Ceritasilat Novel Online

Pusaka Pedang Embun 1

Pusaka Pedang Embun Lanjutan Sin Tiauw Thian Lam Karya Sin Liong Bagian 1


Pusaka Pedang Embun Lanjutan Sin Tiauw Thian Lam
Saduran : Sin Liong Sumber DJVU : Dewi KZ & Aditya
(Buku Sumbangan anelinda-store.com , trims yee)
Editor : Hendra Final Editor & Ebook oleh : Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com & http://dewikz.com
http://cerita-silat.co.cc & http://kang-zusi.info
1 Daftar Isi : Pusaka Pedang Embun ......................................... 1
Daftar Isi : ............................................................ 2
Jilid ke 01 ............................................................. 3
Jilid ke 02 ........................................................... 49
Jilid ke 03 ........................................................... 96
Jilid ke 04 ......................................................... 143
Jilid ke 05 ......................................................... 194
Jilid ke 06 ......................................................... 243
Jilid ke 07 ......................................................... 292
Jilid ke 08 ......................................................... 340
Jilid ke 09 ......................................................... 386
Jilid ke 10 ......................................................... 433
Jilid ke 11 ......................................................... 480
Jilid ke 12 ......................................................... 527
Jilid ke 13 ......................................................... 577
Jilid ke 14 ......................................................... 630
2 Jilid ke 01 CUACA diatas puncak-puncak gunung samar
samar mulai terang kembali, embun diatas daundaun pohon mulai lenyap ditelan sinar sang surya
dipagi hari. Angin dingin berembus sepoi-sepoi,
burung burung berterbangan berkicau, memecahkan kesunyian pegunungan dipagi hari.
Tampak satu bayangan loreng melesat turun.
Bagaikan kilat, bayangan melompati tebing-tebing
gunung curam, membuyarkan kabut kabut putih.
Bayangan loreng itu terus berlari turun, dengan
gerakan ringan, seakan-akan terbang diatas
dahan-dahan pohon. Tiba pada satu rimba di bawah pohon besar,
bayangan loreng itu menghentikan gerakannya,
memperhatikan sekeliling rimba itu sebentar,
kemudian secara tiba-tiba ia melejit naik keatas
dahan pohon, berlompatan terus dari satu ranting
kelain ranting yang lebih tinggi, hingga sampai
pada dahan yang teratas pohon itu, ia memandang
jauh kesekeliling rimba belantara.
Lama ia memperhatikan keadaan sekelilingnya,
tampak disana sini hanya pohon-pohon besar dan
bukit-bukit pegunungan mengitari tempat sejauh
mata memandang. Setelah beberapa saat memperhatikan keadaan hutan belantara disekitar
tempat itu, ia lompat turun, dengan ringan melayang kebawah.
Ternyata bayangan itu adalah seorang pemuda
berumur diantara tujuhbelas tahunan, berwajah
3 tampan, bermata bening, dengan rambut gondrong
terurai sebatas bahu. Dia mempunyai tubuh yang
kekar kuat, mengenakan pakaian kulit macan
loreng. Ia duduk bersandar dibawah pohon besar,
pikirannya melayang-layang, jauh dimasa ia masih
anak-anak. Samar-samar teringat dalam benak
pikirannya masa ia berusia tiga tahun. Bermainmain berlarian disatu lembah sunyi dikawani
dengan seekor monyet berbulu merah darah.
Teringat pula, bagaimana si monyet merah
memberi ia makan buah-buahan didalam lembah.
Pada waktu usianya mencapai sembilan tahun,
ia sudah mulai dapat mengerti peri kehidupan
dalam lembah itu. Disana tidak ada lain makhluk
yang hidup, hanya ia seorang diri dengan dikawani
si monyet berbulu merah. Teringat keadaan dalam
lembah, disana terdapat satu air terjun, suaranya
bergemuruh, memecahkan kesunyian lembah.
Ditengah-tengah lembah terdapat satu danau,
ditengah-tengah danau terdapat satu pulau, di
dalam pulau itu terdapat satu goa batu, pada
dinding goa batu terdapat lukisan-lukisan bermacam-macam gerak posisi orang. Itulah
tempat tinggalnya. Sekeliling lembah terkurung oleh lamping
lamping puncak gunung berlumut licin. Teringat
pula sejak ia berusia empat tahun, si monyet
merah menyeret ia bermain berenang dari tepian
pulau ke tepi danau berulang kali, hingga akhirnya
pada usia sembilan tahun ia sudah pandai
berenang. 4 Mengenangkan pengalaman hidupnya semasa ia
masih kanak-anak didalam lembah, kadang kala ia
tersenyum sendiri, wajahnya jadi cerah. Selama
tinggal dalam lembah, ia hanya mengikuti
kelakuan si monyet merah. Tiap pagi si monyet
merah meng-gerak-gerakkan tubuhnya, meniru
gerakan-gerakan yang tertera pada lukisan-lukisan
diatas tembok dinding. Berturut-turut ia ikuti gerakan-gerakan yang
tertera pada lukisan-lukisan dalam dinding goa,
hingga akhirnya ia bisa mengikuti seluruh
gerakan-gerakan lukisan yang terdapat pada
dinding batu itu. Ia tidak mengerti, apa gunanya
gerak-gerak dalam lukisan itu, tapi dengan riang
selalu melakukan gerak-gerak lukisan, tanpa
bosan-bosan dikerjakannya setiap pagi hari.
Pada waktu usianya mencapai limabelas tahun,
ia sudah sampai pada saat mengikuti satu lukisan
yang tertera dalam dinding goa batu, lukisan itu
tidak seperti lukisan-lukisan yang pernah ia
tirukan, itulah satu lukisan manusia berdiri tegak
tidak bergerak, diperhatikannya lukisan itu
beberapa saat, baru ia bisa mengerti, itulah satu
lukisan orang berdiri tegak didalam siraman air
terjun. Sedang lukisan berikutnya, adalah lukisan
yang menggambarkan orang melompat keluar dari
kurungan air terjun. Beberapa hari ia lakukan perbuatan itu berdiri
tegak disirami air terjun yang bergemuruh turun
dari atas lamping gunung, kemudian melejit
keluar. Tambah hari tambah lama ia sanggup
berdiri tegak didalam siraman air terjun, hingga
5 pada suatu saat, ia sudah sanggup berdiri tegak
dalam siraman air terjun sampai setengah harian.
Saat itu usianya sudah mencapai tujuhbelas
tahunan. Sebagai seorang pemuda berusia tujuh belasan,
timbul naluri manusianya, timbul dalam benak
pikirannya bermacam-macam pertanyaan.
"Heran! Bagaimana aku bisa sampai hidup
ditempat ini ? Dengan hanya dikawani seekor
monyet berbulu merah darah ?"
Semua perasaan naluri, bergejolak dalam
dadanya, bergelora memberontak. Ia mengelilingi
sekeliling lembah mencari jalan keluar, dilakukannya beberapa kali putaran, tapi tidak
mendapatkan jalan keluar dari lembah itu, semua
merupakan lamping gunung berlumut licin.
Usaha pencarian jalan keluar sia-sia.
Pada suatu pagi, sebagaimana biasa, kembali
memperhatikan lukisan-lukisan yang terdapat
pada dinding batu dalam goa itu. Lama sekali ia
memandangnya, lama tidak mengerti. Itulah satu
lukisan corat coret tidak keruan.
Akhirnya, ditinggalkannya lukisan-lukisan itu, ia
duduk termenung-menung ditepi pulau ditengah
danau, memikirkan nasib dirinya. Diperhatikannya
air terjun yang bergemuruh turun dari puncak
lamping gunung. Diperhatikannya air danau yang
beriak gemercik tertimpa air terjun. Timbul rasa
herannya ! Bagaimana air terjun yang tidak henti-henti
mengairi danau, tapi danau itu tak pernah penuh,
6 meluberi tepian menggenangi seluruh isi lembah.
Selagi ia masih termenung-menung demikian, tibatiba si monyet merah menarik tubuh si pemuda
terjun kedalam danau berenang dibawah air.
Teringat bagaimana si monyet merah menarik
tubuhnya berenang dibawah danau sampai pada
saat ia memasuki lorong gelap dalam air, akhirnya
sampai pada satu tepian anak sungai, mereka
memunculkan dirinya. Ternyata lorong air itu adalah jalan keluar dari
dalam lembah, juga merupakan pembuangan
aliran air terjun yang mengalir kedalam danau.
Kini tampak si pemuda tersenyum sendiri
mengingat kejadian-kejadian itu.
Dengan mengusap-usap baju lorengnya kemudian ia memperhatikan kepalan tinjunya,
pikirannya melayang kembali bagaimana ia
mendapatkan pakaian loreng itu......ia tersenyum
sendiri, seakan menemukan suatu yang lucu............ Teringat bagaimana bersama si monyet merah
darah, setelah keluar dari dalam lembah melalui
lorong dibawah air. Berlompatan diatas dahandahan pohon dalam masih keadaan telanjang bulat
sedang usianya saat itu sudah mencapai tujuh
belasan tahun............
Dengan masih menyandarkan tubuhnya dibatang pohon kepalanya memandang ke-langit
biru, kembali ia mengenang bagaimana dengan
tinjunya ia memukul kepala seekor macan loreng
hingga kepalan tangannya amblas masuk kedalam
batok kepala macan itu, bagaimana macan loreng
7 mengamuk membabi buta dengan kepalanya
menyemburkan darah merah, yang kemudian
kelojotan akhirnya mati tidak bergerak.
Angin pegunungan pagi berembus sejuk
menyegarkan rasa tubuhnya, daun-daun pohon
satu dua berguguran menimpa dirinya yang sedang
bersandar melamun dibatang pohon; semua itu ia
tidak hiraukan. Dari dalam baju lorengnya, ia
mengeluarkan sebilah pisau, sarung pisau terbuat
dari perak berukiran indah, gagang pisau terdapat
ukiran gambar naga melingkar, dicabutnya pisau
itu, mata pisau mengkilat tajam mengeluarkan
cahaya putih gemerlapan menyilaukan mata. Ia
bulak balikan pisau itu dipandangnya beberapa
saat dan kenangannya kembali pada masa ia
bersama-sama si monyet merah didalam lembah.
Itulah pisau yang sejak ia mempunyai ingatan
kira-kira berumur tiga tahun, ia selalu bawa-bawa
dan gunakan bermain bersama si Merah,
bagaimana ia meniru gerak lemparan si Merah
melemparkan pisau itu pada batang-batang pohon
bunga disekeliling pulau di tengah danau. Hingga
pada usianya mencapai delapan tahun ia sudah
mahir melempar pisau itu dengan jitu mengenai
sasarannya. Juga teringat bagaimana dengan
pisaunya ia menguliti kulit macan loreng yang kini
dijadikan pakaiannya.....
Mengingat pakaian kulit macan loreng yang kini
dipakainya tiba-tiba ia tersenyum sendiri kemudian menghela napas. Dengan menyandarkan
tubuhnya dibatang pohon otaknya berpikir;
"Bagaimana dengan secara tiba-tiba timbul pikiran
8 untuk menggunakan kulit macan lorengnya ini
guna menutupi bagian tubuhnya, lebih-lebih
bagaimana timbulnya satu perasaan bahwa bagian
tubuh vitalnya ingin ia tutupi......"
Itulah satu naluri ! Naluri itu akan timbul pada


Pusaka Pedang Embun Lanjutan Sin Tiauw Thian Lam Karya Sin Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saat-saat manusia sudah meningkat dewasa!
Tiba-tiba ia tersentak dari lamunannya, dengan
masih duduk bersandar dibatang pohon ciuuut.......ia melemparkan pisaunya keatas dahan
pohon diatas kepalanya. Tidak berapa lama
terdengar suara keresekan dari atas dahan itu
melorot seekor ular sebesar paha menjulur jatuh
tepat dihadapan si pemuda dengan kepala ular itu
tertancap tembus oleh pisau si pemuda.
Dengan gerakannya itu membuktikan betapa
cepatnya gerakan si pemuda melemparkan pisau,
sulit digambarkan dengan kata-kata, karena pada
saat pikirannya melayang-layang, tiba-tiba menyambar datang seekor ular besar menerkam
kepalanya dari atas dahan dimana ia duduk, begitu
ia tersentak, begitu ia lempar pisaunya, tubuh ular
sudah melorot jatuh ketanah dengan kepala
tertancap tembus pisau si pemuda.
Dengan ogah-ogahan si pemuda mencabut
pisaunya yang tertancap dikepala ular ia gosokgosokan pisau itu ketubuh ular membersihkan
noda-noda darah yang menempel pada pisaunya
setelah itu ia sandarkan kembali tubuhnya
dibatang pohon, memandang kelangit biru, ia
masih tidak menghiraukan beberapa lembar daun
berguguran tertiup angin menimpa kepala dan
mukanya. Pikirannya kembali mengambang jauh
9 teringat si merah..............selama kecil sampai
sebesar ini ia selalu bermain dengan monyet
tersebut, binatang yang berbulu merah itu seakan
mengerti, bagaimana harus memperlakukan seorang anak manusia, hingga pada saat ia
membunuh macan loreng mendapatkan kulitnya
untuk menutupi tubuhnya, tiba-tiba si monyet
merah itu menunjukkan sikap buasnya seakan
tidak mau lagi bermain-main dengan dia, monyet
itu tidak mau lagi diikuti si pemuda kembali
pulang kedalam lembah.......... bagaimana tiba-tiba
sifat monyet merah berubah jauh menyerang
dirinya dengan ganas berulang kali.......... yang
akhirnya ia biarkan monyet itu pergi sendiri dan ia
kini mengembara didalam rimba belantara seorang
diri....... Ketika sang batara surya sudah naik sembilan
puluh derajat diarah timur, si pemuda bangun dari
duduknya, ia kembali melanjutkan pengembaraannya seorang diri.
Sang surya timbul tenggelam diatas permukaan
bumi, entah sudah berapa putaran siang berganti
malam. Dengan hanya mengenakan pakaian
macan lorengnya si pemuda mengarungi rimba,
gunung-gunung, tebing-tebing curam tanpa tujuan, ia melakukan perjalanannya hanya
mengikuti naluri yang bergelora dalam dadanya,
naluri ingin bergaul dengan sesama manusia,
naluri melarikan diri dari kesunjian hidup didalam
hutan rimba. 10 Ia lakukan pengembaraan itu dengan hanya
memakan buah-buahan sebagai santapan, serta
tidur diatas dahan pohon pada malam hari.
Tiba pada suatu pagi, sang surya baru
memunculkan sinarnya kembali didalam rimba,
sayup-sayup ia mendengar suara-suara jeritan
terbawa angin gunung menusuk telinganya. Segera
ia mencari dari mana datangnya suara jeritan itu,
setelah mendapat arah yang tepat, segera ia
berlompatan diatas dahan-dahan pohon, berlari
menuju dari mana datangnya suara tadi.
Tidak lama sampai disebuah semak-semak
diatas pohon tampak tergantung lima ekor monyet
hitam bergelantungan, kaki mereka diatas dan
kepalanya dibawah, semula ia tidak heran, karena
itulah monyet-monyet yang biasa bergelantungan
diatas pohon. Tapi setelah diperhatikannya,
ternyata monyet-monyet itu terikat oleh seutas tali
kulit. Sedang dua ekor diantaranya kepalanya
sudah pecah remuk, bolong dengan mengucurkan
darah. Monyet-Monyet yang masih hidup terus menerus memekik cecowetan tidak henti-hentinya.
Dibawah pohon, dimana lima ekor monyet itu
tergantung, disana berjongkok tiga orang mengelilingi api unggun, memanggang seekor babi
hutan. Terdengar salah seorang diantara mereka
berkata : "Penghasilan kita hari ini rupanya lebih
baik dari hari-hari sebelumnya, baru sepagi ini
sudah berhasil menangkap lima ekor monyet, juga
mendapat santapan yang lezat gemuk ini."
"Hok-mo, kupikir monyet-monyet ini sudah pindah boyong ke tempat ini, kalau kulihat tumbuh11
tumbuhan disini penuh dengan macam pohon
buah-buahan." kata seorang menyambung pembicaraan kawannya. "Hmmm, memang begitulah sifat monyet bila
makanan habis disatu tempat, mereka berpindah
mencari tempat lain yang subur dengan
berkelompok." Orang yang bicara duluan yang dipanggil Hokmo bicara lagi : "Ya, biasanya monyet-monyet itu
berkelompok sampai tigapuluh atau empat puluh
ekor lebih dan juga mereka mempunyai pimpinan
barisan sebagai ketua rombongan."
"Mana bisa jadi begitu, mereka toch binatang,
mana mengerti tentang segala urusan ketua
segala." selak seorang lagi.
Hok-mo berkata lagi : "Soal itu memang sulit
dimengerti, tapi begitulah, kalau diperhatikan
serombongan monyet yang boyong berduyunduyun
itu selalu mengikuti seekor yang didepannya, tentulah itu dia sebagai pemimpin
barisan." Suara-suara itu sangat asing bagi si pemuda
karena baru kali inilah ia mendengar manusia
bicara. Selama dalam lembah ia tidak pernah
bicara, tiada kawan untuk diajak bicara, hingga
sampai pada usia dewasa, ia tidak bisa bicara juga
tidak mengerti apa yang sedang dibicarakan oleh
orang-orang itu. Semua percakapan-percakapan tadi tidak bisa
dimengerti ! 12 Menampak lima ekor monyet yang terikat kaki
keatas kepala kebawah, kadang kala terdengar
suara cecuwetan si monyet yang seakan bersedih
minta tolong, telah menimbulkan rasa setia kawan
si pemuda yang selama itu hidup bersama-sama si
Merah, tanpa pikir dan tidak menyadari apa dan
akibat dari tindakannya, dengan satu gerakan
ringan, si pemuda menghampiri dahan pohon itu,
dengan pisaunya ia melepaskan satu persatu
ikatan kaki-kaki monyet yang masih hidup.
Ketiga monyet itu merasa dirinya bebas dari
ikatan masing-masing, berlompatan menyerang
kearah tiga orang dibawah yang sedang mengelilingi api unggun. Seekor diantaranya
berlompat keatas kepala salah seorang mencakar
serta menggigit hidung orang itu. Gerakan itu juga
dibarengi dengan kedua ekor monyet lainnya.
Orang yang mendapat nasib sial adalah si Hokmo,
begitu merasa ada benda melayang menyambar kepala, ia terkejut, berusaha mengelakkan samberan itu, tapi sudah terlambat!
Karena masih dalam perasaan girang, dalam
suasananya asyik mengobrol dengan kawankawannya, Hok-mo menjadi agak lengah hingga ia
sudah tidak berhati-hati lagi, lebih-lebih semua
gerakan si bocah melepaskan ikatan-ikatan monyet
itu tidak menimbulkan suara sedikitpun, Hok-mo
berhasil diinjak kepalanya, diberaki serta dikencingi monyet. Sesudah itu, dengan ganas, si
monyet menggigit juga hidungnya.
Begitu ia sadar, segera dihempaskan dengan
kedua tangannya binatang itu ketanah, tapi dasar
13 sudah nasib malang, daging hidung Hok-mo turut
terbawa gigitan monyet hingga sumpung. Dari
tempat itu, bersembur darah merah !
Melihat kejadian itu, kedua kawannya terkejut,
salah seorang segera mencabut golok untuk
membunuh monyet yang terbanting. Tapi mendadak menyambar dua ekor monyet, langsung
mengancam mereka, masing-masing menggigit
geger dan leher kedua orang itu. Karena keadaan
mereka sudah siaga, kasihan monyet-monyet itu,
satu persatu terbanting ditanah, tidak bisa
bernapas lagi. Kini ketiga orang itu sudah mengejar monyet
yang dihempaskan Hok-mo. Ternyata monyet itu
tidak mati, ia kesakitan berkuik hendak melarikan
diri, hampir saja serangan golok salah seorang
mengenai kepalanya. Tiba-tiba melayang satu bayangan belang
menendang golok dari tangan si penyerang, golok
itu terpental melayang diudara menancap disebuah
batang pohon. Dihadapan mereka tiba-tiba berdiri seorang
pemuda gondrong berpakaian kulit macan loreng.
Menyaksikan serangan goloknya gagal, bahkan
sudah dibikin terpental keudara oleh tendangan
kaki pemuda yang kini berdiri dihadapannya.
Mereka mundur setindak. Hok-mo dengan lubang hidung masih mengucurkan darah membentak : "Bocah, nyalimu
terlalu besar, berani main gila dihadapanku........."
dibarengi dengan berakhirnya ucapan itu, tubuh
Hok-mo melejit menyerang si pemuda dengan
14 gerakan gesit, mengancam jalan darah kematian si
pemuda. Menyaksikan gerak-gerik Hok-mo yang berangasan, si pemuda hanya tersenyum-senyum
saja, menghadapi ancaman maut demikian, ia
anggap satu pemainan yang biasa dilakukan dalam
menirukan lukisan-lukisan pada dinding goa
dalam lembah bersama si monyet merah.
Ketika serangan Hok-mo sudah

Pusaka Pedang Embun Lanjutan Sin Tiauw Thian Lam Karya Sin Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hampir mengenai sasarannya, tiba-tiba Hok-mo kehilangan
bayangan si pemuda, kaget bukan kepalang, belum
lagi sadar apa yang telah terjadi, tiba-tiba
tubuhnya sudah tertendang dan melayang
keudara, jatuh ngusruk tertumbuk batang pohon
besar. Menimbulkan suara mengguruh yang keras,
dahan pohon bergoyang-goyang, daun-daun berguguran, Hok-mo pingsan dibawah pohon itu.
Setelah berhasil mengelakkan serangan Hok-mo,
bahkan tanpa disadari si pemuda sudah membuat
tubuh Hok-mo terpental keudara tertumbuk pohon
dan kemudian pingsan, si pemuda berdiri dengan
masih tersenyum-senyum menghadapi kedua
orang lainnya. Kedua orang itupun terkejut bukan kepalang, ia
tidak melihat dengan gerakan apa si pemuda
membuat tubuh Hok-mo melayang diudara dan
juga tidak mengetahui dengan cara bagaimana
pemuda itu mengelakkan dan menyerang kembali.
Hingga berakhir dengan pingsannya Hok-mo. Mata
mereka melotot keluar memperhatikan keadaan si
pemuda yang kini masih berdiri tersenyum-senyum
dihadapannya. 15 Sementara mereka kesima, ditatapnya si pemuda
tanpa mengucapkan sepatah kata-pun, ia perhatikan dari ujung rambut sampai ketapak kaki
si pemuda, bulak balik, kembali diperhatikan dari
kaki keatas kepala, herannya bukan kepalang.
Bagaimana seorang pemuda yang masih berumur
sekitar belasan tahun bisa merubuhkan Hok-mo
dengan begitu mudah ? Sedang si pemuda masih tersenyum senyum
memperhatikan keadaan dua orang dihadapannya.
Rambut orang itu sama dengan rambutnya sendiri,
gondrong awut-awutan, wajahnya yang seorang,
pipi kiri keriput seperti bekas luka terbakar, hingga
nampak kedua tulang rahang kirinya berikut gigigiginya. Mata kanannya melotot keluar seperti
mata ikan maskoki, sedang mata kirinya meletos
picek, tampak sungguh menyeramkan.
Sedang seorang lagi yang disebelah kanan,
bermata cekung kedalam sipit seperti mata babi,
dagunya panjang, lebih panjang dari rahang atas,
giginya nampak besar-besar.
Kalau saja orang biasa atau pemburu biasa yang
berjumpa dengan mereka, tentunya sudah lari
terbirit-birit, saking seram melihat tampangtampang mereka yang seperti setan kesiangan.
Pemuda yang selamanya hanya hidup dengan
monyet, menampak wajah orang-orang ini hampir
sama seperti monyet bahkan boleh dikatakan lebih
buruk lagi dari pada monyet, hingga pemandangan
ini adalah merupakan hal biasa baginya, hingga
tidak menyeramkan. 16 Setelah hilang rasa kesimanya, salah seorang
yang berahang bawah lebih panjang, bermata
cekung sipit membentak dengan suara yang serak
seram : "Bocah gendeng, menghadapi kematianmu, kau
masih cengar cengir ? Cepat sebutkan siapa nama
gurumu? Nanti, kalau otakmu sudah pindah
keperutku, gurumu bisa mencariku untuk
menuntut balas." Ternyata, manusia ini senang makan otak hidup
! "Siang-mo jangan banyak cincong, kepruk saja
kepalanya, hmm, pasti otaknya lebih lezat dari otak
monyet-monyet itu." kata seorang disebelah
kirinya, yang memiliki pipi kiri keriput bermata
kanan seperti mata ikan maskoki sedang mata
kirinya picek. Semua ucapan-ucapan orang-orang itu tidak dimengerti si pemuda, ia hanja tersenyum-senyum
saja. Melihat kelakuan si pemuda, nampak kedua
orang itu menyeringai, rupanya dalam keadaan
marah. Mereka juga geli melihat kelakuan si
pemuda yang tidak tahu mati, tapi tampak
seringaian mereka itu sebetulnya sungguh sangat
menjijikkan, menyeramkan bagi siapa yang
memandangnya. Terdengar Siang-mo membentak : "Bocah gila,
kau tahu berhadapan dengan siapa ? Kau berani
cengar cengir menghadapi maut ? Sungguh gila !
Selama hidupku, belum pernah ada orang yang
17 berani main gila di hadapan kami tiga
orang,hhhmmmmm ....... sungguh hari ini aku
menemukan bocah gila cengar cengir."
Kawan-kawan Hok-mo tidak tahu bahwa si
pemuda tidak mengerti bahasa yang ia ucapkan,
meskipun mereka berteriak-teriak sampai serak, si
pemuda tidak mengerti, hanya tetap tersenyumsenyum saja, menjaksikan kelakuan orang-orang di
hadapannya itu. Juga si pemuda tidak menyadari
bahwa nyawanya bisa melayang keakherat setiap
detik. Si pemuda tidak sadar bahwa ia kini sedang
berhadapan dengan tiga orang iblis rimba
persilatan yang sudah terkenal kekejamankekejaman
dan keganasan-keganasannya membunuh manusia hanya seperti membunuh
semut saja. Juga mereka memiliki hobby aneh,
mereka suka makan otak monyet mentah-mentah
dan memperkosa wanita-wanita cantik.
Mereka berburu monyet hanya perlu untuk
memakan otak monyet itu mentah-mentah, dengan
cara menggantungkan mangsanya, monjet itu
dikeprak kepalanya, langsung dicomot otaknya
dimakan dengan lahap. Di mana mereka muncul, pasti timbul
kegemparan, tidak perduli wanita bersuami atau
tidak, jika mereka mau, pasti dilahapnya,
kemudian dibunuh begitu saja. Siapa berani
menghalangi niatnya pasti rohnya melayang
keakherat. Kejahatan serta kebejatan moral manusia jelek
itu sudah meliwati takeran sampai-sampai partai18
partai besar rimba persilatan kewalahan menghadapi mereka yang memang memiliki
kepandaian silat tinggi. 0)?d?w?(0 MEREKA itulah tiga orang iblis dengan gelaran
Sam-mo Eng ciauw dari gunung Kolo-san. Orang
yang berpipi keriput seperti bekas luka terbakar,
nampak kedua tulang rahang atas bawahnya
bagian pipi kiri sehingga gigi-giginya kelihatan
jelas, mata kanannya melotot keluar seperti mata
ikan mas koki, mata kirinya meletos picek adalah
Long-mo Eng-ciauw. Sedang orang yang memiliki mata cekung
kedalam sipit seperti mata babi berdagu lebih
panjang dari rahang atas, bernama Siang-mo.
Seorang lagi yang pingsan ngusruk akibat
benturan pohon, adalah yang termuda bernama
Hok-mo, sebetulnya dialah orang yang masih utuh
wajahnya hingga merupakan yang tercakap
diantara ketiga orang iblis itu, hanya kedua daun
telinganya tidak ada, tampak hanya lubang
telinganya saja akibat gigitan si monyet yang sudah
membuat hidungnya geroak bolong, maka kini
tampak mereka bertiga sudah tidak sempurna
wajah-wajah manusia asli.
Iblis-iblis Long-mo dan Siang-mo menyaksikan
kelakuan si pemuda yang hanya tersenyumsenyum dihadapan mereka, tentu saja membuat
kedua iblis itu tidak bisa menahan sabarnya, yang
memang mereka tidak punya kesabaran.
19 Iblis Long-mo yang mata kanannya melotot
seperti mata ikan maskoki melirik kearah iblis yang
berdagu menjulur panjang, rupanya memberi
isyarat untuk segera membikin mampus bocah ini.
Dengan kecepatan kilat yang sulit dilihat oleh
mata, mereka berbareng menyerang si pemuda dari
kiri dan kanan, dengan maksud membuat si
pemuda mampus sekaligus ditempat itu.
Si pemuda rupanya jadi menghadapi, masih hijau, serangan iblis yang mendapat serangan demikian,
agak bingung, bagaimana harus
ia belum berpengalaman tempur,
bagaimana bisa menghadapi dua
kawakan kotor itu. Begitu maut hampir merenggut jiwanya,
malaikat neraka membuka buku untuk memberi
pendaftaran, tiba-tiba ..............
"Cluuutt..." Si pemuda melejit keluar, dengan
gerakan yang ia selalu gunakan, ketika melejit
keluar dari kurungan air terjun dalam lembah,
rupanya Iejitan yang sering ia lakukan ketika
keluar dari kurungan air terjun juga adalah salah
satu gerak yang terdapat dalam lukisan di dinding
goa. Setelah berhasil melejit dari dua serangan iblisiblis kejam itu, ia berjumpalitan, duduk diatas
dahan pohon. Karena serangan kedua iblis itu begitu cepat dan
mereka begitu yakin atas kepandaian sendiri, pasti
serangannya akan membuat si pemuda mampus
seketika, tiba-tiba mangsa itu menghilang, mereka
sudah tidak bisa mengerem lajunya kekuatan
20 serangan. Hingga baku hantam dan saling pukul
sendiri. Terdengar suara gedebuk, peletak, tubuh mereka
terjengkang kebelakang, masing-masing menjadi
babak belur. Untung si iblis Siang-mo melihat gelagat tidak
baik, ia miringkan kepalanya, sehingga pundaknya
saja yang terkena cengkeraman iblis Long-mo,
kalau tidak, pasti otaknya sudah muncrat
berarakan. Menyaksikan sasarannya lenyap, pukulannya
mengenai tempat kosong, bahkan mengenai kawan
sendiri, iblis Long-mo meletik berdiri, ia berpikir :
"Hmm .... Sam-mo Eng-ciauw dari gunung Ko-losan, selama hidup gentayangan malang melintang
didunia Kang ouw belum pernah mengalami nasib
sesial hari ini. Dari mana datangnya si bocah
edan? Yang heran, dengan mudah dapat
mengelakkan serangan mautku? Siapa guru anak
gila ini? Dari golongan mana? Aku harus segera
membikin mampus padanya!"
Tidak kurang herannya iblis Siang-mo, sambil
bangkit berdiri ia berpikir keras: "Siapa? Dari mana
ini bocah gendeng? Sudah berani main-main
dengan Sam mo Eng ciauw? Kurang ajar!"
Berpikir bolak-balik, mereka tak dapat menemukan jejak asal-usul si bocah, siapa guru
dan dari golongan mana, tentu saja bagaimana
mereka tahu jejak asal usul si pemuda, sedang si
pemuda sendiri tidak tahu asal-usul dirinya. Dan
tidak mengerti, bagaimana ia bisa hidup dalam
dunia. Dia hanya tahu bahwa dia keluar dari satu
21 lubang lorong air dalam lembah, mengembara dari
puncak gunung ke puncak gunung lainnya
mengikuti gelora rangsangan naluri pada jiwanya.
Iblis Long-mo masih penasaran, ia tidak pernah
takut kepada siapapun, karena rasa jengkelnya
belum lenyap, lebih-lebih melihat sikap si bocah
diatas dahan, tersenyum-senyum sambil uncanguncang kaki memperhatikan adegan adu tubruk
dengan kawannya sendiri, tanpa mengeluarkan
sepatah kata pun, Long-mo segera menjejakkan
kakinya mencelat kearah dahan pohon dimana si
pemuda nangkring sambil berteriak ; "Bocah gila,
kuhancurkan batok kepalamu."
Melihat datangnya serangan, si pemuda yang
masih dalam keadaan posisi berduduk melejit
keatas melalui kepala si iblis, kakinya menjejak
belakang punggung iblis itu, hingga dalam keadaan
melayang di udara iblis Long-mo tidak sempat lagi
untuk mengelak atau menangkap dahan pohon,
sudah terjejak, kontan tubuh iblis Long-mo


Pusaka Pedang Embun Lanjutan Sin Tiauw Thian Lam Karya Sin Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tengkurap ditanah. Pemuda yang masih belum mengerti perbuatan
iblis itu, hanya masih tersenyum-senyum seakanakan sedang bermain-main dengan iblis-iblis itu,
setelah berhasil menendang dengan kakinya, ia
melejit berjumpalitan diudara, duduk kembali
didahan pohon. Pikirnya : "Hai, rupanya setiap
orang suka melakukan gerakan-gerakan seperti
terdapat pada lukisan-lukisan didinding goa dalam
lembah, mereka ini juga senang sekali bermain seperti itu."
22 Si Pemuda belum sadar, bahwa ia sedang
menghadapi ancaman maut, sewaktu-waktu nyawanya bisa terbang keneraka, sambil masih
tersenyum-senyum diatas dahan, ia memperhatikan lawannya yang ngusruk tengkurap
ditanah. Sangkanya mereka sedang bermain-main
seperti mengikuti lukisan-lukisan yang terdapat
dalam dinding goa. Iblis Long-mo yang sudah jatuh tengkurap
dengan muka babak belur tertumbuk akar pohon,
bangun dengan mengusap usap mukanya yang
terasa sangat sakit, ia berpikir : "Hm, bocah ini
tentu murid seorang gaib yang sudah lama tidak
muncul dalam dunia !"
Berpikir demikian ia memperhatikan keadaan
sekeliling tempat itu, diperhatikannya semaksemak, dahan pohon ternyata disana sunyi tidak
ada lain orang. Maka pikirnya lagi; "Baru
muridnya, bagaimana kalau sang guru si bocah
yang turun tangan? Pasti aku akan mampus
ditempat ini." Memikir demikian, segera ia memberi isyarat
kepada Siang-mo dan segera menyambar tubuh
Hok-mo yang masih pingsan, melejit kabur dari
tempat itu. Sayup-sayup masih terdengar teriakan mereka
berkumandang di udara: "Bocah setan, biar lain
kali kukeremus batok kepalamu. Aku mengurus
kawanku yang pingsan. Tunggu pembalasanku......" 23 Larinya Sam-mo Eng-ciauw begitu cepat tidak
berapa lama tiba dikota Siao-shia di propinsi Shoatang.
Sedang mereka berlarian, tiba-tiba hampir saja
bertubrukan dengan seorang yang juga kebetulan
memotong jalannya, orang ini sebelumnya tidak
memperhatikan wajah iblis itu, tapi seketika
hampir bertubrukan ia berteriak tertahan;
"Aaaaa........" terkejut bukan kepalang.
Apa yang dilihatnya itulah tiga wajah buruk, ia
sudah keluar siapa adanya mereka, itulah iblis
kejam Sam-mo Eng-ciauw pemakan otak monyet,
pemerkosa wanita, tukang bunuh berdarah dingin.
Kontan kedua kaki orang itu gemetaran, lari salah,
diam pun salah. Karena si iblis Siang-mo masih belum hilang
rasa mendongkolnya ia sudah kepruk kepala orang
itu sehingga mengalami pembocoran dibagian
ubun-ubunnya, mati ketika itu, tanpa bisa
mengeluarkan jeritan. Peristiwa itu sudah dapat dilihat oleh seorang
hweesio gundul, yang segera menghampiri mereka,
setibanya dihadapan si iblis, hweeshio gundul itu
berkata dengan menyebutkan nama budha;
"Omitohud! Siang-mo Eng-ciauw tidak hujan tidak
angin membunuh orang tanpa dosa, sungguh
keterlaluan. Dosamu sudah liwat timbangan,
meskipun bukan tandinganmu, tapi melihat
perbuatan iblismu ini dihadapanku, ingin juga
menghajar adat pada kalian tiga iblis terkutuk."
"Keledai gundul!" bentak Siang-mo. "Apa
urusanmu dengan orang ini, hmm, ya, ya, ya, kau
24 juga rupanya sudah bosan hidup di dunia; ingin
pindah keneraka, biar kuantar sekalian kau naik
keneraka........" Belum lagi gema suara iblis Ienyap diudara,
entah dengan gerakan apa, tiba-tiba tubuh
hweeshio gundul terpental, dan jatuh dimuka satu
rumah makan, dengan kepala sudah bolong,
otaknya berceceran dijalan.
Terdengar suara gedabruk yang keras di muka
rumah makan, orang-orang yang mendengar suara
itu keluar, ingin menyaksikan apa yang terjadi,
mereka keluar dan; "Aaaah, si iblis Sam-mo Engciauw........"
Belum habis ucapan orang itu, sudah melayang
jiwanya, bahkan bukan dia saja, lebih dari sepuluh
orang yang berada dimuka rumah makan itupun
sudah jadi korban keganasan iblis Sam-mo Engciauw. Mereka membunuh tanpa lihat laki, perempuan, tua dan muda, semua tidak terkecuali, asal
tampak dihadapannya, nyawanya segera lapor
keakherat. Setelah melampiaskan keganasannya, kedua
iblis Sam-mo Eng-ciauw memasuki rumah makan.
Didalam rumah makan itu sudah menjadi sunyi
sepi tidak tampak seorangpun hanya masih berdiri
si pemilik rumah makan dibelakang meja kasir,
keadaan orang itu sangat ketakutan sekali
menyaksikan adegan yang terjadi dipintu rumah
makannya. Iblis Siang-mo meletakkan tubuh Hok-mo yang
masih pingsan kekursi, kemudian ia mengeprak
25 meja memanggil si pemilik rumah makan yang
nampak masih gemetaran : "Hei, cepat kemari."
Pemilik rumah makan segera menghampiri iblisiblis itu, tanpa berani buka mulut ia mematung
tergetar dihadapan iblis-iblis ganas itu.
"Panggil tabib!" bentak si iblis Long-mo dengan
melototkan mata, yang memang sudah melotot itu.
Pelayan rumah makan gagagugu aauu, baru
setelah mana terdengar suaranya gemetar :
"Itu.......... itu.................."
"Monyet ! Itu itu apa," bentak iblis Siang-mo
geregetan, hampir tangannya melayang, tapi
mengingat masih membutuhkan tenaga orang ini ia
tahan napsunya. "Itu........... itu......... tabib......" lanjut si pemilik
rumah makan sambil telunjuk jarinya mengarah
kedepan pintu, di mana menggeletak beberapa
mayat yang sudah pecah ubun-ubunnya.
Siang-mo dan Long mo mengikuti kearah yang
ditunjuk oleh si pemilik rumah makan, ia mengerti,
salah seorang yang dibunuh diantaranya tentu
terdapat tabib kota Siao-shia.
Long-mo membentak lagi : "Cari tabib lain!"
Pemilik rumah makan menggeleng-gelengkan
kepala sambil berkata gemetar, keringat sudah
membasahi seluruh tubuhnya : "Ti ..... dak .... ada
.... tabib .....lagi !"
Mendengar jawaban itu, kedua iblis saling
pandang, tiba-tiba si iblis Siang-mo berkata :
"Hmm, bawa seember air dingin, cepat."
26 Tanpa mendapat perintah kedua kali si pemilik
rumah makan membalikkan tubuh, hampir saja ia
jatuh saking lemasnya, pergi kebelakang rumah
makan mengambil air. Tidak lama si pemilik rumah makan sudah
kembali dengan menenteng seember besar air
dingin, diletakkan dimuka kedua iblis itu
disamping meja. Siang-mo mengangkat ember itu dan byuuuurrrr..... disiramkan kemuka Hok-mo yang
masih pingsan bersandar dikursi.
Keruan hidungnya sudah sempoak akibat gigitan
monyet, air dingin yang menyiram mukanya
memasuki lubang hidung Hok-mo, hingga jalan
napas hidungnya tersumbat air, ia jadi gelagapan,
lalu seketika siuman dari pingsannya.
Tampak wajah Hok-mo mengerinyit sakit,
merasakan rasa perih luka bekas gigitan monyet
yang tersiram air, ketika ia menampak disampingnya berdiri seseorang yang ia tidak
kenal, itulah si pemilik rumah makan, saking
geregetannya pada si monyet yang menggigit
hidungnya belum terlampiaskan, maka : "Bletak !"
tiba-tiba kepala si pemilik rumah penginapan
sudah bolong ubun-ubunnya memuncratkan darah
merah, menjadi korban pelampiasan kemendongkolan Hok-mo. Pemilik rumah makan yang tidak mengerti silat,
tubuhnya kelojotan sebentar tanpa tahu bagaimana tiba-tiba nyawanya melayang keakherat. Ia mati penasaran.
27 Dasar iblis-iblis, melihat perbuatan Hok-mo,
mereka tertawa mengkikik.
Peristiwa pontang pantingnya Sam-mo Engciauw dari gunung Ko-lo san dipermainkan seorang
pemuda yang belum terkenal, telah menimbulkan
satu kekejaman baru bagi iblis-iblis itu yang
semula mereka hanya gemar makan otak monyet,
memperkosa wanita kini keganasan sudah meningkat lagi satu tingkat.
Tragedi ngeri dimuka rumah makan kota Siaoshia membuat kota itu menjadi sunyi sepi. Para
pedagang menutup dagangannya menyelamatkan
diri, toko-toko tidak satu yang berani buka, rumah
penduduk tertutup rapat tidak seorangpun yang
berani lalu lalang dikota itu. Mereka masingmasing sembunyi dalam rumah menahan napas
atau pergi jauh menyelamatkan diri.
Ketiga Iblis Sam-mo Eng-ciauw, berpesta pora
dengan sesuka hatinya didalam rumah makan
melahap makanan minuman yang ada dalam
rumah makan itu, seakan itulah milik mereka.
Mereka duduk disatu meja besar dengan
membawakan sikap gaya masing-masing iblis itu.
Tiba-tiba Hok-mo yang baru sadar dari
pingsannya, sambil meraba-raba hidungnya yang
sumpung berkata : "Long-mo, apa kau sudah bikin
mampus itu bocah pejajaran ?"
"Hem, kau kira begitu gampang?" sahut si Longmo.
28 "Ya ! Tak kusangka selama kita malang
melintang puluhan tahun, baru pagi ini dipermainkan bocah ingusan." sambung Siang mo.
Hok-mo berkata lagi: "Aku heran, jurus apa yang
ia gunakan membuat aku nyungsep, gerakannya
begitu aneh sekali ...?"
"Bocah itu memiliki gerakan begitu cepat,"
sambung Long-mo. "Sampai aku sulit mengenali
ilmu silat apa yang digunakannya. Hei, Siang-mo,
apakah kau pernah lihat ada gerakan-gerakan ilmu
silat seperti itu?" Siang-mo mengkerut-kerutkan keningnya, kemudian menggeleng-gelengkan kepala katanya :
"Belum pernah kulihat gerakan ilmu silat seperti
itu, gerakan-gerakan si bocah agak berbeda dengan
gerakan-gerakan ilmu silat yang ada didalam rimba
persilatan." Hok-mo, dengan menahan sakit hidungnya,
berkata: "Kukira ia murid seorang berilmu yang
sudah lama tidak muncul dalam dunia Kang ouw,
melihat gerak-geriknya ia baru turun gunung."
"Itulah !" Kata Siang-mo, ?Kukira begitu tapi
kalau ia murid seorang berilmu yang sudah
mengasingkan diri, bagaimana ia begitu bodoh?"
"Bodoh ?" potong Long-mo. "Apa yang kau
maksud bodoh ? Tokh hanya dengan melejit sana
sini seperti setan sudah bisa merobohkan kita,


Pusaka Pedang Embun Lanjutan Sin Tiauw Thian Lam Karya Sin Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bagaimana kalau ia turun tangan menyerang,
bukankah nyawa-nyawa kita sudah bisa kabur dari
raga masing-masing ?"
29 Siang-mo berkata lagi sambil menunjukkan
cengirannya: "Apa yang kau kata memang betul!
Itulah bodohnya mengapa dia tidak langsung balas
menyerang membunuh kita, dia hanya mengelakkan serangan-serangan, apakah bocah itu
tidak kuatir kelak atas pembalasan kita?"
"Ya, kita harus tuntut balas atas kekurang
ajaran bocah ingusan itu." kata Hok-mo. "Kita
harus melatih ilmu terhebat itu .... !"
"Aaaaaa" berteriak Siang-mo, "Hampir kulupa,
ilmu itu selama ini belum sempat kita latih, selama
ini kita hanya sibuk dengan urusan monyetmonyet hutan itu."
"Ya, ya, ha, ha, ha, hua . . . ." tertawa Long-mo.
"Dikota ini gadisnya cantik-cantik hua, hua ha, ha,
kita bisa mulai melatihnya, ha, ha, ha........"
"Tapi berapa banyak gadis dikota kecil ini,
kukira tidak cukup untuk kita," kata Hok-mo.
Long-mo berkata lagi dengan masih tertawa-tawa
: "Hok-mo... kau jangan kuatir tidak kebagian, di
sini cukup satu dua gadis untuk seorang, toch kita
harus segera meninggalkan tempat ini, kalau tidak
bagaimana kalau si bocah gendeng itu datang
mengacaukan rencana kita."
"Ya, betul, betul." teriak Siang-mo. "Kita harus
cepat bertindak, jangan buang-buang waktu, toch
ditempat lain masih banyak gadis-gadis cantik."
"Ha, ha, ha, .... untuk melatih ilmu ini tidak
perlu gadis cantik, cukup asal masih perawan
tulen." kata lagi Long-mo.
30 "Hm . . . ." dengus Hok-mo. "Aku akan pilih yang
cantik-cantik lebih meresap."
"Hmmm . . . ." Long-mo dan Siang-mo
mendengus berbareng bangkit dari duduknya
berjalan keluar rumah makan diikuti Hok-mo.
Diluar rumah makan, keadaan sunyi senyap, tak
tampak seorang manusia yang berlalu lalang,
disana hanya beberapa ekor anjing berlarian,
mencium-cium bau darah mayat-mayat yang
menggeletak pontang panting dimuka rumah
makan. Ketiga iblis Sam mo Eng-ciauw berkeliaran
dalam kota Siao-shia, mereka mendobrak pintupintu rumah dan toko-toko yang tertutup,
membunuh siapa saja yang bertemu dengannya.
Memperkosa gadis-gadis wanita cantik kemudian
dibunuhnya. Kembali terdengar suara kedubrak gedabruk,
diiringi dengan suara jerit kematian memecahkan
kesunyian kota Siao-shia.
Setelah puas melakukan kebiadabannya, mereka
melesat pergi kearah utara, meninggalkan korbankorban itu......
Keadaan kota Siao-shia kembali sunyi senyap,
disana menggeletak mayat-mayat manusia darah
berceceran disana sini. Dalam keadaan sesunyi itu belum tampak
manusia berkeliaran, hanya terdengar lolonglolongan anjing memecahkan kesunyian.
O o o?dw?o o O 31 Saat-saat kota Siao-shia mengalami tragedi
mengerikan, si pemuda dalam hutan yang ditinggal
lari oleh iblis-iblis Sam-mo Eng-ciauw, ia hanya
memandang dengan acuh tak acuh kepada
buronnya ketiga iblis itu. Ia juga tidak mengejar.
Dasar sudah nasib ketiga iblis masih baik,
mereka bisa bebas dari kematian. Kalau saja si
pemuda tahu, mereka itu sejenis manusia apa dan
ancaman apa sebetulnya sudah menimpa dirinya,
sudah pasti biar bagaimanapun tingginya kepandaian ketiga iblis itu bukan tandingan si
pemuda. Pasti dalam beberapa gebrakan saja mereka
harus menyerahkan nyawanya ditangan si
pemuda. Pemuda yang belum mengerti kentut
busuknya rimba persilatan, ia biarkan ketiga iblis
itu lari dihadapan hidungnya, dengan senyum
simpul saja. Siapakah adanya si pemuda sakti ini ?
Monyet yang ditolong si pemuda, rupanya juga
mengerti bahwa si pemuda itulah yang menjadi
tuan penolongnya, lebih-lebih si pemuda sendiri
mengerti maksud dari gerak gerak tubuh monyet
serta suara cecuwat cecuwetnya monyet hingga
memudahkan hubungan persahabatan mereka
dalam rimba belantara itu.
Sungguh suatu kebetulan yang tidak terduga
salah satu monyet yang masih hidup mendapat
pertolongan si pemuda adalah seekor yang menjadi
kepala rombongan kelompok monyet-monyet yang
mencari makanan, berpindah dari satu rimba
kerimba lainnya, begitu mendapatkan pertolongan
32 si pemuda, bebas dari bahaya kematian, ia sudah
mengerti akan budi baik si pemuda, dengan
kewawat-kewewet menyatakan maksudnya.
Binatang itu mengajak pemuda berloncatan
diatas dahan-dahan pohon, sampai pada satu
rimba lebat tidak jauh dari tempat dimana terjadi
pertempuran dengan si iblis Sam-mo, si pemuda
yang sudah lama bergaul dengan monyet merah
sejak masih bayi, sudah tentu segala apa yang
dilakukan monyet-monyet itu ia mengerti.
Disana tampak sunyi senyap, keadaan tempat
itu meskipun dalam keadaan siang, tapi juga
nampak gelap, sinar matahari tidak bisa
menembus daun-daun pohon yang begitu lebat
dalam hutan belantara itu.
Segerombolan monyet-monyet yang tadinya
bersembunyi dibalik dahan pohon, ketika menampak sang ketua mereka tiba dengan seorang
manusia, mereka tidak berani keluar dari tempat
sembunyinya, tapi setelah mendengar lengking
suara si monyet yang datang bersama si bocah,
tiba-tiba daun di atas dahan pohon ber-gerakgerak dan bermunculanlah sekelompok monyetmonyet disekitar tempat itu, mereka berjumlah
kurang lebih empat puluh ekor banyaknya.
Melihat munculnya demikian banyak monyetmonyet, hati pemuda menjadi girang, kini ia
mempunyai kawan begitu banyak, setelah mana,
timbul pula rasa ke-kanak-anakannya segera ia
cecuwat-cecuwet kepada sang monyet yang
menjadi pimpinan rombongan, kemudian berlarian
pergi berlompatan diatas dahan-dahan pohon.
33 Tiba pada satu semak-semak belukar, disana
terdapat sebidang tanah lapang, si bocah loncat
turun dengan diikuti oleh keempat puluh monyetmonyet lainnya.
Setelah cecuwat-cecuwet maka terjadilah satu
barisan monyet yang mengurung si bocah
ditengah-tengah. Kini pemuda sudah mulai menggerak gerakkan
kaki dan tangannya sedemikian rupa, segera
diikuti oleh monyet-monyet itu yang memang
memiliki sifat meniru-niru perbuatan manusia.
Meskipun binatang-binatang itu tidak mengerti apa
maksud dari perbuatan si pemuda.
Si pemudapun tidak mengerti apa yang ia
lakukan, hanya mengingat akan perbuatan monyet
merah kepada dirinya dalam mengikuti lukisanlukisan didinding goa batu di dalam lembah sunyi,
lalu iapun menirukan perbuatan monyet merah itu
dihadapan puluhan monyet-monyet hutan itu.
Perbuatan si bocah berhasil ditiru oleh monyetmonyet yang juga mengikuti gerakan-gerakan si
bocah, tapi karena jumlah mereka terlalu banyak,
serta jarak mereka tidak beraturan, hingga mereka
sudah saling gebuk diantara kawan sendiri, yang
menimbulkan kegaduhan, dan terjadilah satu
pemandangan aneh, monyet-monyet itu saling gigit
saling cakar dengan teman-temannya. Itulah satu
pertempuran gaya monyet. Melihat ini, hati si bocah girang ia teringat
bagaimana si monyet merah kadang kala juga
menyerang dirinya, dalam melakukan latihanlatihan silatnya, dianggapnya monyet-monyet
34 inipun sedang langsung mempraktekkan latihanlatihan yang diajarkannya. Hingga ia saking
girangnya sampai berlompatan ditengah-tengah
arena pertempuran. Tidak seberapa lama, disana sini terdapat
monyet-monyet yang sudah menggeletak dengan
tubuh penuh mandi darah akibat cakaran dan
gigitan temannya sendiri. Melihat kejadian ini tentu
bagaimanapun sebagai anak keturunan manusia ia
memiliki kecerdikan, kejadian itu tidak boleh
terjadi lebih lama, kalau tidak monyet-monyet itu
akan mati seluruhnya dalam arena pertempuran
dengan kawan-kawannya sendiri. Segera ia bersiul.
Suara siulan itu mendengung menggema angkasa.
Hutan rimba yang tadinya sunyi senyap kini
terdengar suara riuh tidak keruan dari sana sini,
burung-burung berterbangan diangkasa menghindari bunyi siulan yang menggema
diangkasa. Derap langkah binatang-binatang buas
serabutan lari menjauhi datangnya suara itu.
Semua itu terjadi dalam sekejap saja.
Pertempuran monyet-monyet terhenti, mereka
jatuh terjengkang dengan tubuh gemetaran.
Mereka begitu takut karena mendengar irama
siulan si bocah menggema angkasa menggetarkan
isi rimba. Setelah bunyi siulan sirap, monyet-monyet yang
berjatuhan telentang masih belum berani bergerak,
tubuh mereka tergetar keras.
Setelah pemuda cecuwat cecuwet barulah
monyet-monyet itu dengan perlahan-lahan bangkit
berdiri, memperhatikan gerak gerik pemuda,
35 dengan tubuh masih gemetaran. Melihat pemuda
tidak membuat gerakan-gerakan yang menunjukkan sifat bermusuhan, barulah monyetmonyet itu berani berlompatan, mereka lari
serabutan naik keatas pohon, bergelayutan disana.
Seekor monyet yang menjadi pimpinan rombongan menghampiri pemuda dengan langkah
lenggak lenggok lalu cecuwat cecuwet yang segera
dimengerti oleh si pemuda, maka merekapun
berlompatan keatas dahan pohon mengembara
dalam rimba belantara. 0)?d...w? (0 TRAGEDI mengerikan dikota Siao-shia sudah
berlalu tiga hari. Kini keadaan kota itu sudah
mulai ramai lagi, rumah-rumah penduduk yang
diobrak-abrik oleh iblis-iblis Sam-mo Eng-ciauw
sudah banyak diperbaiki, suasana sedih dan berkabung masih tampak disana-sini atas kemalangan
yang menimpa sanak famili mereka.
Dikota itu hanya terdapat dua rumah makan,
yaitu rumah makan Sun-ceng-sun-wan yang
keadaannya masih tutup. Sedang rumah makan
dibagian barat kota, penuh sesak dikunjungi
orang-orang yang datang dari seluruh pelosok,
mereka yang datang terdiri dari macam-macam
golongan dan aliran rimba persilatan, mereka ingin
melihat dan mendengar sendiri bagaimana
terjadinya tragedi yang menimpa kota Siao-shia.
Dari luar pintu rumah makan mendatangi
masuk seorang tua bertubuh kurus kering, dia
mengenakan pakaian compang camping, ia
36 berjalan masuk seenaknya, matanya jelalatan
kesana kemari mencari meja yang masih kosong.
Tiba-tiba terdengar suara orang memanggilnya :
"Hei, pengemis bangkotan, kau juga datang
ketempat ini untuk mengemis."
Si pengemis terkejut menengok kearah datangnya suara itu. Ternyata orang yang
menegurnya adalah seorang nenek tua berambut
putih, memiliki sinar mata tajam.


Pusaka Pedang Embun Lanjutan Sin Tiauw Thian Lam Karya Sin Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hemm," dengus si pengemis. "Nenek bengek,
sudah belasan tahun tidak berjumpa, tidak tahu
angin apa yang membikin kau muncul ditempat
ini." berkata si pengemis tua sambil menyeret satu
bangku didepan si nenek. Si nenek tua berkata lagi: "Begitu aku turun
gunung mendengar berita tentang terjadinya
peristiwa biadab yang dilakukan oleh iblis Sam-mo
Eng-ciauw, segera kudatang kemari untuk mencek
kebenaran berita itu. Ternyata disini juga sudah
datang orang-orang dari enam partai rimba
persilatan. Tie-kak siansu dari Siauw-lim juga
sudah turun gunung datang ketempat ini."
"Kim-ce Lonnie, jangan banyak cerita dulu, lekas
pesankan makanan dan minuman untukku,
sesudah perut kenyang baru bicara lagi." berkata si
pengemis. "Dasar kau Pie-tet Sin-kay tidak tahu diri juga
berani mengemis padaku." berkata Kim ce Lonnie
yang kemudian memanggil pelayan memesankan
makanan untuk Pie-tet Sin kay.
37 Tidak berapa lama seorang pelayan datang
membawakan makanan dan minuman diletakkan
dihadapan Pie-tet Sin-kay.
Pie tet Sin-kay segera berkata : "Coba kau bawa
arak lebih banyak, tenggorokanku kering, kau
tidak usah takut tidak dibayar, semua rekening
diperhitungkan oleh si nenek peot ini."
"Baik, baik," kata pelayan berjalan pergi
mengambil beberapa kati arak, lalu diletakkan
diatas meja dimuka si pengemis.
"Pie-tet, bagaimana dalam keadaan orang masih
berkabung kau senang-senang mabok-mabokan
ditempat ini." kata Kim-ce Lonnie.
"Huh ! Toch tidak ada hubungannya dengan
diriku, mereka berkabung salah sendiri, mengapa
tidak memiliki kepandaian tinggi untuk menghajar
pergi iblis-iblis Sam mo Eng ciauw!" jawab Pie-tet
Sin-kay sambil mengunyah makanannya.
Kim-ce Lonnie berkata : "Hm, kau anggap dirimu
memiliki kepandaian tinggi untuk menghadapi iblis
itu." "Jelas! Jika aku tidak merasa ungkulan
menghadapi mereka, bagaimana aku berani datang
mengejar ketempat ini." kata Pie-tet Sin-kay sambil
menenggak araknya. Tiba-tiba Kim-ce Lonnie tertawa bergelak-gelak
lalu berkata : "Sudah pasti kau berani, hi, hi, hi, ...
mereka toch sudah pergi. Memang dasar kau
gembel pahlawan kesiangan hi, hi hi.."
38 Pie-tet Sin-kay menenggak araknya lagi lalu
katanya : "Kau nenek setan gunung Bu san tua-tua
masih suka ngocok orang, tapi kau sendiri apa
kemampuanmu? Hei ! Apa kau sudah tahu,
bagaimana terjadinya peristiwa itu?"
"Kurang begitu jelas," kata Kim-ce Lonnie. "Dari
obrolan-obrolan orang disini, Sam-Eng-ciauw tiba
sudah dalam keadaan babak belur berlumuran
darah." "Aaaaaah ...." Pie-tet Sin-kay terkejut. "Siapa
orang yang sudah begitu berani membentur iblis
dari Ko-lo-san itu."
"Tidak ada yang tahu." jawab Kim-ce Lonnie,
"hanya yang lebih aneh lagi seorang iblis Sam-mo,
si Hok-mo sudah kehilangan batang hidungnya."
"Huah .... jadi iblis itu juga sudah rusak
wajahnya ! Ah dari mana munculnya manusia
pandai yang sudah bisa melukai iblis-iblis itu?"
berkata Pie-tet Sin-kay. Kim-ce Lonnie berkata lagi : "itulah yang
mengherankan, mengapa orang itu hanya melukai
iblis-iblis demikian rupa, mengapa tidak langsung
membunuh ketiga iblis itu, sekalian melenyapkan
bencana rimba persilatan dikemudian hari."
Pie-tet Sin-kay berkata : "Kukira orang itu juga
mendapat luka akibat serangan si iblis, barulah
iblis-iblis itu bisa melarikan diri, atau, ah........kemungkinan orang itu juga sudah mati
dibunuh mereka." 39 "Mm......" dengus Kim-ce Lonnie. "Sungguh
mengherankan, apakah hweeshio-hweeshio gundul
itu sudah berhasil menyelidiki jejak iblis-iblis itu ?"
Pie-tet Sin-kay melengak katanya : "jadi
kedatangan mereka hendak menyelidiki jejak iblisiblis itu?"
"Ya, diantara korban terdapat murid Siauw-lim,
dan murid Bu-tong-pay!"
Sedang mereka bicara, dari luar mendatangi
masuk tiga orang, itulah ketua Bu-tong-pay
dengan dua orang muridnya, begitu sampai dimeja
dimana Pie-tet Sin-kay dan Kim-ce Lonnie, salah
seorang padri memberi hormat dan berkata: "Ah,
jiwi berdua juga datang."
Pie-tet Sin-kay dan Kim-ce Lonnie membalas
hormat. "Sudah belasan tahun tidak berjumpa, apakah
Sung-ceng San totiang ada baik?" berkata Kim-ce
Lonnie. "Baik, hanya......" kata Sung-ceng San totiang.
"Aku sudah tahu." potong Kim-ce Lonnie,
"tentang muridmu itu, sudahlah tak perlu
dibicarakan lagi." "Ya, tak pinceng sangka, pada generasi ke-enam
ini Bu-tong-pay mendapat malu besar atas
perbuatan iblis Sam-mo itu." berkata lagi Sungceng San totiang ketua Bu-tong-pay.
"Totiang, carilah meja kosong, jangan mematung disitu," Pie-tet Sin-kay nyeletuk.
40 Sung-ceng San totiang tidak memandang
kesana-sini, tanpa ucapan sepatah katapun
dengan wajahnja masih menunjukkan rasa duka
dan dongkolnya atas kematian muridnya, ia
menghampiri satu meja yang baru saja kosong
ditinggali oleh tamu yang berangkat keluar.
"Sungguh keterlaluan iblis-iblis Sam-mo terkutuk memperkosa wanita begitu rupa," tibatiba terdengar suara orang bicara di belakang meja
Pie-tet Sin-kay duduk. "Apakah kau melihat jelas kejadian itu ?" tanya
seorang yang duduk di depan orang yang bicara
duluan. "Bagaimana aku tidak lihat jelas, begitu
mendengar ribut-ribut didepan rumah makan,
semua orang bergegas-gegas lari menjauhi si iblis,
pintu rumah sudah ditutup. Mendengar keributan
itu segera kukeluar maksudku ingin melihat apa
yang terjadi, kutanyakan kepada seorang yang
berlari kearahku, orang itu hampir saja menubruk
tubuhku, belum kutanya, dia sudah marah-marah,
katanya, apakah sudah bosan hidup, tidak lekas
menyingkir ? Iblis Sam-mo Eng-ciauw sedang
mengamuk. Mendengar itu aku menjadi heran,
bagaimana ibIis-ibIis ini bisa tiba-tiba muncul
dikota ini, iblis yang sudah populer kejahatannya
ada urusan apa dikota ini, karena rasa heranku,
aku segera naik keatas pohon rindang, dari sana
dengan jelas kulihat sepak terjang mereka." ia
menenggak araknya kemudian sambungnya lagi :
"Dari pintu yang didobrak, si ibIis memperkosa
anak gadis empek Ciu, ia tarik gadis itu,
41 disobeknya seluruh pakaian gadis itu, tidak
selembar benangpun menempel pada tubuhnya."
"Leng-ko, apa gadis itu tidak teriak ?" tanya
seorang yang duduk disebelah muka Leng-ko.
"Mana bisa teriak? Tolol ! Baru lihat tampang
iblis itu saja, si In-moy sudah pingsan, ia sudah
lemas tak bisa bikin apa-apa lagi," jawab Leng-ko
sambil tarik napas. "Jadi ......" selak orang itu ingin cepat mendengar
cerita Leng-ko. "Waktu itu aku juga sebetulnya ketakutan
setengah mati, tapi begitu lihat tubuh In-moy yang
kuning langsat telanjang bulat, kebetulan menghadap keluar, ah........aku sudah lupa
takutku semangatku seakan terbang, kupandang
tubuh gadis itu..........si iblis merebahkan In-moy
disitu juga di lantai, rupanya sudah tidak tahan
gelora napsunya, langsung.............."
"Kau lihat tegas iblis itu berbuat......." potong
orang yang duduk didepannya.
"Dasar kau bego Beng Hok," bentak Leng-ko,
"bagaimana aku tidak lihat tegas, bisa cerita
padamu, toch tadi sudah kubilang jelas dipintu
rumah empek Ciu !" la menenggak araknya lalu melanjutkan
ceritanya : "Meskipun itu iblis rupanya jelek tapi
kemauan kawinnya seperti orang biasa...."
"Orang biasa, bagaimana ?" potong Beng Hok
lagi. 42 Mata Leng-ko mendelik, katanya : "Kau jangan
potong-potong ucapanku, kalau mau dengar, ya
dengarlah, kalau tidak, ya sudah."
"Ya, ya, aku mau dengar, teruskan, kau jangan
marah-marah dulu, kau tahu orang-orang partai
dan golongan dari segala aliran sudah meluruk
kemari mencari tahu tentang peristiwa itu, juga
mencari jejaknya iblis itu, hingga sampai sekarang
belum ada seorang yang tahu secara mendetail
kejadian perkosaan, serta apa maksudnya iblisiblis itu berbuat demikian," kata Beng Hok lagi.
Leng-ko meneruskan pembicaraannya : "Mmm,
sesudah iblis sumpung itu merebahkan In-moy, ia
tidak terus melalap korbannya. Ia raba-raba
sekujur tubuh gadis itu, buah dadanya dipijit-pijit,
diusap-usap rambutnya dielus-elus ... ah tampaknya mereka seperti kemanten baru, In-moy
tentu diam saja tidak bergerak, ia sudah pingsan,"
ditenggaknya secawan arak.
"Hayo cepatan ceritamu," kata Beng Hok yang
sudah tidak sabar mendengar lanjutan cerita itu,
juga sambil menenggak araknya.
Leng-ko meneruskan penuturannja : "Tangan
iblis terus meraba-raba sampai pada .....oh .... tibatiba ia sesapkan kepalanya dibagian itu ..., hampir
aku jatuh menggelinding dari atas pohon melihat
adegan itu." ia tenggak lagi araknya.
"Terus, terus........ bagaimana?" Tanya Beng Hok
cepat. "Kelihatannya...." sambung Leng-ko, "si hidung
sumpung sesapkan kepalanya, ia seperti....."
43 "Seperti apa?" potong Beng Hok.
"Seperti...." lanjut Leng-ko. "Menjilat-jilat."
"Hei, bocah apa kau tidak ngiler." tiba tiba satu
suara terdengar dibelakang Leng-ko. Itulah suara
Pie-tet Sin-kay. Leng-ko menoleh dan disana tampak duduk si
pengemis Pie-tet Sin-kay, ia tidak kenal siapa orang
itu, lalu katanya: "Gembel tua, kalau kau yang
lihat bagaimana, apa kau tidak minta mengemis
untuk ambil bagian?"
Pie-tet Sin-kay tertawa berkakakan, kemudian
katanya: "Kau bocah ingusan pandai balik katakata orang, ha, ha, teruskan ceritamu aku juga
mau dengar, tapi entah si nenek ini sanggup
dengar apa tidak." Kim-ce Lonnie mendengus katanya: "Kau tua
bangka gila, aku datang kesini bukan mau dengar
cerita yang bukan-bukan, tapi ingin tahu jejak
kemana larinya iblis-iblis Sam-mo Eng-ciauw itu."
Pie-tet Sin-kay berkata lagi, sambil tertawa : "Ha,
ha, ha, .... kau kira jejak bagaimana yang mau kau
selidiki, ha, ha, aku gembel tua mau dengar
kejadian mendetail. Kalau kau tidak mau dengar
kau boleh tutup kupingmu, ha, ha, ha......."
Kim-ce Lonnie berdengus tidak bicara lagi.
"Hei ! Teruskan !" tiba-tiba Beng Hok berkata.
"Ya, hayo nyeletuk. teruskan!"

Pusaka Pedang Embun Lanjutan Sin Tiauw Thian Lam Karya Sin Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pie-tet Sin-kay turut 44 Leng-ko melanjutkan penuturannya ; "Sesudahnya si iblis sumpung sesapkan kepalanya,
digeleng-gelengkannya keras kepalanya itu sambil
seperti menjilat, tangannya mengusap-usap....." ia
berhenti bicara menenggak araknya, nampak muka
Leng-ko sudah menjadi merah akibat banyak
minum arak. "Sesudah itu bagaimana?" tanya lagi Beng Hok
kurang sabar. "Sesudah kenyang, ia sesapkan kepalanya
oh.........kasihan si In-moy.......hancurlah sudah......" kembali Leng-ko menenggak secawan
arak lagi. "Lalu..........?" tanya Beng Hok cepat.
"Sial," bentak Leng-ko. "Lalu apa? Ya apa, kalau
sudah kejadian itu, apa lagi ? Dasar bego.........."
"Hmmm........" dengus
menenggak araknya. Beng Hok sambil Wajah Kim-ce Lonnie dan Pie-tet sin-kay samasama merah agak jengah mendengar cerita Leng-ko
yang ngelantur sampai disitu.
"Sungguh........." lanjut lagi Leng-ko, "Lama
sekali si hidung sumpung nengkurapi In-moy,
sambil tangannya meraba-raba sana sini tubuhnya
ber-gerak-gerak naik turun, ah sungguh mengerikan..........!"
"Apa yang mengerikan, toch itu sudah lumrah
kalau laki-laki bisa lama........" kata Beng Hok.
"Bukan lamanya yang mengerikan tolol........"
kata Leng-ko. "Entah mengapa, tiba-tiba si iblis
45 sumpung gerakkan tangannya, mengepruk ubunubun In-moy.........."
"Haaa.........." tiba-tiba terdengar suara terkejut
orang-orang disekitar rumah makan itu, tidak
terkecuali Pie-tet Sin-kay dan Kim ce Lonnie. Suara
itu begitu riuh, rupanya diam-diam mereka semua
pasang kuping mendengar cerita Leng-ko.
Beng Hok buru-buru bertanya : "Sesudah dia
kepruk kepala In-moy, apa pula yang terjadi?"
"Iblis sumpung itu mulutnya menghisap ubunubun In-moy yang sudah pecah akibat keprukan
tangannya." kata Leng-ko. "In-moy yang sedang
pingsan mendapat pukulan kepalanya kontan
kelejetan, si iblis juga sambil menyedot kepala Inmoy, tubuhnya seperti kelejetan, tubuh iblis itu
berjingkat-jingkat pelan, ia baru menduplak rubuh
disamping In-moy. In-moy sudah tidak bergerak,
dari ubun-ubunnya mengalir darah merah,
selangkangannya juga meleleh darah ! Sesudah itu
iblis sumpung bangun pakai pakaiannya lalu
melejit keluar." "Ah . . . pemuasan sex abnormal ..."
"Kejam . . . ."
"Iblis sadis . . . ."
Terdengar makan itu. beberapa teriakan dalam rumah "Ilmu siluman." tiba-tiba Kim-ce Lonnie berkata.
Pie-tet Sin-kay melenggak, lalu katanya: "Ya.
Serupa ilmu siluman, apakah mereka sedang
melatih ilmu siluman itu, sungguh berbahaya."
46 Leng-ko menoleh kearah Pie-tet Sin-kay, ia
masih belum mengerti, segera mengajukan
pertanyaan-pertanyaan: "Ilmu siluman bagaimana
?" "Itulah cara melatih ilmu siluman ! Dengan
menyedot sari perawan wanita yang masih gadis
suci, tepat pada saat hampir tiba tersedotnya cita
rasa kegadisan, pada saat itu juga menghisap otak
gadis itu." kata Pie-tet Sin-kay.
"Berapa banyak gadis-gadis harus menjadi
korban latihan ilmu siluman itu ?" tanya lagi Lengko.
"Tidak terbatas! Tambah banyak sari gadis
tersedot, kekuatan iblis mereka bertambah maju,
hingga sulit untuk ditaklukkan." Kata Pie-tet Sinkay, kemudian ia bertanya pada Leng-ko; "Dua
iblis lainnya apa kau lihat ?"
"Hei gembel miskin," bentak Kim-ce Lonie.
"rupanja masih senang dengan cerita begituan.
Toch sama saja, seperti apa yang dilakukan si Hokmo."
"Nenek pikun, gembel ya gembel, miskin ya
gembel, kau bicara tidak keruan, apa teringat
waktu muda?" Si nenek Kim-ce Lonnie cemberut asam; tampak
wajahnya yang keriput tampak lebih keriput lagi.
"Hei, bocah, bagaimana dua iblis lainnya juga
sama." desak Pie-tet Sin-kay.
"Tidak begitu jelas," kata Leng-ko. "Hanya
kulihat mereka tidak romantis seperti si hidung
47 sumpung. Begitu dapat perempuan, terus seret,
tengkurap. Kadang-kadang baru tengkurap sudah
kepruk kepala perempuan itu tapi tidak
dihisapnya, ia melejit tanpa pake pakaian lagi."
"Hua, hua, ha, ha, ha," tiba-tiba si pengemis Pietet Sin-kay tertawa. "Rupanya iblis itu sudah salah
pilih hua, hua, ha, ha........"
Sedang Pie-tet Sin-kay tertawa begitu tiba-tiba
berlari seorang perempuan setengah tua sambil
berteriak-teriak : "Moy-moy ..... moy-moy .... kau
dimana ...... apa saudara-saudara lihat anak
gadisku? .... moy-moy . . . ."
Mendengar suara teriakan perempuan setengah
tua itu, orang-orang dalam rumah makan terkejut,
mereka memandang kearah orang perempuan
setengah umur. Leng-ko yang sudah setengah mabok bertanya :
"Siauw-ma, ada apa ?"
"Leng-ko .... tolong cari moy-moy anak itu
mendadak hilang !" "Dimana hilangnya ?" Tanya lagi Leng-ko.
"Didapur .... didapur .....! Baru sebentar
kutinggalkan ambil air disumur, baliknya anakku
sudah hilang lenyap." jawab perempuan yang
dipanggil Siauw-ma. Belum lagi hilang kejut orang-orang didalam
rumah makan, diluar ramai terdengar teriakanteriakan perempuan : "Anak gadisku hilang !"
"Oh Tuhan, kemana anak gadisku !"
48 "Tolong, tiba-tiba anak gadisku lenyap !"
Pie-tet Sin-kay dan Kim-ce Lonnie segera lari
keluar melihat suasana hiruk pikuk diluar rumah
makan. Pie-tet Sin-kay menghampiri seorang perempuan
tua yang berteriak teriak : "Cucuku, cucu
perempuanku didalam kamar tiba-tiba lenyap......"
"Nenek, bisakah kasih keterangan sedikit
bagaimana cara hilangnya cucumu itu." tanya Pie
tet Sin-kay. "Oh, gembel, tolong carikan cucu perempuanku,
ia hilang didepan mataku, entah bagaimana, tibatiba tampak awan putih mengepul dihadapanku,
setelah mana cucuku lenyap tiba-tiba....." nenek
itu bicara sambil menggoyang-goyangkan tubuh
Pie-tet Sin-kay. Ooo?d..w?ooO Jilid ke 02 "SABAR, SABAR!" kata Pie-tet Sin-kay, "nanti
kucari pelan-pelan !"
Karena bingungnya si nenek lari kesana kemari
berteriak-teriak : "Cucuku .... cucuku .....?"
"Hm .... . . iblis siluman mana lagi doyan
perawan!" kata Pie-tet Sin-kay sambil berjalan
masuk kedalam rumah makan.
49 "Hei Pie-tet !" tiba-tiba Kim-ce Lonie berkata
perlahan. "Dalam suasana hiruk pikuk begini
kemana perginya itu tosu-tosu Bu-tong-pay ?"
Ternyata dimeja yang tadi diduduki oleh Sungceng San totiang sudah kosong.
Pie-tet Sin-kay berkata : "Mungkin mengejar itu
siluman-siluman yang menculik gadis-gadis."
"Gila ! Bagaimana dalam waktu sesingkat ini
sudah timbul segala macam siluman. Sia-sia
orang-orang Bu-tong-pay mengejar penculik gadisgadis itu. Hilangnya gadis itu lama sebelum orang
didekatnya sadar apa yang telah terjadi, iblis itu
menggunakan asap beracun membuat orang orang
pingsan seketika. Baru menculik gadis itu."
Pie-tet Sin-kay berdengus : "Hmmm, sungguh
gila, dalam waktu sesingkat ini sudah timbul
segala macam siluman."
Pie-tet Sin-kay menghela napas, kemudian
berkata lagi : "Sungguh sial nasib rakyat jaman ini,
pembesar anjing, memeras, menekan kehidupan
rakyat, berfoya diatas darah rakyat, timbul lagi
siluman-siluman mengacaukan rimba persilatan,
nenek, kita juga harus segera bertindak."
"Tidak semudah apa yang kau katakan." kata
Kim-ce Lonnie. "Apa sulitnya, kita satroni lebih dulu itu
pembesar-pembesar anjing. Bunuh mereka, baru
mengundang orang-orang sakti rimba persilatan
membasmi segala macam siluman busuk itu.
Kemudian kita angkat seorang patriot bangsa
50 untuk mimpin negara, itu kaisar bangpak perlu
dipancung kepalanya......"
"Pie-tet, kau bicara harus ada remnya jangan
mengumbar emosi politik bulukmu disini, kalau
terdengar oleh petugas-tugas kota, bukankah
kepalamu dan kepalaku akan ucapkan selamat
tinggal dari tubuh kita masing-masing, juga tidak
sampai disitu saja rumah makan ini juga bisa jadi
abu......" kata Kim-ce Lonnie.
Pie-tet Sin-kay berkata lagi: "Jadi melihat
keadaan masyarakat dan negara kacau balau, kau
sebagai tokoh persilatan mau uncang-uncang kaki
sambil nyisik duduk diam."
Kim-ce Lonnie mendelik katanya: "Kau pengemis
gila politik jangan seenakmu saja menggoyang
lidah, bukan aku mau uncang-uncang kaki, tapi
aku tidak mau menimbulkan korban cuma-cuma,
harus tunggu timing yang tepat, jangan sampai
karena tindakanmu seorang akhirnya rakyat yang
tidak tahu apa-apa menjadi korban, korban
politikmu, mereka akan ditangkapi, dikompres
suruh mengaku sebagai pemberontak, harta
benda, tanah mereka disita. Bukankah keadaan ini
yang diharapkan oleh pembesar-pembesar anjing
itu, guna menumpuk harta kekayaan pribadinya
sedang para menteri dorna melihat kekejaman
pembesar-pembesar anjing itu turut kebagian
komisi....." "Hua, ha, ha, ha,....." Pie-tet Sin-kay tertawa
berkakakan. "Kau juga rupanya bersemangat,
kata-katamu sudah tidak menguatirkan kalau
51 kepalamu akan ucapkan selamat tinggal dengan
lehermu, ha, ha, hau......"
Dari luar rumah makan saat itu berjalan masuk
dua orang, mereka berpakaian ringkas yang di
muka wajahnya pucat pasi berumur sekitar 40
tahunan, yang berjalan dibelakang berwajah
kemerah-merahan, beralis tebal, bibir tebal,
tampak sangat kejam, dikedua pinggang orang itu
tergantung sebatang golok.
Mereka melangkah masuk. Matanya jelalatan
mencari tempat kosong didalam rumah makan itu.
Langkahnya diayun menuju kesatu meja kosong.
Begitu mereka duduk seorang pelayan menghampiri katanya : "Jiwie enghiong, mau pesan
makanan apa ?" Kedua orang itu melenggak kemudian saling
pandang. Agaknya sedang menimbang nimbang,
makanan apa yang hendak dipesan.
"Dirumah makan kami," kata lagi si pelayan
cepat. "Tersedia arak wangi istimewa bakpau
daging, telor pindang, nasi goreng, ikan bakar, babi
panggang, ayam goreng dan bebek tim, silahkan
jiwie Enghiong coba !"
"Jie Kun, apa saja boleh asal jangan bakpau,
jangan lupa kau pesan arak." berkata salah
seorang yang beralis tebal kepada kawannya.


Pusaka Pedang Embun Lanjutan Sin Tiauw Thian Lam Karya Sin Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau dengar! Ambil arak dan barang makanan
asal jangan bakpau !" berkata orang yang dipanggil
Jie Kun. 52 "Baik enghiong, tapi bakpau rumah makan kami
istimewa," kata pula pelayan rumah makan sambil
ngeloyor pergi, tak lama sudah datang dengan
senampan hidangannya. "Toako apakah kita langsung pergi melapor pada
Tay-ong?" bertanya Jie Kun.
"Ya ! Pasti kita harus minta bantuan Tay-ong,
untuk tuntut balas atas kematian Kie-heng,
perempuan sundel itu harus dipancung kepalanya
!" kata seorang yang beralis tebal.
"Toako, apakah tidak lebih baik kita serbu saja
itu gedung Siang-an piauw-kiok di Sin-ciu-hu?"
"Kau sudah gila ! Baru anak perempuannya saja,
si sundel piausu pejajaran itu sudah berhasil
membunuh Kie-heng. Apa lagi . . . . "
"Ya, kudengar sundel itu mendapat julukan Botay-tiong-kiam si Pedang macan betina, dari mana
ia dapat pedang pusaka." kata Jie Kun.
Selagi mereka bicara sambil makan minum tibatiba terdengar suara orang yang menegurnya :
"Selamat, selamat rupanya jiwie ada itu Tiauw Jie
Kun dan Pang Liong Ma dari gerombolan berandal
Hek-khie-hwee gunung Ouw-pok-san."
Kedua orang itu melengak, memperhatikan
orang yang bicara, orang beralis tebal berkata
dengan suara bengis ; "Pengemis, jangan turut
campur urusan kami !"
"Hm, tidak perlu turut campur? Ha, ha, kalau
aku turut campur, tentu dua batok kepalamu akan
pisah dari tubuhmu, ha, hua, ha .... baru saja
53 kalian dihajar oleh anak perempuan kenalanku,
kau sudah kucar kacir, sampai sarangmu
berantakan diamuk Bo-tay-tiong-kiam, ha, ha . . . .
apa lagi kalau aku Pie-tet Sin-kay ambil bagian."
Ternyata orang yang menegurnya adalah Pie-tet
Sin-kay. Mendengar hinaan Pie-tet Sin-kay, kedua orang
itu hilang sabar, berdiri mencabut golok masingmasing, dengan cepat mereka menyerang Pie-tet
Sin-kay. Menyaksikan adegan yang terjadi secara tibatiba itu para tamu-tamu dalam rumah makan
menyingkir menjauhi diri, menyelamatkan diri
mereka masing-masing, mereka tidak menginginkan terlibat dalam keributan itu.
Pie-tet Sin-kay hanya mendengus.
Golok kedua orang itu hampir mengena batok
kepala Pie-tet Sin-kay, Pie-tet Sin kay masih tetap
berdiri tenang. Belum lagi Pie-tet Sin-kay bergerak, tiba-tiba
terdengar suara truk, truk, dua kali, kedua golok
orang itu terpental menancap di tiang bangunan
rumah makan itu. Disusul dengan suara ketepak
ketepok, muka kedua orang itu menjadi merah
bengap, mereka sempoyongan.
"Hm, anjing kecil !" bentak Pie-tet Sin kay,
"Kalau berani main gila lagi, nyawamu kubetot
keluar. Masih untung bagimu, Bo-tay-tiong-kiam
hanya membunuh seorang diantaramu, ia sudah
begitu baik, memberi kelonggaran bagimu untuk
bertobat. Jika kesempatan ini tidak kau
54 pergunakan panjang." baik-baik, umurmu tidak akan Orang-orang dalam rumah makan itu tidak tahu
bagaimana kedua golok Pang Liong Ma dan Jie Kun
terpental dan menancap ditiang rumah makan.
Mereka hanya mengangakan mulut menyaksikan
kejadian itu terheran-terheran.
Dengan muka merah bengap kedua orang itu
ngeloyor pergi. "Tunggu dulu." bentak Pie-tet Sinkay, "Kau tidak
suka makan pakpau disini, apa alasanmu?"
"Hei! Pie-tet, untuk apa tanya-tanya urusan
bakpau, toch itu urusan mereka, mau makan atau
tidak untuk apa kau jadi pusing." teriak Kim-ce
Lonnie. Pang Liong Ma berkata : "Baiklah, kalau kau
ingin tahu, sepuluh hari setelah perkumpulanku
Hek-khie-hwee digunung Ouw-pok-san diamuk
oleh itu sundel.....eh.....Bo-tay-tiong lihiap, aku
melakukan perjalanan selama tiga bulan, tiba
dikampung Cin-kee-cun, aku mampir kesatu
rumah makan untuk tangsel perut, aku pesan
bakpau dan arak, ternyata.....didalam bakpau
terdapat jari-jari manusia."
"Haaa . . . ." Pie-tet Sin-kay terkejut. "Jadi iblis
itu sudah muncul lagi ?"
"PlE-TET, apa kau tahu itu perbuatan siapa,
bagaimana dalam bakpau bisa terdapat jari-jari
manusia?" tanya Kim-cee Lonie.
55 "Hm, makanya kau nenek reot jangan
mendekam terus diatas gunung Bu-san saja, apa
ilmu kepandaianmu sudah tambah maju, selama
belasan tahun kau tapa di gunung Bu-san, ha, ha
.... . ." Mendengar jawaban Pie-tet Sin-kay nyeleweng
dari pertanyaan Kim-cee Lonie, wajah si nenek
cemberut keriput, lalu tanyanya lagi ; "Kau
pengemis apek, baru punya kemampuan menjatuhkan golok dengan tulang ayam dalam
mulutnya sudah berani bicara besar, lagakmu
seperti anak kecil."
Ternyata yang membuat kedua golok Pang Liong
Ma dan Tiauw Jie Kun terpental adalah dua potong
tulang ayam yang disemburkan dari mulut si
pengemis Pie-tet Sin-kay.
Pang Liong Ma meneruskan penuturannya.
"Mengetahui isi bakpau terdapat jari manusia,
segera kupanggil pemilik rumah makan, tetapi ia
juga tidak mengerti, bagaimana sampai didalam
bakpau terdapat jari manusia, dengan mendongkol
kupukuI orang itu, tapi baru saja kepalanku bergerak, tiba-tiba berkeredap beberapa benda putih
menjambar tubuhku, serangan tanganku kutarik
kembali, mengelakkan datangnya serangan gelap,
ternyata benda-benda berkeredap itu adalah
beberapa pisau terbang, salah satu berhasil
menggores kulit lenganku, darah mengucur keluar.
Karena kuatir pisau beracun segera kulari
meninggalkan rumah makan itu untuk mengobati
luka lenganku. Hatiku agak lega, setelah tahu
senjata-senjata tidak beracun, juga orang yang
56 melemparkan pisau-pisau terbang itu ternyata
tidak mengejar." "Hei, siapa yang melemparkan pisau-pisau gelap
itu?" tiba-tiba Kim-ce Lonie berteriak.
"Aku tidak tahu." jawab Pang Liong Ma. "Begitu
kurasa lenganku sakit mengucurkan darah segera
kami lari meninggalkan tempat itu."
Setelah habis berkata begitu kedua orang itu
ngeloyor keluar, meninggalkan rumah makan
dengan meninggalkan beberapa keping uang perak
diatas meja. "Hayaa .... iblis-iblis sudah bermunculan lagi !"
berkata Pie-tet Sin-kay sambil menyeret kursi
duduk kembali dimeja. Kim-ce Lonnie mengkerutkan alis bertanya :
"Pie-tet bisa kau terangkan apa maksud katakatamu dengan iblis-iblis muncul lagi ?"
Pie-tet Sin-kay mengangkat cawan arak menghirup seteguk lalu katanya : "Selama belasan
tahun kau mendekam digunung Bu-san, pada
sebelas tahun yang lalu muncul satu iblis yang
menamakan dirinya Kun-see-me-ong teng Kie Lang
.." "Jadi selama itu iblis itu malang melintang
dirimba persilatan ?" potong Kim-ce Lonnie.
Pie-tet Sin-kay melanjutkan penuturannya :
"Iblis itupun doyan melalap perempuan-perempuan
cantik, membunuh manusia seperti memites
semut, daging manusia dicincang dijadikan isi
bakpau, ia suruh murid-muridnya menjual
57 menyebarkan bakpau-bakpau itu keseluruh kota,
sampai suatu hari, pusat kegiatan mereka dapat
diketahui oleh Ceng It Cinjin dari gunung Lionghouw-san. Sarang mereka diobrak abrik, sepuluh
murid-muridnya terbunuh, tapi iblis Kun-sie-meong Teng Kie Lang lenyap tanpa bekas, sejak
peristiwa itu sudah tiga belas tahun berselang
orang tidak tahu di mana iblis Kun-sie-me-ong
menyembunyikan dirinya, kini tanda-tanda itu
sudah mulai muncul kembali di kampung Cin-keecun...."
"Sungguh luar biasa," berkata Kim-cee Lonnie,
"dalam waktu beberapa hari sudah bermunculan
tragedi-tragedi aneh, mengganasnya Sam-mo Engciauw, hilangnya gadis-gadis secara misterius kini
datang lagi berita timbulnya kembali iblis Kun-sieme-ong Teng Kie Lang, sungguh berbahaya, kalau
sampai iblis-iblis itu bersatu, rimba persilatan
akan menjadi kacau balau, mayat mayat manusia
bergeletakan disana sini...."
"Bukankah itu bagus!" kata Pie-tet Sin-kay,
"Tulang-tulangku yang sudah tua, kulit keriput,
urat kaku, akan mendapat pekerjaan lagi, hua,
hua, munculnya iblis-iblis itu bisa menampung
tubuh peotku yang selama ini sudah menjadi
pengangguran, ha, ha, haaa, lapangan kerja baru
terbuka didepan mata....... ha, hua, huaa......."
Sedang Pie-tet Sin-kay tertawa berkakakkan
dalam rumah makan tanpa memperdulikan orangorang yang berada dalam rumah makan itu, tibatiba dari luar rumah makan terdengar suara orang
berlarian serabutan kesana kemari, berteriak58
teriak, disana sini timbul suara gedabruk gedubrak
pintu-pintu ditutup, mereka berteriak-teriak diluar
rumah makan. Pie-tet Sin-kay yang masih tertawa berkakakan
mendengar keributan itu tertawanya terhenti
seketika, mulutnya celangap, kemudian katanya
heran : "Ada apa lagi, disini memang tempat ajaib, asal
aku tertawa berkakakan, pasti terjadi keributan,
sungguh aneh !" Segera Pie-tet Sin-kay geser kursinya berjalan
keluar diikuti oleh Kim-ce Lonie.
Diluar rumah makan keadaan masih panik para
pedagang menutup dagangannya, orang-orang
serabutan berlarian tidak keruan.
Kim-ce Lonie menarik seorang yang sedang lari,
lalu tanyanya : "Hei, ada apa ?"
"Ada siluman, lekas lari......." kata orang yang
ditanya. Kim-ce Lonie dan Pie-tet Sin-kay berpandangan
mata. Mereka memperhatikan orang-orang yang
lari berserabutan kian kemari. Tak lama kemudian
kota itu menjadi sunyi sepi kembali.
Kembali kota Siao-shia menjadi sunyi, hanya
tampak dibeberapa jendela menongol kepala orang
yang rupanya sudah kebal takut, ingin melihat
siluman macam apa lagi yang muncul ditengahtengah kotanya.
Dari jalan sebelah timur kota tampak satu
bayangan loreng bertubuh tegap, berambut
59 gondrong berjalan lenggak-lenggok mendatangi
kearah kota Siao-shia, dengan diikuti seekor
monyet hitam. Bayangan loreng itu bukan lain adalah si
pemuda berambut gondrong berpakaian kulit
macan loreng berjalan lenggak-lenggok, kepalanya
menoleh kekiri-kanan, memperhatikan jalan-jalan
yang dilewatinya. Tampak dari jauh keadaan kota
itu mendadak menjadi sunyi-senyap.
Inilah lakon kita ! Dengan perasaan tidak mengerti si pemuda
berpikir hatinya berkata: "Jelas kulihat dari atas
puncak pohon tadi, ditempat itu begitu ramai
orang-orang berlalu lalang, kini entah kemana
lenyapnya orang-orang itu......."
Ia berkata dalam hati, langkahnya terus diayun
maju kedepan, masih dengan penuh rasa tanda
tanya. Sampai dimuka pintu gerbang kota, ia melihat
berderet-deret bangunan-bangunan rumah dikirikanan, pemandangan itu begitu asing baginya,
matanya jelalatan memandang ke arah deretan
bangunan-bangunan yang terdapat dalam kota itu,
mulutnya menganga. Disana sudah tak tampak orang berlalu lalang,
hanya dari lubang-lubang jendela kadang kala
menongol keluar kepala orang memandang kearah
dimana si pemuda berbaju loreng mendatangi,
kemudian nyelusup hilang dibalik jendela.
60

Pusaka Pedang Embun Lanjutan Sin Tiauw Thian Lam Karya Sin Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Langkah kaki si pemuda berbaju loreng diayun
terus, mengikuti irama bisik hatinya, dia
memasuki kota Siao-shia. Berjalan lagi beberapa tindak, tampak di tengah
jalan kota Siao-shia berdiri dua sosok tubuh
manusia, seorang laki-laki tua berpakaian dekil
compang camping dan seorang nenek tua
berpakaian putih bersih. Mereka berdiri bagaikan
patung menatap arah datangnya si pemuda
berbaju loreng. Si pemuda menampak dua orang berdiri
ditengah jalan, ia masih mengayunkan langkahnya
terus menghampiri dua orang itu dengan
tersenyum-senyum girang. Dua orang itu adalah si pengemis Pie-tet Sin-kay
dan Kim-cee Lonnie dari gunung Bu-san, mereka
memperhatikan bentuk tubuh serta pakaian si
pemuda dengan mulut ternganga terheran-heran,
menyaksikan pakaian si pemuda sangat aneh,
itulah pakaian kulit macan loreng.
Belum hilang rasa heran mereka, tiba-tiba
melejit datang beberapa sosok bayangan putih
menghadang perjalanan si pemuda. Pie-tet Sin-kay
dan Kim-cee Lonnie memperhatikan orang-orang
yang datang. Ternyata mereka adalah Sun-ceng
San totiang dan kedua muridnya, serta beberapa
hweeshio Siauw-lim-sie dibawah pimpinan Tie-kak
Hweeshio. Terdengar suara bentakan Sun-ceng San totiang
yang beradat berangasan, bentaknya : "Bocah
siluman, kau bawa lari kemana itu gadis-gadis.
Cepat beri jawaban, sebelum pinceng hilang sabar!"
61 Si pemuda tidak mengerti segala ucapan katakata pertanyaan Sung-ceng San totiang, ia hanya
tersenyum-senyum mengawasi tingkah laku Sungceng San totiang sambil masih tetap tersenyumsenyum, dalam hatinya berkata ; "Semua orang
yang kujumpai kelakuannya aneh-aneh, selalu
menunjukkan sikap ingin bermain-main mengikuti
gerak-gerak lukisan dalam dinding goa. Untung
aku sudah memahirkan semua gerak-gerakan
lukisan itu, kalau tidak, mungkin sulit untuk bisa
bercampur gaul dengan mereka...... "
Anggapnya, semua orang itu mudah digauli !
Sung-ceng San totiang yang menampak si
pemuda masih tersenyum-senyum, tidak menjawab
pertanyaannya, ia membentak lagi : "Mmm, hei,
anjing kecil, cepat kau bicara....."
"Suhu, biar kuajar adat pada siluman cilik ini !"
terdengar murid Bu-tong-pay memajukan usul.
"Leng Bie, kau beri ajaran padanya, tapi hatihati."
Leng Bie mendapat perintah suhunya berjalan
maju menghampiri si pemuda, ia berhenti dimuka
si pemuda dan membentak : "Siluman kurangajar,
kau anggap enteng suhuku, lihat pedang, nanti
apa kau masih bisa tersenyum-senyum lagi
dihadapan suhuku." Pada saat itu Pie-tet Sin-kay berbisik ke telinga
Kim-ce Lonnie, untuk meninggalkan tempat itu
kembali kerumah makan. Berbarengan dengan langkah kaki Pie-tet Sinkay dan Kim-ce Lonnie meninggalkan tempat itu,
62 tepat pada berakhirnya bentakan Leng Bie, pedang
Leng Bie sudah menyambar kearah pinggang si
pemuda, untuk memapas tubuh si pemuda
menjadi dua potong. "Aaaaaaa ...!" terdengar suara kejut orang-orang
Bu-tong dan Siauw-lim. Ternyata si pemuda sudah menghilang. Serangan Leng Bie mengenakan tempat kosong.
Ketika si pemuda lenyap dari serangan pedang
Leng Bie. Selagi mereka terheran-heran kehilangan
bayangan lawannya tiba-tiba terdengar teriakan
dari atas pohon, disebelah kiri belakang bangunanbangunan rumah ; "Tolong .... tolong ! Monyet . . . .
. siluman!" Orang-orang yang sedang merasa heran atas
lenyapnya si pemuda, semua membalikkan badan
melihat dari mana datangnya suara.
Ternyata dari batang pohon tampak merosot
turun sesosok tubuh yang sudah penuh luka-luka,
sedang dibelakangnya masih terus mengejar seekor
monyet hitam. Sesampainya di tanah orang itu segera lari
pontang panting kearah rombongan orang-orang
Bu-tong-pay dan Siauw-Iim-pay sambil masih
teriak-teriak: "Tolong! Tolong! Siluman."
Pie tet Sin-kay dan Kim-ce Lonnie yang baru saja
melangkah untuk meninggalkan orang-orang Butong dan Siauw-lim, mendengar teriakan itu.
Mereka menahan langkah. Menengok kearah
63 datangnya suara teriakan itu. Sung-ceng San
totiang yang beradat berangasan melihat kelakuan
orang itu, amarahnya bertambah meluap, ia sudah
kehilangan si pemuda, begitu menampak kedatangan orang itu berteriak-teriak, hati
panasnya berkata; "Hm, biang kerok kurang ajar!"
Kakinya menendang orang itu. Terdengar suara
teriakan; "Aduh ....." orang itu ngusruk di emper
rumah. Pie-tet Sin-kay segera menghampiri orang yang
jadi korban tendangan Sung-ceng San totiang,
ditentengnya dibawa masuk kedalam rumah
makan. Kemana hilangnya pemuda berbaju loreng?
Ketika mendadak mendapat serangan pedang,
tubuhnya diputar melejit lompat melalui kepala
Sung-ceng San totiang kemudian turun dengan
ringan berdiri di-belakang tubuh ketua Bu-tongpay.
Gerakan si pemuda gesit dan aneh, hingga tidak
tampak bayangan si pemuda berbaju loreng
menggerakkan tubuhnya, seakan-akan ia menghilang dihadapan orang-orang itu.
Si pemuda melihat sang monyet berlarian
mengejar seorang, ternyata orang itu juga sudah
ngusruk ditendang Sung-ceng San totiang, si
pemuda berbaju loreng bersiul kecil, maka
mendengar siulan itu si monyet segera berlompatan lari kembali kebatang pohon tadi
merambat naik. Sung-ceng San totiang, mendengar suara siulan
itu, segera membalik tubuhnya lalu perintahnya :
64 "Kurang ajar! Cepat kurung anak kurang ajar ini,
jangan biarkan ia lolos!"
Tie-kak hweeshio dari Siauw lim-pay pun
perintahkan pada sembilan orang rombongannya ;
"Kurung ! Serang dengan menggunakan senjata biji
tasbih, jangan biarkan siluman ini lolos."
Keadaan si pemuda berbaju loreng dalam
sekejapan sudah terkurung rapat ditengah tengah
orang-orang Bu-tong-pay dan Siauw-Iim pay. Ia
masih tenang-tenang tersenyum-senyum memandang orang-orang itu satu persatu.
Kita tinggalkan keadaan si pemuda yang
terkurung oleh orang Bu-tong dan Siauw-Iim, mari
kita ikuti Pie-tet Sin-kay yang menenteng orang
yang jadi korban tendangan Sun-ceng San totiang.
Didalam rumah makan Pie-tet Sin-kay mendudukkan orang itu dikursi, katanya pada
Kim-ce Lonnie: "Hweeshio gundul itu sudah kalap
tidak keruan. Kasihan bocah ini!" sambil berkata
tangannya dikerjakan memencet mulut orang yang
masih pingsan sampai terbuka ternganga, kemudian lidah orang itu ia tarik keluar, terdengar
suara "Aaa . . . ach!" maka orang itu siuman dari
pingsannya. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya
yang masih terasa pening, wajahnya mengerinyitngerinyit menahan sakit bekas gigitan monyet.
Pie-tet Sin-kay bertanya: "Leng-ko, bagaimana
bisa terjadi begini atas dirimu?"
Leng-ko dengan mengerinyitkan wajahnya dengan napas masih memburu berkata; "Hah
begitu mendengar ribut-ribut ada siluman aku
65 segera panjat pohon itu sembunyi disana untuk
bisa melihat jelas, siluman apa lagi yang muncul
dikota? Tidak tahunya diatas pohon entah dari
mana datangnya, tiba-tiba monyet sialan itu
mencakar pundakku, aku terkejut, kugebuk
monyet itu, tapi ia gesit, sebelum gebukanku
mampir ditubuhnya binatang itu sudah loncat
kebelakang gegerku, menggigit, maka aku segera
lari turun minta tolong. Sesampainya ditanah, aku
lari kerombongan tosu-tosu gundul itu. Tapi
mereka begini galak, bukan menolong, tapi malah
menendang pantatku hingga aku nyungsep........"
"Sudahlah," Kata Kim-ce Lonnie, "kau duduk
istirahat, ini obat luka luar kautaburi ditempat
luka bekas gigitan monyet, campur dulu dengan
arak kau siram dilukamu."
"Terima kasih nek !" kata Leng-ko menyambuti
obat itu. Kim-ce Lonnie berkata pada Pie-tet Sin kay.
"Hmm, kalau kuperhatikan gerak-gerik bocah
itu, baru pertama kali turun gunung, entah murid
orang pandai mana, kalau melihat sikapnya ia
bukan dari golongan hitam."
"Hmm. apa Sam-mo Eng-ciauw dia yang
menghajar sampai babak belur?" kata Kim-ce
Lonnie. "Kukira begitu, bocah itu memiliki gerakan aneh,
dari sinar matanya yang berkilat membiru, ia pasti
memiliki tenaga yang luar biasa, orang-orang Butong dan Siauw-lim itu kukira juga bukan
66 tandingannya, pasti mereka akan roboh di bawah
tangan si bocah itu." kata Pie-tet Sin-kay.
"Pie-tet." kata Kim-cee Lonnie. "Kukira kau perlu
segera memperingati padri itu, mereka mungkin
sudah salah paham, aku yakin, hilangnya gadisgadis itu tidak ada hubungannya dengan si bocah."
"Huh !" dengus Pie-tet Sin-kay. "Padri
berangasan itu sulit dibikin mengerti, aku kenal
betul wataknya, kalau kita campuri, pasti ia
menganggap aku berkomplot dengan si bocah.
Urusan ini bisa lebih memusingkan kepala, lebih
baik kita makan minum saja ditempat ini.
Menunggu hasil ronde pertandingan. Toch lebih
enak." Selagi Pie tet Sin-kay dan Kim-cee Lonnie
ngobrol didalam rumah makan sambil makan
minum, tiba-tiba terdengar suara siulan melengking panjang, menggema di udara menggetarkan seluruh isi kota Siao-shia.
Pie-tet Sin-kay waktu itu baru saja mengangkat
cawan araknya, ketika mendengar suara gema
siulan, hatinya tergetar keras, sampai cawan arak
terlepas dari tangannya, jatuh dimeja.
Tidak terkecuali Kim-cee memeramkan matanya, pernapasan, menghilangkan
gema siulan tadi. Lonnie, segera ia mengatur jalan pengaruh getaran Leng-ko yang baru selesai mengobati lukalukanya bersandar dikursi, mendengar siulan itu
terjengkang kebelakang berikut kursinya.


Pusaka Pedang Embun Lanjutan Sin Tiauw Thian Lam Karya Sin Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

67 Berbarengan dengan hampir sirapnya irama
siulan yang menggetarkan, tiba-tiba melayang
masuk dua sosok tubuh, menubruk meja kursi
didalam rumah makan. Terdengar suara gedabruk
gedubrak, meja-meja kursi berantakan berserakan
kesana kemari, sedang dua sosok tubuh yang
melayang menubruk meja-meja kursi dalam rumah
makan jatuh ambruk dilantai rumah makan
pingsan seketika itu juga.
Begitu suara siulan sirap, Pie-tet Sin-kay dan
Kim-cee Lonnie segera bangkit menyaksikan apa
yang telah terjadi. Diantara meja-meja kursi yang berantakan,
menggeletak dua sosok tubuh, hweeshio Siauwlim-pay, mereka pingsan.
Pie-tet Sin-kay dan Kim-cee Lonnie saling
pandang, kemudian mereka berjalan keluar dengan
langkah lebar. Ditengah jalan nampak si pemuda berbaju
loreng dengan pundak kirinya mengucurkan darah,
berjalan menuju arah rumah makan diikuti oleh
monyetnya. Ketika berpapasan dengan Pie-tet Sin-kay dan
Kim-ce lonnie, nampak sinar mata si pemuda
berbaju loreng berkilat. Membuat hati kedua tokoh
silat itu menjadi tercekat mundur tiga tindak.
Si pemuda menampak Pie-tet Sin-kay dan Kimce Lonnie mundur juga tidak membuat gerakan
apa-apa, si pemuda langsung nerobos masuk
kedalam rumah makan. 68 Setelah hilang rasa kagetnya Pie-tet Sin-kay dan
Kim-ce Lonnie berjalan menuju dimana tadi terjadi
pengeroyokan terhadap si pemuda.
Disana tampak Sung-ceng San totiang duduk
numprah ditanah, mulutnya mengeluarkan kecap
asin. Diseberang jalan tampak dua murid Bu-tong
masih pingsan. Sedang Tie-kak hweesio, keadaannya hampir serupa dengan Sung-ceng San
totiang, ia duduk numprah ditanah, mulutnya
mengeluarkan darah. Sedang kedelapan anak-anak
buahnya rubuh pingsan berpencaran jauh
terpental kesana kemari, dua diantaranya mental
masuk kedalam rumah makan.
Melihat kejadian itu, Kim-ce Lonnie segera
berkata pada Pie-tet Sin-kay : "Kau pergi kerumah
makan, tolong kedua murid Siauw-lim itu, awas!
Jangan sampai timbul salah paham dengan bocah
itu. Aku mengurus orang-orang tolol ini."
Setelah berkata begitu Kim-ce Lonnie turun
tangan memberi bantuan P3K pada anak-anak
murid Bu-tong dan Siauw-lim, sedang Pie-tet Sinkay berjalan masuk kedalam rumah makan.
Didalam rumah makan tampak pemuda berbaju
loreng duduk disebuah kursi, kedua kakinya
ditaruh diatas meja, ia duduk seenaknya, sedang
sang monyet menjilat-jilat diluka si pemuda.
Menampak kedatangan Pie-tet Sin-kay wajah si
pemuda beringas, matanya memancarkan sinar
berkilat memandang si pengemis.
69 Melihat perobahan sikap si pemuda yang semula
datang kekota dengan penuh ramah senyuman
diwajahnya, kini telah berobah penuh dengan sinar
kebencian dan kemarahan kepada orang yang
dipandangnya. Pie-tet Sin-kay tidak menghiraukan pandangan
si pemuda, ia menghampiri kedua anak murid
Siauw-lim-pay, segera dipondong keluar untuk
diberi pengobatan seperlunya.
Tidak lama kemudian, tugas kedua orang itu
selesai sudah, para padri dan hweeshio sudah
siuman dari pingsannya. Seorang murid Bu-tongpay patah lengan kiri, dan seorang lagi terpincangpincang jalannya. Sedang seorang murid Siauwlim-pay patah tulang rusuknya, dan dua orang
lainnya patah lengan kiri, sedang yang lainnya
kepalanya masih bocor mengeluarkan darah.
Tanpa mengucapkan sepatah katapun, Sungceng San totiang dan Tie-kak Hweshio ngeloyor
pergi, meninggalkan tempat itu, kembali kegunung
masing-masing dengan membawa rasa malu dan
penasaran. Apa yang telah terjadi? Bagaimana ketua Butong-pay generasi keenam serta Wakil ketua gereja
Siauw-lim-sie berikut seluruh anak buahnya bisa
mengalami nasib naas di tempat itu?
Untuk jelasnya, mari kita mengikuti keadaan
rombongan Bu-tong-pay dan Siauw-lim-pay setelah
Pie-tet Sin-kay dan Kim-ce Lonnie meninggalkan
rombongan mereka membawa Leng-ko kedalam
rumah makan. 70 Setelah si pemuda berbaju loreng terkurung
kembali oleh orang Siauw-lim-sie dan Bu-tong-pay
yang berjumlah duabelas orang banyaknya, ia
masih menunjukkan senyum ramai di wajahnya. Ia
tidak mengerti, apa maksud perbuatan orang-orang
itu mengelilingi tubuhnya, hanya dianggap bahwa
orang-orang itu tentunya masih ingin bermain
menirukan gerak-gerak lukisan seperti terdapat
didalam dinding goa dalam lembah.
Para hweeshio Siauw-lim-sie, tosu Bu-tong-pay
mereka sudah mengeluarkan senjata masing
masing. "Serang !" Sung-ceng San totiang memberi abaaba.
Maka terjadilah pertempuran satu lawan dua
belas, si pemuda yang dikurung ditengah tengah
kurungan hujan pedang dan biji tasbeh, tubuhnya
berputaran melejit sana sini keluar dari kurungan.
Begitu tubuh si pemuda bebas keluar dari
kurungan, begitu cepat orang-orang Bu-tong dan
Siauw-lim bergerak mengurung kembali dengan
menghujani tajamnya mata pedang dan kerasnya
lemparan biji-biji tasbih. Selama itu si pemuda
hanya mengelakkan dengan gerakan-gerakan aneh
luar biasa. "Hentikan pertempuran !" tiba-tiba terdengar
suara aba-aba Tie-kak hweeshio.
Maka pertempuran berhenti seketika.
"Sung-ceng San ciangbunjin, kau atur serangan
pedang bagian atas tubuh musuh, sedang dua
muridmu menyerang bagian bawah, aku dengan
71 delapan murid-muridku menghujani jalan keluar
bocah ini dengan biji-biji tasbeh. Hmmm.....ingin
kulihat bagaimana ia bisa lolos dari kepungan
kita." berkata Tie-kak hweeshio.
Sung-ceng San totiang yang mendengar penuturan Tie-kak hweeshio, ia segera sadar, maka
segera mengatur orang-orangnya. Sedang si bocah
yang mendengar ucapan itu masih tidak mengerti,
ia masih tetap tersenyum-senyum ditengah
gelanggang pertempuran. Sung-ceng San totiang segera memberi perintah
kepada dua muridnya: "Leng Bie, kau bersama
suhengmu menyerang bagian bawah pemuda itu."
Setelah memberi pesan kepala muridnya, segera
ia mulai menggerak-gerakkan pedangnya, sedang
muridnya meng-gerak-gerakkan pedang mengincar
bagian bawah perut si pemuda, maka mulailah
kembali satu pertempuran yang dahsyat seru,
diiringi dengan mendesingnya suara-suara biji-biji
tasbeh yang melayang terbang mengurung tubuh si
pemuda. Si pemuda yang mendapat serangan pedang dari
bagian bawah perut tubuhnya, ia berusaha melejit
keatas, baru sampai gerakannya setengah jalan,
diudara menyambar beberapa buah biji tasbih
menyerang tubuhnya. Segera ia memutar tubuh,
terdengar suara gemuruh angin menderu-deru
tubuh si pemuda bergulung-gulung, kini hanya
tampak berkelebatan bayangan belang terkurung
oleh sinar-sinar pedang menyambar-menyambar
diikuti oleh mendesingnya suara biji-biji tasbeh
mengancam jalan darah si pemuda.
72 Bagaimanapun si pemuda belum berpengalaman
tempur, menghadapi hujan serangan sinar kilatan
pedang serta serangan desingan-desingan biji-biji
tasbeh yang menyambar tubuhnya, ia menjadi
repot, dengan masih berputaran diudara, berusaha
keluar dari kurungan serangan pedang dan
serangan biji-biji tasbih itu, tapi usahanya selalu
gagal. Tetap ia tidak bisa keluar dari ancaman
maut. Begitu kepalanya tersambar serangan angin
dingin, ia mengelakkan sambaran angin itu,
memiringkan kepalanya, baru saja kepala itu
digeser miring tiba-tiba satu biji tasbeh sudah
mengenai paha kirinya, dalam keadaan demikian ia
hanya bisa menyelamatkan batok kepalanya dari
samberan angin dingin pedang Sung-ceng San
totiang, tapi bahu kirinya sudah terpapas oleh
pedang itu. Mengucurkan darah merah. Ia jatuh
duduk di tanah. Si pemuda jatuh duduk dengan mengucurkan
darah dari bahu kirinya, matanya jelalatan
memperhatikan darah yang meleleh diatas
tubuhnya, senyum dibibirnya lenyap seketika,
berubah mengerinyit-ngerinyit, menahan sakit dan
marah. Sung-ceng San totiang, Tie-kak hwee-shio
berikut anak-anak muridnya menghentikan serangan, mereka menyaksikan si pemuda jatuh
duduk dengan berlumuran darah.
Sung-ceng San totiang segera berkata: "Tie-kak
hweesio, untuk melampiaskan dendam sakit hati
73 muridku, biar kutabas saja batok kepala bocah
ini." "Hmm," dengus Tie-kak hweeshio, "jangan
terlalu serakah, dendam kematian anak murid
Siauw-lim juga harus dibikin impas. Kau papas
leher bocah itu, berbarengan aku menghujani
batok kepalanya dengan biji-biji tasbeh, kukira
cara ini lebih adil !"
Tie-kak hweeshio dan Sung-ceng San totiang
sepakat mereka mengangguk untuk mengakhiri
riwayat hidup si pemuda. Dengan serentak pedang dan biji-biji tasbeh
menyambar kearah batok kepala si pemuda yang
masih duduk mengucurkan darah, begitu serangan
itu tiba, entah dengan cara bagaimana si pemuda
bergulingan ditanah, serangan kedua senjata
mengenai tempat kosong, terdengar suara mengguruh, debu-debu mengepul diudara.
Menyaksikan dirinya mendapat perlakuan
kejam, mendadak si pemuda memancarkan sinar
mata berkilatan hijau, dadanya bergolak hawa
kemarahan. Ia tidak bisa melampiaskan maksud
kemarahannya. Pedang dan biji-biji tasbeh sudah menyambar
nyambar tubuhnya lagi, dalam keadaan kritis
antara mati dan hidup, tiba si pemuda bersiul
melengking. Suara siulan itu menggetarkan, menggema lama
diangkasa, laksana suara malaikat turun kebumi.
Jantung Sung-ceng San totiang dan Tie-kak
hweeshio tergetar keras. Telinganya dirasakan mau
74 pecah, kepalanya terasa tidak enak, dalam
keadaan perasaan demikian rupa, tahu-tahu dada
Sung-ceng San totiang dirasakan sakit, pedang
terlepas dari tangannya, ia jatuh numprah ditanah.
Tidak terkecuali Tie kak hweeshio begitu
jantungnya tergetar, telinganya dirasakan hampir
pecah seluruh sendi-sendi tulangnya seakan
kehabisan sumsum. Ia jatuh duduk dengan mulut
mengeluarkan kecap asin. Kesepuluh murid-murid Bu-tong dan Siauw-lim,
berpentalan kesana kemari, dua diantaranya
nyeplos masuk kepintu rumah makan dimana Pietet Sin-kay dan Kim-ce Lonnie berada.
Jatuhnya Sung-ceng San totiang dan Tie-kak
Hweeshio serta terpentalnya murid-murid kedua
golongan, terjadi dalam waktu singkat dan
bersamaan, berbarengan dengan terdengarnya
suara siulan yang menggema diangkasa.
Mereka pontang-panting, akibat

Pusaka Pedang Embun Lanjutan Sin Tiauw Thian Lam Karya Sin Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

serangan balasan si pemuda secara mendadak. Kaki tangan
si pemuda digerakkan, memukul, melempar dan
menendang, membanting dengan diiringi suara
siulannya yang menggetarkan kota Siao-shia.
Keadaan kota Siao-shia yang sunyi sepi tiba-tiba
disana sini terdengar suara gedabrukkan tubuhtubuh manusia jatuh terjengkang.
Begitu suara siulan sirap, si pemuda melangkah
kedepan memasuki rumah makan dengan diiringi
oleh si monyet hitamnya. Setelah mana, baru Pie-tet Sin-kay bersama
Kim-cee Lonie segera memberi bantuan P3K pada
75 orang-orang dua partai itu. Yang akhirnya mereka
pada ngeloyor pergi. PlE-TET SIN-KAY dan Kim-cee Lonie sama-sama
mengetahui, kalau padri-padri Bu-tong serta
hweeshio-hweeshio Siauw-lim-pay sudah pada
ngeloyor pergi, merekapun kembali memasuki
ruang rumah makan. Didalam rumah makan itu, si pemuda masih
duduk dikursinya, kedua kakinya diletakkan diatas
meja. Leng-ko masih pingsan terlentang di-lantai.
Meja-meja, kursi-kursi, piring-piring dan mangkok-mangkok berantakan, pontang panting
berceceran ditanah. Pemilik rumah makan melingkar dibawah meja.
Sedang dua orang pelayan rumah makan duduk
numprah bersandar di belakang meja yang
terbalik. Si monyet hitam tidak tampak disana.
Pie-tet Sin-kay duduk dimejanya, sedang Kim-ce
Lonnie berjalan menghampiri si pemuda yang
terluka. Hampir Kim-ce Lonnie menghentikan langkahnya ketika menampak sinar mata si
pemuda berkilatan ganas, wajahnya menunjukkan
kegarangan, menyaksikan kedatangan Kim-ce
Lonnie. Meskipun tampak wajah garang, si pemuda tetap
memancarkan sinar mata berkilatan, tapi ia tetap
76 duduk tenang dikursinya dengan kedua kakinya
masih diletakkan diatas meja.
Si pemuda bisa membedakan, kedua orang
kakek nenek ini tidak turut ambil bagian
mengeroyok dirinya, meskipun hatinya masih
panas, tapi pikirannya sudah bisa bekerja dengan
jernih, dibiarkan Kim-ce Lonnie mendekatinya,
dengan sikap berhati-berhati.
"Bocah!" kata Kim-ce Lonnie dengan suara lemah
lembut. "Bahumu terluka." tangan Kim-ce Lonnie
meraba pundak kiri si pemuda.
Menampak tangan Kim-ce Lonni bergerak kearah
bahu kirinya yang masih terluka, dengan cepat si
pemuda mencengkeram lengan Kim-ce Lonnie.
Kim ce Lonnie cepat menarik kembali gerakan
tangannya, tapi sudah terlambat, ternyata
cengkeraman si pemuda lebih cepat. Lengan Kimce Lonnie tergenggam kuat. Terasa tulang-tulang
seakan-akan hampir remuk.
Dengan mengerahkan tenaga dalamnya kebagian
lengan yang dicengkeram si pemuda, Kim-ce
Lonnie membiarkan lengan itu dicengkeram
demikian rupa, ia tidak melakukan gerakan apaapa.
Pie-tet Sin-kay melihat perobahan demikian, ia
terkejut, bangkit dari duduknya tapi kemudian
duduk kembali dengan tenang mengikuti dan
menyaksikan adegan itu. Berlangsung selama beberapa kali kedipan mata,
si pemuda mengendorkan cengkeramannya, lalu
melepaskan pegangan itu. 77 Tanpa banyak bicara lagi, Kim-ce Lonnie
memasukkan tangannya kedalam saku baju,
mengeluarkan sebotol obat luka, lalu katanya.
"Kau taburi obat luka ini pada bahumu !" sambil
menyerahkan botol itu pada si pemuda.
Mendapat angsuran botol, si pemuda menyambuti dengan perasaan heran, ia bolak balik
botol itu tanpa mengerti, apa maksud pemberian si
nenek ? Kim-ce Lonnie bisa menyaksikan perbuatan si
pemuda yang menjadi bengong tidak keruan,
hatinya turut berteka-teki, begitu juga Pie-tet Sinkay, dari kursinya, ia memandang kelakuan si
bocah dengan sifat tidak mengerti.
Tanpa banyak bicara lagi, Kim-ce Lonnie
menghampiri pundak kiri si pemuda yang
mengucurkan darah, dengan jari-jari tangannya, ia
periksa keadaan luka itu.
Si pemuda menyaksikan perbuatan Kim-ce
Lonnie dengan satu pandangan sinar mata
berkilatan penuh kewaspadaan.
Setelah memeriksa luka si pemuda, Kim-ce
Lonnie berkata: "Untung kau mengenakan pakaian
kulit macan, kalau tidak, pasti bacokan pedang
mengenai tulang." Setelah berkata begitu, ia ambil botol obat yang
dibolak-balik si pemuda, membuka tutupnya.
Api Di Bukit Menoreh 26 Tamu Dari Gurun Pasir To Liong Keng Hong Karya Opa Kisah Para Pendekar Pulau Es 10

Cari Blog Ini