Ceritasilat Novel Online

Misteri Perawan Kubur 1

Misteri Perawan Kubur Karya Abdullah Harahap Bagian 1


Misteri Perawan Kubur Karya : Abdullah Harahap Ocr by : Yoza Upk Edit teks dan Pdf : Saiful Bahri Situbondo
Selesai di edit : 30 Agustus 2018,Situbondo
Ebook dipersembahkan oleh Group Fb Kolektor E-Book
https://m.facebook.com/groups/1394177657302863
dan Situs Baca Online Cerita Silat dan Novel
http://ceritasilat-novel.blogspot.com
Selamat Membaca ya !!! *** MISTERI PERAWAN KUBUR Oleh Abdullah Harahap GM 412 0110 0001 Editor: Eka Kurniawan Sampul dikerjakan: Eduard Iwan Mangopang
Diterbitkan pertama kali oleh Paradoks Publishing Jl. Palmerah Barat 29-37 Blok I, Lt. 4-5 Jakarta 10270
Imprint Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama anggota IKAPI Jakarta, Agustus 20 0320 hlm; 8 cm
ISBN-13: 978 -979 -22 -6135-6
*** SATU Semakin larut malam, suasana hening semakin menyelimuti desa Cikalong Wetan di kaki Gunung Galunggung yang tampak lebih kelabu dari biasanya.Tak seorang pun tampak berkeliaran di luar rumah.Padahal bulan sedang purnama, dan bintang gumintang menari-nari gemulai di langit biru jernih.Udara pun berembus segar.
Nyaman. Tetapi setiap warga desa tahu, malam itu sebaiknya mereka masuk tidur lebih cepat dari kebiasaan. Meski mata sulit dipejamkan.Malam itu, sesuatu akan terjadi. Dan mereka semua menunggu.
Dengan tegang. Satu-satunya pintu rumah yang terbuka adalah pintu rumah Pak Lurah. Cahaya lampu minyak menerobos keluar, menjilati tanah berpasir di pekarangan. Angin malam yang menerobos masuk ke dalam rumah membuat lampu minyak sesekali menggeliat.
Segan dan kaku. Sekelompok laki-laki sedang berkumpul di ruang tengah rumah. Wajah mereka juga tampak segan dan kaku.Bahkan satu-dua di antaranya jelas dicekam perasaan takut, tanpa dapat menyembunyikannya. Hanya Aki Bajuri seorang yang terlihat tenang.
Hampir acuh tak acuh. Tetua kampung yang dikenal juga sebagai dukun kesohor itu, untuk kesekian kali menyapukan pandang pada wajah-wajah tegang di sekelilingnya, dan berakhir di wajah Pak Lurah yang dari tadi duduk gelisah.
"Tak ada yang perlu dicemaskan!" ujarnya tiba-tiba,mengejutkan semua yang hadir.
"Kita telah menemukan kelemahan perempuan itu. Yakinkanlah diri kalian masing-masing, bahwa kita tidak akan gagal.Buat yang ragu-ragu, masih terbuka kesempatan untuk mundur..."
Satu per satu yang hadir menarik napas. Namun tak ada yang ingin mundur. Masing-masing mereka harus menebus kematian anggota keluarga mereka yang telah:terbunuh dengan kejam dan mengerikan. Selama ini mereka tidak menemukan jalan untuk membalas kematian demi kematian yang mendirikan bulu roma itu.
Sekaranglah waktunya. Setelah Aki Bajuri mendapatkan senjata pemusnah yang konon dapat melumpuhkan kekuatan gaib dan jahat Perempuan yang tengah mereka perbincangkan. Aki Bajuri tersenyum.
''Syukurlah kalian semua telah membulatkan tekad. Sebelum tugas kita laksanakan,ada satu hal yang perlu saya utarakan. Khususnya kepada satu-satunya orang yang sempat dijamah kekuatan jahat perempuan itu...."
Aki Bajuri kembali menatap lurus ke wajah Pak Lurah.Yang ditatap duduknya semakin resah. Tetapi sebagai orang yang paling dihormati dan disegani di desa itu, ia harus mempertahankan wibawanya. Susah payah ia kuasai dirinya, lalu bergumam lirih,
"Tak apa. Ki!" "Masih ingat apa yang kau dan teman-temanmu perbuat dulu pada suami perempuan itu, bukan?"
"Ya!" "Bahwa cucumu mati lantaran penyakit sampar. Bukan karena diteluh suami perempuan itu."
"Aku tahu. Dan aku sangat menyesal...."
"Syukurlah kau telah menyadari kekeliruanmu,Sumarna. Walau datangnya terlambat, paling tidak kau telah menunjukkan kebesaran jiwamu di hadapan orang-orang ini...."
Aki Bajuri menyapukan pandang pada mereka yang hadir.
"Jadi biarlah kelak mereka ikut memutuskan, apakah kau mereka setujui atau tidak untuk memimpin dan mengelola hidup serta kehidupan desa ini!"
Pak Lurah menundukkan kepala. Tanpa berani berkomentar, apalagi memandang wajah orang-orang yang hadir di sekitarnya. Karena ia tahu, kelompok kecil itu langsung atau tidak langsung tetaplah mewakili setiap warga desanya. Yang penting, pikirnya,aku tetap hidup walau kemungkinan besar tak lagi menduduki jabatan yang kuperoleh turun-temurun.Warisan leluhur wajib dipertahankan. Tetapi kalau warisan itu sudah menyangkut nyawa, apalagi nyawa orang-orang lain yang tidak berdosa, ada kalanya kewajiban terpaksa ditanggalkan.
"Aku pasrah,'' Sumarna bergumam juga akhirnya. Aki Bajuri manggut-manggut.
"Bagus," desahnya,lembut.
Lalu menambahkan dengan khidmat,
"Kini waktunya menjalankan tugas!"
Mereka yang hadir sama-sama menarik napas. Lalu berjalan ke luar satu per satu dari rumah itu, dengan Aki Bajuri sebagai pelopor. Sumarna bangkit paling akhir, ia pandang sejenak orang muda yang berdiri bimbang di dekatnya.
"Kau tinggal di rumah saja,Komar. Putriku membutuhkan perlindunganmu."
Wajah tampan gagah pemuda itu berubah berseri seri.
"Bila itu kehendak Bapak, baiklah," sahutnya setuju.
"Kalau nanti di sana terjadi apa-apa...."
"Semuanya akan beres. Bapak akan kembali dengan selamat!" si pemuda memberi semangat.
"Berkat kau juga, menantuku!"
Sumarna akhirnya dapat tersenyum. Ia tepuk-tepuk pundak pemuda itu kemudian melangkah dengan gagah meninggalkan rumahnya.Tiba di luar, sejenak ia tengadah.
Menatap rembulan. Banyak tahun telah lewat, ketika rembulan seindah malam ini ia lewatkan bersama seorang perempuan cantik menggairahkan. Janji yang mereka padu begitu mesra, seakan tak satu apa pun di dunia ini yang dapat menggoyahkan. Lalu tiba-tiba, bagai petir di siang bolong, perempuan itu menikah dengan lelaki lain.Rembulan masih tetap hadir setelah itu. Entah berapakali sudah dan setiap kali, Sumarna menatap rembulan itu dengan perasaan sakit tiada terperi. Yang kian lama kian mengguratkan dendam berkarat di sanubarinya.Tiga tahun berselang, ia mengira dendamnya sudah terlampiaskan. Laki-laki saingannya telah mati ditangan Sumarna sendiri. Sayangnya, ia telah melakukan beberapa kesalahan. Perempuan itu ternyata teguh pendiriannya. Memilih lebih baik hidup menyendiri sebagai janda kesepian, ketimbang harus menikah dengan laki-laki yang bertanggung jawab atas kematian suaminya.Terngiang di telinga Sumarna apa yang pernah diucapkan bekas kekasihnya itu. Mungkin saja aku dapat menjalin cinta kita yang pernah terputus,Sumarna.
Sayang... tanganmu kini berlumuran darah!
Itulah kesalahan Sumarna yang terbesar. Dan masih ada lagi kesalahan-kesalahan lain. Ia membujuk orang-orang dekatnya untuk ikut menyempurnakan gagasannya. Ia libatkan mereka untuk menyiarkan desas-desus bahwa suami bekas kekasihnya itulah biang kerok yang menyebabkan penyakit menular melanda desa mereka. Dipergunjingkan sedemikian rupa, bahwa kemampuan orang itu sebagai tabib dengan ilmu-ilmu aneh untuk menyembuhkan penduduk yang sakit, telah membangkitkan ambisi besar untuk menjadi tabib yang semakin masyhur. Ambisi yang hanya dapat dicapai dengan mengorbankan nyawa orang-orang yang ia kehendaki.Tentu saja semua itu tidak benar. Tetapi berkat pengaruh Sumarna sebagai kepala desa yang disegani,yang tidak benar itu lambat laun akhirnya dibenarkan juga oleh penduduk. Laki-laki yang tidak saja telah merebut perempuan tercinta tetapi juga mulai merebut popularitas Sumarna, berhasil disingkirkan. Keajaiban alam kemudian turut pula membantu Sumarna. Begitu saingannya tersingkir, wabah penyakit menular ikut pula menyingkir dari desa mereka. Sampai Sumarna sendiri sempat hampir percaya, bahwa saingannya yang terkutuk itu bukan sekadar kambing hitam. Tetapi memang sumber wabah yang sebenarnya.Siapa nyana, wabah lain muncul tiba-tiba. Wabah misterius yang datang tanpa pemberitahuan.
Bahkan tanpa tanda-tanda.
Tanpa adanya penyakit. Korban wabah itu langsung mati. Mati tanpa meninggalkan bekas, kecuali tulang-belulang berserakan. Semula Sumarna tidak menaruh curiga. Barulah setelah ia berkonsultasi dengan Aki Bajuri, semuanya terbuka lebar.Dengan mulut ternganga ia sadari, korban-korban yang jatuh adalah orang-orang dengan siapa sebelumnya Sumarna bekerja sama menyingkirkan laki-laki saingannya.
"Entah mengapa, kau tetap dibiarkan hidup..." kata Aki Bajuri waktu itu.
"Tetapi bukan mustahil, giliranmu akan tiba juga akhirnya!"
Sumarna menghela napas panjang dan berat. Awan kecil berwarna putih perak sesaat tampak menempeli rembulan. Lalu terdengar suara menegur,
"Tunggu apalagi, Sumarna?"
Aki Bajuri mengawasi Pak Lurah dengan sorot mata ingin tahu.
"Tak apa-apa," desah Sumarna, bergetar.
"Ayolah" Rombongan kecil itu kemudian berjalan meninggalkan desa. Beriring-iringan dengan mulut diam membisu.Orang-orang berjalan paling depan, menggenggam tangkai obor ekstra hati-hati. Seperti takut lepas, takut dari kegelapan malam ada makhluk jahat menerkam dirinya.Aki Bajuri kemudian berjalan mendahului. Langkah kakinya mantap. Napasnya tenang, teratur. Namun toh ketika mereka mulai mendaki jalan setapak memasuki lereng gunung, Aki Bajuri sempat juga menahan napas.Tengadah menatap dinding gunung yang kelabu kebiru-biruan, dengan sadar tangannya meraba gagang pedang di pinggang.Gagang pedang itu memancarkan uap panas. Lalu telapak tangan Aki Bajuri perlahan-lahan terasa lembap.
Basah. Berkeringat. *** Di dalam gubuk kecil terpencil yang mereka tuju, hawa dingin mendadak menyergap tubuh sesosok perempuan yang dari tadi duduk diam dekat tungku. Lewat pintu gubuknya yang terbuka, si perempuan mengawasi suasana malam di luar. Malam yang sunyi senyap.Makhluk-makhluk penghuni hutan seperti mengetahui sesuatu akan terjadi, lalu memutuskan untuk berkubang diam di sarang masing-masing. Tak terdengar suara apa pun, kecuali desau-desau angin berembus menerpa pucuk-pucuk pepohonan. Lalu batang-batang rumpun bambu di samping gubuk berkeriut, menimbulkan bunyi gemeretak yang sahut-bersahut. Seolah roh-roh penghuni alam sedang ribut.Saling membisiki untuk memperingatkan si perempuan yang tetap tak beranjak dari duduknya.Nyala api dari tungku menyinari wajahnya. Wajah itu tampak tenang. Sesekali kelopak matanya mengerjap.Lalu menatap lagi ke luar pintu.
Bersiaga. Ketika angin malam sayup-sayup memantulkan suara-suara gerakan yang jelas menuju gubuknya, siperempuan menggeliat pelan. Di usianya yang sudah memasuki 35 tahun, geliat tubuh si perempuan tetap tampak gemulai, walaupun jiwanya terasa tegang.
Kurun waktu boleh berlalu.
Tetapi kondisi tubuh serta kecantikan wajahnya tetap bertahan. Ramu-ramuan yang dulu diberikan almarhum suaminya serta ketekunannya untuk merawat diri, memang banyak membantu. Itu semua ia lakukan demi cinta dan gairah seksualnya pada suami. Malang, nasib menghendaki lain. Setelah suaminya mati mengenaskan, kondisi tubuh serta kecantikan wajahnya tetap ia pertahankan.
Tetapi untuk tujuan-tujuan lain!
"Semua belum berakhir. Tak akan pernah berakhir!"bibirnya yang ranum menggerimit pelan.
"Manusia-manusia jahanam itu malam ini boleh saja bertepuk dada merayakan kemenangan mereka. Tetapi akan tiba waktunya aku akan kembali!"
Suara-suara itu semakin mendekat.Si perempuan masih tak beringsut dari duduknya.Kalaupun ia bergerak, gerak itu adalah untuk membetulkan posisi semedinya tiap kali jiwa yang bertambah tegang terasa merusak konsentrasi. Gerakan lain ia lakukan manakala cahaya kuning kemerah-merahan muncul di luar gubuk. Si perempuan mengusap perutnya.
"Waktunya sudah tiba, anakku," bisiknya getir.
Lalu sosok-sosok tubuh itu pun muncul dari kegelapan.Cahaya tadi, yang berasal dari sebuah obor,memperlihatkan wajah-wajah segan kaku. Juga sorot-sorot mata kebencian, yang menuntut dilunasi sampai tuntas. Si perempuan memandangi mereka satu per satu. Tanpa reaksi apa pun di wajahnya yang cantik menawan. Juga tak ada reaksi saat matanya menangkap raut wajah seorang lelaki berusia lanjut.Wajah yang mulai mengeriput namun tetap tampak keren, berwibawa.Wajah lembut si perempuan baru berubah tegang manakala ia mengenali Sumarna. Usia mereka berdua sebenarnya hampir sebaya. Tetapi perasaan cemburu,sakit hati, serta polesan dendam dan pikiran-pikiran busuk telah membuat kekasih di kala remaja itu tampak jauh lebih tua sekian belas tahun. Lutut lelaki itu pun kelihatan goyah waktu matanya bertemu dengan mata penghuni gubuk. Benih-benih cinta tak terbalas serta dendam yang terus menggerogoti, jelas terpateri di bibir Sumarna yang menggurat tipis, kering, tegang.
Detik-detik pun berlalu. Bersama kesunyian yang kian menyentak. Tampaknya, tak seorang pun yang berani mengatakan sesuatu, sehingga si perempuan memutuskan untuk membuka mulut. Bibirnya mengurai senyuman ramah, namun tanpa nada bersahabat ketika ia berujar,
"...Haruskah aku mengucapkan selamat datang?"
Tamu-tamu tak diundang itu terdiam.Lalu Sumarna mengumpat pendek,
"Mengakulah,Larasati!"
Senyum di bibir si perempuan menyirna.
"Tak adagunanya aku mengaku, Sumarna. Keputusan sudah diambil, bukan?"
"Kau harus menebus dosa!"
Sumarna menggeram. "Aku tahu!" "Kau harus mati, Larasati!"
"Aku tahu." Si perempuan mengulangi, terap tenang.Tetap bergeming di posisi duduknya. Bersimpuh diam dekat tungku, dengan telapak tangan menyilang didepan dada.
"Dan aku juga tahu, tak ada lagi waktu buat membela diri. Kalian telah merampok kekuatanku..."
si perempuan menambahkan tanpa ragu-ragu. Tak ada pula bayangan ketakutan apalagi putus asa di balik sorot matanya yang tetap bersinar tajam. Diam sebentar, ia kemudian bergumam,
"Omong-omong, Sumarna. Sia-sia saja kau menyembunyikan menantumu yang hebat itu di balik bokongmu..."
"Aku tidak merasa menyembunyikan dia"
Sumarna menggerutu. "Memang tidak. Aku sendiri menduga, si Komar terlalu pengecut untuk memperlihatkan tampangnya yang busuk di depan perempuan yang telah ia khianati."
"Menantuku tidak sebusuk yang kau sangka Larasati!",
Sumarna mengomel. Tak senang. "Dan ia mengkhianatimu, juga bukan atas kemauannya sendiri.Tetapi demi keselamatan dan nyawa orang-orang lain dari ancaman ilmu-ilmu jahatmu yang kejam dan biadab!"
"Oh, oh..." si perempuan menyeringai.
Manis sekali. Bertentangan dengan pertanyaan yang kemudian ia lontarkan,
"Siapakah sebenarnya yang lebih kejam dan lebih biadab itu, Sumarna?"
Lurah desa Cikalong yang tadinya ingin memperlihatkan wibawanya itu, tersengal lantas diam.Aki Bajuri segera bertindak ke depan untuk menyelamatkan muka Sumarna di depan warga desanya.
"Marilah kita sudahi pertengkaran ini" katanya menengahi.
"Tiap manusia tak lepas dari kesalahan.Pada akhirnya, kesalahan itu harus ditebus. Tak peduli bagaimanapun caranya."
Aki Bajuri menatap lurus si penghuni gubuk.
"Aku hanya mengingatkan, Larasati. Kesalahan yang kau perbuat terlalu nista untuk di ampuni. Perbuatan-perbuatanmu menyebabkan setiap warga desa merasa terancam. Isak tangis keluarga korban-korban kejahatanmu sudah waktunya akhiri..."
Salah seorang warga nyeletuk tak puas,
"Mari kita lakukan sekarang juga!"
Yang lain menyetujui. Mereka ribut bergumam, kemudian mengumpat, dan mulai melemparkan caci maki atas nama sanak-saudara mereka yang sudah mati.
Mati penasaran! Aki Bajuri mengangkat tangannya.
Menyuruh diam. "Aku tak punya permusuhan pribadi dengan Larasati"katanya, dingin.
"Maka, Larasati. Kuharap kau mengerti. Keadaanlah yang membuatku terpanggil untuk melibatkan diri!"
"Dapat kupahami" sahut Larasati, sama dinginnya.
"Kelak, rohku tidak akan mengusik dirimu..."
Mendengar itu, mereka yang lain saling bertukar pandang dengan wajah pucat pasi.
Sumarna apalagi. Ia mengentakkan kaki ke tanah, lantas berteriak marah,
"Siasat apa lagi yang akan kau jalankan, Larasati?"
Larasati hanya menjawab dengan senyuman misterius.Aki Bajuri sengaja memutar-mutar pelan mata pedangnya agar nyala obor menerangi lebih jelas.Tampak di antara kilatan mata pedang yang tajam ini sesuatu yang tipis dan teramat samar bila dipandang sepintas lalu. Si penghuni gubuk menahan napas. Lalu bersungut-sungut penuh kedengkian.
"Aku tahu apa yang membelit pedangmu, Ki. Tujuh helai rambut ubun-ubunku. Yang dicuri Komar... setiap kali ia membuatku terkulai di bawah kekuasaan berahi...."
Ia tampak sangat marah. Lalu dengan mata berapi-api memandangi Sumama. Berkata mengejek,
"Tahukah putrimu, bahwa bukan ia seorang yang telah ditiduri si Komar jahanam itu? Pasti tidak, bukan? Tetapi kau tahu betul, bahwa menantumu telah mulai kehilangan gairah menyetubuhi istrinya. Karena aku telah memuaskannya sedemikian rupa, sehingga ia tidak akan pernah lagi terpuaskan oleh perempuan lain.Diam-diam menantumu masih merindukan kehangatan dan nikmatnya bercumbu dengan aku, Sumarna. Itu sebabnya kau tak memperkenankan si Komar ikut kesini. Karena kau juga tahu, bahwa ia mungkin saja berubah pikiran dan jerih payah kalian akan sia-sia!"
Sumarna menyeringai, gembira. Dan jelas, ia menyembunyikan kecemburuan di balik suaranya ketika ia mendengus,
"Ia memang sempat tergila-gila karenamu, Larasati. Tetapi berkat kemujaraban obat Aki Bajuri, setiap kali habis meniduri tubuh molekmu itu, menantuku senantiasa teringat pada tugas yang harus ia jalankan. Kaulah kemudian yang tunduk dibawah kekuasaan berahimu, Larasati. Sehingga kau tidak pernah sadar apa yang diperbuat Komar tiap kali kau terlena puas...!"
"Dan..." Larasati mendesis tajam, "Ia akan mendapat bagian untuk apa yang telah ia lakukan itu!"
Lalu sebelum tamu-tamunya yang resah gelisah itu mencerna apa maksud tersembunyi di balik ucapan-ucapannya, si perempuan mendengus ke arah Aki Bajuri,
"Aku sudah kepalang hancur, Ki. Sempurnakanlah kehancuran itu sekarang juga, sebelum pandanganku berubah atas keterlibatanmu!"
Ucapannya berakhir dalam kesunyian mencekam.Sumarna dan warga desanya menatap ke arah Aki Bajuri.
Mereka menunggu. Harap-harap cemas,sekalipun mulai dilanda ketakutan dan teror yang diam-diam mulai menerpa perasaan mereka sebagai manusia biasa, dengan segala kelemahan dan kekurangannya.Aki Bajuri melangkah ke depan.
"Karena kita tidak bermusuhan, Larasati, aku akan memberimu kematian yang cepat tanpa rasa sakit...."
Ia melangkah tenang dan pasti mendekati perempuan itu.
"Menunduklah,Larasati. Dan berdoalah semoga Yang Maha Kuasa mengampuni dosa-dosamu!"
Si perempuan menurut dengan patuh. Kepalanya dirundukkan, sehingga tampak jelas tengkuknya yang halus dan putih mulus itu. Pada saat-saat terakhir dalam hidupnya itu, hanya ia yang tahu bahwa di balik ketenangan sikap dan kepasrahan menerima kematiannya, ia bukanlah berdoa. Tangannya yang tadi menyilang di dada, turun pelan-pelan ke perutnya.Hampir tak terlihat ia usap perutnya dengan gerakan lembut dan penuh kasih sayang, seraya membatin dengan khusuknya,
"Mereka tidak tahu ayahmu telah menitipkan dirimu padaku, anakku. Mereka juga tidak tahu, hanya kekuatan luarku yang telah mereka curi.Melalui kekuatan dalamku yang masih kumiliki,anakku, aku kini menyusup ke dalam jiwa ragamu.Lahir dan hiduplah, anakku. Dan balaskan sakit hati ibumu pada manusia-manusia terkutuk itu.Bangkitlah... bangkitlah... bangkitlah...!"
Aki Bajuri melihat getaran di tengkuk si perempuan kian lama kian melemah. Menduga bahwa perempuan itu tengah berdoa dan doa itu telah terselesaikan, Aki Bajuri mengangkat pedangnya tinggi-tinggi. Mulutnya komat-kamit membaca mantra, lalu dengan gerakan cepat yang hampir tak terlihat oleh mata biasa,pedangnya pun menghunjam ke bawah.
Menebas dengan sempurna. Sampai leher si perempuan putus dan memisahkan kepala dari tubuhnya.Tubuh si perempuan terjerembab ke lantai, bersatu dengan kubangan darah yang menyembur-nyembur dari batang lehernya. Adapun kepalanya menggelinding jatuh ke arah tungku. Tetapi sebelum lidah-lidah api dan bara yang memerah sempat menjilatinya, dengan tangkas kaki kanan Aki Bajuri menginjak dan menahan kepala itu agar tidak sampai terbakar mengerikan. Aki Bajuri kemudian menyapukan pandang pada wajah-wajah tegang dan dilanda kengerian warga-warga yang mewakili penduduk desa. Sumarna tampak berpaling cepat,menyembunyikan isi hatinya .Adapun yang lain masih terkesima oleh kejadian yang begitu cepat itu sehingga tak seorang pun dari mereka keburu menghindar untuk tidak melihat apa yang terjadi. Ada yang berdiri tegak,kaku. Ada yang gemetar, lalu lututnya goyah. Yang seorang malah tiba-tiba menghambur ke luar gubuk, dimana kemudian orang itu muntah mengeluarkan isi perutnya.Adapun Aki Bajuri, bukannya tidak terpengaruh.Orang tua itu memang tetap tegak bergeming, tetap kelihatan keren, bahkan sedikit menyeramkan. Namun perasaan hatinya jelas tergambar lewat suara berbisiknya yang miris bergetar-getar,
"...Masih adakah yang belum puas?"
Mereka yang ditantang sama terdiam. Benar, tadinya mereka datang dengan bekal dendam kesumat, ingin berbuat sama kejam dengan kekejaman yang dilakukan si perempuan pada sanak saudara mereka. Namun bagaimanapun, mereka bukanlah pembunuh. Bukan mustahil pula mereka tidak pernah menyaksikan pembunuhan, apalagi terhadap sesama manusia.Maka tak pelak lagi, segenap kebencian dan kemarahan mereka luntur dalam keterkejutan dengan kengerian yang mendirikan bulu roma. Maksud untuk merencah-rencah tubuh si perempuan, urung pula dengan sendirinya. Pantaslah sewaktu di rumah pak Lurah, Aki Bajuri mengingatkan,
"Kalau perempuan itu harus mati, biarlah ia mati secara wajar. Jangan kotori tangan kalian dengan keinginan-keinginan yang tidak perlu dan tidak pantas..."
Karena tak seorang pun lagi yang bergairah, Aki Bajuri lalu memutuskan,
"Mari kita kuburkan perempuan malang ini secara layak!"
Menguburkan jenazah, memang layak dan harus. Apa yang tidak layak adalah, jenazah itu tidak dikubur menurut semestinya. Kepala dan tubuh perempuan itu dikuburkan terpisah tidak jauh dari gubuk. Tidak terlalu jauh pula dari kuburan yang sudah ada lebih dulu di tempat itu. Yakni kuburan yang digali dan ditimbun sendiri oleh si perempuan, tak lama sesudah mayat suaminya yang mati terbunuh dibiarkan telantar begitu saja; sehingga mayat yang sudah membusuk itu hampir tak utuh lagi karena sebagian sudah dimangsa binatang-binatang penghuni hutan di sekitarnya....
Gubuk si perempuan kemudian dibakar sampai musnah.
*** Ketika matahari pagi muncul di ufuk timur, yang tertinggal hanyalah puing-puing berserakan yang sedikit demi sedikit hancur menjadi abu, lalu terbang dan sirna disapu angin pagi. Satu per satu mereka berjalan menuruni lereng gunung tanpa berbicara walau hanya sepatah kata. Walau tak terucap, satu hal mereka jelas sepakat. Tak seorang pun dari mereka bersedia menginjakkan kaki di tempat yang barusan mereka tinggalkan.Kelak di kemudian hari, kesepakatan itu ternyata harus mereka tebus sangat mahal. Tak seorang pun dari mereka tahu bahwa di suatu malam yang gelap dan berkabut tebal, gundukan tanah di mana tubuh siperempuan dikuburkan tampak bergetar.
Bergetar...dan terus bergetar.
Makin lama getaran itu makin kuat.Lalu tiba-tiba kuburan itu merekah.
Terbuka. Dan perlahan-lahan bangkitlah sesosok tubuh dari lubang kubur yang hitam menganga itu!
*** DUA Telepon berdering. Mengejutkan. Ramandita sampai terpekik sendiri, saking terperanjat.Selesai mengetik, ia lalu menyandar letih di kursinya.Larut ditelan kesunyian yang menghanyutkan, kelopak mata Ramandita kemudian terpejam.
Mengantuk. Saat itulah ia dikejutkan oleh deringan telepon.Gagang telepon cepat disambarnya, lantas menggerutu tak senang,
"Tidak dapatkah menunggu besok pagi?"
"Tidak!" jawab suara di seberang sana.
Ketus, "satu satunya naskah yang masih ditunggu mesin malam ini hanya punyamu. Lupakah kau bahwa harus naik cetak pukul tiga nanti?"
"Ah kau kiranya, Rianto!"
Ramandita tertawa. "Maaf, deh. Aku keasyikan rupanya...."
"Lagi in, ya?" "He-eh. Kepalang basah, ceritanya kutamatkan sekalian. Beres sudah. Barusan..."
"Untuk berapa penerbitan?"
"Lima hari!" jawab Ramandita setelah menghitung-hitung jumlah halaman naskah yang tadi diketiknya.
"Bagus. Jadi mulai besok kau dapat memusatkan perhatian pada tugasmu yang sebenarnya. Kau tahu,Rama. Hari-hari terakhir ini, surat kabar kita kekurangan berita yang pantas untuk dibaca!"
"Ada Leo. Dan Alex."
"Memang. Tetapi mereka berdua tahunya mencari dan mencari. Kau lain. Kau dapat membuat sesuatu yang sepintas tak ada apa-apanya, menjadi sebuah berita yang membuat pembaca penasaran dan bertahan jadi langganan tetap surat kabar kita...."
"Aduh. Perutku mulas."
"Apa?" "Pujianmu membuat perutku mulas, Rianto. Aku jadi ingin ke kamar kecil...."
"Sialan!" Harianto, redaktur pelaksana surat kabar tempat Ramandita bekerja, tertawa membahak.
"Kalau kau mau buang hajat, di sini sajalah. Dapat mengantarkan naskahmu sekarang juga?"
"Oke!" Setelah hubungan putus, Ramandita mengoreksi sebentar naskah hasil ketikannya tadi. Setelah meneguk sisa kopi yang sudah dingin, ia meninggalkan mejanya lalu berjalan ke pintu tembus menuju garasi tanpa merasa perlu bersalin pakaian lebih dulu. Ia pun hanya mengenakan sandal jepit saja. Mobil dikeluarkan, garasi ditutup lalu dikunci. Pintu pagar ia biarkan saja terbuka karena malas ke luar dari mobil.Mobil dipacu menembus kegelapan malam. Lalu lintas sudah sepi. Jalanan tampak lembap, basah. Rupanya ketika mengetik tadi hujan yang turun deras sebelumnya sudah berhenti. Tinggal kabut yang menggantung berat di permukaan aspal. Begitu tebalnya, sehingga cahaya lampu-lampu merkuri pun hampir tak dapat menembus.Ramandita menyalakan lampu kabut mobilnya dan diam-diam merasakan hawa dingin merayapi sekujur tubuh. Sambil mengawasi malam gelap, dingin,berkabut sepanjang jalan yang ia lalui, alam bawah sadar Ramandita pelan-pelan menyatu dengan bagian akhir cerita bersambung yang telah ia selesaikan tadi.
Barangkali, pikirnya, suasana semacam inilah yang menyelimuti lereng Gunung Galunggung, ketika kuburan Larasati menganga terbuka. Apakah di balikkabut yang menyelimuti lalu lintas malam ini bersembunyi pula kekuatan magis yang misterius?
Mungkin saja, pikirnya lagi. Buktinya, semenjak meninggalkan rumah tak sekali pun ia melihat adanya pejalan kaki. Kendaraan yang biasanya hilir mudik pun hanya satu dua berpapasan, lalu hilang, gelap dan sunyi sepi kembali. Sementara kabut seakan bertambah tebal saja, membuat suasana malam tampak semakin kelam.
Menyeramkan. "Siapa pula yang ingin berkeliaran dalam cuaca seperti ini?"
Ramandita bergumam sendirian.
"Kalaupun ada,paling-paling hanya setan!"
Di sebuah perempatan jalan, lampu merah menyala.Tetapi Ramandita tidak melihatnya. Ia terus saja menerobos.
Ia beruntung. Tak terjadi apa-apa. Dan lamunannya pun terus berkembang, semakin jauh,jauh, dan jauh saja. Ia bayangkan dirinya bukan sedang bermobil di jalanan kota Jakarta, melainkan di sebuah desa yang hanya ada dalam khayalan Ramandita.
Desa Cikalong. Dan ia bukan sedang menuju ke kantor Redaksi Malam, majalah tempatnya bekerja, melainkan tengah mendaki lereng-lereng gunung. Di mana kabut tebal juga menyelimuti dirinya, seperti sekarang ini.Lalu tanpa sadar, Ramandita bergumam lagi,
"Malam yang bagus untuk bangkit dari kuburmu, Larasati!"
Benar. Mengapa tidak? Ramandita tertawa membayangkan lamunan gila itu.Dan di antara derai tawanya, ia berteriak kencang.
"Setan alas. Pastilah mengasyikkan, andai kata kau benar-benar bangkit dari kubur, Larasati!"
Lelucon iseng Ramandita seketika disambut hawa dingin yang menyergap tajam.
Tetapi sekilas cuma. Persisnya, sepersekian detik. Setelah itu, hawa di dalam mobil berubah hangat. Kabut pun mulai menipis.
Lalu menguak terbuka. Memperlihatkan lampu-lampu jalanan yang bersinar cemerlang, kendaraan yang hilir mudik, sebuah bioskop yang baru saja bubaran, serta warung-warung kaki lima yang tampak masih tetap sibuk. Di satu dua tempat suasana boleh saja mati.Tetapi secara keseluruhan kota Jakarta masih tetap hidup, tetap hiruk pikuk, seakan takkan pernah mati sampai di akhir zaman.Tiba di gedung percetakan majalah mereka, suasana lebih hingar bingar lagi. Seseorang sedang berteriak marah-marah, seakan ingin mengatasi bunyi mesin-mesin yang riuh rendah. Seorang lainnya tertawa ke arah Ramandita yang penampilannya tampak begitu kumuh.
"Hampir saja aku mengusir Oom," katanya menyeringai.
"Kukira ada gelandangan salah masuk!"
Ramandita membalas teguran petugas Satpam percetakan itu dengan senyuman, lalu masuk ke sebuah ruangan yang dibangun dengan kayu-kayu lapis penyekat. Di situ suara deru mesin-mesin cetak masih terdengar, tetapi setelah pintu ditutup suara dari luarpun agak teredam. Tiga orang rekannya tengah asyik bermain kartu. Seorang lainnya tidur mendengkur dikursi panjang, menghadap ke televisi yang masih menyiarkan acara terakhir, sebuah film seri.Satu-satunya orang yang melirik ketika Ramandita masuk adalah Harianto, si redaktur pelaksana.Harianto sedang berbicara di telepon, ia cuma melambai sekilas, terus berbicara sampai selesai. Setelah meletakkan gagang telepon, ia bersungut-sungut,
"Kasus tabrak lari. Bukan berita!"
"Yang menabrak?" tanya Ramandita, ingin tahu.
"Ya, mobil. Terus kabur!"
"Yang ditabrak?"
"Pejalan kaki."
"Mati?" "Kata yang menelepon sih, hampir. Dia sudah diangkut ke rumah sakit...."
"Apa? Dia hampir mati tetapi masih sempat mencari telepon umum lalu menelepon ke sini?"
Ramandita nyeletuk, menggoda.
"Monyong. Yang kumaksud bukan si penelepon,tetapi..."
"Habis? Bahasamu jelek sih. Jadi jangan coba-coba mengoreksi naskahku,"
Ramandita tersenyum. "Mana?" "Ini. Makanlah sekenyangmu!"
Ramandita menyerahkan naskah yang dibawanya dari rumah,terus bergabung dengan rekan-rekan yang bermain kartu. Tetapi sesuatu dan ia tidak tahu apa, terus saja mengganggu pikirannya, sehingga beberapa kali jadi pecundangi temannya bermain kartu.Ternyata bukan dia saja yang merasa terganggu.Karena Harianto yang telah menyelesaikan bacaannya tampak merenung-renung tak puas, lantas berseru memanggil,
"Rama!" Sambil terus menyimak kartunya, Ramandita menjawab dengan seruan pula,
"Ya?" "Benarkah cerita bersambungmu ini sudah selesai?"
"Sudah!" Ramandita membanting satu kartunya kemeja, lalu menarik yang lain dari tumpukan kartu didekatnya.
"Lantas? Siapa yang bangkit dari kuburan Larasati?"
Jengkel karena mendapatkan padanan kartu yang lebih jelek lagi, Ramandita memaki,
"Setan!" Harianto yang salah tafsir, menimpali,


Misteri Perawan Kubur Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Iya. Aku juga tahu. Tetapi setan itu setannya Larasati atau anaknya?"
"Anaknya dong!"
"Hem. Lalu mengapa ia kau bangkitkan?"
"Untuk meneruskan dendam ibunya yang belum terlampiaskan sampai tuntas.... Nah, yang ini lebih baik," rupanya Ramandita senang dengan kartu pengganti.
"Akan lebih baik, Rama, bila ceritamu tidak kau akhiri macam begini. Rasanya kok menggantung. Bikin aku tak puas..."
Harianto geleng-geleng kepala, sambil memisahkan tiga halaman naskah itu untuk diteruskan ke bagian, setting, yang ia panggil lewat interkom.
"Omong-omong..." lanjutnya, masih tidak puas dan sangat penasaran,
"apa yang ada dalam pikiranmu andai kata... yah, andai kau anaknya Larasati itu gadis cantik seperti ibunya?"
"Hem!" Ramandita berpikir-pikir. Supaya ia tidak diusiklagi oleh Harianto, ia lantas menjawab seenak perut,
"Kalau ada setan perempuan secantik Larasati. biarlah setan itu kuminta datang ke rumahku. Akan kubilangi dia, bahwa aku butuh teman tidur!"
Tawa bergelak seketika di ruangan itu.Permainan kartu lebih mengasyikkan sekarang, karena Ramandita menang dan terus menang, sampai akhirnya kelopak matanya memberat. Ia putuskan untuk berhenti.Kemudian pulang ke rumah.
*** TIGA Sebenarnya, pulang ke rumah bukanlah ide yang menyenangkan.Dua tahun sudah Ramandita banyak menghabiskan.waktunya di luar. Sibuk mengejar berita kemana-mana. Kalau tak ada kejadian yang dapat diberitakannya, ia akan membuat apa saja supaya dapat dijadikan berita menarik. Untuk itu ia harus sering berpetualang. Makin jauh dari kota Jakarta,makin baik.Apabila sedang tidak bergairah menulis berita, ia isi waktunya dengan menulis novel, baik untuk surat kabarnya maupun majalah atau langsung dijadikan buku oleh penerbit yang memesannya. Untuk tujuan yang satu ini, Ramandita sengaja mencari tempat dimana ia tidak dikenal orang, tidak diganggu pula oleh tugas-tugas kewartawanannya. Ia keranjingan menyendiri. Di tepi pantai atau di kaki gunung. Dimana suasananya lebih membantu inspirasi maupun imajinasi. Tetapi ada kalanya Ramandita segan bepergian. Bila sudah demikian, ia pun bersembunyi dikamar-kamar hotel. Malangnya, kian lama tarif hotel makin mencekik, sementara honorarium novelnya tak naik-naik akibat resesi. Terpaksalah ia berkurung dirumah untuk menyelesaikan naskahnya yang acap kali tertunda. Dengan satu tekad, selagi bekerja di rumah, ia harus menjauhi ranjang yang pernah ditiduri oleh Magdalena.Tidur di ranjang itu membuat mata Ramandita sukar dipejamkan. Tanpa Magdalena di sisinya, ranjang itu terasa begitu dingin.
Beku. Lebih terkutuk lagi, apabila Ramandita tertidur juga lalu bangun esok paginya,kebiasaan celaka itu pasti terulang dan terulang lagi.Yakni, tangan merayap. Meraba-raba ke sana-sini.Mencari-cari. Biasanya ia akan menemukan tubuh hangat Magdalena, yang seketika menggeliat bangun dan mengucapkan,
"Selamat pagi, Yang!"
Atau bisikan lembut mesra,
"Mimpi indah tadi malam, ya?"
Yang paling sering dan selalu mengasyikkan adalah ini,
"Kau ingin kita melakukannya sekali lagi?"
Magdalena yang menakjubkan!
Dengan kesukaannya yang khas, bermain cinta sebagai sarapan pagi!
Semua itu kini tinggal kenangan belaka. Ramandita sudah lama tidak menikmatinya lagi.
Magdalena sudah pergi. Untuk mengucapkan selamat pagi pada lelaki-lelaki lain. Dan mempersembahkan permainan cintanya yang mendebarkan sebagai sarapan pagi bagi kekasih-kekasih barunya....
Ramandita mengeluh, sakit.
" Apakah kita tidak dapat saling memaafkan, Lena?"
Di akhir keluhannya, Ramandita tersentak sadar.Mobilnya hampir saja menabrak sebuah bajaj yang tahu-tahu membelok ke seberang jalan. Beruntung secara naluriah Ramandita menginjak rem keras-keras sampai ban mobil menjerit-jerit menciutkan hati. Pada sopir bajaj yang berhenti di seberang, Ramandita menggeram marah,
"Anjing!" Sopir bajaj membalas lebih kasar lagi,
"Kalau aku anjing, situ tahi anjing!"
"Apa?!" "Aku sudah memberi tanda. Situ yang buta!"
Dua perempuan tengah baya yang turun dari bajaj,menguatkan pula. Yang seorang menjelaskan,
"Saya tahu betul Bang Sopir sudah menyalakan lampu sein"
"Bahkan saya juga menambahkan tanda dengan tangan!" ujar perempuan satunya lagi seraya mendelik dengan wajah masih tampak pucat pasi.
Dikeroyok begitu, Ramandita terpaksa mengalah.Dengan mulut mengumpat panjang pendek, ia teruskan perjalanannya. Dipikir-pikir, barangkali ia memang salah. Mengemudi sambil pikiran melantur ke sana kemari. Atau juga, karena pandangannya terhalang kabut?
Kabut, astaga! Wilayah pemukiman tempat kini ia kembali masih juga diselimuti kabut. Benar tidak setebal tengah malam tadi,namun toh tetap ada.
Seakan enggan pergi. Dibeberapa tempat kabut memang lebih tipis atau hilang sama sekali. Tetapi di tempat-tempat lain, muncul dan muncul lagi. Ramandita melirik jam digital mobilnya yang digerakkan oleh tenaga baterai. Pukul lima lewat dua puluh menit, pagi hari. Mestinya cuaca sudah mulai terang, dan...
Ramandita membelokkan mobil memasuki pekarangan rumahnya. Pintu pagar besi masih terbuka seperti ketika ia tinggalkan tadi.
Tentu saja Siapa pula yang menutupkan?
Toh hanya ia seorang penghuni rumah itu!
Adapun Magdalena.... Ia singkirkan jauh-jauh Magdalena dari pikirannya.Lalu turun untuk membuka pintu garasi. Setelah itu menutup lalu mengunci pagar. Dan tidur pulas sesuka hati. Tinggal memilih di kamar yang mana ia rebah.Kalau suka, di sofa ruang tengah.Ramandita baru saja keluar dari garasi untuk menutup pintu pagar, manakala ekor matanya menangkap adanya gerakan samar-samar di sudut beranda depan.Otomatis langkahnya terhenti. Dengan sikap waspada ia mengawasi beranda.
Kewaspadaan yang berlebihan.
Karena beranda diterangi lampu dan di situ tidak terlihat komplotan perampok bersenjata. Ia hanya melihat sosok tubuh seorang perempuan bangkit perlahan dari kursi, lalu berdiri menghadap ke arahnya,tepat di bawah sinar lampu beranda.Satu dua detik lamanya Ramandita terpana.Lalu bergumam, kaget,
"...Hai!" "Hai.." terdengar sahutan lembut.
Ramandita mendekat ke beranda. Perempuan itu kini tampak lebih jelas. Pakaian yang melekat di tubuhnya jelas ketinggalan mode, membuat penampilan, siperempuan tampak begitu sederhana. Namun kesederhanaan itu tertutup oleh hal lain yang sangat menonjol, raut tubuh serta kecantikan wajah siperempuan. Sehingga, walau masih kaget dan kepala diliputi tanda tanya, toh kelelakian Ramandita terasa dilecut oleh rangsangan berahi.
"Mencari siapa, Nona?"
"Anda Ramandita, bukan?"
"Betul." "Anda lah yang ingin saya temui..." ujar si perempuan,tampak lega.
"Sepagi ini?" Perempuan itu tersenyum. Manis sekali. Katanya, "Apakah waktu dapat mencegah seseorang untuk menjalankan tugas penting yang harus dilakukan sesegera mungkin?"
"Nona bergegas, agaknya..."
"Tergantung." "Apa?" "Sejauh mana Anda dapat membantu saya?"
"Hem. Nona ini siapa? Dan apa yang dapat saya bantu?"
"Apakah kita berbicara di sini saja, atau..." siperempuan sengaja menahan kata-katanya.
Ramanditalah yang harus maklum sendiri. Setelah mengawasi sekitar dan yakin bahwa perempuan itu hanya sendirian dan jelas tidak tampak berbahaya, Ramanditapun melangkah naik ke beranda. Pintu depan dibukanya lebar-lebar.
"Silakan," desahnya, ramah.
Sewaktu perempuan itu melewatinya, Ramandita mencium bau harum semerbak, yang mau tak mau kembali melecut berahinya. Aneh, pikirnya sewaktu menutup pintu. Mengapa tiba-tiba ia hanya berpikir tentang seks?
Karena kerinduannya pada Magdalena?
Atau karena kehadiran si perempuan misterius yang muncul di pagi hari yang dingin serta masih sepi ini?
Dan di ruang duduk yang hangat hanya ada mereka berdua saja!
"Mau kopi?" "Tidak. Terima kasih," sahut si perempuan seraya mengawasi sekitar ruang duduk dengan sorot mata mengandung minat.
"Tempat yang nyaman"tambahnya.
"Dan berantakan!"
Ramandita menimpali, malu-malu.
"Mestinya ada yang membereskan..."
"Mestinya!" Ramandita mengangguk setuju.
"Tetapi dia sudah lama pergi..."
"Istrimu?" Nada bicara si perempuan kini lebih akrab.Keakraban tamunya disambut Ramandita dengan gembira. Seraya menyeringai lebar ia menjelaskan,
"Pertama kali melihatmu tadi, aku sempat berpikir Magdalena sudah kembali..."
"Kembali?" alis si perempuan terangkat.
"Kami sudah bercerai."
"Oh!" "Sudahlah. Apa yang dapat kubantu? Dan, eh aku belum tahu siapa Nona!"
"Aku tak punya nama."
Sudah beraku-aku dia sekarang. Tidak lagi bersaya-saya. Namun bukan itu yang membuat Ramandita mendadak tercengang. Melainkan apa yang diucapkan perempuan itu barusan, aku tak punya nama.Ramandita mencerna kata-kata itu, kemudian tertawa sumbang.
"Jangan bergurau, ah!"
"Sungguh." "Masa iya, Nona tak punya nama?"
"Ibuku tak sempat memberi nama. Beliau sudah meninggal ketika aku dilahirkan...."
"Dan ayahmu?" "Aku belum pernah melihatnya. Juga tidak tahu apakah ia masih hidup. Dan di mana ayahku itu sekarang ini...."
Berkata demikian, wajah si perempuan menyendu. Sesaat, sinar matanya tampak berkilat ganjil. Semacam kilatan marah. Atau kebencian yang berapi-api?
"Orangtuamu... bercerai?"
"Aku tidak tahu."
Ramandita lagi-lagi tercengang.
"Tidak tahu? Yang benar saja. Sanak familimu tentu menceritakan...."
"Aku tak punya kerabat seorang pun juga," perempuan itu tampak sama bingungnya dengan Ramandita sendiri.
Duduknya berubah resah. Gelisah. Ia menatap penuh harap ke wajah Ramandita. Lanjutnya, lirih,
"Maka itulah aku datang menemuimu. Hanya kau yang dapat menjelaskan tentang ayah yang harus kucari dan kutemukan. Juga tentang beberapa orang lainnya.Terutama, Pak Lurah!"
Orang terakhir disebut si perempuan dengan nada benci yang tidak disembunyikan. Ramandita memikirkannya, sambil matanya memperhatikan tubuh menawan si perempuan kelihatan berubah regang,bahkan pundaknya sempat bergetar.
"Pak Lurah..." gumam Ramandita, berminat.
"Lurah mana? Siapa namanya?"
"Lurah Desa Cikalong. Namanya Sumarna."
Ramandita mengerutkan dahi. Nama Desa Cikalong seperti begitu dekat dengan benaknya. Demikian pula nama Sumarna. Tetapi di manakah Desa Cikalong itu?
Seperti apakah lurahnya yang bernama Sumarna, nama yang juga menyatu di benak Ramandita?
Dan bagaimana nama desa serta lurahnya sampai melekat dikepala Ramandita?
Mendadak, Ramandita menahan napas.
Astaga! Nama-nama itu muncul dalam imajinasinya.Yang telah ia tuangkan ke dalam novelnya!
Apakah yang ditanyakan si perempuan menyangkut isi novel Ramandita, atau sebaliknya tidak punya sangkut paut sama sekali?
Tergerak hati Ramandita untuk bertanya,
"Lantas... ayah Nona itu. Tahu siapa namanya?"
"Komar!" Ramandita hampir saja terlonjak, namun cepat menguasai diri. Ia menyeringai lebar, lalu berujar,
"Begini, Nona. Sebaiknya berterus terang saja mengenai maksud dan tujuan Nona menemuiku. Boleh saja Nona terpengaruh lalu keranjingan pada cerita bersambung yang hampir seluruhnya sudah dimuat surat kabar.Tetapi..."
Perempuan itu menukas cepat,
"Aku tak mengerti apa yang kau bicarakan, Ramandita."
"Oh ya?" Ramandita menahan senyum.
"Aku lebih tidak mengerti lagi mengapa Nona datang menemuiku dengan omong kosong yang menggelikan ini. Kalau Nona hanya ingin berkenalan, atau ingin tandatanganku sebagai pengarang novel itu, datanglah baik-baik. Dan menurut waktu yang pantas pula.Setuju?"
Si perempuan kembali menggelengkan kepalanya.Berujar masygul,
"Tolonglah. Jangan mempermainkanaku...!"
"Siapa yang mempermainkan siapa, Nona?" balas Ramandita, mulai jengkel.
Menyadari kejengkelan Ramandita, si perempuan tidak menyerah begitu saja. Sebelum Ramandita sempat menghindar, perempuan itu telah bangkit dari duduknya, lalu cepat bersimpuh di depan Ramandita.Sepasang tangannya yang halus mulus, putih berseri tanpa cacat cela, tahu-tahu sudah mendarat diharibaan Ramandita. Suaranya terdengar amat memelas, bahkan hampir-hampir putus asa,
"Tolonglah,Ramandita. Bantulah aku menemukan orang-orang yang kucari. Sebagai imbalannya, akan kuturuti apa saja permintaanmu. Tubuhku pun kurelakan, bila itulah kehendakmu...."
Ramandita terpesona.Tubuh mulus montok dan wajah cantik menggairahkan itu boleh ia miliki sesuka hati, dan kapan ia mau?
Berpikir demikian, timbul pemikiran lain di kepala Ramandita. Ia lalu mengutarakannya tanpa tedeng aling-aling,
"Apakah kau ini... pelacur?"
Di luar harapannya, si perempuan sedikit pun tidak menampakkan perasaan tersinggung, Perempuan itu hanya menjawab, pasrah,
"Untuk mencapai tujuanku,Ramandita... jadi pelacur yang hina sekalipun aku rela...."
Dan dari sudut-sudut matanya meneteslah butir-butir air bening, sewaktu ia menambahkan dengan bisikan sayup-sayup,
"Demi roh ibuku."
Ramandita menegang. "Dan ibumu adalah..."
Perempuan itu menjawab tenang dan khidmat,
"Larasati." Ramandita pun terbungkam.
*** EMPAT Ramandita keranjingan menulis cerita-cerita hantu, itu memang betul. Akan tetapi bahwa hantu itu benar-benar ada... konon pula dalam wujud nyata seperti sekarang ini, sungguh tak masuk di akal Ramandita.
Hantu hanya ada dalam khayalan manusia-manusia penakut. Semakin mereka takut, semakin mereka percaya. Ramandita lantas ikut menakuti-nakuti mereka. Karena ia tahu dari ketakutan-ketakutan yang ditimbulkannya, uang pun mengalir deras ke saku Ramandita.Maka dalam bungkamnya, Ramandita berpikir cepat,praktis dan sederhana. Ia tidak sudi membodohi diri sendiri. Perempuan yang jadi tamunya di pagi hari ini,bukanlah hantu. Hanya ada satu kemungkinan, ada orang yang coba-coba mempermainkannya. Itu jelas sekali. Bagian akhir novel yang ia ketik tadi malam belum termuat di surat kabar. Kecuali Ramandita,hanya seorang saja yang tahu ending cerita itu.Bahwa perempuan ini tahu, itu karena seseorang memberitahukannya, dan tidaklah sulit menerka siapa orang sedeng yang berpikir dapat mempermainkan Ramandita.
Siapa lagi, kalau bukan Harianto!
Heem. Apa tadi yang mereka percakapkan di kantor?
Harianto bersungut-sungut mengenai akhir cerita itu,
"..Aku tak puas!"
Kemudian, Andai kata anaknya Larasati seorang gadis cantik seperti ibunya?
"Ah, " enaknya Ramandita menjawab,
"Biarlah ia datang ke rumahku!"
Ditambah ini, "Aku butuh teman tidur..."
Bukan main! Agaknya Harianto tidak ingin sekadar main-main.Selagi bermain kartu Ramandita sempat melihat sahabatnya itu termenung-menung. Sekali, ia lihat Harianto berbicara di telepon. Lalu tersenyum-senyut.Asyik dengan kartu di tangan, Ramandita tak tertarik untuk memikirkan mengapa sahabatnya senyum-senyum sendiri.Baru sekarang ia berpikir.Baru sekarang pula ia sadari, Harianto gemar main perempuan. Sahabatnya itu punya koleksi perempuan-perempuan cantik yang dapat ia tiduri kapan ia suka. Terutama apabila istri di rumah sudah tidak sanggup menampung genjotan seksual Harianto yang memang overdosis.Perempuan ini tentunya salah satu koleksi si maniak itu.Perempuan ini telah diberi instruksi-instruksi lewat telepon. Lalu perintah-perintah. Si perempuan harus sudah menunggu di rumah Ramandita pada saat yang empunya rumah tiba.
Harianto sedeng itu! Oh, oh, boleh-boleh saja,Ramandita akan melayani apa maunya. Tetapi dengan akhir yang pasti akan mengejutkan Harianto, sebuah pukulan balik dan tidak terduga!
Mulai sedeng, Ramandita merunduk memandang perempuan yang bersimpuh tengadah seraya memegang lututnya.
"Berhentilah menangis, Nona manis," ia berkata,tersenyum.
"Aku akan menolongmu.."
"Benarkah?" sepasang mata indah itu seketika berbinar-binar.
"Aku berjanji."
"Terima kasih, Ramandita. Terima kasih..." ucap siperempuan, terharu.
Lalu ia ciumi lutut Ramandita dengan gaya yang amat dramatis. Sedramatis gumamnya yang bergetar,
"Entah bagaimana aku kelak membalas budi baikmu, Ramandita...."
"Bukan kelak. Tetapi sekarang juga!" bisik Ramandita.
Tajam menusuk. "Tetapi..." "Kalau kau tak membutuhkan pertolonganku..."
Ramandita berujar. Jual mahal.
"Aku membutuhkannya. Amat sangat membutuhkan-nya!" sahut si perempuan, bernafsu.
"Jadi?" "Aku tak tahu... entah bagaimana aku dapat..." si perempuan tampak bingung, bahkan gelisah.
"Mudah saja, Nona."
"Bagaimana?" "Ciumanmu tadi salah alamat..."
Si perempuan membelalak. Lalu tersenyum. Penuh arti.
"Yang mana yang mestinya kucium?"
"Ini," desah Ramandita, bergetar-getar seraya menunjuk mulut sendiri.
"Oh. Cuma itu..." desah si perempuan pula, seraya meluruskan tubuhnya sehingga wajah mereka berdua:saling berhadapan.
Bibirnya yang ranum basah kemudian mendarat di bibir Ramandita. Sekilas saja,setelah itu segera ditarik mundur kembali.
"Lagi!" dengus Ramandita, tak puas.
"Lebih lama!". Perempuan itu menciumnya lagi. Lebih lama. Namun terasa kaku. Tak sabar, Ramandita merangkul lalu menarik tubuh si perempuan duduk di haribaannya.Seraya terus mengulum bibir hangat dan berbau harum semerbak itu, Ramandita merebahkan si perempuan dikursi panjang berjok tebal empuk yang ia duduki.Sedetik, ada pemberontakan. Detik-detik berikutnya,sambutan hangat yang sudah diduga oleh Ramandita.Begitu ciuman mereka yang menghanyutkan itu merenggang lepas, si perempuan berbisik terengah,
"...Sudah?" "Belum!" Ramandita sama terengah. "Apa lagi?" "Aku ingin menidurimu!" ujar Ramandita, nekat.
"Oh..." "Keberatan?" Perempuan itu tampak bingung. Pikir Ramandita,
Pura-pura dia! Benar saja, karena si perempuan kemudian berujar,
"Walau baru berupa janji,perasaanku sudah plong. Maka, baiklah. Bila itu kehendakmu..."
Ia menggeliat di bawah tubuh Ramandita yang masih menekan.
"Di sini sempit.Kurang leluasa..."
Benar juga, pikir Ramandita. Lantas, kepalang sedeng ia bimbing perempuan itu langsung menuju... kamar tidur utama.
Mengapa tidak? Dua tahun sudah ia membenci dan menjauhi ranjang di kamar itu. Sudah waktunya kebencian itu dibunuh habis.
Persetan dengan cinta. Persetanlah Magdalena. Bila Magdalena dapat tidur dengan lelaki-lelaki lain, mengapa ia tidak?
Dua tahun sudah Ramandita bertahan. Bukan karena tidak ingin, apalagi tak mampu. Ramandita masih lelaki normal. Hanya saja, trauma itu terus mengusik dan merobek-robek jiwanya. Takut apabila ia menikah lagi,akan terulang tragedi yang pernah menimpa Magdalena.
"Jangan pikirkan tentang perkawinan!" pernah Harianto menasihatinya.
"Ajak saja seorang perempuan ke kamar tidurmu. Lampiaskan berahimu yang terpendam. Sampai tuntas. Bayar dia. Setelah Itu suruh keluar. Beres!"
Nasihat sahabatnya itu tidak mampu menggoyahkan pendirian Ramandita.
"Seorang pelacur," katanya, siapapun dia dan berapa pun juga dibayar, pastilah tidak merasa bahagia dengan apa yang dilakukannya! Kalau aku meniduri seorang pelacur, itu akan lebih mengingatkan aku pada Magdalena. Bekas istriku itu bukan pelacur. Namun aku yakin betul, apa yang dia perbuat bersama lelaki itu hanya membuat dia lebih tidak berbahagia daripada seorang pelacur...!
Harianto pernah menjebaknya, saking jengkel.
Suatu malam Ramandita didorong masuk oleh Harianto kesebuah kamar motel. Begitu Ramandita sudah di dalam,Harianto berkelit keluar, lalu mengunci pintu dari luar.Dan Ramandita hanya bisa termangu melihat ke tempat tidur. Di situ menggeliat menantang seorang perempuan yang tidak berbusana sehelai benang pun.Tatap mata dan senyum bibirnya mengundang. Marah karena terjebak, berahi Ramandita justru tidak terbangkit. Ia suruh perempuan itu mengenakan pakaian, disertai ancaman yang belakangan membuat ia tertawa sendiri,
"Kalau tidak, aku akan berteriak minta tolong!"
Harianto tak pernah mencobanya lagi.
Sampai malam... eh, pagi hari ini!
Hem. Awas lu, Harianto. Akan kaulihat bagaimana Ramandita dapat berbuat apa yang tidak terduga olehmu!
Dan itulah yang terjadi. Bahkan justru di luar dugaan Ramandita sendiri.Gerakan-gerakan si perempuan di bawah tubuhnya,beberapa kali salah dan jelas agak kaku, meski tubuh itu hangat dan semakin menghangat pertanda berahinya justru terus memuncak.Pekik tertahan si perempuanlah yang membuat Ramandita terpana. Tetapi segala sesuatunya sudah terlambat. Ramandita tak mungkin lagi mundur. Ia sudah memasuki tubuh perempuan itu. Dan membuatnya sangat terkejut.
Ya Tuhan. "Perempuan itu masih perawan!"
"Mengapa kau biarkan aku melakukannya?" keluh Ramandita sesudah semuanya berakhir dan mereka rebah bersebelahan, mengatur napas masing-masing.
"Menyesal?" desah si perempuan.
Tenang-tenang saja. "Aku?" Ramandita tertawa kaku. "Mestinya akulah yang mengajukan pertanyaan itu..."
Dan jawabnya adalah, "Aku menyukainya. Begitu indah!"
Si perempuan menatap dengan mata syahdu.Sewaktu Ramandita menoleh, ia melihat pipi gadis itu basah dilinangi air mata.Ramandita terenyuh.
"Kau menangis..."
"Karena bahagia" gadis itu tersenyum.
"Aku akan selalu mengenangnya. Tak akan kulupakan. di manapun aku berada!"
"Nona..." "Hem. Aku juga menyukai nama itu."
"Apa?" "Nona. Nama yang bagus, apalagi kau yang mem-berinya, Rama."
Mau tak mau, Ramandita tertawa.
"Masih tetap bersikeras tidak mau memberitahu namamu sebenarnya."
"Itulah namaku. Nona."
Ramandita menyerah .Pelacur tetap punya nama.Karena ia pelacur, namanya lebih dari satu. Bukan mustahil, pada setiap lelaki yang menidurinya, seorang pelacur akan memberi nama yang berbeda-beda.Demikian sering dan tak terhitung lagi banyak nama yang ia sebutkan, sehingga si pelacur tidak mustahil lupa nama lahirnya.Ramandita setengah bangkit. Bertelekan pada siku.Mengawasi gadis yang berbaring santai di sebelahnya.Tubuhnya yang indah, berkilat-kilat cemerlang dalam jilatan lidah-lidah mentari pagi yang menerobos lewat ventilasi jendela kamar. Merenung sejenak, ia kemudian berujar,
"Tahukah kau, betapa mahalnya tebusan permainan konyol ini?"
Wajah Nona ? ya, biarlah anggap itulah namanya;mendadak berubah tegang. Juga bisiknya,
"...Permainan? Permainan apa, Rama?"
"Sandiwaramu." "Aku tak mengerti."


Misteri Perawan Kubur Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mendengar jawaban itu, perasaan kesal yang sudah hilang, bangkit lagi mengusik kepala Ramandita. Ia bersungut-sungut,
"Apakah Harianto saja yang mengerti?"
Nona tampak bingung. "Siapa?" "Harianto. Teman sekantorku. Berapa dia membayarmu? Atau berapa aku harus membayar, bila itulah keputusan Harianto. Mengingat, kau masih...perawan?"
Nona serentak duduk.Marah sekali dia. Tangannya sempat terangkat, tetapi kemudian mendadak lunglai kembali.
"Tidak..." desisnya, putus asa saking marahnya.
"Sungguh tak pantas aku menampar manusia yang memberiku keindahan, memberiku nama, bahkan memberiku kehidupan...."
"Kau mengaco lagi,"
Ramandita tersenyum. Mengejek. "Bukan aku. Tetapi kau!"
"Aku?" Ramandita rebah lagi. Berbuat sesantai mungkin, meskipun hatinya masih terguncang mengingat ia telah menodai kesucian seorang perawan.Dan itu semua bermula dari permainan iseng yang tidak saja konyol, tetapi juga sudah melampaui batas.
"Aku tidak mengaco, Nona...."
"Mengaco mungkin tidak. Mengelakkan tanggungjawab, ya!"
Ramandita menegang. Tanggung jawab? Astaga, sudah sedemikian jauhkah akibat permainan memalukan ini?
Ataukah Ramandita terkena hukum karma?
Melanggar sumpah untuk tidak meniduri perempuan lain, sebelum ia dan Magdalena mencapai saling pengertian lalu berpisah secara baik-baik dan saling merelakan?
"Ayo. Mengapa bungkam?!"
Nona mendesis tajam.Ramandita berusaha sekuat tenaga menghirup udara sebanyak mungkin untuk mengisi paru-parunya yang terasa kering kerontang. Lalu bertanya getir,
"Kau menuntut sebuah perkawinan, Nona?"
"Tidak" "Lantas?" "Hanya janji. Janjimu menolongku!"
Kini Ramandita lah yang marah.
"Hentikan omong kosong yang tak masuk akal itu, Nona!"
Nona gemetar hebat.Sinar matanya yang berapi-api sempat membuat bulu kuduk Ramandita merinding. Bukan karena takut.Melainkan karena ia sedikit pun tidak menduga bahwa si gadis akan uring-uringan semacam itu. Kalaupun Ramandita takut, yang ia takutkan adalah ia harus bertanggung jawab atas apa yang telah ia perbuat dan mengawini Si Nona!
Selagi Ramandita belum sempat berpikir sesuatu, Nona sudah berkata dingin.
Sangat dingin. "Apa pun yang terjadi, Ramandita, aku tetap menghormatimu. Yang tidak kunyana adalah, bahwa kau ini ternyata seorang manusia busuk!"
Sampai di situ, habislah kesabaran Ramandita. Ia meluncur turun dari ranjang. Pakaian si perempuan disambar, lalu dilemparkan ke si empunya.
"Kenakanlah itu. Lalu enyah dari sini!" .
Nona pun punya batas kesabaran.Cepat ia kenakan pakaiannya, lalu berjalan ke pintu yang sudah dibukakan Ramandita. Di sana ia tegak sejenak. Kata-kata yang keluar dari mulurnya, panas bagai semburan api neraka
"Hati-hatilah, Ramandita.Kau akan melihat akibat perbuatanmu karena telah ingkar janji!"
Setelah itu Nona berlalu tanpa menoleh-noleh lagi.Di tempat yang ia tinggalkan, Ramandita tiba-tiba merasakan kehilangan sesuatu. Tak tahu apa sesuatu itu. Yang pasti, perasaan kehilangan itu teramat kuat memukul hatinya, malah mencabik-cabik. Sedetik,muncul penyesalan. Detik berikutnya, kemarahan, tohdia itu cuma pelacur!
Tetapi mengapa harus berakhir seperti ini?
Lama Ramandita termangu.Tak tahu harus berbuat apa, ia berjalan lunglai meninggalkan kamar tidur. Dari ruang tengah ia kedepan, terus ke beranda. Matahari sudah naik semakin tinggi. Lalu lintas di jalan sudah ramai. Banyak orang hilir mudik di sana sini. Tetapi ke mana pun matanya mencari, tetap saja sia-sia.
Nona sudah lenyap. Entah ke mana.... *** LIMA Tahan juga Ramandita berkurung di rumah. Tetapi tak sampai dua jam. Dering demi dering telepon tak ia acuhkan. Kemudian kabelnya dicabut sambil memaki-maki. Surat kabar pagi dan majalah yang bareng datang, tidak menaruh minatnya. Penjual susu sapi murni langganannya juga ia biarkan mengebel pintu depan terus menerus. Sampai orang itu bosan sendiri lalu pergi.Di dalam rumah, Ramandita duduk, berdiri, mondar-mandir, merokok, dan terus merokok. Sampai ia batuk-batuk dan dadanya seperti ditusuk-tusuk ribuan jarum.Akhirnya ia tiba pada satu kesimpulan, ada sesuatu yang salah, dan ia harus memperbaikinya.
Ramandita lalu mandi. Bersalin pakaian, lalu tanpa lebih dulu sarapan pagi, rumah ia tinggalkan. Mobilnya ia pacu macam orang edan. Beruntung tak terjadi musibah. Tak pula ada polisi mengeluarkan surat tilang.Ia tiba dengan selamat di rumah Harianto.
Pastilah kuncinya ada di tangan Harianto!
Harianto masih pulas di kamar tidur. Tetapi setelah Mariana,istrinya, melihat penampilan tamu mereka yang tak ubahnya orang kesurupan, Harianto segera dibangunkan.
"Tuh, Rama mencarimu. Agaknya ada peristiwa penting terjadi di kantor!"
Didampingi sang istri, Harianto bergegas keluar dari kamar. Ia temui tamunya sambil mengucek-ngucek mata, masih mengantuk.
"Peristiwa apa yang terjadi dikantor, Rama?" ia bertanya, polos.
"Bukan di kantor. Tetapi di rumahku!" jawab Ramandita, tak sabar.
"Oh, ya?" "Gadis suruhanmu itu..."
Ramandita tidak melanjutkan kalimatnya sewaktu ia sadari Mariana juga hadir, ikut mendengarkan sepenuh perhatian. Susah payah Ramandita menguasai diri. Berujar lebih lunak,
"...kau sudah sarapan pagi, Yanto?"
Yang ditanya menjawab bingung,
"Mandi pun belum...."
"Kalau begitu, ayolah. Kita sarapan di luar saja!"
Biar bingung, Harianto ternyata masih mampu tertawa.Katanya,
"Kalaulah semua tamu yang datang ke rumah ini orangnya macam kau, Rama, istrikulah yang senang. Belakangan ini ia makin irit saja...."
"Hus! Kok malah buka rahasia dapur!"
Mariana mengomel, cemberut.
"Tak apa. Rama bukan siapa-siapa, ini."
Harianto membujuk istrinya. Lalu pada Ramandita,
"Tunggulah sebentar. Aku mandi dulu."
"Cuci muka sajalah!"
"Hei. Nanti dulu. Kau mau mengajak aku sarapan pagi,atau berkelahi?!" dengus Harianto membelalak.
"Anggap saja dua-duanya!" sahut Ramandita, serius.
Harianto geleng-geleng kepala, tetapi ia menyelinap juga ke kamar mandi. Cuci muka, sikat gigi, salin pakaian seadanya, kembali lagi ke ruang depan sambil berkata pada istrinya,
"Kalau aku tak pulang-pulang,Ana. Itu tandanya aku sudah mati!" sambil ia mengerling ke arah Ramandita yang tersentak mendengarnya.
"Ayolah." Mariana protes. Tetapi sang suami dan tamu mereka sudah masuk ke mobil yang diparkir di depan rumah.Ramandita langsung tancap gas. Di sebelahnya,Harianto bersungut-sungut tak senang,
"Benar kau mengirit biaya dapur istriku, Rama. Tetapi sekaligus kau membuatnya kurus dalam sekejap...."
"Ha?" Ramandita tersentak dari lamunannya.
"Habis?" Harianto angkat bahu. "Datang-datang bikin panik orang. Belum lagi bila istriku terlalu menganggap serius ucapanku tadi. Jangan-jangan saat ini ia sedang menelepon polisi!"
"Itu urusanmu," gumam Ramandita, tak acuh.
"Oh ya? Lalu, bagaimana dengan sarapan pagiku?"
"Aku tidak lapar."
Ramandita tidak berdusta. Ada restoran di depan mereka. Tetapi mobil terus saja. Harianto mencium gelagat,, lantas berkata sengit,
"Lalu mau apa kau menarikku dari tempat tidur?"
"Bicara." "Itu jelas!" "Kau tahu apa yang akan kubicarakan, Yanto...."
Harianto mendengus, "Gadis suruhanku, hem...!"
"Itu dia." "Kau tidak main-main, bukan?"
"Belum pernah aku seserius hari ini, Yanto," jawab Ramandita, mengeluh.
Melihat sahabatnya seperti patah semangat, Harianto menahan diri. Ia berkata lunak,
"Kau sedang panik..."
"Ya." "Dan hanya aku seorang yang dapat menghentikan kepanikanmu."
"Ya." "Baiklah. Anggap saja aku tahu siapa gadis itu. Dan tahu bagaimana aku menjelaskan persoalannya. Tetapi sebelum sampai ke situ, berjanjilah melakukan sesuatu untukku..."
"Apa?" "Tulislah sebuah novel...."
"Ha?" "Tidak. Tidak. Bukan novel. Terlalu lama"
Harianto meralat diri. "Cukuplah cerita pendek saja. Jadi bisa kau selesaikan dalam tempo segera. Tentu saja dengan judul Gadis Suruhan. Begitu selesai, serahkan padaku. Akan kubawa pulang ke rumah. Lalu pura-pura mengoreksinya di depan mata istriku...."
Ramandita tertawa juga akhirnya. Lari mobil dikurangi.Mereka sudah tiba di kawasan Taman Monas. Mobil diparkir di bagian yang teduh. Tetapi tak ada tanda-tanda Ramandita berniat turun. Jadi Harianto memutuskan tetap duduk di kursinya. Diam,menunggu.
"Kok jadi runyam begini..."
Ramandita bingung sendiri.
"Aku tak menduga istrimu jadi persoalan..."
"Salahmu sendiri. Mengapa ngomong macam-macam didepan istriku. Bikin Mariana curiga saja. Dapat kupastikan ia juga bakal mencak-mencak apabila aku pulang nanti ke rumah tanpa siap dengan jawaban yang masuk di akalnya. Hanya cerita pendekmu yang barusan kupesan, yang dapat menolongku selamat dari cakaran kukunya..."
Harianto mengakhiri dengan tawa kecut.
"Itulah risiko jadi pendosa. Selalu dikejar-kejar perasaan bersalah..."
Ramandita malah menggoda.
"Apakah kau luput dari dosa, Rama?" sahut Harianto sengit.
Ramandita terdiam.Ia tahu apa yang dimaksudkan sahabatnya. Menyandar di kursinya, ia lihat sekelompok bocah tanggung berlompatan dari sebuah mobil pick-up. Bocah-bocah itu berlarian ke air mancur.
Sukacita. Anak-anak yang lugu. Yang belum tahu apa itu dosa!
"Mengenai gadis di rumahku itu, Yanto...."
"Hem?" "Aku tahu kau bermaksud baik. Kau ingin aku melupakan saja Magdalena..."
"Nah. Apa pula ini?" bingung lagi Harianto.
Berpikir sejenak, ia lantas manggut-manggut.
"Tetapi kau benar juga. Memang itulah selalu harapanku. Buang Magdalena jauh-jauh dari pikiranmu, sebelum kau menjadi gila karenanya. Kau sendiri tahu, Magdalena kerjanya berpindah dari pelukan satu lelaki ke pelukan lelaki lain. Sadar atau tidak, itu akan membuat harta warisan orangtuanya yang melimpah ruah akan ludes.Tandas tak bersisa walau hanya sepeser...."
"Tidak semua," Ramandita menggeleng.
"Sebagian hartanya ditinggalkan Magdalena untukku ketika kami berpisah. Dan aku senantiasa menjaga sedapat mungkin agar apa yang ia tinggalkan tetap utuh tak terganggu..."
"Kau masih tetap mencintai bekas istrimu, ya?"
"Masih. Dan seperti harapanmu tadi, aku pun berpikir sama. Terus terang, harapanku busuk dan kotor.Semoga uang Mariana ludes tandas. Sampai tak ada seorang pun masih mau melayani kebiasaan buruknya!"
Harianto mengingatkan, "Istrimu masih muda. Cantik pula."
"Itu betul. Tetapi setelah uangnya habis, Magdalena akan menyadari bahwa kemudaan dan kecantikan saja tidaklah cukup. Aku yakin, akan tiba saatnya ia berpaling ke hartanya yang masih tersisa di tanganku.Ia akan datang mengambilnya. Sebab ia tahu aku tidak bakal banyak cingcong. Nah, aku siap menunggu dia.Namun sebelum peninggalannya kukembalikan, aku dan dia harus saling berbuka kartu lebih dulu...!"
Harianto menoleh ke luar jendela mobil.
"Ah. Itu ada pedagang asong. Tak apa kubelikan roti?"
"Silakan." Harianto turun dari mobil, ia membeli beberapa potong roti dan dua teh kotak. Dan jadilah mereka sarapanpagi juga. Tanpa seorang pun yang berbicara. Seolah asyik menghitung suara-suara klakson mobil atau berapa banyak sepeda motor yang lalu-jalang tak jauh dari tempat parkir itu.Harianto menghabiskan tiga potong roti. Ramandita sepotong pun tak habis. Tetapi satu hal kemudian mereka sepakat, tiba saatnya memperbincangkanmasalah pokok. Ramandita menyedot teh kotaknya tanpa selera. Ketika ia memulai, kata-katanya terdengar bernada pahit,
"...Dia masih perawan, Yanto!"
Hampir saja Harianto tersedak.
"Dia siapa?" "Nona." "Ya. Nona siapa?"
"Gadis suruhanmu."
Nah. Ributlah lagi mereka. Bertengkar. Saling salah menyalahkan. Sampai akhirnya Ramandita dapat dibujuk agar tenang lalu mengulang ceritanya lebih tenang, lebih jelas, dari A sampai Z.Tak sekali pun Harianto memotong.Kecuali desah-desah heran, bingung, takjub. Atau gumaman-gumaman kagum, campur iri sewaktu Ramandita tiba pada cerita di tempat tidur.
Tentu saja,seraya menelan ludah!
Ramandita menuturkan segala sesuatunya tanpa menyembunyikan apa pun. Termasuk dugaannya yang kuat, bahwa kunci persoalan ada ditangan Harianto. Dari seorang pendengar yang tekun,dengan minat yang sungguh-sungguh, Harianto berubah jadi penuntut.Katanya, tenang dan teratur,
"Kelakuanku jelek-jelek begini, Rama, tetapi ah aku memercayai kemahakuasaan Tuhan. Maka, atas nama Tuhan biarlah aku bersumpah. Terkutuklah diriku, istriku,anak-anakku apabila benar aku mengenal gadismu itu,dan aku pula yang menyuruh Si Nona mengakalimu"
Ramandita mendadak tegang.Ia simak wajah sahabatnya. Dan menyadari, tak ada gunanya berkata: aku memercayai kejujuranmu.Adalah lebih baik Ramandita menanyakan kemungkinan satu-satunya yang paling masuk akal dan bisa dilacak,
"Selain kau sendiri, apakah ada orang lain yang sudah membaca bagian-bagian akhir novel yang kuserahkan tadi malam?"
"Tidak seorang pun," jawab Harianto.
Tegas. "Kalaupun ada, hanyalah tiga halaman pertama yang kuterima darimu. Petugas setting, kemudian korektor,penata letak, tukang-tukang cetak. Aku tahu betul mereka senantiasa menanti lanjutan cerita bersambungmu dengan tak sabar. Plus, tentu saja masyarakat luas karena surat kabar kita telah beredar sejak pukul lima pagi ini...."
"Sisanya?" Ramandita menahan napas. "Seperti biasa. Kusimpan di laci mejaku yang terkunci.Dan kuncinya tak pernah kupercayakan ke tangan orang lain...."
"Jadi..." Wajah Harianto berubah pucat. Suaranya pun gemetar.
"Itulah yang kucemaskan. Jangan-jangan Si Nona adalah..."
"Putri tokoh utama novelku," desah Ramandita, tak percaya.
Harianto membenarkan dengan kepercayaan penuh,Tepatnya, Rama.
Si Nona adalah hantu perawan yang telah bangkit dari kuburan Larasati!
Terdengar bunyik klakson mobil yang lewat, menyalak.Menyentak-nyentak.
Kemudian sepi. Semakin menyentak. *** ENAM MENDADAK Ramandita tertawa.Harianto kaget. Lantas mengomel,
"Orang lagi ketakutan, ini malah tertawa. Apa sih yang lucu?"
Ramandita menjawab dengan umpatan,
"Jadah! Sebentar tadi hampir saja aku membodohi diri sendiri!"
"Maksudmu?" Ramandita memutar kunci kontak. Sambil menjalankan mobilnya kembali, ia berkata,
"Bahwa hantu itu ada!"
"Memang betul!"
Harianto bersitegang. "Pernah mengalami? Atau melihat dengan mata kepala sendiri?"
"Oh-oh... semoga jangan sampai terjadi!"
Harianto bergidik. "Aku cuma dengar-dengar dari orang. Selain dari membaca, tentu. Yang pasti, seorang famili dekatku pernah mengalami sendiri..."
"Apa iya?" "Sungguh!" desah Harianto serius.
"Kalau tak salah ingat, terjadinya sekitar penengahan tahun 1995 yang silam. Dia, yakni saudara sepupuku, kala itu piknik bersama teman-teman sekelasnya di SMA ke Pantai Pameungpeuk, di sebelah selatan kota Garut. Sepupuku orangnya urakan, kalau tak bisa dikatakan brutal..."
"Apa yang terjadi?" tanya Ramandita tertarik, sambil menurunkan laju mobil karena lampu lalu lintas didepan mereka sudah menyala kuning, lalu merah.
Mobil pun berhenti. Mengikuti antrean panjang.
"Habis mandi, berenang, berperahu, sepupuku serta teman-temannya menginap di desa terdekat. Di rumah keluarga salah seorang temannya. Esok paginya mereka bermaksud menyalurkan hobi berburu unggas liar didaerah sekitar. Sebelum berangkat, tuan rumah mereka mewanti-wanti. Nanti bila mereka memasuki wilayah berawa-rawa, agar berhati-hati. Di tempat itu ada gundukan tanah kering berbatu-batu di bawah naungan sebatang pohon rindang. Bila kebetulan mereka melihatnya, mereka harus terus. Jangan berhenti. Apalagi bertingkah macam-macam. Bisa kualat!"
"Memangnya kenapa?" tanya Ramandita.
Mobil ia jalankan kembali karena lampu hijau sudah menyala.
"Tuan rumah bilang, gundukan tanah di tengah rawa itu kuburan keramat. Konon di situ dimakamkan dahulukala, seorang abdi kepercayaan Prabu Pajajaran.Semasa hidupnya, sang abdi ditugaskan membuka serta menundukkan roh-roh jahat penghuni daerah rawa-rawa tersebut. Tak heran bila penduduk setempat mengeramatkannya. Menurut cerita turun-temurun,daerah berawa itu sudah ratusan kali dilanda air bah.Setiap kali air surut, ada saja pohon besar yang tumbang. Banyak batu-batu raksasa sudah berpindah tempat. Tetapi gundukan tanah itu tetap utuh.Batu-batunya tak terusik. Dan pohon yang menaunginya tetap kokoh, malah makin rindang...."
"Hem. Ide yang menarik buat dijadikan bahan cerita misteri!" cetus Ramandita, berimajinasi.
Harianto tersenyum. "Asal honornya dibagi dua. Aku yang memberi ide, ingat-ingatlah itu!"
Ramandita bersungut, "Masih di angan-angan sudah minta bagian!"
Lantas tertawa berderai.Puas tertawa, Harianto melanjutkan.
"Nah. Kembali kesepupuku tadi. Atas kehendak Tuhan, mereka memang melihat kuburan keramat yang tiap tahun diberi sesajen, dipuja dan dipuji oleh penduduk setempat itu.Maklum sudah letih, mana dipanggang matahari terikpula. Sepupuku memaksa berhenti. Istirahat diketeduhan pohon rindang yang menaungi kuburan.Teman-temannya semua menolak. Lantas cepat-cepat menyingkir. Segan. Melihat kelakuan mereka, sifat urakan sepupuku kambuh, ia nekat naik ke atas kuburan dimaksud. Berdiri di atasnya, celana dibuka.Lalu kencing..."
"Hebat!" Ramandita berucap. "Hebat apanya. Teman-teman sepupuku malah pada ketakutan. Dari jauh mereka perhatikan bagaimana sepupuku itu habis kencing, menyandar di batang pohon. Rileks. Bekalnya dibuka. Ia makan tenang-tenang sambil mengejek teman-temannya yang ia sebut pengecut, percaya takhayul, tak punya nyali. Puas makan, ia rebahan sejenak. Bersenandung gembira.Teman-temannya dibiarkan menunggu. Dengan waswas..."
"Lalu, kuburan keramat itu bergetar..."
Ramandita senyum-senyum dikulum.Harianto tak bergairah tersenyum.
"Tidak seperti imajinasimu, tak terjadi apa-apa. Tak sabar menunggu,teman-teman sepupuku berteriak-teriak kesal. Terpaksa juga sepupuku turun dari kuburan tadi. Bergabung lagi dengan teman-temannya, sambil tak lupa mencemooh mereka. Perburuan diteruskan. Dan tahukah kau apa yang terjadi?"
"Apa?" dengus Ramandita, datar-datar saja.
"Hampir setiap sasaran yang dibidik sepupuku, kena.Teman-temannya pada sial semua. Sorenya mereka pulang ke penginapan. Membawa 12 ekor burung hasil buruan. Delapan di antaranya, dihasilkan oleh tembakan bedil sepupuku...."
"Terbukti, bukan?"
Ramandita menyeringai. "Bukannya kualat, sepupumu malah ketiban rezeki nomplok. Disitulah nikmatnya orang yang tidak percaya takhayul!"ia menambahkan dengan bangga.
Harianto mengeluh. "Nikmat apaan? Bila kenikmatan itu disusul azab sengsara yang mengerikan..."
"Oh ya?" Ramandita masih belum terpengaruh.
"Ya.Itulah yang terjadi. Pulang ke Jakarta, sepupuku mendadak tak bisa kencing!"
"Pasti dijangkiti penyakit kencing batu!"
"Mulanya sepupuku juga berpendapat demikian. Lalu ia memakan macam-macam obat penyembuh. Sia-sia belaka. Tetap saja tak mampu kencing, betapapun keinginan sudah sangat mendesak, makin lama makin terasa menyakitkan. Bila dipaksakan yang keluar cuma darah, darah, dan darah. Kadang-kadang, juga nanah.Dua kali aku ikut mendampingi sepupuku berkonsultasi ke dua orang dokter spesialis. Sepupuku diperiksa dan diperiksa. Dirontgen bagian demi bagian. Sempat pula diopname berhari-hari. Hasilnya, negatif. Dokter-dokter ahli itu cuma menggelengkan kepala. Menyerah.Mereka bilang, tak ada kencing batu, walau gejalanya sekalipun. Ginjalnya bekerja sempurna. Hasil pengamatan luar maupun pemeriksaan laboratorium menunjukkan sepupuku sehat wal afiat. Tak kurang suatu apa...."
"Kok aneh!" Ramandita mulai berminat.
"Itulah yang jadi bahan pemikiran keluarga kami.Adapun sepupuku itu, boleh dikata sudah tak mampu lagi berpikir. Kasihan dia. Sudah tak bisa kencing;.."
Harianto menggelengkan kepala, wajahnya penuh iba,
"...masih juga ia diteror hantu si penghuni kubur Hantu berseragam hulubalang raja-raja tempo dulu. Sepupuku disiksa. Dibuat tak berani tidur...."
"Ah...!" "Benar. Hampir setiap kali sepupuku mulai terlena,hantu itu menurut dia, muncul dan muncul lagi. Setiapkali muncul, si hantu dengan buasnya meremas-remas kemaluan sepupuku. Tentu saja sepupuku melolong-lolong seperti orang sekarat, lalu pingsan.Dan dari kemaluannya keluarlah darah. Atau nanah...."
"Mengerikan!" "Dan ikut menyiksa anggota keluarga lain," gumam Harianto, manggut-manggut.
"Keluarga kemudian berkumpul. Berembuk. Orang-orang yang konon banyak tahu, ditanya. Kenalan-kenalan ikut memberi saran dan petunjuk. Aku kemudian dapat tugas membawa sepupuku yang sudah kurus kering dimakan azab sengsara itu pergi menemui seorang dukun terkenal di Cisolok, Sukabumi. Di sana, sepupuku ditanya dan ditanya, disuruh bercerita sejelas-jelasnya.Dukun kemudian bersemedi di kamar tertutup. Habis semedi, wajahnya kelihatan cerah. Hari itu juga kami diajak pergi berziarah ke Pameungpeuk."
"Dan?" "Dan tiba di Pameungpeuk perjalanan diteruskan kekuburan di daerah berawa itu. Seorang tua renta,warga desa tempat sepupuku pernah menginap, ikut mendampingi. Sesajen dipersembahkan. Dukun dan siorang tua, entah membaca mantra entah doa, tak jelas.Yang pasti, saudaraku itu diharuskan meminta maaf pada penghuni kubur. Disuruh berjanji akan mengubah sifat sembrononya yang sering sekali keterlaluan.Setelah itu si orang tua dengan hati-hati menggali tanah di bawah pohon. Dari lubang galian ia jemput beberapa ekor ulat yang harus ditelan sepupuku saat itu juga...."
"Pastilah ia menolak!"
"Oh, saudara sepupuku sudah begitu putus asanya.Disuruh makan racun pun ia sudi asal penderitaannya berakhir. Jadi, tak ayal lagi, ulat-ulat itu langsung saja dilahapnya bagai orang kelaparan!"
"Terus?" "Selesai melaksanakan upacara ritual itu, kami kembali lagi ke desa. Karena sudah malam, si orang tua mempersilakan kami menginap di rumahnya.Sepupuku diberi minum segelas air putih. Lalu disuruh tidur di kamar. Tengah malam, seisi rumah terlompat bangun. Sepupuku berteriak-teriak di kamarnya. Semua gempar. Semua saling dahulu-mendahului masuk kekamar sepupuku. Aku sempat menduga, pastilah hantu hulubalang itu telah meremas-remas kemaluannya lagi!"
"Ayo. Teruskan lagi!" desak Ramandita karena selama beberapa saat Harianto berdiam diri. Sekujur tubuh sahabatnya itu tampak tegang, seperti juga wajahnya yang berkeringat.Harianto menghela napas panjang. Melanjutkan,
"Dikamarnya, kami melihat sepupuku melompat-lompat histeris di tempat tidur. Ia berteriak-teriak kacau-balau,kadang-kadang diseling tertawa berkepanjangan.Merinding bulu pundakku ia buat. Apalagi, tiba-tiba sepupuku jatuh terduduk. Berhenti diam. Lalu mulutnya tampak tersenyum-senyum."
"Wah...!" "Itulah. Wah, pikirku. Sudah tiba saatnya sepupuku itu kupindahkan ke rumah sakit jiwa. Aku yakin ia sudah tak tahan lagi menderita, lantas berubah tak waras.Aku hampir menangis saking sedih dan kasihan, ketika sepupuku mengawasi kami satu per satu sambil senyum-senyum itu. Lalu terdengar ia berbisik malu-malu. Maaf, katanya, aku kencing di tempat tidur...!"
"Astaga!" hampir saja meledak tawa Ramandita.
"Lalu tahukah kau apa yang kami lihat? Kami perhatikan, benar saja celana sepupuku basah kuyup.Kasur yang didudukinya lebih kuyup lagi. Kami sidik-sidik, tak ada terlihat noda-noda darah. Tidak juga nanah. Yang ada cuma bau pesing. Sepupuku benar-benar habis kencing. Dan tentunya banyak sekali... kami semua pun mengendus-endus. Mencium bau tak sedap kencingnya itu dengan nikmat, seakan hidung kami menyedot bau wewangian yang harum semerbak...!"
"Tokcer begitu?"
Ramandita bergumam tak percaya.Harianto menyeringai.
"Tokcer luar-dalam!" katanya,mengiyakan.
"Pulang ke Jakarta, saudara sepupuku itu bukan saja berangsur-angsur sembuh fisiknya,melainkan juga jiwanya. Ia benar-benar tobat. Sangat tobat malah. Dari seorang anak yang tadinya amat sering memusingkan dan membuat malu orangtua,lambat laun ia berubah jadi anak paling saleh. Tahun kemarin sepupuku itu berangkat ke Mekah. Pulang naik haji ia bekerja sebagai guru di sebuah madrasah."
"Bukan main!" desah Ramandita.
Takjub bahkan kagum.Di lampu merah lainnya, mereka berhenti menunggu sambil pikiran masing-masing menerawang. Ketika lampu hijau menyala, dan mobil melaju lagi, Hariantolah yang pertama-tama buka mulut. Dan apa yang terlontar dari mulutnya mau tidak mau membuat Ramandita terkejut.Harianto berkata,
"Bersediakah kau kuajak ke Sukabumi?"
Ramandita tersentak. Lalu bertanya tercengang,
"Berobat ke dukun masyhurmu itu?"
"Ya." Ramandita tertawa. "Aku tidak sakit, Bung. Jangan menghina ah!"
"Tetapi bertanya tidak salah, bukan?"


Misteri Perawan Kubur Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau benar sekali!"
Ramandita manggut-manggut setuju.
"Bertanya. Itulah yang harus kulakukan!"
"Kapan?" desah Harianto gembira.
"Sekarang juga!"
Ganti Harianto yang terkejut.
"Tetapi..." "Tenanglah. Aku tidak bermaksud mengajakmu, ke Sukabumi. Melainkan menemui si Parlan!"
Harianto tak berselera lagi untuk memberi komentar.
Memang percuma. *** Parlan, teman Ramandita bermain kartu di percetakan, sewaktu ditemui di rumahnya memang mengakui sempat mendengar tanya jawab antara Ramandita dan Harianto malam tadi. Namun jangankan mengerti, ingin tahu apa yang dipermasalahkan kedua teman itu pun, tidak.
"...Apa yang memenuhi pikiranku adalah, bahwa aku terus kalah. Ketika permainan selesai tak lama setelah kau pulang, Rama, total uangku terkuras sebanyak lebih dari seratus ribu rupiah!" keluhnya, masih dilanda kekecewaan.
"Kalau tak salah, setengah dari jumlah itu kau yang memenangkannya, Rama!"
Parlan menambahkan.Aditya, yang setelah berkeliling mencari akhirnya mereka temukan sedang makan siang di sebuah kantin kantor balai kota, mengatakan ia juga kalah, tetapi setelah Ramandita pulang pelan-pelan ia berhasil menarik kembali uangnya yang lepas.
"Dipikir-pikir, impaslah!" ujarnya, tertawa.
"Tetapi apasih yang kalian ributkan sebenarnya?"
Harianto menjawab bijaksana,
"Ah, cuma lagi kehabisan bahan obrolan saja. Sambil makan siang. Kau yang bayar ya?"
Ramandita akhirnya yang membayar makan siang mereka bertiga.Setelah itu, mereka berpisah. Aditya akan meliput berita di kantor wali kota. Harianto memaksa pulang kerumah. Khawatir si Anna menganggap dirinya sudah menjadi janda, sungut Harianto sambil menambahkan,
"Jangan lupa cerita pendekmu berjudul Gadis Suruhan itu!"
Ramandita mengalah. Dua teman lainnya tak perlu ditanyai. Karena Ramandita tahu betul, kedua-duanya sudah berumah tangga, sayang anak istri, dan haram mengajak bersentuhan dengan pelacur. Adapun Ansar yang tidur mendengkur di depan televisi, jelas tak tahu apa-apa.
"Ia baru bangun setelah koran itu selesai dicetak. Kami pun pulangnya sama-sama,"
Harianto menguatkan alibi si penidur.Dalam perjalanan pulang, Harianto yang tampak tegar berbisik menyimpulkan,
"Tak pelak lagi. Si Nona pasti hantu adanya!"
Ramandita membantah. "Mana ada hantu yang dapat ditiduri manusia. Memekik, lagi, saat selaput perawannya pecah!"
Ramandita mendengus kasar.
"Dan dari apa yang kuketahui, baik menurut kepercayaan di dunia Timur maupun di dunia Barat,tak ada hantu yang tenang-tenang saja tatkala tubuhnya dijilati sinar matahari. Sinar matahari akan membuat mereka menjerit tersiksa, atau musnah sama sekali. Itulah yang tercantum dalam undang-undang tak tertulis mengenai roh-roh dari alam gaib!"
Ramandita mengakhiri seraya tersenyum ironis.Setelah mengembalikan sahabatnya ke pangkuan sang istri yang tampak sangat khawatir, Ramandita meneruskan perjalanan pulang ke rumahnya sendiri.Tanpa orang lain di dekatnya, ia dapat berkonsentrasi.Sebungkus rokok sudah ia habiskan, ketika ia sampai pada satu kesimpulan akhir, ia telah mengalami ilusi luar biasa. Karena pengaruh kabut. Karena omong kosongnya dengan Harianto di kantor. Atau juga karena ia begitu gila memikirkan Magdalena. Semua itu membuat jiwa raganya teramat letih setiba ia di rumah pagi-pagi tadi.Barangkali ia sempat terlelap.Lalu dalam tidurnya yang resah, bayangan kabut tebal dan kerinduan yang sangat pada Magdalena menggugah alam bawah sadarnya untuk menikmati kehangatan tubuh seorang perempuan. Lantas dari alam bawah sadar itu, muncullah Si Nona.
Tunggu, tunggu dulu! Bukankah tadi pagi ia baru turun dari mobil?
Ia belum sempat masuk ke dalam rumah, ketika ia melihat gadis itu.
Tidak, ia tidak sempat tidur.
Apa yang terjadi adalah, novelnya sudah tamat, namun karena situasi dan kondisi yang membantu, maka imajinasinya pun terus berkembang. Semakin berkembang imajinasi itu terasa semakin nyata. Bukan lagi sekadar khayalan.
Tetapi... *** TUJUH Ramandita menggeliat bangun.
Astaga, ia tertidur lagi.
Di sofa. Asbak tampak penuh. Bau asap rokok di ruang duduk itu terasa menyesak pernapasan. Ramandita menurunkan kaki ke lantai.Terbentur olehnya botol bir yang sudah kosong, diantara surat kabar yang berserakan. Tentulah ia sudah membaca-baca sebelum tertidur. Di atas meja tegak botol bir lainnya. Masih ada sedikit bir tersisa.Sisa bir ditenggak. Sambil bertanya-tanya, apa yang telah membangunkan dia dari tidur.
Lalu terdengar suara-suara.
Benar. Suara-suara itulah yang telah mengusik tidurnya. Gedoran-gedoran keras di pintu depan. Serta suara seseorang, sayup-sayup. Memanggil namanya.Malas dan mengantuk, Ramandita pergi membuka pintu. Setelah mengenali siapa yang berdiri di bawah siraman lampu beranda depan, Ramandita pun mengeluh,
"Istrimu masih hidup bukan, Yanto?"
"Pertanyaan apa itu?" dengus Harianto tak sabar seraya menerobos masuk ke dalam.
"Dan apa yang membuatmu berpikir bahwa istriku sudah mati?"
"Cuma ingin tahu saja..." jawab Ramandita.
Masih mengantuk terenyak di kursi, ia kemudian melantur
"Soalnya aku barusan mimpi buruk. Dalam mimpiku aku lihat diriku menggedor rumahmu seperti sekarang kau menggedor rumahku. Kita lantas mempercakapkan sesuatu yang membuat istrimu ketakutan. Kemudian kulihat kita berkeliaran ke mana-mana. Bicara macam-macam. Aku juga melihat si Parlan. Dan Aditya. Semuanya begitu jelas. Seperti bukan sekadar mimpi..."
Harianto mengerutkan dahi. Lantas sambil mengendus-endus bau pengap dari arah ruang duduk,ia nyeletuk,
"Dan aku meminta kau menuliskan sebuah cerita pendek?"
"Lho. Bagaimana kau tahu sebagian isi mimpiku?"
Ramandita tercengang. "Sudah berapa lama kau tertidur, menurutmu?"
Harianto balas bertanya. "Entah. Tiga jam. Tujuh jam. Atau dua puluh empatjam lebih. Dan kepalaku rasanya sakit sekali!"
"Jadi, kau belum membuatnya, ya?"
"Membuat apa?" "Cerita pendek itu!"
"Yang mana?" "Gadis Suruhan."
Ramandita seketika tertawa. Katanya,
"Agaknya kita punya mimpi yang sama, Kawan!"
"Salah!" dengus Harianto tak sabar.
"Kau tidak bermimpi. Memang kau telah membuat istriku panik.Kau menyeretku dari rumah. Menuduhku macam-macam, lalu memaksaku ikut menemanimu mencari Parlan dan Aditya. Itulah yang telah kita lakukan hampir sepanjang hari tadi...."
"Tetapi..." "Bangunlah dari tidurmu, anak tolol!" bentak Harianto kesal.
"Tidak tahukah kau betapa paniknya aku malam ini, he? Setelah kita berpisah tadi siang, kau tak muncul-muncul di kantor. Tak pula memasukkan berita. Teleponmu tak menyahut pula. Menunggak, ya? Diblokir, ya?"
"Masa!" Ramandita mendengus. Berjalan ke meja telepon. Setelah memeriksa sebentar, ia menyeringai.
"Aku seorang pelanggan yang setia dan membayar tagihan tepat waktu. Tetapi lalai menyambungkan kabel...!"
Seraya berpikir-pikir mengapa kabel telepon tercabut, ia menyambungkannya kembali.
"Ada apa sebenarnya?" tambahnya acuh tak acuh.
Harianto tidak segera menjawab. Ia awasi wajah sahabatnya yang sibuk sendiri menyambungkan kabel.Baru setelahnya,
"Ada pembunuhan!" ia berujar pendek.
"Yang terbunuh?"
Ramandita masih tak acuh.
"Seorang penjaga malam..."
"Perampokan ya?"
"Bukan." Ramandita menyelesaikan pekerjaannya. Telepon diangkat. Terdengar bunyi dengung panjang. Monoton.Teleponnya sudah normal kembali.
"Aku jadi ingin minum," katanya.
Harianto yang sudah melihat botol-botol bir di ruang duduk yang berantakan itu, mendengus tak sabar,
"Kalau mau mabuk, nanti sajalah. Sekarang ikutlah denganku!"
"Hei!" Ramandita membelalak. "Kau tadi tidak bilang kita akan pergi..."
"Barusan kukatakan!"
"Ke?" "Mau ikut tidak?"
Harianto melotot marah.Ramandita angkat bahu. Katanya,
"Demi menggendutkan perut majikan, apa boleh buat.Tunggulah sebentar. Aku cuci muka dulu."
Ramandita juga tidak lupa mengambil tasnya yang berisi perlengkapan-perlengkapan memotret, alat perekam,alat tulis menulis seperlunya. Mobilnya kemudian disimpan di garasi. Pintu-pintu dikunci, lalu naik kemobil Harianto yang sudah menunggu.
"Ceritakanlah lebih jelas, Bung!" rungutnya.
Dengan bantuan lampu dalam mobil, ia memastikan bahwa film di tustel masih cukup, baterai blitz masih kuat, serta hal-hal sepele lainnya yang tak boleh diabaikan bila ingin dalam keadaan siap tempur.Duduk tegang di belakang kemudi, Harianto menerangkan,
"Sumber kita di kepolisian tadi menelepon ke kantor. Pembicaraan singkat saja.Pokoknya, mereka menemukan kerangka...."
"Kerangka?" "Ya. Kerangka manusia. Katanya belum dapat dipastikan apakah itu benar si penjaga malam atau bukan. Tetapi dari gambaran yang sekilas ia terangkan aku mencium berita besar. Si Alex sudah kusuruh pergi lebih dulu ke lokasi kejadian..."
Ramandita bergumam masam,
"Kalau begitu, aku pulang saja. Tidur lagi. Toh sudah ada Alex!"
"Peduli setan dengan Alex! Ia tetap harus membuat beritanya. Dan kita tetap akan memuatnya. Plus,beritamu sendiri!"
"Aku harus toleran pada Alex, Yanto. Kau tahu itu"
"Aku tahu. Tetapi aku juga tahu yang lain. Setelah Alex pergi, mendadak aku teringat sesuatu. Maka itu aku datang ke tempatmu. Dan sempat dibuat panik. Habis,sudah teleponmu bungkam, batang hidungmu pun taktampak. Tiba di rumahmu, kulihat mobilmu dipekarangan. Garasi tertutup. Pintu maupun jendela semua terkunci. Aku bel, tak menyahut. Kugedor-gedor,masih tak menyahut. Aku sudah mulai tahu ketika pintu akhirnya terbuka juga..."
"Apa yang membuatmu begitu ketakutan?"
"Kerangka itu."
Ramandita tertawa. "Lalu, kawanku yang penakut, apa yang harus kulakukan dengan kerangka yang sedang kita kejar?"
"Biarkan polisi yang mengurusnya, Rama. Tugasmu adalah melihat peristiwa pembunuhan itu dari sudut pandangmu sendiri. Kalau kau bersedia, tulislah analisismu untuk..."
"Aku? Tak bersedia."
"Itulah yang kuragukan!"
"Hem. Toh kau gedor juga pintuku. Kau buat gempar tetangga sekitarku..."
"Demi sahabat baik, apa boleh buat!"
"Demi sahabat baik. Apa pula ini, Yanto?"
"Nantilah setelah kita yakinkan keadaannya," jawab Harianto, misterius.
Dan tak mau lagi membuka mulut setelah itu. Sampai akhirnya mereka lihat di kejauhan cahaya lampu kelap-kelip berwarna merah semerah darah. Juga kerumunan manusia. Serta polisi-polisi bersenjata yang sedang sibuk atau sedang berjaga-jaga.Salah seorang polisi penjaga mulanya melarang Harianto dan Ramandita datang mendekat. Belum sempat mereka menjelaskan identitas masing-masing,perwira polisi yang hadir di tempat itu sudah keburu melihat. Ia memanggil nama dan melambai ke arah Ramandita supaya bergabung dengannya.Si petugas jaga menepi. Memberi jalan. Lalu membentak kerumunan penonton yang berdesak mendekat Peristiwa itu terjadi di belakang sebuah gedung sekolah dasar. Tak ada lampu-lampu penerangan di situ. Kecuali lampu-lampu baterai polisi,sebuah petromak, dan ketika Ramandita mendekat,baru saja dipasangkan lampu listrik yang arusnya diambil dari rumah salah seorang penduduk setempat.Dan di gang sebelah dalam sekolahan itu, tak jauh dari kamar mandi, tergeletak setumpuk kerangka manusia.Yang membuat suasananya menjadi lebih seram adalah, kerangka itu berpakaian seragam Hansip,lengkap dengan label nama, dan bersepatu. Pakaian atas terbuka lebar. Celana juga setengah terbuka dan seperti ditarik ke bawah sampai sebatas lutut.Sewaktu Ramandita sibuk memotret, ia dengar dokter kepolisian yang sudah ia kenal baik, berkata pada perwira polisi tadi,
"...Masih tercium anyirnya darah.Dan masih tersisa serpihan-serpihan daging segar ditulang-belulangnya!"
"Jadi?" perwira polisi itu berbisik tegang.
"Aku bertaruh sebulan gaji," jawab Dokter.
"Orang ini jelas baru saja mati. Tetapi, ya Allah. Kematian macam apakah ini? Dan makhluk apa pula yang sanggup membunuhnya sedemikian rupa? Sehingga dalam tempo sekejap yang tersisa hanya tulang-tulang saja?"
Ramandita bertanya ke sana bertanya ke sini, baru berhenti setelah Harianto yang tampak pucat pasi dan seperti mau muntah, menariknya dengan tangan gemetar.
"Biarkan si Alex mengumpulkan data.Keterangan lain dapat kau peroleh mulai besok. Ayo kita ke kantor sekarang. Banyak pekerjaan yang tertunda..." bisik Harianto dengan napas tersengal-sengal, sambil menyeret Ramandita setengah memaksa kembali ke mobil mereka.Mereka berdua tak berbicara sepatah pun sampai mereka tiba di kantor dalam gedung percetakan yang hiruk pikuk itu. Tegur sapa rekan-rekan lain tak disahuti Harianto. Berita atau artikel yang disodorkan ke mejanya pun ia lewatkan tanpa komentar.Selebihnya ia hanya duduk, tegang, diam mematung,dengan wajah yang tak kalah menyeramkan dibanding korban pembunuhan tadi.Melihat Ramandita menyulut rokok lalu mengisapnya dengan tenang, Harianto bangkit lagi semangatnya.Semangat untuk marah,
"Bangsat! Masih bisa santai kau!"
Semua yang hadir di ruangan kantor itu sama-sama menoleh.
Terperanjat. Ramandita saja yang tetap kalem. Bergumam, kalem pula,
"Lantas? Aku harus berbuat apa?"
Sadar mereka berdua jadi pusat perhatian, Harianto menahan diri. Suaranya direndahkan agar hanya bisa didengar Ramandita seorang.
"Lupa ya? Atau pura-pura lupa? Cara kematian mengerikan itulah yang kau tulis dalam novelmu! Persis sama dengan korban kekejaman Larasati...!"
Saat itulah sekujur tubuh Ramandita terasa dingin.
Membeku. Janji Hati 2 Pendekar Rajawali Sakti 175 Manusia Lumpur Serangan Nekat 1

Cari Blog Ini