Ceritasilat Novel Online

Si Pemanah Gadis 4

Si Pemanah Gadis Karya Gilang Bagian 4


menekannya dengan rapat.
Gadis itu segera melenting keluar dari kepungan. Setelah melayang turun di
tanah, pedang langsung ditancapkan ke tanah, lalu sepasang tangan diputar
pulang pergi di atas kepala dengan cepat.
Swoshh ... swoshh ... !
Terlihat kepulan asap berhawa panas seperti terik matahari disertai semburan
asap kuning tipis.
"Hiaatt ... !"
Diiringi teriakan melengking nyaring, Beda Kumala menghentakkan hawa sakti
dari 'Air Panas Tenaga Surya' tingkat tiga ke arah empat yang mengerubutinya.
Wutt! Mengetahui bahwa lawan menggunakan ilmu kesaktian, empat orang Istana
Jagat Abadi pun melakukan hal yang sama.
Wutt! Wutt! Blarr! Jdlarrr!! Glarr ... !!
Terdengar suara dentuman keras saat mana kekuatan sakti 'Air Panas Tenaga
Surya' yang di lancarkan oleh gadis berbaju hijau bentrok dengan hawa sakti
milik empat orang Istana Jagat Abadi.
Bruggh! Tubuh Beda Kumala terhumbalang jatuh dengan luka dalam yang semakin parah
dengan adanya darah kental hitam kemerahan tersembur keluar dari dalam
mulut. "Huaghh!!"
Sedang ke empat lawannya terjajar beberapa langkah ke belakang dengan
masing-masing mendekap dada. Jelas sekali bahwa kekuatan sakti 'Air Panas
Tenaga Surya' tidak mampu menandingi gabungan empat hawa sakti lawan.
"Ha-ha-ha! Rupanya benar apa katamu, Pedang Dewa! Gadis ini tidak ada apaapanya!"
kata Karang Kiamat dengan keras.
"Apa yang sebaiknya kita lakukan terhadap gadis ini, kawan-kawan?" Tombak
Sakti berkata. "Bunuh saja untuk membungkam mulutnya!" kata Trisula Kembar sambil
mengurut dadanya yang merah matang. "Buat apa repot-repot dibiarkan hidup!?"
"Jangan tergesa-gesa dibunuh! Kita nikmati dulu tubuh indahnya bersama-sama!
Betul tidak teman-teman!?" ucap Gelang Bintang dengan mata nyalang merayapi
sekujur tubuh montok Beda Kumala yang terkapar di tanah dengan napas satusatu.
"Aku setuju! Tapi ... hitung-hitung sebagai penggantiku mataku yang buta, akan
kucongkel dulu biji matanya, kemudian ... "
"Kemudian biji matamu yang jelek itu bakal aku pindahkan ke pantat!"
Sebuah suara terdengar dari belakang.
Belum sempat Karang Kiamat membalikkan badan, sebuah tepukan lembut
mendarat di belakang kepala.
Plakk! Meski hanya tepukan pelan, namun akibatnya sungguh luar biasa. Sepasang
mata Karang Kiamat yang sudah terluka akibat sabetan pedang, meloncat keluar
dengan sendirinya, seperti ada tangan gaib yang mencongkel paksa supaya
keluar dari dalam rongga mata.
"Huaghh! Mataku ... mataku!!" teriak Karang Kiamat sambil bergulingan di tanah
dengan dua tangan mendekap ke arah rongga matanya yang kini berlubang
mengerikan. Tujuh orang Istana Jagat Abadi terlongong bengong melihat salah satu
saudaranya mengalami luka mengerikan. Namun keterpanaan mereka hanya
sekejap saja saat melihat sekelebatan bayangan biru menyambar sosok
setengah pingsan Beda Kumala dan di bawa lari ke arah selatan.
Blass ... ! Yang pertama kali tersadar adalah Gelang Bintang.
"Oooi ... jangan lari!" teriaknya sambil berusaha mengejar sosok bayangan biru.
"Jangan dikejar! Kita bantu dulu Karang Kiamat!" cegah Pedang Dewa sambil
menotok pingsan Karang Kiamat.
"Siapa dia" Gerakannya cepat sekali!" kata Trisula Kembar sedikit gentar.
Mata Pedang Dewa mengitari ke sekelilingnya, tidak didapatinya pemuda buta
yang tadi duduk di atas batu.
"Pasti si buta yang menyelamatkan si gadis sundal keparat itu!" kata geram
Pedang Dewa. Si Pedang Dewa geram karena memang gerakan si pemuda buta yang tidak
diketahui namanya itu begitu cepat bagai kilat. Namun ia juga bergidik ngeri saat
membayangkan bahwa hanya dengan satu tepukan saja sanggup membuat
Karang Kiamat langsung tumbang secepat itu.
"Lebih baik, kita kembali ke istana! Trisula Kembar, gotong Karang Kiamat!"
Si Trisula Kembar yang memiliki tubuh tinggi besar, langsung mengangkat tubuh
pingsan temannya, lalu diletakkan di pundak seperti meletakkan karung basah
saja. --o0o-- Jalu Samudra memang sedari awal hanya duduk manis saja menonton
pertarungan antara Beda Kumala dengan Karang Kiamat yang kemudian dibantu
oleh tiga temannya. Semula ia memang berniat membantu si gadis. Tetapi
karena ia sendiri belum mengenal si gadis, hingga membuatnya ragu-ragu untuk
membantu. Terlebih lagi bahwa si gadis baru saja kehilangan kekasihnya akibat
perbuatan orang-orang yang diketahui dari Istana Jagat Abadi, membuat gadis
itu membutuhkan penyaluran kemarahan. Dan satu-satunya yang bisa
meredakan hawa amarah hanyalah membiarkan gadis itu mengumbar seluruh
kemarahan dalam sebuah pertarungan.
Tubuh pemuda itu berkelebatan di antara rimbunnya pepohonan sambil
memanggul tubuh mungil Beda Kumala yang sedang setengah pingsan.
Kelebatan angin yang menampar-nampar, membuat gadis itu sedikit tersadar
dari kondisi pingsan.
"Tolong ... bawa ... ke perguruan ... ku ... " kata lirih gadis itu dekat telinga kiri
Jalu. "Di arah ... sela ... tan ... "
Begitu kata "selatan" terucap, gadis itu benar-benar pingsan!
"Lukanya cukup parah! Jika tidak segera diobati, nyawanya bisa benar-benar
melayang! Aku harus berlomba dengan waktu," batin Jalu Samudra sambil
mengempos jurus "Kilat Tanpa Bayangan". Dalam tempo sepeminuman teh,
pemuda itu melihat sebuah setitik bentuk sebuah bangunan dari arah kejauhan.
"Hemm, mungkin rumah besar itu yang dimaksud gadis ini sebagai
perguruannya," pikirnya.
Belum lagi murid tunggal Si Dewa Pengemis meneruskan arah pelarian, Jalu
Samudra harus jungkir balik menghindari sergapan anak panah yang mengarah
ke tubuhnya. Serr! Serr! Jlebb!
"Hupp!"
Sambil jungkir balik menghindari serangan anak panah yang lewat di bawah kaki
terus meluncur cepat dan akhirnya menancap pada pohon di seberang sana.
Dalam waktu yang hampir bersamaan tangan kanan Jalu mengibas dari
belakang ke depan.
Wutt! Wuss! Serangkum hawa padat menggebah maju, mengarah pada rerimbunan batangbatang
bambu hijau di sisi sebelah barat, tempat dari mana luncuran anak panah
berasal. Brash! Brakk! BAGIAN 4 Bersamaan dengan tubuh Jalu yang melayang turun di tanah sejarak lima
tombak, dari rerimbunan batang bambu melesat keluar dua sosok bayangan
hijau meninggalkan rerimbunan batang bambu hijau yang porak poranda seperti
dihantam angin puyuh. Dua sosok bayangan hijau selain menghindari lontaran
pukulan jarak jauh yang dilancarkan Jalu, juga mempunyai maksud tertentu
sehingga berdiri menghadang di depan.
Wutt! Wutt! Jleg! Dua sosok yang menghadang ternyata adalah dua gadis yang memiliki
kecantikan setara. Yang sebelah kiri berambut panjang tergerai tanpa ikat kepala
hingga rambut hitam panjang tersibak kesana kemari mengikuti tiupan angin.
Belum lagi dengan sepasang mata yang lebar hingga terkesan galak membuat
gadis cantik yang saat ini sedang merentang tali busur semakin cantik
mempesona. Apalagi dengan sebuah tahi lalat di pipi kiri justru menambah
kecantikannya. Kuning langsatnya kulit sangat kontras dengan baju hijau yang
dipakai pada tubuh tinggi semampai tersebut.
Akan halnya gadis sebelah kanan berkulit putih bersih dengan rambut diikat pita
hijau di kiri kanan, terlihat lebih tenang sarat keanggunan. Sepasang mata
indahnya berbinar-binar dengan bulu mata lentik ditingkahi sebentuk hidung
mancung terukir di atas bibir. Di tangan kirinya juga tergenggam busur, meski
dalam keadaan tidak siaga seperti temannya.
Yang jelas, dua gadis cantik bertinggi badan hampir setara mengenakan pakaian
hijau sama persis dengan yang dikenakan oleh Beda Kumala, gadis yang berada
dalam panggulan Jalu Samudra.
Gadis sebelah kiri yang merentangkan anak panah berkata dalam bentakan,
"Lepaskan dia!"
"Kalian kenal dengannya?" balik tanya Jalu.
"Kenal atau tidak, itu bukan urusanmu!" kata ketus gadis yang kiri.
"Kalau begitu ... aku tidak akan melepaskan dia," kata Jalu sambil
menyunggingkan senyum, pikirnya, "Cantik-cantik kok galak amat, ntar ngga
dapat jodoh baru tahu rasa kau!"
"Dia ... teman kami," kata lembut gadis sebelah kanan. "Tolong lepaskan, Beda
... " "Beda" Siapa yang beda?" potong Jalu dengan heran.
"Maksudku, gadis yang kau panggul itu bernama Beda Kumala, sobat," terang
gadis sebelah kanan.
"Ooo ... namanya Beda Kumala ... kukira ... "
"Kau kira apa!?" bentak gadis sebelah kiri, "Cepat lepaskan teman kami atau
tubuhmu bakal aku hiasi dengan anak panahku ini!"
"Waduh, jangan dong!" sahut Jalu dengan cengar-cengir, lalu sambungnya. "Apa
kalian berdua ini teman gadis yang sedang terluka dalam ini?"
"Pemuda bego, apa matamu buta hingga kau tidak bisa melihat kami berdiri
menghadang di depanmu?" bentak yang kiri dengan ketus.
"Gadis ini galak bener," pikir Jalu, lalu ia berkata dengan tenang, "Maaf, aku
memang buta sejak kecil, jadi tidak bisa membedakan kalian berdua teman gadis
yang kutolong ini atau bukan?"
Gadis sebelah kiri menjungkitkan alis, matanya berusaha memastikan apa benar
kata pemuda berbaju biru di hadapannya.
"Hemm ... matanya putih ... pasti benar ia pemuda buta," gumam yang
merentang busur, lalu dengan sedikit menggeser tubuh mendekati temannya, ia
berbisik, "Bagaimana Ratih" Apa yang sebaiknya kita lakukan" Apa perlu kita
rebut dengan kekerasan" Aku yakin lesatan anak panahku pasti tepat sasaran."
"Jangan! Kukira pemuda buta ini tidak jahat. Buktinya ia mau menolong Beda
Kumala hingga sampai ke tempat ini," bisik gadis sebelah kanan yang ternyata
bernama Ratih. "Lalu sebaiknya bagaimana" Beda Kumala pasti sedang terluka dalam hingga
terkulai pingsan seperti itu."
"Kau tenang saja. Biar aku saja yang tangani."
Ratih maju tiga langkah ke depan.
"Maaf ... kami berdua tidak tahu kalau ... "
"Maaf diterima. Tidak masalah bagiku," potong Jalu dengan agung-agungan.
"Tapi yang jadi masalah, semakin lama aku ditahan disini, semakin cepat nyawa
teman kalian pergi dari raganya. Dia keracunan!"
"Keracunan?"
"Benar."
"Kalau begitu, cepat berikan Beda Kumala padaku, sobat." kata gadis sebelah
kiri, setelah mengetahui nyawa Beda Kumala berada di ujung tanduk akibat
terkena racun. Karena Jalu memang berniat mengerjai gadis galak itu, ia melanjutkan aksi
jahilnya. "Eit, tunggu dulu! Aku tidak bisa percaya begitu saja dengan kalian berdua,
maksudku ... kalau kalian memang satu perguruan dengan gadis ini dan
memang benar-benar saudara seperguruannya."
"Bukankah baju kami sama persis dengan baju gadis yang kau panggul itu?"
kata gadis sebelah kiri sedikit kesal.
"Tinara, dia kan buta. Bagaiamana bisa melihat baju kita berdua?" sela Ratih.
Seakan baru menyadarinya, gadis galak yang bernama Tinara menepak
dahinya. "I ya juga!" katanya. "Duh, gimana nih?"
Ratih sendiri hanya mengangkat bahu tanda tidak tahu harus berbuat apa.
Sejenak Ratih dan Tinara terdiam. Bingung dengan apa yang harus dikerjakan
oleh mereka. Di satu sisi teman mereka berada di ambang maut, di sisi lain juga
bingung menghadapi kenyataan bahwa pemuda buta yang menolong temannya
membutuhkan pembuktian bahwa mereka berdua benar-benar teman si gadis.
Dalam hati, Jalu tertawa ngakak.
"Rasain kalian berdua! Bingung nggak, tuh! Sekarang saatnya rencana kedua,"
kata hatinya. Sambil mengalirkan hawa murni ke dalam raga pingsan Beda Kumala untuk
mencegah menjalarnya racun lebih dalam lagi, pemuda yang berjuluk Si
Pemanah Gadis berkata, "Aku punya satu cara untuk membuktikan kalian satu
perguruan atau tidak."
"Bagaimana caranya?"
"Biarkan aku meraba tubuh kalian."
"Apa!?" kata kaget Tinara dan Ratih hampir bersamaan.
"Aduh ... salah ngomong lagi, pikirannya jorok terus, sih ... " pikirnya, lalu Jalu
meralat perkataannya, "Maksudku ... biar aku meraba baju yang kalian pakai."
"Kenapa harus meraba baju kami berdua?" tanya heran Ratih.
"Lho, katanya kalian satu perguruan!" Biasanya dalam satu perguruan kan
punya lambang perguruan atau baju yang bahannya sama jenis. Jadi itu saja
sebagai patokannya. Gampang khan?" sahut Jalu dengan diplomatis.
Ratih dan Tinara saling pandang satu sama lain.
"Ayolah ... waktunya tidak banyak lagi!" kata Jalu dengan nada mendesak, lalu
dengan sedikit membual ia pun berkata, "Jika kalian tidak mau, biar aku bawa
saja ke tabib kenalanku. Tapi aku tidak menjamin keselamatan temanmu yang
bernama Beda Kumala ini, karena perjalanan bisa sampai sesorean."
"Bagaimana, Ratih?" kata Tinara setelah mendengar bualan si Jalu.
Sambil menghela napas, Ratih pun mengambil keputusan.
"Apa boleh buat! Hanya itu caranya untuk membuat pemuda buta itu percaya
pada kita."
"Apa tidak ada cara lain?" kata Tinara.
"Apa kau punya ide lain, Tinara?"
Tinara hanya menggeleng pelan sambil berkata pelan, "Jadi memang hanya itu
satu-satunya cara?"
Ratih mengangguk pasti. Gadis berkuncir dua itu tahu, bahwa meski orang buta
tidak bisa melihat, tapi perasaannya lebih halus dan tajam daripada orang
normal, terlebih lagi punya telinga super tajam.
Buktinya pemuda buta di depannya sanggup menghindari panah yang lepas dari
busur mereka! "Kau boleh meraba baju kami," kata Ratih pada akhirnya.
Keduanya segera maju mendekat, sejarak satu jangkauan dengan Jalu Samudra
berdiri. Tentu saja pemuda berbaju biru itu bisa melihat dengan jelas dua sosok ramping
gadis jelita yang ada di depan matanya.
"Tapi ingat, tidak boleh main-main!" ancam Tinara.
"Main-main bagaimana maksudmu?" tanya Jalu.
"Ya ... pokoknya tidak boleh main-main," tukas Tinara, "Bodoh benar kau jadi
orang?" "Kalau salah pegang bagaimana?" tanya Jalu seolah bisa menebak ke arah
mana pembicaraan gadis galak itu.
"Tanganmu bakal pisah dari badanmu!" kata Tinara sengit.
"Lho, aku kan buta, jadi untuk memegang suatu benda memang harus merabaraba,"
bela Jalu. "Kau?"
Jalu hanya menjungkitkan alis.
"Baiklah," dengus Tinara kesal pada akhirnya.
Jalu menjalankan aksi jahilnya dengan pura-pura memegang lengan baju Beda
Kumala, lalu meremas-remas sebentar seperti merasakan tebal tipisnya kain.
"Lambang perguruan di sebelah mana?" tanyanya setelah meraba-raba bagian
pundak dan lengan Beda Kumala.
"Di dada sebelah kiri," jawab Ratih tenang. "Agak ke atas."
Setelah meraba sana sini, akhirnya Jalu berhasil menemukan apa yang di


Si Pemanah Gadis Karya Gilang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

carinya. "Dadanya lumayan besar dan keras, meski kalah kelas dengan istriku, hi-hi-hik,"
pikirnya nakal setelah tadi tangan kanannya "bermain" di sekitar dada Beda
Kumala. "Sekarang giliran kalian."
Ratih yang berada di sebelah kiri hanya diam saja saat tangan kanan Jalu
menyentuh lengan, kemudian meremas-remas sebentar kain bagian lengan
seperti halnya ia meremas lengan baju Beda Kumala.
"Emm ... jenis kainnya hampir sama," kata Jalu. "Lambangnya di dada sebelah
kiri, ya?"
Tanpa sadar, Ratih mengangguk pelan.
Dengan menelusuri sepanjang lengan kiri, tangan kanan Jalu bergerak pelan ke
atas hingga mendekati bagian pundak. Begitu sampai disana, telapak tangan
Jalu bergeser ke kanan kiri seakan mencari-cari sesuatu di atas gundukan
kencang yang berada dibalik baju Ratih. Namun anehnya, pemuda itu hanya
meraba-raba pulang balik di atas buah dada Ratih, seakan benda yang dicarinya
memang tidak berada di sana atau memang sulit dicari keberadaannya.
"Duh ... lambangnya dimana sih" Susah amat carinya," gerutu Jalu, padahal
dalam hati ia senang tiada tara, "Wah ... dadanya masih kencang dan keras.
Meski ukurannya tidak sebesar milik Beda Kumala."
Dengan muka merah padam karena malu, tangan kanan Ratih memegang
tangan Jalu, lalu meletakkan tepat di lambang Perguruan Sastra Kumala
miliknya. Plekk! "Letaknya disini," kata lirih Ratih.
Suara Ratih terdengar lirih, atau lebih tepatnya sedikit mendesis.
Meski cara Jalu meraba asal-asalan saja, tapi bagaimana pun juga ia seorang
gadis yang belum pernah disentuh laki-laki yang tentu saja sentuhan tangan Jalu
di atas dada sekalnya sebelah kiri menimbulkan desiran-desiran halus yang
secara tidak sengaja membangkitkan kobaran api ragawi yang ada di dalam
tubuh gadis itu. Dadanya berdebar-debar dengan kencang, bahkan degupannya
makin kencang saat ia meraih tangan si pemuda buta dan meletakkannya secara
langsung di atas dada kiri tepat dimana lambang perguruan yang dicari Si
Pemanah Gadis. Sett! Seakan tanpa sengaja pula, Ratih sedikit menekan tangan nakal si Jalu!
"Ooo ... disini rupanya," kata Jalu dengan enteng, setelah memegang-megang
sebentar, "Lambang ini sama persis. Kalau begitu kau benar temannya."
Si Pemanah Gadis mengangkat tangannya dari atas dada sekal milik Ratih.
"Sekarang giliranmu," kata Jalu sambil menuding ke sisi kosong di kiri Ratih.
Memang disengaja sih!"
"Dia di sisi kananku," kata Ratih semakin lirih.
"Ooo ... aku salah tunjuk kalau begitu," kata Jalu malu-malu.
Baru saja ia berniat mengulurkan tangan, Tinara berkata, "Bukankah tadi kau
sudah membuktikan kalau temanku Ratih memiliki jenis kain dan lambang yang
sama persis dengan milik Beda Kumala, jadi otomatis aku pun pasti memiliki
jenis kain dan lambang yang sama pula, bukan?"
"Hemm, gadis ini cerdas juga," pikir Jalu, tapi mulutnya berkata lain, "Belum tentu
juga! Bisa saja itu hanya alasanmu untuk mengelabui diriku!"
"Sudahlah, Tinara! Waktu kita tidak banyak," kata pelan Ratih, karena ia
berusaha menenangkan debaran dadanya.
"Bagaimana" Diteruskan tidak?" tanya Jalu.
"Terserah kau sajalah," sahut Tinara sambil mengangsurkan tangan kanan
dengan maksud agar si pemuda langsung menyentuh kain bajunya sehingga
tidak meraba-raba seperti apa yang dilakukan pada Ratih. Namun, gerakan
tangan menjulur Tinara bersamaan dengan gerakan Jalu mengarah ke dada
montok sebelah kiri milik Tinara.
Plekk! Tangan kanan Jalu tepat mendarat di dada montok Tinara!
Bukan hanya menyentuh, tapi telapak tangan Jalu sedikit menekuk membentuk
mangkuk hingga menangkupi penuh di atas dada Tinara disertai dengan sedikit
remasan lembut.
"Kau!?"
Hampir sama Tinara menampar jika tangan kanannya tidak dipegangi oleh Ratih.
"Ingat, nyawa adikmu ada di tangannya," bisik Ratih.
Mendengar hal itu, Tinara mendengus kesal meski selebar wajah cantiknya
merah padam karena malu. Sedang Jalu sendiri dengan lagak seperti orang
buta, menjelajah kemana-mana dengan bebas. Tentu saja pemuda itu bisa
melihat bagaimana tangan gadis galak itu hampir menampar tangannya, namun
ditahan oleh Ratih.
"Huh, mau main-main denganku?" kata hati Jalu.
Dengan masih meraba-raba di atas dada kiri Tinara, Jalu Samudra
menggunakan hawa lembut yang disalurkan lewat syaraf-syaraf jari hingga
menerobos masuk ke dalam tubuh Tinara tanpa disadari oleh yang
bersangkutan. Serrr ... ! Api birahi langsung berkobar dahsyat di dalam diri Tinara hingga membuat
napas gadis cantik berbaju hijau sedikit memburu disertai keringat halus dingin
keluar dari dahi. Tinara kelihatan agak gelisah terlihat dengan cara berdirinya
yang tidak tenang. Bahkan badannya terlihat sedikit menggeliat dan dari
mulutnya terdengar desahan setiap kali tangan Jalu menggeser-geser halus
seperti menyentuh dan memijit lembut dadanya.
Belum lagi dengan debaran jantung yang mengencang bagai tambur yang
dipukul bertalu-talu. Meski gadis cantik itu pernah disentuh bahkan bercinta
dengan laki-laki, tapi selama hidupnya belum pernah ia merasakan nikmat yang
seperti dirasakan sekarang ini. Rasa nikmat terus menjalar ke seluruh tubuh,
hingga syaraf-syaraf halus dalam tubuh bergetar nikmat. Bahkan matanya sedikit
sayu menikmati kenakalan yang dihadirkan oleh Jalu Samudra.
"Edan! Meski cuma meraba-raba saja, aku bisa merasakan kenikmatan tiada
tara," kata hati Tinara. "Baru kali ini aku seperti hal seperti ini!"
"Hemm, dadanya lumayan padat dan kencang, kukira ukurannya tidak jauh beda
dengan milik temannya yang bernama Ratih itu," pikir Jalu dalam hati, diluarnya
ia berucap, "Lambangnya sebelah mana, dari tadi kucari tidak ketemu?"
Seperti halnya Ratih, Tinara segera meraih tangan Jalu yang masih bergerilya
kemana-mana sambil berkata dalam desah, "Disini ... "
Sett! Tanpa malu-malu lagi, Tinara justru menekan tangan Jalu agar tetap melekat di
"masa depan"-nya yang membusung kencang!
Setelah memegang-megang sebentar seolah memastikan lambang perguruan,
barulah Jalu berkata, "Lambangmu sama persis dengan milik temanmu dan
Beda Kumala. Aku baru percaya sekarang bahwa kalian bertiga adalah teman
satu perguruan."
Jalu berkata sambil mengangkat tangannya dari atas dada montok Tinara.
Saat diangkat, Jalu merasakan bahwa Tinara seakan tidak rela jika tangannya
dilepas dari atas dadanya.
Meski tidak terlalu kelihatan, namun Ratih melihat bahwa Tinara begitu
menikmati tangan jahil pemuda buta itu.
"Silahkan kalian bawa teman kalian," kata Jalu sambil mengangkat turun tubuh
pingsan, dipondong dan sedikit diangsurkan ke depan, entah kepada Ratih atau
Tinara. Seperti satu hati, Ratih dengan sigap menerima tubuh pingsan Beda Kumala,
dan diletakkan di pundak kanan.
"Tinara, aku harus secepatnya kembali ke perguruan untuk mengobati luka
Beda, dan tolong kau bawakan busur panahku," kata Ratih sambil menyerahkan
busur panahnya pada Tinara dan dibalas dengan anggukan lemah sambil
menerima busur milik Ratih. Tanpa menunggu jawaban dari mulut kawannya,
Ratih segera melesat menggunakan jurus peringan tubuhnya, beradu cepat
dengan waktu yang semakin sempit.
Blassh! Tubuh gadis berbaju hijau langsung melesat cepat seperti anak panah lepas dari
busur hingga membentuk sekelebatan bayangan hijau yang sebentar saja sudah
membentuk setitik kecil hijau di kejauhan.
"Nah, karena kawan kalian sudah aku serahkan, sekarang aku mohon pamit,"
ucap Jalu sambil berjalan ke arah berlawanan, tentu saja tongkat kayu hitamnya
langsung berperan sebagai penunjuk jalan bagi orang buta. Kalau ia langsung
ngeblas begitu saja, tentu bakalan ketahuan kalau tadi ia hanya membohongi
dua gadis dari Perguruan Sastra Kumala itu.
Sudah meraba-raba dada montok dua orang gadis sekaligus, sekarang mau
ngacir begitu saja"
Benar-benar pemuda berotak kancil!
Baru berjalan tiga langkah di muka, Tinara berkata pelan, "Kau harus ikut
denganku."
"Lho, memangnya kenapa?" tanya Jalu sambil menghentikan langkah.
"Kau harus mempertanggungjawabkan kenakalan tanganmu!" ujar Tinara
dengan sedikit ditekan.
"Wahh ... tanggung jawab bagaimana?"
"Pokoknya kau harus tanggung jawab. Titik!"
"Apa itu harus?"
"Harus dan wajib kau ikuti!"
"Bagaimana jika ... aku tidak mau!?"
"Maka anak panahku akan menembus batok kepalamu!"
"Jadi ... mau tidak mau aku harus ikut denganmu."
Jawaban yang diberikan Tinara adalah ... langsung merentang busur lengkap
dengan anak panahnya!
Dengan muka senyum tak senyum, Jalu pun harus pasrah dengan keinginan
gadis galak itu.
"Baiklah, aku ikut denganmu. Tapi ... "
"Tidak ada tapi-tapian!"
Tali busur semakin merentang ke belakang.
"Maksudku, kalau kau tidak menunjukkan jalan mana yang harus aku lewati,
mana bisa aku sampai di tempatmu?" tanya Jalu. "Kalau aku bisa melihat, tentu
aku akan ikut denganmu tanpa kau suruh."
Tinara segera mengendorkan tarikan panah.
"Ikuti langkahku!" kata Tinara sambil berkelebat pergi.
Wess! Jalu pun mengikuti arah lesatan gadis galak itu, namun baru beberapa langkah
... Jdukk! Brukk! Kepalanya membentur pohon dan otomatis ia jatuh terjengkang.
"Wadaoo ... " teriaknya kesakitan sambil tangan kiri mengelus-elus jidat.
Mendengar suara jeritan, Tinara kembali ke tempat semula. Dilihatnya pemuda
bertongkat hitam terkapar di tanah sambil mengelus-elus jidat.
"Tingkah apa lagi yang dikerjakan si buta sinting ini," pikir Tinara. "Apa yang kau
lakukan?" tanyanya heran.
Bukannya menjawab, malah Jalu balik berkata, "Aku jangan ditinggal begitu
saja." "Kamu kan tinggal mengikuti aku saja" Apa susahnya!?"
"Ya begini ini susahnya jadi orang buta. Menderita melulu," keluh Jalu. "Ngga
orang cakep, ngga orang jelek. Ngga orang kaya, ngga miskin ... sama saja,
memperlakukan diriku dengan seenak perutnya sendiri!"
Tinara tersenyum saja melihat gerutuan pemuda buta berbaju biru itu.
"Sudahlah! Aku minta maaf! Aku lupa kalau kau buta!" kata Tinara sambil
mendekati si Jalu, membantunya bangun dari tempatnya terkapar.
"Biar aku tuntun saja." katanya sambil meraih tangan kiri si pemuda.
"Naah ... gitu dong! Itu baru benar!" tukas Jalu cepat.
Namun baru saja ucapan terlontar dari mulut, tubuh pemuda itu langsung
pontang-panting mengikuti tarikan tangan Tinara langsung mengerahkan jurus
peringan tubuh untuk menyusul Ratih yang telah terlebih dahulu kembali ke
perguruan. Lapp! Lapp! "Gadis edan! Tanpa permisi langsung lari begitu saja," kata hati Jalu sambil purapura
mau jatuh, namun gadis yang menyeretnya mana mau peduli dengan
keadaan diri pemuda itu.
--o0o-- BAGIAN 5 Perguruan Sastra Kumala ...
Sebuah perguruan ilmu kanuragan yang seluruh muridnya adalah para gadis
atau wanita, tidak ada satu pun dari mereka yang berjenis laki-laki, bahkan
jumlah muridnya pun tidak sampai dua puluh orang banyaknya. Perguruan
Sastra Kumala sendiri baru muncul menancapkan taringnya di kancah rimba
persilatan, tepatnya setelah enam tahun Perguruan Gunung Putri berdiri. Meski
bukan perguruan silat besar dan ternama, namun kharismatik Nyi Tirta Kumala
sebagai Ketua cukup disegani kalangan pendekar persilatan. Dengan pukulan
maut yang bernama Pukulan "Jambu Surya" yang sumbernya dari Kitab "Bunga
Matahari", Nyi Tirta Kumala malang melintang di rimba persilatan dengan gelar
Dewi Tangan Api. Hanya Ketua Perguruan Gunung Putri dan beberapa tokoh tua
tidak lebih dari lima orang yang tahu bahwa bahwa pukulan maut yang dikuasai
oleh wanita usia kisaran empat puluhan tahun bersumber dari Kitab "Bunga
Matahari".
Namun yang jelas, tak satu pun tokoh dunia persilatan mana pun tahu bahwa
sesungguhnya Perguruan Sastra Kumala masih erat kaitannya dengan
Perguruan Gunung Putri yang telah dihancurkan oleh Perkumpulan Gagak
Cemani. Hal ini dikarenakan Ketua Perguruan Sastra Kumala yaitu Nyi Tirta
Kumala masih saudara satu ayah lain ibu dari Ketua Perguruan Gunung Putri
yaitu mendiang Dewi Gunung Putri.
Tentu saja berita kehancuran Perguruan Gunung Putri sempat memukul batin
Nyi Tirta Kumala hingga sakit selama berhari-hari, terlebih lagi setelah
mengetahui tidak ada satu pun dari murid perguruan kakaknya yang selamat dari
pembantaian masa sepuluhan tahun yang lalu.
Ke Perguruan Sastra Kumala-lah Tinara menyeret "paksa" Jalu Samudra!
Sebentar saja, pintu gerbang Perguruan Sastra Kumala sudah berada di depan
mata. Begitu mendekati pintu gerbang, Tinara mengurangi daya lari cepatnya
dan dengan setengah berlari, gadis berbaju hijau itu terus menyeret masuk Jalu
Samudra lewat pintu gerbang yang diatasnya tertera tulisan 'PERGURUAN
SASTRA KUMALA', melewati beberapa teman-teman seperguruannya yang
sedang berlatih silat di tanah lapang, terus berjalan tergesa-gesa ke arah
tenggara dan pada akhirnya berhenti di sebuah ruang terbuka yang cukup luas.
"Lebih baik kau tunggu disini," kata Tinara sambil melepaskan pegangan
tangannya. "Dan jangan kemana-mana! Ingat itu!"
Tinara meninggalkan pemuda yang dianggapnya buta di tempat itu, namun baru
saja berjalan delapan langkah, gadis itu membalikkan badan dan bertanya,
"Siapa namamu?"
"Kau bertanya padaku?" tanya Jalu menunjuk dirinya sendiri.
"Di tempat ini, selain kamu dan aku, tidak ada orang lain," terang Tinara dengan
ketus, lalu tanya ulang, "Siapa namamu?"
"Namaku ... Jalu."
Gadis itu hanya menggumam sebentar, kemudian balik badan melanjutkan
langkahnya, meninggalkan sendiri pemuda yang baru saja ditarik paksa.
"Masa aku ditinggal sendirian disini" Kalau ada setan lewat dan aku diculik,
bagaimana?" gerutunya sambil celingak-celinguk seperti kera mau mencuri
buah. Ruangan tempat pemuda murid tunggal pasangan Dewa Pengemis dan Dewi
Binal Bertangan Naga berukuran sekitar lima kali enam tombak, cukup lega dan
luas. Di empat sudut berdiri kokoh tiang penyangga dari kayu jati yang sudah
tua. Tidak ada apa-apa di tempat itu, selain sebuah bangku panjang berada di
sudut selatan yang menghadap tanah lapang tempat para murid berlatih silat. Di
atasnya atap dari sirap kayu cukup mampu menahan teriknya panas matahari di
siang hari. "Lebih baik aku duduk saja di bangku, sekalian istirahat," pikirnya sambil berjalan
ke sudut selatan, dan lagi-lagi tongkatnya diketuk-ketukkan seperti penunjuk
jalan bagi orang buta.
"Gadis galak yang kudengar bernama Tinara itu benar-benar sinting, langsung
lari begitu saja tanpa bilang-bilang. Mau balas dendam padaku rupanya!?"
gerutunya pada diri sendiri.
"Heran, kenapa kebiasaan mengetuk-ngetuk tongkat di tanah tidak hilang, ya?"
kata hatinya lagi, mencela kebiasaan 'asli'-nya. Begitu sampai, Jalu duduk di
bangku panjang ujung dekat tiang penyangga, bersandar di sana, meluruskan
kaki sepanjang bangku sambil memandang ke sekumpulan gadis yang rata-rata
berwajah cantik sedang berlatih jurus-jurus silat khas Perguruan Sastra Kumala.
"Kalau disuruh nongkrong di sini lima hari lima malam juga tidak nolak, apalagi


Si Pemanah Gadis Karya Gilang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

panorama di sini indah-indah," katanya lirih.
Yang dimaksud dengan 'panorama indah-indah' adalah baju hijau para gadis
murid Perguruan Sastra Kumala yang bersimbah peluh keringat hingga
mencetak lekak-lekuk tubuh mereka. Matahari di siang itu benar-benar terik
sehingga peluh yang keluar lebih banyak dari biasanya.
Tentu saja kedatangan Jalu ke tempat itu, membuat dua belas gadis yang ada
sedang berlatih di tanah lapang menghentikan latihannya.
"Huh, mentang-mentang Nyai Guru sedang tidak ada di tempat, Tinara
seenaknya saja memasukkan lelaki ke tempat ini," ujar gadis yang berbibir
sedikit tebal yang bernama Tiara.
"Bagusan begitu, Tiara! Kita jadi tahu siapa kekasih gelapnya Tinara," kata gadis
berikat kepala hijau menimpali perkataan Tiara.
"Bukan begitu maksudku, Gadira! Apa kau tidak tahu larangan Nyai Guru, bahwa
kita tidak boleh memasukkan laki-laki ke tempat ini," tukas Tiara.
"Ya, aku tahu! Tapi kalau memasukkan laki-laki buta kukira tidak ada masalah,"
tangkis Gadira. "Yang dilarang Nyai Guru kan cuma memasukkan laki-laki yang
bisa melek saja."
"Dia buta?"
Gadira mengangguk pasti.
"Darimana kau tahu kalau dia buta?" tanya kawannya, dia bernama Gaharu.
"Lihat saja ke dua bota matanya ... semuanya putih!" kata Gadira dengan dagu
sedikit diangkat. "Mana ada manusia bermata seperti itu kalau bukan orang buta
namanya!?"
"Bisa saja itu cuma mata palsu." Gayatri menyahut.
"Lha, terus gunanya tongkat hitam ditangannya itu apa kalau bukan sebagai
penunjuk jalan bagi orang buta" Apa kau tidak melihat saat ia berjalan menuju
bangku di sana, tongkatnya diketuk-ketukkan ke tanah," kata Gadira, berusaha
meyakinkan bahwa pendapatnya adalah yang paling benar. "Dan lagian, kalau
memang ia pakai mata palsu ... itu artinya dia memang laki-laki kurang kerjaan!"
"Dan tadi sempat kulihat waktu dibawa oleh Tinara, terlihat sekali kalau pemuda
itu buta beneran. Jalannya saja sradak-sruduk seperti mau jatuh," timpal Gayatri.
"Sradak-sruduk ... sradak-sruduk ... memangnya dia kerbau apa!?" ujar Tiara
sambil terkikik geli mendengar istilah yang dipakai oleh Gayatri. "Enak saja kau
ngomong!" lanjutnya sambil njulekin dahi Gayatri.
Para gadis murid Perguruan Sastra Kumala langsung tertawa cekikikan
mendengar celotehan teman-teman mereka yang kadangkala rada-rada sableng,
apalagi jika yang angkat suara Tiara dan Gayatri, pasti ramai sekali.
"Eh Tiara, menurutmu tampan mana antara si buta itu dengan Kakang Gabus
Mahesa, tunanganmu itu?" tanya Gadira pada Tiara.
"Sebentar kulihat dulu."
Gadis bernama Tiara memandang sekejap ke arah pemuda berbaju biru, barulah
ia berkata, "Kalau dinilai dari segi ketampanan, memang Kakang Gabus Mahesa
kalah jauh dengannya. Namun kalau segi kekuatan ... hm ... aku yakin Kakang
Gabus Mahesa jagonya."
"Kekuatan apa?"
"Kekuatan ... 'kekuatan itu", tuh!?" kata Gayatri sambil menjungkit-jungkitkan
alisnya. "Iiihh ... Gayatri! Ngomong jangan sembarangan dong!"
"Lho, siapa yang ngomong sembarangan" Bukankah katanya kamu pernah
klepek-klepek saat bersilat lidah dan main kuda-kudaan dengan Kakang Gabus
Mahesa?" sergah Gayatri. "Kita semua juga tahu itu. Buat apa malu?"
"Hi-hi-hik!"
Sebelas gadis usia belasan tahun itu kembali tertawa cekikikan saat melihat
gaya bicara Gayatri yang kocak dengan gerak tangan pulang pergi seperti itu.
"Kalau misalnya aku di suruh memilih, kalau disuruh lho ya ... aku lebih memilih
si buta tampan itu daripada Kakang Gabus Mahesa-mu, Tiara!" kata Gaharu,
yang sedari awal mengawasi si pemuda buta dengan seksama.
"Memangnya kenapa?" tanya Tiara heran sambil menoleh pada Gaharu.
"Kakangku perawakannya tinggi besar, kekar, gagah dan berotot! Masa' kau
lebih memilih pemuda buta seperti itu. Tampan sih tampan ... tapi kalau buta
buat apa coba?"
"Bukan itu masalahnya! Coba kau lihat saja senyumnya. Aduuhh ... entah
kenapa ketika melihat senyumnya aku jadi deg-degan. Jantungku berdebardebar
kencang," ucap Gaharu.
"Masa' senyumnya sehebat itu?" tanya Tiara tidak percaya.
"Kalau tidak percaya, coba raba dadaku."
"Yang benar?"
Tiara dengan serta merta meletakkan tangan di dada kiri Gaharu.
Benar saja, jantung gadis itu berdetak lebih kencang seperti habis lari dikejar
setan. "Kawan-kawan! Rupanya Gaharu sedang jatuh cinta pada pandangan pertama!"
seru Tiara, setelah mengetahui bahwa jantung Gaharu berdebar lebih keras dari
biasanya. "Aaahh ... dasar Tiara brengsek! Bicaranya jangan keras-keras, nanti dia
dengar," kata Gaharu sedikit manyun. "Awas nanti, kubalas kau!"
"Memangnya kau mau membalas apa" Adu silat" Adu panco?" tantang tiara
sambil menyingsingkan lengan baju. "Ayo maju kalau berani?"
"Sudahlah ... begitu saja rebut," lerai kawan-kawannya.
"Pokoknya tunggu saja nanti," kata Gaharu dengan senyum teka-teki.
Tiba-tiba saja terdengar sebuah suara yang cukup nyaring menyeruak.
"Sudah waktunya kalian latihan di kolam air panas!"
Suara itu sedikit memantul dimana-mana, jelas sekali bahwa pemilik suara
bukan orang berilmu rendah.
"Baik, Sari!" sahut Gadira. "Ayo kawan-kawan, kita ke kolam air panas."
Sambil masih bersenda gurau, dua belas gadis yang rata-rata cantik, meski
kalah cantik dengan Tinara dan Ratih, berjalan dengan langkah ringan. Langkah
ringan mereka tidak lepas dari pendengaran Jalu Samudra yang super tajam.
"Hemm, tenaga dalam yang mereka miliki sudah cukup tinggi," gumam Jalu
Samudra dengan mata memandang ke depan. "Aku yakin guru di tempat ini
mendidik para muridnya dengan disiplin tinggi."
Sekumpulan gadis itu berjalan mendekat ke arah tempat murid Dewa Pengemis
dan Dewi Binal Bertangan Naga duduk istirahat. Tiba-tiba saja angin bertiup
lumayan kencang dari arah depan.
Whuss ... ! Sebentuk hawa sejuk menerpa dan diterima syaraf-syaraf tubuh seperti belaian
dari surga. Rambut panjang Tiara bagai gelombang air laut yang dipermainkan
angin. "Tiara, lebih baik rambutmu kau ikat saja," kata Gayatri. "Digelung dulu juga tidak
apa-apa." "Emm ... boleh juga usulmu," sahut Tiara sambil berjalan.
Dua tangan Tiara meraih rambut panjangnya. Namun belum lagi sempat
menggelung rambut, dua buah tangan menyusup di bawah ketiak dan dengan
gerakan cepat, menarik baju hijau Tiara ke belakang.
Sett! "Aaaakhh ... !"
Tiara langsung menjerit keras saat baju depannya terkuak lebar hingga
memperlihatkan perut putih dan busungan dada montok yang terbalut kain
penutup dada warna merah muda.
"Brengsek! Siapa nih yang main-main?"
Namun tanpa menunggu jawaban siapa yang berbuat, gadis itu sudah tahu siapa
biang keladinya. Dilihatnya Gaharu dan Gayatri berlari menjauh sambil tertawa
terpingkal-pingkal.
"Hi-hi-hik!"
Wutt! Tiara melesat mengejar dua kawannya tanpa membetulkan kembali baju yang
setengah terbuka.
"Gaharu brengsek! Awas kau, ya!?"
"Rasakan pembalasanku!" teriak Gaharu.
"Memang enak setengah bugil di depan orang buta?" timpal Gayatri.
Teman-teman mereka yang ada di belakang tertawa terpingkal-pingkal melihat
'aksi balas dendam' yang dilakukan Gaharu dibantu oleh Gayatri.
Benar-benar balas dendam yang aneh!
"Pantas saja tadi kulihat mereka berdua kasak-kusuk di belakang," kata Gadira,
"Rupanya mereka berdua berniat ngerjain si Tiara."
"Pasti nanti di kolam air panas terjadi kehebohan." sahut kawannya yang agak
pendek. "Benar! Seperti tiga ekor kucing rebutan ikan asin!" seloroh kawan si pendek.
"Lebih baik, segera kita lihat ke kolam air panas."
"Ayo!"
Setelah sembilan orang gadis berlalu dari tempat itu, Jalu menghela napas
dalam-dalam. "Lama-lama di tempat ini kepalaku bisa penuh dengan pikiran jorok," kata Jalu
dalam hati. "Tapi ... ngomong-ngomong, Tinara kemana sih" Lama amat dia di
dalam?" Baru saja ia berpikir seperti itu, telinga Jalu menangkap suara halus di
belakangnya. "Yang datang kali ini berilmu lebih tinggi dari Tinara dan kawannya. Langkah
mereka seperti harimau sedang mengincar mangsa. Begitu halus dan ringan,"
pikir Jalu sambil menoleh ke belakang. "Woow! Dua gadis cantik, meeen!"
katanya cukup keras, tapi cuma dalam hati.
"Syukurlah ... ada yang datang juga ke tempat ini," kata Jalu, "Kalau tidak,
mungkin aku sudah ketiduran sesiangan. Apalagi hawa di sini membuatku
menjadi mengantuk."
Dua gadis yang berusia sekitar dua puluh limaan dan dua puluh empatan
berhenti melangkah, lalu saling pandang satu sama lain.
"Hebat juga dia, bisa mengetahui kehadiran kami," pikir keduanya.
"Sari, bagaimana menurutmu?" bisik yang sebelah kiri yang di bagian punggung
menyoren pedang.
"Dia cukup hebat, Wulan!" sahut lirih gadis yang menenteng pedang di tangan
kanan yang bernama Sari, "Pendengarannya cukup tajam hingga bisa
mengetahui kehadiran kita. Padahal aku tadi sudah menggunakan tataran
tertinggi dari ilmu peringan tubuhku."
"Jadi ... apa yang dikatakan Ratih tentang pemuda buta ini memang tidak salah,"
tutur lirih Wulan, "Sebab jarang ada pendekar yang bisa menghindari lesatan
panah dari perguruan kita."
"Kita dekati dia," kata Sari, pendek.
Setelah mendekat, salah seorang dari mereka menyeret bangku panjang
satunya, dan pada akhirnya dua gadis cantik itu duduk berhadapan dengan si
pemuda buta. "Jika boleh kutahu, siapakah nona berdua ini?" tanya Jalu.
"Aku Sari," sahut gadis yang menyandang pedang di punggung, "Lengkapnya
Sari Kumala."
"Aku sendiri bernama Wulan Kumala," terang gadis yang memegang pedang
sambil meletakkan pedangnya di samping kanan.
"Nama kalian selalu berakhiran 'Kumala', ya?" tanya Jalu, heran.
"Benar! Memang di perguruan kami selalu menambahkan kata 'Kumala' di
belakang nama panggilan kami sehari-hari."
"Aneh juga."
"Apanya yang aneh, Jalu" Eh ... namamu Jalu, khan?" tanya Sari Kumala
menegaskan. "Benar! Sedari kecil nama pemberian orang tuaku belum berubah hingga
sekarang."
"Apanya yang kau anehkan dari nama kami, Jalu?" tanya Wulan Kumala.
"Aku pernah dengar ada sekumpulan orang yang nama awal semuanya 'Gagak'
dan sekarang justru nama akhirnya 'Kumala'!" tutur Jalu Samudra sambil gelenggeleng
heran. "Jangan-jangan nanti aku berjumpa dengan orang yang semua
nama tengahnya sama?"
Wulan Kumala tersenyum kecil mendengar analisis pemuda bertongkat hitam
yang duduk tenang sambil bersandar di hadapan mereka.
BAGIAN 6 "Kukira tidak ada yang aneh di dunia ini, sobat!" kata Sari Kumala singkat. "Apa
pun istilahnya, nama memang digunakan untuk lebih mengingatkan seseorang
pada satu orang saja."
"Bagaimana dengan kondisi Beda Kumala?" tanya Jalu, mengalihkan
pembicaraan. "Berkat dirimu yang secepatnya membawa kemari, racun yang mengeram di
tubuh Beda bisa dinetralisir dengan ramuan obat milik perguruan kami. Sekarang
Beda Kumala sedang dalam masa penyembuhan di kolam air panas," tutur Sari
Kumala panjang lebar.
"Di tempat kalian ada kolam air panasnya?" tanya Si Pemanah Gadis, kaget.
"Betul sekali."
"Di sini bukan daerah pegunungan atau pun perbukitan, bagaimana bisa ada
kolam air panasnya?" tanya Jalu dengan heran.
"Kami sendiri juga tidak tahu. Saat kami berdua masuk menjadi murid Perguruan
Sastra Kumala memang sudah ada kolam air panas dengan tiga warna di tempat
ini." "Kolam tiga warna" Warnanya apa saja?"
"Warna hijau, biru dan bening."
Jalu hanya sedikit mengangguk. "Apa manfaat dari kolam tiga warna itu?"
"Kolam bening kami gunakan untuk penyembuhan segala macam luka termasuk
luka keracunan. Kolam biru untuk melatih hawa sakti dan kolam hijau saat ini
belum kami ketahui apa manfaatnya," terang Sari Kumala.
"Kenapa?"
"Karena kolam hijau memiliki suhu yang teramat sangat panas. menurut
penuturan Nyai Guru, mungkin panasnya mencapai sembilan kali terik matahari
di siang hari," ujar Wulan Kumala.
"Bahkan tangan Nyai Guru Tirta Kumala melepuh saat berusaha menjajaki
seberapa panas air dari kolam hijau," sambung Sari Kumala.
Kembali Jalu hanya mengangguk sedikit.
"Butuh berapa lama proses penyembuhan dari kolam bening itu?" kata Jalu,
tertarik dengan manfaat dari kolam bening.
"Jika lukanya cukup parah, paling banter butuh tiga hari tiga malam lamanya."
"Wahh ... lama juga kalau begitu!?" kata Jalu dengan takjub, "Terus ... kalau
seperti luka yang dialami oleh Beda Kumala, kira-kira membutuhkan waktu
berapa hari?"
"Seharusnya butuh waktu dua hari lebih sedikit untuk menetralisir racun yang
ada dalam tubuhnya."
"Kenapa kau katakan 'seharusnya?"" Jalu bertanya dengan dahi berkerut.
"Karena racun yang mengeram dalam tubuhnya adalah racun paling ganas dunia
persilatan yang bernama Racun 'Ular Karang'!" kata Wulan Kumala.
"Apa!?"
Sebagai orang yang masa kecilnya hidup berdampingan dengan laut, tentu saja
Jalu Samudra kenal dengan yang namanya Racun 'Ular Karang', yaitu sejenis
racun yang berasal dari sejenis ular laut berkepala gepeng segitiga yang banyak
berdiam diri di atas karang-karang terjal. Karangnya pun tidak sembarang
karang, tapi karang yang dibawahnya memiliki riak ombak cukup besar dan acap
kali bergulung-gulung setinggi lima enam tombak sebelum pada akhirnya pecah
membentur batu karang.
Kakeknya pernah berkata, bahwa siapa saja yang tergigit Ular Karang di bagian
tubuh mana pun, dalam waktu kurang dari sembilan helaan napas tubuhnya
akan dengan cepat berubah kaku laksana batu dan andai dikubur selama
ratusan tahun pun tubuhnya akan tetap utuh membatu. Tidak ada penawar racun
untuk racun jenis ini kecuali bahwa yang tergigit memiliki hawa pemunah racun
alami atau setidaknya memiliki hawa sakti yang unik saja.
"Hanya saja, kami cukup heran dengan Racun 'Ular Karang' yang mengeram
dalam tubuhnya. Sepertinya ... racun dalam tubuhnya tertahan oleh suatu tenaga
aneh yang tidak kami ketahui," kata Wulan Kumala dengan tatapan menyelidik.
Gadis ini memang tipe gadis teliti. Apa saja yang terasa aneh olehnya pasti akan
membuatnya penasaran sehingga berusaha keras mencari penyebab dari
keanehan yang dijumpainya. Seperti halnya racun yang ada dalam tubuh Beda
Kumala. Ia tahu betul bahwa racun yang mengeram dalam tubuh saudara
seperguruannya adalah jenis racun ganas. Jarang-jarang ada manusia yang bisa
tahan hidup dalam waktu sepenanakan nasi lamanya sejak Racun 'Ular Karang'
itu masuk ke dalam tubuh. Dan ia tahu betul, seberapa besar hawa tenaga
dalam yang dimiliki Beda Kumala. Untuk menahan menjalarnya racun saja sudah
pasti ia tidak sanggup, apalagi bertahan dengan waktu yang lama. Sehingga ia
menyimpulkan tidak mungkin Beda Kumala sanggup bertahan dengan racun
ganas sebegitu lamanya.
Satu-satunya kesimpulan adalah ada orang yang dengan sengaja memasukkan
hawa saktinya untuk menahan lajunya Racun 'Ular Karang'!


Si Pemanah Gadis Karya Gilang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dan satu-satunya orang yang dicurigai adalah pemuda buta di depannya!
"Tenaga aneh yang bagaimana maksudmu, Wulan?" tanya Jalu pura-pura tidak
tahu, padahal dalam hatinya ia sempat kagum dengan ketajaman mata gadis di
depannya, "Hebat! Hawa murni yang kususupkan ke tubuh Beda Kumala pun
bisa diketahuinya."
"Aku sendiri kurang begitu tahu! Hanya saja tenaga ini sejenis hawa yang belum
pernah aku lihat sama sekali."
"Sudahlah, Wulan! Yang penting sekarang ini, Beda Kumala sudah selamat dari
ancaman kematian," sela Sari Kumala sambil mengedipkan mata.
Wulan Kumala yang paham arti dari kedipan mata Sari, hanya menghela napas
pelan. "Jalu, kami ucapkan beribu-ribu terima kasih atas pertolonganmu pada saudara
kami," ucap Sari Kumala. "Jika tidak ada kau, mungkin sekarang ini nyawa Beda
Kumala sudah tidak bisa diselamatkan lagi."
"Sama-sama, Sari Kumala! Hanya kebetulan saja aku lewat saat Beda Kumala
sedang terkulai setengah pingsan akibat luka yang dideritanya."
Tentu saja Jalu tidak mengatakan yang sebenarnya, sebab bisa-bisa ia
didamprat sebagai laki-laki kurang kerjaan karena mengintip gadis yang sedang
bermain asmara.
"Jika boleh tahu, siapa yang menjadi lawan tarung Beda Kumala, Jalu?" tanya
Sari Kumala. "Sebab dari jejak luka yang dideritanya ia bertarung dengan
seorang yang jago menggunakan racun ganas."
"Dari apa yang kudengar, Beda menyebut-nyebut nama mereka dari Istana Jagat
Abadi," terang Si Pemanah Gadis.
"Istana Jagat Abadi?" tanya Sari Kumala menegaskan.
"Begitulah apa yang kudengar, Sari."
Wulan Kumala langsung menukas, "Tidak mungkin kalau mereka dari Istana
Jagat Abadi!"
"Kenapa tidak mungkin, Wulan?"
"Sebab, saat ini Istana Jagat Abadi merupakan pihak penengah di antara
Perguruan Sastra Kumala dan Aliran Danau Utara yang sedang bersengketa,"
tutur Wulan Kumala. "Mereka bertindak netral. Jelas tidak mungkin mereka
memusuhi kami dari Perguruan Sastra Kumala."
Jalu Samudra termangu-mangu mendengarnya.
"Memangnya ada perseteruan apa antara kalian dengan Aliran Danau Utara?"
tanya Jalu, lalu sambungnya, "Itu pun jika kalian tidak keberatan
menceritakannya padaku sebagai orang luar perguruan."
Sari Kumala dan Wulan Kumala saling pandang beberapa saat.
Kemudian Sari Kumala-lah yang membuka pembicaraan.
"Baiklah, Jalu! Sebagai balas budi kami, tidak ada salahnya jika kau tahu apa
yang sebenarnya terjadi sekaligus yang menjadi sebab musabab silang sengketa
antara Aliran Danau Utara dengan perguruan kami," ujar Sari Kumala, lalu
lanjutnya, "Silang sengketa kami berawal sekitar dua tahun yang lampau, tatkala
Nyai Guru sedang berlatih silat dari sebuah kitab yang bernama Kitab "Bunga
Matahari".
"Kitab "Bunga Matahari?""
"Betul! Kitab itu ditemukan pada sebuah gua kecil di saat beliau kehujanan dan
berteduh di sana. Pada saat yang sama pula, Ki Gegap Gempita juga ikut
berteduh di tempat itu ... "
"Siapa itu Ki Gegap Gempita?" potong Jalu.
"Ki Gegap Gempita adalah Ketua Aliran Danau Utara generasi ke lima," terang
Wulan Kumala. "Ooo ... "
"Bisa kulanjutkan?"
"Silahkan, silahkan ... "
"Waktu itu Ki Gegap Gempita terluka parah akibat bertarung dengan musuh
lamanya. Oleh Nyai Guru, Ki Gegap Gempita berniat beliau obati dengan
ramuan obat yang selalu dibawanya. Namun belum lagi dimulai, tiba-tiba saja
gua tempat mereka berteduh runtuh di bagian sebelah timur," ucap Sari Kumala,
lalu menghela napas sebentar, terus berkata, "Dan di antara reruntuhan dinding
gua, tergolek begitu saja dua buah kitab yang diikat menjadi satu. Mulanya yang
melihat dua kitab itu cuma Ki Gegap Gempita, disebabkan sedang dibalut
lukanya oleh Nyai Guru, Ki Gegap Gempita hanya diam saja. Setelah selesai
dan agak baikan, barulah Ketua Aliran Danau Utara berjalan ke sisi timur dan
memungut dua kitab itu dari tumpukan reruntuhan."
"Nyai Guru hanya mendiamkan saja perbuatan Ki Gegap Gempita, karena
memang beliau paling tidak suka berebut dengan orang lain," sambung Wulan
Kumala, "Setelah diobati oleh Nyai Guru Tirta Kumala dan merasa tertolong
jiwanya, Ki Gegap Gempita bermaksud memberikan salah satu dari dua kitab
yang ada di tangannya, dimana satu kitab warna kuning dengan gambar bunga
matahari dan satunya berwarna putih bergambar sepasang mata dengan latar
belakang bulan purnama. Mulanya Nyai Guru menolak halus tawaran tersebut,
tapi Ketua Aliran Danau Utara terus memaksa. Akhirnya Nyai Guru memilih kitab
yang berwarna putih dengan lambang sepasang mata dengan latar belakang
bulan purnama dan pilihan itu disetujui oleh Ki Gegap Gempita. Bahkan untuk
lebih memudahkan mereka berdua, Ketua Aliran Danau Utara memberikan nama
Kitab "Bunga Matahari" pada kitabnya sedang kitab pilihan Nyai Guru diberi nama
Kitab "Mata Bulan"."
"Kitab "Bunga Matahari" dan Kitab "Mata Bulan"," gumam murid tunggal Dewa
Pengemis. "Setelah ke dua kitab dibuka-buka sebentar, barulah diketahui bahwa isi dari
kedua kitab adalah tata cara menghimpun hawa sakti tingkat tinggi yang
bersumber dari kekuatan alam. Namun dengan dasar hawa murni yang mereka
pelajari selama ini, ternyata isi kitab saling bertentangan satu sama lain ... "
"Maksudnya?"
"Jika Nyai Guru berlatih hawa berunsur api justru kitab yang didapatnya berisi
penggunaan unsur air sebagai dasarnya. Begitu juga dengan Ki Gegap Gempita
yang melatih hawa berjenis air justru mendapatkan kitab berunsur api."
"Terus mereka bertukar kitab, begitu?" tebak Jalu Samudra.
"Benar, Jalu. Akhirnya Ki Gegap Gempita menukarkan Kitab "Bunga Matahari"
miliknya dengan Kitab "Mata Bulan" milik Nyai Guru," kata Sari Kumala.
"Hingga kemudian terjalin hubungan baik antara Nyai Guru Tirta Kumala dengan
Ki Gegap Gempita. Otomatis para murid dari ke dua belah pihak saling
mengenal satu sama lain, bahkan ada di antara kami yang menjalin hubungan
asmara dengan murid-murid Aliran Danau Utara yang memang keseluruhannya
adalah laki-laki," terang Wulan Kumala.
"Termasuk kalian tentunya?" goda Jalu, yang langsung membuat rona merah di
pipi ke dua gadis cantik itu.
Jalu senang sekali menggoda dua gadis ini, entah kenapa begitu melihat rona
merah di pipi ke dua gadis itu, ingin sekali ia menggodanya teruis-menerus.
"Aku yakin, kedua pipi kalian pasti merona merah," kata Jalu.
Padahal, sebenarnya ia bisa melihat dengan jelas rona merah di pipi ke dua
gadis tersebut. Tentu saja hal ini ia lakukan karena sedang berpura-pura menjadi
orang buta. Kalau ia bilang "aku melihat rona merah di ke dua pipi kalian",
tentulah sandiwara kebutaannya akan terbongkar.
"Jika memang keduanya sudah sepakat membagi kitab masing-masing, lalu apa
masalahnya?" tanya Jalu.
"Justru karena dua buah kitab itulah menjadi pangkal masalah."
"Terus?"
"Saat Nyai Guru Tirta Kumala sedang berlatih jurus Pukulan 'Jambu Surya' di
ruang latihan silat, Kitab "Bunga Matahari" dicuri orang!"
"Dicuri orang?"
"Pencuri itu menggunakan kerudung hitam dan kami pergoki saat sedang
berusaha lari melewati pintu gerbang. Saat kami serang, si pencuri kerudung
hitam menggunakan ilmu khas yang hanya Aliran Danau Utara saja yang
memilikinya." kata Wulan Kumala. "Yaitu kekuatan inti dari "Air Dingin Tenaga
Bulan"!"
"Kekuatan inti dari "Air Dingin Tenaga Bulan?" Ilmu apa itu?" tanya Jalu, heran.
"Jika di perguruan kami memiliki Kolam Air Panas Tiga Warna, maka di Aliran
Danau Utara memiliki Kolam Air Dingin Tiga Rupa. Di dalam Kitab "Bunga
Matahari", pemanfaatan unsur panas sangat dominan sekali, sehingga akan
memunculkan kekuatan panas yang bisa merasuk ke dalam tubuh dan jika
diolah secara benar sesuai petunjuk yang ada dalam Kitab "Bunga Matahari"
akan berubah menjadi tenaga dalam berunsur api, yang dinamakan kekuatan inti
"Air Panas Tenaga Surya"." Ucap Sari Kumala sambil menarik napas, kemudian
disambungnya, "Demikian pula dengan yang dilakukan Ketua Aliran Danau
Utara, memanfaatkan unsur dingin dari kolam air dingin yang jika diolah sesuai
dengan petunjuk dari Kitab "Mata Bulan" sehingga berubah menjadi tenaga
dalam berunsur air atau dingin, yang dinamakan kekuatan inti "Air Dingin Tenaga
Bulan"!"
Jalu mengelus-elus dagunya yang klimis sambil memutar otak, berusaha
mencerna setiap cerita yang didengarnya secara bergantian dari mulut Wulan
dan Sari. Beberapa kali ia menemukan hal yang janggal dalam cerita mereka
berdua. "Apakah Kitab "Bunga Matahari" yang dicuri berada satu ruangan dengan guru
kalian waktu?" tanya Jalu.
"Benar."
"Terjadinya siang atau malam?"
"Tepat di tengah hari."
"Apa tindakan guru kalian sewaktu mengetahui bahwa kitabnya dicuri orang?"
"Beliau langsung mengejar si Pencuri Kitab sambil memerintahkan kami untuk
mencegat jalan keluar si pencuri," jawab Sari Kumala.
" ... dan ia berusaha lewat pintu gerbang depan," tambah kawannya.
"Hanya begitu?"
"Ya."
"Jika benar cerita kalian dan seperti itu kejadiannya, maka ada hal aneh yang
aku jumpai."
"Kami kira cerita yang kuutarakan dan Sari katakan tidak ada hal yang aneh,"
sergah Wulan Kumala.
"Justru itulah anehnya! Karena kalian yang mengalami sendiri maka tidak
tampak aneh, tapi jika orang lain yang mendengarnya justru akan terlihat
beberapa kejanggalan."
"Kejanggalan?"
"Coba kalian pikir baik-baik! Jika mencuri di siang bolong sudah pasti tidak aneh,
bukan?" kata Jalu, "Tapi justru menjadi aneh ketika si pencuri lewat pintu
gerbang depan, seakan membiarkan dirinya diketahui bahwa dialah sang
Pencuri Kitab. Kenapa tidak mencari arah lari yang aman dari cegatan kalian!?"
Wulan Kumala menganggukkan kepala.
"Benar juga kata si buta ini," pikir gadis yang menyandang pedang di punggung.
"Kenapa aku tidak berpikir seperti itu dari dulu?"
"Itu kejanggalan yang pertama. Yang ke dua, si pencuri seakan memberikan
identitasnya sendiri kepada kalian dengan menggunakan jurus atau ilmu andalan
dari perguruan tertentu." kata Jalu, "Dalam hal ini Aliran Danau Utara, tentunya."
"Karena waktu ia dikepung oleh kami bersaudara sehingga terpaksa harus
menggunakan kekuatan inti "Air Dingin Tenaga Bulan" untuk menahan kekuatan
inti "Air Panas Tenaga Surya" yang kami gunakan waktu itu," tukas Sari Kumala.
BAGIAN 7 "Jika memang seperti itu keadaannya, berarti dia pencuri paling goblok yang
pernah kutahu," kata Jalu.
"Apa sebabnya?"
"Dimana pun seorang pencuri, ia pasti dengan serapat mungkin
menyembunyikan jati dirinya yang asli agar tidak diketahui oleh pihak yang
menjadi korbannya dari awal hingga akhir kejadian!" ucap Jalu.
"Benar sekali."
"Jadi ... pencurian kitab di tempat kalian adalah disengaja dan hal itu seperti
orang berniat lempar batu sembunyi tangan!"
Deg! Jantung Wulan dan Sari seperti dipantek dengan paku baja!
Dalam otak mereka tidak pernah terlintas sama sekali bahwa ada kemungkinan
seperti yang dikatakan oleh Jalu.
"Kau benar, Jalu ... kau benar! Kami tidak sempat berpikir seperti itu!" kata Sari
Kumala dengan raut muka tegang.
"Jadi ... ada kemungkinan kalau kita ini ... "
"Masuk perangkap!" potong Jalu Samudra mantap.
Dua murid teratas dari Perguruan Sastra Kumala saling pandang tidak percaya.
Sulit sekali menerima kenyataan bahwa mereka bisa masuk perangkap orang
lain tanpa mereka sadari.
"Dan kejanggalan yang ketiga ... "
"Masih ada lagi?" tanya Wulan dan Sari hampir bersamaan.
Jalu mengangguk pasti.
"Dengan adanya kerudung hitam yang dipakai si pencuri, hanya ada dua
jawaban yang pasti."
"Hanya dua jawaban?" tanya Wulan Kumala. "Apa itu?"
"Pertama, si pencuri adalah orang yang kalian kenal sebelumnya sehingga perlu
menyembunyikan jati dirinya dan yang kedua adalah si pencuri kenal dengan
dua guru masing-masing perguruan sehingga ia perlu menutupi identitasnya,"
terang Jalu pada dua gadis cantik yang semakin terpana dengan penjelasan
murid Dewa Pengemis ini.
Kembali dua gadis cantik yang memiliki pesona kecantikan hampir setara
terhenyak! "Semua yang kuutarakan tadi hanyalah kemungkinan-kemungkinan yang
mungkin saja terjadi ... "
"Tidak, Jalu! Semuanya sudah pasti!" tutur Wulan Kumala, "Dan aku sudah yakin
bahwa memang ada pihak ketiga yang bermaksud menarik keuntungan dari
pertikaian yang mereka ciptakan sendiri."
"Kalau begitu, kepergian Nyai Guru ke Aliran Danau Utara satu setengah tahun
lalu untuk mengunjungi Aliran Danau Utara adalah juga perangkap yang dibuat
oleh mereka yang kita anggap saja sebagai pihak ketiga?" kata Sari Kumala
mengkhawatirkan keadaan gurunya jika benar-benar Perguruan Sastra Kumala
dijebak agar berseteru dengan Aliran Danau Utara.
"Kemungkinan besar hal itu terjadi," tukas Si Pemanah Gadis. "Dan aku yakin hal
itulah yang diinginkan oleh pihak ketiga."
Kembali Sari Kumala dan Wulan Kumala tercenung. Meski percakapan mereka
dengan Jalu Samudra masih sebatas dugaan saja, tapi melihat situasi yang
terjadi saat ini besar kemungkinan dugaan mereka bertiga tidaklah meleset jauh.
"Sejak mulai kapan Istana Jagat Abadi menjadi penengah?" tanya Jalu Samudra
tiba-tiba. "Kenapa kau tanya begitu?"
"Aku hanya ingin tahu saja."
"Tepatnya, satu pekan sejak kepergian Nyai Guru, Ki Harsa Banabatta datang ke
perguruan kami."
"Siapa itu Ki Harsa Banabatta?"
"Ki Harsa Banabatta adalah Ketua Istana Jagat Abadi yang dijuluki Si Tangan
Golok," jawab Sari Kumala.
"Dengan tujuan apa Si Tangan Golok datang ke tempat ini?"
"Si Tangan Golok mengatakan bahwa ia membawa pesan dari guru untuk
membantu menengahi pertikaian yang terjadi antara perguruan kami dengan
Aliran Danau Utara ... "
"Tunggu dulu ... menengahi katamu?" tanya Jalu heran.
"Menengahi tentang silang sengketa tentang pencurian kitab perguruan kami,"
jawab Wulan Kumala. "Memangnya kenapa" Ada yang aneh?"
"Hanya heran saja, darimana ia tahu tentang permasalahan ini?"
"Ia bertemu Nyai Guru Tirta Kumala di tengah perjalanan dan Ki Harsa
Banabatta bersedia membantu pihak Perguruan Sastra Kumala sebagai pihak
yang dirugikan oleh pihak ketiga, yang kami duga ia berasal dari Aliran Danau
Utara." "Dan kalian percaya begitu saja?"
"Benar."
"Dengan alasan apa kalian bisa mempercayai ucapan Si Tangan Golok?"
"Karena Si Tangan Golok membawa ini!" kata Sari Kumala sambil meletakkan
sesuatu di hadapan Jalu.
Dengan meraba-raba, Jalu memungut benda hijau muda segi delapan yang ada
di depannya. Memegang-megang beberapa saat sambil membolak-balik benda
hijau muda di tangannya.
"Hemm ... terbuat dari batu giok murni yang umurnya sudah lebih dari seratus
tahun. Pahatannya halus, teramat halus malah. Jarang sekali dijumpai tukang
pahat yang bisa memahat sebaik dan sebagus ini," gumam Jalu Samudra.
"Hebat! Hanya dengan meraba saja kau sudah bisa menebak tepat sembilan
bagian dari Lencana Ketua," puji Wulan Kumala mendengar penilaian dari
pemuda berbaju biru yang sebelum telah membuatnya kagum dengan


Si Pemanah Gadis Karya Gilang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

analisisnya. "Jika kau tahu kau kalau aku bisa melihat benda ini, bakalan pingsan kau, Cah
Ayu!" kata hati Jalu, tapi luarnya ia berkata lain, "Jangan terlalu memujiku, nanti
aku besar kepala, Wulan."
Sambil menyerahkan Lencana Ketua, Jalu berkata, "Apa kau yakin bahwa benda
itu asli?"
"Aku yakin benda itu asli."
"Seberapa yakin?"
"Sepuluh bagian."
"Bagaimana kau yakin?"
"Karena kami berdua pernah melihatnya."
"Pernah memegangnya?"
"Belum! Sama sekali belum pernah."
"Pernah melihat sisi belakang dari lencana itu?"
"Sama sekali belum!" sahut dua gadis bersamaan, dalam hati mereka berpikir
sama, "Kenapa pertanyaannya semakin lama semakin aneh?"
Si Jalu bangkit berdiri sambil menggendong tangan di belakang punggung dan
berbalik membelakangi dua gadis teratas dari Perguruan Sastra Kumala.
"Kalian pernah lihat ayam betina?" tanya Jalu kemudian.
Dengan mulut tersenyum simpul menahan tawa karena pertanyaan Jalu yang
lucu, Sari Kumala menjawab, "Tentu saja pernah. Makan ayam betina saja aku
juga pernah. Digoreng atau dibakar, bahkan teramat sering malah."
"Kalau begitu ... kalian pernah melihat ayam bertelur, bukan?"
"Di belakang pondok kami, ada kandang ayam. Bahkan beberapa diantaranya
sedang mengerami telurnya. Memangnya ada apa sih kau tanya perkara ayam
dan telur pada kami?" seloroh Wulan Kumala, hingga akhirnya ia tertawa lepas.
Sambil membalik badan menghadap ke arah dua gadis itu, Jalu bertanya, "Kalau
begitu ... tentu kalian pernah memasukkan jari ke dalam brutu?" (brutu = lubang
telur ayam, bahasa jawa).
Mendengar pertanyaan kali ini, dua gadis itu semakin tertawa lepas saja.
"Hi-hi-hik ... kau ini aneh-aneh saja, Jalu! Buat apa ... "
"Disitulah masalahnya!" potong Jalu dengan cepat.
Sontak, tawa lepas Wulan dan Sari Kumala lenyap bagai digondol setan!
"Masalahnya?"
"Ya, disitulah masalahnya! Masalah sepele yang terlewatkan oleh kalian semua!"
kata Jalu dengan tegas.
"Bisa kau jelaskan pada kami, Jalu?" pinta Sari Kumala.
"Dengan senang hati!" kata Jalu, lalu ia kembali duduk ke tempat semula, lalu
katanya dengan mimik muka serius, "Jika kalian tidak pernah memasukkan jari
ke dalam lubang telur ayam untuk mengetahui apakah ayam betina itu mau
bertelur atau tidak, bukankah itu sama artinya dengan kalian yang belum pernah
menyentuh sama sekali Lencana Ketua. Hanya dengan melihat bentuk luarnya
saja kalian berdua lantas begitu yakin bahwa benda itu adalah asli."
"Lalu?"
"Dalam hal ini, perangkap orang ketiga telah berhasil untuk ke sekian kalinya."
Jika orang menggali lubang dan si penggali terperosok ke dalamnya tanpa
disadari adalah suatu kemungkinan yang wajar, tapi jika berkali-kali terperosok
ke dalam lubang sama, sulit sekali menerima kenyataan itu dalam suatu
kewajaran! Sari Kumala dan Wulan Kumala saling pandang dengan tatapan tak percaya!
Bersamaan dengan itu, dua gadis cantik itu memandang Jalu dengan tatapan
penuh pertanyaan.
"Pernahkah kalian memberikan barang kesayangan atau milik pribadi yang
paling kalian sayangi kepada orang lain?"
"Tidak pernah!" sahutnya bersamaan.
"Bukankah itu sama halnya dengan Lencana Ketua yang kalian bawa," kata Jalu
Samudra, "Tidak mungkin Nyai Guru kalian memberikan begitu saja lencana
lambang Ketua Perguruan Sastra Kumala pada sembarang orang. Jika hal itu
sampai terjadi, bukankah itu sama artinya bahwa ... ia memberikan tampuk
pimpinan tertinggi perguruan kepada si Pemegang Lencana!?"
Deg! Kembali jantung dua gadis itu berdetak kencang, mungkin lebih kencang dari
larinya kuda yang dikejar macan!
"Kalau begitu ... "
"Ada kemungkinan bahwa Lencana Ketua kalian dipalsukan dan delapan bagian
aku yakin, bahwa Ketua kalian saat ini dalam tawanan pihak ketiga yang
memasang perangkap." tandas Si Pemanah Gadis.
Deg! Kembali jantung mereka berdetak lebih kencang lagi.
"Kalau begitu, apakah artinya bahwa Istana Jagat Abadi adalah dalang dari
semua ini" Lalu apa tujuan mereka melakukan semua ini?" desah Sari Kumala
sambil matanya menerawang ke atas.
"Belum tentu!"
"Belum tentu" Apa maksudmu?" tanya Wulan Kumala, heran.
"Aku sendiri juga belum yakin dengan dugaanku, tapi kalian perlu melakukan
penyelidikan lebih lanjut tentang masalah ini."
"Apa harus kami?"
"Mungkin salah seorang dari teman kalian juga bisa." kata Jalu.
"Tidak mungkin!"
"Kenapa tidak mungkin?" tanya Si Pemanah Gadis heran.
"Jika dilihat dari tataran ilmu, rata-rata kami bersaudari selain aku dan Wulan,
masih dalam tahap pematangan ilmu tahap ke dua," kata Sari Kumala, " ... dan
itu bisa membuat mereka kehilangan kontrol hawa murni sewaktu-waktu."
"Tenaga kalian buyar?" tanya Jalu heran.
"Bukan buyar, tapi kadangkala meluap tanpa kendali!"
"Heran, kenapa ada ilmu semacam itu?" gumam Jalu Samudra.
"Menurut Kitab "Bunga Matahari" milik Nyai Guru, untuk sanggup mengendalikan
luapan hawa murni, minimal harus bisa melewati tahap ke tiga dari daya inti 'Air
Panas Tenaga Surya'!"
Jalu Samudra manggut-manggut.
"Kalian sendiri sampai tahap berapa?"
"Aku tahap ke empat dan Wulan mendekati tahap ke lima," kata Sari Kumala. " ...
dan itu artinya kami berdua harus membimbing saudari-saudari kami hingga
mencapai tahap ketiga."
"Butuh waktu berapa lama?"
"Kira-kira butuh waktu dua minggu ke depan."
"Bagaimana dengan Nyai Guru Tirta Kumala?"
"Beliau sudah mencapai tahap tujuh. Tahap pamungkas sempurna!" kata Sari
Kumala dengan nada bangga, sambungnya, "Saat tahap tujuh terlampaui,
barulah jurus Pukulan 'Jambu Surya' bisa dipelajari dengan tuntas."
"Wulan, bukankah beberapa hari yang lalu, Beda Kumala sudah menyelesaikan
tahap ke tiga?"
Seperti diingatkan oleh sesuatu, Sari Kumala berkata, "Benar! Jika begitu tidak
ada halangan baginya untuk melakukan penyelidikan ke Aliran Danau Utara
maupun Istana Jagat Abadi."
"Betul sekali, Wulan! Tengah malam nanti kemungkinan besar Beda Kumala
akan pulih kembali."
"Tapi ... "
"Tapi apa?" tanya Sari Kumala.
"Kondisinya baru saja pulih dari cedera keracunan. Apa tidak berbahaya jika ia
berangkat sendirian?"
"Mungkin salah seorang dari kalian bisa menemaninya." usul si pemuda
bertongkat hitam.
Keduanya menggeleng lemah.
Mendadak, Wulan Kumala berkata dengan lirih, "Bagaimana jika kau yang
menemaninya, Jalu?"
Meski lirih, namun karena suasana yang cukup sepi dan cuma ada mereka
bertiga, suara lirih pun menjadi cukup jelas di dengar oleh telinga siapapun yang
ada di tempat itu.
"Aku?" sahut Jalu sambil menunjuk dirinya. "Kenapa harus aku?"
"Karena kau adalah orang luar, Jalu!"
"Bukankah justru karena aku orang luar perguruan, maka seharusnya aku tidak
boleh ikut campur?"
"Istana Jagat Abadi juga pihak luar, tapi mereka juga mencampuri urusan dalam
perguruan kami. Jadi ... tidak ada salahnya kami juga meminta bantuan pihak
luar untuk menuntaskan silang sengketa kitab perguruan kami," tutur Sari
Kumala. "Walah ..."
"Jalu, kami mohon ... "
" ... dengan sangat!" imbuh Sari Kumala.
Pemuda murid Dewa Pengemis dan Dewi Binal Bertangan Naga jadi serba
salah. Membantu salah, tidak membantu juga tidak enak hati!
"Aduh, bagaimana ya?" gumam Jalu Samudra alias Si Pemanah Gadis sambil
garuk-garuk kepala.
"Ayolah ... kumohon ... " pinta Sari Kumala, padahal dalam hati ia merutuki
dirinya, "Heran! Kenapa aku begitu ingin sekali pemuda buta di depanku ini
membantu kami! Kenal juga baru hari ini. Benar-benar aneh apa yang aku alami
hari ini, seolah pemuda didepanku ini memiliki daya tarik tersendiri dalam
pandangan mataku. Entah di bagian mana, aku sendiri tidak tahu."
Apa yang dirasakan Sari Kumala tidak jauh beda dengan apa yang dirasakan
Wulan Kumala. "Setiap tutur kata dan senyumannya seperti memiliki daya magis yang sanggup
meruntuhkan dindinng hati setebal apa pun," pikirnya, " ... atau jangan-jangan
pemuda buta ini memiliki sejenis ilmu pelet yang bisa membuat para gadis
tergila-gila padanya?"
Justru apa yang dipikirkan Jalu berbeda jauh bagai siang dan malam!
"Jika kubantu mereka, naga-naganya bisa menghabiskan waktu enam tujuh hari
di depan," kata hatinya, "Tapi jika tidak kubantu, kasihan sekali mereka. Bisabisa
mereka dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Andai dua puluh orang gadis berilmu tinggi seperti mereka jika digunakan untuk
menghancurkan keangkaramurkaan tidak masalah, tapi kalau disetir supaya
mengumbar angkara murka" Hiih ... amit-amit deh ... !"
Setelah menimbang, mengingat dan melihat, akhirnya Jalu mengambil
keputusan. "Baik! Aku terima permohonan bantuan kalian berdua."
"Terima kasih, Jalu!"
"Tapi dengan syarat."
"Apa pun syaratnya, kami akan penuhi," kata Sari Kumala tanpa sadar.
Seulas senyum terukir di sudut bibir si pemuda.
"Apa pun?" tanya Jalu Samudra menegaskan.
"Ya! Apa pun ... "
Tiba-tiba suara Sari Kumala tercekat di leher. Gadis cantik itu menyadari
sesuatu. Sesuatu yang berhubungan dengan "apa pun". Perkataan "apa pun"
bukankah sama artinya dengan "apa saja yang kau minta dari kami, tentu kami
akan mengabulkan semua?"
Seraut wajah Sari Kumala langsung pucat pasi!
"Aku terima!" kata Jalu, pendek.
"Maksudku adalah ... "
" ... apa pun permintaanku selama tidak menentang kebenaran, menentang
hukum rimba persilatan dan hati nurani akan kalian kabulkan," kata Si Pemanah
Gadis, "Begitu bukan, maksudmu?"
Sari Kumala mengangguk pelan, pikirnya, "Untung dia tidak minta macammacam."
"Kalau begitu, permintaan pertama ... "
"Lho, kerja saja belum kok sudah ada permintaan?" protes Wulan Kumala. "Ngga
bisa!" "Tapi ini wajib kalian penuhi!"
"Apa itu harus" Dan kapan?"
"Harus dan sekarang juga!"
Dua gadis itu kembali saling pandang.
"Baiklah ... apa permintaanmu?" tanya Sari Kumala dengan lesu.
Jalu Samudra tersenyum kecil melihat lagak-lagu gadis didepannya itu.
"Aku minta kalian menemaniku ... "
"Apa!" Tidak mau!"
" ... makan malam!" lanjut Jalu sambil tertawa lebar.
Dua gadis itu langsung menghembuskan napas lega.
"Cuma itu saja?"
"Dari tadi pagi aku belum makan sesuap nasi pun! Dan kalian sebagai tuan
rumah juga tidak menyediakan minuman sedikit pun pada tamu seperti aku ini."
Pikirnya, "Kena juga kalian aku kadali!"
Dua gadis cantik itu kembali menarik napas lega.
"Kukira kau minta apa?" sahut Wulan Kumala sambil bangkit berdiri.
"Lho, memangnya dalam kepalamu apa yang terlintas?" tanya Jalu menggoda.
"Tidak ada!" ucap Sari Kumala ketus.
Sore itu pula ...
Jalu Samudra menjadi tamu kehomatan Perguruan Sastra Kumala. Tentu saja
sebagai tamu harus menurut dengan apa kehendak tuan rumah yang notabene
seluruh penghuninya adalah para gadis yang rata-rata cantik molek.
Beruntunglah Jalu karena ia buta (itu menurut anggapan mereka), meski ia
sepuluh bagian adalah laki-laki tampan yang menarik dengan postur tubuh tinggi
tegak, yang seharusnya tidak bisa masuk seenak perutnya sendiri ke dalam
ruang mana pun di dalam perguruan itu.
Dua hari kemudian ...
Dua sosok bayangan terlihat berlompatan dari pohon ke pohon. Jika dilihat
dengan teliti, terlihat sekali bayangan hijau yang di depan membimbing sesosok
bayangan biru yang tepat berlari di belakangnya. Beberapa kali terlihat si
bayangan biru hampir saja terperosok jatuh dari atas pepohonan, namun dengan
sigap pula si bayangan hijau menolongnya.
Siapakah dua sosok bayangan yang sedang berkelebatan menuju utara itu"
Mereka tak lain dan tak bukan adalah Si Pemanah Gadis atau Jalu Samudra dan
Beda Kumala adanya!
Setelah sembuh dari Racun "Ular Karang", Beda Kumala berniat menyelidiki
Aliran Danau Utara yang dicurigai oleh pihak Perguruan Sastra Kumala telah
mencuri kitab milik perguruan yang bernama Kitab "Bunga Matahari" sekaligus
mencari keberadaan Nyai Guru Tirta Kumala yang menghilang sekian waktu
lamanya. Mulanya Tinara dan beberapa murid berniat menyelidiki sendiri, namun
oleh Sari Kumala dan Wulan Kumala dilarang keras, sebab jika semua orang
pergi ke Aliran Danau Utara, lalu siapa yang menjaga perguruan"
Dan yang paling utama, tingkat ilmu mereka harus dimatangkan terlebih dahulu!
Akhirnya diputuskan, bahwa pihak Perguruan Sastra Kumala meminta bantuan
pada Jalu Samudra yang memang benar-benar orang luar perguruan dan
mengutus Beda Kumala mendampingi si pemuda berbaju biru. Mulanya hal ini
diprotes oleh Ratih Kumala dan Tinara Kumala yang diam-diam naksir sang
pendekar, tapi dengan pertimbangan bahwa Beda Kumala sebagai saksi hidup
terbunuhnya Garan Arit alias Si Pendekar Dari Utara, mau tidak mau mereka
harus mengalah. Padahal sebenarnya mereka ingin mengikuti Jalu karena rasa
ketertarikan pada diri si pemuda murid Dewa Pengemis dan Dewi Binal
Bertangan Naga. Entah pada bagian mana yang membuat dua gadis cantik dari
Perguruan Sastra Kumala tertarik pada sosok Jalu Samudra ini.
Tidak ada satu pun dari mereka yang menyadari bahwa pemuda yang mereka
anggap sebagai orang buta dan berilmu pas-pasan itu memiliki kesaktian tanpa
tanding. Kesaktian paling langka dan paling dicari para pendekar dunia
persilatan masa silam dan masa kini yang justru berada di dalam genggaman
tangan si pemuda buta yang di kalangan persilatan mendapat julukan sebagai Si
Pemanah Gadis. Andai mereka mengetahui jati diri sesungguhnya dari Jalu
Samudra, mungkin bukan hanya dua atau tiga orang yang ikut meluruk ke Aliran
Danau Utara, tapi dua puluh orang gadis cantik bakal berada di belakang si
pemuda tangguh ini!
Celakanya lagi, tanpa Jalu sadari pula, bahwa dalam dirinya telah muncul
sebentuk kekuatan aneh yang bisa membuat gadis mana pun menaruh perhatian
pada dirinya luar dalam. Sejenis kekuatan pemikat atau penakluk lawan jenis
yang mendarah daging dalam diri si pemuda. Hal ini terjadi sejak ia menelan
buah Naga Kilat dan Bibit Matahari pada dua belas tahun silam, hingga secara
tidak langsung pula si pemuda selain memiliki tenaga dalam langka tingkat tinggi
bernama Ilmu "Tenaga Sakti Kilat Matahari' tingkat sembilan yang di kalangan
pendekar disebut-sebut sebagai Ilmu Sakti 'Mata Malaikat', juga kebal terhadap
segala jenis racun baik yang berwarna, berbau dan tanpa warna tanpa bau,
bahkan dalam Kitab "Kembang Perawan" milik istrinya Kumala Rani di bagian
tengah dibeberkan sedikit mengenai beberapa jenis racun berbahaya yang
beredar di dunia persilatan.
Kali ini dalam pengembaraannya Jalu Samudra, dengan terpaksa membantu


Si Pemanah Gadis Karya Gilang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pihak Perguruan Sastra Kumala (meski tidak ada yang maksa sih).
--o0o-- BAGIAN 8 Seorang laki-laki berdiri dengan menggendong tangan di belakang punggung,
berdiri membelakangi delapan orang berbaju hitam beludru yang berdiri tepat di
belakangnya. Ki Wira, demikian namanya, seorang laki-laki tua dengan tubuh tinggi ceking
menjulai mendekati dua tombak. Beberapa saat kemudian, ia membalik badan,
sehingga kelihatan jelas bentuk raut muka tirus yang penuh kerut merut karena
usia tua. Tidak ada yang menarik sedikit pun pada laki-laki yang kini berdiri
petentang-petenteng di hadapan delapan anak buah kakaknya ini, kecuali sinar
mata licik dan kejam tergurat jelas di wajah yang penuh dengan bercak-bercak
putih dilengkapi dengan sejumput jenggot warna kuning kehitaman macam
jenggot kambing.
Meski ilmu silatnya tidak begitu tinggi alias biasa-biasa saja, tapi justru ilmu
meringankan tubuh dan racunnya luar biasa tinggi. Di balik baju kuning
kusamnya yang kedodoran, terdapat puluhan bahkan mungkin ribuan jenis racun
dan lusinan senjata gelap yang dinamai Jarum Lebah Terbang yang tidak pernah
lepas satu jengkal pun dari tubuh tinggi cekingnya. Mungkin berak sekalipun
benda-benda kesayangannya tetap melekat pada di tubuh keroposnya. Julukan
sebagai Raja Jarum Sakti Seribu Racun diberikan pada dirinya sendiri karena ia
menganggap bahwa dialah satu-satunya orang yang paling lihai dan hebat
dalam olah racun dan punya keyakinan tinggi bahwa tanpa ada satu pun lawan
yang sanggup menghindari lemparan senjata Jarum Lebah Terbangnya.
Meski hanya tokoh kelas dua, tapi Raja Jarum Sakti Seribu Racun justru
menganggap dirinya sebagai tokoh nomor satu rimba persilatan!
"Goblok! Kenapa kalian begitu ceroboh!" bentak seorang tua dengan raut muka
tirus. "Kami tahu telah salah tangan, Ki Wira!" sahut Pedang Dewa, mewakili temantemannya.
"Maafkan kami!"
"Bukan hanya salah tangan, tapi tindakan kalian yang seenaknya sendiri bisa
mempengaruhi rencana utama kita," kembali orang tua yang di panggil Ki Wira
membentak, "Kalau sampai Ketua sendiri yang mendengarnya, entah mau
diletakkan dimana kepala kalian sekarang ini!"
Delapan orang berbaju hitam beludru tercekat!
"Kami benar-benar tidak terima dengan tingkah Garan Arit yang telah
mempecundangi salah seorang kawan kami, Ki Wira," elak Pedang Dewa.
"Kukira ... nyawa busuknya cukup pantas untuk ... "
"Aaaah ... kau cuma pintar pentang mulut saja, Pedang Dewa, tapi otakmu di
dengkul!" potong Raja Jarum Sakti Seribu Racun dengan tangan kiri mengibas.
Serangkum hawa padat membuat orang-orang anak buah pimpinan Pedang
Dewa terjajar dua tiga tindak ke belakang.
Tidak dinyana bahwa tindakan mereka menghabisi Pendekar Dari Utara, salah
seorang murid Aliran Danau Utara siang tadi bisa membuat Ki Wira meradang.
Padahal rencana mereka berdelapan sudah dimatangkan selama beberapa hari,
namun hanya terlaksana satu rencana. Dua rencana yang gagal adalah
mencederai murid Perguruan Sastra Kumala dan dilanjutkan dengan meletakkan
mayat Pendekar Dari Utara di wilayah kekuasan Perguruan Sastra Kumala.
Rencana ini gagal secara tidak sengaja karena turut campurnya si pemuda buta!
"Bangsat! Kalau bukan dirimu orang dekat Ketua, sudah kukirim kau ke neraka
jauh-jauh hari!" kata hati Pedang Dewa. "Memangnya kau ini siapa, berani tunjuk
perintah seenaknya pada kami!?"
"Apa kalian tahu siapa pemuda yang menghalangi kalian?" tanya Ki Wira dengan
gusar. "Tidak! Ia tidak menyebutkan nama atau gelar, Ki Wira." sahut Trisula Kembar,
datar. "Bagaimana ciri-cirinya?"
Tombak Sakti segera angkat bicara, "Pemuda itu buta ... "
"Apa! Jadi kalian kalah sama orang buta?" bentak Ki Wira dengan mata melotot.
Mereka berdelapan kembali diam membisu.
Setelah mendengus untuk kesekian kalinya, laki-laki bermuka tirus berkata, "Apa
lagi?" "Ia membawa tongkat hitam berlekuk. Bajunya biru laut, badan tinggi tegap ... "
Ki Wira segera memotong, "Sebutkan ciri khususnya!"
Delapan orang itu kembali terdiam. Otaknya berusaha mengingat kembali
kejadian yang mereka alami baru saja. Tapi sekian lama memeras otak, tidak
ada yang istimewa dari pemuda buta yang menggagalkan rencana mereka.
"Bagaimana" Ada ciri khusus?" tanya ulang Ki Wira pada delapan anak
buahnya. Mereka hanya menggeleng lemah.
"Dasar goblok! Mengenali lawan saja tidak becus!" kembali Ki Wira mengumpat
keras. Tiba-tiba Karang Kiamat yang kini buta berseru, "Aku tahu!"
"Apa yang kau tahu, Karang Kiamat?" tanya Pedang Dewa.
"Apa kalian tidak ingat dengan jurus pukulannya?"
"Jurus pukulan yang mana?" tanya heran Tombak Sakti.
"Jurus yang menumbangkan pohon tempat kita bersembunyi waktu itu," terang
Karang Kiamat, lalu sambungnya, "Bukankah ia memiliki jurus pukulan berupa
larikan sinar putih yang membentuk mata anak panah?"
"Benar! Itu dia!" kata Trisula Kembar.
Raja Jarum Sakti Seribu Racun tercenung sesaat, gumamnya sambil mengeluselus
jenggot kambingnya, "Selarik sinar putih yang membentuk mata anak
panah" Baru kali ini aku dengar ada jurus semacam itu" Apa mungkin ia murid
tokoh sakti yang sekian lama tidak menampakkan diri?"
"Kemungkinan itu bisa saja terjadi, Ki."
"Apa kalian tahu siapa saja tokoh yang memiliki jurus semacam itu?" tanya Ki
Wira. "Atau setidaknya mengandalkan senjata panah?"
Golok Tapak Kuda yang paling pendiam membuka suara.
"Setahuku, di wilayah tenggara ada tokoh yang berjuluk Panah Tengkorak, tapi
aku yakin ia tidak memiliki jurus tenaga dalam yang berbentuk anak panah.
Senjata andalannya adalah Gendewa Panah Pendek, bukan jurus seperti yang
kami lihat," tutur Golok Tapak Kuda.
Meski berbadan pendek kekar, tapi senjata yang juga bernama Golok Tapak
Kuda yang berada di punggung justru besar melebar ke samping, mungkin
lebarnya sekitar satu setengah tombak dan yang aneh, tidak ada mata golok
disana. Entah di bagian mana senjata berbentuk kotak itu bisa di sebut golok.
"Hemm, Panah Tengkorak!" Aku kenal dengan tokoh itu. Tidak mungkin ia
punya murid seperti pemuda buta yang kalian maksudkan," tutur Raja Jarum
Sakti Seribu Racun setelah mendengar penjelasan anak buahnya.
"Ki Wira yakin?" tanya Gada Maut yang bertubuh gempal dengan kumis tebal
sebesar pisang ambon, tapi lucunya justru ia bersuara kecil melengking.
"Setan! Jadi kau meragukan perkataanku!?" bentak laki-laki itu meradang.
"Bukan begitu, Ki! Kita tidak tahu apa, siapa dan bagaimana si Panah Tengkorak
itu. Bisa saja ia mengangkat murid di luaran ... " sela Gada Maut dengan dibesarbesarkan.
Sambil mendengus karena perkataannya tidak dipercaya, Raja Jarum Sakti
Seribu Racun berkata dengan mata mendelik, "Panah Tengkorak adalah orang
paling pelit dalam segala hal, tapi ia juga rakus dalam semua hal. Rakus harta,
kedudukan dan juga wanita. Semua yang dilakukannya harus membuat ia
mendapatkan keuntungan namun ia paling pelit jika memberi sesuatu apa pun
bentuknya," terang Ki Wira. "Jadi ... kalau ia mengangkat murid itu adalah hal
yang mustahil terjadi. Ia hanya ingin ilmu silatnya, ia sendiri yang memilikinya!"
"Lagi pula, setahuku Panah Tengkorak hanya keluar jika ada hal-hal genting dan
itu pun hanya untuk kepentingannya sendiri," ucap Cambuk Pemutus Nyawa.
"Lalu bagaimana dengan Pemanah Dewa Dua Nyawa" Bukankah ia juga tokoh
yang patut kita curigai?" kata Trisula Kembar. "Sepengetahuanku Pemanah
Dewa Dua Nyawa mempunyai ilmu pukulan yang bernama "Panah Kayu
Pemecah Bintang?""
"Trisula Kembar, apa kau tidak tahu bahwa sudah dua puluh tahun ini kalau
Pemanah Dewa Dua Nyawa tidak pernah terdengar lagi kabar beritanya.
Mungkin saja sudah sejak dua puluh tahun lalu ia mampus dimakan cacing tanah
dan kini tinggal tulang belulangnya," kata datar Cambuk Pemutus Nyawa.
"Berarti kau yang tuli, Cambuk Pemutus Nyawa!"
"Apa maksud perkataanmu, Trisula Kembar!?" bentak Cambuk Pemutus Nyawa
sambil meraba gagang cambuknya.
Dengan nada menghina Trisula Kembar menjawab, "Setengah tahun lalu,
Pemanah Dewa Dua Nyawa membantu Kerajaan Danaraja untuk menggulung
Komplotan Pondok Setan yang mengganas di wilayah kerajaan itu. Bahkan
Panglima Bratasena sendiri yang meminta bantuan tokoh ini."
"Darimana kau tahu kalau ... "
Dengan mata sedikit menyipit, Trisula Kembar memotong, "Sebab aku adalah
salah satu pucuk pimpinan dari Komplotan Pondok Setan! Puas!?"
Tujuh orang itu terpana mendengar penjelasan singkat tersebut.
"Rupanya delapan orang bawahanku ini memang saling tidak mengetahui asalusul
mereka sebenarnya," batin Raja Jarum Sakti Seribu Racun, "Entah dengan
cara bagaimana Raja Iblis Pulau Nirwana sanggup membuat mereka tunduk"
Aku yakin, jika aku yang menundukkan mereka, tak bakalan mereka berdelapan
begitu setia dan taat pada perintahku" Beruntunglah Ketua menugaskanku
memimpin mereka, bukan menaklukkan delapan orang tak punya otak ini!"
Dengan dua tangan diangkat ke atas, Ki Wira berkata, "Sudah cukup! Hentikan
perang mulut kalian yang sudah basi itu! Kita kembali ke pokok permasalahan."
Begitu mendengar ucapan Raja Jarum Sakti Seribu Racun, delapan orang itu
langsung bungkam, hanya sorot mata Trisula Kembar dan Cambuk Pemutus
Nyawa seperti mengeluarkan api permusuhan.
Siapakah delapan orang yang mengaku-ngaku berasal dari Istana Jagat Abadi"
Benarkah mereka berasal dari satu perguruan yang sama"
Jawabnya adalah ... tidak!
Mereka berdelapan adalah tokoh hitam yang takluk dan dikumpulkan oleh
sesosok tokoh jago silat misterius yang mereka sebut dengan Raja Iblis Pulau
Nirwana. Mulanya, mereka berdelapan adalah para perampok dan penjahat
paling dicari di seantero jagat persilatan karena sepak terjang mereka yang
merugikan semua kalangan. Namun, pada akhirnya mereka berdelapan
dikalahkan oleh Raja Iblis Pulau Nirwana yang tidak diketahui apa dan
bagaimana bentuk wajahnya.
Entah dengan cara bagaimana, delapan orang tokoh hitam ini bisa kalah dalam
tempo singkat! Siapa sebenarnya sosok misterius itu, tidak ada yang tahu dengan pasti. Ia
hanya sesosok samar, sosok antara ada dan tiada, seperti asap tertiup angin.
Bahkan sosok misterius itu bisa berada dimana saja dan kapan saja ia mau
menampakkan diri, juga tidak ada yang tahu. Hanya satu yang mereka ketahui,
bahwa sosok itu mengatakan sendiri bahwa ia berasal dari Pulau Nirwana, entah
dimana adanya pulau itu, mereka semua tersebut tidak ada yang tahu dengan
pasti. Untuk memudahkan mereka dalam penyebutan, akhirnya digelari dengan
Raja Iblis Pulau Nirwana!
Dan sebagai wakilnya, Raja Iblis Pulau Nirwana menunjuk Raja Jarum Sakti
Seribu Racun yang diakuinya sebagai adik. Namun anehnya, Raja Jarum Sakti
Seribu Racun sendiri juga orang taklukan dari Raja Iblis Pulau Nirwana dan ia
sama butanya dengan delapan orang bawahannya, tidak mengetahui secara
pasti siapa adanya Raja Iblis Pulau Nirwana tersebut.
Hanya satu hal yang pasti, bahwa keberadaan mereka bersembilan, termasuk Ki
Wira atau Raja Jarum Sakti Seribu Racun harus membuat geger di rimba
persilatan dengan mengadu domba antar perguruan silat atau padepokan yang
ada di Tanah Jawa.
Bahkan Raja Jarum Sakti Seribu Racun sendiri secara tersamar ditugasi untuk
mencari keterangan tentang adanya benda pusaka yang memiliki unsur air dan
unsur api. Entah dengan tujuan apa mencari benda tersebut, hanya perintah itu
saja yang ia terima dari Raja Iblis Pulau Nirwana. Bahkan untuk membantu
mencari benda yang dimaksud, Raja Iblis Pulau Nirwana membekali Raja Jarum
Sakti Seribu Racun dengan sebuah ilmu kesaktian yang bisa menyadap
kesaktian orang lain dalam sekali lihat sekaligus bisa membedakan unsur yang
menyertai ilmu tersebut.
Dua setengah tahun yang lalu, kakek ahli racun ini berhasil menyirap kabar
tentang adanya dua kitab yang memiliki dua unsur yang berlainan seperti yang
diinginkan oleh Raja Iblis Pulau Nirwana, dan begitu mendengar kabar ini, Raja
Iblis Pulau Nirwana langsung memerintahkan Raja Jarum Sakti Seribu Racun
untuk mengambil benda yang dimaksud.
BAGIAN 9 "Sebaiknya Gada Maut dan Tombak Sakti mencari berita siapa adanya pemuda
buta itu. Akan halnya Pedang Dewa dan Karang Kiamat, sebaiknya kalian
berdua kembali ke markas pusat di Gunung Puyuh," kata Raja Jarum Sakti
Seribu Racun, lalu sambungnya, "Dan kalian berempat, kembali ke pos masingmasing.
Untuk Istana Jagat Abadi sebaiknya Golok Tapak Kuda dan Cambuk
Pemutus Nyawa saja yang kesana dan kerjakan tugas kalian seperti biasa."
"Lalu bagaimana dengan kami berdua, Ki?" tanya Gelang Bintang yang
kehilangan dua pasang telinganya.
"Gelang Bintang, kau mengawasi Perguruan Sastra Kumala dan laporkan
perkembangan yang terjadi."
Gelang Bintang langsung tersenyum lebar mendengar tugasnya.
"Dapat bagian gadis cantik, nih," batinnya dengan senyum menyeringai.
Melihat senyum Gelang Bintang, Raja Jarum Sakti Seribu Racun seketika
memandang dengan mata mendelik seraya berkata, "Ingat! Tugasmu hanya
memata-matai, bukan main gila di sana!"
Seringai meriah Gelang Bintang langsung lenyap seketika!
"Trisula kembar!"
"Ya."
"Kau kembali ke Aliran Danau Utara. Lanjutkan penyamaranmu! Pastikan bahwa
murid-murid Aliran Danau Utara tidak ada yang macam-macam lagi seperti
tempo hari," tandas Ki Wira.
Trisula Kembar hanya mendengus saja.
"Brengsek! Kenapa kembali aku harus mengawasi puluhan laki-laki bau keringat
di sana. Enak betul si Gelang Bintang, tiap hari matanya sehat melihat gadis
cantik lalu-lalang," sumpah serapah Trisula Kembar dalam hati, "Semoga saja
matanya bintitan!"
"Kalian paham?"
Delapan orang tokoh hitam itu hanya mengangguk tanpa suara.
"Bagus! Lima hari dari sekarang, aku tunggu kabar dari kalian di tempat biasa!"
kata Raja Jarum Sakti Seribu Racun, lalu ucapnya menambahi, "Aku harus pergi
sekarang! Ketua memanggilku untuk menghadap!"
Belum lagi suaranya menghilang, laki-laki itu telah berkelebat cepat ke arah
tenggara. Blass! Setelah tiga-empat helaan napas, barulah Pedang Dewa membuka suara
dengan sedikit menggeram, "Terpaksa kita harus mengikuti permintaan setan
keparat itu! Enak saja dia main tunjuk perintah semaunya!"
"Aku sendiri sudah muak dengan keparat itu! Kalau bukan atas permintaan
Ketua agar kita mengikuti segala perintah Raja Jarum Sakti Seribu Racun, sudah
aku pesiangi dia dari kemarin!" dengus Tombak Sakti sambil mengepalkan dua
tangan hingga terdengar suara berkerotokan keras. "Suatu saat nanti, dia harus
mencicipi Ilmu "Tombak Selaksa Hantu" milikku!"
"Sudahlah, sementara rasa tidak enak ini kita tahan dulu untuk waktu yang
tepat," ujar Karang Kiamat yang kini menjadi orang buta tulen. "Hilangnya dua
mataku ini secara tidak langsung juga atas perbuatannya."
"Aku setuju dengan Karang Kiamat! Kita harus bisa menahan diri untuk
sementara waktu," tandas Cambuk Pemutus Nyawa, lalu ia sendiri langsung
berkelebat cepat ke jurusan timur laut.
"Kalau begitu, kita berpisah untuk sementara waktu," kata Golok Tapak Kuda
sambil berkelebat pula menyusul arah lari Cambuk Pemutus Nyawa. Di kejauhan
sana terdengar kembali suaranya yang menggema, "Semoga saja kalian
berenam masih hidup, hingga kita berdelapan bisa sama-sama menggebuk
matang pantat si tukang jahit itu, hah-ha-ha-ha!"
Enam orang saling pandang, lalu mereka berloncatan dengan jurus peringan
tubuh masing-masing ke jurusan yang berlainan.
Blass! Wuss! Dua helaan napas kemudian, sesosok tubuh melayang turun dari pohon besar
yang paling ujung.
Ternyata Raja Jarum Sakti Seribu Racun adanya!
Rupanya dia tadi cuma akal-akalan dia saja untuk mengelabui delapan anak
buahnya dengan pura-pura pergi ke suatu tempat, kemudian setelah sejarak
pendengaran delapan orang anak buahnya tidak bisa mendengar lagi, ia
mengerahkan jurus ringan tubuh kelas wahid, dan kembali ke tempat pertemuan
terus bersembunyi di atas pohon.


Si Pemanah Gadis Karya Gilang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Brengsek! Rupanya mereka berdelapan juga mengincar diriku!?" umpat Ki Wira,
lalu sambil tersenyum sinis penuh misterius, "Kita lihat saja nanti, siapa yang
makan dan siapa yang dimakan?"
Tubuhnya kembali berkelebat cepat ke arah pertama tadi ia menghilang!
--o0o-- "Boleh aku memanggilmu ... Kakang Jalu?"
"Silahkan saja." sahut seorang pemuda baju biru, "Mau disebut kakang, mau
kakek, mau paman aku juga tidak bakalan protes. Asal jangan nenek saja!"
"Hi-hi-hik," gadis cantik mungil berbaju hijau tertawa sambil menutup mulut,
"Kakang ternyata lucu juga."
"Ha-ha-ha! Bisa saja kau ini," tukas Jalu sambil menjotos ringan gadis di
sampingnya. Dua orang beda jenis itu adalah Jalu Samudra alias Si Pemanah Gadis dan
gadis yang menenteng pedang dengan tangan kiri seperti tukang jagal tak lain
tak bukan Beda Kumala adanya. Sudah dua hari lamanya mereka menempuh
perjalanan bersama dan dengan tujuan yang sama pula.
Yaitu ... ke Aliran Danau Utara!
Selain untuk mengabarkan tewasnya Garan Alit yang bergelar Pendekar Dari
Utara akibat dibokong oleh orang-orang Istana Jagat Abadi, juga untuk
menyelidiki kemungkinan keberadaan Ketua Perguruan Sastra Kumala yang
berjuluk Dewi Tangan Api.
"Beda ... "
"Hemm?"
"Apa kau masih berduka atas meninggalnya kekasihmu?"
"Sudah tidak lagi."
"Bagus kalau begitu," ucap Jalu berjalan sambil mengetuk-ngetukkan tongkat
hitamnya ke tanah.
"Kenapa Kakang katakan bagus?"
"Yaa ... baguslah, daripada kau nangis sampai nungging-nungging sedang orang
yang kau tangisi tak bakalan hidup lagi," jawab Jalu seenaknya.
Beda Kumala mengerutkan sepasang alisnya yang indah mendengar ucapan
Jalu yang sekenanya itu dengan hati bertanya-tanya, sebegitu mudahkah ia bisa
melupakan Garan Arit, pemuda yang telah menjadi bagian dari hidupnya meski
ia tahu bahwa dalam rangkaian jalinan kasihnya penuh dengan pertengkaran
dengan mendiang Garan Arit.
"Kakang Jalu ... apakah kau pernah mencintai seseorang?" tanya Beda Kumala
tiba-tiba. "Laki-laki apa perempuan?" tanya balik Si Pemanah Gadis sambil terus berjalan
ke muka. "Tentu saja perempuan!" sahut Beda Kumala sambil tertawa berderai.
"Memangnya Kakang punya kelainan seperti Pedang Dewa!?"
"Pernah."
Tawa renyah Beda Kumala langsung lenyap!
"Kakang sungguh-sungguh?" tanya heran Beda Kumala sambil memandang
sepasang mata putih si pemuda.
"Lho" Kenapa" Orang buta tidak boleh jatuh cinta" Yang benar aja, neng!!
Orang buta khan juga manusia, tho?" sahut Jalu keheranan.
"Terus sekarang orangnya dimana?"
"Mungkin ... sekarang sedang mencari diriku," kata Jalu, enteng.
Pikir si gadis, "Orang buta satu ini hebat juga! Aku jadi pingin tahu gadis macam
apa yang dicintainya itu. Dari ucapannya, tampaknya si buta ini betul-betul
mencintai sang pujaan hati."
Di luaran ia bertanya, "Memangnya sudah berapa lama Kakang berpisah
dengannya?"
Jalu Samudra merandek sebentar, berpikir beberapa saat, lalu berkata, "Sekitar
dua tahunan lah. Mungkin lebih."
"Buju buneng! Lama amat!" seru Beda Kumala. "Jadi ... kakang berpisah dengan
sang kekasih selama itu?"
"Kekasih apa?"
"Lho, bukankah yang kita bicarakan disini adalah kekasihmu?" kembali nada
heran terlontar dari mulut mungil Beda Kumala.
"Aku tidak punya kekasih atau pacar atau apa pun sebutannya!"
"Lalu?"
"Dia itu ... istriku!" sahut Jalu Samudra.
Kembali Beda Kumala menjungkitkan sepasang alis indahnya.
"Kakang sudah ... beristri?"
"Kenapa" Heran, ya?"
"Ah enggak, kok!" sahut Beda Kumala, lalu sambungnya, "Apa kakang tidak
khawatir dengan keadaan dengan ... "
"Kumala Rani maksudmu?"
"Ooo ... namanya Kumala Rani," gumam Beda Kumala.
"Kalau bicara perkara khawatir, aku-lah yang paling dikhawatirkan istriku."
"Kok bisa begitu?"
"Sebab aku bisa memanah ribuan gadis tanpa pandang bulu, ha-ha-ha," ucap
Jalu Samudra diikuti suara tawa, entah apa maksud dari tawanya.
"Memanah ribuan gadis" Apa maksudnya?" pikir Beda Kumala, mendadak
sebuah pikiran terbersit di kepalanya, lalu ia berkata, "Maksudnya ... kakang
jatuh cinta pada gadis lain begitu" Selingkuh istilahnya!?"
"Betul sekali."
"Dan bagaimana sikap istri kakang jika mengetahui kalau kakang selingkuh" Dan
bagaimana pula sikap kakang jika istri kakang juga selingkuh?" tanya Beda
Kumala dengan membolak-balik kata.
"Aku sendiri juga tidak tahu," kata Jalu Samudra ringan, "Tapi yang jelas ...
Nimas Rani tak bakalan selingkuh!"
"Hah!" Yang benar" Darimana Kakang bisa memiliki keyakinan seperti itu?"
"Karena itulah yang namanya ... kekuatan cinta."
"Cinta?"
"Kau tahu cinta itu seperti apa?" tanya Si Pemanah Gadis.
Beda kumala hanya menggeleng lemah.
"Ada orang berkata bahwa cinta seperti sebuah janji yang abadi, ada juga yang
berkata seperti teka-teki yang membuat lupa diri. Tapi terhadap sebagian orang,
cinta mungkin adalah sebuah kutukan yang paling menakutkan di dunia. Begitu
kena, selamanya tidak bisa melepaskan diri. Tenggelam dalam khayalan dan
mimpi, kepalsuan yang kadang manis dan kadang pahit ... " tutur si pemuda
bertongkat hitam, " ... dalam pandangan orang yang sedang dimabuk cinta, bisabisa
saja ia salah lihat. Yang jelek menjadi bagus, yang cacat dianggap suatu
kesempurnaan yang tidak dimiliki orang lain, bahkan yang tua bangka bisa
kembali menjadi muda jika bersinggungan dengan panah asmara ini!"
Mendengar uraian panjang lebar Jalu Samudra tentang cinta, Beda Kumala
menjadi bertanya-tanya dalam hati, sebenarnya orang macam apa yang ada
disampingnya ini" Dia begitu tenang menguraikan masalah seolah bahwa ia
sendiri yang mengalami. Pemuda buta itu seakan jelmaan pujangga kraton yang
sedang menguraikan kitab-kitab kuno dan dia sendiri justru merasa seperti
kambing congek mendengarkan ucapan-ucapan yang keluar dari mulut pemuda
buta yang tampan ini.
"Sayang sekali ia buta," pikir Beda Kumala sambil memandang lekat-lekat wajah
tampan di depannya.
BAGIAN 10 "Kau paham maksudku?"
Beda Kumala tergagap, karena terlalu tenggelam dalam lamunan, "Eh, oh ...
apa?" "Jadi ... aku tadi ngomong panjang lebar tidak ada satu pun yang kau mengerti?"
tukas Jalu, heran.
Beda Kumala hanya bisa meringis saja terima salah!
Melihat cara meringis serba salah gadis cantik mungil didepannya, Jalu hanya
nyengir kuda saja.
Mendadak saja, Jalu meraih cepat tangan Beda Kumala hingga tubuh depan
gadis murid Perguruan Sastra Kumala jatuh dalam pelukan si pemuda, diikuti
dengan gerakan pinggul Si Pemanah Gadis, menggelinding di tanah dalam
posisi tetap berpelukan dengan Beda Kumala.
"Celaka, aku mau di perkosa, nih?" pikir Beda Kumala sambil memejamkan
mata. "Nolak ngga, ya?"
Selesai bergulingan sejarak satu tombak lebih dimana sekarang posisi Jalu di
atas sedang Beda Kumala berada di bawah dengan sepasang tangan memeluk
erat pinggang Jalu. Tentu saja dada montoknya beradu keras dengan dada
bidang Jalu Samudra.
Belum lagi mereka bangkit, sebuah suara keras terdengar dari sebelah selatan.
"Ha-ha-ha! Pucuk di cinta ulam tiba! Tidak di cari justru calon mangsa kita ada di
depan mata, sobat Golok Tapak Kuda!"
"Benar, kawan! Cuma sayang, Serabut Mautmu gagal mengenai si bocah ayu!"
seru yang sebelah kiri yang pada pundaknya memanggul sebuah benda
berbentuk kotak mengkilat. "Andai kena, pasti gadis itu mengemis-ngemis pada
kita berdua untuk memuaskan hasratnya, hua-ha-ha!"
"Hua-ha-ha!"
Begitu mendengar suara itu, Jalu segera melepas pelukan pada Beda Kumala
dan keduanya bangkit berdiri.
Di saat melihat dua orang yang menyerang dengan senjata rahasia, selebar
wajah ayu itu langsung mengkelap membesi, apa lagi ia mengenal dua orang
pembokong itu. "Rupanya kalian!" seru Beda Kumala dengan suara tertahan di leher.
"Benar! Memang kami!" sahut yang mempunyai lilitan cambuk di pinggangnya.
"Kenapa" Kangen, ya?"
Siapa lagi mereka berdua jika bukan Golok Tapak Kuda dan Cambuk Pemutus
Nyawa adanya! Dalam perjalanan mereka ke Istana Jagat Abadi, secara tidak sengaja sudut
mata Cambuk Pemutus Nyawa menangkap sekelebatan dua bayangan biru dan
hijau di kejauhan. Segera saja ia mengubah arah tujuan dan mengejar bayangan
tersebut diikuti dengan Golok Tapak Kuda yang mengekor di belakang.
"Karena sudah ketemu di tempat ini, kami tidak perlu jauh-jauh ke tempat kalian
untuk meminta pertanggungjawaban atas tewasnya temannya temanku ini," kata
Jalu enteng sambil ujung tongkat bolak-balik menuding ke arah dua laki-laki yang
kini hanya berjarak dua tombak saja.
"Pemuda buta! Tempo hari kau bisa lolos dari tangan kami berdelapan, tapi
jangan harap sanggup lolos dari tangan kami berdua!" sentak Cambuk Pemutus
Nyawa sambil melolos cambuk yang ada di pinggangnya.
"Dasar orang bego! Dengan delapan orang saja, kami berdua bisa lolos. Masak
lolos dari dua tangan kalian yang tidak pernah dicuci kami tidak bisa?" seloroh
Jalu Samudra sambil terkial-kial.
"Bangsat buta! Sebutkan namamu sebelum kami kirim kau ke neraka!" bentak
Golok Tapak Kuda sambil mengayun-ayunkan senjatanya.
"Bangsat cebol! Buat apa kau tahu namaku, kalau sebentar lagi justru kalian
berdua yang akan merangkak ke liang kubur!" balas memaki Si Pemanah Gadis.
"Dasar keparat! Makan golokku!"
Golok Tapak Kuda menyerang sebat setelah memutar golok yang seketika
berubah menjadi lingkaran lebar. Sinar terang mencuat ke depan ketika golok
lebar yang beratnya ratusan kati menusuk ke arah ulu hati lawan. Jurus 'Bangau
Mencuci Sayap" yang dikerahkan oleh Golok Tapak Kuda memang bukan jurus
sembarang jurus. Kehebatannya bukan olah-olah.
Wuuung! Wuung! Dengungan keras terdengar saat senjata berbentuk kotak menerjang cepat ke
arah Jalu. Akan tetapi, yang menjadi lawan Golok Tapak Kuda bukanlah bocah
kemarin sore. Sebagai murid dari Dewa Pengemis, tentu saja mendapat
serangan dadakan seperti itu tidak membuat Jalu keder. Dengan jurus 'Kepiting
Beringsut', Si Pemanah Gadis segera menarik diri ke samping dalam posisi
miring, sambil tangan kanannya yang memegang tongkat bergerak ke depan
meliuk-liuk seperti belut di pasir.
Wutt! Meski terlihat sederhana, tapi justru sanggup memasuki celah-celah dari
bayangan golok lawan.
"Edan!" maki Golok Tapak Kuda saat ujung tongkat si pemuda buta berada
dalam jarak dua jengkal dari dadanya. Tapi sebagai tokoh kawakan, ia tidak
malu menyandang gelar Golok Tapak Kuda. Laki-laki berbadan pendek kekar itu
segera menarik jurus dan dalam sekejap mata, badan golok super lebar sudah
menghadang di depan dada.
Tangg! Benturan antara ujung tongkat dengan badan golok lebar terdengar keras.
Golok Tapak Kuda terjajar ke belakang beberapa tindak. Terlihat sekali ke dua
tangannya gemetar waktu memegang golok.
"Sinting! Ilmu apa yang digunakan bocah itu untuk menghindar tadi" Gerakannya
miring ke kiri kanan seperti kepiting. Lagi pula, tenaga dalam si buta ini hebat
juga. Golokku hampir saja terlepas dari tangan. Siapa sebenarnya bocah ini?"
pikir si laki-laki pendek kekar. "Golok dan tanganku seperti dirambati semut api."
"Bagaimana" Masih mau dilanjutkan?" tanya Jalu sambil menggeser kaki sedikit
menyamping dengan ujung tongkat mengarah ke bawah.
"Hebat juga dia!" puji Beda Kumala dalam hati. "Dalam satu gebrakan sanggup
membuat mundur lawan."
"Lanjut!" seru Golok Tapak Kuda sambil mengibaskan golok dari bawah ke atas
seperti orang menyapu daun.
Wuung! Seberkas hawa golok berkiblat cepat.
"Mau adu tenaga" Boleh!"
Tongkat di tangan Jalu dikelebatkan ke depan dari kiri ke kanan. Segera saja
hawa tongkat warna biru kusam berselang-seling hitam cemerlang menebar,
bergerak memotong dari tengah. Umumnya tokoh persilatan akan menghindari
kontak langsung dalam adu tenaga dalam, atau setidaknya mereka mencari
celah yang bisa diterobos. Akan tetapi yang dilakukan pemuda bertongkat hitam
ini justru langsung dibenturkan langsung.
"Pemuda nekat!" desis Cambuk Pemutus Nyawa.
Duarr! Kembali jurus serangan dari Golok Tapak Kuda kandas, bahkan kini ditambah
dengan tubuh kekar itu terpelanting ke belakang dan jatuh berguling-guling di
tanah. Cambuk Pemutus Nyawa terlonjak kaget.
"Setahuku, jurus "Tangisan Rembulan" tidak pernah ada yang sanggup
menangkisnya," batin Cambuk Pemutus Nyawa dengan mata sedikit membesar,
"Pastilah dia itu berilmu tinggi. Kami harus hati-hati padanya."
"Sobat, kau butuh bantuan untuk berdiri?" tanya Cambuk Pemutus Nyawa pada
kawannya. "Tidak usah!" desis Golok Tapak Kuda sambil bangkit berdiri, sedang tangan kiri
mengusap ke arah hidung. Ternyata dari dua lubang hidung terlihat darah
mengucur, pikirnya, "Murid siapa sebenarnya pemuda bertongkat hitam ini?"
"Kau cukup hebat, anak muda!" katanya sambil mengacungkan ibu jari kiri ke
atas," Tapi sebentar lagi, kau akan segera mampus," katanya sambil membalik
ibu jari ke bawah.
"Oh ya?"
"Tentu saja iya!"
Golok Tapak Kuda mengempos seluruh tenaga dalamnya. Terlihat otot-otot
lengannya bertonjolan seperti ulat hijau yang berkerumun.
"Heeaaa!!"
Diiringi dengan bentakan keras, laki-laki dengan senjata golok kotak itu segera
menerjang ke arah Jalu Samudra yang berdiri santai menanti serangan lawan.
Kali ini, Golok Tapak Kuda mengerahkan salah satu jurus golok yang paling
diandalkannya, jurus "Tarian Golok Mengacau Kayangan". Dengan jurus ini,
Golok Tapak Kuda sanggup mencacah-cacah lawan hingga menjadi ribuan
keping daging merah berdarah. Sebenarnya yang berbahaya bukanlah pada
goloknya, tapi pada hawa golok yang datangnya laksana curahan hujan badai
menerjang. Sementara itu, Beda Kumala yang melihat tangan kiri Cambuk Pemutus Nyawa
meloloskan cambuk yang ada di pinggang, langsung membentak, "Satu lawan
satu, itu baru pertarungan jujur namanya!"
Sriing! Pedang di tangan kanan Beda Kumala langsung diloloskan dari sarung, terus
digerakkan secepat angin mengincar leher Cambuk Pemutus Nyawa!
"Gadis sundal! Dari dulu sampai sekarang selalu mengganggu saja kerjaannya!
Nih, makan jurus "Cambuk Langit Berawan"-ku!" bentak Cambuk Pemutus
Nyawa sambil memutar-mutar cambuk di atas kepala dan dikelebatkan kesana
kemari disertai bunyi ledakan keras.
Tarr! Tarr! Ctarr!
Beda Kumala yang tidak menyangka lawan begitu lihai memainkan cambuk,
langsung membuang tubuh ke kiri sambil pedangnya berusaha membabat ke


Si Pemanah Gadis Karya Gilang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ujung cambuk lawan yang tengah mengancam pinggangnya.
Criing! Triing!
"Cambuk ini terbuat dari besi," desis Beda Kumala setelah pedangnya sedikit
gompal. "Ha-ha-ha! Pedang rongsokanmu mana sanggup merontokkan jalinan besi yang
membungkus cambuk kesayanganku ini," kata Cambuk Pemutus Nyawa dengan
angkuh. Tanpa menjawab sepatah kata pun, kembali Beda Kumala menyerang salah
seorang dari delapan jago Istana Jagat Abadi.
Tak pelak lagi, pertarungan terpecah di dua tempat. Meski baru sembuh dari
Racun "Ular Karang" tidak membuat Beda Kumala keteteran atau tepatnya di
bawah angin, namun yang dihadapi kini adalah salah satu tokoh silat aliran hitam
yang bergelar Cambuk Pemutus Nyawa, seorang jago silat kawasan selatan
yang direkrut oleh Raja Iblis Pulau Nirwana sebagai pembantunya, tentu saja
tidak memiliki ilmu pasaran. Ilmu cambuknya yang bernama "Cambuk Langit
Berawan" merupakan jurus simpanan yang paling diandalkan dan ilmu itu pula
Pendekar Kidal 5 Rajawali Hitam Karya Kho Ping Hoo Istana Yang Suram 19

Cari Blog Ini