Ceritasilat Novel Online

Mabuk Kepayang 1

Fear Street Mabuk Kepayang Perfect Date Bagian 1


Prolog BRADY KARLIN memicingkan mata cokelatnya, menahan
terik sinar matahari sementara mulutnya mengeluarkan siulan panjang
melengking. "Sempurna," serunya. "Benar-benar sempurna!"
"Apa katamu?" Sharon Noles berseru dari balik punggungnya.
"Bukit Miller!" teriak Brady sambil melihat ke bawah. Ia tengah
berdiri di puncak bukit terjal di Shadyside Park.
Kemarin Shadyside dihantam badai salju hebat yang
memecahkan rekor sebagai badai paling hebat yang pernah
menghantam kota ini. Badai itu menyebabkan aliran listrik padam,
membekukan pipa-pipa saluran air, dan menimbun kota dengan salju
sedalam hampir satu meter sebelum akhirnya berembus ke luar kota.
Tapi kemarin sudah berlalu, pikir Brady. Hari ini cuaca cerah
tidak berawan. Dan yang lebih asyik lagi?sekolah diliburkan!
Dan Bukit Miller, bukit tempat main kereta luncur yang paling
curam di taman itu, sekarang sudah menjadi bentangan luas yang
dilapisi es dan salju putih menyilaukan mata.
Brady bersiul lagi. Ia sudah gatal ingin lekas-lekas naik kereta
luncur dan meluncur cepat ke kaki bukit sana.
"Brady, aku tidak dengar!" seru Sharon. "Kau bilang apa sih?"
Brady menoleh dan menunggu Sharon, pacarnya selama dua
bulan belakangan ini, yang berjalan menghampirinya dengan susah
payah. Manis adalah kata yang tepat untuk menggambarkan Sharon,
pikir Brady. Gadis itu bertubuh pendek dan ramping, dengan mata
biru lebar dan hidung kecil pada wajahnya yang bulat mungil.
Saat ini ia tidak bisa melihat wajah Sharon. Gadis itu berjalan
terseok-seok dengan kepala tertunduk, menembus salju tebal di
puncak bukit, menyeret kereta luncurnya dengan tangan terbungkus
sarung tangan tebal.
Brady bisa mendengar napasnya yang terengah-engah. Benarbenar bukan tipe cewek yang suka kegiatan di luar rumah, pikir Brady
ketika Sharon akhirnya sampai juga ke tempatnya berdiri.
"Apa..." Sharon berhenti untuk mengatur napas. "Apa katamu
tadi?" tanyanya lagi sambil membetulkan topi rajutan kuning yang
bertengger di atas rambutnya yang cokelat muda.
"Hidungmu merah kayak Rudolph(Rudolph the red-nosed
reindeer, si rusa berhidung merah dalam sebuah lagu Natal yang
terkenal)," goda Brady.
"Jadi itu yang membuatmu bersiul-siul dan berteriak-teriak
tadi?" Wajah Sharon langsung memerah karena malu. "Karena
hidungku?"
Brady cepat-cepat mencondongkan badan dan mengecup ujung
hidung Sharon yang sedingin es. Ia merangkul bahu cewek itu dan
menghadapkannya ke bawah bukit. "Coba lihat Bukit Miller itu.
Asyiknya meluncur di sana!"
"Menurutku kok lebih mirip Bukit Maut!" komentar Sharon.
"Memang sih hampir seperti luncuran ski sungguhan. Tapi kok curam
sekali?"
"Makin curam malah makin asyik," Brady berkeras. "Pasti
keren banget. Belum ada yang meluncur di atasnya lagi. Kita akan
terbang!"
"Aku tidak yakin aku ingin terbang." Sharon melirik ke
punggung bukit di sebelahnya yang dipenuhi para pemain kereta
luncur. "Kurasa sebaiknya kita ke situ saja."
"Ke bukit anak-anak?" Brady mengernyitkan muka. "Itu sih
tidak ada apa-apanya."
"Tapi kelihatannya jauh lebih aman," bantah Sharon. "Di sana
tidak terlalu banyak pohon, kan? Juga tidak ada semak-semak berduri.
Kita tidak akan menabrak apa-apa."
"Kecuali ratusan anak-anak kecil," timpal Brady. "Sementara
Bukit Miller bisa kita pakai berdua saja."
Sharon menggigit bibir.
"Dengar, Shar, kita tidak akan menabrak apa pun," Brady
meyakinkan cewek itu. "Dan aku akan berada di sampingmu. Apa
yang bisa terjadi?"
Sambil berbicara Brady mendorong kereta-kereta mereka ke
posisi siap luncur, ujungnya tepat berada di tepi atas bukit. "Siap?"
tanyanya sambil membenamkan topinya lebih dalam lagi ke kepalanya
yang berambut hitam keriting.
Sharon mundur. "Brady, aku benar-benar tidak mau."
"Masa tidak mau!" Brady menyambar tangan Sharon dan
menariknya ke kereta luncur. Beberapa detik kemudian mereka sudah
berbaring bersisian di atas kereta luncur Flexible Flyer mereka yang
sudah kuno.
"Brady..." ebukulawas.blogspot.com
"Benar-benar keren!" seru Brady.
Tangannya terulur dan menyentakkan kereta luncur Sharon ke
depan, lalu mendorong keretanya sendiri. "Ayo terbang!" teriaknya
sambil tertawa keras-keras sementara angin menampar wajahnya.
Meluncur di lereng itu ternyata memang secepat yang
diharapkan Brady. Keretanya meluncur semakin cepat. Mendadak
dilihatnya segerumbul semak berduri menjulang di depannya.
Ia cepat-cepat menyentakkan tongkat kemudi dan berkelit
mengitari semak berduri itu.
Rintangan berikutnya sebatang pohon pinus. Disentakkannya
tongkat kemudi sekali lagi, dan pohon itu pun terlewati. Kepingankepingan es berhamburan ke belakang, terasa pedih menyengat di
wajah Brady. Tiupan angin dingin membuat air matanya meleleh.
Ia berkelit mengitari sebatang pohon lain. Lalu segerumbul
semak. Serasa terbang. Ia tertawa keras-keras.
"Brady!"
Jeritan Sharon membahana sewaktu cewek itu meluncur
melewatinya.
"Brady!"
Brady memicingkan mata menahan kilauan es dan tiupan angin.
Sharon jauh berada di depannya. Semakin lama semakin cepat.
Dan semakin cepat.
Ya, ampun! Ia kehilangan kendali! Brady menyadari.
Sebatang pohon pinus raksasa berdiri tepat di jalur lintasannya.
"Belokkan tongkatnya!" teriak Brady. Angin menerbangkan
kata-kata itu dari mulutnya. "Belokkan atau loncat!"
"Bradyyy!!!"
Bagian samping kereta luncur Sharon menghantam pohon pinus
itu. Kereta itu terpental ke udara, terbanting-banting menimpa
segerumbul semak berduri, lalu dengan satu sisinya terangkat ke atas,
kereta itu tergelincir menuju sekumpulan pohon-pohon pinus.
Brady melihat Sharon berpegangan pada kereta luncurnya. Ia
juga mendengar jeritan-jeritan ketakutannya.
Brady melompat dari kereta luncurnya dan berguling-guling di
salju. Dengan napas megap-megap ia mencoba berdiri.
Sharon terguling-guling tanpa daya ke bawah?pegangannya
pada kereta luncur itu terlepas. Pekik ketakutannya semakin lama
terdengar semakin sayup.
"Sharon?" tersaruk-saruk Brady berlari di salju. "Sharon, kau
tidak, apa-apa? Luncuran yang hebat, he?"
Sunyi. Brady terus berlari. Sampai akhirnya ia melihat Sharon.
Cewek itu tergeletak di kaki bukit, tengkurap di salju seperti
boneka terbuat dari kain perca.
"Sharon?"
Tidak ada jawaban.
"Oke, Shar, kau memang benar," Brady mengaku sambil
tertawa dan mempercepat langkah. "Mulai sekarang kita akan
meluncur di bukit anak..."
Brady berhenti.
Sharon tak bergerak sedikit pun.
Aneh, pikir Brady. Aneh.
Punggung Sharon mestinya naik-turun bila bernapas.
Tapi ini tidak.
Brady berjongkok di sampingnya. "Sharon?" bisiknya.
Tidak ada jawaban. Tidak ada gerakan.
Brady memegang bahu cewek itu, menarik napas dalam-dalam,
dan membalikkan tubuhnya.
"Tidak! Tidaaak!" Jeritan Brady menggema di bukit yang
tertutup salju itu.
Wajah Sharon! Wajahnya yang manis dan berhidung mungil!
Tidak ada lagi yang tersisa di sana.
Duri dan kaki kereta luncur yang terbuat dari logam besi itu
telah menyilet-nyilet wajahnya.
Darah merah menggenang di hamparan salju yang putih bersih.
Bab 1 Musim Dingin?Setahun Kemudian
"NANTI dulu!"
"Kenapa sih kau ini?" Brady mengangkat wajahnya dari piza
yang panas mengepul di tengah meja. Sahabatnya, Jon Davis,
menyambar pergelangan tangannya dan memeganginya, sehingga
Brady tidak bisa mengambil piza itu.
"Kau tidak boleh mengambil seiris, atau bahkan remahremahnya sekalipun, kalau belum cerita," kata Jon berkeras.
"Cerita apa?" tanya Brady.
Ia berusaha pasang tampang lugu. Tapi Brady bisa merasakan
bibirnya menyeringai. Ia senang menggoda sahabatnya seperti itu.
"Kau kan sudah tahu. Jangan konyol begitu dong," Jon
memohon. "Aku sama sekali tidak mengerti apa maksudmu," sahut Brady.
"Apa yang kauketahui tentang Lisa?"
Brady nyengir. "Ia tergila-gila padaku. Puas?"
Jon terperangah. Dilepaskannya tangan Brady. Ini yang
ditunggu-tunggu Brady. Disambarnya sepotong piza, dilipatnya jadi
dua, dan dilahapnya dalam satu gigitan besar.
"Kau? Kau?" teriak Jon. "Yang benar saja! Aku menyuruhmu
mencari tahu apakah ia suka padaku. Dan cewek paling keren di
Shadyside High itu malah mengaku kalau ia suka padamu! Kau
membuatku muak, man. Muak."
Brady tersenyum dengan mulut penuh piza sementara Jon
menelungkupkan kepalanya di atas meja. Ditutupinya wajahnya
dengan kedua tangan sehingga yang tampak oleh Brady hanyalah
rambutnya yang merah manyala. Jon mengembuskan napas
kekalahan.
"Ceria, dong," ucap Brady. "Jadi, Lisa bukan cewek yang cocok
untukmu. Nanti juga ada cewek lain. Maksudku, bagaimana kalau
cewek di counter itu?"
Jon melirik cewek yang berdiri di belakang mesin hitung.
Tangannya terjulur meraih sepotong piza.
"Bagaimana menurutmu?" tanya Brady. "Kece, kan?"
"Lumayan manis," jawab Jon. "Tapi bukan tipe cewek
kesukaanku."
"Bagus! Kalau begitu, untukku saja!" gurau Brady. "Jadi aku
bisa makan piza gratis setiap hari!"
Jon tidak menyahut.
"Oke, oke." Brady mengeluh. "Kau masih terobsesi pada Lisa.
Tapi, masa kau tidak menganggap cewek di counter itu kece?"
"Aku tidak percaya kau masih saja memperhatikan cewekcewek lain," gerutu Jon sambil mengibaskan keju yang menempel di
dagunya. "Maksudku, bagaimana dengan Allie?"
Allie Stoner cewek Brady yang terbaru. Brady tahu Allie tidak
akan senang kalau memergokinya tengah melirik cewek-cewek lain.
Tapi Allie kan tidak tahu, jadi ia tidak akan sakit hati, kata Brady
dalam hati.
"Bagaimana dengan Allie?" tanya Jon lagi. "Jangan bilang
bahwa kau mau memutuskan dia."
"Tidak juga."
"Apa maksudmu?"
Brady menggeleng. "Entahlah. Kurasa hubungan kami baikbaik saja. Jangan salah, aku benar-benar suka pada Allie. Tapi
tampaknya ia lebih serius daripada aku."
"Serius mengenai apa?"
"Mengenai hubungan kami," Brady menjelaskan.
"Memangnya kenapa? Ia benar-benar suka padamu," tukas Jon.
"Aku tahu. Dan aku juga suka padanya. Hanya saja..." Brady
terdiam. "Biar kutebak," ujar Jon. "Kau mau berkencan dengan cewekcewek lain, kan?"
"Jelas. Kenapa tidak?" tanya Brady. "Maksudku... hei, kenapa
tidak?"
Jon menggeleng-gelengkan kepala. "Well, kurasa kau benarbenar ngaco, man. Tapi konyolnya setiap cewek di Shadyside High
suka padamu. Aku tidak tahu kenapa, tapi..."
"Oh, wow, Jon. Kau cemburu," goda Brady, melempar
sahabatnya dengan remasan serbet kertas. "Mengaku sajalah."
"Memang." Jon menyeringai malu-malu. "Seandainya aku
punya masalah seperti kau, man. Ada satu cewek yang terlalu serius
padaku? dan segerombolan cewek lain yang antre."
"Berat memang," Brady sependapat, matanya yang cokelat
bersinar-sinar cemerlang. "Aku harus mencari jalan bagaimana
menghadapi Allie."
Allie. Brady memejamkan mata dan membayangkan cewek itu.
Rambut pirang pendek. Mata abu-abu, bulu mata panjang. Body
keren. Tidak terlalu hebat, tapi tidak jelek juga.
Bibirnya manis kalau tersenyum.
Coba ia tidak terlalu serius menanggapi segala sesuatu.
Terutama dirinya.
Sambil mengembuskan napas Brady membuka mata dan
melihat seorang gadis menyelinap ke meja di seberang mereka. Ia
bersiul pelan.
"Apa?" tanya Jon.
"Cewek di sana itu!" bisik Brady sambil memiringkan kepala.
Jon memutar bola matanya. "Cewek lain lagi?"
"Bukan sekadar cewek lain?yang ini sempurna!" ujar Brady
berkeras. "Lihat saja sendiri!"
Jon menoleh untuk melihat ke meja sebelah, lalu berpaling
kembali pada Brady. "Cakep. Cakep sekali."
"Cakep? Dia sempurna!" seru Brady. "Aku tidak main-main,
man. Dia benar-benar sempurna!"
Sementara ia mengamati cewek di seberangnya itu, jantung
Brady mulai berdegup kencang. Seumur hidup belum pernah ia
melihat cewek secantik itu.
Rambut pirang selembut sutra, tergerai melewati bahunya
bagaikan madu.
Mata yang besar di wajah oval yang mulus.
Bibir merah merekah, sedikit mencebik.
Dan kakinya! Brady sempat melihat kakinya sewaktu ia hendak
duduk tadi. Terbungkus legging ketat warna hitam, kaki itu luar biasa
indahnya! "Kau ngiler, man," canda Jon sambil melambai-lambaikan
tangan di depan wajah Brady.
Brady mengerjap-ngerjapkan mata dan dengan segan
mengalihkan tatapannya dari cewek itu. "Aku harus mendatanginya,
Jon!" bisik Brady. "Aku harus bicara padanya!"
"Tunggu." Jon mengerutkan kening. "Kuakui dia memang kece,
Brady. Tapi bagaimana dengan Allie?"
"Siapa?"
"Allie." Jon menggeleng-gelengkan kepala. "Masa bodohlah.
Sekarang apa yang akan kaulakukan?"
"Mana aku tahu. Aku kan tidak bisa pergi begitu saja ke sana


Fear Street Mabuk Kepayang Perfect Date di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan mulai mengobrol." Brady melirik cewek itu lagi.
Gadis itu menoleh. Membalas tatapannya. Dan bibirnya yang
merekah sempurna itu mengulaskan senyuman yang sangat
bersahabat.
Brady menelan ludah. "Well, tapi mungkin saja bisa!" katanya
sambil nyengir lebar.
"Kau membuat kesalahan besar," Jon memperingatkan. "Ingat
Allie."
Tanpa menggubris Jon, Brady memeriksa bayangannya yang
terpantul di kotak serbet kertas yang terbuat dari krom. Ia tahu kalau
ia ganteng. Wajah tirus dengan tulang pipi yang tinggi bagai dipahat.
Dagu berbelah. Bahu bidang dengan tubuh ramping kekar.
Tapi, apakah ia sudah cukup ganteng untuk cewek itu?
Dan sukakah cewek itu padanya?
Hanya ada satu cara untuk mengetahuinya, katanya dalam hati.
Cepat-cepat disisirnya rambut hitam ikalnya dengan jari-jari
tangan dan memeriksa kalau-kalau ada sejumput keju menyelip di
sela-sela gigi.
Ia bangkit dari duduknya dan menghela napas panjang.
"Doakan semoga berhasil, man," bisiknya pada Jon.
Jon menyambar lengannya. "Ayolah, Brady. Lupakan saja."
"Tidak bisa." Brady menepiskan tangan Jon. "Aku harus
berkenalan dengannya, Jon. Entah kenapa?pokoknya harus!"
"Aku sungguh-sungguh, Brady. Kalau kau ke sana, kau
membuat kesalahan besar," Jon memperingatkan sekali lagi.
Brady terbahak dan mulai mengayunkan langkah.
Ia sama sekali tidak tahu bahwa apa yang dikatakan Jon
sepenuhnya benar.
Bab 2 "HAI," sapa Brady lembut.
Cewek itu mendongak dan tersenyum lagi. Brady melihat bola
matanya hijau. Rambut pirang, mata hijau?kombinasi yang
sempurna. "Halo." Suaranya rendah dan serak-serak basah. "Mau duduk?"
Oh, man! Ternyata pendekatan ini lebih lancar daripada yang ia
rencanakan! Sekilas Brady menyunggingkan senyum pada Jon.
"Aku tidak bermaksud 'merebutmu' dari temanmu," ucap cewek
itu. "Hah?" Tatapan mata Brady beralih lagi padanya. "Oh, tidak.
Kau tidak merebutku dari siapa pun." Cepat-cepat ia duduk. "Namaku
Brady. Brady Karlin."
"Hai, Brady. Aku Rosha Nelson." Diangkatnya cangkir
styrofoam-nya yang nyaris penuh berisi kopi kental yang panas
mengepul. Sesaat bibirnya yang merah menempel di pinggir cangkir.
Tapi segera dijauhkannya cangkir itu.
"Panas sekali!" serunya sambil meletakkan cangkirnya dengan
hati-hati. "Mendidih!"
Brady nyaris tidak bisa mendengar kata-kata cewek itu karena
kerasnya degup jantungnya. Belum pernah ia merasa begitu tertarik
pada cewek, seperti saat ini. Jantung berdebar-debar. Telapak tangan
berkeringat. Dan ia tidak bisa mengendalikan diri untuk tidak terusterusan nyengir.
Tenanglah, katanya pada diri sendiri. Santai saja.
"Begitu." Brady berdeham. "Kau anak Shadyside High?"
Cewek itu menggeleng. Rambut pirangnya berkilauan tertimpa
sinar lampu. "St. Ann's," jawabnya.
St. Ann's sebuah SMU swasta di pinggir kota. "Pantas,"
komentar Brady.
"Pantas apa?"
"Pantas aku tidak pernah melihatmu di sekolah."
Rosha tertawa. "ShadySide High kan besar sekali. Bisa saja
sejak dulu aku sudah jadi murid di sana, tapi kau tidak
memperhatikan."
"Aku pasti memperhatikanmu," Brady keceplosan bicara. Ia
merasa wajahnya panas. "Sudah pasti."
Senyum Rosha nyaris membuatnya jatuh tunggang-langgang.
"Dengar, Rosha, aku..." Brady terdiam. "Rosha," ulangnya.
"Nama yang aneh sekali. Bagus sih, tapi agak aneh. Itu nama keluarga
atau apa?"
"Bukan." Rosha menyibakkan rambutnya ke belakang dan
tertawa. "Ibuku dulu tergila-gila pada novel-novel percintaan.
Sebelum aku lahir, ia membaca sebuah novel yang berkisah tentang
seorang tokoh wanita bernama Rosha. Aku juga merasa nama ini
aneh. Aku lebih suka punya nama yang biasa-biasa saja."
"Mana mungkin!" seru Brady. "Rosha nama yang bagus sekali.
Nama itu... nama itu sesuai untukmu."
"Apa maksudmu?"
"Well, itu nama yang istimewa," ujar Brady menjelaskan.
"Seperti dirimu."
Bibir Rosha kembali menyunggingkan senyum. "Menurutmu
aku istimewa, Brady?"
Sebelum ia sempat memikirkan jawaban yang sekiranya tidak
akan membuatnya seperti orang tolol, Rosha menjulurkan tubuhnya.
"Aku tadi melihat kau memperhatikan aku."
Brady merasa wajahnya memanas lagi. Biasanya ia bisa
bersikap santai di depan cewek-cewek lain, tapi di depan Rosha,
mukanya terus-terusan memerah!
"Dan coba tebak?" lanjut Rosha.
"Apa?"
"Aku juga memperhatikanmu," bisiknya.
"Yeah?" Brady tahu ia nyengir seperti orang tolol. Tapi masa
bodohlah. Pokoknya Rosha juga memperhatikannya sejak tadi! Wah,
semakin lama semakin asyik nih!
Rosha tertawa. "Mungkin pertemuan kita ini takdir atau
sebangsanya. Kau percaya pada takdir?"
Seumur hidup belum pernah sekali pun Brady memikirkan
masalah takdir. "Jelas," sahutnya. "Dengar, Rosha," tambahnya buruburu. "Aku ingin sekali mengajakmu keluar kapan-kapan."
Segera, pikirnya. Sangat segera?kira-kira lima menit lagi.
"Hei?oke," jawab Rosha. "Aku bebas malam Minggu nanti.
Bagaimana?"
"Aku juga bebas," timpal Brady. "Bagaimana kalau kauberikan
alamatmu padaku supaya..."
"Tidak, tunggu sebentar. Aku lupa," potong Rosha. "Hari Sabtu
ibuku tidak libur, dan aku sudah berjanji akan berbelanja untuknya di
Mall." Ia terdiam sejenak, berpikir. "Bagaimana kalau kita bertemu
saja di sana? Jam enam sore, bisa?"
Brady mengangguk penuh semangat. "Di bawah, dekat air
mancur?"
"Baik." Rosha mengangkat cangkir kopinya ke bibirnya yang
indah. Ditiupnya kopi yang panas mengepul itu dan diletakkannya
kembali cangkir itu ke atas meja.
Brady tidak dapat mengalihkan matanya dari wajah Rosha.
Dilihatnya senyum cewek itu memudar. Didengarnya cewek itu
menahan napas seolah ketakutan.
Sesaat Brady tidak menyadari apa yang terjadi.
Sampai dirasakannya sakit yang amat sangat menyengatnya.
Rasa sakit seolah terbakar, panas sekali.
Tangannya.
Tangannya terbakar!
Bab 3 "TANGANMU!" Rosha terkesiap. "Maafkan aku! Aku tidak
bermaksud..."
Brady akhirnya sadar apa yang terjadi. Rosha menumpahkan
kopi ke tangannya.
Kopi itu membakar kulitnya bagaikan lava panas. Brady
mendesis menahan sakit dan mengertakkan giginya kuat-kuat agar
tidak sampai berteriak.
"Maafkan aku! Maafkan aku!" seru Rosha berulang-ulang. Ia
menyambar setumpuk serbet kertas dan cepat melap tangan Brady.
Brady semakin keras mengertakkan gigi dan berusaha untuk
tidak mengerang.
Serbet itu terasa bagaikan amplas.
Kopi itu panas mendidih!
"Aku benar-benar minta maaf!" ulang Rosha sambil menepuknepuk kulit Brady yang merah terbakar. "Entah ke mana mataku ini.
Aku benar-benar ceroboh!"
Brady ingin meloncat-loncat dan berteriak sekeras-kerasnya
sampai rasa sakitnya hilang.
Tapi ia berhasil mengendalikan diri. Ditariknya tangannya
dengan hati-hati. "Tidak apa-apa, Rosha!" katanya, berusaha menjaga
agar suaranya terdengar mantap.
"Tidak apa-apa bagaimana!" jerit Rosha sambil memandangi
tangan Brady dengan mimik ketakutan. "Bisa-bisa nanti melepuh.
Sebaiknya kaukompres dengan es. Aku merasa tidak enak!"
Aku juga, pikir Brady. Tapi ia tidak mau menunjukkan
perasaannya. Diliriknya Jon, yang menonton adegan itu dengan
kening berkerut. "Jangan khawatir," kata Brady berkeras sambil
berpaling kembali kepada Rosha. "Sungguh. Itu bukan salahmu."
"Itu salahku!" seru Rosha menegaskan. "Aku tidak percaya aku
begitu ceroboh!"
"Sudahlah?lupakan saja. Tidak apa-apa kok." Brady meniupniup tangannya dengan hati-hati sambil meringis sedikit.
"Yakin kau baik-baik saja?" tanya Rosha sambil mengamatinya.
"Tentu." Brady menarik napas panjang dua kali. "Tentu saja aku
baik-baik saja. Sudah tidak begitu panas, kok."
"Kasihan tanganmu." Rosha membelai tangan Brady dengan
kedua tangannya, berhati- hati agar jangan sampai menyentuh bagian
yang terbakar.
Kulit gadis itu terasa dingin. Menyejukkan.
Saat memandangi wajahnya, Brady lupa pada rasa sakitnya.
"Sentuhanmu ajaib," ia memuji. "Sekarang aku sama sekali tidak
merasa sakit."
Mimik cemas di wajah Rosha perlahan memudar. "Well, kalau
kau yakin begitu."
"Sungguh. Aku baik-baik saja. Tidak apa-apa." Pokoknya
pegang terus tanganku, pikir Brady.
"Kalau begitu, aku harus pulang." Rosha menghela napas. "Kau
tahu kan?aku harus mengerjakan PR."
"Yeah, aku juga," ujar Brady segan. Mana bisa ia
berkonsentrasi pada PR. Atau pada apa saja.
Sampai hari Sabtu.
Rosha berdiri dan menyandangkan ransel ke bahunya.
Brady ikut berdiri. "Hei, jangan lupa hari Sabtu. Air mancur di
Mall. Jam enam."
"Mana mungkin aku lupa?" Mata Rosha yang hijau berkilau
menatapnya dengan hangat. "Sampai ketemu hari Sabtu, Brady. Bye."
"Bye." Brady memandangi Rosha yang melangkah
meninggalkan restoran.
Bahkan sampai cewek itu lenyap, matanya masih terus menatap.
"Kau ngiler lagi," seru Jon dari meja seberang.
Dengan pikiran masih linglung, Brady berjalan melintasi gang
dan mengempaskan diri di depan sahabatnya.
Jon menjulurkan tubuh dan menepuk-nepuk lengannya. "Bumi
memanggil Brady. Masuk, Brady!"
Brady akhirnya sadar. "Ia sempurna," serunya. "Ia cewek paling
sempurna yang pernah kulihat."
"Yeah, tapi bagaimana denganmu?" tanya Jon.
"Kurasa aku jatuh cinta," jawab Brady sambil nyengir.
"Maksudku tanganmu," sergah Jon.
Brady melirik tangannya yang kulitnya sekarang berwarna
merah manyala. "Soal kecil," katanya berkeras. "Tidak sampai
melepuh kok."
"Belum," sergah Jon.
"Akan kukompres dengan es nanti sesampainya di rumah. Oke,
Mom?"
"Aku tidak main-main, man," ucap Jon. "Sebaiknya
kauperiksakan tanganmu ke dokter. Cewek tadi nyaris memanggang
tanganmu."
Brady nyengir. "Aku sama sekali tidak merasa!"
*************
"Brady!" Allie Stoner berteriak dari ujung koridor Shadyside
High keesokan harinya.
Brady menjejalkan buku bahasa Inggrisnya ke dalam locker dan
mengintip pacarnya dari balik, pintu lemari. "Hei, Allie."
"Aku mencari-carimu sejak... " Allie terkesiap. "Brady!
Tanganmu kenapa?"
"Tanganku?"
"Tanganmu bengkak!" Wajah Allie dipenuhi kekhawatiran.
"Kenapa?"
"Oh! Eh, cuma kecelakaan kecil. Aku menumpahkan kopi
panas ke tanganku." Brady berbalik menghadap ke locker. "Cuma soal
kecil."
Tapi bertemu Rosha?itu baru soal besar.
Allie menyandarkan badannya ke locker di sebelah milik Brady.
"Ngomong-ngomong, aku mencarimu sepagian ini. Kukira kita akan
bertemu saat makan siang, tapi kau tidak ada di kantin."
"Yeah. Aku terpaksa melewatkan makan siang," Brady
menjelaskan sambil mengeluarkan buku catatan. "Aku harus
menyelesaikan tugas di laboratorium biologi."
Itu memang benar, kata Brady dalam hati. Tapi hanya separo
benar. Soalnya ia juga ingin menghindari Allie.
"Kalau begitu, sekarang kau pasti lapar berat." Allie
membetulkan letak ranselnya dan menyisipkan rambut pirang
cokelatnya yang halus ke belakang telinga. "Mau pergi ke Pete's dan
makan piza?"
"Ehm, tidak, tidak bisa," jawab Brady cepat-cepat. "Aku benarbenar harus pulang dan belajar."
Mata abu-abu Allie membelalak heran. "Belajar pada hari
jum'at sore? Besok kan libur."
Brady memaksakan tawa. "Aku agak ketinggalan dalam
beberapa pelajaran."
Itu juga benar. Tapi pada pokoknya, ia ingin sendirian saja.
Sendirian supaya bisa memikirkan Rosha.
Ia mengeluarkan sebuah buku catatan lain dan melirik Allie.
Ayo, Brady, perintahnya pada diri sendiri. Beritahukan padanya
mengenai rencana besok. Bilang padanya kalau kau tidak akan
mengapelinya.
"Begini, Allie." Brady membanting pintu locker. "Soal
pertandingan basket besok malam..."
"Oh, ya. Itulah sebabnya aku mencari-carimu sejak tadi,"
potong Allie. "Aku ingin tahu jam berapa kau menjemputku."
Brady memejamkan mata sejenak. Lakukan, Brady.
Beritahukan padanya.
"Brady?"
Brady membuka mata. Allie menatapnya dengan penuh harap.
Cewek itu mengenakan rok hitam pendek dipadu celana ketat abuabu. Lalu sweter cokelat kemerahan yang serasi dengan rambutnya,
serta seuntai kalung berliontin emas melingkari lehernya yang jenjang.
Ia tampak cantik.
Tapi tidak secantik Rosha.
Tidak ada yang bisa menandingi Rosha.
"Brady?" panggil Allie lagi. "Ada apa? Mobilmu rusak atau
bagaimana?"
"Eh, tidak, bukan itu," jawab Brady. "Aku... aku tidak bisa
mengajakmu menonton pertandingan itu, Allie. Aku benar-benar


Fear Street Mabuk Kepayang Perfect Date di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

minta maaf, soalnya aku harus menjaga saudara sepupuku."
Alasan yang benar-benar konyol.
Tapi jauh lebih mudah daripada mengatakan hal yang
sebenarnya.
Allie tampak kaget. "Setahuku sepupumu sudah kelas tiga
SMP" "Ini sepupuku yang lain," sergah Brady. "Chucky. Dia baru
delapan tahun. Kurasa aku tidak pernah bercerita mengenai dia
padamu. Ia tinggal di Old Village."
"Oh." Alis Allie yang tebal bertaut ketika keningnya berkerut
karena kecewa.
"Aku benar-benar minta maaf, Allie," kata Brady. "Padahal aku
kepingin sekali nonton basket. Tapi bibiku menelepon kemarin
malam. Ia benar-benar kepepet."
"Aku mengerti." Allie mengerutkan keningnya lagi. Lalu
mendadak wajahnya berubah cerah. "Aku tahu. Bagaimana kalau aku
ikut menjaga sepupumu itu? Aku tidak begitu keberatan batal nonton
basket. Aku lebih suka menghabiskan waktu bersamamu."
Brady berpikir cepat. "Aku juga. Tapi Chucky?sepupuku itu?
terserang flu. Bibiku bilang demamnya tinggi. Ditambah lagi ia
muntah setiap setengah jam sekali."
"Kasihan," bisik Allie.
Itulah Allie, pikir Brady dengan perasaan bersalah. Ia sama
sekali tidak curiga kalau aku bohong. Ia malah merasa kasihan pada
anak kecil yang sakit. Anak yang sebenarnya sehat walafiat dan tidak
perlu dijaga siapa pun.
"Jadi begitulah, aku tidak bisa mengizinkanmu ikut," kata
Brady. "Bisa-bisa kau ketularan nanti."
"Kau juga bisa ketularan," tukas Allie.
"Yeah, tapi kan tidak masuk akal kalau kita berdua mengambil
risiko yang sama," ujar Brady berkeras.
"Kurasa memang benar." Allie bersandar dengan lesu di deretan
locker dan menghela napas panjang.
"Aku benar-benar minta maaf," ulang Brady. "Hei?mungkin
kita bisa melakukan sesuatu hari Minggu."
"Kan memang begitu rencananya," Allie mengingatkan. "Kau
dan Jon akan datang ke rumahku. Kita akan belajar bersama, ingat?"
"Oh, yeah." Brady lupa sama sekali. "Dengar, Allie, aku harus
pergi. Aku benar-benar menyesal soal pertandingan basket itu. Tapi
aku akan datang ke rumahmu hari Minggu, oke?"
"Oke."
Brady menciumnya sekilas, lalu berjalan menyusuri koridor
sekolah. Sesampainya di tikungan, ia menoleh.
Allie melambaikan tangan ke arahnya.
Bahkan dari jauh pun ia bisa melihat kekecewaan yang
membayang di wajah Allie.
Brady balas melambai, lalu berbelok.
Ia merasa sangat bersalah. Allie baik sekali, dan ia sayang
sekali padamu, kata Brady mengkhotbahi diri sendiri. Tapi kau malah
membohonginya. Teganya kau berbuat begitu terhadapnya?
Alasannya sederhana.
Aku melakukannya karena Rosha.
Brady tidak bisa berbuat lain. Ia tidak bisa mengenyahkan
Rosha dari pikirannya sejak pertama kali melihat cewek itu.
Ia sudah tidak sabar ingin segera bertemu dengannya. Seumur
hidupnya tidak pernah ia merasa begini terhadap cewek mana pun.
Bahkan terhadap Sharon pun tidak.
Sudah hampir satu tahun Sharon meninggal. Tapi hampir setiap
hari Brady memikirkannya.
Sharon manis sekali, dengan matanya yang besar dan
hidungnya yang lucu. Pada saat ia memikirkan Sharon, ia selalu
berusaha membayangkan wajah cewek itu sebelum kecelakaan kereta
luncur. Tapi kadang-kadang, terutama dalam mimpi-mimpinya, ia
melihat wajah Sharon dalam keadaan setelah peristiwa itu terjadi.
Wajahnya yang tersayat dan berdarah. Tidak utuh lagi.
Brady mengerjap-ngerjapkan mata, mengusir bayangan itu.
Didorongnya pintu sekolah dan ia berjalan keluar. Embusan angin
dingin menerpanya. Serpih-serpih salju berputar-putar turun. Ia nyaris
tidak merasakannya.
Sharon dan Allie sudah hilang dari ingatannya. Yang ada dalam
pikirannya hanyalah Rosha. Tinggal satu hari lagi. Satu hari lagi dan
ia akan bertemu cewek itu.
Apakah Rosha juga merasakan hal yang sama? tanya Brady
dalam hati. Apakah ia juga menghitung-hitung jam, menghitunghitung berapa lama lagi kami bisa bertemu?
Ia akan datang atau tidak, ya?
Ia sempurna sekali, pikir Brady. Tampaknya mustahil cewek
sesempurna Rosha bisa tertarik padanya.
Tapi ia bilang ia memperhatikanmu, Brady mengingatkan diri
sendiri. Dan ia menyebut-nyebut soal takdir.
Takdir. Brady tidak pernah terlalu memikirkan soal takdir.
Benarkah takdir yang mempertemukan dia dengan Rosha?
Atau cewek itu cuma menggodanya saja? Hanya bercanda saja?
Apakah ia akan muncul hari Sabtu nanti? tanya Brady untuk
yang keseribu kalinya.
Apakah ia serius? Apakah ia akan datang?
Bab 4 BRADY berdiri di samping air mancur yang terletak di lantai
pertama Shadyside Mall. Dengan gugup ia memandang berkeliling,
pada para pengunjung yang bergegas-gegas lewat.
Brady tidak tahu apakah Allie tetap pergi menonton basket
tanpa dirinya. Sebab walaupun Allie pergi, ada kemungkinan beberapa
temannya nongol di sini dan melihatnya. Ia terpaksa harus memberi
penjelasan kalau Allie sampai tahu ia ada di Mall, dan bukan menjaga
sepupunya.
Tidak apalah mengambil risiko itu demi Rosha, pikir Brady.
Aku hanya berharap ia segera tiba!
Diliriknya jam tangan.
Jam enam kurang lima menit.
Baru lewat tiga puluh detik dari saat terakhir kali ia melihat jam
tangannya tadi.
Tenang dong, kata Brady dalam hati. Tingkahmu kayak anak
bloon tiga belas tahun yang baru pertama kali kencan.
Ia memaksakan diri untuk duduk di lingkaran batu datar yang
mengelilingi air mancur. Dicobanya bersikap tenang dan santai. Toh
tidak ada orang yang bisa membaca pikirannya. Tidak ada yang bisa
mendengar jantungnya berdetak-detak kencang saking semangatnya
dia. Semangat bercampur takut.
Bagaimana kalau Rosha tidak muncul? Ia tidak akan bertemu
lagi dengan cewek itu.
Brady berdiri, terlalu gelisah untuk duduk diam-diam. Ia
memaksa diri untuk tidak melirik jam tangannya lagi. Diangkatnya
satu kaki ke pinggir air mancur dan ia menunduk memandangi air
kolam. Di dasar kolam tampak kepingan-kepingan uang receh yang
berkilau-kilauan.
Banyak orang sengaja melempar uang ke dasar kolam dengan
harapan permohonannya terkabul.
Kenapa tidak? pikir Brady sambil memelototi uang-uang logam
itu. Tidak ada salahnya. Dirogohnya isi kantong celana jeans-nya dan
dikeluarkannya mata uang logam seperempat dolar.
Aku berharap... pikirnya sambil membayangkan wajah Rosha.
Aku berharap...
"Menurutmu permohonan itu akan terkabul?" tanya sebuah
suara serak-serak basah.
Brady cepat-cepat berbalik. "Rosha!"
Cewek itu memakai jaket merah plum dan celana jeans hitam
ketat yang ujung-ujungnya dimasukkan ke sepatu bot yang terbuat
dari kulit halus. Bibirnya yang merah merekah berlekuk membentuk
senyum. "Kau tampak cantik," puji Brady tanpa pikir panjang, mulutnya
terasa kering. Uang seperempat dolar itu terlepas dari genggamannya.
Uang itu mengeluarkan suara berdenting nyaring saat
membentur lantai.
Rosha membungkuk dengan gaya anggun dan memungutnya.
"Seperempat dolar? Kebanyakan orang melemparkan satu penny,"
komentarnya sambil mengembalikan uang itu pada Brady. "Pasti
permohonanmu penting."
"Memang." Brady memasukkan uang logam itu kembali ke
sakunya dan menyeringai pada Rosha. "Tapi aku tidak
membutuhkannya lagi. Maksudku, kau toh sudah datang."
"Kau kira aku tidak bakal datang? Malah aku yang takut kau
tidak akan datang," Rosha mengakui sambil tertawa.
Brady ikut tertawa, perasaannya amat lega. "Bagaimana kalau
kita nonton film?" usul Brady. "Film Brad Pitt yang baru sekarang
sedang main di Waynesbridge."
Waynesbridge kota yang bertetangga dengan Shadyside. Brady
yakin ia tidak akan berjumpa dengan teman-teman Allie di sana.
"Kedengarannya asyik," Rosha setuju. Ia melingkarkan
tangannya ke lengan Brady.
"Tunggu. Kau tidak membawa tas atau sesuatu?" tanya Brady.
"Kusangka kau bakal membawa banyak tas setelah berbelanja untuk
ibumu."
Rosha menghela napas. "Aku tidak bisa menemukan barang
yang sesuai keinginannya? padahal ibuku pemilih sekali. Jadi, lebih
baik pulang dengan tangan kosong daripada dengan barang yang tidak
disukainya." Ia menyampirkan tas kulit hitam ke bahunya dan
meremas lengan Brady. "Ayo kita pergi, Brady."
"Terserah kau!"
*************
Di layar bioskop tampak seorang wanita yang ketakutan
mengendap-endap di lorong rumahnya. Di belakangnya pintu terbuka
tanpa suara. Sepasang bola mata hitam dan kejam mengintip.
Brady terlonjak ketika sesuatu menyentuh lengannya.
"Ini aku," bisik Rosha lembut. Ia. mencondongkan badan ke
arah Brady. "Film-film mengerikan seperti ini selalu membuatku
takut."
Cewek itu menyelipkan tangannya ke tangan Brady. Jari-jari
mereka bertautan.
Brady menghela napas dalam-dalam.
Sempurna, pikirnya.
Filmnya sudah hampir selesai dan sejauh ini semuanya berjalan
dengan lancar.
Matanya memelototi layar di depannya, tapi sebetulnya ia tidak
melihat apa pun. Ia malah sibuk memikirkan perjalanan mereka tadi
ke Waynesbridge. Mereka langsung terlibat dalam obrolan seru begitu
meninggalkan Mall. Mengasyikkan sekali! Keduanya tidak pernah
saling berdiam diri. Tidak ada pembicaraan yang tersendat-sendat atau
tawa gugup.
"Aku merasa seolah-olah kita sudah saling kenal sejak dulu,"
Brady berkata pada Rosha.
"Aku juga," Rosha sependapat. "Aku sudah tahu kencan kita
akan seperti ini. Aku sudah tahu sejak pertama kali melihatmu."
"Masa?"
"Tentu." Rosha tersenyum. "Aku sudah pernah bilang ini takdir,
bukan?"
"Kau benar-benar percaya?" tanya Brady.
"Aku tahu ini takdir." Rosha tersenyum lagi seraya
menggoyangkan kepalanya ke belakang. Brady senang melihat rambut
pirang Rosha tergerai di bahunya, mirip rambut model iklan sampo.
Ia menyukai tawanya. Suaranya yang rendah dan serak-serak
basah. Matanya yang hijau dan bibirnya yang mencebik.
Ia menyukai segala sesuatu dalam diri Rosha.
Terutama waktu cewek itu meremas tangannya ketika adeganadegan mengerikan muncul di layar film.
Brady memaksa diri untuk memfokuskan perhatiannya ke layar
film lagi. Ternyata filmnya sudah selesai. Nama para pemain dan
pendukung film muncul di layar.
Dan Rosha masih memegang tangannya.
"Bagus sekali filmnya!" seru Rosha saat mereka berdesakdesakan di koridor yang penuh sesak. "Aku suka akhir cerita yang
membahagiakan."
Brady meremas tangan cewek itu keras-keras. "Kita makan?"
tanyanya. "Ada Burger Hut di dekat-dekat sini."
"Seandainya aku bisa," keluh Rosha. "Tapi aku benar-benar
harus pulang. Aku sudah berjanji pada ibuku akan pulang jam
sepuluh." Ia menghela napas. "Aku tahu ini konyol. Tapi setiap kali
aku keluar dengan cowok yang belum dikenalnya, ia berkeras
menyuruhku pulang cepat."
"Ia tidak percaya padaku, heh?" tanya Brady.
"Belum. Tapi jangan khawatir. Kalau ia sudah bertemu
denganmu, pasti ia suka padamu." Rosha tersenyum. "Setelah itu kita
bisa pergi sampai larut malam."
Kekecewaan Brady langsung lenyap. Setelah itu kita bisa pergi
sampai larut malam. Ia benar-benar suka padaku. Ia benar-benar ingin
bertemu lagi denganku!
Tubuh Rosha menggigil sewaktu mereka melangkah keluar,
memasuki udara malam yang dingin. Brady melingkarkan tangannya
ke bahu Rosha dan cewek itu menyusup ke dalam pelukannya. Angin
mengembuskan sehelai rambut Rosha ke wajah Brady. Rasanya
lembut bagai sutra.
Rosha menggigil lagi. Brady mempererat pelukannya.
Dan pada saat itulah ia melihat gadis itu.
Ia berdiri di bawah bayang-bayang teras bioskop, memandangi
Brady. Brady tidak akan memperhatikan gadis itu kalau bukan karena
wajahnya. Wajah paling mengerikan yang pernah dilihatnya.
Parut, Brady menyadari, tubuhnya merinding. Seluruh wajah
gadis itu dipenuhi parut, bekas luka berwarna merah.
Bekas luka silang-menyilang di keningnya bagaikan rel kereta
api. Parut yang berbelit-belit seperti jalinan tali itu nyaris membuat
kelopak mata gadis itu tertutup. Pipi dan dagunya keriput seperti apel
kisut. Jalinan bekas luka yang merah mengerikan di bawah sorotan
lampu terang benderang yang memancar dari bioskop.
Ketika gadis itu menatapnya dari balik kelopak matanya yang
terlipat, Brady merinding lagi.
Cepat-cepat diajaknya Rosha pergi. Gadis itu mengikuti setiap
langkahnya. Kilatan berapi-api di matanya membuat Brady gelisah.
Siapa gadis itu? tanyanya dalam hati.
Dan mengapa ia menatapku seperti itu?
Bab 5 "JADI? Bagaimana menurutmu, Brady?" tanya Rosha.
"Hah?" Brady mengalihkan tatapannya dari gadis bermuka
parut itu. "Maaf. Aku tidak dengar."
"Aku baru saja mengatakan apa yang ingin kulakukan
sekarang."
Wajah buruk itu memudar dari benak Brady. Mungkin Rosha
berubah pikiran dan tidak jadi cepat-cepat pulang.


Fear Street Mabuk Kepayang Perfect Date di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Terserah. Bilang saja."
"Well, aku suka sekali pada mobilmu," kata Rosha. "Bagaimana
kalau aku yang mengemudikannya pulang ke Shadyside?"
Tidak mungkin! pikir Brady sesampainya mereka di mobil.
Itu Oldsmobile Cutlass milik ayahnya.
Mobil itu baru dua kali dipinjamkan ayahnya padanya, dengan
ancaman hukuman mati kalau sampai terjadi apa-apa dengannya.
"Lagi pula," sambung Rosha seraya bercanda meremas lengan
Brady, "kau yang membelikan tiket film dan popcorn. Kau juga yang
mengemudi mobil ke sini. Tentu adil bila aku melakukan sesuatu."
"Tidak, sungguh, tidak apa-apa," protes Brady. "Malam ini aku
yang traktir, semuanya."
"Manis sekali, Brady, tapi aku ingin menyetir." Rosha
membelai sisi badan mobil yang berwarna abu-abu metalik itu. "Dari
dulu aku ingin sekali menyetir mobil bermesin turbo-charge. Pasti
sangat bertenaga."
"Eh, yeah, memang," ujar Brady setuju. "Masalahnya ialah, ini
mobil ayahku. Aku nyaris harus menjaminkan nyawaku untuk
meminjamnya. Aku tidak bercanda, lho. Kalau aku membawanya
pulang dengan sedikit goresan saja, ayahku pasti ngamuk."
"Tapi aku bisa menyetir dengan baik," bantah Rosha. "Tenang
saja deh. Takkan terjadi apa-apa. Masa kau tidak percaya padaku?"
"Tentu saja aku percaya padamu, tapi..." Brady menggelengkan
kepala. Aduh, dia bisa meminta apa saja, tapi kenapa ia harus meminta
yang satu ini?
"Ayolah, Brady. Sejauh ini acara kencan kita sempurna." Rosha
merengut menatapnya. "Jangan dirusak, dong. Izinkan aku
membawanya?please! Lagi pula, kau kan mendampingiku. Apa yang
bisa terjadi?"
"Rosha, aku hanya..."
"Oh, sudahlah." Rosha menarik tangannya dengan kasar.
"Lupakan saja bahwa aku pernah meminta."
"Hei, jangan marah, dong," Brady memohon.
"Aku tidak marah. Aku paham sekali." Tanpa menatap Brady,
Rosha mulai memakai sarung tangannya.
Brady membenamkan kedua tangannya ke dalam saku celana.
Ia tahu Rosha marah. Suaranya dingin. Padahal sejauh ini semuanya
menyenangkan. Sekarang muncul masalah ini. "Rosha..."
"Ya?" Gadis itu masih sibuk dengan sarung tangannya.
Brady memandanginya, mati-matian berharap agar Rosha mau
tersenyum lagi padanya. Dan menyukainya. Kalau ia menolak
permintaan Rosha, cewek itu mungkin akan mencari cowok lain.
Ia tidak akan pernah bertemu lagi dengannya.
Jangan bikin kacau, katanya dalam hati. Biarkan saja ia
menyetir mobil itu. Dad toh tidak akan tahu.
"Kau harus mengerti, Rosha. Aku tidak akan membiarkan
sembarang orang membawa mobil ini," kata Brady. "Tapi kau bukan
sembarang orang, jadi..." Dikeluarkannya kunci mobil dari sakunya
dan digoyang-goyangkannya di depan mata Rosha.
Tatapan mata Rosha beralih dari kunci itu ke wajah Brady.
''Kau sungguh-sungguh?" tanyanya. "Sebenarnya tidak apa-apa, kok."
"Ayolah. Ambil kuncinya," kata Brady.
"Well, kalau kau yakin."
"Positif."
Rosha menyambar kunci itu dan mengecup bibir Brady, cepat
namun mantap. "Trims, Brady. Ayo nyetir!"
Ciuman itu membuat bibir Brady bergetar sementara ia berjalan
mengitari mobil menuju ke kursi penumpang. Dengan ungkapan
terima kasih seperti itu, Rosha boleh menyetir kapan saja dia mau!
Tapi kecemasannya muncul kembali begitu Rosha menyalakan
mesin. Ia memindahkan tongkat persneling ke gigi satu dan menginjak
pedal gas. Roda-roda belakang berputar. Ketika akhirnya roda-roda itu
mencengkeram jalanan, mobil melesat keluar dari lapangan parkir
dengan suara berdecit-decit.
"Pelan-pelan saja," ujar Brady memohon, berusaha menjaga
agar suaranya tetap tenang. "Kemarin turun salju, ingat?
Kemungkinan ada lapisan es di jalan."
"Jangan ikut campur," perintah Rosha, dengan mulus
membelokkan mobil di tikungan. "Kalau kulihat kakimu mencoba
menekan pedal rem khayalan, kau harus menumpang mobil lain untuk
pulang ke Shadyside."
Brady tertawa, berharap semoga Rosha hanya bercanda.
Beberapa menit kemudian mereka sudah meninggalkan lampulampu kota Waynesbridge di belakang. Jalan tol yang gelap sepanjang
sepuluh mil membentang di depan mereka.
Rosha menekan pedal gas dan tertawa sewaktu mobil
mengentak maju. "Tenaganya hebat sekali! Fantastis!"
Brady memaksa diri untuk tersenyum. Ia menelan ludah dengan
susah-payah sewaktu garis-garis putih jalan tol melesat samar di
bawah mereka. Santai saja, katanya pada diri sendiri. Waktu yang
diperlukan untuk melintasi jalan lurus ini hanya sepuluh menit. Atau
dua menit dengan kecepatan seperti ini!
"Kita perlu mendengarkan musik!" seru Rosha. Ia melepaskan
satu tangan dari kemudi dan mengotak-atik tombol radio.
"Kau menyetir saja," cegah Brady cepat-cepat. "Aku yang akan
menangani radio."
"Bagus!"
Brady membungkuk dan menekan tombol-tombol sampai
menemukan pemancar yang bagus. Musik keras mengisi mobil
dengan dentuman berat yang mengentak-entak mengatasi raungan
suara mesin.
Diliriknya Rosha. Cewek itu membuka jendela sedikit, dan
untaian rambut pirangnya melayang-melayang ditiup angin. Ia melirik
Brady sambil menyeringai. Mata hijaunya bersinar-sinar penuh
semangat. "Kau lihat?" teriaknya mengalahkan suara mesin. "Sudah
kubilang aku bisa menyetir dengan baik!"
"Benar!" Baik dan ngebut, pikir Brady sewaktu mobilnya
melaju cepat di jalan tol.
Terlalu cepat.
Di depan menghampar bidang luas yang tertutup es. Secara
otomatis kaki kanan Brady menekan lantai mobil. Tangannya
mencengkeram pegangan kursi kuat-kuat.
Rosha meliriknya lagi. "Tenang saja!" godanya. "Ingat katakataku soal numpang pulang tadi."
Kaki Rosha menginjak pedal gas lebih dalam lagi. Mobil itu
terbang melintasi lapisan es.
Brady menarik napas dalam-dalam.
Ia berharap bisa melihat alat penunjuk kecepatan. Rosha pasti
sudah membawa mobil berlari melewati batas kecepatan. Dengan
lagak sebiasa mungkin, Brady menoleh sekilas ke belakang. Bagus,
tidak ada lampu mobil polisi. Ia tidak ingin ditilang karena melanggar
batas maksimum kecepatan.
Ia berpaling ke depan lagi dan melihat papan penunjuk arah
menuju Shadyside.
Mobil terus melaju. Telapak tangan Brady basah oleh keringat
dan jantungnya berdebar-debar.
Sudah hampir usai, katanya dalam hati. Santai saja. Jangan
biarkan ia melihat betapa gugupnya dirimu. Sebentar lagi kami keluar
dari jalan tol. Ia harus memperlambat laju mobil nanti.
Papan penunjuk arah itu semakin dekat.
Semakin dekat.
Rosha membelokkan mobil dengan kecepatan penuh. Brady
terbanting ke pintu sewaktu mobil terbang melintasi jalur keluar.
"Pelan-pelan!" teriak Brady tajam. "Rosha!"
Mobil meraung dan melaju semakin cepat. Jalur keluar itu
melengkung ke arah jalan perumahan.
"Hei?ayo dong!" teriak Brady. "Jalur ini dilapisi es! Kurangi
kecepatan!"
"Aku?aku berusaha, tapi tidak bisa!" jerit Rosha. Brady bisa
mendengar nada panik dalam suaranya. "Aku tidak bisa mengurangi
kecepatan! Pedal gasnya?macet!"
"Tekan pedal remnya!" seru Brady.
Sementara kaki Rosha meraba-raba mencari pedal rem, mobil
itu selip di atas lapisan es dan terpelanting ke kanan dengan keras.
Rosha mengentakkan kemudi kembali ke kiri.
"Terlalu jauh!" teriak Brady. "Kembalikan!"
Rosha mengentakkan kemudi lagi?dan pada saat yang
bersamaan menginjak pedal rem.
Mobil berputar.
"Brady!" jerit Rosha sambil menunjuk ke depan.
Jantung Brady berhenti berdetak.
Dilihatnya sebuah mobil berhenti di ujung jalan, jendela
belakangnya berkilauan oleh lapisan es yang membeku tertimpa sinar
lampu. Mobil yang sedang parkir itu semakin lama semakin jelas saat
mereka meluncur mendekatinya.
"Brady!" jerit Rosha lagi.
Brady menyambar kemudi.
Terlambat!
Baja berderak remuk dan kaca-kaca hancur berantakan ketika
mereka menghantam bagian belakang mobil yang sedang diparkir itu.
Benturan itu mengakibatkan Brady terlempar ke depan.
Brady sadar tidak ada yang menahan tubuhnya.
Tidak ada sabuk pengaman.
Mati aku! Brady berteriak ngeri. Ia terlempar ke kaca depan dengan posisi
kepala lebih dulu.
Bab 6 SUARA tabuhan genderang bertalu-talu. Berdenyut-denyut.
Keras. Sakit. Brady mengerang.
Ada yang memegang bahunya. Mengguncang-guncangnya.
Ia mengerang lagi.
"Brady!" sebuah suara berseru panik di telinganya. "Brady,
bangun!"
Suara Rosha. Mendesak. Ketakutan.
Tangan Rosha mengguncang-guncang tubuhnya.
Brady memaksa diri membuka mata. Lampu-lampu. Gerakgerak samar.
"Brady, ayo bangun!"
Perlahan-lahan pandangan Brady menjadi jelas. Dilihatnya kaca
depan mobil ayahnya.
Retakan mirip sarang laba-laba yang ruwet membentang di kaca
yang semula halus dan jernih.
Brady mengerjap-ngerjapkan mata, mencoba mengingat-ingat.
"Apa yang terjadi?" gumamnya.
"Kita menabrak mobil!" bisik Rosha tepat di telinganya. Cewek
itu membenamkan jari-jarinya ke bahu Brady. Ia kembali
mengguncang-guncangnya. "Bangun. Kau harus bangun sekarang!"
Rasa sakit menusuk-nusuk kepalanya sementara Rosha
mengguncang-guncangnya. Ia mengangkat tangan dan memegang
keningnya. Sesuatu yang basah dan lengket menempel di jari-jarinya.
Darah. Brady menarik napas dengan gemetar dan lambat-laun
ingatannya kembali. Rosha melarikan mobil terlalu kencang. Es.
Mobil yang diparkir itu menghadang mereka. Dan kemudian ia
terlempar ke kaca depan.
Pantas saja kepalanya terluka. Dipegangnya lagi kepalanya.
Lagi-lagi terasa darah menempel di tangannya. Kepalanya sangat
pusing. "Brady!" Terengah-engah Rosha memanggil namanya lagi.
Brady menoleh dan memandang wajah Rosha yang tampak
khawatir. "Kurasa aku tadi pingsan sebentar," bisiknya. "Kau tidak
apa-apa, Rosha?"
"Aku baik-baik saja. Brady, dengar aku!" seru Rosha sambil
menarik-narik bahunya. "Kita harus bertukar tempat!"
"Hah?"
"Kau harus bertukar tempat denganku!" Suara Rosha meninggi
karena kalut. "Aku tidak punya SIM!"
"Kau tidak..."
"...punya SIM!" ulang Rosha. "Orang-orang mulai bermunculan
dari dalam rumah, dan polisi sebentar lagi datang! Kita harus bertukar
tempat!"
Rasa sakit menusuk-nusuk kepala Brady lagi. Musik masih
menggelegar dari pengeras suara di mobil. Paling tidak radionya tidak
rusak, pikir Brady. Tapi suara musik membuat kepalanya berdenyutdenyut. Ia mengulurkan tangan dan mematikannya.
"Jangan pedulikan musik itu! Kau harus pindah!" Rosha
menarik bahu Brady lagi, kali ini lebih keras. Kepala Brady terus
berdenyut-denyut, tapi Rosha tidak berhenti. Akhirnya gadis itu
berhasil pindah ke tempat Brady dan mendorong cowok itu ke kursi
pengemudi, melewati tongkat persneling.
"Maafkan aku!" tangisnya. "Betul-betul mengerikan, Brady.
Tapi aku tidak boleh tertangkap basah mengemudi tanpa SIM. Tolong
katakan bahwa kau mengerti!"
"Tentu saja." Dalam keadaan linglung seperti itu, samar-samar
Brady mendengar lengkingan sirene di kejauhan. "Yakin kau tidak
apa-apa, Rosha?"
"Ya! Sungguh, tergores pun tidak." Gadis itu mencondongkan
badan dan mengecup pipinya. "Aku benar-benar minta maaf atas
kejadian ini, Brady!"
"Jangan khawatir," bisik Brady. "Semuanya akan beres."
Raungan sirene itu semakin keras. Brady menegakkan posisi
duduknya. Sabuk pengaman, pikirnya. Jangan sampai kena tilang
gara-gara tidak memakai sabuk pengaman. Dikencangkannya sabuk
pengaman itu. Kepalanya sakit sekali sewaktu ia bergerak. Dengan
hati-hati disentuhnya wajahnya.
Ada benjolan sebesar telur di bagian atas keningnya. Dan luka
sayatan yang masih terus mengucurkan darah.
Brady menurunkan kaca jendela dan menghirup udara malam
yang dingin.
Sorot lampu mobil membutakan matanya sejenak. Lalu seorang
petugas polisi menjulurkan kepalanya melalui jendela. "Kau tidak apaapa, Nak?" tanya polisi itu dengan suara kasar.
"Yeah, kurasa begitu." Brady berusaha tampak sigap. "Ada
lapisan es di jalur keluar tol. Kuduga mobilnya selip."
"Di mana-mana keadaan jalan memang sedang payah," kata
polisi itu sependapat. Ia menyorotkan lampu senter ke bagian dalam
mobil. "Kau sendirian?"
"Sendirian? Tidak, aku... kami..." Brady menoleh ke arah kursi
penumpang.
Kosong. Rosha sudah lenyap.
Bab 7 "KAU benar-benar beruntung, Brady," kata Jon keesokan
siangnya, ketika ia dan sahabatnya itu berjalan menyusuri jalan masuk
ke rumah Allie. "Dihukum saja tidak," tambahnya. "Kalau aku yang
menghancurkan mobil ayahku, bisa-bisa aku tidak melihat dunia luar
lagi sampai umur 25."
"Mobilnya tidak hancur, kok," tukas Brady. "Cuma perlu kaca
depan baru dan perbaikan bumper depan."
"Cuma?" Jon menggeleng-gelengkan kepala tidak percaya.
"Jangan bilang bahwa ayahmu tidak ngamuk."


Fear Street Mabuk Kepayang Perfect Date di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Brady meringis, teringat mimik wajah ayahnya ketika
mendengar peristiwa yang menimpa mobilnya. "Oh, yeah. Ayahku
ngamuk habis-habisan. Kalau kepalaku tidak benjol gara-gara
kejadian itu, kurasa ayahku akan membuat benjolan sendiri di sana."
"Kuduga kau tidak memberitahu siapa yang sebenarnya
mengemudikan mobil itu," kata Jon pelan.
"Bercanda kau!" Brady menggeleng-geleng. "Aku belum mau
mati, tahu."
"Mana aku tahu. Soalnya, kau sendiri yang mengizinkan cewek
itu menyetir," tukas Jon mengingatkan. "Ia merusakkan mobil dan
menimpakan semua kesalahan padamu. Lalu ia kabur begitu saja."
"Kan sudah kubilang, ia takut karena tidak punya SIM." Brady
merasa wajib membela Rosha. "Dan namanya Rosha, bukan 'cewek
itu,' mengerti?"
"Oke, oke." Jon menaiki tangga depan rumah Allie dan
menjulurkan tangan untuk memencet bel.
Brady menyambar tangannya. "Jangan lupa?Allie mengira aku
menjaga sepupuku semalam," Brady mengingatkan Jon dengan suara
pelan. "Ia meneleponku tadi pagi, jadi kuceritakan saja soal
kecelakaan itu padanya. Tapi ia tidak tahu apa-apa soal Rosha."
"Benar-benar kacau," kata Jon. "Maksudku, Allie kan temanku.
Kenapa tidak kauputuskan saja hubunganmu dengan dia daripada
membohonginya seperti ini?"
"Nanti, kalau aku sudah menemukan cara yang tepat untuk
memberitahunya," janji Brady. "Aku cuma tidak ingin ia tahu secara
tidak sengaja, oke?"
"Oke," Jon menyetujui dengan enggan. "Tapi kalau kau begitu
khawatir ia tahu, kenapa kau mau datang hari ini? Kau kan tahu ia
akan menanyaimu macam-macam."
"Yeah, tapi ini lebih baik daripada mendekam di rumah," sahut
Brady. "Sekarang ini aku sedang dimusuhi di rumah. Ngomongngomong, jangan sebut-sebut Rosha, ya."
Brady menekan bel, Allie langsung membuka pintu. Mata gadis
itu membelalak begitu melihat Brady.
"Kepalamu!" serunya. "Oh wow!"
"Yeah, dia memang terluka parah," gerutu Jon. "Tapi jangan
membuang-buang rasa kasihanmu padanya, Allie. Dihukum saja tidak
kok."
Allie menatap kepala Brady yang diperban.
"Aku baik-baik saja, Allie," Brady berkeras. Ia menjatuhkan
buku-bukunya di lantai dan melepas jaketnya. Pelan-pelan ia duduk di
sofa bunga-bunga, di ruang duduk Allie yang dindingnya berpanel
kayu. Kepalanya berdenyut-denyut.
"Tapi kau harus membayar biaya perbaikannya, kan?" tanya Jon
sambil duduk berselonjor di atas karpet di depan perapian.
"Lebih parah lagi," keluh Brady. "Asuransinya bakal naik, dan
aku yang harus membayar kelebihannya. Kurasa aku harus mulai
mencari pekerjaan."
Jon mengerang bersimpati. "Coba kutanyakan di Doughnut
Hole nanti," ia menawarkan. "Mungkin mereka membutuhkan
karyawan lagi untuk bekerja beberapa jam setelah sekolah usai. Paling
tidak kita bisa kerja sama-sama."
Allie geleng-geleng kepala. "Aku tidak percaya kalian malah
membicarakan soal uang. Brady bisa saja tewas!"
"Yeah, well, aku kan tidak mati," Brady mengingatkan.
"Ia cuma kelihatan sudah mati!" canda Jon.
Allie geleng-geleng lagi dan meringkuk di sofa, bersebelahan
dengan Brady. "Ngomong-ngomong, untuk apa kau meminjam mobil
ayahmu segala?" tanyanya. "Kau baru sekali mengajakku naik mobil
itu. Agak terlalu mewah kan kalau hanya untuk pergi menjaga anak
kecil?"
"Eh, yeah," Brady bergerak-gerak gelisah saat merasakan
tatapan mata Allie menghunjam ke arahnya. "Ban mobilku sudah agak
gundul. Kupikir mobil ayah akan lebih mantap bila melaju di atas es.
Ternyata, aku keliru."
Brady dan Jon saling lirik. Ia tahu Jon menganggapnya sinting.
Sinting karena mengizinkan Rosha menyetir.
Sinting karena diam-diam pergi dengan cewek lain di belakang
punggung Allie.
Tapi Jon sudah berjanji akan tutup mulut rapat-rapat. Dan
Brady tahu ia bisa mempercayai anak itu.
Datang ke rumah Allie jelas merupakan kesalahan. Bukan
karena kepalanya masih sakit. Tapi karena ia harus bertemu Allie dan
berbohong padanya.
Berbohong lagi.
Ia tidak mau terus-menerus membicarakan kejadian itu.
Terus berbohong mengenainya.
Kepalanya mulai berdenyut-denyut lagi.
"Kau tidak apa-apa?" bisik Allie cemas. "Mau minum aspirin
atau bagaimana?"
"Tidak. Terima kasih," jawab Brady.
"Bagaimana kabar sepupumu?" tanya Allie.
"Sepupuku yang mana?"
Allie tampak bingung. "Sepupu yang kaujaga semalam. Katamu
dia kena flu, ingat? Muntah-muntah terus?"
"Oh. Benar. Chucky. Ia... sudah baikan." Brady melirik Jon
lagi. Tolong aku, man.
"Kalian tahu apa yang kurang?" Jon meloncat berdiri. "Musik!
Tempat ini sama sepinya dengan kuburan."
"Setuju," Brady sependapat. "Setel keras-keras." Jadi Allie tidak
bisa bertanya apa-apa lagi.
Jon mengambil CD dari rak dan memasukkannya ke player.
Beberapa detik kemudian raungan gitar memenuhi ruangan. "Ayo,
Allie, joget dulu sebelum baca buku!" seru Jon sambil menarik cewek
itu dari sofa.
Allie tertawa dan mereka berdua mulai berjoget di ruang duduk
yang besar itu.
Brady memejamkan mata, merasa lega. Ia selalu bisa
mengharapkan bantuan Jon. Allie senang berjoget. Selama musik terus
mengalun, ia jadi lupa pada yang lain.
Dan ia bisa memikirkan Rosha.
Apakah dia baik-baik saja?
Mengapa ia langsung pergi begitu saja?
Brady mengerutkan kening. Cewek itu pasti lari karena takut
tertangkap basah mengemudi tanpa SIM. Setiap kali memikirkan hal
itu, ia jadi ngeri sendiri. Seandainya ia tahu Rosha tidak punya SIM, ia
tidak akan membiarkan gadis itu mengemudikan mobil ayahnya!
Mestinya Rosha tidak usah minta menyetir segala. Seandainya bukan
Rosha, Brady pasti sudah ngamuk.
Tapi dia Rosha.
Ia tidak bisa marah pada cewek itu. Memang ia tidak punya
SIM. Brady yang duduk di kursi pengemudi sewaktu polisi datang.
Takkan ada yang tahu kalau sebenarnya Rosha yang menyetir.
Brady bergerak di sofa. Kepalanya terasa seperti dipukul-pukul.
Mungkin Rosha ketakutan. Atau mungkin ia punya alasan lain
sehingga kabur begitu saja. Sesuatu yang tidak diketahui Brady.
Seandainya ia bisa bicara padanya. Seandainya ia punya nomor
teleponnya! Yang bisa ia lakukan sekarang hanyalah berharap Rosha
meneleponnya.
Brady terenyak lebih dalam lagi di sofa. Ia harus menemukan
cewek itu. Bicara dengannya. Berada di dekatnya.
Ia tidak dapat mengenyahkan Rosha dari pikirannya.
Musik berhenti. Allie mengempaskan diri di samping Brady.
"Aku bisa mati kehausan nih," kata Jon. "Allie, punya Cocacola?"
"Banyak. Ambilkan juga untuk Brady dan aku." Allie
menyentuh bahu Brady. "Atau kau lebih suka minum cokelat panas?"
tanyanya. "Atau makan sesuatu?"
"Coca-cola saja." Brady melirik cewek itu sementara Jon pergi
ke dapur. Pipi Allie merah sehabis berjoget dan matanya bersinarsinar cemerlang.
Ia cantik sekali, pikir Brady.
Tapi ia bukan Rosha Nelson.
Nelson. Kau kan tahu nama keluarganya, tolol! seru Brady
dalam hati. Cari, di buku telepon!
Terdengar suara berkeresek dan berkrauk-krauk dari dapur.
Disusul pekikan John. "Waduh! Keripik nacho-nya berantakan, nih!"
Allie tertawa dan melompat turun dari sofa. "Biar kulihat ada
apa. Sebentar ya."
Begitu Allie lenyap dari pandangan, Brady bergegas
menghampiri pesawat telepon di seberang ruangan. Telepon itu
diletakkan di atas meja pendek dengan rak di bawahnya. Disambarnya
buku telepon dari rak itu dan dicarinya daftar nama pelanggan yang
dimulai dengan huruf N.
Needham... Neldin... Nelson!
Jantung Brady serasa copot. Nama Nelson hampir
menghabiskan tiga kolom.
Padahal ia tidak tahu nama ayah Rosha. Atau nama ibunya.
Atau alamatnya.
Dengan frustrasi dikembalikannya buku itu ke tempat semula.
Ia sudah hendak duduk lagi di sofa, tapi lalu berubah pikiran dan
melenggang ke pintu dapur. Ia tidak bisa hanya duduk-duduk saja
sementara Rosha ada di luar sana, di suatu tempat...
Allie sedang memegangi pengki sementara Jon menyapukan
keripik-keripik nacho ke dalamnya. "Hei, guys, kurasa aku akan
pulang saja," kata Brady. "Kepalaku sakit sekali."
Allie bergegas menghampirinya. "Pasti gara-gara musik tadi.
Bagaimana kalau kuberi kau aspirin dan kemudian kita bisa belajar
seperti yang sudah direncanakan," usul gadis itu.
"Terima kasih, tapi aku takkan bisa berkonsentrasi."
"Oh. Oke, kuambil kunci mobilku dulu dan aku akan..."
"Jangan," potong Brady. "Aku jalan kaki saja, Allie. Udara
segar mungkin bisa membantu mengurangi sakitku."
"Yeah, biarkan saja dia mengangin-anginkan otaknya." Jon
menjejalkan segenggam keripik ke dalam mulutnya dan memandang
Brady dengan tatapan tajam.
Brady tidak mengacuhkan sindiran Jon. Ia mencium Allie
sekilas, menyambar jaket dan buku-bukunya, lalu bergegas keluar.
Rumahnya hanya berjarak empat blok dari rumah Allie. Mereka
sama-sama tinggal di daerah North Hills di Shadyside.
Di mana rumah Rosha?
Kapan ia bisa bertemu lagi dengan cewek itu?
Brady menghirup dalam-dalam udara yang dingin.
Akankah ia bertemu lagi dengannya?
Harus, pikir Brady. Aku harus bertemu lagi dengannya!
Ia menyeberang jalan dan berbelok di tikungan. Dua blok lagi ia
sampai di rumah.
Tapi, setelah itu apa?
Kuasai dirimu, kecamnya dalam hati. Hubungi setiap Nelson
yang ada di buku telepon. Pencarian itu mungkin akan berlangsung
lama?tapi kau akan menemukannya.
Harus. Brady bergegas menyusuri setengah blok terakhir dan berbelok
ke jalan masuk rumahnya. Saat itulah ia mendengar suara mobil
meluncur di belakangnya.
Cepat-cepat ia berbalik, berharap yang datang itu Rosha.
Ternyata sebuah mobil polisi.
Mobil patroli berwarna hitam-putih itu berhenti. Di balik
kemudi duduk polisi yang datang ke tempat kejadian semalam.
Rasa takut merayapi punggung Brady. Jantungnya mulai
berdetak kencang.
Tahukah mereka kalau bukan aku yang menyetir mobil itu
semalam? Brady menghela napas dalam-dalam.
Kalau polisi tahu ia berbohong, berarti ia terlibat masalah besar.
Begitu juga Rosha.
Masalah besar.
Ia memaksa diri untuk tersenyum dan mendekati mobil itu.
Bab 8 "SE LAMAT siang." Polisi yang menemui Brady semalam
turun dari mobil. Bagaimana kepalamu, Nak?"
"Tidak terlalu baik." Berlagaklah seolah-olah kau masih
kesakitan, kata Brady dalam hati. Dengan begitu ia mungkin akan
bersikap lunak terhadapmu. "Aku mencoba belajar," tambah Brady
sambil menunjukkan buku-bukunya. "Tapi agak sulit berkonsentrasi.
Sepertinya ada orang memakai kepalaku untuk latihan menggebuk
drum."
Polisi itu mengangguk, mimik serius terpancar dari wajahnya.
"Kuharap sebentar lagi kau sembuh."
Mengapa? tanya Brady dalam hati dengan perasaan panik.
Supaya mereka bisa menginterogasi aku? "Terima kasih," sahutnya.
"Tidak terlalu parah, kok."
Polisi itu tersenyum sedikit. "Yeah, kelihatannya kepalamu
memang keras." Terdengar geraman dari tenggorokannya.
Brady baru sadar polisi itu ternyata tertawa. Ia menelan ludah
dan ikut-ikutan mendecakkan lidah. Kalau polisi ini berniat mainmain, Brady berharap ia cepat-cepat menyudahi permainannya.
"Begini," kata Brady. "Aku harus segera masuk dan mengerjakan PR."
"Yah, terus terang saja, aku tidak mampir untuk sekadar
menanyakan keadaan kepalamu," ujar polisi itu. "Ada alasan lain."
Tubuh Brady langsung mengejang. Ini dia. "Oh?"
Polisi itu berbalik, menjulurkan tubuhnya ke dalam mobil
melalui jendela yang terbuka. "Kami menemukan sesuatu di mobilmu
ketika mobil itu diderek," katanya sambil menoleh. "Kurasa kau pasti
tertarik pada temuan itu."
Apa? tanya Brady dalam hati. Apa yang mungkin mereka
temukan, yang dapat membuktikan bahwa bukan dia yang menyetir?
Si polisi menegakkan badannya dan berbalik. "Ini ditemukan di
bawah kursi depan. Kau pernah melihatnya?" tanyanya. Tangannya
memegang tas kulit hitam dengan tali tipis dan panjang.
Brady memelototinya.
Tas Rosha. Ia pasti melemparkan tas itu ke kursi saat akan
mengemudi. Lalu terjatuh ke lantai ketika tabrakan.
Tas Rosha! Dan di dalamnya pasti ada dompetnya. Kartu
pengenal. Nomor teleponnya atau paling tidak alamatnya.
"Tentu saja pernah," jawab Brady. "Itu tas pacarku. Dia
menyangka tas itu hilang pada kencan kami yang terakhir."
"Selama itu pasti terselip di bawah kursi," kata si polisi sambil
menyerahkan tas itu kepada Brady. "Dia pasti senang
mendapatkannya kembali." ebukulawas.blogspot.com
"Tentu. Hei, terima kasih. Thanks a lot!"
"Sama-sama. Jaga kepalamu baik-baik." Petugas polisi itu naik
ke mobilnya dan memundurkannya keluar halaman.
Brady melambaikan tangannya sekilas sebelum bergegas
menyusuri jalan masuk dan masuk ke rumah. Dijatuhkannya bukubukunya di meja ruang depan dan mulai membuka tas itu.
"Apa itu, Brady?" tanya ibunya yang sedang menuruni tangga
dengan setumpuk handuk mandi di tangannya.
"Hah? Oh." Brady menyelipkan tas itu ke bawah lengan. "Ini tas
Allie."
"Oh?"
"Polisi mengantarkannya kemari," Brady menjelaskan. "Mereka
menemukannya di mobil Dad."
"Di mobil ayahmu?" Mrs. Karlin meniup seberkas anak rambut
berwarna gelap dari dahinya dan mengerutkan kening. "Kemarin


Fear Street Mabuk Kepayang Perfect Date di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

malam Allie tidak bersamamu, kan?"
"Tidak," Brady cepat-cepat menjawab. "Dulu aku pernah
mengajaknya keluar dengan mobil itu, kan? Kurasa tas ini ketinggalan
di sana waktu itu."
"Kau harus memberitahu dia," ibunya menasihati. "Mom yakin
ia sudah lama mencari-carinya."
"Yeah, aku akan melakukannya sekarang." Brady menaiki
tangga dengan melompati dua anak tangga sekaligus.
Sesampainya di kamar, ditutupnya pintu dan dilemparkannya
buku-bukunya ke atas meja. Lalu ia berjalan ke tempat tidur dan
duduk tidak jauh dari pesawat telepon yang diletakkan di atas meja di
samping tempat tidur.
Sebentar lagi ia akan menghubungi Rosha.
Ia akan mendengar suaranya yang serak-serak basah.
Mungkin mereka bisa bertemu lagi nanti malam.
Dengan penuh semangat dibukanya kancing tas dan
disentakkannya hingga terbuka.
Ia terkesiap kaget.
Bab 9 TAS itu kosong melompong.
Apakah ada orang yang mencuri semua isinya?
Brady membuka tas itu lebar-lebar dan memasukkan tangan ke
dalamnya. Tidak ada apa-apa. Tidak ada uang sekeping pun atau kertas
secarik pun. Bahkan kain pelapis tas juga tidak.
Ia menjungkirbalikkan tas itu dan mengguncang-guncangnya.
Tidak ada yang jatuh.
Mana ada orang yang menyikat habis semua barang yang ada
dalam tas yang dicurinya? Lagi pula, polisi itu bilang tas ini terselip di
bawah kursi. Mana ada orang mengaduk-aduk isi sebuah tas lalu
melemparkannya ke bawah kursi mobil?
Brady melemparkan tas itu dan dengan lesu menyandarkan
badannya ke kepala tempat tidur.
Aneh. Untuk apa Rosha membawa-bawa tas kosong? Padahal ia harus
berbelanja untuk ibunya. Mana ada orang belanja tanpa membawa
uang atau kartu kredit? Mungkin ia menyimpan dompetnya di saku
jaket atau semacamnya, supaya kalau tasnya dijambret ia masih punya
uang. Brady menggeleng-gelengkan kepala. Itu sama sekali tidak
masuk akal. Kalau memang begitu, untuk apa membawa-bawa tas?
Kau kembali ke awal lagi, kata Brady dalam hati. Tidak ada
nomor telepon. Tidak ada alamat.
Sambil mengeluh Brady turun dari tempat tidur dan berjalan
mondar-mandir dalam kamarnya. Ia berhenti di depan jendela dan
memandangi hari yang muram kelabu di luar.
Di mana kau, Rosha? Mengapa kau pergi? Mengapa kau belum
juga meneleponku?
Ia berpaling dari jendela dan berjalan ke pintu. Orangtuanya
menyimpan buku telepon dalam kamar mereka. Sekarang waktunya
untuk menghubungi semua orang bernama Nelson di Shadyside.
Ketika tangannya memegang pegangan pintu, telepon
berdering.
Rosha? Brady melompat ke arah pesawat telepon dan menyambar
gagangnya di tengah deringan yang kedua. "Halo?"
"Hai, kau sudah merasa baikan?"
Allie. Bahu Brady langsung terkulai karena kecewa. "Hai, Allie.
Yeah, aku baik-baik saja sekarang"
"Benar?" Suara Allie terdengar ragu. "Tadi kau pucat sekali.
Lantas kau buru-buru pulang?aku benar-benar cemas."
"Tidak perlu cemas. Kan sudah kubilang aku baik-baik saja.
Semuanya oke kok."
Atau begitulah nanti, pikir Brady dalam hati, begitu aku
menemukan Rosha.
"Kau yakin?" tanya Allie. "Kau kedengaran aneh."
Memang, jawab Brady dalam hati. Aneh karena sedang tergilagila pada cewek yang tidak bisa kutemukan! Dan aku harus
menemukannya. Aku harus bertemu lagi dengannya.
"Brady, kau dengar tidak?" tanya Allie. "Kubilang kau
kedengaran aneh."
"Aku dengar," sahut Brady. "Maaf, Allie. Aku agak capek.
Mungkin itulah sebabnya mengapa aku terdengar aneh."
"Mungkin sebaiknya kau ke dokter," usul Allie. "Atau
setidaknya berbaring sebentar."
"Berbaring?ide bagus," sambar Brady. "Kurasa aku akan
melakukannya sekarang."
"Oke, tapi sebelumnya aku hanya ingin menyampaikan bahwa
aku sudah menuliskan untukmu catatan hasil belajar bersama dengan
Jon tadi. Akan kuberikan kepadamu besok, oke?"
"Tentu. Bagus." Brady melirik ke arah pintu dengan tidak sabar.
Ia tidak bisa memikirkan soal catatan atau belajar sekarang ini. Ia
hanya ingin mengambil buku telepon dan mulai mencari nomor
telepon Rosha. "Trims, Allie. Sampai ketemu di..."
"Oh, satu hal lagi," potong Allie. "Soal malam Minggu."
Tubuh Brady mengejang. Apa yang diketahui Allie tentang
malam itu? Apakah Jon bercerita tentang Rosha padanya? "Malam
Minggu," tanya Brady, berusaha agar tetap terdengar tenang. "Apa
maksudmu?"
"Malam Minggu depan, ingat? Di rumah Mei?"
Malam Minggu depan. Bukan kemarin malam. Brady
mengembuskan napas lega.
Tapi pikirannya mendadak kosong. Mei? Satu-satunya nama
yang ada dalam benaknya kini hanyalah Rosha. Mei, Mei... Mei
Kamata. Benar, ia salah seorang teman Allie.
"Brady, kau masih di situ?" tanya Allie tajam.
"Tentu. Ada apa dengan Mei?"
"Ia akan mengadakan pesta di rumahnya malam Minggu
depan," Allie mengingatkan. "Dan kita diundang."
"Masa?"
"Brady, aku kan sudah memberitahumu minggu lalu," pekik
Allie. "Yakin kau tidak apa-apa? Benjolan di kepalamu itu..."
Brady duduk di tempat tidur. Konsentrasi, man, ia memerintah
dirinya sendiri. "Maaf, Allie. Aku cuma capek. Tentu aku ingat soal
pesta itu."
"Oke. Semula rencananya hanya pesta biasa saja, kan?" lanjut
Allie. "Putar musik, makan-makan, dan semacamnya. Tapi lalu Mei
ingat? ada sebidang tanah kosong di ujung blok rumahnya, dan
setiap musim dingin warga di sekitarnya mengairi tanah lapang itu dan
airnya lantas membeku menjadi es."
"Lalu?" Brady mengetuk-ngetukkan kakinya.
"Lalu semua orang main skate di situ," sambung Allie. "Jadi,
Mei memutuskan untuk mengadakan pesta skate."
"Kedengarannya asyik." Ia kan bisa saja memberitahukan hal
ini di sekolah, pikir Brady. Pesta itu masih hampir seminggu lagi.
"Bagus. Kau punya sepatu skate, kan?" tanya Allie.
"Tentu." Entah di mana. "Akan kucari nanti."
"Brady..." Allie ragu-ragu sejenak. "Kau kenapa sih? Kau
seolah tengah melayang-layang jauh. Ada yang mengganggu
pikiranmu?"
Rosha yang mengganggu pikiranku, pikir Brady. Di mana pun
ia berada, ke situlah pikiranku melayang. "Aku cuma tidak bisa
berkonsentrasi sekarang ini," kata Brady. "Kupikir aku akan tidurtiduran dulu."
"Wow. Kasihan kepalamu!" seru Allie. "Istirahat saja, Brady.
Sampai ketemu besok."
"Sampai besok. Bye, Allie." Brady membanting gagang telepon
dan bergegas menyusuri koridor menuju ke kamar tidur kedua
orangtuanya, untuk mengambil buku petunjuk telepon.
Begitu kembali ke kamarnya, ia menutup pintu dan duduk di
tempat tidur dengan pesawat telepon di atas pangkuannya dan buku
telepon terbuka di sampingnya.
Nelson, A., di Melinda Lane, adalah nama yang berada di
urutan paling atas.
Brady menekan nomor telepon yang tercantum dan dijawab
oleh mesin penjawab. Ditutupnya telepon. Tidak terpikir olehnya
untuk meninggalkan pesan. Kalau itu bukan rumah Rosha, si penerima
tidak akan menggubris pesannya.
Ia menuliskan tanda tanya di sebelah nama Nelson, A., dengan
pensil dan beralih ke nama berikutnya.
Ia membiarkan telepon berdering selama sepuluh kali sebelum
menutupnya.
Teleponnya yang ketiga diangkat oleh seorang pria. "Eh, hai!
Ada Rosha?" tanya Brady.
"Siapa?" tanya pria itu dengan suara keras. "Joshua, katamu?"
"Bukan. Rosha," ulang Brady.
"Tidak ada yang bernama Rosha di sini," jawab pria. itu.
"Joshua juga tidak ada." Ia menutup telepon.
Bisa seabad kalau begini caranya, pikir Brady.
Tapi tidak apa-apa, katanya dalam hati. Aku rela melakukan apa
saja demi menemukan Rosha.
Brady menelusuri isi halaman itu dengan jari telunjuknya dan
menemukan nama berikutnya. Ia baru akan mengangkat gagang
telepon ketika telepon itu berdering.
Sesaat tangannya mencengkeram gagang telepon kuat-kuat.
Rosha? Tidak, mungkin Allie. Ada saja yang selalu lupa ia sampaikan.
Ia selalu harus menelepon kembali satu-dua kali. Kali ini mungkin
soal pesta Mei lagi.
Namun tetap saja jantungnya berdebar-debar sewaktu
tangannya mengangkat telepon. Bisa saja itu Rosha. "Halo?"
Sunyi. Tapi ia bisa mendengar desah napas seseorang. "Halo?"
ulangnya. "Brady."
Suara cewek.
Tapi bukan suara Allie. Juga bukan suara Rosha. Ia tidak
mengenali suara itu.
"Siapa ini?" tanya Brady. "Halo?"
"Aku ada di sini, Brady," jawab cewek itu. "Dan aku punya
pesan untukmu."
"Siapa sih ini?" tanya Brady lagi.
"Jangan dekati Rosha," bisik cewek itu.
"Maaf?" Brady duduk tegak-tegak. "Mau bercanda ya?"
"Aku tidak main-main, Brady." Suara cewek itu makin keras.
"Ini peringatan. Jangan dekati Rosha."
"Siapa ini?" desak Brady lagi. "Teman Allie? Siapa kau?"
Telepon berbunyi klik.
Sunyi. Lalu terdengar nada panggil.
Bab 10 SEUSAI sekolah keesokan harinya, Brady bergegas
menghampiri locker-nya, ingin segera pergi dari situ. Disentakkannya
jaketnya dari gantungan dan cepat-cepat dipakainya seraya berlari
menembus kepadatan koridor sekolah.
"Brady, tunggu!"
Mendengar suara Allie, Brady mengerang. Hal terakhir yang ia
inginkan sekarang adalah bicara dengan Allie.
Ia menoleh ke belakang dan melihat gadis itu di ujung koridor,
menyelinap di sela-sela gerombolan murid untuk mendekatinya.
Sambil mengerang pelan Brady menyingkir dari kerumunan dan
bersandar di deretan locker.
Ia mengamati wajah Allie sementara menunggu gadis itu tiba di
tempatnya. Wajahnya tersenyum, seperti saat makan siang tadi. Sama
sekali tidak ada tanda-tanda ia tahu tentang Rosha.
Tapi penelepon gelap itu memperingatkan dirinya untuk tidak
mendekati Rosha?pelakunya pasti salah satu teman Allie. Hanya saja
temannya itu tidak memberitahu Allie.
Tepatnya belum.
"Aduh. Capek sekali aku hari ini," Allie mengerang begitu tiba
di sisi Brady. "Aku tidak sabar ingin cepat-cepat pergi dari sini."
"Yeah, aku juga," Brady sependapat, matanya menatap pintu
yang mengarah ke lapangan parkir khusus para murid.
"Aku tahu. Ayo kita pergi makan junk food," usul Allie. "Lalu
kita pergi ke rumahku dan belajar bersama untuk ulangan biologi
pertengahan semester nanti."
Brady menggeleng. "Aku tidak bisa, Allie."
"Kenapa tidak? Kau mengkhawatirkan ulangan biologi itu
selama berminggu-minggu," tukas Allie mengingatkan. "Oh, tunggu?
kepalamu sakit lagi?"
"Tidak, tapi aku..."' Brady memutar otak. "Aku harus cari kerja,
kau ingat? Jadi aku ingin langsung pulang dan mencari iklan
lowongan kerja di koran."
Alasan yang lemah, pikirnya. Benar-benar lemah. Ia berharap
bisa lebih lihai berbohong.
Allie mengerutkan kening. "Kenapa kau tidak pergi ke kantor
B.E saja? Di sana ada daftar lowongan kerja yang tersedia untuk
murid-murid Shadyside."
"Sudah kulihat semuanya," kata Brady berbohong. "Yang ada
hanya lowongan untuk menjadi penjaga anak atau menyekop salju.
Aku menginginkan pekerjaan yang lebih banyak mendatangkan uang."
"Oh. Tapi kau kan bisa mencarinya di koran di rumahku," kata
Allie tak mau kalah.
Mengapa ia tidak membiarkan aku pergi? tanya Brady dalam
hati. "Memang, tapi lebih baik aku pulang saja. Mom menyuruhku
mengerjakan setumpuk pekerjaan rumah tangga?sebagai bagian dari
hukumanku karena merusak mobil Dad."
"Oke. Sampai ketemu besok, Brady." Allie menyunggingkan
senyum simpati.
Sekaligus kecewa.
Sewaktu meninggalkan Allie berdiri sendirian di koridor, Brady
merasa bersalah. Haruskah ia memberitahu Allie mengenai Rosha dan
memutuskan hubungan mereka?
Jangan. Jangan dulu. Ia harus menemukan Rosha terlebih dulu.
Dan memastikan hubungan mereka baik-baik saja. Baru setelah itu ia
memberitahu Allie.
Tapi bagaimana? Bagaimana caranya menemukan Rosha? Ia
sudah menelepon paling tidak dua puluh keluarga yang bernama
Nelson kemarin, tanpa hasil. Sekarang yang ada dalam pikirannya
hanyalah pulang dan mencoba lagi.
Dengan perasaan ingin cepat-cepat sampai di rumah dan mulai
menelepon, Brady membanting pintu sekolah. Sementara ia
melenggang menuju lapangan parkir, mendadak ia teringat sesuatu.
Rosha bersekolah di St. Ann's.
Begitu katanya saat mereka pertama kali bertemu di Pete's
Pizza. Brady merasakan senyum merekah di wajahnya. Dulu ia pernah
berkencan dengan cewek St. Ann's juga. Ia ingat pernah menunggu
cewek itu sepulang sekolah.
Jam pulang St. Ann's lebih lambat setengah jam daripada
Shadyside High.
Dalam sepuluh menit ia bisa sampai di sana, lalu memarkir
mobilnya di seberang jalan dan menunggu Rosha.


Fear Street Mabuk Kepayang Perfect Date di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ketika Brady melangkah tergesa-gesa di antara deretan mobil
yang diparkir, matanya sekilas menangkap rambut merah Jon,
beberapa deret jauhnya. "Jon, hei!" teriaknya. "Tunggu sebentar!"
Jon melambaikan tangan.
Brady berlari menghampiri. "Senang bertemu denganmu," kata
Brady dengan napas terengah-engah. "Aku butuh bantuanmu."
"Tentu. Ada apa?"
"Ayo ke St. Ann's. Kita cari Rosha," ujar Brady seraya
menyambar lengan Jon dan menariknya ke arah mobilnya. "Aku akan
menunggu di gerbang depan dan kau parkir di belakang. Dengan
begitu, salah seorang dari kita pasti akan melihatnya."
"Tunggu dulu." Jon menghentikan langkahnya. "Aku tidak bisa
pergi ke St. Ann's sekarang. Dua puluh menit lagi aku sudah harus
sampai di Doughnut Hole. Lagi pula..."
"Dua puluh menit cukuplah?asal kita pergi sekarang," desak
Brady. "Ayo, cepat!"
Jon tidak bergerak sedikit pun. "Ini gila."
Brady melotot. "Kau ngomong apa sih? Kau kan tahu
bagaimana perasaanku terhadap Rosha."
"Yeah, tapi aku tidak mengerti," sergah Jon.
"Kau tak perlu mengerti!" Brady nyaris berteriak. "Kau cuma
perlu membantuku!" Disambarnya bagian depan jaket Jon dan
ditariknya. "Ayolah, man. Kita pergi!"
"Sadarlah, Brady!" Jon melepaskan cengkeraman tangan Brady
dan menepiskannya. "Kau benar-benar edan! Berbohong pada Allie,
merusak mobil ayahmu, mengintai di St. Ann's. Jangan bertingkah
seperti orang tolol yang mabuk kepayang. Dia kan cuma cewek
biasa!"
Dengan marah Brady mendorong dada Jon. "Jangan ngomong
sembarangan!" Sekali lagi ia mendorong Jon.
Jon terhuyung-huyung ke belakang, nyaris terjatuh. Parasnya
yang semula ramah dan jujur, berubah gelap karena marah.
Dicengkeramnya pergelangan tangan Brady. "Sebaiknya kau segera
pergi, Brady," gumamnya dengan gigi-gigi terkatup rapat. "Jangan
sampai kau terlambat gara-gara berkelahi denganku!"
Dengan tatapan jijik Jon menepiskan tangan Brady dan
melangkah pergi.
Brady berbalik dan dengan marah berlari ke mobilnya.
Dihidupkannya mesin, dan dengan suara meraung mobil itu
menghentak keluar dari lapangan parkir, menghamburkan es dan salju
kotor ke segala arah.
Cuma cewek biasa? Jelas Jon sama sekali tidak mengerti.
Rosha bukan sekadar cewek.
Ia sempurna.
Ketika mobilnya berhenti di depan lampu merah, Brady
menghantam kemudi dengan kepalan tangannya. Ia tidak percaya Jon
bisa berkata begitu tadi. Sahabatnya sendiri, mengatainya mabuk
kepayang. Orang tolol. John membuatnya kecewa.
Lampu berganti hijau. Matanya melirik kaca spion sementara ia
melarikan mobilnya.
Sebuah mobil polisi muncul di belakangnya.
Apakah ia melarikan mobilnya terlalu cepat?
Dengan gugup Brady melirik kaca spion lagi. Mobil patroli itu
menyalakan lampu sein dan membelok ke kiri pada blok berikutnya.
Brady bernapas lebih lega dan memerintahkan dirinya untuk
bersikap tenang. Ia tidak boleh mengambil risiko. Jangan sampai
dirinya terjerat masalah hanya karena ia marah. Ia harus melupakan
Jon. Melupakan segalanya dan memusatkan pikiran untuk
menemukan Rosha.
Sepanjang sisa perjalanan ia terus-menerus dihadang lampu
merah. Lima menit kemudian ia menghentikan mobilnya di seberang
gedung sekolah St. Ann's.
Bangunan sekolah itu sudah tua, bertingkat tiga, dibangun dari
bata merah. Tangga batu yang curam mengarah ke pintu-pintu depan,
yang sekarang masih tertutup.
Brady memeriksa jamnya. Beberapa menit lagi sekolah akan
bubar. Ia turun dari mobil dan duduk di atas kap mesin. Matanya
tertuju ke pintu-pintu depan sekolah.
Telinganya tidak mendengar bunyi bel tapi sejurus kemudian
pintu-pintu terbuka dan segerombolan anak berhamburan keluar dari
sana. Mereka bergegas-gegas menuruni tangga, membentuk lautan
warna-warni jaket musim dingin.
Brady naik ke kap mesin dan berusaha mencari Rosha di antara
keramaian anak sekolah yang berhamburan keluar gedung.
Itu dia! Cewek itu berjalan di trotoar, menuju ke arah yang
berlawanan! Brady tidak bisa melihat wajahnya, tapi rambutnya persis
sekali. Panjang dan pirang, tergerai berombak-ombak di
punggungnya.
Brady meloncat turun dari kap mesin dan berlari ke seberang
jalan. "Rosha!" Ia menyelinap menembus kerumunan, melompat ke
trotoar, dan berseru memanggil nama cewek itu lagi. "Rosha, tunggu!
Rosha!"
Cewek itu menoleh.
Dia bukan Rosha. Mirip pun tidak.
Brady terenyak, berhenti. Mulutnya ternganga, memandang
gadis itu seperti orang tolol.
Gadis itu mengerutkan kening dan meneruskan langkahnya.
Brady memandang berkeliling. Suasana sudah agak sepi karena
anak-anak lain sudah naik ke mobil masing-masing atau menumpang
bus. Dilihatnya ada tiga cewek lagi yang berambut pirang. Tapi
Rosha tak ada di antara mereka. Mungkin saja ia keluar lewat pintu
belakang, pikir Brady. Ia mungkin naik bus atau berjalan kaki pulang
ke rumahnya, entah di mana.
Brady menghantam kap mesin dengan kepalan tangannya.
Sekarang bagaimana? Pulang dan menghubungi semua orang yang
punya nama Nelson? Atau berharap Rosha meneleponnya?
Ia tidak tahan.
Ia harus menemukan gadis itu. Hari ini juga!
Dengan putus asa, Brady bergegas menaiki tangga depan St.
Ann's dan masuk ke koridor utama. Beberapa gelintir murid yang
belum pulang, mengobrol di depan locker masing-masing. Ia bisa
menanyakan Rosha pada mereka.
Tapi, mendadak terpikir olehnya gagasan lain yang lebih baik.
Brady bergegas menyusuri koridor dan sambil berjalan ia membaca
tulisan yang terpampang di depan pintu-pintu. Sesampainya di kantor
kepala sekolah, ia menarik napas dalam-dalam dan menghambur
masuk. Seorang sekretaris berwajah tegas mendongak dari
kesibukannya di depan komputer.
"Ya?"
"Saya harus menemui teman saya?murid sekolah ini," kata
Brady, berusaha agar suaranya terdengar serius dan prihatin.
"Namanya Rosha Nelson. Mungkin Anda bisa memberitahukan
apakah dia masih ada di sini. Atau kalau dia sudah pulang, saya
membutuhkan nomor teleponnya."
Wanita itu mengamatinya dengan tatapan curiga. "Kalau dia
memang temanmu, kau pasti punya nomor teleponnya."
"Eh... ya, tapi nomornya hilang," sahut Brady cepat. "Ini darurat
dan saya bingung sekali. Dapatkah Anda mencarikannya di komputer?
Ini penting sekali."
"Maaf, anak muda. Tapi saya tidak dapat memberikan informasi
apa pun mengenai murid-murid sekolah ini," wanita itu
memberitahukan. "Itu bertentangan dengan kebijakan sekolah."
"Tapi saya temannya, dan ini darurat!"
"Kalau begitu, saya usulkan kau menghubungi polisi. Saya
benar-benar tidak dapat membantumu. Maaf." Wanita itu memutar
kursinya kembali menghadap komputer dan mulai mengetik lagi.
Dengan mengertakkan gigi Brady berbalik dan meninggalkan
kantor itu. Didorongnya pintu depan dan ia berhenti di puncak tangga.
Matanya menyapu trotoar, berharap akan melihat Rosha.
Tapi hanya seorang anak yang masih tinggal, berdiri di samping
bangku halte bus.
Seorang cowok yang mengenakan jaket St. Ann's berwarna
perak dan biru.
Brady tersenyum sendiri.
Kalau ada cowok yang tidak memperhatikan Rosha, ia pasti
buta. Yang satu ini mungkin tidak mengenal Rosha. Tapi Brady berani
bertaruh ia pasti pernah melihatnya.
Cowok mana pun yang pernah melihat Rosha, pasti akan ingat
terus padanya. Rosha tidak mungkin dapat dilupakan.
Brady cepat-cepat menuruni tangga dan bergegas ke halte bus.
"Hei, aku punya masalah," katanya pada cowok yang menunggu di
sana. "Aku harus menemui teman cewek yang bersekolah di sini.
Mungkin kau kenal?namanya Rosha Nelson."
Cowok itu langsung menggelengkan kepala. "Aku tidak pernah
dengar nama itu. Aku pasti ingat kalau ada murid yang bernama aneh
seperti itu."
"Yeah, baiklah," kata Brady. "Tapi kalau aku menggambarkan
ciri-cirinya, kau pasti tahu siapa yang kumaksud. Itu sudah pasti."
Dengan cepat ia menggambarkan ciri-ciri Rosha. "Kau tahu
sekarang?"
Cowok itu menggeleng lagi.
"Ah, yang benar saja!" protes Brady. "Tidak mungkin ada
cewek lain yang seperti itu di St. Ann's."
"Tidak ada satu pun murid cewek seperti itu di St. Ann's," tukas
cowok itu. "Ini sekolah kecil. Kalau cewek yang kaucari itu memang
bersekolah di sini, aku pasti tahu. Percayalah."
"Tapi katanya ia bersekolah di sini!" Brady nyaris berteriak.
"Yeah, nyatanya tidak." Cowok itu memalingkan wajahnya dan
memandang bus yang meluncur ke arah mereka dari ujung jalan.
"Aku tidak percaya!" teriak Brady. Direnggutnya cowok itu dan
dihadapkannya padanya. "Kau bohong! Rosha bersekolah di St.
Ann's! Sekarang beritahu aku di mana dia!"
Brady tahu ia sudah sinting, tapi ia tidak bisa mengendalikan
diri. "Katakan padaku di mana dia!" teriaknya. Tanpa sadar Brady
mendorong cowok itu. Dan melihatnya terjengkang ke trotoar.
Mata cowok itu membelalak lebar. Ketakutan.
Brady mengepalkan tinjunya.
Apa yang kulakukan? tanyanya dalam hati. Aku sudah gila.
Aku benar-benar sudah gila.
Tapi anak ini pasti kenal Rosha. Dan aku akan membuatnya
mengatakan yang sebenarnya.
Bab 11 "KAU gila ya?" Cowok itu cepat-cepat berdiri, menepiskan
salju kotor dari jaket sekolahnya. Matanya membelalak kaget.
"Kenapa sih kau ini?"
Brady mengangkat tinjunya, siap menghantam sampai cowok
itu mau terus terang. Tepat saat itu bus berhenti dengan suara berdecit
di sebelah mereka, menyemburkan asap knalpot.
Cowok itu melesat melewati Brady dan meloncat naik ke bus,
matanya memelototi Brady dari balik bahunya. Pintu bus tertutup
secara otomatis, dan bus mulai bergerak.
Brady berdiri sendirian di sudut jalan dengan bingung dan
marah. Rosha bilang ia bersekolah di St. Ann's. Kata-kata cewek itu
serasa terngiang-ngiang di telinganya!
Brady mengerang mengingat suara Rosha yang rendah dan
serak-serak basah.
Kapan ia akan mendengar suara itu lagi?
Di manakah dia?
Aku benar-benar gila, pikir Brady. Cowok malang tadi mengira
aku sinting.
Well, mungkin memang benar.
Brady menoleh kian kemari di sepanjang trotoar. Tidak ada
siapa pun. Dibenamkannya kedua tangan ke saku jaket dan ia
menyeberang jalan ke arah sekolah. Ia bergegas menyusuri jalan
setapak yang mengarah ke bagian belakang gedung.
Ia ingat lapangan football St. Ann's terletak di belakang.
Itu dia lapangannya, tertutup hamparan salju kelabu yang
mencair. Brady mulai beranjak pergi.
Tapi matanya menangkap sesosok tubuh yang berdiri di bawah
keteduhan bayang-bayang di seberang lapangan.
Seorang cewek.
Cewek itu berdiri memunggungi Brady, jadi ia tidak bisa
melihat wajahnya. Kepalanya tertutup topi rajutan. Beberapa helai
rambut keluar dari topi itu dan melambai-lambai tertiup angin.
Brady tidak bisa melihat apakah rambutnya pirang atau bukan.
Yang jelas rambutnya panjang. Sama panjang dengan rambut
Rosha. Jantung Brady berdetak kencang saking girangnya.
Dikeluarkannya kedua tangan dari saku jaket dan ia berlari
menyeberangi lapangan. Ketika semakin dekat, dilihatnya topi rajutan
yang dipakai cewek itu berwarna ungu.
Warna kesukaan Rosha.
Dan rambutnya memang pirang.
Itu Rosha! pikir Brady, berlari sekencang mungkin. Pasti dia!
"Rosha!" teriaknya sambil berlari. "Hei, Rosha!"
Cewek itu tidak menoleh.
"Rosha!" teriak Brady. Sambil nyengir penuh harap, ia
menerjang maju dan menyambar lengan cewek itu.
Ketika Brady menghadapkan cewek itu ke arahnya, sinar
matahari musim dingin yang lemah menerpa wajahnya.
Wajah yang penuh bekas luka mengerikan.
Bab 12 BRADY melepaskan pegangannya dan terenyak mundur,
jantungnya berdegup kencang, memukul-mukul gendang telinganya.
Ia pernah melihat cewek ini sebelumnya. Waktu ia berkencan
dengan Rosha. Saat itu ia berdiri di bawah bayang-bayang teras
bioskop. Memandanginya.
Memandanginya dengan mata berkilat-kilat sementara
wajahnya tertutup parut yang bertonjolan dan bersilangan.
Brady merasa jijik. Sekaligus kasihan. Juga takut.
Wajahnya bahkan tidak kelihatan seperti wajah manusia, pikir
Brady. Selama beberapa detik, Brady berdiri terpaku di rerumputan
yang membeku di lapangan football, memandangi wajah yang
mengerikan itu.
Dan kemudian mata cewek itu bersinar lebih cerah dari balik
kelopaknya yang berlipat-lipat. Ia hendak bicara!
Tidak! pikir Brady. Ia tidak tahu mengapa, tapi ia tidak tahan
membayangkan dirinya harus mendengarkan cewek itu. Ia cepat-cepat
berbalik, membelakangi. Ketika ia membungkukkan bahu dan
bergegas menjauh, ia bisa merasakan tatapan cewek itu tajam
menghunjam ke arahnya.
Memandanginya lagi.


Fear Street Mabuk Kepayang Perfect Date di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ia mulai berlari.
Sesampainya di seberang lapangan, ia menoleh.
Cewek itu masih berdiri di sana, memandanginya.
Brady terus berlari, menyusuri tepi gedung dan menyeberangi
jalan. Sementara ia bergegas di trotoar, ia menoleh ke belakang sekali
lagi. Dan menabrak sesosok tubuh yang menapakkan kaki ke atas
trotoar dari belakang mobilnya.
Sosok itu memiliki mata hijau dan rambut pirang panjang yang
tergerai melewati bahu hingga ke jaketnya yang berwarna plum.
"Rosha!" Brady terkesiap.
"Brady, hai!" Rosha tertawa dan berpegangan pada lengan
Brady agar tidak terjatuh. "Aku tidak percaya! Sedang apa kau di
sini?"
"Aku datang untuk mencarimu." Brady meremas tangan Rosha
dan menoleh lagi ke belakang. Apakah cewek bermuka parut itu
mengikutinya?
"Ada apa?" tanya Rosha.
"Ada cewek." Brady berpaling kembali pada Rosha. "Aku
melihatnya waktu kita keluar dari bioskop malam Minggu kemarin.
Dan kemudian aku melihatnya lagi beberapa menit yang lalu, sedang
berdiri di lapangan. Ia membuatku ngeri."
"Kenapa?"
"Karena wajahnya." Brady bergidik ketika menggambarkan
bekas-bekas luka yang mengerikan itu.
Rosha ikut bergidik dan berdiri lebih dekat. "Lupakan saja,
oke?"
"Kau kenal dia?" tanya Brady. "Maksudku, dia berdiri di
lapangan football St. Ann's, jadi kupikir kau mungkin pernah bertemu
dengannya di sekolah."
Rosha menggelengkan kepala. "Tidak pernah. Aku tidak kenal
cewek yang wajahnya berparut."
"Tapi..." Brady terdiam.
Rosha memiringkan kepala dan menatapnya. "Ada apa?"
"Aku datang ke sini untuk mencarimu," Brady menjelaskan.
"Tapi sekretaris kepala sekolah tidak mau memberitahukan nomor
teleponmu maupun keterangan lainnya. Dan kemudian aku bertemu
seorang murid cowok di luar. Katanya kau tidak bersekolah di sini."
"Jadi?" Rosha terus menatapnya.
"Aneh, itu saja," kata Brady. "Maksudku, aku tidak percaya
padanya. Nyaris saja kuhajar dia." Ia mengerutkan kening. "Tapi, aku
tidak mengerti. Kenapa dia tidak mengenalmu?"
"Keterlaluan!" bentak Rosha. "Jadi kau datang ke sini untuk
mencari keterangan tentang aku?"
Brady memandangnya, tercengang melihat kemarahannya.
"Untuk apa aku berbuat begitu?"
"Mana aku tahu!" semprot Rosha. "Aku bersekolah di St. Ann's,
oke? Aku anak baru. Belum banyak yang kukenal. Memangnya
kenapa kalau cowok yang kautanyai itu belum pernah melihatku?
Mengapa kau lebih percaya padanya daripada aku?"
"Aku tidak percaya padanya!" teriak Brady. "Aku cuma bilang
itu aneh, itu saja!"
"Tidak! Kau yang aneh, Brady!" teriak Rosha. "Mencari
keterangan tentang aku. Bertanya pada orang tak dikenal tentang aku.
Kau benar-benar aneh!"
Sebelum Brady sempat memprotes, Rosha berbalik dan berjalan
pergi. Bab 13 DENGAN tercengang, Brady memandangi kepergian Rosha.
Dasar goblok! makinya dalam hati. Kenapa sih kau ini? Ia
pergi, deh! Cepat kejar dia dan minta maaflah padanya!
Perintah dari otak Brady akhirnya sampai juga ke kakinya. Ia
berlari ke seberang jalan, mengejar Rosha dan menyambar lengannya.
"Rosha, maafkan aku!" serunya dengan nada putus asa. "Please.
Aku tidak bermaksud membuatmu marah. Aku tidak mencari
keterangan tentang dirimu. Mungkin kedengarannya begitu, tapi
sebenarnya tidak!"
Rosha diam saja. Tapi ia juga tidak menarik tangannya.
"Aku cuma sangat ingin bertemu denganmu," sambung Brady.
"Ketika aku tidak bisa menemukanmu, kurasa aku jadi sedikit gila.
Pelangi Dilangit Singosari 29 Pendekar Mabuk 019 Pembantai Berdarah Dingin Seruling Haus Darah 11

Cari Blog Ini