Saksi Mata Super Thriller Karya Francine Pascal Bagian 2
pada orang tuamu semua yang kamu lihat. Kemudian kamu dan
ayahmu dapat pergi ke kantor polisi dan membuat laporan."
Jessica menghembuskan napas panjang. "Kamu benar
mempercayai aku kan, Seth?" tanyanya, nada suaranya memohon.
"Seth, aku nggak tahan kalau kamu mengira ini cuma karanganku
saja."
Seth terdiam sesaat. "Yah, ini bukanlah saatnya untuk
menanyakan padaku soal percaya padamu atau tidak," katanya
akhirnya. "Tapi dengar, satu hal yang jelas, dan itu adalah fakta bahwa
kamu benar-benar ketakutan. Aku pikir hal yang terbaik saat ini
buatmu adalah istirahat bersama orang tuamu. Kamu benar-benar
pucat."
Jessica menggigit bibirnya. Seth mengira dia berdusta lagi. Dia
pasti mengira ini sama dengan semua kisah-kisahnya yang lalu.
"Trims sudah datang ke sini malam ini," ucapnya linglung. Lalu ia
keluar dari mobil dan membanting pintu mobil sebelum Seth
menghampiri dan mengantarnya sampai ke pintu.
Saking takutnya tadi, ia sampai berlari dari mobil ke rumah.
Dan saking terburu-buru takut ditinggal Seth tadi, kini baru ia sadar
kelupaan membawa kuncinya. Diketuknya pintu sekuat tenaga, namun
rasanya lama sekali sebelum ibunya membuka pintu. "Kenapa, Jess,"
sapa ibunya sambil melihat ke arah anak gadisnya dengan heran dan
penuh perhatian.
Jessica langsung menangis dan memeluk ibunya. "Ibu," dia
tersedu-sedu. "Syukurlah semua sudah pada pulang!"
"Kenapa sayang, kita sudah mencemaskan dirimu," kata Bu
Wakefield sambil membelai rambutnya saat ia memeluk ibunya eraterat. "Apa yang terjadi? Kamu dari mana?"
Jessica menghapus air mata dari pipinya. "Ayah mana?"
isaknya. "Aku perlu bicara sama Ayah dan Ibu. Aku barusan melihat
suatu peristiwa yang menyeramkan."
"Apa itu Jess?" tanya Elizabeth sambil langsung menghampiri
adiknya dan merangkulnya. "Apa yang terjadi?"
"Kamu nampak pucat, sayang," kata Bu Wakefield. "Ayo ke
ruang duduk, Ayah dan Steve ada di sana."
Pak Wakefield bangkit ketika Bu Wakefield menuntun Jessica
masuk ke ruangan itu. "Jess, kamu kenapa?" tanyanya penuh
perhatian.
"Tunggu sebentar, mau kuceritakan semuanya," kata Jessica
dengan murung sambil duduk di atas kursi. Ibunya lalu duduk di
sisinya, dan ayahnya duduk kembali di kursinya.
Keseriusan Jessica cukup membuat keluarganya menyadari
bahwa telah terjadi sesuatu yang benar-benar gawat. "Aku bekerja
sampai telat malam ini di kantor," katanya setelah memperoleh
perhatian penuh. "Kenapa, akan kujelaskan nanti," tambahnya, melihat
sikap kakak kembarnya. "Nah, aku masih di kantor sampai sekitar jam
sepuluh. Waktu aku pergi, tempat parkir sudah hampir kosong. Gardu
penjaga juga sedang kosong. Aku baru sampai ke dekat Fiat waktu
kulihat?" suaranya terhenti, dan ia menutup mukanya dengan kedua
tangan. "Sayang," kata Bu Wakefield sambil mempererat rangkulannya
ke Jessica. "Apa yang kamu lihat? Ceritakanlah pada kami!"
"Orang itu ?" Jessica menggigil saat membayangkan peristiwa
itu kembali. "Ya Tuhan, serem deh. Sungguh menyeramkan," katanya
dengan suara bergetar.
"Apa? Kenapa, Jess?" Steven menyela.
"Steven," tegur Pak Wakefield, "adikmu sedang sedih. Biarlah
dia menceritakannya sendiri pada kita?"
Sedemikian kalutnya Jessica sampai tak memperhatikan
percakapan itu. "Orang itu memegang ? memanggul sesuatu di
pundaknya. Sebuah selimut ? maksudku, benda itu terbungkus
selimut. It?itu adalah ?" Dia kembali tertegun.
"Sayang, cobalah ceritakan apa yang sebenarnya kamu lihat,"
Bu Wakefield berkata lembut. "Kita tahu bahwa kamu sedang
bingung, tapi kita sulit untuk mengikuti ceriteramu."
"Selimut itu berisi tubuh manusia," seru Jessica. "Orang itu
mengangkat tubuh itu dari bagasi mobilnya dan membawanya entah
ke mana. Aku tahu dari bentuknya ? selimut itu ? aku yakin bahwa
itu adalah tubuh seorang gadis. Atau seorang wanita mungkin. Tapi
eh, tidak terlalu besar ? tidak lebih besar dari aku. Lalu, yang paling
menakutkan, kulihat sebuah lengan ?" Suaranya tenggelam dalam
isakan, dan dia mulai menggigil hebat. "Orang itu melihat aku,"
tambahnya dengan suara berbisik. "Dia menatap langsung ke arahku.
Aku tahu dia akan mengejarku!"
"Kamu memanggil penjaga, nggak? Atau melapor ke polisi?"
tanya Pak Wakefield dengan kening berkerut.
Jessica menggelengkan kepalanya kuat-kuat. "Aku cuma ingin
keluar dari sana secepat mungkin. Aku masuk ke mobil lalu kembali
ke jalan dalam waktu sekitar sepuluh detik. Aku terlalu takut untuk
melakukan apa-apa ?" Dia mulai menangis lagi. "Aku tahu ?
mestinya aku langsung ke polisi. Dan aku juga terlalu takut sampai
tidak mencatat nomor polisi mobilnya. Tapi ada satu ciri mobilnya
yang kukenali."
"Apa itu?" tanya Steven, wajahnya belum menunjukkan apakah
ia menganggap serius cerita ini atau tidak.
"Ada semacam karat di sisi mobil. Semacam tanda S. Mobilnya
TransAm putih," kata Jessica dengan nada bangga.
"Jess," kata Elizabeth lembut. "Rasanya tidak enak untuk
membawa masalah ini sekarang, tapi apa kamu tidak ?" ia berhenti
untuk mencari kata yang tepat, "? tidak terlalu tegang belakangan
ini? Maksudku, tidakkah kamu melihat berbagai hal menyeramkan
yang kita semua tidak melihatnya?"
Wajah Jessica memerah. "Kalau kamu mengingatkan pada
kejadian di tempat kerja tadi, Liz, kenapa kamu tidak langsung saja
menuduh aku pembohong?"
Elizabeth tampak berkeras. "Aku tidak bermaksud begitu Jess,
jangan terlalu membela diri. Aku hanya menunjukkan bahwa akhirakhir ini kamu sepertinya terlalu gelisah." Dipandangnya kedua
orangtuanya dengan penuh arti. "Seperti membayangkan Pak Bennet
yang setua itu sebagai perampok bank, misalnya."
"Jessica!" sergah Pak Wakefield. "Kenapa ?"
"Ah, kalau kalian ingin menggunjingkan aku, kenapa nggak
kamu ceritakan saja semuanya?" kata Jessica kasar pada kakaknya.
"Tapi tolonglah biarkan aku menyelesaikan ini dulu. Yang kulihat
malam ini benar-benar terjadi. Ada orang dibunuh, Liz. Dibunuh! Dan
rasanya percuma saja kita cuma duduk di sini membicarakannya.
Ayah," tambahnya, sambil berpaling ke ayahnya. Sinar putus asa
tergambar di matanya yang hijau kebiruan, "Aku mau menelepon
polisi."
"Sekarang sebaiknya kita tunggu dulu," kata Pak Wakefield
sambil mengangkat tangannya. Pengalaman bertahun-tahun di
pengadilan telah mengajarnya bahwa beberapa pertanyaan yang tepat,
dapat menghemat banyak pekerjaan di lapangan. "Jess, cobalah
tenangkan dirimu selama satu menit. Jernihkanlah pikiranmu dan
berpikirlah baik-baik sebelum berbicara. Lalu aku mau kamu
ceriterakan lagi pada kami selengkapnya, apa yang kamu lihat malam
ini."
Jessica mengulangi ceriteranya. Kali ini diceriterakannya juga
teleponnya pada Seth ketika dia kembali ke rumah dan mendapati
rumah itu kosong, dan perjalanan mereka kembali ke tempat parkir.
"Aku tahu Seth tidak mempercayai aku," katanya menyimpulkan.
"Dan aku tidak bisa menyalahkan dia. Aku sudah mengarang beberapa
cerita konyol untuk membuatnya terkesan, dan kini dia berpikir bahwa
aku benar-benar tak bisa dipercaya."
Elizabeth mengerutkan keningnya. "Jadi penjaga di gardu itu
mengaku bahwa dia ada terus di sana?" dia kini terlihat tidak terlalu
skeptis, dan lebih penuh perhatian.
Jessica mengangguk. "Itu pengakuannya pertama kali.
Kemudian dia mengakui bahwa dia pergi menelepon sekitar sepuluh
menit. Lagian, ke manapun dia, yang pasti dia tidak akan mau
mengaku bahwa dia meninggalkan gardu itu. Dia bisa kehilangan
pekerjaan kalau mengaku telah beristirahat sewaktu tugas. Tapi hal itu
cukup menunjang kalau dia memang berniat membuatku jadi tampak
konyol!"
Untuk sesaat tak ada yang berkata. "Aku tahu," lanjut Jessica
cepat, "Semua orang pasti mengira aku sudah mengarang terlalu jauh."
"Oh, enggak kok, Sayangku!" kata Bu Wakefield berkata,
sambil membungkuk untuk merangkul Jessica.
"Begini, kurasa sebaiknya kita semua tidur dulu," kata Steven,
sambil menguap dan berdiri. "Ini sudah lewat tengah malam, kita
semua harus bangun pagi hari. Kita tidur dulu sekarang, lalu
menelepon polisi besok pagi-pagi sekali?"
Mata Jessica dipenuhi air mata. "Steven, ini keadaan darurat!"
serunya. "Ngerti nggak sih, kamu?"
Jessica kembali berpaling pada ayahnya. "Kita harus menelepon
polisi sekarang juga, Yah. Mana mungkin aku bisa tidur, sementara
orang itu berkeliaran entah di mana?"
Steven menyipitkan matanya. "Darurat atau tidak, aku mau
tidur," tegasnya, melihat reaksi di wajah adiknya itu.
"Hai," kata Elizabeth tiba-tiba, sambil menatap kakak lelakinya,
"Adam sudah pulang belum? Rasanya dia belum kedengaran
suaranya. Dan kayaknya aku belum mendengar dia datang."
Steven kebingungan. "Iya, ya?" katanya pelan. Aku heran ?"
Dia meninggalkan ruangan itu, dan kembali beberapa saat kemudian.
"Mobilnya juga nggak ada," katanya cemas. "Aku nggak yakin kalau
dia masih di kantor. Segila kerja apa pun, nggak mungkin Adam tahan
melek sampai tengah malam!"
"Mobilnya masih ada di tempat parkir sana waktu aku pulang,"
kata Jessica. "Malah mobil itu juga masih di sana waktu Seth dan aku
kembali untuk memeriksa ulang. Mungkin dia memang bekerja
lembur. Dia benar-benar serius mengenai pekerjaannya."
"Ya, tapi tidak selarut ini," kata Bu Wakefield. "Ini benar-benar
gila! Ned, menurutmu ini apa-apa atau enggak, sih?"
Pak Wakefield berjalan mundar mandir, seperti kadang-kadang
dilakukannya di saat sedang benar-benar khawatir. "Rasanya Adam
juga tidak menelepon. Jessica, jam berapa katamu bahwa kamu dan
Seth kembali lagi ke tempat parkir itu?"
Jessica sudah membuka mulutnya untuk menjawab ketika
telepon berdering.
"Biar kuangkat!" semuanya berkata serempak sambil berdiri.
"Itu pasti Adam," kata Steven.
"Biar kuterima," kata Pak Wakefield tegas, lalu beranjak ke
dapur dan mengangkat telepon. Seluruh keluarga mengikutinya.
"Halo?" kata pak Wakefield.
Hening untuk beberapa waktu. Semua orang memandang penuh
rasa ingin tahu saat pak Wakefield terbelalak kaget. "Apa?" serunya.
"Kamu kenapa?"
Jessica dan Elizabeth saling berpandangan cemas, melihat ayah
mereka tampak bingung. Pak Wakefield menjelaskan bahwa Jessica
ada di tempat parkir itu. Begitu beliau meletakkan telepon, mereka
semua sudah ada di sisinya.
"Ada apa, Yah?" tanya Bu Wakefield masygul.
"Itu tadi polisi," kata pak Wakefield, sambil duduk di sebuah
kursi dapur bertopang dagu. "Adam ditahan. Mereka akan tetap
menahan dia sampai dapat memanggil juri untuk mengadilinya."
Wajah Pak Wakefield nampak geram. "Cepat atau lambat, kalian akan
mendengarnya juga, jadi sebaiknya langsung kuceritakan saja. Adam
dituduh melakukan pembunuhan tingkat pertama."
"Apa?" teriak Steven. "Ayah ngomong apaan sih?" Wajahnya
memucat. "Membunuh serangga saja Adam Maitland nggak akan
bisa! Siapa katanya yang dia bunuh?"
