Ceritasilat Novel Online

Perserikatan Naga Api 15

Perserikatan Naga Api Karya Stevanus Sp Bagian 15


Tanpa turun dari kudanya, mereka bertiga naik ke lereng bukit dan men?dekati Hong-tay Hweshio serta tokoh-to?koh utama kaum pendekar lainnya. Gaya?nya yang sombong itu telah membuat be?berapa tokoh pendekar yang berwatak berangasan telah naik pitam.
"Hemm, tong kosong berbunyi nyaring, orang ini besar lagaknya hanya untuk menutupi kekerdilan dirinya sen?diri," geram Thian-goan Hweshio. Mes?kipun perkataannya itu diucapkan ti?dak terlalu keras, namun karena keada?an sunyi-senyap karena tegangnya, ma?ka suara Thian-goan Hweshio itu cukup jelas terdengar.
Siau-lim-hong-ceng Hong-koan Hwe?shio yang bermulut jahil itupun ikut menimbrung,"Tepat sekali, jika memang jantan kenapa harus menyembunyikan di?ri di balik topeng jelek itu? Topeng semacam itu dijual beberapa ketippun belum tentu laku."
Beberapa orang pendekar tertawa mendengar perkataan Hong-koan Hweshio itu, sebaliknya Sebun Say telah berte?riak untuk menunjukkan kegarangannya, "Keledai gundul gila, tutup mulutmu sebelum kurobek-robek!"
Namun mana bisa Hong-koan Hwe?shio digertak semacam itu. Disuruh diam, ia justru semakin menyerocos sambil tertawa-tawa, "Eh, saudara Se?bun, rupanya bajumu baru ya?"
Bagi orang lain, pertanyaan sema?cam itu mungkin tidak berarti apa-apa, tetapi bagi Sebun Say justru menimbul?kan rasa malu dan dendam luar biasa. Pertanyaan itu rupanya telah menging?atkannya kepada peristiwa di dekat Kiang-leng, ketika Sebun Say "ditelan?jangi" oleh Kim-hian Tojin di hadapan orang banyak.
Menurut adatnya yang pemarah dan tidak mau kalah itu, ingin rasanya Se?bun Say menerkam dan menghajar rahib dekil yang sangat dibencinya itu. Ta?pi Sebun Say masih berusaha menahan diri, sebab ia menyadari bahwa di tem?pat itu sedang berkumpul tokoh-tokoh puncak dunia persilatan, jika ia ber?tindak kurang hati-hati bukan saja dendamnya tak dapat terlampiaskan, sa?lah-salah malah ia bisa kehilangan muka lagi.
Sementara itu Hong-koan Hweshio masih hendak memberondong lagi dengan serangkaian kata-kata ejekan kepada iblis kerdil dari Jing-hay itu, namun Hong-tay Hweshio telah menoleh kepada?nya dan menegurnya, "Su-te, harap ki?ta agak menghormati tetamu."
Seketika itu juga Hong-koan Hwe?shio bungkam, namun ia menggerutu da?lam hati karena merasa belum puas mem?permainkan Sebun Say. Dan ia bertamb?ah mendongkol ketika melihat Liu Tay-liong tersenyum ke arahnya sambil mengedipkan sebelah matanya.
Sementara itu Hong-tay Hweshio te?lah merangkapkan telapak tangan dan memberi hormat kepada Te-liong Hiang-cu, katanya dengan suara yang tenang, "Selama ini antara Siau-lim-pay dengan Hwe-liong-pang tidak pernah terjadi permusuhan apapun, kenapa Pang-cu te?lah melukai dan menewaskan beberapa orang anggauta kami dan menyerang ke?mari?"
Te-liong Hiang-cu menjawab de?ngan suaranya yang dingin dan congkak, "Sudah lama aku mendengar kabar angin bahwa Siau-lim-pay merupakan tulang punggung dunia persilatan, maka tanganku menjadi gatal untuk membuktikan sendiri. Selain itu ada pepatah yang mengatakan bahwa di atas langit tidak ada dua matahari,di gunung tidak boleh ada dua harimau, dunia persilatan tidak boleh ada dua pemimpin. Hari ini akan ditentukan mana yang lebih pantas memimpin dunia persilatan, Siau-lim pay atau Hwe-liong-pang!"
Ucapan yang sama sekali tidak sungkan-sungkan itu seketika telah membangkitkan kobaran amarah para pendekar, Hong-tay Hweshio yang berhati sangat sabar itupun telah mengerut?kan alisnya. Sedangkan Liu Tay-liong memperdengarkan tertawa mengejeknya, ''Heh-heh, benar-benar ucapan tak tahu malu. Kekuatan kalian sampai berapa besarpun belum berhasil kalian tunjuk?kan, tapi kalian sudah berani mensejajarkan diri dengan Siau-lim-pay untuk merebut pucuk pimpinan dunia persilatan?"
Sementara itu orang-orang dari Khong-thong-pay, Ki-lian-pay dan per?guruan-perguruan lainpun telah menca?but senjatanya dengan marah. Mereka merasa sangat terhina oleh sikap Te-liong Hiang-cu yang hanya menyebut-nyebut Siau-lim-pay saja, seakan-akan perguruan-perguruan lain itu tidak ada nilainya sama sekali bagi Hwe-liong pang.
Orang yang bersembunyi di balik topeng Te-liong Hiang-cu itu sebenar?nya adalah Tan Goan-ciau, bekas seorang penjudi kecil-kecilan di An-yang-shia yang kemudian menjadi lihai kare?na menemukan kitab pusaka Bu-san-jit kui. Karena itu, pengalamannya dalam dunia persilatanpun tidak ada sama se?kali, pandangannya juga sangat picik. Tan Goan-ciau mengira bahwa dengan ke?kuatan sekian banyak anak buahnya itu sudah cukup untuk menaklukkan dunia, dan dengan pandangan piciknya itulah dia memberanikan diri untuk menyerbu Siong-san dan mencari nama. Hatinya jadi semakin mekar setelah melihat bahwa kaum pendekar yang berkumpul di Siong-san itu jumlahnya hanya sekitar empat ratus orang, sedang anak buah Hwe-liong-pang yang dibawanya itu ber?jumlah dua ribu orang lebih. Sama se?kali tidak terpikir oleh Tan Goan-ciau bahwa banyak pendekar-pendekar di tempat itu yang berilmu tinggi, yang tiap orangnya bernilai sama de?ngan sepuluh atau limabelas orang anggauta biasa Hwe-liong-pang!
Mendengar ejekan Liu Tay-liong itu, timbullah niat Te-liong Hiang-cu untuk memamerkan kebolehan orang-orangnya. Dengan lagak setenang mungkin Te-liong Hiang-cu memerintahkan kepada Sebun Say, "Sebun Say, tangkaplah hidup-hidup sasterawan dekil itu, untuk membuktikan kekuatan kita."
Terkejutlah Sebun Say mendengar perintah itu, karena dia pernah mengalami sendiri bahwa kepandaiannya masih setingkat di bawah kepandaian Liu Tay-liong, jelas tidak mungkin untuk mengalahkannya. Sayangnya Te-liong Hi?ang-cu yang tidak berpengalaman di dunia persilatan itu justru kurang me?nyadari hal itu. Ini disebabkan oleh karena Sebun Say terlalu sering membu?al dan menyombongkan kepandaiannya di hadapan Sang Ketua, dan kini setelah ia diperintahkan membuktikan kepan?daiannya, bingunglah dia.
Tapi Sebun Say cukup licin juga. Merasa tidak mungkin mengungguli Liu Tay-liong seorang diri, maka Sebun Say berteriak kepada Tang Kiau-po, "Sauda?ra Tang, untuk mempercepat pekerjaan ini, ayo kita turun tangan secara se?rempak !"
Ang-mo-coa-ong Tang Kiau-po me?nyadari akan kesulitan yang dihadapi oleh rekannya itu, maka diapun telah melompat turun dari kudanya dan menya?hut, "Baik, mari kita ringkus bersa?ma-sama mahluk busuk itu."
Tak terduga bahwa kepicikan dan kesombongan Te-liong Hiang-cu ternya?ta semakin menyulitkan anak-buahnya sendiri. Kata Te-liong Hiang-cu, "Se?bun Su-cia dan Tang Su-cia, jika kita main keroyok mana bisa menunjukkan ke?lihaian kita di hadapan orang-orang munafik ini? Yang aku kehendaki justru supaya kita menunjukkan kemampuan ki?ta orang demi orang."
Tergagap-gagap Sebun Say menya?hut, "Harap Pang-cu ketahui bahwa si dekil she Liu itu punya ilmu siluman. Biarpun aku sanggup mengalahkannya ta?pi akan lebih cepat selesainya jika Tang Su-cia membantuku."
Mendengar percakapan di antara tokoh-tokoh Hwe-liong-pang yang ter?dengar cukup menggelikan itu, Hong-ko?an Hweshio kembali tidak dapat mena?han kegatalan mulutnya, "Sekarang aku tahu kenapa sampai terjadi begini. Ru?panya si cebol Sebun Say ini sering membual di hadapan Ketuanya, membang?gakan kepandaiannya, tetapi begitu di?perintahkan untuk menghadapi lawan, maka dia ketakutan setengah mati dan mencari-cari alasan untuk menghindari tugasnya. Ha-ha-ha...."
Sindiran itu tepat betul mengo?rek kandungan hati Sebun Say, dan lang?sung saja membuat Sebun Say marah dan malu bukan kepalang. Apa lagi ketika terdengar Te-liong Hiang-cu berkata pula, "Kau dengarlah sendiri, Sebun Su-cia, musuh akan memandang rendah kepada kita jika kita tidak menunjuk?kan kepandaian kita."
Akhirnya, dengan mengeraskan ke?pala Sebun Say menghunus senjata sa?bitnya yang telah dilumuri racun ganas itu, lalu dengan nekadnya menerjang ke arah Liu Tay-liong yang sebenarnya ditakutinya itu.
Sasterawan sakti dari kota Kay-hong itupun mengetahui bahwa lawannya dalam keadaan mata gelap karena malu dan marahnya, maka Liu Tay-liongpun melayaninya dengan hati-hati dan cer?mat. Kipas besinya yang merupakan senjatanya yang terkenal itu segera dimainkan, dikembangkan dan dilipat berganti-ganti dengan gerakan-gerakan cepat dan indah. Seketika itu juga terpesonalah ratusan pasang mata ke?tika melihat ilmu silat yang indah mi?rip tarian, namun sangat berbahaya itu.
Hong-tay Hweshio sebagai pimpin?an seluruh kaum ksyatria, sebenarnya masih ingin berbicara banyak untuk me?nyelesaikan persoalan itu tanpa keke?rasan, tetapi karena pihak Hwe-liong pang sudah menyerang lebih dulu maka agaknya pertempuran tak terhindarkan lagi. Bahkan dalam hati pendeta tua itu timbul harapan agar Liu Tay-liong dapat mengalahkan Sebun Say, supaya agak mengurangi kesombongan orang-o?rang Hwe-liong-pang yang merasa mampu menggulung dunia itu.
Sementara itu Te-liong Hiang-cu sendiri menjadi tidak senang ketika melihat Sebun Say ternyata tidak dapat segera mengatasi lawannya. Bahkan, ka?rena Sebun Say bertempur dengan kalap dan mata gelap, maka tenaganya cepat terkuras habis dan akhirnya malahan ia yang terdesak mundur. Melihat itu, menggeramlah Te-liong Hiang-cu, "Tang Su-cia, bantulah Sebun Su-cia!"
Tang Kiau-po menyahut, "Pang-cu, jika aku terjun pula ke gelanggang pertempuran, hal itu sama saja dengan memancing pula jago-jago di pihak lawan untuk terjun pula ke gelanggang. Hal ini...."
Tapi ucapan Tang Kiau-po itu ter?potong oleh bentakan Te-liong Hiang-cu, "Kita datang ke sini memang untuk bertempur, kau kira untuk bertamasya? Perduli apa kalau orang-orang munafik itu terjun ke gelanggang pula? Kita tidak takut dan akan menyapu mereka! Hayo maju!"
Apa boleh buat, sambil menenteng tongkat ular merahnya, dia melompat ke dalam gelanggang pertempuran. Dan ternyata dari pihak kaum pendekar ju?ga tidak akan membiarkan terjadinya pengeroyokan secara licik. Rahib Hong-koan yang angin-anginan itu segera melompat maju pula ke tengah gelang?gang, sambil berkata, "He, rambut me?rah, tampaknya kau juga sudah gatal tangan. Mari kutemani kau bermain-main beberapa jurus!"
Maka kedua orang itupun segera terlibat dalam baku hantam yang seru. Karena terdorong keinginan untuk meng?alahkan lawannya secepat mungkin, maka begitu pertarungan dimulai Tang Kiau-po langsung mengarahkan kekuatan dan kecepatannya. Gerakannya amat dahsyat bagaikan angin puyuh yang menggu?lung lawannya.
"Sungguh ganas!" teriak Hong-koan hweshio dengan kaget, terpaksa ia me?langkah mundur dua langkah.
Melihat bahwa lawannya dapat di?paksa mundur dalam gebrakan pertama saja, Tang Kiau-po menjadi besar hatinya. Secara beruntun segera ia ke?luarkan jurus-jurus Heng-sau-jian-kun (Menyapu Ribuan Prajurit), Coa-heng-li hoan (Ular Merayap dan Rase Melompat) serta Liong-thian-i-ya (Naga Bertarung di Daratan). Yang tampak kemudi?an hanyalah segumpal bayangan merah dan puluhan batang tongkat yang nam?paknya bergerak sekaligus. Kebesaran nama Ang-mo-coa-ong Tang Kiau-po, tokoh jahat dari Gunung Thay-san ini ternyata memang cukup mengejutkan orang.
Tapi serbuan berantai Tang Kiau-po kali telah membentur tembok besi ibaratnya. Hong-koan Hweshio tadi me?langkah mundur bukan karena terdesak, tapi karena mempersiapkan pertahanan yang lebih baik. Dan kini serangan be?runtun Tang Kiau-po itu disambutnya secara keras lawan keras dengan tiga jurus pula! Masing-masing adalah Ki-hwe-liau-thian (Mengangkat Obor Me?nerangi Langit), Koay-bong-hoan-sin (Ular Siluman Membalik Badan) dan Kim-kong-hok-mo (Malaikat Menundukkan Iblis).
Serentetan suara benturan keras yang memekakkan telinga segera berku?mandang di lereng bukit Siong-san itu. Tongkat besi berkepala ular yang di tangan Tang Kiau-po itu telah berbenturan dengan dahsyatnya dengan tongkat bambu sakti milik Siau-lim-hong ceng, sehingga memercikkan bunga-bunga api yang mendebarkan.
Siau-lim-hong-ceng Hong-koan Hwe?shio tergetar mundur lima langkah akibat benturan itu, sedangkan Tang Kiau-po tidak tergetar mundur selangkahpun. Serempak orang-orang Hwe-liong pang bersorak-sorai melihat keung?gulan jagonya itu.
Dalam urut-urutan sepuluh tokoh paling sakti di jaman itu, Hong-koan Hweshio menduduki urutan ke enam, le?bih tinggi dari Ang-mo-coa-ong Tang Kiau-po yang hanya menduduki nomor paling buncit, yaitu nomor sepuluh. Tetapi susunan itu dibuat pada limabelas tahun yang lalu, dan sudah tidak dapat dipercayai lagi untuk masa kini. Misalnya saja Tang Kiau-po yang menduduki nomor urut paling belakang, sela?ma limabelas tahun ini telah melakukan latihan keras di Gunung Thay-san, sehingga kemajuan ilmunya semakin pesat. Sedangkan Hong-koan Hweshio telah menghabiskan sebagian besar waktunya untuk berkelana ke sana kemari, seperti seekor burung yang bebas terbang di udara. Dengan demikian, meski-pun ilmunya telah mengalami kemajuan pula, namun kemajuannya sangat se?dikit, maka tidak mengherankan kalau dalam benturan tenaga itu dia dapat didesak oleh Tang Kiau-po.
Hong-tay Hweshio hanya mengge?leng-gelengkan kepalanya ketika me?lihat keadaan adik seperguruannya yang suka mengembara itu. Pikirnya, "Selama ini Hong-koan Sute kurang te?kun dalam mendalami ilmu silatnya, ka?rena merasa kepandaiannya telah cukup tinggi untuk malang-melintang di dunia persilatan. Tetapi biarlah pertempuran kali ini akan memberi pelajaran pa?hit kepadanya, agar dapat mencambuknya untuk lebih tekun latihan di kemu?dian hari."
Antara Hong-koan Hweshio dan Tang Kiau-po memang telah berlangsung pertempuran sengit. Hong-koan Hweshio yang sudah merasa bahwa dirinya kalah beberapa tingkat dari lawannya, ter?nyata tidak berkecil hati. Dengan cer?dik dia mengambil kedudukan lebih banyak bertahan dan sedikit menyerang, sehingga pertahanannyapun sangat rapat. Sebaliknya Ang-mo-coa-ong sangat bernapsu untuk menaikkan urutannya dalam sepuluh tokoh sakti itu, maka ia te?lah menyerang lawannya secara bertubi-tubi, ganas dan tidak kenal ampun! Se?mua hasil latihannya selama limabelas tahun ini telah dihamburkan keluar se?muanya tanpa ada yang disembunyikan lagi.
Dengan telah dimulainya pertempuran antara tokoh-tokoh itu, kelihatan?nya memang pertempuran besar-besaran antara kaum pendekar dengan Hwe-liong-pang itu sudah tidak dapat dielakkan lagi. Rahib Hong-tay sebenarnya masih ingin berusaha menyelesaikan masalah itu tanpa tumpahan darah, tetapi ia tidak dapat mengendalikan perkembangan keadaan yang semakin panas dan penuh dengan hawa nafsu kebencian itu.
Apalagi karena Te-liong Hiang-cu sama sekali tidak berusaha mengekang dirinya. Ia merasa unggul di atas ang?in dengan jumlah anak buahnya yang ri?buan itu, dan merasa bahwa tidak sulit untuk membasmi kaum pendekar yang jumlahnya cuma seperlima jumlah anak buahnya itu. Maka terluncurlah aba-aba untuk menyerang!
Karena lereng bukit Siong-san me?mang kurang menguntungkan untuk ber?tempur di atas kuda, maka orang-orang Hwe-liong-pang itu telah berlompatan turun dari kuda mereka, dan sambil bersorak-sorak dengan hebatnya mereka menyerbu ke arah bukit, dipimpin oleh delapan orang Tong-cu.
Para pendekarpun segera mempersi?apkan diri untuk menyambut serbuan mu?suh itu. Mereka menyadari bahwa pembi?caraan telah habis dan tidak bisa dilanjutkan lagi, kini giliran senjatalah yang akan berbicara. Nafsu Te? liong Hiang-cu untuk menumpas kaum pendekar dan ingin berkuasa di dunia persilatan agaknya sudah tidak mung?kin dipadamkan lagi.
Karena pertempuran itu adalah pertempuran antara kaum persilatan yang biasa bertempur secara perorang?an, maka jalannya pertempuranpun ti?dak seperti apabila dua pasukan bertempur secara teratur. Benturan antara kaum pendekar dengan Hwe-liong pang itu tidak teratur, sebab kedua belah pihak langsung melepaskan diri dari barisannya masing-masing dan langsung mencari lawannya masing-ma?sing.
Bukit Siong-san, tempat ziarah yang khidmat itu, kini telah berubah menjadi ajang pertumpahan darah yang penuh kebencian. Golongan yang sedang berusaha mengubah dunia menurut seleranya sendiri, sedang bertarung dengan golongan yang tetap mempertahankan te?gaknya kebenaran dan keadilan di jagad ini. Namun tidak dapat diingkari pula bahwa di antara kaum pendekar itupun ada yang didorong oleh pamrih kurang murni, yaitu akan menjadikan ajang pertempuran itu sebagai arena untuk mengangkat namanya sendiri. Orang-orang yang mencari nama inilah yang bertem?pur tidak kalah ganasnya dengan orang-orang Hwe-liong-pang.
Te-liong Hiang-cu Tan Goan-ciau agaknya juga ingin memamerkan kepan?daiannya yang diperolehnya dari kitab Bu-san-jit-kui itu. Ia telah melompat turun dari kudanya, lalu menerjang ke dalam barisan kaum pendekar. Dengan ayunan-ayunan tangannya yang cepat dan kuat luar biasa, dia telah membuat be?berapa korbannya terpental dengan ke?pala retak tulang dada yang remuk!
Hong-tay Hweshio tidak sampai ha?ti melihat barisannya di porak-porandakan oleh manusia bertopeng tengko?rak itu. Sambil mengumandangkan pujian kepada Sang Buddha, ia segera memo?tong langkah Te-liong Hiang-cu itu sambil berseru dengan hati pedih, "Omitohud, harap Pang-cu ingat bahwa orang-orang yang Pang-cu bunuhi itu adalah sesama manusia!"
Tapi Te-liong Hiang-cu sedang ma?buk kemenangan dan kekuasaan, sebab dia merasa pasti bahwa kemenangan akan ada di pihaknya. Seruan Rahib Hong-tay yang memelas itu tidak digu?brisnya sama sekali, ketika ia menga?yunkan tangannya lagi, maka seorang pemuda berseragam perguruan Tiam-jong-pay telah terkapar dengan leher patah. Kemudian sekali lagi ia mengayunkan tangannya dan kali ini sasarannya adalah seorang rahib muda Go-bi-pay.
Hong-tay hweshio kehabisan kesa?barannya, ia tidak dapat membiarkan Te-liong Hiang-cu mengumbar kegana?sannya dan mencabuti nyawa orang lain seenaknya saja. Maka rahib sakti itu segera melompat maju dan melancarkan sebuah pek-khong-ciang (Pukulan Udara Kosong) untuk memotong gerakan Te-liong Hiang-cu itu.
Dua buah arus tenaga raksasa yang tak berwujud segera berbenturan di tengah udara. Te-liong Hiang-cu dipaksa untuk surut setengah langkah, sebaliknya Hong-tay Hweshiopun harus menggeliatkan pinggangnya untuk mematahkan gempuran lawan. Ternyata tenaga dalam kedua orang itu hampir seting?kat.
"Bagus, keledai gundul tua, hari ini aku ingin menguji sampai di mana kehebatan ilmu silat Siau-lim-pay yang banyak dibualkan orang itu!" teriak Te liong Hiang-cu dengan murka. Kemudian mulutnya mulai berkemak-kemik membaca mantera sambil melancarkan sebuah ju?rus hebat yang bernama Jit-kui-tiau-goat (Tujuh Iblis Menyembah Rembulan), salah satu jurus tertinggi dalam ilmu peninggalan Bu-san-jit-kui.
Begitu jurus itu dilancarkan, mendadak tubuh Te-liong Hiang-cu sea?kan-akan telah terpecah menjadi tujuh buah bayangan yang mengerikan, bahkan sayup-sayup terdengar suara bergumam seram dari balik topeng tengkorak itu, memancarkan sebuah pengaruh gaib kepada lawannya. Dan berbareng dengan itu sebuah pukulan dahsyatpun menggulung ke depan.
Namun Hong-tay Hweshio yang su?dah memiliki kekuatan batin yang ting?gi itu tidak mudah terjatuh ke dalam pengaruh yang berlandaskan ilmu hitam itu. Dengan tenangnya Hong-tay Hweshio menantikan pukulan lawan sampai dekat, menangkisnya dan kemudian langsung membalas dengan jurus Se-ceng-pay-Hud (Se-ceng menyembah Buddha). Sebuah tenaga tak berwujud yang tidak kalah dahsyatnya segera mendampar ke dada Te-liong Hiang-cu!
Alangkah terkejutnya Te-liong Hiang-cu ketika melihat serangannya yang sangat dibanggakannya itu ternya?ta kandas begitu saja, bahkan lawan sanggup membalasnya, dengan tidak ka?lah hebatnya. Padahal dengan jurus il?mu silat yang berlandas ilmu hitam itu Te-liong Hiang-cu pernah berhasil dengan mudah menaklukkan Sebun Say dan Tang Kiau-po dan kemudian menarik mereka masuk menjadi anggauta Hwe-liong-pang. Tetapi Te-liong Hiang-cu lupa, bahwa jika berhadapan dengan orang yang berbatin bersih dan beriman kuat, maka ilmu hitamnya itu kehilang?an sebagian besar dari pengaruhnya.
Dalam kejutnya, cepat-cepat Te-liong Hiang-cu memasang kuda-kuda dan mengerahkan tenaga untuk menangkis se?rangan balasan pendeta tua itu. Dan sekali lagi dia membuat kekeliruan be?sar. Dia boleh bangga dengan ilmu hi?tam atau ilmu beracun tinggalan Bu-san jit-kui, namun dalam hal ilmu silat sejati tentu saja dia kalah matang dibandingkan rahib sakti Siau-lim-pay itu. Maka begitu benturan tenaga da?lam itu terjadi lagi, Te-liong Hiang-cu harus melompat ke belakang untuk mengurangi tekanan tenaga lawan yang hebat itu.
Dalam sekejap saja kedua orang itu telah terlibat dalam suatu per?kelahian hebat. Ilmu warisan Bu? san-jit-kui adalah ilmu yang merupakan gabungan dari ilmu silat, ilmu sihir hitam, ilmu penggunaan racun serta il?mu-ilmu sesat lainnya, sifatnya ganas dan keji bukan main. Sejarah dunia persilatan telah mencatat, bahwa Bu-san-jit-kui adalah penganut suatu aga?ma sesat penyembah dewi bulan yang berasal dari negeri Persia. Kesesatan dan keganasan itulah yang mewarnai ga?ya bertempur Te-liong Hiang-cu saat itu.
Sebaliknya lawan Te-liong Hiang-cu saat itu adalah seorang tokoh utama Siau-lim-si, sebuah kuil yang termashur sebagai pusatnya ilmu silat bera?liran Hud-bun (aliran Buddha). Maka tidak pelak lagi pertempuran antara Hong-tay Hweshio melawan Te-liong Hiang-cu itu dapat dianggap lambang pertempuran antara ilmu sejati mela?wan ilmu sesat.
Sementara itu, hampir seluruh le?reng bukit itu telah diramaikan dengan suara pertempuran yang riuh rendah.
Anggauta-anggauta Hwe-liong-pang umum?nya terdiri dari para buronan hamba hukum, para penjahat yang tadinya ber?diri sendiri-sendiri, para murid-murid perguruan silat yang sudah dipecat ka?rena melakukan kesalahan besar dan sebagainya. Mereka berhimpun dalam Hwe-liong-pang sebagai tempat pernaungan yang mereka anggap aman. Selama ini, kaum buangan itu merasa bahwa hidup mereka terlalu tertindas dan senantia?sa dibatasi oleh kaum pendekar itu, tetapi kini orang-orang buangan itu merasa mendapat kesempatan untuk mem?balas dendam, maka bertempurlah mere?ka dengan sengitnya.
Di pihak kaum pendekar, Thian-goan Hweshio dari Go-bi-pay yang berwa?tak berangasan itu telah menghunus pe?dangnya dan menyambut serbuan musuh. Serunya dengan suara menggelegar, "De?mi membersihkan dunia dari kaum penga?cau ini, biarlah hari ini aku akan membuka pantangan membunuh!"
Akibat amukan Thian-goan Hweshio ini, sebentar saja sudah ada tiga orang anggauta Hwe-liong-pang yang ber?gelimpangan terbabat pedangnya.
Namun Thian-goan Hweshio tidak dapat melanjutkan amukannya, sebab ti?ba-tiba gerombolan orang-orang Hwe-li?ong-pang itu muncullah seseorang yang langsung menghadangnya. Orang itu berseragam Hwe-liong-pang pula, dan ia langsung menegur Thian-goan Hweshio, "Su-heng, selamat bertemu kembali!"
Thian-goan Hweshio terkejut dan menoleh ke arah orang yang memanggil?nya "su-heng" itu. Orang itu ternyata adalah seorang lelaki berusia sekitar empatpuluh tahun, bermulut lebar dan bermuka bengis, tangannya memegang pe?dang pula. Meskipun ia telah memanggil "su-heng" kepada Thian-goan Hweshio, namun pandangan matanya justru memancarkan rasa permusuhan dan dendam kebencian sedalam lautan.
"Kau kiranya!" teriak Thian-goan Hweshio terkejut.
Orang itu tertawa terkekeh-kekeh dan menjawab, "Benar, kau tidak men?duga akan bertemu dengan aku di sini bukan? Kalian telah mengusir aku dari Go-bi-pay seperti mengusir seekor an?jing saja, sedangkan di Hwe-liong-pang aku diterima dengan hormat dan penuh rasa persahabatan, karena itu aku me?mutuskan untuk menjadi anggauta Hwe-liong-pang dan bertempur di bawah bende?ra Hwe-liong-ki! He-he-he, Suheng, ke?sempatan ini boleh kita jadikan arena untuk melunasi hutang-piutang kita, setuju?"
Orang yang menegur Thian-goan Hweshio itu ternyata adalah seorang bekas murid Go-bi-pay pula. Dia berna?ma Ho Teng-siong, karena kelakuannya yang sangat memalukan nama perguruan, maka dia telah dipecat dan diusir oleh Thian-goan Hweshio sebagai Ketuanya. Ternyata Ho Teng-siong mendendam akan pemecatan itu, dan kini ia bergabung dengan Hwe-liong-pang.
Thian-goan Hweshio menarik napas dan berkata, "Ho Su-te, dengan hukum?an yang telah kau terima itu seharusnya kau merenungi diri dan berusaha memperbaiki kelakuanmu, kenapa kau justru jadi semakin sesat dan malahan bergabung dengan kaum Hwe-liong-pang yang dikutuk oleh kaum ksyatria sejagad ini?"
Ho Teng-siong tertawa terbahak bahak, "Ha-ha-ha... kaum ksyatria? Ka?wanan iblis? Bagi Ho Teng-siong siapa yang mau menerima aku, maka dia kawan?ku. Sudahlah, Su-heng, kedatanganku ke bukit Siong-san ini bukan untuk menga?du bicara, melainkan untuk ikut serta dalam menegakkan cita-cita Hwe-liong-pang untuk menjadi jaya di dunia per?silatan ..."
"Su-te kau benar-benar telah terjerumus...."
Namun ucapan Thian-goan Hweshio itu telah terputus oleh bentakan Ho Teng-siong, "Lihat pedangku!" disusul dengan ujung pedang yang meluncur ber?kilauan ke dada Thian-goan Hweshio.
Itulah jurus Hui-seng-kiong-goat (Bin?tang Terbang Mengejar Rembulan), sa?lah satu jurus paling ampuh dari Tat-mo-kiam-hoat gaya Go-bi-pay.
Apa boleh buat, terpaksa Thian-goan Hweshio bertempur melayani bekas adik seperguruannya yang telah sesat ini.
Menghadapi gelombang serbuan orang-orang Hwe-liong-pang yang berjum?lah lebih banyak itu, pihak kaum pen?dekar agak terdesak sedikit dan ter?paksa mengundurkan diri ke lereng atas yang banyak pohon siongnya. Di tempat yang banyak pepohonannya itu barulah kaum pendekar bisa menunjukkan kekuat?annya secara perorangan, dan di situ pulalah pertempuran berlangsung de?ngan kisruhnya.
Di tengah ributnya pertempuran itu, tiba-tiba nampak sebuah bola api meluncur dan meledak di tengah-tengah kaum pendekar, disusul dengan suar jeritan menyayat hati dari seorang pendekar muda berseragam Soat-san-pay yang telah terbakar hidup-hidup. Terdengar pula tertawa seram penuh kepuasan dan beberapa bola api melun?cur kembali ke barisan kaum pendekar. Untuk sementara, barisan pendekar menjadi agak kacau menghadapi senjata bola api yang lihai itu, yang dapat meledak hanya dengan sentuhan kecil saja. Banyak yang dapat menghindari senjata maut itu, namun ada pula be?berapa orang yang menjadi korban sia-sia.
Ternyata kaum Hwe-liong-pang yang menyerbu bagian itu adalah dari kelom?pok Lam-ki-tong (Kelompok Bendera Biru) yang dipimpin oleh Hwe-tan (Si Peluru Api) Seng Cu-bok. Begitu per?tempuran di mulai, maka Seng Cu-bok langsung saja menghambur-hamburkan pe?luru api kebanggannya itu untuk mengacaukan barisan lawan.
Maka dengan bersorak-sorai liar, orang-orang Hwe-liong-pang kelompok Lam-ki-tong ini menyerbu ke atas bukit.
Mereka menjadi berbesar hati setelah melihat kelihaian peluru api dari Tong cu mereka.
Pada saat Seng Cu-bok "berpesta" dengan peluru apinya itu, tiba-tiba muncullah seorang pendekar muda yang berseragam kuning Hoa-san-pay yang langsung menghadang serbuan Seng Cu-bok itu. Teriaknya dengan garang, "Penjahat Hwe-liong-pang! Jangan mengganas di sini!"
Pendekar muda itu langsung me?lancarkan sebuah serangan hebat. Ujung pedangnya gemeredep membentuk se?kuntum bunga keperak-perakan, sebuah jurus yang sangat indah tetapi juga membawa desir angin yang tajam, me?nandakan bahwa jurus itu bukan cuma tarian indah tetapi juga bisa mencabut nyawa lawannya. Ternyata yang mengha?dang Seng Cu-bok itu tidak lain ada?lah pendekar muda Hoa-san-pay yang se?dang menanjak namanya, yaitu Auyang Seng yang berjuluk Gin-hoa-kiam (Pedang Bunga Perak) itu.
Karena tidak sempat lagi melemparkan peluru apinya, maka Seng Cu-bok segera melompat mundur sambil melolos golok dari pinggangnya. Ternyata da?lam hal ilmu golokpun Seng Cu-bok cu?kup tangguh, ilmu golok yang dimainkan?nya ternyata bergaya perguruan Koay-to bun (Perguruan Golok Kilat) yang cukup terkenal di daerah Koan-tong.
Auyang Seng adalah pendekar muda yang cukup punya nama pula, tapi ha?nya untuk wilayah barat, di sekitar Gunung Hoa-san saja. Sekarang ia ikut serta datang ke Siong-san di wilayah Ho-lam ini tujuannya antara lain juga akan mengangkat nama di daerah ini. Maka dengan penuh semangat dia segera mainkan pedangnya untuk melayani per?mainan golok Seng Cu-bok.
Jago muda Hoa-san-pay ini lebih dulu membuka serangan dengan jurus Kim ke-tok-siok (Ayam Emas Mematuk Gabah). Dan ketika Seng Cu-bok menghindar ke samping, maka Auyang Seng meneruskan?nya dengan sebuah babatan ke pinggang lawan dengan jurus Hui-hong-sau-liu (Angin Puyuh Menyapu Pohon Liu).
Seng Cu-bok menggeram jengkel me?lihat lawan ciliknya itu mendesaknya tanpa sungkan-sungkan lagi. Maka se?rangan lawan ke arah pinggang itu ti?dak dihindarinya melainkan ditangkisnya dengan sekuat tenaganya.
Terdengar suara berdentang nya?ring hasil benturan kedua senjata itu, dan Auyang Seng terkejut bukan kepalang karena telapak tangannya terasa pedih dan hampir saja pedangnya lepas dari tangannya. Kini sadarlah Auyang Seng bahwa lawannya itu bukanlah la?wan empuk seperti yang diduganya semu?la.
Sebaliknya Seng Cu-bok kini me?rasa bahwa dia kalah dalam urusan keaneka ragaman tipu silat, namun unggul dalam hal kekuatan dan pengalaman. Ma?ka ia segera mendesak Auyang Seng dengan bacokan-bacokan bertubi-tubi, sedikitpun tidak memberi kesempatan kepada pendekar muda Hoa-san-pay itu untuk mengembangkan tipu-tipu pedangnya yang bermacam-macam itu, dan hanya dipaksa untuk bertahan terus.
Auyang Seng sekarang benar-benar tidak berdaya di bawah "hujan golok" yang dilancarkan oleh lawannya. Tangannya yang memegang pedang merasa pe?gal bukan main karena harus selalu me?nangkis bacokan-bacokan lawan yang beratnya seperti runtuhan gunung itu.
Sedang Seng Cu-bok yang merasa menang di atas angin itupun sempat mengeluarkan ejekan, "Kalau tidak sa?lah bukankah kau ini si tikus kecil yang berhasil lolos dari tangan kami, ketika kami melakukan penyergapan di kota Sin-yang itu? Ha-ha, saat itu kau bisa lolos, tapi kali ini kau ja?ngan harap bisa mengulangi nasib baik?mu itu."
Auyang Seng tidak menyahut ejekan lawan itu. Untuk bernapaspun sudah tersengal-sengal, mana ada ke?sempatan untuk membalas ejekan lawan? Dalam kerepotannya dia mencoba siasat baru, yaitu dengan jalan mencoba ber?tempur kucing-kucingan di antara po?hon-pohon siong yang tumbuh di situ. Namun siasat itupun tidak membawa ha?sil yang memuaskan, sebab dengan be?gitu telah memberi kesempatan kepada Seng Cu-bok untuk kembali menghambur-hamburkan peluru apinya, meskipun ha?nya dengan tangan kiri.
Pada saat Auyang Seng ibaratnya seperti telur di ujung tanduk itu, mendadak seorang gadis muda muncul di tempat itu tanpa membawa sepotong senjatapun. Begitu muncul, ia langsung berseru kepada Auyang Seng, "Saudara Auyang, serahkan orang ini kepadaku!"
Ketika Auyang Seng dipergoki oleh gadis itu sedang dalam keadaan "petak umpet" dengan Seng Cu-bok, alangkah malunya dia. Auyang Seng ke?nal gadis itu sebagai gadis yang kemarin berani mengeluarkan kata-kata yang keras di hadapan pertemuan kaum ksyatria. Gadis itu pernah memancing kekaguman pemuda itu, dan ia sungguh tidak berharap akan dilihat oleh gadis itu ketika sedang dalam keadaan seko?nyol itu.
Namun dasar Auyang Seng memang keras kepala, demi menjaga gengsinya dia menjawab dengan keras, "Tidak usah nona merepotkan diri. Aku memang sengaja ingin melihat sampai di mana kelihaian bangsat ini dengan pelu?ru-peluru apinya, sebelum dia merasa?kan kelihaian Hoa-san-kiam-hoat (Ilmu Pedang Hoa-san-pay kami)!"
Lalu dengan nekad Auyang Seng mengakhiri permainan kucing-kucingannya dan menerjang Seng Cu-bok secara berhadapan.
Di dalam hatinya, Tong Wi-lian geli juga melihat pemuda Hoa-san-pay yang keras kepala itu. Namun dia sengaja akan membiarkan pemuda itu merasakan pil pahit dulu, setelah itu barulah menolongnya.
Ternyata, begitu Auyang Seng berhenti dari siasat kucing-kucingannya, kembali ia terkurung di bawah bacokan-bacokan Seng Cu-bok yang cepat, keras dan bertubi-tubi itu. Tipu-tipu ilmu pedang Hoa-san-kiam-hoat yang terke?nal akan keindahannya itu kini dapat "dikebiri" oleh Seng Cu-bok yang telah kenyang dengan pengalaman bertempur itu. Bahkan terdengar Seng Cu-bok meng?ejek lagi, "Ha-ha... julukanmu sung?guh indah, Si Pedang Bunga Perak, tak tahunya hanya sebegini saja kemampuan?mu. Orang-orang muda memang suka membual dan mengarang julukan yang hebat-hebat untuk dirinya sendiri, tapi isi?nya kosong melompong belaka. Ha-ha-ha-ha....."
Sungguh tidak ada yang lebih me?malukan dari pada seorang anak muda yang bangga akan keadaannya, tahu-ta?hu dimaki-maki orang dihadapan seorang gadis tanpa bisa membantah sepatah katapun. Demikian pula keadaan Auyang Seng saat itu. Dadanya terasa hampir meledak mendengar maki-makian Seng Cu-bok itu, namun dalam kenyataannya me?mang dia terus terdesak mundur oleh lawannya. Bahkan sesaat kemudian, pe?dangnya benar-benar telah terpental lepas dari tangannya.
"Gin-hoa-kiam, sekarang akan kubikin kau menjadi pendekar tanpa ke?pala!" teriak Seng Cu-bok sambil meng?ayunkan goloknya untuk menebas leher Auyang Seng, yang kini sudah tidak berdaya dan tinggal menunggu nasibnya saja.
Tetapi sebelum golok itu menge?nai leher korbannya, sekonyong-ko?nyong Seng Cu-bok merasakan lengannya tergetar keras dan bahkan tubuhnya terdorong mundur tiga langkah dengan kerasnya. Tentu saja bacokannya itu tidak mengenai sasarannya. Dengan pandangan mata tidak percaya, Seng Cu-bok melihat seorang gadis telah bertolak pinggang di depannya tanpa membawa senjata sepotongpun. Jelas gadis itu?lah yang telah menggagalkan serangan mautnya atas Auyang Seng tadi.
Sementara itu, dengan tersipu-si?pu Auyang Seng telah menyingkirkan dirinya dari gelanggang itu setelah lebih dulu memunggut pedangnya. Penga?lamannya yang sangat memalukan pada hari itu tidak terlupakan seumur hi?dupnya, namun justru pengalaman pahit itu membawa kebaikan untuknya. Di ke?mudian hari Auyang Seng lebih giat berlatih ilmu pedangnya, sedang sikap sombongnya itu terhapus sama sekali. Di kemudian hari Auyang Seng akan ter?kenal sebagai seorang pendekar yang berkepandaian tinggi namun rendah hati.
Kini Seng Cu-bok telah berhadapan dengan Tong Wi-lian.
Seng Cu-bok langsung mengenal ga?dis itu sebagai gadis yang kemarin ma?lam telah berhasil lolos dari kuil Tay hud-si, ketika kepergok sedang meng?intai pertemuan orang-orang Hwe-liong-pang itu. Kemarin malam, Seng Cu-bok kurang dapat melihat jelas gadis itu. Namun sekarang, di tengah ributnya pertempuran di lereng bukit Siong-san itu, Seng Cu-bok dapat melihat betapa cantik dan manisnya gadis itu, sehing?ga Seng Cu-bok tak terasa telah menelan air liurnya.
"Kiranya kau, yang kemarin berun?tung berhasil lolos dari kawan-kawan?ku." kata Seng Cu-bok disertai terta?wa cengar-cengirnya. "Kau seorang ga?dis yang secantik dan semanis ini, ke?napa berkeliaran di tengah pertempur?an yang ganas dan berbahaya ini? Ti?dak sayangkah kau jika wajah ayumu itu terkena senjata tajam sehingga mengurangi kecantikanmu?"
Tidak jauh dari tempat itu, Cian Ping juga sedang bertarung melawan dua orang anggauta Hwe-liong-pang. Puteri Cian Sin-wi itu, dengan sepasang hau-thau-kaunya nampak bertempur agak santai karena kedua lawannya berke?pandaian rendah. Ketika Cian Ping sem?pat pula mendengar ucapan Seng Cu-bok terhadap Wi-lian itu, dia tertawa ge?li, lalu teriaknya kepada Seng Cu-bok, "He, penjual kembang api, ini adalah medan pertempuran dan bukan taman bunga tempat orang mencari jodoh!"
Dan kepada Wi-lian, Cian Ping berteriak, "A-lian, hati-hatilah jang?an sampai terbujuk oleh rayuan si pen?jual petasan itu, jangan sampai Ting Toako patah hati dan mencukur gundul rambutnya menjadi Hweshio. Terhadap petasannya sih tidak perlu takut, di kota Tay-beng anak-anak umur lima tahunpun bisa membuat petasan macam itu."
Wi-lian mau tak mau tertawa mende?ngar senda-gurau Cian Ping itu, begitu pula Ting Bun yang juga tidak jauh da?ri situ sambil menghadapi tiga orang lawan.
Sedangkan Seng Cu-bok menjadi me?rah padam mukanya saking marahnya ka?rena dirinya dijadikan bahan senda-gu?rau oleh gadis-gadis itu. Hwe-tan kebanggaannyapun hanya disebut "petasan yang tidak perlu ditakuti". Maka de?ngan geram ia merogoh ke dalam kantung kulitnya sambil menggeram ke a?rah Cian Ping, "Gadis cilik liar, rupanya kau menyukai petasanku, baiklah! akan kuhadiahkan beberapa butir kepadamu."
Namun sebelum Seng Cu-bok sempat melemparkan peluru-peluru apinya, Wi-lian telah berkata lebih dulu, "Sim?pan saja petasan busukmu itu, seka?rang bersiaplah untuk kuantarkan meng?hadap nenek-moyangmu!"
Seng Cu-bok sudah pernah melihat kelihaian gadis itu, maka diapun tidak berani memandang enteng. Dengan penuh perhatian ia segera mempersiapkan di?ri menunggu serangan Wi-lian. Diam-di?am ia agak malu juga karena harus menghadapi gadis bertangan kosong itu de?ngan goloknya, namun Seng Cu-bok mem?buang jauh-jauh rasa malunya itu, sebab menyadari kelihaian lawan.
Tong Wi-lianpun bersikap hati-ha?ti. Lebih dulu ia menyerang dengan se?buah serangan pancingan yang disebut Ji-liong-jio-cu (Dua Naga Berebut Mu?tiara), menggunakan dua jari tangannya untuk menusuk ke mata lawan. Ketika Seng Cu-bok menyambut tangannya dengan sebuah bacokan tegak lurus, maka Wi-lian cepat sekali bergeser ke sam?ping sambil menggunakan jurus Tin-jiu-kin-na (Menurunkan Siku Tangan dan Me?nangkap) untuk mencengkeram pergelangan tangan Seng Cu-bok yang memegang golok. Terpaksa Seng Cu-bok menarik kembali goloknya dan menghadapkan ta?jam goloknya ke atas untuk melukai te?lapak tangan Wi-lian.
Kedua orang itu segera bertempur dengan serunya. Pada kesempatan itu Tong Wi-lian mencoba mengukur dan membandingkan bagaimanakah kiranya kemam?puan para Tong-cu di bawah pimpinan Te-liong Hiang-cu dengan para Tong-cu di bawah pimpinan Hwe-liong Pang-cu Tong Wi-siang? Ternyata meskipun Seng Cu-bok merupakan seorang yang tangguh pula ilmu goloknya, namun ia masih ka?lah setingkat kalau dibandingkan para Tong-cu bawahan Tong Wi-siang seperti In Yong, Lu Siong, Kwa Heng atau si orang Korea Oh Yun kim itu. Dari situ dapatlah disimpulkan bahwa Te-liong Hiang-cu agaknya tidak terlalu ketat dalam mencari anak buah untuk memupuk kekuatannya.
Beberapa langkah dari situ, Cian Ping dengan lincah dan santainya mema?inkan sepasang kaitannya untuk meng?hadapi dua orang anggauta Hwe-liong-pang yang masing-masing bersenjata pe?dang dan ruyung. Kedua-duanya memakai ikat kepala dan ikat pinggang berwar?na kuning, menandakan bahwa mereka da?ri kelompok Ui-Ki-tong (Kelompok Ben?dera Kuning). Mereka berdua merupakan bekas penjahat yang disegani orang, namun kini mereka tidak berkutik menghadapi seorang gadis semuda Cian Ping, keruan mereka menjadi penasaran. Apalagi sambil bertempurpun Cian Ping masih sempat bergurau dan saling meng?olok dengan Wi-lian, hal ini benar-be?nar membuat kedua anggauta Hwe-liong pang itu mata gelap karena merasa sangat terhina.
Namun kedua orang itu memang bukan tandingan puteri Sian Sin-wi yang perkasa itu. Apalagi selama dalam perjalanannya dengan Tong Wi-hong, gadis itu telah mengalami penyempurnaan dalam ilmu silatnya.
Tidak mengherankan kalau belasan jurus kemudian orang Hwe-liong-pang yang bersenjata ruyung itu telah berteriak kesakitan sambil melepaskan ruyungnya. Rupanya lengannya telah terkait oleh kaitan tajam Cian Ping sehingga luka berat. Cepat-cepat dia melompat keluar dari gelanggang dan membebat lukanya dengan sobekan ba?junya, supaya ia tidak mati kehabisan darah.
Namun keluarnya orang itu dari gelanggang pertempuran berarti malape?taka bagi kawannya yang bersenjata pedang itu. Dia tentu saja tidak dapat bertahan lama menghadapi rangsakan puteri Cian Sin-wi yang perkasa itu, dan nasibnya jauh lebihi buruk dari nasib kawannya, sebab kaitan Cian Ping bukan cuma melukai lengan namun langsung merobek lambungnya, dan tubuh orang itupun terguling ke kaki bukit, entah bagaimana nasib selanjutnya.
Baru saja Cian Ping hendak beranjak untuk mencari lawan baru, tiba-tiba gadis itu merasa ada desiran angin tajam yang menyambarnya dari samping dengan kecepatan tinggi. Ci?an Ping sempat menundukkan kepalanya untuk mengelak, namun tak urung segum?pal tipis rambutnya telah tersambar putus oleh serangan gelap itu.
Nampak sesosok bayangan hitam te?lah melayang turun di depan Cian Ping, dan setelah Cian Ping memperhatikan bentuk orang itu, seketika itu juga bergidiklah ia karena ngerinya.
Orang yang berdiri di muka Cian Ping itu adalah seorang lelaki bertu?buh kurus dan demikian pucatnya, se?hingga mukanya mirip muka mayat, sea?kan dalam tubuhnya itu tak ada sete?tes darahpun. Kulitnya pucat, tetapi matanya justru liar kemerah-merahan, begitu pula bibirnya yang tipis itu nampak begitu merahnya, sehingga ter?lihat kurang wajar. Dan pada ujung bibir-bibir yang tipis itu, tersembullah taring-taring tajam yang putih meng?kilat! Jubah orang ini berwarna hitam, sehingga kelihatan menyolok dengan ku?litnya yang pucat itu. Senjata yang dipegangnyapun cukup aneh, yaitu mi?rip mata tombak yang panjangnya tidak lebih dari sejengkal dan cara meme?gangnya seperti orang memegang pisau belati. Ujung sepasang senjatanya itu masih basah oleh darah segar, menan?dakan bahwa orang yang menyeramkan ini baru saja membunuh beberapa kor?ban.
Yang membuat Cian Ping bergidik adalah pandangan mata yang buas dari orang itu, bukan buas seperti umumnya seorang lelaki melihat kecantikan seorang perempuan, melainkan buasnya seekor serigala yang melihat daging mentah atau mencium bau darah! Ditam?bah dengan taring-taring di sudut bi?birnya, maka penampilan orang itu benar-benar tidak mirip manusia melain?kan lebih tepat disebut golongan si?luman atau hantu! Tetapi kalau hantu kenapa berkeliaran di siang hari bo?long dan di tempat seramai itu? Kalau manusia biasa kenapa di mulutnya ada taringnya?
"Si... siapa... kau?" tanya Cian Ping dengan suara setenang mungkin, namun tak urung suaranya bergetar ju?ga.
Orang itu tidak menjawab malahan balik bertanya, suaranya dingin bergu?lung-gulung seperti suara hantu dari alam kubur, "Kau anak Cian Sin-wi da?ri Tay-beng?"
Cian Ping mengiakan, dengan ha?rapan agar orang itu agak gentar kare?na nama besar ayahnya.
Di luar dugaan, bukannya orang itu menjadi gentar, malahan ia terta?wa terkekeh-kekeh sehingga sepasang taringnya yang mengerikan itu menon?jol semakin jelas. Katanya, "Bagus, tak kusangka akan kujumpai anak Cian Sin-wi di tempat ini. Bapaknya punya hutang, anaknyalah yang harus memba?yarnya. He, gadis cilik, ketahuilah bah?wa bapakmu masih punya hutang nyawa ke?padaku, karena ia telah membunuh adikku, dan kini sebagai puteri Cian Sin-wi kau harus membayar hutang ba?pakmu itu. Akan kuhisap darahmu sam?pai kering, dan nampaknya darahmu pas?ti akan cukup segar untuk menghilang?kan rasa hausku."
Orang yang dihadapi oleh Cian Ping itu bukan lain adalah Sip-hiat-mo hok (Kelelawar Hantu Pengisap Darah) Liong Pek-ji, yang kini menduduki Ui-ki-tong-cu (Kepala Kelompok Bendera Kuning) dalam Hwe-liong-pangnya Te-li?ong Hiang-cu. Liong Pek-ji adalah seo?rang penganut ilmu hitam yang disebut Siu-bok-tiang-seng-kang (yaitu sema?cam ilmu untuk mendapatkan umur pan?jang dengan jalan bersemedi dalam pe?ti mati), syarat lain untuk mempelaja?ri ilmu itu ialah dengan jalan menghi?sap darah gadis-gadis perawan pada wak?tu-waktu tertentu. Karena kebiasaannya menghisap darah itulah maka lama kelamaan sepasang taringnya tumbuh menja?di lebih tajam dan lebih panjang se?dikit dibandingkan orang lain. Tokoh sesat ini cukup menghantui masyarakat daerah Ou-lam, dan karena keluarnya selalu pada malam hari seperti seekor kalong, maka dia mendapat julukan Sip-hiat-mo-hok itu. Di daerah Ou-lam sendiri entah sudah berapa ratus ga?dis yang mati menjadi korbannya, ga?dis-gadis itu semuanya mati dengan da?rah terhisap habis, dan pada leher korbannya selalu terdapat dua buah lu?bang kecil bekas gigitan sepasang ta?ringnya! Beberapa orang pendekar yang tidak senang kepada kesewenang-wenangan Sip-hiat-mo-hok pernah berusaha un?tuk menangkapnya, namun persembunyian orang ini tidak pernah dapat diketemukan, sementara korbannya berjatuhan terus. Ketika di Wilayah Ou-lam didi?rikan Hwe-liong-pang kelompok Lam-ki-tong (Kelompok Bendera Biru) yang dipimpin oleh Hong-lui-siang-to (Sepasang Golok Angin dan Halilintar) In Yong, maka Liong Pek-ji menjadi sangat terbatas gerak-geriknya, sebab In Yong bersikap sangat memusuhinya. Waktu mendengar tentang terjadinya pergeser?an dalam pucuk pimpinan Hwe-liong-pang, yaitu tersingkirnya Tong Wi-siang dan pengikut-pengikutnya, termasuk In Yong, oleh karena pengkhianatan Te-liong Hiang-cu, maka Liong Pek-ji yang te?lah bosan bersembunyi terus menerus dalam peti mati itupun mulai keluar kandang. Dia langsung menggabungkan diri dengan Hwe-liong-pang pimpinan Te-liong Hiang-cu, dan bahkan kemudi?an dalam waktu singkat telah mendapat kedudukan Ui-ki-tong-cu, menggantikan kedudukan Thi-jiau-tho-wan (Lutung Bungkuk Berkuku Besi) Kwa Heng yang ikut tersingkir bersama Tong Wi-siang itu. Ketika masih melakukan kejahatannya seorang diri saja Liong Pek-ji sudah be?gitu kejam dan ganas, apalagi kini sete?lah bergabung dalam Hwe-liong-pang dia mendapat kawan-kawan sehaluan, tentu sa?ja kekejamannya semakin menjadi-jadi.
Kini dia merasa tidak takut lagi kepa?da musuh-musuh yang selama ini menca?rinya. Tujuannya untuk keluar kandang dan bergabung dengan Hwe-liong-pang ini antara lain juga karena ingin mem?balas musuh-musuhnya, di samping ter?giur pula oleh janji-janji muluk yang diucapkan oleh Te-liong Hiang-cu.
Kini setelah melihat kulit leher Cian Ping yang halus mulus itu, ter?ingatlah Liong Pek-ji akan seleranya dalam meminum darah segar para gadis perawan itu, dan langsung timbullah keinginan jahatnya untuk menancapkan sepasang taringnya ke leher yang mulus itu. Begitulah kelainan Liong Pek-ji dari lelaki-lelaki lainnya jika me?lihat wanita cantik. Jika lelaki lain tentu lebih tertarik kepada ke?cantikannya, maka Liong Pek-ji lebih tertarik untuk meminum darahnya!
Kini musuh yang begitu menge?rikan itu telah ada di depan Cian Ping dan membuat gadis itu gemetar juga. Tapi sebagai puteri Cian Sin-wi yang berhati sekeras baja, ia tidak sudi menyerah begitu saja. Dengan menggeng?gam erat sepasang hau-thau-kaunya, dia bersiap menantikan serangan musuh.
Liong Pek-ji nampaknya bersikap sombong sekali dan tidak memandang se?belah matapun kepada lawannya itu. Ti?ba-tiba ia memekik nyaring dan melom?pat menerkam Cian Ping dengan sepasang tangan yang terkembang lebar. Dengan gerakannya itu dia jadi mirip seekor kelelawar raksasa yang tengah mengem?bangkan sayapnya.
Cepat Cian Ping memiringkan tu?buhnya dan menggerakkan sepasang kait?annya dengan jurus Siang-hi-kiat-ging (Sejodoh Ikan Berbahagia), ujung ta?jam kedua hau-thau-kaunya menyongsong ke arah dada dan lambung si kelelawar hantu itu.
Liong Pek-ji tertawa mengejek me?lihat sambutan lawannya. Di tengah udara dia memutar tubuhnya seperti gasingan dan menimbulkan tekanan udara yang mampu memaksa Cian Ping melompat mundur sambil mengambil napas. Dengar demikian serangan balasan Cian Ping itu telah digagalkan dengan cara yang aneh sekali.
Sip-hiat-mo-hok ternyata tidak berhenti sampai di situ saja, begitu kakinya menyentuh tanah dia telah me?lompat kembali ke arah Cian Ping, se?pasang belati pendeknya segera me?nikam ke dua buah jalan darah, ma?sing-masing jalan darah kian-keng-hiat di pundak serta ki-keng-hiat di ping?gang. Liong Pek-ji memang seorang yang jago dalam hal gin-kang (Ilmu Meringankan Tubuh) sehingga gerakan tubuhnyapun ringan sekali, seperti asap yang melayang-layang tanpa bobot saja. Belum sempat Cian Ping mempersiapkan diri lagi, tahu-tahu serangan Liong Pek-ji telah tiba di depan mata!
-o0^DwKz-Hendra^0o- Jilid 29 YANG membuat Cian Ping merasa ngeri berhadapan dengan Liong Pek-ji adalah selain gerakannya yang sangat cepat, juga napas lawan yang memancar?kan bau busuk luar biasa, seperti umumnya bau binatang-binatang buas pe?makan daging mentah! Dan celakanya Liong Pek-ji terus mendesaknya dalam jarak dekat, sehingga Cian Ping benar-benar merasa kepalanya pusing dan pe?rutnya mual luar biasa. Totokan musuh ke arah bahunya masih bisa dihindari, namun totokan ke pinggangnya tidak terhindar lagi, maka Cian Pingpun ter?huyung hampir roboh.
"Ha-ha-ha, tibalah saatnya kau membayar hutang bapakmu dengan darah?mu yang segar itu!" teriak Liong Pek-ji penuh kegirangan. Matanya semakin merah dan rangsekannyapun se?makin hebat.
Namun di saat Cian Ping dalam ba?haya itu, muncullah Ting Bun untuk membantunya. Ternyata Ting Bun telah berhasil menyelesaikan tiga orang anggauta Hwe-liong-pang yang tadi menja?di lawannya, seorang dibikinnya luka parah dan dua orang lainnya dikirim?nya ke neraka. Melihat Cian Ping ter?desak, maka Ting Bun langsung turun tangan untuk membantu.
Ilmu silat Ting Bun masih seting?kat di bawah Tong Wi-hong dan Tong Wi-lian, namun sudah cukup tangguh dan hampir menyamai rata-rata kemampuan para Tong-cu dalam Hwe-liong-pang. Be?gitu sambaran goloknya menyerang dengan Tay-peng-tian-ci (Garuda Memen?tang Sayap), maka mau tidak mau Liong Pek-ji harus membagi perhatiannya. Apalagi Ting Bun sebagai bekas seorang perwira prajurit yang bernyali besar, sama sekali tidak tergentar nyalinya oleh penampilan Liong Pek-ji yang mi?rip siluman itu.
Sementara Ting Bun menahan Liong Pek-ji, maka Cian Ping berkesempatan untuk menenangkan debaran hatinya dan mengumpulkan semangatnya kembali. Se?telah itu, dengan hati yang lebih man?tap dia lalu bertempur bahu membahu dengan Ting Bun untuk menghadapi se?tengah manusia setengah siluman itu. Dengan gabungan kedua orang itu, baru?lah tandang Liong Pek-ji yang ganas itu dapat agak dibatasi.
Manusia siluman yang pernah meng?gemparkan wilayah Ou-lam itu memang seorang yang luar biasa. Hasil latih?an anehnya yang dijalankan dalam peti mati itu ternyata tidak sia-sia. Gerakannya ringan dan cepat dalam meng?itari lawannya, ia memang menciptakan jurus-jurus anehnya itu berdasarkan gerak-gerak seekor kelelawar. Yang da?pat digunakan untuk melukai lawannya ternyata bukan cuma belati-belati pen?dek yang tergenggam di kedua tangannya itu, tetapi juga ujung-ujung mantelnya yang berkibar-kibar dan bisa diguna?kan untuk menyabet seperti sayap kele?lawar itu!
Ting Bun menyadari akan kelihaian lawannya itu, tapi tanpa gentar sedikitpun ia melayaninya dengan ulet dan gagah berani. Goloknya dimainkan secara rapat dengan menggunakan ilmu golok Ngo-hou-toan-bun-to-hoat (Ilmu Golok Lima Harimau Menghadang Pintu). Ting Bun benar-benar bertempur seperkasa batu karang, sedang tangan kirinyapun tidak tinggal diam, sebab berkali-kali ikut menyerang dengan pu?kulan Ngo-heng-ciang (Pukulan Lima Un?sur) atau cengkeraman Ing-jiau-kang (Tenaga Kuku Elang).
Di samping Ting Bun masih ada Ci?an Ping yang bertarung dengan lincah dan cepat. Dengan kerjasama antara Ting Bun dan Cian Ping untuk memben?dung Liong Pek-ji ini, maka si kelela?war hantu itu kini tidak bisa lagi berkeliaran kesana kemari dengan se?suka hati sambil menyebar maut.
Secara keseluruhan, dalam pertem?puran besar-besaran di lereng Siong-san itu, nampaknya kaum pendekar me?mang nampak agak terdesak. Tetapi se?benarnya itu adalah siasat Rahib Hong-tay, semakin kaum pendekar terdesak ke atas bukit, semakin ketatlah perta?hanannya. Dan pada batas tertentu, kaum pendekar benar-benar berhasil membuat suatu garis bertahan yang be?nar-benar ketat, sehingga pihak Hwe-liong-pang tidak dapat lagi mendesak?nya, meskipun hanya selangkah.
Di bagian-bagian tertentu, nam?pak betapa tangguhnya para Tong-cu da?ri Hwe-liong-pang, sehingga kadang-ka?dang setiap Tong-cu harus dilayani oleh sedikitnya dua orang pendekar. Namun di bagian lainnya, nampaklah bahwa Hwe-liong-pang membutuhkan ga?bungan tenaga dua orang Tong-cu hanya untuk membendung amukan seorang rahib muda Siau-lim-si.
Rahib muda yang dimaksudkan itu adalah Bu-sian Hweshio, murid dari Ra?hib Hong-tay, yang memainkan toya kiu-hoan-kun (Toya Sembilan Gelang) seken?cang baling-baling yang terhembus angin badai. Kedua orang lawan Bu-sian Hweshio adalah Thio Hong-bwe yang ber?juluk Hek-liong (Naga Hitam) dan Mo Hui yang berjuluk Hong-long-cu (Seri?gala Gila). Kedua orang Tong-cu itu me?megang senjata yang hampir serupa. Thio Hong-bwe bersenjatakan sebuah lembing yang dilengkapi dengan kaitan untuk mengait senjata atau tangan la?wannya, sedangkan Mo Hui juga ber?senjata lembing yang ujungnya bergeri?gi seperti taring serigala.
Thio Hong-bwe mempunyai gaya se?rangan yang cepat dan keras, dia sama sekali tidak segan-segan membentur serangan lawannya secara keras lawan keras, dan dengan kaitannya itu dia selalu mencoba untuk mengait dan me?rampas senjata lawannya. Biasanya, dengan gaya bertarung semacam ini Thio Hong-bwe selalu bisa mengalahkan la?wan-lawannya. Tetapi setelah kini ia bertemu dengan lawan semacam Bu-sian Hweshio, maka ia ibaratnya membentur tembok besi. Bukan saja Bu-sian Hwe?shio itu lebih kuat tenaganya, tapi gerakannyapun lebih cepat. Kaitan di ujung lembing Thio Hong-bwe itupun ma?ti kutunya, sebab beberapa kali Thio Hong-bwe berhasil mengait tongkat lawannya dan menariknya untuk merampas?nya, namun selalu gagal, rasanya se?perti mengait dan hendak merobohkan bukit cadas!
Sedangkan cara bertempur Mo Hui sedikit lebih cerdik dari rekannya yang hanya mengandalkan kekuatan itu. Dengan lembing bergeriginya dia ja?rang sekali membentur toya kiu-hoan-kun hweshio lawannya, tapi lebih suka berlincahan sambil mengintai kele?mahan lawannya. Cara berkelahinya me?mang benar-benar mirip seekor seriga?la, cepat liar serta ganas. Sayang se?kali, dengan cara bertempur semacam itupun ia tetap belum bisa mendobrak pertahanan toya kiu-hoan-kun yang berputar kencang itu.
Demikianlah pertempuran antara Bu-sian Hweshio melawan dua orang Tong-cu dari Jing-ki-tong dan Jai-ki-tong itu. Rahib muda itu sudah bela?san tahun terikat di kuil Siau-lim-si, kesibukannya setiap hari hanyalah mem?perdalam ilmu agama dan ilmu silat, maka dia merupakan lawan yang ter?lalu tangguh bagi kedua lawannya. Ba?ik dalam hal kekuatan, kecepatan mau?pun kekayaan gerak tipu, dia masih mengungguli kedua Tong-cu dari kelompok-kelompok bendera Hijau dan Coklat itu.
Dalam pada itu nampaklah Tong Wi-hong bersama-sama dengan dua sau?dara So itu masih saja belum mendapat?kan lawan yang setimpal. Mereka memang telah beberapa kali berganti lawan, namun setiap kali mereka berhasil menyingkirkan lawan mereka dalam waktu kurang dari sepuluh jurus. Kini Wi-hong dengan kedua jago Tiong-gi Piau-hangnya itu hanya "berjalan-jalan" kesana kemari sambil berusaha mengurangi jumlah lawan sebanyak-ba?nyaknya.
Apa yang dialami oleh Tong Wi-hong dan kedua jagonya itu, ternya?ta dialami pula oleh beberapa orang pendekar. Mereka tidak menemui lawan yang setimpal, melainkan hanya menjum?pai keroco-keroco Hwe-liong-pang yang mencoba menghadang mereka. Tentu saja mereka agak malu kalau harus mengha?dapi kaum keroco itu, namun dengan mengingat bahwa pertempuran itu membu?tuhkan penyelesaian yang secepat-cepatnya, maka terpaksa kaum keroco itupun mereka babat.
Ternyata bahwa di pihak Hwe-liong pang hanya menang dalam jumlah orang?nya, namun dalam hal kekuatan masing masing orang, pihak Hwe-liong-pang ka?lah jauh. Pihak Hwe-liong-pang jago-jagonya paling-paling hanya Sebun Say, Tang Kiau-po, delapan orang Tong-cu, serta beberapa jago pelarian dari per?guruan lain seperti Ho Teng-siong. Sebaliknya di pihak kaum pendekar me?miliki jago-jago tangguh yang banyak sekali. Misalnya saja rahib-rahib Siau lim-pay yang bernama depan "Hong" atau "Bu" sudah merupakan jago-jago tangguh yang sulit dicarikan lawannya di kalangan Hwe-liong-pang. Selain itu masih ada ketua-ketua perguruan seperti Kongsun Tiau, Kiau Bun-han, Thi-sim Tojin atau pendekar-pendekar perorangan yang kepandaiannya seting?kat dengan mereka, ditambah lagi de?ngan jago-jago muda berbagai perguru?an yang bertempur dengan penuh sema?ngat. Mereka yang tidak mendapat la?wan setimpal ini ternyata tidak meng?anggur saja, melainkan bergerak kian kemari bagaikan pisau-pisau tajam yang merobek-robek barisan pertahanan Hwe-liong-pang.
Matahari naik semakin tinggi, pa?nasnya yang terasa semakin menyengat kulit itupun ternyata juga ikut mem?bantu semakin mendidihkan darah orang-orang yang bertempur di lereng Siong-san itu. Tubuh-tubuh tak bernyawa ser?ta tubuh-tubuh luka terkapar di ma?na-mana, namun jumlah yang tewas atau yang luka terus saja bertambah ba?nyak. Di mana-mana yang terdengar ha?nyalah suara senjata yang berdenting denting saling beradu, bercampur baur dengan teriakan-teriakan penuh dendam kebencian serta rintihan dari orang orang yang terluka dan mengharapkan pertolongan, namun tak seorangpun menolongnya sebab semuanya sibuk menya?bung nyawa.
Dalam suasana yang sekeras dan sebuas itu, seorang rahib atau imam tidak ada perbedaannya lagi dengan orang biasa. Merekapun membunuh dan terbunuh. Tidak sedikit rahib-rahib muda usia dari Siau-lim-pay yang baru kali ini terjun dalam pertempuran yang se?sungguhnya, biasanya hanya dalam latihan, sehingga di medan ganas itu mereka muak melihat tubuh-tubuh berlu?muran darah tercecer di mana-mana. Te?tapi ketika nyawa mereka terancam oleh senjata lawan, maka merekapun dipaksa untuk menggerakkan senjatanya untuk mempertahankan diri.
Dalam awal pertempuran tadi, nam?paknya pihak Hwe-liong-pang berhasil mendesak kaum pendekar untuk mundur ke atas bukit. Tetapi sebelum sampai tengah hari, giliran kaum pendekarlah yang berhasil memukul serbuan Hwe-liong-pang sampai terdesak kembali ke bawah bukit. Kemampuan pribadi yang lebih unggul dari kaum pendekar, te?lah membuat jumlah orang-orang Hwe-liong-pang berkurang banyak dengan ce?patnya.
Delapan orang Tong-cu yang biasa?nya merasa bahwa kepandaian mereka sudah cukup hebat untuk malang-melintang di dunia persilatan, kini telah dipaksa untuk mengakui kenyataan bahwa banyak orang yang lebih lihai dari me?reka. Lam-ki-tong-cu Seng Cu-bok ter?nyata tidak berhasil mengungguli Wi-lian, bagaimanapun dia berusaha, dan bahkan dirinyalah yang mulai ter?desak oleh gadis murid Hong-tay Hwe-shio itu. Goloknya berkelebat-lebat mengerikan, namun dengan kelincahan dan ketangkasannya Wi-lian tidak per?nah dapat disentuh oleh golok itu, bahkan membalasnya dengan tendangan-tendangan yang dapat mematahkan tu?lang.
Tidak jauh dari Seng Cu-bok, liong Pek-ji juga nampak mengalami ke?sulitan untuk melepaskan diri dari kepungan Ting Bun dan Cian Ping. Meski?pun demikian, Ting Bun dan Cian Ping juga harus memeras keringat pula kare?na lawannya yang berbahaya itu.
Empat orang Tong-cu lainnya, ma?sing-masing Say-ya-jat Tong King-bun, Thi-pwe-siang Song Hian, Tui-hun-mo-kay Ko Ce-yang serta Sat-sin-kui Hehou Im, entah bagaimana asal mulanya ternyata telah terjeblos bersama-sama ke dalam kepungan barisan Lo-han-tin yang dibentuk oleh delapanbelas rahib muda. Sambil berteriak-teriak dengan marahnya ke empat orang Tong-cu itu mengamuk dan berusaha membobol kepung?an Lo-han-tin itu, tetapi kerjasama delapanbelas orang rahib muda itu be?gitu ketat dan rapinya, sehingga bu?kan saja keempat Tong-cu itu tidak berhasil lolos bahkan tenaganya semakin terkuras habis.
Keadaan yang sama sekali tidak menguntungkan Hwe-liong-pang itu ti?dak lepas dari pengamatan para tokoh tokohnya.
Te-liong Hiang-cu yang sedang bertarung seru dengan Hong-tay Hwe?shio itu, kini mulai nampak gugup. Da?lam hatinya Te-liong Hiang-cu memaki anak buahnya sendiri, "Sungguh ce?laka, ternyata kawanan kantong nasi ini hanya pintar membual di depanku saja, namun ternyata yang mereka gembar-gemborkan itu tidak terbukti seka?rang. Kenapa akupun begitu bodoh un?tuk mempercayai ajakan mereka untuk menyerbu ke mari?"
Di antara jago-jago Hwe-liong-pang yang telah menemui lawannya ma?sing-masing itu, boleh dibilang hanya Ang-mo-coa-ong Tang Kiau-po yang kea?daannya paling mendingan. Bahkan si raja ular dari Thay-san itu setapak demi setapak bisa mendesak Siau-lim-hong-ceng Hong-koan Hweshio. Namun untuk mengalahkan rahib angin-anginan itu, agaknya Tang Kiau-po akan memer?lukan ribuan jurus dan tidak mungkin dalam waktu yang singkat.
Sedangkan keadaan Sebun Say jauh lebih buruk dari keadaan rekannya itu. Dia dipaksa terpontang-panting dalam menyelamatkan diri dari cecaran kipas besi Liu Tay-liong yang selalu bergerak-gerak mengincar urat-urat da?rah penting di tubuhnya. Senjata sa?bit beracunnya yang menakutkan itu sudah tidak di tangannya lagi, ter?bang entah ke mana, sedang jubahnyapun sudah robek-robek di sana sini karena tersambar kipas Liu Tay-liong.
Melihat keadaan anak buahnya yang semacam itu, betapapun sombong?nya Te-liong Hiang-cu namun ia harus mengakui kenyataan bahwa serbuannya kali ini telah gagal. Jika ia tetap berkeras kepala untuk melanjutkan per?tempuran, maka pihaknya sendirilah yang akan tertumpas habis sebelum ma?tahari terbenam nanti. Tentu saja ia tidak rela apabila kekuatan yang di?kumpulkannya selama ini akan tercerai-berai begitu saja, tapi satu-satunya jalan untuk menyelamatkan pasukannya hanyalah dengan menariknya mundur. Ma?ka dengan berat hati, Te-liong Hiang-cu meneriakkan perintahnya,
"Mundur!" Perintah untuk mundur itu dipe?rintahkan secara berantai, sehingga seluruh anggauta Hwe-liong-pang yang berkelahi di bagian manapun akan da?pat mendengar perintah Ketua mereka itu. Memangnya orang-orang Hwe-liong-pang itu sudah bingung dan takut menghadapi kaum pendekar yang rata-rata berkepandaian tinggi itu, maka perin?tah untuk mundur itu merupakan suatu kebetulan bagi mereka. Tanpa disuruh untuk kedua kalinya, mereka turun ber?bondong-bondong ke bawah bukit ba?gaikan air laut yang surut. Karena mereka bukan merupakan pasukan yang terlatih baik, maka cara mereka meng?undurkan diripun mirip dengan cara orang-orang di pasar yang dilanda keba?karan. Berlari-larian tak teratur dan kadang-kadang saling bertubrukan an?tara teman-teman sendiri, bahkan ka?wan-kawan mereka yang terluka atau ja?tuh itu mereka injak begitu saja da?lam usahanya untuk menyelamatkan diri sendiri.
Sebun Say juga berusaha untuk bi?sa melepaskan diri dari tekanan Liu Tay-liong agar bisa bergerak mundur bersama rombongannya. Tetapi Liu Tay liong agaknya tidak ingin melepaskan lawan kerdilnya itu. Dia sadar, bahwa melepaskan Sebun Say akan sama halnya dengan melepaskan macan pulang ke gu?nungnya, bukannya akan menginsyafi kesalahannya tapi malahan akan bertam?bah kejam dan menjadi bencana bagi umat manusia. Karena itu Liu Tay-liong sudah bertekad untuk menghabisi iblis cebol dari Jing-hay yang terkenal akan kekejamannya itu. Kipas besinya itu digerakkan semakin gencar dan cepat, sampai akhirnya seluruh tubuh Sebun Say bagaikan telah terkurung oleh bayangan kipas besi lawannya itu, ja?lan untuk meloloskan diri sudah tidak ada sama sekali!
Sebun Say menjadi mata gelap. Se?bagai usaha terakhir untuk memperta?hankan hidupnya, maka sambil mengger?tak gigi dia lalu melancarkan sebuah jurus yang disebutnya Wan-hun-pat-sik (Delapan Jurus Arwah Gentayangan). Jika tadinya dia sudah kempas-kempis, maka kini Sebun Say bangkit kembali semangat tempurnya. Sepasang leng?annya yang pendek-pendek itu beruntun melepaskan pukulan-pukulan dahsyat ke depan dan menimbulkan gulungan kekua?tan tak berwujud yang kedahsyatannya bagaikan gunung runtuh.
Dalam keadaan biasa, tentu Liu Tay-liong akan lebih suka menghindari jurus yang nekad itu. Tetapi saat itu Liu Tay-liong sudah bertekad-bulat untuk menamatkan riwayat pengacau masyarakat ini,tidak peduli bagaimanapun pengorbanannya yang harus dibayarnya. Liu Tay-liong tahu maksud Sebun Say, bahwa begitu ia mundur dari rangsekan itu, maka Sebun Say tentu akan melom?pat keluar gelanggang dan melarikan diri. Karena itu Liu Tay-liong tidak sudi mundur setapakpun. Ia justru mendesak maju untuk menyongsong serangan nekad Sebun Say itu, kipas besinya te?lah dirapatkan dan digerakkan dengan jurus Hau-bwe-tau-lui (Putik Bunga Bwe Memuntahkan Diri) yang disertai dengan pengerahan seluruh kekuatan lahir batinnya.
Sebun Say tidak menyangka kalau Liu Tay-liong yang selalu tertawa-ta?wa dan senang bergurau itu ternyata berani juga melakukan gerakan adu ji?wa senekad itu. Ia kaget bukan kepa?lang, tetapi semuanya segera berlang?sung tanpa dapat ditarik kembali.
Terdengar jeritan melengking ke?sakitan yang hampir bersamaan dengan sebuah keluhan berat. Yang melengking kesakitan itu adalah Sebun Say, dan itu adalah jeritan terakhirnya, sebab kipas besi Liu Tay-liong berhasil langsung menembus ulu hatinya sampai tembus ke punggungnya. Sedang suara keluhan berat itu berasal dari mulut Liu Tay-liong yang terbanting jatuh sambil menyemburkan segumpal darah se?gar dari mulutnya. Rupanya ada juga pukulan beruntun Sebun Say itu yang sempat mendarat telak di dadanya, ke?mudian pendekar she Liu itu terbaring di tanah dengan muka yang pucat dan tubuh tidak bergerak-gerak lagi.
Hong-koan Hweshio yang berkelahi tidak jauh dari tempat itu, kaget bu?kan main ketika melihat sahabat karib?nya roboh terkapar seperti itu. Per?hatiannya kepada lawannya menjadi ber?cabang, dan itu memberi kesempatan ke?pada Tang Kiau-po untuk mendaratkan sebuah sapuan tongkat besinya yang te?lak ke paha Hong-koan Hweshio. Tak am?pun lagi rahib angin-anginan itupun roboh dengan tulang paha yang retak berat!
Sebenarnya Tang Kiau-po masih ingin menghadiahkan sebuah pukulan la?gi ke batok kepala lawan yang diben?cinya itu, tapi karena melihat Hong-koan Hweshio telah dilindungi oleh beberapa murid Siau-lim-pay, maka Tang kiau-po lalu membatalkan niatnya dan bergerak mundur bersama rombongan Hwe-liong-pang. Toh keberhasilannya untuk mengungguli Hong-koan Hweshio pada ha?ri itu sudah cukup untuk mengangkat pamornya.
Di sebelah lain, Hong-tay Hwe?shio sebenarnya juga bertekad tidak akan melepaskan Te-liong Hiang-cu yang dapat menjadi bibit malapetaka di ke?mudian hari itu, tapi ternyata pemim?pin Hwe-liong-pang itu berhasil juga melarikan diri setelah menggunakan il?mu hitamnya yang bernama Thian-ko-kay-teh-kang, yaitu ilmu untuk meningkat?kan tenaga secara mendadak dengan ja?lan menggigit lidahnya sendiri.
Dengan cepat barisan Hwe-liong-pang itu telah mencapai kaki bukit Siong-san, jumlah mereka nampak sudah jauh susut dengan jumlah ketika me?nyerbu naik, hampir separonya telah gugur atau tertawan oleh kaum pendekar.
Dengan buru-buru, orang-orang Hwe-liong-ipang itu berlompatan ke pung?gung kuda-kuda mereka, lalu berpacu meninggalkan Siong-san secepat-cepat?nya.
Kerugian yang diderita oleh Hwe-liong-pang kali itu memang tidak kecil. Selain kehilangan hampir separoh dari anak buah mereka, merekapun kehilangan beberapa tokoh penting dan jago mere?ka. Sebun Say tewas ditembus kipas be?si Liu Tay-liong, begitu pula Hong-long-cu Mo Hui tewas pula diremuk oleh toya kiu-hoan-kun Bu Sian Hwe shio. Sedangkan Thio Hong-bwe berun?tung bisa lolos dari amukan rahib muda itu, biarpun dengan membawa luka-luka parah yang mengenaskan. Empat orang Tong-cu yang tadi terkurung oleh ba?risan Lo-han-tin, ternyata tidak seorangpun yang berhasil lolos, semuanya tertangkap hidup-hidup. Sip-hiat-mo-hok Liong Pek-ji bisa lolos, namun dengan kekecewaan yang sangat menda?lam di hatinya karena menemui kenyata?an bahwa ketinggian ilmunya ternyata tidak seperti yang dibayangkannya se?lama ini. Hwe-tan Seng Cu-bok juga lo?los, namun seluruh gigi depannya te?lah habis dipreteli oleh Wi-lian de?ngan pukulan-pukulan dan tendangan-tendangan geledeknya. Kini jika ia membuka mulutnya, maka yang kelihatan cuma sederetan gusi merah tanpa gigi sebuahpun, sedang bicarapun menjadi tidak jelas.
Hampir meledak rasanya dada Te-liong Hiang-cu, ketika melihat anak buahnya yang dibanggakan itu ternyata menjadi begitu konyol keadaannya itu. Hampir saja ia mencaci-maki anak bu?ahnya, namun akhirnya ia tidak melaku?kan hal itu, sebab kuatir anak buah?nya akan meninggalkan dirinya, pada?hal mereka masih diperlukan untuk ma?sa-masa berikutnya dalam rangka me?wujudkan napsunya untuk menguasai dunia.
-o0^DwKz-Hendra^0o- SETELAH rampungnya pertempuran besar-besaran yang dahsyat itu, ternyata pihak kaum pendekar juga meng?alami kerugian. Umumnya yang menjadi korban ialah kaum muda dari berbagai perguruan, yahg meskipun memiliki ke?pandaian kepandaian cukup, namun ku?rang pengalaman menghadapi pertempur?an yang sesungguhnya. Tapi anak-anak muda yang berhasil lolos dari per?tempuran itu akan dapat berbangga dengan pengalamannya yang hebat itu.
Hong-tay Hweshio sebagai pim?pinan seluruh pendekar, segera ber?tindak dengan cepat. Ia membentuk regu regu penolong untuk menolong orang-o?rang terluka yang masih berserakan di seluruh lereng bukit, tidak peduli orang itu dari pihak kaum pendekar atau dari Hwe-liong-pang, semuanya mendapati pertolongan sekedarnya. Sementara itu regu-regu lain bertugas untuk meng?uburkan mayat-mayat yang malang-melintang agar tidak menimbulkan bau busuk.
Orang-orang Hwe-liong-pang yang tertawan tapi tidak terluka, dilucuti senjatanya dan dikurung dalam sebuah barak dengan tangan terikat.
Sementara regu-regu itu bekerja, Hong-tay Hweshio telah mengumpulkan ketua-ketua perguruan atau tokoh-tokoh utama lainnya untuk merundingkan tin?dakan lebih lanjut apa yang akan diam?bil.
Setelah semuanya berkumpul, Hong-tay Hweshiopun berkata, "Sungguh ti?dak kita harapkan bahwa gembong iblis Te-liong Hiang-cu itu masih dapat me?loloskan diri dengan sebagian dari anak buahnya. Aku yakin mereka tetap merupakan bahaya di kemudian hari, se?bab tidak sulit bagi mereka untuk me?nyusun kekuatannya kembali dan mena?rik penjahat-penjahat untuk diajak bergabung, saat itu mereka akan me?lanjutkan cita-cita gila mereka untuk menaklukkan dunia persilatan. Apabila mereka sempat menyusun kekuatan lagi, maka kesulitan yang kita hadapi mungkin lebih besar dari sekarang. Bagai?mana pendapat rekan-rekan?"
"Aku sependapat!" sahut Hong-lui-kiam-khek Kongsun Tiau, ketua Jing-sia pay itu. "Tadinya aku punya kesan ba?ik terhadap Hwe-liong-pang, namun se?telah aku menyelidiki sendiri ke kota Bun-siau dan mendapat kenyataan bahwa Hwe-liong-pang sekarang lain dengan Hwe-liong-pang yang dulu kukenal, ma?ka aku merasa tidak perlu ragu-ragu lagi menghadapi mereka. Aku sudah me?lihat sendiri betapa ganasnya serbuan mereka kemari, dan beberapa anggauta Jing-sia-pay telah gugur pula."
"Aku juga sependapat," sokong ke?tua Hoa-san-pay, Kiau Bun-han. "Jum?lah orang jahat dalam dunia persilatan tidak sedikit, tidak sedikit pula yang berkepandaian silat cukup tangguh. Apabila Te-liong Hiang-cu sempat membujuk mereka dan merangkul mereka ke dalam Hwe-liong-pang, kita semakin sulit menumpas mereka."
"Menurut pendapatku, kita harus segera mengejar mereka secepatnya. Sa?at ini mereka sedang dalam keadaan lelah karena baru saja mengalami keka?lahan dari kita, maka untuk menumpas mereka tentu tidak sesulit jika kekuatan mereka sudah terhimpun kembali, Hong-tay Siansu, kau adalah pemimpin kami semua, silahkan segera mengambil langkah untuk rencana kita ini."
Rahib Hong-tay tersenyum, lalu dengan suaranya yang lembut tapi tegas, ia menyahut, "Baik. Untuk pertama kali aku terpaksa akan merepotkan saudara-saudara dari Kay-pang (Perkum?pulan Pengemis)."
Wakil Kay-pang dalam pertemuan ksyatria itu adalah Ling Kok-yan yang berjuluk Pat-pi-sin-kay (Pengemis Sak?ti Delapan Lengan). Ia segera berdiri dari tempat duduknya dan berkata, "Si?ap mendengarkan perintah Tay-su!"
Kata Rahib Hong-tay, "Kay-pang terkenal sebagai sebuah perkumpulan yang cabang-cabangnya tersebar luas, anggautanya berjumlah puluhan ribu dan terdapat di mana-mana, ibaratnya seperti mempunyai sejuta mata dan se?juta telinga. Maka aku mohon kepada saudara Ling untuk menggerakkan sauda?ra-saudara anggauta Kay-pang untuk me?mata-matai dan menyelidiki ke manakah orang-orang Hwe-liong-pang itu mela?rikan diri. Ini perlu agar kita jangan kehilangan jejak mereka dan dapat menghancurkan mereka."
"Baik," sahut Ling Kok-yan sing?kat. Begitu menjawab, dia langsung bangkit dan berdiri meninggalkan tem?pat pertemuan.
Untuk menjalankan pekerjaan se?perti yang diminta oleh Hong-tay Hwe?shio itu ternyata Ling Kok-yan tidak perlu bersusah-payah. Cukup ia menuju ke kota Teng-hong yang tidak jauh da?ri Siong-san, lalu menemui ketua ca?bang Kay-pang di Teng-hong dan membe?rikan perintah-perintah singkat ten?tang apa yang harus diperbuat. Dan ti?dak lama kemudian, Kay-pang cabang Teng-hongpun telah menyebarkan burung-burung merpati pembawa surat ke sega?la penjuru, serta kurir-kurir yang menunggang kuda. Demikian cepat dan ra?pinya cara kerja golongan pengemis itu.
Sementara itu, di Siong-san Hong-tay Hweshio telah menetapkan rencana berikutnya, "Sekarang kita tetapkan saja bahwa mulai besok pagi-pagi buta kita akan serempak meninggalkan bukit ini dan mengejar sisa Hwe-liong-pang sesuai dengan arah yang akan diberi?tahukan oleh saudara-saudara kita da?ri Kay-pang. Supaya gerakan kita ini tidak menimbulkan perhatian Pemerin?tah Kerajaan Beng yang selalu mencari-cari kesalahan kita itu, maka pengejar?an akan dipecah-pecah dalam regu-regu kecil yang tidak menyolok. Setiap re?gu yang mengalami kesulitan, misalnya, karena bentrok dengan musuh yang le?bih kuat, harap jangan ragu-ragu atau sungkan-sungkan untuk mengirim kabar atau minta bantuan kepada regu-regu lainnya. Jangan sampai kita dihancur?kan sebagian demi sebagian tanpa dapat saling membantu. Dalam hal ini diper?lukan kesadaran saudara-saudara agar tidak terlalu teguh berpegang pada har?ga diri pribadi sehingga segan meminta bantuan, sikap demikian itu akan dapat mengacaukan seluruh rencana besar ki?ta."
Suara-suara yang menyatakan sang?gup memenuhi pesan-pesan Hong-tay Hweshio itu segera berkumandang di sega?la sudut ruangan.
Dengan keputusan yang sudah dite?tapkan demikian itu, maka pertemuan itu dibubarkan. Mereka masih akan pu?nya kesempatan satu hari untuk beris?tirahat di Siong-san sambil merawat yang luka-luka atau tewas. Rata-rata di antara mereka menunjukkan semangat tinggi, terutama bagi para pendekar pendekar muda yang baru kali ini ter?jun ke dunia persilatan. Anak-anak muda itu menganggap bahwa permainan "kejar-kejaran" dengan Hwe-liong-pang itu tentu akan menarik sekali, meng?ingatkan mereka kepada permainan perang-perangan sewaktu mereka masih kecil.
Hong-tay Hweshio menggunakan ke?sempatan hari itu untuk menjenguk ke?adaan luka Liu Tay-liong serta Hong-koan Hweshio, dengan didampingi oleh Kim-hian Tojin, Yu Hau-seng dan tokoh-tokoh utama lainnya. Kedua orang yang terluka itu telah dibawa masuk ke ba?gian dalam kuil kuno itu dan dita?ngani langsung oleh rahib-rahib tua yang mahir dalam ilmu pengobatan.
Ternyata keadaan Hong-koan Hwe?shio dan Liu Tay-liong memang tidak menggembirakan sama sekali. Rahib Hong-goan tetap dalam keadaan sadar, tetapi tidak henti-hentinya meringis kesakitan sambil mencaci-maki orang-o?rang Hwe-liong-pang. Menurut Rahib Hong-koan Hweshio itu akan dapat disembuh?kan namun tidak bisa pulih seperti se?mula. Jika sembuh kelak, Hong-koan hweshio akan menjadi seorang yang tim?pang, sehingga kemahiran ilmu silatnyapun akan merosot beberapa bagian.
"Aku benar-benar sial," demikian Hong-koan Hweshio menggerutu di tempat tidurnya. "Aku menderita luka atau cacad yang lebih beratpun aku rela, asal lawanku juga menderita luka yang sama beratnya. Tapi luka yang kuderita kali ini benar-benar percuma, sebab si ular tua berambut merah itu berha?sil melarikan diri dengan segar-bu?gar. Huh!"
Soat-san-kiam-sin Oh Yu Thian menghibur sahabat karibnya itu dengan berkata, "Sudahlah, itu adalah akibat kesalahanmu sendiri yang kurang giat berlatih silat, kerjamu selama ini hanya keluyuran kesana kemari sambil mengganggu orang lain. Tapi tentang urusan bangsat berambut merah itu, se?rahkanlah kepadaku, akan kupotong se?belah kakinya untukmu."
Sementara itu keadaan Liu Tay-liong jauh lebih buruk dari Hong-koan Hweshio. Sejak digotong masuk ke da?lam ruangan ini tadi, dia belum sadar?kan diri sama sekali. Rahib Hong-bun sudah bekerja keras dengan segala jenis obat dan seluruh kepandaian pertabibannya yang dikuasainya, namun usa?hanya itu paling-paling hanya membuat muka Liu Tay-liong tidak terlalu pucat saja, dan sama sekali belum berhasil membuatnya siuman.
Ketika Hong-tay Hweshio menanya?kan bagaimana keadaan Liu Tay-liong, Hong-bun Hweshio hanya menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tersenyum pa?hit. Katanya hampir putus asa, "Payah sekali. Menurut beberapa saksi mata yang melihatnya, saudara Liu ini me?mang sengaja mengorbankan dirinya agar bisa membunuh lawannya. Dia berhasil membunuh lawan, namun dadanya sendiri terkena pukulan lawannya yang bukan main kerasnya, mengakibatkan empat he?lai tulang dadanya patah ke dalam dan agak melukai bagian dalam tubuhnya. Sedangkan beberapa buah uratnyapun tergetar putus dan agaknya sulit pu?lih kembali. Andaikata saudara Liu ini dapat sembuh, semua kepandaiannya akan hilang, begitu pula jurus-jurus silatnya hanya dapat untuk menyehat?kan badan saja, tidak bisa lagi untuk berkelahi."
Mendengar keterangan Hong-bun Hweshio itu, para pendekar hanya mena?rik napas panjang dengan sikap sayang, mereka merasa sayang karena seorang tokoh pendekar yang begitu gigih mene?gakkan kebenaran seperti Liu Tay-liong ini akhirnya harus mengalami nasib yang begitu mengenaskan. Kongsun Tiau, yang pernah bersama-sama dengan Liu Tay-liong ketika menerobos kota Bun-siau untuk menyelidiki kekuatan Hwe-liong-pang, berkata dengan nada penuh penyesalan, "Aku belum lama mengenal Liu Lo-eng-hiong secara pribadi, mes?kipun pernah pula kudengar akan nama besarnya, namun dalam perkenalanku yang singkat itu aku telah mengetahui akan pribadinya yang baik dan terbuka sehingga meninggalkan kesan mendalam di hatiku. Dengan nasib yang dialami?nya ini, untuk selanjutnya dunia per?silatan akan kehilangan seorang tokoh yang begitu cemerlang."
Sahut Kiau Bun-han gagah, "Tapi pengorbanan Liu Lo-eng-hiong tidak sia-sia. Meskipun Liu Lo-eng-hiong menjadi cacad seumur hidup, namun iblis kerdil dari Jing-hay itu berha?sil dibunuhnya pula, sehingga berku?ranglah satu orang pembuat huru-hara yang ditakuti itu. Dalam usaha kita untuk mengejar Hwe-liong-pang besok, siapa tahu beberapa orang di antara kita juga akan menjadi korban, gugur atau cacad, namun demi ketenteraman umat manusia kita memang sudah berte?kad untuk menempuh jalan itu dan tidak peduli pengorbanan apapun."
"Ucapan seorang ksyatria sejati !" sambung Thian-goan Hweshio dari Go-bi-pay. "Aku percaya bahwa Liu Lo-eng-hiongpun tidak akan menyesali nasib yang dideritanya, sebab pengorbanan?nya cukup setimpal."
Demikianlah keadaan Hong-koan Hweshio dan Liu Tay-liong yang terluka berat itu. Terlukanya kedua tokoh utama kaum pendekar itu tidak membuat pendekar-pendekar lainnya ja?di patah semangat, melainkan justru semakin berkobar semangatnya untuk menumpas Hwe-liong-pang sampai ke akar akarnya.
Semangat yang terlalu berkobar itulah yang mencemaskan Tong Wi-hong dan Wi-lian, sebab dengan sikap permu?suhan semacam itu maka yang menerima akibatnya bukan hanya Te-liong Hiang cu dan pengikut-pengikutnya, melain?kan juga Tong Wi-siang yang sama sekali tidak tahu-menahu tentang penyer?buan ke Siong-san itu!
Di salah sebuah barak yang didi?rikan di sekitar kuil, nampaklah Wi-hong dan Wi-lian sedang berbicara de?ngan asyiknya dengan ibu mereka. Dalam percakapan itu, untuk lebih menggem?birakan hati ibunya, Wi-lian mencerita?kan bahwaa ternyata kakak tertuanya, Tong Wi-siang yang sekian lama menghi?lang tak tentu rimbanya itu, ternyata masih ada dan menitipkan sembah sujud untuk ibunya.
Berita itu bagaikan sebuah alir?an tenaga ajaib yang membuat wajah Tong Hu-jin seketika itu berseri-seri kegirangan. Sambil mengguncang-guncang pundak anak gadisnya, ia berkata dengan nada setengah percaya setengah tidak, "Ka... kata...mu kau sudah bertemu A-siang? Benarkah itu?"
"Benar, ibu, aku dan A-hong su?dah menjumpainya sendiri di sebuah kapal di tengah-tengah danau Po-yang-ou dekat rumah kita. bahkan A-siang juga yang telah memperbaiki rumah kita, membangun dan memperindah makam ayah dan bahkan telah membalaskan sakit ha?ti keluarga kita kepada Cia To-bun."
"Benarkah itu, A-hong?" tanya ibunya kepada Tong Wi-hong.
Dan ketika Tong Wi-hong mengangguk membenarkan, maka meneteslah air mata kebahagiaan perempuan tua itu, bibirnya gemetar menyebut kebesaran Tuhan, "Thian benar-benar maha adil. Tadinya aku mengira bahwa anakku hanya tinggal A-hong seorang diri. Aku menduga A-lian tentu sudah dibunuh oleh kawanan pembunuh suruhan Cia To-bun, begitu pula A-siang sudah hilang tak keruan lagi jejaknya, namun ter?nyata ketiga anakku masih lengkap se?muanya."
Sejenak suasana pertemuan antara ibu dan anak-anaknya itu jadi diceng?kam oleh keharuan. Setelah Tong Hujin dapat menguasai gelora perasaannya dan menjadi tenang kembali, ia lalu mengu?sap air matanya dan bertanya, "Lalu sekarang di manakah anak bengal itu?"
Terhadap ibunya ini Wi-hong dan Wi-lian tidak berani menyembunyikan rahasia apapun juga. Maka merekapun menceritakan secara lengkap mulai da?ri pertemuan di atas telaga Po-yang-ou di mana saat itu mereka mengetahui bahwa Tong Wi-siang adalah Hwe-liong-Pang-cu, kemudian pertempuran di Jian-hoa-kok di mana Hwe-liong-pang terba?gi dua menjadi pihak-pihak yang bermu?suhan, semuanya diceritakan selengkap-lengkapnya. Dan yang melengkapi penuturan itu adalah hasil penyelidikan mereka di kota Bun-siau, di mana dike?tahui bahwa Tong Wi-siang telah dikhi?anati dan diambil alih kekuasaannya oleh bekas sahabatnya sendiri, yaitu Tan Goan-ciau yang bergelar Te-liong Hiang-cu itu. Mendengar kabar itu, wa?jah Tong Hujin kembali menjadi sedih, namun Wi-lian buru-buru menghiburnya, "Ibu tidak usah mencemaskan nasib A-siang, aku yakin bahwa saat ini A-siang tidak kurang suatu apapun, pa?ling-paling hanya kehilangan kekuasa?annya sebagai Ketua Hwe-liong-pang. Ketika aku sempat mencuri dengar pem?bicaraan tokoh-tokoh Hwe-liong-pang di kuil Tay-hud-si, mereka masih beru?saha menemukan A-siang dan pengikut pengikutnya. Ini berarti A-siang masih dalam keadaan selamat karena belum diketemukan."
Tong Hujin menarik napas berulang kali ketika mendengar kisah yang cu?kup menegangkan itu. Katanya sambil menggeleng-gelengkan kepala, "Aku bersyukur bahwa A-siang masih selamat, namun sifat-sifat bengalnya itu agak?nya belum hilang juga dan selalu membawanya dalam kesulitan. Dulu di An-yang-shia dia telah memimpin kawanan berandalnya untuk mengacau kota, dan kini ia mengacau dunia persilatan dengan Hwe-liong-pangnya."
Mendengar ucapan ibunya itu, cepat Wi-lian memotong, "Ibu jangan keliru, yang mengacau dunia persilatan saat ini bukan Hwe-liong-pangnya A-siang melainkan Hwe-liong-pangnya Tan Goan-ciau alias Te-liong Hiang-cu yang ke?pemimpinannya sama sekali tidak syah. Kalau A-siang sendiri justru pernah menyatakan kepadaku, katanya ingin me?mimpin Hwe-liong-pangnya untuk bersa?habat dengan golongan-golongan lainnya dan berjuang bersama-sama menegakkan keadilan."
"Oh, ya, aku salah bicara," kata Tong Hujin sambil tertawa. "Setelah selesainya pertemuan di tempat ini, bagaimanakah rencana kalian selanjut?nya?"
Sahut Wi-hong, "Aku mencemaskan bahwa suasana permusuhan antara para pendekar ini terhadap Hwe-liong-pang sulit dipadamkan dalam waktu singkat, yang aku kuatirkan bahwa mereka akan keliru menghantam Hwe-liong-pangnya A-siang yang tidak tahu menahu dalam permusuhan ini. Karena itu, aku dan A-lian setelah selesainya pertemuan ini akan segera berusaha mencari je?jak A-siang, lalu membujuk A-siang agar dia dan pengikut-pengikutnya un?tuk sementara waktu tidak muncul dulu di dunia persilatan agar tidak menim?bulkan salah paham dengan kaum pen?dekar."
"Ke mana kalian hendak mencari?" tanya ibunya.
Tong Wi-hong menarik napas, "En?tahlah, tapi kami harus berusaha sebe?lum terjadinya korban jiwa hanya kare?na kesalah-pahaman. Jelas kami tidak menginginkan terjadinya korban jiwa di pihak para pendekar maupun di pihak A-siang dan pengikut-pengikutnya. Kedua pihak sama-sama ksyatria sejati yang bercita-cita luhur, tidak pantas untuk saling cakar satu sama lain. Tentang bagaimana caranya mencari A-siang, kami akan mencoba melacak je?jaknya lewat tempat-tempat yang pernah dianggap sebagai cabang Hwe-liong-pang. Memang sulitnya bagaikan menca?ri sebatang jarum di tumpukan jerami, namun betapapun kita harus berusaha."
"Kalau begitu, aku ikut kalian untuk mencari A-siang," kata Tong Hu?jin mantap.
Wi-lian memegang tangan ibunya, sambil berkata, "Ibu, perjalanan un?tuk menemukan jejak A-siang dan pengikut-pengikutnya itu pasti bukan suatu perjalanan yang enak namun malahan penuh bahaya. Selain adanya kemungkin?an bentrok dengan orang-orangnya Te-liong Hiang-cu yang lihai-lihai, juga ada kemungkinan bentrok dengan kaum pendekar yang bersikap keras terhadap Hwe-liong-pang. Karena itu sebaiknya ibu beristirahat saja di rumah kita di An-yang-shia yang sekarang sudah dipugar, dan di sana ibu boleh menunggu berita saja dari kami."
Tong Hujin tertawa ketika mendengar ucapan anak gadisnya itu, "Anak sombong, kau pikir ibumu ini ha?nya akan menjadi beban kalian saja? Mentang-mentang kau sudah menjadi murid Hong-tay Hweshio lalu memandang remeh orang lain, kau kira ibumu selama dua tahun lebih di Soat-san itu ha?nya menganggur dan tidak melatih ilmu silat?"
Untuk meyakinkan puterinya itu, cepat Tong Hujin menghunus pedangnya dan memainkan sejurus ilmu pedang yang cepat, dan sedetik kemudian pe?dang itu sudah berada dalam sarungnya kembali.
Wi-lian masih ingin bergurau dengan ibunya, maka sambil mencibir?kan bibirnya ia berkata, "Apa hebat?nya jurus itu itu..." namun kata-kata?nya itu terputus, dengan terkejut ia melihat beberapa ekor lalat sudah bergeletakan di tanah dalam keadaan tu?buh terbelah dua! Jelaslah bahwa lalat lalat sial itu telah terbelah oleh sambaran pedang Tong Hujin ketika mema?inkan jurus pedangnya tadi. Mau tidak mau Wi-lian menjulurkan lidahnya kare?na kagum.
Ting Bun, Cian Ping, Tong Wi-hong dan dua saudara So juga terkejut me?lihat kecepatan jurus pedang setinggi itu. Dengan kemampuannya yang seperti itu, Tong Hujin jelas bukan beban yang memberatkan anak-anaknya, namun justru merupakan tenaga bantuan yang dapat diandalkan dalam menghadapi ke?sulitan.
"Jurus yang tidak berarti bukan?" kata Tong Hujin ketika melihat anak gadisnya masih melongo kaget.
Wi-lian tersipu sejenak, tapi ia lalu tertawa sambil memeluk ibunya, katanya, "Hebat! Tidak kuduga kemaju?an ilmu silat ibu sehebat ini!"
Di bagian lain, Hong-tay Hweshio telah memerintahkan kepada beberapa orang murid dan keponakan muridnya un?tuk menghadapkan keempat orang Tong-cu Hwe-liong-pang yang berhasil ditawan hidup-hidup dengan menggunakan baris?an Lo-han-tin itu. Keempat Tong-cu itu akan dikorek keterangan tentang Hwe-liong-pang.
Tak lama kemudian, keempat Tong-cu Hwe-liong-pang itu telah muncul di ruangan itu dalam keadaan terikat tangannya, digiring oleh murid-murid berbagai perguruan yang sedang berkum?pul di Siong-san itu. Keempat Tong-cu itu masing-masing adalah Say-ya-jat (Si Hantu Malam) Tong King-bun yang menjabat Pek-ki-tong-cu, Thi-pwe-siang (Gajah berpunggung Besi) Song Hian yang memimpin Ci-ki-tong, Tui-hun-mo-kay (Pengemis Iblis Pemburu Nyawa) Ko Ce-yang sebagai Ang-ki-tong-cu ser?ta Sat-sin-kui (Si Setan Ganas) Hehou Im sebagai Hek-ki-tong-cu. Keempat orang itu nampak lesu dan penuh kele?lahan, meskipun mata mereka masih me?mancarkan kemarahan dan permusuhan.
Melihat munculnya keempat ta?wanan itu, Hong-tay Hweshio segera me?merintahkan kepada murid-muridnya, "Lepaskan ikatan mereka dan ambilkan tempat duduk untuk mereka!"
Ketika keempat Tong-cu Hwe-liong-pang itu telah duduk di kursinya ma?sing-masing, dengan muka yang cerah dan sama sekali tidak mengandung permu?suhan, Hong-tay mulai berkata, "Si-wi-eng-hiong (tuan pendekar berempat), se?perti kalian lihat sendiri bahwa saat ini Hwe-liong-pang sudah mendekati saat kehancurannya. Itu adalah hukum alam. Siapa yang berbuat sewenang-wenang dan menentang hukum alam, sama dengan mem?percepat kehancurannya sendiri. Besok pagi-pagi benar, kami semua akan me?ninggalkan gunung ini secara serempak, dan mulai melakukan pengejaran besar besaran kepada teman-teman kalian yang masih berhasil lolos dari pertempuran tadi. Seluruh kekuatan dunia persilatan dari kaum lurus akan dikerahkan un?tuk pekerjaan ini, sehingga hasilnya-pun tidak diragukan lagi."
Keempat orang Tong-cu itu mende?ngarkan perkataan Hong-tay Hweshio itu tanpa menyahut sepatah katapun, namun mimik muka mereka menunjukkan sikap yang berbeda-beda. Tong King-bun nampak acuh tak acuh, kepada nasibnya sendiripun dia sudah tidak peduli lagi, apalagi terhadap orang lain, Hehou Im nampak dingin, namun diam-diam dalam hatinya menyimpan harapan agar diampu?ni dan dibebaskan. Song Hian mengertak gigi dengan geram. Ko Ce-yang menatap penuh kebencian kepada Hong-tay Hwe?shio, namun ketika rahib tua itu balas menatapnya, maka terpaksa Ko Ce-yang membuang muka karena tidak tahan me?nantang tatapan rahib tua itu.
Dengan suara yang tetap sesabar semula, Hong-tay Hweshio berkata lagi, "Lambat atau cepat, kami akan menemu?kan tempat persembunyian mereka dan kemudian menumpas pentolan-pentolannya. Sedang terhadap anggauta-anggauta bia?sa yang bertindak hanya karena menja?lankan perintah, kami akan memper?timbangkan keinsyafan mereka, sebab kami bukannya orang-orang yang haus da?rah dan selalu ingin membunuh sebanyak banyaknya. Begitu pula kepada Su-wi-eng-hiong kami tawarkan kesempatan un?tuk berbuat kebajikan kepada dunia per?silatan, yaitu dengan cara menunjukkan tempat mereka."
Kecuali Ko Ce-yang yang keras ke?pala, maka ketiga orang Tong-cu lain?nya sudah menunjukkan sikap berminat kepada tawaran Hong-tay Hweshio itu. Perbedaan sikap itu dapat dimengerti. Tong King-bun, Hehou Im dan Song Hian memang bukan anggauta lama Hwe-liong-pang, mereka baru beberapa hari saja menjadi anggauta Hwe-liong-pang, kare?na ditarik oleh Te-liong Hiang-cu dan diberi janji yang muluk-muluk. Karena itu kesetiaan mereka kepada Hwe-liong-pang boleh dikata tidak ada sama sekali. Mereka akan ikut mencicipi jika Hwe-liong-pang kelak mengalami kejaya?an, tapi jika Hwe-liong-pang di ping?gir jurang kehancuran, mereka lebih suka menyelamatkan dirinya sendiri.
Sedangkan Ko Ce-yang memang ang?gauta lama Hwe-liong-pang yang sudah bertahun-tahun dibina oleh Te-liong hiang-cu, seluruh pikiran dan perasaannya sudah dipenuhi oleh nafsu berkuasa yang dikobarkan karena mendengar janji-janji muluk Te-liong Hiang-cu, tidak ada pertimbangan lain lagi. Apalagi otaknya memang agak bebal, maka ia ber?tekad setia kepada Te-liong Hiang-cu secara membabi buta.
Hong-tay Hweshio mengamati perubahan wajah keempat orang tawanannya itu dengan cermat, ucapnya lagi, "Ba?gi kami yang belum tahu tempat persem?bunyian Hwe-liong-pang tentu agak su?lit menemukan tempat itu. Tapi kalian dapat mempercepat tugas kami dengan jalan membantu kami."
Mata Hehou Im berputar-putar, ti?ba-tiba ia tertawa dan bertanya, "Apa imbalan buat kami?"
"Kalian berempat akan kami bebas?kan kembali, meskipun dengan syarat agar kalian tidak membuat kekacauan lagi."
"Hanya itu saja imbalannya?" He?hou Im mencoba "menawar".
Thian Goan Hweshio yang duduk di sebelah Hong-tay Hweshio itu menjadi naik darah melihat sikap Hehou Im itu. Bentaknya, "Tutup mulutmu! Kepala ka?lian masih utuh karena kami biarkan bertengger terus di leher kalian itu saja sudah suatu keuntungan bagi kali?an, kalian masih mau menuntut apa la?gi?"
Seri tawa Hehou Im lenyap seke?tika bagaikan awan dihembus angin. Dia berjulukan Sa-sin-kui atau Setan Ganas, menandakan tindak-tanduknya yang kejam sekali, namun ketika berha?dapan dengan Thian-goan Hweshio yang bermata mencorong seperti mata ha?rimau itu, maka rontoklah nyali Sat-sin-kui tanpa tersisa sedikitpun. Bu?ru-buru ia menundukkan kepalanya de?ngan mulut bungkam.
Yang berani membalas membentak justru adalah Ko Ce-yang, "Persetan dengan usul kalian yang bau kentut itu, keledai gundul! Aku lebih suka mampus daripada berkhianat kepada Te-liong Hiang-cu dan cita-citanya!"
"Benar-benar lelaki sejati!" se?ru Kiau Bun-han dengan suara tidak ka?lah garangnya. "Kalau ingin mampus se?karang, apa susahnya? Sekarang juga aku sanggup memampuskan kau!"
Suasana segera menjadi agak ribut. Ko Ce-yang adalah seorang yang nekad dan tidak kenal gelagat, seba?liknya Kiau Bun-hanpun berwatak keras dan berdarah panas, maka kedua orang itu telah bangkit dari tempat duduknya masing-masing dan siap untuk berbaku hantam. Namun Hong-tay Hweshio cepat berkata kepada Ketua Hoa-san-pay yang pemarah itu, "Kiau Ciang-bun-jin, aku harap kau tidak menuruti sa?ja hati panasmu itu sehingga akan mem?buat terbengkalainya urusan yang le?bih penting."
Dengan muka yang masih merah, akhirnya Kiau Bun-han meletakkan kem?bali pantatnya ke atas kursinya. Namun matanya masih berapi-api melotot ke arah Ko Ce-yang.
Hong-tay Hweshio segera memerin?tahkan murid-muridnya untuk mengurung kembali Ko Ce-yang, karena orang itu agaknya tidak bisa diajak bicara lagi, dan kehadirannya malah akan menggang?gu rekan-rekannya dalam mengambil keputusan.
Ketika dua orang hweshio muda hendak meringkusnya kembali, Ko Ce-yang meronta-ronta hebat dan memaki-maki dengan kata-kata yang kotor, se?hingga kedua rahib muda itu menjadi agak kewalahan. Terpaksa Hong-tay Hwe?shio turun tangan. Tanpa bangkit dari tempat duduknya dan dari jarak belas?an langkah, Hong-tay Hweshio menuding?kan jarinya dan melancarkan ilmu totokan Kim-kong-ci (Jari Malaikat) yang terkenal itu. Orang-orang di tem?pat itu hanya melihat ada sejalur war?na putih melesat dari ujung jari ra?hib tua dan "mendarat" di pinggang Ko Ce-yang, seketika itu juga Tong-cu yang bandel itu terkulai lemas. Gumam kekaguman terdengar di ruang itu.
Tong King-bun, Hehou Im dan Song Hianpun merasa kagum dan gentar ke?tika melihat kepandaian rahib tua itu, lunturlah semangat mereka itu untuk membangkang lagi. Bagi orang-orang se?macam mereka bertiga ini, di dunia ini tidak ada yang lebih penting dari pada keselamatan diri sendiri. Maka begitu melihat kepandaian Hong-tay Hweshio, mereka sadar bahwa cita-cita muluk yang dijanjikan oleh Te-liong Hiang-cu itu sudah kandas di tengah jalan, Hwe-liong-pang sudah tidak bisa diandalkan lagi.
Ketika Hong-tay Hweshio sekali lagi menanyakan tempat persembunyian Te-liong Hiang-cu, maka Song Hian men?jawab sejujurnya, "Taysu (bapak pen?deta), tentang tempat persembunyian?nya yang pasti, kami tidak tahu, se?bab kami menjadi anggauta Hwe-liong-pang baru beberapa hari saja. Namun kami pernah bercakap-cakap dengan be?berapa anggauta lama seperti Ko Ce-yang atau Mo Hui, mereka sering menye?but tentang puncak Tiau-im-hong di pe?gunungan Bu-san di wilayah Su-coan. Kami tidak tahu apakah tempat itu me?rupakan tempat persembunyian mereka yang sesungguhnya atau bukan, tapi ha?nya itulah yang bisa kami katakan."
Kongsun Tiau membantingkan kaki?nya ke lantai dan berteriak, "Hanya keterangan seremeh itu yang dapat ka?lian katakan, apakah itu setimpal dengan kebebasan yang akan kalian peroleh?"
Song Hian saling bertukar pan?dangan dengan kedua orang temannya, la?lu katanya sambil menarik napas, "Apa boleh buat.. Kami adalah tawanan kalian, mau kalian bunuh atau kalian siksapun kami tetap tidak bisa mela?wan lagi, buat apa kami membohongi kalian? Coba kalian pikir, kami baru belasan hari menjadi anggauta Hwe-liong-pang, masakah Te-liong Hiang-cu bisa langsung mempercayai kami dan memberitahukan semua rahasia-rahasia perkumpulannya? Bukankah itu tidak ma?suk akal?"
Tong King-bun dan hehou im segera membenarkan ucapan rekannya itu.
"Lagi pula, buat apa kami menyem?bunyikan rahasia tempat mereka, se?dang saat ini kami sudah tidak ada hubungan kepentingan lagi dengan mere?ka?" kata Tong King-bun memperkuat pendapat temannya.
Kongsun Tiau dan ketua-ketua per?guruan lainnya serempak memandang ke arah Hong-tay Hweshio untuk meminta pendapat rahib tua itu.
Dengan ketajaman mata batinnya, Hong-tay Hweshio tahu bahwa Song Hian dan kawan-kawannya itu tidak mungkin berbohong lagi dalam keadaan semacam itu. Kata Hong-tay dengan sabar, "Aku percaya ucapan kalian bertiga. Baik?lah, saudara-saudara pendekar, kita akan mulai bergerak besok pagi ke arah Gunung Bu-san di Su-coan, namun tidak tertutup kemungkinan bahwa arah perjalanan kita akan berubah di teng?ah jalan. Tidak mustahil bahwa Te liong Hiang-cu telah menebak tindakan kita ini, lalu dia mencari tempat persembunyian yang lain. Kita akan be?rangkat secara terpecah-pecah dalam kelompok-kelompok kecil, namun setiap kelompok hendaknya saling berhubungan dan saling memberi kabar tentang kea?daannya masing-masing, dengan melewa?ti saudara-saudara anggauta-anggauta Kay-pang yang akan bertindak sebagai penghubung dan penyampai berita. Gerakan besar ini tidak boleh kacau."


Perserikatan Naga Api Karya Stevanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lalu Rahib Hong-tay berkata kepa?da ketiga orang Tong-cu Hwe-liong-pang itu, "Kalian bertiga akan termasuk da?lam kelompok kecilku."
Begitu mendengar itu, wajah ke?tiga orang Tong-cu itu seketika pucat karena terkejutnya. Dengan tergagap gagap Tong King-bun berkata, "Tetapi.. ... tetapi... apakah kami sanggup me?lawan Te-liong Hiang-cu yang berkepandaian seperti... seperti iblis itu? Kami... kami...."
Rahib Hong-tay cepat memotong ucapan Tong King-bun itu, "Tepat sekali, kalian harus ikut bertempur melawan bekas rekan-rekan kalian itu. Selama ini telah cukup banyak perbuat?an kalian yang merugikan orang lain, sekarang cobalah gunakan tenaga kali?an untuk berbuat sesuatu yang mengun?tungkan orang banyak, dengan jalan ikut menumpas Hwe-liong-pang. Lagi pula kalian tidak perlu begitu takutnya kepada Te-liong Hiang-cu, sebab dia bukannya seorang yang tidak terkalah?kan sama sekali. Bicara terus terang saja, dari pihak Siau-lim-pay kami saja ada beberapa orang yang akan sang?gup bertempur mengimbangi iblis itu. Belum terhitung dari perguruan-pergu?ruan lain."
Ketiga orang Tong-cu itu tidak membantah lagi, namun wajah mereka ma?sih menampakkan kebimbangan dan kenge?rian jika harus melawan iblis berto?peng yang pernah menjadi pemimpin me?reka itu.
Hong-tay Hweshio memahami perasa?an mereka, maka ia berkata lagi, "Ten?tu saja kami akan bertindak adil de?ngan jalan tidak akan menyuruh kalian untuk menghadapi lawan yang tidak se?imbang. Tetapi kalian harus ikut dan harus menjadi penunjuk jalan kami, itu mutlak tidak bisa ditawar lagi."
Ketiga orang Tong-cu itu akhir?nya cuma bisa menarik napas panjang dan menyesali nasib mereka yang kurang baik. Betapapun enggannya mereka, na?mun keputusan sudah dijatuhkan, dan mereka akan melakukan pekerjaan yang paling tidak enak, yaitu memburu bekas bekas kawan mereka sendiri.
Kepada murid-muridnya, Hong-tay Hweshio memerintahkan, "Bawalah ketiga Tong-cu ini ke ruang istirahat mere?ka, dan layanilah mereka baik-baik."
Tentu saja yang dimaksudkan de?ngan "ruang istirahat" adalah tempat tahanan mereka.
Begitu mereka tiba di tempat pe?nahanan mereka dan membuka pintu, mere?ka hampir menjerit serempak karena terkejutnya. Bahkan empat orang rahib muda Siau-lim-si yang mengawal mereka-pun ikut terkejut.
Ko Ce-yang, yang tadi telah dipu?langkan ke rumah tahanan ini lebih du?lu, ternyata, kini telah tergantung kaku di atas belandar ruangan itu. Dia telah menggunakan ikat pinggangnya sendiri untuk menjerat lehernya, matanya melotot lebar dan lidahnya terjulur keluar, sedang di bawah kaki?nya ada sebuah kursi yang sudah roboh. Tubuhnya masih belum begitu kaku ke?tika diraba oleh salah seorang rahib, namun jelas bahwa nyawanya sudah ti?dak di dalam tubuhnya lagi.
"Omitohud," desis rahib-rahib mu?da itu sambil merangkapkan tangan me?reka. "Kehidupan masih begitu panjang dan membutuhkan amal bakti, kenapa berpikiran sependek ini?"
Ko Ce-yang, yang tadi telah dipulang?kan ke rumah tahanan ini lebih dulu, ternyata kini telah tergantung di atas belandar ruangan itu.
Tong King-bun, Hehou Im dan Song Hian juga tidak menduga bahwa rekan mereka itu akan menjadi senekad itu mengakhiri hidupnya. Terdengar Song Hian menggerutu perlahan, "Dasar go?blok. Te-liong Hiang-cu sendiri tidak menggubris mati hidup anak buahnya, sebaliknya dia begitu mati-matian se?tia kepada Te-liong Hiang-cu. Hemm, benar-benar mati penasaran."
Sedang Hehou Im telah berkata ke?pada rahib yang mengawalnya, "Aku ke?beratan jika malam ini aku ditempat?kan di ruang celaka ini."
Mendengar ucapan Hehou Im itu, Tong King-bun lalu bergurau, "He, kau adalah Sat-sin-kui (Si Setan Ganas), kenapa malah takut kepada Tiau-si-kui (Setan Orang Menggantung Diri)?"
"Sat-sin-kui adalah setan berde?rajat tinggi, tidak sudi tidur satu ruangan dengan setan berderajat ren?dah macam Tiau-si-kui ini."
"Begitu pula, aku Say-ya-jat (Si Hantu Malam) juga tidak sudi berkum?pul dengan setan penggantungan macam ini, kita pindah kamar saja," kata Tong King-bun.
Dalam keadaan tertawan oleh musuh, ternyata para Tong-cu itu sempat juga bersenda-gurau untuk mengeluarkan kepepatan hati mereka. Keempat orang hweshio muda yang mengawal merekapun ikut tersenyum, namun sekaligus ter?buktilah bahwa kesetia-kawanan di an?tara para Tong-cu Hwe-liong-pang itu tipis sekali. Bagaimanapun renggang?nya hubungan mereka dengan Ko Ce-yang, toh mereka pernah seperjuangan, namun sekarang mereka tidak nampak sedih sedikitpun ketika melihat kematian Ko Ce-yang, bahkan kematian rekan mereka itu dijadikannya bahan senda-gurau!
-o0^DwKz-Hendra^0o- Jilid 30 DALAM pada itu, salah seorang ra?hib muda itu telah melaporkan kejadi?an itu kepada Hong-tay Hweshio, seka?lian menyampaikan permintaan Tong King bun bertiga itu dikabulkan, sedangkan jenazah Ko Ce-yang segera diturunkan dan dimakamkan selayaknya.
Dalam saat itu juga, Tong Wi-hong dan rombongannyapun telah memutuskan untuk berangkat mendahului rombongan kaum pendekar. Mereka segera minta diri kepada Hong-tay Hweshio. Untuk mengucapkan kata-kata pamitan ini ter?nyata benar-benar diperlukan hati yang tabah dan muka yang tebal pula, sebab bukankah permintaan itu bisa dianggap hendak menghindari kewajiban bersama? Selagi pendekar-pendekar da?ri berbagai perguruan hendak berjuang melawan Hwe-liong-pang, kenapakah pi?hak Tiong-gi Piau-hang malah hendak memisahkan diri dari barisan kaum pendekar? Hal itu bisa ditafsirkan se?bagai tindakan yang kurang setia-kawan, tapi apa boleh buat, Tong Wi-hong benar-benar harus mendahului menemui Tong Wi-siang, sebelum kaum pendekar menemukannya lebih dulu. Untunglah bahwa Hong-tay Hweshio adalah seorang yang bijaksana, ia mengijinkan rombongan Tong Wi-hong untuk berangkat lebih dulu, meskipun dengan pandangan sinis para pendekar.
Rombongan Wi-hong kali ini ber?jumlah tujuh orang, yaitu Tong Wi-hong sendiri, Wi-lian, Ting Bun, Cian Ping, Tong Hujin dan Tiong-san-siang-hou So Hou dan So Pa. Ketika ti?ba di bawah bukit Siong-san, Tong Wi-hong lalu memerintahkan dua sauda?ra So agar menuju ke kota Bu-sek. Di sana mereka harus menyebar perintah kepada cabang-cabang Tiong-gi Piau-hang di manapun berada, agar ikut mengamat-amati Hwe-liong Pang-cu dan pengikut-pengikutnya di manapun ber?ada.
Di Sydney Cintaku Berlabuh 3 Ketika Cinta Harus Bersabar Karya Nurlaila Zahra Manusia Rambut Merah 3

Cari Blog Ini