Melanie Karya V. Lestari Bagian 2
membuat lelaki besar kepala!" katanya dengan emosi.
99 / 460 Rifai kaget. "Oh, maaf, An. Saya salah ngomong."
"Ya. Itulah salah satu ciri kemunafikan. Sebenarnya
kamu nggak salah ngomong, karena kamu benar-benar
menyuarakan isi hatimu yang sebenarnya, bukan?"
Rifai tersipu. Kursinya terasa panas.
Sementara itu, di ruang sebelah Diah terkaget-kaget
mendengarkan pembicaraan Melanie. Hampir dia tak
mempercayai pendengarannya. Ternyata putrinya
memiliki banyak hal terpendam yang tidak
disadarinya. Dia berharap ayahnya tidak cepat-cepat
kembali untuk menariknya dari situ. Dia bertekad akan
mendengarkan terus sampai pembicaraan itu selesai.
Di teras, kedua orang itu sejenak berdiam diri.
Lalu Rifai bicara lagi, "Tadi katamu kita tidak cocok.
Bagaimana kamu bisa mengetahui kalau kita belum
saling mengenal dengan baik?"
"Dari kepura-puraanmu!"
Rifai kaget. Dia sampai tersentak dari duduknya.
Apakah Melanie sudah mengenalinya?
"Ya. Kamu berpura-pura mencintai tanaman. Padahal
tidak, bukan? Bagaimana mungkin ada orang
mencintai tanaman tapi jijik memegang tanah! Ya,
kamulah itu. Saya tahu karena dulu saya seperti itu
juga. Memang ada saja orang yang suka tanaman tapi
100 / 460 sukanya cuma melihat saja. Tapi kamu memberi kesan
lebih dari itu karena kamu memahami cara bertanam
yang lebih hebat daripada cara saya sendiri!"
Walaupun lega karena kecemasannya tidak beralasan,
tapi Rifai merasa malu. Dia tak bisa membantah karena
sadar tak ada gunanya. Ternyata dia tidak sepintar
anggapannya.
Melanie merasa iba melihat kumis Rifai bergetar.
Tatapannya melembut dan bicaranya tak lagi
emosional.
"Bagaimanapun kamu melakukan itu semua karena
ingin menarik perhatianku, bukan? Kamu sudah
bersusah-payah begitu rupa. Saya tahu, betapa
susahnya berbuat seakan menyukai sesuatu padahal
sama sekali tidak menyukainya!"
Rifai merasa tersindir. Dia tak tahu mesti bilang apa.
Melanie masih melanjutkan, "Tapi saya berterima
kasih untuk segala jerih-payahmu itu, Ton. Usahamu
itu betul-betul hebat. Kalau tak ada sesuatu pendorong
mustahil kamu mau bersusah-susah seperti itu.
Sungguh saya menghargai usahamu."
Rifai tertunduk. "Saya menyesal, An," katanya lirih.
"Tak usah menyesal, Ton. Kamu kan sudah melakukan
sesuatu yang baik. Saya juga nggak menyesal."
101 / 460 Rifai sadar, tak ada gunanya lagi dia berlama-lama. Dia
sudah gagal.
Di ruang sebelah, Diah berlari pergi.
102 / 460 IX Melanie sedang asyik dengan kegiatannya di kebun
ketika seorang karyawan mendekatinya. "Neng Anie,
ada surat dari Pak Tony," katanya sambil menyodorkan
amplop tertutup.
"Siapa yang antar. Mang?"
"Pak Tony sendiri. Tapi dia nggak mau mampir karena
mau terus balik ke Jakarta katanya."
"Oh, ya sudah. Terima kasih, Mang."
Melanie bergegas ke teras untuk membaca surat itu.
Diah mendekat. "Surat dari Tony, An?" "Betul, Ma."
Diah akan berlalu tapi Melanie menarik tangannya.
"Duduklah di sini, Ma. Nanti Mama bisa baca juga."
Surat itu singkat saja.
"Melanie yang baik," demikian isinya. "Saya mohon
maaf sebesar-besarnya kepadamu karena selama ini
saya telah mengecohmu. Sebenarnya saya memang
berpura-pura mencintaimu dengan maksud ingin
mempermainkan saja. Saya ingin membalas dendam
karena dulu kamu telah mengirimku ke pen103 / 460 jara. Oh ya, saya sebenarnya adalah Rifai. Ingat? Kamu
tentu nggak kenal lagi karena wajah saya telah berubah.
Ternyata saya gagal mencapai maksud itu. Saya kagum
padamu. Saya sungguh respek. Sikapmu membuat saya
menyesal. Saya pun yakin, pengakuan saya ini tak akan
membuatmu shock. Kamu cukup tegar, bukan?
Padahal saya bisa saja tak usah mengaku melainkan
cukup menghilang untuk selamanya. Tapi perasaan
saya tak enak rasanya. Mungkin seumur hidup saya
akan menanggung beban itu. Mestinya saya
mengatakannya sambil berhadapan denganmu. Tapi
ternyata saya tidak cukup jantan untuk itu. Saya takut.
Sekali lagi, maafkan..."
Selesai membaca, Melanie termenung sebentar.
Sementara itu Diah memperhatikan dengan tegang. Dia
tak berani meminta surat itu untuk dibaca meskipun
ingin. Tiba-tiba Melanie tertawa keras. Terus tertawa sampai
matanya berair. Geli sekali.
Diah kaget. Tapi sebelum dia sempat bertanya, Melanie
sudah menyodorkan surat itu. Dia membaca dengan
cepat. Dia juga kaget dan merenungi isinya, tapi tidak
bisa mengerti di. mana letak lucunya.
"Jadi dia adalah Rifai. Mestinya kamu marah. Kenapa
malah tertawa?"
104 / 460 "Nggak tahu, Ma. Kok saya merasa lucu."
"Lucu? Padahal dia adalah..."
Kata-kata Diah yang geram itu dipotong oleh Melanie,
"Betul, Ma. Dia adalah Rifai. Tapi saya
kok tidak bisa membayangkan Tony seperti Rifai. Atau
kebalikannya. Memang fisiknya berubah. Tapi yang
berubah bukan cuma fisiknya. Pendeknya dia aneh.
Penjelasan dalam suratnya itu tetap tidak membuat
saya memahami apa keanehan itu. Toh saya berubah
juga. Dan mungkin dia pun menganggap saya aneh.
Bukankah selama ini dia tahu siapa saya tapi saya tidak
tahu siapa dia?"
"Jadi itu menggelikanmu?" tanya Diah tak mengerti.
"Bukan itu saja, Ma. Saya ingat bagaimana kecewanya
dia ketika saya menolaknya. Padahal dia begitu tampan
dan begitu tulus mau menerima saya seperti apa
adanya. Ah, sayang Mama nggak melihatnya."
Diah bisa tertawa sekarang. "Mama bukan
menertawakan dia semata-mata, An. Tapi Mama
senang karena kamu ternyata tidak seperti yang Mama
sangka. Kamu ternyata mampu menerima semua itu
dengan baik, bahkan mengatasinya dengan hebat.
Padahal Mama pikir kamu belum pulih."
"Oh ya?"
105 / 460 "Ya. Soalnya kamu begitu berubah. Mama menunggununggu kapan kamu kembali jadi Melanie yang dulu."
Melanie menggelengkan kepala. "Nggak mungkin,
Ma. Saya senang seperti sekarang. Bukankah itu yang
penting?"
Mata Diah berkaca-kaca. "Betul, An. Betul sekali," dia
membenarkan sepenuh hati.
*** Setelah berada jauh dari rumah Melanie, barulah Rifai
bisa bernapas lega. Dia tak lagi merasa diburu-buru
oleh kekhawatiran kalau-kalau ada yang mengejarnya
setelah menyerahkan surat itu, karena isi surat itu telah
membuka selubung dirinya.
Ada perasaan puas bahwa dia telah menulis surat itu.
Dia telah membuang bebannya jauh-jauh. Dan kalau
sekarang dia melihat ke belakang, rasanya dia telah
melakukan sesuatu yang dungu. Bodoh sekali. Tapi
anehnya dia tidak sampai menyesali kegagalannya.
Dia bersiul-siul dan bernyanyi-nyanyi kecil. Tiba-tiba
matanya juling ke pinggir. Hei, ada cewek cantik
sekali. Tubuhnya seksi. Gayanya menantang. Sesuatu
berdesir dalam dirinya. Apakah itu aliran darahnya
yang tiba-tiba mengalir lebih cepat?
106 / 460 Tanpa berpikir panjang Rifai membuka kaca mobilnya
lalu tersenyum sambil melambaikan tangan.
"Halo!" tegurnya dengan suara merayu.
Perempuan itu menoleh kaget lalu dia pun tersenyum
malu-malu tapi genit. Kentara dari matanya bahwa dia
menyukai Rifai. Sayang kemudian ada seorang pria
datang menggandengnya sambil melempar tatap curiga
kepada Rifai.
Cepat-cepat Rifai menutup kaca jendelanya lalu
melajukan kendaraannya. Kembali dia bersiul-siul
sambil melayangkan pandangnya ke kanan dan ke kiri,
menyapu segala yang ada dalam jarak pandangnya. Ah,
ternyata kota Bogor memiliki banyak wanita yang
cantik-cantik.
Baru setelah mobilnya memasuki jalan tol Jagorawi di
mana tak ada pemandangan makhluk indah lagi dia
sadar dengan kaget. Ternyata perempuan kembali
menjadi makhluk indah di matanya. Bukan kuntilanak.
Dia sudah berubah.
"Terima kasih, Melanie!" katanya keras-keras.
*** Dahlia tidak tahan lagi. Tatapnya yang tajam
menangkap kegembiraan yang lain dalam sikap Rifai.
107 / 460 Tingkah Rifai yang kegirangan itu
overacting. Mesti ada sesuatu penyebab.
dinilainya
Tapi Dahlia tetap tidak berani menanyakan. Lagi pula
apa gunanya? Kalaupun dia dibohongi dia tidak bisa
apa-apa. Apalagi dia sudah berpengalaman dalam hal
itu. Di samping suka berbohong, apa pun yang menjadi
kehendak Rifai sering kali susah ditolak.
Akhirnya dia mengajak Udin ke Bogor pada hari biasa,
di saat dia yakin Rifai tetap berada di perusahaannya.
Setibanya di sana, dia menyuruh Udin parkir di tempat
yang agak jauh dan terlindung dari rumah Melanie.
Selanjutnya Dahlia mengajari Udin untuk membeli
pisang sambil bertanya-tanya tentang seorang pria
bernama Pak Tony, karena dia yakin Rifai tentu
mengenalkan dirinya dengan nama itu. Seringkah Pak
Tony datang ke situ dan apa saja yang dilakukannya?
Tapi jangan bertanya kepada yang punya rumah
melainkan kepada karyawannya. Carilah orang yang
kira-kira bisa diajak ngobrol. Bagi-bagi rokok untuk
mengambil hatinya. Dan usahakan jangan sampai
pembicaraan didengar majikannya. Jangan pula
mengaku diri sebagai sopir melainkan ber-lagaklah
seperti orang kaya, paman Rifai. Itu pula sebabnya
kenapa Udin disuruh mengenakan pakaiannya yang
terbagus. 108 / 460 Lalu Dahlia menunggu hasil kerja Udin di mobilnya.
Cukup lama Dahlia menunggu. Akhirnya dia melihat
Udin datang dengan terengah-engah karena keberatan
menjinjing setandan pisang raja. Padahal karyawan
Pak Budi sudah menawarkan untuk membawakan
pisang itu sampai ke mobil, tapi dia terpaksa menolak
sesuai apa yang dipesan majikannya. Dahlia takut
dikenali. Bukankah ada saja orang kaya yang rendah
hati? "Nah, gimana?" tanya Dahlia tak sabar me-nunggu
sampai Udin mengatur napasnya.
"Bener, Bu."
"Bener apa? Cepat ceritanya."
"Ya, ya. Pak Tony, eh, Den Rifai memang sering
datang ke situ untuk menemui Neng Melanie, cucu
bapak yang punya kebun. Orangnya memang cakep,
Bu." Udin mengacungkan jempolnya. "Nggak heran
kalau Den Rifai naksir. Wah..."
"Sudah, sudah," Dahlia menghentikan ucapan Udin.
"Sekarang diam. Aku mau mikir."
Dahlia memerlukan waktu untuk memantapkan
keputusan yang sudah dipikirkannya sepanjang
perjalanan tadi. Apa yang harus dilakukannya seandai
nya dugaannya betul? Ternyata hasil penyelidikan
109 / 460 Udin tadi memberi kesimpulan bahwa dugaannya
memang betul. Dia harus berbuat sesuatu sebelum
terlambat.
Dahlia keluar dari mobil lalu merapikan pakaiannya
yang kusut. "Sekarang Pak Udin yang nunggu. Saya
mau ke sana," katanya sambil melenggang pergi tanpa
menunggu jawaban Udin.
Tentu saja Dahlia harus memantapkan tekadnya dulu
karena masih ingat betul bagaimana perlakuan Melanie
kepadanya tempo hari. Sekarang dia harus siap
menerima perlakuan serupa itu lagi.
Mula-mula dia diterima oleh Diah yang menatap heran
dan curiga. Tapi dengan cepat Dahlia mengatakan,
"Saya perlu bicara, Bu. Dengan Melanie juga. Ada
urusan penting."
Tapi ketika Melanie datang menemuinya Dahlia
merasa heran melihat gadis itu tidak lagi
memperlihatkan sikap garang kepadanya. Bahkan
sepertinya sudah siap menerima kedatangannya.
Mungkin dipikirnya aku mau melamarnya, pikirnya
geram. Tunggulah sampai kalian kaget. Dan karenanya
aku akan to the point saja.
Melanie Karya V. Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Begini, Bu Diah dan Melanie. Kedatangan saya ke
sini cuma mau memberitahukan bahwa lelaki yang
sering datang kemari dan mengaku bernama Tony itu
110 / 460 tidak lain adalah Rifai. Tampangnya memang sudah
berubah karena operasi. Tapi percayalah dia adalah
Rifai yang dulu."
Dahlia memperhatikan kedua orang di depannya. Tapi
dengan heran dan kecewa dia tak menemukan kejutan
di wajah keduanya. Mungkinkah mereka sudah tahu
lalu mau menerima Rifai? Dia sungguh cemas akan
kemungkinan itu. Kalaupun mereka mau menerima,
tapi dia tetap menolak!
Diah dan Melanie berpandangan sebentar.
"Memang benar Tony, eh, Rifai sering kemari. Lantas
Tante ada perlu apa?" tanya Melanie dingin.
Darah Dahlia naik ke kepala. "Jadi kamu sudah tahu
rupanya. Tapi kok masih mau menerima? Apakah itu
karena kamu tidak punya peminat lain? Padahal dulu
dia pernah... Ah, lupa kalau kamu pernah mengusirku
dulu? Aku kan ibunya! Eh, sekarang kamu mau sama
anakku! Tapi aku tidak mau! Aku tidak sudi!" Dahlia
nyerocos dengan emosi. Dia puas karena bisa
membalas perlakuan Melanie dulu.
Diah diam saja. Dia memutuskan untuk menyerahkan
persoalannya kepada Melanie.
Melanie berdiri. "Tunggu sebentar, Tante," katanya,
lalu berlari ke dalam. Ketika ia keluar
111 / 460 lagi ia membawa surat Rifai yang disodorkannya
kepada Dahlia. "Baca ini saja, Tante."
Dengan waswas Dahlia membaca surat itu. Sesaat
kemudian wajahnya menjadi pucat dan merah
bergantian. Kaget dan malu. Lemas dan gemetar. Tapi
dengan sisa keangkuhannya dia berdiri. "Baik. Kalau
begitu akan kubicarakan dengan Rifai," katanya
dengan suara yang nyaris tak terdengar.
"Tak ada lagi yang perlu dibicarakan, Tante. Semua
sudah selesai," kata Melanie.
Dahlia tak menanggapi. Yang diinginkannya hanyalah
cepat pergi untuk menyembunyikan mukanya dari
tatapan kedua orang di depannya. Dengan setengah
berlari ia keluar dan ketika tiba di mobilnya dengan
selamat ia merasa akan pingsan.
"Kenapa, Bu?" tanya Udin kaget.
"Nggak apa-apa. Ayo jalan!"
"Ke mana?"
"Pulang!"
Sepanjang jalan Dahlia menahan air matanya supaya
tidak keluar. Tapi susah sekali. Air matanya segera
menganak-sungai. Saputangannya menjadi basah.
112 / 460 Udin pura-pura tak melihat. Dia merasa tak perlu
melihat kalau tak mengerti persoalannya.
Setelah matanya mengering, pikiran Dahlia jernih
kembali. Ah, malunya tak kepalang. Tadi dia malu
karena kesalahannya sendiri. Tapi sekarang dia malu
karena sesuatu yang lain. Dan rasa malu itu lebih besar
daripada tadi padahal tak ada yang menatapnya. Dia
pengecut! Ternyata justru Rifai yang selama ini
dianggapnya tidak normal lebih berjiwa besar daripada
dia, karena mau meminta maaf. Sedang dia pergi begitu
saja. Padahal dia tahu betul, dirinya bersalah dan tidak
sepantasnya berlaku demikian. Sekarang, mampukah
dia pulang dalam keadaan seperti ini kemudian makan
tak enak dan tidur tak nyaman?
"Pak Udin! Balik!" serunya tiba-tiba.
Udin terkejut. "Balik? Ke mana, Bu?"
"Ke mana lagi? Bogor tentu!"
"Kan kita sudah di tol Jagorawi, Bu! Nggak bisa muter
di sini."
"Nggak bisa di sini, ya di sana!"
Jalan yang ditempuh menjadi amat jauh, tapi itu tidak
jadi masalah buat Dahlia. Ada hal lain yang lebih
penting. Dia ingin mencari ketenteraman jiwa di sana!
113 / 460 Tanpa bertanya-tanya lagi, Udin menujukan kendaraan
ke rumah Melanie. Dia segan bertanya karena melihat
wajah majikannya seakan tengah tenggelam dalam
renungan yang dalam. Tapi dia yakin dugaannya tidak
salah. Dan kalaupun ternyata salah majikannya itu pasti
akan bersuara.
Beberapa meter dari kebun Melanie barulah Dahlia
membuka mulutnya. "Stop!" serunya.
"Kan belum sampai, Bu!" tanya Udin heran.
"Pokoknya stop di sini!"
Mobil berhenti di tengah hujan rintik-rintik.
"Mau turun. Bu? Saya ambilin payung di belakang."
"Nggak! Saya mau diam dulu."
Udin menatap kaca spion. Tapi tak berani lama-lama.
Sesungguhnya Dahlia tengah dilanda keraguan. Waktu
yang cukup lama dalam perjalanan tadi tidak
membuatnya merasa pasti dalam ke-putusan. Sesuatu
yang menenteramkan memang ingin diperolehnya, tapi
bagaimana melakukannya? Dia tak ingin mengalami
hal-hal yang tak enak nanti. Bagaimanapun, meminta
maaf itu berarti merunduk dan merendahkan harga diri.
Dan bagaimana pula kalau usahanya itu tak mendapat
sambutan yang positif?
114 / 460 Dia merenungkan lagi perbuatan Rifai. Bukankah Rifai
juga tidak mengaku salah dan meminta maaf secara
lisan? Dahlia tersenyum karena merasa telah menemukan
jalan keluar yang paling baik. "Pak Udin! Ayo, jalan
lagi!" perintahnya.
Udin kembali terheran-heran. Tapi dia sudah mulai
terbiasa dengan kejutan. "Ke mana, Bu?" tanyanya
sambil menebak bahwa tujuan sekarang pasti Jakarta
karena pikiran sang nyonya sudah berubah lagi.
"Pokoknya sekarang jalan terus saja, nanti saja
tunjukkan di mana beloknya."
Udin tak ingin menebak-nebak lagi. Dia cuma akan
berbuat sesuai perintah.
Dahlia menuju sebuah toko kembang yang sudah
dikenalnya. Di sana dia memesan sebuah karangan
bunga anggrek yang cukup mahal untuk dikirimkan ke
alamat Melanie. Pada karangan bunga itu
disertakannya kartu namanya dengan coretan singkat,
"Mohon maaf atas segala kesalahan saya!"
Ya, katakanlah dengan bunga. Dan dia tak perlu
kehilangan muka.
115 / 460 X Sikap Melanie dingin saja.
"Orang-orang itu mengira permintaan maaf cukup
menyelesaikan segala persoalan. Buang saja kembang
itu!" katanya ketus.
Diah tertegun tak menyangka. Padahal dia menilai
sikap Melanie sesudah menerima surat Rifai, alias
Tony, sangat tenang tanpa kejutan emosional. Sedang
surat itu justru mengandung kejutan yang jauh lebih
besar daripada karangan bunga yang dikirim Dahlia.
Tapi Diah tidak protes. Dia juga merasa sebal kepada
Dahlia. Dan tentu saja dia pun tak akan bisa melupakan
kelakuan Dahlia dulu. Maka kembang yang indah tapi
malang itu dilemparnya ke dalam tong sampah setelah
menyobek kartu nama Dahlia. Cukuplah untuk
melampiaskan emosi.
Sesudah itu dia bisa merenungkan kembali peristiwa
yang telah terjadi dengan sikap yang berbeda.
Pikirannya menjadi lebih jernih dan rasional.
Keberangannya atas perbuatan Tony, yang telah
menipu mereka, dan dendamnya kepada Dahlia tidak
lagi menguasai dirinya. Semarang dia melihat atau
menilai kedua orang itu dari sudut yang berbeda. Tiba116 / 460
tiba saja" dia merasa hangat oleh rasa syukur yang
melimpah. Tidakkah mereka sesungguhnya telah
dilindungi? Tony yang semula berniat buruk tiba-tiba
saja mengubah haluan bahkan meminta maaf sekalian
membuka kedoknya sendiri tanpa diminta. Padahal
siapa menyangka bahwa dia adalah Rifai? Dan siapa
sangka Dahlia yang angkuh dan otoriter itu mau minta
maaf, walaupun lewat bunga?
Perasaan itu pun membuatnya lega. Sepertinya hari
depan menjadi lebih cerah dan lebih menjanjikan. Tapi
ketika dia menatap Melanie, kecerahan itu memudar.
Sesungguhnya dia tidak tahu apa yang dirasakan dan
dipikirkan gadis itu. Sepertinya Melanie sendiri tidak
tersentuh atau terkesan. Sebaliknya, dia masih saja
tampak emosional. Apakah itu berarti dendam dan
penyesalannya tak pernah berkurang?
Dia ingin sekali menanyakannya lalu mendiskusikan
nya dari hati ke hati. Dengan demikian barangkali dia
bisa membagi kehangatan yang dirasakannya dan dia
pun bisa mencari tahu apa sesungguhnya yang dirasa
dan dipikirkan oleh Melanie. Tapi ternyata dia tidak
berani. Sama seperti dulu dia masih saja khawatir
kalau-kalau perbuatan seperti itu malah mengorek luka
lama padahal dia tidak tahu apakah sesungguhnya luka
itu sudah mengering atau belum.
117 / 460 Jadi seperti biasa dia hanya memperhatikan dari luar
saja. Dan juga menunggu. Barangkali suatu saat
Melanie akan mau membicarakannya.
Karena itu satu-satunya orang pada siapa dia bisa
membagi perasaannya adalah ayahnya, Pak Budi.
"Kamu benar, Diah. Aku pikir juga begitu. Sampai saat
ini kita masih dilindungi."
Diah menatap dengan selidik. "Apa maksud Papa
dengan kata-kata sampai saat ini?"
"Ah, nggak apa-apa. Maksudku, kita kan nggak tahu
apa yang akan terjadi besok? Eh, jangan menuduhku
pesimis lho. Matamu berkata begitu. Aku cuma ingin
bilang, bahwa kita sendiri harus waspada melangkah.
Jangan mentang-mentang merasa dilindungi."
"Tentu saja tidak, Pa. Tapi tidakkah Papa juga merasa
bersyukur bahwa kita tak sampai terpedaya oleh si
Tony alias Rifai itu?"
"Wah, tentu saja aku bersyukur sekali. Tapi, tidakkah
terpikir olehmu apa yang akan terjadi seandainya
Melanie terpengaruh oleh godaan si Tony lalu
menerima cinta gombalnya? Bukankah apa yang telah
dilakukan lelaki itu juga disebabkan karena dia sudah
gagal? Coba kalau berhasil, ceritanya bisa lain."
Diah termangu sebentar. Dia belum berpikir ke sana.
118 / 460 "Tapi saya pikir, biarpun gagal toh dia bisa saja seperti
lelaki lain, yaitu pergi begitu saja tanpa perlu membuka
kedoknya atau meminta maaf segala."
"Memang benar. Tapi kemungkinan besar dia ter
pengaruh karena sikap Melanie sendiri. Melanie-lah
yang telah mempengaruhinya dan bukan karena dia
berjiwa besar atau karena kesadaran sendiri," kata Pak
Budi dengan bangga dan penuh keyakinan akan
cucunya. "Ya, Melanie pernah mengatakan
menganggap lelaki itu agak aneh."
bahwa dia "Instingnya tajam."
"Lelaki itu terlalu cakap. Terlalu tampan. Sama sekali
tak ada persamaannya dengan si Rifai yang saya kenal
dulu," kata Diah sambil membayangkan masa lalu.
Pak Budi tersenyum. "Jangan-jangan kau tertarik juga
padanya. Eh, maksudku, sebagai calon Melanie."
"Masalahnya bukan karena saya tertarik atau tidak, tapi
saya ingin Melanie bisa mempercayai lelaki lagi."
"Tapi penipuan si Tony itu hanya membuatnya
semakin sulit percaya. Dan dia tentu bersyukur karena
telah menolaknya. Terus terang, aku sendiri juga ingin
dia mau menerima lelaki dalam hidupnya. Kalau dia
tak mau kawin seumur hidupnya, bagaimana kita bisa
119 / 460 punya keturunan? Siapa yang akan mewarisi kebun
ini?" keluh Pak Budi.
Diah menatap mata ayahnya. Mata Pak Budi tampak
basah. Diah terkejut. Baru kali itu dia melihat ayahnya
bersikap demikian. Biasanya ayahnya selalu bersikap
tak peduli apakah Melanie akan menyukai pria lagi
atau tidak. Apakah selama itu dia cuma pura-pura saja
untuk menyembunyikan keinginan yang sesungguh
nya? Dan baru sekarang keinginan itu ditampilkan
karena keputusasaan? Atau karena merasa sudah tua?
Pak Budi memang sudah tua walaupun sehat dan cukup
kuat dalam usianya yang enam puluh tujuh. Nyatanya
dia masih kuat mengelola kebun pisangnya dan hampir
seharian menghabiskan waktunya di sana. Dan dia
selalu bersemangat. Boleh dikata tak pernah
menampakkan pesimisme. Apakah sekarang semangat
nya memudar? Karena usia atau karena Melanie
sendiri? Diah merasa tidak enak. Dia bukan saja merasa kasihan
tapi juga cemas. Situasi yang dikeluhkan ayahnya itu
pun mengganggu pikiran dan perasaannya. Apa yang
akan terjadi bila Melanie memutuskan tidak akan
menikah? Betapa akan sepinya rumah dan kebun
mereka yang luas itu. Sekarang memang belum terasa
mendesak karena Melanie masih muda. Usianya yang
menjelang dua lima itu masih penuh potensi dan
Melanie Karya V. Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
120 / 460 vitalitas. Tapi waktu tidak berhenti cuma sampai di
situ. "Papa jangan pesimis," katanya, karena merasa harus
mengatakan sesuatu.
Untuk beberapa saat lamanya Pak Budi Cuma
merenung. Matanya memandang jauh. Bibirnya
bergetar tapi tak keluar suara. Wajahnya sayu. Dalam
pandangan Diah, ayahnya itu tampak lebih tua daripada
biasanya. Sangat tua. Dan sepertinya tidak pantas lagi
berada di dunia. Pikiran yang sangat tidak menyenang
kan, dan tentu saja juga tidak diinginkan. Tapi entah
kenapa, muncul sendiri. Suatu kesan yang timbul
spontan. Lalu Diah memarahi dirinya sendiri. Kesan itu sangat
tidak patut. Tentu saja dia menginginkan ayahnya
berada bersama mereka selama mungkin.
"Apa yang Papa pikirkan?" Diah bertanya hati-hati.
Pertanyaan itu mengembalikan pikiran Pak Budi dari
alam petualangannya. Dia menggoyangkan kepala
seakan mau mengusir keresahannya. "Ah, nggak apaapa. Biasa."
"Masih soal Melanie?"
"Ya. Tapi sudahlah, hidup ini kan tak bisa lepas dari
persoalan. Tak pernah bisa."
121 / 460 "Saya juga memikirkan soal yang sama, Pa. Tapi saya
tidak berani mengemukakannya kepada Melanie.
Belum berani. Saya cuma berharap."
"Tapi sulit mendapat sesuatu kalau cuma berharap
saja."
"Benar, Pa. Tapi Melanie tampak begitu puas dan
tenteram dengan keadaannya sekarang hingga saya
tidak berani menyodorkan yang lain."
"Yah, manusia memang selalu tidak pernah puas,
bukan? Dulu kita sudah bahagia karena Melanie bisa
jadi seperti sekarang. Tapi setelah keadaan itu berjalan
tanpa perubahan kita ingin yang lain lagi."
Diah menjadi sedih. Tapi bukan semata-mata karena
keadaan Melanie seperti yang tengah dibicarakan itu,
melainkan lebih disebabkan karena sikap ayahnya.
Sikap yang membuatnya menjadi lebih pesimis!
"Barangkali Papa mau mengajaknya berbincangbincang tentang soal itu?" usul Diah.
Pak Budi menggeleng. "Aku juga tidak berani. Aku
takut nanti dia akan terusik. Sepertinya dengan
menyodorkan soal itu kita mendesak dia dengan halhal yang kita inginkan. Dan bukan apa yang dia
inginkan. Kalau begitu rasanya jadi egois. Padahal
kelihatannya dia sudah bahagia dan cukup puas dengan
keadaannya sekarang. Itu membuatku serba salah."
122 / 460 "Dia masih muda, Pa."
"Justru itu. Mumpung masih muda, kan? Kalau sudah
tua sih, tak mungkin lagi kita bicara macam-macam."
"Sabarlah, Pa. Saya akan mencoba..."
"Oh ya, Diah. Aku hampir lupa menceritakan padamu.
Beberapa hari yang lalu, waktu aku setor ke Bank
Mitra, aku ketemu si Arman Suti. Ternyata dia salah
seorang manajer di sana. Pindahan dari Jakarta."
"Arman Suti?" Diah mengingat-ingat. Tapi belum
pasti. "Tidak mengherankan. Aku sendiri juga begitu pada
mulanya. Mukanya sih ingat, tapi namanya tidak. Dia
duluan menegurku lalu dia mengenalkan namanya.
Cukup lama memang. Dua tahun yang lalu."
"Ah, saya kira-kira tahu. Cuma belum bisa
membayangkan orangnya. Tentunya dia salah seorang
yang pernah naksir Melanie, bukan?"
"Benar. Dan dia menanyakan kabar Melanie. Lalu
kirim salam. Juga kepadamu."
"Tentunya cuma basa-basi," kata Diah sambil terus
mengingat-ingat. Ternyata sulit. Baru disadarinya
sekarang, bahwa pria yang mencoba mendekati
Melanie tak sedikit jumlahnya. Satu-satu mereka
datang dan pergi untuk tak kembali lagi. Mereka semua
123 / 460 pergi setelah Melanie "membuka diri". Yang mana
gerangan si Arman Suti itu? Diah merasa tertarik untuk
mengingat kembali karena sampai saat itu tak pernah
ada di antara para pria itu yang pernah dilihatnya lagi
walaupun secara kebetulan. Sepertinya semuanya
benar-benar lenyap atau tak pernah ada.
"Orangnya tinggi, kurus, dan putih. Mukanya lonjong.
Rambutnya lurus kaku hingga kelihatannya berdiri
semua," papar Pak Budi.
Diah segera ingat. Rambut seperti yang digambarkan
ayahnya memang cuma dimiliki satu-satunya pria di
antara mantan pengagum Melanie. Rambut itu menarik
perhatiannya karena dia menganggapnya lucu.
"Ya, ya. Saya ingat," katanya sambil tersenyum. "Jadi
dia juga masih ingat kita."
"Tentu saja. Pasti dia lebih mengingat kita daripada
sebaliknya. Bahkan dia kelihatan senang sekali waktu
berbincang denganku. Ya, sama kita memang tak ada
masalah, bukan?"
"Ah, kalau dipikir sebenarnya kita pun tidak tahu apa
masalah antara dia dengan Melanie."
"Dia pergi karena masa lalu Melanie," kata Pak Budi
kesal. Karena diingatkan akan hal itu dia jadi jengkel
kepada Arman dan menyesal telah bersikap ramah
kepadanya. Tapi ketika itu Arman sangat sopan dan
124 / 460 hormat kepadanya. Apakah itu semata-mata
keramahan orang bank kepada nasabahnya?
"Tapi itu kan kata Melanie. Kita tidak tahu..."
"Kalau begitu, pasti sebabnya karena keangkuhan
Melanie saja. Atau Melanie memang tidak mau sama
dia lalu memberi alasan yang sama supaya gampang.
Masa semuanya pergi karena alasan yang sama. Masa
iya semua lelaki sekerdil itu," gerutu Pak Budi.
Sekarang dia membagi kejengkelan tadi kepada
Melanie. "Sekarang si Arman tentu sudah berkeluarga."
"Belum."
"Belum? Apakah Papa menanyakan atau dia sendiri
yang bilang?" tanya Diah ingin tahu.
"Aku yang tanya karena ingin tahu. Setelah tahu dia
belum kawin aku malah senang."
Diah tertawa. "Memangnya kenapa, Pa?"
"Itu artinya dia tidak gampang melupakan Melanie."
"Belum tentu. Siapa tahu dia memang belum laku."
"Mana bisa. Dia kan lelaki."
"Bisa saja."
"Kamu sok tahu."
125 / 460 "Mestinya Papa tanyakan. Biar pasti sebabnya," kata
Diah jengkel.
"Apa peduliku? Itu bukan urusanku. Paling kalau
ditanya dia tidak akan mengatakan yang sebenarnya."
"Ya, sudahlah. Lantas apa lagi yang dikatakannya?"
"Dia menanyakan sesuatu yang penting artinya."
"Penting? Ayolah, Pa. Cepetan bilang."
"Dia juga tanya apakah Melanie sudah kawin atau
belum."
"Lantas?"
"Setelah kujawab dia kelihatannya lega."
Diah tertawa lagi. Dia merasa curiga bahwa perkiraan
itu merupakan harapan terpendam ayahnya.
"Kamu tentu tidak percaya. Tapi aku punya feeling
kok. Sayang aku tidak bisa lama-lama berbincang
dengannya. Tapi lain kali pasti ketemu lagi."
"Kalau ditanya-tanya nanti dia jadi ge-er."
"Ah, masa iya. Tapi aku perlu tahu, apa betul semua
lelaki itu pergi hanya karena masa lalu Melanie."
"Gara-gara omongan saya tadi," keluh Diah.
"Pasti kamu sendiri kepingin tahu juga."
126 / 460 "Tapi kalau nanti sudah tahu, apa bedanya, Pa? Bagi
Melanie akan sama saja. Bagaimana kalau dia memang
tidak suka dan tidak mau?"
Sesudah berkata begitu, Diah menyesal. Dia cuma
membangkitkan kembali pesimisme ayahnya.
"Sebagai ibunya, kamu mesti berusaha juga, Diah.
Jangan membiarkan saja. Pengaruhilah dia."
"Sebegitu pentingnyakah punya keturunan, Pa? Hanya
untuk mewarisi harta?"
Pak Budi menatap tajam. Ekspresinya menyatakan
bahwa Diah tidak menggunakan otaknya dengan benar.
"Tentu saja tidak!" katanya tegas. "Yang penting
adalah untuk dirinya sendiri. Tidak terpikirkah olehmu,
bahwa aku selama ini memiliki gairah hidup dan
semangat kerja karena punya kalian? Dan kau sendiri
memiliki hal yang sama juga karena punya Melanie?
Bahkan pengorbananmu akan kariermu itu tidak
seberapa berat terasa karena kau melakukannya demi
Melanie. Tapi bagaimana dengan Melanie sendiri? Dia
tidak punya apa-apa untuk dihidupi, dibesarkan, dan
dibela! Justru adanya sesuatu yang kita sayangi itu bisa
membangkitkan semangat dan menggugah kreativitas
juga. Kita tidak cuma hidup dari hari ke hari tanpa tahu
apa yang sebenarnya mau kita capai. Nah, seperti
Melanie itu. Selama ini dia selalu berpikir dan merasa
127 / 460 dirinya saja yang jadi objek untuk dibela dan
dilindungi. Dia jadi pasif dan masa bodoh."
"Dia tidak pasif, Pa. Dia mencintai tanaman."
Pak Budi menggelengkan kepala. "Mana mungkin
tanaman bisa dibandingkan dengan anak seberapa pun
besarnya cinta kita? Anak itu kan bagian dari kita?"
Diah merasakan kebenaran kata-kata ayahnya. Tapi
justru karena itu dia jadi merasa tambah sulit.
Sepertinya semua usahanya untuk Melanie masih jauh
dari sempurna.
"Sebelum bisa punya anak dia kan harus punya suami
dulu, Pa. Nah, yang itu paling sulit."
"Kan sudah jelas masalahnya memang itu. Tapi
menurutku, yang penting Melanie harus dibuat sadar,
bahwa dia sebaiknya bersuami lalu punya anak. Ya,
yang paling penting itu adalah anak, karena seorang
suami memang belum terjamin kesetiaannya. Seperti si
Darmaji, bekas suamimu itu."
Diingatkan begitu, mau tak mau Diah jadi termenung
sebentar. Selama ini Melanie-lah yang selalu
memenuhi pikirannya hingga dia tak punya waktu
untuk memikirkan atau mengenang masalah
pribadinya sendiri.
128 / 460 Tatapan Pak Budi melembut. "Hei, aku tidak
membuatmu sedih, kan?" tanyanya dengan sesal.
Diah mengembalikan pikirannya. "Tentu tidak, Pa. Itu
sudah berlalu," jawabnya. Tapi diam-diam dia bertanya
sendiri, apakah memang demikian halnya.
"Syukurlah kalau begitu. Karena aku jadi diingatkan,
bahwa di samping bertemu dengan Arman, aku juga
melihat Darmaji di bank yang sama. Rupanya dia juga
bekerja di sana. Tapi aku tidak yakin apakah dia juga
melihatku karena dia cepat melintas."
"Mungkin saja dia kerja di situ. Sekarang banyak bank
buka cabang di Bogor."
Soal itu mengingatkan Diah akan kariernya di masa
lalu. Dan juga akan surat dari Pak Barata, mantan
bosnya dulu. Di samping menanyakan kabar, maksud
utama surat itu adalah untuk menanyakan apakah dia
masih berkeinginan untuk bekerja kembali di bank?
Ada lowongan dan kesempatan karena Bank Satria
tempat kerjanya dulu membuka cabang di Bogor,
sedang tenaga kerja terampil tak memadai. Dengan
sedikit waktu untuk belajar lagi dan penyesuaian diri
kembali dia pasti akan seterampil dulu, demikian
keyakinan Pak Barata. Tapi dia tidak ragu sedikit pun
untuk memberi jawaban. Bahkan dia juga tidak
meminta waktu untuk berpikir dulu. Dia menolak
129 / 460 tawaran itu dengan rasa terima kasih karena masih
dihargai dan diingat setelah lewat waktu sedemikian
lama. Bukan karena dia tidak yakin akan kemampuannya,
tapi karena memang tidak ingin lagi mengulang masa
lalu. Sesuatu yang menarik dan menggairahkan dari
karier itu sudah tak ada lagi. Dan jelas sangat kontras
dengan kehidupannya sekarang. Kini, sehari-hari dia
mengenakan kulot atau celana pendek selutut supaya
praktis dengan baju cukup T-shirt saja. Sementara
gaun-gaunnya yang elegan semasa menjabat eksekutif
bank cuma tersimpan saja di lemari. Barangkali dia
akan merasa asing kalau mengenakannya. Tapi juga tak
ada kerinduan. Lalu lingkungan kerjanya sekarang pun
sepi dan tenang, di bawah langit terbuka. Padahal dulu
harus berhadapan dengan orang banyak, tak hentihentinya berganti-ganti dengan ekspresi wajah yang
disesuaikan. Sekarang dia tentu tak perlu lagi berpurapura. Semua sudah berlalu. Sekarang dia tetap ingin
bersama Melanie. Ya, lebih-lebih sekarang.
Tapi surat itu tak pernah diberitahukannya kepada
ayahnya. Dia menganggap hal itu tak perlu karena
ayahnya akan mendukung keputusannya sepenuhnya.
Pak Budi memperhatikan Diah dengan tatap
menyelidik. "Darmaji kelihatan sudah tua sekali.
130 / 460 Sebagian besar rambutnya sudah putih. Dan dia tambah
kurus."
"Orang kan tambah tua terus, Pa. Kita juga semakin
tua. Saya pun sudah beruban."
"Tapi kau kelihatan jauh lebih muda dari usiamu, Diah.
Melanie Karya V. Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Segar dan sehat. Wah, kalau dibandingkan dengan
Darmaji kalian berbeda sekali."
Diah tersenyum senang. Dia menganggap ucapan itu
sebagai pujian.
"Papa juga awet muda. Padahal orang lain seusia Papa
sudah loyo."
"Ya, mudah-mudahan saja aku panjang umur. Aku
ingin melihat Melanie berkeluarga. Siapa tahu masih
sempat."
Diah kembali merasa tidak enak. Ucapan seperti itu
terasa tidak menyenangkan.
Tapi Pak Budi melanjutkan, "Berjanjilah, Diah. Kau
akan berusaha dengan segala daya untuk
mempengaruhi Melanie."
"Ya, Pa. Saya berjanji," sahut Diah serius. Tapi dalam
hati dia mengeluh dan merasa sedih. Mampukah dia?
131 / 460 XI Meskipun belum lama bekerja sama, Darmaji dan
Arman Suti sudah merasa cocok satu sama lain.
Darmaji sebagai wakil direktur dan merupakan tenaga
pindahan dari kantor pusat di Jakarta dan Arman adalah
hasil "bajakan" dari bank lain. Di samping memperoleh
fasilitas yang lebih baik dibanding semula, Arman
memang lebih suka berdomisili di Bogor.
"Bukankah orang itu Pak Budi?" tanya Darmaji setelah
Arman selesai berbincang dengan Pak Budi.
"Benar, Pak. Dia nasabah kita. Apakah Bapak
mengenalnya?"
"Tentu saja. Dia bekas mertua saya," sahut Darmaji
terus terang.
Arman kaget. "Jadi... jadi Bapak ayah Melanie?"
Sekarang giliran Darmaji yang merasa heran. "Ah, jadi
kau kenal Melanie? Memang, dia anak saya. Tapi...
sudah lama sekali saya tidak bertemu dia," katanya
dengan perasaan bersalah. Sepertinya Melanie bukan
anaknya, melainkan anak orang lain. Tak ada hubungan
batin. Tak ada apa-apa. Tiba-tiba saja dia menyesal
telah mengakui hal itu kepada Arman. Mestinya Arman
tak usah tahu bahwa dia adalah ayah Melanie.
132 / 460 Bukankah tanpa diberitahu dia takkan tahu? Tapi dia
sadar, sesungguhnya pengakuan itu muncul spontan
didorong keinginannya untuk mengetahui lebih banyak
tentang Melanie. Dengan pengakuan itu tentunya
Arman tak akan segan untuk bercerita.
"Jadi kau kenal Melanie. Di mana kenalnya? Apa
kalian masih berhubungan?" tanya Darmaji bernafsu.
"Saya mengenalnya dua tahun yang lalu, Pak. Sejak
saat itu tak pernah ketemu lagi walaupun sebenarnya
ingin."
"Lho, kenapa? Apakah sekarang dia sudah kawin?"
Darmaji segera menyesali pertanyaannya yang
terakhir. Tatapan Arman terasa aneh. Ya, tentu saja.
Mustahil sebagai ayah dia tidak tahu apa-apa. Tapi dia
memang tidak tahu. Lebih dari tujuh tahun mereka
putus hubungan.
Tapi Arman tidak menyatakan keheranannya. Dia
merasa segan untuk mengorek meskipun ingin tahu.
Sepertinya seorang bawahan tidak pantas melakukan
hal itu terhadap atasan. Lain halnya bila kebalikannya.
"Saya tidak tahu apa dia sudah kawin atau belum, Pak.
Itu juga sebabnya kenapa saya tidak berani berkunjung
ke sana."
"Kau senang padanya, bukan?"
133 / 460 Arman tersipu.
"Ya, Pak. Tapi dia tidak suka sama saya."
"Jadi dia menolakmu?"
Arman tersipu lagi.
"Begitulah, Pak. Tapi dia menolak saya secara tidak
langsung."
"Maksudmu?"
Arman menatap ragu-ragu. Sikap Darmaji yang
demikian itu menandakan bahwa dia tidak mengenal
anak kandungnya sendiri. Bagaimana dengan peristiwa
perkosaan yang pernah menimpa Melanie itu?
Seingat Arman, Melanie tak pernah bercerita tentang
hal itu kecuaii memberitahu secara singkat bahwa
ayah-ibunya sudah bercerai.
"Dulu dia pernah... pernah..." Arman tak segera
melanjutkan. Dia memandang sekelilingnya kalaukalau ada yang mendengarkan.
"Ya, ya. Dia pernah diperkosa," Darmaji menyambung
dengan jengkel dan tak sabar. Sesudah itu dia
memandang Arman dengan mata membesar. "Ah,
kalau begitu kaulah yang menolaknya karena dia
sudah... sudah..." Dia tak bisa meneruskan karena
geram. 134 / 460 Arman kaget melihat reaksi yang tak disangkanya itu.
"Bukan begitu, Pak. Sama sekali bukan begitu."
"Ala, saya ini kan lelaki juga. Jadi tahu betul
bagaimana umumnya pandangan lelaki terhadap
perempuan yang... yang..." Kembali Darmaji tak bisa
meneruskan karena tiba-tiba ingat bahwa perempuan
yang dimaksudkannya adalah anaknya sendiri. Tapi
karena sudah telanjur emosi dia melanjutkan, "Jadi,
pasti setelah kau tahu tentang masa lalunya kau
meninggalkannya. Ya, ngaku sajalah!"
Arman bengong sebentar lalu dia menggelengkan
kepala. "Bapak salah sangka. Memang saya kaget
mendengar kisahnya, tapi saya tidak bermaksud
meninggalkannya. Sama sekali tidak. Saya justru
merasa kasihan. Tapi dia... dia malah marah. Ya, marah
sekali. Dia bilang, tidak butuh kasihan. Dia bilang,
tidak butuh laki-laki. Dia bahagia sendirian. Karena
itulah saya pergi."
Darmaji tertegun. Tapi dia mempercayai cerita itu.
Seperti itukah Melanie sekarang? Dia mencoba
membayangkan. Tapi yang muncul adalah gambaran
masa lalu.
"Kau kurang ulet. Mestinya jangan langsung pergi
begitu disuruh pergi. Perempuan kan suka menguji,"
Darmaji menyesali. Tapi kemudian dia teringat akan
135 / 460 Diah. Sosoknya tegas. Tak suka kompromi. Mungkin
Melanie seperti itu juga. Ternyata dia memang lebih
mengenal mantan istrinya daripada anaknya.
Arman memandang heran. Sekarang Darmaji bicara
seakan dia mengenal benar anaknya.
"Tapi sekarang tentu sudah terlambat, Pak. Sudah
begitu lama. Mungkin dia sudah lupa sama saya. Saya
dengar, pengagumnya banyak."
"Kau sudah punya pacar?"
"Belum, Pak. Orang seperti saya kayaknya susah laku."
Darmaji tertawa. "Tak ada lelaki yang tak laku.
Mungkin kau saja yang cerewet."
"Tidak juga, Pak. Yang penting buat saya adalah
kecocokan. Buat saya, kawin itu hendaknya selama
hidup."
Darmaji terdiam. Dalam hal itu dia cukup tahu diri
untuk tidak memberi petuah. Dua kali dia berumah
tangga tapi kedua-duanya gagal. Sekarang dia
sendirian. Tak ada yang menungguinya pulang kerja.
Tak pula ada yang menyambutnya. Dan yang paling
terasa pahit adalah, tak ada yang membutuhkannya.
Memang sekarang dia sebebas burung. Tak ada yang
melarang, tak ada yang mengekang. Tapi tak pula ada
yang memberi apa-apa kepadanya. Padahal dalam
136 / 460 usianya yang menjelang setengah abad kebebasan tidak
lagi memberi kenyamanan. Malah sebaliknya, dia jadi
merasa sengsara. Kesepian. Tak berdaya. Dan beberapa
kali dia membayangkan hal-hal mengerikan. Kalau dia
mati takkan ada yang tahu sebelum bau busuknya
menyambar hidung tetangga.
Tapi hal-hal semacam itu takkan diceritakannya
kepada Arman. Dia menganggap hal itu bisa
mengurangi respek Arman kepadanya.
"Apakah sekarang kau masih mencintainya, Man?"
Pertanyaan itu membuat Arman tak lagi segan untuk
balas bertanya. Dia merasa Darmaji membutuhkan
keterangan tentang Melanie. Hal itu jelas dari sikap dan
pertanyaan-pertanyaan-nya yang gencar. Mungkin
lelaki itu sungguh merindukan dan mencintai anaknya.
Jadi Arman tahu benar, dia bisa memanfaatkan hal itu
untuk memenuhi keingintahuannya sendiri.
"Saya tidak tahu. Pak. Tapi terus terang, saya memang
ingin ketemu lagi dengan dia. Cuma itulah, saya tidak
tahu apakah dia sudah punya pacar atau belum. Kalau
memang sudah tentu saya tidak boleh punya harapan
apa-apa lagi. Tapi Bapak rupanya tidak tahu apa-apa
tentang dia. Bukankah sekarang Bapak tinggal di
Bogor?"
137 / 460 "Memang benar. Tapi saya kan baru beberapa bulan
tinggal di sini. Jadi belum sempat berkunjung ke
rumahnya," jawab Darmaji segan.
"Sudah berapa lama Bapak tidak bertemu dengan
Melanie?"
"Lama sekali."
"Padahal dari Jakarta juga nggak jauh. Apakah dia
tidak pernah mengirimi surat?"
"Tidak," kata Darmaji setengah mengeluh.
"Saya ingat, Melanie pernah mengatakan bahwa Bapak
dan Bu Diah bercerai ketika dia berusia sekitar sepuluh
tahun."
"Oh, dia mengatakan hal itu? Apa lagi yang
diceritakannya tentang diriku?" tanya Darmaji curiga.
"Tidak ada, Pak. Dia tidak pernah bercerita apa-apa
tentang Bapak. Bahkan nama Bapak juga tak
diberitahukannya. Saya juga tak berani bertanya-tanya
karena kelihatannya dia tak suka."
Semangat Darmaji tampaknya anjlok. Dia menyudahi
pembicaraan dan menghindar dari Arman sepanjang
sisa hari itu. Wajahnya murung.
Arman merasa khawatir. Mungkin dia sudah
menyentuh kepekaan Darmaji. Tapi dia tidak tahu
138 / 460 bagaimana memperbaiki hal itu. Perasaannya
mengatakan agar tak usah lagi menyinggung persoalan
itu kepada Darmaji, kecuali Darmaji sendiri yang
berinisiatif.
Tapi peristiwa itu membawa akibat lain. Kenangan
Arman kepada Melanie berkobar kembali. Semangat
dan gairah hidupnya meningkat. Ada tantangan untuk
melakukan sesuatu yang menarik. Tentu saja bukan
harapan melambung. Dia cuma ingin melihat Melanie.
Cuma melihat saja.
*** Arman menghentikan Vespa-nya di depan pintu pagar
yang terbuka lebar, lalu mendorongnya ke atas
rerumputan sepanjang pagar. Di sana sudah berderet
beberapa kendaraan berpelat nomor Jakarta.
Pemandangan biasa di hari Minggu. Dia memarkir
kendaraannya lalu mengunci serta menggemboknya
berikut helmnya sekalian.
Sambil berjalan matanya memandang berkeliling.
Suasananya masih seperti dulu. Tapi bukan tanaman
yang jadi sasaran tatapannya. Dia langsung menuju ke
bagian tanaman hias. Kebun pisang tidak menarik
minatnya karena yakin apa yang dicarinya tak ada di
sana. Mustahil rasanya membayangkan Melanie
berkutat di kebun pisang walaupun kemungkinan
139 / 460 terjadi perubahan kerja selalu ada. Sudah cukup lama
waktu berlalu sejak terakhir kali dia ke situ.
Tiba-tiba langkahnya terhenti. Begitu saja dia teringat.
Bukankah ketika itu dia merasa demikian terpukul
hingga berjanji dalam hati tidak akan menginjak tempat
itu lagi? Ya, dia sangat sedih, kecewa, dan marah. Di
matanya Melanie adalah perempuan yang paling tidak
rasional yang pernah ditemuinya. Segala yang
dikatakannya, betapapun logisnya, tetap saja dianggap
tidak logis oleh Melanie. Maka untuk menghibur dan
mengembalikan kepercayaan dirinya dia berkata
kepada diri sendiri bahwa perempuan di dunia bukan
cuma Melanie seorang. Masih banyak yang lain. Dan
dia tidak akan merendahkan dirinya lagi.
Tapi sekarang lain. Dulu dia dikuasai emosi. Sekarang
dia sudah melampaui waktu yang panjang untuk
merenungkan kembali. Rasanya sekarang dia sudah
menjadi lebih dewasa. Lagi pula, bukankah janji itu
diucapkannya dalam hati saja? Tak ada orang yang
mendengar.
Arman melangkah lagi. Kemudian berhenti setelah
melihat orang yang dicarinya. Melanie.
Dan dia merasa beruntung karena gadis itulah orang
pertama yang dilihatnya. Bukan Bu Diah. Bukan pula
Pak Budi. Mungkin itu pertanda baik?
140 / 460 Melanie sedang melayani beberapa orang wanita. Dia
kelihatan sibuk menjelaskan ini itu. Tangannya ikut
bergerak-gerak. Gesit dan antusias. Sesekali dia
menggoyangkan kepalanya hingga rambutnya yang
diikat model buntut kuda ikut pula bergoyang. Ketika
Arman terakhir melihatnya, rambut itu pendek.
Mungkin tak pernah digunting, pikir Arman yang
sempat mengagumi "buntut" itu. Dia pun dengan
leluasa menilai segala yang terlihat pada diri Melanie.
Melanie Karya V. Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lalu membandingkan dengan saat ia terakhir melihat.
Tubuh Melanie tampak lebih kekar dan berisi dibalut
celana yang panjangnya mencapai pertengahan betis.
Warnanya hijau tua dengan blus kaus yang berwarna
hijau muda. Paduan yang serasi, juga dengan alam
sekitar. Wajahnya sangat cerah dengan ekspresinya
yang penuh semangat. Sikap seriusnya saat memberi
penjelasan membuat senyumnya tampak mahal. Tapi
sekali tersenyum dia tampak manis sekali.
Keramahannya jadi kelihatan wajar dan tidak dibuatbuat seperti layaknya pedagang.
Arman terpesona. Mau rasanya dia menetap di situ dan
memandang saja tanpa berbuat apa-apa. Bukankah
memang cuma itu yang ingin dilakukannya?
"Mau lihat tanaman, Pak? Atau mau beli pisang?"
141 / 460 Teguran itu membuat Arman sadar dan malu. Sudah
berapa lama dia berdiri mematung dengan ekspresi
dungu? Dia menoleh dan mengenali Mang Ateng, lalu
tersenyum lega. Tapi kemudian ragu-ragu apakah
Mang Ateng masih mengenalinya. Sudah terlalu
banyak orang yang datang berkunjung ke situ dan dia
cuma salah satu tanpa arti apa-apa.
"Mang Ateng! Sudah lupa sama saya?"
Mang Ateng menggaruk kepala dan lupa bahwa
tangannya penuh tanah. Dia memang tidak ingat tapi
merasa tidak sopan kalau berterus terang.
"Saya teman Melanie, Mang. Dulu sering ke sini.
Nama saya Arman," Arman mengenalkan dirinya.
"Oh iya, Pak Arman. Orangnya mah ingat, cuma
namanya nggak," Mang Ateng berbohong. "Jadi, mau
ketemu Neng Anie, Pak? Tuh di sana," katanya sambil
menunjuk. Tapi sebenarnya dia sadar tak perlu lagi
menunjukkan. Sejak tadi dia sudah melihat ke mana
arah tatapan Arman.
"Biar saja, Mang. Tidak usah dipanggil. Dia lagi sibuk.
Sebentar saja saya dekati kalau dia sudah beres. Lagi
pula saya cuma mampir sebentar. Tempo hari saya
ketemu Pak Budi di bank. Dia menyuruh saya
mampir," Arman menjelaskan supaya kehadirannya di
situ lebih bisa diterima.
142 / 460 Penjelasan itu memang membuat Mang Ateng bersikap
lebih hormat kepada Arman. "Kalau begitu, duduk saja
di teras. Pak. Masa berdiri terus di sini. Pegel atuh, Pak.
Yuk ke sana?" ajaknya sambil menyilakan dengan
tangannya.
"Tidak usah, Mang. Terima kasih. Cuma sebentar kok.
Eh, Mang Ateng. Ngomong-ngomong, saya boleh
tanya nggak?"
"Boleh aja. Pak," kata Mang Ateng heran.
"Apa Neng Anie sudah punya tunangan?"
Mang Ateng menggaruk kepalanya lagi. Tanah di
tangannya sudah pindah ke kepala. "Wah, kayaknya
mah belon tuh, Pak. Tapi pastinya saya nggak tahu.
Abisnya hati orang mah susah ditebak, ya?" sahutnya
diplomatis. Dia sudah cukup sering menerima
pertanyaan seperti itu.
Arman cukup puas dengan jawaban itu. "Kalau
Mamang lagi sibuk, nggak usah temani saya. Tuh ada
yang mau belanja."
Mang Ateng bergegas pergi. Arman senang karena bisa
mencurahkan perhatiannya kepada Melanie kembali.
Ternyata di sebelah sana sudah sepi. Dilihatnya
Melanie sedang membenahi pot-pot. Cepat-cepat ia
bergerak maju, khawatir keduluan orang lain.
143 / 460 "Anie...," tegurnya pelan di depan punggung Melanie.
Melanie berbalik dengan cepat. Tatapannya tajam
menyapu Arman. Kentara dia berusaha mengingat dan
mengenali.
Arman jadi berdebar. Dari jarak dekat pesona Melanie
terhadap dirinya menjadi lebih besar. Bahkan aroma
tubuhnya seperti tercium. Bau bunga, entah bunga apa.
Tapi bukan soal itu yang membuatnya tegang. Apakah
Melanie tidak mengenalinya lagi? Semudah itukah
melupakan? Kalau benar, alangkah sedihnya.
Sepertinya dia tidak punya arti apa-apa. Benar-benar
tak berkesan.
Tapi saat-saat itu cuma sebentar. Melanie tersenyum
manis. Sangat manis di mata Arman.
"Ah, Arman?"
"Apa kabar, Anie?"
Arman menyalami Melanie dengan perasaan girang.
"Mau beli tanaman?" tanya Melanie.
Arman tertegun sebentar. Pertanyaan itu membuatnya
kecewa. Dan juga jengkel. Dia tidak punya urusan
dengan tanaman.
144 / 460 "Tidak. Aku cuma mampir ingin ketemu kamu. Sudah
lama, kan? Untung kamu masih ingat. Kalau tidak,
betapa malunya."
Melanie tertawa. "Tentu saja aku masih ingat. Aku kan
belum pikun." .
"Bukan begitu maksudku. Tapi... tapi..." Arman
menjadi gugup.
"Bahkan aku masih ingat, dulu kau pergi dari sini
dengan sedikit marah. Iya, kan?"
Arman tertegun lagi. Rasanya dia hampir tak percaya,
bahwa Melanie masih mengingatnya sampai demikian
jauh. Ya, Melanie memang belum pikun. Tapi dua
tahun rasanya cukup lama. Apalagi bila waktu itu diisi
oleh banyak pengagum Melanie yang lain. Mustahil
rasanya kalau tak ada orang-orang lain. Dia masih
ragu-ragu. Mungkinkah orang-orang itu pun
mengalami nasib sama seperti dirinya hingga
semuanya berlalu dengan jengkel? Bila memang
demikian maka tentulah tak mengherankan bila
Melanie begitu mudah mengingatnya. Habisnya semua
sama! Tapi tentu saja tak layak berpikir negatif pada saat
seperti itu. Dia terlalu gembira menerima perlakuan
ramah Melanie yang di luar persangkaannya. Tapi dia
juga mengingatkan dirinya agar tidak berharap yang
145 / 460 terlalu muluk. Nanti bisa sakit lagi seperti dulu.
Bukankah tujuannya semula cuma untuk melihat
Melanie saja? Cuma melihat!
*** Sebenarnya Diah bermaksud menjenguk Melanie
kalau-kalau putrinya itu sedang tidak sibuk. Kalau
memang tidak, dia ingin minta bantuannya agar
mendampinginya dalam melayani pembeli cerewet.
Biasanya Melanie pandai menghadapi pembeli yang
demikian. Kemudian dia melihat Melanie sedang
berbincang dengan-seorang pria muda. Mula-mula
dikiranya pria itu calon pembeli hingga dia segera
mendekat. Tapi sebelum kedua orang di sana melihatnya dia
mengenali Arman. Sudah tentu pertama sekali yang
dikenalinya adalah rambut Arman yang khas.
Potongannya masih persis seperti dulu. Pendek macam
potongan rambut tentara. Mungkin karena memang tak
bisa model lain. Kalau terlalu panjang bisa jadi seperti
alang-alang.
Begitu mengenali, Diah cepat menghentikan
langkahnya lalu melompat ke balik sebatang pohon.
Untuk sesaat dia tak mengerti kenapa berbuat
demikian. Sepertinya spontan saja tanpa dipikir dulu.
Jantungnya berdebar lebih cepat ketika teringat
146 / 460 pembicaraannya dengan ayahnya beberapa waktu yang
lalu. Memang itulah penyebab kelakuannya sekarang.
Dia ingin melihat dengan mata kepala sendiri
bagaimana sikap Melanie menerima Arman. Tapi
dengan berbuat demikian dia melupakan calon pembeli
yang barusan ditinggalkannya. Dia mulai asyik
mengintip.
Diah merasa bersyukur melihat Arman. Rupanya anak
muda itu cepat sekali menanggapi pertemuannya
dengan Pak Budi tempo hari. Dan bagi Diah hal itu
berarti Arman masih menyukai (atau mencintai?)
Melanie. Kalau tidak mustahil Arman mau datang lagi
padahal dulu perpisahan terjadi dengan kekecewaan.
Tapi bagi Diah rasa syukur itu bukan disebabkan
karena dia sendiri menyukai Arman. Dia merasa belum
begitu mengenal anak muda itu.
Tapi dia berharap sikap Arman itu akan dapat
menambah kepercayaan diri Melanie dan juga
kepercayaannya kepada kaum pria.
Kedua anak muda itu masih saja berbincang sambil
berdiri. Kelihatannya asyik karena mereka seolah lupa
akan situasi. Apakah objek percakapan itu perihal
tanaman? Tiba-tiba saja Diah teringat akan Tony yang
susah payah mempelajari tanaman supaya bisa
mendekati Melanie. Tapi Diah tidak bisa membayang
kan Arman akan berbuat seperti itu juga.
147 / 460 Perhatian Diah sepenuhnya kepada Melanie. Gadis itu
kelihatan gembira. Sesekali tawa nyaringnya
kedengaran. Diah terheran-heran. Hampir saja dia
mengira Melanie akan kembali seperti dulu. Atau
paling tidak sebagian dari Melanie yang dulu. Apakah
sesungguhnya Melanie menyukai Arman juga? Tapi itu
pun meragukan. Bukankah ini merupakan perjumpaan
pertama keduanya setelah lewat sekian tahun?
Walaupun Diah sendiri kerap memikirkan dan juga
mengkhawatirkan masalah yang dike-mukakan
ayahnya, toh dia merasa kurang rela kalau Melanie
segera menjatuhkan pilihan tanpa bersikap selektif.
Apalagi ada hal-hal yang tak disetujuinya dari pendapat
ayahnya. Dia menganggap ayahnya cuma mementing
kan keturunan tanpa terlalu mempedulikan siapa lelaki
penghasil keturunan itu. Memang dari pengalamannya
sendiri, lelaki itu sukar diduga. Pilih-pilih belum tentu
dapat yang baik. Sekarang baik, besok belum tentu
sama baiknya. Tapi walaupun demikian, hendaknya
jangan segera mencomot lelaki pertama yang datang!
Memang, Arman bukanlah lelaki pertama. Selalu ada
saja lelaki yang menaruh perhatian kepada Melanie
walaupun belakangan ini sangat jarang dibanding dulu.
Tapi Diah tahu betul, Arman adalah lelaki pertama dari
kelompok mereka yang pergi karena kecewa yang
148 / 460 datang kembali. Tak ada dari antara mereka yang pergi
itu pernah datang kembali kecuali Arman.
Melanie tidak punya lingkungan pergaulan di luar
rumah. Sehari-hari dia menghabiskan waktunya di
kebun. Jadi tak mengherankan kalau belakangan
semakin jarang saja jumlah pria yang menaruh minat
kepadanya. Paling-paling mereka adalah pembeli di
kebunnya. Padahal para pembeli itu sebagian besar
perempuan.
Tapi, walaupun penyebab yang satu itu sudah jelas,
masih ada faktor lain yang diresahkan Diah. Dia pernah
mendengar bisik-bisik di luar tentang Melanie. Orang
bilang, Melanie adalah gadis angkuh yang tak tahu diri.
Dan yang lebih jahat lagi adalah gunjingan bahwa
Melanie sedikit kurang beres otaknya. Mana mungkin
sih ada gadis normal yang kerjanya main tanah!
Dia tahu betul, bisik-bisik itu bohong belaka. Tapi
justru karena itu dia merasa cemas. Dia takut, kalaukalau kekhawatiran ayahnya akan menjadi kenyataan.
Melanie akan menjadi tua sendirian!
Dengan perasaan senang campur haru Diah terus
mengintip. Ah, betapapun rambut Arman seperti itu,
dia toh tidak terlalu jelek. Lagi pula, hal itu memang
tidak penting. Yang penting adalah sikap Melanie. Dan
149 / 460 untuk kegembiraan yang diperlihatkan Melanie itu mau
rasanya Diah berterima kasih kepada Arman.
"Bu..., lagi ngapain, Bu?"
Diah terkejut melihat Mang Ateng di sampingnya. Dia
juga merasa malu karena kedapatan mengintip. "Aduh!
Si Mamang bikin kaget orang aja. Ada apa sih?"
tanyanya jengkel.
"Maaf, Bu. Tapi yang di sana itu nanyain Ibu. Lama
amat perginya teh. Katanya, nawarnya belon beres."
Diah teringat. "Oh ya, saya lupa. Mang. Ala, sama si
Mamang saja deh. Saya kesal sama dia. Cerewet."
Ketika Mang Ateng beranjak hendak pergi, mendadak
Diah melihat dua orang perempuan mendekati
Melanie. Rupanya mereka hendak membeli sesuatu.
"Mang!" panggilnya. "Nggak jadi deh. Lebih baik
Mamang ke sana saja. Bantu Neng Anie. Biar Neng
Anie leluasa ngobrol sama temannya, ya. Nanti di sana
saya yang urus."
Mang Ateng berbalik dan Diah pun terpaksa pergi.
Tapi kali ini kejengkelannya terhadap pembeli cerewet
tadi sudah berkurang sebagian.
*** 150 / 460 Dengan senang hati Melanie membiarkan Mang Ateng
mengambil alih tugasnya melayani kedua calon
pembeli yang mendekatinya.
"Aku benar-benar iri padamu, An," kata Arman.
"Kenapa?" tanya Melanie heran.
"Kau kelihatan begitu menyukai kerjamu. Begitu
bersemangat. Begitu... ah, gimana ya tepatnya harus
kukatakan?"
"Bagaimana mungkin kau bisa menyimpulkan begitu?
Bukankah kau baru saja datang?"
Melanie Karya V. Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku... aku sudah lama mengawasimu tadi. Di sana,"
Arman mengakui dengan tersipu sambil menunjuk ke
arah belakangnya. Tempat yang sama dengan lokasi
Diah mengintip tadi.
"Kamu mengintip, ya?" kata Melanie tertawa.
"Nggak marah, kan?" Arman tertawa juga. Mustahil
orang marah bisa tertawa.
"Tentu saja tidak. Cuma ngintip begitu mah nggak apaapa," sahut Melanie senang. Sesungguhnya dia
memang gembira dengan kedatangan Arman karena
merupakan peralihan situasi yang tak disangka. Sedang
sosok Arman sendiri merupakan kejutan baginya.
Seseorang dari masa lalu yang pergi berbekal
kekecewaan ternyata sudi datang lagi tanpa dendam
151 / 460 dan sakit hati. Dia berharap tak ada yang diungkitungkit lagi dari masa lalu. Memang tak perlu. Arman
sudah tahu, jadi tak perlu lagi diberitahu. Dia sudah
bosan bila setiap kali didekati seseorang harus
mengungkit masa lalunya. Jadi sekarang dia bisa
berhadapan dengan Arman tanpa beban.
Sikap Melanie membuat Arman membatalkan niatnya
untuk hanya mampir sebentar, sekadar melihat Melanie
saja. Kalau dia bisa mempunyai kesempatan lebih dari
itu, kenapa tidak? Sesungguhnya, pikiran seperti itulah
yang memr buat manusia maju.
"Hei, tadi katamu kau iri melihat cara kerjaku. Apakah
kau sendiri tidak menyukai pekerjaanmu? Ah, bahkan
aku belum tahu di mana kau bekerja."
"Aku kerja di Bank Mitra, cabang Bogor. Itu sebabnya
aku sekarang tinggal di Bogor. Orang-tuaku masih di
Jakarta. Aku indekos di sini. Dan bicara suka atau
tidak..., yah, susah juga memastikannya. Kadangkadang aku merasa jenuh. Bosan. Padahal kerjanya
juga tidak terlalu berat. Tapi mana mungkin aku bisa
mengatakan bosan kalau aku membutuhkan pekerjaan?
Apalagi lapangan pekerjaan tambah sempit sekarang.
Jadi masalahnya bukan suka atau tidak suka, tapi
harus."
152 / 460 "Tapi aku di sini tak pernah merasa jenuh. Tak pernah
bosan. Senang sekali," kata Melanie sambil
memandang ke sekitarnya.
Arman melihat kebahagiaan dan kepuasan di wajah
Melanie. Dia terharu dan juga mengagumi. Tak ada
kepura-puraan dalam ekspresi Melanie itu. Dia berkata
dengan kesungguhan menyuarakan isi hatinya. Padahal
kalau berpaling kepada orang-orang lain, banyak orang
lain, pendapat seperti itu mestinya patut diragukan.
Mungkinkah orang cukup puas dan bahagia hanya
dengan berkubang sepanjang waktu di tempat sempit
itu? Tapi hal itu juga membuatnya penasaran.
Sungguhkah Melanie tidak menghendaki yang
lainnya? Cinta dari seorang pria?
"Ya. Aku bisa melihat itu."
"Sudahlah. Jangan iri. Dulu Mama juga kerja di bank
dan dia sangat mencintai pekerjaannya."
Tapi sesudah berkata begitu, Melanie mendadak
tertegun. Begitu saja dia teringat akan pengorbanan
ibunya. Sesuatu yang pernah terlupakan. Bahkan
sepertinya tak pernah muncul dalam kesadarannya.
Mungkin karena dia juga lama bergelut dengan
kesedihannya sendiri. Dia membutuhkan begitu
banyak untuk mengatasi penderitaannya. Lalu dia
melupakan orang lain.
153 / 460 Arman tidak tahu apa yang berkecamuk dalam pikiran
Melanie. Dia hanya ingat, dalam masa perkenalannya
yang singkat dengan Melanie dulu, Melanie tak pernah
bercerita tentang hal itu.
"Oh ya? Bank mana, An?"
"Sudahlah. Nggak usah ngomongi yang itu," Melanie
menghindar.
Arman tahu gelagat. Dia mencari bahan pembicaraan
yang lain. "Hampir lupa, An. Ada yang menitipkan
salam untukmu."
"Siapa?"
"Pak Darmaji. Dia atasanku di kantor."
Melanie mengerutkan keningnya. "Darmaji? Apakah
dia...?"
"Ya. Ayahmu."
"Dari mana kau tahu?" tanya Melanie sambil
mengingat-ingat. Rasanya dia tak pernah bercerita
tentang ayahnya, bahkan namanya juga, baik kepada
Arman maupun kepada pria lain yang datang silih
berganti. Arman segera menceritakan pertemuannya dengan Pak
Budi, lalu disusul dengan pembicaraannya bersama
Darmaji. Tapi beberapa bagian disembunyikannya.
154 / 460 Melanie mengangguk. "Oh, begitu," katanya. Tak ada
lagi komentarnya yang lain.
Arman penasaran. "Dia sekarang tinggal di Bogor juga,
An," katanya mengajuk.
"Ya. Biar saja."
Arman memperhatikan wajah Melanie sebentar.
"Tidakkah kau mau mengunjunginya? Kalau kau mau,
bisa kuantar," dia menawarkan, padahal dia sendiri
tidak tahu di mana rumah Darmaji. Tapi itu tentu saja
urusan belakangan.
"Dia tidak membutuhkan aku. Dia sudah punya
keluarga sendiri. Ah, tidak ceritakah dia padamu?
Sejak aku berumur sepuluh tahun dia meninggalkan
kami untuk seorang perempuan lain. Nah, sejak waktu
sekian lama itu pula kami tak pernah lagi berhubungan.
Kalau dipaksakan berbaik-baik mungkin jadi canggung
dan kaku, ya? Jadi buat apa?"
Arman termenung sebentar. Lalu dia berkata pelanpelan, "Dia berkata padaku, bahwa sekarang dia hidup
sendiri."
"Oh ya? Pantas sekarang dia ingat aku," kata Melanie
dingin. Arman tak berani memberi komentar. Dia merasa tidak
enak. Tiba-tiba saja dia berpikir betapa kaumnya, kaum
155 / 460 lelaki, telah memperlakukan Melanie secara buruk.
Karena itu, sedikit banyak dia jadi merasa bersalah.
Tidak logis memang. Tapi perasaan itu menimbulkan
dorongan agar dirinya mampu memberi citra yang
lebih baik dari kaumnya di mata Melanie. Entah
bagaimana caranya dia belum tahu.
Lalu dia kaget ketika tiba-tiba Melanie bertanya
tentang hal lain. "Katakan, Man. Apakah kau datang
karena diminta Kakek?"
Arman ragu-ragu, "Memang dia bilang, kalau kapankapan lewat rumah mampirlah. Tapi kukira ucapan
seperti itu cuma basa-basi saja. Siapa pun akan bicara
seperti itu. Aku memang ingin ke sini untuk
menengokmu. Cuma aku khawatir kalau-kalau..."
"Khawatir apa?"
"Kalau-kalau kau sudah berkeluarga. Makanya aku
bertanya dulu pada Pak Budi."
"Memangnya kenapa kalau aku sudah berkeluarga?"
tanya Melanie agak ketus.
"Rasanya kan nggak... nggak enak, gitu. Aku... aku
takut," kata Arman dengan muka memerah.
Melanie menyesal. Ia tersenyum menenangkan.
"Kekhawatiranmu itu tidak beralasan. Sebenarnya aku
memang sudah berkeluarga kok."
156 / 460 Arman kaget. "Sudah?" tegasnya.
"Ya. Ibu dan kakekku itu adalah keluargaku, bukan?"
Lalu Melanie tertawa berderai. Arman ikut juga
tertawa, tapi lebih banyak karena lega. Selanjutnya
dengan membawa perasaan seperti itu dia memaksa
dirinya pulang karena sebenarnya dia ingin menetap
lebih lama. Tapi pengunjung bertambah banyak saja
hingga Melanie kian sibuk. Dia harus tahu diri.
*** Malam harinya ketika mereka bertiga sedang makan
bersama, Diah bertanya, "Tadi siang Mama sepertinya
melihat Arman, An. Apa betul dia, ya?"
"Betul, Ma. Katanya, cuma mampir."
Pak Budi memandang wajah cucunya. "Dia kerja di
Bank Mitra. Sekarang tinggal di Bogor," katanya
bersemangat. Tapi kemudian terpikir, tentu Melanie
sudah tahu hal itu dari Arman sendiri.
"Bagaimana dia, apa masih seperti dulu, An?" tanya
Diah. "Kayaknya sih iya."
"Lama ngobrolnya?"
"Paling-paling sejam."
157 / 460 Diah dan ayahnya menunggu cerita Melanie, tapi yang
bersangkutan meneruskan makan tanpa berbicara.
Terpaksa keduanya diam juga. Mereka tak berani
bertanya terlalu banyak, khawatir kalau-kalau Melanie
berprasangka buruk.
"Katanya, sekarang di Bogor banyak bank dibuka,"
kata Melanie kemudian.
"Betul, An. Ah, dia tentu cerita tentang bank, ya?" kata
Diah senang.
"Apakah Mama tidak ingin kerja di bank lagi?" tanya
Melanie. Diah tersedak. Dia batuk-batuk dan matanya berair.
"Kenapa, An?" tanyanya dengan suara serak.
"Bukankah Mama dulu senang sekali kerja di bank?
Barangkali Mama kepingin lagi sekarang."
"Wah..., belum... belum terpikir, An."
"Kalau Mama mau, ayo saja, Ma. Pasti Mama diterima
deh. Kan Mama sudah berpengalaman."
Air mata Diah tambah banyak. Lalu menyadari tatap
dua orang kepadanya, dia pura-pura batuk sambil
menghapus matanya. "Nantilah Mama pikirkan, An,"
katanya menahan haru. Aneh rasanya. Ada
kebahagiaan yang membangkitkan kesedihan. Ada
kebahagiaan karena secuil perhatian.
158 / 460 Pak Budi tidak memberi komentar. Apa pun yang
terpikir olehnya tentang usul Melanie itu tak ingin
dikemukakannya sekarang. Dia tak ingin merusak
suasana. "Oh ya, Kek," Melanie beralih pada kakeknya. "Tadi
saya bertanya pada Arman, apakah dia mampir ke sini
karena disuruh Kakek?"
Sekarang giliran Pak Budi yang tersedak. Dan sebegitu
parahnya hingga dia tak mampu menjawab. Tapi
tampaknya Melanie tidak memerlukan jawaban.
159 / 460 XII Tony menikmati istirahat senjanya di atas balkon di
depan kamar tidurnya. Sambil setengah membaringkan
tubuhnya di atas sofa dia membalik-balik majalah
Playboy selundupan yang dipinjamnya dari seorang
relasi. Halaman yang berhiaskan perempuan bugil ditatapnya
lama-lama. Dia sedang mempelajari dirinya sendiri.
Apakah sesungguhnya dia bisa menikmati? Adakah
getaran? Rangsangan? Ternyata jawabannya tidak
perlu dipikirkan. Reaksinya cepat. Perasaannya
mengatakan ya. Tapi bagaimanapun positifnya tetap
terasa lain. Apanya yang lain itu tak bisa dia temukan.
Mungkin belum biasa?
Sudah kurang lebih dua bulan waktu berlalu sejak
pertemuan terakhirnya dengan Melanie dan sejak dia
tiba-tiba menemukan perubahan selera seksnya. Bila
diumpamakan, mungkin seperti orang yang sudah lama
merasa muak terhadap jenis makanan tapi pada suatu
saat tiba-tiba merindukannya lagi. Memang makanan
dengan seks itu tidak sama. Tapi baginya yang sama itu
adalah soal selera dan perasaan. Untuk melahap
makanan perlu ada selera (tentunya kalau tidak lapar
160 / 460 sekali). Dan selanjutnya selera
membangkitkan kenikmatan rasa.
itulah yang Pada mulanya dia memang merasa takjub. Sepertinya
hal itu merupakan suatu keajaiban. Suatu mukjizat.
Tapi setelah dia merenungkannya lagi, sepertinya juga
bukan. Itu wajar saja. Logis. Masuk akal. Tiap orang
bisa saja mengalami perubahan selera, meskipun
mungkin jarang sekali terjadi. Sementara hal itu terjadi
padanya bukan secara tiba-tiba, tanpa proses sama
sekali. Mudah saja untuk dipahami. Sebabnya adalah
Melanie. Dan walaupun pada awalnya dia merasa harus
berterima kasih pada Melanie karena menganggap hal
itu terjadi berkat jasanya toh belakangan dia berubah
pikiran. Melanie tidak berbuat apa-apa. Dia sendirilah
yang berbuat. Dia sendiri yang menimbulkan proses ke
arah terjadinya perubahan meskipun tanpa disadari.
Pada awalnya adalah keinginan untuk menipu Melanie
dan untuk itu dia harus bersusah payah. Dia berusaha
agar tampak sungguh-sungguh menyukai perempuan
(Melanie) dan tanaman, padahal keduanya tak
disukainya. Begitu intens dia berusaha hingga tanpa
sadar telah merasuk dalam jiwanya. Kepura-puraan
ternyata menjadi sungguhan.
Tapi sekarang dia juga menyadari bahwa sesungguh
nya perubahan itu belumlah total. Sekarang dia baru
berada dalam taraf menuju kesana, tapi belum sampai
161 / 460 ke tujuan. Dia sudah mulai merasakan daya tarik
seksual kaum perempuan dengan akibat dia menjadi
jenuh terhadap sesama jenisnya. Jadi yang satu muncul,
Melanie Karya V. Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang lain pun hilang, hingga dia tak sampai memiliki
dua jenis selera (biseksual). Tapi dia cuma baru
berselera dan belum memakannya (kalau diumpama
kan makanan)!
Sambil memandangi tubuh mulus yang melekat di
kertas, dia bertanya sendiri. Kenapa dia belum
mencobanya?
Sesungguhnya dia memang terangsang, baik sekarang
saat menghadapi gambar mati maupun di saat-saat lain
ketika melihat aslinya yang hidup dan bergerak. Dan
dia juga yakin, banyak perempuan akan memberinya
respons positif kalau saja dia memberi isyarat untuk itu.
Bahkan dia tahu betul, tak kurang yang mendambakan
dirinya. Tapi dia tak memberi isyarat itu. Memang dia
mampu merayu bagai playboy berpengalaman, tapi
ketika lawannya mengharapkan lebih banyak dia
berhenti. Kenapa? Mungkinkah sesungguhnya dia
belum yakin akan dirinya? Bila diumpamakan
makanan, mungkin dia merasa takut begitu makanan
itu masuk ke dalam mulutnya dia akan muak kembali!
Telepon di sudut berdering. Dia kaget sebentar. Tapi
dia tak beranjak untuk mengangkatnya. Telepon itu
pararel dengan pesawat di ruang duduk sebelah
162 / 460 bawahnya. Tak lama kemudian bunyinya berhenti. Dia
mendengar ibunya yang lantang menerima telepon itu.
Tapi dia tak mendengarkan karena pikirannya kembali
kepada masalahnya tadi. Tak lama sesudah itu dia
kaget lagi karena teriakan ibunya.
"Riiiif! Eh..., Toooon! Telepon buatmu! Dari Andre!"
Nama itu membuat dia mengeluh dalam hati. Tak
mungkin dia menghindar karena panggilan ibunya
sudah menyatakan keberadaannya. Dengan malas dia
bangkit. Setelah mengangkat pesawat, dia berteriak,
"Ya, Maaa! Sudah!" Lalu dia menunggu sebentar.
Setelah yakin bahwa ibunya tidak menguping
pembicaraannya, baru dia bicara pelan.
"Halo? Di sini Tony."
"Aduh, Toooon! Ke mana saja sih kamu? Sudah
puluhan kali aku menghubungi kamu, tapi selalu nggak
ada."
"Sibuk, An."
"Aduuuuh..., sesibuk-sibuknya mestinya kamu kan
nggak boleh lupa sama aku. Aku sudah rindu padamu,
Ton."
Suara Andre bernada manja. Tony mengerutkan
keningnya. Dia merasa muak. Sebal. Padahal Andre
163 / 460 bukanlah orang yang baru dikenalnya. Sebaliknya,
Andre adalah teman intimnya yang paling akhir.
"Ton! Masih di situ? Kok diam saja sih?"
"Kenapa?"
"Lho, kok kenapa? Hei, kapan kita ketemu lagi?
Teman-teman di Ramona juga sudah bertanya-tanya,
kok kamu sudah dua bulan tak pernah muncul."
"Aku... aku kurang sehat, An. Sori."
"Sakit? Sakit apa, sih?" Nadanya cerewet.
Mestinya aku tegas saja, pikir Tony. Tapi rasanya sulit.
Dia membutuhkan waktu untuk berterus terang.
Ataukah sebetulnya dia takut? Semua orang akan
meninggalkannya. Semua orang membencinya. Ke sini
tidak diterima, ke sana pun tidak. Ke sini muak, ke sana
pun (mungkin) muak. Jadi dia melawan keinginannya
untuk membentak.
"Entahlah. Pokoknya aku nggak enak badan. Lemes."
Di sana diam sebentar.
"Baiklah. Jadi bukan karena ada orang lain, ya?"
"Orang lain? Tentu saja tidak. Kau gila."
"Eh, eh, tersinggung ya? Mungkin saja toh. Soalnya,
aku perlu kepastian."
164 / 460 "Oh, begitu. Tapi sebaiknya kamu nggak usah nunggununggu aku. Kalau ada orang lain yang lebih baik..."
"Hei, hei, jangan gitu dong, Ton. Kamu nggak boleh
ngomong gitu."
"Aku sungguh-sungguh kok, An. Serius," kata Tony
sebal. Dia ingin sekali mengakhiri pembicaraan itu,
tapi tak ingin menyinggung perasaan Andre. Dia tahu
betul, bahwa perasaan Andre sangat peka. Kesadaran
ini pun menjengkelkan karena membuat dia merasa
tidak bebas berbuat sekehendak hatinya.
"Kau tahu betul bagaimana perasaanku padamu, Ton.
Aku sayang sekali padamu. Tak mungkin aku beralih
begitu saja pada orang lain. Entahlah dengan kamu.
Tapi..., jangan ya. Ton?"
Tony tak menyahut. Dia membayangkan bagaimana
reaksi Andre kalau tahu masalah sebenarnya.
"Ton? Kapan kita bisa ketemu?"
"Aku... aku belum tahu. Datang sajalah ke rumah,"
sahut Tony sekenanya. Dia tahu, Andre tak mau datang
ke rumahnya.
"Nggak ah. Di rumahmu ada drakulanya. Aku takut."
"Siapa?"
"Ibumu."
165 / 460 Tiba-tiba Tony mendengar suatu bunyi. Dia segera
menyadari apa penyebabnya. "Tunggu sebentar, An,"
katanya. Lalu dia meletakkan pesawat telepon di meja
dan bergegas ke tepi balkon. "Ma! Mama di situ?"
serunya sambil menjulurkan kepalanya ke bawah.
Sepertinya dia melihat bayangan melintas. Tapi dia
tidak begitu yakin karena terlalu cepat. Tak pula ada
suara menyahut dari bawah. Padahal dia merasa hampir
pasti bahwa ibunya menguping tadi.
Tony kembali mengangkat teleponnya. "Halo?" Tapi
bunyi yang terdengar menandakan bahwa hubungan
sudah diputuskan. Lalu dia kembali ke tempat
duduknya semula. Tapi dia sudah kehilangan semangat
untuk meneruskan kegiatannya semula. Dia merenung
saja. Kini ketenangan yang tadi dinikmatinya sudah lenyap.
Kesadaran dari masa lalu bahwa sesungguhnya dia
tidak pernah bisa lepas sama sekali dari akibat
perbuatannya. Selalu ada bekas-bekasnya. Yang satu
lepas, yang lain mencengkeram. Tak bisa bebas
semudah menggoyangkan badan lalu melenggang
pergi. Dia sungguh-sungguh benci. Marah dan kesal.
Tapi dia cukup menyadari, juga belajar dari
pengalamannya yang sudah lalu, bahwa dia tak
mungkin bisa menyelesaikan masalahnya dengan
166 / 460 hanya merenung saja. Dia harus melakukan sesuatu apa
pun risikonya.
*** Setelah Tony pergi dengan mobilnya, Dahlia bergegas
menaiki tangga menuju balkon di depan kamar Tony.
Ruang yang tak seberapa luas itu merupakan ruang
duduk yang menyenangkan. Seisi rumah sudah
maklum bahwa tempat itu adalah ruang pribadi Tony.
Kalau dia berada di situ, maka dia dibiarkan sendiri
karena memang itu yang dikehendakinya. Dan
walaupun Tony tidak sedang duduk-duduk di situ, tapi
kalau dia ada di rumah tak ada orang yang berani ke
situ termasuk ayah-ibunya. Apalagi untuk melihat-lihat
barang-barang miliknya.
Tapi hal itulah yang dilakukan Dahlia sekarang. Dia
melayangkan pandang sebentar. Pintu kamar jelas
terkunci. Tapi dia memang tak berniat memasukinya.
Dia hanya duduk di sofa, lalu mengulurkan tangannya
ke arah tumpukan koran dan majalah di bawah meja.
Memang hanya ada barang-barang itu yang bisa
dilihat-lihat.
Kemudian dia memekik pelan. Kaget sekali. Dia
melihat majalah-majalah yang menampakkan
"keindahan" wanita. Ada yang lokal, ada yang luar
negeri. Dia melotot ketika membalik-balik Playboy.
167 / 460 Tentu saja dia bukan baru pertama kalinya melihat
kehadiran majalah seperti itu di situ. Biasanya yang
terlihat adalah kebalikan dari gambar-gambar itu,
berupa pria maskulin berotot kekar berdada bidang.
Dia tak bermaksud melihat-lihat lebih lama lagi.
Sebentar saja sudah cukup. Lalu dia terhenyak
menyandarkan tubuhnya ke sandaran sofa. Debar
jantungnya lebih cepat. Otaknya gemuruh dengan
pikiran-pikiran. Mungkinkah telah terjadi sesuatu yang
pada mulanya terasa mustahil? Baginya, kehadiran
majalah seperti itu terasa sebagai keajaiban. Sudah
pasti majalah-majalah itu tak ada begitu saja. Tak
mungkin Tony melihat majalah seperti itu kalau... Oh,
Dahlia ingin sekali memekikkan teriakan kegembiraan.
Dan kemenangan. Harapannya tercapai. Doanya
terkabul. Dia menepuk-nepuk dadanya. Tenang. Tenang. Sabar.
Jangan sampai jantungnya mendapat shock saking
gembiranya. Jangan sampai dia semaput sebelum
sempat menikmati kemenangan itu.
Dia harus menenangkan diri dulu sebelum mampu
berdiri lalu terbang menuruni tangga. Dia harus secepat
mungkin menyampaikan kabar gembira itu kepada
suaminya. 168 / 460 Tapi Utomo, sang suami, tengah memandanginya
dengan terheran-heran. "Apakah ada-ada setan di atas,
Ma?" tanyanya cemas.
Dahlia tertawa keras hingga Utomo tambah cemas. Tak
biasanya Dahlia bertingkah seperti itu.
"Pa, dengar baik-baik. Ada kabar gembira. Anakmu
sudah berubah," kata Dahlia dengan napas tersengalsengal.
"Oh ya? Berubah bagaimana?" tanya Utomo sambil
mengerlingkan matanya ke atas.
"Dia tidak ada. Kalau ada, mana mungkin aku berani
ke atas."
"Lantas apa yang berubah?"
Dahlia segera menceritakan penemuannya dan
kemudian kesimpulannya. "Tak bisa lain. Seleranya
sudah berubah," katanya dengan berseri-seri.
Utomo termangu.
"Hei, kau tidak gembira, Pa?"
"Tentu saja aku gembira. Cuma aku kaget. Terlalu
mendadak sih."
"Apalagi aku. Bukankah aku yang menemukan?"
"Tapi dia tidak bilang apa-apa."
169 / 460 "Tentu saja tidak. Dari dulu dia tidak pernah bilang
apa-apa, kecuali ada sesuatu yang dia butuhkan dari
kita. Karena itu aku pikir, sebaiknya kita jangan pasif
dan menerima saja apa yang dia bilang atau tidak
bilang. Kita pun harus menyelidiki. Pasang mata dan
kuping. Misalnya tadi aku berhasil nguping
pembicaraannya dengan Andre."
"Andre?"
"Ya. Dia itu kan pacar Tony."
"Oh, kau tahu?" Suara Utomo mengandung
kekaguman akan pengetahuan yang dimiliki istrinya.
Dahlia menyadari hal itu dan merasa bangga.
"Tentu saja aku tahu. Dia pernah datang ke sini. Begitu
melihat penampilannya aku lantas curiga. Aku ngintip
dan wah..., mesra banget sikapnya kepada Tony. Tak
susah untuk menduga bagaimana hubungan mereka.
Ya, kan? Tak heran kalau si Andre mengatai aku
drakula. Dari pertemuan pertama itu saja dia bisa tahu
bahwa aku tahu. Ya, tahu sama tahu. Aku benci dia dan
dia benci aku." Dahlia tertawa. "Dia pun takut sama
aku. Bagus. Dengan demikian dia tak bisa seenaknya
saja di rumah ini. Bayangkan. Kalau dia tidak takut,
mereka bisa bermesraan di sini. Sungguh memuakkan.
Oh ya, satu hal lagi yang menguatkan dugaanku, Pa.
Tony sudah sekitar dua bulan tidak berhubungan lagi
170 / 460 dengan si Andre. Bahkan selama waktu itu pula dia
tidak berkunjung ke Ramona."
"Ramona? Siapa itu Ramona?"
"Papa nggak tahu?" tanya Dahilia dengan nada
kasihan. "Itu kan pub tempat para homo mangkal.
Pemiliknya juga homo."
"Ooooh," Utomo melenguh panjang. Informasi itu
membuatnya merasa kuper. "Bagaimana mungkin kau
bisa tahu soal-soal begituan?"
"Itu tidak susah. Aku berusaha tahu sejak anak kita jadi
homo."
Untuk pertama kalinya Utomo menatap istrinya dengan
respek. "Mestinya kau cerita juga sama aku," sesalnya.
Tapi kemudian dia menyesali keluhannya itu. Dia bisa
memperkirakan apa yang akan dikatakan Dahlia.
"Aku ingin cerita, tapi kau tak bersikap mau peduli.
Sibuk terus, kan? Nyatanya sekarang aku cerita juga,
karena kau harus tahu. Dia anak kita. Masa kita sampai
nggak tahu apa-apa."
"Dia sudah dewasa. Sepertinya dia tidak memerlukan
kita."
"Biarpun begitu, kita tetap harus tahu. Nah, sekarang
kau sudah tahu. Bagaimana pendapatmu?"
171 / 460 Utomo berpikir sejenak. "Dua bulan, katamu? Kalau
begitu, belum lama, ya?"
"Ya. Nyatanya si Andre sendiri belum tahu kenapa
Tony tak mau berhubungan. Dia cemburu sekali.
Dipikirnya ada orang lain. Ya, lelaki lain tentu. Tapi
kalau memang ada lelaki lain, masa konsumsinya
majalah Playboy. Itulah kekuatan dugaanku bahwa
Melanie Karya V. Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tony ingin berhenti jadi homo."
Utomo mengangguk. "Tapi baru kemungkinan lho,
Ma. Kalau Tony jelas-jelas pacaran sama cewek, baru
kita boleh yakin."
Dahlia membenarkan. "Ah, mungkinkah Tony jatuh
cinta sama perempuan?" katanya, setengah bertanya
setengah berangan-angan.
"Mudah-mudahan saja begitu," sahut Utomo sepenuh
hatinya. Dia tak punya keinginan untuk bersikap sinis
seperti biasanya kalau menanggapi istrinya.
"Rasanya aneh juga ya, Pa. Hampir-hampir mustahil.
Aku sudah pesimis bahwa Tony bisa kembali normal.
Soalnya aku sering membaca dan mendengar betapa
susahnya hal seperti itu bisa terjadi. Biarpun orang
bersangkutan sendiri sangat ingin, tapi mengubah
dirinya itulah yang sulit. Ah, nggak sangka ternyata
Tony bisa ya, Pa?"
"Mudah-mudahan saja dia memang bisa."
172 / 460 "Mudah-mudahan?"
"Ya. Bukankah dia baru akan mulai? Si An... An...
siapa itu, oh ya, si Andre bisa saja merayu dan
menggoda terus."
Dahlia membenarkan. Dan kebenciannya kepada
Andre tambah berlipat ganda. Dia masih ingat jelas
bagaimana penampilan anak muda itu. Berkulit putih,
berwajah sendu dengan kumis tipis, berambut tebal
hitam berombak, bertubuh semampai dengan tinggi
sedang. Memang tampan. Kalau saja bukan homo,
apalagi pacar Tony, pasti dia akan menyukainya.
"Aku bisa menyuruh orang untuk menggebukinya.
Atau membuat mukanya menjadi jelek," kata Dahlia
dengan gemas.
Utomo menatap istrinya dengan ngeri. "Jangan bikin
masalah lagi, Ma," dia mengingatkan sambil
mengenang trauma masa lalu.
Dahlia tertawa melihat ekspresi wajah suaminya.
"Tentu saja aku tidak sungguh-sungguh. Kaupikir aku
sudah gila?"
Utomo menjadi lega. "Baiklah. Aku percaya kau, Ma.
Sekarang, sebaiknya kau selidiki terus si Tony. Aku
ingin tahu juga perkembangannya."
173 / 460 Dahlia jadi bersemangat. "Tapi untuk itu aku perlu
dana, Pa."
Tentu saja. Aku maklum. Setiap saat kau memerlukan
dan berapa pun jumlahnya, kau tinggal sebut dan aku
akan memberikannya. Dia kan anak kita."
Dahlia tertawa senang.
"Oh ya, tadi katamu di atas ada majalah Playboy?
Baru?" tanya Utomo.
"Kelihatannya sih baru."
"Wah, aku mau lihat. Tolong teriaki aku kalau Tony
pulang," kata Utomo sambil bergegas menaiki tangga.
Dan tanpa menunggu komentar istrinya.
Dahlia membuka mulutnya untuk protes. Dasar lelaki.
Tapi kemudian dia ingat, tak semua lelaki itu sama.
Dan dia seharusnya beruntung, karena suaminya
tergolong lelaki yang normal.
*** Andre menatap wajah Tony dengan selidik. Matanya
memperlihatkan kecemasan. Sebentar-sebentar dia
membasahi bibirnya. Kentara dia gelisah.
Berbeda daripada biasanya, kali itu mereka mengada
kan pertemuan sambil makan siang di restoran yang tak
begitu ramai, tempat yang sengaja dipilih oleh Tony.
174 / 460 Hal itu saja sudah memberikan firasat jelek kepada
Andre. Dan itu cukup melenyapkan nafsu makannya.
Bahkan kalau bisa lebih baik dia tidak makan saja.
Tapi Tony makan dengan tenang. "Ayo, tambah lagi,
An. Sedikit betul makannya. Kenapa? Nggak enak?"
"Enak sih enak. Cuma nggak nafsu."
Tony diam. Dia terus saja makan. Dan keadaan itu
membuat Andre merasa sakit. Menunggu Tony selesai
makan serasa tak berkesudahan. Bagi Andre, nasibnya
seolah berada di mulut Tony. Kapan mulut itu selesai
mengunyah? Dan apa yang mau diucapkan mulut itu
bila dia tak lagi mengunyah?
Akhirnya saat yang ditunggu itu tiba juga.
"Begini, An," Tony mulai. "Sebenarnya aku berat
mengatakannya, tapi harus. Bagimu sendiri tentunya
lebih baik begini. Daripada aku menghindar terusterusan, karena kita akan sama-sama tidak enak. Kamu
akan bertanya-tanya terus lalu nyangka macammacam. Dan aku akan merasa bersalah. Aku..."
"Katakan saja, Ton," potong Andre.
Tony memandang Andre sebentar lalu memalingkan
matanya. "Aku ingin memutuskan hubungan kita, An.
Semuanya sudah menjadi tidak mungkin lagi."
175 / 460 Sepi sebentar. Keduanya terpaku dalam renungan
sendiri-sendiri.
Andre bicara lebih dulu. "Baiklah. Aku tentu tidak bisa
memaksa atau memohon. Memang tidak mungkin
kalau salah satu sudah tidak suka. Tapi aku minta kamu
fair. Karena yang memutuskan kamu dulu, maka
katakanlah apa sebabnya. Apakah aku melakukan suatu
kesalahan atau kamu mendapat orang lain?"
Tony tak bisa segera menjawab. Padahal dari rumah dia
sudah mempersiapkan jawaban itu, yaitu dia takut kena
AIDS! Dan itu tentu saja suatu kebohongan. Tapi
sekarang setelah dia menatap mata Andre yang jernih,
dia sadar bahwa Andre tak akan mempercayainya.
Andre terlalu cerdas untuk itu. Memang Andre sesekali
suka bertingkah kekanak-kanakan dan cerewet seperti
perempuan nyinyir, tapi sesungguhnya dia memiliki
daya pikir yang cermat. Orang yang tak begitu
mengenal Andre atau kenal sepintas saja akan mudah
terpengaruh oleh penampilan luarnya, hingga
menganggapnya sebagai manusia lugu yang kurang
berotak. Tapi Tony sudah mengenalnya dengan baik,
luar dalam, walaupun hubungan intim mereka baru
berlangsung sekitar lima bulan.
"Barangkali kau bosan sama aku?" tanya Andre tak
sabar. Bibirnya bergetar. Kumisnya bergerak-gerak.
176 / 460 "Semuanya bukan," jawab Tony dengan berat.
"Lantas apa? Masa nggak ada sebabnya. Setiap
perbuatan orang kan harus ada sebabnya. Putus ya
putus, tapi aku harus tahu dulu sebabnya."
"Kau tentu mengharapkan jawaban yang terus terang."
"Tentu saja. Siapa sih yang mau dibohongi. Dan jangan
bilang, bahwa kamu takut kena AIDS!"
Tony terkejut. Untuk sesaat dia berpikir, Andre punya
kemampuan membaca pikiran orang. Tapi saat
berikutnya dia sudah memutuskan. Mungkin dengan
berterus terang dia dapat tetap menjaga hubungan
baiknya dengan Andre. Tapi dia harus menjalin
ceritanya begitu rupa hingga terkesan bahwa apa yang
telah terjadi atas dirinya sekarang bukan karena
kehendaknya. Di samping itu, penting untuk
menyembunyikan masa lalunya yang hitam. Terlalu
besar risikonya untuk memberitahu seseorang, siapa
pun dia, perihal aib yang telah mencoreng dirinya.
Padahal dia sudah susah payah menyembunyikan dan
menghapusnya.
"Tapi ceritanya panjang, An. Apa yang terjadi atas
diriku sekarang tidak terjadi begitu saja."
"Tidak apa-apa. Aku akan tekun mendengarkan," sahut
Andre dengan sikap yang lebih lega. Kentara dia masih
menyimpan harapan setelah yakin bahwa keputusan
177 / 460 Tony itu bukan disebabkan karena adanya orang lain
ataupun kesalahannya. Barangkali ada alternatif lain
tanpa harus memutuskan hubungan.
"Ketika remaja aku pernah dibuat sakit hati oleh
seorang gadis. Aku benci sekali padanya. Kemudian
aku sekolah di Amerika. Di sana aku menjalani bedah
plastik karena mengalami kecelakaan kecil. Wajahku
jadi berubah sedikit. Ya, jadi seperti sekarang.ini.
Kemudian aku kembali ke sini dan tentu saja aku sudah
lupa perempuan itu. Tapi beberapa bulan yang lalu
tiba-tiba saja aku ketemu dia lagi. Ternyata dia tidak
mengenali aku. Karena itu tiba-tiba saja aku mendapat
ide untuk membalas sakit hatiku kepadanya. Aku akan
berpura-pura menggandrunginya dan setelah dia takluk
olehku maka dia akan kutinggalkan begitu saja.
Ternyata setelah bersusah payah dia sama sekali tidak
bisa kutaklukkan. Aku kalah, An. Tapi bukan itu saja.
Masih ada yang lebih aneh lagi. Setelah dia menolakku,
tiba-tiba aku mendapati perubahan seleraku. Aku jadi...
jadi menyukai perempuan!"
Kalimat terakhir itu sangat mengejutkan
Andre. Dia seolah terkena pukulan keras. Wajahnya
yang sudah putih kian memucat dan matanya
membelalak. Alasan yang dikatakan Tony itu sama
sekali di luar persangkaannya yang paling jelek
sekalipun. Jadi penyebabnya adalah perempuan!
178 / 460 Sesungguhnya dia merasa sanggup bersaing dengan
siapa saja dan juga mampu memecahkan masalah
paling rumit, tapi bukan bersaing dengan lawan
jenisnya! Tony memahami efek kata-katanya atas diri Andre. Dia
memandang dengan iba. "Kau tentu mengerti
keadaanku, bukan? Maafkan aku."
"Aneh sekali. Kau berpura-pura menyukai perempuan,
tapi kepura-puraan itu ternyata jadi beneran.
Mungkinkah itu?"
"Nyatanya begitu. Mungkin aku terlalu serius. Aku
terlalu ambisius ingin mengalahkannya. Ah, kau tentu
sulit percaya, bukan? Bahkan aku sendiri merasa heran
padahal itu terjadi atas diriku sendiri. Tiba-tiba saja aku
melihat perempuan secara... secara lain. Mereka jadi..."
"Cukup!" potong Andre. "Tak perlu kauperinci lagi
perasaanmu itu."
Kata-kata Andre itu kedengaran emosional di telinga
Tony. Takutkah Andre mendengar ungkapan perasaan
nya tentang perempuan? Takut terpengaruh atau
cemburu? "Baik. Sekarang kau sudah tahu semuanya. Betapapun
anehnya, itulah yang terjadi."
179 / 460 Andre mengetuk-ngetukkan jarinya di atas meja.
Matanya memandangi jari-jarinya sendiri.
Tony membiarkan dan menunggu. Dia lega karena
merasa sudah menyelesaikan masalahnya dengan baik.
Sementara reaksi Andre masih berada dalam batasbatas yang bisa diterima.
Kemudian Andre mengangkat kepalanya dan menatap
lurus kepada Tony.
"Ton, apa kau sendiri menyukai keadaanmu yang
sekarang? Apakah kau menyesali perubahan ini?"
Tony perlu berpikir dulu. "Entahlah, An. Aku belum
tahu. Aku masih bingung," katanya tanpa balas
memandang pada Andre. Dia tak ingin Andre
menemukan kebohongan jawabannya. Bukankah pada
saat pertama dia merasakan perubahan itu dia bersorak
senang? Ketika itu dengan spontan dia berterima kasih
kepada Melanie. Sesungguhnya, dasar dari sikap
spontannya itu adalah keinginan yang kuat untuk
menjadi normal! Dia ingin normal dan karenanya bisa
menjadi bagian dari masyarakat mayoritas.
Mungkinkah keinginan itu yang telah membantu
terjadinya proses perubahan dalam dirinya? Kalau
memang benar, maka jelaslah bahwa perubahan itu
tidak terjadi dengan sendirinya. Jadi bukan pula
sesuatu yang aneh atau ajaib.
180 / 460 "Lantas, apa kau sudah mempraktekkan keadaan itu?"
Tony bisa menduga apa maksud pertanyaan itu. Tapi
dia perlu waktu untuk memikirkan jawabannya. Jadi
dia pura-pura tidak mengerti. "Apa maksudmu, An?"
"Apa kau sudah berhubungan dengan perempuan?
Seks?"
"Oh itu. Sudah," jawab Tony mantap. Kalau dia
menjawab sebaliknya, maka Andre akan menganggap
dirinya masih punya peluang.
"Kau puas?" tanya Andre dengan pandang mata seakan
menembus kepala Tony.
"Ya," jawab Tony ragu-ragu.
Wajah Andre tampak sakit. Matanya berkejap sebentar.
Beberapa saat dia diam. Tampaknya dia tengah
bergulat mengatasi kepedihannya.
"Kau akan menemukan orang lain, An," hibur Tony.
Andre tak mempedulikan kata-kata itu. "Siapa sih
perempuan itu, Ton? Dan tinggalnya di mana?"
Tony tak keberatan memberitahu. "Untuk apa sih,
An?" tanyanya.
"Kalau suatu saat aku ke Bogor, aku akan mampir di
sana. Aku kepingin lihat seperti apa sih tampangnya."
181 / 460 Tony terkejut. "Kau tak perlu melakukannya. Apa
untungnya buatmu?" dia protes.
"Aku cuma ingin tahu. Punya kelebihan apa sih dia
itu!"
Tony mengangkat bahu. Biarlah Andre melihat
Melanie. Dengan demikian Andre akan dapat
menyadari di mana sebenarnya kelebihan Melanie.
Tentu saja karena Melanie adalah perempuan! Tony
merasa geli menyimpulkan hal itu. Tapi kata-kata
Andre kemudian menghilangkan rasa gelinya.
Melanie Karya V. Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Jangan-jangan perubahanmu itu disebabkan karena
kau sesungguhnya jatuh cinta kepadanya!"
Tony terkejut. Dia memandang heran sejenak. Lalu dia
tertawa. "Mana mungkin! Aku benci dia!" serunya.
Tapi begitu saja dia berhenti tertawa. Tatapan Andre
membuatnya kaku. Dia merasa dicekam kengerian.
Belum pernah dia melihat Andre menatap seperti itu.
Tatapan yang biasanya lembut dan manis itu kini
berubah garang dan beringas.
"Percayalah padaku, An. Itu mustahil. Kau mengadaada," Tony mencoba meredakan.
Kegarangan di mata Andre sudah memudar. Lalu
menjadi biasa kembali. Lembut. Sedih. Tapi Tony
tidak lagi merasa iba. Dia menganggap sikap dan
182 / 460 pendapat Andre terlalu berlebihan. Dan sebabnya tentu
karena cemburu atau ingin mendominasi belaka.
"Kalau bukan begitu, mana mungkin kau bisa berubah?
Kau bukan gay lagi. Kau bukan kaumku lagi. Kau
sudah muak kepada kami. Berubah seperti itu kan
susah. Banyak yang setengah mati berusaha tapi tidak
bisa. Kok kau bisa? Pasti karena kau jatuh cinta!"
"Tidak mungkin! Aku dendam dan benci kepadanya!"
kata Tony kesal.
"Benci?" Andre tertawa sinis. "Bukankah benci bisa
berubah menjadi cinta?"
Sret. Sret. Darah Tony naik ke muka hingga warnanya
memerah. Dia berusaha menahan-di-ri. Tapi
kemarahannya susah dibendung. Cepat-cepat dia
mengeluarkan dompetnya lalu mengeluarkan beberapa
helai lembaran uang kertas dan meletakkannya di atas
meja. "Aku sudah berusaha membuat masalah ini lebih
mudah bagi kita. Aku sudah berusaha menenggang
rasa. Aku tidak ingin kau terlalu sakit. Tapi kau sendiri
tidak melakukan hal yang sama. Kau mendesakku
terus. Sudah kukatakan, aku benci Melanie. Sekarang,
aku juga benci kau!"
Lalu Tony berdiri dan pergi meninggalkan Andre
termangu di belakangnya. Dia tidak menoleh lagi dan
183 / 460 karenanya juga tidak melihat bahwa tatapan Andre
yang sayu itu berubah lagi.
"Cinta pun bisa menjadi benci," gumam Andre.
Tentu saja Tony tidak bisa mendengar kata-kata itu.
184 / 460 XIII Dahlia merasa tidak perlu berkonsultasi dulu dengan
Utomo bila akan melakukan sesuatu yang berhubungan
dengan masalah Tony. Dia yakin, Utomo sendiri tidak
menghendaki hal itu. Yang dibutuhkan dari Utomo
hanyalah uangnya. Nyatanya Utomo juga tidak
menanyakan apa yang akan dilakukannya bila dia
minta uang, walaupun dalam jumlah yang lumayan
besarnya. Karena itu dia jadi merasa bebas dan bersemangat.
Sepertinya dia menjadi dua puluh tahun lebih muda.
Sayang itu cuma perasaan belaka, pikirnya ketika
memandangi penampilannya di cermin. Tapi dia
merasa puas karena dia tampak lain daripada biasa.
Dengan mengenakan wig pendek keriting, tata rias
muka yang sederhana, kacamata yang kebesaran dan
pakaian yang modelnya klasik tapi jelas dari bahan
mahal, dia memang tampak lain. Sesungguhnya dia
tidak berusaha untuk menampakkan citra tertentu, tapi
sekadar supaya kelihatan lain.
Atau supaya dia tidak mudah dikenali sebagai Nyonya
Dahlia Utomo.
185 / 460 Pada hari yang sudah ditentukannya itu dia sengaja
menyuruh Pak Udin melakukan tugas yang
mengharuskannya keluar rumah. Dia ingin
mengemudikan kendaraannya sendiri dan dia pun tak
ingin dilihat Pak Udin dalam penampilannya yang lain
itu. Sebabnya, pertama dia tak ingin Pak Udin
mengetahui tempat yang akan dikunjunginya dan
kedua jangan sampai Pak Udin menyebarkan isu yang
berlawanan dengan kenyataan, apalagi sampai
diketahui Tony. Hal terakhir itulah yang harus
dijaganya mengingat masalahnya berhubungan dengan
Tony. Dengan hati-hati Dahlia mengemudikan kendaraannya.
Agak canggung pada mulanya. Tapi tak lama
kemudian dia sudah berhasil menguasai kendaraannya
dengan baik dan juga situasi sekitarnya. Lalu-lintas di
Jakarta sering tidak menyenangkan dan dia sudah
terbiasa menggunakan sopir.
Dia menuju arah selatan. Kebayoran Baru. Alamatnya
sudah berada di kepalanya. Dia memperolehnya
hampir secara kebetulan dari seorang nyonya
kenalannya lewat pergunjingan seru perihal kenakalan
suami dari teman nyonya itu. Teman itu menangkap
basah suaminya berada di alamat tersebut. Padahal
alamat tersebut sudah terkenal (tentu saja di kalangan
tertentu) sebagai sarang "bunga-bunga liar"
186 / 460 yang hanya bisa diperoleh dengan tarif tinggi. Dan
Dahlia yakin, tarif tinggi itu tentunya sesuai dengan
kualitas "barang" yang ditawarkan. Jadi sesuai dengan
rencananya.
Sepanjang jalan dia memikirkan rencananya itu.
Sesungguhnya dia merasa ngeri membayangkan
dirinya sebagai wanita terhormat sampai berkunjung ke
tempat begituan. Tapi kalau dia melulu memikirkan
kengerian itu tentunya dia sudah memutar arah. Demi
Tony dia harus berani. Karena itu tekadnya berjalan
terus. Apalagi dengan munculnya rasa sensasi.
Ternyata perasaan itu menyenangkan. Enak sekali
sebagai variasi dari hambarnya kehidupan sehari-hari.
Sesuatu yang lain. Menantang tapi menjanjikan.
Mengandung harapan tapi juga tak memastikan.
Alamat itu sebuah gedung mewah berpagar tinggi dan
rapat. Sama sekali tak tampak apa-apa dari luar. Sepi
dan sunyi bagaikan tak ber-penghuni. Keadaan itu
membuatnya bingung. Bagaimana caranya masuk?
Tentu penghuni rumah tak sembarangan membuka
pintunya untuk orang tak dikenal. Sedang dia tak
membuat janji lebih dulu. Dan lebih dari itu, dia
perempuan setengah baya. Kalau dia lelaki atau gadis
muda dan cantik masalahnya akan lain.
Dia memarkir mobilnya beberapa meter dari rumah itu.
Dan setelah mengumpulkan keberaniannya dia keluar
187 / 460 lalu berjalan pelan-pelan. Sengaja mengulur waktu
supaya bisa berpikir. Tapi sampai di muka pintu
gerbang dia tidak memperoleh sesuatu. Tak bisa lain
dia harus menempuh cara biasa kalau mau berkunjung
ke rumah orang. Mengetuk pintu atau membunyikan
bel kalau ada.
Tapi dia tak tahu di mana letak bel. Mungkin juga tak
ada. Sedang pintu dari besi itu menyakitkan buku
jarinya bila diketuk padahal bunyinya tak nyaring.
Mana mungkin terdengar dari dalam. Dia jadi merasa
seperti orang dungu. Dan serta-merta timbul keraguan
yang menggelisahkan. Bagaimana kalau alamatnya
salah? Tahu-tahu penghuninya orang baik-baik. Wah,
dia bisa dimaki orang. Pikiran itu menakutkan.
Tengah kebingungan seperti itu, sebuah taksi berhenti
di dekatnya dan seorang perempuan muda keluar.
Perempuan itu memandang kepadanya seakan
bertanya-tanya apa gerangan yang dibutuhkannya.
Suatu cara memandang yang seolah menandakan
bahwa dia salah seorang penghuni rumah itu.
Dalam waktu singkat itu Dahlia pun balas menatap
dengan kritis, dan mencoba menilai. Kalau perempuan
itu memang penghuni rumah itu dan kalau dia memang
tak salah alamat, mestinya perempuan itu merupakan
salah satu "barang" yang dijajakan di sana. Tapi
188 / 460 tatapannya yang kritis itu membuatnya ragu-ragu.
Sepertinya tidak mungkin.
Perempuan muda itu mendekatinya. Semakin dekat
semakin membuatnya ragu-ragu. Wajah perempuan itu
manis, mengingatkannya pada seseorang yang pernah
dikenalnya tapi belum teringat. Demikian pula postur
tubuhnya yang gagah dan lincah bergerak. Dia masih
muda, maksimal dua puluhan. Dan kalau bukan karena
pakaiannya yang mengesankan kedewasaan, bisa saja
dia disangka remaja. Bukan itu saja yang meragukan.
Penampilannya sederhana dan tingkahnya pun biasabiasa saja. Serba wajar. Jelas jauh dari gambaran
seorang pelacur yang sepertinya harus punya ciri serba
berlebihan dalam berdandan. Ya, kemungkinan besar
dia memang bukan pelacur. Dia gadis baik-baik.
"Tante cari siapa?" tanya si gadis dengan senyum
manis. Tatapannya mengandung rasa ingin tahu
bercampur heran, hingga Dahlia tersipu. Dia menjadi
gugup dan juga jengkel.
"Saya... saya mau ketemu sama pemilik rumah ini,"
jawab Dahlia.
"Pemilik rumah?" tanya si gadis sambil mengerutkan
kening. "Siapa ya?"
"Saya tidak tahu namanya. Apakah Adik tinggal di
situ?"
189 / 460 "Ya."
Dahlia tertegun sebentar dan kembali mengamati si
gadis. Jangan-jangan dia memang salah alamat. Tapi
dia juga tak ingin mundur setelah setengah jalan
ditempuh. Dan kalaupun gagal, dia harus merasa pasti
lebih dulu.
"Kalau Adik tinggal di situ, tentu tahu namanya."
"Tante Nani? Dia induk semang kami."
"Induk semang?" tanya Dahlia mulai berseri. Janganjangan memang tak salah alamat. Yang disebut induk
semang itu bisa juga berarti germo. Tapi dia pura-pura
menanyakan, "Jadi di sini terima kos?"
Si gadis menatap heran campur geli. Lalu dengan cepat
tatapannya menyapu tubuh Dahlia, dari atas ke bawah.
"Jadi Tante mau kos?" tanyanya tersenyum. "Sayang
sudah penuh, Tante."
Dahlia merasa diejek. Dia memahami arti tatapan gadis
itu. Ada ejekan tersembunyi di situ. Sepertinya dia tak
tahu diri mau ikut bergabung di rumah itu. Ya,
bergabung sebagai pelacur! Kejengkelan membuatnya
tak ingin lagi bertenggang rasa. Penampilan luar
seseorang belum tentu sama dengan dalamnya. Kalau
dia memang salah terka, paling-paling kena maki, lalu
sudah. Dia tentu akan minta maaf, melenggang pulang
dan melupakan semua rencananya.
190 / 460 "Saya bukan mau kos di sini, Dik. Saya punya urusan
bisnis," katanya tegas.
Si gadis mengerutkan kening. "Bisnis apa, Tante?"
tanyanya heran.
"Ah, jangan pura-pura nggak tahu."
"Betul saya nggak tahu, Tante."
Si gadis menantang mata Dahlia. Wajahnya tampak
lugu dan tak berdosa. Penampilan yang benar-benar
membuat Dahlia kembali ragu-ragu. Dia merasa tak
tega menyakiti hati gadis yang manis ini. Dia akan
merasa bersalah telah menuduh secara kejam. Tapi
kemudian dia teringat kembali akan kepentingannya.
Dia tidak boleh membuang waktu.
"Saya tahu mengenai tempat ini dari seorang teman
yang jadi langganan. Ya, tentu saja teman itu lelaki."
Dahlia menangkap kecemasan di mata si gadis. Dan
mata itu pun tak lagi menatap lurus melainkan
mengarah entah ke mana. Sikap gadis itu tampak
gelisah. Hal itu membuat Dahlia semakin yakin. Dan
karenanya dia merasa tak perlu lagi bersikap respek.
"Kamu tak usah khawatir. Saya datang ke sini bukan
untuk melabrak atau bikin ribut. Kalau memang mau
begitu pasti saya tak akan datang sendirian. Tapi seperti
191 / 460 saya katakan tadi, saya punya urusan bisnis. Ya, bisnis
gituan."
Si gadis tampak ragu-ragu. Tapi pada saat itu tiba-tiba
Dahlia mendapat ide. Tidakkah gadis di depannya ini
cocok dengan rencananya? Semakin dia mengamati
Budha Pedang Penyamun Terbang 11 Jaka Sembung 13 Pertarungan Terakhir Inferno 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama