Ceritasilat Novel Online

Perserikatan Naga Api 19

Perserikatan Naga Api Karya Stevanus Sp Bagian 19


Ketika mereka sudah berada di ke?dalaman hutan, salah seorang dari me?reka menggerutu, "Huh, lebih juga me?merankan sebagai orang Cong-lam-pay, Tapi agaknya kita berhasil, Te-liong Hiang-cu pasti akan memuji hasil ker?ja kita ini, meskipun kita terpaksa meninggalkan beberapa kawan kita yang luka atau gugur. He, berapa kawan kita yang tertinggal?"
Orang-orang berbaju coklat itu kemudian menghitung kelompok mereka, dan ternyata mereka kehilangan sebelas orang kawan mereka.
Sementara itu, para jago-jago Hoa-san-pay dan Go-bi-pay agak terlambat menyadari bahwa orang-orang "Cong-lam-pay" ternyata telah lebih dahulu me?ninggalkan gelanggang tanpa memberitahu apapun, dan membiarkan mereka sen?dirian. Itu akibat gelapnya malam dan kisruhnya medan pertempuran, sehingga gerak-gerik orang-orang Cong-lam-pay gadungan itu ternyata lepas dari pengamatan kedua pihak yang ber?tempur.
Tapi pada saat orang-orang Hoa-san-pay dan Go-bi-pay ditinggal se?cara pengecut, keadaan sudah berubah begitu cepat, tempat itu sudah terku?rung oleh orang-orang Hwe-liong-pang yang berjumlah banyak dan masih segar, bahkan di antara orang-orang Hwe-liong pang itu terdapat pula jago-jago tang?guh yang sulit dilayani. Dalam keada?an demikian itulah Yo Ciong-wan telah memekikkan perintahnya, "Bertempur sampai titik darah penghabisan demi kejayaan Hoa-san-pay kita! Hidup Hoa-san-pay!"
Perintah itu ditaati bukan saja oleh murid-murid Hoa-san-pay, tapi juga oleh murid-murid Go-bi-pay yang me?rasa senasib, merasa mereka tidak da?pat lolos dari tempat itu. Hanya ada jalan kematian buat mereka, namun me?reka akan memilih mati setelah bertem?pur habis-habisan, dari pada menyerah mentah-mentah. Dengan demikian rom?bongan orang-orang Hoa-san-pay dan Go-bi-pay itu ibarat sekawanan binatang buas yang telah terluka dan terjepit, mereka bertempur dengan kalap karena sadar pasti binasa. Harapan mereka hanyalah agar kematian mereka bisa mem?bawa kawan sebanyak-banyaknya ke lu?bang kubur.
Tetapi pada saat orang-orang Hoa-san-pay dan Go-bi-pay itu sudah demi?kian putus-asa, terdengarlah Hong-goan Hweshio berteriak memberikan perintah yang kedengarannya tidak masuk akal, bagi orang-orang Hoa-san-pay dan Go-bi pay maupun bagi orang-orang Hwe-liong-pang yang merasa bahwa kemenangan sudah ada dalam genggaman mereka. Perin?tah Hong-goan Hweshio itu adalah, "Buka kepungan! Biarkan mereka pergi!"
Mendengar perintah yang "aneh" itu, kedua pihak yang sedang berkutat mati-matian dan penuh dendam kesumat itu, menjadi tertegun dan pertempuran agak mereda. Beberapa orang Hwe-liong-pang telah melompat mundur, menjauh?kan diri dari lawan-lawan mereka, na?mun mereka masih belum membuka kepung?an sebab masih meragukan tangkapan telinga mereka. Kenapa Hong-goan Hwe?shio tidak memerintahkan saja untuk menumpas habis musuh yang sudah terke?pung ini? Bukankah mereka telah men?cincang teman-teman kami? Bukankah membunuh mereka berarti mengurangi kekuatan mereka dan jika kelak mereka menyerbu Tiau-im-hong kekuatan mereka sudah berkurang? Bukankah begini dan begitu? Tapi perintah Hong-goan Hwe?shio itu sekali lagi mendengung tegas di udara senja di pinggir hutan itu, bukan sekedar telinga yang salah tang?kap, "Biarkan mereka pergi! Semua ang?gauta Hwe-liong-pang, taati perintah Su-cia kalian!"
Dengan penuh rasa tidak mengerti, anggauta-anggauta Hwe-liong-pang itu berloncatan mundur, meskipun tatapan mereka masih saja sepanas bara dan senjata-senjata masih tergenggam erat di tangan mereka. Sedang orang-orang Hoa-san-pay dan Go-bi-pay itu termangu mangu di tempat mereka pula, mereka-pun masih bingung mendengar perintah Hong-goan Hweshio yang rasanya "tidak masuk akal" itu.
Dalam kebingungan itulah Yo Ciong wan melangkah maju dan menudingkan pe?dangnya ke arah Hong-goan Hweshio sam?bil membentak, "Rahib setan, permain?an gila apalagi yang sedang kau renca?nakan dalam benakmu? Kau kira kami ta?kut mati dan senang dengan pengampun?anmu ini? Kami bukan pengecut! Ayo, tumpas kami, bukankah kalian sudah unggul di atas angin dan kami telah tak berdaya?"
Lu Siong yang berdarah panas itu telah berkata kepaa Hong-goan Hweshio, "Dengar, Su-cia, bukankah mereka ma?lah menantang kita?"
"Tutup mulutmu!" bentak Hong-goan Hweshio dengan jengkel kepada Ci-ki-tong-cu (Pemimpin Kelompok Bendera Ungu) itu. Kemudian kepada Yo Ciong-wan dia berkata sambil merangkapkan tangannya, "Yo Tay-hiap (Pendekar Yo) yang perkasa, mustahil kau tidak punya otak atau ketajaman naluri bahwa pertempuran di antara kita ini adalah hasil adu domba pihak ketiga yang ingin melihat kita sama-sama hancur? Coba pikirkanlah, tay-hiap, mudah-mu?dahan masih ada kejernihan pikiranmu."
Yo Ciong-wan tertawa dingin, "Heh, enak saja kau bicara. Kalau benar apa yang kau katakan itu, kenapa kalian bertindak biadab dengan memburu-buru orang-orang Cong-lam-pay seperti mem?buru binatang saja? Orang-orang Cong-lam-pay itu hanya berlari-lari sedang anak buahmu menunggang kuda dan membu?ru mereka, sambil memanahi punggung mereka satu persatu dari belakang? Un?tung orang-orang Cong-lam-pay itu bertemu dengan kami di sini, sehingga ka?mi bahu-membahu melawan anak buahmu yang biadab itu!"
Auyang Siau-pa dan Kwa Teng-siong yang memimpin rombongan angauta Hwe-liong-pang yang tadi mengejar orang-orang Cong-lam-pay itu, telah melompat maju dan hendak membantah keterangan Yo Ciong-wan itu. Tapi Hong-goan Hwe?shio telah menggerakkan tangannya, mengisyaratkan agar kedua Kepala Ke?lompok itu diam dulu. Kata Hong-goan Hweshio kepada Yo Ciong-wan kemudian, "Yo Tay-hiap, siapakah yang kau mak?sudkan dengan orang-orang Cong-lam-pay itu? Apakah orang-orang berbaju coklat tadi? Yo Tay-hiap, aku tidak percaya bahwa kau begitu tolol, tidak bisa membedakan murid Cong-lam-pay palsu dan murid Cong-lam-pay yang asli, ter?utama gaya ilmu pedangnya. Coba pikir, yakinkah kau bahwa mereka orang-orang Cong-lam-pay asli? Kalau ya, alangkah hebatnya kesetia-kawanan mereka, sela?gi kau dan orang-orang Go-bi-pay ter?kepung di sini, dia sudah kabur terbi?rit-birit lebih dulu."
Di bawah cahaya obor yang kemerah merahan, wajah Yo Ciong-wan bertambah merah karena malu, karena dengan ucapan Hong-goan Hweshio itu seakan-akan semua kepicikan dirinya ditelanjangi di depan orang banyak. Namun manusia punya sifat jelek, sifat yang meng?hinggapi orang-orang terkenal pada umumnya, termasuk Yo Ciong-wan yang termasuk tokoh nomor dua di Hoa-san-pay. Meskipun di dalam hatinya Yo Ciong-wan merasa juga ada sedikit ke?benaran dalam ucapan Hong-goan Hweshio itu, yaitu tentang orang-orang Cong-lam-pay yang mencurigakan itu, namun Yo Ciong-wan tidak sudi mengakui hal itu secara terang-terangan, sebab ta?kut kehilangan muka. Kehilangan muka. Inilah yang ditakuti oleh orang-orang terkenal, begitu takutnya mereka kehi?langan muka di depan orang banyak, sehingga untuk menjaga agar hal itu tidak sampai terjadi mereka tidak segan-segan berbuat kotor dan tidak jantan, berbuat apa saja asal tidak kehilangan muka. Apabila yang punya sifat demikian ini adalah seorang Panglima perang, maka sang panglimapun tidak segan-segan mengorbankan banyak nyawa prajurit-prajuritnya, hanya agar dia sendiri tidak kehilangan muka. Jika seharusnya prajuritnya harus mundur karena lawan lebih kuat, mereka justru akan memerintahkan ten?taranya untuk maju, supaya... tidak ke?hilangan muka! Tentu saja alasan yang disusunnya harus sedemikian rupa sehingga kedengaran sangat masuk akal.
Begitu pula yang sedang menghing?gapi Yo Ciong-wan saat itu. Alangkah malunya kalau rekan-rekan pendekar da?ri perguruan lain mengetahui dia de?mikian tolol, sampai bisa terpancing dan diadu-domba melawan orang-orang Hwe-liong-pang. Karena itu, dia memutuskan untuk menolak uluran tangan perdamaian dari Hong-goan Hweshio itu tidak peduli apa yang akan menimpa dirinya dan diri seluruh rombongannya. Perasaan harga dirinya yang tersing?gung telah memaksanya untuk menjawab tegas, "Rahib gila, aku tidak percaya omong kosongmu yang tanpa bukti itu. Lebih baik mati daripada hidup karena belas kasihanmu !"
Auyang Seng yang berdiri di samping paman gurunya itupun telah menyambut seruan itu dengan sangat bersemangat, "Benar, su-siok! Kami semua rela berkorban untuk meniadakan iblis-iblis Hwe-liong-pang ini dari muka bumi !"
Ucapan paman guru dan murid kepo?nakannya dari Hoa-san-pay itu, seke?tika membuat orang-orang Hwe-liong-pang berteriak-teriak marah, merasa ditan?tang. Auyang Siau-pa yang telah menyarungkan golok bulan sabitnya itupun telah mencabut kembali goloknya sambil berseru, "Su-cia! Perintahkan untuk menyerang !"
"Bangsat-bangsat munafik bermulut besar yang tidak tahu kebaikan orang!" geram Ji Tiat sambil menggenggam erat sepasang kampak bergagang pendeknya.
Hong-goan Hweshio sendiri sebenarnya sangat tersinggung mendengar Yo Ciong-wan dan Auyang Seng yang menganggap pihak Hwe-liong-pang bagaikan orang-orang berpenyakit kusta saja, tidak bisa diterima dalam pergaulan masyarakat persilatan. Namun mengingat akan besarnya korban jiwa di kedua pihak apabila pertempuran itu di?lanjutkan, maka dia menahan diri, dan masih berkata dengan nada yang disabar sabarkan, "Pendekar Yo yang perkasa, benarkah kau tidak mau memberi kesem?patan kepada akal sehatmu untuk menguasai dirimu? Tidak sadarkah kau bahwa kita hanya diadu-domba?"
Si Rahib Go-bi-pay yang bersenjata toya perunggu itu telah menghantamkan toyanya ke tanah, dialah yang menjawab dengan sengit sebelum Yo Ciong-wan menyahut, "Tidak ada pembicaraan lagi dengan kalian, sampah-sampah masyarakat ini! Martabat kami, kaum lurus, akan jatuh jika bicara terlalu banyak dengan orang-orang rendah seperti kalian. Yang terang, kami sudah tahu bahwa desas-desus tentang pihak Te-liong Hiang-cu yang mengadu domba itu sebenarnya adalah karangan kalian sendiri. Kalian hanya bertujuan melengahkan kami, agar kami mau berun?ding dan menahan senjata, dan kalian berkesempatan membantai kami satu per?satu tanpa bisa dituduh, sebab setiap kali kalian akan menunjuk ke pihak Te-liong Hiangcu sebagai kambing hitam. Namun, kini kami percaya bahwa Hwe-liong-pang tetap Hwe-liong-pang, mes?kipun barangkali Tong Wi-siang ber?tengkar dengan Te-liong Hiang-cu, na?mun dalam menghadapi kami, kalian ten?tu bersatu padu!"
Muka Hong-goan Hwesiopun menjadi merah padam oleh tuduhan itu, kesabarannyapun hampir sampai ke batasnya, katanya sambil tertawa sinis, "Wah, hebat benar kalian, kaum pendekar yang bermartabat tinggi, yang begitu suci sehingga tidak pernah melangkah keluar dari menara gading kalian, tidak pernah memberi uluran tangan kepada rakyat jelata tak berdaya yang se?benarnya membutuhkan bantuan kalian! He, para pendekar suci bersih! Apa yang pernah kalian perbuat untuk rak?yat, ketika mereka dalam tindasan pa?ra pejabat brengsek Pemerintah Beng? Kenapa kalian hanya berpangku tangan saja? Mana darma pendekar kalian? Dan setelah kami, Hwe-liong-pang, turun tangan untuk menjawab jeritan orang kecil, kenapa kalian malah berang dan memusuhi kepada kami?"
"Aku tidak peduli! Aku tidak akan mengadu lidah dengan kalian!" teriak rahib bertoya perunggu dari Go-bi-pay itu. Dengan beringasnya dia melompati maju dan langsung mengayunkan toya perunggunya dengan gerakan Tay-san-ap-ting (Gunung Tay-san Roboh ke Atas Ke?pala), mengarah langsung ke batok ke?pala Hong-goan Hweshio. Untunglah Hong- goan Hweshio tidak pernah kehilangan kewaspadaan, sehingga ia sempat melom?pat mundur.
Mulai bertempurnya kedua orang yang sama-sama rahib itu, bagaikan aba aba bagi kedua pihak untuk melanjut?kan pertempuran yang sempat diselingi debat seru tadi. Namun pada saat ke?dua pihak sudah siap mengayunkan senjatanya masing-masing, Hong-goan Hweshio kembali telah mengambil tin?dakan yang tidak terduga. Ia berteriak, "Tahan!"
"Ada apalagi kau, rahib iblis?" bentak Yo Ciong-wan.
Hong-goan Hweshio tidak menggu?bris Yo Ciong-wan, namun ia berseru memerintahkan kepada orang-orang Hwe-liong-pang sendiri, "Semuanya mundur! Bawa teman-teman kita yang tewas dan luka, lalu tinggalkan tempat ini!"
"Su-cia, mereka akan mengira ki?ta takut, padahal mereka cuma bisa bi?cara panjang lebar dengan kata-kata tengik yang memuakkan!" sanggah Lu Siong.
"Mereka telah menyerang beberapa anggauta kita yang sedang meronda dan mencincang tubuh mereka!" sambung Au?yang Siau-pa penasaran.
"Mereka tidak boleh dilepaskan!" seru Oh Yun-kim.
"Jalankan perintah!" teriak Hong-goan Hweshio menggelegar, bahkan da?lam teriakannya itu dia menggunakan pula ilmu Say-cu-hou-kang (Ilmu Ge?raman Singa) yang membuat kuping orang orang yang mendengarnya jadi pekak, tak terkecuali orang-orang Hoa-san-pay dan Go-bi-pay.
Para Tong-cu Hwe-liong-pang itu sebenarnya tidak habis mengerti kena?pa mereka justru harus melepaskan mu?suh yang sudah ibarat ikan dalam bam?bu, musuh yang baru saja bertempur dan saling mencincang dengan pihak me?reka. Benar-benar penasaran! Namun pa?ra Tong-cu itupun sadar bahwa Hong-go?an Hweshio agaknya benar-benar telah marah, sehingga tidak mau dibantah la?gi. Apa boleh buat. Dengan perasaan terpaksa, orang-orang Hwe-liong-pang itu mengangkuti tubuh-tubuh kawan-ka?wan mereka yang luka atau tewas ke atas kuda. Dan dengan terpaksa pula mereka membubarkan kepungan mereka atas orang-orang Hoa-san-pay dan Go-bi-pay, namun mata orang-orang Hwe-liong-pang itu masih saja menyala bagaikan api, menatap ke arah orang-orang dari kedua perguruan itu, bahkan tatapan mata yang demikian itu rasa-rasanya lebih tajam dari tusukan senjata. Menyaksikan hal demikian, diam-diam Hong-goan Hweshio menarik napas dalam-dalam, ia kuatir bahwa apa yang selama ini berusaha dihindarinya ternyata akan terjadi juga. Dendam di kedua pihak sudah sulit untuk dipadamkan, meski-pun lahiriahnya mereka sudah menyarungkan senjata dan tidak bertempur lagi.
Sementara itu, murid-murid dari kedua perguruan itu, terutama yang baru kali ini turun gunung, diam-diam merasa lega juga dalam hati karena pertempuran tidak dilanjutkan, meski?pun belum berarti permusuhan sudah se?lesai. Paling tidak malam ini mereka masih hidup, tidak bernasib seperti teman-teman seperguruan mereka yang bergeletakan di pinggir hutan itu. Ta?dinya, murid-murid itu lega sekali ketika di perguruan masing-masing me?reka mendengar bahwa mereka terpilih untuk ikut dengan guru-guru atau paman paman guru mereka untuk pergi ke Siong san guna "menegakkan keadilan, membas?mi kaum Iblis". Mereka bangga sekali. Namun setelah pertempuran di Siong-san dan mereka menghayati sendiri be?tapa buas dan kejamnya pertempuran me?lawan anak buah Te-liong Hiang-cu itu, mereka mulai menyadari bahwa pertem?puran yang sebenarnya ternyata tidak semudah yang mereka bayangkan, ketika mereka sedang berlatih dengan saudara seperguruan mereka dengan menggunakan pedang-pedang bambu. Jauh lebih buas dan kasar. Di situ yang diuji bukan hanya ketrampilan memainkan senjata, tetapi juga ketahanan jiwa yang ka?dang-kadang hampir tak tertahan. Na?mun sudah terlambat untuk mengundur?kan diri, sebab mereka telah terikat dalam satu barisan besar di bawah pimpinan Hong-tay Hweshio untuk menyerbu Tiau-im-hong. Dan murid-murid yang be?lum pernah mengalami pertempuran sebe?narnya itu telah menjadi ngeri ketika melihat buasnya perkelahian antara orang-orang dunia persilatan. Baru pertempuran-pertempuran kecil-kecilan me?lawan orang-orang Hwe-liong-pang saja sudah begitu banyak korban yang jatuh, entah berapa puluh kali lipat pertem?puran di Tiau-im-hong kelak?
Sebaliknya Yo Ciong-wan diam-diam telah menikmati kebanggaannya sendiri. Bukankah dia telah menunjukkan sikap "jantan" yang luar biasa, meskipun de?ngan membahayakan nyawa murid-murid Hoa-san-pay dan Go-bi-pay? Andaikata kelak murid-murid kedua perguruan yang menyaksikan "kejantanannya" itu mence?ritakan kepada orang lain, bukankah namanya akan terkenal dan semakin dikagumi orang? Perasaan semacam ini?lah yang telah membuahkan tekad dalam hati Yo Ciong-wan bahwa perdamaian yang sedang dirintis oleh Hong-tay Hweshio itu harus digagalkan. Harus digagalkan! Tidak, permusuhan harus diteruskan. Bukan karena Yo Ciong-wan yakin pihak Hwe-liong-pang itu jahat dan harus dihancurkan, melainkan ha?nya sekedar supaya terjadi pertempur?an. Itu saja alasannya. Dalam masa da?mai ia tidak akan berkesempatan mem?pertunjukkan ketrampilan ilmu pedang?nya, tidak sempat memamerkan keberani?annya dan ke-"jantan"-annya, karena itu harus ada pertempuran. Tidak perduli berapapun korban yang harus ja?tuh di kedua pihak, perdamaian harus gagal! Supaya nama Yo Ciong-wan si Pe?dang Pemburu Bintang semakin terangkat naik, bukan sekedar menjadi bayangan dari nama kakak seperguruannya Pat-hong-kiam-khek Kiau Bun-han. Alangkah bangganya menjadi orang terkenal.
-o0^DwKz-Hendra^0o- Jilid 36 Ketika orang-orang Hwe-liong-pang telah selesai menaikkan tubuh-tubuh dari anggauta-anggautanya yang terluka atau tewas ke atas kuda, maka Hong-goan Hweshio maju selangkah dan berkata kepada Yo Ciong-wan, "Yo Tay-hiap, semoga sikap kami kali ini akan menjadi pertanda yang akan membuka mata-hatimu bahwa perdamaian lebih baik dari pada permusuhan yang berlarut-larut. Selamat tinggal."
Namun Yo Ciong-wan menanggapi sikap bersahabat Hong-goan Hweshio itu dengan sikap yang sangat dingin, sahutnya sambil mendengus mengejek, "Tidak akan ada perdamaian dengan iblis-iblis terkutuk semacam kalian, kalian keliru kalau tipu-daya kalian yang berpura-pura baik hati ini akan melumerkan tekad kami untuk menggempur kalian. Tidak perlu perdamaian itu. Sebab begitu kami menyetujui per?damaian dan menjadi lengah, maka kali?an akan menumpas kami sedikit demi se?dikit dan akhirnya panji-panji iblis kalian akan berkibar di dunia persilatan."
Auyang Siau-pa yang sudah akan melompat ke pelana kudanya itu telah berbalik dan siap menghunus goloknya lagi ketika mendengar ucapan Yo Ciong-wan yang memanaskan telinga itu, bah?kan Oh-Yun-kim yang sudah duduk di punggung kuda dan siap berangkat itu-pun telah melompat turun kembali de?ngan wajah merah padam. Namun pundak kedua Tong-cu itu telah ditekan oleh sepasang telapak tangan Ling Thian-ki, yang membisikkan bujukan kepada kedua Tong-cu itu, "Tenangkan diri kalian."
"Hong-goan Su-cia terlalu lunak bersikap," geram Oh Yun-kim.
"Ya, ia terlalu lunak. Andaikata benar bahwa pertikaian ini sengaja diatur oleh Te-liong Hiang-cu untuk mengadu domba kita dengan kaum sok alim itu, apa salahnya kalau kita buka saja medan perang segitiga antara kita, Te-liong Hiang-cu dan kaum sok suci itu? Apa gunanya kita mendamba?kan perdamaian tetapi harga diri kita terus-menerus diinjak oleh bangsat bangsat sok suci itu? Ucapan-ucapan mereka membuat dadaku hampir pecah rasanya," kata Auyang Siau-pa. Meskipun ia telah menghentikan langkah kakinya, tapi telapak tangan kanannya masih me?lekat erat-erat di tangkai goloknya, dan pandangan matanya yang membara me?natap Yo Ciong-wan seakan-akan ingin menelannya bulat-bulat.
Ling Thian-ki menyadari apa yang sedang bergolak di hati kedua Tong-cu itu mewakili gejolak hati yang sama dari sebagian besar anggauta Hwe-liong pang lainnya, yang merasa sudah cukup menahan diri dalam menghadapi sikap dari sebagian kaum pendekar berbagai perguruan yang dianggap sangat memuak?kan itu. Karena itu, Ling Thian-ki ti?dak membantah apa-apa terhadap ucapan Auyang Siau-pa itu, hanya disuruhnya ke kudanya masing-masing.
Sementara itu, rombongan Hoa-san-pay dan Go-bi-paypun telah siap pula meninggalkan tempat itu dengan membawa tubuh teman-teman mereka pula. Sikap Yo Ciong-wan nampak tetap angkuh, sedikitpun perasaannya tidak tersentuh melihat mayat-mayat murid-murid atau keponakan-keponakan muridnya itu. Si?kap yang angkuh itu membuat Ji Tiat, si Ang-ki-tong-cu atau Pemimpin Kelom?pok Bendera Merah dari Hwe-liong-pang itu menyindirnya dengan jengkel, "Orang she Yo, kau boleh congkak dan bangga dengan keberanian yang kau pamerkan itu. Tapi kau akan tetap ter?ingat bahwa perpanjangan umurmu itu karena belas kasihan pihak kami. Peng?hinaan ini tidak akan dapat kau hapuskan, sebab kami semua adalah sak?si-saksi, bahwa kau yang seharusnya kami tumpas di sini telah kami biarkan pergi."
Yo Ciong-wan terkesiap, cepat-cepat ia membalik tubuh dengan muka me?rah padam. Namun pada saat yang bersa?maan Hong-goan Hweshio telah melompat ke punggung kudanya dan berteriak ke?pada anak buahnya, "Berangkat!"
Derap kaki kuda orang-orang Hwe-liong-pang itupun terdengar semakin lama semakin jauh, bayangan-bayangan tubuh merekapun semakin kabur ditelan gelapnya malam. Tak lama kemudian, yang terlihat hanyalah obor-obor mere?ka yang berkelap-kelip seperti kunang-kunang di kejauhan, dan akhirnya le?nyap.
Sambil memandangi kepergian orang orang Hwe-liong-pang itu, si rahib bertoya perunggu dari Go-bi-pay, Thian sek Hweshio, bergumam, "Sikap mereka aneh. Seharusnya mereka dapat menumpas kita di tempat ini, mengapa malah mem?biarkan kita memperpanjang umur kita?"
Yo Ciong-wan berpaling ke arah rekannya dari Go-bi-pay itu dengan alis berkerut, tanyanya, "Itu adalah siasat licik mereka untuk melemahkan jiwa kita, menunjukkan kepada kita bahwa seakan-akan mereka adalah orang-orang yang baik hati. Tapi mereka ha?nya akan melemahkan kita saja, dan ke?mudian menumpas kita sampai habis."
Kata Thian-sek Hweshio, "Tapi ji?ka mereka ingin melemahkan kita, kena?pa tidak menumpas kita saja? Bukankah dengan terbunuhnya kita di sini berar?ti kekuatan seluruh pendekar akan ber?kurang dan berarti pula semakin lemah?"
"Jika mereka menumpas kita, mer?eka kuatir bahwa rekan-rekan kita lainnya dari berbagai perguruan jus?tru semakin marah dan mempercepat ser?buan, iblis-iblis itu siap benar untuk menghadapi rekan-rekan kita. Inilah yang dihindari oleh iblis-iblis licik itu. Mereka merasa tidak mampu mengha?dapi kekuatan gabungan seluruh pergu?ruan di Tiong-goan ini, lalu mereka memakai akal licik dengan jalan mencuci-tangan, mengarang cerita bahwa yang menyerbu Siong-san itu bukan me?reka, tapi orang mereka yang telah berkhianat terhadap ketua mereka sen?diri. Aku tidak percaya cerita burung ini. Bukankah beberapa hari yang lalu beberapa orang kita terbunuh di se?buah kuil rusak di dekat desa Bu-sian-tin? Dan beberapa rombongan kitapun telah bentrok dengan orang-orang mere?ka? Aku menduga bahwa mereka sengaja omong-kosong untuk mengulur waktu, dan mereka akan sempat mengumpulkan kekuatan mereka kembali setelah mereka kita hajar sampai pontang-panting di Siong-san."
Kemudian, kepada murid-murid dan keponakan-keponakan muridnya, Yo Ciong wan berpesan, "Jangan mau diperalat oleh iblis-iblis itu dengan mulut manis beracun mereka. Mereka tentu ingin meminjam mulut-mulut kalian untuk menyebar-luaskan peristiwa ini dan mem?beri kesan kebaikan palsu mereka. Itu berbahaya, sebab dapat menurunkan semangat tempur rekan-rekan kita dari berbagai perguruan. Mengerti?"
"Kami mengerti," sahut murid-murid Hoa-san-pay itu.
Kemudian Yo Ciong-wan berpesan lebih lanjut, "Yang harus kalian ce?ritakan justru adalah kekejaman-kekejaman mereka, bagaimana mereka men?cincang tubuh teman-teman seperguruan kalian. Dengan demikian cerita ini justru akan menimbulkan semangat teman teman dari berbagai perguruan, dan me?nyadarkan mereka bahwa Hwe-liong-pang harus ditumpas sampai ke akar-akarnya."
Thian-sek Hweshio mengerutkan alisnya mendengar pesan Yo Ciong-wan kepada orang-orangnya itu. Ada terasa kejanggalan dalam pesan itu, namun ra?hib Go-bi-pay yang berotak kurang cer?das itu tidak dapat menentukan bagian mana yang terasa janggal itu. Maka dengan memanggul toya perunggunya ia mengikuti saja ketika Yo Ciong-wan me?langkah pergi dari tempat itu dengan dada tengadah karena kebanggaan.
Sambil melangkah tegap di depan rombongannya, diam-diam Yo Ciong-wan berkata dalam hatinya, "Pertempuran harus terjadi, tidak boleh batal. Inilah kesempatan bagi Yo Ciong-wan untuk bangkit dan mengangkat nama. Ka?lau tidak sekarang, barangkali aku harus menunggu berpuluh-puluh tahun lagi, atau bahkan tak ada kesempatan lagi. Jadi, sekarang. Kalau perlu Hong-tay Hweshio, si rahib tua cengeng yang tak berani melihat darah itu harus disingkirkan. Ya, harus disingkirkan bersama orang-orang cengeng lain yang mencoba membatalkan penumpasan terhadap iblis-iblis Hwe-liong-pang itu."
-o0^DwKz-Hendra^0o- SIANGKOAN HONG, orang yang menjabat Ketua Hwe-liong-pang untuk sementara, Tong Wi-siang dikabarkan sedang "di dalam sanggar seme?dinya untuk memperdalam ilmu", menerima laporan tentang pertempuran di pinggir hutan itu dengan darah yang mendidih. Dipandanginya tubuh-tubuh kaku para anggauta Hwe-liong-pang yang berlumuran darah, yang dibaring?kan berjajar-jajar di ruangan itu de?ngan ditutup sehelai tikar pada masing masing tubuh. Ruangan itu penuh orang, semua tokoh-tokoh utama Hwe-liong-pang berkumpul lengkap di ruangan itu. Dua orang Su-cia, yaitu Hong-goan Hweshio serta Ling Thian-ki, serta delapan orang pemimpin kelompok serta wakilnya masing-masing. Namun ruangan itu su?nyi senyap bahkan wajah orang-orang Hwe-liong-pang itu nampak tegang.
Kemudian tatapan mata Siangkoan Hong beralih ke wajah Hong-goan Hwe?shio, katanya dengan nada menegur, "Aku sungguh tidak memahami tindakanmu itu, Hong-goan Sucia, mengapa kau me?lepaskan orang-orang yang telah mem?bunuh anak buah kita itu dengan be?gitu saja dan tidak menghukum mereka?"
"Hiang-cu, aku kira penjelasanku sudah cukup bahwa aku tidak akan men?jerumuskan Hwe-liong-pang kita terjatuh ke dalam siasat adu domba yang li?cik oleh Te-liong Hiang-cu. Lebih penting adalah bahwa kita harus..."
