Silent Girl Karya Indah Thaher Bagian 6
yang ia tanggung sekarang," sambungnya.
Kemudian ia berbalik dan masuk ke dalam mobil van hitam itu.
Aku tertegun, menatap mobil van itu melaju pergi dari hadapanku. Jantungku mulai terasa nyeri dan rasa kalut itu mencuat dengan cepat memenuhi kepalaku.
Dengan sisa tenagaku, aku mulai berjalan meninggalkan pekarangan ini, kembali menuju mobilku. Tatapan Pak Andi terasa mengikutiku hingga aku sudah benar-benar
masuk ke dalam mobilku. Begitu aku sudah duduk di kursi kemudi, aku langsung meronggoh ponselku lalu memencet tombol dengan tangan gemetar.
"Halo, Lauren," sahut David.
"David, tolong aku." Suaraku terdengar gemetar. Aku menelan ludah. "Tommy menghilang," sambungku.
*** Aku kembali meneguk air mineral itu hingga habis, merasakan perutku perlahan terasa dingin dan segar. Dan itu cukup membuatku tenang kembali, dengan sangat
perlahan. Mungkin David benar, kekalutanku tentang Tommy terasa berlebihan karena pikiranku kembali terguncang setelah cerita ledakan pabrik dan pom bensin itu.
David berkata bahwa kemarin ia berhasil menghubungi Tommy dan ia sedang berada di hotel Angor. Ia berkata saat itu ia tidak bisa menghubungiku karena sinyal
yang buruk. Jadi kita akan menunggu sampai malam ini. Jika ia tidak menelpon sampai besok pagi, David akan mulai mencarinya.
Aku menyadari David mungkin sudah mengetahui lokasi Pak Wira yang Tommy ketahui dari ayahnya. Dan saat aku mencoba menanyakannya, ia tentu saja langsung
menolak dengan keras. Setidaknya perkataannya tentang Tommy sudah cukup berhasil membuatku sedikit tenang. Dan rasanya aku mulai bisa membayangkan bahwa David pasti kembali
berpikiran betapa sikapku kembali tidak tenang seperti saat dulu aku memberikan dugaan tentang kematian Hilda padanya.
Aku kembali bersandar di mobilku, menatap ke sekeliling taman kota ini.
Lalu tatapanku terpaku pada sosok kecil di seberang jalan, sedang membawa barang belanjaan di kedua tangan kecilnya.
Adit. Aku langsung bergegas berjalan, menyeberangi jalan raya yang sejak tadi tidak terlalu ramai dibanding biasanya. Begitu sampai di seberang, aku langsung
mengejar Adit yang masih berjalan membelakangiku.
"Adit," panggilku.
Bocah itu langsung berhenti, menegang takut.
"Adit, tunggu. Aku hanya ingin bicara denganmu sebentar," kataku begitu menyadari ia hendak bergerak menjauh dariku.
Ia kemudian mulai menatap ke sekeliling kami dan begitu menyadari bahwa jalanan ini sedikit sepi, barulah ia berbalik menatapku.
Aku tersenyum lega. Tapi aku menyadari bocah itu masih terlihat takut.
"Kau ingin pulang? Aku bisa mengantarmu dengan mobilku," ajakku dengan suara tenang, berusaha untuk membuatnya rileks.
Ia melirikku sekilas. "Aku tidak boleh berbicara denganmu, Kak."
Aku terdiam sejenak. "Siapa yang melarangmu?" tanyaku.
Adit hanya diam, kini menunduk. Dan lagi-lagi rasa frustasi dan amarah itu kembali muncul menyelimutiku. Naluri untuk melindungi anak ini membesar.
Aku kemudian membungkuk, meraih lengannya dengan pelan. Dan gerakan itu cukup membuatku menegang takut, terlihat jelas sama sekali tidak pernah merasakan
perlakuan seperti ini sebelumnya.
"Aku akan melindungimu, Adit. Jangan lupa, itu. Aku akan membantu keluargamu keluar dari semua ini," janjiku padanya. Dengan pelan, aku mulai mengelus
lengannya dengan lembut. Seperti yang biasa aku lakukan pada Noah setiap kali ia merasa ketakutan dengan sesuatu. Dan aku menyadari badannya kini mulai rileks.
Baam. Suara pintu mobil tertutup terdengar keras hingga cukup membuat kami berdua terlonjak pelan.
Aku langsung mendongak dan mendapati asal suara itu itu berasal dari mobil jaguar silver yang tidak jauh dari tempat kami berdiri.
Sebelum aku sempat mengenali pemilik mobil itu, Adit sudah berlari menjauh dariku dengan cepat. Ia sudah berada jauh di depan sebelum aku sempat membuka
mulut untuk memanggilnya.
Tatapanku kembali pada mobil jaguar silver dan sosok yang sudah kuduga sebagai pemilik mobil itu kini sudah berdiri di sana, menatapku dengan sorot datar.
Semuanya sama-sama menatapku dengan sorot dingin, jelas-jelas menyaksikan bahwa beberapa saat lalu aku mengajak bicara Adit di sini.
"Kau bisa memancing amarah semua orang di kota ini sebentar lagi, Lauren," ujar Sarah.
Aku hanya diam, menatap mereka semua dengan tenang.
Nika, yang berada di belakang Sarah, mulai menggelengkan kepalanya dengan sinis.
"Ayo," ajak Sarah pada mereka.
Mereka kemudian berjalan melewatiku, menuju kedai kopi yang berada tidak jauh dari tempatku berdiri. Lalu tatapanku tertuju pada Tifa, yang berjalan paling
belakang. Aku terus mengamatinya berjalan melewatiku.
Tapi begitu ia berada di hadapanku, ia kemudian berhenti. Ia lalu menoleh, menatapku dengan sorot aneh.
"Adit bukanlah Noah, Lauren. Ingat itu," katanya padaku dengan suara pelan.
*** BAB 48. Kepastian Lama Aku kembali menepikan mobilku ke tepi jalan, tepat begitu aku mulai merasakan sakit kepala itu muncul lagi. Aku mulai meraih tasku di kursi penumpang,
meronggoh botol kecil di dalamnya. Sambil memejamkan mata, aku menuangkan dua butir tablet dan langsung menelannya.
Selama beberapa menit, kubiarkan obat itu bereaksi sampai sakit kepalaku mulai sedikit mereda.
Pikiranku sejak tadi masih dipenuhi dengan semua hal yang terjadi sejak aku datang kembali ke kota ini. Kematian Hilda, kematian keluargaku, Adit, Pria
Itu, Tommy, Sarah dan semua tingkah aneh orang kota ini. Rasanya semua seperti tiba-tiba datang bersamaan untuk membingunganku.
Lalu pandanganku tertuju pada sebuah poster yang berdiri terpampang di sebuah papan jalan yang tidak jauh dari mobilku. Itu adalah poster Pak Rey, sedang
tersenyum di depan gedung perusahaannya. Wajah itu ramah, namun juga tegas-tipikal pemimpin pada umumnya.
Rasanya sangat sulit untuk menyangka bahwa di balik wajah itu tersembunyi sosok penipu yang tidak bertanggung jawab.
Setidaknya hingga sekarang, sampai aku mengetahui bahwa ia menutupi kesalahan yang menyebabkan keluargaku pergi meninggalkanku selamanya.
Kurasa seharusnya aku sudah bisa menebak hal ini sejak dulu. Sarah adalah anak dari Pak Rey dan sejak dulu aku selalu menemukan banyak kesamaan dari mereka
berdua. Sarah jelas-jelas mengetahui tentang ledakan pabrik ayahnya dan ia sama sekali tidak menyinggung hal itu padaku sedikit pun, bahkan sebagai teman.
Dan aku tahu Pak Rey juga mengetahui jelas anaknya selama ini memperlakukan Hilda dengan buruk sejak dulu.
Aku menatap kosong poster itu selama beberapa saat, merasakan pikiranku kembali berkecamuk.
Mungkinkah ... Pak Rey benar-benar adalah Pria itu?
Selama ini, ada dua orang yang bagiku sangat memungkinkan dimaksud Hilda sebagai pria itu di jurnalnya.
Pak Rey dan Pak Mulyo. Keduanya adalah publik figur besar di kota ini, seseorang yang tidak mungkin disalahkan atas perbuatan yang menjijikkan seperti itu-sekalipun tuduhan itu
memang benar. Seluruh kota ini akan melindungi mereka, aku sadar itu. Hanya saja, jika harus memilih berdasarkan reputasi mereka, Pak Mulyo lebih memiliki
kemungkinan besar. Ciri-cirinya sangat bisa disamakan dengan apa yang diceritakan Hilda di jurnalnya. Pak Mulyo juga bekerja sebagai Hakim Agung selama bertahun-tahun di
kota ini, jadi tentu saja ia bisa sangat dengan mudah memasukkan Hilda ke dalam biro hukum mana pun di kota ini sebagai senior besar.
Dan senyum menyeringai itu.
Aku tahu sejak dulu Pak Mulyo selalu memiliki perhatian lebih terhadap gadis muda-terutama yang cantik. Tapi orang-orang di kota ini hanya memandangnya
sebagai sikap bersahabat, terutama karena ia sendiri tidak memiliki anak satu pun dari mantan istrinya. Sekalipun memang pernah beredar rumor tentang ia
dan sekretaris mudanya bertahun-tahun lalu.
Sekarang aku benar-benar bergidik melihat senyum itu. Sejak dulu aku memang tidak pernah menyukai senyum itu di wajahnya, terutama saat senyum itu tertuju
padaku. Tapi seperti halnya Pak Rey, aku sama sekali tidak pernah melihat Hilda atau ibunya berbicara dengan Pak Mulyo.
Dan aku tidak menghubungkannya dengan Sarah yang jelas-jelas melakukan sesuatu pada Hilda malam itu. Aku juga tidak bisa menemukan alasan kuat mengapa
Sarah melakukannya. Berbeda dengan Pak Rey. Walaupun aku tahu kemungkinan bahwa aku bisa saja melewatkan kesaksian itu memang ada-karena bagaimana pun rumahku dan Hilda tidak melewati jalan yang
sama. Hanya saja, Pak Rey cenderung lebih memiliki hubungan dekat dengan keluarga Hilda sejak dulu. Bagaimana pun juga, Ibu Hilda bekerja di salah satu
pabrik milik Pak Rey. Dan hubungan Sarah dan Hilda sendiri tidak bisa disebut asing.
Dengan dugaan bahwa Pak Rey adalah pria itu, rasanya semua pecahan-pecahan misteri di kepalaku mulai bisa terhubung.
Pak Rey mencintai putrinya begitu besar, begitu juga sebaliknya. Jadi tidak mengejutkan jika tiba-tiba saja Sarah menginginkan bantuan ayahnya untuk melakukan
sesuatu pada Hilda dan ayahnya menyetujui dengan mudah. Menyuruh Pak Wira adalah salah satunya, tapi nyatanya Sarah sendiri tidak tau bahwa Pak Wira juga
melakukan sesuatu yang sama seperti yang ia rencanakan.
Aku mengerutkan dahi, berpikir keras. Aku mulai menarik napas pelan.
Satu-satunya dugaanku kini adalah Pak Rey memang 'Pria Itu' yang dimaksud Hilda di jurnalnya. Jadi artinya ... selama ini Ibu Hilda sudah berhubungan dengan
Pak Rey-melakukan semua yang diceritakan Hilda di jurnalnya tersebut.
Dan itu yang membuat Sarah membenci Hilda setengah mati sejak kami berumur 7 tahun, semakin membencinya begitu tahu Hilda menggantikan posisi ibunya. Hingga
akhirnya Sarah memutuskan untuk membunuh Hilda.
"Kurasa tidak hanya aku yang sudah muak dengan gadis gembel itu."
Muak ... Perkataan Sarah saat di pemakaman itu kembali terngiang di kepalaku. Dan fakta bahwa Pak Rey juga memerintahkan seseorang untuk melenyapkan Hilda malam
itu adalah tanda bahwa ia juga sudah tidak menginginkan Hilda lagi.
Aku memejamkan mataku rapat-rapat, menghembuskan napas dengan perlahan. Denyutan itu kembali muncul di kepalaku.
Aku hanya perlu mencari tau apa yang sebenarnya mereka lakukan pada Hilda malam itu.
Malam itu ... Mataku terbuka cepat, menyadari sesuatu. Aku lalu bergegas menghidupkan mesin mobil dan mulai berkendara menjauh dari tempat ini.
*** Aku keluar dari mobil, kemudian mulai berjalan menuju gerbang kayu yang menjulang tinggi di hadapanku. Begitu aku sampai di gerbang, aku langsung membunyikan
bel yang berada paling tepi gerbang. Aku mulai menatap ke sekelilingku, menyadari bahwa seperti biasa jalan ini selalu sepi.
"Selamat siang. Mohon maaf, ini dengan siapa dan mencari siapa?"
Aku tersenyum lega mendengar suara yang masih terdengar familiar di telingaku. Aku lalu berjinjit dan memajukan badanku hingga mulutku berada pas di depan
kotak putih-asal suara tadi muncul.
"Pak Rusadi, ini aku, Lauren," jawabku dengan suara sedikit keras.
Ada jeda sejenak. "Lauren?" sahutnya kaget.
"Ya, Pak. Ini aku," jawabku lagi dengan tersenyum. "Boleh aku masuk?"
Ada jeda lagi. "Nona Sarah sedang tidak ada di rumah-"
"Aku ke sini ingin bertemu dengan Pak Rusadi."
"Oh, aku?" Ia diam beberapa saat. "Baiklah, akan kubuka pagarnya," sambungnya.
Beberapa saat kemudian, suara langkah terdengar dari dalam. Lalu pagar itu terbuka dan muncul seorang pria berseragam satpam dengan wajah ramah yang sangat
kukenal. "Pak Rusadi," sapaku sambil tersenyum.
Ia ikut tersenyum melihatku. "Halo, Lauren."
"Bagaimana kabar Bapak?"
"Aku baik-baik saja. Masuklah," ujarnya.
Aku mengikutinya ke dalam. Dan pandanganku langsung tertuju pada pemandangan rumah besar itu selama beberapa saat. Sudah lebih dari 4 tahun aku tidak mengunjungi
rumah ini lagi. Dan seperti dugaanku, tidak ada perubahan besar yang terlihat di sini. Rumah itu masih saja indah seperti dulu, besar bercatkan putih bersih
dengan model 70an dan berhalaman hijau luas.
Pak Rusadi kemudian berhenti. Ia kemudian menatap ragu padaku. "Eeh ... mungkin kita duduk di sana saja," sambungnya sambil menunjuk ke sampingku dengan
enggan. Aku mengikuti arah telunjuknya dan mengangguk sambil tersenyum. Pak Rusadi tidak mungkin membiarkanku masuk ke kediaman Waksono tanpa izin-apalagi pada
tamu yang paling tidak diharapkan sepertiku.
Kami kemudian berjalan ke pos satpam yang berada di samping gerbang masuk itu. Pak Rusadi kemudian mulai menggeser kursi kecil dari meja yang merapat ke
dinding. "Duduklah, Lauren. Kau ingin minum?"
"Tidak, terima kasih. Aku hanya ingin berbicara sebentar saja," kataku sambil menarik kursi itu dan mulai duduk.
Pak Rusadi mengangguk paham. Ia kemudian mengambil kursi kecil lain dan duduk.
Aku mengamatinya beberapa saat. "Terima kasih karena tetap mau berbicara denganku," ujarku sambil tersenyum.
Pak Rusadi terdiam sejenak, lalu mengangguk sambil tersenyum lembut. Aku sadar ia tahu apa yang semua orang kota ini bicarakan tentangku dan bagaimana
mereka bersikap diam penuh benci terhadapku. Tapi aku tahu Pak Rusadi tidak akan ikut memusuhiku. Aku sudah mengenalnya sangat dekat hingga aku tahu kalau
ia bukan orang seperti itu.
"Pak Rusadi, aku datang ke sini bukan hanya karena aku sudah lama tidak bertemu dengan Bapak. Tapi juga karena ingin menanyakan sesuatu ..." Aku menatapnya
beberapa saat. "Dan kurasa Bapak juga tau apa itu," sambungku dengan pelan.
Ia menatapku sedikit bingung. "Apa itu, Lauren?"
Aku mengamatinya beberapa saat, kemudian menarik napas pelan. "Saat malam sebelum mayat Hilda ditemukan ..." Aku kini menatapnya lekat-lekat dan menyadari
badannya kini menegang. "Apa ... malam itu Sarah bersama seorang pria? Keluar bersama? Atau setidaknya mendengar sesuatu dari Sarah-sesuatu tentang Hilda?"
tanyaku akhirnya. Pak Rusadi mulai menatapku dengan sorot tidak nyaman, tapi ia tetap diam. Selama beberapa lama aku tetap menunggunya mengatakan sesuatu. Tapi sama sekali
tidak ada tanda bahwa ia akan menjawab satu pun pertanyaanku. Dan itu justru menguatkan kecurigaanku bahwa Pak Rusadi memang mengetahui sesuatu tentang
hal ini. "Aku benar-benar tidak ingin melibatkan Bapak dalam hal ini. Tapi ..." aku menelan ludah, merasakan keraguan untuk melanjutkan. "Aku butuh bantuan ...
untuk mengakhiri semua ini sekarang."
Suasana hening beberapa saat. Dan aku sadar Pak Rusadi masih belum mau berbicara.
"Aku tau bapak adalah orang baik," ujarku dengan pelan. "Bagaimana pun juga aku sudah mengenal dekat bapak sejak aku masuk kuliah-saat bapak masih menjadi
satpam di gedung jurusanku. Aku tau bagaimana bapak. Bapak bukan orang yang hanya diam saat seseorang di sekitar Bapak disakiti atau diperlakukan buruk,"
jelasku lagi. Pak Rusadi kini menunduk dengan raut wajah kalut, masih diam.
"Aku pernah melihat Bapak membantu Hilda dulu." Aku menghela napas. "Sesuatu yang tidak pernah kulakukan padanya," gumamku. Suaraku mulai terdengar mengecil.
"Penculikan." Aku menatap Pak Rusadi dengan cepat. Pak Rusadi kemudian menoleh dan aku menyadari raut penuh penyesalan memenuhi wajahnya.
"Sebelum hari itu, saat hampir tengah malam, aku mendengar mobil Nona Sarah hendak keluar. Dia tidak membangunkanku untuk membukakan gerbang seperti biasanya-semalam
apa pun. Dia membuka gerbang sendiri sambil berbicara dengan seseorang di telpon. Aku mendengar sedikit pembicaraan mereka." Ia terdiam sejenak. "Dia marah
dan berkata bahwa penculikan Hilda harus dilakukan besok malam, tidak ada penundaan lagi."
"Apa Sarah pernah menyebut nama pria-maksudku nama orang yang bicara di telpon itu?"
Pak Rusadi terdiam sejenak, lalu menggeleng pelan. "Tidak, Sarah tidak menyebut-nyebut namanya."
"Apa ... ada seorang pria besar bertato datang ke sini mencari Sarah?"
Ia menatapku beberapa saat dengan bingung. "Tidak, seingatku tidak ada."
Aku mengerutkan alis, mencerna semua informasi yang baru saja dilontarkan Pak Rusadi barusan.
Sarah ingin melakukan penculikan pada Hilda malam itu dan dugaanku saat itu ia sedang berbicara dengan pria besara bertato yang kulihat bersamanya di pemakaman
waktu itu. Dengan begini, kesaksianku waktu itu terhubung.
Tapi aku masih belum mendapat bayangan pasti apakah orang suruhan Sarah membunuh Hilda. Pak Rusadi hanya berkata Sarah ingin melakukan penculikan, bukan
pembunuhan. Apa Sarah merencanakan untuk membawa Hilda pergi ke suatu tempat dan membunuhnya? Lalu menaruh mayatnya kembali ke kamar dan membuatnya seolah-olah bunuh
diri? Tapi ... Apa tujuannya? Dan tidakkah itu justru membutuhkan waktu lama dan resiko mobil mereka tertangkap kamera akan lebih besar untuk bolak balik menuju
rumah Hilda. Mereka hanya punya sedikit waktu sebelum tengah malam. David berkata Hilda sudah meninggal sejak tengah malam, yang artinya mereka hanya memiliki
sekitar 2 jam untuk melakukan aksi itu.
Satu-satunya kemungkinan adalah mereka memang membunuh Hilda di kamar. Dan jendela rusak itu adalah bukti mereka memaksa masuk.
Pak Wira! Pak Wira pasti melihat mereka dan suruhan Sarah langsung mengejarnya begitu Hilda sudah mati. Karena itulah Sarah begitu panik saat mengetahui Pak Wira
menyaksikan aksi mereka malam itu dan meminta suruhannya untuk membersihkan bukti-bukti yang saat itu tidak sempat mereka hapus karena sibuk mengejar Pak
Wira. Pak Wira kemudian berbohong dan berkata kalau Pak Rey menyuruhnya melenyapkan Hilda agar ia bisa dibebaskan. Tapi mengapa Pak Wira malah menerorku dan
memintaku berhenti menyelidiki kasus ini? Ia adalah saksi kunci dan ...
Sarah dan keluarga Waksono jelas-jelas mengancamnya. Kebohongannya pasti sudah terbongkar. Hanya itu penjelasannya.
Tapi bagaimana orang itu membunuh Hilda. Tidak ada busa di mulutnya atau apa pun. Satu-satunya luka hanyalah goresan pisau di pergelangan tangannya. Jika
ia dibunuh, bukankah seharusnya ada memar perlawanan dari Hilda?
"Beberapa hari lalu penyidik itu juga datang ke sini menanyakan hal yang sama padaku."
Aku kembali menoleh pada Pak Rusadi, menyadari bahwa ia maksud adalah David dan Pak Rusadi jelas tidak menceritakan hal ini padanya.
Ia kini tersenyum lelah." Aku pengecut, Lauren. Aku pikir masalah ini akan hilang dengan sendirinya."
Aku menatapnya sungguh-sungguh. "Aku berjanji akan mengakhiri semua ini, Pak."
Tatapannya kini berubah sendu. "Mungkin kota inilah penyebabnya, Lauren. Bukan orang-orangnya."
*** Kali ini aku benar-benar yakin aku mendengar suara dentuman itu.
Aku langsung mempercepat laju mobil dan berbelok ke halaman rumahku. Kemudian bergegas berjalan menuju pintu bagasi mobil.
Dahiku berkerut dalam memandang bagasi itu beberapa saat dengan tatapan was-was. Sejak pergi dari rumah Sarah tadi, aku mendengar suara dentuman aneh dari
belakang mobilku setiap kali melewati polisi tidur.
Aku tahu ada sesuatu di dalam bagasi itu, sesuatu yang bukan milikku. Karena aku sangat yakin bahwa aku tidak menaruh apa pun di dalam sana sekali pun.
Aku menahan napas beberapa saat, mencoba mencari suara di dalam sana. Tapi aku sama sekali tidak mendengar apa pun. Aku kemudian membungkuk, mengambil
sebuah batu besar. Kemudian dengan gerakan cepat, aku membuka bagasi tersebut.
Suara terkesiap langsung keluar dari mulutku. Mataku langsung menatap ngeri apa yang ada di dalam sana.
Seekor bangkai anjing hutan, tergeletak di sana dengan mata membelalak dan lidah terjulur. Darah memenuhi mulut dan sela-sela giginya. Perutku mulai terasa
mual melihat pemandangan itu, terutama di bagian perutnya.
Perut itu dipenuhi luka tusuk yang dalam. Dan luka itu membentuk sebuah kata.
Pengkhianat Aku menatap kata itu beberapa saat, merasakan detak jantungku berpacu cepat. Aku mengatupkan rahangku rapat-rapat, menekan semua ketakutan yang mulai muncul.
Trrrtt. Aku kembali terkesiap, terlonjak kaget. Kemudian aku menarik napas panjang dan meronggoh ponsel di sakuku. Mataku menatap diam pada layar ponsel itu. Sebuah
pesan dari David. Kau benar. Kau punya hak untuk tau.
Jl. Danau Tri No. 2. Ini alamat Siska Maulan di ibukota.
Aku terdiam beberapa saat, kemudian kembali menoleh pada bangkai anjing itu.
Semua orang di kota ini sepertinya sudah marah denganku. Dan itu artinya aku memang semakin dekat dengan apa yang kucari.
Dan aku tidak akan berhenti sekarang.
*** BAB 49. Orang yang Paling Tidak Tahu Apa-apa
Aku mengetuk pintu itu beberapa kali dan kembali berdiri diam menunggu suara muncul dari dalam. Dan kali ini, aku mendengar suara langkah kaki. Detik berikutnya
pintu itu terbuka dan seorang wanita paruh baya muncul, berdiri di balik pintu.
"Selamat pagi. Apa anda Bu Siska Maulan?" tanyaku.
Ia tersenyum ramah. "Ya." Ia kini mengamatiku. "Bisa saya bantu?"
"Oh, maafkan aku." Aku mengulurkan tangan, menyadari bahwa ia jelas-jelas tidak mengenaliku. "Aku Lauren Narra. Keponakan Paman Septa."
Ia masih tersenyum ramah, masih tidak mengenaliku. Aku menatapnya beberapa saat, kemudian menarik napas pelan. "Aku berasal dari Angor," ujarku akhirnya.
Dan aku menyadari wajahnya kini mulai berubah. "Aku anak dari korban ledakan pabrik Waksono 4 tahun lalu," sambungku.
Matanya kini menatapku nanar dan senyum ramah itu hilang dengan cepat. Ia kemudian mulai menatap ke sekeliling lorong dengan dahi berkerut.
"Aku tidak membawa siapa-siapa. Aku ke sini hanya ingin bertemu denganmu dan berbicara sebentar saja?tentang hal ini."
Tatapannya kembali tertuju padaku. Beberapa saat ia hanya memandangiku dengan diam, masih memutuskan untuk membiarkan aku masuk atau tidak. Kemudian ia
menghembuskan napas pelan. "Masuklah."
Aku mengangguk, lalu berjalan masuk sementara ia berdiri menahan pintu. Suara pintu tertutup terdengar, membuatku sedikit terlonjak kaget.
"Duduklah," ujarnya. Ia berjalan melewatiku, menunjuk sofa yang berhadapan dengan TV. "Kau ingin minum sesuatu?" tanyanya lagi.
"Air putih saja, terima kasih."
Ia kini berjalan menuju dapur kecil yang berada di balik ruang tengah tempat sofa ini berada. Apartemen ini sederhana, tidak terlalu kecil dan besar?cukup
untuk satu atau dua penghuni.
Dan aku menyadari Bu Siska sepertinya memang menghuni tempat ini sendiri. Aku tidak melihat sepatu atau pun pakaian yang berbeda ukuran atau semacamnya.
Dan satu-satunya foto yang ada di sini hanya foto Bu Siska dengan seorang perempuan yang lebih tua dan mirip dengannya?dugaanku itu ibunya.
"Apa kau masih tinggal di sana?" tanyanya padaku.
Aku langsung menoleh dan mendapatinya kini berjalan menuju sofa sambil membawa nampan berisi segelas air dan makanan ringan.
"Tidak," jawabku, menatap datar tangannya yang kini menaruh gelas itu di hadapanku. Aku menyadari tangan kirinya memiliki bekas luka bakar yang sangat
buruk dan tangan itu gemetar hebat seolah baru saja mengangkat beban 10 kg bukan 0,5 kg.
"Aku pindah ke ibukota 4 tahun lalu. Setelah kecelakaan itu," sambungku akhirnya.
Ia kini duduk di hadapanku, menatapku dengan sorot diam. "Kau keluarga Narra. Keponakan Septa," katanya lagi, kali ini ia mengucapkannya dengan tenang.
Ia sepertinya mulai mengingat identitasku.
Aku memandanginya dengan mata lekat. Dan rasanya kali ini aku juga mulai merasa wajah itu sedikit familiar. Mungkin kami memang pernah bertemu beberapa
kali sebelumnya saat kami masih tinggal di kota itu.
"Kau benar-benar baru mengetahui tentang penyebab sesungguhnya ledakan itu sekarang?"
Aku terdiam, merasakan kembali frustasi itu keluar. "Ya." Suaraku tiba-tiba terdengar aneh.
"Dari siapa?" Aku menatapnya sejenak. "Dari temanku."
"Dan kau mempercayai ceritaku?" tanyanya hati-hati.
Aku mengamatinya beberapa saat. "Apa alasanmu untuk menuntut mereka waktu itu?" tanyaku justru padanya.
Silent Girl Karya Indah Thaher di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ia kemudian terdiam sejenak, lalu menggeleng lemah. "Aku bisa mengerti mengapa semua orang berpikir bahwa aku menuntut Pak Rey hanya untuk mendapatkan
uang ganti rugi." Ia melirikku sekilas dengan mata sendu. "Bagaimana pun juga, aku hanya pekerja pabrik dengan upah sederhana."
Tatapanku kembali tertuju pada luka bakar di tangan kirinya. Aku tetap diam, menahan diri untuk tidak berkomentar dan membiarkannya melanjutkan ceritanya.
"Tapi bukan, ini bukan soal uang." Bu Siska kini menoleh, menatap ke arah foto yang bertengger di atas TV. Ia terdiam beberapa saat. "Ibuku selalu mengajarkanku
untuk jujur dan aku hanya berusaha melakukan hal itu sejak dulu."
Beberapa saat tidak ada yang bersuara.
Ia lalu tersenyum padaku. "Sejak dulu aku memang tidak pernah suka tinggal di kota itu, kau tau," ujarnya. "Sikap orang-orang kota itu selalu berhasil
membuatku tidak nyaman," sambungnya dengan dahi berkerut.
Suasana kembali hening. Rasanya seperti kami berdua sama-sama sedang memikirkan hal yang sama tentang kota itu.
Aku menarik napas pelan, berusaha kembali tenang. "Apa pembelaan yang mereka berikan atas tuntutan anda saat itu?"
Ia mendengus, matanya menerawang seperti kembali mengingat kejadian itu. "Tidak banyak yang bisa kulakukan saat itu. Hanya aku saksi yang melihat ledakan
di pabrik itu. Dan aku bahkan mencoba menambahkan kesaksian bahwa sudah lebih dari 3 bulan lamanya Pak Rey menunda penggantian mesin tua penyebab asal
ledakan pabrik itu," jelasnya. "Tapi tentu saja, tidak ada yang mau bersaksi tentang masalah mesin tua itu selain aku," sambungnya pelan.
Jantungku mulai berdesir cepat. "Pekerja lain tidak mau bersaksi?"
Bu Siska menggeleng. "Sudah jelas, bukan? Tentu saja mereka tidak mau melakukannya. Jika pabrik Pak Rey ditutup, dimana lagi mereka akan bekerja?"
Aku terdiam, memahami betul apa yang dimaksud Bu Siska tentang ucapannya barusan. Dan hal itu berhasil memunculkan kembali emosi dan rasa frustasi yang
sejak tadi bergerak liar ingin keluar dari dalam diriku.
"Sejak awal aku sudah menduga akan kalah dalam persidangan itu?terutama setelah aku melihat siapa yang menjadi hakim agungnya," ujar Bu Siska lagi.
Dahiku berkerut, merasakan ketakutan bahwa dugaanku benar. "Pak Mulyo?"
Ia mengangguk datar, sorot benci muncul jelas di kedua matanya. "Ya. Kudengar dia sekarang sudah menjadi walikota Angor, bukan?"
Aku tertegun, kembali mencerna semua informasi ini dengan perlahan. Sejak menginjakkan kaki ke apartemen ini, aku sudah menduga bahwa semua hal ini memang
benar-benar terjadi. Aku seharusnya sudah bisa bersiap dan bersikap tenang saat mengetahui kebenaran dari cerita dibalik ledakan pom bensin 4 tahun lalu
itu. Tapi tetap saja amarah itu muncul dengan sangat cepat menyelimuti seluruh badanku. Dan selama beberapa detik, aku membiarkannya menyelimuti kepalaku.
"Kau ingin menuntut mereka?" tanyanya padaku beberapa saat kemudian.
Aku menatapnya. "Anda mau membantuku?"
Ia menggeleng lelah. "Sudah kubilang padamu, tidak ada yang akan mau bersaksi untuk mengalahkan mereka. Mereka akan selalu menang, terutama dengan semua
pejabat yang berdiri di belakang mereka sejak dulu."
Aku kembali diam, kembali merasakan nyeri mendengar pernyataannya. Aku memejamkan mata, merasakan sakit kepala itu muncul kembali.
"Aku tau itu," jawabku akhirnya. Hal itu sudah lama terpikirkan olehku, tapi tetap saja itu tidak membuatku menyerah.
Suasana kembali hening dan hanya terdengar suara detik jarum jam memenuhi ruangan ini. Aku masih merasakan tatapan Bu Siska padaku.
"Jadi kau kembali ke Angor?" tanyanya sejenak kemudian.
Aku kembali menatapnya. "Ya," jawabku akhirnya. Aku lalu mendengus lelah. "Karena kurasa ada korban baru yang kematiannya akan ditutupi oleh keluarga Waksono."
Bu Siska menatapku dengan penasaran.
"Namanya Hilda," ujarku kemudian. Aku lalu menceritakan semua hal tentang Hilda padanya. Dan semakin lama wajahnya semakin penuh dengan emosi yang persis
sama seperti yang ada dalam diriku saat ini.
"Apa yang kau lakukan sekarang bukan hanya berperang melawan keluarga Waksono, Lauren," katanya padaku. Ia menatapku dengan sorot khawatir bercampur takjub.
"Tapi seisi kota itu."
"Aku tau. Tapi mereka juga membunuh keluargaku," sahutku dingin. "Jadi aku tidak akan melupakan hal ini begitu saja."
*** Aku tidak ingat bagaimana aku bisa berdiri di depan pintu berwarna hitam pekat itu. Dan aku tidak bisa mengingat jelas bagaimana aku bisa mendapatkan alamatnya.
Tanganku sejak tadi sudah berkali-kali mengetuk pintu itu dengan pikiran kosong.
Dan kemudian akhirnya pintu itu terbuka dan aku langsung menyerap keberadaan dari sosok yang kini berdiri di depanku dengan wajah kaget.
"Lauren?" tanya David.
Aku mendongak, menatap wajahnya lekat-lekat dan mencoba mencari ketenangan untuk meredakan detak jantungku yang sejak tadi berdesir kencang. Aku mengatupkan
mulutku rapat-rapat, tidak ingin mengeluarkan sedikit pun suara.
Mata itu kini bergerak memandangiku selama beberapa saat. Dan kemudian sorot matanya tiba-tiba melunak. Ia lalu menghela napas, kemudian menarikku ke dalam
pelukannya. Lalu rasanya badanku langsung lemas. Semua ketegangan yang sejak tadi berusaha aku gunakan di sekuju tubuhku untuk melindungi sesuatu yang ada di dalamku
kini langsung lenyap. Aku tidak tahu apa yang baru saja ia artikan dari raut wajahku. Tapi apa pun itu, ia sepertinya sudah memahaminya terlebih dahulu
bahkan sebelum aku sendiri menyadarinya.
Aku memejamkan mata, membiarkan pelukannya memberikan rasa hangat yang menenangkan jantungku. Tangannya bergerak mengelus kepalaku dengan lembut.
"Kau akan baik-baik saja, Lauren," gumamnya padaku.
Aku mempererat pelukanku padanya. Dan kemudian begitu suara pintu terdengar menutup, barulah aku sadar ia sudah membawaku ke dalam apartemennya. Ia membawaku
berjalan menuju sofa ruang tamu.
Tidak ada yang bersuara, bahkan sampai kami berdua sudah duduk di sofa. Dan aku masih tetap tidak melepaskan pelukanku dari badannya. Aku merasakan David
kini bersandar penuh ke belakang dan ia menarikku semakin erat dalam pelukannya. Tangannya kembali mengelus kepalaku dengan lembut.
"David," panggilku. Suaraku terdengar serak.
"Ya?" "Bagaimana perasaanmu saat kau mengetahui kematian adikmu waktu itu?"
David diam beberapa saat. "Marah."
"Pada dirimu sendiri?"
"Ya. Dan juga padanya." Ia kembali diam beberapa saat. "Aku marah karena tidak bisa menjaganya dan aku juga marah karena dia membiarkan dirinya hancur."
Kami kembali diam dan suara detik jarum jam kembali memenuhi seisi ruangan.
"Rasanya sangat aneh," gumamku. "Aku tau semua cerita tentang ledakan pabrik itu memang benar, bahkan tanpa perlu menemui Bu Siska untuk mengklarifikasi
itu. Tapi rasanya tetap menyakitkan. Sangat menyakitkan menjadi orang yang tidak tau apa-apa tentang apa yang akan terjadi nanti."
Aku menarik napas panjang, menyadari emosi itu kembali naik hingga ke tenggorokanku. "Aku tau aku tidak membuat mereka hidup kembali. Tapi pikiran dan
semua bayangan bahwa mereka seharusnya bisa selamat tetap muncul tanpa bisa kutahan." Aku berhenti, merasakan mataku kini terasa panas. Cepat-cepat aku
memejamkan mata dan merasakan sesuatu mengalir dari sana. Air mataku.
"Aku terus berpikir bagaimana jika saat itu aku berlari menyelamatkan mereka ke dalam kabut, bagaimana jika Pak Rey mengganti mesin tua itu, bagaimana
jika Bu Siska keluar dan langsung berteriak ke arah pom bensin untuk segera mengosongkan tempat itu?" suara isakan muncul memotong gumamanku.
David kini memelukku dengan kedua lengannya. "Tidak apa-apa, Lauren. Tenanglah," gumam David.
Dan aku terus menangis dalam diam, membiarkan diriku terbawa dalam emosi yang sejak tadi sudah keluar lepas dari dalam diriku. David tidak pernah melepaskan
pelukannya dariku, bahkan sampai aku terlelap.
Begitu aku membuka mata, aku menyadari David sudah memindahkanku ke tempat tidurnya. Dan wajah itu langsung memenuhi penglihatanku. Ia masih terlelap,
dengan lengannya yang melingkariku.
Aku memandangi wajah itu beberapa lama, membiarkan napasnya yang teratur ikut menenangkanku, dan merasakan kesunyian yang begitu tentram hingga membuatku
merasa seperti punya kekuatan untuk melawan apa pun. Tanganku mulai meraba wajah itu dengan perlahan, mengagumi setiap hal yang ada pada dirinya. Tanganku
mulai bergerak menyentuh matanya yang kini terlelap damai, kemudian turun menyentuh tulang pipinya hingga akhirnya sampai ke bibirnya.
Dengan perlahan, aku memajukan wajahku padanya. Kemudian menempelkan bibirku dengan lembut di bibirnya selama beberapa saat, berusaha memasukan semua perasaan
yang ingin aku berikan padanya. Lalu aku kembali menarik bibirku darinya.
"Aku memang benar-benar mencintaimu," gumamku tanpa sadar, setengah pada diriku sendiri.
Lalu kemudian aku mulai menyelip keluar dari lengannya yang kekar, berusaha untuk keluar dari pelukannya dan beranjak keluar dari kamar tanpa suara sedikit
pun untuk tidak membangunkannya.
*** BAB 50. Pengakuan Sang Putri
Aku duduk dengan diam, menatap ke sekeliling ruangan ini dengan perasaan berkecamuk. Ini pertama kalinya aku berada di ruangan ini, tapi anehnya aku bisa
merasakan suasana yang familiar dari tempat ini?mungkin lebih tepatnya dari pemiliknya.
Suara pintu terbuka muncul dan aku sama sekali tidak perlu mendongak untuk memastikan siapa yang baru saja memasuki ruangan ini.
"Aku benar-benar tidak menyangka kau datang ke sini menemuiku."
Aku hanya tersenyum datar, memandangi Sarah yang kini berjalan melewatiku menuju kursi di balik meja kayu besar di hadapanku. Begitu ia duduk, tatapannya
kini mulai terpaku padaku dengan sorot datar.
"Kau tidak perlu terburu-buru. Aku sudah meminta sekretarisku untuk membatalkan janji siang ini, jadi aku punya banyak waktu untukmu," ujarnya sambil tersenyum.
Aku menatapnya beberapa saat, kemudian memberikannya senyum yang sama. "Thanks."
"Kau mau minum?"
"Aku datang ke sini bukan untuk berbincang-bincang sebagai teman. Kau sadar itu, kan, Sarah?" Aku menatapnya sejenak. "Kurasa kita memang tidak pernah
benar-benar berteman selama ini," sambungku sambil mendengus.
Sarah mengerutkan dahinya. "Dan kau membenciku sejak masalah Hilda muncul?"
"Tidak, tapi sejak aku mengetahui kalau kau menyembunyikan kebenaran tentang ledakan pabrik ayahmu yang membunuh keluargaku sejak bertahun-tahun lalu dariku."
Sarah terdiam beberapa saat, tapi ia masih tidak melepaskan tatapannya dariku.
"Dan jangan coba-coba memberi alasan bahwa kau menyembunyikan hal ini dariku karena masalah kesehatan mentalku. Aku cukup mengenalmu dan tau kalau tidak
melakukannya karena itu, Sarah," sambungku lagi.
Wajahnya kini berubah datar, menatapku dengan tajam.
"Kau melindungi ayahmu, tentu saja," ujarku. Aku mendengus. "Dan merahasiakan hal ini dari orang-orang yang menurutmu akan berbuat ulah dan mengungkit
masalah ini lagi ke publik."
Aku menyadari wajahnya kini mulai kaku, tapi senyum itu masih bertengger di wajahnya. Selama beberapa saat ia tidak bersuara dan aku membiarkan suasana
hening selama beberapa saat, menunggunya berkata sesuatu tentang hal yang baru saja kukatakan padanya.
"Darimana kau tau soal ini?" tanyanya akhirnya. Suaranya terdengar begitu tenang, sangat bertolak belakang dengan wajahnya yang mulai mengeras.
"Kenapa? Kau ingin membungkam mereka kembali?" Rasa jengkel mulai menyelip keluar dari dalam diriku. "Bungkam aku dulu, kalau begitu," sambungku.
Sarah menggeleng. "Kau tau aku tidak akan melakukan hal itu padamu?"
"Kau pikir aku tidak tau bahwa selama ini kaulah yang menyuruh anak buahmu untuk menerorku?"
Ia kembali diam, dahinya berkerut.
"Kaulah yang memaksa Pak Wira untuk menerorku. Berkali-kali menelponku setiap tengah malam, dan bangkai itu?" Tawa sinis menyelip keluar dari mulutku.
"Anak buahmu yang memasukkan bangkai anjing itu ke dalam bagasiku saat aku keluar dari mobil," sambungku dengan nada tajam.
Sorot matanya kini berubah datar dan aku sama sekali tidak melihat sedikit pun rasa menyesal di mata itu. Dan itu sudah cukup bisa membangkitkan kembali
rasa marah yang sejak tadi terpendam dalam diriku setiap kali melihat wajahnya.
Aku menarik napas panjang, kemudian memajukan badanku untuk menatapnya lebih dekat. "Sekarang aku minta padamu untuk memberitahuku dimana Tommy sekarang."
Dahinya kini berkerut semakin dalam. Aku tahu ia jelas-jelas mengetahui bahwa Tommy benar-benar hilang. Jantungku mulai terasa berat setiap kali memikirkan
hal ini. David baru saja memberitahuku bahwa sejak kemarin malam Tommy benar-benar tidak lagi bisa dihubungi. Lokasi terakhirnya bahkan tidak lagi di hotel
Angor. David sudah mengecek ke sana dan ternyata Tommy sudah check out dari hotel sejak dua hari lalu.
David juga sudah mengecek ke lokasi rumah yang diduga adalah milik Pak Wira?lokasi yang David dan Tommy sembunyikan dariku?tapi Tommy tidak ditemukan di
sana. Satu-satunya yang dalang dari hilangnya Tommy hanyalah keluarga Waksono.
Aku menatap Sarah dengan geram, menyaksikan sorot matanya yang datar tanpa emosi. "Semua orang di kota ini sudah tau kalau dia menghilang sejak dua hari
lalu. Dan terakhir kali, dia memutuskan untuk mencari keberadaan Pak Wira."
"Dan mengapa menurutmu aku tau dimana dia?"
"Karena kau tidak ingin Tommy atau aku dan David menemukan Pak Wira," ujarku. Aku kini menatapnya tajam. "Karena Pak Wira adalah saksi yang melihat anak
buahmu membunuh Hilda malam itu."
Badannya kini menegang. Ia kini menatapku dengan raut wajah datar, berusaha keras untuk tidak menunjukkan emosi apa pun padaku.
Ia tetap diam dan tidak ada tanda-tanda darinya untuk mulai berbicara. Aku memanfaatkan sikap diamnya untuk terus melanjutkan penjelasanku padanya.
"Aku sudah bisa merasakannya sejak awal aku melihatmu berdiri mengikuti acara pemakaman Hilda hari itu, Sarah. Kau mungkin bisa membohongi semua orang
dari luar kota ini. Tapi aku tau kau menyembunyikan sesuatu tentang kematian Hilda," kataku.
"Sudah kubilang padamu alasan mengapa kami bersikap?"
"Aku mendengar percakapanmu dengan seorang pria di pemakaman esoknya," potongku.
Matanya membesar sesaat, kemudian ia kembali mengubah wajahnya kembali datar tanpa ekspresi. Tapi matanya kini mengamatiku dalam-dalam. Dan aku sadar ia
kini jelas-jelas menyadari bahwa dugaannya saat itu memang benar?suara yang muncul di balik pohon saat itu memang adalah suara dari orang yang menguping
pembicaraannya, yaitu aku.
"Aku sudah tau apa yang kau lakukan pada Hilda dan keluarganya selama ini, Sarah," bisikku tajam. "Kau dan ayahmu," sambungku dengan jijik.
Ia menatapku dengan dingin dengan mulut terkatup rapat.
"Kau tau? Sejak dulu sebenarnya aku selalu bertanya-tanya mengapa kau begitu membenci Hilda. Dan kurasa yang lain juga sering menanyakan hal yang sama
sepertiku. Sangat aneh, aku tidak pernah melihat dia melakukan sesuatu padamu jadi aku benar-benar tidak bisa menebak sedikit pun apa yang membuatmu begitu
dendam dengan Hilda," ujarku.
Aku lalu menatap beberapa foto yang berdiri di pinggir meja kayu besar yang menjadi pemisah antara aku dan Sarah. Tatapanku tertuju pada satu foto, foto
Sarah bersama Ayahnya saat ia berumur sekitar 10 tahun. Mereka berfoto sambil berpose dengan alat pancing di dekat Danau Angor.
"Sejak dulu kau sudah tau kalau ayahmu sering mengunjungi rumah Hilda dan memberikan perhatian lebih pada Hilda. Karena itu kau mulai membenci Hilda, memanggilnya
'anak gembel'. Lalu saat SMA, kau baru mengetahui kalau selama ini ayahmu menjadikan Ibu Hilda sebagai pelacur pribadinya. Karena itu kau menyuruh kami
membantumu untuk menulis coretan itu di tembok rumahnya. Dan kurasa karena itu juga kau berusaha menenggelamkannya di danau malam itu." Aku menatapnya
beberapa saat. "Kau memang sudah tau kalau Hilda tidak bisa berenang. Dan kau tetap menyuruh kami mendorongnya jatuh," sambungku dengan pelan.
"Dan jangan lupa aku tidak pernah memaksamu atau pun yang lainnya untuk melakukan itu semua pada Hilda," sahutnya. Suaranya terdengar tenang.
"Tentu saja tidak. Kau Sang Putri di kota ini. Jadi tentu saja kami semua menuruti perintahmu."
"Dan kau menuduhku membunuh Hilda karena semua hal ini?"
"Sebagian." Aku menatapnya dingin, merasakan kembali emosi itu. "Aku sudah bilang padamu kalau aku sudah mendengar semua yang bisa memberatkanmu. Dan jika
aku mati setelah keluar dari ruangan ini, itu artinya kau lah yang membunuhku."
Ia kembali diam, mengatupkan mulutnya rapat-rapat.
"Kau tau bahwa Hilda menggantikan ibunya sebagai pelacurnya selama beberapa tahun terakhir ini. Dan aku bisa membayangkan betapa bencinya kau pada gadis
itu?kau tidak akan mungkin membenci ayahmu, kau terlalu mencintai dan memihak pada ayahmu sekali pun ayahmulah penjahatnya, aku tau itu."
Dahinya kini kembali berkerut, berusaha menyembunyikan keterkejutan bahwa aku mengetahui semua hal ini.
"Kau semakin benci padanya, semakin muak padanya dan mulai merencanakan untuk melakukan penculikan pada Hilda untuk melenyapkannya," ujarku lagi. Dan Sarah
kembali terlihat tegang. Aku terus melanjutkan. "Kau menyuruh anak buahmu menculik Hilda sebelum tengah malam, mencongkel paksa jendelanya kemudian menyusup
ke dalam kamarnya. Rencanamu berubah dan sebaliknya kau menyuruh anak buahmu untuk membunuhnya di kamar dan membuatnya terlihat seperti bunuh diri. Pak
Wira tidak sengaja melihat hal itu dan saat dia berusaha kabur, kalian mengejar dan menangkapnya. Lalu kemudian menggunakannya sebagai kambing hitam seperti
yang kau lakukan dulu untuk menutupi perselingkuhan ayahmu dengan Ibu Hilda," sambungku.
Aku menatapnya sejenak. "Kau yang menyebarkan isu tentang perselingkuhan Pak Wira dan Ibu Hilda."
Sarah tetap menatapku dengan tenang. Ia kini menyilangkan lengannya, lalu menarik napas panjang.
"Kau tidak pernah melihat mayat Hilda, Lauren? Kurasa kau lupa kalau tidak ada bekas atau tanda-tanda perlawanan di badan Hilda atau bahkan bekas tapak
kaki. Jika itu pembunuhan, tentu saja itu akan ada, bukan?"
Aku menatapnya beberapa saat. "Dia belum diautopsi. Aku yakin kita akan menemukan jika kita melakukan itu. Dan untuk bekas tapak kaki, aku yakin anak buahmu
cukup pintar untuk tidak meninggalkan jejak di lantai?tapi jejak di halaman depan jendela Hilda, aku yakin dia lupa menghapusnya, terutama setelah ia sibuk
mengejar Pak Wira. Karena itulah kau memintanya kembali membersihkan bukti-bukti itu."
Sarah kembali diam, menatapku dengan dingin. Kemudian ia menghembuskan napas, lalu menunduk beberapa saat.
Sejenak kemudian ia mengangkat wajahnya dan ia kini menatapku dengan bosan. "Apa yang kau inginkan, Lauren? Kau ingin menuntut aku dan ayahku?"
"Beritahu aku dimana Tommy."
"Aku tidak tau."
"Tentu saja kau tau. Hanya kau atau ayahmu yang bisa melenyapkan orang begitu saja dengan seenaknya di kota ini," sahutku geram, merasakan amarah itu mulai
meluap dari dalam diriku.
"Siapa menurutmu yang akan menjadi saksi dari kota ini? Kau? Tidak akan ada yang mempercayaimu?terutama dengan riwayatmu yang pernah mengidap schizophrenia
dan PTSD." Aku terdiam, merasakan semua emosiku mulai bergerak liar untuk meledak keluar. Aku menarik napas pelan berkali-kali, berusaha menenangkan detak jantungku
untuk kembali tenang. "Apa yang membuatmu yakin kalau kau akan memenangkan hal ini dariku, Lauren? Jujurlah, kau tau semua orang di kota ini akan memihak pada keluargaku. Mereka
mencintai ayahku. Mereka melakukan semua ini, menutupi semua skandal Hilda bukan karena untuk menjaga nama baik Kota Angor, tapi untuk menjaga nama baik
keluargaku, keluarga Waksono." Suaranya kini terdengar semakin tenang, senyum kecil justru mulai terlihat di sudut mulutnya.
"Semua orang di kota ini pemalas. Mereka menggantungkan seluruh hidup mereka pada Ayahku. Mereka tau jika ayahku hancur, maka mereka juga hancur. Kota
ini akan hancur." Ia tersenyum sinis. "Darah Waksono sudah terlanjur mengalir di seluruh kota ini. Ayahku sudah membangun kota ini dan memberikan semua
fasilitas hingga lapangan kerja pada hampir semua orang kota ini tanpa satu pun kesulitan. Jadi tentu saja mereka lebih memihak pada ayahku dibandingkan
jatuh miskin tanpa harapan sedikit pun," sambungnya dengan tenang.
Aku menatapnya dengan kelam, mendengarkan semua perkataannya dengan lemas. Aku tau apa yang ia katakan memang benar dan butuh waktu 20 tahun bagiku untuk
menyadari hal ini. Kematian keluargaku bukan hanya membuatku hancur, tapi juga membuatku sadar tentang bagaimana rupa asli kota ini sebenarnya.
"Dan yang tidak sejalan dengan orang kota ini harus keluar selama-lamanya dari sini," ujarku kemudian.
"Ya." Aku menatapnya beberapa saat, menyadari bahwa hingga detik ini pun, aku tidak menemukan sedikit pun rasa penyesalan itu di wajahnya. Ia tetap tidak mengalihkan
tatapannya padaku, tetap menatapku dengan sorot datar. Seolah-olah apa yang ia lakukan selama ini memang benar.
"Kau tau, Sarah? Kau dan ayahmu bukan pemimpin kota ini," ujarku. Aku diam sejenak. "Kalian pembully. Kau pembully."
*** BAB 51. Menunggu Aku kembali menginjak pedal gas semakin dalam, begitu merasakan amarah dan frustasi itu kembali menyelimuti diriku dengan cepat. Jantungku kini terasa
panas setiap kali ingatan tentang pertemuanku dengan Sarah beberapa menit lalu kembali memenuhi kepalaku.
Aku masih tidak bisa menemukan dimana Tommy. Dan emosi itu hampir saja membiarkanku untuk bersikap kasar padanya untuk memaksanya memberitahuku tentang
keberadaan Tommy. Keluarga Waksono sudah mengambil orang tuaku, adikku, Hilda, lalu mengusir Bu Siska dari kota ini. Dan aku tidak akan membiarkan mereka mengambil Tommy
dariku. Mataku langsung membesar, tertuju pada sosok yang baru saja kulewati. Aku langsung menginjak pedal gas dalam-dalam, lalu bergegas keluar dari mobil dan
berjalan mengejar sosok itu.
"Bu Hilda," panggilku dengan suara keras.
Ia kemudian mendongak dan seketika itu wajahnya langsung pucat ketakutan.
Penampilannya terlihat sedikit berantakan dan wajahnya kini dipenuhi kekalutan. Kemeja polos berwarna cream itu kusut dan keluar dari rok panjangnya. Dan
sekali lagi rasa frustasi untuk membantunya kembali muncul dengan cepat.
"Apa Anda baik-baik saja?" tanyaku hati-hati.
Ibu Hilda kemudian mulai menatap ke sekeliling kami dengan was-was.
"Tunggu," ujarku, begitu aku menyadari bahwa ia ingin beranjak pergi dariku.
"Berhentilah, Lauren. Kumohon ..." bisiknya dengan sorot ketakutan. Aku tahu yang ia maksud adalah tentang penyelidikan kematian Hilda. "Sekarang Tommy
juga akan menjadi korban," sambungnya dengan begitu lirih. Tangannya kini gemetaran.
Aku tertegun, sama sekali tidak bisa berkata apa-apa. Perasaanku kini bercampur aduk, penuh dengan amarah, ketakutan dan frustasi menjadi satu. Tapi semua
itu cukup membuat jantungku kembali berdetak liar.
Dan sebelum aku sempat membuka mulut, Ibu Hilda sudah berjalan menjauh dari tempatku berdiri dengan sangat cepat, tanpa menoleh lagi padaku.
David benar, kota ini memang gila.
Trrrt. Aku langsung meronggoh ponsel dari sakuku, kemudian menatap layar ponsel itu sekilas sebelum menempelkannya di telingaku.
"David," jawabku.
"Kau dimana?" Aku mengerut, menyadari dengan jelas nada kesal di suaranya. "Aku di ..." aku mulai menatap ke sekeliling dan menyadari bahwa aku berada di depan lapangan
basket, tidak jauh dari kantor polisi kota ini.
"Lauren?" Aku mengerjap. "Aku di depan lapangan basket, 1 kilo dari kantor polisi?"
"Masuk ke mobilku, sekarang."
Sebuah mobil sedan hitam kemudian berhenti tepat di depanku. Lalu wajah David kemudian muncul dari balik jendela mobil dengan raut wajah kelam. Ia kemudian
menutup ponselnya dan menelengkan kepalanya ke arah kursi penumpang, mengisyaratkanku untuk masuk.
Sebagian diriku rasanya tahu apa yang membuatnya terlihat kesal denganku. Dan itu membuatku ikut berbalik kesal padanya. Aku berjalan cepat menuju pintu
mobil, lalu masuk sambil mengatupkan rahangku dengan keras.
Selama beberapa saat, kami hanya saling menatap dengan rasa kesal yang sama. David kemudian menghela napas sambil menyisir rambutnya dengan kesal.
"Sebelum kau memarahiku dan menganggapku begitu tidak bertanggung-jawab karena aku diam-diam bertemu dengan Sarah untuk menanyakan Tommy, kau harus mendengar
ini." Aku menyodorkan ponselku padanya.
Ia mengerutkan alisnya. "Mendengarkan apa?"
"Aku merekam semua pembicaraanku bersama Pak Rusadi, Bu Siska." Aku menatapnya lekat-lekat. "Dan Sarah."
David terdiam, ekspresinya sama sekali tidak bisa kubaca. Tapi detik berikutnya, ia mengambil ponselku.
Aku menelan ludah, tiba-tiba merasa was-was. Aku kembali menunjuk ponselku yang kini ada di genggamannya. "Kita bisa menggunakannya sebagai bukti?"
"Belum." Alisku berkerut. "Kita sudah mendapatkan bukti yang cukup. Kita bisa menangkap Sarah sekarang, David."
David menatapku lalu menggeleng. "Belum saatnya."
Aku menarik napas cepat, merasakan kembali amarah itu. "Apa lagi yang kita tunggu?" suaraku kini mulai mengeras.
David mengerutkan dahinya, menatapku dengan sorot memperingatkan. "Kita sudah membicarakan soal ini sebelumnya, Lauren."
Aku kembali menarik napas, mencoba menekan emosi yang kini semakin membuat jantungku berdesir nyeri. Aku lalu menatapnya dalam-dalam. "Aku tau kesaksianku
tidak akan berlaku karena riwayat kesehatanku yang pernah mengidap schizophrenia dan PTSD. Siapa yang akan menggunakan orang gila sepertiku sebagai saksi?
Aku tau itu! Karena itulah aku memutuskan untuk merekam semua pengakuan mereka. Jika mereka mendengar rekaman itu, mereka akan mulai mempercayai kesaksianku
juga?" "Kau tidak bisa begitu saja menggunakan rekaman ini tanpa izin dari Pak Rusadi dan Bu Siska. Mereka saksi, bukan tersangka," potong David dengan tenang.
Aku terdiam. "Aku tau?aku tau itu. Dan aku tau mereka tidak akan berani menjadi saksi kecuali kita sudah punya cukup bukti yang kuat untuk melawan keluarga
Waksono dan memastikan bahwa mereka akan dinyatakan bersalah. Tapi sekarang kita bisa menggunakannya untuk meyakinkan Ibu Hilda agar dia mau membiarkan
mayat Hilda diotopsi kembali. Dan dengan bukti kuat dari hasil otopsi itu, Pak Rusadi dan Bu Siska pasti akan mau bersaksi di pengadilan?"
"Lauren."
Silent Girl Karya Indah Thaher di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"?Kita akan mendapatkan banyak bukti, David. Jadi Sarah sudah bisa dijadikan tersangka! Kita harus menangkapnya sekarang sebelum dia dan keluarganya menutupi
semua ini lagi?" "Lauren," potong David dengan suara lebih keras.
"Mereka sudah mendapatkan Tommy! Apa lagi yang kau tunggu?"
"Hentikan, Lauren!"
Aku terdiam, menatap David dengan napas memburu. Jantungku kini semakin bertalu, merasakan nyeri di setiap detaknya. Mataku mulai terasa panas dan aku
langsung mengatupkan mulutku rapat-rapat, menahan teriakan yang sudah muncul di ujung mulutku.
Selama beberapa saat, suasana hening. Hanya suara napasku yang terdengar samar memenuhi seisi mobil ini.
Aku menunduk, tiba-tiba saja kehilangan tenaga untuk berpikir?bahkan menatap kedua mata itu. Kepalaku terasa berputar-putar, terus berusaha untuk menghilangkan
bayangan-bayangan mengerikan yang kini bercampur aduk menertawakanku.
Tangan David kemudian merengkuh wajahku, lalu dengan perlahan menggerakkan wajahku agar aku membalas tatapannya. Kedua mata itu kini sudah melunak, tidak
ada kekesalan lagi di sana. Ibu Jarinya kini mengusap pipiku dengan perlahan.
Ia kemudian menghembuskan napas pelan. "Kita sudah membicarakan hal ini sebelumnya, Lauren," ujarnya dengan suara pelan.
Aku tetap diam, membiarkannya melanjutkan sekali pun aku tahu apa yang ingin ia katakan.
"Kita membangun kasus," ujarnya lagi. "Kita harus membuktikan kalau kejadian ini bukan pertama kalinya. Dan ini memang bukan pertama kalinya Waksono menutupi
kejahatan kriminalnya. Sejauh ini kita sudah bisa mengumpulkan bukti tentang penyuapan yang dilakukan oleh Pak Rey pada pemilik perusahaan konstruksi Pak
Riwan dan juga Pak Mulyo yang saat itu menjabat sebagai hakim agung kota ini. Dan jika pembunuhan Hilda berhasil dibuktikan dengan Sarah sebagai tersangkanya,
artinya Pak Rey juga terlibat dalam hal ini dan menutupinya."
Ia kemudian diam beberapa saat. "Mereka justru akan lepas sekarang jika kita terburu-buru menangkap mereka. Dan semua orang di kota ini akan kembali masuk
ke sarang masing-masing."
Aku menatap David, mengingat kembali semua perkataan Sarah tentang semua orang yang hidup di kota ini.
"... Mereka menggantungkan seluruh hidup mereka pada Ayahku. Mereka tau jika ayahku hancur, maka mereka juga hancur. Kota ini akan hancur ..."
"... Darah Waksono sudah terlanjur mengalir di seluruh kota ini ..."
Aku memejamkan mata beberapa saat, lalu mulai menghembuskan napas perlahan. Aku kembali menatap David. "Aku mengerti. Kita akan menunggu," ujarku akhirnya.
"Satu lagi," ujarnya. Ia terdiam sejenak. "Jangan temui Ibu Hilda dulu untuk sementara waktu. Aku ingin mengecek sesuatu tentangnya dulu," sambungnya dengan
muka serius. Aku menatapnya, menyadari bahwa David pastinya melihat Ibu Hilda yang berjalan di trotoar jalan ini. Ia tentunya sudah menduga bahwa beberapa saat lalu
aku berbicara dengan Ibu Hilda.
Aku akhirnya mengangguk. Lalu suasana kembali hening beberapa saat.
"Kau mau kemana?" tanya David begitu aku mulai berbalik dan memegang gagang pintu.
Aku kembali berbalik, menatapnya beberapa saat lalu akhirnya menggeleng lemah. "Aku tidak tau ..." Aku menghela napas pelan. "Aku butuh udara segar," sambungku
akhirnya. David mengamatiku beberapa saat. Lalu tanpa sadar, aku memajukan wajahku kemudian mengecup pipinya dengan pelan. Dan kenangan saat malam kemarin di apartemennya
kembali muncul dengan cepat di kepalaku.
Aku sadar David kini menatapku dengan sorot aneh. Dan sebagian diriku rasanya menyadari bahwa David juga sedang memikirkan hal yang sama denganku.
Ia mendengar perkataanku padanya saat itu. Saat aku mengira ia masih tertidur lelap.
"Aku akan menemuimu nanti malam," ujar David akhirnya.
Aku mengangguk, sadar bahwa David memahami bahwa saat ini aku membutuhkan waktu untuk sendiri. Sekali pun ia jelas-jelas ingin menanyakan hal itu padaku
saat ini. Sama sepertiku, ia juga ingin memastikannya.
Aku lalu berbalik dan keluar dari mobilnya. Aku terus berjalan hingga akhirnya berhasil menemukan tempat aku memarkirkan mobilku terakhir kali. Mesin mobil
langsung kuhidupkan dan aku bergegas melajukan mobil menjauh meninggalkan tempat ini.
Sampai beberapa menit kemudian, aku tidak tahu kemana tempat yang ingin tuju. Selama beberapa menit pertama yang kulakukan hanya berputar-putar tidak tentu
arah. Dan aku sadar aku melakukannya hanya untuk membuang semua suara-suara gila yang memenuhi pikiranku sejak tadi.
Semua bayangan mengerikan tentang kematian keluargaku, ledakan, mobil terbalik danau, kematian Hilda, perkosaan yang dilakukan Pak Rey pada mereka, Adit,
Tommy yang hilang, pembullyan yang Sarah dan aku lakukan pada Hilda, luka bakar Bu Siska, dan Paman Bibi yang selama ini hanya diam ikut menutupi semua
hal gila yang terjadi di kota ini.
Aku kembali menginjak pedal gas dan menepikan mobilku. Aku lalu menarik napas panjang berkali-kali sambil memejamkan mata, mencoba menenangkan kembali
jantungku. Begitu aku membuka mata, aku menyadari bahwa aku sudah berada di depan rumah Hilda.
Aku tertegun selama beberapa saat, mencoba mencari arti dari semua ini. Lalu akhirnya aku menyerah pada naluriku. Aku keluar dari mobil, kemudian berjalan
menuju rumah itu tanpa ragu sedikit pun.
Kau ingin menunjukkanku sesuatu, Hilda?
Aku terus berjalan, melewati pagar itu, melewati tembok pagar tempat bekas coretan itu tertutupi, hingga sampai di depan pintu masuk lalu mulai mengetuk
pintu itu beberapa kali. Suasana hening dan aku tidak mendengar sedikit pun suara dari dalam.
Aku kembali mengetuk pintu, kali ini lebih keras. Tapi lagi-lagi tidak ada suara sedikit pun.
"Adit," panggilku sambil mengetuk kembali.
"Permisi?" aku langsung membeku, menyadari bahwa pintu itu tidak terkunci sama sekali.
Selama beberapa saat aku hanya diam berdiri di sana. Kemudian akhirnya aku mendorong pintu itu hingga terbuka lebar. Mataku langsung menjelajahi ruangan
itu dengan cepat. Ruang tamu itu terlihat kosong.
"Permisi," ucapku lagi dengan lebih keras. Tapi tidak ada suara yang menyahut.
Aku mulai berjalan masuk tanpa suara, merasakan jantungku mulai berpacu cepat. Begitu melewati meja dapur, aku mengambil sebuah vas kaca kecil sambil menatap
ke sekeliling dengan waspada.
Tapi begitu mataku melewati kamar Hilda, rasa waspada itu langsung hilang. Aku menatap kamar itu selama beberapa saat, merasakan keinginan untuk masuk
ke dalam kamar itu lagi. Dan dengan naluri itu, aku membiarkan langkahku menuntun mendekati pintu berwarna biru muda itu.
Aku membuka pintu itu dengan perlahan dan ruangan itu kosong?persis seperti terakhir kali aku mengunjungi kamar ini beberapa waktu lalu.
Jurnal ... Benar. Sisa robekan jurnal itu ... mungkinkah robekan itu masih ada di kamar ini?
Aku sadar bahwa Sarah sepertinya tidak tahu apa-apa tentang jurnal ini. Lagipula, jika ia memang mengetahui jurnal ini, aku yakin Sarah akan berusaha memusnahkan
habis jurnal ini. Bukan hanya merobek satu robekan terakhir itu.
Mungkinkah Hilda sendiri yang menyembunyikan jurnal tersebut di balik tempat tidur itu? Dan mungkin ia juga yang merobek jurnal itu? Mungkin sejak awal
ia ingin jurnalnya ditemukan untuk membantunya, tapi ia sadar jurnal ini bisa jatuh pada orang yang salah. Karena itu ia meninggalkan bagian penting dari
jurnal itu di tempat lain?di kamar ini?
Jantungku mulai berdetak cepat menyadari bahwa dugaanku mungkin saja benar. Aku bergegas berjalan menuju meja belajarnya, kemudian mulai mengecek satu
persatu dari semua buku dan barang-barang di sana. Tapi aku tidak menemukan apa-apa.
Aku terus mencari ke lemari buku, lemari pakaian dan semua sisi di dalam kamar ini tapi aku sama sekali tidak menemukan robekan jurnal itu.
Lalu mataku tertuju pada bingkai foto yang berdiri di meja belajarnya. Foto Hilda bersama ibunya. Dengan langkah cepat dan napas memburu, aku berjalan
menuju meja itu dan mengambil bingkai foto itu. Bingkai foto itu kemudian kubalik dan kubuka dengan pelan.
Kemudian sebuah robekan kertas terjatuh dari sana.
*** BAB 52. Tutup Matamu Aku membungkuk, mengambil kertas robekan itu dan aku langsung tahu bahwa kertas itu memang merupakan robekan dari jurnal tersebut. Mataku langsung dengan
cepat bergerak menelusuri tulisan tangan Hilda.
sejak dulu dia memang membenciku karena satu hal. Sesuatu yang sejak dulu sudah mungkin sudah sering dia katakan padaku. Tapi aku sendiri terlalu takut
untuk bisa memahaminya. Sampai detik ini, aku masih berpikir bahwa semua yang dikatakan Sarah tentangku memang benar. Semuanya.
Dia benar saat menyebutku bodoh, gadis tidak berguna dan pelacur.
Aku bodoh karena membiarkan pria itu menghancurkan hidup keluargaku dan aku sama sekali tidak berusaha melawan sedikit pun. Aku bodoh karena telah menyerah
duluan dan membiarkan semua pikiran seisi kota ini merasukiku. Pria itu seperti Tuhan di kota ini dan kami hanya budak yang terus menempel di kakinya,
menunggunya memberikan sesuatu ke mulut kami.
Pak Rey. Reyhan Waksono. Ayah kandung Sarah. Dia Tuhan di kota ini. Dulu, saat dia pertama kali mengunjungi kami, aku begitu mengaguminya dan menjadikannya sebagai pengganti Ayah. Aku pernah berkata pada Ibu bahwa Pak Rey
benar-benar mengingatkanku pada Ayah karena setiap berkunjung ia selalu sempat bermain dan bercanda gurau denganku.
Aku tidak tau kedatangan Pak Rey ke rumahku justru menjadi bibit kehancuran hidupku dan keluargaku.
Aku tidak tau ternyata kedatangannya justru membuat Sarah mulai membenciku dan selalu berusaha menyampaikan hal itu padaku secara langsung dengan sangat
jelas. Sarah hanya mencintai ayahnya, sama seperti aku mencintai ayahku. Dan aku lupa dengan hal itu. Dia tidak membenciku jika aku membiarkan perlakuan ayahnya
padaku. Tapi aku juga yakin dia akan semakin membenciku jika aku melakukan perlawanan dan membeberkan semua perlakuan ayahnya pada dunia.
Sarah akan selalu membenciku. Dan rasa benci itu tidak akan hilang, justru malah akan semakin besar.
Dan aku tau dia menginginkan kematianku.
Sampai sekarang aku masih mengingat jelas kejadian di danau sekalipun sudah lewat bertahun-tahun sejak kejadian itu. Sarah berkata padaku bahwa aku adalah
anak pelacur. Dan aku sadar sejak saat itu ia sudah mengetahui bahwa ibuku adalah pelacur ayahnya. Matanya saat itu menatapku dengan jijik, seolah aku
adalah manusia yang lahir dari sesuatu yang menjijikan dan pantas untuk dilenyapkan.
Jadi dia mendorongku jatuh, sekali pun dia tau bahwa aku tidak pernah mengikuti kelas renang selama ini.
Dan setelah itu aku terus menanti dengan ketakutan setiap kali Sarah mendekatiku. Sekali pun dia dan seisi kota ini mulai memperlakukanku seperti tidak
pernah ada di dunia ini. Di hatiku yang paling dalam, aku masih bisa merasakan bahwa Sarah masih membenciku. Sekalipun saat itu aku masih belum tau alasannya.
Begitu tangan kotor pria itu menyentuh badanku, aku langsung bisa membayangkan berapa besar rasa benci Sarah padaku meningkat. Dan aku bisa membayangkan
betapa keinginannya untuk melenyapkanku kini semakin besar.
Tapi kali ini aku tidak lagi takut.
Karena aku sendiri juga menginginkan hal itu terjadi.
Aku tau malam ini Sarah akan membunuhku.
Beberapa minggu terakhir ini, aku selalu mendapati surat ancaman. Surat itu selalu muncul di loker pribadi kantorku. Dan isinya selalu sama.
'Bunuh dirimu, atau aku yang akan membunuhmu'
Dan surat itu selalu dilumuri noda darah yang sudah mengering, tapi baunya tetap begitu menyengat hingga terus berbekas di dalam lokerku. Aku tau itu Sarah.
Aku cukup tau karena tidak ada alasan lain orang lain menginginkan kematianku selain Sarah. Dan aku tidak yakin Pak Rey perlu membunuhku untuk menutup
mulutku tentang semua hal yang dia lakukan padaku. Dia tau aku tidak akan berbicara. Dan dia tau semua orang kota ini tidak akan peduli sekali pun mereka
semua akhirnya tau. Aku tau itu artinya Pak Rey membiarkan Sarah membunuhku. Dan aku tidak terlalu terkejut betapa dia tidak peduli dengan nyawaku sedikit pun.
Awalnya aku berusaha berpikir itu hanya surat gertakan seperti yang biasa Sarah lakukan dulu padaku. Tapi semakin lama aku semakin yakin dia sungguh-sungguh.
Terutama setelah aku mendapat surat itu lagi beberapa hari lalu. Surat itu kali ini berbeda. Di sana tertulis 'Aku beri waktu sampai akhir tahun ini.'
Jadi ini hari terakhirku.
Di malam tahun baru. Malam yang indah. Aku bahkan masih mendengar dengan jelas suara kembang api yang sesekali menghiasi langit malam. Orang di kota ini
pasti sedang menguji dan bersiap untuk pesta kembang api tengah malam nanti.
Malam ini juga aku memutuskan untuk membakar kertas ancaman terakhir itu, seperti yang kulakukan sebelumnya. Aku tidak pernah menyimpan semua kertas itu
karena aku takut Ibu akan menemukannya. Surat terakhir ini yang sengaja kusimpan sampai hari ini. Entahlah, kurasa aku menggunakannya sebagai jam alarmku,
yang selalu mengingatkan sisa waktuku untuk membuat keputusan.
Dan kini aku menunggu dengan perasaan yang aku sendiri tidak mengerti apa itu. Aku lega karena tidak perlu lagi berdiam sementara Pak Rey mengerayangiku
dengan tawa iblis di wajahnya itu. Aku lega karena aku tidak perlu lagi berpura-pura kuat di depan Ibu dan Adit.
Tapi di saat yang sama, hatiku begitu pedih setiap kali aku mengingat wajah Ibu dan Adit. Aku membenci diriku karena tidak bisa menyembuhkan penyakit Ibu.
Aku bahkan tidak bisa mengenalinya lagi setiap kali ia berubah menjadi sosok penuh amarah, kemudian tiba-tiba berubah menjadi sosok lemah yang meraung-raung
penuh tangis. Dia bahkan pernah tidak sengaja melukai Adit dan aku.
Ibu kini benar-benar hancur dan aku tidak bisa lagi melihat ada sisa kehidupan di dalam tubuhnya. Sosok ibu yang kukagumi dan penuh senyum itu kini hilang.
Dan Adit ... Adikku tersayang, malaikat kecil yang selalu berhasil memunculkan senyumku yang seharusnya sudah membeku sejak lama. Aku begitu mencintainya dengan sepenuh
jiwaku dan rasa itu selalu berhasil membuatku untuk terus bertahan.
Melihatnya berada di antara kekacauan ini selalu membuatku bertanya pada Tuhan tentang tujuannya menurunkan Adit di dunia ini. Aku tau aku dan ibuku tidak
akan selamat dari semua ini. Tapi aku sangat berharap Tuhan melakukan sesuatu untuk menyelamatkan anak itu dari semua ini.
Dia pantas mendapatkan hidup yang lebih baik dari ini.
Mungkin merekalah yang selama ini menjadi alasanku untuk tetap hidup dan menolak keinginanku untuk membunuh diriku sendiri. Aku tau itu akan menghancurkan
semua orang yang kucintai lebih dari apa pun.
Bahkan sampai malam ini. Sekali pun aku memang menginginkan hidupku berakhir, tapi masih ada setitik keinginanku untuk tetap hidup. Dan itu semata-mata
hanya untuk Adit dan Ibu.
Ya, aku akan tetap bertahan hidup.
Aku masih terdiam, menatap lembar kertas itu dengan perasaan berkecamuk.
Selama beberapa menit berlalu tanpa aku mengeluarkan suara atau bahkan bergerak sedikit pun. Pikiranku berputar-putar dipenuhi dengan semua informasi yang
baru saja kudapatkan dari lembar kertas di tanganku ini.
Dugaanku benar. Hilda bukan bunuh diri tapi dibunuh. Dan pembunuhnya adalah Sarah, bukti ini akan menjad bukti kunci sekali pun surat ancaman itu sudah dimusnahkan oleh
Hilda. Aku curiga Sarah pastinya juga mencari surat ancaman itu di kamar Hilda setelah malam itu.
Dan pria itu memang Pak Rey.
Seperti dugaanku. Pak Rey memang pria yang selama ini Hilda ceritakan. Dan rasanya hingga detik ini aku masih bergidik ngeri membayangkan semua hal yang
selama ini ia lakukan pada keluarga Hilda. Aku memang tidak terlalu sering berbicara dengannya. Tapi bagaimana pun juga sewaktu kecil dulu aku sering berkunjung
ke rumahnya untuk bermain dengan Sarah, Tifa dan yang lain.
Dan tidak pernah rasanya terbesit di benakku bahwa Pak Rey yang begitu ramah dan penuh canda itu adalah sosok pria tidak punya hati yang memperlakukan
orang lemah dengan semena-mena.
Aku kembali membaca kalimat terakhir dari robekan jurnal itu.
Ya, aku akan tetap bertahan hidup.
Hilda memutuskan untuk melawan pada siapa pun yang datang malam itu untuk membunuhnya. Ia memutuskan untuk bertahan hidup.
Kalau begitu ... bukankah seharusnya ia akan terus terjaga untuk bersiap siaga sepanjang malam? Dan ia jelas-jelas masih terbangun hingga beberapa jam
sebelum tengah malam untuk menulis jurnal ini. Untuk orang yang bersiap-siap menunggu pembunuh datang, tidak mungkin ia akan langsung terlelap nyenyak
begitu saja dengan cepat.
Alisku berkerut bingung. David! Lebih baik aku segera pergi dari sini dan memberikan ini padanya. Ia pasti bisa memberikan pendapat masuk akal berdasarkan bukti ini.
Aku kemudian berbalik dan berjalan keluar dari kamar. Ingatanku bahwa aku baru saja menyusup ke dalam rumah ini tanpa izin kembali muncul. Aku tidak hanya
membuat David kesal dengan tindakanku ini-terutama setelah ia jelas-jelas melarangku untuk mendekati keluarga Hilda.
Aku menatap ke sekeliling dengan cepat, mencoba menggunakan telingaku lebar-lebar. Tapi rumah itu tetap kosong tanpa suara. Pintu masuknya bahkan masih
terbuka, persis seperti terakhir kali aku meninggalkannya. Langit yang kini sudah gelap gulita langsung terlihat jelas di balik pintu.
Kemana Ibu Hilda dan Adit?
Dengan langkah cepat, aku berjalan keluar dari rumah ini dan terus bergerak hingga melewati pagar masuk.
Sambil berjalan menuju tempat mobilku terparkir, aku mulai meronggoh saku untuk mencari ponsel. Aku ingin cepat-cepat memberitahu David soal lembar kertas
jurnal di tanganku ini. Langkahku tiba-tiba berhenti, menyadari bahwa ponselku tidak ada.
Aku lupa. Tadi aku memberikan ponsel itu pada David untuk menyerahkan rekaman-rekaman suara itu padanya.
Aku berdecak pelan, lalu bergegas masuk ke dalam mobil untuk langsung pergi menemuinya. Tapi begitu aku memutar kunci untuk menghidupkan mobil, aku menyadari
bahwa jarum penunjuk bahan bakar mobilku sudah terpaku pada huruf E. Bahan bakarku habis.
"Bagus," geramku sambil memukul kemudi.
Aku menghela napas, mencoba kembali tenang sambil mulai menatap ke sekeliling jalan itu untuk mencari bantuan.
Lalu kemudian tatapanku terpaku pada hutan itu.
Hutan yang berada di samping rumah Hilda. Hutan yang selama ini diceritakan oleh Hilda di jurnalnya. Hutan yang menjadi pembatas rumahku dan rumah Hilda.
Jalan pintas menuju rumahku.
Selama beberapa saat aku menatap hutan itu dengan diam. Lalu akhirnya aku keluar dari mobil dan menutup pintu mobil tanpa mengalihkan pandanganku dari
hutan gelap itu. Aku kemudian berjalan perlahan menuju hutan itu.
Begitu sampai di tepi hutan, aku berhenti sejenak. Keraguan mulai merayap masuk ke dalam diriku. Tapi di saat bersamaan, aku juga menyadari ada rasa penasaran
yang besar muncul. Lalu akhirnya aku melangkah masuk ke dalam. Dan rasa dingin yang aneh langsung menyelimutiku dengan cepat.
Hutan itu gelap, hanya sinar bulan yang menerangi samar-samar di dalam sini. Pohon-pohonnya hampir memiliki jenis yang sama, berbatang kerdil namun tinggi
menjulang dengan cabang dan dedaunan yang kecil. Tanahnya lembab, penuh dengan serpihan daun yang kini menguning dan basah.
Aku terus berjalan lurus, mengingat kembali cerita David tentang Hutan ini. Aku menatap lekat jauh ke depan dan akhirnya berhasil melihat samar-samar rumah
belakang Pak Wanu-tetanggaku.
Aku menelan ludah, merasakan rasa dingin itu kini semakin menusuk tulang dan berhasil membuat jantungku berdetak tidak nyaman. Berkali-kali aku menatap
ke sekeliling dengan was-was, semakin membenarkan bahwa memang ada sesuatu yang tidak beres di tempat ini.
Shreek. Jantungku langsung berdesir nyeri. Aku langsung berbalik, mencari asal suara itu. Tapi tidak ada apa-apa, hanya ada pohon-pohon kosong yang berada di sekelilingku.
Aku semakin mempercepat langkah. Bayangan tentang Pak Wira yang mungkin masih menyusup di hutan ini membuatku merinding.
Duuuk. Lalu tiba-tiba badanku terasa lemas dan pandanganku langsung menggelap.
*** BAB 53. Tangisan yang Hidup
Badanku terasa berat, seperti ada magnet yang berada di bawahku dan tetap menarikku untuk menempel di tanah. Aku merasa begitu lemas, hingga aku bahkan
tidak bisa membuka mataku. Satu-satunya yang menandakan bahwa aku masih hidup hanyalah gerakan lemah dadaku yang berusaha mengambil udara sejak tadi.
Shrreek ... Shrreek ... Aku mencoba menghirup napas melewati hidung dan mulutku yang sedikit terbuka. Dan seketika itu juga aku mencium bau tanah dan daun yang lembab. Aku menduga
itulah mengapa pipi kiriku terasa dingin dan basah. Dengan bersusah payah, aku berhasil menyimpulkan bahwa aku sedang terbaring di tanah yang basah dan
penuh dedaunan. Shrreek ... Shrreek ... Aku berusaha membuka mata dan rasa sakit luar biasa langsung menerjang kepalaku dengan hebat. Tapi anehnya tidak ada suara jeritan keluar dari mulutku.
Aku terlalu lemas. Sesuatu mengalir dari atas kepalaku-cairan, seperti air atau keringat. Dan cairan itu terus merembes hingga dahiku dan juga merembes jatuh ke belakang
kepalaku hingga menjalar ke leherku.
Aku kembali menarik napas dengan perlahan. Dan kali ini aku mencium bau lain. Itu seperti bau besi dan ... bau busuk yang entah apa.
Shrreek ... Shrreek ... Sekarang aku bisa mendengar jelas suara itu. Suara itu sejak tadi terdengar begitu samar di telingaku. Tapi saat kini aku mendengar lekat-lekat, suara
itu sebenarnya terdengar begitu dekat dari tempatku. Tidak hanya itu, aku juga mendengar satu suara lain. Suara napas memburu, napas dan gumaman. Hanya
satu orang, aku cukup yakin itu. Hutan ini cukup sunyi hingga aku bisa dengan mudah membedakan setiap suara yang ada di hutan ini.
Aku kembali berusaha membuka mata dan kali ini dengan perlahan aku mulai berhasil melakukannya.
Pandanganku kabur dan kepalaku langsung berdenyut-denyut sakit. Tapi samar-samar, aku bisa melihat satu sosok berdiri membelakangiku di sebuah lubang tidak
jauh dari tempatku, sedang menggerakkan lengannya ke depan dengan sikap aneh. Aku terus mengerjapkan mata, berusaha membuat pandanganku fokus.
Sosok itu kini mulai berputar, berdiri menyamping hingga satu sisi wajahnya tampak. Aku menyipitkan mata, berusaha menatap wajah itu lekat-lekat sementara
ia masih tidak menyadariku.
Lalu badanku langsung membeku, mengenali siapa sosok itu sekarang.
Ibu Hilda. Itu Ibu Hilda, dengan pipi penuh dengan noda darah dan rambutnya yang berantakan basah dan dipenuhi tanah. Bajunya masih sama dengan yang terakhir kali
kuingat saat aku menemuinya pagi tadi. Namun kini kemeja cream itu tidak lagi bersih, kemeja itu kini dilumuri tanah dan noda darah.
Dan gerakan lengannya itu tidak aneh, karena yang sedang ia lakukan sejak tadi adalah menggali tanah di sampingku.
Semua ingatan mulai muncul di kepalaku dan kesadaranku mulai sepenuhnya pulih. Apa Ibu Hilda yang memukulku tadi?
Jantungku langsung berpacu kencang. Tanpa memikirkan alasannya, aku tahu bahwa aku kini dalam bahaya dan aku harus keluar dari hutan ini secepat mungkin.
Aku kembali menatap ke sekitarku, mencari sesuatu yang bisa kugunakan sebagai senjata, tanpa suara sedikit pun. Ibu Hilda masih sibuk menggali tanah itu
sambil memunggungiku. Sebuah batu berada tidak jauh lututku. Lalu sambil menahan napas, aku mulai bergerak perlahan menjulurkan tanganku, meraih batu itu"Tidak!!" Suara jeritan itu langsung membuatku jantungku berdetak cepat.
Ibu Hilda berbalik dan kini menyadari bahwa aku sudah membuka mata. Aku langsung berguling ke belakang sebelum ia sempat menjangkauku. Ia kini mulai naik
dari lubang tanah itu dan merangkak mengejarku.
Sambil menahan denyut sakit di kepalaku, aku terus berusaha merangkak menjauh dari sana sekuat tenaga.
"Aakkhh!" Rasa sakit langsung menyerangku dengan cepat. Sesuatu baru saja menyayat betis kananku dengan dalam dan keras hingga rasanya hampir bisa mematahkan
tulangku. "Berhenti!!" jeritnya lagi, jelas sekali tidak menyangka bahwa aku masih hidup.
"Oke! Oke! Kumohon ..." ujarku dengan napas memburu. Aku berbalik, mengangkat tangan ke arahnya dengan gemetaran tanpa tenaga. Badanku kini semakin lemas
dan aku tau aku tidak bisa bergerak cepat lagi.
Aku menatapnya sambil menarik napas kasar berkali-kali. Ia kini berdiri diam, menatapku dengan sorot liar yang aneh. Ia masih menggenggam sekop itu dengan
sangat erat hingga buku jarinya memutih. Ujung sekop itu kini berlumuran darah-darahku.
"Kumohon ..." pintaku lagi dengan nada lemah. Aku masih belum menurunkan tanganku, menunggu mata liar itu kembali normal seperti sorot mata Ibu Hilda yang
selama ini biasa kulihat. Tapi tidak ada tanda-tanda hal itu akan terjadi. Ia terlihat ... gila.
"Apa ..." hanya itu yang keluar dari mulutku.
"Aku sudah bilang untuk jangan lagi mengganggu Hilda," bisiknya. Wajahnya kini terlihat seperti menahan tangis.
"Aku berusaha membantumu-"
"Tidak!! AKU SUDAH BILANG UNTUK JANGAN LAGI MENGANGGU HILDA."
Badanku kembali tegang. Aku semakin mengangkat tanganku lebih tinggi, menunggunya melayangkan sekop itu lagi. Tapi Ibu Hilda tetap diam, masih menggenggam
Silent Girl Karya Indah Thaher di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sekop itu dengan erat. Aku menelan ludah, berusaha untuk tetap menatapnya dengan tenang. Dengan sisa kesadaranku, aku berusaha untuk memikirkan semua situasi ini dan hubungan
Ibu Hilda dengan semua hal ini.
"Apa ..." aku menatapnya dengan hati-hati. "Apa seseorang mengancammu untuk melakukan ini?" tanyaku akhirnya.
Ia mendesah pilu, tiba-tiba bahunya kini melemas. Ia lalu menggeleng dengan lemah. "Aku sudah bilang padamu untuk jangan lagi menganggu Hilda!" Ia mengatakan
kalimat itu lagi. Aku menyadari setidaknya kini ia mulai sedikit tenang. Dengan lemas, aku kembali menjatuhkan tanganku.
Ia kini menatapku dengan sorot penuh luka, sangat berubah dengan sorot liar yang tadi terpampang jelas di kedua matanya.
Aku menarik napas panjang, berusaha mengalihkan rasa sakit di sekujur tubuhku saat ini. Lalu kembali menatapnya. "Bu ... aku bisa membantumu melawan Waksono,"
cobaku lagi. Dahinya berkerut dalam, lalu matanya kini mulai bergerak-gerak panik.
"Aku sudah melakukannya. Aku sudah membantu Hilda dan sekarang dia seharusnya sudah tenang di sana," gumamnya dengan suara nyaris berbisik.
Aku membeku, mendengar jelas apa yang baru saja ia katakan. Selama beberapa saat aku tidak berkata apa-apa. Dan aku sama sekali belum berani untuk menyimpulkan
apa pun dari perkataannya yang terdengar begitu aneh.
Ia melirikku sekilas dengan tatapan panik menahan tangis itu lagi.
"Hanya itu alasanku untuk membunuh anak kandungku sendiri," bisiknya. Air matanya kini mengalir membasahi wajahnya.
Pikiranku langsung kosong selama entah beberapa lama. Aku sama sekali tidak berpikir apa pun. Rasanya ada sesuatu yang dingin meremas jantungku dengan
cepat, membuat badanku semakin lemas.
Hilda ... dibunuh oleh ibunya sendiri.
Genggamannya pada sekop itu kini mulai melemas dan ia kini menggunakannya untuk menahan dirinya untuk tetap berdiri dan tidak terjatuh lemas ke tanah.
Samar-samar aku mendengarnya bergumam sambil terisak. "Aku tidak tau lagi ... hanya itu satu-satunya jalan ..."
Aku memaksakan diri untuk membuka mulut. "Kenapa?"
Ia mendongak dengan sorot pilu. "Aku mencintai anakku dengan sepenuh jiwaku, Lauren. Dan hal terakhir yang tidak ingin kulihat darinya adalah saat hidupnya
hancur," ujarnya. Ia kembali terisak. "Aku tidak bisa membiarkannya perlahan menjadi sepertiku. Aku tidak bisa membiarkannya diperlakukan sama sepertiku,
oleh Rey atau semua orang di kota ini. Satu-satunya cara adalah membiarkannya pergi dari dunia ini. Sekarang dia akan tenang di sana," sambungnya.
Aku tertegun, kembali tidak bisa berkata apa-apa tentang semua pengakuan yang baru saja kudengar dari mulutnya. Sebagian diriku masih belum bisa menerima
semua hal itu. ... Aku bahkan tidak bisa mengenalinya lagi setiap kali ia berubah menjadi sosok penuh amarah, kemudian tiba-tiba berubah menjadi sosok lemah yang meraung-raung
penuh tangis. Dia bahkan pernah tidak sengaja melukai Adit dan aku. ...
Ingatanku tentang ucapan Hilda di jurnal itu kembali muncul dan semua perubahan sorot matanya sejak tadi sudah membuktikan semuanya dengan jelas.
Tapi ... Apa? Bagaimana ia bisa ...
Ia kembali menatapku dan lagi-lagi air mata mulai mengalir di pipinya, bercampur dengan noda darah dan debu tanah.
"Aku terpaksa melakukan semua ini," katanya dengan nada gemetar sambil meremas sekop itu dengan takut. "Kau tidak tau sudah berulang kali aku berniat mengurungkan
niatku itu. Lebih dari sejam aku mondar-mandir di kamar, memustukan untuk tetap memberikan obat tidur itu pada Hilda malam itu atau tidak. Aku tidak ingin
ia merasakan sakit-"
Mataku langsung membelalak, mendengar apa yang baru saja terlontar dari mulutnya.
Obat tidur? Jadi karena itulah ... Hilda tertidur dengan cepat sebelum tengah malam, saat ia tahu akan ada orang suruhan Sarah yang datang.
"-kau tidak bisa membayangkan betapa hancur hatiku saat aku menatap wajah itu kaku tidak bernyawa-"
"Bagaimana anda membunuhnya?" potongku, merasakan diriku perlahan mulai mempercayai pengakuan mengerikan dari mulutnya.
Ia mendongak, tersadar dari gumamannya yang tiada henti sejak tadi. Ia kini mengatupkan rahangnya dengan mulut bergetar. "Aku sudah bilang padamu kalau
aku tidak ingin ia merasakan sakit. Jadi aku membekapnya-dengan bantal-dan-sampai dia tidak bergerak lagi," jawabnya dengan terbata-bata.
Suasana langsung hening mencekam selama beberapa saat.
Aku terdiam, menatapnya dengan lemas. "Lalu setelah itu anda menyayat pergelangan tangannya dan membuatnya terlihat seperti bunuh diri," sambungku dengan
lirih. Ibu Hilda kembali terisak. Dan aku tahu apa yang baru saja kukatakan memang benar.
"Aku terpaksa melakukannya," ulangnya lagi dengan nada gemetar. "Hilda sudah terlanjur mati begitu aku menyadari kesalahanku untuk membunuhnya. Dan sejak
hari itu aku berharap semua orang di kota ini akan melupakan kejadian ini, sama seperti yang biasa mereka lakukan pada kami." Ia kemudian meliriku, sorot
matanya kini mulai berubah benci. "Tapi kemudian kau dan David mulai kembali mengungkit dan menyelidiki kematian Hilda. Lalu semua orang akhirnya membicarakan
hal ini dan kau mulai bertanya untuk melakukan autopsi pada Hilda-dan Wira kembali muncul-dan Tommy datang-"
Aku membelalak ngeri, menyadari sesuatu. "Tidak."
"Aku kira kalian akan berhenti menyelidiki kematian Hilda. Tapi kalian tidak pernah berhenti! Aku tidak mungkin masuk penjara. Siapa yang akan mengurus
Adit jika aku tidak ada?"
"Tidak!!" jeritku. Aku menatapnya penuh kekalutan. "Kau membunuh Tommy?"
Bibirnya kini kembali bergetar. "Aku terpaksa melakukannya."
Seketika itu rasanya badanku terasa begitu lemas berkali-kali lipat, mengambil habis semua energiku untuk melakukan apa pun, bahkan bernapas sekali pun.
Pikiranku kosong dan sekujur tubuhku terasa mati rasa. Suara sesak terdengar samar dari dadaku, begitu ringkih dan penuh luka.
"Aku tau Wira sudah menceritakan semua kesaksian yang dia lihat malam itu pada Tommy-dia melihatku membunuh Hilda. Dan dia sendiri yang mengatakannya padaku.
Tapi dia berjanji tidak akan membeberkan hal itu pada siapa pun karena dia mencintaiku. Tapi nyatanya dia menceritakannya pada Tommy! Aku tau seharusnya
aku membunuh Wira sejak awal. Dan aku tau Tommy akan menceritakannya padamu dan David jika aku tidak membunuhnya," sambungnya.
Aku menatapnya dengan sorot lemah, kembali merasa mual dengan apa yang baru saja kudengar.
Suasana kembali hening, hanya terdengar suara angin berhembus sesekali.
Butuh beberapa lama hingga akhirnya sedikit kesadaranku kembali muncul. Aku membuka mulut, merasakan tenggorokanku begitu kering. Tapi aku tetap memaksa
untuk berbicara. "Lalu mengapa selama ini kau ikut berpura-pura menutupi dan melindungi semua perlakuan Sarah dan Pak Rey? Selama ini aku menuduh Sarah
sebagai pelakunya, kenapa kau malah mencoba menghentikan kami? kenapa kau tidak membiarkan kami menangkapnya?"
Ia terdiam sejenak. "Karena mereka adalah keluarga Waksono. Aku akan hancur jika mereka juga hancur. Karena itulah ... aku melakukan ini semua agar Adit
bisa mendapatkan hidup yang lebih baik. Aku tau aku tidak menghentikan mereka ..."
Aku memejamkan mata, merasakan semua harapan itu perlahan hilang dari dalam diriku.
Semuanya masuk akal sekarang. Semua pecahan teka-teki ini langsung menyatu dengan sempurna tanpa ada cacat sedikit pun.
Jadi Ibu Hilda lah yang membunuh Hilda malam itu. Ia memberi obat tidur pada Hilda, kemudian Hilda tertidur sebelum tengah malam-setelah menulis jurnal
terakhir itu. Kemudian ibunya masuk, menyekap wajahnya dengan bantal hingga ia tidak lagi bernapas lalu menyeretnya di lantai kamar dan menyayat pergelangan
tangannya dan keluar. Semua tanpa jejak. Dan selama itu Pak Wira sudah berkeliaran di rumah Hilda dan menyaksikan semua itu.
Kemudian anak buah Sarah datang, membuka paksa jendela itu dan masuk. Namun ia jelas tidak menyangka bahwa Hilda sudah mati-dan mengira Hilda memang benar-benar
bunuh diri. Ia bergegas pergi tapi kemudian ia melihat Pak Wira berada di luar, masih belum pergi dari sana sejak tadi. Jadi anak buah Sarah mengejar Pak
Wira, mengira Pak Wira akan beranggapan kalau Hilda dibunuh oleh anak buah Sarah tersebut.
Karena itulah selama ini Sarah berani menatapku dengan sungguh-sungguh dan berkata kalau ia memang tidak pernah membunuh Hilda. Ia memang berkata sejujurnya.
Dan karena itulah Ibu Hilda selama ini tidak mengizinkan kami untuk melakukan autopsi pada mayat Hilda. Ia tahu obat tidur itu akan ditemukan di sana dan
akan berujung padanya. Dan ... karena itukah David melarangku untuk menemui Ibu Hilda untuk sementara waktu? Selama ini ia memang belum meyakini sepenuhnya bahwa Sarahlah dalang
pembunuhan Hilda. Ia sama sekali tidak pernah memberikan pernyataan bahwa Sarah pembunuh Hilda.
Apa sudah sejak lama David mencurigai Ibu Hilda?
Aku menelan ludah, merasakan rasa sakit di tenggorokanku. Badanku kini terasa semakin lemas. Aku mulai kembali merasakan denyut sakit itu di sekujur tubuhku.
Dan semua bersatu untuk mengambil tenagaku yang kini benar-benar sudah menipis.
Jadi dugaanku selama ini salah. Dan aku baru saja memberikan dua nyawa tak bersalah karena hal ini. Pak Wira ... dan Tommy.
Aku kini menatapnya. "Jadi kau sekarang akan membunuhku," ujarku dengan tenang.
Ia meremas tongkat sekopnya, matanya kini bergerak kalut. Tapi kini ia mulai berjalan menghampiriku dengan langkah pelan, seolah akhirnya sudah memutuskan
untuk melanjutkan rencananya padaku sejak tadi.
Aku mencoba menggerakkan kakiku dan rasa nyeri luar biasa langsung menyebar ke sekujur tubuhku dengan cepat. Aku menunggu rasa takut itu datang, tapi rasa
itu tidak kunjung datang.
Dan anehnya, aku justru menatapnya kini dengan prihatin.
Tidak ada yang bisa menolongku saat ini. Aku berada di tengah hutan yang berada paling ujung Kota Angor, tempat yang paling sepi di kota ini. Aku tidak
memiliki ponsel, tenagaku habis dan aku sama sekali tidak bisa bergerak sedikit pun sekarang. Dan David tidak mungkin tahu keberadaanku.
David ... Artinya aku tidak akan bertemu dengannya lagi setelah ini. Untunglah setidaknya aku sudah mengucapkan kalimat itu padanya.
Ia kini sudah berada tepat di depanku. Aku mendongak ke atas, menatap mata yang kini terlihat kalut. Ia kemudian mengangkat sekop itu tinggi-tinggi, mengarahkan
ujung sekop itu agar bisa menusuk tepat ke leherku.
"Kau dan aku hanya korban," ujarku akhirnya.
Sekilas matanya bergerak takut padaku.
"BERHENTI!" Suara itu berhasil membuat Ibu Hilda membeku.
Suara David. Dan sebelum aku sempat menoleh mencari sosoknya, mataku kemudian akhirnya terasa berat dan pandanganku mulai kembali menggelap.
"TIDAK!! TIDAK! KUMOHON! Jangan penjarakan aku! Anakku! Adit! Anakku akan hancur tanpaku. Ya Tuhan, aku mohon ... anakku sebatang kara, dia masih sangat
kecil ..." Suara teriakan histeris penuh luka itu masih samar-samar terdengar di telingaku.
*** BAB 54. Silent City Saat aku akhirnya membuka mata, yang kulihat pertama kali adalah langit-langit mobil berwarna putih bersih. Rasa nyeri itu sudah jauh mereda sekarang,
walaupun kepalaku masih terasa pusing dan kakiku masih terasa sedikit berdenyut. Tapi setidaknya aku sudah bisa merasakan kesadaranku datang kembali dengan
cepat. Aku terbaring di sebuah kasur kecil yang sedikit keras-tandu. Aku sadar kalau aku berada di dalam mobil ambulans.
"Lauren?" Aku langsung menoleh mencari suara yang kurindukan itu dan kelegaan menyelimuti badanku dengan cepat. David duduk di sampingku, dengan baju yang berantakan
dan kotor penuh debu bercampurkan noda darah. Ia kini menatapku dengan alis berkerut dan rahang mengeras.
Aku menunggunya berbicara lagi. Tapi kemudian helaan napas keluar dari mulutnya. Ia lalu merengkuh wajahku, kemudian menunduk dan menempelkan dahinya padaku
dengan pelan. Selama beberapa saat kami tidak bersuara. Dan aku mulai memejamkan mata, membiarkan napasnya menyapu wajahku.
"Jangan lakukan hal seperti ini lagi," geramnya. "Kau membuatku ketakutan setengah mati," sambungnya.
"Maafkan aku." Kami kembali diam. "Aku juga mencintaimu," ujarnya.
Aku membuka mataku dan mendapatinya kini menatapku lekat-lekat. Dan rasa nyaman langsung menyelimutiku sekujur tubuhku dengan cepat, memelukku dengan sensasi
yang sangat aneh namun begitu tentram.
David kemudian menunduk dan mencium keningku dengan lembut. Dan aku langsung melingkarkan lenganku pada lehernya, menahannya di pelukanku selama beberapa
saat. "Bagaimana kau menemukanku?" gumamku kemudian begitu ia melepaskan pelukanku.
"Pak Wanu mendengar suaramu dari dalam hutan." Ia mengangguk, menyadari keterkejutanku. "Dia selama ini berada di rumah itu, tidak pernah keluar karena
tidak ingin dekat siapa pun di kota ini," sambungnya.
David kemudian menoleh sekilas ke luar. "Dan aku berusaha mencari Ibu Hilda begitu mendapat informasi ada yang melihatnya terakhir bersama Tommy, jadi
aku langsung membawa pasukan ke sini."
Aku berusaha bangkit, namun tangan David langsung menahanku. "Jangan."
"Tidak, kumohon-" suaraku tiba-tiba tercekat. Tiba-tiba ingatan tentang semua hal gila yang terjadi di sini kembali memukulku.
David kemudian menghela napas, lalu kini membantuku bangkit dari tandu. Kepalaku terasa berputar-putar sejenak, tapi aku tetap berusaha bergerak. Aku menyadari
kepala dan kaki kiriku sudah diperban dengan erat. Jadi kepalaku memang terluka parah dan sesuatu yang mengucur membasahi kening dan leherku saat di hutan
tadi memang darahku sendiri.
Aku lalu mendongak, mengangkat kepalaku begitu pusing itu mereda. Lalu pandanganku tertuju pada apa yang ada di balik pintu ambulans ini.
"Bantu aku," pintaku dengan nada serak.
David ragu sejenak, kemudian akhirnya bergerak membantuku keluar dari mobil ambulans ini. Begitu sampai di luar ambulans, ia langsung membopongku dan membiarkan
lenganku bergelayut di bahunya. Ia memeluk pinggangku, membiarkan bebanku menempel di badannya agar aku bisa berdiri tanpa terjatuh.
Pandanganku langsung bergerak cepat. Aku menyadari bahwa aku sudah berada di depan hutan itu, halaman kosong di sebelah rumah Pak Wanu-tepat di seberang
rumahku. Aku melihat garis polisi terlihat mengintari tepi hutan itu.
Langit kini sudah mulai terang, menjelang dini hari. Aku bisa melihat setitik cahaya matahari mengintip di ujung sana.
Ada banyak orang di sini, berdiri di luar hutan itu, mengelilingi mobil-mobil polisi dan ambulans yang hampir memenuhi halaman dan jalan ini. Mereka semua
masih menggunakan baju tidur dan jaket, menatap ke arah hutan. Beberapa sibuk berbicara, beberapa hanya diam menatap hutan itu. Para polisi berseragam
bercampur dengan petugas ambulans mengerumuni tepi hutan itu. Beberapa dari mereka sibuk berbolak-balik memasuki hutan itu dengan senter sambil sesekali
meneriakkan perintah satu sama lain.
"Berapa lama aku pingsan?"
David melirikku sekilas. "Satu jam."
Aku menelan ludah, membasahi tenggorokanku yang kering. "Dimana Ibu Hilda?" tanyaku lirih.
"Sudah dibawa ke kantor polisi," jawab David singkat.
Aku mengangguk diam, kembali mengingat suara teriakan pilu darinya sesaat sebelum aku pingsan tadi. Dan itu sudah cukup membungkam mulutku dan membiarkan
rasa bersalah itu menyelimutiku dengan cepat. Aku tidak berani menanyakan lebih lanjut tentang apa yang selanjutnya akan terjadi pada Ibu Hilda. Apa mereka
akan memenjarakannya? Jika itu benar, kemungkinan besar ia akan dipenjara lebih dari 20 tahun. Tapi kondisi mentalnya ... apakah ada kemungkinan ia justru
akan dimasukkan ke rumah sakit jiwa?
Lalu tiba-tiba pandanganku tertuju pada dua orang polisi yang kini sedang mengangkut sebuah kantong di kedua sisi ujungnya keluar dari hutan. Lalu sedetik
kemudian, dua orang polisi lain mengikuti, sama-sama mengangkut sebuah kantong yang mirip dengan kantong sebelumnya. Jantungku langsung berdesir begitu
kencang begitu menyadari itu adalah kantong berisikan mayat. Sebuah tangan dengan arloji mencuat dari kantong itu. Arloji itu penuh dengan tanah, kaku
seperti tangan itu. Dan aku tahu arloji itu. Itu arloji yang kuberikan pada Tommy bertahun-tahun lalu.
Seketika itu perutku langsung mual, bergejolak dengan hebat. Seketika itu juga kepalaku terasa berputar dan aku sama sekali tidak bisa bernapas. Aku mencengkram
bahu David dengan gemetaran, mencari apa pun untuk menghentikan rasa dingin di dalam jantungku ini.
"Kau ingin duduk?" tanya David.
Aku hanya menggeleng, menunduk sambil mengatupkan mulutku rapat-rapat.
Mereka menemukan mayat Tommy. Dan Ibu Hilda menguburkannya di dalam hutan itu. Jantungku kembali berdesir. Jadi bau busuk yang kuhirup saat aku menyaksikan
Ibu Hilda menggali lubang tanah itu pastilah mayat Tommy dan Pak Wira. Ia hendak menguburkanku bersama dengan Tommy dan Pak Wira. Dan ia baru mengubur
Tommy kemarin, karena itu baunya masih tajam. 1
Badanku kini semakin lemas, aku kini benar-benar membiarkan David menopangku sepenuhnya.
Bu Eli benar, aku membiarkan dendam membutakanku pada kebenaran. Aku tahu begitu aku mendengar bahwa penyebab keluargaku meninggal adalah karena kelalaian
Pak Rey membuatku membenci mereka. Dan rasa benci itu semakin kuat setelah aku tahu mereka berusaha menutupinya. Lalu terus membesar dan membesar hingga
akhirnya membuatku tidak lagi bisa melihat apa pun dengan jelas, menyeret orang lain dalam masalahku sendiri dan membiarkan mereka ikut hancur bersamaku.
"Apa aku membuat semua ini berantakan?" tanyaku lemah.
David diam beberapa saat, menyadari arah tatapanku. "Bukan, bukan salahmu."
Aku tidak lagi bisa berkata apa-apa. Sampai mayat Tommy diangkut dan mobil ambulansnya melaju pergi, barulah aku bisa memaksa diriku untuk melepas tatapanku
dari sana. Aku menatap ke sekelilingku kembali dan kali ini menyadari bahwa semua orang yang berdiri di kerumunan itu kini menatapku. Dan aku sadar banyak di antara
mereka yang sangat kukenal. Sarah, Tifa, Nika, dan Vera berdiri di dekat mobil polisi. Semua kerumunan itu masih terus menatapku. Tatapan mereka semua
sama-datar, sama sekali tidak bisa kubaca.
Dan aku langsung sadar satu hal.
Tidak perlu berpikir lama untuk mengetahui bahwa mereka semua akan kembali bersikap seolah semua ini tidak pernah terjadi. Seperti yang mereka lakukan
pada ledakan pom bensin itu, kematian keluargaku, pembullyan dan pengasingan terhadap Hilda dan juga kematiannya. Mereka akan kembali ke sarang masing-masing,
kembali berkerja di bawah kaki Pak Rey, memujanya seperti Tuhan, menuruti perintah Sarah sebagai Sang Putri.
Tidak ada yang bisa mengubah hal itu. Siapa pun, termasuk aku.
Aku kemudian menoleh, menatap David. "David," panggilku.
"Ya." Aku terdiam sesaat. "Tolong bawa aku keluar dari kota ini, sekarang."
David menatapku sejenak, kemudian ia mengangguk. Kami lalu mulai berjalan menjauh dari mobil ambulans, keluar dari halaman ini.
Lauren, tolong adikku ...
Aku langsung menghentikan langkahku.
Itu suara Hilda. Aku mendengar jelas suara itu di kepalaku dan aku benar-benar mengenalinya. Aku mulai melemparkan pandangan ke sekeliling, mencari-cari.
Sampai pandanganku membeku pada sosok kecil itu. Aku melihatnya. Adit sedang berdiri, berada paling tepi barisan, terlihat begitu ketakutan dan pucat.
Dan seketika itu aku menyadari sesuatu.
Hilda memanggilku ke sini bukan untuk membantunya mengungkap penyebab kematiannya dan membuktikan semua perlakuan menjijikkan dari Pak Rey dan Sarah.
Tapi untuk menyelamatkan adiknya.
Dari kota ini. "David, bantu aku," pintaku.
David langsung membantuku berjalan melewati semua pasang mata itu, menuju tempat Adit berdiri. Begitu aku sampai di depannya. Aku bisa melihat pipinya
kini basah dipenuhi air mata. Matanya terlihat begitu kalut dan bibirnya bergetar menutup rapat.
Aku lalu mengulurkan tanganku padanya. "Ikutlah denganku," ujarku pelan. "Aku akan menjagamu mulai sekarang," sambungku.
Matanya kini membelalak dan selama beberapa saat ia hanya diam menatapku. Tapi perlahan, ketakutan itu mulai menghilang dari matanya. Dan akhirnya ia mulai
meraih tanganku. Begitu tangan kecil itu berada di tanganku, aku langsung menggenggam dengan hangat, berusaha menyiratkan bahwa ia akan baik-baik saja
sekarang. Kami kemudian mulai berjalan kembali. Dan aku kembali menatap semua kerumunan itu. Sampai pada tatapanku tertuju pada mereka.
Paman dan Bibi. Mereka berada tepat di depan mobil sedan hitam itu, sedang menatapku dengan sorot khawatir bercampur was-was. Tapi aku juga menyadari ada ketakutan terbesit
di kedua pasang mata itu-terutama bibiku.
"Lauren," panggil Bibi.
"Ikutlah denganku ke ibukota," pintaku.
Bibi kini mulai meremas tangannya dengan kalut. Ia menatap ke arah suaminya, berusaha meminta bantuan.
"Rumah kita di sini, Lauren," jawab Paman dengan tenang.
"Kalian tidak perlu tinggal di sini. Kita bisa membeli rumah di ibukota dan kita berempat bisa tinggal bersama-sama," cobaku lagi.
"Adit bukanlah Noah, Lauren. Ingat itu."
Aku terdiam, menatap mereka tanpa bisa berkata apa-apa. Terlepas dari apa pun yang selama ini terungkap tentang semua keburukan kota ini, aku masih tetap
menganggap Paman dan Bibi berbeda dari semua orang di kota ini. Mereka keluargaku, aku selalu tahu itu.
Tapi kurasa itu tidak sepenuhnya benar. Aku menatap ke semua orang di kerumunan itu dan menyadari bahwa Paman dan Bibi memang sudah menjadi bagian dalam
kota ini sejak dulu. Aku akhirnya kembali menatap Paman dan Bibi.
"Selamat tinggal, kalau begitu. Semoga kalian selalu bahagia di sini," ujarku akhirnya sambil berusaha tersenyum lemah pada mereka.
Lalu aku, David dan Adit berjalan melewatinya lalu masuk ke dalam mobil sedan hitam itu tanpa menoleh lagi ke belakang. Begitu kami semua sudah menutup
pintu mobil, David kemudian langsung memutar kunci mobil. Mesin mobil kemudian berbunyi.
Aku lalu merasakan tatapan David padaku. Aku menoleh padanya, lalu berbalik menatap Adit yang duduk di kursi belakang. Bocah itu kini membalas tatapanku
dan aku menyadari tidak ada lagi sorot ketakutan di matanya. Kelegaan ini mulai mencuat di mata itu.
Dan itu sudah cukup memberiku kekuatan.
"Ayo, pergi dari sini," ujarku pada David.
Kemudian mobil bergerak, menjauh dari kerumunan itu, dari rumahku dan dari rumah Hilda dan dari apa pun yang berhasil mengotori langkahku di kota ini hingga
detik ini. Bukan aku yang bermasalah di sini, bukan Hilda, bukan Pak Rey, bukan Ibu Hilda, dan juga bukan Sarah atau siapa pun.
Kota ini yang bermasalah.
THE END Autumn In Paris 2 Hantu Jeruk Purut Karya Yennie Hardiwidjaja Kumpulan Kasus Seru 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama