Selamat Datang Cinta Karya Mawarmay Bagian 1
?Selamat Datang, Cinta! By: mawarmay 1. Sederhana Sosok yang menawan itu bukan yang menonjolkan banyak kemampuan. Namun, sosok sederhana yang bersahaja.~~8
Ardinan Nawwaf, adalah seorang guru tetap di sebuah SMA swasta yang cukup terkenal. Dia dikenal sebagai guru yang memiliki wawasan yang luas, meski dia
adalah seorang guru mata pelajaran bahasa Indonesia. Pak Dinan, begitu seluruh warga sekolah memanggilnya. Sosok yang banyak bekerja dari pada sekedar
berbicara. Pagi yang cerah, pagi ini adalah masa dua bulan sebelum semester satu berakhir. Di mana, waktu ini adalah banyak target yang ingin ditempuh. Tak terkecuali
Dinan, dia juga ingin menilai sejauh mana tanggapan siswa-siswinya menerima hal yang dia ajarkan.
Pagi ini Dinan datang lebih pagi dari biasanya, dia mengenakan kemeja warna biru muda dengan celana warna hitam pekat. Warna biru adalah seragam yang sudah
menjadi kesepakatan bersama seluruh dewan guru. Dinan melangkah dari parkir depan menuju ruang guru yang cukup jauh, sesekali dia mengangguk dengan bibir
segaris saat disapa oleh para siswa dan siswi yang sudah datang.
"Assalamualaikum," salam Rindu, salah satu staf administrasi sekolah.
"Waalaikumsalam warohmatullahi wabarokatuh," jawab Dinan berhenti di depan ruang tata usaha yang cukup ramai di pagi hari.
"Tumben pagi?" tanya Rindu, sosok perempuan berusia pertengahan tiga puluhan.
"Iya, mau gandakan soal." Dinan berkata dengan nada datar, tak ada sedikitpun intonasi. Padahal dia adalah guru bahasa Indonesia yang pada kesempatan akan
membacakan puisi untuk anak didiknya.
"Udah dinyalakan kok," kata Rindu sambil memberikan kode dengan dagunya ke mesin fotocopy.
"Terima kasih." Dinan melangkah meninggalkan Rindu yang sudah kembali sibuk dengan kolom Exel di depannya.
Dinan sibuk mengeluarkan lembaran kertas yang ada di dalam map. Kemudian dia memilih beberapa lembar soal yang dia buat semalam. Dinan bukan guru yang
suka memberi soal setiap saat, bahkan dia terkenal sebagai guru paling dipuji oleh anak didiknya karena hanya hitungan jari akan memberi pekerjaan rumah
dalam satu semester. "Tumben Pak," kata Doni salah satu staf tata usaha.
"Iya, mau evaluasi akhir semester." Doni mengangguk, dia tahu benar karakter Dinan yang pendiam dan berbicara seperlunya.
"Dapat berapa kelas tahun ini?"
"Batas minimal jam mengajar," kata Dinan meletakkan kertasnya di atas kaca kemudian menutup dan menekan tombol pengaturan.
Dinan menghadap ke arah Doni, "undang yang kemarin beneran?" Doni mengangkat wajahnya, kemudian tersenyum.
"Ya, kenapa terkejut?" Doni dan Dinan memang sudah saling kenal, bahkan dulu keduanya memasukan lamaran pekerjaan ke yayasan ini bersamaan walaupun Doni
lebih dulu mendapat panggilan.
"Sedikit." Dinan membalik badan dan mengurusi kertas yang dia kopi, hal itu membuat Doni berdecak sebal.
"Jangan lupa datang, siapa tahu ketemu jodoh." Dinan menoleh sejenak kemudian mengangguk.
???? Dinan berjalan menuju kelas X-e yang ada di bangunan paling barat dekat perpustakaan. Kelas itu menjadi kelas favorit bagi dirinya, selain karena banyak
anak didiknya yang aktif dalam belajar juga karena letaknya yang berdekatan dengan perpustakaan, tempat paling nyaman dan disukai oleh Dinan.
"Assalamualaikum," salam Dinan saat memasuki kelas, dan bisa di lihat para siswa dan siswi yang awalnya berhamburan langsung mengambil duduk. Bahkan ada
beberapa anak yang berebut duduk karena terkejut.
"Sudah siap?" tanya Dinan menatap anak didiknya yang mulai tenang.
"Siap pak," seru anak didik Dinan dengan kompak.
"Baiklah, Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh."
"Waalaikumsalam warohmatullahi wabarokatuh."
"Mari belajar kita awali dengan bacaan basmalah bersama." Dinan mengatakan kemudian disambut serempak oleh peserta didik. Sekolah ini memang SMA swasta
namun sekolah ini berbasis Islam.
"Seperti biasa, silahkan ambil alat tulis dan alas ujian. Karena sesuai dengan informasi dua hari yang lalu bahwa hari ini kita akan mengadakan evaluasi
akhir semester satu." Dinan mulai membuka lembar soal di map.
"Pak kasih waktu 10 menit untuk belajar ya?" kata salah satu siswa yang memiliki niat untuk mengolor waktu.
"Maaf, kemarin sudah dijelaskan jadi belajar dilakukan saat berada di rumah atau paling lambat sebelum saya masuk ke dalam kelas."
"Yaaah," seru beberapa anak dengan pasrah.
"Lagi pula ini bahasa Indonesia, jika kalian sudah menerima materi saya pasti kalian bisa mengerjakannya. Bahasa Indonesia itu menggunakan pengetahuan
pasti yang hanya perlu kita nalar sedikit." Dinan menjelaskan kepada para siswanya.
"Baiklah saya bagikan dan tolong berperilaku jujur," kata Dinan dan diangguki beberapa anak. Dinan membagikan setiap soal ke meja. Dia tidak malas dan
meminta salah satu siswa tapi dia berjalan sendiri untuk menghampiri siswa dan sisinya, karena menurutnya ini bisa membangun chaimistry dalam pendidikan.
"Jawaban langsung di lembaran soal," kata Dinan mengamati satu persatu siswanya.
"Silahkan dikerjakan!" Dinan berjalan menuju belakang. Dia akan mengamati siswanya dari belakang.
"Jika ada yang tidak paham atau salah penulisan, tolong tanyakan langsung kepada saya jangan mengganggu aktivitas temannya," kata Dinan memberi peringatan.
Namun peringatan tetaplah sebuah peringatan karena sebagian siswa lebih nyaman bertanya kepada temannya dari pada kepala gurunya.
Dinan hanya tersenyum tipis saat ada salah satu anak didiknya yang sedang bertanya kepada temannya namun dicuekin. Dia tahu, bahwa ada sebagian siswa atau
siswi yang nampak terlihat bersaing dengan satu teman lainnya. Dia ingin nampak terlihat di matanya dengan siswi yang berprestasi. Dia tahu itu, namun
dia tidak mau ambil pusing tentang semua itu.
??? Dinan berjalan menuju koperasi yang berjarak sekitar empat ruangan dari kantor, dia melangkah dengan pelan hingga salah satu murid menghalangi langkahnya.
"Maaf Pak," kata siswi perempuan itu dengan malu-malu.
"Ada yang bisa dibantu?" tanya Dinan menatap bet nama yang tergantung di jilbab.
"Em, itu pak anu," kata siswi yang diketahui bernama Dinda.2
"Iya," kata Dinan tidak sabar. Dia ingin segera sampai di koperasi membeli kertas HVS kemudian segera pulang.
"Anu Pak," Dinan mundur satu langkah kemudian memasukkan dua tangannya di saku celana.
"Kalau hal itu penting segera ucapkan, namun jika tidak penting biarkan saya melanjutkan perjalanan. Hari semakin sore jadi saya harus segera pulang."
Dinda menggaruk kepala belakangnya, dia merasa canggung.
"Mau bicara?" tanya Dinan, Dinda mendongak kemudian menunduk.
"Saya cuman diminta menyerahkan ini," kata Dinda mengulurkan tangan yang ternyata membawa sebuah kertas yang dilipat.
"Ini buat saya?" tanya Dinan mengacungkan kertas yang dilipat rapi di depan dadanya.
"Iya Pak?" Dinan menatap wajah Dinda aneh, kemudian Dinan mengerti bahwa gadis yang di depannya ini sedang dikerjai teman-temannya atau sedang berusaha
menarik perhatiannya. Dia menoleh ke arah kaca yang ada di kelas IPA dan di sana nampak dua siswi yang sedang mengintip.
"Baiklah, terima kasih. Sekarang saya boleh pergi?" Dinda mengangguk dengan antusias, sama antusiasnya dengan detak jantungnya yang menggila.
Dinan tersenyum mengamati kertas itu kemudian melipat dan memasukkan ke dalam kantongnya. Ini bukan pertama kalinya ada murid yang mengirim surat tulisan,
bahkan dia sudah sering menerima. Biasanya mereka menulis puisi atau sajak dan ada juga yang menulis surat cinta atau sebatas curhatan tentang orang tua,
pacar atau mantan. Dan semua itu diterima oleh Dinan dengan santai, kadang dia juga memberi saran secukupnya bagi sebagian siswinya yang memerlukan. Mungkin
inilah pesona seorang Dinan, dia tak banyak bicara namun banyak bekerja. Dia sederhana dengan segala kelebihannya.
*** 2. Si Pendiam " Diam itu emas. Allah menciptakan satu mulut dan dua telinga, dengan hikmah kita harus banyak mendengar daripada berbicara."
"Sudah sholat?" tanya Rina guru boga di bidang pengelolaan makanan.
"Belum Bu." Amira menjawab sambil meletakan beberapa proposal anak didiknya untuk acara gelar karya akhir semester.
"Sholat saja dulu, nanti kita baca ulang. Saya tidak sholat soalnya," kata Rina dengan nada keibuan. Ya, Rina adalah wanita berusia awal empat puluh jadi
jiwa keibuannya nampak kental dibandingkan dengan Amira yang baru berumur dua puluh empat tahun.
Amira mengangguk kemudian dia mengambil mukena yang ada di laci, "tunggu aja sebentar. Tadi saya sudah SMS bu Fina untuk sholat bersama." Amira mengangguk
tanda mengerti. Rina hanya tersenyum kecil melihat tanggapan partner gurunya selama sebulan ini.
Amira adalah sosok pendiam namun juga banyak bicara. Amira akan diam jika diam tidak diajak bicara atau membicarakan hal yang tidak dia kehendaki, namun
dia akan menjadi lawan bicara yang seru di berbagai hal yang dia kehendaki. Amira cenderung banyak bicara jika berinteraksi dengan anak-anak didiknya karena
memang hal itu yang dibutuhkan saat kita terjun langsung ke dapur.
Amira kembali duduk, dia menunggu guru dari ketrampilan lain sambil membuka ponselnya. Dia membuka aplikasi Wattpad, aplikasi yang dia gunakan untuk menyalurkan
hobi membaca. Amira terhanyut pada salah satu cerita dia melupakan hal yang sedang dia lakukan yaitu menunggu.
"Bu Mira," panggil Rina membuat Amira menekan tombol back dan tersenyum tanda mengerti. Kemudian Amira berpamitan keluar ruangan bergabung bersama guru-guru
lainnya yang akan pergi ke masjid sekolah.
"Bagaimana persiapan gelar karya, Boga?" tanya Nirmala salah satu guru yang usianya tak jauh dengan Amira.
"Masalah dekorasi dan kepanitiaan sudah terbentuk, hanya tinggal mengoreksi beberapa menu yang diajukan anak-anak." Amira menjawab dengan jelas.
"Konsep baru atau konsep sama seperti sementar yang lalu?"5
"Ada yang baru, nanti beberapa anak akan melakukan demo masakan sesuai dengan menu pilihan pembeli. Jadi pembeli bisa melihat masakan yang dibeli dikelola
dengan benar atau tidak. Terus ada hal baru lagi kok? terlalu panjang kalau dijelaskan." Amira tersenyum tipis kemudian menunduk.
"Santai saja sama saya Bu Mira. Toh usia kita tidak? berjarak jauh," kata Nirmala melihat kecanggungan yang mulai nampak dari sikap Amira.
"Bu Mira asal mana?" tanya Nirmala.
"Saya dari luar kota Bu, kalau Bu Mala?"
"Saya Deket kok, di perumahan Puspa."
"Yang ada di jalan Handayani itu ya, Bu?"
"Iya, main kalau luang. Saya di blok A2 nomor 123." Amira tersenyum tipis sambil mengangguk.
"Kalau kamu tinggal di mana?" tanya Nirmala.
"Saya dulu kuliah di universitas Kota. Jadi selama setahun ke depan masih ada kontrakan hasil patungan sama teman."
"Jauh banget universitas Kota ke sini," komentar Nirmala.
"Ya lumayan, tapi kan saya masuk siang jadi tidak terlalu repot." Nirmala mengangguk kemudian keduanya berpencar dari guru yang lain saat di tempat wudhu.