Namun ucapan Hong-goan Hweshio itu terputus oleh ucapan Siangkoan Hong dengan nada yang meninggi, me?nandakan kemarahannya yang mulai melu?ap, "Kau anggap harga diri Hwe-liong-pang kita bukan masalah penting yang harus dipertahankan dengan darah kita? Kita memang menyadari Te-liong Hiang-cu si pengkhianat itu selalu berusaha mengadu-domba kita dengan kaum sok su?ci itu, namun apakah untuk menghinda?ri hal itu kita harus mengorbankan ke?hormatan kita? Memang pihak kita yang lebih dulu mengulurkan tawaran perdamaian kepada mereka, tapi bukan perdamaian semacam ini yang aku ba?yangkan ! Bukan perdamaian antara si penakluk dan si tertakluk, dimana yang satu diperlakukan sewenang-wenang oleh yang lainnya! Tidak! Kita belum takluk, dan tidak akan pernah takluk, kita tetap orang-orang Hwe-liong-pang yang bangga dan penuh kehormatan memperjuangkan cita-cita kita untuk me?rombak negeri yang bobrok ini! Kenapa orang-orang sok suci itu memperlaku?kan kita seperti orang-orang taklukan? Kenapa mereka membunuh anggauta-anggauta kita di Jing-toh tanpa sebab dan menggunakan alasan yang tidak ma?suk akal? Kenapa orang-orang Cong-lam-pay itu berkeliaran di sekitar Tiau-im hong seakan-akan sedang memata-matai kita, atau bahkan menganggap kita ini sebagai orang-orang tawanan yang tidak boleh meninggalkan Tiau-im-hong selangkahpun? Jika Hong-tay Hweshio be?nar-benar mengingini perdamaian, kena?pa tidak dibubarkannya orang-orang bersenjata yang berkeliaran di sekitar bukit kita ini?"
Ruangan itu jadi hening-sunyi, namun setiap hati mulai terbakar oleh kata-kata Siangkoan Hong itu. Tapi Hong-goan Hweshio masih belum putus asa dalam usahanya untuk "mendinginkan" hati pejabat Ketuanya itu. Dengan sangat berhati-hati, dan tidak menimbulkan kesan membantah apa yang diuc?apkan oleh Siangkoan Hong tadi, rah?ib suku Hui itu berkata, "Hiang-cu, menurut dugaanku, orang-orang berseragam Cong-lam-pay yang berkeliaran di sekitar bukit dan kemudian dikejar oleh Auyang Tong-cu, Kwa Tong-cu serta beberapa saudara kita lainnya itu, adalah orang-orang Cong-lam-pay gadungan. Ilmu silat mereka dan tindak-tanduk mereka tidak mencerminkan tindak-tanduk orang golongan lurus."
Siangkoan Hong mendengus, "Taruh kata mereka benar-benar orang-orang Cong-lam-pay gabungan, kenapa orang orang Hoa-san-pay yang asli itu dan juga orang-orang Go-bi-pay langsung saja menyerang rombongan Auyang Tong-cu? Bukan menyelidiki dan menanyakan persoalannya lebih dulu? Hal ini cukup membuktikan bahwa mereka memang tidak berniat setulus hati untuk menerima tawaran damai kita, melain?kan mereka sangat membenci kita.Tawaran damai kita dianggapnya bahwa kita takut kepada mereka, lalu merekapun berbuat seenaknya atas orang-orang ki?ta."
Hong-goan Hweshio sudah bergerak mulutnya, hendak membantah pendapat Siangkoan Hong yang dianggapnya ter?lalu gegabah dalam menjatuhkan keputusan itu, namun rahib itu memba?talkan niatnya ketika dilihatnya Lim Hong-pin alias Kim Liong Hiang-cu (Hu?lubalang Naga Emas) itu telah menge?dipkan mata ke arahnya. Hong-goan Hwe?shio menurut, sebab dia telah menge?tahui sejelas-jelasnya tentang kepri?badian Lim Hong-pin yang tentu diam-diam tidak setuju juga bentrokan de?ngan kaum pendekar. Meskipun di anta?ra pucuk pimpinan Hwe-liong-pang itu Lim Hong-pin berusia paling muda, na?mun justru paling tenang dan paling dapat mengendalikan diri. Ia jauh le?bih jernih pikirannya daripada Tong Wi-siang yang keras kepala atau Siang?koan Hong yang berdarah panas dan sangat mudah kehilangan kesabaran itu. Boleh dikata bahwa Hwe-liong-pang masih berdiri hingga saat itu karena ja?sa-jasa Lim Hong-pin dengan nasehat-nasehatnya yang sering dilaksanakan oleh Tong Wi-siang. Andaikata Hwe Liong-pang hanya dipimpin oleh Tong Wi-siang atau Siangkoan Hong, mungkin perkumpulan itu sudah akan ambruk dalam waktu beberapa bulan sejak ber?dirinya.
Lim Hong-pin yang duduk di kursi di samping Siangkoan Hong itu mulai berkata pula, "Betul, orang-orang kaum pendekar itu benar-benar keterlaluan. Kita tidak sudi diinjak-injak semacam ini. Karena itu aku mengusulkan agar kita memperkuat diri sendiri di Tiau-im-hong ini. Semua anggauta kita yang masih berpencaran di sekitar gunung harus segera ditarik kemari, siapapun dilarang keluar gunung tanpa ijin Ke?tua atau pejabat Ketua. Suheng, bagai?mana usulku ini?"
Mendengar ucapan Lim Hong-pin itu, diam-diam Hong-goan Hweshio dan tokoh-tokoh yang sependapat dengannya, yang masih berkepala dingin, memuji kecerdikan tokoh ketiga dalam Hwe-liong-pang itu. Nampaknya saja Lim Hong-pin ikut marah dan ikut mencaci-maki kaum pendekar berbagai aliran itu, namun sebenarnya dia justru men?coba menghindarkan bentrokan lebih lanjut dengan orang-orang berbagai aliran. Jika benar-benar semua anggauta Hwe-liong-pang dikumpulkan di Tiau-im-hong, tentu tidak ada yang berkeliaran di luaran, dan ini memper?kecil kemungkinan untuk bertemu dengan anggauta-anggauta berbagai perguruan, berarti memperkecil pula kemungkinan bentrokan. Sementara itu, bersamaan dengan lewatnya waktu mungkin akan dapat diusahakan tindakan-tindakan yang dapat meredamkan amarah kedua be?lah pihak. Hong-goan Hweshio belum putus-asa dalam hal ini. Dia berusaha menghindari benturan kekerasan dengan pihak para pendekar. Orang-orang yang masih berkepala dingin itu antara la?in adalah Ling Thian-ki, Kwa Heng dan In Yong. Dalam suasana panas itu, kelompok mereka memang tidak bersuara sama sekali, sebab pasti dibantah dan didebat beramai-ramai oleh kelompok lainnya. Maka lebih baik diam dan menunggu suasana agar "mendingin" lebih dulu.
Dalam pada itu, usul Lim Hong-pin untuk menarik semua anggauta ke atas Tiau-im-hong dengan alasan "agar pertahanan di gunung lebih kuat" itu ternyata diterima oleh Siangkoan Hong sebagai sesuatu yang cukup masuk akal. Sahutnya, "Aku setuju, dan aku putuskan saja begitu. Mulai sekarang, setiap anggauta dilarang turun melewati kaki gunung, kecuali dengan ijin atau sedang menjalankan tugas. Kita akan menunggu Pang-cu, sambil meningkatkan latihan kita."
Diam-diam Hong-goan Hweshio dan orang-orang yang sependapat dengannya menjadi lega mendengar keputusan itu. Mereka menahan senyum ketika melihat Lim Hong-pin melirik ke arah mereka sambil menganggukkan kepalanya.
Begitulah, mulai hari itu semua anggauta Hwe-liong-pang yang berkumpul di Tiau-im-hong itu bagaikan bergejolak semangatnya. Latihan ditingkatkan secara luar biasa. Setiap fajar menyingsing dan cahayanya menghangati punggung, maka seluruh anggauta Hwe-liong-pang dengan bertelanjang baju telah mulai berlari-lari di lereng-le?reng terjal Tiau-im-hong untuk mening?katkan ketahanan jasmani mereka, de?ngan dipimpin oleh beberapa Tong-cu dan Hu-tong-cu secara bergiliran. Mereka melakukannya sampai mandi keringat, lalu kembali ke markas, dan melanjut?kan latihan dengan ketrampilan memain?kan senjatanya masing-masing. Sore ha?rinya mereka melakukan hal yang sama. Dalam waktu beberapa hari saja nampak?lah kesegaran jasmani para anggauta telah meningkat.
Dalam belasan hari memang tidak terjadi bentrokan dengan gabungan pen?dekar dari berbagai perguruan itu, karena semua anggauta Hwe-liong-pang telah ditarik ke Tiau-im-hong, tidak ada lagi yang berkeliaran di luaran dan sering menimbulkan salah-paham dengan pihak pendekar. Diam-diam Hong-goan Hweshio dan orang-orang yang sependapat dengannya mengamati perkembangan keadaan itu dengan perasaan agak lega. Tapi mereka masih berdebar juga jika mengingat bahwa Te-liong Hiang-cu dan pengikutnya masih berkeliaran dengan berbagai wajah, berusaha menyebar permusuhan dengan mu?lut mereka yang berbisa itu, dengan cara yang halus dan hampir-hampir ti?dak kentara itu.
Ternyata kelegaan mereka itu ter?lalu pagi. Pada suatu malam, ketika seluruh markas Hwe-liong-pang telah terlelap dalam tidur di tengah menggi?gitnya malam dingin, beberapa sosok tubuh kehitam-hitaman nampak merunduk-runduk mendekati markas Hwe-liong-pang dari arah pinggang gunung. Semuanya bergerak dengan gesit dan ringan se?perti kucing-kucing hutan, jika ada satu atau dua orang anggauta Hwe-liong pang yang kebetulan lewat untuk meronda sekeliling markas, serempak bayang?an-bayangan hitam itu bersembunyi, atau bahkan menyergap dan membantai pa?ra peronda itu sama sekali.
Setelah cukup dekat dengan markas Hwe-liong-pang, salah satu dari ba?yangan itu berkata dengan suara ter?tahan, "Siapkah panah apinya?"
"Sudah siap, Suhu," jawab yang lainnya.
Orang yang pertama tadi terdengar tertawa pendek, lalu katanya dengan nada yang geram, "Bagus. Malam ini ki?ta selesaikan segalanya sendiri, ti?dak perlu menunggu perintah Hong-tay Hweshio yang bertele-tele dan terlalu banyak pertimbangan itu. Hwe-liong-pang sudah terlalu banyak membunuh mu?rid-murid Hoa-san-pay kita, dan tidak ada perdamaian lagi antara kita dan mereka. Terserah kalau Siau-lim-pay atau Bu-tong-pai atau Soat-san-pay ingin berdamai dengan iblis-iblis itu, tapi kita tidak. Kita bukan bawahan Siau lim-pay. Kita orang-orang Hoa-san-pay adalah laki-laki sejati yang akan me?nuntut bela atas kematian saudara-saudara seperguruan kita."
Orang yang berbicara itu bukan lain adalah tokoh pertama dari Hoa-san pay, Pat-hong-kiam-kong (Cahaya Pedang Delapan Penjuru) Kiau Bun-han adanya. Rupanya dendamnya kepada Hwe-liong-pang sudah tak dapat ditawarkan dengan obat apapun, kecuali menghancurkan Hwe-liong-pang secara tuntas barulah dia puas. Malam itu, dia tidak menghiraukan lagi perintah Hong-tay Hweshio sebagai pemimpin umum, agar tidak bergerak dari tempatnya masing-masing dan menunggu isyarat perdamaian lebih lanjut. Kiau Bun-han tidak peduli lagi, maka diajaknya semua anggauta Hoa-san-pay untuk menyerbu Tiau-im-hong secara diam-diam. Selain Hoa-san-pay, ternyata Go-bi-pay, Kun-lun-pay, Tiam-jong-pay dan Ki-lian-pay juga sudah tidak sabar lagi melihat upaya damai Hong-tay Hweshio yang dianggap berlarut-larut tanpa hasil yang pasti itu, padahal perguruan-perguruan itupun sudah kehilangan beberapa anggautanya dalam bentrokan di berbagai tempat dengan anak buah Hwe-liong-pang ataupun dengan anak buah Te-liong Hiang-cu. Dengan demikian dari pihak gabungan perguruan-perguruan itu sudah ada lima buah perguruan yang memisahkan diri dan tidak mau tunduk kepada pemimpin umum lagi, dan mengambil tindakan sendiri-sendiri. Malam itu, yang menyerbu diam-diam ke Tiau-im-hong bukan hanya orang-orang Hoa-san-pay, tetapi juga dari keempat perguruan yang membangkang lainnya namun arah serangan mereka berbeda-be?da. Mereka sudah bersepakat untuk menghancurkan Hwe-liong-pang di sa?rangnya sendiri malam itu juga.
"Baik, sekarang lepaskan panah api !" perintah Kiau Bun-han.
Maka panah-panah api serta bumbung-bumbung berisi minyakpun mulai dilempar-lemparkan ke balik tembok yang mengelilingi markas Hwe-liong-pang itu. Bumbung minyak menumpahkan minyaknya di atas atap bangunan dan disusul dengan panah api yang langsung menjilat minyak-minyak itu, maka dalam waktu singkat berkobarlah api di atas sebagian bangunan markas Hwe-liong-pang yang berderet-deret itu. Teriakan-teriakan terkejut dan marah terdengar dari balik tembok, "Api ! Api ! awas ada serangan musuh !" derap langkah yang berlari-lari hilir mudik dan gemerincing senjata terdengar dengan ributnya.
Di luar tembok, Kiau Bun-han ber?diri dengan tegangnya sambil menatap kobaran api yang menjilat langit itu. Di sebelahnya, adik seperguruan Kiau Bun-han, Yo Ciong-wan yang berjuluk Tui-seng-kiam itu juga tengah memandang kobaran api dengan senyuman haus perang tersungging di bibirnya. Inilah yang diharapkannya selama ini. Pertempuran besar. Pertumpahan darah inilah yang akan digunakannya untuk mengangkat namanya menjadi terkenal, bukan cuma nama terlindung oleh bayang-bayang kebesaran nama kakak seperguruannya. Dalam hati?nya dia berharap agar kakak seperguru?annya segera memberi perintah untuk menyerbu, supaya ia segera dapat me?lompati tembok itu dan menyabetkan pe?dangnya ke kiri dan kanan untuk mem?bantai musuh sebanyak-banyaknya. Ya, ia sudah rindu akan muncratnya darah dan lolongan kesakitan lawan-lawannya.
Kobaran api itu ternyata tidak hanya bertujuan mengagetkan musuh, ta?pi juga sekaligus isyarat bagi orang-orang Go-bi-pay, Kun-lun-pay, Ki-lian-pay dan Tiam-jong-pay di arah yang berbeda-beda, bahwa serangan sudah bisa dimulai.
Pihak Go-bi-pay yang dipimpin oleh Go-bi-sam-sin-ceng (Tiga Pendeta Sakti Dari Go-bi-pay) yaitu Thian-boan Hweshio yang bersenjata pedang yang panjangnya hampir satu setengah kali dari pedang biasa, Thian-sek hweshio yang bersenjata toya perunggu yang beratnya hampir delapanpuluh kati, dan Thian-cong Hweshio dengan senjatanya yang berwujud Liong-hou-siang-hoan (Sepasang Gelang Naga dan Harimau). Orang ketiga dalam Go-bi-sam-sin-ceng ini belum pernah bentrok dengan Hwe-liong-pang, namun karena kedua kakak seperguruannya mengatakan bahwa orang Hwe-liong-pang itu jahat-jahat, maka adik seperguruan ini tanpa pikir panjang juga ikut memutuskan untuk me?nyerbu Tiau-im-hong dan menumpas "pa?ra iblis". Dia adalah ahli dalam hal gwa-kang (Tenaga Luar), sesuai dengan bentuk tubuhnya yang sangat kekar itu.
Begitu melihat kobaran api, Thian Goan Hweshio memerintahkan seluruh murid-murid Go-bi-pay untuk siap-siap menyerbu. Sebagai seorang pendeta, agaknya Thian-goan Hweshio sungkan juga untuk menggunakan api dan main bakar seperti kawanan perampok, maka ia memilih untuk langsung menyerbu saja tanpa menyerang dengan panah api dulu. Begitulah dengan dipelopori tiga tokoh utamanya, orang-orang Go-bi-pay yang berjumlah hampir llmapuluh orang itu segera menyerbu ke arah markas Hwe-liong-pang.
Ketika mereka kebentur tembok yang mengelilingi markas musuh, Thian goan Hweshio segera berkata, "Thi cong Sute, buat pintu !"
Si adik seperguruan mengerti yang dimaksudkan dengan "membuat pintu" itu. Dia segera maju ke arah tembok. Dengan hantaman sepasang gelangnya yang bertubi-tubi ke arah tembok, tidak lama kemudian terciptalah sebuah "pintu" di tembok itu, tidak peduli tembok itu terbuat dari batu berangkap dua yang direkat dengan semen yang baik.
Melihat kehebatan tenaga Thi cong Hweshio itu, bersoraklah murid murid Go-bi-pay dan sekaligus berkobarlah semangat tempur mereka. Didahului oleh Thian-goan Hweshio yang membolang balingkan pedangnya, mereka menyerbu masuk lewat lobang itu, dan langsung bentrok dengan orang-orang Hwe-liong pang yang agaknya sudah terbangun pula.
Serbuan mendadak dari segala pen?juru itu memang cukup mengejutkan orang-orang Hwe-liong-pang. Untunglah bahwa selama ini merekapun selalu da?lam suasana perang, sehingga dengan tangkasnya merekapun bersiap untuk mempertahankan diri. Sebagian menahan serbuan musuh, sebagian lagi memadam?kan api, dan ada pula yang membunyi?kan lonceng tanda bahaya. Kesunyian lereng Tiau-im-hong di malam hari itu segera berubah menjadi hiruk-pikuk oleh teriakan-teriakan kemarahan dan suara senjata yang beradu di segala sudut, bercampur dengan suara lonceng yang menggema sampai di kejauhan.
Dari arah yang berbeda-beda, orang-orang Kun-lun-pay yang dipimpin oleh Bong-san Tojin, orang-orang Tiam-Jong-pay pimpinan pendekar Ki Im-kok yang berjuluk Lam-i-hui-hou (Macan Terbang Berbaju Biru) serta orang-o?rang Ki-lian-pay di bawah pimpinan Im-kan-jio (Si Tombak Akherat) Liu Hui-ko juga telah menyerbu. Dengan demikian untuk sementara pihak Hwe-liong-pang memang menjadi agak panik. Namun setelah pimpinan mereka para Su-cia, Tong cu dan Hu-tong-cu keluar pula ke are?na pertempuran, maka para anggauta Hwe-liong-pang menjadi agak tenang dan bertahan dengan penuh semangat. Apalagi setelah Siangkoan Hong dan Lim Hong-pin munculkan diri pula karena dikejutkan oleh suara genta bertalu-talu itu.
Kiau Bun-han, Yo Ciong-wan, Li Sin serta si Jago muda Auyang Seng me?rupakan ujung-ujung tombak barisan Hoa san-pay yang mendobrak dari arah sela?tan dengan melompati tembok itu. Anggauta-anggauta Hwe-liong-pang yang ma?sih mengantuk itu kocar-kacir dibabat oleh keempat jago Hoa-san-pay ini, se?dangkan murid-murid Hoa-san-pay lainnyapun menyerbu dengan berapi-api pula. Dalam sekejap saja barisan Hwe-liong-pang di sisi selatan ini telah terde?sak mundur dengan meninggalkan beber?apa korban, karena tak seorangpun sanggup menahan amukan keempat jago Hoa-san-pay itu.
"Hayo, murid-murid Hoa-san-pay, hanguskan sarang iblis ini!" teriak Yo Ciong-wan nyaring. "Kelak nama Hoa-san-pay kita akan dikenang melebihi kenangan terhadap Siau-lim-pay atau Bu-tong-pay yang ternyata hanya nama besar tapi tidak berani berbuat apa-apa kepada golongan iblis !"
Tiba-tiba dari pihak Hwe-liong-pang ada yang tertawa dingin dan menyahut seruan Yo Ciong-wan itu, "Sungguh bermulut besar. Siau-lim-pay dan perguruan-perguruan lain yang tidak ikut dalam penyerbuan ini bukanlah karena takut, tapi karena mereka dapat pikir jernih dan tahu ada yang mengadu domba kita. Sedang kau yang sering berlagak pintar inilah yang sebenarnya tolol seperti keledai, dengan mudah dapat diadu seperti cengkerik saja!"
Waktu Yo Ciong-wan dan orang-orang Hoa-san-pay lainnya menoleh ke arah suara itu, nampaklah seorang rahib kekar bertampang suku Hui tengah ber?diri tegak dan memandang orang-orang Hoa-san-pay dengan marahnya, tangan kanannya memegang toya Hong-pian-jan (toya yang ujungnya berbentuk bulan sabit). Dia adalah Hong-goan Hweshio, salah seorang tokoh Hwe-liong-pang yang sudah dialaminya sendiri kelihai?annya oleh Yo Ciong-wan beberapa hari yang lalu. Waktu itu Hong-goan Hwe-shio hanya bertangan kosong, apalagi kini ia membawa senjatanya, maka diam-diam bergetar juga hati Yo Ciong-wan.
Sementara itu Yo Ciong-wan telah melanjutkan kata-katanya, "Rahib asing, jangan mencari dalih yang bukan-bukan untuk menyelamatkan Hwe-liong-pang dari kehancuran! Malam ini Hwe-liong-pang dan segala isinya akan han?cur!"
Hong-goan Hweshio yang biasanya bermuka ramah dan banyak tertawa itu, kali ini nampak begitu seram bagaikan malaikat yang turun dari langit. Dengan sengit ia menjawab, "Bukan Hwe-liong pang kami yang akan hancur, tapi kali?anlah yang akan kami hancurkan malam ini juga! Kami memang cinta perdamaian dan sedang mengusahakan per?damaian, tetapi tidak dengan orang-orang yang telah berani mengobrak-abrik markas kami dan bahkan membakarnya!"
Menutup ucapannya itu, Hong-goan Hweshio telah menggerakkan ujung senjatanya langsung ke dada Yo Ciong-wan, serangannya itu membawa desir angin yang keras, menandakan tenaga si rahib Hui yang hebat. Yo Ciong-wan sudah mengetahui kelihaian rahib itu dalam pertempuran di pinggir hutan berapa hari yang lalu, maka ia tidak berani menangkis serangan itu dengan keras lawan keras, cepat-cepat tokoh kedua di Hoa-san-pay itu melompat ke samping.
Baru saja Yo Ciong-wan memikir untuk membalas serangan itu, tahu-tahu senjata si rahib telah menyabet mendatar dengan hebatnya, sekali lagi Yo Ciong-wan harus menghindar dengan melompat mundur. Tapi Hong-goan Hweshio yang telah marah besar itu tidak melepaskan lawannya, ujung senjatanya ga?gal mengenai tubuh lawan, maka tang?kai senjatanyalah yang menyusul membu?ru. Yo Ciong-wan dibikin kalang-kabut oleh serangan Hong-goan Hweshio yang beruntun.
Untunglah, pada saat kesulitan di pihak Yo Ciong-wan itu, si Jago mu?da Hoa-san-pay, Auyang Seng yang ber?juluk Gin-hoa-kiam (Pedang Bunga Pe?rak) itu telah menyelip maju untuk membantu paman gurunya. Meskipun Auyang Seng itu hanya merupakan ke?ponakan murid Yo Ciong-wan, namun ka?rena bakatnya yang baik dan la?tihannya yang keras, maka tingkat ilmunya justru tidak kalah dari paman paman gurunya. Karena itulah bantuan Auyang Seng terasa cukup berarti bagi Yo Ciong-wan. Dan paman guru serta keponakan murid itupun kemudian bekerja sama melawan Hong-goan Hweshio yang mengamuk dengan Hong-pian-jiannya yang menderu-deru menguncupkan keberanian lawan itu.
Sedangkan Kiau Bun-hanpun tidak dapat malang-melintang lebih lanjut, sebab di hadapannya kini telah mengha?lang seorang pemuda yang memegang golok bulan sabit di tangannya, memakai pakaian daerah Su-coan, lengkap dengan sorban putih dan rompi kulit dombanya. Melihat sikap penghadangnya yang begitu tenang dan penuh kepercayaan diri sendiri, Kiau Bun-han tidak berani memandang ringan, tegurnya, "Siapa kau? Kelihatannya kau bukan anggauta biasa Hwe-liong-pang?"
Orang itu menyahut dingin, "Aku Auyang Siau-pa, pemimpin Kelompok Bendera Hijau (Jing-ki-tong) !"
Kiau Bun-han mengangkat pedangnya dan menudingkannya ke arah lawan sambil berkata, "Bagus, rupanya kau salah satu pentolan dalam sarang setan ini. Biarlah kubabat dulu pentolan-pentolannya, baru kubersihkan kerucuk-kerucuknya kemudian!"
Ternyata Auyang Siau-pa yang tidak suka banyak bicara itu tidak me?nunggu sampai Kiau Bun-han selesai me?nutup mulutnya. Kakinya meluncur maju dan golok sabitnyapun digerakkan, ma?ka muncullah selapis bayangan berwar?na keperak-perakan yang melebar dan membawa hawa dingin tajam, di balik bayangan itu nampak seakan-akan puluh?an batang golok membacok serempak.
Terkejutlah Kiau Bun-han melihat kecepatan golok lawannya. Cepat-cepat dia menggerakkan pedang untuk menang?kis, dan kemudian kedua orang itupun terlibatlah dalam sebuah pertempuran sengit satu lawan satu yang hebat. Ke?dua-duanya sama-sama mengutamakan ke?cepatan geraknya dalam permainan silatnya, maka yang nampak di tengah arena itu bukan dua manusia yang tengah ber?kelahi, tapi hanya bayangan golok dan pedang berpuluh-puluh jumlahnya dan saling menyambar tak henti-hentinya. Bayangan Auyang Siau-pa dan Kiau Bun-han tidak terlihat lagi karena terselubung bayangan senjata mereka.
Kini di pihak Hoa-san-pay ting?gallah Lim Sin yang belum menemukan la?wan seimbang. Tapi itupun tidak lama, sebab Jing-ki-hu-tong-cu (Wakil Ketua Kelompok Bendera Hijau) telah menghadangnya tidak lama kemudian dan melibatnya dalam pertempuran sengit yang seimbang, Yu Ling-hoa si bekas murid Khong-tong-pay dengan sepasang Gun-goan-pay (Perisai Berpinggiran Tajam) itu ternyata mampu menandingi tokoh ketiga dari Hoa-san-pay itu.
Dengan demikian keempat jagoan andalan Hoa-san-pay itu telah menemui lawannya sendiri-sendiri, mereka tidak lagi babat sana babat sini seperti tadi. Bahkan karena jumlah orang-orang Hwe-liong-pang lebih banyak, maka sedikit demi sedikit orang-orang Hoa-san pay mulai terdesak ke arah tembok, dan kedua pihakpun mulai kehilangan orang-orangnya yang berguguran dimangsa senjata. Tapi jatuhnya korban satu demi satu itu tidak meredakan pertempuran, malahan semakin mengobarkannya, sebab masing-masing pihak semakin bernafsu untuk menuntut bela bagi teman-temannya.
Sambil bertempur melayani kero?yokan Yo Ciong-wan dan Auyang Seng, Hong-goan Hweshio sempat memperha?tikan gelanggang pertempuran secara keseluruhan, dan hatinya pedih bukan main melihat betapa kedua belah pihak sudah sulit didamaikan lagi agaknya. Masing-masing berkelahi dengan buas?nya bagaikan kesurupan setan. Dalam hatinya dia juga berpikir, "Sungguh mengherankan bahwa orang-orang Hoa-san-pay bisa lepas dari ikatan dan ber?tindak sendiri semacam ini. Apakah Hong-tay Suheng tidak mampu lagi meng?uasai perguruan-perguruan yang se?mentara ini di bawah pimpinannya? Ataukah malahan Suheng sudah terpeng?aruh oleh siasat adu domba Te-liong Hiang-cu ini dan justru menyuruh orang orang Hoa-san-pay ini menyerbu lebih dulu untuk membuka jalan bagi serangan berikutnya yang lebih hebat?"
Namun hong-goan Hweshio tidak sempat berangan-angan macam-macam lagi, adalah suatu kenyataan yang jelas tertera di depan matanya bahwa beberapa perguruan telah melepaskan diri dari ikatan gerakan bersama, dan malam itu menyerbu serta membakar markas Hwe-liong-pang. Suatu kenyataan pula bahwa Yo Ciong-wan dan Auyang Seng sangat bernapsu untuk menghujamkan pedangnya dalam-dalam ke tubuh Hong-oan Hweshio, sehingga rahib Hui itu harus bertempur dengan gigihnya.
Di antara lima perguruan yang menyerbu Tiau-im-hong malam itu, yang paling nekad adalah orang-orang Kun-lun-pay. Mereka tidak menjebol tembok atau melompati tembok untuk masuk ke dalam markas Hwe-liong-pang, melainkan menerjang langsung lewat pintu gerbang. Terdiri dari kaum Tojin dan orang biasa yang rata-rata bersenjata pedang, mereka menyerbu dipimpin oleh Hong-san Tojin, si imam jangkung yang sambaran pedangnya bagaikan surat undangan Giam-lo-ong (Raja Akherat) itu. Jumlah mereka juga paling banyak dibandingkan perguruan-perguruan penyerang lainnya, kira-kira hampir delapan puluh orang.
Beberapa anggauta Hwe-liong-pang yang menjaga pintu gerbang, menjadi korban sia-sia bagi pedang Hong-san Tojin yang sebentar saja sudah merah karena darah. Sambil melangkahi mayat-mayat anggauta-anggauta Hwe-liong-pang, Hong-san Tojin berseru kepada murid-murid Kun-lun-pay, "Lebih dulu serbu aula ! Hancurkan papan nama Hwe-liong-pang ini!"
Namun sebelum orang-orang Kun-lun pay itu sempat menimbulkan kerusakan yang lebih parah lagi, dari halaman tengah telah keluar serombongan orang Hwe-liong-pang yang dipimpin seorang lelaki muda, yang tangannya membawa sepasang golok liu-yap-to. Dialah Lam ki-tong-cu (Pemimpin Kelompok Bendera Biru) dari Hwe-liong-pang, In Yong yang berjuluk Pek-lui-siang-to (Sepa?sang Golok Halilintar). Di sampingnya ada laki-laki muda lainnya yang juga membawa sepasang golok, yang bukan lain adalah wakilnya dan sekaligus juga adik seperguruannya, bernama Ong si-yong, berjuluk Hui-long (Serigala Terbang). Seperti telah diketahui, dulunya wakil In Yong adalah Ma Hiong yang berjuluk Siau-lo-cia (Lo Cia Kecil). Kemudian Ma Hiong diangkat menjadi Tong-cu dari Ang-ki-tong (Kelompok Bendera Merah) untuk menggantikan jabatan yang ditinggalkan oleh Tong-cu lama, Tui-hun-mo-kay (Pengemis Iblis Pemburu Nyawa) Ko Ce-yang yang telah berkhianat dan menjadi pengikut Te-liong Hiang-cu itu. Untuk mengisi kekosongan wakil ketua di kelompoknya, In Yong mengangkat adik seperguruannya sendiri, dan ternyata tidak ada keberatan dari anggauta-anggauta kelompok lainnya.
Ketika melihat penjaga-penjaga gerbang telah bergelimpangan dibantai oleh Bong-san Tojin dan orang-orang Kun-lun-pay lainnya, seketika itu meluaplah darah In Yong. Sambil melompat maju ia berteriak, "Beginikah perbuatan dari seorang imam yang mengaku sebagai pendekar golongan lurus dan taat beragama pula? Benar-benar tak berperikemanusiaan !"
Bong-san Tojin tertawa berderai, "Ha-ha-ha... kau mencoba menutupi ke?takutanmu dengan bersikap segarang mungkin? Kau marah atas terbunuhnya kawan-kawanmu ini? He, kawanan iblis, dengarlah! Kematian orang-orang sema?cam kalian ini semakin cepat semakin baik, duniapun akan menjadi semakin bersih!"
Darah In Yong kian mendidih, "Imam munafik, kalianlah orang-orang yang mengotori dunia ini! Kalian hidup dalam menara kebanggaan yang kalian ciptakan sendiri, terpisah dari masya?rakat ramai. Kalian menganggap diri kalian sendiri dengan bermacam sebut?an golongan lurus, kaum ksyatria pen?junjung kebenaran dan sebagainya. Be?nar-benar memuakkan. Tapi apa yang kalian perbuat ketika rakyat kecil me?merlukan pembelaan dari kesengsaraan yang diakibatkan oleh ketidak-becusan Kaisar Cong-ceng? Apa yang kalian perbuat, hah? Kalian tetap tinggal dalam sarang kalian sendiri-sendiri, takut terlibat, menulikan telinga terhadap jeritan rakyat! Dan siapakah yang kemudian turun tangan membela rakyat tertindas? Hwe-liong-pang! Namun kali?an yang iri, takut tersaingi ketenar?an kalian, lalu mencap kami sebagai golongan sesat dan bahkan memusuhi kami! Kalian tidak menjunjung kebenaran dan kemanusiaan seperti yang kali?an gembar-gemborkan sendiri, melainkan hanya menjunjung tinggi pamor per?guruan masing-masing, harga diri masing-masing, nama besar sendiri-sendiri! Bangsat! Kalianlah yang harus lenyap dari muka bumi ini!"
Sebagai tokoh Kun-lun-pay yang biasanya dihormati dan disanjung orang, kapankah Bong-san Tojin pernah menerima caci-maki setajam itu? Biarpun caci-maki itu ada juga yang menyentuh hati kecilnya, dan terasa pula kebenarannya, namun Bong-san Tojin tidak sudi mengakuinya secara terang-terangan. Ia akan kehilangan muka. Karena itu, dengan muka merah padam dia balik membentak, "Bangsat Hwe-liong-pang bukan saja perbuatan kalian yang kotor, tapi mulut kalianpun sangat kotor. Pedangku akan merobek mulut yang penuh kenajisan itu!"
In Yong biasanya bersikap sabar itu, kali ini agaknya terpancing kemurkaannya oleh kecongkakan Bong-san Tojin itu. Kepada anak buahnya dia berseru, "Serang! Jangan ada seorang pun di antara mereka yang lolos!"
Memangnya orang-orang Hwe-liong pang itu sudah gatal ketika melihat rekan-rekan mereka dibunuhi itu, maka perintah In Yong itu kebetulan cocok dengan gelora perasaan mereka. Mere segera berlompatan maju, senjata-senjata yang sejak tadi sudah dihunus keluar itu, kini mulai menyambar-nyambar mencari mangsa. Sedang murid-murid Kun-lun-pay juga menyambutnya tanpa kenal takut.
Begitulah, di depan aula di halaman depan itupun berkobar pertempuran sengit yang tidak kalah hebatnya dengan bagian-bagian lain dari gedung Hwe-liong-pang itu. In Yong yang sangat muak kepada Bong-san Tojin itu telah menerjang langsung ke arah imam Kun-lun-pay itu dengan sepasang goloknya. Lebih dulu golok kanan menyambar dengan gerakan Sui-in-piau-hui (Awan Beterbangan), dan ketika imam lawannya menangkis dengan pedangnya, In Yong dengan tangkas memutar golok kanannya untuk melibat senjata lawan, sedang golok kirinya disabetkan langsung ke arah lambung.
Bong-san Tojin yang tadinya meng?anggap remeh lawannya itu, terkejut bukan kepalang ketika merasakan sen?diri betapa tangkasnya In Yong memain?kan sepasang liu-yap-tonya itu. Ham?pir saja pedangnya terputar dan ter?lempar dari tangannya, dan lambungnya tersobek oleh golok kiri lawannya. Un?tung bahwa Bong-san Tojin juga bukan tokoh sembarangan. Dalam terkejutnya dia sempat melakukan gerakan Gan-heng sia-ki (Burung Meliwis Terbang Rendah), sambil menekuk pinggang dia me?lompat keluar dari jangkauan serangan In Yong.
"Imam berhati kejam, hendak lari ke mana kau?" bentak In Yong yang ti?dak mau melepaskan lawannya itu. Bong-san Tojin mundur, maka In Yongpun te?rus mendesak maju dengan tiga jurus beruntun Lo-cia lo-hay (Lo-cia Menga?duk Lautan), Pek-in-kak-he-hian (Merah Putih Mengalir di Telapak Kaki) dan Sui-hong-pai-liu (Cemara Bergoyang Tertembus Angin). Begitu sengit ser?angannya, begitu cepat gerakan sepa?sang goloknya, sehingga Bong-san Tojin benar-benar gelagapan dibuatnya. Imam itu melihat seakan-akan ada puluhan batang golok sekaligus yang meng?hujani tubuhnya dengan bacokan bertubi tubi dari berbagai arah, maka bayang?an golok yang asli dan mana yang pal?su sulit dibedakan. Dalam beberapa ge?brakan saja imam Kun-lun-pay yang som?bong itu dipaksa mundur bertahan sampai enam langkah, bahkan pada langkah yang ke tujuh golok kiri In Yong berhas?il merobek paha kanannya yang terlambat melangkah.
Karena gugupnya, Bong-san Tojin sampai lupa akan sikapnya yang angkuh itu, sambil menggerak-gerakkan pedang untuk menangkis, dia berteriak kepada salah seorang imam lain dari Kun-lun-pai yang tengah bertempur tidak jauh darinya, "Bong-sin Sute, bantu aku!"
In Yong tertawa dingin melihat sikap lawannya itu, "Jangan cuma satu su-temu yang kau suruh mengeroyokku, beberapa orang sekaliguspun tidak mengapa, malahan aku akan berkesempatan melihat kehebatan murid-murid kun-lun-pay sesuai dengan nama besar kalian!"
Bong-san Tojin menggeram mendengar sindiran tajam itu, sahutnya sambil tetap berkelahi, "Untuk membasmi kaum iblis...."
Namun In Yong telah menyambung kata-katanya sambil tertawa mengejek, "... tidak perlu menghiraukan tata krama dunia persilatan, bukankah begitu yang hendak kau ucapkan? Memang itulah satu-satunya alasan kalian untuk berbuat pengecut. Alasan yang sangat masuk akal !"
Bong-san Tojin yang biasa angkuh dan sangat membanggakan diri itu pun menjadi merah-padam mukanya, mulutnya pun bungkam tak dapat menjawab sindiran itu. Namun adalah kenyataan bahwa dia tidak sanggup melawan In Yong seorang diri, terpaksa minta bantuan salah seorang adik seperguruannya.
Begitulah, tak lama kemudian In Yong dengan sepasang golok tipisnya terpaksa harus berhadapan dengan sepasang kakak beradik seperguruan dari Kun-lun-pay, Bong-san dan Bong-si Tojin. Dengan demikian In Yong harus bekerja keras luar biasa menghadapi lawan-lawannya yang tangguh dalam ilmu pedang itu. Untunglah bahwa latihan keras In Yong dalam beberapa bulan terakhir ini telah menghasilkan buah yang membanggakan. Hampir setiap pagi dan sore, bahkan malam haripun jika ada kesempatan, In Yong selalu mengulang-ulang memainkan jurus-jurus sepasang goloknya, bukan hanya puluhan kali namun ratusan kali setiap ha?rinya. Tidak lupa ia berlatih keras pula menambah tenaganya, sehingga sekarang terlihatlah betapa hebatnya permainan sepasang goloknya itu. Goloknya yang hanya dua helai, itu seolah-olah terpecah-pecah menjadi banyak sekali, bayangannya berkelebatan mengurung lawan-lawannya. Menghadapi dua orang tokoh Kun-lun-pay sekaligus, In Yong ternyata tidak terdesak, meskipun ia juga sulit untuk mendesak kedua lawannya.
Sementara itu, adik seperguruan dan wakil In Yong, yaitu Hui-long Ong Wi-yong juga harus menghadapi dua orang lawan tosu yang bernama depan "Bong" dari Kun-lun-pay, yaitu imam-imam yang seangkatan dengan Bong-san Tojin. Kedua imam itu ialah Bong-thian dan Bong-go Tojin. Biarpun ilmu Ong Wi-yong belum setangguh kakak seperguruannya, namun selisihnya juga cuma sedikit, sehingga Ong Wi-yongpun ternyata sanggup membuat lawan-lawannya terheran-heran dan harus memeras keringat.
Dalam rombongan orang-orang Kun-lun-pay itu, ada lima orang Tojin bernama depan Bong, yang kepandaiannya rata-rata hampir setingkat. Selain Bong-san dan Bong-sin yang sudah terikat dalam perkelahian melawan In Yong serta Bong-thian dan Bong-go yang dihadapi oleh Ong Wi-yong, masih ada Bong-seng Tojin yang belum bertemu lawan seimbang. Untuk menghadapi amukan tokoh Kun-lun-pay yang satu ini, pihak Hwe-liong-pang terpaksa harus mengerahkan lima orang anggauta terbaiknya hanya untuk melawan satu orang saja. Itupun Bong-seng Tojin masih bisa ?meminta korban? berulang kali, melukai atau bahkan membunuh orang-orang yang mengeroyoknya satu demi satu dan kemudian berganti lawan lagi.
Tapi kegarangan Bong-seng Tojin itu terhenti, ketika ada sesosok bayangan meluncur turun dari atas genteng dan mendarat tepat di depan Bong-seng Tojin. Orang yang melompat turun itu ternyata seorang lelaki muda sebaya dengan In Yong, bertubuh tegap dan berpandangan mata tajam menusuk, tangan kanannya membawa sebatang pedang yang bentuknya mirip dengan pedang orang-orang Kun-lun-pay.
Dengan pandangan mata yang tajam menusuk, ia memandang ke arah Bong-seng Tojin, dan menyapa dengan suara dingin, "Selamat bertemu kembali, susiok (paman guru). Alangkah hebatnya ilmu silat susiok yang tadi kulihat dari atas genteng, namun tidak ada artinya susiok membunuhi teman-temanku yang bukan tandinganmu itu."
Ketika melihat pemuda yang berdiri di hadapannya itu, terbelalaklah mata Bong-seng Tojin. Kumis dan jenggot pendeknya yang kaku seperti kawat yang bergerak-gerak karena menahan luapan perasaannya, kemudian berkatalah ia, "Anak murtad, jadi selama berapa tahun ini kau ternyata telah menjadi anggauta perkumpulan setan-setan iblis ini?"
Pemuda itu tetap dingin, "Benar, su-siok. Bahkan bukan anggauta biasa saja, tapi aku mendapat kehormatan ju?ga untuk menjadi Ui-ki-hu-tong-cu (Wa?kil Ketua Kelompok Bendera Kuning)."
Mata Bong-seng Tojin melotot se?makin lebar, "Mendapat kehormatan ka?tamu? Bukan! Tapi kau mendatangkan ke?najisan bagi nama suci Kun-lun-pay ka?mi! Sungguh penasaran bahwa Kun-lun-pay juga menghasilkan iblis kecil se?perti kau ini!"
"Su-siok keliru. Selama ini aku tetap menghormati Kun-lun-pay sebagai perguruanku, sebagai sumber ilmuku, namun ternyata Kun-lun-pay bukan tem?pat persemaian yang subur bagi cita-cita yang bergejolak dalam hatiku, bah?kan Kun-lun-pay dengan peraturan-peraturannya yang ketat dan kaku malahan memenjarakan jiwaku, mengungkung cita-citaku. Para guru di Kun-lun-pay mengajar murid-muridnya agar dengan ilmu silat yang dimiliki digunakan untuk membela kebenaran, tapi ketika aku membunuh si hartawan penindas rakyat itu, malahan aku diusir oleh perguruanku sendiri. Alasan pengusiranku memang disusun demikian muluk, seakan-akan aku melanggar peraturan pasal ini pasal itu, tapi aku tahu bahwa alasan yang sebenarnya hanyalah karena si tukang tindas itu sahabat Ketua dan bahkan tidak jarang memberi uang banyak kepada Ketua. Bukankah begitu, su-siok? Bukankah kalian si jenggot-jenggot panjang yang sok pintar ini hanya bisa mengajar orang-orang muda murid kalian, tapi kalian tidak sanggup mengajar diri sendiri? Hanya bisa bicara panjang lebar tetapi tidak bisa melaksanakan ajaran-ajaran indah kalian itu? Salahkah kalau aku menjadi muak kepada kalian, dan mencari wadah baru bagi penyaluran cita-citaku?"
Jika pada kalimat pertama si pe?muda itu masih bicara dengan kalem, maka pada akhir perkataannya telah bernada semakin keras, dan bahkan se?tengah berteriak, terdorong oleh lua?pan perasaannya yang selama ini ter?pendam rapat jauh di dasar hatinya. Wajahnya yang tadinya dingin itupun kini telah menjadi merah padam, pedangnya juga telah terangkat menu?ding ke wajah Bong-seng Tojin yang agak memucat.
Diam-diam Bong-seng Tojin ter?getar juga ketika melihat sikap pe?muda bekas keponakan muridnya itu, dia tahu benar sampai di mana kemampu?an anak muda itu dalam hal ilmu pedang. Biarpun ia hanya angkatan muda, tapi bakat yang dipunyainya adalah se?demikian mengherankan, sehingga dalam latihan beberapa tahun saja ia sudah hampir menyamai guru-guru besar Kun-lun-pay yang berlatih belasan tahun. Itu terjadi beberapa tahun silam, ke?tika anak muda yang bernama Sebun Peng itu diusir dari perguruannya ka?rena dituduh melakukan pembunuhan se?wenang-wenang atas seorang tuan tanah desa. Kini, andaikata Sebun Peng terus terlatih selama ini, entah bagaimana dengan kepandaiannya? Memikirkan hal itu, diam-diam Bong-seng Tojin agak gentar. Tapi dasar keras kepala, ia tidak sudi menunjukkan perasaan gentarnya itu kepada orang lain, apa lagi kepada murid-murid Kun-lun-pay yang bertebaran di aula itu.
"Kau memang pintar bicara. Di Kun-lun-pay kau bisa lolos dari hukuman berat, tapi setelah menjadi anggauta Hwe-liong-pang kau harus dihukum mati!"
Sebun Peng tertawa tergelak sambil kepalanya mendongak, "Ha-ha-ha, kalian lucu! Hwe-liong-pang sebagai wadah cita-cita hendak kalian tumpas dengan alasan yang dibuat-buat. Sedangkan kaki tangan Kaisar Cong-ceng yang bertebaran di mana-mana dan memeras rakyat, kalian biarkan saja karena kalian takut dicap pemberontak? Dasar munafik !"
Alangkah marahnya Bong-seng To-Jin karena dicaci-maki seenak sendiri oleh Sebun Peng yang dulu merupakan keponakan muridnya itu, tapi diapun tidak berani bertindak gegabah karena tidak yakin ilmunya bisa menandingi Sebun Peng. Terpaksa ia menahan kemarahan sehingga dadanya terasa hampir meledak!
Sebaliknya Sebun Peng tidak ingin cepat-cepat bertempur, melainkan masih ingin menumpahkan isi-hatinya yang terpendam bertahun-tahun itu. Sambil menunjuk ke arah In Yong dan Ong Wi-yong, ia berkata, "Su-siok, tahukah kau siapa sebenarnya In Yong dan adik seperguruannya itu. Mereka adalah murid-murid Heng-san-pay, perguruan yang juga menyebut dirinya sebagai golongan pendekar dan kaum lurus. Namun merekapun senasib denganku, merasa terkekang, dan akhirnya menemukan Hwe-liong-pang sebagai wadah penyaluran gejolak jiwa mereka. Ketahuilah, susiok, dalam Hwe-liong-pang ini berkumpul orang dari bermacam-macam asal-usul, namun satu cita-cita. Kau tentu tahu bahwa Hong-goan Hweshio adalah murid Siau-lim-pay dulunya, pe?mimpin Bendera Ungu Lu Siong adalah bekas murid Ngo-tay-pay, si wakil ke?tua Bendera Hijau, Yu Ling-hoa adalah bekas murid Khong-tong-pay, dan masih banyak lagi murid-murid Siau-lim-pay, Bu-tong-pay, Go-bi-pay, Hoa-san-pay dan lain-lain yang bergabung dengan kami...."
Sambil tertawa mengejek, Bong-seng Tojin menyambungnya, "Dan ma?lahan ahli-ahli waris dari aliran se?satnya Bu-san-jit-kui (Tujuh Iblis da?ri Bu-san) juga ada, bahkan menjadi pucuk pimpinan kalian."
Tapi Sebun Peng acuh saja men?dengar kecaman itu, masih sambil ter?tawa dia berkata, "Benar, tapi yang penting bukan sumber ilmunya dari ma?na, melainkan pengamalan ilmu itu bermanfaat atau tidak. Bukankah Cu Goan-ciang, pendiri dinasti Beng itu juga seorang penganut agama yang tadinya dianggap agama sesat? Tapi ia berha?sil membebaskan rakyat dari tindasan bangsa Mongol. Memang pemimpin-pemim?pin Hwe-liong-pang kami adalah pewaris pewaris ilmu Bu-san-Jit-kui, namun me?reka bertujuan luhur untuk membebas?kan rakyat dari cengkeraman Kaisar Cong-ceng yang tidak becus itu, Kaisar yang tidak lebih dari bonekanya si menteri keparat Co Hua-sun itu!"
"He, Jadi Hwe-liong-pang adalah pendukung pemberontakan Li Cu-seng?"
"Boleh dikata kami sejalan, mes?kipun tidak bersama-sama."
"Kau tahu berapa banyak korban di kalangan rakyat andaikata perang benar-benar mulai berkobar? Kau tidak akan mempedulikan itu?"
Sebun Peng membalas, "Dan tahu?kah berapa juta orang yang telah ter?tindas kemiskinan dan kesengsaraan apabila keadaan dibiarkan seperti ini terus dan Kaisar Cong-ceng serta dorna Co Hua-sun itu tetap berada di pu?cuk pemerintahan?"
"Kau memang pintar bicara! Sekarang terimalah hukumanmu !" bentak Bong Seng Tojin dengan garang. Sehabis membentak, pedangnyapun langsung menikam dengan Tiang-cian-Ji-im (Panah Panjang Menembus Mega) sebuah jurus dalam Kun-lun-kiam-hoat (Ilmu Pedang Kun-lun-pay) yang menekan kecepatan dan kejutan pada serangannya. Ternyata Bong-seng Tojin tanpa kenal malu telah berbuat licik, dengan pura-pura mengajak Sebun Peng untuk berdebat dan kemudian menyerangnya secara mendadak tanpa menunggu lawan bersiap.
Sebun Peng memang tidak mengira paman gurunya akan bertindak selicik itu, sungguh tidak setimpal dengan martabatnya sebagai tokoh perguruan Kun-lun-pay yang termasyhur di wilayah barat itu. Sergapan mendadak itu memang mendatangkan hasil, meskipun Sebun Peng sudah berusaha menghindar tapi tetap saja pundak dan lengannya tergores panjang sampai mengalirkan darah.
"bagus!" teriak Sebun Peng marah. "Anggap saja seranganmu ini sebagai lambang putusnya hubungan lama kita! Su-siok, aku tidak akan segan-segan lagi!"
Bong-seng Tojin tidak peduli te?riakan kemarahan Sebun Peng itu. Ma?lahan dia menyerang lagi dengan Kui-seng-tiam-goan (Bintang Kejora Meno?hok Pusar) yang memaksa Sebun Peng menghindar ke samping, namun Bong-seng Tojin membabatkan pedangnya dengan ge?rak susulan Pek-loh-heng-kang (Embun Putih Menyeberang Sungai).
Kali ini Sebun Peng sudah siap dan tidak ingin dilukai untuk kedua kalinya. Ditangkisnya pedang paman gu?runya itu dan kemudian langsung diba?lasnya dengan gerakan Pek-wan-tau-tho-pay-thian-keng (Kera Putih Mencuri Bu?ah Tho dan Menyembah Langit), sebuah gerak rumit penuh perubahan yang amat sulit melatihnya sehingga mahir. Tapi nampaklah bahwa Sebun Peng dapat mem?pergunakannya dengan lancar dan bertenaga, bong-seng Tojin terkejut bercampur iri, karena dia sendiri belum bisa sebaik itu dalam memainkan jurus sulit itu, biarpun latihannya jauh le?bih lama dari Sebun Peng. Gentar oleh keadaan itu, terpaksa imam berjenggot kaku itu melompat mundur untuk mengambil jarak.
Tapi Sebun Peng yang terluka itu sudah terlanjur jadi sangat muak kepa?da bekas paman gurunya itu, bagaikan banteng ketaton dia terus merangsek maju, bayangan pedangnya bagaikan hujan lebat yang mencurah ke tubuh Bong-seng Tojin. Imam Kun-lun-pay itu mengeluh dalam hati, namun demikian dia malu juga kalau terus menerus melangkah mundur, maka dengan mengeraskan hati diapun mainkan Kun-lun-kiam-hoat untuk bertahan dan membalas menyerang.
Begitulah, di tengah-tengah riuhnya pertentangan antara orang-orang Hwe-liong-pang dengan kaum penyerbu itu, terjadi pula pertempuran antara dua orang yang sama-sama mahir ilmu pedang dari Kun-lun itu. Karena berasal dari satu perguruan, gerakan kedua pihak begitu serasi, seperti orang yang sedang berlatih saja, namun sinar mata yang buas dan memancarkan nafsu membunuh itulah yang membedakan perkelahian itu dan latihan biasa.
Pertempuran antara orang-orang Hwe-liong-pang yang mempertahankan markasnya, dengan orang-orang lima per?guruan yang berniat menghancurkan mar?kas itu, pada mulanya hanya terjadi di tempat-tempat tertentu secara ber?kelompok-kelompok. Namun karena mere?ka bukan prajurit-prajurit yang terla?tih untuk bertempur berkelompok seca?ra teratur, maka sedikit demi sedikit jalannya pertempuranpun mulai berubah. Banyak yang terpencar-pencar dari ke?lompoknya, sehingga perkelahianpun akhirnya menyebar hampir di segala sudut markas Hwe-liong-pang. Di lorong-lorong, di halaman-halaman dan pintu-pintu yang menyekat antar halaman, di anak-anak tangga, pokoknya hampir di segala tempat. Sudah begitu, orang-orang berbagai perguruan itu mencoba lepaskan api di tempat-tempat yang mereka lalui, sehingga pihak Hwe-liong pang bukan saja berjuang melawan para penyerbu tapi juga menjaga jangan sampai si jago merah menelan markas mereka.
Dengan berkobarnya api besar maupun kecil di berbagai tempat, orang-orang Hwe-liong-pang memang terpecah perhatiannya. Tapi sekaligus juga terbakar amarahnya, tidak kalah panasnya dengan kobaran api yang sedang menelan gedung itu. Akibatnya sungguh gawat. Tidak ampun lagi bagi murid-murid lima perguruan itu kalau sampai jatuh ke tangan orang-orang Hwe-liong-pang yang tengah marah itu. Kemudian tindakan buas orang-orang Hwe-liong-pang itu dibalas lawan-lawannya dengan tak kalah buasnya pula. Dengan demikian perkelahian besar-besaran di markas Hwe-liong-pang itu sudah bukan seperti pertarungan antara manusia manusia beradab, tapi mirip bertarung antara kelompok hewan buas yang memperebutkan mangsa.
Di sebuah lorong yang di kedua ujungnya sudah "tersumbat" oleh orang orang Hwe-liong-pang, nampaklah orang orang Tiam-jong-pay di bawah pimpinan Ki Im-kok, si Harimau Terbang Berbaju Biru itu, tengah bertahan dengan gi?gihnya dari gencetan lawan. Entah mengapa orang-orang Tiam-jong-pay itu bisa sampai terjebak, atau tergiring masuk ke dalam lorong panjang itu dan tidak ada jalan keluar lagi. Tidak ada pilihan lain kecuali bertempur sampai titik darah penghabisan sambil mencoba mencari teman ke liang kubur sebanyak-banyaknya di pihak lawan.
-o0^DwKz-Hendra^0o- Jilid 37 Di salah satu ujung lorong, Ki Im Hok yang berpakaian serba biru itu, telah luka-luka di beberapa tempat di tubuhnya, namun masih melawan musuh dengan garangnya, bahkan masih juga berteriak-teriak memberi semangat anak buahnya. Lawannya adalah Pek-ki-tong-cu (Pemimpin Kelompok Bendera Putih) Oh Yun-kim, si orang Korea yang lebih terkenal dengan julukan Bu-ing-tui (Si Tendangan Tanpa Bayangan) itu. Biarpun Oh Yun-kim hanya bertangan kosong meladeni Ki Im-kok yang bersenjata pedang itu, namun tampaklah bahwa ketangkasan Oh Yun-kim sangat menyulitkan jago Tiam-Jong-pay itu. Sepa?sang kaki Oh Yun-kim yang dapat menendang semaunya itu, ibarat palu-palu godam yang apabila mengenai tubuh lawan bisa meremukkan tulang dengan seketika. Apalagi, sejak memperdalam ilmu bersama rekannya, Lu Siong, maka kini Oh Yun-kim tidak sekedar mengandalkan kakinya, namun sepasang tinjunyapun dapat membahayakan lawan. Biar pun belum semahir Lu Siong yang mengajarinya, namun Oh Yun-kim sudah berlatih pula tenaga Tit-siang-kin (Tenaga Melempar Gajah) yang luar biasa itu. Dengan demikian terdesaklah Ki Im-kok, hanya dengan kenekadan dan sikap berani mati sajalah maka Ki Im-kok masih bisa bertahan hingga detik itu, namun kekalahannya hanya soal waktu saja.
Di ujung lorong yang lain, Lu Siong yang berjuluk Jian-kin-sin-kun (Tinju Sakti Seribu Kati) itu bertempur dengan garangnya tanpa menemui lawan yang cukup seimbang di pihak Tiam jong-pay. Tanpa senjata hanya dengan sepasang kepalannya yang sekeras baja itu, Lu Siong mengamuk membuat kelompok Tiam-jong-pay semakin terjepit ke dalam lorong. Berulang kali terlihat murid-murid Tiam-jong-pay terlempar ke tanah atau terhuyung membentur tembok dengan tulang dada yang patah atau tengkorak kepala yang retak terkena pukulan Lu Siong. Tidak ada yang sanggup menahan lebih dari sepuluh pukulannya, bahkan andaikata beberapa orang murid Tiam-jong-pay juga menge?royoknya, mereka hanya dapat menahannya untuk sementara. Keroyokan itu ibarat tanggul terbuat dari lumpur yang hanya dapat menahan banjir untuk sementara saja, kemudian tanggul itu bobol juga. Sedang Lu Siong yang da?lam keadaan sangat marah karena pihak musuh melepaskan api membakar markas?nya, maka tidak ada ampun lagi bagi lawan-lawannya. Tinju dan kakinya me?layang kian-kemari, penuh berisi tena?ga penghancur yang dahsyat. Bagaikan seekor serigala di tengah-tengah ka?wanan biri-biri saja layaknya si Pe?mimpin Kelompok Bendera Ungu itu.
Tapi keadaan terjepit semacam itu tidak hanya dialami kelompok pe?nyerbu, tapi juga oleh kelompok-kelom?pok kecil orang-orang Hwe-liong-pang yang terpisah dari teman-temannya. Tapi bagi orang-orang Hwe-liong-pang ma?sih lebih menguntungkan, sebab mereka mengenal lika-liku markas yang luas itu seperti mereka mengenal telapak tangan mereka sendiri. Mereka tahu arah setiap lorong, di mana ada cabang?nya, di mana ada jalan tembusnya dan sebagainya, sehingga sulitlah bagi pi?hak penyerbu untuk menyudutkan orang-orang Hwe-liong-pang di kandangnya sendiri.
Dalam hiruk-pikuk yang semakin merata ke seluruh sudut bangunan luas itu, Siangkoan Hong dan Lim Hong-pin sebagai orang-orang tertinggi di Hwe-liong-pang selama ketidak hadiran Tong Wi-siang itu, juga telah terbangun da?ri tidurnya. Ketika mereka mendengar laporan tentang apa yang terjadi, berubahlah air muka mereka.
Siangkoan Hong segera mengertak gigi dan menggeram dengan muka merah padam, "Kurang ajar! Kita mengalah selangkah, mereka malah semakin maju sepuluh langkah. Kali ini mereka membakar tempat kita, lama kelamaan mereka akan menginjak kepala kita!"
Lim Hong-pin juga terbakar ha?tinya, meskipun dalam keadaan sehari-hari dia sangat sabar menghadapi ke?adaan. Tapi sekali ini adalah peristi?wa yang keterlaluan. Suatu serbuan terhadap markas suatu perguruan, apa?lagi disertai dengan membakar pula, sudah merupakan tantangan terang-te?rangan yang sulit didamaikan lagi. Perguruan atau perkumpulan manapun tidak ada yang tidak marah kalau tem?patnya dibakar. Meskipun demikian Lim Hong-pin masih juga memikirkan kemungkinan untuk menangkap para penyerbu itu tanpa melukainya.
Keluarnya kedua orang pewaris ilmu Bu-san-jit-kui itu ibarat malape?taka bagi para penyerbu. Baik Siangkoan Hong maupun Lim Hong-pin memiliki ilmu yang tinggi, dapat disejajarkan dengan sepuluh tokoh persilatan paling hebat di jaman itu. Hal inilah yang agaknya kurang diperhitungkan oleh Kiau Bun-han sebagai perencana serangan ini. Dia hanya memperhitungkan Tong Wi-siang sebagai tokoh yang sangat tangguh tapi sama sekali tidak tahu kalau kedua teman Tong Wi-siang inipun merupakan orang-orang berilmu tinggi.
Begitu mereka keluar dan turun ke medan, seketika itu juga gemparlah seluruh arena. Siangkoan Hong memutari medan sebelah selatan, dan celakalah musuh yang kebentrok dengannya. Sesuai dengan sifatnya yang pemarah itu, maka tindakannya benar-benar tak kenal ampun lagi.
Namun ketika ia bertemu dengan rombongan orang-orang Go-bi-pay yang tengah mendesak kelompok Hwe-liong pang di bawah pimpinan Hek-ki-tong-cu (Pemimpin Bendera Hitam) Kwa Tin-siong serta wakilnya, Cu Keng-wan, Siangkoan Hong berhenti sejenak. Dilihatnya pihak Hwe-liong-pang terdesak karena adanya tiga orang rahib sakti yang rata-rata kepandaiannya di atas kepandaian para Tong-cu Hwe-liong-pang. Kwa Tin-siong yang bertempur satu lawan satu dengan Thian-goan Hweshio itu, nampak sudah terkurung di bawah cahaya pedang panjang Thian-goan Hwe-shio, dan hanya mampu bertahan saja tanpa dapat balas menyerang. Tidak ada anak buahnya yang dapat membantunya, meskipun Tong-cu yang berjuluk Ya-hui-miao (Kucing Terbang Malam) itu sudah mengalami peningkatan ilmu sejak berlatih keras dulu, dengan ilmunya yang disebutnya Ya-miao-sip-pat-sik (Delapanbelas Jurus Kucing Liar), namun itu masih belum cukup untuk menand?ingi keampuhan dan kekerasan ilmu pedang Tat-mo-kiam-hoat gaya Go-bi-pay yang dimainkan oleh Thian-goan Hweshio dengan matang itu. Tenaganyapun kalah besar, sedangkan kelincahannya tak banyak berguna sebab Thian-goan Hweshio mampu menyusun pertahanan di sekitar tubuhnya dengan rapatnya.
Go-bi-pay, itu perguruan yang mendirikan markasnya di pinggir padang pasir Go-bi, merupakan salah satu dari tiga perguruan di daratan Cina yang boleh menepuk dada sebagai "pewa?ris ilmu pedang ciptaan Tat-mo Cou-su" di samping Siau-lim-pay di Siong-san dan Bu-tong-pay di Bu-tong-san. Ketiga perguruan itu sebenarnya berasal dari satu cabang, dan terpecah menja?di tiga aliran pada ratusan tahun yang lalu, jaman menjelang runtuhnya Kaisar Goan-sun-te dari dinasti Goan (Mongol) dan menjelang bangkitnya dinasti Beng oleh Cu Goan-ciang, leluhur Kaisar Cong-ceng yang sekarang ini. Karena berasal satu sumber, maka kehebatan ketiga perguruan itupun hampir sama, ketiga perguruan juga sama-sama memi?liki Tat-mo-kiam-hoat (Ilmu Pedang Tat mo) meskipun dengan gayanya masing-masing. Tentang kelihaian Thian-goan Hweshio ini, banyak orang berpendapat, andaikata saat itu diadakan kembali pertarungan antar para tokoh sakti un?tuk memperbaharui susunan "Sepuluh Tokoh Sakti", ada kemungkinan Thian-goan Hweshio akan masuk dalam urutan itu, menggeser kedudukan tokoh-tokoh yang di urutan bawah seperti Ang-mo-coa-ong Tang Kiau-po atau si iblis Jing-hay Sebun Say yang telah tewas itu. Demikianlah kabar tentang kehebatan Rahib Go-bi-pay yang menjadi tetunggul Go-bi-sam-sin-ceng (Tiga Rahib Sakti dari Go-bi) ini. Sayang bahwa rahib ini sering terseret oleh nafsu amarahnya yang meluap-luap, sehingga ilmunya kacau sendiri.
Tidak jauh dari medan pertempur?an itu, Thian-sek Hweshio, orang kedua dari Go-bi-sam-sin-ceng itu juga tengah bertempur dengan Hu-tong-cu Ke?lompok Bendera Hiam, Cu Keng-wan yang berjulukan Thiat-ciang (Telapak Tangan Besi) itu. Di sini keseimbangannya tidak ada bedanya dengan pertarungan antara Thian-goan Hweshio dan Kwa Tin-siong. Cu Keng-wan juga terdesak hebat, sebab kepandaian Thian-sek Hwe?shio ternyata tidak selisih jauh dari kepandaian kakak seperguruannya. Toyanya yang diputar kencang itu telah menimbulkan deru angin yang menakutkan, Cu Keng-wan yang membanggakan sepasang tangannya yang keras seperti be?si itu, tidak berani menangkis lang?sung setiap serangan lawan, sebab ia sadar lengannya bisa patah jika me?nangkis langsung serangan lawannya itu.
Di samping amukan kedua rahib sakti itu, masih ada rahib sakti yang ketiga, si bungsu dari Go-bi-sam-sin-ceng, yaitu Thian-cong Hweshio. Rahib ini bertubuh tinggi besar seperti raksasa, sehingga jubah pendetanya selalu nampak agak kekecilan sehingga kelihatan lucu, namun sepasang Liong-hou-siang-hoan (Sepasang Gelang Naga dan Harimau) yang terbuat dari baja di tangannya itu sama sekali tidak lu?cu, namun sambarannya adalah maut seketika bagi musuhnya. Selain tubuhnya yang tinggi besar dan sepasang senjatanya yang dahsyat, Thian-cong Hweshio juga memiliki tenaga pembawaan yang luar biasa hebatnya. Konon dengan tangan kanan dan kirinya, dia mampu mengangkat dua ekor kerbau besar sebelah-menyebelah, dan menggerak-gerakkannya berputar-putar seakan-akan yang dipegang itu bukan kerbau tetapi marmut saja.
Menghadapi tandang rahib bertenaga raksasa ini, pihak Hwe-liong-pang harus mengepungnya beramai-ramai anta?ra delapan sampai sepuluh orang. Namun demikian masih saja kepungan itu kadang-kadang pecah juga, kalau seorang pengepung atau lebih, terlempar keluar dari arena karena tersambar oleh sepasang gelang itu atau oleh kaki si rahib raksasa itu. Dan terpaksa datanglah orang-orang baru untuk "menambal" kepungan yang rusak itu. Kalau tidak dikepung secara demikian, Thian-cong akan malang-melintang seenaknya dan menyebarkan malapetaka bagi pihak Hwe-liong-pang.
Semuanya itu tidak luput dari perhatian Siangkoan Hong, sehingga ia memutuskan untuk melawan Thian-cong Hweshio lebih dulu agar tidak membawa korban terlalu banyak bagi pihak Hwe-liong-pang.
Sesaat Siangkoan Hong mengatur pernapasannya sambil memusatkan selu?ruh perhatian, dan tiba-tiba tubuhnya melambung ke angkasa dan menerkam ke arah Thian-cong Hweshio, disertai bentakannya yang memekakkan telinga, "Minggir! Serahkan keledai gundul ini kepadaku!"
Orang-orang Hwe-liong-pang yang sedang terdesak itu seketika berkobar semangatnya ketika tahu bahwa Thian liong Hiang-cu (Hulubalang Naga Langit) sendiri telah terjun langsung ke medan pertempuran. Terutama mereka yang mengurung Thian-cong Hweshio, segera berlompatan menjauh karena tahu bahwa Hweshio raksasa itu akan "ditangani" sendiri oleh sang Hiang-cu.
Ketika mendengar bentakan yang memekakkan telinga itu, Thian-cong Hweshio sudah tahu bahwa lawan yang datang belakangan ini bukanlah lawan sembarangan. Suaranya begitu mantap menggetarkan batin, meskipun samar-samar terasa juga bahwa yang mendukung suara itu bukan lwe-kang (tenaga dalam murni) melainkan mengandung pengaruh ilmu sesat yang dapat mengacaukan pikiran. Tapi Thian-cong Hwe-shio tidak gentar, tingkatan lwe-kangnya sudah cukup tinggi dan dapat diandalkannya untuk menghadapi segala macam ilmu sesat.
Di bawah bayangan malam kelam, tubuh Siangkoan Hong menubruk bagaikan seekor burung raksasa yang menyamb?ar, jurus yang digunakannyapun adalah Pek-bok-kiu-siau (Rajawali Menyam?bar Dari Angkasa), di mana sepasang telapak tangannya dengan jari-jari berkembang siap untuk mencengkeram hancur kepala gundul si rahib raksasa itu. Thian-cong Hweshio kaget, ketika merasakan segulung tenaga tak ber?ujud telah mendahului pukulan lawan dan membawa tekanan tenaga yang menyesakkan napas. Cepat-cepat rahib itu menarik napas dan mengerahkan lwe-kangnya, terus dihantamkan ke atas untuk menyambut serangan Siangkoan Hong.
Yang satu menerkam bagaikan raja?wali, yang satu bertahan setangguh me?nara besi, ketika dua jenis tenaga itu bertemu di udara, masing-masing pihak sama terkejutnya. Tentu saja Siangkoan Hong tidak akan membiarkan jari-jari tangannya patah semua kare?na terhantam sepasang gelang musuh, maka cepat-cepat dirubahnya cengkeramannya menjadi hantaman telapak tangan ke arah pergelangan tangan musuh. Se?baliknya Thian-cong Hweshio yang sangat percaya kepada kekuatannya itu secara berani mengibaskan tangannya ke kiri kanan, dengan demikian terjadi benturan tenaga secara keras lawan keras.
Siangkoan Hong tengah melayang di udara, sepasang kakinya tidak menapak tanah, tentu saja ia kalah kedudukan dan terpaksa tubuhnya terlempar ke belakang karena gempuran tenaga itu. Untung dia sempat berputar di udara dan jatuh mendarat bagaikan seekor kucing tangkasnya. Sedangkan si raksasa Go-bi-pay itupun terdorong mundur dua langkah dengan lengan tergetar keras akibat benturan itu. Diam-diam rah?ib itu terkejut, selama petualangan?nya di dunia persilatan, belum pernah lengannya sampai tergetar seperti itu, apalagi sampai terdorong mundur. Namun pengalaman di Tiau-im-hong malam ini agaknya akan memberi pelajaran baru buatnya.
Perasaan pegal itu ternyata bu?lan cuma dialami oleh Thian-cong Hwe-shio, melainkan juga oleh Siangkoan Hong. Kedua pihak sadar telah ketemu musuh tangguh.
"Bagus ! Siapa kau?" geram Siangkoan Hong.
Thian-cong Hweshio menyahut, "Thian-cong Hweshio dari Go-bi-pay, kaupun hebat, meskipun agaknya namamu belum terkenal. Siapa kau?"
Suara Siangkoan Hong bagaikan bergulung-gulung dalam perutnya, "Aku Siangkoan Hong, Hulubalang Naga Langit, pendamping Ketua Hwe-liong-pang!"
"Pantas kau hebat. Tapi jangan gembira dulu, sebentar lagi kau akan menikmati sepasang gelangku ini."
Siangkoan Hong memang pemarah. Begitu mendengar tantangan musuh itu tanpa banyak bicara lagi dia telah menubruk maju sambil berteriak keras, sepasang tangannya bergerak serempak. Tangan kiri dengan jurus Ji-liong-jiu cu (Dua Naga Memperebutkan Mutiara), jari tangan dan jari telunjuknya meluncur ke arah mata untuk mengcungkil biji mata lawan. Sedang telapak tangan kanannya juga dengan jari-jari terbuka menusuk ke lambung lawan dengan gerakan Yu-liong-jip-hay (Naga Berenang Masuk ke Laut).
Tanpa berani meremehkan lawan, cepat Thian-cong Hweshio menggunakan gelang kirinya untuk "mengalungi" pergelangan tangan musuh yang kiri untuk kemudian dipuntir sehingga patah, sedangkan gelang lainnya juga menghantam ke bawah untuk berusaha mematahkan pergelangan tangan musuh. Sekali gebrakan dua gerakan, semuanya cukup mengancam keselamatan Siangkoan Hong.
Tetapi selicin belut Siangkoan Hong memutar tangan kirinya mengikuti putaran gelang lawan, kemudian mencengkeramnya dan mencoba merebutnya, tangan kanan ditarik, ganti kaki kanannyalah yang secepat kilat menghant?am lambung lawannya.
Thian-cong Hweshio terkejut. Ia memang bertenaga raksasa, namun dalam ilmu kegesitan ia justru tidak dapat menandingi Siangkoan Hong yang berbadan langsing itu. Begitu cepat Siangkoan Hong sehingga terhuyung mundur dua langkah sambil menyeringai.
Sebaliknya Siangkoan Hong sendiri terkejut karena tendangannya yang telak itu hanya mampu mendorong mundur lawannya, padahal dengan tenaga dalam ajaran Bu-san-jit-kui itu Siangkoan Hong bisa menendang patah sebatang pohon yang besarnya hampir sepelukan orang dewasa. Namun kakinya yang mengenai lawan itu rasanya seperti mengenai sebuah lempengan tembok besi baja. Itulah Hok-teh-sin-kang (Ilmu Sakti Pelindung Tubuh) dari Go-bi-pay yang sudah hampir mencapai tahap kesempurnaan.
Akibat gebrakan yang baru saja terjadi, kedua pihak jadi semakin waspada. Tidak lama kemudian keduanyapun telah terlibat dalam pertempuran sengit. Siangkoan Hong menyerang lawannya bagaikan prahara yang menggulung dan menghancurkan apa yang melintang di depannya, namun kadang-kadang berubah bagaikan rajawali raksasa yang menyambar-nyambar dengan kuku-kukunya yang perkasa. Tetapi Thian-cong Hweshio juga telah bertahan dengan gigihnya bagaikan sebuah pagoda besi yang tertancap dalam-dalam sampai ke dasar bumi. Meskipun tubuh besarnya itu kurang menguntungkan untuk berlincahan kian kemari, namun sepasang tangan yang kokoh dengan gelang gelang logam di genggamnya itu benar benar tangkas luar biasa. Gerakan sepasang tangan rahib Go-bi-pay itu ibarat baling-baling yang terhembus angin puyuh, bergerak dengan cepatnya, siap menghadapi serangan musuh dari manapun datangnya.
Betapa tangguhnya Thian-cong Hweshio, tapi yang dihadapinya kini bukanlah ilmu yang sewajarnya, melainkan ramuan antara ilmu silat biasa dengan ilmu gaib, hasil ciptaan Bu-san jit-kui. Jika Thian-cong Hweshio untuk mencapai taraf kepandaian seperti sekarang ini harus melalui latihan keras sampai hamper duapuluh tahun lamanya, maka Siangkoan Hong berdasar petunjuk buku tinggalan Bu-san-jit-kui hanya mencapainya dalam waktu kurang dari empat tahun. Empat tahun yang lalu Siangkoan Hong masih merupakan seorang anak muda kota kecil An-yang-shia, yang meskipun gemar berkelahi namun tidak memiliki ilmu silat sejuruspun, hanya mengandalkan nyali yang besar saja. Tapi kini sudah berbeda, ilmu yang dipelajarinya itu telah memungkinkan Siangkoan Hong berdiri dalam deretan orang-orang berilmu sakti.
Thian-cong Hweshio merasakan langsung kegaiban ilmu lawannya ini setelah pertarungan berjalan ratusan jurus lamanya. Perlahan-lahan si ra?hib Go-bi-pay mulai merasakan ada suatu pengaruh aneh menyusup masuk pikir?annya dan mengganggu pemusatan perhatiannya, membuat gerakan-gerakannya se?ring ragu-ragu karena kini seolah-olah ada dua sumber perintah di dalam o?taknya, yang masing-masing membe?rikan perintah yang berbeda-beda. Se?lain itu, dilihatnya mata lawannya itu semakin lama semakin bersinar kehijau-hijauan seperti mata kucing, dan mulutnya berkemak-kemik entah mem?bisikkan apa, yang terang telinga Thi?an-cong Hweshio terasa mendengung ter?ganggu oleh mantera-mantera dengan ba?hasa yang asing.
"Gila, benar-benar ilmu iblis terkutuk!" gerak Thian-cong Hweshio ketika menyadari akan keadaan yang perlahan-lahan tengah melibat dirinya.
Sedangkan Siangkoan Hong tidak mau memberi kesempatan kepada lawan untuk memperbaiki keadaannya. Begitu melihat Thian-goan Hweshio mulai ter?desak, Siangkoan Hong malahan mengeluarkan ilmu warisan Bu-san-jit-kui lainnya yang lebih hebat, ilmu yang disebut Sam-kui-hoan-goat (Tiga Iblis Mengelilingi Rembulan). Tiba-tiba saja Siangkoan Hong melepas ikat kepalanya sendiri dan membiarkan rambutnya terurai menutupi wajahnya, mantera yang dibisik-bisikkan di bibirnyapun berganti irama, dan terkejutlah Thian-cong Hweshio ketika melihat lawannya seakan terpecah menjadi tiga orang kembar, semuanya menyerang ke arahnya dengan gerakan yang berbeda-beda namun tidak diketahui mana Siangkoan Hong asli dan mana yang palsu.
"Edan! Gila!" teriak Thian-cong Hweshio agak gugup. Cepat-cepat ia melompat ke belakang jauh-jauh. Dipusatkannya seluruh kekuatan batinnya untuk menghadapi ilmu lawannya yang aneh itu, dan sesaat kemudian Thian-cong Hweshio menggeram hebat. Geramannya ini berlandaskan ilmu kaum Hud-kau (Agama Buddha) yang disebut Say-cu-hou atau Geraman Singa, yang berlandaskan lwe-kang tingkat tinggi. Geraman itu dimaksud untuk mengusir suara-suara aneh yang selalu mendengung di pinggir telinga dan sangat mengganggu pemusa?tan pikiran itu. Benar juga, setelah menggeram beberapa kali, Thian-cong Hweshio merasakan gangguan batin itu agak berkurang.
Tapi tidak berarti pertempuran selesai, Siangkoan Hong masih berdiri di hadapannya dengan tiga wujud tubuh?nya yang sulit dibedakan itu. Terde?ngar "Siangkoan Hong" yang sebelah kiri berkata, "Bagus, keledai gundul, rupanya kau punya bekal juga untuk berani mengacau ke Tiau-im-hong ini. Sekarang cobalah ilmu Bu-san-jit-kui yang lain!"
Kemudian "Siangkoan Hong" yang tengah berkata kepada dua "Siangkoan Hong" lainnya, "Mari kita bereskan keledai gundul ini secepatnya."
Namun sebelum ketiga "Siangkoan Hong" itu menubruk serentak, tiba-tiba gelanggang pertempuran itu dikejutkan oleh suara keluhan tertahan yang meng?gema keras. Ketika semua orang menoleh ke arah suara itu, tampaklah bahwa Tiat-ciang Cu Keng-wan telah terhuyung-huyung dengan mulut memunt?ahkan darah segar, rupanya dalam suatu gerak tipu yang bagus, Thian-sek Hweshio telah berhasil menghantamkan toya perunggunya ke dada Hu-tong-cu Hek-ki-tong itu. Sekali lagi toya Thian-sek Hweshio terayun ke dada Cu Keng-wan dan terkaparlah Cu Keng-wan tak bernyawa lagi.
Korban sudah jatuh di antara pimpinan pihak yang bertempur, bukan lagi cuma di kalangan anak buah saja. Murid-murid Go-bi-pay bertambah sema?ngat, merasa kemenangan sudah nampak di ambang pintu, sedang pihak Hwe-liong-pang semakin beringas karena bernafsu untuk membalaskan kematian salah seorang pemimpin dan pelatih mereka.
Thian-sek Hweshio yang telah kehilangan lawan itu segera berniat menerjang barisan Hwe-liong-pang untuk mengurangi musuh sebanyak-banyaknya. Namun langkahnya tertegun ketika melihat adik seperguruannya, Thian-cong sedang terdesak hebat oleh keroyokan tiga orang kembar. Diam-diam Thian-sek Hweshio heran juga, tadi ia sem?pat melirik dan melihat kedatangan Siangkoan Hong ke gelanggang itu hanya satu orang tetapi kenapa sekarang ada tiga orang? Tapi sebagai orang yang berpengalaman luas, apalagi sete?lah merasa suasana aneh yang menyentuh nalurinya, sadarlah dia bahwa "tiga orang kembar" itu bukan orang orang kembar asli melainkan hanya hasil ilmu Bu-san-jit-kui yang memang terkenal aneh-aneh itu.
Tanpa pikir panjang, Thian-sek Hweshio segera menerjunkan diri kesamping adik seperguruannya untuk bersama-sama menghadapi Siangkoan Hong dengan ilmu Sam-kui-boan-goat itu. Biarpun Thian-sek bertubuh pendek, namun permainan toya perunggunya benar-benar lincah dan juga membawa kekuatan besar, mau tidak mau mempengaruhi juga keseimbangan pertempuran.
Kini setelah kakak beradik seperguruan dari Go-bi-pay itu bergabung, keadaan jadi lebih baik. Meskipun mereka masih kebingungan juga melawan tiga bayangan yang berkelebatan kian kemari itu. Kadang-kadang baik Thian-sek maupun Thian-cong salah hitung, mereka mengira berhasil mengenai lawan dan mengerahkan tenaga untuk me?nyerangnya, namun yang dikenainya ternyata hanya seperti bayangan kosong tanpa wujud, sehingga rahib-rahib Go-bi-pay itu kadang-kadang hampir jatuh tertelungkup karena terseret oleh serangannya sendiri yang tidak mengenai sasaran. Sebaliknya, kadang-kadang bayangan yang disangka bayang2 palsu, ternyata benar-benar Siangkoan Hong yang sesungguhnya, sehingga berhasil memukul rahib-rahib itu dan menyakitinya.
Thian-goan Hweshio yang tengah bertempur melawan Ya-hui-miao Kwa Tin-siong dan tengah unggul di atas angin itu, sempat melirik dan mengetahui ke?sulitan kedua adik seperguruannya itu. Thian-goan Hweshio pernah mengalami kesulitan serupa ketika bertempur me?lawan Tong Wi-siang di kuil tua di de?kat desa Bu-sian-tin itu, karena itu ia punya pengalaman cara menghadapi keadaan semacam itu. Cepat ia berseru, "Su-te berdua, ambil sikap bertahan saja sambil mempertajam pandangan ba?tin, nanti akan terlihat bayangan yang asli dan yang palsu!"
Dalam keadaan terdesak, Thian-sek dan Thian-cong Hweshio menjalankan petunjuk Su-hengnya itu. Kini mereka mengurangi serangan dan hanya mengam?bil sikap bertahan apabila serangan datang, kemudian mereka memusatkan ke?kuatan batin mereka untuk memandang kepada lawan. Betul juga, mulai bisa dibedakan mana Siangkoan Hong yang asli dan mana yang hanya bayangannya saja namun berwujud seperti kembarannya itu. Yang asli, betapapun juga terdiri dari darah dan daging yang memang ada, sehingga setiap gerakannya tentu membawa tenaga pukulan atau hawa hangat manusia hidup. Sedang bayangan yang palsu, betapapun hebat tampak cara menyerangnya, tapi gerakan itu seakan-akan tidak mengandung hawa hangat kehidupan, melayang dan hampa seperti segumpal asap saja. Agaknya tadi kedua rahib itu begitu terkejut dengan ilmu lawannya sehingga tidak dapat berpikir jernih. Kini setelah kejernihan pikiran mereka pulih, maka ilmu Sam-kui-boan-goat itu tidak lagi membingungkan mereka.
Siangkoan Hong menjadi marah bukan kepalang karena kedua lawannya itu telah menemukan cara untuk melawan ilmunya. Tapi ia tidak putus-asa. Ilmu-ilmu tinggalan Bu-san-jit-kui yang telah dikuasainya bukan cuma Sam-kui-boan-goat saja, tapi masih ada beberapa jenis lainnya. Bayangan dua orang "Siangkoan Hong" lainnya kemudi?an semakin kabur dan akhirnya lenyap seperti tak pernah ada, menandakan bahwa Siangkoan Hong telah menyimpan ilmu anehnya itu. Kini Siangkoan Hong menggunakan ilmu lainnya yang disebut Hoa-hiat-hian-im-hong (Angin Dingin Pembusuk Darah). Seketika itu juga di sekitar tubuh Siangkoan Hong bagaikan berjangkit pusaran angin yang dingin?nya menusuk tulang, menggulung ke arah kedua lawannya, dan di antara de?siran angin dingin itu samar-samar tercium pula bau busuk menusuk hidung. Bau racun! Jika ilmu Sam-kui-boan-goan tadi lebih mengandalkan ilmu gaib yang sedikit diramu dengan ilmu silat, maka ilmu Hoa-hiat-hian-lm-hong ini lebih merupakan ilmu campuran silat dan racun. Thian-sek dan Thian-cong tidak bisa menghadapinya sekedar de?ngan kekuatan batin, tapi harus benar-benar mengandalkan lwe-kang murni ha?sil latihannya bertahun-tahun.
Begitulah, kedua rahib Go-bi-pay itu terlibat dalam adu ilmu tingkat tinggi melawan tokoh nomor dua di Hwe-liong-pang itu. Ratusan tahun yang lalu Bu-san-jit-kui meraja-lela di dunia persilatan dengan ilmu-ilmunya yang sesat dan ganas itu, dan kini ke?dua rahib Go-bi-pay itu merasakan be?tapa hebatnya ilmu-ilmu tinggalan iblis-iblis itu.
Dalam pada itu, Thian-goan Hwe?shio sudah hampir berhasil menyele?saikan lawannya, yaitu Ya-hui-miao Kwa Tin-siong yang keadaannya sudah seperti telur di ujung tanduk itu. Sepasang pisau belati Kwa Tin-siong yang biasanya dimainkan dengan lincah itu, sekarang bagaikan terkurung oleh cahaya pedang panjang Thian-goan Hwe?shio yang menari-nari di udara bagai?kan naga sakti mengamuk itu. Kekalah?annya hanyalah soal waktu saja, kemudian ia akan terkapar tak bernyawa seperti tubuh Cu-Keng-wan yang sudah membeku itu. Sedangkan Thian-goan Hwe?shio sangat bernafsu untuk mengalahkan lawan secepat-cepatnya, sebab ia mencemaskan nasib kedua adik seperguruannya itu, karena Thian-goan Hweshio tahu benar sampai di mana bobot ilmu orang-orang yang duduk di pucuk pimpinan Hwe-liong-pang itu. Thian-goan Hweshio pernah mengalaminya sendiri di sebuah kuil rusak di dekat desa Bu-sian-tin, bagaimana hanya untuk mengusir Tong Wi-siang yang dalam keadaan tidak waras saja harus membutuhkan ga?bungan tenaga dari ia sendiri, Kiau Bun-han serta beberapa murid Go-bi-pay dan Hoa-san-pay, itupun dengan jatuhnya korban beberapa orang murid.
Suatu saat, dengan gerak tipu yang bagus Thian-goan Hweshio telah berhasil memaksa Kwa Tin-siong untuk melompat mundur, sambil menyilangkan sepasang pisaunya di depan dada untuk menjaga tusukan pedang rahib Go-bi itu. Tapi tusukan Thian-goan itu ternyata cuma gerak pura-pura, yang kemudian benar-benar menyerang adalah kaki kirinya yang terayun ke atas tepat mengenai paha Kwa Tin-siong membuat Tong-cu Hek-ki-tong itu terhempas ke tanah. Tanpa kenal ampun lagi Thian-goan Hweshio segera mengayunkan pedangnya ke bawah untuk menebas putus leher Kwa Tin-siong.
Kwa Tin-siong sadar sulit menghindar, dalam detik-detik terakhir itu dia memutuskan untuk mengajak mampus bersama lawannya. Ayunan pedang lawan tidak dihindarinya, melainkan dibarenginya dengan melemparkan sepasang pisaunya sekuat tenaga, yang satu ke arah perut si rahib, yang lainnya ke arah lehernya. Thian-goan Hweshio terkejut melihat kenekadan lawannya, cepat-cepat ia menarik tubuhnya untuk mengelak. Pisau yang mengarah lehernya bisa dihindari dengan memiringkan badan sambil agak merunduk, tapi yang ke arah perut tidak bisa dihindari sepenuhnya. Biarpun tidak menancap di perut, tapi sempat melukai pinggangnya sebelum jatuh ke tanah. Sedang pisau yang tidak mengenai sasaran itu meluncur terus dan baru berhenti setelah hinggap di dada seorang murid Go-bi-pay yang kebetulan sedang berada di belakang Thian-goan Hweshio. Langsung saja si murid Go-bi-pay terjungkal mampus.
Thian-goan Hweshio menjadi murka ketika melihat lawannya yang sudah da?pat dipastikan akan mampus itu masih juga sempat "mengambil" korban salah seorang muridnya. Sekali lagi Thian-goan Hweshio mengayunkan pedang pan?jangnya, dan kali ini Kwa Tin-siong tidak dapat berbuat apa-apa selain memejamkan matanya dan menunggu kematian. Tak ada daya lagi untuk melawan atau menghindari datangnya maut.
Tapi agaknya belum sampai di situ umur Kwa Tin-siong. Tiba-tiba segumpal benda hitam melayang deras dan tepat membentur pedang Thian-goan Hweshio itu. Begitu kerasnya lemparan benda itu, sehingga Thian-goan merasa lengannya tergetar keras, pedangnya pun hampir melompat lepas dari genggamannya. Jelaslah pelempar itu adalah orang yang memiliki tenaga dalam tingkat tinggi. Dan ketika Thian-goan Hweshio melihat apa yang dilemparkan membentur pedangnya itu, ternyata cuma selembar genteng yang kini telah pecah berserakan di tanah.
Kemudian berkelebatlah sesosok bayangan putih, dan tahu-tahu di de?pan Thian-goan Hweshio telah berdiri seorang tua yang mukanya jelek seper?ti kera, pipinya penuh bulu, sepasang tangannya panjang sampai ke lutut, dan sebilah cundrik terselip di ikat pinggangnya. Dengan tertawa lembut orang itu menyapa lebih dulu, "Selamat bertemu kembali, rahib sakti sahabat?ku...."
Thian-goan Hweshiopun agaknya te?lah mengenal juga orang bermuka kera itu, sikapnya menjadi serba salah, ha?ruskah bersikap garang karena orang itu kini berdiri di pihak musuh, ataukah haruskah menyambut hangat per?temuan itu, sebab orang itupun pernah menjadi sahabatnya yang biarpun tidak begitu akrab tapi berkesan juga. Akhirnya Thian-goan Hweshio memutuskan untuk lebih dulu bersikap lunak. Sambil tertawa lebar rahib itu membalas pula sapaan si muka kera itu, "Selamat bertemu kembali, sahabatku Ling Thian-ki. Sungguh tak terduga kita akan ber?temu kembali dalam keadaan yang seper?ti ini, entah kenapa kau berkeliaran sampai ke sini pula?"
Si muka kera itu, Ling Thian-ki; yang berjuluk Jian-jiu-sin-wan (Lutung Sakti Bertangan Seribu), menarik napas dalam-dalam, "Barangkali jawabanku akan mengejutkanmu, sahabat, aku adalah anggauta Hwe-liong-pang, bahkan menduduki kursi sebagai Su-cia...."
Thian-goan Hweshio mengerutkan alisnya yang tebal seperti ulat bulu itu, "Kau anggauta Hwe-liong-pang? Aku hampir tak percaya, aku tahu kegagahanmu dan sikap luhurmu, kenapa menjadi anggauta perkumpulan iblis ini? Kau tentunya dijebak atau ditekan oleh mereka dan dipaksa menjadi anggauta, bukankah begitu? Kalau begitu, mengingat persahabatan kita yang akrab, malam ini aku akan membebaskanmu dari cengkeraman iblis-iblis ini."
Samurai Pengembara 6 1 Roro Centil 14 Manusia Beracun Kapas Kapas Di Langit 3

Cari Blog Ini