Jiwa Ksatria Karya Liang Ie Shen Bagian 5
Tetapi Hoa Ciong Tay yang banyak pengetahuan sudah banyak pengalaman sudah tentu dapat membedakan keadaan itu.
Hoa Ciong Tay diam-diam merasa heran, pikirnya: Kabarnya Tiat Mo Lek dan Khong-khong Jie, ada merupakan dua orang kuat pada dewasa ini. Dari murid mereka ini memang benar. Sayang Hong-ji barangkali tidak sanggup melawan sampai seratus jurus lebih, sehingga aku tidak dapat menyaksikan seluruh kepandaiannya.
Belum lagi hilang pikirannya, mendadak terdengar suara ?trang?. pedang pendek di tangan Hoa Khiam Hong sudah terbang ke tengah udara. Tetapi Tiat Ceng sendiri setelah menerbangkan pedang lawannya, pedangnya sendiri juga segera di lemparkan ke atas menyusul mana badannya dengan cepat melompat keluar kalangan.
Hoa Khiam Hong tercengang, ia melihat Tiat Ceng lari ke arah jatuhnya pedang panjang. Sebelum pedang panjang jatuh di tanah ia telah berhasil menyambuti lagi.
Sedang pedang pendek Hoa Khiam Hong meluncur turun, ia lalu menyambutinya, sedang dalam hatinya diam-diam berpikir: "Apakah ia sengaja mengalah?"
Benar saja saat itu Tiat Ceng lalu berkata:
"Nona Hoa, senjata kita sama-sama terlepas dari tangan, boleh dikata satu sama lain tidak ada yang dirugikan. Kita tak perlu bertanding lagi!"
Perbuatan Tiat Ceng kali ini dilakukan dengan sangat bagus sekali, lebih wajar daripada Hoa Khiam Hong yang mengalah terhadap adiknya.
Ia menganggap dalam hati Hoa Khiam Hong pasti mengerti, apalagi dengan kepandaiannya dan pengetahuan Hoa Ciong Tay, tidak mungkin tidak dapat mengetahuinya. Maka pikirnya setelah Hoa Khiam Hong mengaku kalah, Hoa Ciong Tay juga akan mentaati janjinya ialah membiarkan dirinya berlalu.
Tetapi ia hanya menduga tepat separuhnya saja. Memang benar, Hoa Ciong Tay juga akan mengaku kalah, tetapi sebelum ia membuka mulut, telah didahului oleh ayahnya.
"Kalian berdua berkesudahan seri, maka tidak perlu bertanding lagi. Sekarang biarlah aku yang turun tangan sudah tentu aku tak dapat menarik keuntungan dari kepandaianku yang lebih tinggi dari pada kalian, maka kalian bertiga boleh maju berbareng!"
Tiat Ceng melengak, lalu berkata:
"Hoa locianpwee, ini......"
Hoa Ciong Tay berkata: "Kau tak mau melawan juga boleh, tetapi kereta ini akan kubawa."
Tiat Ceng menganggap orang tua itu sengaja mencari gara-gara, tetapi ia sendiri yang suka mengakhiri pertandingan dengan anaknya dan menyatakan seri kesudahannya, sudah tentu ia tidak dapat menarik kembali lagi. Walaupun ia tak ingin menarik kembali perkataannya, tetapi dalam hati merasa sangat mendongkol maka ia berkata:
"Boanpwee adalah seorang bodoh dengan ini minta keterangan locianpwee, di dalam kalangan Kang-ouw, bukankah kita harus mengutamakan kepercayaan?"
Hoa Ciong Tay tertawa terbahak-bahak kemudian berkata:
"Kepercayaan sudah tentu harus kita utamakan, tetapi hal ini tak dapat digunakan dengan urusan perkara hari ini! Aku sudah berkata bahwa jika kau dapat mengalahkan anakku, aku akan melepaskan kalian pergi. Tetapi sekarang kalian berkesudahan seri, maka mau tidak mau kalian harus melawanku lagi!"
Hoa Ciong Tay sengaja hendak mengeruhkan keadaan, bukan saja mengejutkan Tiat Ceng tetapi Hoa Khiam Hong juga merasa tidak enak. Baru saja mengeluarkan perkataan ?Ayah?, sang ayah sudah melarangnya melanjutkan perkataannya, berkata sang ayah itu:
"Hong-jie, kau berdiri di samping, kau perhatikan dengan seksama supaya juga boleh belajar sedikit pengalaman!"
Hoa Khiam Hong ketika mendengar perkataan itu segera ia mengerti perkataan ayahnya lalu mengundurkan diri ke samping.
Kiranya Hoa Ciong Tay kegemarannya ilmu silat sudah merupakan hobby satu-satunya. Segala ilmu silat kepandaian tertinggi yang ia belum pernah menyaksikan, ia selalu berusaha untuk dapat menyaksikan seluruhnya. Kali ini setelah ia mengasingkan diri sepuluh tahun lamanya, ketika balik lagi ke daerah Tiong-goan, sebetulnya ingin mencari Khong-khong Jie dan Tiat Mo Lek untuk bertanding, tetapi sifatnya yang ingin menang sendiri takut andaikata kalah ia akan kehilangan muka.
Kebetulan Tiat Ceng adalah anak Tiat Mo Lek juga menjadi murid Khong-khong Jie. Dengan adanya dua kepandaian yang tergabung dalam dirinya itu, maka Hoa Ciong Tay ingin mencobanya sendiri ia hendak memancing supaya pemuda itu mengeluarkan seluruh kepandaiannya. Setelah percobaan itu, Hoa Ciong Tay segera dapat meraba kepandaian dua orang itu dan di kemudian hari apabila ia bertanding dengan dua jago tua itu, tidak akan dirugikan.
Disamping itu ia juga tahu bahwa Can Pek Sin adalah anak Can Goan Siu, Tiat Leng juga sudah mendapat warisan dari gurunya. Meskipun dua orang itu cuma menduduki tempat dalam hatinya, tetapi juga merupakan tokoh-tokoh terkemuka dalam rimba persilatan, maka ia ingin menggunakan kesempatan itu untuk menguji kepandaian mereka sehingga ia menyuruh tiga pemuda itu maju bersama.
Sebaliknya dengan Hoa Khiam Hong pikirannya agak berbeda dengan ayahnya. Ia kalah di tangan Tiat Ceng, ia mengira ayahnya hendak memberi petunjuk kepadanya bagaimana harus menghadapi gerakan Tiat Ceng. Ia tidak tahu meskipun ayahnya juga ada itu maksud, tetapi itu bukanlah maksud yang utama.
Meskipun Hoa Khiam Hong tidak dapat menerka seluruh hati ayahnya, tetapi sang ayah itu pasti tidak akan melukai tiga anak muda itu, juga pasti tidak akan merampas kereta barang berharga. Dugaan itu memang benar. Maka dengan sendirinya ia tidak mengkhawatirkan diri Tiat Ceng.
Tetapi Tiat Ceng sedikitpun tidak mengetahui maksud orang tua itu, karena barang-barang dalam delapan peti itu, semuanya merupakan barang-barang berharga, sehingga dianggapnya Hoa Ciong Tay benar-benar menghendaki barang tersebut.
Pemuda sedikit banyak berdarah panas, karena sikapnya Hoa Ciong Tay yang mendesak terus, sehingga reaksi Tiat Ceng juga kurang baik, seketika itu lalu berkata:
"Kalau Locianpwee, memang hendak menguji kita, walaupun Boanpwee tahu tidak mampu menandingi, terpaksa juga akan mengiringi kehendakmu. Adik Leng bersama aku melawan dan maju bersama, sementara itu Can Toako boleh berjaga-jaga."
Tiat Ceng yang sedikit banyak mempunyai jiwa besar, tidak suka sekali maju tiga orang.
Hoa Ciong Tay ketawa terbahak-bahak dan berkata:
"Apakah kau takut anakku akan merampas kereta? Kau tidak usah khawatir, sebaiknya kalian bertiga maju bersama!"
Can Pek Sin yang usianya lebih tua, juga lebih berhati-hati, ia juga tak suka berpeluk tangan sebagai penonton maka lalu berkata:
"Kalau begitu kita menurut saja. Hoa lo-cianpwee adalah tokoh kuat dari tingkatan tua, jikalau kita harus terikat oleh peraturan dunia Kang-ouw, malah itu sebagai pengakuan yang hormat terhadap tingkatan tua."
Perkataan itu mengandung maksud supaya Tiat Ceng tidak menganggap kehilangan muka bagi diri sendiri karena mengeroyok seorang tua, yang penting pada dewasa itu ialah bagaimana dapat mengundurkan musuhnya dan melindungi barangnya.
Hoa Ciong Tay berkata sambil tertawa:
"Benar, begitulah baru benar! Anak, aku tidak ingin mencari keuntungan dari diri kalian, kalian juga jangan berlaku merendah."
Tiat Ceng dengan menundukkan ujung pedangnya ke bawah seraya berkata:
"Silahkan Locianpwee mengeluarkan senjata!"
Hoa Ciong Tay kembali tertawa dan berkata:
05.27. Berterima Kasih, Juga Memaki
"Bukankah kau tadi sudah mendengar sendiri? Sudah sepuluh tahun lebih aku belum pernah menggunakan senjata. Terhadap Pok Sui Thian aku masih bertangan kosong bagaimana aku boleh menggunakan senjata terhadap kalian?"
Kekuatan tiga pemuda itu jika digabung menjadi satu, sudah tentu jauh lebih kuat daripada Pok Sui Thian. Tiat Ceng bertiga yang masih berdarah muda ketika mendengar ucapan tersebut dalam hati merasa penasaran. Tiat Leng yang lebih dulu tidak dapat menahan kemarahannya ia lalu berkata:
"Baiklah dengan tangan kosong kau menyambut serangan kita! Tetapi pedangku ini tidak ada matanya, kau harus berhati-hati sendiri." Perkataan itu ditutup dengan satu serangan yang mengarah dada.
Gerakan itu nampaknya seperti satu tikaman biasa saja, tetapi di dalamnya mengandung banyak perubahan-perubahan, gerakannya aneh sekali.
Hoa Ciong Tay berkata sambil tertawa:
"Bagus, di antara ilmu pedang dari berbagai ahli pedang, ilmu pedangmu inilah yang paling aneh gerakannya! Tetapi meskipun pedangmu ini tidak ada matanya juga tidak akan dapat melukai diriku!"
Sambil bicara kakinya bergerak seenaknya saja, dan yang mengherankan ialah serangan Tiat Leng yang aneh tadi, selalu mengenakan tempat kosong.
Can Pek Sin dengan pedang disertai dengan kekuatan tenaga tangan dengan cepat mendahului Tiat Leng melancarkan serangan, untuk menjaga serangan pembalasan.
Hoa Ciong Tay mengibaskan lengan bajunya, takala serangan tangan Can Pek Sin mengenakan sasarannya bagaikan memukul barang keras, sampai ia terpental mundur dan tangannya dirasakan sakit. Can Pek Sin lalu menabas dengan pedangnya, tetapi kali ini lengan baju itu begitu lunak seperti tidak ada apa-apa, ketika tersentuh oleh ujung pedang lalu membalik. Can Pek Sin tidak dapat menggunakan tenaganya, sedangkan lengan bajunya itu juga tidak mengalami kerusakan.
Can Pek Sin terperanjat, ia sungguh tidak menduga bahwa kekuatan tenaga dalam orang tua itu ada begitu hebat, dalam waktu sekejap mata saja, sudah dapat menggunakan kekerasan dan kelunakan menurut kehendak hatinya. Serangan pedangnya yang diberikuti kekuatan tenaga tangan, sebetulnya masih ada kelanjutannya tetapi ketika kebentur dengan kekuatan amat dahsyat itu ia tidak berani berlaku gegabah, maka cepat-cepat hentikan kakinya.
Hoa Ciong Tay kembali berkata sambil tertawa:
"Serangan pedangmu yang berikuti dengan kekuatan tenaga tangan itu ternyata kau sudah berhasil menggabungkan kepandaian dari golongan kebenaran dan golongan jahat, juga terhitung salah satu kepandaian yang jarang ada dalam rimba persilatan. Sayang gerakan pedangmu terlalu lunak sebaliknya kekuatan tenaga tangan kelewat hebat, kau seharusnya berusaha untuk memperbaiki itu."
Kiranya ilmu pedang yang digunakan oleh Can Pek Sin adalah dari ibunya, itu adalah ilmu pedang keturunan Biauw Hui Sin-nie yang termasuk golongan Budha sehingga termasuk ilmu kepandaian golongan kebenaran. Tetapi ilmu pedang ini tepat dipakai oleh kaum wanita, bagi kaum pria sudah tentu agak lemah. Sebaliknya dengan ilmu serangan tangan kosong Can Pek Sin yang didapat dari pelajaran ayahnya, serangan itu amat dahsyat termasuk salah satu ilmu silat tertinggi dalam golongan sesat.
Atas ucapan orang tua itu tadi Can Pek Sin lalu menyatakan terima kasihnya.
Tiat Ceng segera berkata:
"Aku juga ingin minta petunjuk Locianpwee."
Pedangnya segera diputar sehingga mengeluarkan sambaran angin menderu-deru, ia menggunakan pedangnya sebagi golok membacok lawannya.
Hoa Ciong Tay sambil berseru bagus lalu menyentil dengan jari tangan manis, bacokan Tiat Ceng yang begitu hebat ternyata dapat disingkirkan. Tetapi walaupun Tiat Ceng mundur tiga langkah badan Hoa Ciong Tay sendiri juga bergoyang-goyang."
Hoa Ciong Tay lalu berkata: "Bagus! Ilmu pedangmu ini sudah mendapatkan khasiatnya berat dan kaku, apa yang belum cukup hanya kekuatan tenaga saja."
Dengan demikian Hoa Ciong Tay seperti bertindak sebagai guru mereka yang memberi petnnjuk kepandaian masing-masing.
Hati Tiat Ceng merasa ragu-ragu ia menghentikan serangannya, selagi hendak ingin bertanya apa maksudnya, Tiat Leng sudah mendahului berkata:
"Eh, kali ini kita dengan dia bertempur benar-benar ataukah hanya main-main?"
Karena mereka bertiga meski sudah menyerang tetapi maju satu persatu bukanlah maju secara bersama. Sedangkan Hoa Ciong Tay yang berada di atas angin, juga tidak balas menyerang.
Di dalam alam pikirannya Tiat Leng apabila bertempur sungguh-sungguh, seharusnya maju berbareng mengeroyoknya. Dengan kekuatan tiga orang, pasti dapat menangkan Hoa Ciong Tay. Maka ucapannya tadi sebetulnya merupakan suatu desakan supaya sang kakak mengambil keputusan cepat.
Hoa Ciong Tay tertawa terbahak-bahak kemudian berkata:
"Aku sudah mengalah pada kalian setiap orang satu jurus, sekarang aku hendak balas menyerang!"
Mendadak ia melesat merapat dirinya Tiat Leng lalu mengulur dua jari tangannya hendak mengorek biji mata!
Tiat Ceng terkejut, cepat ia memberi pertolongan ujung pedangnya menikam jalan darah di belakang punggung Hoa Ciong Tay.
Orang tua itu seolah-olah di belakang punggungnya mempunyai mata, ia membalikkan badannya digunakan untuk menangkis juga untuk merebut senjata orang. Karena perawakannya lebih dari pada Tiat Ceng, maka tangannya itu menyabet leher Tiat Ceng, kembali ini adalah satu gerak tipu serangan yang sangat berbahaya!
Can Pek Sin lalu berseru:
"Jangan melukai orang!" Dengan cepat dia segera memburu dan menyerang dengan pedang.
Hoa Ciong Tay membalikkan badan dengan menggunakan kedua kakinya hendak menendang jalan darah Thay-yang-hiat. Serangan pedang Can Pek Sin tadi belum tentu dapat menikam diri lawannya, tetapi jika tertendang jalan darahnya jiwanya segera melayang!
Bukan kepalang kaget Can Pek Sin, untung ilmu kepandaiannya menyambar dengan menggunakan tangan warisan orang tuanya, merupakan salah satu ilmu silat terampuh dalam rimba persilatan. Dalam keadaan demikian ia hendak menyambar dengan sang tangannya, sedang tangannya melesat tinggi sehingga terhindar dari tendangan kaki lawan.
Sementara itu pedang Tiat Ceng dan Tiat Leng sudah menyerang dengan berbareng untuk membantu kawannya. Sedang Tiat Ceng herseru:
"Locianpwee harap tak bertindak kejam!"
Hoa Ciong Tay tertawa terbahak-bahak dan berkata:
"Mengapa tidak boleh menggunakan tangan kejam? Apakah kau kira aku sedang main-main dengan kalian? Siapa menyuruh kalian tidak tahu diri, berani melawan perintah dan berani melawan aku? Sekarang kau menyesal juga sudah terlambat!"
Selama berbicara ia sudah melancarkan serangannya terhadap tiga anak muda itu, setiap orang dihujani tiga kali serangan, bahkan setiap kalinya merupakan serangan mematikan!
Tiat Leng mulai panas hatinya, ia lalu berkata:
"Koko, bagaimana kau boleh minta dikasihani terhadap musuh kuat?"
Tiat Ceng yang berulang-ulang diserang dengan pukulan-pukulan yang berbahaya, juga merasa panas hatinya maka segera menjawab:
"Baik, kita menggempurnya!"
Kedua kakak beradik itu lalu menggunakan ilmu pedangnya yang masing-masing lunak dan keras. Ilmu pedang itu bekerja sama sangat baik sekali sehingga berhasil menahan serangan Hoa Ciong Tay. Sedang Can Pek Sin juga mengeluarkan seluruh kepandaiannya, bertempur secara nekad.
Hoa Ciong Tay lalu, berseru:
"Bagus, beginilah baru merupakan suatu pertempuran yang memuaskan!"
Lengan bajunya berkibasan, di bawah serangan tiga pedang, ia menggunakan sepasang tangan kosongnya, kedua kakinya dan kadang-kadang lengan bajunya untuk menghadapi tiga lawan. Betapapun tinggi pemuda itu menyerang dengan serentak, tetapi ia masih bisa menghadapi dengan baik bahkan banyak melakukan serangannya.
Kiranya Hoa Ciong Tay tadi memang sengaja melakukan serangannya dengan kejam dan ganas, untuk menimbulkan kebencian dan kemarahan mereka, karena jika tidak demikian, bagaimana ia berhasil memancing tiga anak muda itu mengeluarkan seluruh kepandaiannya?
Tiat Ceng bertiga tidak tahu maksud hati Hoa Ciong Tay itu, mereka hanya khawatir terkena serangannya, maka mau tidak mau, semua harus mengeluarkan seluruh kepandaian untuk melawan.
Tiga pedang saling bergerak melakukan kewajibannya, setiap serangan ditujukan ke bagian berbahaya pada lawannya.
Hoa Ciong Tay beberapa kali menghadapi serangan yang sangat berbahaya, hatinya merasa terkejut sehingga tidak berani berlaku ceroboh.
Pertempuran makin lama makin hebat, di medan pertempuran hanya tampak berkelebatnya bayangan orang dan sinar pedang yang seperti ?bergumulan, sehingga Hoa Khiam Hong yang menyaksikan, pandangannya menjadi kabur dan hampir tidak hisa bernapas.
Tiat Ceng tiba-tiba melesat tinggi, kemudian menikam dari atas dengan menggunakan totokan keturunan Khong-khong Jie. Tetapi karena usianya masih terlalu muda, belum begitu mahir seperti Khong-khong Jie, namun demikian ia juga dapat menikam tujuh bagian jalan darah dalam waktu satu jurus saja.
Hoa Ciong Tay sambil beseru: "Satu ilmu pedang bagus sekali!" Dengan lengan bajunya ia gunakan untuk menyampok pedang Tiat Ceng, sementara itu Can Pek Sin sudah menyerang dengan telapak tangannya. Tetapi Hoa Ciong Tay berhasil memunahkan serangan Can Pek Sin dengan serangan tangan kosong juga, namun ujung pedang Tiat Leng saat itu sudah mengancam jalan darah di belakang punggungnya.
Hoa Ciong Tay dalam babak permulaan cuma menggunakan gerak tipu percobaan, tetapi kemudian kegembiraannya meluap, bahwa kepungan dan serangan tiga bocah itu, mau tidak mau juga harus mengeluarkan seluruh kepandaiannya. Untung ilmu kepandaiannya sudah mencapai ke suatu taraf tertinggi, sehingga dapat digunakan menurut kehendak hatinya. Walaupun bertanding dengan sungguh-sungguh juga tidak sampai dirinya terluka, juga tidak dapat melukai tiga lawannya.
Dengan tanpa dirasa pertandingan itu berlangsung hampir setengah jam lamanya, kepandaian Tiat Leng bertiga hampir sudah dikeluarkan seluruhnya.
Dari cara Ciong Tay membela diri dan mengelakkan setiap serangan mereka, bukan saja sudah berhasil mengetahui benar ilmu pedang dan ilmu serangan tangan mereka, tetapi juga sudah dapat meraba kekuatan tenaga mereka.
Hoa Khiam Hong mengerti bahwa ayahnya tidak akan melukai lawannya, tetapi ketika melihat jalannya pertempuran yang begitu hebat, hatinya juga terkepat kepit, beberapa kali sampai dengan secara tidak sadar memanggil ayahnya:
"Ayah, kau......"
Hoa Ciong Tay segera tersadar, dalam hatinya berpikir: Kepandaian tiga bocah ini memang hebat, andaikata aku benar-benar hendak menjatuhkan mereka, setidak-tidaknya juga harus memakan seribu jurus lebih. Tetapi kepandaian mereka aku sudah tahu, untuk apa aku harus mencapai kemenangan itu?
Ia diam-diam lalu mengerahkan ilmu kekuatan tenaga dalamnya, dengan kedua lengan bajunya, ia menyampok tiga pedang, kemudian melompat keluar dari kalangan, lalu berkata sambil tertawa terbahak-bahak:
"Sudah bertempur sekian lama, sekarang kita boleh berhenti!"
Tiat Ceng bertiga melengak dan menghentikan serangannya.
Hoa Ciong Tay berkata sambil tertawa:
"Aku tidak dapat mengalahkan kalian, kalian juga tidak dapat menang terhadap aku. Pertandingan ini juga dihitung seri."
Tiat Ceng masih ragu-ragu ia berkata:
"Kalau begitu bagaimana dengan kereta-kereta kita ini, kau masih ingin tahan atau membiarkan kita pergi?"
"Karena kesudahan seri apa aku masih perlu mengingkari janji untuk menyusahkan diri kalian? Kalian boleh pergi dengan hati lega. Setelah mengalami pertempuran hari ini, orang-orang golongan hitam, mungkin juga tidak ada yang berani merintangi lagi."
Tiat Ceng bertiga kini baru tahu bahwa Hoa Ciong Tay benar-benar tidak mengandung maksud jahat. Karena saat itu mereka sudah lelah semuanya sehingga dalam hati semuanya telah mengerti, jika bertempur terus pasti akan kalah. Perkataan Hoa Ciong Tay yang menyatakan berkesudahan seri, semata-mata hanya hendak memberi muka kepada mereka.
Dengan demikian, sampaipun Tiat Leng yang sifatnya nakal dan masih kekanak-kanakan juga berterima kasih pada Hoa Ciong Tay. Karena sifatnya yang masih kekanak-kanakan, apa yang dipikir dalam hatinya, segera diutarakan melalui mulutnya, demikianlah ia berkata:
"Hoa locianpwee, aku hendak menyatakan terima kasih kepadamu, tetapi juga hendak memakimu!"
Hoa Ciong Tay sengaja bertanya:
"Mengapa begitu?"
"Apa yang dikatakan oleh kakakku, memang tidak salah. Satu gunung masih ada lain lagi gunung yang lebih tinggi. Kepandaianmu memang benar lebih tinggi dari pada kepandaian kita bertiga. Aku tahu kau berlaku mengalah terhadap kita. Bukan cuma itu saja kau malah membantu kita mengusir beberapa penjahat itu. Bukankah ini kita harus menyatakan terima kasih kepadamu?
"Tetapi kau sebaliknya telah mempermainkan kita bertiga sehingga jantungku goncang keras dan hatiku berdebaran, karena takut akan terluka ditanganmu dan barang-barang kita itu kau bawa kabur. Bukankah perbuatanmu itu patut kumaki?"
"Tentang terima kasih aku tak sanggup menerima. Soal memaki aku juga agak keterlaluan. Aku tokh tidak mempermainkan kalian, melainkan ingin melihat kepandaian kalian bertiga!"
Tiat Ceng berkata: "Walaupun Cianpwee ingin menguji kepandaian kita, benar-benar kita tidak berani menerimanya. Bolehkah Hoa locianpwee memberi tahukan kepada kita tempat kediaman locianpwee? Nanti setelah kita pulang ke atas gunung, aku akan beritahukan kepada ayah, supaya beliau mengucapkan terima kasih pada locianpwe."
"Aku adalah seorang bagaikan burung, yang tidak mempunyai kediaman tetap, sehingga tidak berani membikin susah ayahmu. Di kemudian hari saja apabila ada jodoh, aku pasti akan datang sendiri mengunjungi ayahmu."
Tiat Leng berkata kepada Hoa Khiam Hong:
"Enci Hoa, bukankah kau tadi berkata suka bersahabat denganku? Mengapa harus tunggu lain waktu lagi? Sebaiknya kau sekarang jalan bersama-sama kita, di tempat kita sana kau boleh berdiam dan bermain sepuluh hari atau sebulan lamanya. Kau boleh melatih ilmu silat dengan kakakku, supaya aku juga bisa belajar sedikit darimu!"
Dengan muka merah Hoa Khiam Hong berkata sambil tersenyum:
"Terima kasih atas kebaikanmu, tetapi sekarang ini ayah masih banyak urusan."
"Ayahmu ada urusan, apakah kau tidak bisa pergi seorang diri?"
Hoa Ciong Tay tiba-tiba berseru:
"Celaka!" Tiat Leng bertanya: "Apa yang celaka? Kita sudah menjadi sahabat, apa kau masih tidak percaya anakmu berjalan sama-sama kita?"
"Bukan itu yang kumaksudkan. Ada lagi orang datang dalam rombongan besar."
Belum lagi menutup mulutnya, benar saja terdengar suara derap kaki kuda yang lari menuju ke tempat itu.
Hoa Khiam Hong lalu berkata:
"Kalian lekas lari!"
Tiat Ceng berkata, "Muatan kereta ini terlalu berat hingga tidak dapat dilarikan dengan cepat, sudah tentu akan terkejar oleh mereka."
Hoa Ciong Tay berkata pula:
"Orang-orang itu belum tentu hendak merampas kereta kalian. Kita lihat dulu orang-orang dari golongan mana?"
Sementara itu dalam hatinya sudah mempunyai rencana. Apabila orang-orang yang datang itu orang-orang golongan rimba hijau ia akan keluar berbicara dengan mereka untuk memberi keterangan bahwa barang-barang itu kepunyaan Tiat Mo Lek, dengan demikian mereka tidak bisa mengganggu.
Pada saat itu rombongan orang yang menunggang kuda itu sudah tiba. Rombongan itu ada membawa sebuah bendera besar sebagai tanda dan rombongan kepala daerah Gui-pok.
Rombongan itu ternyata adalah tentara Tian Sin Cie yang menjadi kepala daerah Gui-pok. Yang merupakan kepala daerah yang terkuat. Pada masa itu tentara yang di bawah kekuasaannya jumlahnya beberapa ribu, semua merupakan orang-orang pilihan maka daya tempur mereka, lebih ulet dan kuat dari pada tentara pengawal kerajaan. Entah dengan cara bagaimana ia dapat kabar tentang harta kekayaan itu, sehingga ia menyuruh anaknya, Tian Yat, dengan membawa rombongan tentara untuk merampas kereta-kereta itu.
05.28. Serangan Pasukan Tentara Negeri
Tatkala rombongan tentara itu tiba, lalu berpencar dan mengurung Hoa Ciong Tay berlima. Salah satu di antara mereka yang berpangkat opsir membentak dengan suara keras:
"Hai kawanan berandal, di waktu siang hari bolong kamu berani membawa barang-barang rampasan lewat daerah kita, apa di mata kamu sudah tidak ada undang undang?"
Ia lalu perintahkan anak buahnya untuk menangkap lima orang itu.
Pasukan tentara itu memang sudah mendengar kabar bahwa barang-barang yang berada di dalam kereta itu mempunyai harga yang tidak ternilai, maka segera bergerak. Ada yang hendak menangkap orang, ada yang hendak merampas barang-barang dalam kereta.
Tiat Ceng berkata dengan suara gusar:
"Apa undang-undang Negara? Tian Sin Cie sudah terang adalah seorang pembesar yang korup, ia suka memeras rakyatnya, masih merasa belum cukup. Begitu melihat uang matanya lantas menjadi hijau, sehingga menyuruh kalian untuk merampasnya! Mengapa kalian harus jual jiwa kepadanya?"
Perwira itu berkata: "Kau jangan banyak bicara! Tangkap dulu bangsat kecil ini!"
Tiat Ceng gusar, ia menghunus pedangnya, menikam rubuh beberapa orang, tetapi karena jumlah tentara kelewat banyak, ia masih tetap terkurung.
Dalam pertempuran kalut itu, seorang kepala pasukan lain mendatangi, ia memandang sejenak, lalu berkata:
"Pantas beberapa bocah ini berani berlaku galak, kiranya adalah anak-anaknya Tiat Mo Lek. Baiklah, biar aku yang mencoba-coba ilmu pedangnya keluarga Tiat."
Ia segera memutar pecut bajanya, menyerang Tiat Ceng dari atas kuda.
Tiat Ceng mengangkat pedangnya menyambut serangan tersebut, kedua senjata itu lalu saling beradu. Tiat Ceng heran akan kekuatan tenaga orang itu. Ia tidak tahu Tian Sin Cie mempunyai anak buah yang berkepandaian demikian tinggi.
