Pendekar Banci Karya Sd Liong Bagian 5
Diam-diam Cong Tik menimang keputusan dalam hati namun ia tak mau mengunjuk reaksi apa-apa pada kerut wajahnya.
"Thay susiok" katanya dengan wajah tak berubah, "menilik gelagatnya benda-benda pusaka dalam lubang guha itu tentu sudah diangkut oleh kedua orang itu. Bagaimana kalau kita berpencar memburu jejak mereka. Tolong berikan gambaran wajah mereka agar mudah untuk kucari. Apabila berhasil menemukan tentu akan kupersembahkan kepadamu".
Toho merenung sejenak, katanya : "Mereka berdua berperawakan sedang, tiada ciri-ciri yang istimewa ....eh, ada, salah satu diantaranya jidatnya menonjol, wajahnya aneh, sekali lihat tentu dapat mengenalinya."
Mendengar keterangan itu diam-diam Cong Tik girang sekali. Pertama dia melihat kedua tulang tengkorak di dalam semak gerumbul ia terkejut sekali karena bentuknya yang aneh. Jarang ia melihat potongan muka seperti itu. Letak keanehannya ialah tulang jidatnya luar biasa menonjol keluar. Jelas kedua kerangka tengkorak manusia itu tentu kedua orang yang pernah bertemu Toho dahulu.
"Kita tak boleh berayal", serunya bersemangat, "thay-susiok, silahkan engkau menuju ke selatan dan aku akan ke utara. Setahun kemudian kita bertemu di tempat ini lagi. Bagaimana, apakah thay-susiok setuju ?"
Toho menganggap bahwa Cong Tik itu adalah cucu keponakan murid. Tentu jujur dan memikirkan kepentingannya. Maka tanpa curiga lagi dia segera menyetujui "Baiklah, tetapi karena dikuatirkan kepandaianmu tak cukup tangguh maka akan kuberimu pelajaran selama tiga hari."
Cong Tik muak dengan thay-susioknya itu.
Diam-diam ia memakinya karena tak ingin mendapat ilmu pelajarannya. Pedang kecil itu tentu mempunyai kegunaan yang hebat. Yang penting harus mencari lagi pada kedua kerangka tengkorak itu.
Tetapi lahirnya terpaksa ia pura-pura menghaturkan terima kasih atas kesediaan thay-susioknya hendak memberi pelajaran ilmu kepandaian.
Mendapat seorang pembantu lebih baik daripada seorang diri. Pikir Toho. Maka iapun segera menurunkan ilmu pukulan Gwat-sim-ciang yang di pelajarinya selama tujuh tahun dalam peti besi.
Walaupun dunia persilatan penuh dengan ilmu pukulan dari berbagai aliran tetapi tiada sebuah partai persilatan yang memiliki ilmu pukulan Gwat-sim-ciang tersebut. Bermula dimasukkan dalam peti besi Toho mengamuk kalang kabut tetapi tetap tak dapat keluar. Peti itu tak berapa besar, selama itu Toho terpaksa harus menyurutkan tubuh supaya dapat menyesuaikan diri. Diluar dugaan akhirnya ia mendapat ilmu untuk menciptakan ilmu pukulan itu. Karena tubuhnya lemas sekali dan dapat digerakkan menurut sesuka hati, maka jurus-jurus ilmu pukulan itu juga luar biasa anehnya. Selalu diluar dugaan orang, dapat menggerakkan tulang-tulangnya secara aneh untuk menyerang orang. Ketika di guha Siau-yau-tong, dengan gerakkan siku lengannya secara tiba-tiba, ia dapat melepaskan lengannya dari cengkeraman Siau Yau cinjin dan bahkan dapat balas mencengkeram siku lengan pertapa itu. Gerak itu menggunakan jurus ilmu pukulan Gwat-sim-ciang juga.
Sesungguhnya dasar ilmu lwekang yang melandasi ilmu pukulan Gwat-sim-ciang itu berasal dari ilmu semedhi yang menjadi ajaran turun temurun biara Ko-Liong-si, Hawa murni dapat disalurkan menembus tulang.
Cong Tik mempunyai dasar yang cukup kokoh dalam ilmu lwekang perguruannya maka agak mudah ia menerima ajaran dari Toho. Dan memang ilmu pukulan yang terdiri dari duapuluh jurus itu, luar biasa hebatnya. Mulailah Cong Tiki tak mau memandang rendah ajaran itu dan dengan penuh perhatian ia berlatih. Empat hari empat malam, dia sudah dapat menguasai ilmu itu.
Melihat CongTik amat cerdas, Toho girang sekali. Hari kelima pagi-pagi ia tinggalkan kakaktua dan terus menuju ke selatan.
Walaupun kurang tidur selama empat hari empat malam tetapi karena mendapat ilmu kepandaian baru, ia merasa gembira sekali. Dicobanya untuk berlatih sekali lagi. Ia merasa bukan saja jurus-jurus ilmu itu memiliki gaya serangan, pun juga pertahanan. Bahkan dalam pertahanan mengandung serangan, dalam penyerangan berisi pertahanan.
Demikian setelah Toho pergi, ia segera menghampiri ke batu besar dan mulai mencari. Setiap lubang diteliti dan ditelusuri tetapi tak menemukan apa-apa. Ketika merogoh pada lubang guha yang terakhir, tiba-tiba seekor tikus besar menerobos keluar.
Tetapi Cong Tik tak mau putus asa. Ia kembali menyelidiki kedua kerangka manusia tadi. Andaikata tak memperoleh apa-apa, paling tidak ia sudah memiliki pedang kecil itu. Asal menyelidiki pada jago-jago pedang di dunia persilatan, tentulah ia dapat mengetahui cara menggunakannya.
Baru ia hendak ayunkan langkah tiba-tiba ia melihat tikus yang lari keluar dari lubang guha tadi seperti menggondol sehelai kertas, besarnya sekepal tangan orang. Karena terkejut, tikus itu meninggalkannya diluar. Bermula ia tak menaruh perhatian tetapi ketika tertiup angin dan terbalik, kertas itu seperti terdapat tulisannya. Serentak ia menjemput nya. Tetapi begitu terjamah, kertas itupun hancur. Mungkin karena sudah tua umurnya. Kertas itu berbau tikus, mungkin dijadikan sarang binatang itu. Ia tak mau memegang melainkan memperhatikan tulisannya.
Huruf-huruf sudah kumal tak lengkap berbunyi :
Bingkisan isteriku tersayang ... puncak tertinggi .. di lain tempat ...
Sudah tentu huruf-huruf itu tak merupakan rangkaian kalimat yang lengkap. Cong Tik terlongong beberapa saat. Tak tahu apa artinya. Melihat kematian kedua kerangka manusia itu, saling bertindih dan pedang kecil itu tertancap pada salah satu dari kedua kerangka itu. Sedang yang satu pun patah tujuh buah tulang iganya. Jelas mereka tentu saling mengadu jiwa.
Menurut keterangan Toho tadi, sebelum tiba di gunung Cek-bi-san, ketiga orang itu sudah bertengkar. Tiba di Cek-bi-san, mereka tentu saling berebut pusaka itu sehingga timbul hati jahat untuk saling bunuh-membunuh dengan kesudahan sama-sama mati.
Apabila keterangan Toho itu dapat dipercaya dua dari ketiga orang itu tentu merupakan sepasang suami isteri. Apakah surat itu diberikan salah seorang dari mereka kepada isterinya ?
Puncak tertinggi jelas menunjukkan puncak gunung. Tetapi apa maksudnya dengan huruf "lain tempat" itu ?
Ia merogoh lagi lubang guha dan menghalau seekor tikus kecil. Rumput yang tumbuh disekitar lubang itu dicabutinya dan akhirnya ia berhasil menemukan banyak sekali potongan kertas, ada yang hanya sebesar kuku jari. Semua kertas-kertas itu ia keruk keluar. Cukup lebar juga setelah dijajar di tanah begitu pula banyak sekali huruf-huruf yang tertulis disitu. Ia menduga apa yang terjadi pada waktu itu semua telah ditulis pada kertas itu. Ia makin gembira, ketika sedang menunduk untuk mempelajari isi tulisan itu, tiba-tiba setiup angin berhembus dan cuwilan-cuwilan kertas itupun berhamburan ke udara.
Cong Tik terkejut dan berusaha untuk menyambar tetapi hanya berhasil mendapat tiga lembar. Diam-diam ia heran dari mana datangnya angin mendadak itu. Cepat ia melenting keluar dan ah, dari balik batu besar itu menyembul dua kepala manusia yang tertawa mengekeh dan berseru : "Bagus, budak !"
Cong Tik cepat dapat menduga bahwa angin mendadak tadi tentulah kedua orang itu yang meniupnya.
Kepala kedua orang itu amat kecil, menyerupai seorang anak. Dan selekas loncat ke atas batu besar, tubuh merekapun pendek sekali. Aha, siapa lagi kedua orang itu kalau bukan sepasang orang kate dari gunung Tu-lian-san, Lo Te dan Lo Thian.
Sudah tentu Cong Tik mendongkol sekali. Setengah jam lagi kedua orang kate itu baru muncul tentulah ia sudah dapat mengetahui tentang isi surat itu. Sekarang cuwilan kertas itu sudah bertebaran keempat penjuru jatuh di gerumbul semak. Untuk mengumpulkan lagi, tentu sukar dan makan waktu. Cepat-cepat ia memasukkan apa yang disambarnya tadi ke dalam baju. Ia mengharap cuwilan kertas itu terdapat tulisan yang berguna. Setelah itu baru ia menghadapi sepasang orang kate.
"Hai, mau apa engkau disini?" tegurnya geram.
Lo Thian dan Lo Te tertawa gelak-gelak, seru mereka : "Budak, engkau sendiri mau apa disini? Apa yang engkau lakukan, kamipun juga akan melakukannya "
Cong Tik menduga rupanya kedua orang kate itu belum tahu sungguh-sungguh, hanya iseng datang ke tempat itu saja.
"Aku tak melakukan apa-apa." serunya seraya berdiri tegak seraya berteliku tangan.
Kedua orang kate itu saling berpandang, serunya : "Kalau engkau tak berbuat apa-apa, kami akan menyuruhmu berbuat. Budak, kalau engkau sayang jiwamu, lekas engkau beritahukan rahasia dari pelana kuda itu !"
Dugaan Cong Tik memang benar. Mereka datang ke situ hanya ingin mencari tahu rahasia dari pelana kuda pusaka. Dengan begitu jelas mereka belum tahu apa-apa. Rahasia yang tersimpan digunung Cek - bi - san itu kecuali kedua kerangka manusia, Toho lhama, hanya dia seorang lagi yang tahu. Tetapi ah, .. Hong Ingpun tahu, tentu dialah yang membocorkan rahasia itu sehingga ia sampai menderita kegagalan.
"Rahasia apa saja yang kalian kehendaki? Kalian salah duga, aku hanya secara kebetulan saja lewat di gunung ini."
Lo Thian dan Lo Te saling bertukar pandang lalu tertawa keras. Serempak kedua orang kate itu merogoh ke dalam baju masing-masing dan mengeluarkan sebutir mutiara lalu diangkat ke atas, serunya :
"Budak, lihatlah sendiri. Pada kedua butir mutiara ini terdapat ukiran huruf yang berbunyi Cek- bi. Kedua mutiara ini berasal dari pelana bertabur mutiara yang kami ambil dari nona itu. Kalau bukan Cek-bi-san yang dimaksudkan lalu Cek-bi yang mana ?"
Habis berkata kedua orang kate lalu menjentik dengan kedua jarinya dan kedua butir mutiara itupun meluncur ke dada Cong Tik. Yang sebutir mengarah jalan darah Ki-kwan-hiat, yang satu ke arah jalan darah Kian-peng-hiat. Luncurannya cepat sekali.
Cong Tik menyadari bahwa percuma saja ia berlaku pura-pura. Namun kalau memberitahukan dengan terus terang, kedua orang kate itupun juga tak mau percaya. Pertempuran dahsyat sukar dihindari lagi. Sekali ia gerakkan tangan membalik, menekan dan mengendap, mutiara yang hendak menyambar bahunya itu dapat dicapit dengan kedua jari tangannya lalu secepat kilat ia taburkan menyongsong mutiara yang hendak menyambar dadanya. Tring ... kedua mutiara itu berbenturan, mendering keras dan berhamburan jatuh ke dalam semak.
Bermula kedua orang kate itu mengira bahwa kepandaian Cong Tik tentu setingkat dengan Hong Ing, paling-paling hanya lebih tinggi sedikit. Setitikpun mereka tak pernah menduga bahwa pamuda itu ternyata memiliki tenaga-dalam yang sedemikian hebatnya. Ditambah selama empat hari mendapat gemblengan dari Toho lhama, bukan saja ilmu pukulan Gwat-sim-ciang sudah dikuasainya, pun ilmu tenaga-dalamnya bertambah tinggi. Empat hari empat malam tak tidur, ia tak merasa lelah. Sekali turun tangan ia mampu menyambut lontaran mutiara dari kedua orang kate itu.
"Bangsat kate, jangan mengganggu aku !" dampratnya marah.
Kedua orang kate itupun marah juga : "Ho, apakah engkau benar-benar hendak mengantar jiwamu?"
Yang satu dari kanan dan yang satu dari kiri, kedua orang kate itu segera menyerang! Karena tubuh kate, gerakan merekapun amat tangkas sekali.
Cong Tik terkejut juga menyaksikan kesaktian gerak mereka. Terpaksa ia loncat mundur sampai setombak jauhnya.
Seharusnya karena Cong Tik loncat ke belakang, kedua orang kate yang menerjang seperti kilat menyambar itu, tentu akan saling berbenturan. Tetapi ketika hampir bertubrukan, tiba-tiba mereka saling menyisih dan sret ... , terus berputar tubuh loncat menerjang Cong Tik lagi. Dan yang lebih mengherankan, dalam bergerak itu mereka sudah mencekal golok tan-to.
Cong Tik pernah menyaksikan mereka bertempur melawan nenek Cenderawasih-Tutul. Ilmu golok mereka memang luar biasa hebatnya. Kedua orang kate itu bersatu, bergabung jadi seorang. Menilik bahwa ia tak membekal senjata apa-apa kecuali pedang kecil itu maka diam-diam ia menyembunyikan pedang kecil itu ditelapak tangannya. Sambil menunggu kesempatan, diam-diam ia memperhatikan golok ke dua orang kate itu. Ah, ternyata hanya golok biasa, terbuat dari baja pilihan tetapi bukan senjata pusaka.
Ketika tiba di depan Cong Tik, Cong Tik pun segera menebas dengan telapak tangannya. Ke dua orang kate itu memang mampu bergerak dengan amat cepat tetapi mampu pula menghentikannya dengan mendadak.
Sekonyong-konyong mereka berhenti. Lo Thian bersuit nyaring dan terus melambung ke atas pundak Lo te. Kemudian keduanya segera mengangkat golok dan menyerang dengan serempak.
Dengan bergabung itu, maka kedua orang kate itupun lebih tinggi dari Cong Tik. Ketika Lo Thian yang berada di atas mengayunkan golok, karena jaraknya tinggi, paling-paling hanya lewat di atas kepala Cong Tik. Tetapi tabasan golok dari Lo Te yang berada di bawah, memang sungguh-sungguh dapat menabas kaki Cong Tik.
Cong Tik sudah memperhitungkan hal itu maka iapun tak mempedulikan serangan dari atas dan tujukan perhatian pada serangan dari bawah. Setelah membalikkan siku lengan, ia segera menabas dengan telapak tangannya. Sepintas tampaknya dia menyambut tabasan golok dengan tangan kosong tapi sebenarnya pedang kecil yang telah dijepit dengan jari tengah dan jari telunjuknya itulah yang dipakai untuk menyambut golok.
Tring .. golok si kate Lo Te putus seketika. Pada saat Cong Tik dimabuk kegirangan, tiba-tiba Lo Thian yang berada di atas merubah jurus serangannya.
Bermula ia menggunakan jurus Kiang-cui-pan-liu atau Air-sungai-mengalir-deras untuk membacok kepala Cong Tik. Begitu Cong Tik memperhatikan dan menyambut serangan bawah dari Lo Te, Lo Thianpun segera berganti dengan jurus Thian-ho-to-kwa atau Bintang bima-sakti-terbalik. Golok dibacokkan ke atas kepala Cong Tik.
Pada saat Lo Thian membacok, Cong Tik sedang menyongsong golok Lo Te, maka baru pemuda itu gembira, angin tajam melanda atas kepalanya. Memandang ke atas, golokpun sudah memancar di depan mukanya. Untunglah dia sudah mempelajari ilmu Gwat-sim-jwan-kut-hwat atau Menyurut-tubuh-melemas-tulang. Maka cepat ia gunakan gerak Thiat pian-kio atau Jembatan-besi-gantung untuk membuang tubuh ke belakang lalu mengendapkan kepala dan kakinya sampai hampir mencapai tanah. Dengan gerak itu barulah ia dapat menghindari tabasan golok Lo Thian. Cepat ia bergeliat loncat ke belakang. Keringat dingin membasahi tubuh.
Tetapi kedua orang kate itu tak mau memberi kesempatan Cong Tik bernapas. Dengan bersuit aneh, Lo Thian melambung ke udara sedang Lo Tepun terus menggelincir ke tanah sampai setombak jauhnya. Ketika melayang turun, Lo Thianpun hinggap lagi pada bahu Lo Te. Golokpun segera ditaburkan deras sehingga menimbulkan segulung sinar dingin menyerang Cong Tik.
Dengan bergabung itu, kedua orang kate memang berubah menjadi seorang tinggi yang mempunyai empat lengan tetapi hanya dua kaki. Dalam keadaan itu, sudah tentu mereka lebih leluasa dari orang biasa. Apalagi perangai mereka memang aneh tak pernah menghabiskan dendam terhadap orang selama dendam itu belum dapat dibalas. Oleh karena itu maka orang persilatanpun jarang yang mau cari perkara dengan mereka.
Ketika melihat katak-manusia menggigit mati Ciok Liu-seng, kedua orang kate itupun lari terbirit-birit meninggalkan goloknya. Bahwa golok Lo Te terpapas kutung oleh Cong Tik, sudah tentu kedua orang kate itu takkan mau melupakan dendam itu.
Saat itu mereka mengeluarkan ilmu golok yang disebut Thian-te-to-hwat atau ilmu Golok-langit-bumi. Duah buah lingkaran sinar golok berhamburan di atas dan ber tebaran di bawah. Ilmu golok itu penuh dengan gerak perobahan yang tak kunjung habis dan sukar diduga.
Walaupun pedang kecil yang digenggam dalam telapak tangan Cong Tik itu sebuah pusaka yang luar biasa tajamnya, tetapi karena panjangnya hanya sejari dan tak tahu bagaimana cara menggunakannya, Lo thian tak dapat ditipunya lagi seperti tadi. Dengan begitu percuma saja Cong Tik menggenggam pedang kecil itu. Ia seperti dengan tangan kosong menghadapi serangan golok kedua orang kate itu.
Ketiga orang itu bertempur dengan cepat lawan cepat. Dalam beberapa kejab saja sudah berlangsung sampai tiga empatpuluh jurus. Berkat ilmu Gwat-sim-ciang yang baru saja dipelajarinya, Cong Tik mampu bertahan diri tak kurang suatu apa. Kalau tidak begitu, sedang nenek Cenderawasih-Tutul yang begitu lihay saja tetap tak dapat mengalahkan kedua orang kate tersebut, bagaimana ia mungkin dapat menghadapi mereka ? Tentu sejak tadi ia sudah kalah.
Selekas empatpuluh jurus lewat, keadaan Cong Tik makin payah. Lo Thian dan Lo Te serempak melancarkan serangan lagi. Lo Thian menabas dari atas ke bawah dan Lo Te dari bawah ke atas. Walaupun golok mereka hanya golok biasa tetapi karena dimainkan dalam jurus yang begitu hebat, Cong Tikpun tak dapat berdaya. Sekujur tubuhnya seperti dilingkupi oleh sinar golok. Dalam beberapa kejab lagi, dia tentu kalah.
Tiba-tiba dari samping batu besar terdengar suara orang membentak keras : "Ho, manusia-manusia yang tak tahu malu! Sudah bertahun-tahun mengangkat nama tetapi mengapa harus main keroyok terhadap seorang bocah yang tak ternama!"
Menyusul terdengar aum dua buah batu yang melayang kearah golok. Tring, tring, bunga api berhamburan dan serangan golok kedua orang kate itupun tertahan.
Cong Tik cepat menggunakan kesempatan itu untuk loncat ke samping. Ketika memandang ke muka, ternyata pendatang yang muncul itu adalah Nenek-Cenderawasih-Tutul Poan Hong-Bo.
Sambil menuding dengan ujung tongkat, nenek itu mendamprat kedua orang kate : "Hai, kalian bangsat kate, bermula kalian melukai seorang anak perempuan, sekarang mengeroyok seorang budak laki. Dunia persilatan tak sudi menerima bebodoran macam kalian itu."
Setelah tahu siapa yang datang, marahlah kedua orang kate itu, serunya : "Pengemis perempuan, kami berdua saudara akan meratakan sarangmu di pulau Lo-to dengan bumi. Sebulan lagi kita bertemu di pulau Lo-to untuk mengadu jiwa. Bagaimana, berani atau tidak ?"
Mengapa harus tunggu satu bulan lagi?" seru nenek itu, "sekarang saja kita mengadu jiwa !"
"Sekarang kami tidak mempunyai waktu", sahut Lo Thian, "apa engkau hendak merintangi ?"
Nenek itu tertawa aneh: "Tunggu kalian mempunyai waktu, akulah yang tak punya waktu. Dari pada menunggu, lebih baik sekarang saja, mari !"
Bum, ia hentakkan tongkatnya ke tanah dan tubuhnya terus melambung ke udara. Laksana seekor burung garuda, ia melayang ke arah kedua orang kate itu.
Karena orangnya loncat di udara maka gerakan tongkatnyapun menderu-deru dahsyat dan selekas tiba di tanah, tubuhnya mengendap dan terus melancarkan jurus Peng-te-hong-boh atau Gelombang-angin-di tanah-datar menyerang kaki Lo Te.
Sudah tentu kedua orang kate itu marah sekali. Mereka serempak bersuit aneh. Lo Te loncat ke udara menghindar tongkat si nenek. Sedang Lo Thianpun sudah meluncur turun dan membabat nenek itu.
Tetapi nenek Cenderawasih-Tutul itu bukan seorang tokoh sembarangan. Sudah tentu tak begitu mudah ia dibacok. Tiba-tiba dia mengangkat tubuhnya berdiri tegak seraya menarik pulang serangannya dan berganti dengan jurus Bu-hong-sam-ciok- kun atau Tiada-angin-berguling-tiga-langkah. Merupakan jurus yang paling keras dan paling lunak dari ilmu tongkat Keng-thau-ciang yang diandalkan. Angin sambaran tongkatnya menimbulkan, gelombang tenaga besar dan deru suara macam ombak bergelombang.
Lo Thian dan Lo Te terkejut. Diam-diam gentar juga hati mereka dan terpaksa harus mundur beberapa langkah baru dapat menyerang lagi.
Nenek-cenderawasih-Tutul tertawa mengekeh, serunya : "Karena kalian berani berkelahi dengan aku, maka pertempuran ini harus sampai selesai. Jangan melarikan diri."
Ubun-ubun kepala kedua orang kate itu sampai mengeluarkan asap karena marahnya. Mereka hendak mencincang nenek itu tetapi tongkat si nenek melebihi hujan deras rapatnya. Terpaksa kedua orang kate itupun hanya bertahan.
Apabila ketiga tokoh itu saling bertempur mati-matian adalah Cong Tik yang menarik keuntungan. Setelah sejenak terlongong-longong menyaksikan pertempuran yang begitu dahsyat, iapun terus ayunkan langkah tinggalkan tempat itu.
Sebenarnya ketiga tokoh itu hendak mengorek keterangan tentang rahasia pelana kuda dari mulut Corig Tik. Tetapi karena mereka bertempur sendiri tanpa ada yang kalah atau menang, terpaksa merekapun membiarkan saja pemuda itu ngacir. Karena barang siapa yang mengandung pikiran untuk melepaskan diri dari pertempuran itu, dia tentu akan menderita bahaya dari lawan.
Setelah lebih dari sepuluh tombak berlari, Cong Tik berpaling ke belakang. Dilihatnya ketiga orang itu masih bertempur hebat. Memperhitungkan bahwa mereka tentu tak sempat mengejarnya maka ia segera mengeluarkan cuwilan kertas yang disimpan dalam bajunya.
Dilihatnya dalam setiap cuwilan kertas itu terdapat beberapa huruf yang tak urut, berbunyi : " ..timur .. pulau", "timbul perubahan dalam hati ...",
"Cepat pergi pedang.... ", "Mempelajari..."
Cong Tik yakin apabila cuwilan-cuwilan kertas itu dapat dijajar lengkap, tentu dapat diketahui semua isinya dan dapat diketahui pula apa yang terjadi pada masa itu. Ia mengutuk kedua orang kate dan Hong Ing. Karena ditiup berhamburan oleh kedua orang kate itu, maka cuwilan kertas itu tak mungkin dapat dikumpulkan lagi.
Karena dalam cuwilan kertas itu tertera huruf 'pedang' dapat dipastikan pedang kecil itupun tentu termasuk benda dalam lubang guha itu. Ah, hanya karena pedang kecil itu saja mengapa kedua kerangka manusia itu sampai bertempur mengadu jiwa.
Terdapatnya tulisan 'pindah pergi' pada cuwilan kertas itu menunjukkan bahwa ada sesuatu yang telah dipindah atau mungkin orang itu sudah menyembunyikan diri kelain tempat. Tetapi kemana ?
Tulisan 'timur .. pulau' itu, apakah maksudnya? Teringat akan sesuatu, tiba-tiba ia tersentak kaget. Bukankah nenek Cenderawasih-Tutul itu berdiam di pulau Lo-To laut Tang-hay atau laut timur? Dia sudah berpuluh tahun tinggal di pulau itu tetapi mengapa mendadak muncul dan ikut-ikutan merebut pelana mutiara itu? Adakah rahasia pelana itu mempunyai hubungan dengan pulau Lo-To di laut Tang-hay ?
Tetapi apabila benar dikatakan bahwa benda pusaka itu sudah dipindah ke pulau Lo-To, jelas tak mungkin. Karena gunung Cek-bi-san terpisah ribuan li dari pulau itu. Sedang kerangka kedua orang itu masih tetap berada di Cek-bi-san.
Beberapa saat kemudian ia mendengar gemerincing suara benturan senjata yang dahsyat dari gelanggang pertempuran. Jelas ketiga tokoh itu sedang bertempur makin seru. Jika demikian apabila ia melanjutkan penyelidikan di gunung Cek-bi-san, kiranya tentu tidak berbahaya.
Buru-buru ia kembali ketempat kedua kerangka manusia tadi. Setelah membolak-balikkan kerangka dan memeriksa beberapa saat, akhirnya ia menemukan sebuah kantong dari kulit kerbau.
Dengan berdebar iapun membukanya ....
-o0^DW^Agus Ekanto^0o- Jilid 7 Di Kubur Hidup Ketika membuka kantong kulit kerbau itu, Cong Tik hanya mendapatkan empat limapuluh batang Coh-ho-ting atau paku yang bentuknya seperti buah angcoh. Ujungnya tajam dan batangnya berduri warna bersemu biru seperti dilumuri racun.
Pada tiap batang senjata rahasia paku itu diukir huruf Tan. Kecuali itu tiada lain-lain tanda lagi.
Ia tak tahu dan tak pernah mendengar didunia persilatan terdapat semacam senjata rahasia begitu. Namun disimpannya juga benda itu. Karena tiada penemuan apa-apa lagi di gunung Cek-bi-san, ditambah pula ancaman dari kedua orang kate dan nenek Cenderawasih-Tutul yang sedang bertempur itu sewaktu-waktu akan mengejarnya, maka Cong Tik segera memutuskan untuk lari.
Dengan ilmu gin-kangnya yang hebat dalam empat lima loncatan saja ia sudah berada tujuh delapan tombak jauhnya. Tetapi sesaat ia hendak ayunkan tubuh lagi, tiba-tiba ia melihat dua sosok bayangan lari mendatangi secepat terbang.
Cong Tik terkejut. Jika ia tak melihat mereka tentulah ia akan melanjutkan loncatannya dan tentu akan bertubrukan dengan mereka. Cepat dia loncat bersembunyi di atas pohon.
Pada lain kejab kedua bayangan itupun sudah tiba. Mereka pun hentikan langkah. Cong Tik melongok memandang ke bawah. Kejutnya bukan kepalang. Ternyata kedua pendatang itu adalah Thiat-koan-im Li Wan dan Lu Kong Cu si Kipas kupu-kupu.
"Kemungkinan berada di sekitar tempat ini", seru si nenek Li Wan..
"Hm, mengapa engkau membawanya kemari?" Lu Kong Cu menggeram.
"Engkau suruh membuangnya ke tempat jauh sahut nenek itu. "apakah tempat ini masih kurang jauh ?"
Walaupun sebagai ketua, tetapi kepandaian Lu Kong Cu terpaut jauh sekali dengan nenek itu. Melihat nenek itu kurang senang, diapun tak berani menegur lebih lanjut.
