Ceritasilat Novel Online

Saksi Mata 1

Saksi Mata Super Thriller Karya Francine Pascal Bagian 1


Satu Dengan mata berbinar ceria Jessica menghambur masuk ke
kamar kembarannya, sama sekali tanpa mempedulikan tanda 'Jangan
Ganggu' yang tergantung di pegangan pintu. "Liz, kamu benar tentang
kerjaan kita di the News!" serunya. "Kayaknya musim panas ini akan
jadi yang paling seru selama hidupku, deh!"
Elizabeth tak bisa menahan tawanya mendengar sorakan
adiknya. Sudah berminggu-minggu lamanya Jessica ini menggerutu
soal kerja praktek mereka di The Sweet Valley News, sebagai tukang
melipat dan copywriter magang di bagian tulisan umum di koran lokal
itu. Bagi Elizabeth, tugas ini bagai pucuk dicinta ulam tiba. Sudah
sejak dulu dia ingin jadi wartawan, dan pengalaman kerjanya di The
Oracle, majalah SMA Sweet Valley, saat dia dan Jessica masih duduk
di kelas junior ? telah mengajarnya banyak hal padanya mengenai
dunia tulis menulis. Tapi sebaliknya bagi Jessica; menulis adalah
suatu kerja keras. Libur, baginya adalah berarti bersenang-senang.
Nah, apa enaknya bila kita harus bekerja seharian di kantor?
"Aku yakin pasti Seth Miller punya andil dalam perubahan
sikapmu ini," tebak Elizabeth sambil tersenyum.
Jessica meraih sikat dari atas meja kakaknya, dan menyisir
rambut pirangnya yang lembut berkilau sambil memandangi
bayangannya di kaca. "Yah, siapa lagi yang layak dilihat di the
News?" katanya. "Lawrence Rob sudah setua Ayah. Sementara yang
lainnya, kalau nggak sudah kawin, pasti ngampung banget." Matanya
berkilau. "Untunglah, Seth Miller membuat semuanya jadi lebih oke.
Ini semua berkat kamu, Liz. Soalnya waktu kamu membuatku
terpaksa terlibat di sini, aku kesal sekali sama kamu. Tapi sekarang?"
Dia tersenyum dengan mata menerawang saat dia meletakkan sikat
rambut itu.
Elizabeth tertawa. Ini sih bukan cuma nyebelin! Kembarannya
itu langsung mendiamkannya begitu orang tua mereka memutuskan
Jessica harus ikut seperti kakaknya bekerja magang di the News.
Jessica sudah punya banyak rencana hura-hura untuk liburan musim
panas ini. Mulai dari berperahu di Grand Canyon, perjalanan keliling
Eropa, atau pun mencari kerja sambilan di Hollywood. Namun tak
satu pun dari semua itu yang diwujudkannya, hingga ketika menjelang
bulan Juni dan dia belum juga memutuskan apa-apa, Pak dan Bu
Wakefield mulai memaksa Jessica untuk mengikuti jejak
kembarannya dan memakai waktunya secara produktif.
Elizabeth mengenang lagi semua protes Jessica sebelum
akhirnya dia mau ikut bekerja di the News ini. Tak hanya kali ini saja
kedua kembar Wakefield ini saling menyadari perbedaan cara berpikir
mereka berdua. Walau dari luar keduanya sulit dibedakan, dalam hal
sifat, mereka sungguh bertolak belakang.
Secara lahiriah, hampir mustahil untuk membedakan mereka.
Usia enam belas tahun, tinggi seratus enam puluh lima centimeter,
seramping peragawati. Keduanya sama-sama berambut pirang sebahu,
mata berbinar hijau kebiruan. Keduanya berlesung pipit di pipi kiri
dan sama-sama memakai seuntai kalung emas.
Tapi siapa pun yang mengenal betul keduanya, tahu benar
bahwa persamaan mereka hanyalah sampai di batas itu. Selain
mantap, bertanggung jawab dan jujur, Elizabeth dikenal selalu teliti
dan tuntas. Dia jauh lebih suka berkumpul dengan beberapa teman
dekat ? seperti Enid Rollins, sahabatnya, atau Jeffrey French,
cowoknya ? dari pada berkumpul bersama gerombolan teman-teman
kembarannya. Dijalaninya hobinya seserius membereskan tugas-tugas
sekolahnya, bisa sampai berjam-jam untuk berlatih menulis. Dia
berbakat memimpin, dan bagi teman-temannya dia dianggap sebagai
pelajar terjujur dan terhandal di seluruh SMA Sweet Valley.
Kadang-kadang Jessica sulit percaya bahwa ia bersaudara
dengan Elizabeth, apalagi sebagai saudara kembar. Prinsip Jessica
adalah mereguk sebanyak mungkin kesenangan. Petualangan adalah
kegemaran utamanya, dan ia paling tak bisa menghadapi kebosanan.
Jessica termasuk tipe yang bisa secepat kilat berganti teman, hobi,
maupun mode. Suatu saat dia ingin jadi penari profesional, lalu detik
berikutnya ia sudah ingin memasak masakan Perancis. Sulit sekali
mengikuti hasratnya terus menerus. Hal itu membuat seisi rumah ?
terutama kakak kedua kembar itu, Steven?hanya bisa mengangkat
tangan putus asa.
Elizabeth sudah terbiasa senantiasa mengawasi kembarannya
yang emosional itu dan sedapat mungkin membantunya melepaskan
diri dari kesulitan. Kadang-kadang dia juga suka hilang kesabaran
menghadapi Jessica, namun jauh di lubuk hati dia amat mengasihi
Jessica dan yakin bahwa kembarannya itu juga akan melakukan
apapun demi dirinya. Ada ikatan batin di antara mereka, dan masingmasing bisa merasai apa yang dirasakan oleh yang lainnya tanpa perlu
diucapkan lagi. Sekarang ini, misalnya, Elizabeth tahu bahwa hati
Jessica sedang teraduk ? antara berterima kasih kepadanya karena
telah mengatur agar mereka berdua bisa magang di the News, sungkan
karena telah memusuhinya gara-gara harus bekerja di liburan musim
panas ini, gembira menghadapi hari libur, dan yang paling menonjol
adalah munculnya Seth Miller, wartawan muda dari Washington.
"Iya kan, Liz? Seth keren, kan?" kata Jessica penuh semangat
sambil menghempaskan diri ke tempat tidur kakaknya sambil menatap
penuh harap. "Kamu kok tahan sih, bisa tetap tekun bekerja di meja
sebelahnya? Kalau aku sih, nggak bakalan bisa mengerjakan apa-apa
seharian!" Dia terkikik. "Malah kerjaanku belum ada yang selesai.
Berat deh, bekerja jauh di seberang mejanya." Dipeluknya dirinya
sendiri sambil membayangkan si wartawan muda itu. Lalu, setelah
menyadari tak ada tanggapan dari Elizabeth, wajahnya muram
seketika, dan ia menegakkan duduknya. "Liz, kamu nggak jatuh cinta
sama dia juga, kan?" serunya.
Elizabeth menepuk-nepuk tangan Jessica untuk
menenangkannya. "Kan ada si Jeffrey?" katanya tawar. "Baru
seminggu ini dia ke luar kota, Jess. Dan aku nggak berniat mikirin
orang lain selain dia pada liburan ini. Enam minggu kan nggak lama.
Kurasa aku bisa mengatasinya sampai dia kembali!"
Jessica mengerutkan alisnya. Nalurinya selalu melecehkan
kakaknya yang baginya terlalu setia secara tidak perlu. Untuknya,
pacaran jarak jauh adalah hal yang sungguh menyebalkan. Apa sih
asyiknya punya cowok yang harus bekerja sebagai pengawas
perkemahan selama liburan musim panas di San Fransisco, sejauh
sehari penuh bermobil? Biasanya dia akan langsung menasehati
kakaknya terikat pada satu orang di usia enam belas tahun ini. Tapi ia
juga ada baiknya hal itu dibiarkan. Seth Miller terlalu keren, jadi
terlalu besar resikonya untuk bersaing dengan Elizabeth. Jika
kakaknya itu tidak terikat pada Jeffrey, entah bencana apa yang
mungkin terjadi?
"Jangan khawatir," Elizabeth menenangkannya, matanya
berkedip saat ia bisa menduga isi pikiran adiknya. "Seth memang
hebat, tapi dia sepenuhnya urusanmu. Itu pun kalau kamu yakin
bahwa dia akan tertarik pada anak seumur kita. Dia agak lebih tua,
kan?"
"Umurnya kan baru dua puluh dua," kata Jessica segera.
"Kebetulan aku lihat daftar riwayat hidupnya di lemari arsip Pak
Robb."
"Jessica!" teriak Elizabeth. "Itu kan dokumen rahasia. Kok
kamu baca sih?"
"Lho?! Kita kan dilatih untuk jadi wartawan," kilah Jessica.
"Bukankah kita harus belajar melakukan penelitian mendalam? Lagi
pula, daftar itu tergeletak begitu saja ? di dalam laci dokumen. Sama
sekali nggak dikunci."
Elizabeth menggeleng-geleng. Kok susah sekali ya, marah pada
adiknya ini? Jessica selalu bisa membuat segalanya jadi masuk akal!
"Ingat," Elizabeth menegaskan, "kita tidak dilatih untuk jadi
wartawan. Pak Robb sudah menegaskan waktu kita mulai bekerja
bahwa kita hanya bertugas memeriksa kesalahan ejaan dan beberapa
tugas dasar keredaksian, sampai kita terbukti mampu." Diam-diam
Elizabeth berharap bisa membuktikan diri pada atasannya, agar beliau
membolehkannya menulis artikel pendek di akhir masa magang ini,
namun ia tahu bahwa untuk itu dirinya harus bekerja keras bermingguminggu.
Tapi Jessica jelas lebih suka memusatkan diri pada usahanya
menggaet Seth Miller. "Umur Seth tidak beda jauh dari kita. Dia lulus
SMA umur enam belas tahun," sambung Jessica. "Enam belas tahun!
Gila nggak!? Pasti dia jenius. Dia memenangkan semua hadiah
penulisan fiksi di perguruan tingginya. Lalu dia meraih gelar master di
bidang jurnalisme, dalam investigative reporting. Lalu apa lagi,
coba?"
Elizabeth mengerang. "Hwaduh, Jess," katanya. "Ngapain saja
kamu? Menghapal dokumen dia?"
"Dia menulis cerita misteri pada waktu luangnya," ungkap
Jessica ngotot. "Satu judul sudah diterbitkan, lalu sekarang dia lagi
menulis judul yang kedua. Dia pakai nama samaran Lester Ames. Aku
sudah ke perpustakaan dua kali mencoba mencari bukunya, tapi lagi
dipinjam orang lain." Jessica memandang cemas ke kakaknya. "Dia
lebih cocok buat kamu dari pada aku," katanya. "Maksudku, dia begitu
menekuni dunia tulis-menulis. Semoga ?" Dia menatap ke arah
Elizabeth ketika sebuah gagasan muncul. "Liz, ajarin aku segala hal
tentang menjadi penulis yang handal, dong! Aku ingin membuat Seth
terkesan dengan menulis sebuah karya indah dan membuat pak Robb
menerbitkannya!"
Elizabeth menertawakan adiknya yang mendadak penuh ambisi
itu. "Aku sih pasti mau, tapi entah bagaimana caranya membuat Pak
Robb mau menerbitkan tulisanmu itu. Dia tidak pernah menjanjikan
hal itu, kan?" Dia menyeringai. "Lagi pula aku ragu apakah saat ini
beliau sudah tahu bahwa kamu berminat sekali pada urusan tulismenulis. Waktu wawancara dulu kamu bilang bahwa kamu mau
pulang pas jam lima sore setiap harinya."
Jessica mengabaikannya. "Bayangkan," katanya penuh khayal,
"Seth akan bisa sehebat Alfred Hitchcock ? dia akan mendapat amat
sangat banyak uang dan akan menjadi sangat terkenal. Lalu dia akan
menuliskan mengenai aku dalam semua buku dan filmnya." Jessica
menepuk-nepuk kakaknya dengan penuh kasih. "Jangan takut, Liz.
Kamu akan kebagian tugas sebagai penulis script atau kerjaan lain
yang sejenisnyanya."
"Trims," jawab Elizabeth kosong. "Tapi kini satu-satunya
misteri yang kulihat di sini adalah bagaimana makan malam akan siap
pada waktunya kalau kamu belum juga mulai membuat saus spageti.
Ibu dan Ayah bakal pulang beberapa saat lagi."
Jessica sedang melayang-layang, dan tidak menangkap
kesinisan kakaknya. Membayangkan rambut ikal hitam Seth Miller
dan matanya yang hijau mempesona saja sudah membuatnya
menggigil sendiri. Lekuk kecil di dagunya dan lesung di pipinya
setiap kali ia tersenyum; tubuhnya yang cukup jangkung?dan cukup
tegap?hingga pakaiannya yang ngepop jadi makin asyik saja.
Memang, sampai saat ini Seth belum terlalu memperhatikanku, pikir
Jessica. Tapi dia yakin akan dapat segera merubah keadaan.
Malahan, angan-angan Jessica sudah lebih jauh lagi. Sebelum
minggu ini berlalu, Seth pasti sudah memikirkan dirinya! Untuk itu
dia telah menyusun siasat. Karena Seth Miller menyukai misteri, dia
akan memberinya banyak ide cerita misteri. Sebanyak-banyaknya,
sampai Seth pusing tujuh keliling. Jessica memikirkan idenya itu
sambil melangkah menuruni tangga ke arah dapur.
Misteri yang hendak diberikannya pada Seth haruslah cukup
sulit untuk bisa dipecahkan oleh satu orang saja. Sherlock Holmes pun
membutuhkan bantuan seorang dokter Watson! Jadi, Jessica harus
membuat Seth tahu bahwa ia sangat bersedia untuk membantunya!
**********
Sore itu keluarga Wakefield sedang bersantai di teras belakang
rumah mereka, minum teh sambil menikmati udara California yang
beraroma bunga. Pak Wakefield memandang sayang kedua gadis
kembarnya. "Bagaimana dengan urusan koran akhir-akhir ini?"
tanyanya, matanya nampak berkilau.
"Jessica sekarang jadi wartawan yang penuh pengabdian," kata
Elizabeth segera, sambil menyikut rusuk adiknya. "Iya kan, Jess?"
Jessica, sedang larut dalam sebuah buku kumpulan kisah
detektif, hanya menjawab dengan gumaman. Tapi Steven, yang
sedang iseng melempar-lemparkan bola ke udara, tak mau kehilangan
kesempatan untuk mengolok Jessica. "Waduh, kamu mulai bisa
menekuni sesuatu ya?" katanya dengan wajah berlagak cemas. Pada
usia delapan belas tahun, Steven mewarisi ketampanan ayahnya ?
rambut hitam, mata gelap dan bahu bidang ? dan dia pun menyukai
profesi ayahnya. Ia sedang di rumah selama libur musim panas ini
untuk bekerja magang di biro hukum milik ayahnya.
Jessica memandangnya dengan tatapan kesal. "Aku nggak
pernah dapat pujian di sini," keluhnya. "Betapa kejinya perlakuan
mereka terhadapku?" katanya pada ibunya.
Bu Wakefield mengangkat wajah dari majalah desain yang
sedang dibacanya. Ibu yang langsing dan bermata biru ini sering
dikira kakak si kembar. Rambut pirangnya yang halus dipotong model
cowok dan dia masih pantas memakai pakaian anak-anak gadisnya.
Karirnya sebagai disainer interior kelihatannya cukup sukses.
"Mereka cuma bercanda, Sayang," hibur Bu Wakefield, alisnya
berkerut ketika ia seperti teringat hal lain. "Steven, kapan kamu bilang
temanmu Adam mau datang? Biar nanti aku sediakan tempat tidur
tambahan di kamarmu sebelum dia tiba."
"Adam? Adam siapa?" tanya Jessica.
"Wartawan kawakan pemecah misteri ini bahkan tidak tahu
bahwa kita sedang menunggu tamu," kata Elizabeth dengan terkekeh.
"Jess, kamu kemana saja sih? Sudah berhari-hari kita membicarakan
Adam!"
Jessica nampak jengkel. "Habis, nggak ada yang ngasih tahu
aku. Siapa dia? Kenapa dia mau menginap di sini? Kita kan nggak
punya kamar berlebih?"
Elizabeth dan Steven saling bertukar pandang. "Beruntunglah
kamu, nggak perlu berbagi kamar mandi sama Jess," kata Elizabeth
pada kakaknya itu.
"Adam Maitland adalah salah satu sahabatku di sekolah,"
Steven menjelaskan. "Dia diterima bekerja magang di Wells and
Wells, kantor hukum pidana di kota ? yah, selama musim panas,
seperti aku juga. Dia berasal dari Dakota Selatan. Karena dia tidak
mampu menyewa rumah di Sweet Valley, Ibu dan Ayah menawarkan
untuk tinggal di sini. Cuma selama musim panas, kok," tambahnya.
Wajah Jessica seperti baru saja kena vonis hukuman mati.
"Cuma selama musim panas!?" teriaknya. "Cuma?!" Jessica memang
belum terbiasa dengan kenyataan datangnya kembali kakak lelakinya
selama musim panas ini. Karena itu berarti dia harus memindahkan
semua pakaiannya dari lemari kakaknya kembali ke lemarinya
sendiri?belum lagi kotak-kotak piringan hitam yang disimpannya di
tempat tidur kakaknya dan berbagai perkakas bekas dan sudah tidak
terpakai yang dijejalkannya ke laci-laci lemari kakaknya yang kosong.
"Bu!" Jessica mengerang. "Tega amat sih, Ibu dan Ayah? Tidakkah
Ibu menyadari akibat buruk dari memberi pondokan pada orang lain?
Baru saja kubaca penelitian mengenai hal itu yang dilakukan pada
tikus, dan ?"
"Jessica," kata Pak Wakefield sambil memandang tegas. "Hal
ini sudah diputuskan. Adam Maitland bukan pemuda sembarangan.
Dia pintar, pekerja keras, ambisius ? dan sangat mengabdi pada
hukum. Aku ingin dia mau bekerja magang di kantor kami, tapi dia
lebih tertarik pada hukum pidana dari pada hukum perdata. Lagi pula,
dia bukan dari keluarga kaya, hingga tak mungkin baginya untuk


Saksi Mata Super Thriller Karya Francine Pascal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyewa sebuah tempat selama musim panas ini. Ibumu dan aku
sangat bangga pada Steven yang rela berbagi kamar dengan Adam.
Kita semua harus berusaha untuk membuatnya kerasan di sini.
Mengerti?"
Jessica mendesis. "Aku rasa begitu," gumamnya.
Elizabeth menganjurkan tubuhnya dan menepuk-nepuk tangan
Jessica. "Nggak apa-apa kok, Jess," katanya ceria. "Dia sudah
membawa barang-barangnya beberapa malam yang lalu, waktu kamu
menginap di rumah Lila. Dia lumayan keren, kok."
Jessica tak berkata-kata lagi. Dia hanya duduk sambil
bergumam, heran kenapa kakaknya sepemurah itu. Rumah mereka
memang enak, tapi tidak besar. Temannya, Lila Fowler, yang putri
tunggal orang terkaya di negara bagian ini, memiliki kamar yang
luasnya hampir seluas lantai dua rumah ini!
Tiba-tiba Jessica duduk tegak, mengabaikan buku detektifnya
yang merosot dari pangkuannya. Mungkin tidak ada salahnya
membiarkan Adam tinggal bersama mereka. Ini kan kesempatan untuk
menjamin bahwa Elizabeth tidak jatuh cinta pada Seth! Lagi pula,
Jessica masih sedikit menyesalkan urusan pacaran kakaknya.
Bukankah ia tadi sudah membujuk Elizabeth untuk mengurangi
keterikatannya yang konyol dengan Jeffrey?
Mungkin Adam Maitland-lah jawabannya. Bukankah Elizabeth
sendiri yang menyebutnya keren? Nampaknya setengah dari
pertempuran ini sudah dimenangkannya.
Dan mereka pastilah punya banyak kesempatan untuk lebih
saling mengenal. Terutama karena Adam akan tinggal bersama
mereka ? tepat berada di bawah satu atap!
Dua "Dengar deh!" seru Elizabeth, sambil mendongak dari surat
yang sedang dibacanya. Hari itu Sabtu sore, Elizabeth sedang
menikmati akhir hari panjang di pantai bersama Jessica, Enid Rollins,
dan Lila Fowler. Enid, sahabatnya, tahu benar betapa Elizabeth sangat
menghargai surat-surat dari Jeffrey. Tapi Jessica dan Lila saling
berpandangan tidak sabar. Enid tertawa penuh pengertian ketika
Elizabeth membaca sebuah lelucon dalam surat itu. Tapi Lila nampak
sinis. "Liz, menurutmu apakah Jeffrey tidak agak ?" Lila
mengernyitkan keningnya saat membuka tutup botol losyen kulit
buatan Perancis yang mahal, "? kurang dewasa untuk kamu?"
Enid terkekeh. Baru pagi tadi ia mengeluhkan Lila yang setiap
kali menemukan kesalahan seseorang, hal yang wajar sebenarnya, dia
selalu menuduh kemiskinan merekalah penyebabnya. Tapi, siapa sih
yang tidak miskin bila dibandingkan dengan Lila?!
"Ssstt, biarkan dia membacanya," kata Enid. "Teruskanlah,
Liz."
"Perkemahan ini sudah mulai membuat perasaanku tertekan.
Mungkin tak ada yang melebihi beratnya menghadapi kebadungan
anak-anak sembilan tahunan, sampai rasanya mendingan tinggal di
sekolah, deh! Tadi malam anak-anak kelompok asuhanku mulai jahil.
Pertama-tama sepreiku tiba-tiba jadi pendek. Lalu mereka menaruh
pasta gigi di sepatuku. Benjy, biang bandit cilik di antara mereka,
memasukkan kodok di ranselku. Rasa-rasanya aku sudah mulai
menghitung-hitung menit untuk pulang, deh!"
Lila mengernyitkan hidungnya. "Konyol amat!" katanya sinis
sambil mengoleskan minyak penangkal sinar matahari ke sekujur
kakinya. "Perkemahan yang pernah kuikuti nggak seperti itu."
"Karena kamu ikut perkemahan khusus," kata Enid. "Kurasa
mereka juga nggak akan membuatmu berurusan dengan kodok
segala."
"Liz," kata Jessica sambil menyikut Lila, "menurutmu, liburan
ini pas nggak buat menguji hubunganmu dengan Jeffrey? Bagaimana
kalau kamu uji dengan, misalnya, berkencan dengan orang lain?"
Enid tertawa. "Yah. Jeffrey keluar bersama Benjy, misalnya."
"Aku serius nih," kata Jessica. "Kalian segitu saling tergantung,
Liz. Boleh saja kan, mencari sedikit penyegaran? Misalnya berkencan
dengan orang yang lebih tua, lebih berpengalaman ?"
"Adam itu kayak apa sih orangnya?" sela Lila. "Dari cerita
Jessica, kok kayaknya hebat." Dia terhenti sesaat. "Miskin, tapi
menarik." Ebukulawas.blogspot.com
"Kayaknya sih dia memang manis," kata Elizabeth. "Entah
bagaimana kok Jessica bisa tahu segala hal tentang dia, sebelum
pernah bertemu sama sekali?"
Jessica nampak tersinggung. "Aku kan cuma mencari manfaat,
dengan dia tinggal bersama kita," katanya sedih. "Dia kan ke rumah
kita, minta ruang khusus, dan aku harus bersikap ramah agar dia
betah. Eh, kembaranku sendiri bereaksi seolah aku merencanakan
sesuatu, cuma gara-gara aku bilang dia mungkin bisa cocok
dengannya."
"Siapa yang bilang aku mau cocok dengannya?" jawab
Elizabeth. "Jess, aku kan cuma bilang bahwa dia cukup keren." Jelas
sekali Elizabeth marah, dia melipat suratnya. "Kamu tahu bahwa aku
nggak tertarik pada lelaki lain. Liburan ini aku cuma mau mempelajari
semua hal mengenai dunia kewartawanan, dan mencoba menulis
sesuatu yang cukup bagus untuk diterbitkan oleh Pak Robb. Cuma itu!
Aku kangen Jeffrey setengah mati. Lagian, aku yakin sekali bahwa
Adam sudah punya cewek. Jadi berhentilah jadi mak comblang, oke?"
Jessica mendesah berat. "Adam yang malang," erangnya pada
Lila. "Rencananya dia akan datang malam ini, dan kini berani taruhan
Liz jadi tak akan mau menegur atau menyapanya. Dia pasti akan
berusaha meyakinkanku bahwa dia sama sekali nggak menyukai
Adam."
"Jess," kata Elizabeth, mulai hilang kesabaran, "aku janji akan
ramah pada Adam ? malam ini, besok malam, dan seterusnya selama
dia tinggal dengan kita! Jangan membesar-besarkan masalah, ah!
Karena apapun katamu ataupun tindakanmu, aku tidak harus naksir
dia. Nah, itu saja."
Jessica tersenyum rahasia pada Lila. Jika Elizabeth mengira
urusan ini sudah selesai, jelas dia meremehkan keteguhan Jessica
kalau lagi punya mau. Terutama dalam hal-hal yang hanya
diketahuinya sedikit. Soal cinta, misalnya.
*************
"Kenapa kamu suka bidang hukum, Adam," tanya Bu
Wakefield sambil menambahkan es teh ke gelas Adam. Sabtu sore itu
keluarga Wakefield sedang duduk-duduk di tepi kolam renang,
membakar hamburger dan hot dog sambil ngobrol dengan penghuni
terbaru rumah mereka. Jessica menatap Adam dengan rasa tertarik.
Cukup meyakinkan, dia memang luar biasa tampan. Tinggi, kurus
dengan rambut merah kekuningan dan sosok yang anggun. Dia
sungguh pas buat Elizabeth ? serius, pintar, dan ramah. Suaranya
yang tenang dan dalam membuat orang memperhatikan semua
ucapannya.
Dan yang paling disukai Jessica, Elizabeth sangat serius
menyimak semua perkataannya, lebih serius dari yang lainnya, saat ia
menyatakan keteguhan tekadnya untuk menekuni hukum.
"Orang tua saya petani," kata Adam. "Mereka tinggal di kota
yang bisa dikatakan kecil. Tapi sudah sejak dulu saya ingin jadi ahli
hukum. Barangkali saya kebanyakan nonton film hukum di teve, ya?"
Semua orang tertawa, dan Adam nampak agak santai sedikit.
"Begitulah. Saya sekelas dengan Steve ? di mata kuliah Hukum dan
Masyarakat, dan ingin sekali bisa sepandai putera Bapak ini. Saya
harus berjuang keras untuk mengejar nilai baik. Mungkin sekali
selama ini saya dikenal sebagai orang kuper karena menghabiskan
waktu hanya untuk belajar."
"Kalau kamu lagi nggak bersama Laurie tentunya," olok Steve.
Wajah Adam memerah, dan Jessica mengerutkan keningnya.
Laurie? Wah, rupanya pembicaraan mulai bergeser ke hal rawan!
Jessica tahu bahwa jalan yang terbaik adalah memancingnya
membicarakan hal-hal lain selain Laurie.
"Ceritera soal hukum lagi, dong," tukarnya mengabaikan
pandangan Elizabeth ke arahnya. Jessica menganjur ke depan seolah
serius. "Pasti asyik ya, bekerja di sebuah kantor pengacara," sambung
Jessica. "Aku dan kakakku bekerja di kantor surat kabar. Mungkin kita
bisa saling tukar pengalaman."
Adam tersenyum. "Kedengarannya seru juga. Mungkin kita
bahkan bisa bertemu untuk makan siang. Kantor tempat saya bekerja,
di sebuah gedung baru ? Western Building. Dekatkah tempat itu
dengan tempat kalian berdua?"
"Dekat?" kata Jessica penuh kemenangan. "Kami juga di
gedung itu ? di lantai lima."
"Wells and Wells ada di lantai tujuh," kata Adam. "Kebetulan
sekali. Kita pasti bisa bertemu untuk makan siang."
"Ceriterakanlah tentang keluargamu, Adam," desak Bu
Wakefield. "Aku rasa mereka akan merindukanmu di rumah."
"Yah, awalnya mereka memang agak kecewa," Adam
mengakui. "Mungkin mereka akan merindukan saya tahun ini dan
berharap saya pulang pada libur musim panas ini. Tapi mereka tahu
betapa inginnya saya ke sekolah hukum. Pekerjaan ini sungguh suatu
kesempatan besar bagi saya. Jika saya bisa melakukannya dengan baik
dan ada kantor pengacara yang mau menjamin, saya akan bisa
mencari bea siswa untuk membiayai sebagian biaya kuliah dan
seluruh biaya di sekolah hukum. Orang tua saya tahu benar hal ini.
Lagipula ?" Suaranya menghilang, dan dia nampak seperti sedang
menimbang-nimbang akan melanjutkan ceriteranya atau tidak.
"Kenapa?" pancing Pak Wakefield.
"Yah, tunang ? eh, pacar saya, Laurie, musim panas ini akan
pulang ke rumahnya di San Mirando, sekitar satu jam dari sini. Musim
panas ini kami sedang mengalami cobaan. Dia sedang dalam
kesulitan, dan sangat membutuhkan dukungan saya saat ini. Kami
akan berusaha untuk saling bertemu setiap akhir minggu, dan saya
ingin meringankan bebannya dengan berada di dekatnya."
Jessica menghela napas. Buset! Tepat saat ia mengira telah
berhasil mengalihkannya, percakapan justru kembali ke jalur ini.
Siapapun Laurie ini, Jessica yakin bahwa dia bukanlah tipe gadis yang
dibutuhkan Adam. Semua kekhawatiran Adam telah membuktikan hal
itu. 'Sedang dalam kesulitan', 'membutuhkan dukungan' ? Laurie
jelas hanya membebani Adam! Adam sama saja noraknya dengan
Elizabeth, sudah pacaran serius di usia semuda itu.
"Kasihan," kata Bu Wakefield prihatin. "Semoga kamu bisa
merasa menjadi bagian dari keluarga ini selama berada di sini, Adam.
Jika kamu membutuhkan nasehat, atau ingin membicarakan sesuatu
?" Adam nampak larut dalam pikirannya sendiri. "Yah," ucapnya
dengan berat. "Laurie benar-benar sebatang kara di dunia ini. Orang
tuanya meninggal dalam kecelakaan pesawat terbang di Azores saat
dia masih kecil. Kemudian ia diasuh oleh kakeknya, tapi kakeknya itu
tak pernah punya waktu untuk Laurie ? dia dibesarkan oleh para
pembantu. Dia belum pernah merasa punya keluarga yang sebenarnya.
Hanya sayalah miliknya satu-satunya."
Elizabeth menatap simpati pada Adam. "Dia tentu sangat
bersyukur sekali memiliki kamu," katanya dengan lembut.
Jessica menopang kepalanya dengan kedua tangannya. Hebat!
Ini bahkan lebih buruk dari yang diharapkannya. Kalau Adam iba
pada makhluk memelas itu, terbayang betapa sulitnya untuk
membuatnya menjauhi Laurie. Namun ia merasa lebih yakin lagi,
bahwa Adam perlu sedikit bersenang-senang. Berarti urusan ini jadi
lebih menantang lagi di mata Jessica.
"Siapa yang sekarang merawatnya? Adakah keluarganya yang
lain?" tanya Bu Wakefield penuh perhatian.
"Kakeknya adalah raja minyak yang bernama Tucker Hamilton.
Pernahkah Ibu mendengar namanya? Dia salah satu orang terkaya di
negara ini," kata Adam murung.
Jessica menatap Adam sambil mengunyah wortel tanpa selera.
Adam mulai membuatnya seperti gila. Mengapa seorang kakek
milyuner membuatnya sedih? Dia mulai merasa bahwa agaknya Adam
bukanlah calon yang pas untuk kakak kembarnya.
"Tentu saja kami pernah mendengar nama Tucker Hamilton,"
kata Pak Wakefield. "Jika Laurie cucunya, tentunya dia gadis yang
kaya raya."
"Yah, memang ? kalau bukan karena saya. Kakeknya punya
pandangan sendiri tentang dunia ini. Ketika Laurie dan saya bertemu
pada musim gugur yang lalu, kakeknya meminta Laurie tidak
menemui saya lagi. Di matanya, saya ini bukan siapa-siapa. Tidak
terkenal, dan tidak beruang. Ketika Laurie menolak, dia mengancam
akan memutuskan hubungan keluarga dan tak akan memberinya uang
sesen pun. Laurie tidak peduli sedikit pun. Dia hanya mengatakan
bahwa dia sudah pernah punya uang selama hidupnya tapi tidak
pernah mendapatkan cinta. Dia juga menyatakan lebih baik
menyerahkan seluruh hartanya dan hidup bersama saya dari pada
menuruti kata kakeknya."
"Apa sih kata kakeknya itu?" pancing Pak Wakefield lagi
dengan lembut.
"Kakeknya meminta Laurie untuk menikah dengan putra
seorang mitra bisnisnya, seorang pria yang labil. Laurie mau
menemani orang itu beberapa kali, untuk menyenangkan kakeknya.
Dia mencoba untuk memberi tahu kakeknya bahwa orang itu berjiwa
labil, namun pak Hamilton hanya mau tahu bahwa orang itu kaya dan
baginya perkawinan itu tak bedanya dengan bisnis semata ? hanya
merger biasa." Adam menggeleng-geleng dan berkata dengan pahit,
"Rasanya sulit dipercaya bahwa Laurie masih sekeluarga dengan pak
Hamilton. Laurie adalah makhluk termanis di dunia. Saya yakin anda
semua pasti akan menyukainya bila sempat berkenalan."
Berani taruhan! pikir Jessica. Tamatlah sudah usaha untuk
perjodohan di rumah ini. Kecuali dia bisa meyakinkan Adam untuk
melepaskan semua kekacauan bersama Laurie dan memusatkan energi
pada kakak kembarnya?
"Dan yang terakhir," kata Adam. "Demi Laurie kami berusaha
untuk menjaga agar kakeknya tidak tahu bahwa kami masih saling
bertemu. Selama dia masih dibiayai kakeknya, kami tak ingin pak
Hamilton mengetahui hubungan kami. Karena itu kami berusaha
merahasiakan semua ini."
"Yah, kakeknya tidak akan mendengarnya dari kami, Adam,"
ucap Bu Wakefield lirih. "Jangan khawatirkan hal itu."
Tampaknya cukup berat juga untuk memutuskan hubungan
mereka, pikir Jessica. Bukannya dia tidak menyukai tantangan. Tapi
jelas, jika ingin menjauhkan Adam dari hubungan yang penuh tekanan
ini, dia harus berusaha sekuat tenaga.
***********
"Jessica," sergah Elizabeth sambil memasuki ruang tamu tak
lama kemudian pada sore itu, "Kamu ini mau ngapain, sih?"
Jessica sedang berdiri di pintu samping, memakai teropong
ayahnya melihat ke halaman rumah keluarga Bennet di sebelah rumah
mereka. Mukanya tampak tegang karena berkonsentrasi. "Ssttt,"
katanya. "Lihat deh, apa yang dilakukan Pak Bennet dengan
sekopnya."
"Sekop apaan?" desak Elizabeth. Direnggutnya teropong dari
tangan adiknya lalu ia ganti mengintai. Tapi tak terlihat apapun selain
sebagian punggung pak Bennet yang menunduk di atas sesuatu yang
tampak seperti sebuah tanaman perdu.
"Dia tadi menggali," bisik Jessica. "Lihat ? tangannya kotor!"
"Dia lagi menanam tanaman! Brengsek kamu ah, Jess!" kata


Saksi Mata Super Thriller Karya Francine Pascal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Elizabeth, sambil melemparkan teropong itu ke sofa. "Ngapain kamu
cuma duduk di sini mengintip orang lain! Melanggar hak pribadi
orang!"
Dengan tak acuh Jessica kembali mengambil teropong itu.
"Kebetulan saat ini kamu salah," katanya dengan ringan. "Dia
bukannya menanam tanaman. Sudah sejam penuh dia menggali-gali
kebunnya malam ini. Dan itu nggak ada kaitannya dengan tanaman."
"Ada apa sih?" tanya Elizabeth. "Kayaknya kamu kebanyakan
membaca buku detektif deh, Jess. Mana mungkin sih Pak Bennet
melakukan sesuatu yang layak dimata-matai?!"
"Itu kan yang setahumu," kata Jessica dengan angkuh.
"Belakangan ini banyak sekali hal-hal aneh yang terjadi di sekitar sini.
Kamu mungkin nggak akan terlalu ambil pusing, tapi seorang Seth
Miller pasti akan menyelidiki."
"Aha!" teriak Elizabeth. "Jadi itu penyebab semua ini! Kamu
mau memberikan sebuah misteri pada Seth Miller Senin pagi nanti."
"Bukannya memberi misteri," kata Jessica sengit. "Masa aku
harus diam saja jika ada suatu kejadian aneh di sekitarku dan nggak
ada yang mempedulikan peristiwa itu?"
"Kejadian aneh," gumam Elizabeth. "Satu-satunya yang aneh di
sini adalah kelakuanmu." Sambil berkata demikian ia beranjak ke arah
televisi dan menyalakannya.
Jessica terus mengintai pak Bennet dari teropongnya. "Aku
nggak akan heran jika dia sedang hendak memendam sesuatu,"
katanya tenang. "Sebentuk barang bukti, misalnya."
"Apa? Barang bukti?" kejar Elizabeth sambil menjatuhkan diri
ke sofa dan menekan remote control merubah saluran teve.
"Misalnya," kata Jessica khidmat sambil melirik pak tua ramah
itu melalui jendela, "tahukah kamu soal empat jutaan rupiah uang
yang dicuri dari Federal Saving minggu lalu? Polisi belum punya info
tentang pelakunya, tapi mungkin saja ?"
"Jess!" sergah Elizabeth, "Kamu kok bisa bicara seperti itu, sih!
Kamu bisa dituntut karena memfitnah, lho! Masa Pak Bennet kamu
tuduh merampok bank ?" Saking kesalnya akhirnya dia meledak
juga. Jessica meletakkan teropongnya dan berpaling menatap
kakaknya. "Nggak apa-apa kok, Liz. Ini memang berbeda?kamu
ingin menjadi penulis, bukan wartawan, yang harus melacak berita.
Jadi kamu nggak akan tertarik dalam urusan lacak-melacak."
"Jess, dari ucapanmu itu kayaknya kamu mendingan menulis
fiksi dari pada menulis berita deh!" seru Elizabeth. "Berhati-hatilah
Jess. Jangan mengintai dan menuduh ke sana-sini sembarangan.
Bukan begitu tindakan seorang wartawan handal."
"Kita ganti bahan pembicaraan saja, yuk," kata Jessica manis.
"Kamu benar soal satu hal, Liz. Adam Maitland memang keren.
Mungkin agak terlalu serius, tapi benar-benar keren."
Elizabeth mengernyitkan dahinya. "Agak terlalu serius? Aku
rasa dia biasa saja. Kamu jangan berharap dia akan menganggap
remeh situasi yang sedang dihadapi Laurie." Dia menghela napas.
"Aku benar-benar merasa kasihan padanya. Bayangkan, bagaimana
rasanya mencintai seseorang yang keluarganya tidak menyukaimu?"
Jessica tidak langsung menjawab. "Yah, kupikir Adam perlu
sejenak melupakan Laurie," akhirnya ia berkata. "Jika terus
menemuinya, berarti dia memutuskan satu-satunya hubungan keluarga
yang masih dimiliki Laurie." Ditatapnya kembarannya dengan tajam.
"Mungkin kamu bisa menolongnya, Liz. Kalau kamu bisa
bersamanya, berilah dia dukungan moral ?"
Elizabeth nampaknya tak menyadari motif adiknya. "Kamu
betul," katanya penuh pengertian, sambil mematikan teve. "Aku
mendapat kesan Adam sebenarnya kesepian dan frustasi saat ini.
Kurasa kita semua harus membantunya sebanyak mungkin. Dia
bertemu Laurie hanya di akhir minggu, berarti dia butuh teman
sepanjang minggu. Akan kulakukan apa saja untuk membuatnya betah
di sini."
"Bagus, Liz," kata Jessica sungguh-sungguh. "Aku tahu betapa
pemurahnya hatimu dalam menghadapi situasi-situasi seperti ini."
Jessica kembali mengambil teropongnya dan tersenyum sendiri.
Dengan sedikit usaha, segalanya akan berjalan sesuai
keinginannya untuk musim panas ini. Prioritas pertama adalah
mencari bukti-bukti kuat untuk diserahkan pada Seth Miller Senin
pagi nanti.
Dan setelah itu dia bisa memusatkan diri membantu agar
Elizabeth dan Adam bisa lebih saling mengenal. Siapa tahu? Mungkin
mereka berempat tidak lama lagi bisa melakukan kencan ganda!
Jessica mengernyit saat menatap keluar jendela. Masalahnya
adalah, apa yang harus dikatakannya pada Seth mengenai yang
dilihatnya? Sejauh ini tak ada apa-apa yang nampak luar biasa. Hanya
pak Bennet yang sedang menggali-gali lubang di halaman ?seukuran
dengan lubang yang ditemukannya di balik pagar mereka. Bukan jenis
bahan yang bisa dibuat menegangkan, ah!
Tapi hanya soal imajinasi, untuk membuat segalanya nampak
jauh lebih menarik. Satu-satunya yang diperlukan adalah imajinasi.
Khususnya kalau berkaitan dengan orang sehebat Seth Miller!
Tiga Senin paginya, berjam-jam Jessica berdandan untuk ke kantor.
Tiga pasang pakaian telah dicobanya, namun tak satu pun yang cocok,
sampai akhirnya ia menetapkan yang dianggapnya paling canggih dan
tampak profesional ? rok katun hitam bermodel ramping dan kaos
katun putih. Warna cetakan surat kabar, pikirnya senang, sambil
mengagumi kesesuaiannya dengan warna kulitnya. Seth pasti akan
mengakui kehebatan penampilannya. Lalu bingung memilih aksesori,
dari gelang perak di pergelangan tangan, sampai anting bulat dari batu
berharga, maupun kalung emas yang sederhana. Pada saat dia turun ke
lantai bawah, Elizabeth sudah mondar-mandir di ruang depan.
"Ngapain sih, lama amat?" omel Elizabeth. "Aku sudah janji
pada Pak Robb untuk datang pagi-pagi hari ini agar bisa menunjukkan
tulisanku di Oracle mengenai para tuna wisma."
Jessica hanya merapikan rambutnya. "Aku sudah siap,"
jawabnya manis. "Liz, sadarilah bahwa cara berpakaian sangat penting
untuk mencapai kesuksesan pada masa ini!"
Elizabeth menjulingkan matanya. "Yah, kalau sukses itu berarti
berhasil menaklukkan Seth Miller."
Jessica mengabaikan ejekan kakaknya. "Hei," katanya sambil
meraih tangan kakaknya saat keduanya berjalan ke mobil Fiat merah
mereka. "Eh, lihat itu! Pak Bennet. Dia menggali-gali lagi!"
"Jessica," kata Elizabeth sabar sambil membuka pintu mobil,
"Sekarang musim panas. Semua orang suka bekerja di kebun di
musim begini. Carilah orang lain untuk sasaranmu, jangan pak Bennet
yang sudah tua dan malang itu."
Jessica mengeluarkan kaca mata hitam dari dompetnya.
"Entahlah, Liz," katanya sengit, sambil masih menatap ke halaman
rumah tetangganya. "Buatku, hal itu nampak mulai sangat
mencurigakan."
Elizabeth melenguh sambil menghidupkan mesin mobilnya.
"Kurasa minatmu yang mendadak pada kebun pak Bennet pastilah
berkaitan dengan Seth yang juga menulis kisah misteri di waktu
luangnya?"
Jessica nampak kesal. "Yang benar ah, Liz. Masa aku nggak
boleh punya minat sendiri? Kebetulan aku mengamati ada yang aneh
di sini belakangan ini. Tapi karena kamu mengabaikan mereka?"
"Keanehan yang aku tahu," Elizabeth menyipitkan matanya
sambil memundurkan Fiat keluar garasi, "adalah bahwa kamu
kayaknya memakai rantai emasku dua hari berturut-turut ini."
Mata Jessica melebar. "Iya, memang," katanya, tanpa merasa
bersalah. "Tapi rasanya waktu itu aku sudah minta ijin kamu deh,
kalau?"
"Ah, sudahlah," Elizabeth tertawa. Kemudian dia memandang
adiknya dengan pandangan mencela. "Tapi lain kali kalau kamu mau
menuduh Pak Bennet itu terlibat perampokan bank, ingat-ingat dulu
siapa yang belakangan ini sering mengambili barang-barang dari
kamarku tanpa minta ijin lebih dulu."
Jessica menggigit bibirnya dan tidak menjawab. Jelas sekali
kakak kembarnya itu tidak mau menerima betapa pentingnya
menempatkan seseorang untuk mengawasi Pak Bennet. Tapi dalam
hatinya dia yakin kalau Seth Miller pasti bisa mengerti soal seperti ini.
Sesampai kedua kembar itu di Western Building, tempat parkir
sudah hampir penuh terisi. Elizabeth harus membawa mobilnya
sampai ke lantai enam sebelum akhirnya menemukan tempat parkir.
Sebetulnya mereka biasa memarkir kendaraan mereka di lantai lima,
dekat dengan pintu masuk ke ruang berita. "Kita sudah terlambat,"
katanya kesal.
Jessica melompat keluar mobil dan mengernyit sambil menatap
ke sekeliling. "Aku benci sama tempat parkir semacam ini,"
gumamnya. "Gelap dan serem."
Elizabeth tertawa. "Kamu benar-benar kebanyakan membaca
cerita seram," katanya sambil merangkul adiknya. "Ayolah, sebelum
pak Robb memberi kita sesuatu yang betul-betul perlu ditakuti."
"Hei, itu mobil Adam," kata Jessica, sambil menunjuk mobil
VW kodok warna perak di dekat lift yang menuju ke Central bank.
Dia melirik kakaknya. "Mungkin bisa kita temui dia waktu makan
siang nanti."
"Aku rasa nggak bisa, Jess. Aku benar-benar ingin memberi
kesan baik pada Pak Robb. Dengan kecepatan seperti ini, kita baru
akan sampai ke meja kita jam sembilan tigapuluh lewat. Aku mau
bekerja sepanjang jam makan siang untuk memperbaiki artikelku di
sana-sini sebelum kutunjukkan pada Pak Robb."
Jessica menghela napas dan menoleh ke belakang ke arah mobil
itu. Berat amat sih urusan Adam ini. Selain berusaha menarik
perhatian Seth dengan menciptakan beberapa misteri, ia masih harus
mencari akal untuk menjodohkan Adam dengan kakaknya.
**********
Jessica makin kesengsem melihat betapa kerennya Seth di saat
menekuni suatu pekerjaan. Lengan baju tergulung dan rambut
keritingnya agak kusut, dia bagaikan keluar dari layar film. Di balik
sebelah telinganya terselip pensil, dan matanya lurus menatap monitor
komputer di atas mejanya.
"Seth," kata Jessica ketika dia berdiri di sebelahnya, "Perlu aku
ambilkan teh atau kopi atau yang lainnya?"
Seth terlonjak. "Apa?" katanya, jelas dia kaget. "Oh, nggak,
trims Jessica. Aku baru merangkum laporan kebakaran di Box Tree
Cafe sebelum siang ini."
Jessica mengambil pensil dari meja Seth dan menyelipkannya
ke balik telinganya sendiri. Dia menggeser tubuhnya dan menjulurkan
kepalanya melalui bahu Seth untuk membaca tulisannya di layar
monitor. Seth bergeser kikuk dan akhirnya berhenti mengetik. Dia
berpaling untuk melihat ke arah Jessica dengan pandangan
menyelidik.
"Eh," kata Jessica, "Kurasa kebakaran itu bukan kecelakaan
deh, Seth."
Seth menatap ke arah dia. "Apa maksudmu?"
"Yah ? mungkin ini nggak ada artinya," gumam Jessica. "Aku
mungkin belum punya cukup bahan untuk membuktikan bahwa itu
adalah kesengajaan atau yang semacamnya."
Alis Seth nampak menyatu. "Kesengajaan?" dia bertanya. "Apa
maksudmu? Semua laporan itu rasanya beres semua. Ada sesuatu
yang terbakar di dapur." Dia mengerutkan keningnya. "Sama sekali
tidak ada yang mengatakan adanya kesengajaan."
"Oh ? yah, aku yakin semua laporan itu benar," kata Jessica
ragu. "Lagi pula, kamu sudah mau lekas menyelesaikannya, kan?"
Jessica menoleh ke arah jam tangannya. "Kamu mungkin juga jadi
nggak punya waktu untuk pergi ke kantin dan berjalan-jalan."
Seth menekan tombol Save di keyboard-nya dan berbalik
menatap Jessica. Wajahnya tampak serius.
"Jika kamu memang punya alasan untuk merasa yakin bahwa
ada sesuatu dalam hal ini yang belum aku ketahui, ayolah kita periksa
bersama. Lagipula, ini sudah hampir jam istirahat siang. Kita bisa
kembali lagi sebelum Pak Robb mencari kita."
Wajah Jessica cerah seketika. "Cobalah melihatnya dari sudut
pandangku!" serunya sambil bergegas ke meja untuk meraih
dompetnya.
Pucuk dicinta ulam tiba ? mendapat kesempatan menemani
Seth Miller di luar kantor sehingga dia bisa lebih mengenal betul Seth.
Siapa yang tahu apa yang akan mereka temukan di restoran itu?
Mungkin saja itu cuma kebakaran dapur biasa. Tapi bukankah mereka
adalah wartawan yang serius. Dan bukankah mereka wajib
memastikan pada khalayak pembaca mereka bahwa tak ada
kecurangan yang terjadi?
"Nggak nyangka deh bahwa kamu seorang pengarang," kata
Jessica penuh semangat saat mereka memasuki lift bersama-sama
untuk turun ke lantai empat, ke arah tempat parkir.
Seth mengendarai Toyota Celica berwarna merah. Jessica
langsung memilih mobil ini sebagai Mobil Paling Disukai Tahun Ini.
"Silakan," kata Seth, sangat resmi. Terlalu resmi untuk ukuran
Jessica. "Nah Jessica, apa yang membuatmu menduga ada unsur
kesengajaan dalam kebakaran di cafe itu? Dan siapa yang memberimu
informasi seperti itu?"
Mata Jessica membesar. "Seorang teman," katanya, sambil
berusaha semisterius mungkin. Begitu kan yang selalu di film-film?
"Aku nggak bisa mengungkap lebih jauh, takut sumberku mendapat
kesulitan," tambahnya sambil berpikir cepat. "Walau mungkin, dia
sekarang pun sudah ketiban masalah. Tapi, Seth," lanjutnya sambil
diam-diam mengutuk sempitnya jok dan Sandaran bulat mobil ini. Ia
sangat berharap bisa merapat saat mereka bermobil, "Aku ingin tahu
lebih banyak mengenai kamu. Apa yang mendorongmu ke Pantai
Barat ini untuk menulis? Bukankah Washington jauh lebih ? kamu
ngerti deh, lebih misterius?"
Seth memandang ke arah Jessica dengan tatapan aneh. "Nggak
juga," katanya. "Terlalu banyak politik, untukku. Lagi pula, aku suka
sinar matahari." Dia sudah mau mengatakan lebih banyak tapi
kemudian menahan diri. "Sudahlah, lupakan saja obrolan ini. Kita
harus mendapatkan bahan tulisan, Jessica. Kalau kamu nggak bisa
menceritakan apa-apa mengenai sumber beritamu, setidaknya
katakanlah padaku apa katanya kepadamu. Apa ceriteranya?"
Jessica mengeluarkan kacamata dari dompetnya dan
mengenakannya. Dia bicara sambil menghindari pandangan Seth.
"Aku cuma tahu bahwa mereka menduga adanya unsur kesengajaan,"
katanya berkukuh. "Aku ingin bisa menceritakan lebih banyak lagi
Seth, tapi nggak bisa." Dia mencoba untuk terdengar teguh, seperti
jagoan wanita di serial baru teve kegemarannya bersama Lila. Kaum
lelaki nampaknya selalu mengagumi wanita profesional yang kokoh
dan mementingkan tugas. Pemecahan misteri ? atau penciptaan
misteri ? tentunya jauh lebih seru.
Sepuluh menit kemudian Seth telah memarkir Celica-nya di
depan Box Tree Cafe, sebuah restoran kecil di pusat kota. Kebakaran
telah diatasi dengan cepat, dan tidak ada kerusakan yang nampak dari
luar. "Ayo, masuk," kata Seth sambil mematikan mesin mobil.
Jessica memucat. "Masuk?" ulangnya tidak sadar.
"Ya," kata Seth, memandangi sikapnya yang aneh.
"Memangnya buat apa kita ke sini? Kita temui Manajernya dan


Saksi Mata Super Thriller Karya Francine Pascal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menanyakan kalau-kalau ada sesuatu yang diketahuinya tentang
kebakaran ini yang tak diungkapkannya padaku tadi pagi di telepon."
Jessica gelisah dan gugup. "Bag?bagaimana kalau sumberku
itu nanti akan mendapat kesulitan," katanya, sambil menelan ludah.
"Jessica, menurutmu kita ini ngapain? Masa menyelidiki
sesuatu hanya dengan berdiri di sini dan menatapi tempat kejadian?"
kata Seth tak sabar.
Muka Jessica memerah. "Baik, baiklah," katanya, sambil
melompat keluar dari mobil dan mengikuti Seth masuk ke restoran.
Dia mulai merasa keadaan jadi rumit.
"Pak Donaldson? Saya Seth Miller, dari The Sweet Valley
News," sapa Seth pada seorang lelaki langsing yang kebingungan
yang saat itu sedang berbicara dengan seorang lelaki lain yang
mengenakan setelan abu-abu di pojok ruangan. "Tadi pagi saya
menelepon dan menanyakan beberapa pertanyaan. Anda ingat?"
"Ya," kata pak Donaldson. "Sudah saya katakan apa yang
sebenarnya terjadi. Sebuah wajan tersambar api, beberapa kain lap
terletak terlalu dekat sehingga terbakar. Kerugian bisa sampai
beberapa juta," tambahnya sambil memandang sedih ke dapurnya
yang rusak berat.
"Ini asisten saya, Jessica Wakefield," tambah Seth. "Kami ke
sini karena kami punya alasan untuk menduga bahwa ada
kemungkinan terjadinya unsur kesengajaan dalam kebakaran ini.
Dapatkah Anda memeriksa mengenai hal ini?"
"Kesengajaan?" pak Donalson terbelalak memandang ke arah
Seth. "Kalian bercanda? Aku melihat sendiri seluruh kejadian. Kalau
kalian mau menyusun berita kebakaran akibat menggoreng telur sih,
silakan ? tapi rasanya kalian nggak akan mendapat bahan apapun
kalau melihatnya dari sudut kesengajaan." Dia dan lelaki yang satunya
tertawa tergelak-gelak dan Jessica merasa malu sekali.
"Mungkin sumber kami memang lagi bingung," katanya sambil
buru-buru mengejar Seth yang sudah bergegas keluar dari Cafe itu
dengan wajah suram karena marah.
"Nasib," cetus Seth singkat sambil membuka pintu mobilnya.
"Seth, sori," Jessica merengek. "Berjanjilah untuk memaafkan
aku. Ini semua karena ?" Dia berhenti, mencari cara terbaik untuk
melindungi dirinya sendiri. "Aku terlalu terlibat dalam hal-hal seperti
ini, sehingga tak bisa mengendalikan rasa penasaranku." Dia
memandang dengan penuh arti pada Seth. "Aku benar-benar mengira
ada sesuatu di balik peristiwa ini, Seth. Maaf deh Seth, kalau aku
cuma membuang-buang waktumu dengan percuma. Mestinya aku
harus yakin dulu tentang adanya sesuatu di balik permukaan."
"Baiklah," kata Seth mulai agak reda, "kurasa maksudmu baik.
Tapi ingat, Jess, kamu harus hati-hati sekali dalam urusan seperti ini.
Kalau orang menilaimu berengsek, dalam waktu singkat jatuhlah
reputasimu. Pada saat ada cerita yang benar, tak ada yang mau
percaya padamu."
"Aku mengerti," jawab Jessica dengan cepat. Tahu kekesalan
Seth mulai mencair, dia segera menggali informasi tentang
pekerjaannya yang dulu. Sesampai di kantor kembali, mereka sudah
bisa berbincang santai ? dan Jessica merasa menang besar. Untuk
selama beberapa menit di Cafe tadi suasana cukup tegang. Yah, lain
kali bahan misterinya harus cukup akurat.
Tapi kini dia makin yakin bahwa bersama Seth akan semakin
banyak lagi hal seru. Seth menyukai dirinya; ia yakin sekali hal itu.
Dan apapun yang perlu dilakukan agar Seth tetap menyukainya,
berapa banyak pun misteri yang harus diciptakannya, Jessica mau
sekali melakukannya!
***********
"Lil, udahan dong, matikan. Aku mau berenang, nih!" keluh
Jessica. Dia tadi ditugaskan ke perpustakaan untuk mencari data.
Setelah menyelesaikannya dengan cepat, dia merasa tak ada perlunya
lagi kembali kantor dan menelpon Lila. Kini kedua gadis itu tampak
berjemur di pantai, beralas handuk bergaris-garis, pasang mata kalaukalau ada cowok keren.
Lila sore itu lagi sangat menyebalkan. Dia terus asyik menonton
opera sabun kesukaannya di watch-man-nya.
"Lagi seru nih!" kata Lila, sambil melepas earphone-nya. "Itu,
Vanessa ? si rambut merah itu ? tadinya ngomong kemana-mana
bahwa nggak menyukai Timothy, lelaki keriting yang bermulut lucu
itu. Kini dia berbalik jadi jatuh cinta padanya, karena merasa Timothy
mencintai dirinya. Semua itu gara-gara si Janet, keponakan Vanessa,
menaruh surat cinta dari Timothy di dompetnya." Lalu Lila kembali
mengenakan earphone-nya dan memandangi layar watchman-nya lagi.
Jessica sudah hampir mematikan televisi dan menyeret Lila ke
dalam air ketika tiba-tiba ia menemukan gagasan. Sudah sifat dasar
manusia, bahwa kita akan lebih mudah menyukai seseorang jika orang
itu juga menyukai kita. Rasanya nggak ada yang susah ? itulah cara
penyelesaian urusan Adam dan Elizabeth.
Lil, kata Jessica khidmat sambil mematikan watchman Lila.
"Menurutmu, mungkinkah hal itu terjadi dalam kehidupan nyata?
Misalnya dalam kehidupan Elizabeth?"
"Apa? Apa yang mungkin?" ucap Lila penuh tanda tanya.
" Yah," kata Jessica, "untuk meyakinkan dia bahwa ada yang
jatuh cinta padanya ? misalnya dengan menyusupkan sebuah surat
dari seseorang, misalnya."
"Tunggu dulu," kata Lila. "Surat dari siapa?"
"Adam Maitland!" kata Jessica. "Lil, ide itu sungguh jitu. Lizzie
hanya butuh sedikit dorongan. Maksudku, coba bayangkan. Masa dia
cuma duduk-duduk saja merindukan Jeffrey sepanjang liburan musim
panas ini. Dia kan juga butuh sedikit hiburan?!"
"Lalu apa hubungannya Adam Maitland dengan Elizabeth?"
tanya Lila.
Jessica melemparkan pandangan iba. "Kamu benar-benar telmi
deh, hari ini," keluhnya. Ini sungguh hebat. Sempurna. Yang kita
butuhkan cuma sebuah surat dari Adam yang menyatakan cintanya
pada Liz. Surat itu tentu akan membuat Elizabeth mulai memikirkan
dia secara lebih romantis!" Lalu ia bangkit dengan mendadak.
"Kamu mau ke mana?" tanya Lila, sambil melepas earphone
dan menatap temannya. Bukannya kita mau main volley pantai dan
berusaha menggaet dua cowok pirang itu?"
"Aku harus buruan, nih," kata Jessica sambil bergegas
memasukkan barang-barangnya ke tas pantainya. "Kini setelah
menemukan ide itu, aku nggak boleh buang waktu satu menit pun."
"Iya, deh," kata Lila masa bodoh. "Rencanamu itu memang
hebat, Jess. Tapi menurutku ada satu hal yang terlupakan. Surat dari
Adamnya bagaimana?"
"Beres, itu urusanku," jawab Jessica sambil meringis.
Dan tanpa menunggu tanggapan temannya itu lagi, Jessica
melintasi pantai dengan mata berbinar-binar. Dia memang paling suka
menyusun siasat. Dan saat ini dia harus menyusun sebuah siasat!
**********
"OK," Jessica bergumam sendiri, sambil mengangkat wajahnya
dari meja tulis kakaknya satu jam kemudian. Dia sudah pulang lebih
awal, di saat rumah kosong, sehingga punya waktu untuk mengerjakan
urusan pribadinya. Cukup sulit juga baginya untuk menyusun surat
itu, agar benar-benar seperti tulisan Adam sendiri. Ia tak hanya
menghindari kata-kata kasar, karena Adam tak mungkin menuliskan
seperti itu, tapi ia juga harus membuat sedemikan rupa sehingga
Elizabeth tak akan pernah menyangka kalau surat itu buatan adik
kembarnya sendiri. Sentuhan terakhir dari surat ini adalah tanda
tangan. Setelah menimbang-nimbang cukup lama, akhirnya Jessica
memutuskan cuma mengetikkan nama Adam di akhir surat. Karena
tidak gampang untuk memalsukan tulisan tangannya dan terlalu penuh
risiko. Rasanya sudah cukup sempurna. Agak janggal memang, tapi
lumayan. Kini tinggal bagaimana supaya Elizabeth menemukan surat
itu. Dengan bersenandung riang, Jessica menyelipkan amploptertutup
itu ke bawah bantal kakaknya, kemudian menutup rapat pintu kamar
di belakangnya.
***********
"Aku juga kangen lho!" ucap Elizabeth agak serak ke arah
gagang telepon. Berat amat rasanya untuk memutuskan hubungan
telepon dengan Jeffrey! "Kapan kamu akan nelepon lagi?"
"Kami besok pergi sampai jauh malam," kata Jeffrey. "Kalau
masih hidup, aku akan menelepon begitu tiba kembali di perkemahan.
Tapi dengan dua belas anak berumur sembilan tahunan dan mendaki
gunung selama dua hari ?"
"Hati-hati," pesan Elizabeth. "Besok pagi-pagi sekali pasti aku
tulis surat buat kamu."
"Iya deh," kata Jeffrey. "Dah, sayang!"
Setelah memutuskan hubungan telepon, untuk sejenak Elizabeth
masih duduk diam di tempat tidurnya, tersungkup kehangatan dan
kerinduannya pada Jeffrey. Dia tersenyum penuh cinta pada foto di
atas meja belajarnya. Wajah tampan berambut pirang, bermata hijau,
dan senyumnya yang tersembul di sudut bibir. Betul-betul membuat
perutnya melilit. Hari ini terasa panjang sekali, dan Elizabeth merasa
lelah. Walau tak ingin memutuskan lamunannya, tapi ia sadar kalau
butuh istirahat. Secara otomatis dibukanya penutup tempat tidurnya,
dan saat itulah ia merasa heran karena terasa ada sesuatu di bawah
bantalnya. Ditariknya sebuah amplop dan dipandangnya penuh rasa
ingin tahu pada namanya sendiri yang diketik di bagian depan surat
itu. Dia mengenali tipe tulisannya?ketikan itu berasal dari mesin
tiknya sendiri, Olivetti, yang terletak di atas meja yang suka
dipakainya sebagai bangku. Pasti ada seseorang yang memasuki
kamar ini, mengetik sepucuk surat untuknya dan meninggalkan surat
itu di sini. Aneh amat?
"Liz sayang," begitu kata pembukaannya.
Harap kamu tidak menganggap aku sebagai pengecut untuk
menuliskan ini dan bukannya menyatakan hal ini secara langsung.
Aku rasa aku memang pengecut. Kalau tidak, tentu sudah kuputuskan
hubunganku dengan Laurie begitu aku bertemu kamu.
Elizabeth merasa mukanya memerah, sulit mempercayai hal ini.
Di bagian bawah surat itu terbaca nama yang sudah dikenalnya.
Matanya terbalalak keheranan. Adam! Dengan agak bingung, dia
melanjutkan membaca.
Liz, ini benar. Aku jatuh cinta padamu. Aku tahu belum
kuperlihatkan hal ini, dan memang tak seharusnya kuungkapkan
perasaanku padamu. Belum saatnya. Sampai nanti setelah aku tahu
apa yang harus kulakukan mengenai Laurie. Dia begitu rapuh ? aku
tak ingin menyakitinya kalau tidak terpaksa. Jadi kumohon kamu mau
bersabar jika aku memperlakukanmu sama seperti teman yang lainnya
sementara aku mencoba untuk mencari jalan keluar. Kamu bukanlah
teman biasa, bagiku. Aku cinta kamu. Aku tidak dapat hidup tanpa
kamu. Kamulah yang aku inginkan di seluruh dunia ini, dan jika aku
tidak dapat mencari jalan keluar dengan segera, aku mungkin harus
melakukan sesuatu secara drastis.
Penuh cinta,
Adam Tangan Elizabeth gemetar saat membaca surat itu lagi. Tapi dia
sudah memutuskan ? tanpa ragu sedikitpun mengenai apa yang harus
dilakukannya. Tanpa sedetik pun membuang waktu ia langsung
beranjak ke meja tulis dan memasukkan surat itu ke balik beberapa
buah buku di rak bukunya.
Tak akan dibicarakannya satu katapun mengenai surat itu pada
siapapun. Terutama pada Adam. Dia akan bersikap seperti semua ini
tak pernah terjadi.
Elizabeth heran sendiri kenapa Adam bisa jatuh cinta padanya.
Nampaknya tidak mungkin, dari segala yang dia tahu mengenai
pribadi Adam. Dia berharap bahwa Adam hanya mengalami
pergolakan sesaat karena saat-saat sulit yang dia hadapi dengan Laurie
mulai menekan batinnya. Satu hal yang sudah pasti. Dia tak akan
menemuinya untuk meminta penjelasan mengenai surat itu. Yang
terpenting sekarang ini adalah menunjukkan bahwa dia tidak akan,
dalam keadaan bagaimanapun, melakukan sesuatu untuk mendukung
isi surat itu.
Empat "Seth!" seru Jessica sambil menghampiri meja wartawan muda
itu. Rambutnya yang pirang berkibaran. "Aku cari-cari kamu ke manamana."
Seth tersenyum samar. "Nah, aku sudah di sini," katanya
tenang. "Kamu kok seperti baru menang undian?" tambahnya, melihat
pipi Jessica yang memerah dan matanya yang berbinar. "Ada apa?"
Jessica menarik sebuah kursi dan duduk di sisi Seth, kemudian
menoleh ke sekeliling untuk meyakinkan bahwa tak ada seorang pun
yang bisa ikut nguping. "Aku punya bahan tulisan paling seru abad ini
untukmu," katanya berbisik. "Aku benar-benar serius kali ini, Seth.
Aku sadar telah mengecewakanmu kemarin, di kasus kebakaran di
Box Tree Cafe. Tapi kali ini sungguh kejahatan luar biasa. Harus
kamu ajukan selekasnya pada Pak Robb!"
"Ceritera soal apa?" tanya Seth acuh tak acuh.
"Kamu tahu perampokan bank Federal Savings beberapa
minggu lalu?"
Seth mengangguk. "Iya. Kenapa?"
"Bagaimana jika kukatakan padamu bahwa aku tahu siapa
perampoknya dan di mana dia menguburkan uang tersebut?"
Seth menatapnya. "Jess," katanya dengan nada mencela, "ini
bukan lelucon dan bukan main-main, ya! Ini adalah koran serius, dan
tugas wartawan adalah tugas yang serius. Kecuali kamu benar-benar
punya bukti ?"
"Aku berani sumpah," Jessica memohon dengan sungguhsungguh, matanya membesar. "Benar, Seth. Sumpah, deh!"
Seth memandangi tulisan mengenai pemogokan para pegawai
pos yang sedang dibuatnya. Kebetulan tulisannya ini dirasanya kurang
menggigit. Waktunya cuma beberapa jam untuk menyerahkan sebuah
tulisan yang menarik ke meja Robb Lawrence. Cuma untunguntungan, tapi jika Jessica mengatakan hal yang sebenarnya?
"Kamu nampak capek, deh," kata Jessica penuh simpati. "Tadi
malam kurang tidur, ya?"
Seth menyeka rambutnya ke belakang dengan sebelah
tangannya dan menggelengkan kepalanya. "Aku berusaha
menyelesaikan tujuh juta hal sekaligus," dia mengaku, terdengar lelah.
"Buku misteriku harus selesai beberapa minggu lagi, padahal deadline
Pak Robb ketat sekali. Dan lagi ibuku baru saja menjalani
pembedahan, sehingga aku begitu mencemaskan beliau."
"Aku siap membantumu," pinta Jessica, sambil meletakkan
tangannya di atas tangan Seth dan menatapnya sesimpatik mungkin.
Tanpa sadar Seth tampak mulai mencair. "Entah apa yang bisa
kamu bantu," gumamnya sambil menatap ke layar komputer tak
berdaya. "Biarkan kujelaskan segalanya yang aku tahu soal perampokan
itu," Jessica memohon. "Itu akan menghemat banyak waktumu. Kamu
akan punya cerita bagus untuk Pak Robb dalam setengah jam. Aku
janji!"
Seth menghembuskan napasnya dengan berat. "Oke," akhirnya
katanya. "Kurasa kita dapat membuat semacam feature. Nah, Jess,
kamu ingat janjimu padaku, kan? Faktanya harus seratus persen benar
dan tidak meragukan sedikitpun. Kalau tidak, berarti kita berdua
langsung menghadapi regu tembak siang ini juga."
Jessica menelan ludah. Dia sudah terlibat terlalu dalam dari
rencananya semula. Apa yang akan terjadi jika Robb mengecek faktafakta yang diberikannya dan mendapatkan bahwa laporannya itu lebih
mirip fiksi dari pada berita jurnalistik? Jessica tertegun bimbang
sesaat, tapi raut wajah Seth membuatnya membulatkan tekad. Kalau
ingin mendapatkan cowok ini, sekaranglah saatnya. Resikonya


Saksi Mata Super Thriller Karya Francine Pascal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memang berat, tapi agaknya satu-satunya jalan hanyalah terus
melaksanakan gagasannya?dengan tetap memanjatkan doa. Jika
mundur sekarang, berarti ia mengakui kebelumyakinannya pada
perampokan itu, dan Seth tidak akan lagi memperhatikannya.
"Aku ingat betul janjiku tadi," gumamnya, sambil membelai
jemari Seth ? seolah tanpa sengaja. "Aku punya bukti. Percayalah."
Seth menjungkitkan sebelah alisnya, kemudian menekan tombol
'Clear' di keyboard-nya. Lenyaplah tulisan pemogokan pos itu,
berganti layar kosong. "Nah," kata Seth sambil menghela napas
panjang. "Ceritakanlah semua yang kamu tahu mengenai hal ini dan
kita lihat kalau-kalau kamu bisa menyusun sebuah tulisan yang pantas
sebelum ditagih pak Robb."
Setelah sedikit ragu di awalnya, Jessica mulai menemukan
kembali kepercayaan dirinya. Beberapa menit kemudian dia sudah
menuangkan suatu kisah yang kedengarannya cukup meyakinkan,
bahkan bagi dirinya sendiri. Sementara dia bercerita, Seth mengetik.
Dia mengatakan adanya dua saksi dan polisi telah menduga Pak
Bennet melakukan penggelapan kecil-kecilan selama bertahun-tahun.
Sampai saat mencapai bagian mengenai Pak Bennet yang mengubur
uang itu di kebunnya, Jessica begitu larut dalam ceritanya sendiri
sampai hampir melupakan bahwa itu semua sama sekali tidak benar.
"Wow," ucap Seth setelah ceritanya selesai. "Bukan main,
Jessica."
"Ah, biasa saja," balas Jessica merendah. "Kupikir selama ini
kamu nggak menganggap aku serius, kan?" ujarnya serak, dan
mendekatkan dirinya pada Seth.
Seth memandang ke sekeliling mereka dengan kikuk. "Ah ?
nggak begitu. Maksudku betul. Eh, maksudku ?"
"Sudahlah, nggak apa-apa," Jessica berkata. "Yang penting kini
kamu tahu bahwa aku serius banget." Jessica meletakkan tangannya di
bahu Seth dan membiarkan jari-jarinya di pundak itu beberapa saat.
"Kupikir kita berdua bisa jadi tim yang hebat," sambungnya.
Seth sudah tak mengacuhkannya lagi, dan terus mengetik
beberapa perubahan dalam tulisan tadi.
"Seth!" terdengar suara Robb Lawrence memecah ruangan.
Raut wajahnya tampak kaku saat menuju ke meja Seth. "Mana tulisan
yang kamu janjikan? Mau ku-edit sekarang biar bisa segera di layout."
"Ya, Pak," kata Seth gugup. "Saya print-kan dulu."
Pak Robb menunggu dengan tidak sabar.
"Lho? Kok bukan tentang pemogokan?"
Seth tersenyum menyemangati Jessica. "Dengan bantuan
sahabat saya ini, saya berhasil menulis sesuatu yang saya rasa akan
lebih disukai para pembaca dari pada sekedar analisa pemogokan."
Seth menyerahkan cetakan tulisannya.
"Hmm," gumam Pak Robb, sambil membaca tulisan itu dengan
suatu raut yang sulit ditebak. "Adakah sumber tulisan ini?"
Seth menelan ludah. "Oh, iya Pak," katanya.
Laurence Robb nampak tidak yakin. "Biar kubaca dulu lebih
lanjut di ruanganku," katanya penuh pertimbangan, matanya terpaku
pada halaman cetakan itu.
Mengawasi kepergiannya, Jessica merasa perutnya seperti
melilit. Kenapa sih Seth merubahnya di sana-sini? Tulisan itu jadi
begitu menarik perhatian sehingga Pak Robb jadi merasa perlu untuk
memeriksanya lebih lanjut. Dan itulah hal yang paling tak diharapkan
oleh Jessica.
***********
"Bung Miller? Nona Wakefield? Bisa kita bicara sebentar? Di
ruang saya?" panggil Pak Robb saat Jessica sedang membuka kotak
yogurt bekal makan siangnya.
Jessica menatap sekilas ke arah Seth. Dia nampak pucat serta
lelah. Aduh, pikir Jessica. Matilah aku.
"Aku yakin nggak ada yang penting," bisiknya pada Seth saat
mereka mengikuti redaktur itu ke kamarnya di ujung ruang berita.
"Dia mungkin hanya mau memperbaiki beberapa ejaan atau
sejenisnya."
Seth nampak sedih. "Demi Tuhan, kenapa aku percaya
ucapanmu dalam hal beginian?" gumamnya. "Lima tahun sekolah
publisistik, lalu cuma gara-gara satu senyum manis, kulupakan aturan
mainnya. Aku tak melakukan pengecekan sendiri pada si sumber
berita."
Jessica menggigit bibirnya. Seth tampak jelas kecewa. Memang,
dia menyebutkan soal 'senyuman manis', tapi Seth jelas tampak
kecewa terhadapnya. "Mungkin dia akan memberi kita penghargaan,"
kata Jessica penuh harapan. "Mungkin itu tulisan terbaik yang pernah
mampir di mejanya selama ini."
"Yah, teruskan saja mimpimu," keluh Seth. "Inilah jadinya.
Kusia-siakan pekerjaan di sebuah surat kabar hebat. Habislah
riwayatku."
Jessica tak menduga bahwa Seth akan sebegitu tidak
mendukungnya, tapi tampaknya ini bukanlah saat yang tepat untuk
bertengkar. Pak Robb menutup pintu ruangannya di belakang mereka
dan melangkah berat ke mejanya. Caranya mengangkat lembaran itu
seolah bisa membakar jari-jarinya. "Saya harap anda berdua tahu,"
katanya berat, "bahwa dalam sepuluh tahun sebagai feature-editor,
belum pernah saya mengucapkan hal yang hendak saya katakan
sekarang."
"Pak ?" Seth menukas.
Pak Robb mengangkat tangannya. "Biar saya selesaikan
perkataan saya. Tulisan ini bukan saja tidak bertanggung jawab ?
tapi juga fitnah. Di dalamnya tidak ada satupun fakta yang
mendukung ketika saya periksa ulang. Yang membuat saya sedih,
Seth, adalah bahwa saya ajak anda ke sini, untuk berlatih menjadi
wartawan sejati. Kini saya tahu, bahwa mengarang misteri bagi anda
bukan hanya sekedar hobi ? tapi sudah menjadi pekerjaan utamamu."
Seth menundukkan kepala. Wajahnya merah bagai terbakar.
"Saya hanya bisa minta maaf, Pak. Saya sudah bersikap sedemikian
tidak bertanggung jawab. Saya tidak menyalahkan Bapak atas semua
yang telah Bapak katakan."
Jessica menarik napas panjang dan dengan gemetaran akhirnya
dia berkata sambil menangis. "Saya tidak terima itu," dia terisak. "Itu
bukan salah Seth, Pak Robb. Sayalah yang memberinya bahan tulisan
itu. Saya ? saya kira semua itu benar, tapi saya rasa ?"
"Maksud anda, dia menerima semua kata-kata anda?" tanya Pak
Robb ragu, sambil kembali berpaling pada Seth. "Wah, entah
penjelasan ini membuat keadaan jadi lebih baik atau malah lebih
buruk lagi."
"Saya mohon," kata Jessica, sambil berusaha membuat suaranya
setulus dan semenyesal mungkin. "Sayalah yang harus dimarahi,
bukan Seth."
"Anda layak menerima lebih dari sekedar marah," kata Pak
Robb lebih ketus lagi. Jelaslah bahwa airmatanya semakin membuat
kesal Pak Robb. "Anda layak untuk kehilangan kesempatan magang di
sini, sejak saat ini juga. Dan anda ?" dia berpaling pada Seth "? tak
ada yang lebih pantas selain diberhentikan!"
Jessica meraih ujung meja itu. "Jangan pecat dia," dia
merengek. "Jessica, ssttt!" Seth berdesis. "Masa belum cukup sih, kamu
bikin masalah?"
Sambil mengusap dagunya menimbang-nimbang, Pak Robb
memandang Seth dan Jessica bergantian. "Baiklah, anda berdua masih
muda dan kurang pengalaman. Saya rasa kegagalan ini akan cukup
memberikan pelajaran ? sesuatu yang tak pernah dialami oleh
wartawan lain. Seth, saya akan mempertahankan kamu dengan ?
dengan satu syarat, berjanjilah bahwa hal seperti ini tak akan pernah
terjadi lagi."
"Saya bersumpah hal ini tak akan pernah terulang lagi, Pak,"
kata Seth penuh rasa syukur. "Dan saya sangat menghargai
kesempatan yang diberikan ini."
"Dan anda," ujar Pak Robb tegas pada Jessica. "Saya tidak
punya alasan untuk mempertahankan anda sebagai karyawan magang
di sini. Kami mengharapkan karyawan magang bisa membantu para
wartawan muda kami, bukan mengacaukan karier mereka "
Jessica menundukkan kepalanya. "Saya tidak akan
menyalahkan Bapak kalau sampai saya dikeluarkan," katanya. "Saya
tahu tidak ada yang bisa saya lakukan untuk membuktikan besarnya
penyesalan saya atas sikap saya yang sungguh tidak bertanggung
jawab."
Pak Robb menatapnya dengan penuh pengertian. "Anda tahu,"
katanya, hampir seperti berkata pada dirinya sendiri. "Saya benarbenar tidak bisa mengijinkan anda terus magang di bagian Feature.
Tapi saya rasa anda bisa membantu Sondra menyusun data base yang
sedang kami rencanakan."
"Sondra?" bisik Jessica. Sondra Alber adalah wanita keras dan
tidak ramah berumur sekitar tigapuluhan. Jessica tahu benar bahwa
satu-satunya kebahagiaan wanita itu hanyalah bila bisa berkutat
berjam-jam di ruang komputer. Di ruang berita ini cuma dialah yang
paling tak diinginkan Jessica, terutama karena dia terkenal sebagai
seorang pengawas yang luar biasa.
"Ya," pak Robb berkata, dengan tersenyum sedikit. "Mungkin
hal ini akan menyelesaikan masalah ini dengan baik. Nah, silakan
bereskan meja anda dan temui saya di ruang komputer dalam waktu
dua puluh menit. Saya yakin Sondra bisa memberikan proyek khusus
untuk menyibukkan anda dalam beberapa minggu mendatang ini."
Jessica merasa ingin menangis. Entah mana yang lebih buruk ?
malu karena dikeluarkan dari bagian Feature atau bekerja di bawah
pengawasan Sondra. Dengan putus asa ia berjalan mengikuti Seth
keluar dari kantor Pak Robb, sambil mengira-ngira bahwa setidaknya
ia sudah berhasil merebut piala 'kesediaan berkorban' secara heroik di
depan Seth.
"Kamu nggak perlu berterima kasih padaku," kata Jessica pada
Seth saat mereka sudah di luar jangkauan pendengaran Pak Robb.
"Aku tahu bahwa aku berhutang padamu, setelah memberikan fakta
yang sedikit keliru."
"Nggak salah, nih?!" tukas Seth dengan gusar. "Jessica, aku
seharusnya ? entah apa yang harus kulakukan padamu. Sadarkah
kamu bahwa kamu benar-benar nyaris menghancurkan karierku?"
gumamnya. "Mungkin malah sudah! Pak Robb sudah pasti tak akan
memperhatikan tulisanku lagi, apa pun yang sudah kulakukan."
Jessica keheranan. "Kamu ? maksudmu, kamu nggak
menghargai usahaku mengambil alih semua kesalahan waktu di dalam
sana?"
"Memangnya ini semua salah siapa? Salahmu, kan?" tanya
Seth. Jessica nanar seketika. Kayaknya Seth belum mengerti juga.
Sejauh yang dia tahu, posisi Seth kan tetap seperti sebelum ada
kejadian ini? Malah dirinyalah yang harus pindah dan bekerja untuk si
Sangar Sondra dalam ruang komputer yang tua dan apek.
"Aku yakin setelah memikirkan kembali hal ini kamu akan
menyadari betapa aku sudah berkorban demi kamu," katanya mantap.
"Dan kamu mungkin akan membawaku makan malam. Dalam hal ini
?" "Jangan bercanda, ah!" sergah Seth sambil menghentak pergi
meninggalkan Jessica yang tertegun kaget, lalu ikut menyusul di
belakangnya.
Siasatnya gagal total. Dan memang Jessica sama sekali tidak
mengerti kenapa semua jadi kacau, bahkan jadi sedemikian buruk.
Dan yang lebih gawat lagi, dia harus menjelaskan aib ini secara
lengkap pada Elizabeth dan kedua orang tuanya. Dia terikat dengan si
Sangar Sondra dan komputer untuk jangka waktu entah sampai kapan.
Dan Seth Miller membenci kesoktahuannya.
Yah, sudahlah, pikirnya sedih sambil menyeret kakinya menuju
ke arah mejanya?lebih tepat, bekas mejanya ? untuk
mengumpulkan barang-barangnya. Ada secercah hiburan dalam
keadaan kacau ini. Ia yakin betapa pun buruknya keadaan pada saat
itu, besok-besok keadaan pasti akan berubah jadi lebih baik.
***********
Pada jam sepuluh malam itu mata Jessica benar-benar sudah
terasa pedas. Dia merasa tega betul Sondra berharap dia bisa
memasukkan semua angka-angka itu ke dalam komputer. Sungguh
pekerjaan yang tak masuk akal yang pernah dilakukannya. Dan yang
paling gawat, sampai saat ini baru selesai setengah dari yang
ditugaskan Sondra. Dengan kecepatan seperti ini, berarti ia harus
berada di kantor sampai tengah malam!
Dia memang mulai bekerja agak terlambat. Maklumlah, dia
harus banyak membuang waktu untuk menjelaskan semua
kejadiannya pada Elizabeth. Dan kemudian dia juga butuh waktu
untuk mencoba minta maaf pada Seth. Semua ini jelas memakan
waktu. Kepalanya sakit, punggungnya sakit dan matanya juga perih,
? ditambah lagi perutnya keroncongan. Entah sudah berapa kali ia
menghampiri mesin penjual makanan di dekat ruangan komputer.
Tapi sekarang ia butuh makan besar, bukan sekedar cemilan.
"Keterlaluan deh," gumamnya sendiri sambil menggosok
matanya. "Pulang saja ah, biar kuselesaikan besok." Cuma tinggal dia
sendiri yang masih ada di kantor. Pak Robb telah pulang sekitar
setengah jam tadi. Semua orang ? termasuk Seth yang nggak tahu
berterima kasih ? sudah pergi berabad-abad lalu. Liz pun sudah
mendapat tumpangan untuk pulang dan meninggalkannya. Tak ada
siapa pun yang bisa menghargai pengorbanannya ini. Butuh beberapa
menit lagi untuk membereskan file dan menyimpan datanya, namun
akhirnya bereslah semuanya.
Dimatikannyah lampu di ruang komputer sambil keluar.
Aneh rasanya berjalan di tempat parkir selarut ini, pikirnya.
Biasanya ia tak pernah merasa takut, namun pelataran parkir Western
Building memang selalu terasa gelap dan menakutkan baginya. Ada
gardu penjaga di dekat lift di setiap lantai, tapi sambil lalu terlihat
olehnya bahwa gardu di lantai lima itu kosong. Lampu-lampu neon
terdengar agak mendengung saat ia menyusuri gang tempat ia
memarkir Fiatnya. Kunci mobil sudah dipegangnya. Tampak olehnya
mobil VW keperakan, yang tak salah lagi adalah milik Adam, masih
diparkir di lorong L, di tempat dia melihatnya tadi pagi. Jadi Adam
juga bekerja sampai larut malam. Untuk sesaat ia tergerak hendak
meneleponnya dari telepon umum. Mungkin mereka bisa keluar untuk
makan malam bersama. Tapi nampaknya terlalu merepotkan, dan di
saat seperti ini, yang diingininya hanyalah pulang ke rumah.
Terdengar suara benturan di ujung tempat parkir yang
membuatnya terlonjak kaget. "Oh," serunya agak keras, sambil
menggosok kedua tangannya. Bulu kuduknya meremang. Tempat ini
sungguh menakutkan, pikirnya. Dia baru saja membuka pintu depan
mobil Fiatnya ketika terdengar sesuatu di belakangnya. Terasa
olehnya hawa dingin merayapi syarafnya dan dengan ketakutan luar
biasa dia berpaling.
Semula Jessica tak mempercayai penglihatannya sendiri.
Cahaya lampu nampak aneh, dan segalanya nampak seperti mengabur.
Di seberang tempat parkir tampak seorang laki-laki ? ia nyaris tak
bisa melihat wajahnya?mengangkat sesuatu dari bagasi sebuah mobil
TransAm putih. Sesuatu yang terbungkus selimut. Selimut berwarna
hijau tua, tergulung seperti ? jantung Jessica berdegup kencang.
Serasa mau pingsan. Ia seperti memanggul sesosok tubuh. Lelaki itu
melangkah lurus ke arah Jessica dengan wajah tunduk. Sesuatu yang
terbungkus selimut di kedua tangannya. Jessica terpana.
Pasti aku terlalu menduga-duga, katanya dalam hati. Itu kan


Saksi Mata Super Thriller Karya Francine Pascal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cuma seorang laki-laki yang membawa sesuatu. Liz benar. Aku sudah
kebanyakan membaca cerita-cerita detektif yang konyol.
Sesaat kemudian lelaki itu berhenti untuk membetulkan
bawaannya, seolah hendak mengencangkan pegangannya. Sebagian
selimutnya tersingkap, dan Jessica merasa jantungnya ? dan mungkin
benar ? berhenti berdenyut. Tampak jelas bayangan lengan wanita,
terkulai lemas keluar dari balik selimut itu.
Semula Jessica nyaris menjerit. Mulutnya sudah ternganga
namun tak ada suara yang keluar. Dia berdiri mematung di sebelah
Fiatnya ketika lelaki itu menatap langsung ke arahnya, matanya
menghunjam ke mata Jessica. Saat itu juga tahulah Jessica bahwa ia
takkan pernah bisa melupakan wajah lelaki itu untuk selamanya.
Nyaris tanpa menyadari apa yang dilakukannya, Jessica
membuka pintu Fiatnya dan memasang kunci kontak. Dia hampir lupa
menutup pintu mobil saat mengoper persneling mundur. Ban
mobilnya berderit di lantai beton tempat parkir. Dia tidak melihat lagi
ke mana lelaki itu pergi. Yang dipikirkannya hanyalah keluar dari
sana secepat mungkin. Dia gemetaran sedemikian hebatnya sampai
nyaris tak bisa mengendalikan mobilnya saat meluncur ke lantai
empat, kemudian tiga, kemudian dua, dan akhirnya ? keluar ke
jalanan lepas.
Pemandangan tadi terus kembali membayang di pelupuk
matanya: tatapan tajam dan mengerikan lelaki itu, TransAm putih di
belakangnya dengan bagian berkarat berbentuk S di sisi belakang
kanan, dan tubuh lunglai terbungkus selimut hijau di pelukannya.
Lengan pucat yang terkulai tak berdaya ?
Air mata ketakutan memenuhi mata Jessica, dan dia terus
menginjak gas dalam-dalam sampai merasa agak tenang untuk
mengemudi. Tapi perasaan takut diikuti lelaki itu terus
membayanginya.
Rasanya hampir tak mungkin memahami sepenuhnya dampak
dari yang telah dilihatnya. Tapi dia yakin akan satu hal. Wanita itu
sudah mati, dan setahunya, lelaki tadilah pembunuhnya.
Dia telah melihatnya. Dan yang lebih buruk lagi, lelaki itu juga
telah melihat dirinya. Dia merasa harus segera sampai di rumah
secepat mungkin dan menemukan seseorang ? siapa saja! ? untuk
melindunginya.
Lima Sepanjang perjalanan pulang, Jessica yakin bahwa lelaki di
mobil TrarrsAm putih itu terus membuntutinya. Jantungnya berdebardebar setiap kali ia melihat dari kaca spion. Rasanya ia selalu melihat
bayangan putih. Setiap kali berbelok, perutnya terasa melilit. Adakah
mobil putih itu di belakang?
Dia benar-benar terguncang sesampainya di rumah dan masih
gemetar saat membuka pintu depan. Yang dibutuhkannya kini
hanyalah menyusup ke dalam pelukan orang tuanya dan meminta
perlindungan mereka. Tapi rumah ini benar-benar kosong. Hanya
lampu di ruang depan yang menyala, bagian lain rumahnya gelap dan
sepi. Jessica menghela napas panjang gemetaran dan memandang
berkeliling dengan cemas. Pada kemana mereka? Kenapa pada saat
dia benar-benar membutuhkan mereka, mereka harus keluar malam?
Dia tahu dia harus menelpon polisi, tapi pertama-tama ndia ingin
menyampaikannya pada seseorang yang dekat dengannya mengenai
apa yang dilihatnya.
"Jessica ? kami nonton film terakhir di Valley Cinema. Kami
akan tiba di rumah sebelum tengah malam," tertulis sebuah pesan di
atas meja dapur. Jessica menggigil. Baru sekarang ia menyadari
betapa seramnya rumahnya bila sedang di rumah sendirian. Bayangan
tanaman di ruang duduk bergoyang-goyang di dinding. Bunyi
dengung lemari es. Bunyi ranting patah. Lalu terdengar lagi. Seluruh
tubuh Jessica gemetar saat ia melangkah kembali ke arah beranda. Dia
yakin benar bahwa ia mendengar langkah kaki di lantai atas.
Bagaimana kalau orang di tempat parkir tadi mengikutinya sampai ke
rumah? Walau tadi tidak terlihat ada lampu mobil di belakangnya, tapi
hal itu mungkin saja, orang itu bisa saja sudah menyusup masuk, lalu
? Terdengar ada sesuatu jatuh berdentam di ruang tamu, Jessica
menjerit, menutup mulutnya dengan tangan. Makan waktu beberapa
detik baginya untuk menyadari bahwa itu hanyalah Prince Albert,
anjing keluarga Wakefield, yang baru terbangun dari tidurnya dan
tersandung rak majalah di ruang duduk sehingga terjatuh.
"Ya Tuhan, aku benar-benar kacau," gumam Jessica sambil
membelai kepala Prince Albert dengan tangannya yang masih
gemetaran. Dia masih sulit mempercayai yang dilihatnya di tempat
parkir tadi. Seseorang telah terbunuh, dan setahunya, hanya dialah
satu-satunya saksi. Dia merasa mau pingsan saat membayangkan
tubuh di balik selimut hijau itu. "Aku bisa gila kalau harus tinggal di
sini sendirian lebih lama lagi," katanya pada Prince Albert, yang
menegakkan kepalanya ke arah Jessica dengan penasaran. "Aku harus
menelepon seseorang."
Prince Albert menyalak penuh dukungan, dan Jessica, masih
gemetar dan pucat, kembali beranjak ke dapur dan memutar nomor
telepon Lila Fowler. Dengan kecewa didengarnya suara mesin
penjawab telepon setelah deringan kedua. Kemudian dicobanya Amy
Sutton, sahabatnya, tapi lagi-lagi ia tidak beruntung. Setiap kegagalan
seolah semakin mempertebal ketakutannya. Gagasan untuk menelepon
polisi dan melaporkan semua yang telah dilihatnya, cuma membuat
rasa takutnya semakin menjadi-jadi. Dia membutuhkan seorang
pendamping untuk bisa menceritakan semuanya ini. Tapi siapa?
Setidaknya selama satu menit dia kebingungan, sampai akhirnya ia
ingat Seth. Ya! Seth pasti mau menolongnya! Entah kenapa ia merasa
agak lebih tenang saat memutar nomor telepon rumah Seth yang
dicurinya dari daftar nomor telepon para karyawan, di ruang Pak
Robb, di awal minggu.
"Seth? " katanya langsung begitu Seth mengangkat teleponnya.
"Ini Jessica. Jessica Wakefield! Seth, aku lagi kena masalah berat.
Kamu mau nggak ke sini sekarang juga?"
"Jam ? jam berapa ini?" terdengar jawaban bernada
mengantuk. "Tengah malam?"
Jessica menyesal. Tak terpikir olehnya tadi bahwa mungkin saja
Seth sudah meringkuk di tempat tidur. "Ini belum jam sebelas,"
katanya. "Seth, aku serius nih. Tolonglah. Aku sendirian di rumah,
dan hampir mati ketakutan. Seth, aku melihat sesuatu yang sangat
menakutkan tadi ?"
"Masa?" ucap Seth sinis. "Kurasa kamu melihat seorang
tetanggamu menanam pohon asem atau menanam bantal. Atau
mungkin kamu melihat seseorang mencoba membakar jalan di depan
rumahmu?" Ebukulawas.blogspot.com
"Seth!" isak Jessica. "Aku tidak main-main kali ini. Maksudku,
aku juga tidak main-main di saat yang lalu itu," katanya buru-buru.
"Tapi kali ini ?"
"Kali ini kamu ekstra serius," cibir Seth. "Dengar Jessica, aku
rasa aku nggak perlu menjelaskan padamu bahwa hari ini bagiku
sungguh berat. Sesampai di rumah tadi kepalaku pusing sekali sampai
aku hampir menelepon dokter, tapi akhirnya kuminum dua butir
aspirin lalu ke tempat tidur. Untunglah akhirnya aku bisa tidur. Dan
lalu sekarang ada kejadian lagi?"
"Kejadian apa?" tanya Jessica pelan. Betapa pun sinisnya suara
Seth, selama dia masih mau berbicara di telepon, setidaknya ia tak
perlu mendengar semua suara-suara menakutkan di sekitarnya.
Dengan begitu saja, dia sudah merasa cukup tenang.
"Kamu menelepon," sergah Seth. "Dan aku jadi terhempas balik
ke suasana paling menjengkelkan yang ingin kulupakan itu."
"Seth, aku membutuhkan bantuanmu. Aku melihat sesuatu tadi
?" Ia tertegun. "Seth, aku melihat sesuatu yang sangat menakutkan
tadi, yang aku ?" Dia bahkan tidak dapat melanjutkan kata-katanya
tanpa tersedu-sedu. "Kurasa ini harus dilaporkan ke polisi. Tapi aku
terlalu takut. Seth, kumohon, datanglah ke sini dan tolonglah aku.
Datanglah saja ke sini dan temanilah aku sampai orang tuaku pulang."
Kali ini Seth nampaknya mulai menyadari seriusnya masalah
Jessica. "Betulkah ini nggak main-main lagi?" katanya ragu-ragu.
"Kamu sepertinya ketakutan sekali."
Jessica mulai menangis sungguh-sungguh. Setelah berusaha
keras mengendalikan diri suaranya bisa lebih tenang saat memberitahu
arah rumahnya pada Seth. "Aku mohon, cepatlah," dia memohon.
"Aku hanya sendirian di sini, dan aku sangat ketakutan."
Suara Seth kini terdengar terjaga sepenuhnya. "Kalau begitu
berikan alamatmu. Aku akan segera ke sana," katanya. "Tapi cobalah
tenang sampai aku tiba di sana. Kemudian kamu dapat menceriterakan
semua yang kamu lihat padaku."
'Tetap tenang' memang gampang diucapkan, tapi untuk
melakukannya sungguh sulit. Jessica benar-benar seperti lumpuh saat
terdengar mobil Celica Seth berhenti lima belas menit kemudian.
Demikian bersyukurnya ia sampai terbata-bata ketika menceritakan
semuanya, yang didengarkan Seth dengan penuh perhatian. Ia telah
memaafkannya sepenuhnya atas kekasaran sikapnya tadi di telepon.
"Hmmm," katanya ketika Jessica selesai bercerita. Seth berdiri
dan mengambil kunci mobilnya.
"Mau ke mana?" seru Jessica kaget. "Kamu tidak akan
meninggalkan aku begitu saja, bukan?"
Seth mengerutkan keningnya. "Tidak. Kamu harus ikut.
Tunjukkan di mana tepatnya kamu melihat mobil putih itu."
Jessica menjadi pucat. Hal yang paling tak diinginkannya
adalah kembali mendekati tempat parkir Western Building. "Enggak
ah!" katanya. "Aku nggak akan mau ke dekat tempat parkir itu lagi."
"Jess, kita harus ke sana! Jika dia masih di sana, kita bisa
melihatnya lebih akurat. Kita bisa dapat nomor polisinya untuk kita
berikan pada polisi. Pokoknya kita harus ke sana."
Tubuh Jessica menggigil. "Kamu nggak mengerti. Kalau saja
kamu melihatnya sendiri ? tangan itu terjuntai ? dan Seth, sorot
mata lelaki itu! Dia menatap langsung ke arahku," tambahnya. "Aku
tahu dia pasti akan mengejarku. Dia pasti akan membunuhku karena
cuma aku saksinya."
"Jessica, jangan histeris dong," tegur Seth. "Aku tahu kamu
ketakutan, tapi aku akan melindungimu. Ayolah," dia memohon. "Kita
benar-benar harus cepat-cepat. Mungkin masih ada kesempatan untuk
menemukan dia ?"
Jessica menahan air matanya. Dia tak ingin Seth menilainya
seperti anak kecil. Tapi pemikiran untuk kembali ke tempat parkir itu
membuatnya panik. Terbayang kembali bau apek dan lembab ?
bayangan lelaki itu mendekat ? dan tangan itu. Dia berusaha tenang.
"Kupikir kita harus langsung ke polisi," katanya.
"Ayolah kita ke tempat itu dulu. Sesudah itu baru kita ke kantor
polisi," kata Seth. Dirangkulnya Jessica untuk menenangkannya saat
mereka meninggalkan rumah, tapi sekujur tubuh Jessica masih
gemetar. Seth membantu Jessica masuk ke mobilnya. Ketakutannya
memuncak saat mereka bertambah dekat dan semakin dekat lagi ke
arah tempat parkir yang kini sudah gelap.
**********
Tempat parkir lantai lima sebagian besar sudah kosong saat
mereka berhenti di pos penjaga. Sinar neon semakin redup, membuat
segalanya nampak kabur ? bahkan bagian-bagian yang berwarna biru
terlihat menyeramkan. Tak terlihat adanya mobil TransAm putih itu.
Namun Jessica merasa perutnya melilit. Setiap kali terdengar bunyi
sedikit saja, dia terlonjak, takut mobil putih itu mendadak muncul dan
menyudutkan mereka. Dikuncinya pintu mobil di sisinya dan ia
merunduk di kursi saat mereka mengitari tempat parkir. Ketika
berbelok di sudut, tampak olehnya mobil Adam masih diparkir di
lorong L, tapi nyaris tak dipedulikannya. Dia begitu ingin keluar dari
tempat parkir ini sehingga nyaris tak bisa berpikir lurus. Perutnya
terasa melilit saat Seth memperlambat mobilnya di gardu penjaga.
Kenapa sih dia nggak menginjak gas dan segera pergi saja dari sini?
Dia ingin segera ke kantor polisi.
Sebuah mobil menderu di belakang mereka, membuatnya nanar
ketakutan. Tapi ternyata mobil Mercedes biru muda. Untuk sesaat,
setidaknya, mereka selamat.
"Maaf," ucap Seth sopan pada penjaga bertubuh pendek dan
nampak ramah yang membuka pintu lalu keluar dari gardunya ketika
melihat mereka menepi. "Kami ingin menanyakan beberapa
pertanyaan. Temanku melihat sesuatu aneh di sini tadi ? sekitar
sejam yang lalu. Apakah Anda berada di sini sejak tadi?"
"Saya di sini terus," kata penjaga itu seolah membela diri. "Tak
mungkin ada kejadian di sini yang tidak saya ketahui."
Seth menoleh pada Jessica dan mengerutkan keningnya.
"Jessica, diakah yang bertugas di sini ketika kamu keluar tadi?"
Jessica menggelengkan kepalanya. "Tak ada seorangpun di sini
tadi," katanya. Dia ingat benar ? perutnya mendadak terasa mulas
lagi ? bahwa gardu penjaga saat itu sedang kosong. Hal itu sesaat
sebelum ia melihat lelaki yang membawa tubuh itu. "Seth," katanya
dengan nada suara pelan dan mendesak, "bisakah kita pergi
sekarang?" Dia memandang dengan gugup melalui bahunya.
"Hei, Non," kata penjaga itu, mulai kesal, "Saya bisa
membuktikan bahwa saya ada di sini terus semalaman. Kalau kamu
akan mulai menuduh saya tidak berada di tempat tugas ?"
Jessica memandang ke arah penjaga itu, bingung.
Benarkah tadi dia ada di sini? Dia hampir yakin bahwa tadi
gardu itu kosong. Tapi saat itu dia sedang lelah dan tergesa-gesa, dan
mungkin matanya telah menyesatkannya. "Aku benar-benar lelah,"
bisiknya pada Seth. "Bisakah kita pergi dari sini?"
Seth menatap dengan penasaran pada Jessica. "Tunggu
sebentar," katanya. "Aku ingin menanyakan beberapa pertanyaan lagi
pada penjaga itu."
Jessica gelisah dan gugup serta terus menerus menoleh ke arah
belakang mereka. Dia benar-benar yakin bahwa setiap saat TransAm
putih itu akan muncul lagi.
Seth kembali berpaling ke arah penjaga, raut wajahnya nampak
penuh perhatian. "Pak, kami yakin bahwa malam ini telah terjadi
peristiwa serius di tempat ini. Bisakah anda jelaskan tentang
keamanan tempat parkir ini? Mungkinkah Bapak terluput melihat
sesuatu yang tidak semestinya?"
Penjaga itu mengerutkan keningnya. "Ini tempat parkir umum,
dan tidak memeriksa karcis masuk, jika itu yang anda maksudkan.
Tapi ada penjaga di setiap tingkat, dan kami semua sangat teliti." Dia
memandang Seth penuh pertimbangan. "Saya memang keluar untuk
menelepon sekitar sepuluh menit petang ini. Selain itu, saya ada di
sini terus."
"Kira-kira jam berapa itu?" Seth bertanya.
Penjaga itu menggaruk kepalanya. "Waduh, saya sungguhsungguh nggak ingat. Tapi mungkin sekitar satu jam yang lalu ? yah,
rasanya betul."
"Jadi bisa saja orang itu sudah membuang tubuh itu dan pergi
sebelum pak penjaga ini kembali," kata Seth pada Jessica.
Jessica menggigil ketakutan. Dia semakin ingin lekas keluar
dari tempat itu. "Ayolah," rengeknya lirih, "ayo pulang lalu
menelepon polisi dari sana, Seth. Aku harus keluar dari tempat ini."
Seth mengangguk. Diucapkannya terima kasih pada penjaga itu,
lalu dikatakannya bahwa mereka akan menghubungi polisi dan
mungkin akan ada pertanyaan lagi kepadanya. Kemudian mereka
pergi, meninggalkan tempat parkir yang gelap itu.
*************
"Aku mohon, temanilah aku masuk," pinta Jessica pada Seth.
Mobil sudah berhenti di depan rumahnya, namun meski tampak
lampunya sudah menyala yang berarti keluarganya sudah pulang,


Saksi Mata Super Thriller Karya Francine Pascal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jessica masih cemas untuk berjalan sendiri dari mobil ke arah rumah.
Giginya gemeletuk dan jantungnya masih berdebar-debar.
"Kuantar sampai ke pintu, tapi kurasa ini harus kamu
sampaikan sendiri pada orang tuamu," kata Seth. Ditepuknya tangan
Jessica dengan simpatik. "Aku tahu kamu ketakutan, Jessica. Tapi
kalau terlampau tegang, kamu nggak bisa menolong keadaan. Cobalah
untuk tetap tenang. Hal yang paling masuk akal adalah menceritakan
Pedang Langit Dan Golok Naga 9 Dua Cinta New Moon Twilight Buku Ke 2 Karya Stephenie Meyer Matahari Esok Pagi 5

Cari Blog Ini