Ceritasilat Novel Online

Tombak Pusaka 1

Tombak Pusaka Karya Rahadi Bagian 1


Tombak Pusaka Oleh Rahadi (kdj) 1 Tombak Pusaka Oleh Rahadi (kdj) 2 Tombak Pusaka Oleh Rahadi (kdj) 3 Tombak Pusaka Oleh Rahadi (kdj) BAB I Kota Demak atau yang terkenal dengan nama "Kota Wali", dahulu
ada sebuah kerajaan Islam yang terbesar di seluruh pulau Jawa dan
termasuk kota yang tertua di Jawa Tengah. Mengapa disebut kota Wali
karena dari kota Demak itulah, mula pertama para Wali menyebarkan
agama Islam di pulau Jawa.
Menurut riwayatnya nama Kota Demak itu berasal dari kata-kata
"mukadimmah" yang artinya "permulaan". Permulaan perkembangan
Agama Islam. Syahdan, sebelum Kota Demak itu menjadi sebuah kerajaan Islam
adalah merupakan sebuah hutan belantara yang bernama hutan "Bintaro".
Dalam hutan itu, terdapat semacam tumbuh-tumbuhan yang dinamakan
glagah baunya sangat harum maka orang menamakan "glagah wangi". Di
situlah Raden Patah yang kemudian bergelar Sultan Jimbun mendirikan
kerajaan Islam di pulau Jawa dengan dibantu oleh para wali, yang terkenal
antara lain: Sunan Kalijaga, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Ngampel, dan
Sunan Bonang. Alkisah, maka ketika Sultan Trenggono (raja Demak yang ke III) wafat,
karena difitnah oleh salah seorang hambanya yang mendapat upah dari
pihak musuh, maka keadaan pemerintahan menjadi goncang. Perselisihan
dan persengketaan paham segera timbul di antara para keluarga raja.
Persengketaan mana berkisar soal siapa yang patut dan berhak
menggantikan almarhum Sultan Trenggono menjadi raja. Baginda
mempunyai beberapa orang putera-puteri yang kesemuanya memegang
peranan dalam sejarah Demak. Adapun putera-puteri beliau itu ialah:
1. Pangeran Mukmin, adalah putera sulung. la oleh Sunan Giri diangkat
menjadi wali dan bertempat tinggal di Gunung Prawata, oleh karena itu
ia disebut Sunan Prawata.
2. Seorang puteri, kawin dengan Pangeran Langgar, yaitu putera Kyai
Gede Sampang Madura. 3. Seorang puteri lagi, kawin dengan Pangeran Hadiri Bupati Kalinyamat;
selanjutnya ia terkenal dengan nama Nyai Ratu Kalinyamat.
4. Seorang puteri kawin dengan Pangeran Hadiwijaya, bupati Pajang.
Pangeran Hadiwijaya ini semasa mudanya bernama Karebet atau Jaka
Tingkir, dan sering pula disebut Panji Mas.
4 Tombak Pusaka Oleh Rahadi (kdj) 5. Seorang puteri, kawin dengan Pangeran Pasarean putera Fatahillah
yang menggatikan kedudukan ayahnya menjadi bupati Cirebon.
6. Pangeran Timur, adalah putera yang bungsu.
Para wali sendiri tidak ada persamaan pendapat dalam memilih calon
raja. Masing-masing mempunyai pandangan tersendiri, sehingga
persengketaan itu semakin meruncing.
Sunan Giri memilih Sunan Prawata atau Pangeran Mukmin menjadi
raja, karena ia adalah putera Sultan Trenggono yang tertua. Sedang Sunan
Kudus mencalonkan Arya Penangsang, bupati Jipang Panolan, Cepu, karena
Arya Penangsang adalah prajurit yang tangguh. la adalah putera Pangeran
Sekar (Sedo Lepen), kakak Sultan Trenggono. Jadi ia lebih berhak atas tahta
kerajaan Demak daripada Pangeran Mukmin.
Lain dengan pendapat Sunan Kalijaga yang mencalonkan Pangeran
Hadiwijaya, bupati Pajang (daerah Surakarta) sebagai calon raja, karena ia
sangat sakti ambeg-parama-arta. Sejak muda ia telah menjadi panglima
perang kerajaan Demak, sehingga Sultan Trenggono berkenan
mengambilnya sebagai menantu.
Perselisihan paham ini kian hari semakin bertambah meruncing, dan
Arya Penangsang dalam hatinya menganggap dirinya lebih berkuasa
(berhak) daripada yang lain. Dan oleh karena hatinya tak sabar lagi, ia akan
menempuh jalan dengan kekerasan.
Oleh Sunan Kudus ia sudah banyak diberi nasihat supaya jangan
terlalu gegabah melaksanakan maksudnya itu, lebih baik harus diadakan
secara musyawarah untuk menentukan siapa yang seharusnya berhak
memegang tahta kerajaan itu. Tetapi nasihat-nasihat yang baik itu tak
dihiraukan lagi oleh Raden Arya Penangsang. Nyatnya ini sudah tak dapat
dicegah lagi oleh Sunan Kudus. Maka dengan perasaan berat Sunan Kudus
terpaksa meluluskan permintaan seorang murid yang sangat dicintainya
itu. Maka pulanglah Arya Penangsang ke Jipang dengan perasaan lega.
Sesampainya di kadipaten Jipang, Arya Penangsang segera
memanggil kyai patih Matahun untuk diajak berunding. Oleh kyai patih
dianjurkan agar Arya Penangsang mengutus seorang prajurit pilihan untuk
membunuh sunan Prawata, serta kaum kerabatnya yang terdekat, antara
lain Pangeran Hadiwijaya. Usul patih Matahun ini diterima dengan senang
hati oleh Arya Penangsang.
Pada suatu malam yang sunyi, prajurit Jipang (utusan Arya
Penangsang) itu telah berhasil masuk ke dalam pesanggrahan Gunung
5 Tombak Pusaka Oleh Rahadi (kdj) Prawata, di mana Pangeran Mukmin beserta permaisurinya sedang
nyenyaknya dialun oleh buaian mimpi, kesempatan ini dipergunakan
sebaik-baiknya oleh utusan tersebut, maka dengan dua tikaman keris yang
tepat mengenai dada kedua orang bangsawan tersebut, akhirnya tamatlah
riwayat Sunan Prawata dan isterinya di atas tempat peraduannya. Esok
paginya keadaan di pesanggrahan Prawata menjadi gempar, karena
terbunuhnya Pangeran Mukmin suami-isteri ini.
Pangeran Hadiri beserta isterinya segera berangkat ke pesanggrahan
Gunung Prawata, setelah mendengar kematian kakaknya. Tetapi sial bagi
mereka di tengah jalan telah dibegal oleh utusan Arya Penangsang itu.
Pangeran Hadiri tewas seketika itu juga, sedang isterinya, yaitu Ratu
Kalinyamat sempat meloloskan diri dan sampailah ia di gunung Danaraja.
Selanjutnya Ratu Kalinyamat berniat hendak bertapa di gunung
Danaraja, dan bersumpah tak akan melekatkan pakaian selembar pun
sebelum orang yang membunuh suami dan saudaranya itu mendapat
balasan yang setimpal dari Tuhan. Sebagai penutup tubuhnya ia
membiarkan rambutnya terurai.
Kini tinggal seorang lagi musuh Arya Penangsang yang belum
dimusnahkan oleh utusan tersebut, yaitu Pangeran Hadiwijaya bupati
Pajang. Maka pada suatu malam, utusan Arya Penangsang itu telah berhasil
masuk ke kadipaten Pajang, dilihatnya waktu itu Pangeran Hadiwijaya
sedang enak-enak tidur, maka tanpa membuang waktu lebih lama lagi ia
segera menusukkan senjatanya ke dada Pangeran Hadiwijaya. Tetapi apa
yang terjadi? Berkat kesaktian sang Pangeran, keris yang ditusukkan itu
patah menjadi dua keping. Sedang kulit Sang Pangeran sedikit pun tak ada
yang terluka. Tetapi meskipun begitu sang Pergeran terperanjat pula ketika
keris itu jatuh di atas dadanya sehingga terbangun mendadak dari tidurnya
dan selimut terpental menimpa si pembunuh. Karena selimut itu adalah
selimut pusaka maka si pembunuh jatuh menggeletak di lantai dengan
mengerang-erang tak dapat bergerak.
Sang Pangeran merasa sangat kasihan melihat orang itu, diambilnya
selimut tersebut dan disuruhnya ia duduk. Dengan tersenyum Pangeran
Hadiwijaya bertanya: "Wahai ki sanak, kulihat rupanya engkau bukan orang dari kadipaten
Pajang, lagi pula ada keperluan apa engkau tengah malam begini masuk ke
mari?" 6 Tombak Pusaka Oleh Rahadi (kdj) Dengan wajah yang takut bercampur cemas, utusan tersebut
mengaku bahwa ia adalah pesuruh Pangeran Arya Penangsang yang
ditugaskan untuk membinasakan (menamatkan riwayat) Pangeran
Hadiwijaya. Mendengar jawaban utusan tersebut sang Pangeran
tersenyum pula dan dengan sabar bertanya:
"Jadi, kalau begitu engkaukah yang membinasakan Pangeran Mukmin
dan Pangeran Hadiri beberapa hari yang lalu?"
"Betul Gusti," jawab utusan itu dengan menundukkan kepalanya.
"Sebenarnya orang seperti engkau ini harus mendapat hukuman
setimpal. Tetapi aku bukanlah seorang yang kejam. Lagi pula engkau
berbuat begitu karena disuruh dan mendapat upah dari Arya Penangsang,
oleh karena itu engkau kuberi ampun. Pulanglah engkau ke Jipang,
katakanlah kepada ratu gustimu Arya Penangsang tentang segala kejadian
yang engkau alami ini. Hanya itulah pesanku", demikian kata Pangeran
Hadiwijaya. Setelah mengucapkan banyak-banyak terima kasih, maka pulanglah
utusan Arya Penangsang itu dengan hasil nihil, karena ternyata Pangeran
Hadiwijaya adalah orang yang kebal.
Setibanya di kadipaten Jipang, maka utusan tersebut segera
menghadap kepada Arya Penangsang. la dengan hati yang takut dan cemas
menuturkan segala kejadian-kejadian yang ia alami selama menjalankan
tugas untuk membinasakan Pangeran Mukmin, Pangeran Hadiri, dan
Pangeran Hadiwijaya. Tetapi ketika Pangeran Arya Penangsang mendengar
bahwa musuhnya yaitu Pangeran Hadiwijaya belum dapat dibinasakan,
menjadi sangat murka hatinya.
"Jadi kangmas Hadiwijaya belum dapat engkau binasakan?"
"Betul Gusti, karena Pangeran Hadiwijaya ternyata seorang yang
kebal dan sakti". "Engkau prajurit pengecut, ini hadiahmu ....", dengan berkata begitu
Arya Penangsang segera menusukkan keris pusaka kadipaten Jipang ke
dada utusan yang malang tersebut. Dan seketika itu pula utusan tadi
menggeletak di atas lantai dengan berlumuran darah, dan tak bernyawa
lagi. 7 Tombak Pusaka Oleh Rahadi (kdj) "Engkau prajurit pengecut! Ini hadiahmu!" Seru Arya Penangsang
Konon, ketika jenazahnya akan diangkut keluar oleh Kyai Patih
Matahun, maka mendadak hilang musnah tak tentu rimbanya. Tetapi
sebentar kemudian terdengarlah suara gaib:
"Hei.... Arya Penangsang, ketahuilah aku adalah roh dari orang yang
baru saja engkau bunuh dengan tangan bengismu. Aku menyesal telah
membunuh mereka yang tak berdosa kepadaku, karena atas perintahmu.
Kini.... aku sendiri yang engkau buat korban keris celaka itu. Ingat Arya
Penangsang, besuk kalau terjadi perang antara Pajang dengan Jipang, di
situlah ajalmu akan sampai.
Mendengar suara gaib itu, Arya Penangsang menjadi tertegun
sejenak. Pada wajahnya terbayang rasa penyesalan atas tindakannya yang
kurang bijaksana itu. Tetapi oleh Kyai Patih Matahun, kegundahan hati
Arya Penangsang itu dapat dihiburnya dengan kata-kata yang lemah
8 Tombak Pusaka Oleh Rahadi (kdj) lembut, dan dinasihatkan agar tindakan-tindakan selanjutnya supaya
dipertimbangkan sebaik-baiknya, janganlah terburu oleh nafsu amarah.
Demikianlah maka untuk menenangkan fikiran dan melupakan segala
peristiwa yang baru dialami itu, masuklah Arya Penangsang ke dalam
sanggar pamujan. Sedangkan kepada Patih Matahun diperintahkan untuk
menjaga tata tertib pemerintahan, serta merahasiakan kejadian-kejadian
tersebut. Pada suara hari ..... Ketika Pangeran Hadiwijaya sedang duduk termenung seorang diri,
tiba-tiba datanglah seorang ponggawa Kadipaten yang menyampaikan
sepucuk surat dari Sunan Kudus. Adapun isi surat itu ialah minta agar
Pangeran Hadiwijaya datang ke Kudus untuk "bawa rasa" dengan beliau.
Permintaan Sunan Kudus yang demikian itupun dipenuhinya oleh
Pangeran Hadiwijaya. Keberangkatannya ke Kudus, diiringkan oleh
penasihat-penasihatnya, yaitu Ki Penjawi dan Ki Pemanahan. Tak
ketinggalan pula Sutawijaya, yaitu anak Ki Pemanahan yang telah dipungut
dan diakui sebagai putera Pangeran Hadiwijaya.
Kedatangan Pangeran Hadiwijaya disambut dengan ramah tamah
oleh Arya Penangsang, seolah-olah mereka adalah bersahabat karib. Pada
wajah mereka tak terbayang sifat-sifat permusuhan, karena masing-masing
dapat menyimpan perasaan hatinya.
"Selamat datang wahai kakangmas Hadiwijaya" sambut Pangeran
Arya Penangsang dengan ramahnya.
"Doa restu dimas Pangeran Arya Jipang, selamat," jawab Hadiwijaya
dengan senyumnya yang mengulum.
Setelah mereka saling menanyakan tentang keadaan rakyat dan
negaranya masing-masing, maka bertanyalah Pargeran Arya Penangsang
kepada Pangeran Hadiwijaya:
"Maafkan kakanda, bolehkah dinda mengetahui pusaka keris mana
yang kakanda pakai. Rupanya dinda belum pernah mengetahuinya".
Oleh Hadiwijaya permintaan Arya Penangsang itu diluluskan. Tetapi
ia tetap waspada, keris pusaka Kadipaten Pajang tetap disembunyikan. Ia
menanti reaksi apa yang dilakukan oleh Arya Penangsang dengan keris
tiruannya itu. 9 Tombak Pusaka Oleh Rahadi (kdj) Dengan tersenyum lega Adipati Jipang itu seolah-olah memeriksa
keris tersebut, dan akhirnya ditariklah keris itu sambil berkata dengan nada
mengejek: "Hem .... apakah ampuh juga pusaka ini?" Ia maju selangkah
mendekati Hadiwijaya, yang ketika itu berdiri sambil mengawaskan gerakgerik Arya Penangsang, seolah-olah ia tak menaruh kecurigaan apa-apa.
Melihat gelagat yang demikian itu, Ki Penjawi dan Ki Pemanahan tak
sabar lagi. la memberikan isyarat kepada Pangeran Hadiwijaya agar selekas
mungkin mengeluarkan senjatanya yang satu lagi. Maka dengan secepat
kilat ditariklah keris pusaka Pajang pemberian Sunan Kalijaga yang diberi
nama Kyai Crubuk, diacungkan kepada Pangeran Arya Penangsang sambil
berkata: "Keris yang engkau pegang itu tidak seberapa ampuhnya dimas, lain
dengan pusakaku Kiai Crubuk ini. Jangankan manusia, sedangkan gunung
yang besar dan megah akan rontok rata dengan tanah".
Terbeliak mata Pangeran Arya Penangsang melihat keris pusaka yang
dipegang oleh lawannya itu mengeluarkan pengaruh (hawa) yang sangat
panas. la tidak menduga sama sekali kalau Hadiwijaya masih menyimpan
senjata yang lebih ampuh lagi. Kini ia percaya akan kata-kata gurunya, yaitu
Sunan Kudus, bahwa Hadiwijaya adalah orang yang lihai dalam menebak
maksud seseorang. Untunglah waktu itu datang Sunan Kudus untuk memisah mereka
yang sedang hendak bertempur.
Oleh Sunan Kudus mereka diberi nasihat-nasihat agar sesama
saudara hendaknya jangan saling bermusuhan, sebab itu melemahkan
kekuatan. Setelah selesai keperluan antara Sunan Kudus dengan Pangeran
Hadiwijaya, maka rombongan Pangeran Hadiwijaya minta diri pulang ke
Panjang. Perjalanan Pangeran Hadiwijaya beserta para pengikutnya sampailah
di dekat pesanggrahan Gunung Danaraja, di mana ratu Kalinyamat (isteri
Pangeran Hadiri) sedang bertapa. Teringatlah oleh Ki Pemanahan bahwa
Ratu Kalinyamat itu meskipun puteri tetapi mempunyai hak waris atas


Tombak Pusaka Karya Rahadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kerajaan Demak, apalagi sesudah Sunan Prawata alias Pangeran Mukmin
meninggal. Oleh karena itu ia berhasrat ingin mempertemukan Hadiwijaya
dengan Ratu Kalinyamat. Kalau kedua orang itu dapat bersatu, sudah tentu
soal tahta kerajaan Demak segera ada penyelesaian. Hal ini diutarakan
kepada Hadiwijaya, yang akhirnya dapat menyetujui pula usul Ki
10 Tombak Pusaka Oleh Rahadi (kdj) Pemanahan itu. Sebab Pangeran Hadiwijaya merasa terharu melihat
iparnya bertapa dengan melepas pakaiannya di bukit Danaraja yang sepi
dan menyeramkan itu. Soal tuntutan Ratu Kalinyamat atas matinya Arya
Penangsang, akan disanggupinya asalkan iparnya itu mau pulang ke negeri
Demak. Maka oleh Hadiwijaya diutuslah Ki Pemanahan untuk menemui
Ratu Kalinyamat di pertapaan. Sedangkan Pangeran Hadiwijaya serta para
pengikutnya yang lain menunggu di tempat yang agak jauh, dan membuat
pesanggrahan darurat. *** 11 Tombak Pusaka Oleh Rahadi (kdj) BAB II Suasana di sekitar pertapaan Gunung Danaraja waktu itu kelihatan
sepi, pagi yang bening dengan angin gunung yang bertiup lemah, serta
kicau burung-burung kecil yang nyaring memperdengarkan lagunya yang
merdu, semuanya mengandung firasat yang baik. Maka dengan langkah
yang tetap Ki Pemanahan terus mendekati Gunung Danaraja itu sampai ke
puncak yang pertama. Di situlah letak pertapaan Ratu Kalinyamat.
Kedatangan Ki Pemanahan itu disambut oleh Ratu Kalinyamat dengan
perasaan gembira. Pertemuan mereka ini sangat mengharukan. Karena
meskipun pertapaan itu sudah hampir menyerupai sebuah keraton kecil
yang lengkap dengan bangsal paseban, bangsal panganti, dan prabasuyasa
dan sebagainya, namun Ratu Kalinyamat sendiri berada di sebuah kobong
di mana ia sedang bertapa dengan dibiarkan rambutnya yang panjang itu
terurai. Oleh karena itu kedatangan Ki Pemanahan ini hanya ditemui di luar
kobong yang dibatasi dengan kain yang berwarna-warni dan sangat tebal.
"Rupanya Dimas Pamanahan yang datang menghadap?" kata Ratu
Kalinyamat menyambut kedatangan tamunya itu.
"Betul Gusti.... hamba Pemanahan abdi Paduka!" jawab yang ditanya.
"Selamat datang dimas, apa kabar di keraton Pajang?"
"Barkat do'a restu Gusti Ratu, selamat semua. Hanya sembah
sungkem Gusti Pangeran Hadiwijaya serta seluruh rakyat Pajang untuk
Gusti Ratu". "Oh dimas .... sangat terharu hatiku mendengar kata-katamu itu.
Syukurlah kalau gustimu Pangeran Hadiwijaya masih ingat kepadaku. Kelak
kalau engkau kembali, sampaikan do'a restuku kepadanya dan katakan
kepada seluruh rakyat Pajang".
"Terima kasih Gusti" jawab Ki Pemanahan.
"Ada keperluan apa dimas, rupanya kedatanganmu membawa kabar
penting untukku. Sebab selama aku mengasingkan diri di tempat ini, belum
pernah engkau datang ke mari. Baru kali inilah dimas Pemanahan sudi
melangkahkan kaki ke tempat yang sepi dan menjemukan ini...!"
12 Tombak Pusaka Oleh Rahadi (kdj) "Oh... Gusti Ratu!" demikian kata Ki Pemanahan. "Sebenarnya bukan
karena hamba lupa terhadap paduka Gusti Ratu, tetapi hamba takut dan
khawatir disangka orang yang bukan-bukan. Lagi pula hamba merasa
bingung karena Gusti Ratu pada detik ini masih menjalankan bertapa.
Padahal rakyat selalu menanti-nanti karena paduka Gusti Ratulah yang kini
mempunyai hak waris kerajaan Demak, sebab Gusti Pangeran Mukmin
sudah gugur. Oleh karena itu kasihanilah rakyat Demak yang kini sedang
kacau karena tidak ada yang memegang kendali pemerintahan. Sedangkan
tokoh-tokoh lainnya, seperti gusti Fatahillah dan Pangeran Langgar rupanya
sudah "cuci tangan" semua. Maka hamba dengan susah payah datang ke
tempat ini tidak lain untuk menjemput Gusti Ratu".
"Terima kasih dimas Pemanahan atas nasihat-nasihatmu itu, tetapi
sudah menjadi sumpahku bahwa aku tak akan berhenti bertapa jikalau
belum ada seseorang yang dapat membalaskan dendam hatiku atas
kematian gustimu Sunan Prawata, serta Pangeran Hadiri. Oleh karena itu
aku bersumpah pula, siapa saja yang dapat menundukkan Arya
Penangsang, kerajaan Demak dan seluruh isinya kuserahkan kepadanya!"
"Betulkah apa yang menjadi sabda Gusti Ratu itu?", tanya Ki
Pemanahan. "Sabda pandito ratu dimas!" jawab ratu Kalinyamat dengan tegas.
"Oleh karena itu sanggupkah dimas manyelesaikan tugas dan
sumpahku itu, dan adakah orang lain yang lebih sakti yang engkau ajukan?"
tanya Ratu Kalinyamat selanjutnya.
"Gusti Ratu!" kata Pemanahan kemudian. "Kalau memang betul apa
yang menjadi sabda paduka tadi, hamba mempunyai orang yang mungkin
sanggup menjalankan tugas itu!"
"Siapa dimas orang yang engkau maksudkan itu?" tanya Kalinyamat.
"Tidak lain ialah gusti Pangeran Hadiwijaya!" jawab Ki Pemanahan
dengan tegas. "Oh syukur alhamdulillah dimas, kalau gustimu Pangeran Hadiwijaya
yang sanggup menerima tugas ini. Karena dengan demikian waris kerajaan
Demak tidak jatuh di tangan orang lain".
"Betul Gusti, tetapi meskipun demikian gusti Pangeran Hadiwijaya
tidaklah begitu mengharapkan hadiah kerajaan Demak, sebab gusti
Pangeran Hadiwijaya sebelumnya sudah ada niat untuk menolong
13 Tombak Pusaka Oleh Rahadi (kdj) penderitaan Gusti Ratu. Beliau merasa kasihan melihat paduka siang dan
malam selalu tafakur mengheningkan cipta di tempat yang sunyi ini."
"Terima kasih dimas, atas perhatian gustimu Pangeran Hadiwijaya
itu. Dan, kini kuminta pertolonganmu pula, panggillah dimas Pangeran
Hadiwijaya untuk datang ke mari sebab ada sesuatu hal yang harus
kubicarakan lebih lanjut!"
"Kalau demikian, ijinkanlah, hamba menemui Gusti Pangeran".
"Ya dimas, selamat jalan dan lekas kembali, dengan g?stimu dimas
Pangeran Hadiwijaya".
"Daulat gustiku!" jawab Ki Pemenahan sambil menyembah dan terus
pergi meninggalkan pesanggrahan Danaraja.
*** Tersebutlah di pesanggrahan yang terletak tidak jauh dari tempat di
mana Ratu Kalinyamat sedang bertapa, Pangeran Hadiwijaya sedang
dihadap oleh Ki Pemanahan yang baru saja datang dari pesanggrahan
Danaraja. Oleh Ki Pemanahan diceritakan segala apa yang terjadi
pembicaraan dengan Ratu Kalinyamat, dari awal sampai akhir. Pangeran
Hadiwijaya mendengarkan cerita Ki Pemanahan itu dengan penuh
perhatian. "Baiklah dimas Pemanahan!" demikian kata Pangeran Hadiwijaya,
setelah Ki Pemanahan itu berakhir.
"Aku segera menghadap Gusti Ratu Kalinyamat di pesanggrahan
Danaraja, sebab mengenai sasrahan waris kerajaan Demak itu akupun
mempunyai syarat-syarat tertentu yang akan kuajukan kepada Gusti Ratu".
"Itu memang perlu pula gusti, sebab untuk menjaga kesulitankesulitan di kemudian hari".
"Oleh karena itu dimas Pemanahan, siapkan saja prajurit pilihan akan
mengawal perjalananku ke Gunung Danaraja esok pagi, dan jangan
ketinggalan pula ananda Sutawijaya dan dimas Penjawi supaya ikut serta.
Sedang dimas Pramanca, Wila dan Wuragil supaya memimpin barisan
prajurit-prajurit lainnya pulang ke Pajang!"
"Daulat gusti" sembah Ki Pemanahan.
14 Tombak Pusaka Oleh Rahadi (kdj) Esok paginya maka berangkatlah Pangeran Hadiwijaya serta
pengikutnya menuju ke gunung Danaraja.
Sesampainya di bangsal paseban, Ki Pemanahan memerintahkan agar
para prajurit pengawal menunggu di tempat itu. Pangeran Hadiwijaya
meneruskan perjalanan naik ke pesanggrahan dan hanya diiringkan oleh
Sutawijaya, Penjawi dan Pemanahan.
Kedatangan mereka ini disambut dengan gembira oleh Ratu
Kalinyamat. Untuk menghormati kedatangan Pangeran Hadiwijaya ini, Ratu
Kalinyamat bersedia mengenakan pakaian ala kadarnya. Oleh karena itu
pertemuan mereka lebih mengharukan lagi dan tidak perlu Ratu
15 Tombak Pusaka Oleh Rahadi (kdj) Kalinyamat menyembunyikan diri dalam di dalam kobong sebagai mana
halnya ketika Ki Pemarahan dulu menghadap.
"Oh dimas, Pangeran Hadiwijaya" demikian kata Ratu Kalinyamat.
"Sebenarnya telah lama aku menantikan kehadiranmu di tempat
yang sunyi ini, rupanya baru detik inilah keinginanku itu terkabul. Oh...
dimas, tegakah engkau melihat keadaanku ini, sebab itu bersediakah
engkau menolong penderitaanku?"
"Duh... Gusti Ratu, sesembahan seluruh rakyat wilayah Demak. Telah
lama pula sebenarnya, hamba merasa rindu kepada Gusti Ratu. Namun
perasaan itu selalu hamba simpan di dalam kalbu, karena hamba takut
akan persangkaan orang bilamana hamba berani menginjakkan kaki di
Gunung Danaraja ini. Adapun pertolongan apa yang patut hamba
persembahkan kepada Gusti Ratu, hamba selalu siap sedia menjalankan!!"
"Syukur Alhamdulillah dimas, kesanggupanmu yang tulus dan ikhlas
itu bagaikan kelopak bunga yang sedang merekah, yang dapat memberikan
pengharapan besar bagi terlaksanana cita-citaku. Oh... dimas, hanya
engkaulah satu-satunya saudaraku yang dapat menolong penderitaanku.
Aku percaya dimas, bahwa engkau lebih unggul daripada Adipati Jipang.
Biar dia orang yang sakti, tidak mempan oleh senjata, tetapi dengan
keperwiraanmu dimas ... dia akan dapat hancur, sebab engkau adalah
seorang perwiratama yang kinasih oleh ayahanda almarhum Sultan
Trenggono". "Duh... Gusti Ratu, sesembahan rakyat Demak!" kata Pangeran
Hadiwijaya, dengan perasaan sangat terharu. Hamba tidaklah sombong
kalau mengatakan bahwa hidup matinya Arya Penangsang ada di tangan
hamba. Senopati Pajang tidak kurang yang sanggup menandingi kesaktian
Arya Jipang. Maka oleh karena itu janganlah Gusti Ratu bersedih hati,
hamba sanggup dalam waktu yang singkat menundukkan Arya
Penangsang!" "Terima kasih dimas atas kesediaanmu itu, aku semulanya telah
berniat dan berjanji, yakni: Siapa saja yang dapat menundukkan Arya
Penangsang, waris kerajaan Demak dan seluruh isinya kuserahkan
kepadanya. Oleh karena dimas Hadiwijaya yang sanggup menjalankannya,
maka waris kerajaan Demak akan aku berikan kepadamu dimas!"
"Ampun Gusti.... hamba tidak berkeberatan menerima anugerah
paduka yang sekian besarnya itu, tetapi... tetapi...!" jawab Pangeran
Hadiwijaya ragu-ragu. 16 Tombak Pusaka Oleh Rahadi (kdj) "Tetapi apa dimas, coba teruskan kata-katamu itu", sabda Ratu
Kalinyamat. "Tetapi hamba tidak berani menyimpang dari kaidah-kaidah yang
berlaku. Sebab seharusnya waris keraton Demak adalah anakmas Arya
Pangiri putera kanda Sunan Prawata yang berhak memiliki".
"Betul katamu itu dimas, engkau memang orang yang jujur", jawab
Ratu Kalinyamat. "Tetapi maksudku dimas Hadiwijaya kami serahi tugas untuk menjadi
wakil raja. Sebab engkau tahu sendiri dimas, Arya Pengiri masih terlalu
muda untuk memegang kendali pemerintahan. Oleh karena itu sementara
Arya Pangiri belum cukup dewasa, dimas Hadiwijaya yang menggantikan
naik tahta menjadi raja di Demak".
"Kalau demikian....." jawab
mengajukan suatu permohonan!"
Hadiwidijaya, "Ijinkanlah hamba "Permohonan apa dimas?"
"Ampun Gusti, permohonan hamba itu yang pertama:
perkenankanlah hamba memakai sebutan Sultan, Kedua: untuk menjadi
wakil-raja itu untuk seumur hidup.
Kalau permohonan hamba ini diijinkan, hamba akan menetap di
Pajang saja. Jadi pusat pemerintahan hamba pindahkan dari Demak ke
Pajang. Adapun keraton Demak terserah kebijaksanaan Gusti Ratu, apakah
diberikan kepada anak mas Arya Pangiri ataukah dimas Pangeran Timur".
"Oh ya dimas, akupun mengerti akan maksudmu itu. Tetapi dalam hal
ini yang berwewenang memberikan ijin adalah Sunan Giri. Bagiku
permohonan itu sangat bijaksana, sebab dengan demikian kedudukan
dimas sebagai raja Demak tak dapat diganggu gugat oleh siapapun juga.
Oleh karena itu aku kini mempunyai akal, untuk menanam rasa
kepercayaan Sunan Giri terhadap dimas Hadiwijaya, kuminta kerelaan dan
keikhlasan dimas untuk mengawinkan puterimu yang sulung dengan Arya
Pangiri. Dengan demikian, Suran Giri tentu akan mengijinkan permohonan
itu". Mendengar sabda ratu Kalinyamat yong demikian itu, Hadiwijaya
menoleh kepada Ki Pemanahan yang maksudnya minta pertimbangan.
Maka kata Ki Pemanahan: 17 Tombak Pusaka Oleh Rahadi (kdj) "Hamba setuju dengan rencana Gusti Ratu itu!" Oleh jawaban Ki
Pemanahan ini, Hadiwijaya menjadi lega hatinya. Maka katanya kepada
Ratu Kalinyamat: "Gusti.... kehendak paduka untuk mengawinkan puteri hamba
dengan anakmas Arya Pangiri, hamba setuju. Dengan demikian semakin
eratlah perhubungan darah antara keturunan Sultan Trenggono dengan
Pajang", demikian jawab Pangeran Hadiwijaya.
"Kalau dimas menyetujuinya, kelak di mana perkawinan itu akan
diadakan?" tanya ratu Kalinyamat.
"Itupun terserah kebijaksanaan Gusti Ratu".
"Kalau demikian kelak pada hari perkawinan akulah yang akan
mempunyai hajat. Oleh karena itu maksudku temanten akan kita rayakan
di Keraton Demak saja dengan demikian di mata para wali lebih
mengesankan bahwa dimas Hadiwijaya adalah orang yang jujur dan
perwira, bukankah demikian dimas Pemanahan?"
"Pendapat Gusti Ratu itu cocok sekali dengan pendapat hamba"
jawab Pemanahan sambil mengacungkan ibu jarinya. Melihat tingkah Ki
Pemanahan itu. "Hamba mempunyai pikiran baru gusti" kata Ki Pemanahan sambil
maju duduknya mendekati Ratu Kalinyamat.
"Begini ... untuk menundukkan Arya Penangsang itu jangan sampai
gusti Pangeran Hadiwijaya sendiri yang berangkat, cukup para senapati
Pajang saja. Sebab hamba khawatir akan kemurkaan Sunan Kudus. Kalau
sampai mengetahui bahwa yang menundukkan Arya Penangsang adalah
gusti Pangeran Hadiwijaya. Mungkin akan menimbulkan persoalanpersoalan baru. Karena Arya Penangsang adalah murid kinasih Sunan
Kudus". "Ya .... ini semua terserah kebijaksanaan dimas."
Pangeran Hadiwijaya dan dimas Pemanahan, pokoknya Arya
Penangsang sedapat mungkin ditundukkan oleh ksatria-ksatria Pajang.
Entah siapa ..... aku terserah! Tetapi pesanku dimas, hati-hatilah sebab
Arya Penangsang adalah prajurit yang sakti dan gagah berani, teguh


Tombak Pusaka Karya Rahadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

badannya dan kuat urat-uratnya. Kalau pendapatku hanyalah dimas
Hadiwijaya yang patut menghadapinya.
18 Tombak Pusaka Oleh Rahadi (kdj) ''Pendapat dimas Pemanahan itu memang ada benarnya Gusti. Sebab
dimas Arya Penangsang itu adalah putera kinasih Sunan Kudus. Maka
alangkah baiknya, dilakukan bersamaan dengan berlangsungnya hari
perkawinan ananda Arya Pangiri, di mana para wali, termasuk Sunan Kudus
sendiri tahu bahwa waktu itu hamba berada di tengah-tengah pesta
perkawinan", kata Hadiwijaya membenarkan pendapat Ki Pemanahan.
"Ya dimas..... aku percaya akan kepandaianmu dalam mengatur siasat
ini!" demikian jawab Ratu Kalinyamat dengan wajah yang gembira. Oleh
karena itu atas anjuran Ki Pemanahan dan Pangeran Hadiwijaya, Ratu
Kalinyamat hari itu pula berangkat pulang ke Demak, sehingga dengan
demikian suasana rakyat dan para ponggawa lainnya dapat tentram
kembali. Sinar matahari pagi yang kemilau memancarkan cahaya yang
jernih, menerangi keraton Demak yang selama itu kelihatan suram oleh
karena disebabkan kekacauan yang timbul, akibat perebutan singgasana
kerajaan. *** 19 Tombak Pusaka Oleh Rahadi (kdj) BAB III Tersebutlah kini di Kadipaten Pajang. Pada suatu hari Sang Adipati
Hadiwijaya dihadap oleh Ki Pemanahan, Penjawi, dan Kimas Pramanca.
Adapun yang menjadi buah pembicaraan mereka itu ialah siapa yang
sanggup diutus untuk menundukkan Arya Penangsang. Sebab rupa-rupanya
tak seorang senopati pun di Pajang yang sanggup menerima tugas itu,
meskipun sang Adipati sudah menyediakan sebagai hadiahnya yaitu bumi
daerah Pati atau Mataram.
Maka sembah Kimas Pramanca: "Duh gusti, sesembahan rakyat
Pajang, hamba telah mengumumkan apa yang menjadi sabda paduka itu,
tetapi rupanya tak seorang pun senopati di Pajang yang sanggup
menundukkan Pangeran Arya Penangsang. Oleh karena itu ijinkanlah
hamba untuk berangkat ke Jipang melaksanakan tugas itu. Hamba tidaklah
menginginkan hadiah bumi Pati atau Mataram, melainkan terdorong oleh
rasa tanggung jawab hamba sebagai pepatih kadipaten Pajang!"
"Terima kasih dimas, atas kesanggupan yang ikhlas dan jujur itu.
Tetapi jikalau engkau yang berangkat menjalankan tugas ini, tidak bedanya
kalau Adipati Pajang sendiri yang datang ke Jipang".
"Kalau demikian, bagaimana kehendak paduka gusti sang Adipati?"
tanya Kimas Pramanca. Kini kuserahkan dimas Panjawi dan Pemanahan, adakah ia
mempunyai orang, yang sanggup menerima tugas itu?
"Duh gusti, rupanya tak seorang pun yang sanggup melakukan hal itu.
Oleh karenanya kalau paduka mengijinkan hamba dengan dimas Penjawilah yang akan sanggup menundukkan Arya Penangsang".
Mendengar jawaban Ki Pemanahan itu, alangkah gembira hati sang
Adipati, maka sambil tersenyum lega ia berkata:
"Syukurlah dimas, kalau engkau sendiri dan dimas Penjawi yang
sanggup menerima tugas ini. Hanya pesanku berhati-hatilah engkau
menghadapi Arya Penangsang. Tetapi aku percaya kepadamu dimas, sebab
sudah cukup lama engkau berdua mengenyam pahit-getirnya orang
memainkan senjata. Maka tak lain do'a restuku mengiringi perjalananmu,
semoga Tuhan selalu melindungimu dari segala bencana!"
20 Tombak Pusaka Oleh Rahadi (kdj) Suasana seketika menjadi hening, tampak Ki Pemanahan dan Penjawi
duduk termenung. la sangat terharu hatinya menerima pesan Sang Adipati
itu. Tiba-tiba keadaan pasewakan menjadi ramai, karena dengan tak
diduga-duga Sutawijaya datang menghadap. Sambil duduk bersimpuh di
muka ayahanda Adipati, ia berkata:
"Duh ayahanda yang tercinta, ijinkanlah hamba ikut ke Jipang.
Perasaan hamba belum puas kalau Arya Penangsang belum menjadi mayat,
hamba masih ingat akan peristiwa yang terjadi di Kudus pada beberapa
bulan yang lalu, di mana ayahanda akan dibunuh secara diam-diam oleh
paman Arya Penangsang. Hamba tidak rela melihat ayahanda difitnah. Jasa
apa yang akan dapat hamba persembahkan kepada paduka ayahanda, yang
sejak hamba masih kecil selalu disanjung dengan kasih mesra. Oh....
ayahanda, ijinkanlah ikut ke Jipang.... hamba tidak takut berhadapan
dengan paman Arya Penangsang.... hamba rela mengorbankan jiwa raga
demi untuk membela kehormatan ayahanda!"
Mendengarkan kata-kata Sutawijaya ini sangat terharulah sang
Adipati, ia sangat memuji akan kemurnian jiwa puteranya ini, meskipun
hanya putera angkat. Tetapi sebenarnya ia tak rela melepaskan Sutawijaya
ikut berangkat ke Jipang, namun setelah ditimbang-timbang akhirnya
diperbolehkan pula. Sebab Sang Adipati ingat bahwa tekat Sutawijaya yang
sedemikian itu adalah suatu sifat kepahlawanan. Apalagi setelah sang
Adipati mendapat pertimbangan dari Ki Juru Mretani yaitu pamannya.
Sutawijaya yang menurut silsilahnya masih keluarga dekat dengan Ki
Pemanahan, maka keinginan Sutawijaya untuk ikut ke Jipang terpaksa
diijinkan. "Ananda Sutawijaya, keinginanmu untuk pergi ikut dengan pamanmu
Pemanahan ke Jipang, kuijinkan. Tetapi engkau harus selalu waspada dan
hati-hati sebab engkau belum berpengalaman perang, maka dari itu
engkau harus menurut segala perintah dan nasihat dari pamanmu
Pemanahan, serta wakmu Ki Juru Mrentani"
Betapa gembira hati Sutawijaya serta mendengar sabda sang Adipati
itu, namun demikian bagi sang Adipati masih merasa khawatir. Maka
pesannya kepada Ki Pemanahan dan Ki Juru Mrentani:
"Untuk menjaga keselamatan ananda Sutawijaya dimas Pemanahan
dan kakang Juru Mrentani kami minta agar mempersiapkan bala tentara
yang kuat untuk membentengi ananda Sutawijaya dari serangan musuh.
Tetapi dari keberangkatan kalian ke Jipang, jangan sampai terlihat oleh
siapapun juga. Jadi secara diam-diam agar tidak terdengar oleh Sunan
21 Tombak Pusaka Oleh Rahadi (kdj) Kudus, dan untuk menjaga diri Sutawijaya akan kuberi senjata pusaka.
Tunggulah sebentar ...!"
Pangeran Hadiwijaya kemudian masuk ke dalam bangsal pusaka,
diambilnya sebuah tombak yang panjang dan sambil memberikan tombak
itu kepada Sutawijaya, Sang Adipati berkata:
"Terimalah ini, senjata tombak pusaka Kadipaten Pajang. Tombak ini
adalah peninggalan daripada nenek moyang, maka mulai detik ini pula
kuberikan kepadamu. Adapun nama tombak ini ialah Kyai Pleret, oleh
karena itu hati-hatilah anakku semoga ia memberkahi hidupmul".
Tombak pusaka segera diterima oleh Sutawijaya dengan perasaan
gembira, karena keinginannya dikabulkan. Maka setelah ia mohon do'a
restu kepada ayahanda Sang Adipati, segera Ki Juru Mrentani mohon diri
pula, yang diikuti oleh Ki Pemanahan dan Penjawi. Perjalanan mereka
dipercepat agar lekas sampai di rumah, mereka merasa puas karena
keinginannya dikabulkan oleh sang Adipati.
*** 22 Tombak Pusaka Oleh Rahadi (kdj) BAB IV Keesokan harinya, setelah matahari menampakkan sinarnya yang
cemerlang, para utusan dari Kadipaten Pajang yang dipimpin oleh
Pemanahan dan Penjawi telah sampai di tepi Bengawan Sore, yaitu sebuah
sungai yang membatasi daerah Pajang dan Jipang. Di situ mereka kemudian
membuat pesanggrahan untuk beristirahat, sambil mengatur siasat untuk
memikat Arya Penangsang agar nanti ia mau menyeberangi sungai atau
Bengawan Sore itu. Sebab menurut kepercayaan, siapa yang berani
menyeberanginya ia akan menemui ajalnya dalam peperangan. Oleh
karena itu para prajurit Pajang dilarang untuk masuk daerah Jipang, yang
mana harus menyeberangi sungai tersebut.
Pada waktu itu ada orang sedang mencari rumput di pinggir
bengawan, oleh Ki Pemanahan ia dipanggil dan ditanya, ia mengakui kalau
hambanya Arya Penangsang. Oleh Ki Juru Mrentani orang tersebut
diberinya uang, dan dikalungi sehelai surat tantangan kepada Arya
Penangsang. Kemudian ia disuruh pulang dan menyampaikan surat
tersebut kepada ratu gustinya. Tetapi ketika ia akan menyeberangi sungai
oleh para prajurit Pajang dicegat dan dikeroyok sehingga sebuah telinganya
hilang terpotong. Setelah itu ia dilepaskan kembali, dan terus lari menuju
ke Kadipaten Jipang. Di sepanjang jalan ia menangis dan berteriak-teriak
minta tolong, seluruh badannya berlumuran darah yang mengucur dari
lukanya. Oleh karena tak tahan lagi menahan sakitnya ia terus menuju ke
kepatihan, oleh Patih MataHun ia terus diantarkan masuk ke Kadipaten.
Kebetulan pada waktu itu Adipati Jipang Arya Penangsang baru
bersantap, tahu akan datangnya Kyai Patih segera mengutus salah seorang
hambanya yang dekat untuk memanggilnya. Maka masuklah Kyai Patih
Matahun dengan diiringkan oleh tukang rumput itu, dan setelah dekat oleh
Kyiai Patih diceriterakan asal mulanya tukang rumput itu dianiaya oleh
orang Pajang, dan surat tantangan itu segera diberikan pula kepada Sang
Adipati, maka dengan tangan gemetar karena menahan marah dibacanya
surat itu, yang isinya sebagai berikut:
"Wahai..... Adipati Jipang Arya Penangsang! Surat ini adalah sebagai
pemberitahuan untukmu, bahwa aku Adipati Pajang Hadiwijaya menanti
kedatanganmu di pinggir sungai Bengawan Sore. Kalau engkau ternyata
seorang perwira tandingilah kesaktianku. Tunjukkan kejantananmu!"
23 Tombak Pusaka Oleh Rahadi (kdj) Betapa marah hati Pangeran Arya Penangsang membaca surat
tantangan itu, seketika dihantamnya tempat tersebut dengan sekuat
tenaga, sehingga segala apa yang tersedia di atas meja itu menjadi
berantakan semua. Para abdi lari terbirit-birit karena takut menjadi sasaran
kemurkaannya. Dengan suara yang lantang diperintahkannya agar kuda
kesayangan yang bernama Gagak Rimang disediakan. Setelah Sang Adipati
berganti pakaian keprajuritan segera dipacunya kuda tersebut menuju ke
Bengawan Sore. Nasihat Kyai Patih Matahun agar sang Adipati sabar
menunggu siapnya para prajurit sudah tak diindahkan lagi, hatinya telah
terbakar oleh surat tantangan tersebut.
Waktu itu para prajurit Pajang telah siap-siap menunggu kedatangan
Arya Penangsang di sebelah barat Bengawan. Tidak lama kemudian Arya
Penangsang sampai pula di sebelah timur sungai dengan membawa
tombak. Maka dengan suara yang serak ia berteriak-teriak dari atas
kudanya: "Hei... para prajurit Pajang, mana Gustimu Hadiwijaya, suruh ia
keluar menandingi Arya Penangsang ..."
"Hei... kamu Arya Penangsang, tunjukkan kejantananmu. Tidak perlu
gustiku Pangeran Hadiwijaya, cukup kami saja yang menandingi
kesaktianmu", jawab salah seorang prajurit.
"Hei... Arya Penangsang engkau orang licik.... pengecut... tak tahu
malu... tiss... marilah kupotong lehermu!" kata yang lain dengan mengejek.
Mendengar ejekan-ejekan itu, timbullah kemarahan yang sangat
memuncak di hati Pangeran Arya Penangsang. Tanpa banyak bicara lagi ia
terus menggertak kudanya untuk menyeberangi bengawan itu. Sesampai di
pinggir sebelah barat, tanpa diberi kesempatan lagi beratus-ratus prajurit
Pajang menyerbunya. Namun Arya Penangsang adalah senopati perang
yang kebal akan senjata, sehingga serangan para prajurit Pajang itu tanpa
membawa hasil apa-apa. Arya Penangsang terus memacu kudanya ke
tengah barisan sambil berteriak-teriak minta tanding dengan Hadiwijaya.
Namun lama ditunggu-tunggu musuhnya tak nampak pula, kini insyaflah
bahwa dirinya dibuat permainan oleh para prajurit Pajang. la merasa ditipu
dan dipancing, oleh karena semakin meluaplah kemarahannya.
Maka diseranglah barisan yang mengepungnya itu, sehingga tidak
sedikit pula korban para prajurit Pajang yang jatuh karena pusaka Arya
Penangsang. Barisan yang ada di bawah pimpinan Ki Pemanahan dan
24 Tombak Pusaka Oleh Rahadi (kdj) Penjawi sudah bobol pula diterjang oleh mengamuknya Adipati Jipang itu,
demikian pula barisan yang dipimpin oleh Ki Juru Mrentani.
Kini tinggal barisan dalam yang dipimpin oleh senopati muda
Sutawijaya, oleh karena itu dengan keberaniannya yang luar biasa
diseranglah pertahanan terakhir ini, sehingga barisan itupun pecah
berderai. Para prajurit Pajang lari tunggang-langgang mencari
perlindungan, karena takut menjadi sasaran tombak Arya Penangsang.
Melihat ini senopati muda Sutawijaya merasa malu, tanpa banyak pikir lagi
ia terus maju ke tengah dengan membawa pusaka tombak Kyai Plered yang
terkenal ampuh. Kebetulan waktu itu Arya Penangsang lewat di dekatnya,
dengan tak sabar lagi Kyai Plered segera diayunkan sehingga mengenai
25 Tombak Pusaka Oleh Rahadi (kdj) perut Sang Adipati Jipang, yang seketika itu pula keluarlah jaringan
ususnya. Tetapi berkat kesaktiannya ia masih hidup, maka dengan
melilitnya jaringan usus tersebut ke tangkai kerisnya, diburunya senopati
Pajang Sutawijaya. Setelah dekat maka dilontarkan tombaknya ke arah
perut lawannya, namun serangan itu oleh Sutawijaya dapat dielakkan
sehingga hanya mengenai kepala kudanya yang seketika itu pula jatuh
tersungkur. Dengan cekatan pula Sutawijaya melompat dan terus lari
menghindarkan diri dari serangan Arya Penangsang.
Melihat ini Adipati Jipang segera mengejar dan dipacunya Gagak
Rimang dengan sekuat tenaga, sehingga oleh loncatan lari kuda tersebut
keris yang dipakai oleh Arya Penangsang menjadi keluar sedikit dari
rangkanya sehingga jaringan usus yang dililitkan pada tangkai keris itu
tersayat olehnya sehingga putus, maka jatuhlah Arya Penangsang dari
punggung kudanya dengan disertai jeritan yang sangat mengerikan.
Dengan demikian gugurlah Arya Penangsang Adipati Jipang yang terkenal
sakti dan gagah berani itu.
Sejak itu Pangeran Hadiwijaya diangkat menjadi Raja Demak, dengan
bantuan dari Ratu Kalinyamat.
Dan atas kehendaknya pusat kerajaan atau pemerintahan
dipindahkan ke Pajang. Setelah beberap tahun Pangeran Hadiwijaya
memerintah kerajaan, dan terbukti dapat mengatur serta memimpin
negara sehingga keadaan rakyat aman tenteram-damai, maka oleh Sunan
Giri ia dipanggil untuk disahkan menjadi raja yang hak atas bumi kerajaan
Demak dan wilayahnya. Pengesahan atau pelantikan tersebut dihadiri oleh
segenap Adipati-adipati antara lain: Adipati Madiun, Malang, Pesuruhan,
Kediri, Madura, Sedayu, Tuban, Pati, Gresik, dll. Juga para wali dan
priagung-priagung lainnya dari kerajaan Demak. Setelah para tamu lengkap
semuanya, maka Sunan Giri segera melakukan pelantikan atas diri
Pangeran Hadiwijaya dengan segala upacara kebesaran.
*** 26 Tombak Pusaka Oleh Rahadi (kdj) BAB V Tersebutlah kerajaan Pajang, setelah Sultan Hadiwijaya diangkat
menjadi raja maka persengketaan yang terjadi di keraton Demak menjadi
padam dengan sendirinya. Apalagi dengan jatuhnya Kadipaten Jipang yang
dipimpin oleh Arya Penangsang, membawa ketenteraman bagi seluruh
wilayah kekuasaan kerajaan Pajang yang meliputi daerah Kadipaten
Sedayu, Gresik, Pasuruhan, Surabaya, Tuban, Pati, Demak, Madiun, Kediri,


Tombak Pusaka Karya Rahadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Banyumas, Bagelen, dan Mataram.
Adapun daerah Mataram dan Pati ini oleh Sultan Hadiwijaya
dihadiahkan kepada Ki Ageng Pemanahan dan Penjawi, yaitu kepala
prajurit Kadipaten Pajang yang diutus untuk menundukkan Arya
Penangsang Adipati Jipang. Maka sejak kerajaan Pajang berdiri Ki Ageng
Pemanahan selanjutnya tinggal di Mataram, oleh karena itu Ki Ageng
Pemanahan disebut pula ki Gede Mataram.
Pada waktu daerah Mataram ini dihadiahkan kepada Ki Ageng
Pemanahan, belumlah merupakan sebuah kota yang ramai. la masih
merupakan hutan belukar yang penuh dengan onak dan duri. Namun
demikian berkat kerajinan dan kemauan yang keras dari Ki Ageng
Pemanahan, maka hutan belukar yang sangat lebat itu, sedikit demi sedikit
merupakan sebuah tempat atau daerah yang sangat baik untuk tempat
tinggal. Maka lama-kelamaan banyaklah orang-orang yang datang dari
pedukuhan Sela, Taji dan Karanglo, yang kemudian ikut pindah dan
menetap di daerah itu. Semakin lama daerah itu menjadi suatu
perkampungan yang ramai, dan akhirnya menjelma menjadi sebuah kota.
Oleh karena itu atas kehendak Ki Ageng Pemanahan kota tersebut
diberinya nama "Kota Gede" (dekat Yogyakarta), di situ pulalah Ki Ageng
Pemanahan menetap. Oleh jasa-jasa dan kebijaksanaannya maka ki Ageng
Pemanahan sangat disayangi oleh segenap penduduk di daerah itu, dan
atas kehendak mereka Ki Ageng Pemanahan diberi gelar "Ki Gede
Mataram", sebab dialah yang mula pertama membuka hutan Wiyoro itu
menjadi sebuah kota yang ramai yang diberi nama Kota Gede atau
Mataram. Sejak itu oleh Sultan Hadiwijaya, Ki Ageng Pemanahan diangkat
menjadi bupati di daerah itu dan diberinya wewenang untuk memegang
pemerintahan serta mengatur rakyatnya dengan adil dan parama-arta.
27 Tombak Pusaka Oleh Rahadi (kdj) Karena itu tidak lupa pula Ki Ageng Pemanahan setiap tahun sekali
(tiap-tiap bulan Maulud) datang menghadap ke keraton Pajang bersamasama dengan para bupati lainnya untuk merayakan hari yang keramat itu,
di samping itu pula untuk memperlihatkan kesaktiannya kepada raja.
Adapun Sutawijaya yaitu anak Ki Ageng Pemanahan yang telah
diangkat menjadi putera oleh Sultan Hadiwijaya, atas keberaniannya
menundukkan Arya Penangsang, diangkat menjadi kepala prajurit raja
menggantikan kedudukan ayahnya dan diberinya gelar "Senopati ing
Ngalaga" yang artinya "Panglima perang". la sangat disayangi oleh Sultan
Hadiwijaya, bahkan lebih dari puteranya sendiri (putera mahkota) yang
bernama Pangeran Banawa. Kedua orang ksatria ini (Sutawijaya dan Pangeran Banawa) adalah
sama-sama muda dan juga sama tampan. Sepintas lalu sukarlah orang
membedakan manakah Pangeran Banawa, seolah-olah mereka ini adalah
ksatria kembar. Persahabatan antara Sutawijaya dengan putera mahkota Pangeran
Banawa, kelihatan sangat akrab sekali. Ke manapun mereka pergi tentu
bersama-sama. Sebab anggapan Pangeran Banawa bahwa Sutawijaya
adalah kakaknya sendiri, demikian pula sebaliknya Sutawijaya terhadap
Pangeran Banawa. Apalagi mengingat bahwa Pangeran Banawa tidaklah
mempunyai saudara lelaki saudaranya semua perempuan. Kakaknya yang
sulung telah dikawin oleh Arya Pangiri, putera Sultan Trenggono.
Pada suatu hari, Senopati Sutawijaya diutus oleh Sultan Hadiwijaya
untuk menyerang daerah-daerah atau kerajaan-kerajaan pasisiran yang
memberontak kepada Pajang.
Maka berangkatlah Senopati Sutawijaya dengan mengerahkan para
prajuritnya yang terpilih untuk menyerang dan menaklukkan raja-raja
pasisiran tersebut. Dalam pertempuran itu Senopati Sutawijaya mendapat
banyak kemenangan yang gemilang.
Tetapi sial bagi Sutawijaya, setelah dapat merebut daerah Penalukan
sesampainya di Pajang ia mendapat kabar bahwa ayahnya, yaitu Ki Ageng
Pemanahan meninggal dunia. Oleh karena itu Sutawijaya mohon ijin
kepada Sultan Hadiwijaya untuk pergi ke Mataram, sebab tinggal sekali itu
ia dapat melihat wajah ayahnya. Maka berangkatlah Sutawijaya ke
Mataram, sampai di sana ia disambut oleh pamannya yaitu Ki Juru
Mrentani yang terkenal pula dengan sebutan Dipati Mandarika.
28 Tombak Pusaka Oleh Rahadi (kdj) Atas kehendak Sutawijaya maka jenasah ayahnya itu dimakamkan di
dekat Pasar Gede, karena itu makam tersebut sampai sekarang terkenal
pula dengan namanya "Makam Pasar Gede".
Sehabis memakamkan jenasah ayahnya itu, maka kembalilah
Sutawijaya ke Pajang. Sejak Mataram ditinggalkan Ki Ageng Pemanahan,
pemerintahan sangat kacau. Oleh karena itu atas kehendak Sultan
Hadiwidiaya, sebagai Pengganti Pemanahan diangkatlah Senopati
Sutawijaya dengan gelar "Senopati ing Ngalaga Sayidin Panatagama".
Sejak itulah Sutawijaya tinggal di Mataram, dan berdiam di rumah
ayahnya dulu yaitu di dekat Pasar Gede (sebelah utara). Karena itu
Sutawijaya oleh rakyat Mataram diberinya gelar yang bagus, yaitu: Raden
Bagus Pangeran Ngabei Loring Pasar (sebelah utara pasar). Dengan
demikian pemerintahan yang kacau dapat diatur kembali dengan sebaikbaiknya.
*** 29 Tombak Pusaka Oleh Rahadi (kdj) BAB VI Tiga tahun kemudian ..... pada suatu hari di kerajaan Pajang terjadi
suatu peristiwa. Peristiwa mana ditimbulkan atas perbuatan Raden Pabelan
yang telah berani masuk ke dalam karang keputren dan berhasil membikin
cemar nama baik serta kehormatan salah seorang puteri Sultan Hadiwijaya.
Raden Pabelan ini adalah putera dari Tumenggung Mayang, yaitu ipar
Senopati Sutawijaya. Atas perbuatan itu Raden Pabelan oleh Sultan
Hadiwijaya dijatuhi hukuman mati, dan Tumenggung Mayang karena
perbuatan puteranya dibuang ke daerah Semarang.
Tindakan Sultan Hadiwijaya ini menimbulkan haru hati Senopati
Sutawijaya. Sebab Tumenggung Mayang tidak tahu-menahu tentang
perbuatan puteranya ikut mendapat hukuman. Hal ini menurut pendapat
Senopati Sutawijaya tidaklah adil, seharusnya yang mendapat hukuman
hanyalah Raden Pabelan saja.
Pendapat Senopati Sutawijaya ini dibenarkan pula oleh pamannya,
yaitu Ki Ageng Juru Mrentani alias Dipati Mandarika. Maka atas nasihatnya
Sutawijaya disuruh menghadap ke Pajang untuk mohon keadilan, sebab
tindakan Sultan Hadiwijaya menghukum Tumenggung Mayang itu bukanlah
tindakan yang bijaksana. Maka berangkatlah Senopati Sutawijaya dengan diiringkan oleh
beberapa orang pengawal menuju ke Pajang. Sampai di sana ia disambut
oleh Kyai Patih Pramantia, dan terus diajak masuk ke bangsal Paseban. Di
situ Sutawijaya disuruhnya menunggu, sedangkan Kyai patih terus masuk
ke prabayasa. Sebentar kemudian keluarlah ia memanggil Sutawijaya diajak
masuk menghadap Sultan Hadiwijaya.
Kedatangan Senopati Sutawijaya ini diterima dengan rasa gembira
oleh baginda, sebab sudah sekian lama mereka tak dapat bertemu muka.
Maka ditanyalah apa keperluannya maka Sutawijaya memerlukan datang
menghadap ke Pajang. Pertanyaan Sultan Hadiwiyaya ini dijawab oleh Sutawijaya bahwa
kedatangannya ke Pajang itu adalah karena mendengar kalau bupati
Tumenggung Mayang mendapat hukuman dari Baginda diasingkan ke
daerah Semarang. Hal ini menimbulkan kasak-kusuk di kalangan para
30 Tombak Pusaka Oleh Rahadi (kdj) Bupati lainnya, karena menurut pendapat mereka Tumenggung Mayang,
tidaklah selayaknya kalau mendapat hukuman. Karena ia tidak tahumenahu tentang perbuatan puteranya. Maka kedatangan itu atas nama
para Bupati serta kaum keluarga Tumenggung Mayang, mohon agar
Baginda suka membebaskan hukuman atas diri Tumenggung Mayang yang
kini sedang menjalani pengasingannya di daerah Semarang.
Mendengar atur sembah Senopati Sutawijaya ini, maka bersabdalah
Sultan Hadiwijaya dengan tersenyum:
"Wahai ananda Sutawijaya, ketahuilah bahwa kesalahan
Tumenggung Mayang ialah mengapa ia sebagai orangtua tak dapat
mendidik anaknya yaitu si Pabelan ke arah jalan yang benar. Jikalau ia
memberikan petuah-petuah yang baik kepada anaknya, tak mungkinlah
Pabelan mempunyai tindakan semacam itu. Mungkin juga Pabelan ini
mendapat dorongan dari orangtuanya untuk berbuat meremehkan
kehormatan keluarga raja, karena ingin kewibawaan ataupun ada maksudmaksud lain. Oleh karena itu, kami sebagai Sultan Pajang berhak untuk
menghukum kepada siapapun juga yang dapat dianggap bersalah, apalagi
terhadap keluarga raja. Oleh karena itu wahai anakku Sutawijaya, katakan
kepada mereka bahwa aku tak dapat menarik kembali apa yang telah
menjadi keputusanku. Sebab menurut naluri "sabda pandita ratu sekali
jadi". Tertegun sejenak Senopati mendengar sabda ayahandanya Sultan
Hadiwijaya yang sedemikian itu. Di dalam hari kecilnya tak dapat ia
menerima segala apa yang dititahkan oleh Baginda, sebab Raden Pabelan
bukan lagi anak kecil. la sudah besar dan dewasa, ia dapat memikir dan
mempertimbangkan mana jalan yang benar dan jalan yang salah. Jadi
segala tindakannya adalah menjadi tanggung jawab sendiri. Oleh karena itu
Senopati merasa tidak rela kalau kesalahan Raden Pabelan ini ditimpakan
kepada orangtuanya. Maka dengan berbagai macam alasan ia berusaha membela
kehormatan Tumenggung Mayang. Tetapi usahanya itu tak berhasil karena
ayahandanya Sultan Hadiwijaya tetap berpegang teguh pada pendiriannya
bahwa kewibawaan dan kekuasaan raja dalam hal ini, tak dapat diganggu
gugat. Dengan hati yang sangat kacewa, pulanglah Senopati Sutawijaya ke
Mataram. Sepanjang jalan kudanya dipacu sacepat-cepatnya, hatinya
sangat menyesal karena ayahandanya Sultan Hadiwijaya tak dapat
menerima usulnya. Sampai di batas kota ia disambut oleh pamannya Dipati
31 Tombak Pusaka Oleh Rahadi (kdj) Mandarika, yang sengaja menjemput kedatangannya. Setelah tanya
menanya tentang keselamatan masing-masing kemudian mereka bersamasama menuju ke Kadipaten.
Sebagaimana sudah menjadi kebiasaan bahwa setiap bulan Maulud
semua para bupati yang ada di bawah kekuasaan Pajang harus datang
menghadap ke keraton. Selain untuk merayakan hari yang keramat bagi
setiap Umat Islam itu. Waktu itu sengaja Senopati Sutawijaya tak datang menghadap.
Bahkan beberapa orang menteri dan bupati dari daerah Kedu dan Bagelen,
dapat dipengaruhi pula sehingga mereka turut tidak hadir dalam
pisowanan itu. Oleh senopati Sutawijaya mereka ini dijamu dengan
secukupnya. Dalam perjamuan itu Senopati mengutarakan maksudmaksudnya, yaitu ingin mengadakan pemberontakan, sebab Sultan
Hadiwijaya telah menunjukkan sikap acuh tak acuh terhadap nasihat32 Tombak Pusaka Oleh Rahadi (kdj) nasihat atau usul-usul dari pembantu-pembantunya. Oleh karena itu
diminta kepada mereka ini untuk membantu memperkuat barisan
Mataram. Permintaan Senopati ini disanggupi oleh para Menteri dan Bupati
dari kedua daerah itu. Tersiarlah desas-desus yang mengabarkan bahwa
Mataram akan mengadakan pemberontakan terhadap Pajang.
Semula Senopati sendiri khawatir kalau-kalau persiapannya itu
diketahui atau didengar oleh Sultan Hadiwijaya. la bukan takut menghadapi
serangan Pajang, tetapi ia sangat segan terhadap Sultan Hadiwijaya. Sebab
sejak kecil mula ia di bawah asuhan beliau, bahkan ia sangat disayangi.
Terbayang di dalam alam kenangannya ketika ia masih belum
dewasa, waktu itu ia masih turut ayahnya sendiri, yaitu Ki Ageng
Pemanahan. Oleh Pangeran Hadiwijaya ia diangkat sebagai putera dan
dipersaudarakan dengan putera mahkota Pangeran Banawa. la diajak
hidup mukti wibawa (rukun dan bahagia) di Kadipaten, dan atas kehendak
Pangeran Hadiwijaya diharapkan agar Senopati menganggap putera dan
puteri beliau itu sebagai anak kandungnya sendiri.
Kasih sayang Sang Adipati yang dilimpahkan atas dirinya, tak ubahnya
sebagaimana terhadap putera-puterinya, sedikitpun tanpa perbedaan.
Bahkan kalau diteliti, ia lebih dicintai daripada yang lain-lainnya. Ke mana
pun Sang Adipati pergi ia selalu diperkenankan ikut-serta apalagi kalau
sedang pesowanan ke keraton Demak ia tak pernah ketinggalan. Kini ia
belum dapat membalas kebaikan yang telah dilimpahkan oleh Sang Adipati
atas dirinya, namun justeru sebaliknya.
Kini ia berhadapan dengan Pangeran Hadiwijaya ini sebagai musuh,
bagaimanakah kata orang terhadap dirinya? Apakah lebih baik niatnya itu
diurungkan saja? Sebab ia tidak tega memusuhi orang yang pernah
memeliharanya dengan penuh kasih sayang sangat mesra. Tetapi, ia telah
terlanjur minta bantuan kepada para menteri dan bupati dari daerah Kedu
dan Bagelen, Heem... apa daya, sungguh suatu percobaan batin yang
sangat berat bagi Senopati Sutawijaya. la sangat menyesal mengapa ia
justeru membela Tumenggung Mayang yang belum pernah memberikan
jasa kepadanya? Kegundahan hati Senopati Sutawijaya ini diketahui pula oleh
pamannya yaitu Dipati Mandariko alias Ki Juru Mrentani. Maka
dipanggilnya Sutawijaya untuk kemudian dinasihati.
33 Tombak Pusaka Oleh Rahadi (kdj) "Sutawijaya!" demikian kata Ki Juru Mrentani sambil duduk di
samping Sutawijaya. "Aku tahu apa yang engkau risaukan dalam hatimu.
Bukankah engkau ingat akan masa-masa yang telah silam? Itu betul,
sebagai seorang ksatria haruslah selalu dapat menghargai jasa seseorang
terhadap dirinya. Apalagi jasa Sultan Hadiwijaya terhadap dirimu, tak
mungkinlah engkau dapat membalasnya. Tetapi ingat, kewajiban seorang
ksatria tidaklah hanya sampai di situ saja, sebab kalau hanya demikian
belumlah lengkap dharma baktimu sebagai seorang ksatria. Karena engkau
baru memikirkan kepentinganmu sendiri, kesenanganmu sediri, belum
mengingat kepentingan orang lain. Dengan engkau memperjuangkan dan
membela bupati Tumenggung Mayang sehingga dapat bebas dari
penderitaannya, lengkaplah sudah engkau disebut ksatria. Karena engkau
membela keadilan, dengan menyampingkan kepentinganmu, sendiri.
Nah.... marilah tegakkan kepalamu, jadilah engkau seorang ksatria sejati".
Mendengar kata-kata dan nasihat dari pamannya ini, maka insyaflah
Sutawijaya akan kewajibannya. la sebagai seorang pemimpin, haruslah
dapat menegakkan dan membela prinsip-prinsip kemanusiaan. Namun
demikian dalam hatinya masih terselip pula perasaan khawatir, kalau-kalau
dalam pertempuran kelak ia bertemu muka dengan Sultan Hadiwijaya.
Apakah yang akan diperbuat? Selain Sultan Hadiwijaya itu ayah angkatnya,
beliau adalah orang yang sakti. Tak mungkinlah ia dapat menandinginya.
Maka bertanyalah Senopati Sutawijaya kepada pamannya, katanya:
"Oh.... paman Dipati, bagaimanakah sikap kita kelak kalau dalam
pertempuran itu bertemu dengan Sultan Hadiwijaya sebab mungkin tak
seorang pun senopati yang dapat menandingi kesaktian beliau?"
Oleh Juru Mrentani pertanyaan Sutawijaya ini dijawab dengan
tersenyum, maka mengertilah Sutawijaya bahwa apa yang menjadi
kekhawatiran hatinya itu penyelesaiannya ada di tangan pamannya. Sebab
Juru Mrentani itu selain ahli dalam ilmu siasat perang, juga banyak sekali
akalnya. *** 34 Tombak Pusaka Oleh Rahadi (kdj) BAB VII Kabar tentang akan memberontaknya Mataram, terdengar pula oleh


Tombak Pusaka Karya Rahadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sultan Hadiwijaya. Maka diutusnya Pangeran Banawa ke kota Gede untuk
menyelidiki keadaan di sana.
Keberangkatan Pangeran Banawa diiringkan oleh dua orang Senopati
dan beberapa orang menteri.
Kedatangan mereka di Mataram disambut oleh Ki Juru Mrentani
dengan wajah yang sangat gembira. Diajaknya Pangeran Banawa masuk ke
bangsal pasamuan, untuk dipertemukan dengan Senopati. Melihat bahwa
yang datang adalah Pangeran Banawa, maka dengan tak sabar lagi
Senopati terus menubruk dan memeluknya. Demikian pula Pangeran
Banawa. Lama mereka saling berpelukan dengan rasa kasih mesra yang sangat
mendalam, mereka terharu mengenangkan masa-masa yang telah silam.
Mereka teringat akan persahabatan yang akrab, kini ia dapat
bertemu kembali setelah sekian lama berpisah.
Setelah puas mereka melepaskan rindunya masing-masing, maka
oleh Senopati dipersilahkan Pangeran Banawa duduk. Dengan kata-kata
yang lemah lembut bertanyalah Sanopati kepada Pangeran Banawa,
apakah keperluannya maka ia datang ke Mataram tanpa memberikan
kabar dulu. Apakah ia hanya meninjau keselamatan Senopati sekeluarga,
ataukah diutus oleh ayahandanya Sultan Hadiwijaya?
Pangeran Banawa menjawab kedatangannya itu sebenarnya diutus
oleh ayahandannya Sultan Hadiwijaya.
Adapun yang menjadi kepentingannya, yaitu selain untuk
menyampaikan doa restu Baginda kepada Senopati, juga untuk meneliti
betul tidaknya kabar yang telah tersiar, bahwa Mataram akan mengadakan
pemberontakan terhadap Pajang.
Mendengar jawaban Pangeran Banawa ini, maka tersenyumlah
Senopati Sutawijaya. Dipandangnya wajah putera mahkota Pajang itu
dengan sinar matanya yang tajam. la yakin bahwa rencananya itu akan
menimbulkan perang besar antara Pajang dengan Mataram. Namun
35 Tombak Pusaka Oleh Rahadi (kdj) demikian untuk menjawab pertanyaan Pangeran Barawa ini, Senopati
masih merasa perlu merahasiakan rencananya itu, meskipun suara di luar
telah berkumandang bahwa Mataram akan memberontak.
Satu-satunya jalan ialah, diajaknya Pangeran Banawa memeriksa
keadaan di dalam keraton, bahkan diajaknya pula ia oleh Senopati
berkeliling kota. Di sana-sini tak terlihatlah tanda-tanda sedikitpun, bahwa Mataram
akan mengadakan pemberontakan. Kebetulan pula sebelumnya itu Ki Juru
Mrentani telah siap sedia dengan tipu muslihatnya yaitu semua senjata
alat-alat perang sepertinya tombak, pedang, keris, dan sebagainya diikat
jadi satu dan ditaruh di bangsal pusaka. Jadi seolah-olah tak ada persiapan
apa-apa. Hal ini dipakai sebagai bukti bahwa Mataram tak ada niat untuk
mengadakan pemberontakan.
Melihat kenyataan-kenyataan ini, Pangeran Banawa mengambil
kesimpulan bahwa kabar yang telah tersiar itu tidaklah benar. Oleh karena
itu setelah dua hari dua malam ia berada di Mataram, dan di samping itu
dirasa bahwa sudah cukup keperluannya maka Pangeran Banawa kembali
pulang ke Pajang. Sesampainya di keraton Pajang ia langsung menghadap kepada
ayahandanya Sultan Hadiwijaya. Oleh Pangaran Banawa diceritakanlah
hasil pemeriksaan dan penyelidikannya ke Mataram selama itu.
Keesokan harinya, maka bersidanglah Sultan Hadiwijaya dengan para
panglima-panglimanya. Tetapi rupanya para panglima itu tidak dapat
menerima pendapat Pangeran Banawa, yang menyatakan bahwa Mataram
tak ada tanda-tanda akan memberontak. Sebab mereka mendengar bahwa
kadipaten Kedu dan Bagelen, kini telah bersiap-siap untuk membantu
Mataram sewaktu-waktu bilamana diperlukan.
Berita ini semakin santer datangnya setelah Bupati Surabaya
mendesak kepada mereka agar selekas mungkin mengusulkan kepada
Baginda untuk segera mengirimkan pasukannya ke Mataram.
Namun segala usul ataupun pendapat dari panglima itu tak
dihiraukan oleh Baginda. Beliau lebih mempercayai laporan Pangeran
Banawa, sebab putera mahkota ini telah menyelidiki langsung akan
kejadian-kejadian di sana. Apalagi mengingat bahwa Senopati Sutawijaya
adalah putera angkatnya yang sangat disayanginya.
36 Tombak Pusaka Oleh Rahadi (kdj) Maka atas dasar inilah timbul dugaan di hati Sultan Hadiwijaya,
bahwa kabar tentang akan memberontaknya Mataram itu dimaksudkan
untuk memfitnah atau mengadu domba antara Pajang dan Mataram.
Pada suatu hari keraton Pajang gempar, karena Senopati Sutawijaya
dengan dibantu oleh bupati dan prajurit-prajurit Kadipaten Kedu dan
Bagelen melepaskan Tumenggung Mayang yang sedang menjalani
hukuman pengasingannya. Dalam peristiwa ini beberapa orang prajurit dan ponggawa keraton
Pajang yang ditugaskan menjaga di sana ada yang menjadi korban.
Kini insaflah Sultan Hadiwijaya akan nasihat-nasihat para panglima
dulu. Maka tak ada jalan lain lagi yang ditempuh kecuali harus menyusun
kekuatan untuk menghancurkan Mataram. Beliau memanggil para
panglima dan senopati-senopati perang lainnya untuk segera mengatur
barisannya masing-masing. Sebab Baginda berniat akan memimpin sendiri
pertempuran ini. Sebentar kemudian gemuruhlah suara genderang dan terompet para
prajurit Pajang yang mulai berkumpul mengatur barisan. Sebentarsebentar terdengarlah aba-aba dari komando mereka. Setelah siap
semuanya, maka bergeraklah barisan prajurit Pajang itu menuju Mataram.
Sultan Hadiwijaya dengan menunggang gajah diiringkan oleh segenap
barisan pengawal yang lengkap bersenjatakan tombak, pedang, perisai,
yang berkilauan ditimpa oleh sinar matahari pagi.
Di pihak Mataram sudah dapat menduga bahwa Sultan Pajang tentu
tidak akan membiarkan peristiwa itu, maka mereka bersiap pula dengan
barisan pertahanannya yang kuat. Oleh karena itu datangnya pasukan
Pajang, disambut oleh para prajurit Mataram dengan tajamnya ujung
senjata pula. Maka timbullah peperangan yang maha dahsyat, sehingga dalam
waktu singkat tempat itu telah berubah menjadi lautan darah yang
membanjir dari tubuh para prajurit yang telah gugur sebagai korban
pertempuran. Rupanya prajurit Mataram lebih kuat sehingga banyak prajurit Pajang
yang jatuh. Senopati Pajang hampir semua gugur di medan pertempuran
menghadapi mengamuknya Senopati Sutawijaya yang dibantu oleh
pamannya Ki Juru Mrentani.
37 Tombak Pusaka Oleh Rahadi (kdj) Melihat barisan Pajang banyak yang bobol sehingga para prajurit
kocar-kacir, Sultan Hadiwijaya mulai maju ke tengah pertempuran. Saat
inilah yang ditunggu-tunggu oleh kedua orang panglima perang Mataram
itu. Maka prajurit-prajurit Mataram itu oleh Senopati diperintahkan
mundur. Kini Ki Juru Mrentani mulai mengarahkan anak panahnya ke arah
gajah yang dinaiki oleh Sultan Hadiwijaya. Lepasnya anak panah dari
busurnya tepat mengenai leher binatang raksasa itu, dan karena
terperanjatnya ia melonjok ke atas sehingga Sultan Hadiwijaya jatuh
terpental dan pingsan. Gajah raksasa itu melonjak sehingga Sultan hadiwijaya terpental
38 Tombak Pusaka Oleh Rahadi (kdj) Oleh karena itu pertempuran menjadi reda, tentara Pajang segera
kembali ke daerahnya dengan membawa pulang Sultan Hadiwijaya yang
dalam keadaan sakit. Melihat peristiwa yang sangat mengharukan itu,
Senopati merasa tak sampai hati.
Maka setelah suasana agak tenteram kembali, Senopati memerlukan
datang ke keraton Pajang. Di sana ia disambut oleh Pangeran Banawa, dan
terus diajaknya Senopati menghadap kepada Sultan Hadiwijaya ke tempat
peraduannya. Melihat Senopati Sutawijaya, maka Sultan Pajang minta agar satusatunya anak kesayangannya itu mendekat. Senopati semula agak takut
dan curiga, tetapi Sultan Hadiwijaya berkata bahwa beliau sedikit pun tak
menaruh dendam kepadanya. Maka barulah Senopati berani mendekat,
meskipun dalam hatinya masih terselip rasa khawatir.
Dengan suara yang sangat lemah, maka bersabdalah Sultan
Hadiwijaya kepada Senopati. Beliau berpesan kepadanya berhubung
sakitnya semakin hari bertambah parah sehingga hampir tak tertahankan
lagi, maka apabila beliau telah tiba masanya untuk kembali kerahmatullah,
beliau titip keraton Pajang dengan seluruh isi serta wilayahnya, agar
Senopati sudi menerimanya. Sebab tak ada orang lain lagi yang beliau
percayai untuk diserahi warisan itu, demikian pula tahta kerajaan terserah
kebijaksanaan Senopati siapa yang patut diangkat sebagai penggantinya.
Terharu hati Senopati mendengar pesan Sultan Hadiwijaya itu. Sesaat
ia tak dapat berkata-kata. Dalam hatinya ia merasa berdosa telah membuat
kesengsaraan dan penderitaan orang yang pernah mengasuhnya sejak
kecil, maka dengan mencucurkan air mata ia mohon maaf atas segala
tindakannya itu. la rela menyerahkan jiwa raganya, untuk menebus segala
perbuatannya itu. Namun oleh Sultan Hadiwijaya mengatakan bahwa
sebenarnya bukanlah Senopati yang bersalah, tetapi memang haruslah
demikian takdir Tuhan. Tidak lama kemudian, maka tibalah saatnya Sultan Hadiwijaya
kembali kerahmatullah, beliau mangkat pada tahun 1582 dan dimakamkan
di desa Butuh, bawah Pajang, yaitu tempat di mana beliau dahulu pernah
belajar ilmu dari seorang wiku yang bernama Kyai Ageng Butuh.
Setelah Sultan Hadiwijaya mangkat, maka Senopati terpaksa harus
melaksanakan tugasnya sebagaimana yang dipesankan oleh almarhum
ayahandanya yaitu Sultan Hadiwijaya, waktu masih menderita sakit.
*** 39 Tombak Pusaka Oleh Rahadi (kdj) BAB VIII Pagi itu matahari telah mulai bersinar, kabut yang melembab sejak
dini hari semakin tipis, sehingga cahaya di timur semakin cerah
pemandangannya. Embun pagi yang melekat di atas dedaunan, sedikit
demi sedikit menjadi kering oleh panasnya sinar yang matahari semakin
tinggi. Hari itu adalah hari yang penting bagi kerajaan Pajang, sebab
Senopati akan mengangkat Pangeran Banawa menjadi raja yang akan
berkuasa atas kerajaan Pajang beserta seluruh wilayah kekuasaannya.
Maksud Senopati ini disetujui oleh para bupati-bupati lainnya, sebab
Pangeran Barawa adalah putera mahkota dari Sultan Hadiwijaya. Jadi
menurut naluri hal ini tidaklah menyimpang dari hukum atau undangundang kerajaan.
Tetapi oleh pinisepuh keraton Demak, maksud Senopati ini ditolak.
Sebab mereka mencalonkan Arya Pangiri untuk menjadi raja. Sebab selain
Arya Pangiri adalah masih keturunan Sultan Trenggono raja Demak,
isterinya adalah puteri Sultan Hadiwijaya yang sulung, oleh karena dialah
yang lebih berhak menggantikan tahta sebagai raja. Apalagi menurut
perjanjian dahulu, Sultan Hadiwijaya hanyalah berhak menjadi raja seumur
hidup. Jadi sehabis itu waris keraton harus diserahkan kembali kepada
keturunan Trenggono, yaitu Arya Pangiri.
Sunan Giri sebagai ulama yang berhak mengangkat dan memberikan
gelar kepada seorang raja, menunjuk pula Arya Pungiri yang harus diangkat
menjadi raja. Dalam perebutan tahta kerajaan ini, Pangeran Banawa harus
mengalah, sebagai gantinya ia diangkat menjadi Adipati di Jipang yaitu
daerah bekas milik Arya Penangsang.
Atas keputusan ini Senopati Sutawijaya merasa kecewa hatinya. Ia
tidak rela kerajaan Pajang jatuh ke tangan Arya Pangiri, sebab ia
menganggap Arya Pangiri kurang cakap untuk memerintah. Karena sejak
kecil mula putera mahkota Sultan Trenggono ini, sangat dimanjakan oleh
keluarga Demak. Oleh karena kekecewaannya itu, maka pulanglah Senopati
ke Mataram sebelum penobatan Arya Pangiri selesai.
Selain Senopati Sutawijaya, banyak pula para bupati lainnya yang
tidak setuju kalau Arya Pangiri yang diangkat menjadi raja. Mereka
40 Tombak Pusaka Oleh Rahadi (kdj) menghendaki agar Pangeran Banawa yang naik tahta, tetapi apa hendak
dikata justru Sunan Giri sendiri telah memilih Arya Pangiri. Maka meskipun
tanpa persetujuan dari para bupati. Arya Pangiri tetap disyahkan menjadi
raja, dan Pangeran Banawa diangkat menjadi Adipati Jipang.
Oleh karena itu Senopati Sutawijaya tetap membangkang pula,
jangankan saban tahun datang menghadap, sedang mengabarkan tentang
keadaan Pajang pun tidak. la kini menghadapi musuh baru, yaitu Arya
Pangiri. Tetapi kali ini ia tidaklah gentar menghadapinya, meskipun Sultan
Pajang yang baru ini dibantu oleh leluhurnya kerajaan Demak yang
dipimpin oleh Sunan Giri. la tetap memberontak secara terang-terangan
kepada Pajang, kecuali kalau Pangeran Banawa yang diserahi tahta
kerajaan. Sikap Senopati yang sedemikian ini sangat menggelisahkan Arya
Pangiri, apalagi dilihatnya bahwa Senopati mendapat bantuan dari para
bupati-bupati lainnya. Maka kedudukannya itu seolah-olah tak berarti,
sebab setiap pisowanan ia hanya dihadap oleh para pengikutnya dari
Demak, tanpa seorang bupati pun yang datang menghadap, termasuk pula
Adipati Jipang Pangeran Banawa.
*** 41 Tombak Pusaka Oleh Rahadi (kdj) BAB IX Menginjak tahun ketiga Arya Pangiri memegang kekuasaan di keraton
Pajang, telah menimbulkan huru-hara dan kegelisahan di kalangan rakyat,
karena sepertiga dari sawah mereka harus diserahkan kepada para
menteri-menteri dan bupati yang ditunjuk oleh raja. Di samping itu rakyat
dikenakan peraturan pajak yang terlalu tinggi, hingga sangat menekan
penghidupan mereka sehari-hari.
Oleh karena penderitaan yang maha berat itu, maka rakyat banyak
yang mengadukan halnya pada Senopati, namun Senopati hanya diam
seolah-olah tak memperhatikan soal itu. Sebab Senopati ingin melihat dari
jauh, apa yang akan terjadi dengan tindakan Arya Pangiri itu.
Lagi pula ia tidak mau mencampuri urusan keraton Pajang, sebab
Mataram telah menarik diri dari kekuasaan Pajang. Mataram berdiri
sendiri. Oleh karena itu penderitaan dan tekanan hidup yang dirasakan
oleh rakyat Pajang, bukanlah menjadi tanggung jawabnya.
Namun demikian, ia merasa wajib pula memikirkan hal itu karena
terdorong oleh rasa perikemanusiaan. Tetapi untuk sementara waktu,
sengaja ia biarkan keadaan itu sehingga di kalangan rakyat timbul suatu
gerakan yang memusuhi golongan keraton. Dengan demikian kedudukan
Arya Pangiri semakin lemah.
Tidak lama kemudian, tersiarlah kabar bahwa Pajang akan
mengadakan serangan terhadap Mataram, karena Mataram tidak mau
tunduk di bawah kekuasaan Pajang.
Hal ini sangat menusuk hati Senopati Sutawijaya, apalagi Pangeran
Banawa mendesak agar Senopati bersedia membantu merebut keraton
Pajang. Maka tanpa menunggu waktu lebih lama lagi, digerakkannya
lasykar Mataram yang dipimpin oleh Senopati Sutawijaya sendiri, dengan
dibantu oleh Pangeran Banawa.
Di pihak Pajang, tidak mengetahui akan datangnya bencana yang
hebat itu. Maka masuknya lasykar Mataram ke ibukota Kerajaan tanpa
perlawanan sedikitpun, prajurit Pajang yang bertugas menjaga


Tombak Pusaka Karya Rahadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keselamatan keraton lari bercerai-berai. Sebagian dari mereka menghadap
42 Tombak Pusaka Oleh Rahadi (kdj) kepada Arya Pangiri, melaporkan bahwa kerajaan Pajang telah dikepung
oleh prajurit Mataram. Maka oleh Arya Pangiri diperintahkan agar prajurit-prajurit Pajang
siap sedia untuk mengadakan perlawanan. Tetapi rupanya mereka bahkan
membalik membantu musuh, demikian pula rakyat Pajang berdiri di
belakang Senopati Sutawijaya.
Kedudukan Arya Pangiri menjadi lemah, dalam tempo yang sangat
singkat, kerajaan Pajang dapat direbut oleh Senopati, dan Arya Pangiri
beserta seluruh pengikutnya dari Demak dapat ditangkap. Kemudian oleh
Senopati mereka ini diserahkan kepada Pangeran Banawa untuk
memutuskan persoalannya. Atas permintaan permaisurinya, maka Arya Pangiri diberi kebebasan
untuk pulang ke Demak. Sebab Pangeran Banawa mengingat pula, bahwa
permaisuri Arya Pangiri adalah masih saudaranya sendiri (saudara
sekandung). Keputusan ini disetujui pula oleh Senopati, dengan syarat
Demak menjadi daerah kekuasaan Mataram. Hal ini oleh Arya Pangiri
disanggupi. Adapun tahta kerajaan Pajang atas kemauan Senopati diserahkan
kepada Pangeran Banawa, sebab dialah yang sebenarnya yang berhak
mewarisi kerajaan itu. Namun Pangeran Banawa menolak dan
menyerahkan tahta kerajaan Pajang kepada kakaknya, Senopati
Sutawijaya. Penyerahan tersebut adalah atas dasar kerelaannya, karena ia
merasa tidak cakap memerintah daerah yang seluas itu. la puas dengan
kedudukannya yang sekarang, apalagi mengingat bahwa yang merebut
keraton Pajang dari tangan Arya Pangiri adalah Senopati pula.
Maka oleh karena itu, Senopati berniat akan memindahkan pusat
pemerintahannya ke Mataram. Segala tanda-tanda kebesaran negara serta
lambang-lambang kekuasaan raja dipindahkan pula dari Pajang ke
Mataram. Sedang Pangeran Banawa, oleh Senopati diserahi tugas untuk
menjadi bupati daerah Jipang dan Pajang. Sejak itu rakyat hidup dalam
ketenteraman. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1586.
Dengan jatuhnya kerajaan Pajang, maka pada tahun 1587 berdirilah
kerajaan Mataram, dan Sutawijaya sebagai rajanya dengan gelar:
"Panembahan Senopati ing Ngalaga Sayidin Panatagama Kalifatullah".
43 Tombak Pusaka Oleh Rahadi (kdj) Meskipun demikian, banyak pula pengorbanan serta perjuangan
dalam menegakkan kedaulatan serta pengakuan-pengakuan resmi dari
para bupati, termasuk pula Sunan Giri, atas kedudukkannya sebagai raja
Mataram. ????? 44 Tombak Pusaka Oleh Rahadi (kdj) Persetujuan Terbit : No. 238/Pers/Intel./66 Tanggal 30-11-1966.
S.L.P. No. 90/Y.L./ 66 45 Dedemit Pintu Neraka 2 Maling Budiman Berpedang Perak Karya Kho Ping Hoo Kisah Dua Kamar 1

Cari Blog Ini