Ceritasilat Novel Online

Bayangan Bidadari 4

Bayangan Bidadari Karya Kho Ping Hoo Bagian 4


sebungkus obat, terus mengobati luka yang diakibatkan oleh pasir-pasir hitam. Melihat obat ini, In Hong
terkejut. Itulah obat pemunah pasir hitam yang dibuat oleh Gurunya sendiri, yang juga berada di dalam
bungkusan pakaiannya. Darimana Tosu ini mendapatkan obat itu?
"Gurumu adalah sahabat baikku, dan karena aku pernah ditolong olehnya, maka tadi melihat kau
menghadapi Pek Ciang San-Lojin, aku sengaja datang untuk menyeretmu keluar dari lembah maut. Kalau
tidak aku keburu datang, apa kau kira sekarang kau masih bernyawa? Hm, biarpun ilmu silat dan ilmu
pedangmu lihai, mana kau dapat menghadapi tokoh-tokoh Kun-Lun-Pai? Lweekangmu masih amat
rendah dan kalau kau bertanding melawan Pek Ciang, kau tentu akan terluka dan binasa." Mendengar
semua kata-kata ini, maklumlah In Hong bahwa Kakek aneh ini bermaksud baik dan bahkan telah
menolongnya, maka tanpa ragu-ragu lagi ia lalu menjatuhkan diri berlutut.:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 99
:: CerSil KhoPingHoo : :: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 100
:: CerSil KhoPingHoo :
"Lo-Cianpwe, banyak terima kasih atas pertolonganmu. Akan tetapi Teecu Kwee In Hong tidak takut
mati. Untuk membalas budi mendiang Guruku, Teecu harus berani berkorban nyawa. Teecu harus
membalas dendamnya atas pengeroyokan Tosu-Tosu Kun-Lun-Pai."
"Ha, ha, ha, inilah namanya anak kerbau tidak takut harimau. Dengan tenaga lweekangmu serendah itu,
biar se puluh tahun lagi tak mungkin kau dapat mengalahkan kami. Kecuali kalau kau bisa mendapatkan
kitab Tat Mo I-Kin-Keng dari Siauw-Lim-Si dan mempelajarinya sampai tamat, baru kiranya kau akan
dapat menghadapi kami! Nah, kau pergilah, aku bicara semua ini bukan terhadapmu, melainkan
terhadap arwah Gurumu!" Setelah berkata demikian, sambil menyeret sapunya Tosu tua itu berjalan
pergi.
"Tahan dulu, Lo-Cianpwe, mohon tahu nama Lo-Cianpwe yang mulia." Tanpa menoleh Tosu itu herkata,
"Siang-te Lokai hanya tukang sapu di Kelenteng Kun-Lun, tidak ada harganya untuk diingat lagi." Kakek
itu mempercepat larinya dan sebentar saja telah naik kembali ke bukit itu. In Hong menarik napas
panjang. Ia kagum sekali kepada Kakek ini, yang biarpun ilmu silatnya tidak amat tinggi, namun ginkang
dan lweekangnya sudah sampai di puncak yang tak dapat diukur tingginya sehingga ia merupakan
seorang anak kecil yang tidak berdaya terhadapnya.
Ia pikir bahwa betul sekali apa yang diucapkan oleh Kakek itu. Kepandaiannya, atau lebih tepat ilmu
lweekangnya, masih terlampau rendah sehingga kalau ia nekad membalas dendam ke Kun-Lun-Pai, hal
itu bukan berarti kegagahan, melainkan ketololan besar. Sakit hati Gurunya takkan terbalas, sebaliknya
ia seperti mengantarkan nyawa secara sia-sia belaka. Tat Mo I-Kin-Keng dari Siauw-Lim-Si! Kata ini
terukir di dalam hatinya. Apa artinya semua kepandaiannya kalau ia tidak dapat memiliki lweekang yang
tinggi? Ia pernah mendengar dari Gurunya bahwa dalam pertandingan menghadapi tokoh lihai memang
tenaga lweekang amat penting. Dan Gurunya pernah mengaku bahwa dalam hal lweekang, masih kalah
oleh partai-partai besar, apalagi partai silat Siauw-Lim-Si yang amat mengutamakan ilmu lweekang ini.
"Aku harus mendapatkan kitab Tat Mo I-Kin-Keng dari Siauw-Lim-Si, biarpun harus menjadi pencuri!"
Pikiran ini menjadi keputusan di dalam hati gadis yang masih penasaran itu, dan sekali mengambil
keputusan, ia tidak mau menunda-nunda lagi, maka begitu turun dari Kun-Lun-san, ia langsung menuju
ke Siauw-Lim-Si. Berbeda dengan partai persilatan Kun-Lun-Pai, Siauw-Lim-Pai adalah partai persilatan
dari penganut-penganut agama Buddha.
Kelenteng Siauw-Lim-Si adalah sebuah Kelenteng yang besar sekali, di kelilingi oleh tembok yang tebal
dan tinggi. Di antara semua partai persilatan yang besar, nama Siauw-Lim-Pai sudah amat terkenal.
Setiap orang Hwesio, atau anak murid Siauw-Lim-Pai yang berada di luar Kelenteng, sudah dapat
dipastikan memiliki ilmu kepandaian tinggi, karena kalau belum tamat belajar mencapai tingkat
tertentu, murid Siauw-Lim-Si tidak boleh meninggalkan perguruan! Setiap orang anak murid yang tamat
harus menempuh ujian, yakni melalui sebuah lorong yang sudah disiapkan untuk menguji si murid.
Lorong ini penuh dengan alat-alat rahasia dan si murid akan menghadapi serangan-serangan berbahaya,
baik yang dilakukan dengan alat-alat rahasia itu maupun oleh Guru-gurunya sendiri.
Kalau ia berhasil menembusi lorong inti, ia dianggap cukup cakap untuk keluar dari Siauw-Lim-Si. Akan
tetapi kalau dalam menghadapi ujian ini ia gagal, harus belajar lebih giat lagi. Atau kalau sampai ia tewas
dalam ujian ini, itu sudah menjadi nasibnya! Oleh karena ada aturan dan disiplin yang keras ini, maka
selamanya Siauw-Lim-Pai dapat menjaga nama dan anak-anak murid keluaran Siauw-Lim-Pai dapat
menjunjung tinggi nama perguruan itu. Pada waktu itu, yang menjadi ketua dari Siauw-Lim-Pai adalah:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 101
:: CerSil KhoPingHoo :
Bu Kek Tianglo, seorang Hwesio yang usianya sudah hampir delapan puluh tahun. Selama ber puluh
tahun Hwesio ini memegang pimpinan Siauw-Lim-Pai dan boleh dibilang ia berhasil dalam memajukan
partai persilatan ini. Akan tetapi hatinya tidak puas. Ada hal yang amat mengganjel hatinya dan kalau ia
teringat akan hal ini, diam-diam ia menarik napas seorang diri dan berbisik,
"Apakah akan jadinya dengan Siauw-Lim-Pai? Tat Mo Couwsu pasti arwahnya akan mengutukku kalau
aku tidak bisa mendapatkan seorang ahliwaris yang baik."
Yang menjadikan Kakek Hwesio ini berduka adalah karena selama ini, ia tidak bisa mendapatkan
seorangpun murid yang berbakat dan yang akan dapat mewarisi kepandaian aseli dari Tat Mo Couwsu.
Ilmu silat peninggalan Guru besar Tat Mo Couwsu, yang disebut Tat Mo Kun-hoat, terdiri dari
bermacam-macam ilmu silat. Memang semua anak murid Siauw-Lim-Pai mempelajari ilmu silat ini, akan
tetapi tingkat mereka yang paling tinggi hanya sampai enam bagian saja. Yang sudah mewarisi ilmu silat
ini sampai sembilan bagian hanyalah Bu Kek Tianglo seorang, karena untuk berhasil mewarisi seluruh
pelajaran yang amat sukar dari ilmu silat itu, dibutuhkan bakat luar biasa serta kebersihan batin, hawa
dalam tubuh, dan darah.
Sampai sebegitu jauh, tak seorangpun anak murid yang sanggup menerima latihan I-Kin-Keng, yakni
latihan ilmu lweekang yang tertinggi. Hanya Bu Kek Tianglo sendiri yang berhasil, akan tetapi ia sudah
terlalu tua. Usianya takkan lama lagi mempertahankan hidupnya dan sebelum mati, Hwesio tua ini ingin
sekali mendapatkan seorang murid yang dapat mewarisi I-Kin-Keng dan ilmu silat tertinggi dari Tat Mo
kun-hoat. Bu Kek Tianglo sudah hampir putus asa sampai datangnya seorang Hwesio Siauw-Lim-Si yang
membawa seorang pemuda dan seorang bocah perempuan ke Kelenteng itu. Hal ini terjadi lima tahun
yang lalu. Hwesio yang datang ini adalah murid kepala dari Bu Kek Tianglo yang bernama Ceng Seng
Hwesio. Ceng Seng Hwesio berlutut menghadap ketua Siauw-Lim-Pai itu dan disebelahnya, pemuda dan
anak perempuan itupun ikut berlutut dengan penuh penghormatan.
"Muridku yang baik, tiga bulan lamanya kau meninjau keadaan di luar, bagaimanakah khabarnya dengan
para anak murid kita yang berada di luar?"
"Mereka baik-baik semua, suhu, dan tak seorangpun yang melakukan pelanggaran, kesemuanya patuh
akan pelajaran dan larangan Siauw-Lim-Pai," jawab Ceng Seng Hwesio. Jawaban ini kelihatannya amat
menyenangkan hati Bu Kek Tianglo, karena Kakek ini memang selalu merasa gelisah kalau ia teringat
betapa banyaknya murid-murid Siauw-Lim-Pai berada di luar Kelenteng sehingga ia tidak kuasa untuk
mengawasi tingkah laku mereka. Ia selalu khawatir kalau-kalau ada anak murid yang melakukan
perbuatan jahat, melanggar larangan Siauw-Lim-Pai dan di dunia luar merusak nama baik Siauw-Lim-Pai.
Oleh karena ini, seringkali ia mengutus murid-muridnya untuk meninjau keadaan di dunia kangouw dan
memberi wewenang kepada murid-muridnya ini apabila mendengar anak murid Siauw-Lim-Pai yang
menyeleweng, untuk menangkap dan menyeretnya ke Siauw-Lim-Pai!
"Siapakah orang muda dan nona cilik ini?" kemudian Kakek itu bertanya sambil memandang kepada
pemuda dan anak perempuan yang berlutut di dekat Ceng Seng Hwesio.
"Di dalam perantauan, Teecu bertemu dengan mereka ini, dikeroyok oleh perampok di dalam hutan.
Teecu amat tertarik melihat ilmu silat pemuda ini berdasarkan ilmu silat Siauw-Lim-Si, akan tetapi
gerakannya sudah menyeleweng jauh. Setelah Teecu mengajak mereka bercakap-cakap, ternyata bahwa
mereka ini masih cucu murid dari supek Bu Sek Tianglo!" Bu Kek Tianglo nampak tercengang dan
memandang kepada pemuda itu dengan penuh perhatian.:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 102
:: CerSil KhoPingHoo :
"Anak muda, siapa namamu? Dan kau murid siapakah?" tanya Bu Kek Tianglo. Pemuda itu mengangkat
mukanya yang tampan dan membayangkan kedukaan, memandang kepada Tosu tua itu kemudian
menunduk kembali dan menjawab, suaranya halus dan sopan,
"Susiok-couw, Teecu bernama Ong Teng San, dan ini adik Teecu bernama Ong Lian Hong. Teecu berdua
menerima pelajaran ilmu silat dari Ayah Teecu sendiri yang bernama Ong Tiang Houw, murid dari
sucouw Bu Sek Tianglo. Kebetulan sekali Teecu berdua yang sengsara bertemu dengan supek Ceng Seng
Hwesio, maka apabila susiok-couw tidak berkeberatan, Teecu berdua mohon diterima menjadi murid di
Siauw-Lim-Si, karena Teecu berdua sudah tidak mempunyai tempat tinggal lagi." Suara pemuda itu
menjadi perlahan dan ia kelihatan berduka sekali.
"Hm, mengapa kalian pergi dari rumah? Dimana Ayahmu? Biarpun Ayahmu tidak langsung menjadi
murid Siauw-Lim-Pai, akan tetapi sudah lama pinceng (aku) mendengar akan sepak terjangnya yang
patut dihargai sebagai seorang pendekar yang gagah. Agaknya mendiang Suhengku Bu Sek Tianglo tidak
terlalu salah menerima murid sungguhpun dia sendiri telah meninggalkan Siauw-Lim-Pai." Mendengar
pertanyaan ini, tiba-tiba Teng San terisak menangis! Hati pemuda ini bersedih sekali kalau ia teringat
akan Ayahnya yang dianggap telah melakukan perbuatan yang amat memalukan dan tidak berbudi.
Melihat pemuda ini menangis, Bu Kek Tianglo wajahnya tiba-tiba berseri. Di dalam hatinya ia berkata,
"Aha, anak inilah yang kiranya akan dapat mewarisi I-Kin-Keng, hatinya perasa sekali dan perasaan yang
halus inilah yang amat dibutuhkan untuk bisa mempelajari I-Kin-Keng dengan sempurna." Akan tetapi di
luarnya, ia berkata dengan suara tegas,
"Teng San, tidak patut seorang pemuda mengalirkan airmata. Ada urusan, boleh kau beritahukan
kepada pinceng dengan terus terang, boleh jadi pinceng akan dapat mencarikan jalan terang bagimu."
Teng San menekan perasaan sedihnya, kemudian ia dengan terus-terang menceritakan bagaimana
Ayahnya telah membunuh seorang hartawan muda bernama Kwee Seng, kemudian mengambil isteri
hartawan itu sebagai isterinya. Hal ini dianggapnya amat menyakitkan dan memalukan hati, apalagi
karena Teng San sudah menganggap Ibu tiri itu sebagai Ibunya sendiri, bahkan sudah berkali-kali berjanji
kepada Ibu tirinya untuk membalaskan dendam atas terbunuhnya suami yang dahulu dari Ibu tirinya itu.
Tidak disangka-sangkanya bahwa pembunuhnya adalah Ayahnya sendiri! Mendengar penuturan ini, Bu
Kek Tianglo mengerutkan keningnya dan beberapa kali ia menggeleng-geleng kepalanya yang gundul.
"Omitohud, bagaimana ada kejadian seperti itu? Pinceng sudah mendengar tentang Ayahmu yang
memimpin pasukan Kai-Sin-Tin membasmi orang-orang hartawan dan bangsawan. Perjuangan
memperbaiki nasib kaum jembel memang baik, bahkan semenjak dahulu dipelopori oleh orang-orang
gagah sedunia yang tidak suka melihat sesama hidup bersengsara dan melihat keganjilan di dunia ini,
dimana yang hidup kaya sampai berlebihan dan yang hidup miskin sampai tidak bisa makan. Akan tetapi,
setiap perjuangan memperbaiki nasib haruslah dilakukan dengan hati-hati dan waspada, karena hampir
selalu ada bahaya kemasukan anasir-anasir buruk dan sifat-sifat yang tidak baik. Ayahmu terlampau
dikuasai oleh nafsunya, nafsu dan dendam karena kematian isterinya, yaitu Ibumu, dan orang yang
sudah dikuasai oleh nafsu dan dendam, tiada ubahnya seperti binatang buas yang tidak memilih bulu,
siapa saja diterkamnya. Orang gagah harus dapat berlaku adil, menghukum mereka yang bersalah dan
menolong mereka yang tergencet. Secara membuta tuli saja membasmi orang-orang hartawan dan
bangsawan, adalah perbuatan yang amat keliru, karena tak mungkin seluruh hartawan dan bangsawan
itu jahat belaka. Karena kekeliruan Ayahmu itu, sekarang ia harus memetik buahnya yang amat pahit.
Bagaimana dengan Ayahmu sekarang?":: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 103
:: CerSil KhoPingHoo :
"Teecu tidak tahu, susiok-couw. Entah bagaimana dengan Ayah, dan kalau Teecu teringat akan Ibu..."
Sampai disini terdengar suara tangisan Liang Hong.
"San-ko, aku mau pulang, mau menjaga Ibu...," anak ini menangis.
Bu Kek Tianglo adalah seorang yang hatinya penuh welas asih, sesuai dengan penganut agama Buddha,
maka ia amat terharu melihat keadaan dua orang anak itu. Apalagi kalau ia melihat Teng San, diam-diam
ia memuji ketajaman mata muridnya, karena pemuda ini benar-benar memiliki bakat yang luar biasa.
Oleh karena itu, ia menerima Teng San dan Lian Hong menjadi murid Siauw-Lim-Si, dan menyerahkan
pendidikan mereka kepada Ceng Seng Hwesio. Akan tetapi, terhadap Teng San ia turun tangan sendiri
memberi pelajaran ilmu silat tinggi sehingga pemuda itu mendapatkan kemajuan yang amat pesat.
Selama lima tahun Teng San dan Lian Hong dilatih di dalam Kelenteng Siauw-Lim-Si dan Teng San kini
benar-benar telah mewarisi ilmu-ilmu silat tertinggi dari Siauw-Lim-Pai.
Akan tetapi, tetap saja ia masih mengalami kesukaran untuk mewarisi I-Kin-Keng dan setelah lima tahun,
baru ia mulai mendapat penjelasan tentang ilmu lweekang tertinggi dari Siauw-Lim-Pai ini. Juga Lian
Hong merupakan murid yang amat memuaskan hati Ceng Seng Hwesio, karena dalam usia empatbelas
tahun, gadis cilik ini telah mampu melewati lorong ujian dengan selamat dan tidak terluka sedikitpun!
Pada waktu inilah ketika Siauw-Lim-Si mendapat serbuan yang menggemparkan Kelenteng besar itu,
serbuan yang dilakukan oleh Kwee In Hong, gadis murid Hek Moli yang amat berani dan keras hati itu!
Waktu itu tepat tanggal limabelas, bulan bersinar terang dan hawa malam itu dingin bukan main, tanda
bahwa musim panas sudah mulai bertukar musim.
Tak seorangpun di Kelenteng Siauw-Lim-Si yang menduga bahwa malam itu tempat mereka yang
disegani dan ditakuti oleh semua orang kangouw akan menerima tamu tak diundang yang amat berani.
Memang sudah ber puluh tahun tidak ada orang yang berani memusuhi Siauw-Lim-Si, apalagi datang
sebagai seorang tamu malam tak diundang yang bermaksud jahat. Maka para Hwesio enak-enak saja
dan tidak menyangka buruk. Apalagi karena In Hong memasuki tempat itu dengan mempergunakan
ginkangnya yang sudah tinggi tingkatnya. Hanya bayangannya saja yang berkelebatan ketika ia mendaki
bukit itu menuju ke Kelenteng. Kemudian, dengan amat mudahnya ia melompat pagar tembok yang
tinggi, yang mengelilingi semua bangunan Kelenteng dan rumah tinggal para anak murid Siauw-Lim-Pai.
Kalau orang melihat In Hong melompat-lompat di dalam sinar bulan purnama, tentu ia akan mengira
bahwa gadis ini seorang bidadari yang turun dari bulan. Memang gadis ini amat cantik, lincah, dan
pakaiannya yang serba ringkas membayangkan potongan tubuhnya yang langsing. In Hong merasa agak
heran ketika melihat keadaan di dalam pagar tembok itu sunyi saja, tidak kelihatan penjaganya. Begini
sajakah keadaan Siauw-Lim-Si yang tersohor kuat itu? Ia merasa lega dan setelah meneliti bahwa
keadaan di dalam benar-benar aman, ia lalu melayang turun dari pagar tembok dengan gerakan ringan
seakan-akan seekor burung walet menyambar. Kedua kakinya tidak mengeluarkan suara ketika ia tiba di
atas tanah dalam sebuah pekarangan yang lebar. Sambil menyelinap dan bersembunyi di dalam bayangbayang pohon dan tembok yang gelap, gadis yang berani ini maju terus.
Tiba-tiba ia melihat seorang Hwesio cilik membawa lampu berjalan perlahan. Sambil berjalan, Hwesio
cilik ini mulutnya berkemak-kemik mengeluarkan suara seperti orang berdoa, agaknya ia sedang
menghafal ayat-ayat suci yang baru dipelajarinya siang hari tadi. In Hong cepat bersembunyi ke dalam
tempat gelap dan ketika Hwesio kecil itu lewat, ia melompat dan pedangnya sudah menempel pada
leher Hwesio ini. Alangkah heran dan kagumnya hati In Hong ketika melihat betapa Hwesio cilik ini sama:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 104
:: CerSil KhoPingHoo :
sekali tidak terkejut. Jangankan berteriak minta tolong atau melepaskan lampunya, bahkan ia
memandang sambil tersenyum! Ketenangan Hwesio cilik ini membuat In Hong menjadi kagum dan malu
kepada diri sendiri, maka ia menjauhkan pedangnya dari leher anak yang sudah menjadi calon Pendeta
itu. "Siauw-suhu, aku tidak berniat buruk kepadamu, hanya aku harap kau suka memberitahu kepadaku
dimana adanya kamar penyimpanan kitab Siauw-Lim-Si!" bisiknya. Memang aneh sekali Hwesio cilik ini
sambil tersenyum lalu menuding ke arah kiri.
"Kau hendak mencari kamar penyimpanan kitab? Lihat, bangunan di sudut kiri yang jendelanya kuning
itulah tempat penyimpanan kitab." In Hong tertegun.
"Kau tidak bohong, siauw-suhu?" Hweesio cilik itu tersenyum dan menggeleng kepalanya yang gundul
kelimis.
"Kalau orang masih suka berbohong apa gunanya berada disini? Tidak, disini kau tidak bertemu dengan
orang yang suka membohong." In Hong menggerakkan tangan hendak menotok Hwesio cilik ini agar
jangan dapat bergerak atau berteriak, akan tetapi melihat muka yang jujur dan polos serta senyuman
yang terbuka itu, ia menahan tangannya.
"Aku takkan mengganggumu, akan tetapi kau harus berjanji takkan memberitahukan kepada siapapun
juga akan kedatanganku ini." Kembali Hwesio cilik itu tertawa.
"Lihiap, tentang kedatanganmu, siapakah yang tidak tahu? Para suhu disini sudah tahu semua, untuk
apa diberitahukan lagi?" Setelah berkata demikian, Hwesio cilik ini berjalan terus dengan lambat, lampu
di tangannya bergoyang-goyang. Untuk sejenak In Hong berdiri terpaku. Keterangan terakhir ini
mengejutkan hatinya. Akan tetapi, betulkah itu? Kalau para tokoh Siauw-Lim-Pai sudah mengetahui
kedatangannya, mengapa mereka tidak muncul? Betapapun juga, aku sudah sampai disini dan harus
kucoba mendapatkan kitab I-Kin-Keng, pikirnya. Tanpa ragu-ragu lagi In Hong lalu melompat cepat ke
kiri, menuju ke bangunan berjendela kuning yang ditunjuk oleh Hwesio kecil tadi.
Untuk sampai di tempat itu, ia harus melalui beberapa ruangan dan di sana sini terdapat arca-arca
Buddha sebesar orang sehingga kadang-kadang gadis ini terkejut karena dari jauh arca-arca ini seperti
seorang Hwesio sedang duduk bersamadhi. Akhirnya ia sampai di sebuah ruangan dan di dekat ruangan
terbuka inilah adanya kamar yang berjendela kuning. Hatinya berdebar girang dan dengan hati-hati ia
mendekati kamar itu. Di ujung ruangan itu, dekat dengan pintu kamar, ia melihat punggung sebuah
patung lagi yang sebesar manusia, patung seperti arca-arca lain yang dilihatnya tadi. Maka ia tidak
menaruh perhatian. Dengan langkah lebar In Hong menghampiri jendela kuning dari kayu dan sekali
mencongkel dengan pedang-nya, jendela itu terbuka tanpa menerbitkan suara apa-apa.
Kamar ini luas sekali dan diterangi oleh lampu besar. Ia melihat lemari-lemari yang penuh dengan bukubuku kuno dan di tengah kamar ini ia melihat seorang laki-laki sedang duduk membaca buku. Laki-laki
itupun bersila dan biarpun kedua tangannya memegang sebuah kitab terbuka, namun ia tidak bergerak
sama sekali. Agaknya seluruh perhatiannya dicurahkan untuk membaca isi kitab, maka ia tidak
memperdulikan lain hal yang terjadi disekelilingnya. In Hong tercengang dan ia memandang dengan
mata terbelalak. Kalau ia melihat laki-laki itu seorang Hwesio gundul, ia takkan terheran. Akan tetapi
laki-laki ini bukan seorang Hwesio, melainkan seorang pemuda yang tampan dengan pakaian serba:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 105
:: CerSil KhoPingHoo :
putih. Ia hendak menerjang masuk, akan tetapi menarik diri kembali dan bersembunyi ketika melihat
pemuda itu menggerakkan leher dan menengok ke arah jendela.
"Sampai berani merusak jendela, inilah keterlaluan sekali!" kata pemuda itu dan ketika In Hong hendak
memandang ke dalam, tiba-tiba jendela itu sudah tertutup! In Hong meraba penutup yang kini berwarna
hitam itu dan ternyata bahwa yang menutup jendela secara aneh itu adalah besi yang tebal dan dingin!
Ia mencoba mendorong, namun sia-sia karena besi penutup jendela itu kokoh kuat. In Hong penasaran
dan sekali ia melompat, ia telah naik ke atas genteng kamar itu. Namun, ketika ia membuka genteng,
ternyata bahwa dibawah genteng juga tertutup oleh lapisan besi yang tak mungkin ditembus!
"Kurangajar!" ia memaki perlahan dan melayang turun kembali, kini ia menghampiri pintu. "Kau kira aku
tidak berani menerjang dari pintu?" pikirnya. Akan tetapi, sebelum ia membuktikan ancamannya ini,
arca yang tadi ia lihat punggungnya, tiba-tiba bergerak dan sudah berdiri di belakangnya.
"Nona, tak seorangpun boleh memasuki pintu ini!" In Hong sampai mencelat setombak lebih saking
kagetnya. Tidak disangkanya bahwa yang dikira arca itu ternyata seorang Hwesio gundul tua yang
agaknya duduk bersamadhi di depan pintu itu! Pada saat itu, terdengar suara kelenengan perlahan yang
sambut menyambut di seluruh tempat itu, maka tahulah In Hong bahwa ia sudah terkepung. Pintu
kamar itu terbuka dan pemuda yang tadi dilihatnya membaca kitab, sudah ber-diri dengan pedang di
tangan, sedangkan daun pintu itu tertutup sendiri dengan suara keras dan nyaring yang menyatakan
bahwa daun pintu inipun terbuat daripada besi atau baja! Gagal dan aku harus cepat melarikan diri, pikir
In Hong dengan kecewa.
"Nona, jalan masuk ke Siauw-Lim-Si amat mudah, namun jalan keluarnya tidak semudah kau kira,"
Hwesio tadi berkata dengan nada mengejek.
"Minggir kau!" bentak In Hong sambil mempergunakan tangan kirinya mendorong. Hwesio itu tidak mau
mengelak, sebaliknya menyambut dengan tangan kanannya. Tubuh In Hong terpental ke belakang,
demikian kerasnya tenaga dorongan Hwesio itu. In Hong terkejut sekali. Lihai betul lweekang dari
hweesio ini, pikirnya, maka ia tidak berani memandang ringan. Baru seorang Hwesio saja begini lihai,
kalau mereka semua muncul, ia tentu takkan mampu melawan mereka semua. Cepat ia hendak lari,
akan tetapi Hwesio itu sudah menghadangnya sambil tertawa,
"Coan Sim Hwesio menjaga kamar kitab takkan membiarkan kau pergi, nona," katanya dan tangannya


Bayangan Bidadari Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyambar hendak menangkap lengan In Hong yang memegang pedang.
Nona ini menjadi marah dan cepat ia menggerakkan pedang hendak membacok lengan Hwesio itu.
Lawannya ternyata memiliki gerakan yang gesit juga, karena sudah dapat menarik lengannya dan
membalas dengan tendangan Loan-Hoan-Twi, yakni tendangan berantai yang dilakukan bertubi-tubi. In
Hong cepat melompat tinggi ke belakang, dan sambil memutar tubuhnya, pedangnya menusuk dada
Hwesio itu. Gerakannya demikian ringan dan cepat sehingga Hwesio ini mengeluarkan seruan kaget dan
cepat mengelak sambil melompat ke belakang. Namun In Hong tidak memberi kesempatan padanya dan
terus menyerang. Pedangnya kini merupakan sinar dan bergulung-gulung menyerang Hwesio itu yang
menjadi kewalahan, melompat dan mengelak ke sana ke mari.
"Pencuri nekat jangan kau kurangajar!" tiba-tiba pedang In Hong tertangkis oleh pedang lain dan
ternyata bahwa yang menangkis oleh pedang lain dan ternyata bahwa yang menangkis pedangnya:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 106
:: CerSil KhoPingHoo :
adalah pemuda yang tadi membaca kitab. "Murid termuda Siauw-Lim-Si Ong Teng San takkan
membiarkan pencuri pergi!"
In Hong menjadi marah. Tanpa mengeluarkan kata-kata lagi ia lalu memutar pedangnya secepatnya,
menyerang pemuda itu dengan jurus ilmu pedangnya yang paling lihai. Pemuda itu terkejut sekali dan
buru-buru ia menangkis sambil melangkah mundur, karena serangan ini benar-benar merupakan
desakan yang masih berbahaya kalau hanya ditangkis saja. In Hong penasaran. Serangannya tadi amat
lihai dan kalau lawan tidak memiliki ilmu silat tinggi tak mungkin dapat menghindarkan diri. Namun
pemuda itu masih dapat mengelak dan menangkis. Selagi ia hendak mendesak terus, dari samping Coan
Sim Hwesio kembali mengulur tangan mendorongnya dan kembali angin dorongan itu membuat In Hong
terhuyung. Celaka pikirnya. Tidak menguntungkan kalau ia melawan terus, maka sekali kakinya
dienjotkan, ia telah melayang naik ke atas genteng.
Coan Sim Hwesio dan pemuda yang bukan lain adalah Ong Teng San itu, tidak mau mengejarnya.
Mereka maklum bahwa gadis itu takkan mungkin dapat keluar dari kepungan para Hwesio Siauw-Lim-Si.
Betapapun juga mereka tidak mau tinggal diam dan keduanya lalu pergi mela-kukan penjagaan di lain
tempat, Hwesio itu lari ke kanan untuk membantu penjagaan di tembok sebelah kanan, sedangkan Teng
San melompat naik ke atas genteng melakukan penjagaan di atas. In Hong berlari terus, menuju keluar.
Maksudnya hendak lekas-lekas pergi dari tempat itu, apalagi setelah ia melihat dari atas betapa banyak
Hwesio-Hwesio menjaga di sana sini. Tempat yang ketika ia datang nampak sunyi itu sekarang sudah
berobah sama sekali. Di setiap sudut terdapat lampu penerangan. Selagi ia mencari tempat yang dapat
dilaluinya untuk melarikan diri, tiba-tiba terdengar bentakan,
"Nona tak tahu aturan, tidak lekas-lekas menyerah?" In Hong memutar pedangnya untuk menangkis
ketika merasa sambaran angin datang dari sebelah kanan. Terdengar suara keras dan ujung sebatang
toya terbabat putus oleh pedang Liong-Gan-Kiam.
Hwesio yang menyerangnya berseru kaget, akan tetapi dua orang kawannya lagi maju menubruk untuk
menangkap In Hong. Nona ini melihat dirinya dikeroyok tiga orang Hwesio, tidak mau melayani dan
secepat burung terbang, ia melompat turun lagi dari atas genteng. Kemudian ia berlari terus ke depan
dan anehnya, tiga orang Hwesio itupun tidak mau mengejarnya. Begitu kedua kaki In Hong menginjak
tanah, ia dikejutkan oleh bentakan mengguntur,
"Penjahat wanita yang berani mati mengacau Siauw-Lim-Si, lebih baik kau menyerah untuk pinceng ikat
kaki tanganmu!" In Hong melihat seorang Hwesio tinggi besar yang memegang sebatang rantai baja
panjang. Darahnya naik mendengar bentakan itu. Masa ia hendak diikat dengan rantai baja yang lebih
pantas untuk mengikat gajah itu? Tanpa mengeluarkan suara, pedangnya membabat dan secepat kilat ia
telah melakukan serangan ke arah perut Hwesio itu dengan tusukan maut.
"Siancai... ganas betul kau!" Hwesio itu menggerakkan rantainya dan hampir saja pedang In Hong
terlepas dari pegangannya ketika dua senjata itu bertemu dengan kerasnya. Diam-diam In Hong amat
terkejut. Biarpun gerakan para Hwesio di Siauw-Lim-Si ini tidak terlalu cepat, namun ia harus akui bahwa
mereka rata-rata memiliki tenaga yang besar. Telapak tangannya sampai terasa pedas ketika gagang
pedangnya tergetar dalam pertemuan senjata itu. Ia cepat menarik pedang dan kembali melakukan tiga
jurus serangan bertubi-tubi. Namun dengan pemutaran rantai sehingga merupakan kitiran baja yang
tangguh, semua serangannya gagal.:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 107
:: CerSil KhoPingHoo :
"Suheng, jangan lepaskan dia!" terdengar suara Hwesio lain membentak dan In Hong menjadi gemas
sekali melihat datangnya dua orang Hwesio lain yang memegang toya. Melayani si tinggi besar dengan
rantai ini saja belum tentu ia akan dapat menang secara cepat, apalagi sekarang datang pula dua orang
pengeroyok. Dan ia maklum bahwa senjata toya bagi Siauw-Lim-Si merupakan senjata yang ampuh dan
ilmu toya Siauw-Lim-Si amat terkenal ketangguhannya.
"Kalian memaksakan dan tidak mau membiarkan aku pergi? Baik, kalian rasakan ini!" bentaknya marah
sekali dan tiba-tiba, ketika tangan kiri In Hong bergerak, sinar hitam menyambar ke arah tiga orang
Hwesio itu. Inilah Toat-Beng Hek-Kong yang luar biasa. Pasir hitam halus yang mengandung racun itu
sukar sekali dihindarkan, apalagi dipergunakan di waktu malam. Biarpun tiga orang Hwesio itu cepatcepat mengelak, namun masih saja mereka terkena samberan pasir dan segera terdengar suara
mengaduh-aduh dari tiga orang ini.
In Hong mempergunakan kesempatan ini untuk berlari terus. Akan tetapi karena ia tidak kenal jalan dan
tempat itu ternyata amat luasnya, ia tidak tahu harus mengambil jalan mana dan berlari saja dengan
membuta. Ia tiba di sebuah ruangan lain yang amat terang dan ditengah-tengah ruangan ini ia melihat
seorang Hwesio tua, bertubuh tinggi besar dan bermuka hitam, tengah duduk bersamadhi. Sebatang
toya besar menggeletak di dekatnya. Melihat sikap yang angker dan muka yang memancarkan cahaya
kelembutan itu, In Hong hendak menghindari Hwesio ini dan hendak keluar lagi dari ruangan itu untuk
mengambil jalan lain. Akan tetapi, tiba-tiba Hwesio bermuka hitam itu membuka matanya dan berkata
dengan suara lemah lembut.
"Nona, kau sudah memasuki Siauw-Lim-Si secara menggelap, jangan kau harap akan dapat keluar lagi.
Lebih baik kau mengakulah kepada pinceng, siapa namamu dan apa keperluanmu datang ke tempat
kami ini. Ketahuilah bahwa pinceng adalah Ceng Seng Hwesio dan pinceng memimpin para anak murid
Siauw-Lim-Si. Pinceng bukan seorang yang berhati kejam, dan kalau sekiranya menurut pertimbangan
pinceng, dosamu tidak terlalu besar, tentu kau akan pinceng lepaskan."
Mendengar ini, In Hong memasuki ruangan itu. Lebih baik mengakui terus terang, pikirnya. Kalau dia
diampuni dan dibolehkan pergi tanpa gangguan, itu baik sekali. Sebaliknya kalau tidak diampuni,
daripada menghadapi keroyokan semua Hwesio di Siauw-Lim-Si, lebih baik terlebih dulu ia menggempur
Hwesio pemimpin ini! Kalau saja ia bisa membikin Hwesio ini tidak berdaya, ia dapat mempergunakan
sebagai perisai untuk keluar melarikan diri. Setelah berpikir demikian, In Hong lalu menghadapi Ceng
Seng Hwesio dan berkata, pedangnya melintang di depan dada,
"Losuhu, terus terang saja, kedatanganku disini bukannya mengandung maksud buruk. Aku bernama
Kwee In Hong dan aku adalah murid dari Hek Moli."
"Sudah pinceng duga, melihat gerakan pedangmu yang ganas dan melihat Toat-Beng Hek-Kong tadi.
Teruskan, nona, kau bilang tidak bermaksud buruk, apakah maksud kedatanganmu malam-malam di
Siauw-Lim-Si?" Hwesio itu memotong. In Hong terkejut. Hwesio ini tadi duduk bersemadhi saja,
bagaimana bisa ketahui semua perbuatannya? Akan tetapi ia tidak gentar, dan melanjutkan katakatanya,
"Guruku tewas oleh keroyokan orang-orang Kun-Lun-Pai dan aku telah naik ke Kun-Lun-san untuk
membalas dendam. Akan tetapi aku dikalahkan oleh tenaga lweekang mereka, oleh karena itu,
kedatanganku di Siauw-Lim-Si ini hanya untuk meminjam kitab I-Kin-Keng.":: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 108
:: CerSil KhoPingHoo :
"Meminjam kitab suci Tat-mo I-Kin-Keng?" Ceng Seng Hwesio benar-benar terkejut dan heran. "Untuk
apakah?"
"Untuk kupelajari isinya dan kelak tentu akan kukembalikan dengan pernyataan terima kasihku. Bahkan,
kalau dengan I-Kin-Keng aku berhasil membalas sakit hati Guruku, aku kelak sambil mengembalikan
kitab, rela menerima segala hukuman dari Siauw-Lim-Si. Harap kau orang tua suka mempertimbangkan
dan meluluskan permintaanku." Mendengar ini, Ceng Seng Hwesio bangkit berdiri dan tertawa bergelak.
"Lucu, lucu...! Kau anggap begitu mudah meminjam I-Kin-Keng? Ha, ha, nona, tidak sembarang manusia
di kolong langit ini dapat mempelajari Tat-Mo I-Kin-Keng, apalagi dalam waktu singkat. Ini masih belum
penting, yang terutama sekali, siapapun juga di dunia ini tidak dibolehkan menjamah kitab suci itu tanpa
perkenan dari suhu, ketua Siauw-Lim-Si. Apalagi kau datang dengan maksud hendak mencuri kitab itu.
Ah, ini sebuah kedosaan besar sekali, nona. Kalau Hek Moli yang datang kesini melakukan perbuatan ini,
pinceng masih dapat memakluminya, akan tetapi kau... benar-benar kebetulan dan aneh sekali..." In
Hong tidak mengerti apa maksud kata-kata terakhir itu, akan tetapi ia sudah tidak sabar lagi dan berkata
keras sambil menggerak-gerakkan pedangnya,
"Losuhu, bagaimana keputusanmu, boleh atau tidak?"
"Nona, kau bilang tidak bermaksud buruk, akan tetapi kau telah melukai tiga orang murid Siauw-Lim-Si
dengan Toat-Beng Hek-Kong."
"Aku tidak sengaja, aku terpaksa karena didesak dan untuk menyelamatkan diri. Aku menyesal sekali
dan inilah obat penawar untuk mereka!" kata In Hong sambil merogoh sakunya.
"Tak perlu, nona. Orang lain boleh menakuti Toat-Beng Hek-Kong, akan tetapi Siauw-Lim-Si tidak. Kami
ada obat penawar sendiri untuk senjata rahasiamu yang ganas itu. Dan tentang peminjaman kitab suci
itu, tentu saja tidak mungkin!"
"Pinjam kitab tidak boleh dan sekarang akupun tidak boleh keluar? Begitukah kebijaksanaan Siauw-LimSi?" In Hong sudah siap sedia untuk mengamuk.
"Tentang hal kedua, kau sudah melakukan dosa besar, sudah melakukan pelanggaran dan oleh karena
itu, kau harus ditangkap dan dihadapkan ketua Siauw-Lim-Si. Hanya suhu yang berhak memberi
keputusan. Oleh karena itu, harap kau suka menyerah."
"Orang tua, kau sama saja dengan yang lain! Aku harus menyerah? Terimalah ini!" Tangan kiri In Hong
bergerak dan sinar hitam menyambar ke arah Ceng Seng Hwesio! Hwesio ini mengebutkan ujung lengan
bajunya dan semua pasir hitam yang menyerangnya runtuh.
Sebelum In Hong sempat melompat keluar, Hwesio ini sudah menyambar dengan toyanya,
menyerampang kaki gadis itu. In Hong cepat melompat ke atas dan membalas serangan lawan dengan
tusukan pedangnya. Tak lama kemudian keduanya sudah bertanding dengan hebatnya. In Hong maklum
bahwa kali ini ia menghadapi lawan berat, maka ia tidak berlaku sungkan lagi. Pedangnya bergerak cepat
sekali sehingga berubah menjadi segulung sinar yang berkilauan, menyambar-nyambar dan berbahaya
sekali. Ia mengerahkan seluruh kepandaiannya dan kini terlihatlah ilmu pedang yang ia warisi dari Hek
Moli, ilmu pedang yang amat aneh gerakannya dan amat ganas sifatnya. Menghadapi ilmu pedang ini,:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 109
:: CerSil KhoPingHoo :
diam-diam Ceng Seng Hwesio kagum sekali. Tidak heran banyak orang roboh karena ilmu pedang yang
hebat ini dari Hek Moli, pikirnya.
Ia sudah memiliki banyak sekali pengalaman dan sebagai murid kepala dari Bu Kek Tianglo, tentu saja
Hwesio ini memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi, belum pernah ia bertemu dengan lawan yang
memiliki ilmu pedang sehebat ini, maka ia menjadi kewalahan juga menghadapinya. Baiknya, dalam hal
tenaga lweekang, In Hong masih kalah jauh sekali sehingga tiap kali toya membentur pedang, gadis itu
merasa telapak tangannya seperti dibeset kulitnya, perih dan sakit bukan main. Maka ia selalu
menghindari bentrokan senjata dan inilah kelemahannya sehingga ia tidak dapat mendesak lawannya.
Sebaliknya, sambaran toya di tangan Ceng Seng Hwesio mengeluarkan angin yang amat kuat. In Hong
maklum bahwa kalau dilanjutkan, ia akhirnya akan kalah juga, maka lagi-lagi tangan kirinya bergerak dan
dari jarak dekat sekali, pasir hitamnya menyambar ke arah muka Ceng Seng Hwesio.
"Ganas sekali...!" seru Hwesio ini yang terpaksa melompat ke belakang sambil mengibas dengan lengan
bajunya agar terlepas daripada serangan maut ini. Ketika ia melihat lagi, nona itu sudah lari memasuki
ruangan di sebelah kiri. Ceng Seng Hwesio tidak mengejar, bahkan tertawa,
"Ha, ha, nona yang ganas. Kau memasuki Ngo-heng-thia (Ruangan Ngo-heng), biarlah kau mencoba
kepandaianmu dengan tempat ujian Siauw-Lim-Pai yang paling sulit!" Setelah berkata demikian, Hwesio
ini berdongak ke atas dan berkata keras,
"Sute, kau jagalah dimulut Ngo-heng-thia dan cegat dia kalau keluar!" Ong Teng San memang sejak tadi
berdiri di atas genteng menonton pertempuran. Ia tadi mendengar semua kata-kata yang diucapkan
oleh In Hong dan wajahnya berubah pucat. Nona itu bernama Kwee In Hong, pikirnya, tidak salah lagi,
dia itulah anak perempuan dari Ibu tirinya yang dikabarkan lenyap! Pikiran Teng San menjadi tidak
karuan sehingga ia kurang hati-hati dan kakinya yang menginjak genteng menerbitkan suara, maka Ceng
Seng Hwesio mengetahui kehadirannya. Mendengar suara Suhengnya, ia menjawab,
"Baik, Suheng..." Cepat ia melompat turun dan berlari untuk menjaga di pintu keluar ruangan Ngo-hengthia itu. Dadanya masih berdebar-debar. Apakah yang harus ia lakukan terhadap gadis itu? Teringatlah ia
kepada Ibu tirinya dan teringat pula ia akan penuturan Ibu tirinya bahwa adik tirinya yang bernama In
Hong ini lenyap ketika terjadi keributan, ketika terjadi pembunuhan atas diri suami Ibu tirinya itu oleh...
Ayahnya! Jadi, gadis ini adalah kurban daripada Ayahnya juga!
Iapun mendengar kata-kata In Hong tadi bahwa Guru In Hong yang bernama Hek Moli telah terbunuh
dan kini gadis ini datang untuk mencuri kitab I-Kin-Keng, untuk memperdalam ilmu silat dan kelak
membalas dendam atas kematian Gurunya itu. Hal ini dapat ia maklumi. Bukankah semenjak kecil gadis
ini kehilangan Ayah-Bundanya dan menganggap Gurunya sebagai pengganti orang tua? Sekarang
Gurunya terbunuh orang, tidak terlalu mengherankan apabila gadis itu mengerahkan seluruh usaha
untuk membalas dendam. Demikianlah, dengan hati tidak karuan rasa, Teng San dengan pedang di
tangan menjaga di pintu keluar Ngo-heng-thia, dan diam-diam ia berkhawatir sekali akan keselamatan In
Hong! Ia tahu bahwa Ngo-heng-thia adalah ruangan untuk menguji para murid tingkat tinggi, dan
merupakan tempat yang amat berbahaya.
Dia sendiri baru beberapa bulan yang lalu diuji di dalam Ngo-heng-thia, dan biarpun ia dapat keluar
dengan selamat, namun ia masih terluka pundaknya. Bagaimana dengan keadaan In Hong? Gadis yang
pemberani ini memasuki ruangan Ngo-heng-thia tanpa curiga sedikitpun. Ia tidak tahu bahwa tempat itu
adalah tempat untuk menguji kepandaian murid yang sudah tinggi tingkat kepandaiannya, maka ia:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 110
:: CerSil KhoPingHoo :
berjalan terus dengan cepat. Namun ia tetap waspada, karena ia menduga, di ruangan inipun ia tentu
akan menemui lawan. Ia melihat ruangan itu hanya memiliki sebuah lorong yang lebarnya kurang lebih
se puluh kaki dan agak gelap. Tanpa curiga ia masuk ke dalam lorong ini. Alangkah kagetnya ketika ia
masuk baru beberapa langkah, ia mendengar suara keras di belakangnya dan pintu lorong itu tertutup
dari atas, tertutup oleh lapisan besi! Keadaan menjadi remang-remang dan tidak ada jalan kembali lagi.
"Tempat apa ini?" tanyanya seorang diri sambil berdiri diam. Ia harus membiasakan pandangan matanya
di dalam tempat yang setengah gelap ini, kemudian dengan berani ia melangkah maju perlahan-lahan.
Baru kurang-lebih lima langkah ia maju, tiba-tiba dari kiri terasa sambaran angin ke arah kepalanya.
Cepat In Hong mengelak dengan menggerakkan kepala ke belakang sambil membabat dengan
pedangnya. Terdengar suara keras dan pedangnya bertemu dengan sebuah lengan yang terbuat dari
pada baja! Lengan inilah kiranya yang tadi memukulnya secara tiba-tiba, keluar dari dinding!
"Ah, kiranya tempat rahasia!" pikirnya setelah melihat lengan itu lenyap kembali. "Aku harus hati-hati
sekali..." Kembali ia melangkah maju. Tiba-tiba dari atas meluncur besi yang beratnya ratusan kati. Kalau
orang tertimpa besi ini, pasti kepalanya akan hancur. In Hong mengelak cepat ke kiri, akan tetapi
kembali dari kiri keluar bayangan yang menubruknya! Pada saat itu, besi yang tadi menimpa, telah
tertarik dan naik kembali, karena besi itu ternyata tergantung pada sehelai tali baja yang kuat. Karena
serangan bayangan yang menubruknya itu amat tidak terduga dan cepat, In Hong terpaksa
mempergunakan gerakan Trenggiling-menggelundung-dari-bukit untuk mengelak.
Ia menjatuhkan diri di atas lantai dan menggelinding sambil tidak lupa membabat dengan pedangnya ke
arah bayangan yang menyerangnya tadi. Ternyata bahwa bayangan itu adalah sebuah orang-orangan
dari besi pula, yang digerakkan dengan alat dan keluar sendiri dari dinding kiri. Setelah tidak berhasil
menubruk mangsanya, orang-orangan ini bergerak sendiri mundur dan masuk ke dalam dinding. In Hong
melompat berdiri dan duduk beberapa lama ia termenung. Benar-benar berbahaya, pikirnya. Tempat
agak gelap dan semua serangan terjadi tiba-tiba, tidak dapat diduga darimana akan muncul orangorangan itu. Dengan pedangpun tidak berguna menghalau bahaya, karena orang-orangan dari baja ini
tidak terluka oleh pedang.
Ia lalu berpikir. Gerakan orang-orangan dan juga lengan yang menyerangnya tadi adalah gerakan ilmu
silat, bukan penyerangan biasa. Untuk menghadapi serangan-serangan itu bahkan lebih baik kalau ia
bertangan kosong, agar ia dapat mempergunakan kegesitannya untuk mengelak. Dengan pikiran ini, In
Hong lalu menyimpan pedangnya, kemudian ia melangkah maju dengan hati tabah, matanya tajam
memandang ke depan dan seluruh urat syarafnya menegang, waspada menghadapi segala
kemungkinan. Tidak ada jalan lain baginya, harus maju terus karena jalan belakang sudah tertutup. Ia
melangkah maju lagi dan melihat bahwa lorong itu membelok ke kiri. Baru saja ia tiba di tikungan itu,
tiba-tiba ia tnelihat sebuah orang-orangan tinggi besar yang terus saja menyerangnya dari depan.
Serangan dengan jurus-jurus ilmu silat yang datangnya bertubi-tubi!
Mula-mula orang-orangan ini menjotos ke arah lehernya, lalu tiba-tiba merendahkan diri dan
menendang. In Hong mempergunakan kegesitannya. Ia mengelak ke kanan dan miringkan tubuh sambil
menyampok dengan telapak tangannya ketika kaki orang-orangan ini menyambar. Akan tetapi, orangorangan ini tidak berhenti sampai disitu saja. Seperti bernyawa, orang-orangan ini terus melakukan
serangan dan tiga jurus terus-menerus! In Hong menjadi marah. Ketika orang-orangan itu menggunakan
lengan besi untuk mencengkeram kepalanya, ia mengelak ke kiri dengan cepat sekali dan menggunakan
telapak tangannya untuk mendorong dada patung itu. Akan tetapi, ternyata bahwa orang-orangan itu:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 111
:: CerSil KhoPingHoo :
tidak dapat didorong jatuh. bahkan sebaliknya kini kedua tangan orang-orangan itu memeluknya dengan
gerakan tangan dari kanan kiri, cepat bukan main!
In Hong hampir mengeluarkan teriakan terkejut, namun gadis ini memang memiliki kegesitan luar biasa,
maka ia cepat merosot atau merendahkan diri, hampir berjongkok untuk menghindarkan diri dari
pelukan, kemudian dari bawah ia mendorongkan kedua tangannya ke arah tubuh orang-orangan itu
sekuat tenaga. Kali ini ia berhasil karena orang-orangan itu terjengkang dan roboh mengeluarkan suara
hiruk-pikuk! Bagaikan seekor burung, In Hong melompati patung itn dan baru saja kakinya menginjak
lantai, dari kanan kiri, yakni keluar dari dinding kanan kiri, meluncur pedang tajam yang menusuknya
dari kanan kiri. In Hong tidak mau mundur, bahkan ia maju selangkah dan mendengar desir angin dari
kanan kiri, ia cepat membalikkan tubuhnya untuk menghadapi dua orang-orangan yang memegang
pedang!
"Setan!" makinya. "Kalian kira aku takut?" Sambil berkata demikian, ia cepat mengelak dari sambaran
pedang yang dilakukan oleh orang-orangan sebelah kiri. Pedang ini menyambar ke arah lehernya dan
gerakan orang-orangan ini memang gerakan serangan ilmu silat pedang yang lihai. Dilain saat, In Hong
sudah harus menghadapi serangan bertubi-tubi dari dua orang-orangan itu. Baiknya gin-kang dari gadis
ini sudah tinggi. Sekali mengenjot tubuhnya, ia telah melompat naik dan dengan sebelah kakinya, ia
berdiri di atas kepala orang-orangan yang di kiri!
Dengan hati geli gadis ini melihat betapa dua orang-orangan itu terus saja bergerak-gerak menyerang
dengan pedang, kemudian setelah habis jurus-jurus itu dimainkan, dua orang-orangan itu tiba-tiba
bergerak kembali ke dinding di kanan kiri! In Hong cepat melompat turun dan melanjutkan
perjalanannya. Hatinya mulai gembira, karena di tempat yang aneh ini ia mendapat kesempatan untuk
menguji kepandaiannya, sungguhpun ujian seperti ini bukannya tidak berbahaya! Serangan dari alat-alat
rahasia itu merupakan serangan sungguh-sungguh dan ia terlengah berarti ia akan tewas di tempat
setengah gelap ini! In Hong maklum bahwa ilmu silat yang digerakkan dengan perantaraan orangorangan itu adalah ilmu silat Siauw-Lim-Si yang amat lihai dan setiap pukulan orang-orangan besi itu
tentu saja amat kuat.
Baiknya, dari Hek Moli ia pernah mendapat tahu biarpun serba sedikit tentang ilmu-ilmu silat tinggi dari
partai-partai persilatan besar, dan pula, nona ini sudah memiliki ginkang yang hampir sempurna, maka
mengandalkan ginkangnya, ia tidak merasa gelisah. Ia maju terus dan sebentar saja berturut-turut ia
harus menghadapi keroyokan orang-orangan yang berjumlah tiga orang, kemudian empat buah orangorangan. Dengan amat susah payah, akhirnya berhasil juga nona ini melewati rintangan-rintangan ini, ia
merasa lelah sekali dan juga agak pening karena apa yang ia alami benar-benar amat berbahaya. Ketika
ia melewati empat orang-orangan yang mengeroyoknya tanpa terluka, tiba-tiba ketika ia melangkah ke


Bayangan Bidadari Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

depan, kakinya terjeblos lubang! Kalau bukan In Hong, tentu akan terjeblos terus ke bawah. Baiknya
nona ini memang amat gesit.
Dengan sebelah kaki terjeblos lubang sehingga tubuhnya sudah masuk sebagian, tangannya dapat
menepuk lantai di pinggir lubang dan sambil mengerahkan ginkangnya, ia dapat melompat tinggi
melewati lubang itu! In Hong berdiri dengan muka pucat dan keringat dingin membasahi lehernya. Ia
menghapus keringat itu dengan saputangan, menenteramkan hatinya sambil beristirahat, kemudian ia
maju lagi. Dari jauh ia sudah melihat pintu lorong itu terbuka lebar, maka hatinya menjadi girang sekali.
Akan tetapi, sebelum tiba dipintu itu, ia melewati sebuah ruangan yang berbentuk Bundar dan lebih luas
daripada lorong yang dilaluinya tadi. Dan di ruangan itu, berdiri lima buah orang-orangan sebesar:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 112
:: CerSil KhoPingHoo :
manusia, kesemuanya orang-orangan seperti Hwesio yang memegang toya! Ia melihat bahwa pada dada
setiap orang-orangan terdapat tulisan huruf besar.
Yang pertama dadanya ada tulisan KIM (emas), kedua BOK (kaju), ketiga SUI (air), keempat HO (api) dan
kelima TOUW (logam tanah). Inilah Ngo-heng-tin (Barisan Ngo-heng) yang merupakan inti daripada
lorong Ngo-heng-thia itu. Di ruang Ngo-heng-thia inilah barisan Ngo-heng-tin telah menanti untuk
melakukan ujian terakhir, ujian yang paling berat. Lima orang-orangan itu digerakkan oleh alat-alat
rahasia yang amat luar biasa sehingga gerakan mereka teratur seperti gerakan lima orang ahli silat Ngoheng-kun dari Siauw-Lim-Si! Disini pula hanyak anak-anak murid Siauw-Lim-Pai yang pandai gagal dalam
ujian, bahkan belum lama ini Ong Teng San yang kepandaiannya sudah tinggi, masih mendapat luka di
pundaknya ketika ia berusaha melewati rintangan terakhir ini. Namun In Hong tidak tahu akan lihainya
lima orang-orangan ini. Bahkan ia tertawa mengejek.
"Dilihat dari jauh, benar-benar seperti Hwesio-Hwesio tulen! Benar-benar Siauw-Lim-Si pandai menakutnakuti orang!" Ia berjalan masuk ke dalam ruangan itu dengan waspada. Baru saja kedua kakinya
menginjak lantai, otomatis lima orang-orangan itu mulai bergerak. Mereka bergerak dan sebentar saja
mereka itu mengurung In Hong. Ketika gadis ini memindahkan kakinya, otomatis lima orang-orangan itu
mulai menyerang! Orang-orangan itu diperlengkapi dengan alat-alat dari per dan kawat-kawat halus dan
di lantai itulah pusat pergerakan mereka.
Setiap kali lantai terinjak, pasti mengakibatkan gerakan mereka yang berubah-ubah, tergantung dimana
orang yang dikeroyok bertindak! Rintangan terakhir ini memang berat. Setiap gerakan orang-orangan itu
adalah penyerangan senjata toya yang sesuai dengan ilmu silat Ngo-heng-kun yang luar biasa. Biarpun
orang-orangan tidak mengenal ilmu lweekang, namun gerakan mereka amat kuat, sedikitnya setiap
sambaran toya itu mengandung tenaga tigaratus kati! Lima batang toya menyambar-nyambar dan
menyerang In Hong dari segala jurusan, dan gadis ini sebentar saja menjadi terdesak hebat dan
kewalahan. Akhirnya ia menjadi nekat dan marah. Dicabutnya pedang Liong-Gan-Kiam dan diputarnya
untuk melindungi dirinya. Berbeda dengan rintangan-rintangan yang tadi, orang-orangan yang menyerangnya selalu akan mengundurkan diri sendiri setelah penyerangan habis.
Akan tetapi, barisan Ngo-heng ini tidak demikian. Selama orang yang dikepung mereka masih berada di
ruangan itu, lima orang-orangan ini masih akan menyerang terus, karena seperti telah dituturkan tadi,
pergerakan mereka berpusat pada per-per di bawah lantai sehingga kalau ada orang menginjak lantai,
per-per bekerja dan otomatis orang-orangan itupun bergerak menyerang dengan ilmu toya Ngo-hengkun dari jurus-jurus yang paling lihai. In Hong tidak melihat jalan keluar. Beberapakali ia mencoba untuk
menerobos kepungan itu dan melarikan diri, namun sia-sia. Datangnya toya-toya itu amat cepat dan
amat berbahaya sehingga lagi-lagi usahanya menerobos gagal karena ia harus menyelamatkan diri dari
sambaran toya. Pedangnya mengeluarkan bunyi "Trang-tring-trang!" berkali-kali ketika bertemu dengan
toya-toya yang mendesaknya.
Tubuhnya lincah bergerak kesana kemari, karena tak mungkin baginya untuk menghindarkan diri dengan
jalan menangkis saja. Kulit telapak tangannya sampai lecet-lecet dan napasnya mulai memburu. Keringat
memenuhi jidatnya dan In Hong merasa lelah bukan-main. Ia telah maklum bahwa takkan dapat
mempertahankan lebih lama. Akan tetapi sama sekali ia tidak takut, bahkan merasa penasaran dan
marah sekali. Beberapa kali ia menyebar pasir hitamnya ke arah lima orang-orangan itu seakan-akan ia
menghadapi lawan terdiri dari manusia-manusia biasa. Orang-orangan itu tentu saja tidak merasakan
sesuatu dan melanjutkan penyerangan mereka. Beberapa kali In Hong membacok dan mengenai tubuh:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 113
:: CerSil KhoPingHoo :
orang-orangan, namun hanya bunga api yang berpijar. Ia mencoba untuk menendang, mendorong,
tetap sia-sia.
Lima boneka besar ini benar-benar kuat sekali. Lima puluh jurus lebih In Hong mempertahankan diri. Ia
demikian sibuk menghadapi keroyokan lima orang-orangan ini sehingga ia tidak merasa bahwa sejak tadi
ada sepasang mata mengintai dari luar pintu ruangan itu dengan pandang mata kagum. Pengintai ini
adalah Teng San. Pemuda ini memang benar-benar kagum bukan main melihat cara In Hong
menghadapi barisan Ngo-heng. Hebat, pikirnya. Gadis itu belum pernah mengenal Ngo-heng-tin, dan
belum pernah mempelajari Ngo-heng-kun sehingga tentu saja tidak dapat menduga datangnya
serangan-serangan toya itu. Namun, bukan saja dapat mempertahankan diri selama lima puluh jurus
dengan baiknya tanpa terluka sedikitpun, bahkan masih dapat menendang, memukul dan mendorong
patung-patung hidup itu!
"Sayang lweekangnya kurang kuat," pikir Teng San. "Kalau ia berhasil mencuri kitab I-Kin-Keng dan
mempelajarinya, ia akan menjadi lihai sekali dan biarpun suhu sendiri agaknya akan sukar
menghadapinya." Semenjak tadi Teng San memang menunggu di luar pintu. termenung dan memikirkan
keadaan gadis yang dikejar-kejar, gadis yang sebetulnya masih adik tirinya sendiri. Ia makin berduka
kalau mengingat kembali kepada Ibu tirinya yang amat disayangnya seperti Ibu sendiri. Timbul rasa
kasihan di dalam hatinya terhadap In Hong, terhadap adik tirinya. Kalau sampai adik tirinya ini
mengalami malapetaka disini, bukankah Ibu tirinya akan berduka sekali?
Kemudian ia mendengar suara pedang beradu dengan toya-toya itu, maka cepat ia mengintai ke dalam
dan dapat menyaksikan kelincahan In Hong. Ia menjadi kagum dan makin sayang, tidak tega
membiarkan In Hong mengalami kebinasaan disitu. Setelah melihat betapa keadaan gadis itu mulai
payah dan kelelahan, Teng San cepat melompat ke dalam ruangan Ngo-heng-thia itu. Ia lari kedinding
sebelah kiri, menekan beberapa kenop dan lima orang-orangan itu tiba-tiba terdiam, tidak dapat
bergerak lagi! In Hong cepat memutar tubuh menghadapi Teng San. Pedangnya siap menyerang karena
ia mengira bahwa pemuda yang tadi dilihatnya membaca kitab ini akan menangkapnya. Akan tetapi, ia
melihat pemuda itu tidak memegang senjata, bahkan kini ia tahu bahwa pemuda inilah yang
menghentikan pengeroyokan orang-orangan itu.
"Nona, kalau kau ingin keluar dengan selamat, lekas kau lari keluar dari ruangan ini, membelok ke
kanan, terus saja sampai kau tiba di pagar tembok dan melompati pagar itu. Aku akan mengejarmu dari
belakang dan kau jangan melayani semua rintangan.
In Hong tertegun. Ia tidak tahu mengapa pemuda yang tampan dan halus sekali gerak geriknya ini
berusaha menolongnya, sedangkan tadi menyerangnya dengan sungguh-sungguh! Ia juga masih belum
percaya betul-betul, akan tetapi dalam keadaan seperti itu, tidak ada jalan lain kecuali menurut nasihat
ini. Ia hanya menganggukkan kepala dan segera melompat keluar. Betul saja, di depan pintu ruangan
Ngo-heng-thia ini terdapat tiga jalan simpangan, satu lurus ke depan, kedua membelok ke kiri dan ketiga
membelok ke kanan. Ia mengambil jalan ketiga ini, menikung ke kanan dan terus berlari cepat,
pedangnya masih siap di tangan dan pasir hitam di tangan kiri. Ketika In Hong menengok, ia melihat
pemuda tadi benar-benar mengejarnya dengan ilmu lari cepat yang tinggi pula. Dan kini pemuda itu
telah memegang sebatang pedang!
"Kau hendak lari kemana?" pemuda itu membentak sambil mengejar terus. Dari depan mendatangi tiga
orang Hwesio gundul yang bertugas menjaga disitu. Mereka ini memegang toya dan melihat kedatangan:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 114
:: CerSil KhoPingHoo :
In Hong, mereka langsung menyerang dengan gerakan kilat. In Hong mengelak sambil memutar pedang,
terdengar suara,
"Cring, traang!" dan ujung sebatang toya kena dibikin buntung! Namun, taat akan nasihat pemuda tadi,
In Hong tidak melayani terus dan cepat melompat tinggi dan melanjutkan larinya lurus ke depan. Ia tidak
menengok lagi dan hanya mendengar suara pemuda tadi berkata keras,
"Sam-wi takusah mengejar, biarkan siauwte yang menangkapnya!" In Hong berlari terus dan sekali lagi
ia menengok, ia melihat pemuda itu masih terus mengejarnya dengan pedang di tangan! Ia tidak
mengerti akan sikap pemuda ini. Mengapa ia hendak menolongnya, pikir In Hong. Akan tetapi pada saat
seperti ini, tidak ada waktu lagi baginya untuk menyelidiki hal itu. Ia sudah amat lelah, kedua kakinya
sudah mulai gemetar dan kedua tangannya lemas. Juga kedua telapak tangannya lecet-lecet
mengeluarkan darah.
Malam sudah lewat dan pagi mulai menampakkan diri. Setengah malam lamanya In Hong berputaran di
dalam kurungan Siauw-Lim-Si ini! Setengah malam lamanya ia bertemu dengan lawan berganti-ganti,
melakukan pertempuran puluhan kali banyaknya. Kembali lima orang Hwesio mencegat di depan. In
Hong mengeluh. Celaka aku sekarang, pikirnya. Lima orang Hwesio itu adalah Hwesio-Hwesio tua dan
mereka semua memegang sebatang toya dengan cara seperti yang dilakukan oleh lima orang-orangan
tadi! Baru menghadapi keroyokan lima orang-orangan saja, ia sudah hampir celaka, apalagi sekarang
kalau harus menghadapi keroyokan lima orang Hwesio tulen sedangkan keadaannya sudah amat lelah,
sudah dapat dibayangkan akibatnya! Lima orang Hwesio itu menghadang dan melihat nona yang dikejarkejar itu datang, seorang di antaranya berkata dengan bengis,
"Jangan harap bisa lari sebelum menghadapi Ngo-heng-tin dari Siauw-Lim-Si!" In Hong terkejut. Apa
yang ia takuti memang benar-benar. Lima orang Hwesio tua ini tentu sama dengan lima orang-orangan
tadi.
Ia masih ingat huruf-huruf yang merupakan Ngo-heng pada dada orang-orangan tadi. Kalau Ngo-hengtin (barisan Ngo-heng) boneka saja sudah demikian lihainya, apalagi sekarang Ngo-heng-tin tulen.
Namun In Hong tak dapat memikirkan jalan lain. Diam-diam ia mendongkol sekali dan merasa ditipu
oleh pemuda itu. Sudah terang bahwa pemuda itu sengaja menggiringnya supaya menghadapi Ngoheng-tin yang tangguh ini. Jadi pemuda itu tak lain hanya memancingnya, agar ia mudah ditawan
dengan bantuan Ngo-heng-tin. Kurangajar! In Hong marah sekali dan ia sudah siap hendak
mempergunakan Toat-Beng Hek-Kong, pasir-hitamnya. Akan tetapi, tiba-tiba ia mendengar suara halus
dari belakang, suara yang dibisikkan dengan penyaluran tenaga khikang sehingga yang dapat mendengar
hanya dia sendiri, tidak sampai terdengar oleh lima orang Hwesio yang berada jauh di depan itu,
"Nona, jangan menggunakan hek-kong!" Selagi In Hong termangu-mangu dan ragu-ragu, terdengar
pemuda itu berkata dengan lantang,
"Ngo-wi Suheng, harap membuka jalan, biarkan siauwte menangkapnya sendiri. Ini merupakan ujian
bagi siauwte dan demikian pula perintah twa-suheng!" Lima orang Hwesio itu ketika mendengar suara
Teng San, tidak ragu-ragu lagi. Mereka semua maklum bahwa ilmu kepandaian Teng San, Sute mereka
yang termuda ini, sudah amat tinggi, bahkan akhir-akhir ini, Teng San mendapat kepercayaan untuk
menerima ilmusakti I-Kin-Keng! Maka mereka tersenyum dan melompat minggir sehingga ketika In Hong
yang berlari cepat menerobos masuk, mereka tidak mengganggu. Bayangan In Hong berkelebat cepat di
depan mata mereka, disusul oleh bayangan Teng San yang tak kalah cepatnya.:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 115
:: CerSil KhoPingHoo :
"Siauw-Sute, hati-hatilah, dia lihai dan ganas sekali!" kata seorang Hwesio kepada Teng San.
"Baik, Suheng..."
Kejar mengejar ini berjalan terus dan tanpa ada perintang lagi, In Hong akhirnya tiba di bawah pagar
tembok. Gadis ini telah berdebar hatinya, ia merasa malu kepada diri sendiri yang tadi menyangsikan
kebaikan hati pemuda ini. Ah, siapakah dia dan mengapa ia benar-benar berusaha menolongku? Terang
dia seorang murid Siauw-lim yang lihai, mengapa ia tidak menawanku, bahkan menolongku melarikan
diri? Namun In Hong terus saja melompat ke atas tembok. Tiba-tiba ia melihat seorang gadis cilik
nongkrong di atas pagar tembok itu dan memujinya,
"Cici, kau lihai sekali ilmu ginkangmu, juga kau cantik sekali seperti bidadari!" In Hong tercengang.
Bagaimana seorang gadis cilik semuda ini dapat naik ke atas pagar tembok? Biarpun In Hong amat
tertarik melihat seorang gadis cilik yang duduk di atas pagar tembok, namun ia tidak berani berlaku
lambat. Yang amat menarik hatinya adalah wajah gadis yang cantik itu seakan-akan ia pernah mengenalnya, bahkan seakan-akan gadis itu seringkali dilihatnya. Akan tetapi dimana? Ia hanya tersenyum manis
kepada gadis yang usianya paling banyak empatbelas tahun itu, lalu melompat turun keluar pagar
tembok sambil berkata,
"Adik yang manis, hati-hati jangan sampai kau jatuh dari atas!" In Hong masih mendengar pemuda yang
bernama Ong Teng San dan yang secara aneh sekali telah menolongnya melarikan diri itu berkata
kepada gadis cilik di atas tembok,
"Lian Hong, turun kau!"
"Koko, orang lain semalam suntuk bermain-main dengan cici yang gagah itu, apakah aku tidak boleh
menonton?" jawab gadis cilik itu, akan tetapi selanjutnya In Hong tidak mendengar apa-apa karena ia
sudah lari jauh. Sementara itu Teng San dan Lian Hong yang sudah berdiri di atas pagar tembok, tidak
melanjutkan pengejaran. Teng San menarik napas lega karena melihat In Hong berhasil melarikan diri.
Akan tetapi, tiba-tiba terdengar bentakan,
"Siauw-Sute, bagaimana kau berani melepaskan pengacau itu? Apakah kau tidak takut mendapat marah
dari suhu?" Lima bayangan orang berkelebat dan lima orang Hwesio yang tadi membentuk Ngo-heng-tin
telah berdiri di atas tembok menghadapi Teng San! Gerakan mereka demikian cepat dan ringan ketika
melompat ke atas sehingga dari gerakan ini saja sudah dapat diukur akan tingginya tingkat kepandaian
mereka. Teng San tidak berani membohong. Sambil menundukkan kepalanya ia menjawab,
"Suheng sekalian, nona itu sudah cukup terhukum, semalam suntuk telah diserang, didesak, bahkan
telah pula berkenalan dengan Ngo-heng-thia sehingga ia kehabisan tenaga dan mungkin menderita lukaluka. Biarpun ia telah melakukan dosa dengan mengacau dan akan melakukan pencurian, akan tetapi
belum ada sesuatu yang tercuri. Siauwte menganggap bahwa ia sudah cukup terhukum. Untuk ini
siauwte mengaku salah dan bersedia diberi hukuman."
"Sute, bukan kau dan juga bukan pinceng sekalian yang berhak memutuskan hukuman, melainkan suhu
sendiri. Lebih baik kau membantu kami mengejarnya." Pada saat itu, berkelebat bayangan lain yang luar
biasa cepatnya, disusul suara Ceng Seng Hwesio,:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 116
:: CerSil KhoPingHoo :
"Suhu memberi perintah agar supaya bocah pengacau itu ditangkap dan dihadapkan kepada suhu untuk
diperiksa!" Tanpa berhenti di atas tembok, tubuh Ceng Seng Hwesio sudah melesat lewat. Lima orang
Hwesio itupun tanpa berkata apa-apa lagi cepat mengejar twa-suheng (kakak seperguruan tertua)
mereka. Teng San menjadi serba salah, akan tetapi karena pengejaran sekarang ini adalah atas perintah
suhunya, iapun tidak berani tinggal diam.
"Adik Lian Hong, kau kembalilah ke kamarmu."
"Tidak, aku ikut mengejar!" seru gadis cilik itu yang mendahului kakaknya melompat keluar tembok dan
menyusul para Hwesio yang sudah berlari cepat. Dalam hal ilmu, ginkang, Lian Hong tidak ketinggalan
jauh. Memang gadis cilik ini memiliki gerakan lincah sekali, maka setelah dengan tekun mempelajari
ilmu silat di Siauw-Lim-Si selama kurang lebih tujuh tahun, ia dapat mempergunakan ilmu lari cepat yang
cukup hebat.
Lian Hong berwatak periang dan biasanya penurut, akan tetapi sekali gadis cilik ini mempunyai
kehendak, sukar dihalangi. Teng San mengetahui baik akan watak adiknya itu, maka ia tidak mencegah
ketika Lian Hong ikut melakukan pengejaran. Demikianlah, pada saat matahari mulai muncul, di luar
Kelenteng Siauw-Lim-Si, terjadi kejar mengejar yang tentu akan mengherankan orang luar. In Hong
sudah lelah sekali, maka larinya tidak begitu cepat lagi. Selain ini, ia juga tadinya mengira bahwa ia
sudah terlepas daripada ancaman orang-orang Siauw-Lim-Pai yang ternyata luar biasa lihainya itu.
Dengan jengkel dan kecewa ia berlari terus, tidak begitu cepat, memasuki sebuah hutan yang liar. Akan
tetapi, tengah ia berlari itu, terdengar bentakan nyaring dari belakang,
"Bocah setan, kau hendak lari kemana?" In Hong menengok kagetlah ia. Lima orang Hwesio yang
dikenalnya sebagai barisan Ngo-heng-tin, dikepalai oleh Hwesio tangguh yang pernah ia rasai
kelihaiannya dan keunggulannya bermain toya, yakni Ceng Seng Hwesio. Dan di belakang rombongan ini,
ia melihat pula pemuda Ong Teng San dan adik perempuannya!
"Kalian mendengar? Baik, aku Kwee In Hong tidak takut mati!" katanya gemas sekali dan begitu
rombongan itu datang dekat, In Hong lalu menyerang mereka dengan Toat-Beng Hek-Kong, pasir hitam
beracun yang amat lihai itu. Akan tetapi, semua pasir hitam ini dapat dikibas runtuh oleh ujung lengan
baju Ceng Seng Hwesio yang segera memberi komando,
"Tangkap bocah ganas ini!" Ngo-heng-tin bergerak dan dilain saat, In Hong sudah dikurung di tengahengah! Ngo-heng-tin sudah hebat, apalagi ditambah oleh Ceng Seng Hwesio, maka kini enam buah toya
dipalangkan, mengurung dan menutup semua jalan keluar. Teng San dan Lian Hong yang sudah tiba di
tempat itu hanya berdiri menonton. Lian Hong biarpun belum tahu bahwa In Hong adalah kakak tirinya,
namun bocah ini merasa suka sekali kepada In Hong dan karenanya ia tidak mau membantu
pengepungan itu.
"Kalian hendak menangkapku? Boleh, kalau aku sudah menjadi mayat!" bentak In Hong yang cepat
mengerjakan Liong-Gan-Kiam, menyerang membabi-buta. Akan tetapi kali ini ia menghadapi lawan yang
terlampau kuat. Baru menghadapi seorang Ceng Seng Hwesio saja, belum tentu ia menang. Kini masih
ada Ngo-heng-tin yang demikian kuatnya, maka sebentar saja ia sudah lelah sekali. Semua serangan
pedangnya membentur toya yang amat kuat.
Lweekang dari enam orang Hwesio itu rata-rata lebih tinggi dari pada tenaganya sendiri, maka sebentar
saja tangan kanannya menjadi lelah bukan main. Gadis ini menggigit bibir dan memindahkan pedang di:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 117
:: CerSil KhoPingHoo :
tangan kiri, lalu mengamuk lebih hebat lagi. Berkali-kali Ceng Seng Hwesio memperingatkan lima orang
Sutenya agar jangan melukai In Hong dan agar menawan gadis itu tanpa melukainya. Hal inilah yang
menolong In Hong, karena kalau tidak demikian, kiranya sebentar saja ia akan roboh terpukul toya.
Menangkap In Hong hidup-hidup tanpa melukainya masih jauh lebih sukar daripada menangkap seekor
harimau betina yang mengamuk ganas. Malihat ini, Ceng Seng Hwesio menjadi penasaran dan malu.
Benar-benar memalukan sekali kalau dilihat oleh orang-orang kangouw. Enam orang tokoh besar SiauwLim-Si masih tidak mampu membekuk seorang gadis muda setelah pertempuran demikian lama?
"Nona, lebih baik kau menyerah untuk kami hadapkan kepada ketua Siauw-Lim-Pai agar kau dapat
diadili. Kalau tidak, terpaksa pinceng melukai kakimu agar kau dapat ditawan!" katanya. In Hong tertawa
mengejek.
"Hwesio bau! Kau kira aku gentar mendengar ancaman dan gertak sambalmu? Mau pukul boleh pukul,
mau bunuh boleh bunuh, siapa takut?"
"Bagus, kau memang tiada bedanya dengan Hek Moli, siluman wanita itu. Rebahlah!" Setelah berkata
demikian Ceng Seng Hwesio merobah gerakan toyanya, demikian pula barisan Ngo-heng-tin. Sebentar
saja keadaan berobah.
Kalau tadi In Hong yang selalu menyerang dan membentur benteng toya, kini semua toya
menyerangnya dan ia sibuk menangkis dan mengelak. Akhirnya, toya Ceng Seng Hwesio mengenai paha
kirinya! In Hong menggigit bibir menahan keluhan, sehingga dari mulutnya tidak terdengar suara.
Padahal rasa sakit di pahanya sampai menembus ke tulang sungsum. Biarpun ia dapat mempertahankan
diri dan tulang pahanya tidak patah, namun urat dan daging pahanya telah terluka sehingga rasanya
sakit bukan main. Tadi Ceng Seng Hwesio masih menaruh hati kasihan sehingga pukulan itu dilakukan
dengan tenaga sepertiga saja. Kalau Hwesio ini berlaku kejam, pasti tulang paha gadis ini telah patahpatah. Pada saat itu, In Hong masih bertahan, bahkan mengamuk dengan nekad. Tiba-tiba telinga gadis
ini mendengar suara halus, seakan-akan ada orang berbisik didekat telinganya,
"Murid Hek Moli, kau larilah ke kiri dan masuk ke dalam gua yang terletak di dekat pohon pek!"
In Hong heran sekali, akan tetapi ia menurut nasihat ini. Dengan putaran pedangnya ke kiri secara hebat
dan ganas, ia dapat membuat para pengepung yang berada di sebelah kiri melompat minggir. Cepat ia
menerobos bagian ini sambil memutar pedang dan tangan kirinya menyebar Toat-Beng Hek-Kong,
kemudian sambil menyeret kaki kirinya, ia terpincang-pincang melarikan diri ke sebelah kiri. Ceng Seng
Hwesio diam-diam merasa kagum sekali melihat daya tahan yang luar biasa dari gadis itu. Orang lain,
biar laki-laki gagah sekalipun, kalau sudah terluka seperti itu, pasti akan menyerah. Apalagi menyerah
bukan untuk dibunuh musuh, hanya untuk diadili oleh ketua Siauw-Lim-Pai yang terkenal adil dan penuh
welas asih hatinya. Mengapa gadis ini begitu keras-kepala?
"Nona, laripun takkan ada gunanya. Lebih baik kau menyerah!" katanya sambil mengejar bersama lima


Bayangan Bidadari Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang Sutenya. Teng San juga ikut mengejar. Maka pemuda ini pucat sekali dan di dalam hatinya ia
mengeluh. Ia merasa kasihan sekali kepada gadis yang dikaguminya. Ingin ia membantu dan menolong,
akan tetapi tentu saja ia tidak berani menghianati Suheng-suhengnya. Juga Lian Hong diam saja dan
gadis cilik inipun merasa kasihan kepada In Hong.
"Koko, mengapa cici itu begitu nekat? Kalau ia menurut saja dengan baik-baik dibawa menghadap suhu,
tentu ia tidak mengalami luka dan dikejar-kejar.":: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 118
:: CerSil KhoPingHoo : :: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 119
:: CerSil KhoPingHoo :
"Diamlah, Lian Hong. Mari kita lihat saja bagaimana akhirnya. Kalau nona itu hendak dibunuh oleh para
Suheng kita harus mencegah dan mintakan ampun." Lian Hong menoleh dan memandang wajah
kakaknya yang pucat. Ia tidak tahu mengapa kakaknya begitu menaruh perhatian kepada gadis yang
dimusuhi oleh Siauw-Lim-Pai itu, akan tetapi ia sendiripun takkan rela kalau Suheng-Suhengnya
membunuh gadis itu. In Hong berlari sambil terpincang-pincang. Tak jauh dari situ memang terdapat
pohon pek yang besar.
Ketika tiba dibawah pohon, ia sudah hampir tidak kuat menahan rasa sakit di pahanya. Kepalanya sudah
pening dan tenaganya sudah hampir habis. Alangkah girangnya ketika ia melihat bahwa betul saja, tak
jauh dari pohon itu, terdapat sebuah gua yang besar dan di depan gua penuh oleh rumput alang-alang.
Gua itu nampak menyeramkan dan hanya patut menjadi tempat bersembunyi binatang-binatang buas.
Akan tetapi In Hong tidak ambil perduli dan tidak berpikir panjang pula, cepat ia melompat masuk ke
dalam gua. Kakinya terlibat rumput alang-alang dan ia jatuh menggelinding ke dalam gua dan baru
berhenti ketika tubuhnya tertahan oleh sesuatu. Hampir saja gadis yang tabah ini mengeluarkan
teriakan kaget ketika ia membuka matanya dan melihat bahwa ia telah tertahan oleh tubuh seorang
Kakek yang menyeramkan sekali.
Kakek ini nampak tua, kurus seperti tengkorak, hanya tulang terbungkus kulit saja. Yang kelihatan hidup
hanya sepasang matanya yang lebar dan bergerak-gerak mengeluarkan cahaya ber-pengaruh. Yang lebih
menyeramkan lagi, Kakek ini sudah buntung semua kaki tangannya. Kedua lengan buntung sebatas
pergelangan tangan, sedangkan kedua kakinya buntung sebatas lutut! Pakaiannya compang-camping
dan Kakek ini duduk melonjorkan kedua paha yang tidak berkaki lagi, kedua tangannya bersedekap
kelihatan mengerikan karena tidak ada tangannya. Sebelum In Hong sempat membuka mulut, Kakek itu
bertanya dengan suara halus, suara yang dikenal oleh In Hong karena tadi yang berbisik didekat
telinganya juga suara ini,
"Benarkah kau murid Hek Moli? Siapa namamu?" In Hong ingat akan pesan Gurunya bahwa di dunia ini
memang ada orang berilmu tinggi yang lweekangnya sudah demikian hebat sehingga dapat mengirim
suara dari jauh, ditujukan kepada orang yang dimaksud saja sehingga suara itu hanya terdengar oleh
orang itu dan tidak terdengar oleh lain orang. Kakek ini tentu seorang berilmu tinggi, pikirnya.
"Teecu bernama Kwee In Hong, memang betul Teecu murid tunggal dari Hek Moli."
"Mengapa kau dikejar-kejar oleh para Hwesio Siauw-Lim-Pai?"
"Guru Teecu tewas dalam tangan orang-orang Kun-Lun-Pai, ketika Teecu hendak membalas dendam
disana, Teecu kalah oleh tokoh-tokoh Kun-Lun-Pai. Karena itu Teecu datang ke Siauw-Lim-Si untuk
mencuri kitab I-Kin-Keng karena Teecu hanya kalah dalam tenaga lweekang. Teecu hendak mempelajari
isi kitab itu dan kelak hendak membalas dendam lagi. Tak tahunya Teecu bukan saja tidak berhasil,
bahkan dikalahkan oleh para Hwesio Siauw-lim dan hendak ditawan." Kakek itu tertawa, suara
ketawanya aneh menyeramkan, jauh bedanya dengan suara halus ketika ia bicara.
"Jangan takut, duduklah di depanku dan kalau mereka datang, kau lawanlah sambil duduk." In Hong
menurut dan bangun karena tadi ia masih setengah rebah, tubuhnya lemas bukan main. Ia duduk
dengan kaki gemetar dan mencoba bersila.:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 120
:: CerSil KhoPingHoo :
"Lo-Cianpwe, dengan berdiri dan mengeluarkan seluruh kepandaian saja Teecu masih tak sanggup
menang, bagaimana Lo-Cianpwe menyuruh Teecu melawan mereka sambil duduk?" tanyanya dengan
penasaran dan juga jengkel, mengira Kakek ini main-main.
"Kau keras kepala seperti Gurumu! Jangan kau banyak membantah kalau ingin selamat! Hayo bersiap,
kalau mereka menyerang, kau menangkis dan balas menyerang dengan pedangmu!" Setelah berkata
demikian, tiba-tiba In Hong merasa punggung dan lehernya tersentuh oleh ujung lengan buntung itu. Ia
merasa geli karena lengan buntung itu lunak sekali, akan tetapi tiba-tiba ada hawa yang panas
memasuki tubuhnya dari punggung dan leher dan seketika itu juga rasa sakit-sakit dan lelah ditubuhnya
terusir pergi!
"Bocah ganas, kau hendak sembunyi kemana? Lebih baik menyerah saja agar kami tak usah
mempergunakan kekerasan!" terdengar suara Ceng Seng Hwesio yang memasuki gua itu, diikuti oleh
lima orang Sutenya. Di belakang sekali Teng San dan Lian Hong, akan tetapi dua orang muda ini tidak
ikut masuk, hanya menanti di luar.
Gua itu amat besar maka enam orang Hwesio Siauw-Lim-Pai dapat masuk berbareng dan mereka segera
berhadapan dengan In Hong. Tubuh Kakek itu tidak kelihatan, tertutup oleh tubuh In Hong. Biarpun
Kakek itu sebenarnya lebih jangkung, akan tetapi entah bagaimana, setelah enam orang Hwesio itu
masuk gua, tubuh Kakek itu mengecil dan teraling oleh tubuh In Hong sehingga tidak kelihatan oleh para
Hwesio. Melihat In Hong duduk bersila dengan pedang di tangan kanan dan mata memandang tajam,
Ceng Seng Hwesio tercengang. Ia menduga bahwa gadis itu tentu menderita kesakitan hebat pada
pahanya, akan tetapi benar-benar tidak disangkanya bahwa setelah kini lumpuh, gadis itu masih
menanti dengan pedang di tangan sambil duduk bersila, nampaknya tenang dan menantang!
"Nona, sudah lama pinceng hidup, sudah banyak pinceng menjumpai orang-orang gagah, akan tetapi
baru sekali ini pinceng bertemu dengan seorang muda yang keraskepala seperti kau! Gurumu sendiri,
Hek Moli, agaknya tidak demikian keras kepala. Mengapa kau mempersukar kami? Lebih baik kau
menyerah dan dengan sukarela. Ikut dengan kami ke kuil untuk menghadap Guru kami. Kau sudah
bersalah, mengacau Siauw-Lim-Si, mengapa untuk menghadap suhu dan menerima salah saja kau
enggan?"
"Hm, setan-setan gundul bau busuk! Kalian ini orang-tua-orang-tua tak tahu malu semalam suntuk
sudah mengurung, mengeroyok dan mendesak aku. Sekarang aku sudah berada disini, tak dapat lari lagi,
kalian mau apa? Jangan harap akan dapat memaksaku ikut dan minta-minta ampun, kalau kalian mau
bunuh, boleh maju, aku tidak takut!"
"Ah, benar-benar siluman betina! Nona kecil bernyali siluman! Liok-Sute, kau tangkap dia," seru Ceng
Seng Hwesio marah.
Orang kelima dari barisan Ngo-heng-tin yang disebut Liok-Sute (adik seperguruan keenam) melangkah
maju, toyanya digerakkan. Ia tidak mau menyerang tubuh In Hong, hanya mengerahkan tenaga untuk
memukul pedang di tangan nona itu agar terlepas dari pegangan, karena kalau pedang itu sudah
terlepas, akan lebih mudah menawannya. In Hong maklum bahwa pukulan toya itu keras dan hebat
sekali dan tadi sudah dirasai kelihaian tenaga para Hwesio ini. Tenaganya sendiri sudah hampir habis
dan kalau tadi menangkis pukulan toya ini, pasti pedangnya akan terlepas dari pegangannya. Akan
tetapi, kali ini ia tidak bisa seperti tadi mempergunakan kelincahannya mengelak, maka terpaksa ia:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 121
:: CerSil KhoPingHoo :
mengangkat pedang menangkis toya itu. Terdengar suara keras dan hampir berbareng enam orang
Hwesio itu mengeluarkan seruan kaget.
Juga In Hong merasa heran sekali akan kesudahan dari benturan senjata ini. Ia merasa seakan-akan ada
dorongan tenaga dari belakang dan tenaga ini merupakan hawa hangat yang menjalar sampai ke tangan
kanannya yang memegang pedang. Ketika senjatanya menangkis toya, ia hanya merasa getaran hebat,
akan tetapi tidak terpengaruh apa-apa, pedangnya tidak terlepas bahkan membuat keras sehingga toya
itu menjadi patah! Potongan toya melayang ke atas dan menancap pada dinding gua sedangkan Hwesio
itu sendiri tertolak ke belakang dan jatuh bergulingan seperti daun tertiup angin! Tentu saja hal ini
mengagetkan semua orang. Dua orang Hwesio menjadi penasaran dan berbareng mereka maju dengan
toya digerakkan. Toya pertama datang dari arah kiri, menghantam pedang di tangan In Hong dengan
gerakan menyamping,
Sedangkan toya dari Hwesio kedua me-luncur ke arah pundak kanan In Hong dengan maksud menotok
jalan darah atau melukai pundak sehingga boleh dibilang kedua serangan ini bermaksud sama, yakni
merampas senjata nona itu. Melihat serangan dari kanan kiri ini, In Hong terkejut sekali. Pedangnya
cepat membentur toya dari kiri, akan tetapi pada saat itu, toya dari kanan telah menotok pundaknya.
Kembali terjadi keanehan yang sukar dipercaya. Toya dari kiri itu terkena sampokan pedang, biarpun
tidak putus akan tetapi terlepas dari pegangan dan membalik lalu memukul Hwesio itu sendiri, tepat
kena kepalanya yang gundul sehingga menimbulkan suara keras dan kepala itu timbul benjol sebesar
kepalan tangan! Adapun toya yang menotok pundak kanan In Hong, seakan-akan mengenai karet saja
dan toya ini membal kembali.
Hwesio yang menotoknya berseru keras karena tenaga totokannya kembali dan menyerang tangannya
sendiri sehingga ia terpaksa melepaskan toyanya dan melompat ke belakang dengan muka pucat. In
Hong sendiri tidak merasa apa-apa, seakan-akan pundaknya dilindungi oleh baja yang kuat. Dua orang
Hwesio lagi menjadi marah. Sambil berseru keras toya mereka bergerak, kini tidak sungkan lagi dan
bukan hanya hendak merampas pedang karena toya ini yang satu mengemplang kepala In Hong
sedangkan yang kedua menusuk ke arah uluhati. Pendeknya, kedua toya ini mengirim serangan maut!
Ceng Seng Hwesio mengeluarkan seruan kaget, mencegah kedua Sutenya melakukan serangan keji itu,
akan tetapi terlambat karena toya itu sudah menyambar laksana dua ekor harimau menubruk.
Melihat serangan ini, biarpun In Hong berkepandaian tinggi dan bernyali besar, tetap saja gadis ini
merasa ngeri dan putus asa. Ia hanya melakukan gerakan pedang melindungi diri, memutar pedang itu
untuk menjadi perisai. Ia maklum bahwa gerakannya ini lemah saja dan tak mungkin dapat menghalangi
dua senjata lawan yang mengarah nyawanya. Namun, dalam memutar pedangnya, kembali ia merasa
punggung dan lehernya panas dan otomatis tangannya yang memegang pedang itu menyambar cepat.
Terdengar bunyi keras lagi dan dua batang toya itu terlempar, pedangnya dengan aneh seakan-akan tak
dapat dikuasai lagi oleh In Hong, terus meluncur dan tubuhnya condong ke depan. Dalam sekejap mata,
dua orang Hwesio itu memekik kesakitan dan kaki kanan mereka mengucurkan darah karena terluka
oleh goresan pedang!
"Omitohud...!" Ceng Seng Hwesio memuji nama Buddha ketika ia melihat keanehan ini. Ia menjadi
curiga sekali karena ia melihat bahwa dalam tiga gebrakan berturut-turut dimana In Hong merobohkan
atau mengalahkan lima orang Hwesio Ngo-heng-tin, gadis itu hanya bergerak sembarangan saja. Sudah
jelas bahwa kekalahan lima orang Sutenya itu bukan karena ilmu silat, melainkan karena tenaga
lweekang yang luar biasa menghantam mereka dari pedang gadis itu. Ceng Seng Hwesio melangkah:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 122
:: CerSil KhoPingHoo :
maju. In Hong yang kini maklum bahwa ia dilindungi oleh Kakek tua renta di belakangnya, menjadi besar
hati. Ia tersenyum mengejek dan berkata,
"Hwesio gundul, apakah kau juga masih hendak menawan?"
Ceng Seng Hwesio tidak marah, hanya terheran-heran dan penasaran. Ia telah menyaksikan kelihaian
gadis ini pada malam hari tadi di Siauw-Lim-Si, dan biarpun ia harus akui bahwa ilmu pedang gadis ini
luar biasa ganas dan lihainya, namun dalam hal ilmu lweekang, gadis ini masih terhitung lemah.
Bagaimana sekarang tiba-tiba saja dapat menjadi begitu kuat? Apakah tiba-tiba gadis itu mendapatkan
ilmu yang aneh? Tak mungkin, andaikata mendapatkan ilmu juga, tak mungkin dapat dilatih dan dimiliki
dalam waktu singkat. Apalagi, baru saja gadis itu telah terkena pukulan toyanya pada pahanya dan ia
melihat sendiri gadis itu melarikan diri lalu masuk ke dalam gua. Bagaimana dan bila gadis itu mendapat
ilmu yang aneh? Karena penasaran sekali, Ceng Seng Hwesio hendak mencoba dengan toyanya sendiri.
Ia mengayun toya sambil berseru keras,
"Lepaskan pedang!" Dalam sambaran toyanya ini, ia mempergunakan seluruh tenaga dalamnya. Dalam
hal lweekang, Ceng Seng Hwesio sudah dapat dikatakan tinggi dan hanya di bawah suhunya, Bu Kek
Tianglo.
Memang betul dia sendiri belum dapat mewarisi ilmu I-Kin-Keng, akan tetapi tenaga lweekangnya sudah
mencapai tingkat yang tinggi di dunia kangouw, jarang sekali ia bertemu tandingan. Kini, karena
penasaran ia mengerahkan seluruh tenaganya, maka dapat dibayangkan betapa hebatnya sambaran
toya itu! Kalau menurut perhitungan dan kalau sewajarnya, tidak saja In Hong takkan kuat menahannya,
bahkan selain pedangnya akan terlepas, tentu gadis itu akan roboh pula karena serangan hawapukulan
itu akan melukai anggauta di dalam tubuh. In Hong cepat mengangkat pedang menangkis. Dua senjata
bertemu, api berpijar mengeluarkan cahaya menyilaukan di dalam gua yang agak gelap itu. Dua tenaga
dahsyat yang tidak kelihatan bertemu dalam benturan pedang dan toya.
In Hong mengeluarkan keluhan perlahan karena telapak tangan gadis ini tidak dapat tahan menghadapi
benturan ini. Sebaliknya Ceng Seng Hwesio juga berseru kaget, toya dan pedang terlepas dari tangan
masing-masing, toyanya melayang dan hampir saja menghantam seorang Sute dari Ceng Seng Hwesio
yang cepat mengelak sehingga toya itu meluncur dan menancap di dinding gua. Sedangkan pedang In
Hong melayang ke atas dan menancap pada langit-langit gua! Ceng Seng Hwesio berdiri seperti patung,
matanya terbelalak, penuh keheranan. Ia tadi merasa betapa dari pedang gadis itu menyambar hawa
pukulan yang luar biasa sekali dan ia harus mengaku bahwa dalam benturan tenaga tadi, ia masih kalah
jauh sehingga tenaganya sendiri membalik dan terpaksa toyanya terlepas dari pegangan dan meluncur
ke belakang.
Memang, melihat kemana dua senjata itu meluncur, sudah dapat diketahui siapa yang lebih unggul
dalam adu tenaga tadi. Toya di tangan Ceng Seng Hwesio membalik dan meluncur ke belakang,
sedangkan pedang di tangan In Hong mencelat ke atas, maka berarti bahwa toya ini terpental ke
belakang karena kalah tenaga! Sebaliknya, lima orang Hwesio Ngo-heng-tin setelah melihat betapa
pedang itu telah terlepas dari pegangan In Hong, menjadi besar hati. Mereka berlima bergerak maju dan
dengan berbareng mereka menyerang. Ada yang menotok jalan darah, ada yang mencengkeram
pundak, ada pula yang mencengkeram lengan. Kalau menurut suara hatinya, In Hong sudah putus asa
dan tidak punya harapan lagi. Akan tetapi, kepercayaannya terhadap Kakek aneh yang melindunginya
mendatangkan keberaniannya kembali.:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 123
:: CerSil KhoPingHoo :
Ia mengangkat kedua tangan, menggerakkan kedua tangannya cepat-cepat untuk menangkis dan balas
menyerang. Luar biasa sekali. Dari kedua tangan gadis ini keluar hawa pukulan dahsyat. Tanpa pedang,
ternyata hawa hangat yang mengalir dalam tubuhnya menjadi makin dahsyat dan langsung sehingga
tenaga pukulannya terasa anginnya menyambar-nyambar. Dalam segebrakan saja, terdengar suara
teriakan kesakitan ketika tubuh lima orang Hwesio yang tangguh itu satu persatu melayang dan
terbentur pada dinding gua! Teng San dan Lian Hong yang tadinya berada di mulut gua, melihat semua
kejadian ini dengan mata terbelalak dan mulut bengong. Keduanya merasa heran dan bingung karena
memang peristiwa yang mereka saksikan itu benar-benar luar biasa dan tak dapat mereka mengerti.
"Lian Hong, lekas kau beritahukan kepada suhu tentang kejadian ini!" kata Teng San. Pemuda ini selain
khawatir sekali akan keselamatan In Hong yang dikeroyok oleh Suheng-suhengnya, juga ia merasa
terheran-heran dan tahu bahwa kiranya hanya suhunya, Bu Kek Tianglo saja yang akan dapat
membereskan dan memecahkan soal yang aneh ini. Dia sendiri lalu masuk ke dalam gua.
Pada saat itu, Ceng Seng Hwesio sudah melangkah maju. Dengan kedua tangannya, ia menyerang dan
hendak mencengkeram kedua pundak In Hong untuk ditekan dan dibikin tidak berdaya. In Hong
menyambut kedua tangan ini dan dua pasang telapak tangan bertemu. Ceng Seng Hwesio menekan ke
bawah dan In Hong menyangga dan mendorong ke atas. Dua tenaga dahsyat kembali bertarung melalui
telapak dua pasang tangan itu. Ceng Seng Hwesio mengerahkan tenaga lweekangnya ketika merasa
betapa telapak tangan dari gadis itu tiba-tiba menjadi dingin sekali. Ia terkejut dan tahu bahwa gadis ini
mempergunakan tenaga "Im" yang dapat mencelakainya, maka ia memperhebat tenaganya untuk
melawan tenaga ini. In Hong tentu saja pernah mempelajari lweekang dari Hek Moli. Akan tetapi kalau
dibandingkan dengan tingkat Ceng Seng Hwesio, ia kalah jauh.
Sekarang, dalam pertandingan ini, ia sendiri tidak turut apa-apa, hanya merasa betapa tekanan pada
punggung dan lehernya makin kuat dan hawa panas seakan-akan membakar tubuhnya. Ia hanya
menyalurkan hawa panas ini melalui lengan dan jari-jari serta telapak tangannya untuk menahan
gencetan lawan yang seakan-akan hendak meremuknya. Beberapakali ia merasa betapa dari dua telapak
tangan Hwesio itu menyerang tenaga dahsyat yang menindihnya, akan tetapi dari punggungnya juga
keluar tenaga raksasa yang terus mengalir ke arah telapak tangannya dan mendorong kembali tenaga
lawan yang menindih itu. Tiba-tiba nampak urat-urat dijidat Ceng Seng Hwesio menonjol. Hwesio ini
saking penasaran dan marahnya, mengerahkan tenaga terakhir. Ia merasa malu kalau sampai kalah oleh
gadis muda ini, maka dengan mati-matian ia menghabiskan tenaga terakhir.
Akibatnya hebat sekali, In Hong juga merasa hawa panas yang membuat napasnya sesak dan tiba-tiba
hawa panas ini mengalir ke arah kedua lengannya, membuat ia terpaksa mengerahkan tenaga ini supaya
keluar dari telapak tangan dan terdengarlah teriakan keras Ceng Seng Hwesio dan tubuh Hwesio ini
terlempar ke atas! Ceng Seng Hwesio memang lihai sekali. Biarpun ia telah terpukul oleh tenaga dahsyat
ditambah tenaganya sendiri yang terserang dan membalik, namun ia masih dapat menguasai diri.
Sebelum kepalanya terbentur langit-langit gua, ia telah membalikkan tubuh sehingga hanya bagian
belakang tubuhnya yang terbentur pada langit-langit dan kini tubuhnya melayang turun kembali. Dalam
melayang turun ini, Ceng Seng Hwesio mengeluarkan seruan,
"Omitohud...!" Agaknya ia terkejut sekali sehingga ia tidak menguasai tubuhnya lagi. Ia pasti akan
terbanting keras kalau saja Teng Seng Hwesio cepat-cepat melangkah maju dan menyambut tubuh
Suhengnya dengan kedua tangannya.
"Nona, kau kejam sekali!" Teng San menegur dan hendak melangkah maju.:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 124
:: CerSil KhoPingHoo : :: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 125
:: CerSil KhoPingHoo :
"Memang aku kejam, dan para Hwesio Siauw-Lim-Si itu tentu amat baik budi dan tidak kejam, bukan?
Hm, kalau menurut pandanganku, di dunia ini hanya kau lah satu-satunya orang yang memiliki welasasih," kata In Hong ini biarpun setengah mengejek, namun merupakan pernyataan hatinya.
Di antara para penghuni Siauw-Lim-Si, memang hanya pemuda ini yang tidak berlaku kejam dan tidak
mendesaknya hanya sayangnya, pemuda ini berdiri dipihak mereka yang memusuhinya. Teng San
menjadi merah mukanya. Sesungguhnya, sekali melihat In Hong, hatinya telah jatuh dan ia suka kepada
gadis ini. Apalagi setelah ia tahu bahwa gadis ini adalah Kwee In Hong, puteri dari Ibu tirinya yang
lenyap. Ia merasa suka dan juga amat kasihan. Akan tetapi, karena ia adalah murid Siauw-Lim-Pai, sudah
menjadi kewajibannya untuk membela Siauw-Lim-Pai melihat partainya telah mengalami hinaan dan
malu karena tokoh-tokohnya dikalahkan oleh gadis ini. Sebelum ia melakukan sesuatu, tiba-tiba Ceng
Seng Hwesio berkata,
"Siauw-Sute, jangan kau kurangajar terhadap seorang Lo-Cianpwe!" Teng San menoleh dengan mata
mengandung penuh pertanyaan, dan ia makin terheran ketika melihat Suhengnya itu berlutut di depan
In Hong!
"Bhutan Lo-Cianpwe, siauw-ceng tidak tahu bahwa Lo-Cianpwe berada disini, mohon banyak maaf!"
katanya. In Hong mengerti bahwa Hwesio itu telah tahu akan adanya Kakek aneh, maka ia diam saja.
Tiba-tiba, Kakek aneh yang tadinya tidak kelihatan karena tubuhnya seakan-akan mengkeret kecil, kini
kelihatan lagi, duduk bersila di belakang In Hong! Juga Teng San baru saja melihat Kakek ini, maka
kagetnya bukan main.
"Ceng Seng Hwesio, muka hitam! Akhirnya kau dapat juga melihatku dari atas," Kakek itu berkata sambil
tertawa. Memang, ketika tadi Ceng Seng Hwesio mencelat ke atas dan membalikkan tubuh, dari atas ia
melihat Kakek yang bersembunyi di belakang In Hong, maka tahulah ia mengapa gadis itu demikian
tangguh dan lihai!
"Lo-Cianpwe, harap Lo-Cianpwe maklum bahwa gadis ini telah mengacau Siauw-Lim-Si dan..."
"Cukup, aku sudah tahu semua! Semenjak puluhan tahun yang lalu, Siauw-Lim-Si memang terkenal kikir
dan memikirkan kepentingan sendiri! In Hong ini adalah murid isteriku, juga muridku sendiri, siapa
berani mengganggunya? Aku sudah mengalah dan mematikan nafsu selama puluhan tahun, akan tetapi
hari ini kalau ada yang berani mengganggunya, akulah lawannya!" Mendengar suara yang amat
berpengaruh dan dipenuhi oleh nafsu yang meluap-luap, Ceng Seng Hwesio menjadi keder. Diam-diam
In Hong juga merasa betapa Kakek ini dahulunya pasti seorang yang bernafsu besar dan yang amat
ganas dan tabah.
"Omitohud, tidak tahunya Koi-Jin masih hidup dan bersembunyi disini!" tiba-tiba terdengar suara orang
dari luar gua. Belum lenyap gema suara itu, orangnya telah berjalan masuk, yakni seorang Kakek tua


Bayangan Bidadari Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berkepala gundul, memakai topi Hwesio dan di tangannya memegang sebatang tongkat Hwesio yang
besar dan panjang. Hwesio ini sudah tua sekali, usianya paling sedikit delapan puluh tahun, alis dan
jenggotnya sudah putih semua, nampak halus seperti benang Sutera putih.
Matanya menyinarkan cahaya lembut dan mukanya kelihatan terang dan sabar. Inilah Bu Kek Tianglo,
ketua dari Siauw-Lim-Pai, seorang Hwesio yang sudah puluhan tahun menyembunyikan diri di ruangan
paling dalam dari Siauw-Lim-Si untuk menyucikan hati dan pikiran. Seperti telah dituturkan di bagian
depan, Teng San menyuruh Lian Hong pulang ke Siauw-Lim-Pai untuk memberi laporan kepada Bu Kek:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 126
:: CerSil KhoPingHoo :
Tianglo tentang peristiwa aneh yang terjadi di dalam gua, di hutan tak jauh dari Siauw-Lim-Si. Tadinya Bu
Kek Tianglo mendengarkan penuturan murid muda ini dengan tenang dan sama sekali tidak menaruh
perhatian, akan tetapi ketika ia mendengar betapa gadis yang mengacau Siauw-Lim-Si itu mengalahkan
semua muridnya dengan tenaga lweekang yang mentakjubkan, ia menjadi tertarik dan mengerutkan
kening.
"Mengalahkan yang lain-lain masih tidak aneh, akan tetapi seorang gadis muda dapat mengalahkan
lweekang Ceng Seng, benar-benar amat menarik hati. Lian Hong, minggirlah!" Kakek ini sekali berkelebat
melewati pinggir Lian Hong dan telah lenyap dari dalam kamarnya! Lian Hong meleletkan lidah saking
kagumnya, kemudian gadis cilik ini berlari-lari keluar mengejar Gurunya. Setelah Bu Kek Tanglo
memasuki gua, Kakek aneh yang buntung kaki tangannya itu, yang bukan lain adalah Buthan Koi-Jin,
suami dari Hek Moli, tertawa bergelak, suaranya bergema di dalam gua, amat menyeramkan.
"Bu Kek Tianglo, kau makin tua makin gagah saja. Apakah kau datang hendak turun tangan dan hendak
membuntungkan kaki tangan gadis muridku ini? Ha, ha, ha!"
"Omitohud, Koi-Jin, kau sampai sekarang masih saja belum dapat menguasai nafsumu. Tentu saja ini
dapat juga kau sengaja dan berpura-pura, karena kau memang orang aneh. Sayang aku tidak dapat
menjenguk isi hatimu sehingga aku dapat mengetahui sampai dimana gerangan kemajuanmu."
"Bu Kek Tianglo, gadis muda ini adalah murid isteriku, juga muridku karena mulai hari ini dia ku ambil
murid. Dia telah melakukan kesalahan seperti yang pernah kulakukan dahulu, akan tetapi apakah kau
tidak dapat mencegah anak buahmu yang mendesaknya terus? Biarlah aku yang minta maaf kepadamu,
kalau perlu tangan dan kakiku yang sudah buntung ini bersedia menerima beberapa gebukan tongkatmu
yang lihai." Bu Kek Tianglo mengerutkan alisnya yang putih.
"Koi-Jin, aku malu sekali kepadamu. Anak muridku memang terlampau keras memegang aturan. Akan
tetapi, setelah ternyata bahwa bocah ini menjadi muridmu, perlu apa kita berselisih lagi? Urusan
puluhan tahun yang lalu cukup mengenaskan hati kita, tak perlu diulang lagi. Ceng Seng, hayo lekas
berlutut minta ampun kepada Koi-Jin!" Ceng Seng Hwesio kembali berlutut mengangguk-anggukkan
kepala, diturut oleh lain-lain Hwesio yang berada disitu.
"Mohon Lo-Cianpwe sudi mengampuni kami." Akan tetapi Bhutan Koi-Jin tidak memandang kepada
mereka ini. Sepasang matanya yang bersinar-sinar itu ditujukan ke arah Teng San. Pemuda ini tidak mau
berlutut, hanya memandang dengan mata penuh keheranan.
"Siapa pemuda ini, Tianglo?" tanya Kakek buntung itu.
"Dia ini Ong Teng San, muridku yang termuda."
"Bagus, dia telah kemasukan I-Kin-Keng. Mari kita bertaruh, siapa kelak yang lebih berhasil, kau dengan
pemuda itu atau aku dengan muridku ini. Ha, ha, ha!"
"Omitohud, kau benar-benar masih kukoay (aneh) watakmu, agaknya tidak berubah," jawab Hwesio itu.
"Aneh dan tidak aneh, apa bedanya? Berubah atau tidak, dimana letak perbedaannya? Ha, ha, Bu Kek
Tianglo, tunggu setahun lagi kita melihat hasil kita. Mudah-mudahan saja kita masih dapat
mengalaminya." Bu Kek Tianglo tersenyum, menjura dan mengajak semua muridnya berlalu dari tempat:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 127
:: CerSil KhoPingHoo :
itu. Di tengah perjalanan, Bu Kek Tianglo memesan kepada semua muridnya agar jangan sekali-kali
mengganggu gua itu, bahkan jangan sekali-kali mendekati tempat itu. Sepeninggal semua Hwesio itu,
Bhutan Koi-Jin berkata,
"Kau mau menjadi muridku, bukan?" In Hong sudah menyaksikan semua kejadian tadi dan sebagai
murid seorang pandai iapun mengerti bahwa Kakek ini memiliki tenaga lweekang yang luar biasa
tingginya sehingga hanya dengan menempelkan dua lengan buntung di punggung dan lehernya, Kakek
ini sudah "Meminjam" dua tangannya untuk mengusir dan mengalahkan tokoh-tokoh Siauw-Lim-Pai
tadi. Oleh karena itu, tanpa ragu-ragu lagi In Hong lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Bhutan Koi-Jin
dan berkata,
"Teecu merasa bahagia sekali kalau mendapat pimpinan suhu."
"Nah, sekarang kau ceritakan tentang Gurumu Hek Moli, dan bagaimana ia sampai tewas oleh orangorang Kun-Lun-Pai." In Hong lalu menceritakan semua pengalamannya dan apa yang ia ketahui tentang
kematian Hek Moli. Juga ia ceritakan bagaimana ia mendatangi murid Go-Bi-Pai dan kemudian
menyerbu Kun-Lun-Pai, mengalami kegagalan dan seterusnya sampai ia menyerbu Siauw-Lim-Pai.
Mendengar semua penuturan murid-barunya ini, Kakek itu menarik napas panjang berulang-ulang.
"Kalau datang derita nestapa, apa perlunya mencela Tuhan dan mencaci setan? Mencari biangkeladi
harus membuka dada melihat perbuatan sendiri. Segala akibat yang menimpa diri adalah lanjutan sebab
perbuatan diri pribadi, baik perbuatan dihidup kini maupun dihidup lalu." Kakek itu bicara seperti pada
diri sendiri, kemudian ia memandang kepada In Hong dan melanjutkan kata-katanya,
"In Hong, Gurumu Hek Moli terlampau menurutkan nafsu. Demikian pula aku. Kau lihat kaki tanganku
ini? Inipun akibat daripada nafsu angkara murka. Dahulu aku tidak pernah memandang langit, merasa
diri paling tinggi dan paling pandai. Aku datangi semua partai, kujatuhkan semua ketua partai besar,
kutertawai mereka dan kusombongkan kepandaianku. Akhirnya aku roboh dalam tangan tokoh-tokoh
besar dari Kun-Lun, Go-Bi, Bu-tong, dan Siauw-lim yang maju bersama. Akibatnya, kaki tanganku
buntung. Mereka itu masih berhati lemah tidak menewaskan aku. Ha, ha, ha!" In Hong memandang
kepada suhunya dengan kagum.
"seorang diri dapat mengalahkan tokoh-tokoh besar itu satu persatu, kau benar-benar hebat, suhu.
Sayangnya mereka itu curang dan maju mengeroyokmu." Kembali Bhutan Koi-Jin tertawa bergelak.
"Kau memang serupa benar dengan Hek Moli, dan Hek Moli juga hampir sama wataknya dengan aku.
Ah, mengapa kita bertiga ini mempunyai dasar watak yang sama? Agaknya memang sudah jodoh. Hanya
satu-satunya nasihatku, jangan kau mengikuti jejak Hek Moli atau jejakku. Akibatnya takkan baik, Hek
Moli tewas di tangan orang pandai dan akupun roboh di tangan orang pandai."
"Harap suhu suka meneruskan cerita tadi, selanjutnya bagaimana?" tanya In Hong yang ingin
mengetahui riwayat suami-isteri yang keduanya menjadi Gurunya itu.
"Mendengar bahwa aku roboh oleh tokoh-tokoh besar itu, isteriku, Hek Moli, menyusulku dari Sikkim.
Aku sengaja menyembunyikan diri karena malu bertemu muka dengan isteriku tidak saja malu karena
aku telah kalah oleh tokoh-tokoh besar empat partai, juga aku tidak mau isteriku melihat kaki tanganku
yang buntung. Kuharap dia akan kembali ke Sikkim dan menikah dengan laki-laki lain. Siapa tahu iapun
dikuasai nafsu marah ketika ia mendengar bahwa aku mungkin sudah tewas oleh tokoh-tokoh besar:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 128
:: CerSil KhoPingHoo :
Siauw-lim, Kun-Lun, Go-Bi, dan Bu-tong. Maka ia lalu menyerbu ke Kun-Lun dan Go-Bi, mungkin juga BuTong-Pai. Hanya Siauw-Lim-Pai ia tidak berani ganggu karena maklum bahwa kepandaiannya masih jauh
untuk dapat menandingi Hwesio-Hwesio Siauw-lim yang lihai." Demikianlah, mulai hari itu, Bhutan KoiJin menurunkan kepandaiannya kepada In Hong dengan penuh semangat. Sebaliknya In Hong yang
bercita-cita menyerbu Kun-Lun-Pai, belajar dengan tekun pula, tidak ingat waktu dan tidak tahu lelah.
Sesuai dengan keinginan hati In Hong, dan cocok pula dengan pandangan Bhutan Koi-Jin, gadis itu
menerima ilmu lweekang yang amat luar biasa, yang cara mempelajarinya bukan dari Tiongkok aseli,
melainkan sudah tercampur dengan ilmu yoga dari barat. Bhutan Koi-Jin menurunkan ilmu lweekang ini
dengan jalan paling singkat dan cepat. Ia langsung menurunkan lweekang dengan cara "Memindahkan"
tenaganya sendiri ke dalam tubuh In Hong. Dengan menyalurkan tenaga ini melalui telapak tangan In
Hong, juga dengan cara menotok bagian-bagian tubuh muridnya dengan lengannya yang buntung, Kakek
ini akhirnya dapat memindahkan tenaga dan sinkang ditubuhnya ke dalam tubuh muridnya. Dengan cara
ini, In Hong hanya tinggal melatih diri saja sehingga ia dapat menguasai tenaga sinkang yang dahsyat dan
yang kini sudah terkumpul di dalam tubuhnya itu.
Memelihara tenaga sinkang ini tidak mudah. Tanpa latihan-latihan tertentu dan peraturan pernapasan
yang selalu harus dilaksanakan, tenaga sinkang itu akan musnah sedikit demi sedikit seperti gandum dari
kantong yang bocor. Akan tetapi, pengoperan sinkang seperti itu amat membahayakan kesehatan
Bhutan Koi-Jin, karena hal itu membutuhkan pengerahan tenaga yang melewati ukuran, yang melewati
batas daya tahan tubuhnya yang sudah tua sekali. Apalagi ia masih memberi petunjuk-petunjuk dalam
gerakan ilmu silat kepada In Hong. Setiap kali ada lowongan waktu yang sebagian besar dipergunakan
untuk pelajaran ilmu lweekang, ia menyuruh In Hong mengeluarkan ilmu silat yang paling lihai yang
pernah dipelajarinya dari Hek Moli. Bhutan Koi-Jin hanya menonton, akan tetapi kadang-kadang ia
menyetop dan memberi petunjuk pada bagian-bagian tertentu yang dianggap kurang sempurna.
"Ilmu silatmu sudah hebat," katanya. "Memang sejak dahulu, ilmu silat isteriku itu tidak kalah olehku,
hanya ia lemah dalam lweekang." Memeras tenaga yang sudah tua ini akhirnya mengakibatkan Kakek itu
jatuh sakit. Selama setengah tahun ia terus menerus setiap hari melatih In Hong sehingga dalam waktu
setengah tahun, gadis itu telah memperoleh kemajuan yang pesat sekali. Semua tenaga sinkang dari
Kakek itu telah berpindah ke dalam dirinya, juga ilmu silatnya, terutama ilmu pedangnya, mendapat
banyak kemajuan berkat petunjuk-petunjuk dari Bhutan Koi-Jin.
Segala daja-upaja In Hong untuk mengobati Gurunya gagal. Bhutan Koi-Jin bukan menderita sakit biasa,
melainkan penyakit tua yang sudah tidak ada obatnya lagi. Bhutan Koi-Jin meninggal dunia dengan
senyum di mulut, seakan-akan merasa yakin bahwa ia akan menang dalam taruhannya dengan Bu Kek
Tianglo ketua Siauw-Lim-Pai. Memang, pada saat terakhir dari hidupnya, tiap kali dia membuka mulut
mengeluarkan suara, tentu ia menyebut-nyebut soal pertaruhan itu. Seorang diri In Hong mengurus
jenazah Gurunya, mengubur jenazah itu di dalam gua dan menangis di depan kuburan. Kemudian ia
keluar dari tempat itu dan tempat pertama yang ditujunya adalah Kelenteng Siauw-Lim-Si! Gadis ini
hendak memenuhi kehendak Gurunya, keinginan yang disebut-sebut sebelum meninggal dunia, yakni
agar ia dapat mengalahkan murid muda Siauw-Lim-Pai, murid yang telah mempelajari I-Kin-Keng.
Ia harus dapat mengalahkan pemuda itu, pemuda yang dahulu telah menolongnya, yang bernama Ong
Teng San! Dengan tenang ia memasuki halaman Kelenteng Siauw-Lim-Si. Kedatangannya sekarang jauh
bedanya dengan dahulu. Setengah tahun yang lalu, ia datang di tempat ini pada malam hari dengan
maksud mencuri kitab I-Kin-Keng. Akan tetapi sekarang, datang pada pagi hari dengan terang-terangan
dengan maksud mengajak pibu orang yang mewarisi ilmu I-Kin-Keng! Semenjak terjadi peristiwa:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 129
:: CerSil KhoPingHoo :
penyerbuan In Hong ke Siauw-Lim-Si, Kelenteng ini sekarang terjaga keras. Tidak mengherankan apabila
baru saja gadis itu memasuki pekarangan depan, tiba-tiba datang lima orang Hwesio yang bukan lain
adalah Hwesio-Hwesio Ngo-heng-tin! Mereka memegang toya dan memandang kepada gadis ini dengan
mata penuh kecurigaan dan juga keheranan. Akan tetapi gadis itu tersenyum mengejek ke-pada mereka.
"Kau...?" tegur seorang di antara lima Hwesio itu.
"Apa kehendakmu, nona?" Mereka masih merasa gentar kalau teringat akan pengalaman mereka di
dalam gua, dimana mereka secara aneh sekali dibikin jatuh bangun oleh gadis ini yang melawan mereka
hanya dengan duduk bersila. Akan tetapi setelah mereka tahu bahwa di belakang gadis itu ada Bhutan
Koi-Jin, lenyap rasa heran dan penasaran hati mereka. Namun diam-diam mereka menaruh hati marah
kepada gadis yang menjadi gara-gara sehingga mereka sebagai tokoh-tokoh besar Siauw-Lim-Si
mengalami rasa malu dan penghinaan.
"Ngowi suhu harap memberitahu kepada Bu Kek Tianglo bahwa aku datang untuk bicara dengan dia,
atau boleh juga dengan muridnya yang bernama Ong Teng San," kata In Hong dengan tenang. Tentu saja
lima orang Hwesio itu tidak membiarkan In Hong terus masuk, karena mereka mengira bahwa gadis ini
tentu datang hendak membikin ribut pula. Kini mereka tidak takut menghadapi gadis ini, karena dahulu
di dalam gua, ke-kalahan mereka bukan oleh gadis ini melainkan oleh Bhutan Koi-Jin yang meminjam
sepasang lengan In Hong. Biarpun mereka tahu bahwa gadis ini telah diterima menjadi murid Bhutan
Koi-Jin, akan tetapi dalam waktu setengah tahun saja, kepandaian apakah yang sudah dapat
dipelajarinya?
"Nona, jangan kau main gila seperti dulu! Kalau kau memang ada keperluan, mengapa harus mencari
suhu atau Ong-Sute? Kami berlima ditugaskan menjaga disini, maka segala keperluanmu, katakan saja
kepada kami, pasti kami takkan berani mengabaikan dan akan melayanimu." In Hong mengerutkan
alisnya yang bagus bentuknya.
"Kalian ini masih saja tidak berubah, bersikap galak terhadap orang muda. Bukankah sudah kukatakan
tadi bahwa aku ingin bertemu dengan Bu Kek Tianglo atau Ong Teng San? Hayo lekas panggil mereka
keluar, kalau tidak jangan bilang aku kurangajar kalau aku masuk dan mencari mereka sendiri."
Lima orang Hwesio itu nampak ragu-ragu. Memang bukan hal yang sederhana dan mudah saja untuk
memanggil keluar Bu Kek Tianglo. Kakek ini selalu menyembunyikan diri di dalam kamarnya, bersamadhi
dan tidak mau mencampuri urusan di luar kamarnya. Ia tidak mau diganggu, maka tidak ada orang yang
berani mengganggu Kakek ini kalau tidak karena urusan amat penting. Sekarang, gadis ini datang hendak
bertemu dengan Bu Kek Tianglo, mana lima orang Hwesio itu berani mengganggu suhu mereka? Apalagi
kalau diingat bahwa gadis ini adalah seorang yang pernah mengacaukan Siauw-Lim-Si, kalau Bu Kek
Tianglo diganggu dari samadhinya hanya untuk menjumpai gadis ini, tentu Kakek itu akan menjadi
marah. Adapun In Hong ketika melihat lima orang Hwesio itu ragu-ragu dan tidak mau memenuhi
permintaannya, lalu melangkah maju dan berkata,
"Kalau tidak mau melaporkan kepada Bu Kek Tianglo, minggirlah, biar aku sendiri masuk menghadap!"
Akan tetapi, lima orang Hwesio itu cepat memalangkan toya dan menghadang di tengah jalan.
"Nona, jangan kau kurangajar!" Lima batang toya bergerak mendorong ke arah tubuh In Hong untuk
memaksa gadis itu mundur lagi. Akan tetapi, sebaliknya daripada mundur, In Hong malah melangkah
terus ke depan. Dua tangannya bergerak cepat dan dilain saat, dua orang Hwesio telah terlempar jauh:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 130
:: CerSil KhoPingHoo :
berikut toya yang mereka pegang, sedangkan seorang Hwesio lain terpaksa bertekuk lutut karena
sambungan lututnya tercium ujung sepatu In Hong. Gerakan nona ini demikian cepat dan tenaganya
demikian hebat sehingga tiga orang Hwesio itu tak sempat mempertahankan diri. Mereka berdiri lagi
cepat-cepat dan bersama dua orang Hwesio yang belum roboh, mereka siap untuk melakukan serangan.
Akan tetapi pada saat itu, terdengar suara keras,
"Tahan senjata!" Ternyata bahwa yang muncul adalah Ceng Seng Hwesio yang bermuka hitam dan
bersuara tenang berpengaruh. Ceng Seng Hwesio tadi melihat gerakan In Hong dan diam-diam ia
terkejut. Tendangan In Hong masih tidak mengherankan karena ia memang tahu bahwa gadis ini
memiliki gerakan yang amat cepat dan tidak terduga. Akan tetapi, menerima toya dengan kedua tangan
kosong lalu melemparkan toya-toya itu berikut pemegangnya, sungguh merupakan bukti bahwa gadis ini
sekarang telah memiliki tenaga lweekang yang tinggi sekali!
"Sam-Sute, pergilah ke dalam dan laporkan kepada suhu bahwa murid Bhutan Koi-Jin datang
mengunjungi Siauw-Lim-Si," kata Ceng Seng Hwesio. Sekali saja melihat sepak terjang In Hong, Hwesio
ini maklum bahwa tentu gadis ini datang untuk memenuhi tantangan Bhutan Koi-Jin setengah tahun
yang lalu, maka ia pikir lebih baik minta suhunya keluar. Kemudian ia menjura kepada In Hong sambil
tersenyum,
"Ah, kiranya Kwee-Lihiap yang datang. Tidak tahu apakah Kwee-Lihiap membawa pesanan sesuatu dari
Bhutan Lo-Cianpwe?"
"Memang aku membawa pesanan untuk memenuhi tantangan pibu dengan murid Siauw-Lim-Pai!"
jawab In Hong singkat. Ia tahu bahwa Ceng Seng Hwesio adalah murid kepala dari Bu Kek Tianglo, maka
Si Cantik Berdarah Dingin 1 Burung Merak Karya Maria A. Sardjono Istana Kumala Putih 14

Cari Blog Ini