Ceritasilat Novel Online

Temukan Aku Dalam 1

Temukan Aku Dalam Istikharahmu Karya E Sabila El Raihany Bagian 1


?TEMUKAN AKU DALAM ISTIKHARAHMU
(Cinta Islami dalam Dunia Metropolitan)
E. Sabila El Raihany Cakwarala Fiksi GORESAN PENA DALAM UNTAIAN KATA
Maha Suci Allah yang telah memberikan sejuta kebahagiaan dengan pintu rezeki-Nya. Rasa syukur yang terdalam terpancar dalam butiran-butiran bening di dalam hati mulai tersenyum. Rencana Allah lebih indah dari yang kita bayangkan segala puji bagi Allah yang mengenggam segala kehidupan.
Ucapan terima kasih kepada:
Keluargaku Bapak Wasrip dan Ibu Casem. Selaku orang tua yang dengan ridho dan doa mereka yang tiada henti, telah menemukan secercah cahaya dalam tiap-tiap keinginan yang terus menggema. Semoga Allah senantiasa mengabulkan doa Bapak dan Ibu untuk segera memenuhi panggilan-Nya ke Baitullah dan menjumpai makam Rasulullah. Untuk adikku yang manis, Nursaelah, Semoga cita-citamu yang mulia dapat didengar oleh Allah dan dikabulkan pada waktu yang telah tercatat dalam lauhul mahfudz. Untuk Ibu Nyai Hj Nur Mahfudzah yang senantiasa mengajarkanku untuk mengisi hari-hariku dengan ayat-ayat Allah dan telah mengizinkanku untuk terus berkarya dalam mensyukuri nikmat Allah. Semoga Allah terus mengalirkan kebaikan dunia akhirat pada beliau sampai kapan pun. Kepada segenap sahabat-sahabatku. Tak ada yang pantas kukatakan hanya untaian sebuah kata: "Persahabatan" kita lebih bermakna dari emas dan lebih indah dari mutiara yang berkilau dalam lautan. Semoga Allah membalas kebaikan kalian semua, dengan melapangkan rezeki dan meluaskan ilmu serta membawa manfaat dalam dunia akhirat. Dan yang terakhir kepada Bintang Pelajar sang pemilik kebaikan di hatinya, Mas Fazal selaku juru ketik sekaligus pembimbingku dan sang pemilik senyum indah Mas Eka. Dialah sumber inspirasiku yang dahsyat, dengan mengenalnya membuatku semakin yakin bahwa dibalik peristiwa pahit akan terdapat hikmah yang besar dan tak ketinggalan Penerbit Cakrawala Fiksi dan seluruh redaksinya. Mudah- mudahan kerjasama ini terus terjalin dengan baik, semoga kesuksesan terus mengiringi Penerbit Cakrawala dalam setiap langkah untuk menciptakan karya-karya yang cemerlang dan berkualitas. Dan dari penulis pribadi, sangat mengharapkan doa dari semua pihak yang membantu dalam pembuatan novel ini. Karena apalah artinya usaha tanpa diiringi doa. Apalah artinya tulisan tanpa ada pembaca, untuk itu ... Temukan aku dalam istikharahmu, Temukan aku dalam hati kalian...
Penulis E. Sabila El Rahany 1. DILEMA DUA PILIHAN Saat hati mulai mengenal Allah dan rasa syukur
Saat itu pula keyakinan untuk percaya bahwa
Rencana Allah lebih indah dari apa yang di bayangkan
Ba'da dzuhur di rumah Alfiaturrahmah
Ya Allah... Pemilik langit dan bumi semesta alam
Hanya kepadamulah tempatku bersandar
Dalam mengarungi kehidupan yang tiada kuketahui
Baik, buruknya Qodar-Mu Ya Robbi... Sang penggenggam hati Izinkanlah hambamu yang bodoh dan hina ini
Memilih perkara yang telah ada di hadapanku
Perkara yang mudah-mudahan membawaku
Dalam cahaya ridho-Mu Dan tak luput pula Membimbingku untuk menuju jalan sirotummustaqim
"Fi...," panggil Ummi dari luar kamar.
"Sebentar Mi...," teriakku seraya melepas mukena.
"Ada apa Mi?" "Kamu udah mantap sama keputusanmu?" Ummi menatapku lekat.
"Emang kenapa Mi? Abah ga setuju ya?" rasa penasaran menyelimutiku
"Bukan gitu sayang... Abah cuma gak mau keburu-buru dalam menentukan pilihan, bukankah terburu-buru adalah sikap setan sayang?" jelas Ummi.
"Tapi kalo ditunda, itu mubazir waktu Mi. Allah kan membenci hal-hal perkara yang mubazir." "Jadi..." Ummi penasaran.
"Alfi akan ke pesantren siang ini juga." Kataku mantap.
"Sebenarnya aku sedih bilang ini Mi maafkan Alfi ya Mi ...Bah...."
Alfi tahu, Abah ingin Alfi kuliah dan melanjutkan ke Perguruan Tinggi. Tapi demi Allah, zat yang Maha Menciptakan, Alfi lebih tertarik untuk mendalami al-Quran. Alfi ingin meninggalkan dunia pendidikan untuk menghafal al-Quran.
"Fi...!" seru Ummi.
Aku tersentak kaget. "Abah mau bicara."
Dengan rasa bersalah, aku menghadap di ruang tamu, kulihat Abah dengan mata yang berkaca-kaca.
"Maafin Alfi Bah!" kataku pelan guna mencairkan suasana.
"Abah percaya sama kamu kok Fi. Abah dan Ummi cuma ingin kamu bahagia."
Mendengar kebijakan Abah, aku bangga dengan beliau.
"Semoga Allah memberikan kegembiraan selalu untuk Abah." Doaku dalam hati.
Kupeluk Abah dengan butiran bening bak air hujan.
Ba'da Ashar aku benar-benar berangkat ke sebuah pesantren dan diantar Abah dan Ummi.
Sesampainya di sana, "Jaga diri kamu ya Fi," pesan Ummi. "Iya Mi."
Sekuat aku menahan tangisku, aku ingin terlihat tegar di hadapan Ummi dan Abah. Walaupun aku benar-benar lemah, tak berdaya.
"Jangan kecewakan Abah ya Fi." "Insya Allah Bah, doakan Alfi ya Bah."
Abah mengangguk. Setelah saling menumpahkan rasa kasih sayang. Abah dan Ummi pun pamit pada Pak Kyai dan Bu Nyai.
Perkenalan "Alfiaturrahman," kataku mengulurkan tangan pada seorang perempuan.
"Ana." Ucapnya menyambut uluran tanganku.
"Cuma Ana?" "Rizqiana Isnaini."
"Oh..." "Udah lama di sini mbak?"
"Baru, sama kayak kamu, panggil aja pake nama. Soalnya aku risih. "Maaf deh kalo gitu An....
"Nah gitu dong, mulai sekarang kita."
"Apa?" "Mujshe dosti karoge?"
"Siapa takut?" kataku seraya tersenyum, aku gak nyangka baru
Melangkah untuk menuntut ilmu. Allah telah mengirim bidadari kecil untuk menemaniku dalam suka dan duku.
6 bulan kemudian "Fi... ada surat untuk kamu."
Siang itu Abah datang menjengukku dengan wajah sumringah. Abah serahkan surat itu dengan senyum kebahagiaan.
"Coba kamu baca surat itu", perintah Abah.
Dengan bergetar bercampur rasa takut, kubuka surat itu dan keperhatikan dengan seksama.
"Masya Allah, aku hampir lupa..."
Hatiku mendesah. Kejadian 1 tahun yang lalu tergores kembaii. Di mana saat itu hanya ketenaranlah yang kucari. Entah setan apa yang masuk dalam pikiranku, aku begitu tertarik ketika melihat audisi untuk menjadi seorang artis. Tak kupikirkan akibatnya. Aku daftarkan diriku sebagai sebagai peserta.
"Ya Allah... cobaan apa lagi yang kau berikan?"
"Abah senang kamu tak melupakan dunia pendidikan."
"Maksud Abah?" "Ya... itu berarti kamu masih mengharap untuk maju dan sukses."
"Itu dulu Bah, sekarang cuma angan-angan." Hatiku memberontak.
"Ya Allah apa yang harus aku katakan pada Abah kalo
Aku tidak tertarik lagi. Dulu aku cuma iseng, kalau ada keinginan hanya sebutir pasir bukan setinggi gunung."
Jiwaku meronta. "Abah, Ummi mendukung kamu."
Aku benar-benar terpuruk. Tak kusangka aku terpilih. Ada rasa bangga menghampiriku. Namun kesedihan semakin menyelimutiku.
"Ya Allah mana yang harus kupilih dan kudahulukan? Aku mencintai Kalam-Mu. Tapi aku juga mencintai keluargaku. Entah benar atau salah. Aku sudah pasrah dengan keadaanku. Ku ikhlaskan diriku untuk menerima peristiwa ini. Aku tahu ini cobaan dan ku anggap ini adalah ujian untuk mendapatkan kasih sayang Allah." "Rencana Allah lebih indah dari yang kita bayangkan."
Ku tanamkan kalimat itu dalam dadaku. Telah kupersiapkan diriku untuk menerima segala kepahitan, telah ku tanggung segala risiko sekalipun menyakitkan.
"Ini keputusan yang salah Fi..."
Ana benar-benar syok mendengar pengakuanku.
"Aku tahu An." Air mataku tak bisa kusembunyikan.
"Dalam hidup kita harus memilih An." Lanjutku perih.
"Tapi ini pilihan yang salah besar."
"Do'a kan saja agar aku cepat kembali An."
"Lagi pula ini pelajaran buat aku, biar aku yang nanggung, toh aku yang mendaftarkan diri." Sesalku tiada tersisa.
"Semoga Allah mengembalikan aku untuk kamu An."
Kupeluk Ana erat. "Amien Fi... mudah-mudahan ini jalan kamu untuk lebih dekat ma Allah." Ana mengusap air mataku.
"Itulah harapanku. Allah bersamaku An, aku yakin Dia akan terus membimbing aku." Ana mengangguk. Tak lama kemudian aku benar-benar jauh dari Ana.
"Mujhe maaf Ana. I'am sorry."
*** 2. KEJUTAN DARI ALLAH Ketika kesabaran telah merajut dalam jiwa seseorang
Maka dari situlah jawaban Allah ditemukan
Di Rumah Sakit "KASIH IBU"
"Fi... bangun, ni Ummi," rengek Ummi sedih.
Sedikit demi sedikit aku membuka mata sayu-sayu kudengar lantunan ayat Allah dibacakan.
"Fabi ayyi ala irobbikum tukadziban"
"Mi..." ucapku lirih.
"Subhanallah sayang, kamu sadar Nak."
Ummi gembira ketika mendengar suaraku. Beliau memelukku erat. Tak urung tangisan ikut hadir dalam suasana duka.
"Kenapa Alfi di sini Mi?"
Aku benar-benar tak tahu apa yang telah terjadi, aku cuma ingat saat kami akan berangkat untuk audisi itu. Pagi-pagi buta, keluargaku sibuk menyiapkan keberangkatanku ke Hi-Fest Production di Jakarta. Tempatnya memang agak jauh. Untuk itu perlu persiapan yang matang agar tak terjebak macet.
"Kamu jatuh dari tangga sayang, saat kamu akan tampil." Cerita Ummi dengan rasa bersalah. "Alhamdulillah." Hatiku bersyukur.
"Abah mana Mi?"
"Abah sedang mengurus biaya perawatan dan pengobatan kamu."
"Maksud Ummi?" cepat-cepat kulepaskan pelukan hangat Ummi.
"Dokter menyarankan agar kamu dirawat untuk sementara waktu."
"Tapi Mi, biaya rumah sakit kan mahal?" sergahku cepat.
"Lebih baik Ummi kehilangan harta, dari pada kamu sayang."
Aku terdiam, tak lama kemudian Abah datang.
"Maafkan Abah Fi...."
Abah mendekatiku dan memelukku.
Aku tak kuasa menahan bahagiaku, bahagia karena Allah menolongku.
"Terima kasih Allah." Tiada hentinya hatiku mengucap itu. "Sekarang Abah sadar Fi, kalau Abah salah. Abah pikir kamu akan senang, ternyata malah sebaliknya, kamu kecelakaan."
"Abah ga salah, Alfi yang salah, Alfi minta maaf Bah, Alfi janji gak akan ceroboh dan sembrono lagi."
Hari ini, aku benar-benar menjadi insan yang paling beruntung. Peristiwa pahit yang kualami telah membawa hikmah besar bagiku. Aku takkan pernah kehilangan al-Quran ku.
Tadinya aku pikir, Allah membenciku karena membiarkanku dalam keadaan terpuruk, rupanya benar pertolongan Allah itu dekat dan sangat dekat. Entah kenapa aku teringat sebuah percakapakanku dengan ustadz Kholil di telepon beberapa waktu lalu.
"Assalamualaikum ustadz." Kataku memulai pembicaraan. "Wa'alaikumsalam Alfi." Suara ustadz di seberang terdengar lantang.
"Boleh aku tanya sesuatu sama ustadz?" aku sedikit ragu. "Silakan Fi!"
"Seandainya yang kujalani bukan hanya al-Quran bagaimana menurut ustadz?"
"Fi, kalo kamu merasa mampu, kenapa enggak? mungkin itulah kelebihan yang Allah berikan untuk kamu, kamu harus bersyukur, bukankah Allah akan menambah nikmat orang-orang yang bersyukur?" "Jadi..."
"Jalani apa yang ada Fi. Itu memang sulit karena dua hal yang berbeda dan perbedaan sulit disatukan."
"Apa aku bisa ustadz?"
"Kalo kamu tidak mampu, maka satu yang harus kamu pilih dan itu adalah Kitabullah."
"Terima kasih ustadz." Aku mengakhiri pembicaraan. "Sama-sama."
"Asssalamualaikum." "Wa'alaikumsalam."
Aku tersenyum. "Nikmat Allah manakah yang kamu dustakan?" tadinya aku ragu dengan pilihanku untuk mendalami al-Quran. Tapi mulai sekarang, akan kumantapkan hatiku untuk terus menjalani apa yang ada di hadapanku. Entah itu baik atau buruk, manis atau pahit, kamu pasti senang dengan kabar ini An." Pikirku menerawang pada sobat yang kini jauh di mata namun melekat di hati.
Al-Huda pukul 09:00 "Kamu kenapa sih An? bengong aja kayak sapi ompong."
"Tanya Nida teman sekamar." "Kapan ya... Alfi kembali sama kita?" Ana terlihat sedih. "Segitu sayangnya kamu sama Alfi?" sambung Mita.
"Kan masih ada kita-kita." Timpal Nida.
"Yang akan nemanin kamu setiap waktu, setiap hari, setiap jam, setiap menit, setiap detik, setiap minggu, setiap bulan." Kata Nurul menambahi.
"Lengkap amat sih. Setiap tahunnya mana Rul?" seru Mita. "Sorry deh, setiap tahun aku kan ngerayain tahun baru bareng keluarga, jadi gak ada waktu deh buat Ana."
Al-Huda, pesantren kecil yang mengharuskan santri memakai bahasa Indonesia saat komunikasi. Memang bagus, tapi ujung-ujungnya bahasa gaul deh yang masuk. Mau gak mau... jadi terbiasa. Namun jangan salah, walaupun tampang dan bahasanya nakal. Qur'an mereka gak kalah lho. Bagi mereka, penampilan brandal gak masalah yang penting hati. Se-Indonesia mau bilang apa, EGP (Emang Gue pikirin) kata Maia dalam lagunya EGP. Kalau ada yang salah nilai, yah manusiakan tak luput dari kesalahan, jadi... tetap kembali ke laptop. Eh salah... maksudnya ke asal. Santri Al-Huda akan mencetak perempuan sholehah Amien.
Selesai melaksanakan sholat Tahajud
Jakarta, 17 Mei 2008 Assalamualaikum, Salam persahabatan yang keindahannya terpancar bak mutiara yang berkilau dalam lautan biru. AlHamdulillah, Allah masih melindungiku dan keluargaku. Syukur Alhamdulillah pula aku terbebas dari masalah An... Terima kasih, kamu telah ingatkan aku untuk masuk dalam hari-hari yang penuh dengan ayat-ayat Allah.
Hari-hari yang terikat dalam penjara suci. Tempat dimana kebesaran Allah diperlihatkan. Di balik peristiwa, pasti menuai hikmah, Begitupun aku. Saat kepasrahan bersatu dalam jiwaku, aku melihat cahaya yang menyala dalam hatiku. Kau tahu cahaya apa itu An? Cahaya keagungan Qur'an yang berkobar dalam dadaku. Terus menyala dan Insya Allah... tak akan padam sampai Allah menghendaki kematian untukku. An, manusia tak lepas di masa lalu dan pengalaman pahit, peristiwa yang kupikir akan menghancurkanku. Malah berbalik arah, membuat tekadku untuk terus menggapai setetes ridho-Nya, bergejolak tiada hari. Cobaan yang Allah berikan, hanya tipu daya setan, jika bukan kasih sayang Allah, tentulah aku menjadi orang yang rugi.
Menjawab pertanyaanmu... kenapa aku belum kembali?
Berdoalah selalu kepada Allah semoga mempercepat waktuku untuk untuk melewati hari-hari bersama denganmu dan kitabullahu, Wassalamualaikum.
Alfiaturrahmah Aku tersenyum puas, leganya perasaanku ketika membalas surat Ana. Tak kusangka, Ana pintar merangkai kata-kata. Mungkin hal itulah yang membuatku merasa cocok dengannya. Dalaam keadaanku
Yang seperti ini. Aku merasa menjadi orang yang paling bahagia. Kalian tahu kenapa? karena aku mendapatkan lebih dari apa yang kubayangkan. Mudah-mudahan ini awal dari sebuah kesuksesan.
"Duh kok ngantuk ya?" aku melirik jam beker dilaci rumah sakit.
"Pantas! masih jam 02:30, tidur lagi ah...."
Kuambil selimut guna menghangatkan tubuhku.
"Bismikaallahumma ahya wabismika amut."
Sedikit demi sedikit mataku mulai sayu.
Tak lama kemudian aku benar-benar terlelap dengan ditemani puing-puing mimpi yang merajuk pesona dalam dunia maya.
Aslm, Maaf ni mba Ira dari TB Met untuk Alfi. Cerpen yang kamu kirim berhasil dimuat.
Honor bisa kamu ambil melalui transfer. Boleh minta rekening kamu?
Wslm. Ya Allah. Engkau memang Maha Adil setelah kesedihan datang, kini kau ganti dengan kegembiraan.
"Kamu senang kan Fi?" pandangan Ummi tak dapat ku hindari.
Aku mengangguk "tapi Mi..."
"Teruskan perjuanganmu Fi, jangan ragu. Allah bersama kamu." dukung Ummi penuh semangat.
"Apa Alfi bisa Mi? sejak peristiwa audisi itu aku benar- benar terpuruk. Nyaliku untuk menulis semakin kecil. Aku takut membuat kesalahan."
"Kalau kamu percaya sama Allah. Kamu bisa menjadi segalanya hanya perlu waktu dan kesabaran." terang Ummi menasehati.
"Alfi takut jika Allah tak menghendaki ini?" ucapku jujur. "Tugas manusia adalah berusaha sayang. Apa salahnya kita berusaha menjadi manusia lebih baik." sambung Ummi seakan meyakinkanku.
Lama ku terdiam... "Akan Alfi coba ini Mi..." kataku kemudian.
"Nah... gitu dong sayang. Itu namanya anak Ummi yang tegar dan gak gampang putus asa" puji Ummi "Makasih ya Mi ...," aku berhambur kepelukan Ummi.
Mbak lam kenal deh. Ni no. rek43028-01-013213- 53-2.
Bank BRI Yogyakarta. Alfi! *** 3. SEMANGAT BARU Ketika masa lampau terkikis badai Maka ombaklah yang menghentikannya Namun ketika keimanan goyah
Maka Allah lah yang menguatkannya
SMA Harapan Bangsa "Az, boleh gue tanya sesuatu ga?" tanya Desty di kantin.
"Boleh, sekalian tanda tangan juga?"
"GR loe, artis bukan, penulis bukan, ga janji deh."
"Lagian loe... mau wawancara apa introgasi? serius amat, takut gue."
"Emang kuntilanak."
"Loe yang bilang, gue enggak."
"Masa???" ledek Desty tak mau kalah.
"Tanya apa sih Me? gue buru-buru nih, mau ada jumpa fans."
"Oh jumpa fans, gue temanin ya..."
"Tumben Me baik, emang loe tahu di mana?"
"Ya iyalah. loe kan jumpa fans di kebun binatang."
"Sirik loe..." "Abis loe... ni pertanyaan gawat darurat."
"Gue panggilan ambulance ya..."
"Sekalian dukun beranak!" ucap Desty kesal.
"Ih Azki, serius dikit kenapa sih?" rengek Desty kembali. "Iya... ya... gue dengerin, ayo berkomentar."
"Loe kesambet apa sih Az? setan pojok ya?"
"Capek deh!" gaya andalan Desty keluar.
"Assalamualaikum..." Tiara mengagetkan Desty. "Wa'alaikumsalam," jawab Azki. "Lagi pada ngapain nih? boleh ikut gak?"
"Oh no comment!" cerocos Desty. "Berhubung Azki lagi kumat, jadi loe dulu deh Ra."
"Oh gitu... ok deh!? Azki tertawa kalem. Begitulah mereka, tiada hari tanpa kocak. Azki suka terhibur dengan lelucon mereka.
"Kalo gue lebih milih duit." "Alasannya?" Desty berantusias. "Duit itu kebutuhan Des. Tanpa duit kita ga akan dapatin cinta, coba deh loe bayangin, kita mau ngedate ma yayang, gak ada duit. Mana percaya kalo kita benar-benar cinta."
"Jadi loe matre dong Ra?"
"Terserah loe, fakta membuktikan, setiap orang butuh uang."
Itulah Tiara yang selalu berfikir menurut akal. Maklum, keluarganya berpendidikan. Sejak kecil, ia selalu diajarkan berfikir menurut pandangan yang ia lihat, jadi... ya pandangan dalam rohaniah berkurang gitu. Itulah Mengapa Azki Pengin dekat dengan Tiara. Bukan cuma menyambung tali silaturrahmi, tapi sedikit demi sedikit diajarkan mengenal Allah lebih dekat. Azki jadi ingat ketika awal mereka mengikrarkan jadi sahabat, awal jumpa kali...
"Kenapa sih loe Az?" Tiara heran. Sepertinya Azki itu manusia paling aneh.
"Maksud loe?" Azki balik tanya.
"Loe kok percaya banget sama Allah. Apa-apa yang terjadi dalam dunia ini, loe kaitkan dengan Allah?"
Azki tertegun "Karena Allah lah pemilik dunia dan segala isinya. Termasuk kejadian yang terjadi pada diri kita."
"Termasuk hal yang tak mungkin?" "Iya."
"Allah hebat, terus gimana caranya gue bisa kenal Allah?
Tak kenal maka tak sayang. Apa Allah juga bisa kenal gue?"
Azki tertawa lembut, "Allah yang menciptakan kita tanpa harus memperkenalkan diri, Allah telah mengenal kita."
"Di zaman yang sekarang sedang gila ini, masih ada orang
Kaya loe Az." "Maksud loe?" "Orang-orang sekarang lupa abis ama Tuhan mereka. Contohnya aja Indonesia, orang Indonesia punya penyakit yang sama. Tapi salah dokter."
"Tunggu, tunggu... gue gak ngerti."
"Azki, Azki... coba deh loe pikir. Bangsa kita tuh bukan butuh dokter bedah kulit atau apalah yang berbau medis. Indonesia butuh dokter batin. Mereka harus diobati dengan siraman Rohani."
Tiara memang pandai berbicara, mungkin itu juga faktor yang menyebabkan dia ditunjuk sebagai ketua OSIS dan moderator dalam setiap diskusi.
"Jadi..." "Indonesia kejauhan kali... gue butuh loe Az."
"Gue...." Azki tak percaya.
"Iya. Bantu gue untuk selalu dekat ma Allah. Loe gak keberatan kan kalau kita sobatan?"
"Selama gue mampu, gue bakal bantu loe."
"Janji?" Tiara mengulurkan tangan.
"Pasti!" buru-buru Azki menerima. Dan adegan romeo and Juliet muncul deh.
"Kalo loe Az pilih mana?" suara Desty membayarkan lamunan Azki tentang kenangan mereka.
"Gue..." Azki bingung harus mulai dari mana.
"Loe ngelamun ya Az?"
"Eh... gak." Azki terbata-bata.
"Kesemutan gue, nungguin loe sadar." seru Desty tak sabar. "Gue milih kasih sayang." mantap Azki.
"Tuh kan loe, mulai dunia khayal." "Gue serius..." Azki membela diri.
"Dimana-mana orang ditanya kanan apa kiri. Pasti ada yang bilang kanan atau kiri. Nah loe... nyebrang. Tengah. Loe kira tebak-tebakan." cerocos Desty tanpa henti.
"Sorry-sory. Biasa aja dong Des, tuh bibir jangan dikepang bisa-bisa kriting loe." ledek Azki. "Loe kira bibir gue kayak rambut bisa dikepang."
"Ember..." "Azki!!!" teriak Desty
"Ndalem ndoro putri..." jawab Azki amat lembut dan halus kayak sutra kali.
Di Pesantren Al-Huda "Assalamualaikum." Ucap seorang gadis berjilbab.
"Wa'alaikumsalam warohmatullahi wabarokatuh." Ana memberhentikan nderesnya.
"Mbak Rizkiana ada?" suara gadis itu kembali muncul. Mata Ana yang tengah melihat al-Quran akhirnya melirik gadis itu.
"Ya saya... An..." Ana terbelalak. "Alfi? kamu...?" Ana menutup Qur'an dan mengucek-ngucek matanya.
"Surprise...." Senyum manis itu kembali ada di hadapan Ana. Spontan, Ana langsung memeluk alfi, karena haru, mereka menangis.
"Doa kamu terkabul An. Allah telah mengembalikan aku untuk kamu." Alfi terisak.


Temukan Aku Dalam Istikharahmu Karya E Sabila El Raihany di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ana mengangguk pelan. Butiran demi butiran mengalir bak mutiara di lautan, "Aku janji An. Aku gak bakal ninggalin kamu dan impian aku."
"Aku tahu Fi. Aku percaya."
Tangisku semakin meledak, sobatku Ana tak tega melihat air mataku, dihapusnya seraya berkata,
"Kelak air mata ini akan menjadi saksi di hari kiamat Fi."
"Kamu menangis karena Allah."
Ana seakan tahu apa yang tersirat dalam pikiranku.
"Cobaan ini akan lebih indah, jika di hiasi senyuman, iyakan An?" Ana tak menjawab. Hanya senyumlah yang ia berikan, sebuah senyum yang membuatku berarti.
Di rumah Dimas "Mau kemana kamu sayang?" teriak Mami dari dalam rumah.
"Mau cari Alfi..." tegas Dimas mantap.
Mendengar nama itu Mami langsung menyusul Dimas,
"Mami sudah bilang beberapa kali. Jangan cari dia lagi, kamu mau Mami jantungan dan setelah itu mati!" tukas Mami dengan nada tinggi.
"Mi... Dimas cinta sama Alfi. Alfi gadis yang Dimas cari selama ini."
"Mami tak mau tahu cinta kamu. Mami cuma ingin kamu cari pendamping hidup yang sepadan dengan kamu."
"Maksud Mami?" "Keluarga kita adalah keluarga yang berpendidikan. Tahu bagaimana cara berbisnis. Sedangkan Alfi... agama, agama, agama! Apa tiap hari mau makan agama?"
Kemarahan Mami memuncak, Dimas semakin terpuruk dan terpojok. Selama ini Mami selalu membawa gadis-gadis cantik dan terpelajar untuk dikenalkan pada Dimas. Secara lahir, amat cocok dengan Dimas. Namun sayang, bukan tipe itu yang Dimas cari. Dimas mendambakan gadis sholehah yang kuat agamanya, yang bisa menjaga kecantikannya agar tidak dipandang lelaki lain. Cukup hanya sang suamilah yang boleh menikmati kecantikannya.
"Jawab Mami Dimas? jangan jadi lelaki lemah!" gertak Mami.
Dimas bangkit dari lamunannya... "Dimas akan tetap membawa Alfi sebagai seorang menantu Mami."
"Coba kalo berani. Mami gak akan tinggal diam!" ancam Mami
"MAMI KETERLALUAN!!!" geram Dimas sambil melangkah pergi.
"Mami akan mati, kalo kamu nekat mencari Alfi."
Mami tidak ingin kehilangan Dimas. Wajar... Dimas adalah anak terakhir.
Entah sejak kapan Mami membenciku. Yang jelas, sejak keputusanku untuk menghafal Qur'an di pesantren itu menjadi masalah besar bagi Mami. Dulu aku dan Dimas memang sempat dekat, bahkan dengan Mami juga dekat. Tapi saat Mami tahu latar belakang keluargaku. Beliau bersikukuh tak akan menjalin hubungan dengan keluargaku.
"Surga di telapak kaki ibu Dim... itu yang harus kamu pegang, jangan pernah menentang perintahnya." Itulah pesan yang kusampaikan saat menjelang perpisahan.
"Kalau bukan karena kamu Fi... mungkin aku udah nyakitin hati Mami." Ujar Dimas sedih.
Dengan raut wajah yang tak berdaya. Dimas menuju kamar. Ia urungkan niatnya untuk mencari Alfi, sekeras apapun pendirian Mami, beliau adalah orang yang melahirkan Dimas dengan taruhan nyawa antara hidup dan mati. Rasulullah pernah bersabda, "Ada sahabat nabi yang bertanya kepada beliau. Siapakah orang yang paling kita hormati di dunia wahai Rasulullah?" Rasulullah menjawab, "Ummi." Sahabat nabi bertanya lagi, "Siapa lagi ya Rasulullah?" Rasulullah menjawab kembali, "Ummi."
Karena penasaran, sahabat bertanya terakhir kali, "Siapa lagi ya Rasulullah?"
Rasulullah menjawab kembali, "Ummi."
Dan setelah pertanyaan ke empat, barulah Rasulullah menjawab, "Abi."
Itulah bait-bait kata yang kusampaikan dalam acara pengajian yang diadakan setiap kamis malam. Semua santri bersorak sorai. Maklum... mereka terkesan dengan penampilanku yang tampak kalem dan tenang bak seorang mubaligh. "Hebat kamu Fi... baru tampil semua kesihir." Puji Nida seusai acara.
"Biasa aja kok, ini semua karena Allah." Kataku merendah.
"Aku ke kamar dulu ya Nid...." Aku bergegas pergi guna menghilangkan keteganganku.
*** 4. KEMATIAN ABAH ANA Ketika roda kehidupan berputar
Dari situlah peristiwa dimulai Namun bila waktunya tiba
Untuk berhenti ... Maka nafas kehidupan Menyebar ke seluruh alam Untuk mengetahui siapakah yang berkuasa
Diantara langit dan bumi "Fi... kita keluar yuk!" ajak Ana di suatu pagi.
"Kemana?" tanyaku dengan kening berkenyit. Tak biasanya Ana mengajakku diwaktu dhuha. "Biasa... calon ibu rumah tangga."
"Ke toko besi ya?" candaku menghanyutkan.
"Ih Alfi... sekalian aja ke toko keramik biar jadi kuli bangunan." Sambung Ana.
"Masa? emang kamu mau punya suami kuli bangunan." Ledekku kembali.
"Kalo emang jodoh, siapa takut!" tantang Ana tak ingin kalah. "Oh ya, aku bantu cariin tempat ijab qobulnya ya!"
"Di mana?" Ana menatapku sinis. Di atas genting."
"Alfi!!!" wajah cemberut Ana muncul lagi. Buru-buru kubereskan mukenaku, "Yuk An!"
"Ke mana?" "Cari mas kawin!" kataku asal.
"Emang bisa?" ceplos Ana membalasku.
"Di dunia ini tidak ada yang tidak mungkin. Jika Allah menghendaki." Ana tampak sibuk dengan jilbabnya, bergaya di depan kaca bak putri raja.
"Cantik banget kamu An..." pujiku seraya menatap Ana.
Ya... iyalah, kan perempuan."
Ana langsung menarik tanganku. "Kalo kesiangan, nanti jadi item. Mubazir uangnya buat beli sabun Sinzhui."
"Kok gitu??" aku memberhentikan langkah.
"Soalnya ga putih-putih."
"Kan ada bayclin..."
"Sekalian cat avian yang warna putih."
Itulah kami... jika sedang kumat guyon, gak ada berhentinya. Kayak kereta api, sampai-sampai teman sekamar dibuat melongo gara-gara dengar percakapan kami yang ngelantur ngalor ngidul.
INDOMARET, Pukul 10:30 "An, ini keperluan 1 bulan apa 1 tahun? kok jadi kayak mau buka warung." Sindirku jujur.
Baru pertama kali ini, aku lihat Ana belanja sampai 3 keranjang.
"Namanya juga titipan Fi..."
"Oh... kiraiin..." aku lega mendengarnya.
"Apa..." Ana melirikku.
"Barang kali punya bakat pedagang. Dikembangin An..."
"Sembarangan kamu Fi." Ana langsung menuju kasir dan aku menyusulnya.
"Abis ini kita makan ya..."
"Boleh, kamu yang traktir?"
"Ok. Tapi kalo kurang, kamu yang jadi jaminan."
"Alfi..." "Sorry An...." kataku mengakhiri perdepatan.
Setelah membayar kami melangkah keluar meninggalkan indomaret. Tiba-tiba...
"Masya Allah An..."
"Ada apa Fi?" "Aku lupa beli roti, tunggu ya...."
Aku berlari untuk mencari barang yang kucari. Karena terburu buru, aku menabrak seorang laki-laki. "Sorry...," aku tak hiraukan laki-laki itu, aku terus melangkah.
"Alfi...," suara laki-laki itu mengagetkanku.
Kuhadapkan wajahku untuk melihat siapa dia. Aku terbelalak.
"Dimas...," suaraku bergetar ketika menyebut nama itu. Karena tak ingin timbul fitnah, aku bergegas menjauh. Namun Dimas menghalangiku.
"Tolong, jangan ganggu aku Mas." "Aku mencintai kamu Fi."
"Beraninya kamu ngomong itu."
"Aku sungguh-sungguh Fi, kalo kamu mau, sekarang aku datang sama Abah dan Ummi untuk melamar kamu."
"Kamu gak pantas ngomong itu." "Kenapa?" Dimas menatapku lekat. "Anugerah yang Allah berikan telah kembali ke sisinya."
"Maksud kamu?" "Sudah lama anugerah itu tercabut dari hatiku."
"Karena ada cinta yang lain?" rasa ingin tahu tengah bersama Dimas
"Cukup!!!" kataku tak tahan, butiran bening hampir jatuh namun kusapu dengan senyuman.
"Fi... aku mau melakukan apapun, asal kamu percaya kalo aku berubah."
"Itu urusan kamu, aku gak mau tahu. Kita jalani hidup kita masing-masing ok!" kali ini aku benar-benar pergi dari hadapan Dimas.
"Untuk kamu, aku akan ninggalin Mami."
Aku diam membisu, langkahku pun terhenti mendengar Mami, kakiku seakan berat untuk pergi. Suara langkah kaki, tengah menghampiriku.
"Tatap aku Fi, coba lihat keadaanku tanpa kamu."
"Kita bukan muhrim."
"Kalau gitu kita nikah." Aku terhenyak. Entah mengapa Dimas bicara itu. Dia amat yakin kalo aku jodohnya.
"Kamu gak berhak bicara pernikahan." Kilahku cepat.
"Kenapa? karena aku gak pantas buat kamu?"
"Karena Allah tak mengizinkan. Satu hal yang harus kamu ingat Mas. Keridhoan Allah, tergantung kepada keridhoan orang tua, begitu pun sebaliknya. Murka Allah, terletak pada murka orang tua."
"Jadi..." "Lupakan aku dan pilih Mami." Tak ku hiraukan Dimas. Kini aku benar-benar hilang dari pandangannya.
Aku tak ingin Ana tahu masa laluku. Ku hapus air mataku dan kupasang wajah manis.
"Duh Fi... kamu lama banget, beli roti atau tidur sih?" keluh Ana.
"Sorry-sorry... aku mimpi kok An."
"Lain kali, kalo ke indomaret bawa bantal ma kasur."
"Duh segitunya," kataku menggoda.
"Lapar nih." Ana emang paling ga tahan sama satu hal ini.
Di rumah Desty sung hari "Mimpi apa sih gue semalam. Ngeliat Azki pake sandal yang gak meching sama wajahnya."
"Enak aja loe, nyamaiin wajah gue yang cantik ini ama sandal, loe kira gue kayak lagu peterpan." "Maksud loe?"
"Kaki di kepala, kepala di kaki." Sambung Tiara.
"Duh panas-panas gini enaknya ngapain ya?" Tiara sibuk nyari inspirasi di sekelilingnya. "Nyebur..." tukas Desty asal.
"Kemana?" "Ke semen.. "Gila loe..." Tiara mengambil bantal dan dilemparkan ke arah Desty.
Hari ini... emang gak rame dari biasanya. Coz... personil yang satu lagi sibuk ngotak-ngatik komputer sekalian cari ilham, ya... bersemedi gitu.
"Loe kenapa Az? diam aja..." Tiara duduk di samping Azki sambil melotot gak jelas.
"Lagi cari wahyu kali." Tebak Desty.
"Azki tak bergeming, wajahnya serius abis."
"Loe kalo lagi sariawan, bilang Az. Nanti gue beliin cabe." "Ngawur loe Des. Emang bibir Azki tempat penggilingan
Apa?" protes Tiara jengkel.
"Inikan solusi, gak salah dong."
"Lagian loe sih Az. Diam aja kaya patung, ada masalah bagi-bagi dong."
"Emang duit dibagi-bagi." Sambung Desty.
"Iya nih Az loe bicara dong, kita kan soulmate."
"Gue..." kuatnya ikatan persahabatan, membuat Azki luluh juga.
"Gue apa Az?" potong Tiara gak sabar.
"Gue kebelet pipis, misi...," Azki langsung ngeluyur ke kamar mandi.
"Tuh anak makin aneh aja sih." Ujar Tiara heran sambil garuk kepala.
"Gue kirain lagi ada gempa bumi atau tsunami di rumah Azki, ternyata banjir kecil."
"Maksud loe?" "Kamar mandi gue turun derajat deh, airnya abis di kolam gantian bawahnya yang penuh."
"Perhitungan loe!"
"Desty kan juga manusia, wajar dong."
"Pelit loe. Allah gak suka orang-orang pelit tahu."
"Bukan pelit Ra, ini namanya hemat."
"Bodo!!!" "Gue kan masih ngontrak ma bokap and nyokap. Nanti deh, kalo gue jadi presiden. Ni duit bukan pake kertas, tapi pake emas, trus rumah bukan pake batu bata, pake besi biar gak cepat ancur, kalo ada banjir, terus..."
"Stop, mimpi kali lho, berisik tahu." Tiara menutup telinganya.
"Lagian loe... sirik tanda tak mampu."
"Gue?" tunjuk Tiara. "Mending gue sirik ma kebo dari pada ma loe!"
"Eh... ngomong-ngomong Azki kok belum keluar."
"Jangan-jangan pingsan Des, kita liat yuk!"
Mereka langsung nyelonong tanpa permisi, tanpa ketuk, tanpa panggil.
"Astaghfirullah Azki!" jerit Desty histeris karena Azki tak sadarkan diri.
"Kita angkat Des!" Tiara gak karuan, bingung mau ngelakuin apa. Takut, cemas dan khawatir.
Setelah di kamar... "Duh... gimana nih Ra. Azki pingsang, jangan jangan gara-gara bau kamar mandi gue yang belum dikuras 3 bulan."
"Apa?" Tiara terkejut,
"Loe jorok banget sih Des!"
Tiara berusaha bangunin Azki pake balsem.
"Sorry deh, Gue kan sibuk, gimana Ra ada kemajuan?"
"Kemajuan-kemajuan bibir loe tuh yang maju, cerewet loe." Desty pun pergi ke luar kamar.
"Loe mau ke mana?"
"Balsem kan gak mempan, gue ada cara biar Azki cepat sadar."
"Loe cari apaan sih?" Tanya Tiara penasaran.
"Badan Azki udah gue mandiin pake balsem tapi belum siuman."
"Azki gak akan ninggalin kita kan Ra?"
"Sontoloyo loe." Mendadak Tiara menutup hidung.
"Bau apaan sih Des, kok bacin banget loe gak mandi sebulan ya?"
"Enak aja loe, gue lama karena cari ini." Desty nunjukin kaos kakinya yang item kayak aspal. "Buat apaan?"
"Katro loe Ra, dengan ini Azki pasti langsung bangkit." Desty beraksi. Kaos kakinya ia deketin ke hidung Azki.
"Eh, eh... tunggu..." cegah Tiara cepat.
"Apa lagi Ra? kita gak punya waktu banyak. Kalo Azki belum sadar sampe jam 12 malam, entar keburu bibi kuntilanak yang bangkit." Cerocos Desty.
"Sialan loe!" Tiara bolak-Balik gak jelas. Mikirin yang harus dilakukan. "Gue tahu Loe mantan artis, tapi jangan gitu caranya, pusing Gue ngeliatnya." Kening Tiara berkenyit.
"Loe istirahat aja deh." Desty tak tahan ngeliat Tiara kayak setrika listrik.
"kelamaan Loe..." tanpa perintah Desty nekat bangunin Azki dengan caranya.
"Az... bangun dong. Ni gue Desty."
Mata Azki mulai terbuka. Tak urung hidungnya pun kembang-kempis
"Al-hamdulillah..." syukur Tiara ketika tahu Azki dah siuman
"Diminum dulu Az, pasti loe haus."
"Bismillahirrohmannirohim." Suara Azki terdengar kembali,
"Loe sakit ya? apa capek?"
"Sabar kenapa Des! Azki kan baru sadar."
"Maaf ya Ra, Des, gue ngerepotin loe."
"Gak pa-pa kok."
Senyum Azki mengembang, wajahnya yang pucat, kini bersinar. Karena mereka soulmate. Azki cerita deh, kalo dia pingsan karena lemas. Ya... puasa gitu. Gak disangka penyakit maagnya kumat. Tadinya Azki pikir, cuma biasa. Eh yang terjadi malah kumat luar biasa. Kaget bin terkejut juga sih, Tiara dan Desty. Coz ... baru pertama kali lihat Azki pingsan. Azki juga cerita kalo Abah dan Ummi sering ngomel karena kebiasaan Azki puasa senin-kamis. Yah ... itulah Azki. Ingin bisa seperti kakaknya. Menjadi muslimah yang istiqomah. "Waktu loe sadar, loe sempet ngerasaiin sesuatu ga?"
"Sedikit sih, bau-bau gitu, balsem cap apa sih. Kok baunya gak enak gitu?"
Desty dan Tiara tertawa terpingkal-pingkal.
"Ada yang salah dengan pertanyaan gue?"
"Azki, Azki... yang kamu cium tuh bukan balsem.
Tiara gak bisa nahan rasa gelinya.
"Terus apaan?" "gaos kakinya gue yang 1 tahun gak dicuci."
"WHAT???" Wajah Azki mendadak merah padam. Tanpa pikir panjang Azki langsung nyerang Desty, perang bantal deh.
"Loe jahat sih Des." Geram Azki.
"Abis Loe gak sadar-sadar, berat tahu ngangkat loe."
"Loe kan bisa ngasih gue bau ayam bakar atau ikan."
"Bukannya thank you, malah nawar loe."
"Siang-siang gini mana ada ayam bakar, ngelindur loe?"
"Ayam bakar emang gak ada. Tapi kalo sapi ada."
"Siapa?" "Loe Des..." Gantian... kini Tiara dan Azki yang ketawa-ketiwi.
"Trus aja ngomong, untung usus gue panjang."
"Apa hubungannya?" kompak mereka. "Diantara kalian, gue kan yang paling sabar."
"Masa???" goda Tiara.
"Az, kita bikin kue yuk, buat loe."
Azki beranjak dari tempat tidur, "yuk Ra!"
"Gue gak diajak?"
"Orang sabar disayang Allah. Tenang deh loe pasti kebagian." "Pintar loe manas-manasin gue Ra, jangan bilang Gue kebagian piringnya, gak sudi lah yaw!" Desty langsung buang muka.
Debat mereka emang gak ada abis-abisnya, untung cuacanya panas, jadi mempengaruhi. Mereka mutusin untuk makan di luar. Kalo urusan udah perut. Nah baru deh diam, gak bakalan ribut, kan ada aturannya. Dilarang Nabi juga,
"Bicaralah yang baik atau diam."
Pukul 10:00 di Aula Al-Huda
"Assalamualaikum..." uluk salam terdengar dari luar pintu.
Aku pun bergegas ke tempat suara itu berasal.
"Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh."
Setelah pintu dibuka... Aku tak menyangka, perempuan paruh baya yang ada di hadapanku adalah Ummi Zulaikha. Ibunda Rizqiana Isnaini, langsung kucium tangan beliau dan ku persilakan masuk. "Ana mana Fi?" Ummi Zulaikha tampak mencari sosok putrinya, mata sayu itu melihat di sekelilingnya. Aku sedikit tertegun. Tidak biasanya, Ummi Zulaikha bertanya seperti itu. Sudah 2 tahun aku kenal Ana dan keluarganya. Kebiasaan kunjungan mereka ke pesantren pun, aku sedikit tahu. Ummi Zulaikha juga mengenalku dengan baik, bagi beliau aku bukan sahabat Ana, tapi putrinya sendiri. Aku jadi teringat, ketika beliau menumpahkan segala keluh kesahnya padaku. Beliau memintaku merahasiakannya dari siapa pun. Termasuk Ana. Jujur, aku amat sayang pada beliau. Ummi Zulaikha adalah Ummi ke-2. Setelah Ummi Syarifah, ibuku sendiri.
"Ummi sendirian? Aliyya gak ikut?" ucapku sedikit tegang.
Aliyya sekolah Fi, Oh ya... kamu gak ngaji?"
Suara Ummi tampak bergetar. Aku semakin yakin, ini pasti firasat buruk. Walau penasaran, aku gak boleh mikirin macem-macem." Lubuk hatiku bersuara.
"Alfi lagi piket Mi." Ku pasang wajah gembira agar tidak tegang.
"Abah gak ikut jenguk Mi?"
Ummi Zulaikha tercengang, beliau tampak salah tingkah, kulihat wajah beliau, ada guratan kesedihan. Ummi terdiam dan tertunduk.
Ku genggam tangan Ummi, "Mi, kok gak jawab pertanyaan Alfi. Abah sehat kan?"
Lagi-lagi Ummi tak berkutik. Aku jadi bingung. Kesunyian menemaniku dan Ummi Zulaikha...
"Fi, ikut Ummi sebentar." Ajak Ummi setelah kebisuan berpihak antara aku dan Ummi.
"Tapi Alfi belum mandi." Candaku mencairkan suasana Ummi tersenyum, "Kalau orang cantik, gak mandi tetap aja cantik."
"Ih Ummi bisa aja. Cantikkan Ana putri Ummi."
Aku langsung pamit untuk ganti kostum. Setelah siap...
"Rul, kalo Ana tanya aku, bilang aku lagi lagi keluar cari buku." Jelasku bohong. Aku benci kebohongan tapi Ummi Zulaikha bersikeras pada pendiriannya. Sebelum beliau, bicara padaku. Ana tidak boleh tahu.
"Yuk Mi... Assalamualaikum." Pamitku pada Nurul.
"Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh."
Di Masjid Al-Mubarak... "Mi... kok kita ke masjid?" aku benar-benar tak mengerti. "Kita mau ngapain?"
"Kita sholat jenazah dulu Fi." Suara Ummi tampak parau, rasanya berat untuk mengatakan. Aku terkejut bukan main, tiba-tiba tubuhku lemas.
"Sho... sholat je... jenazah?" bibirku kaku dan kelu, ku alihkan mataku pada sosok Ummi Zulaikha yang tegar. Ummi mengangguk pelan, butiran bening jatuh.
Ketika sholat jenazah berlangsung, aku benar-benar tak konsentrasi. Kekhusyu'an dalam sholat hilang begitu saja. Naluriku sebagai perempuan, yang selalu menumpahkan kesedihan dengan tangisan, ku bendung kuat-kuat. Aku tak ingin Ummi bertambah sedih. Ku perbanyak menyebut asma Allah.
"Ya Robbi, beri aku kekuatan untuk mendengar, apa yang tidak ingin kudengar." Pintaku amat. Seusai sholat jenazah...
"Si... siapa yang meninggal Mi?" kuberanikan diri untuk bertanya lebih jauh.
Ummi menatapku lekat. Mata Ummi seolah berbicara tentang sesuatu.
"Mi... jawab Alfi." paksaku tak peduli.
Ummi tak menghiraukan pertanyaanku, beliau malah menangis. Tiba-tiba saja, Ummi langsung memelukku. Aku benar-benar tak berdaya. Ku biarkan Ummi menangis di pundakku.
"Abah Ana meninggal Fi." Suara Ummi sesenggukan.
Bibirku tak bisa mengeluarkan sepatah kata apapun. Hanya mata kulah yang basah dengan deraian air mata."
"Innalillahi wainna ilaihi rojiun." Aku menelan ludah, tak mau Ummi larut dalam kesedihan.
Ku hapus air mata beliau dan kukatakan, "Ummi harus kuat, Ummi harus sabar. Allah mencintai orang-orang sabar. Allah bersama Ummi."
"Ummi sudah ikhlas dengan takdir Allah Fi. Tapi bagaimana dengan Ana, kamu tahu bagaimana diakan. Ummi gak sanggup. Ummi kasihan sama Ana." Ungkap Ummi dengan mata berbinar.
Ana beruntung punya Ummi Zulaikha. Beliau begitu kuat dan tegar, aku begitu kagum dengan beliau. Dalam keadaan apapun, beliau tak pernah lupa pada Allah. Tasbih yang kini berada di tangan beliau adalah bukti. Betapa seringnya asma Allah terucap di kedua bibir.
"Ana amat sayang sama Abah Fi. Ana begitu dekat sama Abah." Kenang Ummi.
Semampuku kucoba tenangkan Ummi.
"Aku emang gak kenal siapa Ana, tapi aku yakin, Ana bisa nerima ini. Karena punya ibu seperti Ummi." Ummi terharu, butiran demi butiran dihapusnya.
"Makasih ya Fi... " tutur Ummi sedikit lega, aku mengangguk. "Biar aku yang Bantu Ummi bicara sama Ana."
Walau ketakutan tengah melandaku. Namun kucoba untuk menghapusnya. Memang tidak mudah untuk mengatakan berita duka ini. Siapa pun tak akan mampu termasuk aku.
"Ingat Fi, lusa jenazah Abah sudah harus dikebumikan. Jangan sampai terlambat." Pesan Ummi Zulaikha, masih terngiang ditelingaku.
Beliau paling tidak tahan melihat air mata anak-anaknya. Untuk itu, kabar kematian Abah, diamanatkan padaku, lagipula... di rumah Ummi Zulaikha pasti sibuk mempersiapkan kedatangan jenazah Abah. Ya... setahuku, Abah Ana bekerja menjadi supir di Arab Saudi. Bertahun-tahun beliau mengabdi pada Sayyid Rafaqat. Ana selalu bercerita, kalau majikan Abah sangatlah dermawan. Saking dermawannya, keluarga ana pernah di tawari untuk tinggal dengan Sayyid Rafaqat. Tapi sayang Ummi Zulaikha menolak. Alasannya lebih senang tinggal di Indonesia. Tempat di mana dilahirkan, tempat di mana berjuang dan tempat di mana menyimpan banyak kenangan. Hari ini, jenazah Abah masih dalam proses pemberangkatan dari Arab menuju Indonesia.


Temukan Aku Dalam Istikharahmu Karya E Sabila El Raihany di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Fi, sore ini... aku mau telpon Abah. Kamu mau kan nganterin?"
Aku benar-benar merasa ada dalam ujung kematian, ingin kututup telingaku untuk tidak mendengar keluhan Ana. Lemah tubuhku seolah-olah ingin pingsan. Untunglah aku diberi kekuatan oleh Allah.
"fi, kenapa diam?" tegur ana mengejutkanku.
"Nanti sore..." aku masih belum menemukan alasan yang tepat untuk menjawab pertanyaan Ana.
"Nanti sore... nanti sore kita akan istighosah di Jabal." Ceplosku asal.
Hiks... hiks... hiks... hiks... hiks... hiks... hiks..."
"Siapa yang nangis malam-malam ya?" aku memincingkan mata untuk mencari sumber suara itu berasal. "Ana..." batinku berujar. Tak biasanya Ana menangis ketika doa dipanjatkan. Paling-paling aku melihat Ana meneteskan beberapa butir air mata. Ku mantapkan langkahku untuk menyusul Ana. Saat kuraih pundak Ana. Ana terbangun dari sujudnya. Ketika Ana melihatku, ia tertunduk dengan tangis sesenggukan. Ku tatap Ana dengan saksama. Ana menangkap ekspresi wajahku. Ana tahu kalau aku sedang bertanya dengan bahasa isyarat "Abah Fi..."
Mendadak hatiku berdetak tak karuan.
"Ada apa dengan Abah An?" pura-puraku tak tahu. Ana langsung memelukku, "Aku mimpi Abah minta sarung Fi."
"Astaghfirullahal adzim..." lirihku.
Aku pikir ini waktu yang tepat untuk mengabarkan kematian Abah. Aku tidak akan kesulitan untuk menjelaskan pada Ana. Ku lepas dekapan Ana dan ku hapus air matanya.
"Itu artinya Abah minta do'a dari kamu."
Aku tahu Ana bukan anak kecil. Tanpaku bicara panjang. Ana dapat menangkap kata-kata ku.
"Jadi..." Ana terbata-bata. Aku yakin Ana tahu maksudku, tasbih dalam genggaman Ana, terlepas begitu saja.
"Gak mungkin Fi. Abah..." Ana sedikit syok, ada rasa ragu menyelimutinya.
"Secepat itu Fi?"
"Tiap-tiap bernyawa pasti merasakan mati." Jelasku menyakinkan.
"Abah Fi?" Ana masih tak percaya.
"Tidak menutup kemungkinan aku, kamu dan siapa pun makhluk Allah."
"Tahun dimana aku khatam?" pandangan Ana serasa kosong.
Aku terenyuh. Beberapa hari sebelum Abah meninggal. Ana menyampaikan padaku, kalo acara khataman Qur'annya. Orang yang pertama kali diberi tahu adalah Abah. Dan keinginan Ana, saat ia siap disimak 30 Juz. Abah ada di sisinya. Bersama Ana membaca doa khataman. Tapi kini... semua sirna.
"Kapan pun An... besok, lusa, bahkan sekarang." Aku berusaha menguatkan Ana.
"Kaliwungu, Kaliwungu mbak..." teriak kondektur memberitahu.
"Kita turun An..." ku gandeng Ana dengan hati-hati. Bus pun melaju kencang meninggalkan kami, "Kita makan dulu An," ajakku seraya melihat di sekeliling kami. Ana menggeleng, berkali-kali kutawari makan apa. Ana tetap bersikukuh takkan menyentuh dan memakannya. Aku tak berani memaksa Ana, karena aku tahu bagaimana perasaan Ana, mungkin aku akan berbuat hal sama, jika aku dalam posisi Ana. Bahkan lebih dari itu.
Sesampainya di rumah Ana...
"Assalamu'alaikum..."
Semua mata tertuju padaku dan Ana.
"Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh." Perempuan berkerudung hitam menghampiri kami. Matanya tampak sendu, karena menangis.
"Rizqiana Isnaini?" katanya sambil menyerahkan sebuah amplop.
Ana ragu untuk mengambilnya,
"Ini amanat Abah kamu sebelum meninggal."
"Anda siapa?" "Saya Fatima putri dari Sayyid Rafaqat. Abu dan Ama tak bisa datang. Jadi saya mewakili mereka." Ana melirik dan aku mengangguk. Dengan tangan bergetar Ana menerimanya.
"Syukron." Ucap Ana dalam bahasa Arab.
"Afwan." Fatimah tersenyum lega.
Ana tak peduli isi amplop itu. Untuk itu ia tak langsung membukanya. Matanya mencari sesuatu, sosok perempuan yang dengan setia menemani Abah sampai 15 tahun.
"Ummi...," buru-buru Ana menuju kamar Ummi Zulaikha, orang yang pertama kali ingin dipeluknya. Di kamar Ummi Zulaikha, penuh dengan suara isak tangis. Terlihat pula kerumunan orang. Pantas di luar rumah tampak sepi, rupanya mereka tengah berkumpul di dalam rumah. Dengan langkah ragu, Ana mendekati Ummi, kulihat Ana
Tengah ada dalam keramaian suara tangis. Ana duduk di sebelah Ummi. Ummi Zulaikha tak merasakan kedatangan putrinya. Banyaknya orang yang bergantian mengucapkan bela sungkawa membuat Ummi Zulaikha tak memperhatikan siapa yang bicara, siapa yang menangis dan bahkan siapa yang memeluknya. Melihat sang bunda, berlinangan air mata Ana. Tanpa kusadari, pipiku telah basah dengan butiran air mata, semakin kuhapus butirannya semakin mengalir. Aku semakin tak berdaya untuk menahannya.
"Ummi...," tangan Ana tengah menggengam erat tangan sang bunda. Ummi Zulaikha merasakan sentuhan sang buah hati. Beliau tertegun.
"An... Ana." Ummi menatap Ana dengan mata sendu. Ana mencium tangan Ummi, Ana menangis histeris dalam pangkuan tangan Ummi. Kupikir Ana hanya bersalaman, ternyata Ana menggenggam erat tangan Ummi sepanjang tangisannya. Ummi tak tega, buru buru Ummi merangkul Ana, agar jatuh dalam pelukannya. Ummi dan Ana kini menangis dalam duka. Aku tak kuat melihat adegan itu. Kulangkahkan kaki untuk melangkah pergi.
*** 5. TANGISAN ANA Kenangan adalah hal yang terindah Dalam segmen kehidupan
Namun jika keterpurukan terjadi Karena kenangan
Itulah boomerang Yang akan menghancurkan Segala cinta Dan menumbuhkan Segala asa Di Kelas XII Che, SMA Harapan Bangsa
"Gue heran ama kelas kita, kok bisa-bisanya ada pecundang di sini." Ujar Siska sambil melirik ke arah Azki.
Sebenarnya Azki gak peduli dengan omongan Siska. Tapi, lirikan Siska tuh sadis banget bikin risih.
"Pecundang sok cantik dan sok alim lagi." Sambung Vanya, kali ini senyuman Vanya seperti menjadikan Azki seorang tersangka dalam pembicaraan itu.
"Ni, anak kok ga merasa gue sindir sih." Batin Siska.
Melihat Azki cuek dan tak membalas ejekannya, Siska gerang.
Dengan emosi yang memuncak, Siska melabrak Azki.
"Loe tuh punya kuping apa enggak sih Az!" nada tinggi Siska membuat seisi kelas diam membisu. Azki yang tengah bercanda ria dan tertawa pun terkatup tak bergeming. Tertawa lepas pun terhenti seketika. Tadinya Azki pikir dengan diam, bisa membuat Siska berhenti mengoceh, tapi malah memancing kemarahan Siska. "Maksud Loe?" Azki berusaha menahan emosinya.
"Loe tuh gak pantas jadi anggota Rohis, pecundang!"
"Gue gak ngerti." Kesabaran masih bersama Azki.
"Loe udah menghianati Rohis, loe pikir gue bego apa, berdua-duaan dengan cowok di kafe dan itu... sebagai bukti pacaran, loe cewek murahan."
Entah karena perkataan yang menyakitkan dan kelewat batas atau emosi Azki yang udah sampe ubun-ubun. Tiba -tiba aja tangan Azki mendarat ke pipi Siska.
"Uh... sakit banget tuh pastinya." Komentar Desty puas.
"Rasaiin luh itu akibat orang tukang gosip." tambah Tiara dengan senyum kemenangan.
"Gue akan balas semua ini Az!" ancam Siska sambil menahan rasa sakit di pipinya.
"Allah tahu mana yang benar dan yang salah."
"Loe akan menyesal seumur hidup atas perbuatan loe."
"Gue gak takut!"
Kali ini Azki benar-benar menjadi gadis yang berani. Selama ini Siska selalu memojokan Azki. Tapi Azki bukan pendendam. Siska orang yang keras dan mungkin harus dilawan dengan kekerasan juga.
Seorang 'Siska' telah dipermalukan di kelasnya sendiri. Itu... hal yang paling menyakitkan. Siska keluar dari kelas dengan wajah merah padam karena malu.
Keluarga Ana telah menerima kematian Abah sebagai Takdir Allah. Memang tidak seramai dulu yang penuh canda dan tawa. Ummi Zulaikha pun sudah mulai beraktifitas, walaupun masa iddah beliau masih panjang, tapi setidaknya tidak mengurung diri di kamar. Ana pun lebih tegar dari sebelumnya. Selama 7 hari aku selalu dan selalu melihat Ana melantunkan lafadz-lafadz Allah dan kali ini ku dengar, Ana tengah bersenandung dengan surat Ar-Rahman.
Waliman khafa maqoma robbihi janatan
Fa bi ayyi alaai robbikuma tukadziban
Dzawata afnan Fa bi ayyi alaai robikuma tukadziban
Fii hima ainani tajriyan Fa bi ayyi alaai robbikuma tukadziban
(Dan bagi orang-orang yang takut akan saat menghadap Tuhan nya ada 2 surga,
Maka ni'mat Tuhan manakah yang kau dustakan,
Kedua surga itu mempunyai pohonan dan buah-buahan,
Maka nikmat Tuhan manakah yang kau dustakan,
Di dalam kedua surga itu ada 2 mata air yang mengalir,
Maka nikmat Tuhan manakah yang dustakan).
Suara Ana sangat merdu, aku senang mendengarnya, ku dekati Ana dan kukatakan,
"Begitu indahnya seorang penghafal al-Quran An". Ana menghentikan bacaannya.
Kenapa Fi? Karena saat orang tua kita telah kembali kepada Allah, maka di surga nanti, banyak malaikat yang akan menghibur mereka. Abah Ulum tidak sendirian An... beliau tengah bersama malaikat untuk itu, kamu gak boleh cengeng. Kalau di alam sana, Abah bisa tertawa. Maka di sini, kamu harus buktikan bahwa kamu juga bisa tertawa. Kamu harus selalu bahagia An."
Ana merangkulku, aku tahu Ana menagis. Tapi tangisan Ana kali ini bukan kesedihan, tetapi sebaliknya kebahagiaan, bahagia karena Abah telah berada di tempat yang layak.
"Makasih ya Fi, cuma Allah yang bisa membalas kebaikan kamu."
"Dengan kamu kembali sebagai Ana yang aku kenal. Itu lebih dari cukup."
"Fi, besok kita ke pesantren."
Aku melongo. Ku lepas rangkulan Ana dan menatapnya tak percaya. Ana tersenyum, melihat ekspresi wajahku.
"Serius An?" Ana mengangguk pasti.
"Coba cubit pipiku An, aku takut ini cuma mimpi." Tanpa komando, Ana mencubitku,
"Auww... sakit Ana!" rintihku keras.
"Sekarang percaya kan, kalo ini bukan mimpi?"
"Ya... tapi An..."
"Apalagi Fi?" "Kamu buru-buru ke pesantren, bukan mau ketemu sang pangeran kan?"
Muka Ana kayak kepiting rebus, malu-malu kucing.
"Alfi apaan sih..." aku tahu Ana berusaha menyembunyikan.
"Jangan bohong deh An. Aku tahu, kamu itu lagi kasmaran." Ledekku menghibur Ana.
"Siapa yang lagi kasmaran An?" "Ummi???" Ana gugup, tingkahnya serba salah.
"Walau Ummi sudah tua, Ummi juga pernah muda kayak kalian. Jadi wajar dong Ummi tahu."
"Ummi apaan sih? Alfi tuh becanda, lagian aku masih kecil." Sergah Ana
"Kecil atau besar, kelak akan bertemu jodoh masing-masing." "Tuh An, jangan bandel, dengerin kata Ummi."
"ALFI!!!" sewot Ana.
"Berisik tahu."
"Alfi sendiri, pasti sudah punya?" tebak Ummi. Aku kaget,
"Aku..." "Semua orang tuh harus berbuat adil, kan Allah Maha Adil." balas Ana.
"Aku... aku memang sudah punya Mi." Kataku serius. Ana tertegun, "Punya baju, punya rumah, punya sawah, punya Abah, punya Ummi, tapi gak punya bumi." Ceplosku asal, perih hatiku saat pertanyaan itu menderaku.
"Kok bisa?" "Kan bumi kepunyaan Allah."
Seketika itu pun kami tertawa, aku senang bisa melihat Ummi Zulaikha tertawa lepas, aku rindu dengan Abah dan Ummiku sendiri. Sudah lama ku tak melihat mereka.
"Kamu ada-ada aja sih Fi. Serius dong."
"Duh gimana ya, kalau aku kasih tahu, nanti kamu naksir lagi."
"Emang kamu doang yang punya, aku juga punya?"
"Ana???" lirik Ummi menyelidiki.
"Bohong Mi, percaya deh!" elak Ana.
"Ummi tenang aja, jodoh aku dan Ana masih kami simpan."
"Emang jajan disimpan Fi!"
"Dimana?" Ummi ingin tahu.
"Di langit ke tujuh, tepatnya Lauful Mahfudz."
Senja itu aku dan Ana, bermanja-manja dengan Ummi. Kami dipeluk Ummi dengan kasih sayang.
"Kamu udah siap berangkat besok?" Ummi masih tak tega melepas Ana.
"Insya Allah Mi, doakan ya Mi."
"Kenapa secepat itu Ana?"
"Karena sudah waktunya Ana kembali. Allah bersama Ana dan Ana yakin. Allah juga bersama Abah." Ummi terharu, Ummi Zulaikha menatap ke arahku. Aku mengangguk untuk membenarkan perkataan Ana. Sekilas kulihat Ummi meneteskan air mata. Ana langsung menghapusnya.
"Ummi gak sendirian di dunia ini, ada Aliyya, Ana dan Alfi yang kan nemenin Ummi. Semua orang sayang Ummi. Ana akan berdoa, semoga di akhirat nanti. Abah dan Ummi berjodoh, bersatu lagi." Mata Ana tampak membendung butiran air mata. Ummi terisak, ucapan Ana menyentuh hati Ummi, kami sambut Adzan Maghrib dengan butiran air mata.
Di kamar Azki... "Mi... Abah ada tamu ya?" intip Azki dari balik pintu.
"Iya Az, Ummi Syarifah sibuk menyetrika baju. Kebetulan besok hari minggu, jadi ya... beres-beres."
"Serius banget ya Mi, ngomongin apa sih?"
"Ini urusan orang dewasa."
"Azki kan juga dewasa."
Ummi tertawa. "Kalo gitu, bikinin Ummi jus jeruk."
"Kalo cuma jus jeruk sih kecil Mi."
"Oh gitu... sekalian nasi goreng." "Siapa takut!!!" Azki bersiap-siap bak seorang koki. Ummi Cuma geleng-geleng kepala.
"Terima kasih ya Robbi, kau titipkan Azki dan Alfi pada kami. Bagi kami, mereka adalah cahaya yang akan menerangi menuju jembatan sirotummustaqim."
"Ummi pasti ketagihan." Azki langsung ngluyur ke dapur.
"Duh bikin apa dulu ya... makanan atau minimun?" pikir Azki bolak-balik.
"Jus dulu deh, kan bisa ditaruh di kulkas."
Azki pun berusaha keras untuk membuat jus jeruk.
5 menit kemudian "Alhamdulillah jadi juga jusnya." Azki menutup kulkas, "sekarang beralih ke nasi goreng."
Semua persiapan bumbu telah siap saji. Tinggal goreng. Biasa... Azki tuh paling hobi makan nasi goreng. Ya...
Bumbunya harus siap kapan pun.
Tiba-tiba Hare... hare... hare... dil ke tumko hare.
Hare... hare... hare... dil ke tumko hare.
"Siapa sih malam-malam telpon." gerutu Azki.
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam warohmatullahi wabarakatuh.."
"Siapa sih loe?"
"Desty yang cantik kayak bidadari."
"Oh loe... ngapain sih loe, gue sibuk tahu."
"Gue bete nih malam minggu gak ada job."
"Terus..." Azki masih konsen sama nasi gorengnya.
"Ngabisin pulsa aja."
"Boros loe..." "BTW loe lagi ngapain sih? berisik banget."
"Masak nasi goreng."
"Malam minggu di dapur? capek deh..."
"Mending gue. Nah loe di sumur..."
Karena asyiknya ngobrol Azki gak sadar kalo nasi gorengnya jadi 'intip.'
"Astaghftrullahaladzim." Jerit Azki.
"Kenapa loe? nasi gorengnya jadi nasi merah ya?" ledek Desti.
"Bukan merah lagi Des, tuh nasi goreng udah jadi item."
"Gosong maksud loe? ha... ha... ha... "
"Kok loe ketawa sih, gue kan lagi berduka."
"Abis gue mesti ngucapin apa buat loe? SELAMAT MENIKMATI. SORRY Az bisa-bisa gue muntaber."
"Loe sih telpon gue."
"Siapa suruh ngangkat."
Tiba-tiba telpon terputus. Sempurna deh kisah sedih di hari
Minggu. "Katanya mau belajar dewasa, kok masih mewek?" rupanya Ummi tahu kejadian sebenarnya. Azki pasang tampang cemberut. Ummi mendekati Azki.
"Kalo jadi anak Ummi dan Abah, jangan putus asa, harus tetap berjuang."
"Terus gimana."
Ummi mengelus kepala Azki,
"kita bikin bareng terus makan sama-sama Abah."
"Ok deh!" semangat Azki.
"Sayang ya Mi, mbak Alfi gak ada, rumah ini pasti rame, kalo kita kumpul."
"Kita harus ikhlas melepas kepergian orang yang sedang menuntut ilmu." Jelas Ummi sambil menggoreng.
"Mi, lusa... aku nengok mbak Alfi ya... ke Yogya."
"Emang kamu gak sekolah?"
"Libur Mi, sekalian cari bahan tulisan."
"Ummi sih boleh-boleh aja, asal gak sama cowok."
"Yes..." Azki kegirangan.
"Eit... tunggu dulu...
"potong Ummi. "Apalagi Mi. Azki gak bawa cowok kok, janji deh."
"Izin sama Abah."
"Yah Ummi. Ummi aja deh Azki takut."
"Siapa yang mau pergi, dia yang izin, belajar bertanggung jawab dong."
Nasi goreng siap makan deh, Ummi berjalan menuju ke ruang makan. Azki menyusul membawa jus.
"Emang ngapain sih pake acara jenguk mbak Alfi segala?"
"Emang gak boleh, Azki kan kangen."
"Heran aja, setahu Ummi kamu kan benci naik bus."
"Itu kan dulu."
"Bagus deh." "Maksud Ummi?" "Karena kamu dah suka bus. Setelah lulus SMA, Ummi akan taruh kamu di Yogya."
"Hah..." Azki melongo, "mati gue..." "Az..." panggil Abah.
"Ya Bah" lamunan Azki buyar, "kita makan."
Waktu menunjukkan pukul 21:30 wib. Kebetulan cuacanya bersahabat, makan yang hangat, minuman hangat di tambah hujan yang dingin, pokoknya cocok banget untuk kumpul.
Di pesantern Al-Huda... "Mbak Alfi, mana mbak Ana?" Tanya Azki saat ia tahu seseorang yang dicari gak ada.
"Lagi keluar disuruh Ummi, ditunggu ya..." ramah Ana.
"Ke sini sendiri atau..."
"Sama temanku mbak, kebutulan biar nyingkat waktu, mereka yang cari bahan tulisan."
"Oh gitu..." "Mbak aku dan keluarga turut berduka cita ya..."
"Makasih Az. " Aku gak nyangka, Abah Ulum pergi secepat itu. Meninggalnya sakit ya mbak?"
"Iya Az, yang penting sering kirim Al-Fatihah buat Abah."
"Beres mbak." Tak lama kemudian "Assalamu'alaikum..."
"Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh."
"Azki!!!" seru Alfi senang dan rasa tak percaya.
Azki pun langsung mencium tanganku dan memelukku.
"Fi, Az... aku tinggal dulu," pamit Ana berlalu.
"Ada angin apa kamu ke sini Az?" "Ada yang mau Azki omongin mbak, ini soal Dimas." Spontan, tasbih dalam genggaman Alfi terjatuh. Dengan susah payah Alfi melupakan, luka hati tergores kembali. Azki pun tak bisa bohong, ia ceritakan yang sebenarnya, saat peristiwa di kafe.
"Aku udah coba nakutin Dimas supaya mundur, termasuk masalah mbak yang kini memiliki Qur'an. Tapi... tetap saja keras kepala."
"Ya Allah, cobaan apalagi ini?"
Aku diam. Tak respons perkataan Azki. Kepalaku sudah tak dapat memuat berbagai memori.
"Sepertinya mbak sendiri deh yang harus bicara." Saran Azki tiba-tiba.
Aku menggeleng kuat. Azki pun penasaran.
"Kenapa mbak? emang mbak gak cinta lagi sama dia?"
"Itu masa lalu Az jangan dibahas lagi ya..."
"Gak bisa mbak, aku cuma gak tega dengan pengorbanan Dimas. Cukup Dimas itu kehilangan mbak, jangan sampai dia kehilangan keluarganya atau nyawanya. Mbak tahu kan maksud aku?"
Aku masih belum bisa menemukan jawaban yang tepat untuk menenangkan Azki.
"Ya Allah, bantu aku menyelesaikan cinta ini."
Kulihat Azki, mengenyitkan kening. Ia tampak berfikir sesuatu.
"Cuma ada satu jalan mbak." Azki tersenyum girang.
"APA?" aku benar-benar menyerah pada hal yang satu ini.
"Mbak harus JATUH CINTA!"
"KYA?" seruku dalam bahasa Hindi, "kamu gila ya Az?" Cinta itukan anugerah dari Allah, gak bisa dipaksa." Aku tidak mengerti jalan pikiran Azki, solusi yang ia berikan, membuat jantungku berdetak tak bernada.
"Semua orang juga tahu mbak. Dengan mbak mencari calon suami dan memperkenalkan pada Dimas. Aku jamin ps100, Dimas pasti keok. Mundur gitu." Terang Azki semangat.
"Mencari pendamping hidup itu bukan kayak mencari uang Az, gak mudah, butuh waktu dan tenaga, ide gila kamu buang-buang waktu tahu." "Tapikan mbak bisa bayar orang untuk pura-pura jadi calon mbak."
"Kamu tuh kebanyakan nonton sinetron tahu gak."
"Ikhtiar kan gak salah mbak, siapa tahu, itu jalan mbak menemukan cinta sejati."
Sisi hatiku yang lain membenarkan perkataan Azki. Memang selama ini, ikhtiarku hanya sebatas sholat istikharoh secara istiqomah. Aku jadi teringat pesan ustadz Nur Halim, guruku. Beliau menjelaskan, keutamaan istikharoh adalah mencegah hal buruk terjadi dan mendatangkan kebaikan, menolak bala dan menhadirkan nikmat. Dengan istikharoh menjadi tembok penghalang keburukan yang akan menimpa kita dan menjadi tali jembatan kebaikan yang sempat jauh dari kita.
Azki menggapai tanganku. Ditatapnya aku dengan mata sendu.
"Keputusan ada di tangan mbak, apa salahnya mencoba. Siapa tahu Allah meridhoi. Aku yakin mbak bisa memberikan yang terbaik untuk aku, Ummi dan Abah." "Sekerasnya hatiku dan sekuatnya pendirianku. Pasti akan luluh, keluargaku adalah permataku. Aku bertahan dalam keterpurukan karena ada mereka."
"Insya Allah mbak akan coba." Kataku kemudian.
"Aku tahu mbak kan jawab itu. Karena mbak adalah sosok yang gak nyerah dan gak putus asa."


Temukan Aku Dalam Istikharahmu Karya E Sabila El Raihany di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Makasih ya ... Az!"
Azki mengedipkan mata. Begitu bahagianya mempunyai adik sepintar Azkiyatunnisa. Kuhamburkan diriku ke pelukan Azki.
"Jangan bilang Ummi dan Abah tentang ini."
"Tapi mbak..." "Az... please, mbak gak mau Abah pusing, oh ya... gimana sekolah kamu? ada masalah?" kualihkan pembicaraan untuk menghilangkan ketegangan.
"Alhamdulillah baik dan lancar. Tapi..." wajah Azki mendadak sedih.
"Siska lagi?" tebakku
Azki mengangguk sedih. "Dia fitnah aku yang gak-gak, aku emosi dan ku tampar dia." Aku tersentak. Sejahat apakah makhluk ciptaan Allah yang bernama Siska Pertiwi. Aku kenal betul siapa Azki. Dia paling pintar menyembunyikan emosinya. Kemarahan Azki cepat surut, gak akan bertahan lama. Kasihan Azki, mudah-mudahan Allah membuka pintu kemudahan untuk masalah kamu.
"Gak tahu kenapa Siska benci banget ma aku, padahal aku pengin kita jadi teman."
"Inilah hidup Az, suka atau gak suka kita tetap harus menjalani dan menerimanya, yang penting adalah keikhlasan. Dari situlah pahala Allah mengalir."
"Tujhe dekha to ye jane sanam." "Pyar ho tahe dewana sanam." Ringtone lagu dalam film 'Dilwale Dulhaniya le jayenge' berbunyi di hp Azki.
"Assalamu'alaikum..."
"Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuhh."
"Az balik yuk, panas nih gue nungguin loe. Item deh." Keluh Tiara di sebrang sana.
Dari zaman purba loe kan udah item."
"Sialan loe. BT nih."
"Kan ada Desty."
"Tuh anak lagi ngejablay tahu gak."
"Astaghfirullah, jaga omongan loe Ra, kualat loe."
"Loe tahu kan Desty kayak apa, gak bisa liat cowok licin, langsung disamber, pake acara nyuekin gue lagi."
"Ya... udah 10 menit lagi, gue sampe."
"Gila loe. Loe pengin kulit gue berubah warna?"
"Emang bunglon apa?"
"Az... gue bisa mati kaku nih, cepetan dong."
"Oh gitu... salam gue ya... untuk kuburan sekalian Innalillahi wa inna ilaihi roji'un mendadak telphon terputus
"Ha... ha... ha..." Azki gak bisa nahan geli, aku ikut tersenyum lihat Azki.
"Mudah-mudahan Allah mengganti air mata kamu dengan senyuman Az." Azki memberhentikan gelak tawanya, secara tiba-tiba.
"Kamu kenapa Az?"
"Banyak hal yang ingin aku bicarakan sama mbak."
"Masih banyak waktu kok Az," aku tak ingin Azki terbebani.
"Iya, tapi mbak..."
"Az, tugas kamu adalah belajar, masalah ini percayakan sama mbak."
"Kalo butuh apa-apa jangan sungkan telpon Azki ya mbak."
"Insya Allah." Azki mencium tanganku dan pamit. Ku antar Azki sampai ke pintu gerbang depan pesantrenku.
"Salam untuk mbak Ana."
"Iya." "Assalamualaikum..."
"Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh."
Assalamualaikum. To: Rizqiana Isnaini (putriku yang menjadi telaga kautsarku)
Salam cinta Abah untuk Ummi yang dengan setia menemani Abah dalam menapaki gelombang dan ombak yang silih berganti.
Cinta Ummi akan bersemi di hati Abah dan akan menjadi penerang di Yaumil Qiyamah.
Semoga Allah menjodohkan kita Mi, bukan cuma di dunia fana, tapi di akhirat.
Salam sayang Abah untuk Ana dan Aliyya yang dengan melihat senyum kalian, Abah seakan punya 1,000 kekuatan untuk melawan dunia dari himpitan ekonomi, kalian adalah bidadari Abah yang kelak di hari akhir, menyambut Abah di pintu Surga bersama Ummi, kita menghadap Allah Azza wajalla dengan senyum kemenangan. Putriku yang manja, semanja Fatimah Az Zahra putri Rasulullah.
Ada hal yang ingin Abah amanatkan kepada kamu Ana. Abah yakin, kalau Ana mampu melakukannya. Simak baik-baik apa yang kan Abah ceritakan An! Sewaktu Abah berulang tahun yang ke-41. Fatimah, putri Sayyid Rafaqat memberikan kado terindah yang Abah impikan. Ana tahu apa itui pergi umrah secara gratis, Fatimah menghadiahkan tiket itu untuk Abah An. Abah berhutang budi. Tak lama lagi, Fatimah akan menikah, tepatnya sekitar satu tahun. Abah ingin memberikan kado pernikahan An, itu janji Abah. Fatimah Abah anggap sama seperti kamu dan Aliyya, putri Abah sendiri. Abah ingin berikan cincin permata zamrud untuknya. Fatimah ingin sekali memilikinya.
Abah menyadari betul An, Sayyid Rafaqat mampu membelinya. Namun Fatimah, tidak mau merepotkan Abu dan ama. Kasih sayang mereka, telah mencukupi kebutuhannya. Selain itu, Fatimah tidak meminta apa-apa. Namun Abah menyayanginya.
An, di tabungan Abah. Alhamdulillah ada cukup uang untuk membelinya, tolong berikan cincin itu pada Fatimah. Abah ingin kamu yang memberikannya secara langsung. Sebagaimana Fatimah memberikan tiket itu pada Abah. Abah tidak tahu, setelah kepergian Abah, Sayyid Rafaqat dan keluarganya masih mengingat Abah atau tidak. Untuk itu, Abah ingin kamu datang ke rumahnya. Ana, cendera mataku...
Abah akan selalu berdoa. Semoga rezekimu terus mengalir sampai akhir hayat hingga kau punya kesempatan untuk menjenguk makam Rasulullah di Makkatul Mukaromah.
Rizqiana Isnaini putriku...
Jaga Ummi dan Aliyya. Tak lupa jaga hafalan al-Quranmu. Seperti kau jaga hatimu dengan benteng keimanan. Abah mencintai kalian...
Wassalamu'alaikum. Ana tak kuasa menahan air matanya. Ana menangis tersedu-sedu di malam yang penuh bintang. "Abaahh...," Ana menangis sesenggukan.
"Ana...," panggilku lirih.
Aku tahu Ana pasti menangis, membaca surat dari Abah. Ana memelukku erat, sangat erat.
"Istighfar An, kamu gak boleh nangis kayak gini," bulu romaku merinding, tangisan Ana menyeruak sampai ke ulu hatiku. Aku tak tega, amat tak tega. Ku pikir, takkan ku dengar lagi tangisan Ana yang memilukan seperti ini. Namun aku salah. Ana menagis untuk ke dua kalinya.
"Biarkan aku menagis Fi, aku ingin nangis sepuas hatiku. Aku ingin Abah tahu, kalau aku rindu sama Abah Fi, aku kangen Abah, aku ingin meluk Abah, aku ingin ketemu Abah."
Kata-kata Ana menyesakan dadaku. Aku tak tahan mendengarnya, surat terakhir Abah telah basah dengan air mata. air mata Ana dan air mataku.
*** 6. RINTIHANKU DALAM DOA Ketika segenggam doa dipanjatkan Dengan setetes air mata
Dengan sebutir kepasrahan di hati Maka datanglah secercah cahaya Cahaya Allah yang menjadi jalan Bahwa doa akan segera terkabul Dalam bentuk apapun
Di kamarku... "Ummi... Ummi...," rintih Ana.
"An, bangun6...," aku benar-benar khawatir. Berkali-kali ku coba untuk beristighfar, namun Ana tidak sadarkan diri.
"Fi..." Mita menepuk bahuku. "Semalaman kamu nungguin Ana, kamu harus istirahat, kita gak mau kamu juga sakit."
"Makasih Ta. Alhamdulillah, aku masih kuat nungguin Ana. Nanti kalo aku capek, aku pasti manggil."
"Kalo gitu, aku keluar ya Fi."
Aku mengangguk, "Apa aku sanggup menjalani ini ya Allah, kenapa cobaan ini datang bersamaan? lalu siapa yang harus kudahulukan sahabat atau cinta." Kepalaku sedikit pening, rasa kantuk pun tak dapat kuhindari, beberapa kali tasbihku jatuh dalam genggamanku dan saat kusadar, bibirku pun berhenti menyebut asma Allah. Ku coba bangkit untuk mengambil air wudhu. Tapi lemasnya tubuhku, tak mengizinkan meninggalkan Ana. Sedikit demi sedikit mataku terpejam, dan aku benar-benar terlelap.
1 jam kemudian... "Abah...hh...," jerit Ana seraya terbangun.
Untunglah aku pun terjaga dari tidur.
"Ada apa An?" Ana menangis sesenggukan, ku hapus air matanya, namun Ana memelukku.
"Aku gak sanggup menghadapi cobaan ini Fi, aku nyerah."
"Jangan An. Sedikit lagi kamu berhasil, kamu harus kalahkan nafsu itu, aku tahu kamu bisa."
"Gimana caranya aku jalanin amanat Abah Fi, aku gak punya apa-apa." Butiran bening terus mengalir dan kini semakin deras.
"Kamu punya Allah. Allah yang akan menolong kamu, jangan putus asa dari rahmat Allah, ingat An." "Aku gak berdaya Fi, ini terlalu berat buat aku."
Aku sadar betul, bahwa Ana pantas bicara itu, karena Ana kebingungan. Ia sanggup membeli permata Zamrud, itu karena Abah. Tapi bagaimana, ia datang ke Arab Saudi. Dengan apa Ana ke sana, kalau tidak dengan uang. Aku tak mau melihat Ana larut dalam kesedihan, dengan penuh emosi ku katakan:
"Dengan menyebut nama Allah, aku akan bantu kamu An."
"Maksud kamu?" "Aku akan bantu mengumpulkan uang untuk keberangkatan kamu ke sana." Walau ragu melandaku, ku mantapkan hatiku dengan niat, "Bismillahirahmannirrahim."
"Tapi Fi..." "Sesulit apapun amanat Abah harus disampaikan. Kita wajib menjalankannya An." Ana terpaku memandangku. Tangisnya mereda. "Kenapa harus kamu yang jadi sahabatku Fi, aku gak bisa balas semua kebaikan kamu."
"Kita sahabat An, udah kewajiban aku bantu kamu."
"Tapi ini berat Fi... 1 tahun itu tidak lama. Dengan cara apa kita mengumpulkan uang. Tolong jangan paksa diri kamu untuk melakukan ini."
"Dengan kita berusaha, pasti ada jalan An. Allah memberikan kita kesedihan, tapi tidak menutup kemungkinan di situ ada kegembiraan."
"Jangan menyerah An... Allah bersama kita."
Aku ingin Ana bangkit dari keterpurukan. Aku rindu hari-hari kami dulu. Hari-hari yang penuh dengan senyuman, canda tawa dan indahnya lantunan ayat suci al-Quran.
"Aku ingin kita bersahabat bukan hanya di dunia Fi, tapi juga di akhirat nanti. Semoga Allah mengizinkannya."
"Makasih An... dari kamu aku belajar banyak hal."
Di tengah percakapan kami... "Aduh jangan nangis terus dong, ember di kamar udah penuh nih sama air mata kalian. Sebentar lagi pasti bisa buat renang." Nurul berusaha menghibur.
"Sekarang makan bubur, minum cucu setelah itu mandi pake air panas," Sambung Nida.
"Air panas???" protes Nurul. "Maksud aku air hangat."
"Pantas deh jadi baby sitter," puji Nida.
"Iya baby sitter anak-anak idiot!" timpal Nurul.
Aku dan Ana tertawa, kami sedikit terhibur.
"Eh kalian tahu gak merokok itu punya beberapa manfaat!" seru Nida memberitahu.
"Gosip baru, gosip hangat, gosip terkini," ucap Mita menirukan penjual koran di jalanan alias loper koran.
"Ini benar, bukan isu, fakta membuktikan dan realita menjelaskan."
"Pantas ya... jadi reporter yang dilihat dari ujung sedotan."
"Kamu tuh sirik banget, gini-gini kan makhluk Allah yang paling cantik."
"Ya... kamu cantik kalo siang, karena dilihat dari ujung Monas, dan manis kalo malam, saatnya berubah jadi nona sundel bolong."
"MITA???" tampang jelek Nida dipasang deh.
"Udah jangan ribut. Mendingan kita dengerin Nida."
Gitu kek dari tadi," lega Nida. "Manfaat rokok adalah... gak akan kemalingan kalo malam."
"Kok bisa?" tanya Mita.
"ya iyalah Mit, kan yang ngerokok batuk-batuk. Dikiraiin maling masih rame.
"Terus..." sambung Nurul.
"Awet muda di jamin deh... manfaat kedua ini banyak yang buktiin. Survei yang mengatakan demikian. "Kok gitu?"
"Secara gitu, orang yang merokok itu gak ada yang bertahan lama."
"Maksud kamu? Mita menatap Nida. "Umurnya pendek alias mati."
"Oh jadi... yang mati muda semua?" tebak Nurul.
"Betul itu..." tutur Nida dengan PD
Tet...tet... tet... "Eh bel, waktunya muraja'ah yuk," ajak Nurul.
Ketiga temanku pergi ke aula untuk mengulang-ulang hafalan mereka. Sedangkan aku, bersama Ana memanjatkan doa.
Ya Allah ya Robbi... Yang memegang segala prahara kehidupan yang memiliki segala cinta dan kasih sayang
Kami bersujud di bawah kakimu Untuk mencari sebutir harapan Untuk menemukan sebatang keinginan
Yang masih kau simpan Dalam puing-puing langit yang biru Izinkan kami menggapainya
Izinkan kami meraihnya Izinkan kami memilikinya Hanya untuk meraih Setitik cinta Yang pernah kau ambil yang pernah kau coba
Dengan sisa kepahitan Hilangkan kepahitan itu ya... Robbi
Agar kAmi bisa berjalan tenang Dengan ridho-Mu
Amien ya Robbal 'alAmin...
Siang hari di rumahku "Bah... kok ngelamun sih? sariawan ya?" goda Ummi dengan senyum sumringah.
"Abah bingung Mi," cerita Abah sedih.
"Soal Syaiful dan Idris?" tebak Ummi.
Abah mengangguk, "Abah gak nerima lamaran mereka untuk Alfi kan?"
"Abah gak berani Mi. Alfi pasti belum siap. Lagian, kalau Abah liat, kita gak pantes besanan dengan keluarga seperti itu. Kita ini orang kecil Mi."
"Abah ini gimana sih, yang menilai pantas atau gak nya kan Allah, bukan kita atau orang yang liat. Abah lupa, dulu waktu ngelamar Ummi. Abah orang kecil, Ummi orang kecil. Tapi karena jodoh ya... seperti sekarang ini. Kita mampu membiayai Alfi dan Azki." "Iya sih Mi. tapi kalo boleh Abah tahu, kenapa dulu Ummi nerima Abah langsung. Abah kan cuma penjual mie ayam?" Ummi tersipu malu, kenangan masa muda tersirat kembali dalam bayangan Ummi.
Reuni Reunion 1 Rajawali Emas 07 Pengusung Jenazah Bara Diatas Singgasana 14

Cari Blog Ini