Ceritasilat Novel Online

Selamat Datang Halal 2

Selamat Datang Halal Karya Mawar May Bagian 2


pikirnya sendiri. "Kamu kenapa Ami?" tanya Dinda yang sudah duduk di sofa.
"Gak papa, memangnya Ami kenapa Mbak?" Amira melihat Dinda heran.
"Kamu tadi menggelengkan kepalamu." Amira menatap cepat sang kakak ipar kemudian meringis, hal itu membuat Dinda menatap curiga.
"Kenapa?" "Gak papa Mbak, Ya Allah gak percayaan." Amira beranjak meninggalkan karpet dan duduk di sebelah sang kakak ipar.
"Udah menendang belum?" Amira mengelus lembut perut buncit Dinda.
"Udah sering Ammah," kata Dinda dengan bergaya suara anak kecil.
"Sakit gak Mbak?"
"Sakit sih kadang, tadi kalau mengingat aku membawa nyawa rasa sakit itu berubah kebahagiaan." Amira membelai perut sang kakak ipar dan dia bisa merasakan
gerakan aktifnya. "Wah gerak terus ya, Mbak."
"Gak juga kok, lebih sering lagi kalau malam hari." Amira mengangguk dengan antusias.
"Fatimah juga mau pegang," kata Fatimah yang sudah meletakkan tangannya di atas tangan Amira.
"Gak kerasa Fat, gini nih baru terasa." Amira mengubah posisi tangannya menjadi diatasi tangan mungil Fatimah yang sudah nampak lentik meski masih kecil.
"Ih geli Ammah. Ini ada cacing gerak-gerak." Amira tertawa mendengar ucapan Fatimah.
"Ini bukan cacing, ini adiknya kakak." Fatimah terkikik kemudian dia berjalan merapikan buku yang tadi dia bawa.
Amira menatap Fatimah dalam diam, dia yakin keponakan satunya itu akan menjadi perempuan hebat. Dia tidak akan tersesat seperti dirinya, sejak kecil Fatimah
sudah sangat menjaga diri dan dia yakin kelak saat dewasa dia akan menjadi generasi penerus agama yang baik. Amira melihat Fatimah kembali mengenakan jilbab
yang dia lepas. Ya, sejak kecil masih balita Fatimah sudah meminta jilbab kepada ibunya, bahkan jika tidak diberi jilbab maka dia akan marah dengan menangis
sangat kencang dan akan berhenti dengan tiba-tiba jika kepalanya ditutupi kain. Bukankah itu sangat menakjubkan?
Amira membantu Fatimah mengangkat ierenjang bukunya.
"Fatimah bisa, Ammah." Amira tersenyum kemudian dia mengajar sendiri keranjang itu untuk di taruh di atas meja. Dia tak yakin Fatimah mampu menaruhnya
di atas. "Ammah tahu kalau Fatimah bisa sendiri, tapi suatu pekerjaan yang berat akan terasa ringan jika kita kerjakan bersama-bersama. Jadi tidak ada salahnya
kita saling meringankan pekerjaan orang lain." Fatimah menatap wajah Amira dengan penuh kagum, Fatimah tersenyum kemudian mengangguk.
"Seperti Abi yang suka membantu umi nyuci baju ya, Mah?" Amira mengangguk.
"Benar sekali, anak siapa sih yang pintar ini," kata Amira menggandeng tangan Fatimah untuk berjalan kembali ke ruang tengah.
"Anak Abi Arif dan umi Dinda." Amira mengangguk.
"Eh, tapi kan udah hampir punya adik. Panggilannya ganti abbah dan ummah." Fatimah menatap Amira penuh minat.
"Kenapa begitu?"
"Iya, kalau punya anak cuman satu abi dan umi. Tapi kalau lebih abbah dan ummah, karena udah banyak anak." Amira mengatakan dengan wajah serius kemudian
diakhiri dengan berbisik.
"Setuju!" seru Fatimah dengan kencang. Kemudian keduanya tertawa bersama.
"Abang kemana Mbak?" tanya Amira sambil duduk, dia melihat ke arah Fatimah yang sudah berada di depan ibunya dengan meletakkan tangan di atas perut buncit
Dinda. "Tadi sama ibu pergi kajian di Nusa Dua." Amira mengangguk menatap ponakannya heran. Tadi bocah tujuh tahun itu bilang bahwa dia merasa geli tapi lihat
sekarang bocah itu merasa nyaman, sepertinya gadis kecil itu sudah kecanduan dengan pesona makhluk bernyawa yang ada di dalam rahim sang ibu.
"Ibu semenjak ada bang Arif jadi sering ikut pergi ya, dulu mana pernah." Amira berkata sambil membenarkan posisi duduknya.
"Dulu kamu ajak naik angkutan umum, sedang ibu kan gak betah di tempat berjubel."
"Ya gimana lagi Mbak, namanya juga kita sesuai dengan kemampuan." Amira berkata dengan santai seolah tak tersinggung dengan ucapan kakak iparnya. Tapi
dia memang tidak tersinggung karena baginya apa yang diucapkan kakaknya itu memang benar. Dia dan kekurangannya.
"Kamu kenapa gak naik motor aja sih, Ami?"
"Ah, enggak deh mbak. Lebih baik jalan atau naik angkutan umum mengurangi kemacetan." Dinda mengangguk setuju dengan ucapan adik iparnya kemudian pembicaraan
keduanya berlanjut menuju banyak sudut pembahasan mulai dari ekonomi, agama, kesehatan, sosial hingga ke sudut yang tidak jelas.
--- Amira keluar dari kamarnya, dia menuju ke dapur untuk mengisi botol minumnya. Hari ini dia ada jadwal bertemu dengan Luluk untuk yang kesekian kalinya.
Ya, sudah sering Luluk mengirimkan pesan meminta bertemu namun ujung-ujungnya Luluk selalu beralasan tak bisa datang. Bayangkan? Siapa yang meminta bertemu
dan siapa yang membatalkan dengan berbagai alasan? Ya Allah kalau saja sabar itu ada batasan mungkin Amira memilih menyerah dan tidak menyisakan waktunya
yang padat untuk mebertamu dengan Luluk.
"Kamu mau kemana?" Amira menoleh ke arah Arif yang mengenakan baju rumah.
"Abang gak kerja?" Arif terdesak kemudian dia menarik mundur kursi untuk diduduki.
"Ditanya balas tanya." Arif membalik gelas dan mengisi dengan air putih. Amira tersenyum kecil.
"Mau ketemu temen, Bang." Amira ikut duduk di depan Arif.
"Abang udah ambil cuti, kan mbakmu udah mendekati hari kelahiran." Amira mengangguk, kalau dihitung memang tinggal dua hari lagi sesuai dengan prediksi
dokter. "Emang udah ada tanda-tanda?" Amira menopang dagu di meja.
"Tadi pagi udah bilang rasanya mules dan pinggul sakit. Ya tidak tahu juga." Arif berdiri hendak mencuci gelas namun diamil oleh Amira.
"Kamu kalau pergi jangan lama-lama," kata Arif.
"Emang kenapa? "Tubuh kamu butuh istirahat," kata Arif kembali duduk.
"Iya Bang, Ami tahu batasan-batasannya. Tenang saja!" Arif mengamati Amira yang sedang mengelap gelas dan menaruhnya di rak gelas. Dia jadi sadar benar
kata Dinan bahwa adiknya itu terlihat begitu rapuh, namun selama ini dia terlalu membutakan diri terhadap sang adik hanya karena sebuah idealis yang dia
terapkan. Selama ini dia belum menjadi seorang kakak yang baik karena terlalu sibuk dengan dunianya sendiri. Arif cukup bersyukur mengenal Dinan yang memiliki
pemikiran sederhana namun mampu menempatkan diri di mana saja.
"Bang, emang kenapa lelaki tidak memiliki masa iddah seperti perempuan." Arif menatap wajah adiknya heran. Mengapa pembahasan yang diambil sang adik selalu
pembahas yang terlalu muluk dan tidak butuh pemikiran.
"Karena kalau lelaki memiliki masa iddah berarti lelaki tidak diizinkan poligami." Amira duduk di depan Arif.4
"Mengapa?" "Karena bagaimana mau poligami kalau dia harus masa iddah? Selama tiga bulan dia tidak menggauli istrinya baru dia boleh poligami?" Amira mengangguk kemudian
dia menatap cepat Arif. "Kenapa?" Amira menggeleng.
"Jadi abis cerai langsung nikah boleh?"
"Boleh, bahkan belum cerai saja boleh." Amira memajukan bibirnya tak terima.
"Enak ya jadi lelaki." Arif menoleh cepat
"Apa yang sedang kamu pikirkan?"
"Tidak ada." "Lalu?" "Hanya berpikir saja."
"Katanya tidak ada, lalu kenapa berpikir. Dasar wanita dan keanehannya." Arif berkata dengan nada humor.
"Apa coba, aku bilangin mbak Dinda loh." Bukannya takut Arif justru malah tertawa.
"Kamu tahu hakikat masa iddah bagi perempuan itu apa?"
"Enggak," jawab Amira polos membuat Arif tersenyum.
"Mengosongkan rahim."
"Maksudnya?" "Iya, untuk mengosongkan rahim dari pembuahan. Karena kita sesama saudara seiman tidak boleh memasukkan benih di rahim yang sama. Jadi butuh waktu tiga
bulan untuk menyakinkan bahwa rahim perempuan itu benar-benar bersih."
"Emang masa iddah selalu 3 bulan?"
"Enggak, baca aja di buku sana." Arif berdiri sambil menunjuk rak buku sedang Arif melangkah menuju kamarnya.
"Aku kira akan mengambilkan ternyata ditinggal." Amira menggerutu sambil berjalan menuju kamarnya.
"Kalau aku menikah dengan pak Dinan terus istrinya hamil berarti pak Dinan akan menikahi istrinya lagi, kan tidak sah perceraian orang yang sedang hamil."
Amira memasukkan ponsel ke dalam tas.
"Tapi kenapa pak Dinan bercerai?" Amira terdiam kemudian dia duduk di pinggir tempat tidur. Dia jadi berpikir, jika Dinan dengan mudah menikah kemudian
bercerai bisa jadi nanti dirinya akan merasakan hal yang sama. Saat sudah menikah kemudian dia akan dicerai begitu saja sama seperti istri Dinan sebelumnya.
Tidak, Amira tidak ingin itu terjadi. Dia ingin sekali menikah dan hidup bersama sampai akhir hayatnya. Dia tidak ingin dipisahkan hanya karena sebuah
masalah yang katanya sudah tidak menemukan jalan keluar.
Amira beristighfar kemudian dia menangkup wajahnya dengan keduanya. Dia tidak tahu harus melakukan apa, tapi yang pasti saat ini dia benar-benar tidak
bisa berpikir. Amira berdiri dia melepas kancing jilbab yang sudah rapi kemudian melepas kaos kakinya diawali dengan sebelah kiri kemudian kanan tak lupa
dia mengucapkan basmalah untuk memulai. Kemudian dia menaruh di pinggir tempat tidur dan beranjak menuju kamar mandi, dia pikir dengan berwudhu mungkin
hatinya akan lebih tenang.
*** 11. Pelakor "Di Hari Kiamat kelak setiap pengkhianat akan membawa bendera yang dikibarkannya tinggi-tinggi sesuai dengan pengkhianatannya. Ketahuilah, tak ada pengkhianatan
yang lebih besar daripada pengkhianatan seorang penguasa terhadap rakyatnya."
(HR. Muslim). Amira duduk di kafe dekat universitas Kota, di tangannya dia membawa selembar kertas berwarna beberapa gambar bangunan rumah minimalis. Dia mengamati satu
per satu klarifikasi keunggulan dari bentuk rumah satu dengan yang lainnya, jangan berpikir bahwa Amira ingin membeli rumah. Kalau keinginan memang ada
akan tetapi hal itu hanya akan menjadi keinginan saja karena bagi Amira itu hanya sebatas harapan semu, entahlah. Sebenarnya tadi saat dia hendak berjalan
menuju minimarket di seberang ada dua pemuda yang menyebarkan brosur perumahan itu, dan dengan senang hati Amira menerima. Dan jadilah sekarang Amira sibuk
mengamati gambar dengan berbagai kriteria itu.
Amira masih sibuk memilih, dia membandingkan satu rumah dengan rumah lainnya. Amira sibuk dengan dirinya sendiri dan sesekali menyesap coklat panas yang
dia pesan. Memang nampak aneh di tengah terik siang dia malah memesan coklat panas namun hal itu tidak mengurangi keinginan Amira.
Siang ini matahari bersinar dengan kekuatan penuh setelah semalam curah hujan cukup tinggi, mungkin terasa panas yang berlebihan namun menurut Amira tidak,
ini hanya faktor tubuh yang belum menyesuaikan suhu yang ada.
Amira melipat kertas brosur itu kemudian dia tanpa sengaja melihat alamat brosur dan dia cukup terkejut, karena alamat itu menunjukkan kawasan dekat sini
yang artinya baru saja ada pembukaan lahan untuk perumahan. Amira menghela napas, mungkin persawahan akan segera terkikis habis karena peradaban manusia.
Amira menyesap coklat panasnya kemudian dia mengeluarkan sebungkus roti basah yang tadi dia beli di minimarket. Amira makan roti dengan selai blueberry
itu dengan tenang sesekali dia menggerakkan layar ponselnya untuk melihat tulisan yang ada di bawahnya.
"Maaf terlambat," kata Luluk yang dengan srempangan menaruh tasnya di kursi.
"Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh," kata Amira membuat Luluk menoleh.
"Waalaikumsalam." Luluk mendudukkan anak perempuan yang berumur tiga tahun di kursi. Kemudian Luluk langsung mengambil duduk di sebelahnya.
"Sudah lama?" Amira menatap Luluk sebentar kemudian menoleh ke arah anak yang sedang duduk sambil mengangguk. Dia menjawab dengan jujur apa yang ditanyakan
dia tak ingin berbasa-basi ataupun mengatakan sesuatu yang mampu menenangkan lawan bicaranya.
"Kenapa kamu memandang anakku seperti itu?" Amira menoleh kemudian dia membuat bibirnya segaris lurus.
"Tidak ada," jawab Amira santai kemudian dia menyesap coklat yang sudah tak terasa panas lagi.
"Kamu mau?" tanya Amira kepada anak Luluk.
"Tidak, anakku tidak makan roti." Amira menatap kemudian dia mengangguk padahal dia tahu benar bahwa anak kecil itu sejak tadi menginginkan roti basah
yang ditawarkan Amira terbukti dengan bola bulat jendela dunia anak itu yang selalu menatap ke arahnya dan juga keberadaan roti.
"Kamu tidak ingin memesankan sesuatu?" Amira menatap Luluk.
"Tidak, karena aku hanya ingin mengatakan bahwa jauhi Farhat dan juga Fatih. Cukup jauhi keduanya karena sejak bertemu kembali dengan kamu hubungan keduanya
semakin berantakan." Amira menatap Luluk dengan wajah tak terkejut sama sekali. Dia sudah mati rasa dengan ucapan pedas wanita di depannya, dia sudah sangat
menyadari selama ini siapa orang yang dia anggap sebagai sahabat.
"Lalu salahku di mana?" Amira bertanya dengan santai seolah masalah itu tidak menggangu dirinya sama sekali, tapi memang benar jika hal itu tidak mengusik
sedikitpun hatinya. Karena, Amira tidak pernah mencoba memasukkan kembali dua saudara itu pada kehidupannya dan takdir yang mempertemukan keduanya.
"Salah kamu itu sebagai perusak. Sebagai pelakor yang tidak tahu malu." Amira menatap Luluk kemudian dia menoleh ke arah anak kecil yang sejak tadi duduk
diam. Amira cukup salut dengan didikan Luluk yang tak membuat gadis kecil itu takut teriakannya.
"Pelakor?" Amira mengucapkan kata itu dengan terpenggal, dia masih berpikir keras tentang arti kata itu. Sungguh kalau boleh jujur kata itu sangat asing
bagi dirinya. "Iya, tidak usah sok polos. Aku melihat kamu dan Farhat bertemu dan makan bersama beberapa waktu yang lalu. Dan hal itu membuat pertengkaran hebat Farhat
dengan Fatih." Amira semakin dibuat pusing dengan ucapan Luluk yang menurutnya tidak beralur.
"Terus aku yang salah?"
"Iya, kamu yang salah. Kamu sudah merusak hubungan baik Farhat dan Fatih. Dan yang lebih fatalnya lagi kamu adalah penyebab utama Farhat menggugat cerai
aku. Apa kamu tidak berpikir? bagaimana nasibku dan juga nasib anakku. Aku pikir kamu temanku tapi ternyata kamu bukan temanku tapi kamu musuhku." Amira
ingin tertawa rasanya mendengar ucapan Luluk tapi dia urungkan karena ada yang lebih penting dari semua itu.
"Kamu tahu karma, Amira? Karma akan mendatangimu, aku bersumpah bahwa kamu akan merasakan apa yang aku rasakan." Luluk mengatakan hal itu dengan nada dalam
serta napas naik-turun karena menahan emosi yang menurut Amira tidak penting.
"Terus ada lagi?"
"Kamu!" tuding Luluk dengan mengacungkan jari telunjuknya ke arah Amira.
"Kamu wanita murahan, dasar penggoda!" Luluk menatap Amira penuh amarah, sedang Amira dia jauh lebih pandai mengatasi amarahnya. Karena dia yakin amarah
akan membawa petaka jika kita menurutinya.
"Your language, di sini ada anak kamu yang kemungkinan besar akan meniru segala ucapan ibunya." Amira memberi peringatan dengan nada biasa saja tak terpengaruh.
"Aku tidak perduli! Dia harus tahu bahwa wanita di depan ibunya itu adalah wanita murahan dan hina." Amira bungkam seribu bahasa, dia sungguh ingin menjawab
namun dia memilih menahannya supaya dia tak melakukan kesalahan.
"Baiklah, apa mau mu?"
"Jauhi keluargaku." Amira menoleh ke arah Luluk dengan wajah yang nampak heran.
"Keluargamu? Apa aku pernah mendekati keluarga yang kamu anggap milikmu itu? Aku pikir aku tidak pernah." Luluk menatap tajam Amira.
"Sepertinya kamu salah sasaran, Luluk." Amira menggeser cangkir coklatnya kemudian menaruh tangannya yang bertautan di atas meja dan mencondongkan tubuhnya.
"Bagaimana kalau kita flashback sejenak." Amira menyandarkan tubuhnya di kursi kemudian menatap Luluk dengan sinar tenang.
"Dulu saat aku memiliki hubungan dengan Farhat kamu mendukung dan memberi semangat bahkan kamu yang memberi saran agar aku segera menikah. Namun, karena
sebuah prinsip diantara kita berdua dan memutuskan hubungan, kamu tiba-tiba menyalahkan diriku. Jika sudut pandang kamu sebagai temanku, aku yakin kamu
akan mendukung setiap keputusan yang aku lakukan. Bukan justru bermain dengan mantan calon suamiku yang belum tuntas urusannya denganku." Amira menatap
wajah Luluk. "Tapi tenang saja aku tidak menyalahkan kamu, karena dengan begitu aku mengetahui kualitas Farhat dan juga kualitas temanku." Amira tersenyum kemudian
membereskan barangnya. "Dan untuk segala tuduhan tak beralasan yang kamu lontarkan. Aku hanya mengatakan, kalau kamu ingin harapan kamu terpenuhi jangan mengatakan semua itu
kepadaku, akan tetapi katakan semua itu kepada Farhat dan juga Fatih. Dan aku tidak memulai hubungan dengan keduanya." Amira berdiri dari duduknya dia
mengambil tasnya dan mengucapkan salam. Belum juga salam dijawab Amira sudah meninggalkan meja menuju kasir untuk membayar coklat panas yang sudah dia
habiskan. "Pak Dinan?" Amira terkejut saat melihat Dinan sudah ada di depan kafe saat dia hendak keluar.
"Iya ini saya," jawab Dinan datar seolah tak ada masalah sama sekali di antara keduanya.
"Bapak mau masuk?" Amira menatap Dinan yang sejak tadi menunduk.
"Tidak, saya hanya ingin memastikan sesuatu." Amira menoleh ke akan dan kiri.
"Baiklah kalau begitu saya duluan, assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh." Amira melangkah meninggalkan Dinan yang sudah menoleh kearahnya, Amira
tidak sadar jika Dinan sedang menatapnya.
Amira berjalan menuju minimarket yang ada di seberang jalan, dia ingin membeli minum karena sejujurnya dia sudah sangat haus sejak berbicara dengan Luluk
tadi namun dia mencoba menahannya dan sekarang sepertinya dia sudah tidak tahan dia butuh minum supaya dia kembali fokus.
Amira masuk dan langsung mengambil botol minuman kemasan, dia membayar kemudian dia duduk di kursi depan minimarket. Dia jadi berpikir, Amira terlalu sering
rasanya mendapati sebuah kebetulan jika bersama Dinan. Bukan bersama tapi bertemu dengan Dinan.
Amira jadi berpikir jika pertemuan dengan Dinan yang dapat anggap tak sengaja itu adalah sebuah unsur kesengajaan, karena dia bisa memastikan seringnya
hal itu terjadi. Jika hanya sekali bisa jadi itu unsur ketidaksengajaan tapi ini sering kali. Ini pasti disengaja tapi buat apa?
Amira menaruh botol minumnya kemudian dia mengamati jarinya, ada rasa kosong saat tak melihat apapun di jarinya. Dia merasa ada yang hilang, tapi apa?
Cincin? Iya, Amira baru ingat bahwa dia biasanya mengenakan cincin di jari manisnya. Tapi saat ini cincin itu tidak ada di jarinya dia tersentak terkejut dengan
pemikiran bahwa cincin itu bisa jadi dia hilangkan. Amira menggigit bibir bawahnya, dia merasa cemas. Dia beristighfar kemudian dia mencoba mengingat di
mana dia terakhir melihat cincin itu. Tapi memang dasar lupa, dia tidak bisa mengingat sama sekali.
Amira meraih botol minumnya kemudian dia membuka tutupnya dan meminumnya, dia masih berpikir di mana dia menaruh atau melihat cincin hadiah dari sang kakak.
Namun entah itu sebuah anugerah atau bukan, dia tidak mengingat namun matanya justru mendapati sebuah pemandangan yang mampu membuat hatinya jungkir balik.
Di jalan dekat minimarket dia melihat wanita yang tinggal bersama Dinan dan wanita yang bersama Dinan di rumah Faris saling berjabat tangan.
Sungguh, permainan apa lagi ini???
Amira sangat terkejut dengan pemandangan yang sangat tidak masuk akal itu. Jangan bilang dugaannya benar, bahwa keduanya itu adalah istri tua dan istri
muda Dinan. Tidak, dia tidak sanggup melanjutkan pemikirannya. Amira segera berdiri dia menutup botol minumnya rapat kemudian memasukkan ke dalam kantong
plastik yang dia bawa. Dia segera berjalan cepat menuju jalan raya dan menghentikan taksi yang lewat di depannya. Dia butuh pulang untuk mendinginkan otaknya.
*** 12. Maluku Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
"Malu itu tidak mendatangkan sesuatu melainkan kebaikan semata-mata."
[Muttafaq 'alaihi] Amira keluar dari mobil taksi setelah membayar argo yang tertera. Dia menatap heran rumahnya yang nampak ramai tidak seperti biasanya. Amira merasa ragu
untuk masuk apa lagi saat dia mendengar suara Damar di dalam. Dia tak yakin.3
"Mengapa tidak masuk?" Amira terkejut dengan kehadiran lelaki itu di rumahnya.
"Dlo, pak Dinan kok sudah di sini?" Dinan menatap Amira kemudian membuang muka.
"Masuklah," Amira menatap Dinan kemudian ia nampak berpikir, dia rasa tuan rumah masih belum berubah akan tetapi mengapa Dinan yang mempersilahkan masuk
ke dalam rumah bukan dirinya.
"Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh," salam Amira melangkahkan kaki kanannya masuk ke dalam rumah.
"Waalaikumsalam warohmatullahi wabarokatuh." Amira menatap Arif, Faris dan Damar bergantian kemudian dia beristighfar dan menunduk.
"Kok lama, Mi? Dinan udah datang sejak beberapa menit yang lalu." Amira menoleh ke sang kakak kemudian tersenyum canggung. Amira tidak bersuara dia mengangguk
kemudian berjalan masuk ke dalam dan di sana dia disambut pelukan Nirmala dengan heboh.
"Mbak ngapain di sini?" Nirmala melepas pelukannya, dia menatap Amira heran.
"Dla, emang aku gak boleh nemuin kamu. Aku kangen tahu sama kamu dichat gak dibalas, ditelpon gak dijawab. Mau kamu apa?" Nirmala bukan merasa bersalah
dia malah menyudutkan Amira.
"Ami ke dalam dulu," kata Amira.
"Terus keputusan ditangan siapa?" Arif yang merasa heran dengan adiknya mengikuti langkah sang adik.
"Ngikut yang terbaik menurut Abang," kata Amira kemudian masuk ke dalam kamar. Amira menutup pintu kamar dan menguncinya. Dia meletakkan tas di lantai
kemudian menghempaskan tubuhnya ke atas kasur. Dia lelah sungguh, rasanya saat menilhat Dinan dia ingin sekali mencakar-cakar wajahnya.
"Amira, keluar!" Amira yakin bahwa itu suara sang kakak. Dia merasa bahwa kakaknya sedang dalam keadaan tidak baik, mungkin ini pengaruh sikap dia yang
tidak sopan terhadap tamu.
Amira mengganti jilbabnya dengan jilbab rumah berbahan kaos tapi masih selebar jilbab yang biasa dia gunakan. Dia menepuk kedua pipinya kemudian dia membuka
pintu dan di depan pintu sudah ada Arif yang berdiri menjulang.
"Setelah sholat Asar kamu berikan jawaban untuk Dinan." Arif berkata dengan nada tegas.
"Ami gak mau dipoligami, apalagi dijadikan istri kedua atau ketiga. Ami gak mau, selain itu juga Ami gak mau diceraikan saat dia sudah bosan. Amira gak
mau Bang." Arif menatap Amira dengan wajah yang sulit diartikan.
"Mengapa kamu berpikir demikian?" Arif menghela Amira kembali masuk ke dalam kamar.
"Pak Dinan baru saja bercerai, Bang. Ami tidak mau nanti saat ada masalah kecil atau ketertarikan dengan wanita lain Ami diceraikan. Ami gak mau," kata
Amira diiringi Isak tangis.
"Kamu yakin Dinan baru bercerai?" Amira mengangguk.
"Istri pak Dinan lebih dari dua jika Ami menikah dengannya dan pak Dinan ruju' dengan istri lamanya. Apa lagi dua istri pak Dinan sudah memiliki anak yang
seumuran. Ami gak sanggup, sungguh Amira gak mau menikah dengan pak Dinan dengan keadaan seperti itu." Arif membelai kepala Amira dengan penuh kasih sayang,
dia tidak berpikir bahwa semua ini imbas dari sebuah kegagalan yang pernah menyapa Amira, tapi dia yakin bahwa dengan keadaan seperti apapun Dinan maka
lelaki itu pasti bisa membahagiakan adiknya.
"Kamu tahu pahala orang yang dipoligami?"
"Gak mau, Amira mau mencari pahala yang lebih banyak namun dengan ibadah lainnya."
"Poligami tiket ekspres ke surga loh, masak gak mau?" Amira menatap mata sang kakak dengan semerbak air di matanya, dia tidak tahu mengapa sang kakak memiliki
pemikiran seperti itu. "Padahal ada jalan mulus kok milih jalan terjal." Amira mentap menggelengkan kepalanya.
"Ya sudah, persiapan sholat setelah itu ke ruang tengah kita bahas ini semua bersama. Kalau kamu memang tidak mau dengan Dinan katakan sejujurnya jangan
menggantung Dinan terlalu lama."
"Aku mau menikah dengan pak Dinan," kata Amira cepat kemudian dia membungkam mulutnya. Arif menoleh ke arah sang adik dengan wajah menggoda.
"Jadi mau mengambil tiket ekspres ke surga?" Amira menggelengkan kepalanya.
"Kalau keadaan Dinan seperti itu kamu harus menerima paket komplit, Amira." Amira menggeleng.
"Aku mau nikah sama pak Dinan kalau pak Dinan gak punya banyak istri." Arif menggelengkan kepalanya.
"Kalau kamu mau menerima Dinan, kamu juga harus menerima semua kenyataan yang ada. Jika yang kamu pikir itu memang benar adanya kamu harus menerima kenyataan
bahwa kamu harus rela berbagi saat kamu bersedia menikah dengan Dinan." Amira menatap Arif dengan wajah polosnya. Dia kembali menangis dengan tersedu-sedu
membuat Arif kebingungan dengan sikap adiknya.
"Hai, kenapa menangis?" Arif membawa sang adik ke dalam pelukannya.
"Aku mau pak Dinan yang dulu, aku tidak mau gagal menikah lagi. Tapi aku gak mau dipoligami." Arif menepuk bahu sang adik lembut.
"Hilangkan pikiran jelekmu Ami, sekarang kamu punya pilihan menerima atau menolak. Jangan biarkan pikiran jelekkmu menguasai dirimu dan membuat kamu mengambil
keputusan yang akan kamu sesali seperti sebelumnya." Arif berkata dengan suara datar dan bijak.
"Aku tidak menyesal gagal menikah dengan Farhat." Amira menyahut dengan nada tersungut.
"Tidak, kamu tidak menyesal gagal menikah dengan Farhat namun mampu mengubah pandangan kamu tentang pernikahan dan bukannya kamu sangat menyesal sudah


Selamat Datang Halal Karya Mawar May di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menolak Dinan dua tahun yang lalu? Apa kamu mau mengulangnya kembali?" Amira melepas pelukannya kemudian dia menatap wajah sang kakak.
"Kalau dipikir-pikir sepertinya Abang mendukung pak Dinan, jadi berat sebelah seolah Abang mendukung Ami tapi sebenarnya tidak." Arif terkekeh melihat
Amira mengeluarkan nada merajuknya.
"Memang benar, Abang mendukung Dinan. Bentuk sikap sesama lelaki." Amira melotot kemudian dia mendesis pelan.
"Lelaki dan kekompakan yang dibuatnya." Amira berkata lirih namun mampu membuat Arif mendengarnya dan menyemburkan tawanya. Dia tidak tahu terbuat dari
apa hati dan otak adiknya yang selalu berpikir sendiri tanpa peduli dan mencari sesuatu yang mampu menguatkan dugaannya.
"Sudah, pikirkan matang-matang."
"Aku sudah memikirkannya, aku akan menikah dengan pak Dinan kalau pak Dinan belum menikah. Bahkan saat ini juga."
"Kalau Dinan sudah pernah menikah? Amira langsung bungkam seribu suara. Dia tidak tahu harus mengambil keputusan apa.
"Sudah pikirkan, Abang mau ke masjid dan mencari rumah makan yang bisa dibooking dan bisa dijadikan tempat makan yang terpisah antara lelaki dan perempuan."
Amira mengangguk saja. Dia tidak bisa berpikir untuk saat ini.
--- Amira duduk dengan tegang di kursi paling ujung, dia tak menghiraukan pandangan tiga wanita yang ada di depannya, dia hanya diam meyakinkan hatinya bahwa
dia sudah menyerah, dia tidak mau menikah dengan Dinan. Dan keputusan yang sudah dia ambil ini telah dia pikirkan dengan matang.
Amira menyadari jika sejak tadi Nirmala gatal ingin mengajaknya bicara namun dia tidak memperdulikan hal itu yang dia pikirkan saat ini adalah ketegasannya
dalam mengambil keputusan. Dia tidak mau digoyahkan dengan apapun.
"Ami, kok mas Arif gak pulang-pulang?" Amira menoleh ke arah Dinda.
"Gak tau Mbak." Amira masih masang wajah tak terbaca.
"Coba kamu cek ke masjid." Amira mengangguk kemudian dia berjalan keluar dan berpapasan dengan Farid dan Damar.
"Mau kemana?" Amira menunduk.
"Mau cari bang Arif." Amira menjawab dengan pelan.
"Arif sedang ke universitas Kota bersama Dinan ada yang perlu diurus." Amira mengepalkan tangannya, dia jadi ingat tentang pertemuan dua istri Dinan di
dekat universitas Kota. Jadi ini yang terjadi, Dinan sedang meminta izin kepada istri-istrinya untuk menikah lagi. Amira mengangguk kemudian dia kembali
masuk ke dalam rumah. Dia semakin yakin untuk menoleh Dinan saat ini juga.2
"Kok balik, Ami?" tanya Dinda setelah menjawab salam yang diberikan Amira.
"Abang pergi ke Universitas."
"Kirain gak jadi, ternyata jadi." Amira menoleh ke arah Dinda.
"Mbak tahu?" "Iya, kan tadi masmu sebelum ke masjid udah bilang." Amira menatap Dinda dengan wajah kesal kemudian dia diam.
"Kamu kenapa sih?" Amira menatap Dinda kemudian dia mengangkat bahu. Entah, ini pengaruh datang bulan atau memang Amira pada masa tak bersahabat karena
biasanya dia tidak seperti ini.
"Istighfar yang banyak biar hati tenang." Amira mengangguk apa adanya. Dia tidak ingin menyahut, dia sedang mempertahankan dirinya agar tidak meledak.
"Kamu kenapa? Semua orang kamu tak acuh." Ibu Amira yang sudah kesal dengan sikap Amira mengeluarkan suaranya.
"Amira sedang PMS Bu. Wajar kalau dia sering bad mood." Dinda menjawab pertanyaan ibunya, bukan ingin bertindak tidak sopan melainkan dia ingin menyelamatkan
Amira dari teguran tegas sang ibu mertua di depan Nirmala.
"Kamu gak usah bela kelakuan gak sopan dia, Din." Dinda menoleh ke arah Amira yang sedang menahan emosi. Dia tak ingin Amira menyesal nantinya jika dia
meluapkan amarahnya kepada sang ibu. Karena saat seseorang marah otak dan hatinya tidak berfungsi, yang berfungsi hanya nafsu. Oleh sebab itu orang yang
marah sering tidak bisa mengontrol tindakan dan juga ucapannya.
"Maaf Bu." Amira mengeluarkan suaranya. Dia masih sanggup menahan hingga detik ini.
"Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh," suara seorang wanita yang ada di depan pintu penghubung. Wanita itu adalah bunda Dinan. Amira menatap tak
percaya wanita yang sudah beberapa kali dia temui. Ada apa ini?
"Waalaikumsalam warohmatullahi wabarokatuh." Amira dan yang lainnya menjabat tangan dengan ibu Dinan bergantian.
"Kamu apa kabar, Ndok?" tanya Bunda Dinan kepada Amira yang masih menatap heran kehadiran ibu Dinan.
"Alhamdulillah baik, bunda bagaimana kabarnya?"
"Saya baik dan sangat baik." Amira mengangguk kemudian mempersilahkan bunda Dinan duduk. Amira duduk di antara ibunya dan bunda Dinan. Amira sedikit merasa
aneh saat ibu Dinan meremas pelan tangannya dan tersenyum kepadanya.
"Amira," panggil Arif dari ruang depan.
"Iya Bang." Amira hendak berdiri namun dicegah ibunya.
"Tapi Abang panggil."
"Cukup jawab iya dari sini." Amira menatap Dinda, saat sang kakak ipar mengangguk dia menunduk setuju.
"Ada yang ingin kamu tanyakan, Ami?" tanya Arif.
"Belum ada Bang."
"Kalau begitu bisa Abang mulai." Amira mendengar suara sang Abang yang tidak seperti biasanya. Apa abangnya sedang flu? Mengapa suaranya bindeng seperti
itu. "Iya." Amira menjawab dengan tak yakin. Saat mendengar kasak-kusuk di depan dia semakin heran.
"Bismillahirrahmanirrahim, saya nikahkan engkau dengan adik saya Amira Zahra binti Wahid Abdullah dengan mas kawin emas seberat lima gram dan sepaket buku
Islam dibayar tunai." Amira hanya diam dengan pandangan kosong. Dia tidak bisa mencerna apa yang sedang terjadi, bahkan dia tidak mendengar suara jawaban
dari lelaki yang sedang siap menanggung hidupnya setelah ini. Dia hanya terlalu terkejut dengan semua yang ada.2
Ini tidak benar, sungguh ini tidak bisa dibenarkan. Dia tidak mau dipoligami. Saat Amira keluar dari bayang-bayang pemikirannya dia melihat sang ibu dan
juga kakak ipar saling berpelukan dan menangis. Dia menatap ke segala arah.
"Amira gak mau jadi madu," kata Amira cukup kencang membuat semua mata tertuju kepadanya.
"Maksud kamu apa, Nak?" Ibu Amira bertanya dengan nada heran.
"Amira gak mau menikah dengan orang banyak istri." Amira menangis.
"Dinan tidak banyak istri." Bunda Dinan yang menjawab dengan nada tegas.
"Tapi Amira gak mau berbagi suami, Bunda." Ibu Dinan dan ibu Amira saling berpandangan. Arif nampak di pintu penghubung. Kakaknya itu tersenyum geli walau
matanya merah berkaca-kaca.
"Dek, kamu kan tadi bilang bahwa kamu mau menikah dengan Dinan." Amira berdiri ke hadapan sang kakak.
"Tapi kan kalau pak Dinan gak punya istri, Bang." Arif membelai kepala adiknya. Kemudian dia membawa sang adik ke dalam pelukannya.
"Abang mengerti. Jika Abang menikahkan kamu dengan Dinan berarti itu Dinan tidak memiliki istri." Amira langsung melepas pelukannya.
"Abang yakin?" Arif mengangguk.
"Jangan bilang pak Dinan menceraikan semua istrinya?"
"Anak saya baru saja menikah, bagiamana bisa datang menceraikan istrinya. Dia baru menikah Amira." Ibu Dinan bersuara setelah paham yang dimaksudkan oleh
Amira. "Jadi pak Dinan belum menikah?" tanya Amira menoleh ke arah bunda Dinan.
"Belum." Amira menoleh ke arah Nirmala yang sedang nyengir.
"Jadi mbak Mala menipuku." Semua mata menatap ke arah Nirmala.
"Tidak juga, hanya salah bicara."
"Jadi pak Dinan masih single?" tanya Amira. Dia menutup wajahnya kemudian dia menoleh ke ke arah sang kakak dan di sana sudah ada Dinan yang berdiri di
samping Arif. Amira melotot kemudian dia berlari masuk ke dalam kamarnya tanpa menghiraukan panggilan dari sang kakak dan membuat tawa di ruangan itu pecah.
Arif menggelengkan kepalanya, di mana ada pengantin yang malu-malu seperti adiknya itu. Kecuali Amira Zahra. Gadis pendiam yang rapuh namun juga kuat secara
bersama. *** 13. Langkahku "Rasulullah pernah mencium salah seorang istri beliau baru kemudian berangkat menunaikan shalat tanpa memperbaharuhi wudhu'."
[HR Abu Dawud dan Tirmidzi]
Amira menutup pintunya kemudian menguncinya dengan tangan gemetar, dia berjalan menuju kasurnya kemudian membenamkan wajahnya di bantal.
"Ya Allah... Aku malu," kata Amira sejak tadi, dia tidak tahu harus berbuat apa. Dia tetap menyembunyikan wajahnya.
Setelah beberapa saat Amira langsung membuka banyak di wajahnya kemudian dia langsung duduk.2
"Apa yang harus aku lakukan?" Amira menatap pintu kemudian dia berdiri dan mengintip melalui jendela dan dari sana dia bisa melihat depan rumahnya cukup
ramai. "Apa yang harus aku lakukan?" Amira kembali duduk di pinggir tempat tidur. Dia merasa tak memiliki ide dia hanya merasakan bahwa perutnya keroncongan karena
belum diisi sejak siang tadi. Tadi siang dia hanya makan roti basah belum sempat makan, niat hati dia ingin mencoba restoran baru yang ada di gang masuk
perumahan namun diurungkan karena moodnya yang turun drastis.
"Ya Allah apa yang telah terjadi." Amira menghempaskan tubuhnya dengan ranjang. Dia merasa sangat lelah dia menutup matanya dengan lengan dan berharap
bahwa dia mendapatkan ide untuk hal yang harus dia lakukan saat ini, hingga beberapa saat kemudian dia semakin mendalami gelap dan mimpi menyapanya secara
pelan dan pasti. Entah berapa lama Amira terlelap, dia dikejutkan dengan suara ketukan pintu tak teratur. Dia duduk kemudian membersihkan mata dan hidungnya, setelah dirasa
tubuhnya sudah normal Amira berdiri dan berjalan menuju pintu, dia membuka slot pintu dan ternyata terkunci jadi dia dengan cepat memutar kunci pintu dan
membukanya. Dia sangat terkejut saat yang di depan pintu sudah ada beberapa orang yang berdiri.
"Ada apa?" tanya Amira menatap ibu, kakak, kakak ipar dan juga Nirmala bergantian.
"Kamu baru ngapain?" Amira menengok ke dalam kamar kemudian membuka pintu lebih lebar.
"Ami ketiduran." Semua menghela napas kemudian Amira seolah diingatkan sesuatu dia langsung membekap mulutnya dan menatap terkejut semua yang ada di depannya
lalu dengan cepat berlari menuju kamar mandi.
"Ada apa dengan anak itu?" ucapan Arif masih didengar Amira namun tak dia acuhkan. Amira masuk ke kamar mandi dengan kaki kirinya kemudian dia langsung
mencuci wajahnya dengan bersih.
Dia bernapas cepat-cepat, dia merasa tersengal.
"Tadi mimpi atau nyata ya?" Amira menatap wajahnya di cermin. Dia mengambil handuk mengeringkan wajahnya kemudian dia keluar dari kamar mandi dengan kaki
kanan. Dia menggerai handuk di hanger kemudian dia berjalan menuju lemari namun dia berhenti saat melihat sosok tak terduga duduk di kursinya.
"Apa yang pak Dinan lakukan?" Amira menoleh ke arah pintu kemudian dia menoleh kembali ke arah Dinan.
"Tadi kata bang Arif suruh masuk sini." Dinan masih sibuk dengan mengamati Amira, hingga membuat Amira salah tingkah. Ingin rasanya Amira masuk kembali
ke kamar mandi tapi dengan alasan apa?
"Memangnya abang, bukan kenapa abang. Eh bukan ding. Apa yang diminta abang? Kenapa minta pak Dinan di sini?" Amira berkata dengan susah hingga membuat
rangkaian kata menjadi rancu. Dia merasa sangat malu dan juga gugup saat ini, dia tidak tahu apa yang harus dia lakukan.
"Katanya sambil menunggu isya dan makan malam suruh istirahat di sini." Dinan masih memasang wajah datar.
"Kok gitu, abang pasti lupa kalau dua orang gak boleh berduaan dalam ruangan tertutup." Dinan menaikan satu alisnya. "Khalwat, kalau gak salah istilahnya."
Amira menggerakkan kakinya di tempat. Dia menunduk memilih jilbab yang dia pakai.4
"Benar juga ya," kata Dinan berdiri dari kursi, melihat pergerakan Dinan Amira mendongak dan saat Dinan melangkah mendekati Amira saat itu pula Amira mundur
namun baru dua langkah Amira sudah terhempas ke tempat tidurnya. Dinan dan Amira sama-sama terkejut Dinan segera membalikan badannya sedang Amira segera
duduk dan membenarkan posisi jilbabnya.
Amira melirik ke arah Dinan yang nampak menghela napas. Dia bingung harus berbuat apa? Mengusir Dinan sama saja membuat keributan. Amira terkejut saat
tiba-tiba Dinan berbalik badan. Amira melotot kemudian dia menunduk.
"Sebaiknya kita bicara dahulu," kata Dinan kembali duduk di kursi. Tapi kursi itu diangkat Dinan mendekati Amira duduk. Amira salah tingkah dengan ekspresi
tak terbaca Dinan. "Membicarakan apa?" Dinan menghela napas kemudian menatap wajah Amira.
"Kamu ingin melanjutkan pernikahan ini atau kamu mau membatalkan?" Amira menatap Dinan horor kemudian dia dengan lantang berkata, ''lanjutkan, siapa yang
mau jadi janda setelah menikah beberapa saat."
"Pembatalan pernikahan tidak menyebabkan kamu menjadi janda." Dinan menatap Amira.
"Berarti aku tetap gadis?" tanya Amira.
"Menurut negara seperti itu." Amira menatap Dinan dengan curiga.
"Kalau agama?" Dinan menaikan alisnya.
"Kalau menurut agama, saat seseorang sudah menyebut namanya si gadis di ijab kabul berarti gadis itu sudah sah sebagai seorang istri. Bukan gadis lagi,
jadi kalaupun melakukan pembatalan pernikahan Wallahu alam." Dinan berkata dengan santai. Amira mentap Dinan dengan cemas.
"Bagaimana?" Amira menggeleng.
"Maksudnya?" "Saya gak mau jadi janda." Amira berkata dengan nada lirih, dia sungguh tidak tahu harus mengambil keputusan apa.
"Siapa yang membuat kamu janda, kamu akan menjadi janda kalau saya meninggal lebih dahulu dari kamu." Amira menatap Dinan cepat, dia melihat raut serius
nampak di wajah Dinan. "Jadi pak Dinan tidak akan meninggalkan saya?"
"Saya jelas akan meninggalkan kamu," jawab Dinan santai tapi dia sadar jawabannya membuat wajah murung Amira. "Bukankah saya bilang, kalau kamu akan menjadi
janda kalau saya meninggal lebih dahulu dibandingkan kamu. Itu artinya selama saya masih hidup maka kamu akan tetap menjadi istri saya dan bersama saya."
"Terus arti tawaran tadi apa?"
"Saya tidak menawarkan, saya hanya bertanya. Tapi jawaban apapun yang kamu pilih tidak akan mengubah apapun. Setelah saya ijab kabul semuanya tidak ada
yang perlu disesali."
Amira menatap Dinan dengan mulut sedikit terbuka, dia tidak tahu jika Dinan seotoriter itu. Amira membuka dan menutup mulutnya, dia ingin berbicara namun
dia tidak tahu harus berbicara apa.
"Mengapa hanya diam?" Amira menggeleng, dia kembali menatap Dinan kemudian dia menunduk mengamati dua tangannya yang saling bertumpuan di dua pahanya.
"Ada yang ditanyakan lagi?" Amira menggeleng.
"Kamu yakin?" Amira mengaguk.
"Baiklah, mari kita mulai." Amira mendongak menatap Dinan, dia tidak paham pada kata memulai, apa yang ingin dimulai?
Dinan mengulurkan tangannya, Amira menatap tangan dan wajah Dinan bergantian. Amira ragu untuk meraih tangan Dinan. Dia masih ingat dua tahun yang lalu
saat keduanya dengan mudah bersentuhan. Dua tahun yang lalu saat melakukan dosa Amira begitu ringan dan tak bermasalah namun sekarang saat status sudah
jelas tangannya terasa berat untuk menjabat tangan Dinan.
"Mungkin beberapa menit yang lalu tangan ini adalah lebih buruk dari bara api yang panas, namun setelah aku mengucapkan ijab kabul tangan ini adalah sebuah
bentuk baktimu kepada suamimu." Amira menatap Dinan, saat Dinan memberi kode untuk segera mengambil tangannya Amira mengaguk kemudian dengan mengucapkan
bismillah Amira menerima uluran tangan Dinan. Dengan takzim Amira mencium punggung tangan Dinan.
Amira menjadi ingat salah satu hadits yang menyebutkan bahwa Rosulullah pernah bersabda, jika seorang manusia boleh menyembah manusia lainnya maka Rosulullah
akan menyuruh seorang istri menyembah suaminya. Jadi, dari hadits itu bisa dilihat kedudukan sang suami yang sangat tinggi bagi seorang istri. Suami adalah
pemimpin, panutan, sahabat hidup, dan masih banyak lagi dalam kehidupan rumah tangga.
Dinan meraih Amira ke dalam pelukannya entah karena rasa apa dengan cepat Amira memeluk Dinan dengan erat. Amira mendengar ucapan Dinan.
"Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu kebaikan (diri)-nya dan kebaikan (tabiat) yang Engkau ciptakan padanya. Dan aku berlindung kepada-Mu dari
keburukan (diri)-nya dan keburukan (tabiat) yang Engkau ciptakan padanya." Amira dengan sadar langsung mengeluarkan butiran kristal dari kedua bola matanya.
Kemudian dia merasakan ubun-ubun dibelai dan dikecup lama oleh Dinan. Dan seolah tidak rela saat Dinan melepas bibirnya dari kening Amira, tangis Amira
pecah. "Hai, mengapa menangis?" Dinan mengurai pelukannya. Amira hanya menggelengkan kepalanya kemudian dia bersembunyi di dada Dinan. Dinan berdiri kemudian
memeluk Amira sehingga isakan Amira tertahan di perut Dinan.
"Sudah puas?" Amira mengangguk kemudian dia mendorong tubuh Dinan pelan.
"Sholat dulu?" Amira menatap Dinan kemudian dia menggigit bibirnya.
"Ada apa?" Dinan menatap Amira curiga.
"Saya sedang haid." Amira mengatakan itu dengan sangat lirih. Dinan duduk kembali tapi bukan di kursinya melainkan di pinggir tempat tidur bersama Amira.
"Sudah berapa lama?" Amira menoleh ke Dinan kemudian dia menunduk lagi.
"Baru dua hari."
"Biasanya berapa hari?" Dinan menarik dagu Amira untuk mendongak supaya wajah keduanya saling bertatap.
"Enam sampai delapan hari." Amira melihat Dinan mengangguk.
"Boleh saya mencium kamu?" Amira dua bola mata Dinan. Dia melihat bola mata Dinan tidak berwarna hitam seperti pada umumnya orang Indonesia, melainkan
warna coklat keemasan. Itu begitu indah berpadu dengan warna putih yang nampak bersih.2
"Ami?" Amira tergagap kemudian dia mengangguk. Wajah Dinan mendekati wajah Amira hingga tinggal beberapa centimeter saja Amira segera menutup matanya dan
bertemulah dua bibi anak manusia itu dalam keheningan. Setelah beberapa saat diam entah siapa yang memulai keduanya seolah mengikuti naluri yang ada pada
dirinya dan melakukan yang memang seharusnya dia lakukan. Menurut sebagian orang, tidak perlu kita belajar tentang cara hubungan dengan istri atau suami
karena setelah halal nanti naluri akanenuntun sendiri cara yang benar dengan status yang benar dan setiap perbuatan bukan menjadi dosa melainkan menjadi
ibadah semata. "Pak Dinan," panggil Amira saat keduanya mengambil napas.
"Ada apa?" "Sudah adzan Isya." Dinan menatap Amira kemudian tersenyum, senyum yang begitu indah membuat Amira ikut menarik kedua sudut bibirnya untuk melengkung ke
atas. "Saya wudhu dulu," kata Dinan beranjak dari duduknya, namun tangannya ditahan oleh Amira saat Dinan hendak melangkah.
"Ada apa?" Amira hanya tersenyum kemudian menggelengkan kepalanya. Dinan menaikan satu alisnya kemudian kembali mendekati sang istri dan mencium keningnya
membuat senyum Amira semakin lebar dan Dinan bahagia melihat hal itu. Kemudian Dinan meninggalkan sang istri yang sedang mengarungi dunianya menuju kamar
mandi dan berwudhu. "Mii, boleh pinjam handuk." Dinan keluar dari kamar mandi dengan wajah basahnya.
Amira segera mengambil handuk dari lemarinya, dia kemudian dengan ragu memberikan handuknya kepada Dinan.
"Mengapa?" Amira melepas handuknya saat sudah disentuh Dinan.
"Handuknya itu bukan handuk baru." Dinan segera mengeringkan wajahnya.
"Lalu?" "Apa tidak papa?"
"Tidak." Dinan memberikannya kembali kepada Amira kemudian dia mengambil lipatan kecil kopyah di atas meja.
"Saya ke masjid dulu," kata Dinan sambil mencium kening sang istri dan melangkah keluar kamar. Amira menyentuh keningnya kemudian dia merasa ada bunga-bunga
yang bermekaran mengelilinginya. Dia merasa sangat bahagia entah mengapa dia merasa bahagia padahal dia sadar benar bahwa permasalahannya dengan Dinan
belum seratus persen selesai.
*** 14. Keluarga 'Aisyah Radhiallahu 'Anha menuturkan: "Suatu ketika aku minum, ketika itu aku sedang haidh, lantas aku memberikan gelasku kepada Rasulullah dan beliau
meminumnya dari mulut gelas tempat aku minum. Dalam kesempatan lain aku memakan sepotong daging, lantas beliau mengambil potongan daging itu dan memakannya
tepat di tempat aku memakannya."
[HR Muslim] Amira keluar dari kamarnya, ruangan nampak sepi tak ada orang. Dia sedikit heran, bukan karena apa? hanya heran saja kapan pulangnya Nirmala dan bunda
Dinan. Ah, mengingat bunda Dinan dia menjadi merasa bersalah karena dia bersikap tidak sopan beberapa waktu lalu.
Amira mendengar suara dari arah ruang sholat, dia menoleh dan di sana sudah berdiri orang yang dia cari, Amira secara spontan berdiri dia merasa bersalah.
Amira menghampiri sang ibu kemudian dia langsung memeluk sang ibu dan menangis, entah apa yang dia tangisi tapi yang jelas dia ingin menangis di pelukan
sang ibu. "Sudah, gak malu sama mertua dan ipar kamu?" Amira menangis tersedu-sedu.
"Maafkan Ami, Bu."
"Iya, sama-sama. Ibu juga minta maaf, sekarang kamu sudah menjadi istri, maka jadilah istri yang baik. Kamu perhiasan bagi suamimu. Ingat-ingat itu, berbuat
baiklah." Amira mengaguk kemudian dia mengurai pelukan. Sang ibu dengan telaten menghapus pipi anaknya.
"Sana minta maaf sama mertua kamu, karena kamu sudah bertindak tidak sopan." Amira mengaguk kemudian menoleh ke arah ibu Dinan yang sudah mengobrol dengan
Dinda dan Nirmala. "Malu Bu," kata Amira kembali menoleh ke arah sang ibu.
"Sudah sana." Amira menoleh kemudian dia kembali menatap sang ibu sambil meringis, dia tidak memiliki keberanian untuk menyapa bunda Dinan.
"Ibu mau ke kamar ambil tas dulu," kata ibu Amira dan meninggalkan Amira sendiri. Amira menggigit kuku jadinya.
"Apa yang kamu lakukan di situ, Ndok?" Amira menoleh ke arah bunda Dinan.
"Saya, saya...." kalimat Amira seolah-olah tak mampu dia lanjutkan.
"Sini," kata bunda Dinan menepuk sofa kosong di sampingnya. Amira menggigit bibir bawahnya sambil berpikir untuk melangkah atau berbalik arah menuju kamarnya.
Amira mencoba melangkah namun tak bisa dipungkiri bahwa rasa ingin melarikan diri sering menghampiri.
"Kenapa?" Amira mendongak menatap wajah bunda Dinan.
"Maafkan sikap tidak sopan Amira, Bun." Amira terkejut saat bunda Dinan justru tertawa kecil melihat tingkah Amira. Dia tidak menduga jika ibu mertuanya
tidak mempermasalahkan sikap yang sudah dia lakukan. Karena menurut cerita yang pernah dia dengar, bahwa antar mertua wanita dan menantu wanita itu selalu
ada sekat tak kasat mata tapi ini yang dia dapatkan adalah hal sebaliknya, tapi dia tidak tahu nantinya seperti apa.
"Gak papa, Bunda paham kok apa yang terjadi. Maklumlah, anak bunda itu seperti sangat care dengan banyak wanita jadi di mata polos kamu itu kamu bisa salah
menilai anak lelaki Bunda." Amira menunduk malu, dia sudah salah sangka pada ibu paruh baya ini dan dia juga sudah menuduh anaknya yang tidak-tidak.
"Bunda senang akhirnya Dinan menikah dengan kamu," kata bunda Dinan membawa Amira ke dalam pelukannya. Amira dengan canggung membalas pelukan ibu mertuanya.
Amira merasa lega, satu masalah telah dia lewati dan mendapatkan satu jalan keluarnya dan dia yakin selama dia mau berusaha memperbaiki diri maka masalah
akan bisa dilewati dengan baik. Amira merasa bahwa kini dia memiliki kewajiban yang bertambah, kewajiban akan kedudukannya sebagai seorang istri. Ya, dia
harus sadar diri bahwa kini dia bukan lagi gadis bebas yang bebas bersikap sesuai pemikirannya kini dia adalah wanita bersuami. Ah, menyebut kata suami
membuat Amira menghangat ada letupan rasa bahagia menyapanya.
"Kamu ganti baju dulu, kita ada makan malam bersama." Amira menatap bunda Dinan, dia menunduk dan dia ingat bahwa dia belum mengganti bajunya sejak tadi
siang. Bahkan dia sendiri belum mandi. Amira mengangguk kemudian menoleh ke arah Dinda dan Nirmala yang nampak berbinar melihat ke arahnya.
"Ada apa?" "Kamu tak ingin aku doakan?" tanya Dinda membuat Amira meringis. Kemudian dia mendekati sang kakak dan memeluk sang kakak ipar.
"??????? ????? ???? ????????? ???????? ???????? ??????????? ???? ??????.
Semoga Allah memberi berkah kepadamu dan atasmu serta mengumpulkan kamu berdua (pengantin laki-laki dan perempuan) dalam kebaikan. Semoga menjadi keluarga
sakinah mawaddah warohmah."
"Aamiin, terima kasih doanya." Amira menyeka air matanya kemudian dia menoleh kearah sahabatnya yang juga sedang menitikkan air mata.
"Selamat ya Mira, semoga menjadi keluarga sakinah mawaddah warohmah. Dan maaf kalau aku ada salahnya gak disengaja atau tidak." Amira mengangguk dalam
pelukan Nirmala. Dia merasa bersalah juga tadi sudah bersikap kasar pada sosok baik hati seperti Nirmala.
"Maafkan saya juga ya, Mbak." Amira merasakan gerakan kepala Amira.
"Udah, cepat ganti baju. Lepas dulu kenapa sih La." Nirmala melepas pelukannya kemudian Amira melihat Nirmala nyengir ke arah bunda Dinan.
"Ami ganti baju dulu," kata Amira tak enak hati membuat banyak orang menunggu. Amira segera melangkah masuk ke dalam kamar dan dia harus mandi cepat supaya
bau dan rasa lengket di badannya hilang.
--- Amira membenarkan posisi jilbabnya di depan cermin yang ada di lemari pakaian, dia merasa heran saat Dinan tiba-tiba masuk dengan wajah tergesa-gesa, dan
saat pintu terbuka terdengar suara ribut-ribut.


Selamat Datang Halal Karya Mawar May di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ada apa?" tanya Amira menoleh ke arah Dinan kemudian menoleh ke pintu dan kembali lagi ke arah Dinan. Amira bisa melihat jelas wajah Dinan.
"Itu mbak Dinda mau melahirkan." Amira mengamati Dinan, dia sampai tidak sadar dengan yang diucapkan Dinan, dia hanya melihat Dinan melepas baju kokonya
dan berganti dengan kemeja lengan pendek.
Amira tidak menyahut ucapan Dinan dia malah melangkah mengambil sarung dan baju Koko Dinan untuk dilipat dan dia gantung di hangar. Amira dengan santai
mengambil ponsel dan juga dompet kecilnya. Amira bukan tipe orang ribet yang suka membawa pernak-pernik banyak saat pergi keluar ponsel dan yang sudah
lebih dari cukup. "Pak Dinan cari apa?" tanya Amira melihat suaminya sedang mencari sesuatu. Ah, suami rasanya kaku Amira ucapkan namun dia cukup senang.
"Kunci mobil." Amira menunjuk ke arah gantungan kunci yang ada di dekat lemari. Amira tadi memang menaruh kunci mobil Dinan di sana berjajar bersama kunci-kunci
milik Amira, namun jangan salah kunci hati Amira tidak akan pernah ditemui di sana.2
"Ayo!" Amira menatap punggung Dinan . Amira menghela napas mengikuti langkah Dinan. Dia menutup pintu dan dia merasakan keheningan.
"Di mana orang-orang?" Amira mencari ke dapur dan ke seluruh ruangan.
"Kamu nyari siapa?"
"Orang-orang kemana?"
"Ke rumah sakit." Amira menatap Dinan dengan cepat.
"Ngapain?" Amira bisa melihat wajah heran Dinan, dia merasa mengucapakan sesuatu yang tidak membuat bingung, tapi mengapa dia melihat wajah Dinan yang
aneh. "Tadikan saya sudah bilang, kalau mbak Dinda melahirkan." Amira seperti disengat panas dia merasa sangat terkejut.
"Terus?" Amira berjalan cepat menuju depan.
"Ayo Pak!" Amira terus melangkah keluar meninggalkan Dinan. Amira menutup pagar setelah Dinan keluar keduanya berjalan menuju kawasan kosong yang ada di
ujung komplek, di sana adalah tempat parkir mobil.
"Fatimah di mana?" Amira menautkan dua tangannya karena angin menerpa membuat hawa dingin menyapa tubuhnya.
"Fatimah tadi sama Faris, karena gak mungkin dia ikut ke rumah sakit."
"Kamu tunggu di sini, saya ambil mobil." Amira mengangguk kemudian dia melihat Dinan berjalan meninggalkan dirinya menuju beberapa bapak penunggu parkir
mobil. Iya, di perumahan Amira ini ada salah satu keluarga yamgbuka usaha untuk parkir mobil. Soalnya jika diparkir di depan rumah akan mempersempit jalan. Maklum
bukan kawasan elit yang ada garasinya jadi harus bersabar jika berkunjung dan harus memarkirkan mobilnya di tempat parkir mobil jika berkunjung lama. Tapi
jika sebentar bisa di taruh depan rumah tujuan, nanti jika dianggap lebih satu jam pasti akan di datangi penjaga keliling untuk memindahkan mobilnya.
Dalam perjalanan menuju rumah sakit bunda baik Amira dan juga Dinan tidak ada yang membuka suara, keduanya diam hingga separuh jalan.
"Pak," panggil Amira saat dia merasa tenggorokannya panas, dia merasa haus karena belum memasukkan air sama sekali ke tenggorokan hampir setengah hari.
Ah, terakhir adalah saat dia minum coklat panas tadi siang. Oh, bukan saat dia melihat dua istri Dinan di depan minimarket.
"Ada apa?" tanya Dinan menoleh ke arah Amira, mata keduanya bertemu hal itu membuat Amira salah tingkah.
"Ada minum?" Amira mengeluarkan suaranya lirih. Dinan melihat ke depan dan saat lampu berubah menjadi merah Dinan berhenti dan mengambil sesuatu di jok
belakang. "Ini," kata Dinan memberikan sebotol minuman kemasan.
"Terima kasih." Dinan hanya mengangguk kemudian Amira meminum air itu hingga setengah.
"Sudah?" tanya Dinan sambil kembali menjalankan mobilnya.
"Sudah," kata Amira. Kemudian dia melihat Dinan mengulurkan tangannya dan Amira menatap heran.
"Ada apa?" "Saya juga haus." Amira menatap Dinan kemudian dia paham dan memberikan minumannya kepada Dinan, dan saat di parkiran Dinan segera meneguk habis air Yanga
dan di dalam botol membuat pikiran Amira melayang ke mana-mana.
Bagaimana tidak dia dan Dinan baru saja meminum air dari tempat yang sama, dia baru saja melakukan sesuatu yang tak pernah dia lakukan.
"Ayo turun!" Dinan sudah membuka mobilnya dan keluar. Dia melihat Dinan berada di depan mobil jangan pernah berharap lelaki membukakan pintu mobil karena
hal itu langka terjadi entah itu lelaki romantis atau memiliki pemikiran sederhana seperti Dinan.
---- Amira dan Dinan berjalan menuju bagian pendaftaran, dia ingin menanyakan ruang tempat Dinda ditangani. Namun belum juga mendapat jawaban sosok berjilbab
besar datang tergesa-gesa mendekati Dinan.
"Mas Dinan," panggil wanita berjilbab hitam. Dinan dan Amira menoleh, Amira terdiam melihat wanita yang sedang menggendong anak perempuan. Dia ingat benar
siapa perempuan di depannya itu, perempuan itu ada perempuan yang sama dengan perempuan yang bersama Dinan di rumah Faris.
Amira semakin tegang saat dengan cepat Dinan melepas tangan Amira dan melangkah langsung menggantikan wanita itu menggendong bayinya. Amira diam di tempat.
"Kamu kebiasaan," kata Dinan lirih namun masih mampu didengarkan oleh Amira. Dia hanya tersenyum tipis kemudian dia merasa dicolek oleh pegawai pendaftaran.
"Ada di ruangan bersalin. Ibu lurus saja kemudian belok kanan." Amira mengikuti pergerakan tangan orang yang menunjukan jalan itu temudian mengaguk. Tanpa
memperdulikan Dinan dia melangkah berjalan menelusuri lorong dalam diam seorang diri. Entah, rasa hambar menyergapnya tanpa memberi ruang sedikitpun.2
Amira menyayangkan sikap Dinan, dia tahu jika perempuan itu bukan istri Dinan, bisa jadi dia adik atau adik sepupu Dinan. Namun saya Dinan sama sekali
tidak mengindahkan keberadaan dirinya hal itu cukup berkesan bagi Amira. Dan Amira sadar diri kini dia tengah terlalu dalam pikirannya.
"Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh," salam Amira mendekati sang ibu.
"Waalaikumsalam warohmatullahi wabarokatuh." Amira menjabat tangan ibu dan ibu mertuanya.
"Kok sendiri?" "Masih jalan di belakang." Amira menjawab dengan tenang. Amira kemudian menoleh ke arah Arif yang sedang menunduk. Amira meninggalkan dua ibu yang menatap
heran Amira. Amira menepuk bahu sang kakak. Saat Arif mendongak butiran kristal keluar dari telelaga Amira dan langsung meluncur ke pipi Arif. Hal itu membuat Arif
terkejut, dia berdiri kemudian menuntun Amira untuk duduk.
"Kamu kenapa?" tanya Arif pelan.
"Yang harusnya tanya itu Ami, Bang. Abang kenapa?" Amira menyembunyikan perasaannya.
"Abang hanya sedikit terkejut. Kamu tahu bukan mbakmu selama ini begitu menjaga kesehatan karena ingin melahirkan normal? Dia tidak ingin operasi seperti
saat melahirkan Fatimah." Amira mengangguk sambil menghapus air matanya.
"Tapi bayi kami tidak bergerak untuk keluar Amira, jadi mau tidak mau mbak kamu harus operasi." Tangis Amira pecah, entah untuk bersimpati atau untuk apa
dia menangis tapi yang jelas ada luka saat salah satu keluarganya juga mengalami kesusahan. Ya, Dinda jelas keluarganya dia adalah kakak iparnya selain
itu dia juga sosok kakak perempuan yang baik baginya.
Amira menangis di pelukan Arif, dia menumpahkan segala rasanya. Amira mencoba tenang saat merasa ada tepukan di bahunya. Amira mengurangi pelukannya.
"Kamu masih saja nangis di pelukan Abang. Lihat suamimu cemburu." Amira menoleh ke arah Arif kemudian ke arah Dinan bergantian.
"Kenapa menangis?"
"Mbak Dinda operasi." Amira menghapus sisa air matanya walaupun dia kuwalahan karena air matanya tak kunjung berhenti. Dinan duduk di tempat duduk Arif
karena lelaki itu entah sudah pergi kemana meninggalkan Dinan dan Amira berdua.
"Kenapa kalau operasi?" Amira menggeleng kemudian dia hendak berdiri.
"Mau ke mana?" "Ke tempat ibu." Amira menoleh ke arah Dinan kemudian dia melihat lelaki itu menggelangkan kepalanya. Amira mendesah kemudian dia kembali duduk.
*** 15. Harapan "Sebaiknya kalian pulang, ajak ibu juga." Amira menoleh ke arah Arif.
"Tapi Bang." "Kenapa? Keponakan kamu udah lahir." Amira menatap Dinan meminta bantuan tapi Dinan justru diam saja.
"Tapi belum lihat." Amira masih ingin di sini, dia sedang tidak ingin bersama dengan Dinan dikeadaan hanya berdua, karena dia yakin kalaupun ibunya ikut
pulang pasti akan ada moment keduanya hanya berdua saja.
"Ya sudah tunggu sebentar." Amira mendesah, kemudian dia menoleh ke arah Dinan yang tiba-tiba menggenggam tangannya.
"Kenapa?" Dinan menoleh ke arah Amira. Sehingga membuat Amira melihat wajah Dinan yang menurutnya tidak biasa.
"Pak Dinan kenapa?" tanya Amira panik.
"Saya tidak papa, saya hanya takut." Amira menatap Dinan heran. Takut? Apa yang ditakutinya? Amira tidak tahu sama sekali.
"Takut apa Pak?" Amira memberanikan diri untuk membawa tangan yang digenggam Dinan ke pangkuannya dan membelai lembut.
"Saya takut rumah sakit." Amira menoleh dengan sedikit mendongak. Matanya menatap Dinan dengan mata berkedip-kedip. Bayangkan, bagaimana Amira tidak merasa
aneh seorang Dinan takut rumah sakit. Ini adalah hal yang mungkin sedikit lucu, tapi Amira menyadari bahwa setiap orang memiliki kekurangan masing-masing.
"Pak Dinan mau pulang?" tanya Amira pelan. Amira menoleh ke Dinan dan melihat Dinan mengaguk. Amira sebenarnya tak rela untuk pulang tapi karena melihat
Dinan membuatnya jadi tak enak hati, dia kasihan melihat wajah dan merasakan tangan dingin Dinan.
"Bentar, saya pamit ke mereka dulu ya?" Amira berkata seolah dia sedang menenangkan anak kecil.
"Kita pamit bersama." Amira menoleh ke arah kumpulan keluarga yang lain kemudian dia menoleh ke arah Dinan. Amira tersenyum kemudian mengangguk.
"Ayo," kata Amira sambil berdiri dan Amira yakin Dinan mengikutinya.
"Bu, kami mau pulang lebih dulu." Amira membuka suara memecah obrolan diantara yang lainnya.
"Iya, maklumlah pengantin baru maunya berduaan terus." Nirmala yang menyahut membuat Amira melotot ke arah calon ibu muda itu, yang dibalas gelak tawa.
"Iya," jawab ibu Amira.
"Kata abang ibu juga diminta pulang untuk istirahat. Abang mana?"
"Ibu di sini dulu mau lihat adiknya Fat. Kamu duluan aja."
"Nanti ibu pulangnya gimana?"
"Nanti bisa sama aku." Nirmala menanggapi. Amira heran kenapa keluarga Dinan tidak ada yang membicarakan tentang ketakutan Dinan.
"Ya sudah, nanti pulang sama mbak Mala. Bunda, Ami pamit duluan." Amira menjabat tangan bunda Dinan.
"Iya, hati-hati."
"Kamu kenapa to, Mas. Ngikutin istri saja." Amira menoleh ke arah Dinan yang sedang menggaruk belakang telinganya.
"Gak papa Bun." Dinan buka suara dengan mata tak fokus, Amira menyadari bahwa lelaki itu sedang menyembunyikan sesuatu atau sedang menghindari sesuatu.
"Udah kenalan sama Ifa, Ndok?" Amira menoleh ke arah perempuan berjilbab hitam.
"Sudah bertemu beberapa kali tapi belum pernah kenalan."
"Emang Dinan gak pernah ngenalin kali ketemu." Amira mendengar tuduhan bunda Dinan, Amira hanya meringis tak enak hati.
"Dinan pikir mereka sudah saling kenalan, waktu di rumah Faris keduanya sudah ngobrol bareng Bun." Amira tersenyum canggung, ini adalah kebiasaannya yang
sering kali acuh dengan keadaan.
"Ini Ifa, adiknya Dinan." Amira mengulurkan tangannya.
"Amira," kata Amira dengan pelan.
"Ifa, saya sudah tahu nama kamu kok." Amira mengangguk kemudian menoleh ke arah Nirmala.
"Yang sopan, Fa." Amira segera menoleh ke arah Dinan. Dia memang merasa bahwa adik Dinan tidak menyukainya namun dia tidak menduga jika Dinan menyadari
hal itu. "Pamit dulu ya, Mbak. Mbak juga jangan pulang malam." Nirmala mengaguk.
Setelah pamitan kepada semuanya, Amira dan Dinan berjalan bersisian menuju pintu keluar. Amira diam dengan pikirannya dan Dinan diam entah karena apa.
Mungkin ketakutan terhadap rumah sakit membuat Dinan tak buka suara.
"Mau kemana Din?" Doni menyapa dari arah depan.2
"Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh." Bukan menjawab Dinan malah mengucapkan salam.
"Waalaikumsalam warohmatullahi wabarokatuh. Mau kemana?" Dinan menunjuk ke arah pintu keluar.
"Kok udah mau pulang?"
"Memangnya kenapa?" Amira merasa terabaikan kembali. Mungkin ini faktor bulanan yang membuat dia sensitif.
"Ya mau pulang saja."
"Terus yang menunggu pasien siapa?"
"Ada banyak keluarga, kamu mau ngapain di sini?"
"Tadi Ifa telepon dengan nada bahagia dia menceritakan lamaran kamu. Terus katanya mau ngadain syukuran tapi beberapa menit yang lalu malah nelpon lagi
bilang kalian di rumah sakit." Amira menoleh mengamati keduanya.
"Kok bisa sama Amira?"
"Iya, tadi kebetulan datang barengan." Amira menjawab dengan jawaban ambigu, karena dari yang dia dapat tangkap bahwa Doni tidak mengetahui bahwa wanita
yang dilamar Dinan adalah dirinya.
"Gimana ceritanya kamu melamar dia?" Amira semakin yakin bahwa yang dibicarakan Doni bukan dirinya.
"Maksud kamu?" Amira melihat Doni menoleh ke arahnya dengan ekspresi tak enak hati. Amira justru penasaran dengan yang akan diucapkan Doni.
"Gak papa nih ngomongin dia di depan Mira?" Amira menoleh ke Dinan yang nampak santai.
"Gak masalah. Amira boleh tahu apapun karena itu hak Amira." Doni menoleh ke arah Amira kemudian dia mengangguk.
"Kamu kenapa melamar Maura?" Amira menatap Doni terkejut, hal itu membuat Doni meringis. Kemudian dengan cepat Amira menoleh ke arah Dinan, dia ingin tahu
ekspresi wajah suaminya itu. Namun yang membuat Amira heran adalah lelaki yang beberapa jam lalu menjadi suaminya itu hanya menaikan satu alisnya kanannya.
Eh, ekspresi apa itu? "Bro, kamu jelas tahu wanita hamil dilarang dinikahi. Hukumnya haram kita bercampur sperma dengan sperma sesama saudara." Amira meremas kedua tangannya.
Diantara ingin tertawa dan juga ingin mengingatkan Doni bahwa dia masih berdiri di sini jadi dijaga ucapannya.
"Terus?" "Kamu tanya terus? Jangan aneh deh. Jangan karena Maura cinta pertama kamu terus kamu membutakan mata." Amira menatap wajah datar Dinan, dia heran kenapa
suaminya itu lempeng-lempeng saja.
"Sebenarnya apa yang kamu tahu?" Dinan bukan menanggapi justru malah bertanya.
"Move on, Bro." Dinan tertawa kecil, Amira dibuat semakin heran.
"Sorry ya Don. Saya sudah move on lama. Kamu saja yang tak pernah merasa. Kenalkan ini istri saya dan kami permisi, assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh."
Dinan menggandeng tangan Amira kemudian melangkah meninggalkan Doni yang masih terdiam mencerna keadaan.
"Usil banget sih, Pak." Amira tertawa melihat ekspresi terkejut Doni.2
"Sesekali anak itu perlu diperhatikan supaya cepat move on." Amira mengerutkan keningnya.
"Nanti di rumah kamu boleh tanya apapun." Amira menoleh penuh minta ke arah Dinan.4
"Yakin apapun." Dinan mengangguk tegas membuat Amira tersenyum. Amira bahagia akhirnya dia mendapatkan kesempatan untuk menanyakan segala kegundahan hatinya.
Dia akan menanyakan sedetail mungkin, ini janjinya pada diri sendiri.
"Ya Rabb-ku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar do'a."
[Ali 'Imran/3: 38]. ---- Amira berjalan menuju rumah Faris untuk menjemput Fatimah, jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam tak elok rasanya untuk bertamu akan tetapi meninggalkan
Fatimah tidur di rumah Faris sedang dirinya ada di rumah itu jauh lebih tidak menyenangkan.
"Aku udah telepon kok," kata Dinan melihat wajah bimbang sang istri.
"Beneran gak papa?" Amira melihat Dinan mengangguk.
"Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh." Dinan mengetuk pintu serasa mengucapkan salam.
"Waalaikumsalam warohmatullahi wabarokatuh." Faris membuka pintu.
"Sorry, istri tidur di luar jadi gak aku biarin kamu masuk." Faris keluar dan menutup pintu kembali.
"Terus Fatimah bagaimana?"
"Dia gak rewel kok, dia tidur sama Ali dan istri. Gak papa dia malam ini tidur sini." Amira yang berdiri di teras agak jauh bisa mendengar ucapan Faris.
"Benar gak ngerepotin?"
"Gak papa, jugaan kalian pengantin baru." Faris berkata dengan nada jenaka.
"Pengantin baru terus kenapa?"
"Sudahlah, sana biar Fatimah di sini." Amira melihat Dinan mengangguk kemudian berpamitan untuk pulang.
"Saya atau kamu dulu yang ke kamar mandi?" Amira menoleh ke arah Dinan dia sedang merapikan tempat tidurnya dengan mengganti seprai dan memasang badcover.
"Pak Dinan aja dulu, saya masih mau membereskan ini dan menghangatkan makanan." Amira kembali merapikan tempat tidurnya.
"Baiklah," jawab Dinan sambil mengeluarkan kaos dan celana dari tas ransel yang dia bawa. Tas ransel? Pasti sedang bertanya kapan tas ransel itu ada?
Tas itu dibawa Dinan sejak tadi di rumah sakit, kata Dinan itu berisi pakaian dan beberapa pernak-pernik untuk berpakaian dua hari di rumah Amira. Itu
tadi dibawakan oleh Ifa karena sejak awal memang tak ada tujuan menikah, tujuannya adalah untuk memastikan bahwa dia diterima. Tapi takdir siapa yang bisa
menyangkalnya, jika sudah takdirnya maka tak akan ada yang bisa menghindarinya.
Amira menatap kasurnya yang nampak beda, dia segera keluar untuk melihat makanan yang ada di dapur. Saat dia ke dapur dia melihat tumpukan baju sang ibu
dan kakak ipar dia segera memasukkan ke dalam mesin cuci, sebelum dia memisahkan warna gelap dan terang.
Sambil menunggu diairi, Amira membuka bufet dan melihat tumis kangkung, sambal bawang dan ada ayam goreng. Sambil memasukan ayam ke dalam minyak panas
dan mengecilkan api Amira kembali pindah ke mesin cuci untuk memasukkan detergen.
"Sedang apa?" Amira menoleh ke arah Dinan yang sedang membalik gorengan yang dia tinggal.
"Mencuci, besok biar tinggal jemur." Amira melangkah mendekati kompor tapi dia tidak menggantikan Dinan, melainkan mencuci tangannya.
"Ini sudah?" Amira menoleh kemudian mengangguk. Amira tersenyum kecil saat melihat Dinan dengan ulet di dapur.
"Kenapa?" Amira mendekati Dinan kemudian mematikan kompor.
"Tidak ada." Amira mengambil piring dan gelas.
"Cukup satu gelas dan satu piring." Amira menatap Dinan heran tetapi Dinan justru bersikap biasa saja sambil menaruh kembali piring dan gelasnya.
"Pak Dinan gak lapar?" Amira menaruh piringnya.
"Lapar sekali malah." Amira menatap Dinan heran.
"Jangan heran, saya hanya ingin merasakan yang dirasakan Rosulullah dengan makan satu piring dengan istri."
Blus.... Ucapan Dinan membuat Amira salah tingkah dan mampu dengan cepat menghadirkan rona merah muda di pipi kanan dan kiri Amira. Amira segera menyentuh dua pipinya
yang terasa panas, dan dia seolah tidak memiliki pilihan selain melengkungkan dua sudut bibirnya ke atas.
"Ayo!" Dinan duduk di samping Amira.
Amira dengan canggung mengambil nasi, sayur dan lauk di piring. Amira kemudian kembali duduk kemudian dia segera menoleh ke arah Dinan yang hanya diam
saja. Kemudian keduanya makan dalam keadaan diam walau sesekali Dinan membuka mulut untuk berbicara namun Amira menyahut dengan singkat membuat keadaan
menjadi canggung tak terelakkan.
"Kamu biasa makan semalam ini?" Amira yang sedang mencuci piring menoleh ke arah Dinan yang sedang mengisi botol minum dengan air putih. Tadi, Dinan meminta
botol minum karena lelaki itu memiliki kebiasaan bangun malam dan membutuhkan minum air.
"Enggak sering hanya sesekali saja, kalau ada hal yang mendesak seperti hari ini. Mengapa Pak?" Amira berjalan menuju lemari es.
"Enggak, biasanya perempuan jarang mau makan malam takut gemuk." Amira terkekeh geli. Kebanyakan perempuan yang menjaga tubuhnya memang seperti itu, tapi
tidak untuk Amira. "Kamu tidak takut gemuk?" Amira menutup pintu lemari es.
"Enggak, gemuk itu relatif Pak. Bagaimana cara dan sudut pandang kita, kalau saya lebih senang sehat dan tidak perduli gemuk atau kurus. Tapi pada dasarnya
saya juga gak mau berlebihan berat badan jadi menjaga pola makan yang sehat. Makan malam itu penting karena tidak tubuh kita membutuhkan lemak untuk cadangan
energi dan menghangatkan tubuh." Amira duduk di kursi.2
"Kamu tunggu di sini, saya mau cek pintu sudah benar-benar dikunci atau belum."
"Iya pak, untuk depan jangan digerendel ya. Takutnya ibu pulang." Dinan meng'iya'kan kemudian Amira duduk menunggu sang suami.5
--- Amira keluar dari kamar mandi dengan jubah tidurnya, dia duduk di depan meja mengambil handbody dan duduk di pinggir kasur sebelah kiri, dia serasa canggung
melihat Dinan yang tengah asik memainkan ponselnya.
"Kamu gak ingin mematikan lampu?" tanya Dinan kepada Amira yang sedang memasukan kakinya. Amira tidak menjawab dia hanya meringis kemudian dia beranjak
dari tidurnya dan mematikan lampu. Ah, sungguh rasa gemuruh ini membuat dia bersikap tak wajar.
Amira kembali ke tempat tidur dengan suasana remang. Dia merasa gugup dan salah tingkah, karena tidak pernah satu ranjang dengan lelaki. Jelas saja, Amira
belum pernah menikah. "Kamu tidak jadi bertanya kepada saya?" Amira mendongak melihat Dinan yang masih bersandar di kepala dipan.
"Bagaimana kalau Bapak saja yang bercerita?" Amira sudah kehilangan semua soal yang akan ditanyakan kepada Dinan, dia saat ini lebih fokus pada jantungnya
yang seolah mau bermain gendang dengan tempo tak beraturan.
"Saya mau cerita apa?" Amira menekuk dua bibirnya. Dia nampak berpikir.
"Saya juga gak tahu," jawab Amira pelan.
"Ya sudah, ini sudah tengah malam, sebaiknya kamu istirahat." Dinan bersiap untuk membaringkan tubuhnya namun tangannya dipegang oleh Amira.
"Tapi saya mau penjelasan Bapak." Dinan melepas tangan Amira kemudian dia ikut berbaring. Amira merasa canggung saat melihat wajah Dinan dari dekat, padahal
ini keadaan kamar tidak terang dan juga tidak gelap gulita namun Amira terpesona dengan wajah datar Dinan yang menurutnya menawan.
"Penjelasan apa yang kamu inginkan? Harusnya saya yang meminta penjelasan kepada kamu." Dinan menyelipkan lengan kirinya di lehar Amira dan sekali sentak
Amira sudah berposisi di depannya dengan berbantal lengannya.
"Pak Dinan, Allah...."
"Kenapa?" Dinan bertanya dengan senyum dikulum.
"Kenapa saya yang harus menjelaskan ke Bapak?"
"Karena kamu yang menuduh saya berpoligami, bercerai, tidak setia dan banyak istri."
"Eh, dari mana pak Dinan tahu?"
"Jadi benar kamu menuduh saya seperti itu?" Amira menguap.
"Kok saya mengantuk ya, Pak?" Amira memejamkan matanya, dia sedang berusaha untuk menghindari jalannya persidangan oleh seorang Dinan. Dia menyadari bahwa
selama ini dia sudah berprasangka buruk kepada Dinan.
Melihat sang istri yang memejamkan matanya Dinan hanya tersenyum, dia tahu bahwa istrinya mengantuk dalam artian sebenarnya. Karena sejak pulang dari rumah
sakit Amira nampak lesu dengan mata merah. Dinan melepas jilbab Amira, tak lupa dia mengucapkan basmalah.
"Maaf sudah berprasangka buruk." Dinan melihat Amira sudah bernapas teratur, dia tersenyum tipis saat mendengar ucapan di bawah sadar Amira. Kemudian Dinan
memeluk Amira dan tak lupa mengucapkan doa kemudian dia mulai menyusul Amira untuk menyelami dunia mimpi yang tak pernah ada.
*** 16. Menjaga "Seorang muslim itu bersaudara dengan muslim lainnya. Ia tidak boleh menganiayanya, menelantarkannya, dan meremehkannya. Orang yang merendahkan saudaranya
semislam itu sudahlah dianggap sebagai orang yang buruk perangainya."
(HR Muslim). Amira terbangun saat merasakan tempat tidurnya bergerak, dia melihat Dinan sedang duduk membelakangi dirinya. Dia penasaran akan hal yang dilakukan Dinan,
dia ingin bertanya namun dia urungkan saat melihat Dinan merapikan rambutnya dan berjalan menuju kamar mandi. Amira mengerutkan keningnya, dia kemudian
menoleh ke arah jam yang menempel di dinding. Dia tersenyum tipis saat menyadari satu hal, Dinan akan melakukan sholat malam.
Amira kembali bergelung di dalam selimut, dia tak ingin mengganggu Dinan namun kemudian pikirannya terbelah saat ingat bahwa kini dia adalah seorang istri.
Amira segera duduk, kemudian dia menatap pintu kamar mandi yang tak kunjung terbuka, dia bisa mendengar bahwa Dinan sedang mengguyur tubuhnya dengan air,
bertanda bahwa suami Amira itu sedang mandi. Amira melangkah keluar untuk mencuci tangannya sebelum menyiapkan pakaian untuk sang suami.
Amira masuk ke dalam kamar kemudian menyalakan lampunya, dia mengambil handuk kemudian dia mengetuk pintu kamar mandi.
"Pak, handuknya ketinggalan." Amira tak mendengar sahutan dari dalam. Dia merasa heran namun tak lama dia mendengar pintu dibuka kecil.
"Terima kasih." Tangan Dinan mengambil alih handuk itu kemudian Dinan kembali menutup pintu. Amira mengangkat bahu kemudian dia mengambil sarung dan baju
Koko Dinan. Tak lupa dia memberi lipatan sajadah di atasnya.


Selamat Datang Halal Karya Mawar May di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apa saya membangunkanmu?" Dinan keluar dari kamar mandi.
"Tidak," jawab Amira gugup, entah mengapa dia merasa ada hal yang mengganjal dalam otaknya.
"Terima kasih," kata Dinan sambil mengambil sarung dan mengenakannya.
"Kembali kasih." Amira merapikan tempat tidurnya.
"Kamu tak ingin kembali tidur?" Amira mengaguk kemudian tersenyum canggung ke arah Dinan.
"Pak Dinan perlu sesuatu?" Dinan menggelengkan kepalanya.
"Tidurlah," kata Dinan menyibak selimut kemudian berjalan putar mendekati Amira, mengangkat tubuh ramping Amira dan membaringkan ke atas tempat tidur.
Dinan menyelimuti hingga dada, sedang Amira hanya diam dan menelan ludahnya susah, dia sungguh tidak menduga dengan hal yang baru saja terjadi.
"Pak Dinan tidak mau saya bikinkan teh atau kopi?" Dinan duduk di pinggir tempat tidur.
"Nanti kalau matahari sudah hampir bersinar. Sekarang kamu tidur nanti kamu harus kembali mengajar dan mungkin kita akan ke rumah sakit juga, belum lagi
nanti kamu harus mengurus keperluan Fatimah. Jadi, tambah waktu istirahat." Amira tidak mencerna ucapan Dinan, dia hanya mengangguk saja karena dia jauh
lebih terpesona dengan aura sederhana suaminya.
"Pejamkan matamu!" kata perintah dari Dinan dikuti Amira tanpa bantahan. Dinan membelai puncak kepala Amira kemudian dia beranjak untuk kembali mengenakan
pakaian. Amira memejamkan matanya, dia berusaha mengarungi dunia mimpi untuk kembali mengistirahatkan pikiran dan hati namun rasanya sangat sulit dilakukan karena
dia merasa tak nyaman dengan tidur terlentang dia mengubah posisi dengan tidur miring ke kanan namun hal itu juga tidak enak dia lakukan dia pindah posisi
ke kiri namun juga terasa tak nyaman. Dia segera kembali terlentang dan menghadap ke langit-langit kamar dia menghela napas, dia heran mengapa dia tak
bisa memejamkan matanya? Apa tak ada Dinan di tempat tidurnya mampu mempengaruhi perasaannya?
Ya Allah Amira! Dinan baru sekali tidur bersamamu, itu tidak menjadi pengaruh bagimu. Amira melirik Dinan yang sedang ruku' kemudian dia mengambil bantal
dan menjadikannya giling hingga tak lama dia terbuai dalam lamunan dan terjun bebas menuju alam bawah sadar.
*** Pagi yang cukup dingin, dengan semilir angin sepoi-sepoi yang menyapa tanpa di duga. Amira mengeratkan tangannya di dada dia tetap berjalan menuju rumah
samping. Dia harus menjemput Fatimah karena hari ini dia harus sekolah. Saat Amira hendak masuk gerbang dia melihat Fatimah yang sudah akan diantar oleh
Faris. "Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh," salam Amira membuat Faris menolah.
"Waalaikumsalam warohmatullahi wabarokatuh. Lihat dijemput sama ammahnya."
"Ayo pulang Fatimah, bilang terima kasih dulu sama Ammi Faris."
"Jazakumullahu khoiron, Ammii." Amira melihat Faris tersenyum.
"Aamiin waiyak, selamat bersekolah semoga diberi kelancaran."
"Aamiin." Kemudian Amira pamit undur diri, dan disambut ramah oleh Faris. Amira mengajak Fatimah pulang sambil bergandengan tangan.
"Mah, adik Fat cewek apa cowok?" Amira tersenyum.
"Adiknya Fatimah cewek." Amira menunduk melihat Fatimah mendongak ke arahnya. Amira memberi senyum hangat.
"Cewek atau cowok adik Fatimah itu adalah ketentuan dari Allah. Jadi yang terpenting adalah adik Fatimah sehat. Jadi adik Fatimah sehat dan ummah juga
sehat." Amira bisa melihat senyum Fatimah, dan gadis itu menganggukkan kepalanya dengan semangat.
"Ayo masuk," ajak Amira.
"Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh."
"Waalaikumsalam warohmatullahi wabarokatuh, saya di belakang." Amira dan Fatimah saling pandang.
"Siapa Mah?" "Ammi Dinan," jawab Amira kemudian dia mengajak Fatimah ke dapur.
"Fatimah makan dulu abis itu nanti ganti baju seragam di kamar, sudah Ammah siapkan. Ammah mau lihat Ammi dulu." Fatimah mengangguk tanda setuju. Kemudian
Amira melangkah menuju belakang rumah.
"Pak Dinan sedang apa?" Amira terkejut dengan yang sedang dilakukan oleh Dinan.
"Tentu kamu bisa melihatnya, tapi maaf saya hanya menjemur yang miliki kamu soalnya rasanya gak nyaman kalau saya menjemur milik kakak ipar dan ibu." Amira
menatap curiga Dinan. "Bagaimana bisa pak Dinan memilah pakaian saya dengan yang lainnya?" Dinan menoleh kemudian dia tersenyum.
"Mudah saja, saya mengambil pakaian yang sering kamu gunakan." Dinan masih sibuk menjemur. Amira melihat jejeran bajunya yang digantung. Dia mengambil
napas panjang. "Pak Dinan bukan penguntit 'kan?" Dinan terkekeh geli.
"Bukan, seberapa suka saya kepada kamu saya gak akan melakukan hal konyol itu." Amira melihat aura santai di wajah Dinan dan hal ini bisa dipastikan bahwa
suaminya tidak melakukan hal yang dia tuduhkan.
"Terus, bagaimana Bapak bisa membedakan baju saya?" Amira menoleh ke arah Dinan bertepatan dengan Dinan juga menoleh ke arahnya. Amira terdiam sejenak
saat melihat senyum Dinan.
"Yang melihat beberapa kali," kata Dinan.
"Lalu, apa saja kegiatan pak Dinan dua tahun ini?" Dinan mengangkat keranjang kosongnya kemudian membawa masuk.
"Harus sekali ya dijawab?" Amira mengangguk dengan cepat. Dinan tersenyum kemudian menggandeng tangan Amira dan menghela Amira untuk duduk di kursi belakang.
"Saya setahun di rumah lama keluarga dan setahun di rumah baru." Amira menghembuskan napas.
"Kegiatan Pak Dinan." Dinan terkekeh kemudian dia membawa tangan Amira untuk digenggam.
"Dingin Pak." Dinan terkekeh karena Amira mencoba melepas tangannya, bagaimana tidak dingin dia baru saja menjemur baju yang jelas basah walau sudah dikeringkan
di mesin cuci. "Setahun di rumah bunda tidak banyak kegiatan, di bulan pertama saya pergi umrah dengan bunda. Ini alasan saya tidak bisa berjuang lebih lama untuk mendapatkan
kepercayaan kamu waktu itu, karena saat sudah daftar umrah dengan bunda jadi mau tidak mau saya harus pergi." Amira menatap Dinan dengan wajah lesu, dia
sempat menyalahkan Dinan yang tidak berusaha memperjuangkan dirinya.
"Kemudian selama tiga bulan saya tak memiliki pekerjaan, hanya di rumah. Hingga sampai Faris menelpon dan mengatakan ada salah satu pondok pesantren sedang
membutuhkan tenaga pengajar. Saya datangi tempat itu dan beraktivitas di sana selama kurang lebih dua bulan. Padahal saya berniat di sana satu semester,
qodarullah Ifa dan Maura sekeluarga kecelakaan hingga membuat Nabil meninggal dunia." Dinan berwajah keruh. Amira dengan ragu menggenggam tangan Dinan.
Dinan tersenyum tipis ke arah Amira.
"Kami menerima kepergian Nabil dengan ikhlas, itu adalah takdirnya. Setelah meninggalnya anak pertama Ifa, adik saya itu sering mengalami pendarahan sehingga
membuat saya memilih untuk kembali pulang dan menjaga adik saya karena suaminya juga mengalami beberapa patah tulang yang membuat dia harus dirawat."
"Kamu bukannya mendapatkan oleh-oleh dari saya?" Dinan tak ingin menciptakan suasana sahdu dia mencoba mencairkan suasana.
"Oleh-oleh apa?" Amira berpikir dia tidak pernah mendapatkan hadiah dari Dinan.
"Ah, saya titipkan ke Mala setiap kali dia berkunjung." Amira menoleh ke arah Dinan.
"Oh yang dari mbak Mala?" Amira berseru dengan cukup kencang. Dinan mengangguk sambil tersenyum.
"Oh, ada sih tapi masih di dalam lemari." Amira menjawab kemudian meringis tak enak hati.
"Belum kamu buka?" Amira menggeleng. Dinan dibuat heran.
"Sudah dibuka kok, hanya saja belum saya keluarkan dari kantongnya. Belum sempat berbenah soalnya. Jadi itu dari pak Dinan?" Amira melihat suaminya tersenyum
kemudian Dinan mengangguk.
"Tunggu dulu," kata Amira mengingat sesuatu.
"Bagaimana bisa Ifa dan Maura kecelakaan bersama?" Dinan tersenyum tipis, dia mengingat bahwa Amira adalah orang yang kritis meski sedikit lamban.
"Suami Ifa itu adik suami Maura." Amira mengangguk kemudian menoleh ke arah Dinan curiga.
"Suami Maura meninggal tujuh bulan setelah kelahiran anak pertamanya, dan keluarga Maura jauh dari Maura. Maura adalah seorang muallaf, jadi hubungan keluarganya
sedikit merenggang walaupun masih bertukar informasi namun tak sedekat keluarga pada umumnya. Hal itu yang membuat keluarga suami Ifa meminta keluarga
kami untuk mengajak Maura pindah supaya Ifa dan suaminya bisa mengontrol keponakannya. Dan jadilah, Ifa diletakkan di rumah lama saya dan tinggalkan dengan
asisten yang memang dimilikinya." Amira mengaguk paham.
"Kenapa kamu pikir Maura adalah istri saya? Kalau Ifa mungkin bisa dipahami karena kami dekat. Kalau Maura?"
"Ingat ex-halal yang dibahas di mobil waktu itu oleh mbak Mala?" Dinan mengangguk. "Ya, dari situ saya yakin."
"Berarti sebelumnya kamu sudah menduga?" Amira mengangguk dia membenarkan, Amira bukan sosok orang yang suka mengelak dia akan terbuka dengan seseorang
yang dia mau dan sepanjang perkenalan keduanya Amira selalu terbuka dengan Dinan dalam beberapa hal.
"Benar, karena saya dengar dari mbak Mala kalau pak Dinan memboyong keluarganya dan saat saya lewat depan rumah pak Dinan saya sering melihat Maura di
sana." Dinan mengangguk kemudian menoleh ke arah Amira.
"Alasan diterima." Dinan berkata dengan lembut kemudian menggerakkan tangannya di dalam genggaman sang istri.
"Maura itu apanya pak Dinan?" Dinan menoleh ke arah Amira.
"Bukan siapa-siapa," jawab Dinan santai.
"Yakin?" Amira menekan suaranya.
"Yakin, seratus persen." Amira menatap Dinan curiga, Dinan terkekeh melihat wajah sang istri yang ditekuk, dia tahu istrinya ini menginginkan penjelasan
akan tetapi dia tidak ingin melukai perasaan istrinya.
"Kenapa? Dia hanya masa lalu dan kamu masa depan. Apa lagi yang perlu diragukan?"
"Tidak mungkin hanya masa lalu yang dilupakan kalau sampai pak Doni saja berpikir bahwa pak Dinan melamar Maura." Amira melepas tangannya kemudian dia
menghadap ke depan dengan bibir mencebik dan tangan menggenggam erat.
"Terus saya harus jawab apa? Masa lalu bukan untuk dilupakan akan tetapi untuk dijadikan pelajaran menjalani masa depan." Dinan meraih tangan Amira dan
mencoba melepas genggaman kuat Amira.
"Jawab yang jujur," kata Amira dengan nada merajuk, Amira segera menutup mulutnya saat dia tersadar dengan nada suaranya.
"Dia mantan pacar saya dulu, kami sempat pacaran satu bulan dan membuat dia masuk Islam. Setelah dia masuk Islam saya memutuskan dia dan kami hanya berteman
tidak lebih. Dia memutuskan menikah setelah lulus kuliah dan saya memutuskan pindah ke kota ini dan memulai karir saya. Jadi diantara kami tidak pernah
ada sesuatu yang spesial." Amira menoleh ke arah Dinan, Dinan melepas tangan yang menutupi bibir Amira kemudian memajukan wajahnya membuat Amira ketar-ketir.
Dan hidung keduanya bersentuhan dan Amira memejamkan matanya secara naluri.7
"Ammah, Fatimah sudah siap." Keduanya langsung menjauh. Dinan berdiri mengambil keranjang dan membawa masuk ke ruang cucian dan Amira berbenah pakaian
yang tak ada yang salah sama sekali.
"Iya, Ammah segera ke depan." Amira berteriak dari belakang kemudian dia menyusul Dinan yang sudah ada di ruang makan sedang mengobrol dengan keponakannya.
Amira menepuk kedua pipinya kemudian melangkah mendekati keduanya.
*** 17. Backstreet "Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kamilah yang memberi
rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa".
[Thaha:132] --- Setelah mengantar Fatimah ke sekolah, Dinan mengantar Amira ke rumah sakit tempat Dinda melahirkan. Dia sudah memarkirkan mobilnya beberapa menit yang
lalu namun keduanya belum ada yang bergerak atau membuka suara. Entah apa yang terjadi dengan dua pengantin baru itu. Yang jelas, aura canggung tengah
menyelimuti keduanya. "Pak Dinan mau ikut turun?" Amira menoleh ke arah Dinan.
"Tidak, saya ada jam mengajar pagi ini." Amira menoleh ke arah Dinan dengan cepat, dia mengingat satu hal yang amat penting. Yaitu, pekerjaan suaminya
yang saat ini tidak dia ketahui.
"Pak Dinan mengajar?" Dinan menoleh ke arah Amira, dia melepas sabuk pengaman kemudian menoleh ke arah Amira.
"Iya, saat ini saya adalah seorang dosen sastra Indonesia di universitas Kota." Amira menekuk bibirnya kesal, dia merasa jauh dengan Dinan walau kenyataan
yang ada Dinan ada di dekatnya.
"Apa lagi rahasia pak Dinan?"
"Rahasia?" Amira mengangguk tanda setuju, Amira merasa kesal dengan ketidaktahuan tentang Dinan.
"Iya, apa yang tidak saya ketahui."
"Tidak ada," jawab Dinan singkat, padat dan tegas. Seolah argumen yang baru dia ucapkan tidak ada yang bisa mengganggu gugat.
"Yakin. Kalaupun kamu ingin tahu apapun tentang saya, kamu tinggal tanya langsung pada saya." Dinan meraih tangan Amira untuk digenggam.
"Tapi saya tidak suka." Dinan mengamati wajah Amira dia tersenyum kecil.
"Miray, dengarkan saya. Saya adalah suami kamu, apa yang ada pada diri saya kamu berhak tahu semuanya dan untuk mengetahui semuanya kamu cukup percaya
dengan saya dan bertanya langsung kepada saya. Kamu mengerti?"
"Miray?" Dinan mengangguk.
"Itu panggilan spesial saya untuk kamu." Amira menggumankan nama panggilannya dengan pelan kemudian dia tersenyum.
"Jangan berlebihan Pak. Nanti saya bisa jatuh cinta." Amira mengatakannya dengan nada malu kemudian membuang muka ke arah jendela karena dia ingin menyembunyikan
wajahnya. "Itu tujuan saya. Saya ingin kamu jatuh ke dalam pesona saya dan tak bisa ada yang menolong kami untuk berdiri meninggalkan saya." 2
"Pak," panggil Amira merajuk kemudian dengan santai dia melempar tubuhnya walau sudah karena ada penghalang sabuk yang masih terpasang.
"Saya sudah jatuh cinta ke Bapak. Jangan dibuat lebih jatuh cinta lagi." Dinan menekan tombol hingga membuat sabuk yang melingkar di tubuh Amira lepas.
"Selamat datang, halal!" Dinan memeluk Amira dengan erat.
"Saya sudah halal ya?" tanya Amira polos, Dinan menatap Amira kemudian dia menelisik wajah Amira meyakinkan ada sesuatu yang aneh atau tidak.
"Memangnya yang saya sebut namanya kemarin siapa dalam ijab-kabul?" Amira menatap Dinan kemudian menarik dua sudut bibirnya.
"Pak Dinan kalau lagi bingung kok kelihatan ganteng ya?" Dinan menatap Amira sambil tertawa, dia tidak menduga jika istrinya begitu menggemaskan.
"Memangnya kalau biasa saya tidak ganteng?" Amira seolah masih terhipnotis oleh pesona Dinan dia masih saja menjawab tanpa sungkan.
"Ganteng sih, apa lagi kalau sedang serius dan memasang wajah datar. Pak Dinan nampak macho." Dinan mengangguk.
"Terus saat apa dong saya terlihat jelek?" Dinan bertanya dengan nada menggoda namun seolah tak menyadarinya Amira menjawab dengan polos.
"Belum pernah melihatnya, mungkin tidak ada." Amira menatap mata coklat cerah Dinan yang berwarna keemasan.
"Pak Dinan blesteran?" Dinan menggelangkan kepalanya.
"Tapi mata pak Dinan bukan hitam." Dinan tersenyum kemudian. Dia memegang tangan Amira dengan sedikit meremas.
"Boleh saya bawa pulang kamu, kamu terlalu sayang untuk dibiarkan berkeliaran di luar." Amira menatap Dinan sambil melotot.
"Pak Dinan baru merayu saya?" Dinan terkekeh.
"Apa seperti itu namanya merayu?" Amira mengangguk.
"Iya." "Wah, padahal saya jujur. Berarti kejujuran seorang lelaki bisa dibilang rayuan." Amira menatap Dinan kemudian menggelengkan kepalanya.
"Rasanya setelah mengikat kamu menjadi milik saya, rasanya saya tak ingin meninggalkan kamu barang sedetik saja." Amira menatap Dinan kemudian menunduk.
Karena dia melihat wajah Dinan yang serius membuat bulu kuduknya meremangkan dan merasakan remasan ringan di bagian perut dan ada rasa membuncah di dalam
dada. "Bagaimana kalau kita hari ini bolos?" Amira mengerutkan keningnya.
"Bolos?" Amira melihat sang suami mengaguk.
"Percuma bolos, toh hari ini harus ke rumah sakit." Dinan mengangguk setuju.
"Benar juga." Dinan segera menoleh ke arah pintu, dia bisa melihat wajah kesal Arif yang sedang mengetuk kaca pintu mobil.
"Maaf mengganggu aktivitas kalian. Tapi saya sudah tidak tahan menunggu sejak tadi." Dinan meringis sedang Amira bisa dilihat wajahnya memerah malu, dia
berasa seperti remaja yang kegap orang tuanya.
"Maaf Bang." Dinan bersuara.
"Memangnya ada apa?" Dinan bertanya.
"Mau minta kunci. Ibu lupa bawa kunci makanya semalam gak jadi pulang takut ganggu kalian." Dinan mengangguk. Kemudian dia menoleh ke Amira yang hanya
menunduk. "Kamu kenapa Mi?" tanya Arif.
"Gak papa Bang." Amira masih menunduk dia malu menampakkan wajahnya.
"Kamu tidak merusak lipstik Amira kan, Din?" tanya Arif dengan nada menggoda.
"Merusak lipstik bagaimana?" tanya Dinan tidak mengerti.
"Ya, bibir kami tidak merusak lipstik yang ada di bibir Amira." Dinan melotot kemudian dia segera memasang wajah datar. Dia menoleh ke arah Amir.
"Memangnya Amira menggunakan lipstik?" tanya Dinan. Dan kakak beradik itu dengan kompak menggelengkan kepalanya.
"Terus apa yang dirusak?" Dinan bertanya dengan nada gamang. Kemudian dia melihat Arif tertawa. Seperti Arif cukup bahagia menggoda dua orang yang memasang
wajah bingung di dalam mobil itu. Arif segera mengambil kunci rumah yang ada di tangan Amira kemudian dia berpamitan untuk pulang.
--- Amira berdiri di dekat gerbang samping, sudah dua hari ini dia main kucing-kucingan dengan Doni. Setiap kali berpapasan atau ada urusan yang berkaitan
Amira selalu menghindari semampunya. Dia tidak ingin Doni menanyakan sesuatu yang jelas tidak bisa dia jawab jadi jalan satu-satunya adalah menghindari
koneksi dengannya. Dan dia berusaha bersyukur karena waktu kerja keduanya tidak pernah satu waktu.
Amira melihat ke arah pergelangan bisa tangannya dia berdecak setelah sadar bahwa dia sudah menunggu lebih dari sepuluh menit padahal Dinan berjanji akan
menjemputnya tepat waktu karena hari ini Zainab putri Arif akan dibawa pulang. Amira menoleh ke arah gerbang yang nampak hanya jalan panjang dan pandangan
seperti biasanya. Mobil merah.
Amira sempat lupa pada satu hal itu, dia lupa jika selama ini dia diikuti oleh orang yang menggunakan mobil merah itu. Dian ingin sekali mendatangi namun
jelas dia tidak memiliki keberanian. Amira masih memiliki sisi wanita kalaupun terkadang dia juga melakukan aksi nekad. Tapi untuk yang satu ini terasa
menakutkan bagi Amira. Amira melihat ke arah jam kemudian dia merogoh kantong blazer yang dia kenakan dan melihat apa ada pesan yang dikirim oleh suaminya. Dan hasilnya nothing,
tidak ada pesan masuk dari suaminya yang ada hanya pesan dari operator.
"Nunggu siapa Bu?" Pak Rahmad mendekati Amira.
"Jemputan Pak."
"Kok tumben dijemput?"
"Oh, itu kakak ipar saya di RS, jadi saya mau ke sana sekalian." Amira melihat ke arah pak Rahmad kemudian dia melihat mobil Dinan masuk gang.
"Saya sudah dijemput, mari pak Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh." Amira segera keluar gerbang dia tidak ingin Dinan keluar mobil dan terjadi
keributan besar karena guru pujaan sekolahnya kini berstatus menjadi suaminya.
Amira segera membuka pintu dan masuk. Dia segera mengenakan sabuk dan mengambil napas.
"Kenapa lari-lari?"
"Saya tidak mau jadi bahan gosip. Gak siap!" Dinan menoleh ke arah sang istri dia merasa tak yakin dengan ucapan sang istri namun dia mengangguk. Memutar
setir dan kembali ke jalan besar.
"Memangnya bahan gosip apa?" Dinan mengulurkan kotak tisu kepada Amira, karena tadi dia sempat melihat sang istri mengelap keningnya dengan ujung jilbab.
"Ya, kan anak kelas tiga kenal gitu sama pak Dinan. Kalau tahu pak Dinan suami saya, wah bisa diamuk fans pak Dinan saya." Dinan terkekeh dengan ucapan
sang istri. "Dlo kok pulang?"
"Iya, tadi mbak Dinda udah dibawa pulang. Makanya saya terlambat menjemput kamu karena tadi nyupiri bang Arif dulu." Amira mengangguk, dia menyesal sudah
kesal dengan sang suami. Sekarang dia mulai menekankan bahwa suaminya adalah orang yang jujur dan baik jadi jika dia melakukan sebuah kesalahan pasti ada
sebab dibaliknya. "Nanti kita ke rumah Bunda, Ya?" Amira menoleh ke arah Dinan.
"Kenapa?" "Ibu dan bapaknya mbak Dinda tadi datang. Dan di rumah bang Arif kan gak ada kamar lebih jadi kita tidur di rumah bunda biar kamar kita nanti dipakai orang
tua mbak Dinda." Amira menoleh ke arah Dinan, dia menjadi merasa bersalah karena Dinan ternyata jauh lebih mengerti dirinya.
"Ayo turun," ajak Dinan setelah memarkirkan mobilnya.
"Maaf," kata Amira pelan.
"Kenapa?" "Maaf karena saya tidak tahu apapun. Entahlah saya merasa bersalah saja."
"Kamu tidak perlu merasa bersalah. Kita memulai hubungan pada waktu yang tepat karena semua itu adalah takdir dari Allah. Dan rencana Allah jelas bisa
dipastikan bahwa rencana yang baik. Karena Allah tahu apa yang kita butuhkan bukan apa yang kita inginkan." Amira menitikan air matanya dia sangat terharu
dengan ucapan Dinan. "Pak Dinan kok sweet banget sih." Dinan terkekeh.
"Iya dong, saya jurusan sastra Indonesia loh. Jadi saya pandai merangkai kata."
"Jadi itu tadi cuman rayuan gombal? Tapi gak papa, itu sudah membuat saya bahagia." Dinan mengelus puncak kepala Amira.
"Itu jujur dari sini." Dinan menaruh telapak tangannya di dada. Kemudian tersenyum.
"Kemanapun pak Dinan pergi, saya akan ikut."
"Iya, kamu harus ikut karena saya tidak akan membiarkan kamu sendiri." Amira mengusap air matanya kemudian dia tersenyum.
"Meski sedikit terlambat tapi saya mau bilang bahwa saya bahagia." Amira mengatakan dengan senyum dikulum.
"Harus." Dinan mengatakan dengan nada tegas dan menggenggam tangan Amira.
"Bagaimana kalau kita mulaielepas formalitas bahasa." Amira mengangguk.
"Saya akan memanggil kamu, Miray. Kamu juga harus memiliki panggilan spesial." Amira mengangguk kemudian dia nampak berpikir.
"Pak Dinan kan suami saya, berati yang tidak saya miliki adalah pacar. Boleh saya panggil mas pacar?" Dinan mengerutkan keningnya kemudian dia tertawa
kecil.2 "Dari sekian banyak panggilan kamu mau manggil saya mas pacar?" Amira memgangguk dengan tegas.
"Itu panggilan sayang saya, gak bakal ada duanya." Dinan mengangguk kemudian dia tersenyum miring.
"Kalau kamu memanggil saya mas pacar, terus di depan banyak orang kamu tidak malu."
"Kenapa malu?" tanya Amira dengan nada santai kemudian dia membenarkan posisi jilbabnya.
"Ya itu sedikit aneh."
"Lebih aneh mana dengan adik-kakak tapi saling suka?"
"Maksudnya?" "Ya, beberapa hari yang lalu ada beberapa anak didik saya yang mengatakan bahwa keduanya tidak pacaran tapi adik-kakak ketemu gede. Keduanya berlagak selayaknya
orang pacaran, si cowok apel ke rumah di cewek. Kadang jalan bareng, makan bareng tapi statusnya dia bilang adik-kakak tapi gak pacaran karena pacaran
itu dilarang. Bukankah itu lebih aneh."
"Terus kamu kasih saran." Dinan menatap penuh minat, nampak sekali dengan wajah Dinan yang seolah menanti jawaban yang akan dikeluarkan oleh Amira.
"Saya hanya bilang bahwa yang mereka lakukan tak lebih dari sebuah pacaran yang dilarang namun dengan status yang berbeda."
"Kenapa jadi bahas ini?" Amira berkata dengan nada merajuk.
"Baiklah, tidak lagi." Dinan terkekeh kemudian dia mencium kening Amira dan bergegas keluar mobil. Sedang Amira mengamati sekeliling untuk memastikan bahwa
tidak ada yang tahu hal yang dilakukan Dinan kepada dirinya. Ah, kenapa dia memiliki suami yang tidak bisa menjaga sikap di luar.
Tapi kamu suka dengan sikapnya bukan, Miray?10
Suka, suka sekali. Dia yang terbaik bagiku.
*** 18. Masih Sama "Bukankah Allah cukup untuk melindungi hamba-hambaNya."
[Az-Zumar: 36] --- Amira merapikan tempat tidurnya, kemudian dia menuju jendela untuk membuka tirai dan melihat dengan jelas pemandangan di bawah, karena kamarnya ada di


Selamat Datang Halal Karya Mawar May di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lantai atas. Amira bisa melihat di bawah Ifa-adik perempuan Dinan- sedang bermain dan bercanda gurau dengan sang putri. Dia menunduk mengamati dalam diam.
Dia masih ingat gestur tubuh Ifa saat dia datang ke rumah ini untuk pertama kali.
Amira melihat wajah Ifa yang tidak ceria dan cenderung sinis terhadapnya, dia tidak buta bahwa adik suaminya itu tidak menyukainya. Bahkan sudah hampir
tiga hari dia berada di sini namun hal itu tidak pernah mendekatkan keduanya. Amira menjadi semakin bersalah, apalagi dia melihat kerenggangan itu terjadi
juga pada Dinan. "Sedang melihat apa?" Amira menoleh cepat ke arah Dinan yang sedang mengancingkan lengan kemejanya lalu ia mendekat dan membantu Dinan.
"Melihat Ifa sedang mengajari jalan." Dinan menatap Amira mengerutkan keningnya kemudian mengangguk. Dia tidak tahu apa yang ada dalam pikiran lelaki yang
sudah menjadi suaminya yang pasti ada sesuatu yang nampak disembunyikan oleh Dinan dalam diam.
"Hari ini kamu mau ikut Mas ke kampus?" Amira menatap Dinan kemudian dia menggelengkan kepalanya namun tak lama dia kembali menggerakkan kepalanya ke atas
dan ke bawah. "Kata orang jawaban pertama adalah jawaban kejujuran karena hal itu spontanitas, tapi mengingat Miraynya Mas pacar ini pemikir jadi jawaban kedua bisa
jadi adalah jawaban final dengan banyak pertimbangan." Dinan melangkah menuju lemari dan mengambil dasi. Amira mengambil alih kemudian dia memasangkan
di leher sang suami. "Apa yang Miray lakukan di sana?" Amira mengambil jas dan tas Dinan.
"Ada acara expo mahasiswa, ada juga acara semacam bazar anak ekonomi. Jadi tak perlu khawatir tidak memiliki kegiatan." Dinan memeluk sang istri dari belakang.
"Mas gak tega meninggalkan kamu sendiri di medan perang." Amira menengok melihat ekspresi wajah sang suami.
"Maksudnya?" "Mas tahu istri mas ini sedang tidak enak hati dengan Ifa. Mas tahu perlakuan Ifa yang memang sedikit menyinggung perasaan, tapi Mas harap kamu maklum
ya." Amira mengangguk kemudian melepas pelukan Dinan.
"Saya tahu dan sangat tahu, bahwa kakak ipar idaman Ifa bukan saya." Amira langsung berjalan keluar meninggalkan Dinan yang menghela napas panjang.
Amira menuruni tangga dengan pelan, dia tidak mau tergelincir karena saat ini dia mengenakan kaos kaki yang artinya lantai terasa licin baginya. Dia melangkah
menuju meja makan, di sana sudah ada dua botol minum yang sudah dia siapkan. Satu botol dia bawa dan satu botol dia taruh di dalam tas Dinan. Amira kembali
melangkah ke depan dia tidak menjumpai penghuni rumah karena dia tahu penghuni rumah sedang bermain di halaman samping.
"Mi," panggil Dinan bertepatan saat Amira hendak mengambil sepatu Dinan di rak.
"Iya," jawab Amira pelan.
"Ikut ya," kata Dinan mengambil alih sepatunya kemudian dia mengambil juga sepatu Amira.
"Gak enak sama bunda. Masak aku keluyuran, belum lagi besok acara aqiqah Zainab." Dinan menatap dengan diam ke arah mata Amira, dia tidak ingin dibantah
saat ini jadi dia tak mengeluarkan suara hanya menatap sang istri saja.
"Mas, jangan gitu dong kalau ngeliatin." Dinan tidak perduli dengan ucapan Amira.
"Iya, Miray ambil tas dulu." Amira mengatakan hal itu dengan nada tak rela namun saat melihat senyum terukir di bibir Dinan Amira menyesali keputusannya
yang sempat menolak Dinan beberapa waktu lalu.
Dia tahu, suaminya ingin menjaga perasaan yang dia miliki namun Amira juga sadar bahwa dia tidak bisa terus menerus menghindari masalahnya.
"Mas tunggu di depan." Amira mengangguk kemudahan melangkah ke dalam untuk mengambil tas. Amira mengenakan hijab yang selaras dengan bajunya kemudian dia
memasukkan ponselnya ke dalam tas tak lupa dia membawa cadangan kaos kaki. Amira keluar dari kamar bertepatan saat Ifa naik ke atas. Amira tidak tahu yang
dilakukan Ifa namun yang pasti kamar Ifa ada di bawah dan kawasan atas sangat jarang dijajah oleh orang karena hanya ada gudang, kamar Dinan dan perpustakaan.
"Mbak," panggil Ifa saat Amira menarik resleting tasnya.
"Iya," jawab Amira mendongak.
"Maaf kalau aku ada salah." Amira menatap dengan bingung kemudian dia mengangguk.
"Aku juga kalau ada salah minta maaf." Amira berkata dengan pelan.
"Sebenarnya aku ingin mas Dinan menikah dengan mbak Maura." Amira tidak bisa berkata apapun dia bungkam mengunci kedua bibirnya rapat-rapat, dia tidak
mampu mencerna semuanya. Dia pikir selama tiga hari ini Ifa tak suka dengannya karena tidak mau berbagi Dinan dengannya namun ternyata ada alasan yang
jauh lebih menakutkan untuk diketahui oleh Amira.
"Mbak mau berbagi?" Amira menoleh cepat ke arah Ifa. Apa yang ada di otak wanita itu?
"Maura dalam keadaan hamil, dia butuh lelaki untuk menyokong dan mendukung. Jadi tidak ada salahnya bukan kalau mbak mencoba berbagi dengan Maura." Amira
mengeratkan pegangannya di tas dia tidak mau menjawab apapun saat ini. Dia hanya mampu diam dan merenungi semuanya sebelum mengucapkan kalimat yang mungkin
akan membawa banyak pengaruh suatu saat nanti.
Pernikahan yang dia bangun baru berjalan lima hari namun dengan sadar wanita di depannya ini meminta dirinya untuk berbagi suami hal yang sangat tidak
ingin dilakukan oleh Amira. Sungguh, kalau boleh bertanya wanita mana yang rela berada di posisi Amira saat ini. Saat penikahannya saja belum disempurnakan
dengan penyatuan dan dia sudah mendapatkan tawaran berbagi suami, apakah semua ini wajar?
"Aku rela berbagi mas Dinan dengan mbak Mira. Jadi bukan hal sulit bukan mbak Mira berbagi dengan Maura. Status mbak tetap istri pertama dalam rumah tangga
mbak. Mbak tetap berkuasa penuh karena mbak yang pertama." Amira ingin sekali berteriak di depan wanita satu anak itu. Dia tidak mengerti pola pikir yang
ada di dalam kepala cantiknya. Ya Allah, kalau boleh berteriak mungkin Amira akan melakukannya saat ini, ingin mengeluarkan semua pendapatnya dan mematahkan
segala argumen adik iparnya.2
"Mbak juga perempuan, walaupun Mbak belum pernah memiliki anak namun Mbak jelas tahu rasanya hamil tanpa suami. Aku pikir Mbak adalah wanita yang berpikir
terbuka jadi aku yakin Mbak mengerti perasaan Maura. Dan yang lebih lagi, mas Dinan adalah mantan Maura jadi chaimistry diantara keduanya pasti akan lebih
mudah terangkai dari pada diantara Mbak dan mas Dinan yang membutuhkan waktu hampir tiga tahun." Amira diam, Amira tak ingin mengucapkan apapun sudah cukup
semuanya baginya. Amira tak ingin salah bicara dan membuat sesuatu yang sederhana menjadi rumit, karena emosi akan membutakan pola pikir manusia.2
"Kamu juga perempuan kan Ifa? Jadi tolong pikirkan juga dari sudut pandang mbak, jangan hanya dari sudut pandang diri kamu sendiri dan Maura. Aku duluan,
sudah ditunggu mas Dinan di depan." Amira melepas tali tasnya kemudian dia mengalungkan di leher dan menaruh dibawah ketiaknya, sebelum melangkah dia menepuk
bahu sang adik ipar dan memberi senyum kecil meski terkesan masam. Namun paling tidak bagi Amira dia sudah mencoba yang terbaik.
--- Amira melangkah dari stan satu menuju stan yang lainnya, dia ada di bazar yang digelar oleh fakultas ekonomi. Dia tidak mengerti secara mendetail acara
apa sehingga ada bazar yang dia tahu saat ini dia seorang diri. Amira melangkah menuju pergelaran makanan ringan, dia melihat ada kue kesukaannya dia melangkah
dan mengambil duduk di samping dua orang yang nampaknya adalah penunggu stan.
"Ada yang dibantu, Bu?"
"Boleh saya istirahat sebentar." Dua mahasiswi itu mengangguk. Tak lama Amira sibuk dengan ponselnya dan mengabaikan banyak orang yang mengerumuni stan.
"Aku ingin bimbingan sama pak Dinan. Tapi sayang kuotanya udah penuh."
"Memangnya pak Dinan membuka berapa kursi."
"Hanya tujuh." "Sedikit sekali, padahal biasanya paling sedikit dosen membuka tiga belas."
"Menurut gosip, pak Dinan anti sama mahasiswi. Jadi dibuka khusus mahasiswa."
"Emang pak Dinan masih single? Tampan gitu."
"Single." "Wah kalaupun tidak single. Dimadu pun rasanya aku mau." Amira mendongak cepat hingga dua mahasiswi itu menoleh ke arah Amira sambil meringis.
"Yakin Mbak mau dimadu?" tanya Amira sambil tersenyum tipis.
"Yah kalau suamiable kata dosen sastra Indonesia saya mau Bu," jawab mahasiswi berhijab merah. Amira mengangguk kemudian tersenyum tipis.3
Dalam hati Amira merujuk bibir dua gadis itu, saat belum terjadi saja masih bisa berpikir seperti itu tapi jika sudah menikah apa yakin hal itu akan dijadikan
prinsipnya. "Tapi sayang, pak Dinan sepertinya bukan tipe orang yang mau poligami." Bukan hanya dua gadis yang menoleh tapi hampir semua pengunjung.
"Ibu kenal Pak Dinan?" Jelas, lelaki yang kalian bicarakan adalah suami saya.
"Iya, saya dulu sempat mengajar di tempat yang sama dengan pak Dinan. Ardinan Nawwaf bukan?" Amira mengamati semua gadis yang mengangguk. Amira tersenyum
dalam hati dia berujar bahwa tidak hanya siswi yang ada di SMA yang mengagumi Dinan namun banyak mahasiswi dari berbagai fakultas yang sangat mengidolakan
suaminya. "Iya sih dengar-dengar dulu pak Dinan mengajar di sana." Amira mengetik pesan kemudian dia menoleh ke nomor stan yang di pasang di bagian dalam.
"Pak Dinan dulu seperti apa Bu?"
"Pak Dinan? Ya seperti saat ini hanya saja sekarang tampak lebih tua dibandingkan dua tahun yang lalu." Amira menjawab dengan pelan. Kemudian dia mengambil
beberapa bungkus kue basah.
"Bukan itu, maksudnya sifatnya. Apa seperti sekarang yang dingin terhadap perempuan?" Amira menoleh ke arah gadis berhijab merah yang nampak antusias.
"Bahkan menurut gosip pak Dinan menolak berjabat tangan atau berbincang pribadi dengan perempuan. Tapi kalau sama mahasiswa open banget." Mahasiswi berhijab
hitam menimpali. Amira seolah masuk ke dimensi masa lalu untuk hari ini, di mana dia kembali menjadi kawan bergosip seputar seorang Ardinan Nawwaf.
"Kata adikku yang udah lulus, pak Dinan sempat dekat dengan salah satu guru sebelum pindah jadi dosen. Tapi itu semua hanya kabar burung karena pada kenyataannya
pak Dinan tetap single."
"Yakin pak Dinan single?" tanya Amira sambil membuka resleting tasnya. Dia akan membayar kue yang dia beli.
"Yakinlah, ini dari sumber yang dapat dipercaya."
"Dari siapa?" tanya perempuan berhijab merah.
"Dari mbak Dania yang dulu sempat deket dengan pak Dinan. Staf bagian kearsipan." Amira menoleh kemudian dia mengangguk.
"Sudah, jangan bergosip." Amira mengatakan dengan nada pelan. Dia tidak ingin menyinggung perasaan orang lain.
"Ini bukan gosip Bu. Ini adalah mengutarakan fakta yang tersembunyi."
"Sama saja, kalau benar jatuhnya ke ghibah dan kalau salah jatuhnya ke fitnah." Semua menoleh ke arah Amira.
"Mengapa?" "Ibu cocok jadi ustadzah. Kalau ngomong kalem enak didengar." Amira tersenyum menanggapi ucapan para mahasiswi yang saat ini sedang asik bercanda itu.
"Ada pak Dinan." Amira menoleh ke arah mahasiswi penjaga stan.
"Sudah selesai?" Belum sempat Amira menengok dia sudah mendengar suara Dinan di belakangnya. Amira tersenyum kemudian dia menoleh ke belakang.
"Sebentar saya masih mau bayar." Amira menunjukkan dompetnya.
"Mas tunggu di depan." Amira tersenyum kemudian mengangguk. Amira kembali menghadap ke arah mahasiswi penjaga stan yang nampak bingung.
"Ini dekat dengan pak Dinan?" Amira tersenyum kemudian mengangguk.4
"Kembaliannya bisa diambil. Buat beli minum di sini udaranya cukup pengap." Amira berkata dengan pelan. Dua penjaga itu mengucapkan terima kasih.
Pedang Medali Naga 9 Pendekar Slebor 11 Cermin Alam Gaib Neraka Lembah Tengkorak 3

Cari Blog Ini