Ceritasilat Novel Online

Misteri Perawan Kubur 3

Misteri Perawan Kubur Karya Abdullah Harahap Bagian 3


"Hem.Kayunya sudah basah semua. Perempuan itu tak sempat lagi mengetahui siapa yang tiba-tiba melumpuhkannya. Ia tak sempat lagi melakukan balasan!"
Habis berkata demikian, Aki Juhari masuk lagi ke ruang dalam. Secepat ia masuk, secepat itu pula keluar lagi.
Ia memegang sesuatu. Ramandita tahu itu adalah sarung keris. Karena gagang keris yang meliuk dan berbentuk kepala ular tampak jelas menyembul dari gagang sarung kayu itu. Benda tersebut membuat jantung Ramandita menciut.
"Mau Aki apakan Si Nona?"
Ramandita bertanya cemas.
"Sementara belum. Entah nanti. Yang pertama-tama harus kita lakukan adalah menemuinya. Sekarang juga!"
Aki Juhari mengajak tamu-tamunya meninggalkan rumah. Ramandita tentu saja menyetujui dengan gembira, meski campur takut. Gembira karena akan melihat Si Nona, dan takut kalau Si Nona diapa-apakan oleh Aki Juhari. Dua buah ojek yang mereka carter,masih menunggu di luar. Sebelum naik, Harianto berbisik dekat telinga Ramandita,
"Hebat dia, bukan? Senantiasa bergerak cepat"
Ramandita tampak berpikir. Lalu mendekati aki Juhari.Menanyakan apa yang sesaat tadi mengganggu pikirannya,
"Yakinkah Aki, yang Aki lihat adalah perempuan yang kita inginkan?"
"Tentu saja," jawab orang tua itu tersenyum.
"Ia tampak berbeda dengan perempuan-perempuan lainnya!"
"Perbedaannya?"
"Aku melihat sinar biru yang samar-samar memancar di sekeliling tubuh gadis itu."
"Oh...?" Ramandita membelalak, tak percaya.
"Satu hal lagi. Apakah kau punya kenalan seorang polisi? Kalau mungkin, polisi itu punya pengaruh..."
Ramandita teringat pada Tarigan.
"Ada," katanya.
"Tetapi ke mana kita akan pergi?"
"Ke kantor polisi, tentu saja!"
Aki Juhari mengajak Ramandita naik satu ojek dengannya, karena memang yang tersedia cuma dua ojek. Yang satunya lagi ditumpangi Harianto. Dalam perjalanan di atas ojek, tak seorang pun berbicara.Bunyi mesin ojek terlalu keras dan bising, apalagi karena berboncengan bertiga menyebabkan Aki Juhari,terutama Ramandita, merasa khawatir tertimpa celaka.Ternyata mereka selamat sampai ke rumah di mana mobil Ramandita dititipkan.Barulah setelah di dalam mobil mereka dapat mengobrol dengan tenang. Ramandita mengatakan banyak sekali kantor polisi di Jakarta, dan Aki Juhari berkata tenang,
"Kau punya relasi, bukan? Mintalah relasimu membantu kita menghubungi setiap kantor polisi!"
"Bagaimana Aki mengetahui, orang yang kita cari ada di kantor polisi?"
"Ya polisi-polisi, ya ruangannya, juga suasananya. Satu hal lagi, perempuan-perempuan yang berkeliaran itu.Mereka tampak genit-genit. Sepertinya pelacur-pelacur..."
"Yang terkena razia!"
Harianto menyela, setuju. Sambil melirik Ramandita yang duduk tegang di belakang kemudi, ia menambahkan,
"Pelacur-pelacur jalanan!"
*** Ramandita merasa ulu hatinya sakit. Misalnya memang Si Nona lah yang dilihat Aki Juhari, misalkan benar SiNona ditangkap polisi, tetapi mengapa dengan pelacur-pelacur jalanan?
Apa sebab Si Nona dijaring polisi-polisi susila?
Jawabannya jelas karena Si Nona juga pelacur. Tetapi pelacur jalanan!
Yang katanya liar dan murahan!
Sakit rasanya hati Ramandita. Gadis itu begitu muda, begitu cantik, tampak tak berdosa.
Dan masih perawan ketika ditiduri Ramandita!
Tidak! SiNona bukan pelacur! Ataukah barangkali Si Nona kemudian jadi pelacur, setelah Ramandita merenggut kegadisannya secara tidak bertanggung jawab?
Lalu mengapa Si Nona harus terlibat dalam kasus Kerangka Berpakaian Seragam dan kasus Kerangka di KamarHotel?
Ya Tuhan. Semoga semua itu hanya kebetulan belaka.Biarlah Si Nona akhirnya terjerumus jadi pelacur.Tetapi janganlah ia jadi pembunuh.
Pembunuh mengerikan pula!
Ramandita berdoa. Dan terus berdoa. Dengan pikiran semakin kalut.Dalam kekalutan pikiran itu sempat terlintas kemungkinan lain di sel-sel otak Ramandita yang berlari-lari semrawut.
Mungkinkah peristiwa yang sama telah terulang?
Seperti dulu peristiwa terkutuk di vila bersama Magdalena?
Bahwa seseorang atau sekelompok orang tengah merencanakan sesuatu untuk mencelakakan dirinya!
Tetapi, siapa? Ramandita memutar otaknya yang sudah letih.Semenjak berita besar yang dibuatnya dua tahun yang lalu dengan Magdalena jatuh sebagai korban, ia sudah tak bergairah lagi menulis berita-berita sejenis. Timbul semacam pendirian yang terkadang membuatnya hilang percaya diri, buat apa kita membongkar kebenaran kalau kebenaran itu akhirnya menghancurkan diri kita sendiri?
Sekadar pelipur lara, sesekali ia membuat juga berita atau analisis yang sesuai dengan hati nuraninya.Namun ia cukup hati-hati agar tidak menciptakan musuh berbahaya seperti dulu-dulu. Karena cara ini tetap tidak memuaskan jiwanya, ia larikan protes-protes melalui cerita-cerita fiksi. Ia memang memperoleh kepuasan walau sifatnya semu. Tetapi sekurang-kurangnya ia tidak lagi menciptakan musuh yang dapat mengorbankan orang lain di sekitarnya.
Apalagi orang yang dicintai.
Cinta, ah! Untuk jatuh cinta saja, sudah mulai hilang keberanian Ramandita!
Ataukah diam-diam ia sudah berpikir untuk memulai lagi?
Dengan Si Nona? *** EMPATBELAS Mereka tiba di Jakarta sekitar pukul dua dini hari.Langsung ke kantor polisi tempat Robinson Tarigan bertugas mengepalai Seksi Pembunuhan. Tak ada kesulitan yang mereka hadapi karena petugas piket mengenal baik Ramandita. Kecuali sedikit kebingungan menerangkan siapa Aki Juhari yang masih mengenakan kain sarung itu.
"Seorang kenalan dari desa, dan ingin bertemu Pak Tarigan...."
"Barusan pulang," petugas piket memberi tahu.
"Kami ke rumahnya saja."
"Sebentar kuhubungi dulu. Siapa tahu beliau sudah tidur dan tak boleh diganggu!"
Petugas piket baru saja mengangkat telepon sewaktu seseorang lewat di depan pintu kantor piket. Inspektur Satu Rajiman, yang mendampingi Ajun Komisaris Polisi Robinson Tarigan dalam kasus Kerangka di kantor piket dan ketika melihat Ramandita, ia berseri riang,
"Sudah kami temukan, Bung!"
"Apa?" tanya Ramandita, dengan jantung berdebar.
"Gadis itu!" "Si Nona?" "Lho. Kok kau bisa tahu namanya?"
Rajiman terheran-heran. "Memang lucu terdengarnya. Tetapi begitulah gadis itu menamakan diri. Nona. Dan dia..."
Ramandita berkata pada petugas piket,
"Biarkan Pak Tarigan tidur nyenyak!" lalu ia mengajak teman-temannya menemui Rajiman yang bersedia juga ditemui dikantornya.
Ramandita memperkenalkan Harianto sebagai redaktur pelaksana surat kabar tempat ia bekerja. Adapun Aki Juhari yang diawasi si Letnan dengan pandangan menyidik, diperkenalkan Ramandita sebagaimana tadi ia perkenalkan pada petugas piket.
"Si Nona dijaring seksi susila di sekitar Lapangan Monas. Lebih-kurang pukul sembilan malam tadi. Dia dibawa ke Polres Jakarta Pusat. Tetapi segera dikirimkan ke Polres kita setelah ia dicurigai sebagai orang yang kita cari. Tentu saja kami menyambutnya sebagai durian jatuh. Komandan sendiri yang menginterogasi dia...."
Ramandita menyela tak sabar,
"Di mana gadis itu sekarang?"
"Di rumah sakit!" jawab Rajiman, dan tarikan mukanya berubah bingung.
"Aneh sekali. Sewaktu diperiksa gadis itu tiba-tiba mengatakan lutut-lututnya sakit sekali. Ia coba bangkit, lalu tiba-tiba jatuh. Rupanya ia mendadak dapat serangan penyakit lumpuh...."
Sementara Ramandita saling bertukar pandang dengan Aki Juhari yang tersenyum diam-diam, Rajiman bergumam pula,
"Lebih aneh lagi, dokter yang memeriksanya di rumah sakit menyatakan tak ada gejala-gejala atau petunjuk apa pun yang mereka temukan sehingga gadis itu tiba-tiba lumpuh begitu saja.Kecuali pada darahnya..."
"Ada apa dengan darahnya?"
Ramandita bertanya,khawatir.
Lukakah lutut-lutut Si Nona?
Astaga,paku-paku itu. Bagaimana kalau berkarat?
Tetapi Ramandita segera teringat, bukan lutut Si Nona yang dihunjam paku, melainkan lutut boneka kayu di rumah Aki Juhari.
"Darahnya...." Rajiman berdecak heran. "Berbintik-bintik hitam. Dokter sendiri sampai kaget melihat darah gadis itu. Mereka kini masih memeriksa contoh darah sigadis di laboratorium."
"Dan gadis itu? Di kamar berapa ia dirawat?"
"Hem. Buat seorang pelacur jalanan, Si Nona termasuk beruntung. Sewaktu kami tiba di rumah sakit, semua kelas terisi penuh. Karena yang kosong hanya sebuah kamar paviliun, di sanalah ia kami titipkan, Tentu saja di bawah penjagaan ketat."
"Sebagai?" Ramandita bertanya parau bulu kuduknya merinding.
"Tersangka!" "Pelacur?" "Tersangka pembunuhan, Bung. Itu primernya.Subsider, sebagai tersangka anggota komplotan pembunuh. Kami beruntung, Bung Ramandita. Gadis itu mengaku terus terang bahwa ia memang berkenalan dengan Ridwan dalam kasus Kerangka Berpakaian Seragam. Begitu pula dengan Raharjo yang di hotel berbintang empat. Hebat dia, bisa naik tingkat dalam tempo sekejap, jadi pelacur kelas kakap,"
Rajiman berdecak-decak. Kali ini dengan nada kagum.
Wajah cantik. Tubuh menawan. Suara lembut-lembut basah pula.
"Hem!" Ramandita berkeringat dingin.
"Dia... mengaku sebagai pembunuh?"
"Oh. Mengenai itu, belum diakuinya. Tetapi kami yakin,pengakuan itu akan kami dapatkan juga!"
"Lantas, apa saja yang telah ia akui?"
"Cuma bertemu lalu bersetubuh dengan Ridwan maupun Raharjo. Setelah itu menghilang. Soal mengapa tak ada saksi yang melihat ketika ia menghilang, dia bilang itu bukan kesalahannya. Juga mengenai adanya kedua kerangka yang kita temukan,dia bilang tidak tahu-menahu sama sekali. Katanya lagi,ia melacur bukan karena motif uang. Melainkan kesenangan belaka. Luar biasa, bukan?"
"Jadi, dia masih di rumah sakit?"
Aki Juhari tiba-tiba menyela.
"Kita harus ke sana secepatnya!"
" Ha!" Rajiman kaget. "Ada urusan apa Bapak ingin menemuinya?"
Aki Juhari tersenyum tipis. Lalu menjawab santai,
"Barangkali saya dapat membantu menyembuhkan ,kelumpuhannya."
"Siapa Bapak ini sebenarnya?"
"Ah. Hanya manusia biasa. Hanya kebetulan beruntung dikaruniai kelebihan sedikit..."
"Maksudnya?" "Aki Juhari dikenal sebagai dukun,"
Ramandita terpaksa menjelaskan.Rajiman tampak berpikir-pikir. Kemudian, berujar bimbang,
"Untuk itu, diperlukan izin dari Komandan."
"Alaa. Hanya ingin bertemu saja kok. Sambil membantu-bantu, kalau mungkin!" bujuk Ramandita.
Karena lawan bicaranya masih terap bimbang,Ramandita menegaskan,
"Bapak silakan mendampingi.Kalau terjadi apa-apa, biar akulah yang bertanggungjawab!"
"Hei. Nanti dulu. Kau tampak sangat berminat menemui gadis itu, Bung Rama. Pasti ada apa-apanya,ya?"
Ramandita terdesak. Tapi cepat menemukan jawaban.
"Biasa toh? Foto melengkapi berita. Apalagi objek cantik menawan seperti yang Bapak katakan...."
"Iya juga. Tapi... awas. Fotonya jangan dimuat dulu,sebelum kita peroleh kepastian mengenai keterlibatan gadis itu dalam kasus-kasus yang kita tangani. Kalau komentarnya cuma sebagai pelacur sih, tak apa!"
"Begitu juga jadi!" sambut Ramandita, senang.
"Nah. Kalian sajalah yang pergi ke sana. Bripdu Priadi sudah tak asing lagi buatmu, bukan? Selama kau tidak macam-macam, Bung, Sersan itu tak akan keberatan kau memotret-motret tahanan yang dijaganya."
Setelah mendapatkan alamat rumah sakit serta nomor kamar paviliun yang ditempati sasaran mereka,Ramandita dan teman-temannya bergegas meninggalkan kantor polisi. Di mobil, mereka hampir tak bercakap-cakap. Hanya suatu saat Harianto bergumam gemetar,
"Bagaimana ya, kalau gadis itu ternyata... hantu!"
Ramandita mendengus marah,
"Tak ada hantu yang mau ditangkap polisi!"
"Eh, kok marah?"
Ramandita diam. Makin dekat ke rumah sakit, makin terkatup rapat mulut Ramandita. Makin berdebar-debar pula jantungnya. Entah mengapa, ia merasa waswas.Ada sesuatu yang menakutkannya .Beberapa kali ia melirik lewat kaca spion ke jok belakang.Tampak Aki Juhari duduk tenang. Sambil mengusap-usap gagang kerisnya.
Ramandita bergidik seram.
Astaga, mengapa tak aku tanya apa perlunya keris itu?
"Keris seorang dukun pula!"
Tiba di rumah sakit, Ramandita menyambar tas tustel dijok belakang, yang selalu ia bawa ke mana pun ia pergi.Harianto melihatnya, dan bertanya sungkan,
"Kau sungguh-sungguh akan memotret gadis itu, Rama?"
"Jelas!" jawab Ramandita bernafsu.
"Akan kubuktikan bahwa Si Nona adalah manusia biasa seperti kita!"
"Maksudmu?" "Kalau ia hantu sebagaimana omong kosongmu, gadis itu tak akan tampak dalam foto bila nanti sudah diafdruk. Teknik-teknik pemotretan semakin canggih,tetapi belum pernah kudengar ada orang yang ahli sekalipun, mampu memotret hantu dalam wujud yangutuh!"
Menjelang kantor piket rumah sakit dekat pintu gerbang, Ramandita meminta Aki Juhari menyimpan saja keris orang tua itu dalam tas tustelnya.
"Bisa membuat pingsan petugas piket," katanya tersenyum.
"Dan bila dilihat Pak Priadi, pasti disita...."
Aki Juhari tak keberatan. Dan Ramandita senang bukan main. Sejak tadi ia sudah mencurigai penggunaan keris itu. Tetapi dengan tersimpan aman di dalam tas tustelnya, maka keselamatan Si Nona tak perlu ia khawatirkan lagi. Keris itu hanya akan dikeluarkan bila Ramandita setuju dan menganggapnya memang perlu.Gadis itu dilumpuhkan Aki Juhari sudah lebih dari cukup, dan entah mengapa menimbulkan perasaan sesal di hati Ramandita. Ia sadar, diam-diam sudah timbul perasaan sayangnya pada gadis itu. Masih teringat ia ketika mereka bermain cinta.
Begitu lembut. Berlangsung mesra dan sangat indah.
Apalagi di saat gadis itu memekik tertahan, ketika...
Mereka tiba di kantor piket. Berlangsung perdebatan sengit sejenak. Kemudian salah seorang petugas piket menghubungi kamar-kamar paviliun pasien rumah sakit. Prjadi dipanggil dan setelah petugas piket memberitahu kehadiran Ramandita serta teman-temannya, Prjadi menyatakan tidak keberatan.Ramandita serta teman-temannya lantas diizinkan masuk. Saat mereka lewat, telinga Ramandita sempat menangkap suara salah seorang petugas piket dibelakang mereka,
"Lihatlah itu. Orang dusun masuk kota!" disusul suara tertawa bergelak.
Ramandita melirik Aki Juhari.Orang tua itu membalas lirikannya, lalu, berujar tersenyum,
"Aku memang dari dusun, bukan?"
Pandangan menyidik dan senyuman geli tertahan masih harus mereka terima sepanjang koridor yang berbelok-belok, kecuali polisi satunya lagi, berpangkat Bharatu, yang tampak acuh tak acuh saja. Ramandita memberitahu bahwa ia sudah menemui letnan Rajiman lebih dulu. Prjadi lantas tak keberatan dengan maksud mereka datang.
"Sebaiknya kita didampingi suster!" katanya, lalu pergi ke ruangan kantor di dekat tempat mereka berjaga-jaga.
Dalam tempo singkat ia sudah kembali bersama seorang suster bertubuh tinggi tegap namun wajahnya lembut ramah.Tamu-tamu diperkenalkan dan diberitahu tujuannya datang. Suster hanya senyum tanpa bicara. Matanya mengawasi tajam ke arah Aki Juhari. Bukan pandangan geli sebagaimana yang lain. Dan ketika mengawasi Ramandita, senyum di bibir suster itu sempat menghilang sekejap. Matanya pun sempat berkilat tajam, lalu menjadi biasa lagi. Cerah, riang,ramah.
"Mungkin ia tahu apa yang kusandang," pikir Ramandita seraya memegang erat tali tas tustelnya.
"Biarlah pulangnya nanti akan kusempatkan memotret dia sebagai kenang-kenangan, biar dia senang...!"
Harianto menolak masuk ruangan,
"Aku di sini saja,"desahnya, kalem, namun jelas terlihat wajahnya kaku tegang.
Ia pun lantas berdiri cukup dekat pada Bharatu polisi tadi yang juga tidak ikut masuk. Yang kemudian masuk ke dalam kamar adalah Ramandita,Aki Juhari, Sersan Prjadi, si suster tinggi tegap sebagai perintis.
Ramandita kemudian tertegun.
Inilah kedua kalinya ia melihat Si Nona. Berbaring diam di atas ranjang,tertutup selimut sebatas leher. Yang membuat jantung Ramandita berdegup kencang dengan tiba-tiba, adalah pemandangan ganjil di wajah cantik Si Nona. Wajah itu tengadah, sedikit miring ke arah mereka muncul.Bibir ranum si gadis terbuka menganga, begitu pula kelopak-kelopak matanya. Dan kulit wajah itu pucat.
Teramat sangat pucat. Tak berseri. Mati. Prjadi sama tertegun. Bahkan terdengar mengeluarkan seruan kaget. Suster segera memburu ke tempat tidur. Selimut disingkapkan. Pergelangan tangan halus lembut tetapi pucat milik si gadis diraba-raba pada urat nadinya.Telinga suster kemudian ditempelkan ke dada pasiennya, lalu dengan tenang-tenang saja, seperti sudah terbiasa dengan peristiwa-peristiwa yang jauh lebih mengejutkan, Suster kemudian menggerakkan telapak tangannya untuk menutupkan kelopak mata serta bibir si gadis yang terbuka secara mengherankan itu.
"Pasien sudah meninggal dunia," suster yang tabah itu mengumumkan dengan tenang dan khidmat.
Ramandita merintih pelan.
Dan sakit tiada terperi....
*** LIMABELAS Ramandita tidak tahu berapa lama ia terenyak, larut didera kepedihan hati yang menyentak jiwanya sehingga tak kuasa berpikir apa pun juga. Ketika galau yang menyakitkan itu perlahan-lahan mereda, suasana di sekelilingnya sudah berubah sama sekali. Banyak sekali orang hilir mudik, banyak suara-suara kacau bertanya-jawab atau perintah-perintah yang tak jelas ditelinganya, tanpa ia sadari apa yang tengah berlangsung dan bagaimana semua orang tampak begitu tegang dan sibuk.Lalu ia mendengar suara yang sudah tak asing ditelinganya,
"Sudah diperiksa dengan cermat, Dokter?"
AKP Robinson Tarigan-lah yang berbicara itu. Pada seorang lelaki tengah baya, berkacamata, dan bermantel putih bersih, yang menjawab,
"Sudah, Komandan...."
"Dan?" "Tetap negatif, Komandan. Tak ada tanda-tandi kekerasan sama sekali, bila itulah yang Anda harapkan.Bekas suntikan memang ada. Tetapi dapat saya pastikan itu bekas tusukan jarum ketika contoh darahnya diambil. Oleh saya sendiri, Komandan"
"Hem. Jadi semuanya mentah kembali!"
Ajun Komisaris Polisi Robinson Tarigan mendengus, marah.
"Sungguh terkutuk. Apa dikira aku akan percaya begitu saja bahwa gadis ini bunuh diri?"
"Itu akan kita buktikan setelah mayatnya diautopsi besok siang!"
"Besok? Mengapa tidak dimulai sekarang saja?"
"Pertanyaan Komandan sudah saya duga sebelumnya,"dokter itu tersenyum simpatik.
"Jadi barusan tadi saya cek ke laboratorium bedah. Saat ini rekan-rekan saya masih sibuk membongkar mayat seorang perempuan.Kiriman teman-teman Anda dari Polres Jakarta Timur.Mereka juga bilang, masih ada satu mayat lainnya menunggu giliran dengan sabar..." dokter itu tersenyum dikulum pada akhir kalimatnya.
"Jadi besok siang. Baiklah. Toh gadis itu sudah...."
Robinson tiba-tiba menegun, lantas menghardik marah,
"Hei! Jangan sentuh gelas itu! Tak satu pun yang berada di ruangan ini boleh dipindahkan atau dijamah tanpa seizinku!"
Lantas, seperti baru menyadari kehadiran orang yang dihardiknya, Robinson membelalak seraya bertanya sengit,
"Bapak ini siapa? Mengapa ada di sini?"
"Saya Juhari, Pak Komandan..."
"Keluarganya?" tanya Ajun Komisaris Polisi Robinson Tarigan penuh perhatian seraya menunjuk ke mayat diranjang.
"Bukan. Tetapi saya..."
Merah padamlah wajah perwira polisi yang angker itu.Meledak pula seruan marahnya,
"Bripda Priadi!"
"Siap, Komandan!"
Priadi yang sedang berbicara dengan Suster di teras, bergegas masuk.Untunglah Harianto lebih cepat. Tahu gelagat, Aki Juhari yang kebingungan ia tarik ke luar ruangan.Sambil lewat ia juga menyeret pergi Ramandita, yang hanya duduk terbengong-bengong semenjak tadi.Ramandita menurut bagai kerbau dicucuk hidung.Langkahnya teramat gontai, sehingga ia hampir tersuruk di dekat pintu. Cepat Harianto menyangga tubuh sahabatnya.
"Tak ada yang dapat kita kerjakan di sini..." ujar Harianto, sambil membimbing Ramandita menuju halaman parkir.
"Pulang. Itulah yang terbaik kita lakukan!"
Ramandita tak bernafsu memprotes. Ia patuh saja. Juga ketika Harianto meminta kunci mobil dan mengambil alih kemudi.
"Demi keselamatan bersama!" rungut Harianto menyeringai sedih membantu Ramandita yang lunglai masuk ke dalam mobil. Mesin dihidupkan. Kemudian dipacu di jalan raya.Dan tak seorang pun dari mereka berbicara, sampai suatu ketika terdengar Aki Juhari bergumam kecewa,
"Andai tadi aku diperkenankan menyembur tubuh mayat itu dengan air putih yang kumantrai...."
Harianto menanggapi dengan kesal.
"Mengapa tidak Aki lakukan sewaktu Sersan Prjadi pergi menelepon? Atau waktu-waktu yang tersisa, sebelum Ajun Komisaris Polisi Robinson Tarigan tiba dengan wajah bagai orang kesurupan!"
"Yaah. Aku tadi begitu terperanjat. Hanya lutut-lutut gadis itu yang kulumpuhkan agar ia tidak dapat pergi ke mana-mana. Bukan jantungnya.. Ada yang salah disini. Dan..."
"Salah...!" Ramandita yang tadi duduk tak bergerak-gerak seperti sudah mati, mendadak hidup kembali. Tubuhnya berputar ke jok depan. Dan tahu-tahu saja tangan kirinya sudah mencengkeram leher baju sontog Aki Juhari. Disertai teriakan-teriakan histeris,
"Kau memang bersalah, kakek pikun! Kaubunuh gadis itu! Terkutuklah kau, tua renta! Tak akan kubiarkan kau tertawa karena perbuatan jahatmu...!"
Bersamaan dengan umpat caci itu, tangan kanannya terangkat. Siap meninju.
"Rama. Hentikan!"
Harianto berseru panik. Panik pula disambarnya tangan Ramandita yang sudah melayang.Si orang tua yang sudah pucat pasi, selamat. Tetapi kemudi hilang kontrol. Mobil meliuk-liuk liar.Refleks Harianto menginjak rem keras-keras. Karena tidak disertai pergantian gigi, kopling kehilangan tekanan pula, tak ayal lagi mesin mobil mati serempak.Mobil itu terhunjam diam dalam posisi hampir melintang di tengah jalan. Disusul bunyi menjerit-jerit ribut mobil lain di belakang mereka.Masih panik, Harianto menoleh. Tampaklah mobil dibelakang itu hampir saja mencium bagian belakang mobil mereka. Sopirnya menjulurkan kepala ke luar jendela mobil. Tinju diacungkan, mulut menyumpah serapah,
"Anjing! Cari mati, ya?"
Merasa dirinya yang disebut anjing, Harianto jadi senewen. Ia julurkan pula kepalanya ke luar jendela mobil, seraya balas menyumpahi,
"Jangan macam-macam kau, babi!"
Saking senewen, pintu mobil dibuka lalu ia turun dengan wajah sangat angker.Gertakan itu membuat sopir di belakang mereka memundurkan mobil cepat-cepat, kemudian melesat maju melewati mobil Ramandita. Kalau saja Harianto tidak keburu menyelinap secara naluriah ke dalam mobil sambil menutup pintu, pastilah ia sudah terkapar berlumuran darah di tengah jalanan aspal. Harianto duduk terenyak, pucat pasi mengawasi lampu-lampu mobil yang dalam tempo beberapa detik sudah lenyap di kejauhan.
"Astaga...!" desis Harianto, kecut.
"Hampir saja. Setan apa yang merasuki diriku ini?"
"Akulah yang dirasuki setan, Yanto."
Harianto menoleh dan melihat sahabatnya duduk dengan kepala merunduk. Tampak Ramandita sudah mampu menguasai diri. Harianto menggeleng gembira.Katanya,
"Syukurlah akal sehatmu sudah kembali!"
Lalu ia hidupkan mesin, menjalankan mobil sambil bersiul-siul. Tentu saja siulan sumbang sehingga ia tertawa sendiri.Ramandita pelan-pelan ikut tertawa.Sementara Aki Juhari di tempat duduk belakang, dengan tangan gemetar merapikan kerah baju sontognya yang kusut diremas Ramandita.
"Terus ke Sukabumi, ya? Memulangkan kakek ini?"
Ramandita menyeringai pada sahabatnya.
"Besok sajalah itu," jawab Harianto, memutuskan.
"Kalau begitu, marilah ke rumahku..."
"Dan aku kau suruh membuat kopi? Terus mengepel lantai dapurmu?" Harianto menggelengkan kepala.
"Tidak, dudaku malang. Kita ke rumahku saja.Marianna lah yang akan membuat kopi."
"Hem...tiba-tiba aku ingin meniduri istriku yang bahenol itu.Saking tegang. Hehe...!"
Marianna membuka pintu untuk mereka. Meski dengan rambut kusut dan mata kemerah-merahan lantaran dibangunkan tiba-tiba, wajahnya segera berseri-seri melihat si suami tersenyum-senyum nakal. Biar pencemburu setengah mati, Marianna tetaplah seorang istri yang baik. Ia tidak bertanya mengapa suaminya tumben pulang lebih cepat dan siapa orang tua aneh berkain sarung yang dibawa suaminya sebagai oleh-oleh dari Sukabumi.
"Ada yang mau minum teh?" itulah sambutannya,diiringi senyuman manis.
Ramandita mengangguk. Juga Aki Juhari. Harianto mengajak keduanya istirahat di ruang duduk. Ia sendiri kemudian menyusul istrinya ke dapur, dari mana saat-saat berikutnya terdengar omelan Marianna.Omelan manja,
"Ya, ampun. Tak Abang lihatkah bahwa aku sedang sibuk? Dasar...!"
Saat berikutnya Harianto kembali ke ruang duduk dengan mulut tersenyum simpul. Tetapi senyumannya segera sirna setelah Aki Juhari menggumam lirih,
"Kita mesti melakukan sesuatu...."
"Melakukan apa, Ki?" tanya Harianto sambil duduk mendengarkan dengan wajah serius.
"Tak boleh kita biarkan gadis itu bangkit kembali."
Harianto tersedak.Ramandita mengeluh,
"Si Nona sudah mati, Ki!"
"Memang. Tapi aku yakin, ia mati bukan sembarang mati. Ada kekuatan misterius dan amat berbahaya bersembunyi di dalam tubuhnya. Dan sesuatu itu akan membantu gadis itu bangkit lagi dari kuburnya kelak,untuk meneruskan kejahatannya yang sangat terkutuk"
"Sudahlah!" dengus Ramandita, tak senang.
"Kalian lihat sendiri tadi. Si Nona bukan hantu. Ia juga manusia biasa. Sepera kita. Dan ia sudah mati Titik. Jangan lagi menuduh macam-macam gadis malang yang patut kita kasihani itu!"
"Rama. Dengarkan dulu apa kata orang tua ini,"Harianto menegur.
"Kita harus memikirkan! segala kemungkinan, kawan...."


Misteri Perawan Kubur Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hanya ada satu kemungkinan saja!" ujar Ramandita.Tegas.
"Oh ya?" "Ada orang lain di balik semua ini, Yanto. Aku tidak tahu dengan maksud apa serta apa pula tujuannya.Yang pasti, gadis itu telah ia peralat untuk mengecoh diriku!"
"Siapa, Rama?" "Entahlah. Aku harus mempelajarinya. Dan aku yakin,Pak Tarigan juga. Aku akan bahu-membahu dengan dia mencari dan menemukan orang biadab itu!"
"Maksudmu, kisah lama kini terulang?"
"Ya." "Buanglah mimpi burukmu itu, Rama. Yang lalu sudah lalu. Tidak akan...."
Aki Juhari menengahi dengan lambaian tangan malas.Katanya dingin,
"Aku tak tahu apa yang kalian percakapkan, anak-anak muda. Yang aku tahu, aku tak percaya sepenuhnya bahwa gadis itu sudah mati.Benar-benar mati..."
Ia bersandar di kursinya, berpikir,lantas bergumam yakin,
"Sinar biru itulah buktinya!"
Harianto mendadak tegang.
"Sinar biru?" desahnya.
"Ya. Aku teringat sekarang. Sewaktu kita masih diCisolok dan Aki Juhari menyebut-nyebut sinar biru tampak melingkari tubuh gadis yang kita cari, aku sempat tersentak. Apakah aku pernah mendengar sinar biru semacam itu? Kapan? Dalam hal apa?"
"Kau tak melihatnya, bukan?"
Ramandita tersenyum,mencemooh sahabatnya.
"Air di baskom itu toh tampak bening-bening saja...."
"Memang tidak!" timpal Harianto, bernafsu.
"Tetapi serasa aku mengetahui sesuatu mengenai sinar biru yang dimaksud. Kalau tak salah, sinar gaib dan mematikan. Semacam sinar laser, begitu. Tetapi dalam kasus ini..."
Marianna muncul didahului deheman. Lalu di atasmeja ia hidangkan tiga cangkir teh hangat serta roti kaleng yang tutupnya ia buka.
"Ayo, diminum!"
Marianna menyilakan, terus berlalu.Rupanya sadar bahwa kehadirannya mengganggu.Harianto menunggu sampai istrinya masuk ke kamar dan menutup pintu. Baru setelah itu ia berujar setengah berbisik,
"Di rumah sakit tadi, Rama. Kukira telah kutemukan jawabannya. Itu, setelah aku bertanya-tanya mengapa gadis itu tiba-tiba mati.Mengapa kematiannya begitu ganjil? Aku telah melihat mayatnya. Gadis itu tampak begitu damai di tempat tidurnya. Tenang. Bagai tak berdosa..."
"Mengapa tidak!"
Ramandita mengomel. "Mulanya aku berpikir demikian juga. Tetapi kemudian kudengar dari Aki Juhari bagaimana kalian mula-mula menemukan gadis itu di tempat tidur. Aku masuk belakangan, ingat? Nah. Dari Aki Juhari ini kudengar bahwa wajah mayat di tempat tidur tampak seperti ketakutan. Atau seperti melihat sesuatu di saat-saat menjelang ajalnya, namun tak percaya pada apa yang dilihatnya. Maka aku pun lantas sependapat ketika Pak Tarigan meragukan bahwa gadis itu mati bunuh diri.Ada orang lain terlibat di sini; Aku berpikir dan terus berpikir. Aku pun teringat lagi pada sinar biru yang aneh itu. Lalu tiba-tiba aku pun menemukan jawabannya. Bahkan mungkin aku salah terka, tetapi aku merasa sudah tahu siapa orang itu!"
Ramandita meluruskan duduknya.
Bertanya gemetar, "Dan siapakah orang itu, Yanto?"
Harianto mengawasi wajah sahabatnya dengan pandangan tegang.
*** Ruang duduk mendadak terasa sepi. Mencekam.Beberapa saat lamanya Harianto berdiam diri. Bibirnya terasa sulit untuk dibuka. Ia menelan ludah untuk membasahi kerongkongannya yang mendadak kering,lantas berbisik tersengal,
"Kenalkah kau pada suster itu,Ramandita?"
"Yang mana?" "Itu, tuh. Yang tubuhnya tinggi kekar dan tulang-tulang pipinya menonjol sehingga wajahnya mirip laki-laki...."
"Oh, dia. Kalaupun pernah kenal, aku sudah melupakan dia seketika!" jawab Ramandita, tertawa.
"Kurasa ia mengenalmu, Rama."
"Mana mungkin. Bertemu pun kami belum pernah!"
"Ia mengenalmu. Kalau tidak, mana mungkin ia terus memperhatikanmu. Dengan penuh minat, lagi!"
"Barangkali ia kira aku cukup tampan untuk dikerjainya!" desah Ramandita, berseloroh.
"Barangkali memang begitu!" dengus Harianto, serius.
"Selagi aku duduk menyendiri di teras, berpikir dan berpikir, secara kebetulan aku lihat bagaimana suster itu mengamati dirimu dengan pandangan tajam.Heran, bahwa ia melakukannya berulang-ulang. Saking asyiknya memperhatikan, ia tersentak sendiri ketika ditegur dokter ataupun Bripda Prjadi yang sedang bercakap-cakap dengannya...."
"Mengapa pula kau menaruh perhatian khusus pada dia?"
Ramandita mulai tertarik.
"Karena caranya memandangmu. Dan apa-apa yang juga kudengar tentang dirinya...." jawab Harianto.
Kemudian ia menceritakan apa-apa yang ia dengar selagi mereka di rumah sakit.Semenjak Si Nona dimasukkan ke paviliun, tak seorangpun diperkenankan menemuinya tanpa setahu dan seizin polisi-polisi penjaganya. Kedua petugas sudah terbiasa melek, dan sampai gadis itu diketahui sudah mati mereka masih tetap terjaga. Tak ada orang masuk ke dalam ruangan tanpa mereka lihat. Kecuali suster bertubuh tinggi kekar itu.Sekitar tengah malam, suster dimaksud meninggalkan kantornya dan berkata pada Priadi bahwa pasien didalam ruangan telah mengebel.
"Barangkali ia membutuhkan bantuan!" ujar Suster.Priadi ikut masuk ke dalam dan mendengar sendiri bahwa gadis yang mereka jaga ingin kencing tetapi tak dapat melakukan sendiri karena kakinya yang lumpuh.Suster meminta Prjadi keluar, lalu menutup pintu. Ia tetap di dalam ruangan untuk beberapa saat lamanya.Kemudian ia keluar, menutup pintu rapat-rapat dibelakangnya, sambil memberitahu bahwa pasiennya mau tidur dan tidak perlu dicemaskan. Lalu Harianto,Ramandita, dan Aki Juhari tiba. Dan gadis itu ternyata sudah mati.Suster sebagai satu-satunya orang yang masuk kedalam ruangan, tentu saja jadi sasaran kecurigaan.Tetapi dokter yang muncul setelah dipanggil, membela anak buahnya mati-matian. Bahkan marah karena suster itu dicurigai.
"Ia tak punya kaitan apa-apa dengan suster ini" kata Dokter, kesal.
"Lima tahun ia bertugas di sini.Kondisinya terkenal baik. Dan biar penampilan luarnya agak lain, tetapi kami semua mengenal dia berjiwa lembut dan selalu menaruh kasih sayang pada pasien yang berada di bawah tanggung jawabnya!"
Lalu dalam suatu percakapan antara suster dengan dokter, Harianto mendengar si dokter bertanya sambil lalu namun jelas terheran-heran,
"Mana suaramu yang berat tetapi suka pecah itu, Maria? Kok tumben setelah sekian tahun, mendadak malam ini suaramu berubah halus lembut. Merdu lagi di telinga!"
Suster tertawa saja. Tak menjawab.
"Nah. Tawamu pun berbeda dari biasa!"
Dokter membelalak. "Operasi kerongkongan, ya? Kapan? Kok tak bilang-bilang?"
Saat itulah Robinson masuk. Dokter dipanggil. Dan dari tempat duduknya di pojok teras, si suster lagi-lagi melihat ke arah Ramandita yang masih terhenyak membisu di kursi dekat pintu masuk. Sesaat bibir Suster mengurai senyum. Harianto tidak dapat menebak apakah itu senyuman mesra, ataukah senyuman benci.Tarikan bibir si suster kala senyum, tampak tipis dan tajam. Setajam sorot matanya. Lalu ia tersentak lagi,ketika namanya dipanggil Robinson dan diajak kekantor pribadi Suster. Ketika melewati pintu, sekali lagi ia mengawasi Ramandita. Bahkan tangannya sempat tergerak. Seperti ingin menjamah, namun segera diurungkan, lalu lenyap bersama Ajun Komisaris Polisi Robinson Tarigan.
Ia tak muncul lagi setelah itu.
Harianto melihat Robinson kembali ke ruangan,menegur Ramandita tetapi yang ditegur hanya diam saja. Robinson kemudian menanyakan hasil pemeriksaan pada Dokter, lalu melihat Aki Juhari bergerak dan bermaksud mengambil gelas berisi airputih di atas meja, dekat ranjang tidur di mana mayatSi Nona terbaring diam.
*** "Hem. Pantas kalau begitu...!"
Aki Juhari menceletuk selesai Harianto bercerita.
"Pantas setiap kali suster itu lewat di dekatku, aku merasakan hawa panas disekujur tubuhku. Hawa panas yang menggigit tajam.Seperti membakar...."
"Bila demikian halnya...." bisik Harianto gemetar,
"Dugaanku tidak salah lagi!"
Ramandita merenggutkan pertanyaan,
"Dugaan apa,Yanto?"
Harianto memandang heran pada sahabatnya.
"Belum jugakah terbuka imajinasimu yang hebat-hebat itu?"
"Ah. Jangan menghina dulu. Saat ini aku sungguh tak mampu berpikir apa-apa!" jawab Ramandita, jujur.
"Tunggulah sebentar. Semuanya sudah jelas sekarang.Tak dapat diragukan lagi!"
Harianto bangkit dari duduknya.
"Tunggulah sebentar" ia ulangi perkataan itu sekali lagi. Kemudian ia pun sibuk membongkar-bongkar di bawah meja, terus ke rak penyimpanan majalah dan surat kabar. Ia pisahkan surat kabar terbitan mereka sendiri, lalu dilembari satu demi satu. Ia membaca dan membaca dengan cepat.
"Nah. Ini dia!" serunya, seraya membawa selembar dari surat kabar itu, yang keadaannya sudah lusuh.
Dibeberkannya halaman tengah di depan Ramandita.
"Bacalah apa yang telah kau tulis dalam cerita bersambungmu ini!"
Ramandita menurut saja.Mula-mula tanpa gairah. Kemudian, tarikan wajahnya pelan-pelan berubah. Paling kemudian, ia duduk lagi terenyak. Wajahnya pucat pasi, ketika ia bergumam getir dan kebingungan,
"Mustahil. Tak mungkin...!"
"Apakah kehadiranku masih dianggap?"
Aki Juhari tersenyum, namun sinar matanya jelas berubah waspada.
"Syukurlah kami menemukan kau, Ki!" desah Harianto seraya membasahi bibirnya yang kering.
Ia tidak meminta Aki Juhari membaca apa yang telah ia dan Ramandita baca. Dengan suara gemetar serta terputus-putus, ia menjelaskan kemungkinan apa yang tengah mereka hadapi. Aki Juhari mendengarkan dengan tekun tanpa menyela sekali pun juga. Ia hanya manggut-manggut, mengusap dagu, mendengarkan sambil berpikir, kemudian setelah Harianto selesai bicara, Aki Juhari berbisik kering,
"Mungkinkah kita sudah terlambat?"
"Mudah-mudahan belum!" kata Harianto.
Ia melirik kesahabatnya yang tampak sangat terpukul. Kemudian berjalan ke meja telepon. Dua-tiga kali ia salah sambung dan kembali menyimak buku telepon, sebelum akhirnya mendapatkan sambungan yang ia kehendaki.Berbicara sebentar, menunggu sebentar pula,mengucapkan terima kasih, lalu meletakkan telepon kembali. Pada Aki Juhari, ia kemudian berkata gemetar,
"Mayat itu sudah dibawa ke kamar mati!"
Aki Juhari merentak bangkit.
"Apa lagi yang kita tunggu?"
Lalu ia menepuk pundak Ramandita yang menggeliat malas. Bertanya,
"Boleh kuambil apa yang menjadi milikku, Nak?"
"Keris itu?" "Ya." "Ada dalam tas tustel. Di mobil...."
"Kalau begitu, mari kita berangkat sekarang juga...."
"Kemana?" Ramandita masih dicekam kebingungan.
"Ke mana lagi kalau bukan ke rumah sakit!"
"Tetapi...." "Bukankah Nak Rama ingin meyakinkan bahwa mayat gadis itu memang mayat manusia biasa?"
Aki Juhari menantang.Ramandita ragu-ragu. Namun segera ia bangkit.
"SiNona sudah mati..." bisiknya pelan.
Tak ada lagi komentarnya selain kalimat pendek itu saja. Sehingga Harianto merasa pasti, bahwa sahabatnya mulai meragukan keyakinannya sendiri. Meski hatinya dililit perasaan takut, Harianto tetap memutuskan ikut pergi ke rumah sakit. Ia tidak membangunkan istrinya.Setelah mereka keluar, ia mengunci pintu dan kuncinya dikantongi.Di tengah perjalanan barulah Harianto teringat untuk bertanya,
"Untuk apa keris itu, Ki?"
Aki Juhari menjawab kalem,
"Dihunjamkan. Ke jantung mayat itu!"
"Seperti dalam film-film drakula...." desah Harianto,gemetar.
"Dengan kayu berujung runcing...!"
"Kayu saja tidak cukup, Nak Yanto!"
"Karena..." Harianto tak sanggup meneruskan. Aki Juhari lah yang meneruskan,
"Karena hantu gadis itu bukanlah seperti hantu yang selama ini kita kenal."
"Maaf, Ki...." Harianto menyeringai kecut.
"Aku tak ingin berkenalan dengan hantu mana pun di dunia ini!"
Aki Juhari tersenyum. Misterius. Sepi menyentak lagi. Disusul pertanyaan lain dari Harianto,
"Mungkinkah kita melakukannya?"
"Mengapa tidak, Nak Yanto?"
"Maksud saya, mungkinkah polisi memberi izin? Atau kalau tidak polisi, pastilah dokter...."
"Mayat itu toh akan diotopsi juga. Melukai, kulit dan jantungnya tidak akan membedakan apa-apa. Itulah tugasku, Nak. Memberi pengertian pada mereka"
"Dapatkah mereka mengerti?"
Harianto justru tambah gelisah.
"Bayangkan saja. Seorang dukun muncul dirumah sakit, lantas meminta yang bukan-bukan...."
Ramandita yang hanya membisu dari tadi, tiba-tiba angkat bicara. Suaranya begitu perlahan, hampir tak terdengar,
"Barangkali tak ada kesulitan. Pak Tarigan sejak semula sudah berpikir meminta bantuan dukun.Sekarang, kita bawa apa yang dia kehendaki."
Diam lagi. Sepi lagi. Lalu dipecahkan keluhan lirih Ramandita,
"Tidak,Nona. Bukan kau, gadisku malang...!"
Harianto tidak berkomentar.
Apalagi Aki Juhari. *** ENAMBELAS Matahari pagi belum muncul setiba mereka di rumah sakit. Tetapi cuaca sudah terang-terang ayam. Petugas piket di pintu gerbang masih mengenali mereka dan tidak melarang mereka masuk. Mereka terus menuju paviliun tempat mayat si gadis tadinya dirawat. Tak ada polisi yang berjaga-jaga. Di kantor piket, ada suster tetapi yang bertubuh tinggi kekar tidak terlihat.
"Tadi pergi. Entah kenapa belum kembali..." suster jaga menjelaskan.
"Boleh pinjam telepon?" tanya Harianto, seraya matanya mengawasi tempat gelap di luar jendela ruangan, seakan takut makhluk mengerikan bersembunyi di balik kegelapan itu, siap menerkam siapa saja yang lengah.
"Silakan" Harianto mengangkat gagang telepon, lalu diserahkan ke tangan Ramandita yang menyambut lesu. Lesu pula,Ramandita memutar-mutar nomor telepon AKP Robinson Tarigan dan memperoleh jawaban beliau belum kembali ke rumah. Ramandita ganti menghubungi Polres dan setelah bertanya-jawab sebentar, terdengar suara angker Robinson Tarigan ditelinganya,
"Kalau mau berbicara, mengapa tidak tadi saja. Di rumah sakit?"
"Maaf, Pak. Aku tadi agak linglung rupanya"
"Bukan linglung lagi. Kau seperti orang sekarat,sehingga sempat terpikir olehku untuk mengirimmu sekalian ke kamar mati. Bersama mayat gadis itu!"
"Ah. Mayat itu...."
Ramandita menelan ludah. "Mayat itu. Mengapa dengan mayat itu, Ramandita? Punya masukan untuk kami sekarang?"
"Masukan sih belum pasti. Kalau seorang dukun jelas ada."
"Apa?!" Robinson hampir berteriak di telepon.Ramandita menjelaskan dengan hati-hati bahwa sang Ajun Komisaris sudah bertemu dengan orang dimaksud. Juga mengingat apa yang pernah diucapkan si perwira sendiri. Segera Robinson menanggapi,
"Malu aku mengatakannya, Rama. Tetapi saat ini aku memang mengharapkan bantuan dukun. Perkembang-an baru menghendakinya demikian...."
"Perkembangan apa, Pak?"
"Kerangka di kamar hotel. Identitasnya tidak diragukan lagi. Dari susunan gigi, bentuk kuku, dan sedikit kelainan pada tulang lengan. Ciri-cirinya positif!"
"Jadi..." Ramandita menelan ludah lagi.
"Kerangka di Kamar Hotel, pengarang berimajinasi macam-macam, sudah dipastikan adalah kerangka Raharjo, pengusaha yang lenyap misterius itu!"
"Oh!" "Cuma oh?" "Bapak... Bapak dapat datang ke sini?"
"Ke?" "Rumah sakit." "Hei. Apakah kau pikir kerjaku cuma mengurus mayat gadismu itu saja? Aku masih sibuk menganalisis siapa orang yang berdiri di belakangnya. Orang, yang sungguh terkutuk, telah memakan mentah-mentah cerita fiksimu, lantas entah bagaimana berhasil mempraktikkan ilmu jahat fantasimu dengan sukses."
"Agaknya tak seorang pun, Pak Tarigan."
"Apa?" "Datanglah dan Bapak akan lihat sendiri."
Mereka kemudian menunggu. Sambil menunggu,dokter yang mengurus jenazah Si Nona juga dipanggil dan diberi penjelasan seperlunya. Tentu saja Dokter mencak-mencak, tetapi tidak lagi memprotes setelah Robinson muncul dalam tempo singkat, persis bersamaan dengan munculnya bias matahari pagi dari ufuk timur.Pembicaraan yang sama diulang lagi. Berlangsung lagi perdebatan sengit. Tetapi Robinson tidak mengusir Aki Juhari kali ini. Akhirnya ia memutuskan,
"Baiklah.Dipikir-pikir toh mayat itu akan diautopsi juga."
"Tetapi awaslah bila kalian keliru. Jabatanku jadi taruhannya!"
Bersama-sama mereka kemudian pergi ke kamar mayat.Dokter sangat marah ketika melihat petugas kamar mayat tidur di sembarang tempat, yakni di lantai yang kotor berdebu, dekat pintu masuk kamar mayat, Ketika dibangunkan, petugas itu bangkit terheran-heran, lalu bertanya ketakutan,
"Masih hidupkah saya, Dokter?"
Mau tak mau Dokter tersenyum.
"Kau masih hidup,Pak Joko. Maka bukalah pintu sekarang!"
Pintu kamar mayat dibuka. Bau khas ruangan yang biasa menyimpan peti-peti dalam lemari pendingin serta bekas-bekas bau darah maupun bau mayat yang menusuk samar-samar, terasa mendirikan bulu kuduk.Situasi lebih menyeramkan lagi ketika mereka masih berada di luar pintu tetapi sudah dapat melihat keganjilan di dalam ruangan kamar mayat.Salah satu peti mati telah ditarik ke luar dari tempatnya. Ada sesosok mayat di dalam. Dan ketika mereka mendekat untuk melihat mayat itu, Harianto menjerit lalu pingsan.AKP Robinsori Tarigan tegak dengan mulut terkatup rapat.
Dokter gemetar. Pucat pasi. Lama baru terdengar dari mulutnya,
"Maria... Ya Allah!"
Benar. Yang terbaring di peti mati itu, bukanlah jenazah Si Nona. Melainkan mayat suster bertubuh tinggi kekar itu.
*** Kopi panas yang segera dihidangkan di kantor dokter jaga sungguh menarik selera di hawa pagi yang dingin dan sedikit mengandung kabut. Tetapi tak seorang pun berselera mencicipinya, sementara petugas kamar mayat terduduk letih dan pucat setelah selesai menceritakan apa yang terjadi dan telah menimpa dirinya, sehingga ia terkulai di lantai kotor berdebu Itu.
Tak lama setelah mayat Si Nona dimasukkan ke petimati dan orang-orang yang mengantarkannya pergi, sipetugas bermaksud tidur karena sudah mengantuk. Ia yakin sudah terlelap manakala ia dibangunkan seseorang. Ternyata suster Maria, yang dengan lembut meminta pintu kamar mayat yang terkunci agar dibuka.
"Kasihan gadis itu," katanya dengan suara lembut menyenangkan.
Si petugas heran mendengar cara berbicara suster Maria yang agak lain dari yang selama ini ia kenal.
"Aku bertanggung jawab atas kematiannya,Pak Joko. Jadi aku bermaksud memanjatkan doa khusus untuknya, sebelum mayatnya diautopsi...."
Permintaan itu terdengar aneh tetapi masuk akal.Petugas kamar mayat membuka pintu. Suster Maria kemudian masuk, tetapi minta pintu ditutup saja karena tak ingin diusik selama berdoa.
"Tldak takut, Suster?" tanya Joko takjub.
"Selama bertugas, pernahkah Bapak dicekik salah satu mayat yang Bapak urus?" tanya Suster, tersenyum.
"Ah, yang benar saja!" sahut Joko, tertawa.
"Titip doaku, Suster. Gadis yang malang itu cantik juga.Sayang ia mati muda...."
Pintu ditutupkan. Joko menunggu di luar dengan mata terkantuk-kantuk. Tetapi diam-diam ia merasakan keganjilan di dalam ruangan kamar mayat. Ia tidak tahu apa, tetapi tergoda untuk melihat-lihat.Pelan-pelan pintu dibukanya, dan terpekik ditahan karena tiba-tiba saja ia sudah berhadapan bukan dengan suster Maria melainkan...
Gadis di dalam petimati. Joko hampir menghambur saking kaget dan ketakutan.Tetapi tangannya sudah keburu dipegang oleh si gadis.Begitu tangannya disentuh, Joko merasa dirinya melayang, lantas disusul perasaan sakit yang menyentak seakan tubuhnya disambar arus listrik tegangan tinggi. Dan dari tangan mereka berdua yang saling bersentuhan, tampak berpijar-pijar sinar biru.
Tajam. Menyambar-nyambar. "Matilah aku!" masih sempat Joko berpikir sesaat sebelum tubuhnya meliuk.
Jatuh terjerambap di lantai.
*** TUJUHBELAS Sepi menyentak, selesai Joko bercerita. Semua yang hadir mengawasi si penjaga kamar mayat yang duduk terengah-engah dan wajahnya masih pucat pasi.
Dokter bangkit dari duduknya.
Lalu memberikan segelas minuman kepada Joko, yang melahapnya sekali tenggak. Perlahan-lahan wajahnya pun bersemu merah kembali .Ia kemudian senyum-senyum ditahan, lantas bergumam malu,
"Tak biasanya aku takut pada hantu!"
Tak ada yang menertawakannya.Semua berdiam diri, sambil berusaha memercayai cerita yang diungkapkan si penjaga kamar mayat, dan berakhir dalam satu kesimpulan yang mencemaskan. SiNona sudah lolos dan entah di mana gadis itu sekarang,serta kapan mereka dapat meringkus kembali sebelum:jatuh korban-korban berikutnya.Ramandita yang pertama-tama membuka mulut.Suaranya kering waktu ia merintih,
"Jadi itulah yangterjadi!"
Robinson menoleh. Lalu bertanya menyentak, "Apapula maksudnya, itulah yang terjadi?"
"Sentuhan dua tubuh," desah Ramandita lirih.
"Si Nona dan Suster Maria. Itulah pula yang pernah diperbuat Larasati ketika ia ditangkap dan akan dibakar di tiang gantungan oleh penduduk desa."
"Bah!" Ajun Komisaris Polisi Robinson Tarigan mendengus.
Tidak tertarik. Harianto lantas mendesak,
"Ceritakan padanya,Ramandita!"
Ramandita meminta segelas minuman, yang kemudian Dokter menyuruh Joko mengambilkannya. Si penjaga kamar mayat bangkit dari duduknya. Di pintu ia ragu-ragu sejenak. Matanya liar mengintip ke luar.Sudah mulai banyak orang lalu lalang di luar kantor dokter jaga. Matahari pun sudah bersinar terang-benderang. Aman, pikir Joko, lantas pergi ke dapur terdekat untuk memenuhi permintaan Ramandita.Setelah mencicipi kopi kental panas, barulah Ramandita memulai ceritanya.
"Tepatnya." ia berujar,
"aku akan mengulang apa yang pernah kutulis dalam cerita fiksiku yang paling akhir...."
Tak ada yang bereaksi. Kecuali Dokter, yang mengerutkan dahi.Setelah korban semakin banyak berjatuhan, diperoleh sejumlah petunjuk bahwa Larasari yang menghuni lereng gunung itulah penyebab matinya beberap orang penduduk desa. Dengan bantuan orang-orang yang ahli menangkal ilmu hitam, penduduk akhirnya berani menyatroni tempat tinggal janda itu, lalu meringkus janda yang hidup menyendiri serta ditakuti itu. Larasati tidak melawan bukan karena kekuatan gaibnya berhasil dilumpuhkan, melainkan karena ia tahu banyak diantara penduduk yang mengitari dirinya tidak berdosa atas kematian suaminya. Bila ia melawan, akan terjadi pertarungan mati-matian dan orang-orang tak berdosa itu akan jatuh sebagai korban.Sembari memikirkan jalan keluar untuk menyelamatkan diri. Larasati membiarkan dirinya ditangkap, ia lalu digiring turun gunung dan ditahan di balai desa.
Menurut rencana Lurah. Larasati pagi hari esoknya akan digantung, kemudian mayatnya dibakar. Abu pembakaran mayat Larasati disebarkan ke berbagai penjuru agar tidak dapat menyatu, sebagaimana petunjuk dukun-dukun ahli yang ikut meringkusnya.Dengan demikian, roh Larasati akan sibuk mencari abu pembakaran jasadnya, yang tentunya sudah musnah tak berbekas. Rohnya akan gentayangan dan tak akan mampu lagi berbuat apa-apa.Tapi namanya manusia, ada saja yang ingin mengambil keuntungan.
Orang itu adalah Sumirah, istri lurah desa.Sumirah tahu betul bahwa selama ini ia dianggap sepi oleh suaminya, semata-mata karena suaminya masih tetap mencintai Larasati. Demikian besarnya cinta sisuami sehingga Sumirah sadar waktu Larasati akhirnya mati, cinta si suami akan tetap hidup dan mengganggu kebahagiaan rumah tangga Sumirah.Setelah ditimbang masak-masak, Sumirah nekat mandatangi Larasati pada tengah malam buta, setelah suaminya tidur mendengkur.
"Aku ingin mengencingi perempuan terkutuk itu!" katanya pada penjaga-penjaga Larasati.
Para penjaga itu maklum, karena diam-diam mereka juga mendengar desas-desus tentang nasib malang Sumirah yang selalu disepelekan suaminya. Mereka biarkan Sumirah masuk ke ruangan terkunci di mana Larasati disekap. Mereka yakin tidak ada yang perlu dicemaskan. Toh Larasati terikat kuat oleh tali rotan yang telah diberi mantra-mantra.Dengan menutupi kedengkiannya Larasati, istri Lurah memperlihatkan muka manis serta tutur kata yang sangat memelaskan hati. Air matanya berlinang ketika ia berujar sedih,
"Aku sadar pengaruhmu begitu kuat pada suamiku. Meskipun kau besok mati juga, aku tahu pengaruhmu tidak akan ikut mati. Cinta suamiku akan tetap berurat akar padamu, dan akulah yang akan tetap tersia-sia sepanjang hidupku"
"Apa yang kau kehendaki?" tanya Larasati. seraya memikirkan keuntungan apa yang dapat direbutnya dengan kehadiran Sumirah.
"Tolonglah. Buang pengaruhmu atas diri suamiku!"
"Hem..." Larasati tiba-tiba terseyum,
"kalau aku mengabulkan permintaanmu, imbalan apa yang akan kuperoleh? Kebebasanku?"
"Maaf. Mustahil aku dapat membebaskanmu;.Aku pun tak tahu imbalan apa yang mampu kuberikan, Tetapi..."
Sumirah makin mencucurkan air mata kesedihannya yang palsu.
"Sungguh malang bahwa akhirnya kauakan mati. Mati, maaf... terkutuk pula. Jadi apa salahnya, sebelum kematianmu tiba kau berbuat kebaikan demi orang lain? Sekurang-kurangnya hal itu akan meringankan bebanmu kelak di akhirat sana...."
Larasati pun berpura-pura sedih. Lalu didahului keluhan pasrah ia berkata,
"Baiklah, kupikir kau benar juga. Nah, maukah kau memegang telapak tanganku?"
"Untuk apa?" "Agar dapat kualihkan pengaruhku ke dalam dirimu.Dengan demikian, akan beralihlah cinta Sumarna yang begitu menggebu-gebu, hanya pada dirimu seorang!"
Suara dan tatap mata Larasati yang lembut lunak menghilangkan keragu-raguan Sumirah. Dengan:senang hati ia ulurkan tangannya. Digenggamnya telapak tangan Larasati. Lalu terjadilah apa yang seterusnya terjadi. Salah satu dari mereka harus mati!"
"Tentu saja Sumirah lah yang harus mati. Seperti juga halnya Suster Maria!"
Ramandita berkata dengan suara
bergetar. "Para penjaga itu tak pernah tahu, bahwa yang kemudian keluar meninggalkan ruang tahanan mereka hanya jasadnya saja jasad Sumirah. Begitu pula esok paginya, ketika mereka temukan Larasari mati,yang mati itu hanyalah jasad Larasati...."
"Lalu mereka membakarnya hangus, seperti niat semula.Begitu, bukan?"
Robinson Tarigan bergumam.
Ramandita tersenyum. Kecut. "Ah, Bapak rupanya tak membaca seluruh ceritaku itu!"
"Aku bukan pengagummu!"
Robinson menjawab masam. "Bila demikian, Bapak tak tahu bahwa Larasati tak jadi dibakar. Itulah kekeliruan besar yang telah diperbuat Pak Lurah. Karena dorongan cintanya yang sudah mendalam, niat membakar mayat Larasati dibatalkannya sendiri. Dia berdalih, kasihan Larasati yang sudah mati atas kemauannya sendiri, masih harus dihinakan jasadnya. Katanya lagi, karena Larasati mati atas kemauannya sendiri, Larasati juga telah melupakan dendam kesumatnya pada mereka yang masih hidup dan dianggapnya sebagai penyebab kematian suaminya. Maka meski tanpa upacara,Larasati pun kemudian dikuburkan."
"Dan suatu hari kuburannya ditemukan menganga terbuka!"


Misteri Perawan Kubur Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Robinson menerka tak acuh.
"Persis." "Dan?" "Yang ditemukan orang di liang kubur itu adalah Sumirah."
"Seperti Suster Maria di lemari pendingin kamar mayat!"
Harianto nimbrung, bernafsu.
Robinson menanggapi dengan sentakan,
"Bah!" Dokter yang duduk diam-diam di belakang mejanya mengeluh getir,
"Omong kosong apa yang kalian bicarakan ini? Dan Anda, Komandan. Mengapa tidak dimulai saja mencari si pembunuh biadab itu?"
"Sebelas orang anak buahku yang sudah ahli di bidang itu, Dokter," sang Ajun Inspektur bersungut-sungut tak senang,
"kini sedang sibuk melaksanakan keinginanmu itu. Dan mengenai kau, si pengarang dengan Imajinasimu yang terkutuk itu...." tambahnya kasar,seraya menuding Ramandita.
Ramandita terkesiap. "Ada apa dengan aku, Pak Tarigan?"
"Belum jelas, heh? Tidakkah kau sadari bahwa novelmu itu telah melahirkan sebuah ide menarik pada seseorang atau siapa tahu juga sekelompok orang yang kesemuanya menganut ilmu hitam? Lalu, entah apa motif mereka, idemu itu mereka pelajari lalu mereka buktikan kebenarannya."
"Lantas?" "Mereka berhasil, Bung! Dan langsung atau tidak kau terlibat di dalamnya. Untuk itu aku terpaksa harus menahanmu suatu hari kelak bila si pembunuh Itu sudah kuringkus batang lehernya!"
Ramandita menyeringai. "Anda mengada-ada,Komandan. Terus terang, tadinya aku pun sependirian dengan Anda. Tetapi sekarang...."
Ramandita mengubah wajah dan sikap formalnya menjadi wajah masygul.
"Si Nona telah membuktikan kebenaran ancamannya. Sekaligus membuktikan apa dan siapa dia sebenarnya. Dengan sengaja ia tinggalkan beberapa petunjuk untuk membuka pikiranku...."
"Untuk itu pun, Ramandita, kau tetap akan kutangkap."
Robinson menggerutu dengan wajah jemu.
"Tuduhannya, Komandan?"
Ramandita emosional karena digertak.
"Tuduhannya jelas. Kau mendatangkan seorang pembunuh!"
"Hantu, Komandan. Hantu yang kemudian membunuhi orang-orang. Luar biasa kalau saja Anda mampu menangkap lalu mengajukan hantu itu ke pengadilan.Seluruh dunia pasti gempar. Nama Anda akan tercatat dalam sejarah. Paling tidak, dalam buku Guinness Bookof The Record"
Ramandita tersenyum mengejek.
"Tetapi, Komandan, pasal undang-undang mana yang akan kalian jatuhkan untuk menghukum hantu?!"
Robinson Tarigan terpojok, lalu diam.
Seseorang tertawa kecil. Robinson melotot. Garang. Dan yangtertawa tadi, Harianto, terbungkam dengan wajah pucat. Ramandita merasa iba pada sahabatnya yang malang itu. Lalu dengan wajah prihatin ia mengumumkan,
"Sudah tiba saatnya orang-orang sinting mulai berburu hantu,
" Namun demikian Robinson Tarigan tetap yakin bahwa otaknya masih cukup waras. Ia memanggil Bripda Priadi yang segera menghadap dengan sikap siaga dan siap menerima perintah.
"Hanya ada dua kemungkinan, Priadi!"
Robinson Tarigan berkata tanpa ragu-ragu sedikit pun.
"Secara klinis, gadis itu memang dinyatakan sudah meninggal.Tetapi tidak mustahil ia hanya mati suri. Jantungnya dikejutkan uap pendingin di kamar mati. Ia hidup kembali, berjuang keras keluar dari peti matinya. Terus kabur. Kemungkinan lainnya, dan ini dugaanku paling kuat yang harus kau selidiki dengan seksama, ada orang lain yang mengeluarkannya dari peti mati, lantas membawanya pergi!"
"Bagaimana dengan Suster Maria, Komandan?"
"Ia mengetahui sesuatu. Atau, dia tahu terlalu banyak.Untuk itu mulutnya terpaksa dibungkam untuk selamanya. Bukan mustahil ia terlibat. Maka kalian telusurilah perilaku kehidupannya sehari-hari, siapa saja teman-teman dekatnya, ke mana saja ia pergi, dan apakah ia pernah mengatakan sesuatu yang ada kaitannya dengan ilmu hitam atau aliran sesat lainnya!"
"Dan... Joko?" Priadi menyeringai gembira.
"Jika tidak salah lihat, pastilah ia telah membual."
"Setuju, Komandan?"
"Hem. Pikiran kita agaknya sejalan, Priadi. Kau interogasilah penjaga kamar mati itu sekali lagi. Kita harus tahu kejadian yang sebenarnya dan mengapa ia mengelabui kita dengan ceritanya yang menggelikan itu!"
"Siap, Komandan!"
Adapun mengenai keikutsertaannya dengan rombongan Aki Juhari, di tengah perjalanan ke Sukabumi, Robinson Tarigan berkilah,
"Aku ingin tahu,bagaimana caranya orang-orang sinting berburu dan menangkap hantu!"
Ramandita mengeluh, "Bilang saja Anda mau memastikan aku takkan pergi ke mana-mana...."
"Tidak ada salahnya, bukan?" sambut Sang Ajun Komisaris seraya menyeringai lebar.
"Yaaah... asal tidak diborgol saja!"
Ramandita ikut menyeringai, kemudian tertawa terbahak-bahak.
Perburuan itu dimulai di rumah Aki Juhari. Senjata pengintai masih itu juga: baskom porselen besar dan antik yang ia katakan peninggalan leluhurnya, yang konon pernah jadi tabib di istana kesultanan Banten.Bedanya kali ini tak ada akar bahar, rempah-rempah,serta bebungaan. Ia hanya membakar kemenyan. Abu pembakaran dilarutkan ke dalam air bening di Baskom.Setelah itu ia juga menuangkan jelaga hitam pekat. Isi baskom pun segera diaduk.
