Ceritasilat Novel Online

Silent Girl 4

Silent Girl Karya Indah Thaher Bagian 4


memar di lututku beberapa minggu yang lalu.
Hari ini rasanya aku benar-benar membenci diriku.
Mungkin yang dikatakan Sarah itu benar. Aku tidak berguna, sampah dan gadis gembel yang tolol. Mungkin memang ada alasan yang pantas mengapa Sarah selalu
melontarkan hinaan-hinaan dan pukulan-pukulan itu padaku sejak kami berumur 7 tahun.
Mungkin dia memang benar.
Terkadang ingin rasanya aku mengakui semuanya pada Ibu. Bukan karena aku takut Ibu mengetahui hal yang sebenarnya.
Tidak. Hanya ... karena aku sadar tidak ada gunanya juga aku tetap berbohong soal ini padanya.
Aku tau Ibu sendiri sudah mengetahui sejak dulu tentang perlakuan Sarah padaku. Sejak aku berumur 10 tahun, saat aku pulang ke rumah tanpa sepatu.
Ibu juga berbohong dan aku tidak menyalahkannya. Karena aku tau, bahkan sekali pun aku sudah memiliki bukti untuk memberatkan Sarah atas semua yang dia
lakukan padaku, Ibu tetap tidak akan berani melaporkannya.
Ibu dan juga aku ... Kami berdua pengecut. 6 Agustus 20051 Aku melihat coretan itu di tembok pagar rumahku.
'Terjual. Beserta pemiliknya.' Begitu tulisannya berbunyi. Rasanya sudah lama sekali aku tidak menangis seperti itu. Aku tau Ibu akan pulang sebentar lagi
dan aku tentu saja tidak ingin melihatnya menyadari tulisan itu. Dengan tangan gemetar, aku mencoba menghapus coretan itu dengan air, tapi tulisan itu
tidak luntur sedikit pun.
Aku bergegas mencari kaleng cat di gudang dan langsung membawanya ke depan. Kemudian mengecatnya sampai tulisan itu sudah tersamarkan. Ibu pasti akan menyadari
perbedaan warna cat itu, tapi aku hanya perlu berbohong padanya tentang alasan aku mengecat tembok itu.
15 Oktober 2005 Kukira Tuhan benar-benar mengabulkan doa-doa mereka yang menginginkanku mati.
Dan aku tidak mengeluh. Sebagian diriku menunggu hal itu datang dan pasrah. Tapi sebagian diriku yang lain masih ingin melawan dan tetap bertahan demi
Ibu dan Ayah. Aku tidak pernah tau alasan sebenarnya Sarah selalu membenciku sejak pertama kali dia menatapku. Tapi kurasa perlahan-lahan aku mulai menyadari apa itu.
Dan pecahan teka-teki itu justru kudapatkan saat aku hampir mati.
Dua hari yang lalu, satu angkatan kami melakukan acara kemping untuk menyambut Hari Bumi sedunia. Kami menginap di Gunung Angor selama 2 hari 1 malam.
Selama kemping itu, seperti biasa aku akan berusaha menepi dan menjauh dari semua orang-terutama dari kerumunan Sarah dan teman-temannya.
Sampai tengah malam, semua tidak lagi hening.
Tendaku tiba-tiba terbuka dan sebelum aku sempat terbangun, Sarah sudah membekap mulutku dan menyuruhku mengikutinya keluar dengan tanpa bersuara. Dia
sama sekali tidak terlihat takut sekali pun ada dua gadis yang masih terlelap di sebelahku-satu tenda denganku. Aku yakin Sarah hanya tidak ingin ada banyak
saksi yang mengetahui cerita detil dari apa yang akan ia lakukan padaku malam itu.
Aku keluar dengan gemetaran dan semakin gemetaran karena angin malam yang dingin membeku saat itu. Di belakangku, teman-temannya berjalan mengikutiku.
Kami terus berjalan menelurusi hutan dengan hanya lampu senter. Sampai akhirnya kami berhenti di tepi Danau Angor. Sarah tetap mendorongku untuk berjalan
bersamanya ke arah dermaga sementara ia menyuruh teman-temannya menunggu sebentar.
Lalu dia mulai berbisik padaku. "Kau tau kenapa kau sangat tidak berharga, Hilda?"
Aku hanya bisa menggeleng. Dia kemudian mencekram lenganku dengan sangat keras, menancapkan kukunya ke lenganku. Aku meringis kesakitan. Kemudian dia mencekram
daguku, memaksaku menatap matanya.
Kemudian dia kembali berbisik dengan wajah jijik padaku. "Karena kau anak pelacur."
Aku sama sekali tidak pernah mendengar ejekan itu keluar dari mulut Sarah sebelumnya. Tidak pernah, selama 10 tahun ini. Tapi dia mengatakannya seolah-olah
aku seharusnya sudah paham ini sejak dulu.
Sarah kemudian berbalik dan menyuruh teman-temannya datang menghampiri kami di dermaga. Mereka semua mulai berlari sambil tertawa.
Lalu Sarah mengeluarkan perintahnya. "Dorong dia." Begitu katanya.
Dan dengan sekejap semuanya langsung mendorongku jatuh ke danau.
Aku tidak terlalu ingat apa yang terjadi. Yang kurasakan adalah rasa dingin menusuk tulang, dan aku berusaha sekuat tenaga untuk menggerakkan ototku hanya
untuk menggapai ke permukaan untuk mengambil napas. Dan saat aku berhasil selama beberapa detik, aku melihat mereka sudah berlari masuk ke hutan, tanpa
menoleh padaku lagi. Kukira saat itu aku benar-benar akan mati. Sekali pun mereka melakukan ini hanya untuk bercanda atau tidak. Tapi mereka tidak mungkin tau kalau aku tidak
bisa berenang. Aku ingat saat rasa menyerah itu muncul, aku tidak bisa merasakan tubuhku lagi. Aku bahkan tidak sadar kalau aku mungkin sudah berada jauh di dalam danau.
Tapi Tuhan sepertinya masih melindungiku. Dia menyelamatkanku, melalui Tommy. Mungkin Tommy tidak terlalu mengenali wajahku dan hanya menyelamatkanku karena
insting, mungkin dia tidak benar-benar ingin menyelamatkanku jika dia tau itu aku. Aku tidak berani membayangkan kalau dia benar-benar ingin menyelamatkanku
malam itu. Tapi ucapan terima kasih itu tentu saja muncul dari mulutku.
Dan lagi-lagi aku tidak mengerti bagaimana cara kerja hidup ini.
2 Desember 2005 Aku menunggu. Tapi kurasa apa yang kupikirkan selama ini mungkin memang benar. Tiba-tiba saja semuanya berubah.
Sejak kejadian di danau itu, Sarah tidak lagi menghampiriku, membentakku, atau menggunakan tangannya padaku. Dia benar-benar tidak lagi mengangguku.
Dia kini memperlakukanku seperti aku tidak pernah ada di dunia ini.
Dia dan seisi kota ini. Setiap kali aku melewatinya, dia tidak lagi melirikku dengan sorot benci itu lagi dan suara tawa mengejek teman-temannya tidak lagi mengikutiku. Dia benar-benar
tidak lagi menyadari keberadaanku. Dan begitu juga yang lainnya.
Mereka kemudian juga melakukan hal yang sama pada keluargaku.
Aku tidak tau apakah aku seharusnya merasa bahagia atau justru takut dengan hal ini. Sebagian dari diriku merasa senang karena Sarah tidak lagi mengangguku.
Sebagian diriku yang lain masih merasakan ketakutan besar bahwa hal ini tidak akan berujung baik padaku dan keluargaku.
Dulu, kadang aku sering membayangkan apa yang terjadi jika keluarga kami sedang berada dalam bahaya. Seperti kebakaran atau semacamnya. Apakah orang kota
ini akan membantu kami? Dulu aku masih memiliki harapan kalau mereka tetap akan membantu kami.
Tapi kini, kurasa aku tidak lagi memiliki harapan itu. Kurasa diam-diam mereka semua mengharapkan hal itu benar-benar terjadi.
Walaupun sebenarnya ada satu orang yang sikapnya tidak pernah berubah. Dan aku masih berharap dia bisa mengeluarkan kami dari semua ini.
Rriiinnng. Badanku langsung terlonjak kaget mendengar suara dering telpon itu. Aku menatap telpon itu beberapa saat, masih ragu untuk mengangkatnya. Bagaimana pun
juga, aku tidak bisa menebak siapa yang menelpon ke rumahku saat malam begini.
Aku akhirnya menutup buku jurnal itu, kemudian menaruhnya di meja tamu. Aku berjalan menuju meja kecil tempat telpon itu berada. Selama beberapa saat,
aku kembali tenang begitu menyadari kemungkinan bahwa yang menelpon adalah Bibi atau Paman.
Sejak siang tadi, aku langsung pergi tanpa pamit pada mereka dan membiarkan semua orang di kota ini menganggap bahwa aku memiliki pertikaian dengan Paman
dan Bibi. Aku menahan diri untuk meminta maaf pada mereka, sekali pun rasa bersalah sudah menumpuk penuh di dalam diriku. Tapi aku tau ini demi yang terbaik.
Tarikan napas sekali lagi kulakukan, kemudian barulah aku mengangkat telpon itu.
"Halo," jawabku.
Dan tidak ada suara yang menjawab.
Badanku mulai menegang, merasakan jantungku mulai berdetak cepat. Aku tetap menunggu dan tetap memasang telingaku lebar-lebar.
Beberapa detik berlalu dengan diam, hanya suara jarum jam yang terdengar.
Kemudian suara telpon ditutup terdengar dari ujung sana.
*** BAB 29. Wanita - Wanita Besok pagi, saat aku terbangun, aku hampir lupa dengan keberadaanku di rumah ini. Suara kicauan burung samar-samar membuatku terbangun. Aku mulai menyibakkan
selimut dan bangun sambil menatap ke sekeliling ruangan dengan tatapan kosong, tiba-tiba saja sekelebat rasa sepi muncul menyelimutiku. Tapi cepat-cepat
kutepis pikiran itu dan anehnya, aku benar-benar bisa melakukannya.
Aku bergegas bangkit dari sofa, kemudian berjalan menuju dapur untuk membuat segelas kopi hangat. Beberapa menit kemudian, aku kembali ke sofa sambil meneguk
kopi tersebut. Begitu kembali duduk di sofa, mataku kembali tertuju pada buku jurnal lusuh di hadapanku itu.
Tidak pernah rasanya aku membenci diriku seperti saat aku membaca tulisan Hilda. Setiap kata yang tertulis di sana membuat badanku lemas penuh penyesalan.
Aku sama sekali tidak pernah memikirkan bagaimana perasaan Hilda saat kami melakukan semua hal itu padanya. Tidak pernah sekali pun. Aku hanya tidak pernah
peduli. Dorongan untuk kembali melanjutkan membaca jurnal itu muncul. Namun, niat itu harus kutahan sementara. Ada banyak hal yang perlu kulakukan dulu. Pandanganku
kembali tertuju ke dapur.
Dan aku harus membeli bahan makanan dulu untuk persediaanku selama tinggal di sini. Karena sepertinya aku tidak akan diperbolehkan makan di restoran umum
lagi dengan tenang. Aku menatap telpon rumah selama beberapa saat. Siapa pun yang menelponku tadi malam, itu jelas-jelas bukan dari Paman dan Bibi atau pun David. Setelah
telpon itu ditutup, aku langsung meningkatkan kewaspadaanku.
Perasaanku mengatakan, siapa pun yang menelponku saat itu pasti memiliki dua tujuan. Tujuan pertama, ia ingin mengecek apakah aku sedang ada di rumah ini
atau tidak. Yang kedua, itu sebuah teror untuk menakut-nakutiku. 1
Sebelum pergi, aku memastikan buku jurnal itu kusimpan di tempat yang tersembunyi lalu mengunci rumah rapat-rapat.
Sampai di luar rumah, aku menatap ke sekeliling dan mendapati di sekitarku kosong dan sepi seperti biasa. Rumah Pak Wuno yang berada tidak jauh dariku
juga tampak sepi. Tapi aku melihat mobilnya masih terparkir di pekarangan rumahnya. Aku baru menyadari bahwa aku belum menyapanya sejak kedatanganku ke
sini. Tapi kurasa, kedatanganku ke rumahnya tidak terlalu diharapkan lagi kini.
Aku kemudian membuka pintu mobil dan mulai menghidupkan mesin. Perjalanan menuju supermarket kota ini membutuhkan waktu sekitar 10 menit. Dan di hari Minggu
pagi ini, masih tidak banyak mobil yang sudah berkendara di jalan.
Begitu aku sampai di gedung supermarket itu, aku langsung memarkirkan mobilku tidak jauh dari pintu masuk. Kemudian mengambil dompet dan bergegas masuk
ke dalam supermarket. Hanya butuh beberapa menit untuk mendapatkan semua yang kuperlukan untuk persediaan. Lagipula aku tidak pernah makan dalam porsi yang besar. Itu, dan juga
karena sejak tadi aku menyadari beberapa orang di supermarket ini terus menatapku dengan sorot tidak suka.
Begitu sampai di kasir, aku mulai mengantri di meja kasir paling ujung. Tatapan tidak suka itu masih terus mengikutiku dan aku tetap memasang wajah tenang,
berusaha tidak terlihat terpengaruh oleh situasi ini.
Kemudian giliranku tiba, Si Kasir langsung menatapku penuh. Aku menyadari sorot enggan yang sama seperti pelayan restoran saat aku datang bersama paman
dan bibiku beberapa hari lalu. Kasir perempuan itu tidak berumur lebih dari 40 tahun, sedikit gemuk. Ia mulai mengeluarkan semua barang belanjaanku dan
mulai menghitungnya dengan wajah diam yang enggan.
Aku menunggu sambil mulai menatap ke sekelilingku lagi.
Kemudian tatapanku tertuju pada seorang pria kasir yang berada dua meja di depanku. Sama seperti kasir lainnya, ia sedang sibuk memindahkan barang belanjaan
pelanggan dan menghitungnya dengan cepat.
Aku tidak tau mengapa pandanganku tertuju lama padanya. Wajahnya sedikit familiar. Tapi aku sama sekali tidak bisa mengingat siapa, dimana dan kapan aku
pernah melihatnya sebelum ini. Aku tahu aku tidak mengenalnya. Tapi aku tahu aku pernah melihatnya.
Ia adalah pria berumur 40an berambut cepak, memiliki tinggi semampai dan sedikit berotot. Wajahnya tirus, dengan jenggot gelap dan mata yang tajam. Tidak
ada senyum di sana, dan sepertinya memang tidak pernah muncul di wajahnya. Wajah itu kaku dan memiliki aura penyendiri.
Kemudian ia tiba-tiba mendongak dan kami beradu pandang beberapa saat. Dan rasa familiar yang aneh itu semakin membesar dan menyelimutiku dengan cepat.
Ia juga menatapku dengan sorot tidak suka, tapi tatapan itu sedikit berbeda.
Seolah ia memiliki alasan yang tepat mengapa ia tidak menyukaiku.
"Totalnya 300.000."
Aku melepas tatapanku dari pria itu dan menoleh kembali pada Si Kasir di sebelahku. Aku bergegas membayar dan langsung membawa semua barang belanjaanku.
Sebelum berjalan pergi, aku kembali melirik ke arah pria kasir itu lagi dan menyadari ia masih menatapku dengan sorot yang sama.
Begitu aku sampai di luar, aku langsung berjalan cepat menuju mobilku. Aku memasukkan semua barang belanjaanku ke bagasi. Kemudian ponselku tiba-tiba berbunyi.
Aku langsung mengeluarkannya dan alisku langsung mengerut membaca pesan itu.
Lauren, ini aku Sarah. Bisa kita bertemu hari ini?
Aku menatap layar ponselku beberapa saat, sedikit terkejut mendapati Sarah bisa dengan cepat menemukan nomor kontakku. Aku mulai mengetikkan balasan.
Ya. Tentu saja. Beberapa menit kemudian pesan balasan Sarah datang.
Bagus. Kita bertemu siang ini saja. Temui aku di kedai kopi depan taman kota.
Aku mengetikkan balasan terakhir.
Oke. Aku menarik napas panjang, menyadari bahwa sejak tadi jantungku mulai berdetak cepat. Tidak bisa kupungkiri bahwa aku sedikit terkejut dengan ajakan Sarah
yang tiba-tiba. Aku tahu ia akan mengajakku bertemu berdua saja, tapi aku tidak tahu waktunya akan secepat ini.
Karena apa pun yang ingin dibicarakan Sarah padaku, aku sepenuhnya yakin kalau itu tidak jauh dari perihal tentang Hilda dan keluarganya.
*** Aku menatapnya dari dalam, melalui jendela yang menghadap langsung ke depan jalan. Mobil Jaguar berwarna silver berhenti di depan kedai kopi ini. Sarah
baru saja keluar dari mobil itu, dan kini sedang berdiri diam menatap sisi pintu mobilnya.
Kemudian seorang wanita berusia sekitar 40 keluar dari sana. Ia berpenampilan sangat elegan, dengan baju setelan biru tua dengan rok selutut dan sepatu
hak tinggi. Ia sangat cantik dan memiliki aura percaya diri yang tinggi.
Tidak perlu berlama-lama memikirkan siapa wanita itu. Ia adalah ibu kandung Sarah.
Hanya beberapa kali aku bertemu dengan ibunya. Itupun hanya sebatas menyapa saat hari pertemuan wali murid dengan guru sekolahku dulu. Tapi bahkan dari
sini pun, aku bisa menyadari tidak ada perubahan besar darinya. Ia masih sangat cantik seperti dulu, dan kecantikan itu tentu saja menurun kepada anaknya.
Tapi kurasa hubungan mereka masih tetap sama.
Aku masih menyadari tatapan datar yang selalu Sarah berikan setiap kali memandang ibunya, dan begitu juga sebaliknya. Sejak dulu hubungan mereka memang
terkesan kaku, dan selalu berusaha menghindari satu sama lain untuk menghabiskan waktu bersama seperti sekarang ini. Kami selalu menduga hal ini disebabkan
karena sifat mereka yang begitu berlawanan. Ibunya adalah wanita yang kaku dan serius. Mungkin karena itu Sarah justru jauh lebih dekat dengan ayahnya.
Dulu kami sering bercanda soal ini dengannya. Kami berkata bahwa Nikalah yang cocok menjadi anak dari ibu kandung Sarah?karena sifat mereka yang sama.
Dan nyatanya, Ibu Sarah memang dekat dengan Nika sejak dulu. Waktu itu, Sarah hanya ikut tertawa dengan kami, tapi jika kupikirkan lagi sekarang, aku justru
penasaran apa ada kecemburuan terbesit di benaknya saat itu.
"Kau tidak ingin aku tunggu?" samar-samar aku mendengar suara Sarah. Ia menatap ibunya dengan wajah datar.
Ibunya mulai membuka tasnya dan mengeluarkan ponsel. "Tidak. Tidak perlu. Mobilku sudah kembali nanti siang. Jadi supir akan menjemputku nanti," jawabnya.
Sarah menatap ibunya beberapa saat. "Oke. Jika itu mau Ibu."
Ibunya mulai memencet ponsel dan menempelkannya ke telinga. Ia kemudian menatap Sarah. "Aku pergi dulu. Temanku sudah menunggu," ujarnya. Kemudian ia melenggang
pergi meninggalkan Sarah yang masih berdiri menatapnya.
Kemudian Sarah mengerjap, lalu menatap ke sekeliling dengan wajah kosong. Tatapannya kemudian terpaku padaku, menyadari bahwa sejak tadi aku mengamatinya
dari dalam kedai kopi ini-tepat di balik jendela. Aku kini mengerti arti tatapannya. Seolah ia tidak ingin siapa pun memergokinya memandangi ibunya berlama-lama.
Aku menunggu beberapa saat, kemudian akhirnya memberikan senyum bersahabat padanya. Lalu wajah Sarah yang biasa kukenal muncul, beserta senyum santai yang
selalu bertengger di wajahnya.
Ia kemudian berjalan memasuki kedai kopi ini. Suara derik pintu terbuka muncul dan aku langsung berdiri menyambutnya. Begitu ia sudah berdiri di depanku,
ia langsung menarikku ke pelukannya dengan ramah.
"Bagaimana kabarmu?" tanyanya dengan nada biasa.
Aku berusaha tersenyum. "Baik. Kau?"
"Perfect," jawabnya. Ia nyengir, seolah sudah melupakan apa pun yang terjadi beberapa menit lalu.
Kami kemudian duduk berhadapan dan Sarah langsung memanggil pelayan untuk memesan. Aku mengamatinya beberapa saat, mereka-reka sampai kapan ia akan memasang
wajah ramah itu padaku. Bahkan pelayan dan beberapa pengunjung kedai ini saja sejak awal sudah memberikanku tatapan enggan saat aku menginjakkan kaki ke
sini. Sekalipun aku berada satu meja dengan Sarah?justru mereka kini terlihat semakin penasaran.
Jadi tentu saja semua ini ada hubungannya dengan Sarah.
Begitu pelayan itu pergi, Sarah kemudian menatapku. Senyum ramah masih bertengger di wajahnya. Tapi kini aku bisa melihat perubahan di sorot matanya. Ia
kini menatapku dengan sorot dingin.
"Aku minta maaf karena tidak keluar dan menyapa ibumu tadi," potongku sebelum ia hendak mengatakan sesuatu.
Ia kini tersenyum lebar. "Tidak masalah, Lauren. Kau tau bagaimana ibuku. Ia tidak suka berbicara dengan orang-orang," jawabnya.
Aku mengangguk paham. Lalu aku menatapnya, kini menunggunya berkata sesuatu padaku.
Sarah menarik napas pelan. "Kudengar kau memutuskan tinggal di sini sementara waktu," katanya dengan nada tenang.
"Ya. Sampai tahun baru."
Sarah mengangguk kecil. "Itu bagus. Sudah lama sekali kau tidak kembali ke kota ini, kan."
Aku menatapnya, menunggunya melanjutkan. Ia melirikku sekilas, menyadari bahwa aku juga sama sepertinya. Kami tahu bahwa saat ini kami sudah tidak ingin
lagi berbasa-basi. Ia menghela napas panjang. "Dengar, Lauren." Ia menunduk sejenak, ada sorot mata enggan muncul beberapa saat. "Aku tau apa yang sedang kau lakukan di sini."
"Bukan aku penjahatnya di sini," ujarku tenang.
Sarah terdiam sesaat, wajahnya tidak berubah.
"Begitu juga aku."
*** BAB 30. Sang Putri Aku menatapnya dengan tenang, menunggunya mengucapkan sesuatu. Tapi sama sepertiku, ia hanya diam dan menatapku dengan sorot mata yang sama. Jadilah selama
beberapa detik kami hanya saling bertatapan.
Helaan napas muncul dari mulut Sarah. Ia menggeleng pelan. "Aku tau apa yang kau lakukan dengan David. Dia menemuiku kemarin."
Aku tetap diam, menunggunya melanjutkan penjelasannya. "Dia bilang dia akan membuka kasus Hilda ini kembali. Dan dia memintaku untuk bekerja sama dengannya,
memberikannya informasi juga menjawab pertanyaan-pertanyaan darinya," sambung Sarah.
"Kau keberatan?" tanyaku.
Sarah menatapku datar, kemudian ia tersenyum kecil. "Aku sudah katakan pada David, bahwa kemungkinan kasus ini tidak akan mungkin bisa dibuka sangatlah
besar. Tapi dugaanku?dan aku juga yakin kalian sudah memikirkannya, kalian akan tetap menyelidiki kasus ini bahkan tanpa ada yang berdiri di belakang kalian."
"Lalu apa kau keberatan?" tanyaku lagi.
"Tentu saja aku keberatan?dan bukan karena aku juga terlibat dalam kematian Hilda seperti yang kalian tuduhkan padaku. Bukan, aku bukan keberatan karena
itu," jawabnya. Aku mengerutkan alis, menyadari betapa tenangnya ia sangat mengatakan bahwa ia tidak terlibat dalam semua hal ini. Tapi aku tetap menahan diri, membiarkannya
melanjutkan perkataannya.
Ia masih menatapku dengan sorot tenang. "Aku keberatan karena apa yang kalian saat ini hanya akan melukai keluarga Hilda dan keluargaku," sambungnya.
"Apa yang kau maksud lebih tepatnya?"
Ia menghembuskan napas panjang dengan perlahan, matanya kini bergerak tidak nyaman beberapa saat. "Kau tau apa maksudku, Lauren."
"Permisi." Si pelayan tiba-tiba saja sudah berdiri di samping meja kami, dengan nampan berisi pesanan Sarah. Sarah langsung menoleh dan dengan sekejap
wajahnya kembali rileks penuh senyum ramah. Ia menerima segelas teh panas itu dan langsung mulai mengaduknya dengan perlahan.
Aku mengamatinya yang kini sedang mencampurkan gula pasir ke gelasnya. Ia mengaduk kembali dan mulai meneguk tehnya.
"Aku tidak tau apa maksudmu, Sarah. Jelaskan padaku," ujarku lagi dengan nada pelan.
Ia menaruh kembali segelas teh itu di meja, kemudian tatapannya tertuju padaku. Sorot tenang dan dingin itu kembali muncul dengan cepat.
"Yang kau lakukan saat ini hanyalah mengungkit luka lama pada keluarga Hilda tentang kematiannya yang tragis. Dan tuduhanmu itu, bahwa kematian Hilda bukan
bunuh diri, tapi sebuah pembunuhan, justru hanya memperburuk keadaan. Kau tidak hanya membuat luka baru di keluarga Hilda tapi juga di keluargaku. Nama
baik keluargaku menjadi taruhannya. Dan ini semua bahkan hanya baru sebatas dugaan mentah tanpa ada bukti apa pun," jelasnya.
Aku mendengus. "Sejak kapan kau memberi perhatian pada keluarga Hilda?" Perkataannya tentang menjaga nama baik keluarganya mungkin bisa kuterima dengan
mudah. Tapi, tentang keluarga Hilda?
Pikiranku kembali dipenuhi dengan isi jurnal Hilda yang masih berbekas sangat segar di otakku. Semua hal itu kembali menimbulkan rasa sedih yang sangat
besar di dalam diriku. Sarah terdiam beberapa lama. Kemudian akhirnya ia tersenyum, menyadari apa yang sedang aku bicarakan saat ini. Ia menggeleng pelan, seolah tidak mengerti
mengapa tiba-tiba aku menyinggung topik ini dengannya.
"Aku tidak ingin membicarakan hal itu denganmu sekarang," katanya.
"Kenapa? Kukira ini satu-satunya topik yang kita berdua paling pahami," sahutku. Aku sama sekali tidak mengerti bagaimana aku bisa berbicara setenang ini
padanya. Ia kembali terdiam beberapa saat. Tapi tetap tidak ada perubahan pada raut wajahnya.
"Permasalahan utamanya di sini adalah dugaan awam kalian yang sangat merugikan pihakku. Ini tidak ada hubungannya dengan masa lalu Hilda, Lauren,"
"Tentu saja ini ada hubungannya. Dan semua ini disebabkan karena sikap kalian yang sangat aneh sejak hari pemakaman itu. Kita semua tau bagaimana kau memperlakukan
Hilda sejak dulu, Sarah. Dan aku tau benar tidak ada yang berubah?bahkan sejak aku sudah pindah dari sini sekalipun."
"Dan itu membuatku dituduh sebagai orang yang terlibat dalam kematian Hilda? Menurut kalian aku yang membunuh Hilda?" tanyanya dengan suara kelam.
Aku mengamatinya sejenak, sama sekali tidak bisa mengartikan ekspresi di wajahnya saat ini. Tapi aku tetap melanjutkan dengan sama tenangnya. "Itu membuatmu
menjadi orang yang patut dicurigai di kasus ini. Hanya itu."
Suasana kembali hening beberapa saat. Aku bahkan hampir lupa bahwa kami masih berada di tempat umum. Tapi kami masih belum melepas tatapan masing-masing.
Sarah kemudian menelengkan kepalanya sedikit, lalu mendengus pelan.
"Bukan aku saja yang pernah mengerjainya. Kau sadar itu, kan?"
Tenggorokanku seketika kering. Tapi aku tetap memasang wajah tenang, sekali pun penyesalan itu kembali datang dengan sangat cepat hingga berhasil membuatku
tidak bisa berkata-kata selama beberapa saat.
"Ya. Aku sadar itu."
"Nika, Vera, Tifa, Jane, Maudi?hampir semua orang di kota ini," ujarnya. Ia menatapku sejenak. "Termasuk kau," sambungnya dengan tenang.
"Aku tau. Tapi kau juga tau bahwa bukan aku otaknya. Kaulah otaknya," ujarku.
Sarah diam. Dan aku mau tidak mau menyadari bahwa ia juga memikirkan hal yang sama denganku, tentang tuduhan Nika yang memutarbalikkan fakta kalau selama
ini akulah yang menjadi otak dan pemimpin dari semua pembullyan itu.
Sarah menunduk, kemudian menarik napas dalam-dalam. Lalu ia kembali menatapku. Kini sorotnya mulai sedikit melunak.
"Dengar, Lauren." Ia terdiam sejenak. "Pertama-tama, aku ingin meminta maaf atas apa yang dilakukan Nika padamu. Vera menceritakan semuanya padaku. Tuduhan
itu?aku rasa ia mengatakannya hanya karena emosi. Kau tau sendiri ia sangat membenci siapa pun yang mengungkit masalah perceraian orang tuanya."
"Lalu mengapa kalian semua menyembunyikan fakta tentang semua pembullyan dan pengasingan itu? Kalian semua bersikap seolah-olah semua itu tidak pernah
terjadi." Ia menghela napas. "Ini Kota Angor, Lauren. Mereka sangat mencintai kota ini. Jadi tentu saja mereka sangat ingin menjaga nama baik kota ini dengan sekuat
tenaga. Kasus bunuh diri Hilda ini saja sudah mulai membuat nama baik kota ini rusak. Menurutmu apa lagi yang harus mereka lakukan untuk melindungi kota
ini?" Aku memandangnya dengan sorot ragu. Sebagian diriku memang menyetujui perkataan Sarah tentang pandangan orang-orang kota yang begitu mencintai kota ini.
Dan alasan itu memang terdengar cukup masuk akal.


Silent Girl Karya Indah Thaher di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ucapan Bu Emma, Paman dan Bibi, serta Pak Sanu kembali terngiang di telingaku. Perkataan mereka persis sama dengan apa yang disampaikan Sarah barusan.
Dan itu juga menjelaskan mengapa semua orang di kota ini semakin membenci keberadaanku. Tatapan tidak suka itu mengartikan betapa usahaku menyelidiki kasus
kematian Hilda hanya akan membuat nama kota ini rusak dan tercemar.
Alasan ini sangat masuk akal. Tapi ... sebagian diriku masih tidak ingin mempercayai alasan ini.
Sarah menyadari ekspresiku, ia kembali menarik napas dalam-dalam. "Lauren, aku tau semua ini menimbulkan kecurigaan yang besar dan pandangan yang buruk
tentang orang-orang kota ini?terutama aku. Tapi ..." Ia berhenti, kemudian menghela napas lelah. "Dengar, Lauren," panggilnya lagi.
Aku menyadari ia kini menatapku lekat-lekat. Dan aku menyadari sorot matanya kini serius.
"Jika memang benar kalau Hilda mati karena dibunuh oleh seseorang, aku berani bersumpah padamu bahwa aku sama sekali tidak terlibat sedikit pun dengan
hal itu," ucapnya dengan sungguh-sungguh.
Aku menatapnya beberapa lama, mencoba mencari-cari setitik saja kebohongan yang terselip di matanya dan aku sama sekali tidak bisa menemukannya. Tapi aku
tetap diam, sementara pikiranku berkelana pada percakapan Sarah dengan pria besar itu di pemakaman beberapa minggu lalu. Aku masih merasa Sarah belum sepenuhnya
menceritakan semuanya padaku. Dan itu sudah cukup membuatku untuk kembali meragukannya.
Sarah mengamatiku beberapa lama. Ia kemudian menghembuskan napas. "Kau masih tidak percaya padaku?"
"Aku butuh waktu," jawabku.
Ia lalu tersenyum dan aku langsung mengenali senyum itu. Senyum kaku yang selalu ia berikan setiap kali keinginannya tidak tercapai.
"Kau akan tetap meneruskan penyelidikan ini dan membawa-bawa namaku." Itu sebuah pernyataan. Dan aku tidak perlu mengangguk untuk membuatnya lebih yakin.
Aku sudah tahu kalau ia sudah menemukan jawabannya dari ekspresiku.
Ia mengangguk paham. "Sebaiknya kita bicara lagi nanti," ujarnya tenang. Ia mulai meraih tasnya dan mengeluarkan dompetnya. Ia lalu berbalik dan memanggil
pelayan kedai. Dan aku baru menyadari sejak tadi hampir semua pengunjung di sini menatap kami dengan sorot penasaran. Aku tidak tahu apakah pembicaraan kami tadi terdengar
jelas oleh semua orang di kedai ini. Tapi yang jelas, sorot tidak suka itu masih tertuju padaku.
Aku mengamati Sarah yang kini sedang membayar tagihan. Ia jelas-jelas menyadari sikap semua orang di kedai ini terhadapku. Tidak mungkin ia tidak melihat
pandangan aneh dan sorot tidak suka yang sejak tadi dilontarkan pengunjung kedai ini?termasuk pelayan yang sedang berdiri di depanku ini.
Tapi ia tetap bersikap seolah semuanya baik-baik saja.
Begitu pelayan itu pergi, Sarah kembali menatapku dengan wajah tenang.
"Kalau begitu aku pergi dulu, Lauren," katanya.
Aku mengangguk, lalu memandanginya berjalan pergi dari mejaku menuju pintu keluar. Tatapanku masih mengikutinya hingga ia masuk ke mobil jaguarnya. Sebelum
masuk ke mobil, kami beradu pandang. Dan aku melihat sorot mata dingin itu beberapa detik.
Begitu mobil itu melaju pergi, barulah aku mulai bangkir dari kursi dan berjalan keluar dari kedai ini. Aku langsung berjalan menuju tempat mobilku terparkir
dan langsung meninggalkan tempat itu secepatnya.
Selama perjalanan pulang, pikiranku kembali dipenuhi dengan semua percakapanku dengan Sarah beberapa menit lalu.
Satu hal yang penting, aku menyadari bahwa kini Sarah benar-benar mengakui tentang semua pembullyan dan pengasingan yang terjadi pada Hilda. Bahwa semua
itu memang benar-benar terjadi dan Sarah adalah otak dari semua perintah-perintah yang ia berikan pada kami. Dan semua ini bukan hasil dari imajinasiku.
Semua ini nyata. Dan ia jelas-jelas masih belum sepenuhnya jujur denganku. 2
Karena itu aku memutuskan untuk mencaritahu sendiri kebenaran itu.
Begitu aku sampai di rumahku kembali, aku langsung bergegas menutup pintu dan menguncinya rapat-rapat. Kemudian aku berjalan menuju kamar orang tuaku dan
menyelipkan tanganku ke bawah kasur.
Buku jurnal itu berhasil kutarik keluar. Lalu aku kembali berjalan ke sofa dan menghempaskan badanku di sana.
Aku menarik napas perlahan, lalu membuka jurnal itu dari lembaran terakhir yang kubaca.
*** BAB 31. Pria Itu 21 Januari 2006 Hari ini dia datang lagi. Dan kedatangannya masih membawa rasa aman padaku. Walaupun hanya beberapa saat, karena dia sendiri tidak pernah berlama-lama
di sini. Tapi dia selalu memperlakukanku dengan baik, seperti anak-anak lainnya. Dan ia selalu tidak lupa membawakanku hadiah.
Sejak aku berumur 7 tahun, kedatangannya selalu kutunggu. Terutama setelah Ayah dipindahtugaskan ke luar pulau dan sangat jarang pulang ke rumah. Kepulangan
Ayah setiap tahun bahkan bisa kuhitung dengan jari. Aku tidak mengeluh. Aku tahu betapa Ayah bekerja keras di sana.
Dan aku menyayangi Ayah dan sangat merindukannya setiap waktu.
Tapi mungkin justru karena itulah kedatangan pria itu ke rumah kami bisa mengobati kerinduanku pada Ayah. Mungkin memang sejak dulu aku sudah mulai menganggapnya
seperti ayahku sendiri. 'Pria itu'. Sepertinya kebiasaanku untuk tidak menyebutkan namanya bahkan menular sampai saat aku menulis jurnal seperti ini. Sejak dulu, Ibu selalu melarangku
untuk menyebut namanya pada siapa pun dan kapan pun. Saat aku bertanya alasannya, Ibu selalu berkata dia hanya tidak ingin semua orang salah paham dengan
kedatangannya ke sini. 1 Mereka hanya berteman. Aku tau itu.
Setiap kali pria itu datang ke rumah, Ibu selalu memintaku untuk berada di kamar di lantai atas dan tidak keluar sampai Ibu memanggilku kembali. Itu tanda
bahwa mereka akan memulai percakapan mereka dan aku sadar mereka jelas-jelas tidak ingin aku menganggu diskusi mereka tersebut.
Apa pun yang mereka bicarakan, aku yakin itu sangat serius. Karena aku selalu bisa melihat perubahan wajah ibu yang tiba-tiba terlihat kelam begitu ia
memintaku untuk masuk ke kamar.
19 Maret 2006 Kurasa sudah saatnya aku mengakui bahwa pria itu memang menyukai Ibu dan bukan lagi sebagai teman. Selama ini aku tetap berpura-pura untuk tidak menyadarinya.
Dan kurasa sudah ada beberapa orang yang menyadari hal ini.
Dugaanku ini selalu terbesit setiap kali aku melewati pagar tembok yang beberapa bulan lalu kucat diam-diam. Bekas coretan itu masih tidak terlihat jelas.
Tapi sampai sekarang, aku masih mengingat jelas bentuk dari coretan itu sendiri.
'Terjual. Beserta pemiliknya.'
Orang yang menuliskan coretan itu berpikir kalau ibuku adalah pelacur.
Dia pasti melihat pria itu masuk ke rumahku dan orang-orang yang tidak terlalu mengetahui situasi sebenarnya akan tetap salah paham dan mengartikan bahwa
kunjungan pria itu ke rumah adalah sebuah bentuk perselingkuhan yang dilakukan ibuku.
Yang aku takutkan memang benar-benar terjadi.
Dan aku sama sekali tidak tau bagaimana cara mengembalikan nama baik ibuku. Tapi lagi pula, siapa yang akan mempercayai kami?2
1 April 2006 Dugaanku benar. Yang menulis coretan di pagar tembokku beberapa bulan lalu adalah Sarah dan teman-temannya.
Aku tidak sengaja mendengar pembicaraan mereka di toilet hari ini.
Rasanya jantungku seperti akan meledak ketika mereka tiba-tiba menyebut namaku. Kukira mereka mengetahui keberadaanku di kamar toilet dan hendak melaksanakan
aksi mereka seperti dulu lagi. Tapi untungnya tidak. Aku masih menjadi Hilda yang keberadaannya tidak pernah ada di mata mereka.
Terkadang aku masih merasa mereka mengerjaiku diam-diam. Seperti buku catatanku yang tiba-tiba berada di tong sampah saat aku tidak sengaja meninggalkannya
sepulang sekolah. Tapi setidaknya aku masih bersyukur mereka tidak lagi memukuliku atau melontarkan teriakan hinaan itu di telingaku lagi.
Saat itu aku mendengar Sarah sedang mengatakan sesuatu tentang pacar Vera. Ia menyebut Vera sebagai peliharaan pria kesepian. Semua mulai tertawa, termasuk
Vera sendiri. Lalu tiba-tiba Nika berkata, "Kau cocok tinggal bersama keluarga Hilda, kalau begitu." Kemudian Sarah tertawa terbahak-bahak.
"Kau mau rumahmu juga kutuliskan sama seperti rumah Hilda?" ?cibirnya.
Awalnya aku masih ragu dengan dugaanku. Tapi kemudian aku mendengar suara Lauren. Dia seperti mempertanyakan apa yang sedang ada di otakku saat itu.
"Jadi tulisan 'Terjual' itu maksudnya adalah pelacur? Ibu Hilda adalah pelacur?" tanyanya.
Aku menunggu dan yang kudengar berikutnya hanya tawa terbahak-bahak dari Sarah dan diikuti oleh teman-temannya yang lain. Dan aku menyadari bahwa Lauren
satu-satunya yang tidak tertawa.
Aku ingat betapa dengan susah payahnya aku menahan suara tangisku di sana sampai mereka benar-benar pergi dari toilet ini. Setelah mereka pergi, aku masih
tetap di toilet dan menangis tanpa suara.
Dan sekali lagi aku membenci diriku karena lagi-lagi memedulikan semua perkataan yang mereka lontarkan padaku.
5 Mei 2006 Aku mencoba berbicara dengan pria itu, berdua saja saat ibu sedang ada di dapur menyiapkan minuman. Aku memintanya berhenti mengunjungi kami dan menjelaskan
bahwa orang-orang akan salah paham dengan kunjungannya ke rumah kami.
Dan kemudian dia benar-benar mengaku bahwa dia memang mencintai ibuku.
Selama beberapa menit aku tidak tau harus berkata apa. Aku hanya gadis 17 tahun yang tidak memiliki teman satu pun untuk berbicara tentang cinta, apalagi
merasakannya sendiri. Tapi aku tau satu hal yang pasti, bahwa cinta pria itu tidak benar. Ibu dan ayahku masih terjalin dalam hubungan perkawinan yang
sah. Lagipula, aku sangat yakin bahwa ibu dan ayahku saling mencintai dengan tulus satu sama lain. Ibu tidak akan pernah mengkhianati Ayah.
Jadi kukatakan padanya bahwa cintanya tidak akan terwujud karena ibuku sangat mencintai Ayah dan mereka masih menjadi sepasang suami istri yang sah.
Tapi kemudian ia tertawa sambil mengelus rambutku. "Kau masih belum mengerti apa-apa soal ini." Begitu katanya padaku. Aku sendiri tidak mengerti apa yang
dia maksud dan tidak berani untuk mempertanyakannya lebih lanjut.
Tapi aku masih ingat dengan jelas, ada sorot marah yang terbesit di matanya saat aku mengungkit nama ayahku di depannya beberapa saat lalu.
Riiinngg Aku kembali terlonjak kaget mendengar dering telpon itu. Alisku berkerut, mulai merasa tidak nyaman saat menyadari telpon itu berdering setiap kali aku
sedang membaca jurnal Hilda. Seolah-olah ada sesuatu yang menahanku untuk berhenti membaca jurnal ini.
Tarikan napas panjang kulakukan beberapa kali sebelum akhirnya aku bangkit berdiri. Aku berjalan dengan pelan menuju meja tempat telpon itu berada.
Aku tahu telepon itu berasal dari penelpon yang sama yang tempo hari menelpon tanpa ada suara sedikit pun. Orang yang sama yang jelas-jelas ingin menakut-nakutiku.
Begitu berada di depannya, aku kembali menarik napas pelan, sekali lagi mencoba menenangkan degub jantungku yang berdetak was-was. Lalu barulah aku meraih
gagang telpon tersebut. Kali ini aku tidak mengeluarkan suara sedikit pun, aku menunggu suara datang dari ujung sana. Dan seperti dugaanku, yang menelponku saat ini memang benar-benar
adalah orang yang sama tempo hari.
Aku tetap diam, menunggunya. Tidak ada dari kami yang bersuara dan juga ingin menutup telpon ini. Jadilah selama beberapa menit kami hanya diam.
"Pergi." Badanku langsung membeku tegang begitu mendengar satu patah kata itu dari Si Penelpon.
Lalu suara telpon terputus terdengar.
Aku masih berdiri diam, masih memegang gagang telpon dengan erat. Jantungku masih berdetak liar, mencoba mengingat dengan jelas kembali suara itu. Si Penelpon
jelas adalah seorang pria, suaranya sedikit rendah, berat dan agak serak-seperti seorang perokok berat.
Aku mencoba mengingat kembali apakah aku mengenali suara itu sebelumnya. Tapi tidak bisa, aku sama sekali tidak merasa suara itu familiar di telingaku.
Bahkan rasanya mungkin itu adalah pertama kalinya aku mendengar suara itu.
Gagang telpon itu kembali kutaruh ke tempat asalnya. Tapi aku masih belum bergerak kembali ke sofa. Tatapanku masih terpaku pada telpon itu, masih berusaha
memecahkan misteri tentang Si Penelpon dan perintahnya yang menyuruhku pergi dari sini.
Dia menyuruhku pergi dari rumah ini? Kota ini? Atau pergi dalam artian berhenti mencoba membongkar penyebab kematian Hilda yang sebenarnya?
Rriiiiiing. Badanku langsung kembali menegang. Tapi tetap kupaksakan diriku untuk meraih gagang telpon itu kembali dengan sikap tenang.
"Siapa ini?" tanyaku tajam begitu aku menempelkan telpon itu di telingaku.
"Lauren?" Suara David. Aku langsung menghela napas lega dan merasakan badanku kembali rileks. Aku memijit dahiku, dan menyadari bahwa ada keringat yang menempel di sana sejak
tadi. "Kau baik-baik saja?" tanyanya.
Aku menyeka keringat itu dengan cepat. "Ya-aku baik-baik saja."
Ia mendesah kesal. "Aku tidak percaya kau benar-benar tinggal di rumah itu sekarang."
Aku terdiam sesaat. "Apa kau sedang di Angor?"
"Aku sedang di jalan, menuju rumahmu."
Mataku membelalak kaget. "Benarkah?"
"Ya. Beberapa menit lagi aku sampai," jawabnya.
"Oke," sahutku. Kelegaan tersirat jelas di dalam suaraku.
Aku sama sekali tidak menyangka dengan kedatangan David. Walaupun jauh di dalam diriku, aku memang menginginkan keberadaannya di sampingku saat ini. Aku
butuh rasa aman itu darinya. Dan kurasa kami berdua sepertinya memiliki banyak informasi baru yang ingin kami bicarakan bersama-sama untuk membongkar kasus
kematian Hilda ini. Aku memandang buku jurnal Hilda beberapa saat. Dan menyadari bahwa dorongan untuk tetap tidak memberitahu David soal keberadaan buku ini padanya masih
ada sampai sekarang. Perasaanku mengatakan kalau ini bukan waktu yang tepat. Aneh rasanya, seolah-olah aku masih merasa ada banyak hal yang lebih gelap
yang akan kutemukan di jurnal itu dan hal itu akan hilang jika aku membeberkan keberadaannya pada siapa pun. Aku akhirnya mengambil jurnal itu dan kembali
menyembunyikannya di kamar orang tuaku. Dan begitu selesai, aku kembali bergegas menuju pintu masuk.
Suara ketukan di pintu masuk terdengar. Mataku langsung menoleh ke arah jendela dan mencoba mengenali bayangan tinggi besar di balik tirai itu dengan sedikit
was-was. Aku tidak bisa mengenali dengan jelas apakah itu benar-benar David.
"Lauren." Suara David sudah cukup langsung membuat kewaspadaanku menghilang dengan cepat. Aku mulai menghampiri pintu dan membukanya.
Sosok David langsung menutupi penglihatanku. Dan kelegaan langsung menyelimutiku dengan cepat.
David mengamatiku beberapa saat. Alisnya bertaut, menyadari ekspresi wajahku.
"Kau pucat. Apa sesuatu terjadi sebelum aku datang ke sini?" tanyanya. 2
David tidak menunggu jawabanku. Ia kini menatap ke sekeliling kami dengan sorot menyelidik, kemudian ia berjalan masuk ke dalam rumah. Ia kembali menatap
sekeliling ruangan dengan sorot waspada. Sampai akhirnya tatapannya berhenti pada gagang telpon yang masih terkulai lemah di sisi meja. Ia sepertinya sudah
bisa menyimpulkan dengan mudah, terutama setelah mendengar nada suaraku saat menerima telpon darinya tadi.
Ia kini berbalik dan menatapku lekat-lekat. "Apa kau diteror?"
Aku menatapnya beberapa saat.
Lalu aku mengangguk. "Sepertinya begitu."
*** BAB 32. Across The Street
David menghela napas pelan, seolah sudah menduga hal ini sebelumnya.
"Telpon teror. Hanya itu," jawabku lagi.
David kemudian berjalan menuju meja telpon itu, kemudian ia mengambil gagang telpon itu dan mengembalikannya ke tempat semula. "Dia mengatakan sesuatu
padamu?" tanyanya. "Dia menyuruhku pergi."
"Kau mengenali suaranya?" tanyanya lagi. Ia kini berbalik dan bersandar di dinding tepat di sebelah meja telpon itu. Tatapannya kini tertuju penuh padaku.
Aku menggeleng, kembali mengingat nada suara Si Penelpon itu di kepalaku. "Suaranya sama sekali tidak familiar di telingaku. Tapi yang jelas dia seorang
pria. Suaranya rendah, dan sedikit serak-seperti perokok."
"Kau bisa menebak kira-kira umurnya berapa?"
Alisku mengerut, berpikir keras tentang ini. "Kurasa ... di atas 35 tahun," jawabku akhirnya.
Suasana hening beberapa saat. Kemudian David menghembuskan napas. "Aku tidak yakin kalau kau akan aman di rumah ini sendirian."
Aku hanya diam, sadar bahwa perkataannya memang benar. Tapi aku juga sadar bahwa bahaya itu akan terus mengikutiku dimana pun aku tinggal, selama aku masih
ada di kota ini. Semua orang di kota ini sudah terlanjur tidak menyukaiku dan mengecapku sebagai pengkhianat. Jadi kurasa tidak ada gunanya untuk pindah
dari rumah ini. Dan aku jelas-jelas tidak akan mungkin kembali ke rumah Paman dan Bibi.
"Paman dan bibimu menanyakanmu tadi," ujar David, seolah sedang menebak apa yang sedang kupikirkan.
Aku menunduk, merasakan rasa bersalah itu lagi pada mereka. "Kau tau aku tidak mungkin kembali pada mereka. Aku tidak akan melibatkan mereka dalam masalah
ini," gumamku. David terdiam sesaat. "Aku tau. Kurasa itu memang yang terbaik," sahutnya. Ia kembali menghela napas. "Dengar, bawa terus ponselmu dimana pun kau berada.
Dan jika kau mendengar atau melihat sesuatu yang mencurigakan, langsung hubungi aku detik itu juga. Kau mengerti?" perintahnya.
Aku mengangguk. "Baiklah."
"Aku akan berusaha untuk terus mengecekmu di sekitar sini setiap hari," sambungnya dengan nada yakin.
Mau tidak mau senyumku muncul, merasakan kelegaan setelah mendengar janjinya. Aku tahu bahwa semua bahaya yang mungkin mengikutiku sebenarnya tidak terlalu
membuatku takut setengah mati. Karena bagaimana pun juga, aku yang dari awal memancing masalah ini keluar. Tapi tetap saja, mengetahui bahwa David akan
berdiri bersamaku dalam hal ini benar-benar membuat bebanku terangkat. Sebagian besar ketegangan dalam diriku seperti lenyap.
"Terima kasih, David," ujarku sungguh-sungguh.
Ia menatapku sesaat, kemudian mendengus. "Kau perempuan. Tentu saja aku akan melindungimu." Suaranya terdengar jauh lebih lunak sekarang.
Aku masih tersenyum, mengingat kembali percakapan kami beberapa hari yang lalu tentang betapa selama ini orang-orang justru merasa terintimidasi dengannya.
Rasanya perlahan-lahan aku mulai mengerti mengapa. David bukan tipe pria yang memperlihatkan kepeduliannya dengan sangat jelas. Ia bukan tipe orang yang
ingin berkoar-koar untuk mendapatkan pengakuan atau perhatian. Dan mungkin justru karena itulah aku merasakan kenyamanan yang aneh saat bersamanya.
"Kurasa kau sudah kembali nyaman berada di rumah ini lagi," ujarnya. Matanya kini bergerak mengamati wajahku.
Aku mengangguk, kemudian menatap ke sekeliling ruangan ini beberapa saat. "Kurasa. Aku sangat berharap bisa mengenang mereka dengan tenang lagi."
"Aku yakin kau bisa melakukannya."
Aku mendongak dan kembali tersenyum kecil. "Ya. Aku akan berusaha." Aku menatapnya beberapa saat. "Kau mau minum sesuatu?"
"Kopi saja." "Tunggu sebentar, akan kubuatkan." Aku mulai bangkit dan berjalan menuju dapur. David kini mulai berjalan sambil menatap ke sekeliling rumah. Sembari menunggu
air mendidih, aku ikut menatap David yang kini berjalan menuju ujung tangga. Matanya menatap ke langit-langit, mencoba menengok ke lantai atas.
"Kau tidak pernah tidur di atas?" tanyanya. Aku sadar ia menyadari lantai atas yang gelap gulita.
"Tidak. Sejak dulu aku memang lebih suka tidur di sofa," akuku.
Ia menoleh. "Kenapa?" tanyanya penasaran.
Aku meliriknya sekilas. "Entahlah. Kurasa lantai atas terlalu sunyi bagiku."
David tidak lagi berkata apa-apa. Ia kini berjalan kembali menuju sofa. Aku mulai menuangkan bubuk kopi ke dalam teko pemanas dan mengaduknya.
"Apa kau sudah bertemu dengan tetanggamu?"
Aku mendongak menatapnya. "Tidak. Memangnya ada apa?"
David menelengkan kepalanya, berpikir sejenak. "Aku tidak pernah melihatnya setiap kali melewati jalan ini. Rumahnya bahkan tadi terlihat gelap."
Aku mengerutkan alis. "Seingatku beberapa hari lalu aku masih melihat mobilnya terparkir di luar." Aku terdiam sesaat. "Tapi Pak Wanu memang sedikit pendiam,
jarang bersosialisasi. Sejak dulu kami memang tidak terlalu akrab. Hanya bertegur sapa saja."
David mendengus. "Apa?" sahutku menyadari ekspresinya yang kini terlihat aneh.
"Kota ini sangat aneh. Kurasa semua yang tinggal di sini memiliki rahasia gila satu sama lain," katanya.
Aku mengangguk pelan, menatap kosong ke depan. "Mungkin kau benar," gumamku.
Dan aku harus pergi terlebih dahulu dari kota ini untuk bisa menyadarinya.
Begitu kopi itu selesai kutuangkan, aku langsung mengangkat dua gelas itu dan berjalan menuju sofa. Kemudian aku menaruh kedua gelas itu di meja depan
sofa. "Thanks, Lauren." David kemudian langsung meneguk segelas kopi tersebut.
Aku mengamatinya sejenak. Perkataannya tentang kota ini beberapa saat lalu kembali membuatku teringat pada apa yang baru saja kubaca dari jurnal Hilda.
Tentang Pria itu. Seingatku, aku memang pernah mendengar Sarah bercerita tentang hal ini padaku-selain percakapan di toilet tersebut. Aku kembali mencoba mengingat siapa
yang waktu itu pernah dibicarakan oleh Sarah.
"Aku sudah mendapatkan gambar jelas pria yang berkeliaran di rumah Hilda malam itu," ujar David tiba-tiba.
Perhatianku langsung teralihkan penuh pada perkataannya. Aku mendongak dengan sorot penasaran. Sebelum aku sempat memintanya memperlihatkan foto itu, ia
sudah mengeluarkan beberapa lembaran foto dari balik jaketnya dan menaruhnya di meja. Aku memajukan badanku, menatap lekat-lekat foto-foto tersebut.
Semua foto itu gelap karena diambil saat malam. Satu foto memperlihatkan seorang pria berbaju hitam yang sedang berdiri di ujung jalan. Wajahnya tidak
terlalu jelas karena ia sedang membelakangi kamera. Ia pria yang berbadan tinggi, ramping dan sedikit kekar. Foto lainnya memperlihatkan wajahnya lebih
jelas. Itu foto yang diperbesar dan diperjelas-seperti yang dijanjikan David. Wajahnya sedang mengarah ke arah kamera dan ada sebuah lampu jalan yang berada
dekat dengan Si Pria sehingga wajahnya jelas terkena sinar lampu tersebut.
Aku menyipitkan mata, mencoba mengenali wajah itu. Pria itu memiliki jenggot gelap dengan rambut cepak, dengan wajah tirus pucat ...
Badanku langsung menegang begitu menyadari siapa pria itu.
"Pria di supermarket," bisikku syok.
David memajukan badannya padaku. "Siapa?"
Aku menelan ludah, mencoba membasahi tenggorokanku yang tiba-tiba terasa kering. "Dia pria yang kutemui di supermarket kemarin-kasir, dia seorang kasir,"
kataku dengan suara lebih keras.
"Kau kenal siapa dia?"
Aku menggigit bibir, masih ingin mencoba untuk mengingat lagi wajah familiar itu. "Aku tidak mengenalnya. Tapi aku merasa sering melihatnya sebelum ini-wajahnya
terasa familiar. Dan aku sudah merasakannya sejak aku bertemu dengannya kemarin."
"Di Supermarket depan taman kota?"
Aku mengangguk. "Ya. Di sana."
"Baiklah. Aku akan mencarinya besok. Dia jelas-jelas memiliki informasi penting tentang malam itu. Kau bilang pria yang berbicara dengan Sarah waktu itu
berkata kalau mereka berhasil menangkap pria ini."
Aku kembali mengangguk. "Ya. Dan dia berkata kalau pria ini juga sedang melaksanakan tugas yang sama seperti mereka."
Badanku kembali menegang. Sampai detik ini kami masih belum bisa memastikan tugas apa yang mereka maksud. Tapi fakta kalau pria berjenggot ini-pria yang
jelas-jelas terlibat dalam tugas itu-masih berkeliaran dengan bebas di kota ini tanpa ada sorot curiga sedikit pun dari orang-orang kota ini.
Tapi aku masih penasaran dengan rasa familiar yang menyangkut dalam diriku setiap kali mengingat wajah pria ini. Ada sesuatu hal yang besar yang terlupakan
tentang pria ini, dan aku tidak bisa mengingatnya.
"Tommy! Kau sudah mengirimkannya foto ini padanya? Kurasa dia juga pasti mengenalnya," kataku dengan terburu-buru.
David mengangguk. "Ya. Aku sudah mengirimkannya sejam lalu. Sebelum aku sampai di sini. Aku mencoba menelponnya tapi nomornya tidak bisa dihubungi."
Aku menengok jam dinding dan menyadari sekarang sudah lewat jam 7. "Kurasa dia sedang ada di kereta."
Suasana kembali hening. David menghela napas, kembali sibuk dengan pikirannya. Aku mulai bangkit dan berjalan menuju jendela sambil berusaha keras mengingat wajah pria ini. Begitu
berdiri di depan jendela, mataku mulai menatap kosong ke arah jalan di depan rumahku. Pikiranku kembali berkecamuk, mencoba menyambungkan hubungan antara
pria ini dengan keluarga Hilda.
"Tidak hanya malam itu dia berkeliaran di sekitar sana. Tapi hampir setiap malam, seminggu sebelum Hilda ditemukan tewas," ujar David.
Aku menatapnya dengan syok. Tapi tidak ada yang bisa kukatakan padanya. Mayat Hilda ditemukan saat pagi hari dan menurut David, Hilda sudah meninggal saat
tengah malam. Jadi kemungkinan dugaan Hilda dibunuh bisa dilakukan sebelum tengah malam. Aku dan David sadar kalau tuduhan bahwa pria inilah yang membunuh
Hilda masih sangat mengambang. Terutama karena perkataan anak buah Sarah yang mengatakan kalau mereka sudah menangkap pria ini duluan.


Silent Girl Karya Indah Thaher di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bagiku, anak buah Sarah masih memiliki kemungkinan yang lebih besar sebagai pembunuh Hilda.
Tapi pria ini ... Apa yang sebenarnya ia inginkan dari Hilda?
Anehkah jika pria ini terus mengawasi rumah Hilda sepanjang malam? Dan kurasa Hilda seharusnya juga menyadari keberadaan pria ini. Ada seseorang yang berdiri
dan tiba-tiba menaruh perhatian khusus pada keluarganya, berdiri di seberang jalan ...
Pria itu ... Jantungku langsung memburu dengan cepat. Semua ingatan tentang pria itu tiba-tiba saja menyerbu masuk ke dalam otakku. Aku kemudian berbalik, menatap David
dengan sorot bingung bercampur takjub.
"Aku tau pria ini," ujarku.
David diam, masih menungguku melanjutkan.
Aku menelan ludah, kali ini mencoba menenangkan jantungku yang bertalu. "Aku tidak tau siapa namanya. Tapi dulu aku pernah mendengar tentangnya beberapa
kali," kataku. Aku menarik napas pelan.
"Dia pernah digosipkan berselingkuh dengan Ibu Hilda."
*** BAB 33. Obsessed "Berselingkuh?"
Aku mengangguk. "Dulu saat aku SMA, ada rumor yang mengatakan kalau Ibu Hilda berselingkuh dengan seorang pria." Aku menunduk, sejenak ragu untuk melanjutkan.
"Ingat coretan di tembok pagar rumah Hilda yang kutunjukkan padamu tempo hari?" tanyaku akhirnya. Aku menatapnya dengan sorot malu. Rasa penyesalan itu
kembali muncul dan ingatanku tentang apa yang ditulis oleh Hilda di jurnalnya tentang hal ini semakin membuatku malu.
"Ya. Aku ingat," sahut David.
Aku diam beberapa saat, kemudian menarik napas pelan untuk melanjutkan. "Di antara kami, Sarahlah yang paling mengetahui detil tentang cerita perselingkuhan
ini. Dan saat dia menyuruh kami membantunya untuk membuat coretan itu di rumah Hilda, awalnya kami tidak terlalu mempermasalahkan ejekan tersebut. Kukira
itu hanya ejekan-ejekan remeh yang diberikan Sarah untuk mempermainkan Hilda-seperti yang biasa di lakukan selama ini." Aku melirik David sekilas, menyadari
ia masih menungguku untuk melanjutkan. "Tapi Aku ingat Sarah pernah berkata kalau pria selingkuhan Ibu Hilda adalah seorang buruh bangunan yang bekerja
di gedung dekat Balai Kota." 1
"Seorang buruh bangunan?"
"Ya. Kami tidak pernah ragu dengan informasi yang didapatkan Sarah. Karena selama ini dia selalu mendapatkan informasi yang benar dari orang suruhan ayahnya,
kau tau." Aku meringis tidak nyaman dengan kebenaran ini. "Dan ini adalah sebuah aib dari keluarga Hilda, jadi tentu saja dia akan melakukan apa saja untuk
membuktikan kebenaran ini dengan sukarela," sambungku.
Suasana hening beberapa saat.
"Jadi maksudmu, buruh bangunan ini adalah orang yang sama dengan pria yang kau temui di supermarket kemarin?" tanya David.
Aku mengangguk diam. "Sarah pernah menunjukkan padamu bahwa pria selingkuhan Ibu Hilda adalah buruh bangunan itu?"
Lagi-lagi aku mengangguk. "Ya, dulu. Sarah pernah mengajak kami melihat dari jauh tempat buruh bangunan itu bekerja. Dan begitu para buruh bangunan itu
sedang duduk beristirahat, Sarah langsung menunjukkan pada kami orang yang menjadi selingkuhan Ibu Hilda."
"Dan menurutmu pria ini adalah pria yang sama?" tanyanya memastikan kembali.
Alisku berkerut, kembali mengingat lebih jelas. Aku terdiam sejenak. "Wajahnya sangat mirip dengan pria yang kutemui di supermarket." Aku terdiam sesaat.
"Dan tidak hanya sekali itu aku melihatnya. Selama setahun berikutnya, aku selalu melewati gedung itu setiap kali aku akan berangkat ke tempat kursus."
"Dia selalu duduk di pinggir jalan, merokok dengan masih menggunakan helm proyeknya," kataku sambil menerawang membayangkan ingatan itu di kepalaku. Aku
menghela napas. "Kurasa itu yang membuatku merasa familiar dengan wajahnya," sambungku dengan pelan.
Tidak ada yang berbicara selama beberapa saat.
"Apa kau pernah melihat pria ini dengan Ibu Hilda?" tanya David kemudian.
Alisku berkerut, kembali mencoba mengingat-ingat lagi. Tapi rasanya aku benar-benar tidak memiliki ingatan tentang itu.
Itu-atau hanya aku yang memang tidak memperhatikan mereka.
"Tidak. Kurasa aku tidak pernah melihat mereka bersama," jawabku akhirnya.
Aneh rasanya, tapi keyakinanku bahwa mereka benar-benar berselingkuh masih belum hilang sedikit pun.
Karena cerita yang dituliskan Hilda di jurnalnya tersebut berkata lain.
Pikiranku kini kembali tertuju penuh pada jurnal Hilda. Ceritanya sendiri tentang Pria Itu juga sangat mudah dihubungkan dengan dugaanku tentang pria di
supermarket tersebut. Hilda jelas-jelas mengatakan kalau pria yang sering mengunjungi rumahnya itu memang benar-benar menyukai ibunya dan di saat yang
bersamaan, Sarah satu-satunya yang mengetahui identitas pria itu.
Dan harus kuakui, jika bukan karena jurnal Hilda, aku sendiri juga akan menganggap semua yang diceritakan Sarah tentang perselingkuhan Ibu Hilda dengan
buruh bangunan itu hanya bualan belaka.
"Tapi jika pria ini memang selingkuhannya Ibu Hilda, bukankah seharusnya Sarah juga mengenalinya?" tanya David. "Kau bilang, saat di taman pemakaman itu,
anak buahnya memperlihatkan sebuah foto seorang pria yang tertangkap berkeliaran di depan rumah Hilda malam itu. Jika kita memang membicarakan pria yang
sama, bukankah seharusnya Sarah juga mengenali pria ini sama sepertimu?"
Aku terdiam, merasa bahwa perkataan David memang ada benarnya. Aku mengerut bingung, mencoba kembali memikirkan semua ini dengan hati-hati. Kupejamkan
mataku, memanggil kembali ingatan saat aku mendengar percakapan antara Sarah dan pria besar itu di taman pemakaman.
Mungkinkah foto pria yang dilihat Sarah bukanlah buruh bangunan ini? Mungkin ada pria lain-selain buruh bangunan ini-yang juga berkeliaran di malam yang
sama di sekitar rumah Hilda?
Tidak. David sudah pernah berkata bahwa hanya pria ini yang terlihat berkeliaran di rumah Hilda malam itu. Lagipula ...
Aku membuka mata. "Sarah berkata dia merasa mengenal pria itu, tapi dia tidak bisa mengingat siapa dia," ujarku akhirnya. "Sama sepertiku, baginya wajah
pria itu terlihat familiar," sambungku.
David menatapku beberapa saat. "Rumor itu-rumor perselingkuhan itu, apa sampai sekarang mereka masih membicarakannya?" tanyanya padaku.
Aku menggeleng pelan. "Kurasa tidak. Rumor itu bahkan sebenarnya tidak terlalu diketahui oleh banyak orang di kota ini. Dan ..." aku mencoba kembali mengingat
dengan jelas. " Dan sejak kami naik kelas 2 SMA, tidak ada dari kami yang menyinggung soal itu lagi. Aku bahkan tidak lagi melihat buruh bangunan itu di
tempat biasa dia bekerja."
"Dia tidak lagi bekerja di sana?"
"Aku tidak tau pastinya. Tapi yang jelas, setiap kali aku melewati gedung itu, aku tidak pernah lagi menemukannya."
"Kau tidak pernah berpapasan dengannya di kota ini sejak itu?"
"Tidak ..." Aku mengerut bingung, menyadari bahwa aku benar-benar tidak lagi menemukannya di kota ini. Selama lebih dari 5 tahun sejak rumor itu hilang,
rasanya sangat aneh bahwa aku sama sekali tidak pernah berpapasan dengannya di kota kecil seperti ini. "Kurasa aku tidak terlalu menaruh perhatian besar
lagi tentangnya-sama seperti yang lain," simpulku.
Kami tidak lagi berbicara selama beberapa lama, sama-sama kembali larut dalam pikiran masing-masing tentang hal ini. Ingatanku kembali dipenuhi dengan
penampilan pria itu di supermarket kemarin. Rasanya sedikit membingungkan. Pria itu terlihat jelas bukan tipe pria yang murah senyum-ia justru terlihat
pendiam dan tidak banyak omong. Sedangkan cerita yang kudapatkan dari jurnal Hilda, aku cukup bisa menyimpulkan bahwa pria yang ia bicarakan memiliki sifat
ramah dan bersahabat. Sangat berbeda dengan pria yang kutemui di supermarket.
Tapi jika kuingat kembali, saat beberapa tahun lalu ketika aku melihatnya saat ia masih menjadi buruh bangunan, aku masih bisa mendapatkan aura bersahabat
itu darinya. Ia masih tertawa dan tersenyum dengan teman-teman kerjanya.
Ada sesuatu yang membuatnya berubah.
Hanya itu yang bisa kusimpulkan dari semua ini.
Trrrttt. Pandangan kami langsung tertuju pada ponsel David yang berada di meja ruang tamu. Layarnya berkedip-kedip bersamaan dengan getar yang muncul dari ponsel
itu sendiri. Sebuah panggilan.
"Tommy," ujarnya saat menatap layar ponsel itu lebih dekat.
Ia kemudian menekan tombol terima. David tetap menaruh ponsel itu di meja dan aku menyadari kalau ia menerima panggilan Tommy dengan loudspeaker mode.
"Hallo, David?" suara Tommy terdengar keras di ujung telpon.
"Ya, ini aku," jawabnya.
Aku mulai berjalan menuju sofa, kemudian duduk di sebelah David.
"Aku minta maaf baru bisa menelponmu sekarang. Tadi aku sedang ada di kereta," katanya.
"Kau sudah sampai di rumah, kalau begitu?" aku yang bersuara kini. David menatapku dengan sorot aneh beberapa saat. Tapi ia tetap diam.
"Lauren? Kaukah itu?" tanya Tommy dengan terkejut.
"Ya, ini aku," jawabku sambil tersenyum.
"Oh, hai! Sudah lama aku tidak mendengar suaramu," katanya sambil terkekeh. "Kalian ada dimana sekarang?" tanyanya lagi.
"Di Angor. Rumah Lauren," jawab David singkat.
Ada jeda beberapa saat. "Maksudmu ... benar-benar rumah Lauren?"
Aku kira sangat wajar menyadari keterkejutan Tommy tentang hal ini. Sama halnya dengan semua orang, fakta bahwa aku benar-benar tinggal di rumah keluargaku
lagi adalah sebuah berita menggembirakan sekaligus mengkhawatirkan.
"Ya. Benar-benar di rumahku, Tommy."
Ada jeda lagi. "Kalian tinggal bersama di sana?" tanyanya.
Kali ini aku dan David yang tiba-tiba diam. Dengan sekejap, rasanya ada suatu suasana yang aneh yang menyelip di antara kami. Dan aku langsung tidak bisa
berkata apa-apa selama beberapa saat.
"Halo?" "Dengar, Tommy," potong David akhirnya.
"Ya?" "Apa kau sudah menerima foto yang kukirim?"
"Ya, ya. Sudah kuterima," sahutnya dengan terburu-buru. "Aku kenal siapa dia! Dia dulu pernah bekerja untuk ayahku selama beberapa tahun."
Mataku membelalak kaget, sama sekali tidak menyangka bahwa Tommy benar-benar mengenali pria ini.
"Bisa kau ceritakan padaku siapa dia?" tanya David.
"Namanya Wira Hanuso. Umurnya sekarang ... mungkin sekitar 40 tahun. Dan seperti yang kubilang, dia dulu pernah bekerja di perusahaan konstruksi milik
ayahku-sebagai buruh bangunan. Sampai beberapa tahun lalu ia sudah berhenti dan aku tidak terlalu mendengar kabarnya lagi setelah itu. Tapi beberapa orang
pernah bercerita dia sering bertukar-tukar profesi semenjak berhenti dari perusahaan ayahku."
Bertukar-tukar profesi. Dan ia kini menjadi seorang kasir, dengan badan yang berotot itu. Informasi ini benar-benar semakin memperjelas dugaanku.
"Bagaimana dengan keluarganya?"
"Setauku dia hanya tinggal bersama dengan ibunya sejak kecil. Dan ibunya sudah meninggal beberapa tahun lalu. Jadi kurasa dia kini hanya tinggal sendiri."
"Dia tidak punya istri?"
"Tidak, tidak punya. Tapi ada satu hal ..." Suaranya tiba-tiba terdengar ragu.
"Apa?" tanya David.
Terdengar suara helaan napas di ujung sana. "Kurasa Lauren juga mendengar tentang rumor ini ..."
Aku dan David saling bertatapan, yakin bahwa kami semua memikirkan hal yang sama. David kembali mendekat ke arah ponsel. "Maksudmu rumor tentang perselingkuhan
Ibu Hilda dan pria ini?"
"Ya. Lauren sudah menceritakannya padamu?" tanya Tommy dengan takjub.
"Kami baru saja membicarakannya beberapa menit lalu," jawab David.
"Sarah dulu pernah menceritakannya padaku-dia bahkan menunjukkanku bahwa pria inilah selingkuhan Ibu Hilda," ujarku.
"Dimana kalian melihatnya?" tanya David.
"Di gedung dekat balai kota," jawabku.
"Yah ... seingatku gedung itu memang menggunakan jasa perusahaan ayahku. Jadi sepertinya yang kalian lihat itu memang dia," gumam Tommy.
"Menurutmu Pak Wira benar-benar pria yang berselingkuh dengan Ibu Hilda?" tanya David.
Tommy kembali menghela napas, terdengar jelas sangat tidak menyukai topik ini. "Aku mendengar cerita-cerita dari teman-temannya. Beberapa dari mereka memang
pernah berkata kalau Pak Wira sering berjalan ke arah rumah Hilda, kadang saat larut malam. Rumah Pak Wira berlawanan arah dengan rumah Hilda, dan tidak
ada kenalannya di sekitar rumah itu. Jadi memang tidak ada alasan lain mengapa dia pergi ke sana."
Aku terdiam, mencerna informasi ini dalam-dalam.
"Tapi kehebohan itu hanya berlangsung sebentar. Dan sebelum itu terjadi, teman-temannya pernah berkata Hilda memaksa ibunya memutuskan hubungan perselingkuhan
itu dengan Pak Wira."
*** BAB 34. Orang Baru Suasana kembali hening beberapa saat. Tidak ada yang mengeluarkan suara sedikit pun dan suara detik jarum jam kembali memenuhi seisi ruangan ini.
Kurasa apa yang baru saja dikatakan oleh Tommy menimbulkan dugaan baru dalam kasus ini. Dugaan gila itu sudah terbentuk penuh di dalam otakku tanpa bisa
kuhindari. Dugaan itu juga yang mulai membuatku bingung dengan semua hal ini.
Kemungkinan bahwa Pak Wira melakukan sesuatu pada Hilda malam itu sangatlah besar. Dan ia memiliki motif yang sangat besar. Bukti dari jurnal Hilda bahwa
ia mencintai Ibu Hilda dan perselingkuhan itu terjadi, kemudian usaha Hilda yang ingin menghentikan semua itu sesuai dengan apa yang baru saja dikatakan
Tommy. Dan hubungan mereka yang terputus itulah yang akhirnya membuat Pak Wira berubah menjadi sosok penyendiri seperti sekarang.
Dan ia masih memiliki dendam pada Hilda karena hal itu. Sekali pun kejadian itu sudah lewat bertahun-tahun lalu.
"Halo?" Suara Tommy kembali memecah keheningan.
David kemudian kembali mendekat pada ponselnya. Dan aku menyadari masih ada bekas kerutan di dahinya.
"Tommy, apa kau pernah berbicara langsung dengannya dulu?" tanya David.
"Ya. Dulu sewaktu SMA aku pernah magang di perusahaan konstruksi itu-perusahaan Ayah, dan lumayan dekat dengan para pekerja di sana," jawabnya. Aku masih
bisa mendengar nada ketus itu saat ia berbicara tentang ayahnya. Dan aku yakin David juga menyadarinya. Tapi ia tetap memasang wajah biasa.
"Bagaimana sikapnya?"
"Siapa? Pak Wira?"
"Ya." Tommy menghembuskan napas perlahan. "Tidak ada yang aneh dengannya. Dia pria yang baik, ramah dan selalu bisa diandalkan selama bertugas. Dia tidak pernah
berbuat ulah," jelas Tommy.
Kami kembali diam beberapa saat.
"Mungkin aku memang tidak terlalu mengenalnya," ujar Tommy kemudian. Suaranya kini terdengar serius. "Terutama setelah dia berhenti dari perusahaan Ayahku.
Tapi jika memang rumor-rumor itu-tentang perselingkuhan itu benar dan itu yang membuatnya berubah. Kurasa kecurigaan bahwa ia terlibat dalam kematian Hilda
sangat masuk akal. Walaupun rasanya aku masih tidak bisa membayangkan pria itu benar-benar membunuh Hilda," gumam Tommy.
"Kurasa kita bisa memastikannya begitu aku menemuinya besok," ujar David.
"Akan kukirimkan alamatnya padamu setelah ini, kurasa dia belum pindah dari rumah itu."
"Baiklah. Terima kasih, Tommy. Dan terima kasih untuk waktumu."
"Tidak masalah. Aku senang bisa membantu," sahutnya.
Begitu telpon itu ditutup, selama beberapa saat kami kembali diam dan sibuk dengan pikiran kami masing-masing. Aku kemudian meraih gelas kopiku dan merasakan
kopi itu kini sudah dingin. Aku tetap meneguk kopi tersebut, membiarkan kopi itu mengalir dalam kerongkonganku.
Kepalaku terasa berdenyut dan rasanya semua ini berhasil membuat badanku lelah dengan cepat. Aku memejamkan mataku dengan erat lalu menarik napas dalam-dalam.
"Kurasa kau butuh tidur sekarang," ujar David.
Aku mendongak, menatapnya sejenak lalu tergelak pelan. "Apa sejelas itu terpampang di wajahku?"
David mengamatiku beberapa saat, lalu ia tersenyum miring. "Ya. Sangat jelas."
"Baiklah, kurasa aku akan menuruti nasihatmu."
Ia mengangguk. "Kalau begitu, sebaiknya aku pulang sekarang."
Aku kini terdiam. Tiba-tiba saja kembali teringat dengan perkataannya beberapa jam lalu tentang janjinya yang akan melindungiku dan mengecek keadaanku
setiap saat. Juga pertanyaan Tommy ... yang menanyakan apakah kami tinggal bersama.
Ide itu begitu saja muncul di dalam benakku tanpa bisa kutahan sedikit pun. Aku mengamati David yang kini sudah mulai berjalan menuju sofa untuk mengambil
jaket hitam yang ia taruh di sana. Ia kini mulai mengambil lembaran foto dan ponselnya yang sejak tadi tergeletak di meja ruang tamu.
"Kau bisa menginap di sini kalau kau mau," ujarku tanpa sadar.
Tangannya langsung berhenti bergerak. Kemudian ia akhirnya menoleh menatapku. "Apa?" sahutnya. Aku menyadari ada nada geli tersirat di dalam suaranya.
Aku tetap membalas tatapannya dengan tenang, sekali pun jantungku mulai berdetak cepat. "Kau boleh menginap di sini jika kau mau. Aku tidak akan keberatan,"
ulangku lagi. Dan sekali lagi aku sama sekali tidak mengerti apa alasan sesungguhnya dari permintaanku tersebut.
David kini menunduk dan aku menyadari ia sedang tersenyum. Dan aku merasakan ada dorongan aneh untuk ingin melihat senyum itu lebih jelas muncul dalam
diriku selama beberapa saat.
Kemudian tatapannya kembali padaku dan aku sadar ada sorot geli tersisa di matanya. Apa dia menertawakanku? Ia pasti sudah menyadari bahwa permintaanku
tidak ada hubungannya dengan janjinya sebagai orang kepolisian yang bertugas melindungiku di sini.
Aku menginginkan keberadaannya di sini-entah untuk apa.
David kemudian berjalan menghampiriku, tatapannya masih belum lepas dari wajahku. Begitu kami berdiri berdekatan, mau tidak mau aku harus menekuk leherku
ke atas untuk menatap matanya. Aku tahu kalau David memiliki badan yang tinggi, tapi aku tidak tahu kalau ia setinggi itu.
Kami bertatapan beberapa lama dan aku sama sekali tidak bisa membaca ekspresinya.
"Apa kau sudah punya pasangan?" tanyaku tanpa sadar.
Ia kembali tersenyum miring. Dan aku hampir saja ikut tersenyum padanya-saat aku sendiri tidak tau apa arti senyumnya itu.
"Kau sudah punya pasangan? Karena itulah kau tidak ingin menginap di sini bersamaku?" tanyaku lagi.
Aku menunggunya menjawab. Tapi David sama sekali tidak berkata apa-apa. Ia hanya meatapku dengan sorot geli dan takjub sekaligus, seolah ia baru saja bertemu
denganku hari ini. Kemudian tangannya mulai terangkat dan ia mulai mengacak-acak rambutku dengan pelan.
"Tidurlah, Lauren," ujarnya. Kemudian detik berikutnya ia sudah berjalan melewatiku dan pergi.
*** Besok paginya, aku bangun lebih cepat dari biasanya. Sejak kemarin aku sudah berencana untuk membereskan barang-barangku dan membersihkan rumah ini. Sudah
dua hari aku tinggal di sini dan aku belum sempat memindahkan isi koperku ke dalam lemari. Aku bahkan belum memindahkan barang-barang belanjaan yang kubeli
kemarin di supermarket. Saat menjelang sore, barulah aku bisa bersantai. Aku berencana untuk tetap di rumah seharian ini dan menghabiskan waktuku membaca jurnal Hilda. Begitu
aku selesai menyantap makan siangku, aku langsung berjalan menuju kamar orang tuaku untuk mengambil kembali jurnal itu.
Selama beberapa saat, pikiranku dengan cepat dipenuhi dengan semua informasi dan percakapan yang terjadi kemarin.
Kurasa masih banyak teka-teki yang masih belum terpecahkan dalam kasus ini. Terlalu banyak rahasia, dugaan, dan cerita-cerita yang kurasa masih belum kudengar
tentang Hilda, keluarganya dan kota ini.
Tapi sekali lagi, keyakinan aneh bahwa Hilda tewas karena dibunuh masih tetap menyelimutiku dengan erat. Rasanya wajar jika siapa pun menilaiku gila tentang
hal ini. Karena sampai sekarang pun, belum ada bukti yang sangat jelas tentang siapa yang sebenarnya mengakhiri hidup Hilda dan kenapa.
Lalu Sarah ... Aku bahkan hampir lupa menceritakan tentang pertemuanku dengannya pada David kemarin. Aku kembali menelponnya setelah ia pergi dan menceritakan hal itu
padanya. "Dia juga mengatakan hal yang sama padaku." Begitu kata David padaku.
Alasan Sarah untuk memintaku dan David mengakhiri penyelidikan ini memang masuk akal. Tapi lagi-lagi aku tidak membiarkannya pergi begitu saja dari kasus
ini. Bagaimana pun, percakapannya di taman makam itu mengartikan kalau ia tahu sesuatu dengan semua ini. Dan kurasa sebentar lagi kami akan langsung menanyakan
hal itu padanya. Aku tidak lagi sendiri. Aku tahu David akan benar-benar berdiri di sampingku.
Dan aku yakin Hilda juga menginginkanku untuk membongkar semuanya.
Tanganku mulai menggenggam jurnal itu dengan erat. Aku menghempaskan badanku ke sofa, menarik selimut sampai menutupi pinggangku. Kemudian jurnal lusuh
itu kembali kubuka. 13 Juni 2006 Ayah pulang. Aku sangat terkejut dengan kedatangannya. Ayah bilang dia akan sampai di rumah lusa. Jadi ketika ibu menelponku dan menyampaikan kabar itu
padaku, aku langsung bergegas pulang dengan luar biasa leganya.
Sudah lebih dari 6 bulan kami tidak bertemu. Dan Ayah juga sangat jarang menelponku karena sinyal di tempat kerjanya sangat jelek. Jadi kurasa kerinduanku
pada Ayah sangat besar hingga aku tidak yakin ingin melepasnya pergi lagi.
Tapi nyatanya dia tetap akan pergi. Dia harus kembali 4 hari lagi.
Aku dan Ibu hanya bisa mengangguk, menahan diri untuk melarangnya kembali bekerja di tempat yang jauh di sana.
Tapi kuputuskan untuk lebih baik menghabiskan waktu singkat ini sebaik-baiknya, seperti biasa.
16 Juni 2006 Rasanya sudah lama aku tidak merasa bahagia seperti ini. Sudah lama aku tidak merasa seperti orang normal lainnya.
Walaupun hanya beberapa hari. Tapi itu sudah cukup. Itu sudah cukup memberiku kekuatan bahwa aku masih punya orang-orang yang mencintaiku di dunia ini.
Dan mereka masih berada di hidupku sampai sekarang, sekali pun mereka tidak berada tepat di sampingku.
Selama 2 hari ini, Ayah membawa kami ke perbatasan kota dan kami berkemah di sana. Hanya kami bertiga, jauh dari siapa pun, jauh dari orang-orang Kota
Angor. Dan selama itu aku benar-benar merasa hidup.
Tuhan ... aku hanya berharap kau tidak mengambil senyum mereka. Karena aku mencintai mereka dengan tulus, dan jika mereka terluka maka aku pun terluka.
Jangan ambil mereka, dan jangan pula mengambil senyum mereka.
Hanya itu yang kuinginkan.
21 Agustus 2006 Tuhan tidak hanya mendengarkan doaku, tapi dia juga memberiku anugrah lain yang lebih besar.
Aku akan punya adik. Aku masih bisa mengingat dengan jelas teriakan gembira Ayah di telpon saat Ibu memberitahunya. Ibu masih menangis penuh haru dan berkali-kali mengucap
syukur. Ayah sepertinya akan berusaha semampunya untuk pulang sebelum hari kelahiran adikku tiba. Ibuku sudah hamil 3 bulan, jadi Ayah akan berusaha meminta
izin akhir bulan Desember.
Dan dia berkali-kali memintaku berjanji untuk menjaga Ibu dengan baik. Tentu saja aku akan melakukannya.
Rasanya kini aku memiliki harapan baru dan rasa keberanian untuk melindungi adikku. Aku akan melindunginya darinya dari siapa pun yang mencoba menyakitinya.
Dan aku tidak ingin dia mendapatkan perlakuan yang sama dari orang-orang kota ini seperti padaku dan ibuku.
9 September 2007 Kukira dia akan berhenti datang setelah kedatangan Ayah dua bulan lalu. Aku sudah mendengar langsung bahwa Ibu memintanya tidak lagi datang karena Ayah.
Tapi pria itu tetap datang.
Rumor tentang perselingkuhan Ibu dengannya sudah tidak lagi terdengar. Tapi kurasa jika orang-orang kembali melihatnya ke sini, rumor yang muncul akan
semakin parah. Aku bisa membayangkan hal itu.
Tapi sepertinya pria itu sudah memutuskan untuk tidak lagi menemui Ibu.
Dia terlihat sangat tidak suka dengan perut Ibu yang kini mulai sedikit membuncit. Sorot mata itu menatap perut ibuku dengan jijik. Seolah dia tidak suka
adikku datang ke hidup kami.
Rasanya sejak saat itu pandanganku padanya mulai berubah.
*** BAB 35. Ugly

Silent Girl Karya Indah Thaher di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

15 Januari 2007 Adik lelakiku lahir dengan sehat. Dan kami memberinya nama Adit.
Rasanya hari itu adalah hari paling bahagia yang pernah kumiliki sepanjang hidupku. Aku bahkan tidak peduli dengan tatapan enggan yang diberikan para perawat
di rumah sakit bersalin itu pada keluarga kami. Aku tau mereka akan bersikap seperti itu, ini bukan pertama kalinya kami diperlakukan seperti itu di rumah
sakit ini. Ayah masih berdiri dan terus menggendong Adit di pangkuan tanpa henti. Ibu sering bilang kalau aku lebih cenderung mirip Ayah, namun Adit bahkan jauh lebih
mirip. Ayah beberapa hari lagi harus kembali bekerja. Ia tidak mendapatkan izin berlama-lama dari atasannya. Alasannya karena proyeknya benar-benar sedang membutuhkan
tenaga banyak orang. Tapi setidaknya, untuk beberapa hari ini keluarga kecil kami akan berkumpul kembali. Terutama dengan kehadiran Adit di tengah-tengah kami.
Dan yang kuinginkan sekarang hanyalah kami berempat terus bersama-sama.
1 Maret 2007 Rasanya nyawaku tiba-tiba hilang separuh.
Aku tidak bisa memikirkan apa-apa selama dua hari ini. Dan aku minta maaf pada Adit karena sikapku ini. Aku bahkan tidak punya kekuatan untuk memenuhi
janjiku padanya seperti yang biasa kulakukan.
Semuanya tiba-tiba terasa berubah. Dan sangat tiba-tiba hingga aku bahkan ragu apakah Tuhan sudah memberikanku tanda-tanda sebelumnya. Mungkin aku yang
tidak menyadari tanda-tanda itu sebelumnya.
Ayah meninggal. Kabar itu sampai kini masih terngiang-ngiang jelas sejak beberapa hari lalu, kabar yang dari sebuah telpon. Mereka bilang ayahku mengalami kecelakaan saat
bekerja. Mereka berusaha melarikan ayahku ke rumah sakit, tapi dia sudah meninggal di tengah perjalanan.
Benar-benar tidak pernah kusangka sama sekali.
Aku masih ingat betapa terpuruknya Ibu mendengar kabar itu. Dia langsung duduk dan menangis. Aku tidak pernah melihatnya menangis seperti itu sebelumnya,
sama sekali tidak pernah. Jadi dengan sisa tenaga yang kumiliki, aku pergi ke kamar Adit dan menggantikan Ibu untuk memberinya sebotol susu karena kurasa
hanya aku yang menyadari bahwa sejak tadi Adit terus menangis.
Barulah begitu Ibu datang ke kamar Adit, dengan mata sembab dan wajah lelah kosong, aku membiarkannya menggantikanku untuk menjaga Adit. Ibu memelukku
beberapa saat dan itu bukan pelukan yang biasa ia berikan padaku.
Itu pelukan yang memiliki pesan bahwa kini hanya ada aku dan Ibu yang akan menjaga Adit. Dan kami harus saling menjaga satu sama lain.
Begitu aku keluar kamar, aku langsung masuk ke kamar mandi, menguncinya dan menghidupkan air sederas-derasnya.
Lalu barulah aku menangis.
3 Maret 2007 Hari ini pemakaman Ayah. Dan hanya ada aku, Ibu dan Adit di sini. Tidak ada siapa-siapa lagi. Penjaga makam pun hanya sekedar mengangguk memberi salam
dan pergi begitu mereka selesai menguburkan ayahku. Mereka mungkin sebenarnya juga tidak ingin berada di sini bersama kami.
Dan rasanya baru kali ini aku benar-benar merasakan betapa sendirinya kami di kota ini.
6 April 2007 Hari ini aku memutuskan pindah ke kamar Adit. Kamar Adit berada tepat di sebelah kamar Ibu. Kamar itu sebenarnya adalah milikku. Tapi entah kenapa ibu
menyuruhku untuk pindah ke lantai atas saat umurku 7 tahun.
Awalnya Ibu sedikit keberatan. Tapi alasanku pindah adalah untuk bisa menjaga Adit saat Ibu sedang sibuk. Aku tau Ibu membutuhkan bantuanku dalam hal ini
tanpa dia perlu mengatakannya sekali pun.
Akhir-akhir in aku bisa melihat jelas betapa murungnya Ibu.
20 April 2007 Aku tidak bisa menyingkirkan bayangan itu dari kepalaku. Aku benar-benar tidak bisa menghapusnya dari ingatanku. Rasanya badanku selalu merinding setiap
kali mengingatnya. Malam itu aku tiba-tiba terjaga. Aku mengecek ke tempat tidur Adit dan menyadari dia masih tidur dengan nyenyak.
Lalu aku mendengar suara-suara aneh. Saat itu sudah tengah malam dan kami semua biasanya sudah tidur. Aku mulai berjalan sambil memasang telinga lebar-lebar.
Dan aku menyadari suara itu berasal dari kamar Ibu.
Aku keluar dan berjalan perlahan menuju pintu kamar Ibu, mendekati pintu itu.
Suara itu semakin jelas terdengar. Itu suara Ibu. Dan ketakutan langsung menyelimutiku begitu aku mendengar ada suara pria di dalam sana. Mereka tidak
berbicara. Hanya terdengar suara tarikan napas memburu tak sabar, suara isak tangis Ibu dan suara derik aneh yang berulang-ulang.
Aku ragu untuk mengetuk sesaat. Tapi kemudian aku menyadari suara derik itu adalah suara derik tempat tidur. Semua suara itu semakin terdengar jelas dan
kini mendengar disertai dengan suara tamparan dan kata-kata 'jalang' dari pria tersebut.
Tanganku langsung gemetaran begitu mengetahui apa yang sedang terjadi. Aku mengetuk dan memanggil Ibu dengan suara kecil.
Lalu suara-suara itu langsung berhenti dan diam beberapa saat.
Aku kembali mengetuk dengan keras dan kemudian pintu itu terbuka dengan cepat.
Pria itu. Ia keluar dengan kemeja berantakan, terlihat jelas terburu-buru memakai pakaiannya. Di belakang, aku melihat Ibu. Telanjang dan tergeletak lemas di tempat
tidur. Matanya sekilas menatapku dengan pilu.
Badanku langsung membeku.
Lalu pria itu terkekeh. "Tenanglah, Hilda. Ini bukan pertama kalinya ibumu melakukannya denganku." Begitu katanya padaku. Tanpa rasa bersalah atau malu
sedikit pun. Aku sama sekali tidak bisa berkata apa-apa. Pikiranku masih membeku.
Kemudian pria itu berjalan dan mencium keningku, lalu pergi.
Sampai suara pintu tertutup terdengar, barulah aku berjalan masuk ke kamar Ibu. Aku menyadari bahwa sejak tadi Ibu menghindari tatapanku. Selama beberapa
menit kami hanya diam dan aku membantunya untuk berpakaian kembali.
Pikiranku tentu saja tetap dipenuhi dengan pertanyaan-pertanyaan itu di dalam kepalaku. Apa pria itu selama ini memperkosa Ibu? Atau mereka memang berselingkuh?
Sejak kapan ini semua terjadi? Apakah ini yang dia lakukan sejak dulu setiap kali dia mengunjungi kami? Itukah alasannya mengapa Ibu menyuruhku pergi ke
atas dan mengunci di dalam kamar? Supaya aku tidak bisa mendengar apa yang sedang mereka lakukan di kamar Ibu? Itukah alasan mengapa dia membenci Ibu saat
dia mengandung? Karena dia tidak bisa menidurinya lagi?
"Tidak ada yang bisa kita lakukan. Kau tau dia siapa, dan kau tau kita siapa." Hanya itu yang Ibu katakan padaku. Dan aku sudah tau bahwa perkataannya
memang benar. Mungkin semua orang di kota ini benar.
Mungking apa yang dikatakan Sarah benar.
10 Mei 2007 Hampir setiap malam pria itu kini datang ke rumah.
Dia selalu datang tiba-tiba. Tapi aku bisa langsung menyadari kedatangannya. Hampir setiap malam aku tidak bisa lagi tidur dengan nyenyak. Aku mengunci
pintu kamarku, dan berdiri di pojok kamar sambil berusaha menutup telingaku dari suara-suara itu. Tapi aku masih bisa mendengarnya dengan jelas.
Setiap detik rasanya aku ingin berlari keluar dan mendobrak pintu itu lalu memukulinya dengan apa pun agar dia bisa berhenti melakukan itu pada Ibu.
Tapi aku pengecut. Dan begitu juga Ibu.
Sejak malam saat aku memergoki mereka, Ibu menyuruhku untuk tidak berbuat apa pun. Aku sadar ada sorot kalah di matanya saat ia mengatakan hal itu padaku.
Dan perlahan-lahan aku mulai meyadari bahwa sorot kalah itu sudah ada di matanya sejak dulu. Jauh sebelum hari ini.
Ibu sudah kalah sejak pertama kali pria itu datang ke rumah kami.
Pria itu sudah memiliki Ibu sepenuhnya. Dan mungkin itu alasannya mengapa dia memperlakukanku dengan baik. Dia mungkin juga sudah membayar uang hidup kami
selama ini. Terkadang, pernah terbesit di pikiranku bahwa mungkin saja Adit adalah anaknya. Tapi saat itu Ibu langsung berubah drastis. Ia bersumpah sambil menangis
sejadi-jadinya kalau Adit adalah anak kandung Ayah. Aku percaya itu dan itu membuat hatiku lega. Kelegaan yang sudah lama tidak kurasakan lagi.
Rasanya semuanya tiba-tiba berubah hancur, jelek dan kotor. Sejak meninggalnya Ayah, keadaan semakin buruk dan aku menyadari kini tidak hanya ibu yang
perlahan berubah kosong tapi juga aku.
Aku membenci pria itu, sangat amat membencinya.
Dia pria menjijikan yang melukai ibuku karena dia tau ibuku tidak bisa melawannya. Dia melukai kami karena dia tau tidak ada yang akan mau membantu kami.
Sekali pun orang-orang tau tentang perbuatannya atau tidak.
Dan itulah sebabnya dia selalu tertawa terbahak-bahak setiap kali berbicara tentang rumor perselingkuhan Ibu dan Pak Wira pada kami.
Aku tertegun, menatap tulisan itu selama beberapa menit. Rasanya badanku tiba-tiba membeku. Kengerian menyelimutiku dengan cepat dan dalam sekejap badanku
merinding. Selama itu rasanya aku tidak bisa berpikir dengan jernih. Apa yang baru saja kubaca dari jurnal Hilda benar-benar berhasil membuatku merasakan
bahwa selama ini aku mungkin hidup di dunia yang berbeda darinya.
Sama sekali tidak pernah kubayangkan bahwa Hilda dan ibunya mengalami kejadian seperti ini. Dan mereka menjalaninya bertahun-tahun tanpa satu pun harapan
bahwa mereka akan lepas dari itu semua.
Dan pria itu ... Pria itu bukan Pak Wira. Aku sadar itu sekarang. Dia mungkin hanya ...
Pttakk. Badanku kembali membeku, menyadari suara itu. Aku menyadari kalau suara itu berasal dari luar-tepatnya di halaman samping rumahku. Aku tetap berdiam, berusaha
untuk tidak menimbulkan suara sedikit pun. Aku mulai bangkit dari sofa dan dengan perlahan berjalan menuju dapur. Begitu sampai di sana, aku langsung berjalan
mendekati kulkas dan menyelipkan tanganku di baliknya. Sebuah tongkat baseball berhasil kuraih. Sejak tadi pagi, aku sudah menyiapkan tongkat itu di balik
kulkas. Aku yakin Si Peneror itu lambat laun akan mencoba menerorku ke rumah ini.
Pttak. Suara itu terdengar lagi. Dan kini sumbernya tidak jauh dari halaman samping dekat jendela sebelah kulkas ini. Aku berdiri merapat di dinding sisi lain
sebelah kulkas, mencoba mendengar suara-suara langkah dari luar.
Prraaangg. Suara pecahan kaca itu langsung membuatku terlonjak. Sebuah batu sebesar kepalan tangan tergeletak di depanku, berdampingan dengan pecahan kaca jendela
tempat Si Peneror baru saja melemparkan batu itu. Batu itu membuat lubang besar di jendela, hanya menyisakan kayu kerangka masih berdiri kokoh di sana.
Aku masih berdiam, menunggu apa yang selanjutnya Si Peneror itu lakukan berikutnya.
Lalu suara langkah kaki berlari terdengar. Ia lari menjauh dari jendela itu.
Dengan sisa keberanian yang kumiliki, aku mulai bergegas menuju pintu dan keluar mengejar Si Peneror yang kuyakini berlari ke arah halaman depan. Saat
aku sudah sampai di teras, Si Peneror itu sudah hampir sampai di dekat rumah Pak Wuno, berlari ke arah hutan di belakang rumah tersebut. Aku menyadari
Si Peneror itu mengenakan baju serba hitam dan memiliki badan yang tinggi.
Aku tetap berlari mengejarnya dan begitu sadar ia benar-benar akan memasuki hutan itu, aku langsung mulai berhenti. Masuk ke hutan bersamanya adalah bunuh
diri, aku sadar itu. Mataku tetap mengikutinya dan sebelum ia masuk ke dalam hutan gelap itu, aku melihatnya mendongak menatapku.
Dan aku langsung mengenalinya.
Itu Pak Wira. *** BAB 36. Hampir Saja Pandanganku tetap tertuju pada di pinggir hutan tempat pria itu menghilang beberapa saat lalu. Aku masih berdiri diam, dengan napas memburu dan menunggu-entah
apa. Aku yakin Pak Wira tidak akan muncul keluar dari sana. Tapi sorot matanya itu ... begitu tenang untuk ukuran orang yang ingin melarikan diri. Ia menatapku
dengan sorot benci yang pernah ia perlihatkan padaku saat di supermarket dulu. Tapi di saat bersamaan, ia juga menatapku dengan menantang dan tidak takut
bahwa aku baru saja melihat wajahnya. Ia tidak takut bahwa aku mungkin saja akan melaporkannya ke polisi karena teror yang baru saja ia lakukan padaku.
Aku punya bukti yang jelas untuk itu.
Ia jelas-jelas tidak berusaha lari dariku.
Ia justru terlihat ingin memancingku masuk ke dalam hutan itu.
Langit sudah mulai gelap dan matahari sudah mulai terbenam. Jadi semakin sulit untuk melihat lebih jauh ke dalam hutan tersebut. Aku tidak yakin apakah
pria itu masih berada di dalam hutan sana. Badanku kembali merinding memikirkan hal ini.
Aku kembali memegang tongkat baseball tersebut dan mulai berjalan mundur kembali ke rumahku. Tatapanku masih menatap ke arah hutan tersebut dengan awas.
Dan kali itu aku menyadari bahwa rumah Pak Wanu kini terlihat kosong. Tidak ada mobil terparkir di sana dan rumah itu kini gelap gulita, seperti yang dikatakan
oleh David kemarin. Langkahku terhenti, tiba-tiba teringat dengan janjiku yang akan menelponnya dalam keadaan darurat. Cepat-cepat aku langsung meraih ponsel di saku jinsku
dan langsung menghubunginya.
David langsung menjawab setelah nada sambung pertama.
"Lauren?" "David, Si Peneror itu datang ke rumahku dan-"
"Aku segera ke sana," potongnya sebelum aku sempat menyelesaikan ceritaku.
Lalu telpon terputus. Aku memutuskan untuk duduk di teras, bersandar di dinding sebelah pintu masuk sambil memantulkan tongkat baseball itu ke lantai. Berada di dalam rumah
sepertinya justru lebih berbahaya. Aku justru merasa terperangkap jika pria itu kembali lagi mengejarku. Mataku masih megawasi hutan tersebut kalau-kalau
aku kembali melihat gerakan mencurigakan. Aku tidak tahu apa yang akan kulakukan jika Pak Wira benar-benar masih berkeliaran di dalam hutan itu sampai
sekarang dan muncul keluar tiba-tiba. Aku tentu saja akan melawan, tapi tetap saja. Aku tidak bisa membayangkan. Selama ini aku tidak pernah bertemu dengan
situasi sepertinya sebelumnya. 1
Dan di sinilah aku sekarang, duduk di teras dengan tongkat baseball dan mengawasi hutan tempat orang yang menerorku lari beberapa menit lalu.
Aku yakin bahwa Pak Wira jugalah orang yang menerorku lewat telpon selama beberapa hari ini. Rasanya hal ini tidak perlu dibahas lagi.
Yang tidak bisa kupahami adalah alasannya melakukan semua ini padaku. Jika ia menerorku untuk pergi dari sini agar aku tidak lagi menyelidiki kematian
Hilda, itu artinya ia juga terlibat dalam kematian Hilda dan ingin menutupinya dari kepolisian.
Apa dia benar-benar melakukan sesuatu pada Hilda malam itu?
Tapi alasannya apa? Pak Wira jelas-jelas tidak berselingkuh dengan Ibu Hilda. Ia bukan pria itu. Hilda bahkan tidak pernah menyinggung Pak Wira selama ini di jurnalnya selain
karena rumor palsu itu. Jadi apakah yang diceritakan Tommy tentang teman-temannya yang mengatakan Pak Wira yang sering datang ke rumah Hilda dan mencintai
Ibu Hilda itu benar? Atau juga rumor?
Kini aku bahkan ragu apakah Pak Wira dan Ibu Hilda pernah berbicara satu sama lain.
Aku menghela napas, merasakan semua informasi ini justru semakin membuatku bingung. Aku mulai menyandarkan tongkat baseball itu di sampingku, lalu meluruskan
kakiku ke depan dan masih belum melepas tatapanku ke arah hutan itu.
Kemudian aku kembali sekilas gerakan di sana.
Tanganku langsung meraih tongkat itu dengan cepat dan mulai berdiri. Jantungku kembali berpacu cepat. Aku tetap mencari-cari gerakan itu di tengah kegelapan
hutan itu tapi lagi-lagi aku tidak dapat menemukan sesuatu di sana. Keheningan malam semakin membuatku was-was dan fakta kalau aku benar-benar sendiri
di tempat ini semakin memperburuk segalanya.
Aku tetap berusaha terlihat tenang, menyadari jika pun pria itu benar-benar masih ada di dalam sana dan melihatku, aku tidak ingin ia melihatku ketakutan.
Lalu suara mesin mobil terdengar dari ujung jalan dengan cepat. Aku langsung menoleh dan mendapati sedan mobil David yang muncul di sana.
Tanganku seketika melemas dan ketegangan di seluruh badanku langsung hilang. Mobil sedan itu kemudian berhenti dengan suara rem kencang di depan rumahku.
Lalu David keluar dari mobil, matanya langsung tertuju padaku dengan cepat.
"Aku melihatnya," ujarku. Suaraku terdengar sedikit aneh. "Peneror itu Pak Wira dan dia tadi lari ke arah sana," sambungku sambil menunjuk ke arah rumah
Pak Wanu. "Ke hutan di belakang rumah Pak Wanu."
David langsung mengikuti arah pandangku. Tangannya langsung menyelip ke dalam belakang celananya dan kemudian ia sudah menggenggam sebuah pistol. Ia kembali
berbalik menatapku. "Kau tunggu di sini," perintahnya singkat.
Sebelum aku sempat menjawab, ia sudah berlari menyeberang jalan dan bergegas masuk ke dalam hutan gelap itu. Rasa was-was langsung menyelimutiku dengan
cepat dan ada penyesalan di dalam diriku untuk membiarkan David masuk ke dalam sana sendirian.
Berkali-kali aku meyakinkan diri bahwa David akan baik-baik saja. Lagipula seingatku tadi, aku sama sekali tidak melihat Pak Wira membawa senjata apa pun.
Dan David jelas-jelas membawa senjata api bersamanya. Tapi tetap saja, rasa was-was itu masih menyangkut di dalam diriku. Langkah kakiku mulai bergerak
maju, ingin ikut mengejar David ke dalam hutan itu untuk membantunya.
Jantungku kembali berpacu liar dan aku tetap berusaha untuk mendengarkan suara-suara yang berasal dari hutan tersebut. Tanganku masih memegang tongkat
baseball itu dengan erat, bersiap-siap membantu David jika ia dalam kesulitan.
Beberapa saat kemudian akhirnya David muncul dari dalam hutan. Dan saat itulah semua topeng ketenanganku langsung runtuh. Aku langsung berlari menghampirinya
lalu memeluknya dengan erat.
David berhenti dan membiarkanku memeluknya selama beberapa saat. Lalu tangannya menangkup belakang leherku dengan lembut.
"Kau baik-baik saja?" tanyanya.
Aku mengangguk, masih membiarkan wajahku terbenam di dadanya. Mataku masih terpejam, membiarkan detak jantungnya menenangkan jantungku dengan perlahan.
Aku berkali-kali menghirup aromanya dan mendapati aroma itu mulai memberikanku rasa aman yang sejak tadi sangat kubutuhkan.
Aku bisa merasakan David kini mulai menatap ke sekeliling kami, berusaha membaca situasi yang terjadi beberapa menit lalu dan mengumpulkan jejak-jejak
Si Peneror itu. Tapi ia tetap tidak melepaskan pelukanku dan masih membiarkanku lenganku melingkari pinggangnya dengan erat. Tangannya masih mengusap kepalaku
dengan gerakan lembut. Beberapa saat kemudian aku baru melepaskan pelukanku darinya. David langsung mengamatiku sejenak. "Apa kau terluka?" tanyanya lagi.
Aku menggeleng. Aku terdiam sejenak. "Apa kau menemukannya?"
David kembali menoleh ke belakang, menatap ke arah hutan itu. "Tidak. Dia sudah berlari cukup jauh saat aku memasuki hutan tadi."
Badanku kembali menegang. "Jadi dia sejak tadi masih berada di dalam hutan?" tanyaku, membayangkan dengan ngeri bahwa selama beberapa menit itu ia berdiri
mengawasiku dari dalam hutan tersebut.
David kini berbalik menatapku, kemudian sorot matanya tertuju pada tongkat baseball yang tergeletak di lantai teras. Alisnya langsung bertaut kesal. "Apa
kau sejak tadi menunggu di teras?"
Aku mengikuti arah pandangannya sekilas. "Aku tidak yakin berada di rumah justru lebih aman. Begitu dia memecahkan jendelaku, dia langsung berlari pergi.
Dan aku berusaha mengejarnya-"
"Kau mengejarnya??" potong David dengan nada keras sekarang.
"Ya. Dan begitu dia masuk ke dalam hutan, barulah aku sadar kalau dia hanya ingin memancingku masuk ke dalam sana-dan aku tau dia pasti sudah sadar kalau
aku sendirian di rumah ini. Jadi kuputuskan untuk menelponmu dan menunggu di teras. Aku tidak yakin dia benar-benar ingin melukaiku," jelasku.
David masih menatapku dengan sorot kesal. "Aku sudah bilang padamu untuk langsung menghubungiku begitu kau berada dalam keadaan darurat," katanya. "Aku
menyuruhmu untuk menghindari bahaya, bukan malah mengejarnya," sambungnya dengan galak.
Aku mulai membuka mulut untuk memberikan pembelaan. Tapi David kembali memotong.
"Apa yang kau lakukan barusan itu sangat berbahaya. Kau bisa saja hampir terbunuh malam ini, kau sadar itu?" katanya.
Aku terdiam, menyadari kebenaran dari perkataannya. Tapi aku sadar pikiran bahwa aku akan benar-benar terbunuh sama sekali tidak terbesit di pikiranku.
Aku memang merasakan ketakutan kalau Pak Wira akan melukaiku. Tapi aku tidak merasakan ketakutan jika ia benar-benar akan membunuhku.
Aneh. Aku tau itu. "Kau benar ... aku minta maaf," gumamku akhirnya.
Aku melirik David sekilas dan menyadari masih ada kekesalan dalam matanya. Walaupun sudah sedikit berkurang.
Aku menunduk, lalu menarik napas. "Aku rasa aku hanya terbawa emosi."
Terutama setelah aku membaca jurnal Hilda. Ada rasa frustasi dan kekecewaan yang besar yang kurasakan pada orang kota ini. Kepedihan yang ia rasakan selama
bertahun-tahun, tanpa ada bantuan seorang pun dari kota ini.
Dan aku melampiaskan rasa frustasi itu pada Si Peneror yang jelas-jelas ingin memaksaku untuk berhenti dalam menyelidiki kematian Hilda.
David kemudian menghela napas. "Sebaiknya kita masuk, udara di sini sangat dingin," ujarnya.
Aku mendongak dan menyadari kini kekesalan itu sudah menghilang dari sorot matanya. Ia kini menatapku dengan sorot menenangkan, seolah ia tahu apa yang
sedang kupikirkan. Aku mengangguk dan membiarkannya membawaku kembali ke halaman rumah.
Begitu kami sudah sampai di dalam. David langsung menatap pecahan kaca yang bertebaran di lantai depan jendela tersebut. Batu besar itu masih tergeletak
di antara serpihan kaca itu.
"Kau tidak terkena pecahan kaca itu?" tanya David. Suaranya kini kembali terdengar kesal.
"Tidak. Sama sekali tidak."
Aku kini menoleh, mengamati wajahnya selama beberapa saat. Rasanya aku tidak berani menyimpulkan kalau apa yang kulihat di wajahnya kini adalah sorot khawatir.
Sesuatu yang sudah lama tidak kudapatkan dari siapa pun setelah sekian lama.
"David," panggilku.
David mendongak. "Aku ingin kau menginap di sini," ujarku tanpa sadar.
*** Bab 37. One Two Three Suasana hening beberapa saat. Dan aku masih tidak melepas tatapanku pada David. Ia masih diam, tidak menanggapi permintaanku. Dan sama sepertiku, ia masih
tidak melepas tatapannya padaku.
Ia kemudian mengangguk. "Jika itu maumu."
Aku terdiam sesaat lalu mengangguk. "Ya. Itu mauku."
Kali ini ia tersenyum miring, menikmati jawabanku yang lagi-lagi sangat jujur. Ia kemudian mulai berjalan mendekati pecahan kaca tersebut.
"Sebaiknya ini dibersihkan sekarang," katanya sambil mulai berjongkok di depan batu itu.
"Akan kuambilkan sapu," ujarku dan mulai bergegas berjalan ke arah bawah tangga. Langkahku berhenti begitu melewati meja ruang tamu. Tatapanku tertuju
pada jurnal Hilda yang masih tergeletak terbuka di meja tersebut. Aku melirik ragu pada David, selama beberapa saat keinginan untuk memberitahunya tentang
jurnal itu semakin besar. Tapi lagi-lagi kuurungkan niat itu.
Tidak. Sekarang belum waktunya.
Dorongan aneh untuk menunggu itu datang lagi padaku. Rasa bahwa ini masih bukan waktu yang tepat kembali muncul dengan cepat di dalam diriku.
Akhirnya aku berjalan menuju meja tersebut. Buku jurnal itu kembali kututup, kemudian aku membawanya pergi dari sana. Aku berjalan menuju lemari bawah
tangga tempat sapu itu berada. Di bagian atas lemari itu, terdapat laci-laci berkunci-untunglah kuncinya masih bertengger di masing-masing laci tersebut.
Dengan cepat aku membuka laci paling dekat denganku, kemudian aku menaruh jurnal itu ke dalam dan menguncinya. Sambil menyelipkan kunci itu di saku celanaku,
aku mulai membungkuk mengambil sapu lalu menutup kembali lemari kecil itu.
"Pria yang lari ke hutan itu ..." ujar David. "Kau yakin dia Pak Wira?" tanyanya.
Aku berjalan menghampiri David yang kini mulai mengambil batu tersebut dan menaruhnya ke pinggir.
"Ya. Aku yakin. Aku bisa melihat wajahnya dengan jelas," jawabku.
David mengulurkan tangannya padaku, mengisyaratkanku untuk menyerahkan sapu itu padanya. Aku sejenak ragu, David kemudian menoleh, menyadari ekspresiku
dengan cepat. "Biar aku saja, nanti kau terkena pecahannya."
Aku terdiam, sekali lagi merasa sedikit takjub dengan sikap David. Ia akhirnya mengambil sapu itu dari tanganku dan mulai menyapukan pecahan-pecahan itu
ke pinggir jendela. "Aku sama sekali tidak bisa melihat dengan jelas saat di hutan tadi. Tapi yang jelas, dia memiliki badan yang tinggi. Sedikit lebih pendek dariku, tingginya
sekitar 178 cm," ucap David. Ia kini mulai berjongkok dan mengangkat pecahan itu lalu memasukkannya ke dalam tong sampah di sebelah lemari es.


Silent Girl Karya Indah Thaher di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Pak Wira memang memiliki tinggi sekitar itu."
David mengangguk paham. "Kurasa itu memang dia. Lagipula, alasannya menerormu cukup bisa dihubungkan dengan dugaan kita. Sekarang dia jelas-jelas terlibat
dengan apa yang terjadi saat malam kematian Hilda tersebut," jelas David. Ia kemudian berjalan mendekati jendela yang kini retak berlubang.
"Aku mencoba menemuinya tadi siang," kata David.
"Di supermarket?" tanyaku penasaran.
"Ya." "Lalu?" David terdiam sesaat. "Mereka bilang dia sudah tidak lagi bekerja di sana. Dia sudah berhenti dua hari yang lalu," jawab David.
Alisku berkerut. Jadi dia bertukar profesi lagi? Apa sebenarnya tujuannya melakukan ini?
"Kau sudah mencoba pergi ke alamat yang dikirimkan Tommy kemarin?" tanyaku lagi.
David mengangguk. "Ya. Tapi rumah itu kosong. Tidak ada apa-apa di sana." Ia menghela napas. "Kurasa dia sudah pindah bertahun-tahun lalu dari sana," sambungnya.
Aku menyilangkan lenganku, lalu menghembuskan napas panjang. "Apa kita akan kehilangan dia?" Menangkap pria itu akan sangat membantu kami menemukan informasi
berharga tentang apa yang sebenarnya terjadi malam itu. Ia jelas-jelas mengetahui sesuatu.
Dan ia jelas-jelas mengetahui sangkut paut keluarga Waksono dalan hal ini.
"Kita akan menemukannya selama dia masih di kota ini. Ini kota kecil, aku tidak yakin dia akan bisa berlama-lama bersembunyi di sini," ujar David dengan
yakin. Aku mengangguk, setuju dengan ucapannya. Dan entah kenapa, rasanya aku yakin Pak Wira tidak akan keluar dari kota ini. Ada keyakinan di dalam diriku bahwa
Pak Wira sendiri yang tidak pernah ingin keluar dari kota ini.
"Setelah dia berhasil kabur di hutan tadi, aku sempat berjalan mengintari hutan tersebut. Hutan itu ternyata tidak terlalu besar. Aku terus berjalan lurus
dari depan rumah Pak Wanu-sekitar 1 km dan berikutnya aku sudah sampai di ujung hutan tersebut." David terdiam sesaat, kemudian ia menoleh menatapku. "Apa
kau tau kemana hutan itu tembus?" tanyanya padaku.
Aku menggeleng. Selama tinggal di sini, rasanya aku tidak pernah bermain-main di sekitar rumah Pak Wanu, apalagi memasuki hutan gelap itu. Lagipula saat
itu aku masih anak tunggal dan Noah belum lahir. Aku sendiri tidak memiliki teman rumah karena satu-satunya tetangga dekatku hanya Pak Wanu dan ia tidak
memiliki anak. Jadi aku lebih memilih bermain dengan Tifa dan Sarah di taman atau di rumah mereka.
"Apa yang ada di ujung hutan itu?" tanyaku penasaran.
David diam beberapa saat. "Rumah Hilda," jawabnya.
Mataku membesar, benar-benar syok dengan apa yang baru saja dikatakan David. Aku tidak bisa berkata apa-apa selama beberapa saat. Ada rasa janggal yang
luar biasa besar muncul di dalam diriku saat ini.
"Aku ... benar-benar tidak tau tentang ini." Hanya itu yang bisa kukatakan padanya.
David mengamatiku. "Ya. Aku sudah menyadarinya."
Aku menunduk, kemudian mendengus lelah. "Rasanya aneh sekali mengetahui ini sekarang ..."
Rasa malu itu kembali muncul. Aku menghabiskan waktuku tinggal di rumah ini selama lebih dari 20 tahun dan aku baru menyadari bahwa rumahku dan Hilda berdekatan.
Tapi aku tahu, sekali pun aku sadar sejak dulu, aku tetap tidak akan berteman dengannya. Lauren yang dulu tidak sama dengan Lauren yang hidup sekarang
di dalam diriku. Lauren yang dulu sama sekali tidak akan peduli sekali pun Hilda tinggal tepat di sebelah rumahku.
Tapi sekarang ... Terutama setelah kini aku mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di rumah itu selama bertahun-tahun lalu.
Tentu saja ada rasa penyesalan yang teramat dalam meremas jantungku. Dan aku sama sekali tidak bisa menghapusnya begitu saja.
"Kau tidak perlu menghukum dirimu lagi, Lauren."
Aku mendongak dan menyadari David sejak tadi masih menatapku. Dan lagi-lagi ia seolah bisa membaca apa yang sedang kupikirkan.
Aku berusaha tersenyum. "Aku tau. Tapi aku tidak bisa menahan penyesalan itu. Aku tau aku benar-benar jahat padanya dulu."
"Apa yang sudah kau lakukan dulu tidak akan bisa di perbaiki. Itu sudah berlalu. Satu-satunya yang bisa kau lakukan sekarang adalah memperbaiki apa yang
tersisa," ujarnya dengan tenang.
Aku tertegun selama beberapa saat, membiarkan perkataannya barusan menyerap sepenuhnya di dalam pikiranku. Lalu kemudian akhirnya aku tersenyum. "Kau benar.
Hanya itu yang bisa kulakukan sekarang."
David menatapku sejenak kemudian menelengkan kepalanya dengan sikap santai. Dan tiba-tiba saja aku merasakan perubahan suasana. Rasanya kini badanku lebih
rileks. "Kau sudah makan malam?" tanyaku padanya.
David terdiam sesaat. "Belum," jawabnya akhirnya.
Aku tersenyum kecil. "Tadi siang aku membuat spaghetti, kau mau?"
"Tentu, jika tidak merepotkan."
"Kalau begitu akan kubuatkan. Duduklah, ini tidak akan lama," ujarku.
Aku lalu mulai berjalan ke dapur dan membuka kulkas. Aku mengambil kotak saos dan spaghetti lalu menutup kembali kulkas tersebut. Begitu berbalik menuju
meja dapur, aku menyadari David tidak sedang duduk di meja makan di depan dapur. Ia kini berdiri di depan lemari kaca tempat koleksi piala-piala keluargaku
di simpan. Ia tidak berkomentar apa pun tentang piala-piala tersebut. Dan begitu aku selesai menyajikan spaghetti itu, kami langsung menyantapnya di meja makan.
Dan aku menyadari rasanya sudah lama sekali aku tidak pernah makan di meja makan ini, di rumah ini, bersama seseorang. Rasanya seperti memiliki keluarga
lagi. "Apa?" tanya David. Ia pasti menyadari ekspresiku.
Aku menggeleng pelan. "Ini mungkin terdengar menyedihkan. Tapi sudah lama aku tidak makan di meja makan ini bersama seseorang."
David menatapku selama beberapa saat. "Kurasa itu tidak menyedihkan. Kau hanya rindu keluargamu. Itu saja," sahutnya.
"Bagaimana dengan keluargamu?" tanyaku tiba-tiba.
David sepertinya sama kagetnya denganku. Aku tetap menatapnya, menunggunya menjawab. Karena jujur, sampai sekarang aku masih merasa tidak tahu apa-apa
tentang hidupnya. Aku bahkan masih tidak tahu apakah ia sudah memiliki pasangan atau belum.
David tersenyum miring. "Apa kita sudah masuk dalam tahap mengenal lebih dekat sekarang?"
Aku menatapnya ragu. "Kurasa hubungan kita sekarang sudah lebih dari antara klien dan penyidik."
David tergelak pelan dan aku kembali merasakan debaran aneh itu lagi.
"Apa aku benar?" tanyaku lagi.
David kini tersenyum padaku. "Apa yang ingin kau ketahui?"
Aku terdiam sejenak. "Tentang keluargamu," ujarku akhirnya.
"Ibuku masih tinggal di Ibukota. Tapi ayahku sudah meninggal sejak aku umur 17 tahun."
"Kau punya saudara?"
David kemudian menghabiskan satu suapan terakhir dari piringnya, kemudian ia mulai bangkit berdiri membawa piring itu ke wastafel. Tatapanku masih mengikutinya,
menunggunya menjawab pertanyaanku.
David kini membelakangiku, mulai mencuci piring itu dengan cepat. Kemudian begitu selesai, ia berbalik menatapku. Ia kini bersandar di depan wastafel.
"Aku sama sepertimu," jawabnya. "Dia sudah meninggal."
Aku masih diam, menunggunya melanjutkan ceritanya.
"Aku punya adik laki-laki," ujarnya lagi. Ia terdiam sesaat. "Dia meninggal 5 tahun lalu karena overdosis," sambungnya dengan kaku.
Aku terdiam, sama sekali tidak menyangka tentang hal ini. Dan aku tidak perlu menanyakan lebih lanjut padanya karena aku bisa langsung menyadari betapa
kematian adiknya masih menyakitinya dengan hebat, sekali pun ia sudah berusaha keras menutupinya.
Aku kemudian bangkit dan berjalan menghampirinya. Begitu kami berdiri berhadapan, ia menatapku dengan sorot diam.
"Itu sudah berlalu. Aku tidak akan bersedih lagi tentang itu," ujarnya begitu pelan.
Aku menatapnya beberapa saat, masih menyadari dengan jelas ada sorot kepedihan di matanya. Apa pun yang terjadi pada adiknya, aku sadar ia masih menyimpan
rasa penyesalan di dalam dirinya. Dan ia jelas-jelas berusaha keras untuk menghilangkannya.
"Boleh aku memelukmu?" tanyaku.
David menatapku beberapa saat. "Kenapa?"
"Karena aku ingin memelukmu," jawabku singkat.
David masih diam. "Aku akan memelukmu sekarang," ujarku akhirnya.
Lalu aku melingkarkan lenganku ke pinggangnya dan menariknya ke dalam pelukanku.
*** BAB 38. Blossom David masih tidak bergerak. Tapi ia juga membiarkanku memeluknya, sama sekali tidak berusaha untuk melepaskan pelukanku darinya.
Lenganku masih melingkari badannya. Dan wajahku masih menempel di dadanya, membiarkan pendengaranku dipenuhi dengan suara detak jantungnya yang mengeras.
Perlahan-perlahan, suara itu pun mulai seirama dengan detak jantungku.
Selama beberapa saat, tidak ada dari kami yang berbicara. Keheningan sudah menyelimuti kami sejak tadi. Tapi keheningan itu bukan keheningan yang aneh,
tapi justru keheningan yang menyenangkan. Dan aku menikmati setiap detiknya.
Aku tidak tahu apa yang sedang ada di pikiranku sebenarnya saat ini. Aku tidak tahu apa tujuanku sebenarnya melakukan ini. Tapi yang kurasakan benar-benar
berbeda. Aku tahu aku menyukai David. Aku menyukai keberadaannya di sisiku. Tapi ada sesuatu yang lain yang berada di dalam diriku. Sesuatu yang menginginkan hal
lebih dari kebersamaan ini dengannya.
Lalu David kemudian membalas pelukanku, seolah ia sedang memikirkan hal yang sama denganku. Aku merasakan lengannya yang kekar kini ikut melingkar di sekeliling
tubuhku, membuatku semakin merapat padanya. Aku tersenyum, merasakan aroma tubuhnya yang kini semakin jelas. Tangannya kini mulai mengelus lembut rambutku.
3 Aku akhirnya memberanikan diri untuk menatapnya. Ia membiarkanku melonggarkan pelukanku darinya. Tapi kami tetap berdiri berdekatan. Tangannya kini berada
di pinggangku dan tanganku kini memegang lengannya.
Aku menyadari ia kini menatapku dengan sorot penasaran, seperti berusaha untuk menebak apa yang selanjutnya kulakukan. Tapi mata itu juga menatapku dengan
sedikit takjub, seolah ia benar-benar tidak menyangka aku akan melakukan sesuatu yang tidak pernah ia duga sebelumnya.
"David," panggilku.
Ia tidak menjawab, hanya memandangku dengan sorot penasaran itu lagi.
"Apa kau punya pasangan?" tanyaku akhirnya.
Ia terdiam. Tapi kini sudut mulutnya mulai tertarik ke atas. "Kenapa?"
"Aku hanya ingin tau," jawabku dengan pelan.
Matanya mencari-cari sesuatu di kedua mataku. Ia menyadari bahwa aku masih belum menjawabnya dengan jujur. Tapi ia tetap tidak memaksaku untuk berbicara.
Ia menunggu, seperti yang biasa ia lakukan. Karena ia tahu aku nantinya akan mengatakannya sendiri.
Dan tindakan kecilnya ini sudah bisa membuatku semakin merasa aman bersamanya. Mungkin sejak pertama kali aku bertemu dengannya, aku sudah merasakan hal
itu. Aku bisa mempercayainya. Dan aku bisa merasakan keamanan dan kenyamanan itu begitu ia berada di sampingku.
Aku tahu rasa ini akan berkembang semakin besar setiap kali aku bersamanya. Hari ini aku menginginkan keberadaannya di sampingku untuk seterusnya.
Dan aku tidak tahu apa yang kuinginkan lagi darinya besok.
Aku menatapnya lekat-lekat, mencoba mencari jawaban dari perasaan aneh yang bergejolak di dalam diriku.
"Boleh aku menciummu?" tanyaku tanpa sadar.
David diam sejenak. Tapi kini aku melihat perubahan di sorot matanya. Mata itu kini menatapku dengan tajam, mencoba mencari sesuatu di kedua mataku.
"Kenapa?" Suaranya justru terdengar sangat tenang.
"Karena aku ingin memastikan sesuatu," jawabku.
David kembali diam. Aku mulai berjinjit kemudian mendekatkan wajahku padanya. Dan sekali lagi, David tidak menjauh. Tangannya masih berada di pinggangku, membiarkan tanganku
menggenggam lengannya lebih erat.
Begitu bibir kami hanya berjarak beberapa senti, aku kembali menatapnya. Aku menelan ludah. "Aku akan menciummu sekarang," ujarku.
Harimau Kemala Putih 16 Lima Sekawan Minggat Tembang Tantangan 13

Cari Blog Ini