Ada rasa mulas di perut Jessica saat melihat raut wajah
ayahnya. "Laurie Hamilton," katanya dengan berat. "Rupanya Adam
menyatakan bahwa dia menemukan mayat gadis itu di bagasi
mobilnya jam sebelas tiga puluh malam ini. Mati dicekik. Adam
segera menelepon polisi, yang menemukan seutas tali ? yang
nampaknya menjadi alat pembunuhnya ? di laci mobilnya. Mereka
menangkap dia dan mengumpulkan juri untuk mengadilinya besok.
Mereka ingin Jessica segera datang ke kantor polisi untuk melaporkan
yang dilihatnya di tempat parkir itu."
Steven mulai mundar-mandir dengan kesal.
"Bagaimana mereka dapat mencurigai Adam? Mana mungkin
dia akan menelepon polisi jika dialah yang membunuh gadis itu?"
teriaknya. "Mana mungkin? Adam mencintai gadis itu dengan
sepenuh hatinya. Bodoh amat mereka mengira Adam-lah pembunuh
gadis itu?"
Tak ada yang berbicara sepatah katapun. Laurie Hamilton, pikir
Jessica, sambil menutup matanya. Dia menggigil.Yang bisa
dipikirkannya hanyalah sosok tubuh di balik selimut hijau tua.
Laurie telah dibunuh. Yang menjadi pertanyaan, siapakah lelaki
yang dilihat Jessica telah membawa mayatnya? Dan untuk apa dia
meletakkan mayatnya di bagasi mobil Adam Maitland?
Enam "Baiklah," kata Sersan Jack Wilson sambil meniup kopi di
cangkir yang baru saja dituangnya dari mesin pembuat kopi di kantor
polisi itu. "Ceritakan lagi, jam berapa anda melihat mobil Trans Am
putih itu?"
"Saya meninggalkan kantor beberapa saat selewat jam sepuluh.
Yah, antara jam sepuluh lebih sepuluh atau sepuluh lebih lima belas
menit," kata Jessica. Dia duduk di sebelah ayahnya, di seberang meja
Sersan Wilson. Saat itu sudah jam satu pagi, dan dia maupun ayahnya
sudah kecapaian. Rasanya hari telah berlalu dengan cepat sejak
mereka menerima telepon dari Sersan Wilson.
"Sepuluh-seperempat," kata Sersan Wilson pelahan, sambil
menambah catatan di depannya. "Anda tahu, kami sudah menanyakan
pada Pak George De Luca, penjaga gardu lantai lima tempat parkir itu,
yang bekerja dari jam enam sore sampai jam dua pagi. Dia
mengatakan hanya beberapa menit saja meninggalkan gardunya untuk
menelepon, dan dia tidak melihat apa-apa sama sekali."
"Mungkin dia terlibat masalah ini!" seru Jessica. "Karena dia
berbohong waktu saya kembali ke sana dan menanyakan hal itu.
Tadinya dia mengaku sama sekali tidak meninggalkan gardu itu,"
tambahnya berkeras.
Sersan menatapnya dan menuliskan sesuatu, lalu mengatupkan
jari-jarinya sebelum berbicara. "Saya khawatir bahwa kita benar-benar
tidak punya cukup bukti di sini," katanya perlahan. "Tak ada orang
lain di sana pada jam sekian yang melihat adanya mobil Trans Am
putih itu."
"Bagaimana dengan Adam? Bagaimana keadaannya?" tanya
Pak Wakefield ingin tahu. "Boleh kami menemui dia?"
"Dia sedang bicara dengan pengacaranya. Silakan Anda
kembali besok sore, dia bisa ditemui," kata sersan itu. "Hak-haknya
telah dibacakan padanya. Seorang asisten dari Wells and Wells,
perusahaan tempatnya bekerja magang, telah setuju untuk mewakili
dia. Dia juga sudah menelepon orang tuanya, dan rencananya mereka
hendak terbang ke sini secepat mungkin. Saat ini, kasus ini adalah
kasus utama kami. Semua kegiatan lain kami hentikan dulu.
Sekelompok juri telah dipanggil pagi ini. Jika Adam didakwa, kami
akan tetap menahannya di sini, di bawah pengawasan ketat, sampai
tanggal sidang pengadilannya. Anda boleh menemuinya, didampingi
Saksi Mata Super Thriller Karya Francine Pascal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
petugas." Lalu keningnya berkerut. "Bisa saya sampaikan bahwa
Adam dalam keadaan tidak stabil. Sikapnya tidak wajar ketika kami
menahannya di tempat parkir itu." Dia menelan ludahnya dan nampak
sungkan. "Kami harus memanggil dokter untuk menenangkannya,
agar kami dapat ? eh ? dapat memindahkan mayatnya."
Jessica menatap tak berdaya ke ayahnya. Seharusnya ia bisa
melakukan sesuatu untuk menghindarkan Adam dari kekacauan ini.
Syukurlah, Ayah seorang pengacara ? setidaknya dia tahu apa yang
harus dilakukan! Tapi Jessica sangat kecewa, Pak Wakefield terlihat
bingung dan khawatir.
"Berapa jumlah jaminan yang telah ditetapkan?" tanyanya.
"Setengah juta," kata Sersan Wilson. Dia mengerutkan
keningnya. "Tapi, pak, hal itu rasanya kurang tepat untuk saat ini.
Korbannya, Nona Hamilton, jelas telah dijerat. Seperti saya jelaskan
tadi, alat pembunuhnya, seutas tali panjang, ditemukan terbungkus
kain tua di laci mobil Adam Maitland."
"Siapa pun dapat menaruhnya di sana," tukas Jessica,
mengabaikan tatapan ayahnya yang bermakna memintanya berdiam
diri. "Itu sih bukan bukti!" lanjutnya ketus.
Sersan Wilson mengangkat alisnya sambil menatap dia.
"Nona," tegasnya, "itu satu-satunya bukti yang kami miliki saat ini."
Jessica mau menyangkal lagi, namun Sersan Wilson
mengangkat tangannya memintanya diam.
"Adam Maitland sudah berpacaran dengan Laurie Hamilton
selama enam bulan," lanjutnya. "Mereka telah bertunangan secara
diam-diam bulan yang lalu. Laurie kebetulan akan mewarisi sejumlah
besar uang dalam dua minggu mendatang ? yang harus diterimanya
pada ulang tahunnya ke delapan belas. Agaknya Adam tahu mengenai
harta ini. Dia juga sudah mengajaknya menikah diam-diam. Kami
layak untuk menduga bahwa Nona Hamilton mungkin telah mulai
meminta untuk membatalkan rencananya."
Pak Wakefield mengusapkan wajahnya dengan letih. "Lalu apa
lagi?" tanyanya lirih.
"Adam Maitland punya beberapa hutang," ucap Sersan Wilson
parau, sambil memainkan pensilnya. "Bila dijumlahkan jumlahnya
cukup lumayan. Dia pakai untuk membeli mobil bekas, buku-buku
pegangan, pakaian, dan sebagainya. Jumlahnya cukup besar.
Nampaknya dia meminjam lima ribu dollar dari seorang bibinya di
tempat asalnya, yang tiba-tiba kehilangan kedermawanannya dan
menuntut agar Adam segera melunasi semua pinjamannya. Jelas
bahwa dia telah mengalami tekanan untuk segera melunasi
hutangnya."
"Lho?" tukas Jessica. "Lalu apa kaitannya dengan terbunuhnya
Laurie? Aku melihat orang yang sedang membawa mayatnya. Dan itu
sama sekali bukan Adam! Orang itu berambut pirang."
"Kami harus sangat berhati-hati," kata Sersan Wilson perlahan.
"Saya mengerti kebingungan anda, Nona Wakefield. Meski demikian,
sekarang sudah terlambat. Jadi kami hanya bisa duduk dan menanyai
anda mengenai ciri-ciri orang itu dan mobilnya. Semua laporan anda
itu sangat penting bagi kami untuk bisa menemukan orang itu. Tapi
saya juga tidak dapat memberi janji kosong. Memang benar bahwa
Adamlah yang menelepon kami. Tapi mayat itu ditemukan di
mobilnya, dan juga tali pembunuhnya. Kami tak bisa mengabaikan
fakta bahwa saat ini dialah terdakwa utama kami."
"Bagaimana dengan Adam? Kapan dia boleh pulang?"
tanyanya. "Kita tidak mampu memberikan uang jaminan ratusan juta,
Sayang," kata Pak Wakefield berkata sambil menghela napas. "Saya
akan menelepon orang tuanya pagi ini. Tapi rasanya mereka juga tidak
akan mampu."
"Maksud Ayah dia harus tetap di penjara?" seru Jessica cemas.
"Dia tidak dipenjara," jelas Sersan itu. "Dia hanya ditahan,
bukan di penjara. Percayalah, Jessica, kami akan bertindak sebaik
mungkin. Kami tahu, paling tidak sebagian, apa yang dialaminya, dan
kami berusaha keras untuk menolongnya." Lalu ia menggelenggeleng. "Belum pernah terjadi hal seperti ini di Sweet Valley. Saya
telah dua puluh lima tahun bekerja di kepolisian, dan belum pernah
ada pembunuhan di sini. Terus terang, kita semua cemas. Belum ada
di antara kami yang tahu persis cara mengatasinya." Dia bangkit dan
menjabat tangan Jessica. "Tindakan anda sangat berani, Jessica. Dan
kami harus meminta anda untuk tetap berani. Bisakah anda sekarang
menuntun kami mendapatkan gambaran seperti apakah lelaki
berambut pirang itu?"
Jessica merasa pusing. Rasanya sulit mempercayai bahwa
mereka benar-benar harus meninggalkan Adam di sana. Dia menggigil
membayangkan Adam dikurung dalam sebuah sel.
Sebenarnya ia segan mengikuti sersan itu ke ruang belakang
untuk membantu menggambarkan orang yang dilihatnya tadi malam.
Tapi dia sadar harus melakukan apa pun sebisanya, untuk
menyelamatkan Adam. Dan ini berarti dia harus mau menggali
kembali ingatan mengerikan yang disaksikannya beberapa jam lalu.
***********
"Lizzie, kamu tidur di sini saja menemani aku, ya?" pinta
Jessica pada kakaknya. Seluruh keluarga telah menunggu kedatangan
Jessica dan Pak Wakefield dari kantor polisi. Kini mereka benar-benar
kelelahan.
"Untuk kamu sendiri saja hampir nggak cukup, apalagi
ditambah diriku," keluh Elizabeth, sambil memandang ke arah tempat
tidur adiknya yang berantakan. Setengah dari tempat tidur itu
tertimbun tumpukan pakaian. "Aku di kamar sebelah, kok. Jangan
khawatir." Ditepuk-tepuknya tangan Jessica, tapi mata Jessica
terbelalak ketakutan.
"Dengar," dia berbisik. "Kamu dengar itu, nggak?"
"Apaan?" tanya Elizabeth.
"Itu ? seperti suara mengetuk-ngetuk." Wajah Jessica memucat
sampai seputih setan.
"Jess, itu kan ranting pohon di luar memukul-mukul jendela.
Ayolah! Jangan menakut-nakuti diri sendiri, ah!"
Jessica tidak menjawab. Tegang oleh cemas dan kelelahan, dia
kembali menjatuhkan diri ke tempat tidur, hampir tak menyadari
Elizabeth pelan-pelan menutup pintu di belakangnya. Bunyi ketukan
itu masih terdengar juga. Lalu yang diketahuinya hanyalah ruangan itu
berubah gelap pekat, dan bunyi ketukan itu semakin mengeras.
"Jessica," terdengar bisikan. "Jessica."
Dengan jantung berdebar, ia duduk di tempat tidur. Untuk
sesaat ruangan itu hening, dan kemudian ? jelas dan mantap ?
ketukan itu terdengar lagi. Tok, tok, tok ? seperti langkah kaki.
Langkah yang pasti dan pelahan melintasi gang ke arah tangga.
"Jessica," terdengar sebuah suara. "Tolonglah aku."
Jessica tercekat. Terdengar olehnya bunyi langkah kaki di
tangga. "Tolonglah aku." Sekali lagi terdengar suara erangan lemah
penuh penderitaan. Suara langkah kaki itu semakin nyata. Jessica
menutup telinga dengan kedua tangannya, berusaha menghilangkan
suara-suara itu. Tirai jendela di kamarnya bergerak-gerak tertiup
angin, dan dia yakin ada sesuatu yang bergerak-gerak di balik tirai
jendelanya.
Seseorang sedang mengetuk-ngetuk jendela.
Ia melompat turun dari tempat tidur dan berlari ke jendela.
Jendela itu terbuka sekitar empat inci, dan yang pertama muncul di
benaknya adalah menutup dan mengunci jendela itu agar tak ada
seorang pun bisa masuk. Kamar itu begitu dingin, dan sebuah tiupan
kuat menerjang ke arahnya ketika ia mencoba untuk menurunkan
kusen jendela.
Namun suara ketukan itu semakin nyaring. Lalu tampak sesuatu
yang membuatnya membeku. Sesosok lengan pucat tampak berusaha
menyusup di antara jendela dan kusennya. Jari-jarinya meregang
seperti hendak meraih sesuatu ? tangan itu terus semakin mendekat
? dan akhirnya berhasil memegang lengan Jessica. Jari-jari sedingin
es itu mencengkeram lengannya, dan menjeritlah Jessica sekuat
tenaga. "Jessica! Ada apa?" tanya Elizabeth, sambil membuka pintu dan
menyalakan lampu.
Jessica terisak- isak. "Jendela ? ada yang mau masuk," katanya
tergeragap, lalu memandang berkeliling dengan bingung. Dia
berpakaian lengkap, duduk di tempat tidurnya. Tak ada yang bergerak
di jendela selain tirainya, yang bergoyang sedikit tertiup angin. "Pasti
aku habis ? ah, sepertinya aku mimpi. Rasanya tadi seperti ada yang
mau mencoba masuk ke kamar lewat jendela."
Elizabeth merangkul adik kembarnya. "Adikku malang.
Jeritanmu tadi seperti melihat monster saja!"
Jessica tidak menjawab. Ia tak bisa mengusir bayangan jemari
pucat yang mencengkeramnya tadi. Dan ia tahu tak mungkin bisa tidur
lagi malam ini.
"Liz, aku takut," bisik Jessica. "Bagaimana kalau dia berusaha
mencariku? Dia melihatku mengendarai Fiat kita. Dia tahu aku bisa
jadi saksi ? mungkin satu-satunya saksi."
Elizabeth menggigil. "Yang penting, hati-hatilah," katanya lirih.
"Jess, berjanjilah untuk selalu memakai akal sehatmu. Jangan lagi
melakukan hal-hal konyol, sekedar untuk mencari perhatian Seth ?"
Jessica menatap ke langit-langit kamarnya, benaknya bergolak.
Dia tidak mengantuk sedikitpun. Dia tetap memikirkan saat-saat di
tempat parkir itu. "Aku melihatnya jelas sekali," katanya. "Rambut
pirang, pandangan di matanya ..."
"Sudahlah, jangan pikirkan orang itu lagi. Istirahatlah," bujuk
Elizabeth.
Jessica duduk tegak, matanya membuka lebar. "Bagaimana
dengan Adam?" tanyanya. "Liz, kamu tidak menduga dia terlibat,
kan? Lagi pula, apa sebenarnya yang kita tahu tentang dirinya?"
Elizabeth menggeleng. "Aku nggak tahu mau mikir apa,"
katanya. "Tapi aku tahu bahwa kamu butuh tidur." Dia menghela
napas dan melihat ke tempat tidur yang berantakan dan tumpukan
pakaian di atas tempat tidur. "Kamu mau aku di sini? Menemani
kamu?"
Jessica mengangguk. "Ya," katanya perlahan. "Mau kan, Liz?
Aku masih merasa belum bisa tidur, tapi aku nggak mau sendirian."
Elizabeth mengangkat tumpukan baju dan meletakkannya di
lantai, lalu naik ke tempat tidur di sebelah adiknya. Elizabeth agak
menggigil. "Aku tahu apa yang kamu rasakan," bisiknya.
Rasanya sulit dipercaya; malam sebelumnya mereka masih
hidup damai ? dengan Adam tidur di kamar Steven. Satu-satunya
masalah besar hanyalah masalah Jessica yang ingin menarik perhatian
Seth. Kini nampaknya segalanya tak akan sesederhana itu lagi. Adam
di ruang tahanan polisi. Dan Laurie Hamilton mati.
Kedua kembar itu membayangkan tak akan pernah bisa tidur
dengan damai lagi. Sebelum kejahatan ini terpecahkan dan berbagai
pertanyaan yang menghantui mereka terjawab.
************
Jessica tiba di kantor the News dalam keadaan lelah. Dia hanya
bisa tidur beberapa jam. Setiap kali menutupkan matanya, langsung
terbayang wajah lelaki di tempat parkir itu. Sampai saat ini pun, raut
wajah orang itu masih terbayang jelas. Hal ini membuatnya yakin
bahwa orang itu pasti juga melihat jelas wajahnya.
Namun, begitu melihat Seth lagi, perasaannya mulai terasa agak
tenang. Berita pembunuhan Laurie Hamilton meramaikan kantor pagi
ini, dan para wartawan tampak sibuk menyiapkan bahan. Seth segera
menarik Jessica ke sisi dan menanyakan apa saja yang terjadi sejak dia
mengantar Jessica tadi malam. Tapi baru setelah waktu makan siang
mereka benar-benar punya kesempatan untuk bicara. Meski dari
pembicaraan itu Jessica agak kecewa dengan kesimpulan awal Seth
yang yakin bahwa Adam punya kemungkinan sebagai pembunuh.
Namun, setelah berbincang panjang lebar, kini Jessica bisa yakin
bahwa ia mulai bisa menarik Seth.
"Oke, oke," kata Seth, sambil mengusap rambut ikalnya.
"Mungkin kamu punya alasan." Ditatapnya Jessica penuh perhatian.
"Ceritakan lagi deh, apa kata pak Wilson mengenai alat pembunuhan
itu."
Jessica menarik napas panjang. "Katanya dia menemukan tali
yang terbungkus lap di laci mobil Adam. Ini benar-benar kisah Agatha
Christie! Kasusnya terlalu sederhana," katanya. "Seth, aku berani
taruhan ? Adam Maitland sama sekali tidak bersalah."
"Sudah berapa lama kamu kenal dia?" tanya Seth. Saat itu
mereka berdua sedang duduk di meja kecil sebuah kantin di Western
Building. Tak ada di antara keduanya yang berselera untuk makan,
dan selada pesanan mereka terletak begitu saja tanpa tersentuh.
"Begini," katanya. "Aku belum begitu mengenal Adam. Steven
? kakakku ? kenal dia di salah satu mata kuliah tahun ini. Namun
dalam sekilas pun kita bisa langsung merasa bahwa dia orang baik,
penuh pengertian, dan?" lalu suaranya menghilang. "Yah, begitulah.
Dia membuatmu merasa ingin mengundangnya ke rumahmu. Bukan
tipe orang yang bisa mencekik tunangannya."
"Dia pasti hilang pikiran," kata Seth bersimpati. "Malang benar
nasibnya. Bila semua ceritamu itu benar, bahwa ada orang yang
mencekik Laurie dan meninggalkan mayatnya di mobil Adam untuk
memfitnahnya. Bayangkan ? dia pulang lembur, dalam keadaan
sungguh lelah, membuka bagasi mobilnya dan ?" Dia menggelenggeleng tanpa dapat berkata sepatah katapun. "Dia pasti jadi kalap."
Jessica mengerutkan keningnya. "Apa maksudmu dengan 'Bila
semua ceritamu itu benar'? Seth, aku tahu benar apa yang kulihat.
Mungkin aku pernah cerita yang kurang masuk akal, memang, tapi
kali ini benar-benar terjadi!"
"Bagaimana agar aku bisa percaya?" tanya Seth. "Jessica, aku
suka kamu. Kamu gadis yang manis. Tapi ini bukan lelucon atau
mainan. Ini pembunuhan!"
Mata Jessica membesar. "Aku tahu itu. Itulah sebabnya kita
harus saling percaya, Seth. Itulah sebabnya kamu harus percaya
bahwa aku mengatakan hal yang sesungguhnya!"
Seth menghela napas berat. "Aku ingin mempercayaimu. Kalau
Adam benar-benar nggak bersalah ?" Ia menatap Jessica. "Jess,"
katanya tiba-tiba. "Kita persingkat saja pekerjaan kita. Apakah kamu
benar-benar ingin memecahkan kasus ini ? dan mengungkap siapa
pembunuh Laurie Hamilton?"
Jessica mengangguk, dengan mata terbelalak. "Iya banget!"
katanya penuh semangat.
"Kalau begitu kita bergerak sekarang juga. Hal pertama yang
perlu kita lakukan adalah menelepon setiap orang kenalan Laurie ?
maupun semua kenalan Adam. Kita pelajari semua hal yang kita dapat
tentang mereka. Misalnya, siapa yang mau membunuh Laurie ? dan
membuatnya seolah perbuatan Adam."
Jessica menggigil. "Benar," katanya, sambil beranjak bangkit.
"Mau ke mana?" tanya Seth, sambil memandang ke arah
makanannya yang belum terjamah. "Kita belum mulai makan."
"Nggak ada waktu lagi buat makan siang," kata Jessica
bergegas. "Aku harus segera menyelesaikan tugas dari Sondra, agar
bisa punya banyak waktu untuk penyelidikan kita."
************
Elizabeth berjalan mundar mandir di dalam kamarnya, hampir
tanpa mempedulikan musik lembut dari perangkat stereo-nya.
Diabaikannya semuanya ? berkas sinar matahari membersit dari
celah jendela, dan juga aroma kue bakar dari ruang bawah. Hanya
selembar surat di tangannya yang dipikirkannya. Surat dari Adam.
Hari itu Kamis sore. Adam baru ditahan kurang dari empat
Saksi Mata Super Thriller Karya Francine Pascal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
puluh delapan jam, tapi rasanya sudah seperti berabad bagi mereka
serumah. Dan Elizabeth merasa lebih tertekan dibanding yang lainnya,
sebab tak ada yang tahu apa yang diketahuinya. Pada hari Rabu
malam dia tiba-tiba teringat surat misterius Adam, dan sejak saat itu
pula dia mencoba memutuskan apa yang harus dilakukan dengan surat
itu. "Aku tak ingin menyakiti Laurie kalau tidak terpaksa," ucapnya
tegas dengan jari-jari gemetaran. Matanya menatap bagian bawah
surat itu, di kalimat terakhir yang menakutkannya. "Kamulah yang
aku inginkan di seluruh dunia ini, dan jika aku tidak dapat mencari
jalan keluar dengan segera, aku mungkin harus melakukan sesuatu
secara drastis." Elizabeth menelan ludah. Dia jadi pusing dan
kepalanya berat setiap kali membaca surat itu. Dia khawatir, bahwa
mungkin saja dirinya terkait dengan kematian Laurie ini.
Tapi jika ucapan psikolog kepolisian itu benar. Bahwa Adam,
seorang anak dari keluarga petani miskin, bisa saja tiba-tiba punya
gagasan muluk saat bertemu orang-orang kaya di tempat kuliahnya.
Bahwa dia membeli barang-barang yang tak akan pernah mampu
dibelinya ? seperti mobil bekasnya ? dan bingung mencari cara
melepaskan diri dari hutang. Bahwa dia berpacaran dengan Laurie
hanya demi hartanya dan boleh jadi ia berhasil meyakinkan gadis itu
untuk menikah diam-diam dengannya, agar bisa memakai uang yang
akan dimilikinya sesudah berusia delapan belas tahun, dan kemudian
membunuhnya. Tapi kalau begitu, kenapa dia merusak keadaan ?
kenapa dia membunuh Laurie sekarang ini, dan bukannya nanti.
Kecuali ? yah, kecuali ? inilah bagian yang benar-benar ditakuti
Elizabeth.
Bagaimana kalau, pikir Elizabeth, dia adalah bagian dari suatu
rencana. Itulah yang ditakutkannya.
Entah bagaimana kejadiannya, tapi Adam telah jatuh cinta
padanya; surat itu akan menjelaskan segalanya. Bagaimana kalau
ternyata dia membunuh Laurie karena tidak tahan memikul perasaan
bersalah karena mencintai Elizabeth? Elizabeth jelas tidak mendorong
Adam untuk melakukannya, namun hal itu tak bisa melegakan
perasaannya.
Elizabeth merasa tak punya pilihan. Sambil menghela napas
panjang, ia membuka pintu kamarnya. Surat itu masih di tangannya
saat ia berjalan menuruni tangga. Pintu kamar kerja ayahnya tertutup,
dan diketuknya perlahan. "Ayah?" katanya.
"Masuklah sayang," terdengar jawaban Pak Wakefield. "Ada
apa?" tanyanya, sambil tersenyum penuh kasih ke arahnya.
Elizabeth menggigit bibir sambil duduk di ujung salah satu
kursi kulit. "Ayah, Ayah sudah lama menjadi pengacara?" tanyanya
pelan. "Lebih lama dari yang mau kuakui!" kata Pak Wakefield ceria.
"Kenapa? Kamu punya masalah hukum?" lanjutnya.
Elizabeth mengangguk, matanya berlinang.
"Lho? Kok tampaknya serius?" kata Pak Wakefield. "Ada apa,
Liz?"
"Begini, misalnya ?" Elizabeth memulai. "Ayah, misalnya
Ayah memiliki sesuatu yang Ayah tahu bisa dipakai sebagai bukti
untuk melawan orang yang Ayah sukai. Tapi Ayah tahu bahwa Ayah
harus menyerahkannya demi ? entahlah, mungkin demi keadilan ?
dan menunjukkannya pada yang berwenang. Akankah Ayah
melakukannya? Biarpun hal ini akan sangat menyakitkan bagi orang
tersebut?"
Pak Wakefield memperhatikan raut wajah Elizabeth yang
tampak bingung. "Sayang, adakah yang kamu tahu mengenai urusan
Adam?"
Dengan menunduk, Elizabeth mengangguk.
"Kalau iya, kurasa tak ada yang perlu dipertanyakan lagi.
Betapa pun kamu menyukai dia, ceriterakanlah semua yang kamu
ketahui."
Elizabeth menghela napas panjang. Dengan tangan gemetar,
diserahkannya surat Adam itu pada ayahnya.
Tujuh Suasana di rumah keluarga Wakefield jadi sangat sibuk
semenjak terjadinya pembunuhan Laurie Hamilton, hingga Jessica
nyaris tak bisa berduaan saja dengan kakaknya, Steven. Satu hal yang
pasti, telepon terus menerus berdering ? sebagian besar dari
wartawan, menggali bahan mengenai Adam Maitland. Kematian
Laurie adalah skandal terbesar di Sweet Valley setelah bertahun-tahun
suasana damai dan aman. Dan keluarga Wakefield terlibat serius
dengan semua ini. Steven adalah orang yang paling mengenal Adam,
hingga semua orang ingin menanyainya. Pada hari Jumat dia tampak
pucat dan lemah. Rupanya panjangnya jam kerja di kantor ayahnya
dan kekurangan tidur di malam hari mulai berakibat kepadanya.
