Perserikatan Naga Api Karya Stevanus Sp Bagian 11
Wi-lian geli ketika melihat Se?bun Say menengok ke kanan dan kiri se?perti orang ketakutan. Ejek gadis itu, "Orang semacam kau hanya berani ber?sikap garang kepada orang yang lebih lemah, tetapi begitu mendengar datang?nya orang kuat lainnya, kau mulai kebingungan seperti cacing kepanasan."
Sebenarnya Sebun Say sudah sedapat mungkin menyembunyikan kegelisahannya, tak terduga ucapan Wi-lian itu begitu tepat membongkar kedoknya. Beberapa orang penonton hampir saja tertawa, namun tidak seorangpun berani tertawa terang-terangan di ha?dapan iblis dari Jing-hay yang ganas itu.
Sebun Say menjadi malu sekali, geramnya, "Keledai gundul gila, kau sendiri rupanya yang ketakutan sehing?ga menyebut-nyebut seorang kawan un?tuk menggertak kami. Hemm, andaikata orang itu ada, kau kira kami takut? Hayo majulah untaik bertempur tigaribu jurus denganku."
Rahib Hong-koan memicingkan sebe?lah matanya dengan sikap jenaka, kata?nya, "Aku tidak minta kau takut atau tidak. Tetapi kau boleh lihat siapa yang datang ini."
Lalu Rahib ini berseru ke arah kerumunan penonton, "He, hidung ker?bau (panggilan ejekan untuk kaum Tojin), apakah kau masih akan enak-e?nak saja mendekam di tempat sembunyimu dan membiarkan aku dikeroyok setan cebol dan setan rambut merah ini?"
Seruan itu ternyata mendapat sam?butan, karena dari kerumunan penonton itu kini muncul seorang Tojin (imam agama To) yang melangkah perlahan-la?han ke tengah arena. Tojin ini berusia hampir tujuhpuluh tahun, namun mukanya tetap merah segar dan matanya tajam bukan main dan mulutnya selalu membentuk sebuah senyum ramah yang menyejukkan hati. Rambut dan jenggot panjangnya yang telah memutih perak itu semakin menambah kewibawaannya. Pakaian yang dikenakannya adalah ju?bah imam berwarna kuning gading yang sangat bersih, seakan-akan sebutir debupun tidak menempel di jubahnya, sedangkan punggungnya menggendong seba?tang pedang panjang berkuncir kuning.
Begitu muncul di tengah arena ia langsung merangkapkan tangan membe?ri hormat kepada Ang-mo-coa-ong dan Se?bun Say, "Selamat bertemu kembali, sahabat berdua, maafkan aku terpaksa memunculkan diri, rupanya si sinting itu belum puas sebelum melibatkan aku dalam kesulitan pula."
Berhadapan dengan imam tua ini sikap Tang Kiau-po dan Sebun Say yang tadinya begitu garang itu kini berubah menjadi sangat segan. Merekapun membalas hormat, sahut Sebun Say, "Se?lamat bertemu, Imam Kim-hian, kau nam?pak begitu segar dan sehat, tentunya ilmu pedangmupun sudah maju pesat?"
Hong-koan Hwesio tertawa melihat Kim-hian Tojin berbasa-basi dengan ke?dua musuhnya itu, teriaknya, "He, hidung kerbau tua, aku hendak berkelahi dengan kedua siluman ini, kau membela siapa?"
Tojin tua itu ternyata seorang tokoh terkenal pula, dia adalah Kim hian Tojin, sesepuh dari perguruan Bu-tong-pay yang sangat disegani, dalam urutan "Sepuluh tokoh sakti" dia menduduki urutan ketiga, suatu ke?dudukan yang cukup tinggi. Sambil te?tap dengan senyum ramahnya dia menja?wab pertanyaan Hong-koan Hwesio tadi, "Keledai gundul sinting, kegemaranmu untuk berkelahi ternyata tidak berkurang juga tanpa mengingat usiamu yang semakin tinggi. Huh, kalau aku tidak mengingat bahwa kakak-kakak seperguru?anmu adalah sahabat karibku, ingin ra?sanya kubiarkan kau dihajar babak belur oleh kedua sahabat dari Hwe-liong-pang ini."
Ucapan Kim-hian Tojin itu kede?ngarannya saja memaki dan menggerutui Hong-koan Hwesio, namun dalam kalimat?nya terkandung maksud bahwa imam itu melibatkan diri dalam pertempuran itu dan langsung berpihak kepada Hong-koan Hwesio. Keruan saja Tang Kiau-po dan Sebun Say terkesiap mendengarnya. Per?imbangan kekuatan semacam itu jelas sangat tidak menguntungkan pihak Hwe-liong-pang.
Dengan suara yang mengandung ra?sa penasaran, Ang-mo-coa-ong Tang Kiau po berkata kepada Kim-hian Tojin, "Imam tua, antara pihakku dan pihakmu kurasa tidak pernah terjadi urusan apapun juga, kenapa sekarang kau meng?usik urusan kami?"
Sahut Imam Kim-hian dengan tajam?nya, "Hemm, memangnya kapankah kalian berani bersikap garang kepada yang le?bih kuat? Kalian hanya berani menindas golongan golongan kecil dan orang-orang yang lemah, tetapi jika kalian berani, hayolah hadapi Bu-tong-pay kami!"
Ucapan yang tajam dan penuh koba?ran semangat itu kebetulan cocok de?ngan perasaan seluruh dunia persila?tan yang selama ini dihantui oleh tindakan-tindakan kejam orang-orang Hwe-liong-pang. Maka kini tanpa takut-takut lagi orang banyak yang menge?rumuni tempat itu langsung memberi sorakan dukungan bagi Kim-hian Tojin.
Sedang Wi-lian dan kawan-kawannya pun menaruh hormat kepada imam itu, pikirnya, "Meskipun sudah lanjut usia, imam ini agaknya masih berdarah panas seperti orang-orang muda. Sekarang akan kulihat apakah orang-orang Hwe-li?ong-pang ini masih berani bertingkah atau tidak."
Bagi orang-orang Hwe-liong-pang, tantangan tokoh Bu-tong-pay yang diucapkan terang-terangan di hadapan umum itu benar-benar telah memanaskan kuping mereka, namun merekapun sadar bahwa keadaannya kurang menguntungkan bagi mereka. Terpaksa Ang-mo-coa-ong Tang Kiau-po dengan sikap menahan diri berkata, "Imam tua, kau sudah mengucapkan sendiri tantangan itu. Na?mun aku bukan orang yang berwenang untuk menanggapi tantangan itu, melain?kan hanya akan kusampaikan kepada Pang Cu (Ketua) kami. Kuharap kau tidak me?nyesali kata-kata yang telah kau ucapkan itu."
Sebaliknya Sebun Say agaknya lebih tidak tahu gelagat dibandingkan dengan temannya itu. Selama ini dia sudah beranggapan bahwa seisi kolong langit itu sudah begitu ketakutan kepada Hwe-liong-pang, dan hal ini cu?kup membanggakan Sebun Say. Kini Imam Bu-tong-pay itu berani bersikap demikian menantang, maka harus ditang?gapi dengan tidak kalah garangnya pula, demikian pikirnya. Sebun Say berniat mencelakai imam itu, namun ka?rena merasa kepandaiannya belum men?cukupi untuk itu, maka diam-diam ia menyiapkan sebuah serangan bokongan yang licik.
Demikianlah diam-diam tangannya mulai memegang gagang senjata sabit yang tergantung di punggungnya itu. sementara mulutnya berkata untuk me?lengahkan calon korbannya, "Imam tua, selama ini Hwe-liong-pang kami terpaksa bertindak keras kepada beberapa pihak, karena kami selalu diganggu dan harus mempertahankan hidup...."
"Kalian diganggu orang, atau kalianlah yang mencari perkara? Siapa yang mengganggu kalian?" tanya Kim hian Tojin sinis.
"Kau!" tiba-tiba Sebun Say berteriak keras dibarengi dengan seruan kaget orang banyak. Ternyata sambil berteriak itu Sebun Say telah melompat secepat kilat ke arah Imam Kim-hian, senjata sabitnya bergerak dengan ju?rus yang keji bukan main, sehingga yang nampak oleh mata hanyalah seba?ris ungu yang membelah udara.
Detik berikutnya terdengar suatu benturan keras, terlihat pula sinar ungu dan sinar yang keperak-perakan beradu di tengah udara, lalu Sebun Say melompat mundur kembali dengan air muka yang aneh. Sedang imam Kim-hian yang diserangnya dengan licik itu ternyata masih berdiri tak kurang suatu apa di tempatnya semula muka?nya masih tersenyum namun matanya ta?jam menatap lawan. Tangan kanan imam tua itu kini telah memegang pedangnya tidak tahu kapan pedang itu terlolos dari sarungnya.
"Benar-benar serangan yang bagus!" kata Imam Kim-hian sambil tertawa, lalu dengan gaya santai disarungkannya pedangnya kembali.
"Pedang yang sangat cepat!" sebaliknya Rahib Hong-koan malah memuji Kim-hian Tojin.
Waktu itu adalah tengah hari angin bertiup cukup keras. Begitu ada angin yang bertiup cukup keras, seketika jubah Sebun Say lepas dari pemiliknya dan terbang ke udara, ternyata jubah itu telah terbelah oleh pedang Kim-hian Tojin tadi ! Kini si iblis cebol dari Jing-hay itu hanya tinggal mengenakan celana dalam pendeknya, sedang tubuh atasnya sudah telanjang. Kiranya tadi Imam Kim-hian berhasil merobek pakaian Sebun Say tanpa mengenai kulitnya. Dengan gerakan itu, jelaslah bahwa imam tua itu telah mencapai taraf ilmu di mana pedangnya te?lah bersatu dengan sukmanya, dengan kemauannya, suatu tingkatan maha tinggi dalam ilmu pedang!
Bukan saja angkatan muda seperti Wi-lian, seperti Ting Bun dan Cian Ping saja yang terpesona oleh gerak imam tua itu, bahkan tokoh-tokoh seperti Rahib Hong-koan dan Ang-mo-coa-ong itupun sempat dibuatnya terpe?sona.
Siau-lim-hong-ceng menggeleng-gelengkan kepala gundulnya sambil mendecak-decakkan lidahnya, "Hebat sekali kau hidung kerbau tua. Jika saat ini diadakan lagi pemilihan sepuluh tokoh sakti, maka aku akan mencoret namaku saja dan lebih enak sebagai penonton saja."
Sebaliknya saat itu Sebun Say bersikap terlongong-longong dan tidak tahu harus berbuat bagaimana. Malu dan marah bergejolak hebat di dalam dadanya, namun di samping perasaan-perasaan itu diapun merasa gentar bukan main akan kelihaian sesepuh Bu-tong-pay itu. Dia sudah melakukan suatu serangan licik yang tidak ter?hormat, ternyata masih gagal juga, bahkan sebagai balasannya ia mendapat malu sehebat itu. Jika tidak ada orang lain yang melihatnya, ingin rasa?nya ia menangis sekeras-kerasnya un?tuk melampiaskan perasaannya yang bercampur-aduk itu.
Sedangkan Rahib Hong-koan justru bersikap sangat jahil. Dengan muka yang pura-pura sedih dia memberi hormat berkeliling kepada para penonton lalu katanya dengan nada seperti seorang rahib alim, "Semua manusia di kolong langit adalah saudara, wajib saling menolong jika ada yang kekurangan sandang pangan. Siapa di antara saudara-saudara yang sudi meminjamkan bajunya kepada saudara Sebun ini agar dia tidak masuk angin?"
Sebun Say tidak tahan lagi mendapat hinaan luar biasa itu. Tiba-tiba ia menjerit keras dan melesat pergi sambil meninggalkan lengkingan kemarahan dan dendam yang luar biasa, sekejap saja ia sudah tidak terlihat bayangannya lagi. Sedang Hong-koan Hwesio terbahak-bahak puas.
Ang-mo-coa-ong Tang Kiau-po juga sudah merasa tidak ada gunanya lagi tinggal di tempat itu lebih lama lagi. Salah-salah dia bisa dipermalukan pula seperti nasib rekannya tadi. Maka cepat-cepat ia memberi hormat kepada Kim-hian Tojin dan berlalu dari situ dengan diiringi oleh anak buahnya yang dalam keadaan berantakan itu.
Penontonpun bubar, namun keja?dian di tempat itu dengan cepat telah tersiar ke tempat-tempat yang jauh. Nama Hwe-liong-pang bukan lagi nama yang ditakuti luar biasa karena ternyata terbukti ada juga tokoh-tokohnya yang bisa dikalahkan, namun de?mikian belum seorangpun umat persilatan umumnya yang berani menentangnya secara terus terang.
Tong Wi-lian bertiga segera mendekati Rahib Hong-koan dan Imam Kim-hian untuk memberi salam sekalian mengucap terima kasih atas pertolong?an tokoh-tokoh angkatan tua itu. Kim-hian Tojin membalasnya dengan sikap ramah, namun juga menegur, "Kalian adalah orang-orang muda yang bernyali besar, tetapi kalian masih terlalu dikuasai oleh darah muda kalian yang panas. Iblis cebol dan iblis berambut merah itu bukanlah tokoh-tokoh yang bisa diajak main petak umpat."
Wi-lian agak tersipu mendengar teguran itu, sahutnya, "Terima kasih atas nasehat Totiang, kami memang tidak menduga bahwa kedua gembong iblis itu bakal muncul pula di sini. Kami memang sering tidak tahan melihat tingkah laku orang-orang Hwe-liong-pang yang sewenang-wenang itu."
Kim-hian Tojin hanya tersenyum saja menanggapi bantahan gadis yang keras hati itu. Lalu ia mengalihkan pandangannya kepada Ting Bun yang ba?junya telah basah oleh keringat dan darah itu, "He, bagaimana dengan lukamu?"
Sahut Ting Bun dengan hormat, "Hanya luka di kulit yang tidak memba?hayakan, dengan taburan obat luka di kulit yang kubawa dari rumah maka da?rahnya akan segera berhenti mengalir."
Dalam pada itu Rahib Hong-koan pun telah berkata pula, kali ini sikapnya nampak bersungguh-sungguh dan tidak bergurau lagi, "Diam-diam aku memang sudah mengikuti perjalanan kalian sejak dari Tay-beng. Aku sudah mendengar semuanya. Tentang A-hong yang telah menjadi Cong-piau-thau ba?ru di Tiong-gi Piau-hang, dan juga hu?bungan dingin antara A-hong dengan Ting Bun. Aku ingin berkata sesuatu kepada A-hong, karena itu marilah ki?ta susul dia ke Kiang-leng."
Usul itu disetujui semua orang, kecuali Kim-hian Tojin yang mohon pamit untuk melanjutkan perjalanannya.
Tanya Rahib Hong-koan sambil ter?tawa, "Hidung kerbau tua, kenapa kau sangat takut berdekatan dengan aku? Takut kalau kuloloh arak dan daging?"
Imam tua Bu-tong-pay itu hanya tersenyum saja menanggapi gurauan sa?habatnya itu, sahutnya, "Tepat sekali, aku takut ketularan menjadi sinting jika terlalu lama berdekatan dengan seorang sinting seperti kau ini."
Begitulah merekapun saling mengucapkan salam perpisahan. Imam Kim-hian akan melanjutkan perjalanan kelilingnya untuk meninjau cabang-cabang perguruan Bu-tong-pay di berbagai tempat, sedangkan Siau-lim-hong-ceng Hong koan Hwesio yang diiringi oleh Wi-lian, Ting-Bun dan Cian Ping lalu menyusul Wi-hong ke kota Kiang-leng yang sudah kelihatan di depan mata.
-o0^DwKz-Hendra^0o- DALAM pada itu, kedatangan Tong Wi-hong yang sangat mendadak dan tidak terduga-duga itu telah di?sambut dengan muka-muka yang tegang oleh orang-orang Tiong-gi Piau-hang cabang Kiang-leng. Begitu Wi-hong me?nambatkan kudanya dan melangkah masuk melewati pintu gerbang, maka dilihatnya di halaman itu sudah ada belasan sosok tubuh yang berbaring berjajar jajar dengan ditutupi tikar, semuanya tanpa nyawa.
Sedangkan orang-orang Piau-hang yang masih hidup, berdiri meng?elilingi halaman itu dengan muka yang tegang.
Pemimpin cabang Kiang-leng ada?lah Hua Yong-ceng yang bergelar Thi-kun-lo-cat (Raksasa Bertinju Besi), yang segera menyambut kedatangan pemimpinnya itu dengan tergopoh-gopoh. Hua Yong-ceng adalah seorang lelaki tinggi besar, tingginya saja hampir satu setengah kali dari tinggi orang biasa, sedangkan mukanya penuh bere?wok dan kedua kepalannya nampak meng?hitam keras karena setiap hari dila?tih dengan memukuli karung pasir. Un?tuk daerah Kiang-leng dan sekitarnya, dia adalah seorang jagoan yang cukup disegani.
Begitu telah berhadapan dengan Tong Wi-hong, mendadak Hua Yong-ceng menjatuhkan diri berlutut sambil ber?kata, "Aku Hua Yong-ceng ternyata ti?dak becus mengurus Tiong-gi piau-hang cabang Kiang-leng sehingga nama besar Piau-hang telah dirubuhkan orang dan mengalami kerugian besar. Aku mohon hukuman dari Cong-piau-thau dan setelah itu mohon meletakkan pekerjaan ini."
Cepat Wi-hong memegang tangan Hua Yong-ceng dan mencegahnya untuk berlutut, katanya, "Hua Toako, semua urusan bisa dibicarakan perlahan-lahan dan dengan kepala dingin, harap kau tidak bersikap sesungkan ini kepadaku!"
Hua Yong-ceng bangkit dari berlututnya, namun mukanya tetap tertunduk dalam-dalam, menarik napas berkali-kali dan nampak begitu lesu. Sikap gagahnya sehari-hari itu tidak bersisa sedikitpun, katanya, "Kebaikan dan sikap pemaaf Cong-piau-thau justru semakin menyiksa aku dan membuatku merasa semakin berdosa terhadap kebesaran Tiong-gi Piau-hang, aku benar-benar malu, aku...."
Sahut Wi-hong memotong ucapan Hua Yong-ceng, "Hua Toako, siapakah orangnya yang belum pernah mengalami kegagalan? Berhentilah menyesali diri, aku ingin mendengar selengkapnya tentang kejadian apa yang telah menimpa cabang ini."
Kedua orang itu lalu berdamping?an berjalan masuk ke dalam gedung Tiong-gi Piau-hang cabang Kiang-leng itu. Banyak piau-su cabang Kiang-leng yang belum pernah melihat Tong Wi-hong pemimpin mereka yang baru itu, dan mereka menjadi heran ketika melihat Wi-hong masih begitu muda. Ada di antara mereka yang mulai timbul keraguannya, sanggupkah orang semuda Wi-hong me?mimpin dan mengendalikan Tiong-gi piau-hang yang begitu besar? Sanggupkah mengemudikan Tiong-gi Piau-hang menem?puh badai persilatan yang hebat?
Dalam pada itu Tong Wi-hong dan Hua Yong-ceng telah duduk berhadap-ha?dapan di ruangan dalam. Si raksasa bertinju besi itu segera menceritakan selengkapnya tentang apa saja yang telah dialami oleh cabang di Kiang-leng itu.
Kisahnya, ketika Hua Yong-ceng baru saja pulang dari Tay-beng untuk menghadiri pemakaman Cian Sin-wi beberapa hari yang lalu, begitu tiba di Kiang-leng dia telah menerima la?poran dari anak buahnya, bahwa beberapa kiriman yang bernilai tinggi te?lah hilang di tengah jalan. Yang paling gawat adalah hilangnya bingkis?an dari Sun-bu (Kepala Daerah) Ho-lam kepada Kaisar Cong-ceng, dimana bingkisan yang hilang itu berwujud batu-batu permata dan barang-barang pusaka yang tak ternilai harganya. Selain itu masih ada pula bingkisan-bingkis?an lain yang dirampas di tengah per?jalanan, yang meskipun nilainya tidak setinggi bingkisan Ho-lam Sun-bu kepa?da Kaisar, namun jika pemiliknya sam?pai menuntut ganti rugi maka akan da?pat membangkrutkan Tiong-gi Piau-hang seketika itu juga.
"Apakah kalian tahu pihak ma?nakah yang merampas kafilah-kafilah itu?" tanya Wi-hong, meskipun dalam hatinya ia sudah menemui jawabannya.
Sahut Hua Yong-ceng, "Hal itulah yang rasanya membuat aku malu untuk menemui Cong-piau-thau. Aku sudah mem?bentuk regu-regu berkuda gerak cepat yang dilengkapi dengan isyarat-isyarat jarak jauh, juga burung-burung merpati untuk membawa surat, namun hasilnya nihil. Sebagian dari regu-regu penyelidik itu pulang dengan tangan hampa, sedang sebagian lagi pulang dengan membawa anggauta-anggautanya yang luka parah atau tewas. Bahkan ada dua regu yang tidak ada kabar beritanya lagi, kemungkinan besar sudah tertumpas habis oleh pihak lawan."
Tong Wi-hong mengertakkan gigi dengan geramnya. Baru beberapa hari ia menjabat sebagai pemimpin Tiong-gi Pi?au-hang, telah muncul tantangan yang begitu berat jika dia tidak dapat mengatasi tantangan itu, terpaksa Tiong-gi Piau-hang harus memberi ganti kerugian kepada para pemilik ba?rang yang dikawal itu, dan jumlah ganti rugi yang demikian besar mungkin bisa membuat Tiong-gi Piau-hang gu?lung tikar seketika. Lagipula dengan kejadian-kejadian itu Tiong-gi Piau hang akan kehilangan kepercayaan dari langganan-langganannya, dan jika itu benar-benar terjadi, Wi-hong rasanya tidak punya muka lagi untuk hidup di dunia ini.
Setelah berusaha menenangkan di?rinya, Wi-hong bertanya lagi, "Dari regu-regu yang pulang dengan luka-luka itu apakah bisa didapatkan keterangan tentang pihak mana yang memusuhi kita ini?"
"Hwe-liong-pang," sahut Hua Yong-ceng sambil mengepalkan tinjunya keras-keras. "Bahkan dari pembicaraan yang berhasil didengar oleh anak buah kita, dapat diketahui bahwa yang melakukan pembegalan ini adalah dari kelompok-kelompok mereka yang disebut Hek-ki-tong, Ang-ki-tong, Jai-ki-tong dan Jing-ki-tong. Empat kelompok se?kaligus merampok kita! Betapa gigihnya saudara-suadara kita dalam mempertahankan kejayaan Tiong-gi Piau-hang ini, toh tidak sanggup meng?hadapi empat kelompok Hwe-liong-pang itu sekaligus. Cukup empat orang Tong-cu (Kepala Kelompok) dan wakilnya ma?sing-masing itu saja sudah merupakan lawan berat, belum ditambah anak buah mereka yang rata-rata juga cukup tang?guh itu."
Di dahi Wi-hong muncul beberapa garis kerutan yang dalam, menandakan dia sedang berpikir keras menyele?saikan persoalan itu. Menghadapi Hwe-Liong-pang memang memusingkan kepala. Bukan cuma masalah karena Hwe-liong-pang punya jago-jago tangguh, tetapi juga karena orang-orang Hwe-li?ong-pang itu sulit dilacak jejaknya, mereka tidak mempunyai tempat ter?tentu. Mereka memunculkan diri begitu merasa perlu untuk muncul, kemudian menghilang begitu saja bagaikan hantu-hantu gentayangan.
Sementara Wi-hong berpikir, kembali terdengar suara kesibukan dari luar gedung itu. Kiranya Wi-lian, Ting Bun, Cian Ping dan juga Hong-koan Hwesio telah tiba pula di situ. Meskipun selama ini Wi-hong bersikap dingin kepada Ting Bun, namun ia terkejut pula ketika melihat pakaian Ting Bun penuh dengan bercak-bercak darah, dan yang lebih mengejutkan lagi adalah munculnya si uwak-angkat di tempat itu. Tenaga maupun pengalaman Hong-koan Hwesio akan terasa sangat bermanfaat untuk dimintai bantuan dalam keruwetan itu.
Lebih dulu Wi-hong menyambut Rahib Hong-koan dengan hormat, lalu ia bertanya kepada adiknya, "He, kalian seperti orang-orang yang habis berkelahi, apa rupanya yang telah terjadi ?"
Secara singkat Wi-lian menceritakan kisah pertempurannya dengan orang-orang Hwe-liong-pang dari kelompok Jai ki-tong yang berlangsung di warung arak itu.
"Hah, orang-orang Hwe-liong-pang ?! Ayo kita kejar mereka!"
"Percuma, mereka tentu sudah pergi jauh," sahut Wi-lian. Maka lesulah sikap Wi-hong.
Demi basa-basi, Wi-hong melirik sekejap kepada Ting Bun dan bertanya, "Luka-luka Ting Toako ini apakah ti?dak berbahaya?"
Pada kesempatan itulah Hong-koan Hwesio sengaja menunjukkan sikap baik kepada Ting Bun. Kata rahib itu sambil menepuk-nepuk bahu Ting Bun, "Untung hanya luka-luka di luar yang tidak terlalu menguatirkan. Dia terlalu berani ketika bertempur melawan orang orang Hwe-liong-pang itu, bahkan juga ketika menghadapi Ang-mo-coa-ong dan si gembong iblis dari Jing-hay."
Melihat sikap Rahib Hong-koan yang begitu baik terhadap Ting Bun, mau tidak mau Wi-hong mulai berpikir dan menilai sikapnya sendiri selama ini. Wi-hong teringat bahwa yang memperingatkannya tentang kebusukan Ting Ciau-kun si paman angkat adalah Hong-koan Hweshio ini, juga rahib inilah yang menyelamatkannya ketika Wi-hong hendak dibunuh oleh Ting Ciau-kun ber?sama Te-yong Tojin di hutan cemara di luar kota Tay-beng. Namun kini rahib itu nampak bersikap begitu baik terhadap Ting Bun, jelaslah ini meru?pakan "isyarat" buat Wi-hong agar jangan menyama-ratakan Ting Bun dengan ayahnya. Ting Ciau-kun adalah seorang yang berwatak culas dan licik, tidak segan-segan berbuat apapun untuk keun?tungan sendiri, sebaliknya Ting Bun adalah seorang pemuda yang bersifat lu?gu dan bahkan punya watak ksatria. Lalu Wi-hongpun teringat akan suatu kejadian dua tahun lalu, ketika Wi hong dan adiknya pertama kali mengin?jak Pak-khia, di sebuah rumah makan. Ketika itu Ting Bun berpihak justru kepada orang lemah yang ditindas oleh ayahnya sendiri, sikap itu tidak nampak dibuat-buat. Setelah berpikir de?mikian, akhirnya Wi-hong merasa bahwa sikapnya selama ini kepada Ting Bun memang agak kelewat batas, betapapun Ting Bun tidak bisa disamakan dengan Ting Ciau-kun. Bahkan kemungkinan be?sar anak muda ini tidak mengetahui akan perbuatan-perbuatan busuk dari ayahnya sendiri.
Akhirnya sikap Wi-hong berubah. Secara terbuka, dan dengan disaksikan oleh beberapa orang, ia meminta maaf kepada Ting Bun dengan tulus, "Selama ini aku bersikap dingin dan beberapa kali menyakitkan hati Toako, harap To?ako sudi memaafkan aku. Mungkin kare?na aku yang terlalu dipengaruhi pengalaman pahit masa lalu, sehingga mata?ku tertutup dan tidak melihat ketulus?an Toako."
Sikap Wi-hong itu sudah cukup melegakan siapapun. Sahut Ting Bun de?ngan agak terharu, "Asal kaudapat me?mahami isi hatiku, dibacok beberapa kalipun aku rela. Akupun dapat memak?lumi sikapmu selama ini, karena peng?alaman pahit masa lalu agaknya memang membekas terlalu dalam dan sulit dilu?pakan."
Ternyata kembali terjadi salah pengertian antara Wi-hong dan Tin Bun dalam mengartikan kata-kata "pengalaman pahit masa lalu" itu. Ting Bun mengira bahwa pengalaman pahit masa lalu itu adalah peristiwa terbunuhnya ayah Wi-hong oleh orang-orang berseragam kaum prajurit kerajaan, sehingga Wi-hong jadi berkesan buruk kepada kaum prajurit. Sedannkan Wi-hong mengartikan pengalaman pahit masa lalunya itu sebagai peristiwa kelicikan Ting Ciau-kun ketika hendak mem?bunuhnya di luar kota Tay-beng dulu.
Namun kesalahan-paham itu tidak jadi soal lagi, dan sama sekali tidak mengurangi rasa hangatnya persahabatan yang mulai terasa di hati anak-a?nak muda itu. Keduanya adalah sama-sama anak muda yang bersifat terbuka dan menjunjung tinggi sifat-sifat jantan, karena itu segala perselisihan masa lalu dengan mudah telah mereka singkirkan jauh-jauh.
Tentu saja yang paling berbahagia melihat rukunnya kembali kedua anak muda ini adalah Wi-lian, ini terlihat dari sinar matanya yang berseri-seri. Tetapi ketika Rahib Hong-koan berde?hem sambil tersenyum ke arahnya, maka gadis itupun menundukkan kepalanya dengan tersipu-sipu.
Kini Tong Wi-hong, Hua Yong-ceng, Hong-koan Hwesio, Wi-lian, Ting Bun dan Cian Ping telah duduk di ruangan tengah, mengitari sebuah meja hidang?an. Sekali lagi Hua Yong-ceng harus mengulangi ceritanya tadi, agar orang-orang yang baru datang itu dapat mendengarnya pula.
Semua orang mendengarkan pengisahan Hua Yong-ceng itu dengan penuh perhatian. Dan setelah cerita itu se?lesai, semua orang berpendapat bahwa masalahnya cukup rumit. Mereka sudah tahu jelas bahwa orang Hwe-liong-pang-lah pelaku semua kekacauan itu, namun tidak seorangpun tahu ke mana harus mencari orang-orang itu?
"Betapapun juga kita tidak boleh menyerah diperlakukan semena-mena seperti ini," akhirnya Tong Wi-hong berseru sambil menggebrak meja. "Jika masalah ini tidak bisa diatasi, maka untuk selanjutnya Tiong-gi Piau-hang akan runtuh namanya dan tidak lagi mendapat kepercayaan orang, dan itu berarti ribuan anak buah kita akan kehilangan nafkahnya!"
"Kita tunda perjalanan kita berziarah ke An-yang-shia, sampai per?soalan di tempat ini selesai lebih dulu," kata Wi-hong.
Semuanya ternyata sependapat dan mendukung usul itu. Setelah berunding sampai hampir sore, akhirnya ditemukan akal bahwa orang-orang Hwe-liong pang jangan dicari, melainkan dipancing supaya keluar sendiri dari sarangnya. Untuk itu dipakailah tipu muslihat pura-pura hendak mengirimkan suatu barang kawalan berharga ke tempat yang jauh. Wi-hong, Cian Ping dan Wi-lian akan menampakkan diri secara terang-terangan dalam iring-iringan itu, agar menarik perhatian lawan. Ting Bun dan beberapa jagoan pilihan Tiong-gi Piau-hang cabang Kiang-leng akan menyamar sebagai piau-su bi?asa dan bercampur dengan piau-su-piau-su biasa lainnya, sedangkan Hong-koan Hweshio akan ikut serta pula, namun dengan bersembunyi di dalam kereta ba?rang. Sedangkan Hua Yong-Ceng tetap bertugas menjaga markas.
Persiapan untuk itu segera dijalankan. Untuk meyakinkan pihak la?wan bahwa seolah-olah kiriman besar itu bukan suatu tipuan, maka Hua Yong-ceng mengatur segala-galanya dengan cermat. Beberapa orangnya menyamar se?bagai hartawan yang mengunjungi gedung Tiong-gi Piau-hang secara menyolok, sementara itu beberapa peti "harta berharga" nampak diangkut ma?suk ke dalam gedung dengan pengawalan ketat. Hua Yong-ceng yakin bahwa se?mua kegiatan gedung itu tentu dike?tahui oleh pihak Hwe-liong-pang, sebab mereka agaknya punya mata-mata yang tersebar di semua tempat.
Dugaan Hua Yong Ceng memang tidak meleset. Kesibukan yang luar biasa di Tiong-gi Piau-hang cabang Kiang-leng itu memang tidak lepas dari peng?amatan seorang "tukang sayur" yang se?tiap hari hilir mudik di jalan di de?pan gedung itu. Lelaki itu memang ber?tampang seperti orang dusun tulen, lengkap dengan tampangnya yang kelihatan bodoh dan lugu. Namun, tanpa dilihat siapa pun, kadang-kadang nampak sepasang matanya di bawah tudung bambu itu berkilat-kilat dengan tajamnya, menandakan bahwa bobot orang ini tidak seremeh tampangnya.
Pagi itu kembali si penjual sayur lewat di depan gedung, dan kebetulan dilihatnya ada belasan orang kuli se?dang mengusung kotak-kotak kayu besar ke dalam gedung. Dari halaman dalam dan samping, terdengar para piau-su sedang membentak-bentak dalam latihan silatnya. Diam-diam si tukang sayur ini tersenyum mengejek dan berdesis seorang diri, "Rupanya si kerbau dogol she Hua itu belum kapok juga meskipun telah menelan beberapa pengalaman pa?hit."
Lalu dengan langkah santai dan wa?jar, si penjual sayur berbelok masuk ke sebuah lorong sempit. Di depan se?buah toko obat yang terletak di lorong itu, si tukang sayur berhenti dan me?letakkan keranjang sayurnya. Lalu de?ngan langkah terbungkuk-bungkuk persis seperti oang dusun tulen, ia melangkah masuk ke dalam toko obat itu.
Si pemilik toko obat itu agaknya sudah mengenalnya. Begitu nampak keda?tangan si tukang sayur, ia segera me?nyambutnya dengan ucapan, "Bahan-bahan obat apa lagi yang kau bawa? Aku per?caya tentunya bahan-bahan yang bermutu baik, lekaslah kaubawa masuk ke dalam."
Tidak ada yang mencurigai tanya jawab itu terlalu wajar dan terlalu umum, bahkan para pegawai toko obat itupun tidak menaruh kecurigaan apa-a?pa. Suatu hal yang biasa kalau majikan mereka membeli bahan-bahan obat-obatan berupa tumbuh-tumbuhan dari para pedagang di desa.
Si penjual sayur mengucap terima kasih, dan dengan terbungkuk-bungkuk memikul keranjang sayurnya, ia masuk ke dalam bersama si majikan toko obat itu.
Mereka langsung masuk ke ruang te?ngah, sebuah ruangan tertutup dan me?rupakan ruangan pribadi sang majikan. Begitu pintu tertutup, si majikan rumah obat itu langsung bertanya, "Bagaimana kabar yang tersiar belakangan ini? Berita tentang pengiriman be?sar-besaran itu apakah bisa kita per?cayai?"
Kini si tukang sayur itu tidak terbungkuk-bungkuk lagi, namun bersi?kap tegap dan tangkas. Sambil memberi hormat kepada majikan rumah obat itu, ia menjawab, "Sudah kuselidiki dengan cermat dan ternyata memang betul akan ada pengiriman besar-besaran. Agaknya para piau-su tolol itu merasa besar hati sebab pemimpin mereka dari Tay-beng ada di tengah mereka, yaitu si bocah ingusan Tong Wi-hong itu. Ku?duga barang kawalan itupun cukup mahal, sebab para piau-su sungguh-sung?guh dalam mempersiapkan dirinya, bah?kan latihan silatpun ditingkatkan. Bahkan kudengar pengawalannya bukan cuma ditangani cabang Kiang-leng, na?mun juga dibantu oleh jago-jago tang?guh Tiong-gi Piau-hang dari cabang-ca?bang Lok-yang dan Bu-sek."
Si majikan rumah obat menggebrak meja dan berseru gembira, "Wah, kali ini benar-benar kelas kakap kalau be?gitu! Kita tidak boleh melewatinya be?gitu saja! Jika kita berhasil, aku ya?kin ini akan merupakan pukulan tera?khir yang mematikan buat Tiong-gi Piau hang!"
Si tukang sayur itupun matanya nampak bersinar-sinar dengan liciknya, sahutnya, "Betul sekali ucapan Tong-cu itu! Ini tidak boleh dilewatkan. Selu?ruh rekan-rekan dari Hek-ki-tong (Ke?lompok Bendera Hitam) sudah gatal tangan semuanya dan menunggu perintah Tong-cu!"
Si majikan rumah obat itu tampangnya sedikitpun tidak menunjukkan tampang dunia persilatan, orang tentu tidak menduga bahwa dia ternyata adalah salah seorang Tong-cu (pemimpin kelompok) di dalam Hwe-liong-pang. Dialah Tong-cu dari Kelompok Bendera Hitam, salah satu kelompok tangguh kalangan Hwe-liong-pang.
Majikan rumah obat itu nampak berpikir keras, kemudian ia menggeleng-gelengkan kepalanya dan berkata, "Kita memang harus turun tangan, tapi sama sekali jangan gegabah. Menilik kekuatan Tiong-gi Piau-hang yang dikerahkan untuk mengawal barang itu, maka harus kita akui bahwa kekuatan kelompok kita sendiri tidak akan mencukupi. Seperti pada saat-saat yang lalu, kita harus bekerja-sama dengan Jing-ki-tong, Jai-ki-tong dan Ang-ki tong. Apakah mereka masih bisa dihubungi?"
Sahut si tukang sayur itu, "Jai ki-tong baru saja mengalami pukul berat dari gadis Siau-lim-pay itu. Tong-cu terluka agak parah dan kehilangan beberapa anak-buah andalannya, agaknya kurang bisa diandalkan untuk kerja sama. Sedangkan Ang-ki-tong sudah berada dalam perjalanan ke Lam-cang untuk memenuhi panggilan Pang-cu (Ketua), agaknya tidak sempat untuk disusul lagi."
"Kenapa begitu terburu-buru me?nuju Lam-cang? Bukankah pertemuan itu masih belasan hari lagi, dan masih ada kesempatan untuk mencari rejeki tambahan?" gerutu majikan rumah obat itu. "Jika hanya gabungan antara kita dengan Jing-ki-tong saja, kukira ke?kuatan kita tidak meyakinkan untuk me?nandingi musuh."
Tiba-tiba terdengar suara berdehem dari balik jendela yang ter?tutup itu. Suara geramannya begitu dingin dan jelas mengandung perasaan marah yang terpendam.
Majikan rumah obat dan si penjual sayur itu serentak bangkit dengan terkejutnya. Siapakah orangnya yang telah mampu menyelundup ke bagian dalam rumah obat itu, dan bahkan dapat berdiri di muka jendela tanpa diketahui oleh orang-orang yang berada di dalam? Belum lagi kejutan pertama hilang kesannya, maka kejutan yang kedua telah terjadi pula. Tiba-tiba jendela kayu yang tertutup itu telah rontok begitu saja, tanpa suara, berubah menjadi serpihan-serpihan kayu kecil ibarat segumpal tanah kering yang dicelupkan ke dalam air saja. Dan kini nampaklah siapa orangnya yang telah berdehem tadi.
-o0^DwKz-Hendra^0o- Jilid 21 DlA adalah seorang lelaki bertubuh langsing tegap, berpakaian ungu, namun wajahnya tidak nampak sebab ter?tutup oleh sebuah topeng tengkorak yang menyeramkan. Biarpun di siang ha?ri bolong, namun cara pemunculannya yang mirip hantu itu mau tak mau mem?buat orang jadi bergidik melihatnya.
Majikan rumah obat dan si tukang sayur itu serempak menyebut sebuah nama dengan mulut gemetar, "Thian-liong Hiang-cu (Hulubalang Naga Langit)!"
Thian-liong Hiang-cu mengebaskan lengan jubahnya, dan bagaikan segum?pal asap saja maka tahu-tahu tubuhnya telah melayang masuk dan tiba di tengah-tengah ruangan itu.
Majikan rumah obat dan si penju?al sayur itu itu cepat-cepat memberi hormat.
Terdengar Thian-liong Hiang-cu menggeram, "Sudah kudengar semua pembicaraan kalian tadi, dan aku sama sekali tidak senang. Aku menyesal sekali bahwa Hwe-liong-pang kita, yang tadinya punya garis perjuangan yang tegas dan mulia, kini telah berubah menjadi suatu gerombolan perampok-perampok rakus!"
Majikan rumah obat dan penjual sayur itu mulai gemetar tubuhnya, rasa takut yang amat sangat mulai menyusupi hati mereka. Mereka cukup menyadari akan tata tertib Hwe-liong-pang yang maha keras, jika Thian-liong Hiang-cu ini sampai murka, maka barangkali mereka berdua masing-masing akan menerima "hadiah" berupa sebutir Racun Penghancur Badan, Maka satu-satunya jalan adalah berdiam diri dan jangan menambah kemarahan orang bertopeng itu.
Thian-liong Hiang-cu agaknya belum puas memaki-maki, katanya pula dengan sengit, "Aku mendengar bahwa belakangan ini beberapa kelompok sudah mulai kendor tata tertibnya, dan mulai berani bertindak di luar garis perjuangan yang telah ditetapkan oleh Pang-cu. Dengan mengandalkan kebesa?ran nama Hwe-liong-pang mereka telah berbuat seperti pencoleng-pencoleng kecil! Benar-benar memalukan!"
Suasana dalam ruangan itu seke?tika menjadi hening mencekam. Hanya terdengar dengus-dengus napas kemarahan dari Thian-liong Hiang-cu, se?mentara dua lelaki di hadapannya ber?sikap seperti dua ekor tikus yang sudah terpojok dan berhadapan dengan seekor kucing galak. Mereka merasa jantung mereka berdenyut tiga kali le?bih cepat dari biasanya.
"Lam-kiong Hok," tiba-tiba Thian-liong Hiang-cu berteriak.
Si majikan rumah obat itu cepat cepat berlutut dan menyahut panggilan itu, "Hamba siap menjalankan perintah Hiang-cu!"
Thian-liong Hiang-cu menatap ta?jam-tajam kepada orang yang berlutut di hadapannya itu, katanya sepatah de?mi sepatah kata, "Dengarkan baik-baik perintahku ! Sekarang juga, kembalikan semua barang yang telah kalian rampas dari Tiong-gi Piau-hang. Semuanya. Tidak ada sehelai benang atau sebutir debupun yang boleh kurang. Kau meng?erti perintahku?"
Si majikan rumah obat yang ter?nyata bernama Lamkiong Hok itu nampak berkali-kali menelan air liurnya mendengar perintah yang terasa sangat berat itu. Katanya dengan terbata-ba?ta, "Tetapi... tetapi perampasan itu adalah atas perintah Tang Su-cia dan Sebun Sucia...."
Potong Thian-liong Hiang-cu sam?bil berteriak, "Lebih tinggi mana ke?dudukan kedua siluman gentayangan itu dengan kedudukanku sebagai Thian-liong Hiang-cu! Ini adalah perintah Thian-liong Hiang-cu! Jika setan rambut me?rah dan setan cebol itu akan marah ke?padamu, suruh dia menghadap aku. Sekarang juga kerjakan perintahku."
"Si... siap," jawab Lamkiong Hok masih agak ragu-ragu.
Kemarahan Thian-liong Hiang-cu nampak agak mereda. Ia bangkit dari tempat duduknya dan perlahan-lahan berjalan mendekati jendela, katanya mengancam, "Jika dalam waktu tiga hari perintahku ini belum selesai diker?jakan, kau tunggu saja akibatnya. Kau jangan merasa aku bertindak kurang adil, sebab jika kau kutindak, maka si setan-setan rambut merah dan setan cebol itu juga akan menerima hukumanku, begitu pula kawan-kawanmu dari ke?lompok Bendera Hijau, Coklat dan Merah atas kelancangan mereka."
"Hamba mengerti, Hiang-cu," sa?hut Lamkiong Hok lagi.
Ketika Lamkiong Hok hendak bang?kit dari berlututnya, ia hanya merasa ada angin berdesir di ruangan itu, dan tahu-tahu Thian-liong Hiang-cu sudah tidak terlihat lagi bayangannya dalam ruangan itu, lenyap begitu saja seperti iblis. Mau tidak mau Lamkiong Hok dan si "tukang sayur" itu ber?gidik kalau melihat kelihaian tokoh nomor tiga dalam Hwe-liong-pang itu.
Lam-kiong Hok menyeringai kecut ke arah si tukang sayur gadungan itu, lalu berkata sambil menggeleng-geleng?kan kepalanya, "Percuma kita membantah, kita tidak berhadapan dengan manusia, tapi agaknya berhadapan dengan arwah-arwah gentayangan. Jalankan perintah ini supaya kita tidak usah me?nikmati Racun Penghancur Badan."
"Sekarang juga aku akan mengatur pengembalian barang-barang itu," sahut si "tukang sayur" dengan lesu. Rejeki besar yang sudah di depan mata telah terbang pergi begitu saja, di?tukar dengan keselamatan nyawanya.
"Cepat kerjakan. Sebaiknya peng?irimannya tidak oleh orang-orang kita sendiri, tapi pakailah perusahaan pengawalan yang lain."
Si "tukang sayur" itu menjalan?kan perintah itu dengan taat.
Sementara itu, di gedung Tiong-gi Piau-hang cabang Kiang-leng nampak persiapan yang semakin meningkat. Tong Wi-hong benar-benar ingin membe?ri kesan kepada pihak luar, bahwa ba?rang bawaan kali ini benar-benar "kam?bing gemuk" sehingga diharapkan orang-orang Hwe-liong-pang akan tergiur dan terpancing keluar dari sarangnya.
Pada hari yang telah ditentukan untuk berangkat, nampaklah iring-i?ringan kereta-kereta Tiong-gi Piau-hang yang memuat "barang berharga" itu sudah berderet-deret dan siap berangkat, para pengawal nampak hilir-mudik dengan senjata terhunus. Ada tiga buah kereta yang tertutup rapat, di dalam salah satu dari ketiga kereta itu bersem?bunyilah seorang tokoh yang disegani dunia persilatan, yaitu Siau-lim-hong-ceng Hong-koan Hwesio. Ting Bun menya?mar sebagai piau-su biasa dan bercam?pur dengan hampir tujuhpuluh orang piau-su yang akan mengawal kafilah itu. Tong Wi-hong, Wi-lian dan Cian Ping juga nampak hilir-mudik dengan sibuknya, mengatur persiapan anak bu?ahnya. Untuk menimbulkan kesan bahwa kafilah itu benar mengawal barang, dan bukan cuma jebakan saja, sengaja Tong Wi-hong memanggil pula beberapa jago Tiong-gi Piau-hang yang cukup pu?nya nama dari cabang-cabang Lok-yang dan Bu-sek untuk diperbantukan pada kafilah itu. Selain untuk memberi ke?san sungguh-sungguh, maka jago-jago Tiong-gi Piau-hang itupun akan merupakan tenaga tempur yang berarti, jika benar-benar mereka harus bentrok dengan orang-orang Hwe-liong-pang.
Jago-jago Tiong-gi Piau-hang da?ri cabang Lok-yang yang nampak di si?tu antara lain adalah Pek-lui-to (Si Golok Halilintar) The Toan-yong serta Tok-gan-sin-eng (Elang Sakti Bermata Tunggal) Ho Po-jian. Sedang jagoan-ja?goan yang datang dari cabang Bu-sek ada tiga orang, yaitu dua bersaudara So Hou dan So Pa yang berjulukan Tiong san-siang-hou (Sepasang Harimau Gunung) ditambah dengan Yap Lam-heng yang ber?juluk Kui-gi-to (Si Golok bergerigi).
Masih ada pula beberapa piau-su tang?guh dari cabang Kiang-leng sendiri. Semuanya nampak bersikap gagah penuh semangat, siap untuk berkorban demi kebesaran Tiong-gi Piau-hang. Bendera Tiong-gi Piau-hang yang berwarna pu?tih dengan sulaman gambar hati berwar?na emas, telah berkibar-kibar dengan megahnya di atas kereta yang paling depan.
Diam-diam Tong Wi-hong menjadi bangga juga melihat keangkeran anak buahnya itu. Dia juga merasa ber?syukur bahwa orang-orang Tiong-gi Piau hang itu tetap setia kepadanya seba?gai pengganti Cian Sin-wi, meskipun para jago itu sendiri merupakan tokoh-tokoh yang menonjol di daerahnya masing-masing.
Matahari naik semakin tinggi, persiapan untuk keberangkatan kafilah sudah mendekati akhirnya, semua orang sudah menggelegak darahnya untuk ber?tempur. Para piau-su sudah berbaris dengan senjata terhunus di kedua sisi kereta-kereta, kuda-kuda yang tegar pun sudah terpasang di depan kereta. Tinggallah kini menunggu aba-aba da?ri Wi-hong dan kafilah itu akan be?rangkat.
Namun di saat bibir Wi-hong sudah bergerak untuk meneriakkan aba-aba be?rangkat, mendadak terjadilah sesuatu yang di luar perhitungan. Dari jalan besar di arah depan, tiba-tiba ter?lihat ada debu mengepul tinggi, dan nampak sebuah rombongan besar sedang mendekati ke arah rombongan Tiong-gi piau-hang itu. Tong Wi-hong tidak da?pat menduga rombongan mana yang da?tang itu, maka aba-aba untuk berangkat yang sudah siap di pinggir bibirnya itupun kini terpaksa diganti dengan aba-aba, "Semuanya bersiap!"
Suasana menjadi tegang seketika. Tiong-gi Piau-hang memang sedang dili?puti suasana perang dengan Hwe-liong-pang. Dan kini melihat ada rombongan tak dikenal mendekati mereka, tentu saja mereka semua bersiap sedia meng?hadapi segala kemungkinan. Gemerincing senjata yang dicabut dari sarungnya terdengar berturut-turut.
Rombongan yang datang dari depan itu ternyata rombongan Pia-hang (Perusahaan Pengawalan) pula, itu dapat disimpulkan dari adanya beberapa buah kereta barang dalam barisan itu. Sedang jumlah pengiringnyapun hampir menyamai jumlah orang-orang Tiong-gi Piau-hang yang cukup banyak itu. Untuk sesaat lamanya Tong Wi-hong tidak dapat mengenali apakah rombongan itu dari pihak lawan atau kawan.
Setelah rombongan pendatang itu cukup dekat dan debu yang mengepul pun telah mengendap kembali, dapatlah dilihat bendera kecil yang tertancap di atas kereta yang paling depan dari rombongan pendatang itu. Bendera itu berwarna dasar hitam, di tengahnya bersulam dengan gambar seekor singa berbulu emas yang bersikap garang.
Tong Wi-hong yang masih kurang pengalaman dalam dunia persilatan itu tidak tahu entah dari perusahaan pengawalan mana yang memakai lambang seperti itu. Namun Yap Lam-heng yang cukup berpengalaman itu segera memper?dengarkan desis kaget dan heran, "Kim-say Piau-hang (Perusahaan Pengawalan Singa Emas)! Biasanya mereka hanya be?kerja di wilayah selatan, kenapa hari ini mereka bisa muncul di tempat ini?"
Wi-hong menolehkan kepalanya ke?pada Yap Lam-heng dan bertanya, "Pa?man Yap, kau mengenal mereka?"
Sahut Yap Lam-heng, "Benar. Hu?bungan Kim-say Piau-hang dengan Tiong-gi Piau-hang tidak terlalu akrab, te?tapi juga tidak buruk, biasa saja. Tiong-gi Piau-hang kita biasanya bekerja di wilayah Kang-pak (sebelah utara Sungai Besar) dan Kim-say Piau hang di Kang-lam (sebelah selatan Sungai Besar), tidak pernah saling mengganggu. Pemimpinnya bernama Yo Hui-jiang dan berjulukan Kim-say-kong-pian (Singa Emas Ruyung Baja)."
Dalam pada itu rombongan Kim-say Piau-hangpun sudah semakin dekat, dan kemudian berhenti tepat berhadapan dengan rombongan Tiong-gi Piau-hang yang sudah siap untuk berangkat itu. Dari rombongan Kim-say Piau-hang mun?cullah seorang lelaki berusia sekitar enampuluh tahun namun masih nampak kekar dan tangkas, dan menunggangi se?ekor kuda putih yang baik pula.
Melihat orang ini, Yap Lam-heng cepat membisikkan sesuatu kepada Tong Wi-hong, "Cong-piau-thau, ternyata rombongan Kim-say Piau-hang itu dipim?pin sendiri oleh pemimpin mereka, Ho Hui-jiang sendiri, cepatlah Cong-piau-thau menyambutnya sendiri agar jangan sampai dianggap kurang menghormati ta?mu !"
Wi-hong yang memang belum penga?laman dalam tata cara dunia persila?tan itu hanya menurut saja anjuran itu. Dengan diapit oleh Yap Lam-heng dan The Toan-yong, Wi-hong meng?gerakkan kudanya ke depan untuk menyambut pemimpin Kim-say Piau-hang itu.
Terlihat Yo Hui-jiang mengangkat tangannya ke arah Wi-hong memberi isyarat bahwa dia dan rombongannya tidak bermaksud jahat. Wi-hong sebagai pihak yang lebih muda, lebih dulu mem?beri hormat sambil menyapa, "Aku ti?dak tahu kalau hari ini Yo Lo-piau-thau akan datang kemari, maafkan jika penyambutan kami kurang hormat !"
Kim-say-kong-pian Yo Hui-jiang tertawa terbahak-bahak, ia membalas hormat dan menyahut, "Jangan terlalu sungkan, Tong Cong-piau-thau, kamipun mohon maaf karena telah mengejutkan kalian dengan kedatangan yang sangat mendadak ini. Kami memang sedang dibu?ru oleh waktu yang sangat mendesak sehingga untuk mengirim pemberitahuan-pun tidak sempat lagi. Sekali lagi aku minta maaf."
Berkerutlah alis Wi-hong mendengar ucapan yang mengandung arti itu. Tanyanya dengan heran, "Ada urus?an apakah, Yo Cong-piau-thau?"
Agaknya Kim-say-kong-pian ini se?orang yang suka tertawa, itulah sebabnya ia awet muda. Kali inipun ia tertawa lagi sebelum menjawab, "Kalau dibicarakan memang aneh. Kim-say dan Tiong-gi adalah dua buah perusahaan pengawalan yang paling disegani di selatan dan utara Sungai Besar, biasanya kita menerima pekerjaan untuk mengawal barang atau orang dari tempat ke tempat. Kali inipun Kim Say Piau hang kami mendapat tugas mengantar barang, dan tahukah siapakah yang harus menerima barang ini?"
Mau tak mau Wi-hong tersenyum juga melihat Yo Hui-jiang yang sudah tua tapi masih senang bergurau dan berteka-teki itu. "Mana bisa aku menebaknya?" kata Wi-hong.
Sahut Yo Hui-jiang di luar dugaan, "Kiriman besar yang harus kukawal kali ini ternyata ditujukan kepada kalian, Tiong-gi Piau-hang cabang Kiang-leng ! Bahkan jumlahnya luar biasa tingginya, sehingga demi tanggung jawabku maka aku terpaksa memaksakan tubuh tuaku ini untuk mengawalnya sendiri sampai dengan selamat ke alamat kalian."
Sekali lagi Wi-hong menjura kepada Yo Hui-jiang sambil mengucapkan terima kasihnya, namun di dalam hatinya mulailah terasa adanya suatu urusan yang tidak beres dibalik semuanya itu. Ketika Wi-hong menoleh ke arah jago-jago Tiong-gi Piau-hang lainnya, nampaklah muka para jagoan itupun berkerut aneh, agaknya mereka dapat merasakan pula adanya keganjilan itu.
Tanya Wi-hong kemudian kepada Yo Hui-jiang, "Mohon tanya kepada Yo Cong-piau-thau, siapakah orangnya yang telah mengirimkan kiriman sebanyak dan semahal ini kepada kami?"
Sahut Yo Hui-jiang, "Kejadiannya berlangsung kira-kira tiga hari yang lalu. Cabang Kim-say Piau-hang kami di kota Han-koh mendadak didatangi seorang pemuda yang usianya kurang lebih sama dengan Tong Cong Piau-thau, berwajah tampan, berpakaian cukup bersih dan rapi, nampaknya anak orang terpandang. Dia tidak menyebutkan namanya, tapi hanya menyerahkan beberapa peti barang ini dan menyuruh kami untuk mengantarkan ke Tiong-gi Piau-hang cabang Kiang-leng. Perusahaan kami memang selalu berusaha untuk menyenangkan langganan, maka tanpa banyak rewel lagi kami segera mengirimkannya kemari. Karena pentingnya barang ini, maka aku sendiri ikut mengawalnya, ditengah jalan kamipun tidak berani berlambat-lambatan."
Sementara itu Yap-lam-heng yang kenyang pengalaman itu segera mengu?sulkan sesuatu kepada Wi-hong, "Cong-piau-thau, urusan ini benar-benar aneh. Kukira keberangkatan kita untuk memancing keluar bangsat-bangsat Hwe-liong-pang itu bisa kita tunda un?tuk lain waktu, yang penting sekarang adalah menyambut Yo Cong-piau-thau sebagai tetamu terhormat, sekalian kita mencoba mencari keterangan yang leng?kap tentang pengiriman yang aneh yang ditujukan kepada kita ini."
Wi-hong mengangguk-anggukkan kepa?lanya, lalu katanya kepada Yo Hui-jiang, "Kami sangat bersyukur atas kesudian Yo Cong-piau-thau yang mau meluangkan waktu dan tenaga untuk me?ngantarkan sendiri barang-barang itu kepada kami. Kedatangan Yo Cong-piau-thau inipun merupakan suatu kehormatan yang besar bagi aku yang masih muda dan masih banyak membutuhkan petunjuk dari Cong-piau-thau ini. Karena itu jika Cong-piau-thau tidak keberatan, biarlah barang-barang itu diterima oleh orangku, sedang Cong-piau-thau bersama-sama dengan seluruh sau?dara-saudara dari Kim-say Piau-hang yang telah menempuh perjalanan jauh, kami persilahkan untuk beristirahat sambil menikmati secangkir teh."
Begitulah, kereta-kereta barang yang dibawa oleh rombongan Kim-say Piau-hang itupun segera didorong masuk ke dalam gedung Tiong-gi Piau-hang cabang Kiang-leng. Para piau-su dari ke?dua Piau-hang itupun segera saling berkenalan dan bercakap dengan santai?nya. Karena Piau-hang memang hanya bersi?fat perusahaan dagang, dan bukan suatu aliran persilatan, maka sikap orang-orang dari kedua belah pihak tidak se?tegang jika terjadi pertemuan antara dua perguruan silat. Bahkan ada pula piau-su dari kedua pihak yang saling bersahabat pada waktu sebelumnya, ada pula yang kakak beradik seperguruan tetapi bekerja pada Piau-hang yang berbeda.
Kim-say-kong-pian Yo Hui-jiang de?ngan didampingi oleh Tong Wi-hong dan tokoh-tokoh Tiong-gi Piau-hang lainnya segera melangkah masuk ke ruangan te?ngah gedung itu. Sesaat kemudian, da?lam suasana akrab, mereka telah menge?lilingi meja perjamuan, Yo Hui-jiang didampingi oleh beberapa orang keper?cayaannya yang kelihatannya cukup tang?guh juga, sedang Tong Wi-hongpun di?dampingi oleh Kui-gi-to Yap Lam-heng, Pek-lui-to The Toan-yong, Tok-gan-sin-ang Ho Pojian, Tiong-san-siang-hou So Hou dan So Pa, Thi-kun-lo-sat Hua Yong-ceng, Tong Wi-lian, Cian Ping dan Ting Bun. Sedangkan Hong-koan Hweshio tidak ikut jamuan penyambutan tamu itu, melainkan lebih suka tidur mendengkur di ruangan lain. Tong Wi-hong dapat menyelami watak aneh dari uwa-angkatnya itu, maka ia tidak menaruh kebera?tan apapun.
Di tengah berlangsungnya perjamuan itu, kembali Wi-hong mencoba menanya?kan kepada Yo Hui-jiang, "Yo Cong-piau-thau, maafkan aku yang terlalu cere?wet ini, aku ingin tahu lebih banyak lagi tentang pengiriman barang kepada kami ini. Apakah Cong-piau-thau dapat menerangkan bahwa anak muda perlente yang mengirimkan barang lewat Kim-say Piau-hang itu mempunyai ciri-ciri khusus ?"
Kim-say-kong-pian mengerutkan se?pasang alisnya yang telah memutih se?perti kapas itu. Sesaat ia nampak ber?pikir keras untuk mengingat-ingat, la?lu kemudian menjawab, "Ya, aku akan mencoba menggambarkannya kepada Tong Cong-piau-thau. Dia berwajah cukup tampan, tetapi sayang sekali bahwa di bagian tengah-tengah antara kedua alisnya ada cahaya kehitam-hitaman yang samar-samar. Cahaya kehitam-hitaman itu begitu tipisnya, sehingga jika tidak diperhatikan benar-benar tidak akan terlihat. Menurut pendapatku, cahaya kehitaman di antara dua alis mata itu memberi pertanda bahwa orang itu berlatih ilmu sesat, mungkin pukulan berbisa atau sejenis ilmu hitam (hoat-sut)."
"Dia tidak memperkenalkan namanya?"
Yo Hui-jiang menggelengkan kepalanya, "Dia tetap tidak mau menyebut namanya meskipun telah kami desak, katanya Tong Cong-piau-thau akan tahu sendiri setelah melihat barang kirimannya. Dia secara murah hati juga membayar tarip pengangkutan ini tiga kali lipat banyaknya dari tarip yang berlaku, namun sekaligus juga memesan agar kiriman ini secepatnya dikirim kemari. Itulah sebabnya dalam perjalanan ini kami hampir tidak beristirahat sama sekali untuk memenuhi pesanan itu,bahkan pergantian kudapun dilakukan sampai beberapa kali."
Pada saat itu tiba-tiba dari halaman samping gedung itu terdengar suara keributan. Hua Yong-ceng nampak dongkol mendengar keributan itu, cepat ia berdiri dari duduknya dan menjura kepada Tong Wi-hong maupun Yo Hui-jiang sambil berkata memohon maaf, "Silahkan kedua Cong-piau-thau melanjutkan perjamuan ini. Anak buahku yang kurang tahu aturan itu entah kenapa telah menimbulkan keributan, biar aku menghukum mereka."
Habis itu, dengan langkah yang lebar Hua Yong-ceng meninggalkan meja perjamuan menuju ke halaman samping.
Suara keributan itu ternyata berasal dari halaman samping kanan gedung, dimana halaman itu biasa digunakan untuk menumpuk barang-barang kiriman yang belum sempat dikirimkan. Kereta-kereta yang memuat kiriman Kim-say Piau-hang tadipun dibawa ke halaman ini.
Kini nampak peti-peti kiriman Kim-say Piau-hang itu sudah terbuka tutupnya semua, dan sedang dikerumuni oleh para piau-su. Wajah-wajah mereka nampak heran dan penasaran, bahkan mereka berdebat satu sama lain dengan ributnya. Ketika Hua Yong-ceng muncul di tempat itu, maka para pia-su yang sedang ribut itupun serentak diam.
"He, kalian tahu tata tertib atau tidak?" tegur Hua Yong-ceng dengan ma?ta melotot. "Di ruangan tengah sedang diselenggarakan perjamuan untuk meng?hormati Yo Cong-piau-thau, tetapi di tempat ini kalian malah demikian gaduh, sehingga mengganggu suasana perjamuan?!"
Masih sambil menggerutu, Hua Yong-ceng lalu melangkah mendekati pe?ti-peti kiriman Kim-say Piau-hang yang sudah terbuka tutupnya itu, karena diapun sebenarnya terdorong oleh rasa ingin tahunya tentang apa yang di da?lam peti-peti itu. Dan begitu Hua Yong-ceng melongok ke dalam peti-peti itu, seketika mulutnya yang lebar itu melongo dan tidak bisa menggerutu la?gi, matanya melotot ke dalam peti dengan pandangan yang kurang percaya. Peti-peti itu ternyata berisi dengan bingkisan-bingkisan yang dikawal Tiong-gi Piau-hang yang selama ini di?rampas oleh orang-orang Hwe-liong-pang itu ! Semua barang yang hilang itu lengkap, tidak kurang suatu apapun. Bahkan perhiasan-perhiasan terbuat da?ri batu giok yang sangat mahal, bing?kisan dari Ho-lam Sun-bu kepada Kaisar Cong-ceng itupun telah kembali tidak kurang sedikitpun.
Hua Yong-ceng biarpun nampaknya tolol, namun sebenarnya otaknya cukup encer juga, terbukti ia bisa diangkat menjadi pimpinan cabang Kiang-leng. Namun kali ini otak Hua Yong-ceng se?rasa beku tidak mampu mencerna peris?tiwa yang dihadapinya itu.
Merasa bahwa peristiwa yang diha?dapinya itu cukup aneh dan rumit, Hua Yong-ceng tidak berani mengambil keputusan sendiri. Bergegas-gegas ia me?langkah balik ke ruangan perjamuan, dan raut mukanya yang nampak agak ke?bingungan itu ternyata telah cukup untuk menarik perhatian dari orang-orang di sekitar meja perjamuan itu.
"Ada kejadian apa, paman Hua?" tanya Tong Wi-hong yang tak dapat menyembunyikan keheranannya.
Hua Yong-ceng melirik sejenak ke arah Yo Hui-jiang dan nampak bimbang sejenak untuk berkata-kata. Namun akhirnya dia menyahut juga dengan suara ragu-ragu, "Cong-piau-thau, bingkisan yang dibawa oleh Yo Cong-piau-thau de?ngan Kim-say Piau-hangnya ternyata adalah....."
Saat itu Kim-say-kong-pian sedang mengangkat cawan hendak meneguk arak?nya, tetapi begitu mendengar ucapan Hua Yong-ceng itu dia segera meletak?kan cawan araknya kembali. Katanya de?ngan heran, "Saudara Hua, kenapa de?ngan barang bingkisan yang kami bawa sejak dari Han-koh itu? Katakan saja, jangan ragu-ragu."
Hua Yong-ceng menarik napas mene?nangkan debaran jantungnya, lalu ber?kata, "Maaf jika perkataanku kurang berkenan di hati Yo Cong-piau-thau, aku sama sekali tidak ingin menuduh siapa pun, aku hanya akan bicara soal kenyataan. Barang-barang yang kalian bawa dan kalian kirimkan kepada kami itu ternyata adalah....barang-barang kawalan Tiong-gi Piau-hang sendiri, yang telah hilang dirampas orang pada beberapa saat yang lalu."
Andaikata ada halilintar menyambar di tengah-tengah ruangan perjamuan itu, belum tentu orang-orang dalam ruangan itu sekaget ketika mendengar perkataan Hua Yong-ceng itu. Terdengar suara cawan terbanting jatuh, ternyata Yo-Hui-jiang telah melepaskan cawan araknya lalu menggebrak meja, teriaknya dengan muka yang merah padam menahan amarah, "Saudara Hua, selama ini Kim-say Piau-hang dan Tiong-gi Piau-hang hidup mencari rejeki sendiri-sen?diri tanpa saling mengganggu, antara kita juga belum pernah terbit suatu permusuhan apapun, tetapi kenapa sekarang ini kau berbicara sengawur itu? Bukankah dengan ucapanmu itu kau seakan-akan menuduh bahwa kami ada hubungan dengan orang-orang yang membegal kafilah kalian itu ?"
Suasana perjamuan yang tadinya ramah tamah penuh persahabatan itu kini berubah menjadi tegang. Dua orang ja?go andalan Kim-say Piau-hang yang duduk di sebelah kiri dan kanan Yo Hui jiang itupun telah meletakkan cawan dan sumpit masing-masing, dan tangan mereka mulai bergeser untuk menggeng?gam gagang senjatanya masing-masing. Keduanya siap turun tangan untuk membe?la pemimpin mereka.
Wajah Tong Wi-hong serta jagoan-jagoan Tiong-gi Piau-hang lainnyapun ikut berubah dengan hebat. Tok-gan-sin-eng Ho Po-jian lalu berkata kepa?da Hua Yong-ceng dengan nada menegur secara halus, "Saudara Hua, apakah kau sudah memeriksa baik-baik? Harap hati-hati dalam mengemukakan pendapat."
Hua Yong-ceng sudah menduga bahwa ucapannya tidak bakal mudah dipercaya begitu saja. Sambil menarik napas, ia memberi hormat berkeliling kepada semua orang, serta berkata, "Apa yang kuucapkan tadi adalah kenyataan yang telah kulihat dengan mata kepalaku sendiri. Di hadapan Yo dan Tong Cong-piau-thau yang berkedudukan terhormat ini mana berani aku bicara sembarangan saja? Kalian boleh melihatnya di halaman samping sana, jika ternyata kata-kataku tadi tidak terbukti, ku?serahkan leherku ini untuk kalian go?rok !"
Para tokoh Tiong-gi Piau-hang sa?ling bertukar pandangan mendengar ja?waban Hua Yong-ceng yang begitu me?yakinkan itu. Mereka semua sudah cu?kup mengenal akan watak Hua Yong-ceng yang jujur itu, tidak mungkin ia bica?ra seenaknya tanpa dasar bukti yang kuat. Dan jika yang dikatakan itu be?nar, maka kecurigaan memang pantas di?alamatkan kepada orang-orang Kim-say Piau-hang. Meskipun kecurigaan itu be?lum sampai terucapkan lewat mulut, na?mun pandangan mata para tokoh Tiong-gi Piau-hang itu sudah menun?jukkan kecurigaannya.
Yo Hui-jiang memang seorang yang penaik darah, maka melihat sikap orang-orang Tiong-gi Piau-hang itu, se?ketika meluaplah marahnya. Katanya, "Kami seluruh orang Kim-say Piau-hang selalu berada di jalan yang benar, berani berbuat berani bertanggung-ja?wab! Tetapi jika ada orang yang hendak memaksa kami untuk bertanggung-jawab atas sesuatu yang tidak kami perbuat, hemm, apa boleh buat, kami bukan orang-orang yang dapat seenaknya difitnah begitu saja!"
Seorang jago andalan Yo Hui-jiang yang berkumis lebat, segera berka?ta sambil tertawa mengejek, "Kalian orang-orang Tiong-gi Piau-hang benar benar orang-orang yang tidak tahu malu. Kalian sendiri yang tidak becus mengawal barang, sehingga sampai kena dirampas orang di tengah jalan, kena?pa lalu dengan seenaknya menjadikan kami sebagai kambing hitam?"
Sebenarnya Tong Wi-hong dan orang orang Tiong-gi Piau-hang lainnya sudah bertekad untuk menyabarkan diri demi menyelidiki urusan itu sampai seterang-terangnya, namun begitu mendengar ucapan pembantu Kim-say Piau-hang yang berkumis lebat itu bagaikan membuat udara dalam ruangan itu menjadi terbakar panas. Memang di antara Kim say dan Tiong-gi Piau-hang tidak ada permusuhan apapun, namun sebenarnya masing-masing punya perasaan bersaingan juga, gara-gara adanya ucapan dunia persilatan yang mengatakan "Tiong-gi di Utara, Kim-say di Selatan" itu. Ucapan itu membuat orang-orang dari kedua Piau-hang itu punya kebanggaan tersendiri, dan pada gilirannya ke?banggaan masing-masing itu berubah menjadi rasa persaingan. Persaingan secara terbuka memang belum terjadi namun persaingan diam-diam sudah tertanam dalam hati masing-masing. Kini si orang berkumis lebat itu telah mengeluarkan suatu ucapan yang kebetulan merupakan titik paling peka dalam hubungan antara kedua Piau-hang itu, maka tidak mengherankan kalau para jago Tiong-gi Piau-hang itu sampai berubah hebat wajahnya. Bahkan Tong Wi-lian serta Ting Bun yang tidak ter?masuk orang Tiong-gi Piau-hang ikut tersinggung.
Pek-lui-to The Toan-yong, si golok halilintar, tertawa dingin dan berkata, "Memangnya kalian merasa le?bih becus daripada kami? Biarpun kami harus kehilangan beberapa orang rekan yang gugur dalam menghadapi Hwe-liong-pang, namun mereka semuanya gugur secara ksatria. Jika kalian yang meng?hadapi mereka, hemm, he-he-he...."
Meskipun kalimat itu tidak dilanjutkan, tapi siapapun akan tahu bahwa nadanya mengejek. Kini ucapan-u?capan yang tajam sudah saling dilontar?kan secara terbuka, wajah-wajah manusia-manusia bertampang keras itupun sudah jadi merah padam, tangan-tangan merekapun sudah terkepal kencang dan siap untuk menjotos hidung lawannya.
Sementara itu Hua Yong-ceng, o?rang yang merasa paling bertanggung-jawab dalam peristiwa dibegalnya ba?rang-barang itu, mulai berbicara pula.
Meskipun nadanya seakan-akan melerai, namun terkandung pula tuduhan halus ke arah Kim-say piau-hang, "Yo Cong piau-thau, kuharap kau dapat memaklu?mi keadaan kami. Urusan hilangnya har?ta kawalan itu adalah urusan kecil, meskipun cukup berat bagi kami, te?tapi bagaimana dengan urusan belasan orang piau-su kami yang tewas itu? Ini adalah urusan nyawa, sekaligus menyangkut pula kehormatan Tiong-gi Piau hang ! Ini bukan urusan kecil !"
Sahut jagoan Kim-say Piau-hang yang berkumis lebat itu, "Kalau bukan urusan kecil lalu kalian mau apa? Kami...."
Ucapan itu tidak terselesaikan sebab Yo Hui-jiang telah menekan pundak orang itu dan menyuruhnya diam. Lalu Yo Hui-jiang sendiri yang berka?ta dengan menahan diri, "Kamipun ti?dak menganggap remeh urusan belasan orang piau-su kalian itu, meskipun hal itu tidak ada sangkut-pautnya dengan kami, bahkan tentang tewasnya mereka itu baru kali ini kami mendengarnya. Tetapi penjelasan kamipun tidak pernah kalian terima dengan kepala dingin, tapi dengan curiga yang berlebih-lebihan. Bukankah sudah kuka?takan bahwa aku hanya menjalankan pe?sanan dari seorang pemuda yang tidak mau menyebutkan namanya? Dia membayar tiga kali lipat dari tarip biasanya, namun kami tidak diperkenankan untuk memeriksa isi peti-peti itu. Bukan kebiasaan perusahaan kami untuk menyeli?diki rahasia para langganan kami. Ka?mi hanya tahu mengawal dan mengantar sampai ke tujuan, sesudah itu habis perkara !"
Waktu itu, Tong Wi-hong yang ju?ga masih muda dan berdarah panas itu, juga sudah mulai terpengaruh oleh suasana yang menghangat itu. Katanya dengan halus tetapi tajam, "Yo Cong-piau-thau, kuharap kita akan bicara dengan lebih tenang dan pikiran lebih jernih. Kita bukan anak-anak kecil la?gi, yang hanya urusan sedikit saja langsung saling cakar dan saling meng?ejek. Aku punya sebuah pikiran, mari kita renungkan bersama-sama."
"Silahkan Tong Cong-piau-thau bi?cara," sahut Yo Hui-jiang dingin.
Tong Wi-hong menarik napas seje?nak untuk menenangkan gelombang pe?rasaannya, lalu katanya lagi, "Yo Cong-piau-thau, urusan ini memang cukup aneh. Selama ini kedudukan dan hubungan antara Kim-say dan Tiong-gi memang dikatakan seimbang, baik dalam hal kekuatan anggauta-anggautanya mau?pun dalam urusan keuangan, pelayanan terhadap langganan dan juga dalam hal pengaruh masing-masing Piau-hang di kalangan rimba hijau. Hendaknya kita tetap menjaga keseimbangan ini, demi hubungan baik, dan tidak perlu kita sampai pikiran untuk saling mengung?guli, apalagi dengan meminjam tangan orang luar untuk memukul satu sama lain. Coba Cong-piau-thau renungkan baik-baik. Mendadak saja hari-hari be?lakangan ini kami mengalami gangguan orang-orang Hwe-liong-pang, kami kehilangan barang-barang kawalan ber?nilai tinggi yang tidak mungkin kami ganti semuanya dan sekaligus kehilang?an beberapa rekan seperjuangan kami yang secara gagah perkasa menjalankan tugasnya sebagai piau-su terhormat. Ini jelas merupakan corengan arang di wajah kami yang tidak terhapus, bah?kan dapat menjungkir-balikkan periuk nasi dari saudara-saudara kami yang berjumlah ratusan orang. Tengah kami tergencet seperti ini, tiba-tiba muncullah Yo Cong-piau-thau dengan baris?an Kim-say Piau-hangnya yang megah, bagaikan malaikat penolong turun dari langit, mengembalikan semua barang yang hilang itu. Tidak bisa tidak, di kemudian hari nama Kim-say Piau-hang akan semakin megah menjulang ke langit, sebaliknya Tiong-gi Piau-hang kami akan kehilangan kepercayaan langganan dan akhirnya gulung tikar. Bu?kankah begitu, Yo Cong-piau-thau?" ta?nya Wi-hong dengan tajamnya.
Hampir meledak rasanya dada Yo Hui-jiang ketika mendengar ucapan Tong Wi-hong semacam itu. Jelaslah bahwa secara halus Tong Wi-hong telah menu?duh bahwa Kim-say Piau-hang telah berkomplotan dengan Hwe-liong-pang untuk menjatuhkan Tiong-gi Piau-hang, kemudian Kim-say Piau-hang akan malang-melintang di dunia pengawalan barang tanpa saingan lagi.
Kumis dan rambut Yo Hui-jiang yang telah berwarna putih bagaikan perak itu nampak menyolok sekali de?ngan warna kulit mukanya yang merah padam bagaikan kepiting direbus itu. Jika ia tidak ingat akan kedudukannya sebagai seorang tokoh yang cukup dise?gani di daerah selatan, ingin rasanya Yo Hui-jiang mengamuk menjungkir?balikkan meja kursi, untuk melampiaskan luapan hatinya.
Dengan bersusah-payah akhirnya dia berusaha menahan diri. Dengan me?narik napas penuh penyesalan dia ber?kata, "Aku menyesal bahwa karena ser?akah uang maka telah menerima saja pe?sanan orang muda tak dikenal itu, se?hingga kesalah-pahamlah yang kudapat?kan sekarang. Tetapi, Tong-piau-thau, akupun menyesalkan pandanganmu yang begitu sempit. Bicara terus terang saja, bukankah dengan ucapanmu itu kau telah menuduh Kim-say Piau-hang kami bekerja-sama dengan Hwe-liong-pang, dan meminjam tangan-tangan kotor orang orang Hwe-liong-pang itu untuk menja?tuhkan kalian sambil mengangkat pamor Kim-say Piau-hang sendiri? Tong Cong-piau-thau, meskipun segala macam tipu-muslihat orang dagang sudah pernah kami jalankan semua, namun tipu mu?slihat selicik dan sekeji itu belum pernah terlintas di benak kami. Kami memang mengejar uang dan pencari keuntungan, namun kamipun masih mampu un?tuk menghormati kesetia-kawanan dan persahabatan antara kaum ksatria!"
Tok-gan-sin-eng Ho Po-jian menya?hut dengan sinis, "Barangkali tipu mu?slihat itu memang tidak terpikir oleh Yo Cong-piau-thau, namun tidak mus?tahil orang-orang Hwe-liong-panglah yang membisikkan tipu itu ke kuping kalian sehingga kalian menjadi sangat tertarik untuk mencobanya. Coba pikir, masuk akalkah kalau Hwe-liong-pang telah bersusah-payah merebut barang-barang itu dari tangan kami, dan bahkan merekapun kehilangan beberapa anak buahnya yang gugur, lalu mendadak mereka mengembalikannya begitu saja ke?pada kami tanpa mengambilnya sedikit-pun? Tentu mereka ada keuntungannya dengan berbuat demikian. Mereka akan kehilangan anak buah beberapa orang, tetapi mereka akan mendapatkan sekutu sebuah perusahaan pengawalan yang pa?ling kaya dan paling kuat di Kang-lam !"
"Orang she Ho, tutup bacotmu!" bentak Yo Hui-jiang.
Namun si Elang Sakti Bermata Tunggal yang sudah terlanjur terbakar hatinya itupun sudah tidak perduli lagi bentakan Yo Hui-jiang dan terus saja menyerocos dengan sengit, "Setiap umat persilatan cukup mengenal bagaimana Hwe-liong-pang memikat orang untuk memperluas pengaruhnya. Tiong-gi Piau-hang kamipun pernah dibujuknya untuk bergabung, namun mendiang Cian Lo-piau thau lebih suka pecah sebagai ratna daripada masuk ke dalam rangkulan iblis-iblis itu. Kalau mereka mencoba merangkul Tiong-gi Piau-hang, tidak mustahil merekapun akan mencoba merang?kul Kim-say Piau-hang kalian, dan ter?nyata kali ini orang-orang Hwe-liong pang itu berhasil! Demi nafsu ingin menguasai dunia pengawalan, kalian te?lah tidak segan-segan menohok kawan seiring, menggunting dalam lipatan, kalian menjegal Tiong-gi Piau-hang kami dengan cara yang sangat keji dan hina!"
Terdengar suara gemerincing nya?ring di ruangan itu, ketika berma?cam-macam senjata mulai ditarik keluar dari sarungnya. The Toan-yang yang terkenal dengan julukan Golok Halilin?tar itu telah siap dengan goloknya. Tok-gan-sin-heng Ho Po-jian juga telah siap dengan sebuah senjata berbentuk cakar elang dari besi dan bertangkai panjang, sebuah jenis senjata langka yang digunakan untuk merampas senja?ta lawan atau untuk menyerang per?sendian. Begitu pula si Golok Bergigi Yap Lam-heng telah siap dengan senjatanya, Tiong-san-siang-hou So Hou dan So Pa menyiapkan lembing-lembing pendek mereka, Ting Bun dengan goloknya, sedangkan Wi-lian yang biasa ber?tangan kosong itupun telah siap tempur. Thi-kun-lo-sat Hua Yong-ceng juga tidak bersenjata apa-apa karena lebih mengandalkan kepada sepasang tinju besinya.
Di pihak Kim-say Piau-hang, Si Singa Emas Ruyung Baja Yo Hui-jiang juga sudah siap dengan ruyung baja yang telah mengangkat namanya itu. Sesuai dengan bentuk tubuhnya yang tinggi besar, maka Yo Hui-jiang benar-benar nampak perkasa dengan senjatanya itu. Pembantunya yang berkumis lebat itu telah mencabut pedang yang tadinya tersarung melintang di punggungnya, sedangkan pembantunya yang satu lagi bersenjatakan sebuah gada segi delapan yang nampak berat. Agaknya orang ini adalah seorang jagoan gun kang (tenaga luar).
Tong Wi-hong masih belum menca?but pedang yang tergendong di punggungnya, namun nampaknya ia tidak ingin mencegah tindakan anak buahnya, bahkan dia berkata kepada Yo Hui-jiang, "Yo Cong-piau-thau, kami sama sekali tidak bermaksud menghina dan rendahkanmu. Tetapi kami mohon dengan hormat, sudilah kiranya Cong-piau-thau tinggal di tempat ini sampai semua persoalan dapat kami selidiki sehingga jelas. Jika ternyata kami yang bersalah, kami tidak segan-segan min?ta maaf dan permintaan maaf itu di?siarkan secara meluas."
Yo Hui-jiang memegang ruyung ba?janya dengan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya membelai ruyung itu seperti seorang yang membelai keka?sihnya. Katanya, "Aku sebenarnya ber?sedia saja, namun barangkali sahabat?ku inilah yang tidak mengijinkan."
Tong Wi-hong adalah seorang anak muda yang berdarah panas pula, apala?gi dalam hatinya dia sudah yakin bahwa sesungguhnya Kim-say Piau-hang berkom?plot dengan Hwe-liong-pang, maka jawa?ban Yo Hui-jiang yang bernada menan?tang itu telah menghabiskan kesabarannya. Sahut Wi-hong dingin, "Baik?lah kalau hal itu yang Yo Cong-piau-thau kehendaki, terpaksa kami akan berlaku kurang hormat kepada Cong-piau-thau."
Tetapi pada saat kedua belah pihak sudah bersitegang leher dan siap untuk adu senjata itu, tiba-tiba entah dari mana terdengarlah suara bentakan yang menggetarkan hati, "se?muanya harap menahan senjatanya!"
Belum lagi gaung suaranya lenyap dari pendengarannya, orang yang ber?suara sudah memunculkan dirinya. Dia berjubah warna ungu dan memakai se?buah topeng muka tengkorak yang me?nyeramkan. Dia bukan lain adalah Thian-liong Hiang-cu (Hulubalang Naga Langit), yang merupakan tokoh urutan ke tiga dalam pucuk pimpinan Hwe-liong pang!
Semua orang yang berada dalam ru?angan perjamuan itu umumnya belum per?nah bertemu dengan Thian Liong Hiang-cu, kecuali Wi-hong, Wi-lian dan Cian-Ping. Maka penampilan Thian-liong Hiang-cu yang muncul seperti setan gentayangan tanpa diketahui kapan datangnya itu telah membuat bergidik baik orang-orang Tiong-gi Piau-hang maupun Kim-say Piau-hang.
"Siapa kau?" bentak Yo Hui-jiang.
Thian-liong hiang-cu belum me?nyahut, Tong Wi-honglah yang telah me?nyahut lebih dahulu, "Dia adalah Thian liong Hiang-cu dari Hwe-liong-pang. Yo Cong-piau-thau, kau bertemu dengan se?kutumu sendiri, kukira kau tidak per?lu bersandiwara untuk mengelabuhi kami."
Yo Hui-jiang memelototkan mata?nya sehingga seakan-akan biji matanya hampir melompat keluar. Tiba-tiba ia memutar tubuh menghadap ke arah Thian-liong Hiang-cu, lalu bentaknya dengan sengit, "Kau bangsat Hwe-liong-pang, gara-gara ulah kalianlah kami mengalami fitnah sekeji ini. Kini rasakanlah ruyungku !"
Meskipun umurnya sudah cukup tua namun Yo Hui-jiang tidak pernah mengabaikan latihan ilmu silatnya, bahkan permainan ruyungnya bertambah matang. Jurus yang digunakan untuk menggempur Thian-liong Hiang-cu itu adalah jurus Cun-lui-ce-tong (Guntur Menggelegar Di Musim Semi) yang dilakukan sepenuh tenaganya. Seketika itu juga ruyung Yo Hui-jiang bagaikan terpecah menjadi puluhan batang ruyung yang secara serempak menggulung ke tubuh Thian-liong-Hiang-cu. Deru angin serangannyapun sayup-sayup mirip suara guruh di langit. Jurus Cun-lui-ce-tong ini memang sesuai dengan namanya; baik gayanya maupun daya gempurnya.
Diam-diam Wi-hong dan orang-orang Tiong-gi Piau-hang lainnyapun ikut kagum, melihat tandang singa tua itu. Namun sedetik kemudian kekaguman mereka berubah menjadi rasa heran, dan akhirnya berubah lagi menjadi rasa kejut luar biasa.
Ketika ruyung baja Kim-say-kong-pian hampir mengenai tubuh Thian-liong Hiang-cu, tiba-tiba saja jurus yang begitu dahsyat itu berubah menjadi "Jinak" hanya karena kebasan lengan jubah Thian-liong Hiang-cu itu. Bah?kan nampak Yo Hui-jiang terhuyung mun?dur beberapa langkah dengan muka pucat karena terkejutnya.
"Iblis Hwe-liong-pang, sambut ju?rusku yang kedua !" bentak Yo Hui-jiang lagi. Lalu tanpa kenal jera ia menerjang lagi ke depan, kali ini ia menggunakan jurus dahsyat pula, yaitu Tok-pek-hoa-san (Lengan Tunggal Membe?lah Hoa-san). Ruyung baja yang telah membuat namanya terkenal itu kini menggempur Thian-liong Pang-cu ba?gaikan gugur gunung dahsyatnya.
Diluar dugaan siapapun, tiba-ti?ba Thian-liong Hiang-cu mengulurkan tangannya untuk menyambut hantaman ruyung itu dan mencengkeramnya. Seca?ra perhitungan orang waras, tangan Thian-liong Hiang-cu yang hanya ter?diri dari darah dan daging itu tidak akan mampu menahan gempuran ruyung ba?ja itu, pastilah telapak tangannya akan remuk jika berani melakukannya. Namun kenyataan yang berlangsung di depan mata memang sangat menakjubkan. Tenaga hantaman Kim-say-kong-pian yang begitu dahsyat itu bagaikan sebutir batu besar yang dicemplungkan ke kubangan lumpur pekat, amblas begitu saja. Dan hanya dengan sekali sen?takan tangan, tahu-tahu ruyung baja itu sudah berpindah ke tangan Thian liong Hiang-cu.
Terdengar Thian-liong Hiang-cu tertawa mengejek, lalu dengan kedua belah tangannya dia mematah-matahkan ruyung baja seberat enampuluh empat ka?ti itu dengan enaknya, seperti seorang yang mematah-matahkan kayu kering sa?ja! Ruyung itu patah menjadi tiga po?tong!
Tidak peduli dari pihak Tiong-gi Piau-hang maupun Kim-say Piau-hang, semuanya melongo melihat pameran kekuatan sehebat itu.
Setelah puas memamerkan keting?gian ilmunya, Thian-liong Hiang-cu lalu menjura memberi hormat kepada Tong Wi-hong dan berkata, "Selamat bertemu kembali, Tong Cong-piau-thau, inilah pertemuan kita yang kedua kali sejak di padang perdu Tay-beng itu. Maafkan aku yang datang dengan cara yang kurang sopan itu. Sesung?guhnya kesalah-pahaman yang terjadi di ruang ini adalah di luar kehendakku. Aku tidak menduga kalau pengembalian kiriman itu telah membuat kedua pihak menjadi begitu panas, sehingga hampir saja baku hantam."
"Bukankah memang begitu yang dikehendaki oleh Hwe-liong-pang dan sekutu-sekutunya?" sahut Wi-hong sinis. Diam-diam Wi-hong mengukur bahwa kekuatan pihak Tiong-gi Piau hang dengan Kim-say Piau-hang tidak berselisih jauh. Pikir Wi-hong, "Mes?kipun pihak Kim-say Piau-hang akan dibantu oleh Thian-liong Hiang-cu, na?mun Wi-hong yakin bahwa hadirnya Rahib Hong-koan di tempat itu tentu akan ba?nyak bermanfaat juga."
Thian-liong Hiang-cu menghadapi sikap dingin Tong Wi-hong itu dengan tenang-tenang saja. Kata tokoh Hwe-liong-pang itu, "Yang membegal ba?rang-barang kawalan kalian itu, tidak kami pungkiri, memang benar adalah anak buah kami yang termasuk dalam kelompok kelompok Bendera Hijau, Merah, Hitam dan Coklat. Namun perbuatan menyele?weng mereka itu sama sekali diluar pengetahuan kami sebagai pimpinan. Dan begitu kami mengetahui perbuatan mereka, kami telah langsung menghukum orang-orang yang berbuat lancang itu. Kamipun berusaha mengembalikan ba?rang-barang yang dirampas itu, dengan melalui Kim-say Piau-hang, tak ter?pikir oleh kami akan menimbulkan salah paham. Sekali lagi aku minta ma?af kepada kedua Cong-piau-thau !"
Sikap demikian itu justru diluar dugaan baik orang-orang Tiong-gi Piau-hang maupun Kim-say Piau-hang. Ta?dinya mereka sudah bersiap sedia untuk bertarung mati-matian melawan Thian-liong Hiang-cu yang perkasa itu. Namun sikap Thian-liong Hiang-cu ternyata begitu hormat dan tahu aturan, hal mana justru membuat Wi-hong jadi serba salah dan bingung harus ber?sikap bagaimana?
Dalam kebingungannya itu, untunglah Wi-lian ikut pula bicara, "Thian liong Hiang-cu, ucapanmu itu memang sangat manis kedengarannya, kau pikir segala persoalan yang ruwet ini hanya akan selesai dengan sepatah kata minta maaf saja? Bagaimana dengan beberapa orang piau-su Tiong-gi Piau hang kami yang telah kehilangan nyawanya di ujung senjata orang-orangmu?"
Thian-liong Hiang-cu menggeleng gelengkan kepala dan menarik napas panjang, nampaknya dia sangat menye?sal. Meskipun wajahnya tidak nampak karena tertutup sebuah topeng tengkorak, namun sinar matanya sama sekali tidak menyembunyikan rasa penyesalannya. Katanya, "sekali lagi kuakui itu memang kesalahan kami. Kami kurang ketat dalam mengawasi tingkah laku anak buah kami, sehingga mereka bertindak liar dan melakukan perbuatan-perbuatan yang merugikan kesejahteraan dunia persilatan. Namun kami berjanji akan mengadakan pembersihan ke dalam tubuh perkumpulan kami sendiri, meskipun untuk itu barang kali kami akan kehilangan anggauta cukup banyak."
"Aku mengusulkan sebuah jalan keluar kepada Hiang-cu," potong Wi-lian tiba-tiba.
"Katakanlah, nona."
Sahut Wi-lian, "Serahkanlah kepada kami anggauta-anggauta Hwe-liong-pang yang telah membuat kerusuhan-kerusuhan itu, dan kami akan mengadili mereka dalam pertemuan besar kaum ksatria yang akan berlangsung di Siong-san, Ho-lam, pada bulan mendatang. Setelah itu bubarkan Hwe-liong pang untuk meredakan keresahan umat persilatan. Aku yakin bahwa kaum ksatria yang berkumpul di Siong-san itu tentu tidak akan mengambil sikap yang sempit, mereka pasti akan bisa memaafkan bekas-bekas anggauta Hwe-liong-pang yang tidak pernah berbuat kejahatan apapun."
Terdengar suara tertawa dingin Thian-liong Hiang-cu dari balik topeng tengkoraknya yang seram itu, "Hemm, usulmu itu mustahil kami jalan?kan, nona Tong. Kau menganggap bahwa pimpinan Hwe-liong-pang sudah tidak punya wibawa lagi, sehingga untuk menghukum anak buahnya sendiripun ha?rus diserahkan kepada orang lain? apa?lagi usulmu untuk membubarkan Hwe-li?ong-pang, lebih-lebih tidak dapat kami terima, sebab hal itu sama saja dengan membubarkan cita-cita luhur yang sedang diperjuangkan oleh Pang-cu (ketua) kami!"
"Jadi tegasnya Hwe-liong-pang akan tetap dalam keadaan seperti seka?rang ini? Tetap menjadi kekuatan dan tempat berkumpulnya pengacau-pengacau dunia persilatan?" tanya Wi-lian sengit.
"Hal itu tidak akan terjadi lagi," sahut Thian-liong Hiang-cu dengan mantap tanpa ragu-ragu. "Kami tidak akan ragu-ragu lagi menghukum mati atau mencacadkan badan dari setiap anggauta Hwe-liong-pang yang menimbulkan kekacauan. Nona, aku menjamin hal ini. Aku adalah pimpinan nomor tiga di Hwe-liong-pang yang sangat berkepentingan dengan tercapainya tujuan perjuangan kami, karena itu aku lebih rela Hwe-liong-pang kehilangan sebagian anggautanya daripada kehilangan tujuan perjuangannya !"
Ucapan yang dikeluarkan dengan suara mantap dan lantang itu seketika membuat setiap pendengarnya jadi tertegun dan mau tidak mau harus mempercayainya. Tong Wi-honglah yang pertama-tama menanggapi ucapan itu sambil memberi hormat kepada Thian liong Hiang-cu, "Semoga Hiang-cu benar-benar memenuhi janji Hiang-cu itu sehingga dunia persilatan akan terhindar dari malapetaka yang mengerikan."
Lalu Kim-say-kong-pian Yo Hui-jiang menyambung, "Tetapi masih ada satu soal yang harus dijelaskan oleh Thian-liong Hiang-cu. Yaitu, kenapa Hwe-liong-pang mengirimkan barang-barang Tiong-gi Piau-hang yang hilang itu dengan perantaraan perusahaan kami? Sehingga hampir saja terjadi kesalah-pahaman berdarah antara kami dan Tiong-gi Piau-hang? Harap Hiang-cu menjelaskannya."
Jawab Thian-liong Hiang-cu, "Aku merasa bahwa pamor Hwe-liong-pang agak surut dengan kelakuan anak buah kami yang mirip perampok-perampok rakus itu. Karena kuatir akan menimbulkan kesalah-pahaman Hwe-liong-pang dan Tiong-gi Piau-hang semakin mendalam, maka kami terpaksa meminjam tangan Yo Cong-piau-thau untuk mengembalikan barang-barang itu kepada Tiong-gi Piau-hang, dengan harapan bahwa hubungan baik antara kedua Piau-hang kalian akan mencegah jangan sampai timbulnya hal-hal yang tidak diingini, ternyata perhitungan kami inipun meleset juga. Untuk itu kamipun minta maaf kepada Yo Cong-piau-thau, bahwa tindakanku ini ternyata sempat menimbulkan kerepotan bagi Cong-piau-thau."
Memangnya antara Hwe-liong-pang dengan Kim-say Piau-hang belum pernah bentrok dalam urusan apapun, maka setelah Thian-liong Hiang-cu mohon maaf dengan cara yang begitu sungkan, Yo Hui-jiangpun membalasnya, "Kesalah-pahaman antara orang-orang yang berkecimpung di dunia persilatan memang sering terjadi, tetapi untunglah bahwa kali inipun belum sempat menimbulkan korban di kedua pihak."
"Itulah sebabnya aku buru-buru mencegahnya," kata Thian-liong Pang-cu, "Kalau aku bermaksud buruk, maka akan kubiarkan saja kalian saling membunuh tak terkendali, bahkan akan ku anggap saja bentroknya kalian justru akan menguntungkan Hwe-liong-pang kami. Tetapi kami tidak ingin hal itu terjadi. Nama Hwe-liong-pang sudah cukup dino?dai oleh pokal beberapa anggauta kami dan nama itu tidak boleh lebih ternoda lagi."
Sikap yang sungguh-sungguh dan tulus dari Thian-liong Hiang-cu itu akhirnya termakan juga kepada orang-orang Tiong-gi Piau-hang yang tadinya bersitegang leher menuduh Kim-say Piau-hang bersekutu dengan Hwe-liong-pang itu. Maka Tong Wi-hong pun segera memberi hormat kepada Yo Hui-jiang dan meminta maaf, "Yo Cong-piau-thau, maafkan sikap sembrono dari pihak kami tadi, yang menuduh pihak Kim-say Piau-hang dengan tuduhan yang bukan-bukan. Kini silahkan Cong-piau-thau melanjutkan perjamuan ini sebagai tanda permintaan maaf kami."
Sebenarnya Wi-hong juga ingin mempersilahkan Thian-liong Hiang-cu untuk ikut serta dalam perjamuan, karena timbul kesan baiknya kepada tokoh Hwe-liong-pang itu, namun akhirnya Tong Wi-hong memutuskan untuk tidak mengundangnya. Betapapun juga Tong Wi-hong masih ingat bahwa Cian Sin-wi, dewa penolongnya yang dihormati dan juga calon mertuanya itu, telah binasa di tangan orang-orang Hwe-liong-pang. Begitu pula dengan belasan orang piau-su cabang Kiang-leng. Betapapun kesan baiknya kepada Thian-liong Hiang-cu, namun suasana permu?suhan dengan Hwe-liong-pang belum terhapus sama sekali.
Thian-liong Hiang-cu yang cukup tajam membaca sikap Tong Wi-hong itu?pun agaknya cukup tahu diri. Maka ia segera memberi hormat bergantian kepada Yo Hui-jiang dan Tong Wi-hong lalu berkata, "Aku bersyukur bahwa kalian sudah berdamai kembali, sehingga Hwe-liong-pang tidak menanggung beban yang lebih berat lagi. Sekarang aku mohon pamit."
Begitu kata terakhir selesai diucapkan, tubuhnya telah "berhembus" bagaikan angin, dan dalam sekejap saja sudah tidak terlihat lagi bayangan tubuhnya.
"Gin-kang (Ilmu Meringankan Tubuh) yang luar biasa," desis Tok-gan sin-eng Ho Po-jian. Dia sendiri memakai julukan "sin-eng" (Elang Sakti), menandakan bahwa dia memiliki ilmu meringankan tubuh yang cukup dapat dibuat kebanggaan. Namun setelah melihat cepatnya gerakan Thian-liong Hiang-cu tadi, Ho Po-jian jadi merasa bahwa tingkat ilmunya yang sekarang ini ba?gaikan mainan anak kecil saja di hadapan Thian-liong Hiang-cu itu.
Yo Hui-jiang juga ikut memuji, "Bukan cuma gerakannya yang cepat, bahkan tenaganyapun luar biasa. Ia mematah-matahkan ruyung bajaku seringan mematah-matahkan lidi saja."
Tiba-tiba dari ruangan sebelah dalam terdengar suara yang menimbrung, "Kalian keliru. Meskipun siluman itu tampak hebat, namun yang digunakannya bukanlah ilmu sejati dari aliran lu?rus, melainkan ilmu sesat. Jika tadi kalian perhatikan lebih seksama, kalian akan melihat bahwa semua ge?rakannya tentu diselubungi dengan sua?sana gaib yang mencekam. Coba saja kalian perhatikan sinar matanya yang mengandung kekuatan tak terlawan itu."
Menyusul itu, masuklah Rahib Hong koan ke dalam ruangan itu. Sikapnya yang santai itu sudah tak terlihat lagi, digantikan dengan sikapnya yang bersungguh-sungguh.
Suasana tegang yang hampir mengakibatkan berbaku-hantamnya orang-orang Tiong-gi Piau-hang dengan Kim-say Piau-hang, kini telah mencair. Hua Yong-ceng telah memerintahkan orang-orangnya agar meja perjamuan di?pindahkan ke ruangan depan, sebab keadaan ruang tengah sudah agak berantakan akibat keributan tadi. Bahkan kini perjamuan bertambah ramai karena hadirnya Siau-lim-hong-ceng Hong koan Hweshio di tengah-tengah mereka. Yo Hui-jiang sangat mengagumi kebesaran nama rahib yang termasuk golongan "Sepuluh tokoh sakti" itu, maka pemim?pin Kim-say Piau-hang itu memanggil rahib Hong-koan dengan panggilan "lo cian-pwe" (angkatan tua yang terhormat), meskipun usia Yo Hui-jiang sendiri adalah sepuluh tahun lebih tua dari Hong-koan Hweshio.
Begitu perjamuan berjalan lancar kembali, Tong Wi-hong lalu mengajukan pertanyaan kepada Rahib Hong-koan, "Pek-hu (uwa), tadi kau mengatakan bahwa yang digunakan Thian-liong Hiang-cu itu bukan ilmu sejati melain?kan ilmu kaum sesat, dapatkah pek-hu menerangkan hal ini?"
Memangnya semua orang ingin tahu kelanjutan kata-kata Hong-koan Hwesio tadi, maka kini semua mata di sekeliling meja perjamuan telah dituju?kan kepada rahib dekil itu. Jawaban yang bakal diberikan oleh rahib yang gemar mengembara itu pasti akan cukup menarik, dan merupakan tambahan pengetahuan yang berharga buat mereka.
Rahib yang biasanya senang ber?gurau itu, kini bersikap begitu sung?guh-sungguh, bahkan kadang-kadang ia memejamkan matanya sekian lama, seolah olah sedang berusaha mengingat-ingat suatu kisah yang lama terpendam dalam ingatannya. Akhirnya ia berkata, "Aku tidak dapat menebak secara pasti dari manakah asal-usul perguruan tokoh-to?koh Hwe-liong-pang itu. Aku hanya akan menceritakan suatu kisah, yang barang?kali akan dapat menjadi bahan pertimb?angan kalian untuk menebak asal-usul tokoh-tokoh Hwe-liong-pang itu. Be?gini kisahnya. Aku pernah mengembara sampai ke pegunungan Himalaya yang berbatasan dengan negeri Thian-tiok (India), dan di situ aku bertemu de?ngan seorang fakir sakti dari India. Kami bertempur sampai ribuan jurus, tanpa ada yang kalah dan menang, bah?kan kemudian kami saling mengagumi dan kemudian menjadi sahabat karib dan bahkan kami tukar menukar tanda mata."
-o0^DwKz-Hendra^0o- Jilid 22 Wi-hong dan Wi-lian mendengar kisah itu dengan kurang tertarik, se?bab pernah mendengarnya dari penutur?an mendiang ayah mereka. Namun karena orang-orang lainnya belum pernah mendengar kisah itu, maka jadi kedengaran menarik sekali.
Si rahib yang gemar mengembara itu melanjutkan ceritanya, "Dalam tu?kar menukar itu, aku menerima tongkat bambu sakti yang sekarang aku pakai sebagai senjata itu, sedangkan fakir India itu aku hadiahi dengan gelang bajaku yang telah bertahun-tahun tak terpisah dari tubuhku. Nah, kami ber?dua berkumpul selama beberapa hari dan bercakap-cakap tentang aneka ra?gam ilmu kesaktian di negeri ma?sing-masing. Kita sebagai orang-orang yang berjiwa lapang harus mengakui bahwa ilmu silat yang berkembang pesat di Tiong-kok ini sebenarnya tidak berasal dari negeri kita sendiri, me?lainkan berasal dari Thian-tiok. Cikal bakal yang mendirikan Siau-lim-pay, yaitu Tat-mo Cou-su, juga adalah seo?rang yang berkembangsaan India. Dengan kata lain, sebenarnya India adalah sumber ilmu silat. Namun sahabatku si fakir India itu menyayangkan bahwa il?mu silat kurang berkembang di negeri asalnya sendiri, sebaliknya yang ber?kembang di India adalah ilmu yang aneh-aneh seperti ilmu sihir, ilmu ra?cun, ilmu menaklukkan binatang-bina?tang buas dan berbisa dan sebagainya. Dari India, ilmu-ilmu yang mengerikan ini merembes ke negeri-negeri sekitar?nya, antara lain ke Persia dan juga ke negeri kita ini."
Karena menariknya kisah yang di?bawakan oleh Rahib Hong-koan, maka tak terasa semua orang menghentikan makan minumnya dan memusatkan perhatiannya ke arah si juru cerita.
Rahib itu bertutur pula, "Tidak dapat disangkal, bahwa ilmu sihir mau?pun ilmu racun dari india itu banyak dipelajari olen orang-orang bangsa kita pula, terutama dari daerah Jing-hay dan Kam-siok yang merupakan jalan lalu lintasnya orang-orang India dan Persia. Bahkan tidak sedikit orang bangsa Han kita yang mencapai tingkatan tinggi dalam ilmu sesat ini. Contohnya, kira-kira seratus tahun yang lalu, dunia persilatan di Tiong goan pernah gempar dengan munculnya tujuh orang bersaudara yang menamakan dirinya Bu-san-jit-kui (Tujuh Setan Dari Gunung Bu-san)."
Hampir setiap wajah yang mend?engar cerita itu menjadi berubah hebat ketika mendengar disebutnya tentang tujuh orang gembong penjahat yang sangat terkenal di masa lalu itu. Mes?kipun kejadian itu sudah berlangsung lama, di jaman kakek atau ayah mereka, namun kabarnya setiap orang masih saja bergidik jika mengingat cerita tentang Bu-san-jit-kui itu.
Sementara itu si rahib melanjut?kan ceritanya, "Ketujuh bersaudara itu semuanya adalah manusia-manusia berotak cerdas, dilengkapi pula dengan kemauan keras, tapi sayang bahwa mere?ka memiliki watak begitu jahat, sea?kan-akan penjelmaan iblis sendiri. De?ngan kecerdasan dan kemauan mereka yang membaja, mereka berhasil mengga?bungkan antara ilmu silat, ilmu racun dan ilmu sihir, sehingga terciptalah sebuah ilmu baru yang sangat menge?rikan, hampir-hampir tanpa tanding?annya lagi di dunia persilatan. Ke tujuh saudara itupun menemukan suatu cara baru untuk mencapai tingkat ilmu yang tinggi, tetapi dalam waktu yang sangat singkat. Mereka juga punya se?batang pedang pusaka yang diberi nama Jit-kui-kiam (Pedang Tujuh Iblis), se?buah pedang yang memiliki pengaruh ga?ib bagi siapapun yang memegangnya. Jika seseorang memegang pedang itu da?lam keadaan terhunus, maka orang itu akan dikuasai oleh napsu membunuh yang berkobar dan menjadi sangat haus darah."
Selama Rahib Hong-koan bercerita, pendengarnya nampak berwajah tegang, seakan-akan Bu-san-jit-kui yang meng?erikan itu benar-benar ada di hadapan mereka. Sampai akhirnya Hong-koan Hwe?shio mengakhiri ceritanya, "Demikian?lah kisah yang pernah kudengar. Sebagai penutup dapatlah dikatakan, bahwa Bu-san-jit-kui akhirnya dapat dibunuh dengan gabungan dua orang tokoh pa?ling sakti di jaman itu, yaitu seorang Tojin dari Bu-tong-pay dan seorang Hweshio dari Siau-lim-pay. Dan Hweshio itu adalah mendiang kakek gu?ruku, Thian-lui Siansu."
"Apakah mereka (Bu-san-jit-kui) itu meninggalkan keturunan atau murid?" tanya The Toan-yong.
Sahut Hong-koan Hweshio sambil menggelengkan kepalanya, "Belum per?nah kudengar hal yang demikian itu. Namun pernah kudengar bahwa mereka me?ninggalkan harta karun yang tak ter?nilai besarnya hasil rampokannya ter?hadap pedagang-pedagang yang lewat di sekitar gunung Bu-san. Mereka juga meninggalkan catatan tentang ilmu sesat mereka yang mengerikan itu, namun aku tidak tahu di mana mereka menyim?pannya. Kuharap saja benda-benda mak?siat itu sudah lenyap ditelan waktu, daripada dunia persilatan terguncang lagi untuk kesekian kali."
Begitu cerita tentang Bu-san-jit-kui itu selesai, merekapun melanjut?kan makan minum mereka. Namun ter?dengar Wi-lian bertanya pula, "Pek-hu, apakah seorang yang mempelajari ilmu sesat itu akan berpengaruh juga kepa?da tabiat aslinya?"
"Sedikit banyak ada juga penga?ruhnya," sahut Rahib Hong-koan. "Te?tapi hal itu tidak mutlak, sebab kete?guhan hati setiap orang itu berbeda-beda. Tidak sedikit orang yang meng?akunya dari golongan ilmu sejati te?tapi ternyata tingkah lakunya justru sangat merugikan masyarakat. Sebalik?nya ada pula tokoh yang mahir dalam berbagai ilmu sihir atau ilmu beracun, namun menggunakan kepandaiannya itu untuk membela si lemah dan menumpas kejahatan."
"Pek-hu, Thian-liong Hiang-cu itu tadi mengatakan bahwa dia akan mengusulkan pembersihan dalam tubuh Hwe-liong-pang sendiri, apakah hal itu kira-kira bisa dipercaya?" tanya Wi-lian pula.
Sahut sang rahib sambil mengang?kat bahu, "Kedengarannya dia memang cukup bersungguh-sungguh. Tapi entah?lah, hati orang siapa tahu."
"Aku percaya kepada kata-katanya," tiba-tiba Yo Hui-jiang berkata dengan nada yang tegas.
Tong Wi-hong memandang sejenak ke arah piau-su tua yang hampir menja?di lawannya itu, lalu ia berkata, "Aku lebih cenderung untuk tidak per?caya mentah-mentah begitu saja setiap ucapannya. Betapapun manis ucapannya, namun dengan mata kepalaku sendiri sudah kulihat betapa jahatnya kelaku?an orang-orang Hwe-liong-pang. Kata-kata yang memikat dari Thian-liong Hiang-cu tadi tentu ada maksud-maksud tersembunyinya. Kudengar pula kabar bahwa dalam waktu dekat ini Hwe-liong-pang akan mengadakan pertemuan besar di suatu tempat di dekat kota Lam-cang, di mana ketua mereka sendiri akan me?mimpin pertemuan. Tujuan pertemuan itu untuk menandingi pertemuan besar kaum ksyatria (Eng-hiong-tay-hwe) yang bakal diadakan di Siong-san, dengan demikian jelaslah bahwa nafsu Hwe-liong-pang untuk menguasai dunia per?silatan tidaklah padam. Kalau salah satu dari kita berhasil menyusup ke dalam pertemuan besar Hwe-liong-pang nanti, maka akan dapat diketahui apakah ucapan Thian-liong Hiang-cu ta?di bersungguh-sungguh atau cuma omong kosong belaka."
Ucapan Wi-hong itu serempak me?mancing semua pandangan mata ke arah dirinya. Sejak peristiwa berdarah di kota Tay-beng, memang nama Tong Wi-hong mulai menanjak menjadi terke?nal, karena keberaniannya dalam menghadapi Hwe-liong-pang. Kini ucapannya yang berapi-api penuh semangat itu te?lah menimbulkan kekaguman; tapi sekaligus juga kekuatiran bagi para pen?dengarnya.
Tok-gan-sin-eng Ho Po-jian me?nanggapi, "Cong-piau-thau, kau adalah pemimpin tertinggi dari seluruh Tiong-gi Piau-hang kita, jika sampai Cong piau-thau mengalami sesuatu, bukankah Tiong-gi Piau-hang kita menjadi seper?ti ular tanpa kepala? Harap Cong-piau-thau menyadari bahwa berusaha menyu?sup ke dalam pertemuan orang-orang Hwe-liong-pang itu sama saja dengan masuk ke sarang macan!"
Perserikatan Naga Api Karya Stevanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Terima kasih atas perhatian dan peringatan paman Ho," sahut Wi-hong. "Tidak memasuki sarang harimau tidak akan mendapatkan anak harimau. Aku sudah bertekad untuk berbuat itu, lagi pula paman Ho tidak usah kuatir se?bab aku akan bertindak dengan hati-ha?ti dan cermat. Harap paman Ho dan paman-paman lainnya ingat, bahwa Cian Lo-piau-thau gugur di tangan orang-o?rang Hwe-liong-pang. Ini berarti bahwa dendam permusuhan kita dengan Hwe-liong-pang tidak dapat dihapuskan be?gitu saja, ibaratnya setinggi gunung dan sedalam lautan."
Teringat akan gugurnya ayahnya, seketika itu mata Cian Ping menjadi berkaca-kaca, dengan suara yang agak bergetar dia berkata, "Dan jangan lu?pa pula bahwa Tiong-gi Piau-hang masih punya seorang anggauta durhaka yang bernama Song Kim yang belum mene?rima hukumannya. Si durhaka itu seka?rang bersembunyi di tengah-tengah orang Hwe-liong-pang, tetapi dia tetap ha?rus kita tangkap dan menerima hukuman untuk pengkhianatannya itu!"
Ucapan-ucapan Wi-hong dan Cian Ping itu disambung pula oleh Tong Wi-lian dengan tidak kalah bersema?ngatnya, "Selain itu, kitapun perlu menunjukkan kepada dunia, bahwa bukan hanya orang Hwe-liong-pang yang ber?ani menerjang Tiong-gi Piau-hang, na?mun orang Tiong-gi Piau-hang juga berani menerjang Hwe-liong-pang !"
"Aku juga ikut !" kata Ting Bun.
Melihat ke empat orang muda itu nampaknya sudah begitu besar tekadnya dan tidak bisa dicegah lagi, diam-di?am Yo Hui-jiang mengagumi tapi juga menyesali sikap terlalu gegabah dari orang-orang muda itu. Kim-say-kong-pian ini menggerutu dalam hatinya, "Nam?paknya memang tepat pepatah yang menga?takan bahwa anak kerbau tidak takut kepada harimau. Tetapi aku sebagai or?ang luar tentu saja tidak bisa men?campuri urusan mereka, apalagi ini adalah urusan dendam dan sakit hati."
Dalam pada itu terdengarlah Si Golok Halilintar The Toan-yong berta?nya menegaskan, "Jadi Cong-piau-thau berempat sudah bertekad-bulat hendak menyusup masuk ke dalam pertemuan Hwe-liong-pang itu?"
"Ya, tekadku sudah pasti."
"Begitu pula tekad kami," sambung Wi-lian, Cian-ping dan Ting Bun seca?ra serempak.
"Keselamatan Cong-piau-thau sa?ngat penting. Karena itu biarlah aku menyumbangkan tenaga tuaku untuk mene?mani Cong-piau-thau," kata The Toan-yong mantap.
Maka berturut-turut pula Tok-gan-sin-eng Ho Po-jian, Kui-gi-to Yap Lam-heng dan Tiong-san-siang-hou So Hou dan So Pa, juga Thi-kun-lo-sat Hua Yong-ceng menyatakan siap-sedia menga?wal Cong-piau-thau mereka untuk menyu?sup ke pertemuan Hwe-liong-pang itu.
Cepat Tong Wi-hong berdiri dan memberi hormat ke sekelilingnya sam?bil berkata, "Terima kasih akan kese?diaan saudara-saudara dan paman-paman sekalian untuk melindungi keselamatan kami. Namun kelancaran Tiong-gi Piau hang di semua cabang kitapun merupakan urusan yang tidak kalah penting?nya. Jika semua berangkat mengikuti aku, tentu urusan cabang-cabang akan terbengkalai, karena itu, aku hanya akan memilih dua orang di antara kalian untuk mengikuti aku."
Suasana menjadi sunyi seketika, seruanya menunggu keputusan sang pemimpin. Sekali lagi Yo Hui-jiang harus kagum melihat bahwa Tong Wi-hong yang masih begitu muda ternyata telah memiliki kewibawaan begitu besar, dan disegani para bawahannya, padahal pa?ra bawahannya itu merupakan jago-jago pilihan pula.
Kesunyian itu kemudian dipecah?kan oleh suara Wi-hong, "Aku memilih saudara So Hou dan So Pa untuk menyer?tai kami. Paman-paman lainnya harap tetap menjalankan tugasnya di cabang?nya masing-masing."
So Hou dan So Pa serempak ber?diri dan memberi hormat kepada Wi-hong sambil mengucap, "Terima kasih atas kehormatan yang diberikan oleh Cong-piau-thau."
Kiranya Tong Wi-hong punya per?timbangan tersendiri dalam memilih ke?dua saudara So yang bergelar Tiong-san siang-hou itu. Karena Wi-hong, Wi-lian, Ting-Bun dan Cian Ping merupakan orang orang muda, maka kurang leluasa rasa?nya jika melakukan perjalanan bersama dengan orang-orang tua yang jalan pi?kirannya tentu berlainan. Karena itu Wi-hong sengaja memilih Tiong-san siang-hou yang masih muda dan sebaya dengannya itu sebagai teman perjalanannya. Selain itu, dalam hal ilmu si?lat maka tingkatan kedua saudara So itu cukup dapat diandalkan, sedikitpun tidak ada di bawah Song Kim atau Ting Bun.
Sementara itu, rombongan dari Kim say Piau-hang langsung mohon pamit be?gitu perjamuan itu selesai. Tong Wi hong dan tokoh-tokoh Tiong-gi Piau-hang lainnya mengantar keberangkatan mereka sampai keluar dari pintu ger?bang kota Kiang-leng. Sebelum berpi?sah, sekali lagi Tong Wi-hong minta maaf kepada Yo hui-jiang tentang sikap?nya yang menuduh tadi.
Setelah kembali ke gedung Tiong gi Piau-hang cabang Kiang-leng, maka Tong Wi-hong segera mengajak adiknya ke sebuah ruangan tertutup berdua saja untuk membicarakan suatu urusan.
"A-lian," kata Wi-hong begitu sudah berada dalam ruangan itu. "Berdasarkan cerita Yo Hui-jiang tadi, tentu seorang muda yang perlente yang menyuruh mengirim barang ke sini, dan berdasarkan pula pengamatan atas bentuk tubuh dan suara Thian-liong-hiang-cu itu, maka rasanya aku mulai dapat menebak siapakah sebenarnya orang yang bersembunyi di balik kedok Thian-liong Hiang-cu itu."
Mata adik perempuannya bersinar-sinar terang, katanya sambil tertawa, "Apa yang kau pikirkan itu telah menjadi pikiranku sejak tadi. Yo Cong-ciau-thau tadi menceritakan tentang seorang anak muda berpakaian perlente seperti anak hartawan, dan di tengah-tengah antara kedua alisnya ada warna hitam yang samar-samar, maka akupun langsung ingat kepada seseorang...."
"Jangan kau sebut dulu namanya," potong Wi-hong cepat. "Coba kita tu?liskan dugaan kita itu pada telapak tangan kita masing-masing, lalu nanti kita cocokkan. Aku ingin tahu apakah jalan pikiran kita cocok aau tidak."
Adiknyapun agaknya tertarik juga untuk menggunakan cara seperti tebak tebakan itu. Maka mereka segera meng?gosok tinta bak dan menuliskan nama di telapak tangannya masing-masing. Keduanya saling pandang sebentar, lalu kemudian saling membuka dan menunjukkan telapak tangannya masing-ma?sing. Ternyata, baik di telapak ta?ngan sang kakak maupun si adik, tertu?lis sebuah nama yang sama, yaitu "Siangkoan Hong".
"Ternyata dugaan kita bersamaan, bahwa Thian-liong Hiang-cu itu adalah Siangkoan Hong," desis Wi-lian dengan suara yang bergetar karena goncangan perasaannya. Katanya lebih lanjut, "A-hong, masih ingatkah kau ketika Siangkoan Hong menemui kita di Tay beng beberapa waktu yang lalu? Waktu itu Siangkoan Hong menanyakan bagaima?na sikap kita seandainya A-siang se?dang memperjuangkan sebuah cita-cita luhur, dan dalam percakapan itu Siangkoan Hong mengaku bahwa dia hanya suruhan A-siang. Jika benar Siangkoan Hong adalah Thian-liong Hiang-cu, ma?ka jangan-jangan A-siang yang bisa me?merintahnya itu adalah... adalah...., aku tidak berani memikirkannya."
Tong Wi-hong menarik napas, ucapnya, "Akupun sebenarnya pernah pu?nya pikiran seperti itu, namun hanya kusimpan saja di dalam hati. Karena ternyata kaupun berpikir demikian, ma?ka dugaanku semakin kuat bahwa A-siang adalah... Ketua Hwe-liong-pang itu!"
Wi-lian menundukkan kepalanya. Jika kenyataan itu benar-benar ada, maka dia tidak tahu lagi bagaimana ha?rus bersikap terhadap Hwe-liong-pang, harus memusuhi atau bersahabat? Dalam kebingungannya, gadis itu mendengar suara kakaknya lagi, "Dugaanku itu se?makin diperkuat lagi oleh dua alasan, meskipun untuk menyebutnya ini ter?lalu berat bagi perasaanku. Alasan pertama, tentang disebut-sebutnya ka?limat "perjuangan luhur" yang nadanya sama ketika diucapkan oleh Siangkoan Hong di Tay-beng dan Thian-liong Hiang cu di sini tadi. Kedua, ucapan Siang?koan Hong yang mengatakan bahwa kita akan bisa menemui A-siang di Lam-cang, padahal dalam beberapa hari mendatang ini kota itu akan menjadi ajang perte?muan Hwe-liong-pang."
"Dan aku bisa menambahnya dengan alasan yang ketiga," sambung Wi-lian sambil mengangkat mukanya. "Yaitu si?kap Thian-liong Hiang-cu ketika bera?da di padang perdu di luar kota Tay-beng itu. Waktu itu dia mencegah Tee liong Hiang-cu agar tidak mence?lakai kita. Secara terselubung Thian-liong Hiang-cu waktu itu mengatakan bahwa kita berdua ada hubungan dengan "toa-suheng" mereka. Meskipun yang diucapkannya pada saat itu hanya un?tuk menggertak Te-liong Hiang-cu agar membatalkan niatnya untuk mencelakai kita, tetapi jelas bahwa ucapan itu bukan tidak ada maknanya sama sekali."
"Persoalannya menjadi sangat ruwet sekarang," desah Tong Wi-hong sambil menarik napas. "Tetapi masih ada satu hal yang belum kumengerti. Kita kenal ilmu silat A-siang pada dua tahun yang lalu itu tidak lebih tinggi daripada kita, sebab dia malas ber?latih. Tetapi sekarang, bagaimana mungkin dia sekarang bisa memimpin tokoh-tokoh setaraf Sebun Say, Tang Kiau-po dan sebagainya?"
Sahut adiknya, "Setelah mendengar cerita pek-hu tentang buku pening?galan Bu-san-jit-kui tadi, aku punya dugaan keras bahwa A-siang telah mene?mukan buku itu dan mempelajarinya. Bu?kankah pek-hu mengatakan bahwa Bu-san-jit-kui juga telah menemukan suatu ca?ra berlatih yang meskipun agak sesat namun dapat mempercepat tingkatan ilmu seseorang? Contohnya saja adalah Siangkoan Hong sendiri. Dia adalah anak An-yang-shia yang kita kenal seba?gai teman A-siang, dan ketika di An-yang-shia dia tidak becus ilmu silat sedikitpun, meskipun dia gemar berkelahi. Tetapi ingatkah kau akan kejadi?an ketika dia menemui kita di Tay-beng? Dia rupanya sengaja pamer kekua?tan dengan menginjak lantai, sehingga ubin lantai sampai amblas beberapa ja?ri dalamnya. Tenaga dalam selihay itu jelas tidak dimiliki oleh tokoh-tokoh sembarangan, bahkan tokoh yang terga?bung dalam "Sepuluh tokoh sakti" itu pun tidak semuanya dapat berbuat se?perti itu. Jika Siangkoan Hong saja telah mencapai kemajuan sepesat itu, bagaimana halnya dengan A-siang yang dasar ilmu silatnya jelas lebih ting?gi dari Siangkoan Hong? aku tak sang?gup membayangkannya."
Kembang Kecubung 6 Kidung Malam Mahabarata Karya Herjaka Hs Pendekar Yang Berbudi 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama