Ceritasilat Novel Online

Selamat Datang Halal 3

Selamat Datang Halal Karya Mawar May Bagian 3


Amira menoleh ke arah mahasiswi buang berhijab merah, dia menepuk bahu mahasiswi itu kemudian sedikit mendekat dan berbisik.2
"Mungkin kamu harus mencari lelaki lain. Karena saya tidak suka dimadu." Amira menepuk bahunya kemudian permisi tak lupa dia melempar senyum dan salam
kepada mahasiswi yang dan di sana. Amira ingin tertawa saat ini, rasa kesal terhadap ucapan Ifa hilang seketika. Yang saat ini harus dilakukan adalah menjaga
suaminya untuk dirinya.8 Amira melangkah mendekati Dinan yang sedang asik berbicara dengan beberapa rekannya, begitu penilaian Amira dari pakaian yang dikenakan tiga orang yang
berdiri bersama Dinan. Dan saat langkah kakinya semakin dekat dia terkejut jika salah satu dari orang yang ingin dihindari Amira kini tengah menatapnya
sambil tersenyum. "Kamu di sini Mira?" tanya Farhat membuat semua mata tertuju padanya. Amira menjadi salah tingkah dan menghentikan langkahnya.
Farhat melangkah mendekati Amira, namun Amira justru mundur membuat Farhat berhenti di langkah ketiga.
"Ada apa?" tanya Farhat menatap Amira yang menundukkan kepalanya. Amira hanya diam saja hingga dia merasakan tangan hangat mengambil belanjaannya.
"Kamu sudah selesai?" Amira mendongak menatap Dinan yang sudah ada di depannya.
"Ayo aku kenalkan rekanku." Dinan menarik tangan Amira dan berjalan melewati Farhat yang hanya mampu diam saja.
Amira menunduk saat berada di depan dua orang lelaki yang umurnya berkisar empat puluhan.
"Kamu mengenal istri pak Dinan, pak Farhat?" Suara kebapakan itu membuat Farhat menoleh cepat kemudian mendekat.
"Iya, kami dulu satu kampus."
"Wah dunia benar-benar sempit kalau kita bertemu teman lama yang memiliki benang merah di masa depan." Amira mengeratkan tanganya, entah mengapa saat masa
lalu diungkit masih ada seberkas luka yang menghampiri perasaannya.
"Miray, kenalkan ini pak Danil sang rektor yang bijaksana dalam mengambil keputusan."
"Anda terlalu berlebihan pak Dinan." Dinan tersenyum kemudian menunjuk ke arah satu lelaki mengenakan kemeja dan dasi senada, hitam.
"Ini pak Santoso, guru besar yang sangat terkenal kecerdasannya." Amira mengangguk kemudian menangkup kedua tangannya.
"Saya Amira, istri pak Dinan." Farhat menatap Amira dan Dinan bergantian. Dia masih belum percaya dengan ucapan Amira.
"Kamu sudah menikah?" tanya Farhat cukup pelan.
"Oh ya, tidak perlu saya kenalkan bukan dengan dosen muda yang sangat terkenal dikalangan mahasiswa ini. Kalian sudah saling kenal bukan?" Amira mendongak
menatap Dinan kemudian mengangguk. Ada kata yang tak mampu Amira ucapkan saat ini, dia hanya berharap Dinan menyadari dari tatapan matanya, bahwa dia merasa
tak nyaman saat ini. *** 19. Ketahuan "Musa berkata kepada kaumnya: 'Mohonlah pertolongan kepada Allah dan bersabarlah; dipusakakanNya kepada siapa yang dikehendakiNya dari hamba-hambaNya.
Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa'".
[Al ?A?raf:128] --- "Jadi suamimu ini sudah tua?" tanya Dinan saat keduanya duduk sebelum tidur. Menurut banyak pendapat, berbincang antara suami dan istri di atas tempat
tidur sebelum keduanya istirahat dengan tidur di malam hari adalah salah satu sunah.
"Maksudnya?" Amira merapikan selimut yang menutupi tubuhnya.
"Tadi siang kamu bilang ke mahasiswi kalau aku sudah lebih tua sejak dua tahun yang lalu." Amira menghentikan gerakan tangannya kemudian menoleh ke arah
Dinan dengan wajah heran juga geli.
"Pak Dinan mendengar itu?" tanya Amira menggoda.
"Pak Dinan?" tanya Dinan kesal, dia membuang muka membuat Amira tergelak.
"Ya Allah, mas pacar lucu sekali. Sini-sini Miray peluk." Amira langsung menarik tangan Dinan dan melingkarkan pada tubuhnya.
"Pak, sadar dong setiap menit umur manusia itu semakin bertambah. Jadi wajar dong kalau Bu Mira yang lebih muda ini mengatakan hal itu." Dinan melirik
sinis istrinya yang sedang bersandar pada tubuhnya.
"Baiklah, asal istriku bahagia." Dinan menjawab dengan malas, bukan kesal Amira justru tertawa. Kemudian secara spontan tawa itu menghilang membuat Dinan
yang sudah mengangkat dua sudut bibirnya menatap Amira heran.
"Ada apa?" Dinan membawa wajah Amira yang nampak kosong ke arahnya.
"Ada apa?" tanya Dinan lagi, kemudian dia melihat sudut bibir Amira terangkat meski enggan.
"Apa makna poligami menurut Mas?" Dinan mendesah. Dia sepertinya akan memusuhi poligami jika itu membuat Amira lebih tenang dan bahagia. Tapi hal itu tidak
mungkin karena mau bagaimanapun poligami adalah sebuah syariat yang dibenarkan.
"Ada apa lagi dengan poligami. Bukankah kita sudah pernah membahasnya." Amira menatap Dinan kemudian dia mencebik.
"Tetap saja poligami seperti bayang-bayang yang mengikuti pak Dinan." Amira mengatakan dengan pelan kemudian dia menyembunyikan wajahnya di dada Dinan.
Dinan segera memeluk sang istri berharap hal itu mampu memberi ketenangan kepada istrinya.
"Kamu tahu, hal yang paling aku takuti adalah poligami." Amira mengurai pelukannya, dia mendongak menatap Dinan namun yang dia lihat hanya lehernya.
"Kenapa Mas takut dengan poligami?" Dinan menunduk kemudian dia menatap mata indah Amira.
"Karena sebagai lelaki, jujur aku sangat takut merusak citra poligami." Amira semakin tidak mengerti ucapan Dinan.
"Mengapa?" "Poligami itu adalah sunah dari Nabiku. Karena Nabi mampu berbuat adil kepada istrinya, belum tentu kami para lelaki mampu melakukan hal itu. Apa lagi
di zaman modern ini, sangat sulit mendapatkan wanita yang benar-benar rela dengan tulus dipoligami di awal hingga akhir. Jadi Mas takut saat berpoligami,
Mas tidak bisa adil dan membuat citra poligami itu sendiri tercemar. Padahal poligami itu adalah syariat." Amira menelan ludahnya, entah mengapa dia merasa
ada yang mengganjal di tenggorokan.
"Kamu tahu, Nabi dulu selalu mengundi istrinya saat hendak berpergian. Dan selalu menggilir istrinya setiap malam dengan adil. Dan diantara istri dengan
ridho menerimanya. Sedangkan kebanyakan sekarang melakukan senioritas, antara istri muda dan istri tua dianggap ada kedudukan tersendiri padahal pada kenyataannya
itu tidak ada, semua istri memiliki kedudukan yang sama." Amira mengangguk setuju, dia juga berpikir demikian. Banyak sekali oknum yang membuat poligami
itu tercemar karena senioritas atau adanya ketidakadilan yang dibutuhkan dalam rumah tangga.2
"Tapi bukan berarti pelaku poligami semua seperti itu." Dinan berkata didekat telinga Amira.
"Dan saat ini yang aku fokuskan bukan tentang menambah istri. Akan tetapi aku ingin menambah tanggung jawab dengan memiliki beberapa anak yang kamu didik
dengan baik, Miray." Amira merasakan pipinya panas, dan tanpa disangka dan diduga tiba-tiba Dinan sudah mengecup puncak kepalanya dan mendorong tubuh Amira
hingga terlentang dan keduanya melakukan hal yang harus dia lakukan walaupun tertunda beberapa hari.
--- Amira tersadar dari tidurnya saat dia merasa hawa dingin menangkup tubuhnya, serasa sepoi angin menghampirinya dan mendingan tubuhnya hingga ketulang-tulang.
Amira mulai membuka matanya dan menyesuaikan cahaya yang ada dengan kornea matanya.
"Kamu sudah bangun?" tanya Dinan masih setia membelai lembut pipi sang istri.
"Kenapa?" tanya Dinan, membuat Amira tersenyum malu. Amira ingat yang terjadi semalam, sesuatu yang tak pernah dia bayangkan.
"Bangunlah, ini sepertiga malam pertama yang kamu lalui dengan sholat saat menjadi istri seorang Ardinan." Dinan membantu Amira bangun dari tidurnya. Dinan
membiarkan Amira duduk untuk mengumpulkan segala fungsi tubuhnya.
"Rambutmu masih basah," kata Dinan dengan senyum di bibirnya membuat Amira tambah malu. Dinan tahu benar jika saat ini sang istri ingin sekali menghindari
dirinya karena kejadian semalam. Tapi, rasanya Dinan tak ingin menyia-nyiakan kesempatan untuk menikmati wajah sang istri saat bangun dari tidurnya.
Dinan ingat sebuah hadits yang pernah dia pelajari, dulu Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam menghimbau umatnya untuk mengerjakan shalat malam dan
menganjurkan agar suami istri hendaknya saling membantu dalam mengerjakannya. Sampai-sampai sang istri boleh menggunakan cara terbaik untuk itu, yaitu
dengan memercikkan air ke wajah suaminya! demikian pula sebaliknya.
Abu Hurairah Radhiyallahu anhu meriwayatkan sebuah hadits dari Rasulullah bahwa beliau bersabda:
?????? ????? ??????? ????? ???? ????????? ???????? ?????????? ??????????? ????????? ?????? ?????? ?????? ??? ????????? ???????, ?????? ????? ?????????
??????? ???? ????????? ????????? ???????????? ????????? ???????? ?????? ????? ???????? ??? ???????? ???????
'Semoga Allah Subhanaahu wa Ta?ala merahmati seorang suami yang bangun pada malam hari untuk mengerjakan shalat malam lalu membangunkan istrinya untuk
shalat bersama. Bila si istri enggan, ia memercikkan air ke wajah istrinya (supaya bangun). "Semoga Allah Subhanaahu wa Ta?ala merahmati seorang istri
yang bangun pada malam hari untuk mengerjakan shalat malam lalu membangunkan suaminya untuk shalat bersama. Bila si suami enggan, ia memercikkan air ke
wajah suaminya (supaya bangun)." [HR Ahmad].
"Mas," panggil Amira dengan nada merajuk.
"Apa?" tanya Dinan yang sudah berdiri dari duduknya.
"Gak jadi," kata Amira sambil turun dari tempat tidur, Amira mengambil handuk di gantungan dan membawanya menuju kamar mandi.
Dinan menatap punggung sang istri yang ditelan oleh pintu kemudian dia menggelar sajadah untuk memulai meninggalkan perkara dunia menuju perkara akhirat.
Dia akan memohon keridhoan segala hal yang dia lakukan di dunia kepada sang Pencipta malam dan siang. Dengan meninggalkan statusnya yang seorang dosen
dan sebagai anak. Dia akan menghadap sebagai seorang hamba yang tetap butuh kepada sang Pemilik Kehidupan-nya.
--- Dinan dan Amira keluar dari kamar bersama-sama menuju bawah, tadi setelah sarapan dan mengantar bunda Dinan ke depan Amira kembali ke kamar untuk persiapan
berangkat ke sekolah. Hari ini ada upacara dan rapat dinas yang membuat Amira harus berangkat pagi.
"Bunda sudah pergi?" Amira mengangguk. Dinan tahu jika hari ini sang bunda akan pergi ke rumah Maura untuk menjenguk wanita itu. Memang sejak menikah,
Amira sadar bahwa keluarga Dinan perhatian dengan Maura karena dia sering mendapati sang bunda atau adik Dinan izin untuk ke rumah Maura.
Amira masih diam dan tak ingin membuka suara, entah mengapa ucapan Ifa begitu terniang di telinga. Ada aura dingin dan panas sedang mengarungi tubuhnya.
Dia ingin menghempaskan segala rasa yang mengundah-gulana di dalam dadanya.
"Ada apa?" Amira menoleh ke arah Dinan yang sedang merapikan tali sepatunya.
"Tidak ada." Amira segera berdiri kemudian melangkah ke ruang depan. Dia tidak ingin suaminya bertambah pikiran dengan segala rasa yang dia pendam. Mungkin
terkadang harus ada yang dia rahasiakan, apa lagi tentang perasaan yang tak mau berjuang untuk dia lenyapkan.
"Ada yang mengganjal?" Dinan meraih tangan Amira. Amira menoleh kemudian tersenyum.
"Tidak ada, hanya sedang malas beraktivitas pagi." Amira berjalan menuju mobil yang sudah dipanasi di depan rumah.
Rumah keluarga Dinan, adalah rumah yang ada di kawasan elit. Terbukti dengan halaman yang cukup luas dan bangunan rumah yang cukup tinggi dan besar. Berbeda
dengan rumah lama Dinan apa lagi rumah yang digunakan keluarganya tinggal. Amira menunduk, kalau boleh jujur dia ingin memiliki rumah sendiri merasakan
membersihkan rumah dan mengerjakan semua pekerjaan sendiri. Seperti dulu, saat dia tinggal bersama sang ibu.
"Mobil merah itu lagi?" kata Amira tak yakin saat melihat mobil merah yang sering dia lihat terparkir di dekat gerbang belakang. Amira memang sengaja meminta
Dinan mengantar melalui gerbang belakang, bukan karena dia tak ingin menyembunyikan statusnya dengan Dinan, bukan. Hal ini dia lakuakan? karena hari ini
dia membawa setumpuk buku ukuran folio, jadi dia ingin menaruh lebih dulu di ruang ketrampilan sebelum dia ke depan untuk upacara.
"Benar itu mobil yang sama." Dinan menghentikan mobilnya di belakang mobil merah itu terparkir.
"Mas akan melihatnya," kata Dinan membuka pintu. Setelah mesin mobil dia matikan dan membuka kaca jendela supaya udara di dalam tak terasa pengap.
"Tapi Mas...." Dinan tersenyum kemudian melangkah, dia tidak membiarkan Amira melarang dirinya untuk mengetahui sosok yang ada di dalam mobil itu. Dulu,
Dinan mungkin bukan siapa-siapa Amira sehingga dia tidak memiliki hak apapun untuk mencegah rasa tak nyaman Amira. Namun kini, Amira adalah istrinya dia
memiliki tanggung jawab besar terhadap kehidupan wanita itu. Jadi, dia harus mengetahui siapa yang ada di balik kemudi mobil itu dan mengetahui motif dibalik
kelakuannya selama ini. Amira menatap khawatir ke setiap langkah Dinan, dia menautkan kedua tangannya dengan kuat dan sesekali dia memutar dan membuat gerakan tak pasti pada tangannya.
Dia terlalu takut dengan hal yang terjadi, dia takut dengan segala kejadian yang tak bisa dia bayangkan. Amira terlalu parno dengan telah hal yang pernah
dia lihat di televisi, hingga membuat jantungnya berdetak dengan cepat.
Amira menunduk berdoa di dalam hati supaya tak terjadi segala hal yang pernah terlintas dalam otaknya. Saat melihat bayang-bayang di depan dia mendongak,
dia mengamati dua orang yang sedang berbicara dengan santai seolah bukan masalah besar yang sedang menerpa. Dan dengan mata kepala Amira sendiri, dia melihat
lelaki yang sangat dia kenal sedang berbicara serius dengan sang suami.
"Tidak mungkin." Amira menutup mulutnya dengan kedua bibirnya. Selama ini dia memang menduga bahwa lelaki itu yang melakukan semua ini, namun dia selalu
mengelak karena dia yakin lelaki itu tidak akan melakukan hal yang tak ada gunanya itu. Namun dia kini tengah terpesona bukan karena takjub, lebih karena
dia merasa terkejut dengan hal yang telah terjadi.
"Fatih," kata Amira sebelum dia keluar dari dalam mobilnya dan mengetahui secara langsung motif yang akan menjadi alibi Fatih untuk membela dirinya.
*** 20. With You " Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram."
(QS Ar Ra'd:28) ---- Amira menghela napas kembali, dia menatap punggung Dinan yang tertelan pintu. Dia menoleh ke arah Ifa kemudian dia memberikan senyum tipisnya.
"Mbak, sungguh aku tidak bermaksud membuat semua ini semakin rumit." Ifa mendekati Amira dan menyentuh tangan Amira.
"Sudahlah, semuanya akan baik-baik saja." Amira melepas genggaman Ifa kemudian dia mengambil cangkir yang berisi coklat panas.
"Aku tidak ingin Mbak dan Mas Dinan bertengkar. Sungguh, selama ini aku memang selalu berpikir egois aku hanya ingin menguji Mbak Mira saja. Sungguh tak
ada sedikitpun niat untuk membuat Mbak Mira dipoligami. Sungguh." Dia mengatakannya dengan nada yang mampu menghanyutkan siapapun yang mendengarnya. Amira
tersenyum tipis, dia tidak menduga jika Ifa akan melakukan hal konyol itu.
"Aku sedikit kesal saat mas Dinan bilang kalau mbak menolak lamarannya waktu itu. Karena aku tahu seberapa besar rasa yang dimiliki oleh Mas Dinan buat
Mbak." Ifa mengambil duduk kemudian mendongak menatap Amira yang membeku dengan dua tangan memegang cangkir dari sisi kanan dan kiri.
"Maksudnya?" "Apa yang aku ucapkan selama ini tidak ada yang benar. Aku tidak berharap Mas Dinan menikah dengan Maura, itu semua hanya ingin membuat Mbak kesal saja.
Sungguh Mbak, jangan bertengkar dengan Mas Dinan. Aku yang akan bicara pada Mas Dinan." Ifa hendak berdiri namun dicegah oleh Amira.
"Gak perlu, Fa. Biarkan kami bicara," kata Amira kemudian dia berjalan menuju tangga mengangkat kakinya melangkah satu demi satu anak tangga dengan pelan,
dia menjaga keseimbangan dengan hati-hati karena saat ini dia membawa cangkir coklat yang cukup panas. Baru sampai depan pintu Amira mendengar seruan panggilan
menuju rumah Allah, dia tersenyum tipis. Amira sangat menyukai suara adzan karena bagi Amira adzan adalah sebuah panggilan untuk melepas keinginan dunia.
Amira membuka pintu tanpa mengeluarkan suara, dia menjawab adzan dalam diamnya. Saat menaruh cangkir Amira melihat Dinan yang sedang membuka pintu kamar
mandi dan tersenyum tipis ke arahnya. Amira mengerti maksud dari senyum Dinan, dia mengangguk kemudian dia mengambil handuk dan memberikan kepada Dinan.
Amira bisa melihat wajah Dinan yang masih bercucuran gemercik air.
"Sudah mandi?" tanya Amira.
"Sudah." Dinan melangkah keluar kamar mandi, tak lupa mengucapkan doa dan dimulai dengan kaki kanannya.
"Kok belum ganti baju?" Amira menatap kemeja yang sama yang dipakai Dinan, namun dia bisa melihat bahwa Dinan tidak memakai handuk sehingga kemeja melekat
pada tubuhnya yang basah.
"Tadi lupa membawa handuk dan baju ganti." Amira menoleh ke arah kursi, dan di sana masih ada baju yang sudah dia siapkan untuk Dinan malam ini.
"Kenapa lama sekali masuk kamarnya?" Dinan langsung memeluk tubuh Amira.
"Mas, basah." Amira terpekik karena terkejut.
"Biarkan, mas sudah menunggu kamu lama." Dinan menaruh kepalanya di bahu sang istri.
"Aku tidak ada satu jam ini," kata Amira pelan, dia heran dengan sikap Dinan.
"Mas sudah menunggu saat seperti ini sejak tadi pagi, apa kamu tidak menyadarinya?" Dinan membalik tubuh Amira sehingga keduanya saling berhadapan.
"Mas rasanya ingin marah jadi memelukmu." Dinan kembali memeluk Amira dengan kuat membuat Amira semakin bingung.
"Apa hubungannya?" Amira mengurai pelukan kemudian dengan santai meninggalkan Dinan yang hanya diam karena merasa diabaikan.
"Ada banyak hubungannya, katanya pelukan istri itu mampu meredam gejolak di dalam dada." Amira membawa baju Dinan.
"Cepat ganti baju, sudah adzan. Bisa jadi sebentar lagi iqomah." Amira menyerahkan baju Dinan, dia tersenyum tipis melihat wajah kesal Dinan. Ah, manis
sekali suaminya itu. Amira bukan tidak paham ucapan Dinan dia sangat paham namun dia hanya ingin menggoda suaminya.
Setelah mengantar Dinan hingga depan pintu kamarnya, Amira melangkah menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu dan melaksanakan sholat isya. Tidak lupa
sebelum melakukan sholat isya dia sholat dua rakaat sunnah qobliyah isya dan setelah sholat isya dia juga berlakukan sholat sunah ba'diyah isya sebanyak
dua rakaat. Amira ingat tentang sebuah hadits yang menjelaskan bahwa Rosulullah menganjurkan untuk mendirikan sholat sunah di dalam rumahnya supaya rumah tidak seperti
kuburan. Amira melipat kembali mukena yang dia kenakan, kemudian saat hendak melipat sajadah dia dikejutkan dengan ucapan Dinan.
"Sajadah taruh saja, aku juga mau sholat." Amira menoleh ke arah Dinan kemudian dia mengangguk. Amira berjalan menuju kursi kemudian dia duduk di sana,
dia mengamati sang suami yang saat ini tengah khusyu'.
--- Amira menuruni anak tangga dengan pelan, dia hendak menuju ke ruang makan.
"Dinan sudah pulang?" tanya Bunda yang ada di dekat tangga.
"Sudah Bun." Amira berdiri di dekat sang bunda.
"Semenjak punya istri dia jadi gak pernah laporan lagi ke bundanya kalau sudah pulang." Amira meringis mendengar ucapan sang mertua, dia jadi tidak enak
hati dan merasa bersalah. Rasanya, kehadiran dia di rumah ini membuat Dinan dan sang ibu meremang.
"Jangan salah arti, Bunda tidak menyalahkan dirimu. Bunda menyalahkan Dinan yang berubah." Meski kalimat itu tidak menghakimi Amira, namun tetap saja bagi
Amira itu adalah suatu beban yang harus dia angkat dengan mencari solusi.
"Iya Bun." Amira mulai mengangkat panci sayur kemudian dia menghangatkan. Dia menatap kosong warna biru api di atas kompor yang masih nampak walaupun di
atasnya terdapat panci. Amira mulai menyelami yang lautan pikiran, dia mulai mencoba berenang ke tepian untuk mengambil jalan pintas.
"Apa yang kamu lakukan, Ndok?" Amira tergagap dengan bunyi pemetik kompor. Dia menoleh ke arah sang mertua kemudian segera menoleh ke arah panci sayurnya.
"Apa yang kamu pikirkan? Kenapa melamun?" Amira menoleh ke arah sang mertua kemudian dia menggelengkan kepalanya. Amira menatap ibu Dinan dan tanpa terasa
air matanya meleleh. "Maaf Bun." Amira mengatakan dengan nada rendah, dia terisak kemudian dia berjalan cepat menuju ke arah kamarnya. Dia berjalan tanpa menghiraukan panggilan
dari sang mertua. Amira hanya memiliki satu tekad yaitu ke dalam kamar dan mengubur semuanya di atas bantal.
Amira menaiki tangga dengan tergesa-gesa, bahkan dia abai terhadap Dinan yang menanyakan kemana dia akan pergi. Dinan heran dengan sikap sang istri yang
hanya diam dan masuk ke dalam kamar.
Amira membenamkan wajahnya di atas bantal, dia mengeluarkan semua yang ada di dalam dadanya. Dia ingin bebas dengan segala rasa, dia ingin menghilangkan
segala rasa dan beban. Amira mulai berbaring telentang namun masih membiarkan wajahnya tertutup oleh bantal.
"Hai, kamu kenapa?" tanya Dinan mencoba memindahkan bantal yang menutupi wajah Amira.
"Nanti kamu bisa sesak, bukalah. Semua bisa dibicarakan baik-baik." Dinan mencoba membujuk Amira. Namun sepertinya Amira tak mempan dengan bujukan Dinan,
terbukti dengan Amira yang masih setia menutupi wajahnya.
"Kamu buka atau aku memaksa membukanya?" tanya Dinan dengan nada tegas, hal itu tidak mempengaruhi Amira. Dinan menghela napasnya.
"Mas makan saja dulu, aku masih kenyang. Maaf tidak bisa menemani." Amira berkata dengan nada terpotong-potong.
"Kamu kenapa?" tanya Dinan dan melepas paksa bantal di wajah Amira.
"Aku gak papa." Amira memiringkan tubuhnya sehingga dia membelakangi Dinan.
"Jadi kalau ditanya sama suami begitu?" tanya Dinan dengan datar, Amira segera duduk dan mengusap wajahnya dengan serabutan.
"Maaf," kata Amira pelan kemudian dia menunduk. Dinan menghela napas, kalau boleh jujur mungkin Dinan akan mengeluh karena lelah mencoba menjadi lelaki
peka. Karena bagi lelaki, peka terhadap perempuan itu adalah pekerjaan yang sangat berat dan sulit untuk dijalankan.
"Mas tanya sekali lagi, kamu kenapa?" tanya Dinan dengan pelan.
"Aku gak tahu." Amira menjawab dengan polos. Dia tidak tahu apa yang sedang dia rasakan, yang dia tahu adalah saat ini otak dan perasaannya sedang terasa
penuh. Dinan membelai pipi Amira, kemudian dia memasukkan beberapa helai rambut yang keluar ke dalam hijab yang dipakai Amira. Dinan kemudian menarik Amira ke
dalam pelukannya. "Kamu tahu, bunda khawatir melihat kamu yang hanya diam kemudian menangis. Beliau bilang kalau bunda ada salah bunda minta maaf." Amira menggeleng, dia
tidak menyalahkan ibu Dinan namun dia juga tidak tahu mau menyalahkan siapa. Mungkin dia akan menyalakan dirinya sendiri yang tidak bisa menguasai emosi.
Amira merasakan tepukan halus di punggungnya, rasanya begitu nyaman berada di pelukan sang suami. Dia tidak tahu jika berada di pelukan Dinan mampu membuat
dia merasa mengantuk. "Banyak-banyak dzikir, supaya kegundahan hati memudar." Dinan mengurai pelukan kemudian dia menatap wajah Amira, dia tersenyum dan membawa tangannya untuk
menangkup wajah Amira dengan perlahan dia menggerakkan ibu jarinya untuk menghapus sisa-sisa airmata.
"Ayo makan," ajak Dinan dengan nada lembut.
"Aku kenyang, boleh aku tidur duluan." Amira berkata dengan tersendat karena sisa isakan masih terasa.
"Terus kalau bunda bertanya, Mas harus jawab apa?" Amira mencebik, entah dia tak terima dengan ucapan Dinan.
"Baiklah, kamu boleh tidur duluan." Amira tersenyum kemudian segera berbaring. Dinan menatap lekat sang istri yang memejamkan matanya, kemudian dia teringat
sesuatu yang mungkin akan menggoyahkan keinginan tidur sang istri.
"Sayang, kamu tidak penasaran dengan apa yang aku bicarakan dengan Fatih?" Dinan dengan iseng berbisik di dekat telinga Amira, membuat Amira segera membuka
matanya sedang Dinan tersenyum penuh kemenangan.
*** 21. Problem "Janganlah menjadikan rumah-rumah kalian seperti kuburan. Sesungguhnya setan akan lari dari suatu rumah yang dibacakan di dalamnya surat Al Baqarah"
(HR. Muslim no. 780). Amira tergugu, dia hanya diam menatap sang suami dan Fatih bergantian. Sejak awal Amira memang sudah menebak bahwa di balik kemudi mobil merah itu adalah
Fatih, namun dengan berjalannya waktu dia menepis segala argumentasi itu dengan banyak alibi yang dia bisa. Dan sekarang, saat dia mengetahui secara pasti
dan langsung kenyataannya dia menjadi merasa terkejut dan tertekan.
Ingatan Amira pada hari kedua dia bertemu dengan Fatih, di mana dia diberi tawaran untuk diantar dan saat itu Fatih menunjuk mobil berwarna merah dan dengan
pasti Amira menolak. Dan ingatannya kembali saat dia selalu merasa bahwa mobil itu terparkir di dekat halte dia menunggu bus. Amira menghela napas, dia
sungguh merasa kesal dan juga bingung bersamaan.
"Kamu bisa masuk lebih dulu," kata Dinan menyentuh tangan Amira sehingga tatapan Amira hanya terfokus kepada dirinya.
"Tapi, aku masih ingin bertanya," jawab Amira membuat Dinan menggelangkan kepalanya.
"Kenapa?" tanya Amira tidak terima, karena ini adalah masalahnya selama ini dia yang diikuti jadi dia harus berbicara dengan lelaki itu untuk meluruskan
semuanya. "Kamu ingin bicara dengan dia sendiri?" tanya Dinan datar, dia melepas tangan dari tangan Amira.
"Iya," jawab Amira mengangguk.
"Baiklah." Dinan membalik badan menatap Fatih kemudian dia berjalan meninggalkan Amira tanpa kata. Hal itu jelas menohok ketenangan Amira, dia merasa bersalah
terhadap Dinan. "Mas," panggil Amira saat Dinan sudah hampir di dekat mobil. Amira melangkah mendekati Dinan.
"Maaf," kata Amira menunduk. Dinan hanya menoleh kemudian hendak membuka pintu.
"Mas," panggil Amira lagi.
"Sudahlah, bicara seperlunya kemudian kamu segera masuk." Dinan mengatakan itu kemudian dia menepuk bahu Amira dan hendak membuka pintu.
"Miray percaya sama Mas. Miray masuk dulu ke sekolah nanti tanyakan detailnya dan Miray harap ini tak akan terjadi lagi. Dua tahun ini sudah cukup mengganggu
kenyamanan hidupku." Dinan menoleh ke arah Amira, dia tidak menduga bahwa Amira akan dengan mudah berubah pikiran. Sebab dia pikir akan membutuhkan waktu
lama untuk mengingatkan Amira tentang posisinya saat ini, tapi pemikiran itu harus segera ditepis oleh Dinan. Karena Amira berbeda dan dia harus banyak
bersyukur atas apa yang ada.
"Baiklah. Ayo Mas antar ke dalam sebelum Mas bicara dengan dia." Amira tersenyum tipis kemudian mengangguk.
"Aku antar Amira ke dalam dulu." Dinan mengatakan itu dengan wajah menatap ke arah Fatih dari balik tubuh Amira. Dinan memastikan Fatih untuk tetap menunggu
dirinya. "Mas tidak marah, bukan?" tanya Amira dengan nada pelan saat keduanya mengangkat buku menuju ruang ketrampilan. Karena mobil Dinan tidak bisa masuk hingga
depan ruangan terhalang lapangan basket.


Selamat Datang Halal Karya Mawar May di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Saya tidak marah." Amira menoleh ke arah Dinan, Amira menyadari pergantian kata saya dan aku yang dilakukan oleh Dinan.
"Mas," panggil Amira.
"Tidak ada, sudah jangan khawatir. Fokuslah terhadap aktivitas kamu hari ini," kata Dinan memberikan tangannya untuk berjabat tangan dengan Amira. Kemudian
dia mengusap lembut puncak kepala Amira.
"Kalau sudah waktu pulang SMS atau telepon. Mas berangkat dulu, assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh."
"Waalaikumsalam warohmatullahi wabarokatuh, hati-hati." Dinan tersenyum kemudian dia mengangguk. Amira tetap mengamati Dinan hingga punggung Dinan menjauh
bahkan dia masih tetap di tempatnya ditinggal oleh Dinan, saat Dinan dengan akrab berbincang dengan satpam gerbang belakang yang tak diketahui namanya
oleh Amira. Dia jadi merasa tak enak hati, Dinan bisa akrab dengan satpam itu dan nampak saling mengenal padahal Dinan sudah tidak mengajar di sini, tapi
dirinya yang jelas mengajar di sini malah tidak tahu nama satpam yang bisa dibilang rekan kerjanya di sekolah ini.
*** Amira tidak bisa fokus dengan angka-angka yang ada di depannya. Dia masih kepikiran dengan keadaan Dinan dan Fatih. Entah, ini disebabkan karena dia yang
terlalu parno atau memang otaknya sudah terkontaminasi dengan sinetron. Tapi yang pasti dia selalu berpikir negatif dalam beberapa hal.
"Bu Mira sudah makan siang?" Amira menoleh ke arah Rina.
"Belum Bu." Amira merasa canggung, dia takut saat diajak bicara Rina dia tidak konsentrasi.
"Mau makan siang bareng?" tawar Rina membuat Amira mengangguk tanda setuju. Dia akan berbicara banyak hal kepada Rina termasuk rencananya yang sudah mendapatkan
izin dari Dinan. "Pesan apa Bu?"
"Saya es teh sama nasi rames." Amira mengatakan itu kepada ibu penjaga kantin.
"Bu Rina, saya sama saja. Tapi nasi rames pakai telur saja lauknya." Amira mengajak Rina untuk duduk. Ruang kantin nampak senggang karena saat ini masih
masuk ke jam pelajaran pagi.
"Bu Mira dulu mengapa mengambil jurusan boga?" Amira menaruh ponselnya yang baru dia ambil dari kantong. Dia takut jika Dinan menghubungi namun dia tidak
menyadari. "Saya suka makan, Bu. Jadi berharap bisa memasak makanan yang lezat dan sama seperti yang pernah saya makan." Rina mengangguk.
"Kamu Bu Rina?"3
"Dulu saya ingin jadi chef di perhotelan. Tapi sama ayah saya dilarang dan jadilah saya guru." Amira tersenyum tipis, dia ingat perkataan sang ayah.
"Kelak, kamu harus menentukan minat dan bakat yang kamu miliki sendiri. Ayah tak akan pernah menghalangi apapun cita-citamu karena ayah tahu bahwa kamu
pasti bisa mengenali diri kamu sendiri. Ingat, setiap manusia memiliki jati diri saat mereka diciptakan."
"Baru-baru ini sepupu saya baru keluar dari pekerjaan lamanya, dia katanya mau pindah haluan." Amira menatap Rina penuh minat.
"Dia dulu bekerja di restoran dengan menu kontinental gitu. Tapi setelah mempelajari agama tentang beberapa yang halal dan haramnya membuat dia gamang
dan dia mengundurkan diri. Jadi menjadi juru masak itu sangat menakutkan kalau kita menyadarinya." Amira mengangguk dia baru menyadarinya karena selama
ini dia tidak pernah sedikitpun berpikir untuk masuk dan mengambil langsung pekerjaan sebagai juru masak karena dia merasa tidak cocok dengan dapur setiap
hari dan setiap waktu. Dia adalah sosok yang mudah bosan, jadi harus memilih pekerjaan yang tidak monoton. Contohlah seperti guru, dia bisa menghadapi
banyak hal yang tidak monoton dan cenderung menantang.
"Terus sekarang jadi pengangguran?" tanya Amira.
"Iya, dia menganggur. Kemarin sempat tanya juga soal lowongan tapi kan di tempat kita udah diisi chef Ardi." Amira mengangguk.
"Yang dicari job seperti chef Ardi. Kalau job seperti kita gak mau?" tanya Amira sambil menaruh makanan yang diantar oleh ibu kantin di depan Rina.
"Emang ada lowongan?" tanya Rina bingung.
"Sebenarnya saya sudah memasukkan surat pengunduran diri ke komite hari ini. Jadi kalau sepupu Bu Rina berminat bisa masukin CV mulai hari ini." Rina tersedak
karena saat ini dia sedang meminum es jeruk yang ada di depannya.
"Bu Rina tidak papa?" tanya Amira tak enak.
"Saya baik-baik saja." Rina menepuk dadanya kemudian dia mendongak menatap Amira dengan intens.
"Bu Mira mau resign?" Amira mendongak kemudian mengangguk.
"Kenapa?" tanya Rina tidak percaya.
"Ini sebagai pembicara kita berdua saja ya, Bu. Saya mau fokus sama rumah tangga, saya mau menjadi istri yang baik jadi yang harus saya lakukan pertama
adalah selalu stay di rumah." Amira sudah memikirkan semua ini, pada hakikatnya dia menyadari bahwa wanita itu tidak baik bekerja di luar apalagi jauh
dari mahram, mungkin lebih baik jika dia berada di rumah menunggu suami datang. Jugaan apa yang dia cari, materi? Dia sudah cukup mendapatkan nafkah dari
suaminya. Dan menurut Amira mungkin jika dia tetap berkarir itu hanya demi memuaskan ego diri sendiri.
"Bu Mira mau nikah?" Amira tersenyum kemudian dia mengangguk. Dalam hati dia membenarkan ucapan Rina bahwa dia sudah menikah bukan mau menikah.
"Terus dari pihak komite bagaimana?"
"Menunggu pengganti dulu, kalau dalam semester belum ada maka diizinkan untuk keluar." Rina mengangguk. 2
"Nanti saya coba tanya ke sepupu saya. Siapa tahu dia berminat." Amira mengangguk kemudian keduanya kembali menikmati makanan yang ada di depannya.
--- Amira menunggu Dinan di ruangan depan, setelah sholat dia segera duduk dan membuka Al-Qur'an. Bukan tanpa sebab Amira melakukan ini, selain karena dia
ingin mendengar cerita Dinan tentang Fatih juga karena dia takut saat sang suami datang dalam keadaan belum sholat harus ke dalam kamar terlebih dahulu.
Cukup lama menunggu hingga dia menyelesaikan satu muka Al-Qur'an namun Dinan belum kunjung menampakkan wajahnya. Mungkin Dinan sholat di masjid yang ada
di jalan atau mungkin Dinan masih ada di kampus. Amira menghela napas kemudian dia menutup Al-Qur'an dan menaruhnya di atas meja.
Amira menoleh ke arah pintu kemudian dia beranjak dari duduknya menuju dapur, dia akan membuat minuman untuk berjaga kalau Dinan segera pulang. Amira mengambil
cangkir kemudian dia mengambil panci dan mengisi air. Dia rebus di atas kompor kemudian dia mengambil teko dan mengisi gula dan teh. Biasanya keluarga
Dinan akan duduk santai di malam hari sambil minum teh hangat. Amira akan membuatnya dengan air mendidih supaya panasnya tetap terjaga hingga setelah isya.
Amira menaruh cangkir kemudian dia mengisi dengan gula dan bubuk coklat. Dia akan membuatkan Dinan coklat panas, karena dia pikir coklat memiliki kandungan
banyak antioksidan yang bermanfaat baik untuk tubuh. Amira duduk di dekat meja makan, dia mengamati beberapa panci makanan kemudian dia mendesah. Makan
malam, sepertinya akan sulit dilewati oleh Amira karena dia merasa perutnya kenyang.
"Buat apa, Mbak?" tanya Ifa yang membawa botol susuk ke westafel tempat cuci piring.
"Buat teh," jawab Amira pelan. Dia masih melakukan aksi diam dengan Ifa, dia bukan ingin mendiami saudaranya namun dia hanya bersikap biasa dengan tidak
banyak bicara tanpa ada topik yang menurutnya bermanfaat.
"Mbak sudah memikirkan apa yang aku ucapkan kemarin?" tanya Ifa membawa botol baru dan mengisi dengan beberapa sendok susu.
"Ucapan apa?" tanya Amira menoleh ke arah sang adik ipar.
"Ucapan tentang Maura."
"Oh," sahut Amira tak semangat entahlah, topik ini sangat sensitif bagi dirinya.
"Bagaimana?" Ifa mengahadapi ke arah Amira.
"Apanya yang bagaimana?"
"Jangan berbelit Mbak." Amira mengangkat bahu.
"Aku tidak berbelit. Mungkin lebih baik kamu tanyakan langsung sama Mas kamu. Toh yang menjalankan Mas Dinan bukan aku." Amira berjalan menuju ke arah
kompor kemudian membuka tutup untuk melihat air sudah mendidih atau belum.
"Tapi sebagai istri Mbak punya andil juga." Amira mengangkat bahu tidak perduli.
"Mbak sudah bilang bukan, kalau semua itu tergantung Mas Dinan. Kalau Mas Dinan mau ya Mbak dan Mas Dinan tinggal mengambil jalan. Kalau mas Dinan diam
saja mengapa Mbak harus mengusiknya?"
"Tapi sebagai perempuan Mbak tentu tahu perasaan Maura, bukan?" Amira menoleh ke arah Ifa sebelumya dia memutar kompor untuk mengecilkan api.
"Mbak bukan orang yang baik dan sabar kalau kamu mau tahu, Ifa. Aku orang yang keras dan tidak mudah menyerah. Dan masalah Maura, mengapa kamu tidak tawarkan
terlebih dahulu kepada suami kamu? Siapa tahu suami kamu berminat?"
"Mbak!" "Amira!" Dua seruan itu berasal dari Dinan dan Ifa yang diucapkan dengan nada dan intonasi yang sama. Amira menoleh ke arah Dinan yang menatapnya tajam. Dia menghela
napas panjang, semuanya terasa berat untuk dia hadapi.
*** 22. Paradoks "Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar)"
[Al-Ahzab/33 : 4] --- Amira menatap Dinan kemudian dia duduk. Dia meniti wajah Dinan kemudian dia kembali berbaring dan menyelimuti tubuhnya.
"Aku lelah Mas." Amira mulai memejamkan matanya.
"Ya sudah. Tidurlah." Dinan beranjak dari duduknya kemudian dia berjalan keluar dari kamar untuk makan malam. Setelah kepergian Dinan, Amira kembali membuka
matanya dan menatap kosong pintu yang sudah kembali tertutup.
"Gak peka." Amira kembali tidur dan benar-benar memejamkan matanya namun sebelum itu dia masih menyempatkan diri untuk berdoa.
Pagi ini Amira masih santai dengan mengenakan pakaian di dalam kamar. Dia duduk di dekat jendela dan membaca buku, dia sesekali menghela napas saat dia
merasa tak nyaman di dadanya.
Dia jadi teringat pembicaraan paginya dengan Dinan, tadi sebelum Dinan berangkat mereka berdua membahas tentang pertemuan Dinan dan Fatih. Dan alasan yang
membuat Fatih melakukan semua itu adalah karena rasa tertarik kepada dirinya. Lelaki itu mengaku bahwa dia tidak bisa tidak melihat dirinya, bukankah itu
mengerikan? Amira nampak gelisah, dia takut terjadi banyak hal yang tidak diinginkan. Pagi ini seperti biasa dia sendiri di rumah karena mertua dan iparnya lagi-lagi
mendatangi Maura karena Maura mengalami pendarahan semalam. Dan yang lebih membuat dia was-was adalah, hari ini Dinan yang mengantar mereka. Dinan akan
bertemu dengan Maura yang saat ini dalam kondisi lemah.
Amira berdiri dari duduknya kemudian dia berjalan menuju lemari, dia mengeluarkan tas kerja dan mengambil buku di dalamnya. Dia kembali ke atas tempat
tidur dan membuka buku yang dia ambil. Buku itu adalah novel religi Islam yang dia pinjam kemarin di perpustakaan sekolah. Amira harus mengalihkan pikiran
supaya tidak berpikir negatif. Dia menoleh ke arah jam kemudian dia terhanyut dalam isi barisan kata yang terukir di atas kertas.
Amira membaca dalam diam, dia sesekali mengerutkan keningnya dan juga melotot tak percaya. Entahlah, yang jelas banyak ekspresi yang diperlihatkannya saat
dia membaca cerita itu. Tak lama dia menutup novel itu dengan cukup keras.
"Yaa Allah tenangkan hati hamba." Amira mengatakan itu kemudian dia menaruh buku di atas nakas. Dan ternyata, novel yang dibaca oleh Amira adalah sebuah
kumpulan cerpen yang di dalamnya ada beberapa judul yang berbeda. Ada salah satu judul yang mungkin cukup mengusik hati 'Ketika Suamiku Ingin Berbagi'.
Mungkin karena ini Amira menutup buku yang dia baca.
Amira berdiri dan melangkah menuju kamar mandi, saat ini yang dia butuhkan adalah sholat. Karena mungkin dengan melakukannya dia akan tenang.
--- Amira tidak fokus dengan apa yang dia kerjakan, kejadian ganjal sehari ini terjadi begitu saja, seolah berkompromi untuk membuat Amira berpikir negatif
tentang Dinan. Amira menaruh toples garam di meja.
Hari ini memang anak-anak mengadakan praktek sehingga kegiatan berlipat ganda, tapi itu semua tidak membuat pikiran Amira terfokus justru malah semakin
mengerucut ke sebuah pemikiran yang sebenarnya harus dia hindari.
"Ada apa Bu?" tanya Rina yang menatap heran ke arah Amira.
"Tidak ada, hanya sedikit merasa aneh saja." Amira menjawab dengan jujur, dia memang merasa aneh dengan tubuhnya.
"Kok pucat?" tanya Rina menyadari wajah putih Amira seolah tak ada aliran darah, selain itu dia juga melihat beberapa butir keringat yang mencuat.
"Gak tahu, rasanya dingin gak nyaman." Amira mengambil minum di despenser kemudian di duduk dan meminumnya.
"Mau saya belikan teh panas?" Rina hendak berdiri. Tetapi diurungkan karena gelengan kepala Amira.
"Tidak, saya sudah minum air nanti pusingnya bakal hilang." Amira kembali mengambil toples garam dan keliling, dia tak ingin merepotkan siapapun.
"Bu, ini terus bagaimana?" tanya salah satu siswa.
"Sudah baca resep?" tanya Amira sambil melihat bahan yang dimasukkan oleh muridnya.
"Udah Bu, hanya saja tadi lupa masukin kemiri."
"Dimasukan akhir gak papa," kata Amira sambil beranjak. "Kemirinnya jangan lupa disangrai dulu." Amira kembali melanjutkan. Dia ingin menilai kecakapan
anak-anaknya. Amira terdiam saat ingat bahwa dia belum memastikan tentang sepupu Rina yang hendak menggantikan posisinya. Amira setelah berjalan keliling dia kembali
duduk di samping Rina. "Sepupu Bu Rina bagaimana?" tanya Amira langsung.
"Dia setuju Bu. Hanya menunggu panggilan dari komite. Tadi sudah memasukan lamaran." Amira tersenyum kemudian mengangguk.
"Bu Mira yakin?" Amira tersenyum menatap wajah Rina.
"Yakin Bu. Kalau gak yakin masak udah di komite aja surat pengunduran diri saya." Rina tersenyum masam.
"Padahal saya cocok dengan Bu Amira." Amira hanya melempar senyum tipis. Kemudian keduanya larut dengan percakapan yang tak ada berujung. Mulai membahas
tentang menu yang akan disiapkan untuk ulangan semester juga beberapa materi yang akan diberikan.
Rina tiba-tiba menyekutukan sesuatu yang membuat Amira menghentikan pekerjaannya.11
"Kemarin saya lihat pak Dinan dengan seorang perempuan hamil." Amira menoleh ke arah Rina.
"Maaf jadi mengajak membicarakan orang, tapi saya cukup penasaran dengan pak Dinan." Amira tidak berkomentar, dia masih mencerna ucapan Rina. Kemarin Dinan
memang pulang terlambat dan hal itu belum dikonfirmasi sama sekali oleh Dinan, apa yang membuatnya pulang terlambat.
"Kapan Bu?" tanya Amira akhirnya mengeluarkan suara, hal itu cukup membuat Rina sedikit terkejut, pasalnya Amira bukan sosok orang yang asyik diajak membicarakan
orang lain. "Kemari pukul empat lebih, waktu saya membelikan suami saya kanebo di minimarket dekat rumah." Amira mencerba ucapan Rina. Bukankah itu berarti masih masa
kerja Dinan? "Ketemu pak Dinan di dekat rumah Ibu?" tanya Amira.
"Iya, beliau tidak melihat. Soalnya beliau sedang ngobrol dengan ibu hamil di teras minimarket. Kemudian saat saya keluar niat hati mau menyapa ternyata
keduanya sedang berbincang serius jadi saya urungkan." Amira menurunkan tangannya dia tidak ingin Rina menyadari bahwa apa yang Rina ucapkan mempengaruhi
emosinya. "Mungkin istrinya." Amira berkomentar lirih, dia sendiri tidak yakin dengan ucapannya karena dia tahu benar bahwa istri Dinan tidak sedang hamil dan pada
jam itu istri Dinan ada di rumah bukan pergi dengan suaminya.
"Bisa jadi, soalnya pak Dinan nampak perhatian." Jawaban dari Rina membuat tangan Amira semakin kuat menggenggam ujung bajunya. Amira mencoba menghentikan
rasa panas di matanya dengan mengedipkan matanya beberapa kali.
"Bu Mira tidak apa-apa?" tanya Rina sedikit terkejut dengan tingkah Amira.
"Kayaknya saya benar-benar tidak enak badan, saya merasa wajah dan mata saya panas." Amira mengelap bulir air mata yang meluruh.
"Mau saya pesankan Grab? Sebaiknya Bu Mira istirahat di rumah." Amira menatap Rina kemudian dia merasa wajah Rina semakin buram lalu dia Merakan kepalanya
terasa ringan dan terdengar suara dengungan yang kuat sebelum semuanya berubah menjadi hitam dan Amira tidak mendengar apapun.
--- Hitam menjadi warna yang menghiasi pemandangan mata Amira, dia merasa tak ada sedikitpun cahaya yang membantunya untuk melihat keadaan sekitar. Dia ingat
tadi saat berbincang dengan Rina dia diserang rasa yang tak nyaman sebelum merasakan kegelapan yang melingkupi.
Amira mencoba menggerakkan tangannya kemudian dia mulai mengangkat kelopak matanya, dia sadar semua terasa gelap karena bertanya tertutup dengan kelopak
mata. "Alhamdulillah, apa yang kamu rasakan?" tanya Rindu saat melihat mata Amira terbuka.
"Pusing." Amira menjawab dengan usaha yang kuat karena dia menahan rasa sakit yang mendera kepalanya.
"Aku bantu duduk, ayo minum dulu." Rindu membantu Amira untuk duduk dan menyuap Amira dengan gelas berisi air putih.
Rindu dengan telaten menata bantal untuk alas bersandar Amira.
"Tadi aku sedang absen, terus mendengar keributan di ruang boga jadi aku ke ruang boga dan menemukan kamu tak sadarkan diri. Kamu benar-benar gak papa?"
tanya Rindu kembali meyakinkan.
"Saya baik-baik saja, hanya sedikit pusing dan rasanya buram."
"Perlu aku antar ke dokter? Soalnya menurut cerita orang yang ada di kejadian perkara kepala kamu terbentur." Amira mengangkat tangannya untuk menyentuh
sisi kepalanya bagian kanan yang terasa nyeri.
"Sedikit bengkak." Amira mencoba tersenyum dan mengangguk.
"Terima kasih."
"Tidak perlu berterima kasih karena ini guna teman." Amira kembali mengangguk dan tersenyum tipis.
"Boleh masuk?" tanya Doni.
"Ya," jawab Rindu.
"Bagaimana keadaan kamu?" tanya Doni.
"Saya sudah membaik." Amira menjawab dengan lirih.
"Aku sudah menghubungi dia, tapi," kata Doni ragu.
"Dia di rumah sakit?" tembak Amira yang sudah tidak sabar menunggu kelanjutan ucapan Doni.
"Iya, ponselnya dibawa adiknya." Amira mengangguk.
"Pak Doni belum bilang apapun 'kan?" Amira menatap curiga ke arah Doni.
"Belum. Aku hanya menanyakan posisi saja." Amira mengangguk kemudian dia berkata dengan nada yang cukup tegas.
"Jangan beritahu apapun kepadanya atau kepada siapapun. Aku percaya dengan Pak Doni." Rindu yang sejak tadi tidak paham dengan pembicaraan hanya diam saja.
Dia jelas melihat wajah Doni yang nampak bingung.
*** 23. Batas "Dan, orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan, mereka itulah orang-orang yang benar (imannya), dan mereka itulah orang-orang
yang bertaqwa". [Al-Baqarah : 177] --- Doni sesekali melirik ke arah spion untuk melihat ekspresi wajah Amira, karena sejak tadi wanita itu hanya diam dan memejamkan matanya. Bahkan Rindu dan
Doni tak bisa membuka suara karena aura yang tak nyaman terkuar jelas menyelimuti Amira.
Saat ini mereka dalam perjalanan pulang menuju kediaman keluarga Dinan. Setelah perdebatan panjang akhirnya Doni bisa membawa Amira pulang. Dan dia juga
harus menjelaskan kepada Rindu bahwa Amira adalah istri dari Dinan, mantan rekan kerjanya dan sahabat dari seorang Doni.
"Sampai depan saja Pak. Maaf tidak menawarkan untuk masuk." Amira mengatakan hal itu saat mobil yang dikendarai Doni masuk kawasan perumahan.
"Kamu yakin?" "Iya, terima kasih." Amira masih kukuh pada pendiriannya.
"Baiklah." Doni menghentikan mobilnya tepat di samping pintu gerbang rumah keluarga Dinan. Kalau boleh jujur, sebenarnya Doni ingin sekali mengantar Amira
hingga dalam rumah. Dia sedikit khawatir dengan kondisi wanita sahabatnya.
"Terima kasih. Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh." Amira kemudian keluar dan berdiri di dekat gerbang menunggu mobil Doni untuk lebih dulu pergi.
"Masuk dan banyak istirahat." Amira menoleh ke Doni kemudian mengangguk, tak ada sedikitpun sanggahan keluar dari bibirnya.
Amira memutuskan untuk berbalik dan masuk ke dalam rumah. Dia mencoba menahan rasa ringan di kepalanya. Tubuh Amira terseok-seok berjalan menuju depan
rumahnya, dia merasa tubuhnya seolah ringan seperti kapas yang berhamburan.
Amira mengetuk pintu berwarna coklat, dia berharap ada orang yang membuka pintu karena rasanya dia sudah tidak sanggup lagi untuk menggerakkan tubuhnya.
Tak lama seorang paruh baya membuka pintu, dia adalah bik Tutik sang pengurus rumah tangga.
"Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh, Mbak Mira." Amira menegakkan tubuhnya mencoba memperlihatkan bahwa dia baik-baik saja.
"Waalaikumsalam warohmatullahi wabarokatuh. Belum ada yang pulang, Bik?" Amira melepas sepatu kemudian menaruh di rak.
"Belum Mbak, tadi ibu bilang ada urusan yang harus diurus di kantor desa. Jadi Beliau bolak-balik dari rumah ke rumah sakit." Amira menoleh ke arah bik
Tutik. "Mengurus apa?" tanya Amira heran.
"Kurang tahu Mbak, yang jelas tadi seputar berkas-berkas data Mas Dinan." Amira menyandarkan tubuhnya kemudian dia menghela napas, dia tidak ingin berpikir
buruk tetapi seolah alam berkolaborasi untuk menggiring pikirannya menuju satu titik yang dia hindari.
"Ya sudah, terima kasih Bik. Bibik bisa lanjutkan kegiatan." Amira memejamkan matanya sejenak.
"Mbak Mira sakit? wajahnya pucat dan berkeringat." Bik Tutik belum juga beranjak dari tempatnya, justru mengamati wajah lelah Amira.
"Agak panas Bik di luar, jadi pas masuk rasanya dingin. Saya ke kamar dulu ya, Bik?" Amira mencoba berdiri tetapi tubuhnya tiba-tiba oleng.
"Ya Allah Mbak!" seru Bik Tutik sambil memegangi tangan Amira.
"Gak papa Bik, mungkin sensor motorik terkejut dengan gerakan cepat." Amira mecoba meyakinkan orang yang menatapnya khawatir.
"Yakin Mbak, mau saya telpon kan Ibu atau Mas Dinan?" Amira menggeleng sambil tersenyum. Kemudian dia melangkah menuju dalam dan menapaki satu tangga dengan
tangga lainnya. Meski terasa berat dia tetap mencoba untuk bertahan paling tidak dia harus tiba di dalam kamarnya sebelum tubuhnya tumbang.
*** Amira merasa tubuhnya semakin berat, dia berbaring setelah sholat isya. Dia menatap langit kamarnya dia jadi teringat dengan ucapan Bik Tutik tadi sore
dan ucapan sang mertua saat makan malam tadi.
Amira menatap cincin yang melingkar di jari manisnya, dia menatap dua cincin itu dengan sendu. Dia tidak ingin menarik kesimpulan seorang diri, tapi kenyataan
bungkamnya Dinan tentang segala hal membuatnya semakin tertekan.
Amira menyentuh keningnya dengan punggung tangan, dia merasa wajahnya sangat panas dan tangannya terasa dingin. Amira menghela napas, dia tidak tahu apa
yang harus dia lakukan untuk memulihkan tubuhnya dengan cepat. Amira butuh pelukan, dan pelukan itu seolah menjauh darinya.
Amira meringis saat mengingat kejadian dua tahun yang lalu, di mana dia dengan santai duduk berdua dengan Dinan di Bus. Amira meringis saat menyadari bahwa
masa itu adalah masa yang sangat buruk meski dia tidak menampik untuk menikmati. Benar kata banyak orang dosa itu nikmat oleh sebab itu banyak yang mencari
kenikmatan dengan berbuat dosa.
Amira jadi ingat sebuah ayat yang menjelaskan bahwa kita harus menjauhi zina, dan hal yang sering dia lakukan dulu adalah sebuah zina. Di mana dia dengan
santai berduaan dengan lawan jenis, bersentuhan dan saling menatap. Sungguh, jika dia menyadari sejak awal, Amira tidak ingin melakukan semua itu.
Amira semakin terlarut dalam rasa bersalah masa lalu, dia menitikan air mata. Mungkin saat ini adalah masa di mana dia dibalas atas dosanya, dengan keadaan
hubungan yang dia jalani dengan Dinan. Amira semakin terisak, dia ingin sekali mengubah masa lalu. Jika boleh memilih, Amira memilih tidak mengenal Dinan
sebelum dia menikah. Amira kemudian tersadar, bahwa semua ini sudah kehendak dari Allah. Dia hanya seorang hamba yang yang tak bisa mengelak dari takdir. Jadi, apapun yang
terjadi maka dia harus dengan sadar menerima dan jika hal itu buruk maka dia tak boleh mengulanginya. Bukankah itu adalah guna dari sebuah pengalaman?
Amira membaringkan diri, dia menutup tubuhnya dengan selimut karena udara terasa dingin menerpa kulitnya. Amira jadi teringat ucapan ustadzah Leni.
"Saat seseorang terluka dan sakit itu adalah saat di mana Allah meringankan dosanya. Itu terjadi jika seseorang itu dengan ikhlas merasakannya dan senantiasa
mengingat Robbnya." Amira segera mengucapkan banyak istighfar, setelah bibirnya lelah dia mengucapkan tasbih, tahmid dan takbir bergantian hingga tanpa terasa dia terbenam
dalam bayangan semu di bawah sadar. Dia mulai terbuai dengan mimpi-mimpi panjang yang mungkin akan melelahkan.
Amira mulai membuka sedikit matanya, dia merasakan kehadiran Dinan di dekatnya. Dia langsung duduk saat melihat Dinan sedang memasukkan beberapa pakaian
ke dalam koper. "Apa yang Mas lakukan?" tanya Amira sedikit heran.
"Oh, apa Mas buat keributan? Maaf Mas sedang mengemasi sedikit pakaian." Amira menoleh kemudian dia mulai turun menghampiri Dinan.
"Kamu berbaring saja, lanjutkan tidurnya. Mas sudah selesai." Dinan mengajak Amira kembali ke atas tempat tidur.
Amira menurut, tetapi dia tidak kembali tidur melainkan melihat aktivitas Dinan yang menurutnya sedikit janggal.
"Mas mau pergi ke mana?" tanya Amira pelan. Dia merasa tak yakin dengan pertanyaan yang dia lontarkan. Dia menjadi ingat kalimat Bik Tutik sore tadi.
"Mas gak pergi, hanya memindahkan baju ke kamar tamu." Amira menatap Dinan dengan intens. Dia sangat bingung dengan jawaban yang dikemukakan oleh Dinan.
Apa yang dilakukan oleh Dinan? Mengapa suaminya memindahkan pakaian ke kamar tamu?
"Mengapa kita harus pindah?" Dinan menoleh ke arah Amira tanpa menjawab sedikitpun rasa ingin tahu Amira. Dan saat itu Amira melihat tatapan yang berbeda


Selamat Datang Halal Karya Mawar May di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dari biasanya. Tak ada lagi tatapan penuh puja dan kelembutan dari sorot mata Dinan yang ada hanya tatapan kosong tak berperasaan.
Amira semakin tidak bisa berpikir, dia tidak ingin berspekulasi sendiri. Tapi saat melihat Dinan yang tak kunjung bersuara membuat kecemasan menderanya.
Apa yang ada di dalam pikirannya tidak akan terjadi, bukan?
Amira melihat Dinan menutup koper yang sudah berisi penuh. Amira masih mengamati setiap gerakan Dinan sekecil apapun itu, dia tak ingin berfokus pada apa
yang ada dipikirannya. "Ada yang ingin Mas bicarakan," kata Dinan sambil duduk di sisi tempat tidur. Dia membelai wajah Amira dengan pelan, dari setiap gerakan yang dilakukan
oleh Dinan, Amira tak lagi merasakan kehangatan atau rasa yang meletup-letup bahagia. Saat ini Amira merasa hampa.
"Apa yang ingin Mas bicarakan?" tanya Amira dengan cepat, dia seolah tak ingin melewatkan satu secon pun waktu yang berjalan.
"Maafkan Mas, seharusnya sejak awal Mas jujur padamu. Tapi, Mas tidak bisa karena terlalu mencintaimu." Amira mengambil tangan Dinan kemudian menggenggam
dengan kedua tangannya. "Apa yang Mas katakan?" Amira menatap Dinan lekat.
"Tadi siang, Mas telah mengingkari janji setia yang mas ucapkan beberapa hari yang lalu. Janji bahwa Mas akan selalu menjadikan kamu satu-satunya bidadari
yang akan menemani Mas di dunia juga di akhirat kelak. Maafkan Mas." Amira dengan perlahan melepas tangan Dinan, dia sangat tahu ucapan Dinan. Dia tidak
bodoh dengan kalimat tidak langsung yang keluar dari bibir suaminya. Apa lagi, sejak beberapa hari ini pemikiran itu selalu muncul dalam ingatannya.
"Katakan dengan jelas," kata Amira dengan tegas. Entah dari mana datangnya ketegasan itu, yang pasti saat ini Amira ingin mendengarkan kalimat Dinan dengan
jelas. "Maafkan Mas, Amira." Hati Amira mencelos, bahkan sepertinya hancur berkeping-keping karena suara pecahan hatinya terdengar dengan nyaring. Dia sangat
kecewa untuk saat ini tapi dia masih ingin memastikan lebih jelas lagi.
"Katakan dengan jelas, karena aku bukan perempuan yang peka." Amira menatap Dinan tepat di dua bola matanya.
"Tadi siang Mas harus menikahi Maura. Kamu jelas tahu kondisi Maura." Dinan mengatakan itu sambil menunduk. Amira cukup tahu bahwa lelaki itu malu telah
menjilat ludahnya sendiri. Sungguh tidak bisa dipercaya!
Amira tertawa dengan kencang, dia tidak menangis bukan tidak melainkan belum. Amira menyeka sudut matanya yang berair karena terlalu kuat tertawa. Amira
menatap Dinan dengan intens.
"Mas tahu, kalau menikahi orang hamil itu tidak sah." Amira mengatakan itu dengan tegas ternyata otaknya masih berfungsi dengan baik meskipun hatinya telah
dihancurkan. "Sah, hanya saja tidak bisa menasabkan anaknya kepadaku." Dinan mengatakan itu dengan tegas. Ternyata pecahan hati Amira semakin diinjak-injak hingga lebih
hancur lagi bahkan mungkin saat ini sudah melebur tak tersisa.
"Jadi?" tanya Amira.
"Mas sudah menikah Maura. Maaf tidak meminta persetujuan dari kamu. Mas hanya tidak tega melukai hatimu." Amira kembali tertawa dengan pongah, meski semua
itu teras kosong tak memiliki makna.
"Lalu? Sekarang tidak melukai hati ku?" tanya Amira dengan sinis.
"Paling tidak semua sudah terjadi."
Amira menyentuh bahu Dinan. "Mas, katakan jika ini semua bohong!" Amira menanti jawaban Dinan.
"Katakan, Mas!" Amira semakin berseru dengan kencang.
"Mas!" "Maaf," kata Dinan membuat pegangan Amira melemah.
"Semua ini hanya bohong, aku tidak percaya!"
*** 24. Mengalah "Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan berprasangka, karena sesungguhnya sebagian tindakan berprasangka adalah dosa dan janganlah kamu mencari-car
kesalahan orang lain"
[Al-Hujurat : 12] --- Orang bilang mengalah bukan berarti kita kalah, karena kadang kita harus mengalah saat kita merasa waras. Dinan sejak tadi hanya diam di dalam kamar. Dia
menatap wajah sang istri dengan sendu.
Dini hari tadi Amira masih berbincang dengannya kemudian istrinya pingsan dan mengalami demam. Dia tidak tahu pasti penyebabnya, akan tetapi dia merasa
bersalah saat istrinya membutuhkan kehadirannya dia tidak ada.
Dinan membelai lembut wajah sang istri, dia ingat. Tadi, saat Dinan membangunkan sang istri untuk sholat Subuh Amira hanya menatapnya kemudian menangis.
Dinan menjadi semakin merasa bersalah, terlebih lagi Amira yang tak mau buka suara sama sekali.
Dinan menoleh ke arah pintu saat dia mendengar pintu dibuka. Dia melihat sang ibu dan adik berdiri tak tenang di depan pintu.
"Kenapa Bun? Masuklah!" Ifa menuntun sang ibu untuk masuk ke dalam kamar. Dinan menatap lekat wajah sang ibu yang juga merasa bersalah.
"Bagaimana keadaannya?" Dinan tersenyum kecil.
"Amira masih betah tidur, dia masih belum mau dibangunkan." Dinan kembali menatap lekat wajah sang istri, rasanya dia ikut sakit saat melihat tubuh lemah
tak berdaya itu. Ingin rasanya Dinan menggantikan segala rasa sakit itu dari Amira, karena dia yakin benar wanitanya itu sangat keras menghadapi kehidupan.
"Maafkan Bunda, semalam sebenarnya Bunda melihat hal yang tidak wajar dari Amira tapi Bunda mencoba acuh." Dinan tersenyum.
"Tidak ada yang salah, Bun. Ini memang takdirnya. Bukankah, sakit cara Allah untuk meringankan dosa. Doakan saja Amira sabar menghadapi semua ini." Dinan
berkata dengan tenang. Bunda Dinan kemudian mendekati Amira dan mengelus lembut kepala Amira. "Labaksa thohurun InsyaAllah. Syafakillah." Kemudian beliau mengecup kening sang
menantu dengan lembut. . "Demamnya bagaimana, Mas?" tanya Ifa setelah mengamini doa sang ibu dan dia juga mengucapkan doa yang sama.
"Sudah menurun. Tidak perlu khawatir."
"Perlu kita panggil dokter?" Dinan menoleh kemudian menggelengkan kepalanya. Dia masih memiliki trauma dengan hal yang berhubungan dengan medis. Jangan
lagi, cukup yang dulu jangan yang saat ini dia alami.
"Paling tidak kalau dokter kita bisa tahu sakitnya." Dinan menoleh ke arah sang ibu dengan sorot mata sendu.
"Tidak Bun, tidak akan lagi." Dinan mengatakan hal itu dengan tegas.
"Aku tidak akan membiarkan tubuh Amira dimasuki berbagai macam obat yang tidak jelas. Tidak." Dinan kukuh pada pendiriannya. Dia amat mencintai Amira,
tapi bukan berarti dia tak rela mengambil risiko. Hanya saja dia tak ingin yang dulu dia alami terulang kembali.
"Mas, ayah dulu memang sudah takdirnya. Jangan pukul rata semua dokter sama." Dinan masih menggelengkan kepalanya.
"Aku akan membuat Amira sembuh dengan caraku, tidak ada obat atau apapun yang masuk ke dalam tubuh Amira kecuali hal yang pasti dibutuhkan." Ifa berdecak
kesal, dia tahu benar seperti apa keras kepala Dinan tentang dunia medis.
Ifa menyadari, ini bukan salah Dinan. Dulu, memang dia belum dewasa sehingga bisa dengan mudah menyalahkan keteledoran dan tidak menerima takdir. Akan
tetapi saat ini dia sudah dewasa, sungguh disayangkan sikap Dinan tak ada yang berubah.
"Ya sudah, Bunda harus ke bawah. Kasian Maura mengurus Hasna." Dinan menoleh ke arah sang bunda. Dia mengangguk pelan, kemudian dia meringis saat menyadari
sebuah kenyataan. "Kamu juga, sebaiknya turun. Kasian Maura merasa asing di rumah ini." Ifa mencebik mendengar nada pengusiran dari sang kakak.
"Bilang saja mau berduaan sama Mbak Mira." Ifa mencibir perilaku kekanakan Dinan.
"Itu kamu tahu," komentar Dinan dengan santai.
"Sudah, kamu Dinan jangan kekanakan." Dinan cemberut saat sang ibu justru membela sang adik, sedang Ifa sudah menatap Dinan dengan wajah sombongnya.
"Dan kamu Ifa, jangan suka menggoda Masmu." Dinan tertawa kecil melihat wajah terkejut Ifa.
"Kok jadi Ifa ikutan salah." Ifa tidak terima dengan ucapan sang bunda.
"Kamu memang salah. Sudah, sana ke bawah dan ambilkan Mbakmu bubur, nanti saat bangun dia bisa langsung makan." Ifa menghentakkan kakinya dan meninggalkan
kamar lebih dulu. "Jaga baik-baik istrimu, di sini dia ikut kamu." Dinan mengangguk dengan mantap. Setelah mengantar sang ibu hingga pintu Dinan kembali duduk di sisi tempat
tidur kemudian dia meraih Al-Qur'an dan membacanya dengan pelan.
--- Amira merasakan berat di pelupuk matanya, dia telah memerintahkan otaknya untuk membuka mata namun dia tak mampu. Amira masih terus berusaha sampai indra
pendengaran yang dia miliki mendengar sayup-sayup lantunan ayat Allah dengan begitu indah dan tartil.
Amira terenyuh, dia yakin benar pemiliki suara indah itu. Ya, itu adalah suara seorang Ardinan Nawwaf, suaminya. Amira mulai membuka matanya dan menyesuaikan
dengan cahaya yang cukup cerah dia terima. Amira mencari keberadaan Dinan dan dia bisa melihat Dinan duduk bersandar di atas tempat tidur, tepat di sebelahnya.
"Kamu sudah bangun?" Dinan menutup mushaf yang dia baca dan meletakkan di atas meja.
Amira hanya diam saja, dia tidak mengeluarkan suara sama sekali. Dia hanya menatap Dinan lekat.
"Ada apa?" Dinan bertanya sambil beranjak dari duduknya dan mengambil air minum di atas nakas. Dinan dengan telaten membantu Amira bangun dari tidurnya
dan menyuap air dari gelas.
"Sudah lebih baik?" tanya Dinan sambil menaruh kembali gelas.
"Sudah," jawab Amira pelan. Dinan dengan cekatan menata bantal untuk bersandar Amira.
Dinan mengambil tangan Amira kemudian menggenggam di tangannya lembut, bisa dirasakan oleh Amira kehangatan yang menjalar hingga tubuh, saat tangan besar
Dinan seolah melindungi tangannya.
"Apa yang kamu pikirkan, Miray?" tanya Dinan membawa satu tangannya menata rambut Amira.
"Tidak ada, hanya sedikit mual tidak nyaman." Dinan terkejut dengan ucapan Amira.
"Sebentar, Mas hangatkan bubur. Kamu belum makan sejak pagi padahal ini sudah pukul sebelas." Dinan beranjak namun tangannya dipegang oleh Amira.
"Kenapa?" tanya Dinan heran.
"Mengapa Mas Dinan melakukan ini padaku?" Dinan sempat heran dengan pertanyaan Amira.
"Kita bicara nanti, Mas ambil bubur dulu." Dinan melepas tangan Amira kemudian mengangkat mangkok yang ada di meja.
"Aku tidak suka bubur." Dinan menoleh ke arah Amira yang menurutnya sedikit berbeda. Amira sengaja melakukan semua ini untuk menarik perhatian Dinan, dia
ingin tahu sebesar apa perasaan suaminya yang dengan tega melakukan semua itu kepadanya.
"Mas masakan sup kalau begitu." Dinan berjalan keluar kamar sedangkan Amira menghela napas panjang. Dia tidak tahu alasan pasti Dinan tapi yang saat ini
dia tidak mengerti, mengapa Dinan berubah menjadi hangat kembali? Sangat berbeda dengan kejadian semalam. Apa yang semalam adalah mimpi?
Amira membulatkan matanya, dia menyadari bahwa bisa jadi apa yang telah dia ketahui semalam adalah sebuah mimpi. Karena Dinan nampak penuh cinta merasawat
dirinya. Amira segera menoleh ke segala arah, dia ingin meyakinkan bahwa apa yang dia lihat semalam bukan sekedar mimpi. Amira bangun dari tempat tidur
dia berjalan menuju kamar mandi dan mencuci muka. Dia tidak lupa mandi dan mengganti bajunya.
Amira terdiam sejenak di depan pintu kamar mandi saat dia melihat dua koper tertata di sudut ruangan, dia meneteskan air mata saat menyadari bahwa semua
yang dia rasakan semalam bukanlah sebuah mimpi. Akan tetapi kenyataan adanya.
"Kamu kenapa?" Dinan segera menaruh nampan berisi makanan kemudian menghampiri Amira yang menangis tersedu-sedu di depan kamar mandi.
"Sayang, ada yang sakit?" Dinan bertanya dengan nada khawatir, sungguh dia merasa tak nyaman dengan sikap Amira selain itu dia juga merasa lelah dengan
segala hal baik tubuh juga jiwanya.
Dinan segera mengangkat tubuh Amira dan mendudukkan Amira di sofa. Dia hanya mengamati wajah merah Amira karena tangis yang tak berhenti.
Dinan membelai lembut pipi Amira, dia menghapus air mata yang membasahi pipinya. Dinan menghela napas, dia berpikir harusnya yang marah itu adalah dirinya
karena Amira tidak menghubungi dirinya dan memberitahu bahwa dia jatuh pingsan di sekolah kemarin.
"Kamu kenapa?" tanya Dinan dengan lembut. Amira hanya diam sambil tersedu-sedu. Dinan menarik tubuh Amira kemudian memeluk sang istri menyalurkan segala
rasa yang dia miliki. "Menangislah bila itu memang baik untukmu. Dan berbicaralah jika kamu sudah menganggap aku ada." Dinan mengatakan itu dengan pelan, bahkan sangat pelan
karena tubuhnya saat ini jauh dari kata sehat tapi dia berusaha tetap kuat karena dia menyadari bahwa dia adalah seorang suami.
Amira melepas pelukan Dinan kemudian menatap Dinan, Amira bisa mendengar ucapan Dinan. Dia tahu pasti nada lelah yang diutarakan oleh sang suami.
"Maaf," kata Amira membuat senyum masam tercetak di bibir Dinan.
"Tapi Mas Dinan juga salah." Dinan menatap Amira kemudian dia mengangguk.
"Ya, Mas salah. Harusnya kemarin Mas menghubungi kami setelah diberitahu Ifa bahwa Doni menelpon. Atau paling tidak aku kembali menelpon Doni tidak mengabaikannya.
Mas menyesal." Dinan mengatakan itu hingga satu kristal terjatuh dari telaga dunianya.
Dia menata rambut Amira kemudian dia mengecup kening Amira. "Maafkan Mas, InsyaAllah Mas berjanji tidak akan mengulanginya lagi."
"Jangan berjanji, jika Mas tidak bisa menepati." Dinan menatap Amira kemudian dia tersenyum.
"Mas akan selalu berusaha menepati janji yang sudah Mas berikan. Kamu jelas tahu siapa Mas?" Dinan kembali memeluk Amira dia merasa sangat bersalah. Wajar
saja jika Amira mendiaminya sejak tadi karena istrinya sedang merajuk.
"Kamu juga harus berjanji untuk menceritakan semuanya kepada Mas, dan satu hal yang perlu kamu tahu. Allah cemburu jika kamu menangis bukan karena kesalahan
atau ketakutan kepada-Nya, melainkan kepada dunia secara berlebihan. Jadi jangan menangis kalau kamu tidak bersalah." Dinan mengatakan itu kepada sang
istri dengan lembut. Kemudian Dinan mengurai pelukan dan menghapus sisa air mata Amira, tidak lupa dia mengecup kedua mata yang sudah menjadi sumber air
sejak semalam. Dia merasa bersalah karena tak mampu membahagiakan istrinya, justru membuat sang istri menangis.
"Sekarang makan, Mas mau membawa dua koper itu ke bawah." Amira menoleh cepat ke arah Dinan.
"Aku tidak mau!" seru Amira dengan cepat. Dinan menoleh terkejut dengan ucapan Amira yang cukup kencang.
"Tapi ini harus, Sayang. Mau tidak mau tetapi kita harus." Dinan mengatakan itu dengan penuh tekanan. Dinan sangat terkejut dengan ekspresi yang diperlihatkan
oleh Amira, dia tidak menduga jika hal semacam ini yang akan dia dapatkan dengan segala keputusan yang menurutnya sudah dia pikiran dengan matang.
"Apa kata Bunda itu tidak benar?" kata Dinan lirih sambil membawa dua koper keluar kamar. Sedangkan Amira hanya bisa diam, mau tidak mau dia harus mengikhlaskan
semuanya. *** 25. Terminasi "Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung."
(QS. Ali Imron : 200). --- Amira beranjak dari duduknya lalu berjalan menuju jendela kamar. Dia menghirup udara dengan tenang. Amira mencoba menenangkan perasaan. Perbincangan Amira
dan Dinan dini hari tadi membuat dia tak mampu bernapas dengan tenang terasa nyata namun dia berharap hanya mimpi semata.
"Makannya sudah?" tanya Dinan merapikan piring dan mangkok sayur.
"Mas, bilang kalau Mas bohong." Amira mengatakan itu dengan jelas.
"Soal apa? Kamu tahu pasti Mas, bukan?" Dinan menyantap makanan sisa Amira. Dia tidak ingin membuang makan, karena dia tahu bahwa itu dibenci Allah karena
itu termasuk perbuatan mubazir.
"Soal yang tadi, waktu Mas mengepak baju." Dinan menghentikan suapan ke arah bibirnya, dia menatap Amira kemudian dia tersenyum.3
"Mas tidak pernah berbohong apapun padamu. Mas selalu mengatakan semuanya apa adanya." Amira menghela napas kemudian menoleh ke arah Dinan.
"Dloh, apa yang Mas lakukan?" Amira langsung mendekati Dinan dan meraih sendok yang dipegang oleh Dinan.
"Kenapa? Kamu belum selesai makan?" Amira menatap Dinan dengan heran. Bagaimana bisa lelaki ini dengan santai makan makanan sisanya. Apa lelaki ini tidak
merasa jijik? Jika di waktu waras mungkin Amira akan membiarkan saja, tapi ini saat dia sudah mengaduk-aduk makanan hingga tak berwujud.
"Bukan, aku sudah selesai. Tetapi memangnya Mas gak jijik makan sisaku." Amira melihat senyum Dinan, dan dia dengan mudah melepaskan sendok yang dia rebut
dari Dinan kembali lagi ke tangan Dinan.
"Kenapa harus jijik?" tanya Dinan dengan santai kemudian kembali melanjutkan makan.
"Ini bekasku." Amira benar-benar tidak menyangka dengan tindakan Dinan.
"Sedikitpun aku tidak jijik. Kamu tahu, Aisyah pernah bercerita bahwa beliau pernah makan satu piring dengan Rosulullah. Berarti ini juga termasuk sunah,
bukan?" Dinan mengatakan itu kemudian kembali menyuap.
"Tapi ini beda." Dinan terkekeh kemudian dia meletakkan sendoknya dan meraih air minum sisi Amira juga.
"Tidak ada bedanya. Aku suamimu kalau kamu lupa."
Dinan meneguk habis air di gelas kemudian merapikan di atas nampan. Dia mengelus kepala puncak Amira kemudian dia memberikan senyum manis dan keluar dari
kamar untuk mengembalikan peralatan makan.
Amira terdiam dengan sikap Dinan yang sangat halus, dia tersenyum meski air mata tetap menetes membasahi pipinya. Dia menghela napas kemudian dia berjalan
menuju ranjang, rasa kantuk seolah-olah membelainya dan menuntunnya menuju mimpi-mimpi panjang.
Amira terlelap melupakan segala pemikiran yang tak pernah ada ujungnya, dia membiarkan tubuhnya beristirahat guna memulihkan tenaga. Dia masih harus sehat
untuk menghadapi segala cobaan yang sedang mengujinya.
--- Amira terusik tidurnya saat dia merasakan sapuan dingin di pipinya, dia membuka mata kemudian melihat wajah segar Dinan.
Dia terpesona dengan ketampanan yang dimiliki oleh suaminya, Dinan dengan balutan baju koko yang siap untuk berangkat ke masjid adalah sosok pangeran yang
lebih tampan dari pangeran yang ada di cerita destiny. Baginya dia adalah pangeran yang sempurna yang mampu membuat dirinya juga merasa sempurna.
"Sudah bangun? Mas harus ke masjid. Tahu kan mengapa?" Dinan merapikan rambut Amira.
"Karena lelaki memiliki kewajiban untuk berjalan dan sholat di masjid." Dinan mengangguk.
"Bilang ke Dilan ya, yang berat bukan hanya rindu. Tapi berjalan menuju masjid itu juga sangat berat." Dinan mengatakan itu dengan nada jenaka membuat
Amira tertawa kecil.4 "Ih, kok gitu." Dinan tertawa kecil.
"Mau bagaimana lagi, tadi Mas sempat main di Instagram kamu banyak sekali kata Dilan inilah Dilan itulah. Sampai Mas rasanya kalah pamor." Amira semakin
tertawa mendengar gerutuan Dinan yang menurutnya berlebihan.
"Memang selama ini Mas punya pamor?" tanya Amira sambil bangun dari tempat tidur.
"Eh jangan salah, pesona seorang Ardinan tidak pernah kalah dari Dilan." Dinan berkata dengan nada bangga.
"Ih, dilarang sombong." Dinan hanya tertawa kecil kemudian mengacak rambut Amira.
"Mas mencintaimu, selalu." Dinan mengecup kening Amira dan memamerkan senyum manis.
"Gak usah gombal, sana cepat berangkat." Dinan menaikan satu alisnya.
"Siapa yang bilang gombal. Ini dari dasar hatiku yang paling dalam hingga luar." Amira melotot dengan nada suara Dinan dia tidak menduga perubahan sikap
Dinan. "Ya, saya percaya Bapak. Biar cepat kelar." Amira mengatakan kalimat akhirnya dengan lirih dan membuang muka, keduanya seolah sedang melakukan adegan drama.
Dinan langsung memeluk sang istri, kemudian dia berbisik, "setelah ini kita akan menjalani semuanya bersama. Siapkan dirimu untuk menghadapi setiap perubahan
sikap yang Mas miliki. Mungkin Mas tak akan menjadi lelaki yang kamu idamkan, tetapi Mas akan selalu berusaha yang terbaik buat kamu. Ingat Mas selalu
mencintai Miray, selalu always." Dinan mengurai pelukan kemudian berdiri.
"Mandi dan sholat. Setelah itu nanti kita berangkat, InsyaAllah." Dinan kembali mengecup kening Amira dan beranjak menuju pintu keluar. Saat hendak menutup
pintu Dinan kembali menoleh ke arah Amira.
"Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh, Istriku."
"Waalaikumsalam warohmatullahi wabarokatuh, Suamiku." Amira menjawab dengan pelan dan terdiam saat pintu melahap habis tubuh Dinan hingga tak terlihat
lagi. Amira beranjak dari duduknya, dia menuju ke arah almari. Dia ragu membuka almari gantungnya, karena dia yakin dia akan melihat kekosongan dan kehampaan.
Karena sebagian besar pakaian suaminya telah berpindah tempat.
Amira menghela napas, meski ragu dia dengan membaca basmalah menggerakkan tangannya dan membuka pintunya. Dia termenung, dia merasakan kehampaan yang sempat
dia pikirkan. Dan kini dia benar-benar merasakannya.
Amira segera mengambil satu set jubah dan khimarnya, dia menutup pintu almari kemudian berjalan menuju kamar mandi, dia sangat mengerti bahwa suaminya
mengajak dia berpergian hari ini. Ah, benar obat yang dibutuhkan Amira sangat murah. Padahal semalam dia demam dan dengar tidur beberapa jam dia sudah
sehat kembali. --- Amira keluar dari kamar, dia berjalan pelan menuruni tangga karena seberapapun kuat dirinya dia masih merasakan pusing di kepala. Amira merasa aneh dengan
keramaian yang ada di ruang tengah. Ada banyak suara yang saling bersahutan, dia menjadi berpikir apa suami Ifa sudah pulang sehingga rahasia nampak ramai.
Amira menuju ke arah dapur, dia ingin minum teh panas.
"Siapa tamunya, Bik?" tanya Amira saat berada di dapur.
"Dlo, Mbak Mira sudah sehat?" Bukan menjawab pertanyaan Amira bik Tutik justru bertanya.
"Alhamdulillah sehat," kata Amira lalu duduk.
"Mau makan atau minum?" tanya Bik Tutik.
"Teh panas ya, Bik. Tolong." Amira menghela napas, dia cukup penasaran dengan keramaian yang ada di depan.
"Itu Pak Bagus pulang, selain itu untuk sementara waktu Mbak Maura dan anaknya tinggal di sini." Amira menoleh. Jika Maura tinggal di sini sementara berarti
ada kemungkinan bahwa dirinya akan sering ditinggal oleh Dinan.
"Oh, terus?" tanya Amira.
"Terus bagaimana ya, Mbak?" Amira nyengir gak jelas, karena dia sendiri juga bingung mau seperti apapun mengungkapkan yang ada di pikirannya.
Amira kadang ingin menjadi Ifa, menjadi sosok yang selalu mengungkap apapun yang membuat dia tidak nyaman. Walaupun kadang itu menyebalkan bagi orang lain
tetapi lebih melegakan daripada menjadi dirinya yang amat kesulitan untuk sekedar mengetahui hubungan suaminya dan wanita itu.
"Besok keluarga Pak Bagus akan menginap di sini. Jadi tadi Bibi diminta merapikan kamar yang ada di atas dan di bawah." Amira menyesap teh yang disajikan
oleh Bik Tutik. "Memangnya sering ya, keluarga Pak Bagus berkunjung?" Buk Tutik mengangguk.
"Dulu waktu masih baru pindah ke sini, Ibunya Pak Bagus sering kemari. Kadang saya jadi kasian sama Mas Dinan?" Amira baru menyadari bahwa sejak tadi Bik
Tutik memanggil adik iparnya dengan sebutan pak sedang dengan suaminya dengan sebutan mas.
Amira tersadar sesuatu 'kasian Mas Dinan?' memangnya ada apa dengan suaminya.
"Mas Dinan kenapa Bik?" tanya Amira tak yakin.
"Ya Mas Dinan selalu mengungsi kalau ada tamu menginap. Bukan bertindak tidak sopan tetapi, Mas Dinan tidak suka berbaur dengan banyak orang. Dan selain
itu kadang banyak yang bukan makhram Mas Dinan." Amira mengangguk kemudian dia teringat dengan dua koper yang tadi dipindahkan oleh Dinan.
"Kamu sudah bangun, Ndok?" Bunda Dinan mendekati Amira membuat Bik Tutik pamit untuk ke belakang.
"Iya Bun, maafkan Amira." Amira mengatakan itu dengan nada tak enak hati.
"Kenapa minta maaf, Ndok? Orang sakit itu bukan kesalahan. Sakit itu bukti Allah sayang." Bunda Dinan duduk di sebelah Amira.
"Bunda mau teh? Biar Amira buatkan." Amira hendak berdiri tetapi dilarang oleh sang mertua.
"Tidak, Bunda hanya ingin bicara denganmu." Amira menoleh ke arah sang mertua kemudian dia mengangguk dan kembali duduk.
"Ndok, maafkan Bunda kalau membuat kamu ndak nyaman di sini. Bunda tahu rasanya hidup sama mertua, ya walaupun Bunda sudah berusaha menjadi mertua yang
baik mau bagaimanapun tetap berbeda sama orang tua sendiri." Amira hanya mendengarkan ucapan sang mertua tanpa ada niat untuk menyela.
"Ndok," panggil bunda Dinan sambil meletakkan tangannya di atas tangan Amira.
"Maafkan Dinan yang kadang tidak mengerti keadaan kamu. Ini pertama kalinya Dinan berhubungan dengan perempuan secara intensif selain dengan Ifa, Bunda
dan Mala. Jadi, Dinan masih meraba-raba cara menghadapimu." Dinan menatap lekat sang mertua kemudian mengangguk.2
"Kamu tahu, semalam dia seperti orang tak punya otak. Saat kamu tiba-tiba tidak sadarkan diri setelah berbicara dengannya dan menangis. Dia ketakutan,
Bunda tidak tahu pasti takutnya karena apa? Karena dia tidak bisa diajak bicara." Amira menatap heran sang mertua.
"Dinan lelaki yang setia dan sukar membangun cinta. Dulu saat dia berhubungan dengan Maura tak ubahnya karena dia ingin menolong Maura yang tersisihkan
keluarga. Hanya itu tidak lebih. Dan anak Bunda itu pasti tidak akan menceritakan secara rinci." Amira mengangguk dengan antusias.
"Maafkan juga soal omongan Ifa, tadi pagi Bunda melihat anak itu menangis sambil memakaikan pakaian Any, saat Bunda tanya dia menceritakan hal yang dia
lakukan padamu beberapa pekan belakangan ini." Amira terdiam saja.
"Ifa merasa sangat tertekan dan khawatir jika sakitnya kamu itu karena dia. Maafkan anak-anak Bunda ya Amira."
Amira mengangguk, "tidak ada yang salah Bunda." Amira tersenyum.
"Sejak melihatmu, sebenarnya Bunda sudah suka sama kamu." Amira menunduk malu.
"Alhamdulillah Dinan menjadi jodohmu." Amira mengangguk dengan semangat.
"Dan untuk masalah Maura...." Ucapan mertua Amira terputus karena ucapan Dinan.


Selamat Datang Halal Karya Mawar May di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Untuk masalah itu biar Mas yang bicara langsung dengan Amira, Bun." Amira menatap dua orang itu dengan curiga.
"Apapun itu Mira, kamu harus tahu bahwa Bunda tidak ada niat untuk menyisihkan dirimu. Kamu juga adalah anak Bunda juga saat ini, tapi maafkan Bunda."
Amira menatap heran sang mertua yang beranjak meninggalkan duduknya.
"Jangan terlalu keras sama istri, Mas." Amira masih bisa mendengar ucapan sang mertua untuk suaminya.
*** Kegalauan Dinan 1.4K 125 85 Writer: mawarmay by mawarmay Sore tadi saat hujan turun dengan derasnya, pintu rumah berwarna coklat keputihan itu menjadi sasaran tangan Dinan.
Dinan mengetuk pintu itu dan mengucapkan salam.
"Assalamualaikum." Aku terdiam mendengarkan suara itu. Karena aku tak yakin dengan suara itu.
Saat salam yang ketiga aku masih belum yakin kemudian aku membuka pintu, bertepatan dengan Dinan yang hendak beranjak pergi. Memang begitu kan tatacara
bertamu. Jika sudah tiga kali mengetuk dan mengucapkan salam tak ada jawaban kita harus kembali pulang dan datang lagi nanti.
"Waalaikumsalam warohmatullahi wabarokatuh. Ada apa ya?" Aku bisa melihat wajah lesu Dinan bersinar. Dia begitu semangat mendatangi kediaman ku.
"Ya Allah kak Ros. Aku ada banyak hal yang perlu ditanyakan." Aku mengerutkan dahiku kemudian mengangguk.
"Duduk di teras, aku di dalam. Maaf soalnya gak ada orang di rumah." Aku mempersiapkan diri di balik kaca rumah. Aku melihat Dinan menghela napas di teras.
"Ada apa?" tanyaku mengawali pembicaraan.
Anggap ini percakapan kami.
Dinan : Kak, ada sih dengan readers? Mereka menghujatku? Apa salahku?
Kak Ros :? doa, mana aku tahu. Emang kamu ada salah gak sama mereka.
Dinan : Gak ada. Kayaknya aku udah berusaha jadi lelaki baik, pingin dijadiin duplikat Dilan gitu.
Kak Ros : terus? Dinan : gak ngerti, soalnya aku sudah berusaha.
Kak Ros : yang sabar, orang baik itu banyak cobaan.
Dinan : terus aku harus bagaimana?
Kak Ros : Jadilah diri kamu sendiri, kamu dan Dilan itu beda.
Dinan : Iya, akan aku usahakan. Terus apa yang harus aku lakukan.
Kak Ros : cukup Diam aja deh. Soalnya kalau kamu ladeni nanti malah bikin salah paham.
Dinan : baiklah. Kak Ros : ada lagi? Dinan : oh, iya. Emang bisa ya nikah sebulan langsung hamil?
Kak Ros : kenapa? Dinan : Nih, istri tercintaku sensitif banget.
Kak Ros : emm... Bisa sih. Tapi emang kamu yakin dia hamil?
Dinan : gak tahu juga. Makanya aku tanya.
Kak Ros : kenapa gak bawa ke dokter?
Dinan : enggak. Gak boleh.
Kak Ros : ck. Dinan : emang istriku gak pernah cerita?
Kak Ros : adalah cerita tapi itu rahasia perempuan. Kalau kamu mau tahu sebaiknya jangan karena itu berarti kamu tidak mensyukuri nikmat dengan diciptakan
sebagai pria. Dinan : ck.... Jangan buat dia nangis Mulu kenapa sih Kak Ros?
Kak Ros : introspeksi diri deh sebaiknya.
Dinan : dla kenapa? Kak Ros : coba tanya diri kamu sendiri apa yang membuat Kita berubah.
Dinan : dia berubah sejak sakit sih. Tapi aku gak tahu sebabnya. Kasih clue deh!
Kak Ros : kamu tahu kan sifat Amira yang suka berspikulasi sendiri. Nah coba belajar dari pengalaman.
Dinan : ...... Kak Ros : tahu tidak? Dinan : apa coba hubungannya?
Kak Ros ; makanya pulang dan bicara sama istri kamu tercintah.
Begitulah kisah pembicaraan kami berdua. Dan Dinan segera pulang untuk membicarakan semuanya dengan Amira. Semoga masalah keduanya terselesaikan dengan
baik. Aamiin... *** 27. Misinterpretasi "Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang lebih baik perbuatannya."
[AL-KAHFI/18: 7] --- Dinan meraih teh yang disesap Amira tadi, dia meneguk dengan cepat.
"Pelan-pelan, ingat sunah rasul. Minumlah dua atau tiga kali teguk." Amira mengingatkan Dinan yang menurutnya nampak aneh.
"Mas haus sekali." Dinan mengatakan itu kemudian menaruh teh yang terasa hangat di tenggorokan.
"Kamu sudah siap, Mas ganti baju dulu baru nanti kita berangkat." Dinan hendak berdiri namun dicegah oleh Amira.
"Mas tidak mau menjelaskan sekarang?" Amira menatap Dinan dengan serius. Dinan menghela napas kemudian dia mengelus puncak kepala Amira.
"Nanti ya," kata Dinan melepas tangannya kemudian dia berjalan menuju kamarnya.
"Apa yang kamu sembunyikan sebenarnya, Mas?" Amira menatap sendu punggung Dinan kemudian dia beranjak membersihkan sisa minumannya.
Amira menyusul Dinan menuju kamar, namun dia tidak menemukan keberadaan sang suami sehingga membuat dirinya merasa tergigit semut merah di ulu hatinya.
"Mas Dinan ke kamar Maura?" bisik Amira kemudian tanpa disangka dia menangis tersedu-sedu. Amira sungguh tidak mengerti mengapa dirinya sangat sensitif.
Amira merasakan pelukan dari belakang. Dia melihat tangan besar melingkar di dada dan perutnya. Dia tahu benar pemilik tangan itu, dia termangu karena
dia merasa pintu kamar ada di depannya dan tak ada pergerakan tetapi bagaimana bisa Dinan memeluknya?
"Apa yang membuatmu terus menangis?" tanya Dinan dengan pelan, nampak sekali nada sendu yang melekat dalam butiran setiap huruf yang terucap.
"Mas Dinan," panggil Amira pelan. Amira merasakan bahwa tubuhnya semakin erat dipeluk. Amira salah menduga, dia kembali menangis tersedu-sedu hingga membuat
Dinan membalikkan badannya dan panik.
"Kamu kenapa? Ada yang sakit?" tanya Dinan bingung lalu mendudukkan sang istri di tepi tempat tidur.
"Katakan sesuatu, Miray. Jangan membuatku bingung." Amira menatap Dinan kemudian menangis tambah kencang. Dinan memeluknya kemudian berbisik. "Menangis
lah dan setelah itu jangan menangis lagi. Kamu hanya boleh menangisi segala dosa-dosa bukan sekedar sebuah perasaan semata."4
Dinan membaringkan Amira kemudian dia ikut berbaring, niat untuk pergipun seolah menghilang. Dinan memeluk tubuh sang istri dengan penuh perlindungan.
Dinan memikirkan banyak hal tentang segala hal yang terjadi beberapa hari ini.
Sungguh jika manusia mampu menentukan maka Dinan tak akan memilih hal seperti ini. Tetapi Manusia hanya bisa berencana dan Allah yang menentukannya. Karena
Allah tahu yang dibutuhkan hamba daripada yang diinginkan oleh hamba.
--- Amira membuka matanya, dia merasa asing dengan tempat yang dia gunakan untuk tidur. Bukan karena dia bermimpi akan tetapi ruangan bercat putih salju ini
tampak agak asing oleh dirinya.
"Di mana ini?" Amira menoleg ke kanan dan kiri. Dia seorang diri, di mana Dinan?
Apa dia ditinggal seorang diri? Amira mulai cemas, kemudian dia menyibak selimutnya dan turun dari ranjang. Dia berjalan menuju pintu tanpa mengenakan
alas kaki. "Marmernya dingin," kata Amira pada dirinya sendiri. Amira membuka pintu kemudian dia terdiam. Dia merasa tak asing dengan gaya rumah ini, akan tetapi
dia tidak ingat karena apa.
Amira berjalan keluar kamar, dia langsung disuguhi dengan ruang keluarga yang cukup luas dengan sofa, karpet tebal dan layar Televisi beserta perlengkapannya.
Dia berjalan ke kanan, dia masuk ke sebuah ruang makan yang bergabung dengan dapur juga ada beberapa pintu yang tertutup. Ada juga pintu kaca yang kordennya
diikat sehingga tampak seperti jendela.
Amira membalikan badannya, dia terkejut dengan lelaki yang memberinya senyum indah. Dia mundur satu langkah kemudian menampilkan wajah cemberut.
"Ada apa?" tanya Dinan melewati Amira dan membuka lemari es. Amira mengamati Dinan yang saat ini sedang menuang air dingin ke dalam gelas dan dicampur
air hangat dari depenser.
"Kita di mana?" tanya Amira duduk di kursi dekat sang suami.
"Di rumah kita." Dinan memberikan senyum indahnya.
"Rumah kita?" Dinan mengangguk. Amira menatap Dinan ada banyak hal yang dia rasakan saat ini dan rasa sesak itu tiba-tiba menghimpit dadanya.
"Jadi aku gak boleh tinggal di rumah Bunda?" tanya Amira dengan suara lirih.
Dinan menghampiri Amira kemudian mengajak Amira berjalan ke ruang keluarga. Dinan mendudukkan Amira di atas sofa kemudian Dinan sendiri memilih duduk di
atas karpet tebal. "Bukan tidak boleh, tentu saja boleh. Kita akan menginap di sana sesekali." Dinan menggenggam tangan Amira lembut.
"Di sana akan ada keluarga Bagus, Mas merasa tak nyaman apalagi Bagus memiliki adik lelaki Mas gak mau kamu merasa tak nyaman. Ada Bagus aja kamu sudah
tak nyaman, apa lagi ada yang lainnya?" Amira meneteskan air matanya.
"Kamu kenapa sering menangis?" Dinan menggunakan tangan kanannya untuk menghapus air matanya.
"Aku tidak tahu, dia keluar begitu saja." Dinan mengulum senyumnya mendengar nada Amira yang merajuk.
"Ada yang ingin kamu tanyakan? Kamu tahu bukan, Mas gak pandai bercerita kalau tidak ditanya." Amira merenggut kemudian mencibir, entah mengapa dia melakukan
itu padahal dia tahu benar bahwa itu sungguh tindakan kekanakan dan tidak sopan.
"Tadi yang mau dibilang Bunda," kata Amira tak beraturan.
"Bunda mau menjelaskan kepindahan kita, jadi Mas larang. Mas ingin menjadi orang pertama yang memberitahukan kepada kamu. Walaupun Mas sudah menceritakan
kepada kamu kepindahan kita tadi pagi." Dinan mengatakan itu dengan senyum tipis.
"Tapi ada yang mengganjal, kenapa kamu tadi pagi menangis? Kamu tidak ingin pindah rumah?" Amira menatap Dinan dengan mata bulat, dia tidak yakin pernah
membicarakan tentang pindah rumah.
"Kapan Mas bilang mau pindah rumah?" tanya Amira.
"Tadi dini hari, waktu kamu bangun dan tanya mengapa Mas memasukan pakaian ke koper." Dinan menjawab dengan nada santai. Amira nampak membawa bola matanya
yang ke atas tanda bahwa dia sedang mengingat sesuatu yang dia lupakan.
"Bukannya Mas bilang mau pindah ke kamar tamu?" Dinan menaikan satu alisnya, dia merasa gamang dengan ucapan Amira.
"Kapan Mas ada bilang begitu? Mas kan bilang kalau kita akan pindah karena sementara waktu Maura tinggal di rumah Bunda." Amira menatap Dinan dengan melotot
kemudian berdecih, dia tidak suka nama Maura keluar dari bibir Dinan. Sungguh itu membuatnya sangat kesal. Kemudian dia segera beristighfar karena tingkahnya.
"Tadi pagi Mas berbenah pakaian, kamu bangun dan bertanya tentang tujuan Mas berbenah. Lalu Mas jawab kalau kita akan pindah rumah karena Maura akan tinggal
di rumah Bunda karena kondisinya yang membutuhkan pengawasan. Dan tahu apa reaksi kamu? Kamu menangis kemudian tidur dan dalam tidur kamu mengigau dan
demam." Amira menatap Dinan dengan penuh tanya.
"Mas yakin? Hanya itu yang kita bicarakan?" Dinan menatap Amira dengan seksama.
"Iya, kamu ingat sesuatu?" Amira menggeleng kepala, bukan tidak ingat akan tetapi karena apa yang dia ingat berbeda dengan yang diceritakan oleh Dinan.
"Mas kemarin harus membereskan rumah ini, oleh sebab itu Mas pulang malam. Rencananya mau pulang pagi, tapi karena Mas pikir lebih baik segera mengatakan
tentang kepindahan kita kepada kamu jadi mas dini hari tadi membangunkan Bunda untuk membukakan pintu." Amira mengangguk.
"Nanti Mas akan sering di rumah Bunda atau di sini?" tanya Amira pelan.
"Kenapa tanya begitu?" tanya Dinan tidak mengerti.
"Kan di sana Mas juga ada tanggung jawab." Dinan mengangguk.
"Mas akan sering di sini bersamamu." Dinan mencium punggung tangan Amira.
"Bagaimana bisa begitu, Mas harus adil aku tak mau menjadi istri yang dzolim." Amira berseru dengan cukup keras. Entah, dia memang tidak rela jika Dinan
menikah lagi. Akan tetapi semua itu sudah terjadi jadi mau tidak mau Dinan harus berlaku adil dan dia akan belajar menerima keadaan ini. Terlebih lagi
kondisi Maura yang sedang hamil.3
"Siapa yang bilang kamu istri yang dzalim. Kamu istri Sholehah, istri terbaik yang dimiliki oleh Ardinan seorang." Dinan menciumi tangan Amira.
"Tapi Mas Dinan punya tanggung jawab di sana yang kedudukannya sama." Dinan mengangguk.
"Mas memang punya tanggung jawab, tapi bukan berarti kamu istri dzalim. Kamu tidak boleh mengatakan hal itu lagi." Dinan menggenggam tangan Amira.
"Bunda ridho dengan apa yang Mas lakukan saat ini. Bahkan Bunda yang mengurus semua surat-surat yang Mas perlukan, jadi tidak ada masalah bukan selama
Bunda rela. Apa lagi, Bunda yang memberi ide untuk Mas segera memiliki rumah sendiri. Karena kata bunda kamu mungkin tidak akan nyaman jika tinggal bersama
mertua, jadi supaya kamu nyaman sebaiknya kita punya rumah sendiri. Bundahnpernah menjadi anak mantu oleh sebab itu Bunda mencoba memahami menantunya."
Dinan menatap Amira dengan lembut.
"Mas memang milik ibu Mas. Tapi selama ibu Mas ridho dengan keputusan Mas maka semua ini bukan sebuah kesalahan, Sayang." Dinan membelai lembut wajah Amira.
"Lalu Maura?" tanya Amira serupa dengan cicitan tikus terjepit pintu.
"Ada apa dengan Maura?" tanya Dinan bangun dari duduknya dan berdiri menjulang di depan Amira.
"Bukankah Bunda mengurus surat pernikahan Mas Dinan dengan Maura?" Amira mendongak menatap lekat wajah sang suami yang nampak bingung. Tak lama kemudian
Dinan tersenyum dan tertawa terbahak. Amira merasa heran dengan tindakan sang suami, yang menurutnya aneh.
"Mas," panggil Amira pelan. Dinan langsung memeluk Amira.
"Maaf kalau Mas tidak melibatkan kamu dalam mengambil keputusan. Maaf, bukan hal ini yang Mas inginkan semua ini sangat mendadak jadi, Mas berpikir yang
menurut Mas terbaik buat kamu tanpa berpikir tentang perasaan kamu. Maafkan Mas." Dinan memeluk Amira seraya membelai lembut punggung Amira.
Dinan mengurai pelukannya, kemudian mengecup bibir sang istri.
"Mas janji, setelah ini kita akan mendiskusikan semuanya. Tapi sebelumnya mas mau menyentil keningku dulu." Dinan langsung menyentil kening sang istri
tanpa bisa dihindari oleh Amira.
"Mengapa otak cantikmu itu selalu berpikir negatif?" tanya Dinan saat melihat wajah kesal Amira.
"Sakit Mas," seru Amira.
"Kenapa pikiran kamu ke poligami terus?" tanya Dinan.
"Kan memang itu yang Mas lakukan." Amira menyahut dengan ketus, dia masih kesal karena keningnya yang menjadi sasaran tangan Dinan.
"Dari sisi mana kamu menyimpulkan? Bukan karena Maura tinggal di rumah Bunda terus aku dan Maura menikah. Sungguh pemikiran yang sangat cerdas." Dinan
mengatakan itu dengan nada menyindir.
"Kok Mas Dinan jadi nyinyir aku?" Dinan terkekeh dengan sifat sensitif Amira.
"Baiklah, jelaskan dari mana kamu menyimpulkan semua itu." Dinan duduk di samping Amira dan menggeser duduk Amira sehingga menghadap ke arahnya.
"Saat pak Doni menelpon, kata Pak Doni Mas ada di rumah sakit."
"Memang, terus kenapa gak bilang kalau kamu pingsan?"
"Aku gak mau ganggu Mas Dinan yang sedang bersama mantan."
"Kamu tahu, Mas ke rumah sakit mengambil surat yang diurus Bunda." Amira merenggut kesal.
"Jangan disela." Amira mengatakan dengan nada ketus, Dinan menaikan satu alisnya dengan sorot mata menggoda akan tetapi sang istri membuang muka.
"Lanjutkan!" "Terus pas pulang bik Tutik cerita tentang mengurus surat. Jadi aku berpikir bahwa Mas Dinan mengurus surat nikah, apa lagi kata bunda Mas tidak pulang
malam itu ya sudah semakin mengerucut." Dinan membawa dagu Amira menoleh ke arahnya.
"Kamu tidak percaya pada suamimu?" Amira menggeleng kemudian mengangguk. Bukan tersinggung tetapi Dinan justru terkekeh karena wajah menggemaskan sang
istri. Dinan menarik tubuh Amira sehingga masuk kedalam pelukannya.
"Kamu harus yakin bahwa Mas akan selalu berusaha menepati janji yang Mas ucapkan kepadamu. Kamu tahu, Mas sangat mencintai kamu, hingga tak ada sedikitpun
celah untuk wanita lain." Amira menangis terisak-isak saat mendengar ucapan Dinan. Dia selalu berspikulasi sendiri tanpa berpikir atau membicarakan dengan
Dinan. Dia salah, jelas dia yang salah.
"Maaf," bisik Amira pelan di tengah isakan.
"Tidak ada yang salah, mungkin kita harus lebih memperbaiki komunikasi diantara kita berdua." Dinan merasakan tubuh Amira memberi jawaban. Dinan mengecup
pucuk kepala Amira. "Sudah jangan menangis, lebih baik kamu sholat asar. Pasti belum." Amirao segera melepaskan pelukannya.
"Astaghfirullah," kata Amira beranjak dan tunggang langgang meninggalkan Dinan yang hanya bisa menggelengkan kepalanya dia tidak percaya jika istrinya
memiliki sisi kekanakan juga.
*** 27. Ranah (end) "Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan perbuatan baik, serta berpisahlah dari orang-orang yang bodoh."
[al-A'raf/7:199] ---- "Rencananya kita akan tinggal di rumah bunda selama satu bulan dan tinggal di rumah ibu selama satu bulan juga. Nanti kalau kamu sudah gak kerja kita akan
berbagi waktu untuk menyiapkan rumah kita supaya siap huni." Dinan memindahkan baju ke gantungan.
"Terus kenapa jadi secepat ini?" tanya Amira, dia bergerak dengan cepat mengeluarkan baju dari koper.
"Karena kondisi Maura yang cukup memprihatinkan dan saat Mas ke rumah ibu ternyata besan ibu masih tinggal di sana. Jadi Mas harus berpikir mengajak kamu
pergi kemana?" Dinan menjawab kemudian dia duduk di sisi tempat tidur.
"Maaf membuat Mas berpikir sendiri." Dinan tersenyum.
"Ini tugas Mas sebagai kepala keluarga. Mencari kenyamanan untuk istri dan anak-anaknya Mas kelak."
"Anak aku juga," seru Amira.
"Iya, anak kita." Dinan mengatakan hal itu dengan geli.
"Tapi kenapa Mas gak cerita?" tanya Amira.
"Kamu lupa kemarin malam kamu tiba-tiba menangis dan ingin tidur lebih dulu. Selain itu Mas tidak ingin membebani kamu karena persoalan yang bisa Mas selesaikan."
Dinan membelai lembut kepala sang istri.
"Jadi, malam itu Mas mau membicarakan ini." Dinan mengangguk, membuat Amira merasa bersalah. Padahal Dinan sudah memiliki niat baik berbagi tapi dia tak
memperdulikan justru memikirkan dirinya sendiri yang tersinggung dengan ucapan sang mertua.
"Maafkan aku ya Mas." Dinan mengangguk.
"Tidak ada yang salah, hanya keadaan yang membuat kita seperti ini. Mas pikir masih memiliki waktu sebulan tapi qodarrullah hanya waktu sehari sudah mengubah
segalanya." Amira mengangguk.
"Mungkin ini sebabnya Rasulullah melarang kita menunda-nunda pekerjaan." Dinan mengangguk kemudian kembali membawa baju yang dirapikan sang istri ke almari.
"Mas, bagaimana kalau kita progam kehamilan?" tanya Amira dengan binar mata yang bercahaya.
"Tidak perlu, kita masih terhitung baru." Dinan mengatakan itu kemudian dia mengeluarkan beberapa pernak-pernik dari koper.
"Tapi rumah ini akan sepi tanpa adanya anak." Amira merajuk, Dinan tersenyum.
"Kita akan berusaha dan berdoa. Biarkan Allah yang berkehendak, nanti jika satu tahun belum juga diberi keturunan. Kita akan tes kesehatan dan progam dalam
bentuk ikhtiar." Dinan menaruh alat make up sang istri di meja rias.
"Benar juga, tapi mau apa kalau aku gak kerja." Dinan tersenyum kemudian menoleh kepada sang istri yang nampak lesu.
"Kamu bisa bereksplorasi dengan banyak resep yang sudah kamu ciptakan tapi belum pernah kamu coba." Amira mendongak ke arah Dinan.
"Butuh biaya kali, Mas." Dinan mengerutkan keningnya.
"Mas sanggup jika hanya membelanjakannya." Dinan mengatakan hal itu dengan ringan.
"Mas Dinan beneran?" tanya Amira antusias.
"Iya, selama hal itu membuat kamu bahagia." Amira melompat kemudian memeluk Dinan dari samping.
"Terima kasih," kata Amira mengecup pipi sang suami.
"Sama-sama." Dinan menggeser tubuhnya kemudian memasukkan tubuh kecil sang istri dalam pelukan.
"Tapi ada syaratnya," kata Amira membuat Dinan menunduk.
"Mas yang mengeluarkan modal, Mas juga yang menerima syarat?" tanya Dinan dan Amira mengangguk antusias.
"Baiklah, apa Nyonya?" tanya Dinan.
"Mas gak boleh ngeluh kalau masakannya gak enak." Dinan mengangguk sambil tersenyum.
"Tidak akan, apapun yang kamu sajikan akan Mas makan. Karena Mas percaya bahwa kami tidak akan dengan sengaja mencelakai Mas." Amira memeluk Dinan dengan
erat. "Terima kasih ya Allah telah engkau kirim suami sebaik Mas Dinan kepadaku." Amira mengatakan itu dengan menyembunyikan wajahnya di dada Dinan sehingga
suara tak jelas terdengar oleh Dinan.
"Semoga aku bisa menjadi istri yang Sholehah yang patut pada suami dan selalu mengutamakan Engkau." Dinan mendengar kalimat terakhir Amira dia menggumankan
kata aamiin dengan pelan.
Dinan berharap bisa menghadapi segala cobaan yang menguji rumah tangganya dengan ikhlas dan sabar. Dan dia berharap bisa menjadi suami yang baik dan ayah
yang baik juga jika kelak Allah mengamanatkan seorang anak kepadanya.
--- "Mas, ini rumah Mas renovasi atau memang seperti ini adanya. Kok kayak familiar gitu," kata Amira sambil mengaduk teh dan mengedarkan bertanya ke penjuru
dapur. "Mas renovasi bagian depannya, ini dulu rumah Atika teman masa kecil Mas. Dia menjual rumah ini karena butuh biaya selain itu dia juga sudah tinggal sama
suaminya." Dinan menjelaskan kepada Amira.
"Oh, aku kira rumah ini bangunan baru." Amira menaruh cangkir teh ke depan Dinan kemudian mengambil bungkusan di meja dan mengeluarkan isinya.
"Rumah ini Mas desain seperti rumah ayahnya Mala. Dengan pintu ada dua dibagikan depan. Makanya kamu merasa familiar." Amira menoleh ke arah Dinan kemudian
dia nampak berpikir dan tersenyum.
"Iya, aku ingat." Amira menaruh piring di depan sang suami.
"Arsiteknya sama kok, Atika. Dia yang merenovasi sehingga bangunan ini nyaman dan terlihat fresh." Amira menoleh ke arah Dinan. Dia sempat curiga dengan
Dinan yang menyebut nama Atika lebih dari satu kali. Tapi dengan tegas Amira tepis, dia percaya sepenuhnya dengan Dinan bahwa Dinan tidak akan melakukan
hal yang menyakiti dirinya.
"Atika seorang arsitek?" tanya Amira menghilangkan nada sewotnya.
"Bukan, dia seorang desain interior. Tapi dia bisa juga dibilang arsitek. Entahlah apa pekerjaan yang cocok buat dia." Amira mengangguk, meski dia bingung
dengan kalimat rancu yang diucapkan oleh sang suami.
"Ayo makan," ajak Dinan yang sudah mulai menyuap makanan ke dalam mulutnya.
"Mas, mungkin Minggu depan aku sudah jadi pengangguran." Dinan menoleh kemudian tersenyum dan kembali makan.
"Mas beneran gak keberatan menanggung hidup wanita tak berpenghasilan ini?" Dinan menaruh sendirinya kemudian menoleh ke arah Amira.
"Sangat tidak keberatan, justru sangat bersyukur karena ada seorang wanita yang sudah memasrahkan hidupnya kepada Mas dengan ikhlas dan suka rela." Dinan
mengulurkan tangannya untuk menyeka sisa makanan di sudut bibir Amira.
"Oh, Mas Dinan kok romantis sih!"


Selamat Datang Halal Karya Mawar May di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dinan terkekeh kemudian dia kembali melanjutkan makannya. Kemudian Amira mengalungkan tangannya di tangan kanan Dinan.
"Mas, kok aku makin cinta ya?" Dinan tersedak mendengar ucapan manja Amira. Amira yang syok hanya menatap bodoh sang suami sambil menegakkan tubuhnya.
"Kamu," kata Dinan setelah reda dari batuknya, kalimat yang sudah terangkai di dalam otak tidak jadi dilanjutkan, dia menangkap kedua pipi Amira dan menghujani
kecupan diwajahnya Amira sampai Amira kesal dan mencoba melepaskan diri dari Dinan.
"Mas," rajuk Amira.
"Ih Mas Dinan."
"Apa Sayang?" jawab Dinan santai dengan tubuh kembali menghadap meja dan tangan memegang sendok untuk melanjutkan makanya.
Amira kicep, dia tak tahu harus mengatakan apa kemudian dia kembali melanjutkan makan sesekali melirik ke arah Dinan yang nampak santai seolah-olah tak
terjadi apapun. "Mas? Siapa Atika?" tanya Amira setelah menyelesaikan makannya.
"Teman kecil Mas, dulu di rumah lama kami bertetangga saat kecil. Tapi setelah SMA kita pisah karena dia ikut sang ibu tinggal di kota ini." Dinan membersihkan
bibirnya. "Kenapa?" tanya Dinan.
"Dekat sekali?" Dinan menaikan satu alisnya.
"Cemburu, hem?" Dinan tersenyum dengan menggoda.
"Ya wajar kalau aku cemburu, kalau gak cemburu itu baru dipertanyakan." Amira mengambil piring Dinan kemudian dia menumpuk menjadi satu dengan piringnya.
"Tidak perlu cemburu, dia sudah bersuami." Dinan mengambil satu tangan Amira.
"Trust me, please. Hidup tidak akan tenang jika kamu diliputi sifat prasangka buruk dan curiga. Kita harus mulai dengan saling percaya, kamu bisa mempercayai
Mas karena Mas juga mempercayai kamu. Yakini itu," kata Dinan mengambil alih piring kemudian membawa ke tempat cucian.
Amira menyesal karena dia selalu mencurigai Dinan, dia tahu yang dia lakukan adalah sesuatu yang salah. Akan tetapi, hati dan pikiran siapa yang bisa tenang
saat dia pernah mengalami yang namanya kegagalan saat dia lengah sedikit saja.
Amira berjalan menuju dapur saat Dinan sudah mengelap tangannya dengan kain, bertanda dia sudah selesai mencuci piring.
"Kenapa diam saja?" tanya Dinan mengalungkan tangannya dan menghela Amira menuju kamar.
"Mas, maafkan aku." Dinan menunduk kemudian dia mengangguk dan tersenyum.
"Mas tahu, saat Mas sudah menikahi seorang wanita maka Mas harus belajar sabar menghadapi segala sikap yang dimiliki wanita itu. Karena Mas yakin, semua
bisa berubah menjadi lebih baik selama kita m njalani proses dengan sabar." Dinan mengecup kening sang istri.
"Ada yang ditanyakan, Sayang?" Amira menangis karena dia salah menilai Dinan selama ini.
"Mau peluk boleh?" tanya Amira.
"Memang selama ini Mas pernah melarang kamu untuk memeluk Mas. Kita sudah halal mau melakukan apapun, kalau kamu lupa." Dinan merengkuh tubuh istrinya.
"Sudahkah Mas menyambutnya?" Amira menggelengkan kepala.2
"Mas sambut dirimu dalam pelukan Mas. Selamat datang, halal!" Dinan mengeratkan pelukannya. Kemudian membopong tubuh sang istri menuju ke tempat tidur.
"Bagaimana kalau kita mulai dengan saling menyalurkan rasa." Kalimat Dinan ditutup dengan penyatuan dua bibir. Kemudian dilanjutkan dengan segala perbuatannya
yang menjadi nilai ibadah jika sudah bersertifikat dari KUA.
Dalam sebuah rumah tangga bukan sekedar hubungan suami istri di atas tempat tidur, akan tetapi hubungan suami istri di manapun berada. Baik mulai dari
sekedar pikiran, ucapan atau tindakan. Dalam sebuah hubungan pasti ada masalah yang menemui kadang ada rasa putus asa atau rasa resah karena diri sendiri,
tetapi semua itu akan terselesaikan dengan komunitas dan saling percaya.
Pak Dinan dan Bu Amira pamit.
Bye...bye....? End. Bangkitnya Pandan Wangi 2 Pendekar Gila 21 Kitab Ajian Dewa Pendekar Bodoh 4

Cari Blog Ini