Ceritasilat Novel Online

Silent Girl 5

Silent Girl Karya Indah Thaher Bagian 5


David masih diam, tidak berkata apa pun. Ia kini menatapku dengan sorot takjub, membiarkanku melakukan apa yang kuinginkan. Dan anehnya, justru itu semakin
membuat keberanianku semakin bertambah.
"Jika kau sudah memiliki pasangan. Jangan membalas ciumanku," ujarku.
Lalu aku menyadari sudut mulut David bergerak membentuk senyuman. Aku menunggunya mengatakan sesuatu. Tapi ia tetap tidak bergeming.
Kemudian aku bergerak maju dan menempelkan bibirku pada bibirnya. Aku memejamkan mata, merasakan bibirku menyapu bibirnya dengan perlahan. Jantungku langsung
berdetak kencang, sama sekali tidak menyangka bahwa sentuhan itu bisa membuatku bereaksi seperti ini.
Dan aku sadar David tidak membalas ciumanku.
Aku menekankan bibirku lagi untuk terakhir kali padanya, kemudian aku mulai menarik bibirku darinya.
Tapi detik berikutnya tangan David merengkuh wajahku dengan cepat dan kini ia berganti menciumku. Aku terkesiap kaget, merasakan jantungku langsung berdetak
liar. Satu tangannya kini menarik pinggangku hingga badan kami benar-benar merapat satu sama lain. Ia mulai menyapukan bibirnya berulang-ulang dan aku
mengikuti gerakannya sambil merasakan debaran nyaman di seluruh tubuhku. Tanganku kini mulai bergerak naik dan melingkar di lehernya.
Ia kemudian menarik bibirnya sesaat, memberikanku waktu untuk bernapas. Kemudian ia kembali menarik wajahku dan menempelkan bibirnya kembali padaku. Kepalaku
kini terasa berputar dan aku sama sekali tidak bisa memikirkan apa pun. Bibir kami saling bertautan, dan ciuman itu semakin lama semakin dalam hingga rasanya
aku tidak ingat apakah aku bernapas atau tidak.
Kemudian David akhirnya menarik bibirnya dariku. Ia menempelkan dahinya di kepalaku, membiarkan napasku kembali tenang. Aku sama sekali tidak menyangka
betapa sentuhannya benar-benar menghidupkan semua yang ada di dalam diriku.
David masih merengkuh wajahku dengan tangannya, membelai pipiku dengan hangat.
Begitu jantungku mulai kembali tenang, barulah aku mendongak menatapnya. David sejak tadi mengamatiku dan aku menyadari matanya berkilat senang. Tangannya
kini bergerak menyentuh bibirku dengan lembut. Dan jantungku kembali berdetak cepat.
"Kau tidak memiliki pasangan, kalau begitu," ujarku. Suaraku terdengar serak.
David kemudian tergelak pelan. Tangannya kini berpindah ke atas kepalaku lalu ia mengacak-acak rambutku dengan lembut.
"Tidurlah, Lauren," katanya.
Lalu ia berjalan melewatiku dan meninggalkanku sendiri di dapur.
*** Besok pagi saat aku terbangun, aku menyadari kalau sofa di sebelahku sudah kosong. Aku bangkit dari sofaku, dan mendapati David sudah berada di dapur.
Ia kemudian mendongak, menyadari kalau aku sudah bangun. Ia kemudian tersenyum ringan.
"Kau mau kopi?" tanyanya padaku.
Aku mengangguk. "Ya. Thanks."
Aku melirik ke arah jarum jam dan menyadari kalau sekarang sudah lewat jam 8 pagi. Aku mendengus. Tidak biasanya aku bangun terlambat seperti ini. Tapi
rasanya, aku benar-benar tidak pernah tidur senyenyak tadi malam sejak beberapa tahun terakhir ini.
"Kau mau roti?"
Aku kembali mendongak menatap David. "Ya." Aku menatapnya beberapa saat. "Seharusnya aku yang menyiapkan sarapan. Maafkan aku," gumamku merasa bersalah.
David tersenyum. "Tidak apa-apa. Kau terlihat begitu nyenyak sampai aku tidak tega untuk membangunkanmu."
Aku menatap David beberapa saat, menyadari bahwa keberadaannya di sinilah yang menjadi salah satu alasan mengapa tidurku nyenyak. Lagi-lagi aku masih tidak
bisa mengerti bagaimana kehadirannya saja bisa memperngaruhiku begitu besar.
"Apa kau nyaman tidur di sofa ini semalam?" tanyaku padanya.
Ia tersenyum kecil. "Aku sudah sering tidur di sofa sejak dulu. Jadi tidak ada masalah sama sekali," jawabnya.
Aku nyengir. "Tapi sofaku yang terbaik, kan."
Ia tergelak. "Sofamu yang terbaik," ujarnya setuju.
Kemarin malam, David bersikeras menyuruhku untuk tidur di kamar dan membiarkannya tidur di sofa sendiri. Tapi aku menolak. Aku yang justru menyuruhnya
untuk memakai kamar di rumah ini dan membiarkanku tidur di sofa. Ia justru tertawa mendengar usulanku.
Jadilah aku mengusulkan agar kami sama-sama tidur di ruang tamu. Lagipula di sini ada dua sofa besar yang bisa dijadikan tempat tidur.
David sejenak terlihat ragu dan aku tahu alasannya adalah karena ia tidak ingin membuatku merasa tidak nyaman. Karena bagaimana pun juga aku perempuan.
Tapi kemudian aku mengingatkannya bahwa kami baru saja berciuman dan aku masih tidak yakin apakah ia sudah memiliki pasangan atau belum. Kurasa tidak ada
lagi yang bisa mengalahkan ketidaknyamananku tentang ini daripada apa pun.
David kembali tertawa mendengar ucapanku. Dan setelah itu, akhirnya kami sepakat untuk tidur di ruang tamu bersama-sama.
Aku mulai beranjak dari sofa, kemudian meraih ponselku yang tergeletak di meja ruang tamu. Kantukku benar-benar hilang begitu aku menyadari ada panggilan
tak terjawab dari Tommy. Aku langsung menekan tombol untuk menelpon kembali Tommy. Nada sambung terdengar terus-menerus hingga beberapa lama kemudian nada terputus terdengar. Aku
langsung menghembuskan napas pelan.
"Ada apa?" tanya David. Aku takjub ia bahkan bisa menyadari ekspresiku bahkan dari tempatnya berdiri.
"Tommy menelponku kemarin malam. Dan dia tidak mengangkat telponku barusan." Apa dia masih tidur?
"Hari ini adalah hari Minggu," kata David mengingatkanku.
"Yah ... mungkin dia memang masih tidur," gumamku.
Aku mulai berjalan bangkit dari sofa menuju meja dapur. Begitu sampai di sana, David langsung menyodorkanku segelas kopi. Aku langsung meneguk kopi itu
dengan perlahan. "Apa?" tanyaku menyadari sejak tadi David mengamatiku dengan sorot aneh.
Ia menggeleng pelan. "Aku tiba-tiba penasaran dengan hubunganmu dan Tommy," ujarnya santai.
Alisku terangkat, sama sekali tidak menyangka pertanyaan itu datang dari mulut David.
David mengangkat bahu. "Aku melihat fotomu dengannya di sana." Ia menunjuk ke arah meja tempat foto-foto zaman SMA dulu.
"Aku dan Tommy pernah pacaran saat kami kuliah," akuku padanya.
"Jadi Tommy adalah mantan pacarmu?" tanyanya, masih dengan nada biasa.
Aku menatapnya sejenak. "Ya."
David mengangguk, lagi-lagi menungguku melanjutkan pembicaraan ini. Aku mengamatinya beberapa saat, mencoba mencari tahu alasan sebenarnya ia tiba-tiba
menanyakan ini padaku. Rasanya sangat aneh membicarakan Tommy dengan David.
Dan rasanya lebih aneh lagi saat aku membicarakan hubunganku dengan Tommy pada David.
Terutama sejak ciuman kami semalam. Aku sadar sejak itu aku merasakan adanya perubahan di dalam diriku. Perubahan pandanganku pada David-entah apa itu,
aku masih tidak tahu. Tapi yang jelas, rasa untuk mencari keberadaannya di sisiku kini semakin besar. Dan aku tahu kini aku benar-benar membutuhkannya.
Mungkin aku memang benar-benar menyukainya.
Dan mungkin rasa suka itu lebih dari yang kukira sebelumnya.
"Ada apa, Lauren? Kukira hubungan kita lebih dari sekedar klien dan penyidik," katanya. Ia kini tersenyum geli, menyadari ketidaknyamananku.
"Aku merasa aneh membicarakan hal ini denganmu," akuku.
Ia menelengkan kepalanya, senyum kecil muncul di wajahnya. "Kenapa?" tanyanya.
Aku menatapnya beberapa saat. Dan aku mulai yakin bahwa David sepertinya sudah mengetahui perasaanku padanya.
"Jika aku menceritakannya padamu, apa kau mau menceritakan tentang pasanganmu juga padaku?" tanyaku.
Ia kini tersenyum. "Aku sudah menjawab pertanyaanmu kemarin."
*** Bab 39. Recheck Aku menatapnya beberapa saat. "Itu ... belum terlalu jelas."
David kini bersandar di meja dapur sambil menyilangkan lengannya. Ia masih tersenyum, wajahnya kini jelas-jelas terlihat menikmati ekspresiku.
Aku berdeham, tiba-tiba merasakan debaran itu begitu kepalaku kembali dipenuhi tentang ciuman kami.
"Jadi?" Aku mendongak pada David. "Jadi apa?"
Ia tersenyum. "Hubunganmu dengan Tommy." Ia menelengkan kepalanya. "Sudah berapa lama kalian putus?"
Aku mengamati David, mencoba mencari tahu alasan sebenarnya ia menanyakan hal ini padaku. Tapi aku sama sekali tidak membaca raut wajahnya. Dan aku sama
sekali tidak berani untuk menyimpulkan bahwa semua ini berhubungan dengan rasa ... cemburu atau semacamnya.
"Sudah sekitar 4 tahun. Sejak beberapa minggu sebelum aku pindah ke ibukota," jawabku akhirnya.
David mengangguk kecil. "Kau yang memutuskan hubungan ini, kalau begitu?"
"Tidak. Dia yang memutuskanku."
David menatapku kaget, sama sekali tidak menyangka dengan hal ini. Tapi ia tetap diam, menungguku melanjutkan ceritaku.
Aku menarik napas pelan, kembali merasa keanehan membicarakan hubunganku dengan Tommy padanya. "Seperti yang kukatakan padamu sebelumnya, aku dan Tommy
sudah kenal sejak kecil. Tapi kami baru berpacaran sejak SMA sampai lulus kuliah-4 tahun lalu." Aku terdiam sejenak. "Setelah ... kematian keluargaku,
aku langsung memutuskan untuk pindah dari kota itu. Aku hanya memberitahu rencana ini pada Paman, Bibi dan Tommy. Dan alasan aku memberitahu ini pada Tommy
adalah karena aku sendiri ingin memintanya ikut bersamaku ke ibukota," sambungku.
"Kau mengajaknya ikut pindah bersamamu ke ibukota?" tanya David. Alisnya terangkat, lagi-lagi terlihat takjub dengan ceritaku.
Aku mengangguk, kembali terngiang pada masa-masa itu. Bahkan saat aku sudah hampir setengah gila seperti saat itu, aku sadar aku masih memiliki kepercayaan
penuh pada Tommy. Aku tahu aku membutuhkannya saat itu, lebih dari apa pun.
"Tapi dia menolak?" tebak David.
Lagi-lagi aku mengangguk. "Dia memintaku untuk tetap bertahan di kota ini. Dia bilang aku masih memiliki keluarga-paman dan bibiku. Dan juga teman-temanku.
Tapi tentu saja mereka semua tidak bisa menyembuhkan lukaku." Aku menunduk, mendengus pelan. "Saat itu aku benar-benar kacau dan aku hanya merasa dia mengkhianatiku
di saat aku benar-benar membutuhkannya. Saat itu aku langsung terbawa emosi dan begitu juga Tommy. Aku sama sekali tidak bisa melihat alasan yang sebenarnya
Tommy tidak ingin pergi bersamaku."
"Alasan sebenarnya?"
Aku menatap David sekilas. "Saat itu Tommy ... juga memiliki masalah rumit dengan ayahnya. Dan hal itu tidak memungkinkannya untuk keluar dari kota itu
begitu saja saat itu." Aku menghela napas. "Aku baru mengetahui hal ini setelah setahun setelah aku pindah ke ibukota."
David diam, tidak berkata apa-apa selama beberapa saat. Tapi mau tidak mau aku bisa membayangkan apa yang sedang dipikirkan David saat ini tentangku.
"Kau pasti berpikir betapa egoisnya aku padanya," ujarku pelan, tak bisa lagi menahan diri.
David menatapku sekilas, wajahnya tidak berubah. "Kurasa kalian berdua sama-sama egois."
Aku tertegun, lalu mendengus. "Ya ... kurasa kau benar." Aku kembali meneguk kopiku. "Saat itu aku begitu marah karena aku tau aku benar-benar membutuhkannya.
Terlebih lagi aku tau bahwa ide gila untuk pergi bersama ke suatu tempat seperti ini justru sering dilontarkan Tommy sejak dulu padaku." Aku menghela napas.
"Aku benar-benar tidak bisa berpikir jernih saat itu, kau tau."
David mengamatiku beberapa saat. "Apa kau menyesal karena melepaskannya?"
Aku terdiam sejenak. "Ya ... dan tidak," jawabku. Aku tersenyum kecil. "Perpisahan itu mungkin memang membuatku merasa semakin terpuruk. Tapi di saat yang
bersamaan, aku juga menemukan ada sisi lain dari dalam diriku yang ternyata masih kuat berdiri sendiri selama ini. Dan kurasa Tommy juga merasakan hal
yang sama." Saat akhirnya aku bertemu dengan Tommy lagi beberapa minggu lalu saat itu, aku menyadari ada perubahan di antara kami-tidak hanya aku, tapi juga Tommy.
Seolah-olah dalam 4 tahun terakhir ini, kami mendapatkan pelajaran hidup yang sebelumnya tidak pernah kami temui sebelumnya. Seolah kami diberi kesempatan
untuk memahami kesalahan-kesalahan yang pernah kami buat waktu dulu saat kami belum sepenuhnya dewasa.
Tapi aku juga tahu sampai kapan pun, Tommy akan tetap menjadi sesuatu yang berharga di dalam hidupku.
"Jadi kau masih mencintainya?" tanya David, seolah membaca apa yang sedang kupikirkan.
Aku kini memandanginya lekat-lekat. "Apa ada alasan lain mengapa kau menanyakan ini padaku?"
David menatapku sesaat, lalu mengangkat bahu. "Aku hanya ingin memastikan."
Trrrttt. Aku hendak membuka mulut untuk kembali menanyakannya, tapi tiba-tiba suara itu muncul dan berhasil mengalihkan perhatian kami. Kami sama-sama menoleh ke
asal suara-suara getar ponsel.
"Itu ponselku," gumamku begitu mendongak ke arah meja ruang tamu, menyadari bahwa ponselku yang sedang berkedip-kedip.
Aku mulai melangkah menjauh dari dapur menuju ruang tamu kembali. Begitu sampai di depan meja, aku meraih ponsel tersebut dan membaca nama Si Penelpon
di layar ponsel. Tommy. Aku langsung menekan tombol terima lalu menempelkannya ke telingaku.
"Hallo," "Hai, Lauren. Maaf tadi aku tidak mengangkat telponmu. Aku tadi masih tertidur," jawabnya.
"Tidak apa-apa, Tommy," sahutku. Aku mulai berbalik, berjalan menuju sofa. Lalu detik berikutnya mataku bertemu dengan mata David. Ia kini bersandar di
dekat kulkas, menatapku penuh dengan sorot aneh. Ia jelas-jelas menyadari bahwa yang menelpon saat ini adalah Tommy.
Aku berdeham, tiba-tiba merasa canggung. Aku melepas pandanganku darinya dan mulai duduk di sofa. "Kau menelponku malam kemarin? Ada apa?" tanyaku pada
Tommy. Terdengar suara helaan napas dari ujung sana. "Ya. Aku hanya ingin memastikan keadaanmu. Entah kenapa kemarin malam perasaanku tidak enak tentangmu. Apa
kau baik-baik saja?"
Aku tertegun selama beberapa saat, mengingat kembali kejadian teror kemarin malam. Mataku tiba-tiba tertuju pada jendela yang pecah itu lagi. "Ya. Aku
baik-baik saja," jawabku akhirnya.
Lalu tiba-tiba saja David sudah berdiri di depan meja ruang tamu-tepat di hadapanku. Aku langsung mendongak dan mendapatinya kini menatapku dengan sorot
tenang. "Loudspeaker," ujarnya sambil menunjuk pada ponselku.
Aku ragu sejenak, tapi kemudian akhirnya menuruti permintaan David. "Tommy, David sedang ada di sini. Aku akan menghidupkan loudspeaker supaya kita bertiga
bisa bicara sekaligus."
"Oke, tunggu-" Aku sudah memencet tombol loudspeaker sebelum sempat menyadari ucapan Tommy.
"David di rumahmu?" tanyanya dengan suara tinggi, terdengar jelas hingga ke seisi ruangan ini.
Aku melirik sekilas pada David dan menyadari ia kini tersenyum kecil.
"Ya, dia ada di sini sekarang," jawabku.
"Dia menginap?"
Aku kembali menatap David. Ia masih tersenyum kecil dan aku menyadari ada sorot geli muncul di kedua matanya, terlihat menikmati situasi ini. Ia jelas-jelas
menungguku menjawab pertanyaan Tommy.
Rasa gugup tiba-tiba merasukiku dengan cepat. Semua percakapan kami dan ciuman itu kembali memenuhi pikiranku. Dan aku sadar bahwa David menginginkanku
untuk berkata sejujurnya pada Tommy.
"Ya," jawabku akhirnya. "Aku yang memintanya."
Beberapa saat tidak terdengar suara di ujung sana.
"Hallo, Tommy." David kini yang bersuara.
"Oh, kau sudah bisa mendengarku rupanya," sahut Tommy dengan nada datar.
"Dengar, Tommy." Ia melirikku sekilas dengan wajah kembali tenang. "Kurasa Lauren belum menceritakan tentang apa yang terjadi malam kemarin di sini."
Mataku langsung membesar. Tentang ciuman kami?
"Seseorang hampir menerobos masuk ke rumah ini malam kemarin," ujar David.
Aku langsung menunduk, merasa sedikit malu saat menyadari lagi-lagi pikiranku bergerak liar membentuk bayangan bahwa David hendak berusaha membuat Tommy
cemburu. "Apa??" sahut Tommy dengan keras. Suaranya berhasil kembali mengalihkan perhatianku. "Kenapa kau tidak bilang padaku?" tanyanya lagi.
"Aku hendak akan menceritakannya padamu," jawabku sejujurnya.
"Apa kau melihat wajahnya?"
"Ya." David yang menjawab. "Dan Lauren mengenalinya. Peneror itu Pak Wira," sambung David.
"Pak Wira?" sahutnya lagi.
"Dia berhasil melarikan diri saat kemarin aku mengejarnya ke dalam hutan di depan rumah Lauren. Tapi aku akan mulai mencarinya hari ini."
"Kau sudah coba menemuinya sebelum ini? Ke alamat yang kuberikan padamu?" tanya Tommy.
David melirikku sekilas. "Ya dan dia tidak ada di sana. Kurasa dia sudah tidak tinggal di rumah itu sejak bertahun-tahun lalu," jawab David.
Beberapa saat kemudian tidak ada suara terdengar dari ujung sana. Lalu terdengar suara tarikan napas. "Kurasa ... aku bisa mencari tau informasi tentang
Pak Wira dari Ayah," ujarnya.
"Kau ingin ke sini?" tanya David.
"Yah ... sebenarnya akhir tahun ini aku pasti akan pulang. Tapi kurasa aku bisa pulang lebih awal. Aku bisa membantumu mencari informasi tentang Pak Wira,"
kata Tommy. Aku mengerutkan dahi, mulai merasa tidak nyaman dengan keterlibatan Tommy yang semakin jauh dalam kasus ini. "Kau tidak perlu melakukan ini. Kau tau itu,
kan, Tommy?" Tommy terkekeh. "Ya, aku tau Lauren. Tapi aku ingin membantumu."
Aku mendesah, masih merasa tidak nyaman dengan semua hal ini. Tapi aku juga tahu aku sama sekali tidak bisa melarangnya.
David mengamatiku beberapa saat lalu kembali membungkuk ke arah ponsel. "Aku bisa berbicara dengan ayahmu dan mencari tahu sendiri informasi itu."
"Ayahku akan mempersulitmu. Tidak, tidak. Kurasa lebih baik aku turun tangan. Lagipula aku juga ingin memastikan sesuatu padanya. Sepertinya ayahku juga
mendengar kabar-kabar tentang Pak Wira dan keluarga Hilda dulu."
David kembali melirikku sekilas. "Oke. Aku sangat menghargai bantuanmu, Tommy. Terima kasih," ujarnya.
Aku menyandarkan diri ke sofa dengan kalah, tahu bahwa aku benar-benar baru saja memasukkan Tommy dalam kasus ini.
Begitu telpon ditutup, David tetap tidak berkata apa-apa. Suasana kembali hening selama beberapa saat.
"Kau ingin membuatnya keluar dari permainan ini, seperti paman dan bibimu?" tanya David beberapa saat kemudian.
Aku menghela napas pelan. "Ya. Dan aku tau aku tidak akan bisa melarangnya."
Suasana kembali hening. Kepalaku kini semakin dipenuhi dengan bayangan mengerikan bahwa lambat laun Tommy akan terkena bahaya dari penyelidikan yang kami
lakukan. Dan semua itu terjadi karena aku menyeretnya secara tidak langsung dalam masalah ini.
"Kemarin aku menemui Adit," ujar David beberapa saat kemudian.
Aku mendongak, menunggunya melanjutkan ceritanya. David kini bersandar di dinding. "Aku menanyakan soal malam sesudah pemakamam Hilda. Dari percakapan
yang dengar di pemakamam hari itu, kau bilang Sarah menyuruh suruhannya untuk kembali ke rumah Hilda dan menghilangkan bukti-bukti di kamar Hilda malam
itu juga." Aku mengangguk. "Kau menanyakan pada Adit apakah malam itu ia mendengar atau melihat seseorang datang menyelinap ke rumahnya?"
"Ya." "Lalu?" David menggeleng. "Tidak ada. Dia sama sekali tidak mendengar atau melihat apa pun."
Aku mengerutkan dahi. "Mungkin ... dia memang tertidur dan sama sekali tidak menyadarinya."
"Tidak. Dia berkata saat itu dia dan ibunya terjaga hingga lewat tengah malam, berbicara setelah selesai merapikan kamar Hilda."
Aku kembali terdiam. "Kurasa bukti-bukti yang dimaksudkan Sarah itu bukan berada tepat di kamar Hilda," ujar David lagi.
*** BAB 40. Berulang Mataku masih terpaku pada pintu masuk, tempat David keluar beberapa saat lalu. David berkata hendak akan kembali mencari informasi tentang Pak Wira kembali
dan ia juga ingin kembali memeriksa rumah Hilda untuk memastikan keberadaan bukti-bukti yang dimaksudkan Sarah. Aku berniat untuk ikut bersamanya. Namun
begitu aku mulai mengambil jaket dan mengikutinya, ia tiba-tiba langsung melarangku. Ia menyuruhku untuk tetap berada di rumah, dan memintaku berjanji
untuk kali ini benar-benar akan menelponnya begitu sesuatu yang mencurigakan-terutama bahaya datang padaku.
Dan lagi-lagi aku mendapati diriku menurutinya dengan mudah. Terlebih setelah aku menyadari ada nada khawatir yang terbesit jelas di dalam suaranya.
Rasanya aku kembali bersikap seperti anak kecil lagi. Aku merasa takjub mendapatinya merasa khawatir denganku-sekalipun kekhawatiran itu mungkin hanya
murni untuk kepentingan penyelidikan ini.
Aku menarik napas dalam-dalam, kemudian menghembuskannya dengan perlahan. Pikiranku kembali dipenuhi oleh semua percakapan kami beberapa saat lalu. Rasanya
semuanya kini tiba-tiba terasa lebih sulit dan membingungkan daripada sebelumnya. Ada suatu perasaan aneh yang membuatku mulai merasa sedikit takut bahwa
apa yang sedang kami lakukan sekarang ini akan berujung sia-sia.
Semua dugaan dan kesaksianku terasa mulai tenggelam perlahan-lahan. Aku tahu keyakinan itu masih ada sepenuhnya dalam diriku. Aku masih yakin bahwa kematian
Hilda bukanlah semata-mata karena bunuh diri.
Tapi rasanya semua orang di sekeliling kami-termasuk bahkan keluarga Hilda sendiri-sama sekali tidak bisa memberikan informasi yang dapat membantu kami.
Aku tahu mereka tidak bisa bertindak banyak, sekalipun aku memberikan jaminan hukum bahwa mereka akan aman dari keluarga Waksono.
Aku bisa menebak bahwa David harus berusaha keras hanya untuk mendapat kepastian dari Adit tentang ada atau tidaknya tanda-tanda seseorang menyusup ke
dalam kamar Hilda di malam sesudah pemakamannya tersebut. Bayangan bocah kecil itu ketakutan saat di depan SD Angor beberapa waktu lalu itu kembali muncul
di kepalaku. Lalu badanku tiba-tiba menegang, menyadari sesuatu.
Apa pria yang bersembunyi di belakang taman depan SD Angor saat aku menemui Adit beberapa minggu lalu adalah Pak Wira? Pria yang membuatnya Adit langsung
kabur meninggalkanku tergesa-gesa?
Apa saat itu dia mengawasiku atau memang mengawasi Adit?
Semua rumor tentang Ibu Hilda dan Pak Wira, lalu teror yang ia lakukan padaku kembali muncul di pikiranku. Aku menghembuskan napas, mulai berpikir keras.
Hingga detik ini, aku masih tidak mengerti apa yang Pak Wira inginkan dari Ibu Hilda? Apakah Pak Wira menerorku karena niat yang sama seperti semua orang
di kota ini? Atau karena suruhan dari Sarah? Dia mungkin saja kini bersekongkol dengan Sarah untuk melenyapkan bukti-bukti itu sekarang.
Tapi bahkan di jurnal Hilda ... aku sama sekali tidak menangkap bahwa Pak Wira memiliki hubungan yang buruk dengan keluarga Hilda. Terlebih setelah aku
mengetahui bahwa Pria Itu bukanlah Pak Wira. Ia kini sama sekali bukan seseorang yang terlihat dekat dengan mereka.
Dan rasanya jurnal itu ... memunculkan pertanyaan baru di dalam kepalaku. Jika memang benar Sarah adalah pelaku di balik kematian Hilda, mengapa ia melakukannya
sekarang? Sudah lebih dari 6 tahun sejak terakhir kali kami membicarakan Hilda. Selama itu kami benar-benar tidak lagi menghiraukan gadis itu. Lalu kenapa
sekarang? Tidak ada alasan yang kuat bagi Sarah untuk benar-benar membunuh Hilda.
Kini aku justru merasa bahwa kedatangan Pria Itu jelas-jelas lebih berdampak besar pada Hilda dibandingkan Sarah. Ibunya yang diperlakukan semena-mena
sejak dulu dan mereka yang sama sekali tidak bisa berbuat apa-apa dalam hal ini.
Satu-satunya dugaan yang masuk akal hanyalah Pria Itu yang membunuh Hilda, hanya untuk memastikan gadis itu tidak membocorkan bahwa selama ini ibunya menjadi
budak nafsunya. Aku kembali menarik napas panjang, kemudian mulai bergerak menuju lemari bawah tangga tempat terakhir aku menaruh jurnal Hilda itu. Begitu aku mendapatkannya,
aku kembali duduk di sofa sambil membuka lembar terakhir yang kubaca kemarin.
Ada alasan tertentu Tuhan membiarkanku menemukan jurnal ini.
Dan aku sangat berharap aku benar-benar menemukan jawabannya di sini.
15 Januari 2008 Ibu berpesan padaku untuk segera menemui Pak Arto begitu aku sampai di kampus. Dia bilang Pak Arto akan membantuku untuk mengurus beasiswa itu. Dan untunglah
aku benar-benar menemukannya.
Rasanya menyenangkan untuk berbicara panjang dengan orang lain lagi. Aku tidak mengeluh. Aku sudah menduga bahwa mereka tidak akan memedulikan keberadaanku.


Silent Girl Karya Indah Thaher di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ada sebagian diriku yang merasa lega dengan kenyataan ini.
Setidaknya mereka tidak akan menatapku dengan sorot jijik itu lagi. Sebagian diriku masih takut, bahwa mereka-terutama Sarah akan kembali mendatangiku
lagi seperti yang biasa dia lakukan selama ini. Tapi hal itu tidak terjadi. Mereka tetap menganggapku tidak ada.
Mungkin lebih baik memang seperti ini.
Rasanya aku tidak tau apa yang akan terjadi jika terus mendengar hinaan-hinaan dari mulut Sarah saat ini.
Karena aku tau perkataannya ternyata memang benar.
Semuanya. 2 April 2008 Demam Adit sudah mereda. Aku dan Ibu sudah bisa merasa sedikit lega sekarang. Selama tiga hari ini, kami berdua benar-benar tidak tidur. Kami terus berjaga
untuk mengganti kompres Adit dan terus menenangkan tangisannya. Setelah memberikannya obat, barulah demamnya mulai turun.
Aku sadar sekalipun kami terlihat tenang, kami berdua sebenarnya begitu ketakutan. Ketakutan akan kehilangan Adit untuk selama-lamanya. Aku tau luka dari
kepergian Ayah masih sangat berbekas di diri kami. Dan kurasa kami berdua tidak lagi bisa membayangkan apa yang terjadi jika Tuhan juga berniat mengambil
Adit dari kami. Adit hanya baru berusia 1 tahun. Dan dia bahkan tidak memiliki kesempatan untuk bisa mengenal ayahnya sendiri.
Karena itu aku hanya berharap dia tumbuh sehat dan bahagia. Hanya itu.
9 Januari 2011 Aku benar-benar tidak menyadari sudah lebih dari 2 tahun aku tidak lagi menulis di jurnal ini. Rasanya lagi-lagi waktu berlalu cepat. Dan bahkan hingga
sekarang pun, aku masih mengharapkan ada perubahan baik di dalam hidup kami.
Tapi kurasa perubahan itu sepertinya masih belum datang.
Satu-satunya hal yang membuatku bahagia saat ini adalah keluargaku. Adit kini sudah berusia 4 tahun, sudah bisa berjalan dan berbicara dengan sangat menggemaskan.
Kurasa hanya Aditlah yang bisa memberiku dan Ibu senyuman dan tawa saat ini. Dia malaikat kami, sosok murni yang dititipkan Tuhan pada kami di antara keburukan-keburukan
yang mengelilingi hidup kami.
Keburukan-keburukan ... Pria itu tetap masih datang ke rumah kami.
Dan sama seperti dulu saat aku kecil, dia memperlakukan Adit seperti anaknya sendiri. Dia selalu membawakannya mainan-mainan baru setiap kali berkunjung.
Dan aku sudah cukup bisa melihat ada sorot kekaguman terpampang jelas di mata Adit setiap kali pria itu datang menghampirinya.
Adikku menyukai Pria Itu, sama seperti saat aku seusianya dulu. Saat aku masih belum mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.
Dan aku kini bersikap seperti ibuku, meminta Adit untuk masuk ke kamar lantai atas dan ikut bermain dengannya sampai Ibu kembali memanggil kami ke bawah.
Bedanya, kali ini aku tidak lagi tahan menatap Ibu setiap kali mereka keluar kamar. Bayangan pria itu menyentuh Ibu tetap tergambar jelas di kepalaku,
membuatku bergidik. Tapi tetap saja, aku masih membiarkan pria itu membelai rambutku seolah aku adalah anak perempuannya.
Dan hari ini tentu saja dia datang.
21 Desember 2011, Hari ini aku dipanggil oleh Bu Emma.
Aku tau apa yang ingin dia bicarakan. Karena itu begitu dia memanggil namaku di depan kelas setelah pelajaran usai, aku hanya bisa menunduk takut. Dan
saat dia mengatakan bahwa dia tidak akan meluluskanku dalam mata kuliah ini, aku hanya bisa pasrah.
Saat aku mengetahui bahwa aku dan Sarah berada dalam satu kelompok, rasa was-was itu tentu saja langsung datang. Rasanya seperti saat SMP dulu. Aku tau
Sarah tidak akan menghiraukanku di kelompoknya, tapi aku tidak menyangka dia akan menggunakan itu untuk melakukan sesuatu padaku.
Seharian itu, aku terus memegang telpon. Aku bahkan berniat untuk nekat menelponnya, hanya untuk menanyakan tentang tugas kelompok ini. Aku tau betul Bu
Emma tidak akan meluluskanku dalam mata kuliahnya jika aku ketahuan tidak bekerja dalam kelompok-apa pun alasannya.
Berkali-kali aku meyakinkan diriku untuk tidak lagi mengulangi kesalahanku seperti saat SMP dulu. Aku tidak ingin membiarkan Sarah mengangguku, berhasil
merusak pendidikanku, terlebih lagi aku mendapatkan bantuan beasiswa kali ini. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan Ibu saat mengetahui masalah
ini. Dengan sisa keberanian itu, aku akhirnya mengirim pesan pada Sarah. Untuk pertama kalinya selama 21 tahun ini.
Tapi dia tidak membalas pesanku sama sekali. Ketakutanku kembali datang, seperti saat setiap kali dia mengangguku. Aku sadar Sarah jelas-jelas tidak akan
memberitahuku sedikit pun tentang tugas ini. Dan aku sadar dia juga pasti sudah menyuruh anggota lain untuk tidak memberitahuku.
Lalu akhirnya aku membiarkan ketakutan itu menyelimutiku dengan cepat tanpa bisa kulawan.
Rasanya seperti kembali ke masa-masa dulu, saat keberadaannya saja sudah bisa membuatku menunduk takut dan tidak bisa berpikir jernih. Sarah masih mengintimidasiku,
namun kini dia melakukannya di belakangku.
Dan seperti dulu, aku tidak berani mengatakan hal yang sebenarnya pada Bu Emma-atau siapa pun. Karena aku tau setelah itu Sarah benar-benar akan mengincarku.
Itu, dan juga karena aku tidak yakin Bu Emma akan berpihak padaku.
12 Maret 2012 Aku berusaha sekuat tenaga untuk menyelesaikan kuliahku tepat waktu, benar-benar berusaha. Aku harus menambah mata kuliah lain untuk menutup mata kuliahku
yang tidak lulus. Beasiswaku hanya diberlakukan untuk 7 semester, karena itu aku harus wisuda Desember ini. Jika tidak, aku akan tetap berhenti kuliah dan mulai bekerja-dengan
gaji berapa pun. Aku tau aku tidak mungkin memberatkan Ibu untuk hal ini. Dan aku ingin cepat-cepat membantu Ibu dan menyekolahkan Adit dan membuatnya
hidupnya lebih nyaman. Tapi jika aku bisa lulus dengan nilai baik, kesempatanku untuk memperbaiki hidup kami akan lebih besar.
Aku bisa membawa Ibu dan Adit keluar dari kota ini.
Aku ingin sukses dan bekerja di Ibukota, kemudian membawa mereka bersamaku dan kami bertiga bisa tinggal bersama. Jauh dari kota ini, jauh dari Pria Itu,
jauh dari Sarah dan semua orang di Angor.
Itu satu-satunya cara untuk menghentikan semua hal buruk ini.
10 Oktober 2012 Aku lulus! Aku benar-benar lulus! Dan cumlaude!
Tuhan mendengarkan doaku dan Ibuku. Ibu sejak tadi berkali-kali tidak bisa menahan tangis. Kami berdua berakhir berpelukan di sofa dengan berlinang air
mata. Aku bahkan hampir lupa memberitahunya bahwa wisudaku akan berlangsung 2 bulan lagi.
Dan sebentar lagi aku bisa mewujudkan impianku.
21 Desember 2012 Aku dan ibuku berdiri sedikit jauh dari kerumunan pemakaman ini. Tapi aku masih bisa melihat jelas wajah Lauren dari sana.
Hatiku pilu melihat sorot mata itu.
Apakah sorot mataku juga terlihat seperti itu saat Ayah meninggal dulu?
Sorot mata itu benar-benar kosong dan mati, seolah-olah dia kini sedang berada di dunia lain dan hanya badannya yang tertinggal di bumi ini. Dan dia sendiri
tidak merasa perlu untuk menarik pikirannya kembali ke dalam tubuhnya.
Aku sama sekali baru mendapat kabar tentang kecelakaan itu kemarin sore, persis setelah upacara wisuda kami selesai. Aku menyadari bahwa ada beberapa orang
yang membawa Lauren pergi sebelum upacara wisuda dimulai beberapa menit lagi.
Tidak ada yang menyangka. Kematian itu datang tiba-tiba.
Bahkan hingga sekarang pun, aku masih belum terbiasa bagaimana dengan mudahnya seseorang pergi selamanya dari dunia ini. Pergi begitu saja.
Wajah Lauren sampai kini masih terbayang jelas di kepalaku. Dia bahkan sepertinya tidak lagi menyadari siapa pun di sekelilingnya. Sekalipun semua orang
memeluknya dan memberikannya pelukan hangat penuh semangat. Paman dan bibinya, teman-temannya, dan Tommy.
Rasanya seperti dia ikut mati bersama orang tua dan adik kecilnya.
*** BAB 41. Uglier 30 Desember 2012 Aku mendengar Lauren akan pindah ke ibukota beberapa hari lagi. Benar-benar pergi dari kota ini.
Semua orang di kota ini sepertinya sangat menyayangkan keputusan Lauren. Beberapa dari mereka bahkan terang-terangan berkata bahwa Lauren melakukan ini
hanya untuk melarikan diri dari kesedihannya.
Lauren memiliki hak untuk melanjutkan hidupnya sendiri, bagaimana pun caranya. Dan jika ini jalan terbaik untuknya, maka aku sangat berharap dia benar-benar
melakukannya. Beberapa hari setelah pemakaman keluarganya, aku sadar Lauren tidak lagi tinggal di rumahnya. Dia kini tinggal di rumah paman dan bibinya.
Tapi aku tau selama itu, dia tetap selalu mendatangi rumahnya setiap hari. Hanya beberapa menit, dia akan berdiri di depan rumah itu.
Aku tau karena aku melihatnya.
Mungkin suatu hari nanti, saat aku sudah bisa pindah ke ibukota, aku akan memberitahunya bahwa rumah kami sebenarnya berdekatan. Hanya dipisahkan oleh
hutan kecil, hutan yang berada tepat di depan rumahnya.
Dulu, saat aku masih kecil, beberapa kali aku menyeberangi hutan itu. Hanya untuk melihatnya sebentar. Dia dulu sering piknik bersama orang tuanya di halaman
dan aku selalu senang memperhatikan kebersamaan mereka. Pernah beberapa kali, orang tuanya menyadari keberadaanku di pinggir hutan. Saat itu aku hendak
bergegas pergi, tapi kemudian mereka memanggilku dan malah menawarkanku puding, es krim atau makanan enak lainnya.
Mereka orang baik. Mungkin karena itu, Tuhan mengambil mereka lebih cepat karena takut mereka akan tercemar di dunia ini.
Beberapa hari kemarin, aku kembali mengulang kebiasaanku itu. Dan aku menyadari betapa semuanya terasa berubah. Aku dan juga Lauren.
Aku masih mengingat jelas wajahnya saat itu. Terkadang dia hanya berdiri diam memandangi rumah itu, kadang dia duduk dan berbaring di halaman rumahnya,
dan kadang dia bahkan duduk bersandar di lantai teras.
Satu hal yang kusadari, dia sama sekali tidak pernah memasuki rumah itu. Dia hanya menatap rumah itu dengan sorot kosong penuh luka, tapi dia tidak pernah
menangis. Dia ingin kembali masuk ke rumah itu, berharap keluarganya masih ada di dalam, sama sekali tidak pernah meninggalkannya. Tapi dia tau harapan itu akan
hancur begitu dia benar-benar masuk ke dalam dan menyadari rumah itu kini benar-benar kosong selamanya.
Beberapa kali rasanya aku hampir ingin berjalan dari persembunyianku dan memberinya pelukan. Aku tau dia pastinya sama sekali tidak mengharapkan hal itu
dari siapa pun-terutama dariku. Jadi kutahan niat itu dan tetap di tempatku.
Sejak dulu, aku selalu mengaguminya. Aku tau dia adalah wanita kuat. Aku tau dia akan selamat dari semua ini.
Aku tidak memandangnya seperti aku memandang Sarah dan teman-temannya yang lain. Sekalipun dia memang hampir ikut di setiap waktu saat Sarah menghina,
membentak dan memukuliku.
Tapi dia baik. Dan aku sadar dia selalu mengecekku begitu Sarah dan teman-temannya sudah selesai dan pergi meninggalkanku. Aku sadar Lauren selalu berjalan paling belakang,
berbalik dan menatapku sekilas.
Dia tidak menatapku dengan sorot jijik atau benci. Dan itu sudah cukup memberiku sedikit harapan.
Mungkin ini terdengar sangat bodoh. Tapi aku merasa Lauren dan aku akan bisa berteman begitu aku dan dia sama-sama tinggal di ibukota nanti.
Aku menatap jurnal itu dengan diam. Kemudian beberapa saat kemudian, barulah aku sadar sejak tadi air mataku sudah mengalir deras. Pandanganku kabur dipenuhi
oleh air mata yang masih menumpuk di pelupuk mataku.
Dadanya terasa nyeri, penuh dengan penyesalan dan rasa sedih yang mendalam bercampur menjadi satu.
Setiap perkataan Hilda tentangku dan keluargaku ...
Ia mengerti kondisiku saat itu, lebih dari siapa pun. Ia mengerti mengapa aku mendatangi rumah ini setelah pemakaman itu setiap hari. Ia mengerti betapa
matinya diriku saat kematian keluargaku datang.
Dan ia bahkan mendatangi pemakaman keluargaku, di saat aku sama sekali tidak peduli dengan pemakaman ayahnya dulu.
Semuanya benar dan aku benar-benar tidak menyangka Hilda melihatku seperti sosok yang ia jelaskan di tulisan itu. Perasaanku kembali berkecamuk, merasakan
kembali penyesalan yang luar biasa besar terhadap Hilda. Semua sikap pengecutku, sikap diamku saat Hilda di perlakukan tidak adil, dan sikapku yang mudah
melupakannya dalam ingatan-ingatanku saat kecil dulu.
Dengan tangan gemetar, aku mulai menghapus air mataku kemudian menarik napas perlahan. Aku berusaha kembali fokus pada jurnal ini, melanjutkan membaca
tulisannya. Aku akan berusaha untuk membantumu kali ini, Hilda ...
25 Januari 2013 Setelah kepergian Lauren, rasanya perlahan-lahan kota ini kembali sibuk. Pembicaraan tentang Lauren tidak lagi sering terdengar. Kabar terakhir yang kudengar
adalah Lauren sudah mendapat pekerjaan di ibukota.
Kabar itu membuatku semakin bersemangat untuk terus mengejar impianku.
Semua teman-teman seangkatanku sudah mulai sibuk mencari pekerjaan. Kebanyakan dari mereka sudah mendapat pekerjaan, tentu saja. Dan hampir semuanya melamar
pada perusahaan Waksono. Aku masih harus menunggu ijazahku keluar. Kemudian aku akan langsung mencari lamaran di ibukota. Adit akan masuk SD tahun depan, jadi aku akan berusaha
untuk mendapatkan pekerjaan di ibukota sebelum itu.
Aku akan tetap berusaha. 10 Maret 2013 Ibuku sakit. Sudah lebih dari 2 minggu ini dia terbaring lemah di tempat tidur. Dokter bilang dia terkena tipus. Jadi aku harus merawatnya dengan ekstra.
Dan rencanaku untuk pergi ke ibukota beberapa hari lalu batal. Aku sudah meminta mereka untuk mengganti jadwal wawancaraku di lain hari, tapi kali ini
mereka menolak karena ini sudah kedua kalinya aku meminta jadwalku diganti.
Aku tidak mungkin meninggalkan ibu sendiri di sini, sekali pun dia dirawat di rumah sakit sekali pun. Aku juga tidak mungkin membiarkan Adit sendiri. Dia
masih balita. Aku memang menginginkan pekerjaan di ibukota. Tapi aku lebih membutuhkan keluargaku sehat terlebih dulu.
9 April 2013 Tuhan, boleh aku bertanya padamu?
Apa yang ada di ujung takdirku? Apa ada bahagia di sana?
Karena sekarang aku benar-benar tidak melihatnya sedikit pun.
Aku benar-benar merasa kotor hingga rasanya aku ingin menguliti kulitku sendiri. Aku merasa sangat pengecut hingga rasanya aku berharap seseorang membunuhku
kali ini. Aku membenci Pria Itu. Sangat-sangat membencinya.
Dia menghancurkan semua harapanku sehabis-habisnya. Dan dia melakukannya karena dia tau aku sama sekali tidak bisa melawannya. Aku, Ibu atau siapa pun.
Dia kini menggunakanku sebagai pengganti Ibu.
Malam itu, dia tiba-tiba datang berkunjung ke rumah kami. Tengah malam. Dan begitu dia menyadari bahwa ibuku masih terbaring sakit di tempat tidur, dia
langsung marah. Marah, sama sekali tidak peduli dengan keadaan Ibu. Dia marah karena artinya dia tidak bisa meniduri ibuku sekarang ini.
Lalu dia menarikku dengan senyum menjijikannya dan membawaku masuk ke dalam kamarku sendiri.
Aku berusaha melawan, mencakar apa pun yang memegangiku. Tapi dia langsung mengimpitku. Kemudian dia mulai membisikkan janji-janji dan ancaman begitu aku
berani bersuara. Dia tau tentang rencanaku untuk mencari pekerjaan di ibukota. Dia berkata akan berusaha merusak segala kesempatanku untuk keluar dari kota ini sekarang.
Dia bilang dia akan memberikanku pekerjaan di kantor hukum seperti yang kuinginkan, dia akan memberikan biaya rumah sakit untuk perawatan Ibu, dia akan
memberikan biaya pendidikan penuh hingga kuliah pada Adit dan janji-janji lainnya.
Dan sebagai gantinya, dia akan sering mengunjungiku mulai sekarang. Mengunjungiku, bukan lagi ibu.
Aku tidak memberikan jawaban.
Karena aku tau dia tidak peduli jawabanku. Dia selalu menggunakan pilihannya sendiri. Sama seperti yang dia lakukan pada Ibu.
Lalu dia bergerak, mulai menggunakan badanku seperti boneka rongsokan.
Begitu selesai, dia tertawa seperti iblis. "Aku baru benar-benar menyadari ibumu sudah tua sekarang. Kini kau resmi menjadi pelacurku."
Sampai dia benar-benar pergi dari rumahku, barulah aku bergerak. Aku berjalan menuju kamar mandi, membersihkan badanku berkali-kali, membersihkan darah
yang menumpuk di setiap kuku-kuku tanganku, membersihkan serpihan kayu yang menempel di sana.
Malam itu aku tidur di kamar Adit. Dan sampai aku menutup mata pun, aku tidak merasakan ada air mata muncul.
Mungkin sejak saat itu Hilda sudah mati.
3 Mei 2013 Ibu akhirnya tau apa yang dilakukan Pria Itu padaku. Pria itu yang mengatakannya pada Ibu dengan jelas. Dia kini jelas tidak peduli lagi keberadaan Ibu.
Begitu mendengar hal itu, Ibu langsung pucat, gemetaran dan menatapku dengan mata berkaca-kaca.
Ibu sudah sembuh, namun kondisinya masih lemah. Dia bahkan masih sering menghabiskan waktu beristirahat di kamar.
Dan kabar ini justru kembali membuatnya lemah.
Tapi Pria itu tentu saja tidak peduli dengan hal ini.
Begitu pria itu pergi, barulah Ibu menangis sejadi-jadinya padaku. Aku berusaha tenang, mencoba mengingatkan Ibu bahwa tangisannya bisa membangunkan Adit.
Malam itu aku dan Ibu tidur bersama, seperti saat aku kecil dulu. Ibu terus mengelus rambutku berulang kali dengan lembut. Sampai dia terlelap, mulutnya
terus bergerak mengucap maaf padaku. "Maafkan aku ... maafkan aku ..." begitu sampai dia benar-benar terlelap.
Setelah dia benar-benar tertidur. Barulah aku menghapus sisa air matanya dan menjawab maafnya.
'Tidak ada yang bisa kita lakukan. Ibu tau dia siapa, dan Ibu tau kita siapa.' kataku padanya.
10 September 2013 Pria itu kini datang hampir setiap minggu. Dan setiap kali itu juga aku merasa mati. Beberapa kali aku bahkan membiarkan kukuku mengikis kayu itu hanya
untuk membiarkan darah itu mengucur keluar, berharap aku bisa merasakan kesakitan. Tapi aku tidak merasakannya sama sekali.
Jadi aku semakin yakin kalau aku mungkin benar-benar mati.
1 Oktober 2013 Pria itu menepati janjinya. Dia menepati janjinya untuk menempatkanku di biro hukum miliknya.
Aneh rasanya. Ini adalah salah satu cita-citaku sejak dulu untuk bekerja di dunia hukum. Tapi yang aku rasakan sekarang hanya malu dan takut.
Aku bahkan tidak lagi berani menatap orang-orang sekarang. Dan sebutan yang seringkali Sarah lontarkan padaku kini semakin terngiang-ngiang begitu kencang
di telingaku setiap saat.
Yang dikatakan Sarah memang benar.
Aku pelacur. Ibuku pelacur.
21 Februari 2014 Aku sadar bukan hanya aku yang mati. Tapi juga Ibu. Semua hal ini, semua yang terjadi pada keluarga kami, perlahan mulai membuat Ibu lemah dan kosong.
Selama beberapa minggu ini, aku menyadari betapa ibuku semakin berubah murung. Jauh lebih murung sejak kematian Ayah. Dia bahkan tidak lagi berusaha untuk
menutupinya di depan Adit.
Sudah beberapa kali Adit bertanya padaku apa terjadi sesuatu pada Ibu. Dan aku masih berbohong, berusaha untuk mempertahankan keluguannya. Dia tidak pantas
untuk ikut tercebur dalam semua keburukan yang terlanjur melumuri aku dan Ibu.
Dia berhak untuk hidup layak, jauh dari semua hal ini.
15 Juni 2014 Hari ini hari pertama Adit menjadi siswa SD Angor. Aku mengantarkannya sampai ke gerbang sekolah. Ibu sebenarnya meminta ikut bersama kami, tapi aku yang
melarang. Kondisi Ibu akhir-akhir sangat lemah. Ia mudah sekali pusing. Jadi aku menyarankannya untuk tetap di rumah. Dia bahkan sudah beberapa hari ini
izin bekerja. Aku tau Ibu dan aku sangat amat khawatir dengan Adit. Kami hanya tidak ingin Adit juga diperlakukan sama seperti kami. Adit pantas mendapatkan hidup layak
dan normal seperti anak-anak lainnya.
Aku sangat berharap dia tetap tersenyum.
Aku sangat berharap tidak ada yang bisa merenggut senyum itu dari wajahnya.
19 April 2015 Ibu bersikap aneh lagi. Kukira sikapnya akan berhenti setelah beberapa minggu berlalu. Aku kira hal ini muncul karena Ibu hanya sedang sangat merindukan Ayah, terutama beberapa
hari lalu adalah hari kematian Ayah.
Tapi kemarin malam, aku kembali memergokinya sedang berbicara sendiri di kamarnya. Dia kembali berbicara sambil menangis, betapa dia mencintai Ayah, merindukannya
dan berkali-kali berkata kalau dia ingin agar Ayah menjemput kami semua bersamanya.
29 Desember 2015 Tuhan, aku lelah. Aku ingin mati.
Aku tidak bisa menjaga Adit dengan baik. Senyum itu kini hilang di wajahnya.
Aku juga tidak bisa menjaga ibuku dengan baik. Dia kini semakin kacau. Aku bahkan tidak yakin dia menginginkan bantuanku untuk menyembuhkannya.
Kurasa lebih baik kau mengirimkan orang yang lebih baik dari aku untuk mereka. Mereka berhak mendapatkan hidup yang layak.
Dan aku rasa aku tidak mewujudkan hal itu pada mereka.
30 Desember 2015 Tuhan, aku benar-benar lelah.
Aku tidak sanggup. 31 Desember 2015 Tuhan, aku benar-benar akan pergi sebentar lagi.
Aku bisa merasakan keyakinan itu lebih jelas sekarang.
Karena itu sekarang, aku rasa aku bisa meluapkan semua perasaan yang selama ini tidak bisa kuungkapkan sebelumnya. Bahkan di jurnal ini.
Pertama, mengenai Sarah. Aku sadar kalau
Alisku langsung mengerut, menyadari bahwa itu adalah lembar terakhir. Dan tatapanku langsung terpaku pada bekas sobekan di halaman berikutnya.
Siapa pun itu, mereka telah berhasil merobek halaman terakhir jurnal ini.
*** BAB 42. Menyerah Aku meraba bekas robekan jurnal tersebut dengan pikiran berkecamuk. Berkali-kali aku mencoba menarik napas, berusaha untuk menjernihkan kepalaku agar bisa
kembali berpikir dengan tenang kembali.
Semua isi jurnal itu ... terutama bagian terakhir yang baru saja kubaca ...
Hidup gadis hancur dan semakin hancur begitu ia dipaksa menggantikan posisi ibunya untuk melayani nafsu pria itu. Dan itu sudah berlangsung lebih dari
4 tahun, tanpa ada seorang pun di kota ini yang bisa menolongnya dan keluarganya.
Dan kalimat di jurnal itu ...
" ... Aku tidak bisa menjaga Adit dengan baik. Senyum itu kini hilang di wajahnya.
Aku juga tidak bisa menjaga ibuku dengan baik. Dia kini semakin kacau. Aku bahkan tidak yakin dia menginginkan bantuanku untuk menyembuhkannya.
Kurasa lebih baik kau mengirimkan orang yang lebih baik dari aku untuk mereka. Mereka berhak mendapatkan hidup yang layak.
Dan aku rasa aku tidak mewujudkan hal itu pada mereka."
"... Tuhan, aku benar-benar akan pergi sebentar lagi.
Aku bisa merasakan keyakinan itu lebih jelas sekarang."
Aku kembali membaca kalimat itu berkali-kali. Hilda jelas-jelas terdengar begitu ingin menyerah dengan hidupnya dan berkali-kali ingin Tuhan mengambil
nyawanya, pergi dari dunia ini selamanya. Ia menyerah begitu karena Adit perlahan mulai menjadi seperti dirinya dan ibunya, ikut dikucilkan oleh kota ini.
Dan ibunya sepertinya semakin depresi daripada sebelumnya.
Apa ... Hilda memang benar-benar bunuh diri?
Selama beberapa menit, pikiranku terasa kosong dan begitu lelah untuk bisa berpikir. Aku kini benar-benar bisa mulai merasakan bahwa keyakinanku akan dugaanku
sebelumnya tentang kematian Hilda mulai melemah semakin cepat.


Silent Girl Karya Indah Thaher di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bahkan tentang robekan jurnal ini pun.
"... Karena itu sekarang, aku rasa aku bisa meluapkan semua perasaan yang selama ini tidak bisa kuungkapkan sebelumnya. Bahkan di jurnal ini.
Pertama, mengenai Sarah. Aku sadar kalau"
Hilda jelas-jelas hendak menceritakan sesuatu tentang Sarah. Sesuatu yang sebelumnya tidak pernah ia ungkapkan.
Dugaan bahwa Sarahlah yang merobek dan menghilangkan kertas terakhir di jurnal itu sempat terbesit di dalam pikiranku. Robekan ini kemungkinan bisa jadi
adalah bukti yang ingin Sarah hilangkan, bukti yang ia minta singkirkan pada suruhannya saat aku memergoki percakapan mereka di taman pemakaman saat itu.
Mungkin saja ia benar-benar berhasil menyusup ke dalam kamar Hilda malam itu atau malam berikutnya tanpa sepengetahuan mereka. David sendiri pernah mengatakan
kemungkinan itu padaku tadi. Anak buah Sarah menyusup, merobek jurnal itu lalu melemparkannya ke balik kepala tempat tidur Hilda.
Tapi bagaimana dan darimana Sarah mengetahui tentang keberadaan jurnal itu? Bagaimana ia bisa mengetahui bahwa Hilda menuliskan sesuatu tentangnya di dalam
jurnal itu hingga ia merasa terancam karenanya? Aku bahkan tidak pernah melihat Hilda membawa buku itu. Aku bahkan ragu Hilda pernah membawa jurnal ini
keluar dari kamarnya. Helaan napas kembali muncul keluar dari mulutku.
Aku menatap ponselku selama beberapa saat dengan diam. Kemudian akhirnya aku meraih ponsel itu dan mulai memencet tombol untuk membuat panggilan.
Setelah nada terhubung pertama terdengar, ia langsung menjawab. "Lauren?"
"David." Aku menarik napas pelan. "Kau bisa datang ke rumah sekarang? Aku perlu bicara sesuatu denganmu," sambungku.
Kurasa sudah saatnya aku memberitahunya tentang jurnal ini.
*** Suasana di dalam ruang tamu ini benar-benar hening. Beberapa menit berlalu tanpa ada satu pun dari kami yang bersuara, yang terdengar hanya detik jarum
jam. Aku tetap memandangi David yang kini berdiri di hadapanku, bersandar di dinding sambil memegang buku jurnal tersebut. Wajahnya masih berkerut, matanya
terus bergerak membaca isi jurnal tersebut dengan cepat.
Aku tetap menunggunya memberikan tanggapan untuk semua dugaan yang ada di kepalaku.
Setelah David sampai di rumahku, aku langsung mulai menceritakan semua isi pikiranku yang sejak tadi terus berputar-putar penuh di dalam otakku. David
hanya diam, tetap memberikanku kesempatan hingga ceritaku benar-benar selesai.
Lalu kemudian aku akhirnya menyerahkan jurnal itu padanya. Wajah David sama sekali tidak berubah. Bahkan saat aku mengatakan padanya bahwa aku sudah menemukan
jurnal ini sejak kami berkunjung ke rumah Hilda beberapa waktu lalu, seolah ia sudah menduga hal ini sebelumnya.
Aku mengingat kembali sorot aneh yang ia lontarkan padaku saat kami berkunjung ke rumah Hilda saat itu-tepat setelah aku baru saja keluar dari kamar Hilda.
Kurasa ia memang sudah tahu sejak awal, bahwa ada sesuatu yang kutemukan di kamar itu.
Dan ia menungguku, yakin bahwa aku akan pasti akan mengatakannya cepat atau lambat.
"Kau punya dugaan tentang siapa pria yang dimaksudkan Hilda di jurnal ini?" tanya David akhirnya.
Pandangannya masih tertuju pada jurnal itu, tapi matanya tidak lagi bergerak mengikuti isi jurnal itu. Aku menyadari ia kini sedang meraba bekas robekan
di halaman terakhir jurnal itu terisi.
"Awalnya aku menduga itu adalah Pak Wira. Tapi kau tau itu tidak benar," jawabku. David mengangguk, dan aku yakin ia juga sudah membaca bagian bahwa pria
itu menertawakan kota ini karena memakan rumor salah tentang Pak Wira dan Ibu Hilda.
"Siapa pun pria itu, aku yakin dia adalah orang penting di kota ini. Mungkin saja pejabat atau semacamnya. Jika tidak, Hilda dan keluarganya tidak akan
setakut itu padanya." Aku menarik napas lelah. "Tapi selama ini aku benar-benar tidak pernah melihat siapa pun yang mendekati keluarga Hilda selain Pak
Wira," sambungku. David mengangguk paham. Ia kemudian menatapku beberapa saat. "Tadi aku datang ke rumah Hilda," ujarnya. Ia terdiam sejenak. "Kurasa aku menemukan sesuatu,"
sambungnya. Aku menatapnya dengan diam, menunggunya melanjutkan penjelasannya.
"Satu sisi jendelanya tidak terkunci. Rusak, bagian besi kuncinya hilang. Kini jendela itu hanya dikaitkan dengan sebuah tali untuk tetap tertutup." Ia
kembali terdiam sejenak. "Dan aku menemukan bekas congkelan di sisi jendela bagian luar."
Mataku membesar, menyadari apa yang dimaksud David.
"Jendela itu longgar dan mudah berayun tanpa kunci tersebut. Jadi kurasa sangat aneh jika Hilda atau keluarganya membiarkan jendela itu tetap rusak untuk
waktu yang sangat lama. Dan ikatan tali itu jelas terlihat baru," sambungnya.
"Maksudmu ada kemungkinan bahwa seseorang berusaha menyusup masuk dengan paksa ke kamar Hilda saat malam kematian Hilda?" tanyaku.
"Mungkin. Tapi hal ini masih belum kuat untuk dijadikan bukti. Terlalu gamblang," jawab David dengan tenang.
Aku mengangguk, menyadari perkataan David memang benar. Dan lagi-lagi aku kembali merasakan keyakinanku tentang dugaan kematian Hilda mulai menipis.
"Kemungkinan bahwa Hilda benar-benar bunuh diri memang lebih besar sekarang," ujar David, seolah menyuarakan isi pikiranku. Ia jelas-jelas bisa membaca
ekspresiku. Aku menunduk, pikiranku kembali dipenuhi oleh bayangan-bayangan menyakitkan tentang hidup Hilda selama ini. Semua yang tertulis di dalam jurnal itu sudah
cukup bisa menggambarkan betapa dorongan-dorongan yang Hilda dapatkan selama ini mulai membuatnya memikirkan untuk mengakhiri hidupnya sendiri. Semua kesedihan
dan ketidakadilan itu tentu saja cukup untuk membuat siapa pun di dunia ini untuk menyerah.
"Kurasa kita juga mendapat jawaban tentang goresan-goresan yang ada di rangka tempat tidur Hilda," kata David beberapa saat kemudian.
Aku mendongak, kemudian tertegun beberapa saat. "Ya," jawabku. Suaraku terdengar begitu serak.
Goresan-goresan itu adalah bekas goresan tangan Hilda, yang ia buat setiap kali pria itu datang mengunjunginya dan menggunakan tubuhnya.
Suasana kembali diam. Dan aku kembali menunduk, meremas tanganku. Aneh, aku sadar keyakinanku bahwa Hilda dibunuh mulai menipis. Tapi keyakinan itu masih
ada dan masih bisa memunculkan dorongan kuat bahwa aku harus tetap berjalan semakin dalam lagi untuk menemukan sesuatu tentang hal ini-entah apa itu.
Aku menarik napas panjang, mencoba memedamkan rasa bingung yang luar biasa besar yang sejak tadi datang menyelimutiku dengan cepat. Mimpi tentang percakapanku
dengan Hilda di tepi danau beberapa waktu lalu kembali terngiang di dalam kepalaku.
Ia bilang ia akan menunjukan jawabannya padaku, tentang kematiannya. Inikah jawabannya? Itukah alasannya kenapa takdir menunjukku untuk menemukan jurnal
miliknya itu? Hilda ... kau memanggilku ke kota ini untuk membantumu, kan? Bukankah itu tujuanmu? Kau ingin menunjukkanku sesuatu tentang apa yang terjadi di kota ini
dan menghentikannya, kan?
"Ikut aku," ujar David tiba-tiba.
Aku mendongak dan mendapatinya kini sedang berjalan menuju tepi sofa dan mengambil jaket kulit hitamnya.
"Kita akan kemana?"
Ia menatapku sekilas, lalu mulai mengenakan jaketnya. "Ada acara terbuka, baru mulai sejam yang lalu. Dan tempatnya tidak jauh dari balai kota."
Aku menatapnya bingung, masih tidak mengerti dengan tujuannya mengajakku ke sana.
"Itu acara pembukaan pabrik baru milik keluarga Waksono. Dan kurasa aku mendengar bahwa Pak Reyhan dan walikota Angor akan datang ke acara ini," jelas
David. Aku terdiam sejenak, sedikit kaget dengan kabar ini. "Semua orang di kota ini akan datang," gumamku. Aku sangat yakin dengan hal itu.
"Karena ini adalah milik keluarga Waksono?" tebak David.
"Ya." Tidak jarang keluarga Waksono mengadakan acara seperti ini. Dan mereka akan melakukan acara sesederhana ini seperti festival. Akan ada suguhan makanan
gratis dan acara hiburan hingga sore hari. Semua orang di kota ini akan datang, terlebih karena keluarga Waksono sangat dihormati di kota ini.
Jantungku mulai berdetak, menyadari bahwa aku mungkin akan bisa bertemu dengan semuanya di acara ini. Semua.
Dan kami mungkin bisa menemukan sesuatu dari sana.
Aku bergegas berdiri dan berjalan menuju kamar, mengganti bajuku dengan kemeja dan jins. Begitu selesai, aku langsung mengikuti David yang baru saja menghilang
di balik pintu masuk rumahku.
David langsung menghidupkan mesin mobil begitu aku sudah duduk di kursi penumpang. Mobil mulai berjalan menjauh meninggalkan pekarangan rumahku.
Aku menatap David, menyadari alasan mengapa ia mengajakku ke acara tersebut.
"Terima kasih," ujarku beberapa saat kemudian.
David menoleh padaku sekilas. "Untuk apa?" tanyanya tenang.
"Untuk tetap memberikanku kesempatan menyelidiki kasus ini." Aku tahu David menyadari bahwa masih ada sebagian diriku yang belum menerima bahwa kematian
Hilda disebabkan karena bunuh diri. Bahkan sekali pun jurnal itu sudah menunjukkan hal itu dengan sangat jelas. Sekali pun ada bagian yang sengaja dihilangkan
dari jurnal itu. Ia kembali menatapku sekilas. Tapi ia tetap diam, tidak berkata apa-apa.
Sampai akhirnya mobil kami berhenti di tempat tujuan, barulah ia mulai berbicara. Dan sama sepertinya, aku juga menatap kerumunan di lapangan itu dengan
takjub. "Ada sebagian dari diriku yang juga masih belum puas dengan kasus ini. Dan kurasa acara ini akan membantu kita menemukan sesuatu dari kota ini," ujarnya.
*** BAB 43. Sang Penyelamat Kota
Aku menatap beberapa pejalan kaki yang baru saja keluar dari mobil-mobil yang terparkir di belakang kami. Jalanan di sekitar pabrik ini kini semakin ramai
dipenuhi oleh mobil-mobil pengunjung.
David kemudian berbalik, meraih sesuatu dari kursi belakang. Lalu ia kemudian menyodorkannya padaku.
Aku mendongak dan mendapatinya memberikanku sebuah topi.
"Kita sama sekali tidak diundang. Jadi kurasa kedatangan kita tidak akan disambut baik," ujarnya santai.
Aku mendengus, setuju dengan ucapannya. Aku langsung mengambil topi berwarna merah gelap itu dan memakaikannya ke kepalaku. Topi itu cukup longgar di kepalaku,
sehingga kuputuskan untuk menaikkan rambutku hingga masuk sepenuhnya ke dalam topi.
David kembali bergerak meraih ke kursi belakang dan ia sudah mengenakan topi hitam di kepalanya sebelum aku sempat bertanya padanya.
Dia detektif-polisi. Tentu saja ia sudah memiliki bahan penyamaran sederhana seperti ini di mobilnya.
"Ayo," ujar David begitu ia sudah mematikan mesin mobil.
Ia kemudian membuka pintu dan keluar dari mobil. Aku mengikutinya dari belakang. Kami berjalan di trotoar, menuju gerbang yang kini terbuka lebar. Beberapa
orang melewati kami, berjalan cepat sambil tertawa senang menuju gerbang. Kurasa sampai kini, tidak ada yang menyadari sosok kami.
Aku menoleh, menatap ke dalam pabrik itu. Pagar besi berwarna hitam mengelilingi pabrik ini, namun aku masih bisa melihat dengan jelas acara itu dari luar.
Pabrik itu lumayan besar, sebuah gedung dengan cat putih dan lapangan yang besar yang berada di samping gedung. Aku menduga lapangan itu adalah lapangan
parkir yang nantinya digunakan untuk truk-truk pengangkut barang pabrik tersebut.
Acara itu sendiri diadakan di lapangan parkir pabrik tersebut.
Begitu kami akhirnya melewati gerbang, barulah aku mulai bisa mendengar suara alunan musik berkoar. Tatapanku mulai bergerak menjelajahi tempat ini. Karangan
bunga yang bertuliskan ucapan selamat berjejer memenuhi gerbang. Lalu begitu kami mulai berjalan ke arah lapangan itu, sebuah panggung dan tenda besar
tampak didirikan di sana-hampir menutupi lapangan itu sepenuhnya. Di sekeliling tenda itu berjejer meja-meja panjang berwarna putih yang dipenuhi dengan
sajian makanan dan minuman.
Kami kini berjalan menuju trotoar yang berada paling belakang lapangan itu di ujung tenda, berhadapan tepat dari panggung.
Aku kembali menatap ke sekeliling tenda tersebut. Acara utamanya sepertinya belum dimulai. Sekumpulan pemain musik masih terus mengalunkan musik di atas
panggung. Dan beberapa pengunjung mulai berdiri mengintari meja-meja panjang untuk menyicipi sajian sambil mengobrol dengan teman-temannya.
Di depan panggung tersebut, berjejer barisan kursi-kursi yang kini hampir penuh dengan pengunjung. Di barisan paling depan, kursi-kursi itu sedikit berjarak
dengan barisan selanjutnya dan dipenuhi dengan kursi kayu berukir-berbeda dengan kursi penonton.
Mataku kemudian tertuju pada dua orang pria yang duduk di tengah barisan itu. Mereka tengah bercengkrama sambil tertawa. Aku bisa mengenali salah satu
pria itu, bahkan dari belakang pun.
Itu adalah Pak Reyhan Waksono. Dan yang di sebelahnya sudah pasti adalah Pak Mulyo.
"Upacara pemotongan pitanya sepertinya belum dilakukan," ujar David.
Aku mendongak, mendapati David sedang menatap ke arah tempat Pak Rey dan Pak Mulyo duduk. "Ya. Sepertinya begitu," sahutku.
Pandanganku kembali mengintari ke sekeliling, mulai mencoba mengenali beberapa pengunjung di sini. Beberapa dari mereka yang berdiri tidak jauh dariku
adalah adik kelasku dulu saat SMA. Lalu aku juga menemukan Bu Emma, Pak Haris dan beberapa dosen sedang berdiri di sebelah meja sajian itu.
Mataku kembali terus bergerak hingga akhirnya aku menemukan Sarah dan teman-temannya. Mereka berdiri di sebelah meja sajian, tepat sebelah barisan kedua.
Mereka semua ada di sini-Sarah, Tifa, Nika dan Vera. Beberapa teman seangkatanku berada tidak jauh dari mereka.
"Adit dan Ibunya tidak ada di sini," ujar David diam. Ia mendengus, seolah seharusnya tidak perlu berharap lagi akan hal itu.
"Mereka memang tidak pernah datang," gumamku.
Pandanganku masih tertuju pada Sarah dan teman-temannya. Aku mengamati mereka selama beberapa saat, merasakan keanehan saat menyadari posisiku kini mungkin
saja adalah gambaran yang terlihat di mata Hilda selama ini setiap kali melihat kami.
Aku menghela napas, kembali merasakan penyesalan itu muncul di dalam diriku.
"Baiklah, terima kasih untuk klub musik tradisional dari Universitas Angor." Suara itu berhasil mengalihkan perhatianku. Aku mendongak ke arah panggung,
menyadari bahwa alunan musik sudah tidak terdengar lagi. Seorang wanita muda kini berdiri di tengah panggung, berbicara dengan microphone.
"Selanjutnya, sebelum kita memasuki acara utama," katanya lagi. "Sekarang saatnya kita mendengarkan sepatah kata dari pemimpin kota kita tercinta, Pak
Mulyo. Untuk Pak Mulyo, dipersilahkan untuk waktunya," sambungnya.
Suara riuh tepuk tangan langsung terdengar kencang. Semua orang kini mulai merapat ke dalam tenda, memberikan perhatian penuh pada pria yang kini berjalan
ke atas panggung. David kini menyilangkan lengannya, ikut mengamati Pak Mulyo dengan seksama-sama sepertiku. Ini pertama kalinya aku melihat sosoknya. Ia adalah pria 50-an,
tidak terlalu tinggi, memiliki wajah bundar dan berkumis.
Rasanya aku bisa mengenalinya sekarang. Aku memang tidak tahu namanya, tapi aku tahu wajahnya. Dan ia jelas-jelas berasal dari kota ini.
"Selamat siang, semuanya." Suara beratnya terdengar menggema ke penjuru lapangan. Ia kini tersenyum, dan senyum itu sedikit aneh. Ia memiliki senyum yang
terlihat seperti menyeringai tapi sorot matanya terlihat kekanakan.
Seruan 'Selamat Siang, Pak.' langsung terdengar dari kerumunan penonton.
"Pertama-tama, saya ingin mengucapkan terima kasih dulu untuk Laras, pembawa acara kita yang cantik." Ia tersenyum pada Si Wanita tadi-Laras. Laras terkekeh
sambil mengangguk berterima kasih.
"Kau pernah bertemu dengannya sebelum ini?" tanya David kemudian.
Aku menoleh sekilas pada David. "Aku mengenali wajahnya. Tapi aku tidak tau tentang dia. Aku bahkan baru tau kalau dia adalah walikota Angor yang baru."
David mengangguk. "Aku mencaritahu tentangnya sedikit. Dia menjabat sebagai hakim di sini selama lebih dari 10 tahun."
"Dia hakim?" Aku mengerutkan dahi. "Sekarang rasanya aku mulai benar-benar mengenalnya."
Aku menatap kembali ke arah panggung. Suara tawa kini muncul dari kerumunan, tersenyum senang oleh perkataan Pak Mulyo.
"Dia hakim yang sangat dihormati di sini. Dan sejak dulu dia memang sangat disukai oleh orang kota ini," gumamku.
"Yah ... kurasa aku bisa melihatnya dengan jelas sekarang," kata David.
Kami kemudian kembali menatap Pak Mulyo.
"... Jadi sekarang cita-cita kita bersama untuk membuat kota ini semakin maju semakin dekat. Di sini kita saling membantu, saling menutupi kekurangan teman
sebelah kita dengan kelebihan kita sendiri. Begitu seterusnya, sampai akhirnya kita semua bisa berjalan bersama-sama. Nah, Pak Rey sudah memberikan sesuatu
pada kota ini. Jadi selanjutnya, para generasi penerus yang menjalankannya."
Suara tepuk tangan terdengar, disertai dengan seruan setuju atas apa yang baru saja dikatakan Pak Mulyo.
"Sepertinya selama ini kalian selalu mendengarkan hal ini, bahkan dari walikota sebelumnya. Saling menutupi kekurangan teman sebelah kita dengan kelebihan
kita sendiri. Apa ini semacam jargon kota ini? Kenapa itu kedengarannya sedikit menyeramkan di telingaku," ujar David.
Aku menatap murung kerumunan itu. "Ya. Sejak dulu kami sudah diajarkan untuk mencintai kota ini dengan nyawa kami sendiri."
David menghela napas. Aku menatap David sesaat, menyadari sejak tadi ia mengamatiku dengan sorot diam. Ia kemudian tersenyum miring. "Tidak heran jika
semua orang di kota ini begitu membencimu ketika kau memutuskan untuk pindah ke ibukota."
Aku tergelak pelan. "Ya."
Suara tepuk tangan terdengar, membuat kami kembali menoleh menatap ke arah panggung. Pak Mulyo kini sedang membungkuk pada penonton, kemudian ia mulai
berjalan menuju Laras sambil menyodorkan kembali microphone.
Laras kemudian mengambil microphone, lalu menyalami Pak Mulyo. Begitu Pak Mulyo menjabat tangan Laras, ia kemudian menariknya dan justru memberi pelukan.
Laras sedikit kaget, tapi kemudian ia tersenyum kikuk lalu membalas pelukan Pak Mulyo.
"Dia terlihat menyukai gadis itu," ujar David, menyuarakan isi pikiranku.
Aku hanya mengangguk, tiba-tiba perasaanku mulai berkecamuk.
Laras kini berdiri di tengah panggung. "Terima kasih untuk Pak Mulyo atas waktunya. Sekarang waktunya kita mendengar sepatah kata dari orang yang selama
ini sudah menjadi panutan kita atas kesuksesannya yang selalu menginspirasi kita semua. Bapak Reyhan Waksono, untuk waktu dipersilahkan."
Suara tepuk tangan antusias langsung bergemuruh dengan cepat. Aku menatap lekat-lekat pria yang kini berjalan menaiki panggung. Pak Rey tidak terlalu banyak
berubah. Ia masih terlihat bugar, sekalipun seharusnya kini ia sudah berusia hampir 50 tahun. Yang berubah hanyalah semburat putih yang mencuat rambutnya.
Tapi kemiripannya dengan Sarah masih terlihat jelas-terutama sorot matanya itu.
Ia kini tersenyum, senyum ramah yang selalu menjadi ciri khasnya sejak dulu.
"Terima kasih untuk semua yang sudah menyempatkan hadir di acara ini. Terima kasih tentunya untuk Pak Mulyo, walikota kita tercinta." Ia kemudian menatap
ke arah Sarah yang masih berdiri di sebelah meja sajian. "Dan untuk putri cantikku, Sarah." Senyumnya kini semakin lebar, dan aku menyadari Sarah membalas
senyumnya dengan tulus. "Istrinya tidak datang," ujar David.
Aku terdiam sesaat, baru menyadari hal ini sama sepertinya. Aku langsung melayangkan pandanganku ke barisan paling depan itu. Tapi keberadaan istrinya
memang tidak tampak. "Mohon maaf untuk ketidakhadiran istriku," kata Pak Rey. "Dia juga harus menghadiri sebuah acara di ibukota. Dia memintaku mengirimkan pesan maaf pada
kalian dan berharap bisa menikmati sajian yang disediakan hari ini. Istriku yang memilihkan menu-menu hari ini," katanya dengan nada bangga.
Suara tepuk tangan dari kerumunan muncul.
Aku menatap Sarah, menyadari wajah itu masih tersenyum. Namun senyum itu sedikit kaku dan datar. Bahkan dari jarak sejauh ini, aku bisa menyadarinya. Hingga
sekarang aku masih ingat arti senyum itu.
Dan rasanya aku bisa menebak, Sarah jelas-jelas tidak suka melihat ketidakhadiran ibunya di acara penting ayahnya.
Kemudian tiba-tiba Sarah menoleh dan kami beradu pandang. Senyumnya kini mulai memudar dan sorot matanya datar menatapku dengan penuh.
Aku tetap tidak melepas tatapanku padanya. Aku menunggu bibirnya mulai bergerak, memberitahu Tifa, Nika atau Vera yang berdiri di sebelahnya, bahwa aku
datang menyelinap ke acara ini. Tapi ia tetap diam, menatapku dengan sorot datar.
Kemudian ia mengalihkan pandangannya dariku, kembali menatap ayahnya.
"Saya sangat mengharapkan pabrik baru ini akan menjadi alat pembantu untuk kemajuan kota ini, sama seperti yang diucapkan Pak Mulyo tadi. Sudah lebih dari
40 tahun saya hidup di Angor dan rasa cinta itu masih terus tumbuh untuk kota ini." Ia tersenyum. "Pabrik ini saya bangun untuk memberikan kesempatan pada
generasi penerus untuk belajar, berkarya dan mengaplikasikan ilmu yang kalian dapat dari pendidikan yang kalian lalui."
Suara tepuk tangan terdengar. Dan aku menyadari bahwa semua orang di sini menatap Pak Rey dengan sorot itu lagi. Sorot yang selama ini familiar kulihat
di setiap orang di kota ini.
Sorot memuja. Pak Rey adalah panutan orang kota ini. Sosok yang sangat dihormati, sekalipun ia bukanlah seorang pejabat atau pemimpin resmi kota ini. Ia lebih seperti
pembangun kota ini. "Tapi saya bukan Tuhan. Kita semua tetap berusaha yang terbaik. Saya akan tetap berusaha yang terbaik untuk pabrik ini. Tapi kadang kehendak Tuhan berkata
lain, karena itu kita juga harus tetap berdoa," ujarnya. Ia kini tersenyum menyesal. "Seperti yang kalian tahu, pabrik kita dulu pernah habis terkena kobaran
api." Badanku langsung menegang. Kerumunan pun kini diam, ikut merasakan kesedihan.
"Sampai sekarang, saya masih berduka pada kejadian tragis ledakan pom bensin 4 tahun lalu. Yang tidak hanya memakan korban jiwa di pom bensin itu sendiri,
tapi juga beberapa rekan kita yang terjebak di pabrik sebelah pom bensin itu."
*** BAB 44. Saksi yang Hilang
Jantungku berdetak cepat, menyadari tenggorokanku tiba-tiba terasa sakit.
"Lauren," panggil David pelan. Ia pasti sudah menyadari perubahan sikapku yang tiba-tiba tegang.
"Aku baik-baik saja," jawabku. Suaraku terdengar begitu serak.
David menghela napas, terdengar jelas sangat tidak puas dengan jawabanku. Tapi ia tidak lagi bersuara.
Aku hanya tidak menyangka akan mendengar cerita itu lagi dari orang-orang kota ini. Selama ini aku mengira semua orang di kota ini sudah tidak ingin mengungkit
kejadian itu lagi. Cerita itu harusnya hilang, ikut hilang sejak aku memutuskan pergi dari kota ini bertahun-tahun lalu.
Kejadian itu tidak hanya membekas di dalam diriku, tapi juga beberapa orang di kota ini. Yang diceritakan Pak Rey memang benar, korban jiwanya bukan hanya
keluargaku. Tapi juga beberapa pekerja yang terperangkap di dalam pabrik yang berdiri tepat di sebelah pom bensin itu. 6 korban jiwa, 3 di antaranya adalah
keluargaku dan 3 lainnya adalah pekerja pabrik. 20 pekerja lainnya luka ringan.
Tapi, semua orang di kota ini menganggap keadaanku lebih tragis.
"Aku melihat paman dan bibimu," ujar David tiba-tiba. Suaranya terdengar pelan.
Aku mendongak, kemudian mengikuti arah pandang David. Lalu aku melihat mereka, sedang berdiri tidak jauh dari tempat Bu Emma dan Pak Haris berdiri. Tatapan
mereka jelas-jelas tertuju padaku sejak tadi.
Aku langsung menelan ludah, merasakan lidahku kelu tidak bisa bergerak. Kami bertatapan selama beberapa menit dan aku mulai merasakan gejolak penyesalan
muncul dari dalam diriku. Mereka menatapku dengan ragu, seolah berusaha menahan diri untuk berjalan menghampiriku ke sini. Tapi mereka tetap diam, tidak
bergerak. Suara tepuk tangan kembali terdengar, disertai dengan seruan kagum dari kerumunan. Aku mengedip, kemudian melepaskan pandanganku dari Paman dan Bibi.
Aku menyadari Pak Rey kini sudah berjalan turun dari panggung. Ia menyodorkan microphone pada Laras.
"Terima kasih kepada Pak Reyhan. Selanjutnya, acara pemotongan pita sebagai pembukaan resmi pabrik ini akan segera kita lakukan. Dan untuk itu saya persilahkan
para hadirin untuk berpindah ke pintu utama," kata Laras sambil mulai mengarahkan kerumunan itu ke pintu utama.
Saat aku mengalihkan pandangan menuju arah pintu utama itu, pandanganku kembali beradu dengan Sarah.
Dan aku sadar kini semuanya menatapku dan David. Sarah, Tifa, Nika dan Vera-mereka menatap kami dengan sorot dingin, jelas-jelas mengisyaratkan ketidaksukaannya
bahwa kami masih tetap di sini.
"Lebih baik kita pulang sekarang," ujarku. Kurasa rencanaku untuk berbicara dengan Pak Rey tidak akan berhasil hari ini. Sarah tidak akan membiarkanku
mendekati ayahnya-atau bahkan Pak Mulyo. Itulah yang sejak tadi ingin ia sampaikan padaku melalui sorot mata itu.
David menghela napas pelan. "Ayo, kalau begitu."
Sementara semua kerumunan itu mulai bergerak menuju pintu utama, aku dan David berjalan berbelok menuju gerbang masuk. Kami terus berjalan hingga akhirnya
sampai di depan mobil sedan hitam milik David.
Suara ponsel terdengar, berasal dari saku David.
"Masuklah dulu," katanya padaku. Kemudian ia mulai mengeluarkan ponselnya dan menerima panggilan tersebut. Ia berbalik dan mulai berbicara dengan nada
serius. Aku tetap berdiri, memutuskan untuk menunggunya di luar mobil. Aku mulai menatap jalan di sekitar kami dan menyadari jalanan itu masih dipenuhi dengan
mobil-mobil pengunjung. Tapi pejalan kaki sudah tidak terlihat lagi di trotoar ini.
"Lauren?" Suara itu langsung membuatku berbalik dengan cepat. Senyumku langsung muncul dengan cepat begitu aku melihat wajahnya.
"Tommy!" seruku sambil memeluknya. Ia baru saja keluar dari mobil yang melewati mobil kami.
Ia terkekeh sambil membalas pelukanku. "Kau baik-baik saja?"
Aku mengangguk. "Ya." Aku lalu mendongak, menatap wajahnya. "Kapan kau sampai di Angor?" tanyaku.
Ia tersenyum. "Baru saja." Ia kemudian mengalihkan pandangannya dariku, melewati kepalaku. "David," sapanya dengan nada biasa.
Aku berbalik dan mendapati David kini bersandar di mobil, menatap kami dengan sorot aneh. Apapun artinya, tatapan itu berhasil membuatku gugup.
"Apa yang kalian lakukan di sini? Ah-" Tommy kemudian terhenti, pandangannya kini tertuju pada pabrik di depan kami. "Kalian berhasil bicara dengan Pak
Rey?" "Bukan itu tujuan kami datang ke sini." David menatapku sekilas. "Tapi aku rasa aku memang butuh bicara dengan Pak Rey lagi, dan juga Pak Mulyo."


Silent Girl Karya Indah Thaher di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tommy mengangguk paham, kembali menatap pabrik itu dengan diam. Aku mulai menatap mereka bergantian, merasakan kembali kecanggungan yang aneh.
"Kau mau mampir ke rumahku dulu, Tommy? Kita bertiga bisa mengobrol dan sebagainya," ajakku.
"Ide bagus," jawab Tommy sambil tersenyum.
"Kalian saja." Aku mendongak, menatap David dengan bingung. "Kau tidak ikut?" tanyaku. Nada tidak suka terbesit jelas di dalam suaraku.
Ia terdiam sesaat. "Aku harus ke ibukota sekarang juga."
"Apa ada sesuatu terjadi?"aku menyadari itulah kabar yang ia dapat dari panggilan telpon beberapa saat lalu.
"Pekerjaan. Timku membutuhkan bantuanku."
Aku menghembuskan napas. "Kapan kau akan kembali ke sini?"
"Aku tidak tau. Secepatnya."
Alisku bertaut tidak suka, tapi aku tidak bisa berkata apa-apa lagi.
"Tommy," panggil David. "Pastikan kau menjaga Lauren selama aku tidak ada. Kau tau bagaimana posisinya sekarang di kota ini. Dan ingat, kita masih belum
menangkap Pak Wira. Dia masih bisa berkeliaran bebas dan melakukan teror lagi pada Lauren seperti sebelumnya."
"Aku tau," jawab Tommy tegas. "Kau tidak perlu memberitahuku."
David tersenyum kecil. "Bagus."
Aku menatap mereka bergantian, menyadari bahwa mereka sama sekali tidak menghiraukan keberadaanku dan suaraku-bahkan saat inti pembicaraan yang mereka
lakukan menyangkut tentangku.
"Kalau begitu aku pergi dulu," ujar David.
Aku kembali berbalik, menatapnya dengan kaget. "Kau akan berangkat sekarang juga?"
David mengangguk. "Lebih cepat lebih baik."
Aku menatapnya beberapa saat, lalu mulai menghembuskan napas pelan. Rasa kecewa itu muncul lagi dengan cepat tanpa bisa kutahan lagi. Aku menyadari betapa
kepergiannya sangat membuat perasaanku tidak nyaman.
"Cepatlah kembali," ujarku pelan, berusaha untuk mengatakannya dengan nada biasa. Tapi tetap saja nada tidak suka itu masih terdengar jelas di suaraku.
David kembali tersenyum. "Jangan berbuat macam-macam selama aku tidak ada."
Aku hanya mengangguk. David kemudian masuk ke dalam mobil dan aku terus menatap mobil itu berjalan menjauh hingga hilang di ujung jalan dengan perasaan
berkecamuk. "Ayo," ujar Tommy.
Aku mendongak dan mulai berjalan mengikuti Tommy masuk ke dalam mobilnya.
*** Aku menaruh segelas air itu ke meja ruang tamu.
"Thanks." Tommy kemudian meraih gelas itu dan mulai meneguknya.
Aku mulai merebahkan badan ke sofa, kemudian menarik napas pelan. Tommy kini mulai menatap ruangan dengan diam.
"Aku merasa sedikit aneh karena berada di rumah ini lagi," ujarnya beberapa saat kemudian.
Aku tersenyum kecil. "Ya. Dulu kau sering datang ke sini, kan. Dan aku masih ingat jelas kalau ibuku sangat menyukaimu," ujarku. Suaraku tiba-tiba terdengar
kecil. Dan aku merasa ada sedikit rasa sedih yang mulai muncul dari dalam diriku saat aku menyebut keluargaku.
Tommy mengamatiku beberapa saat. "Aku senang kau sudah kembali nyaman untuk tinggal di rumah ini, Lauren." Ia tersenyum.
"Ya. Kurasa ada banyak perubahan yang terjadi selama beberapa minggu terakhir ini."
Tommy kembali menatapku beberapa saat. "Kurasa kedatangan David juga berpengaruh dalam hidupmu," katanya.
Aku menoleh, menatap Tommy dengan diam. Pikiranku ingin melontarkan pertanyaan padanya, menanyakan apa yang sebenarnya ia maksud dengan hal itu. Tapi aku
tetap diam. Rasanya sebagian dari diriku sudah mengetahui jawaban dari pertanyaan itu. Sebagian dari diriku sudah mengetahui kalau perkataan Tommy memang
benar. "Aku memperhatikanmu, Lauren. Dan aku cukup bisa mengartikan segala sikapmu dalam beberapa detik," katanya sambil terkekeh. "Bagaimana pun juga, kau bukan
hanya mantan kekasihku. Tapi kau juga adalah temanku sejak kecil. Aku sudah mengenalmu sejak umur 7 tahun," sambungnya.
Aku tersenyum mengangguk. "Kau benar."
Tommy kemudian menarik napas panjang, lalu merebahkan diri ke sofa sepertiku. "Jadi apa yang kalian dapat dari acara tadi?" tanyanya dengan nada santai.
Aku menghembuskan napas. "Rasanya tidak ada yang berubah. Pak Rey masih dipuja oleh orang kota ini, sedangkan Pak Mulyo masih tetap dicintai oleh orang
kota ini-seperti saat dia menjabat menjadi hakim dulu," jelasku.
"Kau melihat Sarah dan yang lain?"
"Ya. Mereka semua datang, juga Bu Emma dan Pak Haris."
Tommy mengangguk paham. Ia kemudian mendengus. "Kurasa aku bisa mengerti bagaimana proyek ini akhirnya bisa diwujudkan. Pak Mulyo tentu saja langsung menyetujui
proyek pabrik ini begitu ia menjabat menjadi walikota."
Aku mengerutkan alis. "Apa maksudmu?"
Ia menatapku sekilas. Sorot kaget muncul sedetik di matanya sebelum akhirnya ia tersenyum. "Tidak, hanya masalah uang. Proyek ini seharusnya bisa lebih
cepat lagi. Itu saja."
Aku mengamatinya beberapa saat, menyadari bahwa Tommy menyembunyikan sesuatu padaku. Ia jelas-jelas tidak sengaja mengungkit topik yang ingin ia sembunyikan
dariku. "Tommy, kau bilang sendiri padaku kalau kita sudah saling mengenal sejak umur 7 tahun. Jadi bukan hanya kau saja yang bisa membaca sikapku. Tapi aku juga,"
ujarku. Aku menatap Tommy dan menyadari ia kini menunduk dengan wajah berkerut tidak nyaman.
"Apa yang kau sembunyikan dariku?" tanyaku akhirnya.
Ia masih diam, kemudian beberapa saat kemudian ia akhirnya menatapku. Matanya kini penuh dengan luka. "Kau tidak perlu mengetahui hal ini, Lauren."
Jantungku kini mulai berdetak, merasakan was-was yang mulai muncul dari dalam diriku. Aku tetap menatap Tommy, mencoba menerka-nerka apa yang sebenarnya
ia maksud. "Kita sudah berjanji untuk tidak pernah berbohong satu sama lain, Tommy," bisikku.
Tommy kembali menunduk, alisnya berkerut.
"Ceritakan padaku. Aku akan baik-baik saja," cobaku lagi.
Beberapa saat tidak ada dari kami yang berbicara. Aku tetap menunggu Tommy berbicara. Kemudian Tommy menarik napas panjang.
"Pabrik itu seharusnya sudah bisa berjalan 3 tahun lalu." Ia terdiam sejenak. "Rencana itu terhambat karena Pak Rey tidak dapat izin untuk membangun karena
tragedi ledakan pabrik 4 tahun lalu."
Aku menatapnya bingung. "Mengapa?"
"Karena ada yang menuntut Pak Rey atas ledakan pabrik itu. Jadi sampai kasus itu tutup dan mereka menang, projek pabrik ini baru bisa dilakukan," ujarnya.
Dahiku berkerut dalam. "Apa maksudmu?"
"Ada satu pekerja pabrik yang selamat dari ledakan itu. Dia berada di sisi gedung yang berdekatan dengan pom bensin." Ia terdiam sejenak. "Dia menuntut
Pak Rey karena dia menyaksikan sendiri kalau mesin di belakang pabrik itu menyulutkan api. Dia sempat lari sebelum api itu mulai menjalar. Tapi dia masih
bisa melihat tabung asap pabrik itu meledak, terbakar dan roboh mengenai pom bensin."
Aku langsung terpaku, sama sekali tidak merasakan apa pun di sekitarku. Rasanya pikiranku mulai terasa kosong dan dingin. Semua perkataan yang dilontarkan
Tommy kini benar-benar meresapi kepalaku dengan menyakitkan. Bayangan-bayangan mengerikan itu kembali muncul di kepalaku, membuatku kepalaku berputar-putar.
"Maksudmu ..." ujarku lemah, berusaha keras untuk membuka mulutku. "Maksudmu, ledakan besar itu bukan berasal dari pom bensin itu. Tapi dari kesalahan
pabrik milik Waksono dan ... mereka berusaha menutupinya hingga sekarang?" tanyaku dengan lemah.
Tommy akhirnya menatapku.
"Ya." *** BAB 45. Hill Entah sudah berapa lama waktu berlalu dengan tanpa aku melepaskan tatapanku dari wajahnya. Aku bahkan tidak tahu apakah aku masih ingat untuk menarik napas.
Rasanya aku tidak sedang berada di tubuhku lagi, tidak merasakan apapun.
Hanya pikiranku yang masih bisa kurasakan bergerak. Dan mereka bergerak membentuk rangkaian-rangkaian bayangan dan memanggil kembali semua ingatan tersebut
untuk memadukannya menjadi sesuatu yang mengerikan. Sesuatu yang selama ini selalu bisa membuatku kembali bergoyang, menunggu untuk jatuh.
"Lauren." Sebuah tangan yang hangat meremas tanganku dengan pelan.
Aku kemudian menatapnya, kini benar-benar menatapnya. Wajah Tommy kini dipenuhi dengan kekhawatiran yang terkihat jelas. Ia kembali meremas tanganku dan
aku menyadari bahwa bukan tangannya yang begitu hangat, tapi tanganku yang sejak tadi sudah mendingin.
Tommy terdiam beberapa saat, kemudian ia mulai menggeleng lelah. "Ini alasan mengapa aku tidak pernah memberitahumu tentang hal ini," ujarnya lirih.
Aku kembali menarik napas, berusaha membuat detak jantungku kembali normal. Butuh beberapa waktu untuk aku bisa mengumpulkan tenaga agar bisa berpura-pura
tenang di depannya, memperlihatkan bahwa aku baik-baik saja.
"Siapa saja yang mengetahui tentang hal ini?" tanyaku dengan suara tercekat.
Tommy menghela napas, jelas-jelas tidak ingin lagi membicarakan hal ini denganku. Ia kembali melepas tatapannya dariku, terlihat menyesal.
"Apa Sarah tau?" cobaku lagi.
Tommy menatapku sekilas. "Ya, aku rasa dia tau. Aku pernah melihatnya mendampingi ayahnya di pengadilan waktu itu," jawabnya akhirnya.
Aku terdiam, merasakan kembali detak jantungku mulai memburu. "Dan kurasa alasannya menyembunyikan ini dariku sangat berbeda denganmu," ujarku sinis. Aku
dan Sarah memang dekat, tapi aku tahu ia tidak menyembunyikan hal ini demi kesehatan mentalku-seperti yang dilakukan Tommy saat ini.
Ia melakukannya untuk melindungi ayahnya.
"Siapa lagi yang mengetahui hal ini?"
Tommy mengamatiku beberapa saat. "Pihak Waksono, pihak konstruksi dan beberapa pejabat kota ini. Seharusnya hanya mereka."
Seharusnya ... Tapi aku dan Tommy tahu bagaimana kota ini. Bahkan hanya dari beberapa pihak itu pun, kemungkinan bahwa kebenaran ini bocor ke muka umum sangatlah mungkin.
Dan rasanya aku sudah bisa menebak kalau hal itu memang benar-benar terjadi.
Dan mereka semua menutupinya bersama-sama. Mereka akan menutupi berita itu dari orang luar dan juga orang-orang yang menurut mereka berbahaya. Orang-orang
yang menurut mereka akan menuntut kembali ketidakadilan yang mereka buat.
Aku. Dan mereka berhasil membungkam saksi itu.
"Kau tau siapa nama pekerja itu?" tanyaku. Suaraku terdengar begitu aneh.
Tommy menyadari perubahan suaraku. "Apa yang ingin kau lakukan?"
"Aku hanya ingin bertemu dengannya."
"Lalu setelah itu apa?"
Aku terdiam, menatap Tommy selama beberapa saat. Aku sadar Tommy sudah bisa menebak apa yang akan sebenarnya ingin kulakukan.
Ia kini menatapku dengan sorot lemah. Tangannya mulai meremas tanganku. "Aku memang berkata kalau kau sudah berubah dibanding 4 tahun lalu. Tapi aku tau
kau masih belum sepenuhnya kuat untuk kembali memikirkan hal ini lagi." Ia menarik napas. "Jangan biarkan hal ini merusakmu-"
"Ini tentang keluargaku, Tommy! Bagaimana mungkin aku membiarkannya begitu saja?" suaraku kini mulai mengeras.
Tommy terdiam beberapa saat. "Kau ingin menuntut Pak Rey kembali, kan? Kau sadar itu artinya kau akan mendengarkan kembali semua kesaksian mengerikan dan
entah apa lagi yang akan muncul nantinya di persidangan atau dari saksi itu. Kau sadar itu akan kembali menyakitimu? Itu seperti mengulang kembali kejadian
4 tahun lalu." Aku menatapnya dengan sorot diam, tidak menanggapi pernyataannya. Jantungku kini memburu dan mulai terasa nyeri setiap kali jantung itu berdetak. Tapi
aku tetap memasang wajah tenang, masih berusaha sekuat tenaga untuk memperlihatkan padanya bahwa aku masih baik-baik saja. Bahwa aku kini sudah berubah.
"Siapa nama pekerja itu?" tanyaku lagi akhirnya dengan suara pelan.
Tommy menatapku dengan sorot lemah itu. Ia tetap diam, tidak menjawab pertanyaanku.
"Kau tau aku bisa menemukannya sekali pun kau tidak memberitahu sekarang," ujarku lagi. Aku menatapnya dengan sungguh-sungguh, memperlihatkan bahwa keinginanku
kini sudah bulat. Dan aku menyadari ia juga menyadari hal tersebut.
"Dia sudah pindah dari sini 4 tahun lalu, tepat setelah kasus itu dibuka," jawab Tommy akhirnya. "Aku tidak tau dia tinggal dimana sekarang," sambungnya.
Aku mengerutkan alis. Sebagian diriku sudah menyangka hal ini. Tidak mungkin ia tetap bertahan di kota ini setelah memutuskan menyerang orang terpenting
dan terpandang di kota ini.
Aku menarik napas, kembali merasakan rasa amarah itu menyelimuti otakku. Tapi aku tetap berusaha menatap Tommy dengan wajah tenang lagi.
"Siapa namanya?"
Tommy mengamatiku beberapa saat. "Dengar, Lauren." Ia menghela napas pelan. "Aku bersedia membantumu dalam mengungkapkan kematian Hilda karena aku tau
aku memang bisa membantumu dalam hal ini." Ia kemudian menggenggam tanganku dengan erat. "Tapi aku tidak bisa membantumu jika kerusakan itu ada di dalam
kepalamu. Hanya kau yang bisa memperbaikinya," sambungnya.
Aku terdiam sejenak, kemudian mengangguk. "Aku tau, Tommy," sahutku lemah.
Tommy menatap kedua mataku bergantian. Kemudian ia menghela napas kalah, sadar bahwa aku tetap tidak mundur dari rencana ini.
"Namanya Siska Maulan," ujar Tommy akhirnya.
*** Aku mengetukkan jari ke lutut dengan tidak sabar, berkali-kali melirik ke sekelilingku lekat-lekat. Tapi sosok yang kucari masih tidak terlihat. Aku kembali
menyandarkan diri ke kursi dan memejamkan mataku beberapa saat.
Pikiranku masih berkecamuk tidak keruan. Rasanya aku bahkan tidak bisa mendengar dengan jelas lagi suara keramaian di ruangan ini. Suara langkah kaki dan
angin yang berhembus setiap kali orang-orang berlalu lalang melewatiku.
"Lauren." Suara yang sangat kukenal itu berhasil memberikanku kelegaan luar biasa. Aku langsung membuka mata dan mendapati sosok yang sejak tadi kutunggu datang.
David. "Apa yang kau lakukan di sini?" tanyanya. Wajahnya kini berkerut kesal.
Aku menatapnya beberapa saat. David berdiri di depan kursiku dan aku menyadari di sebelahnya berdiri polisi berseragam yang tadi memberitahuku bahwa David
sedang keluar bertugas. David menghembuskan napas lalu menoleh, tidak menunggu jawabanku. Ia kini menatap polisi berseragam itu. "Suruh mereka ke ruang rapat 10 menit lagi. Aku
akan menyusul." "Baik, Pak," jawab polisi itu. Ia kemudian berjalan meninggalkan kami, terus berjalan menuju lorong kiri di sebelah meja respsionis melewati banyak polisi
berseragam sepertinya yang berlalu lalang sejak tadi.
"Ikut aku," kata David.
Aku langsung berbalik dan mendapati David sudah berjalan menuju lorong kanan. Aku terus mengikutinya hingga akhirnya ia berhenti di depan sebuah pintu
yang berada tidak jauh dari ujung lorong. Ia mempersilahkan aku masuk terlebih dahulu.
Begitu aku masuk, aku menyadari ini adalah sebuah ruangan kerja biasa. Dengan satu meja, kursi dan komputer. Di sebelah meja itu berdiri banyak rak-rak
yang berisikan berkas-berkas.
Duumm. Suara pintu tertutup itu cukup berhasil membuatku terlonjak. Aku langsung memejamkan mata, menyadari kemunculan kebiasaanku ini merupakan pertanda buruk.
Dan aku berharap David tidak menyadari hal ini.
"Duduklah," kata David.
Aku langsung menurutinya, menghempaskan badanku ke sofa kecil yang berada di depan meja kerja itu. David kemudian berjalan dan bersandar di meja tersebut.
Ia menyilangkan lengannya, menungguku dengan diam.
Lalu akhirnya aku menatap Wajahnya. Aku menyadari sejak tadi ia sudah menatapku. Dan aku sadar masih ada kekesalan terlihat di sorot matanya.
"Aku berusaha menelponmu sejak tadi pagi," ujarku akhirnya.
Ia menaikkan alisnya. "Dan kau harus datang menemuiku ke ibukota karena aku tidak menjawab telponmu?"
"Aku butuh bantuanmu," ujarku. Dan aku menyadari perubahan dalam suaraku. Aku menelan ludah, merasakan tenggorokanku tiba-tiba terasa kering.
Matanya kini bergerak mengamati wajahku dalam-dalam. Ia tetap diam, menungguku melanjutkan.
"Aku butuh bantuanmu untuk menemukan seseorang." Aku menarik napas. "Aku harus bertemu dengannya untuk memastikan sesuatu," sambungku.
Aku menarik napas, merasakan kembali kekalutan itu muncul. Tapi aku tetap berusaha tenang. "Ini tentang ledakan pom bensin itu. Tommy memberitahuku bahwa
ledakan itu bukan berasal dari pom bensin tapi dari pabrik milik Pak Rey yang berdiri tepat di sebelah pom bensin itu. Dia berkata ada seorang pekerja
yang meyaksikan hal itu dan sempat menuntut Pak Rey karena itu tapi-"
"Siska Maulan," potong David dengan nada tenang.
Aku langsung terdiam, menatapnya kaget. "Kau ... tau?"
David menatapku beberapa saat, ekspresinya tidak berubah sama sekali. "Tommy baru saja menelponku dan menceritakan semuanya padaku," ujarnya.
Aku terdiam sejenak, menyadari arti dari jawaban dan nada suaranya. "Kau tidak mau membantuku?" tebakku.
David kembali diam, tidak langsung menjawab pertanyaanku. Aku kemudian berdiri, lalu berjalan menghampirinya. Begitu aku sudah berdiri dekat di hadapannya,
aku mulai mendongak dan menatapnya dalam-dalam.
"Aku hanya ingin tau kebenarannya. Sekalipun itu menyakitkan." Jantungku mulai berpacu cepat, merasakan amarah itu muncul kembali dengan cepat. "Dan kurasa
kau juga merasakan hal yang sama kalau keluarga Waksono memang bersalah dalam ledakan itu. Ketidakadilan itu harus dimusnahkan. Sekalipun itu berasal dari
orang penting atau terpandang seperti mereka," sambungku lirih. Kebencian mulai terbesit di dalam suaraku.
David menatapku selama beberapa saat. "Kau merasa saksi ini dipaksa bungkam oleh Pak Rey dan terlalu lemah untuk melawannya? Dan kau ingin membuat tuntutan
lagi?" Aku mengangguk, tetap tidak melepaskan tatapanku dari matanya.
"Jika pun aku membantumu dalam hal ini, aku rasa aku tidak akan membiarkanmu ikut masuk dalam kasus ini," katanya.
"Apa?" sahutku tak percaya.
David diam, menatapku dengan sorot tenang.
Dahiku berkerut dalam, menyadari bahwa perkataannya barusan memang sungguh-sungguh. "Kau tidak bisa melakukan itu padaku." Aku menggeleng cepat, merasakan
kembali rasa frustasi dan amarah itu menyelimutiku. "Aku punya hak untuk tahu. Ini tentang keluargaku!"
Tangan David kemudian memegang lenganku dengan erat. "Tenanglah, Lauren," ucapnya dengan nada pelan.
Aku baru menyadari bahwa sejak tadi badanku mulai gemetar. Aku menatap matanya, mencoba menyerap ketenangan yang terpampang dari wajahnya. Ia kemudian
mengelus pipiku dengan ibu jarinya. Dan sekali lagi, aku baru menyadari bahwa air mataku sudah mengalir tanpa ada suara isak tangis sedikit pun. 1
"Aku mohon ..." bisikku lirih. Jantungku kini kembali terasa nyeri sampai rasanya aku tidak bisa bernapas.
Ia kembali mengelus pipiku dengan lembut. "Aku akan berusaha mencari keberadaan Siska," ujarnya pelan. "Tapi aku tidak berjanji akan memberitahu lokasinya
padamu. Dan aku melakukan ini karena aku merasa kau belum siap untuk mendengar tentang hal ini lagi," sambungnya.
Aku menatapnya beberapa saat, kemudian menggeleng. "Aku baik-baik saja." Aku mulai melepaskan lenganku dari pegangannya.
"Aku tau aku baik-baik saja," ulangku lebih keras, setengah pada diriku sendiri. Kemudian aku mulai berjalan keluar dari ruangan itu tanpa menoleh lagi
pada David. *** BAB 46. Cliff "Aku baik-baik saja," jawabku untuk kesekian kalinya.
Ayah terkekeh geli, menyadari bahwa pertanyaannya berhasil membuatku jengkel. Aku langsung menyambar kantong keripik yang sejak tadi ia pegang.
"Hei!" sahutnya dengan kaget. Sekarang giliran aku yang tergelak karena berhasil mengerjai Ayah.
Ibu ikut tersenyum. "Kalian jangan ribut, Noah baru saja tertidur," ujarnya tanpa menoleh dari pandangannya dari jalan.
Aku dan Ayah langsung menutup mulut kami, bersamaan menoleh ke sebelahku untuk mengecek Noah. Untunglah ia masih terlelap, tertidur dengan posisi miring
menghadap ke depan kursi penumpang. Kedua tangan kecilnya menempel ke pipi kirinya dengan menggemaskan. Wajah itu terlihat damai, hanyut dengan dunia mimpinya.
Dan mau tidak mau siapa pun yang melihat wajah itu akan ikut tersenyum.
"0 menit lagi kita akan sampai," ujar Ibu. Aku menatap Ibu, menyadari bahwa ia juga enggan membangunkan Noah yang baru beberapa menit lalu tertidur.
"Aku yakin dia justru akan lebih kesal kalau kita tidak membangunkannya. Bagaimana pun, dia yang paling ingin ke taman bermain ini," kata Ayah sambil tergelak
pelan. Ibu kembali tersenyum. "Kau benar."
"Lagipula Lauren juga ingin cepat-cepat keluar menghirup napas segar," timpal Ayah lagi dengan nada jail itu lagi.
Aku mengerang kesal. "Aku baik-baik saja, Ayah. Ya, aku memang tidak menyukai bau durian yang kalian makan tadi. Tapi baunya tidak akan membuatku muntah."
Aku lalu menatap ke kursi kemudi. "Ibu, lakukan sesuatu pada Ayah. Aku mohon," rengekku.
Ibu lalu memukul pelan Ayah.
"Aww!"pekik Ayah dengan suara berlebihan.
"Sudah kulakukan, Lauren."
Aku mau tidak mau tersenyum geli melihat mereka. Aku lalu menghela napas lelah. "Aku tidak mengerti mengapa hanya aku yang tidak menyukai durian di keluarga
ini," ujarku bingung.
Ayah lalu berbalik, menatapku dengan sorot berpura-pura menyesal. "Sepertinya itu salah kakekmu-ayahku. Dia juga tidak menyukai baunya sepertimu."
Aku menatap ayah beberapa saat. "Ibu, apa Ayah juga punya sesuatu yang baunya bisa membuatnya kabur ketakutan?"
Ayah langsung menggeleng cepat. "Tidak ada."
"Nangka. Dia tidak suka bau nangka," jawab Ibu dengan santai, tidak menghiraukan protes Ayah.
Aku dan Ibu mulai tertawa, kemudian Ayah ikut tertawa bersama kami hingga akhirnya kami langsung menutup mulut, menyadari tawa kami bisa membangunkan Noah.
Tapi begitu aku menoleh, Noah sudah terlanjur bangun. Ia sedang memijit matanya dengan sisa kantuk yang terpampang jelas di wajahnya.
"Selamat pagi, ksatria kecil," ujar Ayah.
Ia tersenyum. "Apa yang sedang kalian tertawakan tadi?" tanyanya dengan penasaran.
"Oh, hanya membicarakan tentang bau yang paling kami benci," jawab Ayah santai.
Aku tergelak melihat ekspresi bingung bercampur takjub yang kini menyelimuti wajah mungilnya. Aku lalu menariknya dan memberinya kecupan keras di keningnya
dengan gemas. "Kita sudah sampai," seru Ibu. Kami semua langsung menoleh ke luar jendela.
Dan badanku langsung membeku.
Kami tidak berada di taman bermain. Kami berada di pom bensin. Jantungku langsung berdebar nyeri dan mulai berpacu liar penuh dengan rasa ketakutan.
"Ibu, kita harus keluar dari sini sekarang!" seruku dengan panik.
Tapi semuanya tetap terus berbicara satu sama lain, seolah mereka sama sekali tidak mendengar suaraku. Seolah keberadaanku tiba-tiba menghilang di antara
mereka. Suara derik keras terdengar dari luar dan aku menyadari itu adalah terobong asap pabrik. Terobong asap itu terbakar dan mulai bergerak jatuh menuju mobil
kami. "Keluar dari mobil ini sekarang! Terobong itu akan menimpa kita! Pom bensin ini akan meledak!" pekikku sekeras mungkin.
Tapi mereka tidak mendengarku sama sekali. Ibu dan Ayah masih berbicara pada Noah dengan senyum di wajah mereka masing-masing, sama sekali tidak menyadari
terobong asap yang semakin mendekati mobil kami.
"Ya Tuhan, aku mohon! Ayah! Ibu! Noah!" teriakku dengan tangis ketakutan.
Aku mencoba meraih mereka, berusaha menarik mereka keluar bersamaku. Satu tanganku membuka pintu mobil.
Kemudian terobong itu roboh mengimpit mobil kami, membuat mobil kami terangkat naik. Suara ledakan muncul.
Dan sedetik kemudian, suara kobaran api dan suara teriakan kesakitan pilu itu datang memenuhi pendengaranku dengan cepat. Aku memejamkan mata, menunggu
rasa panas api itu menjilati kulitku. Tapi aku sama sekali tidak merasakannya. Dengan sisa kesadaranku, aku kembali berusaha meraih tangan mereka di antara
api Lalu ada tangan lain yang tiba-tiba memegangiku.
Dan seketika semuanya hening. Benar-benar hening tanpa ada sedikit pun suara terdengar.
Begitu aku membuka mata, aku sudah berada di ruang tamu, berbaring di sofa. Saat aku mencoba bangun, aku menyadari bahwa sekujur badanku dipenuhi dengan
debu asap hitam.

Silent Girl Karya Indah Thaher di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Halo, Lauren."
Aku mendongak cepat, menyadari suara yang terdengar familiar di telingaku.
Suara Hilda. Dan benar, di sanalah dia, duduk di sofa hadapanku. Ia menatapku dengan senyum ramah yang kini mulai terasa familiar bagiku.
"Mimpi ..." gumamku dengan suara sangat pelan.
"Kau baik-baik saja?" tanyanya dengan suara tenang.
Aku kembali menatapnya, lalu mengangguk. "Ya."
Ia mengamatiku beberapa saat. "Kau hampir saja mulai merelakan mereka," ujarnya.
Aku hanya diam, tidak tahu harus berkata apa tentang pernyataannya barusan. Tatapanku kemudian tertuju pada lengan kirinya, lengan itu juga dipenuhi dengan
debu asap hitam-sama sepertiku.
Aku kembali menatap Hilda. "Kau yang menarikku tadi ... dari mobil itu," gumamku.
Hilda tidak berkata apa-apa, hanya diam menatapku dengan tenang.
"Apa kau pernah bertanya padanya?"
Ia kini menatapku dengan bingung.
"Apa kau pernah bertanya pada Tuhan mengapa Dia memberimu atau aku takdir seperti ini?" tanyaku.
Hilda menatapku sejenak. "Apa kau ingin menyerah?"
Aku tertegun. "Tidak," jawabku akhirnya.
Ia kemudian tersenyum. "Aku tau kau kuat, Lauren." Matanya kini menatapku penuh dengan sorot kekaguman yang membuatku merasa tidak nyaman.
Aku kembali menunduk, mulai merasakan pikiranku dipenuhi oleh semua pertanyaan dan ingatan-ingatan dari isi jurnal miliknya.
"Aku minta maaf karena tidak menolongmu saat itu," ujarku sambil menunduk, kembali tidak punya nyali untuk menatapnya.
"Tidak ada yang bisa membantuku saat itu," ucapnya. Lagi-lagi dengan nada penuh pengampunan itu lagi.
Aku kembali terdiam, membiarkan semua ingatan tentang isi jurnalnya terpampang jelas di kepalaku.
"Hilda," panggilku akhirnya.
"Ya?" Aku menatap matanya lekat-lekat. "Saat itu kau tidak benar-benar menyerah, kan?" tanyaku.
Hilda hanya diam beberapa saat. Kemudian ia tersenyum lemah. "Aku berusaha," jawabnya.
"Tapi bukan kau yang mengakhirinya."
Hilda menatapku sesaat. "Bukan."
"Lalu siapa?" Hilda kembali tersenyum. Aku memajukan badan, berusaha agar wajah kami berdekatan. Aku menatapnya lekat-lekat, merasakan rasa emosi itu muncul lagi dari
dalam diriku. "Apa Sarah? Pak Wira? Atau ... pria itu? Pak Mulyo?" tanyaku hati-hati.
Hilda lagi-lagi hanya diam. Tapi selama beberapa detik, aku menyadari ada sorot kesedihan yang begitu pilu terbesit jelas di kedua matanya. Aku tetap menatapnya,
menunggunya menjawab pertanyaanku.
Ia kemudian kembali menatapku dan senyum ramah itu kembali muncul di wajahnya.
"Bagaimana kabar adikku?" tanyanya.
Aku mengamatinya beberapa saat, menyadari bahwa Hilda belum menjawab pertanyaanku.
"Terakhir aku bertemu dengannya adalah minggu lalu. Tapi David bertemu dengannya beberapa hari lalu. Adikmu sehat," jawabku akhirnya.
Senyumnya kini mulai merekah lega dan aku pun tidak bisa menahan diri untuk ikut tersenyum bersamanya. Bagaimana pun, aku sangat mengerti perasaannya dan
cintanya pada adik kecilnya itu.
Seperti aku mencintai Noah.
"Hilda," panggilku.
Ia menatapku dengan tenang, seolah sudah tahu apa yang akan aku katakan padanya.
"Kau memintaku membantumu karena sejak awal kau tau bahwa kita berdua sama-sama menjadi korban dari kota ini. Aku mencintai keluargaku sama seperti kau
juga mencintai keluargamu." Aku menarik napas, merasakan kesedihan dan amarah itu muncul kembali. "Aku ingin membantumu, Hilda. Dan aku ingin kau juga
membantuku. Hanya dengan itu kita bisa menghentikan semua ketidakadilan yang sudah berlangsung lama di kota ini," sambungku dengan napas memburu.
Hilda kemudian menoleh ke atas kepalaku. Tatapannya tenang, seolah sudah menebak bahwa apapun yang muncul di sana pasti memang akan datang cepat atau lambat.
"Hilda-" "Kau harus merelakan mereka, Lauren. Dengan begitu, kau bisa melihat semuanya dengan jelas," potongnya dengan suara tenang. Ia tetap tidak melepaskan tatapannya
dari sana. Kemudian barulah aku menyadari ada rasa panas yang menyelimuti punggungku. Asap hitam mulai muncul menyelimuti lantai ruang tamuku.
Aku langsung berbalik, menatap ke arah tatapan Hilda. Dan sebelum aku sempat bisa melihat apa yang ada di belakangku, suara ledakan bercampur teriakan
pilu penuh kesakitan itu langsung menusuk telingaku hingga mataku terpejam rapat dengan cepat.
"Laureenn, toloooongg ..."
Aku terkesiap, membuka mataku lebar-lebar dengan cepat. Tanganku langsung menggapai apapun yang ada di sekitarku dengan panik. Suara tarikan napas kasar
terus terdengar keluar dari mulutku, berusaha keras menghirup napas sebanyak mungkin.
Dan begitu aku menyadari tanganku kini meremas selimut, barulah aku mulai menatap ke sekelilingku dengan sedikit tenang.
Aku di kamar ... kamar apartemenku.
Aku mulai memijit dahiku, lalu kembali menarik napas panjang dan perlahan merasakan ketenangan itu mulai bergerak menyelimutiku. Kepalaku masih terasa
berputar-putar, tapi sedikit demi sedikit aku mulai bisa mengerti situasi ini.
Mimpi buruk. Lagi. Dan ini bukan pertanda baik. Setelah aku mengunjungi kantor David pagi ini, sakit kepalaku kembali kambuh. Karena itulah aku langsung memutuskan untuk
menginap di apartemenku dan berencana kembali ke Angor besok pagi.
Tanganku mulai menggapai ponsel, kemudian memencet nomor itu dengan gemetar.
"Lauren." Suara itu langsung terdengar begitu nada sambung kedua berbunyi.
Aku menelan ludah, merasakan betapa keringnya tenggorokanku. "Bu Eli," ujarku dengan pelan. Aku memejamkan mata, mencoba menenangkan detak jantungku kembali.
"Terjadi lagi ..." sambungku dengan lemah.
*** Aku menunduk, sama sekali tidak ingin melihat tatapan itu dari Bu Eli. Selama beberapa saat tidak ada yang berbicara di ruangan ini. Dan lagi-lagi Bu Eli
tetap menungguku untuk menjawab pertanyaannya lagi.
Aku menarik napas pelan. "Aku ke sini hanya ingin meminta resep obat," ujarku. "Hal seperti ini akan mereda dengan sendirinya, sama seperti dulu."
Bu Eli tetap diam dan aku masih bisa merasakan tatapannya padaku.
"Ingat saat aku berkata padamu waktu lalu? Bahwa terkadang manusia membutuhkan sebuah dorongan untuk menemukan perubahan yang tersimpan di dalam dirinya,"
tanyanya. Aku mengangguk pelan. "Ya."
"Ada dua pilihan saat manusia terjatuh penuh luka karena dorongan itu. Berdiri dengan dendam atau berdiri dengan senyum kepercayaan diri dan kekuatan yang
baru." Suasana kembali hening beberapa saat.
"Kau pernah berkata padaku bahwa alasan kau membantu menyelidiki kematian Hilda adalah karena kau tidak ingin menjadi pengecut dan menghentikan ketidakadilan
yang dialami Hilda." Bu Eli menungguku mengangguk, kemudian melanjutkan perkataannya.
"Tapi yang kurasakan sekarang, kau hanya menggunakan dendammu. Dendam atas ketidakadilan dari kematian keluargamu untuk memojokkan orang-orang di kota
itu dengan kematian Hilda yang mungkin sebenarnya bukanlah sebuah pembunuhan atau hasil dari perbuatan kota itu," ujar Bu Eli.
Aku mengerutkan alis, mencoba mencerna perkataannya barusan.
"Pikirkan lagi, pilihan mana yang ada di pikiranmu sekarang?" tanyanya lagi.
Aku menatap Bu Eli selama beberapa saat, sadar bahwa aku merasakan kebingungan yang besar saat mencoba memberikannya jawaban dari pertanyaan itu.
*** BAB 47. Deeper Aku kembali memencet nomor Tommy, kemudian menempelkan ponsel ke telingaku. Tapi seperti sebelumnya, nada sibuk langsung terdengar. Ini sudah kesekian
kalinya aku mencoba menghubunginya.
Dahiku berkerut. Sudah lebih dari dua hari ini aku tidak bisa menghubungi Tommy. Nada sibuk itu selalu muncul setiap kali aku mencoba menghubungi nomor
ponselnya. Tidak biasanya Tommy tidak membalas telponku selama ini, tanpa kabar sedikit pun.
Terakhir kali kami bertemu, ia memang kurang senang dengan rencanaku untuk menemui David ke ibukota. Tapi ia tetap menelponku begitu aku sudah sampai di
sana. Aku kemudian memutar kunci pintu rumah, lalu membukanya dan berjalan masuk. Aroma khas rumah ini kembali menyelimuti penciumanku dengan cepat. Dan aku
mulai menegang, merasakan kekalutan dan bayangan mimpi-mimpi itu datang memenuhi pikiranku.
Jantungku mulai berdebar cepat, tapi aku tetap berusaha untuk melangkah maju memasuki ruang tamu ini. Aku terus melangkah, hingga sampai ke dapur lalu
bergegas mengambil segelas air putih. Begitu aku merasakan air itu mengalir di dalam kerongkonganku, barulah aku mulai merasakan detak jantungku tenang
sedikit demi sedikit. Kupaksakan kembali kakiku melangkah menuju ruang tamu. Lalu begitu sudah berada di depan sofa, aku langsung menghempaskan badanku. Aku memejamkan mata,
kembali menarik napas panjang untuk kesekian kalinya.
Aku baik-baik saja ... aku baik-baik saja ...
Aku kembali membuka mata, menatap ke sekeliling ruangan ini-mencari apapun untuk mengalihkan pikiranku. Tatapanku kemudian tertuju pada jendela di sebelah
kulkas, jendela yang beberapa hari lalu dipecahkan oleh penerorku-Pak Wira.
Lalu badanku membeku, tiba-tiba menyadari sesuatu.
Terakhir kali Tommy bercerita padaku bahwa ia mendapatkan informasi baru dari ayahnya tentang Pak Wira. Ia tahu dimana tempat tinggal Pak Wira yang lain
di kota ini dan ia ingin mengecek terlebih dahulu sebelum benar-benar memberitahuku dengan detil. Karena Tommy sendiri tidak yakin dengan lokasi ini, ia
bilang lokasi ini sangat aneh untuk dijadikan tempat tinggal.
Tommy mencoba mencari Pak Wira di sana. Dan sejak saat itu aku tidak bisa menghubunginya lagi.
Apa ... terjadi sesuatu dengan Tommy?
Bayangan itu berhasil dengan cepat menyelubungiku tanpa henti. Dan sekujur tubuhku langsung bergidik ngeri, membuat jantungku berpacu cepat.
Tapi aku tetap berusaha untuk segera bangkit, mengambil jaketku dengan tangan gemetar. Lalu melangkah keluar dari rumah menuju tempat mobilku terparkir.
Begitu aku menghidupkan mesin mobil, aku langsung melaju cepat menuju tempat lokasi yang pertama terbesit di pikiranku. Bagaimana pun, hanya ialah yang
kemungkinan tahu kemana terakhir kali Tommy pergi.
Beberapa menit kemudian, aku berbelok dan memakirkan mobilku tepat di sebuah rumah besar berpagar putih. Sebuah mobil van hitam sedang terparkir tepat
di depan pagar, hendak bersiap keluar. Aku menyadari seorang satpam sedang berjalan untuk membuka pagar tersebut.
Aku bergegas keluar dari mobilku, kemudian berjalan menghampiri Si Satpam. Si Satpam kemudian menoleh dan aku langsung mengenalinya. Ia masih satpam yang
lama sewaktu dulu aku sering mengunjungi rumah ini.
Ia juga membelalak kaget, masih mengenaliku.
"Pak Andi," ujarku sambil tersenyum ramah.
"Nona Lauren," jawabnya canggung. Ia kemudian menoleh ke arah mobil van hitam di belakangnya.
"Apa itu Pak Riwan?" tanyaku langsung.
Pak Andi langsung berbalik menatapku dengan enggan. "Iya. Itu Pak Riwan. Beliau mau pergi-" Ia langsung berhenti begitu menyadari pintu mobil van itu terbuka
dan seseorang keluar dari sana.
Pak Riwan. Aku menatap sosok itu dengan tenang. Ia kini berdiri di depan mobil, menatapku dengan sorot datar, sama sekali tidak terkejut dengan kedatanganku yang
tiba-tiba ke rumahnya. Aku kembali menatap Pak Andi. "Terima kasih, Pak," ujarku padanya. Kemudian aku mulai berjalan menghampiri Pak Riwan yang kini mulai melepaskan kacamata
hitamnya. Ia seperti replika dari anaknya-atau mungkin sebaliknya. Perbedaannya hanyalah senyum dan sorot mata itu. Berbeda dengan anaknya, Pak Riwan sama sekali
tidak pernah tersenyum dan selalu terlihat serius.
"Aku tidak punya waktu sekarang untuk berbicara denganmu, Lauren. Aku sudah terlambat untuk bertemu klien-"
"Ini tentang Tommy," potongku. "Aku tidak bisa menghubunginya," sambungku.
Ia menatapku beberapa saat. "Kenapa kau menanyakannya padaku? Bukankah kau yang seharusnya lebih tau dimana dia? Anak itu lebih dekatmu daripada denganku,"
jawabnya datar. "Dia datang padamu beberapa hari lalu untuk menanyakan tentang Pak Wira. Kau memberitahu lokasi tempat dia tinggal dan kurasa dia pergi menyelidiki ke
tempat itu-" "Aku tidak mengerti apa alasan kalian melakukan ini. Kalian tidak akan menemukan apa-apa dan jika pun kalian menemukan sesuatu, kalian akan tetap kalah."
Ia mendengus. "Tapi kau tidak akan mendengarkan nasihatku untuk berhenti, kan? Dan sayangnya anakku juga keras kepala sepertimu," sambungnya.
"Pria itu menerorku, menyelinap masuk ke rumahku beberapa hari lalu-"
"Karena kau berusaha mengenduskan hidungmu pada sesuatu yang seharusnya tidak perlu kau tau," potongnya.
Aku menatapnya beberapa saat. "Seperti halnya kau dan yang lain menutupi bahwa pabrik buatanmu yang menyebabkan ledakan pom bensin yang menewaskan keluargaku
4 tahun lalu?" Pak Riwan terdiam, mengamatiku sejenak. Sorot matanya kini menatapku dengan dingin. Ia lalu mengangkat jam tangannya, menatap benda itu sekilas. "Aku sudah
terlambat. Aku tidak punya waktu-"
"Putramu hilang dan aku sama sekali tidak bisa menghubunginya. Dia mungkin sedang berada dalam bahaya dan kau tidak berusaha melakukan apa pun?"
Ia menatapku beberapa saat, tidak ada perubahan di wajahnya. "Aku sudah melarangnya untuk tidak membeberkan masalah pabrik itu pada siapa pun, tapi dia
melanggarnya. Dan aku sudah melarangnya untuk tidak ikut campur dalam masalah Wira, tapi dia tetap melakukannya." Ia terdiam sejenak. "Jadi itu resiko
Pedang Keramat Thian Hong Kiam 1 Sapta Siaga 11 Bermain Api Panji Sakti 7

Cari Blog Ini