Ceritasilat Novel Online

Apa Kata Bintangmu 1

Girl Talk 05 Apa Kata Bintangmu Bagian 1


YANG DIOBROLIN KALI INI
SABRINA : Halo Katie, ini Sabrina. Lagi ngapain kamu? Eh,
kau pasti nggak percaya deh sama apa yang mau
kuomongin!
KATIE : Iya ?lah! Apaan sih?
SABRINA : Kau masih ingat puisi cinta dan kiriman bunga
yang kudapat tempo hari?
KATIE : Maksudmu, yang dari pengagum
misteriusmu itu?
SABRINA : Tul! Sekarang baru ketahuan siapa sebenarnya
pengagum misterius itu!
KATIE : Oh, ya? Siapa? Siapa? Kasih tahu, dong!BAGIAN SATU
Hari ini rasanya akan menjadi hari yang menyebalkan. Jam baru
menunjukkan pukul sebelas siang, tapi rasanya aku sudah hampir
senewen. Udara diluar cukup panas, dan kami ditugaskan mencuci
mobil sementara Ibu dan Ayah pergi belanja ke supermarket.
Nyatanya, kakak-kakakku yang bandel itu malah mencuciku sekalian!
"Hei Sabrina! Lihat nih..." saudara kembarku, Sam, berteriak
seraya mengarahkan selang air lantas menyiramku.
"Sam, udah dong...rambutku basah nih!" aku memohon sambil
menatap jeansku yang basah dan seperti menciut. Sam dan aku samasama berusia dua belas tahun, tapi Sam selalu bertindak sebagai ?boss?
yang seenaknya memerintahku, hanya karena ia lahir empat menit
lebih dulu. Enak aja!
"Tambah lagi ah..." teriak Mark, kakak ketigaku sambil
menyemprot bagian belakang tubuhku. Mark lalu saling bertepuk
tangan dengan Sam tanda kompak. Usia Mark kira-kira tiga belas
tahun, tapi kelakuannya masih seperti anak kecil aja. Senengnya bikin
kekonyolan dan keonaran.
Tinggal dengan empat kakak laki-laki jelas penuh dinamika.
Kadang-kadang aku merasa beruntung dan sebaliknya seringkali
merasa sial.Terutama jika mereka berempat bersatu untuk melawanku, satusatunya cewek dirumah ini selain Ibu. Sebagai satu-satunya anak
perempuan dan anak bungsu, tentu saja aku mendapat cukup perhatian
dan kasih sayang. Tapi banyak juga enggak enaknya. Misalnya, kalau
orang tua kami menawarkan acara nonton bola atau nonton film, pasti
akhirnya kami semua terpaksa nonton bola, sebab suara anak laki-laki
lebih dominan.
Bagaimanapun, aku benci sekali hari Sabtu pagi, karena setiap
hari Sabtu keluarga kami melakukan kerja bakti. Istilah ?kerja bakti?
kedengarannya kampungan sekali ya? Sepertinya kita ini hidup di
desa-desa gitu. Padahal sebenernya nggak lho. Kita ini keluarga yang
cukup moderen, tinggal di rumah yang cukup besar di Acorn Falls,
Minnesota. Karena rumah kami cukup besar, maka kami perlu kerja
keras untuk menjaga kebersihannya. Kata ayah, rumah kami adalah
model jaman ?Victoria?. Seluruh dinding berwarna putih, dengan
kayu-kayu hitam di tepi jendela dan pintu serta halaman luas di muka
dan belakang rumah
Aku melangkah menuju pintu belakang dan masuk ke dalam,
meninggalkan badut-badut konyol yang telah membuatku basah
kuyup begini. Bagian dalam rumah kelihatan sedikit berantakan. Tapi
kata Ibu, suasana berantakan itu justru membuat rumah kelihatan
?hidup? dan dinamis. Aku berada ditengah-tengah dapur saat kusadar
bahwa Ibu baru saja membersihkan lantai dapur! dan aku telah
mengotorinya dengan langkahku yang penuh lumpur dan tetesan air
dari seluruh tubuhku. Segera kuraih kertas tissue dan berjongkok
untuk membersihkannya.Ketika itulah, Luke, kakak keduaku masuk ke dapur. Sambil
membuka kulkas dan mengambil minuman ia menyindirku, "Bagus
Sabs, mengepel lantai emang pekerjaan cewek..."
Rasanya aku ingin membunuhnya. Kata-kata itu jelas
menghinaku. Tapi wajahnya kelihatan tanpa dosa. Dengan segelas
soda di tangan dan tangan lain di pinggang, lagaknya kayak penyanyi
Rock aja! Ya, sejak usia enam belas tahun dan punya surat ijin
mengemudi, Luke suka bertingkah sok dewasa dan sok jagoan. Luke
mirip dengan Matthew, kakak tertua kami. Matthew sudah berusia
delapan belas tahun dan sekarang sudah masuk college. Matheww
adalah kakak yang paling kusayangi. Meskipun dialah yang mulamula mengganti nama panggilanku ?Sabs? menjadi ?Blabs?. Hi.. .hi.
.hi.. .Soalnya aku sering ngerumpi di telepon sih. Dan kalau udah
ngerumpi, aku jadi cerewet banget. "Bla... bla.. bla.." gitu. Makanya
aku dapet julukan si ?Blabs?. Kuputuskan untuk mengabaikan Luke.
Kulanjutkan pekerjaanku membersihkan lantai, kemudian beranjak ke
atas, menuju kamar tidurku. Aku masih punya beberapa tugas yang
harus kukerjakan pagi ini, seperti membersihkan ruang tamu dan
ruang makan, membersihkan tempat cuci piring dan kamar tidurku
sendiri. Karena sekarang sudah berada dalam kamarku, kuputuskan
untuk membersihkan kamarku lebih dulu.
Kamarku terletak persis di bawah atap, dan amat luas. Harus
kuakui, keadaan kamarku lagi benar-benar berantakan. Untunglah, Ibu
yang melakukan tugas mencuci, sehingga aku cukup mengumpulkan
pakaian-pakaian dan sprei kotor ke sudut kamar dan menggantinya
dengan yang masih bersih. Majalah-majalah pun kurapihkan dalam
rak. Setelah selesai, aku duduk di kursi dan memperhatikan keadaankamar dengan rasa puas. Kelihatannya kamar ini indah sekali. Lalu
aku mulai memikirkan rencanaku mengundang teman-teman
menginap di rumah malam ini. Katie Campbell, Randy Zak dan
Allison Cloud. Aku masih harus melakukan ribuan peherjaan sebelum
mereka tiba dalam rangka persiapan acara menginap nanti malam.
Tiba-tiba aku ingat, hari ini belum sempat membaca ramalan bintang.
Tanpa ramalan bintang aku tak berani memutuskan apapun.
Aku segera turun ke dapur dan mengambil koran pagi, langsung
membukanya ke halaman duabelas. Ramalan bintang selalu ada di
halaman dua belas. Kubaca dua kali untuk memastikan bahwa yang
kubaca adalah bintangku. Ramalan itu bilang;
"Pisces: bersiap-siaplah untuk kisah cinta baru. Adalah tindakan
bijaksana untuk membina hubungan spiritual. Kisah cinta segera
datang. Teruslah mengikuti bintang..."
Kuletakkan koran kembali ketempatnya dan segera mencuci
piring kotor bekas sarapan dan mengeringkannya. Wah! ramalan
percintaan! Apa maksud kalimat ?bersiap-siaplah untuk kisah cinta
baru?? Dan ramalan itu juga menganjurkan untuk mengadakan kontak
spiritual? Kok bisa pas ya? Tau nggak, belakangan ini aku sering baca
buku ilmu gaib yang judulnya ?Petunjuk dari Madam Pandora menuju
Planet yang lebih baik ? Dan aku juga sudah merencanakan ?acara
gaib? untuk mengisi malam panjang bersama teman-temanku nanti,
rasanya tak bisa dipercaya, apa kata ramalanku sangat tepat!
Kulirik arloji warna pink menyala di pergelangan tanganku.
Wah, ternyata waktu sudah cukup mendesak. Aku masih harus
menyiapkan segala sesuatu untuk acara menginap nanti malam. Jamlima sore nanti teman-teman pasti sudah tiba, padahal sekarang sudah
jam setengah tiga!
Sementara itu aku masih harus membersihkan karpet di seluruh
rumah ini, dan segera kukerjakan secepat kilat, hanya dalam waktu
enam menit! Lalu aku segera menuju ruang bawah tanah. Di sinilah
rencananya akan kuadakan acara ala ilmu gaib. Kugunakan kain
gorden warna ungu sebagai penutup meja dan ku tebarkan kartu-kartu
di atasnya.
Selanjutnya aku harus menemukan bola kristal. Seorang
peramal kan biasa menggunakan bola kristal untuk meramal ?kan?
Dan satu-satunya benda yang mirip bola kristal adalah akuarium ikan
milik Luke. Tapi gimana ya, di dalamnya masih ada ikannya! Aku
enggak mau cari gara-gara. Luke pasti akan nanya macem-macem jika
aku minta ijin untuk meminjam akuariumnya. Maka aku langsung aja
naik lagi ke ruang tamu dan mengambil satu meja kecil untuk
kupindah ke ruang bawah tanah. Lantas kuletakkan akuarium itu di
tengahnya. Sama sekali tak mirip bola kristal dengan ikan-ikan
berenang di dalamnya, tapi jika lampu-lampu dimatikan, dalam
keadaan gelap, pasti mirip deh. Kutarik empat buah kursi ke dekat
meja dan berdiri agak jauh untuk melihat efeknya. Tidak terlalu jelek
kok. Yang jelas suasana masih terlalu terang untuk ruangan dukun
ramal. Di film-film, ruang peramal selalu gelap dan menyeramkan dan
aku ingin membuat suasana semirip mungkin dengan aslinya. Tibatiba aku dapat ide cemerlang: lilin! Dengan beberapa lilin menyala,
pasti suasananya jadi seram, persis di film-film. Aku naik lagi ke atas
dan mencari lilin, tepat pada saat Ayah dan Ibu pulang darisupermarket dan meletakkan kantong-kantong belanja mereka di
dapur.
"Bu, saya perlu beberapa lilin untuk acara nanti malam. Kan
teman-teman akan menginap Bu..." ujarku seraya berusaha
berekspresi lugu.
"Lilin? " Ibu balik bertanya. "Rasanya Ibu tak akan
mengijinkan kau main lilin lagi di rumah ini. Apa kau sudah lupa
bagaimana kau dan Sam hampir membakar rumah pada hari
Halloween lalu?" ujar Ibu sambil mengangkat alisnya tinggi-tinggi.
Tentu saja aku masih ingat. Soalnya Ibu selalu menyebutnyebut perkara itu tiap kali aku menyebut kata ?lilin?. Memang sih,
kami melakukan kesalahan, tapi nggak besar kok. Saat pesta
Halloween lalu, aku, Sam dan Nick Robbins, salah satu sahabat Sam,
membuat topeng dari buah labu. Bagus sekali. Sebagaimana tradisi, di
peringatan Halloween selalu ada topeng dari buah labu. Tapi kata
Sam, biar lebih bagus lagi, labu yang bentuknya jadi mirip kepala
manusia itu harus diberi topi. Maka kami beri topi wol Ayah,
sementara di dalamnya kami pasang lilin menyala. Kemudian kami
tinggalkan kepala labu itu di jendela selama berjam-jam sementara
kami asyik melakukan hal lain, sampai api dari lilin membakar topi
wol dan menimbulkan asap tebal yang membuat alarm kebakaran di
dapur berdering. Tentu saja Ayah dan Ibu marah melihat kejadian ini.
Aku masih ingat, bau bekas kebakaran itu agak aneh. Dan tentu saja
aku masih ingat bagaimana rasanya dihukum selama satu bulan tak
boleh keluar rumah. Ditambah, kami harus menabung uang jajan kami
guna mengganti topi wol ayah yang terbakar.Semua itu membuatku yakin, Ibu tak akan memberikan lilin lagi
seumur hidup padaku. Gawat amat! Lilin kan salah satu benda yang
paling penting untuk menciptakan suasana ?gaib??!
Tapi akhirnya kuputuskan untuk melupakan soal lilin untuk
sementara waktu dan mulai memikirkan soal pakaianku. Jangan lupa,
pakaian juga penting untuk menimbulkan kesan tertentu lho. Jika aku
ingin jadi pemimpin praktek ilmu gaib ini, aku harus tampil
sebagaimana layaknya para dukun. Kupilih sebuah gaun dari bahan
flanel warna merah polos. Selimut putihku kujadikan jubahnya. Sama
sekali nggak berkesan mistik, jadi tentu harus ditambah atribut lain.
Kukenakan anting-anting berbentuk lingkaran besar serta kalung
manik-manik hadiah dari tante Pat pada hari Natal lalu. Kalungkalung itu bergemerincingan di leherku, tepat seperti yang kuinginkan.
Berikutnya, aku mulai melakukan perubahan pada rambutku.
Pertama, kuikatkan scarf hitam-keemasan disekeliling kepalaku. Tapi
dengan rambut merah dan anting-anting besar macam ini kelihatannya
malah jadi seperti badut sirkus deh. Menurutku, peramal atau dukun
macam Madam Pandora, nggak mungkin berpenampilan macam ini.
Biasanya mereka memakai sorban kan? Maka kucoba membuat
sorban dari handuk warna oranye. Kubungkus kepalaku seperti
biasanya bila aku selesai mencuci rambut. Tapi rambutku begitu tebal
sehingga dalam keadaan kering begini, selembar handuk tak cukup
untuk membungkusnya. Apa yang harus kulakukan? Kulirik arlojiku.
Tak banyak waktu lagi!
Bergegas aku lari ke kamar mandi dan mengambil tutup
kepalaku. Tutup kepala dari plastik warna kuning itu cukup berguna
untuk menahan rambut keritingku yang megar ini sehingga agak lebihmudah dibungkus dengan handuk. Kugunakan beberapa jepitan
rambut untuk menjaga agar handuk itu tidak lepas dari kepalaku. Lalu
kujepitkan sebuah anting besar warna hijau berbentuk lonceng di
tengah-tengah sorban handukku, sehingga jatuhnya tepat di tengah
keningku. Bagus sekali! ?Madam Sabrina?, desisku dalam hati. Aku
kelihatan begitu sempurna tampil sebagai peramal.
Kusiapkan semua barang yang kuperlukan dan kumasukkan ke
sebuah tas, lalu berlari ke ruang bawah tanah dan meletakkan tas itu di
tempat yang aman. Dengan begitu, jika waktunya tiba, aku dapat
berganti kostum di ruang bawah tanah ini dan tak perlu mundarmandir di dalam rumah dengan pakaian aneh ini. Kalau saja salah satu
kakakku mengetahui rencanaku ini,mereka pasti akan menghancurkan
segalanya.
Yang masih belum terselesaikan adalah masalah lilin. Ayo
Sabrina, jadilah orang yang kreatif. Aku berbintang Pisces, dan lahir
saat Sagitarius terbit. Seharusnya aku trampil menghadapi saat-saat
kritis macam sekarang. Kata-kata ?Tetaplah mengikuti bintang? terus
memenuhi benakku. Dan tiba-tiba saja aku mendapat gagasan
cemerlang!
Aku beranjak ke gudang, dan kuambil sebuah obeng.
Kugunakan obeng itu untuk melubangi dasar dari beberapa tempat
kopi bekas yang juga bergeletakan di gudang. Lalu kuambil pula
beberapa lampu sorot yang biasa kami gunakan untuk acara berkemah
sekeluarga. Kumasukkan lampu ke dalam tempat kopi bekas yang
sudah dilubangi, kunyalakan spotlight itu sementara lampu lain di
ruang bawah tanah kumatikan. Waaww! Efek cahaya yangdipantulkan luar biasa indahnya! Segera kumatikan lampu-lampu
tersebut dan kembali kekamarku untuk mandi secepatnya.
Beberapa saat kemudian kudengar bel berbunyi. Tepat pada saat
aku tengah mengeringkan rambut. Kuperiksa jam di pergelanganku.
Jam lima! Teman-temanku benar-benar tipe orang yang tepat waktu
rupanya. Segera kusambut kedatangan mereka.BAGIAN DUA
"Hai Katie," sambutku begitu pintu terbuka.
Katie kelihatan sibuk dengan kopernya. Meskipun demikian
tetap saja ia kelihatan rapih dan cantik. Ia mengenakan sweater warna
pink dan jeans dengan ikat pinggang pink juga. Bagian bawah jeans
sedikit dilipat sehingga terlihat kaus kakinya yang juga berwarna pink.
Bahkan rambutnya pun diikat jadi satu dengan pita pink. Katie
memang selalu menjaga penampilan dan keserasian warna
pakaiannya, persis seperti saran-saran yang biasa di majalah remaja.
Katie sedikit lebih tinggi daripadaku, dan ia memiliki rambut
pirang keemasan serta mata biru jernih. Ia selalu kelihatan pantas
dengan pakaian-pakaian yang dikenakannya, tak ubahnya foto model!
Aku sendiri selalu berusaha mengikuti mode, tapi karena satu dan
berbagai alasan, ada beberapa pakaian dan mode yang tak bisa kuikuti
karena tak begitu cocok dengan bentuk tubuhku. Mungkin karena
tinggi badanku hanya empat kaki sepuluh inci;
"Yang lain udah pada datang?" tanyanya beberapa saat
kemudian.
Kemudian bel pintu berdering lagi. Kali ini Randy yang datang.
Nama lengkapnya Rowena Zak, tapi ia tak mau dipanggil Rowena.
Randy berasal dari New York City, sebuah kota besar di Amerika.Rambutnya hitam, dipotong pendek. Bola matanya coklat gelap dan
akan makin hitam pekat bila ia sedang marah. Pokoknya keren deh.
Randy memiliki selera berpakaian yang baik pula. Malam ini ia
mengenakan pakaian ala SoHo nya yang keren. Rok mini hitam, blus
kerah tinggi hitam, celana kaos ketat warna hijau belang ungu, kalung
metal dan anting-anting besar. Dan tentu saja seperti biasanya, ia juga
mengenakan jaket kulit hitamnya. Sejak lama aku juga ingin punya
jaket macam itu, tapi Ibu selalu melarangku. Kata Ibu, jaket itu terlalu
mahal dan saat ini aku masih dalam usia pertumbuhan sehingga kelak
jika badanku semakin besar jaket mahal itu tak bisa terpakai lagi. Kan
sayang tuh?
"Tolong dong..." ia menyerahkan satu kotak kaset. "Ibuku
masih menunggu di mobil. Masih ada lagi beberapa barangku di
mobil"
"Mari kutolong, " ujar Katie.
Dalam beberapa menit, ruang tamuku sudah dipenuhi macam

Girl Talk 05 Apa Kata Bintangmu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

macam barang. Kulihat dari kejauhan sedan Volvo hijau tua yang
dikemudikan ibu Randy baru saja meninggalkan depan halaman
rumahku. Lalu giliran mobil Allison Cloud memasuki halaman
rumahku, dan ia turun sambil mencium pipi ayahnya. Allison adalah
gadis yang benar-benar sopan dan juga amat jangkung. Sekurangkurangnya tinggi tubuhnya mencapai lima kaki tujuh inci.
Kadang-kadang aku ingin seperti dia. Allison adalah keturunan
suku Chippewwa, salah satu rumpun bangsa Indian penduduk asli
Amerika. Rambutnya hitam tebal dan panjang melampaui pinggang,
dan selalu diikatnya agar tidak mengganggu geraknya. Matanya besar
kecoklatan dan ...aduh gimana ya ngejelasinnya. Yang jelas ia sangatpendiam dan pemalu. Suaranya pun amat lembut. Menurut ibuku,
Allison benar-benar anggun, seperti wanita dewasa. Ia memiliki
?kecantikan alami?. Kuharap kelak aku bisa seperti Allison.
Hari ini Al mengenakan celana corduroy merah dengan kemeja
merah berkerah Peter Pan. Dan ia kelihatan keren sekali! Coba kalau
aku mengenakan pakaian macam itu, pasti kelihatan kayak pohon
Natal. Harus kuakui, kadang-kadang aku merasa sedikit iri dengan
penampilan teman-temanku yang keren-keren ini.
"Percaya nggak sih?" seru Randy seolah bisa membaca jalan
pikiranku. "Al cuma membawa satu tas besar!" Kami serempak
menoleh ke arah tumpukan bantal kecil, kantung tidur dan sekotak
kaset, bawaan Randy dan Katie.
"Apanya yang lucu?" tanya Allison seraya berdiri dimuka pintu
dengan wajah heran melihat kami bengong menatapnya.
"Cuma itu bawaanmu?" goda Randy. "Satu tas saja?"
"Memangnya harus bawa apa lagi?" Al balik bertanya. "Kan
kita cuma menginap satu malam?"
Allison selalu berpikir praktis.
"Ayo segera kita mulai saja acara kita," seruku mengajak
mereka masuk. "Angkat barang-barang kalian ke kamarku,"
Kami bergegas naik ke kamar tidurku lantas mengatur kantongkantong tidur. Salah satu keuntungan menjadi anak perempuan satusatunya di keluarga ini adalah memiliki kamar yang luas sendirian.
Randy sudah tak sabar untuk segera memutar kaset-kaset rock
terbarunya. Dia amat menyukai musik, dan nyatanya juga amat
berbakat di bidang musik. Ia biasa main drum dan kini tengah belajar
main gitar. Waktu masih tinggal di New York, ia mengikuti kursus-kursus musik. Randy juga sering menceritakan pengalamannya saat
diajak ayahnya menonton konser musik terkenal di Madison Square
Garden, juga pengalaman mengikuti ayahnya saat pengambilan
gambar untuk film musik. Semua itu sebelum kedua orang tuanya
bercerai dan Randy ikut ibunya pindah ke Acorn Falls.
Tak berapa lama kemudian, Ayah memanggil kami untuk
makan malam. Beliau membeli beberapa potong pizza dan minuman
soda. Kami segera berlari turun seperti orang yang sudah seminggu
tidak bertemu makanan. Saat makan, aku sibuk memikirkan, apakah
teman-temanku akan menyukai acara yang telah kusiapkan. Soalnya
Katie, Randy dan Al tidak terlalu percaya pada hal-hal gaib macam
itu. Terutama Randy, ia selalu mengolokku setiap aku bicara soal
ramalam bintang.
Tiba-tiba sebuah gagasan melintas dibenakku. Dalam acara
menginap di rumah Katie minggu lalu, kami berempat begitu
menyukai permainan ?hipnotis?. Yaitu, kita masing-masing berusaha
menggerakkan benda-benda dengan menggunakan kekuatan pikiran.
Kami hampir saja sukses mengangkat Katie ke langit-langit kamar,
tapi tiba-tiba Emily, kakak Katie, masuk ke kamar dan membuyarkan
konsentrasi kami.
"Gimana kalau kita main ?hipnotis? lagi?" usulku.
"Hipnotis lagi? Nggak deh..." gumam Randy dengan wajah
bosan.
"Eh, tapi waktu itu kita hampir berhasil kan?" ujar Katie
mengingatkan Randy.
"Ya...kita coba lagi yuk!" desakku seraya menatap ke arah
Allison, minta dukungannya."Aku sih nggak keberatan," ia setuju.
"Mungkin kita perlu lebih banyak orang," usul Katie.
"Mungkin juga," aku setuju, "Tapi aku nggak akan minta
bantuan kakak-kakakku,"
"Lantas, gimana dong?" tanya Randy dengan suara tak
bersemangat.
"Kita turun ke ruang bawah tanah yuk,"
"Ruang bawah tanah?" tanya Katie seraya menatapku dengan
heran. Seolah-olah aku mahluk aneh yang berkepala dua. "Untuk
apa?"
"Mh...diatas sini terlalu banyak barang," kilahku mencari
alasan. "Lagipula aku sudah merencanakan sesuatu yang asyik,"
"Misalnya?" tanya Katie.
"Suasana dukun ramal!" tak sadar kuucapkan kalimat itu.
Sebetulnya aku tak hendak mengungkapkan hal itu pada mereka, tapi
ternyata kelepasan bicara. Nafasku tertahan menanti reaksi mereka.
"Dukun ramal! Wah...kedengarannya seru!" tukas Katie
bersemangat.
"Ya, nggak terlalu membosankan," tambah Al seraya
mempertimbangkan dengan mimik serius.
Apa? Aku tak percaya! Benar-benar tak percaya! Baru saja aku
merasa lega, tiba-tiba Randy menyela percakapan.
"Sabrina...kenapa sih kamu selalu tertarik pada alam gaib dan
sim-salabim tukang sulap?" tanya Randy.
"Ah Randy, ayolah... pasti seru" bujuk Katie. "Jangan
mengacaukan acara yang udah disiapkan Sabrina dong,""Lagi pula siapa tahu kita bisa memanggil arwah John
Lennon!" tambah Al perlahan. Wah! Boleh juga idenya. Kenapa aku
tak punya gagasan seperti itu? Randy amat menyukai John Lennon.
Coba lihat, matanya kini jadi berbinar-binar begitu mendengar Al
menyebut nama itu. Rasanya aku ingin mencium Al dan
berterimakasih atas gagasan ?John Lennon?-nya.
"Ya..." timpalku perlahan. "Nanti kita panggil rohnya dan kita
bisa tanya macem-macem tentang dirinya dan group musik bekennya,
The Beatles."
"John Lennon?" desis Randy. Ia kelihatan begitu tertarik
mendengar gagasan kami.
"Ya, kenapa tak kita coba aja?" Katie ikut bersemangat seraya
mengedipkan mata sembunyi-sembunyi ke arahku.
"Yah...gimana ya? Sebetulnya aku tidak begitu percaya dengan
hal-hal macam ini," ujar Randy akhirnya. "Tapi kalau kalian
bermaksud mengundang arwah John Lennon, setidaknya kalian butuh
seseorang yang tahu banyak soal musik untuk ngobrol dengan arwah
mendipng John Lennon itu kan?"
Kuminta mereka menunggu beberapa saat sementara aku
berganti pakaian di ruang bawah tanah dan menyalakan lampu-lampu
yang telah kusiapkan. Lalu kupanggil mereka turun dan kumatikan
lampu. Kutunggu reaksi mereka.
Satu-satunya lampu yang menerangi ruang bawah tanah hanya
lampu spotlight yang kumasukkan dalam bekas tempat kopi itu.
bayangan yang ditimbulkan amat menyeramkan. Cahaya bergoyanggoyang karena lampu spotlight itu tertiup angin. Cahaya kecil itu jugamembuat taplak meja berwarna ungu itu jadi kelihatan amat misterius,
seolah mengandung makna magis.
"Luar biasa Sabrina!" puji Randy.
"Wah! Di pesta Hallowen nanti kita harus mengulang acara ini
deh. Rasanya seperti di dalam rumah hantu," seru Katie.
"Ya..." Al seperti biasa, sedikit komentar saja.
"Tapi jangan lupa, ini kan cuma main-main..." Randy
mengingatkan kami. Aku merasa senang mendengar komentar Randy,
soalnya aku mulai bingung, gimana caranya mewujudkan gagasan
untuk mendatangkan arwah John Lennon? "Pakaianmu bagus Sabs.
Cukup nyentrik. Kapan-kapan boleh dong pinjam antingnya?" tanya
Randy konyol.
"Kau kelihatan seperti wanita gipsy," tambah Al seraya
tersenyum.
"Yeah..." Katie nyengir. "Bahkan kau juga punya bola kristal!"
"Silahkan duduk...silahkan duduk anak-anakku..." aku mulai
merasa senang, mendengar komentar Randy, soalnya sekarang aku
mulai bingung, gimana caranya mewujudkan gagasan untuk
mendatangkan arwah John Lennon? "Pakaianmu bagus Sabs. Cukup
nyentrik. Kapan-kapan boleh dong pinjam antingnya?" tanya Randy
konyol.
"Kau kelihatan seperti wanita gipsy," tambah Al seraya
tersenyum.
"Yeah..." Katie nyengir. "Bahkan kau juga punya bola kristal!"
"Silahkan duduk...silahkan duduk anak-anakku..." aku mulai
bersuara ala Madam Pandora. Entah kenapa, tapi rasanya lebih pas
kalau kugunakan aksen asing. Randy duduk di hadapanku, Allison dikiriku, sedang Katie di kananku. "Mari saling bergandengan tangan."
"Eh, Sabrina, kalau tak salah kita cukup saling menyentuh jari
saja, deh," tukas Allison,. "Begini." Ditelungkupkannya tangannya di
meja. "Setidaknya, begitulah yang kubaca di buku-buku."
"O ya?" sahutku ragu. "Masa sih?" aku mendehem. "Dan
sekarang, aku akan mulai merapal mantera untuk membuka kontak
dengan alam sana," lanjutku. "Ooommmm" gumamku dengan mata
terpejam. "Oommmm"
Kudengar Katie mulai terkekeh geli. "Apa yang kau tertawakan
anakku?" tanyaku.
"Kurasa kau harus menyebut nama John Lennon, arwah yang
akan kita panggil itu," ujar Katie cekikikan.
Aku merasa bagai orang bodoh, duduk di tengah-tengah dengan
handuk oranye melingkar di kepala dan yang lain tidak mengikuti
perintahku. "Baiklah, kalian juga harus ikut memanggil John Lennon
bersamaku seraya mengucap mantra." perintahku dengan resah.
"Nah, semua pejamkan mata dan saling menyentuhkan jari,"
lanjutku. Lalu aku mulai mengucap mantera lagi. "Oommm... John
Lennon. Oommmm John Len-on...Jh?oon?Lennn? non..." Kami
berempat lantas mulai tertawa geli sendiri mendengar suara kami yang
nggak kompak.
"Udah deh Sab!" sela Randy. "Aku bisa mati ketawa nih..."
Kuletakkan jari-jariku meraba bola kristal dan mulai bertanya.
"Apakah ada yang hadir? Oh roh-roh halus...ijinkanlah kami berbicara
dengan John Lennon..."
Kami berusaha sedapat mungkin untuk bersungguh-sungguh
dengan permainan ini, tapi tetap saja kami tak mampu menahan tawa.Seharusnya kami menutup mata, tapi lewat sela-sela bulu mata,
kulihat mereka semua juga saling mengintip satu sama lain.
"John...jika anda mendengar kami...berikanlah tanda-tanda,"
lanjutku.TEENLITLAWAS.BLOGSPOT.COM
Kami menunggu. Tak ada jawaban. " Oommm John. Ooommm
Lennon..." aku mulai lagi. Aku tau pasti ekspresi wajahku konyol dan
kocak sekali, tapi aku terus saja.
"Sabrina...hentikan! Aku sakit perut nih..." mohon Randy.
"John...jika anda mendengar panggilan kami, ketuklah tiga
kali," lanjutku. Kami tertawa terpingkal-pingkal. Tapi tiba-tiba
terdengar suara ketukan yang cukup keras. Disusul ketukan
selanjutnya. Arahnya dari atas langit-langit ruangan ini. Tawa kami
langsung terhenti. Kemudian terdengar ketukan ke tiga.
Langsung saja kami saling berpegangan tangan erat-erat. Katie
bahkan mencengkeram lenganku kuat-kuat. Kami menunggu beberapa
saat tapi tak terjadi apa-apa. Akhirnya aku tak sabar lagi ingin
mengetahui kelanjutan kejadian yang cukup menegangkan ini.
"Si...siapa itu?" tanyaku takut-takut.
"Saya John Lennon..." terdengar suara berat. "Siapa yang
mencuri gitarku?"
"Aaahhhh" aku menjerit kalang kabut. Allison merangkak dan
bersembunyi di kolong meja sambil meneriakkan sesuatu. Katie
memperkuat cengkeramannya dan pindah dari kursinya ke
pangkuanku. Gerakannya menyebabkan meja oleng dan akhirnya
ambruk ke lantai. Termasuk lampu-lampu spotlight dan bola kristal!
Setelah kekacauan itu, suasana kembali tenang, tapi keadaan
jadi gelap gulita dan itu membuat kami makin panik lagi. Aku terusmenunggu kelanjutan kejadian ini, tapi tak terjadi apa-apa lagi. Aku
baru saja hendak membuka mulutku untuk berbicara ketika kudengar
suara Sam yang telah amat kukenal.
"Maaf Sabs...apa yang terjadi?"
"Sam Wells! Di mana kau? Kubunuh kau!" jeritku marah
seraya merangkak di tengah kegelapan sampai kutemukan Sam berdiri
dekat tangga. Kucengkeram kerah bajunya dan kutindih tubuhnya ke
lantai.
Tiba-tiba lampu menyala dan ruangan kembali terang. Kulihat
Ayah dan Ibu berdiri di dekat pintu seraya menatap jengkel melihat
ruangan yang porak poranda. "Astaga...apa yang terjadi di sini?" tanya
Ibu kaget.
Sambil mengerjapkan mata, aku ikut melihat sekeliling
ruangan. Meja kursi tumpang tindih, lampu dan bekas tempat kopi di
mana-mana serta akuarium yang retak, airnya membasahi taplak meja
dan seluruh lantai dan ikan di dalamnya ...
"Oh...aduh!" teriakku seraya melompat berdiri. "Ayo.. .tolong
dong...cari ikan itu! Kalau tidak Luke pasti membunuhku. Cepat!
Barangkali masih bisa kita selamatkan ikan-ikan itu!"
Kami semua segera merangkak dan mulai mencari ikan itu.
"Mampuslah aku," gumamku berulang-ulang. "Luke bisa
membantaiku kalau sampai ikannya mati."
Sam segera lari ke dapur mencari botol air. Lalu dituangnya
sebagian di sebuah baskom plastik. Kami semua berusaha
memasukkan ikan-ikan yang telah berhasil kami temukan ke baskom
itu. Untunglah ikan-ikan itu selamat! Fuih!"Kita bicarakan soal ini besok saja," tukas Ibu seusai kami
menyelamatkan ikan-ikan Luke.
"Tapi saya mau ruangan ini dibersihkan malam ini juga!"
tambah Ayah sebelum mereka berdua meninggalkan ruangan, sambil
bergeleng kepala melihat ulah kami. Beberapa saat kemudian kami
selesai membereskan ruangan dan aku mulai mendengar Katie,
Allison dan Randy cekikikan. Kucoba untuk mengabaikan mereka.
Begitu selesai aku langsung melirik marah pada Sam. "Terimakasih
atas perbuatanmu Sam!" bentakku.
"Aku tak sengaja, Sabs. Tadinya cuma mau bercanda saja," ujar
Sam perlahan. "Aku bersembunyi di kamar kecil dan mendengar
percakapan kalian. Saat kalian minta arwah John Lennon mengetuk
tiga kali, tiba-tiba aku iseng dan mengetukkan gayung tiga kali ke pipa
ledeng dan..." tiba- tiba Sam berhenti dan menatap lurus seraya
menunjuk kepalaku, dan suara tawa yang amat keras tersembur dari
mulutnya. "Apa yang kau lakukan dengan kap rambut plastik di
kepalamu?" Teman-temanku yang lain juga mulai tertawa sambil
berusaha menyembunyikan tawa itu agar tidak menyinggung
perasaanku.
Kuraba kepalaku dan saat itu baru kusadari bahwa sorban dari
handukku telah terlepas dan kini aku berdiri dengan kepala terbungkus
kap rambut seperti orang mau mandi. Dengan anting-anting besar ini
pasti aku kelihatan mirip mahluk planet. Segera kulepaskan kap
rambut itu dari kepalaku.
"Sekarang rambutmu jadi mirip bawang goreng...meringkelringkel tak karuan! Ha...ha..." Sam ketawa makin keras sampai keluar
air mata."Jangan ketawa! Nggak lucu!" sergahku marah. Tapi nyatanya
tawa mereka malah semakin keras lagi. Sampai berguling-guling di
lantai sambil memegangi perut masing-masing dan menahan air mata
yang turun tak terkendali. Aku sendiri jadi ingin ikut tertawa
melihatnya, tapi aku tak mau membiarkan Sam menertawakanku
macam ini. Maka kutinggalkan ruangan dan berlari menuju kamarku.
Al, Katie dan Randy langsung mengikutiku. Sesampainya di kamar,
kami berempat masih tetap tertawa geli.
"Iya deh..." ujarku setelah sukses meredakan tawa. "Mungkin


Girl Talk 05 Apa Kata Bintangmu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kejadian tadi memang sedikit lucu..."
"Sedikit lucu?" tanya Randy sambil menghapus air matanya.
"Kau kelihatan konyol banget deh, marah-marah pada Sam dengan
kap rambut untuk mandi.,hi...hi..hi.."
"Dan anting-antingmu...ha..ha..ha.." tambah Katie seraya
memeluk bantal dan terbaring di atas kasur sambil terkial-kial.
"Penghianat!" ujarku pura-pura marah dan melontarkan bantal
ke arah Katie. Katie mengoper bantal itu ke arah Al dan Al dengan
gesit mengoper lagi pada Randy. Selanjutnya kami saling lempar
bantal bagai perang.
"Ada yang mau es krim?" tanya Mark, menyembulkan
kepalanya lewat pintu. "Ibu bilang kalian boleh makan es krim asal
janji tidak akan menghancurkan dapur!"
Es krim? Sebetulnya dalam rangka program diit, aku tak boleh
makan es krim yang kalori dan kadar lemaknya tinggi itu. Tapi setelah
kejadian yang banyak menguras tenaga barusan, rasanya enggak apaapa. Kami berempat segera turun ke dapur dan dengan senang hati
menikmati es krim dan kue-kue yang disediakan Ibu.BAGIAN TIGA
Hari Minggu pagi, seluruh keluarga berkumpul untuk sarapan
pagi di dapur. Dapur kami begitu rapih dan ceria dalam nuansa warna
kuning dan putih serta cahaya matahari yang masuk lewat celah-celah
jendela.
"Maukah kalian menolongku meminta halaman C dari koran
Minggu?" tanyaku dengan setenang mungkin. Aku benar-benar
enggan bicara dengan Sam sehabis kejadian semalam. Aku masih
marah akibat ulahnya mengacaukan acaraku dan menyeretku dalam
persoalan berat.
Ibu tersenyum. "Kan kakakmu sudah minta maaf," ujar beliau.
"Bersikaplah seperti orang dewasa dan bicaralah padanya."
"Bukan salahku, kok jadi aku yang dimarahin sih? Kan dia yang
salah..." protesku jengkel.
"Kau memecahkan akuariumku" Luke mengingatkan
kesalahanku. Luke kelihatan tidak begitu marah. Untunglah. Ia cuma
jengkel karena aku tak minta ijin padanya lebih dulu untuk
menggunakan akuariumnya. Akibatnya sekarang aku dan Sam harus
menyisihkan sebagian uang jajan untuk mengganti akuarium Luke
tersebut. Sementara tabunganku sendiri sudah kuhabiskan minggu ini.
Untung saja kami berhasil menyelamatkan ikan itu. Kalau harusmengganti ikan mas kokinya, tentu aku harus menabung berbulanbulan.
"Sam, berikan halaman C pada adikmu," ujar Ayah setelah
menghabiskan kopinya. Sam mengoperkan halaman yang kuminta.
Mula-mula aku pura-pura tertarik pada berita utama di halaman muka,
lalu perlahan-lahan langsung aku pindah ke halaman yang berisi
ramalan bintang. Lho? Halamannya sudah disobek! Dengan marah
aku melotot ke arah Sam.
"Cari halaman ini ya?" tanyanya seraya melambai-lambaikan
sobekan halaman yang berisi ramalan bintang.
"Berikan padaku!" pekikku sambil bangkit dari kursi dan
berusaha merebutnya. Beberapa saat kami berkejar-kejaran mengitari
meja.
Sam dengan gaya dramatis lantas membacakan isi ramalanku
keras-keras. "Hari yang baik untuk menanti dering telepon, surat dan
cinta. Seseorang yang tinggi, berkulit gelap dan ganteng jatuh hati
padamu. Bersiaplah untuk perkenalan rahasia. Zodiak Aquarius
berpengaruh besar?" Sam berhenti sebentar "Tinggi, berkulit gelap
dan ganteng? Aku dong?!" oloknya. Ia meraih tanganku dan mencium
punggung tanganku mesra.
Jujur kuakui, aku tak begitu memperhatikan ulahnya. Aku
tertegun mendengar isi ramalanku. Cowok bertubuh tinggi, kulit gelap
dan ganteng.
***********
Kira-kira siapa ya? Begitu asyiknya melamun, aku jadi kaget
setengah mati begitu masuk ke kelas dan melihat Bu Munson tengah
membagikan kertas."Oh...aduhh!" seruku tertahan. Aku baru ingat bahwa hari ini
diadakan tes matematik.
"Ada masalah Nona Wells?" tanya Bu Munson mendengar
suaraku. Guru dengan pengalaman mengajar puluhan tahun macam
Bu Munson, tentu tahu bahwa aku belum siap menghadapi tes. Bu
Monson hanya memperhatikanku bila aku tak dapat menjawab
pertanyaan atau lupa mengerjakan tugas. Beliau juga terkenal sebagai
?Ibu Naga? lantaran kedisiplinannya.
"Eh...tidak ada apa-apa Bu," sahutku seraya menatap tak
berdaya ke arah Randy. Namun Randy tengah asyik membaca
catatannya dan sama sekali tidak melihatku. Aku duduk di kursiku dan
mengeluarkan pinsil serta penghapus berukuran besar. Menurut
perasaanku, aku pasti akan amat membutuhkan penghapus itu nanti.
Tes-nya berkisar pada Ilmu Berhitung dalam bentuk cerita,
sehingga aku semakin pusing saja . Ilmu berhitung dengan cerita
benar-benar aneh dan sulit. Nih, kubacakan satu soal ya... Uang Jack
besarnya 28 persen dari uang Mary dan 37 persen dari uang Peter.
Jadi, berapa jumlah uang Jack? Ngapain aku harus menghitung uang
Jack? kenalpun tidak. Lagipula aku lebih suka membayangkan Jack
memberikan uangnya padaku supaya bisa segera mengganti akuarium
Luke. Sampai jam pelajaran berakhir, semangatku dan penghapusku
sudah lenyap sama sekali. Sampai saat makan siang, baru perasaanku
membaik.
"Wah...cepat amat hari ini berlalu," ujar Randy saat kami
berempat duduk di kantin. Aku, Randy, Katie dan Al selalu makan
siang bersama setiap hari. "Tapi aku tak sabar menunggu jam pulang
sekolah.""Ada yang mau ikut ke rumahku? Nanti siang?" tanya Allison.
"Aku harus menjagai adikku, Charlie," Charlie adalah adik laki-laki
Al yang usianya baru 6 tahun. Seorang bocah yang lucu sekali.
"Kami mau," sahut Katie dan Randy serempak.
"Aku juga deh. Nanti nyusul," ujarku. "Aku harus
mengembalikan beberapa buku perpustakaan dulu," Sudah saatnya
melupakan soal Madam Pandora, dukun ramal dalam buku yang
kupinjam dari perpustakaan itu.
Saat bubar sekolah, kukembalikan beberapa buku yang
kupinjam ke perpustakaan lalu menuju loker untuk mengambil
pakaian olah raga yang telah tersimpan cukup lama dalam keadaan
kotor. Katie dan aku memakai loker yang sama, dan aku merasa agak
merepotkan Katie dengan barang-barangku yang selalu berantakan.
Bintang Katie Virgo, dan orang Virgo adalah tipe manusia yang
benar-benar rapih. Tapi aku kan kenalan baik Katie. Sayangnya aku
belum bisa menanggalkan kebiasaan burukku yang satu ini:
menyimpan pakaian olah raga yang kotor, di loker, dalam waktu yang
cukup lama.
Seperti biasa, sebelah kaos kakiku hilang. Apapun yang
kulakukan, tetap saja aku sering kehilangan kaos kaki. Aku berjingkat
di atas ujung jari kakiku untuk melongok rak paling atas. Tapi
nyatanya bukan kaos kaki yang kutemukan melainkan sepucuk
amplop berwarna merah muda dengan bunga-bunga diatasnya.
Mulanya kupikir benda itu milik Katie, tapi ternyata namakulah yang
tertera diatasnya. Aku betul-betul tidak bisa menerka siapa
pengirimnya, sebab aku sama sekali tak mengenal tulisan tangannya.
Kubuka amplop itu dan kutemukan sehelai kertas kecil yang jugaberwarna merah muda. Di salah satu sudutnya ada stiker berbentuk
hati berwarna merah darah. Jantungku langsung berdebar begitu
membaca baris pertama;
Dear Sabrina,
Aku selalu memikirkan dirimu.
Kau bagaikan bunga yang indah.
Dalam tiap mimpi selalu hadir bayangmu.
Aku yakin, suatu saat nanti kita pasti bersama.
Dengan ini, kuberikan cintaku padamu.
Pengagum misteriusmu
Seketika itu juga terasa tubuhku dijalari rasa panas dan pastinya
pipiku memerah.
Kuharap, sang pengagum misterius itu tidak sedang berada di
dekatku. Kalau ia melihatku dalam keadaan semerah kepiting rebus
ini, gawat dong! Yang kualami, rupanya tepat seperti ramalan
bintangku?hari yang tepat untuk telepon, surat dan percintaan.
Jantungku berdebar amat cepat. Soal pakaian olah raga dan kaus
kaki yang hilang langsung kulupakan. Tergesa-gesa aku ke rumah
Allison. Ketika memasuki rumahnya, kulihat Katie dan Randy tengah
duduk di ruang makan bersama Al dan Charlie. Mereka belajar sambil
menikmati kue coklat.
"Kalian pasti nggak percaya..." ujarku sambil duduk terengahengah. Sambil meletakkan tasku di lantai, kukeluarkan surat itu yang
langsung di rebut oleh Randy.Randy membacakannya keras-keras dengan mata membelalak.
Allison mendekatkan dirinya ke meja agar dapat mendengar dengan
lebih jelas. Setelah selesai, Katie merebut surat itu dari tangan Randy
dan membacanya sendiri.
"Kuberikan cintaku padamu," Katie membacanya dengan
takjub, "Dari pengagum misteriusmu! Wah! Kau punya pengagum
misterius rupanya!"
"Menurutmu siapa orang ini?" tanya Allison.
"Entahlah," sahutku, "Tapi kejadian ini persis seperti ramalan
bintangku,"
"Ya ampun Sabrina.Kau masih juga percaya soal ramalan
bintang?" Randy geleng kepala sambil tertawa "Ramalan itu tak
pernah benar-benar terjadi! "
"Enggak pernah? Biar kubacakan ramalan bintangku padamu,
kata demi kata," bantahku sambil mencomot sebuah kue, "Kau punya
koran hari ini nggak Al?"
"Tentu ada. Mungkin di ruang tamu," ujarnya, "Sebentar
kuambilkan,"
Sambil menunggu, kuedarkan pandangan ke sekeliling rumah
Allison. Rumah Allison juga merupakan bangunan tua seperti
rumahku. Tapi orangtuanya telah merombaknya. Seluruh dinding dan
lantai terbuat dari kayu. Mungkin kalian mengira bagian dalam rumah
Al menjadi amat gelap lantaran lantai dan dinding kayu itu. Tapi Bu
Cloud telah menggantung keranjang-keranjang bambu dan hiasanhiasan dinding berwarna cerah untuk lebih menyemarakkan ruangan.
Di sekitar ruangan juga terlihat tetumbuhan hijau yang menyegarkan
mata, serta jendela-jendela besar yang memasukkan cahaya alami.Rumah Al selalu rapih, bersih,dan lebih kelihatan ?teratur?
dibandingkan rumahku. Tapi sama-sama menarik kok.
"Nih..." Al masuk dan menyerahkan surat kabar ke tanganku.
Langsung kubuka halaman ramalan bintang dan kubiarkan Randy
membacanya keras-keras:
"Hari yang baik untuk menanti dering telepon, surat, dan cinta.
Seseorang yang tinggi, berkulit gelap dan ganteng jatuh hati padamu.
Bersiaplah untuk perkenalan rahasia. Zodiak Aquarius berpengaruh
besar..."
Randy membelalakan matanya menatapku.
"Ini cuma kebetulan aja Sabs," ujar Randy tak mau kalah,
"Ramalan bintang itu cuma tipuan. Bahkan anak sekecil Charlie pun
takkan mempercayainya."
"Tapi Ran, " kilah Katie, "Ramalan bintang Sabrina juga
menyebutkan soal surat dari seseorang bertubuh tinggi, berkulit gelap
dan ganteng!"
"Ada yang mau minum nggak?" Al menawarkan sambil
mengajak kami bertiga ke dapur. Ruangan dapur Allison juga di
penuhi dengan panel kayu. Meskipun menggunakan porselin yang
biasa digunakan di dapur-dapur lainnya, terlihat di tengah ruangan
sebuah meja bundar terbuat dari kayu. Juga semua lemari dapur
dilapisi panel kayu.
"Ada minuman diet nggak?" tanyaku. Aku selalu menghitung
jumlah kalori yang masuk ke dalam tubuhku. Soalnya menguruskan
tubuh termasuk dalam daftar ?perbaikan? yang kubuat. Terutama
setelah menghabiskan begitu banyak pizza dan es krim di akhir
minggu."Di ramalan bintangmu kau boleh minum soda?" tanya Randy
menggoda, "Atau kau harus menunggu gerhana bulan?"
"Ayolah Randy," sela Katie, "Kali ini Sabs terbukti benar."
"Ya. Persis sekali," Al setuju. "Tapi siapa ya kira-kira orang
itu? Tinggi, berkulit gelap, ..." keningnya berkerut seolah tengah
berpikir keras.
"Rasanya aku tak kenal orang semacam itu," ujarku.
"Tunggu dulu!" teriak Katie, "Barangkali Jason Mc Kee!"
"Jason?" tanyaku terkejut. Memang menurutku Jason cowok
yang keren dan imut-imut. Tapi ia sama sekali enggak tinggi,
rambutnyapun pirang, tidak gelap seperti dalam ramalanku.
"Yah...cuma kira-kira aja..." kata Katie, "Lagi pula kita semua
tau bahwa Sam lagi jatuh cinta sama Stacy Hansen. Iya kan?"
"Ya," kuanggukkan kepala dengan jengkel. Stacy Hansen
adalah cewek paling populer di sekolah kami. Dan karena itu pulalah
Stacy jadi ge-er. Aku, Katie, Randy dan Al tidak terlalu menyukai
Stacy. Sebaliknya, Stacy pun nggak menyukai kelompok kami. Tapi
minggu lalu aku menemukan selembar kertas di ruang tamu rumahku
yang berisi tulisan: Sam + Stacy. Kuambil kertas itu dan kuberikan
pada Sam untuk melihat reaksinya. Ternyata wajahnya bersemu merah
menahan malu. Direbutnya kertas itu dan disuruhnya aku segera
meninggalkan kamarnya. Keesokan harinya, kuceritakan kejadian itu
pada teman-temanku. Dan kami memutuskan untuk memata-matai
Sam. Dimanapun Stacy berada, Sam selalu berusaha berada di
dekatnya dan mencuri pandang kepadanya dengan wajah tersipu-sipu.
Kami yakin sekali, Sam jatuh cinta pada Stacy Hansen."Nah," lanjut Katie, "Kudengar Sam mengatakan pada Jason
dan Nick bahwa ia membenci Stacy. Sam juga nggak pernah menegur
Stacy. Soalnya kalau teman-temannya tau bahwa dia naksir Stacy,
mereka akan mengolok-oloknya. Barangkali Jason juga sama seperti
Sam. Dia tak mau memperlihatkan perasaannya lantaran takut diolokolok,"
"Tinggi dan berambut gelap," ulang Allison untuk kedua
kalinya.
"Pasti Jason," ujar Randy yakin, "Tubuhnya tinggi dan
rambutnya gelap. Lagipula ia sering main ke rumah Sabrina. Pasti
Jason Mc Kee!"
"Menurutku juga begitu," Katie setuju, "Menurut perasaanku
dia memang tipe cowok yang romantis."
Kami semua akhirnya setuju bahwa Jason Mc Kee lah sang
pengagum misterius itu. Tapi diam-diam, aku sendiri tidak begitu
yakin. Menurut perasaanku, sang pengagum misterius itu adalah
serang yang lebih dewasa daripada Jason Mc Kee. Bagiku Jason Mc
kee hanyalah seorang cowok yang tinggi, berambut gelap dan imutimut.Tapi pengagum misteriusku mestinya tinggi, berambut gelap dan
tampan seperti pangeran. Kupusatkan perhatianku pada cowok-cowok
yang ada di sekolah dan termasuk dalam kategori tampan.
Kuingat-ingat ada Eric Bryner. Murid kelas delapan yang
menjadi ketua tim olahraga gulat. Eric adalah teman Mark, kakakku.
Tapi ia tak pernah datang ke rumahku. Dan menurutku, pasti Eric
udah punya pacar. Tapi tentu saja aku harus mengecek kebenarannya.
Kemudian ada lagi seorang cowok bernama Alec. Awal tahun
ajaran aku sempat suka padanya. Tapi sekarang udah nggak lagi.Kemudian ada juga teman Randy yang bernama Spike. Tapi kami
berdua hanya berteman. Lagipula aku jarang sekali bertemu dengan
Spike. Soalnya dia udah duduk di High School.
Atau barangkali Brian Stephens! Cowok ini amat gagah dan
mirip dengan aktor Patrick Swayze yang membintangi film Ghost. Ia
adalah pemain saxophone dalam vokal group sekolah. Tapi selama ini
kami tak pernah saling bertegur sapa. Aku tahu namanya karena
kebetulan Pak Metcalf, guru musik kami, memanggilnya. Saat itu
memang dia tersenyum sedikit ke arahku. Tapi entah apa arti


Girl Talk 05 Apa Kata Bintangmu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

senyumnya.
Ada yang lain? Rasanya nggak ada. Kecuali...kecuali guru
pelajaran sejarah kami, Pak Damien Grey. Pak Grey adalah guru
paling ganteng yang pernah kulihat. Wajahnya mirip Tom Cruise. Jika
Tom Cruise, idolaku itu, sudah berumur lanjut, pasti mirip Pak Grey.
Tapi tentu saja tak mungkin Pak Grey menjadi pengagum misteriusku!
Soalnya usia kami berbeda amat jauh. Ia jauh lebih tua dibanding
umurku.
"Ck...ck..ck...Ternyata kalian semua benar-benar serius
membahas masalah ini," gumam Randy sambil menatapku heran.
"Iya dong. Soalnya kan nggak tiap hari kita menerima surat
misterius macam Sabrina," sahut A1 membelaku.
"Iya," gumamku. Tapi dalam hati aku terus menduga-duga.
Siapa kiranya si pengagum misterius itu. Yang pasti sih bukan Jason.
Mestinya orang itu adalah cowok yang lebih istimewa dan luar biasa.
Dan barangkali cowok ini adalah jodohku untuk selama-lamanya.
Anganku melayang jauh. Si pengagum misterius ini dapat mengubahjalan hidupku yang akan datang. Angan-angan ini membuatku bagai
pungguk merindukan bulan.BAGIAN EMPAT
Hari berikutnya aku bangun lebih pagi dari biasanya, sehingga
akupun dapat berangkat sekolah lebih pagi. Aku benar-benar ingin
tahu, siapa gerangan si pengagum misterius itu. Mungkin aku bisa
melihatnya pagi ini tengah menyelipkan sepucuk surat lagi ke lokerku. Semalam aku tidur agak larut untuk berlatih klarinet dan
mempelajari dua bab Ilmu Sosial. Aku ingin membuat pengagum
misteriusku makin kagum padaku. Sebab mungkin saja dia adalah
Brian Stephens dari kelompok musik, atau Pak Grey, guru Ilmu
Sosialku. Aku kini yakin bahwa Eric Bryner harus dicoret dari daftar
tersangka, sebab menurut cerita Mark, kakakku, Eric sudah punya
pacar.
Jika aku mau memakai kamar mandi lebih dari duapuluh menit,
berarti aku harus bangun lebih pagi. Dengan empat kakak laki-laki,
rasanya mustahil untuk berlama-lama di kamar mandi. Setelah mandi,
aku segera berlari ke kamar untuk berpakaian. Kuputuskan untuk
mengenakan rok jeans biru, blus kerah tinggi warna putih dan blazer
merah polos. Aku sebetulnya enggak suka blazer ini, tapi anehnya hari
ini kelihatannya keren juga. Nenek menghadiahkannya padaku di hari
ulang tahunku dan menurutku modelnya agak norak. Aku hanya
menggunakannya bila Ibu mendesakku, misalnya ke acara keluarga.Tapi tiba-tiba kusadari bahwa blazer ini membuat penampilanku
bertambah dewasa. Itulah yang kuinginkan sekarang.
Lalu baru kusadari bahwa aku tak punya sepatu yang sesuai
dengan setelan ini. Ada sepasang sepatu rata merah, tapi kalau ingin
tampak dewasa, kurasa tinggiku harus lebih dari sekedar seratus enam
puluh sentimeter. Akhirnya kupilih selop putih pemberian Ibu. Dulu
aku sering merengek pada beliau untuk mendapatkan sepatu bertumit
tinggi, hingga akhirnya Ibu memberiku sepatunya ini untuk berlatih
sampai aku benar-benar pantas memakai sepatu tumit tinggiku sendiri.
Ukurannya agak kebesaran. Kira-kira satu inci terlalu panjang dan
juga terlalu lebar. Tapi semua kelihatan pas karena kusumpal dengan
gulungan tissue diujung jari kakiku.
Selesai berpakaian, aku mulai menata rambut. Aku ingin
meyakinkan diri bahwa rambutku cukup tampak indah. Pernah kubaca
di kolom kecantikan majalah Young Chic, tentang model rambut yang
tepat bila ingin tampil lebih dewasa. Sekarang aku ingin mencobanya.
Modelnya mirip kepangan ala Perancis. Cukup lama juga untuk
membentuk rambut sesuai gambar di majalah. Dan karena rambutku
keriting, aku harus menggunakan pengeras rambut cukup banyak agar
rambutku tampak lurus, tapi hasilnya cukup memuaskan.
Akhirnya aku turun ke ruang makan. Belum ada yang turun
rupanya. Maka kuputuskan untuk membaca ramalan bintangku hari
ini, sambil sarapan. "Kebingungan menyelimuti kehidupan sosialmu.
Jagalah rahasiamu dengan baik. Kau memiliki impian pribadimu
bukan? Seorang anggota keluarga mengajakmu berdamai." Yah,
rupanya hari ini nggak ada ramalan soal cinta, tapi yang jelas memangaku merasa sedikit bingung dalam pergaulanku. Aku harus dapat
menemukan siapa pengagum misteriusku. Harus!
Ketika tiba di sekolah, kusimpan blazerku ke dalam loker
sampai tiba jam pelajaran Ilmu Sosial. Soalnya aku tak ingin blazer itu
kusut sebelumnya. Lagipula aku tahu pasti, Randy, Katie dan A1 pasti
akan bertanya-tanya jika melihatku mengenakan blazer itu. Mereka
tau betul, aku tak menyukai blazer pemberian nenek itu dan selalu
ngamuk bila ibu memaksaku mengenakannya.
Hasil test matematika kemarin dibagikan hari ini. Aku gembira
sekali melihat nilai yang tertera di kertas ulanganku, B kurang! Yah, B
kurang cukup bagus untuk orang yang nggak belajar sama sekali kan?
Seusai pelajaran matematik, aku bergegas menuju loker untuk
mengambil klarinetku. Lantas segera berlari menuju ruang latihan
musik untuk memastikan apakah Brian Stephen sudah ada di sana.
Kumasuki ruangan dan...itu dia! Ia tengah berjalan ke bagian belakang
ruangan untuk mengambil penyangga kertas partitur. Disibakkannya
rambut hitamnya dari kening dan bicara sedikit dengan seorang cowok
dari bagian drum.
Cepat-cepat kuletakkan klarinetku di atas kursi, memeriksa
apakah rambutku masih rapih, lalu meranjak ke arah Brian untuk ikut
mengambil penyangga partitur. Saat Brian berpaling, aku berdiri tepat
di belakangnya. ia benar-benar mirip Patrick Swayze.
Ck...ck...ck...Aku begitu terpesona sehingga berdiri mematung cukup
lama sambil menatapnya. Dadaku berdebar cukup keras sehingga aku
khawatir ia juga mendengar debar jantungku itu di antara suara-suara
lain di dalam ruangan ini.
"Uh...Hi..." sapanya perlahan."Hai Brian," aku menarik nafas, "Aku cuma mau mengambil
penyangga partitur kok."
"Ya..." sahutnya dengan raut wajah heran. Saat itulah baru aku
menyadari, betapa bodohnya kalimatku barusan. Di ruang belakang
memang tak ada benda lain kecuali penyangga partitur, jadi buat apa
aku menjelaskannya segala pada Brian? Langsung saja wajahku terasa
panas menahan malu. Untunglah Brian sudah melangkah
meninggalkanku.
"Bagus...dasar tolol," bentakku pada diriku sendiri. Aku selalu
saja mempermalukan diriku sendiri. Kuraih sebuah penyangga partitur
dan kembali ke tempat dudukku.
"Hei...tunggu sebentar," panggil seseorang. Brian! Brian yang
memanggilku! "Kau adik Sam Wells ya? Namamu Sarah kan?"
tanyanya.
"Sabrina," ralatku dengan malu. Bahkan ia tak tahu namaku!
Bagaimana mungkin aku menduganya sebagai pengagum
misteriusku?
"Oya, Sabrina. Maukah kau menolongku? Katakan pada Sam
bahwa aku memintanya meneleponku. Aku ingin mengajaknya keluar
sebelum uji-coba keluar."
"Akan kubilang padanya," gumamku seraya menjauh. Heran
benar, kenapa sampai aku menduga Brian Stephen menyukaiku! Aku
duduk dan menunggu kedatangan Pak Metcalf untuk memulai latihan.
Mengapa aku selalu terburu-buru mengambil kesimpulan? Biasanya
aku begitu menyukai jam pelajaran musik, tapi hari ini rasanya sama
sekali lenyap semangatku dan Pak Metcalf berkali-kali menatap heran
melihat sikapku yang malas-malasan hari ini.Sampai tiba waktu makan siang, aku benar-benar merasa
tertekan. Kuambil makanan lantas duduk di samping Katie, Randy dan
Al. Begitu duduk, Randy langsung menanyakan soal tugas Ilmu Sosial
dan itu membuatku seperti terbangun dari mimpi. Jika Eric Bryner
sudah punya pacar dan Brian Stephens sama sekali belum
mengenalku, maka orang terakhir yang masih bisa jadi tertuduh adalah
Pak Grey! Ya, pasti Pak Grey-lah pengagum misteriusku yang tinggi
dan tampan itu. Kupikirkan hal itu sejenak dan sampailah aku pada
kesimpulan bahwa aku harus segera menyelidikinya untuk
memastikan. Tak mungkin surat semesra itu dibuat oleh murid kelas
delapan atau kelas sembilan. Kata-kata dalam surat itu begitu dewasa
dan romantis. Selain Pak Grey, siapa lagi yang mungkin?
Sepanjang sisa hari itu, konsentrasiku benar-benar kacau.
Bahkan aku lebih asyik mencoret-coret nama Pak Grey di bukuku
ketimbang menulis catatan. Damien Grey. Seandainya saja aku tahu
hari ulang tahunnya. Aku kan harus memastikan bahwa beliau
berbintang Aquarius. Jika ia benar-benar seorang cowok Aquarius,
maka tidak salah lagi, pasti dialah si pengagum misterius itu!
Makin kupikirkan, makin yakin aku jadinya. Di atas kertas peer
yang dibagikan kembali pada kami, Pak Grey menulis pujian;
?pekerjaanmu bagus sekali Sabs!? dan menggambarkan wajah orang
sedang tersenyum di sebelah tulisannya itu. Tak pernah ada guru lain
yang memberiku nilai dengan catatan dan gambar macam itu.
Lagipula untuk apa ia membuang waktu menuliskan kalimat istimewa
dan menggambar segala jika menurutnya aku bukan seorang yang
istimewa? Hal ini cukup membuktikan bahwa Pak Grey-lah orangnya.
Kesimpulan lain, aku menemukan surat itu dalam lokerku bukan?Hanya aku dan Katie yang tahu nomer kombinasi untuk membukanya.
Jadi mana mungkin anak lain bisa mengetahuinya? Tapi Pak Grey kan
seorang guru. Ia bisa saja meminta bagian tata usaha sekolah untuk
memberikan nomer kombinasi lokerku dengan alasan tertentu.
Wah...aku jadi tak sabar menanti jam pelajaran ketujuh. Seumur hidup
belum pernah aku merasa begitu bersemangat untuk mengikuti
pelajaran.
Seusai jam pelajaran keenam, aku mampir di loker untuk
mengambil blazerku, lalu bergegas ke toilet untuk memeriksa tatanan
rambutku. Aku harus bergegas sebab ingin tiba di kelas tepat pada
waktunya. Biasanya aku duduk di sebelah Katie dan Randy, namun
hari ini aku ingin duduk di baris paling depan agar Pak Grey dapat
melihatku lebih leluasa. Lagi pula duduk sendirian tanpa temantemanku akan membuatku tampil lebih percaya diri dan lebih dewasa.
Betul nggak?
Aku baru saja mengenakan blazerku saat Winslow Burton, si
juara kelas, duduk di sampingku. Hampir saja aku pingsan melihat
pakaiannya. Winslow memang selalu mengenakan blazer, tapi hari
ini....ya ampun. Ngapain ia mengenakan blazer merah dengan warna
dan model yang persis sama seperti milikku. Sekarang aku ingat
kenapa aku begitu membenci blazer ini saat nenek memberikannya.
Blazer ini mengingatkanku pada Winslow! Tapi apa yang bisa
kuperbuat? Aku hanya dapat duduk sambil menatap jengkel pada
Winslow Barton. Sekarang rencanaku untuk menarik perhatian Pak
Grey pasti gagal.
Coba lihat, Winslow mungkin adalah tipe cowok yang
dibutuhkan jika seseorang akan membuat film tentang manusia-manusia aneh. Rambutnya cepak marinir. Kaca matanya berbingkai
hitam tebal, celananya cingkrang, kaus kaki putih, dan sepatu kain. Di
semua sakunya terdapat pelindung saku, dan setiap saat ia membawa
seribu bolpoin. Randy amat mengenalnya, kerana mereka berdua
sama-sama menyukai musik komputer dan ia sama sekali bukan
dungu. Ia memang aneh, tapi justru keanehannya itulah yang
membuatnya lebih unik dan menarik, kata Randy. Tapi menurut
pendapatku sih Winslow tetap mahluk paling aneh yang pernah
kukenal.
Lamunanku terputus begitu mendengar suara Randy.
Kutengadahkan kepalaku dan kulihat ia baru saja memasuki kelas
bersama Katie. Mereka menghentikan langkahnya dan berkerut heran
menatapku. Aku membalasnya dengan senyum dikulum. Baru saja
Katie membuka mulut, bel berbunyi. Fuih...untunglah. Katie pasti
bertanya-tanya mengapa aku tidak duduk dengan mereka seperti
biasanya.
Begitu Pak Grey masuk ke kelas, yang ada di kepalaku hanya
Pak Grey. Ia mengenakan switer biru yang serasi dengan warna bola
matanya, celana hitam dan sepatu koboi. Luar biasa! Jantungku
berdebar cepat sehingga aku harus menarik nafas panjang beberapa
kali untuk menenangkan diri.
Sepuluh menit pertama berlalu, dan kini kami sedang
membicarakan sejarah perang Yunani dan Roma. Aku dan Winslow
sudah enam kali mengacungkan jari untuk menjawab enam pertanyaan
pertama dan Pak Grey sudah memilihku empat kali! Duduk di
samping Winslow ternyata ada keuntungannya juga. Tiap kali gurumelontarkan pertanyaan, Winslow selalu menunjuk jari hingga setiap
kali Pak Grey akan selalu menoleh ke arah tempat duduk kami berdua.
"Mengapa bangsa Yunani dan Roma beralih pada kehidupan
yang lebih moderen? " tanya Pak Grey. "Sabrina?"
"Gagasan dan pemikiran tentang demokrasi pada saat itu sedang
berkembang pesat," sahutku. "Lagipula orang-orang pada zaman itu
juga telah banyak mempelajari beberapa cabang ilmu seperti
matematik dan ilmu pengetahuan lainnya,"
"Bagus! Sekarang, adakah yang dapat menjelaskan tentang
demokrasi yang baru disebutkan oleh Sabrina?"
Ketika aku kembali mengangkat tangan, Pak Grey menatap ke
arahku dan memberi tanda agar aku menurunkan tanganku. Lantas
beliau berdiri bersandar pada mejanya, melipat tangannya di dada dan
menunggu. Ia kelihatan begitu gagah dengan sikapnya. Ia hanya
berdiri menunggu jawaban tanpa berkata apa-apa lagi. Setelah
beberapa menit menunggu, barulah ia mulai membuka suara.
"Yah...karena tak ada yang dapat menjawabnya, maka saya kira
hanya Winslow dan Sabrina yang tertarik pada sejarah bangsa Roma.
Jadi bagaimana kalau kalian saya beri tugas untuk menulis tentang
ini?"
Terdengar suara protes di ruang kelas. Aku merasa semua anak
tengah menatap jengkel ke arahku dan Winslow. Sebab memang
hanya kami berdua yang giat menjawab semua pertanyaan Pak Grey.
Dan lantaran itulah Pak Grey membebani mereka dengan tugas-tugas.
Wajahku memerah lantaran malu dan tak berani memalingkan muka.
Winslow sih kelihatan cuek seperti biasa. Ia hanya mengeluarkan
buku dan mulai memainkan bolpoin-nya."Jangan salahkan Sabs dan Winslow..." ujar Pak Grey. " Saya
ingin kalian menulis kesimpulan tentang bab sembilan atau bab
sepuluh. Pilih salah satu saja."
Lalu Pak Grey menatap lurus ke arahku dan mengedipkan
matanya! Rasanya aku hampir pingsan. Mula-mula ia memanggilku
dengan nama kesayanganku, ?Sabs? di dalam kelas. lalu sekarang
mengedipkan mata padaku! Aku tak tau apa yang harus kulakukan,
sehingga kuputuskan untuk balas mengedip. Kulihat Pak Grey
tersenyum manis melihat kedipanku. Oh Tuhan ... aku serasa ingin
melayang ke angkasa!
Semua anak mulai mengerjakan tugas sehingga suasana kelas
begitu sepi. Tiba-tiba kurasakan seseorang menepuk bahuku dari
belakang, ternyata Florence Norton. Ia menyerahkan sepucuk surat ke
arahku tanpa mengangkat kepalanya. Samar-samar terdengar suara
cekikikan dari arah belakang. Tak salah lagi, pasti surat ini dari Randy
dan Katie.
Dear Sabs,
Kau dan Winslow kelihatan serasi sekali hari ini. Nanti Jason
cemburu Iho!
K&R
Apa? Ada-ada aja. Mana mungkin mereka mengira aku
menyukai Winslow? Aku begitu yakin bahwa Pak Grey-lah si
pengagum misterius itu, tapi Katie dan Randy malah mengira aku
naksir Winslow! Tadinya aku begitu bersejnangat mengikuti pelajaran
Pak Grey, tapi sekarang rasanya aku ingin pelajaran ini segeraberakhir agar bisa kujelaskan pada mereka bahwa aku sama sekali
nggak naksir si Winslow! Kuserahkan tugasku begitu waktunya habis
dan kurapihkan buku-bukuku. Pak Grey menghampiriku.
"Sabrina, saya hanya ingin kau tau bahwa saya bangga padamu.
Kau hebat sekali hari ini!" ujarnya seraya tersenyum. Andai saja bola
matanya berwarna hijau, beliau pasti kelihatan seperti Tom Cruise
deh. "T...terimakasih..." aku tergagap.
"Apakah kau mau menunggu beberapa menit? Ada yang ingin


Girl Talk 05 Apa Kata Bintangmu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saya bicarakan denganmu," ujar beliau.
Seluruh darah dari kepalaku seolah terpompa turun begitu
mendengar permintaannya. Pasti aku kelihatan sepucat kapas.
Kurasakan debar jantungku pun berhenti lantaran terkejut mendengar
ajakannya. Dan aku melakukan sesuatu yang cukup memalukan:
kuhembuskan nafasku kuat-kuat dari mulut seperti sedang
menghembus sesuatu.
"Sabrina, kau baik-baik saja kan?" tanya Pak Grey heran. "Saya
hanya ingin membicarakan proyek istimewa denganmu. Tapi tak usah
terburu-buru kok, besok juga bisa."
Saat ini aku tengah berhadapan dengan si pengagum misterius
dan aku tak bisa berucap sepatah pun! Aku hanya mampu menatapnya
dan mengangguk. Kuatur nafasku dan lagi-lagi aku menghembuskan
nafas dari mulut. Pasti tampangku jadi mirip ikan mas koki dengan
pipi gembung macam ini.
"Kalau begitu, kita bicarakan lagi besok Sabrina," usul Pak
Grey. "Pergilah. nanti kau terlambat untuk pelajaran berikut."Aku melangkah kaku ke pintu keluar seperti zombie di filmfilm horor. Berjalan tanpa menatap arah yang kutuju.
Betapa noraknya sikapku barusan. Pak Grey mengajakku bicara
tapi aku malah berakting seperti ikan mas koki sehingga aku
kehilangan kesempatan itu. Kusimpan kembali blazerku ke dalam
loker. Aku ingin segera menyingkirkan blazer itu dari tubuhku. Benda
ini mengingatkanku pada situasi memalukan yang terjadi di kelas
barusan dan betapa seisi kelas menduga aku menyukai Winslow
lantaran kami duduk berdampingan dan mengenakan blazer yang
sama!
Namun aku merasa jauh lebih baik bila mengingat perkataan
Pak Grey dan bagaimana cara beliau menatapku tadi. Pertama ia ingin
membicarakan sesuatu denganku? mungkin tentang surat itu?
kemudian ia menatap cemas seolah begitu mengkhawatirkan
keadaanku. Pasti ia ingin menunjukkan perhatiannya yang istimewa
padaku. Aku begitu terpesona sehingga sepanjang jam pelajaran
terakhir, kerjaku hanya melamun saja. Khayalan membawaku ke
Fitzie?s dimana aku merencanakan untuk menceritakan segalanya
pada Katie, Randy dan Allison di tempat ngumpul favorit kami. Aku
sudah tak sabar untuk menceritakan tentang Pak Grey pada mereka.
Kemudian aku ingat tentang isi ramalan bintangku hari ini;
Jagalah rahasiamu baik-baik. Jika benar Pak Grey adalah orang yang
kumaksud, maka lebih baik kusimpan saja rahasia itu untuk diriku
sendiri sementara waktu ini.
Ketika tiba di Fitzie?s, Katie, Randy dan A1 sudah lebih dulu
hadir dan duduk di sebuah meja. Seorang pelayan baru sajamengantarkan pesanan mereka. Aku menggabungkan diri dan
memesan root-beer-float dengan es krim vanila.
"Jadi..." ujar Randy begitu pelayan berlalu, "apakah kau janjian
untuk mengenakan blazer yang sama dengan Winslow ataukah
Winslow segera lari pulang ke rumahnya begitu melihatmu memakai
blazer merah itu dan mengenakan pakaian yang sama?"
"Kalian benar-benar pasangan yang lucu deh..." ujar Katie
cekikikan.
"Sabrina, kayaknya sepatumu agak kegedean deh," ujar A1
menatap lurus kebawah sambil tersenyum. Aku tau mereka semua
hanya bercanda, tapi aku pura-pura marah mendengarnya.
"Kukira kalian adalah sahabatku," ujarku dengan wajah sedih,
"Aku berusaha tampil istimewa hari ini dan kalian malah
mengolokku?" Katie dan Randy berusaha menahan tawa mereka, dan
Allison menggigit bibir menahan senyum. Maka ketika aku
mendongak sambil tersenyum, meledaklah tawa kami berempat.
Aku sedang menyuap sendok pertama es krim-ku ketika kulihat
Stacy Hansen dan Eva malone menghampiri meja kami.
"Jangan menoleh," aku memperingatkan anak-anak. Stacy si
Hebat dan cecunguknya sedang kemari."
Tubuh Fitzie cukup kekar, dan tampak berotot. Namun Stacy,
dengan rambut pirangnya yang panjang berombak, dalam pakaian
jump-suit hijau, kelihatan amat menonjol di antara anak-anak lain.
Seperti biasa, Eva Malone, sahabat Stacy, mengikuti di belakang dan
meniru semua gerak-geriknya. Ia mengenakan gaun rajutan biru persis
seperti milik Stacy, tapi lantaran rambut nya yang kecoklatan dan
kawat giginya, ia kelihatan jelek sekali."Hai Sabrina..." sapa Stacy dengan suara manis dibuat-buat,
seraya menyibakkan rambut ke belakang bahunya. "Kudengar kau
hari ini mengenakan blazer istimewa. Mana? Kok aku nggak lihat?"
"Mungkin sudah dikembalikan ke Winslow," ujar Eva Malone
agak keras. Sam, kakakku dan teman-temannya memberi julukan
?Jaws? pada Eva Malone. Sebab ia memakai kawat gigi hingga
giginya mirip ikan hiu. Kurasa julukan itu pas sekali untuknya.
Kucoba sedapat mungkin untuk mengabaikan mereka dan
memusatkan perhatian pada minumanku. Tapi agaknya mereka berdua
ingin memastikan bahwa semua telinga di Fitzies mendengar
perkataan mereka dan membuatku malu.
"Apa kau bilang? Winslow?" pekik Stacy pura-pura terkejut.
"Apa hubungannya Winslow dengan blazer merah Sabrina?"
"Mereka berdua kan saling jatuh cinta," jelas Eva bersandiwara.
"Ya...sebetulnya sih Sabrina yang naksir duluan. Hari ini mereka
malah mengenakan blazer yang sama biar tampak kompak!"
"Jadi Sabrina naksir Winslow? " seru Stacy. "Wah...romantis
sekali..."
Cukup. Aku tak tahan lagi mendengar ocehannya. Langsung
saja aku bangkit dari kursi dan menatapnya dengan tangan di
pinggang. "Aku sama sekali tidak naksir Winslow Barton!" teriakku
geram. Dapat kurasakan berpuluh pasang mata tengah memperhatikan
kami.
"Kau nggak perlu khawatir, kalau emang suka sama Winslow,
akan kami rahasiakan kok..." ujar Stacy manis. Ia ingin memastikan
semua anak-anak mendengar hal ini dan membuatku malu."Kalau Sabrina bilang enggak, ya enggak!" seru Randy seraya
menuding Stacy dengan galak.
"Yaa!" seru Katie dan Allison yang kemudian ikut berdiri di
sampingku.
"Oke...oke. aku ngerti deh sekarang," ujar Stacy. "Hari ini
mereka duduk bersebelahan, mengenakan blazer yang serupa supaya
orang-orang tau bahwa mereka nggak saling jatuh cinta? begitu?"
"Tidak! Bukan begitu. Maksudku memang begitu...aku...eh..."
aku begitu marah dan cemas anak-anak lain terpengaruh dan
mempercayai cerita Stacy. Stacy memang pandai bermain kata-kata.
Sehingga aku kehilangan kata-kata dan kurasakan wajahku memerah
lantaran malu.
"Nah, kalian lihat sendiri kan?" Stacy melipat tangannya dan
menatapku dengan tatapan menang. "Cukup dengan menyebutkan
nama Winslow, wajahnya jadi tersipu-sipu malu dan memerah begini.
Ini membuktikan bahwa..."
"Sabrina Wells naksir Winslow Burton!" lanjut Eva Malone.
"Pergi dari sini, otak udang!" usir Randy.
"Mereka kebetulan memakai blazer yang sama hari ini!" bela
Katie.
"O ya?" Stacy lalu melenggang meninggalkan kami dan duduk
di tempatnya seperti biasa, di dekat jendela.
"Hallo teman-teman semua...kalian dengar nggak?" teriak Eva
seraya mengekor di belakang Stacy, "Sabrina Wells naksir Winslow
Barton!" Semua anak yang ada di Fitzie?s, rata-rata adalah murid
Bradley Junior High. Mereka semua mendengar amat jelas ucapan
Eva barusan dan aku yakin mereka semua pasti segera membicarakanhal itu. Dan besok, gosip pasti sudah menyebar di sekolah, bahwa
Sabrina Wells naksir Winslow barton,.
Aku duduk kembali ke kursiku seraya menatap lemas
minumanku. Minuman yang tadinya begitu nikmat, sekarang sama
sekali tak mampu membangkitkan seleraku.
"Sabrina," tegur Katie. "Kau tak apa-apa kan?"
Aku hanya mengangguk. Mana mungkin aku tidak apa-apa?
Hanya dalam waktu kurang dari lima menit, Stacy Hansen telah
menghancurkan hidupku!BAGIAN LIMA
Malam itu kulewati dengan penuh kecemasan. Aku ngeri
membayangkan apa yang akan terjadi esok hari di sekolah jika Stacy
Hansen menyebarkan gossip yang menjijikkan itu. Dan aku juga
belum habis pikir, kok bisa ya aku bersikap tolol di depan Pak Grey.
Dan akhirnya aku sampai pada kesimpulan bahwa penampilan yang
lebih dewasa dan anggun, dengan segala jenis atribut seperti blazer
itu, tak semestinya kulakukan. Aku memang bukan tipe cewek macam
itu. Lagipula, mungkin Pak Grey justru menyukaiku seperti apa
adanya. Maka kuputuskan untuk kembali ke penampilanku yang biasa.
Untuk mencegah reaksi seperti ikan mas koki di hadapan Pak
Grey kemarin, kucoba merencanakan beberapa topik pembicaraan
yang menarik. Tiap kali Pak Grey mengajakku bicara, aku jadi salah
tingkah sehingga tak dapat memikirkan jawaban yang benar.
Setidaknya aku harus punya tiga bahan pembicaraan yang kusiapkan
sebelum memulai percakapan dengan Pak Grey.
Di tepi tempat tidur aku duduk dengan sehelai kertas dan
sebatang pinsil di tangan sambil berpikir. Sebetulnya aku masih punya
segudang pe-er yang harus kukerjakan, tapi nyatanya aku tak bisa
berhenti berkhayal. Kutulis daftar topik pembicaraan di atas kertas.
Topik pertama, aku akan meminta beliau menjelaskan lebih lanjuttentang sejarah bangsa Yunani dan Roma. Ngomong-ngomong soal
bangsa kuno itu, aku jadi ingat sebuah film yang pernah kusaksikan di
teve. Dan kemudian aku semakin yakin, betapa Pak Grey mirip
dengan bintang-bintang film. Selanjutnya tanpa kusadari, aku mulai
membayangkan Pak Grey memainkan peran dalam sebuah film
kolosal tentang sejarah Yunani dan Roma.
Film! Ide bagus! Topik kedua, aku akan menanyakan film
favorit beliau. Kubayangkan ia menceritakan koleksi film-film yang
dimilikinya dalam bentuk video kaset. Lalu dia juga tentu akan bilang
bahwa ia selalu menonton film favoritnya di hari istimewa, misalnya
hari ulang tahunnya! Nah! Selanjutnya aku bisa menanyakan tanggal
lahirnya. Dengan begitu aku dapat mengetahui apakah bintangnya
Aquarius atau bukan.
Topik terakhir tentu saja tentang dirinya sendiri. Aku pernah
membaca sebuah artikel yang menyebutkan bahwa seorang laki-laki
senang membicarakan segala sesuatu tentang dirinya. Hampir semua
artikel menyebutkan bahwa cara menyatakan kesukaan pada seorang
lelaki, adalah dengan menunjukkan perhatian terhadap hal-hal yang
disukainya. Nah, beres. Akan kutanyakan kenapa ia mau menjadi
guru. Eh tidak, mendingan kukatakan, "Pak Grey, andalah guru
terbaik saya." Lalu baru kutanyakan mengapa ia mau menjadi guru.
Tiga pertanyaan. Cukuplah. Setidaknya lain kali aku tidak akan
seperti bebek dungu lagi. Kenapa sih hal ini tak terpikir olehku
sebelumnya? Kan aku bisa lebih menarik perhatiannya dengan
percakapan yang tersusun rapih macam ini. Begitu bersemangatnya
aku sampai serasa tak sabar menunggu hari berganti pagi.Saat bangun esok harinya, aku sadar bahwa semalam aku
memimpikan Pak Grey. Hal ini membuktikan bahwa dengan
berkonsentrasi memikirkan sesuatu sebelum tidur, maka sesuatu itu
akan terbawa dalam mimpi. Aku ingat, dalam mimpiku kami berdua
pergi memancing ikan mas koki di sebuah pantai di daerah Yunani.
Agak aneh memang. Tapi walau bagaimanapun mimpi itu membuat
tubuhku terasa segar pagi ini dan semangat makin membara. Aku siap
berangkat ke sekolah pagi-pagi sekali dan menyempatkan diri
membaca halaman C koran hari ini sambil menuju pintu keluar.
Seperti biasa, jika aku begitu menantikan sesuatu, hari seolah
berjalan lambat. Jam makan siang yang hanya setengah jam saja
rasanya bertahun-tahun. Aku jadi makin bersemangat setelah
membaca ramalan bintangku hari ini;
Karisma-mu memukau seseorang. Cinta yang mekar akan
terwujud dalam bentuk hadiah kecil nan istimewa.
Aku tahu, Pak Grey pasti akan makin terpukau dengan
percakapan yang telah kusiapkan hari ini. Bahkan gossip Stacy
Hansen tentang aku dan Winslow tak lagi merisaukanku, meskipun
sesekali kudengar anak-anak berbisik-bisik membicarakan gossip itu
saat melihatku.
Akhirnya tiba juga saatnya jam pelajaran Ilmu Sosial. Pak Grey
langsung memanggilku begitu aku menapak masuk ke kelas.
"Sabrina, seusai pelajaran saya ingin kau tetap tinggal beberapa
saat," ujar beliau. "Ada sesuatu yang istimewa yang akan saya
Tiga Macan Lembah Neraka 1 Pendekar Pulau Neraka 40 Irama Pencabut Nyawa Orang Orang Atas Angin 1

Cari Blog Ini