Tapi kesehatan kakaknya itu sama sekali diabaikan Jessica saat
ia sampai di rumah dari tempat kerjanya sore itu. Di pelukan Jessica
tampak setumpuk pe-er dari si tega Sondra ? yang cuma
membuatnya nggak bisa santai di akhir pekan! Dia amat berharap bisa
ngobrol berdua dengan kakaknya, sehingga bisa menggali info
mengenai Adam, tanpa terganggu siapa pun!
"Aku perlu bicara sama kamu," katanya, tanpa memberi salam
segala. Steven tergeletak di kursi di tepi kolam renang rumah mereka.
Di musim seperti sekarang ini, matahari sore masih bersinar kuat.
Steven membuka sebelah matanya dan memandang dengan
lelah. "Aduh Jess, masa kamu nggak lihat aku lagi mencoba istirahat
sedikit? Aku lagi nggak enak badan, nih," tambahnya. "Dan aku harus
pergi ke kantor polisi untuk bertemu Adam nanti."
Wajah Jessica menjadi cerah seketika. "Aku ikut, ah!" katanya
santai sambil duduk di salah satu kursi lainnya.
Steven mengerang. "Jess, ingat dong pesan Ayah. Kamu jangan
ikut campur dalam masalah ini. Keadaan sudah cukup runyam, karena
mungkin kamu akan jadi saksi. Jangan memperburuk keadaan dengan
?" "Dengan mencoba menolong Adam?" sela Jessica. "Sungguh
mati, Steven! Aku nggak percaya kalau kamu juga akan ngomong
begitu." Dia melemparkan kekesalannya. "Dan aku pikir tadinya kamu
memang peduli mengenai hal-hal yang terbaik untuknya," dia
menambahkan dengan penuh arti.
Steven menggelengkan kepala. "Memang aku peduli." katanya.
"Aku cuma nggak yakin apa gunanya kamu menemui dia di penjara.
Cuma itu." Dia mengerutkan kening sambil menatap Jessica. "Jess,
aku mencemaskanmu. Aku nggak ingin melibatkanmu dalam bahaya."
"Steven," kata Jessica, mengabaikan kata-katanya, "jika benarbenar mau menolong Adam, kita harus berpikir keras ? kita harus
membuat rencana. Kamu tahu nggak, siapa yang membenci Adam
entah apa pun alasannya? Punya musuhkah dia di sekolah?"
Steven terdiam sesaat. "Nggak, tuh," katanya akhirnya.
"Seingatku sih, nggak ada. Siapa yang bisa membencinya? Dia orang
Dakota Selatan yang baik, pemurah dan pendiam. Selalu ramah pada
semua orang. Satu-satunya hal yang dapat kupikirkan adalah?"
"Apa?" tanya Jessica.
"Yah, ada seorang kenalan Laurie yang pernah disebut Adam
waktu pertama dia makan malam bersama kita ? calon suami Laurie
menurut kakeknya. Adam nggak pernah cerita banyak tentang hal itu.
Aku nggak ingat sama sekali siapa namanya. Tapi, dia pernah
menyinggung bahwa orang itu sangat membencinya karena samasama mencintai Laurie."
"Kita temui Adam yuk, menanyakan hal itu," kata Jessica
sambil berdiri.
Steven menggeleng-geleng kagum. "Satu hal yang ingin
kukatakan padamu, Jess. Kalau sudah memutuskan sesuatu, kamu
sungguh tidak main-main! Boleh nggak, paling tidak, aku ganti baju
dulu?"
"Tentu," kata Jessica. Dia lega bahwa agaknya Steven sudah
lupa bahwa ia tadi tak boleh ikut.
***********
Adam tampak sangat berbeda dengan yang biasa mereka kenal.
Di sekitar matanya membayang lingkaran hitam, tampak jelas dia
tidak tidur berhari-hari. Polisi menahannya di sebuah sel kecil yang
bersambung ke bangunan kantor, sebuah tempat tahanan sementara
sambil menunggu sidang peradilan. Dia berjalan keluar menuju ruang
tunggu kecil untuk bertemu Jessica dan Steven, dengan mata tertuju
ke lantai. Ketika ia mendongak, bayangan kecemasan di matanya,
sungguh akan sulit terlupakan oleh Jessica.
Steven telah dua kali datang ke kantor polisi, tapi inilah untuk
pertama kalinya Jessica bertemu Adam sejak Laurie ditemukan tewas.
Dia merasa aneh. Rasanya takut menatap Adam secara langsung, takut
dia mengira ia mengamati baju katun abu-abu belel yang
dikenakannya. Pakaian penjara, pikirnya agak menggigil. Tiba-tiba
terbayang jelas situasi yang sesungguhnya. Adam benar-benar di
penjara. Jika mereka tak bisa menemukan lelaki berambut pirang
dengan TransAm putih itu, Adam mungkin harus mendekam di
penjara selamanya!
"Masa kita berdiri saja, sih?" kata Steven santai terpaksa. "Ayo
kita duduk." Ditariknya sebuah kursi kayu untuk Adam, dan sebuah
lagi untuk Jessica. Dengan adanya seorang penjaga di pintu yang
terbuka, ini sungguh bukan suasana yang pribadi dan Jessica cukup
menyadarinya.
"Aku sudah bicara dengan orang tuamu lagi pada hari ini,"
Steven memberitahu Adam. "Mereka mau datang kemari awal minggu
depan. Mereka bilang mereka juga sudah bicara sama kamu."
"Yah," kata Adam dengan nada suram. "Kurasa aku nggak bisa
menemui mereka. Berat rasanya."
"Kamu nampak lelah," kata Steven, sambil menepuk-nepuk
pundaknya. "Kamu bisa bertahan, kan? Aku juga ikut prihatin."
Adam memandang ke arah lain. "Aku cuma memikirkan bahwa
sekarang dia sudah mati," bisiknya. "Aku terus berusaha
mengingatkan diriku sendiri bahwa aku harus berpikir, mencari jalan
untuk mengeluarkan diriku sendiri dari sini. Tapi hanya Laurie-lah
yang ada di kepalaku. Berat bagiku untuk menerima bahwa aku nggak
akan bisa bertemu lagi dengannya." Dibenamkannya mukanya dalam
kedua belah tangannya. "Tega amat mereka yang melakukan hal ini
pada kami!" isaknya.
"Kami juga ikut berusaha mencarinya," kata Jessica, matanya
tajam. "Adam, Steve dan aku telah membicarakan hal ini, dan kami
ingin tahu kalau-kalau ada yang menurutmu mungkin bisa ?" Dia
terdiam. "Siapa yang kira-kira telah melakukan hal ini?"
Adam tersentak. "Tidak," katanya dengan pelan. "Itulah yang
terus kupertanyakan pada diriku sendiri setiap detiknya." Dia tertawa
getir. "Tahu nggak kalian, di tempat seperti ini, yang bisa kita lakukan
cuma berpikir. Aku nggak bisa makan atau tidur, sudah pasti. Sudah
kuperas habis-habisan otakku, tapi tetap saja hanya satu atau dua
orang saja yang mungkin nggak terlalu menyukai aku?kurasa wajar
kalau kita punya satu dua musuh ? tapi siapa sih yang tega menyakiti
Laurie?" Matanya dipenuhi dengan air mata. "Dia begitu cantik,
begitu lembut, begitu ramah. Tega amat sih orang yang mau menyakiti
dia?"
"Dari semua fakta yang kudapat, agaknya itu hanya kebetulan
saja. Ada maniak yang membunuhnya, dan lalu secara sembarangan
memilih mobil yang terdekat ? yang kebetulan adalah milikmu,"
ucap Steven, mengungkapkan apa yang ada di kepalanya.
Jessica hanya menggeleng. "Omong kosong, Steve!" Dia
berpaling kembali ke arah Adam. "Begini, aku tahu betapa beratnya
bagimu untuk membicarakan hal ini. Tapi ada seseorang yang
bertindak keji. Kita harus menemukan siapa pelakunya, sebelum ada
orang lain terluka."
Adam terpuruk di kursi itu. "Percuma saja," katanya dengan
nada suram. "Semua orang mengira akulah pelakunya. Lihat saja cara
polisi-polisi itu memandangku. Juga para penjaga. Itu semua
membuatku meragukan semua hal. Bahkan kadang-kadang aku juga
meragukan kewarasanku sendiri!" Dia menggigil. "Dikurung di sini
sungguh mengerikan," tambahnya. "Tapi aku tak berdaya melawan ini
semua. Dan kini setelah Laurie mati, apa lagi gunanya?" Dia
mengangkat bahunya penuh putus asa.
Steven dan Jessica saling berpandangan. "Adam," kata Jessica,
"Kamu pernah menyebut nama orang yang dicalonkan kakek Laurie
untuk suami Laurie. Dan Steven bilang lelaki itu marah karena
percintaanmu dengan Laurie. Menurutmu, mungkinkah dia ? karena
iri ? menjadi tega bertindak sekeji ini?"
Adam menatap lantai, wajahnya tampak kosong. "Namanya
Tom Winslow," ucapnya datar. "Yah, benar, dia memang
membenciku. Ayahnya dan kakek Laurie ingin menjodohkan mereka
berdua. Pak Hamilton tak mempedulikan kenyataan bahwa Tom
secara mental tidak stabil. Tom mencintai Laurie," lanjutnya dengan
nada pasrah. "Itu biasa ? semua orang mencintainya. Aku rasa Tom
nggak akan secara sengaja mencelakai Laurie ? Nggak akan."
"Bisakah kamu ceriterakan lebih banyak lagi tentang dia?"
Jessica memaksa.
Adam menggelengkan kepalanya. "Maaf, Jess. Aku lelah,"
katanya lemah. "Aku ingin berbaring." Dia bangkit dengan susah
payah, dan dengan segera seorang penjaga telah berdiri di
sampingnya.
"Kami akan kembali lagi besok!" seru Steven, tapi Adam
nampaknya sama sekali tidak peduli. Ia hanya melangkah dengan kaki
terseret di belakang si penjaga, seakan tidak mendengar apa-apa.
************
"Kedengarannya dia terpukul sekali, bisa dibilang mengalami
shock," kata Pak Wakefield seusai Jessica menggambarkan seperti apa
Adam pada sore hari itu.
Keluarga Wakefield sedang mencoba sebuah restoran Meksiko
baru di Los Vistan, sebuah kota sepuluh mil dari Sweet Valley.
Mereka sekeluarga memang sering pergi makan di luar rumah pada
Jumat sore, saat seisi keluarga bisa berkumpul. Tapi malam itu tak ada
yang merasa lapar, dan sebagian besar pesanan mereka tampak belum
tersentuh.
"Jadi Ayah berpikiran demikian?" tanya Elizabeth.
"Yah, bayangkan betapa terpukulnya dia menjalani semua
rutinitas rumit dari lembaga seperti itu," jawab Pak Wakefield. "Adam
adalah pemuda desa, yang terbiasa dengan udara segar dan ruang
terbuka. Terkurung begitu pastilah merupakan siksaan baginya."
"Belum lagi perasaannya karena kehilangan Laurie," tambah Bu
Wakefield.
"Anak-anak," kata Pak Wakefield, setelah menelan ludahnya,
"mungkin ini saat yang tepat untuk memberi tahukan bahwa Sersan
Wilson mencemaskan keselamatan kalian. Lagi pula, orang yang
dilihat Jessica di tempat parkir itu mungkin juga melihat Jessica. Juga
Fiat kita. Berarti mungkin saja dia akan mencari kalian ? karena
tidak bisa membedakan kalian berdua atau bahkan tidak tahu bahwa
Jessica anak kembar."
Wajah Elizabeth tampak pucat seketika. "Lalu gimana, dong?"
tanyanya lirih.
"Ayah dan Ibu lebih suka kalau kalian biarkan Fiat itu di garasi
untuk beberapa minggu. Sampai keadaan menjadi agak lebih tenang,"
kata Bu Wakefield.
Jessica melihat dengan keberatan. "Bagaimana kalau kita mau
ke mana-mana?"
"Yah, naik bis saja. Atau bisa ikut Steven sampai the News, di
hari kerja. Mungkin ada seseorang dari kantor kalian yang bisa
mengantar pulang di malam hari," kata Bu Wakefield.
Saksi Mata Super Thriller Karya Francine Pascal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Seth! pikir Jessica. Agaknya dipisahkan dari Fiatnya tidaklah
terlalu menyusahkan seperti yang pertama terdengar tadi.
"Bagaimana kalau kita cat saja mobil itu, seperti yang di filmfilm," usulnya, sekedar berlagak tidak siap untuk berpisah sementara
dengan mobil yang dipakainya selalu bersama kakaknya.
"Mobil," tegas Pak Wakefield, "harus ditinggal di rumah.
Paham?"
"Ya Ayah," jawab kedua kembar itu dengan patuh.
"Tapi bukan hanya itu," Pak Wakefield meneruskan. "Jangan
kalian sepelekan hal ini. Aku tidak ingin menakut-nakuti, tapi kuminta
kalian selalu berhati-hati. Jangan ke mana-mana sendirian. Kalau mau
pergi ke tempat mana pun, teleponlah ibumu atau aku, dan agar kami
bisa mengantarkan kamu. Waspadailah siapa pun yang serasa seperti
mengikutimu, atau pada kejadian apa pun yang aneh. Kalau hal itu
terjadi, laporkan segera hal itu padaku."
"Ayah," kata Jessica penuh pengertian, "Sersan Wilson pasti
merasa semua tindakan pencegahan ini cuma kekonyolan saja, kan?"
"Apa maksudmu?" tanya Pak Wakefield.
"Bukan apa-apa sih, hanya saja aku merasa bahwa dia yakin
bahwa Adam bersalah." Jessica menunduk memandangi makanannya
yang belum tersentuh. "Mengapa dia harus mencemaskan kita kalau
dia yakin benar sudah menahan pembunuhnya?"
"Ah," ucap Pak Wakefield tegas, "pernah kamu dengar istilah
tidak bersalah sampai terbukti bersalah, nggak? Dari bukti-bukti yang
ada, posisi Adam nampaknya kurang menguntungkan. Tapi sersan
Wilson tidak akan mengabaikan kemungkinan adanya lelaki yang
kamu lihat sebagai pembunuh yang sebenarnya. Dan kami tetap
merasa semua tidakan jaga-jaga ini perlu untuk keamanan kalian."
Tak ada yang berkata-kata. Tapi yang jelas buat Jessica, dia tak
butuh untuk lebih diyakinkan lagi. Dia sudah yakin benar bahwa
orang di tempat parkir itu pasti akan mencari dirinya. Dan ia tak
punya niatan untuk pergi ke mana-mana sendirian, sampai semua
urusan ini terselesaikan.
*************
"Keadaan nampak benar-benar buruk bagi Adam," ucap Jessica
murung sore itu. Ia sedang di ruang duduk bersama Steven dan Cara
Walker, mendengarkan CD dan berusaha memutuskan mau bikin
popcorn atau tidak.
Cara, gadis cantik berambut coklat sahabat Jessica dan
kebetulan juga pacar Steven itu berkata dengan cemas. "Ngeri, ah,"
katanya. "Rasanya ingin melakukan sesuatu, deh!"
"Ya," Steven menyetujui. "Tanpa adanya surat itu pun keadaan
sudah runyam. Kini Adam jadi tampak seperti pembohong selama ini
? sepertinya dia pacaran sama Laurie hanya demi uangnya saja."
"Surat?" tanya Jessica, matanya menyipit. "Surat apaan?"
"Liz nggak bilang sama kamu?" kata Steven heran. "Ya ampun,
ini benar-benar aneh. Setelah sekian lama, baru semalam dia bilang
pada Ayah mengenai surat itu. Dan pagi ini mereka membawa surat
itu ke Sersan Wilson."
"Surat apaan?" ulang Jessica, mulutnya terasa kering.
"Ternyata Adam jatuh cinta sama Liz," kata Steven. "Dia
menaruh sebuah surat cinta di bawah bantal Elizabeth satu atau dua
hari setelah kedatangannya dan mencurahkan semua isi hatinya ? dia
menyatakan cintanya pada Elizabeth, dan mengaku terikat pada Laurie
hanya karena tak tega menyakitinya. Bayangkan betapa bingungnya si
Liz. Dia kasihan sekali pada Adam, tapi di pihak lain, dia tidak bisa
mendiamkan sebuah bukti seperti itu."
Wajah dan leher Jessica memerah seketika. Ia sulit
mempercayai pendengarannya. Elizabeth telah membawa surat itu ?
suratnya ?ke kantor polisi? Kini Adam terpuruk semakin dalam.
Dan, semua itu gara-gara dirinya!
Delapan Jessica memandang sedih halaman depan the News di sisi
komputer yang dipakainya bersama Sondra di kantor. Berita utama
hari itu adalah kasus pembunuhan Hamilton, seperti hari-hari
sebelumnya setelah diketemukannya mayat Laurie minggu lalu.
Meskipun berita hari ini berisi hal baru. "Surat Maitland: Dia Tidak
Pernah Mencintai Laurie." begitu judulnya. Tulisan itu karya seorang
wartawan muda, Dan Weeks. Isinya seperti berikut:
Seorang gadis setempat telah menyerahkan sebuah surat yang
menguatkan dugaan polisi bahwa terdakwa utama kasus pembunuhan
Laurier Hamilton Selasa lalu di Sweet Valley adalah Adam Maitland,
18, demikian kata seorang juru bicara polisi hari ini.
Dalam surat yang diketik dan ditujukan pada seorang gadis
setempat, yang namanya tidak disebutkan oleh polisi, Maitland diduga
menulis bahwa dia sudah tidak mencintai lagi sang korban, Laurie
Hamilton, 17. Surat itu kemudian menyatakan bahwa Maitland telah
jatuh cinta pada gadis penerima surat itu.
"Kamulah yang aku inginkan di seluruh dunia ini, dan jika aku
tidak dapat mencari jalan keluar dengan segera, aku mungkin harus
melakukan sesuatu secara drastis," demikian tulis Maitland.
Polisi menemukan mayat Hamilton di bagasi mobil Maitland
pada Selasa malam yang lalu, setelah Maitland menelepon mereka
untuk melaporkan adanya pembunuhan. Nona Hamilton, cucu
milyuner Tucker Hamilton, telah dicekik. Menurut polisi, seutas tali
yang agaknya telah dipakai untuk membunuh Nona Hamilton
ditemukan di laci mobil Maitland.
Maitland mengaku pada polisi bahwa dia menemukan mayat itu
di mobilnya, yang saat itu di parkir di pelataran parkir Western
Building, saat pulang dari pekerjaannya di Wells and Wells, sebuah
biro hukum di gedung itu.
Polisi menahan Maitland pada hari Selasa malam. Persidangan
dijadwalkan akan dimulai dua minggu mendatang.
"Sungguh mengerikan," erang Jessica dan meletakkan koran itu.
Begitu melihat tumpukan data yang harus dimasukkannya ke
komputer untuk diterima Sondra siang ini, keningnya berkerut
seketika. Pekerjaan ini harus menunggu. Dia harus langsung pergi ke
kantor polisi dan menceritakan hal sebenarnya tentang surat itu.
Akhir pekan ini sungguh terasa menyiksa bagi Jessica.
Setidaknya dua belas kali dia telah ragu-ragu untuk mengakui apa
yang telah dilakukannya. Pertama-tama dia mencoba untuk
mengatakannya pada Elizabeth, tapi setiap kali membicarakan surat
itu, atau Adam, Elizabeth selalu mengubah pokok pembicaraan. Jelas
bahwa kakak kembarnya ingin melupakan seluruh persoalan ini. Dan
Jessica juga merasa bahwa kedua orangtuanya pun sedang sulit diajak
bicara. Pak Wakefield mengerutkan keningnya ketika ia menanyakan
apa artinya surat itu dalam sidang pengadilan. "Sulit untuk ditebak,"
katanya tak jelas. Bahkan Steven, sekutunya terdekat sejak awal
kekacauan ini, tampak tidak suka membicarakannya. Nampaknya
tidak seorang pun mau membicarakan surat itu, mungkin karena surat
itu menjadi bukti pertama yang memaksa mereka untuk
mempertimbangkan sesuatu yang menakutkan ? bahwa Adam
mungkin memang bersalah.
Sepanjang akhir minggu diam-diam Jessica berlatih
mengungkap pengakuannya. Rasanya bagaikan kiamat. Atau memang
ini kiamat? Dialah yang membuat surat palsu itu. Itu kesalahannya.
Bila ia mengaku, akan lebih meringankan tuduhan kepada Adam. Tapi
betulkah begitu? Dalam hal tertentu sesungguhnya dia akan nampak
baik. Paling tidak dia berusaha meyakinkan diri sendiri saat sedang
sendiri di kamar tidur. Tapi setiap kali hendak mulai menjelaskan apa
yang terjadi sebenarnya, ternyata mulutnya tak mampu berbicara.
Sekarang sudah hari Senin pagi, dan dia sama sekali belum siap
membuat pengakuan. Keadaannya masih sama saja dengan saat
Steven mengungkapkan soal surat maut itu Jumat sore lalu. Dan yang
lebih gawat lagi, hal itu sudah masuk di halaman depan koran
setempat! Jessica memandang ke sekitarnya tanpa suara, lalu diam-diam
keluar dari ruang komputer, dengan buku catatan di tangan. Kalau
Sondra memergokinya keluar sebelum tugasnya selesai, hilanglah
peluang magang ini untuk selamanya. Dan itu berarti dia harus punya
alasan yang tepat bagi keluarganya sendiri nantinya.
Untunglah dia berhasil lolos dari kantor itu tanpa ketahuan.
Begitu berhasil keluar, ia menghela napas lega. Setelah tahu persis apa
yang harus dilakukannya, rasanya seolah beban berat di pundaknya
mulai terlepaskan.
***************
Sersan Wilson nampak lelah. Dia sedang duduk di balik
setumpuk map dan berkas, dan dari suaranya yang terdengar serak
serta bayangan hitam di bawah pelupuk matanya, Jessica bisa
menduga bahwa belakangan ini dia kurang istirahat.
Sersan itu menanyakan siapa dirinya, Elizabeth atau Jessica.
Setelah dia menjawabnya, sersan itu bertanya lagi, "Anda mau
menemui Adam? Kami benar-benar belum mendapat banyak
kemajuan. Belum ada tanda-tanda mengenai orang berambut pirang
maupun mobil TransAm putihnya." Lalu ia melepas kaca matanya,
dan mengucak mata.
"Saya ingin membicarakan mengenai kasus itu," kata Jessica
dengan nada mendesak.
Sersan Wilson mengangkat alisnya. "O ya? Anda punya info
baru untuk dilaporkan, Non? Keadaan nampaknya semakin memburuk
bagi Adam setelah adanya surat ini yang harus dipertimbangkan juga
?" Suaranya terputus, dan dia tertegun. Matanya menatap lurus
dengan pandangan kosong. "Saya sungguh bingung. Dia benar-benar
nampak sangat mencintai gadis itu. Tapi surat itu ?" Dia
menggelengkan kepalanya. "Tapi berjanjilah bahwa anda akan tetap
memasang mata dan telinga."
"Ya. Saya pasti akan melakukan apa saja sebisa saya," Jessica
berkata dengan serius. "Saya terus terbayang pada lelaki berambut
pirang itu. Saya takut sekali tertangkap olehnya, ataupun dia ikuti."
Dia mendengus. "Sersan, saya yakin Adam nggak bersalah!"
Sersan Wilson menyeka keningnya. "Seisi kota ini benar-benar
jadi gila sejak terbunuhnya gadis itu," katanya kesal. "Tak ada berita
lain di televisi, radio maupun koran-koran. Orang-orang sudah tidak
sabar untuk mendapatkan keputusan. Penduduk kota sekecil Sweet
Valley ini butuh kedamaian. Rasanya berat untuk mengatakan hal ini,
tapi ada tekanan dari luar untuk memenjarakan Adam Maitland.
Tucker Hamilton adalah seorang yang berkuasa, dan dia ingin
pembunuh cucu perempuannya dihukum."
"Tapi Adam tidak bersalah!" Jessica berteriak.
"Dengar, saya tahu perasaan anda," kata sersan itu lirih. "Tapi
kami butuh bukti, Jess. Bukti yang kuat. Yang kami dapatkan justru
bukti kuat untuk menuduhnya."
Jessica menganjur maju dengan sungguh-sungguh. "Ada
sesuatu yang akan saya sampaikan. Sesuatu yang penting," katanya.
Sersan Wilson bersidekap dan menunggu.
"Surat yang dilaporkan kakak saya ? yang diduga buatan
Adam ? sayalah penulisnya," kata Jessica tanpa tertahan lagi.
"Kamu ?" Sersan Wilson menatapnya. "Kamu menulis surat
itu? Ya Tuhanku, kenapa?"
Wajah Jessica memerah. "Yah, ceritanya cukup rumit. Begini,
Liz pacaran sama Jeffrey French yang sedang jadi pengasuh
perkemahan musim panas di daerah Teluk. Saya pikir Liz perlu
selingan sedikit. Yaaah, selingan kecillah."
"Saya masih belum mengerti," kata Sersan Wilson menatapnya.
"Jadi, ketika Steven ? kakak saya ? mengatakan akan
mengajak Adam sementara tinggal di rumah kami, saya mendapatkan
gagasan. Saya pikir akan seru kalau Liz dan Adam pacaran sejenak
selama musim panas ini. Saat itu saya tidak tahu soal Laurie, dan saya
usulkan itu pada Liz, tapi dia sama sekali tidak berminat. Lalu Adam
menceriterakan pada kami semua mengenai Laurie, dan saya segera
menyusun siasat."
"Siasat?" ulang Sersan Wilson tidak percaya.
"Iya." Jessica membasahi bibirnya. "Akhirnya saya putuskan
bahwa Liz mungkin akan berminat kalau mengira Adam
mencintainya. Cara itu selalu berhasil, di buku atau pun televisi,"
tambahnya dengan nada membela diri.
"Jadi anda lalu membuat sebuah surat yang seolah-olah dari
Adam dan mengetikkan namanya di bagian bawah surat itu?" tanya
Sersan Wilson.
Jessica mengangguk dengan malu-malu. "Dan kemudian saya
lupa sama sekali mengenai semua itu sampai saya dengar dari Steven
Jumat malam bahwa Anda bermaksud menggunakan surat itu sebagai
bukti."
"Jess?," kata Sersan Wilson, sambil mendesah panjang.
"Beginilah jadinya, saya mengira sudah tahu benar masalah ini luar
dalam. Ternyata ?" Dia berhenti dan menatap ke arah Jessica. "Anda
tahu," tambahnya perlahan, "kesaksian anda tidak akan meyakinkan
Jaksa Wilayah. Dia akan menuduh anda berbohong untuk melindungi
Adam. Dan juga mengenai ceritera lelaki berambut pirang itu ? yang
tidak ada orang lain lagi yang pernah melihatnya. Fakta yang ada
hanyalah bukti surat ini ? dengan nama Adam tercantum di situ.
Hamilton banyak mendesak pihak kejaksaan, dan dia tidak akan mau
mementahkan bukti itu."
Jessica balas memandang dengan tatapan melawan. "Biar!"
katanya. "Memang, hal ini akan membuat saya tampak konyol. Tapi
saya sangat ingin mengakui bahwa sayalah penulis surat itu. Bahkan
di hadapan umum."
Sersan Wilson terdiam sesaat. "Bagus," katanya. "Saya
menghargai kedatangan anda dan melaporkan tentang hal itu, Jessica.
Tapi saya mau minta bantuan anda."
"Silakan," jawab Jessica, penuh hasrat untuk melakukan sesuatu
untuk memperbaiki kekacauan akibat perbuatannya.
"Biarlah urusan surat ini menjadi rahasia kita," Sersan Wilson
mengusulkan. "Anda tahu kan, betapa cepatnya sebuah berita
menyebar, terutama di kota sekecil ini. Saya rasa lebih baik kita bantu
Adam dengan merahasiakan hal ini, dari pada dengan mencoba
membelanya di luar persidangan. Jika dugaan anda itu benar ?
sungguh-sungguh benar ? bahwa pembunuh Laurie yang sebenarnya
masih bebas ? saya pikir ada untungnya bila kita buat agar dia tidak
gelisah. Jika dia mengira kita menduga Adam bersalah, dia akan
merasa lebih tenang dan tidak meninggalkan kota ini. Jadi kita biarkan
saja wartawan dan koran tetap memberitakan bahwa Adamlah penulis
surat itu. Anda berkeberatan?"
"Tentu saja tidak," kata Jessica. Dia mulai menyukai Sersan
Wilson, dan sejauh hanya diminta bungkam mengenai surat itu ?
yang memang pas benar dengan keinginannya sendiri. Karena hal ini
berarti dia nggak perlu menghadapi Elizabeth, ? paling tidak belum.
Tapi dia sudah bertekad untuk mengungkapkan hal itu secepatnya
pada ayahnya.
Alasan Sersan Wilson memang masuk akal. Lagi pula, siapapun
lelaki bermobil TransAm putih itu, tentunya dia akan merasa agak
tenang, setelah Adam dipersalahkan atas pembunuhan Laurie. Dan
Jessica dapat mengerti benar mengapa polisi memandang hal ini
menguntungkan. Lagi pula, iapun bisa mendapat manfaat dari siasat
ini. Jika lelaki yang dilihatnya itu masih berkeliaran, bukankah dia
ingin merasa benar-benar aman? Dan bukankah untuk itu dia perlu
berusaha melenyapkan satu-satunya saksi tindak kriminalnya?
**********
Seth tampak sedang uring-uringan saat Jessica menemuinya
Saksi Mata Super Thriller Karya Francine Pascal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sore itu di kantin the News. Seth dengan murung memandangi ayam
goreng saus mentega yang tersaji, menu utama hari itu.
"Hai Seth!" kata Jessica, sambil meletakkan bakinya di sebelah
baki Seth. Dia kini merasa agak lega setelah pihak yang berwenang
mengetahui hal yang sesungguhnya mengenai surat itu. Dan kini
adalah saatnya makan siang, satu-satunya bagian dari hari ini yang dia
sukai sejak dia menjadi budak Sondra.
Seth menggigit ayamnya. "Kamu tahu nggak, Dan Weeks
mendadak jadi wartawan paling hot di the News?" katanya. "Semua
itu cuma karena kebetulan dialah peliput kasus terbesar di Sweet
Valley sekian tahun terakhir. Mestinya itu bagianku, kalau saja tak ada
masalah kredibilitas minggu lalu," lanjutnya dengan perasaan kacau.
Jessica mencicipi ayamnya, meringis, lalu mendorong piringnya
menjauh. "Aku sih, nggak mencemaskan si Dan Weeks," katanya
ceria. "Aku yakin dia nggak sehebat kamu."
"Yah, katakan saja hal itu pada Pak Robb." Seth merengut.
"Kamu sudah baca memo mengenai kejutan besar yang akan mereka
adakan Sabtu malam nanti? The News akan mengadakan pesta kantor
tahunan, yang mungkin akan menjadi malam terburuk dalam
kehidupanku. Aku bisa merasakan bahwa semua orang akan memberi
si Weeks perhatian khusus, memuji-muji pekerjaan besar yang
dilakukannya, dan lain-lainnya. Dan itu betul-betul akan membuat
batinku tertekan!"
Jessica terdiam beberapa saat. Dia sudah melihat memo itu, tapi
walau pun biasanya tak ada hal yang lebih disukainya dari pada pesta,
meskipun cuma pesta kantor, kali ini ia tak bisa terlalu antusias.
"Dalam semua kegembiraan itu, aku yakin semua orang akan
melupakan semua kejadian minggu lalu," katanya. "Dan cepat atau
lambat Pak Robb akan menyadari bahwa kamu jauh lebih baik dari
pada Dan Weeks. Tapi, ngomong-ngomong soal pesta, kamu bisa
jemput aku nggak? Orang tuaku tidak mengijinkan aku dan Liz
memakai Fiat kami lagi."
"Aku rasa bisa," kata Seth dengan muram. Diremasnya berita
halaman pertama koran hari itu. "Lihatlah ini, Jess! Mestinya ini bisa
menjadi lompatan besar dalam karierku."
Jessica membuka karton tempat susu. "Berita itu ditulisnya
kurang baik," komentarnya. "Nih, lihat kalimat-kalimat berlebihan di
sini! Seth, kamu jauh lebih berbakat dari pada Dan Weeks."
Seth nampak tidak sepenuhnya lega. "Apa bedanya? Dan
Weeks-lah yang ditugasi Pak Robb untuk kasus ini, bukan aku.
Meskipun benar bahwa aku dapat melakukannya dengan lebih baik,"
katanya, lebih tertuju pada dirinya sendiri dari pada kepada Jessica.
"Kamu jelas lebih baik!" seru Jessica. "Lagian," katanya,
dengan suara lebih pelan dan badan menganjur ke depan. "Aku
kebetulan tahu bahwa Dan mendapatkan fakta yang salah."
"Apa maksudmu?" tanya Seth, sambil mengerutkan keningnya.
Akhirnya perhatian Seth tercurah seratus persen pada Jessica.
Jessica menunggu beberapa saat sebelum menjawab. Dia sangat
menikmati kegelisahan Seth sehingga tak segera memenuhi
keingintahuannya.
"Oh," katanya dengan nada datar, "kebetulan saja aku tahu
bahwa penulis surat itu bukan Adam, hanya itu."
Jessica tak bermaksud mengungkapkan tentang surat itu selain
pada Sersan Wilson dan ayahnya. Tapi dia tak tahan untuk
membuktikan bahwa Seth punya senjata untuk mengalahkan Dan
Weeks ? senjata yang hanya bisa didapat dari dia. Dia sudah cukup
merasa bersalah karena telah merusak karier Seth. Setidaknya yang
dapat dilakukan untuk menolong Seth saat ini adalah dengan membuat
Seth mengerti betapa kelirunya Dan.
Seth menatapnya. "Lanjutkanlah," katanya akhirnya, jelas dia
tak tahu apa yang dipikirkannya. "Jika bukan Adam penulis surat itu,
lalu siapa? Lagipula, bagaimana kamu bisa tahu?"
Jessica meletakkan kardus susunya. "Karena," katanya dengan
tenang, "akulah yang menulis surat itu, Seth. Aku yang menulisnya
dan kuletakkan di bawah bantal kakakku, memakai nama Adam di
bawahnya."
Seth ternganga. "Kamu yang menulis surat itu?" ucapnya tidak
percaya. "Kenapa?"
"Akan kujelaskan nanti. Sekarang aku butuh bantuanmu,"
Jessica berkata dengan nada mendesak, sambil memegang tangan
cowok itu. "Aku harus menolong Adam, segera. Dari yang aku tahu
pagi ini dari kantor polisi, Sersan Wilson benar-benar ditekan untuk
menghabisi Adam. Dia terus-menerus menerima telepon dan surat dari
orang-orang yang marah dan menghendaki agar masalah ini segera
dituntaskan. Dan nampaknya keadaan semakin memburuk bagi Adam.
Maukah kamu menolongku menemukan lelaki bermobil TransAm
putih itu?"
Seth memandangi Jessica dengan tatapan letih. "Itu permintaan
yang berbahaya, lho? Tadinya kupikir kamu ingin menghindar dari
orang itu."
Jessica telah memikirkan hal ini. "Seth, katanya kamu butuh
sarana ? kesempatan untuk membuat tulisan terbaik tahun ini,
bahkan dalam abad ini. Nah, inilah kesempatannya. Dan Weeks sudah
menulis ceritera yang salah. Adam tidak bersalah, Seth. Jika kamu
menginginkan kebenaran, bantulah aku menemukan orang itu."
"Oke deh," kata Seth akhirnya dengan gemas. "Kamu menang,
Jess. Kamu punya mitra, sekarang!"
Sembilan "Setahuku, hanya ada satu hal kecil yang bisa kita lakukan,"
kata Jessica pada Seth esok harinya. Saat itu mereka lagi minum teh di
meja kecil di aula Western Building, mencoba menyusun strategi.
"Oh ya? Apa itu?" tanya Seth.
Jessica menjulurkan badannya ke depan. "Begini," katanya,
sambil mengecilkan suaranya penuh rahasia, "Steve menjelaskan
kepadaku mengenai cowok teman kencan Laurie sebelum Laurie
kenal Adam. Sebenarnya, Steve nggak bisa menebak siapa kiranya
yang akan mau memusuhi Adam."
Seth mengernyitkan dahinya. "Eh, ada nggak yang menanyakan
pada Adam mengenai cowok itu? Bagaimana pendapat
pengacaranya?"
Jessica mengangkat bahu. "Entahlah. Tapi aku dan Steve sudah
menanyakan hal ini padanya, tapi tampaknya Adam nggak peduli.
Dikurung di penjara dan ditambah dengan kehilangan Laurie,
nampaknya sangat mempengaruhi dirinya. Dia cuma duduk dan
bengong saja. Adam kelihatannya nggak mau berjuang lagi."
Seth menggigit-gigit ujung pensilnya. "Sikapnya itu sungguh
penuh resiko dalam keadaan seperti ini. Jika Adam menyerah dan
menerima tuduhan itu, kita benar-benar jadi susah." Dia mencoretcoret notes di depannya. "Punyakah kamu ide untuk menyadarkan
Adam dan menugasi kita sesuatu?"
Jessica mengernyit sambil mengaduk es tehnya. Tiba-tiba dia
menjentikkan jarinya. "Ah," katanya girang. "Aku punya ide. Jika kita
bisa membuat Adam marah ? benar-benar marah berat ? atas segala
perlakuan terhadap Laurie, dia akan mau menolong kita melakukan
segala upaya untuk menangkap si pembunuh."
Mata Seth membesar penuh kekaguman. "Wah, agaknya selama
ini aku telah salah menilaimu," katanya. "Harus kuakui bahwa setelah
semua peristiwa minggu lalu, kamu benar-benar kuanggap brengsek.
Tapi kini aku tahu bahwa itu sama sekali nggak benar, Jess."
Jessica menunduk merendah. Sebenarnya dia merasa bahwa
rencananya itu sama sekali tidak jelek. Jika mereka bisa menyadarkan
Adam bahwa dia telah dikorbankan, kalau mereka berhasil
mempengaruhi dan membuatnya marah, dan lalu meledakkan
kemarahannya itu, Adam akan mau berjuang sendiri. Dan pada tahap
ini, hal itu benar-benar sangat diperlukan.
***********
Jessica sulit mempercayai betapa berubahnya penampilan
Adam sejak terakhir kalinya dia menjumpai Adam. Hanya dalam
seminggu berada di tahanan, dia sama sekali tidak seperti cowok yang
pernah tinggal di rumahnya minggu lalu. Dia tidak bercukur, dan
jenggot menutupi wajahnya, membuatnya tampak lebih kurus.
Seragam tahanan katun abu-abunya nampak kebesaran, dan ia
kelihatan sangat lelah. Tapi yang paling berubah dari penampilannya
adalah sikap pasrah pada keadaan yang dialaminya. Dia seperti
menyerah begitu saja. Saat Seth dan Jessica tadi tiba di kantor polisi,
Adam sedang duduk di ruang kecil tempat dia diijinkan menerima
tamunya, sepasang orang tua setengah baya yang diduga Jessica
adalah orang tua Adam. Wanita itu menyeka matanya, sepertinya baru
menangis. "Boleh kami masuk?" tanya Jessica gugup, karena tidak ingin
mengganggu pertemuan keluarga itu.
"Masuklah," jawab Pak Maitland sambil beranjak bangkit.
Mereka saling berkenalan, lalu Seth dan Jessica menarik dua
buah kursi untuk bergabung, mengitari meja kecil di tengah ruangan.
Bagi Jessica, bunyi detik jam dinding terasa terlalu nyaring, dan dia
merasa sedikit menggigil. Suasananya sungguh mencekam. Dia tahu
bahwa ruang tahanan kecil yang menempel di kantor polisi itu
hanyalah tempat sementara, dan dia sungguh cemas membayangkan
betapa seramnya penjara yang sebenarnya.
"Adam," ucap Seth lembut, "Saya wartawan dari the News, tapi
saya bukan petugas resmi yang meliput kisah anda. Saya hanya ingin
menanyakan beberapa pertanyaan, yang sama sekali tidak resmi."
Adam memandang kosong ke arah Seth. "Semua orang cuma
menanyakan 'Apakah polisi sudah membacakan hak-hak Anda?
Apakah Anda pernah merencanakan sesuatu sehubungan dengan
hutang-hutang Anda? Apakah kamu ?" Air matanya merebak. "Tak
seorangpun yang menanyakan apakah aku merasa kehilangan Laurie,
bisakah aku membayangkan bangun setiap hari sepanjang sisa
hidupku dengan penuh kesadaran bahwa Laurie telah dibunuh."
"Adam, sayangku, mereka hanya mencoba menolongmu," kata
Bu Maitland sambil meletakkan tangannya di atas tangan Adam.
Adam menarik tangannya seketika, seolah terbakar oleh
sentuhan itu. "Tak ada yang dapat menolongku!" serunya. "Bu,
bisakah ibu mengerti? Aku dijebak. Dan siapapun pelaku perbuatan
ganas ini pastilah akan terpenuhi harapannya. Aku akan
dipenjarakan."
"Siapa sih orang yang melakukan hal sejahat itu padamu?" seru
Bu Maitland. "Tega benar sih, dia?"
Jessica menganjur maju. "Adam," desaknya, "tidakkah itu
membuatmu penasaran? Tidak inginkah kamu membalas orang yang
mencekik Laurie? Kenapa kamu mau terkurung di sini sementara si
pembunuh yang sebenarnya bebas berkeliaran di luar sana?"
Keheningan yang mencekam sejenak mengawang di ruang itu.
Semua orang, termasuk orang tua Adam, telah berusaha keras untuk
tidak menyebut-nyebut nama Laurie atau membicarakan pembunuhan
itu, karena takut membuat sedih Adam. Tapi Jessica dengan sengaja
bertanya dengan sepedas dan setega mungkin. Diawasinya wajah
Adam penuh perhatian, mengharapkan reaksi seperti yang
diinginkannya.
Kemudian Adam menganggukkan kepalanya. "Yah," katanya
dengan suara yang tinggi dan marah. "Aku ingin agar siapapun
pembunuhnya tertangkap dan dihukum seumur hidup."
Seth membungkuk maju dan meletakkan tangannya di atas
tangan Adam. "Kalau begitu, bantulah kami," pintanya. "Tanpa
bantuan anda, kami tidak akan bisa mengetahui siapa pembunuhnya."
"Dan itu berarti, kami juga tidak akan bisa membalaskan
kematian Laurie," tambah Jessica.
"Baiklah," kata Adam. "Katakanlah, apa yang harus kulakukan.
Akan kulakukan segera."
Cukup lama juga Seth dan Jessica mengorek kisah tentang Tom
Winslow dan Laurie dari Adam. Adam kelihatan benar-benar lelah,
dan ia tampak berat untuk membicarakannya. Tapi dengan dipancing
di sana-sini, berhasillah mereka memperoleh hampir keseluruhan
cerita itu, walau masih berupa potongan-potongan kisah. Bu dan Pak
Maitland hanya duduk mendengarkan.
"Saya tidak begitu kenal Winslow," Adam memulai, setelah
Seth dan Jessica memancingnya menceriterakan tentang bekas pacar
Laurie. "Dia anak tingkat junior di sebuah universitas di daerah utara.
Seorang 'jagoan kampus'. Rambut pirang dan ganteng ? kurasa dia
jenis cowok idaman kakek Laurie untuk suami Laurie. Itu di luarnya.
Sebenarnya, jiwanya kurang sehat. Bertahun-tahun dia di bawah
pengawasan dokter karena mengidap depresi berat. Tapi kakek Laurie
agaknya tidak peduli hal itu. Ayah Tom termasuk golongan bergengsi,
dan juga punya hubungan bisnis dengan Pak Hamilton. Pendeknya,
waktu saya kenalan dengan Laurie, dia baru beberapa kali bepergian
bersama Tom, itupun karena paksaan kakeknya. Sebagai teman pun,
Laurie tidak menyukai Tom ? Laurie adalah gadis yang berhati
sangat lembut. Kurasa dia hanya iba pada Tom ? tidak lebih dari itu."
"Lalu kalian mulai berkencan, dan Tom ditinggalkan
sendirian?" kata Seth waktu Adam terdiam.
Adam mengangguk. "Laurie dan saya saling jatuh cinta begitu
kami berkenalan. Waktu-waktu kami bersama selalu terasa sangat
indah. Kalau mengingat kembali hal itu, saya rasa keadaan ini sangat
berat bagi Tom. Kami memang merasa agak kurang enak mengenai
hal ini, tapi Laurie tidak bisa berpura-pura mencintai, bila dia memang
tidak merasa begitu. Dan, yah, saya rasa Tom menjadi sangat terluka
dan sedih."
"Pernahkah dia mengancam kalian berdua?' tanya Seth, sambil
menatap Adam dengan tajam. "Pernahkah dia menunjukkan gelagat
hendak melakukan pembalasan?"
Adam menggelengkan kepalanya. "Tidak. Hubungan dia dan
Laurie jadi memburuk sekitar dua minggu setelah Laurie mengenal
saya. Saya tahu Laurie merasa terperangkap. Di satu sisi, dia tahu dia
menyukai saya dan tak mau lagi berhubungan dengan Tom. Tapi di
sisi lain, kakeknya sangat tegas, dan sudah menegaskan bahwa jika ia
tak mau lagi menemui Tom, kakeknya tak akan pernah
memaafkannya. Laurie sangat sensitif terhadap hal-hal seperti itu."
Adam berdeham sejenak, jelas sekali untuk menahan emosinya.
"Laurie benar-benar mencintai kakeknya, betapapun kerasnya sikap
kakeknya itu. Saya rasa Pak Hamilton sedang dalam proses untuk
menyusun sebuah bisnis dengan ayah Tom, dan keadaan sedang
memburuk. Dalam suatu kesempatan, Laurie mengatakan pada Tom
bahwa ia tak ingin bertemu lagi sama Tom. Tom marah sekali. Dia
terus menyebut Laurie bodoh dan menghancurkan hidupnya sendiri.
Waktu Tom bertanya apakah karena ada cowok lain, Laurie dengan
jujur mengakui hal itu. Tapi setelah itu, Tom tidak bertanya apa-apa
lagi."
"Tapi dia tahu bahwa kamulah cowok lainnya itu, kan?
Maksudku, hal itu nggak susah ditebak," kata Jessica. "Pasti Tom
sudah tahu bahwa Laurie meninggalkannya karena kamu."
Adam mengangkat bahunya. "Mungkin. Tapi itulah kali terakhir
kami mendengar tentang Tom. Orang yang benar-benar menyusahkan
kami adalah kakek Laurie. Beliau mulai mengancam akan mencoret
nama Laurie dari surat wasiatnya. Kalau sampai Laurie menikah
dengan saya, itulah yang akan dilakukannya." Adam tertawa getir.
"Itulah sebabnya sulit sekali saya memahami kenapa orang-orang
kejaksaan ? koran-koran dan wartawan ? tetap menghubungkan
harta Laurie dengan kematiannya." Adam terdiam untuk beberapa
saat, kemudian berkata, "Saya tidak akan mendapat keuntungan apa
pun dari kematian Laurie. Hanya dialah satu-satunya keindahan yang
Saksi Mata Super Thriller Karya Francine Pascal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ada dalam kehidupan saya."
Jessica dan Seth saling berpandangan. "Ah, rasanya kami harus
segera pergi sekarang," gumam Seth. "Saya takut membuat anda
terlalu lelah."
Adam memandang tajam ke arah Jessica. "Jangan, tunggu,"
katanya, dengan nada agak sedikit bersemangat. "Aku sendiri punya
satu dua pertanyaan pada diriku sendiri. Mengenai surat cinta itu. Aku
rasanya seperti hilang akal. Rasanya aku nggak pernah menulis surat
untuk Liz! Jadi siapa pelakunya? Kenapa surat itu bisa ada di bawah
bantalnya? Pengacaraku terus meyakinkan aku bahwa itu bukanlah
bukti yang kuat, tapi aku nggak yakin. Dan selain itu, siapa sih yang
sebenci itu kepadaku? Siapa yang mau menjebakku?"
"Mungkin," kata Jessica cepat, tanpa memandang ke arah Seth,
"surat itu sama sekali tidak berkaitan dengan pembunuhan ini, ataupun
dengan menjebakmu. Mungkin surat itu cuma suatu kesalahan saja."
Dia tak sanggup mengatakan pada Adam, di depan kedua orang
tuanya, bahwa dialah penulis surat itu.
Seth menelan ludah, sementara wajah Jessica memerah. Sambil
berusaha menenangkan diri, Jessica berpaling lagi pada Adam. "Bisa
nggak kamu ceritakan, bagaimana tampang Tom Winslow?"
"Ah, dia berambut pirang, seperti kataku tadi. Tinggi ?
setinggi aku, tapi lebih besar. Dan matanya tampak kejam."
Jessica menggigil seketika, teringat tatapan mata lelaki di
tempat parkir itu. Cara mata itu menghunjam ke matanya ?
"Sudahkah kamu melihat sketsa yang dibuat oleh polisi?" tanyanya.
"Tom-kah itu?"
Adam mengerutkan dahinya. "Yah, aku sudah melihatnya, tapi
aku nggak yakin. Bisa saja itu gambaran dari Tom," katanya raguragu.
Jessica bergidik. "Aku tahu dia ada di luar sana," desisnya.
"Adam, maukah kamu menolong kami? Kami harus menemukan
lelaki itu. Sulit bagiku untuk mengatakan hal ini kepadamu, tapi kami
harus menemukannya sebelum dia menemukan kami. Dia tahu bahwa
aku melihatnya pada malam itu. Dia akan berusaha mencari aku untuk
meyakinkan bahwa aku tidak akan membuka mulut."
Adam untuk sesaat tidak menjawab. Ketika dia mengangkat
kepalanya lagi, matanya berkilau karena air mata. "Dengar," katanya.
"Entah siapa pelaku hal sekeji ini, tapi pasti akan kubantu kalian
menemukan orang itu. Aku harus memastikan bahwa dia dihukum
atas kejahatannya."
Jessica jatuh iba pada Adam. Dia menduga-duga apakah Seth
juga berpikir seperti yang dipikirkannya: bahwa tampaknya hanya ada
sedikit sekali bahan untuk melanjutkan penyelidikan. Dan pada saat
ini hampir semua bukti masih memberatkan Adam.
********* "Hhh! Sebel!" gumam Jessica, sambil menoleh ke jam dinding.
Steven dan Elizabeth sudah berjanji mau menumpang mobil Steven
jam lima tiga puluh, dan sekarang sudah jam enam kurang dua puluh
menit. Biasanya dialah yang membuat orang menunggu. Dia tak
pernah memakai jam tangan dan sering ingkar janji, terutama dalam
urusan 'waktu'. Tapi dia sudah janjian sama Lila dan Amy untuk
bertemu di Dairy Burger, tempat ngumpul langganan mereka. Dan dia
juga tahu pasti bahwa Amy dan Lila tak akan mau berlama-lama
menunggu di sana. Apalagi ini hari Jumat, hari pendek karena
padatnya acara kencan mereka sore nanti. Jessica ingin sekali bisa
segera berkumpul bersama kedua temannya itu. Maklum, setiap
malam ia selalu terganggu telepon dari para peminat kasus Adam. Dia
ingin sedapat mungkin menciptakan citra baik, mengingat belakangan
ini keluarganya cukup menjadi sorotan. Dan Jessica pun tahu Lila dan
Amy pasti sangat mengharapkan kedatangannya untuk mendengar
bagaimana rasanya menjadi bagian dari skandal terbesar yang pernah
terjadi di Sweet Valley.
Mata Jessica jatuh ke kunci Fiat di meja riasnya. Kunci itu terus
tergolek di sana sejak ayahnya menetapkan peraturan 'tanpa Fiat' bagi
kedua gadis kembarnya. Dia sudah berjanji tidak akan memakai mobil
itu lagi, terutama kalau sendirian. Tapi orang tuanya sedang pergi dan
baru akan pulang setelah larut. Padahal Steven dan Elizabeth entah
sedang ada di mana! Yang perlu dilakukannya hanyalah ngebut ke
arah Dairy Burger dan kembali lagi. Sayang amat kalau gagal bertemu
Lila, padahal ada mobil nganggur di garasi! Setelah menimbangnimbang beberapa saat, akhirnya Jessica nekad mengambil kunci dan
berlari turun.
Hari masih terang dan cerah saat Jessica bersenandung sendiri
sambil memundurkan Fiatnya keluar dari garasi. Dicarinya pemancar
radio yang bagus dan dengan santai menikmati sinar matahari yang
masuk atap mobilnya yang terbuka. Dia telah lupa betapa asyiknya
mengemudikan Fiat Spider mungil ini. Dengan segera ia merasa bagai
di awan, berpindah jalur dan otomatis melirik ke kaca spionnya.
Untuk pertama kalinya sejak pembunuhan Laurie, dia merasa kembali
menjadi dirinya sendiri. Rupanya selama ini aku jadi kacau, katanya
dalam hati. Mulai saat ini dia bertekad untuk lebih sering bersama
teman-temannya dan menjauhi suasana penuh mendung yang sedang
menyelimuti rumah maupun kantornya.
Dia berpindah jalur lagi, dan memeriksa ke belakang dari kaca
spionnya. Lalu tersentak tiba-tiba. Jantungnya berdebar lebih cepat,
dan perutnya terasa melilit.
Sebuah mobil TransAm putih tepat berada di belakangnya!
Dengan gesit, Jessica pindah ke jalur kanan, sambil melirik
melalui pundaknya ke mobil itu. Pengemudinya, seorang lelaki muda
berkaca mata hitam. Berambut pirang.
Jessica yakin, itulah lelaki yang dilihatnya di tempat parkir! Dia
berdoa sambil menahan napas. Sudahkah orang itu melihatnya?
Mungkinkah dia sedang mengikutinya?
Beberapa saat kemudian, TransAm putih itu menjajarinya.
Tampak olehnya tanda karat berbentuk S di pintu samping mobil itu.
Di lampu merah, karena takutnya ia jadi tak tahu harus berbuat apa.
Melirik ke samping, tampak lelaki itu menatap lurus ke depan dan
mengetuk-ngetukkan jarinya ke dashboard. Sepertinya dia tidak
mengamati aku, tapi bisa saja itu cuma pura-pura, pikir Jessica.
Dengan gemetar dipegangnya kemudinya erat-erat. Bagaimana ini?
Dia ingin sekali berputar dan lari pulang. Pokoknya menjauhi mobil
itu. Tapi ia segera menyadari bahayanya, bisa membuat orang itu akan
tahu tempat tinggalnya! Tidak, dia harus langsung menuju ke kantor
polisi. Kalau orang itu masih mengikutinya juga, malah lebih baik
lagi! Tapi ketika lampu berganti hijau, mobil TransAm putih itu
melesat dengan kecepatan luar biasa. Tak dapat dipastikan apakah dia
sudah melihatnya atau belum. Tapi, hal itu jelas menandakan bahwa
dia tidak sedang jalan-jalan.
Sambil masih gemetar, Jessica berbelok ke kanan dan
membawa mobilnya ke kantor polisi. Kini ia tahu satu hal. Orang
yang dilihatnya membawa tubuh Laurie masih berkeliaran. Mengapa?
Kenapa dia tidak segera meninggalkan kota ini selekas mungkin?
Kecuali, pikir Jessica samar-samar, dia punya alasan untuk tetap
di sini. Misalnya, bisa jadi karena ingin mencari satu-satunya saksi
mata yang bisa mencelakakannya!
************
"Kok jadi aku yang dihukum?" raung Jessica. "Pokoknya aku
nggak mau disekap lagi! Belum cukupkah aku tersiksa setelah
mengalami hal seseram itu?"
Jessica dan Elizabeth sedang duduk di meja dapur dengan Pak
dan Bu Wakefield. Saat itu sudah jam sepuluh hari Jumat malam, dan
Elizabeth mendengarkan penuh simpati saat adik kembarnya mencoba
berkilah. Tapi dia bisa melihat bahwa adiknya ini sudah kalah dalam
'pertarungan' ini.
"Apapun alasannya, kamu harus menunggu kakak-kakakmu
pulang dulu," tegas Pak Wakefield. "Jessica, ini bukan main-main.
Jalan-jalan dengan Fiat itu, saat ini adalah sangat berbahaya. Ibumu
dan aku hanya ingin menjaga keselamatanmu. Janganlah kalian pakai
dulu mobil itu sampai seluruh masalah ini terselesaikan." Ayahnya
menatap Jessica. "Nah, mana kunci mobil itu? Biar kusimpan dulu
sampai selesai persidangan. Dan itu keputusan terakhir."
"Tapi, ayah ?" Jessica memulai.
"Tidak ada tapi-tapian," tukas Pak Wakefield tegas. "Kamu
sama sekali tidak boleh meninggalkan rumah, sepanjang minggu ini
? satu minggu mulai Senin ? kecuali ke tempat bekerja. Mengerti?"
"Ya, Ayah," kata Jessica, dengan perasaan tak karuan.
Elizabeth mengangkat alisnya. Inilah sisi tegas ayahnya. Ia bisa
mengerti betapa marahnya beliau, dan menurutnya ini hanya karena
kekhawatirannya. Jessica telah membuatnya bersama Steven cemas,
karena Jessica menelpon dari kantor polisi dan mengatakan merasa
diikuti oleh mobil TransAm putih. Steven segera menyusul ke kantor
polisi dan mengawal di belakang mobil Jessica waktu pulang ke
rumah, saking khawatirnya. Steven-lah yang melaporkan kejadian
tersebut pada orang tua mereka.
Sulit bagi Elizabeth untuk mempercayai betapa berubahnya
suasana rumah mereka semenjak Adam dituduh melakukan
pembunuhan atas Laurie. Kini nampaknya ketakutan sudah menjadi
bagian kehidupan mereka sehari-hari. Memang, tadinya dia
menanggapi cerita Jessica dengan tak acuh. Ia masih jengkel oleh
berbagai muslihat maupun penyesatan adiknya, yang hanya untuk
memikat Seth! Dia sendiri masih bimbang untuk percaya atau tidak,
sewaktu Jessica mengaku melihat seorang lelaki berambut pirang
membawa mayat pada malam tragis di tempat parkir itu. Namun ia
segera menyadari kegawatan situasi saat ini. Kali ini Jessica tidak
mengada-ada. Apalagi dia pun melihat perubahan pada diri adiknya.
Jessica yang tadinya selalu ceria dan santai itu, kini menjadi
penggugup. Hampir setiap malam dia bermimpi buruk, dan setiap kali
mereka mendekati tempat parkir pada saat berangkat ke tempat kerja,
Jessica tampak sangat gelisah.
Elizabeth dapat merasakan betapa cemasnya ayah dan ibu
mereka. Sampai tega mengurung Jessica! Hukuman kurungan bagi
keluarga ini hanya diberlakukan untuk kesalahan yang sangat besar,
atau pada keadaan yang sangat darurat. Ini jelas merupakan keadaan
darurat, melihat cara kedua orang tuanya bertindak.
Elizabeth masih sedang merasa iba atas nasib Jessica, saat
telepon berdering. Pak Wakefield yang mengangkat, dan setelah
mendengarkan sesaat, diserahkannya telepon pada Elizabeth. "Ini dari
temanmu di the News," katanya. "Kalau nggak salah itu Beth, teman
magangmu." Elizabeth mengambil telepon itu. Beth, gadis imut-imut
yang magang sebagai asisten di bagian seni tata letak dan grafis.
"Liz? Ini Beth Simmons. Kamu dan Jessica mau datang ke pesta
the News besok malam, nggak? Mau berangkat jam berapa dan mau
pakai baju apa?"
"Oh ? kayaknya kami mau datang juga sih," kata Elizabeth,
sambil menatap kedua orang tuanya lalu ke arah Jessica. "Kalau
dibolehin sama orang tuaku. Gimana kalau nanti kutelepon lagi untuk
kepastiannya?"
"Iya deh," kata Beth. "Jangan lupa, kasih tahu kamu mau pakai
apa, ya?"
Hampir setengah jam lamanya kedua kembar itu meyakinkan
orang tua mereka bahwa ini adalah sesuatu yang sangat menuntut
pelonggaran hukuman. Akhirnya Pak dan Bu Wakefield mengijinkan,
dengan syarat kedua kembar itu harus berangkat bersama-sama, terus
bersama-sama di pesta itu, dan pulang bersama-sama pula.
"Kami janji," kata Jessica, nampak lega sekali karena
dibolehkan pergi ke pesta, hingga membuat Elizabeth hampir tertawa.
"Kami berjanji tidak akan saling berpisah, satu detik pun."
"Tepatilah janji kalian," kata pak Wakefield tegas saat Elizabeth
segera menelpon Beth kembali. "Dan ingat, ini bukan demi kami,
Jessica. Kami hanya berusaha sedapat mungkin menghindarkan
bahaya yang saat ini sedang mengincar kalian berdua."
Jessica tampak patuh, tak seperti biasa. Kemeriahan pesta
maupun peluang bersantai dengan Seth sama sekali tak ada di
benaknya saat ini. Tapi, justru mobil TransAm putih dan
pengemudinya! Dia yakin sekali kalau lelaki itu telah melihatnya. Dan
Tom Winslow, atau siapapun dia, masih ada di kota ini. Masalahnya
sekarang, seberapa besarkah bahaya yang mengancam dirinya?
Sepuluh Sabtu sore itu Jessica sedang berada di kamar kakaknya, asyik
mengamati bayangan dirinya di cermin besar di balik pintu kamar
Elizabeth. Kamarnya sendiri bagai baru terlanda badai, seperti biasa,
dan nyaris tak tersisa ruang lagi untuk mematut-matut pakaian. Selain
itu, Jessica juga ingin minta saran dandanan rambutnya pada sang
kakak. "Kamu kok bisa antusias pergi ke pesta itu sih, sementara Adam
tersekap di penjara?" keluh Elizabeth. "Jessica, apa kamu nggak
merasa jadi nggak berperasaan?"
"Jelas enggak!" kata Jessica cepat. Sebenarnya, ia sudah bosan
ketakutan. Dia hanya butuh suasana baru, untuk bersenang-senang.
Sekalipun cuma sebuah pesta kantor, tapi paling tidak Seth bisa
menjemputnya. Dia dan Seth sudah begitu terlibat dalam kasus Adam,
sehingga keduanya nyaris tak punya waktu untuk saling
memperhatikan. Jessica berharap di pesta malam ini segalanya akan
berjalan sesuai rencana.
"Coba aku punya bando dari kulit," katanya, sambil melirik
meja rias kakaknya, dimana tergeletak bando kulit milik kakaknya
yang baru dibeli. "Bando itu cocok banget sama rok ini." Dia berputar
sambil mengagumi rok katun ketat warna hitam yang dipadunya
dengan blus putih dari sutera. Dia amat menyukai penampilannya ?
keren dan anggun, pikirnya. Penampilan yang pasti akan membuat
Seth termimpi-mimpi melihatnya.
"Pakai saja, kalau mau," kata Elizabeth tak acuh. "Tapi aku
masih merasa ini konyol sekali. Kita di sini menghabiskan waktu
untuk siap-siap ke pesta sementara Adam lagi sengsara."
"Liz," kata Jessica perlahan, "Apa aku belum bilang sama
kamu? Aku dan Seth akan segera menemukan pembunuh yang
sebenarnya, agar Adam bisa bebas!"
"Bagus," kata Elizabeth sekenanya. "Tapi sidangnya sudah akan
mulai seminggu lagi. Padahal yang kamu tahu tentang pembunuhan
itu masih sama dengan awal terjadinya pembunuhan itu."
"Sama sekali nggak begitu, Liz," sergah Jessica. Lalu
diambilnya bando tadi dan buru-buru dipakainya, sebelum kakaknya
berubah pikiran. "Kita sudah dapat banyak petunjuk! Sebelum akhir
minggu ini kita pasti sudah bisa membongkar kasus itu." Jessica
mendekat ke kaca, menghapus noda maskara di bawah kelopak
matanya. Apa yang ada di benaknya sungguh tak terduga. "Liz,
sesudah berapa lama akhirnya Jeffrey menciummu? Maksudku,
berapa lama kalian sekedar berteman sebelum akhirnya kamu
menyadari bahwa Jeffrey betul-betul naksir kamu?"
Elizabeth berpikir sejenak. "Wah, kamu ingat kejadian konyol
waktu itu, kan? Aku mau menjodohkan dia sama Enid, sementara
kamu sendiri mau menjodohkannya sama Lila, eh tahunya setelah
beberapa minggu kusadari aku sendiri yang naksir dia ? dan
sebaliknya!"
Jessica merengut menambahkan pemerah pipi. "Kurasa Seth ini
tipe pemalu," katanya berteori. "Kalau enggak, kenapa dia suka
menyia-nyiakan banyak peluang untuk memelukku dan menyatakan
cintanya padaku?"
Elizabeth terkekeh. "Pertanyaan bagus," komentarnya. "Kirakira tahukah Seth bahwa kamu lebih suka mencari jawaban
pertanyaan itu daripada melacak pembunuh Laurie Hamilton?"
Saksi Mata Super Thriller Karya Francine Pascal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sekarang memang belum, kayaknya. Tapi setelah nanti malam
?" Elizabeth mengeleng-geleng. "Ah Jess, ini kan cuma pesta
kantor. Isinya paling-paling cuma pidato Pak Robb, seputar soal
kerjaan. Lalu minuman dingin dan makanan ringan ala kadarnya.
Sudah, cuma itu. Bukan malam romantis seperti yang kamu
bayangkan, Non!"
Jessica mengusap-usap rambutnya. Dia kadang- kadang tak
habis pikir, miskin amat sih imajinasi saudara kembarnya ini? Pesta
kantor sebuah kantor berpegawai sedikit dan akrab begini, di malam
Minggu, bisa saja tetap berkesan romantis. Terutama karena Seth yang
bakal mendampingi mereka. Barangkali Elizabeth seusai pesta bisa
pulang sendiri, jadi pulangnya dia dan Seth bisa mampir ke Pojok
Miller untuk menikmati keindahan lembah di malam hari. Bisa saja
dia sambil lalu menanyakan soal nama itu pada Seth, karena nama
belakang Seth juga Miller. Lalu dia akan mengajak ngobrol Seth
ngalor-ngidul, dan akhirnya tibalah saat yang ditunggu-tunggunya.
Seth akan menunduk dan menatapnya, memeluknya, lalu ?
Hantu Auditorium 2 Di Bawah Lentera Merah Karya Soe Hok Gie Rahasia Kunci Wasiat 13
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama