Melanie Karya V. Lestari Bagian 5
lalu..."
"Ah, jangan mengada-ada. Ini kan di tengah kota.
Ramai lagi. Kamu bisa berteriak kalau aku berani. Aku
tak segila itu, Mon."
"Lantas, maumu apa sih?"
"Aku cuma ingin memberi penjelasan atas perbuatanku
tempo hari."
"Tidak perlu!"
"Tapi bagiku perlu. Kalau tidak, aku akan terus
berutang padamu."
Monika menatap lurus wajah Tony. Aduh, ketampanan
nya itu sungguh memabukkan, keluhnya dalam hati.
Sesungguhnya wajah itu amat menyenangkan walau
hanya untuk dipandangi. Apalagi kalau bisa dibelai
dan... "Ayo?" bujuk Tony mendapat hati.
Monika masih ragu-ragu. Antara ingin dan tidak.
Antara tergoda dan takut. "Janji kau cuma mau
menjelaskan?" katanya menegaskan.
377 / 460 "Ya. Tapi kalau kau mau, kita sekalian makan. Atau
makan dulu baru ngomong," kata Tony sambil
menekan perutnya tanda lapar.
Monika merasa lapar juga. Tapi dia khawatir
dibohongi.
"Baiklah. Tapi kita makan di situ saja," katanya sambil
menunjuk. "Di situ ada kafetaria. Cukup jalan kaki.
Kita makan nasi rames saja."
Tony terpaksa menyetujui. Yang penting dia sudah
berhasil melunakkan hati Monika. Di mana pun
tempatnya dan apa pun yang dimakan tidak perlu jadi
persoalan.
Ternyata kafetaria yang dimaksud cukup sepi dan
tenang. Belum banyak orang yang dagang untuk
makan. Mungkin karena baru jam sebelas. Sedang
makanannya pun tak begitu mengecewakan untuk lidah
Tony walaupun terlalu sederhana baginya.
"Kita makan dulu, ya. Supaya kamu tidak sampai
tersedak bila mendengar ceritaku yang mengejutkan,"
kata Tony setengah bergurau.
Monika tidak membantah. Dia makan dengan cepat.
Sementara itu ketenangannya dan keberaniannya pun
meningkat. Dia tidak lagi emosional seperti pertama
kali melihat Tony.
378 / 460 "Nah, ceritalah," katanya sambil membersihkan
mulutnya. "Kau masih ingat nama Melanie?" Tony mulai.
"Ya, tentu saja. Aku curiga bahwa kau sudah keliru
melihat diriku sebagai seseorang yang lain. Melanie?"
"Betul. Dialah yang jadi penyebab utama kenapa aku
jadi seperti sekarang ini. Tapi karena kau perempuan,
kemungkinan kamu akan memihak dia pada awal
ceritaku. Jadi tolong jangan segera menghakimi
sebelum ceritaku selesai. Di samping itu kamu tahu
juga, bahwa sebelum ini aku tidak pernah
menceritakannya pada orang lain. Bahkan juga kepada
temanku yang paling akrab. Kamu adalah yang
pertama dan mungkin cuma satu-satunya."
"Tunggu dulu. Kenapa justru aku?"
"Entah kenapa, peristiwa di Puncak itu jadi membuatku
dekat denganmu. Aku merasa telah dibebaskan olehmu
dari beban yang mengimpitku selama ini, tapi aku juga
merasa berdosa karena caranya seperti itu. Itu sebabnya
aku mengatakan padamu tadi, bahwa aku berutang
padamu kalau tidak menjelaskan. Padahal aku bisa saja
tidak perlu menemuimu lagi. Sama seperti perkataan
mu sendiri tadi. Rasa bebasku itu tidak akan sempurna
bila aku tidak bertemu kamu lagi."
379 / 460 "Bebas dari apa?" tanya Monika heran. Dia merasa
bingung. "Bebas dari sesuatu yang telah mengimpit dan
menindihku selama bertahun-tahun. Kebencian dan
dendamku pada Melanie! Nah, kau semakin bingung,
bukan? Itu sebabnya paling baik aku cerita dulu dari
awal."
Monika setuju dan berjanji tidak akan memutuskan
cerita Tony. Dengan singkat tapi lengkap Tony
menceritakan masa lalunya bersama Melanie.
"Ya. Aku memang berandal. Tapi banyak anak muda
yang lebih berandal lagi, kan? Oh, aku bukan cari
alasan. Tapi andaikata Melanie mau berbuat lain,
pastilah jalan hidupku juga akan lain. Aku sudah
berjanji dan memohon akan menebus dosa, asal saja
jangan sampai dituntut hingga masuk penjara. Tapi dia
begitu tegar dan keras. Tak ada maaf, tak ada ampun.
Dia sungguh mengerikan kalau sudah begitu."
Ketika Tony diam sejenak Monika belum berani
menginterupsi. Dia sudah berjanji dan cerita belum
selesai. Lalu Tony melanjutkan ceritanya hingga paling akhir
dia berusaha membohongi Melanie dengan wajah
barunya tapi tak berhasil. Selanjutnya sampai pada
perubahan selera seksnya hingga pertemuannya
380 / 460 dengan Monika lalu dorongan keinginan mencoba.
Tapi ternyata berakhir secara tak terduga.
"Maafkan sekali lagi, Moni. Yang seperti itu sama
sekali di luar rencana. Dan sungguh mati, aku bukan
cuma memandangmu sebagai objek seks untuk sekadar
dicoba saja, tapi benar-benar tertarik padamu. Aku
suka kamu. Bukan gombal, Moni. Terserah kamu, mau
percaya atau tidak. Tapi aku bukan maniak sadis. Sama
sekali bukan. Ketika itu aku lihat kamu kok seperti
Melanie. Aku ingat dia. Dendamku bergolak. Lalu aku
mengamuk melepaskan semua yang kupendam selama
ini. Tak heran kalau kemudian aku merasa kosong. Ya,
beban itu sudah kubuang. Tapi aku salah sasaran!
Karena itu kemudian aku menyesal dan kubiarkan
kamu membalas tanpa perlawanan sedikit pun. Sakit
sekali memang. Tapi anehnya aku malah jadi semakin
dilegakan, semakin bebas dari impitan. Kenapa?
Ternyata setelah kurenungkan kemudian, aku juga
menyimpan perasaan bersalah kepadanya. Aku dan dia
memang telah saling merusak hidup masing-masing.
Dengan membiarkan kamu sepuasnya menyakiti
diriku, maka rasanya jadi impas. Nah, itulah ceritaku.
Selanjutnya terserah bagaimana penilaianmu."
Bulu roma Monika berdiri. "Kau gila," katanya pelan.
"Ya, mungkin aku memang gila. Tapi kegilaan itu
sudah berlalu."
381 / 460 "Baru mungkin, tapi belum pasti."
"Aku yakin karena aku merasakannya sendiri. Di saat
mendatang bila kita... kita mencoba lagi, pasti tidak
akan terjadi seperti itu."
Monika menatap dengan kengerian di matanya.
"Mencoba lagi? Tidak akan!"
"Setidaknya kau jangan memutuskan hubungan
denganku, Moni. Kita terus berteman, ya? Selama
waktu itu kau bisa bebas menilai diriku."
"Kau bisa saja berpura-pura. Mana aku tahu isi
hatimu."
"Aku sudah bercerita, bukan? Cuma kepadamu
seorang, Moni. Bahkan kepada ibuku sendiri tak
pernah aku bercerita sebegitu banyak."
Monika mempercayai kata-kata Tony itu. Kalau
Nyonya X sudah tahu semuanya tentang Tony pasti dia
tidak perlu menyewanya. Tapi dengan demikian
pendiriannya kembali goyah. Wajah Tony tampak
memelas, seperti bocah tampan yang barusan mengaku
dosa, dan ceritanya begitu memukau. Tanpa bisa
dicegah dia kembali merasakan daya tarik yang dulu,
seperti yang dirasakannya dalam perjumpaan pertama
mereka. Di samping itu segala rasa sakit yang dulu itu
juga sudah tak ada lagi. Cuma pengalaman saja yang
382 / 460 mengingatkan. Dengan bekal itu dia berupaya menahan
godaan. "Lantas apa yang kauinginkan dariku, Tony? Kau
sudah memiliki segala-galanya. Carilah perempuan
lain. Pasti banyak yang mau."
"Tidak bisa, Moni. Cuma kamu yang tahu dan mengerti
tentang diriku. Perempuan lain tidak."
"Kau cuma mengada-ada saja. Ton. Kau belum
mencoba. Sejak perubahan selera seksmu kau tidak
banyak bergaul dengan perempuan, bukan? Baru aku
seorang saja. Nah, luaskanlah pergaulanmu supaya kau
bisa memilih lebih baik."
"Aku tidak mau memilih-milih lagi, Moni. Terus
terang kuakui, walaupun selera seksku boleh dikata
normal, sebenarnya masih ada hal-hal yang
mengganggu. Untuk bergaul dengan kaum perempuan
sebagai sesama makhluk sosial sih bisa saja, tapi untuk
bisa lebih akrab ternyata sulit. Aku masih merasa sebal,
segan, antipati, dan... ah, pendeknya tidak suka. Tapi
denganmu justru tidak. Aku merasa cocok denganmu.
Aku ingin serius, Moni."
Monika tertegun. Dia merasa bingung dengan
kebimbangan. Akhirnya dia berkata tanpa nada pasti,
"Aku... aku tidak tahu, Ton."
383 / 460 "Kau masih takut padaku? Yang kubutuhkan adalah
kepercayaan."
"Bukan itu. Bagaimana mungkin kau bisa yakin akan
diriku kalau kau belum tahu siapa aku?"
"Aku sudah tahu."
"Tidak mungkin. Sebelum bertemu denganmu, aku
punya profesi yang dihinakan orang. Ton. Aku seorang
pelacur."
Tony terkejut. Lalu dia memandang dengan tatap tak
percaya. "Ah, kau ngomong begitu supaya aku lari,
bukan?"
Sesungguhnya pengakuan itu terpaksa diucapkan
Monika sebagai upayanya menangkal godaan Tony.
Ah, betapa menyenangkan menjadi pacar lelaki seperti
Tony asal... sepertinya keinginan memiliki dan
ketakutannya berbanding sama.
Dengan suara berat Monika menjawab, "Tidak. Aku
mengatakan yang sesungguhnya. Dulu profesiku
wanita panggilan. Karena itu aku tidak mau
mengatakan di mana aku tinggal karena aku bernaung
di bawah seorang germo."
Tony termangu memandangi piring kosong di
depannya. Dia menimbang-nimbang. "Tapi setelah
384 / 460 berkenalan denganku kau pindah ke tempat kos. Berarti
kau sudah berhenti, bukan?" katanya kemudian.
"Ya. Tapi apalah artinya."
"Ah, besar sekali artinya. Niatmu sudah baik. Itu patut
dihargai. Kau tentu serius dengan tawaran pekerjaan
dariku. Masih terbuka kok, Moni. Tetap seperti semula.
Bulan depan jadi mulai, ya?"
"Entahlah. Aku tidak yakin lagi."
"Lho, habis kau mau kerja apa?"
"Aku masih punya uang simpanan."
"Lama-lama kalau dimakan terus habis juga. Ayolah,
bekerja saja."
"Pikirkan akibatnya, Ton."
"Akibat apa?"
"Kau bisa menanggung malu mempekerjakan seorang
bekas pelacur. Bayangkan bila ada relasimu yang
kebetulan bekas pelangganku lalu dia melihatku di
sana."
"Aku tidak peduli. Ini zaman gila, Moni. Banyak
perempuan punya profesi ganda. Di muka umum dia
punya pekerjaan halal, punya karier, tapi diam-diam
dia juga melacur. Tapi kamu terang-terangan. Ah, aku
tidak mau munafik."
385 / 460 Monika sangat tersentuh oleh ucapan itu. Mau rasanya
dia memeluk Tony lalu melupakan ketakutannya.
"Aku nggak sangka kau bisa ngomong seindah itu."
Tony tertawa. "Aku memang belum pernah ngomong
seperti itu kepada perempuan mana pun di dunia ini.
Cuma kamu. Belum juga yakinkah kau bahwa kita
cocok satu sama lain? Kita sama-sama tidak putih kok.
Sama-sama belepotan."
"Memangnya kamu tetap serius?"
"Oh, tentu saja. Jadi kita tetap berhubungan?"
Monika termangu. Ternyata kebimbangannya tinggal
sedikit lagi.
"Sudahlah. Jangan takut lagi padaku. Percayalah
bahwa kegilaan itu sudah berlalu. Tak akan kembali
lagi."
"Sungguh, Ton? Janji?"
"Ya!"
Dengan girang Tony meraih tangan Monika lalu
meremasnya. "Hei, bagaimana kalau kita hidup
bersama?" tanya Tony bersemangat.
Monika terkejut lalu menarik tangannya. "Tidak!"
katanya tegas.
386 / 460 "Kenapa tidak?" tanya Tony kecewa.
"Bukan itu maksudku. Kau minta terlalu banyak, Ton.
Aku tidak mau jadi peliharaanmu. Kalau kau mau tahu,
sudah banyak lelaki yang memintaku seperti itu. Aku
tidak mau terikat."
Melanie Karya V. Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku kan lain dibanding mereka, Moni. Mereka lelaki
beristri. Aku tidak. Aku milikmu sepenuhnya. Kita
saling memiliki. Bukan berarti aku memeliharamu."
Monika menggeleng-gelengkan kepalanya. Lalu dia
menceritakan perihal angan-angannya ke Amerika.
"Kalau kau mau jalan-jalan ke sana, besok pun bisa
kuajak. Mau?"
"Oh, bukan itu. Aku tidak mau sekadar jalan-jalan. Aku
ingin tinggal di sana."
"Dengarkan, Moni. Aku pernah lama tinggal di
Amerika. Dari pengalamanku, tempat itu bukanlah
surga tanpa derita. Tak kurang hambatan dan kesulitan
yang bisa kita alami. Bahkan mungkin lebih banyak
daripada di sini. Nyatanya aku memilih kembali
walaupun di sini namaku sudah tercoreng. Satu-satu
nya bekal keberanianku adalah wajahku yang sudah
berubah."
387 / 460 "Aku tahu tentang penderitaan itu, tapi aku lebih suka
berada di tempat orang tidak memandangku dengan
penghinaan."
Tony menarik lagi tangan Monika untuk dipegangi dan
dielus-elus.
"Aku mengerti, Moni," katanya penuh simpati. "Aku
juga pernah mengalami seperti itu. Ketika aku baru
keluar dari penjara, orang-orang memandangku dengan
cemooh dan penghinaan di mata mereka. Benci sekali,
bukan? Sepertinya orang-orang itu putih bersih."
Simpati yang diperlihatkan Tony itu membuat
pertahanan Monika luluh. "Terima kasih, Tony,"
katanya lirih.
"Begini, Moni. Kalau kau memang keras hati ingin ke
sana, nanti kubantu. Tapi untuk itu membutuhkan
waktu, bukan? Kau sendiri belum selesai dengan
kursusmu. Selama waktu itu kita bisa tinggal bersama
supaya... ya, supaya lebih dekat tentunya."
"Dengan tinggal bersama kita jadi lebih gampang
menemukan kejelekan masing-masing lalu kita
bertengkar dan berusaha untuk saling menyakiti.
Kemudian bubar membawa sakit hati."
"Tapi itu risiko, Moni. Kita toh mengawalinya dengan
iktikad baik. Lagi pula dengan tinggal berjauhan pun
bukan berarti tak ada risiko serupa. Kalau kau setuju
388 / 460 aku akan segera mencari rumah yang cocok. Sudah
tentu aku akan minta persetujuanmu juga."
Monika tersenyum. Dulu ketika remaja, hal semacam
itu menjadi angan-angannya. Seorang suami dan
sebuah rumah. Alangkah berbeda dengan kenyataan
sekarang. Tony senang melihat senyum
menafsirkannya sebagai persetujuan.
Monika. Dia "Jadi oke, ya?" tegasnya.
"Kau melupakan satu hal, Ton. Orangtuamu!" ,
"Ah, kau juga lupa bahwa aku bukan anak kecil lagi.
Aku sudah dewasa dan kehidupan pribadiku adalah
hakku."
Monika merasa ngeri membayangkan bagaimana
reaksi Nyonya X nanti.
"Mereka akan marah besar, Ton. Kalau aku perempuan
baik-baik mungkin bukan persoalan. Tapi..."
"Bagiku, kau adalah perempuan baik-baik."
Monika menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kau keras
hati. Tidak kusangka, Ton."
"Sudahlah. Jangan pikirkan orangtuaku. Pikirkan saja
diri kita berdua."
389 / 460 Akhirnya Monika menyatakan setuju. Lalu Tony yang
kegirangan menariknya ke luar untuk kemudian
memasuki mobil.
"Oh Mon, aku sangat ingin memelukmu!" serunya.
"Sabarlah," kata Monika tersenyum.
"Moni, mestinya kita merayakan hal ini."
"Nanti saja."
"Hei, tidak senangkah kau?"
"Tentu aku senang. Tapi aku masih takut akan
akibatnya."
"Ah, jangan katakan bahwa kau masih takut padaku.
Percayalah, Mon. Aku sekarang amat yakin akan
diriku. Aku tak punya masalah lagi"
"Ya, ya. Aku percaya."
Tony memperhatikan wajah Monika sebentar. Lalu dia
berkata lembut, "Apakah luka-luka di tubuhmu
meninggalkan bekas, Moni?"
"Ya. Sedikit."
"Aku juga. Sedikit."
Keduanya tertawa. Monika mengulurkan tangannya
yang segera disambut dengan genggaman erat oleh
Tony. 390 / 460 "Moni, bekas luka itu justru akan mengingatkan aku
setiap kali kita..." Tony terdiam lalu tersipu.
"Setiap kali apa?"
"Maksudku, bekas-bekas itu akan selalu mengingatkan
aku untuk tidak melakukannya lagi."
Monika tersenyum. "Ya. Kuharap begitu," katanya
optimis. Dia merasa bahagia walaupun masih ada
sedikit kecemasan terhadap tantangan yang akan
dihadapinya kelak. Apakah sepatutnya dia berterima
kasih kepada perempuan yang tak pernah dan mungkin
tak akan dikenalnya, bernama Melanie?
*** Pada mulanya Tony tak ingin berterus terang kepada
orangtuanya, terutama kepada ibunya, kenapa dia
memutuskan untuk hidup terpisah. Tapi setelah
berpikir berulang kali dia merasa lebih baik berterus
terang saja. Ibunya tidak mudah dibohongi dan akan
terus mengorek sampai mengetahui masalahnya. Lagi
pula dia menyimpulkan bahwa ibunya tentu akan
merasa terhibur, walaupun tak setuju, bahwa dia akan
hidup seatap dengan perempuan.
Benar saja. Dahlia tak kepalang kagetnya. "Tentu,
Mama senang bahwa kau sudah normal lagi sekarang.
Tapi, kenapa harus kumpul kebo? Bukankah lebih
391 / 460 terhormat kalau kau kawin saja bila perempuan itu
memang orang baik-baik?" teriaknya.
"Kawin itu soal gampang, Ma. Yang penting
penyesuaian dulu."
"Ala, mentang-mentang kamu lama tinggal di
Amerika, ya. Kamu lupa, di sini bukan Amerika. Dan
kamu juga bukan orang Amerika. Apalagi siapa
gerangan gadismu itu. Kenapa tak kauperkenalkan
kepada orangtuamu lebih dulu sebelum kamu serius
sama dia. Tanya-tanya pendapat kami dulu. Minta
persetujuan. Jangan melangkahi!"
"Saya sudah dewasa, Ma."
"Memang betul. Tapi sebelum dewasa kamu kan kecil
dulu!"
"Tenang,
Ma. menyabarkan.
Tenang,"
Utomo mencoba "Saya pikir, Mama akan senang kalau sekarang saya
menyukai perempuan," keluh Tony. "Lantas, apakah
sebaiknya saya kembali ke dulu lagi?"
Dahlia terkejut. Tentu saja dia tidak rela kalau Tony
kembali menjadi lelaki homo. Dan dia memang senang
bahwa Tony sudah menjadi lelaki normal sesuai
dambaannya. Tapi perasaan bahwa Tony melangkah
terlalu jauh dan melangkahinya juga, sangat melukai
392 / 460 hatinya. Mentang-mentang sudah normal lantas
bertindak seenaknya sendiri. Padahal dia sudah
berusaha dengan segala kemampuannya bahkan
merendahkan martabatnya sendiri dengan menyewa
seorang pelacur, Utomo menepuk-nepuk pundak
istrinya dan berbisik, "Bukankah seharusnya kau
senang, Ma? Ayolah, jangan marah dulu. Biar Tony
puas menikmati kenormalannya dulu."
Dahlia menjadi lebih sabar. Lalu dia teringat akan
cerita Monika. Sesungguhnya, normalkah Tony? Dan
siapa gerangan perempuan yang mau hidup
bersamanya, bila dia memang sadis seperti cerita
Monika? "Siapa perempuan itu, Tony?"
"Dia sangat cantik, Ma. Orangnya penuh pengertian.
Dan dia sudah tahu semua masa lalu saya tanpa sedikit
pun menghakimi," cerita Tony sambil mengenang
dengan penuh kepuasan kencan terakhirnya bersama
Monika. Ketika itu mereka melewatkan waktu di
sebuah motel tepi pantai di mana dia berhasil
membuktikan kejantanan dan kenormalannya kepada
Monika. Janji dan keyakinannya sudah dia buktikan,
baik kepada Monika maupun kepada diri sendiri. Dia
serasa sempurna sebagai manusia dan bahagia
karenanya.
393 / 460 Dahlia dan suaminya saling berpandangan melihat
Tony seperti melamun sambil tersenyum-senyum.
Utomo menyenggol Dahlia lalu berbisik, "Dia tentu
sedang membayangkan pacarnya. Sudahlah. Jangan
marah lagi. Kan anak kita sudah jadi lelaki."
Sikap Dahlia melembut. "Baiklah. Tapi kalau itu
memang sesuatu yang menyenangkan mestinya kamu
membaginya juga dengan kami. Biar kami ikut senang
juga. Ton. Lihat kamu malah senyum-senyum sendiri
kayak...," Dahlia terdiam karena Utomo menyikutnya.
"Jadi, jangan simpan sendiri, Ton. Ceritakan. Di mana
kamu ketemu dia. Apa dia bekerja atau masih sekolah.
Dan apakah kamu mencintainya atau... atau cuma
main-main saja?"
Tony memperhatikan wajah ibunya. Dia tahu bahwa
ibunya pasti akan memberondongnya dengan
pertanyaan. Tapi tentu saja dia tak akan menceritakan
semuanya. Ketika dia memutuskan untuk berterus
terang dia pun sudah menyiapkan apa saja yang akan
diceritakannya dan apa saja yang perlu disembunyikan.
"Saya ketemu dia kebetulan saja, Ma. Di jalanan. Dia
sudah bekerja dan saya sama sekali tidak main-main
dengan dia. Saya mencintainya, Ma. Dan kami memilih
hidup bersama untuk penyesuaian. Buat saya penting
karena... ya, karena merupakan sesuatu yang baru. Dia
394 / 460 juga tahu bahwa saya dulu homo. Tak ada yang saya
sembunyikan darinya. Itu sebabnya saya merasa cocok
dengan dia."
Dahlia sadar, seharusnya dia ikut senang mendengar
cerita yang menyenangkan itu. Tapi sebaliknya dia
merasa resah dan gelisah. Dia juga tak bisa menekan
sikap sinisnya. "Perempuan mana sih yang tidak mau
sama kamu, Ton? Kamu kan cakep dan kaya. Itu saja
sudah cukup buat mereka."
Tony mengangkat bahunya.
"Papa ikut senang, Ton," baru Utomo buka suara.
"Kapan kau akan memperkenalkannya pada kami?"
"Secepatnya, Pa. Sekarang
mempersiapkan rumah."
kami masih sibuk "Sesibuk-sibuknya, masa sih nggak ada waktu yang
tersisa untuk membawanya ke sini?" tanya Dahlia.
Masih dengan nada yang sinis.
"Ya deh, Ma. Secepatnya," sahut Tony cepat-cepat.
Dia ingin segera berlalu karena merasa tugasnya sudah
selesai. Tapi Dahlia teringat akan hal yang terlupakan. "Hei,
siapa namanya, Ton?" serunya.
"Monika!"
395 / 460 "Apa?" jerit Dahlia kaget.
Tony menghentikan langkahnya dan menoleh dengan
wajah kaget campur heran. "Monika, Ma. Kenapa?"
Dahlia merasa kakinya lemas, tapi dia berusaha
menguatkan dirinya. Perempuan bernama Monika itu
banyak. Mungkin bukan Monika yang itu. Tanpa
mempedulikan keheranan Tony maupun Utomo, dia
bertanya, "Apakah dia perempuan yang pernah kauajak
ke Puncak?" Lalu dia menyebutkan tanggal dan jamnya
tanpa harus berpikir lama.
Tony tambah heran. "Iya betul, Ma. Kok Mama ta...?"
Belum selesai Tony bicara, Dahlia sudah jatuh
menggabruk. Pingsan.
Kedua lelaki dengan bingung dan panik menggotong
Dahlia ke atas sofa. Yang seorang memijit-mijit dan
mengusap-usap sedang yang seorang lagi mengipasngipas.
Akhirnya Dahlia membuka matanya lalu memandang
kiri kanan. Kemudian dia teringat lalu menangis.
"Kenapa, Ma?" tanya Tony dan Utomo hampir
berbarengan.
Keheranan keduanya membuat Dahlia menjadi garang
kembali. Dia melompat dan duduk tegak. "Tidak
tahukah kamu bahwa dia itu pelacur, Tony?" serunya.
396 / 460 Tony ternganga. Untuk beberapa saat lamanya dia tak
Melanie Karya V. Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bisa berkata-kata. Akhirnya dia bicara menggagap,
"Kok Mama... Mama bis... bisa tahu?"
"Tentu saja aku tahu! Akulah yang menyewanya untuk
menggodamu supaya... supaya... ya, supaya kau cepat
menjadi normal lagi. Aku sudah membayarnya, tahu?"
Lalu Dahlia menyebut jumlah yang telah diberikannya
kepada Monika.
Tony menjadi lebih kaget lagi. Sedang ayahnya cuma
terbengong-bengong tanpa tahu mesti bilang apa.
Sedang Dahlia sendiri menyurut emosinya setelah
berbicara. Pada mulanya dia menikmati kekagetan
Tony. Rasakan akibatnya kalau bertindak gegabah dan
diam-diam. Tapi kemudian dia pun menyadari dengan
kaget, bahwa dia telah melakukan kesalahan! Dia telah
bicara terlalu banyak. Sama sekali bukan maksudnya
untuk mengatakan semuanya. Bagian yang ingin
disembunyikan, yaitu peranan dirinya dalam kasus
Monika itu, ternyata telah dibocorkannya sendiri.
Padahal untuk tujuan itu dia sudah membayar mahal
kepada Monika. Tapi menyesal pun percuma. Katakata itu tak bisa ditarik kembali.
Tony tak segera bicara. Dia cuma memandang. Tapi
tatapannya membuat perasaan Dahlia menjadi perih.
Dia tidak rela ditatap seperti itu, seakan dia telah
melakukan sesuatu yang amat sangat buruk.
397 / 460 "Mama melakukan hal itu semata-mata untuk
kebaikanmu, Ton," katanya membela diri. "Dan
ternyata kau pun telah mendapat hasilnya, bukan? Kau
sudah berhasil membuktikan dirimu. Kau sudah
menjadi lelaki normal lagi. Berterima kasihlah
kepadaku."
Tony menggelengkan kepala. "Mama cuma ingin tahu
semuanya tentang diriku. Mama ingin menguasai!"
Lalu Tony berdiri dan melangkah ke pintu.
"Tony! Kamu salah! Kamu tidak berhak!" jerit Dahlia.
Tapi Tony berjalan terus, bahkan menoleh ke belakang
pun tidak. Dahlia melampiaskan rasa penasaran dan
kesedihannya kepada Utomo.
"Aku pikir, kau memang agak keterlaluan, Ma!"
demikian pendapat Utomo. Dan pendapat itu membuat
Dahlia merasa sendirian. Juga takut!
*** "Pada mulanya, aku memang disuruh ibumu. Tepatnya
disewa!" Monika mengakui.
"Kau tidak jujur!" seru Tony dengan muka masih
merah. 398 / 460 "Aku sudah memberitahu kamu segalanya tentang
diriku seperti apa adanya. Aku sudah telanjang di
hadapanmu. Mau apa lagi?"
"Kenapa kau tidak mengatakan perihal ibuku?
Bagaimana aku bisa percaya kamu lagi? Bagaimana
aku bisa percaya bahwa sikapmu kepadaku sekarang
ini juga bukan sandiwara?"
"Terserah padamu, mau percaya atau tidak. Aku tidak
bisa memaksa. Aku juga percaya padamu bukan karena
paksaan. Toh kau juga tidak perlu menyesal karena kita
belum telanjur. Dulu pun aku sudah memberimu
peringatan."
Kemarahan Tony menyurut. Dia mulai berpikir,
kepada siapakah sepatutnya kemarahannya ditujukan?
Ibunya atau Monika?
"Seharusnya kau berterus terang tentang ibuku juga.
Dengan demikian aku menjadi lebih siap menghadapi
ibuku. Jadi aku tidak perlu seperti orang bego. Tolol
benar aku diperdaya seperti itu."
"Kau lupa bahwa ketika itu profesiku memang
demikian. Aku bekerja menyewakan tubuhku.
Tawaran ibumu menggiurkan. Dan aku belum tahu
siapa kau. Oh ya, belum kujelaskan kenapa aku tidak
berterus terang tentang hal itu. Aku sudah dibayar oleh
ibumu untuk merahasiakan. Dia melarangku mengata
399 / 460 kan. Jadi mana mungkin aku melakukannya? Biarpun
hubungan kita sudah berkembang menjadi akrab aku
tetap tidak akan menyalahi janji itu. Janji yang sudah
dibayar. Ternyata sekarang dia sendiri yang
membocorkannya. Kenapa bisa begitu? Mungkin dia
keceplosan. Dia terlalu kaget karena anak tunggalnya
memilih hidup bersama dengan pelacur yang
disewanya sendiri."
Tony menjatuhkan dirinya di kursi. Dia diam tertegun.
Lalu tatapannya berkeliling ruangan yang masih
berantakan karena belum sempat diatur. Rumah itu
baru saja dikontrak. Tapi sesungguhnya perhatiannya
tidak ke sana. Dia hanya tidak ingin memandang
Monika. "Kita batalkan saja kontrak rumah ini. Toh kamu baru
membayar sebagian," kata Monika, menafsirkan
tatapan Tony.
Tony menoleh terkejut. Dia tidak menyukai kepasrahan
di wajah Monika.
"Jadi kau tidak mau mempertahankan aku? Kau tidak
mau merayu dan membujukku?" tanyanya kecewa.
Monika mengangkat bahunya. "Tidak. Aku malu
melakukannya."
"Jadi kau hanya mau kalau dibayar?"
400 / 460 "Ah, kamu kacau rupanya. Jangan menyimpang, Ton.
Kau akan rugi kalau terus mempertahankan hubungan
kita. Aku kenal ibumu. Dia akan melakukan segala cara
untuk menyepakku. Dia sangat membenciku.
Sudahlah. Orangtuamu lebih berarti daripada aku.
Mana mungkin aku bisa mempertahankan kamu?
Paling bisa untuk sementara saja. Buat apa? Aku sudah
sering merasa sakit dan disakiti. Tapi lebih baik sakit
yang sebentar daripada yang berkepanjangan."
Tony diam dan menyimak kata-kata itu sambil
memperhatikan wajah Monika.
"Ah, jangan pandangi aku seperti itu, Ton. Sungguh.
Aku tidak perlu dikasihani. Lebih baik kaupikirkan
dirimu sendiri," kata Monika kesal.
"Ya. Aku memang sedang berpikir. Tapi tentang
sesuatu yang lain. Sesungguhnya aku kagum padamu,
Moni."
"Kagum?" Monika heran. "Kenapa? Karena aku
cantik?"
"Bukan. Bukan cuma karena kamu cantik. Tapi... ah,
susah untuk kujelaskan dengan tepat. Aku juga malas
mencari definisinya. Yang penting aku merasakannya.
Aku pikir, aku akan mempertahankanmu, Moni. Aku
tak ingin melepaskanmu. Tapi aku kecewa, karena kau
401 / 460 tak ingin melakukan hal yang sama. Kenapa? Apa
karena sebetulnya kau tidak suka aku?"
Monika menggelengkan kepala. Dia tersenyum. Katakata Tony itu tak kepalang indah baginya. Rasanya
seperti mimpi. Seperti mustahil. Apakah Tony tidak
berbohong? Jangan-jangan dia cuma dilambungkan ke
atas lalu dilepaskan.
"Kau belum menjawab, Moni," Tony mengingatkan.
Monika berhenti berkhayal. "Aku pikir, kau patut
dipertahankan. Tapi sudah jelas aku tak mungkin bisa
melakukannya kalau kau sendiri tidak mau."
"Jawaban yang bagus!" Tony berseru. "Tapi aku mau,
Moni. Jadi...?"
Monika mendekat. Dan Tony segera melupakan
kesulitannya. Kehangatan tubuh Monika bukan cuma
menghangatkan tubuhnya juga melainkan terus
meresap ke kedalaman.
"Aku punya gagasan bagus, Moni," bisik Tony.
"Oh ya? Apa itu?"
"Kita kawin saja!"
Monika kaget. "Jangan main-main, Ton. Kau selalu
membuat kejutan."
"Aku tidak main-main. Aku serius, Moni."
402 / 460 "Perkawinan itu perlu pemikiran, Ton. Jangan
mengandalkan spontanitas. Besok kau akan menyesal.
Dan jangan lupa hambatannya."
"Kau takut?"
"Ya."
"Jangan takut, Moni."
"Kau selalu membingungkan aku, Ton."
"Ah, masa. Tidakkah kau ingin bahagia, Moni?"
"Tentu saja ingin."
"Nah. Aku yakin kita dapat saling membahagiakan."
Mungkin juga begitu, pikir Monika. Dan kalaupun
kebahagiaan itu cuma sementara, dia toh sudah
merasakannya. Daripada tidak pernah sama sekali.
"Bagaimana dengan orangtuamu? Ibumu?"
"Serahkan saja soal itu padaku, Sayang."
Tony membayangkan ibunya. Bukan ayahnya. Sudah
jelas apa dan bagaimana reaksi ibunya nanti. Anehnya,
dia justru merasa puas!
*** Susah payah Utomo membujuk istrinya.
403 / 460 "Justru dari seorang pelacur Tony bisa belajar banyak,
Ma. Aku pikir kau tidak salah dengan menyewanya.
Bagus sekali malah. Ide yang hebat. Tak apalah
membuang uang sedikit. Yang penting usahamu itu
sudah berhasil. Bukankah kau sangat ingin dia kembali
normal?"
"Tapi, dia kan bisa memilih perempuan lain untuk
diajak hidup bersama? Aku benci si Monika bukan saja
karena dia pelacur tapi lebih-lebih karena dia telah
mengecohku."
"Sudahlah. Bagaimanapun dia sudah berjasa. Aku
pikir, pasti dia hebat hingga Tony bisa terpikat."
Dahlia merasa jengkel karena kata-kata suaminya itu
bernada pujian. "Dasar lelaki," gerutunya.
"Sudahlah, Ma. Lebih baik kita lihat dan nilai segi
positifnya saja. Biasanya orang yang kumpul kebo itu
kan tidak lama. Kelak Tony akan bosan lalu mencari
yang lain. Pada saat itu dia sudah lebih pintar dan
berpengalaman." Utomo tertawa untuk menenteram
kan istrinya. Tapi sesungguhnya dia sendiri tidak
berkeberatan dengan tindakan Tony itu. Satu-satunya
yang patut disayangkan adalah jumlah uang yang telah
dikeluarkan istrinya. Pastilah pelacur itu kelas atas.
Cantik dan berotak karena bukan saja berhasil
mengecoh Dahlia, tapi juga membuat Tony bertekuk
404 / 460 lutut. Tiba-tiba dia ingin sekali bertemu untuk
membuktikan hal itu dengan mata kepala sendiri.
Dahlia merasa terhibur oleh sikap suaminya. Mungkin
Utomo benar.
Tapi perasaan lega itu cuma sementara.
"Kawin?" teriaknya setinggi langit ketika Tony datang
lagi untuk menyampaikan gagasan barunya.
Utomo sendiri tak kurang kagetnya. Kawin dengan
hidup bersama itu jelas berbeda sekali. Dalam
perkawinan bukan cuma ada masalah harta dan status
tapi juga martabat. Bayangkan kalau orang-orang,
terutama para relasinya, pada tahu calon menantunya
bekas pelacur! Bahkan siapa tahu di antara para
relasinya itu terdapat bekas pelanggan si calon
menantu! Dia bergidik membayangkan kemungkinan
itu. "Tidak bisa!" dia ikut berteriak tak kalah kerasnya.
Tony tenang-tenang saja menghadapi amukan orangtua
nya. "Bukankah Mama sangat ingin saya cepat kawin?
Kenapa malah marah padahal saya kawin dengan
perempuan?"
405 / 460 Gemetar sekujur tubuh Dahlia. Dia heran kenapa kali
ini tidak sampai pingsan. Dia juga heran kenapa tak
sampai mendapat serangan jantung.
"Dia memang perempuan, tapi pelacur! Tidak jijikkah
kamu? Tidak pernahkah kaubayangkan betapa banyak
lelaki sudah menjamahnya? Dia itu tak lebih dari
barang rongsokan yang busuk! Mental bejat! Moral
bobrok!" makinya geram.
"Kalau dia pelacur, siapa saya ini, Ma? Saya juga
nggak bersih."
"Tapi kamu lelaki. Orang baik-baik."
"Huh. Baik apanya?"
"Taruhlah kamu memang brengsek, tapi kami yang jadi
orangtuamu adalah orang-orang terhormat. Orangorang terpandang," kata Utomo kesal.
"Yang mau kawin itu saya. Bukan Papa dan Mama."
"Tapi kami orangtuamu. Dan kalau anak kawin,
orangtua ikut merasakan pengaruhnya."
"Saya akan kawin diam-diam. Orang lain tidak perlu
tahu. Yang penting resmi."
"Tidak bisa!"
"Lho, bisa saja. Yang mau kawin kan saya?"
406 / 460 "Kalau kau ngotot terus, kau bisa kehilangan hak
warismu!" ancam Utomo.
"Tidak apa-apa, Pa. Saya akan mengubah gaya hidup,"
sahut Tony tanpa kebimbangan dalam suaranya.
Dahlia dan Utomo saling berpandangan. Mereka sudah
cukup mengenal kebandelan Tony. Kemarahan
berubah menjadi kekhawatiran.
Dahlia mengubah sikap dan suaranya.
"Jangan terburu nafsu, Tony. Perkawinan itu bukan
main-main. Kau bisa menyesal besok. Jangan biarkan
perempuan itu merajalela. Mama sungguh tidak
berkeberatan kalau kau cuma mau sekadar hidup
Melanie Karya V. Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bersama. Yah, hitung-hitung menambah pengalaman.
Tapi kawin? Oh, itu terlalu jauh. Terlalu cepat. Masa
baru kemarin dulu kauhilang mau hidup bersama lho
kok sekarang lantas mau kawin? Pasti itu ide dia yang
tak ingin kehilangan kamu, bukan?"
Tony menggelengkan kepalanya.
"Mama salah. Itu ide saya. Semuanya ide saya. Justru
dia yang keberatan hingga saya harus membujuknya."
"Ah, kamu bohong!"
"Tidak. Dan sebenarnya, sebelum Mama memberitahu
kan bahwa dia pelacur, saya juga sudah tahu. Tapi dia
memang tidak memberitahukan bahwa sebenarnya dia
407 / 460 disewa Mama karena Mama sendiri yang melarangnya.
Dan Mama sudah membayarnya untuk itu. Coba Mama
pikir. Bukankah perbuatan Mama itu salah? Memang
saya anak Mama. Tapi bukan berarti Mama berhak ikut
campur dan mengatur kehidupan pribadi saya. Untuk
itu kan ada saatnya, tapi sudah lewat. Sekarang biarkan
saya mengatur diri saya sendiri."
Dahlia tertegun. Dia tak bisa bicara.
"Biarpun demikian, kau tetap punya kewajiban
terhadap orangtua," kata Utomo.
"Kewajiban yang mana, Pa?"
Utomo tak bisa menjawab.
Tiba-tiba Dahlia bersuara, "Melanie!" katanya, seolah
setengah sadar. Tatapan matanya tidak tertuju kepada
objek tertentu.
Utomo dan lebih-lebih Tony jadi terkejut.
"Kenapa, Ma?" tanya Utomo heran.
"Pasti karena Melanie!" seru Dahlia.
"Lho, ada apa dengan Melanie?" tanya Tony. Dia
bingung tapi juga curiga. Pengalaman telah
mengajarkan bahwa ibunya bisa melakukan hal-hal tak
terduga. 408 / 460 "Aku yakin, orang yang kauinginkan itu sebenarnya
Melanie. Bukan Monika! Kau tertarik pada Monika
karena ada sesuatu dalam dirinya yang mirip dengan
Melanie. Hal yang sama juga pernah kualami ketika
pertama kali melihatnya. Itu juga sebabnya kenapa
kamu... kamu...," Dahlia tak jadi meneruskan
kalimatnya ketika mendadak terpikir bahwa sebaiknya
dia tidak membongkar terlalu banyak karena akibatnya
bisa merugikan. Lalu dia cepat meneruskan, "Ya
sudahlah, sebaiknya kamu akui saja hal itu. Diamdiam, selama bertahun-tahun sebenarnya kamu
memendam keinginan itu, bukan?"
Tapi Tony memandang ibunya seolah ibunya itu
sedang mengigau.
Dahlia tak mempedulikan. Dia merasa telah
menemukan kunci dari kelakuan Tony. Lalu dengan
bersemangat dia meneruskan, "Kita harus melakukan
sesuatu sebelum telanjur, Tony. Mumpung masih ada
waktu. Ya, kau harus sadar bahwa Monika bukan
Melanie. Wah, jauh sekali. Pikirkan. Renungkan."
Tony geleng-geleng kepala. Takjub. Sedang ayahnya
menatap terpesona, menunggu kejutan berikutnya.
"Kalau dibandingkan, jelas Melanie jauh lebih hebat.
Orang baik-baik. Bermartabat. Dan kalau kamu
menginginkan dia, itu memang sudah sepantasnya.
409 / 460 Bukankah kamu yang telah mem... ah, sudahlah. Tak
usah diungkit. Terus terang, Mama pernah
membencinya. Tapi sekarang, bila kamu memang
mencintainya, Mama tidak keberatan menemuinya
untuk memohon pengertian darinya agar dia mau
menerimamu. Kayaknya sih dia belum kawin. Susah
ketemu jodoh kali. Maklum. Nah bagaimana, Tony?"
Dahlia berharap akan melihat kejutan kegembiraan di
wajah Tony. Padahal dia tidak tahu bagaimana caranya
dia harus memohon kepada Melanie dan seberapa besar
dia harus berkorban perasaan untuk melakukan hal itu.
Tapi harapan Dahlia sia-sia.
"Mama salah besar," kata Tony dingin. "Yang saya
inginkan adalah Monika. Bukan Melanie."
Lalu Tony cepat-cepat pergi, menggunakan
kesempatan saat kedua orangtuanya tengah
kebingungan. Baru di depan pintu dia berhenti lalu
menoleh dan berkata, "Bagaimanapun, saya akan tetap
kawin dengan Monika!" Lalu dia lenyap di balik pintu.
Dahlia menatap pintu dengan wajah memelas. Tapi dia
tidak menangis seperti perkiraan Utomo. "Aku begitu
yakin," gumamnya. "Mana mungkin aku salah?"
Utomo tak bersemangat untuk menyanggah. Beban,
pikirannya sendiri sudah teramat berat.
410 / 460 Dia membayangkan aib yang mengancam di depan
mata. Padahal dulu dia sudah bersusah payah
menghapus aib yang pernah mencorengnya itu.
Sekarang Tony mengulang lagi. "Anak kurang ajar!"
desisnya. Tapi ketika tatapannya tertuju pada istrinya,
terpikir bahwa peristiwa itu takkan terjadi kalau saja
istrinya tidak menyewa pelacur itu. Baru saja dia akan
menyuarakan kekesalannya itu dia terkejut ketika
Dahlia tiba-tiba menangis mengguguk.
"Aku... aku... me... rasa ber... bersalah, Pa. Uh... uh...
uh. Aku... ber... dosa, Pa."
Utomo tak jadi menyalahkan. Dia merasa iba dan
spontan merentangkan tangan. Serta-merta Dahlia
masuk dalam pelukannya. Mereka pun erat
berdekapan. Dan Utomo jadi merasa aneh. Rasanya
sudah lama sekali dia tak memeluk Dahlia. Dia sampai
perlu mengingatkan dirinya, bahwa yang didekapnya
itu istrinya sendiri. Bukan perempuan lain.
"Sudahlah. Kau jangan menyalahkan dirimu terusterusan. Apalagi ngomong soal dosa. Anak itulah yang
kurang ajar. Dia yang harus menanggung akibatnya,"
hibur Utomo.
"Aku me... merasa bersa... lah kepada Melanie, Pa."
411 / 460 Utomo tak mengerti. Tapi Dahlia tak sanggup bicara
karena dilanda tangis yang panjang. Terpaksa dia
menunggu dengan sabar.
"Sekarang inilah pembalasan yang harus kutanggung,"
kata Dahlia setelah menjadi lebih tenang.
"Jangan ngomong begitu," kata Utomo dengan
tengkuk meremang.
"Kalau saja dulu aku minta maaf pada Melanie secara
langsung dan tidak cuma mengirim bunga," keluh
Dahlia dengan penuh sesal.
"Apa sih maksudmu?"
"Kalau bukan karena dosa itu, kenapa namanya harus
muncul dan muncul lagi?" Dahlia melanjutkan keluhan
nya tanpa mempedulikan pertanyaan suaminya.
Kali ini Utomo tak berani bertanya lagi. Dia takut
mendengar jawabannya.
412 / 460 XXI Arman menerima kedatangan Diah dengan waswas.
"Bagaimana Melanie, Bu?" tanyanya.
"Itulah yang ingin kutanyakan, Man. Baru sekarang
saya mendapat kesempatan datang, karena saya tak
ingin Melanie tahu. Maaf ya, Man. Apa sebenarnya
yang telah terjadi antara kalian pada hari Minggu yang
lalu itu? Bertengkar? Saya menanyakan padanya, tapi
dia bilang tidak ada apa-apa. Lalu dia juga bersikap
seakan memang tidak ada apa-apa. Tapi saya tidak bisa
dibohongi. Saya tahu pasti ada sesuatu."
Arman segera menceritakan pertemuan Melanie
dengan Darmaji dan percakapan mereka berdua
sesudah Darmaji pergi.
"Saya menyesal karena telah bicara terlalu keras
kepadanya, Bu. Tapi waktu itu kata-kata saya meluncur
dengan spontan. Saya tak ingin menyembunyikan.
Saya tak ingin pura-pura setuju padahal sesungguhnya
tidak. Tapi kemudian setelah saya pikirkan lagi,
mungkin lebih baik kalau saya bicara dengan lebih
lembut. Lebih menahan diri dan mengeluarkan unekunek saya sedikit-sedikit. Ya, seharusnya saya lebih
memahami traumanya."
413 / 460 Penyesalan Arman yang berpanjang-panjang itu cuma
angin lalu bagi Diah. Dia lebih asyik dengan pikirannya
sendiri. Dia duduk terenyak sambil merenung.
"Coba ulang bagian cerita di mana mereka berdua
menyadari siapa diri mereka masing-masing. Tak usah
segan. Katakan saja apa kesanmu," pinta Diah.
"Melanie mengatakan, bahwa dia membenci ayahnya.
Tapi apa yang saya lihat dalam sikapnya kepada Pak
Darmaji bukan cuma kebencian melainkan juga
kemuakan atau... kejijikan. Sepertinya dia menganggap
Pak Darmaji sangat rendah. Sangat hina. Ah, mungkin
saja saya agak melebihkan-lebihkan. Itu cuma kesan,
Bu. Tapi yang jelas dia memang tidak menaruh respek
kepada ayahnya. Dan itu sesuai dengan pengakuannya
kemudian. Bahwa dia sangat mendambakan punya
ayah yang bisa dia banggakan, dia cintai, dan hormati
juga."
Diah termangu.
"Boleh saya berterus terang, Bu?"
Diah sedikit kaget. "Oh, tentu saja boleh," sahutnya.
"Ibu dan Melanie sama-sama bertemu dengan Pak
Darmaji di sini, di tempat yang sama. Dan saya hadir
dalam dua kesempatan itu. Ternyata reaksi yang
diperlihatkan Melanie jauh lebih keras daripada reaksi
Ibu. Mulanya saya pikir, itu tidak wajar. Mestinya kan
414 / 460 kebalikannya? Maaf ya, Bu. Maksud saya, mestinya
Ibu lebih mendendam karena Ibu-lah yang telah
disakiti hatinya oleh perbuatannya. Sedang Melanie
sebagai anak cuma terkena akibatnya saja. Dia masih
memiliki kasih sayang dari pihak ibu. Tapi kemudian
Melanie sendiri mengatakan, bahwa dia menyalahkan
ayahnya karena kondisinya sekarang. Saya sampai
heran dan mengingatkan dia bahwa orang yang telah
memperkosanya bukanlah ayahnya. Tapi dia tetap
kukuh dengan pendapatnya. Ketika itu saya sungguh
tak habis pikir. Ada apa sih dengan Melanie? Baru
belakangan setelah saya renungkan dan renungkan lagi,
saya bisa menemukan kewajarannya. Tapi itu tentu
cuma berdasarkan kesimpulan saya saja. Yang paling
tahu cuma Melanie sendiri. Dan mungkin juga Ibu
sebagai ibunya, orang yang paling akrab dengannya."
Diah menggelengkan kepala dengan lesu.
"Justru yang belakangan itu dia tidak mau bilang. Dia
menutup dirinya. Padahal biasanya tidak demikian. Dia
selalu bilang, termasuk kelainan yang mengganggunya
itu. Saya jadi sedih, kenapa dia seperti tidak menyukai
saya lagi. Mungkin cuma perasaan. Tapi naluri saya
mengatakan bahwa tatapannya padaku lain dari biasa.
Padahal saya yakin tidak melakukan kesalahan dan dia
tahu betul bahwa saya mencintainya."
Arman mengangguk.
415 / 460 "Saya mengerti perasaan Ibu. Tapi bicara tentang
kelainannya itu, ada sesuatu yang penting. Ketika itu
kuat sekali kesan yang timbul pada saya bahwa ada
hubungan antara sikap yang diperlihatkannya pada
ayahnya dengan masalah yang saya hadapi. Padahal
saya tidak punya sangkut-paut dengan persoalan dia di
masa lalu. Lantas apa? Ketika itu saya tidak bisa
berpikir jernih karena pengaruh emosi. Tapi
belakangan saya bisa menemukan. Ketika saya
melihatnya dengan tatapan yang mengandung kejijikan
kepada ayahnya saya segera menghubungkannya
dengan kejijikannya kepada sentuhan saya. Ya, dia jijik
kepada lelaki karena jijik kepada ayahnya! Rupanya di
matanya lambang lelaki itu adalah ayah. Rusak tokoh
itu maka rusak pula semuanya."
Diah memejamkan matanya. Dan merasakan butirbutir air mulai menggenangi sudut matanya. Dia sibuk
mengatasi kesedihannya dan berharap tidak sampai
menangis di depan Arman.
Tapi Arman tidak menyadari keadaan Diah. Dia
melanjutkan bicaranya, "Saya memang bukan ahli
jiwa. Itu cuma kesimpulan saya berdasarkan
pengenalan saya atas diri Melanie selama ini. Tapi saya
pikir itu bisa menjelaskan kenapa dia sepertinya salah
sasaran, kenapa dia sampai menuding ayahnya sebagai
416 / 460 penyebab dari kesulitannya dan bukan si pemerkosa
itu. Saya ingat, trauma kehilangan ayah lebih dulu
dialaminya daripada trauma perkosaan. Jadi peristiwa
perkosaan itu sepertinya cuma meledakkan bom yang
sudah lama disiapkan. Hancur sudah citra lelaki di
matanya. Bagaimana pendapat Ibu?"
Arman menoleh lalu terkejut. Diah kelihatan begitu
terpukul. Apakah itu disebabkan kata-katanya?
Mungkin dia sok tahu dan sok pintar padahal salah
besar. Cepat dia bangkit dari kursinya lalu mendekat.
Tapi di samping Diah dia berdiri bingung. Canggung
dan tersipu.
"Maafkan saya, Bu. Saya pikir... ah, mungkin saja saya
salah. Yang paling tahu tentu Ibu sebagai ibunya. Saya
sudah... sudah lancang ngomong."
Diah menggelengkan kepala. "Tidak apa-apa, Man.
Duduklah lagi," katanya pelan.
Arman terpaksa mematuhi. Tapi dia belum berani
bicara lagi.
"Teruskan saja, Man."
"Teruskan?" tanya Arman bingung.
"Ya."
Melanie Karya V. Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
417 / 460 "Ah, saya kira sudah cukup," kata Arman agak malu.
"Tapi saya ingin ketemu Melanie lagi. Saya khawatir
dia masih marah. Saya ingin tetap berteman dengan
dia. Saya pikir... saya pikir dia perlu teman. Saya
merasa terenyuh kalau ingat kata-katanya, bahwa dia
merindukan seorang ayah seperti yang dia angankan."
Runtuh sudah pertahanan Diah. Dia menangis terisak.
Arman kaget dan bingung lagi. Dia tak tahu harus
berbuat apa. Tentu dia tak bisa menghibur Diah sama
seperti halnya dia menghibur Darmaji. Terpaksa dia
diam saja menunggu dan memandang.
"Maaf ya, Man," kata Diah sambil mengeringkan mata
dan hidungnya. Dia merasa malu dan setengah
menutup mukanya dengan saputangan.
"Nggak apa-apa, Bu. Saya mengerti."
"Kamu baik, Man. Tapi kasihan, kamu jadi ikut pusing
karena terlibat dengan urusan yang begini rumit.
Terima kasih, ya. Terutama untuk kesimpulanmu tadi.
Kata-katamu telah menyadarkan saya."
"Itu belum tentu benar, Bu."
"Tapi hal-hal yang menyangkut diriku benar belaka,
Man."
Arman tak mengerti, bagian mana dari kata-katanya
yang dianggap benar itu. Dia ingin tahu tapi
418 / 460 perasaannya mengatakan Diah tak ingin ditanyai.
Walaupun tidak yakin tentu saja dia harus menghargai
keinginan itu. Dia juga tidak ingin mendapat kesan
jelek dari Diah.
"Setelah mendengar ceritamu tadi, Man, sekarang saya
baru mengerti. Baru terbuka mataku. Dan saya jadi
sedih karenanya. Rupanya seperti inilah kekurangan
kita sebagai manusia. Pada suatu saat kita merasa
alangkah hebat. Tapi ternyata di saat lain baru kita
sadari bahwa kehebatan itu punya sisi jelek. Bahkan
bisa jadi sebegitu jeleknya hingga kehebatan itu tak
lagi punya arti."
Arman memutar otaknya tapi tak juga mengerti. Dia
cuma bisa mengira-ngira.
Pembicaraan Diah sudah beralih. "Bagaimana dengan
Pak Darmaji, Man?"
Pertanyaan itu mengagetkan Arman. Dia tak
menyangka. "Oh, dia baik, Bu. Maksud saya, dia biasabiasa saja. Tapi sejak pertemuannya dengan Melanie di
sini, dia tak pernah datang lagi. Di kantor pun dia tak
mau bicara lain selain urusan kantor. Saya tidak berani
bertanya-tanya. Sepertinya dia tidak suka. Ya,
mungkin dia malu karena diperlakukan seperti itu oleh
Melanie di depan saya."
Diah mengangguk. "Saya mau minta tolong, Man."
419 / 460 "Oh, bisa, Bu," jawab Arman cepat.
"Bisakah kau
Darmaji?"
mengatur pertemuanku
dengan Mata Arman membesar. "Bisa, Bu. Di sini?"
"Apa kau keberatan? Soalnya, saya tidak tahu tempat
lain yang cocok. Tapi kalau bisa saya ingin bicara
dengan dia berdua saja."
"Tentu saja saya tidak keberatan, Bu. Saya akan
bekerja di kebun bila Ibu dengan Pak Darmaji sedang
bicara," kata Arman tersipu ketika ingat bahwa dia
menguping pembicaraan Diah dengan Darmaji dalam
pertemuan mereka yang pertama.
"Terima kasih, Man. Sayang sekali Anie membatalkan
proyek kebunmu. Padahal kau sudah mulai dengan
cutimu."
"Tidak apa-apa. Bu. Mungkin lain kali Melanie
bersedia. Untuk sekarang ini saya akan membereskan
kebun saya dulu. Itu sesuai anjuran Melanie juga."
Diah memandang sedih. "Kau masih mencintainya,
bukan? Kau masih mengharapkannya?"
Arman menundukkan kepalanya. Dia tahu, Diah tak
memerlukan jawaban.
"Kenapa, Man?"
420 / 460 "Saya sudah merasa akrab sekali dengan dia. Bahkan
kesulitan-kesulitannya justru membuat saya merasa
semakin akrab. Saya merasa terlibat, ikut berpikir dan
ikut merasakan. Sepertinya saya sudah jadi keluarga."
"Kau benar, Man. Kau tak ubahnya anakku sendiri.
Senang sekali kalau kau juga beranggapan sama."
Mereka saling berpandangan dengan keharuan.
"Man, walaupun kau... kau tak bisa dengan Melanie,
kuharap kau tetaplah berperasaan seperti itu.
Anggaplah kami seperti keluargamu juga."
"Ya, Bu."
"Tapi janganlah berhenti berharap. Saya akan... akan
mencoba membantu, Man. Percayalah."
"Saya percaya, Bu."
"Berilah kabar bila kau sudah mendapat kepastian dari
Darmaji."
"Baik, Bu. Secepatnya."
Diah pamitan dan menolak diantarkan meskipun
Arman setengah memaksa. Dia tak ingin ada orang
yang melihatnya bersama Arman. Terutama Melanie.
Hanya kurang lebih setengah jam setelah Diah pergi
dari rumahnya, Arman juga pergi. Dia menuju rumah
pondokan Darmaji.
421 / 460 *** Esok harinya pertemuan antara Diah dan Darmaji
terjadi, sedang Arman menyingkir ke kebunnya dengan
membawa lampu petromaks, botol air minum, dan obat
nyamuk. Dia cuma berharap cuaca akan tetap cerah.
Bila sampa? turun hujan dia cuma bisa memayungi
tubuhnya dengan daun pisang. Payungnya yang cuma
satu-satunya tertinggal entah di mana mungkin di toko,
di apotek, atau di kantor. Sama seperti nasib payungpayungnya terdahulu. Bagaimanapun dia tak ingin
sampai merusak suasana. Di samping itu dia pun sudah
bertekad untuk menepati janji.
Arman merasa tegang dalam kesendiriannya. Dia ingat
bagaimana antusiasnya Darmaji ketika dihubungi. Tapi
Darmaji pun tak bisa menyembunyikan kecemasannya.
"Apakah ada sesuatu yang terjadi atas diri Melanie?"
tanyanya. Baru ketika diyakinkan bahwa tak ada apaapa yang perlu dicemaskannya dia menjadi tenang.
Tapi tentu saja Arman tak bisa memberi informasi apaapa perihal tujuan Diah yang sebenarnya.
Untuk mengatasi ketegangannya, Arman berusaha
menekuni pekerjaannya. Dia memprioritaskan sudut
kebun yang semula dipilih Melanie. Tempat itu sudah
hampir bersih dari semak belukar. Dia tinggal
422 / 460 menyelesaikannya saja. Kelak bila Melanie menyata
kan kesediaannya, dia sudah dalam keadaan siap.
Hari sudah mulai gelap. Arman menyalakan lampunya.
Sesekali dia melayangkan pandang ke arah rumahnya
yang cuma tampak sebagian. Lalu dia membayangkan
sejenak apa yang tengah terjadi di dalamnya. Tapi
cuma sejenak karena dia memaksa perhatiannya
beralih kembali pada pekerjaannya.
Dia tak tahu berapa lama waktu berlalu. Arlojinya tak
dipakainya. Tapi hasil pekerjaannya lumayan. Dan
tenaganya sudah cukup banyak terkuras. Sedang rasa
lapar mulai menyerang.
Lalu terdengar panggilan. "Maaaan! Ar-maaaan...!"
Suara Diah dan suara Darmaji bergantian menyerukan
namanya. Tanpa berlama-lama Arman segera
melempar cangkulnya lalu menyambar lampu
petromaksnya untuk dibawa serta. Setengah berlari dia
menuju rumah. Dia gembira dan juga ingin tahu.
Diah dan Darmaji menyambutnya di pintu belakang.
Wajah keduanya dan juga sikap mereka tampak biasabiasa saja. Tak ada rona merah. Tak ada bekas air mata.
"Aduh, kelihatannya capek betul ya, Man?" tegur Diah
prihatin. "Kami membuatmu repot," Darmaji menambahkan.
423 / 460 "Nggak apa-apa, Bu. Sungguh, Pak. Saya sudah biasa
kok," kata Arman tersipu oleh perhatian yang terasa
berlebihan itu.
"Kau tentu sudah lapar, Man," kata Diah.
"Ah, belum kok, Bu."
"Bagaimana kalau kita makan bersama di Restoran
Sari, Man?" tanya Darmaji.
Arman keheranan memandang kedua orang di
depannya silih berganti. Apakah cuma dia seorang
yang diajak Darmaji?
"Maksudku, kita bertiga, Man," Darmaji menegaskan.
"Tapi tentu saja sebaiknya kau mandi dulu," Diah
menganjurkan.
Bagi Arman rasanya seperti mimpi. Kedua orang itu
memang tidak bercerita apa-apa kepadanya. Mereka
juga tidak memperlihatkan perubahan sikap yang
mencolok satu terhadap yang lain. Biasa-biasa saja
walau tanpa kesan permusuhan. Tapi bagi Arman itu
sudah cukup. Di salah satu bagian teramat kecil dari
dunia ini sudah ada perdamaian.
"Mama memutuskan untuk berdamai dengan Papa,"
Diah menjelaskan kepada Melanie, setelah sebelumnya
dia bicara dulu berdua saja dengan ayahnya.
424 / 460 Melanie kaget. "Apa maksud Mama dengan berdamai
itu? Rujuk?" serunya tanpa menyembunyikan perasaan
tak setujunya.
"Oh, bukan rujuk. Sama sekali bukan. Tapi Mama akan
menjaga hubungan baik dengan dia. Ya, sebagai teman
begitu."
"Apakah Mama begitu mudah melupakan semua
perbuatannya kepada Mama dulu? Tidak ingatkah
Mama bagaimana setiap malam Mama menangis saat
menemaniku tidur? Tidak ingatkah Mama akan
dendam dan kebencian Mama kepadanya? Kalau
Mama lupa, saya tidak! Saya selalu ingat segala kata
yang pernah Mama ucapkan dari segala perasaan yang
Mama perlihatkan!" seru Melanie tanpa kerelaan.
Diah memandang dengan pedih. Benar, inilah salah
satu ekses yang tak pernah dia perhitungkan. Tak
pernah terpikir. Padahal itu sudah berjalan bertahuntahun. Sejak Melanie berumur sepuluh tahun. Selama
waktu itu pula dia memompakan dalam diri Melanie
dendam dan kebenciannya kepada Darmaji. Serta
kejijikan tentu saja!
Selama waktu itu mustahil baginya untuk memikirkan
masalah ekses. Dia cuma ingin melegakan diri dari
beban impitan perasaan. Dia ingin mencari teman
seperasaan. Penghibur yang paling dekat. Dan
425 / 460 seseorang yang berpihak kepadanya agar dia dapat
merasa lebih kuat. Semata-mata untuk dirinya sendiri.
Kalaupun misalnya ?saat itu? dia tahu akan
kemungkinan timbulnya ekses, maukah dia peduli?
Bahkan sekarang dia sulit menjawab pertanyaan itu.
Sesungguhnya dia sendiri sulit melupakan. Sulit
memaafkan. Dan kalaupun sekarang dia punya
kerelaan untuk itu bukanlah karena keajaiban kata-kata
Arman. Mengganti perasaan dan kemudian mengubah
sikap tidaklah segampang membalik telapak tangan.
Memang Arman telah menyadarkan tapi dia bukanlah
pendorong. Satu-satunya pendorong hanyalah Melanie.
Bagi Melanie dia mau melakukan segalanya. Di
samping itu, dulu dialah yang melakukan kesalahan.
Jadi sekarang dia pula yang harus memperbaiki.
Dia mengatakan hal itu terus terang kepada Darmaji.
Tapi dia juga mengakui bahwa bila mengikuti
perasaannya sendiri dia tak ingin berbaik-baik kepada
Darmaji. Atau belum ingin. Karena itu akan sangat
sulit baginya melaksanakan keputusan itu. Tapi dia
akan berusaha untuk berperan sebaik-baiknya. Dengan
demikian dia sekalian mengingatkan Darmaji bahwa
apa yang dilakukannya itu semata-mata suatu kepurapuraan demi kebaikan Melanie. Dia juga berharap agar
Darmaji tidak sampai memanfaatkan hal itu atau
berangan-angan terlalu muluk. Ternyata Darmaji
426 / 460 langsung setuju tanpa protes atau usul apa-apa.
Darmaji antusias menyambut, bahkan tampak senang
sekali. Tentu saja, pikir Diah, bagi Darmaji memang
tak ada jalan lain. Tapi walaupun sempat merasa sinis,
dia toh merasa lega karena Darmaji tidak memberi
komentar apa-apa atas pengakuan salahnya telah
menyulut dan menumpuk dendam di hati Melanie.
Suatu pengakuan yang disampaikannya secara terpaksa
karena dia memang harus memberikan alasan bagi
tindakannya sekarang ini. Sebagai orang yang diajak
bekerja sama, tentunya Darmaji harus mengetahui
semuanya. Berhadapan dengan Darmaji memang tak
sulit. Tapi tidak demikian halnya dengan Melanie.
"Dia sudah menyesal, An. Dia ingin memperbaiki diri.
Kenapa kita tidak memberinya kesempatan?"
Tatapan Melanie sangat tidak menyenangkan.
"Lupakah Mama akan sumpah Mama dulu?" tanyanya.
Diah tertegun kaget. Sumpah?
"Bagaimana mungkin Mama bisa lupa? Dulu Mama
bilang, kalau nanti Papa datang untuk minta maaf,
Mama tidak akan sudi menerimanya kembali! Biar
Papa merangkak di depan Mama pun, Mama tak akan
peduli! Mama bersumpah, tidak mau berbaikan lagi
dengan Papa!"
Diah merinding.
427 / 460 "Tapi itu dulu, An. Ketika itu Mama sedang emosi.
Melanie Karya V. Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Situasinya lain. Jangan disamakan dengan sekarang.
Dan jangan lupa, Papa sudah menerima balasan atas
perbuatannya. Dia ingin memperbaiki. Masa tak kita
terima, An?"
Melanie menggelengkan kepala.
"Saya tak mengerti, Ma. Kenapa tiba-tiba Mama jadi
berubah begini? Padahal belum lama ini Mama sendiri
bilang, bahwa Papa belum tentu ingat sama kita kalau
saja dia tidak ditinggalkan oleh istrinya. Lupakah
Mama? Apakah Mama sudah tergoda oleh rayuan Papa
yang hebat?" tanyanya dengan emosional.
"Anie!" bentak Diah marah. Tapi segera dia sadar
kembali. Marah tidak akan menyelesaikan masalah.
Melanie memalingkan mukanya yang cemberut. Dia
tidak mengerti. Tidak habis pikir. Tidak logis bagi jalan
pikirannya kenapa ibunya tiba-tiba mengambil
keputusan seperti itu.
"Mama tidak melakukannya dengan tiba-tiba, An.
Mama sudah memikirkannya lama sekali."
"Di mana Mama melakukan pertemuan dengannya?"
tanya Melanie curiga.
Nada pertanyaan itu membuat Diah waspada. Jangan
sampai Melanie mencurigai keterlibatan Arman.
428 / 460 "Mama meneleponnya di kantornya. Lalu kami ketemu
di restoran."
"Jadi inisiatifnya dari Mama?"
"Ya."
"Kenapa, Ma? Karena dia meminta-minta atau karena
Mama kasihan kepadanya?"
"Karena Mama merasa bersalah."
"Mama merasa bersalah?" Melanie membelalakkan
matanya. "Apa nggak terbalik tuh, Ma? Ah, saya jadi
bingung."
Diah menggigit bibirnya. Dia tak mungkin mengatakan
alasan yang sebenarnya. Melanie bisa menentang lebih
keras lagi kalau tahu.
"Kau tak perlu bingung, An. Sekarang Mama
menyadari banyak hal yang dulu sama sekali tak
terpikirkan. Ayahmu itu manusia. Mama juga. Karena
itu kami berdua punya kekurang an masing-masing.
Dia sudah bersalah. Tapi Mama juga salah karena
terlalu dalam membencinya seakan dia tak seharusnya
melakukan kesalahan. Sekarang Mama ingin tenteram
di hati. Dia juga. Jadi biarlah kami sama-sama tenteram
sepanjang sisa usia. Kuharap kau mengerti, An."
"Ah, Mama sok berfilsafat."
429 / 460 "Bukan begitu, An," kata Diah, mulai putus asa
mencari kata-kata. "Sebaiknya kita beri dia
kesempatan."
"Untuk berbaikan dengan kita?"
"Ya."
"Tapi, bagaimana kalau saya merasa... merasa tidak
suka kepadanya, Ma?"
Diah mengeluh dalam hati.
"Rasa suka atau tidak suka itu kan relatif, An. Bisa
membesar, bisa mengecil, bahkan bisa hilang sama
sekali. Tergantung waktu. Dan tergantung orang yang
kita hadapi. Kenapa kau tidak mencoba dulu, An?"
Bujukan itu cuma membuat Melanie tambah curiga.
"Perasaan saya, ini tetap terlalu mendadak. Mesti ada
apa-apanya."
"Sungguh tak ada apa-apa. Mama cuma menginginkan
yang terbaik buat kita semua."
"Ah, kupikir itu cuma menguntungkan dia saja.
Bukankah kita sudah enak begini, Ma? Kita sudah
tenteram bertiga saja."
"Kau salah paham, An. Kita memang tetap bertiga.
Papa tidak akan hidup bersama kita lagi. Tapi yang
Mama maksud adalah suatu hubungan yang baik. Suatu
430 / 460 pergaulan yang sehat. Mama menerima dia sebagai
bekas suami dan juga teman. Sedang kau menerimanya
sebagai ayahmu."
"Tidak!" seru Melanie tanpa berpikir lagi.
Spontanitas seperti itu tentu tidak akan mengejutkan
Diah di masa lalu. Tapi sekarang dia menjadi kaget dan
sedih. Sekaligus dia juga disadarkan bahwa Melanie
yang sekarang tidak lagi mengekor dan menurut
padanya seperti dulu. Ya, justru di saat yang
dianggapnya penting ini Melanie malah menentang.
"Anie, pikirkanlah dulu. Jangan terlalu kukuh begitu."
Melanie diam saja. Dia memang tidak puas.
"Pikir dulu ya, An?"
"Apa gunanya, Ma? Dipikir nggak dipikir, ya sama
saja."
"Jangan cuma dipikir, tapi dicoba juga. Bagaimana
kalau suatu hari nanti kita mengundangnya makan
bersama?"
Melanie memandang kaget.
"Aduh, Mama ini apa-apaan sih?" tanyanya dengan
nada mencela. "Sudahlah, jangan repot-repot. Saya
tetap susah melupakan perbuatannya dulu, Ma.
Bagaimana dia tak mempedulikan kita. Dia tidak ingat
431 / 460 sama saya. Jangankan menghibur, menjenguk pun tak
pernah."
"Itu tidak benar, An. Mama telah berbohong
kepadamu. Sebenarnya, sudah beberapa kali dia ingin
menemuimu tapi selalu kuhalangi. Mama melarangnya
karena Mama pikir apa yang telah Mama lakukan
untukmu sudah cukup. Tapi di samping itu, sebenarnya
Mama berbuat begitu juga karena kebencian. Jadi
Mama telah memberikan kesan yang jauh lebih jelek
tentang dia," kata Diah sedih. Untuk memperbaiki citra
Darmaji di mata Melanie dia telah mengambil risiko
kehilangan respek.
Tapi Melanie menggelengkan kepalanya.
"Sikap Mama itu wajar. Kenapa Mama mesti merasa
bersalah? Semua orang akan berbuat seperti Mama."
Diah bingung. "Tapi kau telah menyalahkan dia karena
tidak berupaya untuk mendekatimu. Itu tidak adil, An."
"Apa sih adil dan tidak adil itu, Ma?" sahut Melanie
masa bodoh.
Diah tak tahu lagi mesti bilang apa. "Lantas kau setuju
kalau kita mengajaknya makan?"
"Kakek akan menendangnya keluar."
"Kakek sudah setuju."
432 / 460 "Oh..." Melanie mengangkat bahunya. "Terserah kalau
begitu. Yang punya rumah kan bukan saya."
"Anie, jangan bilang begitu."
Tapi Melanie sudah ngeloyor pergi.
Walaupun sikap Melanie seperti itu, Diah tetap
meneruskan rencananya mengundang Darmaji datang.
Dan ketika saat itu tiba, dia bersama Pak Budi berusaha
menyambut Darmaji dengan ramah dan sikap
bersahabat tanpa kesan berlebihan. Tapi baik mereka
berdua maupun Darmaji sendiri harus bersusah payah
mengatasi kecanggungan masing-masing. Mereka
terlalu sadar bahwa apa yang sedang mereka lakukan
itu sebagian besar hanya sandiwara. Lebih-lebih
Darmaji yang teramat kikuk dan serba salah. Apalagi
kalau dia melihat tatapan Melanie yang dingin dan
wajahnya yang cemberut. Dia merasa bagai duduk di
atas bara api. Sebentar-sebentar dia melap keringatnya
yang keluar dan keluar lagi.
Pembicaraan diusahakan mengenai topik yang netral.
Tentang bank, tentang tanaman, pisang, dan tentang
cuaca. Tapi selama waktu itu Melanie menutup
mulutnya rapat-rapat. Dia seperti berusaha
membiarkan dirinya terlupakan. Namun selalu ada saja
di antara ketiga orang itu yang berusaha memberanikan
dirinya bertanya ini itu, yang dijawab Melanie dengan
433 / 460 singkat tanpa memandang wajahnya. Sikap Melanie
kentara memperlihatkan bahwa dia hadir di situ
semata-mata demi sopan santun belaka.
Pertemuan itu jelas suatu kegagalan.
"Tapi yang namanya permulaan memang selalu sukar,"
hibur Pak Budi kepada Diah. Tentu saja setelah
Darmaji pulang dan Melanie mengungsi ke kamarnya.
"Jadi kita pantas berharap terus, Pa?" tanya Diah
dengan perasaan kecewa.
"Tentu saja."
"Tapi capek sekali rasanya bersandiwara seperti itu,"
keluh Diah.
"Lama-kelamaan pasti kita bisa menerima dia dengan
wajar. Tak perlu sandiwara segala."
Diah kaget. Dia menatap ayahnya dengan heran.
"Rupanya Papa sudah rela memaafkan dia."
"Rela memaafkan itu memang sulit. Tapi kita bisa
mengatasinya dengan memandangnya sebagai manusia
biasa. Kayaknya aku bisa, Diah. Pada saat-saat terakhir
kehadirannya tadi pandanganku mulai berubah.
Sikapnya yang canggung dan takut-takut itu pun
membangkitkan rasa ibaku. Ah, dia memang bukan
Darmaji yang dulu lagi. Dia sudah loyo. Tapi
keberaniannya patut dikagumi."
434 / 460 "Keberanian apa, Pa?" tanya Diah tak mengerti.
"Keberaniannya datang kemari untuk ikut berpurapura sementara dia tahu betul bahwa kita semua
membencinya. Lebih-lebih Melanie yang terangterangan memperlihatkan perasaannya. Bayangkan
saja seperti apa rasanya. Kulihat dia berkali-kali melap
keringatnya."
"Bukan cuma dia yang mengalami kesulitan."
"Tapi jelas dia paling susah di antara kita."
"Kupikir dia justru senang karena
kesempatan untuk ikut berperan."
mendapat "Memang betul. Tapi untuk itu kan butuh ketabahan,
Diah. Tampaknya dia takut juga kepada Melanie."
"Ya, kalau dia tampil seperti orang tolol di depan
Melanie, bagaimana Melanie mau respek kepadanya,
Pa?" Pak Budi menggaruk kepalanya. "Mungkin kau dulu
yang harus berbuat, Diah. Kalau kau respek kepada
Darmaji, tentu Melanie akan mengikuti."
Diah menggelengkan kepala. "Tidak, Pa. Yang seperti
itu cuma masa lalu. Sekarang Melanie punya pendirian
sendiri."
435 / 460 Pak Budi menggaruk kepalanya lagi. "Lantas buat apa
kita bersandiwara seperti tadi?"
"Saya baru menyadarinya belakangan. Tapi kita harap
saja ada gunanya."
"Kalau begitu, tampaknya semua jadi tergantung pada
Darmaji seorang. Dia harus lebih banyak berbuat.
Sedang kita harus mendukungnya."
"Tapi, mampukah dia?" Keduanya termangu.
436 / 460 XXII Mengikuti anjuran Pak Budi, Diah melakukan
pembicaraan lewat telepon dengan Darmaji secara
rutin. Tentu saja tanpa sepengetahuan Melanie. Pada
saat itu mereka menentukan waktu kapan Darmaji
dapat datang untuk makan malam bersama, satusatunya acara pertemuan yang dianggap paling masuk
akal agar tidak menimbulkan kesan kesengajaan di
mata Melanie. Di samping itu, dengan makan bersama
kecanggungan yang terasa bisa lebih mudah diatasi.
"Kau harus lebih aktif memberinya perhatian, Dar,"
saran Diah lewat telepon.
"Aku akan berusaha. Tapi..." Suara Darmaji, raguragu.
"Permulaan memang susah, kan?" bujuk Diah.
"Apakah dia tidak mencurigai bahwa ini merupakan
sesuatu yang diatur?"
"Mulanya sih iya. Tapi belakangan dia tak pernah lagi
bertanya-tanya. Kupikir, itu pertanda baik. Lama-lama
dia akan terbiasa juga dengan kehadiranmu."
"Sampai saat ini dia tetap saja cuek melihatku."
437 / 460 "Itu kari cuma permukaan. Dalamnya belum tentu. Dan
ingatlah, sikap cuek itu masih lebih baik daripada
menolak terang-terangan."
"Ya. Baiklah. Aku akan berusaha dengan segala
kemampuanku, Diah."
"Terima kasih."
Dalam setiap pembicaraan telepon Diah selalu
menyertakan dorongan seperti itu. Baginya itu , penting
supaya Darmaji tidak patah semangat. Tapi kadangkadang timbul juga kasihannya melihat tingkah serba
salah Darmaji menghadapi Melanie. Ternyata anak itu
bisa juga bersikap sebagai tiran yang menggemaskan.
Tapi, walaupun merasa kasihan Diah tetap
beranggapan bahwa Darmaji punya tanggung jawab
untuk melanjutkan upayanya sebagai perbaikan dari
kesalahan masa lalunya. Kapan lagi dia bisa
melakukannya kalau bukan sekarang? Seharusnya dia
merasa beruntung karena diberi kesempatan!
Sampai saat itu Darmaji memang tidak pernah
membantah atau menolak setiap rencana Diah.
Melanie juga melanjutkan hari-harinya tanpa
perubahan. Sejak konfliknya dengan Arman sesudah
pertemuan pertamanya dengan Darmaji, Arman belum
datang atau menghubunginya lagi. Tapi dia tidak
mempersoalkannya dengan ibunya. Tak pernah dia
438 / 460 menyebut-nyebut nama Arman. Sementara Diah juga
tidak berani bertanya karena khawatir ditanyai balik.
Bukankah dia ingin menyembunyikan pertemuannya
Melanie Karya V. Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan Arman dari pengetahuan Melanie? Sudah
terbukti Melanie cukup cerdik untuk bisa mendugaduga. Karena itu Diah menyimpan rasa penasarannya.
Bersabarlah, demikian anjurannya kepada Arman yang
sering kali nebeng pembicaraan teleponnya dengan
Darmaji. Sesungguhnya dalam diri Melanie tengah berlangsung
tantangan dan gejolak yang ingin diselesaikannya
sendiri. *** Hari Minggu pagi: Suasana di kebun masih sepi
walaupun satu dua calon pembeli sudah hadir untuk
melihat-lihat. Pada saat itulah Mang Ateng
menghampiri Melanie.
"Neng Anie, ada orang yang mau ketemu Neng.
Perempuan setengah tua. Dia nunggu di depan, dekat
pintu pagar."
"Suruh masuk atuh, Mang."
"Dia nggak mau. Katanya nggak mau lama-lama.
Cuma mau ngomong sebentar."
"Siapa sih?"
439 / 460 "Dia nggak bilang namanya. Tapi kayaknya pernah
datang ke sini. Saya lupa-lupa ingat."
"Oh, mungkin pernah beli tanaman lalu ada masalah
dengan tanamannya itu," Melanie menyimpulkan.
"Mungkin juga, Neng. Biar saya gantiin Neng di sini."
Melanie bergegas menuju pintu pagar. Ibu dan
kakeknya tidak kelihatan. Mungkin mereka berdua
tengah berada di kebun pisang. Ada orang yang
memesan pisang dalam jumlah besar.
Setibanya di depan dia tidak segera melihat perempuan
yang mencarinya itu. Apakah sudah pergi karena kesal
menunggu? Kemudian dia mendengar panggilan lirih,
"Melanie!"
Melanie menoleh dan terkejut. Perempuan itu adalah
Dahlia. Untuk beberapa saat lamanya dia berdiri saja
mematung tanpa bersuara. Tak seperti perjumpaan
mereka yang pertama tatapan Melanie kali ini berkesan
bingung. Ada apa dan mau apa, begitu dia berpikir
sambil bersiap-siap.
Dahlia tersenyum malu dan canggung. Dia tak jadi
mengulurkan tangan.
"Apa kabar, Mei?"
"Baik, Ada apa, Tante?"
440 / 460 "Saya... saya perlu bicara denganmu, Mei. Ah, tidak
usah masuk. Di sini saja. Cuma sebentar. Begini.
Beberapa waktu yang lalu saya pernah mengirim bunga
disertai permintaan maaf. Kau telah menerimanya,
bukan?"
"Ya."
Dahlia meremas-remas kedua tangannya. "Sebenarnya
itu tidak patut, bukan? Saya menyesal telah melakukan
nya. Maksudku, minta maaf kok pakai bunga. Mestinya
kan berhadapap langsung. Tapi saya takut melakukan
nya, Mei. Saya takut diusir seperti saat pertama kali
saya menginjakkan kaki di sini. Sekarang saya
memberanikan diri. Saya mau mengulang permintaan
maaf itu," kata Dahlia sambil menundukkan kepalanya.
Dia merasa malu dan kecil. Tapi sungguh, dia lebih
suka berhadapan dengan Melanie daripada dengan
Monika! Sekarang dia memang malu tapi tidak sampai
merasa terhina.
Melanie menatap heran. Untuk sesaat dia berpikir,
perempuan di depannya ini tengah mengada-ada.
Ataukah sesungguhnya Dahlia sudah kurang waras?
"Untuk apa, Tante?" tanyanya datar.
Nada suara tanpa emosi itu memberi keberanian
kepada Dahlia. Dia mengangkat kepalanya lalu
memandang Melanie. Perasaannya pun tergetar. Gadis
441 / 460 ini cantik. Dan jelas punya martabat dibanding Monika.
Penyesalan pun muncul selangit. Kalau saja dulu dia
menjodohkan Tony dengan Melanie sesudah peristiwa
itu. Tapi yang ditawarkannya cuma uang ganti rugi. Ya,
kalau saja...
"Karena saya sangat menyesal, Mei. Bukankah Tony
juga sudah minta maaf kepadamu? Saya juga wajib
melakukan hal yang sama. Bukan karena ingin meniru
dia, tapi karena penyesalan saya terasa mengganggu,"
Dahlia menunjuk dadanya. Tentu saja kata-kata itu tak
sepenuhnya benar. Hanya keyakinannya saja bahwa
maaf dari Melanie bisa meringankan dosanya lalu
menghapus hukumannya dan mengembalikan Tony
kepadanya. Ini penting sebelum dia mengambil
langkah berikut terhadap niat Tony dan Monika. Tanpa
beban dosa dia yakin usahanya akan menjadi lancar.
Melanie masih tidak mengerti. Maaf, maaf, maaf. Kata
satu itu seperti menjadi topik dalam hidupnya
belakangan ini. Sampai sejauh itukah penyesalan
seseorang hingga waktu yang berlalu tak lagi menjadi
ukuran? "Sudah terlalu lama. Tante."
"Tapi tidak kedaluwarsa, bukan? Saya membutuhkan
kerelaanmu, Mei. Tolonglah. Demi ketenteraman sisa
hidup saya," Dahlia memohon. Semakin lama rasa
442 / 460 malunya semakin berkurang. Yang penting dia bisa
memperoleh apa yang diinginkannya. Di matanya,
maaf itu bagaikan sebuah benda yang dapat dipegang
untuk kemudian dibawa pulang.
Melihat sikap dan gaya Dahlia, Melanie merasa geli
untuk sesaat. Seperti itukah orang yang dipenuhi
penyesalan? Dia sendiri belum pernah meminta-minta
maaf kepada orang lain dan karenanya tidak tahu
seperti apa penyesalan itu. Tentu saja, bukankah dia
juga tak pernah jahat kepada orang lain?
Tiba-tiba saja melintas kata-kata Arman di benaknya.
"Tidak sepatutnya kau bersikap superior terhadap
orang lain karena orang itu telah berbuat salah
kepadamu!"
Kata-kata yang mengganggunya sekarang.
"Sudahlah. Lupakan saja, Tante," katanya tanpa
semangat. "Jadi kaumaafkan saya dan seluruh keluargaku? Kau
sungguh-sungguh? Kau rela?"
"Ya!"
Dahlia memekik girang lalu spontan menubruk
Melanie yang dipeluknya erat-erat. "Aduh! Terima
kasih, Mei!" serunya.
443 / 460 Melanie kaget dan kembali jadi bingung. Dekapan
Dahlia erat sekali dan membuat tubuhnya panas. Di
balik punggung Dahlia kedua tangan Melanie
menggantung lunglai, tak tahu harus berbuat apa. Tapi
kemudian menjalar suatu perasaan yang sulit dia
lukiskan. Dia mengangkat kedua tangannya,
memandangnya sebentar lalu meletakkannya di
punggung Dahlia. Mula-mula asal menyentuh saja,
kemudian menekan. Dia membalas pelukan itu!
"Terima kasih, Sayang! Mudah-mudahan kamu
mendapat berkat-Nya," kata Dahlia, lalu dia
mendaratkan ciuman di pipi Melanie. Setelah itu dia
melepaskan pelukan lalu bergegas pergi.
Melanie tertegun. Dia merasa seperti mimpi yang
begitu cepat datang dan perginya. Ketika dia sadar dari
pesona, Dahlia sudah lama berlalu.
"Kenapa, Anie?"
Diah mendekat dengan khawatir.
"Oh, nggak apa-apa, Ma," jawab Melanie cepat-cepat
"Ah, masa? Kamu kok seperti... seperti melihat hantu."
Melanie tersenyum menenangkan. "Mana ada hantu,
Ma?" "Benar nggak apa-apa?" Diah kurang percaya.
444 / 460 "Beneeeeeerrr..., Ma!"
Diah tertawa. Sesungguhnya dia memang kurang
percaya. Tapi merasa harus percaya. Senyum Melanie
memang menenangkan. Barangkali Melanie sedang
melamun tadi. Tidak mengherankan. Banyak masalah
yang sekarang disimpannya sendiri. Tapi dia
memutuskan untuk tidak bersikap mendesak. Mungkin
suatu saat nanti Melanie akan menceritakan.
Melanie memang tidak bermaksud untuk segera
menceritakan pertemuannya dengan Dahlia. Mungkin
nanti. Dia ingin memikirkannya dulu. Dengan
demikian dia tidak akan dipengaruhi pendapat siapasiapa karena cuma dia seorang yang tahu.
*** Dengan perasaan mantap, esoknya hari Senin, Dahlia
mendatangi rumah kontrakan Tony bersama Monika.
Tidak susah baginya untuk mengetahui alamatnya
walaupun Tony tidak mau memberitahu. Dia
menyuruh Udin, sopirnya, untuk menguntit Tony
ketika Tony pulang dari kantornya.
Dia berharap Monika berada di rumah sendirian.
Karena itu sengaja dia memilih saat jam kerja. Ternyata
harapannya terkabul. Monika sedang sibuk membenahi
rumahnya. Dia kaget menerima kedatangan Dahlia,
tapi bersikap ramah.
445 / 460 "Aku adalah ibu Tony," kata Dahlia angkuh.
"Ya. Saya sudah menduga sejak awal."
"Kalau begitu, pasti kau pun sudah bisa menduga
kenapa aku datang ke sini."
"Kira-kira bisa. Bu." Sengaja Monika mengganti
sebutan "Tante".
Tapi Dahlia tidak menyadari perubahan sebutan itu.
Dia tertarik oleh jawaban Monika. "Oh ya? Kau bisa?
Coba apa tuh?" tantangnya.
"Ibu bermaksud membujuk saya
meninggalkan Tony dengan imbalan."
untuk pergi Dahlia terkejut. "Lho, kok tahu?" tanyanya curiga.
Sesungguhnya tak ada orang yang tahu perihal
rencananya itu. Bahkan Utomo juga tidak.
"Saya cuma mengira-ngira, Bu. Tahu pasti sih nggak,"
kata Monika tanpa nada menyindir.
"Huh, sok tahu," Dahlia mencibir. "Baiklah. Itu
memang benar. Tapi kau pasti tidak bisa menebak
berapa jumlah imbalan yang mau kuajukan. Ayo?"
Monika menggelengkan kepalanya. "Tidak perlu. Bu.
Berapa pun yang Ibu tawarkan, saya tidak akan
menerimanya."
446 / 460 "Huuu, jangan begitu pasti dulu. Jumlah itu pasti akan
membuatmu kaget." Dahlia diam sejenak, lalu
memandang berkeliling. Rumah itu berukuran sedang
tapi punya arsitektur yang menarik. "Nah, kira-kira
seharga rumah ini!"
Monika tertegun. Dia memang tidak menyangka. "Ah,
apakah Ibu tidak sayang akan uang Ibu?"
"Aku lebih sayang anak daripada uang! Nah, tidakkah
kau tergiur? Dan coba pikirkan. Uang itu adalah
sesuatu yang kongkret. Bisa kaujadikan penopang
hidupmu. Bisa kaujadikan modal kalau sudah tak laku
lagi jadi pelacur. Tapi cinta Tony bisa jadi cuma
sementara. Besok lusa dia akan bosan padamu lalu
mencampakkan dan meninggalkan kamu. Maklum.
Dia itu kan lelaki. Apalagi dia tahu betul siapa kamu.
Mana mungkin dia respek sama kamu?"
Monika tidak marah. Dia sudah merasa terlalu kebal
untuk bisa tersinggung. "Ya. Jumlah itu memang besar
sekali. Bu. Cukup untuk membuat saya tergiur. Tapi..."
"Apa masih kurang?" potong Dahlia tak sabar.
"Oh, bukan begitu, Bu. Sampai saat ini saya sudah
cukup menikmati uang. Jumlahnya bukan lagi
persoalan, berapa pun banyaknya. Pendeknya, saya
sudah mengalami kepuasan dengan uang. Tapi ada
yang lebih berharga daripada uang. Yang tak bisa dibeli
447 / 460 dengan uang. Dan mungkin tak bisa saya peroleh lagi
dalam kesempatan kedua kali. Itu adalah cinta dan
perkawinan. Saya akan menikmatinya. Saya
menghargainya tinggi sekali. Dan walaupun Ibu benar
bahwa yang seperti ini mungkin cuma sementara, tapi
itu toh baru kemungkinan. Lagi pula mana sih di dunia
ini yang abadi? Segalanya cuma sementara. Hidup saya
juga."
Dahlia melotot. "Jadi kau menolak?" tegasnya marah.
"Ya, Bu."
"Bukankah kau dulu mata duitan sekali?"
Monika cuma tersenyum. Tapi bukan mengejek. Tak
seperti dulu, sekarang dia benar-benar menjaga
sikapnya terhadap Dahlia. Bagaimanapun, perempuan
inilah yang telah mempertemukannya dengan Tony.
"Kamu tidak tahu diri! Kamu tidak pantas jadi istri
Tony! Pelacur murahan!" maki Dahlia. Selanjutnya
rentetan makian berhamburan dari mulut Dahlia.
Sampai kemudian dia kehabisan kata-kata.
Monika menunduk saja. Aneh juga, pikirnya, bahwa
dia tidak lagi merasa terganggu oleh kata-kata,
seberapa pun kejinya. Semuanya datang dan berlalu,
lalu lenyap tanpa kesan. Padahal dulu dia pasti akan
memberontak dan mengamuk supaya bisa membalas
dengan sama kejinya.
448 / 460 Dahlia kehabisan daya. Dia mencari upaya lain.
"Ah ya, kamu ngotot bertahan tentu karena berpikir
bahwa Tony sangat kaya, bukan? Kamu salah. Yang
Melanie Karya V. Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kaya itu bukan dia melainkan kami, orangtuanya.
Kalau dia tetap mau kawin denganmu, dia bisa
kehilangan hak warisnya. Kami tak akan memberikan
sepeser pun untuknya. Mana dia tahan hidup miskin?"
"Tidak terpikirkah oleh Ibu, bahwa dengan menekan
dan menjepitnya terus-terusan malah membuat dia
semakin benci kepada Ibu? Tidak semua orang
menyerah karena tekanan. Bisa jadi malah sebaliknya.
Padahal dia anak Ibu satu-satunya."
Dahlia tertegun.
"Kenapa kita tidak kompromi saja. Bu?"
"Kompromi?" Dahlia kaget.
"Ya. Kalau Ibu sayang sama dia, biarkanlah dia
memperoleh kebahagiaannya. Dengan demikian dia
tidak akan membenci Ibu. Dan kalau Ibu yakin bahwa
suatu saat dia akan mencampakkan saya karena bosan,
dia pasti tidak akan ke mana-mana melainkan kembali
kepada Ibu!"
Dahlia tak memberi komentar. Dia buru-buru pergi
sebelum dadanya meledak karena kemarahan. Memang
449 / 460 tak ada gunanya terus membujuk dan memaksa kalau
jelas takkan berhasil.
Tapi sepanjang jalan dia memikirkan kata-kata itu.
Ketika dia membicarakannya dengan Utomo, ternyata
Utomo malah membenarkan kata-kata Monika.
"Rupanya dia pintar. Tak heran kalau Tony tergila-gila
kepadanya. Ya, biarlah kita kompromi!"
Dahlia tak berdaya. "Baik," katanya sengit. "Tapi
selama waktu itu aku takkan henti-henti berupaya
mendepaknya dari sisi Tony!"
"Hati-hati, Ma. Jangan bikin geger. Jangan bikin ribut.
Ingatlah pengalaman kita yang dulu. Keributan cuma
menguntungkan orang lain. Kita yang malu.
Maluuuuu...!"
Dahlia terdiam. Mungkin itu memang penyelesaian
yang terbaik. Suatu kompromi, seperti kata Monika.
Dan mungkin dia tidak perlu menyesali pengorbanan
nya karena telah meminta maaf kepada Melanie.
Mungkin inilah imbalan dari pengorbanan itu. Suatu
penyelesaian!
*** Tak terasa waktu berlalu bagi Melanie ketika dia duduk
sendiri di tempat favoritnya. Pikirannya dipenuhi oleh
450 / 460 pengalamannya yang paling belakang. Sesuatu yang
aneh. Sesuatu yang baru.
Dia mengenang pertemuannya dengan Dahlia.
Perempuan itu aneh, pikirnya. Tapi keanehan tingkah
perempuan itu telah memberinya perasaan aneh juga.
Dia perlu memikirkan apa gerangan yang aneh itu. Ah
ya, pelukan Dahlia telah memberinya kehangatan. Tapi
bukan cuma fisik. Kehangatan itu meresap ke dalam.
Jiwanya menjadi hangat. Apakah cuma itu sebabnya?
Ah tidak, bukan cuma itu. Pikirkan.
Oh ya, begitu pentingkah arti maaf bagi seseorang?
Atau tiap orang? Begitu beratkah beban penyesalan,
hingga maaf itu dibutuhkan? Nyatanya tak kepalang
gembiranya Dahlia ketika permintaan maafnya
dikabulkan tanpa berat hati. Suatu kegembiraan yang
meledak tanpa dibuat-buat. Itu juga terasa aneh bagi
Melanie. Padahal baginya, kata maaf itu sepertinya
sederhana saja. Hanya satu kata. Tapi betulkah dia
tulus memaafkan? Nyatanya dia spontan mengatakan
tanpa keberatan apa-apa. Mungkin dendamnya telah
larut oleh ulah Tony alias Rifai. Ataukah sesungguhnya
dia juga menyukai Tony atau Rifai yang baru? Suatu
rasa suka yang sedemikian rupa hingga dia tidak
sampai menjadi marah atau dendam karena Tony
sebenarnya cuma berpura-pura? Bagaimanapun Tony
sudah minta maaf. Ah, maaf lagi. Semua minta maaf
451 / 460 kepadanya. Betulkah dia merasa disanjung karenanya,
seperti kata Arman?
Teringat akan Arman membuatnya merasa bersalah.
Dia sudah berjanji untuk membuatkan taman bagi
Arman. Tapi janji itu tak dipenuhinya tanpa kepastian
apa-apa. Sekarang Arman telah melewatkan setengah
masa cutinya dengan sia-sia.
Lalu dia mendengar panggilan ragu-ragu, "Anie..."
Dia menoleh kaget dan merasa terganggu. Ayahnya
berdiri di sana dengan tatapan harap-harap cemas.
Suatu ekspresi yang membuatnya sebal. Dia teringat
kepada pengemis yang mengiba-iba minta dikasihani
padahal cuma berpura-pura saja. Memberikan apa yang
diminta berarti membiarkan diri ditipu.
"Ada apa?" tanya Melanie.
"Oh..., nggak apa-apa. Apakah Papa mengganggu?"
"'Nggak."
"Bagus ya tamannya. Katanya kamu sendiri yang
buat," Darmaji memberanikan diri mendekat.
"Iya."
Dengan menebalkan mukanya, walaupun tak
diundang, Darmaji duduk di atas salah satu batu besar.
Lalu dia memandang ke sekitarnya dengan tatapan
452 / 460 kagum. Tapi di mata Melanie sikap itu tak lebih dari
upaya mengambil hati belaka.
Beberapa saat berlalu tanpa ada yang bicara. Darmaji
ingin bicara tapi bingung mencari kata, sedang Melanie
sama sekali tak ingin. Lalu Darmaji melirik
memandang Melanie. Dia melihat wajah yang masam
dan tatap dipalingkan. Tiba-tiba dia tak tahan lagi.
Bibirnya gemetar. Semula dia bermaksud segera pergi,
tapi mendadak kakinya kehilangan kekuatan. Lemas
bagai tak bertulang.
Lalu begitu saja mulut Darmaji menyemburkan katakata yang sama sekali di luar rencananya. "Jadi
dendammu kepadaku tetap abadi, bukan? Baiklah.
Kalau memang itu kehendakmu. Papa tidak akan
mencoba dan memohon lagi. Semuanya toh sia-sia.
Papa memang sudah telanjur busuk di matamu. Jadinya
terus berbau bila dekat denganmu. Ya, sudah. Mulai
saat ini Papa akan pergi menjauh, supaya kamu tidak
mencium bau busuk lagi. Tapi kalaupun kau punya
anggapan seperti itu terhadapku, jangan menyamarata
kan terhadap lelaki lain. Jangan anggap semua lelaki
busuk juga hingga Arman yang tidak tahu apa-apa
terkena juga. Kasihan dia. Dia begitu mencintaimu
sehingga biar cuma dijadikan teman juga rela, tapi
kamu malah muak kalau disentuh. Terlalu!"
453 / 460 Melanie sangat kaget. Dia menatap ayahnya dengan
heran. Sosok mengiba-iba itu tak tampak lagi. Setelah
beberapa saat cuma menatap, dia bertanya, "Siapa yang
memberitahu itu? Mama?"
Darmaji menggelengkan kepala. Dia kaget juga oleh
spontanitasnya sendiri. Tapi sudah telanjur. "Yang
memberitahu itu tidak penting," katanya lesu, merasa
telah mengacaukan rencana yang sudah disusun Diah.
Lalu Darmaji berdiri. Kakinya sudah kuat kembali.
Mungkin karena unek-uneknya sudah berhasil ia
keluarkan.
"Sampaikan saja pada ibumu, bahwa Papa tidak bisa
meneruskan rencananya. Dia tidak perlu lagi bantuan
ku, karena sudah terbukti Papa tidak sanggup. Mungkin
lebih baik kalau kita tidak perlu lagi bersandiwara
terus-terusan."
"Sandi... wara? Sandiwara apa?"
Darmaji memutuskan untuk berterus terang saja. Diah
akan marah tapi dia tidak peduli lagi sekarang. Cepat
atau lambat Melanie memang harus tahu.
"Sebenarnya mamamu juga tidak rela memaafkan aku.
Dia masih membenciku. Sama seperti kamu. Tapi dia
memutuskan untuk bersandiwara seakan-akan mau
menerimaku kembali hanya supaya matamu terbuka.
Dia memang ibu yang hebat. Dari dulu dia selalu
454 / 460 berkorban untukmu. Tapi rupanya matamu tak mau
terbuka juga. Tentu saja, Papa juga harus tahu diri. Bila
sudah tak dikehendaki, harus menyingkir!"
Selama Darmaji berbicara, Melanie seakan terpesona.
Dia merasa terpukul. Semua orang-orang itu benar!
Dan kenapa dia begitu cepat memaafkan Dahlia,
bahkan juga Tony, sedang kepada ayahnya sendiri
tidak? Tapi pikirannya segera tertuju kepada seseorang lain.
Dan nalurinya mengatakan, dia harus bertindak secepat
mungkin. Maka dia segera melompat dan berlari.
"Anie...," kata Darmaji, bingung dan cemas.
"Tunggu sebentar, Papa!" seru Melanie tanpa
menghentikan larinya.
Darmaji tak mengerti. Dia cuma bisa memperhatikan
sampai Melanie hilang dari tatapannya. Lalu dia
terduduk kembali. Bukankah Melanie menyuruhnya
untuk menunggu? Tapi bukan itu yang terpenting. Tak
salah dengarkah dia bahwa Melanie menyebutnya
"Papa"? Selama itu, dia sadar benar bahwa Melanie
selalu menghindari sebutan itu.
Ternyata dia duduk di situ tak cuma sebentar. Tak
kepalang lamanya. Melanie tak muncul-muncul.
Harapannya pun sirna, berikut angan-angannya yang
manis tadi. Barangkali dia memang salah dengar.
455 / 460 Orang yang datang menemui Darmaji kemudian adalah
Diah. "Lho, ke mana Anie?" tanyanya heran.
"Pergi."
"Ke mana?"
"Tidak tahu. Dia tidak bilang. Mendadak saja dia lari."
"Lantas kau ngapain di sini?"
"Dia menyuruhku untuk menunggu. Tapi kok nggak
muncul-muncul. Kupikir dia mau mengambil sesuatu
untuk diperlihatkan."
"Ah, ke mana, ya? Aku tidak melihatnya. Apa mungkin
dia di kamar? Tadinya kupikir, kalian sedang
berbincang-bincang di sini. Terlalu asyik sampai lupa
waktu. Yah, mungkin... mungkin kalian sudah
berbaikan, begitu. Aku cuma mau mengajak kalian
segera makan. Nyatanya..." Diah menatap curiga.
"Usaha kita tidak berhasil, Diah. Aku menyesal. Lebih
baik aku pergi saja untuk selamanya dari kehidupan
kalian. Aku sudah memikirkan. Paling baik kalau aku
minta dipindahkan ke kantor Jakarta saja. Buat kita
semua itu lebih baik. Jadi kita tak perlu lagi saling
menyakiti."
456 / 460 "Tunggu dulu. Ada apa sebenarnya antara kau dengan
Anie?"
"Aku telah memberitahu dia tentang sandiwara kita ini.
Itu sebabnya dia berlari pergi. Maaf."
Pada mulanya Diah merasa marah. Semestinya
Darmaji tidak berbuat selancang itu. Tapi kemudian dia
mencemaskan Melanie.
"Bukankah tadi dia menyuruhmu menunggu?"
"Ya."
"Kalau begitu tunggulah dulu. Aku akan mencarinya di
kamarnya."
Tapi Melanie tidak ada di kamarnya. Diah merasa lega
karena sempat membayangkan yang bukan-bukan.
"Aku tahu!" serunya. "Dia pasti ke rumah Arman!"
Terkaan Diah itu ternyata benar ketika Melanie muncul
bersama Arman. Wajah keduanya cerah dan mereka
bergandengan tangan!
"Saya mengajak Arman makan bersama, Ma. Oh ya,
maaf Pa, karena saya menyuruh Papa menunggu begitu
lama. Tadi ada urusan yang perlu diselesaikan dengan
Arman. Tapi saya pikir, mulai saat ini kita tak perlu lagi
bersandiwara!" kata Melanie dengan penuh semangat.
457 / 460 TAMAT 458 / 460 Bertahun-tahun lamanya Melanie menyimpan trauma
perkosaan yang pernah dialaminya sampai kemudian dia
bertemu kembali dengan orang-orang yang pernah
menyakitinya
Tony, salah seorang pemerkosanya, juga mengalami
akibat dari hukuman penjara yang telah dijalaninya. Dia
menjadi homoseksual. Upayanya membalas dendam pada
Melanie bukan saja tidak berhasil, tapi justru membawa
akibat yang tak disangka.
Dahlia, ibu Tony, punya rasa sayang berlebihan kepada
putera tunggalnya itu, hingga mendorongnya melakukan
tindakan ekstrem yang ternyata malah menjadi bumerang
untuknya. Darmaji, ayah kandung Melanie, meninggalkan
keluarganya pada saat Melanie berusia sepuluh tahun
demi seorang wanita lai ini menimbulkan kebencian yang
mendalam pada melanie terhadap ayahnya. Tanpa sadar,
citra sang ayah di mata Melanie menjadi citra lelaki pada
umumnya, apalagi setelah dia mengalami perkosaan, citra
itu menjadi sedemikian jeleknya hingga menghalaing
hubungannya dengan lelaki yang mencintainya.
Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama
Jl Palmerah Selatan 24-28 Lt.6
Jakarta 10270
ISBN 970-511-188-4
459 / 460 PERNYATAAN
File ini adalah sebuah usaha untuk melestarikan bukubuku novel Indonesia yang sudah sulit didapatkan di
Melanie Karya V. Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pasaran dari kemusnahan, dengan cara mengalih
mediakan menjadi file digital.
File ini dihasilkan dari konversi foto menjadi teks yang
kemudian di kompilasi menjadi file PDF.
Tidak ada usaha untuk meraih keuntungan finansial
dari karya-karya yang coba dilestarikan ini.
CREDIT untuk :
? ottoys@yahoo.com
? Grup Kolektor E-Books
D.A.S 460 / 460 Fallen Too Far 4 Hendrick Karya Risa Saraswati Raja Naga 7 Bintang 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama