Badik Buntung 12
Badik Buntung Karya Gkh Bagian 12 jelas tiada lain orang yang mampu berbuat demikian, kecuali dia sendiri bisa membuktikan bahwa bukan dialah yang melakukan pembunuhan itu." "Besar benar-benar mulutmu, ja" jengek Pek Si-kiat. "Pek-kut!" teriak Situa Pelita, "Kaupun seharusnya sudah bertobat. Ka-yap Cuncia mengurungmu lima puluh tahun, kau masih belum mampus. justru hari inilah saat kematianmu." Pek Si-kiat menggeram sambil menahan gusar dan kertak gigi, pelan-pelan ia membalik dan setindak demi setindak menghampiri ke arah Situa Pelita. Ciut nyali Situa Pelita, serta merta kakinya melangkah mundur. Terdengar Ciangho-it-koay menggerung juga. ia maju selangkah mendekat ke arah Situi Pelita. Bertambah besar nyali Situa Pelita. segera ia berdiri tegak sambil mengerahkan tenaganya. Pek Si-kiat melangkah lagi setindak. Berbareng Si tua Pelita dan Ciang-ho-itkoay melejit maju seraya melancarkan serangannya dari kanan kiri ke arah Pek-kut-sin-mo. Mereka sama sebagai tokoh kosen tingkat tinggi, dengan serangan gabungan, sudah tentu perbawanya bukan kepalang hebatnya, seluruh hadirin menjadi berdetak jantungnya. Terdengar Pek Si-kiat menjerit lantang, sebagai Si-gwa-sam-mo sudah tentu kepandaiannya merupakan ilmu2 yang hebat pula. sedikit bergerak miring kekanan kiri, enteng sekali kedua telapak tangannya ditepuk menyongsong ke depan, berbareng kakinya bergerak selincah kera melejit keluar dari lingkungan kedua musuhnya berbareng membalikkan pukulan balas menyerang Situa Pelita dan Cian-ho-it-koay sama bercekat hatinya, tak terduga oleh mereka bahwa Pek Si-kiat bergerak segesit itu, baru sekarang terpikir oleh mereka bahwa julukan nama Sigwa-sam-mo niscaja bukan nama kosong belaka, kepandaian Pek Si-kiat yang terkecil dari Sigwa-sam-mo sudah begitu hebat apalagi kepandaian Tok-sim-sin-mo dapatlah dibayangkan.... Begitulah Situa Pelita berdua pun bergerak tidak kalah sebatnya, begitu berputar berbareng layangkan pukulannya menyambut dengan gertakan, tapi ditengah jalan tiba-tiba mereka mencelat berpisah dan menubruk pula kepada Pek Si-kiat. Pek Si-kiat menjadi murka. tahu dirinya diledek demikian rupa, serentak ia tambah tenaga dan pergencar serangan. Diam-diam ia sudah menerawang situasi gelanggang, seluruh hadirin adalah tokoh-tokoh yang berkepandaian silat cukup lihay, dengan satu lawan dua ia percaya dirinya tidak akan terkalahkan. tapi untuk menang ia pun rada ragu-ragu. Sekonyong-konyong ia mencelat mundur rada jauh. menjengek dingin kepada dua lawannya lalu berpaling kepada Hun Thian-hi, katanya, "Kau terjang dulu keluar, biarlah aku yang menghalangi sepak terjang mereka." "Masa ada kejadian begitu gampang." demikian seru Ang-hwat-lo-mo sambil bergelak tawa. Dimana ia menggerakkan tangan tahu-tahu sebilah pedang pendek yang memancarkan, sinar kekuning mas sudah dicekal ditangannya, pedang ini panjang tiga kaki sinarnya nenyilaukan mata. Terang bukan senjata sembarangan. "Kau tidak lebih hanya seorang Siaupwe saja. jangan anggap bahwa kau tiada tandingannya di jagat ini!" demiKian maki Pek Si-kiat dengan nada menghina. Ang-hwat-lo-mo tertawa panjang, pedang ditangan kanan terayun kontan ia lancarkan jurus ciptaan tunggalnya yang ganas yaitu Jan-thian-ciat-te (mencacat langit pelenyap bumi) taburan sinar kuning keemasan seperti lembayung memancar ke tengah udara terus menungkrup ke atas kepada Pek Si-kiat. Rada terkejut hati Pek Si-kiat menghadapi serangan hebat ini, sekilas pandang saja lantas ia dapat menjajaki bahwa kepandaian dan Lwekang Ang-hwat-lo-mo sebetulnya memang sangat tinggi tak dapat dipandang ringan. terutama Lwekangnya jauh lebih tinggi dari bayangannya semula, memang tidaklah bernama kosong dan tiada sebabnya bila Ang-hwat-lo-mo diagungkan sebagai gembong iblis yang ditakuti pada jaman ini, dibanding dirinya sendiri kiranya juga cuma terpaut beberapa tingkat saja. Apalagi sekarang Ang-hwat-lo-mo menyerang dengan senjata tajam yang luar biasa menghadapi kedua tangannya yang kosong. jelas dia sudah mengambil keuntungan. Pek Si-kiat menjadi beringas, seluruh kekuatan Pek-kut-sin-kangnya dikerahkan untuk menghantam dan melawan rangsakan pedang lawan, hawa memutih dari uap pukulan tangannya yang sakti meluber laksana air bah terus melandai ke depan menyongsong pedang lawan, pikirnya bila perlu biar gugur bersama, betapa pun ia pantang mundur. Sedetik sebelum kekuatan dua belah pihak yang dahsyat itu saling bentur, tibatiba Hun Thianhi bersuit panjang, tubuhnya mencelat tinggi ke atas, Dari samping ia menonton dengan jelas bila kedua belah pihak benar-benar mengadu kekuatan secara kekerasan pasti berakhir dengan sama luka parah kalau tidak sampai meninggal, sudah tentu Thian-hi tidak menghendaki bila Pek Si-kiat sampai terluka parah, maka begitu tubuhnya mencelat mumbul lempang. serulingnya segera menutuk ditengah antara kedua rangsakan tenaga raksasa yang hampir bentrok itu, dengan jurus Burung bangau menjulang tinggi menembus awan ia pecahkan kekuatan tenaga yang hampir saling bentur itu, berbareng seperti menunggang awan tubuhnya mengikuti gelombang tenaga dua belah pihak yang bocor itu terus jumpalitan turun pada diarah yang berlawanan. Bercekat hati Ang-hwat-lo-mo sekian lama ia terlongong-longong memandangi diri Thian-hi. Sementara Thian-hi sendiri juga dirundung keheranan, waktu tubuhnya mencelat tinggi tadi ia sudah memperhitungkan hendak melancarkan sejurus dari kembangan Wi-thian-citciat-sek. tapi serta sudah berlangsung ditengah jalan tanpa disadari ia melancarkan jurus ketiga dari Gin-hosam- sek itu ternyata hasilnya juga begitu memuaskan dan diluar perkiraannya, begitu mudah ia memisah suatu bentrokan yang sulit dibayangkan akibatnya sebelumnya. Maka terasa olehnya sendiri bahwa Lwekangnya sekarang sudah maju pula berlipat ganda, tenaganya dapat dikendalikan sesuka penggunaannya. Dalam pada Itu Ce-han-it-ki juga tengah memandang Thian-hi dengan rasa heran. tanyanya, "Apa hubunganmu dengan Soat-san-su-gou?" Semula Thian-hi melengak mendengar pertanyaan ini. Sudah lama ia tidak dengar orang menyinggung nama Soat san-su-gou, sekarang Ce-han-it-ki menyinggung nama suci para beliau itu mungkinkah orang ini punya hubungan yang sangat erat dengan mereka" Soatsan-Su-gou tergolong lurus dan bermartabat gagah, betapa tinggi kepandaian silat mereka. rasanya tidak lebih rendah dari setiap hadirin disini. Kebaikan para beliau2 itu rasanya hanya guru budiman Kongsun Hong yang memgasuh dan membesarkan dirinya yang bisa membandingi. Dengan tersenyum ia menjawab, "Entah apa hubungan Cianpwe dengan mereka berempat?" Mendadak Ang-hwat-lo-mo menghardik murka, rambutnya sampai berdiri dan mata beringas ia menubruk pula, kali ini pedangnya bergerak menyerang dengan jurus Thian-ko-te-wi langit tinggi bumi berputar sasarannya adalah perut Hun Thian-hi. Laksana ular hidup berlaksa banyaknya yang melenggang dari segala penjuru sekaligus merangsek bersama ke arah Thian-hi. Terangkat tinggi alis Thian-hi, seruling segera diacungkan miring, kontan ia lancarkan sejurus Wi-thian-cit-ciat-sek. seluruh kekuatan rangsakan Ang-hwat-lomo kena tergulung berkisar hebat menerpa balik keempat penjuru pula. Dipihak lain sepasang biji mata Situa Pelita pun Sudah memancarkan sorot berkilat yang menakutkan, seluruh keluarganya dibabat habis oleh kekejaman Ang-hwat-lo-mo, selama ini ia sudah tekun dan rajin belajar mempertinggi kepandaian silatnya. sekarang kebetulan secara langsung sudah berhadap dengan musuh besarnya, tapi dia punya pikiran dan perhitungan pula. dia ingin supaya Ang-hwat-lo-mo menempur Hun Thian-hi lebih dahulu, adalah lebih baik dan menguntungkan bila kedua belah pibak sama gugur. Tapi dilihatnya waktu Ang-hwatlo-mo melancarkan Pencacat langit dan pelenyap bumi ternyata dapat dipecahkan oleh Thian-hi begitu gampang, sekarang mengembangkan pula langit tinggi dan bumi berputar. Maka terbayanglah akan adegan dimana seluruh keluarganya kena dibabat dibacok dan ditendang serta entah diapakan lagi dengan cara kekejaman yang luar biasa, timbul kesadaran dalam benaknya akan sifat egoisnya sehingga sanubaarinya terketuk, badannya gemetar tanpa kedinginan. sungguh ia merasa sangat sesal, dia beranggapan bahwa dirinya sudah melepas budi setinggi2nya kepada Hun Thian-hi. sekarang dia menjadi heran kenapa aku mendadak mengharap Hun Thian-hi gugur bersama musuh besarnya ini" Sungguh dia tidak habis herannya tak tahulah kenapa mendadak punya perasaan yang tercela ini, mungkin secara mendadak ia merasakan bahwa beranggapan dirinya telah kena ditipu oleh Hun Thian-hi, rasa harga dirinya yang melibatkan pendiriannya ke arah yang nyeleweng ini, sehingga tanpa beralasan tanpa punya dasar yang kuat ia mengharap Hun Thian-hi gugur, seumpama ia sudah menyadari bahwa angan2nya itu salah. namun ia pun takkan mau memperbaiki kesalahannya itu pula. Baru sekarang Situa Pelita mulai insaf, ia sadar dan menyesal, untunglah ia belum terlibat untuk memberikan kepercayaannya terhadap Hun Thian-hi. Sesaat ia menenangkan pikirannya waktu ia mendongak melihat keadaan gelanggang pertempuran. situasi sudah banyak berubah, tampak Ang-hwat-lo-mo, Ce-han-it-ki, Ciang-ho-it-koay dan Ce-hun Totiang serta Hoan-hu Popo bersama sedang menempur Hun Thian-hi dan Pek Si-kiat. Keadaan mereka berdua sudah rada payah. Keruan ia tersentak kaget, seluruh tokoh-tokoh silat yang hadir sudah menerjunkan diri dalam pertempuran sengit ini, masa dirinya masih menjublek dan melamun.... Dengan sekuat tenaga dan seluruh kemampuannya Hun Thian-hi layani segala serangan dan rangsakan musuh2 kuatnya. Betapa ilmu silat Ang-hwat ia sudah dapat menyelaminya. Kepandaian Ce-hun Totiang dan Ce-han-it-ki secara diluar dugaannya kiranya juga tidak lebih rendah dari Ang-hwat-lo-mo, Betapapun Hun Thian-hi tidak akan menyerah, dengan sengit ia tempur lawan2nya, namun lama kelamaan ia rasakan tekanan dari empat penjuru semakin berat hampir ia susah bernapas. Insaf dia bahwa untuk menang hari ini agaknya sangat sulit dan tak mungkin lagi. Harapannya terakhir hanyalah melancarkan Wi-thian-cit-ciat-sek. memang secara coba-coba saja meski tidak berguna paling tidak Pek Si-kiat akan dapat diberi peluang untuk meloloskan dirinya. Sesaat lamanya Situa Pelita masih bingung, entah apa yang harus dilakukannya, ingin dia membantu Hun Thian-hi supaya orang dapat menerjang keluar kepungan, tapi apakah kekuatannya mampu untuk menjebol masih tanda tanya, bukan mustahil malah dirinya bakal menimbulkan rasa marah mereka dan aku sendiri yang bakal konyol nanti. Pikirnya ia hendak meminjam tenaga orang banyak untuk membunuh Ang-hwat. tapi keadaan yang sengit ini tak mungkin keinginannya bisa tercapai. Hun Thian-hi bersuit panjang, seruling teracung miring ke atas, terpaksa ia harus lancarkan Withian- cit-ciat-sek, semua pengepungnya terdesak mundur, kesempatan yang baik ini segera mereka menjejakkan kaki bersama Pek Si-kiat terbang keluar melarikan diri. Ang-hwat-lo-mo segera melancarkan pula Jan-thian-ciat-te yang ganas itu untuk menyerang dari belakang. Tanpa berjanji Thian-hi berdua membalik tubuh menangkis, musuh yang lain jadi berkesempatan memburu tiba pula, Hun Thian-hi berdua terkepung pula. Soalnya Thian-hi segan melukai siapa saja bagi setiap pengerojoknya ini, tapi dalam keadaan terpepet, setelah usahanya meloloskan diri gagal, sekarang terkepung lagi, sinar matanya menjadi berkilat, akhirnya dalam hati ia ambil ketetapan, sang waktu tidak boleh diulur pula. Untunglah tepat pada saat itu juga Situa Pelita menghardik keras, tubuhnya terbang Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo mencelat menubruk ke arah Ang-hwat-lo-mo, sebelah tangannya dengan kekuatan dahsyat menggempur ke punggung Ang-hwat-lo-mo. Keruan Ang-hwat-lo-mo terkejut, sungguh ia tidak menduga dalam situasi gawat yang menguntungkan ini mendadak Situa Pelita menyerang dirinya, dengan mendengus gusar, pedang masnya membabat balik ke belakang, secara gencar iapun balas menyerang ke pada Situa Pelita. Dasar cerdik dan cukup cekatan Hun Thian-hi tidak menyia-nyiakan kesempatan yang baik ini sekonyong-konyong serulingnya menyelonong miring ke depan menutuk jalan darah mematikan di depan dada Ang-hwat-lo-mo. Tapi bersamaan waktunya Ciang-ho-it-koay pun sedang memukulkan kedua telapak tangannya menghantam punggung Thian-hi. Begitu merasa angin keras menyerang tiba terkejut Ang-hwat-lo-mo dibuatnya, sungguh tak nyana olehnya di bawah serangan gencar para musuhnya itu Thian-hi masih sempat menyerang balik kepada dirinya pula, agaknya ia tidak hiraukan keselamatan diri sendiri pula, mungkin sudah nekad. Namun bila lawan main nekad dan ingin gugur bersama, adalah dirinya tidak mau roboh begitu saja secara konyol, apalagi seruling Hun Thian-hi menutuk begitu telak, sehingga ia kehilangan kesempatan untuk balas menyerang kepada Situa Pelita, yang terpenting sekarang adalah menyelamatkan diri sendiri. Dengan sendirinya Situa Pelita juga tak mau kehilangan kesempatan untuk melukai musuh. Di bawah gencetan dari dua jurusan rangsakan dua tokoh hebat Ang-hwat-lo-mo masih berusaha berkelit tapi tak urung lengan kirinya kena tertutuk seruling Thian-hi, demikian juga pukulan keras Situa Pelita telak sekali mengenai sebelah kiri punggungnya. Kontan Ang-hwat menjerit keras, darah segera menyemprot dari mulutnya, tubuhhja pun terhujung hampir roboh. Tujuan tutukan Hun Thian-hi akan menamatkan riwayat Ang-hwat-lo-mo, sayang rangsakan Ciang-ho-it-koay yang memukul dari belakang itu pun tak kuasa dihindari lagi, betapa hebat pukulannya, kontan iapun tersampuk sempoyongan ke samping, lengannya kanan kesakitan dan kesemutan, hampir saja ia tidak kuasa memegang serulingnya lagi. Terdengar pula suara bentakan dan teriakan keras saling bersahutan. Sekuat tenaga Ang-hwat menghimpun tenaga dan semangatnya menggempur balik ke arah Situa Pelita, kedua belah pihak gunakan kekerasan untuk saling serang dengan seru, keadaan pertempuran semakin gegap gempita. Meski Hun Thian-hi membekal Lwekang maha tinggi, karena lengan kanan sudah terluka tenaganya menjadi banyak berkurang, cara gerak jurus permainannya sudah tidak sehebat dan sekuat tadi. Sementara itu Situa Pelita pun ikut terkepung di tengah keroyokan orang banyak, terdengar ia berteriak, "Kenapa kalian tidak bunuh Ang-hwat si durjana ini?" Ciang-ho-it-koay menggeram jengeknya, "Setelah bunuh Hun Thian-hi masih belum terlambat melenyapkan Ang-hwat sekalian. Kejahatan dan ketelengasan Hun Thian-hi jauh lebih berbahaya dari Ang-hwat si iblis laknat ini." Hun Thian-hi menengadah bergelak panjang, serunya pada Pek Si-kiat dan Situa Pelita, "Mari kubantu kalian, membobol keluar kepungan dulu!" "Boleh kau coba!" jengek Ce-han-it-ki seraya melintangkan pedang panjangnya untuk membendung arus rangsakan seruling Hun Thian-hi. Badan Hun Thian-hi terbang lempang ke depan serulingnya menukik dari atas kebawah, dimana ia kerahkan tenaga dalam kembangan jurus Wi-thian-cit-ciat-sek. kontan para pengepungnya seperti terdorong mundur oleh tenaga dahsyat seperti air bah yang tidak kelihatan, kepungan yang rapat saketika menjadi bobol. yang lebih hebat lagi kedua senjata ditangan Bun Cu-giok dan Ciok Yan kontan terbang lepas dari cekalannya. Bersamaan waktunya terdengar Cehun Totiang dan Hoan-hu Popo membentak berbareng seraya membacok dan menusuk pedang masingmasing ke arah Hun Thian-hi, mati-matian mereka bekerja keras untuk mencegat jalan lari mereka bertiga. Tapi Hun Thian-hi sudah menyerbu membabi buta. seperti banteng ketaton, sayang lengan kanannya terluka, terpaksa ia harus mundur ditengah jalan. kepungan kembali diperketat, kedua belah pihak kembali terlibat dalam pertempuran mati-matian yang cukup seru. Dalam sekejap lagi cuaca bakal gelap gulita meskipun mereka sudah bekerja sekuat tenaga tapi selama itu mereka tak berhasil merobohkan musuh dan tidak mungkin berhenti begitu saja ditengah jalan. dalam keadaan saling berkutat dan bisa maju dan tak mungkin mundur, pertempuran berjalan terus sama kuat, kegelapan sang malam akhirnya berganti dengan sang fajar yang telah menyingsing tiba. Jadi mereka sudah bertempur sehari semalam tanpa ada kesudahan yang menentukan. Sebenar-benarnya Ang-hwat-lo-mo sudah tidak kuat bertahan lagi. Dia tabu bahwa luka-luka tubuhnya tidaklah ringan. tapi betapa pun ia tidak rela melepas kesempatan yang bagus ini, kalau sekarang dia melepas Hun Thian-hi pergi, mungkin kelak bakal menjadikan bibit bencana atau perintang utama bagi pergerakan cita-citanya. Apalagi Hun Thian-hi sendiri juga sudah terluka, sekejap lagi tidak akan kuat bertahan. dan akhirnya yang bakal roboh justru Hun Thian-hi sendiri. Luka lama Hun Thian-hi belum lagi sembuh dan pulih seluruhnya, kini ia terluka pula tidak ringan, apalagi sudah bertempur sekian lama badan pun sudah lelah dan kehabisan tenaga. Nuraninya benar-benar berharap, meski pun ini hanya angan2 kosong supaya Ham Gwat bisa segera tiba menolong dirinya seperti kejadian beberapa waktu yang lalu.... Bukan saja dirinya bakal bebas dari ancaman bencana, Ang-hwat-lo-mo juga pasti dapat ditumpas. Pertempuran terus berlangsung, masing-masing pihak terus berkutat dan tiada yang mau mengalah, segala kepandaian dan ilmu dibojong keluar demi mempertahankan hidup dan mati, tapi selama itu keadaan tetap sama kuat alias setanding. Suatu kesempatan Hun Thian-hi mendongak melihat Angkasa, tampak rasa putua asa membayang dalam sinar matanya, bila Ham Gwat mau datang sejak tadi ia sudah hadir dalam pertempuran ini, atau mungkinkah dia punya urusan lain yang tebih penting" Ce-han-it-ki dapat melihat perubahan air muka Hun Thian-hi segera ia memberi isyarat kedipan mata pada teman2 lainnya, serempak mereka merabu lagi dengan segala daya upaya, udara seperti menjadi bergolak dan angin badai kontan menerpa ke arah Hun Thian-hi bertiga. Hun Thian-hi kertak gigi, baru saja ia menghimpun seluruh kekuatan untuk melawan secara kekerasan, sekonyong-konyong dari luar hutan bambu sana terdengar irama harpa yang dipetik ringan lincah. seketika perasaan Hun Thian-hi menjadi enteng dan segar kembali semangatnya. Bukankah itu irama Kekal abadi" Serta merta mulutnya mencebir dan bersuit panjang mengalun tinggi. ia empos seluruh tenaga dan kekuatannya terus diberondong keluar, Pek Si-kiat dan Situa Pelita segera juga membantu dengan setaker tenaga masing-masing, seketika mereka merasa tekanan dari luar menjadi enteng, berbareng mereka mencelat jauh dan keluar dan kepungan. Tampak Po-ci dan Ma Gwat-sian melangkah ringan memasuki hutan bambu ini, sebelah tangan Po-ci mengemban sebuah harpa kuno biji matanya yang jeli pelan-pelan dan kalem menyapu pandang seluruh hadirin. Tersipu-sipu Hun Thian-hi maju menjura serta sapanya, "Terimakasih akan budi pertolongan Cianpwe" - dalam berkala2 ini tarasa kepalanya menjadi pening pandangan menjadi gelap, tahu dia tadi terlalu banyak mengeluarkan tenaga sehingga kedua kakinya menjadi lamas, lekas ia mengendalikan badan berdiri tegak pula. Lekas-lekas Ma Gwat-sian memburu maju dan memapah badan Hun Thian-hi, ujarnya dengan lemah lembut dan prihatin, "Bagaimana keadaanmu?" Melihat laku Ma Gwat-sian yang begitu wajar dan menunjukkan perhatian yang berkelebihan dihadapan umum, merah jengah selebar muka Hun Thian-hi. Cepat ia menyahut: .,Terima kasih, aku tidak apa-apa." Ma Gwat-sian tersenyum manis, Katanya. "Baru saja Suhu dan aku menyusul tiba. Begitu memasuki wilajah Conggoan lantas kami mendengar kabar. katanya kau meluruk ke Siau-lim-si, maka bergegas kami menyusul kau kemari!" Hun Thian-hi rada kikuk. sesaat ia bungkam tertawa. "Kalau begitu aku harus lebih berterima kasih akan kebaikan kalian!" demikian kata Thian-hi sesaat kemudian. Ma Gwat-sian pandang wajah Thian-hi lekat-lekat. sesaat baru ia bersuara pula dengan suara lirih, "Kau.... diantara kau dan aku kenapa harus berlaku begitu sungkan. kenapa kau harus berterima kasih pula padaku?" Tergetar jantung Thian-hi, tak tertahan ia tunduk diam. Ucapan Ma Gwat-sian sudah sangat jelas kemana juntrungannya, bagaimana aku harus bersikap terhadapnya" Demikian ia bertanya terhadap dirinya sendiri. Sulit ia mengambil ketetapan. Melihat hubungan mereka yang kelihatan begitu intim Pek Si-kiat menjadi maklum. gadis remaja dihadapannya ini pasti bukan perempuan yang bernama Ham Gwat itu, kalau begitu....ai.... asmara.... tak berani ia memikirkan lebih lanjut. Tanpa bersuara dengan tenang Po-ci awasi mereka berdua dengan muka berseri, disangkanya bahwa Hun Thian-hi memang ada ketarik terhadap Ma Gwat-sian, kalau tidak masa sikapnya kelihatan begitu mesra. Mana dia tahu bahwa sebenar-benarnyalah dalam benak Hun Thian-hi sudah terkait oleh Ham Gwat, batinnya tengah bergejolak, entah cara bagaimana ia harus menempatkan dirinya. Sambil menenteng pedangnya panjang Ce-hun Totiang maju menghampiri Po-ci, serunya, "Siapa kau" Kau ingin membantu Hun Thian-hi dan mencari permusuhan dengan seluruh kaum persilatan?" Bab 23 Dengan lirikan hina Po Ci menyapu pandang para hadirin. sahutnya, "Baru hari ini aku pertama kali kebetulan hadir dalam pertemuan besar kaum persilatan. Ternyata golongan kependekaran Bulim di Tionggoan juga cuma begini saja!" Ce-hun semakin berang, hardiknya, "Siapa kau?" Po-ci menyahut tawar, "Jangan kau urus siapa diriku. terangkat jari-jarinya dengan lincah memetik senar, Hun Thian-hi akan kubawa pergi. Siapa diantara kalian yang tidak terima silakan mencari perkara terhadapku. Ketahuilah aku tidak gentar kalian keroyok!" "Kenapa harua keroyok, biar aku saja yang mencoba sampai dimana kepandaianmu sejati, berani kau bicara takabur disini!" seiring dengan kata-katanya Ce-hun Totiang lancarkan sejurus serangan dengan tipu Poh-hun-kian-jit (menyingkap awan melihat matahari), sekaligus ujung pedang panjang bergerak begitu cepat menusuk beberapa kali mengarah jalan darah yang berlainan diberbagai tempat ditubuh Po-ci. Poci mandah tertawa ejek, dimana tangan kirinya bergerak serentetan irama musik lantas mengalun dari nada yang rendah terus menjulang tinggi seperti hampir menembus angkasa. samar-samar terasa adanya nafsu memburnuh yang segera melingkupi perasaan orang, seketika hati semua hadirin menjadi tertekan tegang, yang paling hebat justru Ce-hun seperti kena pukulan godam, belum lagi serangan pedangnya mengenai sasarannya, dadanya sudah sesak dan sempoyongan mundur, keruan kagetnya bukan main, lekas ia empos semangat dan kendalikan napas, berbareng pedangnya dibolang balikkan di depan dada, tapi tak urung mukanya sudah basah oleh keringat dingin. Hun Thian-hi sendiri juga ikut terkejut, waktu Poci mengembangkan irama kekal abadi tempo hari. kepandaiannya tidak begitu lihay seperti sekarang. Kiranya tempo hari sengaja ia memberi kelonggaran. Melihat Ce-hun payah kepontang panting Hoan-hu juga terkejut, cepat ia meraih Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo sebatang pedang terus menubruk maju, pedangnya berubah menjadi setabur titik-titik kunang-kunang kecil terus merangsak kepada Poci. Kelopak mata Poci sedikit pun tidak bergerak, sikapnya tetap tenang. Waktu ia mulai memasuki wilajah Tionggoan lantas ia dengar kabar katanya Ce-hun dan Hoan-hu berada diluar perbatasan mendapat perlindungan dari Sam-kong Lama, dia jelas mengetahui hubungan kental antara Samkong dengan Hun Thian-hi. Sekarang seumpama Hun Thian-hi memang dipihak yang salah paling tidak mereka harus memberi muka dan kesempatan, bukan saja mereka tidak merasa sungkan malah meluruk ke Tionggoan dan mencari perkara disini. Memang sengaja ia hendak memperlihatkan akan kelihayan Tay-seng-ci-kou untuk menghajar adat pada kedua orang tua2 yang sudah dianggapnnya pikun ini. kelihatan lengan kirinya terangkat dan naik turun jari-jarinya bergerak lincah, suasana semakin tegang dengan lingkupan hawa membunuh yang semakin tebal. Batok dan leher Hoan-hu sudah basah kuyup oleh keringat tak kuasa ia pegang pedangnya lagi, terpaksa duduk bersimpuh mengerahkan Lwekang untuk melawan mati-matian. Dilain pihak Ang-hwat-lo-mo yang licik dan mengenal gelagat itu bercekat pula hatinya, bahwa pendatang ini membekal ilmu Tay-seng-ci-lou yang dikabarkan sudah putus turunan itu. dalam gerak gerik beberapa jari yang lincah memetik harpa itu telah berhasil merobohkan Ce-hun dan Hoan-hu berdua. Insaf ia bahwa dirinya pun bukan tandingan, apalagi dirinya terluka berat, kecuali melarikan diri tiada jaian lain untuk hidup lebih lanjut. Karena pikirannya ini sepasang biji matanya segera melirik, menerawang situasi gelanggang dicarinya kesempatan untuk melarikan diri. Karena Tay-seng-ci-lou tidak bisa dibanding senjata tajam umumnya, dia dapat dilancarkan dilain bentuk yang tidak kelihatan, untuk lari kecuali dapat menyandak jarak yang cukup jauh dalam sekejap waktu, seumpama kedua tangan menutupi kuping pun tidak akan kuat bertahan dari getaran musik yang hebat itu! Orang yang paling diperhatikan Situa Pelita. justru musuh besarnya yaitu Anghwat-lo-mo begitu biji mata Ang-hwat pelirak-pelirik, ia lantas dapat menebak isi hati orang segera ia bersiap siaga melejit ke depan terus menubruk ke arah musuh besarnya ini. mulutnya menjengek, "Apa hari ini kau masih ingin lari?" Ang-hwat-lo-mo tertawa dingin, serunya, "Bila aku memang mau pergi. masa kau mampu merintangi." Dengan gerungan yang mengguntur Situa Pelita dorongkan kedua telapak tangannya menggenjot kedada musuh. Ang-hwat-lo-mo melintangkan pedangnya membabat dan menutuk kejalan darah ditelapak tangan lawan, tapi gerak gerik Situa Pelita yang cukup lincah dengan kehebatan Ginkangnya sudah tentu tak begitu gampang mandah tangannya dilukai. Dengan sengit ia rangsak semakin gencar, begitulah mereka bertempur seru pula tanpa dapat diketahui siapa yang lebih unggul. Soalnya Ang-hwat sudah terluka, tapi ia membekal pedhng menghadapi sepasang pukulan Situa Pelita, untuk waktu dekat Situa Pelita tiada mampu merobohkan lawan. sebaliknya Ang-hwat punya rencananya sendiri untuk lari, maka pun tiada minat untuk mengejar kemenangan. Mata Po Ci menyapu pandang ke arah mereka berdua, katanya kepada Hoan-hu dan Cehun, "Meski kalian tidak kenal aku, tapi aku kenal kalian, di daerah barat daya sana kalian sudah menerima budi kebaikan orang, bukan saja tidak berusaha untuk membalasnya, sekarang berbalik kerja sama dengan manusia macam Ang-hwat-lo-mo untuk mengeroyok Hun Thian-hi. Kalian juga tahu bahwa Hun Thian-hi adalah sahabat kental Sam-kong Lama, murid angkat Ka-yap Cuncia, apakah kalian anggap punya pandangan yang lebih cemerlang dari Ka-yap Cuncia?" Lambat laun lemas semangat Ce-hun, tangan yang menyekal pedang semampai turun, biji matanya memancarkan rasa penyesalan yang tak terhingga, sungguh kata-kata orang sangat menusuk perasaannya, akhirnya ia tertunduk dengan penuh sesal, setelah membanting kaki tanpa bicara lagi terus berlari pergi. Melihat kelakuan orang Hoan-hu mendelik ke arah Poci, lalu ia memberi isyarat kepada Bun Cu-giok dan Ciok Yan, bersama mereka mengundurkan diri. Sementara itu pertempuran Ang-hwat-lo-mo melawan si Tua Pelita masih berlangsung terus dengan serunya, sambil tempur Ang-hwat-lo-mo main mundur dan semakin jauh dari gelanggang pertempuran semula. Terdengar Poci berkata pula, "Marilah kita pergi, urusan orang-orang Tionggoan biar diselesaikan mereka sendiri, buat apa kita lama-lama di tempat ini." Ang-hwat-lo-mo menjadi berlega hati, sebat sekali ia melejit jauh terus terbang lari sekencang angin. Dengan kencang Situa Pelita mengejar di belakangnya, tampak Siang-hou-itkoay juga berlari mengejar. Semua hadirin satu persatu bubar. Sementara itu dengan menengadah mengawasi awan di atas langit lapat-lapat terasa sesal dalam benak Hun Thian-hi, kenyataan Ham Gwat tidak kunjung datang seperti yang diharapkan, justru yang datang malah Ma Gwat-sian, sungguh kedatangannya diluar dugaannya, demikian ia berpikir. Melihat sikap Hun Thian-hi yang kaku itu dingin perasaan Ma Gwat-sian, sebagai seorang yang cerdik dan dapat melihat gelagat, terasa olehnya bahwa sikap Hun Thian-hi terasa kurang hangat dan simpatik, tidak seperti harapan dalam angan2 pikirannya sebelum tiba disini. Kelihatannya Hun Thian-hi sedang dirundung kekesalan hati dan entah apakah yang sedang dipikirkan, mungkin dia sedang menguatirkan seseorang lain, demikian ia memtatin, tanpa merasa hatinya menjadi pilu, air mata hampir menetes keluar. Dari samping dengan tenang Poci awasi kedua insan muda ini, iapun merasa perkembangan keadaan sekarang benar-benar sangat menyesatkan perasaan, berdiri berendeng seolah-olah mereka tenggelam dalam alam pikiran masing-masing. Terdengar Pek Si-kiat membuka suara kepada Hun Thian-hi, "Hun-hiantit, kau harus menyembuhkan lukamu dulu, aku masih ada urusan lain yang perlu kuselesaikan, kelak kita jumpa lagi." Hun Thian-hi maklum bahwa Pek Si-kiat tidak ingin mengganggu dirinya. maka setelah merenung ia menjawab, "Begitupun baik, dalam satu bulan ini aku pasti kembali, harap paman tidak usah kuatir akan diriku." Pek Si-kiat minta diri terus tinggal pergi. Pelan-pelan Ma Gwat-sian membalik tubuh, katanya tertawa kepada Hun Thian-hi, "Thian-hi Toako. kau sedang terluka sementara biarlah bersama kami saja, setelah lukalukamu sembuh nanti kita bicarakan lagi tindakan selanjutnya!" Hun Thian-hi tersenyum dipaksakan, sahutnya, "Kalau begitu merepotkan kalian saja." Segera Ma Gwat-sian melangkah maju, lengan baju Hun Thian-hi segera disobek, katanya, "Biar kuperiksa dulu bagaimana keadaan lukamu." Hun Thian-hi menjadi kikuk dan risi, tapi. Ma Gwat-sian bermaksud baik, tempat itu kecuali tinggal gurunya tiada orang luar lainnya, akhirnya ia membiarkan saja orang memeriksa lukanya. Dengan seksama Ma Gwat-sian memeriksa luka-luka Hun Thian-hi, diam-diam hatinya mendelu, air mukanya yang kaku prihatin, setelah terluka Thian-hi harus menguras tenaga lagi, sehingga seluruh pundaknya sudah berubah warna hitam karena darah bumpet dan membeku. Hun Thian-hi memang merasa pundaknya kaku kesakitan, waktu ia menunduk tiba-tiba di atas kepalanya terdengar pekik burung yang nyaring itulah suara rajawali besar itu yang terbang melayang di atas kepalanya, begitu cepat daya terbang burung itu samar-samar dilihatnya bayangan Ham Gwat di atas punggungnya. Mencelos perasaan Hun Thian-hi dengan mendelong ia awasi arah dimana burung rajawali tadi menghilang. Tahu dia bahwa Ham Gwat telah tinggal pergi lagi, bagaimana juga dia tidak akan muncul di saat keadaan yang serba runyam ini, lalu selanjutnya. Ma Gwat-sian juga menengadah dan terlongong memandang ke arah hilangnya burung rajawali sana, pelan-pelan ia turunkan kedua tangannya, hatinya terasa pilu dan sedih, tak tertahan air mata mengalir dari ujung matanya. Poci mandah menghela napas panjang dengan rawan, ia bungkam. Entah berapa lama Thian-hi menjublek di tempatnya, pelan-pelan akhirnya ia menunduk, dilihatnya Ma Gwat-sian mengembeng air mata, tahu dia bahwa bayangan yang dilihatnya tadipun telah dilihat pula oleh Ma Gwat-sian, sesaat ia menjadi bingung cara bagaimana ia harus berbuat. Pelan-pelan Ma Gwat-sian membalik tubuh, terus melangkah keluar hutan bambu. Hun Thian-hi sangat menyesal. Bahwa Ma Gwat-sian dari tempat yang begitu jauh menyusul dirinya kemari, menolong jiwanya lagi dalam keadaan gawat tadi, kenyataan dirinya bersikap begitu dingin dan tak berperasaan sama sekali. Setelah rada sangsi. dengan tertawa dibuat-buat ia memanggil, "Gwat-sian!" Ma Gwat-sian berpaling sambil mengembeng air mata, mulutnya tetap bungkam. Sesaat Hun Thian-hi kehilangan kata-kata. dengan mendelong ia awasi Ma Gwat-sian. Poci melangkah ke depan Hun Thian-hi dan pandang muka orang dengan seksama, Thian-hi tertunduk malu. pelan-pelan Poci bertanya, "Dia siapakah, dia?" "Ham Gwat! Murid Bu-bing Loni!" sahut Hun Thian-hi dengan suara tertelan di tenggorokan. Poci menjadi serba runyam, ia pandang Ma Gwat-sian lalu berkata kepada Hun Thian-hi, "Mari kesini, ada omongan yang perlu kubicarakan dengan kau!" lalu ia mendahului melangkah keluar hutan. Dengan penuh perasaan dan prihatin Hun Thian-hi pandang Ma Gwat-sian sekejap lalu membuntut di belakang Poci. Sementara Ma Gwat-sian masih menunduk tenggelam dalam alam pikirannya sendiri. melirik pun tidak ke arah Hun Thian-hi. Tiba di tempat yang rindang Poci segera membalik tubuh dan berkata pada Hun Thian-hi, "Nak! Ada suatu hal yang perlu kujelaskan kepada kau. selanjutnya terserah bagaimana kau hendak menyelesaikannya!" Kata Poci selanjutnya, suaranya tertekan, "Gwat-sian adalah warga dari Thian-bikok, menurut aturan tidak pantas kubawa dia ke Tionggoan sini. Bagaimana juga aku tidak akan melakukan pelanggaran ini. Tapi kenyataan aku sudah membawanya ke Tionggoan sekarang, malah langsung kubawa dia ke Siau-lim-si sini. Apa kau tahu. kenapa aku lakukan hal ini?" Hun Thian-hi bungkam tak bersuara. Poci meneruskan dengan tertawa tawar, "Mungkin kau beranggapan karena dia cinta pada kau maka lantas kukabulkan permintaannya untuk menyusul kau ke Tionggoan bukan?" Kali ini Thian-hi angkat kepala, sahutnya tertawa getir, "Bahwasanya Wanpwe tidak tahu apakah alasannya!" "Sejak kecil Gwat-sian angkat guru kepadaku," demikian Poci melanjutkan, "Dengan tekun kuajarkan Tay-seng-ci-lou kepadanya, tapi apakah kau tahu kenapa aku tidak ajarkan dia ilmu silat" Bakatnya luar biasa, otaknya cerdik dan pandai lagi, aku hanya ajarkan seni musik macam Tay-seng-ci-lou dan tidak memberi ajaran silat, menurut umumnya adalah tidak adil dan kurang bijaksana!" Tergerak hati Thian-hi, batinnya waktu aku pertama ketemu Ma Gwat-sian juga timbul pertanyaanku ini, kuduga dia merupakan tokoh terpendam yang kosen, siapa duga bahwa dia sama sekali tidak pandai main silat. Poci tertawa rawan, sambungnya, "Sebab hakikatnya dia tidak mungkin bisa berlatih silat. Sejak kecil dia sudah kena penyakit Liok-im-coat-tin, (bisul dalam urat nadi) setelah usianya mencapai dua puluh tahun ia bakal meninggal dunia!" Tergentak jantung Hun Thian-hi, sesaat ia berdiri kesima, katanya, "Apa" Gwatsian....dia...." mimpi juga tidak terpikir olehnya bahwa Ma Gwat-sian sudah terserang penyakit berbahaya yang mematikan itu, malah tidak akan lebih melampaui dua puluh tahun dalam usianya yang masih remaja ini. mungkinkah terjadi" Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Dengan mengajarkan Tay-seng-ci-lou maksudku demi untuk mengurangi tekanan batinnya yang selalu dirundung kemurungan, mungkin dengan keriangan hatinya jiwanya akan bertambah lama hidup, tapi...." sampai disini Poci tak kuasa melanjutkan, ia menghapus air matanya. Lalu sambungnya lagi, "Tapi akhirnya kudapati pula bahwa seluruh usahaku akhirnya bakal sia-sia belaka, sekarang jiwanya tinggal tiga bulan lagi untuk hidup, dia sendiri masih belum tahu akan keadaannya yang sebenar-benarnya!" Hun Thian-hi menjublek di tempatnya, seolah-olah jantungnya dipukul godam yang berat, sungguh pedih dan seperti ditusuk sembilu perasaan hatinya, aku masih demikian kikir memberikan cintaku terhadap seorang gadis remaja yang aju rupawan dan lemah dan sekarang jiwanya tidak kurang cukup hidup tiga bulan belaka, kenapa selama ini aku menyembunyikan perasaanku, apakah Ma Gwat-sian buruk rupa" Apakah dia berhati jahat" Tidak! Wajahnya begitu rupawan tidak kalah dibanding Ham Gwat, malah dia punya kelebihan dari sifat kelincahan pada gadis remaja umumnya. Apakah Ma Gwat-sian goblok" Tidak sama sekali, kepintarannya dalam segala bidang aku Hun Thian-hi sedikitpun tak mampu memadainya, tapi kenapa selama ini belum pernah bersemi rasa cintaku terhadapnya" Sungguh diapun merasa heran! Akhirnya Poci membuka kesunyian pula, katanya menghela napas, "Cintanya terhadap kau adalah sedemikian murni, begitu suci dan luhur, aku sendiri berharap dalam jangka sisa hidupnya yang masih ketinggalan tiga bulan ini dapat membawa kebahagiaan dan kesenangan terhadapnya. Aku tidak akan paksa kau, boleh kau pikirkan sendiri, terserah bagaimana keputusanmu!" Kembali Hun Thian-hi menengadah ke atas langit. Sementara Poci pelan-pelan tinggal pergi. Hun Thian-hi maklum kemana juntrungan ucapan Poci tadi, harapan orang adalah dirinya bisa hidup bahagia bersama Ma Gwat-sian dalam jangka melulu tiga bulan ini. Thian-hi meragukan akan hal ini, bayangan Ham Gwat selalu terbayang di kelopak matanya, tapi sebagai manusia yang punya nalar sehat dan dapat menerima rasio dengan perasaan hati membuat Hun Thian-hi merasa simpatik dan kasihan akan nasib Ma Gwat-sian, timbul dalam benaknya bahwa dia harus memberikan kesenangan dan kebahagiaan itu kepada Ma Gwat-sian dalam jangka tiga bulan yang pendek itu, aku harus berbuat sekuat mungkin demi keluhuran jiwa manusia. Karena keputusan lahir batin ini akhirnya ia pelan-pelan menyusul ke dalam hutan sana. Teringat Ham Gwat ia menjadi kuatir bagaimana orang akan bersikap kepadanya kelak. mungkin Ham Gwat bisa salah paham kepada dirinya, tapi ia yakin bahwa pengorbanannya kali ini adalah benar-benar demi kemanusiaan, yakin siapa saja bagi orang yang punya perasaan akan menempuh jalan yang sama dengan keputusannya ini. Ketika tiba di dalam hutan ia menjadi terlongong, suasana di dalam hutan hening lelap tiada kelihatan bayangan seorangpun, Ma Gwat-sian telah menghilang tanpa bekas, kiranya sejak tadi ia telah meninggalkan hutan bamfou ini. Resah dan gelisah pula perasaan Hun Thian-hi, sunggguh ia merasa betapa dirinya tidak dapat diberi maaf lagi, teringat olehnya, sejak dirinya memasuki Thian-bi-kok dulu, hati kecilnya telah terisi pula bayangan bentuk Ma Gwat-sian, selama hidupnya ini dia tidak akan pula melupakan raut wajah nan aju semampai itu. Selama hidup dan mengalami berbagai kesulitan betapa Ma Gwatsian telah memberikan bantuannya yang tak ternilai kepadanya, jelas bahwa hidupnya ini tidak mungkin membebaskan diri dari kebaikan2 Ma Gwat-sian itu. Kini setelah kembali ke Tionggoan, jarak yang ribuan li jauhnya, namun Ma Gwatsian telah menyusulnya kemari, bukan saja dia harus meninggalkan negara dan kampung halamannya, tempat indah dimana ia dilahirkan, dan yang terutama bahwa dia telah mengejar cinta pada dirinya, tepat kedatangannya dan menolong pula jiwanya dari renggutan dewa elmaut. Sekarang justru karena keingkaran hatinya ia telah tinggal pergi, bagi siapapun bila dia menempatkan dirinya dipihak Ma Gwat-sian dia pun pasti akan tinggal pergi, entah dia pergi kemana, meski ia harus hidup merana yang terang karena dia masih punya harga diri, dan bagi dirinya mungkin harga diri ini jauh lebih tebal dari milik orang lain. Begitulah Hun Thian-hi terlongong ditempatnya. Sementara itu Poci juga sudah pergi entah kemana, ia pergi meninggalkan Ma Gwat-sian untuk dirinya, tanpa banyak bicara aku telah menerima peninggalan ini, namun sekarang terjata Ma Gwat-sian juga telah pergi dan menghilang, entah kemana. Entah berapa lama kemudian mendadak ia tersentak sadar dari lamunannya, didapatinya ia masih menjublek ditempatnya, lekas-lekas ia membanting kaki, seketika tubuhnya melenting tinggi menerobos pohon-pohon terus mengejar keluar hutan. Betapa sedih dan pilu hati Ma Gwat-sian waktu ia tahu bahwa relung hati Hun Thlan-hi kiranya sudah terisi blbit asmara bagi orang lain. Meski Po-ci mengira bahwa Ma Gwatsian tidak tahu bahwa jiwanya tinggal bisa hidup tiga bulan lagi. memang meski Ma Gwat-sian tidak tahu bahwa dirinya tinggal dapat hidup tiga bulan lagi, tapi ia sudah mendapat firasat bahwa tubuhnya rada berlainan dengan orang lain. Sering ia merasakan tubuhnya letih dan lemas, apalagi Poci bersikap begitu baik, segala permintaannya pasti dituruti, insyaf dia bahwa sikap sang guru ini bukan mustahil ada latar belakang tertentu atas tubuhnya yaitu bahwa dia sedang terserang suatu penyakit yang tidak mungkin tersembuhkan, kalau tidak. tidak mungkin Poci bersikap begitu manja dan mengumbar pada dirinya. Demi gengsi dan harga dirinya, ia tidak rela bila Hun Thian-hi berkasihan pada dirinya dan menyerahkan cinta orang lain kepada dirinya. Setelah Poci dan Hun Thian-hi menyingkir jauh pelan-pelan iapun meninggalkan hutan bambu itu, langsung menuju ke arah hutan yang lebih lebat jauh lebih belukar dan menanjak tinggi. Setelah berada diatas. Ma Gwat-sian berpaling, tampak gereja Siau-lim jauh di belakang bawah sana, dengan ringan ia mengnela napas panjang, hampir tanpa tujuan kaki melangkah menuju ke arah yang tidak menentu, bagaimana selanjutnya aku harus menempatkan diriku" Hal ini tidak pernah terpikir olehnya! Beberapa kejap kemudian tiba-tiba ia menghentikan langkahnya, sepasang matanya yang jeli berkedip mengawasi ke depan dengan terbelalak. Dihadapannya berdiri seorang gadis rupawan mengenakan pakaian serba hitam, disampingnya berdiri pula seekor rajawali, orang pun sedang mengawasi dirinya dengan sikap dingin dan kaku. Tahu Ma Gwat-sian bahwa inilah orang yang terbang melampaui di atas kepalanya tadi, inilah murid Bu-bing Loni yang bernama Ham Gwat. Begitulah untuk sekian lamanya kedua belah pihak saling pandang tanpa berkesip. Gwat-sian tidak tahu bagaimana perasaan hatinya saat itu. hampir ia merasakan akan kerendahan dirinya Bukankah dia dihinggapi penyakit yang tidak dapat ditolong lagi! Sebetulnya ia sangat bangga, akan dirinya, akau kepintaran dan bentuk wajahnya sendiri. Kalau dulu ia merasa bahwa kecantikan dirinya adalah yang nomor satu di seluruh kolong langit ini, tapi Ham Gwat yang berdiri dihadapannya sekarang kiranya juga mempunyai bentuk wajah yang tidak kalah agung dan cantiknya. Dia bangga bahwa Tay-seng-ci-lou atau ilmu yang dipelajarinya itu tiada tandingan di seluruh jagat, tapi jelas bahwa Ham Gwat yang berdiri dihadapannya ini justru adalah ahli waris Hui-sim-kiam-hoat, itu ilmu pedang nomor wahid tanpa tandingan di seluruh dunia persilatan. Adalah aku sendiri sedikitpun tidak pandai bermain silat. Akhirnya Ma Gwat-sian tertunduk dengan sedih, tapi dilain saat ia angkat kepala pula tidak mau tunduk begitu saja, begitulah ia adu pandang pula dengan Ham Gwat. Entah berapa lama mereka beradu pandang tanpa berkesip, dalam hati kecil Ma Gwat-sian mengharap Ham Gwat suka mengalah setindak padanya, tapi kenyataan tidak, dari sorot pandangan Ham Gwat ia merasakan, bahwa sedikitpun Ham Gwat tidak akan mengalah pada dirinya. Serta merta terasa oleh Ma Gwat-sian air mata telah mengembeng memenuhi kelopak matanya, lekas-lekas ia menunduk dan memejamkan mata, sambii mengemban harpanya ia berlari kencang ke depan lewat samping Ham Gwat. Tanpa bergeming Ham Gwat tetap berdiri, biji matanya memancarkan sorot cahaya yang sangat aneh, kelihatannya seperti senang, tapi seperti sedih dan menyesal pula, akhirnya ia pelanpelan membalik tubuh, dipandangnya punggung Ma Gwat-sian yang mengghilang dikejauhan. Sambii tertunduk ia berpikir, kakinya melangkah pelan, sekonyong-konyong terasa angin berkesiur sesosok bayangan orang melayang hinggap di depannya. Itulah Poci yang mendatangi pelan-pelan. Dengan pandangan penuh selidik ia pandang Poci yang semakin dekat. Untuk sesaat lama Poci harus mengendalikan perasaan sebelum bicara, akhirnya ia membuka suara dengan suara tertekan, "Nona Ham Gwat, ada beberapa patah kata yang perlu kusampaikan kepada kau, apakah kau sudi mendengar?" Sebetulnya Ham Gwat rada heran pada sepak terjang Poci dan tingkah laku Ma Gwatsian, mungkinkah mereka tadi sudah bertengkar dengan Hun Thian-hi" Karena rekaan hatinya ini, ia manggut-manggut. Setelah menghela napas Poci berkata, "Betapa dalam dan suci cinta Hun Thian-hi terhadap kau. hal ini aku tahu dengan jelas. "demikian ia mulai dengan uraiannya. Sampai disini ia berhenti. Ia pandang air muka Ham Gwat, melihat orang tidak mengunjuk perubahan pada mimik mukanya, lalu ia melanjutkan, "Tapi haruslah kau ketahui bahwa Ma Gwat-sian juga kepincut terhadap Hun Thian-hi, begitu besar rasa cintanya terhadap Hun Thian-hi seperti cinta Hun Thianhi terhadap kau. Tapi dia...." Tersekat sekian saat Poci tak kuasa melanjutkan kata-katanya karena terganggu oleh perasaan hatinya, "Ma Gwat-sian sendiri juga belum tahu," demikian ia melanjutkan lagi, "Bahwa jiwanya kini tinggal dapat hidup tiga bulan lagi, ini adalah tinggal harapannya yang terakhir, kuharap nona suka berkorban diri demi kebahagiaannya yang sangat pendek ini." Begitu mendengar penjelasan terakhir ini, otak Ham Gwat seperti dipalu godam, terhujung mundur sempoyongan, matanya terbelaiak dan menjublek ditempatnya, sesaat kemudian baru ia kuasa membuka suara, "Baru saja dia lewat kesana!" Poci tertegun. Ia sangka Ma Gwat-sian masih berada dihutan bambu dan sekarang tengah bersama Hun Thian-hi, tapi ternyata kejadian benar-benar diluar perhitungannya, keruan ia tersentak kaget, teriaknya, "Apa?" - tanpa banyak bicara lagi segera ia berlari mengejar. Ham Gwat menjadi melongo, sunguh ia tidak tahu bahwa Ma Gwat-sian tinggal dapat hidup selama tiga bulan lagi, Ma Gwat-sian menyusul dari tempat yang ribuan li jauhnya, Poci tidak akan menipu dirinya akan hal-hal yang tidak benar-benar. Sebetulnya. rasa cintanya terhadap Hun Thian-hi setinggi gunung sedalam lautan, adakah jiwaku begitu sempit, begitu tega aku tanpa memberi sedikitpun kelonggaran terhadap seorang gadis remaja yang tinggal hidup tiga bulan lagi. Dengan mengeluh ia mendongaK memandang ke-cakrawala. Sekarang hanya ada satu jalan dapat menolong keadaan yang sudah kronis ini, kalau jalan ini dapat ditempuh dan bisa terlaksana betapa ringan perasaan yang mengunjal sanubarinya. Sebat sekali segera ia melesat ke arah, Siau-llm-si. Setelah melewati Ham Gwat, sanubari Ma Gwat-sian seperti diserang rasa sedih yang bergelombang tak kenal putus, air mata tak terbendung lagi mengalir dikedua pipinya, hampir saja ia berteriak nyaring dengan tangis yang gerung-gerung. Dia terus berjalan ke depan tanpa membedakan arah, mendadak rasa letih menyerang seluruh Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo sendi2 tulang dan urat nadinya, tubuhnya terasa lemas lunglai, ia berdiri sekejap memejamkan mata, waktu ia buka mata lalu menuju ke arah sebuah gua yang dilihat ada di depan sana. Semakin jauh aku pergi meninggalkan mereka akan lebih enak dan ringan perasaanku, biar mereka selama hidup ini tidak akan menemukan aku lagi, tanpa sangsi2 langsung ia memasuki gua itu. Begitu berada di dalam ia celingukan kian kemari, meski tidak besar dan luas, tapi lorongnya cukup panjang ke dalam sana. entah bakal menembus kemana. Rada sangsi sebentar Ma Gwat-sian lalu beranjak maju lebih lanjut, semakin dalam ia berjalan badan semakin lemas, tiba-tiba dilihatnya sebentuk batu giok putih menggeletak di atas tanah, karena ketarik tanpa ambil pusing dijemputnya terus melanjutkan ke depan. Beberapa puluh langkah kemudian rasa letih dan pening mendadak merangsang kepala dan kaki tangannya, serta merta ia lantas berdiri menggelendot didinding gua, sekian lama ia berdiam diri sambii memejamkan mata. Sekonyong-konyong ia tersentak bangun oleh langkah-langkah kaki ringan yang mendekat, waktu ia membuka mata dengan siaga, dilihatnya seorang laki-laki tua dengan muka kurus berdiri dihadapannya, dengan penuh perhatian orang pandang dirinya. Terkejut hati Ma Gwat-sian, batinnya, "Kiranya gua ini ada penghuninya." dengan seksama dan tanpa berkesip iapun pandang orang tua. entahlah apa yang akan diperbuat pada dirnya. "Nak," tiba-tiba orang tua itu tertawa lebar penuh welas asih, "Kenapa kau tertidur di tempat ini, bila ada ular atau sebangsa binatang buas lainnya bagaimana kau." terangkat sebelah tangannya untuk mengelus-elus rambut Ma Gwat-sian. Dengan kejut dan takut Ma Gwat-sian berusaha mundur menghindar, serta melihat orang tua dihadapannya ini tidak mengandung maksud jahat, ia biarkan saja kepalanya diusap2. Sekian lama si orang tua mengelus-elus rambut Ma Gwat-sian sembari menghela napas rawan, lalu ia pun tenggelam dalam renungannya, akhirnya ia angkat kepala dan tertawa, katanya, "Nak. kau tadi pernah menangis kenapa?" Serta merta terbit rasa hormat dan bersahabat dalam relung hati Ma Gwat-sian. sambil angkat kepala ia balas bertanya, "Paman tua, kenapa seorang diri kau menetap di dalam gua ini?" Si orang tua tersenyum ewa, katanya, "Cahaya disini kurang terang, mari kau ikut aku." - lalu diajaknya Ma Gwat-sian menuju kegua yang lebih dalam. Semakin dalam keadaan gua semakin terang dan lebar, setelah membelok beberapa kali lekukan. tibalah mereka disebuah kamar batu, kamar batu ini hanya terdapat sebuah dipan dan sebuah meja kecuali itu banyak buku tertumpuk disana. Dari luar kamar batu sebelah sana menyorot masuk cahaya terang, jauh diluar sana tampak sebuah air terjun mencurah tumpah dengan mengeluarkan suaranya yang gegap gempita. dari reflek cahaya air terjun inilah, keadaan kamar batu itu semakin terang benderang. Sembari tertawa lebar si orang tua menggerakkan tangan supaya Ma Gwat-sian duduk, dia sendiri juga lantas duduk di atas dipan Ma Gwat-sian beragu sebentar, pelan-pelan ia duduk. Kata si orang tua dengan tertawa. "Sudah lima aku tidak pernah ketemu dengan orang asing, entah cara bagaimana kau bisa masuk kamari?" Sembari berkata itu si orang tua mengamati Ma Gwat-sian dengan seksama. tibatiba dilihatnya sebentuk batu giok pttih ditangan Ma Gwat-sian, serunya terkejut, "Kau tidak bisa main silat?" Ma Gwat-sian manggut-manggut. Heran dia mengapa orang mengajukan pertanyaan ini, kedengarannya seperti daerah ini adalah tempat terlarang bagi orang luar. terutama bagi orangorang yang pandai main silat menjadi pantangan untuk memasuki daerah itu. Si orang tua menghela napas ringan, ujarnya, "Para padri dari Siau-lim-si masa tiada seorangpun yang merintangi kau?" Ma Gwat-sian menggeleng. sahutnya. "Mereka sendiri sekarang sedang repot. mana ada waktu merintangi kedatanganku kemari?" Si orang tua menghela napas lega, katanya kalem, "Kau sudah datang sudah tentu kau memang berjodoh denganku. Tapi kau harus tahu, bahwa batu giok yang kau pegang itu adalah Sim-giok-ling milik Bu-bing Loni, setelah melihat Sin-giok-ling bukan saja kau tidak mundur dan meninggalkan tempat ini malah kau jemput dan kau anggap sebagai mainan. Bu-bing Loni" tidak akan membiarkan kau hidup lebih lama!" Ma Gwat-sian mandah tertawa tawar, ujarnya, "Jadi miliknyakah batu giok ini!" kelihatannya sendikitpun ia tidak ambil perhatian akan mara bahaya yang bakal menimpa dirinya. Dia tahu nama dan siapakah itu Bu-bing Loni. tapi ia tidak tahu Sin-giok-ling itu. Dia percaya dengan kehebatan Tay-seng-ci-lou gurunya, apa perluja takut menghadapi Hui-sim-kiarahoat Bu-bing Loni" Kenapa pula harus takut menghadapi dia" Terunjuk rasa heran dan kesangsian pada sorot mata si orang tua, hatinya bertanya-tanya siapakah sebenar-benarnya Ma Gwat-sian ini" Dikata dia tidak bisa main silat, tapi kelihatannya koq tidak gentar menghadapi Bu-bing Loni, bila dikata ia bisa main silat, siapa pula orangnya dikolong langit ini yang pandai main silat yang tidak gentar menghadapi Bu-bing Loni" Demikian ia. merenung, akhirnya ia berkata tertawa. "Nak, siapakah tadi yang telah menyakiti hatimu, kenapa kau bersedih hati?" Tersentak Ma Gwat-sian dibuatnya, cepat ia angkat kepala memandang si orang tua. tampak orang tersenyum welas asih serta memandanginya dengan kasih sayang, seolah-olah jalan pikiran dan janggalan hatinya sudah dapat diraba dan diketahui semua. "Tidak apa-apa!" akhirnya Ma Gwat-sian menjawab singkat setelah termenung sesaat lamanya. "Jangan kau kelabui aku," ujar si orang tua tertawa. "Kalau kau katakan mungkin tekanan batinmu akan lebih ringan, jangan kau sekam perasaan hatimu sehingga nanti bisa merusak kesehatanmu sendiri. Kau masih muda maka kau harus dapat membuka dada dan berpandangan jauh ke depan," Ma Gwat-sian tertawa. sahutnya, "Paman, tak perlu membicarakan soal itu. kenapa seorang diri kau tinggal di tempat ini" Apalagi kau tadi berkata sudah lama tidak pernah ketemu orang luar?" "Aku bernama, Kiang Cong-bing!" akhirnya si orang tua memperkenalkan diri, "Nak. pertanyaanku tadi belum lagi kau jawab bukan!" Melihat orang menarik kembali kepersoalan semula Ma Gwat-sian menjadi bimbang sahutnya, "Sebetulnya tiada apa-apa, hanya karena badanku terasa kurang sehat belaka!" Si orang tua menghela napas, untuk sekian lama mereka sama bungkam, suasana menjadi lelap. Sebetulnya terketuk perasaan Ma Gwat-sian, si orang tua bersikap begitu baik malah sudah memperkenalkan nama dirinya, sebaliknya aku masih mengelabui keadaan diriku yang sebenarbenarnya sudah tentu teraSa betapa hancur sanubarinya, setelah sangsi sekian lama akhirnya bibirnya bergerak namun suaranya tertelan kembali. Mendadak si orang tua tertawa, ujarnya. "Sebetulnyalah aku tidak pantas banyak bertanya pada kau, seumpama aku tahu kesulitanmu akupun tidak bakal bisa bantu kau mengatasi persoalanmu, soalnya, entah mengapa aku menjadi ketarik terhadap segala persoalan yang menyangkut dirimu itu." Sampai disini ia menghela napas, lalu sambungnya pula, "Mungkin aku hanya terbawa oleh keadaan yang kuhadapi ini sehingga mengetuk lubuk hatiku saja. Ketahuilah akupun punya seorang putri, mungkin sekarang juga sebesar kau ini!" "Dimanakah dia sekarang?" tanya Ma Gwat-sian. Kiang Tiong bing menghela napas, sahutnya, "Akupun tidak tahu dimana dia sekarang. Raut wajah dan bentuk tubuhnya sama benar-benar dengan ibunya, sekarang sudah dua puluh tahun, bila dia berada disini, mungkin secantik kau ini." "Apakah kau dikurung Bu-bing Loni di tempat ini" tiba-tiba Ma Gwat-sian bertanya. Kiang Tiong-bing manggut-manggut, katanya perlahan. "Ya, dua puluh tahun sudah aku terkurung disini!" "Apakah aku bisa bantu mengatasi kesulitan paman?" "Banyak terima kasih. Kau sudah menjemput Sinn-giok-ling itu. kukira takkan lama lagi Bu-bing Loni bakal kemari. Bila dia benar-benar datang aku kuatir kau tidak akan bisa melarikan diri." "Begitu juga baik, aku tidak takut!" "Apa!' teriak Kiang Tiong-bing tersentak kaget, "Apa! katamu" serunya pula menegas. Sungguh tak habis herannya, kenapa Ma Gwat-sian punya nyali begini besar". Apakah benarbenar dia kuat menerima akibat yang bakal menimpa dirinya nanti" Ma Gwat-sian berkata terbawa oleh perasaan hatinya, setelah melihat reaksi dari Kiang Tiongbing hatinya menjadi menyesal, serta didesak pertanyaan oleh Kiang Tiong-bing pula ia hanya menjawab tawar, "Berani Bu-bing Loni membunuh aku" Pasti guruku juga akan bunuh dia." Kiang Tiong-bing tercengang, tanya, "Gurumu adalah...." "Aku datang dari Thian-bi-kok, bukan warga dari Tionggoan sini....!" Kiang Tiong-bing manggut-manggut, katanya kalem, "Benar-benarkah gurumu mampu membunuh Bu-bing Loni?" Melihat mimik wajah Kiang Tiong-bing yang begitu serius tergerak hati Ma Gwatsian, katanya tertawa, "Tay-seng-ci-lou apakah paman Kiang pernah mendengar akan ilmu ini." "Jadi nona adalah ahli waris dari Tay-seng-ci-lou?" "Tapi sekarang aku tidak tahu entah dimana guruku berada!" Seolah-olah Kiang Tiong-bing tidak mendengar lagi ucapannya, kepalanya menengadah memandangi air terjun, air tampak berpercik berhamburan kemana-mana, terbitlah cahaya reflek dari timpaan sinar matahari yang indah dan menakjupkan, titik harapan tampak semakin tumbuh dalam cahaya lembayung yang dilihatnya itu. Melihat orang tenggelam dalam pikirannya, Ma Gwat-sian maklum bahwa orang tentu pernah mengalami masa2 kehidupan pahit getir yang sangat menekan batinnya, sekarang biarlah ia berkesempatan menikmati harapan hidup baru dalam angan2-nya. Tak lama kemudian Kiang Tiong-bing tersentak dari lamunannya, ia menunduk lalu tertawa dan berkata pada Ma Gwat-sian, "Sesaat aku menjadi kehilangan akal dan nalar, harap nona jangan salah paham!" "Bukan maksudku membuat Lo-ciangpwe terlalu bergirang hati, kalau tidak keputusasaan bakal menimpa lebih berat lagi. Saat ini aku tidak tahu dimana guruku berada, apalagi menurut apa yang dia pernah katakan bahwa Hui-sim-kiam-hoat tidak boleh dipandang enteng, dia sendiripun tiada punya pegangan dapat mengalahkannya!" Dengan mendelong Kiang Tiong-bing menatap Ma Gwat-sian. Ma Gwat-sian tertunduk, lalu dengan suara kering ia berkata, "Tapi aku tahu ada seseorang yang dapat membantu pada kau. Orang ini adalah ahli waris dari Wi-thian-citciat-sek." "Siapakah dia?" seru Kiang Tiong-bing kegirangan. Sekonyong-konyong didapatinya nada ucapan Ma Gwat-sian ada ganjil, seolah-olah ada sesuatu ganjalan hati yang menyekam sanubarinya, dengan rasa penuh tanda tanya ia awasi Gwat-sian. "Dia bernama Hun Thian-hi!" sahut Ma Gwat-sian sembari tertawa getir. "Apakah dia seorang pemuda?" Terketuk lubuk hati Ma Gwat-sian, terangkat kepalanya, matanya terkesima menatap Kiang Tiong-bing, wajahnya rada bersemu merah, seperti ia merasa bahwa Kiang Tiongbing telah dapat mengorek rahasia hatinya yang sesungguhnya. Sambil tersenyum Kiang Tiong-bing berkata pelan-pelan, "Aku punya seorang putri tahun ini berusia dua puluh. Begitu melihat nona lantas aku teringat padanya." sampai disini ia berhenti sambil tersenyum lebar, lalu melanjutkan, "Aku belum lagi mengetahui nama harum kau nona." "Aku bernama Ma Gwat-sian!" sahut Ma Gwat-sian lirih, "Apakah paman tidak percaya akan ilmu silat Hun Thian-hi?" Terasa dari pertanyaan orang tadi bahwa Kiang Tiong-bing rada menyangsikan kepandaian sejati Hun Thian-hi, agaknya ia menyangsikan apakah benar-benar Hun Thian-hi mampu membantu dirinya, maka selanjutnya ia tidak banyak bertanya pula. "Gwat-sian, Gwat-sian, Gwat-sian!" mulut Kiang Tiong-bing menggumam, dengan cermat ia Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo tatap Ma Gwat-sian sekian lamanya, akhirnya menghela napas, katanya, "Berapa usiamu sekarang?" Dengan menahan sabar Ma Gwat-sian menyahut, "Hampir dua puluh!" Kiang Tiong-bing tersenyum lebar, tanyanya pula, "Lalu berapa usia Hun Thianni?" "Kurang lebih dua puluh tahun juga!" "Dua puluhan tahun sudah," akhirnya Kiang Tiong-bing terhenyak. "hampir dua puluh tahun sudah aku menetap disini." Habis berkata ia menghela napas dengan rawan. Ma Gwat-sian juga menghela napas, pikirnya, "Bila Hun Thian-hi terketuk sanubarinya dan menyesal serta mengejar kemari, alhasil yang ditemui pasti hanyalah Ham Gwat belaka, setelah ketemu dengan Ham Gwat mungkinkah dia mau kemari lagi?" Terdengar Kiang Tiong-bing berkata pula dengan suara kalem, "Sudah dua puluh tahun aku terkurung disini, aku tidak perlu takut mati. tapi aku tidak berani keluar, soalnya, kalau aku keluar putriku itu akan dibunuh oleh Bu-bing Loni!" Mendengar penjelasan ini Ma Gwat-sian berjingkrak bangun, matanya terbelalak besar menatap Kiang Tiong-bing, bibirnya bergerak berkata lirih tertekan, "Jadi kau adalah ayahnya Ham Gwat!" Kiang Tiong-bing juga tersentak bangun, teriaknya, "Ham Gwat! Apakah kau pernah melihatnya?" Ma Gwat-sian meloso duduk lagi dengan lunglai, sahutnya pelan, "Baru belum lama berselang diluar gua yang tak jauh sana kulihat dia, tapi sekarang.... mungkin dia sudah pergi!" Terbayang perasaan hambar dari sorot mata Kiang Tiong-bing, iapun jatuh terduduk lagi dengan lesu dan murung, sekonyong-konyong kepalanya terangkat dan bertanya pada Gwat-sian, "Apakah Ham Gwat bersama Hun Thian-hi itu?" Ma Gwat-sian menggeleng, ia tertunduk tak buka suara. "Ai, akhirnya dia datang juga," demikian keluh Kiang Tiong-bing, "Tapi dia tidak tahu bahwa ayah kandungnya sedang merana di tempat ini, tidak diketahui pula olehnya bahwa ibunya berada jauh diujung langit sana!" - tanpa kuasa air mata mengalir membasahi pipinya. Tiba-tiba terasa oleh Ma Gwat-sian bahwa riwayat hidup Ham Gwat kiranya juga begitu kasihan dan penuh liku-liku yang tidak diketahui olehnya sendiri. Sejak kecil dia dibesarkan dan dibimbing oleh musuh besarnya sendiri tanpa dia sadari, malah diangkat sebagai ahliwarisnya lagi. Baru pertama kali ini ia dapat mengecap betapa manisnya madu cinta itu, namun sayang harapan yang dinantikan setiap saat itu ternyata telah terebut oleh orang lain, betapa hati ini takkan merana, betapa hati ini takkan menjadi gersang. Oh, nasib, apakah aku memang ditakdirkan lahir dalam kehidupan yang sengsara penuh derita ini" Air mata meleleh deras menetes ke atas tanah dan terhisap tanpa bekas. Dengan rada terkejut Kiang Tiong-bing meng-amat-amati Ma Gwat-sian, ternyata Ma Gwat-sian pun dirundung rasa kesedihan yang begitu berlimpah, tapi apakah sebab kesedihannya" "Paman!" ujar Ma Gwat-sian sambil bangkit berdiri, "Mari kubantu kau keluar mencari dia mungkin saatt ini dia belum lagi pergi, atau biar aku saja yang mencarinya kemari!" Dengan penuh haru dan rasa terima kasih yang tak terhingga Kiang Tiong-bing berkata, "Terima kasih akan kebaikanmu. Nona Ma, kukira dia sudah tiada lagi disana. Jangan kau mencapaikan dirimu!" "Tapi ada lebih baik ku-coba-coba pergi mencarinya!" Melihat sikap dan kekukuhan hati Ma Gwat-sian ini, Kiang Tiong-bing maklum bahwa Ma Gwatsian pasti berdiri di pihak lawan berat dalam bidang asmara, tapi adalah sikap Ma Gwat-sian yang tanpa pamrih ini sungguh mengetuk jiwanya, sungguh haru dan pilu benar-benar hati si orang tua yang hidup penuh derita ini. Maju dua langkah ia rangkul Ma Gwat-sian ke dalam pelukannya, ujarnya sesenggukan, "Nak, aku entahlah cara bagaimana aku harus membalas kebaikanmu ini!" Tak tertahan air mata Ma Gwat-sian pun mengalir dengan derasnya. Berselang lama baru Ma Gwat-sian kuasa buka suara, "Biarlah aku segera keluar, kalau terlambat kuatir dia sudah pergi!" - begitu ia putar tubuh seketika ia menjerit kaget dan mundur dua langkah. Tampak seorang Nikoh tua sedang berdiri tegak di ambang mulut gua, dengan wajahnya yang membeku dingin, sorot matanya yang kaku ia awasi mereka berdua tanpa bersuara. Betapa kejut hati Ma Gwat-sian, tahu dia bahwa si Nikoh tua pasti Bu-bing Loni adanya.... Beranjak masuk ke dalam kamar batu dengan pandangannya yang dingin Bu-bing Loni menjengek sinis, dengusnya, "Tak usah pergi. Sudah sejak tadi Ham Gwat meninggalkan tempat ini." Kiang Tiong-bing maju dua langkah, tampak air mukanya mengunjuk kekerasan hatinya yang nekad, dengan kedua tangannya ia tarik Ma Gwat-sian ke dekat tubuhnya, matanya setajam pisau mengawasi Bu-bing Loni. Bu-bing Loni mendengus hidung, katanya kepada Ma Gwat-sian, "Siapa kau" Begitu besar nyalimu berani masuk kemari setelah melihat Sin-giok-ling!" Ma Gwat-sian tertawa tawar, sahutnya, "Guruku berada di sekitar sini, segera dia bakal kemari. Tay-seng-ci-lou apakah kau pernah dengar?" Terpancar sorot cahaya aneh berkelebat di rona Bu-bing Loni, sesaat ia berpikir lalu katanya, "Tapi mungkin kedatangannya sudah terlambat nanti! Karena sekarang juga kau sudah harus menuju ke alam baka!" selesai berkata setindak demi setindak ia menghampiri Ma Gwat-sian. "Tak kuijinkan kau mengusik dia!" bentak Kiang Tiong bing menghadang ke depan. Terpancar pula rasa aneh di kelopak mata Bu-bing Loni, serta merta kakinya merandek, kepalanya tertunduk berpikir, sekian lamanya ia bungkam. Akhirnya ia angkat kepala pula serta ujarnya, "Apakah itu permintaanmu kepadaku?" Kiang Tiong-bing mandah menjengek saja tanpa bersuara. Kata Bu-bing Loni pula, "Bila kau yang memohon kepadaku segala permintaanmu pasti kukabulkan!" "Tutup mulutmu!" bentak Kiang Tiong-bing. "Kalau begitu aku minta segeralah Kau mampus!" Beringas muka Bu-bing Loni, tampak hawa marah telah membakar dadanya, maju dua langkah telapak tangannya lantas menampar ke arah Kiang Tiong-bing. "Plak", kontan Kiang Tiong-bing terhujung mundur dua langkah, pipinya bengap, Ma Gwat-sian terlepas dari cekalannya, ujung mulutnya mengalirkan darah segar, tapi tanpa takut dengan muka gusar dan pandangan berapi-api yang penuh dendam ia deliki Bu-bing Loni. Bu-bing Loni terlongong menjublek di tempatnya, sesaat baru ia bersuara dengan penuh derita, "Tiong-bing, begitu baik sikapku terhadap kau, sebaliknya kau selalu begitu...." "Benar-benarkah kau bersikap baik terhadapku?" teriak Kiang Tiong-bing, "Apa yang telah kau lakukan terhadap Ging-sia, kau telah merusak wajahnya, kau mengurungnya selama dua puluhan tahun, apakah perbuatan kejimu ini kau anggap baik terhadapku?" - waktu berkatakata ia mengepal tangan, sungguh betapa murka dan gemas hatinya. "Semua perbuatanku ini karena cintaku terhadap kau. Kenapa sampai sekarang kau masih merindukan Ging-sia saja. Dalam hal apa dia lebih baik dari aku?" "Hatinya lebih baik, jiwanya jauh lebih baik dari kau. Sebaliknya hatimu jauh lebih jahat dari bisa ular, apakah yang kau lakukan kukira kau sendiri paham!" Dicercah sedemikian rendah sungguh bukan kepalang murka Bu-bing Loni, matanya membelalak gusar menatap Kiang Tiong-bing. Dari samping Ma Gwat-sian mengelus dada, ia paham apa yang telah terjadi, tidak lebih karena ikatan asmara pula. Tampak olehnya dari muka Bu-bing yang semakin beringas sebuas binatang itu, timbul nafsunya untuk membunuh. Sesaat ia beragu lalu tanpa ayal lagi segera jarinya bergerak lincah memetik harpanya, begitu irama lagu mendengung kontan menerjang ke arah Bubing Loni. Begitu mendadak mendengar getaran irama harpa yang deras itu, cepat Bu-bing berpaling ke arah Ma Gwat-sian, hawa membunuh semakin tebal menyelubungi wajahnya. Lekas Ma Gwat-sian duduk bersimpuh, kedua jari tangannya bergerak lincah, irama lagunya segera memberondong keluar dengan tekanan berat mengandung nafsu2 membunuh. Ooo)*(ooO Hun Thian-hi meloncat naik kepucuk hutan bambu. matanya celingukan ke arah sekitarnya, namun bayangan Ma Gwat-sian sudah tidak kelihatan lagi, sesaat ia beragu dan menjadi kesal, entah kejurusan mana Ma Gwat-sian telah pergi. Mendadak terpikir olehnya, "Mungkinkah Ma Gwat-sian beranjak ke arah biara" Bila dia masuk kesana sebaliknya aku mencarinya di luar sudah tentu takkan ketemu lagi" karena pikirannya ini segera ia terbang melesat ke arah gereja Siau-lim.... Para padri dalam biara besar itu kelihatannya sedang sibuk. kelihatan mereka berlalu lalang kian kemari, sekilas pandang dilihatnya sebentuk tubuh yang dikenalnya, lekas ia meluncur turun, setelah dekat betul juga padri itu bukan lain adalah Ti-hay. segera ia menjura dan menyapa kepada Ti-hay. "Ti-hiay Suheng. Harap tanya apakah kau ada lihat seorang perempuan masuk kemari?" Ti-hay beranngkap tangan dan menjawab dengan penuh hormat. "Kiranya Hun-sicu, sejak tadi aku berada di sekitar ini, tiada kulihat ada seorang perempuan masuk kemari!" Berkerut alis Hun Thian-hi, katanya pula, "Terima kasih akan penjelasanmu, aku sedang mencari seseorang, maaf tidak dapat kuberada disini terlalu lama, harap sampaikan salam hormatku kepada Suhumu!" - Habis berkata lantas ia terbang melesat dan menghilang. Sepanjang jalan ini ia keheranan dibuatnya, kemanakah sebenar-benarnya Ma Gwatsian. Demikianlah, dalam berpikir itu tubuhnya melesat terus ke depan. laksana bintang jatuh mengejar ke arah jalanan yang menuju kebawah gunung. Tapi sampai di bawah gunung bayangan Ma Gwat-sian masih belum dilihatnya, dengan putus asa ia menengadah mengawasi mega di atas langit. Mendadak tampak di ujung barat sebelah sana terbang mendatangi seekor burung rajawali yang teramat besar, tergetar hatinya, bukanlah itu Ham Gwat yang putar balik pula" Sungguh girang dan kuatir pula hatinya, sesaat waktu ia kebingunan, disaat burung rajawali sudah semakin dekat tiba-tiba ia membelok dan terbang ke arah timur sana terus menuju ke arah yang lain. Hun Thian-hi terlongong ditempatnya, kenapa Ham Gwat membelok ke arah lain pula" Demikian ia bertanya-tanya, sekonyong-konyong dilihatnya pula dua burung dewata, muncul diujung barat sebelah sana, berdebur keras jantung Thian-hi, Bu-bing Loni muncul pula di tempat ini, tidak heran Ham Gwat segera harus tinggal pergi, tapi untuk apakah Bu-bing Loni ke tempat ini" Ditengah jalan kedua burung dewata itu berpencar. seekor langsung menuju ke arah dirinya, sedang seekor yang lain putar kesamping terus menukik ke arah pegunungan sana. Setelah dekat dan hinggap di tanah baru terlihat oleh Thian-hi Su Giok-lan meloncat turun dari burung dewata. Agaknya Su Giok-lan juga terkejut melihat kehadiran Thian-hi ditetmpat itu. Sesaat Hun Thian-hi menjadi serba salah, sikap Su Giok-lan terhadap dirinya masih rada disangsikan, entah kawan atau lawan, dilain saat terpaksa ia maju menyapa, "Nona Su apa kau baik!" - Mulutnya bicara. hatipun berpikir; 'mungkin Ma Gwat-sian menuju ke arah pegunungan yang lebat sana. Sekarang Bu-bing pun menyusul kesana, apakah yang harus kulakukan" Mendengar sapa Huh Thian-hi Su Giok-lan mandah mendengus hidung saja. setiap kali melihat pemuda ini selalu hatinya merasakan sesuatu yang ganjii, terasa olehnya selalu ia pasti merasa ingin bermusuhan saja tapi setelah kejadian berlangsung akhirnya pasti ia akan menyesal sendiri. Ia maklum bahwa Hun Thian-hj bahwasanya tidak pernah berlaku kasar atau membuat suatu dosa terhadap dirinya, bicara secara lahir batin. justru dirinyalah yang berbuat salah dan menyakiti hati Hun Thian-hi malah, apalagi selama beberapa bulan terakhir ini terasakan pula olehnya betapa Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo kejam dan telengas segala tindak tanduk dari perbuatan Bu-bing Loni, terlihat kedok aslinya yang sudah terbuka itu. Tapi kenapakah aku harus menlcari permusuhan dengan Hun Thian-hi" Entah dia sendiri pun tak kuasa menjawab pertanyaan hatinya. Memang Hun Thian-hi sendiri juga masih beragu apakah Su Giok-lan dipihak lawan atau menjadi kawan, melihat sikap uring-uringan Su Giok-lan, ia berkata. "Aku punya urusan yang harus kukerjakan dipedalaman sebelah sana!" - demikian katanya sambil menunjuk kemana tadi Bu-bing Loni menghilang. "Guruku berpesan melarang siapapun menuju ke tempat sana!" demikian Kata Su Giok-lan tegas. "Jadi gurumu datang karena persoalan itu," demikian kata Hun Thian-hi tawar, "Tapi Tok-simsin- mo dan gembong silat lainnya sudah pergi semua!" Begitu ketemu Hum Thian-hi lantas hendak pergi. sudah tentu Su Giok-lan merasakan sesuatu kejanggalan sikapnya ini. katanya, "Guruku tidak menjelaskan tentang persoalannya, yang jelas kau dilarang kesana!" "Maksud nona Su aku benar-benar dilarang kesana?" "Ya siapapun dilarang kesana!' "Nona Su," ujar Thian-hi tertawa, "Kau angkat Bu-bing Suthay sebagai gurumu, bermula aku ikut bergirang bagi kau, sebaD ilmu silat Bu-bing Suthay nomor satu di seluruh jagad, dengan memperoleh petunjuk dan bimbingannya pastilah harapan dan masa depanmu tak dapat diukur. Tapi toh akhirnya aku merasa kuatir dan kasihan pula terhadap nasibmu, ketahuilah bahwa kekejaman hati Bu-bing Suthay juga merupakan rahasia umum lagi, bila kau selalu tunduk dan harus tunduk melakukan perintahnya aku kuatir kau harus melakukan perbuatan yang melanggar azas2 kemanusiaan. Misalnya aku inilah. sejak berkecimpung di dunia persilatan, segala sepaK terjangku kau pernah melihat dan pernah mendengar pula. satu hal yang paling membuatku paling menyesal adalah bahwa aku telah mempelajari ilmu ganas dari Ang-hwaat-lomo!" sampai disini ia menghela napas dengan kesal. waktu ia pandang Su Giok-lan tampak orang menuduk dengan muka pucat dan murung. Giok-lan maklum bahwa segala pengalaman Thian-hi itu adalah akibat dari perbuatan paman, engkohnya dan dirinya bertiga. Thian-hi berkata lagi, "Sebenar-benarnya tidak menjadi soal mempelajari jurus ganas itu, tapi bagi seorang yang Lwekangnya belum mencapai tingkat yang dibutuhkan bukan saja tidak dapat memanfaatkan ajaran itu menurut kehendak hatinya, malah kadang kala terbawa oleh nafsu kesetanan, tanpa disadarinya bahwa dirinya telah diperalat untuk membunuh manusia." - sampai disini ia menghela napas lalu sambungnya, "Waktu pertama kali aku melancarkan jurus ganas itu kau pun pernah menyaksikan. Dan akibatnya kau sendiripun telah lihat dengan mata kepalamu sendiri." Su Giok-lan terbungkam seribu basa, ia maklum bahwa Hun Thian-hi tengah membujuk dirinya supaya jangan mau diperalat oleh Bu-bing Loni, mau tidak mau ia harus berpikir dan merenungkan persoalan ini, akhirnya ia berkata tawar, "Seluruh tokoh silat di kolong langit ini adakah seseorang yang ilmu silatnya lebih unggul dari Bu-bing Suthay?" "Benar-benar, seumpama ilmu silatnya tiada tandingannya di seluruh dunia, bagaimana juga ia tidak kuasa mengubah jalannya sejarah dan jaman, mampukah dia mengendalikan hati nurani manusia?" Su Giok-lan menggeleng dengan pilu, ia menunduk. "Bu-bing Suthay sedang mencarinya ke-mana-mana, bila ketemu pasti celakalah akibatnya. Tapi mungkin ada seseorang tokoh lihay yang sengaja menyembunyikan dirinya kalau tidak mengandal ketajaman mata burung dewata, betapapun ia tidak bakal bisa menghilangkan jejaknya, kalau aku bicara terus terang, aku tidak berani!" Hun Thiani-hi menghela napas, tak bicara lagi. Su Giok-lan tidak tahu entah mengapa mendadak timbul rasa haru dan terima kasihnya terhadap Hun Thian-hi, terketuk benar-benar hatinya bahwa sedemikian besar perhatian Hun Thian-hi terhadap dirinya. Akhirnya ia buka suara pula, "Mo-bin Suseng mengutus seseorang meminta pada beliau untuk membunuh kalian semua, lekaslah kau tinggalksn tempat ini, kalau sampai kepergok dengan dia bagaimana jadinya nanti!" Bercekat hati Thian-hi, "Mo-bin Suseng!" mulutnya menggumam lirih Seketika berkobar amara hatinya bahwa Mo-bin Suseng kiranya berintrik dengan Bu-bing Loni, terbayang olehnya waktu pertama kali di puncak gunung salju berjumpa dengan Bu-bing Loni, tatkala itu Soat-san-su-gou ada menyinggung nama Mo-bin Suseng tampak biji mata Bu-bing Loni memancarkan sinar aneh yang menakutkan sekali. Rongga dadanya hampir meledak rasanya, namun ia masih tetap berdiri dengan tenang, dua puluh tahun, dua puluh tahun yang lalu, keluarga Ham Gwat tertimpa bencana, dan ayahnya pun karena Badik Buntung sehingga menemui ajalnya dibunuh oleh Mo-bin Suseng, bukankah sangat kebetulan sekali. yang lebih kebetulan lagi justru pada dua puluh tahun yang lalu dikala Ka-yap Cuncia meninggalkan Tionggoan menuju ke Thian-bi-kok, pasti semua kejadian ini bukan terjadi secara kebetulan belaka!" "Kenapa kau?" tanya Su Giok-lan terkejut melihat perubahan air muka orang. Hun Thian-hi tersentak sadar, ia menyedot hawa dalam-dalam, katanya, "Tiada apa, mungkin sejak mula kita sudah salah langkah, yang terang kita hanya dipermainkan dalam genggaman telapak tangan Mo-bin Suseng tanpa kita sadari, sebaliknya kita anggap diri sendiri terlalu pintar, tapi sampai pada detik ini, belum pernah aku melihat tampang asli dari Mo-bin Suseng!" "Lalu bagaimana sekarang aku harus bersikap?" "Kemana tujuan Bu-bing Loni tadi?" "Aku tidak tahu, kemana dia pergi selamanya tidak pernah beritahu padaku, apalagi tanpa ajakannya kita dilarang ikut, kalau kita membandel kematianlah bagiannya." Hun Thian-hi beragu, kemanakah Bu-bing Loni, ia insaf bahwa kepandaian sendiri masih bukan tandingan Bu-bing Loni, menyusul kesanapun hanya mengantar jiwa saja. Sedang ia berdiri bingung sesosok tubuh kecil pendek tiba-tiba muncul di balik pohon-pohon sana, seketika ia berteriak kejut: "Siau-suhu!" Hwesio jenaka berjalan keluar, katanya tertawa, "Kau baik?" "Siau-suhu, bukankah kau berada di Thian-lam" Masa begitu cepat bisa sampai di Siong-san apakah kau ada ketemu dengan guruku?" "Gurumu sudah ditolong keluar, kau tidak usah kuatir!" ujar Hwesio jenaka, lalu sambungnya kepada Su Giok-lan, "Bukankah nona Su Giok-lan adalah murid Pedang utara Siausicu?" Mendengar orang menyinggung gurunya yang lama yaitu Pedang utara Siau Ling, Giok-lan menjadi hambar, sahutnya, "Wanpwe memang Su Giok-lan, apakah Siau-suhu ada ketemu dengan guruku?" "Suami istri Pedang utara gurumu itu sekarang sedang bersama dengan guru Hun Thian-hi Seruling selatan Kongsun Hong. Mereka baik-baik saja, cuma mereka rada kangen pada kau." Su Giok-lan menunduk rawan, sejak kecil dia dan engkohnya dibesarkan dan dibimbing oleh Pak-kiam suami istri, dianggapnya mereka sebagai anak kandung sendiri, sekarang engkohnya sudah meninggal, sedang dirinya bertekuk lutut angkat guru kepada Bu-bing Loni, sekian lamanya ia tidak pernah jumpa lagi dengan guru tercinta, betapa hati takkan bersedih, terutama bahwa dirinya telah ingkar terhadap ajaran2nya. Begitulah ia berpikir dan menerawang sepak terjangnya selama ini, ia menista dan menyesali perbuatannya yang dianggap durhaka, akhirnya dengan tekad yang keras ia angkat kepala memandang Hun Thian-hi lalu bertanya pada Hwesio jenaka, "Dimana sekarang mereka berada?" Hun Thian-hi sendiri juga sedang dirundung berbagai pertanyaan dan keheranan, gerak-gerik Hwesio jenaka yang serba cepat dan cekatan ini benar-benar sangat mengejutkan dan mencurigakan, kecuali siang malam Hwesio jenaka tidak berhenti menempuh perjalanan dan begitu sampai lantas putar balik, kalau tidak mustahil bisa begitu cepat dia muncul lagi di Siongsan sini. Bab 24 Hwesio jenaka tertawa katanya, "Kau sekarang sudah menjadi murid Bu-bing Loni, apakah dia mau membiarkan kau pergi?" Apa boleh buat Su Giok-lan pandang Hun Thian-hi katanya, "Bagaimanakah aku ini?" "Lam-siau dan Pak-kiam sekarang sama menetap di Jian-hong-kok dipuncak Ui-san. Kalau dugaanku tidak salah dalam waktu dekat ini Bu-bing Loni tidak akan keluar, harus bagaimana kukira kau sendirilah yang mesti memutuskannya." Su Giok-lan tertunduk diam, otaknya bekerja. Lalu Hwesio jenaka berkata kepada Hun Thian-hi. "Hun-sicu, bila kau tidak anggap aku lancang mulut, menurut hemadku seharusnyalah segera kau berangkat ke Cian-hud-tOng." Tergetar hati Hun Thian-hi, kepalanya terangkat dan pandangannya penuh selidik batinnya, "Kenapa" Ada peristiwa apa pula yang terjadi" Gelombang pertikaian lama belum lagi menjadi tenang gelombang pertikaian baru bergejolak lagi, aku sendiri belum lagi menemukan Ma Gwatsian, mana bisa pergi ke tempat yang begitu jauh" Apakah benar-benar terjadi perkara besar disana?" "Sudah tentu, pergi atau tidak terserah kepada kau!" demikian tambah Hwesio jenaka tertawa, "Tapi perlu kau ketahui, bahwa tuan penolong jiwamu sekarang sedang menempuh perjalanan kematian!" "Siapa yang Siau-suhu maksudkan?" "Seharusnya kau tahu, orang itu tak lain adalah Ling-lam-kiam-ciang Coh Jianjo!" "Coh Jian-jo," keluar dengusan lirih dari mulut Thian-hi, dia merasa sedikit terkejut, dan karena kejutnya ini timbul rasa kecurigaannya.... Hwesio jenaka manggut-manggut mengiakan, "Bila tiada Coh Jian-jo sejak lama kau sudah mampus di bawah berondongan Pek-tok-hek-liong-ting, seharusnya kau paham. Toksim-sin-mo pun sudah tahu seluk beluk rahasia ini, maka cepat-cepat ia balik pulang ke Jian-hud-tong. Tindakan Coh Jian-jo membuat segala rencananya gagal total, sekembali disarangnya dapatlah kau bayangkan tindakan apa yang akan dia lakukan terhadap Coh Jian-jo?" Thian-hi terlongong, memang dia harus segera menyusul ke Jian-hud-tong. tapi bagaimana pula ia lega meninggalkan Ma Gwat-sian" Seorang diri Ma Gwat-sian menghilang. dapatkah aku tinggal pergi dengan lega hati" "Nak," ujar Hwesio jenaka menarik muka, "Jangan kau terbelenggu oleh ikatan asmara. segala perbuatan Bu-bing Loni itu justru karena dikejar oleh perasaan tali asmarat itu pula. Janganlah kau tenggelam menjadi pikun karena cinta. pula!" "Siau-suhu" ujar Thian-hi menghela napas, "Ada kalanya sesuatu urusan yang tidak dapat kau selami dari pendirianmu, tapi aku akan bekerja menurut petunjukmu juga," lalu ia berpaling ke arah Su Giok-lan, katanya, "Nona Su. selamat ketemu!" "Nanti dulu," seru Su Giok-lan, "Mari kuantar dengan burung dewata." Sesaat Thian-hi bimbang akhirnya manggut-manggut. "Urusan disini biarlah aku bantu kau menyelesaikan. hati-hatilah sepanjang jalan ini," demikian Hwesio jenaka berpesan dan berjanji. Lekas-lekas Su Giok-lan naik kepunggung burung dewata diikuti Hun Thian-h:. Kejap lain mereka sudah terbang tinggi ditengah angkasa dan menghilang di ufuk barat. Hati masing-masing dirundung pikiran, sekian lama mereka terbang meninggi tanpa bicara, akhirnya Su Giok-lan yang membuka suara tanyanya, "Tahukah kau orang macam apakah sebenar-benarnya Hwesio jenaka itu?" "Kurang jelas," sahut Thian-hi menggeleng, "Tapi dia sering membantu banyak kepadaku, beberapa kali malah dia telah menolong- jiwaku." Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Su Giok-lan manggutZ, dengan suara penuh perasaan ia berkata, "Hun-toakO, setelah urusan di Jian-hud-tong selesai, kita bersama pulang ke Jian-hong-kok menengok guru kita bagaimana?" "Sudah tentu baik sekali." sahut Thian-hi tertawa dibuat-buat. "Kuatirnya waktunya sangat mendesak, aku masih perlu mengerjakan sesuatu di Siong-an." "Kenapa" Urusan penting apa lagi yang perlu kau kerjakan?" Sudah tentu Thian-hi tidak enak menjelaskan, sahutnya meng-ada2, "Urusan Kecil belaka, tapi cukup penting dan mendesak, kalau tidak aku bakal menyesal dan selalu akan mengganjal dalam sanubariku." Su Giok-lan terdiam, lapat-lapat ia merasa kemana juntrungan kata-kata Thian-hi ini. Bukankah tadi Hwesio jenaka ada memberi nasehat pada Thian-hi supaya jangan kelelap karena ikatan asmara, dan yang dimaksudkan sudah pasti bukan diriku, maka segera ia bertanya lebih lanjut. Apakah urusan itu yang dimaksud oleh Hwesio jenaka tadi?" "Giok-lan," ujar Thian-hi menghela napas, "Aaa. ucapani yang perlu kukatakan pada kau, coba, Kutanya kau, sudikah kau selamanya menjadi adikku" Aku akan berusaha mencintaimu seperti engkohmu dulu." Merah mata Su Giok-lan, airmata meleleh keluar, ia tertunduk diam. Thian-hi tahu urusan ini harus secepatnya dijelaskan, supaya kedua belah pihak tidak terjerumus semakin dalam karena ikatan perasaan yang tidak terlampias. Katanya pula, "Adik Giok-lan, isi hatiku selamanya belum pernah kulimpahkan kepada siapapun juga, ketahuilah orang yang paling kucintu dalah Sucimu!" "Ham Gwat Suci!" seru Su Giok-lan sambil berpaling ke belakang, berpaling kemuka hatinya berpikir; 'kiranya Ham Gwatlah yang dicintai Hun Thian-hi, untuk ini ia tidak perlu banyak komentar lagi. Giok-lan tahu dibanding Ham Gwat dirinya jauh ketinggalan dalam segala bidang, sampaipun dalam pengendalian perasaan, diapun tidak selembut dan seagung Ham Gwat, begitu suci dan murni, rupawan lagi.' Su Giok-lan terlongong diam, entah apa yang sedang dipikirkan, mendapat hati Hun Thian-hi bicara lebih lanjut, "Aku sendiri belum tahu bagaimana sikapnya terhadapku, tapi dia sudah beberapa kali menolong aku." Sekarang Su Giok-lan angkat kepala, katanya, "Perasaan Ham Gwat Suci jarang dicurahkan dilahirnya, tapi sebenar-benarnyalah dia seorang gadis yang baik dan bijaksana, dia sangat baik sekali terhadapku." Mendengar ucapan Giok-lan ini, legalah hati Thian-hi, sunggguh ia tidak menduga bahwa Ham Gwat bisa membawa diri begitu rupa sehingga Su Giok-lan bersikap begitu hormat dan simpatik terhadap dirinya, ini betul-betul aneh dan mengherankan. "Yang menolong aku tempo hari adalah Sucimu pula, dia menolong diriku dari cengkeraman Bu-bing Loni, malah dengan burung rajawalinya dia antar aku ke Siong-san, tadi pun dia muncul di Siong-san, tapi entah kemana dia sekarang." "Apakah tadi kau sedang menunggu dia?" "Bukan, aku sedang mencari seorang lain!" "Kau sedang mencari seorang perempuan lain?" Thian-hi manggut-manggut, dengan ringkas pelan-pelan ia menceritakan perihal Ma Gwat-sian kepada Su Giok-lan. Su Giok-lan mendengar begitu asjik, sesaat ia berpikir lantas bertanya, "Dia cantik bukan" Dan lagi kau pun rada ketarik pula padanya?" Thian-hi manggut dengan keraguan, ujarnya, "Itu pun benar-benar, waktu pertama kali kuketemu dia memang hatiku sudah kecantol, akhirnya karena kutahu dia terlalu pintar aku menjadi takut malah, meskipun diapun sangat cantik tapi dibanding dengan Sucimu, kecantikannya tidak lebih unggul dari Ham Gwat!" "Ketahuilah Ham Gwat Suci juga sangat pintar, kelak kaupun bakal takut padanya?" demikian goda Su Giok-lan. "Rada2 saja," sahut Thian-hi tersenyum geli, "Bukan karena dia terlalu pintar, adalah karena selama ini aku belum pernah melihat senyum manis di Wajahnya yang kaku dingin itu." "Ajah bunda Ham Gwat Suci sudah meninggal semua, riwayat hidupnya sangat mengenaskan." "Tidak! Aku pernah jumpa beberapa kali dengan ibundanya, sedang ayahnya dikurung di suatu tempat oleh Bu-bing Loni. Ayah ibunya masih hidup dan sehat, cuma dia sendiri tidak tahu!" Su Giok-lan tercengang, serunya, "Kau tahu hal ini kenapa tidak beritahu kepadanya?" "Dimana ayahnya berada aku belum tahu, sedang jbunya ada pesan supaya aku tidak memberitahu dulu kepadanya." - lalu ia tuturkan pertemuannya dengan Ong Ging-sia tempo hari. Su Giok-lan terlongong-longong tak bersuara, begitu kejam dan keji benar-benar tindanan Bubing Loni sampai adik kandung sendiri pun disiksa dan dibuat cacat begitu rupa, kalau dipikirkan sungguh mendirikan bulu roma. Jalan punya jalan tak lama kemudian mereka sudah tiba di Jian-hud-tong, setelah turun di tanah Giok-lan mengulap tangan membiarkan burung dewata terbang pergi, langsung mereka menuju ke mulut Jian-hud-tong. Kata Hun Thian-hi, "Mungkin Tok-sim-sin-mo sekarang belum pulang, mari kita masuk menyelidiki dulu, lebih baik kalau dapat menolong Coh Jian-jo keluar, supaya tidak menimbulkan bencana di kelak kemudian!" "Tapi siapa tahu dimana Coh Jian-jo berada?" "Kita terobos dulu ke dalam saja!" Tempo Hun Thian-hi dan Sutouw Ci-ko terkurung di Jian-hud-tong dulu, Hun Thianhi tertolong keluar oleh Ka-yap Cuncia, waktu keluar melalui sebuah jalanan rahasia lain. Maka kali ini Thian-hi membawa Su Giok-lan ke belakang gunung dan menyelinap masuk ke dalam Jian-hudtong melalui jalan rahasia itu. Beberapa kejap kemudian tampak bayang2 manusia di depan lorong Sana, tampak di berbagai pengkolan dipasang penjaga dan peronda hilir mudik. Thian-hi memperhatikan dengan cermat. pikirnya alat2 rahasia tentu sudah tersebar dimana-mana, dimana letak kurungan Coh Jian-jo belum lagi diketahui, aku harus bertindak hati-hati dan jangan sampai konangan lagi, kalau tidak, besar akibatnya. Sesaat ia menjadi bingung mengawasi orang-orang di dalam gua sana, tak tahu cara bagaimana untuk mencari tahu dimana Coh Jian-jo disekap, dan yang terpenting cara bagaimana nanti dapat membawanya keluar dengan selamat tanpa kurang suatu apa. Su Giok-lan pun mengerutkan alis, hatinya gundah, pikirnya: kecuali menerjang dengan kekerasan, kalau tidak mana mungkin Coh-jian-jo dapat ditolong keluar. Thian-hi celingukan kesekitarnya, tiba-tiba ia berkelebat sembunyi ke dalam sebuah lorong lain, cepat-cepat Su Giok-lan mengikuti jejaknya, mereka sama sebagai tokoh persilatan tingkat wahid, gerak-gerik cukup cermat lagi, maka tindakan mereka sedikit pun tidak bersuara. Tak lama kemudian tampak sepasukan peronda dari anak buah Hek-liong-pang mendatangi, penjaga di berbagai pos itu satu persatu diganti, kiranya tibalah saatnya aplusan, begitu rombongan peronda itu lewat di depan, sebat sekali Thian-hi ulur tangannya mencengkeram satu diantaranya yang berjalan paling belakang terus diseret ke dalam lorong. Sayang gerak tangannya yang begitu cepat itu toh masih konangan juga, kontan suitan panjang tanda bahaya segera melengking keras dan bersahutan di empat penjuru. Keruan kejut Thian-hi, cepat ia seret orang itu ke dalam lorong terus mepet dinding bersama Su Giok-lan. Suasana dalam Jian-hud-tong menjadi gempar, anak buah Hek-liong-pang sama mengacungkan obor tinggi2, mereka mulai menggeledah dan memeriksa keberbagai tempat. Gugup hati Thian-hi, sungguh diluar tahunya bahwa penjagaan di dalam Jian-hudtong ternyata begitu keras dan ketat. Mereka ubek2an tanpa hasil, lambat laun suasana menjadi sepi dan akhirnya terang kembali Hun Thian-hi jadi berlega hati. Sekonyong-konyong tampak seorang laki-laki bertubuh tinggi besar berusia pertengahan lambat-lambat beranjak mendatangi, kelihatannya orang ini adalah komandan jaga, sepasang biji matanya berkilat terang, kelihatannya seorang tokoh persilatan. Sembari jalan kedua biji matanya menjelajah keadaan sekitarnya. Terkejut Thianhi dibuatnya orang ini begitu cermat, bukan mustahil jejak dirinya bakal konangan olehnya. Akhirnya sepasang mata orang itu mencapai ke atas gua, tanpa ayal segera Hun Thian-hi lemparkan tawanannya ke arah orang itu, lalu bersama Giok-lan melesat turun dan lari sipat kuping kelorong lainnya.... Gesit sekali orang itu melejit kesamping berbareng sebelah tangan menyanggah ke atas, sedang tangan kanannya terayun ke belakang, rombongan pemanah dibelakangnya segera menghujani Thian-hi berdua dengan berondongan anak panah. Bagaikan asap entengnya Thian-hi berdua sudah menyelinap hilang ke lorong yang lain. Orang itu mendengus dingin, ia berpaling kekanan kiri lalu berseru dengan suara berat, "Turunkan dua pintu dinding dikedua samping, periksa lagi lebih ketat, paksa mereka mengunjukan diri!" dia juga heran bahwa pendatang gelap ini berkepandaian begitu tinggi, sungguh ia tidak dapat membayangkan cara bagimana dia berhasil menyelinap masuk ke dalam gua bagian belakang yang serba rahasia. disangkanya orang menyelundup dari pintu muka. Terdengarlah suara gemuruh, pintu samping diantara lorong2 yang menembus kesana sini mulai diturunkan. Thian-hi berdua sembunyi disebelah lain, melihat pintu dinding yang besar dan tebal itu pelan-pelan turun, terkejut dan bimbang pula mereka, tapi urusan sudah sedemikian lanjut terpaksa bertindak menurut perkembangan selanjutnya. Cahaya obor terang benderang menerangi segala pelosok gua, sorotan cahaya pelita berseliweran disamping tubuh mereka. Thian-hi sedang berpikir, jeli dan tajam benar-benar sinar mata orang tadi, agaknya ia punya sedikit kesan terhadap orang itu, hanya bayangannya rada kabur. Tiba-tiba, selarik sinar tepat menyorot kemukanya, mendadak teringat olehnya, bukankah orang ini tokoh yang terkenal di Bulim dengan julukan Wan-pi-sin-gan Nyo Ceng yang kenamaan itu" Siapa nyana dia pun terima menjadi antek Tok-sim-sin-mo. Pikiran ini berkelebat cepat dibenaknya, pandangannya serasa kabur, tahu-tahu sebatang tombak melesat menusuk ketenggorokannya. Thian-hi mengayun tangan kanan menyampok jatuh tombak itu, berbareng ia tarik Giok-lan melompat menghilang kebagian lain yang gelap. Sambil menyoroti dengan sinar pelita ke arah mereka, anak buah Hek-liong-pang itu memburu datang sembari berkaok2. Seketika anak buah Hek-liong-pang memburu datang dari empat penjuru. Thian-hi menggerung gemas, seenaknya ia mencomot kedinding terus meremas hancur menjadi kerikil batu dinding yang keras itu terus disambitkan ke depan, terdengarlah suara kesakitan beberapa orang, obor2 di tangan merekapun padamlah keadaan menjadi gelap gulita. Beruntun jari jemari Thian-hi menjentik dua butir kerikil ke atas dinding terus terbang ke depan, laksana dua orang terbang lewat menyentuh dinding ke depan. Seketika semua orang berlari mengejar ke arah sana. Sesaat mereka kena ditipu oleh cara sambitan batu Thian-hi ini. Wan-pi-sin-gan (mata sakti berlengan kera) Nyo Ceng melayang datang, suaranya berat berwibawa, "Jangan ribut!" kedua matanya menyapu lambat-lambat kesekitarnya. Thian-hi berdua berdiri pematung diam, Nyo Ceng pandang mereka dengan tajam, dengusnya, "Ternyata Hun Thian-hi adanya, besar nyalimu berani menerjang masuk kemari!" Thian-hi tertawa tawar, jengeknya, "Aku bisa terjang masuk kesini tidak perlu dibuat heran. yang lucu dan mengherankan justru Wan-pi-sin-gan Nyo Ceng ternyata terima menjadi antek Toksim- sin-mo." Wan-pi-sin-gan Nyo Ceng adalah seorang tokoh suci yang kenamaan akan kelurusan dan kejujuran hatinya, sejak lahir ia mempunyai pembawaan yang luar biasa, yaitu sepasang matanya tajam luar biasa melebihi orang lain, ilmu silatnya jarang orang mengetahui sampai dimana tingkatannya, soalnya selamanya jarang ia pamer kepandaian sendiri dihadapan Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo orang, tapi konon kabarnya kepandaiannya tidak lebih rendah dari Giok-yap Cinjin dan Thian-cwan Taysu dari Siaulim. Entah mengapa sekarang ternyata terima mengekor menjadi anak buah Tok sim-sinmo. Dingin-dingin saja Nyo Ceng pandang mereka, jengeknya, "Kalian datang karena Ling-lamkiam- ciang Coh Jian-jo bukan" Hm, kau kira dia sudi pergi bersama kalian?" Hati Thian-hi semakin heran, kiranya Nyo Ceng sudah tahu akan hal ini, diluar tahunya bawa dim-na ia main terobosan ini justru tempat sekitar dimana Coh Jian-jo disekap, maka penjagaan disini justru diperketat dan keras sekali. "Ada aku disini, jangan harap kalian bisa keluar dari tempat ini." demikian ancam Nyo Ceng menyeringai dingin. Su Giok-lan melolos pedang dari punggungnya, serunya sambil maju ke depan, "Ingin aku mencoba apakah kau punya kepandaian asli sejati, berani kau takabur!" Nyo Ceng menyeringai lebar.... tangannya terangkat lagi, hujan anak panah memberondong pula ke arah mereka berdua, Thian-hi menekuk dengkul jadi tubuhnya rada mendak kebawah berbareng kedua telapak tangannya didorong ke depan, Pan-yok-hian-kang dikerahkan menerpa ke depan, kontan hujan anak panah kena disapu runtuh berjatuhan di tanah. "Blang" tiba-tiba sebuah pintu batu disamping sana meluncur jatuh pula, sekarang mereka menjadi terhimpit diantara alingan dua pintu batu yang tebal. Dari luar suara Nyo Ceng terdengar dingin, "Selama hidupku bila tidak terpaksa tidak pernah aku main silat dengan orang lain!" Thian-hi pandang kedua dinding pintu yang tebal itu, beratnya paling ringan ribuan kati, jarak antar kedua pintu ini empat kaki, bila tidak bisa keluar, ter paksa mereka harus menunggu ajal terkurung disitu. Su Giok-lan menyimpan pedangnya, dengan kedua tangan ia menepuk2 pintu, terdengar suara mendengung yang berat, sedikitpun pintu itu tidak bergeming. Thian-hi berpikir dengan gabungan tenaga dalam dua orang mungkin dapat merobohkan, tapi lalu cara bagaimana menolong Coh Jian-jo" Kelihatannya panjang lorong ini setiap berjarak empat lima meter pasti terpasang sebuah daun pintu, mungkinkah satu persatu dapat membobolnya" Akhirnya Su Giok-lan menghela napas, tanyanya. "Hun-toako, bagaimana sekarang?" Thian-hi melolos serulingnya, katanya, "Giok-lan! Akan kugempur pintu ini, begitu pintu ini runtuh kau harus cepat menerjang keluar. Jangan sampai Nyo Ceng melarikan diri!" Mendengar ucapan Thian-hi begitu mantap Su Giok-lan manggut-manggut, pedang dikeluarkan dan siap-siap. ' Hun Thian-hi mengerahkan ilmu saktinya, tiba-tiba tubuhnya melambung ke tengah udara berputar satu lingkaran terus menutulkan serulingnya keluar, begitu Wi-thiancit-ciat-sek dilancarkan pintu itu tergoyang gontai lalu pelan-pelan ambruk ke arah samping sana. "Blum!" batu krikil dan pasir serta debu bertebangan. laksana anak panah Su Giok-lan melesat keluar, dimana ia gerakkan pedangnya dengan jurus Jiu-si-jjan-tiu setabir sinar pedang laksana ribuan benang sutera mengurung semua hadirin. Berubah air muka Nyo Ceng, setindak pun ia tidak berani maju. dengan bungkam ia menatap Thian-hi berdua. Ujung pedang mengancam tenggorokan. Thian-hi tersenyum manis, serunya, "Nyo-tayhiap! Sekarang boleh kau ajak kami menemui Coh Jian-jo bukan?" Nyo Ceng tertawa-tawa, sahutnya. "Kalian ingin benar-benar kesana" Aku kuatir kau dapat masuk takkan dapat keluar pula!" "Kalau kita mau pergi sudah tentu ada kau Nyo Tayhiap yang menunjukkan jalannya, tidak menjadi soal tak bisa keluar. Pintu2 penghalang macam ini tidak menjadi soal bagi aku!" Nyo Ceng tertawa, ujarnya, "Sekarang aku sudah bekerja bagi Tok-sim-sin-mo, sudah tentu aku harus setia pada tugasku, jangan kau nanti salahkan aku, dapat masuk tak dapat keluar, hal ini kutegaskan sekali lagi pada kau!" "Aku tidak ambil perhatian soal itu!" sahut Thian-hi dengan sikap wajar. Nyo Ceng tertawa lebar, tanpa bicara lagi ia mendahului jalan di depan, Thian-hi menyapu lihat kedua dinding samping, benar-benar juga banyak terdapat daun pintu yang terporot didinding2 itu, penjagaan diatur sedemikian rapi dan ketat, sungguh sulit dibayangkan. Rada jauh mereka berjalan belak belok akhirnya tercegat sebuah daon pintu yang terbuat dari besi, tebal pintu besi ini kira-kira setengah kaki. pintu bisa tertutup dari luar. Nyo Ceng berkata, sambil tertawa, "Kunasehatkan pada kalian sekali lagi, janganlah masuk kesana!" Sambil memincingkan mata Thian-hi pandang Nyo Ceng, terasa olehnya bahwa katakatanya ini memang bermaksud baik, sesaat ia berpikir lalu sahutnya tertawa, "Bagaimana juga aku harus masuk kesana!" Sesaat Nyo Ceng termeming lalu ia beranjak masuk lebih dulu, katanya, "Aku tiada punya permusuhan apa dengan kalian, kenapa kalian harus memaksa aku?" "Lekas jalan!" bentak Su Giok-lan, "Kita masih punya urusan penting yang lain." Pandangan Nyo Ceng rada kecewa, akhirnija ia membalik tubuh dan melangkah lebih lanjut, pintu besi itu pelan-pelan tertutup sendiri dengan mengeluarkan suara gemuruh dan "Blum" tertutup rapat dan kokoh. Nyo Ceag berpaling kepada mereka. ia melanjutkan ke depan. Thian-hi merasa memang tidak mungkin keluar pula dari sini. Setelah menyelusuri lorOng panjang tibalah mereka disebuah kamar persegi, dalam kamar ini terdapat banyak perabot dan peralatan besi, seorang laki-laki tua beruban tampak duduk di atas kursi sedang tenggelam dalam lamunannya. Begitu mendengar langkah kaki orang ia tersentak kaget dan angkat kepala, dengan pandangan dingin dan tak bersahabat ia lirik mereka bertiga lalu tunduk menepekur lagi. Nyo Ceng tertawa, katanya, "Dia itulah Ling-lam-kiam-ciang Coh Jian-jo." Segera Thian-hi tampil ke depan Coh Jian-jo, katanya. "Wanpwe Hun Thian-hi, sengaja kemari untuk nyatakan terima kasih akan budi pertolongan Cianpwe." Coh Jian-jo angkat kepala, ia pandang Thian-hi lekat-lekat. sesaat baru bersuara, "Aku belum pernah menolong jiwamu!" "Kalau bukan Cianpwe, sejak lama aku sudah mampus di bawah serangan Pek-tok-hekliongting milik Tok-sim-sin-mo itu!" Kelihatannya Coh Jian-jo mulai ketarik, dengan nanar ia pandang Thian-hi lalu pelan-pelan berdiri, dengan menggendong tangan ia berjalan sebundaran dalam kamar, katanya, "Meski aku telah mengubah sedikit peralatan itu, mengandal kau rasanya tidak mungkin. terhindar dari bencana!" "Cianpwe!" sela Nyo Ceng. "Kau harus tahu dia ahli waris dari Wi-thian-cit-ciatsek!" Agaknya Coh Jian-jo rada terkejut, ia pandang Thian-hi lekat-lekat dengan rasa kurang percaya, ia berpikir sejenak lalu geleng-geleng kepala, agaknya ia tidak mau percaya, Nyo Ceng tertawa, katanya. "Sekarang kita takkan mampu keluar dari sini, seluruh pintu sudah tertutup rapat dan tak mungkin terbuka lagi!" "Kenapa kau datang kemari?" tanya Coh Jian-dio aseran. "Tok-sim-sin-mo sudah tahu akan kesengajaanmu memperlemah daya kekuatan Pek-tokhekliong- ting itu, tak lama lagi ia bakal kembali, maka kuanggap mungkin cianpwe perlu sesuatu bantuan dari aku!" Coh Jian-jo manggut-manggut, katanya, "Apa gunanya kau menyusul kemari" Bila mereka berani bunuh aku, sejak lama mereka sudah mencabut jiwaku, aku tidak akan bisa hidup sampai sekarang. Perbuatan kalian ini boleh dikata berkelebihan belaka, malah bisa bikin susah aku pula, apakah kalian bisa keluar sendiri dari sini?" "Bukan melulu karena persoalan itu saja kami k-mari, kecuali itu besar harapan kami dapat menyambut Cianpwe keluar dengan bebas." Coh Jian-jo pandang mereka dengan bingung, ia tertunduk bungkam, dengan langkah cepat ia berjalan putar kayun dalam bilik batu itu, agaknya ia sulit mengambil suatu keputusan. "Tiada gunanya Cianpwe tinggal terlalu lama disini", demikian bujuk Thian-hi, "Kalau toh bisa keluar kenapa pula harus main ulur waktu dan menyekat diri terima derita." Terangkat kepala Coh Jian-jo, pandangan matanya mendelik gusar, serunya, "Lekas kau pergi! Tak butuh kudengar ocehanmu. Aku sendiri yang suka tinggal disini, kau ingin bawa aku lari, sedang kau sendiri saja belum tentu mampu keluar dari sini." Thian-hi tertegun, sungguh tidak nyana bahwa Coh Jian-jo bersikap begitu keras kepala, sesaat ia menjadi kememek dan tak tahu apa yang harus dilakukan karena kebandelan orang. Ooo)*(ooO Melihat Bu-bing Loni sudah dihayati nafsu membunuh, terpaksa Ma Gwat-sian memetik harpanya melagukan Tay-seng-ci-lou untuk membela diri. Begitu irama harpa mengalun, Bu-bing Loni mendelik gusar kepada Ma Gwat-sian, Gwat-sian pejamkan mata, kedua jari jemarinya selincah kupu2 menari di atas kuntum bunga, laksana air mengalir awan mengembang irama harpanya mengalun enteng terus berkembang. Bu-bing menggerung murka, ia kerahkan ilmu sakti pelindung badan untuk pertahankan urat nadi dan dadanya, setindak demi setindak ia mendesak maju. Melihat rangsekan irama lagunya tidak kuasa merintangi Bu-bing Loni, semakin gugup dan gelisah hati Ma Gwat-sian, tapi keadaan sudah sedemikian gawat, dengan segala kemampuan yang ia pelajari selama ini mulailah ia kerahkan tenaga mengembangkan lagu Tayseng-ci-lou cukup untuk membela diri saja. Meski tidak takut Bu-bing Loni segan membuka suara, diam-diam hatinya pun kaget, bila guru gadis ini tiba, kalah atau menang sulit ditentukan, bila sekarang tidak lekaslekas melenyapkan gadis ini kelak pasti merupakan bibit bencana. Karena tekadnya ini pelan-pelan ia melolos pedang dari punggungnya. "Jangan kau usik dia!" bentak Kiang Tiong-bing murka. Kiang Tiong-bing menoleh ke arah Ma Gwat-sian, ia maklum bila urusan berlarut begitu terus Ma Gwat-sian pasti berkorban ditangan Bi-bing Loni, maka segera ia menambahi, "Kau sebagai seorang tokoh kenamaan di Bulim, tidakkah kau malu menghadapi seorang gadis remaja!" Bu-bing tertawa sinis. ie menyedot napas melindungi urat nadinya lalu berkata, "Hari ini tak kubunuh dia, besok tentu dia yang akan membunuh aku!" "Dia adalah anak angkatku, bila kau berani bunuh dia, selama sehari aku masih hidnp, akan kubunuh kau juga!" demikian ancaman Kiang Tiong-bing, Bu-bing Loni terbungkam. pelan-pelan ia simpan kembali pedangnya, dengan dingin ia sapu pandang mereka berdua serta katanya, "Kecuali selama hidup ini tinggal disini, kalau tidak kubunuh dia, meski sembunyi ke ujung langit." berhenti sebentar lalu ia menambahi, "Dan juga Ham Gwat sekalian!" Kiang Tiong-bing diam saja, ia maklum bahwa Bubing Loni bisa melakukan apa saja sesuai dengan ancamannya, sikap dan kekkuannya terhadap dirinya ini boleh dikata merupakan pemberian ampun dan mengalah. Habis mengancam tadi Bu-bing Loni lantas putar tubuh tinggal pergi. Tersipu-sipu Gwat-sian bangkit, katanya, "Terima kasih banyak akan pertolonganmu Irama Seruling Menggemparkan Rimba Persilatan 25 Dewa Arak 12 Jamur Sisik Naga Pedang Penakluk Iblis 3