Ceritasilat Novel Online

Saksi Mata 3

Saksi Mata Super Thriller Karya Francine Pascal Bagian 3


"Anak-anak," seru Pak Wakefield, sambil mengetuk pintu
kamar Elizabeth. "Kami berangkat. Hubungi kami di Cabot, kalau ada
apa-apa."
"Steve juga sudah pergi, Yah? Ada yang mau aku tanya sama
dia," kata Jessica.
"Dia sudah pergi. Sepuluh menit lalu dia dijemput Cara. Eh,
anak-anak," lanjut Pak Wakefield, "Ayah tahu kalian akan dijemput
temanmu, tapi kalau ada apa-apa, Steve tadi meninggalkan kunci
mobilnya di kamar. Dia pesan kalau kalian pakai mobilnya, hati-hati
sama koplingnya. Agak rewel."
"Semoga kami nggak membutuhkannya, Yah," ucap Jessica
sombong. "Kita mau dijemput Seth, kok."
"Ingat, ya," Bu Wakefield mengingatkan, "jangan pakai mobil
Fiat itu."
"Ya, Bu," jawab si kembar serempak, sambil saling melempar
pandang sok patuh.
"Bukan main!" seru Elizabeth begitu mobil Pak dan Bu
Wakefield keluar dan menghilang di jalan. "Kadang-kadang Ibu sama
Ayah terlalu kuatiran juga, ya?"
Jessica tertawa, "Mereka kan memang selalu begitu!"
Tiba-tiba telepon berdering. Elizabeth segera mengangkatnya,
dan setelah menjawab 'halo', segera diserahkannya pada Jessica.
"Nih, telepon dari Seth," katanya.
Jessica merampas telepon itu penuh semangat. "Hai, Seth,"
sapanya dengan suara dibuat semerdu, semanis dan semanja mungkin.
"Ada apa?"
Suara Seth terdengar kacau. "Jess, sori nih! Kamu tahu naskah
Pendidikan Remaja Sweet Valley, yang seharusnya saya serahkan
kemarin ke Pak Rob? Tulisan itu belum juga selesai, jadi aku harus
tetap di kantor membereskannya. Aku nggak yakin bisa menjemputmu
dan Liz. Bisa nggak kalian cari cara lain untuk ke pesta kantor nanti
malam?"
Jessica memutar-mutar kabel telepon di antara jemarinya.
"Seth," katanya, "Kamu kan sudah janji? Nggak lucu deh, kalau kamu
nggak bisa jemput kami."
"Maaf berat deh, Jess. Tapi Pak Rob bisa membunuhku kalau
kerjaan itu nggak selesai dengan baik. Dan setelah semua kejadian
baru-baru ini, aku sama sekali nggak mau ambil risiko dengan
melakukan kesalahan lagi."
Jessica menyela. "Yah," katanya tak bersemangat, "kalau begitu
biar deh, kami pergi ke sana naik mobil kakakku saja." Hilanglah
sudah harapannya untuk bisa berdua-duaan dengan Seth seusai pesta
kantor nanti.
"Emm, mungkin kita nanti masih sempat pergi jalan-jalan
setelah pesta," saran Seth terburu-buru. "Sekarang sudah dulu, ya. Aku
harus kerja lagi. Sekali lagi sori, Jessica."
Jessica meletakkan gagang telepon. "Untung Steve
meninggalkan kunci mobilnya," katanya, "ternyata Seth harus
menyelesaikan pekerjaannya, jadi nggak mungkin menjemput kita."
Elizabeth yang lagi asyik menempel perangko di atas surat buat
Jeffrey, tampak acuh tak acuh. "Baguslah, jadi kita bisa naik mobil
Steve. Oh ya, Jess, nanti ingatkan Ibu ya, aku perlu lebih banyak
perangko, nih."
Jessica sudah hendak mengeluarkan unek-unek soal Seth, waktu
telepon berdering kembali. Kembali untuk Jessica, tapi kali ini dari
Sersan Wilson.
"Nona Jessica, maaf mengganggu malam minggu anda, tapi
kami di kantor polisi punya sesuatu yang perlu anda lihat. Bisakah
anda mampir kemari sebentar nanti malam?"
Jessica merengut. Jadi makin runyam saja. Tadi Seth
membatalkan rencana, dan sekarang dia harus ke kantor polisi lagi
untuk mengingat hal-hal yang sungguh mengerikan baginya! Awal
yang naas untuk sebuah malam minggu yang sangat dia idamidamkan sebelumnya!
Tiba-tiba Jessica menduga Sersan Wilson ingin mendiskusikan
soal surat dengannya. Pada kunjungan terakhirnya, Sersan Wilson
mengatakan kalau mereka membutuhkan pernyataan tertulis bahwa
dialah penulis surat itu, untuk bukti di pengadilan. Kalau memang
demikian, jelas dia tak ingin mengajak kakaknya ke kantor polisi.
Karena ia tidak bercerita pada Elizabeth?paling tidak belum?bahwa
dialah penulis surat itu, agar bisa merahasiakan lebih lama lagi,
Jessica merasa sebaiknya datang ke kantor polisi sendirian. Berarti tak
mungkin itu dilakukan sambil menuju ke pesta.
"Entah saya bisa atau tidak," katanya sambil membuang muka
agar kakaknya tidak bisa melihat wajahnya sekaligus tak bisa
menebak bahwa dia sedang menyembunyikan sesuatu. "Aku dan
kakakku tidak boleh memakai Fiat, kami hanya boleh naik mobil
kakakku?satu-satunya mobil yang ada sekarang ? ke pesta di
Western Building."
"Siapa, Jess?" tanya Elizabeth ingin tahu.
Jessica mengabaikan pertanyaan kakaknya. "Bisakah saya
datang besok pagi saja?" tanyanya penuh harap.
Sersan Wilson menelan ludah untuk membasahi
tenggorokannya. "Begini saja. Karena kami harus melaksanakan tugas
secepat mungkin, bagaimana kalau kami jemput dengan mobil patroli?
Jadi kakak kembar anda bisa naik mobil yang ada di rumah, nanti
kami antar anda ke tempat pesta, setelah urusan di sini selesai."
Jessica menghela nafas. Dia betul-betul mati kutu sekarang! Dia
sama sekali tak punya pilihan selain menyetujui usul Sersan Wilson.
Setelah menjawab setuju, diletakkannya gagang telepon sambil tetap
membelakangi kembarannya. Masalah pergi ke kantor polisi sama
sekali tak membuatnya takut, tapi datang ke pesta dikawal polisi ? itu
yang ditakutkannya!
"Ada apa sih, Jess?" tanya Elizabeth penasaran. "Jess, aku
nggak keberatan kalau harus mengantarmu ke tempat lain dulu
sebelum ke Western Building, kalau memang perlu."
"Ah, nggak perlu, kok," jawab Jessica menghindari
pembicaraan lebih lanjut. "Itu tadi Sersan Wilson," katanya dengan
suara yang dibuat tak acuh. "Mereka minta aku mengecek laporan
kesaksian untuk meyakinkan isinya sudah betul."
"Laporan kesaksian? Apaan itu?" tanya Elizabeth bingung.
Jessica buru-buru menyisir rambutnya. "Itu lho, yang harus
diberikan pada pembela," katanya tak jelas. Sebelum Elizabeth sempat
bertanya lagi, Jessica meraih baju hangatnya dan bergegas keluar.
"Sampai ketemu di pesta, nanti!" katanya sambil berlalu.
Elizabeth berjalan perlahan ke ujung tangga dan mengawasi
adiknya yang turun dengan melompati dua anak tangga sekaligus.
"Jess, jam berapa kamu mau datang ke pesta itu?" seru Elizabeth.
"Juga bagaimana caramu ke Western Building dari kantor polisi
nanti?"
"Aku sudah ada di sana sekitar jam setengah sembilan atau
paling telat jam sembilan. Kata pak polisi, mereka akan mengantarku,"
seru Jessica dari ruang bawah. "Kalau Seth nanti tanya, katakan saja
aku pergi sama cowok lain!"
Mata Elizabeth terbelalak seketika. Bisa-bisanya adiknya yang
satu ini tetap sempat ingin memanas-manasi Seth sementara lagi
dikejar urusan di kantor polisi!
Tapi Elizabeth segera melupakan segala urusan dengan Jessica
ketika telepon berdering. Ketika diangkatnya, terdengar suara Jeffrey
yang sungguh dikenalnya. Tiba-tiba segalanya jadi terasa tidak
penting, baginya!
***********
"Oke," kata Sersan Wilson, sambil memilin-milin tangan ke
kursi. "Kami sudah membuat sketsa baru wajah si tertuduh. Silakan
anda lihat, kalau tidak berkeberatan. Ahli gambar kami, sudah
membuat sketsa itu berdasarkan deskripsi yang anda berikan,
sekaligus digabung dengan deskripsi Adam atas Tom Winslow.
Betulkah orang itu yang anda lihat?"
Jessica membungkuk untuk mengamati sketsa wajah seorang
pemuda di meja. Wajahnya berkerut saat dia berusaha mengingatingat, dan tak lama kemudian menyeruaklah kembali kejadian itu di
benaknya ? bau lembab tempat parkir, ekspresi orang itu saat
memergoki ada yang memperhatikannya, selimut hijau tua ? Jessica
menggigil ngeri.
"Gambar ini mirip dengan orang itu," gumamnya.
"Terima kasih," ucap Sersan Wilson sambil melempar pandang
ke arah dua petugas polisi di seberang ruangan, dan mengangguk jelas
pada mereka. Ekspresi wajahnya tampak serius. "Nah, Jessica,
sekarang akan kami tunjukkan sebuah foto. Amatilah foto ini baikbaik sebelum memutuskan bahwa wajah di foto itu sama dengan yang
anda lihat pada malam Selasa, saat Laurie dibunuh. Mengerti?"
Jessica mengangguk.
"Tak perlu terburu-buru. Kalau merasa agak ragu, katakan saja
itu pada kami."
Jessica mengangguk lagi. Telapak tangannya terasa basah oleh
keringat dingin.
Sersan Wilson mengambil amplop coklat dari laci mejanya,
membuka tutupnya, dan mengeluarkan sebuah foto. Keheningan
mencekam di ruangan itu, dan Jessica duduk gelisah di kursinya.
Entah foto itu diambil di mana. Orang itu sedang berdiri di
depan sebuah spanduk, sebagian wajahnya agak buram tertutup
bayangan. Dia berambut pirang dan tampak ganteng sekali dengan
potongan rambutnya yang sangat pendek, model olahragawan.
Matanya hijau, dan senyumnya tampak menawan. Dia tampak
memakai blus kaos berkancing dan baju hangat berleher pendek.
Tak ada alasan untuk takut, kata Jessica pada dirinya sendiri. Itu
kan cuma foto. Tapi dia dapat mengenalinya di mana pun juga. Tibatiba bibirnya terasa kering, dan telapak tangannya semakin basah
sampai harus disapukannya ke roknya.
"Itu dia orangnya," katanya. "Dialah orang yang saya lihat
malam itu di tempat parkir."
"Jessica," kata Sersan Wilson sambil membungkuk menatap
lekat wajah Jessica. "Anda betul-betul yakin akan hal itu?"
Jessica mengangguk. Jantungnya mulai berdetak cepat, persis
seperti waktu menyadari ada TransAm putih tepat di belakangnya,
kemarin dulu.
"Yakin sekali," katanya perlahan. "Dialah orangnya."
Sebelas Asal-asalan Elizabeth mengamati bayangan dirinya di cermin.
Pikirannya penuh oleh kejadian akhir-akhir ini, yang ia ceritakan
penuh semangat melalui telepon pada Jeffrey. Setelah menceritakan
semua kejadian itu, Elizabeth semakin yakin bahwa Adam tak
bersalah. Memang, ia tak pernah sedikit pun meragukan hal itu, walau
sempat terpukul sekali setiap mengingat surat itu.
Tapi ada yang aneh soal surat itu. Entah apa, tapi ada yang tidak
beres dalam soal itu. Gaya tulisannya terlalu kuat untuk tulisan orang
yang tertekan karena harus memutuskan pertunangan. Tak hanya itu.
Dia tidak begitu mengenal Adam, tapi tetap merasa bahwa gaya nada
surat itu juga tak tepat. Mungkinkah Tom Wilson telah menulis surat
itu dan entah bagaimana caranya telah berhasil memasuki rumah
mereka? Elizabeth menggigil sendiri memikirkan hal itu.
"Aih, sepi amat sih?" katanya tiba-tiba, lalu terdiam sejenak
ketika merasa mendengar langkah kaki menaiki tangga. Bulu
kuduknya meremang, tapi kemudian menertawakan sikapnya sendiri.
"Konyol amat sih aku, kok jadi kayak Jessica ? takut sama
bayangannya sendiri!" gumamnya. Segera dia mengumpulkan buku
saku dan jaketnya, lalu bergegas ke luar ke mobil Steven. Ditutupnya
pintu rumah rapat-rapat dan dikuncinya.
Malam itu sangat indah, dan begitu berada di luar, hilanglah
semua kecemasan Elizabeth. Dia heran sendiri memikirkan keanehan
sikap adik kembarnya sejak terbunuhnya Laurie Hamilton. Tapi tadi
tampaknya Jessica sudah bersikap seperti biasanya lagi, pikirnya.
Jessica tadi tampak begitu bersemangat soal pesta mereka. Kalau saja
polisi tidak melepon, agar dia tidak perlu mengingat kembali soal
pembunuhan itu! Satu-satunya harapan Elizaibeth kini adalah semoga
Jessica senang di pesta nanti. Paling tidak untuk malam ini dia bisa
melupakan soal kejahatan yang sempat disaksikannya itu.
Sambil memikirkan hal itu, Elizabeth mengeluarkan kunci
mobil kakaknya dari dompet dan membuka pintu di sisi pengemudi.
Yah, pikirnya, kini mereka hanya bisa berharap polisi bisa melacak
pembunuh yang sebenarnya. Dia sungguh tak bisa percaya bahwa
Adam terlibat dalam tragedi ini, dan hatinya selalu iba setiap kali
membayangkan apa yang telah menimpa Adam ini.
Paling tidak orang tua Adam sudah tiba, dan bisa menenangkan
anaknya itu. Walau baru beberapa kali ngobrol dengan keluarga
Maitlands ini, tapi Elizabeth dapat merasakan betapa hangat dan
penuh kasihnya mereka. Mereka akan mengusahakan segala cara
untuk membela Adam.
Elizabeth duduk ke kursi pengemudi dan memutar kunci starter.
Namun hanya terdengar bunyi "klik", lalu tak ada suara apa-apa lagi.
Apa ya, pesan Steve soal kopling tadi? Dicobanya lagi, dan sekali lagi
cuma terdengar bunyi "klik". Mesinnya tak mau menyala.
"Sial!" katanya sambil melirik ke jam tangannya. Sudah hampir
jam sembilan, padahal harusnya jam setengah sembilan dia sudah tiba
di sana. Mestinya dia tadi tidak kelamaan ngobrol dengan Jeffrey di
telepon. "Ayolah, manis," bujuknya sambil menepuk-nepuk dashboard
mobil. Setelah menarik nafas dalam, diputarnya kunci starter sambil
menginjak pedal gas, seperti yang biasa dilakukan kakaknya kalau
mesin mobil tak mau menyala. Tapi percuma saja. Mobil itu tetap saja
tidak mau bergerak.
"Yah, aku rasa ini memang rejeki perusahaan taksi Sweet
Valley," desah Elizabeth kesal sambil melangkah keluar dari mobil
VW itu dan tangannya memeriksa tasnya mencari kunci rumah.
Selintas dilihatnya mobil Fiat saat hendak berbalik masuk ke rumah.
Konyol sekali rasanya membuang uang sepuluh ribu untuk taksi
sementara ada Fiat nganggur di sini. Tapi janji adalah janji, dan
Elizabeth tahu orangtuanya akan marah berat kalau dia atau Jessica
tidak menepati janji mereka.
Sudah jam sembilan lebih lima menit, ketika akhirnya dia bisa
menghubungi perusahaan taksi. Dua kali sebelumnya, saluran telepon
mereka sibuk terus. Elizabeth mengetuk-ngetukkan jemarinya ke meja
telepon dengan tak sabar. Dia tak ingin terlambat ke pesta; kesannya
nanti tak bagus, padahal ini betul-betul pekerjaan yang diidamidamkannya. Dia masih tetap berharap Pak Robb memintanya menulis
sebuah feature di akhir libur musim panas ini. Bagaimana kesannya
kalau dia sampai belum muncul pada saat pesta kantornya dimulai?
Akhirnya ada juga yang menjawab teleponnya, "bisakah Anda
mengirim taksi ke mari?" tanya Elizabeth.
Tetapi segera terdengar suara wanita di seberang sana. "Taksi
kami lagi kosong. Sekitar tiga perempat jam lagi, silakan coba
hubungi kami lagi."
"Aduh," kata Elizabeth putus asa. "Baiklah, terima kasih." Dia
menutup telepon dan melirik ke jam di dinding dapur. Yah, apa boleh
buat, aku sudah berusaha, pikirnya sedih. Sekarang mau bikin apa?
Memang, bisa saja naik bus, tapi itu kan berarti perlu waktu lama
untuk sampai di pesta itu.
************
Jangan nekat pakai Fiat, tegasnya pada diri sendiri. Pokoknya
tidak! Sebenarnya, ia merasa tidak melihat adanya bahaya memakai
mobil Fiat itu. Dan sebenarnya juga, semakin lama dia berdiri di
dapur, ditambah bunyi gemerincing kunci mobil, semakin kesal dia.
Tapi janji tetap janji. Lalu diputarnya nomor telepon Enid, sambil
berharap semoga ia bisa menumpang ke pesta di kantornya itu. Tapi


Saksi Mata Super Thriller Karya Francine Pascal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

setelah berdering empat kali, yang mengangkat telepon ternyata mesin
penerima telepon!
Tampaknya satu-satunya pilihan hanyalah ke tempat perhentian
bis. Dengan menarik nafas dalam, Elizabeth berjalan keluar rumah
kembali. Diputuskannya untuk mencoba menyalakan sekali lagi mobil
Steven, tapi lagi-lagi dia gagal. Saat duduk di kursi pengemudi, tibatiba ia menyadari bahwa ide naik bis itu bukanlah ide bagus.
Bukankah orang tuanya sudah melarang mereka untuk tidak bepergian
seorang diri? Dan itu bisa juga berarti ? Elizabeth merasa punya
alasan tepat sekarang ? dia terpaksa boleh mengingkari janjinya.
Atau harus memilih tidak ikut berpesta dan mengecewakan Pak
Robb! Tidak, dia harus berangkat. Masalahnya sekarang, mana yang
lebih aman: berjalan sendiri di kegelapan ke perhentian bis yang sepi
atau memakai Fiat itu ? tentunya setelah mengunci pintu rumah ?
dan langsung menuju Western Building?
Jawabnya tampaknya sudah cukup jelas bagi Elizabeth. Tanpa
pikir panjang lagi, dia melompat keluar dari mobil kakaknya, buruburu kembali ke rumah dan mencari-cari kunci mobil Fiat. Di mana
sih Ayah menyimpannya? Setelah beberapa menit akhirnya Elizabeth
teringat pada kotak khusus Ayahnya yang ada di meja kerjanya.
Ayahnya selalu menyimpan barang-barang pentingnya di sana. Tentu
saja kunci mobil pun akan disimpannya di sana. Kalau cukup cepat,
dia akan tak terlalu terlambat untuk tiba di pesta itu. Dia lalu lari ke
garasi, membuka pintu Fiat dan menyalakan mesinnya.
Jam sembilan lewat dua puluh menit. Kalau bergegas, dia tak
akan terlalu terlambat dari waktu yang dijanjikannya pada Jessica tadi
sore. ************
Sersan Wilson sendiri yang akhirnya mengantar jessica ke
Western Building.
"Jessica," katanya sambil nyetir, "Saya minta bantuan anda.
Tolong rahasiakanlah pembicaraan kita tadi. Bisa? Bila anda bisa
tutup mulut, itu berarti mempermudah tugas berat yang sedang kita
hadapi ini."
"Pasti," jawab Jessica. Lengannya terasa kebas dan mulutnya
terasa kering. Dipandanginya jendela yang terang di lantai lima
Western Building. Menuju ruang utama gedung itu hanya ada satu
pintu yang dibuka selepas jam kantor, yaitu pintu di tempat parkir.
Membayangkan berjalan sendiri melintasi pelataran gelap itu
membuatnya ketakutan. Tapi ia malu untuk meminta Sersan Wilson
menemaninya.
"Emm?terima kasih sudah diantar," gumamnya sambil
berharap bisa tetap ditemani.
Sersan Wilson melirik ke arah jam tangannya. "Terima kasih
juga, atas semua bantuan anda," jawabnya buru-buru. "Saya yakin
akan bisa segera menemukan Tom Winslow dan membongkar kasus
pembunuhan ini."
Jessica menelan ludah dengan cemas. Yah, tibalah saatnya!
Dengan mengerahkan seluruh keberaniannya ia keluar dari mobil
polisi itu, dan menutupkan pintunya. Lalu ia memaksa diri untuk
melambai pada Sersan Wilson.
Tarik nafas dalam-dalam, katanya dalam hati saat membuka
pintu tempat parkir dan melihat berkeliling dengan perasaan berat.
Gedung parkir ini tujuh tingkat ? setinggi gedung Western Building
sendiri. Pelataran parkirnya melingkar seperti spiral, dengan satu
tempat lift di tengah-tengah arena parkir, dekat ruang penjaga dari
kaca. Saat bergegas menyeberangi ruang parkir menuju ruang lift,
Jessica merasa lega setelah melihat penjaganya di ruang kaca. Dia
bersumpah, begitu selesai masa magangnya di the News ini, tak akan
dia mau kemari lagi ? kalau tidak betul-betul terpaksa.
Dia menggigil saat melangkah memasuki lift dan menekan
tombol nomor lima. Dia tak sabar lagi untuk segera tiba di kantor the
News. Lambat amat sih, lift konyol ini? pikirnya saat lift mulai
bergerak. Dia gemetar saat lift berhenti dan pintunya membuka.
Tiang-tiang biru yang sudah amat dikenalnya membuat hatinya ciut.
Dia benci sekali tempat ini! Segala keasyikan yang dibayangkannya
tadi tentang pesta ini, musnah bersama pembicaraan dengan Sersan
Wilson tadi. Saat ini ia cuma ingin segera sampai. Dia betul-betul tak
tahan berjalan sendiri melalui tempat parkir ini.
Jessica menarik nafas dalam, sambil menaksir jarak sampai ke
pintu menuju Western Building yang lampunya terang benderang.
Sekitar seratus meter. Sekalipun tak ingin, matanya sempat melirik
ke? Jangan pikirin, ah! katanya pada diri sendiri. Tapi bayangan di
kepalanya terlalu hebat untuk ditekan. Dipejamkannya matanya rapatrapat, tapi segala yang pernah dialaminya muncul kembali: suara
benturan di bagian sana garasi, suara gesekan baju, suara bagasi mobil
dibuka, langkah kaki, dan sosok mengerikan seorang laki-laki
menggendong beban berat yang takkan bisa dilupakannya ?
Dengan mata terbuka lebar Jessica berjalan selekas mungkin
melewati gang itu menuju pintu masuk Western Building. Dia
berusaha keras menekan rasa takutnya. Sekitar sepuluh meter dari
pintu itu, terlihat olehnya mobil TransAm putih diparkir di lorong J,
tiga blok dari pintu masuk.
"Tak mungkin!" bisiknya penuh harap, sambil menatap mobil
itu. Ia terpaku, ia merasa ini seperti konyol, tapi kini terbukti bahwa
itu betul-betul terjadi. Kakinya serasa terpaku, betapa pun inginnya ia
segera lari dari sana.
Mungkin ? mungkin itu bukan mobil yang sama, pikirnya,
berusaha menekan kecemasannya. Tapi lalu, bagaimana kalau itu
benar mobilnya? Bagaimana kalau dia membuntuti aku?
Rasanya seperti nyaris membeku ketakutan. Dengan limbung ia
lari cepat ke pintu gedung, sampai hampir terjatuh kalau tak segera
menjaga keseimbangannya. Dia cuma melirik satu kali ke mobil itu.
Dan ? di mobil itu, tampak olehnya goresan karat yang aneh, seperti
tulisan huruf Z terbalik. Berarti itu memang mobilnya! Jessica
merenggut pegangan pintu. Yang diinginkannya hanyalah selekas
mungkin masuk ke dalam gedung, ke tempat yang penuh cahaya dan
orang lain. Ebukulawas.blogspot.com
Mobil itu kosong. Pertanyaannya: di mana pengemudinya?
*************
Begitu Jessica berhasil tiba di dalam, jam sudah menunjuk
pukul sembilan lewat, dan pestanya sedang berada di puncaknya.
Meja bar diatur di ruang komputer, dan beberapa pegawai the News
tampak minum-minum sambil menikmati musik yang ditangani
seorang DJ. Jessica meletakkan jaketnya di kursi yang kosong dan
melihat berkeliling mencari Seth. Dia ingin menghubungi polisi
sesegera mungkin, tapi juga merasa begitu takut hingga nyaris tak bisa
berpikir apa-apa. Namun masih sempat terpikir olehnya bahwa yang
terpenting sekarang adalah menemukan Seth dulu untuk
memberitahukan tentang adanya mobil TransAm itu di luar sana. Dia
betul-betul butuh dukungan moral. Tampak olehnya beberapa wajah
yang dikenalnya, tapi bukan Seth.
Akhirnya tampaklah Seth, di dekat bar. Saking bernafsunya dia
mendekati Seth, sampai nyaris tersandung sebuah kursi. Tapi ia sama
sekali tak menyadarinya. Yang ada di kepalanya hanyalah ingin segera
mengajak Seth menemaninya memanggil polisi. Mereka harus
meminta Sersan Wilson untuk segera datang kembali kemari sebelum
TransAm putih itu menghilang. Di mana sih pengemudinya? Jessica
menduga-duga. Mungkinkah Tom Winston ? atau siapapun dia ?
berada di sekitar sini? Seth pasti tahu apa yang harus dilakukan. Pada
situasi seperti ini Jessica sangat gugup sehingga takut kalau-kalau
tangisnya meledak.
Seth sedang berbincang serius dengan seseorang berambut
pirang, yang tak dapat dikenali Jessica dari belakang. Dia bergegas
menghampiri dan memberi isyarat untuk menarik perhatian Seth.
"Seth!" serunya. "Kamu betul-betul harus menolongku. Kamu pasti
sama sekali nggak percaya kalau ?"
Saat itu juga lelaki tadi berbalik dan, Jessica mengejang
seketika. Mulutnya ternganga ketakutan, dan ucapannya terhenti
seketika. Dalam kebingungan dia bergerak maju, menabrak laki-laki
itu sehingga menumpahkan minumannya.
"Maaf," katanya dengan wajah merah padam. Dia tak mau
menatap mata laki-laki itu.
"Nggak apa-apa, kok. Nggak apa-apa," ucap pemuda itu sopan.
Mata hijaunya menatapnya dengan pandangan penasaran. Agaknya
dia lagi mengingat-ingat pernah melihatku, pikir Jessica. Dia
berpegangan pada bar untuk menjaga keseimbangan.
Sama sekali ia tak ragu lagi tentang hal ini. Itulah orang yang
dilihatnya di tempat parkir?orang yang telah dicobanya dengan susah
payah untuk digambarkan di muka polisi.
"Dari mana saja? Kupikir kamu sudah dari tadi sampai di sini,"
sapa Seth sambil menepuk-nepuk tangannya dengan penuh perasaan.
Mata Jessica terbelalak ketakutan. "Emm, aku harus ? eh,
harus menemui seseorang," gumamnya. Dia tak sanggup untuk
melihat ke arah pemuda berambut pirang itu. Jantungnya terasa
berdetak keras sekali, sehingga dia yakin bisa terdengar oleh kedua
orang di depannya itu. Bisakah dia mengenaliku? Kenapa dia
menatapku seperti itu? "Seth," katanya perlahan, "bisa nggak kita
bicara sebentar? Ada yang harus kutanyakan padamu, soal paper
Pendidikan Remajamu."
"Boleh. Tapi kukenalkan dulu pada Thomas. Ayahnya dan Bob
Carlisle sekamar waktu mereka kuliah."
Jessica sulit mempercayai pendengarannya. Bob Carlisle adalah
redaktur olah raga. Sulit baginya mempercayai kerunyaman yang
sedang dialaminya. Tom ? Thomas. Mungkinkah dia ini Tom
Winslow? Jessica cuma bisa berkonsentrasi pada satu hal ? mata
Thomas yang menusuk tajam. Berapa lama lagi sebelum laki-laki ini
mengenali dirinya?
"Se ? senang sekali berkenalan dengan Anda," gumam Jessica.
"Apa kabar," kata Thomas sungguh-sungguh sambil menyalami
Jessica. "Begitu pula saya." Ditatapnya Jessica lebih tajam.
"Nggak pernah nyangka kalau dia teman Bob," kata Seth polos
pada Jessica saat mereka berlalu dari sana berduaan, meninggalkan
Thomas yang mengawasi mereka dengan penasaran.
"Aku memang pernah melihatnya di sekitar sini, tapi nggak
nyangka kalau ?"
"Seth," bisik Jessica menghiba, "masa sih, kamu nggak tahu
siapa dia?"
Seth menatapnya. "Tahu dong, kan baru saja kubilang. Ayahnya
adalah sahabat Bob Carlisle. Ayahnya itu industriawan hebat, dan
sungguh kaya- raya. Tapi Thomas bukan tipe orang yang sombong.
Dia?"
"Seth," tukas Jessica dengan wajah pucat pasi. "Siapa pun
namanya dan siapa pun ayahnya, yang aku tahu cuma satu hal.
Siapapun dia, dialah pembunuh Laurie Hamilton!"
Dua belas Seth mengernyitkan matanya tak percaya. "Apa?" serunya.
"Jessica! Kamu sadar nggak sih apa yang kamu omongin? Kan tadi
sudah kubilang kalau Tom Winslow itu anak sahabat Pak Carlisle.
Mana mungkin sih dia orang yang kamu lihat di tempat parkir pada
malam pembunuhan itu. Terus terang saja Jess, aku mulai meragukan
akal sehatmu. Aku sudah pernah kamu akali soal kebakaran di Box
Tree Cafe itu, lalu soal berita ngawur tentang tetanggamu yang telah
mencuri uang dan memendamnya di halaman rumah mereka. Aku
percaya kamu melihat seseorang di tempat parkir malam itu, tapi
jangan harap aku akan percaya kalau Tom, orang baik-baik yang
dikenalkan pak Carlisle secara pribadi padaku, adalah seorang
pembunuh. Ayolah, yang betul saja, Jess."
"Seth, percayalah padaku. Aku nggak akan pernah bisa
melupakan wajahnya sampai kapan pun. Lagi pula, aku baru saja
melihat fotonya di kantor polisi. Dia adalah orang yang kulihat di
tempat parkir! Sumpah!" Saat itu wajah Jessica pucat pasi dan
nafasnya ngos-ngosan. "Seth, kita harus panggil polisi, sekarang
juga!"
Melihat reaksi Jessica, Seth menyadari Jessica berkata
sebenarnya. "Oke, oke. Tenang dulu, Jess," kata Seth sambil
meletakkan gelas minumnya dan menatap ke arah Thomas di seberang
ruangan, yang tampak begitu santai. "Tetaplah bersikap biasa, Jess.
Jangan sampai dia tahu bahwa kamu gugup. Aku yakin dia nggak
mengenalmu. Kalau nggak, dia bakal segera kabur dari sini." Mata
Seth masih menatap Thomas ketika dia mengangkat kembali gelasnya
dan menghirup isinya. "Nah, sekarang begini saja. Kamu tunggu di
sini dan tetap bersikap biasa. Paham? Sementara aku menyelinap ke
luar untuk menelepon polisi. Terlalu rawan kalau menelepon dari
kantor, pak Carlisle setiap saat bisa saja mengajak Thomas melihatlihat kantor."
"Jangan tinggalkan aku di sini bersamanya!" Jessica meraih
Seth. "Ayolah, bersikaplah biasa," bisik Seth bernada perintah. "Jess,
yang terpenting saat ini adalah menahan dia di sini. Kita harus
mencegahnya keluar dari sini!"
"Tapi kalau dia ngajak ngobrol lagi, aku takut kalau dia bakal
sadar siapa aku!" serunya.
Seth meletakkan gelasnya sambil matanya tetap mengawasi
Thomas. Dengan tangan kanannya, dia merogoh dompetnya mencari
uang receh. "Kamu akan aman," katanya, "sepanjang kamu tetap
tinggal di pesta ini. Aku akan pergi sekarang. Bersikaplah setenang
mungkin. Kalau dia mengajakmu ngobrol lagi, apapun yang kamu
lakukan, jangan sampai kamu kelihatan panik."
Itu susahnya, pikir Jessica putus asa, itu adalah perbuatan gila
yang pernah diminta Seth padanya. Mana bisa bertahan untuk tidak
panik, kalau terperangkap di kantor berita ini dengan orang yang
disaksikannya telah membunuh Laurie Hamilton? Dalam waktu
singkat Thomas akan segera menyadari kenapa serasa pernah
mengenal wajahnya. Lalu, kalau sudah begitu, mau bilang apa lagi?
Seth baru saja pergi ketika Thomas berbalik dan menyeberangi
ruangan untuk mendekati Jessica. Walau berdebar-debar, Jessica
berusaha keras untuk tetap tenang.
"Bob nggak pernah cerita kalau kantor ini juga menerima
magang gadis secantik kamu," tutur Thomas dengan suara perlahan,
sambil kembali menatapnya lekat-lekat.
Jessica berbalik, dan tumpahlah setitik minuman yang baru saja
dituangnya. Wajahnya memerah.
Thomas mengangkat alis matanya saat Jessica meraba-raba
mencari saputangan untuk melap tangannya. "Aku selalu
menyempatkan diri bertanya pada Bob kalau ada orang yang menarik
bergabung dengan the News," sambungnya dengan suara yang tetap
lembut dan menawan. Dia menggelengkan kepalanya, dan berdecak.
"Aku harus bicara soal ini pada Bob."
Jessica menggigit bibirnya. Tetaplah tenang, katanya dalam
hati, mengingatkan dirinya sendiri. Apa pun yang kamu lakukan,
jangan sampai dia mengenalimu. Tapi akhirnya Jessica menyadari
bahwa Thomas memang tidak mengenalinya lagi. Dan sebetulnya, hal
itu cukup masuk akal. Penerangan di tempat parkir waktu itu sangat
samar-samar, dan dia sedang sibuk dengan kegiatannya sendiri. Saat
dia menyadari ada yang mengawasinya, Jessica sudah berada di dalam
Fiat. Jadi bisa saja mobilnyalah yang diingatnya betul saat itu.
Kecuali, tentu saja kalau orang ini betul-betul seorang aktor hebat dan
lihai untuk berpura-pura. Tapi, Jessica sekarang yakin bahwa orang ini
tidak ingat lagi siapa Jessica sebenarnya. Sikapnya begitu tenang dan
anggun. Menyadari hal ini, Jessica mulai lega dan sanggup meletakkan


Saksi Mata Super Thriller Karya Francine Pascal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gelasnya lalu menatap laki-laki itu. Ternyata dia lebih pendek dari
yang selama ini dibayangkannya. Tingginya sekitar dua meteran.
Rambutnya yang pirang cukup tebal sepanjang sampai kerah bajunya.
Sebetulnya Jessica menilainya cukup ganteng. Rahangnya yang
persegi tampak kukuh dan mata hijau tuanya berkilau. Tubuhnya
terbalut pakaian gaya Eropa dari perancang beken. Ditambah
rambutnya yang dipotong pendek, dia tampak berwibawa?yang bisa
membuat Jessica tergila-gila padanya. Jangan-jangan dia bukanlah
pembunuhnya? Tidak mungkin! Semuanya serba cocok. Tadi di luar
dia juga sudah melihat mobil TransAm putih. Semuanya cocok.
Persis. "Anda tahu," kata Thomas sambil menatapnya lebih lekat,
"rasanya saya pernah melihat anda. Entah di mana."
"Oh," kata Jessica segera, "banyak yang berkata demikian
begitu berkenalan dengan saya." Jessica bergeser menjauh dan
memandang berkeliling, mencari seseorang yang dapat dijadikan
alasan untuk mengakhiri obrolan mereka. "Jam berapa sih sekarang?
Saya lagi menunggu kakak saya. Barangkali ada baiknya saya telepon
ke rumah untuk mengeceknya," gumamnya.
"Emmm ? saya sungguh yakin pernah melihat anda di suatu
tempat," kata Thomas mendesak. Dia menyilangkan tangannya di
dada dan mengamati wajah Jessica. Jessica tiba-tiba merasa Thomas
ini lagi menggodanya. "Ayo deh, kita pikirkan sama-sama. Anda
kuliah di sekitar sini?"
"Saya masih di SMA," kata Jessica ketus. "Rasanya nggak
mungkin kita pernah ketemu di sana."
Sambil tersenyum Thomas mengangguk-angguk dengan
bertumpu pada tumitnya. Agaknya percakapan ini dianggapnya
permainan yang asyik, dan sikap Jessica yang tidak sabaran
membuatnya semakin senang. "Atau, emm, mungkin tempat lain.
Anda ikut sesuatu klub? Klub tenis?"
"Nggak," elak Jessica, walau sebenarnya dia pemain tenis yang
cukup handal, tak ingin menyenangkan Thomas. Dia begitu berharap
Elizabeth segera datang, hingga mereka berdua bisa tahu apa yang
sebaiknya dilakukan.
Tiba-tiba Thomas menjentikkan jarinya. "Ah, saya tahu
sekarang!" serunya. Jessica terbelalak menatapnya dengan jantung
berdebar. Benarkah dia sudah berhasil mengingatnya? Akan segitu
nekadkah dia untuk mengumumkan keras-keras bahwa dia telah
melihatnya di tempat parkir pada malam pembunuhan Laurie
Hamilton? Jessica tak bisa bernafas.
"Lomba perahu layar di tepi sungai Martin, musim semi
kemarin. Anda salah satu awak perahu Lone Blue, kan?"
"Bukan," katanya sambil menarik nafas lega. "Itu pasti bukan,
sebab saya nggak pernah naik perahu. Emm, jadi keluarga anda
dengan Pak Carlisle berteman baik?"
"Betul. Sebenarnya Ibu sayalah yang memaksa saya ikut
bekerja padanya seusai sekolah. Tapi saya nggak begitu tertarik sama
dunia penerbitan. Rasanya itu pekerjaan yang agak kotor ? anda tahu
kan, yang saya maksud?" kata Thomas sambil menjentikkan debu
yang tak terlihat dari jasnya.
Jessica menelan ludah. Dia merasa semakin sulit bersikap
tenang. Rasanya sulit mempercayai akan bisa seruangan dan saling
bertatap muka dengan pembunuh Laurie. Bahkan, pakai ngobrol
segala! Ini betul-betul gila. Kemana saja sih, si Seth? Kenapa
menelpon polisi saja sebegitu lama? Jessica betul-betul tak sanggup
lagi untuk terus bersandiwara seperti itu.
"Eh, saya punya ide," kata Thomas tiba-tiba, sambil meringis
menunjukkan giginya yang putih cemerlang. "Yuk, kita keluar dari
pesta membosankan ini, ke tempat lain yang lebih nyaman?" Dia
merendahkan suaranya. "Saya tahu ada Cafe kecil di pojok jalan dekat
sini. Di sana bisa anda ceritakan bagaimana ceritanya seorang gadis
secantik anda bisa terdampar magang di kantor yang tidak menarik
ini."
"Oh ? ah, rasanya saya nggak bisa," kata Jessica sambil
mencoba bersikap tenang.
"Dengar," kata Tom dengan suara bosan, "ini sungguh pesta
yang membosankan. Mau ikut, nggak? Saya sih, rasanya sudah nggak
bisa bertahan lagi untuk semenit pun."
Jessica menyela, "Saya harus tetap di sini. Anda tahu kan, saya
bekerja di kantor ini." Tanda sadar suara Jessica terdengar kasar. Tapi
itu membuat Thomas mengerti apa yang sebetulnya diingini Jessica ?
dijauhi! Maka tanpa bicara lagi, dia langsung berlalu dari sana.
Namun mendadak Jessica menyadari kekonyolan yang baru saja
dilakukannya. Kalau sampai Thomas pergi sekarang, maka lenyaplah
kesempatan mereka untuk menangkapnya. Dia harus menahannya di
sini sampai polisi tiba.
"Thomas!" panggilnya buru-buru, sambil berlari mengejarnya.
Thomas berbalik dengan wajah heran. "Ada apa?"
"Saya baru ingat," kata Jessica, "di mana sebetulnya kita pernah
ketemu."
Matanya mengeruh. "Oh, ya? Di mana?" tanyanya penasaran.
"Emm, rasanya sih, sudah hampir setahun yang lalu ?" Namun
tiba-tiba usahanya untuk menahan Thomas terganggu ?
"Jessica, ada telepon untukmu," kata Beth Simmons. "Kayaknya
sih, dari kakak laki-lakimu."
Jessica tak yakin apakah harus merasa lega karena punya alasan
untuk meninggalkan Thomas atau mencemaskan Thomas pergi saat
dia menerima telepon. "Sori sebentar ya, Thomas. Janji lho, jangan ke
mana-mana dulu," pinta Jessica sambil berlalu.
Jessica mengangkat telepon yang ada di dekat kantor. Sekarang
sesudah sendirian, dia merasa gemetar sekali dan tenggorokannya
terasa kering. "Steven?" katanya.
"Jess," kata Steven dengan nada marah, "Aku dan Cara baru
saja pulang, dan kulihat mobil Fiat nggak ada di tempat. Kamu sama
Liz pergi naik Fiat, ya? Mobilku kok masih di garasi? Ayah pasti
bakalan marah besar gara-gara salah satu dari kalian naik mobil itu."
Jessica memucat seketika. "Aduh, gawat dong!" keluhnya.
"Steven, mungkin Liz nggak bisa menyalakan mobilmu. Mungkinkah
dia bakal naik Fiat?"
"Ayah bisa membunuhnya, lho!" kata Steven tegas. "Segera
kasih tahu dia, biar segera pulang begitu tiba di sana!"
Jessica sedang menatap ke arah Thomas melalui pintu masuk ke
kantor The News. Sesuatu yang amat mengerikan tiba-tiba membersit
di kepalanya, sesuatu yang nyaris tak kuasa diceritakannya pada
kakaknya. "Steven," katanya lirih dengan terengah-engah. "Kami di
sini dalam bahaya. Tom Winslow ada di pesta ini. Aku lagi berusaha
menahannya di sini, sementara Seth menghubungi polisi." Suaranya
terdengar tersendat-sendat. "Steve, kayaknya Tom belum mengenali
aku. Tapi kalau dia keluar dan di tempat parkir melihat Liz naik Fiat
?" Lutut Jessica terasa lemas memikirkan kemungkinan seram ini,
sehingga dia merasa perlu duduk dulu. "Aku yakin dia pasti mengenali
mobilnya. Oh, Steve. Kasihan Elizabeth! Gimana nih?"
***********
"Wah, Jessica," kata Pak Robb yang datang menghampiri si
pirang yang kelihatan bingung di meja bar, saat Jessica setengah mati
berusaha tetap mengikat percakapan dengan Thomas. "Rupanya kamu
sudah berhasil menggaet Thomas." Dia lalu melirik jam tangannya.
"Tapi, ngomong-ngomong mana kakakmu? Memangnya kalian tidak
datang bersama?"
Mata Jessica nanar. Dia juga merasa heran dan bingung
mengenai hal itu. Waktu terus berlalu, dan dia sudah tak bisa menahan
Thomas lebih lama lagi. Thomas sudah dua kali pamit. Dan
membayangkan Elizabeth yang akan muncul di tempat parkir Western
Building dengan mobil Fiatnya, membuatnya begitu tertekan. "Saya
yakin sebentar lagi dia bakal muncul," gumamnya.
Pak Robb menepuk-nepuk bahu Thomas. "Aku senang kamu
bisa hadir malam ini, Tom," katanya. "Bagaimana? Kamu sudah
berminat untuk bergabung dengan usaha penerbitan surat kabar?
Akhir-akhir ini suasana kantor luar biasa sibuk. Pembunuhan
Hamilton memaksa kami bekerja siang malam." Dia menghirup
minumannya. "Ah, sepuluh tahun jadi editor di surat kabar ini, belum
pernah kualami rangkaian kisah yang setragis ini. "
Jessica merasa tenggorokannya tercekat. Sulit baginya
mempercayai bahwa Pak Robb akan menyinggung soal pembunuhan
itu tepat di hadapan Thomas. Dia begitu takut untuk menengadah dan
melihat ekspresi muka Thomas.
"Yah," kata Thomas serak, "senang sekali bisa ketemu, Pak.
Tapi maaf, saya sudah janji pada orang tua saya untuk mampir ke sana
sebelum jam sepuluh. Jadi, saya rasa saya harus segera pamit."
"Lho, pestanya kan baru saja dimulai?" seru Pak Robb. "Saya
ingin sekali memperkenalkanmu pada Dan Weeks, wartawan muda
yang kebetulan menangani kasus pembunuhan. Itu, dia kebetulan ada
di pojok sana. Mau kan, kamu mampir ke sana sebentar bersamaku
untuk kukenalkan? Kurasa Weeks ini betul-betul wartawan terhebat
kantor ini. Dan kasus-kasus yang dikejarnya ?"
"Aduh, maaf sekali, Pak. Tapi rasanya saya sudah harus pergi,"
ulang Tom. "Terima kasih atas semuanya. Tolong sampaikan salam
saya untuk Pak Bob." Lalu Thomas berbalik ke arah Jessica, "Saya
pulang dulu, ya?" katanya dengan wajah muram. "Mau ikut?"
"Emm?" Jessica menatapnya. Dia betul-betul tak tahu lagi
mau bicara apa.
"Yah, terserah deh," kata Tom sambil berbalik dan menuju ke
pintu. "Tom, tunggu!" Jessica menariknya sambil mengikutinya dari
belakang. Tak sanggup ia membayangkan berjalan berdua bersama
Tom ke tempat parkir yang sepi itu. Tapi bagaimana kalau Elizabeth
muncul pas dia mau pergi? Begitu melihat Fiat-nya dia pasti ?
Jessica tak sanggup pergi ke tempat parkir tanpa Seth. Tapi Seth
belum juga kembali dari telepon umum, dan tak ada waktu lagi untuk
menunggu. ************
Elizabeth mengarahkan mobil Fiat-nya ke lantai parkir pertama.
Dia memutuskan untuk langsung parkir di lantai lima agar dekat
dengan pintu masuk ke kantor The News. Sulit baginya mempercayai
bahwa jam sudah bergulir ke pukul sembilan tiga puluh. Dia cuma
berharap semoga tidak ketinggalan puncak acara pesta ini. Dan
semoga adiknya tidak marah atas keterlambatannya.
Ternyata tempat parkir di lantai lima sudah penuh. Pengunjung
pesta ini jauh lebih banyak dari yang diperkirakannya. Baru saja ia
mau mengarah ke tempat parkir di lantai enam, ketika tampak ada
lampu mobil menyala di lorong J. Sebuah mobil mau keluar.
"Syukurlah," gumamnya. Lalu dibawanya mobilnya perlahan
menuju lorong I, berbelok di pojok dan bergerak mendekati mobil
yang mau ke luar agar bisa mengambil alih bekas tempat parkirnya.
Dengan pikiran dipenuhi oleh The News dan pestanya,
Elizabeth sama sekali tidak memperhatikan bahwa mobil yang mau
keluar itu adalah mobil TransAm putih, yang dikemudikan oleh
seorang lelaki berambut pirang dengan potongan pendek dan
mengenakan jas dari wol. Dia juga tak menyadari bahwa pengemudi
mobil itu sedang menatapnya lekat-lekat ? dengan ekspresi
menakutkan!
Tiga belas
Elizabeth segera memundurkan mobil Fiatnya dan parkir di
tempat yang baru saja ditinggalkan mobil putih itu, karena ingin
segera tiba ke pesta sebelum semakin telat. Setelah melepas sabuk
pengaman, mencabut kunci mobil dari hendak membuka pintu, namun
tiba-tiba ia menyadari ada yang tidak beres.
Mobil yang baru keluar dari tempat parkir, belum juga bergerak
pergi. Bahkan malah mundur sampai berada tepat di depan Fiatnya,
seolah hendak menghalangi agar ia tak bisa keluar. Elizabeth
menyipitkan matanya. Di tempat itu cahaya agak samar sehingga sulit
melihat orang itu dengan jelas. Sementara itu, dia juga tak ingin keluar
dari mobil selama orang itu masih di sana. Ditekannya klakson dua
kali, mengira ada yang menghalangi gerak mobil orang itu, agar orang
itu bisa maju dan segera pergi.
Lalu tampak olehnya karat berbentuk S di sisi mobil itu.
"OK," katanya pada diri sendiri, telinganya serasa tiba-tiba
berdenging. "Yang penting aku harus tetap tenang. Mungkin dia cuma
berhenti di situ, dan tidak mengenali aku."
Tapi kecemasannya semakin membesar. Ngapain tadi aku
nekad naik mobil Fiat ini! Mungkin saja dia tidak sempat melihat
wajah Jessica, tapi dengan mobil Fiat Spider ini, sepintas pun cukup
membuat dia ingat. Padahal saat ini dialah yang ada di mobil Fiat ini!
Dan si pembunuh Laurie Hamilton sudah menghalangi jalan
mobilnya. Elizabeth sekali lagi menekan klakson sekuat tenaga begitu
melihat orang berambut pirang itu membuka pintu mobil dan menuju
ke arahnya dengan pandangan bengis. Elizabeth buru-buru menutup
kaca mobilnya, tapi tangan orang itu sudah terjulur menghalangi gerak
kaca, sebelum jendela tertutup rapat.
"Aku tak yakin kamu mau cerita bagaimana kamu bisa begitu
cepat berpindah dari pesta di sana ke mobil kecil cantik ini?" katanya
dengan kasar.
"Aku, ah?" Elizabeth menggigil, sambil mencoba berpikir
jernih. "Aku memang mulanya tidak mengenalimu lagi," sambung
laki-laki itu. Mata hijaunya bersinar mengejek. "Kurasa kamu pasti
mengira aku ini bego sekali, ya? Ingatan si Tom Wilson payah sekali,
begitu pasti pikirmu!"
Astaga! pikir Elizabeth tegang. Dia mengiraku Jessica!
Belum pemah Elizabeth merasa setakut saat ini. Tangannya
dingin dan mencengkeram erat setir mobil. Nafasnya sesak seketika
dan tatapan matanya tampak penuh ketakutan. Dengan putus asa dia
mencoba berpikir bening. Bagaimana pun caranya, dia harus keluar
dari mobil ini. Tom semakin mendekat, dan jantung Elizabeth
semakin berdebar, sampai serasa mau pingsan.
Tom membungkukkan tubuhnya dan menatapnya dengan
pandangan antara kagum dan benci. "Terus terang saja, Jessica, tadi di
pesta kamu telah membuatku bingung setengah mati. Mulanya
sikapmu sepertinya aku ini bandit kelas kakap sehingga tak pantas
untuk mendapat senyummu saat kamu menyapaku. Lalu sikapmu
berubah sepertinya kamu menyukai aku." Dijulurkannya tangannya ke
dalam mobil hendak menyentuh, kepala Elizabeth. Namun Elizabeth
menepis tangannya.
"Oh, nggak mau, ya?" katanya sinis. "Jadi masalahnya lain ya,
antara di depan orang banyak dan hanya berdua di tempat ini."
Mata Elizabeth sudah dipenuhi air mata. Dengan panik ia
melirik ke sekelilingnya, mencoba mencari jalan untuk kabur dari
sana. Kalau saja dia bisa bergeser ke tempat duduk di sebelahnya, dan
segera keluar dari pintu sebelah sebelum dia menangkapnya ?
"Jangan macam-macam, Jessica," kata Tom dengan suara serak;
Dia lalu membungkuk, meraih sebatang pipa besi dari lantai tempat
parkir dan mengacungkannya penuh ancaman.
Mata Elizabeth terbelalak takut. Pipa itu sepanjang sekitar
tigapuluh sentimeter dan pecah di ujungnya. Tom beringsut merapat
sambil memegang pipa itu dengan dua tangan dan menatapnya
melalui kaca depan. Kaca itu, satu-satunya pelindung saat ini, rasanya
kini menjadi begitu ringkih. Ia tak bisa melepaskan tatapannya dari
pipa besi itu. Dia orang gila dan pembunuh, pikirnya penuh ketakutan.


Saksi Mata Super Thriller Karya Francine Pascal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Entah apa yang akan dilakukannya padaku!
"Duduklah baik-baik!" sergah Tom geram dengan mata
menatap tajam. "Agar aku nggak perlu berlaku kejam padamu.
Mengerti?"
Elizabeth mengangguk dengan gugup. Dia sangat ketakutan
sampai tak mampu berbicara satu patah kata pun.
"Nah," kata Tom dingin dan datar, "lekas keluarlah dari mobil
lewat samping sini. Cepat ulurkan tanganmu." Dia tertawa puas.
"Kamu nggak ingin terpeleset, jatuh dan mencederai diri sendiri,
kan?"
Elizabeth membasahi bibirnya. "Mau dibawa ke mana aku?"
tanyanya. "Lihat saja nanti," kata Tom. Sejenak dia memandang
berkeliling. "Kamu tahu, Jessica," tambahnya dengan suara sangat
perlahan, "Aku nggak pernah punya pacar serius. Aku pernah jatuh
cinta, tapi cewek yang kucintai tak menanggapi. Tahu nggak gimana
rasanya jatuh cinta pada orang yang nyaris tak peduli denganmu?"
Elizabeth menelan ludah. Jadi itulah sebabnya. Begitu ia
terbujuk keluar dari Fiat, tak ada lagi yang melindunginya dari Tom.
Juga dari pipa besi yang masih diacungkan Tom itu. Sekaranglah
saatnya bertindak.
Elizabeth membungkukkan tubuhnya dan menekan klakson
dengan kedua tangannya. Suara keras seketika membahana di seluruh
tempat parkir luas itu.
"Hentikan! Hentikan!" teriak Tom, kehilangan kontrol dirinya.
Dihantamnya kaca depan mobil dengan pipa besinya. Elizabeth
memutar kunci kontak, memasukkan gigi persneling dan mobilnya
melompat menabrak sisi mobil TransAm di depannya. Dia tak peduli
lagi. Pokoknya ia harus segera kabur dari tempat ini!
Tapi Tom tak mau membiarkannya. Terdengar oleh Elizabeth
hantaman pipa ke sisi mobil bertubi-tubi. Sambil meraung ketakutan,
Elizabeth membuka pintu, mengacungkan kedua tangannya dan
memekik histeris meminta Tom berhenti.
"Akan kuikuti semua perintahmu," katanya di antara sedu sedan
tangisnya. "Hentikanlah."
"Tahan!" terdengar suara keras. Semua kebisingan itu rupanya
berhasil mengundang perhatian petugas keamanan setempat. Dia
bersenjata besi panjang. Petugas itu beringsut mendekati Tom.
"Jatuhkan senjatamu," katanya tegas. "Jatuhkan! Sekarang juga!"
Dengan satu lompatan luar biasa, Tom menerjang petugas itu
dan menghajarnya sampai roboh dan besi senjata petugas itu terlempar
lepas. Sang petugas limbung dan tersungkur, sementara Elizabeth
menutup wajah dengan kedua tangannya sambil menjerit.
Tom masih mengayun-ayunkan pipa besi dengan mata kalap.
"Mendekat ke sini," katanya kasar. Dengan lutut gemetar, Elizabeth
berusaha mendekat, saking takutnya. Tahu-tahu Tom sudah memuntir
lengannya ke belakang dan mendesak tubuhnya ke mobil Fiat. Terasa
olehnya panasnya nafas Tom di tengkuknya. Lalu Tom mendorongnya
dengan kasar ke mobil sampai kepala Elizabeth terhempas keras ke
mobil. Elizabeth meraung kesakitan, dan tubuhnya merosot dari mobil
? pingsan!
***********
Jessica berlarian di gang yang menuju ke tempat parkir. Seth
entah di mana, tapi ia sadar tak bisa menunggu lagi. Dia harus
mengejar Tom Winslow. Membayangkan Elizabeth muncul naik Fiat
dan langsung dikenali oleh Tom, membuatnya ketakutan setengah
mati. Kenapa kok jadi kakaknya terbawa-bawa dalam urusan
seberbahaya ini?
Saat bergegas melangkah sepanjang gang di Western Building,
terdengar olehnya bunyi klakson mobil yang disusuli bunyi tabrakan
keras. Dalam seketika ia berlari dan menerobos pintu rangkap dua
yang menuju ke tempat parkir.
"Elizabeth!" teriaknya sekeras mungkin, "Liz, tahan! Aku
segera datang!"
Dengan jantung berdebar ia segera menuju ke sumber suara itu.
Ia yakin sekali bahwa kakaknya terancam bahaya besar. Selamatkan
dia, ya Tuhan, doanya. Pokoknya selamatkanlah Liz!
Apa yang dilihatnya setelah lebih dekat, membuat jantungnya
berhenti berdenyut seketika.
Tom mendorong Elizabeth ke sisi mobil Fiat. Memuntir tangan
kirinya dan menghempasnya sehingga kepala Elizabeth terbentur atap
mobil. Benturan itu jelas membuat Elizabeth pingsan, karena ia
langsung tampak tersungkur dan terkulai diam.
Mulut Jessica ternganga. Dia terpaku saking takutnya.
Mulutnya bergerak-gerak memanggil Liz, tapi tak secuit pun suaranya
terdengar.
Dengan takut luar biasa, ia merunduk maju perlahan-lahan.
Kakinya terantuk sesuatu yang keras. Ia melirik, dan tampaklah
sebatang besi berkarat tergeletak di lantai. Tanpa berpikir lagi
diraihnya besi itu. Saat itulah terlihat olehnya petugas keamanan yang
tergeletak beberapa meter di depan, masih dalam keadaan pingsan.
Jessica mempererat genggamannya pada batang besinya. Dia akan
sangat membutuhkan benda ini.
Tanpa rencana pasti, Jessica membungkuk sambil tetap
menggenggam batang besinya. Karena berada di belakang Tom, dia
dapat merayap maju tanpa terlihat. Dengan mengendap dia maju
selangkah demi selangkah, lalu menunggu sampai benar-benar di
dekat mereka. Pada saat Tom berbalik karena mendengar suara
kedatangannya, Jessica menghantamkan batang besi di tangannya
sekuat tenaga. Tepat mengenai sisi kepala Tom.
Tom meraung keras, terhuyung-huyung lalu jatuh tersungkur
sambil memegangi kepalanya. Besi itu membuat luka cukup dalam di
pelipisnya.
Jessica segera menghampiri kakaknya yang masih terkulai di
dekat mobil. "Liz," serunya sambil membalik tubuhnya dan membelai
wajahnya. Sebuah benjolan besar tampak di dahinya dan dia
mengerang saat Jessica menyentuh benjolan itu.
"Liz, bangun," seru Jessica sambil menepuk-nepuk lembut
pipinya. Elizabeth menggeleng lemah dan tampak mulai ketakutan
kembali. Tom masih sadar, dan entah masih ada waktu berapa lama
sebelum dia kembali menyergap mereka. Jessica harus segera
menyadarkan Elizabeth dan membawanya pergi dari tempat ini. Tak
boleh membuang waktu sedetik pun!
Empat belas
"Di?di mana aku?" Elizabeth menceracau sambil menatap
adiknya dengan tampang linglung.
"Oh, Liz, syukurlah kamu sadar," seru Jessica. "Kamu bisa
bangun? Kita harus lekas pergi dari sini."
Elizabeth mengerang dan menekan tangannya ke kening.
"Aduh, kepalaku," gumamnya. "Jess, kenapa kepalaku?"
"Tom, tadi menghempaskanmu ke mobil. Kamu bisa jalan, Liz?
Kita harus pergi sekarang juga," desak Jessica.
Mata Elizabeth tiba-tiba terbelalak ketakutan seakan kejadian
menyeramkan yang baru saja dialaminya terulang kembali. "Mana
dia?" tanyanya sambil berusaha mengangkat kepala.
Jessica merangkul kakaknya dan membantunya berdiri. "Jangan
lihat," bisiknya, "Tadi kuhantam dia dengan sebatang besi. Tapi
kurasa hantaman itu belum cukup keras."
Pandangan Elizabeth segera terarah ke tempat Tom yang sedang
berlutut sambil memegangi kepalanya yang cedera dan mengerang
kesakitan. Pemandangan itu membuat jantungnya berdebar lebih
cepat. "Ayo, deh," katanya tergagap dan gemetar. "Ayo kita segera
pergi dari sini. Kita harus lekas memanggil polisi!"
"Ayo kubantu, biar kamu nggak ambruk lagi," kata Jessica.
Dengan tangannya dia menahan tubuh Elizabeth, sambil sedikit
menariknya agar langkah mereka bisa lebih cepat. Mereka sudah
berada di dekat bilik petugas keamanan ketika terdengar suara Tom
mengancam di belakang mereka.
"Berani maju selangkah lagi," katanya bengis, "kutebas kepala
kalian berdua." Dia menggosok-gosok matanya. "Entah kenapa kalian
jadi ada dua, tapi persetan, akan kubunuh kalian sekaligus,"
ancamnya. Kedua kembar itu tercagak beku.
"Berbalik! Kalian berdua!" perintah Tom. Melihat kedua anak
kembar itu patuh, diteruskannya ancamannya dengan suara bengis.
"Sekarang majulah kemari! Pelan-pelan!"
Jessica menatap lirik ketakutan Elizabeth saat mereka pelanpelan maju ke arah orang gila itu. Bayangan dirinya yang takut
setengah mati bisa terbaca dari wajah Elizabeth. Tom adalah manusia
paling mengerikan dan menakutkan yang pernah mereka temui.
Lututnya terasa lemas saat dia melirik ke bagian kepala Tom yang tadi
dihantamnya dengan besi tampak memar dan berdarah-darah. Tapi
yang paling menakutkan justru ekspresi sangat tenang yang tampak di
wajah Tom.
"Apa yang harus kita lakukan?" bisik Elizabeth melalui sudut
bibirnya. Tom melangkah maju, menggenggam pipa besi kuat-kuat,
sampai tampak bergetar.
"Kabur," desis Jessica. "Larilah dulu sampai ke pintu, nanti
kususul."
Pintu kaca ke tangga berada kira-kira sepuluh meter dari tempat
mereka. Jessica melirik dengan cepat dari tempatnya ke pintu itu.
Kalau mereka bisa sampai ke sana, berarti antara mereka dan Tom
akan ada pembatas pintu kaca.
"Aku nggak yakin akan bisa sampai ke sana," Elizabeth balik
berbisik. "Cobalah sebisamu," desak Jessica. "Biar kualihkan
perhatiannya." Dengan cemas ia melirik ke pintu kaca itu. "Dan begitu
bisa melewati pintu, lekaslah cari bantuan ? secepatnya. Aku pasti
membutuhkannya."
"Oke," gumam Elizabeth. "Kasih tahu kapan aku harus mulai
lari."
"Sekarang!" kata Jessica sambil agak mendorongnya.
Begitu Elizabeth melesat ke pintu, Jessica menghempas maju
sambil berusaha merebut senjata Tom. Tom yang sudah cedera
tercengang dan bengong sesaat sebelum menyadari apa yang sedang
terjadi. Secara naluriah ia bereaksi menghantamkan pipa besi di
tangannya, namun usahanya itu kandas karena Jessica telah
menangkap tangannya dan memilinnya ke punggungnya.
"Dasar anak bodoh," geramnya sambil merenggut tangannya
sampai lepas dan kembali mengacungkan pipa besinya. Dia bergerak
mendekati Jessica. "Akan kuhabisi kamu, tahu!"
Jessica memandang ke belakang tubuh Tom, dan merasa lega
melihat Elizabeth berhasil mencapai tangga. Elizabeth tampak
berbalik sebentar dan mengangkat kedua tangannya ke atas memberi
tanda pada Jessica.
"Aku janji nggak akan macam-macam lagi," katanya lemah.
"Sungguh, Tom. Apa pun permintaanmu akan kuturuti."
"Diam!" sergah Tom kasar sambil melompat dan
menangkapnya. "Aku sudah cukup mendengar celotehmu. Kurasa,
sudah tiba saatnya untuk membungkam mulutmu selamanya."
************
Kepala Elizabeth serasa melayang-layang. Dia tak habis pikir
bagaimana mungkin dia mampu mendapatkan tenaga untuk lari
menuju tangga secepat ini. Dia bisa mendengar teriakan Tom, dan dia
merasa tubuhnya menggigil. Tom mungkin sedang menyiksa Jessica!
Dia harus segera mencari bantuan. Sesegera mungkin!
Tepat pada saat itu matanya sekilas melihat kotak alarm
kebakaran di dinding di dekat tangga. Segera dilepasnya sepatunya
dan dipakainya untuk memecah kaca kotak alarm itu. Lalu, dengan
sekuat tenaga ditariknya tombolnya. Dalam seketika riuhlah seluruh
gedung tempat parkir itu oleh bisingnya alarm. Elizabeth bersandar ke
pegangan tangga mencoba menjernihkan pikirannya. Dia harus segera
kembali ke sana untuk menyelamatkan Jessica. Tapi kepalanya terasa
berdenyut sakit sekali. Selanjutnya tahu-tahu penglihatannya menjadi
gelap, dan ia jatuh berlutut dalam keadaan setengah pingsan.
*************
"Lewat sini! Bunyinya dari sini!" seru Seth Miller sambil tetap
berlari mendahului menuju ke arah tempat parkir. "Di tengah gang,
dekat bilik petugas keamanan!"
"Mundurlah, Nak," ucap seorang petugas keamanan sambil
mendahului Seth menuju bilik itu. "Siapa yang seharusnya bertugas
hari ini?" tanyanya heran melihat bilik itu kosong.
"George," jawab seorang petugas lain. "Eh! Itu dia! Dia kena
pukul," serunya sambil berlutut di dekat tubuh George dan segera
membalikkan tubuhnya. "Dia masih hidup, tapi kena hantam cukup
keras. Tolong panggilkan ambulans."
Kelompok itu tiba-tiba menegang saat menyaksikan
pemandangan di depan mereka. Tom yang sempoyongan dan
berlumuran darah tampak sedang mengacungkan pipa besi ke arah
kepala Jessica sambil memelintir lengannya kuat-kuat sehingga
Jessica tak bisa bergerak.
"Lepaskan dia," sergah Seth sambil melompat maju dan
merampas pipa besi itu dari tangan Tom. Sesaat berikutnya Seth sudah
duduk mengunci tubuh Tom yang tergolek di lantai parkir. Seorang
petugas keamanan bergegas maju membawa tali untuk mengikat
kedua tangan Tom, sementara petugas lain berlari mendekati Jessica
yang tampak kacau karena teror yang baru saja dialaminya.
"Kakakku," akhirnya dia bisa berkata terputus-putus. "Aku rasa
dia sedang dalam kesulitan. Dia ada di sekitar tangga."
"Polisi akan datang sebentar lagi," kata Seth setelah petugas
keamanan berhasil mengatasi Tom. "Sepuluh menit yang lalu aku
sudah menghubungi mereka, dan katanya mereka sudah mengirim
mobil patroli ke mari." Seth menatap tajam ke arah Tom. "Kurasa kita
berhasil mendapatkan pembunuh yang sebenarnya."
Baru kini Jessica merasa lega terselamatkan. Tanpa tertahan
lagi membanjirlah air matanya. Dia menangis tersedu-sedu.
Seth mengangkatnya dengan lembut. "Kamu nggak apa-apa?"
tanyanya lirih sambil menyingkirkan rambut Jessica yang menutupi
kening. "Hebat, Jess, kamu sungguh berani. Tindakanmu sungguh
bukan main. Kamu sadar nggak apa yang baru kamu lakukan ini?
Kamu barusan menangkap seorang pembunuh!"
Jessica menatapnya linglung. Cobaan berat yang baru
dialaminya ini masih terlalu sulit untuk dilupakan. Saat ini, dia hanya
ingin memperoleh kepastian bahwa kakaknya selamat.
************
Satu jam kemudian, kedua kembar itu, bersama Seth dan Pak
Robb serta Cara dan Steven sudah berada di kantor polisi. Mereka
sedang menunggu Sersan Wilson selesai membacakan hak-hak
Thomas sebagai tertuduh. Steven dan Cara tiba di tempat kejadian pas
saat Thomas diangkut dengan mobil polisi. '
"Anda berhak didampingi pengacara," kata Sersan Wilson.
"Dan Anda berhak untuk tutup mulut. Pengadilan nanti yang akan
menentukan anda bersalah atau tidak. Sementara itu, anda kami
tahan."
Tom membisu sambil menunduk. Sebuah perban lebar tampak
menutupi bagian yang tadi terhantam besi Jessica.
Saat petugas menggiring Tom pergi, Sersan Wilson melipat
tangannya di dada sambil memandangi kepergian Tom. Lalu katanya,
"Wah, saya rasa ini betul-betul malam yang menyeramkan buat anda


Saksi Mata Super Thriller Karya Francine Pascal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berdua. Anda tidak kenapa-kenapa, kan?"
Kedua kembar itu mengangguk.
"Liz tadi kena kepalanya sampai pingsan," kata Jessica. "Tapi
sekarang sudah nggak apa-apa, kan?" tanyanya cemas pada kakaknya.
"Aku baik-baik saja," kata Elizabeth. "Konyol sekali deh. Pas
aku harus mencari bantuan untukmu, kaki-kakiku mendadak jadi
lemas."
"Nah," kata Sersan Wilson, "kami perlu pernyataan tertulis dari
anda. Akan kami usahakan untuk memprosesnya secepat mungkin.
Anda berdua pasti butuh banyak tidur untuk melupakan semua
kekacauan tadi."
"Sersan Wilson," kata Elizabeth lirih. "Bagaimana dengan
Adam? Bisakah dia bebas sekarang?"
"Tentu saja. Setelah kita berhasil menangkap pembunuh
sebenarnya, Adam Maitland akan segera kembali bebas ? terima
kasih atas bantuan anda berdua." Sersan Wilson lalu tersenyum lebar
kepada kedua anak kembar itu. .
Jessica menyandar ke kursinya sambil tersenyum kecil.
Sekarang dia bisa mengakui bahwa segalanya sungguh sudah berakhir
dan tindakannya tadi sungguh berani. Sedikitpun dia tidak sungkan
karena semua orang menyanjungnya. Menangkap pembunuh,
sehingga pembunuh itu kini terpenjara dengan baik, memang sungguh
menyenangkan.
Dan yang paling menyenangkan adalah, sekarang Seth
memperhatikan dirinya.
"Pak Robb," katanya, tak mau melepaskan segala kemungkinan
yang bisa diraihnya, "sepertinya kita harus bekerja luar biasa keras
untuk menyusun cerita sebenarnya tentang kasus pembunuhan Laurie
Hamilton ini. Mungkinkah Seth mengerjakan tugas sehebat ini?"
Pak Robb melihat ke arah Seth. "Kamu betul juga, nona.
Bagaimana menurutmu, Seth? Sanggup? Ini akan menjadi cerita
terbesar untuk dekade ini. Dan sejauh ini, cuma kitalah yang tahu
tentang kasus ini sebenarnya."
"Tentunya," tutur Jessica lagi dengan suara manis, "Seth tak
mungkin melaksanakan semua tugas itu. Dia butuh orang yang bisa
membantunya. Orang yang betul-betul tahu apa yang sebenarnya
terjadi karena mengalaminya sendiri. Orang yang ? seperti sayalah."
Dengan seketika sirnalah senyum lebar di wajah Seth. "Jess,
kamu kan bukan wartawan," protesnya.
"Seth," kata Pak Robb menegurnya, "tak baik mengatakan hal
seperti itu ? lebih-lebih setelah kejadian seperti ini." Dia mengetukngetukkan jarinya ke meja tanpa sadar. "Sebetulnya, kurasa tulisan
gabungan untuk kisah ini bagus juga. Kami memang belum pernah
melakukan hal ini, Jessica. Tapi, itu tidak berarti kita tidak bisa
memulainya sekarang," dia menyimpulkan sendiri sambil tersenyum.
"Kamu boleh bantu. Tak ada pekerjaan komputer lagi untukmu. Kamu
dan Seth akan mendapat tugas penuh untuk menyiapkan kisah Tom
Winslow. Siapa tahu," lanjutnya, "kalian bisa bekerja sama dengan
baik."
***********
Pak dan Bu Wakefield belum pulang saat kedua kembar itu
beserta Cara dan Steven sampai di rumah.
Elizabeth senang karena punya waktu untuk berduaan saja
dengan adiknya. Dia membuntuti Jessica ke dapur dan duduk di sana
saat Cara dan Steven pergi ke ruang keluarga.
"Jessica, rasanya sulit percaya deh," serunya.
"Hanya kamulah yang bisa membalik keadaan sekacau tadi
menjadi sesuatu yang kamu inginkan!"
"Apa sih maksudmu?" tanya Jessica berlagak tak acuh sambil
menyalakan kompor. "Aku buatkan teh hangat, ya. Kamu masih
kelihatan nggak sehat, deh. Pasti kepalamu sakit sekali, ya?"
"Ini bukan soal kepalaku!" kejar Elizabeth. "Aku sebetulnya
yang ingin sekali menulis cerita sendiri selama ini. Yang aku heran,
kenapa kamu bisa keluar dari semua ini sebagai pahlawan, dan
mengatur semuanya sesuai dengan keinginan kamu!"
"Liz," kata Jessica tenang, "nggak usah berantem, deh.
Mendingan kita mikirin hal penting seperti mau bilang apa sama Ayah
dan Ibu soal Fiat yang tadi kamu pakai itu."
Elizabeth pucat pasi. "Waduh! Aku sama sekali melupakan soal
Fiat itu. Mobil itu betul-betul hancur. Tom menghantamnya dengan
pipa besi, lalu kutabrakkan ke mobil Tom waktu aku berusaha kabur.
Dan lalu kutinggalkan begitu saja di gedung parkir waktu Steve dan
Cara mengantarku ke kantor polisi!"
"Kantor apa?" tiba-tiba suara Ayah mereka bersamaan dengan
terbukanya pintu. Lalu beliau melangkah masuk diikuti Bu Wakefield
dan Steven. "Mobil Fiat ada di mana?"
Bu Wakefield menatap luka di kening Liz, dan wajahnya pucat
seketika. "Liz, apa yang terjadi?"
"Oh, halo semua," sapa ke dua anak kembar itu serempak.
Mereka berdua saling melempar pandangan penuh arti, lalu Jessica
maju dan menepuk-nepuk tangan Elizabeth. Dia lega sekali karena
kali ini Elizabeth-lah yang melanggar larangan soal Fiat itu.
"Kalian berdua baik-baik saja?" tanya Pak Wakefield. "Apa
yang terjadi?"
Kedua kembar itu terdiam sejenak, lalu secara bersamaan
mereka tampak mau bicara.
"Wah, mengerikan sekali kejadiannya, lho," jelas Jessica.
"Banyak deh, yang harus diceritakan," kata Elizabeth.
"Tapi, kami rasa sebaiknya Ayah dan Ibu duduk dulu, deh,"
Jessica mendorong Ibunya untuk duduk, lalu menyeduh teh dan
memberikan padanya. Setelah semua orang duduk, diceritakannya
seluruh kejadian mengerikan malam itu.
Lima belas
Seisi rumah keluarga Wakefield bangun kesiangan hari
Minggunya. Mereka betul-betul kelelahan setelah ledakan
kegembiraan begitu Jessica menyelesaikan laporannya. Pak Wakefield
segera menelepon sampai berjam-jam setelah mendengarnya,
mengabari orang tua Adam bahwa Tom Winslow sudah tertangkap,
lalu menelepon pengacara Adam untuk mengecek berapa lama lagi
Adam bisa dibebaskan, serta ke Sersan Wilson untuk meminta
keterangan lebih jauh. Elizabeth tertidur pulas dan saat terbangun,
sinar matahari yang memenuhi kamarnya dari jendela yang terbuka
serta suara desir angin di luar, membuatnya nyaris lupa pada peristiwa
yang baru dialaminya bersama Jessica. Namun mendadak semua
kenangan itu menyeruak kambali, membuatnya menggigil walau di
tengah hangatnya sinar matahari. Membayangkan kembali raut wajah
Tom saat mengacung-acungkan pipa besinya, sudah membuat
perutnya terasa melilit. Namun Elizabeth yakin akan segera pulih lagi
begitu Tom Winslow dipenjara ? dan Adam keluar dari penjara
menyeramkan itu.
"Orang tua Adam akan datang nanti sore," kata Pak Wakefield
menjelaskan saat Elizabeth masuk ke dapur pada waktu seluruh
anggota keluarga sarapan.
"Bagaimana perasaanmu, sayang?" tanya Bu Wakefield prihatin
sambil membelai luka di kening Elizabeth.
"Baik-baik saja. Masih sakit, sih, tapi nggak apa-apa."
"Kamu berdua sungguh pahlawan," kata Steven sambil
mencomot sebuah kue. "Aku yakin Adam dan orang tuanya sangat
berhutang budi pada kalian."
Jessica melahap sejumput anggur. "Aku sudah nggak sabar
untuk mulai menulis kisah itu," umumnya.
Elizabeth mendesah. Jelas sekali Jessica menganggap ada lagi
yang berhutang budi padanya selain keluarga Maitlands. Kasihan si
Seth, pikirnya. Mungkin dia mengira semua bahaya sudah berlalu ?
padahal bahaya yang sebenarnya justru baru mulai mengintai!
"Boleh nggak interlokal ke Jeffrey sore ini?" tanya Elizabeth
pada orang tuanya. "Nanti aku bayar kalau ngomong sama dia."
"Tentu saja, sayang. Teleponlah dia," kata Bu Wakefield sambil
tersenyum pada anak gadisnya. "Kalian baru mengalami kejadian
yang mengerikan. Mungkin butuh waktu lama untuk mengatasi
trauma atas peristiwa itu."
"Kayaknya aku nggak perlu memulihkan diri, deh," ucap
Jessica riang sambil membuka koran pagi dan menatap antusias artikel
Dan Week tentang pembunuhan Hamilton. "Tersangka Pembunuh
Masih Ditahan ? Belum Ada Bukti Baru", begitu judulnya. Tunggu
saja, pikir Jessica ceria, sampai tulisanku dan Seth selesai dan seluruh
kejadian sebenarnya terungkap!
"Tapi," kata Steven ingin tahu, "ada satu hal yang masih belum
kupahami. Begini, taruhlah kejadiannya memang begitu: Winslow
pembunuhnya dan dia berusaha menjebak Adam dan sekaligus
membunuh Laurie. Tapi kenapa Adam menulis surat itu pada Liz?"
Dengan seketika keheningan merebak setelah ucapan Steven
itu. Jessica membisu dan tunduk menatap piring makannya. Pak
Wakefield berdeham membersihkan kerongkongannya. Ketika
akhirnya Jessica memberitahu beliau tentang apa yang telah
dilakukannya, beliau menyerahkan padanya untuk memutuskan akan
mengaku pada Elizabeth atau tidak. Dan kini ayahnya bisa tahu kalau
dia memilih untuk tidak mengakuinya.
Elizabeth menatap dengan serius. "Betul juga, ya," katanya.
"Itu mungkin kebetulan saja," ucap Jessica segera. "Apa sih,
anehnya? Mungkin saja Adam memang suka sama Elizabeth, lalu ada
kejadian ini, maka dia jadi seperti penjahat besar."
"Yah, mungkin saja begitu," tutur Steve sambil mengambil kue
lagi, "tapi tetap saja aneh. Masa sih Adam akan segitu putus asanya
sampai harus membunuh Laurie cuma gara-gara suka sama
Elizabeth?"
Elizabeth menatap tajam kembarannya, begitu menyadari
sesuatu. "Seingatku," katanya perlahan, "cuma ada satu orang yang
begitu ingin Adam jatuh cinta padaku saat ini. Dan itu sama sekali
bukan Adam sendiri."
Untuk sesaat tak ada yang berkata-kata, dan ini membuat
perasaan Jessica makin tak enak. "Baiklah," akhirnya Jessica berkata
sambil berlagak tetap ceria, "sarapannya sungguh enak, tapi kupikir
sebaiknya aku pergi dulu. Hari ini aku dan Seth harus mulai menulis
kisah Laurie. Aku janji mau ketemu dia di kantor."
"Jessica," kata Elizabeth, "Kurasa ada sesuatu dalam soal surat
ini yang perlu kamu ceritakan pada kita semua. Betul nggak?"
Jessica melirik bingung pada ayahnya, lalu pada kakaknya.
Kalau saja Ayah tidak memasang wajah seperti itu! Dia tak pernah
bisa berdusta di hadapan ayahnya. Tapi bukan begini cara yang
dimauinya. Dia memang berniat untuk mengakui kesalahannya, tapi
tidak di hadapan mereka semua sehingga Elizabeth tak akan sungkan
untuk memaafkan kesalahannya itu.
"Aku ? eh, baiklah ?," katanya tergagap. "Begini deh, akan
kuceritakan nanti. Kamu kan tahu bagaimana repotnya kerja di koran.
Mereka membutuhkan tulisan itu sesegera mungkin."
"Jessica," sergah Elizabeth. "Kamukah penulis surat itu dan
kamukah yang menaruhnya di bawah bantalku?"
"Bukan begitu," Jessica bangkit berdiri dan menatap ke arah
pintu. "Liz, kita bicarain masalah ini, nanti saja ya?"
"Enggak!" seru Elizabeth dengan wajah merah padam karena
marah. "Itu betul-betul perbuatan rendah, paling nggak bertanggungjawab, hina ?" suaranya terhenti dan ia melotot ke arah
kembarannya.
"Betul-betul menjijikkan," tambah Steven meneruskan ucapan
Elizabeth yang terputus.
Dengan ketakutan Jessica berpaling ke ayahnya, meminta
bantuan. Tapi tampaknya tak ada pertolongan dari pihak ayahnya ini.
"Aku harus segera pergi," katanya perlahan. "Tapi, dengarlah.
Sebelum kalian mau menjebloskan aku ke penjara mendampingi Tom
Winslow, dengarlah pembelaan diriku. Aku sudah mengakuinya pada
Ayah, dan juga pada polisi. Pada mereka kuakui akulah yang menulis
surat itu. Jadi Adam nggak harus bertanggung jawab soal itu. Paling
tidak polisi dan pengacaranya sudah tahu soal itu."
"Tapi bagaimana dengan cerita yang beredar karena tulisan di
koran?" seru Elizabeth. "Jess, Adam punya hak untuk marah padamu,
bahkan punya hak untuk menuntutmu. Bayangkan apa yang terjadi
padanya bila kamu nggak berhasil menangkap Tom ?"
"Tapi aku kan berhasil membekuk si Tom," kata Jessica dengan
bangga. "Sebetulnya, kurasa kamu salah sangka soal Adam ini. Aku
yakin dia nggak akan marah padaku. Dan kalau kamu dan Steven mau
merusak suasana kebebasannya dengan mengangkat masalah surat itu,
terserah kamu berdua. Aku sih merasa kalau Adam akan sangat
senang bila kita nggak menyita waktunya lagi untuk meributkan soalsoal sekecil itu."
Dengan mengangkat wajah, Jessica beranjak ke pintu. Tanpa
menunggu lagi ia segera keluar dari pintu, lega karena bisa keluar dari
ruangan itu dengan suasana dramatis yang berhasil diciptakannya.
"Cuma Jessica," kata Elizabeth sambil menggeleng-geleng
melihat kepergian adiknya, "yang bisa membuatku merasa bersalah
kalau mengkritik kesalahannya!"
"Yaah," hibur Pak Wakefield, "itulah gunanya seorang kakak,
Liz. Paling tidak kamu kan tidak merusak harga dirinya!"
"Ayah bisa bilang begitu lagi, nanti," kata Steven. "Aku yakin
begitu tulisan Jessica tentang kasus ini selesai, kita harus segera
memperbesar rumah ini, biar cukup untuk menampung sebuah kepala
yang membesar!"
Elizabeth mendesah. Dia tak ingin membiarkan urusan surat itu
begitu saja. Dan, semakin memikirkan hal itu, semakin kesal hatinya.
***********
Sampai 3 jam Jessica dan Seth bekerja di kantor polisi untuk
mewawancarai orang. Pertama Sersan Wilson, lalu para pengacara dan
terakhir Adam yang didampingi orang tuanya. Kedua orang tua Adam
hadir untuk membantunya mengemas barang-barangnya dan turut
menandatangani formulir pembebasannya. Setelah semua ini selesai
mereka hendak mampir ke rumah Pak Wakefield. Setelah itu Adam
akan menginap bersama orang tuanya di hotel sampai mereka kembali
ke Dakota esok harinya.
Pembicaraan di kantor polisi cuma seputar Tom Winslow.
"Terus terang, kami berharap dia mengaku gila," tutur Sersan
Wilson menjawab pertanyaan Jessica dan Seth. "Jelas sekali bahwa
jiwa Thomas Winslow ini sungguh tidak stabil."
"Lalu bagaimana dengan Adam?" tanya Jessica.
"Karena Tom sudah mengakui perbuatannya, tuduhan pada
Adam otomatis gugur. Siang ini juga dia sudah bisa bebas."
Seth dan Jessica saling melempar pandang. "Baiklah," kata
Jessica sambil berdiri, "agaknya lebih baik kami segera kembali ke
kantor. Kami sudah mendapatkan semua bahan untuk penulisan kisah
pembunuhan ini."
"Betul sekali," kata Seth penuh semangat sambil mengantongi
buku notesnya di saku jaket. Lalu keduanya bergantian menyalami
Sersan Wilson dan mengucapkan terima kasih atas semua bantuannya,
dan juga pamit pada Adam dan keluarganya, sambil berjanji akan
bertemu di rumah sore nanti. Lima menit kemudian mereka sudah di
mobil Celica merah Seth, menuju ke arah Western Building.
"Tempat parkir ini terus menghantuiku," tegas Jessica saat
mereka memarkir mobil merah itu di deretan parkir lantai lima.
"Terus terang, Jess, kamu sungguh berani," ucap Seth dengan
nada memuji saat mereka berjalan ke arah pintu masuk gedung.
Mata Jessica berbinar. "Cukup layakkah buat dituliskan di
bagian 'buku ini dipersembahkan untuk?'?"
"Eh, kok kamu bisa tahu kalau aku juga penulis cerita misteri?"
kata Seth. "Di kantor, selain Pak Robb, nggak ada orang lain yang


Saksi Mata Super Thriller Karya Francine Pascal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tahu."
"Dengar, Lester Ames," kata Jessica manja sambil
melingkarkan tangannya ke tubuh Seth, "memangnya cuman kamu
yang suka main detektif-detektifan? Aku kan pengungkap misteri
pembunuhan terbesar di Sweet Valley ini, jadi jangan kaget kalau aku
tahu bahwa kamulah penulis cerita misteri itu?"
Seth mengangkat bahu. "Kurasa," kata Seth ringan, "aku harus
belajar banyak darimu."
Jessica menyembunyikan senyumannya. Ini betul-betul
Pengakuan Terbesar Tahun Ini.
"Eh, Seth," katanya dengan suara parau, sambil membiarkan
jari-jarinya jatuh ke genggaman tangan Seth saat mereka berjalan
berdampingan menuju kantor. "Kamu ngeri nggak waktu melihat aku
kemarin malam? Maksudku waktu melihat Tom mengacungkan pipa
besi padaku dan juga seluruh kejadian lainnya?"
Seth menelan ludah. "Yaah, ngeri setengah mati," akunya.
"Pasti kamu takut nggak akan sempat lagi mengutarakan
perasaanmu padaku ?" sambung Jessica sambil menatap Seth lekatlekat. "Kamu tahu, waktu itu aku nekat cuma supaya kamu bisa
mendapat bahan tulisan yang sungguh bagus. Aku yakin kamu pasti
terkesan pada pengabdianku ini."
"Yaah, sebetulnya aku nggak ?"
"Yah, itulah alasanku kenapa berani mempertaruhkan nyawa,"
lanjut Jessica lembut. "Aku sungguh menyesal telah mengacaukan
karirmu dengan memberi masukan tidak benar waktu itu. Jadi aku
bersumpah pada diri sendiri untuk memperbaiki hal itu. Dan aku
berhasil, kan?"
"Emm, iya sih. Kamu memang berhasil," kata Seth ragu-ragu.
"Nah!" kata Jessica. "Kurasa semuanya sudah jelas. Nah,
sekarang aku ingin tahu kapan kamu akan menyatakan penyesalanmu
karena tidak mempercayaiku saat ? pertama kali kukatakan siapa
Tom sebenarnya?"
Wajah Seth memerah. "Aku memang bermaksud begitu," Seth
mengakui. "Sori ya, Jess," katanya tulus. "Bolehkah kulakukan
sesuatu untuk menunjukkan betapa menyesalnya aku? Mau nggak
kamu kuajak makan malam atau hal lain?"
"Yaah ?," kata Jessica berlagak berpikir. "Aku rasa bisa saja.
Tapi kamu mau nggak melakukan sesuatu untukku?"
"Apa?" kata Seth murung. "Aku mau mengajakmu ke restoran
paling top di Sweet Valley ini. Aku mau melakukan apa saja. Sebut
saja apa yang kamu inginkan."
"Tulislah tentang aku dalam cerita misterimu yang akan
datang," kata Jessica cepat. "Boleh saja kamu ganti namaku kalau
memang perlu, tapi tolong kamu atur biar teman-temanku tahu cerita
itu tentang aku, oke? Dan bikinlah cerita di mana aku berperan
sebagai pahlawan."
Seth mendesah. "Jessica?" protesnya.
"Atau barangkali perlu kusampaikan pada Pak Robb bahwa aku
meragukan keadilannya memberimu tugas menulis cerita ini karena
awalnya kamu pun meragukannya?" kata Jessica cerdik, sambil
memandang Seth yang sedang membuka pintu kantor the News.
"Baiklah," Seth mengalah. "Kamu menang. Kamu akan jadi
bintang cerita misteri Lester Ames yang akan datang." Seth mendesah.
"Kamu tahu nggak bahwa permintaanmu ini agak keterlaluan?"
Jessica meringis. Dia tahu benar hal itu. Dia juga tahu bahwa
saat ini Seth belum mendengar seluruh tuntutannya. Misalnya,
keingintahuannya bagaimana rasanya dicium penulis buku misteri.
Tapi setelah semua pengalamannya bersama Seth, Jessica tak begitu
yakin apakah masih ada getar-getar cinta di dadanya.
Tapi, cuma ada satu cara untuk mengetahui itu semua. Dan
bekerja lembur bersama sampai malam untuk menyusun tulisan
tentang kasus pembunuhan ini, cukup memberi kesempatan seluasluasnya!
Enam belas
"Semua ini sungguh seperti mimpi buruk, dan membuatku sulit
berpikir jernih," kata Adam perlahan. Dia sedang duduk di bangku di
luar rumah keluarga Wakefield sambil memandangi orang-orang di
sekitarnya. Elizabeth merasa melihat adanya air mata di matanya.
"Semua ini membuatku sadar betapa pentingnya arti teman dan
keluarga," tambahnya dengan suara tersendat. "Aku tak akan bisa
lolos dari semua ini tanpa dukungan kalian semua."
"Kami pun demikian, walaupun penderitaan kami tak sebanding
dengan yang kamu rasakan," kata Ibunya sambil menepuk-nepuk
tangan Adam. "Kami tahu kamu masih sedih, Adam. Tak ada seorang
pun yang bisa menjelaskan apa tepatnya yang sebenarnya dialami
Laurie."
Adam agak mengejang. "Ah," gumamnya, "sakit sekali rasanya
setiap mendengar nama Laurie disebut. Aku rasa ? entahlah, sejak
kecil aku selalu mengira tak ada satupun masalah di dunia ini yang tak
bisa diatasi oleh Ibu atau Ayah. Mungkin bagian paling berat dari
proses pendewasaan adalah menyadari adanya hal-hal yang tak akan
pernah bisa kita atasi." Lalu ia menambahkan sambil menggelenggelengkan kepala. "Tak ada yang akan dapat mengembalikan Laurie."
"Tapi, Adam," kata Pak Wakefield sambil memajukan tubuhnya
dengan wajah serius, "Mungkin memang kita tak akan pernah bisa
mencegah terjadinya tragedi ini. Itu memang betul. Tapi masih ada hal
yang bisa dilakukan. Mungkin perlu kukatakan padamu bahwa semua
peristiwa yang terjadi sejak kamu tinggal bersama kami, membuatku
ingat pada satu keputusan penting dalam kehidupanku waktu aku
seusiamu."
"Keputusan apa, Pak?" tanya Adam.
"Untuk belajar hukum," jawab Pak Wakefield. "Kamu ingat saat
kamu pertama kali datang ke rumah ini, waktu kita duduk di luar sini
sambil makan malam? Kamu cerita tentang pekerjaanmu di Wells &
Wells, dan tentang kenapa kamu belajar hukum? Itu semua
membuatku ingat lagi."
"Entah benar atau tidak," sela Steven. "Tapi kurasa kamu pasti
enggan memikirkan harus kembali bekerja di Wells & Wells,"
tambahnya sambil berpaling ke Adam. "Mungkin sekarang hal yang
paling nggak kamu sukai adalah Hukum Pidana."
"Nggak juga," kata Adam bersungguh-sungguh. "Ayahmu
benar. Sistim hukum memang tak akan bisa mengembalikan Laurie,
tapi sistim ini akan menjamin bahwa Tom Winslow tidak akan bisa
menyakiti orang tak bersalah lainnya. Akhirnya, itulah yang paling
penting. Aku tahu, akan sulit bagiku untuk bekerja kembali, tapi kalau
tidak, akan lebih sulit lagi bagiku."
Bu Maitland mengusap matanya. "Aku bangga padamu, Nak,"
bisiknya. "Aku juga, Adam," kata Pak Wakefield penuh semangat. "Tak
banyak orang yang sanggup mengatasi kejadian seberat yang kamu
alami. Hanya mereka yang teguh dan tegar. Aku rasa kita semua telah
mengambil hikmah dari pengalamanmu ini."
"Oh iya," kata Adam lembut, "siang tadi terjadi suatu kejadian
istimewa. Waktu semua sedang menungguku di luar," katanya sambil
menatap kedua orang tuanya, "dan aku masih harus menandatangani
surat-surat dan membereskan semua barang-barangku. Waktu itulah
pintu terbuka dan masuklah Tucker Hamilton. Entah kapan terakhir
kali aku bertemu dia, tapi aku ingat benar bahwa suasananya buruk
sekali. Barangkali saat dia melarangku untuk menemui Laurie lagi.
Begitu aku melihatnya lagi, terus terang saja, perasaanku jadi tak
karuan. Aku memang pernah marah kepadanya, tapi kali ini aku justru
lebih merasa iba kepadanya. Dia tampak dua puluh tahun lebih tua
dari usianya sebenarnya." Adam menelan ludah. "Dia pernah bersikap
kasar padaku, tapi aku tahu betapa besar cintanya pada Laurie ?
sebesar cintaku rasanya. Laurie adalah satu-satunya miliknya."
Semua orang terdiam sejenak, lalu Adam melanjutkan dengan
suara rendah. "Dia melihat berkeliling dengan gugup, lalu melangkah
dan menatap langsung padaku. Awalnya dia tidak berkata apa-apa,
cuma menatap mataku dalam-dalam. Lalu katanya dengan suara pilu,
'aku telah salah menilaimu, Nak. Salah sekali.' Lalu dia
menyalamiku."
Adam tercenung, tampaknya sedang memikirkan sesuatu. Lalu
ketika dia mengangkat kepalanya kembali, matanya berlinang air
mata. "Ini membuatku kembali tabah. Jabat tangan itu telah
memberiku kekuatan bahwa aku dapat membayangkan kehidupan
walau tanpa Laurie."
Elizabeth merasa tenggorokannya tersekat, mendengar cerita
Adam. Dia sungguh mengaguminya. Dia hanya berharap sepenuh hati
bahwa kehidupan Adam selanjutnya akan lebih baik, agar dapat
menemukan yang mampu menyembuhkan luka hati yang dideritanya.
***********
"Lho, kenapa kamu?" tanya Elizabeth sambil bergegas ke ruang
keluarga dan berhenti mendadak ketika melihat wajah keruh adik
kembarnya. Seminggu telah berlalu, dan suasana keluarga Wakefield
sudah kembali normal. Adam sudah kembali bekerja dan kondisinya
kelihatan sudah pulih kembali. Dia betul-betul menyandarkan diri
pada dukungan keluarga Wakefield untuk bisa mengatasi deritanya.
"Nggak apa-apa. Aku cuma kesal, Pak Robb cuma menaruh
nama Seth di tulisan kasus Laurie, tanpa menyinggung-nyinggung
aku," gerutu Jessica. "Jadi apa yang kudapat dari pekerjaan berat itu?"
Dia bersama Seth telah menyusun tulisan yang sangat bagus,
dan bangga sekali atas hasil karyanya itu. "Anak Milyarder Mengaku
Membunuh Nona Hamilton," begitu judul tulisan mereka. Di bawah
judul itu, sepanjang dua halaman penuh tercetak kisah yang sangat
dramatis tentang Tom Winslow yang ditolak cintanya oleh Laurie,
kehancuran hatinya, upayanya menjebak Adam, dan pembunuhan
tragis yang dilakukannya pada malam Selasa itu. Seth berhasil
mengangkat namanya, sementara Jessica tak digubris, sekalipun
sebagian dari cerita itu dipersembahkan untuk dirinya.
"Yaah, kamu kan sudah mendapat perhatian dari Seth," kata
Elizabeth sambil tersenyum. "Aku bisa mengerti kenapa Pak Robb
tidak mau mencantumkan namamu di bawah judul tulisan itu, Jess.
Kamu kan cuma karyawan magang, walaupun dianggap pahlawan
lokal."
"Yaah, tapi kan aku yang lebih banyak membuat tulisan itu,"
kata Jessica. "Dan akulah yang kebagian tugas yang paling berbahaya
dalam mengungkap semua kebenaran ini. Aku nggak habis pikir kok
Seth yang dapat tepukan."
"Sori," kata Elizabeth sambil membuka surat Jeffrey yang baru
saja diambilnya dari kotak pos. "Tapi buatku kayaknya bukan cuma
Seth yang mau enaknya sendiri. Yah, iya kan Jess, ada orang yang
menyelinap masuk dan menyelipkan surat di ?"
"Kukira kita sudah melupakan masalah itu," kata Jessica kesal.
"Maksudku, aku ikut senang atas keberhasilan Seth dan semua ini.
Aku betul-betul cuma mau membantu karirnya. Tapi aku cuma
berharap Pak Robb mau memberi penghargaan sedikit padaku."
Elizabeth membenamkan dirinya dalam sofa dan mulai
membaca surat Jeffrey. "Barangkali lain kali," gumamnya.
Jessica membungkuk dan mengambil teropong yang tergeletak
di sofa itu. "Seth akan menulis cerita misteri tentang aku," jelasnya
sambil bangun dan menuju ke dekat jendela, lalu mengintai melalui
teropong ke halaman rumah Pak Bennet. "Aku penasaran, ngapain sih
dia di sana?"
"Jessica, kamu ini apa-apaan sih?" sergah Elizabeth sambil
meletakkan suratnya dan menatap ke arah adiknya.
"Nggak apa-apa," gumam Jessica sambil memutar lensanya
mengatur fokus. "Heh," katanya tiba-tiba, "Bu Bennet menyeret
sebuah peti kayu dari gudang bawah tanah. Apa ya, kira-kira isinya?"
"Jess, kamu kok belum kapok juga sih? Di sekitar kita ini ada
begitu banyak misteri tanpa harus memata-matai tetangga segala!"
kata Elizabeth tajam.
Jessica tidak terlihat terganggu. "Mungkin saja kamu betul,"
katanya dengan suara yang jelas-jelas tidak meyakini hal itu.
Apa pun kata Elizabeth, Jessica berniat menceritakan pada Seth
tentang Bu Bennet dan peti kayunya. Dan dia pun bermaksud untuk
memata-matai tetangga lainnya.
Kini setelah membuktikan bakatnya dalam memecahkan
misteri, ia tak akan membiarkan satu hal pun terjadi di depan
hidungnya, tanpa ikut mencampurinya! END
Jiwa Ksatria 5 Satria Gendeng 04 Iblis Dari Neraka Pendekar Pedang Pelangi 12

Cari Blog Ini