Ceritasilat Novel Online

Dari Mulut Macan Ke Mulut 6

Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Karya Stefanus Sp Bagian 6


dengan ajaran Wong Lu-siok sebagai sesuatu
yang amat penting, bahkan suci dan keramat,
dianggap menentukan nasib kota Seng-tin
apakah akan selamat atau terkutuk oleh para
penguasa langit. "Adikku, aku minta maaf," kata Yao Kangbeng sambil bangkit dan meninggalkan kamar
itu. Yao Sin-lan masih membeku di pembaringannya, membeku karena heran oleh
perubahan yang terjadi begitu mendadak.
Di rumah keluarga Ho, Ho Liong sedang
bermandi keringat membelah kayu bakar di
halaman rumahnya. Tubuhnya yang bertelanjang baju nampak mengkilat oleh
cahaya mentari pagi yang menimpa tubuhnya.
Di dapur, ibunya, isterinya dan adik
perempuannya sedang sibuk memasak.
Sementara ayahnya, Ho Kin, seperti biasanya,
hanya nongkrong di bangku depan sambil
menghisap pipa cangklongnya, bermalasmalasan. Tetapi Ho Liong berharap ayahnya
Mulut Macan 10 16 akan dapat meringankan kesedihannya dengan
sikapnya itu. Daripada terus-menerus memikirkan adik laki-laki Ho Liong, yaitu Ho
Tong, yang gila. Dan semalam di lapangan, Ho
Tong memamerkan puncak kegilaannya dengan
atraksi lepas celana segala, itu menyedihkan
keluarga itu. Membuat keluarga ini merasa
makin jauh dari harapan melihat sembuhnya Ho
Tong. Tiba-tiba terdengar pintu halaman depan
diketuk. Dengan suara malas-malasan, Ho Kin
berkata kepada anak sulungnya yang sedang
membelah kayu, "A-liong, ada orang datang...."
"Ya, Ayah...." Ho Liong meletakkan kapak
pembelah kayunya dan melangkah ke pintu.
Begitu daun pintu terpentang, Ho Liong
seolah berubah menjadi patung. Di depannya
berdiri adik laki-lakinya, Ho Tong, yang hampir
seluruh kulitnya hitam karena daki, rambutnya
melekat bergumpal-gumpal, pakaiannya compang-camping dan amat kotor. Celananya
yang semalam dilepas ditinggal di lapangan,
Mulut Macan 10 17 entah di mana, tetapi bagian bawah tubuhnya
tertutup sehelai tikar yang digulungkan begitu
saja ke tubuhnya dan harus selalu dipegangi
agar tidak melorot. Inilah Ho Tong yang berbulan-bulan ini
berkeliaran di Seng-tin sebagai orang gila.
Mengkorek-korek tempat sampah untuk
mencari makanan, menari dan menyanyi di
jalanan, mengejar anak-anak kecil yang
mengganggunya. Tampang dan dandanannya
masih sama, tetapi sorot matanya jernih dan
sadar. Sorot mata seorang waras.
Yang membuat Ho Liong masih waswas
ialah karena dua hari yang lalu Ho Tong juga
pulang ke rumah, tetapi dengan mata merah liar
dan membawa sepotong tongkat kayu besar. Ia
masuk ke rumah, menyebut rumah itu sebagai
"gua siluman yang mengurung anggota-anggota
keluarganya", menyebut semua orang di rumah
itu sebagai "siluman hijau bertanduk" dan
mengamuk dengan dahsyat, menghancurkan
banyak perabot rumah, membahayakan orangMulut Macan 10
18 orang di rumah. Seandainya tetangga-tetangga
tidak berdatangan, entah apa jadinya.
Kini Ho Tong datang lagi, Ho Liong sudah
bingung. Jangan-jangan akan mengamuk lagi.
"Kakak Liong, ini aku, adikmu. Kakak lupa?"
tanya Ho Tong. "Iya... iya...." Ho Liong tergagap-gagap. "Kau
Ho Tong...." Ho Tong menarik napas lega, mengamatamati rumah itu dan berkata, "Akhirnya sampai
juga aku ke rumah setelah sekian lama
mengembara di tempat asing dengan mahlukmahluk anehnya."
Dari dalam terdengar Ho Kin berteriak
serak, "A-liooong! Siapa yang datang?"
Sahut Ho Liong, "A-tong yang datang, Ayah!"
Ho Kin kaget sampai hampir terlompat dari
kursinya, dengan panik ia lari ke dapur untuk
memberi tahu anggota-anggota keluarga lain,
"A-tong datang! Cepat bersembunyi! Panggil
tetangga-tetangga!" Mulut Macan 10 19 "Kakak Liong, ini aku, adikmu. Kakak lupa?" tanya
Ho Tong. Mulut Macan 10 20 Seisi rumah jadi panik, isteri Ho Liong
menarik tangan kedua anaknya untuk
mengungsi ke rumah tetangga.
Sementara itu, Ho Tong terheran-heran
melihat sikap kakaknya yang berdiri tegang di
depan pintu, seolah tak mengijinkannya masuk.
"Kak, ada apa? Aku boleh masuk atau tidak?
Atau ada sesuatu di rumah ini yang tidak boleh
kulihat? Seluruh keluarga baik-baik saja,
bukan?" Ho Liong menarik napas. Sungguh sulit
menerima kenyataan bahwa Ho Tong telah
waras begitu saja, padahal semalam masih
buka-buka celana di depan umum, sungguh sulit
diterima akalnya. Hampir-hampir Ho Liong
menyangka dirinya yang gila atau sedang
bermimpi. Tetapi semuanya begitu nyata.
Kini didesak pertanyaan bertubi-tubi oleh
adiknya, Ho Liong menjawab gera-gapan, "Ten...
tu kau boleh... masuk. Sungguh... baik-baik...."
Ho Tong melangkah masuk, sambil berkata,
"Selama mengembara di tempat asing yang
malam terus dan tidak pernah siang itu, aku
Mulut Macan 10 21 sampai lupa merawat diriku. Ketika entah
bagaimana tahu-tahu aku di kota ini, aku
sampai kaget melihat betapa kotornya diriku,
dan celanaku hilang entah di mana. Sekarang
aku harus membersihkan badanku dan
mengganti pakaianku...."
Ketika ia melangkah masuk ke dalam rumah
untuk mengambil pakaian bersihnya, Ho Tong
amat heran melihat rumah begitu sepi, sehingga
dengan cemas ia tanyakan itu kepada kakaknya,
"Kak, Ayah Ibu dan lain-lainnya di mana?
Mereka benar-benar tidak apa-apa selama
kutinggal pergi, kan?"
Rupanya Ho Tong merasa bahwa ia baru
saja "bepergian di tempat aneh yang malam
terus" sementara orang-orang menganggapnya
gila, dan setelah ingatannya pulih ia merasa
berada di Seng-tin lagi, padahal sehari-harinya
ia juga berada di Seng-tin, sebagai orang gila.
Jawab Ho Liong, "Mereka sedang di rumah
tetangga." Kemudian, ketika Ho Tong membawa
pakaian bersih dan masuk ke ruangan tempat
Mulut Macan 10 22 membersihkan diri, Ho Liong diam-diam
menyelinap ke rumah tetangga dan menceritakan peristiwa yang dianggap tidak
masuk akal itu. Bukan saja keluarganya hampir
tak percaya, bahkan tetangga-tetangga menganggap Ho Liong sedang mengigau.
Biarpun setengah tidak percaya, namun
orang-orang kembali ke rumah. Bukan hanya
keluarga Ho Tong, tetapi juga tetanggatetangga. Yang melangkah paling cepat ialah
nyonya tua Ho. Wanita yang melahirkan Ho
Tong inilah yang paling tidak sabar melihat
kembalinya anaknya yang kabarnya sudah
waras itu, padahal dua hari yang lalu kepala
Nyonya tua Ho hampir dikepruk dengan kayu
oleh Ho Tong ketika Si Gila itu kembali ke
rumah. Ho Liong dan seorang tetangga yang
mencemaskan keselamatan nyonya tua itu
berjalan mendampinginya di kiri kanan,
membawa kayu pemukul untuk berjaga-jaga.
Ketika nyonya tua Ho masuk ke dapurnya
diam-diam dari pintu belakang, dilihatnya Ho
Mulut Macan 10 23 Tong yang sudah bersih dan berpakaian bersih
pula, sedang makan dengan lahap makanan
setengah matang yang tadi ditinggalkan
tergesa-gesa. Melihat ibunya masuk dapur, Ho
Tong tersenyum dan menyambut, "Ibu...."
Inilah pertama kalinya Ho Tong dapat
mengenali ibunya, sejak beberapa bulan yang
lalu ia kembali ke Seng-tin dalam keadaan gila,
kena tenung Beng Hek-hou. Nyonya tua Ho
terharu sekali dan memeluknya.
Dapur sempit itu segera berjejalan dengan
keluarga yang semakin yakin bahwa Ho Tong
sudah sembuh dari gilanya. Orang-orang jadi
ribut dan berebutan bertanya ini itu. Keluarga
Ho Tong berusaha menghindari perkataan
"sembuh dari gila" untuk menjaga perasaan Ho
Tong, tetapi para tetangga lain, mereka lebih
tidak sungkan dalam bertanya.
"Kemarin kau masih berkeliaran, bagaimana
tiba-tiba sembuh secepat ini?" tanya seorang
tetangga tanpa sempat dicegah oleh keluarga
Ho Tong. Mulut Macan 10 24 Ho Tong kaget. "Berkeliaran? Sembuh?
Memangnya aku sakit?"
Tatapan Ho Liong tajam mengandung
teguran ke tetangga yang lancang mulut itu,
namun si tetangga bersikap seolah-olah tidak
bersalah. Kemudian Ho Lionglah yang berkata
kepada adiknya, "Menurut A-tiok, kenapa kau
yang berkeliaran... eh, mengembara sekian
lama, tiba-tiba pulang ke rumah?"
Kali ini si lancang mulut A-tiok yang tak
mengerti. "Mengembara sekian lama? Mengembara sekian lama ke mana saja?"
Ho Liong dengan gemas lalu mengusir
tetangga-tetangga itu, dengan alasan pihak
keluarga ingin mendapat kesempatan lebih
banyak untuk bersama-sama Ho Tong yang
habis "mengembara jauh" itu Tetapi percakapan
antara Ho Liong dan A-tiok tadi sempat
membuat Ho Tong curiga. Sebenarnya, waktu
Ho Tong mandi tadi, ia sudah heran melihat
bedak yang begitu tebal di kulitnya, rambutnya
yang bergumpal gembel, pakaiannya yang amat
buruk, dan yang paling diherankannya ialah
Mulut Macan 10 25 ketika mendapati dirinya sendiri tidak
bercelana, hingga ia harus mencari penutup
darurat untuk tubuh bagian bawahnya. Ho Tong
heran, seberat-beratnya "pengembaraannya"
apakah ia sampai separah itu lalai mengurus
diri sendiri? Dan kini pertanyaan-pertanyaan
yang belum terjawab tadi bertambah hebat
mendengar kata-kata A-tiok tentang "kemarin
masih berkeliaran" dan "sembuh secepat ini"


Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tadi, apa yang sudah terjadi?
Ketika Ho Tong menyatakan itu kepada
keluarganya, keluarganya menunjukkan sikap
serba salah hendak menjawab. Hingga Ho Tong
menjawab, "Baik, kalau kalian tidak mau
memberi tahu aku, aku akan cari tahu dari
tetangga-tetangga." Lalu Ho Tong sudah bangkit dari duduknya
hendak berjalan keluar. "Tunggu, A-tong!" ibunya cepat-cepat
mencegah. Ho Tong pun duduk kembali. "Kalian mau
menjelaskan kepadaku?"
Mulut Macan 10 26 Para anggota keluarga berpandangan, lalu
kata Ho Kin sang ayah sambil menghembuskan
asap pipa cangklongnya, "Lebih baik ia
mengetahuinya dari kita, daripada dari orang
lain." Disambung kata-kata ibunya, "Tetapi, Atong, setelah mendengarkan penjelasan ini,
jangan kau sedih atau malu. Sebab semuanya
terjadi di luar kekuasaan kita, bukan salahmu."
"Sedih dan malu untuk apa?"
Bukannya langsung menjawab, Ho Liong
malah menguatkan kata-kata ibunya tadi,
"Seluruh Seng-tin menghargai pengorbananmu,
pengorbanan yang lebih hebat dari kematian
demi kemerdekaan Seng-tin dari cengkeraman
Beng Hek-hou. Banyak orang berani mati,
berani korban nyawa, namun pengorbanan
seperti kamu sungguh hebat, pahlawanpahlawan besar pun sulit menerimanya."
"Pengorbanan seperti apa?" Ho Tong
menukas tak sabar. Dengan amat hati-hati, mereka mulai
menceritakan "pengorbanan yang tidak
Mulut Macan 10 27 sembarang orang bisa" itu diselang-seling
dengan kata-kata yang mencoba membesarkan
hati Ho Tong. Dan adegan tadi malam ketika Ho
Tong copot celana di lapangan, sengaia
dihindari. Namun, sehati-hati apapun mereka bicara,
tetap saja wajah Ho Tong menjadi murung
karena malu. Rasanya lebih tidak malu kalau ia
jadi mayat yang diseret-seret anak buah Beng
Hek-hou di jalanan, mungkin untuk waktu lama
ia akan dikenang sebagai salah seorang pejuang
Seng-tin. Tapi sebagai orang hilang ingatan?
Sungguh tak terbayangkan malunya. Apa saja
yang telah dilakukan nya di Seng-tin, selama ia
menjadi orang macam itu? Setelah ceritanya selesai, ruangan itu jadi
sepi. Hanya terdengar helaan napas berat Ho
Tong berulang-ulang. "Tidak ada orang berhak menghinamu
karena musibah yang kau alami, A-tong" hibur
ibunya. "Ada orang gila karena cintanya ditolak
kekasihnya, ada yang cita-citanya gagal, ada
yang karena mempelajari ilmu tetapi tidak
Mulut Macan 10 28 tahan, ada yang karena ingin kaya. Tetapi ini
tidak termasuk golongan itu. Kau korbankan
diri untuk rakyat Seng-tin. Kalau ada yang
menghinamu, itu artinya mereka tidak tahu
berterima kasih." "Ya, kami akan membelamu, Kak." dukung
adik perempuan Ho Tong yang bernama Ho
Bing. "Yah, memang nasib, tak terhindarkan...."
desis Ho Tong. "Malu rasanya kalau keluar
rumah ini." "Kalau kau berperasaan demikian, untuk
sementara jangan keluar rumah dulu. Asal
jangan murung terus-terusan. Perlahan-lahan
kau pasti akan pulih hubunganmu dengan
orang-orang kota ini, seperti dulu sebelum kau
berniat pergi ke Yu-pin." kata ayahnya.
Kemudian Ho Liong bertanya, "A-tong, kau
bilang bahwa kau habis ?mengembara lama
sekali' dan aku tertarik untuk mendengar
ceritamu." "Ceritanya aneh, Kak. Kalau kuceritakan,
bisa-bisa kalian menganggapku masih gila."
Mulut Macan 10 29 "Kami yakin kau sudah baik, A-tong.
Lagipula, kalau soal cerita-cerita tidak masuk
akal, sekarang di Seng-tin sedang berlimpahlimpah omongan macam itu, toh mereka yang
bicara tidak dianggap gila. Misalnya si tukang
keramik Ban Ke-liong yang mengaku setiap
berapa malam sekali mimpi didatangi mahluk
suci dari langit, lalu mimpinya langsung
diwujudkan dalam patung keramiknya, dan
orang berani membelinya mahal. Katanya
membawa rejeki, kalau dipuja di rumah. Juga
orang-orang lain yang sedikit-sedikit menyebutmenyebut tentara gaib, tarian suci, dan entah
apa." "Ssst, Kakak Liong, jangan bicara begitu, ah.
Kualat, lho!" "Lho, aku kan tidak menjelek-jelekkan
penguasa-penguasa gaib itu? Aku cuma beri
contoh kepada A-tong, bahwa bicara soal-soal
gaib di Seng-tin ini sudah biasa, tidak dianggap
gila. Bukankah kau sendiri korban ilmu gaib
Beng Hek-hou? Saat ini seluruh orang Seng-tin
Mulut Macan 10 30 sudah tidak bisa menyangkal lagi bahwa yang
gaib itu ada." Ho Tong mengangguk-angguk. "Rasanya,
yang kualami selama ini memang pengalaman
gaib. Kalau bukan pengalaman gaib, mana ada
yang seaneh itu?" "Coba ceritakan, Kak," kata Ho Bing.
"Awalnya, ketika aku dan Ibun Lai coba
menyelundup meninggalkan kota ini untuk
mencapai kota Yu-pin. Di tengah jalan kami
kepergok orang-orangnya Beng Hek-hou dan
kami mengundi diri untuk membagi tugas,"
sampai di sini, suara Ho Tong jadi agak parau
karena terharu teringat sahabatnya itu. Lalu
dilanjutkannya, "Ibun Lai kejatuhan undi untuk
melawan penjahat-penjahat itu, dan aku yang
harus ke Yu-pin. Aku berjalan terus sampai
hampir fajar. Ketika hampir fajar, kurasa sudah
cukup jauh dari Seng-tin dan cukup aman
bagiku untuk beristirahat sebentar. Aku tidur di
bawah sebuah pohon, dan kuharap setelah aku
bangun, hari sudah terang dan bisa kulanjutkan
perjalanan. Tetapi...."
Mulut Macan 10 31 Ho Tong berhenti bercerita beberapa saat,
dan tanpa diceritakan pun pende-ngarpendengarnya sudah tahu itulah saatnya
kutukan jahat yang dilepaskan Beng Hek-hou
dari jarak jauh menyergap Ho Tong dan
merampas ingatan warasnya.
Lalu Ho Tong melanjutkan tanpa diminta,
"Ketika aku bangun, aku lihat langit masih
gelap. Kusangka aku keterusan tidur sampai
sudah sore kembali. Ternyata gelapnya langit
itu tidak segera berakhir. Gelap terus, tidak
pernah ada siang, tidak pernah ada matahari.
Alamnya juga asing, banyak bukit-bukit gersang,
guha-guha mahluk-mahluk aneh yang setengah
hewan setengah manusia. Ada juga beberapa
manusia, tetapi mereka dirantai, disiksa, dikerja
paksakan." "Kakak bagaimana?"
"Kucoba agar aku tidak ditangkap mereka,
tetapi aku tetap tertangkap dan dipaksa
melakukan banyak hal yang tidak kusukai.
Tetapi aku tak berdaya."
Mulut Macan 10 32 "Apakah Kakak tidak merasa bahwa saat itu
sebenarnya Kakak tetap berada di Seng-tin?"
Ho Tong menggeleng. "Tidak kulihat ada
rumah sebuah pun. Yang kelihatan di mataku
hanyalah tebing-tebing, bukit-bukit, gua-gua,
dan di beberapa tempat ada sumur-sumur yang
dalam dan gelap, dari dalam sumur-sumur itu
kudengar terus ratap tangis para tawanan."
Tak terasa Ho Bing meraba kuduknya
sendiri, ngeri oleh cerita itu.
Kemudian Ho Tong melanjutkan, "Yang
merajai tempat seram itu ialah seekor harimau
hitam yang bisa berbicara. Tetapi kemudian
terjadi peralihan kekuasaan. Tempat itu
didatangi serombongan mahluk-mahluk berujud manusia yang pakaiannya indah-indah,
seperti para bangsawan dan orang berpangkat
di jaman purba, pemimpinnya seorang ratu
berjubah merah keunguan. Ujud mereka lebih
indah dan mempesona dari siluman-siluman
bawahan Si Macan Hitam, namun ternyata
kejamnya dan kesaktiannya berlipat ganda. Si
Mulut Macan 10 33 Macan Hitam ditaklukkan dan menjadi suruhan
ratu berjubah merah keunguan itu."
Sampai di sini, kakaknya menukas, "Soal
ratu itu, memang paling aman kalau tidak
disebut-sebut di luar dinding rumah ini."
"Kenapa?" Ho Tong heran.
"Agar jangan menimbulkan salah paham
dengan masyarakat Seng-tin. Sebab sekarang ini
rakyat Seng-tin sedang memuja yang disebut
'ratu langit' dan panglima-panglimanya. Aku
kuatir, omongan A-tong nanti akan dianggap
menghujat tokoh pujaan itu, padahal yang
dimaksudkan A-tong belum tentu sama dengan
yang dipuja orang-orang kota ini."
Ho Tong dan Ho Bing sama-sama
mengangguk menyetujui kata-kata kakak
sulung mereka. Begitu pula isteri Ho Liong.
"Kakak Tong, lalu bagaimana kau... terlepas
dari pengalaman gaib yang mengerikan itu dan
kembali ke dunia nyata?"
"Aku tidak paham benar-benar. Aku cuma
melihat orang-orang berpakaian para panglima
kuno itu panik menyiapkan pasukan
Mulut Macan 10 34 silumannya di sana-sini, seolah-olah menghadapi serangan musuh yang hebat.
Mereka saling bicara dengan bahasa yang tak
dimengerti. Lalu tahu-tahu saja pagi tadi ketika
kubuka mata, aku sudah di Seng-tin kembali."
"Padahal sudah berbulan-bulan kau di kota
ini...." kata Ho Liong, tetapi hanya berani dalam
hatinya. * ** Begitu bangun pagi di rumah Pang Se-bun,
langsung saja Cu Tong-Iiang teringat niatnya
yang tertunda untuk menolong Siau Hiang-bwe.
Beda sedikit dengan Liu Yok dan Siau Hiangbwe yang membiasakan diri bangun pagi-pagi
benar untuk menikmati hubungan pribadi yang
akrab dengan Sang Penclpta, maka Cu Tong
Liang ini begitu melek langsung melakukan apa
yang ingin dilakukannya. la cepat membersihkan diri, dan ketika Pang
Se-bun serta isterinya menawari sarapan pagi,
ia pun cepat-cepat memakan sarapannya agar
bisa segera menemui Wong Lu-siok.
Mulut Macan 10 35 Tengah Pang Se-bun dan Cu Tong-liang
duduk bersama dl ruangan makan, muncullah
A-kun dengan boneka porselennya. Rambut dan
pakaiannya masih kusut, karena ia baru saja
bangun tidur. Katanya, "Ayah, A-hwe bilang bahwa sang
ratu langit semalam telah bermurah hati
memberikan anugerahnya, melepaskan beberapa orang Seng-tin dari kesengsaraannya.
Ayah akan mendengar kabarnya hari ini dari
orang-orang." Semenjak puteri kecilnya itu punya


Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kemampuan gaib "dengan bantuan A-hwe"
maka bisa dikatakan seisi rumah, termasuk
kedua orang tuanya, tidak berani menyangkal
atau membantah kata-kata A-kun.
Begitu pula kali ini, Pang Se-bun cuma
mengangguk-angguk, sambil bertanya-tanya
dalam hati, siapa sa|a yang sudah "dibebaskan
dari penderitaan" itu?
A-kun tidak berkata banyak-banyak, setelah
mengatakan itu dia pun pergi. Kepada Cu Tongliang bahkan tidak menyapa atau melirik sedikit
Mulut Macan 10 36 pun, dan Pang Se-bun tidak berani menegur
sikap yang kurang sopan itu.
Pang Se-bun ruma berani tertawa sungkan
kepada Cu Tong-liang sambil berkata, "Maafkan
kelakuan A-kun, Saudara Cu. Terus terang saja,
aku dan isteriku agak kewalahan menghadapinya belakangan ini."
"Ah, anak-anak bisa saja mengalami saatsaat seperti itu. Kelak juga berubah sendiri,
seperti anakku di Pak-khia."
"Saudara Cu, rencana hari ini apa?"
"Akan kucoba menemui Guru Wong sekali
lagi, untuk memohonkan pembebasan A-kui."
"Kuantarkan." "Saudara Pang, kau punya banyak tugas hari
ini, tidak perlu kau repot-repot mengantarkanku." "Tidak. Aku pun punya keperluan
menjumpai Guru Wong. Semalam aku belum
sempat melaporkan tingkah-laku Lui Kong-sim
kepada Guru Wong." Mulut Macan 10 37 Demikianlah, selesai sarapan pagi, kedua
sahabat itu kembali menuju ke bekas rumah
guru silat Ciu Koan. Sepanjang jalan, mereka mendengarkan
percakapan beberapa orang, dan mengetahui
bahwa Giam Lok sudah sembuh, yang lebih
hebat lagi, Ho Tong juga sudah sembuh! Macammacam komentar orang tentang peristiwa ajaib
itu, sementara Lui Kong-sim dan temantemannya menyebarkan pendapat bahwa
sembuhnya Giam Lok dan Ho Tong adalah
karena Si Pengutuk sudah ditangkap dan
dikurung, maka kutukannya otomatis dilenyapkan. Tentu saja Lui Kong-sim dan
teman-temannya tidak lupa menambahkan,
bahwa tertangkapnya "si pengutuk" adalah
karena prakarsa Lui Kong-sim dan temantemannya, dan warga Seng-tin layak berterima
kasih kepadanya. Sekali lagi Pang Se-bun menemukan bukti
ketepatan kata-kata A-kun, namun hatinya
kurang enak juga bahwa sembuhnya Giam Lok
dan Ho Tong itu dimanfaatkan oleh Lui KongMulut Macan 10
38 sim dan teman-temannya, ditunggangi untuk
mendapatkan popularitas. Sementara bagi Cu
Tong-liang, tak ada yang patut diperhatikannya
saat itu kecuali menolong Sjau Hiang-bwe.
Mereka tiba di bekas rumah almarhum Ciu
Koan yang di sekitarnya penuh benderabendera bertulisan "huruf suci" itu, dan kali ini
tidak usah mengetuk pintu, karena dari pagi
hingga sore pintunya terbuka terus.
Ruang bekas kediaman Ciu Koan itu
dijadikan tempat pemujaan, dipenuhi patung
dan gambar penguasa-penguasa gaib, orang
hilir mudik keluar masuk untuk membakar
dupa dan bersujud dan memohon macammacam di situ. Beberapa orang yang datang
maupun meninggalkan tempat itu
menyapa Pang Se-bun dan Cu Tong-liang dengan hormat.
Yang satu adalah orang kepercayaan Guru
Wong, yang lain adalah pelatih peng-hoat (teori
militer) bagi pengawal-pengawal Seng-tin.
Pang Se-bun dan Cu Tong-liang tidak
melalui ruang depan yang penuh orang
bersujud, melainkan memutar lewat halaman
Mulut Macan 10 39 samping. Halaman yang luas itu mengingatkan
Pang Se-bun ketika ia masih berlatih di situ di
bawah asuhai guru silat Ciu Koan dulu.
Tetapi ketika ia hendak melangkah masuk
ke bangunan induk, kediaman Wong Lu-siok,
mereka dicegat oleh Ek Yam-lam dan Ciu Bian-li
yang sama sama berwajah murung.
Sebelum Pang Se-bun berdua mengatakan
apapun, Ek Yam-lam sudah mendahului, "Kakak
Pang, Saudara Cu, aku mohonkan maaf sebesarbesarnya, bahwa kali ini pun Guru Wong tidak
bisa ditemui." Di depan Cu Tong-liang yang termasuk
"orang luar" dalam ajaran keyakinan, tentu saja
Ek Yam-lam tidak menceritakan kalau saat itu
Wong Lu-siok sedang babak-belur tubuhnya
dan tidak mungkin dilihat orang. Bukan karena
dihajar orang lain, melainkan oleh penguasa
gaib menggunakan tangan Wong Lu-siok
sendiri. "Aku ingin melihat keadaan temanku," kata
Cu Tong-liang. Mulut Macan 10 40 Ciu Bian-li mengerutkan alisnya, suaranya
dingin, "Tuan Cu, Si pengutuk durhaka yang
menghujat Ratu Langit itu kau anggap
temanmu? Tuan Cu, kata-katamu itu bisa
menyulitkan dirimu sendiri."
Cu Tong-liang termangu-mangu. Memang
reputasinya di mata orang-orang Seng-tin bisa
hancur lebur kalau sampai orang-orang tahu
bahwa "si pembawa kutukan" adalah temannya,
bahkan teman seperjuangan selama berbulanbulan dan teman sekeyakinan pula. Janganjangan Cu Tong-liang sendiri akan dianggap
juga sebagai "pembawa kutukan"?
Meski niatnya menolong Siau Hiang-bwe
tidak berkurang sedikit pun, tetapi Cu Tongliang tidak berani terlalu mendesak, kuatir
menimbulkan kecurigaa orang. Namun diamdiam ia mengamat amati bagian belakang dari
bangunan yang luas itu. Ia melihat, merapat
pada dinding belakang ada deretan ruangan
yang sempit-sempit dengan pintu kayu yang
tebal-tebal dan tertutup semuanya. Ruangruang tanpa lubang sedikit pun, dan Cu TongMulut Macan 10
41 liang langsung memperkirakan bahwa di salah
satu ruangan itulah Siau Hiang-bwe dikurung.
Cu Tong-liang yang sedikit banyak sudah
hapal tempat-tempat di kota kecil itu, diamdiam membatin, "Kalau tidak salah, di belakang
dinding itu adalah kebun kosong yang
menyambung dengan kandang ternaknya si tua
Han. Dari situ, nanti malam akan kupanjat
dinding." Setelah meninggalkan rumah itu, Cu Tongliang menyibukkan diri seharian penuh untuk
menunggu hari menjadi gelap. Sayup-sayup di
hati kecilnya ada dorongan untuk menggunakan
waktu bersama Liu Yok, namun niat yang
sayup-sayup itu segera tertimbun padam oleh
keengganannya kepada Liu Yok. Ada anggapan,
bahwa dalam urusan ini Liu Yok tidak berarti
apa-apa. Ketika matahari condong ke barat, Cu Tongliang yang sudah menyiapkan diri itu pun
menyelinap ke kebun kosong di belakang
rumah almarhum Ciu Koan. Sengaja tidak
mengajak siapa-siapa, termasuk Pang Se-bun,
Mulut Macan 10 42 sebab bukankah tempat yang hendak
digerayangi ini merupakan tempat yang
dihormati oleh Pang Se-bun? Kini Cu Tong-liang
menunggu sampai benar-benar sepi.
Ketika sudah gelap dan sepi, bagaikan
seekor kucing saja Cu Tong-liang melompat dan
hinggap di atas dinding belakang. Ia celingukan
sebentar, dan tidak melihat seorang pun di
bagian dalam dinding. Hanya bau dupa yang
menyengat, ditambah semilir angin malam dan
suara bendera-bendera besar bertulisan "huruf
suci" yang digerakkan angin, yang menimbulkan
perasaan agak aneh pada Cu Tong-liang, namun
Cu Tong-liang tidak terlalu menggubris
perasaannya itu. Lompatan berikutnya, Cu Tong-liang berada
di atas genteng dari deretan bilik-bilik sempit
yang dijadikan sel-sel kurungan itu. Cu Tongliang tidak tahu Siau Hiang-bwe dikurung di sel
yang mana, maka ia putuskan untuk
membongkar saja sel-sel itu satu persatu, toh
jumlahnya tidak lebih dari sepuluh, hingga
diperkirakan takkan makan banyak waktu.
Mulut Macan 10 43 Ternyata, begitu ia membongkar genteng
dari balik paling ujung, dan cahaya rembulan
yang redup masuk menyoroti ke dalam bilik,
mata Cu Tong-liang yang tajam langsung
melihat sesosok tubuh wanita meringkuk di
pojok bilik, sedang tidur.
Cu Tong-liang melompat turun, membangunkan orang itu, dan ketika orang itu
mengangkat wajahnya maka memang orang itu
adalah Siau Hiang-bwe, "Kakak Liang...." desis
orang itu lirih. "A-kui, ayo kita pergi...."
"Aku tidak bisa melompat setinggi itu..."
Cu Tong-liang menegakkan tubuh Siau
Hiang-bwe, lalu memegangi pinggangnya.
Sesaat Cu Tong-liang mengumpulkan tenaga,
lalu melompat ke atas sambil membawa Siau
Hiang-bwe. Keduanya mendarat di atas genteng.
Cu Tong-liang sangat lega meskipun agak heran
juga bahwa tubuh Siau Hiang-bwe begitu
ringan. Mulut Macan 10 44 "Apakah penderitaan yang baru sehari
semalam ini menyusutkan berat badan Siau
Hiang-bwe sebanyak itu?"
Namun Cu Tong-liang tidak sempat buangbuang waktu memikirkan itu. Kembali ia
menarik tangan Siau Hiang-bwe untuk
melompat ke dinding, lalu melompat turun ke
luar dinding. "Kita selamat...." desis Cu Tong-liang.
Sambil menggandeng Siau Hiang-bwe, Cu
Tong-liang mengendap-endap mencari jalan
yang aman sampai ke pinggiran kota yang
berbatasan dengan padang ilalang.
"Kita akan menuju pondok Paman Kian
untuk mengambil barang-barangmu, sesudah
itu kita ajak Liu Yok pergi malam ini juga," kata
Cu Tong-liang. "Kau kuat berjalan, A-kui?"
Siau Hiang-bwe hanya mengangguk lemah,
sehingga Cu Tong-liang menambahkan, "Kalau
kau tidak kuat berjalan, aku dari Liu Yok akan
bergantian menggendongmu."
Waktu mengucapkan itu, sebenarnya hati
Cu Tong-liang merasa berat juga. Ia sudah
Mulut Macan 10 45 punya beberapa teman baik di Seng-tin, ia juga
menikmati penghormatan dan penghargaan,
tetapi semuanya itu harus ditinggalkannya
secara diam-diam demi menyelamatkan Siau
Hiang-bwe. Ketika mereka mulai melangkah memasuki
padang ilalang, tiba-tiba di ujung jalan
terdengar derap beberapa orang yang berjalan
sambil mengobrol. "Para peronda kota...." desis Cu Tong-liang.
"Rundukkan kepalamu lebih rendah dari tinggi
ilalang." Beberapa malam yang lalu, kedatangan para
peronda itu melegakan Cu Tong-liang, ketika ia
kewalahan menghadapi Beng Hek-hou yang
berubah wujud jadi macan hitam. Sekarang
peronda-peronda itu mencemaskannya, Cu
Tong-liang tidak ingin kepergok mereka
biarpun dialah salah satu pelatih perondaperonda itu.
Setelah peronda-peronda itu lewat, Cu
Tong-liang kembali meneruskan perjalanan
menerobos ilalang sambil menggandeng Siau


Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mulut Macan 10 46 Hiang - bwe. Cu Tong-liang juga terus
mengucapkan kata-kata yang menguatkan
semangat Siau Hiang-bwe. Ketika perjalanan sudah tiba di tengahtengah padang ilalang yang gelap dan sepi, baru
terdengar suara Siau Hiang-bwe yang lemah,
"Kakak Liang, aku berterima kasih untuk usaha
yang Kakak lakukan untukku, di dunia lain pun
aku akan tetap mengenang kebaikan Kakak.
Tidak perlu Kakak bersusah-payah untukku,
sebab segala derita sekarang ini sudah berlalu."
Cu Tong-liang merasa tidak enak
mendengar kata-kata Siau Hiang-bwe, apalagi ia
merasa tangan Siau Hiang-bwe yang dipegangnya itu sedingin es. Buru-buru Cu
Tong-liang melepaskannya lalu menatap Siau
Hiang-bwe. Dalam kegelapan, Cu Tong-liang memperhatikan sosok Siau Hiang-bwe yang
nampak cantik tetapi pucat dan berwajah sedih.
Rambutnya dan pakaiannya berkibar-kibar
terhembus angin malam. Ketika Cu Tong-liang
memperhatikannya lebih cermat, dia pun
Mulut Macan 10 47 merinding, sebab dilihatnya meskipun Siau
Hiang-bwe itu kelihatannya berdiri biasa
namun kesannya mengambang di udara.
"A-kui, kau...."
Dengan suara sedih, Siau Hiang-bwe
berkata, "Kakak Liang, saat ini aku sudah
menjadi badan halus, akibat penganiayaan
kejam orang-orang Seng-tin. Kita takkan
bertemu lagi. Aku hanya bisa titip salam dan
ucapan terima kasih untuk Kakak Yok dan
Paman Kian juga. Kalau mungkin, usahakanlah
abu jenazahku bisa dikembalikan ke rumahku di
Lam-koan.Aku juga mohon Kakak membalaskan
sakit hatiku ini... Kakak Liang, jagalah dirimu
baik-baik...." Sambil mengeluarkan kata-kata itu. sosok
tubuh itu makin kabur, seolah mencair dengan
udara. Lenyap. Cu Tong-liang membeku di tempatnya,
perasaannya bercampur-aduk. Sepanjang umurnya, ia belum pernah melihat arwah,
meskipun ia pernah melihat mahluk jadi-jadian
macam Beng Hek-hou. Tetapi sekarang ia sudah
Mulut Macan 10 48 Sambil mengeluarkan kata-kata itu. sosok tubuh
itu makin kabur, seolah mencair dengan
udara. Lenyap. Mulut Macan 10 49 melihat sosok badan halus yang mengaku
arwahnya Siau Hiang-bwe itu. Ucapan-ucapan Si
Badan Halus tentang Liu Yok, Tabib Kian dan
diri Cu Tong-liang tadi begitu menyentuh hati,
juga pesan untuk membawa abu jenazahnya ke
Lam-koan, sedangkan pesannya untuk membalas sakit hati kepada orang-orang Sengtin, membuat perasaan Cu Tong-liang campuraduk antara gusar dan bingung. Gusar karena
Siau Hiang-bwe yang disayanginya seperti adik
sendiri itu mengaku diperlakukan kejam orangorang Seng-tin, dan bingung karena banyak
orang Seng-tin sudah menjadi kenalan baiknya,
seperti Pang Se-bun. Setelah kesedihannya pelan-pelan terkendali, Cu Tong-liang pun berpikir, "Akan
kumanfaatkan hubungan baikku dengan Pang
Se-bun dan pengawal-pengawal kota yang
terlatih, untuk menangkap orang-orang yang
menangkap dan menganiaya A-kui, seperti Lui
Kong-sim dan Yao Kang-beng."
Mulut Macan 10 50 Cu Tong-liang sadar, tidak mungkin
menghukum seluruhnya yang terlibat karena
hampir seluruh Seng-tin terlibat.
Yang harus dibalas ya hanya penggerakpenggeraknya saja, macam Lui Kong-sim dan
Yao Kang-beng. Cu Tong-liang menengadah ke langit, dan
seolah bicara kepada Siau Hiang-bwee, "A-kui,
tenanglah di sana, aku akan mengurus rasa
penasaranmu sampai tuntas."
Cu Tong-liang merasa kata-katanya "didengar A-kui" sebab di tempat itu tiba-tiba
tercium bau yang khas, bau pupur kegemaran
Siau Hiang-bwe. Lalu ia pun mulai melangkah kembali ke
arah Seng-tin yang sedang terlelap, sambil
kadang-kadang merinding juga. "Pantas, tadi Akui waktu kugandeng terasa begitu ringan.
Kiranya yang kugandeng tadi adalah arwah...."
Baru beberapa langkah ia berjalan, di
belakangnya terdengar suara gemerisik ilalang
yang terinjak. Cu Tong-liang membalik tubuh
dengan cepat, kuatir ketemu Beng Hek-hou lagi,
Mulut Macan 10 51 la melihat sesosok tubuh laki-laki berjalan
mendekatinya, dan meskipun malam gelap,
namun gaya berjalan orang itu dikenalinya
baik-baik. "Saudara Liu...." sapanya.
"Kakak Liang, syukurlah aku berhasil
menemulmu." "Saudara Liu memang ingin menemuiku?
Malam-malam begini?"
"Ya. Oleh dorongan hati kecil."
Cu Tong-liang tidak kaget mendengar alasan
Liu Yok yang "sepele" itu, sebab sudah biasa
mendengarnya, sudah ratusan kali mendengar.
Alasan itu bagi Liu Yok adalah jauh lebih kuat
dari alasan yang rumit-rumit dengan istilahistilah hebat-hebat sekalipun.
Kata Cu Tong-liang kemudian, dengan sedih.
"Saudara Liu, aku tidak menyalah-kanmu,
melainkan ini adalah kesalahan kita berdua,
yaitu dulu tidak membela A-kui ketika hendak
dibawa orang-orang Seng-tin. Akibatnya...
akibatnya...." suara Cu Tong-liang jadi tersendat
sedih. Mulut Macan 10 52 Potong Liu Yok dengan kalem. "Justru itulah
yang mendorongku untuk bangun malammalam dan menyusulmu ke sini. Untuk
menyelamatkan Kakak Liang dari tipuan yang
merobek jiwa Kakak."
"Hah! Tipuan?" "Kakak pikir A-kui sudah mati lalu
arwahnya bicara kepada Kakak, begitu kan?"
Cu Tong-liang heran. Ia belum bercerita
tentang arwah segala, kok Liu Yok juga sudah
tahu? Cu Tong-liang cuma menggumam
mengiakan. Kata Liu Yok, "A-kui masih hidup, ia
menderita aniaya jiwa dan aniaya raga. Ia
dicambuk, dilempari buah-buahan busuk dan
telur busuk. Dihina, dituduh tidak semestinya,
rambutnya digunting."
"Ha, Saudara Liu tidak pernah meninggalkan gubuk Paman Kian, kok tahu?"
"Hati kecilku pergi bersama A-kui dan tahu
pasti apa yang A-kui alami. Tetapi jangan sedih,
penderitaan itu membongkar semua sumbat
yang selama ini menghalang-halangi penyaluran
Mulut Macan 10 53 sumber-sumber ilahi dalam dirinya. A-kui akan
menaklukkan segenap penguasa gaib di Sengtin, lihat saja."
"Tetapi arwah A-kui menjumpaiku. Itu
benar-benar A-kui." "Bukan. Itu suatu mahluk gaib yang
menyamar A-kui, itu biasa diperbuat oleh
mahluk-mahluk yang jahat itu, sehingga
penyamaran yang amat persis itu menyesatkan
manusia yang masih hidup dengan pesan-pesan
palsu dari dunia sana, seolah-olah dari pihak
keluarga yang mati, padahal bukan."
"Padahal begitu persis."
"Di situlah bahayanya. Begitu persis."
"Jadi... yang bersamaku tadi bukan... arwah
A-kui?" Cu Tong-liang merinding ketika
mengucapkannya. Jadi tadi ia tidak menghadapi
"A-kui yang sudah jadi badan halus" melainkan
hantu sungguhan. Jawab Liu Yok, "Kalau yang tadi itu A-kui,
pasti tidak takut menemui aku. Aku lebih akrab
kepadanya daripada Kakak Liang. Yang ganjil
lagi, A-kui takkan menyuruh Kakak untuk
Mulut Macan 10 54 membalaskan sakit hatinya kepada orang Sengtin segala. A-kui pastilah justru akan memohon
Kakak memaafkan mereka."
Cu Tong-liang menarik napas, "Jadi, aku
sudah tertipu." "Tidak usah penasaran, Kakak Liang.
Penipumu itu sudah kuhukum dengan hukuman
paling keras." Cu Tong-liang mengangguk-angguk, sambil
membatin, "Inilah Liu Yok. Mahluk-mahluk gaib
yang menakutkan bagi sebagian besar orang,
sampai harus diberi sajen agar tidak marah dan
menimbulkan bencana, oleh Liu Yok diperlakukan ?sewenang-wenang' saja. Aku
heran, Liu Yok ini tidak kualat-kualat juga
dengan omongannya yang ceplas-ceplos ini?"
Dalam hati kecil Cu Tong-liang terdengar
ada yang bersuara, "Nah, aku yang selama ini
meremehkan Liu Yok, kalau begini, siapa yang
lebih berkuasa? Liu Yok yang memperlakukan
mahluk-mahluk gaib jahat seenaknya tanpa
kualat, atau Wong Lu-siok dan pengikutpengikutnya yang melakukan atraksi-atraksi
Mulut Macan 10 55 hebat dengan bantuan mahluk-mahluk gaib dan
memberi sajen agar mahluk-mahluk gaib tidak
marah?" Namun yang terucap lewat bibir Cu Tongliang ialah, "Saudara Liu, kenapa penglihatan
kita bisa tertipu oleh mahluk-mahluk dunia lain
itu?" "Latihlah menggunakan penglihatan sejatimu yang tak bisa tertipu, Kakak Liang.
Penglihatan pengertian yang bersumber dari
sabda-Nya. Penglihatan sejati itu melihat segala
sesuatu yang sebenarnya, sedangkan penglihatan jasmaniah bisa tertipu karena
hanya bisa melihat segala yang semu di alam
kasar." "Saudara Liu, aku merasa tidak enak kalau
teringat sikapku dalam beberapa hari ini
terhadapmu. Yang paling kasar ialah sikapku
kemarin, di pondok Tabib Kian, waktu A-kui
hendak ditangkap." "jangan menyalahkan diri, Kakak Liang. Itu
bukan sikapmu, kok."
"Bukan sikapku?"
Mulut Macan 10 56 "Ya. Ada pribadi lain dalam jiwamu yang
mendorongmu untuk bersikap begitu

Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepadaku." Dalam beberapa hari terakhir Cu Tong-liang
memang merasa aneh dengan tabiatnya sendiri.
Keanehan yang jika tidak direnungkan sungguhsungguh takkan terasakan, la merasa, dalam
sifat-tabiat-nya seperti "ketambahan" beberapa
unsure yang dulu belum ada. Tanpa ujung
pangkal, ia tiba-tiba punya sikap meremehkan
Liu Yok, membanding-bandingkan dengan
Wong Lu-siok yang Cu Tong-liang anggap jauh
lebih unggul, bahkan sikap itu berubah jadi
sikap membenci dan ingin menentang Liu Yok.
Selagi Cu Tong-liang bingung dengan keanehan
diri sendiri, tahu-tahu sekarang didengarnya
Liu Yok berkata bahwa "ada yang
mendorongnya dalam jiwanya".
"Apakah Saudara Liu ingin mengatakan
bahwa... aku sudah... kemasukan...."
"Nampaknya begitu, Kakak Liang."
"Mana bisa? Aku belum pernah menyangkal
iman yang Saudara Liu ajarkan kepadaku. Aku
Mulut Macan 10 57 masih tetap merasa sebagai ranting yang
menyatu dengan ba tangnya."
"Kita dicipta Yang Maha Kuasa dengan
diberi kehendak bebas. Ini adalah anugerah
terbesar-Nya kepada mahluk ciptaan-Nya yang
termulia. Dengan kehendak bebas itu, kita
leluasa memilih untuk bersujud kepada-Nya
atau mengingkari-Nya. Kehendak bebas Itu juga
memberi suatu resiko kepada kita. Biarpun kita
sudah menerima anugerah-pemulihan-Nya,
tetap kehendak bebas kitalah yang menentukan
apakah jiwa kita tetap bersih atau kemasukan
unsur-unsur yang kotor. Kalau kita berkehendak memilih menjaga hati kita, Dia
menyediakan kekuatan-Nya, bukan dengan
kekuatan kita sendiri. Kalau kita berkehendak
lain, kekuatan-Nya tidak bekerja dengan
mengabaikan kehendak kita. Itu berarti, kita
tidak kebal godaan, melainkan tetap diberi
kesempatan memilih. Kalau kita ingin menolak
godaan, kekuatan-Nya tersedia buat kita. Kalau
kita memilih menuruti godaan, kekuatan-Nya
tidak dengan paksa menyeret kita. Karena tidak
Mulut Macan 10 58 kebal godaan itulah maka jiwa kita masih bisa
dimasuki apa-apa yang tidak berkenan kepadaNya. Misalnya pikiran-pikiran jahat, bahkan
mahluk-mahluk gaib penghasil pikiran jahat itu
sendiri bisa mendiami pikiran kita. Terjaganya
jiwa kita adalah tanggung jawab kita."
"Saudara Liu, aku tidak pernah dengan
sengaja membukakan jiwaku buat pikiranpikiran jahat, apalagi mahluk-mahluk gaib yang
jahat. Memangnya aku sudah gila, dan tidak
kapok setelah pengalaman pahitku di Lamkoan?"
"Aku percaya Kakak Liang belum pernah
secara sengaja mengundang masuknya mahlukmahluk gaib ke dalam dirimu. Tetapi bagaimana
kalau secara tidak sengaja?"
"Kalau secara tidak sengaja, apakah bisa
kemasukan?" "Lho, yang namanya maling, kalau melihat
pintu terbuka ya langsung masuk dan mencuri.
Tidak peduli pintunya itu sengaja dibuka atau
tidak sengaja...." Mulut Macan 10 59 Cu Tong-liang membungkam, takut mengakui apa yang terjadi dalam dirinya
sendiri. Kata Liu Yok pula, "Kakak Liang, selama
Kakak beberapa hari ada di Seng-tin, Kakak
melihat pengawal-pengaw, kota memamerkan
kehebatan mereka dalam berjalan di atas api,
makan beling, kebal senjata, mempengaruhi
pikiran orang dengan pandangan mata dan
sebgainya. Kakak kagum. Nah, kekaguman
itulah sebuah celah terbuka yang bisa
diterobosi oleh musuh-musuh sejati kita. Musuh
abadi umat manusia."
"Astaga, baru kagum saja sudah berakibat
begitu?" "Karena kagum berarti memberi tempat di
hati." "Tetapi, Saudara Liu, bukankah kita sedang
membicarakan kekuatan-kekuatan gaib yang
jahat? Padahal kekuatan-kekuatan gaib yang
dipraktekkan orang-orang Seng-tin itu tidak
jahat. Itu kekuatan gaib putih."
Mulut Macan 10 60 "Di sini banyak orang terjebak. Belajar
sesuatu yang gaib itu berbahaya, bisa-bisa yang
menuntunnya adalah mahluk-mahluk jahat
yang berpura-pura baik, menyamar sebagai
arwah orang suci, arwah nenek moyang dan
sebagainya. Ini memberi tempat kepada
mahluk-mahluk jahat untuk pura-pura menuntun tetapi menjerumuskan."
"Tetapi kenapa kekuatan gaib Wong Lu-siok
bertentangan dengan kekuatan gaib Beng Hekhouw? Beng Hek-hou jahat, maka yang
menentangnya pasti kekuatan yang baik."
"Kakak Liang, dunia ini dibawah pengaruh
satu penguasa gaib yang maha jahat, Si Malaikat
Durhaka yang dibuang dari sorga itu. Dia
dibantu bermilyar-milyar mahluk-mahluk gaib
yang mengikuti kejahatannya. Untuk dapat
menguasai manusia, mereka harus menciptakan
perasaan butuh dalam diri manusia. Untuk
menimbulkan rasa membutuhkan itu, mahlukmahluk itu yang pertama-tama mengganggu
manusia, menimbulkan bencana, entah melalui
alam atau manusia. Lalu manusia merasa butuh
Mulut Macan 10 61 penolong, mahluk-mahiuk itu pun datang
berlagak penolong, dipuja, menguasai nasib
pemu-ja-pemujanya. Tentu saja mereka
menyebut diri mereka sebagai penguasapenguasa gaib 'yang baik'."
"Tetapi orang-orang seperti Pang Se-bun,
dan adiknya yang bernama Pang Se-hiong, serta
adik ipar mereka yang bernama Un Lip-tong,
adalah orang-orang yang baik. Kulihat sikap
mereka begitu baik dan tidak dibuat-buat."
"Aku percaya, Kakak Liang. Bahkan, orang
yang bernama Wong Lu-siok itu pun hatinya
amat tulus." "Saudara Liu sudah menemuinya?"
"Dalam batin," sahut Liu Yok.
Jawab Liu Yok yang berkesan "seenaknya"
macam itu sudah terbiasa di kuping Cu Tongliang, namun tiap kali Cu Tong liang masih
jengkel juga mendengarnya. Kalau bukan Liu
Yok yang bicara, mungkin sudah dibantahnya,
namun kalau Liu Yok yang mengatakannya,
lucunya apa yang dikatakan itu benar-benar
kenyataan. Misalnya Liu Yok bilang pernah
Mulut Macan 10 62 mengunjungi suatu tempat "dalam batin" lalu
menguraikan keadaan tempat itu, dan suatu kali
Cu Tong-liang melihat tempat itu benar-benar
seperti yang pernah "dilihat dalam batin" oleh
Liu Yok ini. Atau bahkan hanya dalam mimpi.
Kata Liu Yok, "Menurutku, Wong Lu-siok itu
orang jujur dan tulus. Ia mendambakan sebuah
dunia yang aman, damai, penduduknya
bermoral. Dan ia tergiur ketika tiba di Bukit
Buaya Putih, dan mengira dengan ajarannya itu
maka dunia seperti yang didambakannya itu.
Dia tulus, dia diperalat oleh mahluk-mahluk
gaib yang bersembunyi di balik ajaranajarannya Pek-gok-san."
"Jadi mahluk-mahluk gaib jahat itu juga bisa
menyiksa manusia dengan ajaran-ajaran rohani
yang nampaknya suci dan luhur, begitu?"
"Ya, dengan tuntutan-tuntutan dan hukumhukum agama yang tak bisa ditanggung oleh
manusia, maka orang itu tersiksa rasa bersalah,
bahkan ketakutan jangan-jangan sudah menimbulkan kemarahan Yang Maha Kuasa,
bahkan kesan kuat seakan-akan dirinya sudah
Mulut Macan 10 63 dikutuk. Ajaran-ajaran yang menghalanghalangi pandangan batin manusia terhadap
jalan anugerah yang sudah tersedia. Menyimpangkan umat manusia dari anugerah
ke upaya sendiri. Saat ini pun, Wong Lu-siok
sedang teraniaya oleh yang dipujanya sendiri."
Hampir Cu Tong-liang bertanya dari mana
Liu Yok tahu, namun dibatalkannya karena
mungkin akan dijawab "dalam batin".
Mereka melangkah menuju ke pondok
Tabib Kian. Mereka berpapasan dengan
sekelompok serigala penghuni padang ilalang
itu, namun serigala-serigala itu mengacuhkan
mereka, dan ini membuat Cu Tong-liang
keheranan. "Saudara Liu, dapatkah hal-hal yang jahat
sudah terlanjur masuk jiwaku karena
kelengahanku itu... dikeluarkan?"
"Bisa. Tetapi kalau Kakak tidak menutup
pintunya, percuma. Mereka bisa dikeluarkan
tetapi akan masuk kembali."
Bersambung jilid XI Mulut Macan 10 64 Sumber Image : Koh Awie Dermawan
first share in Kolektor E-book
Pringsewu 29/08/2018 10 : 36 AM
Mulut Macan 10 65 Mulut Macan 11 1 JILID XI * Karya : STEVANUS S.P. pelukis : WIDODO Percetakan & Penerbit
CV "G E M A" Mertokusuman 761 RT 02 RW VII
Telp 35801 - SOLO 57122 Mulut Macan 11 2 Mulut Macan 11 1 Dari Mulut Macan ke Mulut Buaya
Karya : STEFANUS S.P. Jilid XI K ETIKA Ho Tong mendengar kabar bahwa
Giam Lok sakit keras kemudian sembuh
kembali, Ho Tong jadi merasa punya seseorang
yang nasibnya lebih kurang sama dengannya,
dan ia ingin mengunjungi Giam Lok. Tetapi
sejak ia waras kembali, Ho Tong belum pernah
berani melangkah keluar dari dinding-dinding
rumahnya. Kenyataan bahwa dia pernah
menjadi orang gila yang berkeliaran di Seng-tin
membuatnya malu dilihat orang. Maka
kunjungannya kepada Giam Lok dipilihnya
malam hari, ketika jalanan sudah sepi, agar
sesedikit mungkin bertemu orang, bahkan kalau
mungkin tidak ketemu siapa-siapa. Ia kenakan
mantel panjang yang agak butut dengan leher
Mulut Macan 11 2 mantel dinaikkan tinggi-tinggi, lalu topi rumput
dipakai rendah-rendah dikepalanya
"Mau ke mana malam-malam begini, Atong?" tanya Ho Kin yang belum tidur dan masih
mengisap pipa tembakau di kursi kesayangannya dekat pintu.
"Ke rumah Giam Lok, Ayah. Kalau ada yang


Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hendak mencariku, tolong jangan diberi tahu,
ya?" "Aku paham perasaanmu. Hati-hatilah."
"Hati-hati? Bukankah katanya gerombolan
Beng Hek-hou sudah pergi? Hati-hati terhadap
apa?" Si Ayah kebingungan menjawab, tadi waktu
memperingatkan Ho Tong agar hati-hati, ia
bicara begitu saja apa yang dikatakan hatinya.
Tetapi ketika ditanya anaknya, ia bingung
menjelaskannya. "Ayah, apakah kota masih kurang aman,
sehingga Ayah menyuruhku berhati-hati?"
Ho Kin mengepulkan dulu asap tembakaunya, dan menjawab kabur, "Apa
Mulut Macan 11 3 salahnya berhati-hati? Siapa tahu masih ada
orang jahat berkeliaran di pinggir kota?"
"Baik, Ayah, aku akan berhati-hati."
Ho Tong keluar dari pintu depan dan mulai
menyusuri lorong-lorong Seng-tin yang gelap
dan berkabut tebal. Seperti yang diharapkannya, ia tidak bertemu seorang pun.
Tiba-tiba dalam hati Ho Tong timbul
keinginannya untuk tidak langsung menuju ke
rumah Giam Lok, melainkan hendak putarputar kota dulu. Ia ingin melihat-lihat Seng-tin
sekarang. Meskipun menurut cerita keluarganya ia berbulan-bulan hilir-mudik di
Seng-tin sebagai orang gila, namun selama
"jaman gila" itu yang dilihat Ho Tong bukanlah
Seng-tin, melainkan suatu tempat asing yang
menurut Ho Tong gelap terus, tak ada matahari,
suatu tempat yang penuh bukit-bukit gersang
dan gua-gua -yang dihuni mahluk-mahluk aneh
atau mahluk-mahluk berdandan bangsawanbangsawan jaman kuno, dalam gua-gua juga ada
manusia-manusia yang dirantai dan diperintah
semaunya oleh mahluk-mahluk itu.
Mulut Macan 11 4 Sambil melangkah sendirian di malam gelap
itu, Ho Tong menikmati suasana Seng-tin di
malam hari. Masih seperti dulu, bangunanbangunannya dan tempat-tempatnya tidak ada
yang berubah sedikit pun, namun Ho Tong
merasakan suasananya agak berubah. Terasa
ada yang menekan perasaannya, entah apa, Ho
Tong tidak bisa menterjemahkannya ke dalam
kata-kata yang masuk akal.
Ho Tong juga melihat perbedaan lain, ia
melihat kota Seng-tin sekarang penuh benderabendera berbagai ukuran dengan tulisan yang
aneh-aneh. "Mungkinkah di Seng-tin ini
ditempatkan suatu pasukan pemerintah untuk
berjaga-jaga agar jangan sampai diduduki
gerombolan lagi? Tetapi seluruh keluargaku
dalam pembicaraannya tidak sedikit pun
menyingung tentang adanya pasukan pemerintah di tempat ini. Juga, kalau ada
perajurit pemerintah di sini, tidak perlu rasanya
hampir setiap rumah memasang bendera, tetapi
kulihat banyak rumah memasang bendera aneh
itu meski dalam ukuran kecil."
Mulut Macan 11 5 "Besok akan kutanyakan kepada orangorang di rumah," pikir Ho Tong, "Ah, kenapa
harus menunggu besok? Barangkali Giam Lok
juga tahu." Setelah melalui beberapa lorong, Ho Tong
kemudian melangkah ke rumah Giam Lok.
Namun ketika pintu rumah Giam Lok sudah
di depan hidungnya, Ho Tong malahan jadi
ragu-ragu untuk mengetuk pintu. Soalnya, dari
dalam rumah Giam Lok terdengar pertengkaran. Suara yang bertengkar itu ialah
suara Giam Lok dan ibunya.
Terdengar suara Nyonya Giam yang
melengking tinggi, "Kau sungguh angkuh, A-liok.
Kau sudah sembuh, tetapi kau menganggap itu
hanya hasil dari semangatmu yang besar, bukan
anugerah para dewa, aku tidak menanggung
kalau kau bakal menanggung kemarahan yang
lebih berat dari para dewa."
Suara Giam Lok pun bernada tinggi
emosional, "Kemarahan dewa siapa? Dewa Lui
Kong-sim? Yang begitu berkuasa menetapkan
orang bersalah dan menghukumnya?"
Mulut Macan 11 6 Ho Tong sebenarnya ingin mampir, namun
setelah mendengar itu lalu tidak jadi mampir.
Tetapi ketika ia baru saja melangkah
meninggalkan pintu, didengarnya pintu terbuka
dengan keras dari dalam, dan suara Giam Lok,
"Aku tidak betah lagi di rumah ini! Rumah
penuh tahyul dan omong kosong!"
Dan suara Nyonya Giam dari dalam rumah,
"Minggat dari rumah ini, anak keras kepala!
Kekeras-kepalaanmu yang tidak mau mengakui
para dewa itu bisa menyebabkan rumah ini
kena kutuk! Enyah dari sini! Itu lebih baik!"
Lalu Nyonya Giam melangkah ke pintu dan
memasang palang pintu di sebelah dalam pintu.
Giam Lok kini berada di luar pintu, di tengah
malam yang dingin dan berkabut. Dengan
masygul ditatapnya pintu rumahnya yang sudah
tertutup dari dalam itu. Sambil menghela napas berat, Giam Lok lalu
melangkah pergi sambil mendekapkan tangannya menahan dingin, tetapi langkahnya
tertegun ketika melihat sesosok bayangan
Mulut Macan 11 7 bermantel panjang dan bertopi berdiri tidak
jauh dari pintu rumahnya.
Giam Lok terkesiap. "Siapa kau? Mata-mata
Lui Kong-sim?" Ho Tong heran mendengar pertanyaan itu,
apakah kota Seng-tin yang dulunya orangorangnya begitu rukun dan akrab seperti
keluarga besar itu, sekarang terbiasa saling
memata-matai? Apalagi sesama murid guru silat
Ciu Koan, dulu ikatannya melebihi ikatan
saudara sedarah, dan baik Giam Lok maupun
Lui Kong-sim sama-sama murid dari guru silat
itu. "Kakak Lok, aku... Ho Tong...."
Giam Lok membeku beberapa saat
mendengar nama itu, tetapi dia pun sudah
mendengar sembuhnya Ho Tong, maka buruburu dia menyambut teman lama itu, "Saudara
Ho! Aku dengar kau sudah sembuh! Selamat!"
Kedua sahabat itu saling menyambut
seolah-olah berpisah dari tempat-tempat yang
saling berjauhan, padahal selama ini mereka
Mulut Macan 11 8 sama-sama di Seng-tin, tetapi terputus sekian
lama gara-gara Ho Tong gila.
Kata Ho Tong, "Kakak Lok, sebenarnya aku
berniat mengunjungimu, dan aku mohon maaf
sebesar-besarnya bahwa aku tanpa sengaja
telah menangkap pembicaraanmu dengan
ibumu. Itu kurang sopan. Aku baru hendak
bermaksud meninggalkan tempat ini untuk
menunda kunjungan di lain kali saja, tetapi
engkau sudah keluar pintu."
Dengan menunduk murung, Giam Lok
melangkah menjauhi rumah itu, sambil berkata,
"Begitu keraskah suara pertengkaran kami,
sehingga kau mendengarnya, Saudara Ho?"
"Ya maklum, orang sedang emosi," jawab Ho
Tong tak langsung. Giam Lok menarik napas. "Sudahlah. Nanti
kalau akal sehat ibuku sudah kembali, aku bisa
bicara baik-baik kepadanya. Sekarang ini, ia
sedang dikuasai emosinya, dan juga macammacam cerita dongeng yang tidak masuk akal.
Eh, Saudara Ho, kenapa kau mengunjungiku
malam-malam begini?"
Mulut Macan 11 9 "Kakak Lok tahu, aku ini bekas orang ... tidak
waras. Kalau aku terlihat ada di jalanan oleh
warga kota lainnya, terutama anak-anak kecil
bagaimana perasaanku? Maka kupilih malammalam seperti ini untuk mengunjungi Kakak
Lok?" "Ada keperluan tertentu?"
"Tidak, cuma mau ngobrol saja. Sumpeg
rasanya di rumah terus. Kakak Giam ada
waktu?" "Aku senang ada yang diajak mengobrol,
Saudara Ho. Tetapi kaulihat sendiri bahwa aku
baru saja diusir dari rumahku. Jadi, kita harus
cari tempat dulu." "Bagaimana kalau rumahku?"
"Tidak, Saudara Ho. Bukankah di rumahmu
ada ayah ibumu, kakakmu dan anak isterinya
serta adik perempuanmu? Aku ingin bicara
lebih leluasa hanya kepadamu, Saudara Ho."
"Jadi di mana?"
Giam Lok memperlambat langkahnya
karena sedang berpikir, lalu katanya, "Eh,
Mulut Macan 11 10 bagaimana kalau di bekas rumah Kakak Yamlam?"
"Kenapa Kakak Lok menyebutnya 'bekas
rumah'? Memangnya Kakak Lam sendiri ke
mana?" "Kakak Lam sekarang menjadi orang
kepercayaan Wong Lu-siok, dia tinggal di rumah
bekas perguruan silat kita dulu, dan rumahnya
yang di pinggiran kota tidak ditempati lagi."
"Kambing-kambingnya?"
"Selama gerombolan Beng Hek-hou menguasai kota ini, kambing-kambingnya habis
dijadikan bahan pesta pora gerombolan.
Kabarnya pula, untuk memperkuat ilmu sihir
hitamnya, Beng Hek-hou setiap hari harus
memakan satu jerohan kambing mentahmentah."
Ho Tong agak mual. "Kok seperti macan
saja?" "Ilmunya Beng Hek-hou ini namanya saja
'ilmu macan hitam'."
Entah kenapa, pikiran Ho Tong tiba-tiba
melayang ke pengalaman anehnya ketika ia
Mulut Macan 11 11 "mengembara di tempat asing yang gelap terus"
dan di tempat itu penguasanya adalah seekor
"macam hitam yang bisa berjalan dan bicara
seperti manusia", sebelum Si Macan Hitam itu
diambil-alih tempatnya oleh mahluk-mahluk
langit yang berdandan seperti para pangeran,
puteri bangsawan dan panglima-panglima
jaman kuno dan pasukan mahluk-mahluk
anehnya. Tetapi Ho Tong diam saja soal itu,
sebab dianggapnya Giam Lok belum tentu bisa
menerima ceritanya itu. Kalau didengar dari
kata-katanya sejak dulu, Giam Lok ini agaknya
orang yang mendewakan akalnya, otaknya,
menuntut segala sesuatu harus bisa dijelaskan
dengan akalnya sebelum ia mau mempercayainya. Mereka pun melangkah maju ke rumah
kosong bekas kediaman Ek Yam-lam.
Tetapi sebelum sampai ke tempat itu, ketika


Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka lewat persimpangan antara dua lorong,
tiba-tiba Giam Lok menarik tangan Ho Tong
untuk buru-buru diajak bersembunyi di semaksemak belukar yang gelap di pinggir jalan. Ho
Mulut Macan 11 12 Tong hendak bicara, tetapi mulutnya lebih dulu
ditekap oleh telapak tangan Giam Lok yang
sambil membisikkan "ssst" ke kuping Ho Tong,
menyuruh Ho Tong diam. Ho Tong tidak melawan, ia mendekam
membisu di balik semak-semak bersama Giam
Lok. Ternyata, yang membuat Giam Lok bersikap
macam itu tak lain adalah serombongan orang
yang melangkah dari ujung lorong lain,
jumlahnya ada kira-kira lima enam orang.
Mereka bicara sambil tertawa-tawa. Ho Tong
mengenal salah satu suara itu adalah suara Lui
Kong-sim, juga bekas murid Ciu Koan, alias
teman seperguruan Ho Tong dan Giam Lok.
"Bukan siapa-siapa, itu suara Kakak Sim."
bisik Ho Tong kepada Giam-lok, lalu ia sudah
hendak berdiri keluar dari persembunyiannya,
tetapi Giam Lok menahan pundaknya sambil
membisikinya, "Jangan keluar. Nanti kujelaskan." Ho Tong heran, tetapi menurut. Hanya
dalam hatinya membatin. "Kota ini belum
Mulut Macan 11 13 berubah bangunan-bangunannya, tetapi orangorangnya sudah berubah. Apa yang terjadi?"
Sementara Lui Kong-sim dan beberapa
temannya itu makin dekat, dan terdengar suara
Lui Kong-sim sambil tertawa. "Lagaknya yang
garang itu hanya mempan digunakan untuk
memeras perempuan tua tak berdaya seperti
Bibi Yao. Masa, minta 'uang tutup mulut' kok
hampir setiap hari. Tetapi begitu berhadapan
dengan kita, dia pun menggigil seperti tikus
ketemu kucing." "Uang yang dikembalikannya itu apakah
akan kita kembalikan kepada Bibi Yao?"
Terdengar Lui Kong-sim menjawab, "Tentu.
Tetapi kurasa... Bibi Yao akan cukup rela kalau
hanya menerima separuhnya saja, dia tetap
akan berterima kasih kepada kita yang sudah
membebaskan dia dari pemerasan keterlaluan
itu." "Yang separuh buat kita?"
"Yah, masa jerih payah kita tidak dihargai?"
Mulut Macan 11 14 "Kalau begitu, mari kita ke rumahnya
Paman Ao, mudah-mudahan dia masih punya
persediaan arak yang cukup?"
Mereka melewati tempat persembunyian
Ho Tong dan Giam Lok namun tidak
memergokinya, suara mereka makin jauh dan
menghilang di ujung lorong lain.
Giam Lok dan Ho Tong keluar dari
persembunyiannya, dan yang pertama ditanyakan Ho Tong adalah, "Kakak Lok
bermusuhan dengan Kakak Sim?"
Giam Lok menarik napas, "Tidak, tetapi
memang tidak baik kalau aku bertemu
dengannya." "Kenapa? Kakak Lok dan Kakak Sim dulu
berteman akrab." "Aku cuma kurang cocok dengan
kelakuannya belakangan hari ini. Ia menganggap dirinya begitu berkuasa, tanpa ada
warga kota yang mengangkatnya, dia
mengangkat diri sendiri sebagai penanggungjawab keamanan kota ini. Ia menghukum siapa
saja yang dianggapnya melanggar ajaran suci."
Mulut Macan 11 15 "Ajaran suci? Ajaran apa itu?"
"Waktu kota ini dikuasai Beng Hek-hou
dulu, penduduk kota tidak berdaya mengusir
Beng Hek-hou yang jauh lebih kuat. Tetapi
datanglah Wong Lu-siok yang mengaku dirinya
sebagai manusia pilihan yang diutus dari langit
untuk memberitakan ajarannya di Seng-tin. Dia
memang berhasil mengusir Beng Hek-hou dan
gerombolannya. Maka keranjinganlah orangorang Seng-tin mengikuti ajarannya, termasuk
ibuku." "Ooo, begitu?" "Ya. Sebagian orang Seng-tin memuja Wong
Lu-siok bagaikan dewa, tetapi pendapatku lain.
Menurutku, Wong Lu-siok ini hanya sekedar
mengambil-alih Seng-tin dari Beng Hek-hou.
Jadi Seng-tin sebenarnya tidak bebas. Cuma
ganti penguasa. Dulu Beng Hek-hou menguasai
kota dengan anak buahnya yang garang-garang,
sekarang Wong Lu-siok menguasai dengan
ajaran-ajarannya yang membuat semua orang
Seng-tin tergila-gila mematuhinya. Wong Lusiok tidak memerlukan anak buah satu orang
Mulut Macan 11 16 pun, sekarang sebagian besar orang Seng-tin
adalah pengikutnya, dan mau saja diperintahkan untuk menindak sesama warga
yang dituduh 'melanggar ajaran suci'. Coba,
Saudara Ho, mana yang lebih jahat antara
penindasan Beng Hek-hou dengan penindasan
Wong Lu-siok?" Ho Tong ragu-ragu menjawab, sehingga
Giam Loklah yang menjawab pertanyaannya
sendiri tadi. "Dulu, ditindas oleh Beng Hek-hou,
seluruh warga bersikap sama menghadapi
lawan yang sudah jelas. Sekarang ditindas Wong
Lu-siok, warga saling mencurigai, lawan tidak
jelas, bisa-bisa adalah keluarga kita sendiri. Nah,
Saudara Ho, mana yang lebih buruk?"
"Sikap Kakak Lo sendiri bagaimana?"
"Aku akan memperjuangkan kebebasan
Seng-tin untuk kedua kalinya. Kali ini
perjuangannya lebih berat dan rumit, tidak
cukup dengan otot dan senjata, melainkan
dengan ajakan agar warga kota kembali
menggunakan akal sehatnya. Saudara Ho, kau
sudah berkorban besar dalam perjuangan
Mulut Macan 11 17 membebaskan kota dari gerombolan Beng Hekhou dulu, maukah kau berjuang sekali lagi demi
kota Ini, bersama aku?"
Ho Tong belum pulih benar dari kenangan
amat buruknya, sekian bulan menjadi orang
gila, dan sekarang ia tidak buru-buru
menyambut ajakan Giam Lok itu. Malahan balik
bertanya, "Siapa saja sudah setuju untuk
bergabung dengan Kakak Lok?"
Giam Lok menarik napas. "Terus terang saja,
baru aku sendirian. Tetapi kalau tidak ada yang
mau bergabung denganku, aku akan tetap
berjuang, biar sendirian. Aku rindukan Seng-tin
yang seperti dulu, Saudara Ho. Seng-tin yang
ramah, bersuasana kekeluargaan, tidak dibuatbuat. Bukan Seng-tin yang sekarang, saling
mencurigai, sok suci, penuh tahyul."
Baru saja Giam Lok bicara begitu, mereka
tiba di sebuah rumah berpagar kayu rendah,
sehingga orang lewat bisa melihat ke halaman
rumah. Giam Lok dan Ho Tong melihat di
halaman samping rumah itu ada seorang
nyonya pendek gemuk sedang duduk dalam
Mulut Macan 11 18 sikap bersemedi di malam gelap, hanya beralas
tikar dan diterangi sebatang lilin.
"Lihat." Giam Lok berkata kepada Ho Tong
sambil menunjuk kepada Si Nyonya Pendek
Gemuk. "Dulu warga kota tidak ada yang anehaneh seperti itu, sekarang banyak. Malah, kalau
tidak aneh tidak normal."
Ho Tong menjawab, "Aku kira, ini hanya
semacam keranjingan akan sesuatu yang sedang
jadi mode. Lama-lama juga akan surut sendiri."
"Yang kausebut 'lama-lama' itu berapa lama,
Saudara Ho? Sebulan, dua bulan, setahun?"
Ho Tong tak menjawab, dan Giam Lok
meneruskan. "Yang terang, kalau kita tidak
bertindak, akan banyak korban jatuh. Contoh,
tahukah Saudara Ho bahwa ada pemuda kota ini
yang bernama Ciok Yan-bok, yang bunuh diri
gara-gara tadinya ia dapat berjalan di api, lalu
tidak dapat lagi karena katanya 'tidak disertai
lagi oleh Hulubalang Api'?"
Ho Tong kaget. "Hah? Ciok Yan-bok bunuh
diri?" Mulut Macan 11 19 "Dan tahukah Saudara Ho, bahwa di Sengtin ini sekarang banyak sesama anggota
keluarga tega saling menghajar, membunuh,
memfitnah, hanya gara-gara ajaran tak masuk
akal itu? Korban akan lebih banyak kalau kita
tidak bertindak!" "Apa andalan kekuatan Kakak Lok hingga
hendak menentang situasi ini?"
"Semangat dan akal sehat manusia harus
dipulihkan. Semangat yang pantang menyerah
itulah yang menyembuhkan aku, dan
menyembuhkanmu juga, Saudara Ho. Itulah
yang harus ditularkan kepada semua warga
Seng-tin. Berusaha dengan kekuatan sendiri,
tidak bergantung kepada segala macam mahluk
tak terlihat." Ho Tong agak terpengaruh oleh semangat
Giam Lok itu. "Tindakan nyatanya apa, Kakak
Lok?" "Kumpulkan orang-orang sepaham, berlatih,
susun rencana." "Aku tertarik, tetapi apakah Kakak Lok mau
memberiku waktu untuk berpikir dulu?"
Mulut Macan 11 20 "Tentu?" Di situ mereka berpisah. Giam Lok menuju
ke rumah kosong bekas rumah Ek Yam-lam,
sementara Ho Tong kembali ke rumahnya
dengan sedikit tambahan yang diketahui
tentang kota kelahirannya itu.
* ** Besoknya, Giam Lok memulai "kampanye"nya tentang "akal sehat dan semangat
manusia" itu dengan muncul di tempat ramai,
yaitu pasar. Meskipun masih agak kurus, namun
dengan sikap ramah dia menyapa dan
menyambut sapaan orang-orang di pasar.
"Eh, kau sudah sembuh, A-liok!" tegur Si
Tukang Bakpao. "Benar, Paman."
"Ternyata tindakan kita menangkap Si Gadis
Pembawa Kutukan itu adalah tindakan tepat.
Buktinya, begitu gadis itu dikurung, penyakitmu
lenyap." Mulut Macan 11 21 "Gadis pembawa kutukan? Siapa?"
"Aku tidak tahu namanya, dia gadis asing
yang dalam beberapa hari ini berkeliaran di
kota." "Di mana dia sekarang?"
"Dikurung di kediaman Guru Wong."
"Seng-tin kota beradab, kota yang tahu
aturan, tidak boleh kita seenaknya saja
menghukum orang dengan alasan yang tidak
masuk akal seperti tuduhan 'pembawa kutukan'
dan sebagainya." "Seluruh kota yang memutuskan nasibnya.
Kau mau melawan seluruh kota?"
Giam Lok membungkam. Darahnya menggelegak, tetapi otaknya menahan untuk
bertindak atau berkata sembarangan. Jangan
sampai niatnya untuk "memperjuangkan


Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kemenangan akal sehat" terbentur langkah
pertama hanya karena gara-gara salah bicara.
"Aku harus cari teman-teman sepaham dulu,
melebarkan pengaruh, baru bisa memperlihatkan sikap." pikirnya.
Mulut Macan 11 22 Di depan Si Tukang Bakpao itu pun Giam
Lok ganti haluan. "Kalau memang orang-orang
Seng-tin sudah mempertimbangkan matangmatang tindakannya, ya boleh-boleh saja. Eh,
Paman, di mana Si A-gun?"
Anak Si Tukang Bakpao itu memang teman
lama Giam Lok. Si Tukang Bakpao menjawab dengan
bangga. "A-gun terpilih sebagai salah seorang
pengawal kota kita ini. Hebat dia sekarang, aku
pernah lihat sendiri dia memanjat tangga yang
anak tangganya adalah golok-golok yang
tajamnya menghadap ke atas. Dia memanjatnya
dengan kaki telanjang! Coba, hebat tidak? Guru
silat Ciu Koan mana bisa mengajari sampai
sehebat itu?" Giam Lok kurang senang gurunya
dibanding-bandingkan. "Ah, Paman, orangnya
sudah mati kok masih dibicarakan. Mendiang
Guru Ciu juga pernah jadi orang berjasa di kota
ini." "Aku tidak meremehkan kok. Aku cuma
ingin kau tahu bahwa kota kita ini sekarang
Mulut Macan 11 23 penuh dengan pengawal-pengawal hebat-hebat.
Tanpa bermaksud meremehkan almarhum Guru
Ciu." "Sudahlah, sekarang akan kutemui temanteman lama dulu. Sudah lama tidak ketemu
mereka." "Kalau ketemu anakku A-gun, jangan kaget.
Dia agak lain dari dulu."
"Ya, aku tahu. Sekarang dia seorang
pengawal yang bisa memanjat tangga golok
tanpa terluka, begitukah?"
Wajah Si Tukang Bakpao yang semula
bangga menceritakan anak laki-lakinya itu, kini
berubah jadi agak murung. "Maksudku... dia
sekarang agak pemarah, kadang-kadang orang
tuanya pun tak dapat mengetahui apa maunya."
"O, begitu?" Giam Lok menjawab ringan.
Tahap pertama dari rencananya itu, Giam
Lok belum terang-terangan mencari orangorang sepaham. Ia sekedar "lihat-lihat dulu"
sambil memamerkan kesembuhannya kepada
orang-orang Seng-tin. Kesembuhan karena
"akal sehat" dan "semangat serta harapan yang
Mulut Macan 11 24 tidak padam" tanpa campur tangan sesuatu
yang bersifat gaib. Namun sebenarnya dalam hati Giam Lok
mulai ragu juga, ia meragukan sendiri
keberhasilan niatnya itu. Soalnya, bagaimana
hendak meyakinkan orang-orang Seng-tin
bahwa hidup ini hanya butuh "akal sehat dan
semangat" saja? Sedang di Seng-tin orang-orang
sudah terlanjur melihat hal-hal yang tak masuk
akal seperti orang berjalan di api, memanjat
tangga golok dan sebagainya? Bagaimana
menjelaskan itu "menurut akal sehat"? Giam
Lok pusing juga. Namun setengah hari itu Giam Lok habiskan
untuk berkeliling Seng-tin. Sejak ia sembuh, ia
belum pernah keluar rumah.
Ketika lewat di warung barang keramik
kepunyaan Ban Ke-liong, Giam Lok melihat
banyak orang berjejal-jejal membeli sesuatu
dari Ban Ke-liong. Ada yang beli barang jadi, ada
yang mengambil pesanan, ada yang baru
memesan. Giam Lok berdiri di belakang orangorang itu dan mendengarkan orang-orang itu.
Mulut Macan 11 25 "Juragan Ban, pesananku sudah jadi? Patung
Panglima Teratai Api di latar rumahku harus
segera ada pasangannya. Bidadari Api
Bertangan Seribu yang muncul di mimpiku,"
kata seorang nyonya. "Kalau tidak segera
dipasangkan, aku kuatir keluargaku akan
menanggung kemarahan mahluk-mahluk suci
itu." Terdengar jawaban Ban Ke-liong dari
tengah kerumunan, "Jangan kuatir, Nyonya
Wan, pesananmu sudah tersedia. Aku sadar
betapa pentingnya patung ini bagi keselamatan
keluargamu, maka kukerjakan cepat-cepat."
"Biarpun cepat-cepat, tetapi sesaji-sesaji
dan persyaratan lain tidak dilupakan kan?"
"O, tentu saja tidak, Nyonya. Sesibuk apa
pun, aku menyadari pekerjaanku ini bukan
pekerjaan biasa lagi, melainkan sudah menjadi
pekerjaan yang suci, tugas dari langit,
menyangkut kota ini mendatangkan berkah
atau malapetaka. Maka pekerjaanku tidak mainmain."
Mulut Macan 11 26 Si Nyonya Pemesan dengan sukacita
menerima pesanannya, membayar harganya
lalu membawanya pulang dengan sikap
khidmat. Patung kecil dari porselin itu dijunjung
lebih tinggi di kepalanya.
Seorang gadis mendesak maju, kepalanya
mengenakan penutup untuk menutupi memarmemar bekas hajaran di wajahnya. Sambil
mengulurkan segenggam uang, ia berkata,
"Paman Ban, beri aku arca 'bidadari penari'
untuk kupuja, agar aku bisa menari sebaik
teman-temanku." "Sabar, Nona Yao, coba kucarikan sebentar."
kata Ban Ke-liong sambil mencari-cari di rak
dagangannya. "... beberapa hari yang lalu aku
memang mendapat bisikan gaib, bahwa hari ini
akan ada yang datang mencari 'bidadari penari'
...nah, ini dia, Nona Yao."
Yao Sin-lan membayar, dan dengan sukacita
membawa pulang patung "bidadari menari" itu.
Belum lama dia lega karena kakaknya tidak lagi
menghajarnya, tetapi setengah hari saja
kakaknya sudah berubah kembali. Yao Sin-lan
Mulut Macan 11 27 dipaksa kembali menari, dan ketika dalam
tariannya ia tidak kesurupan seperti lainlainnya, kembali kakaknya menuduhnya kurang
bersungguh-sungguh. Akhirnya Yao Sin-lan
bertekad akan memuja "bidadari menari" untuk
mencapai tarian seperti teman-temannya.
Giam Lok beberapa saat agak kaget melihat
Yao Sin-lan, melihat wajahnya yang babak belur
dan dicobanya hendak ditutupi dengan
kerudung yang jadi satu dengan mantelnya.
Giam Lok adalah teman seperguruan Yao
Kang-beng, tentu saja dia juga kenal Yao Sin-lan.
"Sin-lan, kau kenapa?" tanyanya ketika gadis itu
lewat di depannya sambil memeluk patung
"bidadari menari"nya.
"Kakak Lok, kudengar kau sakit?"
"Kau lihat, aku sudah sembuh sekarang.
Maaf, Sin-lan, kenapa dengan wajahmu?"
Mata Yao Sin-lan menyorotkan rasa sedih
dan putus harapan, tapi mulutnya tidak
mengutarakan perasaan hatinya. "Tidak apaapa, Kakak Lok. Cuma terjatuh."
Mulut Macan 11 28 Gadis itu bukan pembohong ulung, maka
Giam Lok langsung tahu ia dibohongi. Diamdiam Giam Lok heran, siapa tega menyiksa gadis
secantik ini? "Mau kuantar pulang?"
Sorot mata gadis itu menjawab "mau",
namun ia tampak takut untuk mengatakan
dengan mulutnya. Dan akhirnya dia malahan
menggeleng, menolak. Giam Lok tak bisa memaksa, hanya merasa
kasihan dalam hati, la membuntuti Yao Sin-lan
dari jarak beberapa langkah.
Yao Sin-lan melangkah bergegas sambil
memeluk arca porselinnya, tetapi di suatu
persimpangan dengan lorong lain, tiba-tiba
seorang nenek-nenek bungkuk yang berjalan
dibantu tongkatnya, muncul secara Tiba-tiba,
menumbuk Yao Sin-lan. Yao Sin-lan kaget,
pegangannya atas patung porselin itu lepas, dan
hancur berkepinglah patung itu terbanting di
tanah. Bersamaan dengan remuknya boneka
porselin itu, remuk pula harapan Yao Sin-lan.
Mulut Macan 11 29 Dalam pikirannya, tanpa bantuan "bidadari
penari" ia takkan bisa menari sebaik temantemannya, berarti juga akan "berlangganan"
hajaran kakaknya. Sementara Si Nenek Bungkuk yang
sebelumnya belum pernah terlihat di Seng-tin
itu menyeringai memperlihatkan mulutnya
yang ompong, katanya, "Maafkan aku, Nona.
Apakah Nona terluka?"
Mata Yao Sin-lan menerawang kosong
membayangkan nasib buruk yang menghadangnya. Ia membungkam tak menjawab, lalu pandangannya runtuh ke arah
kepingan-kepingan boneka porselin di tanah.
Si Nenek mengikuti pundangan Yao Sin-lan,
lalu katanya dengan perasaan bersalah, "Ooo,
aku Si Tua Bangka yang tak tahu diri ini telah
memecahkan mainan Nona...."
"Memang nasibku belum saatnya membaik."
desis Yao Sin-lan amat lirih.
Cukup mengherankan, bahwa desis lirih
yang hampir tak terdengar itu tertangkap oleh
telinga Si Nenek Bungkuk yang dalam usia itu
Mulut Macan 11 30 Yao Sin-lan kaget, pegangannya ataa patung
poraelin itu lepaa, dan hancur berkeplnglah
patung itu terbanting di tanah.
Mulut Macan 11 31 umumnya sudah kurang pendengarannya.
"Nasib? Apa hubungannya boneka yang hancur
itu dengan nasib Nona? Apakah itu boneka
keberuntungan?" "Tanpa boneka itu, aku tak bisa menari
sampai memuaskan kakakku. Dan itu berarti
aku akan...." tiba-tiba Yao Sin-lan tidak
melanjutkan bicaranya, ingat pesan keras
ibunya untuk tidak menye-bar-luaskan peristiwa kakak memukul adik itu.
Sorot mata Si Nenek menyorotkan belas
kasihan yang mendalam, menyentuh hati,
katanya, "Ah, sehebat itukah akibat yang
diterima Nona akibat pecahnya boneka ini?
Kalau beli lagi, apa masih ada yang jual? Aku
masih punya sedikit uang kok."
Lalu nenek itu mengeluarkan kantong kain
lusuh yang terselip di ikat pinggangnya dan
hendak mengeluarkan beberapa keping uang
tembaga yang nilainya tidak seberapa.
Yao Sin-lan memang sedang masygul dan
kecewa atas remuknya boneka por-selin yang
baru saja dibeli itu, namun sikap Si Nenek yang
Mulut Macan 11 32 begitu memperhatikannya, bahkan
rela kehilangan uangnya yang tinggal sedikit,
menyentuh hati Yao Sin-lan, sehingga dia
memegangi telapak tangan Si Nenek yang kurus
itu, katanya, 'Tidak apa-apa, Nek, tidak apa-apa
kok. Uang Nenek disimpan saja."
"Tetapi tadi Nona bilang, pecahnva mainan
ini akan mempengaruhi nasib....
"Tidak apa-apa, tidak apa-apa. Aku bisa
mengatasinya." "Kudoakan, mulai sekarang Nona tidak akan
mengalami hal-hal buruk lagi.." kata Si Nenek


Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sambil melangkah pergi. Dari jarak belasan langkah Giam Lok
melihat semuanya itu. Giam Lok kemudian meneruskan langkahnya, ia merasa nampaknya sulit menemukan teman sepaham yang bisa dia ajak
"membebaskan Seng-tin dari pikiran tidak
sehat", namun ia tidak berputus asa.
Di suatu jalan yang agak ramai, tiba tiba ia
melihat ada sesuatu ribut-ribut di pinggir jalan.
Ketika Giam Lok mendekat, ternyata dia melihat
Mulut Macan 11 33 A-gun, teman lama Giam Lok, yang kini nampak
gagah dengan golok dipinggangnya dan ikat
kepala kuning bertuliskan "huruf-huruf suci" di
kepalanya. Tetapi Giam Lok mengerutkan alis
melihat teman lamanya itu dengan galak sedang
mencaci-maki seorang nenek tua, yang bukan
lain ada lah nenek tua yang menabrak Yao Sin
lan tadi. Sebenarnya Giam Lok heran juga, nenek ini
tadi jalannya kelihatan tertatih-tatih dan maju
ke arah lain, kok tahu-tahu Si Nenek sudah ada
di depan Giam Lok dan bahkan sudah "bikin
perkara" dengan A-gun si anggota regu ke
amanan kota itu? Padahal Giam Lok juga
melangkah cepat dan lebar.
Tetapi, lepas dari keheranannya, Giam Lok
merasa wajib melerai pertengkaran itu. Cepatcepat ia mendekat, dan berkata kepada A-gun,
"A-gun, jangan kau marahi orang tua ini. Dia
memang sudah tua, penglihatannya barangkali
sudah agak kabur, tadi kulihat sendiri dia juga
menabrak Yao Sin-lan di gang yang ke arah
Mulut Macan 11 34 rumahnya Paman Ban Ke-liong. Jadi maafkan
sajalah." A-gun berkerut alisnya, sahutnya kepada
Giam Lok, "Saudara Giam, dia bukan saja
menabrakku, bahkan berani menjamah ikat
kepala suciku. Ikat kepala ini sudah
disembahyangi dan tidak boleh dipegang orang
sembarangan." "Kalau dipegang sembarangan, apa pengaruhnya?" Jawab A-gun bangga, "Ikat kepala ini
membuat kekuatan dewa-dewa dari langit
menghuni tubuhku, sehingga aku mampu
memikul tanggung jawab suci untuk mengamankan kota ini. Kalau dijamah tangan
sembarang orang, para dewa bisa merasa najis
dan tidak mendiamiku lagi."
Giam Lok geleng-geleng kepala sambil
berkata, "A-gun, aku tidak peduli apa yang kau
percayai, tetapi maafkanlah nenek tua ini. la
bukan orang Seng-tin, dan dia belum tahu
tentang pantangan-pantangan di kota ini. Kita
Mulut Macan 11 35 orang-orang Seng-tin sudah turun-temurun
terkenal sebagai orang-orang yang ramah."
A-gun mendesah kesal, tetapi di depan
banyak warga Seng-tin yang menyaksikan
peristiwa itu, dia harus menjaga citra sebagai
"prajurit dewa", maka sahutnya, "Baiklah,
kumaafkan kali ini. Meskipun aku harus
mencuci ikat kepala ini dan menyembahyanginya lagi agar khasiatnya tidak
berkurang." Lalu A-gun melangkah pergi, sementara
Giam Lok menanyai Si Nenek. "Nenek belum
diapa-apakan olehnya kan?"
Si Nenek yang wajahnya masih ketakutan
itu cuma geleng-geleng kepala.
"Nenek bukan orang sini?"
Si Nenek geleng-geleng kepala lagi.
"Nenek tidur di mana?"
Kembali Giam Lok memperoleh gelengan
kepala. Giam Lok jadi kasihan. "Kalau Nenek mau,
Nenek boleh tinggal di tempat saya. Daripada
siang kepanasan dan malam kedinginan."
Mulut Macan 11 36 Kali ini Si Nenek mengangguk-angguk,
mimik ketakutan di wajahnya pelan-pelan
memudar. "Ayolah, Nek...." Giam Lok kemudian
menggandeng nenek itiU menuju ke bekas
rumah Ek Yam-lam yang sekarang kosong, yang
ditempati Giam Lok setelah Giam Lok diusir
ibunya. Tiba di suatu lorong yang sepi, Nenek itu
tiba-tiba berkata, "Siapa namamu, anak baik?"
"Namaku Giam Lok, Nek."
"Kau anak baik, Giam Lok, dan niat hatimu
terhadap kota ini pun baik. Tetapi ketahuilah,
kau berhadapan dengan kekuatan-kekuatan
yang bukan kekuatan alamiah, melainkan
kekuatan-kekuatan di atas alamiah. Upayaupaya baikmu yang bersifat alamiah itu takkan
memadai." Giam Lok tercengang bahwa seorang nenek
yang baru saja menggigil ketakutan di depan Agun, tiba-tiba bisa berkata demikian. Lebih
mencengangkan lagi, Si Nenek yang baru hari
Mulut Macan 11 37 ini ketemu seolah sudah tahu isi hati Giam Lok,
keprihatinan Giam Lok tentang Seng-tin.
"Nek, siapakah Nenek ini?"
"Kelak kau akan mengetahuinya, anak baik.
Aku datang kemari karena undangan seorang
sahabat." "Sahabatmu tinggal di Seng-tin?"
"Tidak. Hanya mampir di Seng-tin."
"Siapa?" "Kelak juga akan kuberitahu."
Tiba-tiba saja Giam Lok merasa bahwa
nenek ini bukan nenek-nenek "biasa" Entah
apanya yang "tidak biasa", Giam Lok belum
tahu. Tiba di rumah bekas Ek Yam-lam Giam Lok
berkata, "Ini rumah teman yang dikosongkan,
Nenek boleh tinggal disini sampai kapan pun
Nenek mau. Anggap saja rumah sendiri, Nek."
Si Nenek melihat betapa berantakannya
bagian dalam rumah itu, ia lalu geleng-geleng
kepala sambil berkata "Giam Lok, kau anak baik
tapi jorok Masa kau betah diam di rumah
seberantakan ini?" Mulut Macan 11 38 Kata-katanya itu bernada menggerutu,
namun menimbulkan rasa hangat di hati Giam
Lok, sebab nadanya seperti seorang nenek
menggerutui cucu yang disayanginya. Giam Lok
jadi merasa punya nenek lagi, yang tidak
dimiliknya sejak ia berusia sepuluh talam.
Namun Giam Lok masygul juga, teringat akan
ibu kandungnya sendiri yang justru susah
mengusirnya dari rumah. Tanpa disuruh nenek itu menyelinap ke
belakang rumah, entah hendak mengerjakan
apa. Giam Lok membiarkannya saja, supaya
nenek itu betah. "Nek, aku beli makanan dulu, ya?"
Lalu Giam Lok keluar dan rumah itu, tetapi
setelah tiba di jalan, ia bingung sendiri, sebab ia
tidak mungkin membeli, makanan di mana pun.
Soalnya di kantongnya tak ada uang
sepeserpun. Ketika ia pergi dari rumah, yang
dibawanya hanyalah pakaian yang menempel di
badannya. Mulut Macan 11 39 Selagi Giam Lok kebingungan, Si Nenek
menyusul keluar sambil berkata, "Hei, Giam
Lok, ini uang Nenek. Bawa...."
Giam Lok menggeleng. "Tidak, Nek. Nenek
membutuhkan uang itu."
"Gunanya uang untuk dibelanjakan. Terimalah." Baru kenal kurang dua jam, antara Glam Lok
dan Nenek asing itu seolah sudah terjalin
komunikasi dari hati ke hati yang kuat dan
aneh, komunikasi yang tidak terlalu membutuhkan kata-kata panjang yang berteletele. Giam Lok menerima uang itu, dan Si Nenek
berkata, "Kalau aku boleh usul, belikan saja
hadiah yang menyenangkan ibumu, agar
hubunganmu dengan ibumu pulih. Soal
makanpun, tidak ada masalah."
Giam Lok kaget, pikirnya. "Lho, dari mana
dia tahu aku ada masalah dengan lbu Aku belum
bercerita...." Dengan rasa heran, Giam Lok pergi
membawa uang itu. Usul Si Nenek untuk
membelanjakan uang itu untuk membeli kan
Mulut Macan 11 40 hadiah bagi Ibunya, terus bergema di hatinya,
tetapi tidak terasa sedikit pun adanya unsur
memaksa. Kehendak Giam Lok tetap terasa
bebas. Yao Sin-lan tiba di rumahnya dengan hati
takut. Tanpa boneka "bidadari penari" ia takkan
bisa menari dengan baik dan merasa pasti akan
dihajar kakaknya lagi... tetapi entah kenapa,
jauh di dasar hatinya tak ada rasa benci atau
menyalahkan sedikit pun kepada nenek itu.
Ketika tiba di rumahnya, Yao Sin-lan
mengeluh dalam hati melihat teman temannya,
para penari sudah siap di rumahnya, karena
memang itulah waktunya latihan menari.
Teman-temannya sudah merias diri dan
mengenakan pakaian tarlan. Yang menggentarkan Yao Sin-lan ialah kakaknya yang
duduk dengan angker dengan sepasang mata
seolah menyorotkan petir kemarahan menyongsong kedatangan adik perempuannya.
Begitu juga si Pelatih Tari, seorang perempuan
setengah baya, yang sekaligus menjadi
"penghubung" dengan dunia gaib dalam urusan
Mulut Macan 11 41 menari. Si pelatih tari itu sudah memasang
bendera bendera kecil berhuruf aneh dan di
sudut-sudut ruangan. Yao Sin-lan sudah pasrah, mau ditempelengi
lagi ya tergantung nasib sajalah Namun merasa
perlu untuk menjelaskan "Kakak, aku dari
tempat Ban Ke-liong membeli arca 'bidadari
menari' untuk kupuja agar aku dapat menari
sebagaimana keinginan Kakak, tetapi aku
ditabrak seseorang sehingga arca itu jatuh da
remuk. Aku benar-benar tak tahu lagi harus
berbuat apa." Tiba-tiba dari halaman belakang terdengar
suara orang menyapu dengan sapu lidi. Lalu
seorang nenek-nenek melangkah tertatih,
muncul di pintu ruangan menari yang
bersambungan dengan halaman samping itu.
Sebelum ada yang tanya, nenek itu langsung
berkata "Tuan Muda, akulah yang tadi
menabrak adik Tuan Muda sehingga memecahkan patung porselennya. Segala


Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hukuman patut dijatuhkan kepadaku."
Mulut Macan 11 42 Yao Sin-lan tercengang. Tadi ia sudah
berpisahan dengan nenek itu, kenapa tahu-tahu
nenek itu muncul di halaman paling dalam dari
rumahnya? Apaka nenek ini bisa terbang?
Sementara Yao Kang-beng membentak,
"Siapa kau? Belum pernah kulihat kau di sini!"
Si Nenek menjawab, "Tadi kuikuti Nona itu
diam-diam, aku kuatir dia disalahkan karena
pecahnya patung keramik itu, padahal akulah
yang menyebabkannya jatuh. Tadi aku masuk
begitu saja, karena pintunya tidak ditutup.
Tetapi aku hanya bermaksud menjelaskan, tidak
ingin mencuri barang-barang atau apa."
Sebenarnya Yao Sin-lan sudah amat
menguatirkan keselamatan nenek itu, mengingat belakangan ini kakaknya sangat
pemarah dan begitu tega. Yao Sin-lan pernah
melihat sendiri kakaknya menendang sampai
pingsan kepada seorang pengemis tua di pasar.
Jangan-jangan Si Nenek ini pun akan ditendang?
Ternyata, Yao Kang-beng cuma bilang,
"Kalau begitu ya sudahlah. Kau boleh pergi,
Nek." Mulut Macan 11 43 Si Nenek mengangguk-angguk sambil
melangkah tertatih-tatih pergi.
Menyusul keajaiban berikutnya, ketika Yao
Kang-beng berkata pula kepada adiknya, "Adik
Lan, kau sudah berusaha sekuatmu, tetapi
kejadian mi agaknya merupakan isyarat dari
langit bahwa kau tidak terpilih untuk menari
bagi para dewa. Kau boleh tidak usah ikut
menari." Inilah yang diharap-harapkan Yao sin-lan
sejak dia sering dipukuli kakaknya. Dulu,
terpilih menjadi "penari suci" adalah impiannya,
tetapi setelah mengetahui deritanya, ia ingin
keluar dari kelompok tari itu namun tidak bisa.
Tak terduga hari ini begitu mudahnya ia keluar
dari kelompok itu, hanya gara-gara patung
porselennya pecah tertabrak seorang nenek
bungkuk yang entah dari mana datangnya.
Latihan menari kemudian dilanjutkan tanpa
kehadiran Yao Sin-lan. Para penari sudah menari hampir setengah
hari sampai mandi keringat, namun tidak
seorang pun di antara mereka yang berhasil
Mulut Macan 11 44 "masuk ke dunia lain". Biasanya, dalam waktu
setengah jam saja sudah mulai ada satu dua
penari yang menari amat indah tetapi dalam
keadaan tak ingat diri. Kalau si penari sudah
usai, biasanva dia akan bercerita bahwa dia
baru saja menari di sebuah istana yang indah di
langit, dikelilingi mega, dan penontonpenontonnya adalah orang-orang berpakaian
bangsawan-bangsawan jaman kuno, tetapi
tampangnya serba istimewa. Ada yang
tangannya empat, ada yang matanya tiga, ada
yang mukanya seperti menyala, tetapi tidak
sedikit pula yang bertampang normal seperti
manusia di bumi. Kemudian kalau tarian
dilanjutkan sampai satu dua jam, maka semua
penari akan mengalami hal yang sama kecuali
Yao Sin-lan. Tetapi kali ini, sampai penaripenarinya mandi keringat tak satupun "menai
di istana langit" sampai seorang gadis pingsan
kelelehan. Latihan tari akhirnya diakhir dengan
kekecewaan besar di antara para penari
maupun pelatihnya. Mulut Macan 11 45 "Apa yang terjadi?" Si Pelatih hampir
memekik. "Tak seorang pun dari kalian
kemasukan ?penari langit??"
Para penari berpandangan dengan bingung
dan takut, takutnya takut ganda. Takut dihajar
Yao Kang-Beng, juga takut dimarahi para
"penguasa langit".
"Kami sudah bersungguh-sungguh...." kata
seorang penari dengan ketakutan. "Kami tidak
tahu apa yang tidak beres sehingga sampai
begini." Yao Kang-beng meninggalkan ruangan itu
dengan wajah gelap, tidak mengucapkan
sepatah kata pun. * ** Pada saat yang sama, Ho Tong sedang
mandi keringat di bawah matahari. Ia sedang
membelah kayu dengan kampaknya, sebanyakbanyaknya, sehabis menimba sumur dan
mengisi semua persediaan air sepenuhpenuhnya. Ia bekerja gila-gilaan seperti itu
untuk menyingkirkan rasa jemunya. Siang-siang
Mulut Macan 11 46 seperti ini, orang-orang muda lainnya sedang
berada di luar rumah dan melakukan kegiatankegiatan menarik, tetapi Ho Tong tidak berani
keluar rumah. Sebagai bekas orang gila, ia
kuatir kalau dilihat orang di jalan akan banyak
mentertawakannya dan membicarakannya,
terutama anak-anak. Karena itulah Ho Tong
tidak berani keluar rumah di siang hari. Dan itu
membuatnya kesal, yang dilampiaskannya
dengan kerja sekeras-kerasnya.
Rasa kesepiannya bertambah lagi, karena
saat itu seisi rumahnya sedang pergi semuanya.
Ibunya, kakak ipar perempuannya dan adik
perempuannya sedang pergi entah ke mana.
Ayahnya mungkin sedang nongkrong di warung
teh di ujung jalan, mengobrol dengan orang tuaorang tua seusianya, dan kakak laki-laki Ho
Tong yang bekerja sebagai buruh kasar itu pun
sedang di luar rumah, menawar-nawarkan
tenaganya. Dua keponakan Ho Tong, anak-anak
kakaknya, juga tidak kelihatan batang
hidungnya semuanya, kedua orang anak itu
Mulut Macan 11 47 pasti sedang bermain-main dengan temanteman mereka.
Ho Tong benar-benar merasa hatinya
tertekan, sebelum kayu-kayunya selesai dibelah
semua, tiba-tiba kekesalannya meledak dan
kupak pembelah kayu itu dilemparkan
sekuatnya, melayang melewati halaman
samping dan runtuh ke tanah setelah menabrak
keras dinding halaman depan.
Dan dari pintu depan pun terdengar suara,
"Aduh!" Ho Tong kaget, mengira lemparan kapuknya
itu mengenal orang. Cepat ia lari ke halaman
depan dan melihat seorang nenek bungkuk
yang belum pernah dilihatnya sudah berdiri di
halaman depan rumahnya. "Nek, kau tidak apa-apa?"
Si Nenek menggeleng. "Aku hanya kaget.
Kau yang melempar kapak itu?"
"Ya, Nek." "Hati-hati, bisa mengenai orang lho!"
"Aku memang salah, Nek. Karena aku
sedang begitu kesal."
Mulut Macan 11 48 "Apa yang membuatmu kesal, anak muda?"
"He, Nenek ini siapa sehingga menanyai aku
terus seperti itu?" "Oh, aku ini diminta oleh seorang teman
baik untuk menilik keadaan seorang sahabatnya
yang bernama... bernama Ho Tong, begitu. Eh,
anak muda, tahu rumah Ho Tong di mana?"
Ho Tong heran, siapa temannya yang
menyuruh nenek-nenek begini untuk menjumpainya. Toh dalam hatinya muncul
setitik kegembiraan, di saat kekesalannya
menumpuk tahu-tahu didatangi seorang
suruhan teman. "Nek, aku inilah Ho Tong. Siapa nama
temanku yang menyuruh Nenek menjumpaiku
itu?" "Seorang gadis, namanya Siau Hiang-bwe,
panggilannya A-kui."
Ho Tong mengerutkan alis. "Belum pernah
kukenal nama itu. Aku tidak punya teman
wanita bernama itu, bahkan di Seng-tin kurasa
juga tidak ada yang bernama demikian."
Mulut Macan 11 49 "Memang dia asalnya dari Lam-koan di tepi
Sungai Se-ho. Mungkin kau tidak kenal dia,
tetapi dia mengenalmu, pernah mengalami
nasib sama denganmu maka ketika tahu kau
sembuh dia menyuruhku untuk menemuimu."
Meski masih membingungkan, Ho Tong
merasa makin senang Juga. Kekesalan yang
selama ini seolah menggumpal menyumbat ulu
hatinya, perlahan mencair dan akhirnya
"menguap" pergi.
"Nenek ini disuruh untuk menemuiku untuk
apa?" "Untuk membawakan sebuah cerita kisah
tentang nasib gadis itu dulu."
"Yang kata Nenek tadi, senasib denganku?"
"Benar." "Senasib bagaimana? Apa yang dialaminya?"
"Pada usia yang masih muda, kira-kira umur
dua belas tahun, dia tiba-tiba saja mulai
kehilangan pikiran warasnya. Kata orang, dia
gila. Penyebabnya, karena ayahnya yang tabib
terkenal di Lam-Koan itu ingin lebih hebat lagi
ilmu pengobatannya supaya lebih terkenal, dan
Mulut Macan 11 50 ayahnya mulai mendukung praktek pengobatannya dengan ilmu gaib. Memang jadi
lebih hebat, tetapi Siau Hiang-bwe jadi korban.
Hampir delapan tahun dia tak ingat dirinya, tak
ingat siapa-siapa, bahkan sering bertelanjang di
jalanan." Ceritanya baru sampai di situ, Ho Tong
sudah merasa bahwa penderitaan Siau Hiangbwe jauh lebih berat dari dirinya. Pertama, Siau
Hiang-bwe adalah seorang gadis, perasaannya
lebih halus dari lelaki seperti Ho Tong. Entah
bagaimana perasaannya waktu dia sembuh dan
menyadari apa yang sudah dialaminya selama
delapan tahun? Kedua, Ho Tong menjadi gila
karena penyebab yang bagaimanapun patut
dibanggakan, yaitu berkorban dalam perjuangan membebaskan Seng-tin dari
cengkeraman Beng hek-hou. Sedangkan
penyebab penderitaan Siau Hiang-bwe benarbenar memalukan dan menimbulkan rasa iba,
yaitu dikorbankan oleh ayahnya sendiri,
dijadikan tumbal, untuk menambah kejayaan
Sang Ayah. Ketiga, Ho Tong menderita
Mulut Macan 11 51 kegilaannya hanya dalam beberapa bulan,
sedangkan Siau Hiang-bwe sampai delapan
tahun. Tak terasa Ho Tong menundukkan tepala
dan menegur diri sendiri dalam hati. "Alangkah
cengengnya aku. Baru mengalami sedikit
kesepian saja aku sudah begitu kesal, sampai
melempar kapak dan hampir mencelakai orang,
padahal penderitaanku belum seberapa
dibandingkan Siau Hiang-bwe."
"Lalu bagaimana, Nek?"
"Lebih kurang setahun yang lalu, Siau
Hiang-bwe sembuh karena belas kasihan Yang
Maha Kuasa, dan karena ada seorang yang rela
dirinya menjadi saluran belas kasihan surgawi
itu." "Syukur...." lega sekali Ho Tong mendengar
itu, padahal yang namanya Siau Hiang-bwe itu
bagaimana tampangnya pun Ho Tong belum
tahu. Si Nenek melanjutkan ceritanya. "Siau


Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hiang-bwe jadi gadis yang waras kembali, tetapi
dia tidak murung dan tidak malu tentang masa
Mulut Macan 11 52 lalunya, bahkan dia memanfaatkan itu untuk
membangkitkan semangat bagi orang-orang
yang pernah senasib dengannya. Hal itu tidak
perlu menjadikan mereka malu."
Sekarang Ho Tong mengerti maksud
kunjungan nenek itu, tak lain agar Ho Tong
bersemangat kembali. Kata Ho Tong, "Nek,
terima kasihku untuk Nona Siau. Tetapi dari
mana dia mengenal aku? Dia di Lam-koan dan
aku di Seng-tin.?" "Siau Hiang-bwe melakukan perjalanan dan
melewati Seng-tin ini, dia melihat keadaanmu
ketika masih buruk. Dialah saluran Yang Maha
Kuasa bagi kesembuhanmu."
Nenek itu menyodorkan kenyataan begitu
saja, tanpa sedikit pun disertai bukti-bukti,
namun kata-katanya serasa menyentuh bagian
terdalam dari hati Ho Tong. Langsung ia
mempercayainya begitu saja, dan menjadi
terharu. "Kalau demikian, aku berhutang budi
kepada Nona Siau. Inilah jawaban yang
kuharapkan selama ini, menjawab keherananku
Mulut Macan 11 53 akan kesembuhanku. Di mana Nona Siau
sekarang?" "Saat ini dia belum dapat dijumpai, tetapi
ada saatnya dia akan menjumpaimu."
"Kenapa dia?" Si Nenek sudah hendak beranjak hendak
pergi, katanya, "Pokoknya, saat ini belum bisa.
Nona Siau pasti akan senang kalau mengetahui
bahwa kau tidak patah semangat, tidak
menyesali yang sudah terjadi."
"Kalau Nenek bertemu dengannya, katakan
bahwa pesannya membuat aku bersemangat
kembali. Sekali lagi, ucapan terima kasihku
untuknya." "Baik, sekarang aku pergi dulu." Si Nenek
melangkah keluar pintu halaman.
Tiba-tiba Ho Tong teringat bahwa ia belum
menanyakan nama dan alamat Si Nenek, cepatcepat ia menyusul ke luar pintu. Selisihnya
dengan Si Nenek hanya tiga empat detik, namun
ketika ia tiba di luar maka yang dilihatnya
adalah lorong di depan rumahnya yang sepi saMulut Macan 11 54 "Baik, sekarang aku pergi dulu." Si Nenek
melangkah keluar pintu halaman.
Mulut Macan 11 55 mpai ke ujung-ujungnya, tidak ada seorang pun.
Si Nenek tak kelihatan bayangannya lagi.
"Apakah Nenek tadi seorang pendekar sakti
seperti yang pernah diceritakan almarhum guru
dulu?" Ho Tong bertanya-tanya dalam hati.
"Atau... mahluk gaib yang bukan sejenis
manusia?" Tiba-tiba salah satu pintu di lorong itu
terbuka, muncullah tetangga Ho Tong
menggandeng seorang anak kecil dan
menggandeng anak lainnya yang lebih besar, Ho
Tong ingin menghindari pertemuan dengan
tetangganya itu, masih minder sebagai bekas
orang gila, tetapi tidak sempat lagi, sebab
perempuan tetangga itu sudah berkata, "Eh, Atong."
Ho Tong mau tidak mau membalas sapaan
itu. "Kakak Hong...."
Perempuan tetangga itu berkata di luar
dugaan Ho Tong, "A-tong, aku harus pergi ke
pasar dan nanti pulangnya akan membawa
banyak barang belanjaan, aku repot sekali kalau
Mulut Macan 11 56 kedua anakku ikut semua. Maukah kau kutitipi
A-im, anakku yang besar ini?"
Ho Tong tercengang, tidakkah tetangganya
ini sadar bahwa dia menitipkan anaknya kepada
seorang yang baru sembuh dari gilanya?
Tidakkah ibunya kuatir Si Anak akan dicekik
atau dicemplungkan ke sumur? Karena
keheranannya itu, Ho Tong tidak menjawab
beberapa saat lamanya. Si perempuan tetangga salah paham, lalu
berkata, "Ah, maaf, agaknya akan merepotkanmu, A-tong. Baiklah, tidak apa-apa."
Ketika itulah di kuping Ho Tong seakan ada
yang berbisik, suaranya suara Si Nenek tadi,
padahal di sekitar Ho Tong tidak ada siapasiapa, "Anak muda, inilah kesempatan untuk
menunjukkan bahwa kau sudah sembuh dan
tidak berbahaya lagi. Ibu itu mempercayakan
anaknya kepadamu karena menganggapmu
sudah sembuh." Ho Tong menuruti bisikan itu, lalu berkata,
"Kakak Hong, aku mau menemani A-im...."
Mulut Macan 11 57 Dulu sebelum Ho Tong menjadi gila, A-im
anak perempuan kecil berumur lima tahun itu
memang akrab dengan Ho Tong dan sering
dibuatkan mainan-mainan oleh Ho Tong. Kini,
begitu mendengar Ho Tong mau bermain
dengannya, A-im langsung gembira dan berlari
menghambur ke arah Ho Tong.
Ibunya tersenyum, lalu berangkat ke pasar.
Sebenarnya dalam hati Si Ibu heran juga kepada
diri sendiri, kok berani-beraninya memasrahkan anaknya kepada bekas orang
gila? Tetapi ada bisikan lembut yang
meyakinkannya bahwa anaknya akan tidak apaapa bersama Ho Tong.
*** Giam Lok sedang melangkah dengan uang Si
Nenek di kantongnya. Si Nenek berpesan agar
Giam Lok membelanjakan uang itu untuk
dibelikan oleh-oleh buat ibunya, untuk
memperbaiki hubungan dengan ibunya. Namun
Mulut Macan 11 58 di tengah jalan, ia menjumpai suatu peristiwa
yang mengubah keputusannya.
Ketika ia melewati suatu rumah, ia
mendengar suara orang perempuan sedang
bertengkar sengit. "Buat apa aku mengutukmu?" lengking
seorang perempuan dengan sengit. "Kau ini dan
seluruh keluargamu, biarpun tidak kukutuk
memang sudah sial dan terkutuk tiga puluh
enam keturunan! Sekarang kau cari gara-gara
kemari, cari kambing hitam yang bisa kau
persalahkan untuk nasib keluargamu!"
Sebagai orang Seng-tin, Giam Lok kenai
rumah itu kepunyaan seorang tukang kayu, dan
yang sedang melengking tinggi tadi adalah
isterinya. Kemudian terdengar suara perempuan lain
tak kalah emosinya. "Ini buktinya! Burung inilah
bukti bahwa kau berniat jahat kepadaku! Pantas
dalam beberapa hari aku dan anak-anakku
merasa tidak enak dalam rumah, sering pusingpusing, rupanya kau si perempuan dengki ini
berusaha mendatangkan bencana ke rumahku!
Mulut Macan 11 59 Ini buktinya! Untung Nona A-kun diutus langit
untuk memberitahu kami!"
Dulu warga Seng-tin hidup rukun, Giam Lok
heran bahwa sekarang orang Seng-tin mudah
marah. Ia kenal suara perempuan kedua yang
menuduh itu adalah suara Bibi Joan, seorang
pembuat kue-kue, seorang janda yang punya
anak gadis bernama A-kiam dan anak gadisnya
itu bernasib malang karena diperkosa oleh
gerombolan Beng Hek-hou. Kebetulan A-kiam
adalah pacar Lui Kong-sim, namun Giam Lok
tidak tahu bagaimana kelanjutan hubungan
mereka setelah pemerkosaan itu.
Giam Lok melangkah mendekat, kalau bisa
ingin merukunkan kembali kedua orang itu.
Begitu tiba di halaman itu, ia melihat Bibi Joan
dan Si Nyonya Rumah sedang berhadapan
dengan marah dan saling mendamprat.
Sebentar-sebentar Bibi Joan menuding kepada
sesuatu di tanah, yang dikatakannya sebagai
"benda yang mendatangkan kutukan atas
keluargaku" sambil menuduh Si Nyonya
Mulut Macan 11 60 Rumahlah yang menguburnya di-halaman
rumah Bibi Joan. Ketika Giam Lok memperhatikan "benda
pembawa kutukan" itu ternyata adalah seekor
bangkai burung yang sudah setengah busuk,
sudah banyak semutnya. Burung itu berbulu
hitam, dan pada lehernya diikat seutas benang
merah. Kalau dilihat banyak tanah yang melekat
di tubuh burung itu, agaknya burung itu sudah
dikubur beberapa hari dalam tanah, lalu
dikeluarkan lagi dari tanah.
Kata Giam Lok, "Maukah kalian mendengarku?" Kedua orang perempuan itu masih samasama panas hatinya, tetapi mereka memberi
perhatian juga kepada Giam Lok.
Kata Giam Lok, "Bibi berdua, kalian tidak
perlu bertengkar untuk memperdebatkan
sesuatu yang tidak bisa dibuktikan dengan akal
sehat. Apa itu kutukan? Tidak ada. Yang penting
adalah semangat kita sendiri. Misalnya aku, aku
baru saja sakit berat, orang-orang bilang aku
kena kutukan, namun aku tak peduli. Aku
Mulut Macan 11 61 menjaga agar harapanku tidak padam,
semangatku juga tetap menyala, maka sekarang
pun aku sembuh." Kedua perempuan itu baru saja bertengkar,
namun begitu mendengar pendapat Giam Lok
itu, aneh, keduanya serempak bersatu
menentang Giam Lok. Kata Bibi Kim si nyonya rumah, "A-lok, kau
sembuh bukan oleh semangatmu sendiri,
melainkan karena orang yang menyebarkan
kutukan atasmu sudah ditangkap dan dikurung,
maka kutukannya lenyap dan kau sembuh.
Jangan kau coba-coba mengingkari pertolongan
dari kekuatan suci yang menjaga kota ini."
Sambung Bibi Joan, "Kukenal ibumu sebagai
orang yang sangat beribadah, A-lok, jangan kau
menyimpang dari cara hidupnya. Agar selamat."
Giam Lok tercengang, ia tak menyangka
kalau kedua perempuan itu "berdamai" begitu
cepat. Tetapi bukan "perdamaian" seperti itu
yang dikehendaki Giam "Lok. Keinginan Giam
Lok ialah agar semua orang Seng-tin kembali ke
Mulut Macan 11 62 akal sehat mereka dan membuang segala
kepercayaannya tentang dunia gaib.
"Bibi berdua, kepercayaan tentang kekuatan-kekuatan gaib itu tidak sehat, tidak
benar, bohong...." "Siapa bilang?" di pintu halaman terdengar
suara orang menyahut. Ketika semua menoleh, nampaklah Lui
Kong-sim dan beberapa temannya sudah berdiri
di ambang pintu, kemudian tanpa dipersilakan
sudah melangkah memasuki halaman.
Belakangan ini Lui Kong-sim semakin
berpengaruh di Seng-tin, melebihi Pang Se-bun,
sejak ia memprakarsai penangkapan dan
penghukuman "perempuan pembawa kutuk"
Siau Hiang-bwe. Kaki tangan Lui Kong-sim
bahkan menyebarluaskan pendapat bahwa Lui
Kong-sim adalah penyelamat Seng-tin "nomor


Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dua" di bawah Wong Lu-siok. Dan banyak orang
Seng-tin menerima pendapat yang disebarluaskan kaki tangan Lui Kong-sim itu.
Sambil menatap Giam Lok, ia berkata,
"Saudara Giam, kau mengingkari kenyataan.
Mulut Macan 11 63 Ingat ketika kita berempat bersama Saudara Ek
Yam-lam dan Yao Kang-beng berada di suatu
bukit di tengah padang ilalang karena melarikan
diri dari Beng Hek-hou? Ternyata meski sudah
jauh dari Seng-tin, kita tetap terkejar oleh sihir
Beng Hek-hou. Kita didera kesakitan hebat
sehingga kita berempat menggeloser-geloser di
tanah seperti empat ekor cacing tanpa daya.
Lalu masih ingatkah kau apa yang terjadi?"
Giam Lok membungkam. Tentu saja ia ingat,
tetapi mulutnya berat untuk mengucapkannya.
Lui Kong-sim mentertawakan sikap Giam
Lok itu. "Ayo jawab, Saudara Giam. Atau kau
enggan mengakui kenyataan yang tidak sesuai
dengan seleramu? Biarpun tidak sesuai
seleramu, tetapi itu tetap kenyataan."
Demikianlah, di halaman rumah Bibi Kim itu
tadinya Giam Lok datang untuk melerai
pertengkaran, tak terduga malah sekarang Giam
Lok terjebak sendiri ke dalam pertengkaran
dengan Lui Kong-sim. Bersambung jilid XII Mulut Macan 11 64 Sumber Image : Koh Awie Dermawan
first share in Kolektor E-book
Pringsewu 29/08/2018 16 : 22 PM
Mulut Macan 11 65 Mulut Macan 12 1 JILID XII * Karya : STEVANUS S.P. pelukis : WIDODO Percetakan & Penerbit
CV "G E M A" Mertokusuman 761 RT 02 RW VII
Telp 35801 - SOLO 57122 Mulut Macan 12 2 Mulut Macan 12 1 Dari Mulut Macan ke Mulut Buaya
Karya : STEFANUS S.P. Jilid XII M ELIHAT Giam Lok tetap bungkam, Lui
Kong-sim merasa di atas angin dan
menyudutkan Giam Lok. "Kau tidak mau
mengakui, akulah yang akan mengatakannya.
Saat itulah Guru Wong datang menolong kita,
mengusir kekuatan gaib jahat yang dikirim
Beng Hek-hou. Lalu Guru Wong mengusir Beng
Hek-hou dari Seng-tin setelah melalui suatu
pertandingan ilmu gaib. Kau juga melihatnya
sendiri, Saudara Giam. Nah, masihkah kau
berani ingkar akan adanya kekuatan suci yang
telah membebaskan kota ini?"
Giam Lok terbungkam. Dalam hatinya
secara jujur dia mengakui bahwa sebenarnya ia
bukan menyangkal adanya kekuatan-kekuatan
gaib, melainkan tidak senang melihat orangMulut Macan 12
2 orang yang sedang "dipakai" oleh kekuatankekuatan gaib itu bertingkah laku tak sadar
akan dirinya sendiri. Itu yang tidak disenangi
Giam Lok. "Kau benar, Saudara Lui," aku Giam Lok
terus terang. "Aku hanya tidak suka melihat
orang-orang berkelakuan tidak dari tabiatnya
sendiri ketika dimasuki kekuatan-kekuatan itu.
Aku tidak suka." Lui Kong-sim menudingkan telunjuknya
dengan gusar. "Jaga mulutmu, Giam Lok. Kau
ingin dikutuk lagi?"
"Aku tidak gentar kutukan-kutukan itu,
sebab aku sudah berhasil mengatasi sakitku
dengan semangatku dan kekuatan jiwaku
sendiri!" "Semangat yang hebat. Tetapi dengan
semangatmu sendiri, bisakah kau menginjak api
dan tajam golok tanpa cidera? Bisakah kulitmu
kebal senjata?" Hati Giam Lok panas oleh tantangan itu,
namun ia tak mau menjawabnya, la mendengar
bahwa sekarang Seng-tin punya penjagaMulut Macan 12
3 penjaga keamanan yang kebal senjata, kebal api
dan sebagainya. Karena diajari Wong Lu-siok.
"Kenapa bungkam, Saudara Giam?" ejek Lui
Kong-sim. "Aku percaya, kalau kita berlatih sungguhsungguh, tanpa kekuatan-kekuatan gaib itu pun
kita bisa hebat. Seng-tin tetap bisa memiliki
penjaga-penjaga keamanan yang hebat."
"Sehebat apa, Saudara Giam? Misalnya,
sehebat kau?" "Saudara Lui, kepercayaan tentang kekuatan-kekuatan gaib itu membuat warga
kota yang kita cintai ini jadi berkelakuan anehaneh, tidak seperti dulu lagi. Contohnya di
depan mata. Bibi Kim dan Bibi Joan bertengkar
hanya soal bangkai burung hitam, yang
dianggap membawa bencana oleh Bibi Joan
sambil merasa yakin bahwa Bibi Kim-lah yang
menanamnya di dalam rumahnya. Tidakkah ini
ganjil?" Bibi Joan menjawab sambil menuding Bibi
Kim. "Memang dia yang menaruhnya, dikubur di
halaman rumahku. Untung Nona A-kun
Mulut Macan 12 4 dipimpin bisikan gaib memberi tahu bahwa di
halaman rumahku ada yang tidak beres. Kugali,
dan ternyata kutemukan bangkai burung itu,
pasti sudah dua atau tiga hari di situ."
"Bukan aku!" bantah Bibi Kim yang
ketakutan dihukum oleh Lui Kong-sim yang
amat berkuasa belakangan ini.
"Pasti dia! Sebab dia dulu pinjam beras, lalu
beberapa hari yang lalu ku-desak untuk
melunasinya tetapi dia enggan, bahkan purapura lupa! Sebagai balasan dari kebaikanku
meminjami dia beras dulu, dia malah
menggunakan ilmu hitam untuk mencelakakan
keluargaku! Untung mahluk-mahluk suci di
langit melindungiku dengan petunjuk lewat
Nona A-kun!" "Bohong, aku pun menganut ajaran suci dan
tidak sudi berurusan dengan ilmu hitam. Dia
ingin memfitnah!" Kedua perempuan yang tadi bungkam
sebentar, sekarang kembali saling mencacimaki dengan sengit.
Mulut Macan 12 5 Lui Kong-sim melihat bangkai burung hitam
itu sambil merasa lega dalam hati bahwa kedua
perempuan itu tidak tahu Lui Kong-simlah yang
mengubur bangkai burung itu di halaman
rumah Bibi Joan, secara diam-diam, tiga malam
yang lalu. Tujuan Lui Kong-sim ialah ingin membunuh
A-kiam sejak A-kiam diperkosa gerombolan,
padahal Bibi Joan terus-terusan mendesakdesak Lui Kong-sim agar hubungannya dengan
puteri Bibi Joan itu segera diresmikan. Jemu
menghadapi desakan Bibi Joan, Lui Kong-sim
memakai cara guna-guna yang diberitahukan
oleh seorang kawannya yang sedang kesurupan
waktu itu. Meski Lui Kong-sim merasa agak
Still Sekuel Cewek 2 Putri Bong Mini 08 Runtuhnya Kerajaan Manchuria Bekisar Merah 3

Cari Blog Ini