Ceritasilat Novel Online

Geger Solo 1

Geger Solo (banjir Bandang) Karya Kho Ping Hoo Bagian 1


Geger Solo (Banjir Bandang)
Karya : Asmaraman S Kho Ping Hoo
Pelukis : JOKO W.
Penerbit/Pencetak :
CV GEMA Mertokusuman 761 RT 14 RK III
Tilpun No. 5801
SOLO Nama-nama para toko dalam cerita ini hanyalah khayalan belaka. Persamaan nama dengan
siapapun juga hanya merupakan suatu kebetulan yang tak disengaja.
Pengarang CETAKAN CV GEMA ? SOLO 1979
KATA Pengantar
Para pembaca yang budiman,
Untuk mengenang kembali peristiwa bersejarah pada 13 tahun yang lalu dimana kota Solo dan
sekitarnya dilanda banjir bandang yang amat dahsyat, kami persembahkan buku "Geger Solo" ini
kepada Anda semua yang ditulis oleh pengarang kesayangan kita, yaitu Bapak Asmaraman S.
Kho Ping Hoo.
Memang cerita ini hanya khayal belaka, akan tetapi toh lakar belakangnya adalah kejadian yang
nyata. Air telah menghancurkan ratusan rumah, menghayutkan ribuan ternak dan ribuan kepala
keluarga menderita hebat akibat mengamuknya Bengawan Solo itu. Kerugian ditaksir ribuan
milyard rupiah dan untuk kota Solo sendiri setiap harinya telah dikerahkan 4000 orang yang
bekerja non-stop selama 24 jam untuk memperbaiki kerusakan-kerusakan akibat banjir bandang
ini. Empat tanggul jebol, dan yang terpanjang jebolnya mencapai 191 m. Sungguh luar biasa!
Dan ini masih belum termasuk kota-kota sekitarnya seperti Wonogiri, Sukoharjo, Karanganyar,
Sragen dan Klaten. Bahkan untuk Klaten, tanggul Sungai Wedi, Dengkong dan Mlese putus
sepanjang 1700 m dan jalan-jalan yang rusak tercatat sepanjang 50 km! Dan di Sukoharjo sendiri,
sebuah dukuh yang bernama dukuh Jumetro lenyap disambar air bah! Demikianlah menurut
beberapa catatan yang kami peroleh.
Dari sini saja dapatlah kiranya Anda bayangkan betapa luar biasanya musibah itu, malapetaka
yang tidak kepalang tanggung dan yang telah menelan kerugian yang amat besar.
Banjir bandang yang terjadi pada hari Rabu 16 Maret 1966 pada 13 tahun yang lalu itu benarbenar amat dahsyat sekali dan secara resmi telah dinyatakan sebagai suatu Bencana Nasional oleh
Kepala Negara.
Dan kini, untuk mengenang kembali peristiwa itu, kami sajikan kepada Anda buku ini yang
ditulis secara mengasyikkan oleh pengarang kesayangan Anda. Bengawan Solo telah
menghayutkan banyak harta, dan sekarang Anda kami ajak untuk "dihayutkan" oleh buku "Geger
Solo" hasil karya Bapak Asmaraman S. Kho Ping Hoo ini!
Selamat menikmati!
PENERBIT *----------** G E G E R S O L O **------*
(Banjir Bandang)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
TANGGAL 16 MARET 1966! Tepat tengah malam mulainya. Sekira
jam duabelas tengah malam Solo geger! Bukan geger karena perbuatan
manusia jahat, melainkan geger karena bencana alam yang luar biasa.
Seluruh kota madya Surakarta, kecuali hanya sedikit bagian utara
barat, diamuk banjir yang datang menyerbu secara liar dan tiba-tiba.
"Whrrrr.. krasak krasak krasak.. whrrrrrwhrrrr..!" suara
air bah yang datang bergulung-gulung, air merah kekuningan yang
mengerikan, datang menyerbu kota Solo bagaikan barisan maut yang
ganas menyeramkan.
"Seperti suara ombak-ombak Segara Kidul," kata seorang.
"Seperti air Gerojogan Sewu di Tawangmangu," kata yang lain.
"Seperti express malam," kata yag lain pula.
Pendeknya, suara yang menderu, kemersak, menggerosok itu amat
mengerikan, apalagi ketika suara dahsyat ini menelan pekik jerit
tangis manusia-manusia yang hanya terdengar sayup-sayup, "Tolong
toloooonggg. tolooonggg."
"Tung-tung-tung-tung.. tung-tung-tung-tung.tung-tung-tungtung."
"Tok-tok-tok-tok-tok. tok-tok-tok-tok tok-tok-tok-tok.!"
Bunyi kentongan empat kali tanda banjir membuat suasana menjadi
makin seram, makin geger. Namun masih kalah oleh suara air yang
makin lama makin keras itu. Penduduk kota Solo yang daerahnya belum
terlanda banjir, menjadi bingung dan panic mendengar suara
kentongan bertalu-talut itu.
"Dari selatan!"
"Lho, itu di barat juga..!"
"Eh, kok ada kentong titir dari timur"
"Dan di utara..!"
Memang hebat! Setiap orang penduduk merasa seakan-akan diancam
malapetaka dari semua penjuru, membuat bulu tengkuk meremang.
Apalagi setelah suara air yang merobohkan
rumah-rumah,
menghayutkan balok-balok ratusan kilogram, makin menggeroso
seakan-akan air laut kidul sudah berpindah meluap sampai di kota
Solo! Olah terjang penduduk yang panik ketakutan seperti gabah
diinteri, berlari-larian ke barat ke timur, ke selatan ke utara
mencari tempat yang menurut perhitungan masing-masing merupakan
tempat aman. Ada yang mencari anaknya, ada yang pergi mengungsi
seanak bini membawa tikar bantal. Ada yang menangis karena belum
berjumpa dengan kerabat serumah. Rumah-rumah loteng menjadi
sasaran, merupakan tempat yang paling membesarkan hati, dianggap
sebagai tempat yang paling aman. Semua keributan dan geger-geger ini
terjadi di tengah malam. Lebih hebat lagi kepanikan penduduk ketika
aliran listerik diputuskan, sengaja diputuskan oleh yang berwajib,
sebuah tindakan yang amat tepat pada saat itu. Bayangkan saja kalau
hal ini tidak cepat-cepat dilakukan. Banyak tiang listerik roboh
tumbang, kabel listerik malang melintang. Kalau semua itu masih
mengandung aliran listerik!
Tanggul tinggi yang melindungi kota Solo terhadap amukan
Bengawan Solo di musim hujan, bobol di lima tempat! Peristiwa
bersejarah yang mengerikan, yang belum pernah dialami oleh wong
Solo, baik yang sudah kakek-kakek berusia lima enam puluhan tahun
sekalipun, apalagi yang muda-muda!
Ada penduduk dekat tanggul bobol yang begitu mendengar suara
ribut-ribut, terjaga dari tidur, meloncat ke air yang sudah
menerobos memasuki rumahnya selagi ia masih enak tidur! Dan
hebatnya, beberapa menit kemudian ia harus berenang di depan rumah
yang tadinya merupakan pekarangan, untuk mencari tempat aman. Ada
yang bangun sudah melihat dalam rumah ada air setinggi lutut, dan
begitu membuka pintu, air dari luar membanjir masuk, membuat ia
hanyut dan terjengkang-jengkang! Ada pula (dan ini banyak sekali)
orang-orang tua yang bersitegang tidak mau diajak mengungsi oleh
yang muda-muda karena katanya, berpuluh tahun mereka tinggal di
Solo, belum pernah terjadi banjir sampai air merendam rumah. Air
sudah berada di ambang pintu dikatakan bahwa tak mungkin air akan
setinggi meja, air sudah setinggi lutut dikatakan tak mungkin air
akan sampai di leher. Setelah air betul-betul sampai mendekati mulut
dan hidung barulah kakek-kakek ini menjerit-jerit dan mau dinaikkan
getek atau rakit dari batang pohon pisang, untuk pergi mencari ke
tempat aman. Ah, memang banyak terjadi hal-hal lucu menyedihkan.
Lebih banyak lagi terjadi hal-hal yang amat mengharukan hati,
hal-hal yang menyeramkan dan menyedihkan hati. Selain mereka yang
tidak ada kesempatan lagi untuk lari dari air yang datang secara
mendadak itu dan hanyut oleh air bah, banyak yang harus bergulat
mati-matian dengan cengkeraman maut yang merupakan air merah
kekuningan itu. Ada ayah bunda yang karena sibuk berusaha
menyelamatkan harta benda sampai lupa kepada anak mereka yang masih
kecil dan baru tahu setelah anak itu menjerit-jerit minta tolong
karena diseret oleh air. Sia-sia saja mereka menjerit-jerit dan
mengejar, karena air amat santer (deras). Ada yang kukuh tidak mau
keluar meninggalkan rumahnya karena sayang akan harta benda sampai
air datang dan memenuhi semua kamar sehingga dia mati ditelan air
di dalam kamarnya. Ada yang menyelamatkan diri naik ke atas pian
(langit-langit), yakin bahwa tak mungkin air sampai mencapai tempat
setinggi itu, namun. Kelak orang-orang hanya akan mendapatkan dia
mati di tempat itu karena air sudah menutup seluruh langit-langit
dan dia yang bersembunyi atau menyelamatkan diri ke tempat itu
seperti tikus-tikus dalam kurungan perangkap lalu dimasukkan air
sampai mati! Ada pula yang dengan anak isterinya naik ke atas
genteng. Makin tinggi air naik seakan-akan sengaja mengejar mereka,
makin tinggi mereka memanjat terus ke atas genteng, namun air terus
mengejar sampai tidak ada tempat lagi untuk naik ke tempat yang
lebih tinggi karena kerpus genteng sudah tertutup air! Ada yang
selama sehari dua malam harus memeluk cabang pohon, tak dapat turun,
tidak makan dan hanya minum air bah yang merah kekuningan dan amat
kotor itu.
Takkan ada habisnya kalau diceritakan penglaman setiap orang
penduduk Solo yang mengalami banjir bandang yang maha dahsyat ini,
pengalaman yang hebat, yang satu lebih mengerikan daripada yang
lain. Anehnya, dan terutama sekali penulis karangan ini yang
merasainya pada malam hari itu, angkasa raya nampaknya indah
berseri, bintang kilau-kemilau, langit bersih, demikian tenteram,
demikian damai, demikian indah berseri seakan-akan menikmati
tontonan di bawah, tontonan yang mungkin sekali mereka anggap
sebagai bukti daripada kekuasaan Tuhan Yang Maha Kuasa, Yang Maha
Adil, yang berhak mencipta, berhak memelihara dan berhak merusak.
Tuhan yang bersifat Rahman dan Rahim, penuh berkah, penuh welas
asih, penuh anugerah, akan tetapi juga ada kalanya penghukum yang
tak dapat ditawar-tawar lagi!
Penduduk gegera dan selama DUA MALAM SATU HARI air terus
menaik. Baru pada hari Jum?at air mulai menurun dan makin lama
makin cepat menurun seakan-akan air bah itu mempunyai nyawa dan
bergesa-gesa setelah berpesta pora di kota Solo.
Semua itu terjadi seperti dalam mimpi. Penulis mengajak para
pembaca yang pernah mengunjungi kota Solo nan indah untuk
membayangkan sebentar. Bayangkan saja, Pasar Gede di pusat kota Solo
itu telah menjadi telaga sedalam dua meter! Bayangkan saja, alunalun keraton telah menjadi lautan dengan airnya berombak-ombak.
Pasar Tri-windu berikut alun-alun Mangkunegaran telah menjadi
muara! Jalan-jalan besar seperti pasar Pon, Coyudan, Pasar Kliwon,
Warung Palem, Ketandan dan seluruh daerah pertokoan semua telah
berubah menjadi sungai-sungai yang deras airnya! Sukar sekali
dipercaya, bukan?
Ratusan, bahkan ribuan milyard ludas dalam malapetaka ini.
Hampir semua toko, kiranya takkan berlebihan kalau dikatakan
tujupuluh lima prosen, terendam air dan semua dagangan dalam toko
habis, rusak binasa. Air bah itu luar biasa sekali, selain kota membawa
lumpur yang merah kekuningan, juga meninggalkan bau yang amat
busuk. Pendeknya, malapetakan 16 Maret 1966 di Solo itu membuat kota Solo
lumpuh, terutama sekali di bidang perdagangan. Namun, hal ini penulis
yakin benar, tidak akan melumpuhkan semangat wong Solo yang
terkenal tahan uji, sabar tawakal, setia dan "nrimo" itu. Buktinya?
Lebih banyak tersenyum dilontarkan daripada keluh-kesah. Dan
beberapa hai kemudian Solo yang tadinya setengah mati sudah hidup
kembali, sungguhpun tentu saja, kotanya sendiri masih "berkabung"
memperlihatkan wajah yang sedih dan buruk, di mana-mana kuning
kotor, jalan-jalan rusak, dan berbau tak sedap.
Mari kita kembali pada tanggal 16 Maret 1966 tengah malam, sekira
jam dua malam sewaktu banjir sedang hebat-hebatnya karena baru tiba
dan menggegerkan penduduk yan tidak bersiap sedia dan tidak
menyangka-nyangka.
Penduduk yang rumahnya belum kebanjiran, cepat mengadakan usaha
pertolongan sedapatnya. Para anggauta Hanra segera bertindak, tanpa
menanti komando lagi. Para pemuda, tak perduli dia itu siapa dan dari
golongan mana, segera turun tangan tanpa diminta lagi. Tepat sekali
ucapan suci yang berbunyi, "Bahagialah orang yang menderita". Di
dalam penderitaan manusia selalu mendekati Tuhan, manusia selalu
bersatu, permusuhan apapun juga lenyap terganti oleh rasa kasihmengasihi, tolong-menolong, dan di dalam menghadapi malapetaka,
inilah perikemanusian menonjol sekali.
Dan setiap malapetaka besar yang ditimbulkan oleh bencana alam,
muncul pahlawan-pahlawan yang heroik. Demikianpun dalam bencana
banjir Solo yang dahsyat ini. Demi perikemanusian mereka ini telah
gugur, hanyut oleh arus banjir ketika mereka tengah berusaha
menolong para korban. Mereka ini patut diingat sebagai pahlawan
perikemanusian dengan perbuatan dan pengorbanan mereka yang
heroik. Di antara mereka ini adalah Soetandyo Saranto, seorang
pemuda mahasiswa, anggauta Mahasura di Surakarta.
* * * Rumah Sukardi termasuk wilayah Kelurahan Gandekan, bagian yang
rendah, maka paling hebat menderita akibat bencana alam itu. Sukardi
belum lama tinggal di situ, baru setahun lebih. Isterinya memang
orang Solo, akan tetapi Sukardi sendiri adalah orang dari Ciamis di
Jawa Barat. Mereka baru tiga tahun menikah dan baru mempunyai
seorang anak laki-laki berusia setahun lebih.
Seperti juga sebagian besar tetangganya, Sukardi dan Nuryati,
isterinya, juga tidak mau percaya bahwa air bah akan sampai di
kampung mereka, maka merekapun enak-enak saja di malam hari itu,
tidak pergi mengungsi seperti halnya beberapa orang yang tadinya
dianggap "terlalu penakut". Malah Sukardi dan isterinya baru terjaga
dari tidur mereka ketika Iryanto anak mereka menjerit-jerit dan
menangis. Mula-mula Nuryati yang terjaga lebih dulu. Segera ibu muda ini
memeluk dan menepuk-nepuk anaknya, gerakan otomatis seorang ibu
muda dan dalam keadaan bagaimanapun juga. Padahal ia merasa kaget
dan terheran-heran karena mendengar suara yang tidak keruan,
hiruk-pikuk yang seakan-akan ada seribu ekor ular berdesis-desis di
bawah ranjangnya. Keadaan gelap sekali.
"Kak.. ! Kak Kardi! Kak, bangunlah, kak. Lampunya mati!"
bisiknya disusul dengan panggilan nyaring dan mengguncang-guncang
pundak suaminya.
"Emmmm." Sukardi mengulet, ".. aya naon, Nur? Mani
ngareureuwas aeh geuning lampuna pareum.! (Ada apa, Nur? Membikin
kaget saja. Eh, kok lampunya padam)."
"Pasang lilin di atas meja toilet, kak. Lekas, suara apa sih ini?"
Nuryati mulai ketakutan.
"Oke ? oke, sabarlah." Sukardi meloncat dari atas tempat tidur
dan.. "byuur..!" ia terjatuh ke dalam air.
"Masya Allah, Nur apa in..? Lho. Kok di mana-mana air?"
terdengar dalam gelap Sukardi jalan menggerobok air, menggagapi meja
mencari lilin dan korek api. Baru saja korek api dinyalakan belum
sempat menyalakan lilin, pandang mata Sukardi dan Nuryati sudah
melihat keadaan kamar mereka. Api segera padam lagi namun sudah
cukup mereka melihat.
"Masya Allah.!" seru Sukardi.
"Aduh celaka, kak banjir! Cepat . hayo lari." Nuryati tergesagesa menggendong Iryanto yang tidak menangis lagi, agaknya kaget
heran dan bingung mendengar ayah ibunya.
Sekarang baru terdengar jelas oleh mereka. Suara air yang
mengamuk, suara orang-orang minta
tolong, suara kentong, seakan-akan dunia hendak kiamat rasanya.


Geger Solo (banjir Bandang) Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiba-tiba terdengar suara keras, "Mas Kardi.. mas Kardi..
tolonglah aku.!" Suara minta tolong ini disusul jerit wanita dan
tangis anak-anak.
"Itu suara Pak Wignyo.. isteri dan anak-anaknya..! Nur, aku
harus melihat di luar dan menolong mereka" Di dalam gelap
terdengar Sukardi berlari mengerobok air menuju ke pintu depan.
"Kak.. jangan tinggalkan aku, kak. aduh, bagaimana ini.?"
Nuryati mengeluh ketakutan ketika ia turun menggendong Iryanto,
ternyata air sudah melebihi lututnya membuat ia cepat-cepat naik
kembali ke atas tempat tidur dengan panik. Tapi suara Nuryati ditelan
suara hiruk pikuk di luar rumah seperti suara rumah ambruk
dibarengi jeritan-jeritan dan tangisan-tangisan yang menyayat hati.
"Kak Kardi..!" Nuryati masih mencoba memanggil suaminya,
suaranya terdengar kecil lemah di antara suara-suara dahsyat dari
luar itu. Terdengar pintu dibuka dan keluhan Sukardi. Memang
Sukardi yang membuka pintu depan dan ia diserbu air yang mengalir
masuk. Sebentar saja air di dalam rumah sudah naik!
"Nur, aku harus tolong mereka.." terdengar suara Sukardi, disusul
cebar-cebur orang mengerobok di air.
"Kak.. aku takut.. aku ikut..!" Nuryati nekat turun dari tempat
tidur. Hampir ia menjerit ketika terasa olehnya betapa air sudah naik
sampai ke pahanya. Namun ia bergerak terus, keluar dari kamar tidur,
menggerayangi dalam gelap, keluar mengandalkan kebiasaan kedua
kakinya yang kini terendam air sampai sepaha, dengan tubuh menggigil
bukan karena dingin yang tak terasa olehnya di saat itu melainkan
karena bingung dan takut.
"Kak Kardi.!"
Sampai juga Nuryati akhirnya ke pintu rumahnya. Terengah-engah
ia menahan tekanan air yang menyesakkan dada ketika ia tiba dibagian
yang rendah sehingga air sampai di perutnya. Karena ambang pintu
depan rumahnya agak tinggi, maka ia dapat bernapas agak lega. Akan
tetapi, apa yang ia lihat di luar rumah, di antara kegelapan malam
yang hanya diterangi bintang-bintang di langit, membuat ia
terbelalak penuh kengerian. Hendak menjerit sekuatnya saking ngeri
dan takut, namun lehernya serasa tercekik. Ia harus berpegangan pada
kusen pintu agar tidak roboh karena seketika ia merasa pening dan
arus air yang luar biasa derasnya, di depan rumah hampir-hampir
menyeret kedua kakinya yang sudah terlindung kusen-kusen pintu.
"Ya Allah.." kata-kata inipun hanya keluar dengan napasnya yang
tersedak-sedak. Masih dapat matanya melihat di antara kesuraman
yang mengerikan, seorang laki-laki bersusah payah dalam usahanya
melepaskan diri dari pada himpitan kayu-kayu dan bambu-bambu sisa
rumah pak Wignyo yang ternyata telah ambruk. Akan tetapi ketika
laki-laki itu akhirnya berhasil melepaskan diri, arus air bah yang
datang menyerbu menangkapnya dan menghanyutkan dengan tenaga yang
sukar dilawan lagi. Tenaga mujijat, bukan tenaga manusia.
"Tolong. Nur.!"
Tadinya Nuryati dengan penuh kengerian melihat pemandangan yang
amat menakutkan ini, melihat seorang laki-laki bergulat dengan maut.
Sama sekali tak disangkanya bahwa laki-laki itu adalah suaminya.
Maka begitu mendengar suara orang itu, seketika wajahnya menjadi
makin pucat.
"Kak Kardi..!! Toloooonggg..!!" Ia menjerit-jerit minta tolong
dan matanya dibuka selebarnya mengikut bayangan Sukardi yang kini
sudah lenyap ditelan kegelapan malam, dan telinganya dibuka
selebarnya untuk menangkap suara suaminya, namun tidak ada suara
yang amat dikenalnya itu kecuali suara tolong-tolong dari sana-sini.
Tubuhnya seketika menjadi lemas, kakinya menggigil dan ia terpeleset
anak tangga rumah. Pada saat itu, rupanya air yang amat kuatnya
telah merenggut kusen pintu sehingga daun pintu yang didorongdorong oleh air tidak kuat lagi, engselnya terlepas dan daun pintunya
roboh. Saking kaget karena hampir jatuh, membungkuk dan.. gendongan
yang tadi dilakukan secara tergesa-gesa terlepas.. byurr. Anaknya
terlepas dari gendongan jatuh ke dalam air!
"Yanto.. Iryanto. Aduh, tolooooggg.! Iryanto..!" Bagaikan
seekor harimau betina yang marah melihat anaknya diganggu, Nuryati
meloncat ke depan, menerkam ke arah anaknya yang sudah hanyut.
Namun tubuh kecil itu hanyut cepat sekali. Nuryati gelagapan, minum
air kotor dua tiga teguk, akan tetapi ia pernah belajar berenang.
"Yanto..! Yanto.., tungguuu..! Allah.. tolooonggg.!" Nuryati
berenang sedapatnya mengejar anaknya yang sudah tak kelihatan lagi,
seperti suaminya tadi ditelan gelap. Bahkan tangisnya juga tidak
terdengar lagi, kalah oleh suara air yang menderu-deru dan suara
robohnya rumah-rumah bilik diseling suara minta tolong dan jerit
tangis. "Yanto.!"
* * * Sementara itu, di rumah Prayitno, di lain bagian dari kota Solo,
yaitu bagian selatan, juga terjadi geger akibat banjir ini. Sudah
semenjak sore tadi rumah Prayitno dijadikan tempat pengungsian oleh
penduduk yang berbondong-bondong mengungsi dari selatan yang sudah
lebih dulu terlanda banjir. Seperti juga rumah-rumah yang agak besar
di daerah ini, rumah Prayitno menampung pengungsi kurang lebih
tigapuluh orang yang memenuhi ruangan depan, tengah dan belakang.
Biarpun amat repot dan rumah menjadi penuh tak enak ditempati
lagi, namun semua penghuni rumah itu, Prayitno, ayah bundanya dan
kakeknya, nampak gembira sekali. Memang, tidak ada kebahagian di
dunia ini yang melebihi bahagianya orang mendapat kesempatan
menolong orang lain yang menderita sengsara. Apalagi bagi mbah Setro,
kakek Prayitno, amat terasa kebahagian itu. Sambil duduk di atas
kursi malasnya yang panjang mbak Setro menghibur para pengungsi.
Yang paling mengkal hatinya mendengar obrolan-obrolan mbah Setro
adalah Prayitno sendiri. Sudah tentu saja pandangan-pandangan
kakeknya itu tidak sesuai dengan pendapat Prayitno, seorang pemuda
berusia duapuluh lima tahun! Hanya karena kesopanan juga pemuda ini
terkandang harus ikut mendengarkan obrolan-obrolan kakeknya tanpa
membantah, biarpun di dalam hatinya ia menyangkal dan membantah
keras. Lebih-lebih mengkal hatinya kalau di antara para pengungsi
ada yang menyambut obrolan-obrolan itu dengan segala macam cerita
tahyul yang ada hubungannya dengan banjir. "Kalian yang tenang saja,
mengungsi di sini pasti aman. Biarlah kita bergotong royong, makan
seadanya. Kita harus menerima nasib. Banjir bukan buatan manusia,
melainkan kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa semata. Tak dapat
dielakkan lagi, manusia tinggal menerima nasib.."
Hmmm, pikir Prayitno, akan celakalah kalau kita selalu harus
menerima nasib tanpa berdaya. Banjir terjadi karena hujan lebat dan
Bengawan Solo yang menampung air kurang dalam atau tanggulnya
kurang kuat. Kalau bengawan diperdalam atau diperlebar, kalau
tanggulnya tinggi dan kuat, sudah pasti takkan banjir. Tentu saja
semua ini hanya terucapkan di dalam hati Prayitno belaka.
"Semua ini sudah kehendak Tuhan," demikian kakeknya melanjutkan
sambil mengebulkan asap rokok cengkeh yang harum gurih. "Apa kataku
dulu? Ketika ada tanda ajaib di langit sebelah timur empat bulan
yang lalu, tanda lintang kemukus (bintang beruap), aku sudah bilang
tentu akan ada malapetaka yang hebat, Tuhan telah memberi tanda,
tapi manusia yang buta. Hemmm.."
"Betul, memang semua yang dikatakan mbah Setro itu betul belaka,"
sambung seorang pengungsi, seorang laki-laki setengah tua yang
kening di antara kedua matanya selalu berkerut seperti seorang ahli
pikir yang besar. "Memang sebelumnya sudah ada tanda-tanda itu.
Tidak hanya lintang kemukus yang sudah agak lama, baru kemarinkemarin ini ada peristiwa ular besar.. hiiiih, masih meremang bulu
tengkukku kalau teringat akan hal itu."
Semua orang, lebih selosin yang berkumpul di ruang depan
sekeliling kursi malas mbah Setro, memandang pembicara ini, penuh
perhatian dan dengan mata berseri seperti biasanya orang
menceritakan atau mendengar hal-hal yang aneh dan sensasionil.
Pembicara itu tanpa ditanya maklum bahwa semua orang ingin sekali
ia melanjutkan penuturannya. Ia tersenyum bangga dan senang,
sedapatnya hendak ia perhemat ceritanya agar panjang dan lebih
menarik. "Belum pernah orang melihat ular yang demikian besarnya. Ularular di Sriwedari yang paling besar tidak ada seperempat besarnya.
Matanya mencorong seperti lampu senter, berenangnya cepat dengan
leher diangkat tinggi. Bukan ular biasa. Yang demikian itu tentu..
amit-amit (maaf-maaf). Utusan dari Segara Kidul.." Ia sengaja
berhenti dan menatapi para pendengarnya satu-satu.
"Lalu bagaimana? Teruskan. teruskan." Embah Setro mendesak,
tertarik sekali.
Si pencerita makin senang. "Ular atau naga itu berenang di
tengah-tengah Bengawan Solo, cepat sekali, menurun ke hilir. Banyak
orang-orang muda melihatnya. Maklum orang-orang muda tak kenal
takut, dilemparinya ular itu dengan batu, akan tetapi ular itu
seakan-akan tidak merasa daan berenang terus. Setelah lemparan
ketiga kalinya mengenai kepala, ular itu tiba-tiba membalik, berenang
cepat sekali, naik mudik ke hulu sungai. Sebentar saja lenyap. Nah,
agaknya dia marah sekali lalu mendatangkan bencana banjir.."
Semua orang yang mendengar penuturan ini merasa seram dan tak
seorangpun mengeluarkan suara. Prayitno mengkal sekali hatinya.
Sudah banyak ia mendengar ceriera-ceritera angin macam ini. Ingin
ia membekuk batang leher orang yang menyebar-nyebarkan ceritera
sensasi bohong ini, akan tetapi celakanya, selalu ia mendengar dari
orang yang ia tahu betul adalah orang-orang yang tak berdosa, orangorang yang hanya karena bodohnya maka percaya akan segala macam
cerita tahyul seperti ini. Sekarangpun ia melihat kakeknya sudah
mengangguk-angguk, seakan-akan "sudah mengerti akan maksud semua
itu"! Ia makin penasaran.
"Apakah paman melihat sendiri ular itu?" tiba-tiba ia bertanya
sambil menatap tajam.
Orang itu menentang pandang matanya dengan berani. "Banyak
sekali orang yang melihatnya."
"Perduli banyak orang itu, yang perlu: Apakah paman melihat ular
itu dengan mata kepala sendiri?" Prayitno mendesak lagi.
Si pencerita tadi menjadi merah mukanya. Sedetik ditentangnya
pandang mata Prayitno, lalu dia menunduk dan menggeleng kepala.
"Melihat sendiri sih tidak.. hanya.. hanya banyak orang melihatnya
dan banyak orang menceritakan hal itu. Malah.." ia bersemangat lagi,
"malah pak lurah sendiri juga melihatnya."
Pada saat itu sudah lewat tengah malam. Tiba-tiba dari luar
terdengar ribut-ribut, yang paling jelas adalah teriakan-teriakan
keras, "Air makin besar! Sudah mulai naik cepat sekali!!!"
Semua orang di dalam rumah itu kaget. Si pencerita diikuti oleh
orang-orang lain cepat keluar, di belakang Prayitno yang sudah
melompat lebih dulu. Benar saja, air sudah sampai di depan pintu
rumah! Dan masih terus bergerak maju hendak memasuki rumah. Di jalan
kampung yang sudah penuh air itu nampak orang hilir-mudik,
berbondong-bondong pergi mengungsi, tergesa-gesa membawa buntalan
berisi pakaian dan apa saja yang masih dapat mereka bawa serta.
"Celaka.. kita harus mengungsi..!" seru orang yang tadi
bercerita tentang ular. Yang lain-lain juga menyatakan demikian dan
sibuklah mereka berkemas, untuk pergi mengungsi kedua kalinya.
"Tenanglah tenanglah kalian." mBah Setro menghibur mereka
dan berusaha sedapatnya mencegah mereka pergi mengungsi. "Biarpun
banjir membesar, air takkan memasuki rumah ini."
"Airnya sudah masuk kok, mbah!" jawab seorang pengungsi yang
sibuk mengikat tikar bantal.
"Masuk juga hanya untuk membasahi lantai ini, takkan tinggi."
Bentak mbah Setro.
"Ah, kami harus pergi mengungsi," kata si pencerita ular tadi, "air
tentu akan sampai kesini." lalu dilanjutkan perlahan kepada seorang
pengungsi lain, ".. habis utusan Ratu diperolok sih."
mBah Setro mendengar ini dan ia menjatuhkan diri di atas korsi
malasnya lagi, maklum bahwa dia takkan dapat menahan mereka. Ia
hanya bisa mengangguk
setiap kali serombongan
pengungsi meninggalkan
rumah itu, membawa pergi kebanggaan
dan kegembiraannya.
"Bodoh.." gerutunya, "mana bisa air naik ke sini? Selama hidupku
belum pernah aku mengalami banjir sampai naik ke sini! Huh, dasar
penakut bodoh.!"
Sementara itu, suara kentong makin ribut, suara orang mengungsi
makin berisik dan suara air mulai terdengar bergemuruh datang.
Prayitno yang sejak tadi keluar, datang berlari-lari, terengah-engah
mendapatkan ayah bundanya yang juga mulai berkuatir.
"Bagaimana, Yit?" tanya pak Gunawan tenang. Pak Gunawan adalah
ayah Prayitno, seorang kepala guru S M P. Mereka serumah hanya empat
jiwa, kakek Setro, pak Gunawan suami isteri dan Prayitno. Kelima
dengan seorang pembantu rumah tangga.
"Kita harus mengungsi ayah. Cepat-cepat, waktunya tinggal
sedikit. Air menaik cepat bukan main, kabarnya. Tanggul bobol."
"Tanggul bobol??" Ayahnya menegas penuh perhatian. "Ah, berbahaya
kalau begitu. Bune, cepat berkemas, kita mengungsi." Prayitno cepat
meloncat ke dalam kamarnya sendiri, berganti pakaian Hanra. Dia
komandan Hanra di kampungnya, menghadapi keadaan seperti ini
sudahlah menjadi kewajibannya untuk mengerahkan kawan-kawannya
memberi bantuan kepada para korban banjir. Tentu saja lebih dulu ia
harus menyelamatkan keluarganya sendiri. Ketika keluar dari kamar
ia hampir bertumbukan dengan ayahnya. Air sudah memasuki rumah,
semata kaki lebih.
"Wah, eyangmu memang sukar
mengungsi. Bagaimana baiknya?"
diurus, Yit. Tidak mau pergi "Mari, pakne, air makin naik dan deras. Aku takut.!" Kata ibu
Gunawan yang sudah menggendong tas pakaian.
"Mari kugendong, bu. Bapak dan ibu mengungsi lebih dulu bersama
bik Yam (pembantu). Biarlah nanti aku yang membujuk eyang. Lekas,
pak, airnya makin naik!" Tanpa ragu-ragu lagi Prayitno yang bertubuh
kuat menggendong ibunya, gendong belakang menyeberangi air yang
sudah hampir selutut, pergi keluar dari kampung menuju ke jalan
besar yang lebih tinggi dan masih belum tercapai air.
"Aku dan ibumu akan mengungsi ke Jebres, ke rumah pamanmu, Yit.
Hati-hatilah kau, jangan main-main. Banjir Bengawan Solo biasanya
amat berbahaya. Jangan lupa eyangmu lekas-lekas susulkan ke Jebres,"
begitu pesan pak Gunawan setelah tiba di tempat kering dan
melanjutkan perjalanannya berserta isterinya dan pembantu rumah
tangganya.
"Jangan terlalu lama dengan tugasmu, Yit. Lekas ajak eyang


Geger Solo (banjir Bandang) Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyusul ke Jebres. Aku sendiri tidak tenang kalau tidak melihat kau
dan eyang di dekat kami," pesan ibunya.
Sekembalinya ke rumahnya, dengan kaget Prayitno mendapat
kenyataan bahwa air sudah mencapai lututnya! Alangkah cepat. Belum
ada lima menit ia mengantar ayah bundanya keluar dari jalan
kampung. Didapatinya para pengungsi yang tadinya berada di rumahnya
sudah pergi semuanya. Malah para tetangganya juga sudah pergi
mengungsi, kecuali beberapa orang laki-laki muda yang sibuk
mengurusi barang-barangnya. Mereka itu tentu saja tak perlu
dikuatikan, karena tentu pandai berenang atau setidaknya kuat untuk
menyelamatkan diri.
* * * "Eyang, mari kita pergi mengungsi! Lihat, air sudah naik setinggi
lutut." Prayitno membujuk-bujuk eyangnya.
mBah Setro masih enak-enak duduk bersandar di atas kursi
malasnya, menyedot roko kretek Menara yang memberobot seperti yang
senapan mesin sambil memercikkan api ke atas baju kakek itu, membuat
kakek itu tergugup menepuk-nepuk bunga api yang mengancam bajunya.
Lalu ia menarik napas panjang, melirik ke bawah, memandang air,
mulutnya yang ompong mengejek.
"Aah, kenapa mesti ketakutan mengdahapi air? Paling tinggi juga
selutut atau sepaha. Nanti juga kalau sudah tiba saatnya akan turun
sendiri. Mengapa harus pergi mengungsi? Tidak, Yitno, aku tidak mau
pergi. Kalau kau takut seperti yang lain-lain, pergilah kau. Biar aku
menunggu rumah."
"Tapi, eyang, air terus naik. Berbahaya..!"
"Tak mungkin, paling-paling
bahayanya?"
bisa naik sampai ke paha. Apa
"Tapi tanggulnya bobol, eyang."
Oleh kekuatan air korsi malas yang diduduki mbah Setro miring.
Kakek itu segera pindah duduk di atas meja yang agak tinggi,
memandang cucunya sambil tersenyum mengejek. "Masa tanggul kok
jebol? Sudahlah, Yit, jangan ribut tidak karuan. Kalau kau takut,
lebih baik kau duduk-dudk dekat aku di sini. Biar nanti aku baca
mantera, air pasti akan turun."
Prayitno jengkel sekali. Kalau bukan kakeknya yang amat ia
hormati dan sayang, tentu akan dipaksanya kakek itu keluar dari
rumah, dibawa pergi mengungsi tanpa banyak berdebat lagi. "Eyang,
kenapa kukuh dan bersikeras? Keadaan betul-betul berbahaya sekali,
eyang harus segera ikut dengan saya pergi menyusul ayah ke Jebres.
Semua tetangga juga sudah pergi, eyang!"
"Aaah, Yitno, kau tahu apa? Eyangmu sudah hidup puluhan tahun di
Solo, sebelum engkau lahir. Sekarang eyangmu ini sudah enampuluh
tahun lebih hidup dan tinggal di Solo. Memang, Bengawan Solo setiap
rendeng (musim hujan) membanjir, akan tetapi belum pernah banjir
sampai ke sini. Paling-paling air yang masuk rumah kita ini hanya
sekian itu, takkan menaik."
Tiba-tiba dari luar terdengar suara orang-orang memanggil. "Mas
Yitno! Mas Yitno! Bagaiman ini, kenapa kau bersembunyi saja?"
Yitno segera keluar, mengerobok air yang sudah mencapai pahanya.
Ternyata empat orang pemuda berpakaian Hanra (Pertahanan Rakyat)
telah berada di depan rumah menunggang getek-getek dari pada batang
pohon pisang dan bambu. Mereka membawa tambang dan para pemuda ini
kelihatan tegang. "Bung Yit, tanggul jebol, banyak korban."
"Baik, aku segera pergi bersama kalian. Oya, coba kalian berdua
pergi ke belakang rumah ini, ambil batang-batang pohon pisang yang
agak banyak untuk getek. Bambu juga ada di belakang, ambil saja
secukupnya. Ini ada tambang besar, bawa serta. Kau Siang, kau pergilah
ke toko-toko yang mempunyai drum-drum kosong minta pinjam untuk
membuat pengapung-pengapung yang kuat. Aku akan segera menyusul
setelah mengungsikan eyangku. Barjo, kau bantu Hok siang mencari
pinjaman drum-drum kosong!" Setelah membagi-bagi tugas kepada para
Hanra itu Prayitno lalu memimpin teman-teman yang diserahi tugas
mengumpulkan gedebog pisang dan bambu. Karena air sudah tinggi dan
deras alirannya, agaknya sukar juga mengerjakan semua itu. Akan
tetapi tak lama kemudian banyak sudah mereka mengumpulkan bahanbahan getek yang mereka ikat menjadi satu dengan tambang untuk
ditarik ke tempat kering dan dibuat getek.
Ketika Prayitno kembali memasuki rumahnya, hampir ia berteriak
kaget. Air sudah naik begitu tinggi sehingga ia harus berenang. Tak
mungkin berjalan mengerobok lagi karena air sudah hampir sampai di
lehernya! "Eyang..!" Ia memanggil ketika berenang memasuki pintu rumahnya.
Tidak ada jawaban. Yitno terus memasuki rumah dan dilihatnya korsi
malas dan meja yang tadi dipakai eyangnya sudah terapung terombangambing di sudut ruangan.
"Eyang!!" Prayitno memanggil makin keras, penuh kekuatiran.
Timbul penyesalannya kenapa tadi ia tidak memaksa saja eyangnya
pergi mengungsi dan kenapa ia tinggalkan. Ia merasa bertanggung
jawab dan wajahnya menjadi pucat.
"Eyang!!"
Terdengar batuk-batuk disusul jawaban, "Aku di sini."
Yitno menjadi girang hatinya. Cepat ia berenang memasuki ruangan
dalam dan eyangnya telah duduk di atas lemari makan yang besar
dan tinggi! Nampaknya masih tenang-tenang saja. Akan tetapi begitu
Prayitno muncul, mbah Setro menegur keras.
"Yitno, kau tadi bilang apa ketika orang bercerita tentang utusan
Ratu Kidul? Nah, inilah jadinya. Air ini bukan wajarnya, kau tahu?
Selama hidupku belum pernah aku melihat yang seperti ini. Celaka
benar, tentu akan banyak korban manusia."
"Saya dan kawan-kawan saya akan segera pergi memberi
pertolongan, eyang. Marilah eyang saya antar dulu pergi menyusul
ayah ke Jebres."
"Apa kau bilang? Mengungsi pergi sedangkan banyak orang terancam
bahaya? Tidak! Kaukira hanya kalian orang-orang muda yang bisa
berenang? Huh, aku dulu juara berenang, tahu?" Setelah berkata
demikian.. byurrr! Kakek enampuluh tiga tahun usianya itu terjun
ke air dan dengan ringannya berenang keluar dari rumah!
Dengan amat cekatan kakek Setro menaiki getek lalu bersama
Prayitno dan para anggauta Hanra lainnya, kakek ini ikut membuat
getek-getek dan pergi ke daerah yang dekat tanggul.
Kalau tadinya ada perasaan mangkel dan jengkel dalam hati
Prayitno terhadap kakeknya yang keras kepala dan penuh tahyul,
perasaan-perasaan itu sekarang tersapu bersih oleh sikap kakeknya
yang gagah berani dan cekatan. Ia memang amat sayang kepada
kakeknya dan sekarang ia malah bangga mempunyai seorang kakek
seperti mbah Setro!
* * * Sekitar jam dua malam Prayitno dan kawan-kawannya sudah banyak
memberi pertolongan kepada para korban dekat tanggul di daerah
kelurahan Gandekan. mBah Setro, Barjo dan dua Hanra lain tengah
sibuk menolong keluarga Liem Seng Jin yang besar. Liem bersama isteri
dan tujuh orang anaknya berada di atas genteng rumah yang sudah
makin dekat saja dengan air merah yang selalu naik. Seperti juga para
korban lain yang tak sempat meninggalkan rumah, keluarga Liem ini
dapat diselamatkan, diangkat dengan getek-getek ke tempat yang aman.
Prayitno dan beberapa orang kawan lain yang dianggap pandai
berenang, bekerja seorang diri menggunakan getek kecil menyusup ke
daerah-daerah yang berbahaya, menolong orang-orang yang sudah
terjebak air dan sukar ditolog oleh rombongan besar karena air
terlampau deras.
Kebetulan sekali Prayitno lewat di kampung yang ditinggali
Sukardi. Di situ banyak rumah roboh, karena banyak terdapat bilik
yang amat lemah bangunannya. Memang, air tidak berapa dalam di
daerah kampung yang agak tinggi letaknya ini, akan tetapi karena
dekat tanggul, maka air amat deras dan kuat alirannya. Tiba-tiba ia
mendengar jerit mengerikan di antara suara-suara minta tolong yang
sudah sejak berjam-jam terdengar tak kunjung berhenti itu.
"Yanto..! Tolooonggg. anakku.. Yanto.!"
Prayitno cepat menggerakkan geteknya yang terbuat daripada dua
batang gedebog pisang itu menuju ke arah suara tadi. Di dalam keadaan
yang suram muram ia melihat seorang wanita berenang sambil
menjerit-jerit,
"Yanto. ! Anakku. tunggu. Yanto.!"
Tanpa ragu-ragu lagi Prayitno lalu terjun ke dalam air, siap
membawa tambangnya. Ia berenang menyongsong wanita itu dan
bertanya, "Di mana mbak (kak) . di mana anakmu itu.?"
Melihat ada orang berenang mendekatinya, timbul harapan wanita
itu yang bukan lain adalah Nuryati. "Aahhh.. anakku. hanyut tadi
di depan situ. tolonglah"
Prayitno memandang ke kanan kiri. Tidak tampak bayangan anak
hanyut. Ia mencoba berenang, malah dengan tabah ia menyeberangi arus
yang amat deras di bagian yang tadinya merupakan jalan kampung.
Hampir ia terbawa hanyut kalau tidak cepat-cepat berpegang pada
cabang sebatang pohon.
"Di mana mbak? Aku tidak melihat ada anak." tanyanya cemas.
"Aduh Yanto.! Yanto., tunggu ibumu.!" Nuryati dengan nekat
berenang terus, biarpun kaki tangannya sudah amat lelah dan hampir
tak bertenaga lagi. Ia tiba di tempat yang deras arusnya dan tak
tertahankan lagi ia terseret hanyut.
"Yanto.!"
Prayitno cepat berenang dan berhasil menyambar rambut Nuryati
yang terlepas dari sanggulnya dan riap-riapan. Baiknya wanita itu
berambut panjang sekali sehingga dapat tertolong.
"Mbak, jangan.., percuma. Tidak kelihatan lagi anak itu..., lebih
baik kau menyelamatkan diri dulu, biar nanti aku dan kawan-kawanku
mencarinya." Prayitno berusaha menarik lengan Nuryati menuju ke
pinggir, ke dekat rumah-rumah di mana aliran air tidak deras.
"Tidak.! Lepaskan aku, lepaskan..! Aku harus menyusul anakku.!"
Nuryati meronta-ronta dari pelukan Prayitno. Orang muda itu yakin
bahwa kalau ia melepaskan, tentu wanita ini akan nekat dan sekali ia
terseret air yang mengganas itu, takkan dapat tertolong lagi. Maka
ia mempererat pegangannya, memegang tangan kiri Nuryati dan
membujuk-bujuknya.
"Sudahlah, mbak, jangan nekat. Nanti kubantu mencari dengan
getek. Percuma kau mengejar, membuang nyawa sia-sia."
Nuryati marah sekali, merasa dihalang-halangi maksudnya hendak
menolong Iryanto anaknya. "Lepaskan aku! Pergi kau! Perduli apa
dengan aku? Aku hendak menyusul anakku lepaskan. Ah, Yanto.
tunggu.!" Nuryati meronta-ronta, memukul, bahkan menggigit tangan
Prayitno. Bingung orang muda ini. Gigitan Nuryati tidak main-main,
sampai berdarah tangannya dan terpaksa dilepaskan tangan kiri yang
dipegangnya, akan tetapi sebelum Nuryati berenang jauh, ia sudah
menangkap lagi. Prayitno maklum bahwa kalau begini jadinya, ada
kemungkinan dia sendiri akan terseret dan terbawa hanyut. Demi
menolong nyawa wanita ini, pikirnya.
"Maaf, mbak." bisikya dan tangan kanannya melayang, menampar
tengkuk Nuryati, keras.
"Oohh." Nuryati semaput terkena pukulan pada tengkuknya dan ia
tak berdaya lagi ketika Prayitno menyeretnya ke tempat yang tidak
deras airnya. Dia berpegang pada cabang pohon, tubuh yang lemas itu
dirangkul dengan tangan kiri, matanya mencari-cari. Celaka, geteknya
telah hanyut entah ke mana ketika ia sedang bergulat dengan Nuryati
tadi. Untuk berenang sambil menarik tubuh Nuryati memang dapat,
akan tetapi juga berbahaya sekali. Di perkampungannya yang tidak
dikenalnya ini, ia tidak tahu di mana bekas-bekas jalan yang sekarang
dijadikan semacam bengawan kecil yang deras oleh air bah. Akan tetapi
ke jurusan mana? Jangan-jangan ia malah akan tersasar ke jurusan
berbahaya. Dalam keadaan gelap dan geger seperti itu memang sukar
diketahui bagian mana yang aman, bagian mana yang berbahaya. Kawankawannya tentu tidak jauh. Tadi Hok Siang si juara renang itu,
geteknya tidak berjauhan dengan dia.
"Ahoooiii!!" Prayitno berteriak keras sekali, mempergunakan
sebelah tangan sebagai corong depan mulutnya. Suaranya yang nyaring
memekikkan code bagi kawan-kawannya ini mengatasi suara hirukpikuk banjir.
".ooiiiii.!" dari jauh terdengar jawaban, sayup-sayup. Prayitno
girang sekali dan mengulang pekiknya. Diam-diam ia menatap wajah
wanita yang ditolongnya. Di dalam gelap wajah itu kelihatan putih
pucat seperti muka mayat. Mudah-mudahan dia tidak akan siuman
sebelum berada di tempat aman, pikir Prayitno. Kalau sampai siuman
di sini, berabelah. Ia tak sampai hati untuk memukul lagi, betapapun
mutlak untuk perlakuan seperti itu terhadap seorang yang nekat
seperti ini. kasihan dia, pikirnya sambil memekik lagi memanggil
kawan. Sebuah getek muncul. Ternyata bukan Hok Siang, melainkan Barjo
dan Ping Hin seorang pemuda Karangasem yang rumahnya juga terendam
air dan kini bersama para pemuda Hanra lainnya beramai-ramai
menolong para korban banjir.
"Hin, Jo.., sini.!"
"Eh, siapa yang kautolong ini?" Masih hidupkah?" tanya Ping Hin
yang cepat mendayung getek mendekati Prayitno.
"Seorang ibu, anaknya hanyut," jawab Prayitno singkat. Tubuh yang
pingsan itu didudukkan di atas getek, bersandar pada Prayitno.
"Kalian harus berenang, mendorong dari belakang agar getek tidak
terguling," kata pula Prayitno. Ping Hin segera meluncur ke air dan
mendorong. Getek miring-miring.
"Jo, kaupun harus turun. Terlampau berat."
"Aku. aku tak pandai berenang." Barjo menjawab takut-takut.
"Apa..?" Prayitno kaget. "Tak pandai berenang berani sampai
tempat ini?"
"Itulah," Ping Hin berkata. "Akupun sudah melarangnya tadi. Yang
tidak pandai berenang lebih baik membantu di bagian yang tidak dalam,
atau di bagian daratan menolong para korban dan pengungsi."
"Habis.. siapa tahan mendengar jerit-jerit minta tolong itu? aku
harus ikut menolong, biarlah nyawaku taruhannya!" jawab Barjo.
Naik rasa haru mencekik leher dari dada Prayitno. Kiranya bukan
dia sendiri, bukan hanya Barjo yang gagah berani. Mungkin pada saat
itu semua orang menemukan kembali perikemanusiaannya, digerakkan
oleh kekuasaan tertinggi yang tak tampak. Setiap orang manusia pada
saat itu seperti itu pasti bangkit perikemanusiannya, bersatu padu
menghadapi malapetaka, saling membantu, saling menaruh kasihan.
"Baiklah kalau begitu, kau duduk di sini. Hati-hati, pegang dia
kuat-kuat karena kalau dia siuman, tentu dia akan nekat terjun ke
air mencari anaknya," kata Prayitno. Barjo menggantikan Prayitno
memegangi Nuryati sedangkan Prayitno bersama Ping Hin berenang di
depan dan belakang getek, mendorong dan membawa getek keluar dari
daerah berbahaya.
Kedatangan Prayitno disambut gembira oleh kakek Setro yang
sudah merasa kuatir sekali karena lama cucunya tidak muncul.
Sebaliknya ketika Prayitno melihat kakeknya dengan pakaian basah
kuyup, kopyahnya hilang karena hanyut terbawa air, muka yang kurus
itupun basah, kini kelihatan menggigil kedinginan, hatinya terharu
sekali. Ia merangkul kakeknya dan berkata,
"Eyang, harap suka menyusul ayah, berganti pakaian kering. Eyang
bisa masuk angin nanti," kata Prayitno.
"Betul itu, mbah Setro sebaiknya pulang saja. Biarlah yang mudamuda begini bertandang."
"Siapa bilang aku sudah terlalu tua untuk menolong orang lain?"
Suara mbah Setro galak. Orang-orang muda itu tersenyum maklum.


Geger Solo (banjir Bandang) Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bukan begitu, eyang. Lihat ini, wanita ini kutemukan sedang
mencari anaknya yang hanyut. Dia berenang dan hampir nekat.
Terpaksa kubawa dengan kekerasan, kalau tidak dia sendiri akan
binasa. Aku bingung bagaimana harus menolongnya sekarang. Dibiarkan
saja tentu tak baik. Pakaiannya juga basah kuyup. Apakah tidak sebaiknya eyang
menolongnya, membawanya ke rumah paman dan di sana tentu ibu akan
dapat menolongnya lebih lanjut.
mBah Setro memang sejak tadi merasa kedinginan, akan tetapi ia
tidak mau menyatakan ini. Pantang mundur dalam menolong para
korban. Sekarang ia mendapat kesempatan. Kalau ia pulang sekarang,
melainkan demi menolong perempuan ini. Ia menarik napas panjang.
Sekarang ia mendapat kesempatan. Kalau ia pulang sekarang, bukan
karena takut dingin atau tidak kuat, melainkan demi menolong
perempuan ini. Ia menarik napas panjang.
"Baiklah. aku antar dia ke Jebres."
"Siapa bisa membecak? Antar eyang ke Jebres. Pinjam becak koh Kim!"
kata Prayitno. Seorang tukang becak yang juga sibuk membantu para
korban segera mengajukan diri. Mudah saja mendapatkan sebuah becak
pinjaman dari Tek Kim dan mbah Setro bersama Nuryati yang masih
pingsan diantara ke Jebres.
Lega hati Prayitno. Tadi yang merupakan ganjalan di hatinya
hanya keadaan kakeknya. Memang ia merasa bangga bahwa kakeknya
dengan berani seperti para muda ikut bertandang, malah berani
memasuki daerah berbahaya dekat tanggul. Namun diam-diam ia merasa
kuatir sekali. Ia tahu
bahwa eyangnya itu seringkali terserang
batuk, apabila di musim dingin. Sekarang berbasah-basahan seperti
itu, betul-betul amat menguatirkan hatinya. Sekarang eyangnya sudah
pergi ke Jebres, juga ia sudah dapat menolong seorang nyawa wanita,
kegembiraannya timbul, semua kelelahan lenyap dan Prayitno bersama
kawan-kawannya kembali ke daerah berbahaya untuk menolong korbankorban lainnya. Masih banyak sekali orang-orang perlu ditolong,
dikeluarkan dari daerah berbahaya. Malah masih terlalu banyak.
Sukarnya, keadaan amat gelap dan air bah amat kuat dan deras
sehingga kadang-kadang untuk menyeberang sebuah "bekas jalan" aja
menggunakan getek amatlah sukarnya.
Menjelang pagi setelah keadaan tidak begitu gelap lagi, hati para
pemuda satria ini lebih ringan. Tentu akan lebih mudah menolong di
waktu hari terang. Akan tetapi, kiranya tidak demikian kenyataannya. Air masih saja menaik dan makin deras. Pula, sekarang
sekarang gerakan para penolong terhalang oleh balok-balok besar
yang mengambang, yang seperti perahu-perahu besar malang melintang
mendobraki rumah-rumah bilik. Terhalang pula oleh lemari-lemari
yang mengapung, oleh rumah-rumah yang roboh dan kini terapungapung piannya malang-melintang. Dan orang-orang yang perlu
ditolong masih amat banyaknya.
Setelah hari menjadi pagi, berbondong-bondong datanglah bala
bantuan, terutama sekali dari ABRI. Makin lancarlah usaha
pertolongan terhadap para korban yang perlu ditolong keselamatannya
dan perlu diungsikan ke tempat aman. Sekolah-sekolah penuh dibanjiri
pengungsi, rumah-rumah perkumpulan dan rumah-rumah penduduk yang
besar, semua menampung pengungsi tanpa pilih bulu, tanpa pilih kasih
dan tanpa hitungan. Tangan-tangan
penuh keharuan, penuh perikemanusian diulurkan dengan rela dan jujur untuk menolong
sesama manusia yang menderita malapetaka. Sekolahan Warga,
sekolahan Sin Min, gedung perkumpulan P M S dan banyak lagi gedunggedung besar lain baik gedung sekolah-sekolah maupun perkumpulanperkumpulan, semua penuh dengan pengungsi yang terdiri dari macammacam golongan, tua muda kaya miskin yang sudah tak berumah lagi,
diusir oleh air Bengawan Solo!
Orang tak menghiraukan harta benda. Yang terpenting dan harus
diutamakan penyelamatannya adalah nyawa, nyawa manusia. Nyawa
tikus, kucing, anjing tak dihiraukan orang. Bangkai-bangkai binatang
ini terapung di mana-mana, membengkak seperti dari karet. Sapi-sapi
peras berenang sendiri-sendiri menyelamatkan diri. Banyak yang
mati. Di antaranya sebelum terlambat disembelih orang-orang,
dagingnya dibagi-bagi. Tentu seijin pemiliknya. Memang, lebih baik
dipotong sebelum mati konyol dan menjadi bangkai yang hanya akan
menambah pekerjaan dan kotoran belaka.
Banyak pula hal-hal yang membikin mengkal hati para pasukan
penolong korban banjir ini. Bayangkan saja. Orang-orang dengan susah
payah, malah dengan resiko pengorbanan nyawa, datang menempuh
bahaya untuk menolong mereka yang tak sempat menyelamatkan diri.
Masa ada orang (banyak yang demikian ini) yang berkukuh, tidak mau
meninggalkan rumahnya, nekat duduk di atas genteng untuk menjaga
rumah dan harta benda agar jangan diganggu orang dan kepada para
penolong itu dia hanya minta dikirim makan dan minum! Yang lebih
memarahkan hati lagi adanya peringatan dari para petugas bahwa
dalam keadaan geger seperti ini ada orang-orang yang sengaja mencari
keuntungan besar dengan jalan memasuki rumah-rumah yang kebanjiran
dan ditinggal pergi penghuninya untuk mengambil barang-barang
berharga! Bayangkan saja. Andaikan dosa itu bertingkat, kiranya
tingkat dosa mencuri barang-barang orang yang sedang ditimpa
malapetaka macam ini merupakan dosa tingkat tertinggi! Dan tak dapat
disangsikan lagi bahwa andaikata ada pencuri seperti ini sampai
terjatuh ke tangan rakyat, sudah pasti ia akan hancur lebur
dikeroyok rakyat.
"Kita harus waspada," kata Prayitno kepada teman-temannya, "buka
mata baik-baik terhadap penjahat-penjahat
yang tak berperikemanusian yang memasuki rumah-rumah kebanjiran. Kita harus
tumpas orang-orang seperti itu."
Dengan teratur dan hati-hati banyak keluarga yang masih berada
di loteng rumah, di atas genteng atau di mana saja asal air tak dapat
mengejar mereka, diturunkan dan ditolong, dinaikkan getek-getek
darurat dan dibawa ke tempat aman. Air maih terus menaik.
"Siapa di sana itu?" tiba-tiba Prayitno berseru ketika ia melihat
seorang pemuda bertubuh tegap mendayung getek seorang diri memasuki
perkampungan dan nampak tergesa-gesa.
"Dia Rahmanto, katanya hendak menolong korban banjir. Dia
pemberani dan terkenal jagoan di kampungnya, ahli berenang pula.
Sejak tadi pagi dia banyak menolong korban seorang diri saja." Kata
Hok Siang.
"Ah, pemuda sombong, kementus! Kulihat sendiri tadi ia
mengutamakan menolong gadis-gadis cantik. Lihat saja nanti, tentu
gadis lagi yang ditolongnya. Orang macam itu memang mempergunakan
kesempatan. Kalau tidak lagi begini mana dia bisa mendekati gadisgadis cantik?" kata Barjo dengan nada gemas.
Prayitno tersenyum. "Ih, kenapa kau seperti iri hati? Menolong
gadis atau nini-nini, namanya menolong juga, apa bedanya? Mungkin
kebetulan saja yang ditolongnya gadis-gadis. Masa mau menolong saja
harus memilih gadis, yang cantik pula?"
"Eh, kau tidak percaya, mas Yitno? Aku melihat dengan mataku
sendiri siang tadi. Ada keluarga sudah dinaikkan getek. Celakanya,
geteknya terguling. Keluarga itu terdiri dari seorang ibu, seorang
gadis dan tiga orang adik-adiknya yang masih kecil. Eh, yang ditolong
lebih dulu adalah gadis itu! Keluarga yang lain ia biarkan ditolong
oleh orang-orang lain. Menggemaskan tidak?"
Prayitno hanya tersenyum dan ia memandang ke arah pemuda tegap
berkemeja biru muda yang menghilang di balik sebuah rumah besar,
rumah gedung yang sudah setengahnya lebih terendam air banjir.
"Kita ke mana sekarang?" tanya Ping Hin yang berada di sebuah
getek lain bersama Parlan, Sayono dan lain-lain.
"Kita harus berpencar. Enam orang ke Sangkrah. Di pabrik limun
De Hoop banyak pengungsi perlu ditolong. Enam orang, rombonganku,
ke Kampung Sewu," kata Prayitno.
Mereka berpencaran, tiga buah getek ke Sangkrah dan tiga buah
lain ke Kampung Sewu. Setiap buah getek ditumpangi dua orang pemuda.
"Eh, mas Yitno, agaknya kau hendak melongok rumah Ningsih, ya?"
Barjo berkata, menggoda Yitno kawan segetek. Yitno tersenyum masam.
"Ada-ada saja kau, Jo. Apa hanya Ningsih yang tinggal di Kampung
Sewu? Daerah itu diamuk banjir, kiranya di sana tempatnya kalau kita
hendak mengulurkan tangan membantu para korban. Apa kau lebih suka
bermain perahu di alun-alun atau di Pasar Gede, menjadi lagak?"
"Heh-heh, aku hanya main-main, mas Yitno."
"Tidak apa, Jo, akupun tidak apa-apa. Mudah-mudahan saja Ningsih
dan keluarganya sudah mengungsi semua."
Dua getek lain yang ikut dengan Yitno ke Kampung Sewu ditumpangi
oleh Hok Siang, Parlan, Sayono dan Agus Sihmanto. Di tempat yang
termasuk sebagai daerah berbahaya ini mereka bertemu dengan
rombongan lain, sebagian besar para anggauta Hanra yang dipimpin
oleh Maridi dari Mertokusuman. Segera para pemuda ini mengangkuti
para korban yang perlu sekali diungsikan karena air masih saja
menaik. Prayitno membawa geteknya ke sebelah selatan. Betapapun juga,
setelah tiba di kampung itu ia harus melihat keadaan rumah Ningsih
Puspaningsih, demikian nama lengkap gadis itu, adalah seorang gadis
bekas murid ayahnya dan sudah beberapa kali berkunjung ke rumahnya.
Dengan dia kenal baik dan agaknya ada tanda-tanda bahwa diantara
mereka tumbuh semacam perasaan yang mesra. Akan tetapi, selalu
Prayitno yang meragu dan mengundurkan diri. Pengalamannya satukali
masih merasa perihnya di hati. Prayitno sudah pernah menikah dengan
seorang gadis modern dari Semarang. Akan tetapi, hanya setengah
tahun ia dapat bertahan. Tak sesuai faham, tak cocok watak, selalu
isterinya mengajak cekcok dan akhirnya bercerailah mereka. Prayitno
menjadi hialgn semangat untuk menikah lagi. Memang, harus diakui
bahwa diam-diam ia amat tertarik kepada Ningsih yang cantik manis.
Akan tetapi, ah. Ningsih masih kekanak-kanakan, paling banyak
enambelas tahun usianya. Dia sudah duapuluh lebih, malah sudah duda.
Barjo dapat mengerti kehendak hati Prayitno, maka tanpa banyak
bertanya kawan inipun mendayung getek menuju ke kampung Ningsih.
"Lho, siapa itu, mas
telunjuknya ke depan.
Yitno.?"
tiba-tiba Barjo menundigkan
Tadinya Prayitno mengira bahwa Barjo menunjuk ke arah orangorang yangminta tolong dari sebuah loteng, yang melambaikan tangan
minta tolong. Akan tetapi ketika ia memandang ke bawah, ia melihat
Ningsih dirangkul oleh pemuda tegap yang berenang melawan arus air.
"Tolong..!" Pemuda tegap itu berseru ketika melihat getek.
"Hemmm, dia lagi," gerutu Barjo, "celaka, yang ditolongnya Ningsih
sekarang..!"
Akan tetapi Prayitno tidak memperdulikan gerutu kawannya, cepat
mendayung getek mendekati. Ningsih masih setengah pingsan dan
menangis sambil terbatuk-batuk ketika dinaikkan ke atas getek.
Pemuda tegap yang bukanlain adalah Rahmanto itu naik ke atas getek
pula. Getek kecil itu mana kuat menahan empat orang. Prayitno
mengalah dan meluncur turun, Barjo setelah meragu sebentar juga
meluncur turun.
"Mana getekmu? Dan dari mana kau menolong Ningsih ini?" tanya
Barjo dengan suara dingin. Pemuda itu memandang dengan kening
berkerut. "Getekku hanyut. Nona ini tadinya naik getek bersama ayahnya,
akan tetapi geteknya terguling. Ayahnya dapat berenang ke sebuah
rumah dan selamat, aku terpaksa terjung menolongnya." Di dalam katakata pemudaini terdengar suara bangga. "Tolong antarkan kami berdua
ke tempat aman."
Barjo hendak membantah, akan tetapi Prayitno yang sudah melihat
orang-orang di loteng itu melambai-lambai minta tolong, berkata,
"Kauantarkan mereka ini ke tempat aman, Jo. Biar aku akan
berenang ke loteng itu. Kutunggu kau di loteng itu, lekas kembali!"
Terpaksa Barjo mentaati perintah ini dan berenang menyurung getek
itu keluar dari daerah berbahaya.
Prayitno cepat berenang ke rumah berloteng di mana terdapat
beberapa orang yang melambaikan tangan minta tolong. Setelah dekat,
ia melihat bahwa yang melambaikan tangan adalah seorang wanita
setengah tua yang berkata kepadanya.
"Tolong, tuan. rumah kami dimasuki pencuri.!"
Prayitno cepat menyambar talang rumah dan merayap naik ke
loteng. Ia berhadapan dengan seorang wanita setengah tua dan seorang
laki-laki yang berwajah pucat.
"Pencuri? Di mana dia?" tanya Prayitno siap untuk bertindak.
"Tadi. tadi dia membobol genteng bawah, di belakang. memasuki
rumah bawah."
"Mana jalannya menuju ke bawah, nyonya?" tanya Prayitno.
"Ke sini tuan.. mari ikut." Nyonya setengah tua itu bersama lakilaki tua menunjukkan jalan turun melalui anak tangga yang sudah
setengahnya lebih terendam air. Prayitno dengan berani menuruni
anak tangga, lalu berenang ke tengah ruangan bawah yang penuh air.
Akan tetapi ia tak melihat adanya pencuri.
"Tidak ada orang di bawah situ, nyonya," katanya setelah naik lagi
sambil menghapus air dari mukanya.
"Ah, celaka.." nyonya itu menangis, "kami tadi mendengar betul
ada orang. Suara air jelas terdengar dari sini dan suara lemari
dipukul benda keras. Aduh, tolonglah tuan, tolong periksa lemari di
kamar saya. di situ saya simpan perhiasan saya."
Mengkal juga hati Prayitno mendengar permintaan wanita ini.
Segala macam urusan harta, pikirnya. Akan tetapi demi melihat wajah
wanita yang menangis itu, seakan-akan seluruh harapan hidupnya
diserahkan kepadanya, dan mengingat lagi bahwa benar-benar
perbuatan biadab mencuri barang milik orang yang sedang tertimpa
malapetaka, ia lalu berenang turun lagi. Benar-benar saja, ia
mendapatkan sebuah lemari sudah terbuka, isinya pakaian dan lainlain berantakan tidak karuan.
"Di tengah-tengah ada lacinya, tuan. Dalam laci ada blik kecil.
Tolong ambilkan blikkecil itu.." demikian wanita tadi memesannya
ketika ia hendak turun. Sekarang ia melihat laci sudah terbuka, tidak
ada blik di dalamnya. Terpaksa ia keluar lagi menyampaikan berita
ini. "Apa..? Hilang..? Aduhhh celaka." Dan wanita itu menjadi
lemas, pingsan dalam pelukan laki-laki tua.
Kata-kata yang keluar dari mulut laki-laki tua itu adalah bahasa
Tionghoa, sehingga Prayitno tidak tahu artinya, akan tetapi ia dapat
mengira-ira bahwa laki-laki tua itu tentu menghibur isterinya.
"Sudahlah, nyonya, jangan menangis. Katakan saja apa barangbarangnya yang hilang, saya akan melaporkan kepada yang berwajib,"
katanya. Dengan terisak-isak nyonya itu mengatakan bahwa barangbarang simpanannya adalah sepasang giwang berlian, sepasang gelang
emas dan sebuah cincin bermata tiga berlian. Prayitno mencatatnya di
dalam hati dan berjanji akan melaporkan kehilangan itu.
"Lebih baik nyonya dan tuan nanti ikut dengan aku mengungsi ke
tempat aman."


Geger Solo (banjir Bandang) Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tidak, terima kasih pak," kata nyonya itu. "Kami akan berada di
sini, kiranya air takkan menaik sampai ke loteng ini."
Prayitno mengukur dengan pandang matanya. "Memang agaknya
takkan mungkin setinggi ini naiknya. Akan tetapi, bagaimana kalian
makan?"
"Kami membawa beras ke loteng, bisa masak
minumnya.. sukar juga. Air banjir amat kotor.
di sini. Hanya "Karena itu lebih baik mengungsi dulu."
Akhirnya suami isteri itu menurut dan ketika Barjo kembali dengan
geteknya, mereka turun ke atas getek. Prayitno dan Barjo terpaksa
berenang lagi untuk menolong getek.
"Bagaiman dia, Jo?" tanya Prayitno sambil lalu.
"Beres, sudah bertemu dengan ayahnya. Ningsih dan ayahnya tadinya
akan mengambil barang-barang berharga di rumahnya. Kata ayahnya
memang aneh sekali, getek mereka tiba-tiba saja terguling dan tahutahu muncul Rahmanto itu yang menolong Ningsih. Mereka amat
berterima kasih kepada Rahmanto, hemm.. kau kalau zet, mas Yitno."
"Hush, masa menolong dipakai bertanding atau berlumba?"
Setelah menyelamatkan beberapa orang lagi, malam tiba. Terpaksa
usaha pertolongan mengungsikan orang-orang sementara ditunda
karena malam amat gelap dan air belum juga turun. Prayitno amat
lelah. Semalam suntuk diteruskan sehari penuh dia bekerja. Agaknya
air yang selalu membuat tubuhnya basah kuyup itu yang menjadikan
dia kuat dan tidak terasa ngantuk dan lelahnya. Akan tetapi sekarang
ia kedinginan, lapar dan lelah sekali. Karena memang malam itu tidak
dapat melakukan usaha pertolongan, Prayitno dan kawan-kawannya
kembali ke rumah masing-masing untuk beristirahat. Tentu saja
istilah "pulang rumah" ini berlaku bagi mereka yang rumahnya tidak
terendam air. Bagi mereka yang terendm air rumahnya (dan sebagian
daripada mereka ini terendam rumahnya), tidak bisa pulang rumah
lagi, melainkan menyusul keluarga ke tempat pengungsian. Prayitno
pergi ke Jebres, ke rumah pamannya. Semua orang di rumah pamannya,
terutama sekali ibunya, menyambut kedatangannya dengan girang.
"Yitno, ibumu selalu ribut-ribut saja menguatirkan kau. Padahal
sudah berkali-kali kukatakan, seorang lelaki jantan macam kita ini
tak perlu dikuatirkan. Kita lawan kalau hanya air banjir saja. Hanya
orang laki-laki lemah yang takut akan air dan tak pandai berenang!"
Sambil berkata demikian, kakek Setro melirik ke arah anak mantunya,
pak Gunawan. Pak Gunawan merasa akan sindiran ayah mertuanya, akan
tetapi ia sudah cukup mengenal watak kakek ini yang tidak bermaksud
buruk maka tersenyum saja. Prayitno juga merasa dan maklum bahwa
kakeknya bermaksud mengangkat dia tinggi-tinggi, lebih tinggi
daripada ayahnya dan setingkat dengan kakeknya, maka ia segera
membela ayahnya atau membela orang-orang yang tak pandai berenang.
"Belum tentu laki-laki yang tak pandai berenang lemah, eyang."
Tiba-tiba ia berhenti bicara karena dari dalam berlari-lari
seorang wanita. Wanita yang masih muda, berwajah bulat, bermata
lebar. Wajah yang amat manis seperti bulan purnama, sepasang mata
yang amat bening dan indah, tubuh yang denok. Wanita yang kalau ia
tak salah ingat, ditolongnya ketika mencari anaknya yang hilang,
wanita yang menggigitnya yang. Pernah ditempilingnya sampai
pingsan! Teringat akan ini, Prayitno menjadi merah mukanya dan tidak
berani memandang.
Wanita itu, Nuryati, berlari tersaruk-saruk menghampirinya.
Tanpa ragu-ragu memegang lengannya dan bertanya, suaranya
mengandung isak tertahan, napasnya terengah-engah, dadanya
bergelombang, "Bagaimana, mas.. bagaimana hasilnya? Bagaimana
anakku." Lengan tangan Prayitno diguncang-guncangnya keras-keras,
membuat orang muda itu menjadi bingung dan gugup, tak tahu harus
menjawab bagaimana. Tentu saja sambutan yang serentak ini tak pernah
ia sangka-sangka dan membingungkannya.
Kakek Setro mendekat. "Kasihani dia, Yit. Nuryati kehabisan akal,
menangis selalu. Suaminya hanyut oleh banjir ketika sedang menolong
tetangganya, anak tunggalnya hanyut pula. Ahhh." Kakek itu menarik
napas dan Prayitno maklum bahwa ucapan kakeknya ini mempunyai
maksud agar sikap Nuryati itu dimaafkan.
Prayitno mengangkat muka, memandang wajah yang bulat bermata
lebar, berkulit halus pucat, rambut yang kusut dan bibir yang gemetar
itu, lalu menggeleng perlahan, "Tidak ada ditemukan seorang kanakkanak hanyut.., mbak. Menyesal sekali."
"Ahh.. Yanto.. Yanto. anakku." dan perempuan muda itu
menangis sambil menutupi mukanya, berjalan tersaruk-saruk kembali
ke dalam rumah. Masih terdengar tangisnya dari luar, membuat
Prayitno berdiri termangu-mangu, penuh keharuan dan iba hati.
"Kasihan.." tak terasa kata-kata ini terloncat dari mulutnya.
Kakek Setro menarik tangan Prayitno, diajak mengobrol di sudut
yang jauh dari orang-orang lain, suaranya agak bisik-bisik akan
tetapi dengan heran orang muda ini mendapat kenyataan bahwa
kakeknya bicara dengan nada yang amat serius.
"Yitno, cucuku, kau benar. Memang amat kasihan Nuryati. Betulbetul harus dikasihani dan ditolong. Ahhh, bayangkan saja, sekaligus
kehilangan suami dan anak tunggal. Dan dia tidak mempunyai keluarga
lain, sudah yatim piatu. Ah, alangkah kejamnya Bengawan Solo. Aku
menyesal sekali mengapa bengawan yang paling terkenal di seluruh
Jawa ini bisa demikian kejam terhadap seorang wanita seperti
Nuryati. ah"
Prayitno memandang tajam. "Agaknya eyang amat menaruh
perhatian atas nasib diri. siapa.. eh, Nuryati itu. Saya rasa,
bencana banjir bandang sekali ini menjatuhkan korban yang amat
banyak eyang, tidak hanya. mbak Nuryati itu saja yang menjadi
korban."
Kakeknya mengangguk-angguk tak sabar. "Kau betul, akan
tetapi., tidak ada yang seperti Nuryati. Ah.. aku, kau kita harus
menolongnya kalau tida.."
"Ada apa, eyang?"
"Kita tidak melihat mukanya? Ahh. Mengingatkan aku akan si
Wulan. muka yang bulat terang. mata seperti sepasang bintang ah,
Yitno, kau harus menolongnya!"
"Eyang, siapa itu Wulan?"
Eyangnya memandang penuh teguran. "Eyangmu puteri, kau tidak
tahu namanya?"
"Oh, maaf eyang seingatku dahulu disebut orang bu Setro"
"Bodoh! Itu kan nama tuanya, ikut aku. Nama kecilnya Sriwulan.
Serupa betul, dan aduh kasihan, Yit. Kalau dia tidak mendapatkan
pegangan baru untuk hidupnya mendatang, ada bahayanya dia akan
mengambil langkah nekat. Kaupun seorang duda, Yit, masih muda dan
gagah. Dia seorang janda muda, cantik denok ayu. Orang perempuan
seperti dia itu patut menjadi isteri yang setia dan memuaskan, seperti
eyangmu puteri."
"Eyang..!" Bukan main kagetnya hati Prayitno. Kiranya ke sana
arah tujuan percakapan ini. Eyangnya hendak menjodohkan dia dengan
Nuryati, janda yang kehilangan suami dan anak itu! "Kenapa eyang
bicara soal ini?"
"Apa salahnya?" Kakek Setro mengerutkan kening. "Kau duda muda,
dia janda muda, sudah sepatutnya menjadi jodoh."
"Eyang, belum tentu kalau suaminya sudah mati.."
Mendengar kata-kata ini, kakek Setro seperti baru sadar lalu
berdiam diri, cemberut. Agaknya ucapan cucunya itu mengecewakan
benar hati dan pikirannya yang sudah terlalu tua untuk disebut
normal. Lalu ia masuk ke dalam rumah, bersungut-sungut. Prayitno
sendiri lalu bercakap-cakap dengan ayah bunda dan paman serta
bibinya, menceritakan semua pengalaman yang dialami selama sehari
semalam ini. Pamannya adalah seorang Pembantu Inspektur Polisi
bagian Kriminil, maka amat tertarik mendengar penuturan Prayitno
tentang pencurian perhiasaan yang dilakukan orang di waktu banjir
mengamuk itu. Pandai sekali pamannya ini menghubung-hubungkan
sesuat berkat pengalamannya.
"Kalau kau tidak melihat orang-orang lain di saat itu, Yit coba
kauselidiki orang muda bernama Rahmanto yang suka menolong gadisgadis itu. Kau bilang dia berpakaian lengkap, celana panjang dan
kemeja? Masa ada orang bertandang menolong orang banjir dengan
pakaian lengkap?"
Ucapan pamannya ini menyadarkan Prayitno. Memang mencurigakan
sekali tindak-tanduk dan sepak terjang pemuda tinggi besar yang
bernama Rahmanto itu. Dia berada di sekitar rumah berloteng yang
kecurian, dan tentang getek ayah Ningsih yang terguling secara tibatiba, juga amat aneh mencurigakan.
Pada keesokan harinya, setelah semalam suntuk ia tidur melepaskan
lelahnya, Prayitno pagi-pagi sekali sudah keluar rumah. Ia bertanya
kepada kakeknya tentang nama suami Nuryati dan ketika keluar rumah
pamannya, tujuannya adalah dua macam. Pertama-tama mendengardengar tentang Sukardi suami Nuryati serta mencarinya di tempattempat pengungsian. Kedua kalinya ia akan menyelidiki orang bernama
Rahmanto itu di Nusukan, dan sekalian menengok Ningsih.
Lega hati Prayitno, seperti hati semua penduduk Solo, bahwa pada
pagi hari itu air sudah mulai surut. Kalau tadinya air mengalir deras
sekali dari arah bengawan ke kota, sekarang air mengalir deras pula
kembali ke bengawan, seakan-akan iring-iringan pasukan yang
berbaris pulang cepat-cepat setelah menyerbu ke Solo memperoleh
hasil baik! Dua malam sehari air Bengawan Solo berdiam di kota Solo
dan sekarang air kembali ke bengawan meninggalkan lumpur tanah liat
yang merah kekuningan dan berbau busuk sekali. Dimana-mana tercium
bau bangkai seperti bau terasi busuk. Sebagian kota sudah
ditinggalkan air, yang belum ditinggalkan seperti Pasar Gede dan
Limolasan, air sudah surut banyak dan terus menyurut, dan menurun.
Orang-orang mulai lalu-lalang untuk melihat bekas banjir. Kompleks
pertokoan ditutup jalannya, dijaga oleh yang berwajib. Rumah-rumah
itu sebagian besar masih kosong ditinggal pergi mengungsi, macammacam barang menggeletak di jalan terbawa air.
Sukar melukiskan perasaan hati orang-orang Solo di waktu itu.
Terlihat muka-muka yang pucat kurang tidur, muka yang suram muram
melihat harta benda rusak binasa dan hasil jerih payah puluhan tahun
habis oleh air, akan tetapi mulut pada senyum, senyum penuh
penyerahan, senyum orang-orang yang dikalahkan tapi tidak merasa
penasaran kepada yang mengalahkannya. Betapa mungkin? Yang datang
mengamuk dan mendatangkan kerusakan dan kebinasaan adalah air
Bengawan Solo, betapa mungkin mendendam kepada Bengawan Solo?
Tidak, Bengawan Solo tetap merupakan kebanggaan orang Solo.
Bengawan Solo yang beriwayat, yang termashur, yang bisa kering
sekering-keringnya dan bisa membanjir sehebat-hebatnya. Di musim
kering begitu lemah lembut sehingga kanak-kanak dan domba-domba
dapat bermain-main di atas dasarnya, akan tetapi kalau sudah
mengamuk tak ada kepandaian manusia yang dapat melawannya.
Betapapun juga, terharu juga hati Prayitno sampai-sampai ia
hampir tak dapat menahan air matanya ketika ia memasuki tempattempat pengungsian. Melihat orang-orang menggeletak di lantai,
melihat barang-barang mereka bertumpuk tak karuan, melihat orangorang kebingungan karena belum bertemu dengan sanak keluarga,
mendengar ratap tangis mereka yang kehilangan anggota keluarga.
Dan ia benar-benar menitikkan air mata ketika melihat betapa
beras-beras basah dibagi-bagikan. Beras yang tadinya ber ton-ton
menjadi basah terendam air sehari dua malam menjadi bahan tepung,
memang lebih tepat dibagi-bagikan kepada siapa siapa saja yang suka
dari pada dibuang sayang. Akan tetapi, biarpun beras sudah bukan
merupakan beras bahan nasi pula, masih saja banyak orang mau dan
malah suka menerimanya. Pencerminan keadaan yang amat memilukan!
Orang ? orang sibuk membersihkan rumah dan toko. Barang-barang
toko tujuhpuluh prosen rusak binasa, malah di bagian yang airnya
setinggi dua meter, tidak ada sedikitpun barang dagangan yang utuh,
semua menjadi barang-barang yang hanya pantas dijual di rombengan.
Yang rusak binasa tak dapat ditolong lagi adalah barang-barang hasil
bumi seperti beras, kedelai, gula, wijen dan lain-lain. Barang-barang
kelontong dan bahan-bahan sandang menjadi barang setingkat dengan
barang "second hands" (barang bekas).
Di depan sebuah toko Prayitno berhenti. Dari jauh ia sudah
melihat Bambang sibuk bekerja seperti orang memeras kain sehabis
dicuci. Setelah dekat, ternyata olehnya bahwa bukan kain yang
diperasnya itu, melainkan. Tembakau! Mungkin belum pernah ada
orang melihat tembakau dicuci lalu diperas seperti orang mencuci
pakian kotor. Prayitno menggeleng-geleng kepala. Tembakau dicuci,
lalu menjadi apa?
Bambang agaknya merasa bahwa ada orang
menengok, melihat Prayitno, tersenyum lemah.
memandangnya.
Ia "Yitno, bagaimana rumahmu?"
"Kena juga, Mbang. Sampai sekarang belum dapat kembali, kabarnya
airnya masih semeter lebih. Aku sendiri malah belum ke sana. Wah
tokomu habis ya?"
Bambang tersenyum lagi, agak kecul senyumnya. "Habis, Yit. Tapi
bagaimana lagi, bukan aku sendiri yang menderita. Biarlah, kita mulai
lagi dari bawah."
Tidak lama Prayitno di situ, karena agaknya Bambang hendak
bercerita banyak-banyak tentang pengalamannya selama banjir. Ia
terus mengunjungi tempat-tempat pengungsi, mencari seorang bernama
Sukardi asal Jawa Barat. Memang di beberapa tempat ia mendapatkan
orang bernama Sukardi akan tetapi orang Jawa Tengah aseli, belum
pernah ke Jawa Barat.
Prayitno terheran-heran ketika dalam perjalanan ini ia melihat
kenyataan bahwa banjir mengamuk sampai jauh ke tengah kota. Alunalun juga banjir hebat, malah sepanjang Pasar Pon dan Tri Windu semua
toko buku rusak! Ia teringat akan Toko Gaya, langganannya
menyambungkan senar raket kalau putus, malah sebagai seorang
penggemar bulu tangkis Prayitno kenal baik dengan pemilik toko itu.
Ketika ia tiba di depan toko itu, ia melihat pemiliknya dibantu
beberapa orang sedang mengumpulkan isi toko yang sudah diamuk air.
Raket-raket menjadi bengkak-bengkak seperti gorengan krupuk, gitar
lepas lemnya menjadi berantakan, shuttle-cock beberapa puluh dos
rusak binasa tak mungkin dapat diperbaiki lagi, perangko-perangko,
mainan kanak-kanak. Pendeknya, Toko Gaya yang tadinya penuh dengan
alat-alat oleh raga itu sekarang lemari-lemarinya malang melintang
dan isinya rusak semua.
"Wah, rusak semua ya, oom Gwan?" tegur Prayitno dengan hati iba
melihat pemilik toko itu, tokoh kawakan dunia bulu tangkis di Solo,
sedang mengumpul-ngumpulkan barang rusak. Oom Gwan menengok dan
seperti juga lain-lain korban, dia hanya dapat tersenyum lemah,
senyum orang menderita yang diterima dengan penuh kesabaran. Senyum
"wong Solo" kalau menghadapi penderitaan, "nrimo", sabar, dan tidak
patah semangat.
Yang hebat kerusakannya adalah toko-toko buku sepanjang Tri
Windu. Dapat dibayangkan. Buku-buku terendam air sehari dua malam,
air berlumpur pula. Tentu saja payah! Buku-buku penerbitan C V GEMA
yang hendak dikirim ke luar kota dan masih berada di kantor
perusahaan angkutan juga terendam air dan rusak semua karena
perusahaan angkutan itu berada di kompleks dekat Pasar Gede yang
menjadi samudera kecil!
Semua tempat pengungsi didatangi Prayitno. Namun tidak ada
kabar tentang Sukardi orang Jawa Barat maupun anak kecil laki-laki
bernama Iryanto, anak kecil yang mempunyai tanda tembong merah di
paha kanannya. Biarpun tidak berhasil, namun di setiap tempat
pengungsian Prayitno berpesan kepada para pengurusnya agar supaya
membantu, kalau ada yang bernama Sukardi atau kalau ditemukan bayi
yang ada tanda seperti itu, harap diberitahukan kepadanya ke Jebres
rumah pamannya.
Siang hari Prayitno pulang ke rumah pamannya. Ia belum pergi
ke rumah Ningsih karena ternyata kampung Ningsih juga masih ada
airnya. Ia disambut oleh kakeknya yang cepat-cepat bertanya akan
hasil penyelidikannya. Nuryati sendiri cepat-cepat keluar dan


Geger Solo (banjir Bandang) Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendengar bahwa tidak ada hasil, perempuan muda ini berkata lemah,
"Kalau begitu biarlah aku aku pulang saja hendak kucari
sendiri.." Entah kepada siapa ia bicara ini, kepada kakek Setro,
kepada Prayitno atau kepada diri sendir. Agaknya kepada diri sendiri
karena pandang matanya yang layu menerawang ke depan.
"Kaucari ke mana. Mbak. eh, di Nuryati?" Prayitno merasa bahwa
dia lebih tua, tak patut menyebut mbak (kak). "Semua tempat pengungsi
sudah kudatangi."
Nuryati mengangkat mukanya yang pucat. Memang wanita ini
kulitnya kuning langsep, sekarang kepucatan membuat wajahnya makin
putih pias. Sinar matanya penuh terima kasih kepada Prayitno.
"Biarlah, mas Prayitno.. hendak kucari. Barangkali.." ia terisak,
".barangkali saja mayat mereka.. tersangkut." Ia tak dapat
melanjutkan kata-katanya dan berlari masuk untuk mengambil
selendangnya. Prayitno amat kasihan dan. heran sekali, ia melihat
kakeknya mengusap mata, menghapus dua titik air mata.
"Yitno, kauantar dia. jaga baik-baik, jangan sampai dia.. dia
nekat menyusul suami dan anaknya.." kakek itu berbisik, kemudian
setelah Nuryati keluar dari kamar berkata keras-keras, "Yitno, betul
juga kata-kata nak Nur tadi. Kau antarlah dia ke kampungnya. Ayahmu
tadi sudah melihat rumah kita, katanya masih terendam air sepaha.
Tunggu kalau sudah kering betul airnya, baru kita kembali
membersihkan rumah. Hayo, pergilah bersama nak Nur."
Prayitno tak dapat membantah pula, demikian pula Nuryati. Tanpa
mengeluarkan kata-kata, keduanya berjalan keluar dari rumah.
Prayitno agak merasa sungkan dan malu-malu. Baru kali ini semenjak
ia bercerai dari isterinya, ia berjalan berdua dengan seorang wanita
muda. Wanita yang tak dapat disangkal pula amat manis dan denok,
yang membuat banyak mata laki-laki melirik dan kepala orang-orang yang
bertemu di jalan, menengok ke belakang.
Perkampungan Nuryati ternyata masih terendam air selutut
dalamnya. Lebih sukar berjalan di perkampungan ini karena penuh
dengan lumpur sehingga setiap langkah, kaki terbenam lumpur yang
seakan-akan ada tenaga menyedot sehingga kaki yang terendam sukar
ditarik keluar. Akan tetapi Nuryati nekat memasuki perkampungan
yang masih sunyi itu. Prayitno terpaksa tidak mau melarang atau
mencegahnya, diam-diam saja mengikuti Nuryati, celananya digulung
ke atas. Tak mau ia menuruti matanya yang ingin melirik kebawah
melihat betis kuning yang memadi bunting. Memang Prayitno bukan
laki-laki yang lemah.
Setibanya di depan rumahnya yang sudah tidak berpintu lagi,
melihat rumah itu perabotnya malang-melintang, malah kursikursinya tak tampak pula, agaknya hanyut keluar, Nuryati tertegun.
Kemudian terbayang kembali dalam ingatannya tentang anaknya yang
jatuh dan hanyut, tepat di depan pintu itu. Ia terisak dan menangis
lagi. "Kau kau ingin memasuki rumahmu, dik?" Prayitno berkata untuk
menghentikan tangis perempuan itu.
Nuryati mengangkat muka, mengusap air mata yang membasahi pipi.
Belum dapat ia mengeluarkan suara, hanya menggeleng keras. Matanya
memandang ke kanan, ke arah yang dilalui air, mencari-cari matanya
penuh harap, penuh cemas. Prayitno menunggu saja, tak kuasa bicara,
hatinya penuh keharuan dan ia merasa kuatir kalau-kalau
mengeluarkan kata-kata yang bukan menghibur, malah menambah perih
hati Nuryati.
" aku.. hendak mencari ke sana. mas."
Lumpur mengeluarkan bunyi ketika Nuryati menarik keluar kakinya
dan melangkah perlahan-lahan menuju ke kanan. Tempat yang tadinya
merupakan jalan kampung itu sekarang berubah menjadi sungai kecil
atau selokan yang penuh lumpur. Matanya mencari-cari, ke kanan kiri.
Tiba-tiba ia menjerit ketika matanya menoleh ke kiri. Prayitno cepat
memandang. Kiranya bangkai seekor anjing, bangkai yang sudah
membengkak, perutnya ke atas, lalat merubungnya, baunya busuk
sekali. Sejenak keduanya memandang bangkai itu, kemudian Nuryati
menutupi muka dengan kedua tangan. Aa lumpur melekat di tangannya
sehingga mukanya sekarang berlumur lumpur pula, tak diperdulikannya. Ia terisak menangis.
"Yanto aduh Yanto"
Prayitno menelan ludah, matanya yang panas ditahan-tahannya. Ia
maklum akan apa yang dibayangkan wanita ini ketika melihat bangkai
anjing. Ia sendiri tidak berani membayangkan lebih jauh,
membayangkan hal yang bukan-bukan. Mudah-mudahan saja, ya Tuhan
Yang Maha Kuasa, semoga saja Iryanto itu dapat tertolong orang lain.
Demikian pula Sukardi. Diam-diam Prayitno berdoa di dalam hatinya.
Nuryati berjalan terus, terus menjelajahi kampung itu. Dengan
mata mencari-cari, mata yang kosong, mata yang agak kemerahan, yang
jarang berkedip. Beberapa kali Prayitno membujuknya supaya pulang
saja. "Percuma dik, tak usah dicari. Kalau mayat mereka tidak ada, itu
hanya berarti bahwa mereka masih hidup, tertolong orang lain, jangan
kau membayangkan yang bukan-bukan."
Mendadak muka itu menoleh kepadanya, pandang mata penuh harap,
bersinar-sinar. "Betul begitu, mas.?" Pandang mata itu penuh selidik,
akhirnya dapat menangkap sinar penuh ibat itu di mata Prayitno. "Ah,
kau hanya menghibur.., mana bisa mereka tertolong.? Kak Kardi.,
Yanto setidaknya perlihatkanlah mayat-mayatmu kepadaku." Dan dia
berjalan terus, terus, sampai akhirnya menjelang senja ia tak kuat
lagi, roboh pingsan dalam rangkulan Prayitno. Untuk kedua kalinya
Prayitno memeluk tubuh perempuan ini. Akan tetapi sekarang ia kaget
sekali. Tubuh ini terlalu panas. Terlalu panas buat orang sehat.
Napasnya sengal-sengal pula. Kasihan
* * * Penyelidikan Prayitno tentang diri Rahmanto hanya menghasilkan
keterangan bahwa pemuda yang tinggi tegap itu memang seorang pemuda
yang tidak mempunyai pekerjaan tertentu. Sekolah tidak, bekerjapun
tidak. Kerjanya hanya dolan-dolan menghabiskan uang orang tuanya.
Terkenal sebagai "jagoan" di kampungnya, sebagai seorang pemuda yang
suka berkelahi, suka menang sendiri. Di samping ini Prayitno amat
tertarik ketika mengetahui bahwa akhir-akhir ini Rahmanto
mempunyai banyak teman wanita yang cantik-cantik. Hari ini pergi ke
rumah seorang gadis cantik ini, hari berikutnya ke rumah gadis
cantik itu. Banyak gadis-gadis cantik dikunjungi rumahnya, semuanya
tinggal di daerah banjir, dan semuanya termasuk orang-orang tua para
gadis itu selalu menerimanya dengan
ramah tamah. Dalam penyelidikannya, Prayitno mengetahui bahwa para gadis itu adalah
korban-korban banjir yang pernah ditolong oleh Rahmanto. Termasuk
juga Ningsih yang agaknya menjadi gadis yang paling diistimewakan
oleh Rahmanto, buktinya paling sering didatangi rumahnya.
"Hemmm, beginilah sebenarnya maksudnya menolong gadis-gadis
cantik. Agar dianggap pahlawan oleh keluarga para gadis itu. Hemmm,
tergolong seorang Don Yuan!" pikir Prayitno dengan hati mengkal.
Hari Minggu, empat hari semenjak banjir, Prayitno mengunjungi
rumah Ningsih. Rumah gadis itu sudah bersih kembali, sungguhpun
masih ada bekas-bekas banjir menggarisi tembok rumah di bawah
genteng dan beberapa bagian tembok tampak batanya.
menyambut kedatangannya dengan kening berkerut.
Ningsih "Bagaimana, Ning. Kan selamat semua, to?"
"Kalau tidak ada orang lain menolongiku, kiranya takkan
selamat," jawab Ningsih dengan suara kering. "Mas No, kenapa baru
sekarang kau muncul? Eh, kudengar kau menolongi seorang perempuan
muda yang kehilangan anak. Orangnya cantik betul kata orang!"
Merah muka Prayitno. "Sudah menjadi tugasku menolong siapa saja
yang perlu ditolon, Ning. Mana ayah ibumu? Kan tidak apa-apa semua?"
"Tidak. Duduklah, tapi kursinya masih kotor." Ningsih nampak
tidak mengharapkan kedatangan Prayitno, beda dari biasanya. Dan
Prayitno juga tidak begitu menghiraukan akan sikap ini karena dia
sedang amat tertarik melihat sebuah cincin berlian mata tiga di jari
manis kiri Ningsih. Belum pernah ia melihat cincin itu di jari manis
Ningsih. "Aduh, bagus sekali cincinmu, Ning!" ia pura-pura memuji, teringat
akan perincian barang-barang perhiasan hilang yang diberikan oleh
nyonya berumah loteng. Rumahnya tak jauh dari situ, di luar kampung
dekat jalan besar.
Ningsih menarik muka bangga dan menatap jari manisnya. "Tentu
saja bagus, berlian tulen sih!" katanya membangga dan genit. Memang
Ningsih agak genit, kenes seperti biasanya gadis remaja.
"Waduh, tentu mahal harganya. Pemberian ayahmu, Ning?"
Mendadak wajah gadis itu merah sekali. "Mas No, aku hampir saja
mati ketika getekku terbalik. Untungnya ada seorang pemuda yang
menolongku. Aku berhutang nyawa kepadanya. Dia baik sekali, mas.
Malah.. cincin inipun pemberian daripadanya. Nanti kan dia datang,
mas. Kukenalkan, ya?"
"Hemmm, namanya Rahmanto, bukan?"
Terbelalak mata Ningsih memandangnya. "Lho, kok tahu? Sudah
kenalkah?"
Prayitno hanya mengangguk sambil tersenyum. "Sebentar aku
kembali, Ningsih. Aku ada perlu sedikit, penting sekali. Sebentar aku
kembali, ya? Kita bisa mengobrol. Sudah rindu aku padamu, lho."
"Kalau aku pergi kau duduk saja menunggu pulangnya ayah. Aku.
aku sudah ada janji hendak ke Sriwedari, kok." Akan tetapi Prayitno
agaknya tidak memperhatikan ucapan ini, terus saja pergi dengan
langkah lebar.
Betapa herannya hati Ningsih ketika lima menit
Prayitno sudah berada kembali di ambang pintu rumahnya.
"Lho, kau sudah kembali, mas No?"
kemudian "Ya, Ning. Aku ingin sekali melihat cincinmu sebentar. Boleh, kan?"
Ningsih tersenyum, meloloskan cincin yang agak kebesaran itu,
lalu memberikannya kepada Prayitno. "Sebentar ya Ning, hendak
kuperlihatkan kepada orang." Ia berjalan keluar, diikuti oleh Ningsih
yang menjadi makin terheran dan mengerutkan alisnya. Ternyata
bahwa di luar rumahnya berdiri seorang nyonya Tionghoa dan Prayitno
memberikan atau memperlihatkan cincin bermata tiga itu kepada
nyonya tadi. Nyonya itu begitu melihat lalu mengangguk dan wajahnya
berseri gembira.
"Nyonya sudah tahu kantor pamanku. Harap beritahukan paman,
minta supaya datang ke sini," kata Prayitno kepada nyonya itu. Cincin
itu dibawa oleh nyonya tadi.
"Eh, mas No. Apa artinya ini? Mana cincinku? Kenapa dibawa nyonya
itu?"
Prayitno memegang lengan Ningsih dan menarik gadis itu duduk
di ruangan depan. "Duduklah, Ning. Duduk baik-baik dan dengarkan
kata-kataku."
Ningsih agak pucat. Ia tidak dapat menduga apa yang terjadi, akan
tetapi hatinya tidak enak.
"Ning, ketahuilah bahwa teman barumu itu, Rahmanto itu, dia..
dia seorang penjahat, seorang pencuri.. dan.."
"Bohong..!!" Ningsih serentak bangkit berdiri, matanya bersinarsinar, wajahnya merah. "Mas Rahmanto orang baik-baik. Mas No, jangan
kau mengeluarkan fitnah yang bukan-bukan. Kau malah yang hendak
menipu dan mengambil cincinku."
"Ning, dengarlah baik-baik ceritaku. Ketika banjir itu.."
"Dia yang menolongku,
mendengarkan.!"
bukan engkau! Aku tidak mau "Ningsih!" Prayitno membentak. Dia sayang kepada Ningsih, ingin
menyelamatkan gadis remaja yang menarik simpati dan kasihnya ini
dari tangan seorang jahat.
Pada saat itu terdengar suara sepatu diluar rumah. Seorang pemuda
ganteng dan gagah memasuki pekarangan.
"Hallo, Ning-ku yang manis. Kau lagi apa?" Pertanyaan ini
terdengar amat manis. Wajah Ningsih memerah.
"Oh, mas Rahmanto. Baru ada tamu, mas. Mari-mari kuperkenalkan!"
Pemuda tinggi tegap itu memandang kepada Prayitno dengan muka
tak senang. Alisnya yang tebal bergerak-gerak menyatakan kekecewaan
hatinya. Dia diam saja sambil menatap wajah Prayitno. Di lain fihak
Prayitno juga hanya menatap dengan mata penuh selidik.
"Tamumu ini pernah kumelihatnya, Ning. Ketika aku menolongmu
dulu. Bukankah begitu, bung?"
Prayitno mengangguk, lalu berkata dengan suara berat, "Saudara
Rahmanto, memang aku sudah pernah berjumpa denganmu. Malah aku
sudah mengenalmu, mengenal baik-baik. Ada sedikit yang hendak
kubicarakan denganmu, saudara."
Rahmanto memandang penuh gemas. "Aku sudah berjanji hendak
melancong dengan Ningsih. Tidak ada waktu."
"Harus kauadakan, sekarang juga. Urusan penting!" bantah
Prayitno. "Lebih baik kita keluar saja, bicara di depan." Prayitno
lalu melangkah keluar.
Rahmanto marah. Dengan langkah tegap dan lenggang a la bintang
filem, dia keluar mengikuti Prayitno. "Ada urusan apa? Aku tidak ada
urusan dengan Hanra!"
Suara ini mengandung nada mengejek dan memandang rendah, akan
tetapi Prayitno tetap tenang. Hanya yang dikuatirkan ketika ia
melirik ke arah Ningsih. Gadis remaja ini pucat dan ikut pula keluar,
jelas kelihatan ketakutan.
"Saudara Rahmanto, aku mau bicara tentang sebuah cincin mata tiga
berlian yang kauberikan kepada Ningsih," kata Prayitno memancing.
Ia memandang tajam, akan tetapi tidak melihat Rahmanto kaget. Benarbenar ulung dia, pikirnya.
"Tentang cincin?" Rahmanto menengok dan melirik ke arah jari
tangan Ningsih yang sudah tak bercincin lagi. "Apa hubungannya
dengamu, saudara Prayitno? Aku mau memberi hadiah apapun juga
kepada seorang gadis kekasih hatiku, kau perduli apa?"
"Jangan mengoceh yang bukan-bukan!" Prayitno gemas sekali
mendengar pemuda ini menyebut-nyebut Ningsih sebagai kekasih
hatinya. "Pendeknya, kau harus mengaku terus terang. Dari mana kau
memperoleh cincin mata tiga itu?"
Kini Rahmanto nampak agak gelisah, kentara dari biji matanya
yang liar bergerak ke kanan kiri. Akan tetapi ia segera membusungkan
dadanya yang lebar dan bertolak pinggang. "Eh-eh, kau ini pangkatmu
hanya menjadi Hanra, sombongnya bukan main! Ada hak apa kau


Geger Solo (banjir Bandang) Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bertanya-tanya tentang pemberianku kepada Ningsih?"
Prayitno tetap waspada dan tenang. "Justeru setiap orang Hanra
bertugas menjaga keamanan dan ketenteraman, mengikis habis segala
macam bentuk kejahatan dan penipuan. Cincin itu adalah sebuah di
antara perhiasan-perhiasan yang kau curi dari rumah orang, rumah
bertingkat, ketika banjir dan."
"Keparat!" Rahmanto tiba-tiba menerjang maju, mengirim pukulan
bertubi-tubi ke arah muka Prayitno. Serangan yang tiba-tiba dan
dilakukan cepat serta kuat ini membuat Prayitno terkena pukulan
beberapa kali. Sekali pada bibirnya dan seketika darah mengucur
keluar dari sebelah mulutnya, bibirnya pecah. Ningsih menjerit ngeri.
Akan tetapi dua orang muda itu tidak memperdulikan keadaan di
sekelilingnya. Mereka sudah berkelahi, saling pukul dengan penuh
amarah. Rahmanto ternyata merupakan lawanyang amat kuat. Jelas
kelihatan bahwa pemuda tegap ini pernah mempelajari ilmu pukulan
tinju. Selain pukulannya keras dan cepat, juga tubuhnya amat kuat.
Prayitno orangnya gesit, semangatnya bernyala-nyala, dan hatinya
tabah. Akan tetapi beberapa kali pukulannya yang jatuh di tubuh
lawan agaknya tidak begitu terasa oleh lawan. Beberapa kali Prayitno
terkena tinju pada pangkal telinganya. Sekali amat kerasnya sampai
topi Hanra-nya terlempar dan ia roboh dengan mata berkunang.
"Modar kamu!" Rahmanto menubruk untuk mencekik lehernya.
Prayitno masih bersikap waspada. Melihat lawanya menubruk bagaikan
seekor harimau menerkam korbannya, Prayitno cepat mengangkat kaki
kanannya ditendangkan ke arah lawan.
"Ngekkk!!" Perut yang besar itu "termakan" sepatu Hanra yang keras
ujungnya. Mulut Rahmanto menyeringai kesakitan, kedua tangannya
menekan perutnya yang tiba-tiba saja menjadi mulas. Selagi ia
membungkuk-bungkuk menahan sakit, Prayitno sudah bangkit lagi dan
sebuah pukulan keras pada dagu Rahmanto membuat jagoan ini
terjengkang dan roboh. Namun, dia betul-betul kuat, juga sudah biasa
berkelahi. Tida seperti Prayitno yang memang tak pernah berkelahi
mati-matian seperti ini.
Kembali mereka bertanding. Cabik-cabik pakaian mereka, berpeluh
muka mereka, akan tetapi belum juga ada yang kalah atau mau
mengalah. Prayitno kalah kuat dan kalah biasa dalam perkelahian,
akan tetapi dia memiliki modal yang amat besar, yaitu semangat
perlawanan, dan menghadapi seorang penjahat, maka hatinya besar dan
ketabahannya luar biasa. Sebaliknya Rahmanto nampak makin gelisah,
kadang-kadang di waktu mereka memasang persiapan baru, matanya
melirik ke kanan kiri ketakutan. Ningsih sudah tak pernah diliriknya
lagi. Gadis remaja itu pucat ketakutan, berdiri menggigil di dekat
tembok rumahnya.
Dari jauh datang beberapa orang polisi berlarian. Rahmanto kaget
dan nekat. Ia menerjang hebat ke arah Prayitno, membuat Prayitno
terjengkang kena tendangannya. Akan tetapi sebelum sempat lari, dua
orang polisi telah meringkus Rahmanto. Paman Prayitno muncul dan
menolong Prayitno, diajak pulang. Rahmanto digelandang ke kantor
polisi. * * * Sampai lima hari Nuryanti sakit demam panas, tak dapat turun
dari tempat tidur. Ia mengigau terus menyebut-nyebut nama suaminya
dan anaknya. Kakek Setro yang merawatnya dengan telaten dan sabar.
Seringkali orang-orang mendengar kakek ini bicara banyak-banyak di
dalam kamar Nuryati. Kakek ini berusaha benar-benar untuk
menghidupkan semangatnya, menghidupkan hatinya yang telah mati
bersama suami dan puteranya.
Ucapan yang paling dalam menggores di lubuk hati Nuryati adalah
seperti berikut, "Nak Nur, manusia hidup memang seperti anak wayang.
Ki Dalanglah yang memegang kekuasaan tertinggi dan mutlak. Kita
sebagai anak wayang tinggal menjalani saja. Kewajiban kita sebagai
manusia, di samping menerima perinah dan mentaati kehendak Ki
Dalang, juga harus selalu menjaga agar amal perbuatan kita tidak
menyeleweng dari pada kebenaran dan kebajikan. Kau memang sudah
ditakdirkan menerima penderitaan batin ini, akan tetapi di samping
penderitaan batin, kaupun telah berhutang budi kepada Prayitno!"
"Memang mas Yitno baik sekali, semoga Tuhan melindunginya,"
Nuryati berbisik, menjawab kata-kata yang panjang dari kakek itu.
"Tak cukup dengan mendoakan saja, nak Nur," kakek itu menggelenggeleng kepalanya. "Hidupmu yang lalu memang buruk nasibnya.
Anggaplah saja bahwa hidup yang lalu itu sudah tamat dan sekarang
kau memulai hidup baru lagi. Hal pertama-tama yang kau harus ingat
adalah membalas budi. Prayitno juga seorang yang sudah patah hati,
gagal dalam pernikahan. Akan tetapi, aku yakin akan hal ini, dia
jatuh cinta padamu. Dia mencintamu dengan segenap jiwa raganya, nak.
Dan aku tahu pula, sudah kehendak Ki Dalang bahwa kau akan memasuki
hidup baru bersama Prayitno, dua orang mahluk yang sudah banyak
menderita dari pada penghidupan lalu memasuki kehidupan baru yang
penuh kebahagiaan."
"Ah, eyang."
Kakek Setro lalu bercerita banyak-banyak tentang Prayitno,
dengan kata-katanya yang lincah kakek ini mendobrak dan membuka
dengan paksa hati wanita muda itu untuk menerima kasih yang ia
bayang-bayangkan, kasih sayang seorang pria budiman seperti
Prayitno. Tapi, demikian Nuryati meragu, dapatkah aku melupakan kak
Kardi dan Yanto? Tak mungkin tak mungkin! Tapi, kembali dia
meragu, kalau aku menolak mas Prayitno dan merusak hatinya,
bukankah ini membalas budi kebaikan dengan pengrusakan? Apakah ini
bukan berarti menambah-nambah dosa saja?
"Ya, Tuhan, lindungilah hamba-Mu yang tak berdaya, tunjukanlah
jalan yang benar" diam-diam Nuryati berdoa di dalam hatinya. Dan
pada hari berikutnya ia tanpa disengaja (atau mungkin disengaja oleh
kakek Setro), mendengar percakapan antara kakek itu dan Prayitno di
belakang rumah.
"Percayalah, Yitno. Aku kakekmu, sudah lebih matang dari padamu.
Kau akan berbahagia kalau kawin dengan Nuryati, seorang isteri yang
cocok sekali untukmu. Diapun akan terobat hatinya. Watak kalian cocok
sekali."
"Tapi, eyang."
"Apa kau tidak kasihan kepadanya, Yitno?"
"Tentu saja, eyang. Saya amat kasihan melihat dik Nur."
"Apa kau tidak suka kepadanya? Kau pernah memuji dia amat
manis."
"Memang aku suka kepadanya, dan sukar mencari jodoh seperti
dia" "Nah, apa lagi?"
"Jenazah suami dan anaknya belum pernah didapatkan orang,
eyang. Setiap kali ditemukan seorang korban, saya selalu datang ke
rumah sakit untuk melihat apakah dia itu bukan suami atau anak dik
Nur. Sampai sekarang belum ada beritanya. Bagaimana.. bagaimana
kalau suaminya masih hidup kelak?"
"Ah, tak mungkin! Kalau masih hidup masa tidak mencari isterinya?
Sudahlah, kau jangan kuatir. Aku yang akan mengaturnya. Dia akan
bahagia, hemm, aku girang sekali, dia akan bahagia kembali. dia
seperti eyangmu puteri.."
"Tapi, eyang. Saya yang menolong dik Nur. kalau kemudian dia
menjadi isteriku, apa akan kata orang-orang? Mereka akan samakan
saya dengan Rahmanto yang menolong wanita cantik dengan pamrih."
"Kau berbeda dengan penjahat itu! Orang akan dapat menilainya
sendiri, yang becik ketitik yang ala ketara! Orang yang dapat
membedakan mana emas murni mana tembaga sepuhan."
Nuryati tak kuasa mendengarkan lebih lanjut. Ia menutupi
telinganya dengan bantal. Hatinya berdebar tidak karuan. Apakah
akan diterimanya kasih sayang Prayitno? Apakah akan dimulainya
lagi lembaran baru dalam sejarah hidupnya? Akan ditutup begitu saja
sejarah hidup bersama Sukardi dan Iryanto? Prayitno seorang lakilaki yang baik sekali, hal ini harus ia akui dan tak dapat
disangkalnya. Seorang laki-laki yang tampan gagah, sopan dan berbudi
mulia. Takkan kecewa menjadi isteri seorang seperti Prayitno. Akan
tetapi bagaimana mungkin ia dapat menghapus bayangan Sukardi dan
Iryanto dari lubuk hatinya dalam waktu sesingkat itu?"
Prayitno tak pernah menghentikan usahanya mencari jejak Sukardi
dan Iryanto. Malah pamannya juga membantunya dan hal ini malah
sudah berada di tangan Polisi.
Dua hari sesudah Rahmanto ditangkap, pada sore hati itu Prayitno
tengah sibuk membersihkan rumah. Semua sudah pindah ke rumah
sendiri. Nuryati juga ikut pindah ke situ atas desakan kakek Setro,
ikut pula membersihkan rumah. Sore hari itu semua orang beristirahat
sesudah mandi. Prayitno tengah sibuk sendirian di depan, dia belum
mau beristirahat.
Dia mencangkuli
lumpur yang mengering,
meratakannya di halaman rumah. Tiba-tiba terdengar panggilan dari
luar pagar,
"Mas No."
Prayitno melepas paculnya. "Eh, kau Ningsih? Masuklah."
Akan tetapi Ningsih tidak segera masuk, menengok ke kanan kiri
lalu menghampiri Prayitno. "Mas.." tiba-tiba saja air mata
bercucuran. Gadis remaja itu berdiri dan menutupi muka dengan
saputangannya, pundaknya bergerak-gerak tanda bahwa ia terisak
menangis. Prayitno menarik napas panjang, menarik lengan tangan Ningsih
dan mengajak duduk di ruangan depan. Kebetulan semua orang sedang
berada di belakang dan tempat itu sunyi. Setelah Prayitno duduk,
Ningsih segera berkata sambil sesenggukan, "Mas No. Kau tidak marah
padaku, mas." Sukakah kau mengampuniku.?"
"Aku tidak marah, Ning, dan apakah yang harus diampunkan? Kau
tidak bersalah.."
"Mas. aku seperti telah buta. Mudah tertipu. tadinya kukira.
penjahat itu seorang. seorang pahlawan. seorang satria.. tak
tahunya penjahat besar. Baru dia mengaku bahwa. dialah yang
menggulingkan perahu kami dahulu. ah, alangkah bodohku, mas. Aku..
aku malah pernah menyatakan cinta" Ningsih tak dapat
melanjutkan kata-katanya karena tangisnya.
"Sudahlah, Ning. Memang seorang gadis remaja seperti kau ini
mudah sekali termasuk perangkap cinta kasih. Bukan salahmu."
"Mas No.. dulu kau amat sayang padaku.mas, masih masih adakah
perasaan itu? Ataukah. cinta kasihmu sudah berpindah kepada
kepada. janda itu.. dan kau tidak mencinta aku lagi, mas?"
Prayitno tersenyum. Hampir ketawanya meledak. Alangkah ringan
dan mudahnya istilah cinta kasih dan asmara keluar dari mulut gadisgadis remaja sepantar Ningsih ini. Seakan-akan cinta kasih hanyalah
permainan-permainan belaka, seperti bedak dan gincu. Alangkah
ringannya, menjadi tak berarti sama sekali cinta kasih yang suci dan
mendekati persoalan rohani ini kalau sudah diucapkan oleh seorang
gadis remaja sebaya Ningsih.
"Mas No. jawablah, mas. Masih adakah harapan bagiku.? Masih
akan terbukakah hatimu untukku?"
Kembali Prayitno tersenyum. Seperti kata-kata nyanyian sekarang,
yang seringkali ia dengar dari radio. Menggembirakan, ringan, dan
selalu membawa-bawa cinta kasih, membuat perasaan suci ini seringan
balon-balon diisi hawa.
"Ning, berapa usiamu, Ning?"
Ningsih tersentak kaget dan heran. "Delapan belas. Hampir
sembilanbelas."
Dengan senyum di bibir Prayitno berkata halus. "Marilah kita
bicara lagi kelak tentang kau dan aku setelah kau berusia duapuluh,
manis. Sudah, hapus air matamu, jangan menangis lagi."
Prayitno dan Ningsih tidak tahu bahwa Nuryati menyelinap pergi
dari balik daun pintu, memasuki kamar dengan muka pucat, lalu
menjatuhkan diri di atas pembaringan, menutupi tangisnya dengan
bantal. "Aduh, kak Kardi. ampunkan Nur, kak. hampir saja Nur tersesat.
hampir saja Nur membuat dosa lebih besar lagi. Hampir merenggut
kesetianku sebagai isterimu, kak Kardi, dan merenggut cinta kasih
seorang gadis terhadap ma Yitno" demikian ratap tangisnya.
Semalam suntuk Nuryati tidak tidur, hanya menangis tanpa
mengeluarkan suara. Tengah malam ia menulis secarik kertas di atas
meja dengan air mata bercucuran. Menjelang subuh, begitu ayam mulai
berkokok, dengan hati-hati dan perlahan-lahan Nuryati membuka
pintu samping dan pergi meninggalkan rumah Prayitno. Begitu tiba di
jalan, ia berjalan cepat seperti orang berlari-lari.
"Kak Kardi.. Yantotunggulah aku, tempatku di sisi kalian.
Tunggulah.!" Bagaikan orang gila Nuryati berjalan cepat-cepat di
pagi buta, menuju ke Bengawan Solo. Di sebelah jembatan Jurug ia
menuruni jalan menuju ke taman Bengawan Solo yang sunyi dan masih
gelap. Ia melihat beberapa gerobak berjalan perlahan di atas jembatan,
maka ia memilih taman yang gelap dan sunyi itu. Di lain saat ia telah
berada di tepi Bengawan Solo yang masih banyak airnya, air kuning
kemerahan yang mengalir tenang, sama sekali tidak ada tanda-tanda
bekas amukannya yang dahsyat di kota Solo. Kalau masih ada bekasnya,
itu hanyalah baunya yang busuk seperti bau bangkai.
Seperti patung Nuryati berdiri di tepi Bengawan Solo. Dari
bibirnya yang bergerak-gerak keluar suara memanggil-manggil,
memanggil nama Sukardi dan Iryanto, berkali-kali. "Kak Sukardi
suamiku., Iryanto anakku..,
tunggulah. aku akan menyusul
kalian..! Bengawan Solo, kau telah merenggut orang-orang yang
kucinta di dunia ini, terimalah aku pula.. jangan berlaku kepalang
tanggung..!" Nuryati sudah siap meloncat ketika tiba-tiba ia
dikejutkan oleh suara ketawa menyeramkan. Biarpun Nuryati sudah
nekat hendak membunuh diri di Bengawan Solo, mendengar suara ketawa
ini meremang bulu tengkuknya. Apakah benar-benar iblis Bengawan
Solo yang hendak menjawabnya? Dan suram-suram di antara kabut pagi
kelihatan sebuah perahu kecil, didayung seorang laki-laki yang
bernyanyi, suaranya keras dan serak, ganjil sekali bunyinya. Ia
bernyanyi lagu "Bengawan Solo" dengan nada yang ganjil.
"Bengawan Solo, riwayatmu ini,
Sedari dulu jadi perhatian insani
Musim kemarau, tak berapa airmu,
Di musim hujan air meluap sampai jauh
Mata airmu dari Solo,
Terkurung Gunung Seribu,
Air mengalir sampai jauh, akhirnya ke laut.
Itu perahu, riwayatmu dulu,
Kaum pedagang slalu melintas naik perahu"
Setelah lagu ini habis dinyanyikan dengan ganjil, orang itu
tertawa lagi terbahak-bahak. Sementara itu perahu yang sudah dekat
dengan tempat di mana Nuryati berdiri. Wanita ini sudah berdiri
dengan mata terbelalak dan mulut ternganga.
"Kak Kardiii..!" Pekiknya melengking tinggi tanda hatinya penuh
kengerian karena Nuryati mengira bahwa penunggang perahu yang
bernyanyi lagu Bengawan Solo itu tentu Kardi suaminya yang telah
menjadi orang halus! Serta-merta ia meloncat dan terjun ke dalam air.
Ia rela ditelan Bengawan Solo yang mendatangkan pelbagai malapetaka
kepadanya itu. Suami dan anaknya tewas dihancurkan air bah Bengawan
Solo. Air bah itu pula yang mempertemukan dia dengan Prayitno.
Sekarang Bengawan Solo pula yang akan menerima tubuhnya,


Geger Solo (banjir Bandang) Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengakhiri riwayatnya agar ia dapat berkumpul rohani dan
jasmaninya dengan suami dan anaknya.
Pekiknya yang mengerikan tadi terdengar oleh orang yang
menunggang perahu. Orang itu serentak meloncat berdiri, matanya
terbelalak dan orang itupun menjerit-jerit, "Nur! Nuryati..!!"
Ketika dilihatnya tubuh Nuryati timbul di permukaan air, laki-laki
itu meloncat ke air dan berenang secepatnya.
"Nur.!"
Nuryati mendengar panggilan ini segera memberi reaksi dengan
kaki tangannya, badannya timbul. Mereka saling pandang di antara
kegelapan kabut.
"Kak Kardi.!"
"Nur. ulah sieun, keun ku akang ditulungan. Aduh, banjir mani
kacida hebatnya.! (Nur, jangan takut, biar kanda tolong. Waduh, bukan
main hebatnya banjir ini.!)" Laki-laki tukang perahu itu yang
ternyata memang betul Sukardi adanya, segera menarik tangan Nuryati
dan menyeretnya ke pinggir. Mereka mendarat dengan selamat, saling
peluk dan Nuryati yang sekarang baru yakin bahwa mereka masih
hidup, memeluk, menciumi dan menangisi suaminya. Sukardi seperti
orang yang baru saja terjaga dari pada tidurnya. Ia memandang ke
kanan kiri, lalu ke air, kelihatan ngeri, lalu berkata perlahan.
"Di mana ieu the? Naha urang bisa aya didieu.? (Di mana kita
ini? Mengapa kita bisa berada di sini?) Nur. mana rumah kita? Mana
Iryanto.?"
"Kak Kardi.!" Nuryati memeluk lagi suaminya, menjatuhkan kepala
di dada suaminya, menyembunyikan muka dan menangis terisak-isak.
"Kak Kardi anak kita. ahhh kak Kardi.!" Tangisnya tak dapat
ditahannya lagi, tersedu-sedulah Nuryati. Kardi mendekap kepala
isterinya di dadanya, mengelus-elus rambut yang basah kuyup itu.
"Tenanglah, Nur, dimana Iryanto?"
"Aduh, kak dia dia. hanyut."
Tiba-tiba Kardi merenggut tubuh Nuryati jauh-jauh dari tepi
sungai, ia memandang ke arah air dengan ketakutan. "Tolong..
banjir. tolong!!"
"Kak..! Kak Kardi, ingatlah."
"Toloonggg. aduh, bagaimana anak isteriku tolonggg..!"
Kardi meronta-ronta dari pelukan Nuryati, hendak lari, nampak
ketakutan sekali. Nuryati memeganginya erat-erat sambil menangis.
Pada saat itu, dari atas tebing turunlah Prayitno berlari-larian.
"Dik Nur.!"
"Mas Yit, tolonglah. Ini. ini suamiku. dia . Ahh.!"
Dengan bantuan Prayitno yang datang bersama kakek Setro, Kardi
dapat ditenangkan, lalu dibawa ke rumah sakit. Menurut pemeriksaan
dokter, Sukardi mendapat tekanan batin yang hebat, juga kepalanya
terpukul sesuatu yang membuat ia mendapat gegar otak ringan. Sukur
keadaannya tidak berbahaya. Biarpun Kardi sudah lupa dan tak dapat
menceritakan pengalamannya, namun baik Nuryati maupun Prayitno dan
kakek Setro dapat menarik kesimpulan bahwa tentu ketika menolong
tetangganya, kepala Sukardi tertimpa sesuatu yang keras membuat ia
bingung. Agaknya setelah dapat tertolong dari bahaya, Sukardi lupa
akan keadaan dirinya dan setiap hari berkeliaran di sepanjang
Bengawan Solo sambil bernyanyi-nyanyi lagu Bengawan Solo.
Dengan setia Nuryati mengawani suaminya di rumah sakit. Hanya
tiga minggu Sukardi dirawat di Rumah Sakit Kadipolo. Setelah sembuh
dan mendengar cerita isterinya, ia merasa terharu sekali. berkalikali ia menghaturkan terima kasihnya kepada Prayitno sekeluarga,
terutama sekali kepada Prayitno. Sukardi sudah sembuh betul.
Kedukaannya karena anaknya yang dikabarkan hilang itu agak
terhibur karena ia dapat bertemu dan berkumpul kembali dengan
isterinya yang terkasih. Bersama isterinya ia lalu kembali ke
rumahnya dan membersih-bersihkan rumah. Mereka nampak bahagia,
hanya kadang-kadang saja kalau teringat kepada Iryanto, mereka
bertangis-tangisan. Akan tetapi mereka bisa saling menghibur, saling
membesarkan hati sehingga penderitaan hebat itu dapat mereka atasi.
Bengawan Solo memang telah mendatangkan banyak malapetaka
dengan banjir 16 Maret 1966 ini. Banyak macam cerita yang hebat-hebat.
Kisah mengenai diri Nuryati inipun masih belum selesai.
Dua minggu kemudian, Nuryati dan suaminya mendapat undangan
khusus dari kakek Setro dan Prayitno. Katanya undangan ini untuk
menghadiri pesta kecil menyembelih kambing untuk merayakan
pertemuan kembali Nuryati dan Sukardi. Terharu hati Sukardi atas
kebaikan ini. terutama sekali Nuryati. Makin kagum ia kepada
Prayitno. Agaknya Prayitno akan memperlihatkan betapa dengan tulus
ikhlas ia mengembalikan Nuryati kepada suaminya, tanpa disertai iri
atau cemburu.
Sepasang suami isteri itu datang ke rumah Prayitno dengan becak.
Begitu turun dari becak, mereka disambul oleh Prayitno, kakek Setro,
keluarga lainnya, malah di situ hadir pula. Puspaningsih! Gadis
remaja riang gembira. Nuryati tersenyum bahagia melihat gadis ini.
Diam-diam ia berdoa semoga kelak gadis remaja ini akan benar-benar
dapat membahagiakan hidup Prayitno.
"Dik Nur dan bung Kardi. saya mengucapkan selamat atas
berkumpulnya kalian ini dan. saya dan kakek serta semua keluarga.
eh.. eyang, tolong lanjutkan, eyang." Prayitno tidak dapat
meneruskan kata-katanya karenaorang muda ini telah menitikkan air
mata yang diusapnya dengan kepalan tangannya!
Nuryati dan Sukardi terheran-heran. Apalagi Nuryati. Apakah yang
telah terjadi? Ia menengok ke kanan kiri dan menjadi makin heran
melihat Ningsih juga menitikkan air mata, demikian pula ibu Gunawan.
Pak Gunawan tunduk, nampak terharu tapi mulutnya tersenyum, tapi
diam saja. Kakek Setro yang kini mengangkat dada maju menggantikan
Prayitno. "Sebetulnya, hanya sedikit lanjutannya. Kami sekeluarga hendak
mempersembahkan sesuatu kepada kalian berdua sebagai tanda bahagia.
Dan. mari, silahkan kalian masuk dan ambil sendir hadiah kami
itu."
Dengan terheran-heran, agak ragu-ragu dan tak enak hati, Nuryati
dan suaminya memasuki ruangan dalam, diantar oleh kakek Setro,
Prayitno dan yang lain-lain. Setelah memasuki kamar yang ditunjuk,
Nuryati dan suaminya melihat sebuah pembaringan dan di atas
pembaringan itu terdapat. Sebuah boneka besarkah? Ah, bukan,
seorang anak kecil. Nuryati terbelalak, lari maju diikuti suaminya.
"Iryanto.!! Ya Tuha.. Ya Tuhan Yang Maha Agung.. Iryanto
anakku..!!!" Seperti gila Nuryati menubruk dan memeluk anak itu yang
terjaga dari tidurnya dan agak ketakutan, terus memeluk leher
ibunya. "Iryanto.. anaking (anakku). kau masih hidup. terima kasih,
Tuhan.., ha-ha-ha, Iryanto masih hidup.!" Sukardi menari-nari dan
meloncat-loncat
kegirangan,
tertawa-tawa
dengan air mata bercucuran, lalu mengambil anak itu dari gendongan ibunya, terus
diciumi, dibawa menari keluar kamar.
Nuryati dengan air mata memenuhi mukanya menubruk Prayitno,
mencium kening orang muda itu. "Mas Yit, terima kasih." lalu ia
memeluk kakek Setro, lalu pak Gunawan, ibu Gunawan, paman Prayitno
dan semua yang berada di situ. "Terima kasih. Ya Tuhan, terima kasih
kepada kalian. Semoga Tuhan yang membalasnya."
Semua orang menitikkan air mata karena terharu dan bahagia. Isak
tangis segera terganti suara tertawa-tawa dan kakek Setro mendapat
kehormatan menceritakan tentang Iryanto. Kiranya usaha Prayitno
untuk mencari jejak Iryanto memperoleh hasil. Ternyata anak kecil
itu ketika hanyut dahulu, dibawa aliran air bah yang amat kuat
keluar kampung. Kebetulan sekali terlihat oleh seorang laki-laki
yang seperti yang lain-lain juga membantu para korban. Karena
bingung harus membawa ke mana anak kecil yang terus menangis saja
setelah siuman dari pingsan itu, laki-laki tadi mengantarkannya ke
rumah Yayasan Anak Yatim Piatu. Maksudnya menitipkan sementara
sebelum diketahui siapa orang tuanya. Malang bagi Iryanto, laki-laki
penolongnya tadi pada keesokan harinya tewas oleh banjir ketika ia
berusaha menolong para korban! Dan Iryanto terus dipelihara oleh
Yayasan Anak Yatim Piatu sampai terdengar
kabar tentang dicarinya anak yang ada tanda tembong merah pada
pahanya! Demikianlah, sesudah Iryanto didapatkan, keluarga Prayitno
yang merasa kasih sekali kepada Nuryati mengatur pesta itu untuk
membahagiakan Nuryati dan Sukardi.
Di dalam kebahagian sepasang suami isteri yang mendapatkan
kembali mustikanya itu, diam-diam Ningsih menyentuh tangan
Prayitno, matanya mencurahkan isi hatinya, "Alangkah akan
bahagianya kalau kita bisa seperti mereka kelak."
Prayitno tersenyum, matanya menjawab, "Tunggu sampai kau berusia
duapuluh tahun."
Memang, cinta kasih bagi seorang gadis remaja semuda Ningsih
masih belum bisa dikatakan serius, mudah berubah-ubah. Akan tetapi,
kebahagian besar yang terasa di hati Prayitno adalah kebahagian
sejati, rasa bahagia yang hanya dapat dirasakan oleh orang yang
pernah menolong orang lain, menolong dengan ikhlas dan tulus,
menolong tanpa pamrih, atas dasar perikemanusian sesuai dengan
kehendak Tuhan. Dia telah menolong Nuryati, telang menolong Iryanto,
telah menolong Ningsih dari pada cengkeraman seorang jahat.
Adakah di dunia ini kebahagian yang lebih besar dari pada
kebahagian seorang menolong orang lain dari pada kesengsaraan dan
malapetaka?
Dan selesai pulalah cerita ini, sungguhpun Bengawan Solo masih
terus mengalir tak kunjung henti. Mudah-mudahan saja Bengawan Solo
akan mengakibatkan cerita-cerita yang lebih menggembirakan, tidak
mengulangi lagi cerita banjir yang dahsyat. Harapan penulis ini
tidak akan sia-sia kiranya karena sekarang sudah mulai dibangun
kembali tanggul-tanggul yang bobol dan sudah diketahui bahwa hutanhutan di Wonogiri yang ditebangi pohonnya secara liar, tanggultanggul yang ditanami dan dijadikan kebun secara liar pula, hal-hal
itu merupakan hal-hal terutama sebab-sebab banjir. Kalau sebabsebabnya sudah diketahui, dan perbaikan-perbaikan dilakukan, kalau
semua rakyat sudah sadar akan penjagaan keselamatan bersama,
bergotong-gotong, kiranya Bengawan Solo takkan ada kekuasaan pula
untuk mengamuk seperti tanggal 16 Maret 1966.
Misalnya saja, dengan merobah aliran air, meluruskan jalan air
yang berbelok di pinggir kota Solo. Mencegah penggundulan hutanhutan dan pengontrolan terhadap tanggul-tanggul agar jangan
dijadikan tanah garapan dan tempat tinggal secara liar.
Apabila betul-betul diusahakan penanggulangan yang menyeluruh
dan bersungguh-sungguh oleh Rakyat dan Pemerintah, bukan merupakan
mimpi kosong apabila kelak "Banjir Solo" hanya akan menjadi dongeng
bagi anak cucu kita karena mereka melihat Bengawan Solo menjadi
sumber bantuan yang hebat bagi pertanian, juga sumber tenaga listrik.
Mudah-mudahan!
Dengan jalan ini pula penulis ingin menyampaikan rasa sukur dan
terima kasih yang setulus-tulusnya kepada para dermawan di seluruh
permukaan bumi yang sudah merelakan sumbangan-sumbangan berupa
apapun juga demi meringankan penderitaan para korban banjir
Bengawan Solo, bencana Nasional 16 Maret 1966!
Kotakebanjiran, 21 April 1966.
T A M A T Gajah Kencana 9 Kuda Kudaan Kumala Seri Oey Eng Burung Kenari Karya Siau Ping Piala Api 2

Cari Blog Ini