Kekuatan dan tenaga Tiat Ceng sebetulnya masih di atas kepala pasukan itu, cuma karena tadi, ia sudah bertempur dengan Pok Sui Thian dan kemudian dengan Hoa Ciong Tay, sehingga tenaganya terhambur tidak sedikit. Dengan demikian ia merasakan bahwa kekuatan tenaga kepala pasukan itu lebih besar dari padanya.
Can Pek Sin dan Tiat Leng lalu maju bersama, Tiat Leng yang sifatnya nakal pedangnya digunakan untuk menabas kutung dua kaki kuda yang dinaiki oleh kepala pasukan itu. Kepala pasukan itu juga cukup tangkas, ketika kudanya rubuh ia segera melompat dari atas tunggangannya sebelum kakinya menginyak ke tanah, pecut bajanya sudah digunakan untuk menyerang dan sudah berhasil menyingkirkan serangan pedang Can Pek Sin dan Tiat Ceng!
Kepala pasukan itu bernama U-tie Cun, ia merupakan adik sepupu wakil komandan tentara pengawal kerajaan. Orang ini terlalu sombong dengan nama dan pangkat, karena ia melihat pembesar kepala daerah Gui-pok, yang mempunyai pasukan terkuat sehingga hampir melampaui kekuatan pasukan kerajaan, sebab itu ia lebih suka mengabdi kepada Tian Sin Cie, tetapi tidak suka memangku jabatan kerajaan.
Can Pek Sin sementara itu berkata kepada Tiat Leng: "Adik Leng, kau jangan gugup, aku nanti bukakan jalan bagimu."
Ia lalu mulai membuka serangannya, sambil melindungi Tiat Leng, ia menggunakan pedangnya, yang diikuti oleh serangan tangan, untuk menyingkirkan pecut baja U-tie Cun sedang tangannya sudah merubuhkan dua tentara yang menyerangnya dari samping,
Tiat Leng berkata: "Aku justeru tidak gugup."
Ia lalu mengeluarkan ilmu pedangnya yang lincah dan gesit, dalam waktu sekejap mata saja, juga sudah berhasil menotok jalan darah dua orang pasukan tentara.
Biar bagaimana ia masih terlalu muda, juga masih belum mempunyai pengalaman dalam pertempuran besar serupa itu. Baru saja keluar dari rumah perguruan, sudah menghadapi serangan pasukan tentara yang demikian banyak jumlahnya meskipun mulutnya mengatakan tidak takut, hatinya sebetulnya merasa ngeri. Tetapi, itu bukannya takut menghadapinya pasukan tentara melainkan tidak berani membunuh orang, ia masih agak takut melihat darah mengucur. Maka ia cuma menggunakan ujungnya untuk menotok jalan darah, tidak digunakan untuk membunuh.
U-tie Cun yang terpukul mundur oleh mereka tetapi ia menang dalam senjatanya yang panjangnya kira-kira satu tombak, sebaliknya pedang Can Pek Sin dan Tiat Leng cuma kira-kira tiga setengah kaki panjangnya. U-tie Cun mundur ke suatu jarak yang tidak tercapai oleh pedang mereka kemudian memutar senjatanya sehingga tidak dapat maju lagi.
Sementara itu beberapa pasukan tentara maju mengurung dan memutuskan hubungan mereka dengan Tiat Ceng. Dengan demikian tiga anak muda itu terpecah menjadi dua rombongan menghadapi lawannya.
U-tie Cun setelah menyaksikan Can Pek Sin dan Tiat Leng terkepung oleh anak buahnya sendiri lalu mengundurkan diri untuk menghadapi Tiat Leng.
Ilmu kepandaian Tiat Leng memang mengutamakan ilmu pedangnya yang aneh, gerakannya yang lincah serta gesit, tetapi dalam kepungan begitu rapat, ilmu meringankan tubuhnya tidak dapat digunakan sama sekali, sedangkan senjata-senjata yang digunakan oleh musuhnya, kebanyakan terdiri dari tombak panjang dan sebagainya yang merupakan senjata panjang dan berat, apalagi waktunya semakin lama kekuatan tenaganya semakin berkurang. Untung ada Can Pek Sin yang berada di sampingnya dan melindungi dirinya secara mati-matian sehingga beberapa kali lolos dari bahaya.
Tiat Leng dalam hati diam-diam rasa bersyukur, pikirnya pantas ayah sering memujinya, sayang Thio Po Leng tidak mempunyai mata sehingga meninggalkannya. Hem! dikemudian hari apabila aku berjumpa dengannya, aku pasti akan memakinya, mengapa ia melukai hati Can toako?
Oleh karena dapat dorongan semangat dan perbuatan Can Pek Sin yang begitu nekad dan berani melawan musuhnya, pikiran Tiat Leng perlahan-lahan mulai tenang. Meskipun ia masih belum berani membunuh orang, tetapi ia sudah tidak takut melihat darah lagi.
Tiat Ceng yang menghadapi musuh dengan seorang diri apalagi ditambah seseorang yang berkepandaian tinggi seperti U-tie Cun keadaannya lebih berbahaya dari pada Can Pek Sin.
Hoa Ciong Tay mengajak anaknya sembunyi jauh-jauh, ia terus berdiri sebagai penonton. Pasukan tentara yang repot merampas barang-barang dan hendak menangkap orang, tiada seorangpun yang memperhatikan ayah dan anak itu.
Hoa Khiam Hong menyesalkan ayahnya iapun berkata:
"Ayah, jika bukan kau yang mencoba kepandaian mereka mungkin mereka sudah pergi jauh. Semua ini adalah gara-garamu, bagaimana kau boleh berpeluk tangan menonton saja?"
Hoa Ciong Tay berkata sambil tersenyum: "Hong-jie, kau lantaran setia kawan, ataukah lantaran Tiat Kongcu?"
"Ayah, dalam keadaan demikian kau masih bersenda gurau? Baik, kalau kau tidak suka pergi membantu, biarlah aku yang pergi bertindak sendiri!"
Hoa Ciong Tay menarik tangan anaknya dan berkata sambil tertawa:
"Jangan tergesa-gesa, saatnya belum tiba!"
"Kau hendak tunggu kapan lagi?"
Hoa Ciong Tay tiba-tiba melompat keluar dan berkata sambil tertawa:
"Hong-jie ikut aku, saatnya sudah tiba."
?Y? Kesebelas Pada saat itu jumlah pasukan tentara itu sudah tiba seluruhnya, di bawah bendera pemimpin pasukan seorang Jendral perang yang duduk di atas kudanya, menunjuk dengan pecutnya ke arah kereta yang penuh muatan barang permata itu sambil tertawa terbahak-bahak.
Hoa Ciong Tay segera melompat maju kemudian berkata:
"Ini adalah anak Tian Sin Cie, kita hendak menangkap berandal, harus menangkap kepalanya lebih duhulu!"
Hoa Khiam Hong kini baru mengerti maksud ayahnya. Karena jumlah tentara begitu besar, betapapun tinggi kepandaian ayahnya, juga tidak sanggup mengundurkan pasukan tentara, yang jumlahnya ribuan jiwa itu. Hanya dengan menangkap pemimpin mereka barulah ada harapan terlepas dari kepungan.
Hoa Ciong Tay mengajak anaknya menerjang masuk rombongan tentara itu, sedapat mungkin ia menghindarkan suatu pertempuran. Andaikata ia benar-benar menghadapi rintangan agak kuat, barulah mengeluarkan kepandaiannya untuk menghajar pasukan tentara itu.
Pasukan tentara yang melindungi Tian Yat menjadi keruh keadaannya, karena dalam waktu yang cepat sekali, Hoa Ciong Tay sudah berhasil menembus garis pertama yang sudah berada di depan kuda Tian Yat hanya beberapa puluh langkah saja.
Seorang perwira didamping Tian Yat, tiba-tiba perdengarkan suara geraman hehat, segera lompat turun dari kudanya dan berkata dengan suara keras:
"Sungguh berutal kawanan berandal ini berani tidak pandang mata kepada kita!"
Senjata yang digunakan oleh perwira itu bentuknya sangat aneh, ia merupakan sebuah tembaga yang berbentuk manusia berkaki satu. Kalau diputar bisa menimbulkan suara angin menderu tetapi jari-jari tangan orang-orangan tembaga itu dapat digunakan untuk menotok jalan darah sehingga orang-orangan itu benar-benar bagaikan orang hidup.
Senjata itu merupakan senjata berat, tetapi untuk digunakan sebagai senjata totokan harus dapat menggunakan kegesitan dan kelincahan bergerak.
Kini senjata orang-orangan tembaga yang digunakan oleh perwira itu, telah menggunakan dua rupa cara yang sifatnya berlainan itu. Walaupun Hoa Ciong Tay banyak pengetahuan dan pengalamannya, saat itu juga mengkerutkan keningnya.
Hoa Ciong Tay yang belum tahu benar keadaan lawannya, tidak berani berlaku ceroboh, sewaktu diserang oleh perwira itu, ia berkelit dan melompat ke samping.
Senjata orang-orangan itu tiba-tiba berubah arahnya dan monotok jalan darah Hoa Khiam Hong. Hoa Ciong Tay menggerakkan lengan bajunya, ia menarik ke samping diri anaknya, sedang tangannya menyambar sebatang tombak dari salah seorang tentara. Dengan senjata itu ia menusuk lawannya tetapi sebentar kemudian tiba-tiba terdengar suara serak, lapisan tembaga dan percikan api berterbangan, tombak Hoa Ciong Tay putus kepalanya, sedang orang-orangan dari tembaga itu nampak banyak lubang. Kiranya dalam waktu sekejap mata itu ujung tombak Hoa Ciong Tay sudah berhasil menusuk dan meninggalkan tujuhbelas atau delapanbelas bekas lubang di badan senjata itu.
Hoa Ciong Tay sudah berhasil menguji kekuatan tenaga perwira itu yang ternyata berimbang dengan kekuatannya sendiri, hanya sang lawan itu menang dalam senjatanya yang berat, sehingga hatinya diam-diam berpikir: Andaikata senjata Phoan-koan-pit aku bawa, boleh bertanding dengannya. Tetapi kini dengan sepasang tangan kosong, apalagi dengan jumlah orang yang lebih sedikit nampaknya sulit untuk mengalahkannya.
Perwira itu setelah memberi pujian: "Bagus sekali kepandaianmu!" kembali menyerang dengan senjatanya.
Hoa Ciong Tay tiba-tiba mematahkan senjata tombak hanya mengambil sepotong saja digenggam dalam tangannya kemudian ia remas dengan tangannya, lalu diayun, dan sepotong senjata tombak itu berobah menjadi potongan besi berkeping-keping. Ternyata ia sudah menggunakan kepingan besi itu sebagai senjata rahasia untuk menyerang jalan darah musuhnya.
Perwira itu ketika menyaksikan kepandaian Hoa Ciong Tay yang luar biasa itu, diam-diam juga terperanjat dengan cepat ia memutar senjatanya untuk menghalau senjata yang menyerang dirinya bagaikan air hujan itu. Meskipun senjata itu terpukul jatuh, tetapi ada dua potong yang terbang melewati atas kepalanya dan melukai dua pengawal Tian Yat.
Tian Yat yang menyaksikan itu ketakutan setengah mati, ia buru-buru melarikan kudanya hendak menyingkir.
Perwira itu lalu menegur:
"Apakah kau Hoa Ciong Tay yang mempunyai gelar menyapu ribuan tentara dengan pena?"
Hoa Ciong Tay: "Adakah kau muridnya Soat-san Lo-koay yang bernama Pak-kiong Hong? Hem, sayang dengan kepandaianmu, orang gagah seperti kau suka menjadi kaki tangan Tian Sin Cie! Hari ini pihakku sedikit dan pihakmu berjumlah banyak sudah tentu aku tidak sanggup melawan kau. Kalau kau seorang laki-laki mari kita berjanji bertempur lagi satu lawan satu."
Soat-san Lo-koay pada tigapuluh tahun berselang merupakan satu iblis yang berdiri di tengah-tengah antara golongan benar dan golongan sesat. Pada waktu itu namanya sama terkenalnya dengan guru Hoa Ciong Tay, sehingga Hoa Ciong Tay tahu bahwa iblis itu mempunyai seorang murid yang kini menjadi perwira itu, akan tetapi mereka berdua belum pernah bertemu muka. Setelah keduanya menyaksikan kepandaian masing-masing, baru dapat menduga.
Pak-kiong Hong berkata: "Setiap waktu aku menantikan kedatanganmu di kantor kepala daerah."
Ia mengucapkan demikian terang sudah menunjukan rasa khawatirnya, sehingga tidak berani terang-terangan mengajak bertempur Hoa Ciong Tay di tempat yang sunyi.
Hoa Ciong Tay berkata sambil ketawa dingin:
"Mungkin kau juga tidak berani, Hong-jie mari kita pergi!"
Sementara itu Pak-kiong Hong diam-diam berpikir kekuatan tenaga dalam Hoa Ciong Tay sudah mencapai ke taraf yang tidak ada taranya, maka aku terpaksa minta sutee ku turun gunuug, baru dapat mengalahkannya.
Ternyata guru perwira itu sudah menutup mata, sang guru itu hanya mempunyai seorang anak laki-laki, yang usianya lebih muda beberapa tahun dari pada usianya sendiri, tetapi karena sejak kecil sudah mengikuti belajar ilmu silat dengan ayahnya. Dan sebagai anak sendiri sudah tentu diberikan pelajaran sangat khusus, maka kepandaiannya adik sepeguruan itu lebih tinggi dari kepandaiannya sendiri yang masih dianggap sebagai kakak seperguruan.
Pak-kiong Hong tidak berani mengejar Hoa Ciong Tay, ia pura-pura melindungi pemimpinnya, lalu mengundurkan diri, Hoa Ciong Tay juga mengajak anaknya keluar dari kepungan.
Hoa Khiam Hong bertanya kepada ayahnya:
"Ayah, kau tidak berhasil menangkap Tian Yat, sekarang bagaimana kita harus bertindak?"
Sang ayah lalu menjawab: "Kita membantu mereka."
"Bagaimana dengan barang-barang berharga di kereta?"
Ternyata barang-barang di kereta itu, saat itu juga didorong oleh anak buah Tian Yat, di bawah perlindungan pasukan tentara berkuda, sedang meninggalkan medan pertempuran. Tiat Ceng kakak beradik dan Can Pek Sin bertiga masih dikepung oleh pasukan tentara, juga belum berhasil menggabungkan diri satu sama lain.
Hoa Ciong Tay berkata sambil menghela napas:
"Menolong jiwa orang lebih penting, kehilangan harta kita nanti boleh kita cari lagi."
Ia tahu bahwa dengan adanya Pak-kiong Hong didamping Tian Yat, rencananya hendak menangkap pemimpin pasukan itu sudah tidak dapat dijalankan lagi. Harapannya pada dewasa itu supaya lekas bisa nyerobot keluar dari kepungan.
Untung Pak-kiong Hong tidak berani meninggalkan Tian Yat sehingga Hoa Ciong Tay dapat membuka jalan untuk memberi bantuan Tiat Ceng lebih dulu. Karena ia tahu bahwa putrinya paling khawatirkan pemuda itu, dan juga keadaan pemuda itu yang nampaknya paling berbahaya.
U-tie Cun yang memimpin rombongan pasukan tentara yang mengepung Tiat Ceng, ketika mendengar suara riuh, segera mengetahui bahwa pihak musuhnya mendatangkan bala bantuan. Tetapi sebagai seorang perwira yang sudah mempunyai banyak pengalaman peperangan, maka mereka segera memimpin anak buahnya, membentuk suatu barisan, untuk memperkuat barisan, ialah memperkuat barisan penjagaan, sedang ia sendiri masih melayani Tiat Ceng dengan tenang.
Tiat Ceng yang sudah hertempur sekian lamanya, tenaganya mulai berkurang. U-tie Cun yang melihat kesempatan baik, segera mendesak hebat, ia bermaksud hendak menangkap hidup-hidup Tiat Ceng, agar dapat digunakan sebagai orang tawanan untuk memeras.
Selagi pecutnya hendak menggulung badan Tiat Ceng, sesosok bayangan orang tiba-tiba melayang turun dari tengah udara, yang jatuh tepat untuk menggantikan dirinya Tiat Ceng, sehingga terkena oleh pecutnya. Kiranya orang itu adalah seorang tentara dari anak buahnya yang tertangkap hidup-hidup oleh Hoa Ciong Tay, ia kemudian dilemparkan untuk menolong Tiat Ceng.
U-tie Cun yang dipermainkan oleh Hoa Ciong Tay, merasa kaget dan gusar, ketika hendak melepaskan pecutnya, kembali sesosok bayangan orang melayang turun, dan kali ini ternyata Hoa Ciong Tay sendiri yang masuk ke dalam kalangan.
U-tie Cun tidak mendapat kesempatan untuk melihat siapa yang melayang turun itu, dianggapnya dirinya hendak dipermainkan lagi, maka ia lalu melontarkan makian dan menarik kembali pecutnya untuk menghindarkan terulangnya kembali kejadian semacam tadi, bahkan dengan cepat menyerang Tiat Ceng lagi.
Hoa Ciong Tay tak memberikan kesempatan kepadanya, ia menyambar dengan tangannya sehingga pecutnya tertangkap olehnya.
Jago tua itu segera mengeluarkan suara bentakan keras:
"Lepaskan senjatamu!"
U-tie Cun cuma merasakan tangannya seperti terpotong oleh senjata tajam, benar saja badannya terasa ambruk dan pecutnya terlepas dari tangannya.
Anak buahnya segera memberi pertolongan, sedang Hoa Ciong Tay yang maksudnya hendak menolong Tiat Ceng maka tak melukainya lagi.
05.29. Dengar Dulu Rencana Adik Leng!
Dengan terlukanya U-tie Cun, dengan sendirinya barisannya menjadi kalut, Hoa Ciong Tay dengan mengajak Tiat Ceng keluar dari kepungan dengan mudah.
Pasukan tentara yang mengepung Can Pek Sin dan Tiat Leng, tiada satupun yang mempunyai kepandaian seperti U-tie Cun, tetapi ada beberapa puluh orang yang menggunakan pakaian berlapis baja dan berperisai besi. Pasukan tentara Tian Sin Cie, yang terdiri dari tenaga pilihan, dan pasukan yang membawa perisai besi itu merupakan ?inti? pasukan, karena mereka mengenakan baju berlapis baja sehingga tidak dapat ditembus oleh senjata tajam. Pasukan itu dengan satu golok di tangan dan perisai di lain tangan, paling tepat untuk pertempuran jarak dekat. Satu-satunya rintangan ialah pakaiannya yang berat sehiagga tidaklah leluasa bergerak.
Hoa Khiam Hong dan Tiat Ceng yang menerjang masuk dengan bahu membahu, telah berjumpa dengan pasukan ini, ketika pedang mereka menikam ke badan-badan pasukan itu, seperti menusuk benda keras, sedikitpun tak berhasil melukai dirinya, bahkan masih mendesak dengan hebatnya.
Hoa Ciong Tay menyaksikan keadaan demikian berkata:
"Biarlah aku yang menghadapi barisan ini!"
Ia lalu merampas satu batang tombak dari tangan seorang tentara digunakan untuk menyerang pasukan yang kebal dengan senjata tajam itu, senjata itu setiap kalinya di arahkan kepada bagian lutut pasukan tentara tersebut, karena bagian itu tidak dilindungi oleh lapisan baja maka mudah ditusukan, sehingga pasukan itu tidak dapat berdiri dan rubuh satu persatu.
Pasukan perisai itu yang gerak majunya secara berbaris karena gerakannya yang kurang laluasa, maka beberapa orang yang rubuh itu merupakan rintangan bagi kawan-kawannya, sehingga dalam waktu sekejap mata saja, keadaan menjadi kalut.
Hoa Ciong Tay dengan mudah dapat menghalaukan pasukan itu dan berhasil menolong keluar Can Pek Sin serta Tiat Leng.
Tiat Leng merasa sangat bersyukur, berkata kepada Hoa Khiam Hong:
"Enci Hoa untung kalian datang dengan waktu yang tepat sehingga berhasil menolong diri kita. Biar bagaimana kau harus berkunjung ke kediamanku."
Hoa Khiam Hong lalu berkata:
"Dalam peristiwa ini sebetulnya adalah kita yang menyulitkan dirimu. Kita seharusnya bahu membahu untuk menghadapi segala rintangan. Sekarang kita masih belum berhasil menerobos keluar dari kepungan pasukan tentara yang jumlahnya terlalu besar ini, belum waktunya bagi kita merasa girang. Kita ingin kunjungi kediamanmu, tetapi hal itu setelah terlepas dari bahaya ini nanti kita bicarakan lagi."
Pasukan tentara yang mengepung mereka itu jumlahnya ada beberapa ribu. Tiat Ceng berlima hanya berhasil menembus beberapa lapis saja maka disekitarnya masih terdapat banyak musuh. Hanya orang yang jumlahnya begitu banyak sudah tentu tidak dapat berkumpul di suatu tempat yang sempit. Tiat Ceng berlima setelah keluar dari kepungan, sudah tentu agak leluasa untuk menghadapi yang lainnya.
Meskipun keadaan mereka sudah mulai letih hendak menerjang keluar dari kepungan, juga bukan merupakan suatu pekerjaan yang mudah.
Andaikata berhasil, mungkin juga masih sulit menghindarkan kejaran pasukan kuda itu.
Tiat Ceng yang memikirkan sual itu lalu berkata:
"Kita perla cari kuda tunggangan dulu."
Ternyata kuda tunggangan mereka bertiga, semua merupakan kuda-kuda pilihan yang sudah terlatih, baik kuda itu meski sudah dirampas oleh musuh, tetapi Tiat Ceng bertiga bersiul nyaring, kuda-kuda itu segera mengenali suara panggilan majikannya.
Jiwa Ksatria Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tiga ekor kuda itu yang hanya mau ditunggangi oleh majikannya sendiri, meskipun di tangan musuh, tiada satupun dari tentara itu yang berhasil menundukkan sehingga ditarik dengan paksa. Ketika mendengar siulan majikannya segera bergerak dan berusaha loloskan diri dari tentara yang membawanya.
Pada saat itu tentara itu dipecah menjadi dua rombongan, satu rombongan mundur sambil melindungi Tian Yat, lain rombongan di bawah pimpinan Pak-kiong Hong, kembali menyerang orang itu.
Kiranya Tian Yat, yang sudah mendapat tahu bahwa kereta yang berisi barang berharga itu sudah berhasil dikuasainya, karena tujuannya sudah tercapai, ia lalu balik bersama barang rampasan itu lebih dahulu. Sementara tugas untuk menangkap kawanan berandal diserahkan kepada Pak-kiong Hong.
Tian Yat yang baru datang dengan pasukannya yang berjumlah demikian besar, dikiranya akan menjumpai rombongan pasukan berandal yang berjumlah besar juga. Sungguh tidak diduga bahwa ia hanya menjumpai duaa pemuda seorang laki-laki tua dan dua orang gadis cilik, sudah tentu tidak menggunakan tentara begitu besar.
Setelah Tian Yat berlalu, dalam hati Pak-kiong Hong lalu berpikir kalau bertanding satu lawan satu belum tentu aku dapat melawan Hoa Ciong Tay. Sebaiknya dengan tentara yang banyak jumlahnya ini untuk menyingkirkannya, meskipun hal ini mungkin akan juga menjadi buah tertawaan orang dunia Kang-ouw, tetapi aku hanya menjalankan perintah, aku menyatakan bahwa dalam perjalanan tugas tidak perlu menurut peraturan dunia Kang-ouw.
Atas pernyataan Tiat Ceng tadi Hoa Ciong Tay lalu berkata:
"Kalian jalan dulu, biar aku yang menghadapi pasukan tentara ini."
Tiat Leng yang usianya paling muda setelah bertempur hampir setengah hari, keadaannya lebih baik dari kakaknya, maka ketika mendengar ucapan Hoa Ciong Tay dalam hati lalu berkata sendiri: Enak kau berbicara aku lari saja mungkin juga tidak kuat lagi.
Tetapi adalah seorang gadis yang berkeras hati tidak suka menunjukkan kelemahannya di depan orang meskipun dalam hati mengeluh, mulutnya masih berkata:
"Koko mari kita terjang!"
Tetapi sebelum ia bertindak, Hoa Ciong Tay sudah bergerak lebih dulu, bagaikan harimau kelaparan yang menangkap mangsanya, hanya beberapa kali gerakan saja sudah berhasil merobohkan beberapa orang tentara. Ia merebut senjata panjang dari mereka, senjata itu digunakan untuk menyambit pasukan tentara itu.
Dalam pasukan itu ada beberapa antaranya yang coba menundukkan tiga ekor kuda tunggangan Tiat Ceng bertiga yang saat itu sedang meronta-ronta. Dua senjata tombak panjang itu dengan tepat mengenakan belakang panggung dua tentara dan terus menembus ke depan dada!
Pak-kiong Hong sangat murka, ia lalu keprak kudanya lari menghampiri Hoa Ciong Tay.
Hoa Ciong Tay tenang-tenang saja, kembali ia sudah berhasil merampas dua tombak panjang dan dua tombak pendek. Dua tombak panjang merenggut dua jiwa tentara yang sedang menarik kuda Tiat Ceng, sedang dua tombak pendek melayang ke arah Pak-kiong Hong.
Pak-kiong Hong memutar senjatanya orang-orangan tembaga berhasil mematahkan senjata yang melayang ke arahnya tetapi kaki kudanya sudah terluka sehingga roboh.
Pak-kiong Hong melompat turun dari kudanya dan mengejar Hoa Ciong Tay. Serombongan besar tentaranya, juga ikut mengejar.
Tentara yang hendak membawa kabur kuda Tiat Ceng bertiga ketika sudah terluka, empat orang yang lainnya merasa ketakutan. Kuda itu karena sudah tidak ada yang menghalangi lagi maka segera kabur kepada majikannya masing-masing.
Tiat Ceng bertiga yang mendapatkan kembali kuda tunggangannya merasa sangat girang.
Menurut pikiran Tiat Ceng, sebetulnya masih ingin menunggu Hoa Ciong Tay dan putrinya, supaya jalan bersama-sama, tetapi Hoa Ciong Tay berulang-ulang melambaikan tangannya seraya berkata:
"Lekas lari, dikemudian hari aku bisa datang mencari kalian sendiri."
Tiat Ceng berpikir Hoa Ciong Tay berkepandaian tinggi, dengan kepandaiannya itu ia pasti dapat melindungi putrinya menerobos keluar kepungan musuh. Sedangkan di pihaknya sendiri bertiga, karena semua terlalu lelah, bukan saja tidak dapat memberi bantuan apa-apa bahkan mungkin akan memberatkan dirinya. Maka sebaiknya menurut kata-katanya dan menerjang, keluar lebih dulu.
Maka lalu ia berkata: "Baiklah, kita mengikuti kehendakmu, Hoa Locianpwee, sampai berjumpa lagi!"
Kuda mereka merupakan kuda peperangan yang sudah terlatih baik, tanpa diperintah oleh majikannya, dapat memilih ke bagian-bagian yang orangnya sedikit, kabur ke arah yang aman. Hoa Ciong Tay juga menerjang keluar mengikuti jejaknya.
Tiga ekor kuda itu berlari dengan pesatnya, tidak antara lama, sudah keluar dari lembah sehingga terlepas dari kejaran musuh.
Dengan cepat Tiat Leng bertiga sudah lari sejauh tigapuluh pal, cuaca sudah mulai gelap barulah ia mulai berjalan agak pelahan. Tidak antara lama lagi, rembulan sudah muncul, tetapi tidak terlihat jejaknya Hoa Ciong Tay dan anaknya.
Tiat Leng lalu berkata: "Mengapa masih belum kelihatan mereka menyusul? Bukankah Hoa Locianpwee menyuruh kita jalan dulu, ia seharusnya tahu kalau kita menempuh jalan kecil ini? Kita sudah lama jalan perlahan, dengan ilmu lari pesat mereka, seharusnya sudah dapat menyusul."
Tiat Ceng berkata, "Hoa Locianpwee sudah kata bahwa dikemudian hari ia akan datang kekediaman kita, mungkin setelah berhasil menerobos keluar ia jalan ke lain jurusan yang kita tidak tahu. Kepandaian Hoa Locianpwee tinggi sekali tidak mungkin ia tidak dapat lolos dari kepungan mereka."
Akan tetapi walaupun mulutnya mengatakan demikian, hatinya juga tidak merasa tidak tenang. Can Pek Sin berkata:
"Mari kita cari tempat untuk beristirahat, sekalipun orangnya tidak letih kudanya juga merasa payah."
Tiat Leng berkata sambil tertawa:
"Siapa kata orangnya tidak letih? Sebaiknya kau jangan sebut-sebut karena kata-katamu itu sekarang aku benar-benar merasa lapar dan dahaga. Lapar sih bisa ditahan, tetapi sudah hampir satu hari tidak kemasukan setetes air, tenggorokan rasanya sudah kering sekali."
Tiat Ceng berkata: "Baiklah malam ini kita beristirahat dan tidur di rimba ini."
Di antara mereka bertiga adalah ia yang kekuatan tenaga dalamnya lebih sempurna, tetapi setelah mengalami pertempuran sengit setengah hari lamanya juga sudah merasa letih sekali.
Setelah masuk ke dalam rimba, mereka berhenti dulu di tepi sungai kecil untuk minum air.
Tiat Leng, sehabis minum air dan mencuci mukanya, lalu berkata sambil tertawa:
"Sekarang aku merasa segar, juga tidak merasa dahaga lagi. Tetapi perutku merasa lapar."
Peruntungan mereka masih baik, tidak antara lama mereka sudah berhasil menangkap seekor binatang rusa. Sedangkan Can Pek Sin yang sudah biasa hidup di daerah pegunungan, kenal baik berbagai jenis buah-buahan, maka ia mencari buah-buahan itu untuk hidangan malam mereka.
Ketika Can Pek Sin balik di tempatnya, kakak beradik itu sedang menyalakan api untuk memanggang binatang rusa tadi, ia nampak Tiat Leng duduk menekur di perapian nampaknya seperti sedang mengantuk.
Tiat Ceng mendorong adiknya dan berkata:
"Anak tolol, kau bagaimana boleh tidur seorang diri? Bagaimana kalau ada ular datang menggigit? Bagaimana pula kalau ada api menjilat badanmu?"
Tiat Leng membuka matanya dan berkata:
"Siapa kata aku sedang tidur, aku tengah memikir suatu urusan!"
Tiat Ceng berkata: "Oh, kiranya kau juga bisa menggunakan pikiran. Apa saja yang kau sedang pikirkan?"
"Kau jangan memandang rendah diriku, aku sedang memikirkan suatu rencana. Sehabis makan kenyang aku nanti beritahukan padamu."
Tiga orang itu lalu memakan daging rusa dan buah-buahan. Tiat Leng setelah perutnya merasa kenyang lalu berkata:
"Daging rusa enak sih enak tetapi sayang sedikit tidak ada garamnya."
Tiat Ceng berkata: "Nona rakus, rencana apa yang kau sedang pikirkan tadi sekarang bolehkah kau ceritakan?"
Tiat Leng lebih dulu menghela nepas, kemudian baru berkata:
"Kita kehilangan harta benda Can Toako, ransum di atas gunung merupakan suatu persoalan lagi. Apa kita masih mempunyai muka untuk menjumpai ayah?"
Tiat Ceng berkata sambil ketawa,
"Kau tidak perlu bicara memutar, aku juga sudah tahu soal apa yang sedang kau pikirkan."
"Benar. Kita harus mencari daya upaya, untuk merampas kembali barang-barang yang mereka rampas."
"Tetapi kita hanya bertiga, Hoa Locianpwee dan anaknya kita baru kenal kali ini saja, sekalipun kita berhasil mencari mereka, kita juga tidak enak minta bantuannya."
"Minta bantuan kepada orang luar, mana kita punya muka berbuat demikian? Sudah tentu kita cuma bisa mengandalkan kekuatan tenaga sendiri. Kalau kita tidak sanggup melawan dengan tenaga, apakah kita boleh melawan dengan pikiran atau akal?"
Can Pek Sin lalu berkata:
"Benar kita dengar dulu rencana adik Leng."
Tiat Leng berkata, "Koko, kau jangan menertawakan aku, rencanaku ini bukan keluar dari pikiranku sendiri tetapi aku mencuri dari orang lain dan orang itu adalah orang yang kau kagumi."
Tiat Ceng berkata, "Perkataanmu semakin lama semakin melantur. Siapakah orang itu? Apakah ia juga mengalami nasib serupa dengan kita?"
"Apakah kau masih ingat kisah bibi Toan yang diceritakan oleh ayah? Dahulu, bibi Toan adalah puteri angkat Sie Siong, kepala daerah Lo-ciu. Kala itu Tian Sin Cie bermaksud hendak menguasai daerah itu dan ingin memaksa.
"Bibi Toan malam-malam masuk ke gedungnya Tian Sin Cie mencuri sebuah kotak mas. Kotak mas itu diletakkan di bawah bantal Tian Sin Cie. Maka perbuatannya itu mengejutkannya sehingga tidak berani memikirkan yang bukan-bukan lagi. Kala itu Tian Yat bukan saja tidak mendapatkan diri bibi Toan sebagai isterinya, malah kehilangan barang yang digunakan untuk meminang."
Bibi Toan yang disebut oleh Tiat Leng itu adalah isteri Toan Khek Gee, Su Yak Bwee waktu ia masih menjadi puteri angkat keluarga Sie bernama Ang Soan. Kisah tentang perbuatan Ang Soan yang mencuri kotak mas itu tersiar luas di kalangan Kang-ouw, bukan saja sudah diketahui oleh Tiat Ceng dengan adiknya, Can Pek Sin juga sudah pernah tahu dari ayah bundanya.
Tiat Ceng berkata: "Oh, kiranya kau hendak menelad perbuatan bibi Toan. Tetapi bibi Toan dahulu dibantu oleh paman Toan, sedangkan Tian Sin Cie pada dewasa ini sudah mempunyai pengawal kuat yang banyak jumlahnya, umpamanya perwira she U-tie yang menggunakan senjata pecut juga merupakan salah satu di antaranya."
Tiat Ceng masih belum tahu bahwa disamping U-tie Cun masih ada Pak-kiong Hong yang kuat sepuluh kali dari pada U-tie Cun. Sebab sewaktu Hoa Ciong Tay bertempur dengan Pak-kiong Hong, mereka bertiga sedang terkurung dalam kepungan musuh, sehingga belum menyaksikan kepandaian Pak-kiong Hong.
Tiat Leng lalu bertanya: "Paman dan bibi Toan kala itu juga berusia tujuh atau delapanbelas tahun, lebih tua beberapa tahun saja dengan kita sekarang ini, bahkan di pihak kita sekarang lebih satu orang. Kalau mereka berani berbuat mengapa kita tak berani?"
Tiat Ceng yang lebih hati-hati dari pada adiknya bukan berarti seorang bernyali kecil. Sifatnya adalah setelah mengambil suatu keputusan sekalipun menghadapi rintangan besar bagaimanapun juga ia akan menerjangnya. Ketika adiknya bicara, dalam hatinya sudah akan menolak balik.
Satu-satunya cara yang paling baik, sudah tentu pulang untuk memberitahukan kepada ayahnya lebih dulu, tetapi gunung Hok-gu-san terpisah dengan daerah Gui-pok masih ribuan pal, sudah tentu tak bisa menggerakkan pasukan besar untuk memukulnya. Maka dalam hati lalu berpikir: Ayah dengan paman To, harus menjaga di gunung. Lain-lain kepala pasukan, kepandaiannya masih belum seimbang dengan kita. Kalau aku pulang melaporkan, ayah juga tidak dapat mengirim orang yang berkepandaian tinggi untuk membantu kita. Perlu apa aku harus menyusahkan dirinya?
Sementara itu Can Pek Sin bangkit semangatnya karena mendengar perkataan Tiat Leng tadi, ia lebih dulu yang menyetujui rencana itu seraya berkata:
"Baik adik Leng, kakakmu berani menerjang goa harimau, mengapa aku harus merasa takut!"
Tiat Leng berkata: 05.30. Kow-kow, Kau Gemuk Sekali?
"Can toako sudah setuju, koko, bagaimana dengan kau?"
Tiat Ceng yang sudah berpikir masak-masak lalu berkata sambil tersenyum:
"Rencanamu ini bukannya tak boleh dijalankan, tetapi kita harus berpikir masak-masak dulu."
"Apa yang harus dipikirkan lagi?"
"Pasukan tentara Gui-pok sebagian besar sudah kenali muka kita. Kita tokh tidak boleh masuk ke kota seenaknya saja dengan menunggang kuda, maka aku pikir kita harus mencari tempat beristirahat lebih dulu. Kita kirim kuda kita di sana, tengah malam baru kita masuk ke daerah Gui-pok. Lagi pula kompleks kediaman Tian Sin Cie, paling sedikit juga ada bangunan ratusan rumah. Kita juga perlu mengetahui lebih dulu keadaan tempat itu. Jikalau kita tidak menerjang secara membabi buta, ini berarti suatu perbuatan untung-untungan."
Semua ini belum pernah dipikirkan oleh Tiat Leng, maka seketika lalu melengkap tetapi ia masih coba bertahan dengan pendiriannya, ia berkata:
"Mengandalkan keuntungannya apa boleh buat, setidak-tidaknya ada lebih baik tidak bertindak sama sekali."
Can Pek Sin berkata: "Saudara Tiat, sudah memikir sampai sekian jauh, dalam hati tentu mempunyai rencana yang lebih baik."
Tiat Ceng berkata: "Aku tiba-tiba teringat kepada dirinya dua orang. Adik Leng, ini juga kau yang mengingatkan aku."
Tiat Leng dipuji oleh kakaknya seketika merasa girang, lalu ia berkata:
"Siapa dua orang itu? Mengapa aku sendiri tidak ingat?"
"Siapakah itu orang yang merupakan sahabat paling baik bibi Toan?"
"Oh, yang kau maksudkan apakah bukan bibi Jie? Ya benar suaminya justru susiok kita. Tetapi mereka merupakan pasangan pendekar yang suka berkelana, sehingga tidak mempunyai kediaman yang tetap. Bagaimana kau tahu di mana saat ini mereka berada?"
Dua orang yang dimaksudkan oleh kakak beradik itu, adalah Pui Pek Hu dan istrinya Jie Im Nio.
Pui Pek Hu adalah murid terakhir dari Boh Kia Lojin, dengan Tiat Mo Lek merapakan saudara seperguruan, maka kedudukan dan tingkatannya masih merupakan Susiok atau paman seperguruaa kakak beradik itu.
Sementara itu hubungan keluarga Jie Im Nio dengan keluarga Tiat ada lebih dalam lagi. Ia dengan isteri Toan Khek Gee merupakan kakak beradik berlainan she, tetapi sejak kecil hidup dan tinggal bersama-sama.
Ayah Jie Im Nio adalah satu Jendral dari tentara Kerajaan, juga pernah menjadi kepala pasukan, kepala tentaranya Tian Sin Cie, sehingga masih sering mengadakan hubungan dengannya. Kemudian karena tidak menuruti keinginan pemerintah, ayah Jie Im Nio dilepas dari jabatannya menjadi rakyat biasa dan sudah meninggal dunia pada dua tahun berselang.
Setelah Jie Im Nio menikah dengan Pui Pek Hu, telah memutuskan hubungan semua dengan sahabat-sahabat ayahnya di dalam ketentaraan dahulu, dan mengembara ke mana-mana sebagai pendekar yang sering suka berkelana.
Tiat Ceng lalu berkata: "Pui susiok berdua dengan kita tidak dapat dibandingkan dengan orang luar, kita boleh minta bantuan mereka, Jie Im Nio dahulu sering keluar masuk ke daerah Gui-pok. Kita tidak perlu memintanya keluar sendiri, tetapi setidak-tidaknya dapat minta kepadanya sebagai penunjuk jalan.
Tiat Leng menggelengkan kepala dan berkata:
"Dapat menemukan mereka, sudah tentu paling baik. Tetapi jejak mereka tidak karuan arahnya, bagaimana kau tahu di mana sekarang mereka berada?"
"Sudah tentu aku tahu, jikalau tidak aku juga tidak perlu menyebut diri mereka. Mereka berada di dalam satu kampung yang terpisah hanya limapuluh pal dari Gui-pok. Dari kota itu meski letaknya tidak jauh, tetapi kampung itu sangat terpencil."
"Apakah yang kau maksudkan Jie-liong-kao?"
"Benar, kediaman Pui susiok adalah di Jie-liong-kao itu."
"Tentang ini aku juga tahu, Tetapi bagaimana kau tahu mereka pasti ada di rumah?"
"Paman Lam bulan yang lalu di perjalanan Lo-ciu pernah berjumpa dengan mereka. Pui susiok telah memberi tahukan kepadanya bahwa dia hendak pulang ke tempat kediamannya untuk berdiam tiga bulan lamanya. Paman Lam karena kuatir akan terjadi apa-apa atas diri kita di perjalanan, pernah memberi tahukan kepadaku beberapa nama yang merupakan sahabat baik ayah, di sepanjang perjalanan kita yang boleh kita minta bantuannya. Sebagai orang pertama ia menyebut dirinya Pui susiok. Aku sebetulnya hendak memberitahukan kepadamu, tetapi selama beberapa hari ini perasaanku terpengaruh, sehingga lupa sama sekali.
Tiat Leng meski usianya masih muda tetapi cerdas pikirannya, mendengar uraian kakaknya lalu berkata:
"Eh, dalam hal ini agak aneh."
"Apa yang membuat aneh? Jie Im Nio tidak suka berhubungan dengan keluarganya, gedung besar peninggalan ayahnya sudah lama ia tidak lama ia tidak mau mendiaminya lagi. Ia bukan seorang yang ingin hidup kaya, mengapa ia tidak bisa berdiam bersama-sama dengan suaminya di daerah pegunungan?"
"Bukan begitu. Bukankah paman Lam hendak ke selatan untuk merampas ransum kerajaan? Mengapa ia tidak ajak Pui susiok dan Pui sunio, membantu dirinya? Pui susiok sudah ditinggal mati oleh ayah bundanya waktu masih anak-anak mengapa mendadak ingat pulang dan berdiam beberapa bulan di rumahnya?"
Tiat Ceng juga sudah pernah memikirkan soal itu, tetapi kala itu karena Lam Hee Lui, berlalu secara tergesa-gesa, ia tidak menanya dengan teliti. Maka ia lalu berkata:
"Tidak mungkin paman Lam, membohongi kita. Pui susiok dan Pui sunio dengan kita sudah seperti orang-orang sekeluarga sendiri, sudah tentu boleh kita percaya. Mereka pulang ke rumah kediamannya sendiri, pasti ada sebabnya. Kita pergi menengok mereka lebih dulu, kau nanti baru bertanya kepada Pui sunio."
"Jikalau Pui susiok dan Pui sunio, juga tidak boleh dipercaya, maka dalam dunia ini sudah tidak ada orang yang boleh dipercaya lagi. Aku sudah tentu percaya kepada mereka dan aku hanya merasa heran saja. Baiklah, kalau begitu kita tidak perlu menunggu Hoa Locianpwee dengan anaknya, esok pagi kita boleh berangkat."
"Tidak, kita harus berangkat sekarang juga. Kalau sudah terang tanah nanti bisa berpapasan dengan tentara negeri sehingga bocor rahasia kita. Kau sudah kenyang makan seharusnya sudah seharusnya tenagamu sudah pulih lagi."
"Hanya merasa sedikit mengantuk. Tetapi baiklah, aku coba bertahan sedapat mungkin, setiba di rumah Pui susiok baru tidur."
Itulah sifatnya anak muda, kalau bertindak segera bertindak, sekalipun merasa mengantuk, tetapi begitu berada di atas kuda lalu bersemangat lagi.
Untung malam itu adalah malam terang bulan, meskipun Tiat Ceng belum pernah pergi ke Jie-liong-kao, namun sudah tahu bahwa limapuluh pal sebelah kota Gui-pok terdapat sebuah bukit, dari tempat mereka sekarang, terpisah kira-kira tujuhpuluh pal.
Tiat Ceng bertindak sebagai pemimpin, melarikan kudanya menuju ke tempat tersebut.
Kuda mereka semua merupakan kuda perang meskipun berjalan malam buta di daerah pegunungan, juga mengerti mencari jalan yang agak aman dan memilih jalan yang mudah dengan tanpa petunjuk yang menunggang. Dengan adanya sebuah bukit itu sebagai tujuan, tidak mungkin mereka akan tersesat jalan. Waktu mereka berangkat sudah lewat tengah malam, kira-kira hampir subuh sudah sampai ke tempat yang dituju.
Mereka mencari seorang penebang kayu yang biasanya keluar rumah pagi-pagi sekali. Penebang kayu itu kebetulan sejak kecil kenal Pui Pek Hu meskipun ia merasa bahwa kedatangan tiga muda mudi itu agak mengherankan hatinya, tetapi ia masih memberikan petunjuk jalan bagi mereka.
Rumah keluarga Pui terbuat dari batu bata, di luar dikelilingi oleh dinding tembok rendah, tampak tegas bahwa dinding tembok rumah bekas dikapur belum lama. Bangunan itu apabila dibanding dengan gedung-gedung orang kaya, memang kalah mentereng, tetapi dalam daerah perkampungan sesunyi itu, rumah itu sudah merupakan satu-satunya rumah yang termewah. Ditilik dari keadaannya, suami isteri Pui mungkin ingin berdiam agak lama di rumahnya, jikalau tidak, mereka tentunya tidak perlu mengapur segala.
Dinding pekarangan yang pendek itu, Tiat Ceng bertiga sebetulnya dapat melompati dengan mudahnya, tetapi mereka adalah orang-orang tingkatan muda, cara demikian ada melanggar tata krama.
Tiat Ceng mengetuk pintu luar, tetapi tidak terdengar jawaban. Ia lalu berkata kepada Can Pek Sin:
"Apakah kita perlu memberi tahu nama kita?"
Tiat Ceng kenal baik pantangan dunia Kang-ouw. Ia adalah putra seorang Beng-cu rimba hijau, karena hubungan ayahnya, di kalang Kang-ouw banyak orang kenal kepadanya.
Tempat itu meskipun sangat terpencil, tetapi juga harus berjaga-jaga di balik dinding ada orang yang mendengar.
Sebelum Can Pek Sin memberi jawaban, tiba-tiba terdengar suara membisik. Dari dalam tembok pekarangan menyambar keluar senjata rahasia.
Tiat Ceng terperanjat, dengan cepat lompat menyingkir.
Tiat Leng mendongkol ia berkata:
"Pui susiok, bagaimana kau menyerang aku?"
Ia menyambut senjata rahasia itu, ternyata cuma dua butir buah lengkeng yang sudah masak.
Pada saat itu, pintu pekarangan terbuka lebar orang yang keluar bukan lain dari pada Pui Pek Hu sendiri.
"Kalian dua setan cilik ini sekarang sudah begini tinggi, susiokmu hampir tidak dapat mengenali lagi. Dan ini......" berkata Pui Pek Hu itu.
"Dia adalah Can toako," jawab Tiat Ceng.
"Oh, aku tahu, mari masuk!"
Tiat Leng kini baru tahu bahwa Pui Pek Hu, menggunakan buah lengkeng sebagai senjata rahasia, untuk mencoba tamunya.
Jie Im Nio sudah mempunyai hubungan baik lebih dulu dengan keluarga Tiat dan Toan. Tiat Ceng bersama adiknya sejak masih kanak-kanak sudah sering berada bersama-sama dengan Jie Im Nio. Pui Pek Hu yang muncul belakangan, meskipun merupakan susiok mereka, tetapi waktunya bertemu muka sedikit sekali. Mereka berpisah dengan Tiat Ceng berdua sudah lima-enam tahun. Tetapi anak-anak pertumbuhan badannya cepat sekali sudah tentu Pui Pek Hu sudah hampir tidak mengenalnya lagi.
Tiat Leng setelah mengupas kulit lengkeng, dua buah lengkeng itu lalu dimasukan ke mulutnya, kemudian ia berkata sambil tertawa:
"Terima kasih atas pemberian lengkeng Pui susiok, di mana Jie sunio?"
"Jie sunio mu belum bangun," jawabnya Pui Pek Hu.
Waktu itu sudah terang tanah, menurut kebiasaan orang-orang yang mengerti ilmu silat, bangunnya pagi-pagi sekali untuk melatih ilmu silatnya sehingga jawaban susioknya itu menimbulkan curiga hati Tiat Leng, maka diam-diam lalu berpikir: Jie sunio pada waktu ini masih belum bangun dari tempat tidur, apakah ia sedang sakit?
Tetapi baru saja datang berkunjung, sudah tentu tidak pantas bertanya demikian.
Pui Pek Hu mengajak mereka masuk ke rumah, lalu berkata kepada isterinya:
"Im Nio, kau lihat siapa yang datang nih?"
Jie Im Nio yang baru saja habis bersisir, lalu keluar menyambut, setelah mengetahni siapa tetamunya, lalu berkata sambil tersenyum:
"Dari mana nona yang begitu manis? Oh, kiranya adalah Ah-leng. Mari kau kemari untuk bibi lihat, sudah berapa tahun tidak bertemu, bibimu memikirkan setengah mati. Em, masih ada Ceng-tit dan saudara Can. Kalian semua sudah begini tinggi, semua sudah menjadi orang dewasa. Angin apa yang meniup kalian kemari?"
Perhubungan mereka memang sangat akrab, apalagi Tiat Leng, maka sudah seperti keluarga sendiri, sehingga bertemu muka, Jie Im Nio sudah menggoda Tiat Leng.
Tiat Leng memperhatikan bibinya. Muka bibi itu nampaknya agak pucat, pinggangnya besar perutnya gendut, tetapi matanya bersinar terang. Keadaannya juga segar tidak terdapat tanda-tanda seperti orang sedang sakit. Maka diam-diam merasa heran, pikirnya: Mengapa bibi kini berubah gemuk sekali?
Ia ingat dahulu pinggang bibinya itu ceking langsing, tidak segemuk itu.
Ia segera menegurnya: "Jie Kow-kow, kau benar-benar gemuk sekali."
Jie Im Nio tertawa geli, ia balas menanya,
"Benarkah?" Pada saat itu seorang pelayan sedang mengantar teh, pelayan itu bekas anak buah Tiat Mo Lek, maka kenal baik dengan dua saudara Tiat itu. Ketika mendengar ucapan Tiat Leng, mengunjukkan rasa geli.
Tiat Leng lalu menegurnya:
"Eh, mengapa kalian tertawai aku? Apakah aku salah kata?"
"Nona Tiat, kalian berdiam beberapa hari dulu di sini, nanti akan dapat makan telur merah bibimu," jawabnya pelayan wanita itu.
Tiat Leng kini baru tahu bahwa badan bibinya bukan gemuk, melainkan sedang mengandung. Ia juga merasa geli sendiri, lalu berkata:
"Aku benar-benar sudah linglung. Bibi aku menghaturkan selamat kepadamu."
Pui Pek Hu lalu berkata: "Oleh karena bibimu mengandung, maka aku tidak bisa berkelana lagi ke dunia Kang-ouw, dan perlu pulang beristirahat di rumah. Tetapi aku benar-benar tidak mengerti bagaimana kalian mengetahui kediamanku ini?"
"Pada sepuluh hari berselang, kita telah berjumpa dengan paman Lam, paman Lam itulah yang memberitahukan kepada kita," berkata Tiat Ceng.
"Lam Hee Lui hendak ke Selatan untuk merampas ransum kerajaan, sayang bibimu sedang mengandung tua, sehingga kita tidak dapat membantunya Apakah kedatangan kalian ini lantaran urusannya?" berkata Pui Pek Hu.
"Bukan," jawabnya Tiat Ceng. Sedang dalam hatinya berpikir: Bibi sedang mengandung tua, apakah aku baik memberitahukannya?
Tiat Ceng meski mengerti urusan, tetapi sebagai pemuda yang baru berusia enam-tujuh belasan, terhadap urusan perempuan mengandung sedikitpun tidak mengerti, ia malah khawatir kalau mengganggu bayi dalam kandungan bibinya.
Pui Pek Hu terperanjat, ia berkata:
"Apakah di atas gunung terjadi apa-apa?"
Jie Im Nio lalu berkata sambil tertawa:
"Kau tidak usah khawatir, bicaralah terus terang, sekalipun aku tidak bisa membantu kalian, juga bisa bantu memikirkan untuk kalian."
Tiat Leng tahu benar bibinya itu, yang mempunyai kecerdasan otak luar biasa. Selama hidupnya entah sudah berapa banyak bahaya yang ditempuhnya, belum pernah merasa gentar atau bingung. Apa yang terpikir dalam hatinya itu ia segera utarakan:
"Bukan terjadi urusan di atas gunung, melainkan kita yang menemukan kejadian di luar dugaan. Kita membawa satu kereta barang berharga yang berupa barang permata, telah dirampas oleh pasukan tentaranya Tian Sin Cie."
Jie Im Nio berkata: "Oh, ada kejadian demikian? Dari mana kalian dapatkan barang permata sedemikian banyak itu? Dan dengan cara bagaimana pula bisa dirampas oleh pasukan Tian Sin Cie?"
Tiat Ceng dengan ringkas menceritakan semua apa yang telah terjadi, Tiat Leng lalu menyelak:
"Bibi tidak leluasa bergerak, kita tidak berani mengganggu bibi dan susiok, cuma ingin minta petunjuk bibi. Malam ini kita ingin menyelundup ke gedung pemerintahan daerah, tetapi tidak kenal baik keadaan di sana."
Jie Im Nio lala berkata sambil tertawa:
"Kiranya kalian hendak menelad perbuatan bibi Toan kalian. Keberanian memang patut dipuji, tetapi barangkali harus dipikirkan dulu masak-masak, karena Tian Sin Cie mempunyai banyak pahlawan gagah kuat!"
"Kita sudah memikirkannya. Cuma satu jalan ini yang dapat kita tempuh, kita tidak takut bahaya," kata Tiat Leng.
"Baiklah, anak-anak muda juga sudah seharusnya diberi banyak pengalaman, malam ini biarlah susiok kalian yang ikut kalian pergi."
Tiat Ceng lalu berkata: "Jangan Pui susiok harus berdiam di rumah menungggu bibi. Kedatangan kita hari ini, meskipun sepanjang jalan kita menjumpai orang-orang yang patut dicurigai, tetapi tidak boleh tidak juga harus menjaga kejadian di luar dugaan. Andaikata ada kaki tangan pembesar negeri datang mengadakan pemeriksaan, kalau susiok ada di rumah tentu mudah menghadapinya."
06.31. Penyelusup Gedung Kepala Daerah
Sifat Tiat Ceng sama dengan ayahnya, dalam segala hal selalu memikirkan diri orang lain lebih dulu.
Jie Im Nio lalu berkata sambil tertawa:
"Pek Hu lihat betapa hebatnya anak-anak jaman sekarang, kalau dibandingkan dengan keadaan di waktu kita seumur mereka, sesungguhnya jauh lebih menang. Baiklah, kalian makan lebih dulu nanti aku atur lebih jauh."
Tiat Leng melihat Jie Im Nio menyetujui rencananya, lalu menarik napas lega. Ia berkata sambil tertawa:
"Kita semalam jam tiga, habis makan seekor rusa, perut belum merasa lapar, hanya ingin tidur."
"Baik kalau begitu kalian pergi tidur dulu, legakan hatimu, tidurlah dengan pikiran tenang, malam ini kalau kurang semangat sesungguhnya sangat berbahaya bagi kalian sendiri."
Mereka tidur nyenyak sekali, senja hari baru dibangunkan oleh Jie Im Nio. Setelah makan malam, Jie Im Nio lalu memberi petunjuk kepada mereka rencana yang harus dilakukan malam ini.
Ia sudah membuat sebuah gambar peta katanya:
"Sudah hampir sepuluh tahun aku tidak pernah ke gedung kepala daerah Tian Sin Cie itu. Tetapi aku percaya, meskipun bangunannya ditambah, kebanyakan masih tidak banyak perubahan.
"Tian Sin Cie dahulu mendiami kamar sebelah timur, sedang anaknya mendiami loteng sebelah Barat. Kalian boleh coba memeriksa tempat itu, jika dapat menangkap salah satu di antara dua orang itu, kita tidak usah khawatir mereka tidak akan mengembalikan barang-barang kalian itu. Aku tahu kalian semuanya sudah mempunyai kepandaian cukup tinggi tetapi di gedung Tian Sin Cie mempunyai banyak tenaga yang kuat, sebaiknya kalian bertindak lebih hati-hati.
"Setelah kalian masuki gedung kepala daerah, jangan berjalan bersama-sama. Tiga orang boleh mengambil jalan sendiri-sendiri, satu ke kamar sebelah timur, satu ke loteng sebelah barat, dan satu lagi jaga di atas gunung-gunungan yang letaknya di tengah-tengah antara dua tempat tersebut.
"Dengan begini ada baiknya bagi keselamatan diri kalian, apabila ada satu yang dipergoki, dua orang yang lainnya boleh keluar untuk menghalau pihak musuh, supaya mereka menjadi bingung dan kacau, karena tidak tahu tepat berapa jumlahnya orang yang datang. Dengan demikian kalian agak kurang berbahayanya terkurung oleh pasukan besar, bahkan banyak kesempatan untuk melarikan diri."
Jie Im Nio ternyata bertindak sangat hati-hati, banyak bagian yang belum dapat dipikirkan oleh Tiat Ceng, ia telah memberi petunjuk dengan terang. Setelah membentangkan keadaan gedung kepala daerah menurut gambar peta yang dibuatnya sendiri itu, lalu memberi mereka tiga stel pakaian malam, tiga kantong senjata rahasia, ia berkata:
"Malam ini rembulan akan terang, kalian semua harus tukar pakaian malam. Dalam kantong ini terdapat senjata rahasia jarum Bwee-hoa-ciam, biji peluru Tiat-lian-cie dan sebagainya, juga ada batu api, aku telah sediakan untuk keperluan apa bila keadaan mendesak, supaya bisa digunakan untuk membakar rumah."
Tiat Ceng bertiga baru tahu bahwa sewaktu mereka tidur, Jie Im Nio sudah membuatkan mereka tiga stel pakaian baru buat jalan malam.
Jie Im Nio hanya lebih tua daripada mereka kira-kira sepuluh tahun usianya, tetapi bukan saja seperti kakak mereka, tetapi juga seperti ibu yang bijaksana.
Mereka bertiga lalu berganti pakaian malam. Waktu jam dua malam telah tiba, Jie Im Nio memberi pesan kepada mereka:
"Gambar peta Tiat Ceng boleh dibawa, kalian periksa sekali gambar itu, ingat baik-baik dalam otak. Kalau sudah masuk ke sana, kalian sudah harus jalan berpencaran, sehingga tidak bisa memeriksa gambar lagi. Sudah, kalian boleh berangkat, aku doakan supaya kalian berhasil. Di rumah aku menunggu kabar baikmu!"
Tiga orang muda mudi keluar dari rumah keluarga Pui, segera mengeerahkan ilmunya berlari pesat, menuju ke kota Gui-pok.
Di tengah jalan, Tiat Ceng berkata:
"Bibi Jie telah menyiapkan segalanya dengan sangat sempurna, hanya ada satu hal di luar dugaanku."
"Hal apa?" bertanya Tiat Leng.
"Bukankah Pui susiok berkata hendak melindungi kita? Aku semula menduga kita harus berunding dulu baru dapat mencegah maksudnya, siapa tahu bibi Jie dan Pui susiok akhirnya tidak membicarakan soal itu lagi."
"Apakah itu tidak baik? Ini suatu tanda bahwa bibi Jie sudah percaya kepada diri kita, maka bibi Jie dan Pui susiok juga tidak perlu berlaku merendah kepada kita lagi."
Tiat Leng tidak tahu bahwa mereka suami istri sudah berunding masak-masak. Pui Pek Hu akan melindungi mereka secara menggelap, jangan sampai diketahui oleh mereka, supaya mereka tidak terganggu pikirannya.
Maka begitu mereka keluar, Pui Pek Hu juga berangkat dengan mengenakan pakaian jalan malam, bahkan menggunakan kedok di mukanya.
Sebab ia masih akan berdiam beberapa bulan di rumahnya, sehingga perlu menjaga jangan sampai dikenali mukanya. Tetapi ia masih belum tega meninggalkan istrinya seorang diri, beberapa kali ia merasa ragu-ragu.
?Y? Keduabelas Sang istri agaknya dapat melihat keraguan suaminya, maka lalu berkata:
"Kau boleh berangkat, kalau terlambat barang kali tidak dapat menyusul mereka."
"Kau baru saja bukan sudah merasa sakit perutmu? Apakah tidak mungkin malam ini......" berkata suaminya.
"Sudah tidak sakit lagi, tidak mungkin begitu kebetulan. Apa lagi andaikata benar melahirkan, kau juga tidak bisa memberi bantuan apa-apa."
"Karena aku hendak menjadi ayah untuk pertama kalinya, dengan sendirinya hati merasa tegang. Entah apakah sebabnya, mataku selalu kekedutan, sehingga aku khawatir akan terjadi apa-apa."
"Seorang laki-laki yang berjiwa jantan juga percaya segala takhayul? Pergilah, aku bisa mengurus diriku sendiri."
Sebetulnya Pui Pek Hu sudah bertekad hendak pergi membantu Tiat Ceng bertiga, tetapi dalam keadaan demikian harus meninggalkan isterinya yang sedang hamil tua, apalagi dalam rumah tidak ada orang yang dapat diandalkan untuk menjaga, sedikit banyak merasa tak tega.
Pui Pek Hu turun daerah pegunungan, mulai melakukan perjalanannya melalui jalan raya. Waktu itu sudah hampir jam tiga malam, tiba-tiba ia dapat melihat tiga penunggang kuda lari mendatangi ke arahnya dari jalan persimpangan. Ia lalu bersembunyi di belakang pohon, membiarkan mereka lewat.
Di bawah sinar rembulan remang-remang ia dapat melihat bahwa tiga penunggang kuda itu adalah tiga orang laki-laki berperawakan tegap, semuanya membawa senjata. Dalam hati ia lalu berpikir: Tiga orang itu entah dari golongan mana? Pakaian mereka menandakan dari golongan biasa, tidak mungkin kaki tangannya Tian Sin Cie.
Dalam waktu sekejap mata saja, tiga orang penunggang kuda itu sudah berlalu jauh. Tetapi mereka melarikan kudanya ke arah jalan kecil di bawah bukit, tiba-tiba dalam otaknya timbul perasaan khawatir, andaikata mereka itu menggeledah rumahnya, bagaimana?
Tetapi kemudian ia berpikir pula: Orang asing sama sekali, bagaimana tahu rumahku. Tiat Ceng bertiga semalam hampir pagi baru datang, tidak mungkin kabar kedatangannya bisa tersiar demikian cepat.
Dalam hati Pui Pek Hu meskipun merasa tak enak meninggalkan isterinya sendirian di rumah tetapi ia lebih mengutamakan kesetia kawan dunia Kang-ouw, maka dalam hatinya berpikir lagi: Tiat Ceng bertiga merupakan anak-anak yang baru menginjak dewasa dan baru muncul di dunia Kang-ouw, kalau aku tidak mengetahui persoalan ini masih tak apa, tetapi aku sudah diberitahu, sudah seharusnya aku melindungi mereka secara diam-diam. Jikalau tidak, andaikata mereka jatuh di tangan kepala daerah Tian Sin Cie, bagaimana aku mempunyai muka untuk bertemu dengan Tiat Suheng?
Berpikir demikian, maka kekhawatirannya terhadap diri istrinya telah disingkirkan ke samping. Ia mempercepat gerak kakinya, melanjutkan perjalanannya, sehingga sudah dapat melihat bayangan Tiat Ceng bertiga, ia baru bisa menarik napas lega.
<> Tiat Ceng bertiga tidak berjumpa dengan tiga penunggang kuda itu, juga tidak tahu Pui Pek Hu mengikuti di belakangnya.
Pemuda semuanya berdarah panas, mereka ingin cepat-cepat masuk kota Gui-pok.
Tiat Ceng bertiga mempunyai kepandaian ilmu lari pesat cukup sempurna, perjalanan sejauh limapuluh pal, telah dicapai dalam waktu satu jam. Baru lewat jam tiga malam, mereka sudah sampai di kota Gui-pok.
Tembok kota tinggi kira-kira dua tombak, pintu kota juga dijaga pasukan penjaga, tetapi semua ini bukan merupakan rintangan berat bagi muda mudi itu. Setelah berada dalam kota, mereka bertiga lari menuju ke gedung Tian Sin Cie.
Menurut petunjuk dalam gambar peta, mereka harus masuk dari ujung barat daya taman bunga yang letaknya di belakang gedung kepala daerah itu.
Sudah berapa puluh tahun Tian Sin Cie menjabat jabatan kepala daerah, kekejamnya sudah tidak terhitung. Hanya taman bunganya saja, sudah menempati tanah seluas beberapa hektar, bangunan rumah berderet-deret, tanaman pohon bagaikan rimba.
Tiat Ceng menggunakan hancuran tanah lempung, disambitkan ke atas pohon. Beberapa ekor burung gagak yang berada di atas pohon, segera berterbangan. Tiada seorangpun yang menduga ada orang datang memasuki taman. Salah satu di antara mereka malah menggunakan anak panah, untuk memanah burung-burung yang tidak tahu diri itu.
Seorang di antara mereka lalu berkata:
"Aku kira ada orang datang, sampai aku hampir melompat."
Seorang lagi berkata: "Siapa yang berani memasuki taman ini? Kecuali kalau memang sudah tidak menyayangi jiwanya sendiri!"
Si jago panah itu lalu berkata:
"Kau tidak tahu, bocah kemarin itu kepandaiannya tinggi sekali. Aku menyaksikan dengan mata kepala sendiri tentara kita yang jumlahnya ribuan jiwa, juga tidak sanggup menangkap satupun juga. Cukong justru takut bangsat-bangsat kecil itu akan datang menuntut balas, baru menyuruh kita memperkuat penjagaan taman bunga ini."
Sang kawan itu berkata sambil tertawa
"Andaikata aku musuh, aku juga tidak akan berlaku begitu bodoh, baru saja kemarin terjadinya pertempuran itu, mungkinkah malam ini berani datang? Setidak-tidaknya juga harus menunggu beberapa hari lagi. Karena dalam beberapa hari ini kita pasti akan mengadakan penjagaan lebih kuat, apakah hal ini mereka tidak bisa berpikir?"
Beberapa peronda itu tidak menduga bahwa selagi mereka saling bertengkar, Tiat Ceng bertiga sudah melompati tembok dari lain sudut dan memasuki taman bunga.
Menurut rencana yang sudah ditetapkan Tiat Ceng harus pergi menyelidiki kamar sebelah timur, Tiat Leng menyelidiki loteng sebelah barat, sedangkan Can Pek Sin ditugaskan untuk menjaga dan membantu apabila perlu.
Mereka masuk dari sudut barat laut, terpisah kamar sebelah timur agak jauh. Kamar itu merupakan kamar kediaman Tian Sin Cie, penjagaan tentu sangat kuat oleh karena itu, maka tugas itu harus dipegang sendiri oleh Tiat Ceng.
Bertiga lalu berpencaran, tetapi Can Pek Sin masih mengkhawatirkan diri Tiat Leng, maka meski tugasnya mengawasi dua kawannya, namun perhatiannya banyak ditujukan kepada diri nona cilik itu. Ia memilih tempat sembunyi di gunung-gunungan yang letaknya agak dekat dengan loteng sebelah barat.
Dalam taman bunga itu terdapat banyak gunung-gunungan pohon besar. Tiat Leng dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuhnya mahir sekali, bahkan sudah berhasil mendekati loteng yang dituju.
Loteng itu dibangun di tengah-tengah gunung-gunungan yang mempunyai pemandangan indah. Saat itu sudah jam tiga lewat tengah malam, tetapi di atas loteng lampu api masih menyala. Dari samar-samar dapat dilihat bayangan-bayangan penari perempuan yang sedang menari juga terdengar suara menyanyi dan musik.
Tiat Leng sudah lompat ke atas gunung-gunung di samping loteng, karena tempat itu letaknya agak tinggi sehingga dapat terlihat jelas keadaan di dalam loteng. Ia melihat Tian Yat, sedang duduk di tengah-tengah para penari sambil minum arak. Disamping tidak terdapat seorang pengawalpun yang mengawal dirinya. Itulah merupakan kesempatan yang sangat baik bagi Tiat Leng bertindak.
Jiwa Ksatria Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jikalau Tiat Leng adalah seorang pejalan malam yang sudah berpengalaman, pasti akan timbul perasaan curiga, karena loteng itu adalah tempat kediaman Tian Yat, bagaimana mungkin tidak terjaga kuat?
Akan tetapi Tiat Leng adalah seorang gadis cilik yang baru muncul di dunia Kang-ouw, ketika melihat Tian Yat berada di loteng dalam keadaan demikian, karena girangnya, ia sudah tidak bisa berpikir panjang lagi.
Ia segera mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya, dari tempat berdirinya ia melesat ke loteng! Bersama dengan itu tangannya sudah menggunakan tiga macam senjata rahasia untuk menyerang Tian Yat.
Diluar dugaannya, ketika ujung kaki Tiat Leng baru saja menginjak kayu langkan itu tiba-tiba roboh sehingga papan-papan loteng juga turut pecah dan mengeluarkan suara gemuruh.
Sedangkan senjata rahasia yang dilancarkan olehnya, terang tadi sudah meluncur masuk, tetapi seolah-olah kebentur dengan dinding tembok sehingga terpental balik semuanya.
Ternyata loteng itu sudah dirobah bangunannya serta diperlengkapi dengan berbagai alat jebakan. Sebab-sebabnya diadakan perubahan itu ialah karena dahulu gedung itu pernah dikacau oleh Toan Khek Gee dan istrinya.
Tian Sin Cie telah kehilangan kotak mas yang di dekat bantalnya. Setelah kejadian tersebut Tian Sin Cie merasa ketakutan, maka ia mengundang tukang yang pandai untuk merobah bentuk bangunan tempat kediamannya sendiri dan kediaman anaknya, serta diperlengkapi oleh pesawat jebakan......
Loteng itu semua bagian bisa bergerak, apabila tersentuh oleh barang berat segera roboh seketika. Hanya tempat-tempat yang melalui loteng di bagian tengah yang tidak bisa bergerak. Sedangkan semua lobang jendela telah diperlengkapi dengan selapis batu kristal yang dapat digunakan untuk menahan senjata rahasia.
Semua perobahan ini tidak diketahui oleh Jie Im Nio.
Tiat Leng masih terhitung mujur. Andaikata ia menginjak papan loteng, maka ia akan terjatuh ke dalam kolam air, akibatnya akan lebih hebat. Kini ia hanya menginjak langkan, dan langkan itu lalu rubuh, meskipun ia terperanjat sehingga jatuh di tanah. Tetapi ia sangat cerdik, begitu jatuh di tanah segera bergelindingan, sehingga tidak sampai tertindih oleh balok-balok itu.
Tian Yat segera mengetahui ada orang mengarah jiwanya, maka ia lantas berteriak: "Ada maling, ada maling!"
Sebetulnya tidak perlu ia berteriak, sebab rubuhnya langkan tadi sudah menyadarkan semua pengawal di dalam taman itu, segera muncul ke luar dari belakang gunung-gunungan, dan dari gerombolan pohon melompat keluar para pengawal yang jumlahnya tidak sedikit itu.
Tiat Leng baru saja terhindar dari tindihan balok besar, sudah dibacok oleh sebilah golok besar, tetapi baru saja ia berhasil mengelakkan bacokan itu serta belum sempat melompat berdiri dua tombak panjang kembali menusuk ke arah dadanya. Tiat Leng melintangkan pedangnya, tetapi karena ia telentang di tanah tidak dapat mengeluarkan tenaga dan tidak dapat menahan meluncurnya ujung tombak.
Tiat Leng selagi dalam keadaan bahaya, tiba-tiba terdengar suara jeritan yang keluar dari mulut pengawal jang hendak menusuk dirinya. Pengawal itu segera rubuh tidak bisa berkutik lagi.
Pengawal yang satunya karena dikejutkan oleh kejadian yang tidak terduga-duga itu seketika agak terkejut, kesempatan itu digunakan oleh Tiat Leng, ia lalu menyambar ujung tombak yang kemudian dipapas putung oleh pedangnya.
Ternyata pengawal ini telah diserang oleh Can Pek Sin dengan senjata rahasia, tetapi karena jaraknya agak jauh, sehingga hanya merobohkan seorang saja.
Tiat Leng segera lompat jauh, semangatnya terbangun seketika. Tiat Leng unggul dalam ilmu meringankan tubuh dan ilmu pedangnya yang sangat aneh tetapi kelemahan adalah usianya yang masih terlalu muda sehingga tenaganya masih kurang. Dalam keadaan telentang tadi ia tidak bisa berkata apa-apa, tetapi setelah melompat berdiri beberapa pengawal yang biasa saja sudah tentu tidak mampu mendekati dirinya.
Ujung pedangnya lebih dulu merobohkan pengawal yang hendak menikam dirinya. Setelah itu ia bergerak ke sana kemari dengan lincahnya, kembali dua pengawal telah dirobohkan.
Seorang pengawal yang bersenjatakan golok besar tiba-tiba berseru:
"Eh, seorang nona cilik!"
Tiat Leng lalu berkata, "Benar nona cilik, dan kau mau apa?" Pedangnya bergerak pula menikam pengawal tersebut.
Pengawal itu memutar goloknya, berhasil menangkis serangan Tiat Leng yang dilancarkan demikian hebat, sedang mulutnya berseru:
"Nona cilik yang begini galak sesungguhnya jarang kulihat. Koko lekas datang!"
Tiat Leng lalu berkata: "Suruhlah kakakmu datang aku juga tidak takut."
Tiba-tiba terlengar suara seorang menyahut:
06.32. Pui susiok, kiranya kau!
"Aku kira siapa? Ternyata adalah kau bocah cilik yang tidak tahu diri. Kau bukan tandinganku, lekas menyerah saja!"
Orang itu adalah seorang perwira yang bukan lain dari pada U-tie Cun.
Tiat Leng berkata dengan suara gusar:
"Kepandaianmu juga tidak berapa tinggi, kalian kakak beradik boleh maju serentak."
Ia mengira U-tie Cun adalah kakak pengawal yang menggunakan senjata golok itu, tetapi setelah pengawal itu mendengar perkataan Tiat Leng lalu berkata sambil tertawa:
"U-tie Ciangkun, budak perempuan ini mengajak bertempur dengan kita kakak beradik. Ciangkun kiranya juga tidak memandang jasa itu. Biarlah kita berdua yang menghadapinya!"
Mendengar perkataan itu Tiat Leng baru tahu bahwa perwira itu bukan kakak pengawal tersebut, sedang seorang perwira lain yang membawa senjata golok, yang saat itu menghampiri padanya, mukanya mirip dengan pengawal tersebut.
Dua orang perwira dan seorang pengawal itu sudah mengambil sikap mengurung diri Tiat Leng tetapi Can Pek Sin saat itu juga sudah tiba di tempat itu, lalu berkata dengan suara keras:
"U-tie Cun, kau berani bertempur secara laki-laki melawan aku?"
Can Pek Sin tahu bahwa U-tie Cun adalah seorang perwira tinggi yang adatnya sangat sombong maka ia sengaja menantang dirinya untuk mengurangi musuh Tiat Leng.
Perwira itu berkata dengan suara dingin:
"Kau bangsat kecil ini juga mengerti akal untuk memanaskan hati orang. Baiklah biar bagaimana kalian juga tidak bisa keluar lagi, biarlah kau kalah dengan hati puas!"
U-tie Cun lalu menghadapi Can Pek Sin. Sebelum bertindak ia memesan kepada dua kawannya tadi:
"Baik, nona cilik ini kuserahkan kepada kalian. Tetapi kalian harus hati-hati, supaya dapat menangkap hidup-hidup."
Dua saudara itu berkata: "Ciangkun jangan khawatir, kita tidak akan berbuat salah."
Dengan demikian lima orang itu lalu bertempur jadi dua rombongan.
Can Pek Sin sudah mulai melancarkan serangan, ujung pedang mengarah muka U- tie Cun.
U-tie Cun dengan cara berputaran bagaikan gansing, berhasil mengelakkan serangan tersebut.
Tetapi Can Pek Sin terus mendesak, pedangnya kembali menikam jalan darah di belakang punggung U-tie Cun.
Sambil berseru: "Hei gesit sekali kau!" Ia membalikkan tangannya dengan beruntun, pecutnya digunakan untuk menangkis, baru berhasil menyingkirkan serangan Can Pek Sin yang hebat itu.
Keduanya bertempur secara sengit, tetapi karena U-tie Cun kalah cepat, selalu didesak oleh Can Pek Sin yang bergerak lebih gesit.
Anak buah U-tie Cun semua tahu adat perwira itu. Kalau maju membantu malah akan disemprot olehnya, maka tiada seorangpun yang berani maju membantu, sebaliknya pada berdiri sebagai penonton.
U-tie Cun semula tidak pandang mata Can Pek Sin, setelah bertempur sepuluh jurus lebih, ia masih belum mampu mengimbangi kepandaiannya, baru hatinya mengeluh, tetapi ia adalah seorang yang sangat sombong, ia merasa malu minta bantuan kepada anak buahnya.
Kiranya kemarin waktu U-tie Cun bertempur dengan Can Pek Sin dan Tiat Leng, Can Pek Sin karena lebih dulu sudah bertempur hampir satu hari penuh maka waktu bertempur sengit itu tidak dapat mengunjukkan seluruh kepandaiannya. Dalam mata U-tie Cun, kepandaian pemuda itu biasa saja, tetapi sebetulnya jauh lebih tinggi dari pada kepandaian U-tie Cun sendiri. Sayang pengalamannya masih belum ada, jikalau tidak dalam limapuluh jurus ia sudah dapat merebut kemenangan.
Kalau di pihak Can Pek Sin sudah unggul, sebaliknya pihak Tiat Leng sangat berbahaya.
Dua orang kakak beradik yang melawan Tiat Leng itu adalah, Ciok Kung dan Ciok Chio. Kepandaian dua saudara Ciok itu sebetulnya tidak bisa menandingi Tiat Leng, tetapi mereka melatih semacam ilmu golok aneh, yang digunakan secara bahu membahu, karena kerja sama yang sangat rapi dua saudara itu, sehingga Tiat Leng tidak sanggup melawannya.
Dua saudara itu, sang kakak menggunakan tangan kiri, sedang sang adik menggunakan tangan kanan, dengan demikian dua golok itu merupakan dua senjata ampuh yang sulit dicari lowongannya.
Ilmu pedang Tiat Leng meskipun aneh, dan bagus sekali, tetapi pengalamannya masih belum ada. Apa lagi ia belum biasa menghadapi musuh yang menggunakan golok di tangan kiri, maka akhirnya ia hanya mampu menangkis saja.
Untung ilmu meringankan tubuh Tiat Leng masih di atasnya dua saudara Ciok itu. Ketika melihat gelagat kurang baik, ia lalu menggunakan kelincahan dan kegesitannya, sehingga ilmu golok dua saudara itu tidak berhasil mengenakan dirinya.
Tetapi dua saudara Ciok itu sudah biasa menghadapi pertempuran besar, lama kelamaan sudah dapat mengetahui keunggulan dan kelemahan Tiat Leng maka segera merobah ilmu goloknya.
Sang kakak menyerang dari kiri ke kanan dengan satu lingkaran besar, sedangkan sang adik dari kanan ke kiri juga membuat satu lingkaran besar. Tiat Leng lalu terkurung dalam lingkaran serangan golok itu, dengan susah payah ia menangkis dan mengelakkan serangan tetapi masih belum bisa melepaskan diri dari kurungan lingkaran pedang itu.
Dua saudara itu mendesak semakin hebat, hingga Tiat Leng makin susah menggunakan kelincahannya.
Can Pek Sin yang baru saja berada di atas angin, ketika menyaksikan Tiat Leng dalam bahaya hatinya sangat cemas, ia ingin mencoba keluar bergandengan dengannya. Tetapi U-tie Cun juga bukan bangsa lemah, senjata pecutnya yang merupakan senjata panjang, kalau diputar jarak tiga tombak di sekitarnya, semua di bawah pengaruh pecutnya. Sekalipun kepandaiannya belum sebanding dengan Can Pek Sin, tetapi kalau digunakan untuk merintangi Can Pek Sin masih cukup mampu.
Can Pek Sin selalu terbentur oleh pengalamannya yang belum banyak, maka hatinya semakin cemas gerakannya semakin kalut. Kesempatan itu lalu digunakan oleh U-tie Cun untuk merebut kedudukannya, sehingga Can Pek Sin berbalik menjadi pihak yang terdesak.
Can Pek Sin bukan saja cemas hatinya karena Tiat Leng, tetapi juga sangat mengkhawatirkan dirinya Tiat Ceng. Karena mereka sudah berjanji, barang siapa menjumpai kejadian di luar dugaan, dua yang lainnya segera memberi bantuan, sekalipun rencana mereka tidak akan terwujud, juga perlu menolong orangnya lebih dulu.
Tetapi kini Tiat Leng telah mengalami kegagalan, pertempuran juga sudah berlangsung satu jam lamanya, suara pengawal terdengar amat riuh, meskipun Tiat Ceng berada kira-kira satu pal dari tempat terjadinya pertempuran itu juga tak mungkin kalau tidak dapat dengar, dengan kepandaiannya lari pesat Tiat Ceng, sudah seharusnya akan tiba untuk memberi bantuan.
Tetapi hingga saat itu masih belum nampak bayangan Tiat Ceng. Sang waktu berlangsung terus, kedudukan Tiat Leng semakin berbahaya, apakah Tiat Ceng di sana juga mengalami kegagalan?
Kalau Can Pek Sin bisa menduga demikian sudah tentu Tiat Leng pun bisa. Ia yang berada dalam keadaan bahaya tetapi masih belum melihat bayangan kakaknya, sudah tentu merasa lebih cemas dari pada Can Pek Sin. Dalam suatu saat karena hatinya cemas golok Ciok Chio telah menyambar kepalanya dan menjatuhkan tusuk kondenya, untung ia berlaku gesit, jikalau tidak disayat kepalanya tentu akan terbelah jadi dua.
Serangan Ciok Chio tadi sebetulnya cuma hendak membikin takut dirinya, sebab ia hendak menangkap hidup-hidup, jikalau tidak terpaksa ia tidak mau membunuhnya.
Sehabis berhasil memapas tusuk konde Tiat Leng, Ciok Chio lalu berkata sambil tertawa terbahak-bahak:
"Nona kecil, jangan keras kepala, lekas menyerah, kita akan mengampuni jiwamu. Kau jadi tawanan Tian Kongcu, nasibmu akan lebih baik dari pada menjadi berandal di atas gunung!"
Tiat Leng membentak dengan alis berdiri, karena gusarnya ia malah tak merasa cemas lagi.
Ia telah bertekad hendak mengadu jiwa, menyerang dua musuhnya itu dengan secara ganas.
Ilmu pedang Tiat Leng merupakan ilmu pedang kelas wahid, karena ia berkelahi secara nekad maka setiap serangannya merupakan serangan kematian.
Tetapi, walaupun untuk sementara Tiat Leng berhasil memperbaiki kedudukannya, namun karena tenaganya kurang, ia masih belum berhasil menembus dua bendungan golok Ciok bersaudara.
Dua saudara Ciok itu sudah mengambil keputusan, mereka rupanya hendak menghabiskan tenaga Tiat Leng supaya bisa ditangkap hidup-hidup.
Can Pek Sin yang juga dalam keadaan cemas, punggungnya telah terkena terserang oleh pecut U-tie Cun sehingga menimbulkan rasa sakit. Dalam gusarnya, ia sudah hendak menerjang keluar secara nekad, tetapi pada saat itu tiba-tiba terdengar suara bunyi gembreng riuh yang disertai oleh suara orang yang berteriak, "Kebakaran, kebakaran! Lekas padamkan api! Maling-maling lekas tangkap maling!"
Suara itu datang dari arah utara, tidak antara lama dari sebelah selatan juga terdengar suara orang berteriak: "Celaka, ruangan kantor juga terbakar!"
Ruangan kantor itu merupakan tempat sangat penting. Semua surat-surat penting dan dokumen-dokumen tersimpan di tempat tersebut. Oleh karena terjadinya kebakaran itu sehingga keadaan menyadi kalut.
Sementara, api yang berkohar di dua tempat itu belum dipadamkan, kembali terdengar suara orang berteriak yang mengatakan bahwa kamar kediaman Tian Sin Cie juga sudah dibakar, sehingga keadaan semakin kalut.
Can Pek Sin dan Tiat Leng merasa girang mereka semua menduga bahwa itu pasti adalah perbuatannya Tiat Ceng.
U-tie Cun yang menyaksikan keadaan itu lalu berkata dengan suara keras:
"Jangan gugup, bagi beberapa orang pergi menolong kebakaran, biar bagaimana dua bangsat kecil ini tidak boleh dibiarkan begitu saja!"
Orang she U-tie itu sebetulnya ingin sebahagian anak buahnya membantunya menangkap dua bangsat kecil itu, karena ia sedang khawatir tidak menghadapi Can Pek Sin dengan seorang diri saja. Saat itulah dianggap merupakan saat yang terbaik, yang ia dapat gunakan sebagai alasan supaya dapat memerintahkan anak buahnya membantu dirinya.
Para pengawal itu lalu maju menyerbu. Can Pek Sin terpaksa memutar pedangnya untuk melawan mati-matian. Untuk sementara ia masih dapat menahan datangnya arus manusia itu tetapi Tiat Leng sudah sangat berbahaya lagi, sehingga terpaksa berseru: "Koko lekas kemari!"
Tepat pada saat itu golok Ciok Chio yang sedang menyerang Tiat Leng, tiba-tiba mengeluarkan suara "teng," sebuah batu kecil entah darimana datangnya sudah menerbangkan golok di tangan Ciok Chio.
Karena ilmu golok persaudaraan Ciok harus dimainkan dengan serentak, maka waktu golok adiknya terlepas dari tangan, sedang gerakan golok di tangan sang kakak belum keburu dirobah hingga tempat itu merupakan satu tempat terluang.
Gerak pedang Tiat Leng yang gesit sekali, sudah tentu tidak mau melepaskan kesempatannya yang baik itu, ia segera gerakan pedangnya untuk menikam lengan kanannya. Kalau kemaren ia masih takut melihat darah, tetapi malam itu karena jiwanya terancam ia terpaksa menggunakan serangannya yang ganas sehingga tidak takut melihat darah lagi.
Dua saudara Ciok itu terpaksa melarikan diri, dengan demikian Tiat Leng terlepas dari bahaya.
Sementara para pegawal itu tiba-tiba berseru: "Maling ada di sana mari kita tangkap!"
Dalam herannya Tiat Leng segera angkat kepala. Di bawah sinar rembulan remang-remang ia dapat melihat di atas gunungan di seberang kolam, berdiri seorang berpakaian hitam yang selalu menyambit batu ke arah para pengawal itu dengan tanpa suara.
Beberapa pengawal yang lari ke sana, belum berhasil mendekati gunung-gunungan itu semua sudah kena disambit bagian jalan darahnya dengan batu itu sehingga roboh satu persatu.
Tiat Leng berseru girang: "Koko!"
Tetapi orang berpakaian hitam itu tidak menjawab, hanya beberapa batu kecil berterbangan ke arahnya untuk merobohkan pengawal yang mengepung dirinya.
Gunung-gunungan itu terpisah kira-kira tigapuluh tombak jauhnya, sehingga Tiat Leng tidak dapat lihat jelas muka orang itu hanya dalam hatinya saja berpikir: Kekuatan tenaga dalam Koko, meski lebih tinggi dariku, tetapi biasanya di waktu kita melatih senjata rahasia agaknya belum mempunyai kepandaian demikian tinggi, yang dapat melukai orang sejarak tigapuluh tombak.
Dalam hatinya mulai curiga bahwa orang itu bukanlah kakaknya, tetapi biar bagaimana kedatangan orang itu dengan maksud memberi bantuan mereka, maka Tiat Leng juga tidak perlu mencari tahu siapa orangnya.
Pada saat itu Can Pek Sin juga sedang berusaha nerobos keluar dari kepungan, sehingga Tiat Leng dengan cepat memberi bantuan.
Batu yang disambitin orang itu kini telah berubah arahnya, semua ditujukan kepada orang-orangnya U-tie Cun itu yang mengepung Can Pek Sin, sehingga beberapa di antaranya sudah rubuh.
Pertarungan Digunung Tengkorak 1 Pendekar Bloon 15 Api Di Puncak Sembuang Anak Pendekar 18
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama