Ceritasilat Novel Online

Silent Girl 1

Silent Girl Karya Indah Thaher Bagian 1


?Silent Girl By: Indah Thaher Gadis itu selalu sendirian, tidak punya teman dan seperti diasingkan dari kota kelahirannya sendiri.
Lalu tiba-tiba saja berita kematiannya datang. Dan itu sudah cukup memberiku alasan untuk kembali ke kota itu lagi.
Gadis itu bunuh diri dan kini pemakamannya tiba-tiba dikunjungi oleh seisi kota ini. Ironi sebenarnya, sejak dulu seisi kota ini tidak pernah peduli dengan
keberadaannya. Kepedulian itu justru muncul saat dia sudah mati.
Tapi semakin lama, aku justru semakin merasa itu bukan lagi kepedulian.
Itu sebuah sandiwara untuk menutupi hal mengerikan yang dilakukan kota ini pada gadis itu.
*** BAB 1. Silent Grave "Lauren? Hallo? Apa kau masih di sana?"
Aku mengedip, sadar dari lamunanku. Genggamanku pada ponsel kembali mengeras. "Iya, Bi. Aku masih di sini."
"Kau terdengar sedikit lelah. Mungkin sebaiknya aku telpon lagi."
"Siapa yang menemukan mayatnya, Bi?" potongku.
Tidak ada suara beberapa saat, kemudian akhirnya terdengar suara desahan pelan di telepon. "Ibunya," jawab bibiku. "Pagi ini dia mengecek ke kamar Hilda
karena biasanya gadis itu selalu bangun saat subuh. Tapi hingga jam 9, dia tetap belum keluar kamar dan ... saat dibuka, mayatnya sudah tergeletak di lantai,"
sambungnya dengan nada hati-hati.
Aku diam, menunggu Bibi melanjutkan ceritanya.
"Dia mengiris nadinya sendiri," ujarnya pada akhirnya.
Aku kembali terdiam, menatap kosong ke depan. Pikiranku masih mencoba mencerna berita yang menyedihkan itu.
"Pemakamannya akan dilakukan besok pagi. Garis polisi di rumahnya juga sudah dilepas. Sepertinya mereka pun ..."
Suara bibi mulai tidak terdengar lagi di telingaku. Pikiranku langsung kembali ke masa lalu, dipenuhi dengan ingatan tentang semua hal yang terjadi di
kota itu. Saat aku masih tinggal di kota itu, Kota Angor, kota masa kecilku.
Kota Angor adalah sebuah kota kecil, dengan jumlah penduduk tidak lebih dari 6.000 orang. Mungkin kota itu memang terlihat sederhana, tapi semua fasilitas
umum tersedia di sana. Sekolah dari tingkat SD hingga tingkat perguruan tinggi pun tersedia.
Selepas lulus pendidikan pun mereka tidak perlu lagi cemas memikirkan pekerjaan karena ladang usaha pun tersedia di sana, baik industri atau pertanian.
Jurusan dari perguruan tinggi di sana sudah disesuaikan dengan yang dibutuhkan oleh industri Kota Angor. Sehingga rasanya sungguh tidak aneh apabila semua
penduduk asli di sana tidak pernah merantau ke luar kota. Mengapa harus repot-repot untuk merantau ke ibukota jika di tanah kelahiran mereka sudah tersedia
semuanya? Karena itulah, semua penduduk asli di sana tentunya sudah mengenal satu sama lain. Aku tentu mengenal Hilda. Ia lahir dan hidup di kota itu-sama sepertiku.
Kami juga seumuran, sehingga kami selalu berada dalam satu sekolah. Walaupun kami tidak pernah sekelas, tapi aku tahu sedikit tentangnya.
Hilda selalu sendiri. Sejak SD hingga saat kuliah, rasanya aku tidak pernah benar-benar melihat ia berteman dengan siapapun. Ia sosok gadis yang sangat pendiam dan pemalu, selalu
terlihat ketakutan dan menghindari tatapan orang-orang padanya. 2
Ia dan keluarganya adalah orang buangan di kota ini. Outcast.
Aku sadar sejak dulu mereka seperti diasingkan oleh warga di kota itu. Dan aku pikir semua orang tahu siapa dan bagaimana Hilda bisa menjadi outcast di
kota kelahirannya sendiri. Pengasingannya dimulai oleh Sarah Waksono, anak semata wayang Pak Reyhan Si Pengusaha Milioner kota ini. Pak Reyhan sendiri
bisa dibilang sebagai penguasa Kota Angor. Keluarga Waksono selalu menjadi keluarga terpandang di kota ini dan semua orang sangat menghormati keluarga
itu. Alasannya jelas, karena hampir semua pembangunan kota itu berasal dari uang Pak Reyhan. Ialah yang menyediakan banyak ladang usaha dan juga sebagai
donator terbesar di semua sekolah di Kota Angor.
Aku masih ingat jelas saat SD, Sarah memanggil Hilda dengan sebutan 'Gembel Tak Berayah'. Dan tidak ada yang membela Hilda saat itu, beberapa orang justru
ikut memanggilnya dengan sebutan itu. Saat menduduki masa SMP, Sarah seringkali mencetuskan ide-ide jahat untuk mengganggu Hilda. Dan sekali lagi, tidak
ada seorang pun yang mempermasalahkan hal tersebut. Sampai akhirnya kami semua sudah beranjak SMA, Sarah tiba-tiba saja tidak lagi pernah mengganggu, mengejek
atau bahkan berbicara denga Hilda. Ia benar-benar tidak lagi mengindahkan keberadaannya. Walaupun aku sadar secara tidak langsung Sarah selalu memastikan
tidak ada yang boleh berbicara dengan Hilda. Ia seolah-olah tetap mengontrol dari belakang. Dan mungkin sejak itulah pengasingan itu benar-benar terjadi.
Keberadaannya sejak itu seolah mulai dihapus begitu saja.
Sampai sekarang pun, aku masih tidak mengerti mengapa sasaran Sarah adalah Hilda. Apa yang dilakukan Hilda hingga membuat Sarah ingin mengasingkan Hilda
dari apapun di kota itu? Tidak ada yang bisa Sarah dapatkan dari Hilda atas perbuatannya itu. Sarah sudah memiliki semuanya. Sedangkan Hilda hanya gadis
sederhana dari keluarga sederhana, ibunya bahkan bekerja di salah satu pabrik milik ayah Sarah.
Hingga saat kuliah, semua orang sepertinya sudah memahami sendiri bahwa Hilda adalah orang buangan, diasingkan, seorang outcast, tidak punya teman dan
selalu sendiri. Tidak ada yang berniat untuk berteman dengannya dan orang-orang tidak lagi mempermasalahkan keberadaannya.
Termasuk aku. Aku tahu betul tindakanku begitu pengecut, hanya bersikap diam dan menutup mata saat Hilda diasingkan tanpa alasan. Saat itu aku hanya terhanyut dengan
... kebahagiaan yang kumiliki, tidak menyadari kesulitan orang-orang sekitarku.
Dadaku sesak begitu penyesalan besar itu kembali memenuhi isi kepalaku. Aku menarik napas pelan, mencoba meredakan kekalutanku lagi.
"Aku akan berangkat ke Angor malam ini," kataku dengan yakin.
"Kau ingin ke sini?" sahut bibiku tak percaya, sama sekali tidak menyangka bahwa aku akan memutuskan hal ini.
"Ya, Bi. Aku ingin menghadiri pemakamannya." Dan aku ingin meminta maaf pada Hilda.
Tidak ada suara terdengar dari ujung sana selama beberapa saat. "Baiklah," ujar Bibi akhirnya. Ada rasa senang sedikit tersirat di suaranya. Lalu ada jeda
lagi. "Kau mau menginap di rumah kami atau ... di rumah orang tuamu?" tanyanya ragu. Nada bersalah kini terdengar jelas di suaranya.
Aku menelan ludah kembali, mencoba menenangkan jantungku yang kembali berdetak kencang. Aku menolak dengan sekuat tenaga untuk membiarkan ketakutan itu
memenuhi pikiranku saat ini.
"Di rumah bibi saja."
"Baiklah. Kabari kami begitu kau sampai di bandara. Kami akan jemput."
"Baik, Bi." Suara terputus di telepon terdengar. Aku menaruh ponselku sembarang, lalu mulai berjalan ke kamar untuk bersiap-siap.
*** Mataku menatap diam ke arah luar. Aku benar-benar kembali ke kota ini lagi.
Sekalipun kota ini sudah gelap, aku masih bisa membayangkan bentuk gedung, rumah dan jalan raya yang kulewati saat ini. Bagaimana pun juga, aku pernah
hidup lama di kota ini. Aku pasti tidak akan dengan mudah melupakannya.
"Tidak terasa sudah 4 tahun berlalu sejak kau pindah," ujar Bibiku sambil memalingkan wajahnya ke arahku.
Aku melepas pandangan dari jendela mobil, menjawab pertanyaan bibiku dengan senyum mengangguk.
"Bagaimana rasanya hidup di ibu kota?" tanyanya lagi. Badannya kini sepenuhnya berbalik ke arahku, menyandarkan bahunya ke kursi mobil.
Aku sudah membuka mulutku untuk menjawab sebelum pamanku menyela. "Sudahlah. Besok saja mengobrolnya, biarkan dia istirahat dulu," katanya.
Bibi langsung tersenyum meminta maaf padaku. "Maafkan aku. Aku hanya benar-benar rindu padamu."
"Aku juga rindu padamu, Bi," sahutku sambil tersenyum.
Sesampai di depan rumah bibi dan pamanku, aku tidak kuasa untuk melihat ke arah rumah keluargaku yang berjarak beberapa kilometer dari sana. Rumah itu
tentu saja tidak terlihat, tapi aku bisa merasakan dan membayangkan bentuk rumah itu. Tepat di balik hutan tersebut.
Aku menelan ludah sambil merasakan detak jantungku yang sejak tadi mulai berpacu menyakitkan. Dan aku sama sekali tidak bisa melepas pandanganku dari sana.
Paman dan Bibi pasti menyadari tatapanku, karena sedetik kemudian bibi langsung menghampiri dan memelukku dengan lembut.
"Ayo, masuk. Kau perlu istirahat," katanya pelan.
Aku akhirnya mengangguk kecil dan membiarkan bibi membawaku ke dalam rumah.
Malam itu aku sudah menduga tidak akan bisa tidur. Semua kenangan dan kehidupanku sebelum kejadian mengenaskan 4 tahun lalu kembali teringat, membuatku
kembali menyadari bahwa aku benar-benar kembali ke kota ini lagi. Rasanya tidak pernah kubayangkan sebelumnya hari ini akan datang.
Perasaan tidak nyaman, ketakutan dan penyesalan kembali menyelimutiku dengan cepat.
Sambil memejamkan mata erat-erat, aku mencoba menahan kesedihan yang muncul kembali dalam pikiranku. Aku hanya perlu memejamkan mata dan tidur. Lalu semua
kesedihan itu akan hilang-untuk sementara waktu.
*** Pagi hari datang. Aku bersiap-siap dan ikut sarapan dengan paman dan bibi. Pemakaman Hilda akan dilakukan pagi hari ini.
"Kita harus bergegas jika tidak ingin terlambat. Lagipula pemakamannya akan ramai," ujar pamanku begitu ia duduk di kursi meja makan.
Alisku terangkat. Ramai? "Berapa banyak yang akan datang? Setahuku Hilda tidak terlalu memiliki banyak ... teman di sini," sahutku.
Paman dan bibi menatapku dengan bingung. "Apa maksudmu, Lauren? Semua orang di kota benar-benar sedih atas kematian tragis gadis itu. Aku yakin semua orang
di kota akan hadir di pemakamannya," jelas bibiku.
Aku terdiam. Apa semua orang berpikiran sama denganku? Kami semua tiba-tiba menyesal atas pengasingan yang kami lakukan dulu padanya.
Aku mendengus pelan. Sungguh ironi sebetulnya. Saat ia hidup, semua orang sepertinya tidak terlalu tertarik menyadari keberadaannya. Ketertarikan itu justru
datang saat ia sudah meninggal.
Benar saja, sesampai di sana, taman pemakaman itu penuh dengan banyak orang-hampir semua orang di kota ini. Aku bisa melihatnya dengan jelas dari sini.
Begitu kami keluar dari mobil, aku membiarkan Paman dan Bibi meninggalkanku sendiri. Dan aku sengaja menjauh dari kerumunan, bersandar di bawah pohon yang
berdiri beberapa meter dari sana. Sambil menunggu pemakaman dimulai, aku menatap kosong kerumunan itu.
Di barisan depan berdiri Ibu Hilda dan adik laki-laki Hilda yang masih kecil. Ibu Hilda adalah wanita cantik, sekalipun di usianya yang sudah 40 tahun.
Namun kini kecantikan itu sedikit pudar karena luka kesedihan di wajahnya. Anak laki-lakinya, yang masih berumur sekitar 7 tahun, sedang memeluk kaki ibunya
sambil menatap sekeliling dengan bingung. Rasa bingung yang mungkin sama dengan apa yang kurasakan saat melihat kerumunan ini.
Di sebelah Ibu Hilda, berdiri seorang pria berumur 30an dengan jaket kulit hitam dengan badan tinggi tegap. Sikap berdirinya jelas menunjukkan kalau ia
dari orang kepolisian. Dan aku menyadari sesekali tatapannya bergerak mengintari sekitar, berusaha mencari sesuatu.
Di belakang Ibu Hilda, orang-orang berbaris berjejer tidak beraturan. Beberapa dari mereka langsung dapat kukenali, wajah-wajah lama dari masa laluku di
sini. Para dosen dan beberapa teman sekelasku saat sekolah dulu, juga kenalan keluargaku. Paman dan bibiku sudah berada di sana, sedang berbincang serius
dengan teman mereka. "Lauren?" Aku berbalik dan mendapati salah satu dosen kuliahku dulu, Pak Haris. Senyumku langsung muncul begitu mengenali dosen favoritku-satu-satunya dosen yang
benar-benar dekat denganku. Aku langsung memeluknya, Pak Haris terkekeh.
"Kapan kau ke sini?" tanyanya. Suara seraknya yang khas kembali muncul.
"Kemarin malam, Pak. Maaf tidak sempat mengabari," jawabku.
Ia kembali terkekeh. "Tidak apa-apa." Ia kini mengamatiku. "Bagaimana kabarmu?"
"Baik. Aku baik, Pak," jawabku sambil tersenyum.
Pak Haris lalu berbalik dan memandang pemakaman itu sejenak. Ia kemudian menghela napas pelan. "Sayang sekali kita harus bertemu di situasi menyedihkan
seperti ini," katanya.
Aku mengangguk, kembali menatap kerumunan itu. "Aku datang karena aku merasa berhutang maaf padanya," ujarku pada akhirnya.
Pak Haris berbalik memandangku, alisnya terangkat bingung. "Pada Hilda, maksudmu?"
Aku mengangguk. Tatapan bingung Pak Haris masih belum terhapuskan. "Selama ini aku tidak pernah membelanya atau mencoba mengeluarkannya dari pengasingan
orang-orang kota ini," akuku.
Pak Haris terdiam sejenak, lalu ia terkekeh. "Kau ini bicara apa, Lauren? Tidak ada pengasingan di kota ini."
"Aku yakin semua orang di sini."
"Lauren, sudahlah." Pak Haris menepuk bahuku pelan. "Tidak ada yang perlu disesali, apapun itu. Hidup memang seperti ini."
Pak Haris menunjuk kerumunan pemakaman itu. "Lebih baik kita ke sana sekarang. Pemakamannya akan dimulai."
Aku terdiam sesaat, kemudian akhirnya berusaha mengangguk. Kami lalu berjalan menghampiri kerumunan.
Setelah mayat Hilda dikuburkan, orang-orang mulai berbondong mengucapkan belasungkawa pada Ibu Hilda. Bagiku ini pemandangan yang menakjubkan, melihat
semua orang memberi perhatian pada keluarga Hilda. Rasanya ini pertama kali aku menyaksikannya setelah 20 tahun hidup di kota ini.
Tapi kemudian aku melihat Sarah dan ketakjubanku kini beralih menjadi keanehan yang menakutkan.
Sarah, yang seharusnya adalah orang terakhir di muka bumi ini yang perlu merasa sedih dan datang ke pemakaman Hilda, kini terlihat sedang memeluk erat
Ibu Hilda sambil terisak pilu. Ia benar-benar menangis dengan pilu. Dan yang lebih membuatku terkejut lagi, Ibu Hilda juga membalas pelukan Sarah. Mereka
saling menyandarkan kepala, dengan lengan bertaut penuh kesedihan di wajah masing-masing. Seolah mereka berdua sudah sangat dekat dan selama ini Hilda
dan Sarah bersahabat dengan erat.
"Aku juga tidak menyangka gadis itu berteman baik dengan Hilda." Suara itu berhasil mengalihkan perhatianku. Aku mendongak ke arah suara itu, Si Polisi.
Ia kini berdiri di sampingku, masih sedang menatap Sarah dan Ibu Hilda dengan sorot penasaran.
"Gadis itu anak milioner, kan?" tanyanya dengan nada enggan. Ia lalu mendecak pelan, menyadari ucapannya barusan. "Kurasa aku terlalu berprasangka buruk
pada semua orang kaya," gumamnya.
Aku mengamatinya beberapa saat. Polisi itu tinggi-aku bahkan sampai harus mendongak ke atas untuk menatapnya. Ia berumur 30an, tegap, berotot dan memiliki
wajah yang tampan dengan sepasang mata tajam. Ada sesuatu yang mengintimidasi darinya.
Ia kemudian menoleh, menyadari tatapanku padanya. Kemudian ia tersenyum. "Namaku David. Aku penyidik yang menangani kasus Hilda." Ia menyodorkan tangannya.
Aku langsung menyalaminya. "Aku Lauren."
Ia mengangguk. "Kau baru di kota ini? Aku tidak pernah melihatmu sejak kasus ini muncul."
Aku menggeleng. "Aku tinggal di sini sampai 4 tahun lalu. Sekarang aku tinggal di ibukota."
David mengangguk paham, lalu kembali menatap Sarah dan Ibu Hilda yang kini tinggal berdua. Aku mengikuti tatapan David dan menyadari bahwa mereka berdua
sedang berbicara, tangan Sarah kini mengenggam tangan Ibu Hilda. Alisku kembali berkerut.
"Tadi kau bilang, Sarah dan Hilda berteman baik," ujarku pelan.
"Ya, Sarah mungkin adalah orang kedua yang merasa terpukul atas kejadian ini. Semua orang di kota ini bilang mereka selalu bersama dan sudah bersahabat
sejak kecil. " Aku mengernyit. "Bersahabat sejak kecil?"
"Ya." "Maksudmu mereka selalu bermain bersama?"
David mengangguk. Aku terdiam beberapa saat. "Tidak ada ... yang menyinggung tentang perbuatan Sarah yang lain pada Hilda?" tanyaku akhirnya. Jantungku mulai berpacu begitu
menyadari bahwa semua orang bertingkah seolah-seolah sedang menutupi pengasingan yang selama ini mereka lakukan pada Hilda. Semua, termasuk Pak Haris dan
paman bibiku. David kini menatapku dengan alis bertaut. "Apa ada yang terlewatkan bagiku?"
Aku kembali terdiam sambil menatap Sarah dan Ibu Hilda dari kejauhan. Mereka kini mulai menaruh bunga di atas kuburan Hilda. Sesekali Sarah menghapus air
mata dari pipinya sambil menatap pilu ke kuburan Hilda.
Apa aku yang melewatkan sesuatu?
*** BAB 2. Perubahan Besar "Tidak heran jika semua orang menatapmu tanpa ada sorot penasaran sedikit pun," ujarnya.
Aku menatapnya sekilas, menyadari apa yang ia maksud. Sejak dulu memang tidak banyak pendatang baru yang datang menetap di kota ini, mungkin karena lokasinya
yang sedikit jauh dan terpelosok. Aku tahu beberapa dari penduduk asli di kota ini sudah ada sampai lebih dari empat generasi turunan. Jadi tentu saja
semua orang di kota ini sudah terbiasa dengan wajah-wajah familiar penduduk aslinya dan sangat menaruh perhatian besar jika ada pendatang baru yang datang
ke kota ini, termasuk seseorang dari kepolisian sekali pun.
"Mereka hanya tidak terbiasa dengan tamu, terutama pendatang baru."
Ia mendengus pelan. "Aku sadar itu."
Aku mengamatinya. "Jadi kau berasal darimana?"
"Ibukota." Aku mengangguk diam. Jadi ia memang benar-benar baru di kota ini.
"Apa?" tanyanya. Ia sepertinya menyadari ekspresiku.
Aku tersenyum kecil. "Bukan apa-apa. Aku hanya ... sedikit tidak menyangka mereka mempekerjakan polisi dari luar kota ini. Penduduk di sini tidak pernah
menggunakan jasa pekerja selain yang memang berasal dari sini." Terutama polisi. Rasanya sangat aneh mendapati penduduk di sini membiarkan kasus seperti
ini ditangani oleh orang luar. Mereka biasanya lebih suka menyimpannya sendiri. Apalagi kasus bunuh diri Hilda ini. Kasus bunuh diri, sebuah aib. Cerita
ini seharusnya jelas hanya untuk orang dalam kota ini saja.
David terdiam sesaat. "Ya. Rasanya aku sudah menebak itu sejak pertama kali menginjakkan kakiku di sini," jawabnya. Ia menghela napas cepat. "Aku hanya
menggantikan salah satu rekanku yang bekerja di kepolisian kota ini-sangat tiba-tiba sebenarnya. Ia mengalami kecelakaan beberapa hari lalu dan sampai
sekarang masih dirawat di rumah sakit. Penyidik lain sedang bertugas di tempat lain. Jadi aku yang disuruh datang menggantikannya di sini," sambungnya.
"Apa lukanya parah?"
Ia menatapku beberapa saat. "Tidak," jawabnya. Ia menelengkan kepalanya sedikit. "Kukira kau seharusnya sudah tau tentang kabarnya. Seluruh kota ini sepertinya
selalu tau apa yang sedang terjadi."
Aku mendengus pelan, menyadari sindirannya. "Itu benar. Tapi aku baru saja datang ke sini kemarin malam. Jadi jelas saja aku ketinggalan berita."
"Kau kembali ke sini setelah 4 tahun pergi hanya untuk menghadiri pemakaman Hilda," ujarnya. Itu sebuah pernyataan. "Apa kau dan Hilda dekat?"
Aku berusaha tersenyum, merasakan tenggorokanku kering begitu penyesalan itu kembali muncul. "Tidak. Tidak terlalu dekat," jawabku akhirnya.
Ia mengamatiku beberapa saat, lalu akhirnya menoleh kembali ke sekeliling taman pemakaman itu. Aku menyadari Sarah dan Ibu Hilda kini sedang berjongkok,
masih menaburkan bunga-bunga dan menyiramkan botol air dingin di atasnya. Kemudian Sarah tiba-tiba mendongak, menatap ke arah kami.
Lalu Sarah dan aku akhirnya bertemu pandang.
Ia terlihat sedikit kaget, baru menyadari kalau sejak tadi aku dan David berdiri mengamatinya dari kejauhan, 100 meter darinya, hampir tertutupi oleh dahan
rindang pohon besar yang ada di belakang kami.
Aku mengangguk, menyapanya dengan diam begitu menyadari ia kini sudah mengenaliku. Beberapa saat kemudian ia balas mengangguk, lalu tatapannya tertuju
pada David selama beberapa saat. Kemudian akhirnya ia memalingkan wajah, kembali berbicara dengan Ibu Hilda yang berada di sebelahnya.
"Hanya kau sendiri yang menangani kasus ini?-maksudku sebagai penyidiknya?" tanyaku beberapa saat kemudian.
"Ya." Ia terdiam sejenak. "Lagipula tidak banyak yang perlu dilakukan. Kasus ini sudah langsung ditutup."
"Ditutup karena Hilda benar-benar bunuh diri?" tanyaku.
"Ya." "Apa penyebabnya?" tanyaku lagi tanpa bisa kutahan.
David kembali mengamatiku. "Kau tidak bisa menebaknya?" tanyanya. Ia kemudian mendengus pelan saat aku hanya diam. "Kau benar-benar ketinggalan semua berita
di kota ini," sambungnya.
Aku tetap diam, menunggunya melanjutkan jawabannya. Aku kira ia tidak akan memberikan jawaban padaku semudah itu, untuk melindungi privasi keluarga Hilda
atau semacamnya. Tapi kemudian ia membuka mulut.
"Himpitan ekonomi," jawabnya akhirnya.
Aku kembali menatap ke arah Ibu Hilda dan Sarah yang kini masih berada di depan kuburan Hilda. Mereka kini sudah berdiri, sepertinya sudah siap untuk pergi
dari sana. Himpitan ekonomi? Dahiku mengerut begitu mencerna informasi ini. Aku tahu keluarga Hilda bukanlah keluarga yang mampu. Tapi rasanya sangat aneh mendapati Hilda bunuh diri
karena tertekan dalam masalah ekonomi. Aku tahu selama ini ia selalu bekerja, membantu ibunya, membiayai pendidikannya sendiri dengan beasiswa, dan membantu
membayar biaya pendidikan semua adik-adiknya bersekolah dengan berkecukupan.
Aku memang tidak terlalu dekat dengannya. Tapi setidaknya selama ini aku bisa menyadari bahwa Hilda adalah gadis yang selalu mengutamakan keluarganya daripada
apa pun. Tidak mungkin ia memutuskan untuk bunuh diri dan meninggalkan ibunya hidup sendiri mengurus adiknya yang masih kecil, yang jelas-jelas membutuhkan
bantuannya tidak hanya dalam hal uang.
Bukan, rasanya alasan itu terlalu lemah untuk menjatuhkan mental Hilda.
"Kau terlihat tidak setuju dengan hal itu."
Aku mendongak dan menyadari sejak tadi David menatapku. Sorot penasaran kini memenuhi wajahnya. Aku terdiam sejenak, lalu mulai menarik napas perlahan.
"Kurasa ketidakhadiranku selama 4 tahun terakhir ini sangat berpengaruh pada caraku berpikir tentang kejadian ini. Bagiku Hilda tidak akan bunuh diri karena
alasan itu," ujarku.
"Jadi apa dugaanmu?" tanya David akhirnya saat menyadari aku tetap diam.
Aku menggeleng. "Entahlah ..." Kurasa aku akan mencari tahunya.
Dan alasan mengapa semua orang di kota ini menyembunyikan fakta bahwa Hilda dan keluarganya selama ini diasingkan.
"Lauren?" panggil seseorang.
Aku langsung mendongak dan mendapati Sarah yang sedang berjalan menghampiri kami. Ia menatapku dengan takjub, sama seperti semua orang di kota ini. Ia
jelas-jelas juga tidak menyangka dengan kedatanganku yang mendadak setelah beberapa tahun pergi. Begitu kami berhadapan, ia langsung tersenyum dan memelukku
dengan akrab. Mataku langsung melirik ke belakang Sarah dan menyadari Ibu Hilda masih berdiri di depan kuburan anaknya, sendiri. Aku melepaskan pandanganku
dari sana, lalu akhirnya membalas pelukan Sarah dengan sedikit kikuk.
Sarah dan aku tidak terlalu dekat, tapi tidak jarang kami berpergian bersama. Terutama karena rumah kami agak berdekatan.
Ia kemudian melepas pelukannya, lalu mulai mengamatiku sambil tersenyum. "Kau sedikit berubah, Lauren," katanya.
Aku hanya tersenyum kecil. Tapi mau tidak mau aku ikut membalas mengamatinya dari dekat. Penampilan Sarah sama sekali tidak berubah, bahkan sekalipun wajahnya
kini sembab setelah terus menangis sejak pemakaman tadi berlangsung. Ia masih terlihat cantik, dengan badan ramping dan tinggi seperti model ibukota, rambut
coklat gelap bergelombang, dan balutan baju mahal yang stylish. Ia masih primadona kota ini.
"Kuharap perubahan yang kau maksud adalah hal yang baik," sahutku pelan.
Ia terkekeh pelan, kesedihan masih terlihat jelas di wajahnya. "Ya. Tentu saja hal yang baik, Lauren. Kau terlihat lebih ... cantik dan dewasa."
Aku berusaha tersenyum. Ia kemudian menoleh dan tersenyum pada David. "Hai, David. Kukira kau akan menunggu di kantor Ayah."
Aku menatap mereka bergantian. Ekspresi David tidak berubah sama sekali.
"Aku ingin berbicara denganmu dulu sebelum menemuinya," ujarnya.
Sarah mengangguk paham. "Oke. Baiklah kalau begitu. Sebaiknya kita pergi sekarang." Ia kemudian menoleh padaku lagi. "Kau mau ikut ke mobilku, Lauren?
Aku bisa mengantarmu pulang."
Aku menggeleng. "Aku ... ingin di sini dulu. Tapi terima kasih untuk ajakanmu."
Sarah menatapku bingung beberapat saat. Ia kemudian melirik ke belakang, ke arah Ibu Hilda. Lalu ia tersenyum mengerti, menyadari bahwa aku ingin berbicara
dengan Ibu Hilda sendirian.
"Dia masih sedih tentu saja. Tapi setidaknya Hilda sekarang sudah tenang di sana. Jangan khawatir, Lauren," ujar Sarah.
Aku tidak menahan diri untuk tidak menegang saat itu juga. Mataku langsung menatap wajah Sarah yang kini penuh dengan ketabahan. Aku menyadari matanya
kini mulai kembali berkaca-kaca. Dan pikiranku semakin berkecamuk mencoba untuk memahami situasi ini. Rasanya aku tidak pernah mengira akan mendengar nada
penghiburan itu keluar dari mulut Sarah.
Tapi aku memaksakan diri untuk mengangguk menyetujui perkataannya.
"Jadi apakah kau akan kembali menetap di sini?" tanyanya lagi.
Aku terdiam sesaat. "Tidak. Aku harus kembali ke ibukota," jawabku akhirnya.
Ia tersenyum meminta maaf. "Oh, ya. Tentu saja. Pekerjaan-tentu saja kau harus kembali," katanya buru-buru.
"Ya." Lagipula aku tidak yakin bisa bertahan lama di kota ini lagi.


Silent Girl Karya Indah Thaher di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sarah tersenyum. "Kalau begitu, aku pergi dulu. Sampai jumpa lagi, Lauren."
"Sampai jumpa, Sarah," sahutku sambil berusaha tersenyum.
Davi mengamatiku beberapa saat, lalu ia mengulurkan tangannya padaku. "Senang bertemu denganmu, Lauren."
Aku mengangguk. "Aku juga."
Lalu mereka berjalan pergi meninggalkan taman pemakaman ini menuju mobil hitam yang terparkir di tepi jalan depan pintu masuk.
Begitu mobil mereka menghilang, barulah aku berjalan menuju kuburan Hilda. Ibu Hilda kemudian akhirnya mendongak, menyadari keberadaanku yang mulai menghampirinya.
Beberapa saat ia hanya menatapku, tapi kemudian ia memberikan senyum-senyum lemah yang hanya bisa ia lakukan sekarang.
Aku tidak tahu apakah ia masih mengenaliku. Kami berdua hanya beberapa kali berbicara. Fakta itu kembali membuat perasaan bersalahku semakin besar. Tapi
aku tetap berusaha menatapnya, memberikan senyum yang tulus. Aku di sini untuk Hilda dan keluarganya.
Begitu aku sudah berdiri di sampingnya, ia kemudian berdiri. Dengan berdiri sedekat ini, aku benar-benar menyadari betapa kematian Hilda sangatlah mempengaruhi
ibunya. Wajahnya kini terlihat begitu lemah dan kosong, seolah-olah ada sebagian dirinya yang ikut mati bersama Hilda. Matanya sembab dan merah, bibirnya
gemetar walaupun tidak ada lagi air mata di sana.
"Aku turut berduka cita, Bu."
Ia mengangguk sambil tersenyum lemah. Kemudian aku memberanikan diri untuk memeluknya, berusaha memberikan penghiburan yang sedalam-dalamnya. Ia kemudian
membalas pelukanku. Begitu ia melepas pelukannya, ia mengamatiku beberapa saat. "Sudah lama sekali kau tidak pulang ke kota ini."
Aku menunduk malu, menyadari bahwa ia mengenaliku. Ingatanku yang selama ini tidak terlalu memperhatikan keluarganya kembali terpampang jelas di otakku,
membuat tenggorokanku tercekat.
"Ya ..." hanya itu yang bisa keluar dari mulutku.
"Sebenarnya Hilda dulu juga pernah berkata kalau ia ingin bekerja di ibukota. Sama sepertimu," katanya.
Aku mengangguk, merasakan tanganku kini gemetar saat rasa bersalah itu semakin besar. Aku menarik napas dalam-dalam, lalu memberanikan diri menatapnya.
"Bu ... aku minta maaf atas semuanya."
Ia menatapku beberapa saat. Sorot bingung mulai muncul di matanya. "Untuk apa?"
Aku menelan ludah. "Selama ini aku sadar apa yang sudah orang sekota ini lakukan padamu dan Hilda. Dan aku sama sekali tidak pernah membelamu atau Hilda.
Aku ... minta maaf karena sudah menjadi pengecut."
Ibu Hilda terdiam beberapa lama. "Apa ... maksudmu?" tanyanya pelan.
"Aku tau apa yang dilakukan Sarah pada Hilda ... aku menyaksikan tindakan kasar yang dia lakukan pada Hilda sejak dulu."
"Apa maksudmu, Lauren?"
Aku menatapnya dan mendapatinya kini benar-benar terlihat bingung.
"Sarah tidak mungkin melakukan itu. Hilda dan Sarah sejak dulu berteman. Sarah selalu membantu keluarga kami dan menjadi teman yang selalu mendukung Hilda-terutama
sejak beberapa tahun terakhir ini," jawabnya.
Aku terdiam, menatap Ibu Hilda beberapa lama. Mataku bergerak-gerak mencari kebohongan atau ketakutan di matanya. Namun aku sama sekali tidak mendapatkannya.
Terutama saat wajahnya kini terlihat sembab dan kelelahan. Aku tidak bisa mengartikan apa pun dari ekspresi wajahnya itu.
Tapi perkataannya kembali terngiang di kepalaku.
Mungkinkah Hilda dan Sarah sudah menjadi teman baik selama 4 tahun terakhir ini? Di saat aku tidak ada di kota ini? Mungkinkah semuanya menutupi pengasingan
itu karena tidak ingin mengungkitnya lagi karena sekarang semuanya sudah berubah?
Mungkin aku yang melewatkan suatu perubahan di kota ini.
4 tahun mungkin adalah waktu yang cukup untuk membuat sebuah perubahan besar.
*** fBAB 3. Sudut Baru Saat cahaya matahari tepat berada di atas kota ini, barulah kini aku bisa melihat jelas beberapa perubahan yang sudah terjadi di Kota Angor. Gedung-gedung
sudah mulai banyak menghiasi beberapa lahan yang 4 tahun lalu masih kosong. Gedung bioskopnya kini berlantai dua dan lebih megah daripada sebelumnya. Dan
kini ada sebuah taman kota yang luas berada di pusat kota, yang dahulunya hanya berdiri sebuah patung air mancur di sana.
Kota Angor sendiri sebenarnya adalah kota dengan penghasilan utama di bidang pertanian, khususnya cabai. Tapi setelah keluarga Waksono datang, industri
pabrik mulai berkembang pesat. Kini, tidak hanya gedung pabrik pembuat kain yang ada di sini, tapi juga pabrik-pabrik baru produk olahan makanan. Beberapa
berada di dekat pusat kota, selebihnya pabrik itu didirikan di pinggiran kota. Aku masih bisa melihat asap-asap mengepul itu dari kejauhan.
Tanpa bisa kutahan, aku akhirnya memutuskan untuk mengendarai mobilku mengintari kota ini. Selama ini kukira aku tidak akan merasakan kerinduan pada kota
ini. Tapi ternyata rasa itu tetap ada, walaupun hanya sedikit.?
Mataku tetap mencari semua hal yang selama ini ada di ingatanku, semua tempat dan orang-orang yang biasanya menempati atau berjalan di sepanjang jalan
yang kulalui. Beberapa dari mereka masih bisa kukenali, beberapa lagi terlihat sangat berubah. Si Gadis penjaga toko bunga yang berada di depan taman kota
kini bukan lagi gadis kecil. Ia kini sudah berubah menjadi gadis remaja, berdiri di depan tokonya sambil mengangguk pelan mengikuti alunan musik dari headset
yang tergantung di telinganya.
Mungkin 4 tahun ini memang sudah banyak yang berubah.
Pikiranku langsung kembali dipenuhi oleh percakapanku dengan Ibu Hilda beberapa menit lalu. Rasanya aku masih belum bisa mempercayai sepenuhnya bahwa Sarah
dan Hilda selama ini menjadi dekat satu sama lain. Tidak pernah kubayangkan ada satu pun kesamaan dari mereka berdua yang memungkinkan mereka menjadi teman.
Tapi membayangkan hal itu benar-benar terjadi juga membuatku sedikit lega. Artinya 4 tahun terakhir ini Hilda tidak lagi hidup dalam pengasingan seperti
yang ia alami sejak kecil. Artinya setidaknya ada bagian dari hidupnya yang tidak lagi buruk.
Walaupun sebenarnya masalah 'Himpitan ekonomi' ini masih sangat terdengar tidak wajar di telingaku.
Aku memberhentikan mobil begitu sudah sampai di depan rumah. Mobil Paman sudah terparkir di depan garasi. Aku sangat berterima kasih pada Paman karena
sudah meminjamkanku mobil ini selama aku di sini. Kukira mereka tidak akan membiarkanku untuk menyetir sendiri, terutama setelah ... kejadian itu. Aku
bahkan baru menyetir kembali setahun lalu saat di kota.
Begitu mobil sudah sepenuhnya berhenti, aku langsung turun dan bergegas masuk ke dalam rumah. Paman dan Bibi yang sedang duduk di ruang tamu langsung mendongak.
Mereka langsung menghela napas lega begitu melihatku pulang.
"Kau baik-baik saja?" tanya Bibi khawatir.?
Aku mengangguk kecil, menyadari apa maksud dari pertanyaannya.
"Tadi kau kemana dulu? Kami kira kau sudah kembali ke rumah," tanya Bibi lagi, alisnya berkerut cemas.
"Aku mengelilingi kota." Aku menatap Paman dan Bibi yang hanya diam. "Maaf, aku tidak memberi kabar pada kalian tadi," sambungku begitu menyadari ekspresi
Paman dan Bibi. Paman akhirnya menghela napas pelan, berusaha untuk kembali santai. Ia mulai tersenyum kecil padaku. "Bagaimana menurutmu?"
"Tentang apa?" tanyaku.
"Kota ini. Aku yakin kau menyadari banyak perubahan yang terjadi pada kota ini," ujarnya.
Aku tersenyum kecil. "Ya. Kurasa Kota Angor semakin maju daripada 4 tahun lalu."
Bibi terkekeh, walaupun sorot khawatir itu masih tersisa di wajahnya. "Oh, ya. Kurasa Pak Mulyo berhasil membangun kota ini menjadi lebih baik."
Alisku terangkat. "Siapa Pak Mulyo?"
"Walikota baru di sini," jawab Paman.
Aku mengangguk paham. Satu lagi perubahan dari kota ini yang baru aku tahu. Aku mulai berjalan menuju dapur dan mengambil segelas air.
"Kau ingin makan?" tanya Bibi. Ia langsung berjalan mengikuti ke dapur. "Aku sebenarnya masih mempersiapkan hidangan untuk makan siang."
"Tidak apa-apa, Bi. Aku masih kenyang," jawabku.
Bibi kemudian mengambil satu loyang kue bolu dan menyodorkannya padaku. "Makanlah, untuk sekedar mengisi perutmu," katanya dengan nada lembut.
Aku tersenyum kecil, kemudian mengambil sepotong kue itu. "Terima kasih, Bi."
"Tidak perlu sungkan."
Aku kemudian berjalan dan duduk di meja makan sambil menyantap kue bolu itu, sedangkan Bibi mulai berbalik dan kembali sibuk menyiapkan makanan.
"Jadi apa kau sudah bertemu dengan teman-temanmu saat pemakaman tadi?" tanya Paman.
Aku mendongak dan terdiam beberapa saat. "Ya, beberapa."
Paman mengangguk. "Memang suasana ini sangat tidak tepat untuk melakukan reuni. Tapi tetap saja?kau sangat jarang datang ke sini. Kurasa ... ada baiknya
kau bertemu kembali dengan teman-temanmu dulu," kata Paman dengan berhati-hati.
Aku terdiam beberapa saat, kembali mengingat beberapa teman yang hadir di pemakaman itu. Dan ... Sarah.
"Apa Sarah dan Hilda menjadi sangat dekat beberapa tahun terakhir ini?" tanyaku akhirnya.
Bibi berhenti sejenak, lalu kembali bergerak memotong wortel. Paman kemudian menatapku beberapa saat, lalu senyum muncul di wajahnya. "Jika maksudmu mereka
menjadi lebih dekat daripada sebelum sejak beberapa tahun ini, jawabannya iya."
Aku mengamati Paman beberapa saat, merasakan sedikit keanehan yang muncul di dalam diriku setiap kali semua orang berkata bahwa seolah-olah pengasingan
Hilda dan keluarganya tidak pernah terjadi.
"Apa yang terjadi sebenarnya?"
Paman kembali terdiam. Bibi ikut berbalik, menatap Paman dan aku dengan bergantian dengan wajah bingung.
"Apa maksudmu?" tanya Paman.
Aku mengangkat bahu, berusaha bersikap tenang. "Aku hanya tidak habis pikir bagaimana bisa Hilda dan Sarah bisa berbaikan?"
"Berbaikan ...?"
Aku mengangguk lalu menunggu Paman dan Bibi menjawab pertanyaanku dengan sejujurnya. Setidaknya mereka berdua tidak akan berbohong pada keponakannya sendiri.
Dan aku tahu mereka sejak dulu menyadari adanya perlakuan tidak adil yang dilakukan seisi kota ini pada keluarga Hilda. Sama sepertiku, Paman dan Bibi
juga lahir dan hidup di Kota Angor.
Paman kemudian menghela napas pelan. Matanya menatapku dengan sorot bingung bercampur prihatin. "Aku tidak mengerti apa yang kamu bicarakan, Lauren. Sejak
dulu, Sarah dan Hilda selalu akur. Mereka bersahabat. Semua orang di kota ini tau itu," jawab Paman.
Aku menatap diam Paman dan Bibi bergantian, menyadari bahwa mereka juga memilih melupakan pengasingan itu dan memutuskan untuk fokus pada hal yang sudah
berubah saat ini. Aku menghempaskan diri ke kursi, lalu tersenyum sambil mengangguk kaku.
Mungkin sebaiknya aku juga membiarkan hal ini. Mengungkit kembali kenangan buruk Hilda bukanlah tindakan yang pantas dilakukan, terutama setelah kematian
tragis gadis itu. "Kurasa kalian benar," sahutku akhirnya.
Paman tersenyum lalu kembali membuka koran yang sejak tadi ia pegang. Suasana di rumah ini kembali tenang beberapa saat.
"Jadi kau ingin kemana besok? Mungkin kita bisa makan di luar dan mengunjungi tempat baru yang belum pernah kau datangi sebelumnya?" saran Bibi dengan
ceria. Aku menatap Bibi sekilas lalu menunduk. "Aku akan kembali ke Ibukota besok pagi-pagi sekali."
Bibi kembali berhenti memotong. Ia menatapku beberapa saat, begitu juga Paman.
"Kau ... yakin tidak ingin menginap semalam lagi di sini?" tanya Bibi.
Aku menggeleng. "Lusa aku harus kembali bekerja, Bi. Maaf."
Paman menghembuskan napas pelan. "Yah ... mau bagaimana lagi." Ia menatap istrinya. "Sudahlah, Lauren bisa mengunjungi kita kapan saja ia punya waktu.
Jangan khawatir." Bibi mengangguk. "Kuharap kau akan ke sini saat liburan hari raya nanti."
Aku hanya tersenyum, tidak berani memberikan janji apa-apa padanya. Aku sadar masih ada bagian diriku yang tidak terlalu ingin kembali ke kota ini lagi.
Sekalipun aku juga rindu pada Paman dan Bibi.
"Lauren," panggil Bibi.
"Ya?" Bibi terdiam sesaat. Matanya kini bergerak-gerak ragu, seolah benar-benar tidak ingin mengatakan apa yang sedang ada di pikirannya saat ini. Aku menunggunya.
Beberapa saat kemudian ia akhirnya menatapku. "Kau ... sudah menemui keluargamu?"
Jantungku langsung berdesir keras. Tapi seperti biasa, aku tetap berusaha memasang wajah tenang setiap kali seseorang menyinggung hal ini. Aku berusaha
tersenyum, tapi aku yakin hanya ada senyum memilukan yang muncul di sana.
"Aku tau ini sangat berat bagimu. Tapi sudah lama kau tidak mengunjungi mereka."
Aku hanya terdiam, tenggorokanku terasa tercekat. Beberapa saat aku hanya menatap Bibi dan hanya bisa merasakan tatapan Paman padaku. Aku kemudian menelan
ludah, memaksa untuk tetap berbicara. "Kurasa aku akan melakukannya."
Bibi tersenyum kecil padaku.
"Kau ingin ditemani?" Paman yang kini bertanya padaku.
Aku menoleh padanya, kemudian menggeleng. "Tidak perlu, Paman," jawabku. Aku lalu menarik napas pelan. Begitu aku merasakan panas di kedua mataku, aku
langsung menunduk. "Kurasa aku kini bisa melakukannya sendiri."
*** Beberapa kali aku menghentikan langkah dan berniat untuk pergi meninggalkan tempat ini. Semakin dekat dengan tempat itu, kakiku mulai gemetaran hingga
membuatku harus menegangkan otot agar tidak terjatuh tiba-tiba.
Aku menghirup napas dalam-dalam, sambil menengadahkan wajahku ke langit sore yang sudah berubah jingga sekarang. Aku tidak mengerti mengapa pada hari ini
juga aku akhirnya memutuskan untuk mengunjungi keluargaku. Aku bisa melakukannya besok pagi, sebelum aku berangkat ke bandara. Tidak ada yang memaksaku
untuk menemui mereka, bahkan Paman dan Bibiku.
Mungkin aku yang sejak dulu rindu pada mereka dan aku tidak berani mengakuinya.
Langkahku berhenti begitu akhirnya aku sampai di tempat itu.
Badanku seketika kaku begitu aku memberanikan diri untuk menatap tiga nisan yang berada di depanku. Tiga nisan yang cukup terawat. Tiga batu nisan itu
berjejer bersebelahan. Aku menatap batu nisan itu bergantian. Nama Rusdi Narra, Dian Narra dan Noah Narra tertulis di sana.
Batu nisan Ayah, Ibu dan adik kecilku.
Aku tidak bisa melepaskan tatapanku dari ketiga nisan itu, rasanya ada yang menahan seluruh ototku untuk tidak bergerak sama sekali. Napasku mulai memburu
dan detik berikutnya aku mulai menangis sekencang-kencangnya.
Tapi anehnya aku tidak mendengar suara isak sedikit pun dari mulutku. Mulutku tertutup rapat. Aku hanya bisa merasakan bahuku yang bergerak terisak.
Aku rindu kalian ... sangat amat merindukan kalian ...
Dan rasa rindu ini sangat menyakitkan, kalian tau? Seperti pisau tak terlihat. Pisau itu terus menyayat setiap lapis jantungku dengan sangat perlahan dan
aku sama sekali tidak bisa mencegah atau menghindar dari sayatan itu.?2
Rasanya aku tidak tahu sudah berapa lama aku hanya berdiri terisak diam sambil memandangi kuburan mereka. Aku tidak pernah merasakan kesedihan dalam ini
sejak aku memutuskan pindah dari kota ini. Kukira aku akan baik-baik saja dan mengira kesedihan luka ini sudah terhapus bersih dari dalam diriku. Tapi
ternyata tidak. Mungkin tidak akan pernah bisa.
Begitu aku akhirnya bisa kembali mendapatkan kesadaranku, aku mulai bergerak dan membersihkan kuburan itu dari rumput-rumput liar dan menebarkan bunga.
Sampai akhirnya langit mulai gelap, barulah akhirnya aku memutuskan pulang. Aku kembali berjalan mengintari taman pemakaman ini. Saat akhirnya melewati
tempat kuburan Hilda, mau tidak mau aku menoleh dan mataku langsung tertuju pada sosok gadis yang familiar bagiku. Gadis itu sedang berbicara dengan seorang
pria berbadan besar, tidak jauh dari kuburan Hilda.
Sarah. Aku hendak berniat menghampirinya. Tapi begitu aku menyadari wajah gadis itu terlihat berkerut serius pada pria itu, aku langsung memutuskan untuk berjalan
di dekat pohon besar hingga badanku tertutup penuh dari pandangannya. Suara percakapan mereka samar-samar semakin jelas bisa kudengar.
" ... tidak peduli! Sudah kubilang padamu seharusnya ini sudah selesai sejak kemarin."
Aku mengerutkan alis, entah mengapa mulai merasakan ketidaknyamanan dari suara Sarah.
"Ada beberapa kendala yang kami harus tangani dulu?"
"Aku tidak peduli," bisik Sarah dengan tajam. "Hilangkan semua bukti-bukti itu dari kamar Hilda malam ini juga!"
*** BAB 4. Satu Titik Badanku membeku beberapa saat, mulai merasakan ketidaknyamanan yang luar biasa dari nada bicara Sarah dan nama Hilda yang disebut-sebut dalam percakapan
ini. Aku kini bersembunyi sepenuhnya di balik pohon besar, namun tetap berusaha mengintip ke arah Sarah.
"Bukti-bukti itu sudah aku bersihkan pagi tadi. Jadi jangan khawatir," jawab pria besar itu.
Sarah terdiam beberapa saat, lalu menghembuskan napas tak sabar. "Tidak ada yang melihatmu, kan?"
Aku mengerutkan alis, mulai mencerna apa yang baru saja kudengar. Ucapan Sarah kini jelas-jelas memperlihatkan bahwa ia sedang menyembunyikan sesuatu dari
orang-orang. Dan itu ada hubungannya dengan Hilda.
"Tidak. Tentu saja." Ia mendengus, terlihat jelas mulai sedikit kesal. "Aku sudah sering melakukan hal ini, jadi tidak usah khawatir."
Sarah melipat lengannya. Ia menatap pria itu tanpa rasa takut sedikit pun. Walaupun langit sudah semakin gelap, aku masih bisa melihat samar-samar rupa
pria itu. Pria itu berotot kekar, jangkung dan ada sebuah tato di lengan kanannya. Tato itu menyelip dari kaos hitam yang yang ia kenakan. Aku tidak bisa
melihat jelas gambar tato itu. Yang jelas, tato itu memenuhi lengan kanan bagian atasnya. Bagiku, pria itu terlihat jelas bukan tipe pria yang sangat nyaman
untuk dibentak atau dimarahi.
"Kau baru saja membuatku khawatir beberapa menit lalu. Apa yang terjadi kemarin malam?"
Si Pria besar mengeluarkan sesuatu dari kantongnya, secarik kertas. Ia kemudian menyodorkannya pada Sarah. "Kau kenal dia?" tanya pria itu.
Sarah menyipitkan matanya, memandangi kertas yang kini kuduga adalah sebuah foto. Alisnya mulai bertaut, sedang berpikir keras untuk mengenali siapa pun
yang ada di foto itu. "Dia terlihat familiar bagiku," jawabnya akhirnya.
Pria besar itu menatap Sarah, memberinya waktu untuk mencoba mengingat kembali pria di foto itu. Tapi kemudian akhirnya Sarah menggeleng kalah. "Aku tidak
bisa mengingatnya. Tapi aku benar-benar pernah melihatnya di suatu tempat. Katakan padaku apa yang dilakukan pria ini?"
"Kemarin malam salah satu anak buahku melihatnya berkeliaran di rumah Hilda."
"Apa??" bisik Sarah dengan kesal.
"Tidak apa-apa. Dia aman, kami sudah menangkapnya," jawab pria itu.
Sarah menghembuskan napas dengan kesal. "Lalu apa?"
"Dia bilang dia pernah bekerja dengan ayahmu untuk melakukan rencana yang sama pada Hilda. Rencana yang persis seperti yang kita lakukan pada Hilda."
Kakiku mulai terasa lemas mendengar kalimat terakhir yang diucapkan pria itu. Aku kini sepenuhnya bersandar penuh pada pohon itu, membiarkannya menahan
bebanku sepenuhnya. "Kau serius?" Pria itu mengangguk. Dan aku bisa melihat senyum di wajahnya. Sarah terdiam beberapa saat. Kemudian ia mendengus. "Kurasa tidak hanya aku yang sudah muak
dengan gadis gembel itu," katanya dengan santai.
Jantungku kembali berdesir begitu menyadari nada jijik yang terdengar jelas dari ucapan yang baru saja dilontarkan Sarah. Tidak perlu waktu lama bagiku
untuk memahami situasi ini.
Sarah masih membenci Hilda.
Kali ini aku benar-benar sangat yakin dengan hal ini.
Sarah dan Hilda tidak pernah berteman. Tidak pernah. Dan tidak ada yang berubah selama 4 tahun terakhir ini.
"Dengar, aku harus pergi sekarang. Akan kuhubungi lagi kau besok pagi," ujar Sarah. Mereka kemudian mulai berbalik berjalan menuju pintu masuk taman pemakaman.
Begitu mereka hendak akan melewati pohon besar tempat aku bersembunyi, aku langsung bergerak pelan memutar untuk tetap menyembunyikan badanku dari pandangan
mereka. "Kalau begitu tinggal satu lagi yang harus kita pastikan ..."
Suara mereka terdengar sangat jelan. Aku yakin mereka berjalan semakin dekat-mungkin sudah tepat berada di depan pohon ini. Aku terus bergerak memutari
sisi pohon sambil terus mengawasi mereka. Kakiku mulai berjalan dengan pelan berhati-hati untuk tidak tersandung dahan besar pohon itu dan dedaunan yang
bertumpuk penuh di atasnyaSRHREEK. Sarah tiba-tiba berhenti, langsung menoleh ke arahku. Aku berhasil menarik kepalaku dan bersandar merapat pada sisi pohon dengan cepat. Aku tidak yakin
apakah Sarah sempat melihatku atau tidak. Tapi aku tetap mulai menahan napas, mencoba untuk tidak menambah kecurigaannya setelah suara yang baru saja tidak
sengaja kutimbulkan. "Ada apa?" Suara Si Pria itu terdengar waspada.
"Aku mendengar sesuatu," ujar Sarah dengan nada kelam.
Aku mengatupkan rahang, mencoba mengatur napas dan detak jantungku yang berdebar kencang. Beberapa saat tidak ada suara terdengar, hanya hembusan angin
dan goyangan dedaunan yang menyelimuti pendengaranku.
Suara langkah mulai terdengar semakin jelas ke arahku. Otakku langsung berputar cepat untuk mencari cara menyelamatkan diri dari sini begitu menyadari
Sarah akan menemukanku bersembunyi di sini. Dan jika itu terjadi, artinya ia akan menyadari bahwa aku mendengarkan pembicaraannya dan rencana jahat yang
ia lakukan pada Hilda, entah apa pun itu.
Dan aku tidak yakin ia akan melepaskanku begitu saja sekarang.
Ttiiiiitt. Suara klakson itu berhasil membuatku terlonjak kaget. Tapi aku tetap bersandar rapat di balik pohon itu, mengatupkan mulutku rapat-rapat. Dan aku terus
memasang telingaku lebar-lebar, menunggu dengan waspada setiap gerakan Sarah.
Beberapa detik berlalu dengan hening.
Sampai akhirnya aku mendengar suara helaan napas yang tidak terlalu jauh dari tempat berdiri. Aku menyadari Sarah sudah berada di belakangku, tepat di
balik pohon ini. "Ayo, Sarah." Seseorang memanggil dari kejauhan, Si Pria besar bertato itu.
Kemudian suara langkah menjauh mulai terdengar. Dan beberapa saat kemudian suara mobil menyusul, semakin lama semakin mengecil. Sampai akhirnya suasana
benar-benar hening, barulah aku mulai rileks dan bergerak menjauh dari pohon.
Aku menatap sekeliling dengan penuh kelegaan begitu menyadari aku sudah benar-benar sendiri di sini. Aku langsung bergegas lari keluar dari gerbang taman
pemakaman, menuju mobil yang kuparkir tidak jauh dari sana. Untunglah banyak mobil yang terparkir liar di sekitar sini, sehingga Sarah mungkin tidak akan
menyadari keberadaan mobilku yang terparkir di sana. Ia akan langsung mengenali mobilku dan langsung menyimpulkan bahwa akulah yang sedang berada di pemakaman,
mendengar pembicaraannya dengan pria itu.
Begitu aku masuk ke dalam mobil, aku langsung menancap gas pergi dari sana-tanpa tujuan. Yang kuinginkan sekarang adalah pergi secepatnya dari taman pemakaman
itu. Aku terus melaju, mengendarai mobilku menjauh. Hingga beberapa menit kemudian, barulah aku memberhentikan mobil di pinggir jalan. Dan aku langsung
menarik napas panjang berkali-kali, masih berusaha untuk mengatur detak jantungku yang berpacu liar sejak di pemakaman tadi.
Pikiranku kini kembali dipenuhi dengan semua yang baru saja kudapatkan dari kunjunganku ke pemakaman beberapa menit lalu. Semua infomasi itu mau tidak
mau langsung bercampur aduk membentuk dugaan-dugaan gila tanpa bisa kutahan lagi.
Ada sesuatu yang terjadi di sini.
Sesuatu yang buruk, yang diketahui semua orang. Sesuatu yang buruk terjadi pada Hilda. Semua ucapan Sarah tentang bukti-bukti yang ingin ia hilangkan,
rencana, nada benci Sarah pada Hilda dan panggilan gadis gembel itu.
Aku tidak bisa menyangkal bahwa semua hal ini membuatku berpikir pada satu hal. Semua ini berkaitan dengan kematian Hilda dan alasan mengapa gadis itu
ditemukan tewas di kamarnya. Alasan itu sudah terbentuk jelas di otakku. Alasan yang sangat gila, namun bagiku justru terdengar sangat masuk akal.
Tanganku masih gemetaran, tapi kupaksakan untuk memegang kemudi dengan erat. Aku sadar aku harus memberitahu seseorang tentang apa yang baru saja kudengar.
Tentang dugaan yang baru saja kusimpulkan dari semua yang kutahu. Dan aku harus memberitahunya secepat mungkin.
Aku kemudian mulai menginjak pedal, mengendarai ke tempat seseorang yang paling bisa kupercaya di kota ini.
*** Aku berusaha berjalan dengan tenang memasuki pintu masuk gedung ini. Beberapa orang berpakaian seragam polisi berlalu lalang, bercampur dengan beberapa
warga kota. Aku langsung berjalan menuju meja besar yang berdiri di tengah lobi. Seorang polisi pria berseragam berumur sekitar 30an duduk di sana.
"Ada yang bisa saya bantu?" tanyanya begitu aku sampai di depan mejanya.
"Aku mencari David, polisi penyidik yang menangani kasus Hilda," kataku dengan tenang. Aku tidak percaya aku lupa menanyakan nama belakangnya saat pemakaman


Silent Girl Karya Indah Thaher di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hilda waktu itu. Polisi itu terdiam sesaat. "David? Tidak ada penyidik bernama David di sini."
"Dia dari penyidik kepolisian Ibukota. Dia di sini hanya menggantikan polisi yang sedang bertugas," cobaku lagi. "Bisa aku bertemu dengannya? Dia yang
menangani kasus Hilda," ulangku.
Polisi itu mengamatiku beberapa saat, kemudian ia bangkit berdiri. "Sebentar, aku cek dulu."
Aku mengangguk cepat, lalu tetap mengikuti sosoknya hingga ia tidak terlihat lagi diujung lorong. Jari-jariku masih mengetuk tak sabar sambil menatap ke
sekeliling. Rasanya aku tidak pernah merasa sekalut ini, setidaknya selama beberapa tahun terakhir ini.
Begitu Si Polisi tadi muncul dari ujung lorong, bahuku mulai rileks. Tapi kemudian aku menyadari bahwa ia hanya berjalan sendiri, tanpa ada sosok David
di sebelahnya. "Maaf, Nona. David tidak ada di sini," katanya.
"Apa maksudmu? Dia sudah pergi?"
"Ya, dia sudah melapor beberapa jam lalu untuk kembali ke kantornya di ibukota."
Bahuku merosot. Aku menggigit bibir, mulai berpikir cepat. Si Polisi mengamatiku beberapa saat. "Apa sesuatu terjadi? Kau bisa menceritakannya pada polisi
yang sedang bertugas di dalam."
Aku menatapnya beberapa saat. Lalu aku akhirnya menggeleng pelan. "Tidak. Ini ... urusan personal dengan David," kataku pada akhirnya. Aku tidak mengerti
mengapa aku akhirnya berbohong. Tapi entah kenapa, rasanya aku justru tidak merasa nyaman untuk menceritakan isi pikiranku pada polisi dari kota ini. Aku
tidak yakin mereka akan bereaksi seperti yang aku harapkan, terutama setelah sikap aneh yang dimunculkan semua orang tentang pengasingan Hilda yang kini
jelas-jelas benar-benar ditutupi dengan alasan yang tidak jelas.
"Kau sudah menghubunginya?"
Aku menggeleng. "Aku tidak tau nomor kontaknya."
Ia menatapku beberapa saat, lalu ia menghela napas pelan. "Aku tidak bisa memberikanmu nomor kontaknya. Tapi cobalah mencarinya di Hotel Nurwangsa. Setiap
polisi luar menginap di hotel itu. Mungkin dia masih di sana."
"Terima kasih," ujarku sungguh-sungguh.
Aku langsung bergegas keluar dan berjalan menuju mobil. Dengan cepat, aku menginjak pedal dan mulai berkendara menuju hotel tersebut. Begitu sampai di
sana, aku langsung melangkah cepat menuju lobi.
"Boleh aku tau apakah tamu polisi penyidik bernama David sudah check out dari hotel ini?" tanyaku begitu aku sampai di depan lobi.
Seorang resepsionis wanita muda langsung mendongak dan terlihat sedikit bingung dengan pertanyaanku.
"Aku kliennya, ini darurat. Tolonglah," cobaku lagi.
Ia terlihat ragu, kemudian ia mulai menunduk menatap layar di depannya. "Sebentar saya cek dulu."
"Terima kasih," ujarku.
"Lauren?" Aku langsung mendongak begitu mendengar suara itu. Kelegaan yang besar langsung menyelimutiku dengan cepat.
David. Ia berdiri tidak jauh dariku, membawa satu tas besar di tangan kirinya. Ia jelas-jelas sudah akan berangkat pulang kembali ke ibukota. Aku langsung bergegas
menghampirinya. "Ada apa?" tanyanya dengan nada waspada. Ia jelas-jelas menyadari ekspresi wajahku yang penuh kekalutan.
Aku menatap ke sekeliling kami, lalu memutuskan menariknya untuk mengikutiku ke lorong yang sepi di sebelah elevator. David mengikutiku tanpa ragu sedikit
pun. Begitu kami sudah jauh dari keramaian, barulah aku menatapnya dengan penuh.
"Hilda tidak bunuh diri," kataku. Aku lalu menarik napas panjang, mencoba mengumpulkan tenaga untuk tetap berdiri tegak. Lalu aku kembali menatapnya.
"Dia dibunuh, oleh Sarah."
*** BAB 5. Waktu Kedua David menatapku beberapa saat. Alisnya bertaut, memandangiku dengan ekspresi yang sama sekali sulit kubaca. Tapi aku tetap tidak melepaskan tatapanku padanya.
Aku sadar aku harus terlihat yakin dengan apa yang aku ucapkan.
"Kau punya bukti?" tanyanya pada akhirnya.
"Aku saksinya. Aku mendengarkan pembicaraan mereka tentang hal ini," jawabku.
David mengamatiku sejenak, lalu melirik jam tangannya dengan alis bertaut. Ia menghela napas pelan. "Ikut aku," katanya. Ia lalu berbalik berjalan menuju
pintu keluar. Aku mengikutinya dari belakang.
David berjalan menuju ke area parkir yang berada di samping gedung. Ia terus berjalan hingga sampai ke depan sebuah mobil sedan hitam.
"Masuklah. Kita bicara di dalam," ujarnya.
Aku mengangguk, kemudian langsung membuka pintu mobil dan masuk. Begitu aku duduk di kursi penumpang, aku menatap David yang kini sudah masuk. Ia menaruh
tas besarnya di kursi belakang, lalu kemudian tatapannya tertuju padaku.
"Bisa kau ceritakan padaku dengan lengkap apa saja yang kau dengar dari percakapan mereka?" pintanya. Suaranya kini tiba-tiba terdengar lebih lunak, membuatku
merasa sedikit lebih rileks.
Aku menceritakan semuanya dengan detil padanya. Mulai dari saat aku mengunjungi pemakaman, percakapan Sarah dengan seorang pria berbadan besar bertato,
foto seorang pria yang mereka bicarakan, hingga akhirnya aku sampai di kantor polisi untuk mencarinya. Aku sadar aku tidak menceritakan tentang kunjunganku
pada makam keluargaku dengan lengkap. Aku tahu hingga detik ini aku masih tidak ingin menceritakan hal itu pada siapa pun.
Begitu menceritakan semua kesaksianku, aku langsung mengutarakan semua dugaan yang sejak tadi sudah tertanam di otakku. Dan aku juga akhirnya menceritakan
tentang pengasingan yang dilakukan Sarah dan seisi kota ini pada Hilda dan keluarganya.
Dan bagaimana semua orang di kota ini tiba-tiba saja langsung bersikap seolah-seolah pengasingan itu tidak pernah dilakukan dan terasa ditutup-tutupi dengan
sangat aneh. "Lauren," ujar David. "Dari semua ceritamu itu, aku masih belum bisa menemukan sesuatu yang membuktikan kalau Sarah dan pria ini membunuh Hilda."
Aku menatapnya beberapa saat tanpa suara.
"Kesaksianmu masih samar dan terlalu terburu-buru. Mereka hanya berkata tentang rencana dan bukti-bukti. Itu tidak cukup untuk menyimpulkan kalau mereka
yang membunuh Hilda. Lagipula, pada mayat Hilda tidak ditemukan bekas luka kekerasan fisik selain luka irisan di tangannya."
Aku tertegun, mencerna informasi ini sedalam-dalamnya. Tapi anehnya aku justru merasakan sesuatu yang ganjil tentang hal ini. Rasanya ada sesuatu yang
menahanku untuk tetap berpikir bahwa kematian Hilda tidak wajar, bahkan setelah mendengar penjelasan David barusan.
Aku kembali menatap David dengan yakin."Aku tau ini kedengarannya gila. Tapi bagiku setidaknya kini kau memiliki alasan untuk membuka kembali kasus ini.
Sarah memiliki alibi untuk membunuh Hilda. Dia menyuruh pria itu menghilangkan bukti yang entah apa dan rencana itu-aku bersumpah bisa mendengar nada benci
dan marah saat dia mengatakan hal itu."
David menatapku, kembali dengan sorot aneh yang tidak bisa kuartikan maksudnya. Tapi aku tetap melanjutkan perkataan yang ada dalam pikiranku.
"Dan jangan lupakan tentang pengasingan itu," bisikku dengan tajam. Tiba-tiba saja ada rasa frustasi ketika aku kembali mengingat kenangan-kenangan itu.
David diam, menungguku melanjutkan penjelasanku.
Aku menelan ludah, merasakan rasa tidak nyaman itu kembali muncul. "Alasan mengapa aku sangat terkejut dengan pernyataanmu bahwa seluruh kota ini berkata
Sarah dan Hilda bersahabat sejak dulu adalah karena memang bukan itu yang sebenarnya terjadi." Napasku kini mulai bergetar takut. "Sarah dan anak-anak
seumurannya-termasuk aku, kami sering memperlakukannya dengan tidak adil dan membuatnya dijauhi oleh siapa pun di kota ini. Dia dan keluarganya."
David mengerutkan alisnya. "Memperlakukannya dengan tidak adil?"
Aku kembali mengangguk, menyadari rasa malu itu kembali muncul. "Pembullyan, jika itu maksudmu. Sarah adalah anak penguasa kota ini, jadi kami semua mengikutinya."
David kini menatapku dengan sorot diam. Aku sadar ia masih ingin menanyakan lebih jauh tentang apa yang sebenarnya pernah kami lakukan pada Hilda dulu.
Selama beberapa saat aku menunggunya bertanya. Tapi ia tetap tidak bersuara dan aku sadar bahwa aku sendiri merasa sedikit lega ia tidak menanyakan hal
itu. Beberapa saat tidak ada dari kami yang bersuara.
"Aku bersumpah, sejak dulu mereka tidak pernah berteman dan Sarah amat sangat membenci Hilda. Semua anak di kota ini menjauhinya karena Sarah," kataku
lagi. David kemudian mendekatkan wajahnya padaku. "Lauren, hanya kau yang mengeluarkan pernyataan ini," ujarnya. Ia terdiam sejenak. "Menurutmu semua orang di
kota ini menyembunyikan fakta ini dengan sengaja?" tanyanya.
Aku menatapnya sungguh-sungguh, berusaha membuatnya merasakan kejujuranku. "Ya."
David kembali diam beberapa saat. "Tapi jika pun itu benar, kau tidak di sini selama 4 tahun terakhir, Lauren. Hubungan mereka mungkin sudah berubah" ujar
David dengan tenang. " tahun tidak mengubah segalanya," sahutku dengan suara sedikit keras. "Lagipula aku masih mendengar Sarah menyebutnya dengan ejekannya dulu, gadis gembel."
David diam lalu menghela napas pelan. Wajahnya berkerut serius, sibuk dengan pikirannya sendiri selama beberapa saat.
"Aku memang menghilang dari kota ini selama 4 tahun, tapi aku masih mengenal baik kota ini. Dan aku bisa menyadari bahwa mereka semua menutup-nutupi pengasingan
itu. Entah untuk alasan apa pun itu," sambungku.
David kembali mengamatiku beberapa saat. Matanya kembali bergerak mencari-cari kebohongan di mataku. Beberapa saat suasana di dalam mobil ini diam tanpa
suara, hanya sesekali suara napas kami yang terdengar.
"Dengar, Lauren," panggil David.
Aku menatapnya dan langsung menyadari arti sorot mata yang sedang tertuju padaku itu. Badanku menegang. "Kau tidak sepenuhnya percaya dengan perkataanku,"
gumamku tak percaya. David tetap menatapku. "Aku hanya merasa kesimpulanmu terlalu terburu-buru."
Aku menelan ludah, sama sekali tidak menyangka hal ini. "Baiklah, kalau begitu." Aku terdiam sesaat. "Jika kau benar-benar tidak percaya, aku harap kau
mulai menyelidiki tentang apa yang sebenarnya dibicarakan Sarah dan pria itu tadi. Tentang rencana-rencana itu, dan bukti-bukti yang mereka hilangkan.
Setidaknya ini semua menjadi alasan untuk membuka kasus ini lagi."
Ia terdiam sesaat, lalu akhirnya mengangguk. "Akan kulakukan."
"Itu cukup bagiku untuk saat ini," ujarku. Aku menarik napas pelan. "Dan untuk cerita pengasingan itu, aku akan membuktikan padamu bahwa yang kukatakan
adalah benar." David kembali terdiam, kemudian ia menghela napas cepat. Ia lalu melirik jam tangannya. "Dengar, aku harus kembali ke ibukota selama dua hari," katanya.
Ia kemudian mengeluarkan dompetnya dan memberikanku sebuah kartu nama. "Hubungi aku lagi setelah itu dan kita akan membicarakan ini lagi nanti," sambungnya
sambil memasukkan kembali dompet itu ke dalam saku celananya.
Aku mengangguk kaku sambil memegang kartu nama itu. Ia menatapku beberapa saat. "Jaga dirimu, Lauren. Kita akan bertemu lagi nanti," katanya.
Aku kembali mengangguk, kemudian membuka pintu dan keluar dari mobilnya. Jendela mobil lalu terbuka dan wajah David kembali muncul.
"Kuharap kau tidak melakukan tindakan gegabah selama aku tidak ada nanti," ujarnya dengan wajah kelam.
Lalu mobil itu mulai bergerak meninggalkanku.
*** "Kau tidak pernah cuti sebelumnya."
Aku menunduk, menyetujui perkataan Bu Diana. "Ya." Karena aku tidak pernah mendapatkan situasi seperti ini sebelumnya.
"Apa terjadi sesuatu?"
Aku memegang erat ponsel itu, merasa sangat tidak nyaman dengan kebohongan yang kulakukan. "Tidak. Aku baik-baik saja. Hanya ada beberapa urusan yang perlu
aku selesaikan." "Begitukah? Tidak biasanya kau seperti ini, Lauren."
Aku terdiam sesaat. "Ya. Aku benar-benar minta maaf, Bu."
Suara helaan napas terdengar dari ujung sana. "Berapa hari kau akan cuti?"
"Tiga hari saja."
"Hmm ... tiga hari?" gumam Bu Diana. Sejenak tidak ada suara. "Baiklah. Aku izinkan."
Aku menghela napas pelan. "Terima kasih, Bu."
"Tentu saja aku akan mengizinkan. Tapi aku harap kau tidak akan meminta cuti mendadak seperti ini lagi. Bagaimana pun juga, tenagamu sangat dibutuhkan
di sini," kata Bu Diana.
"Ya. Aku akan segera menyelesaikan pekerjaanku begitu cutiku selesai. Terima kasih, Bu."
Rasanya aku benar-benar tidak habis pikir dengan rencanaku ini. Bekerja di perusahaan periklanan milik Bu Diana adalah salah satu hal baik yang terjadi
padaku selama beberapa tahun terakhir ini. Hubungan kami bahkan sangat dekat. Bu Diana adalah wanita berumur 40 tahun yang memiliki jiwa pemimpin sekaligus
naluri keibuan yang selama ini sangat kurindukan. Selama ini aku selalu menghormatinya dan selalu berusaha memberikan hasil kerja yang terbaik untuknya.
Tapi yang baru saja kulakukan adalah berbohong padanya.
Entah apa pun rencana yang sedang kususun saat ini, yang pasti aku benar-benar membutuhkan waktu tiga hari ini untuk menemukan jawaban dan bukti dari dugaan
yang semakin melekat keras di benakku.
Paman dan Bibi tentu saja sangat senang dengan keputusanku untuk menetap lebih lama di kota ini.
"Kukira kau harus bekerja," ujar Bibi. Ia kini tersenyum penuh padaku.
"Ya. Tapi aku memutuskan untuk cuti, libur beberapa hari."
"Jadi kau akan pulang sampai akhir pekan nanti?"
"Ya." Paman menepuk bahuku pelan. Ia juga tidak menutupi kesenangan di wajahnya. Dan entah kenapa rasanya sudah lama aku tidak merasakan kenyamanan seperti ini.
"Apa kau sudah berencana mengunjungi teman-teman lamamu di sini?" tanya Paman.
Aku tersenyum kecil. "Ya. Kurasa begitu."
"Dosen-dosenmu dulu?"
"Kurasa aku akan menemui semua orang yang kukenal di kota ini," ujarku.
Dan aku rasa aku sangat bersungguh-sungguh dengan apa yang baru saja kukatakan.
Aku tidak tahu pesan David justru malah membuatku semakin terdorong untuk melakukan niat yang sejak awal memang sudah muncul di otakku.
Aku sadar, bahkan sejak turun dari mobil David dan mendengarnya berkata bahwa ia tidak mempercayai ceritaku sepenuhnya, aku sudah bertekad akan melakukan
sesuatu untuk Hilda. Entah kenapa, perasaan yakin yang sangat besar bahwa kematian Hilda yang tidak wajar sudah melekat di benakku bahkan sejak pertama
kali aku mendengar alasan bunuh diri yang orang-orang lontarkan padaku. Himpitan ekonomi jelas bukan sesuatu yang bisa melumpuhkan mental Hilda. Ada sesuatu
yang membuatku terus berpikir bahwa kematian Hilda memiliki misteri yang lebih gelap.
4 tahun mungkin masih belum bisa mengubah apa yang terjadi pada Hilda dan keluarganya. Tapi setidaknya 4 tahun ini mulai mengubahku. Dulu aku sangat pengecut
dan membiarkan semua hal buruk itu terjadi pada Hilda. Yang kulakukan saat itu hanya menutup mata dan pergi menjauh darinya. Tapi kini, setidaknya aku
tahu apa yang sedang terjadi dan aku tidak ingin mengulangi kesalahan dan menjadi pengecut lagi. Aku tidak ingin membiarkan seisi kota ini memperlakukan
Hilda dan keluarganya dengan tidak adil lagi.
David tidak akan berada di sini selama beberapa hari dan aku tidak mungkin hanya menunggunya melakukan pekerjaannya. Sarah dan keluarga besar Waksono mungkin
akan melakukan sesuatu yang lebih jauh tentang kematian Hilda. Dan aku yakin mereka akan melakukannya dengan sangat mudah dan tanpa halangan sedikit pun.
Mereka adalah keluarga Waksono yang terpandang dan disegani. Jadi aku ragu akan ada orang yang berani menegur mereka.
Aku tahu David akan membantuku melacak isi pembicaraan Sarah di pemakaman itu. Tapi aku sadar David akan membutuhkan seseorang yang berasal dari dalam
kota ini untuk menggali informasi itu.
Bagaimana pun juga, aku lebih mengenal kota ini daripadanya. Dan mungkin ini saatnya aku ingin mengenal lebih dalam kota ini hingga sampai ke isi terdalam
dan terburuknya sekali pun.
*** BAB 6. Stop and Close Aku menatap diam gedung itu selama entah berapa lama. Tidak ada yang berubah dari gedung itu, kecuali dinding dan kacanya yang kini terlihat lebih baru
dari sejak terakhir aku mengingatnya. Tapi selebihnya sama. Kantor pegadaian itu tetap terlihat paling mencolok di antara gedung-gedung lain dengan cat
berwarna oranye terang. Aku mulai melangkah masuk melewati pintu kaca itu. Detik berikutnya, pandanganku langsung dipenuhi dengan beberapa orang yang sedang mengantri di loket.
Aku tetap berjalan menuju meja resepsionis dan sesampai di sana, aku langsung disambut dengan senyuman oleh seorang gadis muda.
"Ada yang bisa saya bantu?" tanyanya ramah.
"Aku ingin bertemu dengan Tifa," kataku.
"Tifa?" tanyanya dengan ekspresi bingung.
Aku mengangguk. "Tifa di bagian marketing."
Ia mengangguk paham, menyadari Tifa yang mana yang kumaksud. "Atas keperluan apa?"
Aku tersenyum kecil. "Katakan saja Lauren ingin bertemu dengannya. Sebentar saja."
Ia kembali mengangguk. "Sebentar, ya." Ia kemudian mulai memencet nomor di telpon dan berbicara dengan seseorang di ujung sana. Sesekali ia melirik kembali
padaku. Sampai beberapa saat kemudian, ia akhirnya menutup telponnya. Tatapannya lalu kembali padaku. "Dia akan turun sebentar lagi," katanya.
Aku tersenyum. "Terima kasih." Lalu aku berjalan ke ruang tunggu dan duduk di kursi yang berjejer merapat di dinding. Aku menatap ke sekeliling ruangan
itu beberapa lama, mencoba menghabiskan waktu sambil kembali mengingat kapan terakhir kali aku masuk ke dalam gedung ini.
"Lauren?" Suara itu masih terdengar sangat familiar di telingaku. Aku mendongak dan mendapati sosok gadis yang dengan sangat mudah bisa kukenali.
Tifa. Aku mengamatinya beberapa saat, menyadari ada banyak perubahan yang terjadi pada penampilannya. Ia kini tidak lagi Tifa yang selalu memakai celana jins
biru ketat dan baju sweater besar dengan tas ransel merah. Ia kini adalah Tifa, seorang pegawai di kantor pegadaian dengan tampilan profesional dan menawan.
Aku bahkan menyadari rambutnya kini sudah panjang sebahu, diikat rapi dengan pita kecil.
"Hai, Tifa." Aku tersenyum kecil. "Apa kabar?" tanyaku dengan canggung.
Ia menatapku sejenak dengan sorot bingung, masih tidak menyangka dengan kedatanganku ke sini. Ia lalu menghela napas pelan. "Aku kira kau sudah kembali
ke ibukota hari ini."
Dan aku menyadari ada nada ketus tersirat di dalam suaranya.
"Aku memutuskan untuk tinggal beberapa hari lagi di sini," jawabku.
"Untuk apa?" Aku menatapnya, kini benar-benar menyadari ada sorot kekesalan yang mulai muncul di matanya.
"Aku ingin bertemu denganmu dan teman-teman yang lain sebelum aku kembali." Aku mengamatinya sesaat. "Apa kau punya waktu sekarang? Apa ini sudah jam istirahatmu?
Mungkin kita bisa makan di luar atau semacamnya."
Ia terdiam beberapa saat, kemudian kembali mendesah lelah. "Aku akan istirahat makan siang 10 menit lagi."
"Oke. Aku tunggu di sini, kalau begitu."
Ia terlihat ragu beberapa saat, tapi akhirnya ia mengangguk kaku. "Kalau begitu aku ke atas dulu sekarang."
Aku mengangguk dan menatapnya pergi berjalan hingga menghilang di ujung tangga. Helaan napas akhirnya muncul keluar tanpa bisa kutahan lagi.
Kurasa aku lupa bahwa sepertinya hubunganku dengan beberapa orang di kota ini masih tidak sepenuhnya baik.
*** Begitu pelayan mulai beranjak pergi dari meja kami, suasana hening langsung menyelimuti kami dengan cepat. Restoran ini memang sedikit ramai, hanya tinggal
beberapa meja yang terlihat kosong tanpa pengunjung. Tapi restoran ini sangat luas, jadi aku hanya bisa mendengar samar-samar suara percakapan yang bercampur
aduk di dalam ruangan ini.
Tifa masih menatapku dengan sorot aneh. Alisnya sesekali berkerut tidak nyaman. Ia jelas-jelas terlihat masih tidak yakin untuk ingin tetap menghabiskan
waktu bersamaku saat ini.
Beberapa menit berlalu tanpa ada di antara kami yang mengeluarkan suara sedikit pun.
"Kau terlihat berbeda," katanya pada akhirnya.
Aku mengangkat alis, sedikit tidak menyangka dengan ucapannya. "Menurutmu begitu?"
"Ya. Kau terlihat ... lebih tenang."
Aku tidak bisa menahan diri untuk mendengus mendengar betapa ironi perkataannya barusan. "Aku sangat berharap itu memang benar," gumamku lirih.
Tifa mengamatiku beberapa saat. "Jadi ada urusan apa kau ingin menemuiku?"
Aku kembali menyadari nada tidak suka itu dari suaranya. Tapi aku tetap menatapnya dengan tenang. "Tidak ada alasan apa-apa, hanya sekedar ingin bertemu
dengan teman lama. Tidakkah itu yang biasa orang-orang lakukan?"
"Teman," ulangnya sambil mengangguk. Tifa kemudian mendengus pelan.
Aku terdiam, menunggunya melanjutkan apa yang sebenarnya ada dalam pikirannya saat ini.
"Kecuali kau dan aku tidak lagi berteman," sambungnya datar.
Aku menarik napas perlahan, kini mulai mengerti penyebab dari sikap ketus yang sejak tadi ia berikan padaku. Ini memang kesalahanku.
"Aku minta maaf," ujarku.
Tifa tidak menjawab, tetap diam menungguku melanjutkan.
Aku menatapnya kembali. "Aku minta maaf karena aku tidak lagi menghubungimu atau siapa pun sejak aku pergi dari kota ini."
Tifa menatapku, hanya diam.
"Aku tidak peduli jika kau bersikap seperti itu pada orang lain," ujarnya beberapa saat kemudian. "Aku hanya tidak mengerti mengapa kau juga melakukannya
padaku. Aku sahabatmu sejak kecil," sambungnya. Nada dingin terdengar jelas di suaranya.
"Karena itu aku minta maaf, Tifa."
Ia kembali diam, tidak menanggapi permintaan maafku. "Tidak. Kau tidak ingin minta maaf padaku. Kau tidak terlihat menyesal sama sekali."
Aku menatapnya beberapa saat. "Kau benar. Aku tidak menyesal dengan hal itu," akuku. "Karena itulah aku masih memanggilmu teman. Kau masih bisa membedakan
arti ucapanku dibandingkan orang lain tanpa perlu kujelaskan lagi. Dan kau masih bisa mengingat jelas bagaimana sifatku," sambungku.
Tifa terdiam, kini bergantian menungguku untuk melanjutkan penjelasanku.
"Kau tau saat itu aku sedang tidak ingin ditemani oleh siapa pun. Aku ingin sendiri," jelasku dengan enggan. Aku sadar aku masih tidak ingin mengungkit
dan membicarakan masa-masa itu pada siapa pun.
Beberapa saat tidak ada yang berbicara.
"Ya. Aku pikir aku sudah menduga hal itu," sahut Tifa dengan sangat pelan.
Aku menatapnya dan menyadari sorot matanya kini mulai melunak. Rasanya aku tiba-tiba saja kembali mengingat masa-masa dulu saat aku dan Tifa masih dekat
satu sama lain. Kami memang bersahabat sejak lama, tepatnya sejak kami duduk sebangku saat SD dulu. Itu pertama kalinya aku bertemu dengannya. Sejak saat itu kami selalu
bersama, hingga semua orang sepertinya sudah menganggap kami sebagai kembar. Aku dan Tifa memang memiliki sedikit kemiripan. Ia dan aku memiliki rambut
lurus panjang berwarna coklat gelap, tinggi kami sama dan pakaian kami sejak dulu memiliki gaya yang sama.
Tapi kini sepertinya sejak kami tidak lagi bersama-sama, aku bisa merasakan perbedaan besar di antara kami yang sebelumnya tidak pernah terlalu kuperhatikan.
Itu, atau mungkin memang kami berdua masing-masing sudah berubah jauh.
Saat itu aku memang memutus semua kontak dengan semua orang yang ada di kota ini, kecuali Paman dan Bibi. Aku tidak pernah lagi berniat untuk kembali ke
kota ini karena aku tahu luka itu akan langsung terbuka dengan cepat jika aku kembali mengingat apa pun dari kota ini. Saat itu lukaku masih segar, masih
basah dan sangat lemah. "Jadi bagaimana kehidupanmu di ibukota?" tanya Tifa beberapa saat kemudian. Nada kaku masih terdengar samar di suaranya.
Aku tersenyum kecil. "Baik. Sekarang aku bekerja di sebuah perusahaan periklanan."
Ia mengangguk. "Ya. Aku sudah tau dari paman dan bibimu."
"Aku sebenarnya juga tau tempatmu bekerja dari mereka." Aku menatapnya beberapa saat. "Aku tidak menyangka kau akan bekerja di sana. Kukira selama ini
kau akan bekerja di perusahaan interior milik Bu Ratna."
Matanya sekilas membesar kaget, lalu kemudian ia bersandar sambil menarik napas panjang. "Kau masih ingat hal itu rupanya," gumamnya.
Aku mengamatinya. "Apa yang terjadi?"
Tifa kemudian mengangkat bahu, lalu menunduk. "Tidak ada. Aku hanya merasa mendapat kesempatan yang lebih bagus di perusahaan ini. Lagipula pegadaian ini
akan semakin berkembang nantinya. Sarah pernah berkata ayahnya akan mulai menambah cabang-cabang lain di kota lain."
Badanku langsung menegang begitu mendengar nama Sarah disebut. Aku tertegun, mulai menyadari bahwa pegadaian tempat Tifa bekerja tentu saja adalah milik


Silent Girl Karya Indah Thaher di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keluarga Waksono. Rasanya seharusnya aku sudah tidak perlu kaget lagi dengan hal ini.
Tapi sejak nama Sarah disebut, mau tidak mau aku tidak bisa menahan untuk kembali memikirkan dugaanku tentang kematian Hilda dan hubungan Sarah dengan
semua ini. Aku menarik napas pelan, lalu kembali menatap Tifa dengan dalam.
"Tifa," panggilku.
Tifa mendongak dan menatapku, alisnya berkerut begitu menyadari perubahan ekspresiku.
"Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak menyadari bahwa sejak aku datang ke sini, aku merasa semua orang di kota ini menutupi pengasingan dan segala tindakan
kasar yang pernah Sarah lakukan pada Hilda. Semua orang berkata bahwa mereka berdua sudah bersahabat sejak kecil."
Dahi Tifa semakin mengerut dalam. Tapi ia tetap menungguku melanjutkan penjelasanku. Aku kemudian memajukan badanku ke depan, sambil melirik sekilas pada
sekeliling kami. Lalu aku kembali menarik napas, mengumpulkan tenaga untuk melanjutkan.
"Kau dan aku sudah bersahabat dari kecil, kita selalu bersama selama ini. Dan itu artinya tidak hanya aku yang melihat semua perlakuan tidak adil seisi
kota ini, terutama Sarah, pada Hilda. Tapi kau juga, Tifa," sambungku. Aku terdiam sesaat. "Jadi aku mohon, beritahu aku sejujurnya apa yang sedang terjadi
di kota ini. Mengapa semua orang di kota ini bersikap seolah-seolah pembullyan itu tidak pernah terjadi?"
Tifa kini menatapku dengan diam, dan aku menunggu. Jadilah suasana di antara kami kembali hening tanpa suara.
Sampai akhirnya beberapa saat kemudian ia menggeleng pelan.
"Apa yang sedang kau bicarakan, Lauren?"
Bahuku seketika itu langsung lemas, sama sekali tidak menyangka dan tidak percaya bahwa Tifa akan bersikap seperti semua orang yang ia temui di kota ini.
Aku menatapnya dengan sungguh-sungguh, masih berusaha untuk mencari sedikit pun tanda-tanda kebohongan yang terpancar dari wajahnya. Tapi ia tidak bergeming
sedikit pun. Wajah itu datar dan sangat sulit dibaca.
Rasa frustasi mulai muncul dari dalam diriku. "Kau tau apa yang kubicarakan, Tifa. Kau dan aku pernah menyaksikan sendiri saat Sarah mengganggu Hilda."
Tifa mengerutkan alis, terlihat mulai tidak nyaman dengan perkataanku. "Aku tidak mengerti ..."
Aku menatapnya tak percaya. Lalu aku menarik napas dan menghembuskannya dengan lambat, mencoba mengeluarkan emosi yang tiba-tiba saja mulai muncul dengan
cepat. Begitu aku sudah sedikit tenang, aku kembali menatap Tifa dengan sungguh-sungguh.
"Ingat saat kita SMP? Saat hari terakhir ujian kelulusan?" Tifa tetap diam. Aku kembali meneruskan ceritaku. "Saat itu Sarah dan teman-temannya mengunci
Hilda di dalam toilet dan menyiramnya dengan satu ember air. Seragamnya basah kuyup sehingga ia datang terlambat masuk ke kelas dan tidak diperbolehkan
mengikuti ujian hari itu."
Tifa tetap tidak bergeming. Tapi aku mulai menyadari bahwa bibirnya kini mulai bergetar.
"Kau ingat itu, kan? Dan itu hanya segelintir perbuatan yang pernah Sarah lakukan pada Hilda."
Aku menatap Tifa dalam-dalam. Jantungku kini mulai bertalu-talu penuh ketakutan saat menyadari rasa bersalah itu kembali muncul.
"Tifa ... aku tau kau mengingat kejadian itu."
"Itu bukan Sarah."
Aku menatapnya dengan dahi berkerut, sama sekali tidak mengerti dengan apa yang baru saja ia katakan.
"Bukan Sarah yang melakukannya," ujarnya lagi.
*** BAB 7. Close and Open "Tidak usah menghindari tatapanku."
Hilda tetap menunduk diam, masih tidak berani mengangkat wajahnya.
"Yasudah, jangan tatap aku. Toh, kau memang tidak pantas," katanya lagi. Suara tawa langsung mengikuti di sekeliling ruangan itu.
Kelas ini benar-benar sudah kosong, sehingga sekecil pun suara yang keluar pasti akan terdengar karena gemaannya. Hanya ada kami di kelas ini dan aku sadar
tidak ada satu pun dari kami yang merasa was-was untuk kepergok dalam hal ini. Siapa yang akan peduli memangnya?
Jam pulang sekolah sudah berlalu sejak beberapa jam yang lalu. Jadi aku rasa wajar saja sekolah ini sudah sepi. Lagipula, sebenarnya aku tahu tidak ada
dari mereka yang akan ketakutan jika siapa pun-termasuk guru sekali pun-memergoki kami sedang mengintimidasi Hilda seperti yang kami lakukan saat ini.
"Apa yang sebenarnya kau lakukan kemarin malam?" bentak Sarah pada Hilda. Gadis itu langsung terlonjak kaget.
"Tidak ada. Aku hanya di rumah," jawabnya dengan suara kecil. Wajahnya masih menunduk dan aku masih bisa melihat tangannya yang kini sedikit gemetaran.
Tangan itu mengepal kuat hingga buku-buku jarinya mulai memutih. Aku sadar gadis itu tetap berusaha untuk tidak memperlihatkan ketakutannya.
"Jangan bohong padaku!" Sarah kemudian mendorong kasar bahu gadis itu dengan keras, membuatnya terdorong ke belakang. Suara tawa kembali mengikuti dari
beberapa gadis yang berdiri di belakang Sarah.
Aku menatap Tifa yang sejak tadi berdiri di sebelahku. Ia menatapku dengan ekspresi datar-sama sepertiku. Aku dan ia tahu, kami sebenarnya tidak terlalu
ingin berada di dalam hal ini.
"Dasar gembel tidak tahu diri! Tidak punya otak! Tolol! Pacarku bilang kau sedang berada di toko itu kemarin malam!"
Hilda menatap Sarah sekilas dengan sorot ketakutan. "Aku tidak ke toko itu. Aku benar-benar ada di rumah."
Sarah menampar Hilda dengan keras. Suara tamparan itu langsung menggema keras di ruangan ini, membuatku merinding. Suasana di ruangan langsung diam beberapa
saat, kemudian sedetik berikutnya suara kikikan dan sorakan langsung mengikuti pelan-pelan.
Aku mengintip dari belakang, menyadari bahwa kini Hilda benar-benar gemetaran. Tangannya sedang memegang pipi kirinya yang baru saja diberi tamparan oleh
Sarah. "Akan kucari tahu sendiri kebenarannya, kalau begitu. Aku tidak akan memilih mempercayaimu daripada pacarku sendiri, kan?" kata Sarah. "Jika kau benar-benar
mengaku yang sebenarnya sekarang, aku akan memaafkanmu."
Hilda diam, masih menunduk.
"Jawab!!" bentak Sarah dengan sangat keras. Kami semua langsung ikut terlonjak kaget mendengar teriakannya.
"Aku bersumpah aku tidak kemana-mana malam itu," jawab Hilda.
Sarah terdiam, bahunya mulai rileks sekarang. Ia lalu menarik napas dan menghembuskannya dengan perlahan. "Pergilah kalau begitu," ujarnya pelan. Suaranya
kini tiba-tiba terdengar jauh lebih lunak.
Hilda memberanikan diri untuk menatap Sarah sekilas, masih ragu dengan perkataan yang baru saja ia dengar.
"Pergilah," ulang Sarah lagi. Kali ini sedikit lebih keras.
Hilda kemudian akhirnya mulai berbalik dan berjalan dengan pelan menuju pintu kelas. Begitu Hilda menutup pintu kelas itu, semua orang di kelas ini langsung
membombardinya dengan pertanyaan tentang keputusannya membiarkan Hilda pergi tanpa ada tindakan yang ia lakukan biasanya. Apa yang dilakukan Sarah barusan
bukan apa-apa. "Besok datanglah lebih pagi," kata Sarah. Semuanya langsung diam mendengarkan dengan patuh.
"Tidak masalah. Tapi bagaimana dengan Hilda? Apa kau benar-benar membiarkannya lepas?" tanya Nika kemudian.
"Tentu saja tidak. Aku tau dia berbohong."
"Lalu?" "Aku menyuruh kalian datang lebih pagi besok untuk dia," jawab Sarah. Ia berbalik dan menatap kami semua dengan senyum kemenangan. "Besok kita akan menyambut
Hilda sebelum ia sempat mengikuti ujian kelulusan. Mungkin dengan seember air atau semacamnya," sambungnya sambil terkekeh.
Dan kami semua ikut terkekeh senang, memuji idenya tersebut.
"Apa maksudmu bukan Sarah yang melakukannya?" tanyaku pada Tifa.
Tifa kini menunduk, benar-benar menghindari tatapanku sepenuhnya. Ia jelas-jelas terlihat sangat tidak nyaman dengan cerita ini.
"Kau bersamaku saat itu, Tifa. Aku berdiri di sebelahmu. Aku masih ingat dengan jelas itu," cobaku lagi. Entah mengapa rasa ketakutan yang aneh mulai menjalar
di sekujur tubuhku. Selama beberapa detik aku sampai merasakan kepalaku berdesir hebat.
Tifa menghela napas lelah. "Kenapa kau tiba-tiba menanyakan hal ini?"
"Aku hanya ingin mengetahui apa yang sebenarnya terjadi."
"Sudah kubilang tidak ada yang terjadi."
Aku tertegun beberapa saat. Dahiku berkerut, memandang Tifa. "Jadi kau akan membiarkan hal ini terjadi lagi? Seperti dulu?"
"Apa?" Tifa menatapku tak percaya.
"Kau akan membiarkan Sarah memperlakukan keluarga Hilda dengan tidak adil, seperti dulu. Kau dan seisi kota ini."
"Ya, Tuhan, Lauren." Nada frustasi kini muncul jelas di suaranya. "Kumohon berhentilah mengatakan bahwa Sarah yang menjadi penjahatnya di sini. Sarah tidak
pernah melakukannya," sambungnya dengan tajam.
Aku terdiam, kemudian menyandarkan diri ke kursi dengan kalah. Tatapanku masih tertuju pada Tifa. Aku tidak menyadari sejak tadi napasku memburu, mengikuti
detak jantungku yang berdetak. Tifa kemudian melirik ke sekeliling kami dengan cepat. Wajahnya tiba-tiba terlihat datar, seolah tidak ingin kepergok sedang
bertengkar denganku. Aku lalu mengikuti tatapannya dan mendapati beberapa dari mereka memang sedang menatap kami-menatapku, lebih tepatnya. Mereka menatapku dengan sorot aneh
dan aku sama sekali tidak bisa mengartikan sorot itu. Aku sadar beberapa dari mereka langsung menoleh begitu aku memergoki mereka menatapku. Kecuali satu
orang, satu pria berusia 40an yang duduk di paling pinggir dekat jendela. Ia menatapku beberapa saat, kemudian akhirnya memalingkan muka dengan ekspresi
yang lagi-lagi tidak dapat kubaca dengan jelas.
Aku akhirnya kembali memalingkan muka, menatap kosong cangkir kopiku beberapa saat. Suara helaan napas terdengar dari mulut Tifa. Aku kembali menatapnya.
"Aku harus kembali ke kantor sekarang," katanya.
"Oke." Tifa mengamatiku beberapa saat, lalu ia kembali mendesah lelah. "Kau akan tetap mencari tau tentang hal ini lagi," ujarnya. Itu sebuah pernyataan.
Aku terdiam sesaat. "Ya," jawabku pada akhirnya.
Tifa menggeleng pelan. "Aku masih berharap kau tidak akan melakukannya."
"Kenapa?" Tifa menunduk. Lalu beberapa saat kemudian ia akhirnya kembali menatapku. Ia tersenyum sedih.
"Karena aku yakin kau tidak akan menyukai kebenarannya."
*** Cahaya langsung menerangi kamar itu dengan cepat. Aku langsung menutup pintu kamar dan menguncinya. Lalu aku mulai berjalan menuju tempat tidur dan langsung
menghempaskan badanku. Rasanya sudah lama sekali sejak terakhir kali sakit kepala ini mendatangiku. Aku sadar ini ada hubungannya dengan kembalinya aku ke kota ini. Dokterku
pernah bilang sakit kepalaku ini selalu muncul setiap kali pemicu stresku datang.
Dan sangat mudah bisa ditebak bahwa tindakanku untuk kembali ke kota ini adalah pemicu stresku saat ini.
Aku hanya tidak menyangka bisa dengan mudah dilumpuhkan seperti ini lagi. Kukira aku sudah menjadi lebih kuat daripada sebelumnya. Tapi nyatanya itu tidak
sepenuhnya benar. Aku mulai memijit dahiku berulang kali, mencoba meredakan rasa sakit dan pusing yang datang bersamaan. Aku bahkan tidak bisa membuka mataku saat ini. Kepalaku
terasa berputar-putar hingga membuatku terpaksa memicingkan mata rapat-rapat. Rasanya seperti seluruh sel di badanku akan meledak.
Sekarang sudah malam dan aku yakin Paman dan Bibi sudah tidur sejak tadi. Jadi wajar saja benar-benar tidak ada suara lagi yang terdengar di rumah ini.
Suasana hening ini setidaknya dapat membantuku untuk meredakan rasa pusing ini. Aku berkali-kali menarik napas dalam-dalam, berusaha memberikan ketenangan
pada otak dan jantungku. Hingga akhirnya aku benar-benar terlelap.
Aku berdiri di sebuah taman. Aku mengenali taman ini. Taman ini adalah taman kecil yang berada tepat di depan sekolahku, SD Angor.
"Ayo, Lauren. Apa yang kamu tunggu? Ayo, kita bermain!" seru seseorang padaku.
Aku berbalik dan menyadari suara itu berasal dari Sarah. Ia sedang duduk di ayunan yang tidak jauh dariku, sambil memegang tali ayunan itu dengan tangan
kecilnya. Botol air minuman yang bergantung di lehernya ikut mengayun ke depan.
Aku menyadari di sampingnya duduk Tifa, kemudian ada Nika dan Vera serta beberapa anak-anak perempuan lainnya. Mereka semua terlihat senang, bermain dengan
ceria penuh canda hingga membuatku ikut tertawa bersama mereka. Kesenangan itu langsung merasukiku dengan cepat.
Aku lalu berlari menghampiri mereka dan ikut duduk di ayunan. Kaki kecilku mulai menjinjit untuk mendorong ayunan ke belakang. Lalu ketika aku mulai berayun,
tawa kembali menggema di kerumunan kecil kami.
"HEI!! BERHENTI!" Sarah tiba-tiba berteriak penuh murka. Aku langsung mendongak dan menyadari tatapannya tertuju pada siapa pun yang ada di belakangku.
Ia kemudian turun dari ayunannya dan berjalan cepat melewatiku.
Aku akhirnya menurunkan kaki kecilku, berusaha menghentikan ayunan dan mulai berbalik mengikuti arah tatapan Sarah tadi. Aku mendapati gadis kecil berkepang
dua yang kini menunduk di samping ayunan. Gadis itu mengepalkan tangannya dengan gemetaran.
Hilda. "Gembel tidak berayah tidak boleh bermain di taman ini! Pergilah!" bentak Sarah lagi.
Aku menatap gadis itu dengan diam, sama sekali bingung. Saat aku menatap ke sekelilingku, aku juga menemukan ekspresi bingung yang sama persis denganku
di wajah mereka. Hilda tetap diam. Sarah berjalan dan mendorongnya dengan keras hingga gadis kecil itu tersungkur.
"Anak gembel!" Sarah kemudian berbalik dan menatap kami semua, lalu ia menunjuk Hilda dan semuanya seolah langsung mengerti apa yang ia inginkan.
Semua langsung mendekati Hilda dan mulai bersorak bersama-sama. "Anak gembel! Anak gembel! Anak gembel!"
Hilda kemudian menunduk, bahunya kini mulai bergetar. Aku menyadari Hilda kini benar-benar menangis, tanpa suara. Atau mungkin karena suara tangisnya tidak
lagi bisa terdengar karena teriakan-teriakan dari kami.
Aku dan yang lain tetap mengelilinginya, melontarkan ejekan-ejekan pada Hilda tanpa henti. Saat Hilda mulai bangkit berdiri, kami langsung mendorongnya
kembali hingga ia terjatuh dan tetap dalam lingkaran kami.
"Lauren." Suara itu terdengar sangat jelas dan keras di telingaku, membuatku langsung terpaku tidak bergerak.
Aku langsung berbalik mengikuti asal suara panggilan itu.
Ibu ... dan Ayah. Rasa nyaman luar biasa langsung menyelimutiku dengan cepat. Aku menatapnya beberapa saat, membiarkan diriku ikut tersenyum lebar saat melihat senyum mereka
muncul. Aku langsung berlari menghampiri mereka dengan cepat.
"Tunggu, Lauren. Berhenti!" kata Ayah.
Aku langsung berhenti di tempat, menatap Ayah dan Ibu dengan bingung.
"Kau melupakan adikmu," ujar Ibu dengan senyum sabarnya. Tangannya menunjuk ke arah belakangku berdiri.
Aku lalu berbalik dan mendapati kerumunan kecil kami tadi sudah hilang. Tidak ada Hilda, Sarah, Tifa, Nika dan anak-anak lainnya. Dan aku tidak lagi di
taman kota. Aku kini berada di sebuah lapangan rumput kosong.
Dimana Noah? Aku mencari-cari ke lapangan kosong itu, tapi tidak ada satu pun tanda-tanda sosok itu berada. Aku kembali berbalik ke arah Ayah dan Ibu berdiri.
Tapi mereka juga hilang. Ketakutanku langsung mulai menjalar dengan cepat. Aku tiba-tiba tidak bisa menarik napas.
Lalu suara teriakan kencang yang memilukan langsung memenuhi telingaku.
*** BAB 8. Open and Crack Aku berlari sekencang mungkin ke depan, sambil menutup telingaku rapat-rapat. Tapi suara teriakan bercampur tangis itu tetap terdengar jelas. Justru suara
itu kini semakin keras dan mulai menyakiti telingaku. Namun sekarang aku bisa mendengar bahwa ada tiga suara teriakan di sana, becampur menjadi satu. Dan
semuanya sama-sama memberikan teriakan pilu yang membuat sekujur tubuhku merinding ketakutan.
Aku terus berlari menjauh darimana pun asal suara teriakan itu muncul, tapi tetap saja suara itu tidak mereda sedikit pun. Dan lapangan ini tiba-tiba saja
bergerak tanpa ujung, membuatku seperti tetap berlari di tempat dan tidak pernah berpindah sedikit pun. Napasku kini mulai memburu penuh teror, menatap
sekeliling dengan liar. Kemudian terdengar suara api yang berkobar, bercampur menjadi satu dengan suara-suara teriakan itu. Aku langsung berputar dan mencari kobaran api yang
seharusnya datang dekat dari tempatku berdiri.
Tapi tidak ada kobaran api di sana, bahkan asap mengepul sekali pun. Hanya ada aku yang berada di tengah lapangan kosong ini.
Aku mulai terisak panik, merasakan tanganku kini bergetar hebat penuh ketakutan.
"Kakak!" Suara itu berhasil membuatku menegang kaku beberapa saat, membuat pikiranku kosong.
Noah. Aku langsung mendongak ke belakang dan rasa lega muncul dengan cepat saat aku mendapati adikku sedang berdiri tak jauh dariku. Aku langsung berlari menghampirinya.
Begitu sampai di depannya, aku langsung membungkuk untuk memeluk badan kecilnya ke pelukanku. Seketika itu juga barulah aku sadar bahwa sejak tadi aku
tidak lagi berada dalam tubuh kecilku.
Noah mulai menangis. Dan aku langsung mengusap punggungnya, memberikannya rasa aman yang selama ini selalu berusaha kuberikan padanya.
"Ayah dan Ibu hilang ..." katanya sambil menangis terisak takut.
"Kita akan menemukannya," ujarku dengan teguh. Kubisikkan terus ucapan itu padanya sampai ia mulai sedikit tenang.
Saat aku melepas pelukanku, aku baru menyadari bahwa sejak tadi suara teriakan-teriakan itu sudah lama hilang.
Aku menatap Noah dan mulai menghapus air mata dari pipinya yang kini sembab dan merah merona. Ia masih terisak diam, tapi sudah tidak lagi menangis.
"Kau aman sekarang bersamaku. Kita akan mencari Ayah dan Ibu bersama-sama," janjiku.
Ia kemudian mengangguk kecil. Aku lalu mencium keningnya dan mulai bangkit berdiri sambil menggandeng tangan kecilnya bersamaku. Aku menatap ke sekeliling,
mencari sosok Ayah dan Ibu dari kejauhan. Tapi tetap saja, halaman ini hanyalah berupa lapangan rumput tak berujung.
Aku mulai berjalan bersama Noah, memutuskan untuk mencari jalan keluar dari lapangan kosong ini.
"Noah!" panggil Ibu.
Aku langsung menoleh ke asal suara itu dan mendapati Ayah dan Ibu sudah berdiri di ujung lapangan rumput ini.
"Kemarilah, cepat!" panggil ayahku dengan suara was-was. Noah langsung melepaskan tanganku dan mulai berlari ke arah mereka. Aku mulai mengikutinya dan
ikut berlari cepat. Lalu Noah tiba-tiba saja sudah jauh berada di depanku. Aku tetap berlari, namun anehnya, kakiku tidak bisa bergerak lebih cepat darinya.
Aku ketinggalan jauh. Ayah dan Ibu langsung memeluk Noah dengan erat begitu ia akhirnya sampai di ujung sana, sementara aku masih berlari jauh di di depan mereka.
Lalu mereka semua menatapku dengan sorot aneh.
Kemudian suara teriakan pilu bercampur tangisan itu kembali terdengar keras, membuatku berhenti dan membungkuk sambil menutup telingaku rapat-rapat sekalipun
aku tahu hal itu tidak akan membantu sedikit pun.
Lalu suara kobaran api muncul, seperti sebelumnya. Kini semua itu bercampur menjadi satu hingga membuatku kembali merinding ketakutan.
Aku akhirnya memberanikan diri untuk membuka mata dan mulai berjalan ke arah keluargaku. Tapi seketika itu juga badanku langsung menegang tanpa nyawa.
Suara teriakan, tangisan dan kobaran itu ternyata berasal dari Ayah, Ibu dan Noah. Mataku terpaku melihat tubuh mereka kini tenggelam di antara kobaran
api yang tiba-tiba muncul di tengah lapangan ini.
Mereka berteriak kencang, tangan mereka menggapai-gapai ke arahku meminta tolong. Sementara aku tidak bisa bergerak sedikit pun. Badanku beku.
Kemudian tiba-tiba tanah mulai bergetar hebat, seperti akan ikut runtuh jatuh terhisap ke dasar bumi.
"Tolooong ... Lauren!"
Aku membelalak lebar sambil megap-megap menarik napas. Mataku langsung jelalatan menatap ke sekeliling dengan gerakan liar, mencari entah apa. Selama beberapa
saat aku bahkan tidak bisa berpikir apa-apa. Jantungku berdetak begitu keras dan cepat seperti akan meledak.
"Lauren! Buka pintunya!"
Aku langsung mendongak ke arah pintu dan menyadari sejak tadi suara ketukan keras itu berasal dari sana.
Lalu aku menyadari bahwa aku baru saja bermimpi buruk.
Mulutku masih terbuka, mencoba menghirup napas sebanyak mungkin untuk menenangkan jantungku yang masih bertalu-talu liar. Aku menatap ke sekeliling kamarku,
kemudian pelan-pelan mulai merasakan ketenangan yang sejak tadi kuinginkan.
"Lauren!" Aku menelan ludah, merasakan tenggorokanku yang sakit. "Ya, Bi." Hanya itu yang bisa keluar dari mulutku.
Aku mulai turun dari tempat tidur dan menyadari badanku basah dengan keringat. Aku menyeka keringat di keningku dengan kaos dan juga menyadari bahwa pakaianku
masih sama dengan kemarin. Aku benar-benar langsung tertidur dan tidak sempat menukar pakaian.
Saat mencoba melangkah, kakiku langsung menekuk lemas dan membuatku kembali terduduk di kasur. Aku memejamkan mata sejenak, lalu mulai berusaha bangkit
kembali dan mulai berjalan. Begitu aku memutar kunci kamarku dan membukanya, Paman dan Bibi langsung tampak berdiri di depan kamarku dengan wajah khawatir.
Mereka mengamatiku beberapa saat.
"Kau baik-baik saja?" tanya Bibiku.
Aku mengangguk pelan, berusaha memberikannya senyum. Aku masih belum bisa menemukan suaraku.
"Ada apa? Kami mendengarmu berteriak sejak tadi," tanyanya lagi.
Mataku membesar, menyadari itulah sebabnya tenggorokanku tiba-tiba terasa sakit pagi ini.
"Hanya mimpi buruk, Bi," jawabku dengan serak.
Paman dan Bibi kemudian bertukar pandang beberapa saat dengan cemas. Paman lalu menatapku dengan khawatir. "Sebaiknya kau mandi dan makan. Sudah lewat
siang hari. Kau pasti kecapean sejak kemarin."
Aku langsung mendongak ke jam dinding dan benar-benar terkejut mendapati sekarang sudah pukul 12 siang. Itu artinya aku tertidur lebih dari dari 12 jam.
Bibi mengelus bahuku dengan lembut. "Akan kusiapkan makanan untukku. Sekarang mandilah."
Aku mengangguk, menyadari bahwa tidak hanya aku yang merasakan bahwa kejadian ini bukan pertama kalinya terjadi padaku.
*** "Apa sesuatu terjadi?"
"Tidak," jawabku dengan cepat.
Suara helaan napas terdengar dari ujung sana. Aku sadar Bu Eli sudah menyadari kebohongan pada jawaban yang kulontarkan barusan.
"Kau dimana sekarang?" tanyanya beberapa saat kemudian.
Aku menunduk, merasa ragu untuk menjawab pertanyaan ini dengan jujur-lagi. "Aku sedang di rumah paman dan bibiku," akuku akhirnya.
"Maksudmu ... kau sedang di Angor sekarang?" tanyanya dengan pelan.
"Ya." Tidak ada suara terdengar beberapa saat. "Boleh aku tau apa alasanmu kembali ke sana?" tanya Bu Eli dengan hati-hati.
"Aku hanya menetap beberapa hari saja. Salah satu temanku meninggal dan ... aku datang untuk menghadiri pemakamannya."
Bu Eli mendesah pelan. "Aku turut berduka cita atas kematian temanmu," ucapnya sungguh-sungguh.
"Ya ..." Tidak ada suara terdengar di ujung sana selama beberapa saat. "Apa sakit kepalamu sudah mereda?" tanyanya kemudian.
Aku tertegun sejenak, menyadari Bu Eli sudah langsung bisa menebak kondisiku bahkan sebelum aku bercerita padanya.
"Aku bahkan belum berkata bahwa sakit kepalaku kambuh lagi ..." gumamku tanpa bisa kutahan.
Bu Eli menghela napas. "Tentu saja aku sudah bisa menebak kondisimu. Karena itulah kau menelponku setelah sekian lama, kan?"
"Ya," akuku. "Jadi apa masih sakit?"
"Tidak. Sudah mendingan. Kurasa istirahat panjang berhasil meredakannya. Aku bahkan sama sekali tidak merasakan apa-apa selama terlelap lebih dari 12 jam.
Kukira setelah mimpi buruk-" aku langsung berhenti bicara. Tiba-tiba menyadari bahwa aku tidak ingin menceritakan apa pun tentang mimpi buruk itu pada
siapa pun. Bu Eli tetap diam, sekali pun aku juga tahu bahwa ia sudah mendengar kata 'mimpi buruk' dan sikapku yang jelas-jelas menghindari topik ini.
"Jadi kapan kau akan kembali ke ibukota?" tanya Bu Eli sejenak kemudian.
Aku terdiam beberapa saat. "Sampai akhir minggu ini."
Bu Eli kemudian menghembuskan napas panjang. "Dengar, Senin pagi jadwalku kosong. Aku bisa menemuiku-"
"Tidak. Tidak. Aku baik-baik saja, Bu. Tidak perlu menemuiku," potongku.
"Bukankah ini tujuanmu untuk menelponku?" tanyanya.
Dahiku berkerut ragu. "Aku baik-baik saja."


Silent Girl Karya Indah Thaher di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sakit kepalamu kambuh dan kau bermimpi buruk. Semua itu muncul sejak kau kembali ke Kota Angor," katanya. Ia menarik napas. "Kau jelas tidak sedang baik-baik
saja," sambungnya. Aku hanya diam, tiba-tiba tidak tahu harus menanggapinya dengan jawaban apa. Bu Eli sudah mengatakan hal yang sebenarnya, sejak dulu selalu begitu. Ia
selalu tahu apa yang sebenarnya ada dalam hati dan pikiranku.
"Kau bermimpi tentang keluargamu lagi," ujarnya dengan hati-hati.
Badanku langsung menegang. Tiba-tiba saja semua ingatan mimpi buruk itu kembali muncul dengan sangat jelas di pikiranku. Tanganku langsung memegang ponselku
dengan lebih erat. Aku berbalik, melirik sekilas pada pintu belakang rumah. Paman sudah berangkat kerja beberapa jam lalu dan Bibi sepertinya sedang di dapur. Tapi aku tetap
berjalan menjauh dari pintu itu, berjaga-jaga untuk tidak membiarkan Bibi mendengar pembicaraanku ini. Begitu sampai di ujung beranda, aku kembali merapatkan
ponselku ke telinga. "Ya. Aku memimpikan mereka-pada akhirnya."
Bu Eli diam, lagi-lagi menungguku untuk melanjutkan ceritaku.
"Pada awalnya aku memimpikan temanku."
"Temanmu?" "Ya. Dan kemudian tiba-tiba saja mereka semua datang-dan teriakan-juga api," jelasku dengan terbata-bata pada akhirnya. Aku langsung bersandar di dinding
begitu menyadari kakiku mulai lemas. Aku menggeleng cepat, berusaha untuk kembali mengusir ingatan mimpi buruk itu. Aku masih tidak habis pikir bagaimana
aku bisa mengingat dengan jelas semua mimpi itu dari awal hingga akhir.
Suasana hening sejenak. Kemudian suara helaan napas kembali terdengar. "Kukira kau tidak akan perlu mengalami hal ini lagi."
Aku menunduk, merasakan frustasi tentang harapan yang ia inginkan dariku.
"Kau perlu seseorang untuk bicara tentang hal ini. Temui aku Senin depan."
Aku menghembuskan napas tak sabar. "Aku baik-baik saja."
"Lauren-" "Lagipula aku tidak bisa. Hari itu aku lembur," ujarku. Aku tidak menyangka betapa tenangnya suaraku.
Bu Eli kembali diam, entah sudah menyadari bahwa aku kembali berbohong atau tidak. "Aku akan menelponmu lagi nanti, kalau begitu," katanya.
"Tunggu, Bu Eli," panggilku.
"Ya?" "Bagaimana dengan permintaanku yang lainnya? Apa aku bisa mendapatkannya hari ini?" tanyaku dengan penuh harap. Tiba-tiba saja nada kalut mulai terbesit
keluar dari suaraku. Bu Eli tidak menjawab. Aku hampir bisa membayangkan wajahnya yang sedang berkerut ragu untuk mengabulkan permintaanku atau tidak.
"Aku benar-benar memerlukannya sekarang. Aku butuh sekali ..." cobaku lagi.
Bu Eli kemudian menghela napas lelah. "Baiklah, Lauren. Akan kukirimkan padamu nanti sore."
Aku menghela napas lega. "Terima kasih, Bu."
"Lauren," panggilnya kali ini.
"Ya, Bu Eli." "Kumohon tenangkan dirimu," ujarnya dengan suara kelam. "Terutama pikiranmu," sambungnya dengan nada yang sama.
Aku terdiam beberapa saat.
"Ya. Tentu saja, Bu," jawabku akhirnya.
*** BAB 9. Suka Tidak Suka Aku menatap taman bermain itu dengan perasaan campur aduk. Taman bermain itu masih sama seperti yang terakhir kali kulihat, bahkan dalam mimpiku sekalipun.
Hanya ada sedikit perbedaan di sana. Beberapa ayunan kini memiliki cat yang baru, tidak lagi terlihat kusam dan terkelupas. Selebihnya, benar-benar tidak
ada yang berubah. Bahkan posisinya pun masih tetap sama.
Taman itu kini tidak terlalu ramai. Hanya ada beberapa anak kecil, bermain seluncuran bersama ibu mereka yang duduk di kursi taman yang tidak jauh dari
mereka. Rasanya aku tidak tahu sudah berapa lama waktu berlalu sejak aku hanya berdiri diam di depan taman itu. Pikiranku berputar-putar, kembali mengingat mimpi
tentang Hilda. Aku sadar itu bukan sepenuhnya mimpi.
Sebagian besar dari sana adalah kenyataan, sebuah ingatan.
Aku masih ingat taman ini saat aku dan yang lainnya masih menduduki SD. Dan aku jelas-jelas ingat bagaimana semua orang-termasuk aku, meneriaki Hilda dengan
sebutan 'Anak Gembel'. Jika kupikirkan lagi, sampai sekarang aku masih tidak mengerti mengapa Sarah menyebut Hilda dengan panggilan itu. Keluarga Hilda mungkin memang tidak kaya,
tapi mereka juga bukan gembel yang tidak punya apa-apa. Mereka memiliki rumah yang layak dan sederhana, Ibu Hilda memiliki pekerjaan sebagai buruh dan
pemilik toko roti kecil, serta Hilda dan adiknya bersekolah.
Mungkin itu hanya sebutan rendah yang bisa dipikirkan oleh Sarah, entahlah. Jujur, kukira sebutan itu hanya ia berikan karena didasari oleh ketidakdewasaannya
saat itu. Bagaimana pun juga, saat itu juga Sarah masih anak-anak dan remaja yang tidak tahu apa-apa. Hanya meniru apa yang mereka lihat, dengar dan baca,
lalu berbicara tanpa mengerti akibatnya.
Seingatku pun, sejak kami semua sudah SMA akhir, aku tidak lagi pernah mendengarnya menyebut Hilda dengan sebutan itu lagi. Jadi kukira teoriku memang
benar. Sampai akhirnya aku mendengarnya lagi saat dua hari yang lalu di taman pemakaman itu.
Dengan nada benci yang sangat familiar.
Tanganku mulai mengepal, tiba-tiba merasakan dinginnya cuaca. Aku mengatupkan bahu ke leher sambil memasukkan kedua tanganku ke dalam saku jaket yang kukenakan.
Langit memang sudah mulai gelap dan awan-awan pun sudah mulai menutupi matahari.
"Lauren?" panggil seseorang.
Aku menoleh dan mendapati suara itu berasal dari seorang bapak paruh baya penjual es krim yang berada tidak jauh dari tempatku berdiri. Senyumku langsung
muncul tanpa bisa kutahan begitu aku mengenalinya. Ia pun kini tergelak pelan.
"Apa yang kaulakukan di sini? Kukira kau sudah pergi," katanya dengan nada ceria.
Aku mulai berjalan menghampiri gerobak es krimnya yang berwarna kuning cerah. Lagi-lagi rasa familiar kembali menyelimutiku dengan cepat.
"Aku memutuskan tinggal beberapa hari lagi di sini."
Ia mengangguk sambil tersenyum ramah. Aku mengamatinya beberapa saat, menyadari perubahan wajahnya kali ini. Pak Sanu masih selalu memakai topi kuning
yang kini semakin terlihat usang. Dan aku bisa melihat semburat rambut putih menyelip keluar dari topinya. Tapi selebihnya ia masih sama. Ia masih memiliki
senyum ramah yang selalu terpampang di wajahnya.
"Kau mau es krim?" tanyanya.
"Ya. Tentu saja."
"Aku punya kesukaanmu." Ia mulai menggeser pintu gerobak itu dan memasukkan tangannya ke dalam sambil mencari-cari. Beberapa saat kemudian ia mengeluarkan
sebungkus es krim rainbow.
Aku langsung terkekeh. "Kesukaanku sejak dulu," ujarku. Lalu aku terdiam sejenak. "Pak Sanu, aku beli 3 bungkus lagi."
"Oke," katanya sambil terkekeh. Sementara ia mulai memasukkan es krim itu ke dalam kantong, aku mulai mengeluarkan dompet dan mengambil beberapa lembar
uang. Pak Sanu kemudian memberikan kantong berisi es krim itu padaku. Begitu aku memberikan uang padanya, ia langsung membelalak kaget.
"Ini kebanyakan, Lauren."
"Tidak apa-apa. Anggap saja aku sedang mentraktir bapak," sahutku sambil nyengir.
Ia terlihat ragu beberapa saat, kemudian ia mengambil uang itu dengan senyum tidak enak. "Terima kasih, ya."
Aku mengangguk. "Sama-sama, Pak."
Tiba-tiba saja semua ini kembali mengingatkanku saat dulu aku masih bersekolah. Sejak aku SD, Pak Sanu sudah berjualan es krim seperti ini. Hampir setiap
pulang sekolah, Pak Sanu akan selalu ada di sini, kemudian saat sore ia akan berhenti di depan SMP Angor, lalu mulai berkeliling ke perumahan di kota ini.
"Aku tidak menyangka Bapak masih berjualan es krim di sini. Aku mendengar dari Paman kalau Bapak sudah memperluas toko es krim itu," ujarku.
Ia terkekeh. "Anakku yang menjaga toko itu." Ia tersenyum. "Yah, aku hanya tidak suka berdiam diri di rumah. Lebih enak bersepeda seperti ini, jadi kenapa
tidak sekalian saja berjualan."
Aku mengangguk, mengerti apa yang ia maksud. Pak Sanu memang bukan tipikal pria tua yang suka berdiam diri.
"Jadi bagaimana kabarmu? Kudengar kau semakin sukses di ibukota."
Aku menggeleng cepat. "Tidak. Siapa bilang?"
"Mereka mengira itu alasanmu untuk tidak kembali lagi ke kota ini."
Aku terdiam sesaat, menyadari Pak Sanu menyebut 'mereka' dan itu sudah cukup menjelaskan bahwa yang ia maksud adalah orang sekota ini. Aku tidak pernah
menyangka itulah yang mereka pikirkan tentangku. Dan aku tidak bisa memungkiri bahwa aku menyadari ada sedikit sindiran yang tersirat dari ekspektasi mereka
yang tinggi tentangku itu.
"Aku baru saja memulai karirku di sana. Kuanggap saja ucapan itu sebagai doa, kalau begitu," kataku.
Pak Sanu mengangguk sambil tersenyum.
Suara bel kemudian berbunyi keras hingga terdengar sampai ke tempatku berdiri. Aku menoleh dan menyadari pagar sekolah tersebut mulai dibuka lebar-lebar
oleh satpamnya. Aku menatap ke papan yang berdiri di samping pagar itu, 'SD Angor'. Sekolah ini kini sedikit berubah, aku sadar itu. Selain catnya yang
kini terlihat baru, ada sebuah ring basket yang terlihat di ujung lapangan-aku bisa melihatnya dengan jelas, bahkan dari tempatku berdiri sekalipun.
Beberapa siswa mulai keluar dari kelas-kelas mereka, berjalan menuju pagar masuk sekolah ini. Aku menyadari seragam mereka masih sama, dengan kemeja putih
polos beserta celana atau rok pendek dengan motif kotak-kotak hijau terang.
Aku kemudian menoleh kembali pada Pak Sanu. "Sebaiknya aku pergi sekarang, lagipula aku tidak ingin menganggu jualan Bapak."
"Tidak apa-apa," sahutnya.
"Sampai jumpa, Pak. Semoga es krimnya habis," kataku sambil mulai berjalan bergegas menjauh dari sana. Pak Sanu mengangguk sambil melambaikan tangan padaku.
Begitu aku sudah sedikit jauh dari Pak Sanu, aku langsung berjalan menyeberang dan mendekati sekolah itu lebih dekat. Sampai di depan gerbang, aku langsung
berhenti dan mulai mencari-cari sosok yang sejak tadi ingin kutemui di sini.
Berpuluh-puluh anak dengan seragam yang sama mulai semakin ramai melewati pagar ini. Suara-suara anak itu semakin bercampur aduk dengan suara orang tua
mereka yang juga menunggu di pagar.
Lalu tiba-tiba saja pandanganku terpaku pada seorang gadis kecil yang sedang tersungkur jatuh di antara kerumunan kecil di depan kelas.
Pemandangan itu seperti kembali mengingatkanku pada situasi yang sama.
Hilda tersungkur ke depan dengan suara keras. Wajahnya hampir saja membentur lantai, jika bukan karena tangannya berhasil menyentuh lantai terlebih dahulu.
Aku memandangi tubuhnya yang kini masih bersujud tanpa suara. Suara tawa terdengar menyelimuti pendengaranku. Suara tawa itu juga berasal dari mulutku,
sinis dan menghina. Aku juga ikut menertawakannya.
"Kami tidak mendorongmu. Kau yang terjatuh sendiri. Apa kau sengaja melakukannya? Untuk menghibur kami?" ejek Sarah. Ia berdiri di sebelahku sambil melipat
tangannya dengan angkuh. Ia kembali tertawa dan kami semua langsung ikut tertawa bersamanya. Aku bisa mendengar suara tawa terkikik yang jelas-jelas berasal dari Nika dan Vera.
Aku lalu menatap Hilda yang kini mulai bangkit. Ia mulai membersihkan lututnya dari debu lantai. Ia masih diam, sama sekali tidak bersuara dan melirik
kami sedikit pun. Sarah yang menyadari hal ini mulai kesal. "Anak gembel! Sombong sekali kau!" gertaknya.
Aku melirik ke sekitar kami dan mendapati tidak ada satu pun guru yang memperhatikan kami. Kelas kami memang berada di pojok kedua ujung lorong, sehingga
tidak terlalu ramai. Beberapa anak yang melewati kami hanya melirik sekilas pada kerumunan kecil kami dengan wajah datar, beberapa dari mereka justru ikut
tersenyum menyemangati. Tapi yang jelas mereka semua tetap berjalan melewati kami tanpa merasa aneh sedikit pun. Karena ini memang bukan hal yang aneh.
Hilda tetap berdiri membelakangi kami, lalu kemudian ia mulai berjalan meninggalkan kami.
Sarah hendak mengejarnya, tapi kemudian ia tiba-tiba berhenti. "Ah! Aku sudah dijemput," ujarnya dengan sumringah, langsung begitu saja melupakan masalah
Hilda. Matanya kini menatap melewatiku. Aku mulai berbalik dan mendapati supirnya memang sudah berdiri di tengah lapangan.
Sarah langsung kembali menatap kami semua. "Aku pulang duluan, ya. Sampai ketemu besok!"
Kami melambaikan tangan padanya. Kemudian kami semua langsung bergegas berjalan menuju pagar masuk, melewati Hilda yang masih berjalan lambat di lorong
Gendruwo Rimba Dandara 1 Pendekar Rajawali Sakti 139 Hantu Putih Mata Elang Perjodohan Busur Kumala 16

Cari Blog Ini