Totokan Jari Tunggal It Yang Cie Karya Sin Liong Bagian 10
"Ribuan ekor ular?!" Si gadis mementang matanya lebar-lebar.
Cui Seng mengangguk. "Ya...ribuan ekor ular... oooo, pemuda itu jahat sekali! Dia telah mencongkel biji mata si botak, pendeta sinting itu.,!" Setelah berkata begitu. Cui Seng menggidik, seakan juga masih terasa perasaan ngerinya.
"Sebetulnya apa yang kau alami, ceritakan yang teratur, jangan acak-acakan seperti itu!" Kata si gadis kemudian, sebab si pemuda bercerita ngawur tanpa keruan juntrunguya.
"Sungguh mengerikan Sumoay! Nah, kau dengarkan, aku akan menceritakannya...1" Kata Cui Seng.
Si pemuda yang memang otaknya agak bebal ini telah menceritakan pengalamannya yang disebut-sebutnya sangat mengerikan itu.
Hanya saja disebabkan Cui Seng memang tidak pandai bercerita dan otaknya jupa agak bebal, maka dia harus mengingat ingat bagian-bagian yang terlupa olehnya.
Waktu itu, dia juga telah menceritakan perbuatan Phang Sun Kongcu, yang menyiksa si-botak Tiat Ong Sam Hun.
Menggidik si gadis mendengar kekejaman si pemuda Phang Sun Kongcu itu
Walaupun dia membenci si pemuda, tadi memang di dasar hatinya terdapat semacam perasaan aneh sekali.
Diantara benci itu, terdapat perasaan menyukai pemuda pelajar itu. Hanya sayang sekali sikapnya terlalu ceriwis, hal ini telah membuat dia jadi tidak bisa memperlihatkan perasaan sukanya pada pemuda itu, yang telah tertindih oleh perasaan muaknya.
Hanya saja, dalam waktu singkat, perasaan menyukainya itu berulangkali muncul juga. Hal ini membuat si gadis sendiri jadi bingung bukan main. karena dia tahu, kalau sampai dia terlanjur menyukai pemuda itu. berabelah dia, karena memang dia akan celaka, sebab mencintai pemuda yang berhati kejam dan tangannya telengas.
Waktu itu, si pemuda Souw Cui Seng telah menceritakan terus pengalamannya, Namun Waktu Cui Seng bercerita tentang si pemuda pelajar Phang Sun Kongcu, justeru si gadis telah termenung, diam mematung, dengan pikiran yang menerawang tidak menentu.
Thia Lam San tambah gelisah. Perasaan benci, suka dan juga penasaran kepada Phang Sun Kongcu timbul di hati si gadis.
Malah, di waktu itu dia sudah memperbandingkan, antara Phang Sun Kongcu dengan Suhengnya, yaitu Souw Cui Seng.
Dia memperbandingkannya, kalau Phang Sun Kongcu bisa merobah kelakuan seperti Suhengnya, jujur, tentu dia akan menyukainya dan mungkin juga akan jatuh hatinya... Sedangkan Suhengnya itu sayang sekali agak bebal, tidak selincah Phang Sun Kongcu...
Setelah selesai menceritakan pengalamannya maka Cui Seng bertanya kepada Lam San.
"Bagaimana pengalamanmu?!" Tanya Cui Seng. "Apakah kau mengalami sesuatu yang tidak menyenangkan hati?!"
Si gadis terdiam, menghela napas.
"Justeru disebabkan kau juga, yang pergi tidak ingat waktu!" Kata Lam San akhirnya.
"Ya, ya, ya, memang aku bersalah, Sumoay!" Kata Cui Seng cepat, yang mengakui bahwa dia bersalah. "Maafkan Sumoay... dilain waktu tentu aku tidak akan berbuat ceroboh dan teledor seperti itu. Maukah kau menceritakan pengalamanmu padaku?!"
Lam San menghela napas lagi.
"Justeru aku telah dihina orang,..!" Kata Lam San pada akhirnya:
"Kenapa? Siapa yang menghinamu"!"
Lam San menghela napas lagi, barulah kemudian dia menceritakan pengalamannya, yang ditakut takuti oleh Phang Sun Kongcu yang pandai sekali menjinakkan ribuan ekor ular.
"Oooo, binatang!" Berseru Cui Seng murka bukan main. "Buka! Ayo bajumu! Mengapa kau mau memakai terus bajumu, Sumoay? Ayo buka! Ganti dengan baju yang kubawa tadi!"
Muka si gadis berubah merah. Dia tidak menyahut! Hanya saja, dalam hatinya merasa berat kalau harus melepaskan pakaian yang telah dikenakannya. Bukankah Phang Sun Kongcu memujinya sangat cantik sekali dengan pakaian barunya itu, sehingga Phang Sun Kongcu mengandaikan si gadis seperti juga seorang bidadari... dan pujian itu selalu teringat, tersimpan dan terpatri didalam dasar hati si gadis she Thia tersebut....
Melihat si gadis berdiam diri saja, Cui Seng jadi semakin kelabakan.
"Sumoay! Ayo buka baju itu!" Teriaknya, "Mengapa baju dari manusia binatang seperti orang she Phang itu mau kau pakai terus?!"
Sambil berkata begitu, Cui Seng menarik narik lengan baju si gadis agak keras.
Lam San mengangkat kepalanya. Memandang dalam-dalam kepada suhengnya.
"Apa-apaan kau suheng?!" Tanyanya, kontan Cui Seng terkejut, dia segera menarik pulang tangannya.
"Maaf Sumoay... aku... aku tidak rela kalau kau memakai baju dari orang yang telah menghina mu!"
"Hemm, tapi aku tidak diharuskan membuka baju ini disini, dihadapanmu bukan?!"
Muka si pemuda berobah merah. "Tentu saja tidak! Tidak Sumoay... aku hanya minta tukar dengan baju itu...!" Sambil berkata begitu, tampak Cui Seng menunjuk ketumpukan baju yang tinggal sepotong, yang menggeletak ditanah.
"Hemmmm, kalau memang aku tetap mengenakan baju ini, yang kukira pantas dipakai seorang wanita, memangnya kenapa Suheng?!"
Muka Cui Seng berobah. "Sumoay.... orang itu telah menghinamu, apakah kau tidak sakit hati?!" Teriak Cui Seng yang jadi naik darah. "Apakah kau masih mau mengenakan baju yang diberikan orang yang telah menghinamu?!" Si gadis menggeleng.
"Baju ini dan semua perhiasannya bukan diberikan oleh dia!" Menjelaskan Lam San dengan wajah yang murung sekali.
"Tapi... dia yang perintahkan keenam orang anak buahnya untuk membelikan kau baju itu! Sama saja! Dia yang membelikannya atau anak buahnya, tentu semuanya sama saja! Apa bedanya?!"
Lam San menghela napas. "Suheng, tenanglah! Dengar dulu kata-kataku!!"
"Baik! Baik! Aku memang akan mendengar kata-katamu... tapi nanti kalau bertemu dengan bocah bajingan itu, aku akan menghajar habis-habisan, karena dia telah berani berbuat kurang ajar padamu!"
Bersemangat sekali waktu Cui Seng bilang begitu, matanya berapi-api peuuh kemarahan. Hati Lam San tergerak, dia jadi merasa terharu juga, betapa Suhengnya memang memperhatikannya dengan baik.
"Dengarlah Suheng..!" Kata Lam San kemudian "Kukira baju yang kau bawa itu adalah baju untuk pria... untuk laki-laki! Tidak akan pantas aku mengenakan baju itu...!"
Mendengarkan pengakuan Sumoay seperti itu, Cui Seng jadi bengong mengawasi Lam San tanpa bilang apa-apa. Hanya matanya saja memancarkan perasaan tidak mengertinya. Tapi, dia tidak berani bertanya apa-apa kepada Sumoaynya, sebab dia menyadari bahwa dirinya agak bebal, dia takut salah bertanya kepada Sumoaynya, sehingga adik seperguruannya itu akan mendampratnya, menyemprotnya dengan makian.
Lam San menghela napas dalam-dalam, Hatinya tidak tenang. Bermacam-macam perasaan kacau sekali, mengganggu hati dan pikirannya.
"Suheng... kau lihatlah! Katakan yang jujur, apakah baju yang telah kukenakan ini bagus dan cukup baik untukku?!" Tanya Lam San dengan suara yang perlahan-lahan.
Cui Seng mementangkan matanya lebar2,
"Baju itu jelek, Sumoay. Engkau yang cantik! tanpa engkau, baju itu merupakan baju buruk! Justeru kau yang memakainya, maka baju itu kelihatannya jadi bagus!" Kata Cui Seng setelah berpikir sejenak.
Lam San tersenyum. Dia mengerti perasaan Suhengnya, dia maklum, betapapun juga suhengnya membenci baju yang dikenakannya, karena baju itu diberikan oleh seorang pemuda. Sehingga Suhengnya yang memang selama mengincar dan memperhatikan serta mencintainya, sedang cemburu. Karena itu, Cui Seng telah menyatakan baju itu jelek kalau bukan disebabkan dipakai oleh Lam San. Dan baju itu tampak bagus, karena dipakai oleh Lam San yang cantik. Sungguh lucu pendapatnya. Dan hati Lam San terharu sekali, wajahnya jadi semakin muram saja....
~dewi.kz^aaa~ SEDANGKAN Cui Seng sendiri tidak bisa menyembunyikan perasaan cemburunya, dia mengawasi sigadis dengan sorot mata dalam-dalam.
Lam San yang ditatap seperti itu oleh suhengnya, jadi tidak enak perasaannya.
"Suheng... kau... kau jangan memandangku dengan tatapan seperti itu, seakan akan juga aku ini orang yang bersalah!" Kata Lam San akhirnya dengan hati yang tergetar. Dia merasa kasihan pada suhengnya ini yang memang agak bebal otaknya, namun jujur hatinya. Hanya sayang, walaupun Lam San berusaha untuk mencintainya, tetap saja dia cuma bisa menyukai sebatas sebagai seorang Sumoay terhadap Suhengnya.
Perasaan yang muncul dihatinya justeru berbeda ketika dia berhadapan dengan Phang Sun Kongcu. Karena itu, si gadis jadi bingung sendirinya, dia juga jadi berduka.
Justeru Phang Sun Kongcu, yang telah menggetarkan hatinya, adalah seorang pemuda berhati buruk, licik, kejam hatinya dan tangannya telengas sekali. karena dari itu. hal ini membuat Lam San menyesal, mengapa dia harus bertemu dengan Phang Sun Kongcu,
Sedangkan Cui Seng sendiri menjadi sedih. Dia menunduk. Saat itu dia jadi teringat, betapa hampir semua orang menyebut si tolol. Bukankah Lam San selalu memperlakukan dia sebagai pemuda yang tolol, dungu dan bebal otaknya! Bukankah si gadis sering melontarkan kata-kata makian bahwa Cui Seng adalah seorang pemuda yang tolol!! Dan juga pengemis yang menolonginya melepaskan diri dari ular-ularnya Phang Sun Kongcu, juga menyebut Cui Seng sebagai bocah dogol? Karena itu, dia jadi merasa rendah diri. Dia juga malu kalau dia ingat, betapa dia sebetulnya mencintai Sumoaynya, dan kini merasa cemburu, karena mendengar Sumoaynya seperti menaruh perhatian kepada Phang Sun Kongcu. Justeru yang membuat Cui Seng cemburu, mendengar cerita si gadis bahwa si gadis telah dipermainkan oleh Phang Sun Kongcu, dan Sumoaynya itu pun sudah merasa terhina. Namun justeru baju dari Phang Sun Kongcu itu tidak mau dibuang oleh Sumoaynya, bahkan dipakai terus. Merasa berat untuk dibuang! Tentu saja ini membuat Cui Seng jadi cemburu bukan main.
Dalam keadaan seperti itu, baik Lam San maupun Cui Seng saling berdiam diri. Mereka tidak berkata apa apa, melainkan menunduk. Lama juga mereka berdiam ciri, sampai akhirnya Cui Seng mengangkat kepalanya, dia bilang kepada Sumoaynya... "maafkanlah tindakanku! Memang tidak sepantasnya kalau aku memaksa kau melepaskan baju itu...!"
Walaupun Cui Seng berkata seperti itu, tokh wajahnya memperlihatkan kudukaan yang mendalam sekali.
Hati Lam San tergerak. Dia menghela napas.
"Sudahlah Suheng, jangan mempersoalkan urusan yang tidak berarti ini! Aku malah selama ini merasa berterima kasih kepada kebaikan-kebaikanmu!!"
Cui Seng mengangguk. Hanya saja didalam hatinya dia menggumam : "Hanya merasa berterima kasih saja? Tidak ada perasaan lainkah di hatimu? Hanya berterima kasih? Oooooo... Sumoay, kau tidak mengetahui bagaimana hebatnya perasaanku padamu..!"
Tapi Cui Seng tentu saja tidak berani mengemukakan perasaannya tersebut. Lam San menghela napas lagi.
"Baiklah, sekarang mari kita kembali kerumah penginapan, siapa tahu kakek dan nenek jahat itu sudah tidak ada. Kita harus mengambil buntalan kita, semua barang kita tertinggal di rumah penginapan itu!"
Cui Seng mengiyakan. Mereka berdua berangkat ke dalam kota.
Dalam perjalanan, mereka masing-masing berdiam diri.
Sedangkan Lam San sendiri merasa heran, mengapa kini pikirannya selalu teringat Phang Sun Kongcu,
Sebetulnya kalau ditilik dari tingkah laku, jiwanya yang kejam dan tangannya yang telengas serta juga sikapnya yang selalu ceriwis membuat Lam San merasa muak.
Hanya saja, yang membuat dia tidak mengerti, justeru dia sendiri pun memiliki perasaan yang aneh sekali terhadap Phang Sun Kongcu. Karenanya, dia tidak habis pikir, sesungguhnya.... perasaan apakah yang telah lahir dihatinya terhadap Phang Sun Kongcu?
Di waktu itu tampak Cui Seng semakin tenggelam dalam keadaan cemburu yang menyiksanya.
Dia sering melirik kepada Sumoaynya, melihat sikap dan wajah Sumoaynya, yang termenung sambil melangkah dengan pikiran yang menerawang, Cui Seng mengkela napas.
Walaupun Cui Seng seorang yang bodoh, namun dia memiliki perasaan. Dia menduga-duga dan meraba apa yang tengah dipikirkan oleh Sumoaynya tersebut. Dia jadi sedih sekali hatinya, rasanya dia ingin menjerit dan menangis sekuat suaranya. Hanya saja, dia tidak melakukannya, karena kalau dia melakukannya, niscaya dia akan malu sekali pada Sumoaynya tersebut.
Akhirnya mereka tiba dirumah penginapan yang telah mereka tinggalkan hampir dua hari.
Memang mereka bisa mengambil barang-barang mereka, yang masih utuh. Hanya saja, Lam San mengajak Cui Seng untuk segera meninggalkan rumah penginapan itu dan kota tersebut.
Sebetulnya Cui Seng, yang tengah berduka dan merasa patah hati, karena mengetahui Sumoaynya memperhatikan pria lain, jadi kesal, dan ingin sekali mengasoh di rumah penginapan tersebut untuk satu hari. Cuma saja Sumoaynya justeru memaksa dia harus melakukan perjalanan di hari itu juga, karena si gadis tampaknya kuatir kalau-kalau nanti mereka bertemu lagi dengan si nenek dan si kakek dari Sah Tok Kauw tersebut.
Tidak ada pilihan lain buat Cui Seng selain menuruti keinginan Sumoaynya.
Cuma saja, selama dalam perjalanan Cui Seng jadi berobah, dia kini pendiam. Dia tidak banyak bicara tidak seperti sebelum-belumnya.
Lam San yang melihat keadaan Suhengnya seperti itu, juga tidak bersemangat untuk banyak bicara. Terlebih lagi memang di tengah digayuti oleh bermacam-macam perasaan hati, di mana dia merasa benci, penasaran dan menyukai kepada Phang Sun Kongcu....
Disaat itu, Lam San sulit sekali untuk merceritakan terus terang perasaannya tersebut kepada Suhengnya, sehingga dia hanya tenggelam dalam kesulitannya itu sendiri tanpa bisa menceritakannya kepada Suhengnya, yang pasti akan cemburu hebat jika mendengar isi hati si gadis...
~dewi.kz^aaa~ PHANG SUN KONGCU bukan main penasaran melihat si pengemis tua masih terus bisa menghadapi dirinya, malah semakin lama pengemis itu seakan juga semakin lincah.
Suatu kali dengan serentak dia telah mempergunakan ilmu totokan keluarga Phang, yang setiap jurusnya aneh-aneh itu, juga dibarengi dengan tinjunya yang hebat sekali.
Si pengemis masih tetap bisa menghindarkan diri. Malah tidak lama kemudian si pengemis teringat sesuatu. Dia merogoh sakunya, lalu melontarkan sesuatu kepada Phang Sun Kongcu sambil bentaknya :"Jaga senjata!"
Phang San Kongcu tidak menyangka si pengemis akan menyerang dengan mempergunakan senjata rahasia, Masa dia berseru nyaring dan menjejakkan kakinya, dia melompat kebelakang berusaha menjauhi diri.
Sedangkan si pengemis mempergunakan kesempatan tersebut telah menjejakkan kakinya, tubuhnya melesat ke atas genting.
Memang jaraknya terpisah dengan genting ramah kedua orang kakek pendek itu sudah tidak terlalu jauh lagi, maka sekali menjejakkan kakinya, tubuhnya sudah melesat diatas genting. Dari sana si pengemis telah melompat turun disebelah lainnya dan menghilang dalam kegelapan....
Phang Sun Kongcu sangat gusar. Waktu dia melompat kebelakang, justeru dia bisa mengibaskan tangannya menghalau senjata yang ditimpukkan si pengemis. Dan tangannya masih sempat menyambar salah satu barang yang ditimpukkan si pengemis, yang putih gemerlapan.
Tapi begitu dia bisa mencekal barang itu, darahnya meluap sampai tubuhnya menggigil karena murka.
Ternyata benda yang dicekalnya tidak lain sepotong tulang paha ayam! Tentu saja dia murka sekali, karena dia mereka telah kena di permainkan oleh pengemis itu. Kalau saja dia mengetahui bahwa yang di timpukkan si pengemis adalah tulang ayam, tentu dia akan menghadapi dengan cara lain, tidak sampai perlu dia melompat mundur terlalu jauh seperti itu, sehingga si pengemis memiliki kesempatan untuk meloloskan diri.
Dia membuang tulang ayam itu, kemudian menjejakannya dengan keras tubuhnya melesat atas genting. Tapi dari atas genting dia memandang sekitarnya, tidak tampak lagi bayangan si pengemis. Entah pengemis itu sudah berlari ke arah mana, dia telah lenyap dalam kegelapan malam.
Karena penasaran sekali, Phang Sun Konscu sudah bersiut nyaring, dia perintahkan ular-ularnya itu untuk melakukan pengejaran. Ular-ular itu benar-benar mengerti isyarat dari Phang Sun Kongcu, karena binatang melata itu sudah melata dengan cepat sekali, dan kemudian telah lenyap dalam gerombolan pohon, untuk melakukan pengejaran kepada si pengemis
Phang Sun Kongcu menyesal, dia tidak membawa serta para pembantunya, yaitu enam orang gadis cantik berbaju putih.
Biasanya memang enam orang pembantunya itu selaiu tidak jauh dari dirinya, maka jika begitu dia bisa memerintahkan mereka buat mengepung dan menangkap si pengemis.
Cuma saja, sekarang ini kebetulan, sebelum dia datang ketempat ini, dia telah perintahkan keenam orang pembantunya tersebut untuk pergi mengurus suatu pekerjaan, yang memang cukup penting. Karenanya juga dia mengalami kesukaran untuk mengejar pengemis tua itu. Kalau dia mengejar kearah Barat, tahu-tahu pengemis mengambil arah Selatan. Karenanya si pemuda pelajar tersebut memutuskan, dia tidak perlu mengejar saja....
Dengan muka merah padam karena mendongkol, pemuda pelajar she Phang itu melompat turun dari atas genting. Dia menggerutu dengan suara yang tidak jelas.
Memang dia telah menjanjikan enam orang pembantunya untuk bertemu dan menghadap padanya, jika urusan yang dikerjakan oleh keenam orang pembantunya sudah selesai, mereka harus menghadap Phang Sun Kongcu disitu.....
Keadaan disitu, yang semula cukup ramai, telah menjadi sepi dan sunyi kembali, dalam kedelapan sang malam.....
^@dewikz~aaa^@^ KEMANAKAH perginya keenam orang gadis cantik pembantu Phang Sun Kongcu? Tugas apakah yang tengah mereka lakukan?
Ternyata keenam orang gadis itu telah diperintahkan Phang Sun Kongcu untuk masuk ke dalam kota guna mencari seseorang.
Keenam orang gadis itu adalah dayang-dayangnya Phang Sun Kongcu, mereka semua telah dilatih ilmu silat yang hebat sekali, oleh paman Phang Sun Kongcu yaitu Phang Tu!
Phang Tu merupakan seorang tokoh persilatan yang memiliki kepandaian luar biasa, dia merupakan seorang yang sulit dicari tandingannya. Hanya ada beberapa orang saja bisa menandinginya. Tapi tentu saja tidak bisa merubuhkannya, karena Phang Tu memang sudah mencapai puncak kesempurnaan ilmunya. Itulah sebabnya, dia jarang sekali turun gunung dari Liong Hong San, dia hanya perintah keponakannya Phang Sun Kongcu untuk mengurus segala macam persoalan yang ada.
Nama Phang Tu justeru telah menggetarkan dunia persilatan, jarang orang yang berani menbenturnya. Walaupun memang cukup banyak orang-orang Kangouw dari tingkatan tua yang bisa menandingi kepandaian Phang Sun Kongcu, hanya saja mereka umumnya tidak mau mencari urusan bentrok dengan Phang Sun Kongcu, sebab sekali saja mereka bentrok dengan keponakannya si iblis Phang Tu, celakalah mereka dan Phang Tu pasti akan turun gunung buat membalas sakit hati keponakannya tersebut.
Karena dalam empat kali perkawinannya Phang Tu tidak memperoleh anak, menyebabkan Phang Tu sangat sayang dan memanjakan Phang Sun Kongcu, yang sudah dianggap sebagai anaknya sendiri, seluruh kepandaian keluarga Phang telah diwariskan Phang Tu kepada Pnang Sun Kongcu. Cuma saja, karena usia Phang Sun Kongcu masih terlalu muda dia jadi kurang latihan. Tapi, kalau memang dia memiliki kesempatan buat berlatih lima belas tahun lagi, niscaya kelak dia meiupakan seorang yang sulit dicari tandingannya lagi!
Phang Sun Kongcu mengandalkan nama besar Pamannya, telah malang melintang, dia jadi timbul angkuhnya, juga telengas serta hatinya menjadi kejam.
Setiap orang Kangouw yang bertemu dengannya, baik secara kebetulan atau memang disengaja, pasti orang Kangouw itu akan dibikin bercidera atau dibinasakannya. Hal ini telah tersiar luas sekali di dalam kalangan Kangouw, maka dari itu jarang ada orang Kangouw mau bertemu muka dengan Phang Sun Kongcu. mereka lebih baik menyingkir pergi jauh-jauh begitu mendengar di daerah mereka telah kedatangan keponakan Phang Tu tersebut,.. Menyingkir memang jalan terbaik buat mereka;
Sekarang justeru Phang Tu mendengar terdapat benda mustika dalam Kangouw yang diperebutkan. Karena itu Phang Tu menginginkan benda mustika itu, dan Phang Tu bermaksud akan turun gunung sendiri, hanya saja, akhirnya dia membatalkan maksudnya. Dia beranggapan didalam kalangan Kangouw sudah tidak ada orang yang bisa menandingi dirinya, dan dia merasa cukup dengan mengutus keponakannya itu saja buat pergi merampas mustika tersebut. Karenanya dia telah perintahkan kepada Phang Sun Kongcu turun gunung Liong Hong San, dengan mengajak ribuan ekor ular dan juga enam orang pelayannya, yang terdiri dari gadis-gadis cantik jelita.
Walaupun merupakan gadis-gadis cantik jelita, kenyataannya mereka liehay sekali. Sejak kecil mereka telah di-didik oleh Phang Tu, bahkan telah diwariskan beberapa macam ilmu tertentu. Tidak terlalu mengherankan kalau ke enam gadis ini pernah membuat Lam San jadi tidak berdaya sama sekali, apa lagi memang ilmu totokan keluarga Phang yang sangat aneh dan liehay itu telah dikuasai oleh ke enam gadis jelita itu.
Sekarang, setelah mereka selidiki, ternyata benda mustika yang mereka inginkan itu, berada di sekitar tempat itu, di tangan si Rase Terbang. Karenanya, Phang Sun Kongcu perintahkan keenam orang dayangnya untuk meminta mustika itu dari tangan si Rase Terbang, karena Phang Sun Kongcu merasa kedudukannya lebih tinggi dari si Rase Terbang, dia tidak mau datang memintanya. Kalau nanti si Rase Terbang tidak mau menyerahkan mustika itu secara baik-baik, barulah Phang Sun Kongcu datang untuk merampas sambil membinasakan si Rase Terbang....
Sekarang justru keenam orang gadis jelita dayang-dayang Phang Sun Kongcu, sudah berada ditengah kota. Mereka berenam masing-masing bernama A Ling, A Sia, A Lan, A Mei, A Hong dan A Lie. Mereka juga sudah langsung datang ke rumah penginapan dimana si Rase Terbang memang menginap disitu.
Namun dari pelayan rumah makan mereka peroleh keterangan si Rase Terbang baru saja sore itu berangkat pergi... entah kemana. Sebelumnya di rumah penginapan itu telah berdatangan puluhan orang gagah yang berusaha merebut semacam benda dari si Rase Terbang.
"Wahhhh. mengerikan sekali! Orang orang Sah Tok Kauw pun berdatangan hendak merampas semacam benda mustika dari tangan si Rase Terbang... hanya saja. biarpun mereka mempergunakan racun dan segala macam usaha, tokh si Rase Terbang bisa merubuhkan mereka. Malah setelah mengusir mereka, si Rase Terbang meninggalkan rumah penginapan ini. Entah dia pergi kemana!!" Cerita si pelayan.
Keenam gadis dayang Phang Sun Kongcu menghela napas kecewa, muka mereka murung sekali.
"Nih, kami hadiahkan kau, karena kau memberi keterangan kepada kami!" Kata A Lie.
Sambil merogoh sakunya dan memberikan sesuatu kepada si pelayan.
Pelayan itu jadi kegirangan, karena dia menduga bahwa dirinya akan menerima hadiah yang cukup besar dari gadis-gadis cantik ini.
Tapi ketika dia menyambuti barang yang dibelikan gadis itu, mendadak dia menjerit sambil melemparkan yang diterimanya itu. Justeru mukanya pada waktu itu bukan berseri, melainkan seperti meringis kesakitan pucat pias, di waktu itu tubuhnya terhuyung-huyung, karena ternyata barang yang dilemparkannya tidak lain seekor ular..!!
Malah, yang celaka lagi, ular itu telah menggigitnya. Itulah sebabnya mengapa dia sampai terhuyung dengan muka meringis kesakitan. Dan di saat itulah tanpa bisa ditahan lagi, tubuhnya terjungkel rubuh.
Pelayan-pelayan lainnya jadi panik dan bingung, mereka berseru-seru dengan kemarahan yang luar biasa. Sebagian dari mereka telah mengejar keenam gadis yang tengah berjalan untuk meninggalkan rumah penginapan tersebut.
Tapi waktu mereka hendak memukul, salah seorang diantara gadis gadis itu, A Mei, telah mengibas tangannya. Tidak ampun lagi kedua pelayan yang menyerang itu telah terjengkang, dengan di leher mereka tertancap mulut ular
Keenam gadis itu segera berlalu. Waktu orang ramai-ramai berkerumun, mereka cuma menyaksikan tiga sosok tubuh yang sudah matang biru.... karena keracunan.
Seketika keadaaan jadi gempar. Sedangkan keenam gadis berpakaian putih yang cantik-cantik itu, namun berhati kejam dan tangan telengas, ternyata telah lenyap.
Karena tugas yang diberikan Phang Sun Kongcu belum bisa mereka laksanakan, keenam gadis itu tidak berani kembali menghadap Phang Sun Kongcu. Memang sudah menjadi peraturan diistana Liong Hong San, bagi keluarga Phang tidak ada perintah yang tidak bisa dilaksanakan. Karenanya, sebelum tugas selesai keenam gadis cantik itu tidak berani untuk menemui Phang Sun Kongcu.
Keenam orang gadis itu menyelidiki kemana perginya si Rase terbang. Namun mereka memang cekatan. Dalam waktu singkat mereka telah mengendus jejak si Rase Terbang. Karena mereka telah menanyakan orang orang yang mereka jumpai, sampai akhirnya ada yang memberitahukan kepada mereka, bahwa si Rase terbang menuju ke Selatan.
Justeru orang-orang yang tidak bisa memberikan keterangan, dibinasakan oleh ke enam orang gadis itu, cuma seorang yang berhasil memberitahukan kemana perginya si Rase Terbang, cuma dibuntungi tangannya ...
Sungguh perbuatan sadis. Namun ke enam orang gadis cantik itu sudah ditempa dan digembleng dengan cara sadis seperti itu.
Waktu itu keadaan sudah mendekati pagi dan juga rumah makan sudah ada yang buka. Sebetulnya A Mei aan A Lie sudah lapar, namun keempat orang kawannya tidak menyetujuinya.
Maka mereka terus juga melakukan pengejaran terhadap si Rase Terbang. Bahkan, mereka sengaja telah mengambil dengan kekerasan enam ekor kuda, untuk melakukan pengejaran kepada si Rase Terbang.
A Mei sendiri yakin, bahwa mereka akan bisa mengejar si Rase Terbang, karena Rase Terbang pergi belum begitu lama dari kota tersebut. Walaupun harus mengejar keujung langit, mereka akan melakukan pengejaran terus, sebab memang mereka tidak akan berani pulang menghadap Phang Sun Kongcu sebelum tugas itu diselesaikan.
Phang Sun Kongcu sangat keras dan kejam, jika mereka pulang dengan tangan hampa, niscaya mereka akan dihukum tanpa mengenal berkasian. Karenanya, dengan keadaan saperti itu telah membuat keenam orang gadis itu bertekad untuk melaksanakan dulu tugas mereka.
Pernah Phang Sun Kongcu telah memberitahukan pada mereka, kepandaian si Rase Terbang sangat tinggi. Mereka tidak perlu mencoba untuk bertempur dengan si Rase Terbang kalau memang mereka sanggup menghadapi. Justeru kalau perlu, mereka hanya menemukan jejaknya saja dan memperoleh kepastian bahwa si Rase terbang tidak akan bersedia menyerahkan mustika yang diinginkan Phang Sun Kongcu.....
yang, nanti akan diserahkan pada pamannya, Phang Tu
(^aaa~dewi-kz^) Jilid 17 DI JALAN raya Kiu-Lung tampak sebuah kereta berkuda dua tengah berjalan tidak terlalu cepat. Tirai jendela kereta itu diturutkan sehingga tidak terlihat isi kereta tersebut.
Kusir kereta yang duduk di kepala kereta, telah berteriak-teriak mencambuki kedua ekor kuda itu, namun kuda itu berjalan lambat sekali, karena kuda-kuda itu tampaknya telah lelah.
Langit mendung, dan awan hitam tampak memenuhi langit. Tampaknya memang akan turun hujan.
Kusir kereta itu sudah berusia lima puluh tahun, dia memiliki kumis dan jenggot yang sudah, memutih, Keadaan kedua ekor tersebut membuat dia jengkel sekali.
"Loya... tampaknya kita tidak bisa melanjutkan perjalanan di malam hari! Sore ini mungkin kita baru tiba di Hau hung-cung, di sana kita bermalam sstu malam....!" Kata si Kusir kepada penumpang di dalam kereta tertutup tersebut.
"Hemm, " Terdengar dengus orang di dalam kereta itu. "Tidak bisa dipercepat?!"
"Tidak bisa Loya... kalau dipaksakan niscaya akan membuat kuda-kuda ini mati karena kecapaian...!"
"Baiklah ! Tapi aku tidak mau bermalam dikampung itu... lakukan saja perjalanan sesaat lagi, untuk mencapai kota yang terdekat!!" Kata orang didalam kereta.
Sepasang alis kusir kereta itu mengkerut dalam dalam, dia menengadah kelangit. Tapi mulutnya menyahuti "Baik,.. Loya !"
Memang kusir ini telah dibayar mahal oleh penumpangnya, sepuluh kali lipat dan harga biasanya. Maka dia memperlakukan penumpang itu dengan sikap sebaik-baiknya. Karenanva juga, dia tidak berani terlalu membantah terhadap keinginan dari penumpangnya tersebut.
Penumpang ini memang aneh sekali, karena dia melulu mengurung diri di dalam kereta. Sejak sore kemarin mereka telah melakukan perjalanan ini, namun tidak juga penumpang kereta itu mau berhenti untuk beristirahat. Karena itulah membuat kedua ekor kuda itu kecapaian bukan main.
Kusir tersebut telah mencambuki kedua kuda keretanya, dan kuda itu berjalan selangkah demi selangkah.
Terdengar petir menggelegar nyaring sekali. Cuaca semakin buruk.
Akirnya butir-butir air hujan telah turun menyirami bumi... petir dan kilat selalu menggelegar dan berkilat kilat berkeredepan.
Waktu itu tampak jelas sekali, perjalanan yang dilakukan oleh kereta dan dihela dua ekor kuda yang sedang kelelahan, merupakan perjalanan yang tidak mudah. Jalan itupun sepi sekali... hanya kereta saja yang tengah melakukan perjalanan... Kusir itu juga telah mencambuki kedua ekor kudanya berulangkali.
Waktu itu mendadak sekali dari atas tebing telah menggelinding sebungkah batu yang sangat besar.
Kusir kereta itu terkejut, kedua ekor kuda yang sudah lemas itupun masih sempat untuk mengangkat kaki depannya dan meringkik. Ulah kuda itu membuat kereta tersebut hampir saja terbalik. Untung saja kusir kereta itu memang akhli mengendalikan kuda-kuda tersebut, kereta itu tidak sampai terjungkir.
"Kurang ajar ! Siapa yang menimbulkan kegaduhan ini?" Berteriak penumpang didalam kereta itu.
Muka kusir kereta telah pucat pias... suaranya gemetar ketika dia menjawab :"Ooooooooo.. perampok Loya...!"
"Perampok? Jalan terus !"
"Loya...?!" "Hemm, kuperintahkan kau jalan terus!"
"Tapi Loyaaa...nanti,,."
Belum lagi orang didalam kereta tersebut sempat berkata lagi, justeru disaat itu telah terdengar bentakan suara wanita, disusul dengan munculnya enam orang gadis berpakaian putih.
"Turun!" Bentak salah seorang gadis itu dengan suara nyaring, ditujukan kepada kusir kereta itu.
Kusir kereta ketakutan, dia melepaskan tali kendali Kereta, untuk turun. Tapi mendadak saja, dari dalam kereta itu terdengar suara si penumpang bertata ."Jangan turun....!"
Membarengi dengan cegahannya, penumpang kereta tersebut telah membuka pintu kereta, melompat keluar.
Gesit sekali gerakannya, tubuhnya begitu ringan, Dia menang memiliki ginkang yang sangat tinggi.
Sedangkan keenam orang gadis itu telah melompat maju ke depan juga. Penumpang kereta itu berdiri tenang disamping kereta.
Ternyata penumpang kereta itu seorang bertopeng. Dia tidak lain dari si Rase Terbang.
Tampaknya memang si Rase Terbang gusar karena penghadangan yang dilakukan ke enam gadis berbaju putih ini. Maka dia telah melompat keluar, disangkanya yang menghadang adalah perampok biasa, karenanya dia bermaksud menghajar para perampok itu. Namun dia jadi tercengang waktu memperoleh kenyataan yang menghadangnya tidak lain adalah enam orang gadis yang sangat cantik. Hal ini membuat si Rase Terbang jadi berdiri tertegun di samping kereta.
Keenam orang gadis itu sangat berani sekali, menghampiri semakin dekat.
"Engkau si Rase Terbang?" Tanya A Lie dengan suara yang dingin, sama sekali dia tidak gentar.
Si Rase Terbang tertegun sejenak, namun akhirnya dia tertawa bergelak-gelak.
Suara tertawa si Rase Terbang menggema di sekitar tempat itu, seakan juga akan menggugurkan lembing.
"Benar! Memang aku si Rase Terbang! Kalian menghadang perjalananku, apakah kalian mempunyai keperluan denganku?!" Tegur si Rase Terbang dengan suara yang dingin
"Hemmm", A Mei mendengus. "Kalau kami tidak memiliki keperluan, apakah kami akan datang mencarimu?!"
"Apa keperluan kalian?!"
"Sabar....! Sekarang aku ingin bertanya dulu!!" Kata A Mei lagi. "Kau harus menjawab yang jujur ! Sebenarnya kau ini si Rase Tebang yang sejati atau memang orang yang tengah menyamar sebagai si Rase Terbang saja ?!"
"Mengapa kau bertanya begitu?!"
"Kami tidak membutuhkan dengan Rase Terbang yang palsu, kami memiliki keperluan dengan si Rase Tertang yang sejati!"
"Memang aku si Rase Terbang yang sebenarnya ? Apakah kalian menyangka di dalam kalangan Kangouw ada dua orang Rase Terbang! Atau memang kalian menyangka ada seorang yang begitu berani mati menyamar sebagai diriku, heh?!" Dan setelah berkata begitu, si Rase Terbang tertawa bergelak-gelak. Hatinya merasa dongkol bukan main, karena dia dicurigai bukan si Rase Terbang yang sejati.
"Bagus!!" Berseru A Lie dengan suara yang nyaring. "Kalau benar-benar kau si Rase Terbang yang sejati, kini kami mau bicara dengan kau! Urusan ini adalah urusan keluarga Phang dari Liong Hong San."
"Keluarga Phang dari Liong Hong San?!" Agak kaget si Rase Terbang, sampai dia bertanya dengan mata terpentang, terlihat dari kedua lobang mata di topengnya.
"Benar!" Mengangguk A Lie. "Kami dari istana Liong Hong San, di perintahkan oleh Loya kami untuk menemui kau!!"
"Jadi... kalian diutuskan oleh Phang Tu?!" Tanya si Rase Terbang dengan suara yang terdengar dalam sekali.
"Tepat!! Sedikitpun tidak salah!" Menyahuti A Lie dengan diiringi dengusan mengejek. "Bagus kalau memang kau sudah mengetahui! Justeru kami ingin menyampaikan pesan dari Loya kami, bahwa kau harus menyerahkan semacam barang mustika kepada kami...!"
Belum lagi habis A Lie menyelesaikan perkataannya, justeru di saat itu si Rase Terbang telah tertawa bergelak-gelak. Tampaknya dia murka bukan main.
"Kalian bicara seperti juga Phang Tu seorang dewa! Hem, jangankan Phang Tu, sedangkan Kaisar sendiri yang datang kepadaku untuk meminta benda mustika itu, tidak akan kuberikan! Pergilah kalian menggelinding sebelum kuhajar !"
Muka keenam gadis itu jadi berobah hebat.
"Jadi benar-benar kau tidak mau menyerahkan mustika itu?!" Menegaskan A Lie.
"Ya... dan kalian menggelinding dari depanku sebelum aku merobah pikiran...!" Bentak si Rase Terbang.
A Lie melirik pada A Mei dan keempat orang teman lainnya. Mereka mendadak saja, dengan serentak telah melompat mengurung si Rase Terbang. Di waktu itu, tangan mereka juga telah menghantam dengan berbareng. Jasteru mereka menyerang dengan cara menotok, mempergunakan ilmu totokan keluarga Phang.
Si Rase terbang tertawa dingin; "Hemm, lebih bagus kalian menggelinding pergi untuk pulang menemui majikan kalian! Beritahukan kepadanya, suruh dia datang sendiri menemuiku!! nanti kuhajar dia biar berlutut memohon-mohon pengampunan dariku..!!"
Bukan main marahnya keenam orang dayang Phang Tu, karena inilah penghinaan yang berat sekali untuk majikan mereka!. Memang Phang Sun Kongcu sudah berpesan, kalau mereka tidak sanggup menghadapi si Rase Terbang, mereka berenam tidak purlu turun tangan. Justeru kini, mendengar majikan mereka dihina seperti itu, membuat keenam dayang Phang Tu jadi murka, mereka berteriak dan memperhebat totokan mereka.
Benar si Rase Terbang liehay, tapi dia dikeroyok enam orang gadis-gadis yang memiliki ilmu totokan keluarga Phang yang setiap jurusnya sangat aneh sekali.
"Hemm, baik! Rupanya kalian ingin berkenalan dengan Kehebatanku, ya!" Berseru si Rase Terbang. Tahu-tahu tangannya bergerak, di tangannya telah tercekal pedang yang berkilauan. Dan waktu pedang itu berkelebat, A Lie mundur dengan muka pucat, karena baju dibagian dadanya telah kena tergores. Bukannya jadi takut, malah A Lie jadi kalap dan nekad, dia sudah menerjang lagi kepada si Rase Terbang.
"Serang terus yang rapat !" Menganjurkan A Lie, sedangkan dia sendiri mempergencar totokannya, dia juga mengandalkan kegesitan tubuhnya.
Si Rase Terbang tertawa dingin.
"Sebetulnya aku tidak sampai hati harus melukai gadis-gadis cantik bau kencur seperti kalian, tapi.... terpaksa aku harus memberikan tanda mata pada kalian!!"
Setelah berkata begitu, tampak tubuh si Rase Terbang berkelebat kesana kemari pedangnya juga berkelebat-kelebat. Maka tidak ampun lagi, keenam orang gadis itu melompat mundur dengan muka pucat, karena daun telinga mereka sebelah kiri, telah terbabat putus. Sekaligus enam daun telinga, telah jatuh ketanah.
Karena kaget dan kesakitan, keenam orang gadis itu telah melompat mundur dengan muka meringis menahan sakit, mereka tidak berani menerjang maju lagi.
"Baiklah, kami akan menyampaikan kepada Loya kami, bahwa kau memang seorang yang baik budi!!" Kata A Lie sambil memegangi luka ditelinga, kemudian memutar tubuhnya.
A Mei rupanya masih penasaran, dia juga telah kehilangan satu daun telinganya. Sambil memegangi luka ditelinganya yang mengucurkan darah tidak sedikit, di waktu itu sempat berkata "Keluarga Phang pasti tidak akan menyudahi urusan ini..."
Rase Terbang tertawa bergelak-gelak.
"Silahkan beritahukan, agar Phang Tu mencariku... aku memang ingin bertemu dengannya, karena aku bermaksud akan membuat dia menjadi anjing yang kuik-kuik didepan kakiku!"
Walaupun murka majikannya diejek seperti itu, namun keenam gadis itu tidak berani untuk menyerang si Rase Terbang lagi. Mereka telah angkat kaki.
Si Rase Terbang tertawa bergelak-gelak karena puas telah melukai keenam gadis itu. Dia melirik kepada enam potong daun telinga yang menggeletak di tanah.
Muka kusir kereta pucat pias, tubuhnya menggigil ketakutan. Dia semakin menghormati penumpang keretanya itu, karena telah disaksikannya, betapa tangan penumpang kereta ini telengas sekali. Sekali berkelebat, enam potong daun telinga dari enam orang gadis itu telah kena ditabas kutung !
Si Rase Terbang menghampiri bungkahan batu yang cukup besar, yang tadi digelindingkan keenam gadis itu untuk menghadang perjalanan kereta tersebut. Dengan mengempos semangatnya, tampak si Rase Terbang sekali angkat batu itu telah bisa diangkat cukup tinggi kemudian dilemparkan ke samping.
Sambil mengibas-ngibaskan bajunya, tampak si Rase Terbang masuk kedalam kereta. Dia kemudian berkata :"Ayo kita berangkat!!"
Kusir kereta itu menganggukkan kepalanya berulangkali.
"Baik Loya... baik Loya!!" Katanya berulangkali dengan sikap menghormat bukan main.
Kereta itu telah berjalan lagi perlahan-lahan... tampak jalan itu sepi sekali. Sejauh beberapa lie tidak ada gangguan.
Si Rase Terbang sendiri di dalam kereta telah berpikir keras, Dia kini berurusan dengan Phang Tu, iblis nomor satu dalam kalangan Kangouw.
Dia memang sudah sering mendengar kehebatan Phang Tu, yang kabarnya tidak ada tandingannya lagi.
Namun, diapun tidak mau gentar hanya oleh kabar angin itu. Dia belum pernah berhadapan langsung dengan Phang Tu. Karena itu, sengaja dia menantang Phang Tu agar mencarinya.
Dia juga yakin, Phang Tu pasti akan memenuhi tantangannya itu. Begitu keenam orang pelayannya itu menyampaikan apa yang mereka alami dan tantangannya disampaian, Phang Tu akan murka sekali dan akan turun gunung untuk mencarinya.
"Mungkin sekarang pun dia telah turun gunung hanya belum mau memperlihatkan diri.,.!" Pikir si Rase Terbang di dalam hatinya. "Hemm, aku ingin melihat berapa tinggikah kepandaian itu. memang Liong Hong San merupakan sarang naga, tapi aku tidak gentar untuk berurusan dengan naga Liong Hong San itu...!" Dan Si Rase Terbang tertawa dingin berulangkali.
Memang setelah memperoleh pedang mustika, yang sengaja dipamerkan kepada orang-orang Kangouw, kemudian merubuhkan mereka. Untuk mencapai kepuasan hatinya. Dan nanti, jika memang Phang Tu memenuhi tantangannya dan mencarinya, itulah merupakan hal yang menyenangkan hatinya. Mereda akan bertempur dan merupakan hal yang sangat menyenangkan hati si Rase Terbang kalau dia bisa merubuhkan Phang Tu, tentu selanjutnya dia akan disanjung oleh orang orang Kangouw sebagai jago nomor satu.
Sedangkan kereta itu berjalan lambat, tiba-tiba terdengar suara siulan. Suara siulan itu nyaring bergema, menunjukkan orang yang bersiul itu memang memiliki tenaga dalam yang sangat mahir. Tidak lama kemudian dari jurusan depan telah berlari-lari cepat sekali seekor kuda. Dan penunggang kuda itu adalah seorang pemuda berusia dua puluh tahun lebih. Dia cuma melirik, tanpa melakukan suatu gerakan yang mencurigakan.
Cuma saja, si Rase Terbang yang sudah berpengalaman segera menyadari, akan terjadi sesuatu tidak lama lagi.
Kusir kereta itu sendiri, yang memang sejak mudanya telah menjadi kusir kereta, sehingga dia pun sudah mengetahui arti adanya suara siulan itu dan munculnya si pemuda penunggang kuda.
"Akan ada perampok lagi... Loya" Memberitahukan kusir kereta itu dengan suara gemetar. Memang risikonya sebagai kusir kereta, kalau sedang apes, kemungkinan besar kusir kereta menjadi korban juga dari keganasan perampk yang ingin merampok penumpang keretanya. Karena itu, si kakek kusir kereta itu ketakutan sekali.
Dalam keadaan seperti itu, si Rase Terbang cuma mendengus tertawa dingin,
"Jangan kuatir, kau boleh jalan terus....!" Kata si Rase Terbang dengan suara yang tawar;
Kusir kereta itu memang mengandalkan penumpangnya, yang dilihatnya sangat liehay. Namun, tidak urung hatinya tetap deg-degan.
Sedangkan dari depan telah mendatangi lagi seorang penunggang kuda. Tapi penunggang kuda itu bukan si pemuda tadi, melainkan seorang nenek tua yang mukanya buruk sekali, seperti muka memedi yang sangat jelek menyeramkan.
Begitu si nenek muncul melarikan kudanya, terdengar suara siulan lagi yang sangat panjang bergelombang.
Tentu saja kusir kereta itu tambah ketakutan dan kuatir, karena dia seketika menduga, pasti perampok itu bukan perampok biasa.
Sudah menjadi kebiasaan di dalam kalangan Kangouw, perampok memang selalu mengirim mata-mata untuk mengawasi dulu korbannya. Tapi semakin aneh dan semakin banyak mata-mata yang dikirim, menunjukkan perampoknya pun bukan perampok yang sembarangan.
"Loya... tampaknya kita akan berurusan dengan perampok yang tidak enteng...!" Kata kusir kereta itu dengan suara tergetar karena kuatir.
"Jangan kuatir ! Kau dengar tidak kukatakan jangan kuatir? Aku jamin keselamatan jiwamu! Jalan terus....!" Bentak si Rase Terbang.
"Ba...baik Loya,." Kusir kereta itu telah mencambuki kudanya lagi, dan menjalankan kereta itu.
Sedangkan saat itu dari depan telah berlari-lari mendatangi seekor kuda. Penunggangnya bukan seorang pemuda, bukan si nenek bermuka buruk, melainkan seorang gadis berusia dua puluh tahun lebih, wajahnya lumayan cantik, sambil melarikan kudanya, sebentar sebentar dia menyabetkan cambuknya pada kudanya, sehingga terdengar suara cetar cetar tidak hentinya. Ketika akan melewati kereta itu, dia melirik sedikit saja. Sikapnya sinis bukan main, membuat kusir kereta tambah ketakutan.
Tapi si Rase terbang rupanya sudah tidak sabar, Dia menyingkap sedikit tirai jendela keretanya. Waktu kereta itu dilewati kuda si gadis, dia telah menyentil sesuatu.
Seketika kuda yang di tunggangi si gadis meringkik keras sekali, dengan kedua kaki depannya mencongklang. Hal ini terjadi begitu mendadak, maka si gadis jadi terpental dari kudanya.
Namun gadis itu rupanya memiliki kepandaian yang tidak rendah. Waktu tubuhnya terpental, dia tidak menjadi gugup. Dia malah jumpalitan di tengah udara, tubuhnya bisa meluncur turun di tanah dengan baik sekali, dengan kedua kaki tertancap di tanah dan tubuhnya tidak terhuyung sedikitpun juga. Malah, dia bisa berdiri tegak tanpa adanya perobahan di wajahnya, Kemudian dia menjejakkan kakinya, tubuhnya melesat lagi ke depan, dan hinggap di atas punggung kudanya yang sudah berlari pula. Dengan cepat kuda itu telah menghilang di tempat kejauhan.
Di waktu itu terlihat betapapun juga memang si gadis tidak berani berayal, dia tidak menoleh lagi.
Sedangkan si Rase Terbang mendengus, dia heran juga gadis itu memiliki kepandaian yang tinggi.
Dengan hanya menyaksikan cara dia berjumpalitan ditengah udara, dari ginkangnya itu saja, dia sudah bisa menerka berapa tinggi kepandaian si gadis,
"Entah dia murid siapa...!" Pikir si Rase Terbang di dalam hati.
Tadi dia memang telah sengaja menimpukan sebangsa Bwee Hoa Ciam (sepucuk jarum kecil). Senjata rahasia yang sulit dihindarkan oleh lawan, karena bentuknya yang halus, juga memang dipergunakan orang seliehay si Rase Terbang.
Kusir itu mencambuki kudanya untuk melakukan perjalanan lebih jauh, dan akhirnya tampak sebuah dusun kecil didepan mereka.
Seperti yang diutarakan oteh si Rase Terbang tadi kepada kusir kereta itu, dia tidak mau singgah di kampung kecil itu. Dan kereta itu meneruskan perjalanannya.
Yang membuat si Rase Terbang heran justeru sejak si gadis penunggang kuda itu dihajar dengan Bwee Hoa ciam, tidak ada yang lewat lagi. Dan perjalanan dilakukan dengan langgeng tanpa gangguan dan rintangan. Akhirnya mereka tiba juga disebuah kota kecil. Waktu itu sudah lewat magrib, keadaan sudah gelap.
Karena yang mereka singgahi adalah sebuah kota kecil,maka di situ cuma ada sebuah rumah penginapan. Si Rase Terbang sudah minta kamar yaag paling baik di rumah penginapan itu dengan memberikan hadiah beberapa tail kepada si pelayan. Karenanya juga dia diperlakukan sangat hormat sekali oleh pelayan tersebut.
Si Rase Terheng ingin bermalam di rumah penginapan ini, di hatinya sudah menduga, pasti malam ini akan datang tamu tidak diundang, maka dia bersiap-siap. Dia tidak tidur, melainkan duduk bersemedhi. Dia mengempos semangatnya, untuk mempersegar tubuhnya.
Sebetulnya, memang kalau dapat si Rase Terbang ingin meneruskan perjalanannya tanpa singgah di kota ini. Dia tidak terpengaruh apa apa walaupun tidak tidur beberapa hari.
Cuma saja hatinya tergerak juga melihat kusir kereta yang sudah tua dan kecapaian, disamping kedua ekor kuda penghela kereta itu yang membutuhkaa istirahat. Maka dia mau juga singgah di kota ini.
Malam sangat sepi sekali, kota kecil dengan pencuduk yang sedikit sekali, maka walaupun malam belum begitu larut, keadaan udah sunyi sekali. Hanya samar-samar dari kejauhan terdengar suara anjing menggonggong tidak henti, seakan juga anjing itu melihat hantu penasaran, sebab suara gonggongannya itu berirama panjang sekali ....
Pedang mustika diletakkan di samping kakinya dan si Rase Terbang terus memasang pendengarannya....
(^aaa~dewi-kz^) MALAM yang sepi sekali di sekitar rumah penginapan dimana si Rase Terbang bermalam, tidak tampak seorang manusia yaog berkeliaran di kota kecil itu dalam saat-saat seperti itu. Terlebih lagi hujan sejak tadi masih saja turun, walaupun tidak lebat, tokh hawa udara menjadi sangat dingin.
Keheningan seperti itu sebetulnya mengandung ketegangan, sebab diantara kegelapan malam, tampak berkelebat-kelebat beberapa sosok tubuh yang sangat lincah sekali.
Totokan Jari Tunggal It Yang Cie Karya Sin Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Justeru kalau ada penduduk kota itu yang kebetulan keluar rumah dan melihat tubuh tubuh manusia yang berkelebat-kelebat tidak berhenti, maka akan menduga mereka melihat hantu. Mereka pasti akan ketakutan.
Namun, ternyata yang berkelebat itu bukanlah Hantu. Melainkan manusia-manusia yang memiliki ilmu meringankan tubuh yang mahir dan terlatih baik sekali.
Jika diperhatikan orang-orang itu bergerak ketempat tujuan satu, yaitu rumah penginapan di mana si Rase Terbang bermalam.
Setelah berada dekat dengan rumah penginapan itu, orang orang tersebut mendekam diam di tempat gelap, dan mereka mengambil kedudukan seakan mengepung rumah penginapan itu,
Malam semakin larut... semakin sunyi. Suara yang paling haluspun akan terdengar jelas.
Si Rase Terbang tertawa dingin, pendengarannya yang sangat tajam sudah menangkap suara langkah-langkah ringan di sekitar rumah penginapan itu. Maka. sebagai orang yang sudah berpengalaman, si Rase Terbang menyadari tamu-tamu tidak diundang itu sudah tiba.
"Hemm.... mengapa tidak segera memperlihatkan diri?" Menegur si Rase Terbang dengan suara yaog dingin, waktu dia mendengar suara yang perlahan sekali hinggap diatas genting kamarnya, seakan juga jatuhnya sehelai daun kering.
Tidak terdengar jawaban. Hanya, si Rase Terbang mengetahui, orang yang diatas genting itu telah melompat turun. Malah, belum lagi si Rase Terbang sempat mengucapkan kata-kata lainnya, disaat itu telah tampak daun jendela tergempur sesuatu yang sangat kuat sekali, sehingga daun jendela itu menjeblak terbuka ... menyusul dengan terbukanya daun jendela tersebut, meluncur banyak sekali bermacam-macam senjata rahasia ke dalam kamar, ke arah pembaringan.
Si Rase Terbang tetap duduk bersila di pembaringan dengan tenang, sama sekali dia tidak menjadi gugup.
Dengan mudah, dengan hanya mempergunakan ujung lengan bajunya, dia mengibas berulang kali. Malah bermacam macam senjata rahasia yang menyamtar menghujani dirinya telah tersampok mental ke berbagai penjuru.
Kesempatan itu telah dipergunakan oleh orang-orang di luar kamar untuk melompat masuk. Mereka melompat musuk saling susul. Jumlah mereka tiga orang. Semuanya mengenakan topeng hitam pada muka mereka, baju mereka adalah baju Ya-heng-ie. baju peranti jalan malam, yang berwarna hitam juga.
"Serahkan pedang mustika itu pada kami dan kau boleh pergi tanpa kami ganggui" Bentak salah seorang, yang bentuk tubuhnya paling tegap dan tinggi besar. Rupanya dia yang memimpin teman-temannya itu.
Si Rase Terbang tetap duduk tenang di atas pembaringan, Dia telah melirik sedikit, dengan sudut matanya. Mulutnya juga memperlihatkan senyuman mengejek.
"Sebutkan dulu nama kalian, barulah pergi menemui Giam Lo Ong!!" Kata si Rase terbang dengan suara yang dingin sekali, seakan juga dia yakin akan bisa membinasakan orang itu.
Bukan main gusarnya orang bertubuh tinggi besar itu.
"Tidak perlu kau tahu siapa kami, tapi untuk kau terlepas dari perasaan penasaran, biarlah kami beritahukan sedikit juga, siapa kami sebenarnya ! Kami dari Sah Tok Kauw!!"
"Oooo, Sah Tok Kauw ... sudah beberapa orangmu yang mampus di tanganku, apakah kalian masih belum kapok juga !" Tegur si Rase Terbang dengan suara yang dingin.
Ketiga orang itu murka. "Kalau memang kau mau menyerahkan pedang mustika itu baik baik pada kami, maka kami tidak akan menarik panjang urusan ini! Kami akan membiarkan kau berlalu tanpa diganggu! Hemm, kau jangan bermimpi bisa menghadapi kami, Rase Terbang, karena rumah penginapan ini telah terkurung rapat sekali ! Walaupun kau mempunyai sayap, jangan harap engkau bisa keluar dari kamarmu ini!!"
"Oooo, benarkah begitu ?" Tanya si Rase Terbang mengejek, dengan suara tawar. Sikapnya tenang saja. Topeng mukanya berderak sedikit, kemudian baru terdengar dia meneruskan perkataannya ; "Baiklah ... jadi pedang mustika ini yang kalian inginkan?"
"Benar!" Mengangguk orang bertubuh tinggi besar itu. "Cepat kau serahkan, kalau memang kau memilih jalan keselamatan !" Sambil berkata begitu, dia melangkah maju.
Si Rase Terbang terdengar menghela napas dalam dalam, dia memegang pedang nu dengan kedua tangannya, dia mengangsurkannya.
"Nah, ambillah ..... " Katanya.
Orang yang bertubuh tinggi besar itu tertegun. Dia juga jadi ragu-ragu.
"Benar benarkah kau akan menyerahkan pedang mustika itu kepada kami?!" Tandanya untuk meyakinkan hatinya.
Si Rase Terbang mengangguk dengan sikap yang tenang,
"Mengapa aku harus main-main ! Bukankah sudah kukatakan, kau ambillah pedang mustika itu!!" Menyahuti si Rase Terbang dengan suara dingin.
Bukan main kegirangan orang tersebut, dia melangkah maju, mengulurkan kedua tangannya untuk menerima pedang itu
Tapi, dia jadi kaget, waktu kedua tangannya diulurkan justeru diwaktu itu pedang mustika itu terhunus di tangan si Rase Terbang. Malah, pedang itu mengancam akan menahas lengannya
Orang tinggi besar itu menjerit kaget. Untung baginya, dia masih keburu menarik pulang kedua tangannya dan melompat mundur. Namun itupun tidak urung keningnya kena diserempet oleh mata pedang.
Bukan main murkanya dia, karena sekarang dia baru menyadari bahwa dia telah dipermainkan si Rase Terbang. Dia seketika menghunus pedangnya. Kedua kawannya juga melompat maju.
Masing-masing telah mencekal pedang dan menghujamkan ketubuh si Rase Terbang dari tiga jurusan. Apa yang mereka lakukan itu benar-benar merupakan cara menyerang tiga serangkai yang datangnya serentak dan bisa berobah setiap saat.
Si Rase Terbang menghadapinya dengan tetap bersila di pembaringan dia cuma menggerakkan pedang mustika di tangan kanannya itu kekiri dan ke kanan dengan gerakan seenaknya, tampaknya dia tidak memandang sebelah mata kepada ketiga orang lawannya.
Namun, sebetulnya hati si Rase Terbang sendiri tengah gelisah. Dia heran, dalam beberapa jurus ini, lawannya bisa memperlihatkan dirinya semakin tangguh.
"Entah siapa mereka, mengapa kepandaiannya tinggi-tinggi seperti ini?!" Pikir si Rase Terbang. Tapi tetap dia bersikap tenang, sama sekali dia tidak memperlihatkan bahwa dia menaruh perhatian terhadap serangan-serangan ketiga orang penyerangnya. Pedang mustikanya berkelebat-kelebat semakin hebat.
Ketiga orang itu penasaran. Mereka memang memiliki semacam ilmu pedang yang bisa bersatu padu dipergunakan oleh mereka bertiga. Dalam keadaan seperti sekarang, mereka telah mempergunakan jurus-jurus yang paling ampuh dan bisa mematikan.
Akan tetapi tetap saja si Rase Terbang sanggup mempertahankan diri menghadapi setiap serangan mereka dengan duduk bersila di ranjangnya, sama sekali tidak terlihat dia jadi terdesak atau gusup. Yang hebat. si Rase Terbang, juga berulangkali mendesak ketiga lawannya buat mundur karena ancaman pedangnya.
Pertempuran tidak seimbang itu telah berlangsung terus dengan seru. tiga orang lawan si Rase Terbang semakin penasaran telah memperhebat dan memperketat kepungan mereka
Si Rase Terbang tertawa dingin.
"Baiklah! Aku ingin melihat berapa tinggi kepandaian kalian ?!" Setelah berkata begitu, tubuh si Rase Terbang tahu-tahu melesat turun dari pembaringan. Pedang mustikanya jadi semakin hebat saja, berkelebat kesana kemari.
Ketiga lawannya mengeluh jupa. Setelah seorang diantara mereka bersiul. Maka beruntun mereka melompati jendela, ingin lari keluar. Namun, si Rase Terbang mana mau membiarkan mereka angkat kaki
"Mau kabur kemana kalian?!" Bentak Rase Terbang, dan dia telah menikam berulangkali dengan pedangnya,
Serangan si Rase Terbang membuat ketiga orang itu tidak memiliki kesempatan untuk meloloskan diri, karena mereka terlibat terus oleh serangan-serangan si Rase Terbang. Mereka jadi bertempur lagi dengan seru.
Di luar terdengar suara bisik-bisik.
Si Rase Terbang sambil melayani tiga orang lawannya, berpikir : "Hemm, memang mereka datang dalam jumlah yang besar ... aku harus merubuhkan mereka dulu !"
Setelah berpikir begitu, si Rase Terbang mengempos semangatnya. Dia memiliki sinkang, tenaga sakti, yang terlatih hebat sebali. Jarang sebetulnya dia mempergunakan Sinkangnya, kalau dia tidak berada dalam keadaan yang terjepit dan terpaksa.
Sekarang, dia mempergunakan sinkangnya, yang disalurkan pada tubuh pedangnya, maka bisa dibayangkan kehebatan pedang itu, yang menyambar-nyambar dengan mengeluarkan suara berkesiutan tidak hentinya.
Di saat itu tampak jelas sekali, ketiga orang lawan si Rase Terbang semakin terdesak. Topeng muka dan pakaian mereka telah basah kuyup oleh keringat dingin yang mengucur deras.
Sedangkan si Rase Terbang semakin memperhebat serangan dan tikaman pedangnya. Salah seorang diantara ketiga orang itu kena tergores punggungnya, dan bajunya robek.
Dia kalap, dengan membentak nyaring dia menerjang dengan menikam kuat kuat ke dada si Rase Terbang, Namun pedangnya bisa di halau. Dan tubuhnya malah terpental, terpelanting, karena dia mati-matian menghindarkan ujung pedang si Rase Terbang yang tahu-tahu telah berada di dekat dadanya.
Kedua kawannya kaget, mereka berusaha menyerang si Rase Terbang untuk merintangi si Rase Terbang melancarkan serangan berikutnya kepada kawan mereka.
Memang si Rase Terbang terpaksa menghadapi mereka, namun dia tidak melepaskan lawannya yang seorang itu. Kaki kanannya telah menendang kuat sekali, sehingga disaat itulah tampak tubuh orang itu terpental keras bukan main, punggungnya membentur dinding kamar
Tapi orang itu kuat sekali. Karena dia terpental cukup jauh, dia sudah melompat bangun dan keluar dari jendela. Dia bisa melakukan itu tanpa dihalangi si Rase Terbang disebabkan jarak mereka terpisah cukup jauh dan kedua kawannya tengah melibat si Rase Terbang.
Di saat itu di luar kamar telah terdengar suara ribut-ribut kemudian melompat masuk puluhan orang! Macam-macam orang itu, yang semuanya membawa bermacam-macam senjata.
Juga ada yang membawa ular beracun, kelabang dan binatang berbisa lainnya.
Hati si Rase Terbang jadi tercekat juga.
"Celaka... kamar ini terlalu kecil, kalau memang aku melayani mereka terus. pasti merugikan diriku?! Walaupun kepandaianku lebih tinggi dari sekarang, pasti akan merepotkan sekali, sebab mereka akan berlaku nekad dan main terjang di tempat sempit seperti ini".
Karena berpikir seperti itu dia telah memperhebat serangan pedangnya, yang berkelebat kesana kemari.
Lawan-lawannya memang mengambil cara mendesak lebih rapat, karena mereka telah mendesak di dalam jarak pisah yang sangat dekat sekali.
Di saat itu terlihat, betapa si Rase Terbang semakin sempit ruang geraknya, tidak leluasa menggerakkan pedangnya. dan keadaan ini bisa mengancam keselamatan jiwanya.
Setelah mendesak dua orang lawannya, si Rase Terbang melompat ke kanan, dia menikam dua kali. Waktu lawannya melompat mundur, dia menerjang terus dan dengan dua kali lompatan dia sudah berada di jendela. Maksudnya akan melompat keluar dari jendela kamar itu. Dengan berada diluar, ditempat yang sangat luas, tentu dia bisa leluasa menghadapi lawan lawannya itu, betapapun banyaknya lawan-lawannya itu.
Namun baru saja dia tiba di dekat jendela, justeru dari luar telah menyambar sebatang anak panah yang hampir saja mengenai pundaknya. Untung si Rase Terbang gesit, dia memiliki pendengaran yang sangat tajam sekali, begitu mendengar suara angin berkesiuran, dia segera mengelakkan ke samping dengan membungkukkan tubuhnya. Dengan begitu sambaran anak panah itu gagal mengenainya, menancap di tepi pembaringan.
Bukan main gusarnya si Rase Terbang.
"Baiklah!! Hari ini aku membuka pantangan untuk membuka jalan berdarah den membuat danau darah...!" Berseru Si Rase terbang. Segera dia perhebat memutar pedangnya, yang berkeliaran sangat keras sekali.
Lawan-lawannya rupanya mengetahui bahwa Si Rase Terbang memiliki kepanasan yang tinggi. Maka bertempur dengan cara bergerilya, mereka maju dan mundur bergantian, tapi tetap mengepung ketat sekali. Mefeka yakin si Rase Terbang pasti akan kehabisan tenaganya dengan sendirinya dan di waktu itu barulah mereka akan menangkapnya.
Si Rase Terbang berseru nyaring, dia berusaha menerobos kepungan lawan-lawannya.
Tapi usaha si Rase Terbang hanya berhasil mengacaukan lawan-lawannya bagian depan, yang kemudian di gantikan oleh lawan lawannya yang lain. Digilir seperti itu, si Rase Terbang sangat terkejut.
"Mereka licik sekali!!" Pikirnya. "Hemm... Hemm, si Rase Terbang bukan manusia bodoh!"
Setelah berpikir begitu, cepat sekali tangan kiri dan tangan kanannya bergerak. Tangan kanan mengibaskan pedangnya menghalau tiga batang senjata yang menyambar kepadanya, sedangkan tangan kirinya menghalau seorang lawannya, yang kena dihantam pundaknya dengan telak. Seketika tulang piepa orang itu remuk hancur dan terpental ambruk di lantai sambil mengerang merintih kesakitan.
Si Rase Teibang tetap memperhebat serangan-serangannya.
Beberapa kali lawannya berusaha untuk memperketat kepungan mereka, namun selalu gagal,
Suatu kali, salah seorang lawan si Rase terbang sudah berseru :"Minggir semuanya!!"
Si Rase Terbang heran, entah apa yang akan dilakukan orang itu, yang mukanya tidak bisa dilihat karena memang mukanya ditutupi oleh topeng hitam. Hanya dilihat dan bentuk tubuhnya bisa diketahui orang itu sangat kurus dan agak pendek.
Tangan orang itu bergerak menimpukkan sesuatu. Dan benda itu meledak belum lagi mencapai sasaran.
Si Rase Terbang menduga senjata rahasia dan hendak menangkis. Namun baru saja dia hendak mengibas dengan pedangnya justeru benda itu telah meledak di depan mukanya.
Ledakan itu menyemburkan asap yang cukup tebal, dan bau amis bercampur harum yang tebal.
Hati si Rase Terbang tercekat kaget.
"Obat bius...!" Tapi dia terlambat menutup pernapasannya, dia telah menghirup beberapa kali dalam pernapasannya. Maka dia merasakan matanya kunang-kunang.
Sedangkan lawan-lawannya telah meluruk dengan serangan mereka yang semakin hebat.
Si Rase Terbang mengeropos semangatnya. ditutup pernapasannya dan bernapas melalui pusarnya. dia mengayunkan pedangnya dengan hebat, menerobos seperti kalap. Dan akhirnya dia melompat keluar dari jendela itu, dengan di dahului melemparkan kursi, dan sebatang anak panah meluncur menancap di kursi tersebut. Barulah si Rase Terbang membarengi untuk melompat keluar. Dia tiba selamat tanpa ada anak panah menyambar ke dirinya. Cuma saja, baru dia menempatkan kakinya di tanah, menancap dengan kokoh, hujan anak panah berdatangan menyambar ke dirinya.
Segera si Rase Terbang memutar pedangnya. Anak anak panah itu terpental ke sana kemari.
Sedangkan orang-orang Sah Tok Kauw yang sejak tadi menunggu di luar kamar, sudah meluruk menyerbu kepada si Rase Terbang.
Dengan berada di tempat yang luas, si Rase Terbang bergerak leluasa, pedangnya jadi beberapa kali lipat lebih lihay dibandingkan dengan tadi,
Seketika terdengar beruntun dua kali jeritan disusul dua jeritan lagi. Empat orang anak buah Sah Tok Kau telah terjungkal rubuh dengan ia leher tertebas dan seperti leher ayam yang di potong, memancurkan darah segar, mereka terjatuh di atas tanah, kemudian napas mereka putus.
Si Rase Terbang terbangun semangatnya. Memang pengaruh obat bius yang terlanjur terhirup dalam pernapasannya itu, membuat matanya berkunang-kunang, namun nyatanya dia masih bisa mempertahankan diri tidak sampai rubuh, tidak sampai dia menjadi lemah. Malah dia seperti seekor singa luka, yang mengamuk kesana kemari.
Lawan Si Rase Terbang dari dalam kamar pun sudah melompat keluar saling susul. Mereka meluruk buat mengepung si Rase Terbang.
Orang kurus yang tadi telah melontarkan bahan peledak yang ternyata adalah obat bius, telah beruntun melontarkan tiga butir lagi, yang meledak saling susul,
Si Rase Terbang jadi kewalahan. Dia berusaha menutup terus pernapasannya, hanya itu pun tidak bisa terlalu lama. Kalau dia membuka pernapasannya, berarti dia menghirup lagi udara yang mengandung obat bius itu. Akan celakalah dirinya. Untuk membela diri dari perbuatan curang seperti itu, yang telah mempergunakan obat bius padanya, si Rase Terbang berlari kesana kemari, berkelebat sebentar ke utara, sebelah selatan, ke timur atau ke barat. Dengan demikian dia bisa memperoleh hawa udara yang bersih, yang terhindar dari pengaruh asap beracun.
Demikianlah pertempuran itu masih berlangsung terus dengan menimbulkan suara yang gaduh dan sangat berisik oleh bentakan bentakan maupun kencring senjata tajam yang saling bentur.
Penghuni rumah penginapan itu baik pelayan, pemilik rumah penginapan dan tamu-tamu lainnya, bersembunyi di kamar masing-masing, tidak berani keluar melihat, karena mereka menyangka telah datang serombongan perampok. Mereka merasa paling aman bersembunyi di bawah selimut mereka, di dalam kamar mareka.
Si Rase Terbang tahu, kalau dia bertempur terus dengan cara seperti itu, niscaya akhirnya membawa kerugian yang tidak kecil padanya. Dia sudah mengerahkan tenaganya untuk menyerang lawannya lebih hebat, karena dia ingin mempercepat menyudahi pertempuran itu. Dia ingin mempersingkat waktu. Terlalu lama bertempur dengan cara seperti itu, niscaya lawannya yang akan memperoleh keuntungan.
Di saat itu orang orang Sah Tok Kauw yang mengurungnya sudah berulang kali berseru nyaring, juga telah menyerang dengan berbagai cara. Malah orang tadi yang mempergunakan obat biusnya yang bisa meledak di udara, dilemparkan ke depan muka Si Rase Terbang, tentu saja membuat si Rase Terbang semakin terdesak, sudah menghujani dengan peluru-peluru obat biusnya tersebut.
Bukan main gusarnya si Rase Terbang, karena memang dia sendiri melihat, kepandaian orang-orang Sah Tok Kauw yang mengepungnya itu tidak berada di bawah kepandaiannya, hanya saja justeru kelicinan mereka yang membuat si Rase Terbang seakan juga terdesak makin hebat.
Sebagai seorang yang telah berpengalaman, tentu saja si Rase Terbang memiliki pemikiran yang luas. dia tidak gugup menghadapi keadaan seperti itu, dia juga menang bisa segera memutuskan apa yang harus dilakukannya, guna mengatasi keadaan yang tidak menguntungkannya itu.
Pedang mustika di tangannya sudah diputarnya gencar sekali. seperti titiran, kesempatan di saat lawan-lawannya tidak bisa mendekatinya, justeru si Rise Terbang merogoh sakunya. Dia mengeluarkan seraup jarum-jarum Bwee Hoa Ciam, yang kemudian ditimpukkannya beruntun ke berbagai penjuru. Lawan-lawannya kaget waktu sinar kuning berkilauan menyambar ke arah mereka, dan beberapa orang diantara mereka yang tidak keburu mengelakkan diri, telah terkena jarum Bwee Hoa Ciam tersebut, sehingga mereka menjerit dan terjengkang rubah.
Si Rase Terbang tertawa bergelak-gelak.
"Manusia hina... kau curang mempergunakan senjata rahasia! Apakah kau tidak takut nanti bisa mati karena malu ditertawakan oleh sahabat-sahabat dunia persilatan?" Teriak beberapa orang Sah Tok Kauw dengan murka.
Si Rase Terbang memperdengarkan tertawa mengejek lagi, dia masih memutar pedang mestikanya seperti titiran. Dan juga berseru nyaring "Hemm, kalian atau mamang aku yang berbuat curang? Kalian manusia-manusia hina dina memang harus dihadapi dengan cara yang baik? Memang kalian bukan sebangsa manusia baik-baik, karena juga, tidak perlu aku sungkan-sungkan untuk memampusi kalian semuanya..."
Setelah berkata begitu, si Rase Terbang menerjang hebat ke sana kemari, pedangnya juga berkelebat-kelebat seakan juga petir yang menyambar kian kemari.
Tentu saja hal ini memaksa orang-orang Sah Tok Kauw itu harus bersikap lebih waspada, karena sedikit lengah, mereka kuatir si Rase Terbang akan membarengi menyerang mereka dengan jarum emasnya.
Si Rase Terbang bisa bernapas lebih lega. Kini dia tidak terlalu berat dalam pengepungan orang orang Sah Tok Kauw. Dia bisa lebih leluasa menggunakan pedang mustikanya.
Saat itu tampak orang orang Sah Tok Kauw mulai panik, karena mereka tidak bisa mengepung dengan kompak kepada Si Rase Terbang. Kalau memang mereka tidak mengepung ketat kepada si Rase Terbang, maka si Rase Terbang akan bertambah tangguh, dan ini merugikan pihak mereka. Karenanya, sambil bersiul nyaring, salah seorang Sah Tok Kauw sudah melompat mundur. Dan di saat itulah tampak dari rombongan orang-orang Sah Tok Kauw yang megepung di garis luar, telah melompat masuk sesosok tubuh dengan gerakan yang ringan sekali. Malah, orang itu begitu menerjang masuk telah menyerang dengan kedua tangannya. Hebat sekali serangannya, anginnya berkesiuran keras, Juga mulutnya telah berseru nyaring "Kalian semua mundur...."
Dia memberikan anjuran seperti itu ditujukan kepada semua orang orang Sah Tok Kauw,
Si Rase Terbang terkejut. Dia mencekal pedang mustika, tapi lawannya yang baru ini justeru berani menerjang padanya hanya dengan bertangan kosong saja. Tentu saja hal ini membuat dia bersikap jauh lebih hati hat, ia percaya orang yang baru maju ini bukan orang sembarangan, dia pasti memiliki ilmu andalan yang tangguh sekali.
Dalam keadaan seperti itu, si Rase Terbang juga merobah cara menyerangnya, pedangnya ticak diputar seperti tadi. Melainkan dia getarkan dan menikam berulang kali. Setiap tikamannya selain mengandung maut, karena dia menikam bagian bagian dan anggota tubuh yang bisa mematikan!!
Orang yang baru menerjang masuk gelanggang itu memperdengarkan suara tertawa dingin, berulang kali dia bisa menghindarkan tikaman pedang si Rase terbang, malah dia masih sempat untuk balas menyerang deagan pukulan tangannya.
Sekarang si Rase Terbang sudah melihat jelas muka orang itu. Dialah seorang kakek tua yang tinggi kurus dan potongan tubuh seperti tiang gala, dan orang itu memiliki ginkang yang tidak berada di sebelah bawah ginkang si Rase Terbang. Walaupun si Rase Terbang sudah bergerak sangat lincah dan gesit sekali, tokh orang tinggi kurus itu masih bisa mengimbanginya, tubuh kakek tua itu pun berkelebat ke sana kemari dengan hebat sekali. Setiapkali pula tangannya telah menghantam kepada si Rase Terbang dengan pukulan yang bisa mematikan, karena dia mempergunakan sinkang atau tenaga sakti yang mahir sekali.
Tidak mudah sebetulnya bagi seorang jago Kangouw untuk memiliki sinkang, yaitu tenaga sakti, karena seseorang yang mempelajari ilmu silat, memang selalu melatih ilmu tenaga dalam, namun itu baru disebut lwekang. Kalau memang latihan Iwekang dan jago itu sudah mencapai tingkat yang mahir sekali, melebihi dari takaran yang biasa bisa diperoleh orang-orang umumnya, maka tenaga dalamnya sudah berobah menjadi semacam tenaga sakti, yang bisa dikuasainya dengan sebaik baiknya.
Dalam keadaan seperti itu, segera juga tampak, bahwa orang yang sudah memiliki sinkang bisa mempergunakan semua anggota tubuhnya dengan sangat baik sekali, sebab tenaga sinkangnya bisa dikerahkan dan disalurkannya kepada bagian diri anggota tubuh yang hendak digerakkan itu.
Bagi seorang yang sudah memiliki sinkang, memang memiliki kesempatan untuk bisa menyerang lawannya dengan cara yang tidak tampak. Dia bisa memukul dari depan tanpa terlihat tenaga pukulannya itu, karena memang pukulan itu tidak dapat dirasakan sebelum tiba di sasarannya. Dan lawan tidak akan menyangka bahwa tenaga pukulan itu sama hebatnya seperti pukulan tangan yang mengenai jitu sekali di sasarannya.
Si Rase Terbang memang telah melihat bahwa lawannya ini sudah memiliki Iweekang yang bisa mencapai tingkat sinkang, karenanya dia tidak mau memandang remeh pada lawannya. Dia menghadapi dengan sungguh-sungguh, setiap serangan yang dilakukannya pasti memiliki tenaga menggempur yang bisa mematikan.
Tapi kakek tua tinggi kurus yang seperti tiang gala itu, juga bukan lawan ysng mudah dihadapi, karena memang dia seorang yang tangguh sekali. Dia sudah menghadapi tikaman-tikaman pedang mustika Si Rase Terbang dengan penuh kelincahan, malah acapkali pula tangannya tidak hentinya membalas menyerang.
Kedua sosok tubuh dari orang yang tengah bertempur itu berkelebat-kelebat tidak hentinya. Mereka memang bertempur dengan seru sekali, sedetik pun mereka tidak boleh mensia-siakan kesempatan yang ada, atau juga tidak boleh lengah. Sedikit saja mereka lengah, berlaku ayal dan juga sekejap mata tidak bisa mengimbangi kelincahan lawan, pasti mereka akan celaka....
Diam-diam si Rase terbang juga telah berpikir :"Hemmm, entah siapa dia? kepandaiannya sangat tinggi, Tidak kusangka bahwa di Sah Tok Kauw memang berkumpul banyak sekali orang orang yang memiliki kepandaian tinggi seperti dia....!"
Walaupun berpikir begitu, tokh si Rase Terbang tetap saja menyerang dengan dahsyat. Dia tidak percaya dengan mempergunakan pedang mustika ditangannya, sedangkan lawannya hanya bertangan kosong, dia tidak bisa merubuhkannya. Karenanya, di susul dengan bentakannya yang menggelegar dia telah menikam berulang kali. Ilmu pedang yang dipergunakannya juga semakin aneh sekali di mata lawannya.
Memang orang bertubuh tinggi kurus itupun menyadari lawannya sudah merubah cara bersilatnya, karena ilmu pedang si Rase Tarbang semakin sulit diterka, kearah mana menyambarnya.
Dalam keadaan seperti itu, tampak si Rase Terbang juga telah mengerahkan seluruh tenaganya untuk mendesak lawannya tanpa berhasil.
Sebab kakek tua tinggi kurus itupun sudah mengeluarkan ilmu andalannya, dia selalu berkelit dengan mudah dari serangan dan tikaman pedang lawannya.
Bukan main penasaran si Rase Terbang. Satu kali, sambil menikam dia telah membentak: "Siapakah kau sebenarnya.......?!"
Kakek tua itu tertawa dingin.
"Aku orang she Yang... ku kira kau tidak perlu banyak rewel, karena jika perhatianmu terpecah, berarti kau akan mampus ditanganku.!"
Mendengar ejekan kakek tua tinggi kurus itu, bukan kepalang gusarnya si Rase terbang.
"Hemm, aku tahu!!" berseru si Rase Terbang.
"Kau ternyata Yang Lu Sian! bukankah benar dugaanku itu?!"
Orang tua kurus itu tertawa dingin.
"Kau menerka tepat sekali!" Katanya menyahuti. "Memang aku Yang Lu Sian, Tentunya kau sudah seringkali mendengar namaku itu bukan?!"
Merah muka si Rase Terbang dan terasa panas pada pipinya, hanya saja dia mengenakan topeng pada mukanya, maka perobahan mukanya tidak bisa terlihat dengan jelas oleh lawannya.
"Baiklah Yang Lu Sian..., aku dengan kau tidak memiliki perhitungan apapun juga........hemmm, sekarang justeru kau mencari urusan denganku! Baiklah! Baiklah ! Kalau demikian tampaknya sudah tidak ada pilihan lain lagi, betapapun juga, memang aku harus mengadu jiwa dengan kau !"
Si Rase Terbang berkata begitu, karena dia seringkali mendengar tentang Yang Lu Sian, seorang tokoh tua yang memiliki kepandaian sangat tinggi. Karena dari itu, si Rase Terbang tidak heran lagi walaupun kakek tua tinggi kurus itu bisa menghadapinya sama tangguhnya. Hanya cuma ada juga rasa herannya, mengapa tokoh demikian tangguh seperti Yang Lu Sian mau berhamba pada Sah Tok Kauw? Bukankah dia begitu terkenal dan tangguh sekali?
Si Rase Terbang tidak sempat berpikir terlalu lama, karena dia harus menikam berulang kali dengan pedangnya, seperti hujan saja yang menuju Ke arah tubuh Yang Lu Sian,
Kedua orang itu terlibat lagi didalam pertempuran yang seru. Di saat itu orang orang Sah Tok Kauw yang lainnya telah bersiap-siap untuk menyerbu begitu di beri isyarat oleh Yang Lu Sian.
Tapi sejauh itu Yang Lu Sian tidak memberikan aba-abanya buet mereka maju, karena Yang Lu Sian tengah asyik melayani si Rase Terbang seorang diri. Memang seorang yang memiliki kepandaian sangat tinggi, tentu akan tertarik sekali jika dapat bertemu lawan yang memang tangguh. Dan pertempuran yang hebat membuat mereka semakin asyik dengan pertempuran itu, mengeluarkan kemampuannya untuk merubuhkan lawannya.
Angin malam berhembus dingin sekali... pertempuran itu masih berlangsung terus;
Kusir kereta yang sejak tadi telah ketakutan, duduk menggigil dengan hati berdenyut-denyut, karena dia menyadarinya, kalau sampai si Rase Terbang yang diandalkannya itu rubuh di tangan kakek tua tinggi kurus itu, niscaya, diapun akan celaka di tangan orang-orang sah Tok Kauw.
Dalam kegelapan malam seperti itu, mendadak saja terdengar suara "Serrrrr, serrrrr.....!!"
Yang semakin lama suara aneh itu semakin jelas terdengar.
Si Rase Terbang sendiri pun mendengar suara mendesis itu, dia tercekat hatinya. Dia teringat kepada Phang Tu.
Sedangkan kakek tua tinggi kurus itu, Yang Lu Sian, pun terkejut, dia malah sempat mengeluarkan seruan tertahan, karena dia mengerti bahaya apa yang akan mengancamnya. Dia pun sudah menduga suara mendesis aneh itu suara apa yang sebenarnya.
Dari tempat gelap berkelebat-kelebat beberapa sosok tubuh putih, yang mengenakan baju serba putih. Mereka tidak lain dari ke enam orang dayang Phang Tu, yang sudah menyusul si Rase Terbang bersama Phang Sun Kongcu dan jadi murka mendengar si Rase Terbang selalu tidak mau menyerahkan barang mustika yang dikehendaki pamannya, juga memang dia marah sekali melihat dayang dayangnya telah sepat telinganya.
Phang Sun Kongcu sendiri telah muncul dari samping rumah penginapan, di tempat yang gelap. Dia keluar dengan langkah kaki yang tenang sekali, malah mulutnya menggumam tidak hentinya.
"Kepandaian yang mengagumkan kali... Kepandaian yang menakjubkan..?!"
Si Rase Terbang melirik pada Phang Sun Kongcu, demikian juga Yang Lu Sian. Mereka berdua malah telah memisahkan diri dan masing-masing melompat mundur beberapa tombak, karena mereka tahu, dengan datangnya Phang Sun Kongcu, mereka akan memperoleh kesulitan tidak kecil.
Namun, Phang Sun Kongcu dengan sikap yang tenang dan lagak yang angkuh sekali, telah melangkah perlahan-lahan, sambil menggumam "Rase Terbang, kukira kau tidak keberatan untuk menyerahkan mustika di tanganmu itu kepada Siauwte, bukan?!"
Si Rase Terbang gusar bukan main, dia mengibaskan tangannya.
"Kalau kau ingin maju, majulah untuk mampus!!" tantangnya. "Si Rase Terbang tidak akan menarik kembali kata-katanya."
"Hemmm, tampaknya memang kau ini berkepala batu!! Kau tahu siapa aku?!"
"Bocah, aku tidak mau tahu siapa kau, karena kau adalah bocah hina dan rendah tidak ada harganya di mataku !"
Mendengar makian si Rase Terbang, merah padam muka Phang Sun Kongcu, karena murka sekali. Dia malah sampai membanting kakinya dua kali, mengkeretekkan giginya.
"Hemmm, jadi begitu anggapanmu ! Nah, aku si bocah hina dan rendah, ingin sekali melihat seberapa tinggi kepandaianmu...!" Sambil berkata begitu, dengan lagak yang sombong, tampak Phang Sun kongcu melangkah masuk kedalam kalangan, dia ingin menguji kepandaian si Rase Terbang. Walaupun dia sudah terlalu sering mendengar kehebatan ilmu pedang dan ilmu tangan kosong si Rase Terbang dari mulut-mulut orang Kangouw, hanya saja dia belum pernah merasakannya sendiri, dan disebabkan itu jadi tidak mempercayainya.
Di saat seperti itu, keadaan berobah semakin tegang. Si Rase Terbang berdiam diri saja dengan mata terbuka lebar dan tangannya mencekal erat-erat gagang pedangnya. Demiktan juga dengan si kakek tua yang tinggi kurus itu, Yang Lu Sian, yang berdiri dengan sikap bersiap sedia, karena dia kuatir kalau saja si Rase Terbang dan pemuda yang baru datang, ini, menerjang kepadanya. Dia berwaspada terhadap segala macam serangan mendadak atau membokong.
Hanya saja, si pemuda pelajar she Phang itu tidak menghampiri Yang Lu sian, hanya melangkah mendekati si Rase Terbang.
"Terimalah ini,..!" Kata Phang Sun Kongcu, sambil tangan kanannya diulurkan, dia hendak mencengkeram pergelangan tangan kanan si Rase Terbang, karena dia hendak merampas pedang si Rase Terbang.
Tapi si Rase Terbang memang liehay, dia mana mau membiarkan pedangnya dirampas oleh pemuda pelajar she Phang tersebut. Dia sudah menarik tangannya dalam-dalam, menghindarkan cengkeraman itu. Malah kemudian dia telah berseru nyaring, tahu-tahu mata pedangnya berkelebat akan menikam dada si pemuda pelajar itu.
Phang Sun Kongcu tertawa dingin.
"Kau belum lama lalu telah memutuskan keenam daun telinga dari enam orang dayang istana Liong Hong San,.. karenanya, kau harus mempertanggung jawabkan semuanya.,.!"
"Oooo, tentu! Tentu ! Aku si Rase Terbang selalu mempertanggung jawabkan tindakanku, dan justeru sekarang ini aku tertarik sekali dengan kedua telingamu, daun telingamu itu bagus sekali, awas aku akan mencopotnya...!!"
Sambil mengejek seperti itu, tubuh si Rase Terbang melesat dengan gesit sekali, pedangnya berkelebat dan dia hendak menabas putus kedua daun telinga Phang Sun Kongcu.
Memang usia Phang Sun Kongcu masih muda sekali, tapi justeru dia memiliki ilmu keluarga Phang yang sangat aneh. Karenanya dengan mudah dia bisa menghindarkan pedang si Rase Terbang, Hanya saja, dia berkelit bukan untuk mundur kebelakang, hanya maju satu langkah, malah tangan kirinya teiah diulurkan untuk menjepit pedang lawan mempergunakan jari tetunjuk dan ibu jari tangannya, dia hendak merampasnya..
Si Rase Terbang tidak yakin bahwa pedangnya bisa di jepit oleh pemuda yang masih berusia muda seperti itu, dia tidak berusaha menghindarkan pedangnya dari jepitan jari tangan Phang Sun Kongcu. Malah dia membiarkan pedangnya itu dijepit, Dia kemudian mengempos semangatnya,, dan membentak. Maksudnya dia hendak membetot pedangnya itu, agar jari tangan si pemuda pelajar itu kutung....
Namun keinginan si Rase Terbang tidak tercapai, Karena di waktu itu Phang Sun Kongcu telah berusaha mengempos semangatnya, dia menjepit dengan sekuat tenaganya.
Phang Sun Kongcu memang menyadari bahwa kepandaiannya masih terpaut satu dua tingkat jika dibandingkan dengan kepandaian yang dimiliki Si Rase Terbang, karena itu dia tidak berani main-main. cuma saja, Phang Sun Kongcu pun tidak mau memperlihatkan kelemahan dirinya. Dia telah berusaha menjepit dengan kuat sekali, membarengi dengan itu juga dia menghantam dengan tangan kirinya. Pukulan yang dilakukannya kuat sekali. Dia hendak memaksa si Rase Terbang agar melompat mundur menghindarkan pukulannya. Kalau sampai hal itu dilakukan si Rase Terbang, niscaya ini merupakan keuntungan tidak kecil buat Phang Sun Kongcu, karena si Rase Terbang pasti akan melepaskan pedangnya itu, pedang mustika yang memang diincar oleh Phang Sun Kongcu.
Si Rase Terbang agak terkejut, namun iiu hanya sekejap saja. Dia tidak gugup malah kedua tangannya tahu-tahu direntangkan, pedangnya menyabet dengan kibasan yang melintang. Sedangkan tangan kirinya menghantam, kearah batok kepala Phaog Sun Kongcu.
Kedua orang ini bertempur saling menyerang tidak hentinya. Juga memang tampaknya Phang Sun Kongcu kalah pengalaman dibandingkan dengan si Rase Terbang.
Benar ilmu silat si pemuda pelajar she Phang tersebut liehay dan aneh, tokh dia masih kalah tenaga dalamnya, membuat dia tidak bisa memaksa si Rase Terbang dengan pukulan pukulannya, tidak bisa mendesak lawannya itu.
Berulangkali Phacg Sun Kongcu berusaha merampas pedang di tangan Si Rase Terbang, Hanya saja usahanva itu selalu gagal. Malah di saat itu si Rase Terbang tampaknya semakin gagah saja.
Si kakek tua tinggi kurus yang menyaksikan jalannya pertempuran dari pinggir, jadi mengerutkan sepasang alisnya.
Rupanya, cara bertempur Phang Sun Kongcu membuat dia tercengang. Tadi dia mendengar bahwa pemuda pelajar itu dari istana Liong Hong San, di mana tinggal Phang Tu, seorang tokoh rimba persilatan yang sangat tangguh sekali.
"Entah pemuda ini terhitung apanya Phang Tu...?!" Diam-diam kakek tua tinggi kurus itu berpikir di dalam hatinya. "Cuma saja.,? dilihat dari kepandaiannya, jelas dia masih memiliki hubungan yang dekat dengan Phang Tu. karena dia tampaknya sudah mewarisi sebagian terbesar kepandaian Phang Tu! Aneh..... mengapa dia pun ikut mengambil bagian?!"
Sambil berpikir begitu, kakek tua tinggi kurus itu menyasikan terus jalannya pertempuran. Malah waktu melihat Phang Sun Kongcu berulang kali terdesak oleh tikaman pedang si Rase Terbang, orang tua ini mengerutkan sepasang alisnya.
"Hemm, kalau dia mau mempergunakan senjata tajam untuk menghadapi si Rase Terbang, tentu dia tidak akan lebih unggul.... sayang sekali dia terlalu angkuh, sehingga dia tidak mau mempergunakan senjata tajam.. celakanya, memang dia masih kalah satu tingkat dibandingkan dengan si Rase Terbang!" Sambil berpikir begitu, timbul niat di hati si kakek tua Yang Lu Sian, untuk melemparkan sebatang pedang anak buahnya kepada Phang Sun Kongcu. Hanya saja niatnya itu kemudian dibatalkan, karena dia bimbang sendirinya.
Sebagai orang Kangouw yang berpengalaman, rupanya Yang Lu Sian menyadari, kalau dia melemparkan pedang pada Phang Sun Kong cu dan pemuda itu menerimanya dengan tidak senang hati, jelas hanya akan menimbulkan salah paham dan bisa membuat mereka bentrok.
"Sudahlah, lebih baik aku menonton saja terus apa yang akan dilakukan pemuda she Phang itu terhadap lawannya?" Pikir Yang Lu Sian akhirnya, dia jadi berdiri menjublek saja di tempatnya.
Sedangkan semua anak buah Sah Tok Kauw sudah berdiri dengan sikap bersiap sedia, karena mereka sembarang waktu akan menerjang maju. Sekali saja mereka menerima isyarat Yang Lu Sian, maka mereka akan meluruk menyerang si Rase Terbang maupun Phang Sun Kongcu.
Phang Sun Kongcu sendiri tersekat hatinya, karena kini dia memperoleh kenyataan ilmu dan kepandaian si Rase Terbang benar-benar hebat, berada di luar dugaannya.
Semula dia menyangka walaupun nama si Rase Terbang sudah terkenal sekali di dalam kalangan Kangow, namun dia pasti bisa menghadapinya, Sekarang setelah melakukan pertempuran yang panjang dengan si Rase Terbang, dia baru tersadar, bahwa dirinya masih memiliki kekurangan, yaitu pengalaman, yang kalah kalau dibandingkan dengan si Rase Terbang. Malah, dia masih sering terdesak. Cuma disebabkan ilmunya yang aneh dan luar biasa maka dia bisa menghadapi terus si Rase Terbang. memang dia juga yakin, walaupun bagaimana dia akan rubuh juga di tangan si Rase Terbang, kalau mereka bertempur terus. Paling lama hanya lima puluh jurus Phang Sun Kongcu tidak akan sanggup menghadapinya lagi.
Sambil mengandalkan tikaman pedang lawannya, Phang Sun Kongcu telah berpikir keras. Dia berusaha untuk memikirkan, dengan cara apa dia bisa mendesak dan merubuhkan lawannya.
Cuma saja dia sendiri sampai saat itu belum lagi memperoleh cara yang paling baik.
Sedangkan pedang mustika yang diincarkan pamannya sudah berada di depan mata. Justeru walaupun benda mustika itu sudah berada dekat dengannya, tokh dia tidak bisa mengambilnya.
"Bocah busuk, lebih baik kau menggelinding pergi, mengadulah kepada Phang Tu, beritahu kan kepadanya, bahwa aku menantikan kedatangannya, kalau dia hendak mengunjungi aku.. Phang Tu baru pantas menjadi lawanku!" Sambil bilang begitu, si Rase Terbang mempergencar tikamannya. Keruan saja membuat si pemuda she Phang sibuk sekali menghindarkannya. Dia menyadarinya, betapapun juga, tidak mungkin dia bisa bertahan lebih jauh lagi. Maka, dia bermaksud akan mempergunakan pasukan ularnya.
Setelah lewat lima jurus lagi, tahu-tahu Phang Sun Kongcu bersiul nyaring sekali, terdengar suara mendesis yang aneh, karena mendatangi ratusan, bahkan ribuan ekor ular beracun..!
Muka si Rase Terbang berobah bebat. Dia boleh memiliki kepandaian yang tinggi dan liehay, tapi untuk menghadapi ribuan ekor ular berbisa itu, tentu saja dia jadi bingung.
Kembali Phang Sun Kongcu bersiul nyaring, maka ular-ular itu seperti mengerti komando tersebut, telah melata menyerbu kepada si Rase Terbang. Sambil melata, ular ular itu melata menjulur juluikan lidahnya yang merah mengerikan sekali.
Si Rase Tertang mengeluh. Dia lebih senang bertempur dengan seorang jago yang memiliki kepandaian tinggi, dibandingkan dia harus menghadapi pasukan ular pemuda pelajar tersebut,
"Berhenti!!" Teriak si Rase Terbang "Kau tarik mundur pasukan ularmu Aku ingin bicara sesuatu!"
Phang Sun Kongcu tertawa dingin,
"Apa yang ingin kau katakan? Nah, katakan sajo. sekarang!" Kata Phang Sun Kongcu dengan girang, karena dia tahu, Si Rase Terbang tentunya tidak bisa untuk menghadapi ribuan ekor ular berbisanya sekaligus. Walaupun bagaimana saktinya Si Rase Terbang, dia pasti tidak sanggup untuk membunuh ular-ular berbisa itu yang ribuan jumlahnya dan berkumpul memenuhi tempat yang luas di sekitar tempat itu.
Si Rase Terbang sebetulnya bermaksud akan melompat kedalam kamarnya, tapi segera dia terpikir, kalau memang dia melompat kedalam kamarnya, jelas dirinya terancam yang tidak kecil oleh pasukan ularnya Phang Sun Kongcu sebab kamar bukanlah ruang yang besar, hanya merupakan ruang yang sempit, Jika dia sudah berada didalam kamar, berarti dia akan terjerat, sebab ribuan ekor ular itu dapat saja masuk kedalam kamarnya untuk mengepungnya dan celakalah si Rase Terbang, karena dia sudah tidak memiliki jalan keluar lagi. Karena itu Walaupun si Rase Terbang melihat ada kesempatan untuk menerobos dan melompat masuk ke dalam kamarnya, melalui jendela kamar, tokh dia tidak melakukannya. Dia hanya berpikir untuk melompat ke atas genteng. Dari sana tentu lebih leluasa buat menyingkir lebih jauh.
Karena itu juga, si Rase Terbang telah mengembos semangatnya, berusaha mendesak Phang Sun Kongcu dan berusaha untuk melompat ke atas genteng. Hanya saja Phang Sun Kongcu justeru telah mendesaknya terus menerus tidak memberikan kesempatan kepadanya untuk menyingkir, terlebih lagi ratusan ekor ular telah menerjang ke arah dirinya, membuat si Rase Terbang sibuk menggerak-gerakkan pedangnya, yang jadi berlumuran darah, karena kepala ular-ular itu tertabas putus oleh tabasan pedangnya.
(^dewi-kz$aaa^) HANYA saja, jumlah ular-ular itu terlalu banyak, terbunuh satu menerjang sepuluh, mati sepuluh menerjang seratus ekor. Tentu saja si Rase Terbang jadi kewalahan juga, sibuk sekali menabas dengan pedangnya. Diapun tidak boleh lengah, sedikit saja dia lengah, berarti dia akan terpagut oleh salah seekor ular peliharaan Phang Sun Kongcu.
Pang Sun Kongcu berdiri dengan sikap yang angkuh
"Apakah kau mau menyerahkan mustika yang diinginkan oleh pamanku?!" Tanyanya dengan suara yang dingin.
"Hemmm, kepalamu akan kubelah-belah dan tubuhmu akan kucincang !" Menyahuti si Rase Terbang.
Phang Sun Kongcu tersenyum sinis,
"Hemm, bisakah?!" Tanyanya. Dia kemudian bersiul nyaring. Suara siulan itu memang berpengaruh sekali terhadap pasukan ularnya, karena mendadak saja ular-ular itu merobah taktik menyerang si Rase Terbang. Sekarang mereka tidak menerjang membabi buta seperti tadi, seperti juga bergiliran. Hal ini menambah kerepotan si Rase Terbang.
Sedangkan saat itu dari tempat yang gelap telah muncul enam orang gadis yang tadi telah menyingkir, dayang-dayangnya Pharg Tu. Mereka juga mengeluarkan seruling dari saku masing-masing, lalu keenam gadis itu menari-nari sambil meniup seruling mereka masing-masing. Suara enam seruling berirama nyaring, dan ular-ular itu seakan terpimpin melakukan penyerbuan kepada si Rase Terbang.
Memang luar biasa sekali bahwa ular-ular yang besar jumlahnya tersebut, yang terdiri dari berbagai jenis, seakan juga mengerti petunjuk-petunjuk yang diberikan keenam orang gadis itu lewat serulingnya, mereka telah menyerang si Rase Terbang dengan cara yang aneh aneh. Ada yang membungkukkan tubuhnya dan mendadak menyerang. Ada yang melesat-lesat menyambar di tengah udara. Tentu saja si Rase Terbang semakin kewalahan.
"Celaka!" Pikir si Rase Terbang didalam hatinya, walaupun pada mukanya dia sama sekali tidak memperlihatkan perasaan gentar.
"Aku pasti akan jatuh ditangan bocah busuk itu, kalau tidak bisa cepat-cepat menyingkirkan pasukan ular ini....!"
Dia jadi berpikir keras, dengan cara apa dia bisa menyingkirkan pasukan ular itu, di samping iiu juga dia tengah berusaha untuk mencari jalan guna menyingkirkan diri. Hanya saja kesempatan untuk menyingkirkan diri masih belum ada, karena di saat itu dia benar-benar terkepung rapat oleh pasukan ular Phang Sun Kongcu.
(^dewi-kz$aaa^) Jilid 18 ORANG ORANG Sah Tok Kauw yang berdiri dikejauhan, jadi menggidik melihat jumlah ular yang begitu banyak. Mereka sebetulnya merasa benci dan dendam kepada Phang Sun Kongcu, karena justeru mereka telah mendengar perihal kematian si pendeta berpakaian seperti wanita, yang binasa dengan mata yang dicongkel keluar dan juga dengan tubuh yang matang biru karena keracunan. Karenanya, mereka memang telah bermaksud kelak mencari Phang Sun Kongcu. Hanya saja, sekarang biarpun Phang Sun Kongcu berada didepan mata mereka, tokh mereka tidak bisa berbuat apa-apa, malah mereka merasa ngeri menyaksikan jumlah ular-ular yang begitu banyak. Tiat Ong Sam Hud, si botak memang telah terbinasa dengan cara yang mengenaskan, tapi justeru sekarang si pembunuhnya berada di situ, orang orang Sah Tok Kauw tidak bisa berbuat apa-apa.
Waktu itu Phang Sun Koogcu sudah bertanya dengan suara yang dingin. "Hemm, apakah kau menginginkan setelah dipagut ular-ular itu baru mau menyerahkan mustika yang diinginkan pamanku?!"
"Baiklah! Aku akan mengadu jiwa dengan mu !" Teriak si Rase Terbang. Dia jadi murka bukan main, karenanya dia sudah berseru dengan suara yang nyaring sekali, kemudian pedangnya bekerja berkelebat ke sana kemari. Dalam sekejap mata saja sudah puluhan ekor ular yang tertebas putus oleh pedang si Rase Terbang. Dalam saat-saat seperti itu tampak sekarang si Rase Terbang memang sudah tidak memperdulikan segala apapun juga, dia bergerak lincah dan pedangnya itu telengas sekali, ular-ular yarg menyambar datang pasti ditabas putus oleh pedangnya. Juga si Rase Terbang memiliki maksud tertentu, yaitu dia sambil membasmi ular-ular itu dia pun melangkah mendekati Phang Sun Kongcu. Dia memang ingin menghampiri pemuda itu, dimana dia akan menyerang Phang Sun Kongcu jika jarak mereka terpisah lebih dekat lagi. Hanya saja, terlalu lambat sekali dia bisa mendekati Phang Sun Kongcu.
Di saat itu tampak Phang Sun Kongcu sudah bisa menduga apa yang akan dilakukan oleh si Rase Terbang, dia tertawa dingin.
"Hemmmm!" Mengejek Phang Sun Kongcu, "Kalau memang sekali ini kau tidak mau menyerahkan pedang mustika itu kepada kami, maka kami dari istana Liong Hong San tidak akan membiarkan kau hidup terus lebih lama.... Kau masih memiliki kesempatan untuk merubah keputusanmu, merobah kematian menjadi kehidupan..... Terserah kepadamu sendiri. apakah kau menghendaki kematian atau kehidupan yang lebih aman .!"
Tapi si Rase Terbang tidak memperdulikan ejekan Phang Sun Kongcu, karena dia sudah menerjang dengan hebat sekali, pedangnya berkelebat-kelebat ke sana kemari. Hebat sekali setiap serangan itu karena dia telah menyerang dengan bertubi tubi. sementara dalam waktu singkat saja mungkin sudah lebih dari seratus ekor ular yang dibasminya.......
Namun jumlah ular itu sangat banyak sekali, mati seratus lebih tentu belum berarti apa-apa, dimana ribuan ular tetap menerjang mengepung Phang Sun Kongcu.
Disaat itu, terlihat jelas sekali, betapapun juga memang Phang Sun Kongcu yakin, bahwa ular-ularnya itu akan bisa merubuhkan si Rase Terbang. Betapa tinggi kepandaian si Rase Terbang, tentu saja dia tidak mungkin bertahan berhari-hari untuk menghadapi ribuan ekor ular itu. Malah, disaat dia tengah lengah atau lelah, pasti salah seekor atau dua ekor ularnya bisa memagutnya.
Apa yang diduga oleh Phang Sun Kongcu memang tidak terlalu meleset, karena disaat itu terlihat gerakan tubuh si Rase Terbang mulai lambat, justeru dia memang sudah mulai terdengar oleh sambaran ular-ular yang menerjangnya.
Dalam keadaan seperti itu, si Rase Terbang sendiri telah mengeluh. Dia tahu, dalam beberapa waktu lagi, niscaya dia akan lelah lagi, karena selama itu dia mempergunakan tenaganya berlebihan. Dia telah mengempos semangatnya begitu kuat, sehingga membuat dia kehabisan tenaga. Dan jika memang dia terus terdesak seperti itu, pasti dia akan jatuh rubuh ditangan Phang Sun Kongcu.
Karena pedangnya selalu digerakkan dengan cepat buat merubuhkan dan membunuh ular-ular itu, maka membuat dia mempergunakan tenaga yang tidak sedikit, dan ini telah membuat dia kehabisan tenaga. Langkah kakinya juga tidak selincah tadi.
Ular-ular yang menyerang dirinya juga masih banyak sekali, karena jumlah ular itu terlalu besar, kehilangan seratus ekor lebih tidaklah menjadi arti untuk pengepungan mereka. Yang mengepung lebih ketat lagi justru lebih banyak jumlahnya.
Sedang Phang Sun Kongcu kegirangan, karena yakin si Rase Terbang toch akhirnya pasti rubuh oleh ular-ularnya, sehingga dia bisa mengambil pedang mustika itu dari tangan si Rase Terbang, mendadak terdengar suara gembreng yang dipukul keras sekali. Gembreng itu menggema, suara gemanya belum lenyap terdengar lagi suara gembreng lainnya saling susul menyusul terus menerus.
Kaget Phang Sun Kongcu dengan keenam orang dayangnya, sebab suara gembreng itupun telah mengejutkan pasukan ular-ularnya yang dalam sekejap berhenti menyerang si Rase Terbang.
Tentu saja ini merupakan kesempatan yang sangat baik sekali untuk si Rase Terbang mengatur jalan pernapasannya, kemudian diapun bisa mempergunakannya untuk menerjang keluar dari kepungaan ular-ular itu.
Phang Sun Kongcu cepat sekali tersadar, karena dia sudah perintahkan kepada enam orang dayangnya, agar si Rase Terbang keluar dari kepungan ularnya. Gadis-gadis cantik berbaju putih itu, yang telah dikutungkan daun telinga mereka masing-masing satu, yang sakit hati pada si Rase Terbang, jadi girang. Mereka melompat ketengah-tengah kalangan, dan mempergunakan seruling masing-masing buat menyerang kepada si Rase Terbang, cara mereka mengepung dengan berputar-putar. Juga, mereka sebentar-sebentar berteriak memberikan aba-aba kepada ular-ular peliharaan mereka. Maka ular-ular itu segera mengepung lagi si Rase Terbang.
Hanya saja, disaat itu justru tampak, betapapun juga, memang ular-ular itu terpengaruh oleh suara gembreng yang sangat keras yang terdengar beruntun dan saling susul. Ular-ular itu sering ragu-ragu untuk menerjang terus kepada si Rase Terbang.
Apalagi memang suara gembreng itu terdengar semakin keras dan dekat.
Phang Sun Kongcu menoleh kearah datanya suara gembreng itu dengan muka merah padam karena murka.
Sedangkan orang Sah Tok Kauw yang berada ditempat itu tampak girang bukan main. Dan yang membuat mereka jadi gembira, karena segera tampak beberapa orang yang telah mendatangi, dengan orang yang jalan disebelah depan ada tiga orang, selalu memukulkan gembreng mereka yang berkurang besar. Cepat-cepat orang-orang Sah Tok Kauw berlutut mengangguk-nganggukkan kepala mereka.
Phang Sun Kongcu yang tengah murka itu, seketika memahami siapa yang tengah mendatangi itu. Pasti dari tokoh Sah Tok Kauw. Maka diapun jadi berpikir keras. Dia melihat rombongan orang yang tengah mendatangi itu, yang diduga oleh Phang Sun Kongcu adalah tokoh Sah Tok Kauw, terdiri dari jumlah yang banyak sekali, mungkin empat puluh orang!
"Hemmm, sungguh manusia-manusia celaka!" mengeluh Phang Sun Kongcu. "Disaat aku akan dapat merubuhkan si Rase Terbang dan bisa mengambil pedang mustikanya, telah muncul manusia-manusia yang tidak tahu diuntung ini!"
Sedangkan rombongan orang-orang itu telah tiba disitu, mereka telah menghampiri semakin dekat dan dari rombongan itu keluar seorang kakek-kakek tua yang berseru: "Semua berhenti bertempur! Harus memberi hormat kepada Kauwcu Sah Tok Kauw kami, yang maha agung dan maha besar namanya!"
Suara kakek tua itu nyaring sekali, karena dia berteriak dengan disertai lwekangnya.
Si Rase Terbang melirik, dia ingin melihat siapakah orangnya yang disebut sebagai Kauwcu Sah Tok Kauw. Namun dia tidak bisa melihatnya, karena jumlah orang itu terlalu banyak. Dia tidak tahu, siapa diantara orang-orang itu yang sebenarnya Kauwcu Sah Tok Kauw.
"Memberi hormat kepada Kauwcu yang maha agung!" teriak orang-orang Sah Tok Kauw yang tengah berlutut itu.
Suarang gembreng dipukul dua kali lagi, terdengar bergelegar menggetarkan hati setiap orang yang mendengarnya, karena suara gembreng yang sangat keras sekali, getarannya menusuk teling hal ini disebabkan memang gembreng itu dibenturkan dengan disertai lwekang yang tinggi!
Phang Sun Kongcu mengerutkan alisnya.
"Hemmm, Kauwcu Sah Tok Kauw telah datang sendiri, tentu dia diiringi oleh orang-orang yang tangguh!" Pikirnya. Dia memang licik sekali, dia segera mempertimbangkan kekuatan dirinya sendiri dengan pihak lawan.
Saat itu dari orang-orang Sah Tok Kauw yang baru datang telah melangkah keluar seorang gadis yang cantik jelita. Usianya baru duapuluh tahun lebih sedikit, langkah kakinya demikian ayu dan lemah gemulai.
"Siapakah yang menimbulkan keributan disini?!" Tanya Kauwcu itu dengan suara yang tawar.
Phang Sun Kongcu jadi tertegun ditempatnya, mengawasi kesima kepada Kauwcu Sah Tok Kauw yang begitu cemerlang kecantikannya. Dia tidak menyangka sedikitpun juga, bahwa Kauwcu itu adalah seorang gadis yang demikian jelita. Dia semula menduga yang menjadi Kauwcu Sah Tok Kauw pasti seorang kakek-kakek tua yang sudah renta. Siapa tahu, Kauwcu Sah Tok Kauw adalah seorang gadis. Malah, wajahnya begitu cemerlang sekali dengan kecantikan yang dimilikinya.
Seorang anak buah Sah Tok Kauw segera maju berlutut memberikan laporan, sambil menunjuk kepada Phang Sun Kongcu dia melaporkan, "Dia telah membawa pasukan ularnya mengacau pekerjaan kami! Dialah yang telah membinasakan Tiat Ong Sam Hun dengan kejam sekali.!"
Muka gadis yang menjadi Kauwcu Sah Tok Kauw tidak berobah, tetap dingin tidak berperasaan. Dia melirik kepada Phang Sun Kongcu, dan mengawasi dengan cermat, seakan juga dia tengah memperhatikan satu-satu anggota tubuh si pemuda, dari rambut sampai keujung kakinya.
Ditatap seperti itu oleh si gadis, tentu saja membuat Phang Sun Kongcu jadi kikuk, dia canggung sekali. Dia seorang yang ceriwis sekali, tapi entah mengapa sekarang terhadap Kauwcu Sah Tok Kauw tersebut, dia jadi begitu canggung. Tapi, kemudian Phang Sun Kongcu bisa menguasai diri, dia canggung dan kikuk sebentar saja.
"Benarkah kau yang telah membunuh Tiat Ong Sam Hun, orang kami, dengan cara yang keji?!" tanya si Kauwcu, dengan suara yang tawar. Tegurnya itu seperti juga teguran seorang yang lebih tinggi tingkatannya kepada orang yang tingkatannya lebih rendah.
Bukan main mendongkolnya Phang Sun Kongcu, dia tertawa dingin.
"Hemmmmm, apa hakmu bertanya seperti itu kepadaku?!" tegurnya dengan suara yang dingin, "Kau tidak ada urusan denganku, kalau memang ingin selamat, ajaklah anak buahmu itu pergi dari tempat ini! Kami dari Liong Hong San tidak akan berkasihan terhadap siapapun juga! Sekarang aku telah memberikan keistimewaan padamu, dengan membiarkan kalian buat angkat kaki, itu sudah merupakan hal yang jarang sekali terjadi!"
Kauwcu Sah Tok Kauw tersenyum. Wajahnya tetap dingin tidak berperasaan. Tidak tampak kegusaran atau dia tersinggung oleh kata-kata Phang Sun Kongcu.
"Kau meminta kami pergi?!" tanyanya, dengan suara yang sangat tawar dan dingin.
Phang Sun Kongcu tertawa dingin juga.
"Terserah kepadamu, aku hanya memberi saran agar kalian bisa memperoleh jalan hidup!" menyahuti Phang Sun Kongcu.
"Jalan hidup buat kami? Apakah jika memang kami tetap berdiam disini kami akan mati ditanganmu?!"
Phang Sun Kongcu jadi mendongkol bukan main dihadapi dan di layani begitu tenang dan dingin oleh si gadis cantik jelita itu, Kauwcu Sah Tok Kauw.
"Hemmm, kau lihatlah!" kata Phang Sun Kongcu sambil menunjuk ke pasukan ularnya. "Walaupun kalian memiliki kepandian berapa tinggi sekalipun, sekali saja aku memberikan perintah kepada pasukan ularku, maka tidak ada jalan hidup lagi buat kalian!"
Waktu berkata begitu, dengan nada mengancam, Phang Sun Kongcu yakin bahwa gadis itu akan ketakutan. Bukankah wanita paling takut pada ular? Karenanya dia sengaja mendengus beberapa kali tertawa dingin, mengejek setelah selesai mengutarakan ancamannya dan mengawasi tajam sekali kepada gadis itu.
Tapi Kauwcu Sah Tok Kauw itu tenang-tenang saja. Dia malah tersenyum tawar, mukanya tetap dingin.
"Ular-ular itu?!" Tanyanya. "Justru kami tidak merasa takut pada ular-ular itu. Kami malah ingin memiliki, kalau saja bisa! Nah Sam-toa, Jie-toa dan Toa it! Mulailah !"
Totokan Jari Tunggal It Yang Cie Karya Sin Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Perkataan Kauwcu Sah Tok Kauw yang terakhir itu ditujukan kepada ketiga orang yang memegang gembreng.
Ketiga orang itu, Sam-toa, Jie-toa dan Toa it, segera berlutut memberi hormat.
"Kami menerima perintah!" kata mereka berbareng. Dan kemudian berdiri lagi dengan cepat, tangan mereka pun bergerak membenturkan gembreng mereka. Luar biasa suara gembreng itu menggema disekitar tempat itu. Dan lebih hebat lagi suara gembreng yang kedua kalinya. Suara ketiga jauh lebih hebat dari yang kedua. Begitu seterunya. Tentu saja mengejutkan Phang Sun Kongcu, karena ular-ular nya jadi panik, seperti juga ular-ular itu tengah menghadapi sesuatu yang menakutkan sekali, pasukan ular itu telah berdiam diri mendekam tidak bergerak sedikitpun juga. Mereka bertumpuk di tanah seakan juga rumput-rumput saja. Sedikitpun tidak terlihat kehidupan diantara mereka, karena mereka mendekam tidak bergerak sedikitpun juga. Jika orang tidak tahu, tentu orang-orang tersebut tidak menyangka tumpukan itu adalah tumpukan ular.
Sam-toa, Jie-toa dan Toa it masih terus memukulkan gembreng mereka. Celakanya lagi, bukan hanya ular-ular itu yang seperti mati daya dan tidak bisa bergerak lagi, sebab disaat itu justru tampak keenam orang dayang Phang Sun Kongcu terpengaruh oleh suara gembreng itu. Mereka terlompat-lompat, seakan menderita kesakitan yang hebat.
Rupanya suara gembreng itu telah membuat telinga mereka yang masing-masing tinggal satu terasa sakit bukan main, dan menggetarkan jantung mereka, yang tergoncang keras sekali. Malah, tanpa mereka sadari, mereka telah melompat-lompat dengan muka meringis menderita kesakitan yang tidak ringan. Dan akhirnya, mereka bergulingan ditanah, disaat gembreng itu masih juga menggema karena tidak hentinya dipukul terus oleh ketiga orang Sah Tok Kauw itu.
Phang Sun Kongcu jadi kaget, mukanya berobah. Malah, diapun segera merasakan sesuatu yang tidak beres pada dirinya, jantungnya berdebar keras sekali, dia merasakan darahnya berdenyut semakin kencang setiap kali gembreng itu dipukul, semakin lama semakin deras darahnya mengalir ditubuh, seakan darah itu naik keatas kepala.
Phang Sun Kongcu terkesiap, seketika dia mengerti bahaya yang bisa menimpa dirinya dan enam orang dayangnya.
"Kerahkan lwekang kalian dan mengambil sikap kosong!" teriak Phang Sun Kongcu memberikan petunjuk kepada keenam orang dayangnya itu. Dia sendiri segera memejamkan matanya, dia mengempos pernapasannya, berusaha untuk mengerahkan lwekangnya. Dengan mengerahkan lwekangnya dan mengosongkan pikiran, Phang Sun Kongcu bisa menenangkan kembali goncangan jantungnya, karena dia sudah tidak terpengaruh lagi oleh suara gembreng yang dipukul oleh ketiga orang itu.
Keenam dayang itu segera berusaha mengerahkan lwekangnya masing-masing, namun mereka memang masih memiliki lwekang yang tidak semahir dan setinggi yang dimiliki Phang Sun Kongcu, karena itu mereka selalu gagal untuk mengosongkan pikiran masing-masing, malah selalu saja mereka terpengaruh kembali oleh gembreng yang menggelegar keras itu. Dan terakhir, usaha mereka gagal, sebab mereka sudah tidak berdaya memulihkan getaran jantung mereka yang berdegub semakin keras dan darah mereka yang semakin mengalir deras didalam tubuh, maka mereka seketika bergulingan diatas tanah malah mereka bergulingan sambil menjerit-jerit, sebab mereka merasa kesakitan luar biasa, tersiksa sekali. Kalau sampai darah mengalir penuh dikepala mereka, niscaya nadi dan urat jalan darah dikepala mreka akan pecah jika sampai terjadi pembuluh darah di kepala mereka putus dan pecah, maka mereka akan terbinasa
Pendekar Pemanah Rajawali 22 Di Balik Keheningan Salju Snow Karya Orhan Pamuk Gadis Misterius 8
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama