Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Karya Stefanus Sp Bagian 9
Siau Hiang-bwe tidak menipu diri sendiri,
bahwa ia merasa agak gentar juga, karena baru
kali inilah ia mengalami berhadapan dengan
musuh-musuh sejati umat manusia ini.
Mulut Macan 15 44 Biasanya, apabila sedang mempraktekkan
ajaran Liu Yok, ia tidak melihat musuhmusuhnya langsung, ia hanya mengucapkan
dengan keyakinan "jadilah seperti yang
kukatakan" lalu melihat hasilnya.
Tetapi tiba-tiba terasa keberanian seorang
pemenang menyelubungi dirinya. Ia merasa
seolah-olah dirinya tumbuh lebih tinggi dan
besar, menjadi raksasa, dan si mahluk aneh
dengan tunggangan anehnya makin kecil, la
memegang tangan Wong Lu-siok lalu berkata,
"Paman Wong, lihat. Mahluk menjemukan ini
kutetapkan untuk dibakar habis, dan jadilah
demikian." Wajah mahluk dan tunggangannya nampak
gusar, mereka rupanya mendengar kata-kata
Siau Hiang-bwe. Namun saat itulah, entah dari
mana datangnya, bermunculan sejenis perajurit-perajurit lain yang bukan saja
cemerlang pakaian-nya tetapi tubuh dan kulit
mereka pun cemerlang. Prajurit-prajuri
cemerlang ini membawa semacam cawancawan besar berisi gumpalan api yang
Mulut Macan 15 45 dituangkan ke arah si mahluk aneh dan hewan
tunggangannya. Si mahluk aneh menggerakgerakkan sepasang lengannya seperti ingin
menghalau api, tetapi apinya terlalu deras. Ia
memutar hewan tunggangannya untuk masuk
kembali ke dalam bumi, namun prajurit-prajurit
cemerlang terus mengejarnya.
Adegan itu ditonton dengan rasa gentar oleh
mahluk-mahluk aneh lainnya yang hanya
menonton saja tanpa menolong. Tetapi orangorang Seng-tin yang ada di jalan itu hilir-mudik
dengan sikap biasa, karena mereka memang
tidak mendengar, tidak melihat, tidak
merasakan apa-apa. Wong Lu-siok dengan tercengang-cengang
memperhatikan kejadian tadi Mahluk yang
keluar dari bumi tadi di kenal oleh Wong Lusiok melalui ajaran gurunya, sebagai mahluk
yang kuat. Tetapi begitu saja diusir pergi oleh
Sian Hiang-bwe si gadis ingusan ini.
Ketika Siau Hiang-bwe mengajak melangkah
lagi, maka banyak mahluk-mahluk gaib
menyingkir menjauhi jalan kedua orang itu.
Mulut Macan 15 46 Kemudian, makin mereka melangkah jauh,
mereka menjumpai jenis mahluk yang
nampaknya berada di alam kasar, namun dapat
melihat ke dalam alam gaib. Ini berbeda dengan
mahluk jahat yang tak terlihat dari alam kasar,
atau penghuni Seng-tin yang hanya melihat
yang di alam kasar. Ketika Wong Lu-siok dan Siau Hiang-bwe
lewat ke rumah bekas kediaman Ek Yam-lam di
pinggiran kota, tiba-tiba timbul niat iseng Siau
Hiang-bwe. Katanya sambil tertawa, "Eh, Paman
Wong, waktu kita sedang dalam tubuh halus
begini, bisa menembus tembok apa tidak, ya?"
Wong Lu-siok yang selama ini masih tegang
gara-gara pertemuannya dengan mahluk, kini
mau tak mau tertawa mendengar niat kekanakkanakan itu. Namun ia tertarik. juga. "Kenapa
tidak kita coba? Aku juga belum pernah lho!"
"Paman belasan tahun menjadi pakar ilmu
gaib tetapi belum pernah mengalami ini?"
"Guru... eh, bekas guruku, yang punya
ilmunya. Aku tidak. Aku cuma diajari, mantra
begini hasilnya begitu, mantra begitu hasilnya
Mulut Macan 15 47 begini, dan diajari tokoh-tokoh gaib yang harus
dihubungi kalau ada keperluan tertentu."
"Mari kita coba...." dengan kegirangan
seperti anak-anak mendapat mainan baru, Siau
Hiang-bwe melangkah menerjang pagar tanah
liat di halaman rumah bekas kediaman Ek Yamlam itu. Dan kegirangannya bertambah-tambah
ketika ternyata ia bisa melewatinya begitu saja.
"He, aku bisa! Paman Wong, cobalah!"
Sudah belasan tahun Wong Lu-siok tidak
menikmati keceriaan macam ini, biarpun
kekanak-kanakan. Bahkan, semenjak ia mengabdi kepada kekuatan-kekuatan gaib, ia
memang dari luar dihormati orang, tetapi dalam
hati sering mengalami siksaan batin luar biasa.
Kini ber sama Siau Hiang-bwe, ia merasa
kegembiraannya pulih, dan ia malahan
melawak. Sengaja ia menunduk dan menyeruduk tembok pagar itu dengan
kepalanya, seolah mau memecahkan kepalanya
sendiri. Tetapi tentu saja tubuhnya nyeplos
menembus tembok itu dengan mulus.
Mulut Macan 15 48 Siau Hiang-bwe tertawa terpingkal-pingkal
melihatnya. Mereka berjalan-jalan melihat di rumah
kosong itu, cuma kemudian mereka tahu rumah
itu tidak kosong karena mendengar ada suara
orang berbicara di bagian belakang rumah.
Wong Lu-siok dan Siau Hiang-bwe lalu menuju
ke asal suara-suara itu. Mereka tidak perlu
merunduk-runduk atau bersembunyi-sembunyi, sebab merasa yakin tak terlihat.
Di bagian belakang, nampak Giam Lok
dengan wajah gusar sedang marah-marah
kepada beberapa teman-temannya. Yang agak
aneh ialah di tengkuk Giam Lok menempel
seekor hewan mirip cumi-cumi namun agak
besar, berkulit hitam licin, dan belalaibelalainya membelit kepala Giam Lok tetapi
Giam Lok seolah-olah tidak merasakannya, ia
bicara dan bertingkah laku seolah-olah tidak
ada apa-apa. Hewan yang menempel di belakang kepala
Ho Tong itu punya sepasang mata yang besar,
dan matanya bersorot ketakutan ketika melihat
Mulut Macan 15 49 kedatangan Siau Hiang-bwe dan Wong Lu-siok.
Karena merasa bisa dilihat oleh mahluk itu,
maka Siau Hiang-bwe berdua pun sadar bahwa
mahluk itu adalah mahluk di alam gaib, bukan
di alam kasar. Pantas Giam Lok tidak
merasakannya. Bahkan kemudian dari arah mahluk aneh itu
seolah-olah ada bisikan yang bisa didengar oleh
Siau Hiang-bwe, "Kau tidak dapat menyuruhku
pergi. Giam Lok menyukai aku dan setuju
dengan pikiran-pikiranku, itulah landasan
hakku yang syah. Kau tidak dapat menyuruhku
pergi karena aku punya landasan syah."
Agaknya Wong Lu-siok juga mendengar
bisikan mahluk itu, dan Wong Lu-siok bertanya
kepada Siau Hiang-bwe, "Bagaimana ini?
Kasihan Giam Lok. Kita paksa mahluk ini pergi
dari Giam Lok." Setelah melihat kemenangan atas mahluk
yang keluar dari bumi dengar menunggang
mahluk setengah buaya setengah naga tadi,
Wong Lu-siok jadi berbesar hati, dan kali ini
mengusulkan kepada Siau Hiang-bwe agar
Mulut Macan 15 50 secara paksa menyingkirkan mahluk yang
menempel di tengkuk Giam Lok itu.
Namun dengan heran Wong Lu-siok melihat
Siau Hiang-bwe bersikap tak berdaya
menghadapi mahluk kecil ini, jawabnya kepada
Wong Lu-siok, "Mahluk itu mengatakan yang
benar, Paman. Dia memang punya landasan
syah untuk berada di situ karena Giam Lok
sendiri menyukainya. Maksudku, menyukai
pikiran-pikiran yang dibisikkan si mahluk.
Kedaulatan Giam Lok dalam menetapkan
pilihannya adalah penghalang yang tak bisa kita
terjang begitu saja. Dan mahluk aneh itu dengan
cerdik berlindung di balik kemauan Giam Lok
sendiri." Wong Lu-siok menarik napas. "O, jadi
begitu? Kita tak dapat menolong orang, kalau
orangnya sendiri memilih untuk tidak
tertolong?" "Ya." "Jadi Giam Lok harus mengerti apa yang
dialaminya, mempercayainya, menyatakan
bersedia ditolong, baru dia bisa ditolong?"
Mulut Macan 15 51 "Ya." Wong Lu-siok makin paham. Ternyata,
dalam ajaran yang dianut Siau Hiang-bwe, yang
kini juga dianut Wong Lu-siok, kebebasan
memilih yang dimiliki manusia adalah sesuatu
yang sangat dihargai, sangat dijunjung tinggi.
Bahkan, untuk berbuat baik kepada orang lain
pun kalau yang hendak ditolong tidak bersedia,
tak boleh ada pemaksaan. Alangkah berbeda
dengan ketika mengabdi mahluk-mahluk gaib
dari "kerajaan langit" dulu, betapa pikirannya,
kehendaknya dan perasaannya diabaikan sama
sekali. Mahluk-mahluk asing tak bertubuh dari
dunia lain "menduduki" tubuh dan jiwanya
seperti sebuah pasukan asing menjajah suatu
wilayah, langsung memerintah dan tak ingin
dibantah. Tubuh dan jiwa Wong Lu-siok sudah
tidak digubris lagi kehendaknya, bahkan kalau
"panglima kembar" sedang "memakai" tubuh
Wong Lu-siok seperti ketika melawan Giam Lok
dan Ho Tong, maka kenormalan gerak sendisendi tulang Wong Lu-siok pun diperkosa habishabisan.
Mulut Macan 15 52 "Aku bersalah karena dua malam yang lalu
ditunggangi mahluk-mahluk gaib dan hampir
mencelakakan Giam Lok serta Ho Tong, di
rumah bekas kediaman guru silat Ciu Koan...."
desis Wong Lu-siok. "Aku bertanggung jawab
untuk menolongnya, juga menolong seluruh
rakyat Seng-tin karena- akulah yang membuat
mereka tertipu oleh mahluk-mahluk gaib
melalui aku...." "Mudah-mudahan mereka mau ditolong,
berkehendak untuk ditolong." sahut Siau Hiangbwe.
"Mari kita dengarkan kata-kata Giam Lok."
Giam Lok sedang berbicara kepada
beberapa orang lelaki muda teman-temannya
yang sepaham dengannya tentang "menjunjung
tinggi semangat manusia tanpa peduli kepada
yang gaib-gaib", ia bicara berapi-api, berusaha
mempengaruhi teman-temannya. Tentu saja
mereka tidak melihat kehadiran Siau Hiang-bwe
dan Wong Lu-siok biarpun kedua orang itu
berdiri ditempat terbuka di dekat mereka.
Mulut Macan 15 53 Mendengar "pidato" Giam Lok itu, Wong Lusiok geleng-geleng kepala dengan sedih sambil
berkata kepada Siau Hiang-bwe, "Menyedihkan.
Giam Lok menganjurkan orang agar tidak
mempercayai hal-hal gaib dan memakai
otaknya saja, tetapi dia sendiri sedang dikuasai
mahluk aneh itu." "Tanpa sadar," Siau Hiang-bwe menambahkan. "Itulah kelicikan mahlukmahluk jahat itu. Mereka hanya ingin manusiamanusia bertentangan dan bermusuhan, tidak
peduli mahluk-mahluk gaib itu di pihak mana.
Tak berbeda ketika Paman Wong bermusuhan
dengan Beng Hek-hou, orang kira itulah
permusuhan antara 'kekuatan dewa-dewa'
dengan 'kekuatan para siluman' padahal tidak.
Mahluk-mahluk gaib sebenarnya sedang
mengadu-domba manusia-manusia agar hancur." Sementara itu, pidato Giam Lok makin
Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"panas" dan mulai mencaci-maki Lui Kong-sim
dan orang-orang yang sepaham dengan Lui
Kong-sim. Lalu caci-makinya merembet kepada
Mulut Macan 15 54 Ho Tong yang dicaci "sudah mulai percaya
tahyul" dengan makin akrab dengan "pakar
tahyul" Liu Yok. Setelah itu Liu Yok sendiri pun
dicaci-maki dengan hebat, bahkan ada
kebencian yang hendak ditularkan Giam Lok
kepada pengikut-pengikutnya. Kebencian yang
luar biasa terhadap Liu Yok.
Siau Htang-bwe berkata kepada Wong Lusiok, "Sebuah pelajaran dapat diambil dari sini.
Mahluk-mahluk gaib yang jahat pun dapat
bekerja di antara orang-orang yang tidak
mempercayai hal-hal gaib, orang-orang yang
menganggap dirinya terpelajar dan percaya
penuh kepada otaknya. Dangan dikira mahlukmahluk gaib jahat itu hanya menggarap
kalangan ahli sihir atau orang-orang yang
berminat kepada ilmu gaib saja. Tujuan setansetan itu hanyalah ingin menjauhkan manusia
dari yang sesungguhnya patut diketahui."
Ketika Giam Lok tengah berapi-api
menyuntikkan pendapatnya kepada pengikutpengikutnya, seorang nenek melangkah
tertatih-tatih dari arah dapur. Wajahnya
Mulut Macan 15 55 nampak sedih, dan ia langsung berkata kepada
Giam Lok, "Masih belum sadarkah kau, bahwa
kau pun di tungganggi dan diperalat untuk
memperparah keadaan di Seng-tin, bukan
memperbaik; seperti anggapanmu?"
Giam Lok nampak sungkan kepada nenek
ini, tetapi juga nampak tidak senang dengan
campur tangan nenek ini. "Nek, kemarin kalau aku dan temantemanku tidak bertindak, hampir saja seorang
warga tak bersalah dan terhormat seperti
Kakak Pang menjadi korban ke-sewenangwenangan Yao Kang-beng dan teman-temannya
yang disuruh oleh Lui Kong-sim. Mana bisa
segalanya diselesaikan menurut cara yang
nenek anjurkan, yaitu saling memaafkan?"
Si Nenek tidak membantah lagi, namun
menatap gusar. Bagi teman-teman Giam Lok,
kelihatannya Si Nenek menatap gusar kepada
Giam Lok, namun bagi Wong Lu-siok dan Siau
Hiang-bwe, nampaknya Si Nenek menatap gusar
ke arah mahluk mirip cumi-cumi yang
menempel di tengkuk Giam Lok itu, mahluk
Mulut Macan 15 56 yang tak terlihat oleh teman-teman Giam Lok,
bahkan tak terasakan sedikit pun oleh Giam
Lok. Namun Si Nenek agaknya bisa melihatnya,
dan ini mengherankan Wong Lu-siok, katanya
kepada Siau Hiang-bke, "Eh, A-kui, nenek itu
sedang berada di alam kasar karena bisa
bercakap-cakap dengan Giam Lok, tetapi
agaknya dia juga bisa melihat ke dalam alam
halus.... eh, agaknya ia juga bisa melihat kita...."
Si Nenek melangkah mendekati Siau Hiangbwe berdua, setelah dekat lalu berkata, "Kenapa
kalian di sini? Tidak ada pekerjaan?"
Wong Lu-siok heran dan bertanya, "Kau
melihat kami?" Si Nenek menjawab, "Tentu saja."
Bagi Giam Lok dan teman-temannya, Si
Nenek hanya disangka sedang menggerutu
sendirian dan bicara kepada udara kosong.
Ketika nenek itu melangkah masuk ke
dalam rumah, Siau Hiang-bwe berdua
mengikutinya. Tanya Siau Hiang-bwe, "Nek, ada
sesuatu di kota ini yang harus kami lakukan?"
Mulut Macan 15 57 Sahut Si Nenek, "Lho, kok malah kau tanya
itu kepadaku? Harusnya kan aku yang tanya
kepadamu, apa yang bisa kulakukan? Bukankah
aturannya mahluk jenisku melayani mahluk
jenismu?" Kata-kata Si Nenek sekaligus menjawab
keheranan Siau Hiang-bwe tadi. Siau Hang-bwe
ingat yang pernah diajarkan Liu Yok bahwa
manusia-manusia yang menyambut anugerah
Sang Pencipta dilayani oleh jenis mahluk lain
yang sejenis dengan Si Nenek ini. Dan ujud
seorang nenek-nenek pastilah hanya ujud
samaran. Si Nenek ini sebenarnya sejenis
dengan "prajurit-prajurit bercahaya" yang
memburu mahluk aneh dari perut bumi tadi.
Pertanyaan balik Si Nenek-nenek membuat
Siau Hiang-bwe ingat posisinya dan tugasnya,
bahwa dia harus mencegah beberapa
malapetaka di Seng-tin. Siau Hiang-bwe
menenangkan diri sejenak, kemudian oleh suatu
dorongan lembut dalam dirinya,. Siau Hiangbwe memutuskan, "Kita ke rumah Nyonya
Liong. Kerajaan gaib sedang merencanakan cara
Mulut Macan 15 58 baru untuk menyesatkan orang-orang Seng-tin
melalui Nyonya Liong, yaitu dengan pura-pura
memanggil arwah orang yang sudah meninggal." Si Nenek memberi dukungan, "Pergilah,
teman-temanku dalam jumlah hampir tak
terbatas menantikan kata-kata pengarahanmu."
Sau Hiang-bwe dan Wong Lu-siok menuju
rumah Nyonya Liong, nyonya bertubuh gemuk
warga Seng-tin yang belakangan ini sok
berlagak tahu hal-hal gaib, namun kurang
digubris oleh warga Seng-tin lainnya. Kurang
dipercaya. Tetapi menurut Si Nenek, agaknya
kail ini Si Nyonya Gemuk akan ditanggapi oleh
dunia gaib, sehingga Siau Hiang-bwe
menyebutnya "cara baru untuk menyesatkan
orang-orang Seng-tin."
Sambil melangkah, Siau Hiang-bwe berkata,
"Musuh-musuh sejati umat manusia benarbenar sedang membuka sebanyak-banyaknya
saluran untuk membanjiri penghuni bumi
dengan kesesatan." Mulut Macan 15 59 Menuruti pimpinan dalam hatinya, Siau
Hiang-bwe berdua dengan cepat menemukan
rumah Nyonya Liong. Di atas atap rumah
beterbangan banyak mahluk aneh, begitu pula
di sekitar rumah juga banyak hewan-hewan liar
yang kalau dipikir secara normal menurut
pikiran alam kasar, tidak seharusnya berada di
situ. Tetapi Siau Hiang-bwe berdua tahu bahwa
mahluk-mahluk itu ada di alam halus, bukan di
alam kasar. Buktinya terlihat bahwa mereka
dapat bergerak leluasa tanpa terhalang temboktembok.
Meliat kedatangan Siau Hiang-bwe berdua,
mahluk-mahluk itu Nampak agak panik dan
menyingkir. Tetapi ada suatu mahluk setengah
manusia setengah kerbau yang membawa golok
bertangkai panjang, mencoba menertibkan
mahluk-mahluk lainnya dengan bicara kepada
mereka. Lalu si manusia kerbau menghadang Siau
Hiang-bwe dan berkata, "Kami disini diundang
oleh Nyonya Liong, Kehadiran kami syah, kau
Mulut Macan 15 60 takkan mengabaikan kehendak Nyonya Ling
bukan?" Sekali lagi Wong Lu-siok melihat mahlukmahluk gaib harus berlandaskan kehendak
manusia untuk bisa beroperasi.
Kali ini Siau Hiang-bwe tidak menyerah
bgitu saja. Jawabnya, "Beda jauh sekali antara
Nyonya Liong sukarela mengundang kalian
setelah tahu siapa kalian sesungguhnya, dengan
mengundang kalian karena tertipu oleh kalian.
Kali ini aku hadir dengan membawa limpahan
kuasa di langit dan bumi, untuk mencegah tidak
terjadinya penipuan!"
Si Manusia Kerbau nampak amat gusar,
tetapi juga takut, karena ketika Siau Hiang-bwe
melangkah maju maka dia pun mundur
selangkah. Tapi ia masih bersikap ingin
merintangi Siau Hiang-bwe.
Siau Hiang-bwe pun berkata, "Demi Sang
Pencipta segala mahluk, sekaligus Sang Penentu
Derajat segala mahluk, kuperintahkan semua
mahluk yang lebih rendah derajadnya dari
manusia untuk minggir!"
Mulut Macan 15 61 Si Manusia Kerbau nampak amat gusar, tetapi
juga takut, karena ketika Siau Hiang-bwe
melangkah maju maka dia pun
mundur selangkah Mulut Macan 15 62 Si Manusia Kerbau masih coba menggertak,
"Akulah dewa penguasa padang belantara! Aku
dewa, kau paham?" Sahut Siau Hiang-bwe, "Paham. Kalau begitu
kau termasuk golongan yang harus minggir!"
Mahluk itu nampak bingung, tiba-tiba
sikapnya berubah ramah dan berkata, "Ujudku
memang tidak seanggun dewa-dewa yang lain,
yang berwajah cemerlang dan berjubah indah,
tetapi, aku ini golongan yang baik juga.
Golongan yang tidak sama dengan silumansiluman yang selalu membuat bencana bagi
umat manusia. Sedang aku ini adalah
pemelihara kebaikan bagi manusia."
"Minggir Atau kau bakal senasib dengan
temanmu yang keluar dari bumi tadi, yaitu
kepalamu dituangi belerang panas?"
"Kami di sini karena diundang Nyonya
Liong!" "Akan kulihat apakah Nyonya Liong
mengundang kalian dengan menyadari siapa
kalian sesungguhnya, atau karena tertipu.
Minggir!" Mulut Macan 15 63 Bersambung jilid XVI Sumber Image : Koh Awie Dermawan
first share in Kolektor E-book
Pringsewu 30/08/2018 15 : 20 PM
Mulut Macan 15 64 Mulut Macan 16 1 JILID XVI * Karya : STEVANUS S.P. pelukis : WIDODO Percetakan & Penerbit
CV "G E M A" Mertokusuman 761 RT 02 RW VII
Telp 35801 - SOLO 57122 Mulut Macan 16 2 Mulut Macan 16 1 Dari Mulut Macan ke Mulut Buaya
Karya : STEFANUS S.P. Jilid XVI S I Manusia Kerbau menyingkir gentar.
Wong Lu-siok yang mendampingi Siau
Hlang-bwe itu diam-diam berpikir, "Kiranya
begini sederhana caranya menghadapi mahlukmahluk gaib. Langsung diperintah saja dengan
limpahan kuasa dari Yang Maha Kuasa. Tetapi
setelah masuk dalam tubuh kembali, apakah
masih bisa melakukan ini?"
Kemudian Siau Hiang-bwe dan Wong Lusiok langsung memasuki rumah Nyonya Liong.
Mereka menembus tembok begitu saja.
Di dalam ruangan, nampak sudah ada
belasan orang berkumpul, duduk melingkar. Di
depan Nyonya Liong yang gemuk itu nampak
ada benda pengundang arwah yaitu jailangkung, ditaruh lengkap dengan sesnjlMulut Macan 16
2 sesujinya. Nyonya Liong sendiri nampak sedang
duduk bersemedi. Teman-temannya adalah keluarga dari
orang-orang yang belum lama kehilangan
anggota keluarganya karena meninggal dunia.
Siau Hiang-bwe melihat ada Ciok Yan-lim dan
isterinya, juga ada keluarga Ibun Lai. Selain
Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mereka juga ada peminat-peminat lain seperti
Nyonya Giam dan beberapa orang lainnya. Yang
tidak nampak batang hidungnya malahan
orang-orang dari kalangan "ajaran resmi"
seperti Lui Kong-sim, A-kun dan sebagainya.
Siau Hiang-bwe prihatin dan gusar melihat
semuanya itu. Prihatin melihat manusiamanusia yang mengharapkan petunjukpetunjuk kehidupan dari yang tidak semestinya,
sampai-sampai arwah orang-orang mati hendak
dimintai petunjuk. Sekaligus gusar melihat
mahluk-mahluk gaib yang memanfaatkan keingin-tahuan manusia itu untuk menyesatkan.
Siau Hiang-bwe jadi ingat kisah leluhur pertama
umat manusia yang begitu menginginkan untuk
tahu segala yang tersembunyi, sehingga
Mulut Macan 16 3 melupakan anugerah Penciptanya dan terjebak
dalam perangkap sang cikal-bakal kejahatan.
Dalam ruangan itu juga ada mahluk-mahluk
lain selain manusia, namun tak terlihat oleh
manusia-manusia di situ. Tetapi mahluk-mahluk
bukan manusia agaknya bisa saling melihat
dengan Siau Hiang-bwe serta Wong Lu-siok.
Mahluk-mahluk itu menatap Siau Hiang-bwe
dengan gusar, dan Siau Hiang-bwe pun menatap
mereka dengan gusar pula. Dua jenis mahluk
yang sudah ditakdirkan menjadi musuh
bebuyutan selama ribuar tahun.
"Kau tidak diundang oleh nyonya rumah di
sini!" geram suatu mahluk berwajah seram
kepada Siau Hiang-bwe. Siau Hiang-bwe menjawab tajam, "Dan kau
diundang karena lebih dulu menipu nyonya
rumah, memperkenalkan diri kalian sebagai
penolong, padahal kalian adalah penipu,
pembunuh dan pembinasa."
"Itu bukan urusanmu."
"Sekarang urusanku. Tidak boleh ada
penipuan sedikit pun. Kubawa wewenang dan
Mulut Macan 16 4 kuasa Yang Maha Kuasa untuk menerapkan
hukuman-hukuman-Nya terhadap kalian!"
Wong Lu-siok diam-diam menganggap Siau
Hiang-bwe ini kelewat nekad juga, membuat
gusar para "tentara langit".
Mahluk seram itu menggeram, "Kau gila!
Kau mencampuri urusan ini tanpa diundang.
Kehadiran kami di sini lebih syah dari
kehadiranmu. Kehadiran kami sesuai dengan
kehendak Nyonya Liong."
Sahut Siau Hiang-bwe, "Nyonya Liong pasti
tidak berkehendak untuk dibohongi, sedang
kalian pasti akan membohonginya dan juga
membohongi orang-orang di sini. Kebohongan
itu yang akan kucegah, demi kehendak sejati
Nyonya Liong." Mahluk-mahluk itu gusar namun tak
berdaya. Sudah tentu orang-orang di ruangan itu tak
mendengar percakapan Siau Hiang-bwe dengan
mahluk-mahluk itu, sebab itulah percakapan di
alam gaib. Mulut Macan 16 5 Sementara itu terlihat Nyonya Liong
mengakhiri "semedi"nya, dan berkata kepada
orang-orang di ruangan itu, "Seperti yang
kukatakan kepada kalian, beberapa malam yang
lalu aku berhasil menghubungi arwah orangorang yang kalian cintai, yang sudah meninggal
dunia, bahkan aku berbicara dengan mereka,
dan ketika kusampaikan kepada mereka
tentang betapa kalian merasa kehilangan,
arwah-arwah keluarga kalian itu pun merasa
terharu...." Beberapa hadirin pun ketularan terharu dan
mengusap mata mereka. Nyonya Ciok Yan-lim
yang kehilangan puterinya, A-koan, bahkan
sesenggukan, namun ditahan-tahan karena
tidak mau mengganggu acara.
Di alam gaib, Siau Hiang-bwe menatap tajam
ke arah mahluk roh di depannya, sehingga
mahluk itu dengan agak gugup buru-buru
menjelaskan, "Bukan aku yang menyamar
sebagai arwah anggota-anggota keluarga orangorang ini, beberapa malam yang lalu."
Mulut Macan 16 6 Siau Hiang-bwe berkata, "Dengan wewenang dan kuasa yang dilimpahkan
kepadaku, keputusan siapa yang sudah
menyamar sebagai anggota-anggota keluarga
yang meninggal dari orang-orang ini, beberapa
malam yang lalu, mereka digiling lembut sampai
seperti dedak dan dihamburkan dengan angin
ke seluruh bumi sampai ribuan tahun tubuh
mereka tak dapat bersatu kembali."
Ada beberapa mahluk gaib di dalam dan di
luar ruangan itu yang tiba-tiba menjerit
ketakutan sebelum wujud mereka lenyap
seperti disedot ke dalam ketiadaan. Mahlukmahluk gaib yang masih ada menampakkan
wajah ketakutan. Siau Hiang-bwe berkata gagah, "Demi
mahluk jenisku, yaitu manusia, yang kukasihi,
aku takkan ragu bertindak sekejam-kejamnya
kepada mahluk-mahluk sejenis kalian yang
mencoba menyimpangkan umat manusia dari
anugerah agung itu. Cobalah membantah katakataku kalau kau berani!"
Mulut Macan 16 7 Sementara itu Nyonya Liong berkata pula,
"Saudara-saudaraku, lalu dalam perjumpaan
gaib itu kumohon mereka mau menghubungi
anak keluarga yang masih di bumi, ternyata
mereka bersedia, dan inilah harinya. Sebentar
lagi mereka akan datang mengisi jailangkung
itu." Nyonya Liong kemudian bersuara memohon
"arwah-arwah keluarga" untuk masuk ke
lampion berbentuk orang-orangan yang
bermaksud "menumpang arwah" itu. Di bagian
dada dari patung kertas berkerangka bambu itu
dipasangi sepotong arang diikatkan pada
sepotong bambu, supaya "arwah itu" bisa
menuliskan pesannya di sebuah kertas yang
dilekatkan ke sehelai papan.
Nyonya Liong lalu minta dua orang hadirin
memegangi jailangkungnya dan satu orang
memegangi kertas tulis berlandasan papan di
depannya. Di alam yang tak terlihat, mahluk-mahluk
gaib menatap Siau Hiang-bwe dengan ragu.
Mantera yang dilantunkan mereka sudah
Mulut Macan 16 8 memanggil mereka, namun mereka gentar
kepada Siau Hiang-bwe. Siau Hiang-bwe memerintah tegas, "Jawab
dia, dan nyatakan dirimu sebenarnya. Setiap
kebohongan akan kuhukum seberat-beratnya!"
Si mahluk berujud setengah manusia
setengah kerbau yang mengaku "dewa
penguasa padang belantara" itu Nampak sangat
enggan, namun ia masuk juga ke dalam boneka
kertas itu. Dua orang yang memegangi boneka kertas
itu dapat merasakan bonekanya tambah berat,
kemudian mulai bergerak-gerak. Arang yang
diikatkan itu membentuk huruf-huruf di kertas
yang dipegangi di depannya. Sementara Siau
Hiang-bwe dengan garang mengawasi Si Penulis
Gaib itu dari alam yang sama dengan si penulis
namun dari kedudukan yang jauh lebih tinggi
dan jauh lebih berkuasa, menindas dan
menekan mahluk gaib yang memasuki
jailangkung itu agar menuliskan yang
sebenarnya. Mulut Macan 16 9 Setelah tulisan di kertas itu selesai dan
dibaca, gemparlah orang-orang yang berkumpul
di rumah Nyonya Liong itu.
Sebab inilah tulisannya. "Akulah mahluk
yang mendurhaka kepada Penciptaku dan
sudah dibuang dari langit ke tiga, aku bukan
penolong dan pemberi, begitu juga temantemanku, tetapi kami ini pencuri, pembunuh
dan pembinasa umat manusia. Kami yang
menyamar sebagai arwah-arwah keluarga
kalian, agar kalian tersesat dan terbiasa minta
petunjuk arwah maka dapat kami tuntun untuk
disesatkan." "Nyonya Liong, bagaimana ini? Kami sudah
menunggu dua hari untuk bisa mengadakan
kontak dengan anak kami, Ibun Lai...." protes
sepasang suami isteri setengah baya, orang tua
ibun Lai yang dulu dibunuh gerombolan Beng
Hek-hou. "Kami juga sudah mengeluarkan biaya
tidak sedikit untuk menyediakan syarat-syarat
yang kau sebutkan...."
Nyonya Liong masih kebingungan hendak
menjawab bagaimana, Nyonya Ciok sudah
Mulut Macan 16 10 memprotes pula, "Bagaimana kontak dengan
arwah anakku yang kau janjikan? Bagaimana
aku bisa mengetahui keperluan-keperluannya
di alam baka dan menyediakannya dari bumi?
Oh, anakku yang malang...."
"Nyonya Liong, jangan-jangan kau mengkorupsi sesajennya?"
Hujan protes itu membingungkan Nyonya
Liong, la lalu bertanya ke arah boneka kertas,
"He, jangan main-main. Aku benar-benar sudah
bertemu arwah keluarga-keluarga orang-orang
ini, dan mereka sudah berjanji."
Di bawah tekanan Siau Hiang-bwe, mahluk
dalam boneka kertas itu menjawab, "Kamilah
yang menyamar sebagai arwah keluargakeluarga kalian. Teman-teman kami yang
menyamar itu sudah dihukum."
Nyonya Liong gusar karena ambisinya
untuk menjadi seorang medium terkenal yang
bisa mendatangkan banyak uang itu sekarang
buyarlah. Mana bisa menimbulkan kepercayaan
orang kalau kontaknya dengan dunia gaib bisa
Mulut Macan 16 11 menimbulkan "salah sambung" yang parah
seperti ini? Tetapi Nyonya Liong juga tidak berani
menghadapi secara langsung kepada mahluk
yang berada dalam boneka kertas itu. la cuma
mengancam, "Akan kulaporkan kepada Guru
Lui, agar dia mengundang dewa untuk
menghukum!" Siau Hiang-bwe dan Wong Lu-siok pun
meninggalkan tempat itu tanpa terlihat, namun
mereka meninggalkan ancaman kepada
mahluk-mahluk gaib di dalam dan di sekitar
rumah Nyonya Liong, "Takkan ada penyesatan
lagi kepada orang-orang itu. Pelanggaran
sesedikit apa pun akan menghasilkan hukuman
yang berat." Siau Hiang-bwe kemudian berkata kepada
Wong Lu-siok, "Tiba saatnya kita akhiri tamasya
kita, dan kembali ke kemah fana kita."
Wong Lu-siok tahu yang dimaksud "kemah
fana" ialah raga yang ada dalam sel sempit itu.
Wong Lu-siok jadi kuatir, "A-kui, kalau kita
sudah menjadi orang biasa lagi, tak bisa lagi
Mulut Macan 16 12 melihat apa-apa di dunia gaib, bukankah kita
jadi seperti orang-orang buta di hadapan
musuh-musuh sejati umat manusia itu? Kita
akan jadi makanan empuk?"
"Paman Wong, belajarlah untuk melangkah
tanpa dipimpin mata tetapi dipimpin hati. Kalau
kita terus berjalan dalam sabda-Nya, kita tetap
sama meleknya dan sama ampuhnya dengan
ketika mengalami anugerah semacam ini. Kita
harus tetap percaya bahwa saat "kita
mengucapkan perintah melarang atau mengijinkan sesuatu di dunia gaib, perintah kita
Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dilaksanakan, biarpun kita tidak melihatnya
dengan mata jasmaniah kita."
"Tetapi, kalau aku kembali ke tubuhku,
persediaan tulang-tulangku yang amat menyakitkan itu apakan akan terasa kembali?"
"Tidak. Rasa sakit itu akan lenyap."
*** Di rumah Pang Se-bun, Ho Tong merasa
seperti seorang musafir yang kehausan di
Mulut Macan 16 13 padang belantara, tiba-tiba menemukan air
berlimpah-limpah, ketika mendengar jawabanjawaban Liu Yok atas segala pertanyaannya.
Begitu pula Pang Se-bun sekeluarga dan Tabib
Kian. "Cahaya yang sejati benar-benar sudah
datang di Seng-tin...." kata Pang Se-bun penuh
syukur. "Tidak seperti pertolongan palsu yang
dibawa oleh si penipu Wong Lu-siok itu."
Liu Yok geleng-geleng kepala mendengar
perkataan Pang Se-bun itu, "Wong Lu-siok itu
orang baik, namun ia sendiri juga tertipu. Ia
belajar ajaran-ajaran sekte Pek-gok-nia dari
ilmu-ilmu gaibnya yang diharapkan akan
menjadi modalnya untuk menegakkan kebajikan di muka bumi. Dia tertipu. Tetapi
sekarang ini dia sudah bebas."
"Dari mana Saudara Liu tahu?"
"Karena diberi tahu."
Cu Tong-liang berhenti bertanya, sebab
kalau Liu Yok sudah menjawab begitu maka
urusannya adalah hati nurani.
Mulut Macan 16 14 Kemudian Ho Tonglah yang bertanya,
"Saudara Liu, bagaimana caranya membebaskan
Seng-tin?" Liu Yok meraih sebuah apel yang
disuguhkan oleh Pang Se-bun di atas meja, lalu
menggenggam apel itu sambil bertanya kepada
orang-orang di sekitarnya, "Kalau kalian mau
merebut apel itu dari tanganku, bagaimana
caranya?" "Begini...." sahut
Ho Tong sambil mencengkeram apel di tangan Liu Yok itu dan
hendak merebutnya secara kekerasan, tetapi
Liu Yok memperkuat genggamannya sehingga
apel itu pun hancur. Sebagian di tangan Ho Tong, sebagian di
tangan Liu Yok. "Apel ini hancur karena direbut dengan
kekerasan," kata Liu Yok.
"Tetapi aku dapat sebagian," kata Ho Tong.
"Benar, Saudara Ho, tetapi yang akan kita
perebutkan di Seng-tin ini bukan buah apel,
melainkan jiwa orang-orang Seng-tin. Itu yang
akan kita bebaskan sama sekali dari kekuatanMulut Macan 16
15 kekuatan yang mencengkeram mereka. Apakah
kau mau jiwa orang-orang Seng-tin hanya
berhasil direbut sebagian dan dalam keadaan
remuk seperti apel ini?"
"Bagaimana caranya?" Pang Se-bun bertanya karena Ho Tong membungkam.
"Hantam yang mencengkeramnya, sampai
melepaskan yang dicengkeramnya."
"Tetapi... yang mencengkeramnya kan tidak
terlihat? Bagaimana menghantamnya? Dan
bagaimana kalau mahluk-mah-luk gaib itu balik
menyerang kita? Kita bisa celaka."
"Jangan kuatir, kalian akan kuajari."
Ketika itulah di luar pintu ada suara ributribut, seorang pembantu Pang Se-bun tergopoh
masuk. "Tuan, beberapa orang ingin menjumpai
Tuan...." Debar jantung Pang Se-bun belum lenyap
benar akibat peristiwa serbuan Yao Kang-beng
yang lalu. Namun ia keluar juga meskipun
beramai-ramai didamping! Liu Yok, Cu Tongliang, Tabib Kian dan Ho Tong.
Mulut Macan 16 16 Ternyata yang datang adalah beberapa
warga Seng-tin yang sudah dikenal oleh Pang
Se-bun, namun mereka tidak bersenjata. Kata
mereka, "Guru muda Pang"
"Tunggu, Paman Kong," Pang Se-bun
menukas. "Jangan lagi menyebutku ?guru muda'
karena aku sekarang sudah di luar ajaran yang
dibawa Wong Lu-siok. Panggil aku A-bun
seperti dulu, karena Paman adalah teman baik
mendiang ayahku." Si Paman Kong melongo mendengarnya.
Begitu juga beberapa orang yang bersamanya,
mereka cuma saling menoleh dan saling
pandang dengan bingung. "Kalian ini ada apa?" tanya Tabib Kian.
Orang she Khong menarik napas dan
menjawab, "Kalau gur... eh, A-bun sudah di luar
ajaran suci dari langit itu, rasanya... percuma
saja kami datang kemari."
"Paman Kong, kau belum mengatakan
keperluanmu kok terus hendak berbalik pulang
begitu saja, apa tidak lebih baik dikatakan dulu
keperluanmu? Siapa tahu kami bisa menolong?"
Mulut Macan 16 17 Tetapi Paman Kong itu mengeloyor pergi
begitu saja dengan teman-temannya, membuat
Pang Se-bun heran. "Ada apa lagi di Seng-tin ini?" keluh Pang
Se-bun. Kata-kata Pang Se-bun hanya merupakan
keluhan untuk melegakan hati, namun Liu Yok
menyahutnya, "Akan ada sedikit kebingungan
untuk sementara waktu, karena orang-orang
seolah kehilangan pegangan. Tetapi kebingungan itu akan berdampak baik bagi
sebagian besar orang."
"Penyebab kebingungan?"
"Mahluk gaib jahat yang selama ini
menyesatkan pikiran orang-orang Seng-tin kali
ini sedang dipaksa oleh kekuasaan yang tak
terlawan oleh mereka, dipaksa untuk mengaku
kepada orang-orang Seng-tin bahwa mereka itu
aslinya adalah mahluk-mahluk pembawa
bencana, bukan mahluk-mahluk pembawa
berkat seperti pengakuan mereka. Kekuasaan
yang memaksa mereka ialah A-kui yang
membawa limpahan kuasa dan wewenang dari
Mulut Macan 16 18 sebelah kanan tahta Yang Maha Kuasa.
Pengakuan jujur mahluk-mahluk yang selama
ini dipuja dan diandalkan orang-orang Seng-tin
ini, biarpun pengakuan yang terpaksa sekali,
membuat orang-orang Seng-tin bingung, itulah
sebabnya mereka mencari Kakak Pang yang
masih disangka bisa menjelaskannya menurut
ajaran Bukit Buaya Putih."
"Aku tetap akan menjelaskan menurut
ajaranmu, Saudara Liu," kata Pang Se-bun.
* ** Ciu Bian-li, Ek Yam-lam, Yao Kang-beng, Bibi
Ciu, A-kun dengan ketakutan duduk di depan
altar ratu langit, menunggu keluarnya Lui Kongsim, pengemban yang baru "kerajaan langit"
yang menggantikan Wong Lu-siok.
Orang-orang itu berwajah murung dan takut
semuanya, siap-siap menerima kemarahan
dahsyat Lui Kong-sim. Kalau hanya marah
masih tidak seberapa, yang mereka kuatirkan
Mulut Macan 16 19 ialah kalau sampai Lui Kong-sim mengutuk
"atas nama Ratu Langit" maka bisa-bisa
kutukannya takkan terhapus seumur hidup.
Mereka gentar, sebab bisa dibilang tugas-tugas
yang dibebankan oleh Lui Kong-sim gagal
semuanya. Bahkan makin santer beritanya
orang-orang Seng-tin yang tidak lagi mempercayai ajaran dari Bukit Buava Putih.
Namun waktu Lui Kong-sim muncul di
ruangan itu, kelima orang itu terheran-heran
melihat wajah Lui Kong-sim yang cerah berseriseri dengan jubah putihnya dan ikat kepala
putihnya. Seri wajah Lui Kong-sim itu malah semakin
mendebarkan pengikut-pengikut-nya. Mereka
menaksir, pasti seri waiah itu karena sang
"utusan langit" mengira tugas-tugas para
pembantunya berjalan lancar. Tetapi entah
bagaimana menakutkan wajah sang "utusan
langit" hatinya kalau mendengar laporan
kegagalan pembantu-pembantunya?
Mereka memulai pertemuan dengar samasama menghadap altar dan melantunkan lagu
Mulut Macan 16 20 pujaan. Suasana terasa agak hambar, tak terasa
adanya suasana magis seperti hari-hari
sebelumnya. Habis pemujaan, Lui Kong-sim memutar
duduknya menghadap : pembantupembantunya. Wajahnya cerah, "Semalam aku
bersemedi memohon petunjuk Ibunda Ratu
Langit, dan kuperoleh petunjuk bahwa berkat
ketekunan dan kesalehan kita mengikuti ajaranajarannya, maka ajaran suci kita akan
menemukan puncak kejayaannya di kota ini
dalam waktu dekat. Kerajaan Langit mengutus
seorang utusannya ke Seng-tin, yang harus kita
sambut kedatangannya dan harus kita sembahsujudi. Utusan yang bakal dating inilah
penyempurna ajaran yang selama ini sudah kita
jalani. Namanya ialah... Liu Yok."
Pendengar-pendengarnya hampir tak percaya mendengar itu. Beberapa hari ini yang
terdengar hanyalah caci-maki dahsyat ke alamat
Liu Yok. A-kun si cilik menyebut Liu Yok sebagai
"dewa jahat yang hendak mencelakai A-hwe",
begitu pula yang lain-lain menyebut Liu Yok
Mulut Macan 16 21 sebagai musuh besar yang amat membahayakan
ajaran mereka, termasuk Lui Kong-sim sendiri.
Sekarang Lui Kong-sim sendiri tiba-tiba bilang
bahwa Liu Yok harus disambut dan disembahsujudi.
Lui Kong-sim melanjutkan, "Tentu kalian
heran, aku pun heran ketika mendapat petunjuk
itu, tetapi Sang Ratu menjelaskan bahwa pikiran
kita selama ini yang menganggap Liu Yok
sebagai musuh, ternyata adalah sikap yang
salah. Sikap yang salah itu karena masih
dipengaruhi oleh sisa-sisa pengaruh sihir hitam
Beng Hek-hou, padahal kalau dipikir baik-baik,
ajaran kita menjunjung kebajikan dan Liu Yok
juga menjunjung kebajikan. Sama bukan? Samasama pendamba kebajikan, kenapa harus
bermusuhan, kalau bukan diadu-domba oleh
pengaruh jahat?" Pendengar-pendengarnya menganggukangguk, kalau Sang Ratu Langit sudah
memberikan petunjuk lewat bisikan gaib
kepada Liu Kong-sim, mau apa lagi pengikutpengikutnya kecuali menurut?
Mulut Macan 16 22 Tetapi Ek Yam-lam yang selama ini masih
berusaha menggunakan akal sehatnya yang
tersisa, diam-diam berpikir juga, apa yang
menyebabkan perubahan sikap ini? Apakah
karena kegagalan-kegagalan Ek Yam-lam dan
teman-temannya? Misalnya laporan Yao Kangbeng kepada Ek Yam-lam yang gagal membasmi
Pang Se-bun dan keluarganya, juga kegagalan
Bibi Ciu dan A-kun memaksa penduduk
bersumpah dengan mengutuk diri?
"Jangan-jangan
Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ini hanya sekedar perubahan siasat, karena tak mampu
menentang pengaruh Liu Yok yang makin keras
di Seng-tin, lalu ganti haluan hendak merangkul
Liu Yok?" Ek Yam-lam bertanya dalam hati.
Terdengar Lui Kong-sim berkata, "Sebarkan
pesan kepada semua penganut ajaran kita yang
masih setia, agar mereka tak menentang Liu Yok
tetapi menyambut dan memujanya. Dialah
utusan langit yang lebih tinggi dari aku. Juga
perintahkan Ban Ke-liong untuk membuat
patung Liu Yok sebanyak-banyaknya."
Perintah pun dijalankan. Mulut Macan 16 23 Ketika Liu Yok melangkah masuk ke warung
bubur kacang itu, ia tercengang melihat Si
Pemilik Warung tiba-tiba berlutut di depannya
dengan kegirangan, sampai Liu Yok kaget. Dan
kata-kata yang terhambur dari mulut orang itu
membuat Liu Yok tambah kaget, "Sungguh
keberuntungan besar mendatangiku mulai saat
ini, karena Yang Maha Mulia Utusan Langit
berkenan mengunjungi tempat hina-dina ini.
Kumohon, berkahilah warung ini dan seluruh
hidupku." Liu Yok tercengang, kemarin sikap Si
Pemilik Warung juga ramah tetapi masih biasa.
Sekarang kok jadi aneh-aneh begini?
"He, ada apa ini? Siapa itu yang maha mulia
utusan langit segala.?"
Si Pemilik Warung tidak bangkit dan
berlututnya, melainkan terus menyanjung-puja
Liu Yok, bahkan beberapa orang lagi berbuat
serupa. Baik beberapa pengunjung warung
maupun orang yang sedang lewat di jalan, yang
tiba-tiba saja berlutut kepada Liu Yok dari luar
warung. Mulut Macan 16 24 "Kenapa kalian ini.?" Aku manusia biasa,
warga kerajaan biasa. Bukan Kaisar, bukan
bangsawan, apalagi utusan langit segala."
Orang-orang masih berlutut, namun
sanjung-puja dari mulut mereka berkurang,
mereka terpengaruh oleh kata-kata Liu Y ok Itu.
"Apa yang menyebabkan kalian bertindak
begini?" tanya Liu Yok. "Kumohon juga saudarasaudara bangkit dari berlutut. Mari bicara
dengan sikap sederajat, Aku manusia, saudarasaudara juga manusia."
Diperlukan bujukan yang agak lama untuk
bisa mengajak orang-orang itu bersikap normal,
dan akhirnya berhasil juga. Warung bubur
kacang itu untuk sementara jadi sebuah tempat
pertemuan. "Nah, sekarang saudara-saudara bisa
bercerita kenapa bersikap seperti tadi?"
"Menurut Yang Mulia, apakah sikap kami
tadi keliru?" "Ya, keliru. Sama kelirunya dengan sebutan
'yang mulia' kepadaku."
"Baiklah, Tuan Liu...."
Mulut Macan 16 25 "Bagaimana kalau 'saudara' saja dan jangan
'tuan'?" Tidak mudah untuk mengajak orang-orang
itu bangun dari berlututnya tadi, dan kini juga
tidak mudah membuat mereka bersikap wajar
kepada Liu Yok. Tetapi akhirnya berhasil juga,
dan dari mulut merekalah Liu Yok mendengar
tentang "pesan dari langit" untuk menyembah
Liu Yok. "Hebat...." pikir Lin Yok. "Mahluk-mahluk
jahat di kota ini tidak henti-hentinya berusaha
menyesatkan manusia. Mereka kini tidak
menentang aku secara terang-terangan,
melainkan mengangkat dan menjunjung aku.
Aku tahu siasat mereka, agar aku jadi sombong,
lalu jatuh ke sifat-sifat alamiah yang lama dan
akhirnya jadi makanan empuk musuh
musuhku." Liu Yok bersyukur dalam hati bahwa ia
diwaspadakan dari kejatuhan karena kesombongan, sebab siapa manusianya yang
tidak senang dan bangga disanjung orang
sekota? Namun Liu Yok juga gusar terhadap
Mulut Macan 16 26 mahluk-mahluk jahat di Seng-tin yang ganti
siasat. Sekilas muncul niat Liu Yok untuk
mendatangi rumah bekas kediaman Ciu Koan
itu dan mengobrak-abrik berhala-berhala di
situ. Namun terpikirlah sesuatu, kalau ia
mengobrak-abrik tempat itu dan tetap selamat,
bukankah rakyat Seng-tin akan semakin
memuja Liu Yok? Akhirnya, untuk sementara Liu Yok hanya
bisa menasihati orang-orang itu,
"Saudara-saudara, aku manusia persis
seperti kalian. Kalau kulitku kena pisau, akan
berdarah, darahnya merah seperti kepunyaan
kalian. Aku berdaging, bertulang, doyan bubur
kacang...." Pendengar-pendengarnya malah bingung.
"Jadi... bagaimana dengan patung-patung Tu...
eh, Saudara Liu yang sudah terlanjur kami
puja?" "Patung siapa? Patungku?"
"Benar." Liu Y ok sedih bercampur geli, la melihat di
Seng-tin ini dipuja berbagal mahluk gaib dalam
Mulut Macan 16 27 bentuk patung, ada patung dewa ini-itu, ada
bidadari, ada panglima langit segala, baru
sekarang ia mendengar di Seng-tin muncul satu
"dewa" lagi, yaitu Liu Yok.
"Saudara-saudara, kalian tidak bisa begini
terus, mudah diombang-ambingkan orang.
Disuruh menyembah ini menyembah itu,
sekarang kalian disuruh memuja aku. Ini sudah
keterlaluan." "Kami dengar, Saudara Liu adalah satusatunya orang yang mengeluarkan perkataan
menentang penguasa-penguasa gaib timpa
terkena kutukan. Siapa yang bisa begitu kalau
bukan penjelmaan dewa yang lebih tinggi dari
penguasa-penguasa gaib di Seng-tin ini?"
Liu Yok geleng-geleng kepala. "Saudarasaudaraku, dengarkan aku, kalian keliru.
Kekeliruan pertama, kalian menganggapku
satu-satunya yang seperti itu. Itu keliru. Ke dua,
waktu manusia dicip-takan, dialah mahluk yang
dianugerahi kemuliaan besar, satu-satunya
mahluk yang diajak bercengkerama dan
bertukar isi hati dengan Sang Pencipta.
Mulut Macan 16 28 Manusia. Bukan dewa dan dewi, bukan bidadari,
bukan si penyesat yang menamakan diri ratu
langit atau ratu angkasa. Bukan. Manusia. Kita."
"Kami?" "Ya. Apa bedanya kalian dan aku?"
"Lalu patung-patung itu... diapakon?"
"Musnahkan. Termasuk patungku."
"Lalu tentang benda-benda keramat,
pembawa keberuntungan, benda-benda keagamaan yang disucikan dan dipercaya
berkhasiat juga." "Musnahkan juga."
"Kami... takut."
"Kalian manusia, kan? Mahluk termulia."
"Tetapi mahluk-mahluk gaib bisa mengamuk, kami celaka nanti."
Liu Yok sadar bahwa orang-orang ini tidak
boleh dipaksa mengikuti cara berpikirnya dan
keyakinannya. Ia menarik napas lalu berkata,
"Kalau belum berani ya sudah. Kumohon
kepada Yang Maha Kuasa agar tidak ada apaapa."
Mulut Macan 16 29 Di warung itu kemudian Liu Yok mengajari
orang-orang dengan kata-kata sederhana
tentang manusia yang dipulihkan ke kedudukan
semua oleh Sang Pencipta, bukan karena
manusia itu berhasi melakukan sejuta kebajikan
sehari atau sejuta aturan agama sehari, tetapi
semata-mata oleh belas kasihan Sang Pencipta.
Ketika Liu Yok selesai berbicara, si Pemilik
Warung memasukkan benda-benda keramatnya
ke dalam karung dan di serahkan kepada Liu
Yok. * * * Di rumah bekas kediaman guru silat Ciu
Koan, si cilik A-kun sedang menangis sendirian
di sudut halaman belakang. Ek Yam-lam yang
pernah bersahabat baik dengan Pang Se-bun,
mendekati gadis cilik puteri Pang Se-bun itu dan
bertanya, "A-kun, kenapa?"
Beberapa saat A-kun menatap ragu ke arah
Ek Yam-lam. Selama ini memang hanya Ek YamMulut Macan 16
30 lam di rumah itu yang bersikap cukup lunak
kepada A-kun, dan ini sesuatu yang baik yang
diterima oleh jiwa kanak-kanak A-kun. Jiwa
kanak-kanak yang membutuhkan banyak kasih
sayang dan perhatian, namun selama itu jiwa Akun seolah dibentengi dan dibungkus oleh "Ahwe" sehingga jiwa A-kun sulit tampil keluar,
dan itu menyebabkan orang, tua A-kun sendiri
sulit memahami tingkah laku A-kun. Bukan itu
saja, jiwa A-kun juga sulit menerima sentuhansentuhan dari luar karena "terlapis" A-hwe,
mahluk dalam alam gaib itu. "A-hwe" menjadi
penyekat antara jiwa A-kun dengan segala yang
di luarnya. Entah kali ini A-hwe sedang pergi kemana
A-kun merasakan perhatian Ek Yam-lam.
Jiwanya tersentuh. Ek Yam lam sendiri
merasakan sesuatu yang lain dalam dirinya.
Ternyata sejak dirinya dimasuki "dewa" ia juga
agak sulit berperilaku menurut kemauannya
sendiri, ada penghalang kuat. Kalau ia ingin
menolong orang, ternyata ia akhirnya tak
Mulut Macan 16 31 berbuat apa-apa karena ada yang mencegahnya
dengan paksa. Tetapi kali ini mungkin "dewa" yang
menghuni Ek Yam-lam mungkin "sedang rapat"
dengan "A-hwe"nya A-kun, cegahan dalam jiwa
Ek Yam-lam tidak terasa. Ketika timbul belaskasihannya kepada A-kun, ia pun menunjukkan
sikap belas kasihan dan A-kun pun menanggapi
tanpa terhalang. Alangkah leganya jiwa manusia
bersentuhan dengan jiwa manusia lainnya.
Kalau sudah lega begini, baru terasa bahwa
selama ini "tokoh-tokoh kerajaan langit" yang
masuk ke jiwa mereka dengan dalih membantu
itu ternyata menjajah, membuat tidak beres
banyak urusan. Ek Yam-lam merasa ada sedikit jiwa nya
yang pulih, ketika ia duduk di sebelah A-kun
dan membelai anak yang sedang bersedih itu.
A-kun pun sambil sesenggukan dan
sebentar-sebentar menghirup ingusnya yang
menjulur keluar lubang hidung, berkata, "Aku...
mau... pulang...." Mulut Macan 16 32 Ek Yam-lam tercengang. Dulu A-kun lari
dari rumahnya, bukan karena diusir oleh orang
tuanya melainkan hanya karena "diberi tahu Ahwe" bahwa akan ada "dewa jahat" bernama Liu
Yok datang ke rumahnya untuk mencelakakan
A-hwe". Pang Se-bun dan isterinya sudah sering
datang ke bekas kediaman Ciu Koan itu untuk
membujuk A-kun pulang, dan A-kun selalu
menanggapinya dengan penuh kebencian,
bahkan kutukan. Eh, sekarang tahu-tahu A-kun
ingin pulang. "Kenapa mau pulang?"
Perhatian Ek Yam-lam agak menenangkan
A-kun, sehingga anak itu dapat menjawab lebih
tenang meskipun kata-katanya masih sering
tersekat, "A-hwe sekarang membuat aku takut.
Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ia tidak lagi sahabat yang menyenangkan, tidak
lagi mengajakku ke taman-taman indah
Sekarang ia jahat. Semalam ia menjumpai aku
dengan wajah mengerikan dan bilang aku harus
menurut kepadanya, kalau tidak, aku akan
dimasukkan ke sebuah gua yang amat gelap dan
dari dalam guha itu terdengar suara macam
Mulut Macan 16 33 macam binatang buas dan jeritan orang orang
yang disiksa. Menakutkan sekali. Aku heran
sekarang A-hwe kok sejahat itu...."
Ek Yam-lam termangu. Yang dialami A-kun
kok hampir sama dengan dirinya" Semenjak
Wong Lu-siok datang ke Seng tin membawa
ajarannya, Ek Yam-lan selain memuja sosok
yang oleh Wong Lu siok diperkenalkan sebagai
"ratu langit, ibu segala kepercayaan suci di
bumi' juga memuja tokoh gaib lainnya yang
disebut "dewa kebijaksanaan". Ban Ke-liong
membuat patung "dewa kebijaksanaan" itu atas
pesanan Ek Yam-lam setelah Ban Ke-liong
mengaku mendapat ilham atau pandangan gaib
lewat mimpi. Lalu lewat keahlian Si Tukang
Keramik itu terujudlah patung kecil "dewa
kebijaksanaan" yang Tampangnya benar-benar
anggun dan bijaksana. Ek Yam-lam memuja itu.
Sang "dewa" pun sering memperlihatkan diri
dalam mimpi maupun ketika Ek Yam-lam
bersemedi, memberi bisikan-bisikan gaib
berupa "ajaran-ajaran kebijaksanaan" yang
mulanya membuat Ek Yam-lam amat
Mulut Macan 16 34 keranjingan dan senang. Namun sejak beberapa
saat yang lalu, sang "dewa" dalam penampakan
gaibnya menunjukkan wajah tidak seramah
sebelumnya, sering membuat hati Ek Yam-lam
tertekan dalam ketakutan. Tiga malam yang lalu
sang "dewa" muncul lagi dalam mimpi dan
dengan wajah bengis mengeluarkan ancamanancaman mengerikan untuk Ek Yam-lam agar
mematuhinya secara mutlak, tak tercermin
"ajaran kebijaksanaan" sedikit pun dalam
petunjuk-petunjuk gaib sang "dewa". Habis itu,
Ek Yam-lam tak lagi berhasil mengontak sang
"dewa" meskipun bersemedi berjam-jam. Entah
bersembunyi di mana sang "dewa" dan entah
apa yang terjadi sehingga bersembunyi? Dulu
Ek Yam-lam sedih kalau ia bersemedi tanpa
hasil, sekarang, entah kenapa, teras, lega,
meskipun ia tidak mengungkapkan nya terangterangan.
Kini mendengar kisah A-kun dengan "Ahwe"nya maka Ek Yam-lam mengambil
kesimpulan, agaknya di "kerajaan gaib" sedang
ada suatu peristiwa entah apa, makanya para
Mulut Macan 16 35 mahluk gaib yang tadinya "baik-baik" tiba-tiba
berubah jad begitu pemarah, pengancam,
bahkan tidak tedeng aling-aling lagi menyebut
diri mereka sebagai pembinasa dan pembunuh
apabila tidak dituruti kemauannya. Mendadak
mahluk-mahluk gaib itu jadi "jujur menyebut
siapa diri mereka sebenarnya. Jujur karena
dipaksa. Tetapi... kekuatan macam apa yang
dapat memaksa penguasa-penguasa gaib yang
berabad-abad dijunjung dan ditakuti sebagai
penentu nasib manusia? Yang dianggap dapat
semaunya sendiri mencelakakan atau menguntungkan manusia? Ek Yam-lam tak tahu jawabnya, tetapi
mumpung bebas dari tekanan yang biasa
menyelubungi jiwanya, Ek Yam-lim lalu
menawarkan diri untuk mengantar pulang Akun ke rumah Pang Se-bun.
A-kun mengangguk-angguk kegirangan
sambil mengusap-usap air matanya. Ek Yamlam tertawa dan ia lebih dulu membantu A-kun
membersihkan ingusnya. Tangan Ek Yam-lam
sendiri jadi kena ingus, tetapi melihat A-kun
Mulut Macan 16 36 mulai tertawa dan hilang sedihnya maka Ek
Yam-lam pun ikut tertawa.
Jari-jari yang kena ingus A-kun itu oleh Ek
Yam-lam diusapkan seenaknya ke tembok,
sehingga A-kun menegur, "Eh, Kakak Lam, ini
bangunan suci lho." "Tidak apa-apa, ingusmu juga ingus suci
kok," sahut Ek Yam-lam seenaknya sambil
tertawa. "Eh, kuantar pulang kau."
Di bawah cahaya matahari yang cerah, Ek
Yam-lam menggandeng A-kun menuju rumahnya. Sementara di sebuah sel sempit dan gelap.
Siau Hiang-bwe pun mencucurkan air matanya.
Air mata sukacita. Pandangan jasmaniahnya
memang terhalangi tembok-tembok sel yang
tebal dan juga kegelapan pekat yang tak ada
bedanya siang dan malam, tetapi pandangan
batinnya yang berkali lipat tajamnya
belakangan ini, sejak dia dijebloskan ke dalam
sel dan mengalami "pengelupasan tabiat
alamiah yang membungkus tabiat ilahiah",
dapat melihat orang-orang Seng-tin satu demi
Mulut Macan 16 37 Di bawah cahaya matahari yang cerah Ek Yamlam menggandeng A-kun menuju rumahnya.
Mulut Macan 16 38 satu sedang dibebaskan dari penjajahpenjajahnya dari alam gaib. Ucapan syukur yang
meluap dari hati Siau Hiang-bwe tak
tertampung oleh perbendaharaan kata yang
dikenal oleh bahasa manusia.
Siau Hiang-bwe mempersembahkan segala
puja dan kekagumannya kepada Yang Maha Esa,
bahkan ketika suara lembut di hatinya yang
akrab itu membisikinya bahwa diri Siau Hiangbwe pun ada bagiannya, sebagai penyalur dari
kuasa dahsyat itu. Wong Lu-siok yang satu sel dengan Siau
Hiang-bwe meskipun tidak dapat saling melihat,
namun dapat merasakan sesuatu yang dahsyat
hadir di ruangan itu. Kehadiran suatu Pribadi
Agung yang amat berkuasa di alam semesta,
bahkan paling berkuasa, namun kelembutan,
kehangatan dan kasih sayang yang amat besar
terpancar dari pribadinya. Wong Lu-siok belum
pernah merasa dirinya sekerdil ini, namun sama
sekali bebas dari ketakutan. Merasa amat kecil
dari lemah tetapi sekaligus merasa amat
Mulut Macan 16 39 terlindung dan aman di dalam genggaman
tangan kokoh tapi lembut.
Air mata Wong Lu-siok pun ikut meleleh,
terbata-bata ia meluncurkan kata-katanya,
"Kaukah orang yang diceritakan A-kui itu?
Kalau ya, kumohon terus bersamaku...."
Lalu Wong Lu-siok merasa dirinya amblas
tenggelam dalam lautan kehangatan dan kasih
sayang yang tak terbayangkan sebelumnya.
Di jalanan, Ek Yam-lam dan A-kun
bergandengan dengan wajah ceria, jalannya
setengah berlompatan. Kalau A-kun yang masih
kanak-kanak itu memang pantas berlompatan,
tetapi Ek Yam-lam yang usianya dua puluh lima
tahun, apalagi orang terpandang di Seng-tin
karena jubah putih yang dipakainya, jubah yang
menandakan dia "dipilih langit" sebagai salah
seorang panutan di kota ini, merasa agak kikuk
juga ketika tingkahnya yang kegirangan itu
dipandang dengan heran oleh orang-orang di
jalanan. Ek Yam-lam lalu agak mengendalikan
diri, meski sebenarnya hatinya berlompatan
kegirangan seperti A-kun. Dengan gaya anggun
Mulut Macan 16 40 terkendali, Ek Yam-lam membalas salam
hormat dari orang-orang di jalan.
Orang-orang di jalan juga nampak ketakutan
kepada A-kun. Tak peduli saat itu A-kun sedang
bertingkah seperti kanak-kanak umumnya dan
sedang tidak membawa boneka "A-hwe"nya,
orang-orang tidak mudah melupakan A-kun
"anak dewa" yang kata-katanya bertuah. Setiap
kali A-kun mengucapkan suatu serapah kepada
seseorang, maka orang itu benar-benar akan
mengalami. Bahkan bukan hanya kata-kata
buruk, namun kata-kata yang kedengarannya
menarik. Misalnya A-koan anak Ciok Yan-lim
dijanjikan akan "diajak bermain ke taman yang
indah dengan mahluk-mahluk elok yang belum
pernah dilihat" dan malamnya A-koan
meninggal dunia. Tetapi saat itu A-kun sedang tidak peduli
akan sikap orang-orang, ia sedang melangkah
setengah berlompatan ke rumahnya, digandeng
Ek Yam-lam. Sambil menggandeng A-kun, Ek Yam-lam
diam-diam membatin, "Dalam beberapa hari ini
Mulut Macan 16 41 kulihat tampang Lui Kong-sim, Yao Kang-beng,
Ciu Bian-li dan Bibi Ciu juga nampak bingung.
Kemungkinan besar mereka pun sudah
dijumpai penguasa-penguasa gaib pujaan
mereka dan diancam seperti aku dan A-kun,
mungkin juga penguasa-penguasa gaib itu
sudah mengaku terus terang bahwa merekalah
penguasa-penguasa yang kejam."
Tiba-tiba saja Ek Yam-lam merasa kasihan
kepada teman-temannya itu. "Mungkin mereka
pun sedang kebingungan, kehilangan pegangan
karena yang mereka puja tiba-tiba berubah
sifat." Ketika mereka melewati seorang penjual
mainan kanak-kanak, tiba-tiba A-kun berhenti
dan menatap mainan-mainan itu dengan rasa
ingin. Ek Yam-lam agak-nya dapat menebak isi
hati A-kun. "A-kun, kau ingin baling-baling
angin itu?" Yang diincar A-kun memang sebuah balingbaling kertas berkerangka bambu, barang
murahan tetapi diberi warna-warna menarik
bagi mata anak-anak. Mulut Macan 16 42 "Kakak Lam... punya uang?" sepasang mata
bulat A-kun menatap penuh harapan ke wajah
Ek Yam-lam. Ek Yam-lam merogoh kantungnya dan
meraba ada beberapa keping dalam kankantong dalamnya, rasanya cukup untuk
membeli baling-baling kertas itu. Ia pun
tersenyum dan menggandeng A-kun mendekati
Si Penjual. Si Penjual Mainan adalah penduduk Seng-tin
juga, dan wajahnya memucat ketakutan ketika
melihat A-kun datang mendekat. Hendak
menyingkir sudah tak sempat lagi, janganjangan malah menimbulkan kemarahan kedua
orang itu. Ek Yam-lam menyodorkan uangnya sambil
berkata, "Kakak Sam, beli baling-balingnya
satu." Si Penjual gemetar menerima uangnya,
tangannya tak terkendali sampai uangnya
berjatuhan. Dengan heran Ek Yam-lam
bertanya, "Kakak Sam, apa kau sedang sakit?
Kok tanganmu gemetar dan wajahmu pucat?"
Mulut Macan 16 43 "Tid.... tidak...." sahut Si Penjual sambil
menggeleng canggung. Sudah tentu Ek Yam-lam sebetulnya tahu
penyebab sebenarnya dari pucat dan
gemetarnya Si Penjual. Ek Yam-lam merasa ikut
bersalah, karena ia telah ikut mendukung Wong
Lu-siok dalam menyebarkan ajaran dari Bukit
Buaya Putih. Ajaran yang menjadikan A-kun
"anak dewa" dan ditakuti orang. Banyak orang
Seng-tin telah menjadi korban ketakutan selama
ini. Ek Yam-lam belum menyadarinya dulu,
sekarang ia menyadarinya.
"Bukan suatu yang membanggakan kalau
aku hidup sebagai orang yang dihormati tetapi
ditakuti," pikirnya sambil melangkah
Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menggandeng A-kun. "Ajaran kebajikan yang
sejati tidak menimbulkan ketakutan."
Ketika melewati suatu tempat yang
dikelilingi dinding tinggi, Ek Yam-lam
melambatkan langkahnya karena mendengar
suara pertengkaran ramai dari balik dinding,
yang bertengkar itu nampaknya bukan cuma
satu dua orang, melainkan belasan orang
Mulut Macan 16 44 sekaligus. Yang membuat Ek Yam-lam makin
tertarik, ialah karena mengenali tempat itu
sebagai tempat berlatihnya para pengawal kota.
Berlatih berjalan di atas api, memanjat tangga
golok, menggoreng tangan dan sebagainya.
Sambil menggandeng A-kun, Ek Yam-lam
segera mencari pintu masuknya. Begitu tiba di
balik dinding, ia melihat-belasan orang yang
dikenalnya sebagai anggota pengawal kota
sedang berada di tempat itu, sebagian dari
pengawal kota itu nampak terduduk di tanah
dengan kaki melepuh kena api, merintih-rintih
kesakitan. Di halaman itu sudah digelar jalur
selebar satu meter sepanjang hampir sepuluh
meter yang ditaruhi arang membara. Biasanya
anggota-anggota pengawal hilir-mudik di atas
jalur api itu, namun kini tak nampak satu pun
yang sedang berjalan di api, malah sibuk
berbantah. Yang membuat Ek Yam-lam heran ialah
hadirnya Nyonya Liong, Si Gemuk, yang sama
sekali bukan anggota keamanan kota. Nyonya
yang sedang dibicarakan di mana-mana garaMulut Macan 16
45 gara gagalnya "acara memanggil arwah" yang
diselenggarakan di rumahnya. Entah kenapa
sekarang nyonya gemuk itu di sini.
Ketika Ek Yam-lam dan A-kun melangkah ke
tempat itu, perbantahan serempak terhenti.
Orang-orang serempak menghormat Ek Yamlam dan A-kun, meskipun di antara pengawalpengawal itu ada Pang Se-hiong, adik ayah Akun. Ek Yam-lam mengangguk membalas salam
mereka, sementara A-kun lebih asyik dengan
baling-baling kertasnya. Hanya Nyonya Liong yang tidak menghormati Ek Yam-lam berdua. Bahkan
nyonya gemuk itu nampaknya tak terpengaruh
sedikit pun akan "nama besar" A-kun sebagai
pengutuk yang tak pernah meleset kutukannya.
"Ada apa di s'ni?" tanya Ek Yam-lam.
Pang Se-hiong mewakili teman-temannya,
"Hari ini adalah hari latihan seperti biasanya,
sepuluh hari sekali, untuk menguji ulang dan
bahkan meningkatkan kemampuan kami demi
tanggung jawab kami akan keselamatan kota
ini. Tetapi hari ini terjadi sesuatu yang lain.
Mulut Macan 16 46 Ketika beberapa orang dari kami mulai berjalan
menginjak api, mereka menjerit."
Sambil menjelaskan, Pang Se-hiong juga
menunjuk pengawal-pengawal kota yang
bergeletakan merintih-rintih dengan kaki
melepuh itu. Nampaknya kaki mereka sudah
dibubuhi obat untuk luka bakar, namun tidak
banyak menolong. Kata Ek Yam-lam, "Jangan-jangan kalian
lupa upacara pendahuluannya...."
Pang Se-hiong geleng-geleng kepala. "Mana
bisa hal yang paling penting itu kami lupakan?
Kami sudah memuja para dewa, mengenakan
jimat-jimat dan membaca doa-doa yang
diajarkan." Ek Yam-lam memang melihat sebuah altar
sembahyang di pinggir tempat latihan itu, dan
juga melihat semua orang sudah mengenakan
ikat kepala kuning bertuliskan "huruf langit" itu
dan jimat-jimat lainnya, Nampaknya semua
syarat sudah dipenuhi, entah kenapa "panglima
penjaga gunung berapi" yang dipuja itu tidak
Mulut Macan 16 47 berkenan, begitu pula "dewa api" tidak
melindungi. Orang-orang itu mengharap jawaban Ek
Yam-lam karena Ek Yam-lam adalah salah
seorang pembantu Wong Lu-siok (sebelum
Wong Lu-siok digusur Lui Kong-sim), dianggap
pengetahuannya dalam ilmu dewa lebih tinggi
dari mereka. Orang-orang itu tidak tahu bahwa Ek Yamlam sendiri sebetulnya sedang bingung dan
kehilangan pegangan. Namun Ek Yam-lam
menahan diri untuk tidak garuk-garuk kepala, ia
tetap berusaha bersikap berwibawa.
Sementara orang-orang menunggu jawaban
Ek Yam-lam, maka Nyonya Liong terus menatap
Ek Yam-lam dengan pandangan menantang dan
mengejek. Sahut Ek Yam-lam mengambang ragu,
"Untuk mengetahui penyebabnya, aku mungkin
harus bersemedi lama."
Selagi Ek Yam-lam begitu ragu, Nyonya
Liong sudah memberikan jawaban mantapnya,
"Kau belum punya jawaban, aku sudah punya.
Mulut Macan 16 48 Jawaban yang pasti dan terjamin. Ini jawabanku
: Para penguasa gaib tidak menjawab kalian,
karena kalian tidak memanggil mereka dengan
nama mereka yang sebenarnya. Selain itu,
kalian akan mendapat kekuatan yang berpuluh
kali lipat dari sekarang ini, kalian akan bisa
terbang, bisa mengambang di udara, bisa
melepaskan senjata kalian terbang sendiri
mengejar sasaran yang bersembunyi di mana
pun dan seribu satu hal ajaib lainnya. Syaratnya,
kalian harus rela mengikatkan diri dengan
penguasa-penguasa gaib itu seumur hidup,
ikatan yang tak akan diputuskan lagi, meskipun
kalian sudah mengetahui siapa sebenarnya
penguasa-penguasa gaib itu!"
Sebelum Ek Yam-lam menjawab, Pang Sehiong sudah mendahului, "Nyonya Liong, kau
anggap kami ini anak-anak kecil yang percaya
dongeng macam itu? Kaupikir kami ini anakanak kecil yang hendak kau tidurkan dengan
cerita kuno tentang orang-orang yang bisa
terbang dan senjata-senjata pusaka yang bisa
mengejar musuh ke mana-mana? Dalam hal
Mulut Macan 16 49 pengetahuan gaib, mana bisa kau melebihi Guru
muda Ek?" Agaknya soal inilah yang diperdebatkan
dari tadi antara Nyonya Liong dan para
pengawal kota. Kalau Pang Se-hiong bersikap
tidak mempercayai, sebaliknya ada seorang
anggota keamanan lain yang malah bersikap
ingin tahu, "Nyonya Liong, tadi kau bilang kami
salah menyebut nama para penguasa gaib
sehingga mereka tidak menjawab panggilan
kami. Di mana kami salah sebut? Biasanya kami
memuja Dewa Api dan memuja segala gelar
kehormatan sebagai cahaya umat manusia,
penerang jagad dan seba-gainya. Biasanya kalau
kami lakukan itu, segera kami mendapat
jawaban dan kami pun tidak mendapat masalah
untuk berjalan di atas api, memanjat tangga
golok dan lain-lain."
Jawaban Nyonya Liong sambil tertawa
dingin, "Ketahuilah, penguasa yang kupuja dan
kalian puja juga, sebenarnya tidak seperti itu.
Dulu ketika pertama kali mereka diperkenalkan
oleh Wong Lu-siok kepada warga Seng-tin,
Mulut Macan 16 50 memang gelar-gelar itu dipergunakan. Tetapi
aku sudah mendapat petunjuk gaib bahwa
penguasa-penguasa gaib itu sekarang tidak
senang lagi berada di balik gelar-gelar itu, dan
menunjukkan identitas mereka yang sebenarnya. Yang kalian kenal sebagai 'ibu
semua kepercayaan suci' itulah Ratu Kekacauan
yang dikutuk sebagai pelacur yang memabukkan dunia dengan agama campuraduknya, dialah ratu agama di ujung jaman
penutup kelak. Yang kalian kenal sebagai 'dewa
api' itu bukan cahaya umat manusia melainkan
penggelap jagad ini agar umat manusia tidak
dapat menemukan kebenaran. Tetapi kalau aku
katakan ini, bukan berarti aku menghina
mereka, bahkan aku memuja dan mengagumi
mereka, dan penguasa-penguasa gaib itu lebih
senang kepadaku karena pemujaanku lebih
tulus. Aku tahu siapa mereka sebenarnya tetapi
tetap menyembah mereka, tetap mengadakan
ikatan-mati hidup dengan mereka. Aku lebih
tulus dari orang-orang yang menyembah
penguasa-penguasa gaib itu karena tertarik oleh
Mulut Macan 16 51 gelar-gelar indah penguasa-penguasa gaib itu,
seperti kalian. Karena ketulusanku itulah
penguasa-penguasa gaib memberi aku kekuatan-kekuatan yang jauh lebih besar dan
jauh lebih beragam dari kalian. Aku tidak
membual. Dan aku bangga menjadi kaki tangan
penguasa-penguasa itu untuk menghancurkan
umat manusia demi junjunganku. Aku memang
sekutu mereka, aku bangga aku jahat tetapi
amat kuat, aku bangga junjunganku maha jahat
tetapi juga maha kuat! Kalian juga akan diberi
kekuatan-kekuatan itu kalau mau menjalin
ikatan abadi dengan yang kusembah. Hidup
Ratu Malam, hidup Ratu Dunia Kegelapan!"
Pendengar-pendengarnya mengkirik ketika
mendengar Nyonya Liong tertawa lantang
menutup kata-katanya yang mengguncangkan.
Pendengar-pendengarnya memang bingung.
Seperti yang pernah dikatakan Liu Yok di rumah
Pang Se-bun, bahwa banyak orang Seng-tin
akan kebingungan ketika sesembahan mereka
dilucuti kedok-kedok indahnya agar menunjukkan wajah sebenarnya dari penguasaMulut Macan 16
52 penguasa gaib itu. Begitulah Ek Yam-lam, Pang
Se-hiong dan lain-lainnya melongo mendengar
kata-kata Nyonya Liong itu.
Pang Se-hiong mencoba meneguhkan hati
teman-temannya ke keyakinan se-muia, dengan
mengejek Nyonya Liong, "3angan membual,
Nyonya. Lupakah kau ketika dicaci-maki orang
banyak karena kegagalanmu memanggil arwah
anggota keluarga beberapa orang?"
Sahut Nyonya Liong, "Ya, itu saat
kekeliruanku mengenali siapa sebenarnya
penguasa-penguasa gaib itu. Tetapi setelah
kekeliruan- itu, aku berpuasa dan bersemedi,
siang malam mencoba mengontak dunia gaib.
Dan berhasil. Penguasa-penguasa gaib menampakkan diri kepadaku, terang-terangan
membeberkan diri mereka, dan menawari aku
apakah aku mau mengikat perjanjian kekal
dengan mereka, imbalannya adalah kekuatankekuatan seperti yang kuceritakan tadi. Bisa
terbang dan sebagainya. Aku setuju, dan inilah
buktinya." Mulut Macan 16 53 Nyonya Pang tiba-tiba menjatuhkan diri
telentang di atas bara api, tanpa mantera, tanpa
jimat. Bukan hanya kulitnya tak cidera sedikit
pun, bahkan pakaiannya juga tidak terbakar
sedikit pun, sehelai rambut pun juga tidak. Lalu
Nyonya Pang menelungkupkan tubuhnya,
dengan enaknya membenamkan wajahnya ke
Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bara api seperti ke bantal saja. Habis itu ia
bangkit dan tertawa cengengesan sambil
menunjukkan dirinya tidak apa-apa. Tubuhnya
maupun pakaiannya. Padahal beberapa anggota
pengawal kota yang tegap-tegap dan mudamuda itu melepuh kakinya dan masih
mengaduh-aduh. Semuanya tercengang, apalagi Nyonya Liong
dalam keadaan sadar sepenuhnya waktu
melakukan, sedangkan para pengawal baru bisa
melakukan kalau sudah dalam keadaan
kesurupan alias tidak sadar.
Nyonya Liong nampak bangga. "Kalian
kagum ya? Itu belum seberapa. Lihat ini."
la mengambil sebatang pedang yang
tergeletak disitu, dipegangnya terbalik lalu
Mulut Macan 16 54 ditikam-tikamkan tanpa ragu ke sekujur
tubuhnya tanpa membekaskan luka sedikit pun,
bahkan juga bagian-bagian yang lemah seperti
mata, leher dan sebagainya. Habis itu, pedang
Itu digigit ujungnya sehingga patah lalu
dikunyah dan ditelan seperti orang makan
kerupuk saja. Sepotong demi sepotong sampai
pedang itu tinggal tangkainya saja.
Nyonya Liong belum puas dengan
demonstrasinya, ia ingin melampiaskan
dahaganya akan pujian orarg setelah sekian
lama ia diremehkan orang hanya sebagai "sok
paranormal". Sekarang setelah suatu kekuatan
atas alamiah bersarang di tubuhnya akibat
ikatan janjinya dengan penguasa gaib, ia ingin
memamerkan kehebatannya sebanyakbanyaknya. Tiba-tiba saja tubuhnya yang gemuk seperti
balon itu terangkat dari tanah dan mengapung
ke atas, sampai tiga meter. Ek Yam-lam dan lainlainnya melongo. Rasanya Wong Lu-siok atau
Lui Kong-sim penggantinya pun belum pernah
terlihat melakukan yang sehebat itu.
Mulut Macan 16 55 Tiba-tiba saja tubuhnya yang gemuk seperti balon
itu terangkat dari tanah dan mengapung ke atas,
sampai tiga meter. Mulut Macan 16 56 Melihat orang-orang kagum, Nyonya Liong
turun kembali, lalu katanya, "Bergabunglah
denganku dan milikilah kekuatan-kekuatan
hebat seperti tiga macam yang kupertontonkan
tadi, juga banyak jenis lainnya. Kita akan
menguasai dunia demi junjungan kita!"
Beberapa pengawal mulai tertarik melihat
demonstrasi sedahsyat itu, dan nampaknya
tidak sulit untuk memperolehnya. Buktinya,
Nyonya Liong ini beberapa hari yang lalu masih
tukang gosip yang tidak ada apa-apanya, tukang
omong besar tentang dunia gaib yang tidak
dipercayai seorang pun, sekarang sudah dapat
melakukan perbuatan sedahsyat itu. Tak
seorang pun pengawal bisa sehebat itu.
Namun yang membuat para pengawal itu
ragu, ialah watak dari penguasa-penguasa gaib
yang dibeberkan Nyonya Liong tadi. Jahat,
bertujuan menghancurkan manusia dan sudah
dikemukakan terang-terangan tadi, berasal dari
alam yang gelap. Jadi kebalikan dari gambaran
mereka selama ini, "ibu segala kepercayaan",
pelindung semua tempat ziarah ke keagamaan",
Mulut Macan 16 57 "pemersatu semua agama di akhir jaman" dan
sebagainya. Semua orang menunggu Ek Yam-lam
berbicara, kata-katanya akan dijadikan pegangan sebab Ek Yam-lam adalah orang dekat
Wong Lu-siok. Namun Ek Yam-lam sendiri
sedang bingung, sementara Nyonya Liong terus
mendesak, "Tunggu apa? Apa yang membuat
kalian ragu?" Salah seorang anggota pengawal akhirnya
menjawab dengan suara ragu, "Kami ini
pengikut-pengikut ajaran suci, jalan suci, kami
tidak bisa memuja sejahat yang kau puja."
Nyonya Liong tertawa dingin sambil
menepuk-nepuk pipi Si Pengawal, yang usianya
belum dua puluh tahun itu. "He-he-he, Nak, kau
bilang tidak mau menyembahnya tetapi kau
sudah menyembahnya selama ini. Kau bersujud
di depan patungnya tiap malam, dan bahkan
kau pernah bersumpah untuk mengabdi
kepadanya seumur hidup dan mengutuk dirimu
akan menjadi gila jika kau mengingkarinya!"
Mulut Macan 16 58 Pengawal muda itu memucat wajahnya. Ia
memang pernah bersumpah di depan patung
pujaannya, dan tidak ada orang lain yang
mengetahui sumpahnya itu, kenapa sekarang
Nyonya Liong tahu? Dan kenapa Nyonya Liong
bilang "kau sudah menyembahnya selama ini"?
Nyonya Liong tertawa pula. "Kenapa? Heran
akan kata-kataku? Ketahuilah, yang kaupuja
itulah sekarang yang kupuja, bahkan dia
berdiam di jiwaku karena aku lebih tulus. Dialah
sang penghancur manusia!"
"Tidak! Tidak! Yang kupuja bukan
sesembahan macam itu!" Si Pengawal
membantah sambil geleng-geleng kepala. "Aku
mengabdi kepadanya untuk beroleh kekuatan
demi kebaikan umat manusia, menghancurkan
yang jahat! Bukan sebaliknya!"
Nyonya Liong tertawa melengking seram,
"Kau sudah bersumpah di depannya! Kau
terikat abadi dengannya!"
"Tidak! Aku tidak mau!"
Mulut Macan 16 59 "Bukan soal mau atau tidak mau, tetapi
ikatan sudah terjadi. Itu yang berlaku.
Kemauanmu sendiri sudah tidak penting lagu"
Sementara Ek Yam-lam mendengar percakapan itu dan diam-diam membatin,
"Pantas kalau aku bersemedi seolah-olah hanya
menyentuh tempat kosong, tak ada tanggapan.
Kiranya semua mahluk gaib, termasuk
pujaanku, sudah 'disedot' masuk ke dalam diri
Nyonya Liong yang penyerahannya lebih total."
Pada saat yang sama Pang Se-hiong juga
membatin, "Pantas kalau kekuatan-kekuatan itu
hendak mengambil-alih tubuh manusia,
manusianya ditenggelamkan dulu ke dalam
ketidak-sadaran agar tidak mengetahui apa
yang dilakukan tubuhnya sendiri. Kalau tahu,
mungkin si manusianya keberatan."
Pang Se-hiong sadar akan hal itu berdasar
pengalamannya sendiri. Kalau ia sedang tidak
sadar karena dikuasai mah-luk-mahluk gaib
yang mendiami dirinya, ia jadi "sakti" dan bisa
melakukan apa-apa jauh melebihi kemampuan
normalnya sebagai manusia biasa. Tetapi lamaMulut Macan 16
60 Lama itu membuatnya tidak seriang, sebab
setelah ia sadar dan mendengar cerita orang
tentang apa yang telah dilakukannya, sering
yang sudah dilakukannya itu tidak sesuai
dengan kemauan Pang Se-hiong sendiri.
Sementara itu Nyonya Liong terus
membujuk orang-orang untuk menyerahkan
diri secara total kepada junjungannya, dengan
janji akan mendapat kesaktian hebat. Antara
lain kesaktian melepaskan senjata untuk
membunuh siapa saja yang tidak disukai.
"Kalian akan menjadi penentu nasib banyak
orang!" seru Nyonya Liong bak tukang jual obat
menawarkan dagangannya. "Coba pikir, kalian
akan amat sangat berkuasa!"
Beberapa pengawal kota mulai tertarik
hatinya. Ya, ini jauh lebih hebat dari yang
pernah ditawarkan Wong Lu-siok dengan
mantera-manteranya dan jimat-jimatnya.
Saat itulah tiba-tiba Ho Tong muncul,
dengan melangkah pelan dan berkata kepada
orang-orang itu, "Saudara-sudara, jangan jual
Mulut Macan 16 61 jiwa kalian kepada mahluk-mahluk jahat itu,
apa pun yang mereka tawarkan."
Nyonya Liong gusar karena Ho Tong datang
mengacau. "He, bekas orang gila, jangan ikut
campur!" "Aku harus memberi tahu teman-temanku
tentang resikonya mengikuti anjuranmu,
Nyonya Liong. Bahkan Nyonya sendiri kalau
mau dapat dibebaskan."
"Sekarang kau mau mencegah aku?
Mencegah kekuatan tak terbatas yang di dalam
aku?" "Kekuatan yang di dalammu terbatas,
Nyonya. Kekuatan itu pernah mengurung
jiwaku di suatu alam asing, dan ternyata ada
kekuatan yang lebih besar yang mengeluarkan
aku dari sana, sehingga jiwaku sembuh. Berarti
kekuatan di dalammu itu bukannya tak
terbatas." "Ingin mencoba kutukanku yang paling
dahsyat?" Nyonya Liong mengancam.
Sebenarnya Ho Tong gentar juga melihat
sepasang mata Nyonya Liong yang bersorot
Mulut Macan 16 62 seram itu. Ho Tong sudah menganut ajaran yang
dibawa Liu Yok tetapi baru beberapa hari,
belum mendalam, belum seperti Liu Yok yang
seenaknya saja mengancam segala penguasa
gaib tanpa kena akibat apa-apa. Nyonya Liong
menyeringai melihat Ho Tong gentar, gertaknya,
"Mau kubuat gila lagi?"
Namun akhirnya Ho Tong nekad dan
berkata, "Kutukanmu takkan berakibat apa-apa
kepadaku, Nyonya." "Mau coba?" Ho Tong membungkam, agak takut juga.
"Ho Tong, kau datang terlambat dan tidak
melihat kekuatanku tadi. Seandainya kau lihat
aku tadi, pasti kau takkan berani bersikap
setolol ini. Siapa yang mengajarimu sekarang?
Orang yang namanya Liu Yok itukah?"
"Ya." "Orang yang namanya Liu Yok itu bisa
tiduran di atas bara api tanpa cidera?"
Ho Tong diam, karena memang belum
pernah melihat Liu Yok berbuat demikian.
Mulut Macan 16 63 Nyonya Liong tertawa bangga, "Aku bisa
melakukannya, tanya orang-orang ini. He,
apakah Liu Yok juga bisa dibacoki senjata tanpa
terluka?" Ho Tong tetap bungkam. Nyonya Liong mendesak lagi, "Liu Yok bisa
mengambang di udara? Bisa terbang? Bisa
melepaskan senjata secara gaib untuk
membunuh orang? Bisa? Kesaktian macam apa
yang dia punyai, yang pernah dia tunjukkan?
Atau hanya omong saja?"
Bersambung jilid XVII Sumber Image : Koh Awie Dermawan
first share in Kolektor E-book
Pringsewu 30/08/2018 16 : 40 PM
Mulut Macan 16 64 Mulut Macan 17 1 JILID XVII * Karya : STEVANUS S.P. pelukis : WIDODO Percetakan & Penerbit
CV "G E M A" Mertokusuman 761 RT 02 RW VII
Telp 35801 - SOLO 57122 Mulut Macan 17
Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
2 Mulut Macan 17 1 Dari Mulut Macan ke Mulut Buaya
Karya : STEFANUS S.P. Jilid XVII E NTAH dari mana datangnya suatu pikiran,
tiba-tiba Ho Tong menjawab, "Kalau begitu,
Nyonya, kutuklah Liu Yok dengan kutukanmu
yang paling dahsyat. Pasti besok pagi seluruh
Seng-tin akan melihat Liu Yok kena bencana
yang paling mengerikan, dan seluruh Seng-tin
akan melihat betapa saktinya Nyonya dan
betapa lemahnya Liu Yok!"
Wajah Nyonya Liong berubah hebat, kali ini
dia bungkam lalu mengeloyor pergi.
Orang-orang itu lega atas perginya Nyonya
Liong. Mereka memang sedang bingung, sedang
tidak bisa diajak berpikir.
Ho Tong berkata, "Hati-hati, saudarasaudara. Nyonya Liong pasti tidak berhenti
Mulut Macan 17 2 dengan usahanya mempengaruhi kalian, bahkan
juga akan mempengaruhi orang-orang lain."
Pang Se-bun menjawab, "Saudara Ho, jangan
menambah bingung kami yang sudah bingung
ini." "Buat apa kalian bingung? Asal tidak
menuruti bujukan Nyonya Liong kan habis
perkara?" "Saudara Ho, bayangkan bingungnya kami
yang meyakini suatu kepercayaan dengan
sepenuh hati tiba-tiba saja apa yang sudah kami
yakini seyakin-yakinnya itu tidak seperti yang
kami yakini, ternyata jauh bedanya. Lalu di
dunia ini apa yang harus kami pegang dan kami
percayai?" Ho Tong bungkam, pengalaman seperti
Pang Se-hiong dan teman-temannya memang
belum pernah Ho Tong alami. Ho Tong belum
pernah mempelajari suatu kepercayaan lalu
meyakininya lalu tiba-tiba yang diyakini itu
rontok berkeping-keping. Ia hanya pernah
merasa berada di suatu alam asing yang
menakutkan dan kemudian keluar dari alam
Mulut Macan 17 3 lain itu entah bagaimana. Ketika bertemu Liu
Yok, ia berkesan akan ajaran yang dibawa Liu
Yok, dan sedikit banyak ia sudah bisa dibilang
menganut ajaran itu, bersama-sama Tabib Kian
dan Pang Se-bun sekeluarga.
Dalam hati Ho Tong sendiri seperti ada yang
berkata, "Bayangkan seandainya kau mempertaruhkan segalanya untuk suatu
keyakinan dan ternyata keyakinan itu tidak
seperti yang kausangka, kau pasti kehilangan
keseimbangan. Ini bukan saat yang tepat untuk
menasehati Pang se-hiong dan kawankawannya. Biarkan jiwanya mengendap dulu."
Tetapi Ho Tong tidak mematuhi bisikan itu,
dan berkata kepada Pang Se-hiong, "Kalau
kalian bingung, mari, kuperkenalkan kalian
dengan Liu Yok. Dia akan menjawab
pertanyaan-pertanyaan kalian dengan memuaskan, seperti aku juga merasa puas
dengan jawaban-jawabannya."
Tetapi Pang Se-hiong menggeleng, dan adik
iparnya yang bernama Un Lip-tong menyambung "Kalau kami ketemu Liu Yok,
Mulut Macan 17 4 apakah dia akan mendemonstrasikan bagaimana dia meruntuhkan langit dan
membelah bumi? Supaya kebanggaan kami
selama ini makin hancur berkeping-keping dan
kami makin merasa tak ada artinya?"
"Justeru Liu Yok akan menjelaskan apa dan
siapa, sehingga kalian sebagai manusia
menyadari betapa berartinya kalian."
"Tidak. Kami mau pulang dulu."
Ketika itulah suara A-kun terdengar, "Kakak
Lam, ayo kita pulang. Ingin kutunjukkan balingbaling kertas ini kepada Ayah dan Ibu...."
Pang Se-hiong dan teman-temannya merasa
A-kun kali ini nampak normal seperti anak-anak
lain, tidak terkesan sedikit pun sebagai "anak
langit". Kalau beberapa waktu yang lalu minggat
dari rumah karena "disuruh A-hwe demi
menghindari dewa jahat yang bernama Liu Yok"
sekarang pulangnya ke rumah entah disuruh
siapa? Nampak boneka porselen A-hwe tidak
lagi bersamanya. "Baik, A-kun...." sahut Ek Yam-lam yang
benar-benar bersikap seperti seorang kakak.
Mulut Macan 17 5 Tetapi ia masih menaruh perhatian kepada
anggota-anggota kelompok keamanan yang
kakinya melepuh tadi. Tanyanya kepada Pang
Se-hiong, "Saudara Pang, bagaimana dengan
mereka?" "Terpaksa dimintakan obat kepada Tabib
Kian," sahut Pang Se-hiong.
Ia memakai kata "terpaksa" sebab di jaman
jaya-jayanya kelompok keyakinan ajaran Wong
Lu-siok dulu, saat penganut-penganutnya
banyak melakukan keajaiban bukan hanya
keajaiban berjalan di atas api tetapi juga
penyembuhan-penyembuhan ajaib, kelompok
ini memburuk hubungannya dengan Tabib Kian.
Bahkan banyak yang pernah terang-terangan
mengolok-olok Tabib Kian dan mengatakan
ilmu pengobatan Tabib Kian sudah tidak
dibutuhkan lagi. Itulah saat-saat yang sempat
membuat frustasi Tabib Kian. Namun kini Pang.
Se-hiong dan teman-temannya yang sudah
ditinggalkan oleh kekuatan gaib itu pun
membutuhkan Tabib Kian, itulah sebabnya Pang
Se-hiong memakai kata "terpaksa".
Mulut Macan 17 6 Ho Tong berkata, "Kebetulan Tabib Kian
dalam beberapa hari ini ada di rumah saudara
tuamu, Saudara Pang. Mari kubantu ke sana."
Pang Se-hiong ragu. Ia mendengar bahwa
belakangan rumah kakaknya menjadi tempat
berkumpulnya sekelompok kecil orang-orang
yang mendengarkan ajaran yang dibawa Liu
Yok. Liu Yok yang oleh kelompok pengikut
Wong Lu-siok dibicarakan dengan nada
kebencian dan permusuhan dan dianggap
sebagai ancaman. Meski Pang Se-hiong merasa
ikatannya dengan kelompok Wong Lu-siok
belakangan ini mengendor, "dewa" yang
memberinya kedigdayaan menginjak ..api juga
"sering libur", namun rasanya sungkan juga
bertemu dengan "musuh besar" seperti Liu Yok.
Maka demi mendengar Tabib Kian ada di rumah
Pang Se-bun dan di rumah itu kemungkinan ada
Liu Yok, Pang Se-hiong jadi ragu meneruskan
niatnya. Tetapi Ek Yam-lam malahan berkata, "Kalau
begitu, tunggu apa lagi? Kita bawa saudarasaudara yang cidera itu ke sana."
Mulut Macan 17 7 "Tetapi bagaimana kalau ketemu orang yang
namanya Liu Yok?" Ho Tong yang menjawab, "Ada apa dengan
Liu Yok? Memangnya dia itu monster pemakan
manusia?" "Ajarannya menggoyahkan ajaran yang kita
anut!" sahut Pang Se-hiong. "Lihat kakakku,
bergaul beberapa hari saja dengan Liu Yok, ia
sudah ganti keyakinan. Bukankan begitu, Akun?"
Pang Se-hiong mencoba mencari dukungan
dari keponakannya yang "anak langit" itu.
Meskipun tingkah laku A-kun saat itu tidak
sedikit pun menunjukkan sebagai "anak langit".
A-kun menjawab dalam sikap kekanakkanakan, "Ha? Paman tanya apa?"
"Bukankah kau pernah bilang Liu Yok itu
dewa jahat? Liu Yok yang sering datang ke
rumahku?" Di luar dugaan dan harapan Pang Se-hiong
bahwa A-kun geleng-geleng kepala dan
menjawab amat polos, "Siapa itu Liu Yok?
Melihat orangnya saja aku belum pernah. Yang
Mulut Macan 17 8 jahat itu malahan A-hwe. Dulu ia baik, tapi
sekarang sering mengancam dan menakuti
aku." Pang Se-hiong terjepit. Segan ke rumah
kakaknya, tetapi teman-temannya yang
merintih-rintih kesakitan itu harus ditolong
Tabib Kian yang ada di rumah kakaknya.
Ek Yam-lam pun menengahi, "Ayo kita ke
sana, aku pun hendak mengantar A-kun. Soal
orang yang Liu Yok itu, asal kita tidak
terpengaruh, kenapa harus takut bertemu
dengannya?" Akhirnya mereka semua berangkat,
membawa usung-usungan untuk membawa
beberapa anggota pengawal yang melepuh
kakinya itu. Ketika rombongan tiba di rumah Pang Sebun, Nyonya Pang menyambut puterinya
dengan rasa haru. Rasanya baru saja kehilangan
A-kun dan sekarang mendapatkan kembali.
Nyonya Pang sebelumnya hanya menuruti
anjuran Liu Yok agar setiap kali bersama-sama
Mulut Macan 17 9 suaminya mengucapkan kata-kata memaafkan
A-kun, tak terduga sebesar ini hasilnya.
Tabib Kian juga sedang berada di rumah itu,
dan ia langsung menangani pengawal-pengawal
yang melepuh kakinya itu.
Pang Se-hiong, Ek Yam-lam dan lain-lainnya
memasuki rumah itu dalam sikap tegang karena
"takut terpengaruh Liu Yok". Mereka juga siap
dengan serentetan bantahan dan penolakan bila
Pang Se-bun atau Tabib Kian mengajak mereka
mengikuti keyakinan baru itu. Ternyata Pang
Se-bun maupun Tabib Kian sedikit pun tidak
menyinggung-nyinggung soal itu, dan mereka
sibuk menolong yang memerlukan.
"Bawa ke ruang tengah yang udaranya lebih
segar," perintah Pang Se-bun. Ruang tengah
rumahnya memang dikelilingi kebun-kebun
bunga dan banyak jendelanya, kalau jendelajendela dibuka maka udara kebun bunga akan
membanjiri ruangan dan menyegarkan orangorang yang sakit.
Demikianlah, ruang tengah rumah Pang Sebun jadi semacam "rumah sakit" mendadak.
Mulut Macan 17 10 Tabib Kian sibuk dibantu Pang Se-bun, Pang Sehiong, Ek Yam-lam, Ho Tong dan lain-lainnya.
Mula-mula terasa canggung juga setelah selama
ini hubungan mereka diwarnai saling curiga.
Namun lama-kelamaan makin "cair" juga. Tegur
sapa yang wajar dan tidak dibuat-buat makin
sering terdengar. Semua orang jadi merasa
kembali hidup dalam suasana Seng-tin dulu,
sebelum Beng Hek-hou datang. Ketika seluruh
Seng-tin masih merasa sekeluarga.
Kemudian Liu Yok dan Cu Tong-liang
muncul pula, dan orang-orang seperti Ek Yamlam dan Pang Se-hiong sudah tegang, sekaligus
merasa sayang "suasana Seng-tin masa lalu"
akan rusak gara-gara Liu Yok. Ternyata tidak,
Liu Yok begitu "cair" berkomunikasi dengan
orang-orang yang baru saat itu dikenalnya,
melenyapkan kecanggungan, dan membantu
Tabib Kian membubuhkan obat luka bakar.
Ternyata tidak ada ketegangan sama sekali,
tidak seperti yang dikuatirkan oleh Ek Yam-lam
dan lain-lainnya. Mulut Macan 17 11 Setelah orang-orang yang terluka selesai
diobati, Pang Se-bun dengan penuh sukacita
berkata kepada semua orang, "Saudara-saudara,
Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kita tinggalkan saudara-saudara yang terluka di
sini, biar mereka beristirahat. Kita makan siang
bersama, isteriku sudah menyiapkannya."
Setelah lenyapnya suasana canggung tadi,
Un Lip-tong menyambut dengan bebas,
"Kebetulan sekali, perutku sudah lapar!"
Orang-orang pun tertawa lepas, bebas,
berkelakar sambil berjalan ke ruang makan.
"Suasana Seng-tin masa lalu" makin terasa,
bahkan Liu Yok dan Cu Tong-liang seolah-olah
menjadi warga Seng-tin selama bertahun-tahun.
Belasan orang makan bersama mengelilingi
sebuah meja besar. Nyonya Pang benar-benar
menjadikannya mirip pesta sebagai ungkapan
sukacitanya bahwa A-kun pulang ke rumah
setelah tidak lagi dipengaruhi oleh "A-hwe".
Sejenak Ek Yam-lam, Pang Se-hiong dan
lain-lainnya memang mengerutkan alis ketika
melihat Liu Yok, Cu Tong-liang, Tabib Kian dan
Ho Tong bersama-sama menundukkan kepala
Mulut Macan 17 12 sejenak sebelum makan. Tetapi habis acara
"mengheningkan cipta" itu Pang Se-bun
mempersilakan nemunnya mengambil makanan
dan suasana ceria pun tak terusik.
Bahkan Pang Se-bun berkata, "jangan
sungkan-sungkan. Yang biasa makan sambil
menaikkan kaki di kursi, naikkan kakimu. Yang
mau makan sambil bicara, bicaralah. Tidak ada
aturan. Kita adalah keluarga, bukan sekumpulan
orang-orang ningrat."
Liu Yok "mempelopori" dengan menaikkan
satu kakinya, meletakkan sumpit dan
menggunakan jari-jari tangan. Pang Se-hiong
yang duduk di sebelahnya pun "mengikuti jejak"
Liu Yok. Suasana jadi makin bebas dan makin
ramai. Narnun tiba-tiba seorang pelayan di rumah
Pang Se-bun menghampiri tuannya dan berkata,
"Tuan, Lao Im yang punya kebun semangka di
ujung selatan kota ini ingin menjumpai Tuan.
Dia membawa sepikul semangka."
"Bagus!" kata Pang Se-bun sambil tertawa,
tangannya masih memegangi paha ayam
Mulut Macan 17 13 goreng. "Dari mana petani semangka itu tahu
sedang ada pesta di sini laludatang
membawakan semangka? Suruh dia masuk, ajak
makan sekalian.!" Orang-orang sudah bersorak sebab orangorang Seng-tin tahu semangka dari kebunnya
Lao Im berkwalitas nomor satu, dan mereka
sudah membayangkan hidangan "cuci mulut"
yang segar itu. Tetapi mereka heran melihat
muka Lao Im yang murung, bukan muka
seorang yang hendak menghadiri pesta. Lebih
cocok muka itu "dipasang" di rumah kematian.
"Dari mana Paman Lao tahu sedang ada
pesta disini?" tanya Un Lip-tong.
Lao Im menggeleng sedih. "Aku datang
bukan untuk berpesta, tetapi untuk mengadu
kepada Gurumuda Pang yang adil bijaksana dan
punya ilmu dewa." Suasana makan bersama yang bebas-lepas
itu tiba-tiba kembali diwarnai kecanggungan
ketika Si Petani semangka masih menyebut
Pang Se-bun sebagai "guru muda" dan sekaligus
menyanjungnya "punya ilmu dewa".
Mulut Macan 17 14 Gelak tawa tiba-tiba menghilang berangsurangsur.
Pang Se-bun harus menjawab dengan
sangat hati-hati mengingat di situ juga hadir Ek
Yam-lam dan lain-lainnya yang secara resmi
masih dalam ajaran dari Bukit Buaya Putih
biarpun belakangan ini sedang terombangambing.
Kata Pang Se-bun hati-hati, "Paman Lao, ada
masalah apa, kami semua yang berkumpul di
sini semuanya adalah warga Seng-tin, semuanya
adalah keluarga. Katakan saja, tidak usah
sungkan-sungkan." Demikianlah secara halus Pang Se-bun
mengisyaratkan dirinya bukan lagi "gurumuda"
segala. Melainkan menyatakan sanggup
menolong Lao Im sebagai sesama warga Sengtin, bukan sebagai "gurumuda yang berilmu
dewa" segala. Dengan bijaksana Pang Se-bun
juga menyebut "kami semua yang berkumpul di
sini" untuk siap menolong.
Bagi Si Petani Semangka yang sedang sedih
itu, kata-kata Pang Se-bun itu tidak terlalu
Mulut Macan 17 15 diperhatikannya benar. Dan mulailah Lao Im
mengadu, tanpa merasa bahwa ia agak
mengganggu jalannya pesta.
"Gurumuda Pang, Nyonya Liong itu entah
kesurupan siluman dari mana, kok jadi begitu
kelakuannya terhadapku? Padahal dulu-dulu
antara dia dan aku tidak pernah ada
permusuhan apa-apa. Paling-paling aku hanya
mengejek tetapi hanya secara kelakar, tidak
sungguh-sungguh ingin menyakiti hatinya, bila
dia ceritakan petunjuk-petunjuk gaib yang dia
alami. Tetapi siang ini dia menjumpaiku di
kebun semangkaku, dan aku begitu ketakutan
sebab sorot mata Nyonya Liong amat
menakutkan, jauh dari biasanya. Dia mengoceh
katanya sudah mengabdikan diri kepada
Kejahatan Tertinggi dan diberi banyak
kemampuan gaib, dia mengajakku untuk
mengikat janji dengan sesembahannya, seperti
yang dia perbuat. Aku ragu, dan dia pergi meninggalkan aku,
katanya ingin memberi suatu tanda untukku.
Dia mengutuk semua buah semangka di
Mulut Macan 17 16 kebunku. Begitu dia pergi, kuperiksa seluruh
semangka di kebunku dan ternyata semuanya
sudah busuk penuh ulat-ulat, padahal paginya
kuperiksa semuanya baik. Membusuknya
semangka-semangka itu tidak wajar! Gurumuda
Pang, Gurumuda Ek, kalian dianugerahi ilmu
sakti para dewa, tolong selenggarakanlah
upacara di ladangku agar terbebas dari kutukan
jahat Nyonya Liong."
Lao Im datang mengadu karena ia
mengandalkan Pang Se-bun. Ek Yam lam dan
lain-lainnya yang dikenal dekat dengan Wong
Lu-siok, mengharapkan pertolongan dari
mereka. Namun Pang Se bun sendiri bingung, ia
sudah meninggalkan kelompok Wong Lu-siok,
sedangkai Ek Yam-lam meskipun masih dalam
ke lompok namun sedang merasa tidak di
topang kekuatan gaib sedikit pun. Selurul
kekuatan gaib "kerajaan langit" agaknya sedang
memihak Nyonya Liong seluruhnya, padahal
Nyonya Liong inilah yang justru mereka
tentang. Mulut Macan 17 17 Karena itu, permintaan tolong Lao Im itu
malah membuat tokoh-tokoh ajaran Bukit
Buaya Putih maupun yang sekedar bekas tokoh
macam Pang Se-bun jadi kikuk. Tak tahu harus
menjawab apa. Sedangkan orang-orang yang sudah
membayangkan hidangan penutup berupa
semangka berkualitas nomor satu kini
kehilangan selera. Bisa diduga, semangka
sepikul yang dibawa Lao Im pastilah semangkasemangka busuk berulat, sekedar untuk
membuktikan laporannya. Suasana meriah sirna berangsur-angsur,
dan saat itulah terdengar Liu Yok berkata,
"Paman Lao, pasti tidak ingin semangkasemangka Paman membusuk semua."
"Tentu saja, tetapi...."
Lao Im yang hampir berkeluh-kesah itu
lebih dulu dihadang Liu Yok, "Coba, katakan apa
yang Paman kehendaki dengan suara tegas dan
keras. Tidak usah mempertimbangkan situasi,
tidak usah pakai 'tetapi' "
Mulut Macan 17 18 Lao Im agak bingung mendengar
permintaan Liu Yok yang belum dikenalnya itu.
Yang diharap pertolongannya ialah "gurumuda"
Pang dan Ek, yang menjawab malahan pemuda
asing yang tampangnya amat sederhana dan
tidak ada keistimewaannya sedikit pun.
Permintaannya juga aneh, disuruh mengatakan
kemauannya tanpa mempertimbangkan situasi.
Mana bisa orang hidup di dunia tidak
mempertimbangkan situasi? Dan apabila sudah
mengatakan kemauannya, lalu akan terjadi
peristiwa apa? Karena itu, setelah sekian lama mulut Lao
Im bungkam saja. Tanya Liu Yok, "Beratkah permintaanku,
Paman Lao?" "Tuan muda ini... siapa?" malah Lao Im balas
bertanya. Liu Yok tidak mau dibelokkan dari tujuan.
"Aku Liu Yok. Beratkah permintaanku, Paman?"
"Entah alamat buruk apa ini, tahu tahu kok
semangka di ladangku membu suk semua...."
Mulut Macan 17 19 "Paman pasti tidak menginginkan itu
bukan?" "Biarpun tidak mengingini, tetapi sudah
terjadi. Apa dayaku?"
"Begini, Paman, nyatakan saja keinginan
Paman, ucapkan keras-keras, dan aku akan
mendukung kata-kata Paman. Tidak usah
menghiraukan yang terjadi."
"Tuan muda ini ada-ada saja...."
"Beratkah permintaanku, Paman? Sehingga
Paman begitu sulit untuk memenuhinya?"
Selama tanya jawab Liu Yok dan Lao Im,
semua orang diam mendengarkan. Yang pernah
mendengar ajaran yang dibawa Liu Yok, samarsamar dapat menangkap arah atau inti katakata Liu Yok. Salah satu dasar ajaran yang
mengatakan bahwa kehendak manusia adalah
"wilayah suci" yang pantang dilanggar secara
paksa, bahkan Sang Pencipta pun menghormatinya meskipun Sang Pencipta
sendirilah yang menciptakan kehendak itu
dalam diri manusia. Namun Cu Tong-liang yang
paling sering mendengarkan Liu Yok pun diamMulut Macan 17
20 diam merasa Liu Yok berlebihan kalau sampai
menyuruh Si Petani Semangka mengabaikan
situasi. Manusia, yang dari lahir sampai mati
menangkap situasi dengan panca inderanya lalu
menyimpannya dalam jiwa, mustahil rasanya
mengabaikan situasi. Begitu juga Lao Im yang begitu sulit
mengabulkan permintaan Liu Yok, padahal
hanya disuruh mengucapkan keinginannya.
Malahan Lao Im menatap Pang Se-bun dan Ek
Yam-lam bergantian, minta tolong dengan
tatapan matanya. Pang Se-bun menarik napas dan berkata,
"Paman Lao, coba ikuti permintaan Saudara
Liu...." "Gurumuda Pang, bagaimana tentang
upacara mengusir kutukan jahat itu?"
"Kami pikirkan itu. Coba turuti Saudara
Liu." Lao Im benar-benar tersudut, akhirnya
berkata juga, "Tentu saja keinginanku ialah
semangka-semangkaku tidak busuk."
Mulut Macan 17 21 "Coba lebih tegas dan lebih keras, Paman."
"Tentu saja keinginanku ialah semangkasemangkaku tidak ada yang busuk!"
Liu Yok tertawa, "Keinginanku juga sama.
Kugabungkan keinginanku dengan keinginan
Paman dan jadilah demikian. Terkutuklah
mahluk apa pun yang telah mencoba melanggar
kehendak bebas manusia. Nah, teman-teman,
terkabullah harapan kita menikmati hidangan
penutup berupa semangka segar! Mana
pisaunya?" Orang-orang saling menoleh dengan
Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bingung. Bukankah tadi Lao Im sudah bilang
semangkanya busuk dan berulat? Mana
mungkin semangka macam itu dijadikan
hidangan penutup? Tetapi Liu Yok sudah mengambil sebuah
semangka, ditaruh di atas piring lebar di atas
meja, lalu dipotong-potong-nya. Lalu diambilnya sepotong dan digigitnya, sambil
mengunyah ia memuji, "Semangkamu benarbenar nomor satu di Seng-tin, Paman Lao...."
Tak ada ulat seekor pun, dan tidak busuk.
Mulut Macan 17 22 Habis sepotong, Liu Yok mengambil
potongan kedua, namun sebelum mulai
menggigit ia menoleh ke orang-orang
sekitarnya yang sedang melongo menatapnya.
"Kenapa kalian? Apa kalian suruh aku habiskan
sendiri semangka lezat ini sepikul penuh? Aku
sangat beruntung tetapi perutku takkan muat."
Ho Tong menjulurkan tangan mengambil
sepotong, disusul Pang Se-bun, lalu Pang Sehiong, lalu lain-lainnya.
Lao Im tentu saja amat heran tetapi juga
gembira. Sudah pasti dari kebun tadi
semangkanya busuk semua, kenapa tiba di
rumah Pang Se-bun ini jadi tidak busuk? Selain
heran dan girang, Lao Im juga takut kalau
orang-orang menuduhnya pembohong.
Maka selagi orang-orang menikmati
semangkanya, Lao Im berusaha meyakinkan
Pang Se-bun dengan panjang lebar bahwa ia
tidak bohong. Tadi semangkanya benar-benar
membusuk semua. Dengan sabar Pang Se-bun berkata, "Tak
seorang pun menuduhmu pembohong, Paman
Mulut Macan 17 23 Lao. Semua orang Seng-tin tahu kejujuranmu.
Tenanglah. Eh, mau pesta sekalian? Aku senang
kalau Paman mau." "Lebih baik aku pulang memberi tahu anak
isteriku tentang keajaiban ini...." kata Lao Im
sambil mengangkat pikulannya yang dikosongkan karena semangkanya ditinggal
semua di situ. "Terima kasih, Gurumuda Pang,
dewa-dewa sudah menolongku sebelum
kuadakan upacara." Pang Se-bun agak sungkan karena masih
juga dipanggil "gurumuda", lagipula ucapan
terima kasih Si Petani Semangka ditujukan
kepadanya. "Paman, tidak ada perananku
sedikitpun juga daiam peristiwa aneh ini, sebab
aku pun bingung." Sementara Liu Yok berkata, "Pulanglah,
Paman. Sebelum Paman memberitahukan
kejadian di sini, isteri Paman akan lebih dulu
memberitahumu bahwa semua semangka di
ladang tidak jadi membusuk satu pun."
Setengah percaya setengah tidak Lao Im
bergegas pulang. Mulut Macan 17 24 Sepeninggal Lao Im, tak lama kemudian
pelayan Pang Se-bun memberitahu, "Tuan,
Gurumuda Yao Kang-beng ada di luar, dia
berpesan agar Gurumuda Ek cepat kembali."
"Kenapa tidak dipersilakan masuk?" tegur
Pang Se-bun kepada pelayannya.
"Sudah kupersilakan, katanya dia hanya
ingin memanggil Gurumuda Ek serta.... Nona Akun agar kembali ke markas."
"Puteriku tidak akan kembali ke sana,
tempatnya di sini. Dan dengan kemauannya
sendiri puteriku sudah pulang kemari. Soal
Saudara Ek, silakan sampaikan sendiri ke
orangnya. Orangnya di sini."
Ek Yam-lam bangkit dari kursinya, memberi
hormat kepada Pang Se-bun dar semua orang,
katanya, "Biar aku pulang dulu, daripada nanti
Saudara Yao membuat keributan di sini. Kepada
kalian semua, kuutarakan isi hatiku terangterangan, aku merasakan kembali udara
persahabatan yang pernah hilang dari kota ini."
Habis berkata demikian, Ek Yam lam pun
melangkah keluar. Mulut Macan 17 25 Pang Se-hiong dan anggota-anggota
pengawal yang tidak terluka pun berpamitan
pulang, yang terluka dititipkan di rumah Pang
Se-bun untuk memudahkan Tabib Kian
merawat mereka. "Beritahu keluarga mereka, agar tidak
membuat cemas mereka..." pesan Pang Se-bun
kepada adiknya tentang orang orang yang
dirawat itu. "Baik, Kak," sahut Pang Se-hiong sambil
bersendawa kekenyangan. Meski tidak mengucapkan kata-kata seperti Ek Yam-lam
tadi, sorot mata Pang Se-hiong nampak riang,
puas menikmati perjamuan tadi, bukan
makanannya melainkan suasananya. Suasana
persahabatan macam tadi memang tidak pernah
dirasakan di Seng-tin selama hampir setahun
sejak Beng Hek-hou datang.
Ketika berjalan bersama-sama meninggalkan rumah Pang Se-bun, Pang Sehiong dan teman-temannya membicarakan
peristiwa ajaib semangka itu.
"Heran, bagaimana ya bisa terjadi begitu?"
Mulut Macan 17 26 "Ya, padahal tidak sedikit pun kulihat orang
yang namanya Liu Yok membaca mantera atau
menggerak-gerakkan tangan seperti penyihir. Ia
bicara biasa saja, meminta Paman Lao
mengucapkan kehendaknya lalu ia didukung
dan terjadilah keajaiban itu."
Tetapi ada juga yang bersikap tidak percaya.
"Liu Yok orangnya baik dan aku pun tidak
menyangkal perasaanku sendiri bahwa aku
menyukai dia. Tetapi soal semangka yang
katanya busuk lalu bisa jadi baik itu, tidak
kulihat sendiri dengan mataku. Paman Lao
membawa semangka dalam pikulannya dan
ditutupi rerumputan dan daun-daunan, kita tak
bisa melihat semangka itu benar-benar busuk
dan berulat atau Paman Lao sekadar hendak
menjelek-jelekkan Nyonya Liong. Aku tidak
melihat perubahan semangka dari busuk ke
segar dengan mataku, jadi aku belum yakin ini
benar-benar keajaiban...."
"Ya, aku juga ragu. Yang jelas tak bisa
disangkal ialah yang dilakukan oleh Nyonya
Liong di tempat latihan kita tadi."
Mulut Macan 17 27 Demikianlah terjadi percakapan pro-kontra
antara mereka. Mereka berjalan sambil
bercakap-cakap. Dan mereka berpapasan lagi dengar Nyonya
Liong yang gemuk itu. Percakapan mereka
kontan terhenti seperti jengkerik diinjak
sarangnya begitu bertemu dengan nyonya
gemuk itu. Rupanya Si Nyonya Gemuk belum
berhenti berkeliling Seng-tin sambil mencari
pengikut, memamerkan kemampuan gaibnya
dan juga menakut-nakuti. Tubuh tambun perempuan itu seolah
menyumpal lorong, katanya sambil tertawatawa, "Bagaimana? Sudah kalian pikirkan
tawaranku tadi?" Pang Se-hiong dan teman-temannya terlalu
takut untuk menentang terang-terangan, maka
mereka hanya menjawab licin, "Sedang kami
pikirkan, Nyonya. Tawaran Nyonya sungguh
menarik." Ternyata jawaban itu tetap kurang
menyukakan hati Nyonya Liong. "Keraguan
kalian untuk segera menerima tawaran junjung
Mulut Macan 17 28 Tubuh tambun perempuan itu seola. menyumpal
lorong, katanya sambil tertawa-tawa,
"Bagaimana? Sudah kalian pikirkan
tawaranku tadi?" Mulut Macan 17 29 anku adalah penghinaan baginya. Harusnya
kalian, juga seluruh orang Seng-tin, langsung
menerimanya dengan sukacita, tidak pikir-pikir
segala. Bayangkan kekuatan dan kesaktian yang
akan segera menjadi milik kalian. Tapi kalian
orang-orang Seng-tin memang sombong, dan
kalian akan segera merasakan akibat
kesombongan kalian. Apa yang terjadi di ladang
semangka Lao Im hanyalah contoh kecil!"
Habis itu Nyonya Liong bergegas pergi
dengan gusar. Sia-sia keceriaan yang dibawa Pang Sehiong dan teman-temannya dari rumah Pang
Se-bun, sekarang lenyap karena ancaman
Nyonya Liong. Ancaman dari seorang yang
sudah mereka lihat sendiri kehebatannya.
"Wah, bagaimana ini? Kita diancam selagi
kekuatan kita sendiri menghilang entah ke
mana...." "Dia bilang... yang terjadi pada Lao Im hanya
contoh kecil. Kalau begitu, mungkin benar
bahwa semangka-semangka Paman Lao telah
membusuk... dan pulih kembali..." yang berkata
Mulut Macan 17 30 ini adalah teman Pang Se-hiong yang tadi
sempat mencurigai pulihnya semangka Lao Im
hanyalah tipuan. "Sekarang yang penting, bagaimana kita?
Dewa-dewa dan panglima-panglima langit
pujaan kita sedang enggan menjawab panggilan
kita, siapa yang akan melindungi kita dari
kutukan jahat Nyonya Liong?"
"Bagaimana kalau... kita terima saja tawaran
Nyonya Liong?" usul seseorang dengan wajah
cemas. "Gilakah kau? Lalu kita jadi seperti Nyonya
Liong yang terang-terangan bahwa tujuannya
adalah menjadikan kejahatan sebagai hukum
tertinggi dan menghancurkan umat manusia?"
"Kalau tidak... kita dihancurkan kutukan
jahat itu...." "Tidak. Kita boleh berharap bahwa kita
seberuntung Paman Lao."
Orang-orang itu berpisah, menuju rumah
masing-masing tanpa kesamaan pendapat.
Melintas dalam pikiran beberapa orang untuk
balik ke rumah Pang Se-bun dan minta tolong
Mulut Macan 17 31 Liu Yok. Namun pikiran tinggal pikiran, tak
kunjung berubah jadi tindakan nyata sebab
terhalau perasaan bahwa bagaimanapun juga Li
Yok adalah "orang asing".
Pang Se-hiong memasuki rumahnya yang
berdempetan dengan bengkel besinya. Ketika ia
baru saja memasuki halaman rumahnya, ia
hampir bertabrakan dengan isterinya yang
sedang membawa dua ember kayu. Isteri Pang
Se-hiong adalah seorang wanita bertubuh
kokoh dengan kulit kehitam-hitaman. Tidak
canggung melakukan pekerjaan-pekerjaan
lelaki, termasuk pekerjaan yang memerlukan
otot. "Ke mana?" tanya suaminya.
"Memanggil pulang anak-anak, sekarang
kan hampir sore?" Isterinya pergi, Pang Se-hiong pun menimba
sumur untuk mengisi bak air. Sambil bekerja,
Pang Se-hiong terus memikir-mikirkan peristiwa-peristiwa hari itu. Mulai saat
kekecewaan melanda ia dan teman-temannya
ketika gagal menginjak api seperti biasanya,
Mulut Macan 17
Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
32 ditambah de ngan omongan Nyonya Liong yang
membeberkan bahwa sesembahan Pang Sehiong dan teman-temannya ternyata bukanlah
dewa-dewa kebajikan seperti yang selama ini
disangka pemuja-pemujanya, melainkan penguasa-penguasa gaib jahat yang menurut
Nyonya Liong bertujuan menghancurkan umat
manusia. Pang Se-hiong memang tidak langsung
menelan mentah-mentah apa yang dikatakan
Nyonya Liong. Tetapi kalau direnungkanrenungkan, kenapa "panglima langit" yang
biasanya membantu dengan kekebalan waktu
menginjak api itu kini tidak muncul waktu
dipanggil-panggil dalam doa dengan gelar-gelar
mulianya? Jangan-jangan benar kata Nyonya
Liong bahwa penguasa-penguasa gaib itu sudah
bosan dipanggil dengan samaran dan ingin
menunjukkan identitasnya terang-terangan,
identitas yang jahat? Pikiran yang terombang-ambing membuat
Pang Se-hiong kehilangan semangat kerja. Baru
menimba beberapa kali, ia sudah berhenti lalu
Mulut Macan 17 33 masuk ke rumahnya dan tidur-tiduran di
sebuah dipan di ruang tengah, meski matahari
masih tinggi, la tidur miring, menghadap ke
seberang ruangan, menghadap gambar "dewa
api Persia" yang ditempel di dinding dan
dipujanya tiap malam. Gambar yang diberi oleh
Wong Lu-siok dan sudah "diberkati", gambar
yang sekian lama menjadi saluran kekuatan dari
alam gaib ke dalam tubuh Pang Se-hiong
sehingga Pang Se-hiong tidak takut api.
Sambil berbaring miring Pang Se-hiong
bertanya ke arah gambar itu, "Siapakah Paduka
sebenarnya? Dewa api sang penerang jagad,
atau dewa jahat pemusnah manusia?"
Di alam lain yang tak terjangkau inderaindera jasmaniah manusia biasa, meskipun
Terkoyaknya Raja Digdaya 2 Pendekar Gila Karya Cao Re Bing Pedang Kiri 8
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama