Perserikatan Naga Api Karya Stevanus Sp Bagian 1
?Perserikatan Naga Api Saduran : Stevanus SP Sumber DJVU : Dewi KZ & Aditya
(Buku Sumbangan anelinda-store.com, trims yee)
Editor Text : Hendradinata
Final Editor & Ebook oleh : Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com & http://dewikz.com
http://kang-zusi.info Daftar Isi : Perserikatan Naga Api Daftar Isi : Jilid 01 Jilid 02 Jilid 03 Jilid 04 Jilid 05 Jilid 06 Jilid 07 Jilid 08 Jilid 09 Jilid 10 Jilid 11 Jilid 12 Jilid 13 Jilid 14 Jilid 15 Jilid 16 Jilid 17 Jilid 18 Jilid 19 Jilid 20 Jilid 21 Jilid 22 Jilid 23 Jilid 24 Jilid 25 Jilid 26 Jilid 27 Jilid 28 Jilid 29 Jilid 30 Jilid 31 Jilid 32 Jilid 33 Jilid 34 Jilid 35 Jilid 36 Jilid 37 Jilid 38 -o0^DwKz-Hendra^0o- Jilid 01 DEBU menghambur keatas, seekor kuda tegar berlari keatas jalan berba?tu yang menuju ke arah kota Kiang-leng itu. Penunggangnya adalah seorang le?laki setengah umur yang pinggangnya masih ramping dan tegap, dan pandangan matanya masih tajam berwibawa. Meski?pun rambut dan kumisnya sudah berwarna kelabu, namun ia tidak nampak loyo sedikitpun. Pakaian ringkas yang dikena?kannya nampak berlapis debu, menanda?kan bahwa lelaki itu baru saja melewa?ti sebuah jarak yang panjang, dan ka?wan seperjalanannya hanyalah sebatang pedang yang tergendong melintang dipunggungnya.
Kuda yang bagus dan penunggangnya yang gagah perkasa, mereka benar-benar merupakan pemandangan yang mengagumkan orang.
Kuda itu melaju melintasi sebuah dataran yang berlapis rumput keku?ning-kuningan, kemudian memasuki da?erah perbukitan batu yang agak landai.
Ketika kuda itu mulai menginjak?kan kakinya di lereng bukit itu, ti?ba-tiba penunggang kuda itu merasakan bahwa di tempat itu ada bahaya yang sedang menantinya. Naluri semacam itu memang dimiliki oleh orang-orang yang biasa berkelana di dunia persilatan pada umumnya. Namun tanpa gentar sedikitpun ia terus memajukan kudanya, meskipun sikapnya mulai berhati-hati.
Tiba-tiba sebatang anak panah me?luncur dari balik sebuah rumpun se?mak-semak, tertuju langsung ke leher lelaki penunggang kuda itu. Desing anak panah yang menusuk telinga serta ketepatannya menuju sasarannya menan?dakan bahwa pemanah gelap itu tentu seorang pemanah yang mahir.
Namun ketangkasan lelaki penung?gang kuda itupun ternyata cukup menge?jutkan. Dengan gerakan amat cepat ia telah mengayunkan cambuk kudanya untuk membelit panah yang tertuju ke tenggo?rokannya itu, dan anak panah itu ter?nyata berhasil digulungnya.
"Sahabat dari golongan manakah yang memperkenalkan diri ini?" demiki?an lelaki penunggang kuda itu berteriak lantang sambil menyapukan pandangan?nya ke lereng bukit. Tiba-tiba ia me?ngebaskan cambuk kudanya, dan anak pa?nah yang tergulung cambuk itu melesat kembali ke arah asalnya, diiringi ben?takannya : "Jangan bersembunyi !"
Dari balik rerumpunan semak-semak terdengar seruan kaget, disusul dengan munculnya seseorang dari tempat itu. Ternyata luncuran anak panah yang di?gerakkan hanya dengan kebasan cambuk kuda itu telah mampu memaksa si pema?nah keluar dari persembunyiannya.
Orang yang muncul dari semak-se?mak itu ternyata seorang yang masih cukup muda, usianya sekitar 30 tahun, bertubuh kurus jangkung, sedangkan mu?kanya menampilkan sifat-sifatnya yang kejam dan licik. Di pinggangnya terse?lip sebatang pedang pendek tanpa sarung, dan di tangan kirinya masih me?megang busur panah.
"Heh-heh-heh, tangkas juga kau, tua bangka," orang itu tertawa menge?jek sambil membuang busurnya dan meng?hunus pedang pendeknya.
Lelaki penunggang kuda itu masih tenang-tenang saja, ia telah menghen?tikan kudanya, ucapnya dengan sikap yang sangat santai : "Bagus, akhirnya muncul juga kau. Tapi apakah hanya kau seorang yang punya nyali untuk menemui aku? Sedang ketiga kawanmu yang lain masih juga bersembunyi seperti ku?ra-kura?"
Wajah penghadangnya seketika be?rubah mendengar perkataan itu. Ia ti?dak menduga kalau si tua itu begitu lihai sehingga ketiga kawannya yang masih bersembunyipun dapat diketahuinya. Sedang ketiga kawannya yang masih ber?sembunyi itupun kini terpaksa muncul juga, dan langsung mengambil sikap me?ngurung terhadap si lelaki penunggang kuda itu.
Dengan ketajaman matanya, si pe?nunggang kuda itu mencoba menaksir ke?kuatan keempat orang calon lawannya itu. Di antara 4 orang orang pengha?dang itu, ternyata ada 3 orang yang satu sama lain bermuka sangat mirip, yaitu sama-sama bertubuh kurus jang?kung, bermuka kejam dan licik. Bahkan pedang pendek yang dibawa oleh ketiga orang itupun berbentuk sama. Jelaslah bahwa ketiga orang itu bersaudara.
Orang keempat bertubuh gemuk, na?mun nampak gesit gerak-geriknya dan kelihatannya ilmu silatnya cukup tang?guh. Itu disimpulkan dari sikapnya yang tenang dan acuh tak acuh meskipun ia tidak membawa senjata sepotongpun. Sa?yang mukanya tertutup secarik kedok, dan hanya matanya saja yang kelihatan.
Lelaki penunggang kuda itu mene?puk-nepuk kantong kain yang tergantung di pelana kudanya, sambil berkata : "Siapakah kalian? Jika kalian bermaksud merampok aku, maka kalian akan kecewa. Aku tidak banyak membawa uang dalam perjalanan ini."
Salah seorang dari 3 bersaudara itu menjawab dingin : "Kami tidak bu?tuh uangmu yang busuk itu. Yang kami butuhkan cuma kitab yang ada di dalam kantong bajumu itu."
Meskipun si penunggang kuda itu cukup tenang dalam menghadapi ketiga saudara dan orang berkedok itu, namun ketika mendengar kalimat yang terakhir itu mau tidak mau air mukanya berubah juga. Pikirnya dengan berdebar: "Kena?pa orang-orang ini tahu bahwa aku mem?bawa kitab berharga itu? Padahal per?jalananku ini kurahasiakan kepada siapapun, kecuali kepada isteri dan kedua orang saudara angkatku. Siapakah yang membocorkan rahasia perjalananku?"
Namun lelaki penunggang kuda itu masih berpura-pura tidak tahu di ha?dapan keempat penghadangnya itu. "Kitab apa? Aku tidak tahu maksud pembicaraan kalian," katanya.
Si jangkung kurus yang berdiri di tengah itu lalu memperdengarkan suara tertawa mengejeknya. Katanya, "Tua bangka, ketahuilah bahwa kami tiga ber?saudara inilah yang bergelar Thay-san-sam-long (3 serigala dari Thay-san), karena itu jangan coba-coba bermain-ma?in dengan kami. Hanya ada dua pilihan buatmu. Serahkan kitab itu dan kau akan dapat pergi dari sini dengan sela?mat. Pilihan kedua, kau melawan dan terpaksa akan kami bunuh. Thay-san-sam-long tidak pernah mengampuni siapapun yang mencoba membangkang permintaan kami."
Si penunggang kuda itu agak terke?jut juga mendengar ketiga orang itu te?lah memperkenalkan diri sebagai Thay-san-sam-long, 3 saudara yang terkenal sebagai pembunuh-pembunuh bayaran itu. Buat mereka, cukup dengan beberapa tahil orang akan bisa menyuruh mereka un?tuk menghabisi nyawa orang lain, se?hingga mereka dibenci dan dikucilkan oleh kaum persilatan. Yang tertua berna?ma Tio Hau, dan kedua adiknya adalah Tio Kiang dan Tio Bun. Kini tiga pembu?nuh bayaran yang terkenal itu telah menghadangnya, jelas kesulitan yang di?hadapinya tidak kecil. Apalagi masih ada si orang berkedok yang kelihatannya juga cukup berbobot itu.
Tapi lelaki penunggang kuda itupun bukan seorang pengecut, dengan gerakan yang hampir tidak terlihat ia telah mencabut pedang yang tergendong dipunggungnya itu, lalu katanya menantang, "Baiklah, agaknya tidak ada gunanya lagi aku terus berpura-pura. Kitab itu memang ada padaku, jika kalian begitu mengingininya, kalian boleh mencoba mengambil sendiri di tubuhku. Biarpun Thay-san-sam-long cukup ditakuti, tapi aku orang she Tong tidak gentar sedikitpun."
Akhirnya kedua belah pihak merasa tidak perlu bicara panjang lebar lagi. Thay-san-sam-long telah siap dengan pe?dang pendeknya masing-masing, dan mere?ka mulai melangkah maju ke arah pe?nunggang kuda itu. Sedangkan si orang berkedok malah mundur beberapa langkah, rupanya ia hendak "melihat-lihat" dulu.
Di antara Thay-san-sam-long, si bungsu Tio Bun adalah yang paling ber?watak berangasan. Dibarengi teriak se?perti lolongan serigala ia menerjang maju lebih dulu, pedang pendeknya le?bih dulu diarahkan ke bawah untuk mem?babat kaki kuda yang ditunggangi lawan?nya. Gerakannya cepat dan telak, benar-benar mirip seekor serigala liar.
"Licik!" bentak si lelaki penung?gang kuda itu. Tubuhnya tiba-tiba me?lambung meninggalkan punggung kudanya, dan pedangnya menabas kepala Tio Bun dari atas. Dengan demikian meskipun Tio Bun akan berhasil membabat kaki ku?da, namun kepalanya sendiripun akan menjadi korban pedang lawan.
Merasa ada angin tajam menuju kepa?lanya, cepat Tio Bun mengganti gerakan pedang pendeknya untuk ditangkiskan ke atas sambil merendahkan kuda-kudanya.
Terdengar suara berdencing nyaring ketika pedang kedua orang itu saling beradu. Tio Bun terkejut Karena tangannya yang memegang pedang itu terasa bergetar hebat, ia juga dikejutkan oleh kecepatan bergerak lawannya, se?hingga hampir saja kepalanya terbelah jika saja ia kurang cepat menangkis.
Di pihak lain, sadar bahwa sedang menghadapi lawan yang berjumlah lebih banyak dan terdiri dari lawan-lawan tangguh pula, maka lelaki penunggang kuda itu tidak mau membuang kesempatan yang betapapun kecilnya. Begitu kaki?nya menginjak tanah, ia telah melompat kembali dan kali ini menyerang ke arah kakak tertua dari Thay-san-sam-long, yaitu Tio Hau.
Tio Hau itu sempat kelabakan oleh serangan mendadak itu, tapi ia masih sempat menangkis sambil mengejek, "Hem, ilmu pedang dari Soat-san-pay (perguru?an Soat-san) ternyata hanya begini sa?ja !"
Sebagai seorang yang cukup di?takuti di dunia persilatan, ternyata il?mu silat Tio Hau boleh juga. Begitu ia berhasil menyingkirkan pedang lawan?nya, pedangnya sendiri langsung menikam ke dada lawan dibarengi dengan se?buah tendangan ke arah jalan darah Ho-an-tiau-hoat di lutut lawannya.
Lelaki penunggang kuda itu mengge?ram pendek, dengan sedikit menggeser ke kanan ia berhasil lolos dari serang?an berganda itu, lalu tiba-tiba saja pedangnya "menggeliat" hendak menyon?tek tenggorokan Tio Hau. Gerakannya ce?pat dan keras, perubahannyapun tidak terduga oleh lawannya, membuat sang la?wan tercengang dan kebingungan.
Barulah pada detik itu Tio Hau me?nyadari kelihaian lawannya, ia merasa tidak sanggup meloloskan diri dari ke?jaran ujung pedang lawan yang begitu cepat, hanya dalam hatinya ia menjerit, "Habislah riwayatku kali ini!"
Tapi ternyata lelaki berkuda itu tidak dapat meneruskan serangan gabung?annya, sebab mendadak ia merasakan datang?nya serangan dari samping dan belakang tubuhnya. Rupanya Tio Kiang dan Tio Bun tidak membiarkan kakak mereka mam?pus di ujung pedang lawan, maka mereka melancarkan serangan serempak un?tuk menolong sang kakak.
Kembali si penunggang kuda memper?lihatkan kehebatannya. Serangan gabung?an Tio Kiang dan Tio Bun itu mungkin cukup untuk mengirim nyawa seorang ja?go silat ke akherat, tetapi belum cu?kup untuk menghadapi pendekar Soat-san-pay yang tangguh ini. Secepat kilat si penunggang kuda itu telah melompat dengan gerakan Ui-ho-ciong-thian (bu?rung kuning menerobos langit), dan sam?bil melompat ia masih sempat menggores?kan ujung pedangnya ke punggung si bungsu Tio Bun. Meskipun lukanya tidak parah, namun sudah menunjukkan keung?gulan lelaki penunggang kuda itu.
Siapakah lelaki setengah umur yang perkasa itu? Ia bernama Tong Tian dan merupakan seorang pendekar kenamaan di wilayah Kiang-se dan sekitarnya. Tempat tinggalnya adalah kota kecil, bernama An-yang-shia yang terletak di tepi da?nau Po-yang-ou yang tenang. Ia adalah seorang tokoh dari perguruan Soat-san-pay, dan ketua Soat-san-pay yang seka?rang adalah gurunya. Saat itu ia baru saja pulang dari Soat-san yang terle?tak jauh di barat itu, untuk memenuhi panggilan gurunya. Dasar nasibnya me?mang beruntung, panggilan dari gurunya itu ternyata bermaksud menghadiahinya sejilid kitab pelajaran ilmu pedang ciptaan gurunya sendiri yang terbaru.
Tong Tian sebenarnya merasa heran dengan munculnya ke empat orang peng?hadang yang hendak merampas kitabnya itu. Perjalanannya ke Soat-san untuk menerima kitab itu sudah dirahasiakan sangat rapat, yang mengetahuinya hanya isterinya dan dua orang saudara angkat?nya, dari mana Thay-san-sam-long dapat memperoleh bocoran berita itu dan menghadangnya di tempat itu?
Namun saat itu Tong Tian tidak bo?leh memecah pikirannya sedikitpun. Tiga orang saudara she Tio dengan pedang pendek di tangan mereka masing-masing merupakan lawan-lawan berbahaya yang memerlukan perhatian sepenuhnya. Keti?ga orang lawannya itu memang benar-be?nar bertarung seperti serigala-seriga?la yang ganas dan licik.
Tidak percuma Tong Tian bergelar Kiang-se-tay-hiap (Pendekar dari Kiang-se), sebab Thay-san-sam-long yang ter?kenal itupun ternyata tidak sanggup membunuhnya dengan segera. Malahan se?dikit demi sedikit mulai nampak bahwa Tong Tian akan dapat mengungguli ketiga lawannya, berkat ilmu pedangnya yang hebat itu. Apa lagi dia baru saja pulang dari tempat gurunya di Soat-san, di mana ia telah mengalami peningkatan ilmu yang cukup berarti. Meskipun ber?hadapan dengan pembunuh-pembunuh baya?ran yang terkenal, nampaknya bukan Tong Tian yang bakal terbunuh di tempat itu.
Hanya satu yang masih menjadi be?ban pikiran Tong Tian, yaitu orang ber?kedok yang sampai saat itu masih belum menerjunkan diri ke gelanggang pertem?puran itu. Tong Tian sadar, jika orang berkedok itu terjun pula, maka kedudukan dirinya akan menjadi sangat teran?cam. Karena itu Tong Tian bertekad mengakhiri perlawanan Thay-san-sam-long secepat mungkin, supaya kemudian dapat menghadapi orang berkedok itu dengan tenaga yang masih agak segar. Pedangnyapun bergerak semakin gencar dalam memporak-porandakan kepungan ketiga la?wannya.
Dengan jurus Pat-hong-hong-i (Hu?jan Badai Delapan Penjuru) sinar pe?dang Tong Tian berhasil mengurung keti?ga lawannya. Gerakan pedangnya berubah-rubah, kadang-kadang seperti angin pu?saran yang seakan-akan menghisap lawan-lawannya, dan di saat lain berubah se?perti titik-titik air hujan yang de?ngan deras mencurah ke tubuh lawan-la?wannya dan membuat ketiga "serigala" itu hampir-hampir mati kutu dan tidak dapat bekerja-sama dengan baik.
Yang pertama kali menjadi korban amukan Pendekar Kiang-se itu adalah Tio Kiang, orang kedua dari Thay-san-sam-long itu. Terdengar Tio Kiang menjerit ngeri dan kemudian roboh terkapar dengan sebuah lubang "menghias" tenggo?rokannya. Ia menggelepar sebentar di atas rerumputan, dan arwahnyapun kemudi?an terbang meninggalkan raganya.
Selama ini Thay-san-sam-long ma?lang-melintang dan ditakuti orang ba?nyak, tak terduga hari ini harus menga?lami nasib naas karena salah satu anggautanya mampus di ujung pedang Tong Tian. Hal itu membuat Tio Hau dan Tio Bun menjadi murka, dan dengan ganas mereka menyerang Tong Tian untuk memba?laskan kematian Tio Kiang.
Orang berkedok yang belum ikut ber?tempur itu menjadi jengkel melihat tingkah pembunuh-pembunuh bayaran itu. Di dalam hatinya ia mengutuk, "Percuma saja aku mengupah Thay-san-sam-long dengan bayaran yang mahal, ternyata mereka tidak sehebat yang didesas-desuskan orang. Nampaknya akupun harus terjun ke gelanggang."
Namun orang berkedok itu tidak langsung terjun ke tengah kancah. Lebih dulu ia mendekati kuda Tong Tian dan mulai menggeledah kantong pelana?nya, agaknya tujuan utamanya hanyalah mendapatkan kitab ilmu pedang Soat-san-pay itu, sedangkan mati hidupnya Thay-san-sam-long tidak menjadi perhatian?nya. Kuda tunggangan Tong Tian itu agaknya bukan kuda yang jinak, begitu orang berkedok itu mendekatinya maka binatang itu langsung meringkik keras sambil melonjak-lonjak.
"Binatang tidak tahu diri," ge?ram orang berkedok itu. Dengan sebuah sodokan telapak tangannya ia menghan?tam rusuk kuda itu, dan akibatnya sung?guh hebat, sebab kuda itu langsung me?ringkik keras dan rubuh dengan tulang-tulang rusuk berpatahan dan mampus. Ba?gian dalam tubuh binatang yang kuat itu rupanya telah tergetar rontok oleh pukulan orang berkedok itu. Dari situ dapat dinilai betapa tangguhnya orang berkedok itu, lebih tangguh dari Thay-san-sam-long digabung menjadi satu.
Tong Tian yang sempat melirik keja?dian itu, menjadi terkejut juga, pikirnya dengan was-was, "Hebat pukulan orang ini. Jika orang ini ikut menerjun?kan diri ke gelanggang bersama dua orang sisa Thay-san-sam-long ini, bukan saja kitab ilmu pedang pemberian Suhu sulit kupertahankan, bahkan nyawaku-pun mungkin bisa ikut melayang."
Berpikir sampai di situ, Tong Tian lalu memperhebat serangan-serangannya. Lebih dulu ia mencecar Lo-toa Tio Hau dengan gerakan Lian-cu-sam-kiam (tu?sukan tiga kali berturut-turut), me?maksa orang pertama Thay-san-sam-long itu mundur beberapa langkah dengan keripuhan. Tapi jalan darah jing-ling-hiat dilengan Tio Hau sempat tertusuk juga, sehingga lengannya langsung lum?puh dan pedang pendeknya jatuh ke ta?nah.
Saat itu si lelaki berkedok telah selesai menggeledah pelana kuda Tong Tian, dan tidak menemukan apa yang di?ingininya. Ketika melihat bahwa Tio Haupun telah lumpuh, ia segera melompat ke tengah gelanggang. Ia membuka se?rangan dengan sebuah cengkeraman ke wa?jah Tong Tian, dibarengi sabetan ta?ngan kirinya ke tulang pundak dengan jurus Tok-pek-hoa-san (Tangan Tunggal Menggempur Hoa-san). Gerakannya mantap dan cepat, menunjukkan bahwa dia memang jago tangan kosong yang patut diperhitungkan. Cukup salah satu dari serangan-serangannya itu mengenai sasarannya, Tong Tian akan cacad seumur hi?dup atau mati.
Tong Tian menghindar ke samping. Ada dua hal yang mengejutkannya, selain serangan lawan yang cukup lihai, juga karena ia seolah-olah sudah tidak asing lagi dengan gaya serangan semacam itu. Sayang wajah orang itu tertutup kedok sehingga mempersulit Tong Tian untuk mengenali orang itu.
Dalam pada itu si orang berkedok ternyata tidak sungkan-sungkan lagi, serangan-serangan berikutnya segera membanjir datang dengan hebatnya. Se?dangkan Tio Bun yang telah runtuh se?mangatnya karena rontoknya kedua kakaknya, kini melompat ke pinggir dan ha?rus cukup puas menjadi penonton saja.
Pertempuran satu lawan satu antara Kiang-se-tay-hiap melawan orang berke?dok itu ternyata jago dalam mengguna?kan dua macam ilmu tangan kosong, yai?tu Ngo-heng-ciang (Pukulan Lima Unsur) serta Eng-jiau-kang (Tenaga Cakar Elang). Kedua macam ilmu itu adalah il?mu-ilmu yang mengutamakan gwa-kang (Te?naga Luar). Tidak mengherankan kalau lelaki berkedok itu nampak sangat per?caya kepada kekuatan tangan dan jari-jarinya, berkali-kali ia mencengkeram pe?dang Tong Tian dengan beraninya.
Suatu saat orang berkedok itu meng?eluarkan jurus Ok-liong-tam-jiau (Naga Jahat Mengulurkan Kuku), lengannya ber?gerak melengkung ke atas dan hendak mencengkeram ke arah pusar Tong Tian. Serangan-serangan ini akan dapat mem?buat usus Tong Tian berhamburan keluar.
"Bagus, keji benar hatimu!" dengus Tong Tian marah.
Cepat ia mundur selangkah sambil menggetarkan pedangnya dengan gerakan Soat-hoa-kay-ting (Bunga Salju Menguruk Kepala). Dengan jurus ini ujung pe?dangnya bagaikan terpecah menjadi pu?luhan bunga-bunga perak yang sekaligus menghambur ke kepala lawannya. Lelaki berkedok itu mendengus kaget, ia me?rendahkan tubuhnya dan menyingkir un?tuk menyelamatkan batok kepalanya.
Tanpa menarik pedangnya lebih dulu, Tong Tian langsung melanjutkan serang?annya dengan jurus Tay-san-ap-ting (Gu?nung Thay-san Roboh ke Kepala). Untuk menjalankan jurus ini, sebenarnya orang memerlukan senjata yang berat seperti golok atau toya, tetapi Tong Tian dapat melakukannya dengan pedang yang ringan. Dengan tenaga dalamnya yang disalurkan ke batang pedang, ia dapat membuat pe?dangnya menjadi seberat gunung runtuh.
Sekali lagi orang berkedok itu dipaksa mundur.
Tapi ternyata ia tidak diberi ke?sempatan untuk bernapas dengan lega, sebab Tong Tian telah membentak pula, "Perlihatkan mukamu!" sambil mencongkelkan pedangnya ke atas, dengan tujuan menyingkap kedok lawannya. Orang berkedok itu masih mencoba berkelit, bahkan dengan telapak tangannya yang disaluri dengan tenaga dalam, ia masih berusaha merebut dan menempel pedang Tong Tian.
Atas perlawanan orang berkedok itu, Tong Tian cuma tertawa dingin sambil memiringkan batang pedangnya. Dengan demikian andaikata lawan masih berani meneruskan gerakannya, maka tajam pedangnyalah yang akan menyambut te?lapak tangan orang berkedok itu. Orang itu ternyata masih belum berani menga?du tapak tangannya dengan ketajaman pe?dang Tong Tian, terpaksa ia menarik serangannya dan menggantinya dengan pu?kulan Ngo-heng-ciang dengan tangan lainnya.
Sekali unggul di atas angin, Tong Tian tidak melewatkan setiap kesempat?an. Secepat kilat ia mendesak maju, pe?dangnya yang seakan-akan telah menjadi anggauta tubuhnya itu kini bergerak membacok pundak orang itu. Pukulan la?wan tidak dihiraukannya, sebab Tong Ti?an yakin bahwa serangannya akan tiba lebih dulu di tubuh lawan.
Kali ini si orang berkedok tidak dapat lolos lagi, pundaknya tergores oleh ujung pedang Tong Tian. Hal itu cu?kup merontokkan keberanian orang itu. Secepat kilat ia melancarkan tiga kali pukulan beruntun, dan begitu Tong Tian tertahan sejenak, orang berkedok itu-pun cepat membalikkan badan dan kabur ke arah bukit.
Tong Tian bermaksud mengejarnya, namun tiba-tiba ia mendengar teriakan kalap dari Tio Bun, "Ganti jiwa sauda?ra-saudaraku !"
Ternyata orang pertama Thay-san-sam long, Tio Hau yang terluka jalan darah Jing-ling-hiatnya itu tidak dapat dise?lamatkan, sebab pendarahan pada urat na?dinya. Dengan demikian Thay-san-sam-long tinggal Tio Bun seorang diri yang kini telah menyerang secara kalap kepa?da Tong Tian. Ia menyerang seperti see?kor anjing gila.
Menghadapi kegilaan lawannya itu, Tong Tian tertawa dingin, "Mengganti ji?wa Thay-san-sam-long yang telah membu?nuh puluhan orang tak berdosa? Hem, bu?kan saja aku tidak sudi mengganti jiwa saudara-saudaramu, bahkan nyawamupun akan kucabut demi keamanan masyarakat."
Ketika Tio Bun sekali lagi menu?bruk seperti serigala, Tong Tian hanya memiringkan tubuhnya sedikit sambil me?luruskan pedangnya ke depan. Maka tu?brukan Tio Bun itu ibarat menyongsongkan tubuhnya sendiri ke ujung pedang lawannya. Orang termuda dari Thay-san-sam-long itu sempat meraung menjelang ajalnya, setelah itu ia ambruk ke tanah dan tidak akan bangkit lagi untuk se?lama-lamanya. Sejak saat itu nama Thay-san-sam-longpun terhapus dari dunia persilatan.
Tong Tian mencabut pedangnya dari tubuh Tio Bun dan membersihkannya. Ia sangat menyesal bahwa hari itu ia ha?rus mencabut senjata dan membunuh sesa?ma manusia, namun keadaan telah memaksanya untuk berbuat demikian. Dan hatinya agak terhibur kalau mengingat bah?wa matinya Thay-san-sam-long berarti berkurangnya penyakit masyarakat.
Secara sederhana tetapi layak, Tong Tian lalu memakamkan ketiga mayat Thay-san-sam-long itu. Sebagai seorang pendekar, ia tak akan sampai hati mem?biarkan mayat bekas musuh-musuhnya itu tergeletak begitu saja dan menjadi san?tapan burung gagak serta serigala.
Selesai melakukan penguburan, Tong Tian mengambil kantong uangnya yang tergantung di pelana kudanya, lalu dengan berjalan kaki ia melanjutkan perjalanannya menuju ke kota Kiang-leng uantuk menginap semalam di kota itu. Langkahnya nampak agak bergegas, sebab hari sudah mulai sore, padahal kota Kiang-leng masih duapuluh li di depannya.
Bekas ajang pertempuran itupun men?jadi sunyi kembali. Hanya tinggal tiga gundukan tanah yang berisi mayat-mayat yang masih baru, tidak jauh dari bang?kai seekor kuda yang tergeletak begitu saja. Desir suara ilalang yang ter?tiup angin terdengar mirip dengan tangisan arwah penasaran yang bergenta?yangan.
Mendadak kesunyian di tempat itu diusik oleh suara langkah-langkah kaki yang mendekati tempat itu. Dari balik sebuah rumpun ilalang muncullah seor?ang lelaki berkepala gundul dan menge?nakan jubah paderi Buddha berwarna abu-abu lusuh. Tangannya memegang sebatang tongkat bambu hitam yang panjangnya le?bih kurang sedepa. Usia paderi ini hampir 60 tahun, namun gerak-geriknya justeru kelihatan tangkas.
Kini paderi itu berdiri di tempat bekas terjadinya pertempuran itu, ia menarik napas berulang kali sambil ber?gumam, "Hemm, bunuh-membunuh tidak ada habisnya hanya untuk memperebutkan be?berapa lembar kertas butut hasil tulis?an tangan si tua bangka she Yu itu. Entah kapan dunia persilatan bakal be?bas dari pertengkaran dan pertumpahan darah?"
Paderi itu tampak menggeleng-ge?lengkan kepalanya dengan sedih, lalu terdengar pula gumamnya, "Semoga orang berkedok itu bukan dia adanya, semoga ia masih punya hati nurani yang bersih di samping sifat-sifat tamaknya. Namun jika memang dia terbukti bersalah, aku pun tidak akan mengampuninya."
Paderi itu lalu mengelilingi tem?pat itu beberapa putaran, sambil membu?ka-buka rerumputan dengan kakinya, nampaknya ada sesuatu yang dicarinya. Na?mun ketika ia tidak mendapatkan apapun, maka dengan beberapa kali lompatan yang panjang dan cepat, paderi itupun pergi dari situ dan sebentar saja sudah le?nyap dari pandangan.
Matahari sudah tenggelam, dan tem?pat itupun sunyi kembali.
-o0^DwKz-Hendra^0o- KOTA An-yang-shia adalah sebuah kota kecil yang terletak dipinggir da?nau Po-yang-ou. Begitu kecilnya kota itu, sehingga tembok kotapun tidak pu?nya. Meskipun demikian, kota itu ber?sih dan indah, penduduknyapun dengan ramah menyambut kedatangan tiap orang asing yang berkunjung ke situ, yang ke?banyakan hendak bertamasya menikmati keindahan danau Po-yang-ou. Karena ba?nyaknya pelancong dari luar daerah, ma?ka penduduk An-yang-shia mempunyai ma?ta pencaharian tambahan, yaitu membuka warung-warung makan dan rumah-rumah penginapan, besar maupun kecil. Sedang di tepi danau nampak perahu-perahu se?waan tak terhitung jumlahnya.
Tong Tian adalah seorang yang ter?kemuka di daerah Kiang-se itu, tempat tinggalnya terletak di luar An-yang-shia namun tidak jauh dari kota yang mungil itu. Rumah Tong Tian tidak besar dan tidak mewah, namun nampak tenang, damai dan memancarkan keangkerannya se?bagai pendekar terkenal. Letaknya mem?belakangi sebuah bukit berhutan cemara, dan menghadap ke arah danau. Dinding?nya tidak tinggi, dikelilingi pohon-po?hon cemara yang ujungnya menggapai-ga?pai langit. Di depan pintu masuknya ada hiasan sepasang cio-say (arca singa) yang menambah kewibawaan pendekar itu.
Sore itu Tong Tian tiba kembali di rumahnya, dari perjalanannya yang jauhnya ribuan li itu. Sebagai ganti kudanya yang dibunuh oleh orang berke?dok itu, ia telah membeli seekor kuda lain di kota Kiang-leng, yang kini di?tungganginya. Begitu melihat rumahnya tidak kurang apapun, Tong Tian merasa lega.
Tong Tian menuntun kudanya lewat pintu samping, baru saja kakinya me?langkahi ambang pintu telah terdengar teriakan seorang pelayan tua, "Lo-ya (tuan tua), kau sudah pulang?"
Dengan tergopoh-gopoh dan penuh gairah pelayan itu menyambut tali ke?kang kuda dari tangan tuannya, sambil menanyakan keselamatan tuannya yang te?lah pergi berbulan-bulan itu. Tong Tian menepuk-nepuk bahu pelayan itu dan menjawab pertanyaan-pertanyaannya de?ngan singkat.
Teriakan pelayan tua itu rupanya menarik pula perhatian seorang gadis berumur delapanbelas tahun yang sedang berada di dekat tempat itu pula. Be?gitu melihat Tong Tian, gadis itu lang?sung bersorak gembira dan menubruk ke pelukan Tong Tian sambil berseru, "Ayah !"
Tong Tian tersenyum mendapat sam?butan anak gadisnya itu, namun ia pura-pura mengomel, "Lian-ji (anak Lian), sudah sebesar ini umurmu tapi gerak-ge?rikmu masih seperti anak-anak umur se?puluh tahun saja."
Keributan di samping rumah itu ternyata telah menarik perhatian selu?ruh anggauta keluarga dan isi rumah. Maka tidak lama kemudian repotlah Tong Tian menjawab pertanyaan isteri, anak-anaknya serta pelayan-pelayan lainnya yang menanyakan keselamatannya.
Tong Tian punya tiga orang anak. Yang pertama dan kedua adalah laki-laki yang bernama Tong Wi-siang dan Tong Wi-hong, dan si bungsu adalah Tong Wi-lian yang menyambut kedatangannya tadi. Se?dang isteri Tong Tian sendiri di masa mudanya juga merupakan pendekar wanita yang terkenal dari Soat-san-pay pula, merupakan adik seperguruan Tong Tian sendiri. Karena kepandaian sang isteri-pun cukup tangguh, maka Tong Tian tidak pernah merasa cemas jika harus me?ninggalkan rumahnya agak lama.
Demikianlah seisi rumah menyambut kedatangan Tong Tian. Hanya seorang yang masih belum nampak keluar menyam?but, yaitu anak tertua Tong Tian, Tong Wi-siang. Namun Tong Tian tidak ter?lalu merisaukannya, sebab ia tahu bahwa Tong Wi-siang adalah seorang anak muda yang jarang di rumah dan suka ke?luyuran bersama kawan-kawannya, bahkan kadang-kadang sampai jauh malam. Sebe?narnya Tong Tian kurang menyukai sifat anak tertuanya itu, namun ia tidak per?lu mencemaskan keselamatannya, sebab Tong Wi-siang adalah seorang anak muda yang cukup tangguh ilmu silatnya.
"Tentu A-siang sekarang sedang ber?kumpul dengan teman-temannya yang berandalan-berandalan itu," demikian pi?kir Tong Tian sambil berkerut kening.
Kembali Tong Tian setelah beberapa bulan berada di Soat-san itu memang membuat seisi rumah jadi gembira. Teta?pi kadang-kadang Tong Tian melihat isterinya nampak murung, sehingga diam-diam Tong Tian mulai menduga-duga te?lah terjadi sesuatu selama kepergiannya.
Sore harinya, Tong Tian dan isterinya bercakap-cakap di dalam kamar baca. Tanyanya kepada isterinya, "Isteriku, nampaknya ada sesuatu yang membebani pikiranmu sehingga kau nampak kurang gembira. Apakah telah terjadi sesuatu selama aku berada di Soat-san?"
Sang isteripun bukan seorang yang suka bicara berbelit-belit, maka ia menjawabnya langsung, "Ya, aku memang masih dirisaukan oleh persoalan A-siang."
Sepasang alis Tong Tian yang te?bal dan sudah berwarna kelabu itu kini nampak seolah-olah bergerak saling men?dekati. Tanyanya pula, "Ada apa dengan anak bengal itu? Sejak aku pulang tadi aku belum melihat batang hidungnya."
"A-siang telah pergi dari rumah ini, bahkan bersama-sama dengan kawan kawannya itu mungkin mereka sudah jauh meninggalkan An-yang-shia. Mereka... mereka...," sampai di sini Tong Hu-jin (nyonya Tong) nampak ragu-ragu dalam menjawab, tapi akhirnya diteruskan ju?ga ucapannya, "Mereka terlibat urusan pembunuhan berat."
Tong Tian terkesiap mendengar kete?rangan itu. Meskipun dia sendiri ada?lah seorang pendekar yang sudah kerap kali berurusan dengan hal bunuh-membu?nuh, namun baginya soal nyawa manusia tetap merupakan persoalan berat bah?kan terhadap musuhnyapun kalau bisa ia akan membiarkan untuk tetap hidup, ke?cuali kalau musuhnya itu memang seor?ang yang membahayakan sesama manusia. Kini mendengar bahwa anak tertuanya te?lah terlibat dalam peristiwa pembunuh?an, mau tidak mau Tong Tian merasa ku?rang enak hatinya.
Sementara itu Tong Hu-jin telah berkata lebih lanjut, "Tidak henti-hen?tinya aku berusaha melepaskan A-siang dari pengaruh buruk kawan-kawannya itu, namun agaknya A-siang lebih suka mendengarkan bujukan teman-temannya da?ri pada mendengarkan nasehatku. Aku ga?gal. A-siang dan teman-temannya setiap hari hanya membikin onar saja di An-yang-shia. Makan minum tidak membayar, mabuk, berkelahi dan lain-lainnya, sam?pai malu aku jika orang-orang An-yang-shia menatapku."
Tong Tian termangu mendengar keluh?an isterinya itu. "Tadi kau bilang bah?wa A-siang tersangkut perkara pembunuh?an. Siapakah yang dibunuhnya?"
"Seorang pembesar urusan hukum yang datang dari Pak-khia, yang tengah mengunjungi An-yang-shia. la dibunuh bersama dengan pengawal-pengawalnya."
Mendengar jawaban isterinya itu hampir saja Tong Tian terjungkal dari tempat duduknya karena terkejutnya. Membunuh seorang pembesar negeri bukan?lah urusan kecil, perguruan-perguruan besar yang ternama dengan anggautanya yang berjumlah banyakpun rata-rata se?gan berurusan dengan pihak pemerintah. Tadinya ia mengira bahwa kenakalan anak tertuanya itu adalah kenakalan bia?sa, yang hanya terdorong oleh luapan darah mudanya, sama sekali tidak dis?angkanya kalau anaknya ternyata telah melangkah begitu jauh. Perbuatannya itu sudah bukan termasuk "kenakalan" lagi tetapi "kejahatan".
Kali ini perasaan Tong Tian benar-benar terpukul, di dasar hatinya tim?bul juga setitik rasa bersalah, karena selama ini agaknya ia kurang memperha?tikan sifat-sifat anak tertuanya yang agak istimewa itu. Akibatnya sang anak akan merasa bahwa teman-temannya jauh lebih berharga dari siapapun, bahkan lebih berharga dari orang tuanya sendi?ri.
Dengan suara yang rendah Tong Tian bertanya, "Bagaimana jalan peristiwa?nya?"
Tong Hu-jinpun mulai bercerita, "Di antara kawan-kawan A-siang, ada yang bernama Thio Hong. Dia bukan or?ang An-yang-shia asli, melainkan bera?sal dari Shoa-tang (Santung), Bapak Thio Hong ini adalah seorang perampok di Shoa-tang, yang suatu ketika ter?tangkap dan dihukum mati karena kejahatannya. Lalu Thio Hong timbul dendamnya kepada pejabat yang memutuskan hukuman mati buat ayahnya itu. Waktu mendengar berita bahwa pejabat itu hendak mengun?jungi An-yang-shia, Thio Hong lalu mem?bujuk teman-temannya, termasuk A-siang untuk menghabisi nyawa pembesar itu. Mereka lalu menyergap rombongan pembe?sar itu di luar kota An-yang-shia, dan berhasil membunuh si pembesar bersama dengan seluruh keluarga dan pengawal-pengawalnya."
Karena luapan perasaannya tidak terbendung lagi, Tong Tian menggebrak meja yang ada di depannya, sehingga permukaan meja itu amblas beberapa ja?ri. Geramnya dengan muka merah padam, "Keterlaluan sekali A-siang itu. Entah ditaruh di mana otak anak itu, masakan hanya dengan bujukan beberapa patah ka?ta dari temannya ia berani melakukan perbuatan gila itu?"
"Aku mengenal watak A-siang," kata Tong Hu-jin. "Pada dasarnya ia adalah seorang yang berwatak jujur dan jantan. Sayang ia mempunyai dua kelemahan, yai?tu bersifat penaik darah dan mudah ma?buk pujian, kedua macam kelemahan itu?lah yang dimanfaatkan oleh Thio Hong untuk membujuk A-siang agar ikut dalam perbuatan gila itu."
Tong Hu-jin menarik napas panjang, lalu katanya lagi, "Thio Hong dan ka?wan-kawan A-siang lainnya telah menyan?jung-nyanjung A-siang sebagai jago muda keluarga Tong, pendekar muda Soat-san-pay, dan seribu satu kalimat-kalimat muluk lainnya, sehingga A-siang menjadi lupa daratan. Bahkan A-siang berani menantang berkelahi kepada Cia Bok, putera Cia Tay-jin (pembesar she Cia) itu. Tapi A-siang sampai berani melaku?kan pembunuhan terhadap pembesar dari Pak-khia itu, ini benar-benar di luar dugaanku."
"Kau tidak mencegahnya?" tegur Tong Tian.
"Aku bukan cuma mencegahnya dengan kata-kata, bahkan aku telah meringkus?nya dan mengikat kaki tangannya serta mengurungnya dalam ruang tertutup. Ta?pi pada malam harinya anak bandel itu berhasil melepaskan diri dan bergabung dengan kawan-kawannya. Malam itu juga kusuruh A-hong untuk menyusulnya dan mengajaknya pulang. Tetapi setelah bertemu, A-siang malah menantang berkelahi adiknya sendiri, dan memaki?nya sebagai kutu-buku, penakut dan se?bagainya."
Kembali Tong Hu-jin menarik napas berulang kali untuk melonggarkan pera?saannya yang pepat dan tertekan itu, lalu katanya, "A-hong pulang dengan tangan hampa, tidak berhasil mencegah A-siang untuk membatalkan niat gilanya itu. Dan keesokan harinya tersiarlah kabar bahwa serombongan pembesar yang datang dari Pak-khia telah terbunuh se?belum memasuki kota An-yang-shia, kare?na diserang oleh segerombolan orang-o?rang berkedok. Rombongan dari Pak-khia itu terbunuh semuanya, namun di antara orang-orang berkedok itupun ada bebera?pa orang yang tewas."
Sementara isterinya bercerita, ber?kali-kali Tong Tian menggeleng-geleng?kan kepalanya sambil meremas-remas te?lapak tangannya dengan gemas. Dan sang isteri terus bercerita, "Ketika aku mendengar bahwa di antara orang-orang berkedok itupun ada yang tewas, aku menjadi sangat sedih, aku kuatir A-si?ang termasuk di antara orang-orang yang tewas. Lalu kusuruh A-hong dan bebera?pa pelayan untuk melihat mayat-mayat yang diangkut ke dalam kota An-yang-shia itu, dan hatikupun merasa lega se?telah mendengar bahwa di antara mayat mayat itu tidak terdapat A-siang. Na?mun sejak saat itu A-siang tidak keli?hatan lagi batang hidungnya, tidak seorangpun melihatnya berkeliaran di sekitar An-yang-shia lagi. Begitu pula semua kawan-kawannya yang brengsek itu, semua menghilang dari An-yang-shia. Je?las mereka tidak berani lagi pulang ke rumah, sebab Cia Tay-jin telah mengumumkan secara resmi mereka sebagai bu?ronan pemerintah kerajaan."
Kini Tong Hu-jin tidak sanggup la?gi membendung air matanya yang mulai mengalir turun. Setabah-tabahnya dia sebagai seorang pendekar wanita yang pernah terkenal, namun dia tetap seo?rang ibu yang mengasihi anak yang dila?hirkannya dan diasuhnya sejak kecil. Tiba-tiba Tong Tian bangkit dari duduk?nya dan bergumam, "Jangan-jangan or?ang-orang berkedok yang menghadangku di luar kota Kiang-leng itu... ah, ten?tu bukan A-siang."
Tong Hu-jin tersentak kaget, "Apa? A-siang menghadangmu?"
Tong Tian sadar bahwa ucapannya yang baru saja itu sama sekali tidak beralasan, maka ia buru-buru memperba?ikinya untuk menenteramkan perasaan isterinya, "Tidak, aku cuma agak melan?tur karena pikiranku ruwet."
"Tapi kau baru saja mengatakan ada yang menghadangmu di luar kota Kiang-leng?"
"Memang ada kejadian begitu. Tapi aku yakin orang berkedok yang mencegat?ku itu pasti bukan A-siang atau salah satu kawannya, sebab tak seorangpun di antara anak-anak bengal itu yang berke?pandaian setinggi itu. Lagi pula A-si?ang tidak tahu kalau aku pulang dari Soat-san dengan membawa kitab ilmu pe?dang hadiah Suhu."
Tong Hu-jin nampak menjadi agak le?ga setelah mendengar penjelasan suami?nya itu. Katanya, "Syukurlah kalau be?gitu. Betapapun bengalnya A-siang, ia tidak akan sampai begitu berani untuk mengajak kawan-kawannya untuk mengha?dang ayahnya sendiri. Aku tahu pasti, dia tidak akan berbuat sekurang-ajar itu."
Saat itu, di dalam pikiran Tong Ti?an berkecamuklah berbagai masalah yang ruwet. Teka-teki orang berkedok di luar kota Kiang-leng itu masih belum terpe?cahkan, dan kini muncul pula persoalan anaknya yang tidak kalah ruwetnya, se?bab soal itu pasti akan berbuntut pan?jang, mengingat yang menjadi korban adalah seorang pejabat pemerintah. la tidak ingin anaknya yang tertua itu terjerumus semakin jauh dengan teman-temannya, namun ke mana hendak menca?rinya?
"Setelah terjadinya peristiwa pem?bunuhan itu, bagaimanakah sikap Cia Tay-jin terhadap keluarga kita?" tanya Tong Tian.
Yang dimaksud dengan Cia Tay-jin adalah Cia To-bun, pejabat yang berkua?sa di An-yang-shia. Hubungan antara Tong Tian dengan pejabat itu memang ku?rang serasi. Cia To-bun adalah seorang pejabat yang senang mengeluarkan peraturan-peraturan yang memberatkan rakyat untuk keuntungan sendiri, sebaliknya Tong Tian merupakan pujaan rakyat An yang-shia karena merupakan orang yang berani membela kepentingan rakyat dari tindasan Cia To-bun. Tak pelak lagi, meskipun pada lahirnya Cia To-bun ber?sikap ramah kepada Kiang-se-tay-hiap ini, namun dalam hatinya ia mendoakan agar Tong Tian cepat mampus.
"Orang she Cia itu pernah mengirim?kan seregu perajurit ke tempat ini dan menggeledah seluruh rumah, namun mereka tidak berhasil menemukan bukti-bukti yang menguatkan tuduhan mereka, sehing?ga merekapun tidak berani mengganggu lagi," sahut Tong Hu-jin. "Tapi sejak itu mereka memasang beberapa orang ma?ta-mata untuk mengawasi rumah ini."
Alis kelabu Tong Tian berkerut se?makin dalam katanya dengan nada rendah, "Hem, agaknya orang she Cia itu terhi?tung masih memberi muka kepadaku juga. Namun dengan tindakannya itu, jelaslah bahwa agaknya dia sudah mencium keterlibatan A-siang dalam perkara ini, tinggal mencari buktinya saja. Begitu buktinya didapat, banjir kesulitan pas?ti akan melanda kita. Bukankah selama ini Cia To-bun selalu berusaha menying?kirkan kita yang dianggapnya sebagai duri dalam daging ini ?"
"Ya, mulai sekarang segala tindakan kita harus hati-hati dan serba terken?dali," sahut Tong Hu-jin. "Jangan sam?pai orang she Cia itu mendapatkan alasan untuk menindak kita."
Sesaat suasana di ruangan buku itu menjadi sunyi. Di luar, malam sudah tu?run menudungi bumi, satwa-satwa malam bersaut-sautan memperdengarkan suaranya. Meskipun suasana malam nampak mem?beri ketenteraman, namun suami isteri pendekar itu tahu bahwa dibalik ketenangan itu akan segera muncul sebuah badai besar yang akan menggoncangkan bahtera kehidupan yang sudah berjalan lancar bertahun-tahun itu. Tetapi siapakah orangnya yang dapat menghindari cobaan hidup? Dapatkah kali ini mereka melewati badai itu dengan selamat? Mereka sa?dar bahwa peristiwa pembunuhan itu akan semakin memperburuk hubungan antara ke?luarga Tong dengan pihak pembesar. Dan berurusan dengan manusia semacam Cia To-bun benar-benar akan sangat memu?singkan kepala.
Tiba-tiba dari luar ruangan itu terdengar suara langkah-langkah ringan mendekati pintu. Kemudian daun pintu diketuk, dan ketika Tong Tian mempersilahkan masuk, maka masuklah Tong Wi-lian, anak gadisnya itu. Gadis itu nampak agak mengantuk, namun karena mendengar kedua orang tuanya masih bicara panjang lebar di dalam ruangan buku, maka gadis itu menyempatkan diri untuk menengok?nya.
"Ayah, ibu, kalian belum tidur?" tanya gadis itu.
Sang ibulah yang menjawab, "Kau ti?dak usah menunggu kami, A-lian, kalau kau mengantuk tidurlah lebih dahulu. Apakah A-hong juga sudah tidur?"
"Entahlah, tadi kulihat ia keluar menuju ke danau."
"Kalau kau sudah mengantuk, kau tidurlah, A-lian," kata Tong Tian de?ngan lembut.
Tong Wi-lian cuma mengangguk dan meninggalkan ruangan itu.
Setelah langkah kaki anak gadisnya itu tidak terdengar lagi, Tong Tian la?lu berkata, "Begitu keadaan memungkin?kan, aku akan secepatnya pergi untuk menemukan A-siang kembali, dan menga?jaknya kembali ke jalan yang benar. Ta?pi jika aku gagal dengan A-siang, aku tidak boleh gagal dengan A-hong dan A-lian, merekapun anak-anakku yang mem?butuhkan perhatian."
Tong Hu-jin cuma bisa mengusap dua titik air mata yang menetes keluar. Ucapan suaminya itu terdengar terlalu keras, namun dapat diterima akal. Kem?bali ruangan itu menjadi sunyi, sepa?sang suami isteri pendekar itupun teng?gelam dalam lamunannya masing-masing.
Tiba-tiba Tong Tian teringat se?suatu hal dan terluncurlah pertanyaan?nya, "Isteriku, ketika beberapa bulan yang lalu aku hendak pergi ke Soat-san untuk mengunjungi Suhu, selain kau dan kedua orang saudara angkatku, adakah orang keempat yang kau beri tahu?"
"Tidak ada. Aku selalu ingat pe?sanmu bahwa perjalananmu itu tidak per?lu diketahui oleh banyak orang, bahkan kepada anak-anakpun aku tidak bicara terus terang. Kenapa kautanyakan itu?"
"Kalau begitu sungguh mengheran?kan. Darimana Thay-san-sam-long dan orang berkedok itu bisa mengetahuinya, dan bahkan menghadangku untuk merampas kitab pemberian Suhu?" gumam pendekar itu.
Belum sempat sang isteri menyahut, tiba-tiba Tong Tian telah teringat se?suatu. Ia menepuk kepalanya sendiri sambil berkata, "Ya, aku sekarang ingat. Orang berkedok yang mencegatku itu menggunakan ilmu pukulan Ngo-heng-ciang dan ilmu cengkeraman Eng-jiau-kang dan kedua macam ilmu itu adalah il?mu-ilmu andalan Ting Ciau-kun."
"Saudara angkatmu yang satu itu memang pantas kau curigai," sahut isterinya.
"Ah, isteriku, aku tidak akan se?ceroboh itu menuduh orang tanpa buk?ti-bukti yang kuat," kata Tong Tian sambil tertawa. "Tuduhanmu kepada Ci?au-kun itu terlalu pagi."
Meskipun mulutnya berkata demikian, namun sebenarnya Tong Tian agak sependapat dengan isterinya itu. Pikirnya, "Ya, kalau bukan Ting Ciau-kun siapa lagi yang sekaligus mahir Ngo-heng-ciang dan Eng-jiau-kang sesempurna itu ? Lagi pula potongan tubuhnya memang mirip orang berkedok itu. Dan lagi pula kenapa orang itu harus berkedok seakan-akan kuatir aku mengenal wajahnya? Hanya isteriku, Hong-koan Hweshio dan Ting Ciau-kun yang mengetahui perjalananku ke Soat-san ini, orang ke empat tidak ada."
Semakin dipikir, semakin teballah perasaan curiganya kepada saudara ang?katnya yang bernama Ting Ciau-kun itu. Namun semua perasaan itu tidak diutara?kan keluar kepada isterinya, dan hanya disimpannya sendiri di dalam hati.
Sementara itu Tong Hu-jin telah berkata lagi, "Kuharap kau agak berha?ti-hati dan waspada kepada saudara ang?katmu she Ting itu. Dia memang bermuka ramah dan penuh senyuman, tapi nampak?nya dia bukan seorang yang jujur."
"Sudahlah isteriku, bukankah belum ada bukti bahwa dialah yang mencegatku di luar kota Kiang-leng? jangan bu?ru-buru memaki-maki orang yang belum tentu bersalah. Masakan di dunia ini yang mahir Ngo-heng-ciang dan Eng-jiau-kang hanya Ting Ciau-kun saja?" begitulah bujuk Tong Tian.
Isterinya menyahut dengan agak mendongkol, "Tadi kau sendiri yang me?ngemukakan kecurigaan lebih dulu, ke?napa sekarang malah berbalik menyalah?kan aku?"
"Baiklah, aku minta maaf," kata Tong Tian sambil tertawa. "Hari sudah larut malam, akupun sudah mengantuk. Mari kugandeng tanganmu."
Mau tidak mau hati Tong Hu-jin te?rasa hangat juga, sahutnya sambil ter?tawa, "Tua bangka tidak tahu malu. Coba kau berkaca di cermin dan lihatlah ram?butmu yang sudah berwarna dua itu. Jika kau masih bertingkah seperti anak-anak muda, apa tidak takut ditertawakan?"
Meskipun pikirannya tengah ruwet memikirkan berbagai persoalan, Tong Tian sempat bergurau juga, "Ketika aku berada di Soat-san, aku sering teringat masa muda kita, disaat kita berdua ber?sama-sama berlatih ilmu pedang di bela?kang gunung. Waktu itu kau sering ber?pura-pura membuat kekeliruan dalam gerakan pedangmu, aku tahu maksudmu agar aku membetulkan gerakanmu dengan memegang-megang tanganmu. Betul tidak?"
Dengan gemas Tong Hu-jin mencubit lengan suaminya sambil mengomel, "Kau makin lama bicara makin melantur, tidak kuatirkah didengar oleh anak-anak atau oleh pelayan?"
Begitulah suami isteri pendekar itu berjalan meninggalkan ruangan buku sambil bergurau. Betapa keruhnya pikir?an mereka, tapi sendau gurau terbukti merupakan obat mujarab untuk mengurangi kesedihan dan menjaga kerukunan mereka. Sudah berpuluh tahun mereka hidup seba?gai suami isteri, sudah puluhan badai kehidupan yang mereka tempuh bersama dan berhasil mereka atasi, maka kesu?litan yang kali inipun tidak mengecil?kan semangat mereka.
Ketika mereka melewati kamar yang ditempati oleh anak kedua mereka, Tong Tian sempat melongok ke dalam lewat jendela yang tidak terkancing. Nampak?lah Tong Wi-hong sudah tidur pulas, na?mun tangannya masih memegang kitab yang masih terbuka, agaknya ia ketiduran se?telah membaca kitab.
Melihat itu Tong Tian berkata ke?pada isterinya sambil tertawa, "Liatlah A-hong. Pantas kakaknya dan adiknya menjulukinya sebagai kutu buku."
Malam semakin larut, rumah keluar?ga pendekar itupun semakin sunyi. Seisi rumah telah tertidur lelap, mengistira?hatkan badan dan pikiran untuk menyam?but hari esok yang penuh tantangan.
Pagi hari telah tiba. Sinar mataha?ri yang hangat dan berwarna keemasan muncul bagaikan cahaya kehidupan yang menghidupkan kota kecil An-yang-shia, setelah semalam suntuk membeku dalam dinginnya malam. Kota itu mulai nampak sibuk dengan hilir mudik penduduknya. Warung-warung dan toko-toko mulai membu?ka pintunya, jalan-jalan dan lorong-lo?rong mulai ramai dengan manusia yang hi?lir mudik menurut keperluannya masing-masing. Sebagian orang-orang yang hilir mudik di jalanan itu malahan bukan orang An-yang-shia asli, melainkan para pelan?cong dari luar daerah yang tengah menik?mati keindahan dan kesegaran kota kecil di pinggir danau Po-yang-ou itu.
Di tengah-tengah kota An-yang-shia ada sebuah gedung yang besar dan megah, pintu gerbangnya dijaga oleh dua orang perajurit bersenjata tombak. itulah tempat tinggal Cia To-bun yang oleh penduduk An-yang-shia dipanggil "Cia Tay-jin", pejabat pemerintah yang menguasai kota kecil itu.
Dari dalam gedung itu muncul seo?rang pemuda berpakaian mewah diiringi dua orang lelaki kekar yang bertampang tukang-tukang pukul. Wajah pemuda itu sebenarnya cukup tampan, namun agaknya ia masih merasa kurang, sehingga masih ditambah dengan pupur tipis dan bahkan bibirnya diberi gincu tipis pula. Dia adalah Cia Bok, putera satu-satunya dan kesayangan Cia To-bun.
Cia Bok tidak langsung turun ke jalan, melainkan berdiri sebentar di depan pintu gerbang rumahnya sambil memperhatikan orang-orang yang berlalu lalang di jalanan. Matanya berputar-pu?tar dengan liarnya dan bibirnya tersenyum-senyum jika melihat perempuan-perempuan muda lewat di depannya. Kadang-kadang mulutnya berdecak kagum atau bersiul kecil. Sekali-sekali ia me?manggil nama anak-anak perempuan yang dikenalnya, atau bahkan menarik ujung bajunya. Anehnya, meskipun Cia Bok ber?wajah tampan dan kedudukan ayahnyapun cukup terpandang, tapi tidak seorangpun gadis-gadis An-yang-shia tertarik kepa?danya. Beberapa orang perempuan sebe?narnya hendak melewati jalan di depan gedung itu, namun mereka segera berbalik dan mencari jalan lain, begitu me?lihat Cia Bok tengah berdiri di situ.
Setelah bosan berdiri di situ, Cia Bok mulai melangkahkan kaki menyusuri jalan yang ramai itu. Matanya tidak pernah berhenti berputar, terutama jika berpapasan dengan perempuan-perempuan cantik.
Meskipun tingkah Cia Bok sangat menjemukan, tetapi tidak seorangpun yang berani menegurnya. Sebab menegur tingkah anak Cia Tay-jin itu sama saja dengan mencari kesulitan buat diri sen?diri.
Dalam beberapa waktu terakhir ini, tingkah Cia Bok memang menjadi berkali lipat lebih tengik dari dulu-dulu, tindakannyapun semakin sewenang-wenang, terutama jika ia mengingini seorang pe?rempuan, tidak perduli perempuan itu masih gadis atau sudah bersuami. Bagai?mana hal itu bisa terjadi, ada sebab musababnya.
Pertama, sejak terjadinya peristi?wa pembunuhan atas diri seorang pejabat dari Pak-khia, maka Tong Wi-siang dan kawan-kawan berandalannya telah menghi?lang dari An-yang-shia. Hal mana tentu saja menggembirakan Cia Bok, sebab se?luruh An-yang-shia hanyalah Tong Wi-siang dan kawan-kawan yang berani me?nantang Cia Bok secara terus terang. Meskipun tindakan Tong Wi-siang itu bu?kan berdasarkan membela rakyat, namun hanya karena sifat senang mencari ga?ra-gara saja, tapi toh terasa bahwa se?lama Tong Wi-siang ada di An-yang-shia gerak-gerik Cia Bok tidak sebebas itu.
Alasan yang kedua adalah bahwa Cia Bok baru saja mendapat dua orang guru silat yang cukup lihai, yang sengaja diundang oleh ayahnya untuk mendidik?nya. Yang seorang adalah seorang Tosu (Imam To) pelarian yang sudah dipecat dari Bu-tong-pay, bernama Te-yong Tosu. Yang seorang lagi adalah seorang tokoh golongan hitam berasal dari Thay-san, bernama Tio Khing dan berjulukan Tiat-jiau-long (Serigala Berkuku Besi), yang tidak lain adalah ayah dari Thay-san-sam-long yang terkenal itu.
Tengah Cia Bok berjalan-jalan sam?bil menjual lagak, tiba-tiba biji mata?nya melotot kesatu arah. Ternyata dari arah sana nampaklah ada seorang anak muda dan seorang gadis sedang berjalan bersama-sama. Yang lelaki tampan dan nampaknya seorang "kutu buku", berumur kira-kira duapuluh tahun. Sedang yang perempuan berumur kira-kira tujuhbelas tahun, bermuka bulat telur, manis dan nampaknya masih agak kekanak-kanakan.
Cia Bok segera berbisik kepada sa?lah seorang pengawalnya, "Lau Hok, ini?lah kesempatan baik untuk mencari gara gara kepada keluarga Tong. Tuh lihat, kedua adik Tong Wi-siang itu sedang berjalan ke arah kita. Kita tunggu me?reka."
Pengawalnya yang bernama Lau Hok itu agaknya tidak biasa membantah, ia cuma mengangguk-angguk sambil berkata, "Terserah kepada siau-ya (tuan muda), aku selalu siap menjalankan perintah."
Cia Bok tersenyum puas, inilah ke?sempatan baik untuk melampiaskan den?damnya kepada Tong Wi-siang yang sela?ma ini tidak jarang mempermalukannya di depan umum. Dan kini Cia Bok akan membalasnya dengan mempermalukan kedua adik Tong Wi-siang itu di depan umum pula.
Tetapi pengawalnya yang lain masih memperingatkan tuan mudanya, "Tetapi harap siau-ya berhati-hati. Kedua orang adik A-siang itupun nampaknya ti?dak lemah dalam hal ilmu silat."
Cia Bok tertawa dengan congkaknya, "Ha-ha-hai Ong Bun, kau betul-betul bernyali kecil. Adik A-siang yang bertampang seperti kutu buku itu mana sanggup menahan pukulanku sekali saja? Kau lihat saja."
Kedua pengawal itupun tidak mem?bantah lagi. Mereka sudah terlalu bia?sa menuruti kehendak tuan mudanya yang mata keranjang itu.
Pagi itu sebenarnya Tong Wi-lian hanya bermaksud berjalan-jalan sambil berbelanja macam-macam keperluan di An-yang-shia. Ia meminta kepada kakaknya untuk menemaninya. Tengah gadis itu me?mikirkan barang apa saja yang hendak dibelinya, tahu-tahu tiga orang lelaki telah menghadang langkahnya. Dia kenal akan Cia Bok yang berdiri di tengah sambil tersenyum-senyum kurang-ajar itu.
"Selamat pagi, Tong Koh-nio (nona Tong). Pagi ini koh-nio nampak cantik sekali," sapa Cia Bok tanpa melepaskan senyum buayanya. Sedang biji matanya "melahap" tubuh Tong Wi-lian yang te?ngah mekar itu, dari ujung rambut sampai ke ujung kaki dan dari ujung kaki balik lagi ke ujung rambut.
Gadis itu teringat akan pesan ayah?nya bahwa sebisa-bisanya dia harus me?nahan diri jika berhadapan dengan pi?hak penguasa, dan sejauh mungkin menghindari bentrokan. Keadaan memang sedang kurang menguntungkan buat pihak keluarga Tong, alasan yang sekecil apa?pun akan dapat dibesar-besarkan oleh Cia To-bun untuk menindak keluarga pendekar itu.
Karena itu, betapa muaknya perasa?an Tong Wi-lian, namun ia masih berusa?ha seramah mungkin dalam menjawab, "Te?rima kasih kong-cu. Maaf, aku sedang terburu-buru dan harap kong-cu memberi jalan kepadaku."
Namun seujung rambutpun Cia Bok ti?dak bergeser dari tempatnya. Katanya, "Eh, lama aku tidak bertemu dengan ka?kakmu, Tong Wi-siang yang gagah berani itu. Di manakah dia?"
Karena Wi-lian agak kelabakan dalam menjawab pertanyaan itu, maka Tong Wi-honglah yang menyahut, "Terima kasih a?tas perhatian kong-cu kepada diri ka?kak kami. Ia memang sedang pergi, en?tah ke mana, semoga ia baik-baik saja."
Cia Bok mendengus, katanya kepada Tong Wi-hong dengan sinis, "Aku tidak bertanya kepadamu. Melihat tampang ku?tu buku semacammu ini belum-belum aku sudah mual."
Meskipun Tong Wi-hong bukan seo?rang penaik darah seperti kakaknya, na?mun mukanya menjadi panas juga mende?ngar jawaban Cia Bok itu. Sekuat tena?ga ia menahan gejolak perasaannya kare?na memegang teguh pesan-pesan ayahnya.
Sedangkan Cia Bok masih saja cengar cengir di depan Wi-lian, sikapnya ti?dak peduli, meskipun ia tahu ada berpu?luh-puluh pasang mata orang-orang di pinggir jalan yang sedang memperhati?kan kejadian itu. Kata Cia Bok pula, "Kalau koh-nio tidak berkeberatan, ma?rilah kuantar koh-nio berjalan-jalan sekeliling An-yang-shia untuk bertama?sya. Kakakmu si kutu buku ini biarlah ditemani oleh kedua pengiringku ini un?tuk minum-minum di warung arak."
Gadis itu masih berusaha keras me?nahan kemarahannya, masih tetap dengan sikap ramah ia menolak tawaran itu. Ta?pi si bangor Cia Bok rupanya pantang mundur, katanya, "Jangan bersikap be?gitu kepadaku, kau tahu, tidak seorang?pun perempuan di An-yang-shia ini bisa menolak ajakanku. Marilah kita bertama?sya ke danau, aku punya seorang ke?nalan yang punya perahu tertutup untuk disewakan. Di situ kita bebas berbuat apa saja. He-he-he...."
-o0^DwKz-Hendra^0o- Jilid 02 MULUTNYA bicara, tangan Cia Bokpun ikut "bicara" dan sudah terulur untuk menyentuh dagu puteri Tong Tian itu.
Sebagai puteri sebuah keluarga per?silatan yang terkenal dan dihormati orang, betapapun gadis itu tidak sudi menerima penghinaan sekeji itu. Kesaba?rannya yang ditahan-tahan dari tadi ki?ni telah mencapai puncaknya. Ketika tangan Cia Bok hampir menyentuh da?gunya, di luar sadarnya Wi-lian menga?yunkan tangannya dan menampar muka Cia Bok sekuat tenaga. Tahu-tahu muka sang kong-cu yang tampan itu telah "hangus" sebelah, dari sela-sela bibirnyapun me?netes darah.
Orang-orang yang melihat kejadian itu serentak berteriak kaget, bahkan Wi-lian sendiri juga terkejut setelah menyadari apa yang telah dilakukannya.
Ia telah menampar putera kesayangan Cia Tay-jin di hadapan mata orang ba?nyak. Ada sepercik penyesalan di hati gadis itu, namun semuanya sudah terlan?jur terjadi.
Orang-orang yang ada di tempat itu-pun segera menyingkir pergi, mereka tahu akan ada kejadian hebat di tempat itu. Anak kesayangan Cia Tay-jin itu tentu tidak terima dipermalukan di de?pan umum, namun lawannya sebagai puteri Kiang-se-tay-hiap yang terhormat itupun tentu juga tidak akan menyerah dihina mentah-mentah begitu saja.
Segera di tengah jalan itu ba?gaikan terbentuk sebuah arena yang cukup luas, orang-orang hanya berani menonton dari kejauhan.
Cia Bok memang menjadi sangat mur?ka, namun diam-diam diapun heran sete?lah mendapat kenyataan bahwa gerakan Tong Wi-lian ternyata demikian cepat dan mantap pula. Cia Bok pernah berke?lahi dengan Tong Wi-siang dan hasilnya adalah sama kuat, maka dengan dasar pi?kiran itu Cia Bok merasa yakin dapat mengungguli adik-adik Tong Wi-siang itu. Tetapi Cia Bok tidak tahu, bahwa meskipun Tong Wi-siang merupakan anak tertua, kepandaian silatnya justeru le?bih rendah dari adik-adiknya. Sebabnya ialah karena Wi-siang lebih suka kelu?yuran bersama teman-temannya, sedang adik-adiknya lebih tekun dalam berlatih di rumah.
Sebagai seorang yang biasa disan?jung puji di An-yang-shia, Cia Bok men?jadi sangat marah oleh kejadian itu. Bentaknya, "Gadis she Tong tidak tahu diuntung, kau rupanya sedang menje?rumuskan seluruh keluargamu sendiri ke jurang kehancuran! Nih rasakan!"
Sambil membentak, Cia Bokpun lang?sung mengirimkan sebuah jotosan ke mu?ka Tong Wi-lian dengan pukulan Ciong thian-pau (Meriam Menjebol Langit). Sedikitpun ia tidak ingat lagi bahwa yang dihadapinya adalah seorang perem?puan muda berumur belasan tahun.
Beberapa orang An-yang-shia terke?jut melihat pukulan seganas itu, siapa pun tahu bahwa pukulan Cia Bok itu sanggup menghancurkan beberapa lapis papan. Diam-diam para penonton itu men?duga bahwa muka Wi-lian yang cantik itu tentu akan ringsek seketika.
Yang terjadi ternyata tidak seper?ti yang diduga oleh sebagian besar pa?ra penonton. Dengan tangkas Tong Wi-li?an memiringkan kepalanya sambil menge?baskan tangannya. Kakinya tidak berge?ser sedikitpun dari tempat berdirinya, tapi pukulan Cia Bok telah dapat dielakkannya dengan manis. Terdengar gu?maman kagum dari penonton.
Sebaliknya Cia Bok kaget bukan ma?in, ketika tangannya tertangkis dan ia merasakan seluruh tenaga pukulannya am?blas bagaikan batu besar tercebur ke dalam kubangan lumpur. Kiranya Tong Wi-lian telah memainkan ilmu silat Hui-soat-sin-ciang (Pukulan Sakti Salju Ter?bang), ilmu andalan perguruan Soat-san pay yang berasas "dengan kelemasan mengatasi kekerasan". Meskipun gadis itu belum melatihnya sampai tingkat tertinggi, tetapi sudah cukup kalau ha?nya untuk meladeni jagoan tanggung ma?cam Cia Bok.
Dengan garang Cia Bok menyusulkan lagi sebuah jurus Hek-hou-tiau-kan (Harimau Buas Melompat Parit), tapi Wi-lian ber?hasil menangkisnya sambil berputar ke samping dan menariknya. Tubuh Cia Bok seketika terseret dan terhuyung, dan sebelum ia sempat memperbaiki diri, tendangan Wi-lian telah mendarat di tu?buh Cia Bok dengan telaknya. Tak ampun lagi Cia Bok jatuh terduduk.
Cepat Cia Bok melompat bangun kem?bali dengan muka merah padam. Teriak?nya kepada kedua pengawalnya, "Lau Bok dan Ong Bun, ringkus perempuan siluman ini!"
Kedua orang Cia Bok inipun sejenis manu?sia yang sudah biasa berbuat sewenang-wenang kepada kaum lemah, apalagi kini hanya menghadapi gadis semungil Tong Wi-lian, maka mereka sangat memandang rendah. Lau Hok langsung menggunakan gaya cakar elang untuk menyerang ke dada gadis itu.
"Anjing-anjing yang menjemukan," desis Wi-lian dengan kemarahan semakin berkobar. Dengan langkah-langkah seringan kupu-kupu beterbangan, ia ber?lincahan menyelinap di antara tubuh la?wan-lawannya yang besar-besar itu. Ter?dengar suara gedebak-gedebuk dua kali, dan tahu-tahu kedua lelaki bertubuh be?sar itu telah jatuh mencium tanah, kea?daan mereka jauh lebih konyol dari tu?annya.
Para penonton memang sering melihat Lau Hok dan Ong Bun yang galak itu di?hajar oleh Tong Wi-siang, tetapi itu tidak mengherankan sebab Wi-siang ada?lah seorang lelaki yang bertubuh kekar pula. Tapi alangkah janggalnya kini me?lihat kedua tukang pukul Cia Bok yang garang-garang dan kuat-kuat itu kini dihajar oleh seorang gadis tujuh belas tahun! Beberapa orang penonton terpak?sa menekap mulutnya erat-erat, karena kuatir suara tertawa mereka terdengar oleh orang lain.
Begitu melompat bangkit kembali, Lau Hok tanpa malu-malu lagi menarik keluar golok yang tergantung di ping?gangnya. Sudah bulat tekadnya untuk mencincang gadis itu di hadapan pen?duduk An-yang-shia, untuk mengembali?kan pamor dirinya yang sudah merosot itu.
Tetapi ia kalah cepat oleh Cia Bok yang terlebih dulu telah menerjang kem?bali ke arah Tong Wi-lian dengan se?rangan bertubi-tubi. Meskipun hatinya terbakar oleh kemarahan, namun kali ini Cia Bok berkelahi dengan lebih ber?hati-hati, agar tidak mendapat malu un?tuk kesekian kalinya.
Lau Hok lalu mengalihkan sasaran?nya kepada diri Tong Wi-hong yang ma?sih berdiri di luar arena dengan te?nangnya. Dalam anggapan Lau Hok, manu?sia kutu buku macam Tong Wi Hong pasti akan dapat dibereskannya dalam waktu singkat. Tak terduga, sebelum Lau Hok menantangnya, malah Tong Wi-hong yang lebih dulu menantangnya, "Biarkan kong-cu bangormu itu dihajar oleh adikku. Dua ekor kerbau macam kalian ini biar?lah menjadi bagianku saja."
Agaknya putera kedua Tong Tian ini sudah lupa pesan ayahnya untuk tidak mencari perkara kepada pihak Cia To-bun. Tong Wi-hong merasa bahwa Cia Bok sudah keterlaluan dalam menghina adik?nya, sehingga perlu dihajar.
"Rasakan golokku!" teriak Lau Hok sambil membacokkan goloknya ke arah ke?pala Wi-hong. Gerakannya membawa desingan kuat menandakan orang ini me?mang bertenaga besar.
Sayang bacokan yang demikian meng?erikan itu tidak mengenai apapun, kecu?ali mengenai tanah bekas tempat ber?diri Tong Wi-hong beberapa detik yang lalu. Dan sebelum Lau Hok memperbaiki keadaan dirinya, Wi-hong telah mengge?rakkan kedua tangannya secara serentak, tangan kiri menghantam pergelangan tangan Lau Hok yang memegang golok dan tangan kanan menghantam pelipis. Ta?ngan Wi-hong memang kelihatan halus dan tidak begitu berotot, namun begitu mengenai pelipis Lau Hok, maka sekali lagi si tukang kepruk itu harus men?cium tanah.
Tukang pukul yang satunya lagi, Ong Bun, tenaganya tidak sehebat rekan?nya, tapi Ong Bun lebih licik. Iapun telah menghunus goloknya dan diam-diam membabat pinggang Tong Wi-hong dari arah belakang. Tapi serangan gelapnya itu dapat ditangkap oleh telinga Wi-hong yang tajam. Cepat Wi-hong menggeser tu?buhnya sedikit, dan tanpa menengok ia melakukan gerakan sederhana Kao-tui-hoan-tui (menekuk lutut sambil menendang ke belakang). Tendangannya tepat mengenai pergelangan tangan Ong Bun dan me?maksa tukang pukul yang licik itu mele?paskan senjatanya.
Ong Bun kaget dan bermaksud kabur, tapi langkahnya masih kalah cepat dari tendangan Wi-hong berikutnya yang men?darat di pinggangnya, sehingga Ong Bun terlempar jungkir balik dan menimpa Lau Hok yang sedang berusaha untuk merayap bangun. Maka kedua tukang pukul yang garang itupun merayap-rayap di tanah dengan runyamnya.
Perserikatan Naga Api Karya Stevanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dalam pada itu Cia Bok dan Tong Wi-lian telah bergebrak belasan jurus. Ilmu silat yang dimiliki Cia Bok meru?pakan ilmu campur aduk, hasil didikan dari beberapa guru silat yang dibayar oleh ayahnya. Meskipun demikian, tidak gampang bagi Wi-lian untuk mengalahkannya, sebab Cia Bok cukup tangkas dan bertenaga besar pula. Jika tadi Wi-li?an berhasil menampar Cia Bok, itu ha?nya karena Cia Bok tidak siap akan mendapat perlakuan seperti itu.
Kini setelah Cia Bok bertarung dengan hati-hati dan cermat, maka ke?unggulan Wi-lian tidak begitu menyolok lagi.
Setelah bertempur sekian lama, tim?bullah niat Cia Bok untuk mencoba se?buah ilmu baru yang didapatnya dari Te-yong Tojin. Ilmu ciptaan Te-yong Tojin sendiri itu diberi nama Tok-jan-jiu (Tangan Ulat Berbisa), sebuah ilmu bera?cun yang dapat digolongkan ke dalam il?mu sesat. Gara-gara ilmu beracunnya yang telah meminta korban orang-orang tidak berdosa inilah maka Te-yong To-jin telah dipecat dengan tidak hormat dari Bu-tong-pay yang dikenal sebagai perguruan kaum lurus.
Begitu Cia Bok mengerahkan ilmu Tok-jan-jiunya, maka telapak tangannya-pun perlahan-lahan berubah warna, ma?kin lama makin biru kepucat-pucatan, dan kini sambaran angin pukulannya mem?bawa bau yang pahit asam. Itulah ciri khas ilmu pukulan beracun itu.
Tong Wi-lian sadar bahwa pertempur?an mulai memasuki tahap yang berbahaya, kini pukulan Cia Bok bukan cuma dapat mematahkan tulang tapi juga dapat mera?cuni tubuh lawannya. Kini Wi-lian sema?kin berhati-hati dan tidak mau sembarangan beradu tangan dengan Cia Bok. Untunglah bahwa gadis itu lebih lincah dari lawannya, sedang ilmu pukulan Hui-soat-sin-ciangnyapun merupakan ilmu si?lat yang tidak kalah ampuhnya dari Tok-jan-jiu. Karena itu masih sulit diten?tukan siapa yang bakal keluar sebagai pemenang.
Makin lama Cia Bok makin ganas. Suatu ketika ia membentak keras dan me?lancarkan sebuah serangan serempak dengan kedua tangannya. Yang satu men?cengkeram ke arah tenggorokan, yang la?innya mencengkeram ke arah ulu hati.
Mendapat serangan seganas itu, Tong Wi-lianpun menjadi marah, katanya dingin, "Kau rupanya menghendaki nyawa?ku, baiklah, akupun tidak akan sungkan-sungkan lagi kepadamu!"
Cepat gadis itu bergeser sambil gebaskan lengan bajunya sehingga tangan Cia Bok "terseret" ke samping, lalu Wi-lian balas menghantam ke tu?lang pundak Cia Bok dengan sebuah pu?kulan Hui-soat-sin-ciang.
Agaknya Cia Bok sangat yakin akan keampuhan jurusnya itu, sehingga dalam penyerangannya itu ia sama sekali ti?dak mempersiapkan diri untuk menerima serangan balasan lawannya. Pikirnya, lawan tidak mungkin lolos lagi dari ju?rus maut itupun. Maka alangkah terke?jutnya Cia Bok ketika lawannya bukan saja berhasil mengelak bahkan melancarkan serangan balasan yang hebat pula, hantaman Wi-lian tepat mengenai sasarannya.
Terdengar suara berderak perlahan seperti suara kayu patah, lengan kanan Cia Bok segera terkulai patah. Mata Cia Bok kini memancarkan dendam kesumat yang luar biasa, namun mukanya justru memucat dan berkeringat dingin karena menahan perasaan sakit yang tidak ter?tahankan lagi.
Sesaat Cia Bok berdiri mengertak gigi tanpa mengucapkan sepatah katapun. Tiba-tiba ia melompat mundur dan kabur pulang ke rumahnya, dua orang tukang pukulnya yang masih merayap-rayap di tengah jalan itu tidak digubrisnya sa?ma sekali.
Orang-orang yang menonton kejadian itu mulai ribut memberikan pendapatnya masing-masing. Ada yang menyatakan ke?gembiraannya, "Pantas sekali anak Cia To-bun itu menerima ganjarannya. Si ma?ta keranjang itu dengan mengandalkan kedudukan ayahnya telah mengganggu rumah tangga keponakan perempuanku, se?hingga keluarga yang berbahagia itu ki?ni telah berantakan."
Orang lainnya menanggapi, "Kukira dulu hanya si bandel Tong Wi-siang itu saja yang dapat menandangi Cia Bok. Si?apa kira adik-adik Tong Wi-siang malah lebih hebat dari kakaknya."
Nama Tong Wi-siang dan Cia Bok me?rupakan dua nama yang sama-sama tidak disukai oleh orang-orang An-yang-shia, karena masing-masing merupakan pemim?pin gerombolan anak-anak muda yang ber?saingan dan sering membuat kerusuhan. Namun betapapun orang-orang An-yang-shia masih lebih membenci kepada Cia Bok, sebab tidak sedikit perempuan-pe?rempuan kota An-yang-shia yang telah dihancurkan nama baiknya atau masa de?pannya. Sedang perbuatan Tong Wi-siang masih belum sejauh itu, kenakalan-kenakalannya hanya terbatas seperti makan tidak membayar, berjudi, berkelahi, mes?kipun pembunuhan yang baru saja dilaku?kannya itu cukup menggemparkan.
Sementara itu Tong Wi-hong telah menegur adik perempuannya, "A-lian, kau turun tangan terlalu berat. Aku se?tuju bahwa si bangor itu harus dihajar tapi seharusnya cukup hajaran ringan saja dan jangan sampai cacad seumur hi?dupnya."
Wi-lian sadar bahwa perbuatannya itu dapat menimbulkan akibat yang he?bat. Sesaat ia termangu-mangu tidak mampu menjawab teguran kakaknya itu, tapi akhirnya ia menyahut juga, "Akupun menyesal sekali telah terseret arus ke?marahanku. Aku lupa diri karena dia me?nyerangku dengan sangat ganas. Tetapi aku tidak akan menyusahkan ayah, seka?rang juga aku akan menemui Cia Tay jin untuk mempertanggung-jawabkan perbuat?anku ini."
Melihat penyesalan adiknya itu, Wi-hong tidak tega untuk memarahinya lagi. Cepat dipegangnya tangan adiknya, lalu katanya, "Sudahlah, jangan melakukan tindakan yang tergesa-gesa. Ayah Cia Bok memang sedang mencari-cari alasan untuk mengenyahkan kita, biarpun kau ingin bertanggung-jawab sendiri juga sulit. Lebih baik kita pulang dulu dan merundingkan semua tindakan kita dengan ayah dan ibu."
Gadis itu akhirnya menurut bujukan kakaknya. Kedua kakak beradik itu sege?ra membatalkan niatnya untuk berbelan?ja dan melihat-lihat An-yang-shia. Dengan bergegas mereka melangkah pulang ke rumah mereka yang terletak di luar kota kecil itu.
Sepanjang perjalanan pulang, kepa?la Tong Wi-lian tertunduk terus mene?rus, perasaan sesal masih saja mengga?yut dalam hatinya. Ia sadar bahwa de?ngan terlukanya Cia Bok, apa lagi luka berat yang dapat mengakibatkan cacad seumur hidup, maka kedudukan keluarga Tong akan semakin dipersulit. Bukan sa?ja karena Cia To-bun kini punya dua or?ang jago silat andalan, tapi juga kare?na Cia To-bun punya hubungan yang akrab dengan Cong-tok (Panglima Daerah) untuk wilayah Kiang-se.
Ketika mereka tiba di rumah, mere?ka menjumpai ayah mereka sedang berada di halaman sambil mengamat-amati beber?apa pohon bunga kesayangannya.
Pendekar ini jadi tercengang ke?tika melihat kedua anaknya pulang de?ngan muka murung. Segera Tong Tian men?duga adanya sesuatu yang tidak beres.
"He, masakan kalian begitu cepat pulang?" tanyanya dengan pandangan me?nyelidik.
Wi-lian tergagap dan menundukkan kepalanya, ia tidak dapat segera menja?wab pertanyaan ayahnya itu. Tong Wi hong ikut-ikutan jadi gugup pula, na?mun akhirnya dia menyahut juga, "Ayah, kami minta maaf karena telah melupakan pesan ayah. Di kota kami bertemu de?ngan putera Cia Tay-jin dan dua orang pengiringnya yang berusaha mengganggu A-lian. Kami sudah sekuat tenaga mena?han diri dan menghindari keributan, ta?pi akhirnya perkelahian tidak dapat di?hindarkan lagi dan A-lian... telah... telah melukai putera Cia Tay-jin itu."
Air muka Tong Tian seketika menun?jukkan kerut luar biasa ketika men?dengar laporan itu, namun akhirnya ia hanya menarik napas panjang dan menco?ba menenangkan debaran hatinya. Tanya?nya kepada anak gadisnya, "Benarkah A lian?"
Dengan kepala tetap tertunduk Wi-lian menjawab, "Benar ayah. Cia Bok bermaksud menghinaku dan mempermalukan aku di hadapan orang banyak, aku ter?paksa membela diri. Dan karena ia meng?gunakan ilmu pukulan berbisanya, aku mengimbanginya dengan Hui-soat-sin-ciang."
Tong Tian tidak sampai hati mema?rahi kedua anaknya itu, tidak gampang marah. Jika sampai anak gadisnya itu memukul orang, tentu orang itulah yang keterlaluan. Apa lagi Tong Tian sudah mendengar pula bagaimana sifat Cia Bok itu, terutama jika berurusan dengan wa?nita. Yang disesalkan oleh Tong Tian hanyalah kenapa tadi ia tidak melarang saja kepergian anak-anaknya itu, agar tidak terjadi peristiwa seperti ini?
Tiba-tiba pendekar tua itu berkata sambil menarik napas, "Baiklah, seka?rang juga aku akan menemui Cia To-bun. Aku akan minta maaf lebih dulu meski?pun bukan kita yang memulai perselisih?an. Berurusan dengan orang semacam dia memang tidak mudah, tapi semoga semua?nya berjalan dengan baik."
Tong Wi-hong dan adiknya menjadi cemas mendengar niat ayahnya itu. Kata Wi-lian, "Tetapi itu sangat berbahaya buat ayah, ia dapat saja memutar-balikkan kenyataan untuk mencari-cari alasan. Ayah, akulah yang bersalah, ijinkanlah aku yang menemui Cia To-bun untuk menjelaskan kejadian ini."
"Tidak," sahut ayahnya tegas. "Ji?ka ia memang ingin menyingkirkan kita, apapun alasan kita tentu akan ditolak?nya , kau atau aku yang datang ke sana juga tetap sama saja. Tetapi jika aku sendiri datang ke sana, barangkali ia masih memberi muka kepadaku."
"Tetapi tindakan ayah itu sangat berbahaya bagi ayah sendiri," kata Wi-?hong. "Di rumahnya, saat ini Cia To-bun punya dua orang jago andalan yang tangguh. Ayah ajaklah kami."
"Tidak," sekali lagi sang ayah men?jawab dengan tegas. "Aku akan pergi ke sana sendiri. Bahkan akupun tidak akan membawa pedang, untuk menunjukkan mak?sud baikku ingin menyelesaikan persoa?lan secara damai. Andaikata orang she Cia itu masih ngotot tidak ingin da?mai, hem, apa boleh buat, kukira tu?lang-tulang tuaku ini masih cukup keras untuk melayani mereka."
"Ayah," seru Wi-hong dan Wi-lian serempak.
"Sudahlah, aku punya perhitungan sendiri dan tidak bertindak dengan membabi-buta. Ingat pesanku, jangan menge?jutkan ibumu dan jangan melangkah ke?luar dari pintu rumah ini selama aku belum pulang."
Kedua anaknya itupun akhirnya me?nyerah. Mereka tahu bahwa ayah mereka masih memiliki sifat-sifat yang keras mirip orang-orang muda, meskipun usia?nya sudah setengah abad. Sekali ayah mereka mengambil keputusan, siapapun jangan harap bisa merobahnya. Akhirnya kedua anak itu cuma berpesan, "Harap ayah berhati-hati."
Wajah Tong Tian yang keras itu ki?ni menjadi lunak dan lembut, katanya sambil menepuk bahu kedua anaknya, "Nah, sekarang masuklah kalian. Jangan melanggar pesanku."
Lalu dengan langkah-langkah yang mantap dan penuh kepercayaan kepada diri sendiri, pendekar terkenal itu me?langkah menuju An-yang-shia. Sendiri dan tidak bersenjata.
Wi-hong dan Wi-lian menatap lang?kah-langkah ayahnya itu dengan macam macam perasaan yang bercampur-aduk. Se?ring mereka mengantar ayah ketika hen?dak melakukan perjalanan yang sangat jauh, tetapi belum pernah mereka mera?sakan perasaan semacam itu. Meskipun An-yang-shia hanya beberapa ratus lang?kah jaraknya dari rumah, namun mereka merasa seolah-olah ayah mereka sedang menempuh sebuah perjalanan yang jauh tanpa ujung.
Sedangkan Tong Tian sendiri melang?kah dengan tenangnya. Tetapi ternyata hatinya tidak setenang wajah dan lang?kahnya. Tong Tian mengerti bahwa urus?an yang dihadapinya itu bukan urusan enteng, bahkan menyangkut keselamatan seluruh keluarganya.
Ketika langkahnya berbelok di kaki bukit cemara, Tong Tian sempat mene?ngok kearah rumahnya.
Pucuk-pucuk cemara di tepi danau Po-yang-ou masih tetap melambai-lambai dengan lembutnya, desirnya yang merdu adalah bunyi-bunyian alam yang tidak terkatakan indahnya. Tapi masihkah ha?ri esok seindah hari ini?
-o0^DwKz-Hendra^0o- TONG TIAN menghentikan langkahnya di depan sebuah gedung besar dan megah yang letaknya tepat di tengah-te?ngah kota An-yang-shia. Ia menengadah?kan mukanya ke langit, dilihatnya mata?hari sedang berada tepat di tengah te?ngah angkasa.
Dua orang prajurit yang menjaga pintu rumah Cia To-bun itu menjadi te?gang ketika melihat Tong Tian mendekati ke arah mereka. Mereka cukup mengenal kebesaran nama dan keperkasaan Kiang-se-tay-hiap, dan prajurit-prajurit itu merasa bahwa nasib mereka sangat buruk.
Pikir prajurit-prajurit itu, "Ja?ngan-jangan orang she Tong ini hendak mengamuk, sebab tadi pagi anak gadis?nya telah dihina oleh Cia Kong-cu? Ji?ka dia benar-benar datang untuk menun?tut balas, celakalah kami berdua ini, sebab kami akan menjadi korban-korban pertamanya."
Namun ternyata Tong Tian menyapa dengan ramah dan suaranya tidak mengan?dung nada permusuhan sama sekali, "Da?patkah aku minta pertolongan saudara-saudara?"
"Oh, kiranya Tong Tay-hiap yang da?tang. Apakah Tay-hiap punya keperluan penting?"
"Betul, aku mohon kepada saudara untuk menyampaikan kepada Cia Tay-jin bahwa aku orang she Tong mohon mengha?dap beliau."
"Kalau begitu silahkan Tay-hiap me?nunggu sebentar, biar aku laporkan ke dalam," sahut seorang prajurit, lalu ia menyelinap ke dalam pintu.
Agak lama Tong Tian menunggu di luar, dan bahkan masih sempat bercakap-cakap dengan prajurit penjaga yang sa?tu lagi. Dan selama menunggu itulah Tong Tian mendengar suara kesibukan luar biasa di balik tembok yang mengeli?lingi gedung itu, bahkan sayup-sayup terdengar pula suara gemerincingnya senjata. Diam-diam Tong Tian menjadi curiga, tetapi wajahnya tetap menampil?kan ketenangan yang luar biasa.
Tidak lama kemudian, prajurit yang melapor ke dalam tadi telah keluar kem?bali, dan mempersilahkan Tong Tian un?tuk masuk, bahkan prajurit itu membuka?kan pintu gerbang pula.
Tong Tian mengucapkan terima kasih dan melangkah masuk tanpa ragu-ragu. Hatinya berdesir ketika melihat puluh?an orang anak buah Cia To-bun telah bersiap di balik tembok itu dengan sen?jata di tangan. Selain para tukang pu?kul itu nampak pula belasan prajurit bersenjata tombak.
Tong Tian hanya tertawa dingin me?lihat persiapan itu, katanya kepada prajurit yang mengantarkannya, "Alang?kah hangatnya sambutan buat aku."
Tiba-tiba terdengar suara berderak di belakangnya. Ketika Tong Tian meno?leh, maka tampaklah pintu gerbang yang tebal itu telah tertutup dan palang pintunyapun telah dipasang. Melihat itu semua, diam-diam Tong Tian mulai mengeluh dalam hatinya. Bukan karena gentar menghadapi orang-orang itu, ta?pi karena ia merasa bahwa jalan damai yang diingininya agaknya akan sangat sulit terlaksana.
Tapi manusia yang bergelar Kiang-se-tay-hiap itu pantang mundur, di ba?wah sorot mata kebencian dari sekian puluh orang bersenjata, Tong Tian te?tap tenang dan sehelai rambutnyapun ti?dak bergetar.
Prajurit itu mengantarkan Tong Ti?an sampai ke ruang dalam.
Di ruangan itu Cia To-bun telah duduk menunggu dengan sikapnya yang angkuh, dan dia diapit oleh dua orang tokoh silat yang baru saja dapat dibe?linya. Di sebelah kirinya adalah seor?ang imam berjubah hijau tua, bertubuh kurus dan berjenggot kambing, tapi se?pasang matanya memancarkan cahaya yang berkilat-kilat mengerikan. Tangannya memegang sebuah hud-tim (kebut pertapa?an) yang senantiasa digerak-gerakkannya. Sebelah kanannya adalah seorang lelaki setengah umur yang bertubuh te?gap, bermuka buas, baju pendeknya ter?buat dari kulit binatang. Lelaki ini bersenjata sebatang pedang pendek yang diselipkan pada ikat pinggangnya.
Cia-To-bun sama sekali tidak ber?diri dari tempat duduknya ketika meli?hat kedatangan Tong Tian. Katanya sam?bil tertawa besar, "Ha-ha-ha-ha, sela?mat datang, Kiang-se-tay-hiap yang per?kasa. Silahkan duduk, semoga sambutanku tidak mengecewakan."
Setelah memberi hormat kepada tuan rumah, tanpa sungkan-sungkan lagi Tong Tianpun mengambil tempat duduk yang di?sediakan baginya.
Sementara Cia To-bun telah berkata lagi, "Aku sudah dapat menebak tentu kedatangan Tay-hiap ini ada hubungan?nya dengan kejadian tadi pagi itu. Be?tul bukan? Tay-hiap, puteraku itu me?mang nakal sekali, tapi tidak sepantas?nya puterimu menurunkan tangan begitu kejam sehingga membuatnya cacad seumur hidup tanpa bisa diobati lagi."
Lalu katanya kepada kedua guru si?lat yang duduk di kiri kanannya, "Melu?kai Cia Bok bukan saja sama dengan ti?dak menghargai ayahnya, tapi juga me?nantang kepada guru-guru yang mendidik?nya. Bukankah begitu, Ji-wi-kau-su (anda berdua guru silat)?"
Si imam jubah hijau hanya mendengus dengan congkak. Sedang si lelaki berba?ju pendek itu menggeram dan matanya me?natap Tong Tian dengan sinar mata bera?pi-api penuh dendam.
Tong Tian masih tetap tenang meng?hadapi perkembangan yang di luar kemauannya itu. Sahutnya kalem, "Tepat se?kali dugaan Tay-jin, kedatanganku me?mang ada hubungannya dengan peristiwa tadi pagi itu. Aku ingin agar kita ber?sama-sama menyelidiki siapa yang benar dan siapa yang salah, sehingga penyelesaiannyapun akan cukup adil."
Diam-diam Cia To-bun menjadi ter?singgung melihat Tong Tian tidak nam?pak gentar menghadapi pihaknya yang si?ap dengan puluhan orang bersenjata itu.
Ia akan gembira sekali jika melihat Tong Tian yang dibencinya itu menjadi gemetar ketakutan dan kemudian meratap-ratap mohon ampun, tapi ternyata sikap Tong Tian begitu tenang, jauh dari yang diharapkannya. Di dalam hatinya, Cia To-bun sudah bertekad untuk meno?lak semua jalan damai, sudah lama ia mendendam keinginan untuk melenyapkan Tong Tian dan sekaranglah kesempatannya. Tidak perduli berapapun korbannya, Tong Tian harus mampus hari ini juga.
Meskipun hatinya geram, Cia To-bun tetap memperlihatkan senyumnya. Kata?nya, "Baiklah, kita akan menyelesaikan soal itu. Oh, ya, sebelum kita bicara panjang lebar, mari kuperkenalkan Tay-hiap kepada kedua orang kau-su ini. To-tian (bapak imam) ini adalah Te-yong To-jin yang dulu menjadi murid Bu-tong-pay, tapi kemudian meninggalkan pergu?ruan itu untuk mendirikan aliran sendi?ri. Sedang yang ini adalah orang gagah dari Thay-san, bernama Tio Khing dan bergelar Thi-jiau-long (serigala ber?gigi besi)."
Memang Tong Tian sudah mendengar berita bahwa Cia To-bun kini punya dua orang jago andalan yang tangguh. Meski?pun Tong Tian memandang rendah kepada watak dua jagoan yang sudi menjilat ke?pada Cia To-bun itu, namun Tong Tian tidak berani memandang rendah kepand?aian kedua orang tokoh itu, apa lagi jika mereka maju bersama-sama. Dan me?nilik sikap Tio Khing yang seakan-akan ingin menelannya hidup-hidup, Tong Ti?an menduga bahwa jagoan dari Thay-san itu tentu sudah tahu siapa yang mem?bunuh Thay-san-sam-long.
Dengan dingin saja Tong Tian menganggukkan kepada kedua guru silat itu, sambil berkata, "Oh, kiranya Te-yong Tojin dan Tio Eng-hiong yang terkenal. Selamat bertemu."
Cia To-bun yang merasa menang di atas angin itu, mulai memojokkan orang yang dibencinya itu, "Tong Tay-hiap, mungkin kedatanganmu ini hendak memin?takan maaf atas kesalahan puterimu itu. Maaf jika dugaanku meleset, tapi cepatlah kau katakan maksud kedatangan?mu."
Dengan diapit dua orang tokoh se?perti Te-yong Tojin dan Thio King, maka Cia To-bun merasa tidak perlu gentar lagi kepada Tong Tian. Bicaranyapun tidak sungkan-sungkan lagi, bahkan se?perti sengaja memancing kemarahan Tong Tian, agar ia dapat segera menyuruh anak buahnya untuk menghabisi pendekar itu.
Dasar Tong Tian sendiri juga seo?rang yang berwatak keras dan tidak su?di dihina oleh siapapun. Dari rumahnya ia berangkat dengan tekad untuk menye?lesaikan urusan secara damai, kalau perlu sedikit mengorbankan harga diri?nya, tapi kini niatnya itu sudah berbalik seratus delapanpuluh derajat. Meli?hat sikap Cia To-bun dan orang-orang?nya yang sangat memojokkan, meluaplah darah Tong Tian. Apakah artinya sebuah penyelesaian damai apabila untuk sete?rusnya harga diri keluarga Tong diin?jak-injak semaunya oleh Cia To-bun? Bukankah pada saat itu Cia To-bun telah menganggapnya sebagai seorang pengemis yang sedang menadahkan tangan, meng?emis belas kasihan?
Maka senyuman Tong Tian lenyap da?ri wajahnya, dengan suara dingin ia me?nyahut, "Agaknya Cia Tay-jin telah sa?lah paham. Kedatanganku memang untuk memberitahu bahwa puterikulah yang me?lukai putera Tay-jin, namun tindakan puteriku itu sama sekali tidak dapat disalahkan, sebab putera Tay-jin lebih dulu mengganggunya. Putera Tay-jin me?mang terkenal mata keranjang, andaika?ta bukan anakku yang menghajarnya, ten?tu kelak ada orang lain yang menghajar?nya. Kesewenangan-wenangan mana bisa ber?tahan terus?"
Bagaikan ada halilintar meledak di pinggir kupingnya, ketika Cia To-bun mendengar jawaban Tong Tian yang seta?jam itu. Tadinya ia menyangka Tong Ti?an akan merendah-rendah dan meminta-min?ta maaf, dan itu akan digunakan untuk menghinanya habis-habisan. Namun tidak diduganya jago tua itu seorang yang berdarah panas, meskipun usianya sudah setengah abad.
Sesaat lamanya mulut Cia To-bun ba?gaikan terkancing karena marahnya. Ma?tanya yang kecil seperti mata babi itu dibelalakkan ke arah Tong Tian, namun ketika Tong Tian balas menatapnya, ma?ka buru-buru Cia To-bun membuang muka. Ia tidak tahan menghadapi sinar mata Tong Tian yang bagaikan harimau marah itu.
Di saat suasana semakin memanas itu, terdengarlah suara Te-yong Tojin dengan nada yang rendah, "Tong Tay-hi?ap, sebagai sesama orang persilatan, aku akan bicara kepadamu secara blak-blakan saja. Ada pepatah mengatakan, hendak memukul anjingpun harus memberi muka kepada pemiliknya. Mengenai terlukanya muridku kuakui ketidak-becusanku dalam mendidiknya dalam ilmu silat. Ta?pi harus diingat bahwa dia punya guru, dan ayahnyapun seorang pejabat yang di?hormati di kota ini. Jelas puterimu yang bersalah. Seharusnya Tay-hiap me?nyeret puterimu ke sini untuk menerima hukuman, bukan Tay-hiap sendiri yang datang ke sini dengan lagak seakan-a?kan sudah tidak ada lagi yang dapat menandingi Tay-hiap !"
Pertama-tama Te-yong Tojin bicara dengan kalem supaya kelihatan anggun, namun kian lama nada ucapannya kian ke?ras sehingga nampaklah sifat aslinya yang kasar dan ingin menangnya sendiri.
Tong Tian tertawa mengejek, "Aku tidak menduga bahwa Totiang masih punya muka untuk bicara sebagai sesama orang persilatan segala. Baiklah, akupun akan bicara secara terbuka. Akupun tadinya bermaksud menyelesaikan masa?lah ini secara damai, bahkan kalian lihat, aku tidak membawa sepotong senjatapun. Tetapi setelah melihat sikap kalian, aku memutuskan tidak sudi meng?alah. Apa artinya perdamaian, jika ha?rus ditukar dengan harga diri marga Tong kami, bahkan dapat pula mencoreng kebesaran leluhur kami !"
Sementara itu, Cia To-bun yang mer?asa punya dua orang pembela yang tangguh, menunjukkan kembali kegarangannya, "Persetan dengan nama baik dan kebesar?an leluhur kalian ! Tetapi perbuatan puterimu yang menghinai puteraku di te?ngah jalan itu adalah sama dengan men?coreng-corengkan arang kemukaku di hadapan seluruh orang An-yang-shia !"
"Jika begitu, mari kita tanyai se?luruh orang di An-yang-shia dan biar?kan mereka menjawab dengan jujur, sia?pakah sebenarnya yang hendak menghina? Anakmu atau anakku? Jika anakku ternya?ta bersalah, maka dengan tanganku sen?diri akan kuhukum dia!" potong Tong Ti?an dengan wajah mulai memerah.
"Tidak perlu kita lakukan perbuatan yang bertele-tele itu!" teriak Cia To-bun. "Aku adalah penguasa tertinggi di tempat ini, siapapun tidak dapat membantah perintahku. Aku tidak peduli alasan apapun yang kau ajukan, pokok?nya penghinaan ini harus dihapuskan! Tong Tian, atas nama Kaisar, sekarang juga kuperintahkan kau untuk menyeret anak perempuanmu itu ke sini!"
"Setelah itu, apa hukuman yang akan Tay-jin jatuhkan?" tanya Tong Tian dengan menahan luapan amarah.
Sahut Cia To-bun, "Mudah saja. Bua?tlah pernyataan minta maaf secara terbuka di hadapan umum. Lalu anakmu harus diarak keliling kota, untuk memberi contoh kepada seluruh masyarakat bagai?mana akibatnya orang yang berani melawan kekuasaanku!"
Terdengar suara berderak keras, ke?tika ujung meja hancur dihantam oleh tangan Tong Tian. Kata pendekar itu, "Minta maaf meskipun tidak bersalah, itu adalah soal kecil. Tapi seorang anak perempuan jika harus diarak keli?ling kota, itu benar-benar hukuman yang jauh lebih hebat daripada dihukum mati. Hem, seorang penjahat besarpun belum ada yang diperlakukan sekeji itu; Cia Tay-jin, agaknya syaratmu ini memang sengaja kau bikin sangat berat, supaya aku tidak dapat memenuhinya dan kau punya alasan untuk menangkapku bukan?"
Merahlah muka Cia To-bun karena isi hatinya kena ditebak dengan tepat. Pikirnya, toh tidak ada gunanya ber?liku-liku lagi, maka ia berkata tanpa tedeng aling-aling lagi, "Keluarga Tong memang semuanya adalah pelanggar undang-undang Kerajaan. Lihat saja anakmu yang tertua, ia bahkan berani membunuh seorang pejabat urusan hukum yang datang dari ibukota! Demi kea?manan negara, terpaksa kau kutangkap."
Hal itu memang sudah dalam dugaan Tong Tian. Ia tahu bahwa biarpun diri?nya akan merendahkan diri sampai rata dengan tanah, Cia To bun tetap akan me?nindaknya dengan alasan yang dibuat-bu?at. Kata Tong Tian tegas, "Hemm, andaikata Tay-jin berkata begini sedari tadi, tentu kita tidak perlu membuang waktu untuk berdebat kusir. Sekarang silahkan kalian turun tangan."
Tio Khing, meskipun dari tadi be?lum pernah bicara sepatah katapun, na?mun sebenarnya sudah getol ingin membu?nuh Tong Tian untuk membalaskan kematian tiga orang anaknya. Maka begitu men?dengar tantangan Tong Tian itu, seren?tak ia menghunus pedang pendeknya dan berteriak penuh dendam, "Orang she Tong, hari ini adalah hari kematianmu!"
Begitu berteriak, begitu pula Tio Khing menerjang Tong Tian dengan jurus Ya-long-tiau-kan (Serigala Liar Melom?pati Parit), pedang pendeknya secepat kilat membabat ke arah lambung Tong Tian.
Tetapi tidak percuma Tong Tian ber?gelar Kiang-se-tay-hiap, meskipun saat itu ia masih dalam keadaan duduk, na?mun ia senantiasa mampu bergerak cepat untuk membela dirinya. Atas serangan Tio-khing itu, Tong Tian tidak menjauhi?nya melainkan justru menyongsongnya sambil mengelak sabetan pedang lawan. Dua jari tangan kanannya menusuk mata Tio Khing dengan jurus Ji-liong-jio-cu (Dua Naga Berebut Mustika), diba?rengi dengan hantaman telapak tangan kiri ke rusuk Tio Khing dengan jurus Pay-san-to-hay (Memindahkan Gunung ke Lautan).
Perguruan Soat-san-pay memang bu?kan sebuah perguruan yang terkenal dengan ilmu pukulan, melainkan ilmu pedangnya, namun demikian tidak berarti perguruan itu tidak punya ilmu silat tangan ko?song yang berarti. Yang digunakan oleh Tong Tian itu adalah ilmu tangan ko?song Soat-san-pay yang bernama Hui-soat Sin-ciang yang mengutamakan asas "ke?cepatan mengatasi kekuatan, bergerak mendahului lawan". Maka serangan bala?san Tong Tian yang mendadak dan di luar dugaan itu tentu saja membuat Tio Khing kelabakan dan dipaksa untuk melompat mundur.
Di saat Tio Khing kelabakan, menda?dak sesosok bayangan hijau meluncur ke tengah gelanggang, ternyata Te-yong To-jin telah gatal tangan dan menerjun?kan diri. Hud-timnya yang lemas itu tiba-tiba mengumpul dan mengeras seperti tombak, dan ditikamkan ke tenggorokan Tong Tian. Sedang tangan kirinya ikut menggempur dengan pukulan beracun Tok-jan-jiu yang dibanggakannya, sehingga terciumlah bau asam-asam pahit menyertai desir serangannya.
Tong Tian insyaf bahwa Te-yong To-jin lebih tangguh dari Tio Khing, apa lagi karena Tong Tian tidak bersenjata. Ia tidak berani menangkis pukulan la?wan, melainkan mengelak ke samping sam?bil mencoba membabat urat nadi pergelangan tangan lawannya.
Cepat Te-yong Tojinpun merubah se?rangannya yang gagal. Telapak tangan kiri diubah menjadi cengkeraman untuk balas mencengkeram urat nadi Tong Tian, sementara Hud-timnya telah berubah men?jadi lemas kembali dan digunakan seba?gai cambuk untuk menghantam jalan darah tan-yang-hiat lawan. Masih belum puas, imam itu susulkan pula sebuah tendang?an Lian-hoan-tui, tendangan khas Bu-tong-pay itu. Begitulah lihaynya imam pelarian dari Bu-tong-pay itu. Dari ke?adaan terserang ia bisa berbalik menja?di penyerang, bahkan serentak dengan ti?ga buah serangan maut. Te-yong To jin sudah memastikan dalam hatinya bahwa Tong Tian pasti akan runtuh kali ini, dan namanya sendiri akan menjadi terkenal karena berhasil mengalahkan Kiang se-tay-hiap.
Tapi agaknya imam sesat itu salah menilai kekuatan lawannya. Tangannya memang berhasil mencengkeram pergelangan tangan Tong Tian, namun ia ha?nya merasa mencengkeram segumpal kapuk yang lunak dan ulet sekali. Betapapun ia mengerahkan tenaga, hasilnya seper?ti sebongkah batu besar yang dibuang ke dalam rawa lumpur, amblas tanpa be?kas. Sedangkan tendangan Lian-hoan-tuinya juga membentur sesuatu yang tak terduga. Rupanya Tong Tian telah "mema?sang" sikunya untuk menyambut telapak kaki si imam dan tepat mengenai urat yong-coan-hiat di tengah telapak kaki. Sedang sabetan hud-tim si imam dapat dihindarinya dengan gerak Hong-hong-tiam-tau (Burung Hong Mengangguk).
Di saat Te-yong Tojin masih dalam keadaan terkejut, Tong Tian telah mem?balikkan telapak tangannya dan balas mencengkeram lawannya. Cepat imam itu melompat mundur sambil menarik tangan?nya, tapi tak urung ujung lengan jubah?nya tercengkeram hancur oleh Tong Tian. Insyaflah kini imam itu akan kelihaian Kiang-se-tay-hiap.
Baik Te-yong Tojin maupun Tio Khing kini sudah insyaf bahwa Tong Ti?an lebih unggul dari mereka seorang-se?orang, maka untuk mengalahkannya harus maju serentak. Maka tanpa malu-malu la?gi Te-yong Tojin berseru kepada rekan?nya itu, "Saudara Tio, menghadapi peng?khianat negara ini lebih baik kita ti?dak berpegang kepada aturan Bu Lim (Rim?ba Persilatan) segala. Hayo kita maju serentak untuk mempercepat penyelesai?an !"
Tong Tian tertawa dingin melihat lagak kedua orang itu, ejeknya sinis, "Jika takut maju sendirian, boleh maju berdua. Bahkan kalau perlu orang-orang yang sudah kalian siapkan di luar itu-pun suruhlah keluar sekalian."
Memang saat itu belasan orang anak-buah Cia To-bun sudah menyerbu masuk ke ruangan tengah itu dengan senjata-senjata terhunus. Mereka terdiri dari tukang-tukang pukul bayaran maupun pra?jurit-prajurit berseragam.
Tiba-tiba seorang prajurit bersenja?ta pedang menyerbu Tong Tian menda?hului kawan-kawannya, namun begitu de?kat dengan Tong Tian maka prajurit itu berbisik ke telinga Tong Tian, "Tay-hi?ap, cepat kau rebut pedangku."
Tong Tian memang seorang tokoh yang dihormati di An-yang-shia, bukan karena kedudukannya atau karena ilmu silatnya yang tinggi, melainkan karena kepribadiannya dan sifat suka menolong?nya. Banyak orang di An-yang-shia yang telah menerima kebaikannya, dan praju?rit itu adalah salah seorang diantaranya. Kini prajurit itu ingin membalas budi. Ketika melihat Tong Tian tidak bersenjata, maka ia pura-pura menyer?ang, padahal maksud sebenarnya adalah ingin menyerahkan pedangnya itu kepada pendekar yang sangat dihormatinya itu.
Tong Tian memahami maksud prajurit itu. Dengan sebuah gebrakan ringan ia telah membuat prajurit itu roboh ter?banting dan "merampas" pedangnya.
Kini, dengan sebatang pedang ada di tangannya, pendekar Kiang-se itu ibarat seekor harimau yang tumbuh sayapnya. Tapi ia merasa ruangan tengah itu terlalu sempit untuk bertempur menggunakan pedang. Secepat kilat ia melompat lurus ke atas dengan gerakan Ui-ho-cong-thian (Burung Jenjang Menembus Langit), dan dengan tangan kirinya ia menghantam atap ruangan itu dengan segenap tenaganya.
Atap yang terkena pukulan Tong Ti?an itu bagaikan meledak dan menimbul?kan sebuah lobang besar, lalu selincah burung walet Tong Tian menerobos keluar lewat lobang itu. Sekejap kemudian pen?dekar itu sudah "hinggap" di halaman depan rumah Cia To-bun yang luas itu.
Di halaman depan itupun sudah me?nanti puluhan orang anak buah Cia To-bun. Begitu melihat Tong Tian keluar, para tukang pukul itu serentak menyer?bu maju bagaikan anjing-anjing penjaga yang setia.
Sebenarnya Tong Tian merasa sayang jika harus membunuhi orang-orang yang tidak bersalah dan hanya merupakan alat alat Cia To-bun itu, tapi karena nyawa Tong Tian sendiri terancam, apa boleh buat, terpaksa ia harus merobohkan be?berapa orang yang terlalu bernafsu ingin membunuhnya. Beberapa orang terdepan segera tumbang ke tanah dengan ber?mandikan darah.
"Jangan mengganas, pemberontak she Tong!"
Terdengar teriakan keras, disusul dengan bayangan jubah Te-yong To-jin yang berkibar ketika imam itu melompat menyerang Tong Tian. Dengan Hud-timnya Te-yong Tojin langsung menyabet ke wa?jah Tong Tian.
Tangkas sekali Tong Tian merun?dukkan kepalanya, dan pedangnya memba?las membabat ke pinggang Te-yong Tojin yang masih dalam keadaan melayang di udara itu.
Mengahdapi serangan ini, Te-yong Tojin mempertunjukkan ilmu Gin-kang (Meringankan Tubuh) gaya Bu-tong-pay yang diberi nama Tui-hun-ciong (Mena?pak Tangga Mega). Dengan saling menend?angkan kakinya di tengah udara, imam itu berhasil merubah arah "terbang"nya tanpa menginjak tanah lebih dulu. Baba?tan pedang Tong Tian itu tentu saja mengenai tempat kosong.
Di dalam hatinya, diam-diam Tong Tian memuji kepandaian lawannya yang hebat itu. Sayang, orang sepandai itu begitu mudah dibeli dengan uang oleh Cia To-bun, demikian pikir Tong Tian.
Dalam pada itu, kembali belasan orang anak buah Cia To-bun menyerbu dari segala arah dengan buasnya. Orang-orang itu telah silau oleh janji pemberian hadiah yang diucapkan Cia To-bun, untuk siapa saja yang berhasil membunuh Kiang-se-tay-hiap Tong Tian. Mereka siap mem?pertaruhkan nyawa untuk uang beberapa keping.
Menghadapi mereka ini, Tong Tian membuang semua keraguan dan perasaan belas kasihannya. Sekuat tenaga ia me?nyapukan pedangnya dengan jurus Heng-sau jian-kun (penyapu seribu perajurit). Tiga orang pengeroyok menjerit ngeri dan tubuhnya terpelanting ke tanah de?ngan perut yang "menganga" lebar. Bebe?rapa orang menjadi ragu-ragu ketika me?lihat nasib teman-teman mereka, dan di-saat mereka ragu-ragu inilah mereka tersapu pula oleh pedang Tong Tian. Namun demikian jumlah pengeroyok terla?lu banyak, dan kepungan itu tidak akan bubar hanya karena robohnya beberapa orang.
Sementara itu Tio Khing telah turun ke gelanggang pula. Dia menerjang ke arah Tong Tian, dengan diapit oleh seo?rang yang bersenjata toya dan seorang lagi bersenjata thi-cio (trisula berga?gang pendek).
Gaya berkelahi Tio Khing, si seri?gala dari Thay-san itu memang khas, yaitu terlalu langsung dan tidak banyak kembangan atau gerak tipu. Ia cuma mengandalkan kekuatan dan kecepatan. Ketika Tong Tian melakukan gerak Kong-jiok-kay-peng (merak membuka sa?yap) yang disambung dengan Giok-li-toh-so (bidadari menyusupkan benang), maka Tio Khing dari penyerang berbalik men?jadi si terdesak. Kepandaiannya memang tidak setinggi dan semasak Te-yong To-jin. Yang membuatnya berbahaya ha?nyalah cara bertempurnya yang ganas dan keji, ditambah dengan dendam kesumat yang mewarnai setiap gerak silatnya.
Sementara itu pendamping Tio Khing yang bersenjata thi-cio itupun kini telah merangsak maju. Ia nampak mantap dalam memainkan sepasang thi-cionya, sehingga dapat diduga bahwa orang ini-pun cukup terlatih dengan senjata an?dalannya itu.
Tetapi mana bisa orang ini diban?dingkan dengan Khiang-se-thay-hiap yang terkenal itu. Meskipun Tong Tian sedang mendesak Tio Khing, tetapi gerak-gerik lawan-lawannya yang lain tidak lepas dari pengamatannya. Begitu orang ber?senjata thi-cio itu maju, Tong Tian hanya membutuhkan satu jurus pukulan Pek-khong-ciang (pukulan udara kosong) untuk membuat orang ini roboh terkapar.
Sesaat kemudian Te-yong Tojin te?lah mulai ikut menyerang pula. Karena kepandaian Te-yong Tojin cukup tinggi, bahkan hampir sejajar dengan Tong Ti?an, maka majunya imam ini membuat Tong Tian terdesak. Di antara pengeroyok-pengeroyoknya, ternyata terdapat juga orang-orang yang cukup berbobot dan pan?tas mendapat perhatian.
Untungnya Te-yong Tojinpun tidak bisa bertempur selincah biasanya, bah?kan langkahnya agak terpincang-pincang. Rupanya rasa nyeri di telapak kakinya masih terasa mengganggunya, akibat ter?kena sodokan siku Tong Tian yang tepat mengenai urat yong-coan-hiat itu. Mes?kipun demikian, Tong Tian tetap dalam keadaan tekanan berat, apalagi karena Tio Khingpun tidak tinggal diam dan se?bentar-sebentar menyerbu.
Setelah pertempuran berlangsung ratus?an jurus, nampaklah baik Tong Tian mau?pun Te-yong Tojin tidak dapat menghindari luka-luka yang mulai "menghias" tubuh mereka karena sengitnya perkelahian mereka. Tapi luka Tong Tian lebih banyak, pakaian yang dikenakannya nyaris berganti warna merah diseluruh tubuh?nya.
Dipihak anak buah Cia To-bunpun sudah ada belasan orang tukang pukul atau perajurit yang roboh ke tanah. An?daikata tidak ada Te-yong dan Tio Khing di tempat itu, mungkin seluruh anak bu?ah Cia Tio-bun itu akan dibabat habis oleh Tong Tian dalam waktu kurang dari setengah hari. Tapi dengan hadirnya kedua tokoh itu, Tong Tian tidak lelua?sa berbuat semaunya, bahkan untuk me?nyelamatkan diri saja terasa amat su?lit.
Suatu saat kedua musuh tangguh itu menyerbu Tong Tian secara serempak, membuat sang pendekar menjadi kewalahan menahan serangan bertubi-tubi yang da?tang bagaikan banjir bandang itu. Disaat Tong Tian keripuhan itu, ada seorang anak buah Cia Tio-bun yang ingin meman?faatkan untuk memperoleh hadiah yang dijanjikan, dengan liciknya ia menyerampangkan toyanya dari arah belakang ke arah pinggang Tong Tian.
Tong Tian dapat mendengar desir serangan yang melanda dari belakangnya itu. Puluhan tahun ia bertualang di du?nia persilatan dan sudah ratusan kali mengalami pertarungan mati-hidup, tapi kali ini tergetar juga hati Tong Tian oleh kedahsyatan pertempuran itu. Seca?ra untung-untungan ia melompat ke be?lakang, melompati kepala si pembokong yang licik itu, sambil menyabetkan pe?dangnya. Anak buah Cia Tio-bun yang me?ngimpikan hadiah dari majikannya itu terpaksa berubah jadi setan penasaran.
Namun Kiang-se-tay-hiap juga tidak lepas dari akibat tindakannya itu. Ka?rena terpecahnya perhatiannya itu, maka hud-tim Te-yong Tojin berhasil menggem?pur pinggangnya secara telak, menimbulkan rasa nyeri luar biasa pada isi pe?rut Tong Tian. Setetes darah mengalir dari sudut bibir Tong Tian, menandakan bahwa pendekar itu sudah terluka oleh lawannya.
Melihat Tong Tian sudah terluka, dengan buas Tio Khing menyergap dari belakang secepat kilat. Serigala yang licin dan licik ini ternyata salah per?hitungan, sebab Tong Tian masih dapat menghindar ke samping dan bahkan sambil membalas dengan gerakan Ki-hwe-liau-thi-an (mengangkat obor menerangi langit). Karena membaliknya Tong Tian ini dengan tubuh setengah merendah, maka gerakan pedangnyapun dari bawah ke atas.
Tio Khing yang sedang meluncur de?ngan segenap kecepatannya itu tidak menduga akan serangan macam ini, tepat sekali perutnya ditembus oleh pedang Tong Tian. Serigala tua dari Thay-san itu roboh ke tanah sambil meraung meng?gidikkan hati, dan setelah meregang nyawa beberapa saat lamanya, melayang?lah nyawanya.
Akibat gebrakan itu, Tong Tian ju?ga terdorong mundur beberapa langkah, karena "kejatuhan" berat badan Tio Khing yang disertakan dalam serangan tadi.
Mendadak Tong Tian merasakan matanya berkunang-kunang, dan iapun menge?luh dalam hati. Dia sadar bahwa nasib?nya akan lebih banyak celakanya daripa?da untungnya apabila bertahan terus di tempat itu. Tenaganya sudah susut ba?nyak, isi perutnya sudah terluka, sedangkan lawan masih berjumlah puluhan jumlahnya dan Te-yong Tojinpun masih lebih segar dari dirinya. Cepat Tong Tian memutar pedangnya dan berusaha mendesak ke arah pintu keluar.
Baru saja ia berhasil maju bebera?pa langkah, terdengar desir angin di belakangnya, terpaksa Tong Tian harus membalikkan badan untuk membela diri lebih dahulu. Ternyata si imam Te-yong Tojin telah memburunya dengan wajah menampilkan nafsu membunuh, hud-timnya diarahkan ke jalan darah kematian ki-ko-at-hiat di dada, sedang tangan kirinya menyodok tan-tian di bawah perut.
Melihat serangan yang membahayakan jiwanya itu, memberingaslah wajah Tong Tian. Dengan pedang ia membendung serangan lawan dan dengan tangan kirinya ia membalas dengan pukulan Hui-soat-sin ciang.
Te-yong Tojin menyurut mundur, ta?pi telapak tangan kirinya justru diang?kat untuk memapak hantaman Tong Tian secara keras lawan keras, alias adu tenaga dalam.
Dua telapak tangan yang berisi te?naga pukulan dahsyat dari kedua tokoh yang berilmu tinggi itupun bertemu di udara dan langsung saling melekat de?ngan eratnya. Terjadilah adu tenaga da?lam antara seorang murid terpercaya da?ri Soat-san-pay melawan seorang murid berbakat Bu-tong-pay yang tersesat. Ki?ni keduanya berdiri seperti patung dan saling mendorongkan telapak tangannya.
Pangeran Berdarah Campuran 11 Joko Sableng Sekutu Iblis Tiga Naga Sakti 23
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama