Ceritasilat Novel Online

Sabuk Kencana 2

Sabuk Kencana Ikat Pinggang Kemala Karya Khu Lung Bagian 2


Sementara itu Tong-hong Beng Coe pun telah menyusul datang, apa yang sedang dibicarakan si kakek Huncwee dari gunung Bong-san dengan Hoo Thian Heng bisa ia dengar semua dengan nyata, karena itu habis mendengar perkataan itu dara inipun alihkan sinar matanya mengawasi kedepan.
Namun... seperti halnya si kakek Hun-cwee dari gunung Bong-san iapun tak berhasil menemukan sesuatu apapun kecuali kegelapan yang mencekam seluruh jagad.
Tak kuasa dengan suara lirih Tonghong Beng Coe bertanya kepada si anak muda itu.
"Hoo Siauw-hiap! kenapa aku tidak temukan sesuatu apapun ?"
Dasar watak seorang bocah perempuan, tabiatnya angkuh, sombong dan tinggi hati, ia anggap ilmu silat yang dimilikinya melebihi orang lain dan tak pernah pandang sebelah mata kepada orang lain, namun sejak melihat betapa dahsyatnya tenaga lweekang serta ilmu meringankan tubuh dari Hoo Thian Hong terhadap kesempurnaan ilmu silat anak muda ini, dara tersebut menaruh rasa kagum dan memuji tiada hentinya.
Ditambah lagi Hoo Thian Hong memiliki wajah yang ganteng, gagah dan mempesonakan hati setiap gadis.
Dicari sesungguhnya, ia sudah jatuh cinta terhadap lelaki sombong, lelaki tinggi hati ini.
Hanya yaa, memang dasar watak umum dari setiap gadis, ia memiliki sifat congkak dan suka menjaga gengsi diri sendiri, meski dalam hati amat mencintai lelaki itu, namun ia merasa kurang enak untuk mengutarakan serta memperlihatkan rasa cinta dan sayangnya ...
Perempuan tetap perempuan, memang makhluk paling aneh dikolong langit. Ingin menunjukkan rasa cintanya namun tak berani melakukan, dalam hati sayangnya bukan main namun mulut tetap membungkam, apa sebabnya perempuan bisa begitu? sungguh membuat orang tak paham, mungkin inilah sudah sifat alam setiap gadis? entahlah ...
Demikianlah, ditengah bisik lirih dari Tonghong Beng Coe barusan, bukan saja suaranya lirih, bernadakan manis dan merdu bahkan membawa kemanjaan yang merupakan ciri khas seorang perempuan.
Meskipun begitu, Hoo Thian Heng tidak ambil pusing, si anak muda itu tetap berlagak pilon. Mungkin pemuda ini memang tak tahu akan sifat2 aneh kaum gadis, mungkin juga ia tahu hanya pura2 berlagak tak mengerti.
Sebab pada waktu itu, seluruh perhatiannya sedang dipusatkan kedepan mengawasi gerak-gerik rumah gubuk dihadapannya.
Haruslah diketahui, sepasang Malaikat dari gurun Pasir merupakan salah satu diantara sepuluh manusia sesat yang menggetarkan sungai telaga, bukan saja ilmu silat yang dimiliki sangat lihay tiada tandingannya, bahkan merekapun merupakan gembong2 iblis yang tersohor paling licik, paling kejam diantara sepuluh manusia sesat lainnya.
Pepatah kuno mengatakan, "Naga sakti yang tangguh tak akan melawan ular setempat." Lembah Kan Cie Kok merupakan sarang dari sepasang malaikat, kedua iblis itu menguasai daerah kekuasaannya bagai melihat jari2 tangan sendiri, sedangkan diantara mereka beberapa orang itu baru mula pertama menginjak lembah tersebut, terhadap daerah disekelilingnya tidak begitu menguasai, dalam hal ini Sepasang Malaikat sudah menang posisi lebih dahulu.
Dengan andalkan kepandaian silat serta tenaga murni yang dimiliki, meskipun tidak jeri terhadap segala macam bokongan atau perangkap2 yang sengaja dipasang sepasang Malaikat, namun musuh dalam posisi gelap dan diri sendiri dalam keadaan terang, bagaimanapun juga posisinya kurang menguntungkan.
Bukan begitu saja, keselamatan si Kakek Hun-cwee dari gunung Bong-san bertujuh pun merupakan jaminan serta kewajibannya untuk melindungi, seumpama ia sedikit teledor sehingga salah satu diantara mereka berhasil dilukai sepasang Malaikat, bukankah kejadian ini akan sangat memalukan dirinya?
Musuh tangguh ada didepan mata, mana berani ia cabangkan pikiran dan menjawab pertanyaan nona itu?
Oleh sebab itu, sehabis mendengar pertanyaan tadi si anak muda tersebut tertawa sombong, sahutnya sembarangan:
"Jaraknya amat jauh nona, mana dapat kau lihat tegas?"
Meskipun perkataan ini diutarakan tanpa mengandung maksud apapun, namun jelas siapapun akan merasa dibalik ucapan tadi tersembunyi arti tak pandang sebelah matapun terhadap si nona.
Inilah yang dikatakan pepatah sebagai "Yang berbicara tiada maksud, yang mendengar mendapat arti".
Kontan air muka Tong-hong Beng Coe berubah hebat, sepasang alisnya menjungkat, gengsinya benar2 tersinggung, nona ini merasa terhina dan dipandang enteng oleh pihak lawan.
"Hmmm! kau terlalu sombong dan jumawa," pikirnya didalam hati. "Kalau tidak kuperlihatkan satu dua jurus kepandaian silatku, kecewa aku jadi ahli waris Soat san Sin-nie salah seorang diantara Lima orang manusia aneh dari kolong langit!"
Karena dalam hati berpikir demikian, ia segera mendengus dingin, sang badan berkelebat cepat, dengan ilmu meringankan tubuh "Tui-Hong Hwie-sie" atau Sutera Terbang mengejar Angin, ia berkelebat kearah depan.
Walaupun dara itu menguasai ilmu silat dari dua keluarga, apa yang dikuasai telah mencapai puncak kesempurnaan, namun Hoo Thian Heng pun bukan manusia biasa, ketika merasa dari sisi tubuhnya menyamber lewat desiran tajam ia lantas sadar.
Baru saja Tong-hong Beng coe melejit kedepan, lengan kanan si anak muda itu laksana kilat telah diulur dan menyambar pergelangan nona tersebut.
"Kau ingin mencari mampus ?" hardiknya lirih.
Secara tiba2 pergelangan tangannya dicekal, sebagai makhluk manusia yang memiliki daya refleks tanpa disadari gadis itupun memberikan perlawanan, ilmu Boe-siang Sian-kang ajaran gurunya Soat san Sin-Nie yang telah dipesan wanti2 jangan digunakan bilamana tidak perlu segera disalurkan mengelilingi seluruh badan kemudian meronta keras.
Baru saja jari tangan Hoo Thian Heng menempel diatas pergelangan Tong-hong Beng Coe secara tiba2 ia merasakan dari lengan nona itu memancarkan suatu daya pantul yang kuat membuat seluruh lengannya menjadi kesemutan.
Hoo Thian Hang amat terperanjat, buru2 hawa murni "Kan Goan Ceng Khie Sin Kang"nya disalurkan menembusi lengan kanan kemudian menyebar kelima jari, dengan paksakan diri ia pertahankan cengkeramannya.
Tonghong Beng Coe amat terkesiap, ia sudah menggunakan tenaga murni "Boe Siang Sinkang" untuk coba meronta, nyatanya bukan saja gagal meloloskan diri dari cekalan tangan Hoo Thian Heng, bahkan ia merasa ada segulung tenaga tekanan yang sangat berat menerobos keluar melalui jari2 tangan si anak muda itu.
Sementara ia bersiap menambahi tenaga lwekangnya menjadi dua lipat ganda, mendadak terdengar Hoo Thian Heng menghardik dengan suara lirih namun tajam:
"Simpan kembali tenaga murnimu nona, atau nanti kau tak dapat menahan tenaga Kian Goan Ceng khie Sin-kangku sehingga salah tangan melukai dirimu!"
"Kian Goan Ceng-khie Sin-kang" enam patah kata begitu nyelonong masuk kedalam telinganya, Tong-hong Beng Coe terperanjat buru2 ia menurut dan membuyarkan kembali tenaga Sian-kangnya.
Kiranya gadis itu pernah mendengar suhunya Soat-sin Sin-nie mengungkapkan tentang persoalan itu, ilmu sakti "Boe Siang Sian-kang" merupakan kepandaian istimewa dari kaum pendeta yang tiada tandingan dalam dunia persilatan dewasa ini kecuali semacam ilmu yaitu "Kian Goan Ceng-khie Sin-kang".
Menurut suhunya, ilmu sakti "Kian Goan Ceng khie Sin-kang" memiliki daya pukulan yang lebih besar daripada ilmu sakti "Boe Siang Sian kang" cuma ilmu sakti "Kian Goan Khie sin-kang" ini merupakan ilmu mujijat yang sudah ribuan tahun lamanya lenyap dari permukaan bumi.
Ratusan tahun berselang, dalam dunia persilatan memang pernah dikabarkan ada seorang manusia aneh yang berhasil menguasai ilmu sakti yang telah lenyap ribuan tahun berselang ini, cuma tak seorangpun pernah menjumpai manusia aneh tersebut.
Berpikir sampai disitu, tak kuasa ia lantas berpikir:
"Mungkinkah dia adalah anak murid si manusia aneh dari Bu-lim yang pernah diberitakan pada seratus tahun berselang?"
Oleh sebab itu tidak aneh kalau Tonghong Beng Coe amat terperanjat setelah mendengar disebutkannya ilmu sakti "Kian Goan Ceng Khi Sin-kang" tentu saja tanpa banyak cincong hawa murninya dibuyarkan.
Menanti Tonghong Beng Coe telah menarik kembali seluruh hawa murninya tenaga tekanan yang muncul dari balik jari2 tangan Hoo Thian Heng semakin lemah dan akhirnya lenyap sama sekali.
"Nona! apa hubunganmu dengan Soat san Sin-nie?" tiba2 Hoo Thian Heng bertanya.
Tonghong Beng Coe tertegun, ia lantas tahu tentu Hoo Thian Heng bisa menebak asal-usulnya karena kenal dengan ilnu "Boe Siang kang" tersebut.
Sementara itu si anak muda tadi telah melepaskan cekalan pada pergelangan tangan kanan sang dara.
"Dia adalah guruku," terpaksa nona itu menjawab dengan serius.
Meskipun tanya jawab yang dilakukan kedua orang itu amat lirih, tapi si Kakek Huncwee dari gunung Bong san yang ada beberapa depa disisi mereka dapat menangkap semua pembicaraan itu dengan jelas, segera ia berpikir dalam hatinya:
"Tidak aneh kalau ilmu meringankan tubuh yang dimiliki budak cilik ini amat lihay dan bisa mengimbangi kecepatan kakiku yang sudah kulatih selama puluhan tahun dengan susah payah, kiranya dia adalah ahli waris dari si Niekouw sakti dari Gunung Es."
Mendadak ucapan "Kian Goan Ceng Khie Sinkang" berkelebat kembali didalam benaknya, kontan si orang tua ini terkesiap.
"Aaaah..mungkinkah si anak muda ini adalah anak murid manusia aneh itu ?.. tapi mustahil kalau manusia aneh itu masih hidup dikolong langit," pikirnya kembali.
Sementara si kakek Huncwee dari Gunung Bong san dibuat tercengang, kaget dan ter-heran2 terdengar Hoo Thian Heng telah berkata kembali dengan suara lirih:
"Tabiat sepasang malaikat dari gurun pasir amat licik, buas, keji dan sadis, tak boleh terlalu enteng kita pandang mereka, lagipula musuh ada ditempat gelap sedang kita ada ditempat terang, setiap penjuru sangat tidak menguntungkan posisi kita, aku minta nona jangan bertindak sembrono lagi, agar supaya kita bisa terhindar dari bahaya pembokongan."
Nada ucapan Hoo Thian Heng kali ini walaupun masih bernada berat dan rendah namun tidak lagi dingin serta hambarnya.
Tentu saja hal ini disebabkan si anak muda itu sudah tahu apa hubungan sebenarnya antara Tonghong Beng Coe dengan Soat-san Sin-nie.
Bukan saja tak kedengaran dingin atau hambar, bahkan mengandung maksud memperhatikan keselamatannya.
Tonghong Beng Coe merasa hatinya nyaman, manis dan hangat, segera ia mengangguk tanda mengerti.
Dalam pada itu keempat orang dayang Tonghong Beng Coe-pun secara beruntun telah tiba disana.
Dengan sepasang matanya yang tajam Hoo Thian Heng menyapu sekejap kearah si Kakek Huncwee dari gunung Bong-san, lalu ujarnya kembali:
"Yu thay-hiap, kalian beberapa orang bersembunyi saja disekitar pepohonan yang lebat ini, aku serta nona Tonghong akan berangkat kesana untuk me-lihat2."
Habis berkata tanpa menanti jawaban dari si kakek dari gunung Bong san lagi ia segera menarik ujung baju sang dara sambil berseru:
"Ayoh berangkat!"
Bersamaan dengan itu, badannya mencelat sejauh tujuh delapan tombak, jaraknya dengan gubuk tinggal sepuluh tombak.
Buru2 Tonghong Beng Coe menggerakkan badannya menyusul dari belakang, selama ini gadis tersebut bungkam terus dalam seribu bahasa.
Hoo Thian Heng benar2 bernyali besar, badannya bergerak terus untuk kemudian berhenti kurang lebih dua tombak di depan gubuk tersebut.
Dipandang sepintas lalu wajahnya kelihatan tenang sedikitpun tak ada perubahan namun kenyataan ia merasa sangat tegang, seluruh perhatiannya dipusatkan jadi satu, sikapnya tenang dan hawa murni disiap siagakan, asal dari balik gubuk itu menunjukkan tanda2 mencurigakan, ia akan segera melancarkan serangan.
Lama sekali Hoo Thian Heng serta Tonghong Beng Coe menanti diluar gubuk, menjumpai disekitar sana tidak menunjukkan gerak-gerik atau pertanda apapun, timbul rasa curiga dalam hati mereka berdua, pikirnya:
"Sepasang malaikat dari Gurun Pasir bukan sembarangan, tenaga lwekang yang mereka miliki sangat lihay, mustahil dengan kedatangan nona Tonghong sampai jarak dua tombak dari gubuk mereka masih belum diketahui, apalagi kamipun tidak menyembunyikan jejak, tidak mungkin sepasang malaikat itu tak tahu. Mungkinkah kedua orang gembong iblis ini sudah kena dicelakai orang? mengapa tidak kujajal keadaan yang sebenarnya?"
Karena punya pikiran yang demikian, ia lantas membungkuk dan memungut dua biji batu sebesar telur kemudian dianggap sebagai senjata rahasia segera ditimpuk kearah gubuk.
"Plaaak! Plaaaaak!" dua kali bentrokan keras bergema memecahkan kesunyian yang mencekam malam gulita itu.
Namun setelah dua suara itu tadi lewat, bukan saja suasana disekeliling tempat itu pulih kembali dalam keheningan, bahkan dari dalam gubuk itupun tidak menunjukkan adanya suatu pertanda ataupun gerak gerik.
"Sungguh aneh, mengherankan," pikir si anak muda itu setelah melihat percobaannya tidak menimbulkan reaksi.
"Tidak selayaknya sepasang malaikat itu membiarkan orang asing mengganggu ketenteraman sarangnya, atau mungkin mereka tak ada dirumah dan kebetulan sedang pergi meninggalkan sarangnya ...?"
Berpikir sampai disitu, Hoo Thian Heng segera berpaling dan pesannya kepada Tonghong Beng Coe yang ada disisinya.
"Nona! coba kau tunggu sebentar disini, aku hendak maju kedepan untuk melakukan pemeriksaan lebih teliti!"
Habis bicara, tanpa menanti jawaban dari gadis itu lagi, badannya segera berkelebat kedepan, kipasnya disentak terbuka kemudian dari tangan kanan dipindahkan ketangan kiri sementara hawa murninya disalurkan ketangan kanan siap menghadapi segala kemungkinan.
Setibanya didepan gubuk, si anak muda itu merandek sejenak, setelah ragu2 sesaat akhirnya ia melangkah masuk kedalam.
Melihat pemuda itu melangkah masuk kedalam gubuk, Tonghong Beng Coe sangat kuatir, ia merasa perbuatan Hoo Thian Heng sama artinya menempuh mara bahaya.
Tanpa menghiraukan pesan pemuda itu lagi, ia segera menghunus pedangnya kemudian meloncat kedepan pintu gubuk dan langsung menerjang kedalam.
Namun.. ketika ia tiba dalam gubuk itu, seketika Tong-hong Beng Coe berdiri terpaku.
Suasana dalam ruangan itu sunyi senyap tak terdengaran sedikit suarapun, bahkan saking heningnya mendatangkan suasana seram, ngeri dan menakutkan.
Diatas lantai rebah terlentang dua sosok tubuh yang kurus kering, kedua orang itu adalah kakek tua yang sudah berusia enam puluh tahunan, mulut mereka penuh berlepotan darah.
Salah satu diantara kedua kakek itu sudah putus nyawa, sedang yang lainnya masih hidup meskipun napasnya sudah amat lemah dan tinggal satu2nya, sementara Hoo Thian Heng berdiri disisi mayat dengan wajah tercengang bahkan kelihatan begitu tertegun sampai tak kedengaran sedikit suarapun.
Tong-hong Beng Coe tak dapat menahan diri sehabis melihat peristiwa itu, ia maju menghampiri si anak muda itu dan berseru:
"Hoo Siauw hiap, apa artinya semua ini ? bukankah mereka adalah sepasang malaikat dari gurun pasir ?"
Hoo Thian Heng mengangguk.
"Dipandang dari dandanannya tak bakal salah lagi mereka adalah sepasang malaikat dari Gurun Pasir," Ia menjawab.
"Agaknya kedatangan kita orang sudah terlambat satu langkah, entah mereka telah roboh ditangan siapa..."
Dugaan pemuda itu sedikitpun tidak salah, kedua orang kakek tua yang roboh menggeletak di atas lantai adalah Sepasang Malaikat dari Gurun Pasir, yang sudah mati adalah Toa sat atau si kakak dan yang masih kempas kempis menanti ajalnya adalah Jie-sat atau sang adik.
Hoo Thian Heng segera menghampiri si kakek atau Jie sat yang belum mati itu, kepadanya segera ia menegur.
"Eeeeiii... Setan tua, siapa yang mencelakai dirimu ?"
Mendengar ada suara teguran, kakek tua itu lambat2 membuka matanya, setelah memandang wajah pemuda itu sejenak lalu sahutnya.
"Peng Pok Sin Mo ...!"
Meski telah menjawab, suaranya lirih dan lemah sekali.
"Apa? Peng Pok Sin Mo?" seru Hoo Thian Heng tercengang se-akan2 berita tersebut tak masuk dalam akalnya.
Peng Pok Sin Mo atau si Iblis Sakti Bayangan Es adalah pemimpin dari Boe lim Sip Shia atau Sepuluh manusia sesat dari rimba persilatan, kepandaian silatnya lihay dan merupakan manusia paling ditakuti di kolong langit dewasa itu.
Kini dikabarkan ia telah membinasakan Sepasang malaikat dari Gurun Pasir, dua anggota di antara sepuluh manusia sesat dari dunia persilatan, suatu keanehan yang tak mungkin terjadi. Apa sebabnya gembong iblis itu membunuh anggotanya sendiri? suatu kejanggalan yang tak masuk diakal.
Tong-hong Beng Coe yang selama ini membungkam disamping gelanggang, saat ini tak dapat menahan sabar lagi, ia bermaksud cepat2 balaskan sakit hati mendiang ayahnya.
Karena tidak ingin me-nyia2kan waktu sehingga keburu Malaikat kedua inipun menemui ajalnya, sang badan segera maju kedepan sembari membentak.
"Setan tua, sebenarnya apa kesalahan yang telah dilakukan ayahku sehingga kalian berdua memusuhi ayahku? mengapa kalian membokong ayahku sampai menemui ajalnya? bangsat!!! ayoh cepat jawab!"
Dari bentakan ini, Jie-sat segera mendapat tahu sepasang muda mudi yang didepannya saat ini tentu musuh2nya ia tidak takut, sebab kakek iblis ini sadar jiwanya sebentar lagi bakal habis.
Karena itu kena dibentak, bukannya terjelos, malahan ia balas mengawasi gadis itu tajam2.
"Nona! siapa sih ayahmu itu?" ia bertanya.
"Tonghong Koen!"
Tiba2 dari kelopak mata Jie sat yang sudah keriput mengembang air mata, sementara wajahnya berobah hebat dan kelihatan semakin bengis.
"Oooou.. jadi Nona adalah keturunan dari Tonghong Koen?" Serunya lirih, suaranya makin lemah "Aaaai..! nona, memang kuakui terus terang, ayahmu mendiang telah menemui ajalnya di tangan kami dua bersaudara, kemudian mustika yang ia simpanpun berhasil kami rampas ..... tapi.. tapi..justru karena perbuatan kami itulah sekarang kami dua bersaudara harus menemui ajalnya pula ditangan Peng Pok Sin-mo, inilah kesalahan yang kami perbuat dan harus kami tanggung jawab sendiri resikonya, karena tamak dan ada niat jahat untuk mengincar barang milik orang lain, akhirnya kamipun harus menerima nasib seperti ini..."
Memang sudah jamak, di-saat2 menjelang kematiannya, barang siapapun perduli dia manusia yang paling jahat, paling kejipun tentu akan menunjukkan penyesalannya.
Tidak luput hal inipun menimpa diri Jie-sat meskipun semasa hidupnya banyak perbuatan keji yang telah dilakukan, namun setelah malaikat elmaut akan mencabut jiwanya, iapun memperlihatkan rasa sesal yang amat mendalam.
"Apa kau bilang ?" Seru Tong-hong Beng Coe dengan nada tercengang, "Mustika apa yang berhasil kalian rampas dari tangan ayahku ?"
"Bukankah... bukankah nona tahu akan pedang panjang milik mendiang ayahmu... ?" Seru Jie-sat. "Bukankah diujung gagang pedang itu terdapat ronce atau pita panjang yang ditaburi dengan kumala Hoeit Tjoe ?"
"Ehmmm ! benar ...." Tong-hong Beng Coe segera mengangguk membenarkan perkataan itu. "Memang benar diujung gagang pedang ayahku terdapat kumala seperti itu...."
"Nah, itulah dia, bencana tersebut datangnya dari pita bertaburkan kumala tersebut... katanya ... katanya didalam Giok Pei atau kumala itu tersimpan sebuah peta lukisan yang ada hubungan ....ada hubungan dengan kitab ilmu silat maha sakti yang terpendam disuatu tempat ...."
"Aaaaah .. !" tak tahan Tong-hong Beng Coe berseru tertahan, sambil menatap Malaikat kedua ini tajam2, serunya:
"Dimana kumala giok-pei itu ? sekarang benda itu ada dimana ?"
Jie-sat menyeringai seram:
"Telah dirampas Peng Pok Sin-mo!" sahutnya.
Dari dalam sakunya tiba2 Tonghong Beng Coe mengeluarkan pisau belati milik si kakek Hun-cwee dari gunung Bong-san, kemudian tanyanya lagi:
"Bagaimana dengan pisau belati ini ? sebenarnya apa yang telah terjadi ?"
Sementara Jie-sat siap menjawab, tiba2 seluruh badannya berkelejet keras, ia tahu saat kematiannya telah tiba, namun kakek tua itu coba mempertahankan diri, sambil mengempos tenaga terakhirnya ia hendak menjelaskan duduknya perkara namun sayang seribu kali sayang, walaupun ia ada maksud takdir tidak mengijinkan ia berbuat demikian.
"Nona.. nona ...loolap...suuu....sudah tak tak bertenaga untuk me... menerangkan duduknya per... perkara, kaaa.. kalau ingin taaa ....tahu yang le ..lebih jelas,. per-pergi dan cari.lah.. Peng ,... Peng Pok-..."
Belum sempat ia menyelesaikan kata2nya, takdir telah menentukan sukmanya terus berangkat sepasang kaki menjejak kejang, dan nyawa pun melayang keluar dari raganya untuk kemudian menghadap Raja Akherat.
ooodw0kzooo Bab 4 HOO THIAN HENG merasa pasti, setelah Peng Pok Sin-mo berhasil membinasakan sepasang malaikat dan merampas peta petunjuk dimana terpendam kitab mustika "Yoe Leng Pit Kip", tak mungkin ia kembali ke pulau Thian Bun To dimana ia menjadi To cu pemilik pulau tersebut.
Pastilah iblis sakti Bayangan Es atau Peng Pok Sin-mo ini langsung mengikuti petunjuk tersebut berangkat ke tempat yang dimaksudkan sebagai tempat terpendamnya kitab mustika kemudian menggali, menemukan dan bersembunyi disebuah hutan yang jauh terpencil untuk mempelajari isinya.
Sepasang Malaikat dari Gurun pasir telah mati, kemana Peng Pok Sin Mo pergi? tak seorangpun yang tahu, mungkin untuk mencari jejaknya saja harus membuang banyak waktu dan tenaga.
Kepandaian silat yang dimiliki Iblis bayangan es ini bukan main dahsyatnya, terutama sekali ilmu Peng Pok Mo-kang nya amat lihay, dahsyat dan menyeramkan, karena keunggulan inilah ia berhasil merampas kedudukan sebagai pemimpin sepuluh manusia sesat dari dunia persilatan dan angkat diri sebagai gembong iblis paling lihay dalam dunia persilatan dewasa ini.
Seumpama kitab mustika "Yoe Leng Pit Kip" kena ditemukan oleh gembong iblis ini, kemudian menyembunyikan diri dipegunungan terpencil dan mempelajarinya, lama kelamaan kepandaian silat yang sudah lihay akan jauh lebih dahsyat, sampai terjadi keadaan seperti itu tokoh Bulim manakah yang bisa mengalahkan dan menaklukkan dirinya?
Kalau gembong Iblis itu tidak cepat2 dicari dan peta mustika itu buru2 dirampas, mungkin akibat yang bakal terjadi sukar dibayangkan mulai sekarang.
Dalam hati si anak muda itu segera berpikir:
"Giok-pei kumala tersebut berhasil dirampas Sepasang Malaikat dari gurun pasir dari tangan Tonghong Koen dus berarti peta mustika itu pernah mereka lihat. Kemungkinan juga mereka pun tahu dimana letak disimpannya kitab mustika tersebut. Mengapa tidak kutanyakan saja di mana kitab pusaka tersebut terpendam? bukankah dengan begitu lebih gampang buat kami untuk mengejar dan merampas kembali mustika itu!"
Ingatan ini laksana kilat berkelebat dalam benak Hoo Thian Heng.
Pada saat ingatan tadi berkelebat lewat, pada saat itulah Jie sat lagi pejamkan matanya sambil berkelejat, segumpal hawa akhirnya belum sempat tersebar buyar.
Laksana kilat si anak muda itu mengulur sepasang tangannya dan menempelkan diatas tubuh Jie-sat, sebelah tangan ditempelkan pada Jin-tiong Jie-sat sementara tangan yang lain ditempelkan keatas dadanya, hawa murni segera disalurkan melalui telapak tangan menembusi ulu hati Jiesat dan lambat2 meluncur kedalam tubuh melindungi hawa akhir dari Jie-sat agar jangan keburu buyar.
Dengan tindakan ini, Hoo Thian Heng berhasil memaksa sukma Jie-sat tertahan untuk sementara waktu dalam rongga badan kasarnya.
"Hey apakah kau pernah melihat sendiri peta mustika itu?" dengan sepasang mata berkilat dan menatap Jie sat tajam2, teriaknya lantang.
"Tahukah kau dimana kitab pusaka itu terpendam ?"
Sebenarnya hawa akhir dalam tubuh Jie sat sudah hampir buyar, secara tiba2 menyusup datang segulung aliran panas dari telapak si anak muda menembusi ulu hatinya, hawa akhir segera terlindung dan mengumpul kembali, semangatnya kembali berbangkit dan sekilas rasa kejut melintas diatas wajahnya.
Namun dalam keadaan seperti ini, tiada kesempatan baginya untuk berpikir banyak, ia tak sempat untuk berpikir siapakah si anak muda yang berada dihadapannya, iapun tak dapat membatin secara bagaimana seorang anak muda bisa memiliki tenaga lwekang demikian dahsyat ....
Mendengar pertanyaan itu, si malaikat kedua segera berpaling kearah Hoo Thian Heng, tersenyum dan mengangguk.
"Menurut catatan diatas peta petunjuk tersebut, kitab pusaka itu terpendam dilembah Pek Yan Gay gunung In Boe san yang termasuk di Propinsi In lam, kemungkinan besar pada saat ini Peng Pok Sin-Moo telah berangkat menuju kesana jikalau siauwhiap ada maksud mengejar iblis tua itu, berangkatlah sekarang juga, seumpama kata si iblis tua itu yang berhasil dapat menemukan kitab pusaka itu, ia pasti jauh menyingkirkan dari suatu tempat yang terpencil, dimana ia akan berlatih rajin, kalau sampai terjadi begitu sulitlah buat kalian untuk menemukan jejaknya kembali."
Setelah peroleh keterangan yang dibutuhkan, Hoo Thian Heng pun menarik kembali sepasang telapaknya.
Seketika itu juga malaikat kedua muntah darah segar, badannya berkelejit, sepasang mata melotot dan putus nyawa, kali ini sukmanya benar2 meninggalkan raganya untuk melaporkan diri pada raja Akhirat.
Dalam pada itu si kakek Huncwee dari Gunung Bong san, murid kesayangannya Gong Yu, beserta keempat dayangnya Tonghong Beng Coe secara beruntun telah menyusul ke dalam gubuk.
"Kini, urusan sudah tertera amat jelas, bagaimana menurut pendapat kalian berdua ?" Tanya Hoo Thian Heng sambil menatap wajah si kakek Huncwee dari Gunung Bong-san serta Tonghong Beng Coe dua orang.
"Meskipun ayahku bukan mati ditangan Peng Pok Sin-mo," jawab Tonghong Beng Coe tanpa berpikir panjang lagi. "Namun kalau bukan dia yang menganjurkan sepasang malaikat dari gurun pasir untuk merampas mustika milik ayahku, tidak nanti ayahku bisa dibunuh oleh sepasang malaikat itu, mengingat pula diantara ayahku dengan Sepasang Malaikat dari Gurun Pasir tidak terikat dendam ataupun sakit hati. Maka dari itu bicara pulang pergi iblis tua itulah penyebab kematian ayahku, walaupun bukan ia yang turun tangan namun sama saja ayahku terbunuh ditangannya!"
Bicara sampai disitu, sepasang matanya mendadak memancarkan cahaya tajam, sambil gertak gigi terusnya sengit:
(OodwoO) Jilid : 03 "WALAUPUN ilmu iblis Pek Mo-kang yang telah dimiliki iblis tua itu menjagoi seluruh kolong langit, nama besarnya terderet sebagai pemimpin Sepuluh Manusia Sesat dan kepandaian silatnya sukar dilukiskan dengan kata2, meskipun ilmu silat aku Tonghong Beng Coe cetek, tak becus dan bukan tandingan iblis tua itu, namun dendam berdarah atas kematian ayahku lebih dalam dari samudra, aku bersumpah akan menuntut balas meski badan harus hancur lebur, dengan andalkan kepandaian yang kumiliki, aku hendak adu jiwa dengan iblis tua itu."
Tidak malu gadis ini menyebut dirinya sebagai akhli waris tokoh kenamaan, walaupun cuma seorang gadis namun keberanian, kebaktian, kegagahannya serta kekerasan hatinya tidak kalah dibandingkan dengan kaum pria.
Si kakek Huncwee dari gunung Bong san yang mendengar ucapan itu, hatinya betul2 terharu. Diam2 ia ambil keputusan untuk membantu usaha nona itu dalam membalaskan dendam kematian ayahnya.
Haruslah diketahui, walaupun ilmu silat yang dimiliki si kakek Huncwee dari gunung Bong san amat lihay, dan ia termasuk tokoh nomor wahid dalam dunia persilatan dewasa ini, namun kalau dibandingkan dengan Peng Pok Sin mo pemimpin sepuluh manusia sesat, ia masih ketinggalan jauh, si orang tua itu sadar bahwa dia masih bukan tandingannya.
Tetapi keadaan pada saat ini jauh berbeda. Tonghong Beng Coe hanya seorang nona yang masih muda, meskipun tahu bahwa kepandaiannya bukan tandingan lawan, namun ia memiliki keberanian untuk adu jiwa dengan iblis tua itu. Apalagi dia adalah seorang tokoh silat yang sudah tersohor puluhan tahun lamanya, masa ia harus kalah dengan seorang nona?
Oleh sebab itulah ditengah kobaran semangat Tonghong Beng Coe muncul juga semangat jantan dalam benak si kakek Huncwee dari gunung Bong san, ia bulatkan tekad untuk membantu sang dara itu dan memusuhi Peng Pok sin mo yang tersohor.
Tentu saja, dibalik persoalan ini masih tersembunyi alasan lain, yaitu menyangkut golok emas sisik ikannya, ia berniat mencari Peng Pok sin-mo untuk menanyai persoalan ini sampai jelas dan menuntut keadilan darinya.
Baru saja Tonghong Beng Coe menyelesaikan kata2nya, dari sepasang mata si kakek Huncwee dari gunung Bong-san memancarkan cahaya tajam, sambil menatap gadis itu ia tertawa ter-bahak2.
"Haa ... haa ... haa ... tidak malu nona menyebut dirinya sebagai ahli waris perguruan kenamaan, cukup andalkan keberanian serta kebaktianmu ini sudah cukup membuat orang merasa amat kagum," Ia merandek sejenak, lalu terusnya:
"Sepanjang hidup ayahmu gagah dan mulia hatinya, meskipun loohu belum pernah saling jumpa dan saling berkenalan, namun sudah lama aku mengaguminya, kini ayahmu mati dalam keadaan kecewa, berdiri diatas keadilan yang ditegakkan dalam Bu-lim, tidak pantas kalau loohu berpeluk tangan belaka, disamping itu untuk mencari jelas duduknya perkara akan golok emas sisik ikan yang digunakan mereka kejahatan tersebut, loohu pun tak boleh bungkam diri. Seandainya nona tidak merasa keberatan bagaimana kalau sekarang juga kita berangkat ke gunung Im Boe san untuk mengejar iblis tua itu dan menjajal kehebatan ilmu iblis Peng Pok Mo kang dari setan tua itu ?"
"Nona Tong-hong," Hoo Thian Heng yang ada disamping mendadak menimbrung dengan nada dingin.
"Dendam sakit hati ayahmu memang termasuk persoalan penting, namun masih ada satu masalah yang jauh lebih penting daripada urusan membalas dendam."
Tong-hong Beng Coe maupun si kakek Huncwee dari gunung Bong-san terperanjat, sambil menatap wajah si anak muda itu tanyanya hampir berbareng: "Persoalan apakah itu siauwhiap?"
Hoo Thian Heng tertawa angkuh.
"Tahukah kalian berdua apa sebabnya Tong-hong Thayhiap dibunuh ?" ia bertanya.
"Sebab dalam Giokpei kumala yang tergantung digagang pedang ayahku tersimpan peta mustika yang menyangkut kitab pusaka yoe Lan pit Kip," jawab sang nona.
"Nah, itulah dia," seru Hoo Thian Heng sambil mengangguk.
"Kitab pusaka yoe Leng pit Kip adalah kitab kuno yang sakti, dalam kitab tersebut tercatat ilmu silat serta sinkang maha sakti yang tiada tandingan dikolong langit dewasa ini, asalkan seseorang berhasil mempelajari salah satu saja diantara ilmu sakti yang tercantum dalam kitab itu, sudah cukup bagi orang itu untuk malang melintang dalam dunia persilatan dan sulit menemukan tandingan. Jikalau kita biarkan kitab tadi diperoleh Peng Pek Sin-mo untuk kemudian berhasil ia latih salah satu diantara ilmu sakti itu, bukan saja sakit hati nona Tonghong tak bisa terbalas, bahkan badai yang maha dahsyatpun segera akan melanda seluruh kolong langit."
Berbicara sampai kesitu mendadak air muka Hoo Thian Heng berubah, agaknya ia sangat memperhatikan perubahan wajah kedua orang itu, terdengar ia meneruskan:
"Oleh sebab itu, peta petunjuk yang amat berharga ini harus cepat2 kita rebut kembali dari tangannya."
Selesai mendengar ucapan itu, dalam hati kakek Huncwee dari gunung Bongsan serta Tonghong Beng Coe berpikir.
"Sungguh kecewa kenapa tak terpikir olehku sampai kesoal itu ?"
Padahal bukannya kedua orang itu tak pernah berpikir sampai kesitu, berhubung Tong-hong Beng Coe sedang bersedih hati mengingat kematian ayahnya, apa yang berkecamuk dan memenuhi benaknya hanyalah bagaimana cara membalas dendam, sama sekali tak berpikiran olehnya sampai kesoal itu.
Sedangkan si kakek Huncwee dari gunung Bong san, ia terpengaruh oleh sikap gagah, bersemangat dari Tong-hong Beng Coe tanpa sadar semangat jantannya ikut berkobar dan sedikit teledor.
Namun kini, setelah disadarkan oleh Hoo Thian Heng, baik Tonghong Beng Coe maupun si kakek Hun-cwee dari gunung Bong-san merasa masalah ini jauh lebih penting dan serius.
Dihati kecilnya kedua orang itu sama-sama punya perhitungan, mereka tahu dengan andalkan ilmu silat yang mereka miliki tak mungkin bisa menandingi Peng Pok sin-Mo.
Pembalasan dendam inipun dilakukan dengan andalkan semangat jantan belaka berhasil atau tidak boleh dikata tiada pegangan yang meyakinkan, apalagi merampas mustika itu?
Mendadak dari sepasang mata Hoo Thian Heng memancarkan cahaya tajam, sambil menatap kedua orang itu ujarnya.
"Walaupun belum lama cayhe terjunkan diri kedalam dunia persilatan, dan selama ini memegang semboyan, siapa tidak melanggar aku, akupun tidak melanggar dia, namun berhubung keadaan ini hari jauh berbeda, meskipun Peng Pok sin-mo tidak mengganggu diriku, namun kitab ilmu silat yang maha sakti seperti itu tak boleh sekali terjatuh ketangan iblis tua itu kalau tidak keadaannya bagaikan harimau tumbuh sayap, demi ketenteraman serta keamanan seluruh umat Bu-lim, terpaksa cayhe akan melanggar kebiasaan dan mengikuti kalian berdua berangkat kegunung Im Boe-san."
Pada dasarnya sejak semula si kakek Hun-cwee dari gunung Bong san memang ada maksud hendak mengundang Hoo Thian Heng berangkat ber-sama2, namun berhubung wataknya yang kukoay dan sebentar panas sebentar dingin, sukar ditentukan untuk beberapa waktu, ia rada ragu2 untuk buka suara.
Kini mendengar si anak muda itu menawarkan diri ia jadi kegirangan setengah mati, seraya menjura serunya:
"Seandainya siauwhiap suka berangkat ber-sama2 kami, inilah keberuntungan buat umat Bulim."
Hoo Thian Heng berpaling menatap si orang tua itu dan tertawa angkuh.
"Yu Thayhiap, harap kau jangan memandang masalah ini terlalu enteng. Haruslah kau ketahui Peng Pok sin mo adalah pemimpin sepuluh manusia sesat dari dunia persilatan dewasa ini, terutama sekali ilmu sakti Peng Pok Mo kang nya sudah menjagoi kolong langit, bukan saja amat beracun dan ganas bahkan lihaynya luar biasa, meskipun ilmu Hian bun Kian Goan ceng Khie yang cayhe latih masih bisa digunakan untuk mempertahankan diri, namun.... kalau sampai terjadi suatu kekerasan, siapa menang siapa kalah sukar diramalkan mulai saat ini."
Si kakek Huncwee dari gunung Bong san percaya si anak muda itu tidak mendustai dan apa yang dikatakan merupakan kenyataan, ia lantas mengangguk.
"Apa yang siauwhiap ucapkan sedikitpun tidak salah," sahutnya membenarkan.
"Kepandaian silat yang dimiliki Peng Pok sin mo serta ilmu iblis Peng Pok Mo kang nya memang tak boleh dipandang enteng namun kau harus ingat sejak jaman dahulu kala kaum sesat tak bisa menangkan kaum lurus, dengan ilmu sakti yang dimiliki siauw-hiap saat ini, jikalau terjadi pertarungan melawan iblis tua itu, menurut pendapat loohu meskipun belum tentu menang asalkan kau suka berlaku hati2, belum tentu siauw hiap menderita kalah."
"Ucapan Yu Loocianpwee sangat tepat sekali," tiba2 Tonghong Beng Coe menimbrung dengan nada manja.
"Walaupun tenaga lweekang iblis tua itu amat sempurna, ilmu iblis Peng Pok Mo-kang nya keji dan sangat beracun, asalkan kita ber-hati2, belum tentu bisa menderita kalah."
Mendengar perkataan itu Hoo Thian Heng menatap wajah Tong-hong Beng Coe dan tersenyum.
"Berhubung masalah ini menyangkut masa depan seluruh umat Bulim, mau tak mau cayhe terpaksa mengerahkan segenap tenaga yang kumiliki dan berusaha menurut takdir," sahutnya.
Bicara sampai disitu, ia merandek dan menatap sekejap kearah si kakek Hun-cwee dari gunung Bong-san, kemudian tambahnya.
"Persoalan tak boleh diundur lagi, aku takut kalau diundur lebih lama bakal terjadi diluar dugaan, sekarang cayhe akan berangkat selangkah duluan, harap kalian berdua segera menyusul datang sampai jumpa lagi dikaki gunung In Boe-san lembah Pek yan Cay."
Selesai bicara badannya melejit dan diiringi dengan angin tajam ia melayang keluar dari dalam gubuk.
Tampak tubuhnya mendadak menyusut kemudian melejit ditengah udara setinggi puluhan tombak, setelah itu bagaikan sambaran kilat melesat ke mulut lembah.
Buru2 Tong-hong Beng Coe serta si kakek Hun-cwe dari gunung Bong-san menyusul keluar dari dalam gubuk, menanti sinar mata mereka dialihkan kearah mulut lembah, bayangan Hoo Thian Heng sudah lenyap tak berbekas.
Dari tempat kejauhan terdengar suara derap kaki kuda bergema memecahkan kesunyian yang mencekam malam hari itu, mengikuti hembusan angin sepoi berkumandang datang suara senandung yang nyaring dan lantang: "selapis gunung, dua lapis bukit. Kali ini kalau maksud tercapai. Menyapu iblis, mengusir siluman, dengan bangga menguasai hutan dan bukit. Dunia persilatan jadi milikku pribadi...."
Suaranya keras, lantang, kuat dan penuh bersemangat, seluruh lembah penuh dengan suara pantulan yang bergema memekikkan telinga.
Si kakek Huncwee dari gunung Bong San yang dapat memahami arti dari senandung itu, hatinya kontan terjelos, pikirnya:
"Sungguh besar ambisi orang ini, bukan saja dia merupakan Malaikat elmaut bagi kawanan iblis, dikemudian hari besar kesempatannya untuk menjagoi seluruh kolong langit, bilamana sampai terjadi begini, aai...entah kebahagiaan atau bencana yang menimpa seluruh umat Bu-lim."
Sementara si kakek Huncwee dari gunung Bong san sedang melamun, mendadak Tong-hong Beng Coe yang berdiri disisinya telah buka suara dan bertanya dengan nada manja:
"Yu Loo cianpwee, menurut pendapatmu kepandaian silat yang dimiliki Hoo siauw-hiap mungkinkah bisa mengungguli Peng Pok sin-mo ?"
Si kakek Huncwee dari gunung Bong san berpaling dan memandang sekejap wajah dara itu, kemudian jawabnya:
"Ilmu silat yang dimiliki orang ini tinggi dan lihay sukar diukur, terutama sekali tenaga sakti Hian-bun-Kian-goan-Ceng-kienya, bukan saja merupakan ilmu sakti tingkat teratas dari kaum pendeta bahkan termasuk ilmu sakti yang sudah lenyap dari muka bumi hampir mendekati seratus tahun lamanya, dia memang termasuk salah seorang jagoan aneh yang sukar dijumpai dalam dunia persilatan seratus tahun mendatang."
Berbicara sesungguhnya, walaupun si kakek Huncwee dari gunung Bong-san merasa ilmu silat yang dimiliki Hoo Thian Heng amat luar biasa sukar diukur, namun sanggupkah si anak muda itu menandingi kepandaian silat dari Peng Pok sin-mo pemimpin dari sepuluh manusia sesat, baginya masih sulit untuk ditentukan, siapa menang siapa kalah masih merupakan teka-teki.
Oleh karena itu mendapat pertanyaan dari Tong-hong Beng coe ia tidak memberikan jawaban siapa yang lebih unggul diantara mereka berdua, sebaliknya hanya memuji kehebatan ilmu silat dari Hoo Thian Heng yang sukar dilukiskan dengan kata2 dan merupakan seorang jago yang sulit ditemukan keduanya dalam seratus tahun ini.
Sebelum ia mendapat keyakinan siapa lebih unggul diantara mereka berdua, orang tua ini tidak mau menebak secara sembarangan, sebab ia tahu sedikit saja ia salah berkata bisa mempengaruhi nama baik serta kedudukannya dalam dunia persilatan.
Karena itulah, terhadap pertanyaan yang diajukan Tong-hong Beng coe ia tidak berani menjawab secara langsung dan terang2an.
Agaknya Tonghong Beng coe merasa sangat tidak puas dengan jawaban tersebut, sepasang alisnya seketika melentik.
"Yu Loocianpwee," serunya.
"Yang kutanyakan apakah ia bisa menangkan Peng Pok sin mo mengapa kau orang tua mengelindur sampai sejauh itu?"
"Ooouw !" Sengaja si kakek hun-cwee dari gunung Bong san memperdengarkan seruan tertahan se-akan2 ia baru sadar apa yang dijawab tidak tepat, sementara otaknya berputar kencang untuk mencari jawaban yang lebih tepat.
Mendadak satu ingatan cerdik berkelebat lewat ia segera menatap wajah gadis itu dan menyahut:
"Nona kepandaian silat yang dimiliki kedua orang sama2 lihay dan boleh terhitung tokoh kelas wahid dewasa ini, sebelum mereka bergebrak memang sulit untuk menduga siapakah lebih unggul diantara kedua orang itu, lohu tak berani menebak secara sembarangan."
Tonghong Beng Coe segera menyadari apabila si kakek Huncwee dari gunung Bong san menjumpai kesulitan dalam memberikan jawabannya justru karena soal ini, ia jadi memikirkan keselamatan si anak muda itu. Tidakkah mungkin Hoo Thian Heng bakal menjumpai mara bahaya?
Tiba2 terdengar si kakek Huncwee dari gunung Bong san berkata kembali.
"Nona, keledai dari Hoo siauwhiap bisa lari sangat cepat, waktupun sekarang sudah tidak pagi lagi, mari lebih baik kita segera menyusul dirinya, dari pada nanti ia menjumpai mara bahaya seorang diri."
Begitu ucapan si kakek huncwee dari gunung Bong san diutarakan, hati kecil Tonghong Beng Coe bagaikan menjumpai sampan kecil ditengah samudra luas, segera ia mengangguk.
"Benar, kalau begitu mari kita segera menyusul Hoo siauw hiap."
Habis bicara, sepasang pundaknya bergerak cepat bagaikan seekor burung walet yang melesat ditengah udara, ujung gaun berkibar tertiup angin laksana sambaran kilat ia meluncur kearah mulut lembah.
Jelas nona ini telah mengeluarkan ilmu meringankan tubuh perguruannya Tui Hong Hwie sie atau sutera terbang Mengejar angin hingga mencapai pada puncaknya.
Cukup ditinjau dari hal ini bisa ditarik kesimpulan betapa risau dan cemasnya hati nona ini.
Sudah lama si kakek Huncwee dari gunung Bong san mendengar akan kehebatan ilmu meringankan tubuh Tui hong Hwie sie dari soat-san sin-nie, setelah ini hari melihat dengan mata kepala sendiri, dan membuktikan bahwa apa yang diberitahukan dalam Bu lim merupakan kenyataan, dalam hati ia merasa amat kagum.
Leng, Lan, Tjoei, Giok, empat dayang sewaktu melihat siocia mereka berlalu dari sana, mereka berempat tak berani berlaku ayal lagi, buru2 ilmu meringankan tubuhnya disalurkan dan menyusul dari belakang.
Tentu saja si kakek Huncwee dari gunung Bong san pun tak berani berlaku ayal, menatap murid kesayangannya ia berseru:
"Yu-ji, ayoh cepat kita susul mereka berlima."
Sembari berseru tangannya dengan cepat menyambar tangan Gong yu kemudian laksana awan di angkasa, bagaikan anak panah terlepas dari busurnya meluncur kemulut lembah menyusul Tonghong Beng Coe sekalian....
-ooo00d0w00ooo- Sang surya mulai condong kesebelah Barat, senja hari telah tiba, burung-burung berkicauan dan beterbangan kembali kesarangnya, suasana ketika itu amat sunyi dan suram.
Suasana setengah gelap setengah terang, angin Barat laut berhembus kencang meninggalkan hawa dingin yang menusuk tulang, dalam keadaan seperti ini bagi kaum pelancong maupun pedagang hanya ada satu pilihan yaitu:
"Hari sudah gelap, cepat2 mencari tempat pemondokan."
Dalam keadaan seperti itulah didusun Ma-tiang-peng kira2 seratus lie dari gunung In-boe-san secara tiba2 muncul tujuh orang manusia, lima orang gadis dan dua orang pria.
Debu yang melekat dimuka serta pakaian mereka bertujuh menandakan bahwa beberapa orang ini baru saja habis melakukan perjalanan jauh.
Meskipun begitu, dari sepasang mata mereka bertujuh masih memancarkan cahaya tajam, wajah mereka sama sekali tidak menunjukkan keletihan, siapakah bertujuh orang itu?
Tak usah ditanya lagi, mereka adalah si kakek Hun-cwee dari gunung Bongsan, murid kesayangannya Gong yu, Tonghong Beng Coe serta ke empat orang dayangnya.
Dusun Ma Tiang Peng adalah sebuah dusun besar yang terletak diantara dua kecamatan yaitu kecamatan Louw-san dengan Koei Teng, disini letak tempat peristirahatan dari kaum pedagang maupun para pelancong yang datang dari Barat maupun Timur.
Suasana ramai meliputi seluruh dusun, tamu berlalu lalang tiada hentinya, meskipun pada saat itu musim dingin telah tiba, namun keadaannya masih tetap seperti sedia kala.
Terutama sekali selama beberapa hari ini, suasana dalam dusun itu kelihatan rada luar biasa dan berbeda sekali dengan keadaan pada hari2 biasa.
Kiranya selama beberapa hari ini, dalam dusun tersebut secara mendadak kedatangan berpuluh-puluh bahkan be-ratus2 rombongan orang2 kangouw, walaupun mereka tidak terlalu lama berdiam didusun itu namun tingkah laku maupun gerak-gerik orang2 itu aneh dan misterius, setiap kali tokoh2 Bulim itu selesai beristirahat didusun itu tentu berangkat menuju kearah yang sama yaitu kearah selatan.
Ditinjau dari gerak gerik serta sikap orang2 Bulim itu, siapapun dalam sekali pandang akan sadar dan tahu, bahwa disekitar sana tepatnya arah selatan telah terjadi sesuatu peristiwa yang luar biasa, kalau tidak tak mungkin demikian kebetulan, setiap jago kangouw, rombongan demi rombongan melewati tempat itu dan berangkat ke arah selatan.
Jahe makin tua makin pedas keadaan seperti inipun tak lolos dari pandangan mata si kakek Hun-cwee dari gunung Bong-san. ia sadar kehadiran para jago kangouw disekitar tempat itu tentu disebabkan telah terjadinya suatu persoalan yang maha besar. Tapi, apa sebenarnya telah terjadinya ? tentu saja ia tak tahu.
Disebabkan soal itulah, secara diam2 tanpa menimbulkan kecurigaan si orang tua ini memperhatikan gerak gerik orang2 itu.
'Hoo siang Kie' adalah rumah makan rangkap rumah penginapan yang terbesar dalam dusun itu, dalam setahun empat musim selalu penuh sesak dengan tamu yang berkunjung, terutama sekali pelayan rumah makan 'Hoo Siang Kie' yang ramah tamah terhadap para tetamu, pelayanan yang memuaskan membuat usaha mereka memperoleh kemajuan yang amat pesat.
Ketika senja hari menjelang, lampu2 lentera sudah menerangi seluruh ruangan rumah makan 'Hoo Siang Kie' pada saat itu baik rumah makan maupun rumah penginapan sudah ada tujuh delapan bagian terisi oleh para tamu maupun pelancong.
Seperti halnya tamu2 lain, si Bong-san yen shupun mengajak Tonghong Beng Coe berenam singgah disana, setibanya didepan pintu rumah makan 'Hoo Siang Kie' orang tua itu melongok sejenak kedalam ruangan, mendadak hatinya rada bergerak, segera pikirnya.
"Rumah makan ini amat ramai, kenapa aku tidak mengajak mereka untuk beristirahat disini sekalian mencari berita, apa sebabnya jago jago kangouw itu bermunculan disekitar daerah ini?"
Karena punya pikiran begitu, ia lantas menengok sekejap kearah Tong-hong Beng coe sambil berkata:
"Nona bagaimana kalau kita bermalam dan bersantap ditempat ini saja."
Sembari berkata ia langsung melangkah masuk kedalam ruangan. Tonghong Beng Coe, Gong yu beserta keempat orang dayang pun secara beruntun mengikuti dari belakang.
Tujuh orang itu langsung naik keatas loteng, kebetulan ada beberapa tempat yang masih luang, tanpa menanti pelayanan dari jongos lagi, mereka ambil tempat duduknya masing2.
Seorang pelayan lantas membawakan handuk untuk membersihkan muka serta sepoci air teh panas, dengan ramah ia memandang sekejap beberapa orang itu lalu bertanya:


Sabuk Kencana Ikat Pinggang Kemala Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Loo ya, siocia, kalian hendak bersantap apa?"
Si Bong san yen shu memilih beberapa macam sayur kemudian memesan juga nasi untuk bersantap.
"Loo ya," sambil tertawa pelayan itu berkata kembali.
"Ditempat kami sedang tersedia arak Moay Tay yang paling bagus, hawa udara amat dingin, apakah kau orang tua tidak ingin memesan arak untuk menghangatkan badan ?"
Sebetulnya Bong-san yen shu tak ada minat untuk minum arak, namun setelah mendengar tawaran itu ia termenung sejenak dan akhirnya mengangguk.
"Baiklah sediakan sepoci arak bagus untukku disamping itu tambah lagi dua macam sayur sebagai peneman minum arak."
"Baik, baik," dengan wajah penuh senyuman pelayan itupun mengundurkan diri untuk menyiapkan pesanan tetamunya.
Sepeninggal pelayan itu, Tonghong Beng Coe berpaling kearah si kakek Huncwee dari gunung Bong san dan berbisik lirih.
"Loocianpwee sepanjang perjalanan kita menyusul kemari, kenapa masih belum kelihatan juga bayangan tubuhnya ? apa mungkin keledainya jauh lebih cepat daripada lari kaki kita ?"
Bibir kakek Hun cwee bergerak mau menjawab, atau secara tiba2 dari anak tangga berkumandang datang suara langkah kaki yang amat berat dan santer.
Sebentar kemudian muncullah dua orang kakek tua yang berbadan sangat aneh, satu berpakaian warna kuning dan yang lain berwarna hijau.
Melihat munculnya dua orang kakek berdandan luar biasa ini, si kakek Huncwee dari gunung Bong-san terkesiap, segera pikirnya.
"Eeeei, kenapa kedua orang siluman tua inipun datang kemari ? mereka bersaudara tiga dan selamanya tidak pernah saling berpisah, sekarang si Loojie dan Loo sam sudah tiba disini, sembilan puluh persen si Loo-toa pun pasti berada disekitar tempat ini."
Kiranya dua orang kakek tua berdandan luar biasa yang baru muncul dari bawah loteng bukan lain adalah Tiga manusia aneh yang namanya terderet diantara sepuluh manusia sesat dunia persilatan, yang memakai baju kuning adalah Loojie sedang yang pakai baju hijau adalah Loosam.
Tiga manusia aneh ini berasal dari Liauwtong tepatnya Kota Liauw yang, tiga bersaudara adalah saudara kandung asal pemburu. Lootoa bernama Toan Liong, Loojie bernama Toan Hauw sedang Loo sam bernama Toan Pa, kepandaian silat yang berhasil mereka miliki amat lihay dan luar biasa.
Berhubung bakat tiga bersaudara ini amat bagus, sejak kecil mereka mendapat didikan ilmu silat maha sakti dari seorang manusia aneh tanpa nama, sejak munculkan diri kedalam dunia persilatan lima puluh tahun berselang, nama besarnya telah menggetarkan dunia persilatan dan ditakuti jago lain.
Sejak muncul dalam dunia kangouw, anehnya ketiga orang bersaudara ini tak pernah saling berpisah, kemana saja mereka pergi tentu bertiga, perduli menjumpai musuh tangguh atau tidak, musuh berjumlah banyak atau sedikit tiga bersaudara tentu turun tangan berbareng, oleh sebab itulah orang2 kangouw menyebut mereka bertiga sebagai "Liauw Tong sam koay" atau tiga manusia aneh dari Liauw-tong.
Walaupun nama besar Liauw-tong sam Koay berderet diantara sepuluh manusia sesat, namun sepanjang hidup malang melintang dalam dunia persilatan kecuali melakukan perbuatan2 keji, ganas dan tindak tanduknya telengas, meski kejam namun tak sesat.
Sekarang secara tiba2 Liauw-tong sam Koay munculkan diri disitu, tentu saja kehadirannya membuat Bongsan yenshu amat terperanjat.
Karena dari kehadiran iblis kejam ini, ia dapat menarik kesimpulan bahwa disekitar tempat itu pasti sudah terjadi suatu peristiwa yang maha besar, kalau tidak tiga manusia aneh dari Liauw tong tak mungkin jauh2 datang kemari.
Karena berpikir demikian, jari tangannya segera dicelupkan kedalam air teh dan menulis beberapa patah kata diatas meja.
"Kakek2 aneh berbaju kuning dan hijau itu adalah sang Loojie serta Loosam dari Liauw-tong sam Koay, kita harus lebih ber-hati2 dalam hal berbicara maupun gerak gerik." Habis menulis ia mengusap kembali tulisan tadi dengan tangan.
Tonghong Beng Coe mengangguk, sinar matanya yang jeli langsung melirik kearah dua siluman tersebut.
Dalam pada itu Loojie serta Loo sam dari Liauw-tong sam Koay telah ambil tempat duduk dan pesan arak serta sayur.
Terdengar si kakek berbaju kuning berpaling ke arah si kakek berbaju hijau dan berkata:
"Samte aku rada sangsi dengan andalkan kepandaian ilmu silat yang dimiliki gembong iblis tua itu masa ia bisa jatuh kecundang ditangan seorang budak ingusan bahkan peta rahasianya kena dirampas sekalian, aku pikir persoalan ini rada sedikit mengherankan. Menurut pendapat In heng, kemungkinan besar sigembong iblis tua itu sedang main gila, dia pakai akal muslihat untuk menipu kita semua, sedangkan sendiri ia meloloskan diri. Bagaimana menurut pendapatmu?"
"Dugaan serta kata2mu sangat beralasan, jie-ko," jawab si kakek berbaju hijau yang disebut samte itu sesudah termenung sejenak.
"Tapi khabarnya budak itu sangat lihay, ilmu silat serta tenaga lweekang yang dimilikinya sukar diukur dengan kata2, terutama sekali sabuk kencananya yang ada satu tombak dua kaki panjangnya itu, waah... katanya lihay sekali dan memiliki perubahan jurus sukar diukur, gembong iblis tua itu sudah biasa malang melintang dalam dunia persilatan dengan angkuh serta jumawa, kapan ia pernah dipecundangi? seandainya ia benar2 bukan roboh ditangan budak ingusan itu kenapa ia harus ceritakan kisah yang memalukan ini sehingga merusak pamor serta nama baik sendiri ?"
Bicara sampai disitu si Loo sam merandek sejenak untuk tukar napas, kemudian tambahnya:
"Menurut dugaan siauwtee persoalan ini memang benar2 telah terjadi dan bukan kabar isap jempol belaka, kalau tidak buat apa ia sebar luaskan rahasia tempat penyimpanan kitab pusaka tersebut kepada seluruh umat Bu lim?"
"Mungkin kau benar samte, hanya heran kenapa si gembong iblis tua itu tidak mengundang seorang dua orang pembantu untuk membantu usahanya menyusul budak ingusan tadi kegunung In Boe-san dan merampas kembali kitab pusaka itu?... kenapa justeru ia sebar luaskan berita ini keseluruh dunia persilatan? karena itu bagaimanapun juga aku rasa dibalik masalah ini tentu terselip akal muslihat, kalau tidak mengapa si gembong iblis tua itu begini tolol ?"
"Kecurigaan jie ko memang benar dan sangat beralasan," kata Sam Koay sambil mengangguk, beberapa saat lamanya ia termenung dengan mulut membungkam.
Ketika ia angkat kepala kembali, selintas rasa girang berkelebat diatas wajahnya, sambil menatap jie-koay segera tanyanya:
"Jie-ko, apa kau masih ingat dengan dongeng burung bangau berebut mutiara ?"
"Burung bangau berebut, sang nelayan yang pungut hasil", dongeng ini amat populer sekali pada masa itu, jangan dikata orang dewasa, anak kecilpun tahu kisah tersebut dengan jelas.
Oleh karena itu setelah mendengar perkataan tadi jie-koay jadi teringat akan sesuatu.
"Samte, maksudmu sigembong iblis tua itu sedang menjalankan siasat nelayan cerdas yang mendapat hasil ?"
"Tidak salah," Sam Koay mengangguk.
"Sepanjang hidup si setan tua itu berkepala besar dan jumawa, bukan saja tak pernah pandang sebelah matapun kepada orang lain, iapun jarang sekali bergaul dengan jago lain, kali ini ia jatuh kecundang ditangan seorang budak ingusan, peristiwa ini merupakan peristiwa yang paling memalukan buat dirinya, dalam keadaan seperti ini tak mungkin dia masih punya muka untuk mohon bantuan orang lain. Kini peta rahasia itu kena dirampas orang, kau anggap ia mau sudahi persoalan itu sampai disini saja ? setan tua itu adalah manusia kawakan, ia tahu kitab pusaka yoe Leng Pit Kip adalah kitab mustika yang diincar dan diidam2kan oleh jago golongan sesat maupun golongan lurus dalam dunia persilatan, asalkan kabar ini disebarluaskan, para tokoh Bu-lim baik dari golongan lurus maupun golongan sesat tentu saling berdatangan untuk ikut memperebutkan kitab tadi, sementara ia sendiri bersembunyi disamping kalangan, menanti para jago sudah saling bertarung, saling membunuh dan kehabisan tenaga, ia baru munculkan diri untuk melakukan pembunuhan dan merampas kembali kitab pusaka itu. Coba jie-ko pikir, benar tidak begitu?"
Apa yang diucapkan Sam koay dari permulaan sampai akhir sangat beralasan semua, membuat jie koay yang mendengar mengangguk dan memuji tidak hentinya.
"Samte, penjelasanmu amat tepat sekali, Ih heng jadi kagum dibuatnya, tidak aneh kalau toako selalu memuji dirimu sebanding dengan Coe-Kat Liang..."
"Aaah, Jie ko kenapa kaupun ikut2an memuji diri siauwte," kata Sam Koay merendah meskipun begitu karena bangga si kakek berbaju hijau inipun tak tahan tertawa ter-kekeh2, lagaknya tengik membuat orang merasa perutnya jadi mual.
Sejak kakek berbaju kuning dan hijau itu munculkan diri diatas loteng, perhatian semua tetamu sudah ditujukan kepada mereka, sekarang begitu jie koay gelak tertawa, seluruh perhatian para tamu makin dicurahkan kepada kedua orang itu. Dalam pada itu pelayan telah menghidangkan sayur dan arak.
Walaupun Bong-san yen shu serta Tong-hong Beng coe bersantap, tetapi sepasang telinga kedua orang itu dipentang lebar dan memperhatikan terus apa yang dibicarakan kedua orang siluman itu.
Beberapa patah kata yang barusan mereka dengar, membuat Bong san yen shu maupun Tonghong Beng Coe mengucurkan keringat dingin.
Meskipun mereka tidak menyangka dalam belasan hari yang singkat, peristiwa ini sudah tersebar luas keseluruh dunia persilatan, hati mereka diliputi rasa kaget, girang, keheranan dan cemas.
Kaget, karena di lembah Pek yan Gay gunung In boe san bakal terjadi pertarungan sengit dalam memperebutkan mustika, entah berapa banyak jago Bulim kenamaan yang bakal berguguran diatas lembah tersebut.
Girang, karena peta rahasia tersebut kembali kena dirampas orang, usaha Peng Pok sin mo selama inipun menjumpai kegagalan total.
Keheranan, karena ditinjau dari pembicaraan dua siluman ini, orang yang berhasil merampas peta rahasia tersebut dari tangan Peng Pok sin mo adalah seorang nona muda.
Seorang nona yang masih muda belia ternyata berhasil merampas sebuah peta mustika dari tangan seorang gembong iblis yang menamakan dirinya pemimpin sepuluh manusia sesat dunia persilatan, kehebatan serta kelihayan ilmu silatnya tentu luar biasa.
Dalam dunia persilatan dewasa ini jangan dikata dari generasi angkatan muda, meninjau dari generasi tuapun kecuali Oe Lwee Ngo Khei atau lima manusia aneh dari kolong langit, jarang ada yang bisa menandingi kepandaian silat Peng Pok sin-mo.
Meskipun dikata nona itu adalah ahli waris dari Oe-lwee-Ngo-khie, meninjau usianya yang masih muda, tidak mungkin ilmu silatnya bisa lebih lihay dari si setan tua. Lalu siapakah nona muda itu ?
Kecuali rasa kaget, girang, keheranan dan cemas merekapun tercengang. Cemas, karena rencana mereka untuk merampas kembali peta rahasia tersebut jadi berantakan, harapanpun semakin tipis.
Ditengah gelak tertawa sam Koay yang amat menusuk telinga, tiba2 dari sisi sebelah kiri Bong-san yenshu menggema datang suara dengusan dingin yang amat nyaring.
Dengusan itu kaku dan mengandung arti memandang hina pihak lawan. Jelas dengusan tadi sengaja diperdengarkan buat dua siluman tersebut, kalau tidak mengapa dengusan tadi menggema disaat Sam Koay sedang tertawa seram ?
Dikarenakan dengusan dingin itu nyaring namun rendah, jaraknya dengan kedua siluman itu pun jauh, apalagi sam-koay sedang tertawa keras, orang lain tak mendengar kecuali Bong-san yen shu seorang, si kakek Huncwee dari gunung Bong san terkejut.
"Siapakah orang itu ?" pikirnya. "sungguh bernyali, kalau sampai dengusan tersebut kedengaran kedua siluman itu, waaaah... meskipun bukan sengaja diperdengarkan, keonaran segera bakal terjadi."
Karena tercengang, tanpa kuasa si orang tua itu berpaling kesebelah kiri dimana berasalnya dengusan tadi.
Tengokan ini membuat Bong-san yen shu yang menyapu kesebelah kiri, kecuali menemukan serombongan kaum pedagang serta pelancong, hanya seorang pemuda ganteng berbaju putih yang paling menarik perhatian.
Pemuda sastrawan itu mempunyai raut muka bulat telur, alisnya bagaikan semut beriring, matanya bagaikan bintang timur, hidungnya mancung dan bibirnya kecil merekah, ia betul2 seorang pria tampan yang amat mempesonakan hati siapa pun.
Sayang bibirnya kecil lagi tipis, biji matanya bening dan jeli, tingkah lakunya kurang gagah dan kurang menampakkan jiwa seorang lelaki sejati.
Mungkin dikarenakan dia adalah seorang pelajar, maka tingkah lakunya terlalu halus sehingga lebih mirip dengan seorang gadis perawan.
Sementara Bongsan yen shu sedang memperhatikan pemuda sastrawan itu, raut muka yang pada mulanya penuh dihiasi senyuman mengejek tiba2 berubah, senyuman menghina lenyap tak berbekas dan sebagai gantinya, sastrawan itu berpaling kearah Tong-hong Beng Cu serta Bong-san yen shu sambil tersenyum manis.
Kiranya sewaktu mendengar dengusan dingin tadi, Tonghong Beng Cupun alihkan sinar matanya kearah pemuda sastrawan itu, kebetulan pemuda tadi tersenyum, sedang mata segera bentrok jadi satu.
Kontan Tonghong Beng Cu merasakan jantungnya berdebar keras. "Sungguh tampan pemuda ini,"pikirnya.
Pemuda menyukai kecantikan, sedang pemudi menyukai ketampanan, sejak jaman dahulu kala hingga sekarang tak berubah.
Kendati Tonghong Beng Cu gagah dan merupakan seorang pendekar wanita dalam dunia persilatan, namun tak terlepas dari sifat asalnya sebagai wanita, menjumpai pemuda tampan hatinya segera tertarik.
Rasa suka yang timbul dalam keadaan seperti ini tentu saja bukan dikarenakan rasa cinta namun menunjukkan kenormalannya, bahwa dia benar perempuan sejati.
Dalam hati Tonghong Beng Coe berpikir demikian, lain halnya dengan Bong-san yen shu, iapun mempunyai jalan pikiran sendiri. Ia merasa pemuda sastrawan ini kecuali kekurangan sifat pria, ia tampan dan berbakat bagus untuk melatih silat.
"Seumpama sastrawan ini bisa diterima sebagai murid oleh seorang tokoh lihay dan dilatih tiga-lima tahun, tidak sulit menjadi seorang pendekar luar biasa dalam dunia persilatan," pikirnya.
Tapi dengan cepat ia merasa jalan pikirannya tidak benar, tadi terang2an ia melihat senyuman mengejek menghiasi bibir sastrawan itu, di atas wajahnya yang ganteng terlintas pandangan menghina, walaupun sekarang telah lenyap namun keadaan tersebut belum terlupakan olehnya.
Hal ini jelas membuktikan kalau dengusan dingin tadi berasal dari pemuda sastrawan itu.
Berpikir sampat kesitu, kembali Bong-san yen shu terperanjat.
"Siapakah pemuda sastrawan ini? berani benar ia pandang enteng tokoh lihay dari sepuluh manusia sesat. Jelas ia tak pandang sebelah matapun terhadap Loo jie serta Loo-sam dari Liauw-tong sam Koay, kalau tidak mana ia berani berbuat begitu? tapi mengapa pula ia tersenyum manis kepada kami? apakah ia kenal dengan kami ?"
Oleh sebab itulah dalam hati kecil Bong san yen shu penuh diliputi rasa kaget, heran dan tercengang...
Menanti ia memandang kembali kearah pemuda sastrawan itu, sementara si anak muda sedang menempelkan cawannya ke ujung bibir, air mukanya tenang tanpa perubahan, se-akan2 dengusan dingin serta senyuman manis tadi hanya terjadi karena kebetulan dan sama sekali tak terpikirkan dalam hatinya.
Benarkah hanya suatu kebetulan belaka?.....
ooodw0kzooo Bab 5 TIBA-tiba dari mulut loteng berkelebat lewat sesosok bayangan merah diikuti munculnya seorang kakek tua berbaju warna merah darah, dandanannya aneh dan luar biasa tiada berbeda dengan dandanan Toan Hauw serta Toan Pa kecuali warna baju yang berbeda.
Siapakah orang itu ? Tak usah disebut siapa pun akan tahu. Si kakek tua berbaju merah ini bukan lain adalah Loo toa dari Liauw-tong sam koay. Toan Liong adanya.
Sementara Toan Liong baru saja munculkan diri dimulut loteng, Toan Hauw serta Toan Pa sama2 bangun berdiri sambil menyapa:
"Toako, kau sudah datang !"
"Ehmmm, Hiante berdua sudah lama menunggu ?" Toan Liong mengangguk.
Seraya berkata dengan langkah lebar ia berjalan mendekati meja dan duduk diantara dua saudaranya.
Pelayan dengan cepat menyiapkan sumpit dan cawan, jie koay Toan Hauw segera memenuhi cawan toakonya dengan arak dan diangsurkan di hadapannya.
"Toako selama ini kau tentu susah dan kecapaian," ujarnya sambil tertawa lebar.
"Mari kita keringkan dulu secawan arak untuk menghangatkan badan kita."
Siluman pertama Toan Liong tertawa keras, ia sambuti cawan arak itu dengan sekali teguk menghabiskan isinya.
Setelah meletakkan cawan keatas meja, dengan sepasang mata melotot galak ia menyapu sekejap ke seluruh ruangan loteng dengan sinar mata tajam.
Bong-san yen shu tidak ingin dirinya dikenali oleh ketiga siluman dari Liauw-tong ini terutama sekali oleh siluman pertama, buru2 ia tundukkan kepalanya melengos dari pandangan mata Toan Liong.
"Toako bagaimana keadaannya?" terdengar sam-koay, Toan Pa bertanya memecahkan kesunyian.
"Hmmm," Toan Liong mendehem.
"samte dugaanmu ternyata tidak salah, bukan saja jago2 dari kalangan sesat maupun lurus pada berdatangan kemari, bahkan ciangbunjin dari partai Kiong lay Pay yang menyebut dirinya "sin-Koen Boe tek" atau kepalan sakti tanpa tandingan Tie Kong beserta kedua orang adik seperguruannya "Kian Koen cian" atau si telapak jagad Pek seng serta "In Tiong Gan" atau si walet ditengah mega Khong It Hoei, kemudian Kauwcu dan Hu Kauwcu perkumpulan Im yang Kauw yang menyebut dirinya Im yang siauw su atau si pelajar Im yang, Tji Tiong Kian dengan "Im Tong siauw-su atau Dewi Im Tong, mo yoe yauw dengan membawa puluhan jago lihay perkumpulannya telah berkumpul didusun ini, disamping itu masih banyak jago dari partai2 lain berdatangan kemari, aku lihat gunung In Boe san bakal jadi gelanggang terbuka dalam perebutan mustika tersebut. Wah.. tentu bakal ramai sekali !"
Si Bong-san yen shu serta Tong-hong Beng Coe yang mendengar perkataan Toan Liong ini sama2 terperanjat.
Lebih2 Tonghong Beng Coe, ia merasa hatinya seperti tertindih dengan batu cadas yang sangat berat.
Kitab pusaka "YOE LENG PIT KIP" sudah jadi incaran semua jago dunia persilatan, untuk merebut benda itu kecuali ia berhasil mengalahkan tokoh-tokoh lihay dari partai kenamaan, kalau tidak maka sulitnya seperti mendaki ke angkasa.
Disamping menguatirkan soal kitab pusaka, gadis inipun menguatirkan keselamatan Hoo Thian Heng, sejak perpisahan dilembah Kan Cie-kok sepanjang perjalanan ia menyusul kemari, namun sampai sekarang jejaknya masih belum juga kelihatan, entah pemuda itu sudah tiba lebih dahulu digunung In Boe san atau...
Si Bong-san yen shu serta Tonghong Beng Coe dibikin terperanjat, pemuda sastrawan yang ada disisi mereka jauh lebih terperanjat lagi.
Tampak pemuda ganteng itu kerutkan dahi, sepasang alis melentik sedang sepasang matanya memancarkan cahaya tajam, sekilas hawa membunuh berkelebat di atas wajahnya.
Dalam keadaan seperti ini, seandainya Bong-san yen shu memperhatikan, ia pasti akan terkesiap dan bergidik.
Ketika Toa koay, Toan Liong menyelesaikan kata-katanya, sam koay Toan Pa melanjutkan:
"Kitab pusaka "YOE LENG PIT KIP" merupakan kitab ilmu silat yang amat menarik perhatian banyak orang, setelah kabar berita itu tersiar, tidak heran para jago baik dari kalangan Pek to maupun Hek-to saling berdatangan untuk ikut dalam perebutan itu, menurut dugaanku, bukan saja perebutan mustika digunung In-boe-san ini bakal sangat ramai bahkan hebat dan mengerikan."
Ia merandek sejenak untuk tukar napas, setelah itu terusnya:
"Sepanjang masa Peng Pok sin mo terkenal akan licik serta banyak akal, makin tua ia semakin bahaya, setelah peti rahasianya dirampas mengapa ia tidak rebut kembali mustika itu secara diam2 sebaliknya malah menyiarkan berita ini keseluruh Bulim sehingga mengakibatkan para jago berdatangan untuk ikut merebutkan benda mustika itu? apa sebenarnya maksud yang dikandung? tak usah dijelaskan sudah amat terang, karena ia sudah menyusun suatu akal muslihat yang licin. Barusan siauwte telah membicarakan soal tingkah laku setan tua itu dengan jie ko, menurut kesimpulan yang berhasil siauwte kumpulkan, bukan saja tipu muslihat yang disusun setan tua ini amat berbahaya bahkan keji dan telengas. Oleh sebab itu ikut sertanya kita bersaudara dalam perebutan mustika ini, harus bertindak terlalu berhati-hati, jangan sampai akhirnya bukan saja gagal merampas mustika itu bahkan jatuh kecundang ditangan Iblis tua itu. Kalau sampai terjadi hal begini, waduh... pamor kita bisa hancur berantakan."
Sepanjang hidup, Toa koay Toan Liong terlalu percaya dengan apa yang diucapkan oleh sam-tenya yang dianggap sejajar dengan Tjoe-kat Liang, atau dengan perkataan lain, selama Liauw tong sam koay malang melintang dalam dunia persilatan, kendati diluaran semua pucuk pimpinan dipegang Toan Liong, dalam kenyataan Toan Pa lah yang pegang peranan, terutama sekali setiap kali menjumpai persoalan yang penting bagaimana cara menghadapi dan menanggulangi, Toan Liong tentu bertanya dulu kepada Toan Pa untuk kemudian siluman ketiga inilah yang susun rencana.
Oleh karena itu, sehabis Toan Pa mengutarakan kata2nya, Toan Liong kelihatan tertegun, sepasang matanya terbelalak buas, sambil menatap sang adik, ia berseru.
"sam-te, jadi kalau begitu si setan tua itu sengaja menyiarkan kabar kosong yang mengatakan peta mustika itu kena dirampas orang? jadi ia sengaja menyebar kabar kosong?"
"Itu sih tidak mungkin, aku rasa kabar itu ada benarnya."
"Tadi bukankah kau mengatakan bangsat tua itu sedang menyusun akal muslihat ?"
"siauwte merasa dibalik persoalan ini masih terdapat banyak hal yang patut dicurigakan," kata Toan Pa dengan wajah serius.
"untuk sementara waktu tak usah kita bicarakan benar atau tidaknya peta mustika itu dirampas orang, ditinjau dari kelihayan ilmu silat yang dimiliki budak ingusan itu, bisa kita tinjau betapa kejamnya tipu muslihat setan tua itu, sengaja ia umumkan berita ini keseluruh kangouw agar para jago berdatangan, inilah siasat pinjam golok membunuh orang yang pasti ia hendak menciptakan pembunuhan masal yang mengerikan diatas tokoh silat golongan Pek-to serta golongan Hek to, setelah mereka saling membunuh saling tusuk hingga jumlahnya makin sedikit, dan semasa orang kehabisan tenaga, nah... pada saat itulah setan tua itu akan munculkan diri dan membasmi sisa jago yang sudah kehabisan tenaga, kemudian merampas kitab pusaka itu, menyembunyikan diri dan melatih sin-kang tadi selama tiga lima tahun kemudian ia munculkan diri lagi dalam dunia persilatan, sampai waktunya jago dari mana yang bisa menandingi dirinya?"
"Kalau begitu, apa yang harus kita bertiga lakukan?" tanya Toan Liong dengan sepasang alis berkerut, agaknya ia dibikin sadar oleh ucapan saudaranya ini.
"Bagaimanapun toh kita tidak akan berpeluk tangan melihat kitab pusaka itu berada di depan hidung kita."
"Heee... heeee.. heee..." Toan Pa tertawa kering.
"Apa yang dimuat dalam kitab pusaka tersebut merupakan ilmu silat maha sakti yang tiada keduanya dikolong langit, asalkan seseorang bisa berlatih semacam saja sudah cukup untuk menjagoi seluruh jagad, tentu saja kita tiga bersaudara harus mendapatkan mustika itu, hanya saja..."
Bicara sampai disitu ia merandek sejenak, setelah termenung terusnya:
"Kali ini, kita bersaudara harus bekerja sangat hati2, jangan sembrono dan musti waspada sebelum mendapat kesempatan yang menguntungkan jangan sekali2 turun tangan, lebih baik menyembunyikan diri lebih dahulu disisi kalangan menanti situasi telah memuncak, barulah kita main serobot saja."
"Usulmu ini amat bagus sekali samte," Toan Liong mengangguk dan memuji.
"Baiklah, kalau begitu kita bekerja menurut rencana ini saja. sebelum ada kesempatan bagus jangan turun tangan secara sembrono."
Bong-san Yen Shu yang secara tidak sengaja mencuri dengar rencana yang disusun Liauw-tong Sam Koay, dalam hati segera mempunyai pandangan lain terhadap ketiga orang siluman ini, ia merasa ketiga orang siluman tersebut bukan saja memiliki ilmu silat yang aneh dan sukar diukur, terutama sekali kecerdasan Toan Pa liauw-tong ketiga, sungguh tak boleh dipandang enteng.
Karena punya pandangan begini, hatinya rada bergerak dan segera pikirnya:
"Telah terjadi banyak perubahan dalam masalah ini, aku harus berusaha secepat mungkin menemukan kembali Hoo Thiang Heng dan menceritakan perkembangan yang telah terjadi, agar iapun bisa secepatnya menyusun rencana kerja sama kita selanjutnya."
Sementara ia masih melamun, mendadak dari telinganya berkumandang datang suara yang halus, lembut tapi nyaring nyelonong masuk ke telinga.
"Dewasa ini Gunung In-Boe san sudah dipenuhi dengan jago2 kangouw yang berkepandaian lihay, berhasilkah perjalanan kita kali ini untuk merampas mustika itu masih sukar dikatakan, pada keadaan biasa siauw-seng selalu anggap usaha manusia dapat menangkan takdir, namun sekarang terpaksa aku harus mengubah caraku berpandang, kerja mengikuti garis2 takdir."
Kendati suara itu halus dan lembut namun nyaring dan jelas sekali, si kakek Huncwee dari gunung Bong-san sadar tentu ada seseorang telah mengirim berita kepadanya dengan ilmu menyampaikan suara.
Siapakah orang itu? tentu saja dari nada suaranya Bong-san Yen shu bisa mengerti dia bukan lain adalah Hoo Thian Heng yang sedang di-nanti2kan kehadirannya. Mendengar bisikan itu, Bong-san Yen-shu amat terperanjat.
"Apa? iapun berada diatas loteng ini? mengapa aku tidak menemukan dirinya?" ia berpikir.
Karena punya pikiran demikian, sepasang biji matanya segera berputar menyapu keadaan di sekeliling loteng.
Siapa sangka baru saja ia mengerling suara dari Hoo Thian Heng kembali nyelonong masuk kedalam telinganya.
"Tak usah kau cari lagi jejakku, saat ini aku sedang menyaru dan kau tak akan mengenali diriku walaupun telah kau lihat dengan mata kepalamu, hati-hati dengan ketiga siluman itu. Jangan sampai jejakmu konangan, aku rasa jejak kita semakin rahasia semakin baik. Apa yang mereka bicarakan tadi aku pikir kaupun bisa menangkap bukan? tak usah aku banyak bicara lagi, sejak detik ini tingkah lakumu serta nona Tonghong sekalian harus lebih ber-hati2, berusahalah menyembunyikan asal-usul, lebih baik lagi menirukan cara mereka, cari suatu tempat yang baik untuk menyembunyikan diri dan jangan bertindak secara sembrono."
Saat ini Bong san Yen shu baru tahu, kiranya si anak muda itu telah menyaru, tidak aneh kalau selama ini ia tak berhasil temukan dimana pemuda she Hoo itu berada.
Tiba2 teringat olehnya akan si sastrawan berbaju putih yang ada disisi kirinya, mungkinkah Hoo Thian Heng menyaru sebagai pemuda tampan berbaju putih ini?
Karena punya pikiran demikian, tanpa sadar sepasang matanya mengerling sekejap kearah pemuda tampan berbaju putih itu.
Urusan aneh kembali terjadi, se-akan2 Hoo Thian Heng adalah cacing pita didalam perutnya apa yang hendak ia lakukan berhasil dibade oleh si anak muda itu.
Baru saja ia berpaling kearah sastrawan berbaju putih itu, suara Hoo Thian Heng kembali menggema datang.
"Tak usah kau tengok dirinya (Nya dalam hal ini berarti dia wanita), bukan saja dia adalah sastrawan tetiron, dialah manusia yang berhasil merampas peti mustika dari tangan Peng Pok sin-mo, dia pula yang secara diam2 merampas salah sebuah cecak kumala sewaktu ada digunung Pak Bong san tempo dulu, meskipun aku tidak kenal dia, namun perguruan kami ada hubungan yang erat sekali,"
Kembali Bong san Yen shu terperanjat.
Ia tak berani percaya, sastrawan ganteng yang kelihatan lemah gemulai tidak seharusnya mengatakan dia adalah seorang nona yang lemah lembut, ternyata berhasil merampas peta mustika kitab ilmu silat dari tangan seorang gembong iblis, pemimpin sepuluh manusia sesat dari Bu-lim, dan menghancurkan Peng Pok sin-mo yang menggetarkan seluruh jagad. ia tak berani percaya seratus persen, karena kejadian ini tak masuk diakal.
Terutama sekali, dia adalah seorang nona muda, bukan saja tak masuk diakal bahkan merupakan kejadian langka dalam dunia persilatan.
Suasana makin lama makin gelap, awan semakin menutupi seluruh jagad, angin Barat laut berhembus makin lama makin kencang, bukan saja membuat napas orang jadi sesak, bahkan hawa dingin serasa menembusi tulang belulang dan meresap kesumsum.
Dalam keadaan seperti ini, Bong-san Yen shu serta Tonghong Beng Coe sekalian tak ingin membuang banyak tempo lagi, ketika banyak tetamu yang mulai meninggalkan rumah makan tersebut, merekapun segera bereskan rekening, meninggalkan rumah makan "Hoo siang Kie", keluar dusun dan berangkat kegunung In-Boe san.
Walaupun angin dingin berhembus kencang, tua, muda tujuh orang yang memiliki ilmu silat tinggi tidak merasa terlalu dingin, dengan tenang mereka lanjutkan perjalanan.
Sekeluarnya dari dusun Ma-Tiang-Peng hanya terpaut seratus li, dengan kecepatan lari ketujuh orang itu, tidak sampai setengah harian tempat yang dituju dapat dicapai.
Ketika mereka sudah melakukan perjalanan sejauh belasan li, mendadak Bong-san-Yen-shu memperlambat langkahnya, sambil berjalan ia menuding kearah depan.
"Nona," serunya kepada Tonghong Beng-coe.
"Tidak jauh disebelah depan sana ada sebuah jalan kecil yang langsung menghubungkan tempat ini dengan kaki gunung In Boe-san, melewati jalan kecil ini kita melewati kecamatan Hee-Koei, disitu kita bisa beristirahat sambil mempersiapkan rangsum kering, kemudian ditengah malam buta kita berangkat kelembah Pek Yan Hay dan cari tempat yang strategis untuk bersembunyi, bagaimana menurut pendapatmu ?"
"Boan-pwee belum lama menerjunkan diri ke dalam dunia persilatan," sahut Tonghong Beng Coe seraya mengangguk.
"Segala macam persoalan diputuskan sendiri oleh Loo-cianpwee."
"Baiklah, kalau begitu harap nona suka mengikuti dibelakang Loohu."
Sambil berkata ia mempercepat langkahnya, berangkat lebih dahulu kearah depan sana.
Tiba2... suara kelenengan kuda yang amat merdu dan nyaring berkumandang dari arah belakang. Mendengar adanya suara nyaring, beberapa orang itu berpaling, tampaklah seekor kuda merah yang tinggi besar dengan membawa sesosok bayangan putih, laksana sambaran kilat berkelebat lewat.
Sungguh cepat sekali pertama kali mendengar suara itu, kuda tadi masih ada di tempat yang jauh, mungkin ada beberapa li, dalam sekejap mata telah berada didepan mata.
Buru-buru Bong san Yen shu beserta Tonghong Beng Coe sekalian tujuh orang menyingkir kesamping, mereka bermaksud meneruskan perjalanan lagi setelah kuda tadi lewat.
Baru saja mereka bertujuh menyingkir, kuda tadi sudah berada didepan mereka semua.
Pada waktu itu tentu saja semua orang dapat kenali siapakah penunggang kuda merah itu, sebab dia bukan lain adalah si sastrawan ganteng yang pernah dijumpai diloteng "Hoo siang Kie" kemaren malam.
Tepat sampai dihadapan ketujuh orang itu, kuda merah tadi mendadak meringkik keras, sepasang kaki depannya berdiri untuk kemudian diturunkan kembali dengan tenang, agaknya kuda itu tidak menyangka disaat ia lari cepat, majikannya secara tiba2 bisa menahan tali les. Untung kuda itu adalah kuda jempolan.
"Kuda bagus," tak kuasa lagi Tonghong Beng-Coe berseru memuji.
Bukan saja kuda itu gagah dan keren, kecuali petak kecil warna putih diatas jidatnya, seluruh tubuh kuda tadi berwarna merah darah dari atas hingga keekor tak ada warna campuran lain.
Seandainya dalam keadaan seperti ini kita bertanya pada nona Tonghong, dimanakah letak kebagusan kuda itu sehingga ia keterlepasan memuji ? maka sebagai jawaban ia pasti menggeleng dengan mata terbelalak "Entahlah...."
Mendengar kudanya dipuji sebagai "Kuda bagus", pemuda sastrawan berbaju putih itu kelihatan sangat gembira, sepasang biji matanya yang jeli dan bening memancarkan cahaya berkilat, sebaris giginya yang putih bersih menghiasi bibirnya yang tersungging senyuman manis.
Senyuman manis ini kontan membuat Tonghong Beng Coe merasa amat jengah, pipinya terasa panas sehingga tak kuasa ia tundukkan kepalanya rendah2, untung rasa jengah ini tersembunyi dibalik topengnya yang tebal. Meskipun kepalanya tertunduk, dalam hati ia berpikir.
"Bukan saja tampan sekali sastrawan ini, sepasang giginya pun rajin dan putih, senyumannya menawan hati, bahkan boleh dikata gemas dan menggiurkan, ia tidak mirip seorang pria."
Berbeda dengan si nona, Bongsan Yen shu adalah seorang jago kawakan yang sudah lama berkelana dalam dunia persilatan, pengetahuannya sangat luas, begitu melihat kuda berwarna merah dengan sedikit titik putih itu ia kenalinya sebagai Hwee Lioe Kie, seekor kuda Tjian lian Kie yang sehari dapat menempuh perjalanan sejauh ribuan lie.
Walaupun demikian, iapun heran, menurut kabar berita yang tersebar dalam dunia persilatan, Kuda Hwee Lioe Kie telah lenyap banyak tahun ber-sama2 lenyapnya seorang cianpwee seorang manusia gagah, tidaklah aneh kalau secara tiba2 bisa muncul kembali pada hari ini? Lagi pula peristiwa itu sudah terjadi puluhan tahun berselang, seharusnya kuda Hwee Lioe Kie itu sudah tua dan mati.
"Mungkinkah kuda Hwee Lioe Kie yang dipakai si anak muda ini adalah keturunan dari kuda Hwee Lioe Kie dulu hari?"
Saking herannya tak tahan si jago tua ini segera maju memberi hormat pada sang muda berbaju putih, sembari tersenyum ia bertanya:
"Aku si orang tua numpang bertanya nona, bukankah kuda nona ini adalah kuda Hwee Lioe Kie?"
Penunggang kuda itu rada melengak, hanya sejenak untuk kemudian ia jadi tenang kembali seperti sedia kala.
Tampak sepasang alisnya berkerut, kemudian sambil tersenyum ia mengangguk.
"Tidak salah, kudaku ini memang kuda Hwe Lioe Kie," jawabnya tenang namun mantap.
"Yu Thayhiap, tajam benar penglihatanmu, tak kecewa thayhiap disebut orang sebagai seorang locianpwe yang tersohor dikolong langit."
Kata2 ini mempunyai dua arti, secara terang2an ia memuji ketajaman mata Bong san Yen shu yang berhasil kenali kudanya sebagai kuda jempolan Hwee Lioe Kie, dalam kenyataan ia sedang memuji akan kehebatan si orang tua itu berhasil menebak penyaruannya.
"Nona itu sungguh amat nakal, cerdik namun menarik hati."
"Bagaimana ia bisa tahu kalau aku adalah seorang nona yang sedang menyaru seperti seorang pria? apakah penyaruanku masih kurang sempurna?"
Sementara nona berbaju putih itu masih dibuat keheranan, Tonghong Beng coe yang berdiri disamping dengan kepala tertundukpun tiba2 angkat kepala dan berseru tertahan, sepasang matanya yang jeli terbelalak besar, sebentar ia memandang Bong-san Yen shu kemudian memandang pula sastrawan tampan berbaju putih itu, iapun dibuat keheranan.
Tentu saja ia heran sebab Bong san Yen shu menyapa sastrawan ganteng itu dengan sebutan "Nona".
Mendadak terdengar Bong san Yen shu tertawa ter-bahak2.
"Ha ha ha ha mana, mana loohu cuma sembarangan menduga saja, tak disangka dugaanku sama sekali tidak meleset."
Habis bicara kembali ia tertawa ter-bahak2, ucapannya pun mengandung dua arti yang berbeda.
Dalam pada itu si sastrawan gadungan sudah melayang turun dari kudanya dan berdiri tegak diatas permukaan.
Mendadak air mukanya berubah serius, sepasang biji matanya dengan tajam menatap wajah Bong-san Yen shu.
"Yu thayhiap," katanya sungguh-sungguh. "Didepan orang budiman tidak bicara bohong di depan Khong Hu-cu tak selalu berbicara jujur, dari mana kau bisa memecahkan rahasia penyamaranku ini? apakah dalam penyaruanku ini terdapat bagian yang mencurigakan? harap kau suka bicara terus terang, kalau tidak..."
Ia terdiam sejenak, sementara sepasang matanya dengan memancarkan cahaya yang menggidikkan melototi Bong san Yen shu tak berkedip.
Si kakek Huncwee dari gunung Bong san terkesiap, dengan ter-mangu2 ia balas menatap sastrawan ganteng yang berdiri dihadapannya, dalam keadaan gelisah tak sepatah katapun berhasil ia utarakan.
Tonghong Beng Coe tak tahu kesulitan orang bukannya membantu si orang tua itu, malahan dengan manja iapun ikut menimbrung.
"Benar Yu Locianpwee dari mana bisa kau temukan penyamarannya? Ayoh cepat katakan, kenapa aku gagal menemukan penyaruannya itu."
Bong san Yen shu termenung sejenak, setelah melirik sekejap kearah Tonghong Beng Coe, ia baru menatap sastrawan gadungan itu sembari menjawab.
"Nona, bicara terus terang, penyaruanmu amat sempurna kecuali wajah serta raut mukamu terlalu halus, lembut dan ayu sehingga mengejutkan orang lain, boleh dikata tiada titik kelemahan apapun, sesungguhnya orang lain sulit untuk mengetahui, bahwa nona sedang menyaru sebagai seorang pria." Bicara sanpai disitu ia merandek.
Sebetulnya si orang tua ini tak ingin bicara terus terang, namun berhubung si sastrawan gadungan itu mendesak, lagi pula Tonghong Beng Coepun ikut menimbrung terus, dalam keadaan apa boleh buat terpaksa ia buka suara. Karena itu, setelah merandek sejenak sambungnya lebih jauh.
"Sebenarnya ditengah jalan tadi loohu telah berjumpa dengan seorang sahabat, bukan saja orang itu tahu bahwa nona adalah seorang gadis yang sedang menyaru sebagai pria, bahkan ia-pun mengetahui asal usul perguruan nona, bahkan..."
Belum habis Bong san Yen shu menyelesaikan kata2nya, hati sastrawan gadungan itu sudah tercekat.
"Siapakah orang itu?" pikirnya.
"Bagaimana mungkin dia bisa tahu akan perguruanku? suhu dia orang tua sudah lama mengasingkan diri di pegunungan yang terpencil, selama hampir seratus tahun tak pernah ketemu dengan siapapun juga meskipun tokoh paling lihay dalam dunia persilatan dewasa ini, Ci Lwee Ngo Khie atau Lima Manusia Aneh dari Kolong Langit pun tak tahu."
Karena tak kuat menahan diri, tidak menunggu Bong san Yen shu menyelesaikan kata2nya dengan cepat ia menukas:
"Siapakah orang itu ?"
"Hoo Thian Heng !" karena tidak ingin mendusta, Bong-san Yen shu berterus terang.
"Hoo Thian Heng ?"
Dengan ter-mangu2 pemuda gadungan itu ikut mengulangi nama tersebut, kemudian dengan pandangan mendelong ia pandang wajah Bong-san Yen shu.
"Yu Thay-hiap, macam apakah Hoo Thian Heng itu ?" kembali ia bertanya. Kali ini tiba giliran Bong san Yen shu yang berdiri tertegun, pertanyaan ini terlalu sulit untuk menjawab.
Hoo Thian Heng, macam apakah Hoo Thian Heng itu? lalu suruh ia menjawab apa.
Lagi pula ia sendiri kurang begitu tahu tentang Hoo Thian Heng, siapakah sebenarnya dia orang tua inipun tak tahu.
Mulut Bong san Yen shu tidak menyahut, di atas wajah pemuda gadungan itu segera perlihatkan rasa kurang puas.
"Macam apakah Hoo thian Heng itu? apakah Yu Thayhiap hendak merahasiakan asal usulnya?" ia menegur dengan nada dingin.
Ucapan dari pemuda ini sungguh kasar dan tidak sungkan2 membuat telinga orang terasa tertusuk oleh jarum.
Merah padam selembar wajah Bongsan Yen shu, ia didesak hingga serba salah oleh ucapan pemuda tersebut.
"Yu Loocianpwe," secara tiba2 Tonghong Beng coe pun ikut menimbrung dari samping. Kapan kau telah berjumpa dengan dia? kenapa aku tidak tahu?"
Sepanjang perjalanan Tonghong Beng coe selalu berdampingan dengan Bongsan Yen shu dan tak pernah meninggalkan si orang tua ini barang setapakpun, kapan si kakek Huncwee dari gunung Bongsan ini berjumpa dengan Hoo Thian Heng? kenapa ia sama sekali tak tahu?
Bukankah peristiwa ini sangat aneh, dengan perasaan heran dan tercengang pikirannya terasa terpelosok ditengah awang2.
Melihat orang tercengang, Bong-san Yen shu segera tertawa tergelak.
"Sewaktu ada didusun Ma Tiang Peng, di loteng rumah makan Hoo siang Kie," sahutnya.
Tonghong Beng Coe semakin keheranan.
"Kau telah berjumpa dengan dirinya?" kembali ia bertanya.
"Tidak !" "Lalu secara bagaimana ia beritahu kepadamu bahwa enci ini sebetulnya adalah seorang gadis yang sedang menyaru sebagai pria ?"
"Ia mengirimkan beritanya melalui ilmu menyampaikan suara."
"Jadi dia berada diloteng tersebut pada saat yang bersamaan dengan kita ..."
"Tidak salah !"
"Lalu mengapa kami tidak menemukan dirinya ? bukankah loteng rumah makan itu tidak terlalu luas ?"
"Sekalipun kita berjumpa dengan diapun, belum tentu bisa mengenali kembali."
"Apa sebabnya ?"
"Karena ia telah menyamar sebagai orang lain."
"Oouw !" sekarang Tonghong Beng coe baru mengerti duduknya perkara.
Dalam pada itu si pemuda gadungan masih berdiri disisi kalangan, separuh harian lamanya ia mendengar pembicaraan itu tanpa berhasil mengetahui siapakah yang dimaksudkan, ia masih belum tahu siapakah sebenarnya "Dia" itu. Mungkinkah dia adalah seorang yang pernah dikenal?... Tetapi nama "Hoo Thian Heng" terlalu asing baginya, dalam benak maupun ingatannya sama sekali tak terlintas bayangan apapun terhadap nama itu. Lagipula belum sampai dua hari ia turun gunung boleh dikata tak seorang manusiapun yang dikenal, sungguh suatu teka-teki...
Ia memandang sekejap wajah Tonghong Beng Coe, tiba2 hatinya bergerak sang badan bergeser kesisi gadis itu, tangannya segera menarik pergelangannya dan menegur dengan nada ramah.
"Adik cilik, kau she apa?"
Dimana pemuda gadungan tadi berdiri berjajaran kurang lebih delapan depa dari Tonghong Beng Coe, hanya dalam sekali kelebatan saja ia sudah berada disisi gadis itu, dapat dibayangkan betapa cepatnya gerakan tubuh yang dimiliki, sungguh mengejutkan.
Bong san Yen shu terkesiap, kecuali ia merasakan pandangan matanya jadi kabur, sama sekali tak terlihat olehnya gerakan tubuh apakah yang telah digunakan pemuda gadungan itu dan bagaimana caranya ia berkelebat ?
Kalau dibicarakan, iapun termasuk seorang tokoh silat kawakan yang sudah puluhan tahun berkelana dalam dunia persilatan, bukan saja kepandaian silat yang dimilikinya sangat lihay, bahkan pengetahuannya sangat luas dan pengalamannya matang...
Tetapi, siapa nyana ini hari harus kecundang ditangan seorang pemuda gadungan, orang tua ini gagal untuk melihat jelas gerakan apa yang digunakan orang itu dalam bergerak, bukan saja tak pernah lihat, bahkan mendengarpun belum pernah.
Sejak berjumpa diatas loteng rumah makan, Tonghong Beng Coe sudah menaruh kesan baik terhadap pemuda gadungan ini, hanya ketika itu ia belum tahu kalau anak muda ini adalah pemuda gadungan, ia mengira dia adalah lelaki sejati, meskipun waktu itu menaruh kesan baik namun antara lelaki dan wanita ada batasannya, ia tak dapat mengutarakan perasaan hatinya.
Kini, melihat pemuda gadungan itu mencekal tangannya dengan penuh kemesraan dan ajak dia berbicara, sang hati merasa amat kegirangan.
"Siauw-moay bernama Tonghong Beng Coe dan cici ?" balas tanyanya sambil tertawa.
"Oooouw... jadi kau adalah nona Tonghong, puteri kesayangan dari si peluru sakti Tonghong Thayhiap?" seru pemuda gadungan itu seraya menatap sang nona tajam2.
Tonghong Beng Coe kegirangan setengah mati ketika mendengar orang mengungkap soal ayahnya.
"Cici, jadi kau kenal dengan ayahku ?" serunya. Tapi dengan cepat hatinya kembali berduka terusnya:
"Sayang, ayahku sudah dibunuh mati oleh sepasang Malaikat dari Gurun Pasir..." Tak tahan, titik2 air mata jatuh berlinang membasahi pipinya.
"Aaaai... dalam peristiwa ini bukan sepasang Malaikat dari Gurun Pasir saja yang harus disalahkan, Peng Pok sin-mo si iblis tua inipun harus ikut menanggung seluruh dosa," kata pemuda gadungan itu sambil menghela napas panjang.
"Seandainya bukan dia yang mengikat hati sepasang Malaikat, tak mungkin ayahmu bisa menemui ajalnya ditangan sepasang Malaikat itu."
"Cici, jadi kaupun tahu latar belakang dari peristiwa ini ?"
Pemuda gadungan itu mengangguk.
"Akupun dengar dari mulut orang lain," katanya. "Moay2, orang yang sudah mati tak akan bisa hidup kembali, bersedih hatipun tak ada gunanya, kau harus segera berangkat untuk mencari Peng Pok Loo mo biang keladi dari pembunuhan ini, kemudian menuntut balas buat kematian ayahmu."
"Terima kasih atas nasehatmu cici, aku mengerti," sahut Tonghong Beng Cu sambil mengangguk, mendadak ia menatap wajah pemuda gadungan itu tajam2.
"Cici, kau masih belum beritahukan she serta namamu." Pemuda gadungan itu tertawa.
"Aku she Poei bernama Hong," sahutnya.
"Adikku siapa sih sebenarnya Dia yang barusan kau bicarakan dengan Yu Thayhiap? dapatkah kau beritahukan kepadaku?"
-oood^wooo- Jilid : 04 TONG-hong Beng Coe mengangguk, sementara siap menjawab tiba2 dari jalan kecil dimana mereka datang tadi muncul tiga sosok bayangan manusia yang meluncur datang dengan kecepatan bagaikan kilat.
Gerakan tubuh ketiga sosok bayangan manusia itu amat cepat, dalam sekejap mata mereka sudah berada dihadapannya.


Sabuk Kencana Ikat Pinggang Kemala Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ditinjau dari gerakan tubuh mereka yang begitu cepat melebihi hembusan angin, siapapun bisa menarik kesimpulan bilamana ilmu meringankan tubuh dari ketiga orang ini telah mencapai puncak kesempurnaan, bahkan ilmu silat yang mereka milikipun tidak lemah.
Sementara bayangan orang itu baru berkelebat lewat dalam benak Tonghong Beng coe sekalian, ketiga sosok bayangan manusia itu telah berhenti dan berdiri berjajar beberapa tombak di hadapan mereka.
Bong-san Yen shu terperanjat, segera pikirnya.
"Eeeei.... kenapa tiga manusia beracun ini pun sudah berdatangan semua didaerah Tionggoan ?"
Kiranya ketiga orang ini adalah Bu-lim su Tok yang disebut pula Biauw kiang su Tok atau Empat manusia Beracun dari Wilayah Biauw. Mereka terdiri dari "Pek sie Tok-shu" atau si Kakek seratus Bangkai Kiang Tiang Koei, "Hian im Tok-shu" atau si Kakek Bisa Dingin Cia Ie Chong, "Han Peng Tok-shu" atau si Kakek Racun Es Chin Tin san beserta "Giak-Kang Tok-shu" atau si kakek kelabang Beracun Nao Hiong Hoei.
Saudara mereka yang terakhir si kakek kelabang beracun telah menemui ajalnya digunung Bong-san terhajar ilmu jari Kian Goan ci kang dari Hoo Thian Heng, maka dari itu sekarang tertinggal tiga manusia beracun saja.
Membicarakan soal ilmu silat sejati dari keempat manusia beracun ini, sebenarnya tiada keistimewaan yang mengejutkan, kepandaian mereka hanya terhitung sebagai tokoh silat biasa dalam Bu-lim atau kira2 seimbang dengan kepandaian Bong-san Yen shu.
Namun dalam ilmu beracunnya mereka sangat lihay, bahkan buas, ganas dan telengas, dalam menghadapi mangsanya mereka tak kenal ampun dan tak tahu apa yang disebut peri kemanusiaan, oleh sebab keganasan mereka inilah nama-nama iblis itu tercantum diantara Bu-lim sip shia atau sepuluh manusia sesat dari dunia persilatan.
Berdiri berbareng ditengah jalan, ketiga orang manusia beracun itu mengawasi Bong-san Yen shu sekalian dengan sinar mata buas, jelas kedatangan mereka mengandung maksud tertentu.
Mendadak terdengar Pek Sie Toksu atau si Kakek Seratus Bangkai tertawa seram dan menjengek.
"Aku kira si pelajar rudin itu manusia macam apa, tak tahu kiranya kenalan dari Bong-san si setan tua."
Sambil bicara sepasang matanya melotot buas kearah Bong-san Yen shu serunya kembali.
"Eeeei setan tua she Su, apakah kau berasal dari satu rombongan dengan pelajar rudin ini ?"
Walaupun dalam hati Bong san Yen shu mengeluh atas kehadiran ketiga orang manusia beracun itu, namun bagaimanapun juga dia adalah jago kawakan dari dunia persilatan, melihat keangkuhan serta penghinaan dari Pek sie Tok-shu timbul rasa gusar dalam hati kecilnya.
"Kalau benar kenapa? dan kalau tidak benar mau apa?" Matanya segera mendelik besar kemudian mendengus.
"Setan tua dari gunung Bong-san kau berani bersikap kurang ajar terhadap loohu?" teriak Pek sie Tok shu teramat gusar. "Agaknya kau sudah bosan hidup lebih jauh !"
"Kiang Tiang Koei," Tegur Bong san Yen-shu dengan suara gusar.
"Ditempat liar seperti wilayah Biauw kau boleh malang melintang dan cari gara2 sesuka hatimu, tetapi disini, didaerah Tionggoan bukan tempat kalian beberapa orang liar malang melintang seenaknya."
Baru saja Bong san-Yen-shu menyelesaikan kata2nya, dengan sepasang mata melotot buas Kiang Tiang Koei telah menghardik keras.
"Keparat setan tua kau cari mampus !"
Ditengah bentakan keras, mendadak telapak tangannya didorong keluar, segulung angin tajam, diikuti gulungan angin puyuh segera menggulung kearah dada Bong-san Yenshu.
Melihat dirinya diserang, si kakek Huncwee dari gunung Bong-san tak berani berlaku ayal, buru2 hawa murni disalurkan ke sepasang telapak dengan mengerahkan tujuh bagian hawa murninya iapun dorong telapak menyambut datangnya serangan itu dengan keras lawan keras.
Dua gulung tenaga pukulan segera saling bertemu ditengah udara menimbulkan ledakan suara yang keras.
"Braaaak..." ditengah bentrokan yang keras bagaikan gempa bumi bergeletar, debu pasir berterbangan memenuhi angkasa, desiran angin berpusing mengancam daerah sekeliling sana.
Pek sie Tok shu tak dapat menahan diri, ia dipaksa mundur selangkah ke belakang, sedangkan tubuh Bong-san Yen shu pun bergoyang tiada hentinya, walaupun tidak sampai terdesak mundur namun sepasang kakinya sudah masuk ke dalam tanah sedalam tiga coen.
Setelah saling adu kekerasan satu kali, dalam hati kecil masing2 pihak punya perhitungan sendiri2, mereka berdua sadar bahwasanya kekuatan mereka adalah seimbang.
Pek sie Tok shu penasaran karena tak dapat merobohkan lawannya, diam2 hawa murninya disalurkan mengelilingi seluruh badan, sementara ia siap melancarkan serangan kedua, mendadak pemuda berbaju putih itu lambat2 berjalan mendekati Bong-san Yenshu kemudian berkata:
"Yu Thayhiap, untuk sementara waktu harap kau suka mengundurkan diri, biarlah siauw-seng yang coba menjajal kekuatan dari manusia2 kurcaci yang tak tahu tebalnya bumi tingginya langit ini. Hmm berapa besar sih kepandaian yang dimiliki manusia liar dari pegunungan ini, berani benar datang kedaerah Tionggoan cari gara2 dan pandang remeh orang Bu-lim ?"
Bicara sampai disitu sinar matanya dengan pandangan menghina menyapu sekejap wajah Pek sie Tok-su bertiga, tegurnya dingin:
"ooouw jadi kalian bertiga datang kemari khusus untuk mencari gara2 dengan diriku?"
0000000kz000000 Bab 6 "KALAU sudah tahu, kenapa banyak cincong dan cerewet tanya terus !" hardik Pek sie shu dengan mata melotot.
Poei Hong mendengus dingin.
"Ada urusan apa kalian mencari diriku?" ia bertanya.
"Kudamu ini sangat bagus," Kata Pek Sie Tok shu sambil menuding kuda Hwee Lioe Kie tersebut ia tertawa seram. "Berhubung loohu ada sedikit urusan penting yang harus segera diselesaikan, maka aku ingin pinjam binatang itu beberapa hari."
Dikolong langit tak ada urusan yang begitu tak kenal adat, nama orangpun belum tahu lantas ingin pinjam kuda milik orang lain.
Lagipula bukannya ia tahu kuda tersebut adalah seekor kuda jempolan Hwee Liok Kie, Walaupun diluaran ketiga manusia racun itu mengatakan hendak pinjam, dalam kenyataan bukankah mereka ada maksud merampas ?
Mendengar perkataan yang tak kenal adat ini, Poei Hong tidak marah sebaliknya malahan tersenyum manis.
"Apakah kalian kenal dengan diriku ?" ia bertanya.
"Tidak kenal." "Kalau memang kalian tidak kenal siapakah aku, mana boleh secara sembarangan pinjam kuda milikku ?"
Pek sie Tok-shu tersudut, ia tak bisa menjawab, tetapi dengan cepat sepasang matanya memancarkan cahaya buas.
"Keparat cilik, tak usah banyak bicara," hardiknya. "Loohu hanya tahu mau pinjam kuda milikmu itu, yang lain aku tak mau tahu."
"Seandainya kuda itu milik kalian, lalu aku hendak pinjam kuda itu darimu apakah kalian bisa meminjamkan binatang tersebut kepadaku?" ia balik bertanya.
"Ooouw, jadi kalau begitu kau tak sudi pinjamkan kudamu itu kepada kami bertiga?" Pek sie Tok-shu menegaskan, sepasang matanya melotot semakin bulat. Poei Hong tertawa dingin.
"Kalau sudah tahu kenapa banyak bertanya lagi?" selesai bicara ia mendongak tertawa lantang.
Poei Hong si gadis nakal yang menyaru sebagai pria benar2 cerdik, ternyata ia sudah kembalikan apa yang diucapkan oleh Pek sie Tok-shu tadi kepadanya sendiri.
Kemarahan Pek sie Tok-shu semakin memuncak, tiba2 ia tertawa seram, suara tertawanya mirip jeritan kuntilanak ditengah malam buta, tajam, tinggi dan menyeramkan, membuat bulu kuduk pada bangun berdiri.
"Keparat cilik," teriaknya sambil menatap Poei Hong tajam, "sungguh besar nyalimu berani benar kau kembalikan kata2 loohu kepada loohu sendiri, tahukah kau siapakah loohu?"
"Siapa kau?" ejek Poei Hong sinis. "Kau toh tidak tempelkan nama setanmu itu diatas keningmu, siauwya mana bisa tahu, Lagipula siauw-ya tidak sudi mengetahui namamu. Tapi heee...heee kalau memang kau ingin beritahu kepadaku, nah laporkan dulu siapakah nama setanmu itu, agar siauwya pun bisa menambah pengetahuanku sebenarnya manusia macam apakah kalian bertiga, berapa besar kedudukan kalian sehingga berani begitu sombong dan tak kenal diri, datang mau pinjam kuda jempolan milik siauw-ya."
Beberapa patah kata yang diucapkan Poei Hong barusan, bukan saja nakal dan pedas bahkan mengejek ketiga manusia beracun ini habis2an.
Biauw Kiang su Tok atau disebut juga Bu-lim su Tok empat Manusia beracun dari Dunia persilatan terderet diantara Bu-lim sip shia sepuluh manusia sesat dari rimba persilatan, kepandaian silat serta kehebatan racun mereka sudah menggetarkan baik golongan Pek-to maupun golongan Hek-to, malang melintang selama puluhan tahun dalam dunia persilatan boleh dikata belum pernah diejek bahkan dihina orang lain.
Sewaktu mengutarakan kata2 ejekannya tadi, air muka Poei Hong sama sekali tak berubah, meskipun ringan dan enteng tidak membawa emosi namun cukup membuat hati orang panas.
Hawa amarah yang berkobar dalam dada ketiga manusia beracun itu langsung memuncak, saking kheki dan dongkolnya hampir saja mereka merasakan dadanya mau meledak.
Diantara ketiga orang itu, tabiat si kakek Racun Es Chin Tin san paling berangasan, baru saja Poei Hong menyelesaikan kata2nya, sang badan telah berkelebat kesisi Pek sie Tok su, sepasang matanya melotot buas sambil mendelik kearah Poei Hong, teriaknya gusar:
"Keparat cilik kau sudah bosan hidup ? berani benar bicara tidak keruan dihadapan kami Bu lim su Tok, kalau tahu diri ayoh cepat serahkan kudamu itu buat toako kami, memandang diatas kuda jempolanmu itu loohu bisa ampuni selembar jiwamu, kalau tidak... Hmmm jangan salahkan kalau lohu akan bertindak telengas dan hantar jiwamu menghadap raja akhirat !"
"Ooouw ..." Sehabis mendengar perkataan itu, se-olah2 kaget Poei Hong berseru tertahan, namun dengan cepat air mukanya telah berubah adem, dengan sikap menghina ia menyapu sekejap wajah ketiga orang itu.
"Aku kira kalian adalah orang kenamaan dari mana, tak tahunya empat manusia beracun dari wilayah Biauw. Bukankah kalian berempat? mengapa sekarang tinggal tiga orang ? mana yang satunya lagi ?"
Habis bicara kembali ia mendongak dan tertawa panjang.
Dalam perkiraan ketiga orang itu, dengan kebesaran nama mereka yang telah menggetarkan dunia persilatan, begitu disebut keluar pihak lawan pasti kaget dan ketakutan lalu menyerahkan kuda jempolan tersebut tanpa membantah.
Siapa sangka, meskipun pihak lawan cuma orang sastrawan yang lemah lembut tetapi tak sudi menunjukkan kelemahannya, kecuali wajahnya rada kaget sewaktu mendengar disebutnya nama itu, se-akan2 pihak lawan sama sekali tak pandang sebelah matapun kepada mereka bertiga.
Bukan begitu saja, ditinjau dari air mukanya yang sinis, agaknya ia terlalu pandang enteng Bu-lim su Tok.
Sikap Poei Hong yang begitu tak pandang sebelah matapun kepada orang lain, bagi jago2 Bulim biasapun tak bakal bisa menahan dia, apalagi empat manusia beracun yang sudah tersohor akan kebinalan serta kekejamannya, seandainya mereka tidak jeri karena pihak Bong san Yen shu berjumlah banyak, mungkin sejak tadi mereka sudah turun tangan tanpa banyak bicara.
Si Pemanah Gadis 4 Dirty Little Secret Karya Aliazalea Pendekar Sadis 21

Cari Blog Ini