"Thian selalu menuruti kehendak manusia," akhirnya ia menghela napas, "suruh aku mendapatkan rahasia besar dan ditengah jalan bertemu dengan engkau lalu bersama-sama kemari. Jika bangsat itu sampai lima enam hari berada disini, tentu dia akan mendapatkan pusaka itu lebih dulu. Dan bukankah kita akan menggigit jari?"
Nenek Li Wan tak mau bicara lagi. Keduanya segera menyelidiki di sekitar tempat itu.
Diam-diam Cong Tik curiga. Dia telah menyembunyikan pelana mutiara itu dalam sebuah rumah penginapan kecil di Ciat-kang, mestinya tiada diketahui orang. Tetapi mengapa kedua orang itu tiba juga di gunung Cek-bi-san? Apakah kesemuanya itu Hong Ing yang memberitahu mereka? Apakah pengetahuan mereka lebih banyak dari dirinya tentang pusaka itu?
Jika tak masuk sarang harimau tentu tak mungkin mendapatkan anak harimau. Pikir Cong Tik. Lebih baik ia mengikuti langkah mereka secara diam-diam. Bagaimana nanti akhirnya baru ia menentukan langkah lagi.
Setelah kedua orang itu sudah jauh, Cong Tik turun dari pohon dan dengan hati-hati mengikuti mereka. Walaupun sebagai seorang ketua partai Naga tetapi. Lu Kong Cu itu tak berarti apa-apa. Yang ditakuti hanyalah nenek Thiat-koan-im Li Wan yang memiliki mata dan telinga tajam. Tetapi karena nenek itu sedang kurang senang hati karena dimarahi Lu Kong Cu selama beberapa hari ini, perhatiannyapun berkurang. Dengan demikian dapatlah Cong Tik mengikuti mereka sampai melintasi dua puncak gunung.
Saat itu hari sudah mulai gelap. Tak berada lama suasana di pegunungan itupun makin sunyi dan gelap. Terdengar Lu Kong Cu dan nenek Li Wan berseru: "Ah, mengapa begini gelap, bukankah lebih baik kita menyulut api ?"
Mendengar itu Cong Tik terkejut. Ia kuatir dengan membawa penerangan itu mereka akan melihat jejaknya. Maka buru-buru ia menyelinap ke samping. Tetapi diluar dugaan karena gelap sekali ia telah membentur batu besar yang tajam. Dahinya berdarah, sakitnya bukan kepalang dan di atas matanya terluka. Andaikata ke bawah sedikit lagi, biji matanya tentu pecah. Karena rasa kejut dan sakit yang tak terhingga ia sampai mengerang.
Dalam suasana yang sesepi saat itu, daun yang gugurpun terdengar, apalagi suara orang mengerang kesakitan.
"Siapa !" bentak Lu Kong Cu.
Cong Tik terkejut. Dengan meraba batu ia segera mengitar ke belakang dan hentikan pernapasan.
Karena tiada penyahutan, Lu Kong Cu terus berputar tubuh hendak menghampiri. Tetapi tiba-tiba dari arah depan terdengar suara orang berteriak:
"Setan pendek, bagus, jangan lari."
Serempak terdengar pula dua buah suara menggeram keras : "Nenek pengemis tua, engkau sendiri yang hendak lari!"
Tring, tring.. terdengar dua buah senjata berdering dan percikan bunga api. Ditempat yang begitu gelap, sudah tentu percikan bunga api tampak jelas sekali. Sepintas segera tampak Lo Thian dan Lo te sedang tegak berhadapan rapat dengan nenek Cenderawasih Tutul. Lenyapnya percikan bunga api, lenyap pula bayangan mereka ditelan kegelapan malam.
Melihat ketiga orang itu juga berada disitu buru-buru Lu Kong Cu berkata kepada nenek Thiat-koan-im : "Mari kita cepat turun tangan meringkus ketiga orang itu !"
Rupanya perhatian Lu Kong Cu sudah tertumpah pada ketiga orang itu dan melupakan suara orang mengerang di belakang batu.
Sambil menghentakkan talinya, nenek Thiat-Koan-Impun sudah memburu maju. Sebenarnya bagi nenek Cenderawasih Tutul, sepasang kate Lo Thian - Lo Te dan nenek Thiat-koan-im yang tinggi ilmu lwekangnya, tidaklah susah untuk menembus kegelapan malam itu. Tetapi karena langit berawan gelap dan berkabut tebal, maka betapun tajam pandangan mata mereka, tetapi sukar untuk melihat ke muka. Maka setelah loncat ke muka sampai satu tombak, nenek Thiat-koan-im bingung. Ia tak melihat sesosok bayangan manusia dan tak mendengar suara orang. Beberapa jenak kemuka baru ia terkejut karena setiup angin dari gerakan tangan yang hendak menerkam melanda dari samping. Cepat ia mendahului menggerakkan tangannya untuk menangkap dan berhasil.
"Siapa!" bentaknya.
Dengan berkuik - kuik seperti babi hendak disembelih orang itu menjerit: "Aku, lekas lepaskan !"
Ternyata yang ditangkap itu adalah Lu Kong Cu sendiri.
Tetapi pada saat nenek Thiat koan-im lepaskan cekalannya, setiup gelombang angin pukulan yang dahsyat telah menimpa dari atas. Ia terkejut karena merasakan bahwa tenaga orang itu setingkat dengan dirinya. Cepat ia kerahkan tenaga-murni ke arah tali dan dengan sekuat tenaga ia menghantam dengan tongkat besinya.
Ternyata angin pukulan dahsyat yang hendak menimpa kepala nenek Thiat-koan-im itu berasal dari sebuah tongkat juga dan yang menggerakkan bukan lain adalah nenek Cenderawasih-Tutul.
Hampir sehari ia bertempur melawan sepasang orang kate tetapi belum ada yang kalah dan menang. Setelah hari gelap, kedua belah pihak merasa sulit untuk melancarkan serangan. Asal mendengar hembusan napas saja, tentu segera bergerak untuk menghantam. Karena kedua pihak berlaku sangat hati-hati maka sampai lama mereka seperti berhenti. Dengan begitu merekapun mulai memulangkan napas dan tenaga lagi.
Dengan munculnya Lu Kong Cu dan nenek Thiat-koan-im, keadaan makin ruwet lagi. Masing-masing menjaga diri dengan hati-hati sekali. Asal mendengar suara yang betapa kecilnya, tentu terus diserang. Dan karena salah paham sehingga Lu Kong Cu dicengkeram oleh nenek Thiat-koan-im, karena kesakitan Lu Kong Cupun menjerit. Hal itu cepat mengundang perhatian nenek Cenderawasih-Tutul dan kedua orang kate.
Serentak nenek Cenderawasih-Tutulpun menghantam dengan tongkatnya. Justeru yang dihantam itu nenek Thiat-koan-im. Kalau yang dihantam itu Lu Kong Cu tentulah Lu Kong Cu tak kuat menangkisnya.
Prakkk.... Terdengar letupan keras ketika tongkat kedua nenek sakti itu saling berbentur. Keduanya terkejut karena merasa tangannya kesemutan. Segera keduanya menyadari bahwa lawan memiliki kepandaian yang tak dibawahnya. Cepat mereka menarik tongkat dan loncat mundur.
Tetapi ketika loncat mundur segera nenek Cenderawasih-Tutul mengetahui bahwa di sampingnya terdapat orang. Tanpa banyak pikir lagi ia ayunkan kakinya menendang. Terdengar sosok tubuh yang berguling-guling sampai beberapa langkah. Setelah berhenti terus tak kedengaran suaranya lagi. Ia duga orang itu tentu sudah putus nyawanya.
Pada saat nenek Cenderawasih-Tutul sedang berhantam tongkat dengan nenek Thiat-koan-im, diam-diam si kate Lo Te juga ikut menerjang seraya menabaskan goloknya kepada Lu Kong Cu.
Mendengar suara angin senjata menyambar dari belakang, Lu Kong Cu mendekam ke tanah lalu berguling-guling menghindar. Tetapi celakanya ia telah disambut oleh tendangan kaki nenek Cenderawasih-Tutul. Sakitnya bukan alang kepalang tetapi terpaksa ia tak berani buka suara.
Demikian kelima orang itu terlibat dalam ketegangan yang buta karena suasananya gelap sekali.
Rupanya nenek Cenderawasih-Tutul paling keras wataknya. Ia tak tahan terus menerus dicengkam ketegangan semacam itu. Tiba-tiba ia berteriak keras-keras.
Begitu ia berteriak segera dari tiga arah ada orang yang menyerangnya. Sudah tentu nenek Cenderawasih Tutul telah memperhitungkan hal itu. Asal ia bersuara tentu orang akan menyerang. Dan selekas berteriak, iapun segera memutar tongkatnya sederas angin. Lo Thian, Lo Te, Lu Kong Cu dan nenek Thiat-koan-im yang menyerangnya, terpaksa sibuk untuk menjaga diri.
Tiba-tiba Lo Thian dan Lo Te membacok nenek Thiat-koan-im lalu loncat mundur.
Sekarang mari kita tinggalkan sejenak kelima orang yang sedang bertempur acak-acakan itu untuk menjenguk keadaan Cong Tik.
Cong Tik yang bersembunyi di balik batu besar menghela napas longgar ketika Lu Kong Cu dan nenek Thiat-koan-im tak jadi menghampiri ke tempatnya dan berputar tubuh menyerang ke muka lagi. la segera mencari tanah liat untuk menyumbat lukanya yang berdarah. Ia segera mendengar suara berisik kelima orang yang bertempur itu. Sebenarnya ia mendapat kesempatan baik untuk tinggalkan tempat itu. Tetapi ia merasa sayang kalau pusaka itu sampai jatuh ketangan orang. Terpaksa ia menunggu.
Tak berapa lama terdengar guruh bersabut-sahutan menggemuruh di angkasa dan tak lama kemudian hujanpun turun dengan lebatnya.
Tetapi kelima orang itu masih tetap nekad. Setiap kilat menyambar dan menerangi cuaca, mereka segera mulai menyerang lagi. Tetapi setelah pancaran sinar kilat itu lenyap, mereka lalu loncat mundur pula.
Sesungguhnya diantara kelima orang itu, hanya Lu Kong Cu yang paling rendah kepandaiannya. Tetapi karena ia didampingi oleh nenek Thiat koan-im, maka iapun dapat bertahan dan terhindar dari serangan lawan.
Hujan makin lama makin deras sekali. Kelima orang itu tetap bertempur makin hebat. Karena tanah liat yang ditempelkan pada dahinya cair karena ditimpali hujan, darah pada luka Cong Tik itupun tetap mengalir. Bahkan karena derasnya hujan, Cong Tik sampai sukar bernapas. Tiba-tiba kilat memancar lagi. Kali ini ia dapat melihat keadaan sekelilingnya dengan jelas. Dilihatnya batu besar itu berbentuk aneh sekali.
Ada sebuah bagian yang menjulur keluar mirip dengan sebuah payung alam. Luasnya beberapa meter dan cukup untuk tempat berteduh.
Cong Tik girang sekali. Cepat ia menyelundup masuk dibawah batu aneh itu. Benar juga, ia terlindung dari curahan air hujan.
Tiba-tiba kilat memancar lagi dengan membawa penerangan yang terang. Serentak Cong Tik melihat bahwa pada langit-langit batu yang berada di atas kepalanya itu seperti terdapat bekas-bekas tulisan. Dan dalam kejaban sinar kilat itu ia sempat membaca huruf itu berbunyi : "Isteriku yang tercinta dengan ini...."
Sudah tentu huruf-huruf itu merupakan pembukaan dari sepucuk surat dan sengaja ditulis pada langit-langit batu yang tak tersinari matahari dan terhindar dari air hujan.
Seketika gemetarlah Cong Tik. Ia teringat bahwa kertas surat yang hancur karena dikerikiti tikus itu bukankah juga ditulis dengan kata-kata pembukaan semacam itu. Jelas yang menulis surat dan huruf pada langit batu disitu tentulah seorang. Apakah orang itu kuatir kalau surat itu tak dapat diketemukan maka ia meninggalkan tulisan di batu itu lagi ?
Sayang kilat itu hanya memancar sekejab lalu halilintar meledak dan hujanpun mencurah makin dahsyat. Dia tak dapat melihat huruf-huruf pada batu itu lagi. Ketika diraba, ternyata batu itu halus permukaannya, tak dapat diketahui huruf-hurufnya.
Setelah menunggu beberapa saat, baru kilat memancar lagi. Cepat ia memandangnya. Baris yang pertama berbunyi :
Jahanam Tan itu telah melumuri racun pada paku angco .....
membaca sampai di sini kilatpun lenyap lagi. Rupanya huruf-huruf itu ditulis dengan cat hitam, jumlahnya beberapa ratus huruf. Tentulah menceritakan tentang peristiwa yang telah terjadi.
Teringat ia bahwa paku-paku angco itu memang terdapat ukiran huruf Tan. Apa yang diduganya memang benar, paku-paku itu telah dilumuri racun. Karena pada batu itu terdapat tulisan, tentulah pusaka itu berada di sekitar tempat itu.
Girang Cong Tik bukan kepalang. Dia telah menggunakan waktu dan pikiran, tetapi sia-sia saja untuk menemukan rahasia pusaka itu. Kini tanpa disengaja ia akan mendapatkannya dengan mudah.
Tetapi urusan itu memang ruwet sekali. Sudah ada dua orang yang tahu akan rahasia mutiara pelana itu. Jika kedua orang itu masih hidup, mudahlah untuk mencari keterangan. Tetapi kedua orang itu ternyata sudah mati, hanya tinggal tulang-tulang kerangkanya. Sudah tentu sukar untuk mendapatkan keterangannya.
Dan lagi dalam peristiwa itu tersangkut seorang wanita. Entah kemana saja perginya. Satu-satunya jejak yang dapat ditelusuri hanyalah surat yang ditinggalkan oleh salah seorang yang mati itu kepada isterinya. Tetapi surat itu ternyata sudah dikerikiti hancur oleh kawanan tikus. Dan ketika ia berhasil mengumpulkan robekan surat itu ternyata telah ditiup berhamburan oleh sepasang orang kate.
Memang saat itu ia mendongkol dan kecewa sekali. Ia kira rahasia itu tentu akan terpendam selama-lamanya. Tetapi ternyata diluar dugaan, orang itupun masih meninggalkan tulisan pada langit-langit batu. Betapa ingin sekali ia segera membaca semua tulisan di bawah langit batu itu. Tetapi karena cuaca amat gelap, terpaksa ia harus menekan perasaannya.
Tak berapa lama kilatpun memancar lagi. Cepat ia membaca lagi :
racun, karena dia kejam, akupun......
Sampai disini, kilat padam dan cuaca gelap lagi. Walaupun gugup tetapi girang juga hati Cong Tik. Karena ia tak ragu lagi bahwa surat pada batu itu memang ditulis orang itu untuk isterinya. Saat itu karena cuaca gelap, biarlah besok setelah hari terang, ia tentu dapat membacanya sampai selesai.
Dengan sabar ia menunggu. Di bawah deru hujan yang bergemuruh ia mulai melamun. la membayangkan apabila mendapatkan pusaka itu kemungkinan ia tentu akan mendapat ilmu kepandaian luar biasa yang akan menjadikan dirinya seorang tokoh sajati yang dapat menjagoi dunia persilatan. Pada saat itu apa perlunya ia harus mengeram menjadi murid biara Ko-Liong-si yang sekecil itu lagi? Setelah memiliki kepandaian sakti, segala yang diinginkan tentu dapat terlaksana, bahkan dapat juga ia mendirikan sebuah partai persilatan baru dan duduk sebagai ketuanya.
Sebenarnya Cong Tik bukan seorang pemuda yang berhati lurus. Tidak setitikpun terlintas dalam pikirannya bahwa setelah memiliki ilmu kesaktian ia akan memberantas kejahatan dan membela keadilan. Yang dipikirkan hanya mencari nama dan kedudukan diri sendiri. Makin tinggi makin bangga.
Sekarang mari kita tinggalkan dulu Cong Tik yang tengah menunggu datangnya pagi dan kelima tokoh yang sedang terlibat dalam pertempuran dahsyat dibawah hujan deras itu. Baik kita tinjau dahulu bagaimana nasib pertapa Siau Yau cinjin yang terhantam jatuh ke bawah jurang oleh Toho Lhama itu.
Setelah mengetahui gurunya terjatuh, Hong Ing marah sekali. Tetapi ia tak dapat berbuat apa-apa menghadapi Toho yang jauh lebih sakti. Dengan mudah lhama itu dapat mencengkeram tenggorokan Hong Ing.
Hong Ing tak berdaya lagi kecuali meramkan mata menunggu ajal. Tetapi sampai beberapa saat belum juga pedang lhama itu menusuk tubuhnya. Ia heran dan membuka mata. Tampak Toho lhama tertawa menyeringai memandang dirinya.
"Jahanam, mengapa tak lekas membunuh aku ?" teriak Hong Ing dengan marah.
Tobo tertawa cengar-cengir : "Budak, engkau tidak ketakutan? Sungguh besar sekali nyalimu. Berapa lamakah engkau menjadi murid pertapa Siau Yau itu?"
Toho tertawa dingin : "Engkau menderita luka parah, tak lama tentu mati. Engkau tidak minta supaya mati dengan tubuh utuh tetapi minta mati seperti pertapa busuk itu. Apa engkau kepingin remuk bubuk seperti gurumu itu ?"
Geram dan sedih sekali hati Hong Ing namun ia tak dapat berbuat apa-apa kecuali harus menekan perasaannya. Ia tak mau mempedulikan Lhama itu lagi.
"Budak, engkau masih mempunyai sebuah jalan hidup, tanggung engkau takkan mati !" seru Toho pula.
Tetapi Hong Ing tetap tak menghiraukan.
"Engkau tak percaya?" Toho tertawa dingin, "bukankah begitu? Ilmu Lwekangku sepuluh kali lebih tangguh dari pertapa bangsat itu. Asal kuulurkan tanganku, lukamu tentu sembuh. Apakah engkau masih tak menghiraukan kata-kataku.
Hong Ing tak tahu apa yang dikehendaki lhama itu. Tetapi ia tetap mendendam atas kematian suhunya tadi.
"Manusia yang tak tahu malu dengusnya, "jika tadi guruku tak memberi ampun, engkau manusia berhati serigala ini tentu sudah menghadap pada Raja Akhirat. Apa gunanya engkau berkokok begitu nyaring ?"
Mendengar ejekan itu marahlah Toho, bentaknya : "Budak hina, kutanya kepadamu, kapandaian pertapa gurumu itu tentu berasal dari suatu kitab pusaka. Dimanakah kitab itu disembunyikan? Sebagai muridnya engkau tentu tahu tempat itu. Ayo, tunjukkan kepadaku dan kuberjanji mayatmu nanti tentu masih utuh "
Tetapi Hong Ing tak dapat digertak. Kebalikannya, malah menyadarkannya bahwa gurunya memang benar telah menuliskan ilmu ciptaannya itu dalam sebuah kitab. Memang ia sendiri pernah melihat kitab itu dan waktu itu gurunya mengatakan bahwa dikuatirkan ia tak sempat mengajarkan sampai selesai ilmu pelajaran itu kepada Hong Ing, maka ia perlu menulis ilmu itu ke dalam buku. Agar apabila gurunya keburu meninggal, Hong Ing masih dapat melanjutkan mempelajari dan berlatih ilmu itu sendiri.
Betapa besar budi dan kecintaan Siau Yau cinjin itu kepadanya. Tetapi dia sendiri yang cari sakit karena diam-diam telah turun gunung. Akibatnya ia sampai menyebabkan gurunya terpukul jatuh ke dalam jurang.
Teringat akan hal itu kesedihan Hong Ing makin menimbun. Sesungguhnya ia memang tak tahu di mana kitab itu disembunyikan gurunya.
Melihat sampai beberapa jenak Hong Ing tetap diam saja, Toho masih mengira kalau dia sedang mempertimbangkan, maka segera ia menambah kata-kata lagi.
"Budak kecil, perlu apa banyak pikir ? Lekas bawa aku ke sana!"
Ingin Hong Ing mencaci maki lhama itu untuk menumpahkan kemarahannya. Tetapi tiba-tiba ia teringat bahwa paderi Tay To, suhu dari Tan Su Ciau pernah mengatakan bahwa ia telah menderita luka dalam yang parah sekali. Oleh karena ia memiliki dasar tenaga-dalam Thian-jiu-kang maka dalam dunia ini hanya gurunya saja yang mampu menyembuhkan.
Karena kini gurunya telah terjatuh ke dalam jurang maka iapun tiada harapan lagi untuk sembuh dari lukanya. Hanya apabila ia dapat menemukan kitab pusaka peninggalan suhunya itu untuk dipelajari dan diyakinkannya, dapatlah ia menyembuhkan lukanya.
Sebenarnya ia sudah putus asa. Setelah merenungkan permintaan Toho lhama, tiba-tiba timbul pula sepercik harapannya.
"Aku sih mau saja membawamu ke tempat itu," katanya, "tetapi bagaimana mungkin kalau berjalan saja aku sudah merasa tak mampu?"
Wajah lhama itu memancar sinar gembira, serunya: "Jika engkau merasa tenagamu habis, makanlah tiga butir pil pusaka dari biara Ko-liong-si. Setelah minum lakukan pernapasan. Dalam sejam kemudian, tanggung engkau akan pulih seperti sediakala".
Lhama itu segera mengeluarkan sebuah buli-buli, porselin dan menuangkan tiga butir pil sebesar biji kedele, lalu diangsurkan kepada Hong Ing.
Hong Ing menyambutinya dan tanpa banyak pikir lagi terus menelannya. Setelah itu ia paksakan diri untuk melakukan pernapasan sampai tiga kali. Ah, benar juga. Ia rasakan tenaganya timbul lagi. Serentak ia loncat bangun dan mencoba untuk menggerakkan kaki dan tangannya. Ia merasa tenaganya pulih lagi. Diam-diam ia kagum atas khasiat pil itu. Hanya tiga butir saja sudah menimbulkan daya yang begitu hebat. Apabila makan lebih banyak lagi, bukankah akan lebih hebat ?
Sekilas timbullah suatu siasat dalam benaknya. Tiba-tiba tubuhnya gemetar dan terhuyung-huyung jatuh terduduk di tanah lagi.
"Celaka, tiga butir belum cukup. Kasih aku tiga butir lagi" serunya.
"Tiga butir pil itu akan memberi khasiat untuk menghidupkan orang yang sudah sekarat jiwanya. Betapa berat luka-dalam yang engkau derita, tentu akan segera sembuh. Kesembuhan itu dapat bertahan sampai sehari" kata Toho lhama, "tetapi kalau engkau makan tiga butir lagi walaupun tenagamu bertambah dahsyat tetapi engkau hanya dapat bertahan selama enam jam saja. Pil itu disebut Toan-beng-wan atau pil Pendek-umur. Lebih baik jangan engkau temaha makan !"
Pikir Hong Ing. Asal tenaganya berlipat ganda, walaupun hanya dapat hidup sejam apabila tak berhasil menemukan simpanan kitab suhunya itu, ia akan mengadu jiwa dengan lhama itu.
"Ah, mana engkau tahu" serunya "suhu telah menyembunyikan kitab itu di sebuah tempat yang sangat pelik sekali. Lebih dulu harus memindahkan sebuah batu besar seberat beberapa ribu kati. Dan engkau tak tahu bagaimana cara mengisari batu itu. Hanya aku yang dapat melakukan. Tetapi kalau tenagaku tak cukup bagaimana mampu mengerjakannya ? Kalau benar pil itu dapat menambah tenaga, berikan kepadaku enam butir lagi. Dapat bertahan hidup sampai tiga jam, rasanya sudah cukup bagiku.
Setelah berpikir, Toho lhama berkata : "Baiklah !"
Dan iapun segera memberi enam butir pil lagi kepada Hong Ing....
Pil Toan-beng-wan itu buatan dari cakal bebakal pendiri biara Ko-liong-si di Su-jwan. Terbuat dari ramuan tanaman yang berkhasiat keras. Dalam waktu singkat setelah minum pil itu, khasiat tentu segera terbukti. Bahkan orang biasa kalau minum tiga butir saja, tenaganya pasti menyerupai seekor harimau.
Disebut pil Toan-beng-wan, memang bukan tak ada sebabnya. Karena setelah khasiat pil itu lenyap, tenaga-murninyapun habis dan jiwanya hanya dapat hidup beberapa jam lagi.
Setelah minum sembilan butir pil, Hong Ing loncat bangun. Tulang belulangnya terdengar berkeretekan. Seketika lukanya terasa hilang dan tenaganya bertambah hebat. Dengan berteriak keras, ia mengambil sebatang bambu besar. Sekali ditekuk, bambu itupun patah dua.
Melihat itu Toho lhama tertawa : "Sekarang tenagamu hebat sekali, tentu engkau dapat mengisar batu besar itu. Lekas bawa aku ke sana"
"Baik" seru Hong Ing terus melangkah masuk ke dalam guha. Lebih dulu ia mencari di tempat alat-alat keperluan yang dipakai suhunya sehari-hari.
Toho membanggakan ilmunya yang tinggi dan percaya, tentu dapat mengatasi Hong Ing-apabila akan berhianat. Ia menunggu dengan tenang.
Setelah mencari beberapa saat Hong Ing tak menemukan suatu apa. Diam-diam dia sudah menetapkan keputusan. Karena toh takkan hidup lagi, selagi tenaganya tumbuh hebat, ia akan menghancurkan lhama jahanam itu.
"Ih, mengapa tak ketemu? Kemanakah anak kunci itu? Ah, tak apa, kemarilah engkau!" serunya seraya melambai Toho lhama, terus melesat keluar.
Tanpa curiga Tohopun mengikuti di belakang. Setelah melintasi sebuah ruang, tibalah mereka di sebuah tempat dimaha terdapat segunduk batu besar. Guha Cui-im-tong tempat kediaman Siau Yau cinjin itu memiliki ruang yang cukup luas. Setelah dibangun oleh Siau Yau cinjin, jadilah guha itu sebuah tempat tinggal yang luas bersih dan tenang sesuai sebagai tempat bertapa.
Ternyata batu besar itu merupakan tepi sebuah jurang yang dalam. Hong Ing telah merencanakan. Setelah berada di atas batu itu, ia segera akan mendekap tubuh Toho untuk diajak bersama-sama terjun ke bawah jurang dan sama-sama mati.
Sambil menunjuk pada batu besar itu, Hong Ing berseru : "Di bawah batu besar itu terdapat sebuah guha kecil. Di situlah suhu menyimpan kitab pusaka. Selain ilmu pelajaran Thian-jiu-kang masih terdapat pula lima buah pusaka. Benda itu tak pernah diperlihatkan kepadaku. Berikan pedang Thian-liong-kiam kepadaku, akan kupapas batu besar ini."
Sudah tentu Hong Ing tak tahu apa yang dikatakan itu. Adakah di bawah batu itu terdapat sebuah guha kecil dan apakah dalam guha kecil itu tersimpan kitab pelajaran ilmu Thian-jiu-kang dan beberapa benda pusaka, sama sekali ia tak tahu. la hanya bicara ngawur saja. Tetapi Toho lhama yang sudah ngiler untuk mendapat kitab pusaka, percaya penuh. Segera ia menyerahkan pedang Thian-liong-kiam.
Selekas mencekal pedang pusaka Thian-Liong kiam itu segera Hon Ing berseru dalam hati: "Mohon arwah suhu suka membantu rencanaku!"
Ia berjongkok di atas batu dan mulai menggurat-gurat dengan pedang Thian-liong-kiam. Karena luar biasa tajamnya, pedang itu dapat memapas batu sehingga keping-keping tabasan batu itu berhamburan jatuh.
"Aha, akhirnya ketemu juga. Kemarilah engkau, tiba-tiba ia berteriak.
Bukan kepalang girang Toho. Diam-diam ia menimang. Apabila berhasil mempelajari ilmu Thian-jiu kang ciptaan Siau Yau cinjin dan mendapat pula beberapa benda pusaka, siapa lagi yang mampu menghalanginya malang melintang dalam dunia persilatan ?
Bergegas ia ayunkan langkah menghampiri. Ia ikut berjongkok dan memandang kearah bekas tabasan pedang Hong Ing. Tetapi ia tak melihat sesuatu yang luar biasa. Kecurigaannya mulai timbul. Tetapi belum sempat ia bertanya, tiba-tiba sekilas sinar kuning menyambar mukanya.
Celaka. Ternyata sinar kuning itu adalah tabasan pedang Thian-liong-kiam yang dilakukan Hong Ing untuk membacoknya. Lhama itu gelagapan dan menyadari bahwa dirinya telah ditipu mentah-mentah.
Untunglah berkat ilmu silatnya yang tinggi, dalam gugup ia masih dapat melakukan gerak To-cay-jong atau Bawang-rubuh. Tubuhnya berjungkir ke belakang. Sekalipun tubuh dan kepalanya terhindar dari maut tetapi segumpal rambutnya yang awut-awutan telah terpapas berhamburan ke tanah.
Karena serangannya luput, Hong Ing makin marah, la menyerang lagi.
"Huh, berani sekali engkau menipu aku budak hina?" teriak Toho seraya menghindar lalu melangkah maju. Tangan kanan yang tak berjari itu disodorkan kemuka, kelima jari tangan kirinya bergerak maju mundur untuk menerkam lengan Hong Ing.
Ilmu senjata yang dipelajari Hong Ing sebenarnya sebatang jwan-pian atau ruyung lemas. Dia tak dapat menggunakan pedang. Melihat lhama itu serempak melancarkan serangan dengan kedua tangannya, Hong Ingpun gugup dan menyurut mundur tiga langkah. Pedang diputar deras sekali tetapi tanpa suatu jurus permainan tertentu.
Untunglah karena pedang Thian-liong-kiam itu luar biasa tajamnya maka Tohopun tak berani gegabah sehingga tak berdaya untuk merebut senjata itu.
Hong Ing menyadari bahwa apabila dalam waktu tiga jam ia tak dapat melakukan pembalasan ia tentu celaka. Maka dengan membabi buta, ia menyerang secara kalap.
Lama kelamaan marahlah Toho. Berulang kali ia melancarkan jurus-jurus berbahaya. Setelah lima enam jurus kemudian tiba-tiba ia mengendapkan tubuh dan menurunkan kedua lengan ke bawah. Dengan begitu muka dan dadanya terbuka.
Hong Ing tak mau menyia-nyiakan kesempatan itu. Segera ia menabas kepala lawan. Tetapi dengan begitu ia telah jatuh ke dalam perangkap. Lengan Toho yang kiri tiba-tiba diangkat ke atas dan jari tangannya menyelentik pergelangan tangan Hong Ing. Seketika Hong Ing rasakan separoh tubuhnya seperti lumpuh. Ia tak kuasa mencekal pedang lagi dan pedang itupun segera terlempar ke udara.
Hong Ing terkejut dan serentak hendak loncat menyambar pedang itu. Tetapi Tohopun serempak juga hendak loncat menyambar. Tepat pada saat kedua orang itu hendak bergerak, tiba-tiba sesosok tubuh melayang dari udara dan mendahului kedua orang untuk menyambar Thian-liong-kiam.
Berada dalam tangan pendatang itu, Thian-liong-kiam berobah lain dayanya. Selagi masih melayang di udara, orang itu menaburkan pedangnya sehingga timbullah suatu lingkaran sinar kuning yang membaurkan hawa dingin.
Dengan dilingkungi oleh sinar pedang itu, jangan lagi Hong Ing, bahkan Toho lhama sendiripun sukar untuk mendekati. Ia tak berani memaksa untuk merebut.
Selekas gumpalan sinar itu lenyap maka tampaklah seorang paderi tua berwajah cerah mengenakan jubah yang longgar.
Seketika itu Hong Ing segera dapat mengenali paderi itu sebagai paderi Tay To. Bukan kepalang girangnya. Baru ia hendak berseru memanggil tiba-tiba sesosok tubuh melayang ke atas batu besar dan berteriak : "Hai, Hong Ing, ternyata engkau berada di sini. Aku mencarimu setengah mati".
Hong Ing berpaling dan melihat orang itu bukan lain adalah Tan Su Ciau. Karena masih bingung tentang peristiwa dalam rumah penginapan kecil di desa tepi sungai Hok-jun-kiang tempo hari. Sampai saat itu belum juga ia menyadari kalau dirinya telah dipermainkan Hian-li Lim Sam Kho.
"Hm, masih bilang engkau mencari aku, akulah yang mencarimu setengah mati!" ia menggeram.
Waktu itu Tah Su Ciau bangun tidur dan tak melihat Hong Ing, ia mengira nona itu tentu buru-buru melanjutkan perjalanan. Maka iapun segera bergegas menyusul. Tetapi tetap tak dapat menemukannya. Dia makin bingung. Kebetulan paderi Tay To pulang dari Holam hendak kembali ke Butto timur. Demikian kedua suhu dan murid itu telah berjumpa di tengah jalan.
Mendengar Hong Ing lenyap, paderi itu menghela napas.: "Siancay ! Su Ciau, karena engkau telah salah menduganya sebagai Hong Ing calon isterimu, dia telah menderita luka dalam rumahmu. Dan kini karena dia menghilang, sudah tentu engkau harus bertanggung jawab untuk menemukannya. Lebih baik kita berdua menuju ke guna Stau-yau-tong."
Demikian keduanya segera menuju ke tempat kediaman Siau Yau cinjin. Selama dalam perjalanan mereka tak mendapat suatu halangan apa-apa. Hanya begitu tiba di gunung Ke-tiok-san, mereka mendengar orang bertempur dipuncak gunung dan sering senjata yang tengah beradu itu jelas berasal dari pedang Thian-liong-kiam. Tay To segera kebutkah lengan baju dan meluncur ke atas. Su Ciau tertinggal di belakang.
Selekas naik ke atas batu besar, saat itu kebetulan Hong Ing telah terjebak oleh siasat Toho lhama. Thian-liong-kiam terlepas dari tangannya dan melayang ke udara. Tay To segera enjot tubuh untuk menyambar pedang itu.
Sudah berpuluh tahun ia menggunakan pedang Thian-liong-kiam itu. Kehebatan dari ilmu pe-dang Thian-liong-kiam-hwat hanya dibawah ilmu pedang Hian - li - kiam - hwat dari Hian-li Lim Sam Kho. Tetapi pedang Thian liong-kiam itu luar biasa tajamnya. Ditambah pula ilmu tenaga-dalam Thian-liong-sian-kang dari paderi Tay To itu bukan olah-olah hebatnya. Sedikit saja ia menggerakkan pedang itu, Toho lhamapun terdesak mundur.
Setelah dapat menghalau Toho lhama, paderi Tay To berpaling. Ketika melihat wajah Hong Ing memancarkan semangat menyala, ia terkejut.
"Ih" desisnya, "dimana suhumu ?"
Menerima pertanyaan itu, Hong Ing sedih, ujarnya: "Suhu telah dihantam jatuh ke dalam jurang oleh lhama jahanam itu. Harap cianpwe suka balaskan sakit hatiku. Akupun telah minum sembilan butir pil Toan-beng-wan. Jiwaku tinggal tiga jam lagi. Kalau tak menyaksikan dia mati, aku tak dapat mati dengan meram !"
Mendengar nama Toan-beng-wan, paderi Tay lo terkejut, serunya kepada Toho: "Siapa engkau? Apa hubunganmu dengan Bu-Wi lhama dari biara Ko-Liong-si ?"
Toho tertawa sinis: "O, kiranya engkau tahu juga kebesaran nama biara Ko-Liong-si. Bu Wi lhama itu adalah murid keponakanku. Aku ini paman gurunya yang bernama Toho Lhama!"
Makin tergetar hati Tay To, serunya: "Siau Yau cinjin seorang pertapa yang baik budi. Mengapa engkau membunuhnya ?"
Toho lhama marah, "Paderi jahanam dengan pertapa bangsat ternyata sama. Engkaupun juga harus mati mengenaskan !"
Ia menutup kata-katanya dengan gerakkan kedua tangannya menyerang. Paderi Tay To segera gunakan tangannya memutar pedangnya dalam jurus Sin-liong-tian-cui atau Naga-sakti-menyelundup-air. Sinar pedang berhamburan dau Toho lhama terpaksa mundur.
Mendapat bantuan dua tenaga yang sakti, giranglah Hong Ing. Ia segera menyerang dari belakang. Su Ciaupun juga bergerak.
Baru saja menghindari serangan paderi Tay To, Toho sudah diserang oleh dua orang anak muda itu. Tetapi ia tak gentar kepada kedua anak muda itu. Perhatiannya hanya tercurah pada pedang Tay To.
Duk, duk..... terdengar dua buah pukulan mendarat di tubuh. Hong Ing berhasil memukul bahu lhama itu dan Su Ciaupun dapat memukul lambungnya...
Su Ciau murid dari paderi Tay To dan Hong Ing telah minum sembilan butir pil Toan-beng-wan. Sebenarnya keduanya tak boleh dipandang enteng. Begitu terkena dua buah pukulan kedua pemuda itu, tubuh Tohopun terdorong kemuka dan saat itu pedang Tay To sudah melayang tiba. Toho merasa tubuhnya telah terlingkup dalam lingkungan sinar pedang Thian-liong-kiam. Ia terkejut. Dalam kekalahan ia hendak berusaha merebut kemenangan. Cepat ia merebah ke tanah dan terus berguling-guling sampai setombak lebih jauhnya. Dengan begitu dapat ia lolos dari pedang Tay To.
Tetapi Tan Su Ciau tak mau memberi ampun lagi. Loncat ke muka ia segera ayunkan kaki menendang.
Adalah karena terlalu memandang enteng pada kedua anak muda itu maka Toho sampai menderita pukulan mereka. Apalagi ia harus mencurahkan perhatiannya pada serangan pedang Thian-liong-kiam.
Tetapi saat itu paderi Tay to berada pada jarak setombak jauhnya. Dan Tan Su Ciau yang berada di belakangnya sedang berusaha hendak merubuhkannya. Ia tahu hal itu. Maka pada saat pemuda itu mengangkat kaki dan mengayunkannya, secepat kilat Toho lhama berputar tubuh menyambar telapak kakinya terus disorongkan ke muka.
Su Ciau terkejut. Ia hendak kerahkan tenaga dalam Cian-kin-tui atau Tindihan-seribu-kati tetapi tak keburu. Bagaikan layang-layang putus tali, tubuh pemuda itupun terlempar ke belakang.
Batu besar di belakang guha Siau-yau-tong itu luasnya hanya beberapa tombak. Su Ciau bergeliatan berusaha untuk menahan diri, tetapi tenaga dorongan Toho memang hebat. Pemuda itu gagal untuk mendarat di tanah dan dengan demikian ia tentu terlempar jatuh ke bawah gunung.
Melihat muridnya terancam bahaya, paderi Tay To tak melanjutkan serangannya lagi tetapi terus enjot tubuh melambung ke udara untuk menyambar tubuh pemuda itu.
Pendekar Banci Karya Sd Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Paderi itu berhasil menyambar kaki muridnya tetapi karena Toho menggunakan delapan bagian tenaga-dalamnya untuk mendorong maka paderi Tay Topun tak kuasa menahan laju tubuh muridnya. Bahkan ia ikut terseret bersama tubuh Su Ciau.
Melihat itu Hong Ing menjerit kaget. Tetapi Tay To seorang paderi yang berilmu sakti. Segera paderi itu menghimpun tenaga-dalam dan sekali menggembor keras, tubuhnya berhenti meluncur ke muka dan terus menurun ke atas batu. Memang beda ilmu Cian-kin-tui atau Tindihan-seribu-kati yang dilakukan Su Ciau dengan paderi Tay To. Tenaga-dalam guru dan murid, masih terpaut jauh.
Tempat yang didarati Tay To dan Su Ciau itu hampir merupakan ujung tepi karang. Beberapa langkah lagi sudah merupakan jurang yang ratusan tombak dalamnya.
Setelah menolong Su Ciau, Tay To cepat berpaling. Tetapi ia terkejut karena tak melihat Toho lhama lagi.
Hong Ing buru-buru lari ke ujung karang dan melongok ke bawah. Ternyata Toho lhama sudah melayang lari ke bawah gunung.
"Jahanam, hendak lari ke mana engkau?" teriak Hong Ing. Sekalipun ia tahu tak mampu menandingi, namun ia tetap hendak mengejar juga.
Tetapi Su Ciau cepat loncat mencegahnya : "Hong Ing, jangan ! Hari masih panjang masakan takut tak dapat membalas dendam kepadanya"
Dalam pada itu Tohopun sudah sempat menyelinap lenyap ke dalam hutan.
Toho menyadari bahwa dengan munculnya Tay To dan Su Ciau, ia tentu akan celaka. Maka jalan satu-satunyanya yang paling selamat hanyalah melarikan diri. Selama tujuh tahun dimasukkan dalam peti dan dibenam dalam dasar telaga oleh Siau Yau cinjin, ia pernah mendengar bahwa di gunung Tay-pat san terdapat simpanan pusaka yang berisi ilmu pelajaran sakti. Jika ia berhasil menemukan pusaka itu, kelak ia tentu dapat mencari Tay To lagi untuk membuat perhitungan. Dengan rencana itu. Iapun segera meloloskan diri.
Mendengar kata-kata Su Ciau bahwa hari masih panjang untuk melakukan pembalasan, hati Hong Ing tersayat. Beberapa tetes air mata menitik dari matanya.
"Apa itu hari masih panjang? Paling banyak dalam dua jam lagi aku sudah mati" serunya dengan rawan.
Karena tak mengerti sebabnya Su Ciau heran : "Mengapa engkau mengatakan begitu ?"
Hong Ing menghela napas. "Tanyakan suhumu, engkau tentu akan tahu" ujarnya.
Su Ciau bergegas meminta keterangan kepada Tay To : "Suhu apakah kata-kata Hong Ing itu benar?"
Sambil merangkap kedua tangan kedada, Tay To berseru : "Siancay ! Mengapa nona Hong Ing bisa memakan pil Toan-beng-wan ? Bahkan telah makan sampai sembilan butir? Pil itu luar biasa kerasnya, sukar ditolong lagi "
Su Ciau seorang pemuda yang berhati welas asih dan jujur. Setelah mengetahui, bahwa Hong Ing sekalipun bukan Hong Ing calon isterinya tetapi karena ia sudah bergaul beberapa waktu, timbul juga rasa persahabatan. Sudah tentu ia terkejut mengetahui keadaan Hong Ing.
"Suhu, apakah benar-benar sudah tiada daya untuk menolong jiwanya lagi ?" serunya kaget.
Tay To menghela napas : "Daya sih ada. Ku dengar di gunung Tay-swat-san terdapat sejenis serangga aneh yang disebut Peng-ngo. Hanya dengan makan serangga salju itu kiranya dia akan tertolong. Bukan saja dapat menghilangkan racun pil Toan-beng-wan itu, pun bahkan akan mampu mempertahankan daya khasiat pil itu pada tubuh untuk untuk selama-lamanya .. "
"Jika begitu mari kita ke sana " seru Su Ciau serentak.
Tay To gelengkan kepala. "Su Ciau, bukan saja serangga itu sukar dicari, pun andaikata dapat kita ketemukan, pun waktunya tentu sudah tak keburu lagi".
Su Ciau terlongong. "Suhu, bukankah suhu mempunyai pil Jit-hoan-leng-wan ?"
"Pil Jit-hoan-leng-wan bersifat panas, menyuruhnya makan berarti akan mempercepat kematiannya" sahut Tay To.
"Ah, kalau begitu apakah benar-benar sudah tiada daya lagi?" Su Ciau menghela napas rawan.
Paderi Tay To mengangguk kepala tanpa menjawab. Hong Ing mendengar semua pembicaraan mereka. Melihat Su Ciau begitu merisaukan dirinya, diam-diam ia berterima kasih kepada pemuda itu.
Tahu bahwa dirinya sudah tiada harapan hidup lagi maka Hong lng memutuskan. Kalau toh mati, ia tak mau mati dengan mengenaskan tetapi ia akan mati dengan gembira. Tiba-tiba timbul suatu pikiran aneh, serunya: "Su Ciau, tak perlu engkau merisaukan diriku ...."
Tiba-tiba Su Ciau menukas: "'Tidak Suhu, karena dalam waktu dua jam Hong Ing masih dapat hidup, kuda Pemburu-petir itu dapat lari melebihi angin. Biar bagaimana jadinya, kita harus tetap berusaha. Bagaimana pendapat suhu?"
Diam-diam Tay To memuji kesungguhan hati muridnya untuk menolong orang. Agar Su Ciau jangan kecewa, ia menyerahkan pedang Thian-liong-kiam kepada muridnya.
"Baiklah, kalian berdua boleh mencoba kesana," katanya, "karena sudah lama aku tak berjumpa dengan Siau Yau cinjin. Karena saat ini dia mendapat kecelakaan di bawah jurang, aku harus menolongnya !"
Su Ciau cepat menarik tangan Hong Ing diajak turun gunung. Setelah mendapatkan kudanya, segera mereka melarikan ke arah gunung Tay-swat-san.
Karena tahu akan sia-sia saja, Hong Ing tertawa : "Su Ciau, ternyata engkau lebih keras hati dari gurumu."
"Apa maksudmu ?" Su Ciau heran.
"Gurumu mengatakan aku ini memang murid dari Siau Yau Cinjin itu benar. Tetapi kalau dia mengatakan aku bukan Hong Ing milikmu, dia salah. Coba engkau pikir, apakah di dunia terdapat sepasang manusia yang begitu mirip satu sama lain?"
Mendengar itu Su Ciau terkejut dan gembira. Dengan berkata begitu jelas Hong Ing mengaku kalau calon isterinya. Sampai beberapa saat ia tak dapat berkata apa-apa.
Hong Ing memang sengaja berbuat begitu untuk membalas terima kasih kepada pemuda itu. Ia tahu kalau dirinya dua jam lagi tentu mati. Selagi masih bernapas, ia hendak menghibur hati pemuda itu. Diam-diam ia mengiri pada Cin Hong Ing nona mempelai yang minggat itu. Disamping iapun menyesalkan Cin Hong Ing yang tak dapat menilai orang. Su Ciau seorang kekasih yang setia dan mencintai setulus hati. Mengapa Cin Hong Ing sampai hati untuk mempermainkannya?
Karena kasihan dan sekedar untuk membalas budi kebaikan pemuda itu maka Hong Ing sengaja mengaku kalau dirinya memang Cin Hong Ing.
"Su Ciau, apakah engkau tak percaya ?" serunya ketika melihat pemuda itu berdiam diri.
"Tidak mengaku ya engkau, mengakupun tetap engkau. Bagaimana aku harus mengatakan?" sahut Su Ciau.
Diam-diam Hong Ing tertawa pilu. Jelas Su Ciau itu seorang pemuda yang jujur.
"Benar dan salah, palsu dan aseli, memang suatu hal yang sukar dimengerti. Andai kata aku ini Hong Ing yang palsu, bolehlah engkau anggap saja sebagai Hong Ing aseli," kata Hong Ing tertawa.
Su Ciau gelengkan kepala.
"Ah, mengapa boleh begitu ?" serunya.
Hong Ing tertawa geli: "Kalau yang palsu tak boleh dianggap yang aseli, aku akan menjadi yang aseli itu."
"Hong Ing" Su Ciau tertawa hambar, "aku sungguh bingung. Kalau engkau memang Hong Ing yang aseli, mengapa engkau menjadi murid Siau Yau cinjin ?"
"Aneh, mengapa aku tak boleh menjadi murid dari dua orang guru sakti?", sahut Hong Ing.
Su Ciau terkesiap. "Hong Ing, mengapa engkau harus mencari perkara dengan mamahku, mencuri pedang, kuda dan pelana mutiara itu ?" tanyanya.
Hong Ing kerutkan alis. Diam-diam ia sendiripun heran mengapa Cin Hong Ing itu mencuri ketiga benda itu.
"Su Ciau, aku hanya mempunyai waktu dua jam saja. Hidup dalam waktu sesingkat itu, marilah kita pergunakan untuk berbicara hal-hal yang menggembirakan saja, perlu apa harus mengungkit peristiwa itu lagi ?"
Kembali Su Ciau terkesiap. Diam-diam ia mulai bimbang, apakah Hong Ing calon mempelainya itu. Ia sendiri juga sangsi adakah dalam waktu hanya dua jam ia mampu mencapai gunung Tay-swat-san. Kemungkinan besar Hong Ing tentu sudah mati.
"Ah, benar" akhirnya ia memutuskan, "biarlah dalam saat-saat menjelang kematiannya, ia merasa bahagia dalam hati."
Setelah berpikir beberapa saat, akhirnya ia hentikan kuda dan berkata: "Hong lng, apa yang telah lalu, tak perlu kita bicarakan lagi. Tempo hari kita berdua telah melangsungkan pernikahan, tetapi belum sempat kita bersembahyang pada langit dan bumi, kita sudah keburu berpisah. Tak peduli bagaimanapun juga aku telah membulatkan segenap cintaku padamu. Saat ini walaupun engkau tak mengenakan pakaian temanten tetapi apa halangannya kita bersembahyang berdua kepada langit dan bumi, agar menyaksikan bahwa kita benar-benar telah terikat sebagai suami isteri".
Hong Ing membatin. Su Ciau itu benar-benar seorang kekasih yang setia sekali. Ia menghela napas: "Su Ciau, karena aku toh bakal mati dalam dua jam lagi, perlu apa engkau harus berjerih payah begitu ? Lebih baik engkau lupakan saja diriku ini"
"Hong Ing" seru Su Ciau, "apakah engkau tak tahu isi hatiku ? Mari turun, kita-jadikan pohon jati itu sebagai saksi sumpah kita".
Dari gunung Ke-tiok-san sampai saat itu, sudah hampir dua jam lamanya. Sudah tentu khasiat pil Toan-beng-wan pada tubuh Hong Ing mulai luntur. Hong Ing sudah merasa pening, pandang matanyapun mulai kabur.
"Aku tentu mati" pikirnya, "untuk membalas budi, aku harus menuruti permintaannya"
Melihat Hong Ing mau turun dari kuda, Su Ciau gembira sekali. Segera ia menghampiri kesebuah pohon jati dan membuat dupa dari tanah liat kemudian bersama-sama Hong Ing berlutut di depan pohon jati itu. Su Ciau lalu berdoa :
"Murid Tan Su Ciau, Cin Hong Ing... "
Baru ia berkata begitu tiba-tiba Hong Ing menukas : "Jangan ! Engkau harus menyebut Ui Hong Ing bukan Cin Hong Ing"
Pikir Su Ciau, karena Cin atau Ui itu toh orangnya sama maka iapun segera menurut.
"Murid Tan Su Ciau, Ui Hong Ing, hari ini didepan gunduk batang pohon jati dan tanah liat sebagai dupa, bersembahyang kepada langit dan bumi agar menjadi saksi atas terangkapnya diri kami berdua sebagai suami isteri bila kelak kami ingkar sumpah, semoga Langit menimpah dan Bumi menghancurkan diri kami."
Dalam keadaan tak sadar Hong Ing menirukan saja ucapan Su Ciau itu. Setelah selesai, keduanya lalu berbangkit lagi.
Hong Ing tak peduli atas peristiwa itu. Mengangkat sumpah di depan pohon jati, baginya tak berarti apa-apa. Sebentar lagi bukankah ia akan mati?
Perasaan semacam itu juga dimiliki Su Ciau. Tetapi pemuda itu rawan sekali hatinya. Bukankah isterinya yang cantik itu dalam beberapa saat lagi akan meninggalkannya untuk selama-lamanya.
Tetapi demi menghibur Hong Ing ia harus bersikap gembira agar pada detik-detik kematiannya Hong Ing dapat merasa bahagia.
"Hong Ing, akhirnya kita terangkap juga sebagai suami isteri" serunya tertawa.
Hong Ing juga tertawa rawan : "Tetapi akupun segera akan mati."
Serentak ia rasakan kepalanya makin pening. Ketika mengangkat tangan hendak meraba kepala ternyata tangannyapun lemas lunglai tak bertenaga lagi. Jelas pil Toan-beng-wan itu sudah habis daya khasiatnya.
Dengan menahan kesedihan hati, Su Ciau berkata : "Hong Ing, tak apalah. Walaupun engkau meninggalkan dunia, tetapi engkau tetap hidup dalam hatiku. Bukankah itu lebih bahagia daripada hidup tetapi tiada orang yang mengenangkan?
Orang mengatakan bahwa seorang ksatria itu tak mudah menitikkan airmata. Hal itu dikarenakan belum menghadapi peristiwa yang benar-benar menghancurkan jiwa hatinya. Betapapun keras hati SuCiau namun dalam menghadapi saat-saat seperti itu mau tak mau ia menitikkan airmata juga.
Saat itu Hong Ing tengah memandangnya. Tak terduga mukanya telah tertimpa air mata Su Ciau yang berderai-derai menetes ke bawah. Tiba-tiba Hong Ing rubuh. Su Ciau cepat menolongnya. Diletakkan tubuh Hong Ing pada kedua kakinya.
Sekonyong-konyong Su Ciau melihat dua sosok bayangan orang berlari-lari mendatangi. Ia tak dapat melihat jelas siapa kedua pendatang itu. Yang jelas hanyalah bahwa kedua pendatang itu bertubuh kate. Begitu lewat di tempat itu, mereka terus lari ke muka. Sekejab saja sudah jauh lagi.
Tiba-tiba salah seorang dari kedua orang kate itu berseru : "Lo-toa, siapakah budak perempuan itu? Apakah engkau tahu ?"
"Ya, aku memang melihatnya" sahut kawannya, "memang kebenaran sekali, tanpa susah payah kita dapat mencarinya"
Secepat berputar tubuh kedua orang kate itu pun segera lari kembali ketempat Su Ciau. Kini SuCiau dapat melihat jelas bahwa kedua orang itu bertubuh kate, berumur pertengahan tua. Tetapi sebelum sempat ia menegur salah seorang dari mereka sudah mendahului berseru :
"Nona kecil, lekas ikut kami". Saat itu Hong Ing baru membuka mata. Ketika mengenali yang datang itu sepasang orang kate Lo Thian dan Lo Te ia segera berseru:
"Hai, mengapa kalian ribut-ribut tak keruan ?" Sepasang orang kate itu tertawa dingin. "Bagus, kami takkan ribut lagi bila engkau sudah ikut kami"
Su Ciau yang sedang berduka, marah karena kedua orang kete tersebut tidak menghiraukan kesopanan. Serentak Su Ciau loncat bangun dan terus menghantam. "Su Ciau, jangan tinggalkan aku. Aku mempunyai cara untuk menghajar mereka" tiba-tiba Hong Ing berseru.
Rupanya kedua orang kate itu cepat dapat mengetahui bahwa Hong Ing sedang meregang jiwa. Buru-buru mereka bertanya : "Nona kecil apa yang hendak engkau katakan?" Hong Ing mengambil dua butir mutiara dari bajunya lalu dilemparkan : "Lihatlah sendiri, kalian tentu segera tahu. Tak perlu aku harus banyak bicara lagi, lekas pergi".
Lo Thian dan Lo Te masing-masing memungut sebutir. Secepat melihat pada mutiara itu mereka segera mendapatkan dua buah ukiran huruf Cek dan Bi. Tetapi agaknya mereka tak tahu apa yang dimaksudkan dengan kedua huruf itu.
"Cek-bi-san" teriak Hong Ing, "apakah kalian tak pernah mendengar nama gunung itu? Kedua mutiara itu berasal dari pelana kulit beruang putih, tahu !"
Girang kedua orang kate itu bukan alang kepalang. Tanpa berkata apa-apa, mereka terus loncat dan lari menuju ke Cek-bi-san. Tetapi karena hanya tahu Cek-bi-san, begitu tiba digunung, walau berputar-putar sampai dua hari, mereka tetap tak menemukan suatu apa. Setelah tiba dipuncak yang ketujuh barulah mereka bertemu dengan Cong Tik.
Su Ciau hanya terlongong-longong menyaksikan peristiwa itu. Ia memang tak tahu menahu soal pelana mutiara yang sebenarnya menjadi pusaka keluarganya. Yang dipikirkan saat itu ialah makin tumbuhnya kepercayaan dalam hatinya bahwa Hong Ing yang berada di hadapannya itu adalah Cin Hong Ing calon mempelainya yang lari dulu itu.
"Hong Ing, bagaimana keadaanmu sekarang ini?" tanyanya.
"Mungkin sudah hampir mendekati ajal" sahut Hong Ing. "Su Ciau bukankah tempat ini sebuah tempat yang sunyi? Lekas engkau gunakan pedang Thian-liong-kiam untuk membuatkah aku sebuah liang kubur !"
Su Ciau segera berbangkit, mencabut pedang Thian-liong-kiam lalu mulai menggali tanah. Tetapi baru dua kali menggali tiba-tiba ia teringat bahwa pekerjaan itu adalah untuk mengubur orang yang dicintainya. Tring ....
"Hong Ing ! Hong Ing, engkau tak boleh mati " teriaknya.
Hong Ing palingkan muka. Hatinya sedih juga.
"Su Ciau, mengapa engkau membuat hatiku sedih lagi ? Lekas lanjutkan penggalian. Mana ada orang hidup yang takkan mati? Bukankah kita semua kelak akan menjadi segunduk tanah? Sudahlah jangan merengek-rengek seperti anak kecil!"
Su Ciau terpaksa menahan air matanya dan lanjutkan menggali. Tak berapa lama dapatlah ia membuat sebuah liang sedalam satu setengah meter. Tetapi ketika hendak menggali lebih dalam, ia dapatkan tanah di bawah keras sekali. Sampai pedang Thian-liong kiam yang begitu tajam tak dapat menembusnya.
Su Ciau tak mau menyelidiki, apa sebabnya tanah itu keras melainkan berpaling ke arah Hong Ing. Dilihatnya Hong Ing itu pejamkan mata seperti orang tidur. Wajahnya berwarna merah dan sikapnya tenang sekali.
Su Ciau memandangnya dengan heran. Beberapa saat kemudian Hong Ing membuka mata lagi dan memandangnya. Jelas Hong Ing tak mengunjuk kesakitan melainkan hanya seperti orang ngantuk saja, tetapi hatinya tak mau tidur. Hong Ing berusaha untuk merentang mata dan memandang Su Ciau saja.
Beberapa saat kemudian keadaan Hong Ing sudah tak dapat ditolong lagi. Su Ciaupun segera menghampiri dan mengangkat tubuhnya diletakkan ke dalam liang. Baru saja meletakkan, tiba-tiba dia terkejut mendengar ada suara orang berseru dari atas liang.
"Hai, siapakah nona itu? Apakah dia sudah mati ?"
Su Ciau melonjak kaget. Menengadahkan kepala memandang ke atas ia melihat seorang nenek tua berwajah buruk dan mengenakan pakaian warna hitam. Sikapnya dingin sekali. Sepasang matanya berkilat-kilat tajam. Suatu pertanda bahwa ia memiliki ilmu tenaga-luar dan dalam yang tinggi.
Kecuali pergi ke daerah Butto timur dan Ho lam, Su Ciau jarang keluar ke dunia persilatan. Dan karena nenek itu juga selalu mengeram di pulau Lo-to laut Tang-hay sampai belasan tahun, maka Su Ciaupun tak kenal pada nenek itu. la kira nenek itu tentu seorang tokoh sakti yang menyembunyikan diri. Serentak timbul harapannya untuk minta pertolongan nenek itu supaya menghidupkan Hong Ing.
'Dia masih berdenyut napasnya, maukah cianpwe menolongnya ?"ia berseru.
Memang pendatang itu tak lain adalah nenek Cenderawasih-Tutul. Dan Hong Ingpun segera dapat mengenali nada suaranya. Ia mengerang.
Nenek Cenderawasih-Tutul ulurkan tongkatnya ke dalam liang : "Pegang !"
Su Ciau tak tahu apa maksud nenek itu. Sesaat ia memegang ujung tongkat, nenek Cenderawasih-Tutul segera menariknya ke atas. Sedang nenek itu sudah meluncur ke dalam liang. Dengan menggunakan tenaga-dalam ia susupkan suaranya : ke telinga Hong Ing : "Budak kecil, rahasia apakah yang terdapat pada mutiara pelana itu? Lekas bilang"
Hong Ing menimang. Kedua orang kate tadi baru saja pergi, kalau nenek itu menyusul dan dapat bertempur dengan mereka, alangkah bagusnya.
"Tadi sudah terlanjur kuberitahu kepada sepasang orang kate dari Lian-san. Di belakang mutiara itu terdapat tulisan yang berbunyi Cek-bi-san. Lekas kejar mereka, kalau tak tentu akan diambil oleh mereka!"
Walaupun kata-kata itu dilantangkan Hong Ing dalam keadaan yang payah, ibarat seperti pelita yang sudah hampir habis minyaknya, tetapi nenek Cenderawasih-Tutul dapat menangkap jelas.
"Apakah kata-katamu itu sungguh ?" ia menegas.
Hong Ing tertawa hambar: "Aku sudah hampir mati, perlu apa harus bohong ?"
Sebenarnya tubuhnya terasa hangat dan hanya kepingin tidur saja. Tetapi karena dimasukkan dalam liang, ia rasakan punggungnya terkena hawa dingin. Panas dan dingin campur bawur merangsang tubuhnya. Karena tidak tahan dia sampai tak dapat bicara lagi, pejamkan mata berjuang untuk melawan bawa dingin yang menyerang punggungnya itu.
Iapun masih mendengar nenek Cenderawasih-Tutul loncat ke atas dan berkata kepada Su Ciau : "Budak perempuan itu sudah mati, lekas saja engkau timbuni dengan tanah!"
Hong Ing terkejut. Ia merasa masih hidup mengapa akan ditimbuni tanah karena dianggap sudah mati ? Tetapi apa daya, ia tak dapat bergerak lagi. Dan pula hawa dingin dibawah tubuhnya itu makin lama makin hebat dan tak berapa lama tubuhnya makin kaku dan tak merasakan apa-apa lagi. Kesadaran hatinya masih ada, dia belum mati.
Melihat nenek itu masuk ke dalam liang lalu loncat keluar lagi dan memberitahu kalau Hong Ing sudah mati, lalu terus lari pergi, Su Ciau heran. Berpaling memandang ke dalam liang, dilihatnya wajah Hong Ing tampak membesi, pertanda kalau sudah mati.
Walaupun sudah tahu bahwa akhirnya Hong Ing tentu mati tetapi ketika melihat saat-saat kematian itu, Su Ciau tergetar hatinya. Ia loncat lagi ke dalam liang dan meraba muka Hong lng. Ah, memang sudah dingin seperti es. Ia pun menganggap Hong Ing tentu sudah mati. Tetapi ia lupa untuk memeriksa pernapasannya, melainkan terus menangis: "Hong Ing. Hong Ing! Baru saja kita menjadi suami isteri, engkau lalu meninggalkan aku selama-lamanya. Adakah di dunia terdapat peristiwa yang begini mengenaskan ?"
Dia menangis dan Hong Ingpun mendengar jelas. Tetapi karena hawa dingin menyerang makin hebat pada tubuhnya, diapun tak dapat berkutik. Diam-diam ia memaki pemuda itu yang begitu goblok mengira kalau ia sudah mati.
Tak berapa lama Su Ciau terus naik ke atas lagi. Hong Ing ingin membuka mata tetapi tak dapat. Ia merasa hawa dingin mulai merayap di kaki, terasa enak sekali pada tubuhnya. Kecuali tubuhnya terasa kaku, lunglai pada pikirannya tadi terasa hilang, bahkan seperti pada saat ia menelan sembilan butir pil Toan-beng-wan tadi.
Baru ia hendak berusaha untuk mencari akal, tiba-tiba ia rasakan badannya sakit, makin lama makin berat. Ia duga Su Ciau tentu mulai menimbuni tanah.
Sudah tentu Hong Ing bingung sekali.
"Hai, aku belum mati, mengapa engkau hendak mengubur aku hidup-hidupan!" serunya. Tetapi bukan berseru dengan mulut melainkan dengan hati.
Saat itu tubuhnya makin tertindih benda berat dan akhirnya ia tak mendengar suara apa-apa lagi.
Lebih celaka lagi, ia merasa dibawah tubuhnya. Seperti terdapat serangga yang bergerak-gerak. Jalan darah Leng-tay-hiat pada punggungnya juga terserang hawa dingin hingga sampai menembus ke ulu hati. Rasanya hawa dingin itu berkeliar kian kemari disekujur tubuh. Entah berapa lama ia harus menahan penderitaan itu, kemudian ia ingin membuka mata tetapi karena tubuh tertimbun tanah, ia tak dapat melihat apa-apa.
Saat itu sebenarnya ia sudah sadar sama sekali. Tenaganya terasa bertambah besar, la mengkal karena timbunan tanah itu maka ia segera berontak hendak bangun. Ah, ternyata tanah yang menimbuninya itu dapat bergerak. Ia girang sekali dan mulai kerahkan seluruh tenaganya. Setelah beberapa saat akhirnya ia dapat menggerakkan tubuhnya juga.
Pada saat ia girang karena bakal dapat keluar dari liang kubur, tiba-tiba ia mendengar suatu suara nyaring dari atas tanah, berteriak membentaknya : "Hai, siapakah yang berada dalam tanah ini? Setan atau manusia ?"
Saat itu karena tanah yang menimbuni tubuh dapat didorong keluar, tubuhnya dapat bergerak dan iapun dapat bicara juga. Ternyata waktu Su Ciau menggali liang, ia menggali sebongkah-sebongkah tanah, pula saat menimbuni bukan tanah lembut tetapi berupa perongkolan tanah yang besar-besar. Maka mudahlah bagi Hong lng untuk menyiak tanah itu ke atas. Bahkan saat itu tampak juga berapa percik kecil-kecil dari sinar matahari yang menembus celah-celah perongkolan tanah-tanah itu.
"Sudah tentu manusia!" sahutnya dengan cepat.
"Ih, aneh !" seru orang yang berada di atas liang itu. Dan tak berapa lama tanah-tanah itupun segera berhamburan dilempar ke samping. Tak lama pula tindihan pada tubuhnyapun makin longgar. Cepat ia loncat keluar.
Saat itu hari sudah petang. Dilihatnya seorang lelaki pertengahan umur, bertubuh tinggi, tangan dan kakinya panjang, muka penuh bintik-bintik hitam, tengah memandang Hong Ing dengan terbelalak.
Hong Ing segera dapat mengenali orang itu. Ia pernah bertemu dengan orang itu ketika berada dalam sebuan rumah gubuk digunung Tay-pat-san.
Juga Hong Ing melihat disampingnya terdapat sekeping batu yang diukir dengan huruf-huruf berbunyi "Makam dari Ui Hong Ing, isteriku yang tercinta. Tan Su Ciau yang mendirikan."
Diam-diam Hong Ing menduga orang tinggi itu tentu kebetulan lalu disitu dan karena melihat liang kubur bergerak-gerak, tentu mengira kalau mayat yang berada dalam liang kubur itu hidup lagi atau kemungkinan menjadi setan. Tetapi yang mengherankan Hong Ing, bukanlah orang itu melainkan dirinya sendiri. Mengapa saat itu ia tak merasa menderita luka lagi. Padahal lukanya sudah parah dan tak mungkin tertolong lagi. Apa lagi ia telah minum sembilan butir pil Toan-beng-wan sehingga jiwanya hanya hidup dalam waktu tiga jam saja ? Mengapa ia tidak mati ? Mengapa ia malah merasa segar ?
"O, kiranya engkau," seru orang itu dengan wajah kaget,"sejak meninggalkan Lembah Kupu-kupu, ilmu apakah yang telah engkau pelajari ? Mengapa engkau dikubur dalam tanah? Ditempat itu telah kupelihara sarang Peng-ngo (serangga salju) yang memancarkan hawa luar biasa dinginnya. Mengapa serangga-serangga itu tak dapat membekukan dirimu".
Setelah mendengar nada suaranya. Hong Ing makin yakin bahwa orang itu adalah orang yang pernah menolongnya ketika ia berhadapan dengan katak-manusia di lembah Kupu kupu dahulu. Sekarang orang itu mengatakan tentang serangga salju. Bukankah paderi Tay To mengatakan bahwa hanya dengan serangga-salju, lukanya baru dapat disembuhkan. Apakah karena dikubur dalam liang itu ia telah memperoleh suatu rejeki yang ajaib karena mendapat serangga-salju secara tak pernah diduga-duga?
Segera ia menuturkan tentu semua peristiwa yang dialaminya, sejak pergi dari Lembah Kupu-kupu.
Orang itu mengangguk-anggukkan kepala, serunya: "Engkau memang belum takdirnya mati. Pemuda setan itu jika menggali agak kesamping sedikit, engkau tentu akan mati selama-lamanya."
"Mengapa ?" tanya Hong Ing yang rupanya masih belum jelas duduk perkaranya.
"Cobalah engkau raba punggungmu" kata orang itu.
Saat itu memang Hong Ing masih rasakan punggungnya dingin. Ketika merabanya, hampir ia menjerit kaget. Ternyata punggungnya masih penuh dikerumuni serangga kecil-kecil. Ia menangkap seekor dan memeriksanya. Ah, ternyata bentuknya seperti anai-anai biasa tetapi tubuhnya mengkilap dan dingin sekali.
"Cianpwe, apakah ini Peng-ngo dari gunung Tay-swat-san ?" tanya Hong Ing.
Orang itu mengangguk: "Benar, karena Tay-swat-san sangat jauh, tempo hari setelah menemukan sarangnya segera kubuatkan sebuah liang salju ditempat ini. Dengan memelihara mereka, apabila perlu sewaktu-waktu dapat digunakan. Meskipun engkau telah makan pil Toan-beng-wan, walaupun tenagamu bertambah, tetapi pil itu panas sekali. Didalam dunia hanya Peng-ngo ini yang dapat menolongmu. Kebetulan engkau terbaring diatas sarang es sehingga serangga itu keluar semua dan merubung tubuhmu. Dengan begitu hawa panas dari pil Toan-beng-wan campur dengan hawa dingin dari Peng-ngo. Bukan saja lukamu sembuh pun tenagamu akan bertambah luar biasa kuatnya. Jika tidak begitu, mana bisa engkau keluar dari liang kubur ?"
Setengah percaya setengah meragu Hong Ing mendengar keterangan itu. Prak, ia segera tabaskan tangannya kesebatang pohon jati yang berada disampingnya. Batang pohon itu sebesar mangkuk. Sekali terhantam, terus patah.
Bukan kepalang girang Hong Ing. Diam-diam ia teringat akan ketenangan Cong Tik bahwa orang aneh yang dihadapannya itu adalah tokoh ternama dalam dunia persilatan yang disebut Siang Bong atau Raja-binatang. Atau Leng-kiam-leng-hiap, si Pedang-dingin-pendekar-dingin Siang Bong. Serta merta Hong Ing berlutut.
"Suhuku, Siau Yau cinjin telah meninggal. Mohon cianpwe suka menerima aku sebagai murid" katanya.
Memang dugaan Hong Ing itu benar. Orang itu adalah Leng-kiam-leng-hiap Siang Bong. Beberapa saat dia diam saja, tak menjawab permohonan Hong Ing.
Sejak kecil Siang Bong mempunyai dendam darah keluarganya. Ayah bundanya telah dibunuh orang. Sebatang kara ia mengembara dalam dunia persilatan. Setelah mengalami berbagai penderitaan akhirnya ia berhasil mempelajari ilmu kesaktian yang hebat. Sebenarnya ia suka dengan anak muda yang berguna maka ia pun tertawa dan menyuruh Hong Ing bangun. Sambil berkata ia gerakkan tangannya.
Setelah makan sembilan butir pil Toan-beng-wan dan dikerumuni Peng-ngo, tenaganya bertambah hebat sekali. Hong Ing tahu bahwa gerakan tangan orang itu tentu hendak mengangkat tubuhnya. Diam-diam timbul suatu pikiran dalam hatinya. Mengapa ia tak mau kerahkah tenaga untuk mencoba kelihayan orang itu. Benarkah ia seorang tokoh sakti seperti yang dimashurkan dunia persilatan ?
Segera ia kerahkan tenaga dan tetap berlutut tak mau bangun. Sedang kedua tangannya yang dijulurkan ke muka, diam-diampun telah disaluri tenaga dalam.
Tetapi tiba-tiba terdengar Siang Bong tertawa gelak-gelak. Segulung tenaga lembut yang mengandung kekuatan besar telah melanda. Hong Ing gelagapan dan tak tahu apa yang terjadi, tahu-tahu ia sudah berdiri.
"Harap maafkan murid berlaku kurang hormat" katanya tersipu sipu.
Siang Bong tertawa hambar. "Jangan bergirang dulu. Engkau mempunyai bakat baik dan kebetulan pula telah mendapat penemuan yang aneh. Daya kekuatan pil Toan-beng- wan itu memang luar biasa kerasnya. Tetapi kini telah diamankan oleh hawa dingin dari Peng-ngo. Aku tak menerima murid. Tetapi engkau boleh ikut aku selama satu tahun. Akan kuajarkan kepadamu ilmu kepandaianku."
Sedih hati Hong Ing karena Siang Bong tak mau menerimanya menjadi murid. Tetapi berpikir lebih lanjut dengan mendapat bimbingannya selama satu tahun itu, ilmu kepandaiannya tentu bertambah hebat. Akhirnya Hong Ing menerima dan menghaturkan terima kasih lagi.
"Di gunung dan bengawan yang ternama dalam kolong dunia ini, aku mempunyai tempat tinggal kata Siang Bong pula. Di sekitar tempat ini akupun telah mendirikan tiga buah rumah pondok. Mari kita ke sana dan tinggal selama setahun".
Habis berkata Siang Bong terus mendahului ayunkan langkah.
Setelah keluar dari daerah pedalaman gunung itu, mereka tiba disebuah pondok yang terdiri dari tiga buah rumah. Bentuknya sama dengan pondok yang dibangun di gunung Tay-pat-san.
Di bagian tengah merupakan sebuah ruang besar, juga dihias dengan sepasang lian. Sebelah kiri merupakan kamar tulis, penuh dengan buku. Tiba-tiba Hong Ing teringat lagi ketika berada di Tay-pat-san pada saat Cong Tik belum datang, ia pernah berkeliaran menyelundup ke dalam kamar tulis. Didapatinya buku-buku itu ternyata bukan buku sungguh melainkan hanya lukisan saja. Diam-diam dia tertawa geli ketika teringat hal itu.
"Eh, mengapa engkau tertawa?" tegur Siang Bong.
Hong Ing terkejut dan tundukkan kepala tak berani menjawab. Takut kalau isi hatinya diketahui Siang Bong dan tokoh itu akan marah kepadanya lalu tak jadi mengajarkan ilmu kepandaiannya. Siang Bong berkata :
"Engkau tentu menertawakan buku-buku dalam kamar itu semuanya hanya lukisan belaka bukan?" tegurnya.
Merah wajah Hong Ing karena isi hatinya diketahui Siang Bong. Ia mengangguk. Dan Siang Bong tak marah bahkan malah tertawa gelak-gelak.
"Engkau tentu mengira bahwa aku ini sesungguhnya hanya seorang yang kosong melompong tetapi pura-pura hendak beraksi seperti seorang terpelajar"
Tersipu-sipu Hong Ing menjawab : "Cianpwe memiliki ilmu kesaktian yang luar biasa. Bagaimana murid berani memandang rendah cianpwe ? Tetapi mohon tanya, apakah tujuan cianpwe melakukan hal itu ?"
Siang Bong menghela napas.
"Sejak berhasil mempelajari ilmu silat, aku segera menyembunyikan diri dalam pegunungan sunyi. Aku mulai mengalihkan kegemaran untuk membaca buku. Sepuluh tahun kemudian baru aku menemukan sebuah kitab yang benar-benar memenuhi seleraku. Kini aku baru mulai menyadari, bahwa buku-buku dalam dunia ini tiada yang dapat menandirigi kitab Ih-keng. Maka akupun segera masuk kepedalaman hutan, agar tak terganggu dikala aku mendalami isi kitab itu".
Hong Ing mendengar setengah mengerti setengah tidak. Ia hanya mengangguk-angguk saja.
"Sepuluh tahun lamanya aku membaca kitab Ih-keng itu" kata Siang Bong pula, "akhirnya ku dapatkan bahwa arti dari tiap kalimat dalam kitab itu, semua sesuai dengan ilmusilat. Timbul dugaan ku, masakan selama ini tiada orang pandai yang dapat menuangkan arti dalam kitab Ih-keng itu ke dalam pelajaran ilmu silat. Dan apabila belum ada, kupercaya kelak tentu ada terdapat orang itu", kata Siang Bong lebih lanjut.
Karena belum pernah membaca kitab itu maka Hong Ingpun tak mengerti apa yang dimaksud Siang Bong.
Kemudian Siang Bong bertanya tentang ilmu Thian-jiu-kang yang dipelajari Hong Ing dari suhunya. Hong Ingpun segera mengatakan secara lisan apa yang diterimanya. Siang Bong mendengarkan, menunjukan beberapa kesalahan, memberi penjelasan dan kemudian suruh Hong Ing berlatih sendiri.
Sudah tentu Hong Ing terkejut dan kagum atas kepandaian Siang Bong yang dapat juga mengerti tentang ilmu Thian-jiu-kang.
Siang Bong telah mempelajari sebuah kitab pusaka yang disebut Hok-soh-ki-sut atau Kitab-pusaka-binatang-mendekam. Ilmu silat yang tercantum dalam kitab itu juga mengandung pelajaran tentang Thian-jiu atau perputaran bintang.
Memang pada dasarnya ilmu silat itu sama sumbernya. Maka dapatlah Siang Bong memberi petunjuk tentang ilmu Thian-jiu-kang yang diterima Hong Ing dari Siau Yau cinjin. Banyak bagian-bagian yang sebelumnya tak dimengerti Hong Ing tetapi setelah mendapat penjelasan dari Siang Bong, segera ia tahu dan mengerti. Apa yang ditunjukkan Siang Bong, tak berbeda seperti yang diajarkan gurunya, Siau Yau cinjin. Dengan giat dan tekun belajar, akhirnya Hong Ing memperoleh kemajuan yang pesat sekali.
Waktu berjalan cepat sekali dan tahu-tahu sudah setengah tahun Hong Ing belajar silat dibawah petunjuk Siang Bong. Siang Bong memuji Hong Ing berotak cerdas. Kini dia sudah dapat menyerapi intisari dari pelajaran ilmu tenaga dalam. Yang kurang hanya dalam soal pengembangan tenaga itu.
"Teruskan belajar disini sampai setengah tahun lagi. Aku akan mencari sebuah senjata yang sesuai engkau pakai. Setelah kuajarkan padamu kepandaian itu, engkau boleh tinggalkan tempat ini. Jangan engkau ulangi perbuatanmu lari dari guha Siau-yau-tong lagi seperti tempo hari"
Merah muka Hong Ing. Tersipu-sipu ia mengiakan. Siang Bongpun terus pergi.
Dalam beberapa hari sejak kepergian Siang Bong, Hong Ing memang patuh dan tekun berlatih. Di waktu senggang ia bermain-main dengan beberapa binatang aneh yang dipelihara Siang Bong. Dengan begitu ia tak merasa kesepian.
Tetapi setengah bulan kemudian, tiba-tiba terdapat serombongan besar pedagang-pedagang yang melintasi tempat Itu. Kelenting kuda yang bergemerincingan mengejutkan Hong Ing. lapun diam-diam melihat ke jalan. Tetapi ketika pulang ke pondok lagi, hatinya mulai tak tenang.
Sampai beberapa hari ia selalu memikiri tentang peristiwa-peristiwa yang ramai di dunia persilatan. Mengenang peristiwa yang lampau memang menyenangkan hati. Betapa ingin saat itu ia segera pergi berkelana di dunia persilatan lagi. Apalagi kini dia merasa ilmu silatnya sudah bertambah maju. la yakin tentu menang dengan Lu Kong Cu, ketua perkumpulan Naga itu. Ah, benar-benar, ia ingin sekali menjajal kepandaiannya.
Banyak pula lamunan yang melalang di benaknya. Pada saat menjelang kematian, ia sudah bersumpah mengikat janji sebagai suami isteri dengan Tan Su Ciau. Bagaimana nanti kalau berjumpa dengan Cin Hong Ing, calon mempelai yang aseli dari Su Ciau itu ?
Pikiran-pikiran itu makin tak menenangkan hatinya.
Dan bagi seorang yang belajar silat pikiran yang tak tenang, mengganggu pelajarannya.
Karena pikiran tak tenang maka semangat Hong Ing untuk berlatih silatpun mengendor. Apa yang dipesankan Siang Bong dilupakannya sama sekali. Sebagai pembelaan diri ia berpikir, di sembarang tempat iapun dapat berlatih, mengapa harus tinggal di pondok itu ? Sembari berkelana sembari berlatih silat bukankah sama halnya ?
Demikian setelah menciptakan alasan untuk membela diri akhirnya ia tinggalkan pondok.
Di antara binatang peliharaan Siang Bong, ada seekor ular Thiat-bi-coa (kulit besi) yang berkenan pada selera Hong Ing. Ular itu panjangnya hampir dua meter. Sebenarnya sangat beracun sekali, tetapi karena racunnya sudah diambil Siang Bong, ular itu berobah jinak. Walaupun panjang tetapi tubuhnya kecil, hanya sebesar jari kelingking.
Hong Ing memang biasa menggunakan senjata jwan-pian atau ruyung lemas. Karena senjata itu sudah hilang, ular itu dapat dijadikan penggantinya. Kulitnya sekeras besi tak mempan dibacok pedang.
Demikian dengan melilitkan ular besi pada lengannya dia segera membuka pintu pondok dan ayunkan langkah.........
-o0^DW^Agus Ekanto^0o- Jilid 8 Selama setengah tahun membenam diri belajar ilmu silat, ia tak mau memikirkan tentang keramaian dunia. Maka begitu keluar dari pondok ia ingin sekali buru-buru menuju ke kota yang ramai ataupun dapat bertemu dengan tokoh yang berilmu sakti, hendak diajaknya bertempur, supaya dapat mengetahui sampai dimana ilmu kepandaiannya sekarang.
Berjalan beberapa waktu, tiba-tiba ia teringat bahwa tempat yang dilaluinya itu adalah tempat dimana dahulu ia bertemu dengan Siang Bong. Timbul keinginannya untuk mengetahui adakah batu nisan kuburannya masih berada disitu. Baru ia hendak berputar tubuh menghampiri tempat itu, tiba-tiba terdengar suara bentakan keras.
"Fui, budak busuk, seorang anak laki mengapa menangis di tepi jalan. Kalau masih, menangis tentu kujotos engkau!"
Hong-Ing terkejut. Ia seperti kenal dengan suara orang itu tetapi lupa siapa. Ketika ia hendak menghampiri, terdengar suara lain orang berkata: "Aku disini menangisi isteriku yang mati, mengapa saudara marah-marah ?"
Kembali Hong Ing terkejut bahkan kali ini tergetar batinya. Jelas orang yang kedua itu adalah Tan Su Ciau. Sudah tentu Hong Ing girang. Ingin ia segera menerobos ke tempat mereka tetapi pada lain saat ia mendapat pikiran. Lebih baik bersembunyi dulu untuk mengetahui mengapa Su Ciau menangisinya. Begitu, ia segera menyusup bersembunyi ke balik sebatang pohon besar.
Dari tempat persembunyian itu ia mengintai dan astaga..... yang marah-marah itu ternyata si malaekat Sim Yong.
"Sudah kularang engkau menangis, ya jangan menangis. Sebagai seorang anak laki yang jantan engkau harus lekas menuju ke pulau Ki-lo-to di Laut Timur, ikut dalam rapat besar orang gagah di seluruh jagad!"
Sudah tentu Su Ciau tak kenal siapa Malaekat tolol Sim Yong itu. Sambil masih memegang batu nisan dan muka basah air mata, ia menyahut : "Saudara benar, tetapi aku masih berduka karena kehilangan isteri. Jika saudara hendak ke pulau Ki lo to, silahkan pergi sendiri, jangan mengurusi diriku !"
Sim Yong memang seorang manusia yang linglung dan tolol sekali. Ketika melalui tempat itu dan mendengar Su Ciau menangis, ia marah-marah. Karena menganggap Su Ciau itu seorang pelajar yang lemah, ia tak mau turun tangan. Tetapi ia menganggap semua lelaki didunia ini tentu bisa ilrnu silat maka ia menyuruh Su Ciau pergi ke pulau Ki-lo-to. Karena Su Ciau tak mau, Sim Yong marah lagi.
''Engkau masih menangis atau tidak? Isteri mati saja mengapa ditangisi? Aku, Sim Yong, seumur hidup tak mau punya isteri, seharusnya akulah yang menangis sampai mati.'
Mendengar nama orang, tahulah Su Ciau bahwa malaekat tolol itu sama dengan Hwat Tiong Kan yang bertenaga kuat sekali. Walaupun tergolong aliran hitam tetapi sering masih menjunjung kebenaran. Hwat Tiong Kan itu adalah murid dari Gok Co thauto.
"Saudara Sim, setiap orang mempunyai tujuan sendiri-sendiri, mengapa harus dipaksa." seru Su Ciau.
Si totol Sim Yong tak mengerti rangkaian kata-kata yang diucapkan Su Ciau, ia hanya mendesuh! Huh, tak peduli bagaimana, kularang engkau menangis!". Maju selangkah, ia mengangkat tinjunya yang sebesar buah kelapa, terus dihantamkan pada batu nisan, bum ...
Memang malaekat tolol itu memiliki tenaga yang luar biasa dahsyatnya. Tinjunya sekeras besi. Batu nisan itu pecah seketika.
Melihat itu, Su Ciau tak dapat menahan kesabarannya lagi, serentak ia menghardik keras: "Engkau melarang aku menangis, itu masih beralasan. Tetapi orang yang mati di makam ini tiada mempunyai dendam permusuhan dengan engkau, mengapa engkau hancurkan batu nisannya? Hayo, engkau harus memberi jawaban."
"Aku berbuat apa-apa, tidak menurutkan alasan tetapi menurutkan hatiku suka atau tidak!" sahut Sim Yong.
Karena marah wajah Su Ciau pucat seketika dan membentaknya: "Karena engkau telah menghancurkan batu nisan makam Hong Ing, aku tak memaafkan engkau lagi!"
Serentak melangkah maju ke tata-kaki Tiong kiong, ia terus melanjutkan ke Ang-bun dan menghantam.
Si limbung Sim Yong tertawa gelak-gelak. Apa artinya tinju seorang pelajar lemah. Begitu tinju datang, asal kusongsong dengan tubuhku dia tentu sudah keseleo tangannya. Pikirnya.
Melihat si limbung diam tak mau menghindar, mengira kalau si limbung itu hendak main gila, ia hentikan tinjunya lalu menurunkan kedua tangannya untuk berjaga-jaga. Tetapi karena si limbung tetap diam saja, tiba-tiba Su Ciau julurkan tangannya dan, duk .... ia menghantam dada sebelah kiri dari si limbung Sim Yong.
Badik Buntung 12 Cintaku Selalu Padamu Karya Motinggo Busye Petualangan Manusia Harimau 8
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama