Ceritasilat Novel Online

Misteri Villa Berdarah 1

Misteri Villa Berdarah Karya Unknown Bagian 1


?Misteri Villa Berdarah Matahari pagi bersinar cukup cerah. Sekelompok mahasiswa pecinta alam itu tengah bersiap-siap untuk pulang dari lokasi perkemahan ketika peristiwa itu terjadi. Mereka masing-masing tengah sibuk memberesi tenda-tenda dan mengepak barang-barang bawaan ketika Gina, salah satu kawan mereka, berteriak ketakutan sekaligus kesakitan.
"Aaaaaaauuwww...!"
Beberapa orang kawannya segera menengok ke arah Gina, sementara Jimmy, yang berada di dekat Gina, serta-merta mendekati cewek itu dan berteriak panik,
"Ada apa?!" Gina menunjuk-nunjuk sesuatu yang tengah bergerak perlahan di atas tanah, di dekat onggokan tenda yang baru diturunkan. Seketika mata Jimmy menangkap seekor
ular yang bergerak mendekatinya. Panjang ular itu sekitar setengah meter, berkulit hitam mengkilat dengan bintik-bintik warna kuning dan jingga di sekujur
tubuhnya, dengan kepala yang pipih dan membesar.
"Tapi bukan ular kobra," batin Jimmy sambil memperhatikan ular itu dengan hati-hati. Dengan cepat, diambilnya sebuah tongkat penyangga tenda dan segera
dihantamkannya tongkat besi di tangannya ke arah ular itu.
Semua orang langsung mengerubuti ular itu dan menyaksikan bagaimana Jimmy menghajarnya tanpa ampun. Hanya dalam waktu singkat, ular itu sudah tak bernyawa,
dan Jimmy melemparkannya dengan ujung tongkatnya.
Kini semua perhatian tertuju kepada betis kaki Gina yang nampak melepuh.??
"Aduh, sakit sekali," rintih Gina.
Masalah semacam itu bukanlah masalah yang asing bagi para pecinta alam yang sudah terbiasa mendaki gunung dan menjelajahi hutan itu. Terseret jalanan yang
menurun curam, tersesat di tengah belantara, dehidrasi, terjatuh atau terluka karena sesuatu, tersangkut akar liar, ataupun dipatuk ular, itu sudah menjadi
hal yang biasa dalam aktivitas mereka. Dan mereka pun segera tahu bagaimana cara menghadapinya.
Bimo yang tahu apa yang telah terjadi pada diri Gina segera menyobek kain yang telah dipersiapkan dalam tas ranselnya, dan kemudian segera membebatkannya
ke kaki Gina, untuk menahan agar racun ular yang mematuknya tadi tidak segera merambat ke bagian tubuh yang lain.
"Sakit sekali, Bim," rintih Gina lagi merasakan kain yang mengikat kuat di kakinya.
"Tahan saja, kita akan segera mencari pertolongan," sahut Bimo.
Arman, si ketua rombongan, nampak memperhatikan luka di kaki Gina, dan kemudian bertanya pada Jimmy, "Ular apa tadi yang mematuknya, Jim?"
Jimmy cuma nyengir dan menjawab asal-asalan, "Aku tidak sempat menanyakan namanya, Ar."
"Sialan! Kamu kan melihatnya dengan jelas?!" ketus Arman.
"Tapi aku tidak sempat memperhatikannya. Yang ada dalam pikiranku cuma sesegera mungkin membunuhnya. Dan kamu tadi kan juga melihatnya?"
Arman mengangguk. "Tapi aku tidak tahu itu ular apa."
"Aku juga tidak tahu!" sahut Jimmy. "Baru tadi itu aku melihat ular yang aneh seperti itu."
Pepen yang mendengar percakapan itu segera nimbrung, "Jangan-jangan itu ular jadi-jadian," katanya.
"Jangan ngawur!" sembur Jimmy sambil bergidik karena dialah yang tadi membunuh ular itu. "Mana ada ular jadi-jadian muncul pagi hari begini?"
"Ya siapa tahu, kan?" balas Pepen.
Jimmy seperti akan berkata lagi, tetapi Bimo yang telah selesai mengurusi kaki Gina kemudian berkata, "Kita harus cepat cari pertolongan nih!"
Arman kembali memperhatikan kaki Gina dan kini betis Gina nampak mulai memucat. Ikatan kain yang dibebatkan Bimo pasti sangat kuat menghentikan aliran
darah di betis Gina. Arman pun menyadari bahwa secepat mungkin mereka harus mendapatkan pertolongan.
"Ada beberapa villa di dekat sini," kata Arman kemudian. "Kita bisa ke sana dan meminta bantuan."
Kawan-kawannya yang berjumlah sepuluh orang itu pun segera bangkit dari tempatnya masing-masing. Gina berdiri dan dipapah oleh Bimo serta Arif, sementara
yang lain segera melangkah menuju daerah villa yang ditunjuk Arman.
Mereka berada di dataran tinggi Lingga, sebuah dataran tinggi di daerah Jawa Tengah yang biasa digunakan untuk acara perkemahan, juga terkadang penjelajahan
para pecinta alam. Pada tanggal 31 Desember kemarin, mereka pun mendirikan perkemahan di daerah itu untuk menyambut datangnya tahun baru. Ada cukup banyak
rombongan pecinta alam lain yang juga menikmati tahun baru di sana, namun sebagian besar sudah meninggalkan dataran tinggi itu pada satu hari setelahnya.
Rombongan Arman dan kawan-kawannya termasuk rombongan akhir yang meninggalkan kawasan itu.
Seperti yang dikatakan Arman, di dataran tinggi itu juga terdapat beberapa villa yang dibangun. Ada beberapa villa milik pribadi, ada pula villa-villa
yang dibangun untuk disewakan kepada pengunjung. Villa-villa pribadi yang dibangun di sana memiliki ciri yang khas; jaraknya dengan villa yang lain cukup
berjauhan. Mungkin karena pemilik villa-villa itu memang menginginkan privasi yang benar-benar terjaga.
"Kita benar-benar mujur," kata Arman dengan senang saat melihat cukup jauh di depannya nampak sebuah bangunan villa pribadi yang jelas masih berpenghuni.
Ada sebuah mobil Blazer warna hitam dan sebuah mobil Phanter warna merah tua yang terparkir di halaman villa itu. "Kita bisa ke sana," kata Arman pada
kawan-kawannya. Mereka pun mempercepat langkah agar segera sampai di villa yang dituju itu. Selama bertahun-tahun menjadi pecinta alam, mereka tahu dari pengalaman bahwa
orang-orang selalu mau menolong meskipun tidak saling mengenal, dan kini mereka pun yakin bahwa orang di villa itu pun pasti akan mengulurkan tangannya
untuk menolong mereka. Semakin dekat jarak mereka dengan villa itu, semakin cepat pula mereka melangkah. Gina sudah pingsan dan kini dia tidak lagi dipapah tapi digotong oleh
Bimo dan Jimmy. Sementara yang lain memanggul tas-tas besar di punggung mereka.
Arman mendekati pintu gerbang dan mencari bel yang dapat digunakannya untuk memanggil orang di dalam villa, tapi bel yang dicarinya tak ditemukannya. Diperhatikannya
halaman villa dari pintu gerbang besi di hadapannya, dan villa itu nampak sepi sekali. Apakah para penghuninya masih tertidur?
Arman melihat kalau pintu gerbang itu tak terkunci. Maka didorongnya pintu besi itu dan ia segera melangkah masuk ke halaman setelah pintunya terbuka.
Kawan-kawannya mengikutinya di belakang.
Saat melewati mobil-mobil yang terparkir di halaman, Arman sempat melihat nomor platnya, dan ia tahu kalau mobil itu dari Jakarta. Rupanya ada juga orang
Jakarta yang punya villa di sini, batinnya.
"Sepi sekali," kata Vivit yang berada di dekat Arman.
"Mungkin penghuninya masih pada tidur," jawab Arman sambil memperhatikan villa itu.
Pepen yang ada di belakang mereka kemudian berbisik, "Kalian boleh percaya boleh tidak, tapi aku tahu kalau ini adalah villa yang angker."
Jimmy dan Bimo yang telah membaringkan tubuh Gina di bagian depan villa itu segera saja melotot ke arah Pepen.
"Kenapa sih otakmu selalu penuh dengan hal-hal seperti itu?" sewot Jimmy dengan suara yang lirih.
"Aku sudah sering mendengar tentang villa ini dari kawan-kawanku yang biasa berkemah di daerah sini," jawab Pepen setengah berbisik, "dan kata mereka..."
"Apa?!" tantang Bimo.
"Kata mereka...sering terdengar jeritan-jeritan mengerikan dari villa ini..."
Jimmy dan Bimo nampak saling pandang, sementara kawan-kawan mereka yang lain yang ikut mendengar bisikan itu nampak merinding.
Kini Arman mulai mengetuk pintu villa yang masih tetap nampak sepi itu, sementara kawan-kawannya memperhatikan.
Tok-tok-tok... Tok-tok-tok... Arman terus mengetuk-ngetuk pintu villa itu dengan ketukan yang sopan, namun penghuni villa itu tetap tak ada yang keluar.
"Lebih keras lagi, Ar," kata Bimo.
Arman pun mengetuk pintu villa itu dengan suara yang lebih keras, namun tetap tak ada yang keluar dan membukakan pintu villa.
"Jangan-jangan villa ini kosong," kata Jimmy sambil masih memperhatikan villa itu yang nampak begitu sepi. Kaca depan villa itu terbuat dari kaca rayban,
sehingga orang yang di luar tak bisa menyaksikan keadaan di dalam.
"Pasti ada orangnya," sahut Arman. "Mobilnya masih terparkir di sini."
Jimmy lalu memberanikan diri untuk mengintip ke dalam melalui kaca depan, namun pandangannya terhalang oleh kain gorden yang menutupi kaca dari dalam.
Arman kembali mengetuk-ngetuk pintu villa, namun tetap tak ada yang keluar.
"Sudah kubilang villa ini angker," kata Pepen sambil berbisik, "penghuni villa ini pasti bukan sejenis manusia..."
"Tutup mulut, Pen!" sentak Bimo lagi dengan sewot. Mengapa sih anak ini otaknya selalu kacau begitu?
Lalu dengan jengkel pula Bimo mengetuk pintu villa itu dengan sangat keras, mungkin lebih tepat jika disebut menggedor. Tetapi tetap saja tidak ada yang
mendengar, tidak ada yang keluar dan membukakan pintu villa itu.
Kini Arman dan Jimmy saling pandang dengan heran sekaligus bingung. Kalau memang penghuni villa ini masih tertidur, tentu mereka akan tetap mendengar gedoran
Bimo yang sangat keras itu, selelap apapun tidur mereka. Suara gedoran yang bercampur dengan kejengkelan itu rasanya sudah cukup untuk membangunkan mayat!
Akhirnya, Jimmy mendekati pintu itu dan mencoba membuka handel pintunya. Seketika dia melepaskan pintu itu ketika ternyata pintu villa itu sama sekali
tak terkunci. Sekali lagi mereka saling berpandangan dengan heran.
Didorong oleh kebutuhan untuk meminta pertolongan bagi kawan mereka, dicampur dengan keheranan dan rasa penasaran, akhirnya Arman, Bimo dan Jimmy memberanikan
diri memasuki villa itu. Pepen nampak membuntuti dari belakang dengan takut-takut, sementara yang lain memilih untuk tetap di luar. Kalau memang villa
ini angker seperti yang dikatakan Pepen tadi, biarlah cukup mereka saja yang dimangsa oleh dedemit di dalamnya!
Ruang depan villa itu nampak kosong, namun bekas-bekas keberadaan orang begitu nampak di sana. Ada beberapa bungkus rokok dan puntung-puntungnya yang bertebaran
di sana-sini, juga beberapa botol minuman yang telah kosong. Ada beberapa botol minuman keras, ada pula botol-botol minuman energi.
"Aku mencium bau pesta seks," bisik Bimo sambil nyengir.
"Tapi kuntilanak tidak akan minum energy drink," bisik Pepen dari belakang mereka.
Sekali lagi Bimo dan Jimmy melotot galak. Pasti bocah ini salah satu keturunan genderuwo atau kuntilanak!
Arman yang pertama kali memperhatikan adanya warna merah yang membekas di lantai ruang depan itu, dan matanya menelusuri warna merah yang nampak memanjang
dari tempatnya berada. Kini Arman melangkah masuk ke ruang dalam, mengikuti bekas warna merah itu, dan Jimmy serta Bimo mengikuti di belakangnya. Pepen
masih membuntuti. "Baunya tidak enak," kata Pepen tiba-tiba sambil mendengus-denguskan hidungnya seperti mencoba mengenali bau di hidungnya.
Bimo langsung menoleh ke belakangnya dan berbisik, "Jangan katakan ini bau badan kuntilanak!"
"Tapi sepertinya iya," jawab Pepen sungguh-sungguh.
Oh sialan, rutuk Bimo. Semoga saja bocah ini mati digigit kuntilanak!
Jimmy dan Arman juga mulai mencium aroma yang tidak sedap itu, dan mereka mencoba mengenali bau apakah itu. Mereka mengedarkan pandangannya menyapu ke
seluruh ruangan, dan ruangan ini pun jelas terlihat pernah dihuni dalam waktu dekat ini. Di atas meja besar di sana terdapat beberapa bekas lilin dan juga
gelas-gelas serta teko dan juga bungkus-bungkus wafer serta cookies.
Pandangan mata Arman tertuju pada sesuatu yang nampak aneh, tak jauh dari tempatnya berdiri. Di dekat pintu menuju ke dapur atau entah menuju kemana, nampak
sepasang kaki yang menjulur. Dia menepuk bahu Jimmy di sebelahnya dan Jimmy pun segera melihat sepasang kaki itu. Dengan takut-takut mereka kemudian melangkah
mendekati pintu itu, dan seketika mereka terbelalak ngeri.
Di balik pintu itu nampak tergeletak seorang cewek yang telah tewas dengan leher yang menganga mengerikan, seperti dicacah dengan kejam. Sementara tak
jauh dari mayat cewek itu nampak mayat-mayat lain, yang sepertinya juga dibunuh dengan sangat kejam. Bagian leher mayat-mayat itu terbuka semua dengan
luka menganga yang mengerikan, dan bekas darah yang kini mulai mengering terlihat dimana-mana.
Arman dan Jimmy merasa membeku di tempatnya, sementara Bimo terperangah dan Pepen segera memalingkan muka.
Belum habis keterkejutan mereka, Bimo menepuk pundak Arman dan berbisik, "Lihat di atasmu..."
Arman menoleh ke atas dan seketika jantungnya melorot dari tempatnya. Nampak sesosok mayat lain tergantung-gantung dengan seutas tambang yang mengikat
erat di lehernya. Arman langsung membuang muka, ia tak ingin hidupnya dihantui pemandangan yang mengerikan itu.
Bimo yang paling dulu menyadari keadaan, dan segera saja menarik Jimmy dan Arman di depannya. "Segera tinggalkan tempat ini," bisiknya dengan panik.
Saat mereka berbalik untuk meninggalkan tempat itu, mereka baru menyadari kalau pintu salah satu kamar di ruangan itu kini telah terbuka.
Arman dan Jimmy saling berpandangan dan Bimo kembali berbisik ketakutan, "Padahal tadi masih tertutup..."
Lalu Pepen menjawab dengan ekspresi yang sama ketakutannya, "Tadi...aku yang membukanya..."
"Oh, sialan!" rutuk Bimo cukup keras. Mengapa bocah ini tidak mati saja???
Arman yang penasaran dengan isi kamar itu kini mendekati pintu kamar yang telah terbuka, dan sekali lagi dia merasakan tubuhnya membeku. Di dalam kamar,
di atas tempat tidur, kembali nampak sesosok mayat dalam kondisi yang mengerikan. Lehernya juga nampak menganga terbuka dengan bekas darah memuncrat kemana-mana.
Kembali Bimo menarik kawan-kawannya untuk segera keluar dari villa itu, dan sambil berlarian panik mengikuti mereka, Pepen masih sempat berkata, "Aku kan
sudah bilang kalau villa ini angker..."
Dasar bocah murtad! rutuk Bimo dengan jengkel. Mengapa harus terus mengingatkan hal itu?!
Sementara Jimmy yang sejak tadi juga gerah dengan ucapan Pepen tengah memikirkan bagaimana caranya mengunci bocah itu sendirian di dalam villa ini.
Sesampai di luar villa kembali, napas mereka nampak ngos-ngosan sementara kawan-kawan mereka yang masih menunggu di luar memperhatikan keempat cowok itu
dengan bingung sekaligus heran dan ketakutan.
"Apa yang terjadi?" bisik Vivit pada Arman.
"Ada mayat-mayat di dalam," jawab Arman dengan bingung.
Semua kawannya kontan bergidik. Mayat-mayat...?
Pepen kemudian berkata dengan penuh kepastian, "Sepertinya itu...itu bekas acara inagurasi para arwah..."
"Acara apa?!" Beberapa kawannya serempak bertanya.
"Inagurasi para arwah... Pem...pembantaian massal..."
Bimo rasanya ingin mencekik leher Pepen. Mengapa bocah ini bisa begitu cepat menemukan istilah yang mengerikan seperti itu?
Arman segera mengambil inisiatif. "Kita harus melaporkan hal ini pada polisi."
"Lalu bagaimana dengan Gina?" tanya Vivit.
Arman seperti sudah memikirkan segalanya. "Hubungi polisi segera, dan nanti kita bisa minta tolong pada mereka untuk membawa Gina ke rumah sakit terdekat.
Atau, kita bisa mencoba mendatangi villa yang lain..."
Arman mencoba menggunakan ponselnya, tapi sama sekali tak ada sinyal. Di dataran tinggi itu, sinyal ponsel sangat sulit didapat. Kawan-kawannya yang lain
juga mengambil ponselnya, namun tidak ada satu pun yang mendapatkan sinyal. Semenjak pertama kali sampai di tempat ini, mereka sudah langsung menyadari
bahwa komunikasi mereka telah terputus dengan dunia luar.
Arman kembali berkata, "Aku akan ke wartel terdekat. Kalian bisa menunggu di sini..."
"Sebaiknya jangan di sini," sela Pepen dengan gugup. "Cari tempat lain saja."
Yang lain pun segera setuju. Mereka segera bersiap meninggalkan halaman villa itu dan Bimo serta Jimmy kembali mengangkat tubuh Gina yang masih pingsan.
Dengan ditemani Arif, Arman kemudian turun dari tempat mereka, untuk mencari wartel yang bisa digunakan, sementara kawan-kawannya menunggu di suatu lokasi
yang cukup jauh dari villa tadi.
Arman tahu bahwa di bawah ada sebuah wartel yang menyatu dengan sebuah rumah makan yang biasa didatangi oleh para pecinta alam. Semoga saja wartel itu
buka. Juga rumah makannya. Dia perlu segelas teh panas untuk menghangatkan tubuhnya. Kejutan-kejutan pagi ini sudah cukup membuat seluruh tubuhnya seperti
membeku. *** Sambungan telepon itu sampai di sebuah kantor polisi terdekat, dan sang operator segera mengangkatnya setelah tiga kali berdering.
"Kantor Polisi Sektor Barat, selamat siang," sapanya dengan formal.
"Selamat siang," suara di seberang sana, "saya...saya ingin melaporkan sesuatu..."
"Maaf, bisa menyebutkan nama Anda?" sang operator meminta dengan halus.
"Arman," sahut orang di telepon dengan suara yang terdengar gugup. "Kami...kami menemukan mayat-mayat di villa..."
"Dimana Anda sekarang?"
"Saya di wartel di daerah Lingga."
"Ceritakanlah dari awal..."
"Ehm...semenjak tiga hari yang lalu, saya bersama kawan-kawan berkemah di sini, dan pagi tadi kami sudah akan pulang. Tetapi salah satu kawan kami terpatuk
ular, dan kami pun berencana mencari pertolongan terdekat untuk membantu kawan kami itu. Kami mendatangi sebuah villa di sini, namun villa itu seperti
tak berpenghuni. Karena sangat butuh pertolongan segera, kami pun nekat masuk ke villa itu, karena pintunya tak terkunci. Dan di dalam...kami menemukan
beberapa mayat yang...yang mengerikan. Sepertinya...seperti korban pembunuhan..."
"Berapa mayat yang Anda lihat?"
"Lima mayat, tapi mungkin ada mayat-mayat lain di dalam villa itu. Saya dan kawan-kawan tak berani lama-lama di sana. Kami langsung keluar."
"Tak ada barang yang disentuh?"
"Sama sekali tidak?sejauh yang saya ingat. Kami tak menyentuh apa-apa."
"Jelaskan lokasi Anda, dan villa itu."
Sang operator mendengarkan dengan khusyuk sementara suara di seberang sana menjelaskan. Setelah selesai, dia menjanjikan, "Kami akan segera datang."
"Kalau bisa, hm...kami juga minta bantuan untuk membawa kawan kami yang sakit..."
"Jangan khawatir. Akan ada beberapa ambulan yang akan kesana."
Selesai meletakkan handel telepon pada tempatnya, sang operator menghadapi beberapa polisi di kantor itu, dan rekaman hubungan telepon barusan pun diputar.
Semuanya mendengar suara seorang pemuda menjelaskan tentang beberapa mayat yang ditemukannya dalam sebuah villa yang sudah tak asing lagi bagi mereka.
Daerah itu ada dalam distrik wilayah mereka, dan mereka pun tahu betul tentang villa itu.
"Kedengarannya seperti sebuah pembantaian..." gumam salah seorang polisi. "Villa angker itu rupanya kembali meminta tumbal nyawa..."
tujuh hari sebelum ditemukannya mayat-mayat itu...
Kantin kampus siang itu tak terlalu ramai. Ada cukup banyak mahasiswa yang tidak masuk kuliah, mungkin masih merayakan natal kemarin. Ricky nampak tengah
menikmati es buah di kantin sambil berbincang-bincang serius dengan Nirina, kekasihnya.
"Kamu sudah ngomong sama papamu, soal rencana kita?" tanya Nirina.
"Belum," jawab Ricky. "Papaku belum juga pulang sampai tadi malam. Tapi tidak usah khawatir. Papaku pasti mengijinkan kita untuk menggunakan villa itu."
Nirina menyendok seiris buah dari dalam gelasnya, kemudian mengunyahnya. "Aku sudah ingin menikmati malam tahun baru yang lain dari biasanya," katanya
kemudian. "Kamu akan mendapatkannya di villa itu, Nir," sahut Ricky. "Di sana suasananya begitu hening, tenang, dan sepi."
"Juga dingin?" "Ya, bahkan lebih dingin dibanding Puncak."
Nirina tersenyum. "Aku harus bawa selimut yang tebal."
Ricky membalas senyum itu. "Aku yakin kamu tidak akan membutuhkannya."
Saat tangan Ricky nampak menyentuh jemari Nirina, sepasang mata memperhatikan mereka tanpa berkedip.
Ricky dan Nirina tak menyadarinya.
*** Beberapa mahasiswa terlihat keluar dari pintu ruang perpustakaan, bertepatan dengan langkah Jefry dan Renata yang memasuki pintu utama perpustakaan itu.
Setelah mengisi buku tamu, keduanya langsung hilang di antara rak-rak buku tinggi yang berada di sana.
Mereka kini asyik berkutat di deretan rak buku-buku sejarah dan biografi para tokoh dunia. Ada tugas kuliah untuk meresensi kisah sejarah dan biografi
tokohnya. "Siapa yang akan kamu resensi, Ren?" tanya Jefry sambil meneliti judul-judul buku yang terjajar rapi di rak.
"Belum pasti. Mungkin Alexander The Great...atau Napoleon," jawab Renata. "Kamu?"
Jefry mengambil sebuah buku dari rak di hadapannya. "Mahatma Ghandi."
"Kamu serius?" tanya Renata sambil tersenyum.
"Ya, kenapa tidak?"
"Aku tidak pernah mengira kalau kamu tertarik dengan Ghandi."
"Aku tidak tertarik dengan ajarannya. Aku tertarik untuk meresensinya," jawab Jefry sambil nyengir.
Renata tertawa. Membayangkan Jefry yang suka berantem itu membaca ajaran ahimsa-nya Ghandi benar-benar seperti sebuah anekdot yang konyol.
"Oh ya, Jef, acara tahun baru kita tidak ada perubahan?" tanya Renata kemudian.
"Sepertinya iya," jawab Jefry sambil meraih satu lagi buku dari rak. "Teman-teman sudah bersepakat untuk menikmati malam tahun baru di villanya Ricky."
"Sebenarnya aku kurang setuju, Jef. Aku masih menyukai menikmati malam tahun baru di sini, dengan terompet dan kembang api..."
"Kamu akan menyukainya kalau kita sudah sampai di sana," potong Jefry dengan senyum maut yang selalu mampu meluluhkan hati pacarnya itu.
Renata pun membalas senyum itu. "Kamu yang pasti akan menyukainya!"
Jefry tertawa. "Kita akan sama-sama menyukainya, percayalah."
"Kamu pernah kesana, Jef?"
"Kesana kemana?"
"Ke villa milik Ricky itu."
"Belum," jawab Jefry. "Tapi kata Ricky, daerah tempat villanya itu sangat sejuk dan udaranya masih sangat segar. Di dataran tinggi, kamu tahu sendiri bagaimana
murninya udaranya. Itulah mengapa teman-teman semua bersepakat untuk kesana. Kita semua sudah waktunya menghirup udara yang segar kembali."?
"Di sana pasti dingin," kata Renata.
"Dingin, juga hening. Pokoknya jauh berbeda dengan di sini yang bising dan penuh polusi."
Renata seperti akan mengatakan sesuatu ketika tiba-tiba dia mendapati sepasang mata yang tengah memperhatikannya dari balik rak di hadapannya. Dia baru
saja mengambil sebuah buku tebal dari rak itu dan dia pun baru menyadari bahwa ternyata ada orang lain yang berada di dekat mereka, di balik rak buku di
hadapan mereka... Di depan sebuah kelas di kampus yang sama, Heru dan Edi juga tengah asyik mengobrol sambil merokok. Dosen yang seharusnya mengajar pada jam itu belum juga
datang, dan sepertinya tak akan datang.
"Memang enak jadi dosen," kata Heru sambil menghembuskan asap rokoknya. "Kalau bolos tak perlu takut soal presensi. Tidak seperti mahasiswanya yang selalu
diancam dengan presensi setiap kali tak masuk kelas!"
Edi cengar-cengir mendengar komentar itu. "Kalau mau menghitung ketidakadilan di kampus ini, kita bakalan punya setumpuk daftar, Her."
Heru masih akan berkata lagi ketika Aryo nampak datang dan mendekati mereka. Aryo adalah salah satu kawan mereka yang biasa ngumpul bersama.
"Pppak A-a-aziz be-bbelum dddatang...?" tanya Aryo dengan logatnya yang gagap, yang sudah terkenal di seantero kampus mereka.
"Baru saja diomongkan," kata Edi. "Pak Aziz sepertinya tidak datang hari ini."
"Sssyu-syukurlah..."
"Lho, kok malah bersyukur?" tanya Heru dengan heran.
"A-a-aku bbbelum bbb-bikin tttugas!"
Edi langsung menepuk jidatnya sendiri. "Ya ampun! Untung kamu bilang, Ar! Aku juga belum bikin tugas kuliahnya Pak Aziz!"
Heru kembali ke topik pembicaraan mereka semula, "Sistem kuliah kita ini memang brengsek! Dosen-dosen itu pada seenaknya sendiri menyuruh mahasiswanya
bikin tugas, tapi ketika hari H penilaiannya, dosennya malah tidak berangkat!"
"Bukankah itu malah untung?" sela Edi.
"Untung bagi mahasiswa seperti kamu yang tidak mengerjakan tugas itu. Tapi mahasiswa yang lain kan sudah bela-belain lembur semalaman mengerjakan tugas
itu, seperti aku misalnya."
Edi kembali cengar-cengir. Heru sepertinya benar-benar antipati dengan kampusnya sendiri. Dan Edi pun tahu bagaimana mengomporinya biar semakin panas.
"Belum lagi soal registrasi, Her..." pancingnya kemudian.
"Nah itu dia!" Heru langsung menangkap pancingan itu. "Mereka menetapkan tanggal yang pasti untuk pembayaran registrasi setiap semester dan tidak mau peduli
bagaimana cara kita membayarnya. Mereka hanya perlu tahu bahwa kita membayarnya dan tidak telat satu detik pun sebelum tanggal penutupan. Tapi giliran
pembagian nilai ujian, mereka seenak perutnya sendiri. Jadwal pembagian nilai ujian bisa saja tanggal sepuluh, tapi keluarnya tanggal dua puluh! Huh, tidak
heran kalau negeri ini rusak kayak gini!"
Edi tersenyum, sementara Aryo tertawa.
"Ppp-perpustakaan jjuga ttid-tidak aa-adil!" kata Aryo kemudian.
Heru dan Edi spontan menatap wajah Aryo.
"Tidak adil bagaimana, Ar?" tanya Heru tertarik. Ia kecanduan dengan ketidakadilan, khususnya yang ada di kampusnya.
Aryo mencoba menjelaskan, "Kkkka-kalau kkkita telat bbbalikin bbbuku, kkkkita dddi-denda u-u-uang! Tttap-tapi...kkka-kalau kkki-kita bbbalikin bbbuku lebih
a-a-awal, kkki-kita ttidakk ddi-ddikasih u-u-uang!"
Heru dan Edi seketika tertawa terbahak-bahak.
Aryo kemudian menepuk bahu Heru. "Ppp-punya rrrokok?"
Heru segera merogoh saku celananya dan menjawab sambil tersenyum, "Pppp-punya!" Lalu diberikannya bungkus rokok itu pada Aryo yang langsung menerimanya
dengan senyum senang. Aryo memungut sebatang, menyulutnya, lalu mengembalikan bungkus rokok pada Heru.


Misteri Villa Berdarah Karya Unknown di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aryo nampak menikmati rokoknya dengan penuh nikmat, sementara Edi kemudian berujar, "Her, kamu sudah tahu rencana malam tahun baru kita, kan?"
Heru juga menyulut rokoknya, lalu menjawab, "Sudah. Ricky kemarin sudah ngasih tahu."
Aryo lalu menyahut, "Jjjja-jadi kkkitaa..."
Edi yang tak sabar segera melanjutkan ucapan itu, "Iya, jadi kita akan bermalam tahun baru di villa milik Ricky."
"Aku harus cepat-cepat cari cewek nih," ucap Heru kemudian seperti merenung.
Edi langsung menyahut sambil tersenyum, "Kamu tuh aktivis kampus apa aktivis cewek sih, Her?"
Heru cuma nyengir. "Bayangkan, Ed, Ricky sama Jefry pasti bakal bareng ceweknya," ujarnya kemudian. "Masak aku cuma sendirian?"
"Lho, aku kan juga sendirian, Her?"
"Tapi kamu kan bisa mojok bareng Aryo."
"Sialan!" rutuk Edi.
*** Rencana menikmati malam tahun baru di villa milik Ricky itu muncul secara spontan ketika Ricky, Edi, Heru, Jefry dan Aryo tengah mabuk bersama di rumah
Ricky beberapa malam yang lalu, saat rumahnya kebetulan sepi. Mereka ngobrol-ngobrol asyik semalam suntuk sambil menikmati minuman keras mahal yang disuguhkan
Ricky. Hingga kemudian arah obrolan mereka sampai pada rencana untuk menikmati malam tahun baru yang tak lama lagi akan datang.
Biasanya, mereka semua menikmati malam tahun baru di jalanan, berbaur dengan ribuan orang lain yang juga menikmati malam tahun baru dengan terompet dan
kembang api. Jefry yang pada awalnya menyatakan kalau dia sudah jenuh dengan acara malam tahun baru seperti itu, lalu Edi pun menyatakan pikiran yang sama.
Mungkin karena terpengaruh Jefry dan Edi, Heru dan Aryo pun ikut-ikutan mengatakan kalau mereka juga ingin bisa menikmati acara malam tahun baru yang lain
dari biasanya. Sampai kemudian Ricky mengusulkan untuk memanfaatkan villa milik keluarganya yang berada di Jawa Tengah untuk menikmati malam tahun baru mereka. Selama
ini kawan-kawannya memang sudah tahu perihal villa milik keluarga Ricky itu, namun sampai waktu itu mereka belum pernah melihatnya. Karenanya, saat usulan
Ricky itu dilontarkan, kawan-kawannya pun menyetujuinya. Jefry bahkan langsung mengatakan kalau ia akan mengajak pacarnya ikut serta.
"Menikmati malam tahun baru di villa tanpa pacar benar-benar sebuah pengalaman yang bodoh," kata Jefry waktu itu.
Maka begitulah, rencana itu pun dimatangkan, dan baik Jefry maupun Ricky telah menyatakan rencana itu pada pacar mereka masing-masing yang tak terlalu
mempersoalkannya. Bagi Nirina maupun Renata, menikmati malam tahun baru dimana pun tak ada bedanya selama itu masih bersama pacar mereka. Sementara Heru,
si aktivis kampus plus playboy, mulai menebarkan pandangan sekaligus tebar pesona untuk mulai menjerat mangsanya berikutnya untuk ikut menikmati malam
tahun baru bersamanya. *** Sepulang dari kampus hari itu, Ricky mendapati mobil ayahnya sudah ada dalam garasi. Sudah empat hari ini ayahnya pergi ke Surabaya untuk menangani suatu
urusan bisnis. Jadi Papa sudah pulang, batinnya.
Maka begitu masuk ke rumah dan mendapati ayahnya tengah duduk santai sambil baca koran di ruang tengah, Ricky pun segera mendekatinya. Dia harus secepatnya
membicarakan rencana untuk menggunakan villa itu untuk acara tahun baru bersama kawan-kawannya, sebelum ayahnya pergi lagi untuk waktu yang lama.
"Pa," sapa Ricky. "Kapan pulang?"
Ayahnya segera menurunkan koran di tangannya dan tersenyum pada putranya. "Baru saja. Kamu juga baru pulang kuliah?"
"Iya," sahut Ricky sambil duduk di salah satu sofa di hadapan ayahnya. Setelah menimbang sejenak, Ricky pun segera menyatakan keinginannya, "Pa, saya sama
teman-teman punya rencana untuk menikmati malam tahun baru di villa kita yang di Jawa Tengah itu..."
"Ya?" "Papa mengijinkan?"
"Tentu saja," jawab ayahnya. "Tapi mungkin keadaannya cukup kotor, Rick. Lama sekali villa itu tidak terpakai dan Papa juga sudah lama tidak kesana. Kenapa
tiba-tiba kamu punya rencana ke villa itu?"
"Saya sama teman-teman cuma ingin menikmati malam tahun baru yang lain dari biasanya. Di sana kan hening dan tenang."
"Asal kalian mau membersihkan villa itu, mungkin kalian bisa menikmati malam tahun baru yang menyenangkan di sana."
"Tidak usah khawatir, Pa. Saya bisa menyuruh Aryo untuk membersihkannya."
"Temanmu yang gagap itu?"
"Iya," jawab Ricky sambil tersenyum. "Dia selalu mau disuruh mengerjakan apa saja asal ada bayarannya. Dia pasti senang kalau dapat tugas ini."
Ayahnya hanya mengangkat bahu.
"Papa mengijinkan, kan?" tanya Ricky lagi ingin memastikan.
"Tentu saja, asal kalian hati-hati, dan tidak bikin gara-gara di sana."
Ricky tersenyum senang. Villa milik ayah Ricky yang berada di Jawa Tengah itu pada mulanya dimiliki oleh seorang pengusaha handycraft di Semarang yang membangun villa itu sebagai
tempat berlibur keluarganya. Ayah Ricky yang seorang pengusaha ekspor-impor berhubungan bisnis dengan pengusaha dari Semarang itu, dan hubungan itu terjalin
sudah cukup lama sampai kemudian terjadi masalah yang gawat menyangkut hubungan bisnis mereka.
Si pengusaha dari Semarang terlilit hutang dalam jumlah cukup besar akibat spekulasi bisnis yang terlalu berani, dan hutang-hutang yang menumpuk itu juga
terjadi pada hubungan bisnisnya dengan ayah Ricky. Si pengusaha dari Semarang itu dituntut oleh banyak orang yang berhubungan bisnis dengannya, dan saat
kasus itu sampai di pengadilan, perusahaan milik orang itu pun dinyatakan pailit. Aset perusahaan dan semua kekayaannya disita untuk membayar hutang-hutangnya,
dan si pengusaha yang kaya-raya itu pun dalam waktu singkat jatuh miskin.
Mungkin karena beratnya menanggung beban dan stres yang berat, si pengusaha itu pun lalu mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri di villanya. Dia menembak
kepalanya sendiri dengan sebuah revolver yang entah ia dapat dari mana, dan mayatnya baru ditemukan saat juru sita dari pengadilan mendatangi villa itu.
Sialnya, villa itulah yang diputuskan untuk dijadikan sebagai pembayaran hutang-hutang si pengusaha terhadap ayah Ricky, yang menerimanya dengan sangat
segan. Ayah Ricky tidak membutuhkan villa itu, lagi pula kisah bunuh diri dalam villa itu telah membuat seleranya langsung hilang. Tetapi jika villa itu
tidak diterima, maka sekian ratus juta uangnya hanya akan lenyap. Maka villa itu pun diterima dengan berat hati. Hitung-hitung sebagai investasi, pikirnya
waktu itu. Beberapa waktu kemudian setelah semua surat kepemilikan villa itu telah sah berada di tangannya, ayah Ricky telah mencoba menjual villa itu melalui iklan
di koran, bahkan juga telah menghubungi pialang properti untuk menjualnya. Tapi sampai hari ini villa itu tak pernah laku terjual. Mungkin berita bunuh
diri yang terjadi di villa itu sudah cukup terkenal hingga membuat orang-orang menjadi segan untuk memilikinya.
Dan sekarang Ricky, putranya, tiba-tiba menginginkan menikmati malam tahun baru di sana bersama kawan-kawannya. Tak apa-apa, pikirnya. Mungkin villa itu
memang sudah harus mulai dinikmati keindahannya.
*** 27 Desember, enam hari sebelum ditemukannya mayat-mayat itu...
Ricky turun dari mobilnya bersama Nirina, bertepatan dengan masuknya mobil milik Heru di halaman parkir kampus mereka. Ricky dan Nirina menunggu sejenak
kawannya itu selesai memarkir mobil, dan tak lama kemudian Heru pun nampak keluar dari mobilnya.
"Hai Rick, Nir," sapa Heru sambil tersenyum cerah, dengan asap rokok mengepul dari mulutnya.
"Pagi begini sudah ngebul," seloroh Nirina melihat asap rokok itu.
"Apa sih yang lebih nikmat dari merokok setelah breakfast?" sahut Heru sambil tersenyum. Ia lalu berpaling pada Ricky. "Rick, acara kita jadi, kan?"
"Don?t worry!" jawab Ricky dengan senang. "Baru kemarin aku ketemu papaku dan aku sudah dapat ijin. Hanya saja mungkin villa itu agak kotor karena lama
tidak dipakai." Mereka lalu melangkah menuju ke dalam kampus.
"Kalau begitu kita harus bersih-bersih dulu, dong?" tanya Heru.
"Tidak perlu," jawab Ricky. "Aryo bisa mengerjakannya, dan dia pasti senang melakukannya."
"Oh ya, kita punya dia!" sahut Heru dengan senang.
Baru saja dibicarakan, sosok Aryo sudah nongol di depan mereka. Dia nampak berjalan perlahan menuju ke arah mereka dan cengar-cengir seperti biasa. Heru
segera tahu apa yang diinginkan bocah itu.
"Her!" sapa Aryo dengan sumringah. "Bbbawa rrrokok...?"
Tuh kan? Heru langsung balas nyengir. Dia sudah hafal dengan kebiasaan kawannya yang satu ini. Aryo pasti habis sarapan dan butuh merokok. Maka segera
diangsurkannya bungkus rokoknya pada Aryo yang langsung menyambutnya dengan senyum ceria.
"Kkka-kamu a-a-a..." kata Aryo kemudian setelah menyulut rokoknya.
"Ya ya, aku tahu," sahut Heru sambil nyengir. Dia pun sudah hafal ucapan yang akan dikatakan oleh Aryo. "Aku sahabatmu yang terbaik, kan? Thank you!"
Aryo tertawa. Ricky dan Nirina pun tersenyum melihat ulah mereka. Ricky kemudian berkata pada Aryo, "Ar, ada pekerjaan buat kamu."
"A-a-appa?" "Kita kan rencananya mau menikmati malam tahun baru di villaku," papar Ricky. "Nah, kemungkinan villa itu agak kotor karena lama tidak dipakai. Kalau kamu
mau, kamu bisa membantu membersihkannya..."
Aryo langsung menjawab dengan antusias, "A-a-aku mau!"
"Bagus! Nanti kita atur waktunya," kata Ricky dengan senang.
Mereka terus melangkah menuju kelas mereka hari ini.
*** Di dalam kelas pagi itu, Pak Burhan tengah mengabsensi para mahasiswa di kelasnya, sementara para mahasiswa telah duduk di kursinya masing-masing.
"Gunawan Wibisono..."
"Ada, Pak!" "Ricky Herlambang."
"Ada." "Edi Darmawan."
"Ada." "Khoirul Muttaqin..."
"Ada, Pak." "Aryo Nugroho."
"A-a-a-ada...!"
"Jefry Tambunan."
"Ada, Pak..." "Heru Rusdiyanto."
"Ya, ada..." Ricky, Heru dan Aryo ada di kelas yang sama semenjak semester awal di kampus mereka, dan karena itulah mereka bersahabat. Memasuki semester lima, Edi dan
Jefry juga masuk ke kelas mereka, dan dua mahasiswa itu pun bergabung dengan mereka hingga sekarang. Mereka saling cocok dan persahabatan pun terjalin.
Lima cowok itu sering menghabiskan waktu bersama, dan di antara mereka semua, hanya Aryolah yang kuliah dengan naik angkot sementara yang lain berangkat
ke kampus dengan mobil. Pada awalnya, Aryo tidak terlalu terbuka dengan sahabat-sahabatnya, namun seiring perjalanan persahabatan mereka yang semakin erat, kawan-kawannya pun
mulai mengetahui latar belakang hidup diri Aryo. Aryo menceritakannya pada suatu malam saat mereka berkumpul di rumah Ricky sambil menikmati bir yang disediakan
Ricky yang katanya baru diangkut dari kapal; bir asli luar negeri.
Aryo bercerita bahwa dulunya dia sama sekali tidak gagap. Dia masih ingat bahwa saat masih kecil, dia bisa berbicara dengan lancar. Namun pengalaman masa
kecilnya yang mengerikan membuatnya gagap karena sering dihantui ketakutan demi ketakutan sekaligus kengerian.
Ayah Aryo seorang pemabuk berat yang suka menyiksa istrinya, dan sepanjang hidupnya di masa kecil, Aryo telah menyaksikan ratusan kali perbuatan jahat
yang dilakukan oleh ayahnya terhadap ibunya. Semenjak kecil Aryo tahu kalau ayahnya tidak memiliki pekerjaan tetap; ia hanya bekerja serabutan apabila
ada orang yang membutuhkan tenaganya. Seiring dengan usianya yang semakin besar, Aryo pun tahu kalau ayahnya juga menyediakan tenaganya untuk hal-hal yang
bersifat kejahatan, namun Aryo pura-pura tak tahu.
Malam hari, ayahnya tak pernah ada di rumah. Dia selalu keluar, entah kemana atau dimana, entah bersama siapa. Lalu saat menjelang pagi, ayahnya biasanya
akan pulang dengan menggedor-gedor pintu rumah. Aryo dan ibunya yang tengah terlelap dalam tidur biasanya akan terbangun dengan kaget karena suara gedoran
itu, dan ibunya pun biasanya akan membukakan pintu dengan mata yang mengantuk. Lalu peristiwa itu terjadi lagi, terulang kembali, di depan sepasang mata
kecil Aryo... Aryo tidak tahu mengapa hal yang mengerikan itu selalu terjadi di malam buta menjelang pagi seperti itu. Selalu saja terdengar pertengkaran setelah ayahnya
pulang, lalu bentakan dan makian kasar yang berlanjut dengan penganiayaan ayahnya terhadap ibunya. Dan ibunya akan menjerit-jerit kesakitan, menangis ketakutan
dengan suara yang amat tersiksa. Terkadang beberapa tetangga yang mendengar keributan itu akan keluar dari rumah mereka, tapi setelah kejadian semacam
itu terjadi hampir setiap hari, mereka pun lama-lama menjadi terbiasa mendengarnya.
Tetapi Aryo tak pernah bisa membiasakan dirinya dengan kenyataan itu.
Setiap kali menyaksikan ibunya dianiaya dengan begitu kejam oleh ayahnya, Aryo ingin memberontak. Ia ingin menolong ibunya, membebaskannya dari segala
penyiksaan ayahnya, namun Aryo kecil tak pernah memiliki keberanian untuk melakukannya. Bahkan jika nasibnya sedang buruk, Aryo pun seringkali mendapatkan
siksaannya sendiri dari ayahnya. Sudah beberapa kali dalam masa kecilnya, Aryo merasakan sakitnya tamparan dan pukulan ayahnya sendiri, dan juga pernah
merasakan bagaimana sakitnya saat kepalanya dihantam dengan botol minuman keras hingga berdarah.
Hari-hari di masa kecil Aryo adalah hari-hari yang panjang penuh ketakutan demi ketakutan, dan ketakutan itu adalah kepada ayahnya sendiri. Ketika hanya
bersama ibunya, Aryo bisa merasakan sedikit kebahagiaan dari ketenangan tanpa ayahnya. Tetapi setiap kali ingat bahwa ayahnya sewaktu-waktu akan pulang
kembali ke rumah, ketakutan-ketakutan itu pun muncul kembali. Aryo tak pernah merasakan kedamaian hidup, dan dia tak pernah tahu bagaimana menikmati masa
kecil yang seharusnya indah dirasakannya.
Ibunya memang memberikan kasih sayang kepadanya, sekecil apapun yang dapat diberikannya. Kadang sambil menangis, ibunya memeluknya dengan sayang, dan Aryo
pun dapat melihat dengan begitu dekat luka-luka yang telah dialami oleh ibunya akibat penganiayaan ayahnya, dan rasanya Aryo ingin menangis...
Sampai kemudian sebuah peristiwa yang amat mengerikan dalam hidupnya pun terjadi; sebuah peristiwa yang ia yakin tak akan dapat ia lupakan sepanjang hidupnya...
Waktu itu, seingat Aryo, ia masih duduk di bangku kelas tiga SD. Malam menjelang pagi waktu itu, ayahnya seperti biasa datang menggedor-gedor pintu rumah
dan Aryo beserta ibunya pun terbangun dari tidurnya. Waktu itu ibunya sedang menderita sakit; beberapa hari sebelumnya Aryo tahu kalau ibunya menderita
demam dan seringkali menggigil dalam tidurnya.
"Biar saya yang membukakan pintu, Bu," kata Aryo dengan mata yang mengantuk sambil memandang ibunya yang kesulitan turun dari tempat tidur.
"Jangan, biar Ibu saja," sahut ibunya dengan letih. "Ayahmu pasti mabuk lagi..."
Aryo masih akan menggantikan ibunya, namun ibunya segera meminta, "Sebaiknya kamu tidur lagi saja."
Maka Aryo pun terdiam di atas tempat tidurnya, memperhatikan ibunya yang terlihat lemah itu melangkah tertatih-tatih keluar dari kamar, sementara suara
gedoran di pintu rumah semakin keras terdengar di telinganya. Suara ayahnya yang kasar pun berulang-ulang memanggil untuk dibukakan pintu.
Kemudian terdengar suara yang mengejutkan Aryo. Seperti suara sesuatu yang terjatuh dan membentur lantai. Dengan perasaan mengkhawatirkan ibunya, Aryo
segera beranjak turun dari tempat tidur dan melangkah keluar dari kamar. Di ruang tengah didapatinya ibunya yang sedang berdiri dengan sempoyongan, dengan
tangan yang menyandar pada tembok, sementara sebuah gelas nampak terjatuh di atas lantai. Mungkin terjatuh karena tersenggol ibunya. Sementara suara gedoran
di pintu depan semakin terdengar keras dan suara ayahnya terdengar membentak-bentak tidak sabar.
Melihat keadaan ibunya yang begitu sempoyongan seperti itu, Aryo segera saja memberanikan diri untuk membukakan pintu rumah. Nampak ayahnya di depan pintu
tengah melotot marah kepadanya, dan sebelum Aryo sempat menjauhkan diri darinya, ayahnya telah merenggut rambut kepalanya dan kemudian membantingnya dengan
kasar ke lantai. "Kenapa lama sekali membukakan pintu...???" geram ayahnya dengan suara penuh kejengkelan.
Aryo mengaduh kesakitan dengan penuh ketakutan. Ia memegangi kepalanya yang berdarah, namun ayahnya sepertinya belum puas menyaksikan penderitaan anaknya.
Direnggutnya sekali lagi kepala Aryo untuk kembali dibantingnya ke lantai.
Ibunya yang menyaksikan itu segera saja mendekati mereka dengan langkah sempoyongan karena tubuhnya yang lemah, dan dengan sisa-sisa tenaganya yang rapuh,
ibunya mencoba menarik Aryo dari tangan ayahnya. Aryo meronta-ronta ketakutan dan dia berhasil terlepas dari cengkeraman ayahnya, namun kini ayahnya berbalik
dan merenggut leher ibunya. Dan sebelum Aryo sempat bernapas dengan teratur setelah kepanikan dan ketakutannya tadi, ia melihat tubuh ibunya melayang dilemparkan
oleh ayahnya dengan kasar. Tubuh yang lemah itu pun menghantam tembok rumah, dan kepala ibunya membentur dinding dengan sangat keras.
Dan setelah itu, ibunya tak pernah bergerak lagi.
Dengan tangis ketakutan, Aryo mencoba mendekati tubuh ibunya yang terkulai di lantai, memanggil-manggilnya dengan lirih, dengan air mata yang runtuh di
wajahnya, sementara ayahnya berdiri mematung memandangi mereka.
Dan ketika ayahnya seperti mulai menyadari bahwa wanita itu telah meninggal, Aryo merasakan dirinya kembali direnggut oleh tangan ayahnya. Dengan sangat
ketakutan dan kepanikan yang luar biasa, Aryo kemudian mendengar suara ayahnya yang lirih penuh ancaman.
"Jangan pernah sekalipun menceritakan apa yang terjadi malam ini," ancam ayahnya dengan bengis. "Kalau kamu mencoba buka mulut pada siapapun, aku akan
membunuhmu juga!" Aryo tak mampu menjawab. Seluruh ketakutan dan kepanikan yang berkumpul dalam otaknya telah membuat bibirnya membeku tanpa bisa digerakkan lagi. Ia hanya
bisa menangis dengan ketakutan dan dalam diam. Dan semenjak itulah ia tak pernah bisa lagi berbicara dengan lancar. Ketakutan dan kepanikan yang amat besar
itu telah menciptakan shock yang luar biasa besar dalam dirinya, dan Aryo pun mulai menjadi gagap setiap kali berbicara.
Lalu besoknya kabar kematian ibunya mulai diketahui oleh para tetangganya, dan ayahnya dengan sikap yang wajar mengabarkan kalau istrinya yang tengah sakit
itu terjatuh tanpa sengaja saat akan mengambil sesuatu. Beberapa tetangga yang tahu tabiat ayah Aryo sepertinya tidak mempercayai pengakuan itu, namun
ketika mereka mencoba menanyakannya pada Aryo, bocah lelaki kecil itu pun mematuhi ancaman ayahnya. Dengan suara tergagap, dia menceritakan tepat sama
seperti yang diceritakan oleh ayahnya. Memang sempat timbul kecurigaan menyangkut kematian ibu Aryo, namun pada akhirnya masalah itu pun terkubur dengan
sendirinya, seiring dengan jasad ibu Aryo yang semakin lama terkubur di dalam tanah.
Semenjak itu, ayah Aryo mulai jarang pulang ke rumah. Aryo tak pernah tahu dimana ayahnya berada jika tak pulang ke rumah, dan Aryo pun sama sekali tak
ingin tahu. Ia bahkan lebih senang jika ayahnya tak pulang. Dan setiap kali ayahnya pulang ke rumah, satu-satunya hal yang selalu dan selalu diulang oleh
ayahnya adalah peringatan akan ancamannya, "Jangan pernah sekalipun menceritakan kejadian malam itu. Kalau kamu mencoba menceritakannya pada satu orang
pun, aku pasti tahu, dan aku pasti akan membunuhmu!"
Dan Aryo tak punya niat untuk terbunuh.
Lalu beberapa lama kemudian, ayahnya menghilang. Ia tak pernah lagi muncul di rumah. Aryo tak pernah tahu dimana ayahnya berada dan bagaimana kabarnya.
Yang jelas, suatu hari, beberapa orang yang tak dikenalnya datang ke rumahnya untuk mengabarkan bahwa rumah yang ditempati Aryo itu sudah dijual kepada
mereka. Mereka memperlihatkan surat-surat kepada Aryo, dan Aryo melihatnya dengan kebingungan serta kepanikan. Orang-orang yang tak dikenal itu tidak mengatakan
apa-apa selain pemberitahuan itu, dan juga meminta agar Aryo secepatnya angkat kaki dari rumah itu. Sekali lagi Aryo kebingungan, dan juga panik.
Kakek dan nenek Aryo yang prihatin dengan nasib cucunya itu kemudian mengasuh Aryo di rumah mereka, dan kakek serta neneknyalah yang kemudian menghidupi
Aryo sekaligus membiayai sekolah Aryo sampai SMA. Bertahun-tahun selama hidup bersama kakek dan neneknya, Aryo tak pernah lagi berjumpa dengan ayahnya,
namun ia selalu saja terngiang-ngiang dengan suara ancaman ayahnya. Aryo pun tak punya niat untuk menceritakan kejadian malam tragis itu meski kepada kakek
dan neneknya. Selepas SMA, Aryo tahu kalau kakek dan neneknya tak sanggup lagi untuk membiayai pendidikannya. Maka Aryo pun tak mendesak mereka untuk terus membantunya.
Aryo sendiri pun sudah merasa sangat berterima kasih atas bantuan dan kebaikan mereka selama ini.
Seorang tetangga yang punya usaha peternakan kemudian memberinya pekerjaan, meski bukan pekerjaan tetap. Setiap kali membutuhkan tenaganya, Aryo akan diundang
untuk ikut membantunya. Pak Amin, tetangganya itu, memiliki peternakan ayam, lele, dan juga burung puyuh yang dijual telurnya. Aryo selalu siap bekerja
pada Pak Amin, dan karena luasnya peternakan yang dimiliki oleh Pak Amin, Aryo pun hampir setiap hari bekerja di peternakan itu. Dari hasil bekerjanya
itulah Aryo kemudian bisa menabung, dan lalu terbetik niatnya untuk kuliah dari hasil uang kerjanya itu.
Ketika niat untuk kuliah itu disampaikan pada majikannya, Pak Amin mendukungnya, dan dia pun menjanjikan untuk tetap mempekerjakan Aryo di pertenakannya
sepulang kuliah. Maka begitulah, Aryo mulai kuliah di sebuah kampus yang cukup dekat dengan rumah kakek-neneknya, sekaligus tetap bekerja pada Pak Amin sepulang dari kuliah.
Kegiatan itu bisa dinikmati oleh Aryo. Pagi hari ia akan berangkat kuliah sampai siang, lalu pulang ke rumah kakek dan neneknya yang semakin tua, merawat
dan membantu mereka, dan bila Pak Amin membutuhkannya, Aryo pun bekerja di rumah Pak Amin, kadang sampai sore, sering pula sampai malam saat banyak pekerjaan.
Dengan aktivitasnya itu, Aryo juga sesekali bisa membantu kakek dan neneknya, dan Aryo pun merasa bahagia karena setidaknya dia bisa sedikit membalas kebaikan
yang pernah mereka berikan kepadanya.
Tetapi nasib rupanya belum juga berpihak pada Aryo. Ketika Aryo telah mulai menikmati kuliahnya dan juga menikmati pekerjaannya di peternakan milik Pak
Amin, flu burung menyerang dimana-mana, termasuk di peternakan milik Pak Amin. Suatu pagi, Pak Amin mendapati ribuan burung puyuhnya telah menjadi bangkai,
dan ayam-ayamnya telah sakit parah dalam kandang-kandang mereka. Pak Amin shock, Aryo pun sangat kebingungan.
Ketika berita mengenai flu burung semakin santer beredar, Pak Amin tahu bahwa ayam dan juga burung puyuhnya telah terbunuh oleh wabah yang ganas itu, dan
semenjak itulah Pak Amin merasa ketakutan untuk meneruskan peternakannya. Berita yang simpang-siur waktu itu menyebutkan kalau flu burung dapat menular
pada manusia, dan Pak Amin lebih memilih tetap sehat meski ia harus kehilangan banyak uang. Ia mengalami kerugian yang teramat besar, dan kini satu-satunya
peternakan yang masih dimilikinya hanyalah peternakan lele.
Semenjak itu pula, tenaga Aryo tidak terlalu dibutuhkan oleh Pak Amin, karena kini tak ada lagi banyak pekerjaan yang harus dibantunya. Pak Amin sekarang
hanya mengurusi peternakan lelenya, dan Aryo hanya dipanggil sesekali saja. Dalam seminggu Aryo memang kadang dipanggil untuk ikut membantu, namun kini
penghasilan Aryo berkurang drastis. Ia sekarang benar-benar harus sangat hemat untuk dapat meneruskan kuliahnya. Jika pas tidak ada uang sama sekali, Aryo
pun terkadang berjalan kaki menuju kampusnya meski untuk itu ia harus berangkat dari rumah pukul tujuh pagi. Rezeki dan nasib baiknya telah dirampas oleh
flu burung, dan kini Aryo berharap semoga saja tidak ada flu lele.
Di masa-masa yang suram itulah, Aryo beruntung memiliki kawan-kawan dekat yang mau menolongnya. Heru sering memberi tumpangan pada Aryo saat berangkat
maupun pulang kuliah, sementara Ricky dan yang lain kadang mempekerjakannya untuk sesuatu hal dengan imbalan uang.
Kepada sahabat-sahabatnya itulah Aryo pertama kali mulai memberanikan diri untuk menceritakan kisah hidupnya yang getir, sekaligus juga malam mengerikan
saat ibunya tewas karena penganiayaan ayahnya yang kejam. Keberaniannya menceritakan hal itu bukan karena kesadaran bahwa mungkin ayahnya telah melupakannya
atau bahkan telah meninggal, tetapi karena waktu itu Aryo tengah berada di bawah pengaruh minuman keras yang diminumnya bersama kawan-kawannya saat Ricky
mengundang mereka untuk menghabiskan malam di rumahnya yang kebetulan kosong.
Dan semenjak itu pulalah kawan-kawan Aryo mulai memahami apa yang telah terjadi pada hidup kawan mereka itu, dan sepertinya mereka bersimpati atas nasibnya.
Ketika Aryo tengah tenggelam dalam lamunannya sendiri, suara Pak Burhan menyentakkannya dengan keras dari depan kelas.
"Aryo!" seru Pak Burhan sambil menatap Aryo dengan galak seraya tangannya menunjuk ke whiteboard di depan kelas, "Sekarang selesaikan penghitungan neraca
laba-rugi dari kasus ini!"
Aryo mengutuk dalam hati. Dosennya itu pasti tadi telah melihatnya melamun, dan kini Aryo memandangi tulisan di whiteboard dengan bingung. Mata kuliah
akuntansi selalu membuatnya pusing, dan sekarang dia harus maju untuk menyelesaikan sesuatu yang memusingkan itu.
Kawan-kawan sekelasnya diam mematung.
*** 28 Desember, lima hari sebelum ditemukannya mayat-mayat itu...
Pagi menjelang siang itu Jefry baru saja melangkah menuju ke kelasnya ketika Renata menarik lengannya dan berbisik dengan bingung untuk yang kesekian kalinya,
"Aku merasa dibayang-bayangi terus, Jef."
"Itu pasti hanya perasaanmu saja, Ren," kata Jefry mencoba menenangkan kekasihnya.
"Tapi dia selalu ada di dekatku," balas Renata. "Sepertinya kemana pun aku pergi, dia selalu mengikutiku!"
"Itu mungkin karena kamu terlalu terpengaruh oleh perasaanmu sendiri," kata Jefry masih bersikukuh. "Masalah di perpustakaan itu terus saja kamu besar-besarkan..."
"Tapi tadi pagi dia juga berpapasan denganku," sahut Renata masih mencoba. "Aku baru keluar dari kamar kecil ketika aku melihatnya tengah menatapku..."
Jefry jadi tersenyum sendiri. "Kalau setiap orang yang berpapasan denganmu menjadi masalah bagimu, hidupmu tidak akan tenang, Ren! Dan setiap orang selalu
suka memandangimu. Mengapa? Karena kamu cantik!"
Akhirnya Renata pun mengangkat bahunya sendiri dengan letih. Jefry sepertinya tak mau mendengarkan kekhawatirannya.
"Aku tidak mau ikut acara kalian," cetus Renata kemudian secara tiba-tiba.
"Apa?" tanya Jefry tak paham dengan maksud pacarnya.
"Aku tidak mau ikutan acara malam tahun baru di villa milik Ricky," papar Renata.
"Ren, ada apa sih denganmu?" Jefry jadi nampak jengkel.
"Aku tidak mau ikut kesana. Perasaanku jadi tidak enak!"
"Tapi itu bukan masalah, Ren, kalau saja kamu tidak menjadikannya masalah!"
"Tapi aku takut, Jef..."


Misteri Villa Berdarah Karya Unknown di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ketakutanmu sama sekali tak beralasan. Aku ada bersamamu selalu, jadi apa yang kamu takutkan lagi?"
Renata mendesah dengan kesal. Kalau saja dulu Jefry tidak sampai menggunakan cara yang kasar saat menyelesaikan masalah itu... Ingatan Renata kembali pada
peristiwa tiga hari yang lalu, ketika ia mendapati sepasang mata tengah menatapnya di balik rak buku di perpustakaan, ketika ia tanpa sengaja melihatnya
saat mengambil sebuah buku tebal di rak dan mendapati sepasang mata itu di sana... Setiap kali mengingat hal itu, Renata merasakan perasaannya tidak pernah
tenang. Peristiwa di perpustakaan itu bukanlah yang pertama kali. Beberapa kali sebelum itu Renata pun sudah beberapa kali memergoki sepasang mata itu memandanginya.
Namun selama itu Renata tak pernah berpikir macam-macam karena ia hanya mengira itu hanyalah sesuatu yang biasa. Setiap orang menyukai memandangi cewek
cantik, begitu kata Jefry tadi. Tapi saat ia memergoki sepasang mata itu di balik rak perpustakaan, tiga hari yang lalu, Renata mulai merasakan perasaannya
tak pernah tenang setiap kali mengingatnya. Sepasang mata di balik rak buku yang dilihatnya itu bukanlah sepasang mata yang memandanginya dengan tatapan
yang biasa. Itu adalah tatapan penuh dendam dan kebencian...
*** Di kampusnya, Heru terkenal sebagai salah satu aktivis mahasiswa, sekaligus juga aktivis mahasiswi. Apabila ada persoalan menyangkut ketidakberesan atau
ketidakadilan yang menimpa mahasiswa di kampusnya, maka Heru akan menjadi salah seorang yang kritis sekaligus aktif dalam mengurusnya bersama kawan-kawannya
sesama aktivis. Begitu pun halnya jika ada mahasiswi baru yang cantik yang tengah menjadi bahan pembicaraan di kampus, Heru pun akan menjadi salah satu orang yang aktif
dalam ?mendiskusikan? dan ?mewacanakannya?. Beberapa kali ia terdengar menjalin hubungan dengan seorang mahasiswi, namun kabar kelanjutan dari hubungan
itu tak pernah jelas. Heru sepertinya tak pernah bisa melanggengkan hubungannya dengan setiap mahasiswi yang pernah dekat dengannya.
Dan sekarang aktivis kampus yang juga playboy itu tengah aktif mendekati Cheryl, salah satu mahasiswi adik angkatannya yang kecantikannya juga menjadi
buah bibir di kalangan kampusnya. Heru telah berkenalan dengan Cheryl, dan beberapa kali mereka juga pernah keluar bersama untuk makan malam. Dan Heru
menginginkan Cheryl saat ini karena ia membutuhkan pasangan untuk menikmati malam tahun baru di villa milik Ricky yang telah direncanakannya bersama kawan-kawannya.
Siang itu pun, Heru tengah menanti keluarnya Cheryl dari dalam kelasnya. Tadi pagi Heru sudah menjanjikan untuk mengantarkan Cheryl pulang kuliah. Heru
baru menyulut rokoknya ketika Edi menghampirinya.
"Menunggu gacoanmu?" sapa Edi saat sampai di dekat Heru yang duduk santai di depan kelas Cheryl.
Heru hanya tersenyum sambil menghembuskan asap rokoknya. "Kamu mau pulang?" tanya Heru kemudian.
Edi mengangguk. Setelah terdiam sesaat, ia kemudian memasang muka serius dan berkata perlahan, "Her, kamu tidak tahu kalau Cheryl sebenarnya sudah bertunangan
dengan seseorang?" Heru menatap kawannya dengan cuek. "Apa urusanku?"
"Hei, maksudku, kamu toh tidak bisa mengajak kencan tunangan orang lain seenaknya saja, kan?"
Heru tertawa. "Kalau dia mau, kenapa tidak?"
"Sinting!" rutuk Edi. "Kamu tidak tahu siapa tunangan Cheryl?"
"Siapa?" "Rino, mahasiswa semester akhir itu."
Heru menatap Edi lekat-lekat. Dia juga tahu siapa Rino, salah satu kakak angkatannya di kampus yang kini mungkin tengah menggarap skripsinya. Cowok itu
dulu juga menjadi panitia ospek ketika Heru dan kawan-kawannya baru masuk ke kampus mereka, dan pada waktu ospek itulah Heru pertama kali mengenal sosok
Rino. Dia juga mengenal Rino sebagai sosok brangasan yang cukup ditakuti di kampus mereka.
"Sepertinya kok tidak match," komentar Heru kemudian. "Cheryl yang lembut itu tunangan dengan Rino yang brangasan? Kamu serius, Ed?"
"Kamu boleh percaya boleh tidak, Her," sahut Edi. "Tapi aku dikasih tahu Benny, kawan Rino, menyangkut hal itu. Dia meyakinkan aku kalau Cheryl benar-benar
sudah bertunangan dengan Rino dan dia juga memintaku agar mengatakan hal ini ke kamu. Mungkin maksudnya biar kamu tidak bikin urusan dengan Rino."
"Tapi Cheryl tidak menolak setiap kali aku mengajaknya keluar." Heru masih bersikukuh.
"Itu bukan urusanku, oke?" Edi menatap sahabatnya. "Tapi, sebaiknya kamu pikir-pikir dulu sebelum melanjutkan petualanganmu dengan cewek itu. Jefry yang
tukang berantem saja masih mikir-mikir kalau harus berurusan dengan Rino..."
"Sialan! Kamu kira aku takut sama cowok itu?" Heru malah jadi merasa tertantang.
"Aku tidak bermaksud ngomong begitu, Her." Edi jadi serba salah. "Aku hanya mau mengingatkanmu bahwa masih ada cewek-cewek lain yang lebih sehat untuk
kamu ajak kencan daripada Cheryl yang bisa mendatangkan masalah buatmu."
"Tapi dia mau dan aku tidak pernah memaksanya, oke?" Heru menatap Edi dengan serius. "Dan kalau Rino atau siapapun yang merasa jadi tunangannya marah karena
hubunganku dengan Cheryl, itu bukan urusanku!"
"Oke, oke," sahut Edi kemudian dengan pasrah. "Yang penting aku sudah ngasih tahu hal itu ke kamu."
Heru hanya mengangguk dan menghembuskan asap rokoknya.
Edi segera beranjak dari hadapan Heru ketika pintu kelas Cheryl terlihat terbuka dan nampak para mahasiswa di dalamnya mulai berhamburan keluar.
Heru membuang puntung rokoknya ketika Cheryl terlihat keluar dari dalam kelas dan melangkah menuju ke arahnya.
"Sudah lama menunggu?" sapa Cheryl dengan senyum yang manis.
"Tidak juga," jawab Heru sambil membalas senyum itu. "Mau pulang sekarang?"
Cheryl mengangguk, dan mereka pun lalu melangkah berdampingan menuju tempat parkir kampus yang jaraknya cukup jauh dari tempat itu. Mereka bercakap-cakap
dengan asyik, sementara Heru mencari celah untuk mengungkapkan rasa ingin tahunya. Sampai kemudian
"Aku dengar kalau kamu sudah bertunangan dengan Rino," kata Heru sambil mereka terus melangkah. "Benar tidak, Cher?"
"Kamu dengar dari mana?" Cheryl sepertinya tak terlalu terkejut dengan pertanyaan itu.
"Ada yang bilang. Jadi benar kamu sudah bertunangan dengan Rino?" Heru ingin memastikan.
"Ya, kami memang sudah bertunangan."
Heru tak tahu harus menjawab apa atas pernyataan Cheryl yang jujur itu.
Cheryl kemudian menyambung, "Tapi itu adalah pertunangan yang dipaksakan, Her."
"Maksudmu?" "Orangtuaku yang menginginkan pertunangan itu," jelas Cheryl. "Orangtuaku dan orangtua Rino saling kenal cukup dekat, dan entah atas ide gila siapa, yang
jelas kemudian mereka bersepakat untuk menjodohkan aku dengan Rino. Dan pertunangan itu pun terjadi."
"Dan kamu setuju?"
"Aku tidak setuju pada awalnya, dan aku pikir kalau Rino juga tidak setuju dengan rencana pertunangan itu, tentunya orangtua kami pun tidak akan melanjutkan
rencana mereka" "Tapi?" "Tapi ternyata Rino setuju, bahkan kata mamiku, dialah yang menginginkan pertunangan itu. Ada banyak hal yang menjadikanku tidak bisa menolak keputusan
itu, Her. Dan kami pun lalu bertunangan, tapi hingga sekarang aku tidak pernah bisa mencintainya"
Sekali lagi Heru merasa tak mampu menjawab atau berkomentar apa-apa dengan pengakuan yang jujur itu. Tapi untunglah mereka kini telah sampai di depan mobilnya,
dan Heru pun segera membukakan pintu untuk Cheryl.
Saat mereka masuk ke dalam mobil itu, sepasang mata nampak memperhatikan dari kejauhan, namun Heru maupun Cheryl sama sekali tak menyadarinya.
Ricky telah memutuskan bahwa besok Aryo sudah harus mulai membersihkan villanya yang akan digunakan untuk acara malam tahun baru mereka. Malam tahun baru
tinggal dua hari lagi. Karenanya, selesai kuliah hari itu dia segera saja menarik lengan Aryo.
"Kamu jadi mau membersihkan villaku, kan?" kata Ricky langsung.
"I-i-iiiya!" sahut aryo. "K-kkkapan?"
"Bisa tidak kalau besok kamu mulai?"
"Tttap-tapi...aa-a-aku ttid-tidak tahu tttempatnya!"
Ricky mengangguk. "Besok pagi kita berangkat bareng. Aku antar kamu sampai di sana, terus aku tinggal, bagaimana?"
"A-aa-aku ssssendirian...?"
"Iya, tidak apa-apa, kan?" Ricky terlihat masih ingin berkata sesuatu, tapi kemudian Nirina, pacarnya, sudah datang menghampirinya.
Aryo pun segera saja mengangguk menyetujui permintaan Ricky. Lalu dengan agak berbisik ia kembali berkata, "A-aaku bbbisa minta pperrskot...?"
Ricky kembali mengangguk. Ia lalu mengambil beberapa lembar uang dari dalam dompetnya dan diserahkannya pada Aryo. Nirina yang berada di dekat mereka nampak
melirik Aryo dengan sinis, tapi Aryo pura-pura tak melihatnya. Diterimanya uang dari Ricky dengan mata berbinar-binar, lalu setelah mengucapkan terima
kasih dengan terbata-bata, Aryo segera saja berlalu dari hadapan mereka, melangkah dengan ringan menuju ke kantin kampus yang sudah mulai sepi. Perutnya
sudah kosong semenjak tadi.
*** Di dalam kamarnya malam itu, Cheryl tersenyum sendirian sambil berbaring santai di atas springbed-nya, menikmati alunan musik klasiknya Diego Modena yang
mengalun dari CD player di ujung kamar. Betapa bodohnya cowok-cowok, pikirnya sambil membayangkan wajah Heru. Cowok itu bisa dengan mudahnya dibohonginya.
Pertunangan yang dipaksakan? Cheryl nyaris tertawa sendiri kalau mengingat semua percakapannya dengan Heru tadi siang.
Cheryl memang telah bertunangan dengan Rino, anak konglomerat yang memiliki bisnis perhotelan itu. Dan Cheryl sama sekali tak merasa terpaksa ketika bertunangan
dengan cowok itu. Semua kualifikasi yang dimiliki oleh Rino bagi Cheryl sudah cukup layak untuk mendapatkan keindahan yang dimilikinya, dan Cheryl pun
oke-oke saja menjadi tunangan Rino. Tapi tak ada salahnya mendapatkan sedikit suplemen, kan?
Maka ketika Heru, salah satu aktivis kampusnya yang tampan itu datang mendekatinya, Cheryl hanya open dan membiarkan segalanya berlangsung secara ?alamiah?.
Cheryl tahu kalau Heru sudah beberapa kali gonta-ganti pasangan di kampus, namun itu bukan persoalan besar bagi Cheryl, toh dia juga tidak menginginkan
hubungan yang langgeng dengan cowok itu.
Kalau Heru menginginkan hubungan sesaat dengan Cheryl, maka Cheryl pun merasa begitu. Pesona yang dimiliki Heru rasanya juga sayang kalau dilewatkan, batin
Cheryl sambil tersenyum. Cowok itu bukan hanya tampan, tapi juga pintar membuat cewek terbuai dengan tutur katanya yang begitu manis. Dan Cheryl pun menikmatinya.
Bagi Cheryl, Heru adalah ?suplemen? yang menyenangkan dari sebuah hubungan pokok yang dijalinnya dengan Rino.
Dan Cheryl tak terlalu merisaukan Rino. Saat ini mata kuliah Rino telah habis dan dia tengah sibuk menggarap skripsinya hingga jarang sekali masuk kampus.
Cheryl tak peduli apakah Rino tahu hubungannya dengan Heru sekarang ini ataukah tidak, namun sekali lagi, Cheryl tak pernah terlalu merisaukannya.
Dia selalu tahu bagaimana cara menundukkan tunangannya itu kalau dia berulah, dan Cheryl merasa Rino tidak akan terlalu meributkannya. Toh ini hanya hubungan
sementara dan Cheryl tak punya niat untuk meninggalkan Rino. Mencari pengganti yang lebih kaya dari Rino rasanya sulit, dan Cheryl pun tak mau berspekulasi.
Sekali lagi Cheryl membayangkan wajah Heru yang tampan, membayangkan sikap manis dan tutur katanya yang menyenangkan, dan sekali lagi Cheryl tersenyum.
Heru mengajaknya untuk menikmati malam tahun baru di villa milik Ricky. Ya, apa salahnya? Sudah dua kali Cheryl menikmati malam tahun baru bersama Rino.
Tak ada salahnya kalau malam tahun baru kali ini dinikmatinya bersama Heru. Toh hanya sekali ini saja, kan?
Dan kelak, setelah Cheryl sudah merasa cukup bermain-main dengan Heru, Cheryl pun sudah mempersiapkan setumpuk alasan yang dirasanya tepat untuk memutuskan
hubungannya dengan Heru. Yang jelas, Cheryl akan meninggalkan cowok itu terlebih dulu sebelum cowok playboy itu memutuskan untuk meninggalkannya. Jika
dia menganggapku sebagai bagian petualangannya, dia pun hanya bagian kecil dari petualanganku!
Cheryl memeluk gulingnya sambil tersenyum, dan suara musik klasiknya Diego Modena masih lembut mengalun.
*** Aryo merasa terjebak di tempat yang amat gelap itu ketika sebuah tangan besar tiba-tiba mencengkeram kerah bajunya dengan kasar dan menariknya dengan sentakan
yang menakutkan. Ketika matanya mulai merasa terbiasa dengan kegelapan di tempat itu, samar-samar Aryo mulai melihat keadaan di sekelilingnya, dan nampak
di hadapannya, begitu dekat, seraut wajah yang paling ditakutinya sepanjang hidupnya...
"Aku sudah mengatakan kepadamu agar kamu tutup mulut!" suara itu amat dingin dan kejam. "Tapi kamu melanggar perintahku...!"
"A-a-a-aaakuu..." Aryo tergagap tanpa mampu bicara.
"Aku selalu tahu dimana pun kamu berada, dan aku pasti akan menemukanmu..."
Di dalam ketakutan dan kepanikannya, Aryo kini mulai melihat sebilah pisau tajam yang berkilauan di kegelapan, dan sekarang pisau mengkilat itu mulai bergerak
dalam genggaman tangan orang yang masih mencengkeramnya.?
"Sekarang aku akan penuhi janjiku..."
Dan pisau itu mendekat ke leher Aryo.
Aryo mencoba berontak, mencoba melepaskan tangan kekar yang mencengkeram kerah bajunya dan berusaha agar bisa menghindar dari hunjaman pisau itu, namun
seluruh tenaganya sepertinya telah habis terkuras oleh rasa takutnya. Ia hanya mampu bergerak pelan, tanpa tenaga, dan dia pun merasakan bibirnya tak mampu
terbuka lagi untuk berteriak atau minta tolong...
"Aku akan membunuhmu..." suara dingin itu terasa begitu dekat di telinganya.
Lalu pisau yang mengkilat itu bergerak dengan cepat ke leher Aryo, sementara Aryo mencoba menghindar sebisanya, namun cengkeraman di kerah bajunya menarik
leher Aryo. Crrraaaaaassshhh...! Aryo merasakan lehernya begitu perih saat pisau itu menyabet dengan cepat dan memuncratkan darahnya ke udara. Kedua matanya membelalak menatap seraut wajah
di hadapannya yang menatapnya dengan penuh kebengisan, dan saat Aryo merasa nyawanya akan segera melayang, sosok di hadapannya dengan kejam menendang perutnya
dengan keras, hingga Aryo terhuyung dan terjatuh sambil merasakan seluruh isi perutnya bergolak.
Duk! "A-aaduh!" Aryo mengaduh sambil memegangi kepalanya yang membentur lantai kamar tidurnya. Kamarnya yang cukup gelap membuatnya sedikit panik setelah terjaga
dari tidur dan mimpi buruknya, dan Aryo buru-buru bangkit untuk menyalakan saklar lampu agar kamarnya lebih terang.
Aryo berbaring kembali di atas tempat tidurnya yang sederhana dengan napas yang naik-turun dengan cepat. Ia merasakan sekujur tubuhnya penuh keringat.
Dilihatnya jam di dinding menunjukkan pukul dua dini hari. Dia baru tidur empat jam, namun kini rasanya matanya sulit untuk kembali dikatupkan. Mimpi yang
barusan mendatanginya masih begitu menghantuinya, meski itu bukanlah mimpi buruknya yang pertama.
Aryo menarik laci meja di sebelah tempat tidurnya dan mengambil bungkus rokok. Tadi siang dia bisa membeli rokok dari hasil uang yang diberikan Ricky kepadanya.
Diambilnya sebatang rokok, disulutnya, lalu dihisapnya asap rokok itu sambil mencoba menenangkan pikirannya.
Asap rokok bergumpal-gumpal di ruangan kamar Aryo yang tertutup rapat, namun Aryo tak peduli. Ia masih terpaku pada mimpinya tadi. Seraut wajah ayahnya...
Dia masih mengingat betul seperti apa rupa ayahnya meski lama dia tak lagi melihatnya. Sosok yang tadi hadir dalam mimpinya pun ia yakini sebagai sosok
ayahnya. Aryo tak pernah mampu melupakan wajah yang penuh kekejaman itu...
Masih hidupkah ayahnya? Ataukah sudah mati? Dimana dia sekarang...? Berpuluh-puluh kali sosok yang ingin dilupakannya itu hadir dalam mimpi Aryo, menerornya,
menakutinya, mengancamnya, persis sama seperti yang terjadi bertahun-tahun yang lalu, ketika mereka masih hidup bersama, ketika ibunya masih ada... Sampai
kapan mimpi-mimpi buruk itu akan berlalu? Sampai kapan mimpi menakutkan itu akan terus menghantuinya...?
"Aku sudah mengatakan kepadamu agar kamu tutup mulut! Tapi kamu melanggar perintahku...! Aku selalu tahu dimana pun kamu berada, dan aku pasti akan menemukanmu..."
Aryo menggigil sambil menghembuskan asap rokoknya. Dia tahu bahwa dia telah melanggar pesan ayahnya yang disampaikan dengan penuh ancaman bertahun-tahun
yang lalu itu. Dia telah membuka mulutnya. Dia telah mengatakan sesuatu yang begitu dilarang oleh ayahnya. Dia telah memberitahu kawan-kawannya bahwa ayahnya
telah membunuh ibunya... Mungkinkah ayahnya sekarang tahu akan apa yang telah diperbuatnya...? Dan apakah dia juga akan menemukan dirinya untuk membunuhnya, sesuai dengan apa yang
pernah diancamkannya bertahun-tahun yang lalu..?
Sekali lagi Aryo merasakan tubuhnya menggigil. Jarum jam di kamarnya terdengar berdetak begitu kencang di telinganya yang berdenging. Untuk kesekian kalinya,
Aryo merasakan malam bagaikan tanpa akhir...
*** 29 Desember, empat hari sebelum ditemukannya mayat-mayat itu...
Pagi hari itu, seperti yang telah dijanjikan kemarin, Ricky datang menjemput Aryo di rumahnya. Ia datang bersama Edi.
Aryo baru saja bangun dari tidurnya yang gelisah ketika mobil Ricky nampak memasuki halaman rumah kakeknya, dan dia pun bergegas mencuci muka di kamar
mandi, lalu menemui Ricky dan Edi di ruang depan.
"Baru bangun tidur, ya?" sapa Ricky yang melihat rambut Aryo masih basah dan mata Aryo yang nampak masih merah.
Aryo mengangguk dengan lemah. Sesaat kemudian nampak nenek Aryo keluar membawakan minuman teh hangat untuk mereka. Aryo yang juga belum sempat meminum
apa-apa semenjak bangun tidur tadi segera saja menyesap tehnya, lalu meraih rokok di atas meja.
"Wajahmu nampak pucat sekali, Ar," kata Edi setelah menyulut rokok di bibirnya.
"Tttadi malam a-a-aaku ttid-tidak bbb-bisa tttidur," jawab Aryo dengan letih.
"Kenapa?" Aryo menjawabnya dengan berbisik, "Ttttadi malam a-a-aayahku kkkembali dddatang dddalam mimpiku..."
Edi dan Ricky nampak memandangi Aryo yang terlihat begitu pucat dan letih. Mereka sudah mendengar beberapa kali cerita tentang mimpi itu.
"Itu hanya mimpi, Ar," kata Ricky kemudian. "Lupakan saja..."
"Kka-kamu ttid-tidak a-a-aakan bbbisa melupakan kka-kalau kka-kamu yang mengalaminya...! Mimpi ii-itu bbbegitu nnyata..."
"Tapi ayahmu sudah tidak pernah muncul, kan?" timpal Edi dengan suara lirih. "Maksudku, kamu tidak pernah bertemu ayahmu lagi di luar mimpi, kan?"
"I-iiya, ttapi...sssiapa yang ttahu ddia masih hidup a-a-aatau sssudah mati...?"
Ini bukanlah pertama kalinya Ricky dan Edi mendengar ketakutan Aryo setelah bermimpi bertemu dengan ayahnya. Setiap kali Aryo bermimpi buruk tentang hal
itu, dia pasti akan menceritakannya pada kawan-kawannya, dan baik Ricky maupun Edi sudah memahami betul bagaimana ketakutan Aryo atas mimpi itu.
Mereka telah tahu ancaman ayah Aryo agar Aryo tutup mulut atas pembunuhan terhadap diri ibunya, dan mereka pun ikut menjaga rahasia itu demi keselamatan
Aryo. Namun mereka sendiri juga tak pernah dapat memastikan di manakah sebenarnya ayah Aryo sekarang ini, masih hidupkah atau sudah mati...?
Setelah membantu menenangkan perasaan Aryo beberapa saat, Ricky kemudian berujar, "Mau berangkat sekarang? Atau beberapa saat lagi?"
"Berapa jam kira-kira perjalanan kesana, Rick?" tanya Edi.
"Sekitar tujuh sampai delapan jam," jawab Ricky pasti. Dia sudah tiga kali mengunjungi villanya itu dan dia tahu pasti berapa jauhnya tempat itu.
Aryo melihat jam dinding dan melihat jarum jam telah menunjukkan pukul enam pagi. Ia pun memutuskan, "Sssekarang sssaja!"
Maka mereka pun berangkat dengan menggunakan mobil Blazer milik Ricky.
*** Nirina merasa dongkol pagi itu ketika ia harus berangkat kuliah sendirian karena Ricky, pacarnya, tak bisa menjemputnya seperti biasa. Nirina tahu kalau
hari ini Ricky akan berangkat ke Jawa Tengah untuk mengantar Aryo yang akan membersihkan villa itu.
Sebenarnya, jauh-jauh hari Nirina sudah merasa sebal dengan sosok Aryo yang menurutnya hanya menjadi benalu bagi persahabatan mereka. Di mata Nirina, Aryo
tak lebih dari sosok yang salah gaul. Nirina berpikir bahwa Aryo sama sekali tak pantas berada di tengah-tengah kawan-kawan gaulnya yang lain. Tapi entah
bagaimana caranya bocah gagap itu bisa ada di tengah-tengah mereka sampai sekarang.
Terkadang Nirina secara terang-terangan menunjukkan rasa tidak sukanya terhadap Aryo di hadapan Ricky, pacarnya, dengan harapan Ricky tahu kalau dia tidak
menyukai kalau mereka bergaul dan dekat dengan Aryo. Dan Ricky pun memahami hal itu. Ia tahu kalau Nirina tidak menyukai Aryo. Tetapi Ricky menyatakan,
"Dia sangat bermanfaat bagi kami, Nir. Kalau kami butuh tenaga untuk membantu-bantu apapun, Aryo selalu siap."
"Tapi kalian harus ngasih upah sama dia, kan?" bantah Nirina dengan sebal.
"Ya upah sekedarnyalah," jawab Ricky. "Kita tahu sendiri kan, bagaimana keadaannya?"
"Seharusnya dia tidak pasang tarif kalau memang merasa sahabat!" Nirina masih menunjukkan ekspresi tidak senangnya.
"Dia tidak pasang tarif," sahut Ricky. "Tapi kita kan tahu sendiri bagaimana hidup Aryo. Uang yang diberikan untuknya atas bantuannya itu kami anggap sebagai
sekedar bantuan kami kepadanya. Lagi pula tidak banyak, kok. Dan kenapa sih kamu harus meributkan soal itu?"
"Aku tidak suka dengan tampangnya!" ucap Nirina asal-asalan.
Tapi Ricky hanya tersenyum. "Kamu ada-ada saja."
Rasa sebal Nirina terhadap Aryo yang pada mulanya kecil itu kemudian menjadi rasa sebal yang mendekati benci ketika ia mendengar dari Renata, pacar Jefry,
kalau Aryo pernah menyatakan cinta kepada Renata.
"Kamu serius, Ren?" tanya Nirina waktu itu nyaris tak percaya saat Renata pertama kali menceritakannya. Nirina dan Renata kawan satu kelas, dan waktu itu
Renata belum menjalin hubungan dengan Jefry.
"Suer, Nir," sahut Renata. "Aku juga tidak menyangka..."
Lalu Renata menceritakan segalanya. Pada awalnya, Renata hanya tahu kalau Aryo suka memandanginya. Dan kalau Renata memergokinya, Aryo nampak senyum-senyum
salah-tingkah seperti bocah SMP yang sedang kasmaran. Lalu suatu hari, tanpa disangka-sangkanya, Aryo tiba-tiba menyatakan cinta kepada Renata.
Malam itu, Renata menceritakan, Aryo tiba-tiba muncul di rumahnya dengan dandanan yang cukup keren untuk ukurannya. Renata tidak memahami maksud kedatangan
Aryo malam itu, apalagi Aryo nampak kikuk dan terlihat serba salah sekali. Ucapannya yang gagap itu terlihat semakin menggagap sampai Renata bingung sendiri
bagaimana menghadapinya. Lalu tahulah Renata kalau Aryo menyatakan cinta. Renata hanya senyum-senyum ketika akhirnya memahami maksud Aryo. Meskipun ia sudah tahu kalau Aryo suka
memandanginya, namun Renata sama sekali tak menyangka kalau Aryo akan berani menyatakan cinta seperti itu. Dan melihat Aryo menyatakan cinta membuat Renata
senyum-senyum sendiri karena melihat tingkahnya yang lucu sekali di matanya.
Renata sendiri tidak terlalu terkejut dengan pernyataan cinta itu selain hanya merasa heran. Sebelum Aryo menyatakan cinta kepadanya, sudah ada beberapa
cowok lain yang pernah menyatakan perasaan yang sama; beberapa mahasiswa di kampusnya sendiri, beberapa yang lain cowok-cowok di luar kampusnya. Renata
menyadari keindahan yang dimilikinya sebagai seorang cewek, dan dia tidak pernah heran dengan adanya cowok-cowok yang tertarik kepadanya hingga menyatakan
cinta. Dan bila Aryo juga menyatakan cinta kepadanya, Renata hanya tersenyum memaklumi, dan heran, namun sama sekali tak terkejut.
Renata tidak langsung memberikan jawaban atas pernyataan Aryo malam itu. Dia hanya senyum-senyum saja menanggapi pernyataan cinta Aryo, dan saat Aryo mendesaknya
agar memberikan jawaban, Renata hanya menjawab dengan santai, "Kamu tidak terburu-buru menunggu jawabanku, kan?"
Maka Aryo pun tak mendesak lagi malam itu. Seiring dengan hari-hari yang berlalu, Aryo tak pernah muncul lagi di rumah Renata meski di kampus Renata terkadang
masih memergoki Aryo memandanginya sambil senyum-senyum salah tingkah sendiri. Bagi Renata itu sesuatu yang lucu, dan Renata hanya membiarkannya saja.
Sampai kemudian Jefry datang dalam hidup Renata, dan saat hubungannya dengan Jefry semakin dekat, Renata seperti terlupa sendiri dengan Aryo. Saat akhirnya
Jefry menyatakan cinta dan Renata menerimanya, Renata sama sekali belum memberikan jawaban kepastian apapun untuk Aryo atas pernyataan cintanya dulu, namun
setelah menyadari hal itu, Renata pun berpikir kalau Aryo pasti telah mengetahui sendiri jawabannya, bahwa ia tak bisa menerimanya.
"Lagi pula salahnya sendiri, kenapa dia tidak pernah muncul lagi?" kata Renata saat menceritakan kisah itu pada Nirina. "Harusnya kan dia proaktif, tidak
langsung menghilang sampai lama sekali seperti itu."
"Cowok itu pasti ada yang tidak beres di otaknya," tanggap Nirina sambil tersenyum sinis membayangkan Aryo yang menyatakan cinta pada Renata.
Renata tertawa kecil mendengar ucapan Nirina. "Kalau menurutku, dia hanya kurang gaul, Nir. Dia masih kekanak-kanakan sekali!"
"Kurang gaul, juga kurang ngaca!" tanggap Nirina sekali lagi dengan sinis.
"Dia juga masih lugu sekali," kata Renata mencoba memberikan kesan yang lebih baik pada diri Aryo. "Bayangkan saja, baru setelah aku jadian sama Jefry,
dia baru muncul lagi di rumahku dan menanyakan tanggapanku atas pernyataannya yang dulu. Lucu sekali, kan?"
"Terus bagaimana tanggapanmu?" tanya Nirina ingin tahu.
"Ya jelaslah, aku katakan ke dia kalau aku tidak bisa menerimanya."
"Dan tanggapannya?"
"Dia sepertinya jadi bingung. Waktu itu dia ngomong sesuatu tapi aku bingung mendengarnya. Tahu sendiri, dia kan gagap sekali kalau ngomong. Ditambah dengan
salah tingkah setelah penolakan itu, dia jadi tambah gagap tak karuan." Renata tersenyum-senyum sendiri membayangkan kejadian malam itu.
"Setelah itu, dia tidak pernah datang lagi?" tanya Nirina penasaran.
"Tidak," jawab Renata. "Cuma kemudian dia mengirim surat cinta."
"Mengirim apa?" Nirina seperti salah dengar.
"Surat cinta. Gila, kan?" Kemudian Renata menceritakan kehadiran sebuah surat yang diantar pos suatu hari, dan saat dibukanya, ternyata itu surat dari
Aryo. Dia berkata pada Nirina, "Tahu tidak, aku sama sekali tak menyangka kalau ternyata dia bisa menulis kata-kata yang cukup indah..."
"Aryo...?" Nirina ingin memastikan.
"Iya, surat itu ditulis tangan, dan menurutku, kata-katanya cukup romantis."
Nirina jadi penasaran. "Kamu masih menyimpan surat itu, Ren?"
"Tadinya sih iya, aku simpan. Tapi kemudian Jefry tahu soal surat itu dan dia menyobek-nyobeknya dengan marah. Kamu tahu sendiri bagaimana tempramen si
Jefry." "Jadi Jefry tahu kalau Aryo pernah menyatakan cinta ke kamu?" tanggap Nirina.
"Ya iyalah. Tadinya aku tidak pernah ngomong apa-apa ke dia soal itu. Tapi setelah Jefry melihat surat itu dan membacanya, dia kan jadi tanya macam-macam.
Akhirnya ya aku ceritakan semua ke dia."
"Jefry ngamuk-ngamuk dong, pastinya?" ujar Nirina yang tahu bagaimana karakter Jefry.
"Ya gitu, deh," jawab Renata sambil membelalakkan matanya yang indah. "Aku tidak tahu apa yang kemudian diperbuat Jefry. Cuma waktu kutanya, dia hanya
menjawab kalau dia sudah ngomong ke Aryo. Soal ngomongnya bagaimana, aku tidak tahu pasti."
"Pasti pakai acara ngamuk-ngamuk segala, tuh," sahut Nirina.
Renata tersenyum. "Ya mungkinlah. Cuma aku tidak terlalu mengurusi lagi. Pokoknya setelah itu Aryo tidak pernah menemuiku lagi."


Misteri Villa Berdarah Karya Unknown di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Setiap kali teringat pada cerita Renata itu, Nirina merasa semakin sebal dan sinis terhadap Aryo. Cowok itu benar-benar tidak waras, batinnya. Apakah di
rumahnya tidak ada cermin untuk berkaca...? Dan sekarang cowok sialan itu tengah bersama Ricky, pacarnya, hingga membuat Nirina harus berangkat dan pulang
kuliah sendirian. Sebal! *** Mobil mereka mulai memasuki kawasan dataran tinggi Lingga pada pukul dua siang, dan kini mobil itu tengah merayap di jalanan yang terus menanjak ke atas.
Meskipun masih siang, namun cuaca di daerah itu terasa gelap, tanpa panas matahari, bahkan terkesan mendung. Pohon-pohon besar dan tinggi di sisi kanan-kiri
jalan menambah suasana gelap di jalanan. Menurut Ricky yang sudah beberapa kali kesana, jalanan itu bahkan akan tertutup kabut saat malam mulai menjelang.
"Masih jauh, Rick?" tanya Edi yang duduk di jok depan, di samping Ricky.
"Lumayan," sahut Ricky sambil terus mengemudikan mobilnya.
"Kkkok ddari tttadi lllumayan-lumayan mme-melulu!" sewot Aryo di jok belakang mereka.
Ricky tertawa. "Ya tadi kan lumayan jauh, sekarang lumayan dekat."
Kini jalan yang dilalui semakin menanjak dan terus menanjak. Cuaca terasa semakin gelap dan mendung, sementara udara dingin mulai terasa di tubuh mereka.
Edi menutup jendela mobilnya, sementara Aryo menyulut rokoknya kembali.
"Dingin sekali," komentar Edi sambil mengambil rokok di atas dashboard.
"Di puncak sana nanti tambah dingin, Ed," sahut Ricky. "Itulah mengapa aku ingin sekali bisa menikmati malam tahun baru di sini. Menikmati suasana yang
beda..." Jalanan yang dilalui sekarang tidak lagi mulus seperti yang tadi, tapi mulai berkerikil tak rata. Ricky terus melajukan mobilnya sampai kemudian memasuki
kawasan yang berumput, dan sekitar seratus meter kemudian mobil itu telah memasuki sebuah gapura. Di dekat gapura nampak beberapa warung makan dan juga
wartel. Terlihat ada beberapa orang yang ada di sana.
"Berapa banyak villa yang ada di sini, Rick?" tanya Edi kemudian saat matanya mulai melihat bangunan-bangunan yang ia yakini sebagai villa.
"Cukup banyak," sahut Ricky sambil terus melajukan mobilnya. "Yang disewakan untuk umum juga ada."
Beberapa saat kemudian, Ricky menepikan mobilnya di depan sebuah gerbang villa, dan berkata pada Aryo, "Sekarang kita sudah sampai."
Aryo tahu isyarat itu. Ia pun segera turun dari mobil, lalu membukakan pintu gerbang villa untuk jalan masuk mobil Ricky.
"Ini villamu?" tanya Edi yang masih duduk dalam mobil.
"Yeah, kelak akan jadi milikku," sahut Ricky asal-asalan sambil membawa mobilnya memasuki halaman villa. "Sekarang masih milik papaku."
Villa itu nampak tidak terawat. Lantai depan dan jendela-jendelanya terlihat kusam, sementara halaman terlihat kotor.
Edi dan Ricky turun setelah menepikan mobil di depan villa, lalu Ricky mengeluarkan anak kunci dari saku celananya.
"Tidak ada orang yang diminta mengurusi villa ini, Rick?" tanya Edi melihat keadaan villa yang sepertinya tak pernah tersentuh manusia itu.
"Buat apa?" sahut Ricky sambil memasukkan anak kunci ke lubangnya. "Keluargaku belum tentu setahun sekali kemari."
Mereka memasuki ruangan depan villa yang cukup luas, dan karena cuaca sepertinya mendung dan gelap, Ricky pun segera meraih saklar lampu. Seketika ruangan
menjadi lebih terang. "Masih ada listrik di sini?" Edi bertanya lagi dengan heran.
"Yeah, meskipun kami jarang ke sini, tapi listrik tetap dibutuhkan, Ed. Keluargaku bahkan tetap membayar sambungan telepon yang ada di sini meski tidak
pernah digunakan." "Mmub-mubazir sssekali...?" sela Aryo.
Ricky tersenyum. "Bukan begitu. Keberadaan listrik dan telepon yang dipertahankan agar tetap ada di sini itu maksudnya biar kalau ada yang berminat membeli
villa ini, fasilitas di sini sudah lengkap."
"Memangnya ada rencana buat dijual?" tanya Edi jadi ingin tahu.
"Dulu, waktu papaku baru memiliki villa ini, rencananya villa ini mau dijual saja karena kami kan sudah punya villa sendiri di Bogor. Tapi tidak laku."
"Kke-kenapa?" tanya Aryo.
"Mungkin calon pembelinya pada takut," jawab Ricky santai.
"Takut kenapa, Rick?" Edi jadi penasaran.
Ricky membawa mereka meninjau ruang tengah yang keadaannya sama kotornya seperti ruangan depan. Perabot-perabot dalam villa itu tidak terlalu banyak, dan
semuanya ditutupi dengan plastik terpal sehingga terlindung dari debu yang cukup tebal yang menghampar di seluruh lantai ruangan.
"Rick, kenapa?" tanya Edi masih menuntut jawaban atas pertanyaannya tadi.
"Kenapa apanya?"
"Itu, katamu kan para calon pembeli villa ini pada takut." Edi mengingatkan. "Takut kenapa?"
"Aku mau menceritakan, tapi kalian jangan ikut-ikutan takut, ya," ujar Ricky.
Edi dan Aryo menatap Ricky bersamaan, menunggu jawaban.
"Villa ini kan dulunya milik rekanan papaku." Ricky memulai. "Tapi kemudian rekanan papaku itu jatuh bangkrut dan terlilit hutang cukup banyak, termasuk
pada papaku. Hutang pada papaku itu kemudian dibayar dengan villa ini, tapi sialnya, sebelum villa ini dipindah-tangankan, si rekanan papaku itu bunuh
diri di villa ini..."
"Oh, sialan," maki Edi. "Jadi villa ini bekas orang bunuh diri?!"
"Kalian sudah berjanji untuk tidak takut, kan?" tagih Ricky sambil senyum-senyum.
"Kka-kamu ttid-tidak ngerjain kkka-kami...?" tanya Aryo kemudian.
"Suer, Ar. Aku sebenarnya tidak mau menceritakan soal itu sama kalian. Tapi kalian kan tanya sendiri?" Setelah menghembuskan asap rokoknya, Ricky kembali
berkata, "Tapi kalian tidak usah menceritakan hal itu ke teman-teman yang lain. Nanti mereka pada takut dan rencana kita semula bisa batal..."
"Berapa banyak villa yang ada di sini, Rick?" tanya Edi kemudian saat matanya mulai melihat bangunan-bangunan yang ia yakini sebagai villa.
"Cukup banyak," sahut Ricky sambil terus melajukan mobilnya. "Yang disewakan untuk umum juga ada."
Beberapa saat kemudian, Ricky menepikan mobilnya di depan sebuah gerbang villa, dan berkata pada Aryo, "Sekarang kita sudah sampai."
Satria Terkutuk Kaki Tunggal 2 Kota Seribu Cerita Karya Shiwe Konspirasi Hari Kiamat 5

Cari Blog Ini