"Hantu itu tahu ada yang mencari dan melumpuhkannya tadi malam. Maka setiba di rumah sakit, ia mencari jalan lolos dari penangkapannya.Nasib siallah yang menimpa Suster Maria. Hantu itu berhasil kabur dan pasti ia sudah menemukan tempat persembunyian yang menurutnya cukup aman dari penglihatanku. Dan ia salah!"
Aki Juhari menjelaskan dengan nada berapi-api.
"Ia tidak tahu mata batinku mampu menerobos masuk ke alam gaib yang sama hitam dan pekatnya dengan air di baskom ini!"
Aki Juhari menunggu sampai riak air di baskom tenang dan diam. Lalu mengingatkan agar selama ia bersemedi tidak boleh ada suara berbisik apalagi mengusik. Ia kemudian duduk bersila menghadap ke baskom yang langka didapat itu.
Tak sekali pun ia bergerak.
Kelopak mata dan mulut terkatup rapat. Posisi duduk dan sila diamnya mengingatkan Ramandita pada patung Sidharta Gautama yang pernah ia lihat di sebuah klenteng sewaktu ikut menelusuri kasus si Janda Hitam.
Detik demi detik berlalu.
Di luar rumah angin malam bersiut-siut dan atap genteng terdengar berderak-derak.Ramandita menggigil oleh sergapan hawa dingin membeku. Ketika ia melirik, ia melihat Harianto bahkan AKP Tarigan juga terpengaruh oleh sikap semedi Aki Juhari. Tak seorang pun berani bergerak, apalagi membuka mulut. Mata mereka tak pula berkedip.Bahkan napas pun terpaksa ditahan.Lalu tiba-tiba kelopak mata Aki juhari merentang terbuka. Tampak kilatan tajam dan aneh di matanya.Lalu dengan suara menggeram dan pundak bergetar hebat, dari mulutnya disemburkan ludah yang muncrat ke permukaan air baskom. Tamu-tamunya memandang terkejut kemudian membelalak dengan mulut tercengang, manakala di tempat muncratnya ludah AkiJuhari, warna hitam pekat permukaan air pelan-pelan berubah bening sementara sisanya tetap menghitam pekat. Entah ilmu apa yang dipergunakan Aki Juhari,sehingga keanehan itu masih ditambah hal yang lebih aneh lagi. Muncratnya ludah yang disemburkan begitu keras, sedikit pun tidak membuat riak, apalagi percikan air di baskom!
Gigi Aki Juhari bergemeletuk keras sementara ia mengawasi permukaan air di bagian yang bening tadi.Lalu mendadak dahinya mengerut. Mulutnya terbuka,tampak menggagap-gagapi lantas bergumam heran,
"Lha. Mengapa jadi begini?"
Mukanya diangkat. Memandang lurus-lurus ke wajah Ramandita.
Masih dengan pandangan heran.
"Ada apa, Ki?" bisik Ramandita, tegang.
"Aku tidak dapat melihat roh jahat gadis itu. Yang kulihat justru wajah orang lain..." jawab Aki Juhari,bingung.
"Wajah siapa, Ki?"
"Wajahmu!" Sepi sejenak. Lalu Robinson Tarigan tertawa bergolak.
"Tentu saja!" ia berkata mengejek.
"Bapak memang tengah memandang wajah Ramandita. Bukan wajahku atau wajah Harianto!"
Tanpa mengacuhkan ejekan tamunya, Aki Juhari kembali mengawasi permukaan air. Matanya memandang tak berkedip sampai bagian yang bening dipermukaan air itu lambat laun kembali menyatu dengan bagian lainnya.
Kembali menghitam. Kembalipekat. "Masih wajah yang sama..." gumamnya pelan,sementara kerutan di dahinya bertambah jelas.
Pertanda ia tengah berpikir keras. Ramandita maupun Harianto diam tak bergerak, menunggu dengan wajah tegang. Adapun Robinson, tetap dengan santai. Ia jemput sepotong singkong rebus yang sebelumnya telah disediakan istri tuan rumah, menggigit lalu mengunyahnya dengan santai pula. Seterusnya, gelas didekatkan ke mulutnya.
Kopi hangat dicicipi. Lantas mendesah nikmat, sembari kedua belah kaki diselonjorkan. Benar-benar santai, seolah menikmati suasana piknik saja.Ia pun tidak tampak menaruh minat ketika Aki Juhari berujar pada Ramandita,
"Waspadalah, anakku.Naluriku membisikkan, bahwa kau dijadikan tameng oleh roh jahat itu!"
Robinson Tarigan nyeletuk,
"Ambillah baju besi dan pedangmu sekalian, Rama!"
Ramandita tidak mengacuhkan. Dengan suara tersedak ia bertanya pada tuan rumah,
"Apakah maksud Aki...gadis itu bersembunyi di..." kata-katanya tidak diteruskan. Wajahnya pun semakin tegang karena ikut membayangkan apa yang muncul dalam pikirannya.Aki Juhari menggelengkan kepala. Berujar lembut namun jelas menyimpan perasaan khawatir,
"Belum dapat kupastikan, Nak. Mungkin saja aku salah. Yang semacam ini hanya terjadi satu dari sekian ribu peristiwa gaib. Sudah langka terjadi di zaman, sekarang ini. Tetapi di masa hidup leluhurku, peristiwa semacam itu bukanlah hal yang aneh..."
"Peristiwa apa, Aki?"
Harianto menyela segan. "Roh gaib. Yang biasanya hanya bergentayangan di alam arwah, tetapi memiliki kekuatan ampuh dan jahat untuk menyelinap lalu bersembunyi di balik roh orang yang masih hidup!"
"Astaga!" Ramandita mengucap berbarengan dengan Harianto. Robinson mengawasi mereka berdua dengan mulut tersenyum dan pandangan mata menaruh iba kasihan.
"Apa... yang harus kita lakukan, Ki?" tanya Ramandita dengan bulu kuduk merinding.Aki Juhari mengusap dagunya. Berpikir. Kemudian,
"Aku mampu memanggil roh orang-orang yang sudah mati, sebanyak aku butuhkan!" katanya.
"Tetapi apabila roh gentayangan itu mencari perlindungan di balik roh orang yang masih hidup, akan sulit berkomunikasi dengannya. Kita harus menemukan suatu cara, dimana harus terjadi suatu persenyawaan nyata antara kedua roh itu, yang dapat kita lihat dan kita raba.Dengan bantuan persenyawaan itulah kita baru dapat berkomunikasi dengan roh yang ingin kita panggil.."
"Caranya?" desah Ramandita, bingung.
"Melalui darah, atau benih kehidupan!"
"Darah siapa? Benih kehidupan siapa?"
"Kedua-duanya!"
"Darahku sih, kapan saja bisa didapatkan. Tetapi bagaimana mungkin kita mendapatkan... darah siNona?"
"Mungkin saja, Nak," jawab Aki Juhari.
Tenang. "Ah...?" "Di otakku yang sudah tua ini, Nak," kata Aki Juhari tersenyum.
"Setiap kata demi kata yang diceritakan pasien-pasienku selalu tercerna dan tertanam kuat untuk sewaktu-waktu diungkap kembali. Orang sekarang bilang... ini bukan sombong, yah... otak komputer, begitu!"
"Dan apa yang Aki masih ingat mengenai apa saja yang telah kuceritakan? Dan apa kaitannya dengan darah? Atau, benih kehidupan?"
"Ingat pertama kali kau bertemu dengan gadis itu? Dan apa saja yang telah kalian berdua perbuat?"
Wajah Ramandita seketika bersemu merah.
"Maksud Aki..."
"Benar. Kalian telah bersetubuh, bukan? Dan kau bilang, gadis itu... masih perawan. Tahu, bukan? Apa yang kita lihat apabila terjadi kerobekan pada selaput dara?"
Ramandita menelan ludah. Lalu berkata menggagap,
"Aku... tahu. Tetapi... aku pun sempat dibuat heran.Pagi itu, sewaktu aku kembali ke kamar tidur... aku sempat melirik ke permukaan seprai. Jelas aku telah merasakan adanya selaput dara yang terobek. Tetapi...di kain seprai itu sedikit pun tak kulihat adanya percikan darah!"
"Karena, anakku, kau melihat dengan mata manusia biasa. Sedang yang kau ingin lihat, adalah darah makhluk gaib. Apakah kain seprai itu sudah kau cuci?"
"Belum. Malah masih terhampar di tempatnya semula," jawab Ramandita, tersipu-sipu. Harianto yang duduk disebelahnya menggeleng-geleng prihatin.Aki Juhari berujar gembira,
"Kalau begitu, kita masih dapat melihatnya, Melihat persenyawaan yang telah terjadi antara kalian berdua. Yang kumaksud bukan darah. Melainkan benih-benih kehidupan. Tetapi untuk dapat melihatnya, kita harus dibantu persenyawaan benih-benih sejenis. Yang masih baru. Dan masih segar...!"
Lalu Aki Juhari menjelaskan bagaimana benih kehidupan yang masih baru dan masih segar itu bisa mereka dapatkan, dan bagaimana mereka memanfaatkannya.
"Sekarang tergantung pada Nak Rama sendiri. Dengan siapa Nak Rama ingin bersetubuh" katanya, mengakhiri.
"Wah. Enak!" Robinson Tarigan mendengus keras.Lantas dijemputnya singkong rebus sepotong lagi dengan bernafsu.
*** DELAPANBELAS Berdebar jantung Ramandita ketika terdengar bunyi bel dan ia pergi membuka pintu depan. Di hadapannya berdiri tubuh semampai bermata bening yang menatap mesra serta berbibir merah basah, setengah terbuka merindukan sentuhan.Ramandita menelan ludah lantas berujar dengan suara bergetar,
"Tambah cantik saja kau, Lena!"
Magdalena tersenyum. Hangat. "Begitulah yang selalu kudengar tentang komentar seorang suami ketika melihat bekas istrinya..." sahutnya sama bergetar.
"Kita belum bercerai, Lena."
"Memang belum. Jadi aku masih berhak mengoreksi penampilanmu, bukan?" sambil berkata demikian tangan Magdalena menyentuh pipi lalu mengurai helai-helai rambut yang menutupi telinga Ramandita.
"Kau tampak kurus dan tua, sayangku!"
"Akhirnya, aku tambah matang?" kilah Ramandita,tertawa.
"Ayolah. Ini rumahmu sendiri. Aku tak harus menyilakan masuk, bukan?"
Ramandita menyisih untuk memberi jalan, kemudian menutup pintu.
Masuk ke dalam. Magdalena sejenak diam mengawasi suasana, baru kemudian meneruskan langkah menuju ruang dalam. Sambil lewat, masih sempat dia membetulkan letak lukisan dinding yang tergantung miring. Di ruang tengah Magdalena pun tidak langsung duduk. Lebih dulu ia mempelajari keadaan ruangan itu, lantas didahului tawa lunak ia mengomentari,
"Hem. Setelah kau meneleponku tadi pagi Rama, tentulah kau sibuk sekali membenahi seisi rumah, ya?"
Ramandita menanggapi dengan tersipu,
"Pasti aku melakukannya tidak terlalu rapi, kan?"
Ia ternyata benar. Sewaktu duduk mengobrol di kursipanjang, kaki Magdalena tiba-tiba menyentuh sesuatu di kolong meja. Ia membungkuk lalu menarik keluar sepatu Ramandita plus kaus kaki yang tergeletak tak benturan di kolong meja itu. Magdalena juga mengambil botol minyak rambut dan sisir dari lapis bawah meja itu.
"Memalukan!" komentarnya seraya menyeringai ia bangkit dari duduknya dan membawa benda-benda itu untuk disimpan pada tempat yang benar, di kamartidur. Ia tidak pergi ke kamar tidur yang ia tahu biasa dipergunakan Ramandita setelah mereka berpisah,tetapi langsung membuka pintu kamar tidur yang biasa mereka pergunakan semasih hidup normal sebagai suami istri. Sesaat kemudian, dari dalam kamar terdengar suaranya memanggil.
Ramandita segera menyusul masuk ke kamar yang dimaksud. Dan ketika melihat Magdalena tengah mengawasi kamar tidur, jantung Ramandita bergetar lagi. Getaran yang jauh berbeda dengan saat tadi membukakan pintu untuk Magdalena.
"Bukankah itu seprai yang terakhir kali kita tiduri.Rama? Yakni pada hari Sabtu malam, 3 bulan 10 yang lalu?" tanya Magdalena, lembut.
"Ah... Agaknya aku lupa daya ingatmu kuat, Lena..."sahut Ramandita cepat-cepat menambahkan.
"Jangan khawatir. Aku telah mencucinya setelah kau pergi. Kini kupasang lagi. Sekadar bernostalgia."
Magdalena menggeleng misterius lalu mendekati tempat tidur. Kain seprai disingkapkan pada ulah satu sudutnya. Melihat itu. Ramandita berujar cemas.
"Tak usahlah repot-repot menukarnya dengan sprai yang lain, Magdalena"
"Memang tidak," jawab Magdalena, tersenyum.
"Aku hanya ingin merapikan aja. Tidakkah kau lihat salah satu motif kembangnya setengah terbenam di bawah kasur?" dan Magdalena menyingkapkan seluruh seprai lalu memasangnya dengan benar.Selagi bekerja, ia bergumam prihatin.
"Apakah aku pernah menyarankan kau kawin lagi?"
"Pernah!" "Mestinya saranku kau turuti. Kau tak perlu repot mengerjakan segala sesuatunya sendirian. Serahkanlah urusan rumah tanggamu kepada seorang istri!"
Ramandita menahan senyum.
"Kalau kuturuti kau pasti bunuh diri!" katanya, memancing.
"Kau tahu aku paling takut mati, Rama," desah Magdalena, getir.
Wajahnya yang tadi riang tahu-tahu berubah murung. Juga suaranya ketika ia meneruskan,
"Tetapi... yah! Terus terang, bila engkau kawin juga dengan perempuan lain, mungkin aku akan punya keberanian untuk melakukan apa yang tadi kaukatakan...."
Ramandita yang menyandar di bendul pintu kamar mengerutkan dahi.
"Mengapa?" "Karena, sayangku. Bila di sisimu sudah ada perempuan lain, berarti kau bukan lagi milikku seorang.Aku tak boleh lagi menyentuhmu. Apalagi mengajakmu bermain cinta. Bahkan untuk mencintaimu saja pun aku tak lagi punya hak!"
Magdalena mengakhiri kata-katanya dengan keluhan panjang. Diamati-amatinya seprai yang kini tampak lebih serasi dan sedap dipandang. Setelah itu ia memutar tubuh. Menghadap lurus ke arah Ramandita.Tersenyum sejenak, lantas bertanya lirih,
"Kini apa lagi yang masih dapat kulakukan untukmu, Rama? Pergi kedapur untuk menyediakan makan malammu? Atau..."
Ramandita meninggalkan pintu. Ia dekati Magdalena dengan langkah-langkah pasti, lalu merangkul perempuan itu dengan kehangatan yang mendebarkan dada. Di telinga Magdalena ia berbisik mesra,
"Bantulah aku melepas rindu dendam yang mengentak-entak jiwa ini, Kekasih...."
"Oh, Ramaku, sayangku, suamiku...."
Magdalena menyambut dengan rintihan terputus-putus dan kecupan-kecupan bibir yang semakin lama semakin panas membara, ia membiarkan dirinya ditarik lalu dirobohkan Ramandita di tempat tidur.Sentuhan demi sentuhan ia sambut dengan kegairahan yang kian menggebu menagih pelunasan janji berahi.Ketika kemudian tubuh mereka menyatu dalam kemesraan yang luar biasa mempesona, Magdalena menitikkan air mata sukacita dan bahagia yang tiada tara. Setengah jam berlalu sudah, ketika akhirnya Magdalena merintih keras lalu tubuhnya meliuk jatuh dan rebah di sisi tubuh Ramandita.
Beberapa saat lamanya ia rebah dengan mata terpejam meraih sisa-sisa kenikmatan berahi yang telah dia raih sampai ke puncaknya. Setelah degupan jantungnya mereda,barulah ia memiringkan tubuh untuk merangkul dada dan mengecup pipi Ramandita sebagai ucapan terimakasih. Setengah bertelekan pada siku tangannya yang lain, bergumam tersipu,
"Tahukah kau, Yang?"
"Hem?" Ramandita mengurai senyuman lembut.
"Bahwa usahaku telah gagal dan gagal lagi!"
"Untuk?" "Mengantarmu lebih dulu ke puncak. Dan membiarkan engkau lebih dulu menikmati kebahagiaan yang mengasyikkan itu... sebelum aku meraih bagianku sendiri...."
"Kau selalu mampu melakukannya Magdalena, bila kita mengulangnya lagi. Nanti..."
"Di ronde kedua!"
Magdalena berbisik gemetar,
"Tetapi mengapa tak pernah di ronde pertama?"
"Karena, kekasihku, ronde pertama adalah milikmu!"kata Ramandita, kalem.
Wajah Magdalena berubah sendu. Meskipun matanya menatap mata Ramandita, namun jelas pikirannya menerawang jauh.
"Masing-masing kita ingin saling membahagiakan, bukan? Tetapi sayang sifatnya hanya sementara...."
"Kau tahu bahwa kau dapat melanggengkannya Lena.Membuatnya tetap abadi...." bujuk Ramandita.
Magdalena menggeleng sedih. Suaranya teramat pahit ketika ia mengerang pelan.
"Aku ingin, Rama. Namun tiap kali aku berniat kembali bersatu denganmu untuk tidak pergi-pergi lagi... tiap kali pula jiwaku ditoreh:bayangan terkutuk itu. Bayangan itu tak pernah berhasil kusingkirkan, Rama. Kengerian pada apa yang telah terjadi. Dan kebencian pada diriku sendiri,mengingat bahwa aku menikmati kejadian terkutuk itu.Serta apa yang waktu itu kuucapkan. Aku meminta dia, agar melakukannya... lagi, dan lagi di saat tubuh laki-laki itu menjauhi tubuhku...."
Magdalena menggigit bibirnya kuat-kuat.
"Sesuatu yang tidak pernah berani kuminta darimu" tambahnya, dengan nada muak dan malu pada dirinya sendiri.
"Belum jugakah kau menyadari situasi ketika itu, Lena?Kau berada di bawah pengaruh obat perangsang yang melebihi dosis!"
Ramandita berkata dengan marah.Bukan marah pada Magdalena, melainkan pada pemerkosa biadab yang tidak saja menodai tetapi juga akhirnya menghancurkan rumah tangga yang sebelumnya begitu tenteram dan bahagia.
"Aku dapat memahami reaksimu ketika itu, Magdalena!"
"Kau, ya. Tetapi aku tidak, lantaran masih dan senantiasa melekat dalam ingatanku. Bagaimana setelah pergi aku lalu merayap ke tempat kau duduk terikat. Aku bukannya membantu melepaskan ikatanmu, aku justru... memohon agar kau tuntaskan berahiku yang masih bergejolak. Lalu tiba-tiba aku melihat sinar jijik di matamu. Saking ngeri melihatnya,aku pun lantas tersadar!"
Ramandita mengatupkan kelopak matanya rapat-rapat.Lalu berbisik samar,
"Kau tidak ingin ke kamar mandi?"
Magdalena terperanjat sendiri.
"Ya. Tuhan. Mengapa kita membicarakan itu lagi?" ia mencoba tertawa.Tetapi gagal. Kebahagiaan tadi telah digantikan oleh jiwa yang sakit. Tertatih-tatih ia turun dari tempat tidur. Tertatih-tatih pula ia berjalan lalu menghilang dikamar mandi.Ramandita pelan-pelan membuka kelopak matanya. Ia mengawasi pintu kamar mandi dengan mata tak berkedip. Sesaat ia mengeluh panjang. Kelopak matanya dikatupkan lagi. Dan pada saat itulah dari sudut sudut kelopak matanya menitik tetes-tetes air bening hangat, membasahi pipi. Ia goyangkan keras-keras kepalanya untuk membuang jauh-jauh impian buruk yang sudah lama berlalu namun seolah baru terjadi beberapa menit berselang.
Kemudian ia bangkit. Duduk terenyak di tempat tidur,tiba-tiba matanya menangkap noda-noda bening keputih-putihan membasahi permukaan kain seprai.Seketika ia tersadar bahwa ia harus melupakan masa lalu dan lebih mengutamakan masa sekarang. Masa dimana, ia justru dihadapkan pada impian lain. Impian yang jauh lebih buruk dan harus dilenyapkan pula sebelum terlambat.Tanpa berpikir panjang ia melompat turun lalu tergesa-gesa menyingkap kain seprai. Baru juga tangannya menyentuh salah satu ujung seprai itu, dibelakangnya sudah terdengar ucapan lembut,
"Biarlah aku yang melakukannya, Ramandita!"
Lalu tanpa menunggu reaksi, Magdalena bergerak cepat dan terampil melepaskan kain seprai. Sambil lalu ia bertanya tanpa maksud apa-apa,
"Mengapa kau tiba-tiba ingin menukar seprai, Rama?"
Ramandita terkesiap. Menjawab tergagap-gagap.
"Aku... ah, tidak ada salahnya, bukan? Lagi pula sudah waktunya seprai itu ditukar dengan yang lebih bersih"
Magdalena berpaling. Mengawasinya sesaat. Namun tanpa berkomentar apa-apa, seprai digulungnya. Begitu pula sarung-sarung bantal. Ia mencari-cari dengan matanya. Lalu setelah membungkuk, ia temukan apa yang ia cari di kolong tempat tidur. Sebuah keranjang plastik diseretnya dari bawah kolong. Lalu seprai dan sarung bantal dimasukkan ke dalam keranjang, dimana sudah ada tumpukan pakaian kotor Ramandita yang belum sempat dicuci. Ke keranjang itu juga kaus kakinya tadi dimasukkan, lalu dengan tubuh telanjang ia berjalan ke luar kamar tidur.
"Mau kaubawa ke mana keranjang itu?" tanya Magdalena bingung sambil menguntit di belakang Ramandita.
"Ke mana lagi? Ya. Dimasukkan ke mesin cuci"
"Ini pekerjaan perempuan, ingat?" sahut Magdalena tersenyum.Ramandita berpikir cepat.
"Urusan sepele begitu dapat juga dikerjakan laki-laki!" katanya.
"Kau pergilah kedapur. Aku sudah lapar!"
Berkata begitu, keranjang di tangan Magdalena disambarnya terus berjalan menuju mesin cuci yang ditempatkan tak jauh dari dapur. Magdalena membiarkan saja. Lalu tiba-tiba tertawa berderai-derai.Tentu saja Ramandita membalikkan tubuh, lalu bertanya heran.
"Apa yang lucu?"
Sambil memegangi perut, Magdalena bertanya menyindir,
"Apakah belakangan ini kau selalu berbugil saja di rumah, Rama?!"
Terperanjatlah Ramandita. Ia lupa mengenakan pakaian sewaktu tadi ia diikuti Magdalena meninggalkan tempat tidur. Melirik sekilas ke bawah,Ramandita cepat menurunkan kedua tangannya,sehingga keranjang berisi tumpukan kain kotor seketika menutup bagian terlarang di bawah pinggangnya. Lalu dengan wajah memerah, ia membalikkan tubuh dan berjalan santai menuju mesin cuci. Di belakangnya,Magdalena mendengus,
"Pantatmu masih kelihatan!"
"Peduli amat!" gerutu Ramandita, keki.
"Tak ada orang ini!"
Lalu keranjang diletakkan di meja dekat mesin cuci. Tak peduli tubuhnya sama sekali tidak lagi terlindung,kalem-kalem saja ia masukkan kain-kain kotor sepotong demi sepotong ke mesin cuci, setelah lebih dulu mesin cuci itu dioperasikan.
"Hem. Tak ada orang. Lalu aku ini, apa?"
Magdalena nyeletuk sendirian.
"Perempuan! Yang hidup di dapur!" teriak Ramandita.
"Apa tak kau dengar perutku sudah keroncongan,Lena?"
Magdalena menggelengkan kepala, tersenyum-senyum,lalu menyelinap ke dapur dan sibuklah ia bekerja.Ramandita menunggu sejenak. Ketika ia lihat Magdalena berdiri membelakangi, cepat-cepat ia menyambar seprai yang sengaja ia sisakan di dalam keranjang. Cepat-cepat pula ia berjingkat pergi kekamar tidur terdekat. Yakni kamar tidur pembantu,yang sudah lama kosong karena Ramandita lebih suka sendirian di rumah semenjak Magdalena meninggalkannya. Seprai dilemparkan begitu saja kedalam. Pintu kemudian ditutup rapat, lantas kembali lagi ke mesin cuci. Pura-pura sibuk melihat lewat kaca pengintai mesin cuci, ia nyeletuk keras,
"Mau buatkan kopi, Lena? Gulanya jangan terlalu banyak!"
Tetapi saat itu Magdalena sudah keluar dari dapur dengan cangkir berisi kopi panas yang kemudian ia serahkan ke tangan Ramandita.
"Aku selalu siap bukan,Komandan?" senyumnya, mengejek.
"Minumlah. Dan sebelum kau masuk angin, kenakanlah pakaianmu,oke?"
Habis berkata demikian, Magdalena masuk lagi kedapur. Ramandita meneguk kopinya secicip. Pas dengan seleranya, ia kemudian pergi ke kamar tidur yang tadi untuk mengenakan pakaiannya. Dari dapur,ia dengar suara Magdalena berseru,
"Hei. Jangan lupa.Cuci itumu dulu, ya?" disusul tawa mengikik.
Setelah kain-kain kotor dialihkan ke mesin pengering dan Magdalena pun sudah menyiapkan hidangan dimeja makan, mereka bersantap makan dengan riang gembira, sambil sesekali bercubit-cubitan. Barulah setelah mereka selesai makan, Magdalena sekonyong-konyong bertanya dengan suara dan wajah serius,
"Mengapa kau tidak berterus terang saja,Rama?"
Karena pada saat itu Ramandita habis meneguk teh, hampir saja ia tersedak saking terperanjat.
"Apa maksudmu, Magdalena?"
"Berhentilah berpura-pura, sayangku!"
"Hei. Adakah sesuatu yang salah pada diriku, Lena?"
"Ada beberapa, Ramandita," gumam Magdalena.
Matanya lurus dan tajam menusuk ke mata Ramandita.
"Pertama-tama, tentang kain seprai..."
Ia diam sejenak,melihat reaksi terperanjat lagi di wajah Ramandita.Lalu,
"Dari semula tidak berniat, setelah sanggama kita tadi kau tiba-tiba ingin menukar seprai itu. Lantas aku tidak kau perbolehkan memasukkan sendiri isi keranjang ke dalam mesin cuci. Masih kurang jelas? Ketika tadi aku membuat kopi untukmu, aku berpaling untuk menanyakan apakah kau masih membenci kopi yang kelewat manis. Aku tak jadi membuka mulut.Karena saat itu kulihat kau melemparkan seprai kekamar pembantu. Setelah itu aku cepat membalik dan pura-pura tidak melihat apa yang kau lakukan..."
Wajah Ramandita berubah pucat.
"Lena " "Tunggu dulu, Rama. Kalau engkau tidak berkata jujur,aku pasti mengetahuinya. Dan saat ini juga aku meninggalkanmu. Dengan keyakinan dan kesadaran penuh bahwa diriku ini sudah tak punya arti apa-apalagi dalam jiwamu. Bahwa aku hanya... hanya sekadar diperlukan untuk pemuas hawa nafsumu saja!"
Ramandita terenyak lesu di kursinya. Menarik napas:berat dan panjang, kemudian bergumam getir,
"Maafkan, Lena, Lena, aku... tidak seharusnya,memanfaatkan hubungan kita yang tetap mesra dan intim. Untuk..."
"Memanfaatkan, Rama?" desah Magdalena terengah.
"Ceritanya panjang, Magdalena. Dan... teramat sangat menakutkan!"
Ramandita merintih sakit.
"Sungguh tidak pantas aku melibatkan dirimu. Padahal Harianto sudah menganjurkan agar aku memanfaatkan saja salah seorang gadis-gadisnya. Aku tinggal menikmati,membayar, kemudian menendang gadis itu kapan aku suka!"
Magdalena menggenggam telapak tangan Ramandita.Berujar lembut,
"Ceritakanlah, sayangku!"
Ramandita menyerah. Ia menceritakan apa adanya.Ringkas, tetapi cukup jelas untuk dapat dimengerti,betapa jiwanya dilanda kegoyahan akibat terpaksa memercayai sesuatu yang selama ini senantiasa ditertawakan dan dicemoohkannya. Magdalena diam mendengarkan. Selesai Ramandita bercerita, ia berpikir sejenak. Tidak ada pertanyaan atau pernyataan tak percaya, ataupun komentar apa-apa yang dilakukan Ramandita selama hari terakhir ini.Tetap menggenggam hangat telapak tangan Ramandita, ia hanya berujar lembut tanpa ragu-ragu sedikit pun,


Misteri Perawan Kubur Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku mengerti. Dan aku siap mendampingimu walau apa pun yang telah dan akan terjadi"
"Bantuanmu sudah lebih dari cukup, Magdalena.Selebihnya, serahkan sajalah padaku. Kau bebas untuk pergi dan tidak melibatkan diri. Risikonya bisa jadi sangat mengerikan."
"Kau bilang tadi, kalian bermaksud menyewa seorang medium, bukan?"
Magdalena bertanya tenang,
"Kepalang basah, Rama, mengapa tidak aku saja? Toh yang kalian butuhkan hanyalah medium biasa-biasa ,saja. Yang tak perlu punya ilmu macam-macam, Hus.Jangan membantah, sayangku. Mungkin diriku ini kotor setelah kejadian yang menimpa kita dua tahun berselang. Tetapi untukmu, apa pun akan kuberikan,pujaanku. Nah. Sekarang teleponlah mereka. Mintalah mereka datang segera. Kalian tidak rela terlambat untuk kedua kalinya, bukan?"
Tidak ada lagi waktu untuk berbantah. Dan Ramanditapun beranjak menuju meja telepon.
*** SEMBILAN BELAS Dan sibuklah orang-orang di rumah itu. Yang mula-mula sibuk, bila itu bisa diesebut kesibukan adalah Aki Juhari, dukun yang sebelumnya menunggu tak sabar di rumah Harianto. Segera datang setelah menerima kabar lewat telepon. Ia datang ditemani Harianto yang wajahnya tampak kemalu-maluan sewaktu bertukar salam dengan Magdalena. Pernah ia berkata, andai saja Magdalena itu istrinya, Harianto pasti akan membutakan mata terhadap perempuan-perempuan lain.
Tanpa banyak bicara Aki Juhari segera minta diperlihatkan kain seprai yang diperuntukkan sebagai lapisan bersanggama oleh tuan dan nyonya rumah.Setelah menerima seprai ia minta disediakan ember berisi air, ke dalam mana seprai ia rendam selama beberapa menit. Ia kemudian meludah ke telapak tangan, lalu cairan ludah ia gosok-gosokkan di kedua telapak tangannya. Lalu sambil komat-kamit membaca mantra, kedua telapak tangan Aki Juhari dibenamkan pula ke dalam air di ember, dan dipergunakan seprai meremas-remas seprai.Sementara yang lain mengawasi dengan sorot mata tak berkedip saking ingin tahunya, Aki Juhari pelan-pelan mengangkat kain seprai yang basah kuyup dari dalam ember.
"Bantu aku menghamparkannya!" ia berkata tanpa melihat pada siapa ia meminta bantuan.
Bergegas Ramandita, Harianto, kemudian juga Magdalena bantu menghamparkan kain seprai dipermukaan lantai yang sebelumnya sengaja dikosongkan dan dibersihkan.Awalnya, tak tampak apa-apa kecuali motif bunga anggrek warna violet di empat sudut kain seprai berwarna merah muda itu. Detik demi detik berlalu dalam sepi. Yang terdengar hanya bunyi mulut Aki Juhari mengatup dan membuka lantaran membaca mantra tanpa suara. Kemudian muncullah sesuatu dipermukaan kain seprai yang basah itu. Munculnya perlahan-lahan dan makin lama makin jelas.Kelihatanlah noda- noda kuning di beberapa tempat,disusul noda-noda kuning kemerahan, lalu noda-noda hitam legam.
"Apa... apakah itu?" bisik Harianto, terkesima.
Aki Juhari menunjuk sambil menjelaskan,
"Yang berwarna kuning adalah persenyawaan sperma Nak Rama serta istri. Yang kuning kemerahan persenyawaan sperma Nak Rama dengan Si Nona. Adapun bercak hitam itulah noda percikan dari selaput dara yang robek...!"
Meskipun Ramandita sebelumnya telah memberihu apa yang ia lakukan ketika bertemu pertama kali dengan SiNona, toh Magdalena cemberut. Kecemburuan istrinya dapat dimengerti Ramandita. Ia sentuh tangan Magdalena dan menatap dengan pandangan meminta maaf!
Magdalena diam saja. Tak bereaksi apa-apa,kecuali cemberut di bibirnya yang perlahan-lahan menghilang.
"Ambilkan benang. Yang berwarna kuning emas kalau ada. Bila tidak, warna hitam pun jadi, sekalian dengan jarum jahit!"
Aki Juhari mengeluarkan perintah tanpa mengalihkan matanya dari noda-noda di permukaan seprai. Karena sebelumnya telah diberitahu, dalam tempo singkat Ramandita sudah menyerahkan apa-apa yang diminta orang tua itu.Magdalena membantu memasukkan ujung benang kelubang jarum. Aki juhari sendirilah yang menjahitkan benang ke kain seprai. Jahitannya kasar tidak teratur,namun terlihat jelas membuat lingkaran besar di dalam lingkungan mana terdapat noda kuning kemerahan serta noda hitam.
"Terkurung sudah!" desah Aki Juhari puas, seraya menyerahkan jarum dan gulungan benang ke tangan Magdalena.
Sewaktu menerimanya Magdalena menceletuk tanpa sadar,
"Saya harap ini bukan permainan sulap"
Ramandita bermaksud menegur Magdalena. Tetapi Aki Juhari sudah mendahului. Katanya, tenang dan yakin,
"Cobalah keringkan kain seprai ini. Supaya kalian lihat,aku bukan tukang sulap murahan itu!"
Dengan enggan Ramandita membawa kain seprai yang kemudian ia masukkan ke mesin pengering. Sambil menunggu mereka mempercakapkan rencana-rencana selanjutnya, serta risiko-risiko yang mungkin terjadi.Khususnya pada Magdalena, Aki Juhari mengingatkan,
"Menjadi medium tidak gampang, anakku. Tidak jadi soal apabila kekuatan gaib yang kita hadapi masih sebanding dengan ilmuku. Apalagi ilmuku setingkat diatasnya. Nah, bila ilmuku ternyata kalah kuat, bukan mustahil taruhannya adalah nyawa!"
Magdalena bergidik sesaat.Lalu ia genggam erat tangan Ramandita, berbisik lirih dari celah-celah bibirnya yang pucat,
"Andai kematian itu akhirnya toh datang juga dan itu adalah demi suamiku, aku siap dan rela menerimanya!"
Ramandita terenyuh. Ia balas menggenggam erat dan hangat tangan Magdalena.
"Kau pernah jatuh sebagai korban karena aku. Lena. Tumbal yang satu ini sudah lebih dari cukup. Jadi biarlah kami mencari orang lain sebagai medium."
Magdalena menatap lurus ke mata suaminya, dan bertanya tajam.
"Kalau perempuan lain mungkin saja demi kau, mengapa aku tak boleh?"
"Tapi..." "Mungkin seprai itu sudah kering. Biar kuambilkan"gumam Magdalena, mengabaikan keberatan suaminya.
Ia kemudian pergi dan kembali lagi dengan kain seprai yang sudah kering. Ketika dihamparkan yang tertinggal hanyalah jahitan melingkari benang kuning emas.Noda-noda ganjil itu tak tampak sedikit pun, walau hanya bekas-bekasnya saja.
"Sekarang, rendam lagi ke dalam air!" ujar Aki juhari.
Ramandita memasukkan seprai ke dalam ember. Atas perintah Aki Juhari seprai kemudian diangkat lalu dihamparkan di lantai. Noda-noda itu pun muncul lagi,sama jelas dengan yang tadi.Aki Juhari tersenyum.
"Kalian boleh mengulangnya sesering kalian mau. Rendam, keringkan, rendam lagi.Dan yang akan kalian lihat tetap sama. Kecuali bila jahitan benang yang sudah dimantrai itu kucabut seluruhnya. Bagaimana?"
Ramandita ragu-ragu. Begitu pula Magdalena. Harianto tidak. Sembari mengawasi dengan pandangan menegur pada suami istri sahabatnya, ia berkata tegas,
"Kami sudah puas, Ki. Lagi pula, kita lebih baik mengerjakan apa-apa yang mesti dilakukan, bukan?"
Kalimat terakhir ia tujukan pada Ramandita yang mengangguk lalu pergi ke meja telepon. Pada sehelai dimejanya tertulis beberapa nomor telepon.Nomor-nomor ini segera diputarnya. Setelah mendapat sambungan ia pun berbicara di telepon,
"Selamat malam, Oom Hardi. Apakah saya mengganggu tidur Oom? Terima kasih. Saya hanya mau memberi kabar.Rencana kita positif dilaksanakan. Besok pagi? Pukul berapa? Baiklah. Kami tunggu. Selamat malam, Oom."
Ramandita tak lupa menelepon AKP Robinson Tarigan.
"Syukurlah Bapak belum tidur. Oh... justru mau berangkat? Apa? Satu... kerangka lagi? Tidak... aku tidak ingin ikut. Oh ya. Kami sudah berhasil memperoleh petunjuk yang pernah kita bicarakan itu.Besok Bapak kukabari lagi. Ah... tadi juga Magdalena mengeluarkan pendapat seperti Bapak. Tetapi...baiklah. Besok kita bicarakan. Bapak mau datang? Syukurlah. Selamat menjalankan tugas Pak Tarigan."
Ramandita meletakkan telepon. Menyandar di meja, ia mengawasi istrinya, Harianto, dan Aki Juhari yang juga tengah mengawasi dengan pandangan bertanya.Dengan suara tersendat ia memberi tahu,
"Si Nona kembali mengambil korban. Pak Tarigan bilang,kerangka korban ditemukan dalam sebuah mobil yang diparkir di tempat sepi sekitar pantai Ancol...."
Aki Juhari mengumpat marah,
"Makhluk jahat terkutuk!"
Sepanjang sisa malam itu Ramandita tak dapat terpejam. Demikian pula Magdalena. Suatu saat,Ramandia bergumam cemas,
"Lebih baik tidak mengambil risiko, Lena...."
Magdalena menyahut, "Cantikkah dia?"
"Siapa?" tanya Ramandita, terkejut.
"Gadis itu. Si Nona."
"Oh..." "Apakah ia mampu menundukanmu?"
"Ha?". "Kau tiba lebih dulu dari dia, bukan?"
"Tidak." "Lantas?" Magdalena masih tak puas.
"Bersamaan ya?"
Kecemburuan di balik suara Magdalena nyata terasa.Ramandita kikuk dibuatnya. Lalu berujar rikuh,
"Tidurlah, Magdalena"
"Kau belum jawab pertanyaanku."
"Tidak penting."
"Aku harus tahu."
"Lena...." "Ia lebih hebat dari aku, bukan?"
Ramandita jengkel karena terus dipepetkan. Egonyapun tampil demi membela diri,
"Gadis itu tak akan muncul dalam kehidupanku, Lena. Itu bila kau tidak meninggalkan... rumah ini!"
"Jangan menjadikan aku sebagai kambing hitam, Rama.Kau tahu mengapa kau kutinggalkan!"
Magdalena juga mulai marah.
"Dan pergi ke satu dan lain lelaki?"
"Aku butuh hiburan..."
"Apakah aku tidak, Magdalena?"
Magdalena terdiam. Ramandita juga. Lalu pelan-pelan terdengar Magdalena mengisak.
Kejengkelan Ramandita mencair. Ia merangkul dan mengecup bibir Magdalena, yang segera menyambutnya dengan pagutan kuat disertai suara mengisak,
"Teruslah memelukku. Rama. Jangan lepaskan aku lagi..."
"Dan kau, Magdalena, jangan lagi tinggalkan aku sendirian," keluh Ramandita, ikut terpengaruh sentimentil.
"Tidak. Tidak akan, sayangku!"
"Aku mencintaimu, Lena."
"Lebih-lebih aku, Rama!"
"Marilah kita lupakan yang lalu-lalu, ya?"
"Ya. Ya. Cium aku lagi, kasihku...."
"Mmm...." "... mmm." Tertidur juga mereka akhirnya, menjelang pagi tiba.
Briliance Of Moon 1 Wiro Sableng 168 Mayat Kiriman Di Rumah Gadang Dewa Lautan Timur 2

Cari Blog Ini