Ceritasilat Novel Online

Silent Girl 2

Silent Girl Karya Indah Thaher Bagian 2


tanpa menoleh padanya sedikit pun.
Saat kami semua sudah hampir mencapai gerbang, kami mulai melambaikan tangan satu sama lain dan berpisah. Hingga akhirnya aku tinggal sendiri, saat itulah
entah kenapa rasa penasaranku muncul dan aku mulai menoleh ke belakang, mengecek Hilda. Dan aku langsung terdiam begitu menyadari ada memar gelap di lututnya,
yang membuatnya berjalan sangat lambat. Ia kemudian menggosokan tangannya ke mata dan membuatku menyadari lagi bahwa ia sedang menangis, tanpa suara.
Seperti yang ia biasa lakukan selama ini.
"Kau baik-baik saja?"
Aku bisa mendengar suara anak perempuan itu dari tempatku berdiri. Beberapa anak yang mengelilingi gadis yang sedang tersungkur itu mulai membantunya berdiri.
Yang lainnya mulai membersihkan debu tanah yang menempel di lutut gadis itu. Si Gadis yang tersungkur tadi mulai tenang dan tidak lagi terlihat menangis.
"Hati-hati. Jalan ini memang aneh. Aku juga terjatuh di sini kemarin," kata salah satu gadis yang menolongnya itu.
Si Gadis yang tersungkur mulai mengangguk dan mereka semua mulai bertatapan sambil tersenyum. Beberapa mereka mulai terkekeh geli, menyadari kelucuan dari
kesialan yang sama-sama mereka alami dari jalan itu.
"Ayo, kita pulang sama-sama saja," katanya dengan riang.
Lalu mereka mulai berjalan bersama-sama menuju pagar ini.
Aku tidak sadar sejak tadi memperhatikan mereka. Perasaan bersalah yang sangat besar itu kembali muncul memenuhi isi jantungku. Selama beberapa saat aku
hanya bisa menunduk, merasakan rasa malu atas kepengecutanku dulu pada apa yang terjadi pada Hilda.
Aku minta maaf, Hilda ... aku minta maaf ...
Aku akan membantumu kali ini.
Dengan tekad itu, akhirnya aku mulai berani mengangkat kepalaku dan melanjutkan tujuan utama yang ingin aku lakukan sejak datang ke sekolah ini lagi.
Mataku tetap mencari-cari sosok kecil yang kuharapkan sejak tadi. Kali ini aku menatap sekeliling dengan lebih fokus, berharap ia belum keluar dari sini
saat aku melamun tadi. Lalu aku menemukannya, tepat setelah ia mulai melewati pagar masuk ini.
Aku mulai berjalan menghampirinya dari belakang, menjauh dari pagar dan taman bermain ini. Rasa ketakutan bercampur marah mulai menyelip di dalam diriku
saat menyadari bocah lelaki itu berjalan menunduk, sendirian tanpa satu pun teman yang menyapanya atau bahkan berjalan di sampingnya.
"Adit!" panggilku pada bocah itu begitu aku berhasil mengejarnya.
Ia tetap berjalan, sama sekali tidak mendengar panggilanku.
"Adit!" panggilku lebih keras lagi.
Kali ini bocah itu berhenti. Tapi ia masih belum berbalik menatapku. Dan lagi-lagi pemandangan ini menyakitiku.
Karena yang ia lakukan sekarang persis sama dengan apa yang dilakukan kakaknya dulu.
Hilda. *** BAB 10. He or She Aku menatap punggung kecilnya yang ditutupi ransel besar berwarna biru pekat. Kepalanya bergerak sedikit, hendak ingin menoleh ke belakang. Gerakan kecil
itu terlihat sangat ragu, seolah masih tidak yakin apakah ada yang memanggilnya atau tidak.
"Adit!" panggilku lagi. Kini aku sudah berada dekat di belakangnya.
Lalu ia akhirnya berbalik dan menatapku ragu. Begitu mata kami bertemu, aku langsung memberikannya senyum ramah.
Bocah itu hanya diam, menatapku beberapa saat.
"Boleh aku berbicara denganmu sebentar saja?" tanyaku akhirnya.
Ia tiba-tiba menoleh ke belakang, melihat ke sekelilingnya beberapa saat. Lalu kemudian ia kembali menatapku. "Kakak berbicara denganku?" tanyanya dengan
suara kecil. Aku merasakan nada takut di suaranya.
"Ya. Aku sedang berbicara denganmu," ujarku sambil terkekeh, berusaha untuk membuatnya lebih nyaman. Tapi sepertinya itu tidak berhasil. Ia masih terlihat
ragu, seolah ini pertama kalinya seseorang memanggilnya untuk berbicara padanya. Tangannya yang sejak tadi memegang erat tali sandang ranselnya kini mulai
meremas-remas dengan gerakan cemas.
"Apa aku kenal dengan ... Kakak?" tanyanya lagi.
Aku terdiam sejak, kemudian mulai menggigit bibir. "Mungkin tidak," akuku. Aku tersenyum kecil. "Kau saat itu baru berusia 3 tahun," sambungku lagi.
Aku hanya pernah beberapa kali bertemu dengannya. Saat itu tentu saja ia masih balita, baru bisa berjalan. Jadi aku selalu melihatnya digendong oleh ibunya
kemana-mana. Terkadang Hilda juga sering terlihat bersamanya.
Aku kembali tersenyum padanya. "Aku Lauren. Keponakan Paman Septa. Dulu aku tinggal di kota ini, di jalan Rahani," kataku lagi.
Ia mengamatiku beberapa saat, tapi aku menyadari ia mengetahui informasi yang baru saja kukatakan padanya. Aku yakin ia pasti mengenal pamanku. Pamanku
bekerja sebagai manajer tempat pabrik ibunya bekerja dan istrinya-bibiku, adalah pemilik restoran yang berada tidak jauh dari toko roti Ibu Hilda.
Aku mulai berjalan mendekatinya, lalu duduk di tepi trotoar tepat di sebelahnya. Ia memandangiku, masih terlihat bingung dengan niatku. Sampai akhirnya
aku menyadari bahwa sejak tadi matanya tertuju pada kantong plastik yang kubawa. Aku kemudian langsung mengangkat kantong plastik ke arahnya. Kantong plastik
putih itu kini mulai berembun.
"Es krim untukmu," ujarku sambil tersenyum padanya.
Ia memandangi kantong plastik itu dan aku dengan bergantian, kembali terlihat ragu. Dan lagi-lagi aku menyadari sikapnya ini seolah-olah menunjukkan betapa
jarangnya ia berbicara dengan orang lain apalagi mendapat hadiah seperti ini.
Aku mendorong kantong itu ke tangannya. "Ambillah. Ini hadiah. Dan kurasa kau harus memakannya sekarang sebelum keburu meleleh."
Ia akhirnya mengambil kantong itu lalu mulai melirikku sekilas. "Terima kasih," gumamnya.
"Sama-sama," sahutku.
Aku mengamatinya kini mulai memasukkan tangannya ke dalam kantong. Kemudian sedetik kemudian ia menyodorkan sebungkus es krim padaku. Aku menatapnya dengan
bingung. "Es krimnya ada banyak," ujarnya dengan pelan.
Aku tersenyum, menyadari niatnya untuk berbagi denganku. Aku lalu mengambil es krim tersebut dan mulai membukanya.
Kemudian ia akhirnya duduk di sampingku, lalu mulai mengeluarkan lagi sebungkus es krim dari kantong itu. Kantong itu kemudian ia taruh di sampingnya dengan
sikap hati-hati. Aku mengamati Adit yang kini mulai menjilati es krimnya. Wajahnya terlihat lebih rileks dan kini aku mulai merasakan sorot senang di matanya-sorot yang
selalu muncul pada setiap anak kecil yang mengagumi es krim.
Ia jelas memiliki banyak kemiripan dengan ibunya dan tentu saja Hilda. Mereka sama-sama memiliki dagu mungil, dengan sepasang mata hitam yang terlihat
dalam. Badannya sedikit kurus, dan ia sedikit lebih tinggi daripada kebanyakan anak umur 9 tahun pada umumnya. Tidak ada yang mungkin menyadari hal ini,
tapi sebenarnya Adit justru lebih mirip dengan Hilda daripada ibunya. Mungkin karena Adit dan Hilda lebih mirip dengan ayah mereka dibanding ibu mereka.
Aku sendiri tidak terlalu banyak mendengar tentang ayah mereka, bahkan melihatnya di kota ini. Yang aku tahu ayah mereka bekerja di luar pulau-atas perintah
pabrik di sini dan sangat jarang sekali pulang. Sampai saat sebulan setelah Adit lahir, ia tiba-tiba dikabarkan meninggal dunia.
"Kuharap kau suka es krim ini. Ini adalah kesukaanku sejak dulu," ujarku sambil ikut mulai menyantap es krim ini.
"Ini enak," jawabnya singkat dan sopan. Adit melirikku sekilas, dan wajahnya terlihat kembali sedikit tegang bercampur bingung. "Ibu jarang membelikanku
es krim," katanya. Aku mengangguk paham, berusaha tersenyum. "Kuharap ibumu tidak memarahiku karena hal ini," candaku.
Matanya membesar beberapa saat, terkejut dengan apa yang baru saja kukatakan.
"Oh, aku tidak akan menceritakan hal ini pada ibumu. Tenang saja, Adit," janjiku, menyadari ekspresi wajahnya.
Adit kemudian menunduk, sambil kembali menyantap es krimnya.
"Kau sudah kelas berapa sekarang?" tanyaku.
"Kelas 2." Aku mengangguk. "Bagaimana sekolahmu? Apa menyenangkan?" tanyaku hati-hati.
Adit tidak langsung menjawab. Aku menyadari ia kini berulang kali menatap ke sekitar kami dengan tatapan bingung bercampur takut. Beberapa saat ia bahkan
tidak lagi menjilati es krimnya. Es krim itu kini mulai meleleh mengalir turun ke jarinya menuju ke pergelangan tangan kecilnya.
Kami duduk di pembatas trotoar yang sedikit tertutup dari keramaian. Tapi jalan di depan kami masih banyak dilalui oleh orang-orang. Dan aku sadar beberapa
dari mereka sering menatap kami dengan sorot aneh. Beberapa dari mereka malahan terang-terangan terus menatap kami bahkan setelah aku beradu pandang dengan
mereka. Hal ini semakin membuatku yakin bahwa dugaanku memang benar.
Orang-orang kota ini memang berusaha menutupi pengasingan itu dan begitu kasus bunuh diri Hilda ini ditutup, orang-orang tentunya tidak perlu lagi terlalu
menutupi sikap mereka yang asli pada keluarga Hilda.
Aku yakin mereka masih mengasingkan keluarga Hilda. Aku sangat yakin sekarang.
Semua sikap Adit sejak beberapa aku mengajaknya berbicara adalah buktinya. Ia jelas-jelas tidak memiliki teman di sini, sama seperti Hilda dulu. Ia terlihat
sangat ragu dan canggung mendapati seseorang mengajaknya berbicara dan membelikannya makanan. Kemudian tatapan orang-orang sekitar kami yang tentu saja
menganggap pemandangan ini sangatlah tidak biasa.
"Apa tatapan mereka menganggumu?" tanyaku pada akhirnya.
Adit langsung menunduk, kemudian menggeleng lemah. "Aku sudah terbiasa," gumamnya dengan suara yang sangat kecil, seolah berharap aku tidak akan mendengarnya
dengan jelas. Dan gumamannya itu justru malah membuat jantungku terasa diremas. Perasaan frustasi bercampur marah mulai muncul dari dalam diriku pada orang sekota ini.
"Dengar, Adit," panggilku.
Adit mengangkat kepalanya, memberanikan diri untuk menatapku. Sorot kesedihan masih terlihat samar di kedua matanya.
"Aku akan berada di pihakmu. Kau harus ingat itu," ujarku sungguh-sungguh.
Ia menatapku beberapa saat lalu akhirnya mengangguk. Aku berharap ia benar-benar mengerti bahwa aku benar-benar akan memegang janjiku dengan sungguh-sungguh.
Aku tersenyum menyemangatinya, lalu kembali menyantap es krimku. Adit kemudian mengikutiku, ia kembali menjilati es krimnya. Beberapa saat kemudian kami
tidak lagi berbicara, hanya duduk sambil menyantap es krim kami hingga benar-benar habis.
"Aku dan kakakmu seumuran, kami ... satu angkatan," kataku pada akhirnya.
Ia menoleh padaku, sorot matanya kini diam.
"Apa kalian berteman?" Matanya kini menatapku dengan penuh harap.
Aku tertegun mendengar pertanyaannya. Rasa malu mulai mencuat dari dalam diriku saat menyadari Adit sedikit berharap bahwa aku dan Hilda dulu berteman-dan
menjadi satu-satunya teman kakaknya sebelum ia lahir dulu. Adit tentu saja tidak tahu tentangku dan Hilda. Bagaimana pun juga, aku sudah pergi dari kota
ini saat ia berumur 3 tahun. Artinya ia sendiri tidak tahu apakah aku memang pernah berteman dengan Hilda sebelum aku memutuskan pindah dari kota ini.
Rasanya aku sangat ingin menjawab pertanyaannya dengan jawaban iya. Tapi pada akhirnya, aku hanya bisa menjawabnya dengan tersenyum.
"Yang pasti kini aku benar-benar menjadi temannya dan temanmu juga," jawabku pada akhirnya.
Ia kembali terdiam, kemudian aku menyadari ada senyum yang mulai muncul di sudut mulutnya.
"Apa Kakak akan menetap lagi di sini, kalau begitu?" tanyanya.
Aku terdiam beberapa saat, kemudian menggeleng pelan. "Tidak. Aku harus kembali ke ibukota," jawabku. "Tapi aku akan berusaha kembali sesering mungkin.
Kapan-kapan saat aku kembali, aku akan membelikanmu makanan yang lebih enak lagi," sambungku lagi.
Ia mengangguk pelan. "Adit," ujarku. Aku menarik napas pelan, lalu menatapnya hati-hati. "Apa Hilda baik-baik saja selama 4 tahun terakhir ini?"
Adit masih diam, menatapku dengan sorot bingung.
"Sudah lebih dari 4 tahun sejak aku keluar dari kota ini," kataku lagi. Aku mengamatinya sesaat. "Apa ada sesuatu yang menyusahkan kakakmu selama beberapa
tahun terakhir ini?"
Adit terdiam, mulai mengerti dengan maksud pertanyaanku dan aku bisa menyadari badannya kini menegang. Apa pun yang ada di pikirannya, jelas-jelas itu
adalah pikiran yang tidak membahagiakan sedikit pun.
Lalu kemudian matanya tiba-tiba terpaku pada apa pun yang ada jauh di belakangku. Sorot matanya kini penuh dengan horor. Aku langsung berbalik dan menatap
ke arah tatapannya. Mataku langsung mencari-cari apa pun yang terlihat mencurigakan. Tapi aku sama sekali tidak menemukannya. Tidak ada yang mencurigakan
sama sekali. Jalan itu kini masih ramai, dipenuhi oleh banyak ibu yang menjemput anak-anaknya, beberapa penjual makanan kecil dan satpam sekolah.
Aku kembali berbalik menatap Adit. "Ada apa?"
Adit kini terlihat tegang, tapi matanya kini tidak lagi menatap ke belakangku.
"Kurasa aku harus pulang sekarang. Aku harus menjaga toko," katanya padaku. Wajahnya kini tiba-tiba berubah tenang, seolah-olah ia bukan lagi anak berumur
7 tahun. Ia jelas-jelas berusaha menyembunyikan ketakutannya beberapa detik lalu.
Aku mengamatinya sesaat. "Apa kau baik-baik saja? Adit, kau bisa menceritakannya padaku."
Ia mengangguk yakin dengan cepat. "Aku harus pulang sekarang."
"Kau mau kuantar?"
Ia menatapku dengan kaget, sekali lagi terlihat canggung dengan sikapku. "Tidak apa-apa, Kak. Rumahku dekat dari sini."
Aku mengamatinya beberapa saat, kemudian akhirnya menghela napas. "Baiklah, hati-hati di jalan."
Ia mengangguk. "Terima kasih untuk es krimnya, Kak."
Aku tersenyum. "Sama-sama."
Lalu ia mulai berbalik dan berjalan meninggalkanku. Aku terus menatapnya hingga bocah itu tidak lagi terlihat dari ujung jalan. Mataku tetap mencari-cari
seseorang yang mencurigakan yang mungkin berniat mengikuti bocah itu. Aku kemudian berbalik dan kembali menelusuri arah tatapan Adit tadi. Tapi aku tetap
tidak menemukan satu orang pun yang mencurigakan.
Sorot ketakutan itu masih terngiang di kepalaku. Rasanya siapa pun orang itu, ia jelas-jelas sudah melakukan ini berulang kali.
Kemudian tatapanku terpaku pada Pak Sanu yang masih berdiri di tempat terakhir kami bicara. Aku menyadari ia sedang menatapku dengan sorot mata was-was.
Ia jelas-jelas melihatku bersama Adit tadi. Ia kemudian melirik ke arah tatapan Adit tadi dengan sorot mata cemas.
Ia kemudian menggeleng pelan, seolah berkata bahwa seharusnya aku tidak berbicara Adit tadi.
Seolah aku baru saja melibatkan diriku dalam bahaya.
*** BAB 11. Individu Kurasa aku adalah satu-satunya orang di kota ini yang merasa tidak nyaman untuk kembali mengunjungi perguruan tinggi tempat aku mendapatkan gelar tertinggiku.
Aku bahkan tidak memiliki kenangan buruk atau semacamnya. Hubunganku dengan semua orang di perguruan tinggi ini baik dan aku tidak pernah mengukir perasaan
buruk apa pun pada nama baik perguruan tinggi ini.
Tapi aku tidak menyangka betapa dengan hanya berjalan di lorong beratap menuju gedung jurusanku ini saja justru membuatku merasa tidak nyaman dan ingin
segera meninggalkan tempat ini secepat mungkin. Apapun yang pernah terjadi di sini tetap membuatku kembali membangkitkan penyesalan-penyesalan yang terpendam
di dalam diriku. Aku menghirup napas panjang dan langsung merasakan udara segar memasuki pernapasanku. Dan itu ternyata bisa menenangkanku, walaupun hanya beberapa saat.
Perguruan tinggi Angor terletak di pinggir Kota Angor, berada di daratan paling tinggi di kota ini. Di sini hanya ada beberapa beberapa jurusan yang disediakan.
Dan semua jurusan memang dikhususkan untuk mencetak lulusan yang nantinya akan bekerja di semua industri dan lembaga yang tersedia di Kota Angor.
Aku mulai berjalan masuk ke dalam gedung jurusanku. Di atas pintu masuk, terpampang tanda besar bertuliskan 'Jurusan Ilmu Komunikasi'. Mataku langsung
bergerak menatap ke sekeliling. Kampus ini agak ramai dan sepertinya aku datang saat jam pertukaran kelas sedang berlangsung. Suara-suara langsung bercampur
dan suasana gedung langsung terasa ramai. Mahasiswa dan mahasiswi mulai keluar dari kelas sambil mulai mengobrol satu sama lain.
Langkah kakiku masih terasa familiar dengan tempat ini, walaupun sudah lebih dari 4 tahun berlalu. Sama seperti SD Angor, tempat ini tidak banyak berubah.
Bahkan wajah-wajah di sini sedikit tidak asing. Bagaimana pun juga, aku pasti pernah melihat mereka di kota ini dulu-saat mereka masih kecil.
Aku lalu mulai berjalan memasuki lorong-lorong kelas, mengintip pada setiap kelas untuk mencari sosok yang ingin kutemui.
"Lauren?" panggil seseorang dari belakangku.
Aku berbalik dan mendapati Bu Emma, dosen waliku dulu, berdiri menatapku dengan penasaran. Ia lalu tersenyum ramah begitu yakin bahwa ini memang aku.
Aku langsung mengangguk sopan, tidak menyangka justru bertemu dengannya.
"Apa yang sedang kau lakukan di sini?" tanyanya ramah. Tapi aku bisa menyadari bahwa ia sedikit tidak menyangka dengan kedatanganku hari ini.
Beberapa murid melewatiku dan mereka kini menatapku dengan sorot penasaran. "Aku ... hanya ingin berkunjung," jawabku akhirnya.
Ia terdiam sesaat. "Kukira kau tidak akan pernah lagi menemui kami di sini," ujarnya sambil terkekeh.
Aku berusaha tersenyum. "Apa Pak Haris datang hari ini?"
Ia berpikir sejenak. "Sepertinya tidak. Seingatku dia sedang mengikuti seminar di ibukota sampai besok. Jadi sepertinya baru lusa dia kembali mengajar."
Aku mengangguk paham. Walaupun jelas sebenarnya kabar ini sedikit mengecewakan bagiku.
"Kau butuh sesuatu? Mungkin aku bisa membantumu," ujar Bu Emma, menyadari ekspresiku.
Aku hanya tersenyum, sedikit ragu. "Kurasa aku akan kembali lagi lusa," jawabku akhirnya. Rasanya mungkin lebih baik aku menunggu Pak Haris untuk kembali.
Ia mengamatiku sesaat, lalu akhirnya tersenyum paham. "Kalau begitu, sampai nanti, Lauren."
Aku membalas senyumnya sambil mengangguk sopan.
Bu Emma kemudian berbalik dan mulai berjalan menjauh dariku. Aku tetap menatapnya, tiba-tiba saja merasakan kebingungan dan kekalutan yang sangat aneh
muncul dari dalam diriku. Suara-suara mahasiswa berlalu lalang di lorong ini kembali menyelimuti pendengaranku dengan cepat. Dan tiba-tiba saja kenangan
itu langsung muncul di pikiranku.
"Aku belum punya kelompok. Minggu kemarin aku tidak masuk, ingat?" kata Sarah padaku begitu kami keluar dari kelas ini.
Aku meringis. "Kelompokku sudah penuh. Kami sudah cukup 6 orang."
Sarah menggigit bibirnya, mulai berpikir keras. "Apa tidak boleh lebih dari 6 orang? Hanya tambah satu orang saja tidak akan masalah, kan?"
Tifa kemudian datang menghampiri kami. Aku mulai bersandar di dinding lorong, membuat ruang kosong untuk orang-orang lain yang melewati lorong ini. Sarah
mengikuti, ia menatap Tifa dengan sorot berharap. "Kau sudah punya kelompok, Tifa?"
Tifa langsung menunjukku santai dengan senyuman di wajahnya, mengisyaratkan bahwa ia satu kelompok denganku. Sarah menghela napas kecewa. "Tentu saja kalian
satu kelompok. Mengapa aku perlu bertanya lagi?" gumamnya.
"Bentuk saja kelompok baru, Sarah. Seingatku bukan hanya kau yang tidak masuk hari itu. Ada Nio, Juna, Tari dan ..." aku memicingkan mata, mencoba mengingat
kembali siapa yang tidak hadir hari itu. Aku menjetikkan jari lalu menatap Sarah dengan puas. "Dan Dion!"
Sarah langsung membelalak senang. "Kau serius? Kuharap Dion belum punya kelompok," ujarnya semangat. Ia lalu mengeluarkan ponselnya dan mulai mengetik
dengan cepat. "Sebaiknya aku menanyakannya sekarang juga."
Aku dan Tifa saling bertatapan dengan sorot geli. Sejak semester awal, Sarah memang terlihat jelas sangat menyukai Dion. Tapi Dion sudah memiliki pacar
dari jurusan lain, hingga akhirnya putus sampai beberapa minggu lalu. Dan tentu saja Sarah tidak akan mungkin melewatkan kesempatan ini begitu saja.
"Yes! Dia mau!" jerit Sarah. Aku dan Tifa langsung tersenyum senang. Matanya masih tertuju pada layar ponselnya, membaca pesan balasan dari Dion. Tapi
Kemudian senyumnya langsung hilang. Wajahnya tiba-tiba kelam penuh kesal.
"Apa Hilda juga tidak masuk hari itu?" tanyanya.
Aku menelengkan kepalaku, kembali mengingat-ingat. "Jujur aku tidak ingat," jawabku. Aku menatap Tifa, meminta jawaban. Tapi kemudian Tifa menggeleng pelan.
"Aku juga tidak terlalu memperhatikan," jawabnya.
Rasanya tentu saja tidak ada yang benar-benar memperhatikan Hilda di kampus ini. Keberadaannya seperti tembus pandang. Semua orang pelan-pelan sudah tidak
lagi menyadari keberadaanya.
Sejak SMA, Sarah tidak lagi menganggunya atau menjahilinya. Begitu juga kami dan seisi kota ini. Kami hanya mengikuti Sarah, tentu saja. Dan Hilda tetap
tidak memiliki teman satu pun. Ia masih terlihat sendiri, kecuali dengan ibu atau adik lelakinya yang masih sangat kecil. Tidak pernah rasanya aku melihatnya
berbicara dengan remaja di sini-terutama seumuran dengannya. 1
Sarah seakan-akan tidak lagi memperhatikan keberadaannya. Seolah Hilda tidak terlihat, tidak ada di dunia ini.
Dan perlahan-lahan, kami mulai mengikutinya. Hingga akhirnya Hilda dan keluarganya kini sudah benar-benar menjadi orang buangan di kota Angor, outcast,
sama sekali diabaikan di kota kelahirannya sendiri.
"Memangnya ada apa?"
Sarah terdiam sejenak. "Dion memintaku memasukkan Hilda dalam kelompokku."
Aku dan Tifa ikut diam, menunggu Sarah melanjutkan perkataannya lagi.
"Lalu?" tanya Tifa akhirnya.
Sarah kemudian menatap kami bergantian dengan senyum sebal. "Aku tidak terlalu peduli. Yang penting aku memiliki alasan dan waktu bersama dengan Dion sekarang."
Aku mulai berjalan mengejar Bu Emma yang kini sudah berada di ujung lorong. Ingatan itu kembali datang dengan cepat.
"Hilda, ikut saya ke kantor sekarang," ujar Bu Emma dengan tegas.
Beberapa dari kami yang duduk di barisan depan langsung menengok begitu mendengar perkataan Bu Emma. Kelas sudah dibubarkan beberapa menit lalu. Suara-suara
mulai ramai terdengar di kelas ini sembari kami semua mulai bersiap-siap keluar. Jadi tidak semua dari kami yang menyadari ketegangan dari Hilda yang kini
mulai berjalan tegang, mengikuti Bu Emma dari belakang.
"Ada apa?" tanya Tifa yang duduk tepat di belakangku begitu Bu Emma dan Hilda sudah keluar dari ruangan. Aku tahu ia juga menyadari ekspresi Bu Emma saat
ia melewati barisan menuju pintu masuk. Dan kami semua tahu ekspresi itu selalu muncul setiap kali ada dari kami yang melakukan kesalahan fatal di kelasnya.
"Dia di suruh ke kantor." Sarah yang menjawab. Ia sama sekali tidak terlihat terkejut pada pemandangan ini.
Kami menatapnya, menunggunya melanjutkan. Begitu Sarah selesai memasukkan buku-bukunya ke dalam tas, barulah ia mendongak menatap kami. Wajahnya kini datar.
"Dia tidak ikut serta dalam kerja kelompok untuk tugas ini," lanjut Sarah.
Aku terdiam, tidak tahu harus berkata apa-apa.
Sarah kini menghela napas. "Dia tidak datang saat berkumpul untuk mengerjakan tugas ini bersama-sama dan dia bahkan sama sekali tidak pernah sekali pun
bertanya pada kami tentang tugas ini."
"Jadi kau melaporkannya pada Bu Emma?" tanya Vera yang duduk di sebelah Sarah.
Sarah menatap Vera dengan sorot tak bersalah. "Tentu saja. Tidak adil jika dia tetap mendapatkan nilai sedangkan dia sama sekali tidak menyentuh tugas
itu sama sekali. Lagipula kami sekelompok sudah sepakat untuk mengadukan hal ini."
Aku tidak menyadari sejak tadi kerumunan kami sudah mulai bertambah. Barisan-barisan di belakang kami sejak tadi mulai mendekat untuk mendengarkan pembicaraan
kami tentang Hilda yang dipanggil Bu Emma. Beberapa dari yang terlambat mulai bertanya-tanya penasaran pada kami.
"Dia bisa diberi nilai C untuk mata kuliah ini," ujar Tifa. "Kalian tau betapa masalah semacam ini sangat tidak disukai oleh Bu Emma. Kasusnya sama seperti
Kak Tami dulu, ingat?" sambungnya.
Aku mengangguk, membenarkan perkataan Tifa barusan. Rasanya ekspresi Bu Emma tadi sudah menjelaskan betapa kasus ini sangat membuatnya kesal. Sekali pun
mahasiswa yang terlibat di sini adalah Hilda yang merupakan mahasiswi dengan nilai tinggi dan mendapatkan beasiswa penuh.
"Ini akan menjadi pembelajaran baginya, kalau begitu," sahut Sarah sambil tersenyum, terlihat jelas sangat tidak peduli dengan hal itu.
"Bu Emma," panggilku.
Bu Emma kemudian berbalik. Ia mengangkat alisnya, menatapku dengan bingung. "Ada apa Lauren?"
Aku tidak menyadari bahwa kini napasku memburu, sama sekali tidak mengerti mengapa jantungku tiba-tiba berdetak cepat.
"Bisa kita bicara sebentar?" tanyaku.
"Ya, boleh." Ia mengamatiku beberapa saat. "Kau baik-baik saja?" tanyanya.
Aku terdiam sejenak, kemudian menarik napas dalam-dalam. "Aku baik-baik saja." Aku menghela napas pelan. "Hanya ... tiba-tiba teringat sesuatu."
Bu Emma menatapku sesaat. "Kau mau bicara di kantorku?"
"Ya. Lebih baik di kantor ibu saja," ujarku setuju.
Kami lalu mulai berjalan menaiki tangga yang berada di depan lobi pintu masuk. Begitu sampai ke lantai dua, aku menyadari langkahku kembali terasa familiar
mengetahui letak ruangan kantor Bu Emma. Kami akhirnya sampai di pintu kedua di lorong kiri. Lantai dua memang sedikit lebih sepi dari lantai satu. Di
sini, hanya ada beberapa kelas dan selebihnya dipenuhi oleh kantor-kantor dosen, ruang rapat, dan aula.
Begitu Bu Emma membuka pintu masuk ruangannya, ia langsung melirikku sekilas. "Aku jadi teringat saat dulu aku masih menjadi dosen walimu."
Aku hanya tersenyum mendengar hal itu keluar dari mulutnya.
"Duduklah," katanya lagi.
Aku langsung duduk di kursi di depan mejanya. Ruangan ini tidak terlalu luas dan sangat sederhana. Hanya ada meja, kursi dan beberapa rak berisi berkas-berkas
yang merapat di dinding. Begitu Bu Emma duduk di kursi hadapanku, ia lalu menatapku, menungguku untuk memulai pembicaraan yang ingin kulakukan sejak tadi.
"Ingat saat semester 6 ketika Hilda mendapat nilai C karena Sarah mengadu padamu bahwa Hilda tidak ikut dalam mengerjakan tugas kerja kelompoknya?" tanyaku


Silent Girl Karya Indah Thaher di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tanpa sadar, seolah ada sesuatu yang memaksaku untuk cepat-cepat melontarkan pengakuan itu.
Bu Emma seketika langsung menatapku bingung, sama sekali tidak siap dengan topik yang ingin kubicarakan. Ia tidak menjawab, tapi wajahnya mulai berkerut
mencoba mengingat kejadian yang kumaksud.
Aku menarik napas pelan, tetap melanjutkan ceritaku.
"Saat itu Sarah memang sengaja tidak memanggil Hilda untuk datang berkumpul mengerjakannya bersama-sama. Aku saksinya."
*** BAB 12. Diam dan Lari "Kau yakin?" Sarah mengangguk pelan, terlihat sedikit ragu dengan keputusannya. "Lebih baik seperti itu. Daripada nantinya kami justru canggung," jawabnya.
Aku tergelak pelan. "Tidak biasanya kau seperti ini pada pria mana pun. Seorang Sarah biasanya langsung bertemu and mengajak kencan pria yang disukainya."
Sarah berpangku tangan, melirikku sekilas dengan mencibir. "Itu artinya aku benar-benar menyukai Dion. Dia berbeda dengan laki-laki lain yang selama ini
kupacari." Aku hanya tersenyum, tidak berkata apa-apa mengenai hal itu.
"Jadi bagaimana?" tanya Sarah padaku.
Aku mengangkat bahu. "Tidak masalah bagiku. Lagipula semakin ramai semakin seru. Dan kita mungkin bisa menyelesaikan tugas ini lebih cepat."
Sarah tersenyum. "Bagus. Kalau begitu aku akan memberitahu yang lain sekarang juga," ujarnya sambil mengambil ponsel dan mulai sibuk mengetik pesan. "Aku
menyuruh mereka untuk berkumpul di sini saja."
Aku mengangguk setuju. Mataku langsung mengintari kafe ini sekilas. Kafe ini lumayan luas dan terdapat beberapa sofa nyaman di pojok ruangan yang sangat
nyaman jika dijadikan sebagai tempat diskusi. Pengunjungnya pun kini tidak terlalu ramai, mungkin karena ini masih hari minggu pagi-kafe ini bahkan baru
saja buka. "Sudah. Mereka akan datang sekitar 15 menit lagi," katanya dengan puas.
Aku menatap Sarah beberapa saat, kemudian menyadari sesuatu. Aku mulai mengeluarkan ponselku dan mencari sebuah nomor. Nomor yang aku sendiri tidak yakin
masih tersimpan atau tidak di daftar kontakku.
Mataku langsung membesar sekilas begitu menyadari aku masih menyimpan nomor itu. Aku langsung menyodorkan layar ponselku pada Sarah.
"Apa?" tanya Sarah bingung.
"Nomor Hilda," jawabku.
Ia langsung mengerutkan alis. "Lalu?"
"Kau sudah punya nomornya?"
Sarah mendengus geli. "Tidak. Tentu saja aku tidak punya. Dan bagaimana bisa kau sendiri punya nomornya?"
"Aku menyimpan nomor semua angkatan kita sejak disuruh oleh senior kita dulu saat OSPEK. Kukira semuanya melakukan hal yang sama."
Sarah memutar bola matanya dan menggeleng pelan, lalu kemudian kembali sibuk dengan ponselnya. Aku masih menatapnya, ragu untuk bertanya.
"Kau sudah mengajaknya, kalau begitu?" tanyaku akhirnya.
"Siapa?" tanyanya, tanpa mengalihkan tatapannya dari layar ponsel.
"Hilda." Sarah langsung menatapku dengan senyum mencibir. "Kau pasti sedang bercanda."
Aku terdiam sesaat. "Kau tidak jadi sekelompok dengannya?"
Ia kembali menatap ponselnya dan mulai mengotak-atik. "Kami satu kelompok," jawabnya santai.
Aku kembali diam, kali ini menunggunya melanjutkan perkataannya. Sarah tidak lagi berbicara beberapa saat, kemudian ia akhirnya menoleh padaku dan menghela
napas lelah. "Kau tau aku tidak akan mengajaknya ke sini dan berkumpul bersama kita di sini, kan? Ayolah, Lauren. Yang kita bicarakan ini adalah Hilda."
Ia mengucapkan nama itu dengan nada jijik.
Aku mengangguk, mulai tidak peduli dengan topik ini.
"Lagipula Dion juga akan datang." Ia kemudian tertawa pelan. "Jadi kemungkinan hal itu akan terjadi benar-benar nol besar."
Aku akhirnya ikut tergelak pelan mendengar perkataan Sarah. "Jadi kau akan memasukkan namanya saja di lembar tugas? Kau tau Bu Emma sangat tidak menyukai
hal ini. Jika ketahuan, nilai kalian satu kelompok akan diberi C olehnya."
"Oh, aku tinggal mengadukannya terlebih dahulu pada Bu Emma."
Aku menatapnya dengan bingung. "Maksudmu?"
Ia kemudian menaruh ponselnya dan kemudian tiba-tiba mendongak ke depan. Ia lalu tersenyum sambil melambaikan tangannya. Aku mengikuti arah tatapannya
dan mendapati Tifa sudah datang. Ia bersama Vera dan Nika, sedang berjalan menghampiri kami. Aku ikut memberikan senyum pada mereka.
"Aku tinggal mengadukan pada Bu Emma kalau dia tidak datang saat aku sudah mengajaknya berkumpul untuk mengerjakan tugas ini bersama-sama. Aku yakin semua
orang akan setuju dengan hal ini," jelasnya tenang. Ia lalu menatapku sambil tersenyum.
"Dengan begitu, kami semua selamat, kecuali dia," sambungnya.
Bu Emma menatapku dengan alis berkerut. "Apa maksudmu, Lauren?"
"Sarah memang tidak pernah mengajak Hilda untuk mengerjakan tugas kelompok itu bersama-sama. Jadi itu bukan sepenuhnya salah Hilda."
Bu Emma terdiam beberapa lama. Ia kemudian menghela napas. "Aku tidak mengerti mengapa tiba-tiba kau membicarakan hal ini, Lauren."
Aku tertegun, menyadari bahwa tingkahku sejak tadi terlihat seperti wanita aneh yang tiba-tiba ingin mengklarifikasi kejadian yang sudah lewat lebih dari
5 tahun lalu. Aku bahkan tidak yakin apakah Bu Emma masih mengingat kejadian itu atau tidak.
Dan aku masih tidak mengerti mengapa tiba-tiba saja ingatan itu kembali datang memenuhi pikiranku.
"Aku minta maaf, Bu," ujarku. Aku menggeleng pelan. "Aku ... hanya ingin mengungkapkan semua kebenaran yang terjadi selama ini pada Hilda," sambungku.
Bu Emma mengamatiku beberapa saat. "Kebenaran tentang apa?"
Aku menatap Bu Emma, masih ragu untuk menanyakan hal yang sebenarnya tentang Hilda. Aku sadar Bu Emma juga mengetahui tentang pengasingan itu. Bagaimana
pun juga, ia sudah mengajar di sini lebih dari 20 tahun. Tidak mungkin ia tidak menyadarinya.
Hanya saja, aku juga sadar ia mungkin akan memilih bersikap sama seperti orang di kota ini. Bahkan Pak Haris pun berpura-pura menutupinya. Tapi setidaknya
aku lebih dekat dengan Pak Haris dibandingkan dengan Bu Emma. Karena itulah aku mencari Pak Haris di sini. Aku berpikir, jika kami berdua berbicara sendirian
dan jauh dari kerumunan, Pak Haris akan berkata jujur padaku tentang apa yang sebenarnya terjadi di kota ini pada Hilda.
"Bu Emma, aku sadar apa yang sedang orang-orang kota ini lakukan. Mereka menyembunyikan pengasingan itu dan kita berdua jelas-jelas tau kalau Sarah dan
Hilda tidak pernah memiliki hubungan baik satu sama lain," kataku akhirnya.
Bu Emma kini terdiam, menatapku dengan sorot aneh. Aku menyadari bahunya kini menegang serius. Apa pun yang ada di pikirannya saat ini, jelas itu tidak
berarti baik. Ia kemudian menarik napas pelan dan mulai melepaskan kaca mata yang bertengger di ujung hidungnya.
"Jadi ini yang dimaksudkan Pak Haris dan orang-orang," gumamnya sangat pelan, setengah pada dirinya sendiri. Ia kemudian menatapku kembali, kini dengan
sorot tidak nyaman. "Apa yang sebenarnya ingin kau lakukan, Lauren?"
Aku merasakan jantungku mulai berpacu cepat kembali, menyadari dugaanku bahwa Bu Emma pun sudah memutuskan untuk ikut menutupi pengasingan dan pembullyan
yang dilakukan orang sekota ini pada Hilda-terutama Sarah.
"Aku hanya ingin mencari kebenaran." Dan keadilan untuk Hilda.
Bu Emma kemudian memajukan badannya ke depan, wajahnya kini terlihat khawatir. Ia menatapku dalam-dalam. "Kau lihat sendiri saat pemakaman, kan? Semua
orang datang menghadiri pemakaman Hilda." Ia menarik napas perlahan. "Semua orang di kota ini orang baik, Lauren. Mereka saling membantu satu sama lain,
membangun kota kelahirannya sendiri bersama-sama dan tidak egois untuk pergi mewujudkan cita-citanya di kota lain."
Aku menatapnya diam, tidak bisa merasakan apa-apa selama beberapa saat. Perkataannya jelas kembali menyadarkanku tentang satu hal yang kukira tidak perlu
kupikirkan lagi. Kepergianku dari kota ini masih belum sepenuhnya dimaafkan oleh orang Angor.
Mereka masih menganggapku sebagai orang yang egois dan sok pintar yang ingin keluar dari kota ini untuk mencapai keinginanku sendiri. Orang yang merasa
tidak lagi memerlukan bantuan dari apa pun yang sudah tersedia di kota ini. Sejak kecil, aku sudah sering mendengar hal ini dari orang-orang kota ini.
Sejak dulu mereka memang tidak pernah menyukai orang-orang yang memutuskan pindah dari kota ini-terutama yang ingin pindah ke ibukota sepertiku.
Aku juga dulu berpikir seperti mereka. Tapi siapa sangka kini aku justru menjadi salah satu orang itu.
"Orang kota ini adalah orang yang baik," ulang Bu Emma. "Jadi aku tidak mengerti mengapa kau berpikir bahwa mereka justru mengasingkan seseorang yang berasal
dari kota ini sendiri," sambungnya.
Aku menatapnya dengan diam, tahu bahwa apa pun yang keluar dari mulutku sekarang tetap tidak akan mengubah cara pandangnya pada semua ini.
*** Kali ini aku benar-benar menyadari sorot tatapan yang diberikan orang-orang padaku kini sangat berbeda dibandingkan kemarin.
Mereka kini menatapku dengan sorot tidak suka.
Rasanya seolah-olah setelah mendengar penjelasan dari Bu Emma beberapa jam lalu, tiba-tiba saja seluruh isi kota langsung ingin menunjukkannya padaku.
Tatapan mereka semua hampir memiliki arti yang sama-menganggapku sok pintar dan sombong, atau pembuat onar.
Aku berusaha untuk mengacuhkan tatapan mereka dan tetap menatap ke arah pagar masuk. Jam sekolah sudah akan berakhir beberapa menit lagi.
Bel kemudian berbunyi dan satpam langsung membuka pagar lebar-lebar. Seperti biasa, kerumunan anak-anak berseragam di SD tersebut langsung muncul keluar
memenuhi halaman sekolah. Aku langsung mencari-cari sosok Adit di antara kerumunan ini.
Beberapa dari orang tua murid yang mengenaliku langsung menatapku dengan sorot itu lagi. Ia mengerutkan alis, menyadari bahwa aku ke sini untuk kembali
menemui Adit. Sebenarnya perlakuan orang-orang ini justru semakin membuatku curiga bahwa dugaanku selama ini tentang Hilda memang benar.
Semua orang di kota ini jelas-jelas menyembunyikan pengasingan Hilda dan Sarah ... yang jelas-jelas memiliki hubungan dengan kematian Hilda. Dan aku yang
sepertinya ketinggalan berita lebih dari 4 tahun dan pengkhianat kota yang tiba-tiba muncul kembali tentu saja menjadi musuh bagi mereka semua.
Setidaknya Adit akan tetap berkata jujur padaku. Aku pikir aku akan bisa mendapatkan pengakuan darinya. Bocah itu jelas-jelas masih tidak bisa berbohong
dan berpura-pura seperti orang dewasa lainnya di kota ini.
Begitu aku mengenali sosok badan tinggi ceking yang berjalan menunduk di antara kerumunan itu, aku langsung berjalan menghampirinya.
"Adit!" panggilku.
Lagi-lagi bocah lelaki itu tidak menyahut, entah tidak mendengar suaraku atau masih tidak terbiasa dengan kenyataan bahwa seseorang memanggilnya di depan
umum. Aku kini berjalan mengejarnya hingga sampai keluar dari pagar sekolah.
"Adit!" panggilku lagi.
Adit kemudian berhenti dan aku menyadari bahunya kini menegang. Ia kemudian berbalik dan menatapku sekilas sebelum akhirnya melirik ke sekitar kami dengan
wajah cemas. Aku menyadari ketakutan di wajahnya.
"Aku membawakanmu kue bolu," ujarku berusaha santai. Aku mengangkat kantong plastik yang sejak tadi kubawa.
Ia kini meremas-remas tali sandang tasnya dengan wajah cemas, masih tidak berani menatapku berlama-lama.
"Adit, ada apa?" tanyaku serius. Aku lalu melemparkan tatapan ke sekeliling kami, mencoba mencari-cari sosok yang mungkin sedang mengikuti kami-sosok yang
terakhir kali datang dan membuat Adit ketakutan. Tapi lagi-lagi aku tidak menemukan siapa-siapa.
Justru hanya ada beberapa orang yang kini terang-terangan menatapku dengan alis berkerut, seolah mengatakan bahwa aku tidak seharusnya mengajak Adit berbicara.
"Adit, ada apa-"
Saat aku berbalik menatap adit kembali, aku sudah melihat bocah itu sudah lari menjauh dariku dengan kencang.
*** BAB 13. Diawasi Aku menelan dua butir pil berwarna biru itu sekaligus, kemudian meneguk segelas air hingga aku merasakan dua pil itu mengalir turun di kerongkonganku.
Aku menarik napas pelan, sambil memejamkan mata untuk menunggu ketenangan itu datang lagi ke dalam pikiranku.
Suara denting logam terdengar dari meja di dekatku.
"Aku sudah mengisikan bensin mobilmu," ujar Paman.
Aku membuka mata dan mendapati kunci mobilku tergeletak di depanku.
"Terima kasih, Paman," kataku sambil menatap Paman yang kini berjalan memunggungiku.
"Sebaiknya kau tidak usah keluar hari ini, Lauren," kata Bibi sambil berjalan menghampiriku. Ia lalu menaruh sepotong roti bakar ke atas piringku.
Aku hanya diam, menatap kunci mobil itu tanpa ragu.
"Lebih baik kau beristirahat saja. Nanti kau justru kelelahan saat kembali bekerja lusa," sambungnya lagi.
Paman yang sudah duduk di hadapanku. "Bibimu benar, Lauren. Sebaiknya kau di rumah saja hari ini," ujarnya.
Aku mulai mengambil selai dan mulai mengolesnya di atas roti panggangku. "Aku tidak sakit, Paman. Lagipula aku benar-benar ingin menghabiskan waktu di
kota untuk ... nostalgia," jawabku seadanya. Tiba-tiba saja suaraku mengecil ragu.
Paman dan Bibi bertukar pandang sejenak. Lalu kemudian Bibi duduk di sampingku, mulai mengoleskan selai ke roti panggang Paman. Mereka cukup tahu bahwa
dengan fakta aku masih meminta seseorang mengisikan bensin saja sudah dapat memperlihatkan betapa kondisiku tidak bisa dikatakan baik.
Beberapa saat tidak ada yang berbicara, jadi kurasa pembicaraan tadi sudah selesai. Aku benar-benar merasa baik-baik saja. Pil-pil itu hanya obat penghilang
rasa sakit kepala yang belakangan ini sering muncul, terutama saat sebelum tidur dan saat aku bangun. Dan selama beberapa hari terakhir ini, aku tidak
lagi mimpi buruk tentang ... keluargaku atau pun Hilda.
Lagipula aku benar-benar ingin menemui Adit kembali.
Sejak kemarin siang, aku masih belum menemukan alasan yang benar-benar masuk akal tentang mengapa Adit tiba-tiba kabur-dariku. Apakah karena tatapan orang-orang
sekitarku itu? Apa Adit merasa seharusnya aku tidak lagi berbicara dengannya di depan umum?
"Kudengar kau pergi ke kampus kemarin," kata Paman.
Aku mendongak, lalu mengangguk mengiyakan. "Ya, aku sebenarnya ingin bertemu dengan Pak Haris tetapi dia sedang keluar kota."
"Dan kau juga pergi ke SD Angor," ujar Paman lagi. Tapi kali ini suaranya terdengar sedikit aneh.
Aku kembali mengangguk, berusaha untuk bersikap biasa saja. Tapi aku sudah yakin, mereka pasti sudah mendengar pertemuanku dengan Adit.
Bibi menghela napas. "Lauren."
Aku menatap Bibi, menyadari wajahnya kini diliputi kecemasan yang masih berusaha ia tutupi dariku. Ia mengelus tanganku beberapa saat. "Apa yang sebenarnya
ingin kau lakukan di sana?"
Aku mengamati Bibi beberapa saat, kemudian pandanganku beralih pada Paman yang kini menatapku dengan sorot diam.
"Memangnya ada apa? Apa aku menyinggung seseorang di kota ini?" tanyaku akhirnya.
Bibi terperanjat sesaat. "Tidak, tidak. Hanya saja perilakumu membuat orang sekitar mulai salah paham, Lauren."
Aku terdiam beberapa saat. "Aku hanya ingin berbicara dengan Adit. Itu saja."
Paman menghela napas. "Kau membuatnya tidak nyaman, Lauren. Hanya itu."
Alisku terangkat. "Aku?" sahutku tak percaya. Aku yang membuatnya tidak nyaman? Betapa ironinya hal ini. Saat sebenarnya justru semua orang di kota ini
yang jelas-jelas tidak memperlakukannya dengan tidak adil.
Aku menghembuskan napas perlahan, mencoba menenangkan emosi yang tiba-tiba kembali muncul di dalam diriku. "Apa yang mereka katakan tentangku?"
Bibi langsung menggeleng pelan, terlihat jelas tidak menyukai pertanyaanku. "Mereka hanya belum menerima kedatanganmu kembali ke kota ini sepenuhnya, hanya
itu," jawab Bibi. Entah kenapa kebohongan Bibi justru semakin memperjelas dugaanku bahwa kini semua orang di kota mengetahui bahwa aku mulai berkeliaran untuk membongkar
penutupan sikap pengasingan yang mereka lakukan selama ini pada Hilda dan keluarganya.
Mereka jelas-jelas merasa terancam dengan hal ini.
"Aku berharap kau tidak lagi mengungkit masalah Hilda lagi dengan orang-orang di kota ini," ujar Paman dengan nada datar.
Aku terdiam, kini benar-benar menegang begitu menyadari bahwa Paman sedang memberikanku peringatan tentang hal ini. Selama beberapa saat suasana di ruang
makan ini hening. Aku lalu kembali menatap Paman dan Bibi bergantian.
"Ada sesuatu yang terjadi di sini, kan? Sesuatu yang berhubungan dengan kematian Hilda," ujarku yakin.
Bibi mengatupkan bibirnya rapat-rapat, bibirnya kini mulai bergetar. "Oh ... Lauren. Kumohon jangan lagi-"
"Ada sesuatu yang kalian semua sembunyikan," potongku. Aku menatap dalam-dalam Bibi. "Semua orang dikota ini menyembunyikan sesuatu tentang kematian Hilda.
Dan Sarah-" "Cukup, Lauren," potong Paman dengan nada tegas.
Aku terdiam, memandang Paman tanpa berkata apa-apa lagi. Ia kemudian menghembuskan napas lelah. "Dengar, Lauren," katanya. Ia melirik Bibi sejenak, lalu
kembali menatapku. Sorot matanya kini mulai melunak. "Orang di kota ini adalah orang baik-baik."
Badanku langsung menegang, menyadari perkataan yang sama keluar dari mulut Paman dan juga Bu Emma. Aku menelan ludah, merasakan jantungku mulai berdetak
tidak nyaman. Tapi aku tetap tidak melepas tatapanku pada Paman. Wajahnya kini serius.
"Tidak ada seseorang yang akan menyakiti siapa pun di sini. Terutama Sarah dan keluarganya. Mereka benar-benar sudah berkorban banyak untuk kota ini, kau
tau itu," sambung Paman.
Aku menatap diam Paman beberapa saat. "Ya. Aku tau itu, Paman."
Bibi kemudian mulai mengelus bahuku dengan lembut. Aku mendongak dan mendapati masih ada sorot was-was di kedua matanya.
"Aku harap kau tidak lagi mengungkit kesalahpahaman ini lagi. Jangan biarkan ini membuat hubungan dengan orang sekota ini rusak, Lauren," ujar Paman lagi.
Aku menatap Paman dan Bibi bergantian. "Baiklah," ujarku akhirnya.
*** "Tidak akan pernah," ujarku.
Pak Sanu kemudian menghela napas. Wajahnya seketika langsung terlihat was-was.
"Jika yang bapak maksud adalah keselamatanku, Tidak usah khawatir, Pak. Aku bisa menjaga diriku sendiri," kataku lagi.
Pak Sanu terdiam, menatapku dengan ekspresi campur aduk.
"Kalau begitu, aku pergi dulu, Pak. Terima kasih es krimnya." Aku memutuskan untuk segera meninggalkannya. Sejak tadi, aku sudah medapatinya sering melirik
ke sekitar kami dengan tidak nyaman.
Aku masih belum yakin apakah seseorang yang mengawasi Adit tempo hari yang membuatnya terlihat tak nyaman bersamaku. Atau memang ia sudah mengetahui tujuanku
yang ingin membongkar penyebab kematian Hilda yang sebenarnya.
"Lauren," panggil Pak Sanu beberapa saat kemudian.
Aku berhenti dan berbalik menghadap Pak Sanu. Wajahnya kini berkerut penuh dilema. Ia menggeleng pelan. "Apa yang kau coba lakukan sekarang pada akhirnya
hanya akan membuatmu tersakiti nantinya," katanya padaku.
Aku terdiam, mencoba mencerna peringatan yang baru saja ia lontarkan padaku. Aku akhirnya tersenyum kecil. "Kurasa aku sudah tau hal itu sejak awal, Pak."
Lalu aku mulai berjalan menjauh darinya, menyebrangi jalanan yang sepi dari lalu lalang mobil. Aku terus berjalan hingga akhirnya mataku menangkap taman
bermain yang berada di depan SD Angor. Aku kembali mengecek jam tanganku, menyadari bahwa jam sekolah akan berakhir 10 menit lagi.
Di depan sekolah itu sudah mulai ramai dengan orang tua siswa yang sedang menunggu anaknya pulang. Gerobak-gerobak penjual juga sudah mulai berkumpul di
sekitar sana. Kurasa sebentar lagi, Pak Sanu juga akan sampai di sini beberapa menit lagi.
Rasanya sejak dua hari terakhir ini aku semakin merasakan betapa berubahnya sikap orang-orang di sekitarku. Mereka kini jelas-jelas tidak lagi menutupi
ketidaksukaan mereka padaku-pada dugaanku tentang kematian Hilda yang kini kuyakini memang benar.
Aku berjalan di atas trotoar, menuju pagar masuk sekolah itu. Dan kali ini, orang-orang di sekitarku benar-benar menatapku dengan alis berkerut. Saat sudah
sampai di pinggir pagar tempat biasa aku menunggu adit, seorang satpam langsung menghalangi pandanganku.
"Kau tidak boleh berada di sini, Nona," katanya padaku.
Aku langsung mendongak, menatapnya dengan tak percaya. "Apa?"
Satpam itu masih menatapku dengan sorot tegas. "Silahkan pergi dari sini, Nona."
"Kenapa? Ini tempat umum, aku hanya ingin berkunjung. Aku dulu bersekolah di sini," sahutku.
Beberapa orang di sekitar kami mulai melirik kami dengan penasaran. Si Satpam masih memasang wajah tegas. "Silahkan pergi dari sini baik-baik, sebelum
saya panggil polisi," katanya lagi.
Aku mengerutkan alis, menyadari ancamannya tidak main-main. Aku menarik napas, mencoba menenangkan emosiku kali ini. "Dengar, aku tidak melakukan sesuatu
yang menganggu di sini. Kau melihatku beberapa hari lalu di sini. Aku hanya ingin bertemu dengan seseorang di sini dan berbicara sebentar dengannya," jelasku
dengan tenang. Aku tahu aku bisa saja menemui Adit ke rumahnya. Tapi sikap satpam ini justru menarik perhatianku tentang alasan mengapa mereka tiba-tiba melarangku berada
di sini. Ia menatapku beberapa saat dengan wajah datar. Aku balas menatapnya, menunggunya mengatakan sesuatu.
"Dia yang memintaku untuk tidak membiarkanmu mendatanginya," kata Satpam itu.
Aku terdiam beberapa saat, tiba-tiba merasa sulit untuk memikirkan apakah perkataannya yang ia lontarkan barusan padaku adalah kebohongan atau tidak. Rasanya
aku bisa dengan mudah menganggapnya berbohong padaku. Dan menganggapnya bersekongkol bersama dengan semua orang di kota ini untuk menjauhkanku dari Adit
supaya rahasia tentang kematian Hilda tetap tersembunyi.
Tapi satpam itu tidak mungkin mau membantu Adit. Bagaimana pun juga, Adit adalah bagian dari keluarga Hilda yang sejak dulu tidak pernah dipikirkan keberadaannya.
Jadi mengapa juga tiba-tiba ia membantunya kali ini.
"Kau mengenalku, kalau begitu?" tanyaku padanya.
Sorot matanya menyiratkan dengan jelas kalau ia memang mengenaliku. "Pergilah sekarang, Nona," perintahnya lagi.
Suara bel berbunyi langsung menyelimuti pendengaranku. Si Satpam menatapku, masih menungguku menyingkir dan berjalan menjauh dari sekolah itu. Aku kemudian
mulai melangkah mundur, menjauh dari tempatnya. Hingga sampai ke seberang taman, aku mulai berhenti dan berdiri jauh dari keramaian. Aku memperhatikan
satpam itu yang kini sudah membuka pagar sekolah sepenuhnya.
Mataku langsung mencari sosok Adit dengan cepat. Kali ini aku benar-benar tidak boleh melewatkan kesempatan ini lagi seperti kemarin dan aku ingin memastikan
mengapa ia kabur dariku saat itu. Aku harus mendapatkan jawabannya hari ini juga.
Sosok Adit kemudian muncul. Aku tetap menunggunya melewati pagar sekolah itu. Saat Adit melewati Satpam itu, aku menyadari satpam itu menatapnya dengan
sorot mata awas. Adit sendiri sepertinya tidak menyadarinya. Jadi dugaanku benar, satpam itu tidak pernah menerima permintaan Adit untuk mengawasinya.
Satpam itu mulai menatap ke sekeliling, jelas-jelas sedang mencari keberadaanku. Tapi untunglah pohon besar ini berhasil menutupi samar-samar. Begitu Adit
sudah menyebrang ke taman bermain, barulah Satpam itu mengalihkan pandangannya dari bocah itu.
Aku langsung keluar dari persembunyianku dan menghampiri Adit dengan cepat.
"Adit," panggilku.
Bocah itu terkesiap kaget. Ia lalu mendongak dan menatapku dengan sorot kalut.
"Tidak apa-apa-"
"HEI!!" seseorang berteriak.
Aku mendongak dan mendapati satpam itulah yang sedang berteriak padaku. Teriakannya semakin membuat Adit ketakutan. Satpam itu kini mulai berjalan cepat
menghampiri kami. Aku langsung menoleh cepat pada Adit. "Adit, temui aku di taman ini besok sore. Kau bisa menceritakan semuanya padaku dan aku berjanji akan membantumu,"
perintahku cepat. Adit menatapku nanar, tidak memberikan jawabannya padaku. Aku mendesah frustasi. "Kau tidak perlu takut-Hei, Adit! "
Adit sudah berlari menjauh, meninggalkanku. Aku mulai melangkahkan kaki untuk mengejarnya, namun tiba-tiba saja seseorang memegang lenganku hingga aku
tidak bisa bergerak maju sedikit pun.
"Sudah cukup, Lauren. Hentikan."
Aku langsung terdiam, menyadari bahwa itu bukan suara Si Satpam. Tapi aku juga mengenal suara itu, suara itu juga terasa familiar di telingaku.
Aku lalu mendongak, menatap wajah yang sejak tadi sudah bisa kutebak.
David sudah kembali. *** BAB 14. Gelap David masih memegang lenganku dengan erat. Ia menatapku dengan alis berkerut, jelas-jelas sangat tidak menyukai apa yang baru saja kulakukan.
"Ikut aku," katanya.
Aku langsung menahan lengannya dan kembali mencari sosok Adit yang kini sudah berlari jauh dari tempatku berdiri. "Kita harus mengejarnya," ujarku sambil
mulai melepaskan cengkramannya.
David justru semakin mempererat cengkramannya di lenganku. "Ikut aku," katanya lagi. Kali ini dengan suara rendah memperingatkan.
Aku menatapnya tak percaya. "Dengar, anak itu jelas-jelas sedang ketakutan dan berusaha lari dari sesuatu. Kita harus berbicara dengannya."


Silent Girl Karya Indah Thaher di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

David menghela napas kesal. Tangannya kembali menarik lenganku. "Ikut aku sekarang dan hentikan kegaduhan ini sebelum aku benar-benar menyeretmu sekarang
juga." Perkataannya kemudian menyadarkanku bahwa sejak tadi beberapa orang-orang di sekitar kami menatap dengan sorot penasaran. Dari kejauhan, aku melihat satpam
yang tadi hendak menghampiriku kini hanya berdiri diam memandang kami-tepatnya aku, dengan alis bertaut.
Aku menghembuskan napas kalah, akhirnya menyerah dan membiarkan David menarikku berjalan pergi dari tempat itu. Kami terus berjalan, melewati taman bermain
di depan sekolah itu, hingga akhirnya sampai ke depan mobil sedan hitam yang sama dengan mobil yang kutumpangi saat menemuinya dulu di hotel.
"Masuk," katanya lagi.
Aku menatapnya sekilas lalu akhirnya menurutinya masuk ke dalam mobil tersebut. Begitu aku sudah duduk di kursi penumpang, barulah ia membuka pintu mobilnya
dan duduk di kursi kemudi.
Suasana di mobil kini tiba-tiba hening. Aku meliriknya dan menyadari ia kini mulai memasukkan kunci untuk menghidupkan mesin mobil.
"Kita akan kemana?" tanyaku, menyadari kali ini kami tidak akan berbicara di mobil seperti saat terakhir kami bertemu.
"Ke rumahmu," jawabnya singkat. Ia bahkan tidak menatapku sama sekali.
Aku mengerutkan alis. "Kurasa kita perlu membicarakan sesuatu dulu," ujarku dengan tak sabar. Bagaimana pun, ia berhutang penjelasan padaku sebelum akhirnya
membawaku pulang dari sini.
David menghela napas kesal. "Aku tidak menyangka kau benar-benar berulah. Padahal kau terlihat seperti gadis pendiam," gumamnya.
Aku menatapnya beberapa saat, mulai menyadari nada tidak suka dalam suaranya. "Aku sudah katakan padamu semua hal tentang Hilda dan semua orang di kota
ini, kan?" ujarku tenang. "Yang kau sebut berulah ini adalah caraku untuk membuktikan bahwa dugaanku tentang kematian Hilda memang benar," sambungku.
Wajah David berubah datar. Selama beberapa saat suasana hening di dalam mobil. Kemudian aku menyadari bahwa mobil ini mulai melambat. David memberhentikan
mobil kami di pinggir jalan, tepat di depan lapangan basket umum yang sering digunakan anak-anak muda untuk bermain di kota ini.
David kemudian berbalik menatapku. Lalu menghembuskan napas pelan, terlihat jelas mencoba menenangkan emosinya. Ia kembali menatapku dalam-dalam.
"Lauren, yang kau lakukan selama ini hanya membuat orang sekitarmu tidak nyaman. Terutama pada apa yang kau lakukan hari ini. Kau jelas-jelas membuat gaduh
di tempat umum." "Yang kulakukan hanya berbicara dengan bocah itu. Dan satpam itu jelas-jelas ingin menghalangiku untuk bertemu dengan bocah itu. Dia jelas-jelas bersekongkol
untuk menghalangiku."
"Bocah itu memang meminta satpam itu untuk menjauhkannya darimu," potong David lagi.
Aku langsung terdiam, berusaha mencari kebohongan dari apa yang baru saja ia katakan padaku. Tapi David tetap menatapku dengan tenang, sama sekali tidak
terlihat ada kebohongan di wajahnya.
Alisku berkerut bingung. "Itu tidak mungkin ..." Satpam itu jelas-jelas tidak pernah menaruh perhatian banyak pada bocah itu. Jadi kenapa tiba-tiba kali
ini berbeda? "Aku menyaksikan dan mendengar sendiri bocah itu meminta satpam itu untuk melindunginya darimu," jelas David.
"Melindunginya dariku? Apa maksudnya ...?" sahutku bingung. Suaraku tiba-tiba mengecil. "Kau membuatku terdengar seperti selama ini aku yang melukai anak
itu." David hanya mengamatiku dengan diam, tidak menjawab pertanyaanku. Ekspresinya tidak berubah.
Aku menarik napas pelan. "Aku berusaha mencari bukti dan mengungkap kebenaran di sini-"
"Sudah bilang padamu untuk tetap diam dan biarkan kami yang mengurusnya," potongnya.
Aku menatapnya beberapa saat. "David, aku hanya berbicara dengannya sekali. Dan dalam sekali pertemuan itu saja aku sudah langsung bisa menyadari bahwa
perlakuan semua orang di kota ini sama sekali tidak berubah pada keluarganya. Kau tidak lihat?" tanyaku. Suaraku kini mengeras, ikut terpacu dengan jantungku
yang mulai berdetak cepat.
David hanya diam, jadi aku kembali melanjutkan penjelasanku. "Anak itu jelas-jelas tidak memiliki teman satu pun. Aku tidak pernah melihatnya disapa oleh
siapa pun di kota ini. Dan aku yakin begitu juga yang terjadi pada ibunya. Semuanya di sini perlahan kembali seperti biasa karena mereka tau kasus Hilda
sudah ditutup dan orang luar sepertimu tidak akan kembali ke kota ini lagi."
"Itu belum bisa membuktikan semua dugaanmu, Lauren," sahut David dengan tenang.
Aku menarik napas tak sabar. "Setiap kali aku menanyakan tentang Hilda pada bocah itu, dia langsung ketakutan tanpa alasan, dia berharap dengan penuh kelegaan
bahwa aku mungkin adalah teman kakaknya yang pindah ke ibukota seolah aku adalah satu-satunya teman yang Hida miliki dan seingatku-dia sama sekali tidak
pernah menyebut nama Sarah sebagai teman baik atau sahabat Hilda selama 4 tahun terakhir ini padaku."
"Lalu kenapa dia tiba-tiba kabur menghindar darimu sekarang?"
Aku terdiam, sadar bahwa aku juga tidak memiliki jawaban untuk pertanyaannya itu. Tanganku mulai bergerak memijit dahi begitu mulai merasakan sakit kepala
yang tiba-tiba muncul. Aku memejamkan mata, kemudian mengambil napas dalam-dalam dan menghembuskannya.
"Aku tidak tau ... aku sendiri juga tidak mengerti. Tiba-tiba saja dia selalu terlihat ketakutan setiap kali melihatku," akuku. Aku terdiam sesaat, menyadari
sesuatu. Ingatan tentang hari dimana aku berbicara dengannya pertama kali di depan taman bermain itu.
"Ada seseorang yang mengawasinya," gumamku akhirnya.
"Seseorang mengawasinya?" ulang David.
Aku mengangguk cepat. "Ya. Dua hari yang lalu, saat aku pertama kali berbicara dengannya di depan sekolah itu. Awalnya dia baik-baik saja, dia berbicara
denganku-walaupun hanya sedikit. Tapi kemudian tiba-tiba saja bocah itu langsung pucat ketakutan-melihat seseorang yang berada jauh di belakangku. Dia
langsung bergegas ingin pulang saat itu juga."
David mengerutkan alis. "Apa kau melihat siapa orang itu?"
Aku menggeleng. "Tidak. Aku sudah mengecek ke sekitar taman bermain itu dan aku sama sekali tidak menemukan seseorang yang bertingkah aneh sedikit pun."
Suasana hening kembali. Tidak ada yang berbicara beberapa saat. Sesekali hanya terdengar samar-samar suara pantulan bola basket dan suara tawa pemuda-pemuda
dari lapangan basket itu.
"Kurasa itu yang membuatnya menghindariku," ujarku akhirnya.
Suara sorakan gembira samar-samar kembali terdengar dari lapangan tersebut. Aku menatap ke arah lapangan basket itu lewat jendela depan mobil. Beberapa
pemuda kini sedang berlarian sambil tertawa sementara bola basket memantul keluar dari ring basket tersebut.
"Kenapa tiba-tiba kau datang ke kota ini dan langsung berusaha untuk membuktikan bahwa selama ini Hilda diperlakukan tidak adil?" tanya David beberapa
saat kemudian. Tatapanku tetap tertuju pada pemuda-pemuda itu. Tapi pikiranku tetap berkecamuk dengan pertanyaan yang ia ajukan padaku. Beberapa saat aku tidak bisa menemukan
jawaban yang tepat untuk pertanyaan ini.
Aku menggeleng lemah. "Penyesalan selalu datang terlambat, kan?"
Suasana kembali hening. Dan pembicaraan ini kembali berhasil membuat sakit kepalaku semakin parah daripada sebelumnya. Tapi aku tetap berusaha untuk tidak
memperlihatkan rasa sakit itu pada David, entah untuk alasan apa.
"Kenapa sekarang?" tanyanya lagi.
Kenapa ... sekarang? Pertanyaannya kembali membuatku tertegun beberapa saat. Aku menatapnya sejenak, kemudian menunduk melepas tatapannya dariku. Entah kenapa, tiba-tiba saja
aku tidak punya nyali untuk menatapnya.
Aku mengerutkan alis, merasa ragu dari apa pun. "Kau tau, tidak semuanya mengakui kalau di setiap diri manusia memiliki sikap pengecut," ujarku pelan.
Aku meliriknya sekilas sambil tersenyum kecil. "Aku memilikinya. Aku pengecut, mungkin sifat itu masih ada sampai sekarang."
David tetap diam, menungguku melanjutkan.
"Tapi kini aku juga memiliki keberanian. Dan sepertinya sekarang aku lebih memilih sikap itu dibandingkan kepengecutanku," sambungku. Aku kembali diam
beberapa saat, lalu akhirnya mendengus menyadari isi pikiran yang sedang berenang di kepalaku saat ini. "Mungkin keberanian yang kurasakan itu hanyalah
luapan dari penyesalan-kau tau, karena selama ini aku membiarkan Hilda sendiri dan tidak pernah membelanya saat Sarah menjahilinya, membentaknya, atau
membuatnya terasingkan di kota ini."
Aku mengerutkan dahi, berusaha meyakinkan diriku sendiri. "Tapi setidaknya kali ini aku memiliki kekuatan untuk bertindak benar untuk pertama kali padanya."
Suasana kembali diam tanpa ada yang berbicara lagi di antara kami. Aku akhirnya menatap David dan menyadari ia kini menatapku dengan sorot aneh. Dan aku
sama sekali tidak bisa membaca ekspresinya. Aku menunggunya mengatakan sesuatu-apa saja-tentang apa yang baru saja kukatakan padanya. Tapi tidak ada sama
sekali tanda-tanda bahwa ia akan membuka mulut sedikit pun.
David kemudian melepas tatapannya dariku, lalu meraih kemudi dan mobil mulai bergerak berjalan kembali, meninggalkan tempat ini.
Beberapa menit berlalu tanpa suara, hanya suara angin jalan saat mobil-mobil melewati kami dengan cepat.
Aku mendesah tak sabar. "Apa kau sudah mencari tahu tentang apa yang dibicarakan Sarah malam itu?"
David tidak langsung menjawab. Ia melirikku sekilas sebelum akhirnya membuka mulutnya. "Ada beberapa hal yang harus kucek kembali. Akan kuberitahu padamu
kepastiannya besok."
"Jadi apakah artinya kasus ini akan dibuka kembali?" tanyaku penuh harap.
"Sudah kubilang akan kuberitahu kepastiannya besok, Lauren," sahutnya datar.
Aku menatapnya beberapa saat, menyadari bahwa ia kembali memperlakukanku dengan sedikit ketus. "Aku hanya berharap kau masih ingat bahwa saat malam itu
Sarah berkata akan menghilangkan bukti yang entah apa dari kamar Hilda. Jika kita tidak cepat-cepat, dia mungkin benar-benar akan melenyapkan semua bukti
itu tanpa sisa. Dia adalah keluarga Waksono dan kau tau sendiri ap-"
"Aku sadar itu, Lauren," potongnya dengan tenang mematikan.
Alisku berkerut tak nyaman, menyadari sikapnya yang jelas-jelas belum mempercayaiku sepenuhnya. Kekalutan mulai muncul kembali dari dalam diriku, kini
bersanding dengan sakit kepala yang kembali muncul. Aku mulai memijit dahiku sambil mengatupkan mulutku rapat-rapat untuk menahan ringisan yang sudah ada
di ujung mulutku. "Kau baik-baik saja?" tanya David. Suaranya kini tiba-tiba sedikit melunak.
"Ya," jawabku pelan.
Beberapa saat kemudian mobil kemudian berhenti dan aku menyadari bahwa kini kami sudah sampai di depan rumah Paman dan Bibi. Tentu saja dia sudah tau alamatku.
Aku menoleh padanya. "Terima kasih sudah mengantarku."
Ia mengangguk singkat, matanya tetap mengamatiku dengan diam.
Aku mendesah pelan, menyadari arti tatapan itu. "Aku akan membuktikan padamu bahwa semua yang aku katakan adalah benar," tegasku.
Ekspresinya sama sekali tidak berubah. "Aku juga berharap seperti itu."
Aku menatapnya sesaat, lalu kemudian akhirnya membuka pintu dan keluar dari mobil itu.
"Lauren," panggilnya.
Aku menghentikan langkahku dan berbalik menatapnya kembali. Ia sudah menurunkan jendela mobil, menatapku dengan wajah datar penuh keyakinan.
"Aku akan mengawasi gerak gerikmu mulai sekarang," ujarnya.
*** BAB 15. Tuduhan "Duduklah, Lauren,"
Aku mengangguk dan duduk berhadapan dengan mereka. Mataku mulai bergerak mengintari kafe ini. Kafe ini tidak terlalu ramai, hanya ada beberapa pengunjung
yang datang dan semuanya adalah mahasiswa yang sedang berkumpul dengan teman-temannya.
"Kau ingin pesan sesuatu?" tanya Nika padaku.
"Es kopi saja," jawabku.
Ia kemudian menoleh pada Vera yang duduk di sebelahnya.
"Aku seperti biasa," jawabnya singkat.
Nika kemudian mengangguk, lalu menjentikkan jarinya pada pelayan yang berada tidak jauh dari kami. Seorang pelayan langsung bergegas menghampiri kami dengan
langkah cepat. "Buatkan satu es kopi, peppermint tea dan jus apel," katanya dengan cepat.
Si Pelayan langsung mengangguk sambil mencatat dengan cepat di buku kecilnya. Kemudian ia bergegas kembali ke meja kasir sambil meneriakkan pesanan kami.
"Sudah berapa tahun kau mendirikan kafe ini?" tanyaku pada Nika, pandanganku masih tertuju pada pelayan itu. Ia masih berdiri di meja kasir, sedang memastikan
pesanan kami untuk dibuat secepatnya.
"Sekitar 4 tahun," jawab Nika singkat.
Aku mengangguk paham, kembali mengamati tempat ini. Sejak dulu Nika memang sudah pernah menyinggung keinginannya untuk memiliki sebuah kafe di kota ini.
Dan aku tidak terkejut jika Nika berhasil mewujudkan cita-citanya. Nika memang dikenal sebagai anak berprestasi dan pintar. Ia hampir selalu menjadi juara
kelas. Nika dan Sarah terkadang sering dibanding-bandingkan, tapi rasanya semua orang sudah bisa membedakan mereka. Nika lebih cederung pada tipikal gadis
pintar yang serius dan sedikit kaku, sedangkan Sarah adalah gadis pintar yang santai, berkarisma dan sangat mudah dipercaya oleh orang-orang.
Nika mengamatiku dengan diam, menungguku mengatakan sesuatu. Vera yang menyadari situasi ini mulai melirik kami bergantian dengan wajah bingung.
"Jadi ... Lauren, bagaimana rasanya tinggal di ibukota?" tanya Vera sambil tersenyum, berusaha menghentikan keheningan di antara kami.
Nika melirik sekilas Vera, kemudian kembali menatapku. Jika pertanyaan itu bukan dari Vera, aku pasti sudah menganggapnya sedang menyindir tentang kepergianku
dari kota ini yang dianggap sebagai pengkhianatan. Aku tahu Vera hanya bertanya untuk basa basi, seperti halnya yang pernah dilakukan oleh Bibiku saat
aku kembali ke kota ini beberapa hari lalu.
Aku tersenyum. "Menyenangkan. Walaupun kotanya padat, tapi pemandangannya tetap indah."
Vera mengangguk paham. Ia masih menatapku beberapa saat, lalu tersenyum. "Sarah benar, kau terlihat berubah sekarang," katanya.
Aku terdiam sesaat, menyadari sesuatu. "Kalian masih sering menghabiskan waktu bersama, kalau begitu," ujarku tanpa bisa kutahan.
Vera tersenyum lebar. "Ya. Kami masih berusaha untuk sering bertemu walaupun sudah sibuk bekerja."
"Tifa bilang kemarin kau menemuinya." Nika yang bersuara kini. Aku mendongak dan mendapatinya kini menatapku dengan sorot aneh.
"Ya, kemarin aku menemuinya."
"Tifa kini juga sering bersama kami," timpal Vera. Senyum masih bertengger di wajahnya.
Aku terdiam lalu mengangguk pelan. "Ya, aku sudah bisa menduga hal tersebut."
Nika masih menatapku dan aku sadar Tifa pasti juga sudah menceritakan semua percakapan kami saat itu pada semuanya. Dari ekspresinya saja, aku sudah bisa
menebak bahwa mereka semua berada di pihak yang sama, pihak Sarah.
Aku menarik napas perlahan lalu memajukan badanku untuk menatap mereka dengan serius.
"Yang aku inginkan hanyalah mencari kebenaran," kataku pelan. Nika mengerutkan alis dan aku menyadari bahu Vera kini menegang, mengerti kemana arah pembicaraan
ini. "Bahwa selama ini kita semua membully dan mengasingkan Hilda?" tanya Nika dengan suara tenang.
Aku mengangguk. "Terutama Sarah."
"Terutama Sarah," ulang Nika tanpa sedikit pun ada perubahan di wajahnya.
Aku menatapnya beberapa saat. "Ya," jawabku
Suasana kembali hening beberapa lama. Tidak ada dari kami yang mengeluarkan suara. Yang terdengar hanyalah suara gemuruh percakapan yang bercampur menjadi
satu dari semua pengunjung lain kafe ini.
"Permisi." Aku menoleh dan mendapati Si Pelayan sudah kembali dengan pesanan kami. Ia langsung menaruh ketiga gelas di hadapan kami.
"Terima kasih, Ela," ujar Nika padanya. Si Pelayan tersenyum kikuk, kemudian segera pergi menjauh dari tempat kami duduk. Seolah ia juga mengerti suasana
ketegangan di antara kami.
Vera kemudian mengambil segelas jus apel dan langsung menyesapnya, jelas-jelas tidak ingin terlibat dalam percakapan kami saat ini.
Nika kemudian menghela napas lalu menggeleng lemah. "Aku tidak mengerti mengapa kau melakukan ini semua, Lauren."
"Sudah kubilang aku hanya ingin kebenaran."
"Tidak, bukan itu alasanmu."
Aku terdiam beberapa saat. "Dengar, Nika. Aku tau ada yang kalian semua sembunyikan di sini. Aku lahir di sini, jadi aku tidak mengada-ada saat aku bilang
kalian semua tiba-tiba bersikap seolah-olah kalian tidak pernah melakukan hal-hal buruk itu pada Hilda dan keluarganya. Dan tidakkah menurutmu wajar jika
aku terkejut saat tiba-tiba semua orang di sini berkata kalau Sarah dan Hilda adalah sahabat baiknya sejak dulu?"
Nika diam, masih menatapku dengan alis berkerut.
"Kalian sahabatnya. Kalian yang paling tau hubungan Sarah dan Hilda. Jadi kenapa kalian tiba-tiba berbohong?" tanyaku lagi.
"Apa pentingnya jika pun itu benar?" balas Nika.
Aku hanya diam, membiarkan matanya kini bergerak mengamatiku selama beberapa saat. Lalu tiba-tiba matanya mulai membesar tak percaya, menyadari arti ekspresi
wajahku dan semua dugaan yang terpampang jelas di sana.
"Kau ... pikir Hilda bunuh diri gara-gara itu semua?" tanyanya lirih.
Vera ikut membelalak dan aku menyadari ada ketakutan luar biasa tersirat di kedua matanya.
"Kau benar-benar berpikir begitu?" tanyanya lagi.
Aku menatap Nika beberapa saat. "Kenapa kalian menyembunyikan hal ini dari penyidik itu?" ulangku, sama sekali tidak menjawab pertanyaannya.
Aku memutuskan untuk tidak memberitahu mereka tentang percakapan Sarah dengan seorang pria di pemakaman itu, terutama dugaanku bahwa Hilda tidak bunuh
diri tetapi di bunuh oleh orang suruhan Sarah. Aku yakin dugaanku ini hanya akan membuat semuanya rumit karena aku yakin Nika, Vera dan ... Tifa akan langsung
menceritakannya pada Sarah.
Setidaknya kini aku hanya perlu membuat alasan kuat agar kasus Hilda ini kembali dibuka secepatnya.
"Sebaiknya kita tidak membicarakan hal ini lagi," ujar Nika sambil menggeleng lelah. Ia dan Vera jelas-jelas terlihat tidak lagi nyaman denganku di sini.
Aku menatap Nika dan Vera bergantian, merasakan emosi tak sabar yang mulai muncul dari dalam diriku. "Aku sudah beberapa kali mengunjungi adiknya di sekolah
dan aku langsung bisa melihat dengan jelas betapa perlakuan semua orang di kota ini sama sekali tidak berubah terhadap keluarganya. Setiap kali aku melihat
wajah anak itu, aku selalu diingatkan tentang perlakuan kita pada Hilda dulu saat SD," jelasku.
Vera kini sudah sepenuhnya menunduk dan aku menyadari bahunya kini mulai bergetar pelan. Nika hanya menatapku dengan diam. Wajahnya kini tenang.
"Tidakkah kau pernah berpikir kalau mungkin saja anak itu memang pemalu?" tanya Nika.
Aku menatapnya beberapa saat, tidak percaya dengan apa yang baru saja kudengar dari mulutnya. "Dia bersikap seperti selama ini tidak pernah ada orang selain
ibunya yang mengajaknya bicara di depan umum. Aku bisa membedakan sikapnya, Nika."
Nika tidak menjawab, hanya menatapku. Kemudian ia melepaskan kacamatanya dan melipatnya dengan perlahan. Ia lalu menghela napas pelan. "Aku tidak mengerti
kenapa kau bisa langsung mendapat kesimpulan seperti itu."
"Bahkan jika sekalipun setelah 4 tahun terakhir ini semuanya sudah berubah, aku masih tidak mengerti mengapa kalian semua tiba-tiba bersikap untuk menutup-nutupi
hal itu. Kau sadar itu akan terasa aneh, kan?" balasku.
Nika kembali diam, tidak menjawab. Ia melirik sekilas pada Vera kemudian kembali menatapku. Matanya kembali datar tanpa ekspresi. "Tidak ada gunanya lagi
membahas hal ini. Lagi pula kau akan tetap kembali ke ibukota, kan?"
Nika terdiam. Aku memutuskan untuk tetap melanjutkan. "Aku tau Tifa masih mengingat semua pembullyan itu dan aku juga tau bahwa kalian juga begitu."
Aku mengamatinya beberapa saat, menunggu Nika dan Vera mengatakan sesuatu. Tapi mereka tetap diam. Helaan napas keluar dari mulutku. "Dengar, Nika," ujarku
dengan suara kelam. "Sudah saatnya kita mengakhiri ini semua." Aku terdiam sesaat. "Sudah saatnya kita menghentikan semua permainan Sarah pada Hilda dan
keluarganya," sambungku lagi.
"Permainan apa, Lauren?" tanya Nika dengan wajah tak sabar.
"Semua ini. Permainan yang secara tidak langsung dicetuskan Sarah saat kita SMA untuk membuat Hilda dan keluarganya terasingkan sepenuhnya di kota ini.
Hari dimana pengasingan ini dimulai." Aku menelan ludah, merasakan rasa bersalah itu muncul lagi. "Hari dimana kita semua hampir membuat Hilda terbunuh,"
sambungku akhirnya. "Apa yang sedang kau bicarakan?" tanya Nika dengan wajah kesal sepenuhnya.
"Kau tidak ingat?" Aku tergelak pelan, merasakan jantungku kembali berdetak tidak nyaman. "Saat kelas 1 SMA, kita semua kemping di gunung Angor dan saat
tengah malam kita menyuruh Hilda ikut ke tepi sungai. Dan atas perintah Sarah, kita semua mendorong Hilda ke sungai. Kita hanya ingin membuatnya basah
kuyup dan kedinginan sepanjang malam. Tapi sayangnya tidak ada yang tau kalau dia tidak bisa berenang. Jika bukan karena Tommy yang tidak sengaja berada
di sekitar sana, gadis itu pasti sudah mati tenggelam."
Beberapa lama suasana tiba-tiba hening. Dan aku bahkan tidak bisa lagi mendengar suara gemuruh di kafe ini. Rasanya kenangan itu kembali memenuhi pikiranku
dengan cepat dan seketika itu juga rasa mual mulai muncul. Selama ini aku masih berusaha untuk mengubur jauh-jauh kenangan itu dari dalam pikiranku. Karena
entah kenapa, kenangan itu selalu berhasil memunculkan kenangan-kenangan buruk lainnya yang selama ini sudah tersimpan rapat di dalam kepalaku.
Dan aku yakin malam ini aku perlu dosis banyak untuk bisa membuatku tertidur pulas.
Aku mengamati Vera dan Nika bergantian. Nika masih menatapku dengan dengan ekspresi yang kini sama sekali tidak bisa kubaca. Sedangkan Vera masih tidak
berani menatap wajahku, tapi aku bisa melihat betapa tegangnya gadis itu kini.
"Aku tidak pernah ingat ada kejadian itu sebelumnya," ujar Nika dengan tenang.
Aku menatapnya beberapa saat. Lalu aku memalingkan wajah, menatap pada Vera sepenuhnya kini. "Bagaimana denganmu, Vera?"
Vera tetap menunduk. Nika mendesah tak sabar. "Sudah cukup, Lauren. Jangan-"
"Kau memang tidak ada di sana waktu itu-walaupun aku tau kau pasti sudah mendengar ceritanya dari Sarah," potongku. "Dan aku masih ingat bahwa saat itu
kau tidak datang karena sedang menghadiri sidang perceraian terakhir orang tuamu," sambungku akhirnya. Aku tidak tau mengapa tiba-tiba menyinggung hal
ini padanya. Wajah Nika langsung berubah datar. Tapi justru dari ekspresi itu aku menyadari bahwa ia sangat amat tidak menyukai topik ini. Vera melirik tegang Nika
beberapa saat. "Apa kau juga akan menyembunyikan bahwa orang tuamu bercerai? Karena seingatku orang tuamu sudah bercerai sejak kita SMA dulu," ujarku lagi tanpa bisa
kutahan. "Lauren, sudahlah ..." Kini giliran Vera yang bersuara. Ia jelas-jelas juga menyadari bahwa Nika sama sekali masih menyimpan rasa sakit hati pada perceraian
yang terjadi pada orang tuanya. Sejak dulu Nika memang tidak pernah bercerita dengan jelas tentang apa yang sebenarnya terjadi pada kedua orang tuanya.
"Aku hanya ingin kejujuran di sini-"
"Kau ingin kejujuran?" tanya Nika. Nada suaranya kini terdengar aneh.
Aku menunggunya melanjutkan. Nika menatapku beberapa saat, kemudian ia membuka mulut dengan sorot mata diam dan kelam.
"Kaulah yang melakukan semua hal itu pada Hilda. Bukan Sarah."
*** BAB 16. Tuduhan Berputar Rasanya aku tidak lagi menyadari sudah berapa lama aku berdiam. Kepalaku tiba-tiba terasa berputar tidak nyaman dan sepertinya pikiranku sangat sulit untuk
bereaksi. Aku masih tidak bisa mencerna dengan baik pada semua perkataan yang baru saja keluar dari mulut Nika.
"Apa maksudmu aku ... yang melakukannya?" tanyaku pada akhirnya.
Vera melirik Nika sekilas. Nika masih menatapku dengan sorot mata datar, tidak terpengaruh dengan apapun. "Bukan Sarah yang melakukan pembullyan itu, tapi
kau. Kau yang memulainya. Kau pemimpinnya."
"Apa?" sahutku lirih.
Nika menghembuskan napas pelan. "Sudahlah, aku benar-benar tidak ingin membicarakan ini lagi."
Aku menggeleng muak. "Maksudmu selama ini akulah yang menampar Hilda, membentaknya, menyuruh kalian semua memanggilnya dengan sebutan 'Anak Gembel', atau
pun mendorongnya ke sungai waktu itu? Aku yang melakukannya? Bukan Sarah? Dan aku sendiri tidak mengingatnya? Tidakkah menurutmu semua hal ini terdengar
benar-benar gila??" sahutku. Nada suaraku mulai mengeras.
Vera mulai melirik ke sekeliling dengan was-was, tatapan sama yang diberikan Tifa beberapa hari lalu.
"Menurutmu mengapa selama ini semua orang berusaha menyembunyikan hal ini darimu sejak kau tiba-tiba kembali ke kota ini lagi?" tanya Nika lagi.
Aku mengerutkan alis, menunggunya melanjutkan perkataan yang paling tidak masuk akal yang pernah kudengar selama ini.
"Kami tau betapa kematian orang tua dan adikmu sangat membuatmu terpukul dan membebani pikiranmu. Itu memang alasanmu pergi dari sini, kan?"
Jantungku mulai berdetak cepat. "Apa hubungan mereka dengan semua ini?" sahutku, masih berusaha untuk tidak terpengaruh dengan topik yang ia singgung.
Aku sama sekali tidak mengartikan apakah Nika hanya ingin membalaskan dendam karena aku berani menyinggung tentang orang tuanya beberapa menit lalu.
"Kau tiba-tiba datang kembali ke kota ini dan langsung menyinggung tentang pengasingan pada keluarga Hilda. Terlebih berkata bahwa selama ini Sarah sangat
membenci Hilda. Kau jelas-jelas sudah benar-benar melupakan apa yang sebenarnya terjadi di kota ini sebelum kau pergi. Tidakkah kau menyadarinya sekarang?"
Ia menarik napas enggan. "Kami berusaha membuatmu tidak lagi mengungkit hal ini karena kami tau kau akan menyalahkan dirimu lagi dan kenangan buruk tentang
kematian orang tuamu akan kembali menghantuimu lagi."
Aku terdiam, sama sekali tidak bisa berkata apa-apa. Tenggorokanku tiba-tiba terasa kering. Kepalaku kini mulai kembali berdenyut sakit dan justru semakin
parah begitu pikiranku berhasil mengartikan apa yang sebenarnya Nika maksud dari perkataan yang baru saja ia lontarkan padaku.


Silent Girl Karya Indah Thaher di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku berusaha menelan ludah, mencoba membasahi tenggorokanku sebelum akhirnya aku membuka mulut untuk berbicara.
"Maksudmu ada yang salah dengan otakku?" tanyaku dengan serak, masih tidak percaya bahwa memang itu yang dimaksud oleh Nika dan Vera. "Kalian pikir ada
yang salah dengan otakku. Aku gila karena trauma kematian keluargaku, kemudian tiba-tiba menukar ingatanku sendiri dan berhalusinasi bahwa selama ini Sarahlah
yang melakukan semua hal itu?" tanyaku lagi.
Nika mengamatiku sesaat. "Kau tidak gila. Kau hanya ... terbebani oleh kematian keluargamu. Itu saja."
Aku terdiam, menatap dalam-dalam pada Nika dan Vera bergantian dan mencoba mencari sedikit pun tanda-tanda bahwa kebohongan dari wajah mereka. Tapi aku
sama sekali tidak bisa menemukannya. Terutama saat aku tidak berpikir jernih seperti sekarang. Kepalaku semakin berdenyut sakit dan badanku mulai mendingin
tidak nyaman. Tapi setidaknya aku masih menyadari satu hal.
Aku tidak gila. Aku tidak terbebani. Dan aku masih mengingat dengan jelas bahwa Sarah yang melakukan semua hal itu, bukan aku. Sekali pun kematian keluargaku
memang mengangguku. Semua hal yang terjadi di kafe dan semua perkataan mengerikan yang dilontarkan Nika padaku hanyalah cara untuk membuatku bingung dan mengalihkan perhatianku
dari semua yang dicoba orang sekota ini tentang kematian Hilda.
"Tifa pasti sudah menceritakan semua hal yang kami bicarakan pada Sarah," gumamku. Lalu Sarah akan menyuruh Nika dan Vera untuk mulai menyebarkan cerita
mengerikan ini untuk membingungkanku. "Seharusnya aku tidak lagi terkejut mendengar kalian tetap menjadi tangan kanan Sarah dan membantunya menutupi hal
ini lagi. Bahkan setelah sekian lama."
Aku terdiam beberapa saat, memandang mereka bergantian. "Kurasa ada banyak hal yang masih belum berubah di kota ini," ujarku lagi sambil mendengus.
"Dengar, Lauren-"
"Tidak, dengarkan aku dulu. Aku tau dengan jelas apa yang sebenarnya terjadi dan aku bisa membedakan dengan jelas bahwa ingatanku memang benar. Jadi aku
rasa kita semua tau kebenaran yang terjadi sebenarnya di sini-"
"Menurutmu mengapa Adit tiba-tiba menghindarimu?" tanya Nika dengan tajam.
"Apa?" "Adit tiba-tiba menghindarimu keesokan hari setelah kau menemuinya. Aku mendengarnya dari orang-orang di sekitar sana."
Aku menatapnya tak percaya. "Menurutmu itu karena aku? Karena dia takut padaku?"
Ia menatapku dengan diam, seolah aku sudah mengerti hal itu dengan sendirinya. "Pikirkan lagi semuanya, menurutmu apa lagi alasannya mereka bersikap seperti
itu?" sambungnya. "Tidak, bukan aku yang dia takuti ..."
"... Bocah itu memang meminta satpam itu untuk menjauhkannya darimu ..." Perkataan David kemarin tiba-tiba kembali terngiang di kepalaku. Dan ingatan itu
langsung berhasil memunculkan sedikit kebingungan di dalam diriku.
Tidak, Adit ketakutan karena ada yang mengawasinya. Orang yang sama yang datang dan bersembunyi di belakang taman itu. Dan satpam itu ... Adit menyuruhnya
untuk suatu alasan, dan bukan karena takut padaku.
"Mengapa menurutmu paman dan bibimu, Pak Haris bahkan Ibu Hilda sendiri pun tidak pernah mengakui pengasingan yang selalu kau tuduhkan itu?" ujarnya lagi.
"Nika, sudahlah ..." ujar Vera dengan pelan. Wajahnya kini terlihat tidak nyaman.
Nika hanya meliriknya sekilas, tapi kemudian ia kembali menatapku dengan wajah datar. "Mereka melakukannya untuk melindungimu. Mereka tau justru kau yang
akan semakin terluka nantinya," sambungnya.
" ... Karena aku yakin kau tidak akan menyukai kebenarannya ..."
" ... Semua orang di kota ini orang baik, Lauren. Mereka saling membantu satu sama lain."
Suara-suara itu kembali muncul di benakku. Dahiku berkerut dalam, mulai merasakan detak jantungku berdetak tidak nyaman. Aku menarik napas perlahan, mencoba
menenangkan kekalutan yang mulai muncul di kepalaku dengan cepat. Rasanya aku bahkan tidak lagi bisa merasakan denyut sakit di kepalaku yang sejak tadi
terus muncul. Semua ingatan tentang apa yang terjadi beberapa hari terakhir ini mulai bermunculan dengan cepat. Dan mereka semua seperti saling memaksakan untuk mencocokkan
diri dengan cerita gila yang baru saja dilontarkan oleh Nika padaku. Tatapan was-was dan memperingatkan dari Pak Haris, Pak Sanu, Bu Emma, Paman dan Bibi.
Seolah jika aku menggali lebih dalam, justru aku yang akan terluka.
Dan dengan energiku yang mulai menipis, perlahan aku bisa merasakan bahwa ada sebagian diriku yang mulai mempercayai cerita gila itu.
"Aku tau mana yang benar," ujarku dengan suara kecil. Suaraku mulai terdengar begitu ragu.
Nika menghela napas pelan. "Lauren, aku tidak bermaksud untuk-"
"Tidak," potongku. "Aku sudah bilang kalau aku tau mana yang benar," ujarku dengan sedikit keras, walaupun keraguan itu masih terdengar di dalam suaraku.
Aku mulai bangkit berdiri. "Aku tau mana yang benar," ulangku lagi, setengah untuk diriku sendiri.
Lalu aku mulai beranjak pergi dari meja tersebut, meninggalkan mereka tanpa menoleh kembali pada meja itu.
Aku tetap melangkah keluar dari kafe itu dan langsung berjalan menuju tempat mobilku terparkir. Jantungku masih berdetak kencang dan pikiranku masih bercampur
aduk penuh dengan semua yang baru saja kami bicarakan tadi. Tapi aku tetap tidak berhenti, membiarkan langkah kakiku bergerak menemukan mobilku sendiri.
Begitu aku sampai di depan mobil, aku langsung bergegas membuka pintu dan menghempaskan badanku ke kursi kemudi. Aku menarik napas panjang, memejamkan
mataku dan membiarkan ketenangan di dalam mobil ini menyelimuti pikiranku dengan perlahan. Saat akhirnya pikiranku sudah mulai sedikit tenang, aku baru
menghidupkan mesin dan mulai melaju meninggalkan kafe ini.
Beberapa menit mengemudi, aku tidak terlalu menyadari kemana tujuanku. Aku hanya ingin menjauh dari kafe itu, menjauhkan pikiranku dari pembicaraan dan
cerita mengerikan dari kepalaku.
Tapi toh nyatanya hal itu akan tetap muncul di pikiranku.
Kekalutan dan rasa mual itu kembali datang, sehingga akhirnya aku memutuskan untuk menepikan mobilku di pinggir jalan. Beberapa menit memejamkan mata akan
sangat membantu untuk menenangkan pikiranku.
Aku menatap ke sekeliling dan menyadari bahwa aku berada di depan taman kota. Taman itu sedikit ramai, dipenuhi oleh anak kecil dan beberapa remaja yang
sedang berkumpul. Aku lalu menyandarkan kepalaku dan mulai memejamkan mataku. Tanganku mulai menggapai sebotol air yang terletak di sisi pintu kemudi. Begitu aku merasakan
botol itu, aku langsung membuka dan menempelkannya di bibirku tanpa membuka mata sedikit pun.
Tiiiiiiitttt. Suara klakson itu berhasil membuatku terlonjak dari kursiku. Jantungku langsung berdebar keras sesaat. Aku langsung mendongak dan mendapati sebuah mobil
sedan hitam terparkir tepat di belakang mobilku.
Aku langsung merasakan perasaan yang aneh begitu menyadari bahwa mobil sedan hitam terlihat familiar.
Mobil David. Detik berikutnya, David memang benar-benar keluar dari mobil itu. Ia mengenakan jaket hitam dan celana jins hitam. Ia mulai berjalan bergegas menghampiri
mobilku dan dahiku mulai berkerut saat aku menyadari raut wajahnya terlihat tidak bersahabat.
Begitu ia sampai di sisi mobilku, ia langsung membungkuk dan mengetuk jendela mobilku dengan cepat. Aku lalu membuka pintu.
"Ikut aku," perintahnya sebelum aku sempat membuka mulut.
Aku keluar dari mobil, mengikutinya dari belakang.
"David, aku-" "Kita bicara di dalam mobilku," potongnya singkat.
Ia lalu membuka pintu mobilnya dan menungguku duduk di kursi penumpang. Aku mengamatinya sembari ia berjalan berputar ke arah kursi kemudi. Rasanya ada
sesuatu yang berbeda kali ini dari sikapnya padaku, aku menyadari itu. Dan apa pun itu, bukanlah hal yang bagus.
Suara pintu terdengar dan David langsung duduk menghadapku. Kemudian suara klik pintu terkunci terdengar. Aku mengamati David beberapa saat dan ia berbalik
menatapku. "Kau dari mana?" tanyanya, masih dengan nada tak bersahabat yang sama.
Aku terdiam beberapa saat, sama sekali tidak menyangka pertanyaan itu. "Aku baru saja bertemu dengan teman-temanku dulu-teman dekat Sarah, lebih tepatnya."
Ia menatapku dengan sorot aneh sejenak. Aku akhirnya memutuskan melanjutkan ceritaku. "Mereka mengakui adanya pengasingan dan pembullyan pada Hilda dulu.
Tapi mereka berkata akulah pelakunya-pemimpinnya, bukan Sarah," ujarku. Aku menyadari suaraku bergetar.
David mengerutkan dahinya, tertarik dengan perkataanku. "Lalu apa alasan mereka menyembunyikan itu?"
Aku kembali terdiam beberapa saat. "Mereka tidak ingin membuatku merasa bersalah, terbebani dan kembali gila, terutama setelah kematian keluargaku beberapa
tahun lalu." David tidak bersuara, hanya menatapku dengan sorot aneh itu lagi.
"Kau tau aku dari mana?" tanyanya.
Aku diam, menunggunya melanjutkan.
"Aku baru saja menemui psikiatermu di ibukota."
*** BAB 17. Titik Tergelap "Kau bertemu dengan ... Bu Eli?" tanyaku dengan ragu.
"Ya." Aku menatapnya dengan perasaan berkecamuk. "Untuk apa?"
David menghela napas pelan. "Aku sudah bilang padamu bahwa aku akan mengawasimu."
Aku merasakan rasa kalut itu semakin nyata sekarang. Aku menyadari bahwa David mulai mencurigai tuduhanku hanyalah bualan dari orang yang mentalnya tidak
stabil. Ia tidak sepenuhnya-mungkin bahkan tidak pernah mempercayai ceritaku lagi.
"Aku tidak benar-benar gila ..." Hanya itu yang bisa keluar dari mulutku. Aku menarik napas lagi, mencoba mengeluarkan semua yang ada di pikiranku saat
ini. "Dan aku sudah sembuh-dari apa pun penyakit yang Bu Eli katakan padamu. Kau harus percaya padaku. Semua yang kukatakan padamu itu semua jujur."
"Tenanglah, Lauren."
Aku menatapnya, mencoba menahan semua emosi yang rasanya sudah muncul di ujung lidahku.
"Aku tidak pernah berkata bahwa aku tidak percaya padamu," sambungnya.
"Lalu apa yang kau inginkan dari Bu Eli?" tanyaku.
David kembali diam, hanya menatapku beberapa saat. "Sejak kapan kau melakukan perawatan dengan Bu Eli?"
Aku menegang sesaat kemudian menggeleng lemah. "Kurasa kau sudah tau tentang hal itu, jadi kenapa perlu bertanya lagi?"
David tetap diam, menungguku. Aku mengatupkan rahangku keras beberapa saat, kemudian akhirnya menghela napas tak sabar. "Kau ingin aku mengatakannya? Baiklah,
aku mengikuti terapi dengannya setelah kematian keluargaku."
"Bagaimana mereka meninggal?"
Seketika itu juga rasanya jantungku langsung berhenti berdetak beberapa saat. Aku menunduk dan aku yakin David juga menyadari perubahan raut wajahku yang
tiba-tiba. Rasanya kepalaku mulai kembali berputar dan kini mulai membuatku sedikit mual. Aku tetap berusaha untuk bersikap normal dan tidak memperlihatkan
pada David bahwa topik ini masih bisa mempengaruhi dengan sangat cepat dan luar biasa besar. Itu hanya akan memperberat dugaannya tentangku.
"Bu Eli tidak cerita padamu?" suaraku terdengar sangat aneh.
"Tidak." Aku menggeleng lelah. "Apa yang kau tanyakan padanya, kalau begitu?"
David diam beberapa saat. "Penyakitmu."
"Dan dia menjawabnya?"
Hening sejenak. "Ya."
Aku meliriknya sekilas. "Apa jawabannya?"
David diam sejenak. "PTSD. Dan Schizophrenia sebagai efek terbesarnya," jawabnya pada akhirnya.
Aku mengangguk kecil, kembali berusaha untuk bersikap biasa. Sekalipun jantungku kembali berdetak. Sejak dulu entah kenapa aku tidak pernah menyukai nama-nama
penyakit itu-terutama saat penyakit itu ditujukan padaku. Kedua nama itu seperti menjadi sebuah tanda kehancuran yang tertempel di hidupku.
"Aku sudah sembuh," ujarku pada akhirnya, setengah pada diriku sendiri.
David diam beberapa saat. "Dia bilang beberapa hari lalu kau menelponnya."
"Ya. Aku meminta surat resep obat tidur dan penenang darinya. Hanya itu."
"Kenapa? Apa ada sesuatu yang menganggumu?"
"Aku hanya bermimpi buruk. Itu saja."
David kemudian melipat lengannya. Aku masih bisa merasakan tatapannya padaku. Dan entah mengapa aku masih belum sepenuhnya berani menbalas tatapannya.
"Bu Eli berkata itu ada hubungannya dengan kembalinya kau ke kota ini," ujar David.
Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak mendengus. "Tentu saja itu ada hubungannya," akuku akhirnya. "Bagaimana pun juga semuanya berawal dari kota ini,"
sambungku. "Jadi keluargamu meninggal di sini?" tanyanya.
Badanku kembali menegang. Tapi aku akhirnya mengangguk kecil. "Ya."
Suasana hening beberapa saat. Aku sadar masih ada ketakutan di dalam diriku bahwa David akan terus memintaku membicarakan topik itu lagi.
"Kau dan Bu Eli sudah tidak lagi bertemu setelah kira-kira 2 tahun," ujar David beberapa saat kemudian.
Aku mengangguk pelan, merasakan sedikit kelegaan bahwa David tidak bertanya tentang keluargaku. "Aku sudah sembuh. Terapiku hanya berlangsung kurang dari
2 tahun." "Dan begitu kau datang ke kota ini lagi, gejala-gejalanya kembali muncul."
Aku akhirnya menatap David. Ada rasa kecewa yang mulai muncul dari dalam diriku begitu menyadari memang ada kecurigaan di dalam sorot matanya. Tapi aku
berusaha untuk tidak memperlihatkan hal itu padanya. Aku tetap mengatur raut wajahku.
"Kau tidak percaya padaku," ujarku. David masih diam, jadi aku kembali mengajukan pertanyaan padanya. "Katakan padaku apa yang sebenarnya kau pikirkan,"
pintaku. David mengamatiku beberapa saat, mencari-cari sesuatu di kedua mataku. Ia kemudian menghembuskan napas. Matanya kini menatapku dengan tenang. "Sesuatu
yang mengerikan jelas terjadi pada orang tua dan adik kecilmu di kota ini. Sesuatu yang tragis, yang tidak hanya merenggut nyawa mereka, tapi juga membuatmu
harus mendapatkan bantuan medis untuk psikis sampai harus dirawat lebih dari 1 tahun."
Aku tetap diam, berusaha menatapnya sekali pun jantungku berdetak tidak keruan.
"Kau jelas-jelas memiliki kenangan buruk, rasa bersalah-mungkin bahkan dendam besar pada kota ini. Dendam besar karena kau atau orang kota ini tidak berhasil
menyelamatkan keluargamu dari kematian tragis itu. Dan itu sudah cukup untuk membuatmu bertindak atau berpikir berlebihan untuk menjatuhkan kota ini, bahkan
dengan bukti atau kesaksian yang kecil dan samar sekali pun."
Aku kini membeku, sama sekali tidak bisa berkata apa-apa begitu mendengar penjelasan David itu.
"Kau ... pikir aku membuat tuduhan ini hanya untuk pelampiasan kemarahanku pada kota ini?" ujarku dengan takut.
Ia mengangguk pelan. "Dan rasa bersalah. Jika yang teman kau katakan adalah benar bahwa sampai 4 tahun lalu, ada pengasingan dan pembullyan yang dilakukan
oleh seisi kota ini-dan kau sebagai otaknya. Kurasa itu juga bisa memicumu melakukan tuduhan itu," sambungnya.
Badanku seketika terasa dingin dan rasa mual itu kembali muncul. Aku mengatupkan mulutku rapat-rapat, berusaha untuk menahan apa pun yang keluar dari ujung
mulutku. Rasanya kini ketakutan bahwa aku mungkin akan berjalan sendiri dalam kasus ini muncul.
Kurasa sejak saat ini, aku baru benar-benar menyadari betapa berbahaya Sarah di kota ini. Jika benar Tifa sudah menceritakan kecurigaanku pada Sarah, tentulah
semua rencana untuk membuatku menjadi gadis sinting ini berasal dari Sarah.
Aku mendengus lelah. "Semua hal ini tentu saja membuatmu kini melihatku sebagai gadis depresi pembuat onar yang masih tidak bisa melupakan kematian keluarganya."
David kembali diam. Jadi aku tetap melanjutkan perkataanku.
"Aku tentu saja masih mengingatnya dengan jelas hingga sekarang dan terkadang itu mengangguku. Tapi satu hal yang perlu kau ketahui," aku menatapnya sungguh-sungguh.
"Aku masih berpikir jernih dan tidak akan pernah menggunakan hal itu sebagai alasan keegoisanku."
David menatapku dengan sorot aneh, tapi kini aku mulai merasakan ada kepercayaan muncul di sana. "Apa yang terjadi sebenarnya 4 tahun lalu?" tanyanya.
Aku menatapnya beberapa saat. lalu aku memalingkan wajah, mengalihkan perhatianku pada taman kota yang kini semakin ramai. Terdengar sorak-sorak tawa samar
dari sana. Langit sudah berwarna jingga sekarang dan aku bisa melihat matahari yang mulai mengintip di sela-sela pohon besar yang berdiri ramai di taman
tersebut. "Apa kau punya foto wisuda, David?" tanyaku beberapa saat kemudian.
"Ya. Aku punya," jawabnya.
"Aku tidak punya," ujarku dengan tenang. Aku menoleh dan menatap David sambil tersenyum kecil. David tetap diam, menungguku melanjutkan ceritaku.
"Satu pun tidak punya. Bahkan fotoku sendiri dengan memegang piagam kelulusan gelar S1," gumamku. Beberapa saat kemudian aku tetap terdiam. Aku lalu menarik
napas perlahan. "Ayah, Ibu dan Noah-adikku, mengalami kecelakaan di pom bensin saat mereka akan berangkat ke acara wisuda kelulusanku."
Suasana hening beberapa lama. Dan aku sendiri sepertinya sudah mati rasa sejak tadi. Tapi aku tetap berusaha untuk melanjutkan ceritaku.
"Saat itu aku sedang berbaris di luar, menunggu bersama wisudawan lain untuk memasuki gedung. Kemudian tiba-tiba salah satu dosen memanggilku dan mengatakan
kabar itu padaku," jelasku. Aku baru menyadari sejak tadi suaraku mulai mengecil. Dan entah berapa lama sejak tanganku mulai bergetar. Aku lalu mengaitkan
tanganku sambil melirik sekilas pada David, berharap ia tidak menyadari tanganku yang gemetar.
"Jika kau tanya bagaimana perasaanku saat itu, aku sendiri tidak tau-dan tidak ingat. Rasanya detik itu juga badanku terasa mati rasa. Aku tidak tau kemana
mereka membawaku. Aku bahkan tidak tau apakah aku benar-benar berjalan atau tidak," sambungku.
Suasana kembali hening beberapa saat. Aku kembali menatap taman kota itu, mencoba mencari apa saja yang bisa menyamarkan ingatan yang sedang bertengger
jelas di kepalaku. Tapi tetap saja, tidak ada yang bisa dilakukan. Toh, aku juga akan tetap menceritakannya saat ini juga.
"Sepanjang perjalanan menuju pom bensin itu, aku tidak benar-benar bisa mendengar dengan jelas apa yang mereka bicarakan. Yang kuingat saat itu hanya kata-kata
pom bensin dan meledak." Aku mendengus pelan. "Kurasa itu sebenarnya sudah cukup untuk menjadi rangkuman kejadian itu."
"Jadi penyebabnya karena ledakan pom bensin itu?" tanya David.
Aku mengangguk. "Mereka bilang ledakan itu berasal dari satu pom bensin yang bocor dan berhasil mengenai mobil keluargaku yang berada di sana. Ada dua
mobil yang sedang berhenti di sana."
Aku kembali terdiam, bersiap untuk menenangkan pikiranku saat aku tahu kenangan terburuk dari kejadian ini muncul dalam pikiranku tanpa bisa kutahan. Tapi
entah kenapa, untuk pertama kalinya, setidaknya kini aku memiliki sedikit keberanian untuk menghadapinya dengan teguh.
"Saat aku akhirnya sampai di pom bensin itu," aku langsung berdeham, menyadari suaraku tiba-tiba terdengar serak. Tapi aku tetap berusaha melanjutkan ceritaku.
"Aku langsung melihat kepulan asap hitam, hampir menutupi tempat itu. Aku tentu saja tidak diperbolehkan masuk saat kobaran api masih menyala-nyala-walaupun
tidak lagi besar-di tempat itu. Aku tentu saja langsung mencari-cari keluargaku di setiap ambulans. Tapi tidak satu pun ambulan yang membopong badan ayah,
ibu atau adikku. Kemudian ada satu orang ambulans yang tiba-tiba mencoba mendudukanku di kursi ambulans, seolah akulah pasiennya."
Aku menunduk, menghirup napas perlahan. "Dan justru saat itulah aku menyadari hal terburuk. Kau tau, saat di acara wisuda tadi, mereka hanya berkata bahwa
keluargaku terkena ledakan di pom bensin. Mereka tidak bilang bahwa keluargaku terperangkap dalam kebakaran dari ledakan besar pom bensin itu."
Aku lalu menatap taman kota itu lagi, merasakan jantungku yang mulai berdetak kencang. "Jadi aku berlari ke arah pom bensin itu setelah api itu sudah padam
dan aku berhasil menemukan mobilku hanya dengan mengenali plat nomornya yang masih utuh." Aku terdiam, menatap kosong ke depan. "Dan aku melihat mereka
semua. Kaku, berasap dan hitam." Suaraku kini berbisik.
Suasana kembali hening beberapa saat. Rasanya selama itu aku tidak bisa merasakan apa-apa. Tapi aku tetap melanjutkan ceritaku.
"Kau tau apa yang paling menakutiku hingga sekarang?" tanyaku. Aku menatap David yang hanya diam. "Saat aku sampai di sana, aku mendengar teriakan-teriakan
dari dalam kobaran api itu. Tapi saat itu aku mengira itu hanyalah teriakan panik dari orang-orang ambulans dan pemadam kebarakan yang sibuk memadamkan
api." Aku menunduk, menelan ludah dengan susah payah. "Setelah semua selesai, aku baru menyadari itu adalah suara teriakan dari keluargaku sendiri," ujarku
akhirnya. Suaraku terdengar begitu aneh.
Kepalaku langsung berputar dan aku langsung memejamkan mata, mencoba menenangkan detak jantungku yang mulai berpacu semakin kencang. Begitu bayangan ingatan
itu mulai menghilang, aku kembali menatap David setenang mungkin.
"Dengar, David," panggilku.
David menatapku dengan diam, sorot wajahnya kini tidak terbaca. Tapi aku tetap melanjutkan perkataanku.
"Apa pun yang kukatakan padamu adalah jujur dan bukan bualan atau imajinasiku. Itu ingatanku sendiri dan aku bisa membedakannya." Aku menatapnya beberapa
saat. "Sama seperti aku bisa membedakan ingatan kematian keluargaku dengan sangat jelas," sambungku.
*** BAB 18. Atap Berawan Itu pertama kalinya aku menceritakan penyebab kematian keluargaku pada orang lain-selain Bu Eli. Bahkan Paman dan Bibi pun tidak pernah mendengar kesaksianku
tentang hal itu. Rasanya tidak ada kesempatan atau pun keinginan yang memungkinkan untuk berhasil membuatku kembali menyinggung hal itu sampai sekarang.
Anehnya, aku justru menceritakan hal itu pada pria yang hanya baru kukenal 3 hari yang lalu. Pada seseorang yang berasal dari lembaga kepolisian, lembaga
yang sejak dulu tidak pernah kusukai sama sekali.
Bagiku mereka hanyalah orang-orang berhati dingin yang tidak terlalu mementingkan perasaan korban-korban dari kasus yang mereka tangani. Mereka tidak pernah
memikirkan hal lain selain fakta, bukti dan prosedur mereka sendiri untuk menyelesaikan kasus.
Tapi aku sadar, ada sesuatu dari diri David yang membuatku ingin agar ia benar-benar sepenuhnya percaya padaku. Mungkin sebagian kecil dari alasan itu
adalah karena ia bukan berasal dari kota ini. Ia adalah orang luar yang justru sangat kuharapkan akan bersikap adil dan tidak memihak siapa pun.
Tapi kini, aku menyadari ada alasan lain mengapa aku menginginkan kepercayaannya dan bantuannya dalam mengungkap kasus Hilda. Dan sampai sekarang aku masih
belum bisa menemukan jawaban itu.
Kupikir setelah menceritakan hal itu padanya, ia tetap menahanku untuk menggali informasi lebih dalam lagi. Tapi nyatanya tidak. Ia justru membiarkanku
pergi, seolah-olah memberiku ruang untuk sendiri dan mengerti bahwa apa yang baru saja kuceritakan memang benar-benar adalah bagian besar dari diriku.
Tapi anehnya, aku mulai merasakan adanya keberanian dari dalam diriku bahwa aku mungkin akan bisa menegakkan kepalaku dan tidak lagi berusaha lari dari
kenangan buruk itu seperti yang biasa kulakukan sejak dulu.
Aku bahkan tidak menangis tadi.
Mungkin keberanian itulah alasan mengapa tiba-tiba aku memutuskan untuk mengunjungi rumah ini lagi.
Aku menatap rumah itu dengan tangan masih memegang kemudi dengan erat. Rumah itu masih tetap sama seperti dulu-persis seperti terakhir kali aku meninggalkannya
4 tahun lalu. Paman dan Bibi pernah berkata padaku bahwa mereka masih merawat rumah ini bahkan setelah aku pergi.
"Bagaimana pun juga, rumah ini adalah milikmu." Itu kata Pamanku dulu.
Aku pernah berpikir untuk menjual rumah ini, tepat setelah aku memutuskan untuk pergi dari kota ini dan tidak akan pernah kembali lagi ke sini. Keputusan
itu sudah ada di ujung mulutku, sudah bersiap kulontarkan pada Paman dan Bibi saat hari terakhir sebelum aku pindah ke ibukota. Tapi entah kenapa, hal
itu tidak pernah keluar dari mulutku. Rasanya ada sesuatu yang menahanku untuk mempertahankan rumah ini.
Mungkin dari atas sana Ayah dan Ibu membisikkannya di telingaku. Entahlah ...
Aku meraih tasku yang tergeletak di kursi penumpang. Begitu aku mendapatkan apa yang kucari, aku mulai bergerak keluar dari mobil. Langit kini sudah mulai
menggelap, matahari sudah hampir sepenuhnya tenggelam. Aku tetap berjalan, melewati halaman kecil yang rerumputannya masih tertata rapi. Suara langkahku
samar-samar terdengar di antara keheningan.
Rumahku memang terletak sedikit berjarak dari rumah lainnya. Lokasi rumahku terletak paling ujung di utara kota Angor, hampir berada di perbatasan ke kota
seberang. Rumah Pak Wuno-tetanggaku baru berjarak 200 meter dari sini. Kemudian di belakang rumahku, terdapat banyak pohon-pohon besar yang semakin membuat
rumah ini sedikit tersamarkan. Walaupun sedikit tertutup, tapi dari sini aku masih bisa melihat rumah Paman dan Bibi dan beberapa rumah di sekitarnya samar-samar.
Begitu aku sudah berada di depan pintu masuk, aku mulai membalikkan tanganku. Mataku sesaat menatap kosong kunci usang yang sejak tadi kugenggam.
Apa yang kulakukan sekarang adalah sesuatu yang jelas-jelas sangat tidak disukai oleh Bu Eli. Menurutnya aku masih belum siap untuk menghadapi kembali
kenangan burukku. Aku memang sudah sembuh, tapi aku masih lemah.
Dan mungkin ini justru akan benar-benar memicu penyakitku benar-benar akan kambuh.
Tapi lagi-lagi, rasanya ada sesuatu yang mendorongku untuk mencobanya. Ada dorongan keinginan bahwa aku ingin membuktikan-entah pada siapa-bahwa aku tidak
ingin lari lagi. Aku kemudian memasukkan kunci tersebut, memutarnya dan mendengarkan suara klik tanda pintu itu terbuka.
Lalu aku menarik napas panjang dan membuka pintu itu.
Aroma khas dari rumah ini langsung menyelimuti indra penciumanku. Dan ada perasaan nyaman bercampur kesedihan yang langsung datang menutupiku. Aku tetap
berusaha menatap ke sekeliling rumah itu dengan tatapan lapar.
Aku berhutang pada Bibi. Karena ia benar-benar merawat rumah ini dengan sangat baik. Tidak ada yang berubah dari rumah ini, seolah aku tidak pernah pergi
dan keluargaku hanya sedang pergi keluar untuk sementara waktu.
Rumah ini sederhana, tidak terlalu besar namun cukup luas. Tirai bercorak daun-daun kecil masih bertengger di setiap jendela, sofa-sofa besar berwarna
coklat muda dan perabotan kayu masih berada di tempat biasa. Lemari-lemari berisikan koleksi piring-piring antik ibuku masih tertata rapi di ujung sebelah


Silent Girl Karya Indah Thaher di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tangga. Nuansa kekeluargaan dan aroma kayu masih menyeruak menyelimuti seluruh ruangan ini.
Aku mulai berjalan melewati ruangan itu, dan berhenti di depan sebuah foto di bawah tangga.
Selama beberapa saat aku hanya bisa berdiam menatap foto tersebut, memandangi ketiga wajah itu. Baru kusadari betapa sudah lama aku tidak lagi menatap
wajah mereka dari dekat-walaupun hanya dari foto saja.
Sejak dulu orang-orang selalu berkata bahwa aku sangat mirip dengan ayahku, sedangkan Noah sangat mirip dengan ibuku. Entah kenapa justru sekarang aku
baru benar-benar mengerti apa yang mereka maksud.
Ayah dan aku memiliki rambut ikal hitam dengan sorot mata tenang. Kami juga memiliki senyum yang sama. 'Senyum Jenaka', itu yang selalu dikatakan ibuku
pada kami. Aku menatap Noah, yang di foto ini masih berumur 7 tahun. Ia memiliki rambut hitam lurus dan sepasang mata polos besar yang memancarkan ketulusan, persis
sama seperti Ibu. Noah tersenyum malu-malu sambil memegang tanganku dengan tangan mungilnya.
Di foto itu, Ayah dan Ibu berdiri bersebelahan di belakang kami, terlihat seperti raja dan ratu. Mereka memang sangat terlihat serasi. Ayahku selalu memanggil
Ibu dengan sebutan Putri setiap kali mereka mengira aku dan Noah sedang tidak ada di rumah. Dulu aku kadang malu mendengarnya, tapi sebenarnya ayahku memang
benar. Ibuku sangat cantik, dengan rambut hitam lurus panjang, berkulit putih dan sepasang mata coklat madu dengan bulu mata lebat.
Dan ia selalu tersenyum, seolah ia tidak pernah melihat keburukan apa pun di dunia ini.
Satu hal yang sejak dulu selalu berusaha ia tanamkan padaku.
"Dia bukan berasal dari dunia ini, Lauren," ujar Ayah. 3
Ibu meninju pelan bahu ayahku sambil terkekeh. Ayah langsung berpura-pura kesakitan dengan reaksi berlebihan. Aku dan Noah langsung tertawa melihat tingkah
mereka. "Tidak ada salahnya memberikan kesempatan kedua pada orang lain. Setiap manusia pasti pernah melakukan kesalahan," kata Ibu.
"Mencuri itu tidak baik," kata Noah sambil melipat lengannya dengan gaya menggemaskan.
Ibu tersenyum lalu mencium kening Noah dengan lembut. "Kau benar, Sayang. Mencuri itu tidak baik. Tapi Si Pencuri juga punya hak untuk berubah," katanya
lagi. "Tapi Ayah bilang pencuri tidak akan pernah bisa berubah," sahutku.
Ayah langsung membuka mulut, mencoba kembali mengemukakan pendapatnya. Tapi Ibu langsung menatap Ayah dengan sorot memperingatkan. Ayah langsung menutup
kembali mulutnya dan berpura-pura takut. Noah terkekeh.
"Itu karena tidak ada yang berani memberikan kepercayaan padanya," jawab Ibu dengan senyum khasnya.
"Kepercayaan apa?"
"Kepercayaan bahwa dia bisa berubah. Jika dia merasakan bahwa kita sepenuhnya percaya padanya untuk tidak lagi mencuri, dia akan memiliki suatu pegangan
yang akan selalu bisa menariknya setiap kali dia hendak ingin melakukan keburukan lagi," jelas Ibu.
Aku terdiam, mencoba mencerna apa yang baru saja dikatakan ibuku. Aku menatap Ayah dan menyadari bahwa ia masih tidak sependapat dengan Ibu. Perkataan
Ibu memang terdengar naif-bahkan bagiku yang baru berumur 18 tahun. Tapi Ayah tidak menatapnya seolah-olah perkataan itu sangat bodoh. Sorot matanya kini
memancarkan hal lain. Sorot mata itu adalah sorot mata melindungi sesuatu yang murni, seolah-seolah ia tidak akan segan-segan mencabut jantungnya sendiri
untuk melindungi Ibu dari semua keburukan di dunia ini.
Ayah benar. Ibu memang bukan berasal dari dunia ini.
Aku tidak tahu sudah berapa lama aku hanya berdiri diam memandangi foto itu. Kemudian beberapa saat kemudian, barulah aku sadar sejak tadi pipiku sudah
basah oleh air mata. Aku menangis tanpa suara sedikit pun dan air mata itu hanya mengalir begitu saja.
Kerinduan yang sangat besar melandaku sejadi-jadinya. Tapi aku sadar, kali ini tidak ada kekalutan dan kepanikan yang biasanya datang berdampingan dengan
kerinduan ini. Dan aku berharap itu tidak akan datang sampai nanti.
Aku mulai berjalan menjauh dari foto itu dan mendekati sofa besar. Aku menghempaskan badanku kemudian menarik napas panjang berkali-kali sambil memejamkan
mata. Rasa familiar kembali merasuki tubuhku dari kenyamanan sofa yang memeluk badanku.
Dan lagi-lagi ada perasaan rindu bercampur kesedihan muncul dari dalam diriku. Aku sadar apa yang sedang kulakukan sekarang.
Aku sedang berusaha mengingat kembali ingatan dulu, mencoba mengambil kenyamanan yang selalu bisa kurasakan dalam rumah ini sebelum kejadian buruk itu
merubah segalanya. Aku hanya perlu fokus pada kenangan indah itu dan menggunakannya untuk bertemu kembali dengan keluargaku, walaupun hanya sebentar saja.
Aku tahu setelah ini aku mungkin akan lebih sengsara daripada sebelumnya. Aku tahu kerinduan itu mungkin akan membunuhku. Tapi setidaknya aku bisa memuaskan
rasa rinduku, walaupun sedikit saja.
Jadi aku mulai memejamkan mataku, menarik napas sedalam-dalamnya sambil memeluk bantal hangat yang terasa nyaman di kulitku. Dan aku membayangkan diriku
kembali ke beberapa tahun yang lalu. Saat semuanya masih baik-baik saja. Saat semuanya masih lengkap dan penuh dengan kebahagiaan.
Saat ada Ayah, Ibu dan Noah yang masih berada di sampingku-di rumah ini.
Kemudian bayangan itu muncul dan aku bisa mendengar jelas suara Ibu yang memanggilku dari dapur.
"Lauren, bangunlah atau ayahmu akan menghabiskan roti ini tanpa sisa sedikit pun," panggilnya.
*** BAB 19. Ingatan Mimpi Suara langkah kaki cepat terdengar dari arah tangga.
"Noah, jangan berlari di tangga. Nanti kamu bisa jatuh," kata Ibu dengan suara memperingatkan.
Suara langkah kaki itu langsung melambat, disertai suara terkekeh pelan. "Baik, Bu."
Sedetik kemudian, selimutku tiba-tiba tersibak, diikuti dengan sebuah tangan besar yang kini mulai mengacak-ngacak rambutku dengan cepat.
"Ayah," erangku, sudah menebak siapa pemilik tangan jail itu tanpa perlu mengecek sekali pun.
Ayah terkekeh lalu kembali mengacak rambutku lagi. "Kau tidak ada tugas sekolah sama sekali?"
Aku kembali menarik selimut itu menutupiku tanpa membuka mata sedikit pun. "Tidak ada. Ini hari pertama liburanku, jadi biarkan aku tidur," ujarku.
"Tidurlah di kamarmu, kalau begitu," ujar Ayah geli.
"Tapi makan siang dulu, Lauren," potong Ibu.
Suara langkah kaki terdengar dan aku menyadari Ayah sudah berjalan menjauh dari sofaku. "Aku tidak mengerti mengapa dia lebih suka tidur di sofa itu daripada
kamarnya sendiri," gumamnya dari kejauhan.
Aku tersenyum mendengar pertanyaan Ayah. Sejak dulu ia selalu menanyakan kebiasaan anehku ini.
"Sofa ini dekat dengan kulkas dan dapur. Jadi aku tidak perlu repot-repot jika sedang kelaparan," jawabku dengan cukup keras, masih belum bergerak dari
Harpa Iblis Jari Sakti 20 Kicau Kacau Karya Indra Herlambang Taiko 9

Cari Blog Ini