Ceritasilat Novel Online

Si Angin Puyuh 5

Si Angin Puyuh Si Tangan Kilat Hong In Lui Tian Karya Gan Kh Bagian 5


San-tian-jiu mengurut dan memijat, maka Hong-thian-lui harus bantu mengerahkan hawa murninya. Karena tak enak menampik kebaikan orang, karena hawa murninya memang hampir ludes, tanpa ada seorang tokoh kosen dalam bidang ini takkan dapat melemaskan otot dan tulang belakangnya, untuk berdiri memerlukan waktu yang cukup lama. Terpaksa ia menurut nasehat. San thian jiu sementara menentramkan diri untuk berobat diri.
Kira kira setengah jam kemudian air muka Hong-thian lui pulih kembali. San-thian-jiu berkata: "Lwekang saudara Ling cukup tangguh, jarang Siaute menemukan anak muda yang punya dasar latihan begitu sempurna."
Cepat Hong-thian lui lompat berdiri, serunya : "Mungkin bisa kecandak mari kita kejar mereka. Kalau tawanan hidup ini kaum keroco, tiada keterangan penting yang dapat kita kompas dari mulutnya. Lebih baik kita ringkus Tokko Hiong."
San tian-jiu sadar, pikirnya : "Tokko Hiong adalah pentolan kawanan penjahat itu bila bisa meringkusnya tentu lebih baik." namun karena kesehatan Hong-thian lui baru sembuh, ia masih kawatirkan keselamatannya.
Tengah ia sangsi, mendadak terdengar seorang perempuan tua berseru dengan suara kawatir dan gugup : "Giok ji ! Giok ji !"
Giok-yau berteriak : "Ah, ibuku datang ! Bu, aku berada disini."
Tampak Lu-hujin berlari mendatangi secepatnya, setelah tiba dihadapan mereka, ia gendrukan tongkatnya ditanah, omelnya, "Ai, kenapa kau tidak dengar nasehat ayahmu, membawa Ling-suheng keluar ! Tadi kudengar suara pertempuran apakah, apakah ..."
"Bu, tak usah gelisah, memang datang serombongan penjahat, semua sudah dipukul mundur. Tuan penolong inilah yang melabrak mereka." dia hanya tahu orang ini berjuluk San-thian jiu (si tangan kilat) namun belum tahu nama aslinya.
Pantasnya Lu-hujin harus nyatakan terima kasih kepada San-tian-jiu, tapi hatinya sedang gugup memikirkan keselamatan orang lain, sehingga tidak sempat menanyakan nama San-thian-jiu, setelah celingukan kian kemari ia berteriak kejut : "Dimanakah Piaukomu, kenapa tidak kelihatan."
Selama ini Lu Giok yau sibuk membubuhi luka-luka Hong-thian lui, baru sekarang ia teringat, jawabnya : "Piauko kesambit senjata rahasia musuh dan tertutuk darahnya itu didalam semak belukar sana."
Lu-hujin marah-marah : "Kenapa tidak kau tolong dia, meski luka Ling suheng cukup parah, jiwa Piaukomu juga harus dilindungi bukan ? Apakah kau tidak sempat menengoknya ?"
Merah jengah selebar muka Lu Giok-yau katanya tergagap : "Aku, kulihat Piauko tidak terluka berat, apa salahnya membebaskan jalan darahnya sedikit terlambat."
Dimarahi dihadapan orang banyak oleh ibunya, sudah tentu Lu Giok-yau menjadi uring-uringan dan cemberut.
Hong thian lui menjadi rikuh, dengan tertawa dibuat buat ia berkata : "Lukaku tak menjadi soal, lekas tolong Khu-toako." belum habis Lu hujin sudah lari kearah tempat yang ditunjuk.
Mendadak San tian-jiu bertanya lirih kepada Giok-yau : "Piaukomu she Khu?"
"Benar, dia bernama Khu Tay seng !"
"O, Khu Tay-seng!" gumam San-tian-jiu sekilas tampak wajahnya mengunjuk senyum sinis mendadak tubuhnya melesat kedepan.
Lu-hujin merasa angin berkesiur disampingnya, seenteng burung walet San tian jiu melesat disampingnya mendahului dirinya. Diam-diam Lu hujin menggerutu : "Bocah ini tidak tahu tata krama, memangnya kau hendak beradu Ginkang dengan aku ?"
Dia melangkah lebih dulu namun San-tian-jiu melampaui dirinya sudah tentu hatinya kurang senang.
Sebetulnya Ginkang Lu hujin tidak lemah, namun setingkat dibawah San-tian jiu. Waktu Lu hujin tiba ditempat itu, sementara San-tian-jiu sudah membimbing Khu Tay-seng.
"Khu-toako tidak terluka apa-apa, jalan darah yang tertutuk juga bukan jalan penting biar Siautit sekedar menolongnya." Sembari bicara segera membebaskan tutukan Khu Tay-seng.
Sebagai ahli silat, dengan mudah ia membuka jalan darah Khu Tay-seng yang tertutuk. Agaknya musuh menggunakan ilmu tutuk yang bertaraf rendah untuk menutuk tubuh Khu Tay-seng. Maka timbul rasa curiganya, batinnya : "Peristiwa ini jelas bukan kebetulan."
Melihat orang asing tidak dikenal membebaskan jalan darahnya, Khu Tay-seng melengak, baru saja ia mau bertanya, San-tian-jiu sudah buka suara : "Khu toako selamat bertemu."
Tatkala itu Lu Giok yau juga sudah memburu datang, melihat mimik dan kelakuan San tian jiu yang aneh dan ganjil, ia menjadi geli dan bertanya : "Kau kenal Piaukoku ini ?"
San-tian-jiu berkata tawar : "Nama besar Khu toako sudah lama aku mengaguminya !"
Lu Giok-yau menjadi heran, pikirnya : "Meskipun Khu-piauko pernah kelana di Kangouw, paling hanya dia tiga kali saja, belum terhitung bebas mengembara. Mana mungkin namanya tenar dan luas ? Apa mungkin orang sengaja mengambil hati ibu ? Melihat sikap ibu tadi sudah tentu ia maklum bahwa ibu sangat sayang kepada keponakannya ini."
Disanjung puji Khu Tay-seng menjadi girang dan bangga, katanya : "Aku seorang keroco, saudara ini terlalu memuji. Terima kasih akan bantuan saudara membuka tutukan jalan darahku, aku belum kenal siapakah nama saudara ?"
Segera Lu-hujin menimbrung : "Banyak terima kasih akan pertolonganmu kepada puteriku tadi."
"Terima kasih kembali." sahut San-tian-jiu menggoyang tangan, "Bicara soal budi, aku lebih besar menerima budi keluarga kalian."
Lu-hujin ragu-ragu, katanya : "O, kau, kau adalah ..."
"Aku adalah Geng Tian yang diantar dan dilindungi Lu-loenghiong sepuluh tahun yang lalu itu. Hari ini aku datang untuk menemui tuan penolongku."
Kejut dan girang Lu Giok-yau, katanya : "Ternyata kau adalah Geng-kongcu itu. Ayah mengatakan kau tak pandai main silat, ternyata ilmu silatmu begini tinggi."
"Kau bicara ngelantur," omel Lu-hujin, "Ayah Geng-kongcu adalah Kanglam Tay-hiap yang menggetarkan dunia persilatan, Geng-kongcu mendapat warisan keluarga, sudah tentu ilmu silatnya sangat lihay."
"Sepuluh tahun yang lalu sedikitpun aku tidak bisa main silat. Yang kuperoleh sekarang juga cakar kucing saja." demikian ujar Geng-Tian merendah.
"Sayang ayah Giok-yau tak berada di rumah. Kalau dia ketemu kau, entah betapa senang hatinya !"
Mulut mengatakan 'senang', namun mimik wajahnya tetap dingin serta mengerut kening malah, seolah-olah punya ganjelan yang membingungkan.
Lu Giok-yau berkata; "Walaupun ayah tidak dirumah, kami harus sambut tamu terhormat. Geng-toako, kuharap kau tinggal beberapa hari dirumah kami, menunggu ayahku pulang, mau tidak ? Bu, coba kau undang tamu kita menginap dirumah."
Lu hujin tertawa getir, katanya : "Kau masih menunggu ayahmu pulang, kurasa kami harus segera pindah tempat.''
"Kenapa?" tanya Giok-yau tak mengerti.
"Yang berkelahi dengan kalian orang-orang macam apa?" tanya Lu-hujin.
"Mereka hendak menawan Ling toako. Agaknya mereka anak buah seorang penjahat perempuan aku tidak begitu jelas namanya, coba kau tanya Ling-toako saja.''
"Pemimpin mereka bernama In-tiong-yan, memang seorang perempuan," demikian Hong thian-lui memberi keterangan sebelum diminta, "tapi dia bukan penjahat, menurut apa yang kutahu, mungkin adalah 'tuan putri? bangsa nuchen.''
Alis Luhujin bertaut, katanya : "Bukan kau tidak tahu asal usul Ling-toakomu, sekarang mereka sudah tahu bahwa dia tinggal dirumah kita. Kali ini mereka gagal, kau kira urusan selesai begini saja ? Untuk selanjutnya, kita takkan dapat hidup tentram lagi kalau tidak pindah rumah untuk menghindari bencana, apa harus mati konyol?"
"Lalu pindah kemana ?" tanya Giok yau gugup, "Bagaimana bila ayah kembali nanti?"
"Kau tidak perlu kawatir akan ayahmu, bila tiba saatnya pindah, aku akan memberi pesan kepada para tetangga. Soal pindah kemana memang suatu pertanyaan, walaupun ayahmu punya sanak kandang, bila mereka tahu akan peristiwa hari ini, mana mereka mau terima kita ? Seumpama mereka mau menahan kami, apakah tega kami merembet kepada mereka?"
Mendengar percakapan mereka, hati Hong-thian-lui menjadi cemas dan pedih, akhirnya ia kertak gigi, katanya : "Bibi tidak perlu kawatir, dari pembicaraan mereka kurasa masih segan terhadap paman, apalagi mereka hanya mengincar aku seorang. Bila aku meninggalkan tempat ini tentu kalian tidak akan diganggu. Beberapa bulan ini banyak terima kasih akan budi pertolongan Bibi, sekarang juga Siautit minta diri saja.''
Kejut dan gugup Lu Giok yau, serunya : "Sakitmu belum sembuh, mana boleh pergi?"
Lu hujin pura-pura membujuk, ujarnya : "Hiantit, aku tidak bisa menahanmu, bila ayah Giok-yau kembali dia tentu menyalahkan aku.''
Lahirnya katanya menahan Hong-thian-lui, hakikatnya secara tidak tidak langsung ia mengusir Hong-thian-lui secara halus. Segoblok-goblok Hong-thian lui juga merasa akan maksud ucapannya. Dengan tegas ia menyatakan hendak pergi.
Dengan kencang Lu Giok-yau menarik lengannya, sementara ibunya juga pura-pura membujuk dia tetap tinggal, tengah mereka saling tarik dan bersitegang leher, tiba-tiba Geng Tian menyelak : "Nona Lu, kau tak usah kawatir, serahkan saja Ling-toakomu kepada aku.''
"Kau ingin berangkat bersama dia ?'' tanya Giok-yau.
"Aku ini buronan kerajaan Kim, kami sama-sama buronan jadi tak perlu takut merembet kepada siapa," ujar Ceng Tiang melucu.
Merah muka Lu hujin, katanya : "Ilmu silat Geng kongcu lihay, Ling-hiantit berteman kau, aku boleh lega hati."
Lu Giok-yau membanting kaki, serunya: "Bu, kau . . ."
"Ai, kau kira aku tega melepas Ling-toako pergi ?" demikian Lu-hujin berdiplomasi, "Tapi kejadian ini memang serba sulit, bicara terus terang, bila dia menetap dirumah kita, kita tak mampu melindungi keselamatannya. Ada lebih baik ia pergi bersama Geng-kongcu. Kepandaian Geng-kongcu jauh lebih tinggi dari kami, tentu dia lebih aman bersamanya."
Ibunya sudah bicara sejauh itu, Hong-thian-lui juga berkukuh hendak berangkat, apa boleh buat Lu Giok-yau menjadi kewalahan. Akhirnya ia berkata: "Ling-toako, sepanjang jalan kau harus hati hati menjaga dirimu. Setelah sampai dirumah harus segera memberi kabar kepada kami."
"Jangan kawatir, aku pasti berhati-hati." jawab Hong-thian-lui. "Mungkin setibaku dirumah, ayahmu masih berada disana."
Diam diam Khu Tay-seng tertawa dingin dalam hati ; "Kalian budak goblok, dan keparat gendeng ini, seolah-olah kekasih yang intim sekali. Huh, begitu keparat ini meninggalkan tempat ini, kau kira bisa melihat dan jumpa lagi dengan dia ? Khu Tay-seng tidak bodoh, membiarkan panggang bebek yang sudah matang terbang menghilang !" segera ia ikut menimbrung : "Hari sudah siang, kalau Ling-toako terus berangkat, kamipun tak enak menahan dan mengganggu waktunya. Piaumoay, kau antar Ling-toako kemulut gunung saja dan tunggu aku pulang membenahi bekal Ling toako."
Sambil memanggul buntalannya Hong-thian lui berjalan cepat sambil menunduk, sesaat kemudian ia menoleh kebelakang, tampak Lu Giok-yau masih berdiri diujung jalan, berdiri terlongong mengawasi dirinya. Khu Tay seng tampak berdiri disampingnya serta berbisik dipinggir telinganya. Mendadak Hong-thian lui merasa pedih dan rawan, dengan kencang ia gigit bibir, cepat ia melangkah lebar kedepan dan tidak menoleh lagi.
Setelah keluar dari perkampungan, mereka sudah puluhan li jauhnya. Selama ini Hong thian-lui tetap bungkam, berjalan sambil menunduk.
Mendadak Geng Tian buka suara : "Ling-toako, apakah hubunganmu sangat intim dengan nona Lu itu ?"
Muka Hong-thian-lui yang hitam itu menjadi merah legam, sahutnya : "Jiwaku selamat dari renggutan maut berkat rawatan mereka ibu beranak, Tapi .... tapi .... tidak ..."
Ceng Tian tertawa geli, ujarnya : "Bukan aku mencari tahu urusan pribadimu, maaf akan kecerobohanku, ada suatu urusan, betapapun harus kubikin terang. Antara kau dan Khu Tay-seng, pernahkah terjadi pertentangan atau bentrok secara langsung ?"
Hong thian lui melengak, katanya: "Tidak, Khu toako cukup baik terhadapku, untuk keperluan apa kau tanya hal ini kepada aku ?"
Geng Tian berkata kalem : "Tahu orangnya tahu mukanya tak tahu hatinya. Kali ini kau disergap aku yakin kejadian bukan secara kebetulan, mungkin ada sangkut paut dengan Khu Tay-seng bocah itu !"
"Kukira tidak mungkin !" ujar Hong-thian-lui terkejut, "Saudara Geng, dengan alasan apa kau berani menuduh dia ?"
"Para penjahat yang menyergap kau kali ini sudah pernah kulihat sebelumnya. Malah sempat kucuri dengar pembicaraan mereka."
O^~dwkz^hendra~^O Jilid 09 "Rahasia apa ?"
"Yaitu intrik Khu Tay-seng dengan para penjahat itu untuk mencelakai jiwamu."
"Apakah benar kejadian ini?" Hong-thian-lui menegas dengan kaget.
"Kalau tidak mana mungkin aku datang tepat pada waktunya."
Hong-thian-lui menarik napas panjang, katanya menghela napas : "Tak heran kau bilang tahu orangnya tahu mukanya tak tahu hatinya. Sungguh tak nyana Khu Tay-seng melakukan perbuatan serendah itu. Tapi cara bagaimana kau mendengar pembicaraan rahasia mereka ?"
Geng Tian berkata : "Kemarin waktu aku berada di Sam ciok-kang, kawanan penjahat itu kebetulan ditempat itu juga. Aku berada dibelakang mereka, sekali pandang lantas aku tahu mereka adalah kaum persilatan, mereka tiada yang memperhatikan aku. Sam-ciok-kang apakah kau tahu tempat itu?"
"Tempat itu merupakan tiga persimpangan jalan, ada batu yang berukir menunjukkan jalan, karena lumutan, huruf huruf diatas batu itu menjadi aos dan burang tak bisa dibaca lagi."
"Benar, ditempat itulah, waktu aku hendak tanya jalan kepada orang disana, kebetulan para penjahat ini juga mencari tahu kepada seorang petani yang kebetulan lewat. Yang mereka tanya adalah alamat Lu Tang-wan Lo-sian-seng. Begitu mendengar nama tuan penolongku sudah tentu aku lantas pasang kuping."
"Kukira mereka tidak memberitahu kepada petani itu untuk urusan apa mereka mencari Lu Tang- wan bukan ?"
"Sudah tentu tidak. Namun menimbulkan rasa curigaku. Lu Tang-wan adalah tuan penolongku, untuk apa kawanan penjahat ini mencari beliau? Bila mana sahabat Lu Tang-wan syukurlah, tapi jika mereka itu musuh, tidak bisa tidak aku harus turut campur. Oleh karena itu aku lantas menguntit mereka secara diam diam. Untung jalan yang mereka tempuh harus menerobos hutan dan jalan pegunungan, dari kejauhan aku menguntit jejak mereka ternyata tidak konangan."
Hong thian lui sudah saksikan Ginkang-nya yang hebat, dengan tertawa ia berkata : "Seumpama tidak berada didalam hutan, untuk mengetahui jejakmu, mereka juga tidak mampu."
Selanjutnya Geng Tian meneruskan ceritanya : "Setelah beberapa lama, mungkin menyangka daerah itu sepi, diatas pegunungan lagi, tentu tiada orang lain, maka mereka lantas bicara sesuka hati. Salah seorang berkata : "Khu Tay-seng bocah itu apakah laporannya dapat dipercaya ?"
Seorang yang lain menyahut : "Buat apa ia membual kepada kita ? kali ini adalah kesempatan yang sukar dicari, umpama menubruk tempat kosong juga tidak menjadi soal."
Orang yang bicara duluan tadi berkata pula : "Bukan takut menyergap tempat kosong, aku kawatir Khu Tay-seng bocah itu terlalu mementingkan pribadinya sendiri, bocah she Ling ..."
Belum orang ini selesai bicara, seorang yang lain segera mencegah : "Hus, hati-hati, meskipun di sini tiada orang lain, waspadalah bila dalam hutan ada orang pasang kuping."
Orang itu tertawa, ujarnya : "Kecuali kuping angin lalu. Baiklah, kalau kau takut dicuri dengar orang, kita tak usah memperbincangkan nama orang ini."
"Hehehe, meskipun aku bukan kuping angin lalu, tapi pernah melatih ilmu mendekam ditanah mendengarkan suara jauh. Sudah tentu mereka tidak menduga akan hal ini."
"Orang she Ling yang mereka bicarakan itu pasti aku. Apa yang mereka bicarakan mengenai aku ?"
Orang itu berkata : "Bocah she Ling itu pernah membantu Lu Tang wan mengalahkan musuh besar Lian Tin-san, sehingga Lu Tang-wan tidak cidera dan mendapat malu di depan umum."
Seorang lain tertawa, katanya : "Peristiwa itu sudah menjadi berita hangat dan tersebar luas dikalangan Kangouw. Ciok-jiko apa takut kami tidak tahu seluk beluknya?"
Orang she Ciok itu buka mulut : "Justru karena peristiwa itu, maka aku merasa sangsi."
Tanya orang itu, "apa yang kau sangsikan ?"
"Aku pernah tanya seorang tamu yang tinggal beberapa hari dirumah Lu Tang-wan, katanya putri Lu Tangwan berhubungan intim dengan bocah she Ling."
Kawannya itu terbahak-bahak, ujarnya : "Ciok-jiko, memangnya kau takut terhadap perempuan kecil ? Anggap saja perempuan itu memang jatuh cinta pada bocah itu, lalu kenapa ?"
Seorang lain menimbrung : "Benar, asal usul bocah ini (suaranya sangat lirih, beberapa patah katanya tak jelas terdengar ) . . . Apa kita harus lepaskan dia ? Seumpama dia sudah menjadi menantu Lu Tang wan, kita juga harus sikat dia."
Orang she Ciok itu berkata lagi : "Aku kawatir laporan Khu Tay-seng palsu tentang asal usul bocah she Ling itu, karena ia kawatir bocah she Ling itu merebut Piaumoaynya."
Sampai di sini kawan-kawannya baru sadar, katanya : "O, sekarang aku paham Ciok-jiko, tadi kau bilang Khu Tay-seng mementingkan pribadinya, kiranya tentang soal ini. Tugas yang harus kita lakukan umpama salah gasak satu dua orang tidak menjadi soal."
Orang she Giok itu berkata : "Kalau salah gasak dua tiga orang lain sudah tentu tidak jadi soal. Tapi persahabatan Lu Tang-wan amat luas, dia tidak pernah salah atau melanggar hukum kerajaan, bila bocah she Ling itu bukan buronan yang harus kita incar, kuanjurkan kita jangan bermusuhan dengan Lu Tang-wan, kedudukan kita harus dirahasiakan, jikalau Lu Tang wan menuntut balas terhadap kita, dia bisa menuntut dengan aturan kangouw, tak mungkin kita gencet dia dengan kekuatan hukum."
Mendengar penjelasan ini, kawannya itu menjadi sangsi, mereka bertanya, "Tokko toako, bagaimana menurut pendapatmu?" Orang yang mereka panggil Tokko toako adalah Tokko Hiong itulah.
Tokko Hiong menepekur, sesaat lamanya baru menjawab : "Tidak usah gelisah, apakah benar bocah she Ling itu adalah buronan yang harus kita tangkap, cukup hanya angkat tangan saja lantas dapat kuketahui."
Kawan kawannya heran, tanyanya: "Hah, cara bagaimana kau bisa tahu?"
Sahut Tokko Hiong kalem : "Menurut apa yang kutahu, orang itu berlatih Bit-le-ciang. Meski Bit le ciang aku tidak bisa, namun aku pernah lihat."
Mendengar Tokko Hiong bisa membedakan tulen dan palsu, beramai ramai mereka berkata: "Kalau begitu melegakan. Kalau bocah itu tulen, bila kita berhasil meringkusnya, umpama Lu Tang wan tahu, apa dia berani menanggung resikonya."
Geng Tian dengan jelas menuturkan pembicaraan yang dicuri dengar itu kepada Hong-thian-lui, akhirnya ia berkata, "Hari itu mereka tidak menyebut asal usulmu, tapi aku sudah curiga. Orang she Ling yang bisa gunakan Bit le ciang ilmu warisan orang gagah digunung Liang-san, tentu adalah anak keturunan Hong-thian lui Ling Tin. Ternyata dugaanku tepat." lalu ia meneruskan lagi : "Sekarang kau mau percaya bukan bahwa Khu Tay seng bocah keparat itu hendak mencelakai jiwamu? Huh, bila tidak kupandang muka Lu-hujin, aku tidak memberi ampun padanya."
Sejenak Hong-thian lui terlongong, mendadak menghela napas panjang.
"Saudara Ling, baik baik saja kenapa mengeluh?"
"Tidak jadi soal bila Khu Tay seng hendak mencelakai aku, aku kawatir, kawatir....."
"Kau kawatir nona Lu ditipu olehnya?"
"Benar, mereka adalah Piau-heng-moay, betapapun nona Lu tidak menyangka bahwa Piaukonya seorang yang keji bermartabat rendah. Ada orang macam itu berada disampingnya, setiap hari kumpul bersama, betapa aku tidak akan kawatir."
"Bagus, apa kau ingin aku kembali melaporkan hal ini kepada mereka ibu beranak ?"
Hong thian lui geleng kepala, ujarnya: "Mana mungkin Luhujin mau percaya keteranganku? Kawatirnya dia malah anggap kau sekongkol dengan aku untuk menfitnah keponakannya. Giok yau sendiri juga belum tentu percaya, lebih baik tak usah dikatakan saja."
"Kulihat nona Lu ketarik terhadap kau, walaupun kau tidak berada disampingnya. Khu Tayseng jangan harap dapat merebutnya."
Merah muka Hong thian lui, katanya menyeringai : "Saudara Geng jangan kau berkelakar." dalam hati diam diam ia berkata, "Semoga begitulah!"
"Baiklah, nanti kami bicarakan urusan penting saja. Eh, apa pula yang tengah kau pikirkan?"
"Tokko Hiong pernah berkata bahwa mereka adalah kaki tangan In tiong-yan, aku tengah berpikir, cara bagaimana Khu Tay-seng berkenalan dengan mereka? Menurut Tokko Hiong, terang mereka kemari karena perintah In-tiong-yan untuk melawan aku." dalam hati ia membatin bila ucapan Tokko Hiong itu benar, maka peristiwa hari ini tiada hubungannya dengan Khu Tay-seng.
Geng Tian tertawa lantang, katanya: "Saudara Ling, kau seorang jujur, apakah ucapan Tokko Hiong juga kau percayai? Tapi memang ingin aku tanya kepada kau, orang macam apakah sebetulnya In-tiong-yan itu?"
Benak Hong thian lui berpikir : "Rahasia Ping-hoat karya Go Yong itu tiada halangannya kuberitahu kepada kau." lalu ia bercerita pengalamannya di Liang-san, dimana ia berjumpa dengan In-tiong-yan dan Hek-swan-hong secaca blak blakan dikisahkan kepada Geng Tian.
Geng Tian merasa hambar, katanya, "Menurut ceritamu, In-tiong yan adalah 'tuan putri' dari kerajaan Kim?"
"Menurut kabarnya, Wanyen Tiang ci, komandan Gi-lim-kun dari kerajaan Kim punya seorang putra dan seorang putri, In-tiong-yan bisa jadi adalah putri Wanyen Tiang-ci."
Mendadak Geng Tian berkata, "Bagaimana asal usul In-tiong-yan aku tidak tahu. Tapi menurut apa yang pernah kudengar, In-tiong-yan tidak seburuk apa yang kau ucapkan tadi."
"Bagaimana kau bisa tahu?" tanya Hong thian-lui melengak.
"Meskipun aku jauh berada di Kanglam namun sering ayah kedatangan para sahabatnya dari utara, menurut kisah mereka, seolah olah In-tiong-yan adalah pendekar perempuan !"
"Baik atau buruk, Hek swan hong juga tidak dapat menilainya, tapi kalau benar-benar dia seorang pendekar, kenapa dia merebut Ping-hoat karya Go Yong dan tidak serahkan kepada Hek-swan-hong ?"
"Aku sedikit curiga, berita yang didengar memang tidak harus dipercaya. Nah, soal In-tiong-yan tidak perlu dibicarakan lagi. Hek-swan hong yang kau sebut-sebut tadi rasanya ingin aku berkenalan dengan dia."
"Tempo hari Hek-swan-hong bilang hendak pergi ke Taytoh untuk mencari Liok-pangcu dari Kaypang, sekarang sudah lewat tiga bulan, mungkin dia sudah meninggalkan Taytoh menuju ketempat lain. Jejaknya tidak menentu, untuk menemuinya memang cukup sulit."
Sepanjang jalan mereka mengobrol sehingga tidak kesepian. Luka luka Hong-thian lui belum sembuh, setiap hari mereka hanya menempuh seratus li saja. Supaya tidak kepergok dengan musuh, mereka berjalan lewat pegunungan, sering tak menemukan tempat untuk menginap. Untung Hong-thian lui kekar dan tegap, bermalam ditempat terbuka sudah menjadi kebiasaannya. Apalagi ada sahabat kental mengiringi perjalanannya, meski lukanya belum sembuh seluruhnya, ia pun tidak terlalu menderita.
Hari itu mereka tidak mendapatkan tempat berteduh, padahal cuaca sudah gelap, mereka masih berada di hutan belantara, cari punya cari tiada tempat yang cocok untuk bermalam, Hong-thian lui angkat kepala celingak celinguk mencari tempat, tiba-tiba ia melihat sesuatu, katanya: "Nasib kita agak beruntung, disebelah sana ada perumahan."
Waktu Geng Tian melongok kesana, ia-pun tertawa, ujarnya: "Itulah biara kuno, tentunya sudah keropos. Coba lihat, patung Mi le hud ditengah ruang sembahyang samar samar kelihatan."
"Asal ada tempat berteduh saja, biara bobrok juga baik, dari pada ditempat terbuka."
Memasuki biara kuno itu, tampak gelagasi terbentang dimana mana, debu dan kotoran bertumpuk tebal, genteng dan atapnya sudah bobrok, demikian juga meja sembahyang juga sudah lapuk. Segera Hong thian-lui turun tangan, menyapu membersihkan tempat untuk tidur, sambil menggeliat ia berkata tertawa: "Ingin rasanya aku tidur pulas, tapi perutku sudah mulai keroncongan, marilah kita cari barang makanan dulu."
"Saudara Ling, kesehatanmu belum sembuh, selama beberapa hari ini kau cukup menderita. Biar aku memburu ayam alas atau kelinci, silakan kau tidur saja."
"Apa kau kira aku pemuda lemah yang biasa diladeni macam anak penggede ? sedang kau kerja sendirinya ?"
"Kalau kau ingin bekerja, maka tugasmu membikin api saja. Bicara terus terang, walaupun aku tidak biasa diladeni, namun pekerjaan rumah sedikitpun aku tidak mampu mengerjakan, apalagi membuat api, sering aku keselomot, muka kena abu mata kelilipan lagi setengah hari belum tentu berhasil."
Hong-thian-lui tahu Geng Tian prihatin akan kesehatannya, namun Geng Tian tidak mampu bikin api unggun memang kenyataan. Hong-thian-lui sangat haru dan terima kasih akan kebaikannya, maka ia tidak berdebat lagi. Katanya : "Baiklah kudoakan kau berhasil memburu kelinci yang gemuk-gemuk, tapi harus cepat pulang. O, ya, kantong air itu juga sudah kosong, kau harus cari sumber !"
"Soal air gampang, tadi waktu manjat gunung, aku sudah memperhatikan dibawah selokan sana ada aliran sungai."
Setelah Geng Tiang pergi, Hong thian-lui mengumpulkan dahan-dahan pohon kering, didepan ruang patung Mile-bud ia membuat api unggun, hawa dalam ruangan menjadi hangat dan keringatpun membasahi jidatnya. Sambil menunggu Geng Tian pulang ia merebahkan diri, saking kelelahan menempuh jalan jauh, tanpa merasa ia tertidur pulas.
Entah berapa lama ia tertidur, lapat-lapat terasa ada seseorang berjalan mendekat kesamping badannya, lalu terdengar suara tawa cekikikan. Lagi seorang yang pernah melatih ilmu tingkat tinggi, sedikit mendengar suara lirih saja segera terjaga dari tidurnya. Belum Hong thian-lui sempat buka mata, ia melompat bangun seraya berteriak ; "Saudara Geng Tian, kau sudah kembali !"
Setelah melontarkan ucapannya baru ia dengar tawa cekikikan yang merdu nyaring, keruan Hong-thian lui terperanjat, waktu ia membuka mata, tampak yang berdiri dihadapannya ternyata seorang gadis yang bermata bening berwajah lonjong, bukan Geng Tian seperti yang pikirannya.
Hilang rasa kantuk Hong-thian-lui, setelah tertegun sebentar mendadak ia berjingkrak bangun seraya membentak: "Bagus, aku memang ingin membuat perhitungan dengan perempuan siluman kau ini."
Ternyata gadis ini bukan lain adalah In tiong yan yang merebut Ping-hoat Karya Go Yong dipuncak liang-san itu.
Sekali raih Hong-thian-lui mencengkeram pundak orang. Dengan cekikikan ln-tiong yan mengegos kesamping, serunya tertawa; "Hong- thian-lui bukan untuk berkelahi aku mencari kau."
Hati Hong-thian lui membatin; "Dari mana dia tahu julukanku? O, benar, Tokko Hiong adalah anak buahnya, sudah tentu Khu Tay-seng memberi tahu kepada Tokko Hiong dan Tokko Hiong memberitahu padanya.''
Dendam dan penasaran berkecamuk dalam benaknya, tanpa bicara segera Hong-thian lui membentak sekeras guntur menggelegar, kedua telapak tangannya berbareng menghantam kedepan kakinya; "Kau tak mau berkelahi dengan aku, sebaliknya aku harus membuat perhitungan dengan kau."
In-tiong-yan sudah merasakan kelihayan pukulannya, insaf kalau mengadu pukulan dirinya bukan tandingan terpaksa ia mencabut pedang, segera ia lancarkan serangan yang gencar untuk memunahkan rangsekan Hong-thian lui.
Gerak-gerik Hong-thian lui kurang lincah, "sret !" tahu-tahu ujung pedang tiong-yan menusuk tiba, meskipun tersampuk miring oleh kekuatan pukulannya, namun ujung pedang itu menyamber lengan baju Hong-thian lui terpapas sebagian.
In tiong-yan melengak, batinnya: "Banyak orang bilang dia luka parah oleh pukulan Lian-tin san, agaknya memang betul. Tak heran Lwekangnya jauh mundur dibanding dulu."
Setelah memunahkan jurus rangsekan Hong-thian-lui ini, ln-tiong-yan masukkan pedang kedalam rangkanya, katanya tertawa: "Hong-thian lui, lukamu belum sembuh, kalau berkelahi kau tak bisa menyalahkan aku, lebih baik kau sabar dan dengar penjelasanku, bagaimana ?"
Hong-thian lui menjadi murka, semprotnya : "Kalau berani hayo layani aku tiga ratus jurus, jangan kau lari ! Berani kau katakan aku tidak bisa menang, hah, biar tidak bisa menang, tetap kulabrak kau."
In-tiong-yan geleng-geleng kepala, katanya : "Kau memang kasar dan berangasan, kenapa tidak bisa membedakan baik dan buruk."
"Hm, sejak lama aku sudah kenal martabatmu siluman perempuan ini. Kau masih pura pura menjadi orang baik dihadapanku!"
Ilmu pukulan Bit-le-ciang Hong thian lui sangat keras dan ampuh, walau luka-lukanya belum sembuh, namun dalam gebrak dua tiga puluh jurus, In-tiong-yan harus melayani dengan hati hati.
In-tiong-yan kembangkan kelincahan gerak tubuhnya seperti kera berloncat, maksudnya untuk menguras tenaga murni Hong-thian-lui, serunya : "Mari, kalau dilanjutkan pasti akan kecundang. Aku tidak akan bunuh kau, cukup kutampar dua kali dikanan kiri pipimu lalu lari, harap tanya apa yang dapat kau lakukan atas diriku ?"
Hong-thian lui tidak takut dihajar atau terluka, tapi bila kalau ditampar dua kali oleh 'siluman perempuan' ini, betul-betul merupakan penghinaan terbesar bagi dirinya tanpa merasa hatinya menjadi was-was dan gelisah, kawatir In-tiong-yan benar-benar melaksanakan ancamannya. Serta merta kakinya lantas menyurut mundur selangkah melancarkan Thi-so heng-kang, kedua tangan melintang didepan dada melindungi badannya.
In tiong-yan merasa longgar dan tertawa riang, katanya : "Jangan gugup, tak usah gelisah, asal kau menjawab pertanyaanku, aku tidak akan menampar pipimu. Aku hanya ingin tahu dimana kawan karibmu Hek-swan-hong sekarang berada ?"
"Untuk apa kau mencari tahu jejaknya?" jengek Hong-thian-lui dingin, "Hek swan hong adalah kesatria sejati yang gagah perwira, dia takkan kepincut kepada kau perempuan siluman ini, kunasehatkan padamu jangan kau mimpi disiang hari bolong !"
Kapan In tiong-yan pernah digoda dan diolok begitu rupa oleh orang lain tanpa merasa timbul rasa marahnya, tampak alisnya berdiri, makinya: "Kau, kau bocah goblok ini bermulut anjing yang tidak tumbuh gading !"
"Justru mulutmu yang tidak tumbuh gading! Berani kau maki aku."
In-tiong-yan menubruk maju, katanya lagi: "Bukan saja kumaki kau, akan kutampar mulutmu. Coba masih tidak berani mulutmu sembarang omong."
Hong-thian-lui menjadi keder kalau ditampar mulutnya, segera ia mundur beberapa langkah, menjaga diri tanpa berani balas menyerang.
Pukulan membela diri dikembang begitu rapat seumpama hujan badaipun takkan tembus. Dalam hati ia berpikir; "Kalau Geng toako kembali, tak perlu takut lagi menghadapi perempuan siluman ini. Huh, bila siluman perempuan ini kuringkus, pertama akan kutampar dulu mulutnya."
Permainan In tiong-yan ternyata enteng dan lincah seperti kupu kupu menari dipucuk bunga, tunjuk timur hantam barat, serang selatan menggempur utara, setiap menyerang, setiap kali terpental mundur oleh getaran angin pukulannya. Lambat laun hatinya menjadi gentar, batinnya : "Bocah ini berkelahi dengan ngotot dan membabi buta, bila aku tidak melolos pedang melukainya, dalam satu dua jam tak mungkin merobohkan dia. Tapi kalau aku melukai dia, tentu Hek-swan-hong anggap aku sebagai musuh. Apalagi luka-luka pemuda gendeng ini belum sembuh, bila kugunakan pedang untuk mengalahkan dia, kemenanganku tidak patut dibanggakan."
Entah berapa lama mereka saling labrak dan hantam, akhirnya In-tiong-yan dapat menyabarkan diri, tanyanya : "Hong thian-lui, kenapa kau benci kepada aku?''
Sebaliknya Hong-thian-lui tengah berpikir : "Kenapa Geng-toako belum lagi pulang ? Baik biar perempuan siluman ini bermain petak untuk mengulur waktu.'' Segera ia menjengek dingin, sahutnya, "Perbuatanmu sendiri masa kau tidak tahu. Hm, apa tidak pantas kubenci kau ?"
Bertaut alis In-tiong-yan, tanyanya : "Karena Ping-hoat itu kurebut bukan ? Ping-hoat itu sekarang kubawa kemari, asal kauberitahu dimana Hek-swan hong berada, aku akan kembalikan kepadanya. Atau kuserahkan kepadamu juga boleh, tapi kau harus bersumpah, bahwa Ping hoat ini akan kau serahkan kepada Hek swan hong."
Sudah tentu Hong-thian-lui tidak percaya obrolannya, katanya dingin : "Siluman perempuan, mulut manismu dapat menipu siapa? Hm, memangnya kau baik hati. Kenapa kau hendak mencelakai jiwaku ?"
In tiong-yan tertegun, tanyanya, "Tak mengerti, katamu aku hendak mencelakai kau?"
"Jangan pura pura pikun. Bukankah Tokko Hiong itu utusanmu ?"
"Tokko Hiong apa?" In-tiong-yan menegas dengan heran, "aku tak kenal orang itu, kau bilang aku mengutus dia mencelakai kau, dari mana asal mula kejadian ini?"
"Siuman busuk masih mungkir. Apakah Tokko Hiong bukan anak buahmu ?" semprot Hong thian-lui makin murka.
In tiong-yan menjadi geli melihat tingkah laku orang, katanya tertawa; "Sekali lagi kau maki aku 'siluman', aku tak sungkan lagi kepada kau. Coba kau terangkan kejadian itu secara ringkas, menurut hematku, hal ini ada latar belakang yang mencurigakan."
Mendengar jawaban orang, Hong-thian lui menjadi sangsi dan ragu-ragu, pikirnya : "Memang, bila dia ingin mencelakai aku, waktu dia datang aku sedang pulas, gampang dia mencabut jiwaku. Apa betul dalam hal ini ada latar belakang yang tersembunyi ?"
Karena curiga, Hong-thian lui senang dihadapi dengan lemah lembut dan marah kalau pakai kekerasan. ln-tiong-yan jengkel karena selalu dimaki sikapnya seperti sedang memberi nasehat lagi, sudah tentu Hong-thian-lui tetap penasaran, sebetulnya dia hendak menjelaskan peristiwa Tokko Hiong tempo hari, namun diurungkan. Pikirnya: "Aku tidak kalah bersikap lemah, bila aku bicara wajar tentu disangka takut kepadanya. Hm, walaupun ucapan Tokko Hiong tidak dapat dipercaya, apa ucapannya dapat dipercaya ? Siapa tahu sengaja dia putar balik persoalan dengan tipu muslihat lain untuk menjebak aku, jangan kau tertipu olehnya. Seumpama kututurkan peristiwa itu, diapun bisa mungkir seenak udelnya sendiri."
"Sudah kau pikir belum," desak In tiong yan. "Atau masih ingin melabrak aku lagi?"
"Benar, memang aku ingin tahu berapa tinggi ilmu silatmu, silakan kaukeluarkan ilmu simpananmu. "
Dongkol dan gemas pula In-tiong yan dibuatnya katanya: "Kau, bocah dungu, baik, disuguh arak tidak mau sebaliknya ingin dihajar, terpaksa kulabrak kau."
Pada saat itulah, terdengar suara Geng Tian bertanya dari kejauhan: "Ling toako, siapa yang sedang bicara dengan kau ?" yang digunakan Geng Tian adalah ilmu mengirim gelombang suara, orangnya masih satu li jauhnya, namun suaranya terdengar seperti dipinggir telinga, setiap patah katanya terdengar sangat jelas.
In-tiong-yan terkejut batinnya: "Orang ini bukan Hek-swan-hong, siapakah dia punya Lwekang begitu tinggi ?"
Hong-thian lui berteriak kegirangan, "Geng-toako lekas datang, siluman perempuan ini ajak aku berkelahi. Lekas datang, jangan sampai dia melarikan diri."
Disaat Hong-thian-lui berteriak kegirangan itulah mendadak In-tiong yan menyergap maju, menutuk jalan darahnya.
Dikata lambat kenyataan sangat cepat, terdengar Geng Tian berteriak: "sudah, ya, aku datang !" sebelum gema suaranya lenyap diatas pegunungan, gerak tubuhnya laksana kilat sudah berkelebat diambang pintu biara.
Dengan gaya ikan gabus meletik tiba-tiba Hong thian lui mencelat bangun seraya berteriak: "perempuan siluman, jangan lari! Mari buktikan, kau yang menampar aku atau aku yang menggampar kau !"
Padahal In-tiong-yan menutuk dengan Jhong-jiu-hoat, namun sejak kecil Hong-thian-Iui sudah digembleng hingga badannya keras dan kasar, dasar Lwekangnya jauh lebih tinggi dari In-tiong-yan, karena itu meski jalan darahnya tertutuk, rasanya cuma linu dan kesemutan, sebentar lantas hilang rasa sakitnya.
Tujuan In tiong-yan hendak menawannya untuk sandera, melihat tutukannya tidak membawa hasil ia menjadi gugup dan berpikir : "Bocah gendeng ini membenci aku, ilmu silat kawannya kelihatannya lebih tinggi dari aku, seorang gagah harus bisa melihat gelagat, dari pada diringkus dan dihina lebih baik melarikan diri saja !" sebat laksana burung walet menerobos kerai, ia melesat lewat jendela samping.
Melihat gerak-gerik In tiong-yan lincah dan sebat Geng Tian juga bercekat hatinya, dengan tangkas ia letakkan kantong air dan dua kelinci buruannya diatas tanah serta bertanya : "Ling-toako, apakah nona itu yang bernama In-tiong-yan ?"
Hong-thian-lui berseru gugup : "Benar, lekas kejar jangan lepaskan dia."
"Jangan kawatir, dia tak bisa lari!" begitu memutar tubuh laksana bayangan mengikuti bentuknya, ia mengejar keluar jendela.
Biasanya In-tiong-yan membanggakan Ginkangnya, mendengar perkataan Geng Tian, jengkel hatinya, katanya : "Baik, boleh kita berlomba, coba Ginkang siapa lebih unggul.'' Setelah meletakkan kantong air dan kedua kelinci buruannya baru Geng Tian mengejar, tatkala itu In-tiong-yan sudah menerobos hutan lebat, Geng Tian tidak melihat bayangannya.
Sudah tentu In-tiong yan tidak mau mengendorkan langkahnya entah berapa jauh ia berlari dengan kencang, namun Geng Tian tidak mengejar, dalam hati ia membatin : "Mungkin dia kehilangan arah dan tidak tahu dimana aku sekarang, mana mampu mengejar aku. Tapi aku datang dengan tujuan tertentu, maksudku menjadi gagal total, seumpama menang juga tiada artinya."
Baru lenyap pikirannya, mendadak terdengar suara Geng Tian bicara dipinggir kupingnya : "Ginkang hebat, memang tidak kosong julukan In tiong-yan."
In tiong yan berjingkrak kaget, waktu ia menoleh, tampak Geng Tian menerobos keluar dari hutan. Kecepatan gerak tubuhnya sungguh sukar dilukiskan. In tiong yan hanya merasa angin berkesiur dan segulung bayangan putih lewat disampingnya. Waktu ia menoleh Geng Tian sudah memutar tubuh menghadang di depannya.
Sambil kertak gigi In-tiong-yan berseru: "Baik, mari kujajal ilmu pedangmu !" sembari bicara kakinya tidak berhenti, tiba-tiba pedang sudah dilolos melancarkan serangan, ilmu pedangnya telengas, lincah dan tangkas sekali, boleh dikata latihannya sudah sempurna, serangan dapat dilancarkan sesuka hati.
Geng Tian berseru memuji lagi, pelan-pelan kipasnya menindih terus didorong ke samping seraya berkata : "Aku bukan ahli pedang, terpaksa tidak bertanding pedang dengan nona. Biar kulayani saja dengan kipasku ini !"
Seperti acuh tak acuh kipasnya menyampok dan menyontek, gampang ia tangkis pedang Ceng-kong kiam In-tiong-yan kesamping. Bergerak belakang namun tiba lebih dulu, dibanding In-tiong yan gerakannya tiga bagian lebih cepat.
Diam-diam mengeluh benak In-tiong-yan pikirnya : "Tak nyana kebentur lawan tangguh lagi. Ginkang orang ini lebih tinggi dari aku, lari terang tak mungkin, kali ini aku meski celaka."
Geng Tian sengaja perhatikan permainan ilmu pedangnya, setelah gebrak tiga lima puluh jurus, permainan lawan sangat ganjil dan beraneka ragam perubahannya, jauh berbeda dengan ilmu pedang semua golongan dari Tiong-goan. Tapi ada beberapa jurus diantaranya memang mirip, lambat laun hatinya heran dan curiga. Sekonyong-konyong teringat olehnya seorang, dalam hati ia membatin : "Coba kupancing dia."
Puluhan jurus lagi, mendadak Geng Tian bertanya : "Apa hubunganmu dengan Tiang-hui Sutay dari Long sia-san ?"
Diam-diam ia perhatikan air mukanya tampak In-tiong-yan seperti tertegun, namun tangan kakinya tidak kendor, sahutnya : "Sutay atau Su-koh apa ? Selama hidup belum pernah aku masuk biara Hwesio atau kelenteng Hikoh."
Geng Tian sulit meraba, semakin tebal curiganya, tiba-tiba sengaja ia membuat lobang kelemahan gerak permainannya, memancing In-tiong-yan menggunakan Giok-li to-soh (gadis rupawan merajut), ujung pedangnya menusuk dan berhasil memapas ujung lengan bajunya.
In-tiong-yan menjadi girang, serunya : "Kau sudah kalah satu jurus, apa masih mau bertanding lagi ?"
Menurut aturan pertandingan silat umumnya, bila tingkat sejajar dan tak punya dendam kesumat, cukup kalah sejurus harus mengakui kalah. In-tiong-yan kawatir bila pertempuran dilanjutkan tentu dirinya tak mampu mengalahkan musuh. Maka segera ia tonjolkan aturan Kangouw untuk mendesak musuh menyerah kalah.
Geng Tian bergelak tawa, ujarnya, "Ilmu pedang nona memang hebat, aku sungguh kagum, pertarungan tidak perlu dilanjutkan lagi. Tusuk kondai pualam ini, kukembalikan kepada nona."
Ternyata waktu In-tiong-yan berhasil memapas ujung lengan bajunya, iapun berhasil mencabut tusuk kondai yang terselip disanggul kepala In tiong-yan. Waktu menerima kembali tusuk kondainya merah jengah selembar muka In tiong-yan.
Kata Geng Tian tertawa; "Tanpa berkelahi kami tidak bakal kenal, sudi kau jelaskan asal usulmu?"
"Apakah kau sahabat baik Hong-thian-lui?'' tanya In-tiong-yan.
"Belum lama kenal dengan Ling Tiat-wi namun boleh dikata sebagai sahabat kental."
"Jikalau kalian sahabat kental, pasti dia sudah ceritakan kepadamu, yang macam apa aku sebetulnya?"
"Memang dia pernah menyinggung dirimu, katanya beberapa bulan yang lalu dia beruntung dapat bertemu dengan kau di Liang san. Tapi orang macam apa sebenarnya nona, menurut hematku dia belum tahu dengan jelas."
"Beruntung?" jengek In-tiong-yan dingin, "waktu itu hampir saja dia memaksa aku mandi dalam telaga. Tapi aku juga bingung setiap buka mulut Hong-thian-lui maki aku siluman perempuan, kenapa sebaliknya kau mau bersahabat dengan aku? Bukankah kalian sahabat kental yang sehaluan?"
"Watak Ling-toako polos, kukira dia salah paham terhadap nona."
"Jadi kau percaya bahwa aku ini orang baik?"
"Meski baru sekarang aku berhadapan dengan nona, nama besar nona sebetulnya sudah lama kudengar.''
In-tiong yan tertawa cekikikan, katanya sambil mendekap mulut; "Sudah lama dengar apa, kau tahu ucapanmu menunjukkan bahwa kau sedang membual?"
"Lho kenapa membual?"
"Bukankah nama besarku kau dengar dari mulut Hong-thian-lui? Baru saja kau mengatakan belum lama kenal dengan Hong-thian-lui, kenapa bisa kau bilang, sudah lama kenal namaku?"
"Dugaanmu salah, nama besarmu sudah lama kudengar waktu aku masih berada di Kanglam."
"O, jadi nama besarmu sudah tersiar ke Kanglam?"
"Kalau tidak, mana mungkin aku tahu bahwa nona adalah pendekar perempuan?"
"Pendekar perempuan?" In tiong yan menyengir, "Apakah tidak terlalu mengagulkan diriku. Kalau tidak dimaki 'siluman perempuan' saja aku sudah berterima kasih."
"Terhadap orang yang belum kenal pribadi nona, kau tidak perlu marah terhadapnya."
"Mendengar nadamu, seolah-olah kau tahu orang macam apa aku ini sebetulnya?"
"Kaum persilatan di Kanglam mungkin tiada yang kenal nona. Tapi ada seorang, walaupun nona tidak kenal dia, tapi kau tentu pernah dengar namanya? Kalau rekaanku tidak salah, orang macam apa nona, aku tahu sedikit seluk beluknya."
In tiong yan melenggong, kedua biji matanya menatap Geng Tian, tanyanya : "Siapa yang kau maksud?"
Pelan pelan Geng Tian berkata : "Li Sulam Bu lim bengcu di Kanglam."
Terkejut ln tiong yan, tak tertahan mulutnya bertanya : "kaukenal Li Sulam Tayhiap?" pertanyaannya ini secara langsung mengakui bahwa dia kenal Li Su lam, asal usulnya sudah ditonjolkan pula diluar sadarnya. Diam-diam Geng Tian berpikir : "Dugaanku ternyata tepat, ternyata dia bukan orang Han, juga bukan bangsa Nachen (Kim), tapi adalah perempuan gagah dari Mongol."
Setelah berhasil menyelidik asal usul In-tiong-yan, Geng Tian berkata tertawa : "Bukan saja aku kenal Li Su lam Tayhiap, akupun tahu beliau punya tiga sahabat kental di Mongol."
"O, siapa ketiga orang itu?"
"Dua orang pertama adalah Busu Mongol yang kenamaan, yaitu Akai suami istri. Sedang orang ketiga kedudukannya jauh lebih agung, dia bukan lain adalah putri kesayangan Jengis Khan yang terkecil yaitu Ming hui Kongcu.''
Melihat orang bicara serius dan yakin asal usul dirinya sudah terbongkar, maka In tiong yan tersenyum manis : "Tuan putri yang kau maksud bukan lain adalah Bibiku."
Ternyata In tiong yan adalah cucu Jengis Khan, yaitu putri Cahatai putra kedua Jengis Khan. Nama aslinya dalam bahasa Mongol adalah Pilelnya, nama junjungannya adalah Pile Kongcu.
Setelah Jengis Khan wafat, dalam perebutan kedudukan Khan agung, Cahatai dikalahkan adiknya Ogotai, beberapa tahun kemudian dalam suatu pertempuran dibenua barat Cahatai tewas dimedan perang. Dia tidak punya anak laki laki, hanya punya keturunan Pile Kongcu saja sebagai anak yatim.
Ogotai sudah kebacut benci dan dendam terhadap ayahnya, maka sikapnyapun dingin dan menelantarkan Pile Kongcu. Tapi sikapnya ini malah memberi kebebasan yang menguntungkan bagi Pile Kongcu, tidak terkekang oleh peraturan adat istiadat bangsawan, bebas laksana burung terbang diangkasa, bebas ke setiap pelosok daerah Mongol.
Semestinya Putri Ming-hui sudah dijodohkan dengan seorang Pangeran salah suatu suku Mongol, namun yang dia cintai adalah Li Su-lam. Waktu putra-putra Jengis Khan memperebutkan kedudukan Khan agung, Dulai putra keempat berpihak kepada Ogotai, sedang calon suami putri Ming hui yaitu Pangeran Tin-kok berpihak kepada Cahatai. Dulai sebagai panglima tertinggi yang pegang tampuk pimpinan angkatan perang, pangeran Tin-kok juga memimpin sepasukan tentara yang paling kuat dan paling dibanggakan. Sudah lama Dulai berusaha merebut kekuasaan kemiliteran ini, maka dalam suatu kesempatan secara licik ia berhasil menjebak dan membunuh pangeran Tin-kok.
Setelah patah hati dan gagal berumah tangga putri Ming hui putus asa lalu kembali ke negerinya bersama Akai suami istri, mereka menggembala ternak dan hidup sederhana. Betapapun tidak mau menetap di ibu kota Holia. Hubungan persaudaraan hanya Dulai yang paling dekat dengan dia, susah payah Dulai membujuknya namun tak berhasil saking kewalahan, ia umbar saja kehendak adik perempuannya yang terkecil dan suka dimanjakan itu. Memandang muka Dulai maka Ogotai juga memberi kelonggaran kepada adik perempuannya yang bandel ini.
ln-tiong-yan bernasib sama dengan putri Ming hui, maka antara bibi dan keponakan ini terjalin hubungan yang amat dekat. Setiap kali In tiong-yan bolos dari Holin yang dituju tentu tempat tinggal putri Ming hui.
Waktu masih muda putri Ming-hui pernah meluruk ke Tionggoan mencari Li Sulam, ia sering belajar silat dari para Busu ayahnya, waktu di Tionggoan ia diangkat murid oleh Ting hui Suthay dari Long-sia-san, dia mewarisi ilmu silat tingkat tinggi, setelah latihan dua puluhan tahun, sudah tentu kepandaiannya makin tinggi dan hebat.
Seluruh kepandaian putri Ming-hui diwariskan kepada In-tiong-yan pula, karena itu meski In tiong-yan belum pernah ketemu Ting hai Suthay, namun secara tidak langsung ia telah mewarisi kepandaian aliran Ting hai Suthay. Waktu melawan permainan pedang In tiong yan ternyata mencakup ilmu pedang Ting hai Suthay, maka Geng Tian berhasil menyelidiki asal usulnya.
Dasar cerdik dan berbakat pula In-tiong-yan berhasil mencangkok seluruh pelajaran putri Ming-hui, bibinya sering mengisahkan pengalamannya diwaktu muda, betapa luas dan subur Tionggoan, yang lebih menarik perhatiannya adalah kaum persilatan Tionggoan yang punya kepandaian lihay dan mengagumkan. Waktu usianya genap sembilan belas, ia mohon kepada pamannya, yaitu Dulai supaya diberi ijin mengembara ke Tionggoan.
Tatkala itu Dulai baru kembali memimpin bala tentaranya dari benua Eropa, kekuatan militernya sangat besar dan jaya, besar ambisinya untuk menelan kerajaan Kim dan menumpas Kerajaan Song selatan, merealisasikan ambisi Jengis Khan sesuai semboyannya diwaktu hidup menjadikan dunia ini sebagai padang gembala bangsa Mongol. Tapi rencananya belum matang, mana belum sempat mengerahkan pasukan, namun juga soal waktu belaka.
Dalam menghadapi In-tiong-yan, sikap Dulai berbeda dengan engkohnya yang menjabat Khan besar yaitu Ogotai menghina dan selalu mencercah In-tiong yan, sebaliknya Dulai sangat sayang dan kasihan serta membimbingnya.
Dulai tahu keponakan perempuan ini cerdik pandai, kepandaian silatnya tinggi pula, begitu In-tiong yan mengajukan permohonan, ia memberikan restu. Tapi dia bekali In tiong-yan tugas rahasia demi kepentingannya untuk menyerbu ke Tionggoan kelak.
Katanya: "Kuizinkan kau pergi ke Tionggoan, kuberi kebebasan pula kepada kau terserah kapan kau ingin pulang, bermainlah sepuas hatimu. Tapi kau tidak boleh dolan asal dolan saja, kau harus waspada dan hati hati, perhatikan situasi kerajaan Kim. Bila ada kesempatan boleh kau bersahabat dengan orang-orang Kangouw, cari tahu diantara para pahlawan gagah bangsa Han siapa yang ada harapan dalam pergerakan melawan penjajah bangsa Kim. Tugasmu ini kelak banyak membantu invasi pasukan kita keselatan. Setiap waktu bila perlu akan kukirim seorang kurir untuk mencari hubungan dengan kau !" Ternyata Dulai rencana jangka panjang, secara diam-diam ia sudah mengirim banyak spion dan intelnya keberbagai negara, diantaranya kerajaan Kim dan kerajaan Song selatan. Sudah tentu bukan melulu In-tiong yan saja yang dibebani tugas penting ini.
In-tiong-yan kagum dan ingin bersahabat langsung dengan kaum persilatan di Tionggoan, sudah tentu izin Dulai menjadikan cita-cita dan harapannya terkabul, apalagi diberi kebebasan sepuas hati. Disamping itu karena sejak kecil ia sudah kematian ayahnya, ia anggap Dulai seperti ayahnya sendiri sudah tentu segala petunjuk dan perintahnya dia tidak berani dibangkang, sebab yang ketiga karena usianya masih muda belia, sejak kecil nyalinya amat besar, suka menyerempet bahaya, terasa olehnya tugas yang dibebankan ini cukup menyenangkan maka ia terima tugas tanpa banyak pikir.
Setelah berada di Tionggoan ia pernah bicara dengan petani atau rakyat jelata, dalam percakapan beberapa kali itu, dia menyimpulkan bahwa orang Han sangat benci terhadap bangsa Kim yang menjajah mereka, namun terhadap bangsa Mongol yang siap agresi keselatan juga takut dan membencinya pula. Rakyat jelata saja begitu, apalagi para patriot gagah bangsa Han tak perlu dikatakan lagi.
Selama ini ia merahasiakan asal usulnya, selama dua tahun ia melakukan pekerjaan besar yang menggemparkan kalangan persilatan di Tionggoan. Tapi dia gagal bersahabat dengan tokoh-tokoh persilatan. Sampai tahap terakhir, tokoh Kangouw yang membuat hatinya kagum dan takluk juga hanya Hek-swan-hong saja.
Waktu itu ia berhasil merebut Ping-hoat karya Go Yong sebetulnya merupakan hasil kerja yang paling sukses, namun setelah kejadian itu ia berpikir dan meresapinya kembali, mungkin Hek-swan-hong anggap dirinya sebagai musuh, tanpa merasa hatinya menjadi rawan dan murung.
Itulah sebabnya kenapa dia mencari tahu jejak Hek-swan-hong kepada Hong thian lui. Sungguh diluar dugaannya selain Hong-thian-lui kini ia bertemu lagi dengan Geng Tian, Geng Tian justru mengetahui asal usulnya.
Setelah mendengar orang memperkenalkan riwayatnya, walau Geng Tian sudah mengetahui asal usulnya, tak urung ia terkejut juga, ia berkata dengan tertawa : "Maaf ! maaf ! Ternyata nona adalah tuan putri, orang she Geng berlaku kurang hormat!"
Merah muka In-tiong-yan, katanya : "Apa kau tidak anggap aku sebagai musuh ?"
Geng Tian berkata dengan sungguh-sungguh: "Kita bangsa Han hanya membenci musuh yang menjajah dan menindas rakyat, tak peduli dia penjajah bangsa Nuchen atau bangsa Mongol. Demikian juga tak peduli dia seorang bangsa Nuchen atau bangsa Mongol, asal rela dan mau bersahabat dengan bangsa Han kita, kita tentu tidak anggap dia sebagai musuh. Bukankah bibimu Ming-hui Kongcu dulu bersahabat dengan Li-bengcu? Kapan kita pernah memusuhi dia?''
Merah jengah muka In tiong yan, hatinya menyesal, pikirnya: "Mana dia tahu bahwa lain bibi lain aku, dulu waktu bibi datang ke Tionggoan, dia berdiri dipihak bangsa Han kalian, sebaliknya aku sekarang membekal tugas rahasia dari paman. Meskipun secara kenyataan pertempuran terbuka belum pernah terjadi, betapapun kelak akan terjadi tinggal menunggu waktu saja!"


Si Angin Puyuh Si Tangan Kilat Hong In Lui Tian Karya Gan Kh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Melihat orang terpekur, Geng Tian berkata pula tertawa: "Apa nona tidak percaya ucapanku?"
"O, ya, aku masih belum belajar kenal dengan she dan namamu yang terhormat." setelah Geng Tian memperkenalkan diri ia melanjutkan: "Geng-kongcu, aku kawatir sahabat itu yang tidak percaya kepada aku, dia menuduh aku mengutus Tokko Hiong untuk mencelakai dia, entah bagaimana kejadian sebenarnya?"
"Tokko Hiong dan para begundalnya mengaku anak buah yang kau utus untuk mencelakai dirinya." secara ringkas Geng Tian ceritakan kejadian Hong-thian-lui disergap kawanan penjahat kepada In-tiong yan.
"Kawanan penjahat itu pernah dihajar oleh Hek-swan-hong, jikalau aku hendak mencelakai Hong-thian-lui kenapa aku mengutus gentong nasi itu."
"Untuk persoalan ini aku akan memberi penjelasan kepadanya, legakan saja hatimu. Nona In maukah kau kembali menemui dia?"
"Aku . . . . aku....." ragu-ragu dalam hati kecilnya ia membatin: "Urusan ini gampang dibikin terang, namun persoalan Ping-hoat itu bagaimana aku harus memberi penjelasan kepadanya ?"
Sudah dua kali ia gebrak dengan Hong-thian lui, watak kasar Hong-thian-lui sudah sangat dikenalnya, meski Ping-hoat dikembalikan kepadanya tentu urusan masih berbuntut panjang, satu pertanyaan yang sulit dijawab pasti akan dihadapi yaitu kenapa kau membawa lari Ping-hoat itu? Sebaliknya Geng Tian sudah tahu riwayatnya, apakah dia tidak curiga ? Bahwasanya dia sudah menjiplak Ping-hoat itu dalam buku lain yang bentuknya sama dan disimpan pada suatu tempat, kelak akan dipersembahkan kepada Dulai.
"Adakah persoalan lain yang belum melegakan hati nona ?"
"Geng-kongcu, apakah Hek-swan-hong juga kenalanmu ?"
"Pernah kudengar namanya dari Hong-thian-lui, aku sangat takjup padanya, sayang belum ada kesempatan aku bertemu dengan dia."
Diam-diam In tiong yan menerawang : "Urusan ini menyangkut rahasia yang sangat penting, meski orang she Geng ini pintar bicara, betapa baru kenal, mana boleh percaya begitu saja?"
Tergerak hati Geng Tian, katanya: "Apakah nona ingin memberi kabar kepada Hek-swan-hong supaya kami sampaikan ?" samar samar ia meraba maksud In-tiong-yan, dalam hati ia membatin; "Dia berhasil merebut Ping-hoat itu, tentu ada latar belakang yang tersembunyi, apakah karena sebab itu maka dia mencari tahu jejak Hek-swan-hong dari Hong-thian lui, supaya kelak ia mencari Hek swan-hong dengan mudah.''
Dugaan Geng Tian tepat, tapi juga hanya benar separo, In tiong-yan hendak memberi penjelasan kepada Hek-swan-hong dan tujuan yang utama adalah hendak mengembalikan Ping-hoat itu kepada Hek-swan-hong. Waktu Hong thian lui menolak memberi tahu jejak Hek-swan-hong tadi ia sudah menyatakan hendak menyerahkan Ping hoat itu kepada Hong-thian-lui supaya disampaikan kepada Hek-swan-hong. Sayang Hong-thian-lui tidak percaya ketulusan hatinya.
Gelisah hati In-tiong-yan, pikirnya : "Watak Hong-thian lui polos tapi berangasan, sayang dia tidak percaya kepada aku, tapi percaya padanya. Meski orang ini sahabat karib Hong thian-lui, belum tentu sehaluan, jangan aku gegabah percaya begitu saja. Apakah aku harus memberi tahu persoalan ini kepadanya ?"
Pikir punya pikir akhirnya ia mendapat akal, katanya : "Apa kau tahu dimana sekarang Hek-swan-hong ?"
"Menurut Ling Tiat-wi, waktu Hek-swan-hong berpisah dengan dia bilang hendak ke Taytoh. Tapi jejaknya sangat rahasia dan sukar dilacak, apakah dia sudah tiba di Taytoh atau sudah kelain tempat, sukar aku memberi keterangan."
"Apakah kau tahu alamatnya di Taytoh?" Geng Tian geleng-geleng kepala, katanya: "LingTiat-wi tidak memberi tahu, entah dia tahu atau tidak."
"Kalau begitu cara bagaimana kau akan menyampaikan beritaku kepadanya?"
"Di Taytoh kami punya beberapa kawan karib, mungkin dari mereka kami dapat mencari jejak Hek-swan hong." yang dimaksud oleh Geng Tian adalah Pangcu Kaypang Liok Kun-lun dan seorang Piausu dari Hou-wi Piaukiok yang sudah lama tinggal di kotaraja kerajaan Kim itu.
"Baiklah, bila kelak kau bertemu dengan Hek-swan hong, tolong sampaikan kepadanya, katakan supaya dia ke puncak Giok-hong di gunung Thay-san pada malam Goan-siau tahun depan, kuminta hanya dia seorang saja."
Tatkala itu adalah pertengahan bulan sepuluh jadi masih tiga bulan lagi hari Goan-siau ditahun depan. In tiong-yan sudah berkeputusan untuk menuju ke Taytoh mencari Hek-swan-hong, seumpama tidak berhasil juga masih ada harapan oleh bantuan Geng Tian. Besar harapannya Hong-thian-lui dan Geng Tian bisa bertemu dan menyampaikan kabarnya. Jangka waktu dua bulan cukup untuk perjalanan ke Taytoh lalu pergi ke puncak Thay san.
"Baik, sekuat tenaga akan kami bantu urus soal ini. Nona masih punya pesan apa lagi?"
Tiba-tiba muncul dua ekor kuda mencongklang pesat mendatangi, walaupun malam ada bulan, namun dialam pegunungan yang belukar ini, muncul orang berkuda betapapun sangat mencurigakan. Sudah tentu Geng Tian terkejut dan was was. Yang lebih mengherankan lagi kedua ekor kuda itu lari kencang, namun tiada terdengar derap langkahnya.
Ayah Geng Tian seorang perwira tinggi, dalam pasukannya banyak terdapat kuda kuda bagus, tapi kuda sehebat dan segesit ini jarang dilihat olehnya. Keruan ia terkejut, waktu ia angkat kepala, dalam sekejap mata kedua ekor kuda itu sudah tiba dihadapan mereka. Baru sekarang Geng Tian paham duduk perkaranya, kenapa derap kuda tidak begitu keras seperti lari kuda umumnya, ternyata kaki kedua kuda itu terbungkus kain sutra tebal.
Penunggang kuda adalah dua orang Busu, Geng Tian kenal seragam yang dikenakan kedua Busu ini adalah seragam Gi-lim-kun kerajaan Kim.
Sudah tentu bertambah kejut hati Geng Tian, baru saja ia hendak turun tangan, kedua Busu itu sudah lompat turun dari atas kuda terus menjura hormat kepada In-tiong-yan.
In tiong yan tertawa, katanya : "Geng-kongcu tak usah curiga dan kaget, kedua orang ini adalah anak buahku. Mereka menyamar sebagai Busu kerajaan Kim!''
Baru Geng Tian tahu bahwa mereka bangsa Mongol, mungkin karena berada di wilayah kerajaan Kim, demi kebebasan gerak mereka maka menyamar jadi Busu kerajaan Kim. Dalam hati ia berpikir : "Untung aku tidak berlaku semberono, entah apa maksud kedatangan kedua orang ini, In-tiong-yan yang mengundang mereka ? Atau mereka sendiri yang kemari mencari In-tiong yan ? Menurut lazimnya ia ingin bersahabat dengan Ling Tiat-wi, kenapa dia undang pula anak buahnya kemari." maka timbul rasa curiganya kepada In-tiong yan.
Kedua Busu itu berceloteh panjang lebar kepada In-tiong-yan, Geng Tian tidak tahu apa yang mereka bicarakan, tapi raut muka In-tiong yan kelihatan makin membeku, perasaannya juga seperti tertekan, seolah olah menghadapi persoalan yang sukar mengambil keputusan.
In tiong-yan mengucap beberapa patah kata bahasa Mongol, kedua Busu itu geleng-geleng kepala, lalu menjura kepada In-tiong-yan, agaknya mereka memohon sesuatu kepada In tiong-yan, sebaliknya In tiong-yan tidak mau terima maka mereka meminta-minta.
Akhirnya In-tiong-yan menghela napas panjang, berpaling kebelakang ia berkata kepada Geng Tian : "Mereka minta aku segera pulang, tiada waktu mengobrol dengan kau. Tapi aku tetap akan ke Thay-san menepati janjiku dengan Hek-swan hong di puncak Giok hong pada malam Goan siau nanti, harap kau tidak lupa menyampaikan undanganku ini kepadanya," bergegas ia melompat naik keatas kuda terus dibedal kencang. Kedua Busu itu menunggang seekor kuda yang lain mengejar dengan kencang pula.
Geng Tian berpikir: "Tiga bulan lagi dia akan ke Thay san, tentu takkan kembali ke Mongol. Kedatangan putri Ming-hui ke Tionggoan dulu melarikan diri karena dipaksa kawin, keadaan In tiong yan agaknya berbeda dengan putri Ming hui dulu. Tak heran Ling toako tidak percaya kepadanya meski dia dipuji sebagai pendekar perempuan, betapapun sepak terjangnya amat misterius. Tapi, aku tidak peduli urusan tetek bengek, yang penting sekarang aku harus cepat pulang menemui Ling toako, tentu dia gelisah menanti kedatanganku."
Setelah berada di kaki gunung, In tiong yan memperlambat lari kudanya, dengan perasaan kurang tentram ia bertanya: "Cara bagaimana paman Dulai tahu bahwa aku berhasil merebut Ping hoat itu?"
Salah seorang Busu yang berusia lebih tua menjawab; "Ji cengcu dari Ciok-keh-ceng di Tay-tong-hu dalam wilayah San-say yang bernama Ciok Goan adalah orang kita. Dia hadir dalam pertemuan dikarang kepala harimau dipuncak Liang-san dan dilukai Hek swan-hong. Tapi untung lukanya tidak berat, mendekam dalam belukar daun welingi, ia mengintip bocah kulit hitam itu rebutan Ping-hoat dengan kau. Pile-kongcu, berkat kecerdikanmu sehingga berhasil merebut Ping-hoat itu, sungguh kami sangat kagum kepadamu."
In-tiong-yan tertawa getir, katanya: "Tak heran begitu cepat paman dapat berita. Jadi kalian juga suruh orang menguntit pemuda hitam itu."
Busu yang tua itu menjawab: "Bocah hitam itu harus diawasi. Kita berjumlah empat orang Umong dan Cohaptoh mungkin sudah meluruk ke biara bobrok itu."
Bercekat hati In-tiong yan pikirnya; "Umong adalah murid besar Liong-siang Hoa-tong, ilmu Liong-siang kang sudah diyakinkan sampai tingkat ketujuh, Cohaptoh adalah jago gulat kelas tinggi dari negeri kita, Hong-thian-lui dalam keadaan lemah karena penyakitnya belum sembuh, mana kuat melawan sergapan mereka? Kecuali Geng Tian memburu tiba tepat pada waktunya tapi bila Geng Tian berhasil melukai mereka tentu paman Dulai akan mencari tahu kepada aku." Ternyata ia menerangkan kepada Busu itu bahwa Geng Tian adalah sahabatnya, maka kedua Busu itu tidak cari perkara kepada Geng Tian.
Busu yang lebih tua bertanya lagi; "Apakah tuan putri pernah bergebrak dengan bocah kulit hitam itu?"
"Benar ilmu silat bocah itu cukup lihay aku kewalahan menghadapinya."
Busu yang lebih muda menimbrung dengan tertawa: "Betapapun tinggi dan lihay ilmu silat bocan itu, dia takkan lolos dari cengkeraman Umong dan Cohaptoh. Nanti setelah bocah itu diringkus tuan putri bisa melampiaskan sakit hati padanya."
Busu lebih tua agak curiga, tanyanya : "Pemuda sahabatmu itu bergaul dengan bocah hitam itu, apakah mereka kawan sehaluan?"
"Aku tidak tahu. Mereka bergaul tapi sebelumnya belum tentu kenal satu sama lainnya !"
Busu itu berkata lagi : "Tuan putri, bagaimana kau berkenalan dengan pemuda she Geng itu?"
In-tiong-yan tertawa, katanya : "Sudah dua tahun aku berada di Tionggoan, tokoh-tokoh Kangouw ternama sudah ada yang kukenal beberapa orang." tentang pertanyaan 'bagaimana kau kenal pemuda she Geng' ia jawab samar-samar dengan beberapa patah kata. Sudah tentu kedua Busu itu tidak berani banyak tanya lagi. Maklum In-tiong-yan adalah tuan putri, duta rahasia yang diutus langsung oleh Dulai. Menurut undang-undang spionase, tanpa mandat atasannya, dilarang menyelidiki rahasia kawan sejawat. Kedua Busu ini adalah anggota Busu kemah mas yang langsung diasuh Dulai, kedudukannya cukup tinggi, tapi dibanding tuan putri betapapun masih terpaut jauh.
Selanjutnya In tiong yan berkata : "Waktu aku datang, paman ada pesan, bila ada kesempatan aku harus bergaul dan bersahabat dengan berbagai tokoh-tokoh kosen dari segala aliran. Bicara terus terang, bukan aku gentar menghadapi ilmu silat bocah muka hitam itu, tujuanku hendak menggaet dia dan menarik kepihak kita. Sayang bocah itu tidak terima uluran tanganku, namun aku masih akan berusaha sekuat tenaga."
Busu yang lebih tua berkata : "Tuan putri memang cerdik dan punya perhitungan matang, pandangan Koksu juga sama. Koksu pernah berpesan kepada Umong dan Cohaptoh supaya tidak mencelakai bocah hitam."
In tiong yan tersentak kaget, serunya : "Apakah Koksu juga sudah berada di Tionggoan ?"
Ternyata Koksu (imam negara) Mongol yang bernama Liong siang Hoa tong adalah tokoh kosen nomer satu diseluruh Mongol, puluhan tahun yang lalu pernah dikalahkan oleh guru Li Su lam, sejak itu tidak pernah muncul lagi didaerah Tionggoan. In-tiong yan tahu bahwa Koksu ini tengah menggembleng diri meyakinkan ilmu sakti yang lihay, mungkin sekarang sudah berhasil dan sempurna ilmunya itu, maka berani meluruk lagi.
Busu yang lebih tua itu lebih banyak bicara: "Memang, justru Koksulah yang menyuruh kami menyambut tuan putri."
"Dimana Koksu sekarang?"
"Beliau tinggal dirumah orang she Lou di Yo-ka-thong, orang ini adalah saudara angkat Ciok Goan.'' demikian Busu yang lebih muda memberi penjelasan.
Busu yang lebih tua menerangkan : "Goan-swe tahu bahwa tuan putri masih ingin kelana lebih lama didaerah Tionggoan, maka beliau lantas mengutus Koksu kemari. Tuan putri jika Ping-hoat itu kau serahkan kepada Koksu, maka tak perlu kau pulang ke Holin."
Jarak Yo ka-thong kira-kira dua hari perjalanan dari tempat mereka berada sekarang. In tiong yan menjadi serba sulit, diam diam ia berpikir, "Bila aku menyerahkan Ping hoat kepada Koksu, bagaimana aku harus bertanggung jawab kepada Hek swan hong. Memang aku punya tiruan yang lain dan bisa kuserahkan kepada Hek swan hong, umpama perbuatanku dapat mengelabuhi matanya, betapapun kesalahan ini akan selalu menggugah batinku." Menyerahkan duplikat Ping hoat itu kepada Hek swan hong sebetulnya adalah rencananya semula, tapi setelah hari ini ia bertemu dengan Hong thian lui dan Geng Tian, haluan pikirannya menjadi berobah. Dia insaf bila ia kirim Ping-hoat itu ke negerinya, entah yang dikirim itu asli atau duplikatnya, bila diketahui Hek swan hong, betapapun orang takkan memaafkan perbuatannya. Apalagi cepat atau lambat perbuatannya pasti diketahui Hek swan-hong, sebab menurut rencana Dulai, setelah mencaplok kerajaan Kim gerak selanjutnya adalah menelan kerajaan Song selatan, pada waktu itu dia pasti menggunakan taktik perang yang termuat dalam Ping hoat itu untuk menggempur Song selatan.
"Dua hari lagi aku bakal bertemu dengan Koksu, jangan waktu dua hari saja, untuk mencari orang diajak berunding amat sukar, bagaimana baiknya ?" demikian In tiong-yan menerawang dalam hati.
Busu yang lebih tua bicara lagi: "Koksu sudah mendapat tahu, bocah hitam itu bernama Ling Tiat-wi, julukannya Hong thian-lui, keturunan murni salah seorang pahlawan gagah gunung Liang-san. Banyak paman dan para saudaranya adalah tokoh tokoh patriot gagah ini, bila dapat membekuk dia, tentu besar manfaatnya bagi kita."
Justru soal inilah yang dikawatirkan oleh In tiong yan. "Semoga Geng Tian tiba tepat pada waktunya," demikian pikir In tiong yan, "Lebih baik Geng Tian melukai Umong, kelak aku bisa memberi penjelasan kepada paman, pasti paman percaya kepadaku. Tapi bila benar Hong thian lui dibekuk mereka, sukar aku menolong dia, ai, urusan ini sungguh mempersulit kedudukanku, dalam pemikiran Hong thian lui dan Hek-swan-hong, julukan 'siluman perempuan' tentu mendekati kenyataan.''
Sementara itu Hong-thian lui sudah tidak sabar menunggu kedatangan Geng Tian, kelinci sudah dipanggang, namun Geng Tian belum juga muncul. Rasa lapar Hong thian-lui tak tertahan lagi, namun Geng Tian belum lagi pulang, dia menjadi rikuh untuk gegares lebih dulu, terpaksa ia menelan air liur dan mengencangkan ikat pinggang.
O^~dwkz^hendra~^O Jilid 10 Sekonyong-konyong seorang berkata : "Sedap, sedap ! Beri aku seekor kelinci untuk mengisi perutku, boleh tidak ?"
Orang ini muncul secara mendadak, dengan kepandaian Hong-thian-lui ternyata sebelumnya tidak mendengar suara apapun, sesudah orang muncul dihadapannya baru diketahui, keruan kejutnya bukan main, waktu ia angkat kepala, tampak seorang laki-laki berpakaian butut dan compang-camping, pakai topi bundar yang berujung tinggi dan melambai kedepan jidatnya.
Setelah terperanjat Hong-thian-lui menjadi kegirangan malah, teriaknya : "Paman Sip, kaukah ini !"
Ternyata laki-laki berpakaian compang-camping ini bukan lain adalah Maling sakti Sip It-sian, keturunan Sip Cian salah seorang pahlawan gagah gunung Liang-san.
Sip It-sian tertawa, katanya : "Aku biasa mencuri ayam, dialam pegunungan begini tiada ayam dapat kucuri, namun bau panggang kelincimu ini memancingku kemari !"
"Kelinci panggang ini harus kubagi seekor untuk seorang temanku, kalau paman Sip hendak makan silahkan ambil saja seekor bagianku ini."
"Siapakah temanmu ?"
"Putra Geng Ciau yang berjuluk Kanglam Tayhiap dia bernama Geng Tian."
"Aku hanya berkelakar dengan kau. Kulihat kau sudah kelaparan setengah mati, lekas makan, tak usah menunggu temanmu."
Merah muka Hong-thian-lui, ujarnya : "Memang perutku lapar, tapi temanku itu sebentar lagi pasti kembali." dalam hati ia membatin: "Mungkin mukaku yang pucat karena kelaparan dilihat paman Sip hingga ditertawakan."
Seakan akan Sip lt sian merasa jalan pikirannya, mendadak ia berkata dengan muka sungguh: "Wi-tit (keponakan Wi), aku tidak berkelakar dengan kau. Kalau perutmu tidak kenyang, mana kau punya tenaga untuk melarikan diri ?"
Hong thian lui melengak, tanyanya: "Kenapa aku harus lari ?"
"Kau tidak tahu, ada dua musuh tengah menuju kemari hendak menangkap kau ?"
"O, maksudmu In-tiong-yan siluman perempuan itu ? Temanku she Geng itu justru sedang mengejar dia, mana berani lari balik mencari kesulitan dengan aku ? Kepandaian siluman perempuan itu terbatas, dia datang lagi akupun tidak perlu takut."
Sip It-sian kelihatan tertegun, tanyanya: "In-tiong-yan apa, yang kumaksudkan bukan siluman perempuan, jelasnya Busu dari kerajaan Kim !"
"Busu kerajaan Kim ? Hah, pasti mereka anak buah In-tiong-yan, berapa orang mereka ?"
"Aku hanya melihat dua orang menunggang kuda naik gunung, adakah rombongannya dari jurusan lain meluruk kemari, aku tidak tahu."
Hong-thian-lui tertawa, katanya : "Hanya dua orang saja kenapa takut."
"Ilmu silatku tak sebanding kau, tapi pandanganku jauh lebih tajam. Kedua Busu Kim ini bukan kurcaci yang dapat dianggap enteng. Kudengar kau terluka berat oleh Lian Tin-san, sekarang sudah sembuh belum luka-lukamu ? Dalam menghadapi setiap urusan harus selalu waspada dan prihatin demi keselamatan diri sendiri. Bila musuh tangguh meluruk datang paman Sipmu tidak mampu melindungi kau lho!"
Ternyata sebagai maling nomer satu dan paling sakti di seluruh kolong langit, namun kemampuannya hanya tergolong kelas tiga dari kaum persilatan di Kangouw.
"Paman Sip tak usah kawatir," demikian kata Hong-thian-lui bandel, "Temanku she Geng itu lebih tinggi kepandaiannya dari aku, terutama Ginkangnya sungguh hebat, sebentar dia pasti kembali."
Berkerut alis Sip It-sian, katanya : "Kuda mereka lari dengan pesat, mungkin saat ini sudah diatas gunung. Betapapun tinggi Gingkang temanmu, tak mungkin menyusul lari kuda. Begitu mereka melihat cahaya api dalam biara ini, tentu meluruk kemari, sudah jangan banyak bicara, hayo lari atau akan kucarikan tempat untuk sembunyi saja."
Hong-thian lui geleng-geleng kepala, katanya : "Seorang Kangouw harus mengutamakan kesetiaan, mana boleh aku meninggalkan kawan menyelamatkan diri sendiri ?"
Belum habis perkataannya, terdengarlah kumandang langkah kuda yang riuh mendatangi secepat angin lesus.
Sip It-sian tertawa getir, katanya : "Untuk lari sudah terlambat, lekaslah kau sembunyi dibelakang patung Budha! Ha, lihatlah, kutemukan sebuah tempat cukup untuk kau sembunyi."
Selamanya Hong thian lui paling benci kepada orang yang bernyali kecil, dengan tegas ia menolak : "Tidak perlu sembunyi."
"Seorang laki-laki harus dapat melihat gelagat, jangan bandel menghadapi bencana, bersikap berangasan bukan laku seorang kesatria. Apalagi luka-lukamu belum sembuh, bila terjadi sesuatu atas dirimu, apa ada muka aku menemui ayahmu ? Kau tidak mau sembunyi, aku yang menjadi pamanmu ini biar berlutut dan menyembah kepadamu !"
Didesak sedemikian rupa tidak bisa tidak Hong-thian lui harus sembunyi, katanya: "Paman Sip, cepat kaulari dan panggil Geng Tian kembali untuk menghadapi mereka."
"Aku bisa bekerja menurut gelagat, peduli apa yang terjadi, jangan kau keluar."
Baru saja Hong-thian-lui sembunyi, derap kuda sudah tiba diambang pintu biara. Dua orang Busu seragam kerajaan Kim melompat turun dari kuda, dengan langkah lebar mereka masuk biara kuno ini.
Umong sudah menyelidik jelas bahwa Hong-thian lui adalah pemuda berusia dua puluh tahun, begitu melihat tampang Sip It-sian yang kurus tepos, tanpa merasa ia mengerutkan kening, bentaknya : "Siapa kau ? Ada bocah hitam she Ling, apa kau pernah melihatnya ?"
"Aku laki-laki rudin yang mengungsi keatas gunung, biara bobrok ini tempatku berteduh dari hujan dan angin. Tuan Pembesar harap kalian tidak mengganggu aku."
Cohaptoh bergelak tawa, serunya : "Kau laki laki rudin keropos lagi, kenapa aku harus ganggu kau ? Tapi kau harus bicara terus terang, bocah hitam yang bersamamu tadi sekarang lari kemana ?"
"Bahwasanya aku tidak pernah lihat bocah hitam atau putih, kalian mencari bocah hitam silakan ke tempat lain. Kalau orang hitam memang banyak." selesai bicara dengan malas-malasan ia tambahi ranting kering dan dahan pohon kedalam api unggun, sikapnya acuh tak acuh terhadap kedua Busu asing ini. Mencomot seekor kelinci panggang terus digares, katanya : "Celaka, kelinci panggang ini menjadi hangus. Untung tidak menjadi orang."
Cohaptoh menjadi gusar semprotnya : "Siapa ada tempo berkelakar dengan kau, lekas katakan di mana bocah hitam itu sekarang. Hm, aku tahu bocah hitam itu tadi berada disini, berani kau membual didepan kami."
Sip It-sian berteriak menyumpah-nyumpah, serunya : "Sebetulnya aku tidak pernah melihat bocah hitam segala."
Umong menyapu pandangan kesekitar ruang sembahyang, dalam hati ia membatin: "Biara bobrok ini tiada tempat untuk menyembunyikan diri." ternyata patung Bilekhud yang gendut besar itu perutnya kosong, sehingga Hong-thian-lui bisa sembunyi didalamnya, sudah tentu Umong tidak tahu. Kerai diatas altar sembahyang juga sudah robek, kedua ruang samping juga sudah diperiksa tak kelihatan bayangan orang. Mana dia punya pikiran untuk menjungkir balikkan patung besar itu.
Baru saja Umong hendak mengundurkan diri, mendadak tergerak hatinya, tanyanya : "Apakah kedua kelinci ini kau sendiri yang menangkap ?"
"Thian maha pengasih dan kasihan kepada aku yang tidak makan tiga hari ini, secara kebetulan kedua kelinci ini kepergok olehku. Meskipun dipanggang rada hangus, tapi rasanya sedap sekali. Tuan pembesar, apakah kalian sudi mencicipi ?"
Sip It sian berusaha mengulur waktu sambil menanti kedatangan Geng Tian. Tidak disadari olehnya bahwa Umong telah curiga kepadanya.
Dalam hati Umong berpikir : "Kunyuk ini bukan pemburu, tidak punya jala tak membawa tali, tidak membekal panah lagi, mana mampu menangkap kedua kelinci yang gesit dan dapat berlari secepat angin? Dia mengaku sebagai pengemis rudin, namun bicara ngelantur, terang bukan sembarang orang."
Apa yang dipikir Umong juga menjadi pertanyaan Cohaptoh, dia seorang gulat dari Mongol yang kenamaan segera ia menjengek dingin : "Baik, coba kurabakan !'' mendadak sekali cengkeram ia tangkap pergelangan Sip It-sian terus menelikung kedua tangannya kebelakang punggungnya. Bentaknya : "Bagaimana rasa panggang kelinci ? Hm bicaralah terus terang, kalau tidak, masih ada lain cara yang lebih enak kau rasakan! Dimana bocah hitam itu sembunyi ? Lekas katakan !"
Ilmu silat Sip It sian tergolong kelas rendah, begitu tangan ditelikung dan dipuntir, tulang lengannya retak sakitnya bukan kepalang, kontan mulutnya berkaok kesakitan, tapi dia masih bandel, katanya : "Tuan pembesar, kau bunuh akupun tidak tahu bocah hitam macam apa yang kau maksud."
Sembunyi didalam perut Bilekhud, Hong-thian-lui tidak bisa melihat keadaan diluar, namun mendengar jeritan Sip It sian yang kesakitan, dia tidak tahu Sip It-sian disiksa macam apa, namun hati tak kuat menahan sabar, sambil membentak : "Aku berada di sini!" disusul suara "Blang!'' dari dalam ia genjot pecah perut gendut patung besar itu terus menerjang keluar.
"Bocah bernyali besar!'' Umong juga membentak disaat Hong-thian-lui melompat turun, sekaligus ia barengi dengan pukulan Bik-khong-ciang.
Patung besar Bilekhud itu pelan pelan roboh kedepan dengan mengeluarkan suara gemuruh, begitu pukulan dahsyat saling bentur, patung besar itu pecah berantakan seluruh biara menjadi gelap oleh debu yang mengepul tinggi.
Dalam keadaan gelap dan susah bernapas karena debu yang mengepul ini, kedua mata Cohaptoh kelilipan debu lagi, ringan dan tangkas sekali Sip It-sian menekan pundak dan menarik sikut hingga terlepas dari cengkeraman musuh. Gerak geriknya yang aneh seperti permainan sulap. Bagi seorang maling tingkat tinggi, tentu melatih diri untuk membebaskan diri dari belenggu. Kedua tangan tertelikung dan diikat tali besar, dia mampu membebaskan diri, apalagi hanya dicengkeram tangan orang.
Cohapto menjadi gusar, hardiknya ; "Kau penipu ini, mau lari kemana ?"
Betapa gesit dan licin gerak gerik Sip It-sian, mana Cohaptoh mampu menangkapnya lagi?
Sementara itu, Umong sudah saling labrak dengan Hong-thian lui, kekuatan angin pukulannya begitu hebat sehingga beberapa tombak sekitar gelanggang, orang biasa tak kuat berdiri tegak. Meskipun Sip It-sian bisa main silat, tapi Lwekangnya terbatas, umpama kuat berdiri juga tak mampu membantu.
"Paman Sip," Hong-thian-lui berteriak, "Lekas lari. Temanku itu segera kembali!''
Sip It-sian tersentak sadar, pikirnya : "Benar, berada disini aku tak mampu membantu, lebih baik kususul temannya itu supaya lekas datang menolong." selicin belut segesit ular, hanya beberapa kali lompat dan selulup mudah sekali ia berhasil lolos dari rintangan Cohaptoh dan lari keluar biara.
Umong malah tertawa dingin, ejeknya : "Berapa banyak temanmu, silakan undang kemari, sekali jaring biar lekas ringkus supaya menghemat tenaga !"
"Lebih baik lekas ringkus dia dan bawa pulang supaya tidak menggelisahkan !" demikian Cohaptoh memperingatkan teman.
Umong sudah kerahkan Liong siang-kang tingkat kelima tapi belum mampu merobohkan Hong-thian lui, diam diam hatinya kejut dan heran, pikirnya : "Luka parah bocah ini belum sembuh, ternyata mampu melawan Liong-siang-kangku, jangan aku pandang ringan musuh kecil ini." segera kedua telapak tangannya berkembang, dia merangsak kanan kiri saling susul, tenaga Liong siang kang ditambah sampai tingkat ketujuh.
Sekonyong-konyong terdengar ledakan "Bum !" telapak tangan bentrok dengan dahsyat sekali. Umong menggeliat dan tersurut mundur tiga tindak. Sebaliknya Hong thian-lui menyemburkan darah segar.
Sebetulnya dengan bekal tenaga murni, Hong-thian-lui tak gampang terkalahkan oleh pukulan Liong-siang-kang Umong tingkat ketujuh, soalnya luka dalamnya belum sembuh, kelaparan lagi, sudah tentu dalam adu kekuatan ini ia asor dan muntah darah.
Cohaptoh berteriak kawatir : "Koksu perintahkan kami menangkap hidup-hidup jangan kau pukul dia sampai mampus." sambil bicara ia melangkah maju sambil melancarkan Kim-na-jiu-hoat, kedua tangannya menyelinap dari bawah ketiak Hong-thian-lui menekuk keatas menekan tengkuk orang ke bawah. Setelah adu pukulan, meski Umong diatas angin, namun diapun menderita, maka dia biarkan Cohaptoh bekerja lebih lanjut.
Keadaan Hong thian-lui sangat payah, kepalanya pusing tujuh keliling, pandangan kabur lagi, tahu-tahu dua tangan Cohaptoh mencengkeram gitoknya, tulang lengan sakit bukan main, secara reflek ia kerahkan tenaga meronta dengan sisa tenaganya, karena tidak menyangka Cohaptoh tak kuat menahan getaran tenaga dahsyat ini, kontan ia terjengkang jatuh ditanah.
Cohaptoh menjadi murka, hardiknya : "Bangsat, hendak kuampuni jiwamu, ternyata bocah bandel ini tak ingin hidup." dengan gaya ikan gabus melejit dia melompat bangun, sedianya menggunakan ilmu gulat menyengkelitnya, tampak Hong-thian-lui terhuyung-huyung terus roboh lebih dulu.
Cohaptoh takut terjebak sambil maju angkat kaki menendang, namun Hong-thian-lui diam tak bergerak, sementara Umong mendekat serta menekan sebelah tangan ke dada orang, tangan lain meraba pernapasan orang. Katanya tertawa : "Bocah ini semaput. Untung tidak mati."
Sejak berpisah dengan In-tiong-yan, Geng Tian lari kencang ke biara, benturan adu pukulan yang dahsyat itu, karena kejut dia percepat larinya, laksana kilat tubuhnya laju kedepan.
Mendadak orang menerobos keluar dari dalam hutan serta berteriak : "Apakah kau Geng- kongcu ?"
"Benar," sahut Geng Tian. "Akulah Geng Tian. Siapa kau ?"
"Aku adalah paman Hong-thian-lui, Hong-thian lui tengah dikerubut dua Busu kerajaan Kim, keadaannya sangat payah, lekas kau menolongnya !"
Tanpa diminta langkah Geng Tian tidak berhenti memburu kearah biara bobrok. Sayang betapapun cepat lagi mereka tetap terlambat juga. Waktu Geng Tian muncul di pintu biara, dilihatnya Umong mengempit Hong-thian lui sedang melompat keatas tunggangannya.
"Tinggalkan sahabatku !" Geng Tian menghardik dengan lantang, laksana burung walet tubuhnya melesat sambil mengenjot sekuatnya. Lekas Umong menangkis dengan telapak tangannya sambil mengerahkan Liong-siang-kang tingkat ketujuh.
Lwekang Geng Tian kalah ampuh melawan kekuatan Umong, begitu kedua Bik-khong-ciang berada ditengah udara, walaupun Geng Tian tidak terjungkal, namun gerakannya terlambat sesaat lamanya. Bicara lambat prakteknya sangat cepat bila Geng Tian berdiri tegak Umong sudah mencongklang tunggangannya bagai terbang sambil menggondol Hong-thian-lui. Umpama Ginkang Geng Tian maha tinggi juga tidak mungkin mengejar kuda jempolan yang dapat berlari seribu li sehari.
Namun Geng Tian tidak putus asa, dengan kencang ia terus mengudak, namun makin lama jarak mereka makin jauh, akhirnya tak kelihatan lagi kedua tunggangan musuh. Sungguh menyesal dan kecewa sekali Geng Tian, dalam hati ia membatin, "Bila kutahu sebelumnya, aku tidak akan banyak bicara dengan In tiong-yan."
Waktu ia berpaling Sip It sian sudah berada dibelakangnya. Melihat orang mengintil dibelakangnya, tergerak hati Geng Tian katanya; "Apakah locianpwe adalah Sip tayhiap?"
Sip It-sian tertawa kecut, sahutnya: "Tayhiap apa, maling kecil saja. Kalau aku setimpal disebut Tayhiap, Tiat-wi keponakanku mana kubiarkan dibawa lari oleh anjing bangsa Kim itu."
Setelah tahu asal usul Sip It-sian, diam diam Geng-tian berkata dalam hati; "Ternyata benar dia adalah maling sakti nomor satu di kolong langit Sip It sian adanya, tak heran Ginkangnya begitu hebat."
"Geng kongcu," tanya Sip It-sian, "Tadi kau berada di hutan sebelah sana, kau bertempur dengan siapa?"
"Seorang perempuan yang dikenal juga oleh Ling-toako, tapi dia bukan musuh, aku hanya menjajal kepandaiannya saja. Ai sebetulnya aku sudah tahu bahwa dia bukan musuh, seharusnya aku cepat-cepat kembali." sekonyong-konyong tersentak sanubarinya: "Apakah benar In tiong-yan bukan musuh?"
Melihat orang seperti memikirkan sesuatu Sip It-sian bertanya: "Apakah nona itu putri Lu Tang-wan?"
"Bukan," sahut Geng Tian, "Asal usul perempuan agak istimewa, kalau dibicarakan terlalu panjang....."
"Kalau terlalu panjang sementara tak perlu dibicarakan. Urusan yang terpenting sekarang adalah cara bagaimana kita harus menolong Tiat-wi."
"Sip-locianpwe," tanya Geng Tian, "kedua orang yang menangkap Ling-toako itu mungkin bukan Busu bangsa Kim."
"Apa yang menjadi dasar curigamu jangan kau katakan dulu, biar kuperiksa dulu barang-barang hasil curianku ini, dari sini pasti dapat kuketahui asal usul kedua orang itu. Nanti kita cocokkan apakah rekaanmu betul?"
"Sip-locianpwe, barang apa yang dapat kau curi?" tanya Geng Tian heran.
"Waktu berada di biara tadi aku kuras kantong salah seorang kedua orang Busu itu. Dia menelikung tanganku kebelakang, tanpa disadari olehnya, dengan leluasa aku menguras isi kantongnya malah," sembari berkata ia keluarkan barang-barang hasil curiannya.
Tampak beberapa pecahan uang perak, setumpuk uang kertas, sebuah poci mungil dari pualam bening warna hijau mulus dan tiga buah bumbung kecil panjang tiga inci.
Heran dan kagum Geng Tian dibuatnya, katanya: "Sip locianpwe, kepandaian menguras kantong orang betul-betul hebat, pasti tiada bandingannya dikolong langit. Kedua Busu itu berkepandaian tinggi, namun barangnya kau curi tanpa diketahui sedikitpun."
Sip It-sian tertawa getir, ujarnya: "Sayang aku hanya pandai mencuri saja, bila berkelahi segebrak saja pasti aku sudah keok dan konyol."
"Ya, kedua macam barang ini cukup istimewa," demikian kata Geng Tian, yang dimaksud adalah poci dan ketiga bumbung kecil itu.
Sip It sian menjemput poci kecil itu lalu membuka tutupnya serta diangsurkan di-depan Geng Tian, katanya: "Geng kongcu, coba kau cium."
Geng Tian menunduk, kontan bau wangi yang keras dan pedat menerjang hidungnya, tak kuasa ia berbangkis berulang kali serunya, "Barang apakah itu?"
"Inilah rokok sedot. Dugaanku memang tidak salah, kedua Busu itu bukan bangsa Kim, tapi orang MongoI !"
Pada permulaan abad tiga belas, rokok sedot sudah mengalir masuk Tiongkok dibawa oleh orang Mongol dari benua Eropa. Waktu itu kebiasaan ngendot rokok baru terbatas pada kalangan tingkat atas sebangsa bangsawan Mongol saja.
Sip It sian menjelaskan: "Untung aku pernah melihat permainan ini. Kutahu inilah poci wadah tembakau, bau tembakau ini sangat keras dan pedas, buat aku lebih baik menyedot mandat dari pada mengendus baunya. Tapi untuk mengobati penyakit pilek, bau tembakau ini amat mujarab."
"Sip locianpwe berpengetahuan dan berpengalaman luas." demikian puji Geng Tian.
"Berpengalaman luas apa, barang hasil curianku entah macam apa saja, banyak yang aneh dan lucu-lucu, itu memang benar. Dan tahun yang lalu dalam operasiku dalam sebuah gedung pembesar seorang Kim, kucuri mas perak dan barang-barang antik lainnya, kulihat diatas meja ada sebuah poci kecil tempat tembakau, tanpa kuketahui gunanya, sambil lalu kukantongi poci kecil itu. Setelah kutanyakan orang lain baru kuketahui manfaat barang ini. Poci tembakau ini sebenarnya ada asal usul yang cukup unik, konon seorang duta Mongol yang memberi Pangeran itu." lalu ia meneruskan, "Tapi poci tembakau yang terbuat dari batu Giok putih itu bila dibanding dengan poci hijau pualam ini masih kalah jauh. Mungkin harga poci ini jauh lebih tinggi. Menurut analisaku, aku berani pastikan bahwa kedua Busu itu punya kedudukan tinggi dalam pasukan Mongol, paling tidak sebagai Busu kemah mas."
Dugaan Sip It sian memang tidak salah, poci pualam hijau ini memang hasil kemenangan Dulai dari benua Eropa. Dulai memberikan kepada Cohaptoh sebagai hadiah atas jasa jasanya.
"Bumbung bumbung kecil ini, mainan apa lagi?"
Sip It sian mengambil sebuah bumbung bambu, sedikit diputar tutupnya lantas menjiplak terbuka ternyata didalamnya terpasang pegas hidup. Sip It-sian tertawa, katanya: "Kau suka makan gula gula tidak?"
"Apakah di dalamnya berisi permen?" tanya Geng Tian keheranan.
"Permen madu kwalitet terbaik dari kwilim! Coba kau rasakan!''
"Kau tidak takut ada racun?"
"Tanggung tiada racun. Cep, Cep, wah rasanya enak benar!"
Geng Tian mencomot sedikit dan dimasukkan mulut, ternyata rasanya memang manis dan harum, begitu masukkan mulut permen lantas lumer, rasanya memang sedap.
"Keparat itu ternyata beruntung dapat menikmati makanan enak sedap begini, begitu jauh dia membawa makanan kampung-halamannya kemari."
"Permen madu dari kembang kwi ini bukan made in Mongol."
"Lalu hasil buatan mana ?"
Sip It-sian seperti memikirkan suatu persoalan; sejenak ia berdiam diri, sesaat kemudian baru bicara : "Setelah kutemukan bumbung permen madu begini dapatlah kita memperoleh sumber penyelidikan yang dapat menemukan jejak mereka."
"Menemukan jejak apa?"
"Aku tahu daerah mana yang menghasilkan permen macam ini, tapi permen kwalitet terbaik begitu ditempat itu mungkin hanya kaum hartawan melulu yang mampu membuatnya karena harganya yang sangat mahal, di pasaran tentu tiada orang yang menjualnya. Ingin aku ketempat itu untuk mencari tahu. Marilah kita berpencar untuk menunaikan tugas masing-masing."
"Menurut Locianpwe apa yang harus kulakukan?"
"Tiat wi tertawan, kita harus memberi tahu kepada ayah dan gurunya. Tapi aku menjadi rikuh untuk menemui mereka, kau saja yang pergi kesana. Kampung halamannya apakah kau sudah tahu?"
"Ling-toako pernah beritahu kepada aku, sebetulnya aku hendak mengantarnya pulang. Tapi, sekarang...."
"Sekarang bagaimana?"
"Kini Ling-toako ditangkap musuh, jika berusaha secepatnya ada lebih penting kita segera menolongnya. Sip-locianpwe bukankah tadi kau katakan sudah menemukan jejak mereka dan hendak kesana menyelidikinya? kalau Siautit pergi bersamamu, meski tak dapat membantu banyak, paling tidak bisa saling bantu dan membaktikan tenagaku!"
"Kalau terlalu banyak orang malah tiada gunanya. Aku belum berani pastikan bahwa kawanan Busu Mongol itu tentu berada ditempat itu. Lebih baik biar kuselidiki dulu, jangan sekali-kali menggebuk rumput mengejutkan ular, akibatnya malah merugikan nanti."
Geng Tian berpikir, kedua Busu Mongol itu dapat membekuk Hong-thian lui hidup-hidup tentu berkepandaian tinggi, ditambah seorang In-tiong yan, tentu dirinya bukan tandingan mereka. Bila hendak menyelundup kesarang musuh walau percaya akan Ginkang sendiri untuk melarikan diri, tapi kepandaian menerobos jendela masuk kamar sedikit-pun tidak mampu, terpaksa memang Sip It-sian yang harus pergi. Oleh karena itu ia berkata : "Kalau begitu, marilah kita membagi tugas. Aku punya bahan untuk bekalmu." lalu ia ceritakan pengalamannya bersua dengan In-tiong-yan, katanya pula : "Kurasa kedua Busu yang menangkap Ling toako itu juga anak buahnya. Tapi dia kawan atau lawan sulit membedakan, bila ada kesempatan tiada salahnya Locianpwe mencari keterangan."
"Aku bisa bekerja menurut gelagat !" demikian sahut Sip It-sian. Setelah mereka berpisah, seorang diri langsung ia menuju ke Yo-ka-tong.
Kiranya permen madu kembang Kwi itu adalah buatan daerah Yo-ka-tong. Sip lt-sian tahu di Yo-ka-thong ada sebuah keluarga besar she Lou majikannya bernama Lou Jin-cin bekas begal tunggal yang sudah mencuci tangan mengasingkan diri. Lou Jin-cin adalah saudara angkat Ciok Goan, Ji-cengcu dari Ciok-keh ceng di Tay-tong-hu. Dalam hati Sip It-sian berpikir : "Menurut kata Geng Tian, adik Ciok Goan yang bernama Ciok Khong juga salah seorang yang ikut menyergap Ling Tiat-wi hari itu, maka dapat diperkirakan rombongan Busu Mongol itu tentu punya berpangkalan di rumah keluarga Lou itu."
Dugaan Sip It sian tidak salah, tapi dia tidak tahu bahwa jago silat nomer satu di-seluruh Mongol Liong siang Hoat ong juga berada dirumah Lou Jin cin itu.
Dilain pihak, In tiong yan tengah menempuh perjalanan dengan kedua Busu itu, tak lama kemudian tampak Umong dan Cohaptoh memburu tiba sambil melarikan tunggangannya secepat terbang, dibelakang tunggangan Umong kelihatan terikat satu orang, setelah dekat jelas adalah Hong-thian-lui.
Dengan rasa bangga dan sombong Umong melapor : "Pile-kongcu, bocah hitam yang pernah kurang ajar terhadap kau berhasil kuringkus."
Diam-diam ln tiong-yan mengeluh, tapi akhirnya dia pura-pura girang dan memujinya malah: "Ha, menawannya hidup-hidup, jasamu sungguh tidak kecil. Kau melukainya tidak ?"
"Tidak, dia lemas kehabisan tenaga dan jatuh pingsan." sahut Umong.
"Untuk sampai di Yo-ka-thong masih dua hari perjalanan lagi ya?"
"Kuda kita cepat, walaupun lewat jalan pegunungan, menurut perhitungan paling lambat besok malam kita sudah tiba disana."
"Jalan kecil dipegunungan tidak rata, luka-luka dalam bocah ini belum sembuh, mungkin dia terlalu menderita tergoncang-goncang, cobalah carikan sebuah kereta."
"Tuan putri begitu baik hati," Cohaptoh menimbrung tertawa.
"Bukankah Koksu bilang hendak menariknya kepihak kita, apa salahnya kita berikan sedikit kelonggaran supaya dia merasa hutang budi ? Apa lagi cara kau mengikat dia diatas kuda bila dia dilihat orang dijalan, meski tidak takut namun cukup berabe dan kurang leluasa."
"Ucapan tuan putri memang beralasan, dikampung orang Han banyak kereta keledai, untuk mencarikan sebuah gampang sekali." demikian kata Umong, lalu ia perintahkan kedua Busu yang lain : "Kalian berdua coba pergi cari kereta !''
Kedudukan kedua Busu yang lain itu lebih rendah dari Umong, berulang-ulang mereka mengiakan terus mengundurkan diri melaksanakan perintah. Tak lama kemudian benar juga mereka pulang mengendalikan sebuah kereta keledai.
"Begitu cepat !" seru In-tiong-yan tertawa.
Busu itu tertawa lebar, katanya : "Kita merebutnya saja, tak perlu tawar menawar lagi, sudah tentu cepat sekali !"
"Bunuh saja keledainya ganti kuda kita.'' Umong memberi perintah lagi.
"Kuda jempolan untuk menarik kereta, apakah tidak sayang ?'' In-tiong yan mengada-ada.
Sahut Umong: "Kita harus memburu waktu menempuh perjalanan jauh ini, kedua keledai ini sudah tua kurus lagi, mungkin empat lima hari baru bisa sampai ditempat tujuan.''
"Benar,'' Cohaptoh menimbrung; "Beberapa hari ini kita belum menikmati daging lezat, keledai ini memang kurus, tapi dagingnya tentu lebih enak dari ransum kering."
Maksud In-tiong-yan hendak mengulur waktu beberapa hari, selama perjalanan bisa mencari kesempatan mencari akal, seumpama tak berhasil, dapat mengulur sehari atau setengah hari juga baik, siapa tahu ditengah jalan bakal terjadi perubahan, tentu urusan lebih gampang dipikirkan.
Tapi sekarang Umong dan Cohapto cenderung menggunakan kuda menarik kereta supaya lekas tiba di tujuan, supaya tidak menimbulkan curiga mereka, In-tiong-yan pun tidak mengukuhi pendapatnya.
Dengan mudah Cohaptoh membunuh dan sembelih seekor keledai, memotong keempat pahanya.
In tiong-yan berkata; "Perutku lapar, mari kita istirahat sebentar, kita panggang paha keledai ini baru berangkat lagi."
Sebetulnya Umong rada keberatan, namun kehendak tuan putri ia tidak berani menentang, dalam hati ia pikir: "Bagaimana juga perut harus diisi, beberapa hari ini melulu makan sayur-sayuran, mulut juga menjadi getir baik juga rasakan panggang keledai dulu."
Maka mereka membelok kesebuah hutan, didalam hutan ini membuat api unggun untuk memanggang keempat paha keledai itu. In-tiong yan berkata; "Lepaskan belenggu bocah itu, eh, kenapa selama ini bocah ini belum siuman?"
"Untuk membangunkan dia gampang saja." ujar Umong, dijinjingnya sekantong air terus disiram ke kepala Hong-thian lui supaya pulih perasaannya, lapat-lapat ia sudah mendengar suara In-tiong-yan, begitu kesiram air dingin kontan ia sadar dan melompat kaget. Waktu membuka mata, siapa lagi kalau bukan In-tiong-yan?
Kontan Hong-thian-lui memaki: "Ternyata kau siluman perempuan ini lagi. Apa pula yang hendak kau katakan?"
"Mulut anjing tidak tumbuh gading, kau bocah ini tidak tahu kebaikan," demikian semprot Cohaptoh. "tuan putri merasa kasih dan sayang kepada kau, sebaliknya kau memutar balik persoalan dan memakinya. Rebahlah kau."
"Jangan aniaya dia," buru-buru In-tiong yan mencegah.
Cohaptoh menggunakan gerak Hunkin-joh-kut meremas tulang pundak Hong-thian-lui hingga lemas lunglai, rebah tak mampu berkutik.
Hun-kin-joh kut adalah ilmu khusus seperti ilmu tutuk umumnya, hanya cara Cohaptoh agak berat karena ia memuntir dua jalur urat nadi dibagian penting tubuh Hong-thian-lui, sehingga seluruh tubuh menjadi lemas dan linu, sedikit tenagapun tak mampu dikerahkan. Tapi caci makiannya terdengar makin keras.
In tiong-yan berkata tawar : "Jangan dipukul, bila dia masih mengumbar mulut, ambil kotoran kuda, sumbat saja mulutnya."
Hong-thian-lui tidak kenal takut, namun mendengar ancaman In-tiong-yan gentar hatinya, makinya murka : "Kau, kau ... sekali tusuk bunuhlah aku ! Aku seorang laki-laki sejati, tak sudi dihina begitu rupa." sebetulnya ia hendak memaki kau siluman perempuan, namun kata-kata 'siluman perempuan' akhirnya urung diucapkan.
"Kau harus patuh dan tunduk, siapa yang menghina kau ? Kau memaki aku dengan kotor dan menusuk kuping, sebaliknya belum pernah kumaki kau!"
"Lekas kau bunuh aku saja. Jika kau tidak bunuh aku, akan datang suatu hari aku akan menuntut balas kepada kau!"
Tergerak hati In-tiong-yan, hidungnya mendengus, katanya : "Bocah keparat, kau berulang kali memaki dan menghina aku, bicara terus terang memang aku ingin bunuh kau saja. Sayang Koksu ingin kau diringkus hidup hidup. Lebih baik kau cari kematian sendiri, jadi aku terhindar dari tanggung jawab."
Mendengar ucapan In-tiong-yan, Hong thian-lui menjadi sadar, seketika ia hapus angan-angannya hendak bunuh diri, jengeknya dingin : "Kau ingin aku mati, justru aku tidak akan mati lebih baik hidup untuk menuntut balas kepada kau !"
In tiong-yan menjadi lega, ganjelan hatinya menjadi longgar, katanya tertawa : "Bagus, bagus ! Akan kunanti tuntutan balasmu. Nih paha keledai kuberikan kepadamu!" In-tiong-yan sudah menyelami watak Hong-thian-lui, justru karena takut dia mencari jalan pendek maka sengaja dia memancing dengan akalnya itu.
Hong thian lui mendorong daging itu kesamping, makinya : "Siapa sudi makan barangmu !" karena tenaganya lemah dorong punya dorong paha keledai itu tak mampu disingkirkan malah tangannya berlepotan minyak. Perutnya memang sedang keroncongan, laparnya bukan main, harum bau daging panggang yang sedap itu menambah besar seleranya.
In-tiong yan membaling-balingkan paha keledai itu dihadapan Hong-thian-lui lalu meletakkan dipinggir kakinya, katanya tertawa: "Kalau perutmu tidak kenyang kau mampu menuntut balas kepada aku ? Kalau kau mampus kelaparan justru menjadi harapanku yang utama."
"Benar, selama gunung tetap menghijau, kenapa takut tiada kayu bakar." demikian batin Hong-thian-lui, "Sebelum mati betapapun aku harus membunuh anjing anjing Mongol ini." maka tanpa bicara ia jemput paha keledai itu terus digeragoti dengan lahapnya. Setelah ia habis makan, baru In-tiong yan bicara lagi dengan tersenyum : "Nah, kan begitu, daging panggang betapapun tentu lebih enak dari kotoran keledai bukan ?"
Meski jengkel dan ingin memakinya, Hong-thian-lui menjadi tidak berani buka suara.
Cohaptoh punya kebiasaan setelah kenyang makan tentu mencium atau menyedot bau tembakau. Setelah mencuci bersih tangannya ia berkata menggeledek : "Umong, sayang kau tidak tahu betapa nikmatnya hidup ini, kau hanya minum arak melulu, tapi tidak tahu betapa nikmatnya mengendus bau tembakau."
"Emangnya aku sudi mencium tembakaumu," demikian sahut Umong, "yang terang aku kepingin merasakan permen madu bikinan Yo-ka-thong itu. Perbekalanku sudah habis, coba bagikan sebumbung kepadaku."
"Ternyata kau lebih doyan dari aku, tapi rasa permen madu itu memang cukup sedap. Aduh, celaka !"
Umong terkejut, tanyanya : "Apa yang celaka ?"
Cohaptoh membalikkan kantongnya dengan muka kecut, sahutnya: "Poci pualamku hilang, beberapa ribuan uang kertasku pun ikut lenyap dicuri orang."
"Mana mungkin terjadi," bantah Umong heran. "Tidaklah kau simpan di tempat lain?"
"Poci pualamku selalu kubawa dalam kantong, seingatku tersimpan dalam kantong ini." sambil berkata ia geledah seluruh isi kantong, seluruh bajunyapun sudah digeremeti, barang-barang yang dicari itu memang sudah terbang tanpa sayap.
Umong mengerut alis, katanya : "Kau jago gulat terlihay dari pasukan Mongol kita, siapa yang bisa mendekati tubuhnya ? Dua hari belakangan ini kita belum pernah menginap di hotel, malam haripun tidur bersama, mana mungkin ada pencopet yang mencuri barang-barangmu? Mungkin kau sendiri yang menyimpannya kurang hati-hati?"
"Soal uang sih urusan kecil, poci pualam itu adalah hadiah dari Goanswe sebagai kenang-kenangan, kusayang barang itu melebihi jiwa ragaku sendiri, mana mungkin kusimpan disembarang tempat ?" sekonyong-konyong seperti tersentak sadar mulutpun berteriak : "Benar, benar, sekarang teringat olehku !"
"Teringat apa ?" tanya Umong.
"Tentu laki-laki rudin itu yang melakukan, dua hari ini hanya dia saja yang pernah berdekatan dengan aku."
"Bukankah kau menelikung kedua tangannya, mana bisa dia mencuri barangmu ?"
"Waktu patung besar itu roboh, debu beterbangan mataku kelilipan, saat itulah entah menggunakan cara apa mendadak ia meronta dan terlepas dari cengkeramanku. Tentu saat itulah dia turun tangan."
Umong terperanjat, katanya : "Dikolong langit ini mana ada pencopet begitu lihay, bila benar, setiap malam tidur kita harus hati hati."
Sekali cengkeram Cohaptoh jinjing Hong-thian lui hardiknya : "Siapa laki-laki rudin itu ?"
"Jangan kau gertak dia begitu rupa, biar dia menjelaskan secara baik."
"Aku tahupun tidak akan kujelaskan kepada kau !" demikian seringai Hong thian lui dengan dingin.
"Kau tidak mau bicara?" Bentak Cohaptoh gusar, "Hm, tuan putri, mestikaku itu betapapun harus kucari balik, terpaksa harus kusiksa supaya bocah ini tahu kelihayanku."
Tahu-tahu bergerak pikiran In tiong-yan, serunya tertawa : "Nanti dulu!"
"Bocah busuk ini keras kepala, bila tidak dihajar mana dia mau bicara." sembari berkata Cohaptoh cengkeram tulang pundak Hong-thian-lui serta menghardik lagi : "Tidak mau bicara, kupunahkan seluruh kepandaianmu."
"Aku sudah tahu siapa orang itu, tak perlu kau kompes dia. Lepaskan !" demikian In-tiong-yan memberi perintah dengan tersenyum.
"O, apa benar tuan putri tahu? Siapa dia?"
"Pencopet nomer satu diseluruh dunia yang paling sakti Sip It-sian, benar tidak?" kata-katanya terakhir ditujukan kepada Hong-thian lui.
Hong thian lui menjengek dingin : "Bagus sekali kalau kau tahu, jagalah supaya kepalamu jangan dicopotnya."
"Kalau kuringkus dia, akan kubetot ototnya dan kubeset kulitnya.'' demikian Cohaptoh berjingkrak gusar.
"Orang ini selulup timbul tak menentu jejaknya sukar diikuti, untuk mencari dia sukar seperti menggagap jarum dilautan, kecuali dia mencari diriku.''
Mereka sudah kenyang makan, kedua Busu itupun sudah siap mengganti dua ekor kuda sebagai penarik kereta. Tapi enam orang dua kuda cara bagaimana harus melanjutkan perjalanan, hal ini menjadi pemikiran mereka.
Kereta petani itu sangat kecil, bagasinya cukup muat dua tiga orang saja, begitu Hong-thian lui rebah didalam, hanya tinggal untuk duduk dua orang lagi. Sebetulnya kereta itu ditarik seekor keledai, kini ditarik dua ekor kuda yang lebih besar lagi, sudah tentu terasa berdesakan, tak mungkin ditambah muatan lagi. Jelasnya masih ketinggalan dua ekor kuda lagi.
Kedudukan Cohaptoh dan Umong sebagai Kim-tiang Busu, kedudukan yang cukup tinggi, sudah tentu mereka tidak sudi merendahkan diri pegang kendali. In-tiong-yan sendiri memang tidak punya tanggungan, sebagai seorang tuan putri, tak mungkin dia menunggang kuda bersama seorang laki-laki.
In tiong-yan berkata, ''Aku duduk di kereta sambil mengawasi bocah ini. Umong dan Cohaptoh menunggang kuda melindungi di belakang."
Sebetulnya Umong sadar sebagai tuan putri, In-tiong-yan duduk bersama tawanan dalam satu kereta sangat kurang pantas, namun kecuali begitu tiada cara lain untuk mengatasi keadaan sekarang, terpaksa iapun setuju.
Tugas kedua Busu tua dan muda itu menjadi kusir kereta. In-tiong-yan duduk disamping Hong-thian lui, waktu ia hendak bicara, Hong thian lui mendengus hidung terus pejam mata, kaki diselonjorkan, tahu tahu hidung sudah ngorok, ia tertidur pulas.
Sungguh dongkol dan jengkel hati In-tiong-yan, pikirnya : "Bocah bau ini anggap aku sebagai musuh besarnya, dengan cara apa aku harus berbuat supaya dia mau percaya kepada aku?''
Dengan ditarik dua ekor kuda jempolan sudah tentu jauh lebih cepat dari seekor keledai yang kurus kecil. Waktu menjelang magrib mereka memasuki sebuah hutan.
In tiong yan berkata : "Kita nginap disini semalam, aku sudah sangat letih."


Si Angin Puyuh Si Tangan Kilat Hong In Lui Tian Karya Gan Kh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau duduk dalam kereta juga bilang letih. Dasar tuan putri yang suka aleman dan biasa hidup makmur." demikian gerutu Umong dalam hati, padahal hari belum gelap, mereka bisa menempuh beberapa jauh perjalanan, namun karena perintah tuan putri, Umong dan lain-lain tak berani membangkang. Bila terus maju kedepan memang juga belum tentu dapat tempat menginap.
Walet Emas Perak 12 Joko Sableng 19 Kembang Darah Setan Pendekar Pedang Dari Bu Tong 3

Cari Blog Ini