K.A. Applegate Reuni (Animorphs #30) Judul Asli The Reunion Terbit Juni 1999, ghostwriter Elise Donner Quote sampul depan : "Lakukanlah sebuah perubahan... Bagi keadaan yang lebih
baik." Translated by Nat. 2009 ginger_shive@yahoo.com Re edited by: Farid ZE Blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu
Chapter 1 Terjadi lagi. Tidak bisa kupercaya, hal itu terjadi lagi.
Seorang wanita tenggelam. Bukan seorang pemimpin pasukan alien yang ditakuti.
Hanya seorang wanita. Sendirian di tengah ombak yang bergulung-gulung. Tidak
berdaya. Tidak terlindungi.
Ibuku. Aku tak akan membiarkan hal itu terjadi lagi.
Aku berenang menuju dirinya. Lenganku menegang di setiap hempasan. Kaki-kakiku
menendang liar. Bertahanlah. Bertahanlah!
Begitu dekat. Cukup dekat untuk melihatnya berjuang sekuat tenaga mempertahankan
kepalanya di atas permukaan air yang dingin dan gelap.
Lalu aku mencapainya, satu lengan mengelilingi bahunya, yang satu lagi bergerak
terus agar kami tetap mengapung.
"Bertahanlah!" Teriakku. "Aku sudah memegangmu!"
Dia menoleh ke arahku, rambut yang basah menempel di mukanya. Lalu dia bicara.
"Terima kasih, Marco."
"Mom..." "Aku bebas, Marco. Aku bebas!"
Dan kemudian arus yang kuat merenggutnya dariku dan mengisap tubuhnya ke bawah
permukaan laut malam yang berkilauan.
"Jangan! Jangan, jangan, jangan!"
Aku menyelam. Garam menyengat mataku. Aku mendorong tubuhku makin dalam ke
kegelapan. Paru-paruku kesakitan tapi aku tidak bisa membiarkan hal itu terjadi
lagi. Aku tidak akan membiarkannya pergi! Tidak setelah dia sudah bebas. Tidak...
"TIDAK!" "Marco, Kamu oke?"
Aku langsung duduk tegak seperti papan. Di mana..."
Tempat tidurku, kamarku. Ayahku. Aku meletakkan tangan di kepalaku dan menoleh ke arah foto ibuku yang terletak
di atas nahkasku. "Kamu oke?" ulangnya.
Tidak. Sama sekali. "Yeah. Yeah. Mimpi buruk, kayaknya."
"Tentang dia?" Aku menelan keras. "Yeah."
Dad duduk di pinggir tempat tidur dan memelukku.
Aku membalas memeluknya dengan lemah. Menepuk punggungnya.
"Aku oke, Yah," kataku. "Jam berapa sekarang?"
"Waktunya bangun dan siap-siap," jawabnya. "Aku yang mandi duluan. Aku harus
masuk pagi hari ini."
Mataku mengikuti ayahku keluar ruangan. Tapi bukannya bangkit dan turun ke bawah
untuk semangkuk Honeycomb, aku tetap duduk di bed cover-ku yang berantakan dan
sedikit lembab, terlalu lemas untuk bergerak.
Namaku, seperti yang mungkin sudah kamu ketahui, adalah Marco. Dan seperti
inilah permulaan hari Jumatku. Bukan cara terbaik untuk menyapa hari terakhir
dari minggu yang panjang. Tapi tidak terlalu aneh. Mimpi tentang rasa takut dan
kehilangan dan harapan yang memudar.
Sebelum ibuku jatuh ke tangan musuh, sebelum aku mengetahui invasi Yeerk ke
Bumi, hidupku lumayan tenang. Biasanya aku khawatir tentang apakah aku sudah
memberikan cukup petunjuk soal kaset Sega mana yang kuinginkan untuk hadiah
ulang tahunku pada saat makan malam.
Bukan tentang sesuatu seperti perbudakan ras manusia.
Masa-masa itu. Atau, seperti yang Ayah bilang, "Salad days." Aku tidak yakin
tadi itu artinya apa - 'salad days' - tapi dia sering mengatakannya. Lagipula
aku bukan penggemar salad, kecuali ditaburi roti crouton.
( Crouton = Semacam roti yang dipotong dadu, dipanggang atau dibakar ulang biar
garing. Biasa untuk tambahan salad.)
Biar begitu, akan kusingkat ceritanya untukmu. Sesingkat mungkin.
Ibuku - ibuku yang cantik, bersenyum indah, dan pintar - berlayar dengan perahu
kami pada suatu malam dan tidak pernah kembali. Mereka menemukan perahunya.
Mereka tidak menemukan tubuhnya.
Dia dianggap telah tenggelam. Tanpa penjelasan atas mengapa dia melakukan hal
seaneh membawa perahu sendirian. Pada malam hari. Maksudku, ibuku bukan tipetipe orang yang mau bunuh diri.
Lanjut. Teman-temanku - Jake, Rachel, Cassie dan Tobias - dan aku, mengalami semacam
kesialan khusus sehingga kami bertemu seorang pangeran prajurit Andalite sekarat
yang memberitahu kami tentang para Yeerk beserta invasi mereka. Dia memberikan
hadiah sekaligus kutukan untuk bisa bermetamorfosis kepada kami, sebuah
teknologi Andalite yang membuat kami bisa menyerap DNA binatang manapun dan
menjadi - morf - menjadi binatang itu.
Itulah senjata pamungkas kami. Senjata lainnya adalah kecerdikan, keberanian dan
kerahasiaan. (Dan untukku, ke- cute-an yang tidak bisa ditolak.) Lalu, AximiliEsgarrouth-Isthill. Adik laki-laki Pangeran Elfangor, bergabung dengan kami.
Lanjut. Hal ini terjadi lama setelah aku mengetahui bahwa ibuku tidak jatuh dari kapal
dan tenggelam melainkan sudah disusupi seorang Yeerk yang dikenal sebagai Visser
One, pelopor invasi Yeerk ke Bumi. Aku bicara tentang saat dimana aku melihat
tubuhnya yang lemah dan telah disusupi Yeerk mengambang tengkurap waktu
pangkalan bawah laut Yeerk hancur.
Sejak saat itu aku sudah menghabiskan waktu sekitar, oh, setrilyun jam bertanyatanya apakah ibuku bisa selamat. Rachel mendengar kapal selam berdengung waktu
itu. Dan aku melihat Pengendali-Leeran berenang menghampiri tubuh ibuku yang
mengambang. Jadi ada kemungkinan dia tetap hidup, kemungkinan bahwa Leeran itu
sudah membawanya ke kapal selam dan pergi.
Setidaknya, itulah yang kupercayai. Tapi di samping itu aku sadar bahwa
kemungkinan dia berhasil mencapai kapal selam itu tidaklah besar.
Kamu bisa mengerti sekarang mengapa terkadang rutinitas sehari-hariku menjadi
benar-benar menyebal... Maksudku, lima orang yang kurang lebih masih anak-anak, satunya lebih mirip
burung daripada anak laki-laki, ditambah satu kadet Andalite diharuskan
menyelamatkan dunia dari sepasukan parasit mirip-siput yang jahat"
Berapa angka persentase hal itu akan terjadi"
Para Yeerk itu seperti parasit. Mereka menggeliat masuk ke liang telingamu dan
dari sana, menyusup ke setiap sudut dan celah otakmu. Mereka memegang kontrol
penuh dari pikiran dan tindakanmu. Mereka tetap membuatmu sadar dan hidup - tapi
sama sekali tidak berdaya untuk bicara sendiri. Kamu dikurung di dalam semacam
penjara otak sementara Yeerk itu mengambil alih setiap aspek kehidupanmu. Yeerk
itu mengontrol penuh. Mengontrol penuh. Mereka menggerakkan matamu dan tanganmu dan kakimu. Mereka bicara dengan
suaramu. Mereka membuka memorimu dan membacanya seperti buku. Setiap memori.
Setiap rahasia. Yeerk di kepala ibuku bisa membaca memorinya dan melihat apa yang ibuku lihat
saat dia mengayomiku di ranjang bayiku, dulu, dulu sekali. Yeerk itu bisa
melihat memori tentang aku yang meangis karena tumitku lecet. Memori sarapan
yang penuh keluhan dengan ayahku dan aku.
Memori obrolan 'burung-burung dan lebah' yang sangat memalukan.
Yeerk itu melihat semuanya. Yeerk yang memegang jabatan sebagai Visser One.
Pemimpin asli invasi ke Bumi. Yeerk yang memperbudak ibuku.
Karena invasi ini hidup kami berubah menjadi pertarungan sengit dan kelolosan
yang nyaris-nyaris. Pengalaman yang menghancurkan mental dan meretakkan tulang.
Kamu bisa lihat kenapa hari-hariku berbelok dramatis jadi lebih buruk.
Saat ayahku pergi bekerja, aku mandi dan bersiap-siap dengan segala keinginan
untuk pergi ke sekolah. Benar, lho. Chapter 2 Dengan muka yang bersih dan rambut yang ditata aku pergi menuju halte bus
sekolah. Dan berjalan melewatinya.
Malahan aku naik bus yang menuju ke kota.
Bukit-bukit jalanan yang merupakan pusat keuangan dan bisnis kota kami
sepertinya cocok sebagai tempat untuk menghabiskan waktu. Untuk kabur tanpa
mengambil resiko bertemu dengan orang yang mengenaliku.
Ada bioskop di sana. Kupikir aku akan melihat-lihat sampai aku menemukan
pertunjukan apalah yang berisik dan menyenangkan.
Dua puluh menit kemudian aku turun dari bus, bersama tiga puluh pria dan wanita
kantoran di pusat orang-orang bersetelan biru.
Hari masih pagi tetapi matahari sudah memanggang jalanan, dan gas buangan mobil,
truk serta bus menyebar seperti selimut kotor nan bau di atas hutan beton dan
besi. Pilihan bagus, Marco. Seharusnya aku pergi ke pantai. Aku mematung di pinggir
jalan dan bengong. Sekumpulan manusia yang penuh sesak. Aku pernah mendengar frase itu sebelumnya,
dan baru sekarang aku tahu apa artinya. Artinya 'pekerja kantoran pada jam
kerja.' Kenapa harus cepat-cepat" Apa orang dewasa memang sebegitu senangnya pergi
kerja" Atau hari Jumat itu hari donat gratis di kantor" THWACK!
Aku jatuh! Lututku menghantam trotoar dan mukaku mendarat di pot tanaman penuh puntung
rokok dan cangkir kopi sisa.
Musuh! Aku mempersiapkan diri untuk menghadapi serangan berikutnya.
Tapi tidak ada apa-apa. Aku pun menoleh ke atas.
Tidak ada yang memerhatikan kalau aku sudah dipukul jatuh.
Aku berdiri, tercengang. Aku menggosok sisa-sisa abu, debu, dan kopi basi dari
wajahku dengan bagian bawah kaosku.
Aku merasa jijik. Dan marah.
Seorang wanita sudah menabrakku dengan tasnya yang super besar. Lalu dia terus
berjalan seperti tidak ada yang terjadi. Dan tidak seorangpun berhenti untuk
menolongku. "Padahal mereka bilang generasiku nggak punya tata karma," gumamku.
Aku mengecek diri sendiri dengan cepat - tidak ada yang terluka parah kecuali
harga diriku - dan mulai bersiap mengikuti wanita yang dengan kejamnya
menabrakku. Wanita ini punya janji dengan trotoar kotor, berbasa-basi dengan
Saucony Cross Trainer yang ditempatkan secara strategis.
(Saucony Cross Trainer = Merek sepatu yang dipakai Marco)
Aku berhasil mengejarnya setelah sekitar setengah blok dan mengekornya beberapa
kaki di belakang. Menunggu kesempatan. Tasnya itu cukup besar untuk dimasuki
Doberman dan dibuat untuk melukai, dengan sudut-sudut besi dan kunci kombinasi
besar di satu sisi. Lagipula kenapa sih rambutnya" Wanita itu memakai wig pirang keriting yang kaku.
Coba pikirkan sebuah lapisan wol-besi. Setelah digunakan. Sedikit dicarik-carik.
Dan kuning. Aku melihat titik terbaik untuk melancarkan aksi balas dendamku.
Aku menyusuri keramaian dan bersembunyi di belakang sebuah dinding bata yang
besar sekitar satu yard di depan, tepat di ujung gedung pengadilan. Ketika
Wanita Wig itu lewat - bingo, bango! BAM!
(Yard = 1 yard = 0,9 meter. Yah, hitung-hitung semeter lah...)
Dia tak akan bisa berkutik.
Aku mengintip dari belakang pilar untuk melihat seberapa dekat dia dengan kakiku
yang menjulur. Lalu aku mencubit pipiku sendiri untuk berhenti berteriak.
Wanita dengan rambut pirang jelek dan tas besar itu...
Adalah ibuku! Visser One! Aku mundur ke balik dinding dan menarik topi South Parkku menutupi mata. Dia
melewatiku. Tidak melihatku.
Ibuku masih hidup! Aku mengambil nafas dalam-dalam dan mencoba memahami fakta ini. Dia sudah
meloloskan diri dari kehancuran kompleks Yeerk bawah air. Kelegaan dan
kebahagiaan dan ketakutan menyerbu. Dia masih hidup! Tapi dia sangat berbahaya.
Sangat, sangat berbahaya.
Berpikir, Marco. Dia hidup tapi... penyamaran itu. Setelan biru elektrik. Wig
pirang keriting. Lensa kontak biru di belakang kacamata berbingkai hitam. Tas super besar.
Kenapa menyamar" Untuk bersembunyi. Dari siapa"
Haruskah aku mengikutinya" Mencari teman-temanku" Aku masih bisa ke sekolah
sebelum bel selanjutnya. Mungkin.
Tapi nanti aku akan kehilangan ibuku lagi. Dan Visser One.
Aku memerhatikan tubuh ibuku berjalan menyusuri jalanan. Ketika dia hendak
berbelok, aku mengikutinya.
Di blok selanjutnya aku melihat dia menaiki tangga menuju pintu depan Menara
Sutherland, bangunan tertinggi di kota. Dia masuk dan menjejalkan tasnya ke
dalam satu kompartemen pintu putar.
Aku berlari menaiki tangganya, menunggu satu putaran lagi dari pintu
berpinggiran kuningan itu, lalu mengikutinya ke dalam.
Lobinya setinggi sekitar tiga lantai. Di belakang sebaris satpam, air mengalir
turun dari dinding marmer pink ke dalam kolam yang disinari lampu. Visser One
menunjukkan semacam tanda pengenal dan satpam-satpam itu membiarkannya lewat.
Aku tidak punya tanda pengenal. Ditambah lagi, aku anak kecil. Para satpam sudah
melihatku masuk, dan sekarang mereka memandangiku seakan aku ini seratus persen
tidak-baik. Kalau aku salah bergerak sedikit saja mereka pasti akan menggangguku. Lalu sang
Visser akan menoleh untuk melihat keributan itu dan aku akan berada dalam
masalah yang amat, sangat besar.
Visser One akan mengenaliku sebagai anak dari induk semangnya.
Jadi aku berdiri saja. Berhenti di sebelah pintu putar dan menunggu orang
selanjutnya masuk. Siapapun itu, DNAnya milikku.
Chapter 3 Pintu putarnya bergerak. Langkah kaki di belakangku. Aku menoleh.
"Hei, Dad!" Kataku. "Kenapa lama banget?"
Pria itu gemuk, berbaju bagus, dan terkejut. Tapi dia memegang kartu
identitasnya di satu tangan, dan aku memegang tangan yang satunya, dan sebelum
dia menyadarinya, trance penyerapan DNA sedang berlangsung.
"Halo, Mr. Grant," kata satpam yang rambutnya berminyak.
"Ini 'Hari Ayah Membawa Anaknya ke Tempat Kerja'!" Kataku riang saat aku
menggiring Mr. Grant yang melamun melewati mereka.
"Well, kalau begitu, nak, hati-hati! Ayahmu itu orang penting lho!"
"Yes sir!" Balasku.
Antusiasme kekanak-kanakkanku bekerja seperti mantra. Aku menyadari kalau kamu
bertindak seperti orang bodoh, orang dewasa biasanya meninggalkan kamu
sendirian. Kalau mereka pikir kamu sepintar mereka, kamu akan kesusahan.
Aku membawa Mr. Grant ke lift. Untuk memperjelas, aku sama sekali tidak punya
keinginan morf menjadi orang ini. Aku hanya membutuhkannya untuk membawaku
melewati satpam dan naik lift. Dimana Visser One sedang berdiri di samping tas
metal raksasanya. Mr. Grant pun sadar. Aku melepaskan tanganku.
"Ya ampun," gumamnya, menaruh tangannya di perut. "Donat selainya tidak tenang
di dalam." Aku menoleh pada Mr. Grant sambil memasang cengiran idiot Adam Sandler. Bekerja
seperti mantra. Mr. Grant membuang pandangan dan menunggu liftnya dengan sabar
Animorphs - 30 Reuni The Reunion di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
beserta orang-orang bersetelan lainnya.
Aku menarik topi menutupi mukaku.
DING! Pintu lift terbuka. Orang tua dengan kereta dorong penuh amplop-amplop antar
kantor dan beberapa paket UPS mencoba keluar.
"Permisi, permisi!" Dia bergumam sementara orang banyak menghambur di sampingnya
ke dalam lift. Visser One melewati sisi kanan orang itu. Aku lewat sisi kirinya. Kerumunan
manusia mencegahnya melihat ke arahku.
Pintu lift pun menutup. Kami berdiri tersusun dalam lift seperti krayon dalam
sekotak krayon. Yang penting Visser One itu krayon yang paling dekat dengan
papan tombol, sementara aku krayon yang terletak di ujung belakang sisi
berlawanan. Tapi ini nggak bagus, pikirku tiba-tiba. Aku harus keluar ketika ibuku... sang
Visser keluar! Kalau aku melewatkan lantainya, aku kehilangan sang Visser. Dan ibuku. Lagi.
Pada saat yang sama aku tidak dapat membiarkan Visser One melihatku. Hanya ada
satu hal yang dapat kulakukan. Morf. Di lift yang lambat ini. Dikelilingi lima
belas orang dan jelmaan iblis.
Seorang wanita yang punggungnya hanya berjarak tiga inci dari pinggiran topi
baseballku menjatuhkan satu bagian dari Wall Street Journalnya dan aku berlagak
tidak melihat. Aku bersandar di dinding lift dan merosot ke bawah, punggung
lurus, dan dengan ujung-ujung jariku aku memungutnya dari karpet merah yang
kotor. Di belakang punggung-punggung bersetelan para orang dewasa, aku membuka
kertasnya selebar mungkin dan memegangnya menutupi muka dan kepalaku, seperti
tenda. Kemudian aku memulai salah satu morf yag paling tidak kusukai Lalat rumahan biasa. Gila! Memang gila. Tapi pilihan apa lagi yang kumiliki" Kehilangan Visser One"
TIdak. TIdak akan. Aku langsung mulai menyusut. Dalam beberapa saat, korannya sudah melingkupiku.
Penglihatanku berubah gelap lalu menyala lagi, terpecah belah.
Dua kaki lalat muncul dari dadaku. Tanganku mengerut menjadi capit. Kulitku
mengeras. Dan tidak ada yang menyadarinya. Luar biasa! Tidak ada yang menoleh ke arahku.
Semua orang terus saja memandang kosong ke pintu atau ke atas, dimana celah
ventilasi terpasang di langit-langit lift.
Aku sedang berada di dalam lift penuh manusia, berubah menjadi lalat, dan tidak
ada seorangpun yang bahkan melirikku. Aku mencoba menahan keinginan sinting
untuk mengatakan, "Hei, aku sedang berubah jadi lalat, nih. Halo" Kalian ini orang apa patung?"
Liftnya melambat dan berhenti di suatu lantai. Wanita yang menjatuhkan korannya
tadi membungkuk untuk memungutnya.
Masalah. Aku belum selesai morf.
Ukuranku sebesar tikus sekarang, dengan kulit pink dan hidung manusia. Sembilan
per sepuluh bagian lain sudah merupakan lalat. Sayap, enam kaki-kaki berbulu,
mata majemuk, lidah besar lengket di tempat dimana mulutku seharusnya berada.
Dan aku bertengger di tengah tumpukan pakaian.
Aku tidak bisa membayangkan pemandangan yang lebih menjijikkan daripada ini.
Wanita itu mengambil korannya, memandang sebuah titik dua kaki di atas kepala
orang di depannya, lalu membeku.
"Argh!" Jeritnya.
Lewat penglihatan multisudut 360 derajatku aku melihat dia menoleh pelan-pelan
ke belakang, ke karpet merah kotor. Tapi sudah terlambat.
Sepenuhnya berwujud lalat sekarang, aku memacu sayapku, meluncur dengan gila di
udara, melewati kepala wanita itu dan mendarat di ujung tas sang Visser. Pintu
lift terbuka. Wanita yang sudah yakin dia tadi melihat manusia-lalat berukuran-tikus di lantai
lift berlari keluar dengan tangan menangkup mulutnya.
Beberapa orang bisnis lain keluar setelah dia dan sang Visser memencet tombol
tutup. Lantai dua puluh satu. Mr. Grant keluar.
Sang Visser memijat tombol tutup sekali lagi.
Dan aku pun sendirian di dalam lift beserta ibuku.
Lantai dua puluh dua. Liftnya melambat untuk berhenti. Pintunya terbuka dan
Visser One menapakkan kaki di koridor. Aku mengendarai tasnya sampai ke pintu
ketiga di sebelah kanan. Itu saja yang perlu kuketahui. Waktunya pergi dari sini dan beritahu yang
lainnya. Chapter 4 Aku melepaskan pegangan kaki-kaki lalatku yang legket dan bercapit. Aku
mendengungkan sayap-sayap tipisku dan melayang menjauh dari tas sang Visser.
Naik, putar ke belakang dan menuju...
SCHLOOOOP! Angin! Angin puyuh! Sayapku mengepak dengan kecepatan yang hanya bisa dicapai seekor serangga. Tapi
aku berada terlalu dekat! Sebuah ventilasi, berkisi-kisi besi, setinggi bangunan
sepuluh lantai bagiku, dan dua kali lebih lebar.
Pembersih udara! Dengan kekuatan-pabrik. Penghisapan. Menghisap seperti vacuum
cleaner! WHAM! Aku menabrak salah satu jeruji logamnya.
Lalu aku melewatinya. Meluncur cepat ke dalam lorong udara aluminium. Dan
sekarang, setelah terpusat dalam tempat tertutup, arus udaranya tidak bisa
dipercaya.
sendirian. Pecahan-pecahan tiras dan rambut manusia. Debu dan kertas berbentuk
lingkaran peninggalan puncher kertas tiga-lubang. Campuran nyamuk-nyamuk yang
tercengang, serangga lubang, dan lalat-lalat lain, semua berdesing di sekitarku
seperti adegan tornado dari The Wizard of Oz. Semuanya pecah menjadi ribuan set
layar TV dari mata lalatku. Semuanya dalam warna-warna yang aneh dan
terdistorsi. Aku jumpalitan makin cepat dan makin cepat menuju penyaring raksasa. Sekelompok
bagian tubuh serangga dan potongan tiras berceceran di bawahnya. Hanya ada satu
hal yang dapat kulakukan.
Demorf! Aku mulai tumbuh dan hampir saat itu juga aku berhenti meluncur. Apapun yang
beratnya melebihi berat benda asing yang mudah disentil rupanya dapat langsung
menangkal kekuatan pembersih udara berkekuatan-pabrik itu.
Sayapku mengkerut dan terhisap ke dalam kulitku yang sudah lembut di bawah
tulang belikatku. Mataku bergerak dari sisi kepala menuju ke depan mukaku. Dua
kaki lalat terhisap masuk dalam dada.
LANTAI! LANTAI! Kaki-kaki lalatku yang lain bergerak ke tempat dimana kaki dan tangan manusiaku
seharusnya berada dan mulai mengembang. Tida-tiba, aku menyadari bahwa lorong
angin aluminium yang serasa sebesar gym sekolah waktu aku jadi lalat, ternyata
tidak cukup besar bagi tubuh manusiaku.
Aku tidak siap untuk terperangkap bak sepotong besar Snickers Blizzard dalam
sedotan. (Blizzard: Semacam es krim dalam gelas, dimana toppingnya suka nyangkut di
sedotan waktu esnya disedot. Makanya kadang-kadang orang makan snicker's
blizzard pake sendok. ) Aku mendorong yang-sekarang-merupakan tangan manusiaku di depan dan meluruskan
kakiku di belakang. Aku tengkurap lururs-lurus, bertumpu pada perut di lorong
itu. Lalu aku berhenti demorf. Kembali seperti semula. Untuk pertama kalinya aku
merasa bersyukur jadi orang yang agak pendek.
Tapi tetap saja aku masih tergencet dalam lorong udara amat berdebu itu.
Aku merayap menyusuri tabung persegi itu, menjauh dari penyaring, menuju cahaya
yang memancar di ujung lorong. Aku mendorong diriku dengan ujung-ujung jari kaki
dan menarik diriku dengan jari-jariku, berusaha keras agar tidak panik.
Cahaya itu datang dari sebuah ventilasi di bagian atas sebuah dinding kantor.
Aku memukul kisi-kisinya dan membukanya ke bawah seperti pintu mini. Aku berada
sekitar delapan atau sembilan kaki di udara. Aku mendorong diriku sendiri kepala
duluan, perlahan, perlahan...
Bunyi kunci berkerincingan di luar pintu.
Aku jatuh dengan cepat, bersalto sejenak saat aku jatuh.
BAM! Tepat ke dalam keranjang sampah.
"Three points, " aku berbisik sendiri.
Pintu kantor itu terbuka tepat saat aku merangkak serabutan menuju ruangan
kedua, sebuah tempat yang besar dan tak berjendela yang penuh dengan kubik-kubik
kerja abu-abu. "Halo?" Lampu menyala. "Mr. Grant?"
Langkah-langkah kaki. Lambat, tapi menuju ke arahku.
Aku tidak punya pilihan! Aku harus morf jadi Mr. Grant.
Aku berlari menuju sebuah kubik kerja kosong di bagian belakang ruangan dan
merasakan perubahannya mulai terjadi.
Morf menjadi lalat mungkin menjijikkan, tapi morf menjadi manusia lain jauh
lebih menakutkan. Belum lagi masalah moralnya. Dalam kasus ini, morf menjadi
pria dewasa rasanya seperti mendapat secercah penglihatan tentang masa depanku
dan menyadari bahwa masa itu tidak begitu bagus.
Hal pertama yang berubah adalah perutku. Tumbuh ke depan dan melebar sampai
jahitan baju morfku mulai robek.
Rambut tebalku yang indah terhisap kedalam tengkorakku yang melebar. Aku
langsung menempelkan tangan ke kepalaku. Batas rambut yang menyusut! Pitak tepat
di puncak kepala! Aku menonton tanganku berkerut sedikit. Bercak-bercak pucat tersebar di punggung
tangan. Aku menyentuh wajahku dengan jari-jariku yang buruk. Wow! Kasar... Kalau
begini terus jenggotku akan tumbuh bahkan sebelum siang berlalu!
Bokongku! Aku menolehkan kepalaku yang berdagu ganda sejauh yang kubisa dan
melihat di belakang bahuku yang tebal sebuah tonjolan lebar - beserta celana
bersepedaku yang robek-robek.
Kepanikan melanda. Aku lumayan yakin aku tidak tumbuh jadi lebih tinggi tapi,
man, aku jadi lebih lebar!
"Mr. Grant?" "Ya?" Teriakku, memunculkan kepalaku yang rambutnya sedikit di atas sekat kubik
kerja. Wanita itu berdiri di ambang pintu ruangan kedua.
"Uh, Anda tidak apa-apa, Mr. Grant?" Dia mengambil satu langkah lagi ke dalam.
"Tidak!" Balasku. "Maksudku, jangan masuk. Saya sangat sibuk. Saya baik-baik
saja." "Anda bekerja tanpa penerangan, Mr. Grant. Apakah Anda yakin..."
"Ya, saya baik-baik saja, terima kasih. Saya akan selesai beberapa menit lagi,"
aku melanjutkan asal saja.
Satu langkah lagi. 'Kenapa Anda ada di meja Carlos?"
Hebat juga. Aku memutar otak cepat-cepat. "Uh, well, ada yang salah dengan
komputer saya, jadi, uh, saya pikir saya akan meminjam yang ini dulu. Uh, bisa
tolong ambilkan saya kopi dari Starbucks di pinggir sana" Please?"
Alis wanita itu berkerut aneh tapi dia perputar dan berjalan ke pintu. "Tentu,
Mr. Grant. Saya akan segera kembali."
"Thanks, terima kasih banyak!" Kataku, membungkuk lagi ke ke bawah sekat.
Yow! Nyaris sekali. Aku menunggu sampai (kuharap) wanita itu sudah naik lift dan
berlari keluar dari kubik. Waktunya mencari tempat aman untuk demorf dan keluar
dari bangunan ini. Toilet pria. Aku menarik pintunya. Dan langsung menghantam...
"Aaaaah!" Jeritku. "Mr. Grant!"
"Apa yang..." ujarnya sebelum dia rubuh ke lantai.
Aku melirik sekeliling koridor. Tak ada siapa-siapa.
"Ya ampun, ya ampun, Jake akan membunuhku, dan kalau bukan dia, pasti Cassie
mau." Aku menghela tubuh Mr. Grant ke posisi setengah-duduk dan menariknya menyebrangi
koridor menuju kamar sapu. Rasanya seperti membawa salah satu batu yang mereka
gunakan untuk membangun piramid. Rupanya orang ini suka sekali sama pastry-nya.
Aku menutup pintunya dan mencoba menenangkan nafasku yang memburu. Sulit
melakukannya kalau kamu diserang kepanikan beberapa kali secara beruntun.
Aku mendudukkannya di atas ember pel beroda dan mulai mencopot pakaiannya.
Aku buru-buru berganti pakaian dengan setelan biru Mr. Grant. Well, semuanya,
kecuali dasi. Aku tidak tahu cara memakai dasi.
Setelah berpakaian aku membuka pintu kamar sapu, melirik kanan-kiri, lalu
berlari semampu yang bisa dilakukan Mr. Grant menuju lift.
Sesaat kemudian pintu lift terbuka dan aku masuk.
Kabur dari situ. Chapter 5 Sudah hampir waktu makan siang setelah aku pulang ke rumah, berganti pakaian,
dan kembali ke sekolah. Sekarang, masuk ke sekolah saat kamu terlambat bukan hal termudah di dunia, tapi
tetap bisa dilakukan. Untungnya sekolah kami tidak punya penjaga atau detektor
metal seperti di SMA. Yang harus kukhawatirkan hanyalah guru-guru yang nangkring di berbagai tempat
atau monitor koridor tempel.
Aku bersandar di pintu depan. Tidak ada siapa-siapa. Hanya ada tukang bersihbersih, tapi punggungnya menghadapku dan dia sedang memakai headphone. Dan
melakukan dansa menyeret-nyeret yang aneh sambil mendorong-dorong alat pel di
atas lantai berwarna hijau-muntahan yang merupakan lobi utama sekolah kami.
Aku menyelinap lewat tiang pintu dan mengambil jalan lain melewati lobi. Aku
dapat melihat puncak kepala guru-guru lewat jendela kelas, tapi aku tahu mereka
tidak akan bisa melihatku. Keuntungan lain bertubuh pendek.
Aku berhasil sampai ke lockerku tanpa diperogoki siapa-siapa. Sedetik kemudian,
bel makan siang berbunyi dan koridor langsung penuh sesak dengan anak-anak yang
ngacir dari kelas. Jake termasuk salah satu dari mereka. Aku menjatuhkan buku Matematikaku. Dia
memungutnya. "Jake, pedulian amat kamu."
"Dari mana saja kamu?" Tuntunya.
"Tebak siapa yang kulihat tadi?" Bisikku, menarik catatan asal saja dari locker.
Jake menghela nafas. "Marco, langsung saja kenapa..."
"Marco!" Tangan seseorang menepuk bahuku.
"Baik sekali kamu mau bergabung dengan kami hari ini."
"Dengan senang hati, Mr. Chapman," aku berkata. "Aku takkan pernah mau
melewatkan seharipun untuk memelajari hal yang baru."
Jake melemparkan pandangan ini-masalahmu-sendiri-ya, dan berjalan pergi.
"Ah, menghibur seperti biasanya, Marco. Dan dari mana saja kau" Saya menelepon
rumahmu. Tidak ada jawaban. Sama sekali tidak ada jawaban."
"Saya... bersama ayah saya."
"Oh, masa?" "Betul, Mr. Chapman. Ini 'Hari Ayah Membawa Anaknya ke Tempat Kerja' di kantor
ayah." "Kalau begitu kamu tidak akan keberatan saya meneleponnya di tempat kerja?"
"Sama sekali tidak," jawabku sok percaya diri. "Anda mau nomornya?"
Chapman memandangku dari atas ke bawah. Kalau dia menelepon ayahku, aku akan
ditahan, pasti sekali. "Dia rapat nanti siang, makanya saya kembali ke sekolah," tambahku. "Tapi Anda
bisa meninggalkan pesan di mesin penerima panggilannya."
"Kembali saja tempatmu seharusnya berada, Marco."
"Baik, Sir." Seharusnya aku membalas "Baik, dasar orang aneh pembawa-Yeerk." Tapi akibatnya
bisa fatal. Untukku. Memberitahu Jake soal Visser One bisa menunggu. Di kantin aku memberikan memo
pada Rachel. Bam. Sepulang sekolah. Kabar baik, kabar buruk.
Aku duduk di ujung meja kantin dan makan pizzaku sendirian.
Mengacuhkan perkelahian kecil tentang makanan di meja sebelah kananku. Hampir
tidak menyadari anak berjerawat di ujung meja satu lagi sedang menyeruput
semacam sup kuning menjijikkan dari termos berpola kotak-kotak miliknya.
Berpikir selama dua detik soal ulangan Sejarah siang ini yang sudah pasti tidak
akan bisa kukerjakan. Bertanya-tanya dalam hati apakah Chapman akan membahas
soal aku bolos sekolah dan aku gagal dalam ulangan Sejarah di POMG terdekat.
Menimbang-nimbang lebih enak bekerja di McDonald's atau Burger King setelah aku
Animorphs - 30 Reuni The Reunion di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dikeluarkan. Tapi pikiranku tidak bisa diam pada satu topik. Tidak ada yang benar-benar
penting, ya kan" Tidak ada kecuali sebuah fakta yang kompleksnya luar biasa, hebatnya
mengagumkan. Ibuku masih hidup. Hidup. Aku melihat Rachel melotot kepadaku dari seberang ruangan. Aku membentuk satu
kata lewat mulutku : hidup.
Sepertinya Rachel tidak membaca gerakan bibir. Dia salah tangkap dan merespons
dengan membentuk dua kata yang tak mau kuulangi disini lewat mulutnya.
Tapi aku tidak ambil pusing. Tidak ada yang dapat menghancurkan momen kelegaanku
ini. Dia masih hidup. Dan suatu hari, entah bagaimana caranya, dengan sebuah
keajaiban yang hanya bisa kuimajinasikan, dia akan menjadi ibuku lagi,
seutuhnya. Chapter 6 "Marco," kata Cassie. "Beritahu kami kenapa kita ada disini."
'Kami' itu berarti empat anak, seekor burung, dan seorang alien berbulu biru.
Nama kami adalah Orang Aneh, dan permainan kami adalah Menyelamatkan Dunia.
"Pagi ini aku bolos dan naik bus ke kota," aku melirik Jake. "Dan sebelum kalian
mau ngomel, aku tahu bodoh sekali menarik perhatian orang lain, jadi kalian
boleh tuntut aku. Pokoknya, aku sedang mencoba menghindari digepengkan oleh
kerumunan orang di pinggir jalan waktu aku melihat Ib... Visser One. Dia sedang
dalam penyamaran. Wig jelek, lensa konta biru, kacamata besar persegi. Tapi itu
memang dia." "Ya ampun," kata Jake. "Kamu yakin itu Ibumu?"
"Oh, yeah. Aku melihat wajahnya jelas sekali sebelum aku mau buat dia
tersandung." "Kamu mau menyandung ibumu?" Kata Cassie.
"Ya, soalnya dia sudah menjatuhkanku dengan tas metalnya yang besar itu. Nggak
penting lah. Yang penting, itu benar-benar Visser One. Ibuku. Dalam penyamaran."
"Kamu yakin dia nggak mengenalimu dan menjatuhkanmu secara sengaja?" Tuntut
Rachel. "Yeah," jawabku. "Kan dia pikir aku ini Pengendali. Ingat waktu kita pergi ke
kompleks bawah air Yeerk" Jangan lupa : Kita ngomong. Dia pikir aku salah satu
dari mereka. Jadi kenapa dia menghantamku, tanpa provokasi" Lalu kalau dia tahu
yang sebenarnya, dia pasti sudah melakukan lebih daripada menjatuhkanku."
"Dan itukah motif brilian dibalik bolos sekolah hari ini?"
"Aku ini petualang, Rachel," kataku. "Persis Daniel Boone. Magellhan. Marco
Polo. Aku takkan pernah beristirahat sampai aku selesai menjelajahi setiap gang,
setiap sudut, setiap ceruk dari dunia kita yang besar dan gila ini."
"Nggak lucu, Mr. Polo," katanya kesal. "Kamu bisa saja membawa kami ke masalah
besar..."
atas kami.
bagus.> "Yang berarti satu hal lagi, Ax. Ibuku juga masih hidup," aku mejelaskan. "Aku
mengikutinya ke dalam Menara Sutherland. Dia punya kantor di lantai dua puluh
dua." "Menurutmu apa yang dia lakukan di sana?" Kata Cassie.
Aku menggelengkan kepala. "Aku nggak sempat keliling-keliling untuk cari tahu."
"Terakhir kali kita melihat Visser One," kata Jake setengah melamun, "Visser
Three melihat kita - si musuh - mengampuni nyawanya."
"Yang menjelaskan kenapa dia harus menyamar," aku menyetujui. "Tapi dia tetap
butuh akses ke kolam Yeerk. Ke sinar Kandrona. Yang mana nggak akan diizinkan
Visser Three kalau dia pikir Visser One itu pengkhianat. Tentu saja. Jadi..."
"Jadi entah bagaimana caranya dia masih hidup, entah bagaimana dia masih bisa
mendapat sinar Kandrona," kata Rachel.
"Pertanyaannya adalah kenapa?"
"Kenapa apa?" "Kenapa dia berada di sini, di Bumi" Begini deh, kita tahu dari pengalaman kalau
Visser One dan Three itu musuhan. Visser One membiarkan kita kabur dari Visser
Three pertama-tama. Visser Three pasti sudah curiga kalau dia mendalangi hal
itu. Lalu dia punya fakta bahwa kita membiarkan Visser One hidup waktu kita
sebenarnya bisa saja menghabisinya di tempat. Jadi Visser Three pasti pingin
banget menangkap Visser One. Jadi kenapa dia malah jalan-jalan di kota" Maksudku
dengan atau tanpa wig, Bumi bukanlah tempat yang aman untuknya." Rachel nyengir.
"Ayolah, jelas sekali kok. Dia di sini untuk menggulingkan Visser Three. Kenapa
lagi" Itu satu-satunya jalan baginya untuk keluar dari masalah. Jatuhkan musuh
utamanya. Lalu, selesaikan perkara dengan orang-orang yang menjabat di antara
mereka." Aku mengangguk. Masuk akal. Rachel mengerti sekali cara pandang Visser One.
"Mau apa saja motifnya, tetap saja berarti berita buruk buat kita," Cassie
merespon. "Tidak begitu juga," kata Jake. "Visser-Visser yang terpecah belah lebih gampang
ditangani daripada Visser-Visser yang bersatu melawan kita."
Jake mengangguk. "Langkah pertama, cari tahu apa yang ada di dalam kantor itu."
"Lantai dua puluh dua, pintu ketiga di bagian kanan lift," kataku.
"Tobias?"
rapuh. Kita seharusnya nggak punya masalah untuk menyelinap.>
"Morf lalat?" kata Cassie. "Ke atap jadi burung, demorf, morf lalat..."
"Nggak kurekomendasikan. Aku punya pengalaman buruk dengan sistem ventilasinya
tadi. Tapi serangga yang lebih berat dan cepat mungkin bisa. Serangga yang bisa
masuk ke kolong pintu dan dinding."
"Maksudmu..." "Betul sekali." Aku nyengir. "Tamu favorit setiap rumah. Sang kecoa."
"Kita lakukan secepatnya," perintah Jake. "Malam ini. Tapi aku nggak bisa. Acara
keluarga." "Aku juga," kata Rachel, memutar bola matanya. "Aku janji pada Mom untuk menjaga
Jordan dan Sara. Dan aku sudah bikin Mom marah terlalu sering akhir-akhir ini."
"Aku nggak suka bilang ini," lanjut Cassie, "tapi aku juga nggak bisa. Satu
ulangan lagi dan aku bakal dapat D di Matematika. Kalau aku dapat D, orangtuaku
akan menggrecokiku 24 jam sehari."
melakukannya.> "Aku juga, dong," kataku.
Jake memandangiku. "Bagaimana ayahmu?" Tanya Cassie cepat. Dia mencoba memberiku jalan keluar.
"Bagaimana kenapa" Dia sedang bekerja 12 jam per hari di sebuah proyek besar.
Dia pulang ke rumah, duduk di sofa, nonton ESPN. Nggak akan pernah tahu aku
keluar." Jake terus saja memandangku.
Rachel memalingkan wajah.
Ax paling bisa diandalkan untuk berterus terang.
"Ax benar, Marco," kata Cassie. "Bertemu empat mata lagi dengan Visser One
mungkin sulit buatmu. Dan berbahaya. Buat kami semua."
"Apa aku memberitahu identitasku waktu misi Pulau Royan dulu?" tuntutku. "Atau
hari ini?" "Pertama kali sih hampir," Rachel bergumam.
"Nggak, nggak hampir," sergahku kesal. "Sama sekali nggak. Dan itulah faktanya."
Sunyi canggung sejenak. "Aku nggak bisa percaya ini," kataku. "Kita sudah pernah mengalami hal ini. Misi
adalah prioritas utama. Masalah pribadi, kedua. Aku ikut. Aku bakal pergi.
Pasti." Jake menghela nafas. "Oke, Marco, Ax dan Tobias. Malam ini." Dia memandangku.
"Jangan lakukan hal bodoh apapun. Ini cuma misi pengamatan."
Aku mengangguk. "Dan kalau ada keputusan penting yang harus diambil, Tobias yang melakukannya."
Pernyataan itu sama sekali tidak terduga. Tapi tidak ada gunanya membantah.
Kalau aku jadi Jake, aku akan melakukan hal yang sama.
"No problem." Jake menghampiriku, menarik tanganku dan membawaku ke luar, dibanjiri cahaya
matahari siang. Aku meringis. Aku tahu dia mau apa.
"Aku sadar ada beberapa hal yang kekurangan detil dalam ceritamu tadi," Jake
memulai. "Yang membuatku sadar kamu pasti sudah melakukan sesuatu yang kamu nggak pingin
aku tahu." "Yeah. Pasti kamu nggak mau tahu." Aku mencoba memsang cengiran iblis-punpeduli. Tidak terlalu berhasil. Jake melipat tangannya di depan dada dan menunduk dalam diam. Lalu menoleh ke
arahku. Jake sudah berubah banyak dalam bulan-bulan dimana kami bertarung dalam perang
ini. Tatapannya tidak sama seperti temanku Jake, sahabat baikku. Seperti seorang
komandan perang. Seram juga melihat perubahannya.
"Marco, kamu ini teman baikku. Tapi kalau kamu melakukan hal seperti itu lagi,
di antara kita berdua akan ada masalah serius."
Kalau ini masa lalu aku pasti menjawab, "Coba saja," atau kalimat lain yang sama
pintarnya. Sekarang aku menjawab, "Oke, aku mengerti."
Hanya itu kalimat terbaik yang bisa kupakai untuk mencegahku menjawab, "Ya,
sir." Chapter 7 Malam itu pukul 11.30, dengan ayahku mendengkur dalam tidurnya, aku morf menjadi
burung bangau dan terbang ke salah satu taman kecil yang tersebar di dareah
kota. Bangku taman, keranjang sampah, beberapa pohon berpilin. Tempat dimana
orang-orang bersetelan memakan sandwich mereka.
Aku mendarat di jalanan berdebu untuk memilih buruanku yang ada di keranjang
sampah terbalik saat aku mendengar pangilan seekor burung pemangsa. Dengan
setengah hati aku berbalik dari sisa-sisa gyro dan berangkat untuk bergabung
dengan seekor elang ekor-merah yang terbang dari utara dan seekor northern
harrier, dari selatan. (gyro = Semacam sandwich Mesir )
Pengorek sampah seperti burung bangau itu penerbang yang baik, rendah dan cepat.
Tapi tidak bisa dibandingkan dengan elang dan harrier. Kegemukan gara-gara
terlalu banyak makan hot dog dan kerang, mungkin.
Saat aku berhasil menyusul Ax dan Tobias di atap Menara Sutherland, aku sudah
kelelahan karena berjuang terbang tinggi.
apalagi kecoa. Pasti pernah ada orang yang memaksa masuk menggunakan linggis,
meninggalkan lobang yang cukup bersar bahkan untuk dimasuki bangau yang gemuk.
Tapi kami tetap akan menggunakan kecoa.
Mereka bilang setelah pemusnahan total dengan nuklir, ketika setiap makhluk
hidup yang ada berubah menjadi lumpur berkelap-kelip, kecoa masih akan bertahan
di atas puing-puing peradaban.
Kecoa yang hebat, tak dapat dihancurkan. Mereka beradaptasi dengan racun apapun
yang diberikan kepada mereka. Dan mereka memakan apa saja yang terlihat - buku,
lem, tanaman, ikan mati, sepatu tua. Hampir mustahil untuk menghancurkan mereka.
Aku suka bagian itu tentang kecoa.
Angin menampar-nampar. Awan gelap bergulung-gulung, menutupi bulan dan bintangbintang. Hanya cahaya dari bangunan sekitar yang menerobos kegelapan.
Kami adalah tiga manusia mutan di langit yang menekan dan ditinggalkan. Sehektar
batu terlapis tar dan mesin pendingin ruangan mengelilingi kami. Ada tiang
bendera tanpa benderanya. Tali di tiang itu memukuli tiangnya disertai semacam
bunyi 'tang' bergema. Pemandangan Ax dari Andalite menuju kecoa lebih bisa dibilang menarik daripada
menjijikkan. Seperti armadillo dari planet Bunuh-atau-Terbunuh. Kumbang sebesar
kucing dengan cangkang yang terbuat dari besi dan enam kaki kecoa, masing-masing
ditemani kuku Andalitenya.
Tambahkan ekor sepanjang satu kaki dengan pisau di ujungnya dan kamu langsung
punya makhluk berwujud sangar.
Tobias sih terlihat menjijikkan.
Elang ekor-merah dan kecoa tidak diciptakan untuk bersatu. Ada keanggunan
absolut di satu sisi dan utilitas absolut di sisi lain. Ibu Bumi tidak membuat
seekor serangga burung untuk alasan yang baik.
Paruh Tobias sudah berubah menjadi sebuah rahang, membuka dan menutup tanpa bisa
dikendalikan. Antena seukuran pensil mencuat dari kepalanya. Dua tonjolan
seperti batang pohon muncul di kedua sisi leher elangnya. Sayapnya sudah melebur
dan bergeser ke atas punggungnya.
Aku menonton sayap itu mengeras menjadi cangkang transparan. Di bawah itu aku
bisa melihat sayap kecoa tumbuh dari bagian atas kepalanya.
Aku merinding dan memulai morf. Berfokus pada setiap detil dari kecoa. Sampah,
sudut-sudut gelap, kamar mandi, kotak sereal yang terbuka...
Kulitku mengeras terlebih dulu, dari ujung kepala sampai ujung kaki. Lenganku
menempel ke sisi tubuhku, lalu bermigrasi ke punggung.
Empat kaki merayap keluar dari sisi-sisi tubuhku dan aku jatuh ke depan. Lantai
sudah mulai mendekat saat aku mengecil seukuran koin.
Penglihatanku berpiksel. Mata majemuk kecoa, dengan sekitar dua ribu lensa,
sudah berada di tempatnya masing-masing.
Antenaku bergoyang saat indra penciuman kecoa yang luar biasa berfungsi. Kecoa
bisa mencium segalanya. Bau enak seperti daging digoreng. Bau tidak enak seperti
kotoran anjing. Atapnya berbau seperti tar dan listrik dan puntung rokok.
Isi tubuhku kehilangan seluruh kekompleksannya dan berubah menjadi satu organ
pencernaan yang panjang. Mulutku kehilangan bibirnya. Lidahku menggulung ke
dalam tenggorokan dan menjadi semacam mulut kedua.
Dan lalu otak kecoanya menyala. Aku berada di ruang terbuka.
Terlalu terbuka. Tak ada atap! Tak ada perlindungan!
Takut! Takut! Takut! Aku berlari duluan dan hampir menabrak kecoa lainnya. Aku berbelok, merayap di
lapisan tar di atap, berdecit-decit melintasi tumpukan kaca pecah, dan melompat.
Aku melakukan gerakan Evel Knievel ke Ax.
(Knievel = Nama lengkapnya Robert Craig Knievel (17 Oktober, 1938 - 30 November,
2007), seorang stuntman sekaligus atlet motor ekstrim. Terkenal sejak akhir 60an sampai awal 80-an)
Sepuluh menit kemudian kami menemukan jalan kembali ke pintu. Kami merayap
melewati pintu yang rusak itu dan menuruni anak tangganya.
Ada dua cara bagi kecoa untuk menuruni tangga. Dia bisa memanjat setiap pijakan
dan turun di tiap naikan, atau dia bisa langsung lompat saja di setiap anak
tangga, mendarat di anak tangga bawahnya.
Masalahnya kami punya terlalu banyak anak tangga untuk dituruni ke lantai duadua. Jadi aku menyarankan kemungkinan ketiga.
Chapter 8
Animorphs - 30 Reuni The Reunion di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aku sudah takut dia akan menanyakan hal itu. Mata kecoa tidak bisa melihat jauh
tapi aku yakin jatuhnya akan lurus ke lantai bawah.
Pegangan tangga itu berupa silinder besi yang dicat. Satu batangan dilas di sini
dan di sana, tapi pokoknya mengular ke bawah dalam bentuk oval sempit panjang
yang curam. Memanjatnya bukan perkara gampang. Bahkan bagi kecoa sekalipun. Catnya licin.
Untungnya, cat itu sudah dilapisi beberapa kali jadi retakan-retakan dan
tonjolannya bisa kami jadikan pijakan.
Tapi rasanya masih seperti memanjat Monumen Washington. Saat sampai di atas,
kami masih terpeleset-terpeleset di pegangan tangga itu sendiri.
Bayangkan salah satu olahraga lompat ski di Olimpiade. Hanya saja kamu tidak
bisa melihat ujungnya. Dan lintasannya melengkung, jadi kamu bisa tergelincir ke
kanan atau ke kiri. Dan kalau tergelincir ke kanan kamu bisa jatuh sekitar tiga hari.
Aku paling depan.
Ax tidak punya kepercayaan dalam kemampuan manusia melakukan hal-hal simpel
seperti menghitung. Alasannya bagus, sih.
menginjaknya di lantai dapur" Rasanya jauh lebih cepat di ketinggian normal
kecoa. Mukaku hanya beberapa millimeter dari 'tanah'. Seperti diikat di bagan bawah
Porsche seseorang. Kakiku merentang terlalu lebar, jadi dalam setiap langkah, masing-masing dari
keenam kakiku terpeleset ke udara. Hasilnya adalah semacam seretan, lari takterkontrol yang membuatku meluncur menggunakan perutku sebagian dari waktu.
Aku berbelok dengan kecepatan yang serasa dua ratus mil per jam. Aku
menggelincir ke kanan untuk memegang tonjolan sudut.
Benar-benar seperti kereta salju. Kereta salju dengan roket ditempel di
bokongmu. Sebuah luncuran dimana pemain skateboard mau menukarkan ginjalnya
untuk mengalami hal ini. Turun dengan kecepatan gila-gilaan, kaki mengendalikan, terpeleset, menggunakan
perut, antena tertiup ke belakang.
'Jalan'nya adalah balok keseimbangan yang merupakan pipa.
Gila!
alih. Tak bisa lagi berhenti. Tak ada lagi melambat. Kaki sudah tak terkendali. Kami
ini peluru, hampir tidak menyentuh besi pegangan tangga, berbelok di belokan
lima gram yang seharusnya bisa menjatuhkan isi perut kami ke kaki. Kalau kami
punya isi perut. Atau kaki.
Lantai setelah lantai! Nyaris dan nyaris terpeleset. Merayap cepat, menyeret,
berkutat dan berlari seperti seseorang yang ditarik di belakang bus.
Chapter 9 Aku lompat di belokan terakhir. Tak ada pelemparan diri kali ini. Waktunya untuk
meluncur keluar jalur dimana pembawa acara akan mengumumkan, "Oh! Ladies, dan
gentlemen, telah terjadi sebuah kecelakaan yang mengerikan; kuharap semuanya
baik-baik saja!" Aku menabrak belokannya. Aku tidak berbelok ke bawah. Aku terus saja melaju
lurus ke depan. Lurus ke depan dan tiba-tiba kaki-kaki kecoaku yang kecil
bergerak-gerak di udara.
menyetujui. Kami merayap menuju, lalu melewati celah dari pintu darurat, dengan besi
menggesek punggung kami, dan masuk ke koridor lantai dua puluh dua.
Koridor itu gelap kecuali sebuah sinar lemah dari sebuah pintu tertutup di
depan. Kami berlari menyusuri karpet buatan itu, menempel erat pada dinding.
Lalu pintu kantor yang ada cahayanya itu terbuka.
Seorang pria melangkah keluar dan lampu pun menyala.
Panik!
Kami berdiri diam terpaku sementara sosok menjulang itu mengambil langkah lain.
"IRS dan bagian audit mereka," gumam pria itu.
Dia mematikan lampunya dan mengunci pintu di belakangnya. Lalu dia kehilangan
kendali. "Kecoa!" Jeritnya. Aku merasakan getaran-gataran ganas saat kaki manusianya yang
besar menghantam karpet.
keluarkan untuk kantornya, dan ternyata ada kecoa padahal mereka bilang bangunan
ini mewah, hah! Ada bunyi DING yang menandakan kedatangan lift. Lampu koridor mati. Pintu lift
tertutup. Kami sendirian di lantai dua puluh dua.
Kecuali, tentu saja, ibuku.
Bukan, bukan ibuku, kataku pada diri sendiri. Aku tidak bisa mencegah diriku
berpikir seperti itu. Dia adalah Visser One. Makhluk yang kami lawan.
Kami merayap sampai mencapai pintu yang aku cukup yakin merupakan pintu kantor
sang Visser. Mendaki ambang pintunya, lalu melewati sisi atas pintu ke bagian
dasar jendela di tengah ruangan.
Penglihatan kecoa tidak termasuk spektakuler. Tapi, aku masih bisa melihat cukup
baik untuk memutuskan bahwa itu hanyalah kantor biasa. Meja resepsionis, kursi
berbantalan empuk, sofa kulit, telepon, komputer, printer, mesin fotokopi, mesin
pembuat-kopi. Tidak ada bau Yeerknya sama sekali.
Kami menuruni pintu dan mencoba masuk dari celah di bawahnya. Tidak berhasil.
nafas.
duluan melintasi dinding dan masuk ke dalam saluran udara tempat aku terhisap
tadi pagi.
langsung berhubungan dengan apa yang pasti merupakan sarang sang Visser. Itu
kalau Sang Visser sedang mempersiapkan perang melawan sebuah negara kecil.
ruangan. Visser sudah memproyeksikan gambaran kantor yang normal ke bagian belakang
lukisan ini.
Dalam hampir kegelapan total kami merangkak keluar dari celah ventilasi dan
menyusuri langit-langit sampai ke tepian dinding. Lalu menuruni dinding ke
karpet industri abu-abu.
beberapa menit, kami sudah kembali ke bentuk semula. Dengan panca indra tajam
Andalite, elang serta manusia.
Dan saat itulah aku berharap aku masih jadi kecoa. Kecoa tidak akan bisa melihat
dengan jelas pemandangan yang kulihat sekarang.
Di sudut ruangan ada kolam Yeerk kecil, jenis yang dapat dibongkar-pasang.
Seperti Jacuzzi berbahan stainless steel. Tas besar berpinggiran besi yang
kulihat tadi pagi ada di dekatnya.
Di pinggir kolam Yeerk itu ada pengapit besar. Semacam tali pengekang.
Leher ibuku dibelit dengan pengekang itu. Mencengkramnya erat. Kepalanya
dimiringkan sehingga satu sisi mukanya, satu telinga, berada di bawah permukaan
air. Bagian tubuhnya yang lain berdiri dengan posisi aneh, tak berdaya, membungkuk.
Yeerk harus kembali ke kolam Yeerk setiap tiga hari untuk menyerap sinar
Kandrona. Kalau tidak dia akan kelaparan.
Kotak rumit ini adalah Kandrona portabel.
Ibuku, pada saat ini, pada momen singkat ini, adalah ibuku sendiri. Siput Yeerk
yang adalah Visser One sedang keluar dari kepalanya, dalam kolam, makan.
Saat ini dia adalah ibuku.
Lima langkah dan aku akan berada di sampingnya.
Aku bergerak. Chapter 10
Langkah kedua. Ketiga!
Aku berhenti.
pengekang itu hanya dengan kekuatanmu saja. Pasti pengendalinya dikontrol dengan
gelombang-otak antarmuka. Jadi Yeerk itu masih bisa memegang kontrol, walau
berada di luar tubuh ibumu.>
Aku menggenggam ekornya dan mencoba menyingkirkannya.
Tapi ekor Andalite adalah otot yang panjang dan lentur. Bergeser sekitar tiga
inci.
pandangannya, dia akan tahu.>
Aku berhenti mencoba mendorong ekor Ax.
bagaimana, Marco">
Ibuku diikat menjadi catok, tiga kaki jaraknya dariku. Mungkin Ax salah. Mungkin
aku bisa melepas pengapit itu. Mungkin...
Aku melangkah mundur. Aku merasa seperti sampah. Dia berada tepat di sana! Bebas, walau hanya sebentar
saja. Aku dapat memberitahunya aku baik-baik saja! Aku dapat memberitahunya...
Tidak. Aku tidak bisa memberitahunya apa-apa. Ax mungkin benar. Aku tidak akan
bisa membebaskannya. Visser One akan memasuki kepalanya lagi. Dia akan mengontak
penjaga. Rahasia kami tersebar. Lalu"
Lalu kami harus menghancurkan mereka yang tidak bersalah bersama yang bersalah.
Masuk akal. Itu adalah hal yang pintar yang dingin dan penuh perhitungan.
Aku menyeka muka dengan tanganku. Basah.
"Itu apa" Yang di ujung," bisikku, mengalihkan perhatianku sendiri.
Alat itu sebesar sekitar piano yang berdiri tegak. Di bagian atasnya ada
piringan satelit, menghadap jendela keluar. Di bagian tengah alat itu ada layar
besar. Dan di layar itu ada tayangan yang terlihat diambil dari atas.
Tayangan yang anehnya sangat familiar. Tayangan dari Hork-Bajir merdeka.
Ax meneliti, pandangan mata pengintainya mengelilingi ruangan.
mulai.> "Membusuklah di neraka!"
Kata-kata itu pelan, tapi membara. Kami mematung.
Suara ibuku! Tapi dia bicara pada siapa" Pada kami" Apa dia tahu kami di sini"
Apa dia mendengar kami"
Tidak, tidak tentu saja. Dia sedang berbicara dengan Yeerk itu. Pasti dia sudah
mulai memasuki kepalanya.
BBWWBBWWBBWW! Ruangan itu mulai bergetar. Aku terlonjak kaget.
BAM! Bahkan di kamar mandi aku merasakan efek pukulannya. Seseorang atau sesuatu
sedang menghantam pintu kantor. Dengan kekuatan palu besar yang memukul bertubitubi. BAM! BAM! "Para Yeerk," kataku. "Mereka disini untuk membunuhnya!"
Laskar Dewa 3 Pendekar Misterius Karya Gan Kl Tusuk Kondai Pusaka 15