"Hari ini jadwal pak Dinan yang jadi imam sholat, jadi pasti masjid penuh."
"Ya, siapa juga yang mau melewatkan suara merdu pak Dinan."
"Eh, pak Dinan masih single loh, bisa digaet."
"Emang situ mau punya suami guru sendiri?"
"Kan gak ada salahnya, tok mbak Siska anak kelas duabelas pacaran sama pegawai TU." 1
"Ya, nambah sejarah begitu gak papa."
Amira hanya menggelengkan kepalanya mendengar sekelompok siswa yang sedang berbincang sesuatu yang sangat aneh menurutnya. Bukan karena ada murid yang
menyukai gurunya hanya saja karena murid itu memiliki niat yang tidak tulus menurut Amira.
"Kenapa?" tanya Nirmala setelah membenarkan posisi jilbabnya.
"Gak papa," kata Amira maju untuk wudhu.
??? Amira masuk ke dalam ruangan ketrampilan sambil menunduk, dia tidak akan heran jika para siswi menyukai sosok guru bernama Dinan. Karena selain bersuara
merdu ternyata memiliki wajah yang lumayan enak dipandang. Bukan sekedar enak dipandang namun menenangkan saat dipandang. Tapi, semua itu tidak bisa mengusik
hati Amira yang sudah dia tutup dengan rapat dan membangun dinding-dinding pembatas yang kokoh.
"Assalamualaikum," salam Amira masuk ke dalam ruangan yang sudah berisi beberapa siswi yang sudah berganti kostum ketrampilan.
"Waalaikumsalam warohmatullahi wabarokatuh."
"Proposal udah dikoreksi semua, Bu?" tanya Amira setelah meletakkan mukena.
"Tinggal menentukan menu dan menunjuk anak yang bertugas untuk demo masak. Sepertinya kita ambil dari kelas sebelas semuanya." Amira menoleh kemudian mengangguk.
"Memangnya anak kelas sepuluh belum siap Bu?" Rina menoleh sejenak.
"Kelas sepuluh masih pengelolaan bahan berat. Seperti pengelolaan masakan sederhana." Amira mengangguk kemudian dia mulai membuka proposal daftar menu.
Dia sesekali menatap anak didiknya yang saat ini tengah konsentrasi mendengarkan penjelasan Rina tentang rencana konsep yang dipakai saat gelar karya.
"Jadi untuk kelas sepuluh nanti hanya menjaga standar saja, dan bagian demo masakan Ibu ambil dari kelas sebelas." Amira melihat berbagai ekspresi dari
wajah yang duduk di depannya. Dia tahu kemampuan anak kelas sepuluh belum setara dengan kemampuan kelas sebelas yang sudah lebih dari satu tahun yang mendalaminya.
"Nanti kalian yang resepnya sudah di ACC oleh Bu Mira kalian bisa pindah ke ruang samping melihat chef Ardi melakukan demo sebagai materi praktikum akhir
semester satu." Amira berdiri sambil membawa tumpukan kertas yang berisi dua resep. Satu resep masakan tradisional dan yang satu adalah masakan kontinental.
"Maaf, ketua kelas bisa membagikan kemudian yang sudah bisa langsung pindah ruangan." Amira mengatakan sambil memberikan tumpukan kertas kepada Aina ketua
kelas boga satu. "Bu Amira mau pindah ke ruang sebelah?"
"Iya, saya tadi diminta chef Ardi untuk mendokumentasikan." Bu Rina tersenyum kemudian mengangguk tanda setuju. Amira mengambil ponselnya dan memasukkan
ke dalam saku kemudian berpamitan kepada? Rina yang sedang mengoreksi laporan wirausaha.
Amira berjalan sambil menunduk karena merasa lantainya sedikit lengket, terlihat dari langkahnya yang sedikit kesulitan.
"Kenapa Bu?" Tanya pak Agus, guru tata busana.
"Ini Pak, lantai sedikit lengket." Amira berkata sambil menunduk menatap kakinya yang terbungkus kaus kaki.
"Oh mungkin tadi ngepelnya kurang bersih." Amira mengangguk kemudian Agus berjalan lebih dulu menuju ruangan yang berada di samping ruangan yang dituju
Amira. Keduanya saling mengangguk saat berpamitan.
Amira berdiri tepat di pintu saat chat Ardi juga sedang di depan pintu, membuat keduanya terkejut.
"Baru saja saya mau menyusul ke sana." Chef Ardi berkata dengan sopan untuk menghilangkan rasa canggung beberapa saat.
"Maaf," kata Amira kemudian dia masuk ke dalam ruangan.
"Mixer yang besar ada, bukan yang manual?"
"Ada di ruang alat. Mau diambilkan?"
"Tidak perlu, biar saya meminta tolong pada salah satu siswa." Amira mengangguk kemudian dia mengambil duduk di paling belakang agar bisa melihat dengan
jelas dan video akan terlihat lengkap. Amira duduk sambil mengutak-atik kameranya, dia ingin mendapatkan sport yang bagus dengan pencahayaan yang baik.
"Tadi bahasa Indonesia ulangan di kelas kamu?" tanya salah satu siswi. Amira mengamati, dia ingin tahu apakah sekelompok anak itu akan saling membocorkan
informasi tentang ulangannya.
"Sulit gak?" "Lumayan mudah kok, sesuai dengan apa yang dijelaskan oleh pak Dinan."
"Dlo, di kelas kamu pak Dinan yang ngajar?"
"Iya, di kelas kamu siapa?"
"Bu Mina, kan beliau wali kelasku. Wah enak ya diajar pak Dinan. Bisa sambil cepe-cepe." Amira tersenyum tipis mendengar ucapan genit salah satu siswinya.
Dia heran mengapa Dinan begitu terkenal di kalangan siswi, padahal tidak diajar juga.
"Cepe-cepe, pak Dinan itu orangnya lurus." Amira menaikan alisnya, dia baru saja mendengar salah satu muridnya mengatakan lurus. Dia tersenyum dalam hati,
masih adakah lelaki yang lurus beredar di publik, dia tidak yakin.
Amira mendengar suara chef Ardi yang memulai membacakan bahan-bahan dia segera berdiri dan sedikit mendekat untuk mendapatkan gambar dan melupakan kelanjutan
perbincangan siswi yang ada di belakang.
*** 3. Evaluasi Bukan hanya takdir yang menentukan sesuatu terjadi, tapi usaha juga berperan penting di dalamnya.-2
--- Pagi ini adalah pagi yang berbeda untuk Amira, bukan karena biasanya pagi terasa cerah kemudian berubah menjadi mendung. Akan tetapi dikarenakan dia harus
berangkat pagi, seperti para siswa pada umumnya.
Senin sibuk, itulah yang terjadi pada Amira saat semalam mendapat kabar tentang rapat evaluasi yang dilakukan secara mendadak setelah upacara bendera.
Biasanya rapat seperti ini dilakukan sebulan sebelum ujian, namun entah karena apa rapat ini dimajukan sepekan lebih awal.
Rapat evaluasi adalah rapat menentukan naskah ujian dan segala sesuatu mengenai jalannya ujian semester mulai dari tim kepanitiaan hingga pembagian tugas
guru kegiatan akhir semester. Amira berdiri di halte bus dekat rumah kontrakannya sejak pukul enam lima belas. Dia sengaja mengambil kendaraan pagi supaya
tidak berjubal. Amira adalah seorang rantauan yang memanfaatkan kendaraan umum dibanding kendaraan pribadi, bukan karena tidak memiliki namun lebih tidak bisa mengendarai.
Amira, walau dia hanya seorang guru honorer, akan tetapi dia memiliki sebuah bisnis shop yang dia jalani bersama sahabatnya sejak kuliah.
Jadi jika hanya sekedar untuk membeli motor second dia masih mampu.
Tak membutuhkan banyak waktu bus AC berwarna oranye dan putih itu berhenti menghampiri dirinya di pinggir jalan dan tak membutuhkan waktu yang lama Amira
segera masuk dan mengambil tempat duduk.
"Karcis," kata seorang kondektur.
"Yayasan Kota," kata Amira sambil memberikan beberapa lembar uang sesuai dengan tarif yang biasa dia bayar.
Tak membutuhkan waktu yang lama, bus segera menepi di depan halte dekat yayasan Kota, Amira turun melalu melalui pintu depan kemudian dia langsung berlari
ke halte karena hujan turun.
Amira mengibaskan jilbabnya kemudian dia mengambil payung lipat yang dia bawa setiap hari di paper bag. Dia membuka kemudian berjalan dengan pelan-pelan
masuk gang menuju sekolah.
Hujan di bulan Oktober, membuat upacara bendera tidak bisa dilakukan. Amira tersenyum tipis saat mengingat masa SMA yang sangat bahagia jika tidak jadi
melakukan upacara bendera.
Tin...tin... Sebuah mobil berjalan lambat di samping Amira, dia sedikit heran kemudian dia berhenti bertepatan pada mobil itu juga berhenti. Kaca mobil terbuka nampak
Nirmala dengan senyumnya.
"Yuk bareng," kata Nirmala pelan. Amira menatap ke arah orang yang mengemudi kemudian menggerakkan kepalanya tanda tidak setuju.
"Terima kasih, Bu Mala duluan saja, saya sudah terlanjur basah." Nirmala menatap ke arah kaki Amira yang nampak becek kemudian dia mengerutkan keningnya.
"Ya sudah kami duluan," kata Nirmala berpamitan dan mobil pun berjalan meninggalkan Amira yang sedang menghela napas. Amira kembali berjalan dan gerbang
depan sudah terlihat. Amira masuk melalui gerbang depan di sana sudah ada beberapa anak yang berdiri untuk menjaga ketertiban siswa. Amira mengangguk saat disapa oleh beberapa
anak didiknya. Amira langsung berjalan menuju teras terdekat kemudian melipat payung yang dia gunakan dan memasukkan ke dalam paper bag sebelumnya dia
bungkus dengan plastik. Setelah semua tapi Amira berjalan dengan santai menuju ruang guru yang tinggal beberapa langkah lagi.
Amira menyempatkan diri mampir ke toilet sebelum masuk ruangan. Dia mengganti sendal jepitnya dengan sepatu kemudian dia berjalan menuju pintu sebelah
kanan ruang guru. "Bu Mira," panggil salah satu siswi yang dia ketahui kelas sepuluh.
"Assalamualaikum," salam siswi itu sambil menjabat tangan Amira.
"Waalaikumsalam warohmatullahi wabarokatuh, ada yang bisa dibantu?" Amira menatap Dila dengan wajah datar.
"Ini Bu, mau ngumpulin buku laporan wirausaha." Amira menaikan alisnya.
"Bukankah harusnya ke bu Rina?" Dila tersenyum canggung.
"Tadi udah nyari bu Rina tapi gak ada." Amira mengangguk.
"Ya sudah saya terima," kata Amira dengan senyum segaris.
"Terima kasih Bu."
"Sama-sama, tolong beritahu anggota kepanitiaan inti gelar karya untuk menemui saya ya," kata Amira. "Dan sekarang giliran saya yang mengucapkan terima
kasih." Amira melanjutkan dengan nada ramah.
"Sama-sama," jawab Dila dengan senyum geli. Dia jadi merasa akrab dengan guru boga barunya.
"Ada pak Dinan." Bisik teman Dila yang masih didengar oleh Amira membuat dia tersenyum kecil. Sungguh dia merasa terintimidasi saat para penggemar guru
tampan itu membicarakan tokoh pujaannya.
"Tidak ada lagi?" Amira bertanya dan dua siswi di depannya sudah tidak menjawab, mungkin karena sudah ingin pergi dan menghampiri sang idola.
"Ya sudah saya duluan. Assalamualaikum." Amira membalikan badan sambil menatap ke arah dua guru yang sedang berbincang di depan pintu ruang guru sebelah
kiri. Amira menunduk kemudian masuk ke dalam ruangan seraya mengucapkan salam.
Amira menatap ruangan panjang yang nampak begitu ramai, dia merasa canggung namun dia tetap berjalan menjabat tangan satu-satu guru yang sudah datang.
"Bu Mira kok basah?" tanya Tia guru matematika yang duduk semeja dengannya. Ya, di sekolah ini setiap meja di isi dengan dua guru dan kebetulan Amira duduk
dengan Bu Tia, guru yang bisa dibilang sudah berumur dan menggeluti bidang sejenis angka-angka.
"Oh, ini tadi terkena air di perbatasan koridor tata usaha dan ruang komputer." Amira meletakan tasnya di atas meja.
"Iya, di sana airnya deras sekali." Tia menimpali ucapan Amira kemudian keduanya sibuk dengan kertas yang ada di depannya.
"Bu Mira sudah membuat laporan perkembangan siswa."
"Alhamdulillah sudah," Amira menjawab dengan sopan. Dia memperkirakan umur Tia seusia dengan umur ibunya. Mengingat hal itu membuat Amira merindukan sang
ibu yang ada di luar kota.
"Kalau ada kesulitan bisa tanya ke rekan guru yang lain," kata Tia menoleh ke arah Amira dan menatap dengan wajah keibuan.
"Iya Bu, terima kasih." Amira menjawab sambil menggosokkan kedua tangannya dia merasa kedinginan. Dia mengamati ruangan yang terlihat ramai, dia ingin
tahu letak AC berada karena dia merasa kedinginan.
Amira menatap lurus ke sebelah kirinya, pantas saja dia kedinginan AC berada segaris lurus dengan posisi duduknya.
"Kamu bisa pakai ini," kata Nirmala menaruh jaket yang berukuran besar di bahu Amira.
"Terima kasih," kata Amira membenarkan posisi.
"Kamu gak minat pindah?" tanya Nirmala menghadap ke belakang, karena dia duduk di depan Amira.
"Masih satu tahun kontrakannya jadi rugi kalau ditinggalkan." Nirmala mengangguk.
"Kamu coba tawarkan, kamu cari kontrakan atau kos di dekat sekolah. Kamu kan gak bisa mengendarai motor atau mobil jadi bakal sulit transportasinya saat
berangkat, apa lagi kalau hujan." Amira menatap ke arah Nirmala kemudian dia tersenyum tipis. Dia baru mengenal Nirmala sekitar tiga bulan. Itu pun dia
tidak pernah menghabiskan banyak waktu dengan salah satu guru ketrampilan itu, namun guru yang baik hati itu selalu care terhadap dirinya hingga membuat
dia terharu. Karena selama ini dia tidak pernah mendapat teman yang begitu tulus.
"Terima kasih," kata Amira depan dan tersenyum.
"Udah jaket itu kamu pakai aja, kamu bisa balikin kapan aja. Aku mau ngoreksi desain anak-anak." Amira mengangguk kemudian dia mengamati jaket yang dia
gunakan untuk menyelimuti bahunya. Jaket berwarna coklat kemerahan yang tebal, berbahan halus dan memang benar-benar menjamin kehangatan walau terasa berat.
Ukuran jaket ini sangat besar dan panjang, tidak mungkin bukan jika ini ukuran jaket Nirmala.
Dia meremas kedua tangannya yang ada di pangkuan, dia merasa tak nyaman kemudian dia menghela napas.
"Kenapa?" tanya Tia yang sejak tadi heran dengan ekspresi wajah Amira.
"Tidak Bu," jawab Amira.
"Bu biasa minum kopi atau teh?" tanya Dinan yang sudah berdiri di dekat meja. Amira menoleh heran.
"Bu Mira mau teh atau kopi?" Amira menoleh ke arah Tia yang mengulang pertanyaan Dinan.
"Buat apa ya Bu?" tanya Amira sedikit heran.
"Diminum." Tia menjawab sambil terkekeh.
"Saya kopi susu ya pak Dinan, Bu Mira?"
"Teh." Amira menjawab dengan pelan.
"Baiklah dicatat ya," kata Dinan dengan datar.
Selamat Datang Cinta Karya Mawarmay di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kok pak Dinan yang keliling?" tanya Tia yang dijawab Dinan dengan senyum ramah.
"Pak Agus sepertinya masuk angin, jadi saya yang waktunya luang mengganti," kata Dinan dengan sopan. Tia mengangguk kemudian Dinan berpamitan.
"Merasa asing ya, sabar nanti juga terbiasa." Tia menyentuh tangan Amira.
"Tangan kamu dingin sekali," kata Tia yang menghilangkan nada formilnya karena terkejut menyentuh tangan Amira. Amira menatap tangannya kemudian menatap
wajah Tia kemudian tersenyum tipis.
"Gak papa Bu, hanya kedinginan." Dinan yang berdiri di meja belakang Amira kembali mendekat.
"Ini ada minyak kalau untuk menghangatkan," kata Dinan memberikan minyak kayu putih kepada Amira. Amira menerima dengan canggung, kemudian mengucapkan
terima kasih. -- Amira duduk di depan ruang ketrampilan, hari ini dia sedang mendapat tamu bulanan jadi dia merasa tak nyaman dan emosinya pun sulit dikendalikan. Dia menatap
jaket yang dia lipat di pahanya, jaket yang dipinjamkan Nirmala tadi pagi. Dia menghela napas kemudian berdiri, dia melangkah untuk ke gerbang belakang.
Amira berniat untuk pulang, karena lingkungan sekolah sudah nampak sepi.
"Pulang Bu," sapa pak Rahmat, penjaga sekolah.
"Iya pak, mari!" Amira membungkuk sejenak kemudian kembali berjalan. Dia berjalan dengan pelan, dia ingin menikmati setiap langkah kakinya, dia menunduk
sesekali memandang ke depan.
"Perlu teman?" Amira menoleh ke samping kemudian dia berhenti. Dia heran menatap wajah sosok lelaki di depannya. Dia menoleh ke sekeliling takut jika dia
salah sangka. "Kamu mengajak berbicara saya?" tanya Amira sedikit heran.
"Iya, memang selain kamu ada yang lain lagi." Amira menggeleng sambil di hati dia berkata bahwa lelaki di depannya itu ramah.
"Saya Fatih," kata lelaki di depan Amira sambil mengulurkan tangannya.
"Amira," jawab Amira dengan pelan. Kemudian dia kembali berjalan diikuti oleh Fatih.
"Aku sering melihatmu duduk di halte," kata Fatih memulai pembicaraan.
"Benarkah? Kamu bukan penguntit kan?" Amira bertanya sambil menatap wajah Fatih curiga. Fatih nampak salah tingkah dengan menggaruk kepalanya yang jelas
tidak gatal. "Aku tidak menguntit hanya menandai," kata Fatih sedikit canggung. Amira terkekeh pelan.
"Apa yang ditandai," kata Amira dengan santai.
"Cewek calon ibu yang baik dan cantik." Amira menoleh dengan cepat.
"Sepertinya kamu perlu mengevaluasi ucapan kamu." Amira berjalan lebih cepat meninggalkan Fatih yang terdiam di tempat.
*** 4. Teman Lama --Hidup itu melangkah ke depan dan meninggalkan yang sudah ada di belakang. Namun tidak menuntut kemungkinan jika yang ada di belakang muncul kembali di
hadapan kita di masa yang akan mendatang.--2
---- Dinan mengerutkan keningnya, dia nampak berpikir dengan keras. Dia merasa tidak asing dengan wajah yang ada di depannya namun dia lupa pernah bertemu atau
mengenal Dimana. Ah, entahlah ingatan Dinan tentang wanita itu sangat minim.
"Aku yakin kamu lupa," kata perempuan yang duduk di depannya dengan batas meja berbentuk persegi.
"Maaf," kata Dinan tak enak hati.
"Gak masalah, biasa kok kalau manusia itu sering lupa," kata wanita itu dengan nada santai.
"Ya manusia memang tempat lupa tapi kalau bisa tidak dijadikan alasan." Wanita itu menatap Dinan dengan tajam kemudian mengangguk.
"Kita pernah bertemu di bank. Kamu ingat aku salah satu pegawai yang menawarkan asuransi." Dinan nampak berpikir kemudian dia mengangguk mengingatnya.
"Oh mbak Sarah." Dinan mengucapkan dengan tegas. Wanita bernama Sarah itu hanya tersenyum sambil mengangguk.
"Maaf saya sempat lupa," kata Dinan.
"Tidak perlu sungkan, biasa saja. Bukankah kita teman lama." Sarah menatap Dinan dengan tegas.
"Ya, kita teman lama." Dinan menjawab dengan pelan dan terdapat nada ragu.
"Bagaimana kabarnya?" Sarah memulai pembicaraan lagi.
"Baik, Alhamdulillah. Kamu gimana? Lama sekali kita tidak bertemu."
"Aku baik, iya sejak aku putus dengan sahabatmu." Dinan tersenyum canggung.
"Maaf," kata Sarah pelan.
"Untuk?" "Sudah putus dengan temanmu." Dinan terdiam kemudian menggelengkan kepalanya.
"Itu bukan salah kamu atau teman saya, mungkin karena kalian belum jodoh saja." Dinan berkata dengan bijak, kemudian keduanya mengobrol seru tentang masa-masa
dulu. Dinan sosok yang banyak mendengar dari pada berbicara.8
Dinan tiba-tiba diam membuat Sarah ikut diam, Sarah merasa perubahan sikap dari Dinan. Dia menatap ke sekitar namun dia tidak menemukan obyek yang bisa
mengubah atau mempengaruhi perasaan Dinan.
"Ada apa?" tanya Sarah.
"Tidak ada, hanya sempat melihat orang yang saya kenal." Sarah menoleh ke pintu kemudian mengangkat bahu tak perduli.
"Kamu sudah menikah?" tanya Sarah membuat Dinan meletakkan cangkir kopinya.
"Belum." Sarah mengangguk.
"Sudah ada calon?" Dinan menatap Sarah kemudian menggeser kepalanya sekitar lima puluh derajat.
"Entahlah, saya belum yakin." Dinan kembali menunduk menatap cangkirnya. Dia tidak tahu maksud tersembunyi dari pertanyaan Sarah namun dia tidak bodoh
jika sejak dulu wanita di depannya itu memiliki rasa padanya.
"Berarti sudah ada calon?" See, wanita selalu mencari penyakitnya sendiri. Bukankah sudah jelas ucapan Dinan bahwa dia mencoba menghindar dari pembicaraan
yang menurutnya melukai perasaan Sarah.
"Bisa dibilang begitu," kata Dinan kembali menyesap kopi di depannya.
"Berarti kamu sudah move on dari Maura?" Sarah bertanya dengan nada pelan, namun terdengar jelas diterima oleh telinga Dinan.
"Entahlah," kata Dinan meletakkan cangkir kemudian menautkan kedua tangannya di atas meja dan sedikit membungkukkan badannya.
"Aku sudah pernah bilang bukan, jika urusan perasaan aku tidak suka diusik." Dinan berkata dengan tegas.
"Kamu tidak berubah," kata Sarah sesantai mungkin, padahal di dalam hatinya dia tengah getar-getar dengan sikap datar Dinan.
"Aku berubah namun prinsip tetap sama selama tidak menyalahi aturan," kata Dinan menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi kafe.
"Ya, apa masih ada celah untukku masuk?" Dinan mengangkat bahu, dia tidak bodoh dengan hal yang baru saja diucapkan oleh wanita di depannya.
"Aku tidak tahu tentang jodoh, tapi mungkin lebih baik jika kamu tidak banyak berharap." Dinan merapikan barangnya kemudian dia berpamitan untuk undur
diri terlebih dahulu karena adzan magrib sudah berkumandang dan hujan nampaknya sudah mereda.
---- Sore tadi Dinan menemui salah satu temannya yang sedang menempuh pendidikan S2 di universitas Kota, karena terlalu sore untuk pulang dia berhenti di sebuah
kafe yang dekat dengan masjid. Dia berniat untuk menunggu waktu magrib sebelum kembali pulang.
Saat tengah menunggu pesanan tiba-tiba datang seorang wanita yang langsung duduk di depannya, awalnya dia merasa tidak nyaman namun dia bisa apa, mengusirnya
itu bukan perkara bijak, apa lagi itu di tempat umum.
Dinan tetap diam dengan perilaku wanita yang menurut Dinan cantik, tetapi sayang dia tidak masuk ke dalam kriteria calon istri idamannya.
Wanita itu adalah Sarah, dulu dia kenal saat mencari ansuransi untuk Doni. Dan kemudian akrab dan secara natural mereka berteman. Hingga sebuah berita
membuat Dinan sempat tidak percaya, yaitu Sarah berpacaran dengan Doni. Dia tidak memungkiri bahwa Sarah memang surga dunia bagi setiap lelaki memandang.
Namun, itu bukan segala-galanya bagi Dinan, karena Dinan tidak menyukai sesuatu yang berlebihan dan pada diri Sarah semuanya berlebihan, begitu menurut
Dinan. Putus hubungan antara Sarah dengan Doni membuat kerenggangan diantara ketiganya, entah awalnya Dinan tidak tahu mengapa Doni tiba-tiba menghindar. Setelah
lama berpikir, dia menyadari bahwa dirinya adalah orang ketiga dalam hubungan mereka. Menurut cerita Nirmala, Doni putus dengan Sarah karena Sarah mengaku
menyukai dirinya. Namun Dinan belum mengkonfirmasi semuanya, dia takut akan memperburuk keadaan jadi dia berusaha bersikap biasa bahkan dia sudah sempat
lupa pada wanita itu. Sudah terbukti bukan?
Dinan mengenakan kembali sepatunya, kemudian dia berjalan menuju mobil yang dia parkir di pinggir jalan dekat penjual makanan. Dia sedikit heran saat melihat
keramaian di warung tentang itu.
"Mungkin harganya lebih murah atau cita rasanya sesuai selera sehingga terlihat ramai." Dinan berkata pada dirinya sendiri. Kemudian dia menekan tombol
di kunci mobilnya sehingga mobil mengeluarkan suara bertanda kunci terbuka.
"Dinan," panggil suara yang dia kenal, Dinan menoleh ke belakang kemudian membalikkan badannya, dia melihat sosok Nirmala berjalan menuju ke arah dia berdiri.
"Kamu ngapain di sini?" tanya Nirmala.
"Jangan di sini," kata Dinan menarik Nirmala menuju depan mobil. Karena di dekat pintu banyak kendaraan berlalu-lalang.
"Apa yang kamu lakukan disini?" tanya Dinan melepas cekalan di tangan Nirmala.
"Aku duluan yang bertanya," jawab Nirmala tidak terima.
"Aku baru saja sholat. Di situ." Dinan menjawab dengan memberikan kode dengan dagunya.
"Sama." Dinan mendelik membuat Nirmala terkekeh.
"Ya sudah, ayo masuk kita bicara di dalam." Dinan siap melangkah kembali ke mobil namun Nirmala mencekalnya.
"Aku tidak bilang mau pulang," kata Nirmala pelan.
"Baiklah kita makan dulu," kata Dinan mengikuti keinginan Nirmala.
"Aku memang mau makan tapi tidak denganmu," kata Nirmala melepaskan tangannya dari lengan Dinan.
"Kamu mau kencan?" Dinan membalikan badannya dengan cepat.
"Tidak. Ah, bisa jadi." Dinan menatap curiga ke wajah Nirmala kemudian dia membuang muka dan dari situ dia menemukan jawaban dari kegundahannya.
"Ya sudah, aku pulang." Dinan tersenyum tipis kemudian melangkah meninggalkan Nirmala yang terbengong.
Dinan sudah masuk ke dalam mobil dan meninggalkan Nirmala dengan rasa terkejut.
"Hanya begitu saja?" Nirmala melakukan monolog dengan nada tak percaya. Dinan saudara overprotektif tidak menghujani dirinya dengan berbagai pertanyaan
hal itu terasa tak nyata bagi Nirmala.
*** 5. Gelar Karya ???Sebuah Rasa kadang menyusup dengan cara yang paling aman dan tidak disadari oleh orang lain, jangankan orang lain pelakunya sendiri kadang tidak peka
untuk menyadarinya.??? Amira melangkah dengan cepat, dia datang sedikit terlambat dari janji yang sudah dia ucapkan. Hal ini membuat dia tergesa-gesa.
"Assalamualaikum," salam Amira memasuki stan milik anak boga.
"Maaf Ibu terlambat," kata Amira seraya memasang peniti nama di jilbabnya.
"Gak kok Bu, baru lima menit." Jawab Juwita dengan pelan. Dia masih memasang garnis di piringnya.
"Lima menit itu waktu, Ju. Bisa buat nyuci baju seember. Jadi namanya tetap terlambat." Amira menyahut sambil menata bunga hias di meja.
"Ya tapi dikit Bu. Gak mikir-mikir amat." Amira hanya menggelangkan kepalanya.
"Semua siap?" tanya Amira mengapa ke sekeliling.
"Siap Bu," jawab mereka serempak membuat Amira tersenyum.
"Brosur sudah dibagi?" tanya Amira kepada Nita.
"Sudah Bu." "Baiklah, kita menempati tempat yang sudah ditentukan dan sebagain yang tidak berjaga dan menyiapkan es warna bisa mengikuti upacara pembukaan bersama
Bu Rina." "Ke mana Bu?" "Di aula, Bu Rina Insya Allah sudah ada di sana." Amira melihat beberapa anak bersiap di tempat dan beberapa berjalan keluar stan untuk mengikuti upacara
pembukaan. "Bu Am," panggil Deni salah satu anak kelas sepuluh mendapati Amira yang sedang memasang benner di depan stan.
"Iya," kata Amira membalikan tubuhnya. Deni adalah salah satu siswa yang dulu ingin masuk ke kelas boga, namun dia tidak jadi karena semua anak boga perempuan
dan dia satu-satunya calon siswa yang berkelamin cowok.
"Bu Am hari ini cantik," kata Deni dengan senyum polosnya. Amira memang sudah dekat dengan Deni karena keramahan dan ringan tangannya.
"Jadi kemarin-kemarin saya gak cantik?" tanya Amira dengan nada sengit yang dibuat-buat.
"Cantik kok, tapi hari ini lebih cantik dan lebih muda." Amira menatap ke arah Deni dengan melotot. Di mana ada seorang siswa merayu terang-terangan gurunya.
"Oh, berarti kemarin saya terlihat tua," kata Amira dengan sarkas. Deni kelabakan kemudian dia menggelengkan kepalanya.
"Bu Amira lebih mudah kok kemarin dari pada Bu Mala. Tapi hari ini lebih muda lagi bahkan kalau tidak memperhatikan dengan jelas Bu Am mirip sama siswinya."
Deni berkata sambil menunduk dan berbisik.
"Oh jadi saya tua," kata Nirmala yang sudah berdiri di dekat pintu masuk sambil melipat kedua tangannya di dada, jangan lupa ekspresi galaknya.
"Oh mati aku," kata Deni sambil menepuk dahinya mendrama.
"Apa? Mau alasan apa?" kata Nirmala mendekati Amira dan Deni.
"Bu Mala memang lebih tua, tapi lebih cantik kok." Nirmala tertawa terbahak-bahak.
"Kamu itu jangan merayu guru, rayu cewek seusia kamu. Sukanya kok sama tante-tante." Deni meringis kemudian menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Amira
hanya menggelengkan kepalanya.
"Aku masuk duluan," kata Amira hendak meninggalkan Deni dan Nirmala.
"Den, tadi saya minta tolong apa?" tanya Dinan yang sudah bergabung dengan mereka membuat Amira menoleh kemudian dia berjalan kembali masuk ke dalam stan
meninggalkan mereka. "Bu, Bu," panggil Deni yang sudah tak didengar oleh Amira.
"Kan jadi lupa, Bu Nirmala sih." Deni dengan santainya menyalahkan Nirmala kemudian dia dengan santai melenggang pergi.
Amira sedang menata tumpukan nasi yang sudah dibungkus. Sesekali dia ngobrol dengan Juwita yang sejak tadi menceritakan hal-hal lucu yang membuat dia tertawa.
"Kamu kenapa ngikut," kata Nirmala mendekati Amira.
"Aku kan mau beli makan."
"Tumben Pak Dinan mau ke tempat gelaran." Nirmala mencolek bahu Amira.
"Kan kamu yang ngasih brosur ke bunda." Nirmala hanya memutar bola matanya, dia tahu benar jika Dinan tidak akan berada di sini tanpa alasan pasti. Lelaki
yang tak pernah mau bersinggungan dengan banyak orang itu pasti lebih suka menghabiskan waktu di perpustakaan dari pada di acara bazar seperti gelar karya.
"Aku mau nasi, ayam rica-rica, sama tahu bulat ya!" Amira menatap Nirmala kemudian menoleh ke arah Juwita.
"Buat sarapan atau bagaimana?"
"Makan sekarang," kata Nirmala.
"Di sana ada stan prasmanan." Amira menunjuk ke wilayah selatan.
"Oh, baiklah. Oh ini pak Dinan sepertinya mau memborong." Nirmala berkata dengan nada licik, namun Amira tahu benar bahwa Nirmala sedang bercanda.
"Wah boleh sekali," kata Juwita antusias, Amira menoleh ke arah Juwita kemudian menoleh ke arah Nirmala yang tersenyum.
"Baiklah, temani pak Dinan Ju." Amira berkata sambil menyentuh lengan tangan Juwita pelan dan disambut senyum bahagia.
"Oh no, Juju nemenin Bu Mala. Jadi sebaiknya kamu yang menemani pak Dinan." Amira menatap wajah Nirmala heran.
"Ini masih pagi, saya harus menyambut pelanggan."
"Saya juga pelanggan ini," kata Dinan membuat Amira tidak enak hati, sedang Nirmala hanya nyengir kemudian menarik tangan Juwita.
"Tenang saja, Dinan orang yang asik diajak bicara soal makanan." Amira menoleh ke arah Nirmala yang tersenyum bahagia kemudian menoleh ke arah Dinan yang
memasang wajah datar. "Baiklah, mari lewat sini," kata Amira menunjukan jalan.
"Bapak mau mencari menu apa?"
"Mau lihat-lihat dulu," jawab Dinan. Amira mengangguk kemudian dia membawa Dinan ke rak yang berisi display olahan tahu.
"Ini olahan tahu, Pak. Di mana kreatifitas siswa mengelola tahu sebagai bahan dasar." Amira menjelaskan dengan garis besarnya.
"Dari semua ini mana yang rasanya paling enak."
"Kalau soal rasa beranekaragam. Akan tetapi kalau menurut saya semua tergantung selera. Kalau saya lebih suka tahu bala-bala. Karena rasanya pedas."
"Jadi kamu penyuka pedas?"
"Tidak juga," kata Amira kemudian dia mengambil piring kecil.
"Mungkin Bapak mau mencoba, mari ke sana di sana ada tester." Amira menoleh ke arah Dinan yang bertepatan dengan Dinan juga menoleh. Kemudian suasana menjadi
canggung karena tak kunjung ada yang bersuara.
"Pak Dinan dan Bu Mira," panggil salah satu siswi membuat keduanya menoleh.
"Iya," jawab keduanya berbarengan, kemudian keduanya saling bertatap kemudian tertawa kecil, walau terasa canggung.
"Oh so sweet banget," komentar Dila dengan wajah berbinar.
"Kamu mau apa?" tanya Amira menghilangkan canggung.
"Mau minta foto," kata Dila sambil nyengir.
"Mana kamera kamu, saya yang memotret!"
"Wah Bu Mira yang terbaik," kata Dila memberikan kameranya. Amira segera mengambil foto setelah Dila berpose di samping Dinan.
"Ini, masih mau lagi?" tanya Amira yang dijawab gelengan kepala.
"Ganti saya minta tolong," kata Dinan mengulurkan ponsel pintarnya kepada Dila. Amira tidak menduga jika guru sederhana itu seperti anak muda pada umumnya,
gila selfie. "Ayo pak berpose," kata Dila antusias. Dinan mendekat ke arah Amira kemudian memposisikan tubuhnya dibelakang tubuh Amira separuh sehingga nampak seperti
pasangan. "Waaah," kata Dila antusias membuat Amira tersenyum canggung.
"Terima kasih." Dinan menatap layar ponsel kemudian memasukkan ke dalam kantong.
"Kalau kue," kata Dinan membuat Amira tersadar dari lamunannya.
"Oh maaf, sebelah sana." Amira menunjuk dengan salah tingkah.
"Ada tema apa dengan aneka cake?"
"Oh, ini pengembangan dari resep bolu." Amira menoleh ke arah Dinan yang tengah mengamati display kue yang ada di depannya. Entah mengapa, rasanya ada
yang berbeda ditatapan Amira.
"Ini hanya sepotong?" Amira tergagap saat Dinan menoleh ke arahnya.
"Oh, iya hanya sepotong." Amira menjawab dengan gugup, dia menghela napas lega saat Dinan kembali menatap berbagai kue yang nampak indah.
"Anda berminat?" tanya Amira tak enak hati.
"Iya, kamu bisa menemani saya makan?" Amira menatap wajah Dinan heran.
"Tidak enak rasanya makan sendiri," kata Dinan, Amira mengangguk mengerti.
"Maaf tapi kalau saat ini tidak bisa, pengunjung sedang ramai." Amira mengutuk ucapannya, mengapa dia dengan mudah menerima ajakan Dinan.
"Baiklah ini daftar makanan titipan ibu saya, nanti kalau sudah serahkan kepada bu Mala." Amira menatap Dinan tak percaya, jadi sebenarnya Dinan sudah
memiliki daftar tanpa harus keliling.
"Dan pilih kue juga minuman. Nanti temani saya saat waktu istirahat." Amira menatap kertas yang ada di tangannya dengan heran kemudian dia menoleh ke arah
Dinan yang sudah melangkah pergi.
"Kenapa Bu?" tanya Juwita menatap sang guru heran.
"Tidak ada, bantu yuk Ju!" Amira membuka kertas yang ada di tangannya kemudian dia mengambil kotak sesuai dengan daftar menu.
"Oh ya Ju, tolong sisakan brownies coklat orisinal dua dan sari buah kocok ya." Amira berkata menoleh ke arah Juwita.
"Masing-masing dua?"
"Iya, gak sekarang tapi untuk nanti saat istirahat."
"Mau nambah lagi, Bu?" tanya Juwita dengan nada ala pelayan kafe.
"Sudah terima kasih." Amira menjawab sambil terkekeh geli. Kemudian dia kembali menekuni daftar pesanan Dinan.
"Banyak sekali, Bu?" tanya Rina mendekati Amira.
"Pesanan pak Dinan, Bu."
"Siapa yang ngantar pesanan?" Rina membantu mengambilkan beberapa jenis lauk.
"Tadi katanya suruh nitip ke bu Mala."
"Siapa yang nyuruh?"
"Pak Dinan." "Pak Dinan tadi kemari?" Amira mengangguk ragu, dia heran dengan pertanyaan Rina yang nampak terkejut.
"Kenapa Bu?" Amira mengikat kantong plastik.
"Tumben saja, ini pertama kali sejak pak Dinan ngajar di sini." Amira mengangguk dan mendengar ucapan yang keluar dari bibir Rina sebelum meninggalkannya.
"Aneh." *** 6. Insident Allah memberi cobaan pasti ada hadiah dibalik kesabaran menghadapinya. Dan Allah tak akan menguji hamba melampaui batas kemampuan.-Amira terduduk di depan teras masjid yang ada di sebuah perumahan. Tadi dia datang ke salah satu rumah karena diminta mengajari anak perempuan seorang
ibu yang akan menikah, memasak. Kemudian saat pulang dia mencari masjid karena sudah memasuki waktu sholat asar.
Amira berdiri kemudian mengambil tas yang ada di tangga dan membawanya melangkah keluar dari gerbang. Amira merasa gelisah saat dia lupa jalan yang harus
dia ambil. Dia menoleh ke kanan dan ke kiri, tapi masjid nampak sepi karena sholat berjamaah sudah bubar sejak beberapa saat yang lalu.
"Tadi aku lewat mana ya?" Amira melangkah mendekati yang sebelah kanan masjid.
"Tadi aku dari kanan atau kiri masjid?" Amira menggaruk kepalanya bingung. Amira memang memiliki kesulitan mengingat jalan, jadi dia sering kali tersesat
di saat pergi seorang diri ke tempat yang asing atau tempat yang belum pernah dia jamah sama sekali.4
"Nanti aku jalan ke sana kalau buntu gimana?" Amira menghentakkan kakinya, dia menoleh ke kanan dan ke kiri berharap ada orang yang bisa dia tanya.
"Bu Amira." Amira merasa ada yang memanggil namanya, dia langsung membalikan badan dan di sana dia melihat Dinan dengan versi berbeda. Jika biasanya Dinan
mengenakan pakaian formal, saat ini Dinan mengenakan sarung dan baju Koko berwarna coklat tua.
"Pak Dinan,"seru Amira kelewatan bahagia, dia bahagia bukan karena bertemu dengan Dinan namun karena dia memiliki titik terang untuk bertanya jalan pulang.
"Iya, apa yang Bu Amira lakukan di sini?" Amira menatap wajah Dinan sejenak kemudian dia menghela napas, sejak kejadian makan siang bersama waktu gelar
karya bulan lalu dia memang tidak bersinggungan lagi dengan Dinan. Hal ini membuat Amira merasa diserang canggung tiba-tiba.
"Saya tersesat," jawab Amira sambil meringis. Dia merasa tak nyaman dengan tatapan Dinan yang menurutnya menggelikan.
"Tersesat ya?" Dinan bertanya dengan nada ringan.
"Iya, saya memiliki kebiasaan lupa jalan." Dinan menatap wajah perempuan berjilbab di depannya dengan heran.
"Jadi sering tersesat?" tanya Dinan, Amira mendongak kemudian tersenyum tipis.
"Gak sering juga, hanya jika saya berada di wilayah asing." Amira menunduk kemudian memainkan dua tangannya.
"Ikuti saya," kata Dinan membuat Amira mendongak namun yang dia lihat hanya punggung lebar Dinan yang berjalan di depannya.
"Ayo!" Dinan membalikan badannya, Amira mengangguk kemudian berjalan sambil setengah berlari untuk menyusul langkah Dinan.
"Bapak tinggal di sini?" Amira mengutuk bibirnya yang seenaknya saja bergerak tanpa dia duga.
"Iya, rumah ibu saya." Amira mengangguk kemudian berjalan sambil menunduk. Dia mendongak saat dia sudah berada di depan gerbang.
"Ini rumah siapa?" tanya Amira bingung.
"Rumah ibu saya. Mari masuk!" Amira menoleh ke kanan kemudian ke kiri dia bingung harus melangkah masuk atau berbalik mencari jalan untuk pulang.
"Tunggu apa lagi?" Amira menatap Dinan tak yakin.
"Masuklah, nanti saya antar kamu pulang," kata Dinan.
"Kenapa nanti?" tanya Amira dengan nada tak sabar, dia menutup mulutnya yang sekali lagi bergerak tanpa diduga.
Selamat Datang Cinta Karya Mawarmay di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Karena kendaraan ada di rumah. Saya harus ambil kunci, dompet dan izin kepada ibu saya," kata Dinan. Amira mendongak kemudian melangkah masuk ke dalam
perkara rumah. "Di rumah benar ada ibu pak Dinan kan?" tanya Amira sambil menatap ke sekeliling, dia tidak pernah menyambangi rumah lelaki, jadi wajar jika dia curiga
apa lagi pengalaman memberi kesan yang pahit pada perjalanan cintanya.
"Iya, kamu tidak percaya. Ayo kita buktikan!" Dinan menarik tangan Amira, membuat Amira panas dingin dan napasnya tidak teratur.
"Assalamualaikum," salam Dinan membuka pintu dan masih menggandeng tangan Amira masuk ke dalam rumah.
"Waalaikumsalam warohmatullahi wabarokatuh," jawab seorang paruh baya yang muncul dari pintu dalam.
"Sudah pulang, Nak?" Ibu Dinan menatap tangan sang putra membuat Amira sadar dan segera melepas tangannya dari tangan Dinan.
"Sudah Bun, ini Amira Bun." Mata ibu Dinan menatap penuh minat dan mengeluarkan binar bahagia.
"Ini yang guru boga itu ya?" tanya ibu Dinan membuat Amira menatap wajah cantik dan keibuan itu dengan terkejut. Ah, ibu Dinan lebih cocok menjadi ibu
Nirmala karena wajah keduanya sangat mirip.
"Kamu duduk dulu, saya ganti baju dan nanti saya antar." Amira mengangguk kemudian menoleh ke arah ibu Dinan.
"Ayo duduk, kita berbincang sambil menunggu Dinan." Amira mengangguk canggung kemudian duduk di kursi panjang. Dia berbincang dengan ibu Dinan banyak hal
tentang dapur. Mulai dari beberapa resep hingga tips-tips saat di dapur.
---- "Terima kasih sudah diantar sampai rumah dengan selamat." Amira berkata sambil melepas sabuk pengaman.
"Sama-sama," jawab Dinan sambil mengamati lingkungan sekitar.
"Maaf saya tidak bisa menawarkan untuk mampir," kata Amira tidak enak hati. Dinan menoleh kemudian mengangguk.
"Sekali lagi terima kasih. Lain waktu," kata Amira tidak dilanjutkan. Dinan menatap heran.
"Oh tidak jadi, saya permisi!" Amira segera membuka pintu dan turun dari mobil, dia menutup pintu kemudian berdiri di pinggir memberi akses mobil Dinan
untuk berjalan. Mobil Dinan berjalan setelah membunyikan klakson dua kali dan disambut anggukan oleh Amira.
Amira menghela napas, dia mulai berpikir ada apa dengan dirinya? Entah disadari atau tidak dia merasa ada yang terasa tak nyaman di pikiran dan hatinya.
Amira berusaha menepis segala hal yang menjadi prediksi pemikirannya, dia tidak akan mempercayai itu semua.
Amira membalikkan badannya kemudian dia menghadap rumah kontrakan yang sebagai tempat singgahnya selama beberapa tahun berjalan. Dia merasa sayang jika
harus meninggalkan tempat bersejarah itu, namun dia juga sudah tidak sanggup jika harus tinggal di sini yang jauh dari lokasi tempat dia mengajar. Bukan
hanya sekedar fisik yang tidak sanggup, namun juga secara finansial. Transportasi Amira hampir memakan separuh gaji Amira. Mungkin ide dari Nirmala untuk
menawarkan kepada salah satu mahasiswi yang membutuhkan adalah ide yang harus dia pertimbangkan untuk saat ini.
"Ciye, gebetan baru Mbak?" sapa Lana salah satu penghuni kontrakan.
"Bukan, rekan kerja." Amira melepas sepatu sambil duduk.
"Rekan kerja? Kok lama banget di dalam." Lana berkata pelan dengan nada menggoda.
"Oh, ada pembicaraan saja," kata Amira sekenanya, hanya itu yang ada dipikirannya.
"Gebetan juga gak papa kok Mbak yang terpenting sama-sama single." Amira mendongak kemudian menggelengkan kepalanya.
"Oh ya Lan, kalau ada teman kamu cari kontrakan. Mbak mau diganti separuh saja biayanya." Lana menatap Amira sedikit terkejut.
"Mbak mau pindah?" Amira mengangguk pasti.
"Iya kayaknya Lan. Gak sanggup kalau transportasi jauh," kata Amira, Lana mengangguk mengerti, dia tahu jika tempat kerja Amira sangat jauh dari tempat
tinggalnya, tapi membiarkan Amira pindah dirinya sedikit tidak rela.
"Kemarin ada sih yang tanya, nanti coba Lana tanyakan." Amira mengaguk.
"Terima kasih ya," kata Amira kemudian pamit masuk ke dalam kamarnya.
Kontrakan Amira memang berbentuk seperti rumah pada umumnya, ada empat kamar, dapur, kamar mandi, ruang tamu dan garasi. Satu rumah ditempati empat orang,
Lana adalah salah satu penghuni kontrakan Amira ada Dini dan Shafita juga namun sepertinya keduanya sudah sibuk mendekam di dalam kamar atau sibuk dengan
urusan kuliahnya. Amira menutup kembali pintu kamarnya, dia menaruh tas di atas meja kemudian dia berbaring. Dia menerawang mengingat kejadian makan bersama dengan Dinan
yang berjalan lancar saat acara gelar karya.
"Bu Mira," panggil salah satu siswa boga yang tidak diketahui namanya oleh Mira, maklum Amira manusia biasa yang kadang lupa nama siswanya sendiri.
"Iya," jawab Mira sambil meletakan tumpukan pesanan makan siang guru-guru.
"Dicari pak Dinan," kata siswa yang ada di depan Amira sambil menatap wajah sang guru curiga.
"Oh, iya. Tolong ini di antar ke kantor ya," kata Amira menunjuk kotak makan.
"Terima kasih, pak Dinan di mana?" Muridnya menunjuk ke arah meja yang memang di sediakan untuk makan di tempat yang ada di luar tandu stan. Amira mengangguk
kemudian berjalan mendekati Dinan yang nampak asik dengan buku yang dia baca.
"Maaf Pak?" Dinan mendongak kemudian dia menatap Amira.
"Sudah habis ya cakenya?" Dinan berkata secara terus terang.
"Oh, tadi saya sudah menyendirikan milik Bapak." Amira berkata dengan canggung.
"Duduklah," kata Dinan. Amira menggeleng kemudian dia berbalik untuk mengambil cake dan sari buah pesanannya.
Amira membawa nampan berisi dua gelas dan dua potong cake. Dia menaruh di meja kemudian menyajikan di depan Dinan.
"Apa ini? Brownies?" Amira duduk kemudian meminum sari buahnya sejenak sebelum menjawab.
"Iya, ini brownies chocolate original." Amira menggerakkan garbu untuk menikmati kue kesukaannya.
"Maaf kalau tidak sesuai dengan selera, Bapak." Dinan makan dengan lahap.
"Saya bukan orang yang suka pilih-pilih makanan." Amira mengangguk kemudian kembali makan dalam diam.
"Sejak kapan suka memasak?" Amira mendongak kemudian berdehem untuk membersihkan tenggorokan.
"Sebenarnya saya tidak suka memasak." Amira bisa melihat Dinan dengan santai mengangguk.
"Jadi mengambil kuliah jurusan yang kamu geluti karena terpaksa?" Amira menggeleng.
"Saya suka makan, jadi dari situ saya seolah memiliki sebuah tekat kalau saya harus bisa membuat makan yang enak." Amira kembali menyuap brownies ke dalam
mulutnya. "Mengapa rasa pahit yang dominan? Tapi ada sisa juga manisnya."
"Itu karena dalam pembuat brownies ini gula dan bubuk cokelat original hampir setara. Jadi rasa pahit dominan di setiap kecap potongan kue." Dinan mengangguk.
"Biasanya, bunda beli semuanya manis." Amira menatap kemudian tersenyum tipis.
"Bunda sangat suka memasak namun dia tidak pernah mendapatkan takaran resep yang pas." Amira menoleh sejenak kemudian dalam hati dia berpikir, memasak
itu adalah perkara mudah selama kita mau terus berusaha. Tapi manusia memang memiliki kelebihan dan kekurangan sendiri-sendiri. Dan keduanya kembali terdiam
hingga acara makan bersama selesai.
*** 7. Natural _Kadang perasaan tidak perlu diungkapkan dengan kata-kata, tapi melalui perbuatan langsung tanpa ada yang menduga._
??? Amira keluar dari kantor, dia berniat untuk mengecek ruang ketrampilan untuk ujian praktek akhir semester.
"Bu Mira," panggil Nirmala, menghentikan langkah kaki Amira.
"Iya," jawab Amira membalikan badan.
"Makan bareng yuk!" Amira menatap jam yang melingkar di lengan kanannya, kemudian mengangguk.
"Kantin barat ya," kata Nirmala sambil berjalan.
"Iya," jawab Amira, kemudian dia membenarkan posisi jilbabnya.
"Belum ada yang minat dengan kontrakan?" Nirmala mulai bertanya.
"Belum ada," jawab Amira pelan. Ya, sejak dia berbincang dengan Lana dua hari yang lalu masih belum ada yang sekedar menanyakan detailnya.
"Yang sabar," kata Nirmala sambil mengecek ponsel pintarnya.
Amira mengambil duduk di bagian pojok, dia tak menyukai kebisingan yang berlebihan apalagi saat makan.
"Aku pesan dulu, kamu mau apa?"
"Saya coklat panas dan salome saja," kata Amira. Nirmala menatap Amira heran, gadis itu adalah guru boga namun memiliki selera yang menurutnya sedikit
aneh. "Baiklah," kata Nirmala berjalan menuju loket pemesanan.
Amira duduk bersandar, memainkan jarinya di atas meja, sesekali dia membuat bentuk-bentuk abstrak di atas meja.
"Bukannya tadi udah makan?" Suara Nirmala terdengar. Amira mendongak dia menoleh ke arah Nirmala yang sedang berbincang dengan Dinan.
Ah, Dinan. Sejak kejadian yang terjadi beberapa hari yang lalu, baik Dinan ataupun Amira menjalani hidupnya dengan natural, tidak ada perubahan sama sekali.
"Tapi kenapa zonk!" Dinan menaruh piring dan gelas yang dia bawa ke atas meja.
"Maaf ya, si jomblo gak ada teman makan." Dinan menoleh ke arah Amira kemudian mengangkat bahunya tidak terpengaruh.
"Gak papa," jawab Amira senormal mungkin. Amira merasa aneh, beberapa hari tidak bersua dengan Dinan membuat hal aneh menyapa perasaan dan tubuhnya. Ada
apa dengan dirinya? "Sudah abaikan dia anggap tak ada," kata Nirmala memasukan sesendok nasi ke dalam mulutnya. Amira tersenyum kemudian menikmati makanan yang ada di depannya.
"Kok aku ditinggal," kata Doni langsung duduk di samping Amira. Amira mendongak kemudian menunduk kembali karena merasa canggung.
"Kita tukeran tempat," kata Nirmala membuat Doni berdecak. Amira menghela napas bersyukur atas ide Nirmala, namun tak bertahan lama karena Nirmala meminta
dirinya bergeser yang artinya dia harus duduk berhadapan dengan Dinan.
Amira diam, dia menikmati coklat panas yang ada di depannya. Dia tak serta merta diam sebenarnya, karena telinganya sudah disetel waspada sejak dia menggeser
duduknya. "Tadi kalian udah makan siang, kenapa tiba-tiba makan lagi?" Suara Nirmala nampak heran dengan tingkah dua lelaki di depannya.
"Tadi belum sempat," jawab Doni melirik ke arah Dinan. Namun yang sedang disinggung tak mengindahkan.
"Kenapa?" Doni diam sejenak kemudian dia berdecak.
"Minta ditraktir, namun diajak ke masakan Padang malah balik pulang," kata Doni kemudian melanjutkan makannya.
"Kamu ngajak Dinan ke warung Padang?" Nirmala berkata dengan terkejut kemudian dia tertawa.
"Kamu kenal dia bukan sehari dua hari bukan. Mana pernah Dinan makan masakan yang bermacam-macam kalau bukan di rumah, kamu tahu benar selera makannya."
Nirmala menggelangkan kepalanya tidak percaya.
"Aku pikir dia sudah berubah. Kemarin aku ajak ke Starbucks dia mau." Nirmala menoleh ke arah Dinan.
"Kamu yakin?" Doni mengangguk santai, Nirmala menatap Dinan tak percaya.
"Dia cuman ngopi aja tapi," kata Doni membuat Nirmala menghela napas, baik Amira dan Dinan tak terusik sama sekali, keduanya berkutat dengan pikiran masing-masing.
"Saya sudah selesai," kata Amira membuat semua menoleh ke arah Amira dan piringnya.
"Saya duluan ya," kata Amira sambil membersihkan mulutnya dengan tisu.
"Mengapa buru-buru?" tanya Dinan membuat dua orang lainnya mengerutkan keningnya heran.
"Saya mau lihat persiapan ruangan untuk ujian praktek." Amira menyesap kembali coklat yang sudah tak panas.
"Gak usah bayar," kata Doni membuat Amira menatap canggung.
"Hari ini saya yang traktir makan." Amira menoleh ke arah Nirmala kemudian seolah tahu dilema yang dihadapi Amira dia mengangguk.
"Terima kasih pak Doni." Amira mengucapkan dengan tulus. Dia menoleh ke arah Nirmala kemudian berpamitan untuk pergi terlebih dahulu.
---- "Garnish yang kamu gunakan ini disebut Composite Garnish, yaitu?garnish yang terdiri dari bermacam-macam bahan sebagai hiasan yang sesuai dengan makanan
dasar. Bahan-bahan tersebut harus mempunyai perpaduan rasa dan aroma dengan makanan pokok atau bahan satu dengan yang lainnya."
"Sudah masuk kategori, Bu?"
"Sudah, mungkin sebelum disajikan biasakan membersihkan piring kosong dengan lap bersih. Biar sisa saos seperti ini tidak terlihat." Amira menunjuk bekas
saos yang blepotan di piring.
"Iya Bu." Amira mengaguk kemudian mempersilahkan untuk kembali duduk.
"Untuk rasa bagaimana, Bu?" tanya Rina sambil mengelap bibirnya.
"Rasanya 70 dari 80 Bu. Soalnya rasa masih dominan garam untuk bumbu belum terlihat." Rina mengangguk.
"Menurut Bu Mira apa penyebabnya?"
"Mungkin tahap masaknya tidak sesuai. Atau bumbu terlalu matang, itu juga bisa merusak cita rasa bumbu itu sendiri." Rina mengangguk setuju, dia cukup
takjub dengan penilaian Amira.
Kemudian keduanya saling diskusi sebelum menilai makanan yang dia makan, saat ini keduanya sedang mencicipi hasil karya anak kelas sebelas.
Setelah menentukan nilai tugas seorang guru boga masih ada lagi yaitu menilai perancangan dan mengoreksi ujian tulis separuh kelas. Iya, saat ujian praktek
kelas dibagi menjadi dua yang setengah praktek yang setengah lagi ujian tulis. Jangan bilang anak boga selalu masak, ada juga materi sebelum praktek.
Sore ini nampak sepi saat Amira melangkah keluar gerbang bahkan Amira tidak melihat hadirnya seorang satpam yang biasa menjaga di pos atau dekat gerbang.
Amira melangkahkan kakinya dengan langkah pelan namun pasti dia membawa setumpuk kertas perancangan untuk dinilai di rumah karena waktu tidak cukup.
"Hai," sapa Fatih mengikuti jalan Amira, Amira hanya menoleh kemudian kembali melangkah.
"Maaf untuk yang kemarin," kata Fatih tanpa menoleh ke arah Amira.
"Aku terlalu agresif dalam mengambil jalan," kata Fatih sambil menoleh ke arah Amira, namun yang dia dapat hanya zonk karena Amira nampak tak mempedulikan.
"Amira," panggil Fatih. Amira menoleh kemudian menyunggingkan senyum manis.
"Maaf juga sikap tak baikku kemarin." Amira menunduk mengamati langkah kakinya.
"Jadi kita berteman?" tanya Fatih mengulurkan tangannya, namun Amira hanya menatap tangan itu kemudian dia memberi kode bahwa tangannya sibuk. Sambil tertawa
Fatih menggerakkan tangannya canggung.
"Maaf," kata Amira sambil tersenyum.
"Tidak masalah," kata Fatih.
"Mau aku antar pulang, kebetulan mobilku ada di sana," kata Fatih menunjuk ke arah sebuah mobil Honda terkenal berwarna merah.
"Maaf, saya tidak bisa. Terima kasih tawaran yang sudah diberikan," kata Amira sambil melambaikan tangan dia menyebrang menuju halte.
Amira memang menerima pertemanan dengan siapapun namun dia tidak akan memanfaatkan orang lain untuk kebutuhannya selain itu dia tidak akan membiarkan orang
lain mengacaukan privasinya.
Amira duduk di halte sambil memangku tas yang dia bawa, dia menatap lurus ke depan. Bayang-bayang masa lalu dan rasa bersalah kembali menghantui di saat
dia mulai kembali lagi membuka hati.
Ingatannya kembali pada saat dia bercerita kepada sang ayah dua tahun yang lalu, dia menceritakan alasan dia membatalkan pernikahan. Ya, Amira adalah penganut
nikah muda. Bukan tanpa alasan dia menginginkan pernikahan muda, selain segera menyempurnakan agama, terjauh dari fitnah juga karena dia tidak ingin seperti
ayah dan ibunya. Anak masih kecil namun sang ayah juga ibu sudah lanjut usia.
Kembali kepada alasan Amira membatalkan pernikahan, bukan karena kekasihnya selingkuh atau menghamili anak orang. Bukan, bukan seperti itu. Kekasih yang
dia miliki adalah sosok yang setia, dia tidak memiliki kekurangan tentang kasih sayang. Bahkan dia terkenal sangat baik, jujur dan berbudi luhur.
Amira memutuskan untuk tidak jadi menikah dengan Farhat karena sebuah alasan sederhana tentang sebuah prinsip. Ya, sangat sederhana. Bahkan karena alasan
sederhana itu Amira harus menanggung cemoohan dari teman-teman yang mengetahuinya.
Dan masih di ingat jelas oleh Amira, wajah tua sang ayah saat dia mengatakan semuanya. Sang ayah hanya tersenyum tipis sambil menepuk pundaknya.
"Bapak percaya apa yang kamu ambil pasti sudah kamu pertimbangkan."
Amira tidak pernah tahu bahwa ucapan menenangkan dari sang ayah itu menjadi ucapan terakhir yang akan di terima. Karena, setelah mengucapkan kalimat itu
sang ayah bangkit dan masuk ke dalam kamarnya untuk tidur karena hari sudah malam. Dan di sepertiga malam terakhir saat di waktu sang ayah biasa bangun
untuk melakukan sholat tahajud, sang ayah sudah tiada. Dan karena sebab itulah, rasa bersalah selalu menghantuinya. Dia tidak tahu apakah sang ayah kecewa
kepadanya atau justru bangga padanya.
"Bu Amira," tepukan di bahunya menyadarkan Amira dari nostalgia masa lalu.
"Oh, maaf." Amira merasa salah tingkah saat dia mendongak dan mendapati Dinan yang menatapnya tajam.
"Apa yang Bu Amira lakukan di sini?" Amira menatap wajah Dinan heran, siapapun tahu jika di halte kemungkinan besar seseorang itu sedang menunggu bus,
lalu apa perlu ditanyakan ulang?
"Saya sedang menunggu bus," jawab Amira tidak yakin.
"Yakin?" Amira semakin tidak paham dengan hal yang ditanyakan Dinan.
"Mengapa pak Dinan, maksud saya apa yang pak Dinan ah bukan apa yang sedang pak Dinan pikirkan?"
"Masih tinggal di kontrakan yang kemarin?" Amira menatap lekat wajah Dinan, karena bukan menjawab pertanyaan dari dirinya Dinan malah kembali bertanya.
"Iya," jawab Amira ragu. Amira terkejut saat Dinan mengambil alih tas yang ada diatasnya pahanya dan membawanya melangkah menuju salah satu swalayan yang
ada di samping halte. "Saya akan mengantarkan kamu pulang." Amira semakin bingung dengan sikap Dinan yang menurutnya tidak wajar, bukan tidak wajar namun cenderung aneh. Dia
tidak habis pikir dengan segala hal yang dilakukan guru sederhana itu.
*** 8. Berjalan -Terkadang kita tidak bisa menebak apa yang akan terjadi, atau hasil dari sebuah usaha. Jadi hanya waktu yang mampu menjawabnya, yang kita lakukan hanya
berjalan mengikuti tanpa mengubah sebuah prinsip yang berlaku---- Amira duduk tenang menghadap ke depan tak ada suara yang memecah keheningan keduanya, Dinan yang jarang berbicara hanya terfokus pada jalan yang nampak
padat merayap karena memang waktu bertepatan para pekerja pulang kembali ke rumah.
Amira merasa gatal di bibirnya, entah mengapa dia merasa tak nyaman dengan suasana diam. Padahal, dia sudah biasa dengan keheningan karena baginya keheningan
adalah sahabat sejati yang tak akan mengkhianati. Namun saat ini, saat dia bersama Dinan di dalam mobil. Dia merasa tak tenang dengan keheningan yang tercipta,
dia merasa kosong yang berlebihan dia ingin segera mengeluarkan suara dan memecah kepingan diam.
"Pak Dinan tadi kok ada di halte?" tanya Amira dengan menolehkan wajahnya ke arah Dinan.
"Saya baru dari market," jawab Dinan singkat membuat Amira kehilangan kata-kata. Amira bukan sosok yang pandai mencari topik pembicaraan, jika hal yang
dia angkat sudah dipatahkan dengan jawaban tanpa balasan tanya dia tak akan bisa lagi buka suara.
Amira menoleh ke sebelah kirinya kemudian menghela nafas pelan, dia tidak terbiasa menghadapi orang yang serupa dengan dirinya sendiri. Kini dia menyadari,
apa selama ini lawan bicaranya merasakan hal yang sama dengan yang saat ini dia rasakan jika setiap kali dirinya menjawab singkat dan padat setiap pertanyaan.
"Tadi, apa yang kamu lakukan di halte?" Amira menoleh saat Dinan berinisiatif untuk mengeluarkan suara.
"Menunggu bus," jawab Amira mencoba santai tapi hati dan jantung siapa yang bisa mendusta.
"Menunggu bus?" Amira kembali dibuat heran dengan ucapan Dinan. Apa ada suatu kesalahan jika Amira menunggu bus di halte? Jawabannya sepertinya tidak.
"Iya, memangnya apa yang dilakukan saat di halte?" Amira mengutuk bibirnya yang melakukan kebiasaannya dulu, selalu menyuarakan apa yang dia pikirkan.
Ada apa dengan Amira? Mengapa belakangan ini dia sering menyuarakan pikirannya. Padahal sudah sejak kejadian dua tahun yang lalu Amira selalu berusaha
banyak diam dibandingkan berbicara.
Amira menoleh ke arah Dinan yang juga tengah menoleh ke arah dirinya.
"Melamun mungkin," kata Dinan membuat Amira tidak mengerti. Dinan adalah guru bahasa Indonesia yang artinya dia juga tahu benar fungsi halte.
Lalu mengapa Dinan memiliki pemikiran demikian?
"Memangnya fungsi halte sudah beruban ya?" tanya Amira dengan wajah sepolos mungkin.
"Aku rasa belum, tapi tadi seorang perempuan berjilbab merah mengalihkan fungsikan halte untuk melamun. Bahkan sampai dua bus lewat perempuan itu tak menyadarinya."
Amira menoleh cepat ke arah Dinan dan menatap Dinan dengan wajah terkejut.
Apa yang dimaksud Dinan adalah dirinya?
"Terima kasih sudah diantar," kata Amira saat akan keluar dari mobil Dinan. Dinan hanya mengangguk membuat Amira tersenyum tipis dan keluar.
Amira merasa heran saat kaca mobil Dinan turun menampakkan wajah pengemudinya.
"Lain waktu boleh saya minta waktu kamu?" Amira mengangguk tanpa berpikir. Karena hal yang dimaksud oleh Dinan mungkin adalah ajakan untuk berdiskusi atau
yang lainnya. Mungkin lelaki itu butuh teman bicara.
"Terima kasih," kata Dinan kemudian dia pamit untuk pulang.
--- Amira mengerutkan keningnya saat melihat mobil yang nampak tak asing terparkir di depan swalayan dekat halte, dia sedikit merasa aneh dengan ide ketidaksengajaan
yang ada di otaknya. Amira duduk di halte bus, dia harus menunggu hingga beberapa waktu. Setelah sabar menunggu akhirnya bus yang melewati halte dekat kontrakan Amira lewat
dan Amira segera naik untuk menghalau segala pemikiran yang menurutnya menggelikan dan tidak masuk akal.
"Tidak mungkin dia menguntit diriku," kata Amira sambil duduk di kursi, berhubung bus sedang sepi.
Amira membuka room chat dengan Nirmala, di sana tertulis jelas bahwa Nirmala mengusulkan dirinya satu kelompok sebagai pendamping study tour anak kelas
sebelas, dan dengan lincah Amira mengiyakan begitu saja. Mungkin lebih baik satu kelompok dengan Nirmala dari pada dengan guru lain yang jelas dia tidak
mengenal dengan baik. Amira melihat ke arah jalan, tanpa terasa tujuannya semakin dekat. Dia beranjak dari duduknya menuju pintu depan untuk persiapan turun.
"Di mana Bu?" tanya kernet yang ada di depan pintu bus.
"Halte universitas," jawab Amira sambil mengamati jalan.
"Versitas," teriak sang kernet kemudian bus nampak berjalan pelan dan berhenti sejenak. Amira mengucapkan terima kasih dan berlalu keluar bus.
Amira tidak langsung pulang, dia melangkah menuju salah satu minimarket yang ada di dekat gang masuk kontrakan. Dia harus membeli kebutuhan sehari-hari.
Amira masuk di sambut dengan sapaan halus sang kasir, Amira menoleh kemudian mengangguk tersenyum sebagai balasan.
Amira berjalan mengambil keranjang kemudian dia melangkah menuju jajaran rak tepung terigu. Selama ini Amira memang sering memasak sendiri di kontrakan
dibandingkan dengan membeli makanan matang, selain karena lebih higienis juga lebih ekonomis.
Amira memasukkan tepung terigu bungkus satu kilo dengan gambar bangun datar tiga sudut ke dalam keranjang belanjaan ya, kemudian dia berjalan menuju jajaran
bumbu jadi dengan banyak racikan. Dia mengambil lada bubuk dan ketumbar bubuk.
Amira kembali berjalan menuju rak berisi beberapa saos dan kecap. Dia melihat ada merk baru yang terasa asing untuknya, dia mengambil kemudian membaca
komposisi dan mencari lebel halalnya.
"Mira," panggil sebuah suara perempuan dari arah belakang. Amira menoleh dan di sana dia melihat Luluk, sahabatnya semasa kuliah.
"Wah, kebetulan aku bertemu denganmu." Luluk nampak berkata dengan nada keras, Amira hanya mengangguk.
"Apa kabar?" tanya Luluk.
"Alhamdulillah baik," jawab Amira dengan nada pelan, dia memang bersahabat dengan Luluk. Tapi, itu dulu sebelum insiden gagal pernikahan Amira terjadi.
Karena setelah rencana pernikahan yang gagal sahabat Amira itu mulai berubah.
"Apa yang kamu lakukan disini?" tanya Luluk mengamati penampilan Amira yang nampak formal.
"Belanja," jawab Amira sambil menaikan keranjang belanjaannya.
"Kita lama gak ketemu ya?" Amira tersenyum tipis.
"Iya, terakhir ketemu sekitar dua bulan setelah meninggalnya bapak." Luluk nampak berubah ekspresi wajahnya, namun hal itu hanya sejenak. Ya, sejak meninggalnya
ayah Amira, Luluk sudah tidak terlihat lagi berkeliaran di sekitar kampus dan menurut omongan orang dari orang Luluk mengambil cuti kuliah.
"Iya, aku cuti." Amira mengaguk dia tidak ingin bertanya lebih jauh tentang alasan dibaliknya. Walau banyak rumor yang mengatakan bahwa Luluk cuti karena
menikah. "Bun, kok lama." Terdengar suara yang sangat tak asing di telinganya. Amira melihat lelaki yang sempat melamarnya berdiri di belakang Luluk dengan wajah
terkejut. "Ini ada Amira," jawab Luluk sambil mengulurkan tangannya ke arah Farhat untuk mengambil alih gendongan putrinya.
Amira tersenyum tipis, dia tidak menduga akan bertemu dengan Farhat dalam kondisi seperti ini. Padahal dulu dia sempat berpikir bahwa dia harus lebih unggul
dibandingkan sang mantan namun apa boleh buat ternyata sang mantan lebih gesit dalam melangkah.
"Apa kabar Amira?" tanya Farhat sambil mengulurkan tangannya. Amira mundur satu langkah, entah karena apa tapi yang tercetak jelas di wajahnya adalah kecemasan.
"Amira," kata Luluk dengan nada memberi peringatan. Namun Amira hanya menoleh ke arah Luluk, Farhat dan tangan Farhat yang mengulur secara bergantian.
Dia tidak mampu mengeluarkan suara, dia seolah kehilangan pijakan. Bukan ini yang dia inginkan, tolong siapapun itu tolong Amira dia tidak mampu membuat
kesan kuat di depan mantan calon suami dan juga sahabatnya.
Amira mengambil napas, kemudian tangan kanannya berpegangan dengan rak sebelahnya. Dia merasa tubuhnya melemas, dia tidak sampaikan memikirkan semua yang
Selamat Datang Cinta Karya Mawarmay di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ada di depannya. "Amira, ini semua bukan salah kami. Kami tidak mengkhianati kamu. Bukankah kamu dan mas Farhat sudah tidak memiliki hubungan?" Luluk mencoba membuka suara
dan Farhat menurunkan tangannya dengan raut wajah kecewa.
"Aku, aku...." Amira berusaha mengeluarkan suara namun dia seolah kehilangan kosa kata hanya suara aku yang dia keluarkan.
"Ini yang namanya jodoh, jangan salahkan manusia. Manusia hanya berusaha untuk menjalani apa yang sudah digariskan sang takdir. Kamu yang pernah menjadi
kekasih mas Farhat akan tetapi kini aku yang menjadi istrinya dan ibu dari anak-anaknya." Luluk masih mencerca Amira, namun semua itu tak bisa dicerna
oleh Amira. "Kamu baik-baik saja," sebuah tangan membantu Amira berdiri dengan tegak.
Amira mendongak kemudian dia berpegangan pada lengan tangan Dinan.
"Tolong saya pak, saya mau pergi dari sini." Dinan menatap lawan bicara Amira, kemudian dia menunduk melihat Amira yang nampak lemah.
"Kamu siapa?" tanya Luluk membuat Amira memegang erat tangan Dinan.
"Maaf, mungkin saya yang harusnya bertanya. Anda siapa?" Dinan bertanya dengan wajah datar, dia bisa melihat wajah lelaki yang nampak fokus ke arah Amira
yang saat ini menunduk menyembunyikan wajahnya.
"Saya sahabatnya, kenalkan saya Luluk." Luluk melunakkan suaranya sambil mengulurkan tangannya namun Dinan hanya menatapnya tanpa berniat untuk menerima
karena wanita didepannya harus tahu bahwa tangannya saat ini sedang dipegang oleh Amira.
"Maaf, saya Dinan." Dinan berkata dengan tegas.
"Ini suamiku, Farhat." Dinan menoleh ke arah Farhat lalu mengangguk. Amira mencoba berdehem untuk mengumpulkan suara.
"Apa hubungan kamu dengan Dinan, Mira?" tanya Luluk dengan nada kalem, seperti dulu saat dia masih menjadi sahabat Amira.
"Apakah itu penting untuk kamu ketahui?" tanya Amira membuat Dinan menunduk kemudian menatap ke depan.
"Hanya ingin tahu. Kamu tidak nikah diam-diam kan?" Amira mengeratkan pegangannya.
"Saya kira itu bukan masalah. Bukankah kalian juga menikah diam-diam?" Amira kembali membalikan kalimatnya, dia merasa jengah dengan dua orang di depannya.
"Anak ini berumur sekitar dua tahunan. Lalu kapan kalian melakukan hubungan? Jika menurut perhitunganku pernikahan kalian baru satu setengah tahun, dan
aku batal menikah sekitar dua tahun." Amira berkata dengan tegas. Kemudian dia melepas tangannya yang berpegang pada lengan Dinan.2
"Sepertinya kita harus pulang," kata Amira menatap wajah diam dua orang di depannya, kemudian dia menoleh ke arah Dinan yang memasang wajah datar. Dinan
mengangguk membuat senyum di bibir Amira terbit.
"Baiklah saya duluan, assalamualaikum." Amira melangkah sambil menarik lengan Dinan. Dia menaruh kerenjang belanjaannya di dekat kasir kemudian keluar
begitu saja tanpa melanjutkan belanja.
*** 9. Kerikil ??Hidup itu bukan semua tentang masa lalu namun juga tentang masa depan. Bukan serta merta masa depan namun juga dengan masa lalu. Kita melangkah ke depan
dan meninggalkan jejak di masa lalu. Kita menoleh ke masa lalu memperoleh pelajaran untuk masa depan.??
---- "Terima kasih sudah membantu saya," kata Amira setelah meletakkan cangkir teh panas di atas meja.
Saat ini Amira dan Dinan berada di sebuah kafe kecil yang berada di dekat minimarket yang tadi Amira kunjungi. Awalnya tadi Amira sudah hendak pergi namun
entah atas alasan apa Dinan menarik tangannya menuju kafe dan di sinilah keduanya saat ini.
"Saya pikir itu sudah ucapan untuk sekian kalinya yang saya dengar." Amira tersenyum menunduk malu.
"Maaf," kata Amira dengan canggung.
"Untuk?" "Semuanya," kata Amira.
"Jadi ucapan terima kasih dari kamu itu sebuah kesalahan." Amira mendongak kemudian menggelengkan kepalanya dengan cepat. Entahlah dia tak ingin ada kesalahpahaman.
Bukankah kadang masalah yang besar itu muncul dari sesuatu yang sederhana.
"Bukan, tentu saja bukan."
"Lalu mengapa kamu minta maaf?"
"Itu, itu karena saya...."
"Saya?" Dinan mengikuti ucapan Amira yang menggantung.
"Saya tidak tahu," kata Amira akhirnya setelah cukup lama dia berpikir namun tak jua mendapatkan kalimat yang tepat.
"Jangan meminta maaf atas kesalahan yang tidak kamu perbuat, atau jangan berterima kasih atas sesuatu yang sebenarnya tidak perlu dilakukan." Amira mendongak
menatap Dinan dengan polos, dia tidak mengerti maksud dari ucapan itu tapi tak urung dia mengangguk tanda setuju.
"Sudah lebih baik?" tanya Dinan. Amira menatap wajah Dinan dalam diam.
"Aku akan antar pulang jika sudah," kata Dinan lagi membuat Amira semakin heran, dia pikir Dinan mengajaknya kemari karena Dinan membutuhkan penjelasan
tentang semua yang dia lakukan di minimarket, namun yang dia dapatkan hal yang berbeda.
"Bapak tidak bertanya?" Amira menatap wajah Dinan was-was.
"Bukankah saya sudah bertanya?"
"Benarkah?" Amira mencoba mengingat hal yang baru saja keduanya perbincangkan namun tak juga dia mendapati Dinan menanyakan perihal kejadian tadi.
"Ya bertanya, apakah perasaan kamu sudah lebih baik?" Amira menatap kemudian mengangguk.
"Mau pulang sekarang?" Amira menatap Dinan kemudian dia membuka mulutnya kemudian menutup kembali.
"Bagaimana?" "Bapak tidak ingin tanya tentang dua orang tadi?"
"Tidak perlu, jika nanti hal itu mengganggu langkahku baru aku akan mencari tahu sendiri." Amira mengaguk-angguk kemudian dia menatap Dinan cepat.2
"Atau kamu ingin bercerita kepada saya?" Amira menggelangkan kepalanya dengan cepat.
"Bukankah sudah jelas?" Amira mengangguk dengan tak yakin.
"Ayo, saya antar!" Amira berdiri dari duduknya walau sejujurnya dia masih penasaran dengan ucapan tak pasti Dinan."
---- Amira terdiam di depan pintu kontrakan sambil sesekali melirik ke arah mobil merah yang terparkir tak jauh dari gerbang kontrakan. Dia merasa tak asing
dengan mobil itu, dia ingat benar bahwa mobil itu adalah mobil yang sama dengan mobil yang selalu ada di parkiran swalayan dekat halte dia menunggu bus
saat pulang dari sekolah.
Amira dilingkupi dengan rasa was-was, dia merasa tak tenang. Dia bingung harus meminta tolong kepada siapa, karena di kota ini dia tinggal sendiri. Amira
mengedarkan pandangannya ke sekeliling namun kontrakan kondisi sepi karena Jan sebelas adalah jam produktif untuk kegiatan anak kuliah. Dia menghela napas
kemudian kembali masuk ke dalam rumah.
Dia mengambil ponsel kemudian menelepon nomor yang dia kenal dekat di kota ini.
"Hallo, assalamualaikum." Sapa suara di seberang sana.
"Waalaikumsalam warohmatullahi wabarokatuh," jawab Amira sedikit tak yakin.
"Bu Mira?" panggil orang diseberang.
"Maaf Bu Mala, saya mau minta tolong boleh?"
"Boleh, Bu Mira baik-baik saja? Kenapa suara Bu Mira aneh?" Amira semakin gemetar dia takut dengan spikulasi yang ada di otaknya.
"Saya takut Bu," kata Amira dengan nada rendah.
"Bu Mira di mana?"
"Saya di kontrakkan."
"Saya segera ke sana." Amira menatap ponselnya yang sudah tidak tersambung dengan Mala. Ada ketakutan tersendiri pada diri Amira saat menyadari bahwa dirinya
sendirian tak ada seseorang di rumah.
Amira duduk di dekat rak sepatu, dia merasakan was-was yang semakin meningkat, dia tak tahu apa yang harus dia lakukan. Dan hal pertama dan terakhir dalam
pikirannya adalah dia hanya mampu menangis.
"Yaa Allah," ujara Amira disela tangisnya. Amira menunduk takut, dia seperti kelinci yang sudah dikepung serigala. Amira hanya berdzikir di dalam hati
berharap mampu mengurangi rasa takutnya.
Tok...tok...tok.... Suara ketukan pintu membuat Amira semakin ketakutan, dia takut sendiri namun dia sering sendiri. Dia takut kesunyian namun dia sering mensunyikan diri.
"Amira, Amira." Amira mendongak saat mengenal suara itu, itu adalah suara Mala. Sosok yang beberapa bulan ini dekat dengan dirinya baik di sekolah atau
di luar sekolah. Amira berdiri, dia menghapus airmatanya walau percuma karena tetap saja mengalir di pipinya.
"Bu Mala," panggil Amira sambil membuka pintu lebar, kemudian dia mengamati sekitar dan dia masih bisa melihat mobil merah itu di ujung sana.
Amira menyeret Nirmala masuk ke dalam rumah dan diikuti oleh Doni. Amira menatap Doni dan Nirmala dengan heran.
"Oh, tadi Doni yang menjemput karena Dinan ada urusan." Amira mengangguk saja kemudian menutup pintunya dengan tergesa-gesa seolah takut ada orang yang
akan masuk. Doni dan Nirmala saling berpandangan.
"Ada apa?" tanya Doni lebih dulu. Amira diam, dia menatap Doni dan Nirmala bergantian.
"Beberapa hari ini, aku merasa diikuti oleh orang. Pak Doni lihat mobil merah di depan, mobil itu mengikuti kemanapun aku pergi. Di mana saja aku melihatnya."
Doni berjalan menuju jendela depan untuk mengintip, dia memang melihat ada mobil merah dengan kaca gelap. Saat dia akan keluar bertepatan juga mobil itu
berjalan meninggalkan tempat dia berhenti.
Doni menatap mobil itu dengan seksama, dia ingat mobil yang terparkir di gerbang belakang sekolah dua hari yang lalu. Dan dia merasa mobil itu adalah mobil
yang sama, tapi apa motifnya?
"Sudah tidak ada," kata Doni masuk.
"Jadi tadi beneran ada?" tanya Nirmala. Doni mengangguk sebagai jawaban dia masih dihantui rasa penasaran.
"Kamu punya masalah dengan seseorang? Atau kamu pergi dari rumah tanpa izin?" Doni bertanya kepada Amira. Karena dia merasa janggal. Ayolah ini kehidupan
bukan sinema FTV jadi dia harus berpikir rasional.
"Aku tidak memiliki masalah dan aku dengan izin tinggal di sini." Amira menjawab dengan tak yakin.
"Lalu kira-kira siapa?" gumam Doni membuat Nirmala mengerutkan keningnya.
"Sorry, Dinan telepon." Doni melangkah keluar rumah dan Amira minum air mineral yang diberikan oleh Nirmala.
"Kamu mau menginap di rumahku?" Nirmala bertanya dengan hati-hati. Amira mendongak kemudian menggelengkan.
"Saya terlalu merepotkan, sudah ditemui saat ini saya sudah sangat berterima kasih." Amira menunduk tak enak.
"Anggap aku kakak, jadi jangan sungkan. Jujur aku menyukaimu sejak perkenalan beberapa bulan yang lalu." Nirmala menggenggam tangan Amira.
"Terima kasih, tapi aku masih bisa tinggal di sini."
"Baiklah, tapi kalau terjadi apapun hubungi Mbak, oke?" Amira tersenyum kemudian mengangguk. Dan dengan penuh perhatian Nirmala membawa Amira kedalam pelukannya.
"Kita harus segera berangkat, Dinan sudah menungguku di sekolah."
"Memang hari ini Dinan kemana?"
"Dia menemui seseorang di sekitar sini." Doni berkata dengan santai, dia membalas chat yang masuk ke dalam aplikasi WhatsApp messenger.
"Siapa?" "Calon sepupu kamu mungkin," jawab Doni dengan santai.
"Kamu yakin?" tanya Nirmala dengan antusias.
"Entahlah, dia belum cerita. Kamu tahu sendiri kalau Dinan cowok bermodal sederhana, kamu tanya saya jawab." Doni memasukkan ponselnya bersamaan dengan
Amira yang sudah mengganti bajunya karena kusut.
"Sudah siap? Ayo kita berangkat." Dua perempuan itu beranjak dan berjalan keluar dari rumah kontrakan, tidak lupa Amira mengunci pintu kontrakan dan bergegas
masuk ke dalam mobil. Di dalam mobil terasa sunyi hingga Doni mengeluarkan suara.
"Kamu sering mendapati hal yang mencurigakan, Mira?" tanya Doni.
"Ah, bolehkan aku panggil begitu. Karena kamu lebih muda dariku biar akrab." Amira mengangguk.
"Pernah di suatu malam yang hujan saya dapat kiriman makanan melalui gojek. Tidak tahu siapa yang mengirim jadi buat makan bersama anak satu kontrakan."
Amira bercerita tentang kejadian dua pekan yang lalu.
"Terus? ada lagi?" Amira menggeleng.
"Kayaknya gak ada, selain sering dibuntuti saja." Amira berkata dengan tidak yakin.
"Kata Dinan kamu baru-baru ini sering jalan ke halte dengan seorang lelaki?" Doni melirik Amira dari kaca tengah.
"Dinan yang bilang?" Doni mengangguk.
"Dinan kan panitia ujian jadi pulang sore-sore." Amira masih diam saja, dia mulai mengingat sosok lelaki yang dia anggap sebagai penguntit.
"Iya, dia Fatih. Salah satu staf di yayasan." Amira memang sering pulang dengan Fatih, walau hanya berjalan dari gerbang depan menuju halte dia juga sudah
banyak bertanya seputar kehidupan. Seperti pekerjaan, hobi dan beberapa hal yang tidak menjerumus menuju sesuatu yang sangat pribadi. Dan dia nyaman melakukannya.
"Berarti kamu tahu siapa Fatih?" Doni mengamati reaksi wajah Amira.
"Enggak. Kita cuman saling tahu saja." Doni mengangguk tanda mengerti.
"Apa ada kemungkinan?" tanya Nirmala.
"Bisa jadi," jawab Doni membuat Amira terdiam dia mengunci bibirnya dengan cepat. Apa iya Fatih benar-benar menguntit? Tapi bukankah Fatih sudah bilang
bahwa dia minta maaf dan menyesal. Entahlah semua itu masih menjadi abu-abu menurut Amira.
*** 10. Keadaan Iri pada suatu kebaikan yang tak mampu dilakukan itu seperti kita inginkan memetik bintang di langit.?
---- Sejak kejadian sepekan yang lalu, Nirmala tidak pernah membiarkan Amira pergi seorang diri. Dia bahkan rela menjemput Amira saat berangkat bersama. Atau
akan memaksa Dinan untuk menjemput Amira karena keduanya satu arah.
Kebetulan Amira berangkat pagi karena dia sebagai salah satu guru penjaga ujian akhir semester satu. Jadi mempermudah tranparansi, di antar dan dijemput.
Jika ingin pergi maka Nirmala dengan senang hati menemani. Tapi selama sepekan ini bisa dibilang Amira yang menemani kemana saja perginya Nirmala. Namun,
dia tidak keberatan karena dia merasa senang seolah dia memiliki saudara yang tak dia rasakan. Bukan karena Amira anak tunggal tapi karena saudaranya berbeda
dengan saudara-saudara yang pada umumnya, saudara yang dimiliki Amira cenderung individual tak memikirkan orang lain.
Misteri Raja Racun 1 Pendekar Rajawali Sakti 1 Iblis Lembah Tengkorak Patung Hok Lok Sioe 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama