirkannya. Sambil melangkah, Cu Tong-liang masih
Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terkesan dan memikirkan adegan-adegan hebat
mendebarkan yang dilihatnya di lapangan
latihan tadi. Pikirnya, "Dengan kekuatan dari
mana mereka bias melakukan hal-hal seperti
itu? Apakah sama dengan yang dipakai orangorang Pek-lian-hwe di Lam-koan, kekuatan yang
juga bisa digunakan untuk mencelakakan
orang? Tetapi tadi Pang Se-bun menjelaskan
bahwa mereka bisa melakukan itu karena
dirasuk mahluk-mahluk suci, dan bisa demikian
karena mereka menempuh jalan suci. Kalau Liu
Yok disuruh melakukan hal-hal seperti itu, bisa
apa tidak ya?" Begitulah Cu Tong-liang melangkah sambil
kepalanya dipenuhi berbagai pertanyaan yang
mendesak. Tetapi secara keseluruhan, dalam
hatinya sudah timbul kesan baik terhadap
warga Seng-tin, juga timbul anggapan bahwa
kemampuan-kemampuan aneh yang dilihatnya
tadi pastilah "ilmu putih", sebab bukankan Pang
Mulut Macan 6 9 Se-bun menceritakan bahwa "ilmu putih" itu
pernah dipakai untuk melawan gerombolan
ilmu hitam? Yang bisa mengalahkan ilmu hitam
pastilah ilmu putih, demikian kesimpulan Cu
Tong-liang segera gampang-gampangan saja.
Langit sudah gelap, dan kini Cu
Tong-liang sudah keluar dari kawasan
pemukiman penduduk, memasuki bentangan
padang ilalang di luar kota. Cu Tong-liang agak
cemas juga memikirkan kalau bertemu dengan
kawanan serigala, namun ia menenteramkan
diri sendiri dengan mengingat bagaimana ia
bersama Liu Yok dan Siau Hiang-bwe pernah
selamat secara aneh dari serangan kawanan
serigala. Melangkah di tengah lautan ilalang yang
digelombangkan oleh angin, tiba-tiba Cu Tongliang merasa ada angin dingin di punggungnya,
lalu dalam satu detik rasa-rasanya ada suara
anak perempuan kecil di belakangnya. Hanya
satu detik. Ingat akan A-kun, puterinya Pang Se-bun
yang manis, Cu Tong-liang membalikkan tubuh
Mulut Macan 6 10 dengan cepat, matanya yang tajam mencoba
menembus kegelapan malam, tetapi yang
terlihat hanyalah helai-helai jutaan ilalang yang
bergelombang. Cu Tong-liang coba meyakinkan dengan
berseru, "Siapa?"
Tak ada jawaban, hanya desir daun dan
ilalang. Cu Tong-liang menarik napas, mengusap
tengkuknya sendiri, lalu meneruskan langkah
ke pondok Tabib Kian sambil menyimpulkan
sendiri, "Karena aku terkesan akan anak Pang
Se-bun yang mengingatkanku akan anakku di
Pak-khia, maka aku jadi seolah-olah mendengar
suara anak perempuan, padahal tidak. Sering
suara itu dari pikiran sendiri, tetapi dikira dari
luar... hem." Tetapi setelah Cu Tong-liang berjalan lagi
puluhan langkah, kembali ia memperoleh
perasaan kuat bahwa ada yang berjalan di
belakangnya. Secepat kilat Cu Tong-liang
membalikkan badan, namun tetap yang
dilihatnya hanyalah helai-helai ilalang yang
diguncang angin. Mulut Macan 6 11 Beberapa saat Cu Tong-liang tidak beranjak,
menajamkan kupingnya, mendengarkan angin.
Dan ketika dia kemudian menangkap suatu
suara, ia malah bingung sendiri apakah suara
itu benar-benar tertangkap oleh kupingnya atau
hanya oleh perasaan dalam hatinya saja?
Sebab yang didengarnya amat sayup dan
lembut Itu adalah suara tertawa riang seorang
anak kecil perempuan! Suara anak perempuan
di tengah-tengah padang ilalang yang ditakuti
orang dewasa sekalipun karena banyak
serigalanya, apalagi di malam gelap seperti saat
itu! Suatu yang habis-habisan ditentang akal
sehat Cu Tong-liang. Tetapi suaranya memang terlalu sayup,
seakan-akan dari alam lain sampai Cu Tongliang sendiri ragu menentukannya.
Suara Cu Tong-liang pun ragu ketika dia
berbicara ke arah kegelapan. "Apakah... A-kun'?"
Tak ada jawaban apa-apa, meski Cu Tongliang mengulanginya dua kali. Toh Cu Tongliang ingin lebih meyakinkan diri dengan
berputar-putar beberapa saat melangkahi
Mulut Macan 6 12 tempat itu, dan ia tidak menemukan jejak siapasiapa kecuali jejak nya sendiri.
"Rupanya aku memang hanya seolah-olah
mendengar, tetapi tidak mendengar sungguhsungguh...." gerutu Cu Tong-liang kemudian
ketika meneruskan langkah ke pondok Tabib
Kian. Tiba di pondok, ia membuka sendiri pintu
pagar, tetapi yang membukakan pintu pondok
ialah Liu Yok, karena pintu itu dikancing dari
dalam. Sambil tersenyum, Liu Yok berkata,
"Rupanya kota Seng-tin begitu menarik,
sehingga Kakak habiskan sehari penuh, dari
matahari terbit sampai matahari terbenam."
Cu Tong-liang pun tersenyum dan hanya
menjawab singkat, "Sebuah kota yang
menakjubkan!" Percakapan itu agaknya terdengar sampai
ke ruang tengah, sehingga dari ruang tengah
terdengar suara Siau Hiang-bwe bercanda,
"Menakjubkan apanya, hayo? Gadis-gadisnya
Mulut Macan 6 13 cantik-cantik? Awas, kelak kulaporkan isteri
Kakak di Pak-khia!" Cu Tong-liang tertawa, ia melangkah
melewati Liu Yok dan bertanya kepada Siau
Hiang-bwe yang masih tertutup dinding, A-kui,
makan malam apa yang kaumasak malam ini?
Aku lapar!" Memang demikianlah tingkah laku mereka
di rumah Tabib Kian, bersikap akrab dan bebas
seperti di rumah sendiri atas permintaan Tabib
Kian sendiri, menghangatkan suasana rumah
itu. Liu Yok hendak menutup pintu, namun
terdorong oleh sesuatu perasaan lembut dalam
hatinya, ia melangkah keluar untuk memeriksa
pintu pagar apakah sudah ditutup dengan betul
oleh Cu Tong-liang atau tidak.
Ketika berdiri di pintu pagar, tatapan mata
Liu Yok tiba-tiba menjadi setajam pedang,
menatap ke kegelapan malam di luar pagar
beberapa saat lamanya. Lalu Liu Yok berdesis
perlahan, "Cu Tong-liang masih anak asuh
kerohanianku, jangan lupa itu...."
Mulut Macan 6 14 Habis itu barulah Liu Yok menutup pintu
pagar. Tak dipedulikannya tangisan seorang
anak perempuan kecil di tengah padang ilalang.
Tangisan yang hanya bisa didengar oleh Liu Yok
dengan jelas. * ** Ketika pagi tiba, ketiga orang "keluarga
baru" Tabib Kian itu membantu-bantu seperti
biasanya. Ada yang memeriksa tanam-tanaman,
ada yang menimba, ada yang membelah kayu
bakar. Siau Hiang-bwe setelah selesai
memeriksa tanaman sekalian mengambil
beberapa bahan mentah untuk makanan,
langsung ke dapur untuk menyiapkan sarapan
pagi. Mereka sarapan pagi bersama seperti
kemarin, tetapi Cu Tong-liang nampak tergesagesa, hingga Tabib Kian berkata, "Kenapa
tergesa-gesa, A-liang?"
Cu Tong-liang menelan nasi dan lauknya
tanpa mengunyahnya sampai lembut, katanya,
Mulut Macan 6 15 "Aku tiba-tiba merasa menjadi orang berguna
lagi di Seng-tin." "Ada apa lagi di Seng-tin?" tanya Liu Yok.
"Penduduknya orang-orang baik, dan aku
mendapat beberapa sahabat di sana. Kota itu
baru saja menemukannya kebebasannya dari
gerombolan jahat, dan sekarang warganya
sedang memantapkan diri, memperkuat diri.
Dan aku... membantunya dengan berbagai
saran..." "Bagaimana dengan kesehatan Giam Lok?"
tanya Tabib Kian. "Kemarin aku tidak mampir ke rumah Giam
Lok." "Siang ini aku harus menjenguknya."
Kemudian Liu Yok bertanya kepada Cu
Tong-liang, "Kakak Liang, semalam ketika kau
pulang kemari, tidakkah kau merasa ada yang
mengikuti?" Cu Tong-liang terkesiap, apakah Liu Yok
tahu pengalamannya yang agak aneh di tengah
padang ilalang kemarin malam?
"Kenapa Saudara Liu bertanya begitu?"
Mulut Macan 6 16 "Sebab kemarin malam ketika kuperiksa
pintu pagar, kulihat seorang anak perempuan
kecil, berkuncir dua diikat pita merah,
berpakaian serba merah dan bersepatu merah
pula." Cu Tong-liang mengerutkan alisnya. Kok
dandanannya sama dengan boneka porselen
milik A-kun yang diberi nama A-hwe itu? Tetapi
bukankan A-hwe itu cuma mahluk khayalan, di
benak A-kun? Atau secara kebetulan saja Liu
Yok juga menghayalkan seseorang yang tepat
seperti dikhayalnya A-kun?
Ia menggeleng, "Aku memang merasa
diikuti, tetapi tidak kulihat siapa-siapa...."
"Ya sudah. Hati-hatilah, Kakak Liang."
"Hati-hati untuk apa?"
Mulut Liu Yok sudah bergerak hendak
mengatakan sesuatu, tetapi oleh suatu
pertimbangan, Liu Yok akhirnya tidak berkata
apa-apa. Siau Hiang-hwelah yang kemudian berkata,
"Aku ingin melihat kota itu juga. Kakak Liang,
warung masakannya enak-enak?"
Mulut Macan 6 17 Cu Tong-liang nampak berpikir-pikir
sejenak, ia kuatir kalau Siau Hiang-bwe ikut dan
melihat apa saja di kota itu, lalu diceritakan
kepada Liu Yok, maka Liu Yok akan tidak
menyetujui banyak hal dan mengajak cepat
pergi dari kota itu, padahal di Seng-tin itu Cu
Tong-liang baru menikmati sesuatu yang lama
didahagakannya kembali, dihormati orang.
"Kakak Liang keberatan kalau aku ikut?"
tanya Siau Hiang-bwe. Tiba-tiba saja Cu Tong-liang menemukan
alasan untuk mencegah ikutnya Siau Hiang-bwe,
"A-kui, bukannya aku tidak senang mengajakmu
ke kota ini, tetapi kota itu belum aman betul.
Meski warganya telah mengusir gerombolan
penjahat tetapi ancaman masih ada. Warga kota
juga masih curiga kepada orang asing."
"Tetapi apa tampangku seperti anggota
gerombolan?" tanya Siau Hiang-bwe.
"Tampangku juga tidak seperti anggota
gerombolan, tetapi kemarin aku juga dicurigai.
Untung ada Pang Se-bun yang sudah kukenal
sebelumnya." Mulut Macan 6 18 Cu Tong-liang pun kemudian bersiap-siap
berangkat. Tetapi sebelum berangkat ia tibatiba bertanya kepada Liu Yok, "Saudara Liu,
dalam keyakinan yang kita anut, apakah ada
semacam... doa untuk membuat kita mampu
berjalan di atas api atau... mencelupkan tangan
ke minyak mendidih?"
Liu Yok tercengang, "Buat apa?"
Cu Tong-liang garuk-garuk kepala, agak
malu-malu untuk mulai mengatakannya sebab
ia tahu perkara-perkara demikian tidak disukai
Liu Yok. Perkara memiliki sesuatu kelebihan
lalu ditunjuk-tunjukkan kepada orang banyak.
Karena itulah Cu Tong-liang kemudian
Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
malah berkata, "Ah, lupakan saja, Saudara Liu.
Aku pergi dulu." Siau Hiang-bwe yang dicegah ikut itu
cemberut dan menggerutu, "Jangan-jangan di
kota itu Kakak Liang punya calon isteri baru
yang tidak boleh kulihat, kua-tir kulaporkan
kepada isterinya di Pak-khia?"
Tabib Kian tertawa, lebih dulu ia melihat
keluar pintu untuk memastikan bahwa Cu TongMulut Macan 6
19 liang sudah cukup jauh untuk tidak dapat
mendengar kata-katanya, setelah itu baru
berkata kepada Siau Hiang-bwe. "Kau hendak
melihat Seng-tin, mari bersamaku. Aku pun
hendak menengok beberapa orang sakit di
sana." Seperti anak kecil diajak tamasya, begitulah
Siau Hiang-bwe bersorak kegirangan sambil
melompat. "Kakak Yok ikut sekalian?"
"Tidak. Aku harus memperbaiki beberapa
penyangga tanaman yang roboh di dekat
kandang ayam. Kalau ada makanan enak,
bawakan pulang untukku."
Tidak lama setelah Cu Tong-liang berangkat,
Tabib Kian dan Siau Hiang-bwe pun berangkat.
Seperti biasa, Tabib Kian menggendong kotak
obatnya yang dari anyaman rotan itu.
"Nanti kutunjukkan kepadamu warung
bubur kacang yang lezat di dekat pasar, A-kui."
kata Tabib Kian bersemangat. "Mencicipi juga
boleh...." Mulut Macan 6 20 Ratusan langkah di depan mereka berdua,
Cu Tong-liang dengan langkah lebar menuju
Seng-tin. Kota yang membuat dirinya "sedikit
berguna" setelah sekian bulan ikut "jadi
gelandangan" bersama Liu Yok.
Suatu pikiran tiba-tiba saja melintas di
benaknya, "Selama berbulan-bulan aku bersama
Liu Yok, apa yang kudapatkan? Aku sudah
kehilangan kedudukanku sebagai perwira
istana, tetapi yang ku-peroleh dari Liu Yok cuma
omongan-omongan aneh yang tidak karuan juntrungnya. Liu Yok juga belum tentu bisa
melakukan keajaiban-keajaiban seperti warga
Seng-tin yang tergabung dalam kelompok
keamanan itu." Tetapi setelah berpikir demikian, Cu Tongliang kaget sendiri. Beberapa bulan ia ikut Liu
Yok, belum pernah pikiran itu melintas.
Sekarang, kenapa tiba-tiba saja muncul?
Cu Tong-liang menggoyang-goyangkan
kepala untuk mencoba mengusir pikiran yang
dianggapnya buruk itu. Mulut Macan 6 21 Kemudian mata Cu Tong-liang tiba-tiba
tertarik kepada sesuatu yang tergeletak di
antara ilalang. Ia membungkuk memungut
sebuah sepatu merah kecil yang tergeletak.
Sepatu kanak-kanak! Pikiran Cu Tong-liang
sekarang bergolak cemas memikirkan nasib
pemilik sepatu itu. A-kun kah? Dimakan
serigalakah? Cu Tong-liang meneliti ke sekitar tempat itu,
namun tidak menemukan tanda-tanda lain
seperti misalnya jejak serigala, pakaian yang
tercabik atau darah. Tidak ada. Hanya sepatu
merah sebelah kanan itu. Bahkan jejak kaki
anak kecil juga tidak ada, seolah sepatu merah
itu jatuh dari langit begitu saja.
"Ini aneh...." pikirnya sambil memegangi
sepatu merah itu. Lalu ia melanjutkan langkah
ke Seng-tin dengan lebih bergegas.
Ketika ia mulai melangkah di jalanan kota
yang ramai, kecurigaan warga terhadapnya
sudah tidak setajam kemarin, karena sekarang
sudah banyak warga Seng-tin yang mengenalnya, bahkan menghormatinya.
Mulut Macan 6 22 Sebenarnya, ketika berangkat dari pondok
Tabib Kian tadi, Cu Tong-liang tidak punya
tujuan tertentu, sekedar ingin menikmati
rasanya dihormati orang kembali. Tetapi sejak
menemukan sepatu anak-anak berwarna
merah, ia jadi mencemaskan A-kun, maka
tujuannya pun ke rumah Pang Se-bun.
Ternyata belum sampai ke rumah Pang Sebun, baru sampai ke ujung lorong di mana
rumah Pang Se-bun terletak, Cu Tong-liang
sudah berpapasan dengan Pang Se-bun yang
nampak tergesa-gesa. "Eh, Saudara Pang, kok kelihatan tergesagesa, hendak ke mana?"
Dengan wajah bersungguh-sungguh Pang
Se-bun menjawab, "Kebetulan bertemu Saudara
Cu di sini. Aku sebenarnya hendak ke tempat
tinggal Tabib Kian untuk menjumpaimu."
"Menjumpai aku? Ada keperluan apa?"
"A-kun ingin bertemu dengan Saudara Cu."
Cu Tong-liang jadi maklum, A-kun sudah
dianggap "anak dewa" oleh banyak orang Sengtin. Kalau punya kemauan, maka orang lain
Mulut Macan 6 23 bergegas menjalankan kemauannya, bahkan
ayahnya sendiri, takut dewa-dewa keburu
marah dan mengeluarkan kutukan lewat mulut
A-kun. Cu Tong-liang dan Pang Se-bun berjalan
berendeng ke rumah Pang Se-bun yang tidak
jauh lagi. "A-kun baik-baik saja kan, Saudara Pang?"
"Ya, tetapi semalam ada peristiwa yang agak
ganjil di rumahku." "Peristiwa ganjil bagaimana?"
"Pagi ini.... boneka poerselen A-kun
kehilangan sebelah sepatunya."
Cu -Tong-liang tertawa geli mendengar itu.
Akalnya tidak begitu saja menghubungkan
urusan kehilangan sepatu itu dengan sepatu
merah yang sekarang di tangannya. Sebab
sepatu merah di tangannya untuk seukuran
anak manusia, yang tentu jauh lebih besar dari
ukuran sepatu boneka. Kata Cu Tong-liang sambil masih tertawa
geli. "Ah, kukira peristiwa seperti apa, tak
Mulut Macan 6 24 tahunya hanya boneka kehilangan sebelah
sepatu. Dibawa tikus barangkali...."
Pang Se-bun geleng-geleng kepala. "Tidak
sesederhana itu, Saudara Cu. Boneka itu terbuat
dari porselen. Waktu dibuat, sudah langsung
diwujudkan bersama pakaiannya, sepatunya,
pita rambutnya. Semuanya dijadikan satu
dengan tubuh boneka, jadi dari porselen juga.
Mana mungkin dibawa tikus? Tetapi pagi ini
tahu-tahu sebelah kaki boneka itu sudah tak
bersepatu lagi." Cu Tong-liang cuma heran sekejap, lalu
kembali memamerkan ketajaman otaknya yang
dibanggakannya itu, "Bisa jadi ada yang
menukar bonekanya secara diam-diam selagi
puterimu tidur. Boneka aseli ditukar boneka
lain yang sangat mirip tetapi tak bersepatu."
Pang Se-bun merasa dugaan itu masuk akal
juga, "Bisa jadi. Tapi siapa pelakunya dan apa
maksudnya?" "Nanti kita selidiki pelan-pelan." sahut Cu
Tong-liang. Diam-diam ia mulai merasa
bergairah dalam hati. Menyelidiki suatu kasus
Mulut Macan 6 25 dan menemukan jawabannya dengan akal,
mengingatkan ia akan tugas-tugas lamanya
sebagai perwira rahasia kerajaan dulu, la
merasa akan beroleh kesempatan untuk
memamerkan keahliannya menyelesaikan kasus, setelah kemarin ia gagal memamerkan
keahlian peng-hoat (teori militer)-nya.
Mereka sudah tiba di rumah Pang Se-bun
lalu melangkah masuk. A-kun menyongsong
dengan membawa boneka yang memang
nampak tak bersepatu sebelah kakinya.
Begitu bertemu Cu Tong-liang yang memang
diharapkannya, A-kun langsung saja nyerocos
dengan nada mengadu, "Paman Cu, teman
Paman yang bernama Liu Yok itu orang jahat!
Semalam A-hwe mengikuti Paman, dan ia ingin
berbicara kepada Paman, tetapi A-hwe tidak
bisa menembus tembok api yang dinyalakan
oleh teman Paman yang jahat itu A-hwe lari
ketakutan sampai sebelah sepatunya tertinggal
di tengah padang ilalang sana!"
Karuan Cu Tong-liang melongo. Selain
beberapa hal yang tak dipahami dalam kataMulut Macan 6
26 kata A-kun, di mana A-kun bicara seolah-olah Ahwe benar-benar manusia dan bukan boneka,
juga soal "tembok api" yang dinyalakan Liu Yok,
maka selebihnya dari kata-kata A-kun
mengherankannya. Seperti soal "A-hwe
mengikuti Paman", apakah itu saat Cu Tongliang mendengar suara anak perempuan di
tengah padang ilalang yang gelap. Kemudian Cu
Tong-liang juga ingat perkataan Liu Yok pagi
tadi, yang mengatakan bahwa semalam Cu
Tong-liang diikuti "gadis cilik berpakaian merah dan
bersepatu merah" lalu sepatu merah yang
ditemukan di tempat padan ilalang itu? Dan
kenapa pula A-kun tiba-tiba tahu adanya teman
Paman Cu Yang bernama Liu Yok?
Cu Tong-liang sampai bingung sendiri.
Semua yang dialaminya itu terjadi di alam yang
mana? Alam khayalan atau alam nyata? Kenapa
bercampur-aduk? Dengan demikian kembali
gagallah niat Cu Tong-liang untuk memamerkan
kepandaiannya menyelidik perkara dengan akal
sehatnya. Fakta-faktanya saja sudah campurMulut Macan 6
27 aduk antara yang gaib dan yang nyata,
penyelidik mana yang paling hebat di dunia
sekalipun yang mampu memecahkannya?
Cu Tong-liang yang tengah termangu-mangu
itu dibuyarkan lamunannya oleh suara A-kun,
"Paman Cu, sepatu siapa yang Paman pegangi
itu?" Dengan pikiran kosong Cu Tong-liang
menyodorkan sepatu merah itu sambil berkata,
"Paman temukan ini di tengah padang ilalang."
"Pasti kepunyaan A-hwe!" seru A-kun
kegirangan. "A-hwe, benarkah itu sepatu-mu?"
Seperti biasa, A-kun mendengarkan dari
mulut boneka porselennya lalu berkata, "A-hwe
bilang, itu memang sepatunya. Dia juga bilang
terima kasih kepada Paman Cu dan selalu
sayang kepada Paman Cu."
Sepatu merah itu pun berpindah tangan
kepada A-kun, lalu dibawa masuk.
Cu Tong-liang bertanya kepada Pang Sebun, "Saudara Pang, bolehkah aku ikut masuk
untuk melihat apa yang hendak puterimu
perbuat dengan sepatu itu?"
Mulut Macan 6 28 "O, silakan. Aku pun hendak melihatnya."
Mereka mengikuti A-kun. Dan mereka
tercengang melihat di halaman belakang A-kun
menaruh boneka porselen nya berdiri di tanah,
lalu sepatu merah itu dibakar di depannya.
"A-kun, kenapa sepatu itu dibakar?"
"Ayah, A-hwe ini berada di suatu tempat
yang lain dari kita. Untuk mengirim apa-apa
kepadanya, haruslah begini caranya."
"Siapa memberitahukan cara itu?"
"A-hwe sendiri."
Diam-diam Pang Se-bun mulai menduga,
apakah A-hwe ini arwah manusia, akan mahluk
suci dari langit seperti ajaran Wong Lu-siok,
atau semacam dewa? Sementara itu sepatu itu sudah jadi abu,
dengan kegirangan A-kun lalu membawa
boneka porselennya ke dalam rumah. Tak lama
kemudian, ia keluar kembali membawa
bonekanya, minta ijin ayahnya, "Ayah, aku
hendak berniat main ke rumah teman, boleh?"
Mulut Macan 6
Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
29 "Ayah, A-hwe ini berada di puatu tempat yang lain
dari kita. Untuk mengirim apa-apa kepadanya,
haruslah begini caranya."
Mulut Macan 6 30 "Boleh, tapi berjanjilah kepada Ayah, jangan
mengucapkan kata-kata yang membuat celaka
orang lain ya?" "Yang berkata bukan aku, Ayah, tetapi Ahwe!"
Pang Se-bun menarik napas, kalau sudah
dijawab begitu, dia pun mati ktJtu. Mau apa?
Mau ikut-ikutan berbicara kepada boneka
porselen untuk memberi nasehat? Kalau A-kun
yang bicara kepada boneka, orang bisa maklum
karena A-kun masih kanak-kanak. Tetapi kalau
ayahnya, pasti yang melihatnya akan
menyangka Pang Se-bun sudah miring otaknya.
Sementara ayah dan anak bercakap-cakap,
Cu Tong-liang diam-diam memperhatikan
bahwa boneka porselen itu sudah bersepatu
kedua kakinya! Pikir Cu Tong-liang, "Mungkin
A-kun punya dua boneka yang persis sama,
bedanya yang satu bersepatu semuanya dan
lain tidak bersepatu sebelah kakinya. Lalu dia
mainkan Semuanya ini, mungkin sekedar akal
anak-anak untuk mengajak orang-orang dewasa
juga percaya bahwa A-hwe benar-benar ada."
Mulut Macan 6 31 Setelah A-kun berlalu, Cu Tong-liang tibatiba berkata, "Saudara Pang, maafkan aku, tibatiba saja aku punya keinginan untuk memeriksa
tempat A-kun menyimpan barang-barangnya...
mainan-mainannya...."
Pang Se-bun mengerutkan alisnya, nampaknya agak tersinggung. "Kenapa Saudara
Cu? Saudara anggap A-kun menyembunyikan
sesuatu... barang curian begitu?"
Cu Tong-liang menghormat dalam-dalam,
"Mohon beribu-ribu maaf kalau kata-kataku tadi
telah membuatmu tersinggung, Saudara Pang.
Tapi dengan memeriksa barang-barang A-kun,
barangkali bisa sedikit tersingkap rahasia
boneka porselennya itu."
"Apa yang Saudara pikirkan?"
Dengan singkat Cu Tong-liang menjelaskan
kecurigaannya tentang dua boneka yang mirip
satu sama lain, dan Cu Tong-liang pun lega
melihat Pang Se-bun mengangguk-angguk.
Sebagai ayah, selama ini memang Pang Sebun juga dipenuhi tanda tanya soal "A-hwe" itu,
apalagi mulai terlihat tanda-tanda bahwa A-kun
Mulut Macan 6 32 semakin lebih "mematuhi A-hwe" daripada
mematuhi orang tuanya sendiri. Ajakan Cu
Tong-liang itu disambut baik oleh Pang Se-bun.
Demikianlah kedua lelaki itu lalu masuk ke
kamar A-kun. Begitu melangkah masuk, mereka
merasakan udara dalam kamar itu lebih dingin
dari ruangan-ruangan lain di rumah itu. Cu
Tong Liang lalu melangkah ke jendela untuk
membuka jendela agar matahari pagi menyorot
masuk. Sementara Pang Se-bun sudah menyeret
keluar sebuah kotak besar dari kolong tempat
tidur A-kun. Kotak yang penuh berisi barangbarang mainan kepunyaan A-kun.
Cu Tong-liang memeriksa isi kotak itu
seteliti-telitinya, mencari kalau-kalau ada
boneka A-hwe yang tak bersepatu sebelah,
sebab yang dibawa A-kun tadi yang bersepatu.
Cu Tong-liang ingin membuktikan dugaannya,
tetapi setelah sekian lama mencari-cari dan
mengaduk-aduk isi kotak, ia kecewa. Ia tidak
menemukan apa yang dicarinya.
Mulut Macan 6 33 Lalu dia memeriksa ke kolong pembaringan,
dan tetap tidak menemukan boneka kembarannya A-hwe. Sementara Cu Tong-liang belum menemukan apa-apa, malahan Pang Se-bun
agaknya sudah menemukan sesuatu. Di
tangannya ada jambangan bunga porselen yang
sudah patah dua, dan benda itu dipeganginya
serta dipandanginya dengan wajah sedih.
"Ada apa, Saudara Pang?" tanya Cu Tongliang.
"Jambangan ini... yang kucari dalam
beberapa hari ini, ternyata sudah patah di
Penjara Terkutuk 2 Pendekar Rajawali Sakti 146 Bunuh Pendekar Rajawali Sakti Jala Pedang Jaring Sutra 17
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama