Ceritasilat Novel Online

Cukup Satu Malam 1

Fear Street Cukup Satu Malam The Overnight Bagian 1


BAB 1
DELLA O'CONNOR menarik kunci kombinasi sambil
terheran-heran mengapa ia tidak pernah berhasil membukanya pada
kesempatan pertama. Sepanjang koridor, pintu-pintu loker berdentam,
dan anak-anak tertawa serta berteriak satu sama lain. Inilah keceriaan
yang terjadi setiap hari, setiap bubar sekolah.
Kunci itu berhasil membuka setelah dicoba untuk ketiga
kalinya. Disingkirkannya kunci dan dibukanya pintu loker seraya
mengerang begitu melihat gambar hati di balik pintu. September lalu
seseorang mencoretkan gambar hati dan kata DELLA & GARY di
balik pintu bercat abu-abu itu.
Aku harus menutupi gambar konyol ini, katanya pada diri
sendiri, untuk kesekian ratus kalinya. Ia tidak mau setiap kali
membuka loker ia jadi ingat pada Gary.
Ia putus dengan Gary tiga minggu lalu. Bukan putus baik-baik,
tapi penuh amarah. Ia tidak pernah bermimpi Gary akan
menganggapnya serius. Juga tidak pernah bermimpi mereka tidak bisa
baikan lagi menjelang pesta dansa musim semi. Tetapi pesta dansa
datang dan pergi, dan Gary benar-benar telah pergi! Gary tidak
meneleponnya lagi sejak pertengkaran itu. Dan kapan pun ia bertemuGary di koridor sekolah, Gary lewat begitu saja, tanpa memberinya
kesempatan bicara.
Della sedang menunggu-nunggu acara kemah semalam
Outdoors Club. Gary akan ikut, dan ia bisa meminta maaf pada cowok
itu di sana. Ia membayangkan Gary tersenyum padanya. Sambil
memandang hati di pintu loker ia membayangkan rambut pirang
berombak dan mata cokelat Gary yang hidup, yang berkerut ketika ia
tersenyum. Juga bintik-bintik kecil di pipi Gary. Malam itu akan
sangat romantis, pikirnya. Berkemah sepanjang malam di bawah
bintang bintang. Hanya kami berdua....
Tentu saja anggota Outdoors Club yang lain akan ikut juga
termasuk Suki Thomas, yang jelas-jelas bergabung hanya untuk
mendekati Gary. Tetapi Della tidak kuatir. Ia yakin ia bisa
mendapatkan Gary kembali jika ia dapat bicara padanya. Yah,
setidaknya... cukup yakinlah.
Dilemparkannya buku-bukunya ke dasar loker dan dirapikannya
rambutnya. Lalu diintipnya cermin persegi kecil yang ia tempelkan di
pintu loker, di atas gambar hati. Dengan kulit pucat, mata hijau
bersinar-sinar, dan rambut hitam panjang, Della sangat cantik.
Tubuhnya kurus, dengan sosok seorang model. Ia selalu kelihatan
tenang, menyenangkan, dan sabar, bahkan saat ia tidak merasa begitu.
Ia membanting pintu loker hingga menutup, dan kaget melihat
Maia Franklin berdiri di sampingnya. "Maia?sudah berapa lama kau
berdiri di situ?"
"Belum lama. Kau apakan rambutmu, kok jadi begitu?" tanya
Maia.
"Jadi begitu apa?""Jadi lurus."
Mereka berdua tertawa. Rambut Maia pendek, dan keriting.
Mungkin rambut paling keriting yang pernah dilihat orang sehingga
mungkin bisa masuk Guinness Book of World Records! Dengan
kacamata bulat dan tubuh pendek kelaki-lakian, Maia seperti tokoh
Annie si anak yatim-piatu.
"Kau datang ke pertemuan Outdoors Club?" tanya Maia.
"Tentu." Della menekan kunci kombinasi dan mengunci loker.
"Hei?orangtuamu mengizinkan kau ikut kemah?"
"Yeah. Akhirnya. Setelah menelepon Mr. Abner lima kali, dan
membuatnya berjanji akan mengawasi acara itu dengan baik,
khususnya mengawasi aku."
Orangtua Maia sangat ketat terhadapnya. Mereka
memperlakukannya seperti anak umur 10 tahun. "Kenapa sih mereka
bersikap begitu?" tanya Della sambil geleng-geleng kepala.
"Mana aku tahu. Mungkin mereka pikir jika aku berkemah di
pulau yang ada cowoknya, aku akan bertingkah seperti kelinci sedang
berahi."
"Apa salahnya?" tanya Della.
Kedua gadis itu memasuki kelas Mr. Abner sambil cekikikan.
Tiga anggota Outdoors Club lain sudah ada di sana, duduk bersama di
deretan depan. Gary sedang bicara dengan Suki Thomas. Ia
menengadah sebentar, dan ketika melihat Della, cowok itu cepat-cepat
mengalihkan perhatian pada Suki.
Suki tampak sangat senang. Ia tersenyum dan meletakkan
tangannya di lengan Gary. Sepintas Suki tampak tidak pantas menjadi
anggota Outdoors Club. Gayanya punk banget, dengan rambutberwarna platinum ditata seperti paku berdiri, ditambah empat anting
di tiap telinganya. Ia memakai sweter hitam ketat dengan robekan
panjang yang disengaja di salah satu lengannya, dan rok kulit hitam
sangat pendek menutupi celana ketat ungu. Warna ungu celana itu
cocok dengan lipstiknya.
Huh, pura-pura tidak lihat lagi, maki Della dalam hati. Apa sih
hebatnya si Suki? Kenapa semua cowok lengket dengannya?
Sebetulnya ia tidak usah tanya-tanya lagi. Setiap orang di sekolah tahu
jawabnya. Suki punya reputasi tersendiri.
Pete Goodwin menyapa dan melemparkan senyum sekilas pada
Della ketika ia berjalan ke deretan depan bersama Maia. Hm, cakep
juga dia, pikir Della, meskipun terlalu alim. Ia duduk di sebelah Pete.
Cowok itu berambut cokelat pendek. Matanya juga cokelat.
Tampangnya manis, penampilannya rapi. Beberapa temannya bahkan
memanggilnya "Anak Mami". Tapi Pete tidak peduli.
"Di mana Abner?" tanya Della padanya seraya duduk di kursi
dan meletakkan kedua tangan di meja lipat. Diperhatikannya Suki
tengah menepuk-nepuk lengan Gary.
"Dia dipanggil ke kantor, katanya akan segera kembali," jawab
Pete. "Bagaimana kabarmu, Della?"
"Baik, kurasa."
Semua jendela terbuka. Angin musim semi yang lembut bertiup
masuk. Harum rumput yang habis dipotong berembus ke dalam
ruangan. Della bisa mendengar suara bola tenis dipukul dari lapangan
tenis dekat tempat parkir guru.
"Kurasa kita akan membicarakan soal berkemah itu hari ini,"
kata Pete canggung."Kurasa begitu," Della menjawab, sama canggungnya.
Della berdeham keras-keras dan menarik kursinya ke depan,
mencoba menarik perhatian Gary. Tapi Gary tidak berpaling, malah
terus memandang Suki lekat-lekat. Sambil terus bicara cewek itu
sibuk menarik-narik benang lengan sweter Gary.
"Eh, lihat tuh, siapa yang datang," bisik Maia keras-keras pada
Della.
Semua anak mengangkat kepala ketika Ricky Schorr
menghambur masuk. Ia memakai T-shirt gombrong dengan tulisan
hitam besar melintang di dada berbunyi: TAK ADA KOMENTAR.
Bagi kebanyakan murid Shadyside High, tulisan itu menunjukkan
selera humor Ricky. Ricky berusaha mati-matian jadi anak yang pintar
melucu. Dan justru usaha mati-matiannya itu yang membuat ia
dianggap lucu.
Tubuhnya pendek dan gemuk. Baju-bajunya selalu kelihatan
kebesaran satu atau dua nomor, dan rambut hitamnya?yang tidak
pernah disisir berantakan di dahinya. Ia selalu menyibaknya ke
belakang dengan tangan gemuknya.
Ricky berjalan cepat ke depan kelas. "Tidak usah tepuk tangan.
Lemparkan saja uang," katanya, lalu ia tertawa terbahak-bahak.
Kelima temannya serentak mengerang. Tapi tanggapan itu
sudah biasa bagi Ricky. Senyuman tetap tersungging di bibirnya.
"Oke. Saatnya main tebak-tebakan," ia mengumumkan. "Ambil
kertas dan tulislah nomor satu sampai dua ribu. Tidak jadi deh?cuma
bercanda," ia menambahkan cepat-cepat. "Lihat ini." Ia mengeluarkan
serumpun daun, lalu meletakkannya di atas meja Gary."Apa ini?" tanya Gary, pertama kalinya berpaling dari Suki.
"Ini Outdoors Club, kan?" tanya Ricky sambil nyengir. Ia
menunjuk daun-daun di atas meja Gary. "Sebutkan daun apa itu.
Berani taruhan, kau pasti tak tahu."
Gary tampak bingung. Diangkatnya daun-daun itu. "Kau mau
aku menyebutkan daun apa ini?"
"Yeah. Kau ketua klub. Sebutkan namanya."
Gary mendekatkan daun-daun itu ke wajahnya, membolakbaliknya, mempelajarinya.
"Ayolah, Gary. Kau tahu namanya," desak Pete.
"Tidak, dia tak tahu," kata Ricky, membungkuk ke arah meja
Gary.
"Uh... ini berasal dari sebuah pohon, kan?" tanya Gary. "Pohon
beech? Sassafras?"
Ricky menggeleng, sangat puas diri.
Gary benci kalau salah. Dipukulkannya daun-daun langsing itu
ke tangannya. "Huh, siapa peduli!" makinya.
"Kau harus peduli," timpal Ricky. "Ini poison ivy. Tumbuhan
beracun!" Tawa Ricky meledak.
"Hah?" Dengan marah Gary melompat dari kursi, daun-daun itu
masih tergenggam erat di tangannya. Ricky mencoba melarikan diri,
tetapi Gary terlalu cepat. Ia menyergap Ricky dan menjatuhkannya ke
lantai. Lalu digosokkannya daun-daun itu ke muka dan dahi Ricky.
Ricky tertawa sekaligus menjerit-jerit, meronta-ronta, berusaha
membebaskan diri. Tapi usahanya sia-sia. Della, Suki, Pete, dan Maia
bersorak-sorak, menyemangati Gary.
"Ada apa ini?" terdengar suara keras dari arah pintu.Semua anak berpaling, dan melihat Mr. Abner melangkah
masuk. Kakinya yang panjang segera membawanya ke tempat
pergulatan. "Gary, lepaskan dia. Kau sedang apa?"
Gary mundur, napasnya terengah-engah. "Sedang siap-siap
berkemah," katanya pada guru bertubuh tinggi kurus itu. "Kami
mengidentifikasi poison ivy."
Ricky mengerang, berguling, dan pelan-pelan berusaha berdiri.
T-shirt-nya menggulung ke atas dan sebagian besar perutnya yang
putih kelihatan.
"Poison ivy?" Mr. Abner tampak bingung. Ia mengulurkan
tangan dan mengambil daun itu dari tangan Gary. "Ini cuma sejenis
tanaman rumah?pohon anggur," katanya sambil memandang heran
kedua cowok itu.
"April Mop," kata Ricky pada Gary, seringai lebar
mengembang di wajahnya. Ia menyibakkan rambut dari matanya.
Semua tertawa, terutama karena melihat tampang Gary yang
terguncang. "Kau kena tipu," kata Suki pada Gary seraya menariknya
kembali ke kursi. "Kau betul-betul kena tipu." Gary memaksakan diri
tersenyum, terutama demi Suki.
"Kalian duduklah. Saya kuatir pertemuan ini singkat saja," kata
Mr. Abner. Ia melangkah ke jendela dan memandang ke tempat
parkir.
Anak-anak terdiam. Apa maksudnya? Tampangnya serius
sekali. Padahal wajahnya biasanya ceria.
"Saya harus segera pulang ke Nashville," katanya, masih
memandang ke luar jendela. "Ada urusan penting. Saya harus pulangakhir pekan ini. Jadi saya tidak bisa mengantar kalian berkemah Sabtu
ini."
Suki dan Ricky mengerang keras-keras. Anak-anak lain
membisu. Della memandang Gary, kemudian menunduk, kecewa.
"Kita harus menundanya," kata Mr. Abner, berpaling dan duduk
di pinggir jendela. "Masih ada waktu lain. Sekarang baru bulan Mei.
Kita akan buat rencana lagi begitu saya kembali. Oke?"
Semua anak bergumam setuju.
"Saya harus cepat-cepat pergi," ujar Mr. Abner. Ia memandang
sekilas ke arah jam dinding di atas mejanya. "Saya minta maaf.
Sampai ketemu minggu depan." Lalu ia bergegas menuju pintu,
langkah kakinya bahkan lebih panjang dari biasanya, wajahnya
tampak cemas.
Della dan teman-temannya duduk diam sampai Mr. Abner
pergi. "Sayang sekali," kata Della sambil berdiri.
"Hari Sabtu seharusnya juga menjadi hari yang indah," kata
Pete. "Paling tidak, itu yang mereka bilang di radio."
Mereka semua berdiri.
"Hei?tunggu. Aku punya ide," seru Suki. Ia memberi isyarat
pada teman-temannya untuk kembali duduk. "Dengar. Aku punya ide
bagus. Mari kita teruskan rencana berkemah itu."
"Apa?" teriak Maia. "Suki, apa maksudmu?"
"Kita tetap pergi berkemah. Tanpa Abner."
"Pergi tanpa seorang pengawas?" Maia kelihatan ngeri.
"Orangtuaku akan membunuhku! Aku akan dihukum seumur hidup.
Malah selama dua kali hidup!"
"Mereka takkan tahu," sahut Suki."Yeah. Betul," teriak Ricky girang. "Ide hebat! Kita akan pergi
sendiri. Pasti luar biasa. Tak ada yang mengganggu atau menyuruhnyuruh kita." Ia menatap Suki. "Siapa yang mau tidur satu tenda
denganku?"
"Jangan mimpi, Schorr," sergah Suki sambil mendelik.
"Nyamuk pun tidak mau satu tenda denganmu!"
Semua tertawa. Ricky tampak sakit hati.
"Orangtua kita mengira ada yang mengawasi. Mereka mengira
Abner bersama kita," Suki menjelaskan. Ia merendahkan suaranya,
meskipun tidak ada orang yang mencuri dengar. "Kalau mereka tidak
tahu, semua akan oke-oke saja." Ia memegang lengan Gary.
"Bagaimana menurutmu? Kau kan ketua klub."
"Yah...," ujar Gary ragu.
"Tapi orangtuaku akan membunuhku!" protes Maia.
"Menurutku idenya boleh juga," kata Pete, matanya
memandang Della. "Lagi pula kita kan anak-anak yang bertanggung
jawab. Kita tidak akan melakukan hal-hal gila, iya kan?"
Suki tersenyum pada Gary. "Tentu saja, kalau tahan," katanya
penuh arti.
"Bagaimana menurutmu, Della?" tanya Pete.
Della sangat ingin pergi. "Kayaknya sih asyik," jawabnya. "Kita
memang tidak membutuhkan Abner." Pasti heboh nih, pikirnya.
Terutama jika aku bisa menjauhkan Gary dari cengkeraman Suki,
sehingga aku bisa memperbaiki hubunganku dengannya.
"Apa pendapatmu, Gary?" tanya Suki.
"Yah... oke deh." Ia tersenyum pada cewek itu. "Begini. Kita
pergi Sabtu pagi, sesuai yang kita rencanakan."Mereka semua bersorak, kecuali Maia.
"Aku tidak bisa," ujarnya sedih. "Kalau orangtuaku tahu..."
"Mereka takkan tahu, Maia," kata Della. "Sungguh. Semuanya
baik-baik saja deh. Pasti kita asyik di sana, malah lebih asyik
dibanding jika ada pengawas. Kita pulang Minggu pagi, sesuai jadwal.
Dan orangtua kita takkan ada yang tahu."
"Kau janji?" tanya Maia pada Della, suaranya penuh keraguan.
"Aku janji," sahut Della. "Percayalah padaku, Maia. Semua
pasti lancar-lancar saja."BAB 2
"KAU bawa sikat gigi? Bawa atau tidak?"
Della dalam hati menghitung sampai tiga. Kemudian, dengan
tenang ia berkata, "Ya, Mom. Sikat gigiku kubawa. Apa aku perlu
bawa pengering rambut? Dan tiga atau empat baju? Apalagi aku harus
menginap, kan?"
"Tidak perlu menyindir begitu," kata Mrs. O'Connor. Ia
meremas kantong tidur Della yang tergulung. "Sudah cukup kencang
ikatannya? Kau bisa membawanya, kan?" Ibu Della bertubuh pendek
dan sangat kurus?beratnya kurang dari 50 kg. Gerak dan bicaranya
cepat. Orang lain baru mengajukan satu pertanyaan, ia sudah sepuluh
pertanyaan. Kalau melihatnya, Della jadi ingat seekor kupu-kupu yang
terbang dari satu bunga ke bunga lain, tanpa istirahat. Sekarang, Sabtu
pagi, ia sibuk mondar-mandir di kamar Della sementara Della
berkemas untuk berkemah.
"Mom, apa sih yang bikin Mom gelisah?" tanya Della. "Kita


Fear Street Cukup Satu Malam The Overnight di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kan sudah sering berkemah, ketika Dad masih ada." Ia tiba-tiba
menyesal. Mungkin ia seharusnya tidak menyinggung soal ayahnya.
Orangtuanya bercerai dua tahun lalu, dan ayahnya segera menikah
lagi.Ibunya tidak bereaksi. Ia terlalu sibuk meremas-remas kantong
tidur. "Ini soal Mr. Abner," ujarnya. "Kau tidak pernah bicara banyak
soal dia."
"Itu karena aku tidak pernah diajar olehnya. Dia hanya
penasihat klub kami. Orangnya hebat. Sungguh. Mom tidak perlu
kuatir deh."
"Tetapi kenapa mesti Fear Island?" tanya Mrs. O'Connor.
"Pulau itu kan angker."
"Memang itulah tujuannya," jawab Della. Ia menghampiri
cermin, lalu menyisirkan sikat rambut itu ke rambutnya yang panjang
dan lurus, meskipun rambutnya tidak perlu disisir. "Pasti asyik."
"Tetapi Fear Island... Banyak cerita mengerikan tentang pulau
itu." Ibunya merapikan buku buku di rak, kemudian menepuk-nepuk
bantal di tempat tidur Della.
Fear Island adalah pulau kecil tak berpenghuni, tertutup pohon
pinus, di tengah danau di belakang Hutan Fear Street. Meskipun
tempat itu sempurna untuk piknik dan berkemah, dan jaraknya hanya
beberapa menit naik perahu menyeberangi danau, hanya sedikit orang
yang berpetualang di sana karena cerita-cerita menyeramkan
mengenai pulau itu.
Ada yang, bilang di sana berkeliaran binatang mutan, makhlukmakhluk berbahaya dan tersembunyi yang tidak ditemukan di tempat
lain. Ada juga yang bilang pulau itu terinfeksi ular-ular berbisa. Dan
ada cerita pulau itu dulu sekali digunakan sebagai kuburan orang
Indian, dan hantu-hantunya gentayangan di malam hari, untuk
membalas nasib mereka yang buruk.Della kurang mempercayai cerita-cerita tersebut. Menurutnya
cerita-cerita itu diciptakan para pekemah supaya orang lain tidak
memenuhi pulau itu. Kisah-kisah seram itu justru menambah rasa
petualangan menginap di sana.
"Kami tidak mau berkemah di taman rekreasi yang
membosankan," Della menjelaskan. "Kami mau di tempat lain yang
lebih asyik."
"Yah, Mom harap di sana tidak terlalu asyik," kata ibunya. Ia
berjalan ke belakang Della dan meluruskan bagian bawah sweatshirtnya. "Kalau ada apa-apa, kau segera telepon Mom, ya?"
Della berputar dan tertawa. "Menelepon Mom? Pakai apa? Ah,
begini saja, aku akan mengirim pesan pakai asap, oke?"
"Tidak lucu ah," kilah Mrs. O'Connor. Tapi ia tertawa juga.
Lengking klakson mobil mengakhiri percakapan mereka. "Itu
Pete," Della memberitahu. Ia mengangkat ransel ke bahunya dan
meraih kantong tidur birunya.
"Siapa Pete?" tanya ibunya curiga. Ia sudah terbiasa dengan
kehadiran Gary. Jadi kalau cowok itu tidak muncul, rasa curiganya
meruyak.
"Cowok sesama anggota klub." Della mencondongkan tubuh,
mencium pipi ibunya, lalu berjalan susah payah keluar karena
menahan beban ranselnya yang menggembung.
Della melambai ke arah Pete, yang keluar dari station wagon
Subaru biru untuk membantu memasukkan barang-barangnya. Pete
memakai celana khaki cokelat dan kemeja pulover flanel kotak-kotak.
"Hai," sapanya seraya mengangkat pintu paling belakang. "Hari yang
cerah ya." Matahari menggantung tinggi di langit biru yang bersih."Yeah. Suasananya tenang sekali di sini."
"Tenang?" Pete tampak bingung.
"Soalnya ibuku tidak ikut keluar, menanyakan jutaan
pertanyaan."
Pete tertawa. Wah giginya bagus banget, pikir Della. Terlalu
bagus ah.
Detik berikutnya Della menegur diri sendiri karena bersikap
kritis pada Pete. Sebenarnya ia cowok yang menyenangkan. Ia baik,
mau menjemput Della. Tapi bukan salahnya jika giginya terlalu bagus,
hidungnya terlalu lurus sempurna, rambutnya terlalu rapi, dan ia
berpakaian lebih baik dibanding siapa pun.
Kayaknya ia sangat menyukai Della. Mungkin aku harus
mencoba menyukainya pula, pikir Della ketika ia masuk mobil dan
duduk di kursi depan, di sebelah Pete.
Tetapi percakapan mereka dalam perjalanan menuju danau
terasa kaku. Pete bercerita tentang kegiatan berkemah yang pernah ia
lakukan bersama keluarganya, namun Della tidak bisa konsentrasi
mendengarkan. Suara Pete timbul-tenggelam dalam kesadarannya.
Della memikirkan Gary. Ia terus berpikir apa yang akan ia katakan
pada mantan cowoknya itu, bagaimana memulai upaya memperbaiki
hubungan dengannya saat mereka berdua saja di hutan.
"Apa betul?" tanya Pete.
"Hah?" Della sadar ia tidak mendengar sepatah pun ucapan
Pete, paling tidak sepanjang satu setengah kilometer.
"Apa kau dan Gary sudah putus?" Pete menatap lurus ke jalan.
"Yeah. Kurasa begitu. Maksudku tidak. Ah, entahlah."Pete tertawa canggung. "Apa aku harus memilih salah satu
jawaban itu?"
"Sori," kata Della. Pertanyaan itu membuat ia kacau. "Gary dan
aku.... maksudku, kami belum benar-benar putus."
"Oh." Pete tidak menyembunyikan kekecewaannya. "Acara
menginap ini pasti menyenangkan," katanya, mengubah topik
pembicaraan. "Kau tidak takut melewatkan malam di Fear Island,
kan?"
"Tidak. Kayaknya tidak."
"Jangan jauh-jauh dariku. Aku akan melindungimu," ia berkata
dengan suara rendah, suara laki-laki perkasa yang berlebihan.
"Melindungiku dari apa? Dari banyolan konyol Ricky?"
"Dia lucu lho," Pete mengaku. Ia membelokkan mobil ke Fear
Street, terus menuju hutan. "Meski lucunya konyol dan menyebalkan."
Mobil mereka berguncang-guncang sebelum berhenti di pinggir
hutan Fear Street, sekitar empat setengah meter dari danau. "Semua
sudah datang," Della memberitahu. Pete membunyikan klakson ketika
melihat teman-temannya.
Della melihat Gary dan Ricky sedang berdebat. Maia sedang
duduk-duduk dekat danau. Suki berdiri di samping Gary. Pete
menghentikan mobil dan mematikan mesinnya. Della melihat
setumpuk ransel dan kantong tidur di samping dua kano yang dibawa
Gary.
Della melambai ke arah teman-temannya, kemudian membantu
Pete mengeluarkan peralatan mereka dari bagian belakang station
wagon. "Danaunya tampak indah sekali hari ini," ujar Della. Airnya
sangat tenang dan biru, memantulkan langit di atasnya. Dua ekor itikmeleter dan mengangguk-anggukkan kepala sementara mereka
berenang di dekat tepi danau. Fear Island merupakan gundukan hijau
di horison.
"Oke. Semua sudah datang. Kita bisa berangkat," kata Gary,
matanya memandang Della. Ia mengenakan jaket denim belel
menutupi T-shirt merah. Rambut pirang berombaknya berkilauan
seperti emas terkena matahari.
Oh, Gary kelihatan tampan sekali, pikir Della. Ia tersenyum
hangat pada Gary, dan cowok itu membalas senyumnya. "Gary, aku
ingin...," Della mulai berkata.
Namun Suki cepat-cepat melangkah di depan Della. "Aku tidak
pernah mendayung kano. Tunjukkan dong caranya?" pinta Suki pada
Gary. Suaranya manja.
"Boleh," jawab Gary. "Duduk saja di tengah dan perhatikan.
Orang yang duduk di tengah tidak mendayung."
"Aku naik kano ini. Kalian naik yang itu," usul Ricky. Ia
melompat ke kano di sebelah kiri dan tidur telentang. Tubuhnya
memenuhi kano.
"Lucu banget, Schorr. Ingatkan kami supaya tertawa nanti,"
sergah Suki.
Della merasa ingin tertawa melihat penampilan Suki.
Pakaiannya tidak cocok untuk kegiatan seperti ini. Celana jeans-nya
dihiasi kancing-kancing perak. Ia memakai T-shirt hitam panjang
ditutupi kaus oblong putih yang lebih pendek bertulisan Guns-N'Roses. Seperti biasa ia memakai empat anting-anting di setiap
telinganya."Hai, Della. Aku di sini." Maia bergegas mendekati Della.
Bibirnya tersenyum, tetapi wajahnya tetap tampak kuatir.
"Bagus," kata Della. "Apa orangtuamu bikin susah?"
"Tidak juga sih," jawab Maia. "Hanya saja, ketika mereka
menurunkanku di sini, mereka tidak mau pergi. Mereka ingin bicara
dengan Mr. Abner dulu."
"Oh, gawat. Lalu kau gimana?"
"Schorr membuat beberapa lelucon, dan mereka memutuskan
lebih baik pergi," Suki menyela.
"Tunggu," teriak Ricky, masih berbaring di kano. "Hei?di
mana pedal gas benda ini?"
"Mereka berubah pikiran," lanjut Maia pada Della. "Tapi
menurutku mereka pasti akan tahu apa yang kita kerjakan." Dengan
gelisah ia menyatukan kedua telapak tangannya, meremasnya kuatkuat.
"Jangan bodoh," Della menenangkan. "Gimana mereka bisa
tahu?"
***********
Beberapa menit kemudian mereka mengayuh?tiga anak di
setiap kano?di atas danau biru yang tenang, menuju Fear Island.
"Airnya begitu jernih hari ini, kau bisa melihat ikan-ikan di
dalamnya," komentar Pete. Ia memiringkan tubuhnya ke pinggir kano,
mengintip ke bawah.
Kano itu mulai miring. "Oh, sori." Ia meluruskan badan dan
kembali mengayuh.
"Mau berenang, Pete?" Ricky memanggil dari kano lain. "Kau
tidak bawa ban bebekmu ya!"Tak seorang pun tertawa. Kedua kano melaju, memecah air
beriringan. Pete dan Della mengayuh satu kano dengan Maia duduk di
tengah. Gary dan Ricky mengayuh yang lain, dengan Suki?bisa
dibilang?duduk di pangkuan Gary.
Apa dia tidak bisa meninggalkan Gary sedetik pun? tanya Della
dalam hati. Ia bertekad untuk bicara dengan Gary sesegera mungkin.
Ia sudah berulang-ulang melatih apa yang ingin ia katakan. Ia ingin
minta maaf pada Gary. Setelah itu Della tahu Gary akan kembali
padanya. Suki bisa cari cowok lain. Bagi Suki, itu bukan masalah.
Sabar, sabar, Della mengulang-ulang dalam hati sementara
mendayung. Tetapi susah rasanya harus menunggu. Kenapa manusia
harus banyak menunggu dalam hidup? Bahkan di saat kau seharusnya
bergembira, kau malah menghabiskannya untuk menunggu!
Deburan dayung menyentuh air merupakan satu-satunya suara
yang terdengar. Della mulai merasa hangat meskipun udaranya sejuk.
Ia menggerakkan dayung dengan lancar, menyamai irama dayungan
Pete. Pulau itu semakin besar sementara mereka meluncur semakin
dekat. Tampak pantai karang di depan deretan pohon-pohon pinus.
Tinggal beberapa menit lagi....
"Awww!" Tiba-tiba terdengar jeritan Ricky. Ia tengah berdiri di
kano yang satu lagi. Matanya mendelik dan ia menutupi mulutnya
dengan tangan. Perahu itu berguncang dari sisi yang satu ke sisi
lainnya.
"Duduk!" Gary menghardik.
"Mabuk laut! Mabuk Laut!" teriak Ricky, berjuang untuk tetap
berdiri sementara kano itu berguncang keras."Jangan konyol. Kita bisa terbalik, tahu!" Suki menjerit
ketakutan.
Ricky mengangkat dayungnya di atas kepala dengan satu
tangan, sementara tangan lainnya tetap menutupi mulutnya. "Mabuk
laut! Ulllp! Mabuk laut!"
"Duduklah, setelah itu baru mabuk!" Gary berteriak lagi.
"Wah! Ide bagus tuh." Ricky menjatuhkan diri ke tempatnya
semula. Ia nyengir pada Gary dan Suki. Tentu saja ia tadi cuma purapura.
"Tidak lucu, Schorr," sembur Gary sambil geleng-geleng
kepala.
"Namamu mestinya diganti," tambah Suki, masih kelihatan
kaget. "Ricky Tidak Lucu Schorr."
"Hei, sudahlah," kata Ricky, kembali mengayuh. "Kalian tadi
kan tertawa juga? Betul, kan?"
Mereka diam saja.
Kedua kano itu mulai melonjak-lonjak karena arus yang
semakin deras di dekat pantai pulau. Della menikmati pelayaran itu,
rasa dayung di tangannya yang mendorong maju kano pada setiap
gerakan, angin sejuk pada wajahnya, cipratan dan deburan air yang
bergulung-gulung.
Beberapa menit kemudian mereka menarik kano-kano itu ke
pantai. "Aku ingin tetap mendayung," ujar Della. "Rasanya enak
banget di atas air."
"Ah, lebih enak di tanah kering," timpal Suki. "Hei!"
Dilepaskannya pegangannya pada kano itu dan diperiksanyatangannya. Salah satu kuku palsunya, yang panjang berwarna ungu,
patah. "Aduh, gimana nih? Aku tidak bawa cadangan," gerutunya.
"Kupikir inilah yang namanya hidup susah," kata Ricky.
Suki menjulurkan lidah.
Suki memeriksa kukunya yang patah sementara temantemannya menarik kano-kano itu ke deretan sempit batu-batu koral
yang ditumbuhi pepohonan. "Perahu-perahu ini akan aman di sini,"
kata Gary sambil menjatuhkan ujung kanonya di kaki pohon pinusyang tinggi.
"Apakah sudah waktunya makan siang?" tanya Ricky. "Kita
bisa pesan piza atau makanan lain?"
"Ide bagus. Kenapa kau nggak pergi membelinya?" sergah Suki.
Ia melemparkan kuku yang patah itu ke pasir. "Kami akan
menunggumu di sini."
Ricky tampak kecewa.
"Aku suka api unggun dan membuat hot dog di atasnya," kata
Maia. Ia kelihatan jauh lebih ceria.
"Hei?hari masih pagi lho," Gary mengingatkan mereka.
"Masih banyak yang harus dikerjakan sebelum menyalakan api
unggun. Ayo! Ambil ransel dan barang-barang kalian. Kita harus
mencari tempat berkemah yang bagus."
"Siap Komandan," sahut Ricky seraya memberikan tanda
hormat terbalik.
Pete membantu Della menempatkan ransel di bahunya, lalu
menyerahkan kantong tidur Della padanya. Della berterima kasih dan
buru-buru berjalan bersama Maia. Sikap Pete memang manis. Terlalu
manis. Della tidak ingin memberi harapan padanya.Mereka berjalan di pantai selama beberapa saat, dengan tetap
berada di dekat jajaran pohon. Matahari sudah lebih tinggi di langit
dan udara menjadi benar-benar hangat. Della menengadah untuk
melihat makhluk apa yang berkaok-kaok keras dan tak berirama itu.
Agaknya dua ekor burung blue jay sedang bertengkar di cabang pohon
yang rendah. "Lihat, mereka besar-besar ya!" katanya pada Maia
sambil menunjuk.
"Blue jay burung paling berisik," kata Maia mencela. "Mereka
sama sekali berbeda dengan burung biru. Burung biru sungguh
manis."
"Selamat datang di kelas biologi," sela Ricky.
"Sudah ah, Ricky," bentak Della. "Kenapa kau ikut kemari
kalau kau tidak suka mengamati alam?"
"Supaya dekat kamu, Sayang," kata Ricky. Ia melemparkan
seringai nakal pada Della. "Tahu tidak, aku bawa kantong tidur besar.
Cukup besar untukku?dan seorang teman."
"Undangan yang sangat menarik!" Della mencibir dan
melangkah lebih cepat. Mereka mengikuti jalan setapak yang


Fear Street Cukup Satu Malam The Overnight di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membelok ke hutan yang lebat dan masih diselimuti dedaunan cokelat
musim dingin. Setelah beberapa saat, mereka sampai di lapangan yang
hanya ditumbuhi rumput dan ilalang.
"Tempat ini kelihatannya bagus," kata Gary. Diletakkannya ke
tanah tenda yang semula ia panggul. "Ayo, kita dirikan tenda di sini."
Mereka semua dengan senang meletakkan ransel-ransel mereka
di tanah. Ada dua tenda yang harus didirikan, satu untuk cewek dan
satunya lagi untuk cowok."Bukan begitu. Putarlah ke sini," perintah Pete sewaktu mereka
mulai merentangkan kanvas di atas tiang-tiang yang sudah mereka
dirikan. "Angin biasanya datang dari utara. Jadi bagian belakang tenda
harus menghadap utara."
"Sangat mengesankan, Pete," ujar Gary, setengah bercanda. Ia
menengadah ke arah matahari, yang tepat berada di atas mereka.
"Tapi, bagaimana kita tahu di sebelah mana utara itu?"
"Sebelah sana," sahut Pete sambil menunjuk. "Jamku ada
kompasnya." Ia mengangkat tangan, memperlihatkan arlojinya yang
punya selusin fungsi.
"Menurutmu Tarzan punya arloji seperti itu?" tanya Ricky.
Sekali lagi, semua anak tidak mengacuhkan Ricky. Mereka
memutar tenda-tenda tersebut dan mengikatnya erat-erat ke tanah.
Lalu masing-masing pergi ke berbagai arah, untuk mencari kayu
bakar.
Pete mengikuti Della, tapi Della cepat-cepat menyusul Maia.
"Agak ngeri nih," kata Maia sementara kakinya melangkah hati-hati,
menghindari genangan air yang dalam.
"Tapi asyik," tambah Della. Ia sadar hatinya sangat gembira,
entah apa sebabnya. Mungkin karena mereka sendirian, tanpa orang
dewasa di sekitar mereka. Apa pun bisa terjadi. Apa pun. Hanya
mereka berenam, di hutan sepanjang malam. Mungkin malah
romantis....
Ia mendahului Maia dan menuju ke arah Gary pergi. Ini
kesempatanku bicara dengannya. Ia sadar jantungnya berdebar keras.
Mulutnya terasa kering. Kok aku jadi gelisah begini, pikirnya.Baru aku sadar Gary ternyata sangat berarti bagiku, pikirnya. Ia
melangkah cepat di atas daun-daun cokelat dan ranting-ranting kering,
mencari Gary di antara pepohonan pinus dan birch.
Udara berbau manis dan segar di hutan itu. Rasanya ia sudah
tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Ia ingin segera bicara dengan
Gary, berdampingan dengannya lagi, merasakan rengkuhan
tangannya. Kok aku bisa begitu bodoh, marah-marah, lalu putus
dengan Gary? Bahkan sekarang ia tidak ingat lagi kenapa mereka dulu
bertengkar.
Seekor tupai, yang hendak turun, berhenti di tengah batang
pohon. Matanya menatap Della ketika cewek itu bergegas lewat,
kemudian ia melompati daun-daun, menuju pohon di sebelahnya.
"Gary, aku ingin minta maaf." Itulah kata-kata pembukanya.
Tidak ada pembukaan yang berbunga-bunga. Tidak ada alasan atau
penjelasan. Ia hanya akan minta maaf dan selesai sudah.
Ia berhenti melangkah. Itu dia. Gary tampak di antara
pepohonan. Napas Della tercekat.
Gary bersandar di batang pohon besar. Suki menempelkan
tubuhnya pada Gary. Tangan-tangan mereka berpelukan erat-erat.
Mata mereka tertutup. Mereka berciuman, lama sekali.BAB 3
TAK seorang pun terkejut ketika siang itu Ricky menarik
sepucuk pistol dari ranselnya.
"Ayo, masing-masing ambil satu." Ia menarik lima pistol lagi,
satu per satu.
"Bagus! Ayo, kita main!" teriak Pete antusias.
"Oke!" Gary juga penuh semangat. Ia merebut pistol dari Ricky
dan pura-pura akan menembak Pete. Pete menjatuhkan diri ke tanah
dan pura-pura akan membalas dengan senjatanya.
Ketiga gadis itu serentak mengerang.
"Lagi-lagi perang ZAP" keluh Della.
"Aku benci perang-perangan," Suki menggerutu. "Mereka itu
begitu.... kompetitif."
"Kompetitif"?pasti sulit baginya mengucapkan kata itu, pikir
Della getir. Berjam-jam setelah ia melihat Suki dan Gary di hutan,
sakit hatinya berubah menjadi amarah.
"Aku belum pernah memainkannya," kata Maia. "Kalian
berkelompok, atau main sendiri-sendiri?"
"Kami akan membentuk tim," jawab Ricky. Ia mengambil cat
untuk pistol ZAP-nya."Aku tidak mau," kata Suki.
"Ayolah, cewek-cewek. Pasti asyik deh," Gary memohon.
"Kami main ZAP beberapa minggu lalu di Shadyside Park. Akhirnya
badan kami penuh cat. Wah, seru banget."
"Kayaknya benar-benar heboh," Suki menanggapi dengan sinis.
"Oke. Aku ikut," kata Della, tiba-tiba berubah pikiran. Jika Suki
tidak ikut, ia akan mati-matian ikut! Biar Gary bisa melihat siapa yang
lebih baik dalam olahraga.
"Aku juga deh," sambung Maia. Matanya menatap Della,
mencari dukungan.
"Bagus!" teriak Gary. "Ayolah, Suki." Ia meletakkan sebelah
tangannya ke bahu Suki. "Masa kau satu-satunya yang tidak ikut."
"Aku sudah bilang, aku tidak suka perang," Suki bersikeras
sambil menarik dirinya menjauhi Gary.
"Ini bukan perang. Ini cuma main-main? tapi pakai tembakan,"
Ricky menjelaskan.
Suki membelalak dan menusuk perut gendut Ricky dengan
jarinya. "Apa aku nanti punya kesempatan menembakmu dengan cat,
Schorr?"
"Yeah. Kurasa begitu," sahut Ricky. "Eh, tusuk aku lagi dong.
Aku suka deh!"
"Tutup mulutmu!" bentak Suki. Ia mengepalkan tangan dan
pura-pura menghajar Ricky. "Oke, kau menang. Aku ikut. Soalnya
aku akan membunuhmu, Schorr."
"Cewek lawan cowok ya," saran Pete.
"Kesepakatan yang bagus," Gary menyetujui.Della kecewa. Ia ingin bergabung dengan tim Gary. Ia tidak
mau satu tim dengan Suki.
Ricky sibuk mengisi senjata dengan cat, kuning untuk cewek,
merah untuk cowok. "Ingat, dua tembakan dan kau jadi tawanan. Tiga
tembakan dan kau mati," katanya serius.
"Seharusnya sejak tadi aku tahu kau bawa senjata-senjata ini,"
sesal Pete sambil memutar senjatanya yang sudah diisi. "Ranselmu
jauh lebih besar dari yang lain."
"Aku bawa senjata-senjata ini ke mana saja," Ricky
memberitahu. "Aku bahkan membawanya ke perkawinan saudara
sepupuku!"
"Mainnya berapa lama?" tanya Maia sambil melihat jamnya.
"Tidak sampai gelap, kan?"
"Saat itu kita semua pasti sudah berlepotan cat," kata Suki.
Diambilnya pistol ZAP dari tangan Ricky, lalu ia menembak ke udara.
Cat kuning menyembur dari dalamnya. Ricky mendelik. "Cuma
ngetes," komentar Suki.
"Tidak ada tembakan selama sepuluh menit," kata Ricky. "Jadi
kita punya waktu untuk menyebar dan ambil posisi."
Ricky hanya bisa serius ketika main perang-perangan ZAP.
Della lebih suka ia serius begitu, tidak bikin guyonan yang
menyebalkan, tidak mati-matian melucu. Sayangnya, menurut Gary,
Ricky tidak begitu jago dalam permainan ini. Tubuhnya yang besar
merupakan sasaran empuk.Bayang-bayang gelap lewat di sisi lapangan. Della mendongak
ke langit. Beberapa gumpal awan kelabu mengganggu langit biru yang
bersih. Udara tiba-tiba menjadi lebih dingin.
Para cowok meninggalkan kemah lebih dulu, menuju ke selatan.
Para cewek memutuskan untuk menunggu beberapa menit sebelum
pergi ke barat. Kemudian mereka berpencar, dalam posisi
mengelilingi anak-anak cowok. Setelah para cowok pergi, sambil
tertawa-tawa dan bercanda Suki mengganti bajunya dengan sweter
warna hijau olive. Ia bilang itu kamuflase yang lebih baik.
Wow, "kamuflase"?satu kata kejutan lagi. Dua dalam sehari,
pikir Della. Ia tidak pernah menyukai Suki. Sebenarnya, ia sama
sekali tidak pernah banyak memikirkan Suki. Selama ini mereka tidak
bergaul akrab. Tapi sekarang Della punya banyak alasan untuk
memikirkan Suki, sekaligus banyak alasan untuk membencinya.
Mungkinkah dirinya yang keterlaluan? Bagaimanapun, ia sudah
putus dengan Gary. Mungkin ia harus merelakan Suki bersama Gary?
"Ayo, kita berangkat," ajak Maia. Pistol itu tampak besar di
tangannya yang mungil.
Mereka berjalan bersama, masuk ke hutan. "Kayaknya seksi
deh," celoteh Suki.
"Hah? Seksi?" Della tidak mengerti.
"Yeah. Itu lho, berburu dan diburu."
"Oh, begitu."
"Asyik rasanya," kata Suki, dengan hati-hati melangkahi batang
pohon yang tumbang.Embusan angin membuat daun-daun hijau yang baru tumbuh di
pepohonan bergoyang dan bergemeresik. Gumpalan awan besar
bergulung melewati matahari, dan hutan tiba-tiba menjadi gelap.
"Apa catnya bisa dihapus?" tanya Maia. Antusiasmenya hanya
berumur pendek. Kekuatirannya muncul lagi.
"Ya, tentu," sergah Della tajam. "Ricky bilang bisa dihapus.
Bisa segera hilang."
Maia memandangnya, menangkap nada tidak sabar dalam
suaranya. Della mengingatkan diri sendiri bahwa Suki yang ia benci.
Ia seharusnya tidak melampiaskannya pada Maia.
"Ayo, kita berpencar dan membentuk lingkaran," usul Suki
sambil memberi isyarat dengan pistolnya yang besar kelabu.
"Oke," Della segera setuju. Memang ini yang ia tunggutunggu?sendirian, jauh dari siapa pun.
"Bagaimana aku bisa menemukan kalian jika aku tersesat?"
tanya Maia. Ia menarik-narik lengan sweternya.
"Jalan saja menjauhi matahari. Ke timur. Dan kau akan tiba
kembali di tenda," saran Della.
Maia menatap matahari, seolah-olah ingin meyakinkan benda
bulat panas itu masih menggantung di sana. "Oke. Sampai nanti." Ia
berbalik dan pelan-pelan melangkah menuju pepohonan sambil
memegang pistol.
"Dengarkan langkah kaki," teriak Della padanya. "Kalau ada
orang di belakangmu, pasti kedengaran langkahnya."
"Terima kasih!" balas Maia.
"Dasar anak kecil," ujar Suki pelan.Nadanya tidak menghina, tapi Della tidak suka Suki
merendahkan temannya. "Dia oke-oke saja kok." Ia bermaksud
membela, tapi nadanya kedengaran marah. Padahal ia tidak berniat
begitu.
"Gary benar-benar menyenangkan," kata Suki tiba-tiba.
Della sampai mengira ia salah dengar.
Suki menatap matanya, seolah-olah hendak melihat reaksinya.
Della memaksakan wajahnya tanpa ekspresi. Ia takkan membiarkan
Suki menangkap perasaannya dengan mudah.
"Kau putus dengannya, kan?" tanya Suki.
Tapi sebelum Della dapat menjawab?lagi pula ia mau
menjawab apa??Suki sudah menjauh ke arah hutan. Ia
menyingkirkan semak-semak supaya ia bisa lewat, sepatu hightop
Reebok putihnya menimbulkan bunyi ketika menginjak daun-daun
kering.
Della bersandar pada batang pohon putih yang halus,
memperhatikan Suki sampai ia menghilang dari pandangan. Apa sih
maunya? Ebukulawas.blogspot.com
Apa ia sedang mencoba membenarkan pendekatannya pada
Gary yang demikian cepat? Apakah Suki menantangnya? Apa ia
mencoba bersikap ramah? Apa ia justru sedang menertawakannya?
Della berjalan ke arah kedua cewek itu pergi. Pikirannya
berputar-putar, mencoba mencari tahu apa maksud Suki dengan
ucapan-ucapannya yang mengejutkan dan sambil lalu itu. Ia tidak
terlalu memperhatikan ke mana ia berjalan. Ia bahkan lupa dengan
senjata plastik besar yang dipegangnya, senjata yang seharusnyaselalu siap di tangannya jika sewaktu-waktu cowok-cowok itu
muncul.
Gemeresik langkah kaki menyadarkannya kembali. Ia berbalik
dan merunduk ketika secercah semprotan cat merah terbang di atas
kepalanya. Della berlutut, mengangkat pistolnya, dan menembak
tanpa membidik.
"Hei!" didengarnya Ricky berteriak.
Mengintip melalui rumput yang tinggi, ia melihat Ricky
mengusap-usap percikan cat kuning di sweternya. "Aku nggak kena!"
teriak Della, tertawa. Tetap merunduk, ia berlari cepat ke kiri dan
berlindung di balik batang pohon yang besar.
"Tembakanmu cuma kebetulan!" pekik Ricky, berlari mengejar
Della dengan kecepatan penuh. Ia menembak, mengirimkan percikan
cat merah ke udara. Percikan itu jatuh sebelum mencapai pohon.
Della membalas, sekali, dua kali, kedua-duanya meleset. Lalu ia
berlari sepanjang jalan setapak sempit di antara pepohonan pinus dan
cemara.
Ia menoleh, tepat ketika ia melihat Ricky? percikan cat kuning
jelas terlihat di bagian depan sweter gelapnya?jatuh tersandung
tunggul pohon. Ia tersungkur dengan wajah mencium tanah. Senjata
ZAP-nya terlepas, bergulir jatuh.
Dengan senyum kemenangan di wajahnya, Della berbalik,
menjauhi jalan setapak dan terus berlari. Disibaknya cabang-cabang
pepohonan dan semak-semak. Gerakannya cepat. Seru juga nih,
pikirnya. Ricky takkan bisa menemukannya sekarang.
Tiba-tiba, awan menebal dan menutupi matahari, membuat
suasana di hutan yang lebat itu menjadi gelap. Burung-burung yangmencicit terbang melingkar, kemudian hinggap di dahan pepohonan
yang tinggi. Angin menerbangkan debu dan daun-daun kering di
sekitar sepatu kets Della.
Ia menggigil, menyadari dirinya kehilangan arah.
Di mana aku?
Ia melihat matahari untuk mengetahui posisinya, tapi awanawan gelap menutupi hampir seluruh bulatannya. Bagus sekali nasihat
yang kuberikan pada Maia, katanya pada diri sendiri. Jangan-jangan
Maia yang malang juga tersesat.
"Hei?Maia!" teriaknya keras-keras. Ia tidak peduli seandainya
cowok-cowok itu mendengarnya.
Tak ada jawaban.
"Maia! Suki! Kalian dengar aku?"
Tidak ada jawaban.
Burung-burung mendadak berhenti berkicau. Hening. Ih,
mengerikan, pikir Della. Seolah-olah ada orang yang menyuruh
mereka diam, seperti orang mematikan TV
Kesunyian itu aneh, tidak wajar.
"Jangan panik," katanya memarahi diri sendiri.
Angin berubah arah. Terdengar suara dahan patah di
belakangnya. Della melompat ketika dahan itu menyentuh tanah
dengan suara keras. Cepat ia berbalik, mengira ada orang di sana.
"Maia? Suki?"
Di mana mereka?
Della berpaling dan berjalan kembali ke kemah. Ia tidak yakin
itu arah yang benar, tapi rasanya benar deh. Ia bukan orang yanggampang tersesat. Meski tentu saja ia belum pernah berada di hutan
sendirian.
Enaknya berada di pulau adalah hutan itu pasti ada batasnya.
Jika ia terus berjalan lurus, ia akhirnya akan keluar dari hutan. Tapi
apakah ia sedang berjalan lurus? Oh, entahlah.
Dataran itu menanjak, lalu menurun lagi. Della sadar ia belum
pernah melewati daerah itu. Lumut hijau tebal tumbuh di sisi pohon


Fear Street Cukup Satu Malam The Overnight di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tua yang miring. Lumut. Lumut di pohon. Ia ingat pada lumut yang
hanya tumbuh di satu sisi pohon. Tapi di sisi mana? Sisi utara? Sisi
timur? Ia tidak ingat.
"Maia? Suki? Ada orang di sini?"
Di mana semua orang?
Terdengar bunyi gemeresik. Di belakangnya. Langkah kaki?
Ia berbalik. Tak ada siapa pun.
Ia kembali berjalan, melewati pohon berlumut itu. Tanahnya
berbukit-bukit sekarang, lereng itu semakin tajam.
Terdengar bunyi gemeresik lagi. Lagi.
Jelas ada yang mengikutinya. Ia tidak menoleh. Mungkin salah
satu dari cowok-cowok itu, sedang merencanakan serangan diamdiam. Diam-diam? Tapi kok setiap langkah itu menimbulkan suara.
Apa yang harus ia lakukan?
Hitung sampai 10, berbalik, dan tembak.
Ia terus berjalan, melangkah di antara tumbuhan pakis tinggi
yang merunduk rendah karena embusan angin keras. Tiga... empat...
lima....
Langkah-langkah di belakangnya semakin keras. Siapa pun itu,
ia semakin dekat.Delapan... sembilan... sepuluh!
Ia berbalik, berlutut, dan menarik pelatuk.
Semprotan cat kuning terang melayang di udara, memercik ke
dedaunan dan batang-batang pohon, menetes ke tanah yang gelap.
Seekor tupai berbalik dan cepat-cepat berlari pergi, membuat
suara gemeresik keras di atas dedaunan.
Seekor tupai. Itu tadi seekor tupai.
Della tertawa keras seraya mengirimkan semprotan cat lagi
tinggi-tinggi ke udara.
Yang membuntutinya ternyata seekor tupai. Dan ia telah
menembaknya.
Gerakan bagus, jagoan.
Agaknya aku sudah menunjukkan padanya supaya tidak
bertingkah macam-macam pada Della O'Connor.
Ia menembak lagi ke arah batang pohon, meleset hampir 30
sentimeter.
Sekarang suasana benar-benar gelap, tapi ia tidak merasa sedih.
Tupai itu telah membuatnya senang. Ia tidak takut lagi. Konyol sekali,
begitu saja takut.
Apa sih yang harus ditakuti?
Dengan tenang Della menuruni lereng yang curam dan mulai
berjalan menyeberangi dataran. Di tanah penuh berserakan jarumjarum pinus yang beraroma dan buah pinus kering.
Tiba-tiba, hanya beberapa langkah di depannya, seseorang
berkelebat keluar dari balik pohon.
"Pete? Gary?"
Della berhenti melangkah.Itu bukan salah satu temannya. Ia belum pernah melihat cowok
itu sebelumnya. Dan orang itu bergerak cepat ke arahnya.BAB 4
COWOK itu berhenti beberapa langkah di depannya, kedua
tangannya tenggelam di saku jaket bomber kulit cokelatnya.
Rambutnya berwarna pasir, dipotong pendek sekali. Ia tersenyum.
Senyumnya manis, pikir Della. Tapi ia memang benar-benar tampan,
seperti bintang film.
Della sadar ia telah menahan napas. Diembuskannya napasnya
cepat-cepat. Jantungnya berdegup. "Hai," sapanya pelan. "Kau bikin
aku takut. Aku tidak..."
Cowok itu masih tersenyum. Mata gelapnya memandangi Della
dari atas ke bawah. "Maaf. Kau juga bikin aku takut." Suaranya halus,
lembut. Della menebak umurnya sekitar dua puluh satu atau dua puluh
dua. "Aku tidak berharap..."
"Aku juga tidak," katanya, mengangkat bahu, kedua tangannya
masih tetap di dalam saku jaketnya.
Wah, tampan banget sih dia, pikirnya. Senyumnya begitu
manis!
"Kau sedang apa di sini?" tanya Della tiba-tiba. Lalu buru-buru
menambahkan, "Aku sedang mencari teman-temanku. Kayaknya akutersesat. Maksudku..." Untuk apa sih ia bercerita macam-macam pada
cowok itu?
"Tersesat?" Tampaknya cowok itu senang mendengarnya.
Senyumnya makin lebar, menunjukkan gigi-giginya yang putih dan
rapi. Dikeluarkannya salah satu tangan dari saku jaketnya, lalu
disisirnya rambut pendeknya ke belakang.
"Kau tersesat juga?" tanya Della.
Ia tertawa lirih. "Tidak, kurasa tidak."
"Oh." Lalu kenapa ia ada di tengah-tengah Fear Island
sendirian?
"Kau dari Shadyside?" tanyanya.
"Yeah. Aku menginap semalam di sini. Kami berkemah."
"Kami?" Ia tertawa.
Ya, ampun, ia cowok paling tampan yang pernah kulihat, pikir
Della. Coba lihat lesung pipinya ketika ia tertawa. Ia bisa jadi cowok
model atau semacam itu.
"Kau berkemah juga?" tanya Della.
"Semacam itu."
Jelas ia mempermainkan Della dengan sengaja tidak
memberitahu mengapa ia ada di sini. "Kau mau jawab pertanyaan?"
tanya Della menggoda.
"Tentu. Tanya apa saja padaku. Mau tahu nomor KTP-ku?"
Matanya melebar, menantang Della.
"Tidak. Aku cuma..."
"Mau tahu tinggi dan berat badanku? Ukuran sepatuku? Nama
kecil ibuku?" Ia berkata dengan cepat dan gembira. Della tidak tahu
apakah ia bercanda atau tidak."Oh ya, kayaknya menarik," kata Della bercanda sambil
memperhatikan reaksi cowok itu.
Ia tertawa. Tawa yang hangat dan meyakinkan. Tawanya,
matanya yang gelap, penampilannya yang tampan dan bersih. Semua
itu membuat Della merasa dekat dengan cowok asing itu.
"Jadi, kenapa kau ada di tengah hutan di Fear Island?" tanya
Della, bersandar pada batang pohon yang kurus.
"Yah, aku baru saja kembali," ia mulai bercerita.
"Kembali dari college?"
"Yeah. Betul. Kembali dari college. Aku kuliah di B.U. Di
Boston." Ditendangnya sepotong akar tebal melingkar yang muncul ke
permukaan tanah.
"Tapi kan saat-saat sekarang bukan waktunya libur," sanggah
Della.
"Memang. Bukan liburan. Aku di sini untuk mengerjakan
proyek. Itu lho, proyek mengenai pepohonan." Ia menepuk-nepuk
batang pohon di sebelahnya. "Banyak pohon yang bisa dipelajari di
pulau ini. Aku sedang menulis tentang reproduksi pohon."
"Reproduksi?"
Ia nyengir. "Yeah. Kau tahu, kan?"
Keduanya, tertawa. "Kayaknya sangat... menarik," komentar
Della, menatap mata cowok itu. Kok aku seperti sedang merayunya?
pikir Della. Padahal ia sama sekali tidak mengenalnya. Bahkan ia
tidak tahu namanya.
"Aku Della. Siapa namamu?"
"Della? Lucu. Itu namaku juga!"
"Ah, yang benar...""Tidak. Aku serius." Ia mengangkat salah satu tangannya,
seolah-olah bersumpah bahwa ucapannya benar. Cowok itu mendekat,
sehingga kini ia berdiri tepat di depan Della.
"Aku suka jaketmu," kata Della. Ia mengulurkan tangan,
menyentuh lengan jaket itu. "Vinil betulan?"
Cowok itu tertawa lagi. "Kau lucu sekali." Matanya menatap
mata Della, seolah-olah mencari sesuatu di sana. "Rasa humor itu
penting, kan? Menurutku begitu. Beberapa orang tidak punya rasa
humor. Bagaimana caramu menghadapi orang seperti itu? Kau tahu?
Apa yang bisa kaulakukan? Kadang-kadang itulah satu-satunya cara
untuk berhubungan dengan seseorang. Mengerti maksudku?"
"Tidak," jawab Della sambil tertawa.
Cowok itu tidak ikut tertawa. Ia menggigit bibir bawahnya.
Wajahnya berubah serius, menunduk memandang Della. Della sadar
betapa tingginya cowokrini, sekitar 30 sentimeter lebih tinggi darinya.
"Aku bicara mengenai komunikasi," kata cowok itu,
meneriakkan kata terakhir. "Aku bicara mengenai bagaimana
mendekati orang ketika mereka tidak mau didekati. Tahu maksudku?"
"Yeah, kurasa aku tahu." Ia mulai membuat Della takut. Apa sih
maksud omongan konyolnya itu? Tidak masuk akal. Lagi pula kenapa
ia jadi begitu gusar?
Della mundur selangkah dan memutuskan untuk mengganti
topik bicara. "Jadi kau suka pepohonan, ya?"
"Pepohonan?" Selama beberapa saat cowok itu seolah-olah
tidak mengerti apa yang dibicarakan Della. "Oh, yeah. Tentu. Aku
suka rambutmu."
"Berantakan karena angin.""Aku suka kok." Ia menengadah ke langit. "Agak berawan.
Moga-moga tidak hujan." Ia tampak tenang kembali.
"Yeah."
Ia mendekat dan menyentuh lengan sweter Della. "Sweter yang
bagus," komentarnya.
"Ini vinil sungguhan." Della merasakan embusan napas cowok
itu di lehernya. Ia mundur, tapi membiarkan lengan bajunya disentuh.
"Aku harus kembali."
"Kembali?"
"Kembali ke teman-temanku. Mereka mungkin bingung di
mana aku."
"Di mana kau?" tanyanya. Kayaknya ia tidak sedang bercanda.
Ucapannya bernada mengancam.
"Aku harus kembali ke kemah."
"Kirim cewek ini ke kemah," katanya, tanpa senyuman,
menatap mata Della.
Untuk pertama kalinya Della melihat cowok itu berkeringat.
Aneh, pikirnya. Masa udara dingin begini ia berkeringat. Jaket
kulitnya kan tidak mungkin sehangat itu.
"Senang berjumpa denganmu," kata Della. Nada bicaranya tetap
tenang, tapi sebetulnya ia ingin segera menyingkir jauh-jauh.
Cowok itu diam saja. Ia berdiri menatap Della, tanpa ekspresi.
Ia seolah sedang berpikir keras, berkonsentrasi. "Apa itu emas
sungguhan?" ia bertanya seraya mengulurkan tangan ke salah satu
anting-anting bulat di telinga Della.
"Aku tidak tahu," jawab Della. Dengan cepat ia berpaling dan
melangkah pergi.Tiba-tiba cowok itu menjambak rambutnya kuat-kuat, menarik
kepalanya ke belakang.
"Hei!" teriak Della. "Apa-apaan ini?"
"Kayaknya emas murni. Kau benar-benar seorang putri, ya."
"Lepaskan aku!" Della tak mau suaranya kedengaran panik, tapi
ia tak bisa mencegahnya.
Cengkeraman cowok itu makin kuat.
"Ayolah?lepaskan aku. Aku serius nih!"
"Aku juga." Suaranya rendah, penuh ancaman.
Dengan sebelah tangan masih mencengkeram rambutnya,
cowok itu memegang lengan atas Della dan menarik tubuhnya ke
dekatnya. Della bisa mencium bau kulit jaketnya, bau kulit campur
keringat.
"Hei?berhenti!" pintanya. "Sakit, tahu!"
"Sori, Putri." Cengkeramannya semakin erat.
Della mencoba membebaskan diri, tapi cowok itu terlalu kuat.
Ia menyeretnya ke lereng bersemak-semak. Dari atas, Della menunduk
dan melihat jurang yang dalam.
"Apa maumu?" teriaknya. "Mau apa kau?"BAB 5
MASIH mencengkeram Della erat-erat, cowok itu membuka
ritsleting jaketnya. Itu suara paling keras sekaligus paling menakutkan
yang pernah didengar Della.
"Pete! Gary!" jeritnya.
Cowok itu tertawa pelan. "Tak ada yang bisa mendengarmu,"
bisiknya. Ia mendorong Della semakin dekat ke jurang.
"Jangan, tunggu," pinta Della.
"Kenapa harus menunggu?" kilahnya. Suaranya lancar, tenang,
tapi menyeramkan. "Aku sudah lama menunggu. Terlalu lama malah.
Aku sudah menunggu banyak hal. Akhirnya kuputuskan mengambil
satu saja. Sesuatu untuk diriku. Kau mengerti maksudku?" Bicaranya
cepat, kacau, matanya liar. Ludahnya memercik ke wajah Della.
"Tolong lepaskan aku," Della memohon, memaksa suaranya
tidak gemetar. "Aku tidak akan lari. Aku janji."
"Aku tidak minta banyak. Tapi aku ingin sesuatu," ia terus
bicara, tidak memedulikan permintaan Della. "Itulah yang kukatakan
pada orang tua itu. Tapi dia tidak mendengarkan. Aku tidak bisa
berkomunikasi, tahu. Itulah yang kita bicarakan. Komunikasi. Aku
menemukan cara yang baik untuk berkomunikasi dengannya. Akumenemukan cara. Tapi tidak begitu berhasil. Maksudku, kau tidak
belajar jika kau mati. Kau tahu dari mana asalku?"
"Uh... ya. Tolong lepaskan aku."
"Kau tidak tahu apa yang kubicarakan, bukan? Yah, sebaiknya
begitu. Pura-pura bodoh saja, oke? Oke? Kau suka aku. Aku tahu.
Rasanya aku bisa berkomunikasi denganmu. Iya kan?"
"Ya. Tidak. Kau bikin aku sakit!"
Dengan napas terengah-engah, cowok itu melonggarkan sedikit
cengkeramannya. Della meronta, berputar dan menjauhkan diri. Saat
itulah ia melihat rantai perak melingkari leher cowok itu, tiga
tengkorak perak menggantung di sana. "Oh!" Della jadi sesak napas.
Tengkorak-tengkorak itu jelek sekali, seperti tengkorak sungguhan,
tampak sangat jahat menyeramkan.
Cowok asing itu menatap mata Della, seolah sedang mencoba
membaca pikirannya.
"Apa maumu?" tanya Della.
Ia tidak menjawab. Matanya tidak berkedip. Kebisuannya lebih
mengerikan daripada bicaranya yang liar.
Della tiba-tiba ingat pada pistol ZAP-nya, yang ia susupkan ke
kantong belakang jeans-nya. Diulurkannya tangan ke belakang,
disentuhnya laras, lalu hulu pistolnya. Ia menyentakkan tangan,
mengangkat pistol, dan menembak.
Semprotan cat kuning terlontar ke dahi cowok itu. Ia jadi
gelagapan, kaget, lalu berteriak marah seraya melepaskan Della untuk
mengusap dahinya.Della melesat, berlari tersandung-sandung. Ia seakan melayang
sepanjang jalan. Ke mana ia harus pergi? Ia tidak tahu. Ia tidak peduli.
Yang penting ia lari.
Akar pohon yang menyembul ke permukaan tanah membuatnya
jatuh, namun ia berhasil bangkit kembali dengan cepat. Ia berlari
membabi buta, daun-daun yang rimbun berkelebat bagai bayangbayang.
Tapi cowok itu tepat di belakangnya.
Ia menyergap. Lengannya memeluk kedua kaki Della.
Della terjerembap keras. Lututnya berdenyut-denyut, rasa sakit
itu lalu menjalar ke sekujur tubuh.
Lengan cowok itu melingkar di pinggang Della.
Bahkan sebelum Della sadar dirinya tertangkap lagi, cowok itu
telah menariknya berdiri. Dengan marah ia mendorong Della keraskeras. Direbutnya pistol ZAP dan ditekankannya larasnya ke
punggung Della.
"Lepaskan aku! Lepaskan aku!" Della meraung.
Ia mendorong Della ke tepi jurang. Della berjuang
membebaskan diri, tapi cowok itu menekuk lengannya ke belakang
kuat-kuat, menusukkan moncong senjata ZAP yang tajam ke


Fear Street Cukup Satu Malam The Overnight di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

punggungnya.
Di tepi jurang ia berhenti. Dipegangnya bahu Della dan
diguncangnya keras-keras. "Seharusnya kau tidak lari," katanya
marah.
Ketika ia menunduk, mendekatkan wajahnya, Della menarik
kedua tangannya dan cepat-cepat mendorong cowok itu sekuat tenaga.Mata cowok itu membelalak terkejut sementara ia kehilangan
keseimbangan.
"Hei!"
Ia terjengkang. Kedua kakinya mencuat ke atas ketika ia mulai
meluncur ke sisi jurang yang terjal itu.
Kedua tangannya dengan sia-sia menggapai-gapai, mencari
pegangan.
Della memejamkan mata.
Ia mendengar suara tubuh menggesek tanah, sekali, dua kali.
Terdengar jeritan, disusul bunyi berdebuk keras. Suara erangan. Lalu
sunyi.
Semua berlangsung begitu singkat, hanya tiga atau empat detik.
Tapi rasanya seperti satu tahun.
Della membuka mata. Suasana jadi jauh lebih gelap.
Pepohonan, tanah, langit. Ia menghela napas dalam-dalam. Kadangkadang cara ini membuatnya tenang.
Sayangnya kali ini tidak berhasil.
Naluri pertamanya adalah lari. Tapi ia tahu ia tidak dapat lari
sebelum melihat ke dasar jurang.
Tanah seakan miring. Pepohonan seolah tumbuh di sudut-sudut
yang aneh, saling tabrak. Della menggelengkan kepala, mencoba
menghilangkan rasa pusing.
Lalu ia menunduk ke dasar jurang yang ternyata tidak sedalam
dan securam yang ia bayangkan.
Cowok itu terbaring di dasar, badannya tertekuk, posisi
kepalanya aneh?seolah pernah terlepas dan dipasang kembali secarasembarangan oleh seseorang yang tidak tahu bagaimana sebetulnya
posisi kepala.
Della menuruni lereng jurang dengan hati-hati.
Cowok itu tidak bergerak. Mulutnya terbuka lebar. Matanya
tertutup. Kepalanya menekuk hampir ke samping, seperti menyentuh
pundaknya.
"Tidak!"
Apakah lehernya patah?
Della jadi mual. Semua benda mulai berputar. Ia terduduk di
tanah, menunggu hutan berhenti bergerak.
Apa yang harus kulakukan? pikirnya. Ini tidak benar-benar
terjadi?kan? Pikirannya berputar lebih cepat daripada pepohonan. Ia
ingin bangun dan melupakan mimpi ini. Ia ingin lari. Ia ingin
menghentikan serangan panik yang melandanya. Seandainya ia bisa
berpikir jernih....
Sebelum sepenuhnya sadar, tahu-tahu ia sudah meluncur ke
dasar jurang. Di sana ia berdiri di dekat tubuh kaku itu, memandangi
kalung berhias tiga tengkorak perak yang seolah membalas
tatapannya.
Mulut cowok itu terbuka lebar, menyiratkan ekspresi ketakutan.
Seolah-olah menyatakan, "Kau membunuhku, Della."
"Tidak!" jerit Della. "Bangun! Bangun!"
Della memegang tangannya dan menariknya supaya berdiri.
Lengannya terasa lemas, mati. Dilepaskannya tangan itu, merasakan
gelombang rasa mual mengalir dari perutnya.
"Bangun! Bangun!"Suasananya begitu gelap, sulit untuk melihat. Seandainya
semua berhenti berputar. Seandainya ia dapat bernapas normal, dan
berpikir normal.
Apa yang harus dilakukan? Apa??
Cowok ini harus hidup, pikirnya. Ia tidak boleh mati. Tidak
boleh.
Dengan kedua tangan gemetar, ia berlutut di atas dedaunan
kering dan menggapai tangan cowok itu. Della menggerakkan jemari
di sekitar pergelangan tangannya, mencoba mencari denyut nadi.
Di mana? Di mana denyut itu? Ayolah?harus ada denyutan....
Ya! Ia berhasil menemukannya. Denyutan lembut terus-menerus di
pergelangannya, begitu cepat, begitu kuat. Ya. Denyut nadinya masih
ada. Ia hidup. Ia...
Tidak.
Della gemetar. Yang ia rasakan ternyata denyut nadinya sendiri.
Kedua tangannya gemetar. Disentuhnya tenggorokan cowok itu.
Della pernah melihat di film. Denyut nadi bisa ditemukan dengan
menekan sisi tenggorokan.
Kepalanya berguling lemas ke belakang. Della menekan
tenggorokannya keras-keras. Tidak ada apa-apa. Digerakkannya
jemarinya. Tidak ada apa-apa.
Tidak ada apa-apa. Tidak ada apa-apa. Tidak ada apa-apa.
Ia mengangkat pergelangan tangan cowok itu.
Tidak ada apa-apa.
"Ohhh." Della berdiri, kedua tangannya menutupi wajah.
Cowok itu mati. Ia telah membunuhnya.Aku membela diri, pikirnya. Aku cuma membela diri.
Tapi apa bedanya? Ia telah membunuh.
Sekarang bagaimana?
Sekarang hidupnya akan hancur.
Sekarang orangtuanya akan tahu ia pergi berkemah tanpa Mr.
Abner. Sekarang semua orangtua akan tahu. Ia memikirkan Maia dan
janjinya bahwa semua akan baik-baik saja.
Dan sekarang semuanya berantakan.
Seluruh penduduk kota akan tahu ia telah membunuh. Peristiwa
ini akan menghantui sepanjang sisa hidupnya. Hidupnya hancur,
hancur sudah.
Tidak.
Mengapa aku harus menghancurkan hidupku demi... cowok
brengsek ini?
Ia membelakangi cowok itu sehingga ia bisa berpikir lebih baik.
Pikirannya kacau-balau. Ia sulit berpikir jernih, berpikir lurus.
Tapi ia telah memutuskan.
Ia akan merahasiakan pertemuannya dengan cowok ini. Ia
takkan bercerita apa-apa tentangnya.
Lagi pula untuk apa cerita macam-macam.
Bagaimanapun ini kecelakaan. Hanya kecelakaan. Cowok itu
bisa jadi terpeleset, jatuh ke jurang, kepalanya terbentur, dan lehernya
patah. Pokoknya semua ini akibat perbuatannya sendiri.
Tiba-tiba Della tahu apa yang akan ia kerjakan. Sebenarnya
gampang. Dan cerdik. Ya, ia memang cerdik.Dan ia tidak sekadar melindungi diri sendiri. Ia juga melindungi
teman-temannya. Tidak layak bila hidup mereka hancur selamanya
karena... kecelakaan ini.
Ia membungkuk dan meraup dedaunan kering, dedaunan mati
sisa musim dingin yang baru lewat. Lalu diletakkannya tumpukan
daun itu di atas kaki cowok itu, di atas sepatu botnya. Menyusul
setumpuk lagi. Dan setumpuk lagi.
Tak perlu waktu lama menutupinya dengan daun, pikir Della.
Lalu aku akan kembali ke kemah, dan pura-pura semua ini tidak
pernah terjadi.
Ia meraup setumpuk daun lagi. Ketika ia mulai menjatuhkan
daun-daun itu ke dada cowok itu, Della mendongak ke arah bibir
jurang.
Ricky dan Maia sedang menatap ke bawah, menatap dirinya.BAB 6
"IA menyerangku!" teriak Della sambil berjuang mendaki sisi
jurang yang curam itu. "Aku tidak bermaksud melakukannya!
Maksudku, aku tidak bermaksud mendorongnya. Dia jatuh, tahu. Ini
kecelakaan!"
Tampang Maia terlihat lebih bingung dibanding Della, tapi ia
buru-buru maju dan merangkul bahu Della, menolongnya keluar dari
jurang dan mencoba menenangkannya. "Tenang," bisiknya. "Tenang.
Ceritakan pelan-pelan."
"Siapa cowok itu?" tanya Ricky. Ia berdiri di pinggir jurang,
mengintip ke bawah, ke tubuh yang setengah tertutup itu.
"Aku tak tahu," jawab Della. Ia memaksa dirinya tidak gemetar
lagi, tidak bernapas dengan susah payah dan cepat. "Itu yang sedang
kuceritakan pada kalian. Cowok itu tiba-tiba datang. Dia ingin... dia
ingin... aku mendorongnya supaya menjauh, dan dia jatuh. Dia?dia
mati. Dia benar-benar mati."
Maia melepaskan bahu Della dan berbalik. "Della, kau berjanji
padaku...," katanya, tapi ia terlalu bingung hingga tak bisa
menyelesaikan kalimatnya. "Orangtuaku?mereka akan..."Pete muncul dari belakang Della dan merangkul bahunya.
"Tenang. Sudah selesai sekarang," ia berkata lembut. "Akan kita
pikirkan apa yang harus kita lakukan."
Della tersenyum. Ia mulai agak tenang.
"Ihhh, menjijikkan sekali," ia mendengar Suki berkata pada
Gary. "Aku belum pernah melihat mayat."
"Tapi, siapa dia? Dan sedang apa dia di sini?" tanya Ricky,
kelihatan serius sekali kali ini.
"Cuma cowok brengsek," gumam Della, gemetar.
"Tapi sedang apa dia sendirian di sini?" ulang Ricky, suaranya
melengking tinggi.
"Mana aku tahu?" bentak Della. "Dia bukan temanku, tahu. Dia
cowok yang menyerangku di hutan. Dia tidak cerita tentang kisah
hidupnya."
"Sori," kata Ricky lirih. "Tapi tidak usah teriak dong."
Teriak? Rasanya ia tadi menjerit sekuat tenaga.
"Kau yakin dia sudah mati?" tanya Gary tiba-tiba.
"Apa?"
"Kau yakin dia sudah mati?"
"Hmm, ya," jawab Della. Ia teringat pada upayanya mencari
denyut nadi namun tanpa hasil itu. Della jadi pusing lagi. Ia duduk di
tanah, meletakkan kepala di kedua tangan, menutup matanya.
"Mungkin kita perlu mengecek ulang," kata Gary.
"Aku tidak percaya semua ini terjadi," teriak Maia. "Semua
hidup kita hancur gara-gara acara berkemah yang konyol ini."
"Tutup mulutmu, Maia!" jerit Della. Ia tak dapat menahan diri.
Tapi ia tidak peduli."Tapi orangtuaku akan membunuhku!" desak Maia. Della
menengadah memandangnya. Air mata meleleh di pipinya.
Kenapa dia menangis? pikir Della. Berani-beraninya dia
menangis? Akulah yang baru saja membunuh orang!
"Jangan menangis, Maia," kata Suki tajam. "Bisa merusak
reputasi kita."
"Rasanya aku kurang enak badan," keluh Ricky. "Perutku..." Ia
lari ke pepohonan.
"Aku mau, ke sana," kata Gary.
"Untuk apa?" Suki memegang lengannya.
Gary menyentakkan tangan dan meluncur ke dasar jurang.
"Tunggu?aku ikut!" seru Pete. Tapi ia tidak bergerak turun.
Della mengawasi Gary turun ke dasar jurang. Angin telah
menerbangkan daun-daun yang ia tumpuk di atas tubuh laki-laki muda
itu, membuatnya seolah-olah bergerak. Jauh di suatu tempat, ia
mendengar burung-burung gagak berkaok-kaok keras. Gagak-gagak
itu mengingatkannya pada elang. Ia membayangkan elang-elang hitam
besar dengan rakus menyerang orang asing itu, mencabik-cabik
tubuhnya.
Digelengkannya kepalanya kuat-kuat, mencoba menghilangkan
bayangan seram itu dari benaknya. Gary membungkuk di atas mayat
itu, menyingkirkan beberapa helai daun.
"Badannya dingin," Gary berteriak, suaranya bergetar,
kedengaran lebih nyaring dari biasanya.
Tak seorang pun bicara. Ricky sudah kembali, tubuhnya
bercucuran keringat, tampangnya terguncang.
"Aku tidak menemukan denyut nadi," Gary memberitahu."Apa yang harus kita lakukan?" tanya Ricky sambil duduk di
tanah, bersilang kaki dan bertopang dagu.
"Akan kita tutupi seluruh badannya dengan daun," kata Suki,
seolah-olah semuanya sudah diputuskan.
"Kita?" tanya Maia, kedengarannya tidak terlalu kaget. "Kita
pura-pura tidak tahu-menahu?"
"Bagaimana menurutmu, Della?" tanya Pete. Ia berdiri sangat
dekat, hendak merangkulkan tangan di bahu Della, lalu ragu-ragu.
"Apa kita bisa menyimpan rahasia seperti ini?" tanya Della.
Matanya memandang pepohonan, bukan memandang temantemannya.
"Harus," desak Maia.
"Yeah, harus," ulang Ricky murung, kepalanya tertunduk.
Gary muncul kembali, terengah-engah, tampak terguncang.
"Denyut nadinya tidak ada sama sekali," katanya.
"Kita tutupi seluruh badannya dan pura-pura kejadian ini tidak
pernah terjadi," kata Suki, pada Gary.
"Aku setuju." Gary menggelengkan kepala. "Ada yang tidak
setuju dengan rencana ini?"
Tak seorang pun menjawab.
"Ayo, kita mulai," ajak Gary sambil menatap Pete.
"Aku akan bantu," kata Della.
"Jangan." Pete memegang tangannya. "Gary dan aku bisa
mengerjakannya."
Mereka menghilang ke dasar jurang. Della tidak melihat, tapi ia
bisa mendengar suara gesekan dan gemeresik dedaunan ketika merekamengubur mayat cowok itu. Ia tahu suara itu takkan pernah bisa
dilupakannya.
Beberapa menit kemudian mereka kembali ke kemah sambil
membisu. Entah kenapa Della terkejut menemukan semua tenda,
ransel, berbagai perlengkapan, dan kayu bakar masih sama seperti
ketika mereka tinggalkan. Seluruh dunianya berubah gara-gara
peristiwa singkat di bibir jurang itu. Ia berharap semuanya ikut
berubah. Akan tetapi, melihat perkemahan mereka masih seperti
semula, membuatnya tenteram.
Mungkin semuanya akan berjalan seperti semula, pikirnya.
Mungkin rahasia ini akan tetap tinggal di Fear Island, dan
kenangannya kemudian pelan-pelan memudar.
"Ayo, kita berkemas dan pergi dari sini," kata Suki sambil
mengambil ranselnya.
"Betul," sahut Maia setuju. "Aku tidak ingin tinggal sedetik pun
di pulau yang mengerikan ini."
"Jangan, tunggu," desak Della. "Kita tidak bisa kembali
sekarang. Nanti orangtua kita akan bertanya mengapa kita kembali
lebih cepat, mengapa kita tidak menginap."
"Betul," lanjut Gary cepat.
"Maksudmu kita harus menginap semalam di sini?" teriak Maia.
"Tidak! Aku tidak mau! Aku tidak mau!" Diambilnya ranselnya dan
dengan marah dilemparnya ke tumpukan kayu bakar.
"Maia, jika kau tidak bisa tenang, kami akan menutupimu
dengan daun-daun juga," ancam Suki. j
Maia tergagap. Ricky tertawa. Ia kini tampak lebih santai,
seperti biasanya."Cobalah kalian tenang," kata Gary. "Della betul. Kita harus
tinggal di sini sampai besok. Kita harus membuat semua tampak
normal. Jangan sampai orangtua kita curiga."
"Konyol banget," Suki menggerutu. "Kita semua kan sudah
tidak bersemangat lagi."
"Aku tahu," jawab Gary. "Tapi kita tidak punya pilihan, kan?
Kita harus tinggal."
"Tapi aku kedinginan nih," rengek Maia.
"Yuk, kita bikin api unggun," ajak Gary. "Api yang hangat akan
membuat kita lebih baik."
"Makan malam yang hangat akan membuatku lebih baik," kata


Fear Street Cukup Satu Malam The Overnight di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ricky. "Apalagi karena aku tidak makan siang!"
Mereka membuat api unggun besar dan hot dog panggang.
Della kaget karena ternyata ia tidak kehilangan nafsu makan. Mereka
tidak banyak bicara. Bahkan Ricky diam saja, terus makan dengan
rakus. Ebukulawas.blogspot.com
Malam itu sejuk dan cerah. Angin berembus kencang, berputarputar, membuat api unggun terbungkuk-bungkuk dan berkedip-kedip.
Della menengadah dan melihat langit yang dipenuhi bintang dengan
sinar putih dan kuning terang. "Bagaimana keadaanmu?" tanya Pete,
menyusup ke balik selimut di samping Della.
"Kurasa oke-oke saja." Della tersenyum. Sikapnya benar-benar
manis pada Della. Gary dan Suki duduk di seberang api unggun.
Mereka berbagi selimut, makan bersama tanpa bicara.
Maia duduk sedekat mungkin dengan api unggun. Ia
menggosokkan kedua tangan, mencoba menghangatkannya. "Akubelum merasa hangat," katanya ketika melihat Della dan Pete
menatapnya.
"Kurasa tak ada yang mau cerita soal hantu di sekitar api
unggun malam ini," canda Ricky setelah mereka selesai makan. Itu
guyonan pertamanya dan, seperti biasa, tidak mendapat tanggapan.
"Kita harus segera tidur," kata Maia. "Begitu bangun, sudah
waktunya pulang." Ia menggeleng sedih sementara matanya
memandangi cahaya api. "Aku ingin pulang sekarang juga."
Lalu ia berdiri, dan menarik selimutnya menuju tenda cewek.
"Tunggu," panggil Gary seraya melepaskan rangkulannya di
pundak Suki. "Kita harus sumpah dulu."
"Hah? Sumpah apa?" tanya Ricky. Dinaikkannya selimut
sehingga hanya wajahnya saja yang kelihatan.
"Sumpah rahasia," kata Gary. "Rahasia Fear Island harus tetap
di sini selamanya. Kita harus bergandengan tangan dan bersumpah."
Angin menderu ketika mereka berenam berdiri melingkar
dengan khidmat. Mereka mengulurkan sebelah tangan di atas api.
Tangan-mereka saling sentuh.
Suki menarik tangannya. "Konyol ah," katanya.
"Tidak kok. Upacara ini kita lakukan supaya resmi," kata Gary
padanya.
Suki melirik tapi kembali mengulurkan tangan. Mereka semua
menunduk, wajah-wajah mereka berwarna oranye terkena cahaya api.
"Rahasia harus tetap tersimpan," Gary berbisik pelan.
Saat itulah angin yang berembus kencang memadamkan api.Maia menjerit. Perlu beberapa detik untuk menenangkannya.
Pete dan Suki cepat-cepat menyalakan api lagi. Maia memang satusatunya yang bereaksi, tapi yang lain kini tampak terguncang.
"Untung sekarang bukan bulan purnama," kata Ricky. "Jadi kita
tak perlu kuatir dengan serigala jadi-jadian." Ia bercanda, tapi tak
seorang pun bereaksi.
Mereka menumpuk ransel-ransel mereka di dekat api karena tak
ada tempat di tenda. Lalu Della membimbing Maia ke tenda cewek.
Tiba di pintu, ia menoleh dan melihat Gary berjalan bersama Suki,
menjauhi perkemahan. Keduanya saling memeluk pinggang.
Di dalam tenda udara terasa hangat dan lembap. Della mulai
membuka gulungan kantong tidur, lalu berhenti. Ia mendengar angin
bertiup dan gemeresik daun-daun.
Gemeresik dedaunan yang ditimbun di atas mayat seorang
pemuda. Dikubur dalam dedaunan. Dalam dedaunan. Dikubur dalam
dedaunan yang berbunyi gemeresik.
"Tidak!" Ia menutup telinganya, tetapi suara gemeresik itu tetap
ada. "Kau baik-baik saja?" tanya Maia, masuk ke kantong tidurnya
dengan pakaian lengkap.
"Apa?" Della sulit mendengar Maia karena suara dedaunan.
Begitu banyak daun, kering dan cokelat, ditimbun sedemikian tinggi.
"Aku tanya, apa kau baik-baik saja?"
"Yeah, kurasa begitu."
"Seharusnya kita tidak kemari," sesal Maia. "Aku tahu
seharusnya kita tidak datang ke sini." Ia berpaling.Della diam saja. Ia selesai membuka gulungan kantong
tidurnya, mendengarkan suara angin dan daun-daun, memikirkan
cowok itu lagi, merasakan dahinya menekan pipinya, mencium kulit
jaket bomber-nya, lalu melihat ia terjengkang ke belakang ketika
Della mendorongnya. Mendorongnya sampai mati.
Ia memaksa dirinya memikirkan hal lain. Gary. Tidak. Ia juga
tidak bisa memikirkan Gary. Ia sedang pergi ke hutan, berdua Suki.
Kenapa ia mau saja pergi berkemah kemari? Tujuan utamanya untuk
memperbaiki hubungan dengan Gary. Tapi sekarang tidak mungkin
lagi. Habis. Usai. Benar-benar usai.
Seperti pemuda di hutan itu.
Berhenti, Della. Berhenti memikirkannya.
Tidak, aku tak bisa. Tak bisa. Aku takkan bisa berhenti.
Beberapa jam kemudian ia bangun dari tidurnya yang tanpa
mimpi. Tangannya ke-semutan dan kebas. Ia tidur dengan menindih
tangannya. Dikibas-kibasnya tangannya supaya normal kembali.
Wajahnya terasa basah dan dingin. Semua lembap. Akhirnya ia
duduk, matanya berusaha menyesuaikan dengan kegelapan. Maia
masih tidur, bergelung di kantong tidurnya. Suki masih tidur juga,
mendengkur. Kapan ia masuk?
Della menyeka rambutnya. Basah, basah, basah. Bukankah
tenda seharusnya tidak tembus embun?
Lalu didengarnya suara, tepat di luar tenda. Bulu kuduknya
merinding. Ada orang di luar?
Ia mendengarkan.
Angin tidak bertiup. Suasana hening.Bunyi ranting patah memecah kesunyian. Apakah itu bunyi
langkah kaki? Terdengar bunyi garukan. Ya. Ada orang di luar.
Adakah temannya yang juga bangun?
Terdengar suara ranting patah lagi, seperti ada orang melangkah
di atas ranting atau dedaunan kering.
Della berdiri, tangannya masih kesemutan, tapi ia sekarang
sudah benar-benar bangun.
"Maia! Suki! Bangun!" bisiknya. "Maia?ayolah! Kalian
bangun dong!"
Kedua temannya bergerak. "Jam berapa sekarang?" tanya Maia,
suaranya serak.
"Ssst," Della mengingatkan. "Kayaknya ada orang di luar."
Suki dan Maia segera sadar. Keduanya berlutut. "Hah?
Mungkin angin," bisik Suki. Tapi ia sama takutnya seperti Maia.
"Apa yang harus kita lakukan?" tanya Maia. Ditariknya kantong
tidurnya ke atas, supaya tetap hangat.
"Sssst. Dengar," bisik Della.
Mereka mendengar suara gemeresik. Seperti suara sepatu
menggesek tanah. Menyusul suara lain lagi.
Apa itu tadi? Suara orang batuk?
Della berlutut dan memandang pintu tenda. Pinggangnya sakit.
Lehernya kaku. Siapa bilang tidur di tanah enak?
"Della?kembali," Maia memohon. "Kau mau ke mana?"
"Aku mau melihat siapa di luar," Della berbisik. "Kau ikut?"
Suki malah masuk kembali ke kantong tidur, menariknya
sampai kepala. Maia tidak bergerak.
"Ya sudah. Aku pergi sendiri," keluh Della."Kembalilah tidur," kata Suki. "Ini cuma mimpi buruk."
Suara gemeresik terdengar lagi, kali ini sedikit lebih keras, lebih
dekat.
"Ini. Ambil." Maia, dengan perasaan bersalah, menyerahkan
senter.
Sambil memegang senter Della berjuang memakai sepatu ketsnya. Ia ragu sejenak di depan pintu tenda, sebelum melangkah keluar,
dan dengan cepat mengarahkan sinar senternya ke sekeliling
perkemahan.
Tak ada siapa-siapa.
Della maju selangkah lagi. Api unggun sudah hampir mati, bara
api merah-biru meretih pelan. Ia berhenti dan mendengarkan.
Langkah kaki. Tepat di depan kemah cowok.
"Siapa di sana?" ia memanggil, tapi suaranya pelan sekali. Della
tahu suaranya tak sampai ke tenda itu.
Terdengar suara langkah kaki lagi.
"Ada orang di sana?" Suaranya kini sedikit lebih keras.
Dengan sinar senter tetap rendah dan mengarah ke depan, ia
berjalan melewati tenda cowok, melangkah amat hati-hati karena ia
tidak mengikat tali sepatunya. Ia tiba di pinggir hutan sekarang. Angin
tak bertiup sama sekali. Satu-satunya suara adalah embusan napasnya.
Dan langkah kaki di atas dedaunan kering.
Ia melangkah masuk ke hutan. "Siapa di sana?" Disorotkannya
senternya ke sekeliling.
Tubuhnya gemetar, lebih karena ketakutan daripada kedinginan.
Apa yang kukerjakan di luar sini? ia bertanya pada diri sendiri. Ada
apa sih? Kenapa aku begitu berani?Akhirnya ia berbalik.
Mungkin cuma binatang, pikirnya.
Binatang goblok. Jalan-jalan di hutan di tengah malam,
mengejar binatang goblok lainnya. Aku sudah gila, pikir Della.
Ia sudah melangkah melewati api unggun dan hampir masuk
kembali ke tenda ketika matanya menangkap sesuatu. Ransel-ransel
itu. Semula tersusun rapi di dekat api unggun. Sekarang berantakan
di tanah.
Apakah ada orang yang menendangnya?
Disorotkannya senter, tampaknya ransel-ransel itu tidak dibuka.
Ah, paling-paling karena angin. Atau mungkin binatang.
Mungkin rakun yang sedang mencari makan. Langkah-langkah kaki
yang didengarnya masuk ke hutan?itu pasti rakun yang sama.
Maia dan Suki duduk gelisah, menunggu Della kembali.
"Kurasa cuma rakun," Della berkata sambil angkat bahu.
"Aku tahu," kata Suki, menggelengkan kepala. Ia menyusup
lagi ke kantong tidurnya.
"Syukurlah." Maia mengembus napas lega.
Della menendang sepatu kets-nya dan masuk ke kantong
tidurnya. Udara di dalam tenda terasa dingin. Perlu waktu sebelum
hangat lagi. Ia memasang telinga. Tapi yang bisa didengarnya kini
hanya napas Suki yang keras.
Della mendengarkan dengkuran Suki dan suara Maia berguling
ke kanan-kiri sepanjang malam. Ia tak bisa tidur.Paginya mereka keluar tenda dengan tubuh kaku dan
sempoyongan, seperti beruang keluar dari tidur musim dingin yang
panjang. Tampang Maia seperti mau menangis, saking kacaunya.
Mereka cepat-cepat sarapan dan berkemas, hampir tanpa bicara
karena begitu ingin segera meninggalkan pulau. Mereka begitu ingin
mengakhiri acara berkemah itu, begitu ingin pergi menyendiri ke
suatu tempat, supaya bisa berpikir dengan tenang, tentang apa yang
telah terjadi.
Matahari pagi yang merah memanjat pepohonan ketika mereka
melangkah keluar hutan, menuju pantai yang berkarang. Danau
kelihatan rata dan keunguan terkena sinar matahari pagi. Udara cukup
bersih untuk melihat kota yang membentang sepanjang tepian di
seberang danau.
"Oh, tunggu! Ranselku!" teriak Ricky. "Aku lupa membawa
ranselku." Ia berbalik, berlari secepat kilat, menuju tempat berkemah.
Yang lain bergegas menuju tempat mereka menyimpan kano.
Sepatu kets mereka menimbulkan bunyi gemeresik ketika menginjak
batu-batu kerikil.
Beberapa detik kemudian mereka berhenti. Dan terbelalak.
"Mana kano-kano itu!?" jerit Della.
Tak tampak satu pun.
"Oh, tidak!" teriak Maia. "Kita terjebak di sini!"BAB 7
"PASTI diambil orang," kata Della. "Kano-kano itu kita
tinggalkan di sini." Ia mengubah posisi ranselnya yang berat di
pundaknya dan menatap ke seberang danau, ke arah kota. Tempat itu
begitu dekat, sekaligus begitu jauh.
"Jangan panik," kata Gary, kelihatan sangat kuatir.
"Jangan panik? Apa maksudmu, jangan panik!" teriak Maia,
wajahnya merah, matanya membelalak ngeri. "Siapa yang
mencurinya? Apa yang akan kita lakukan? Aku harus pulang!
Orangtuaku akan membunuhku!"
"Kita takkan lama di sini. Jika kita tidak sampai di rumah tepat
waktu, mereka akan mengirim seseorang untuk mencari kita," kata
Gary.
Ucapannya seharusnya bikin semua orang tenang, tapi tidak
sama sekali buat Maia. "Lalu semua orang tahu kita ke sini tanpa Mr.
Abner!" teriaknya.
"Kau yakin kita meninggalkan kano-kano itu di sini?" tanya
Suki sambil menendang-nendang pasir.
"Tentu saja," sahut Gary. ""Lihat. Itu jejaknya di pasir.""Kalau begitu, kano-kano kita dicuri orang," kata Della lirih.
Pikirannya melayang pada mayat cowok yang ditimbuni daun-daun.
Mereka terperangkap di pulau ini, bersama mayat itu.
"Apa yang terjadi?" teriak Ricky sambil berjalan susah payah
mendekati mereka. Ia menyeret ranselnya.
"Kano-kano itu...," jawab Maia.
"Astaga." Ricky menjadi pucat. "Oh, wow. Sori. Aku yang
memindahkannya."
"Apa?"
"Kenapa?"
Ricky menyeringai, merasa bersalah. Ia berpaling, menjatuhkan
ranselnya di pasir, dan mengangkat tangan seolah-olah siap
menangkis serangan. "Aku cuma bermaksud bercanda kok. Aku
memindahkannya kemarin, sebelum... uh... kecelakaan itu."
"Bukan main." Suki merengut. "Selera bercandamu luar biasa,
Schorr."
"Sori. Cuma main-main. Kemarin, sewaktu perang ZAP aku
menyelinap kemari dan memindahkan kano-kano itu," Ricky
menjelaskan. "Jadi, tuntutlah aku. Saat itu aku tidak tahu Della akan
membunuh seorang cowok!"
Della tergagap. "Ricky..."
"Beri dia kesempatan melupakan kejadian itu, Schorr," kata
Pete cepat.
"Biarkan kita semua melupakannya," sambung Gary tidak
sabar. "Yang kita inginkan adalah pergi dari sini. Di mana kau
sembunyikan kano-kano itu?""Di sebelah sini." Mereka mengikuti Ricky sekitar sembilan
meter ke arah pantai. Kano-kano itu tergeletak di antara rumputrumput tinggi, di balik bukit pasir yang rendah.
"Kau benar-benar menyebalkan, Schorr," maki Suki. Ia menatap
Ricky dengan tampang jijik.
"Aku kan sudah minta maaf."
Mereka menarik kano-kano itu ke air, menempatkan barangbarang mereka dan masuk ke perahu-perahu itu. Perjalanan kembali
ke kota lama sekali, seolah tanpa akhir. Tak seorang pun bicara. Tak
seorang pun menoleh ke belakang, ke arah Fear Island.
Kami semua bukan orang yang sama lagi, pikir Della. Kami
semua menyimpan rahasia sekarang. Kami semua punya mimpi buruk
yang harus tetap kami rahasiakan.
Ia memandang Maia. Rambut pirangnya kusut. Matanya merah
dan ada lingkaran hitam di sekitarnya. Tampaknya ia menangis
semalaman. Pete, yang biasanya sangat rapi, kini mengenakan sweter
kotor dan kusut. Rambutnya yang tak disisir jatuh ke matanya.
Penumpang kano lain sama kusutnya dengan mereka. Rambut
Suki yang kaku menempel rata di keningnya. Ia tidak mencoba
menyisirnya. Wajahnya pucat, putih seperti tepung roti, seolah-olah
seluruh darahnya terisap. Ricky mendayung sambil membisu di sisi
belakang kano, terengah-engah, keringat menetes di wajahnya


Fear Street Cukup Satu Malam The Overnight di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

meskipun udara pagi itu sejuk. Hanya Gary yang kelihatan agak
normal. Meski begitu wajahnya menyiratkan ketegangan dan
kecemasan sementara ia mendayung dengan teratur, tanpa melepaskan
pandangan dari pantai yang kian dekat.Aku akan segera tiba di rumah, pikir Della. Tapi semuanya
takkan sama. Tak ada yang sama lagi.
Suara kecipak dayung di air mengingatkannya akan suara
gemeresik dedaunan. Sekali lagi ia melihat tumpukan dedaunan
cokelat di atas sosok tak bernyawa di jurang. Daun-daun berserakan di
mana-mana, kering dan mati. Ia menunduk. Danau itu dipenuhi daundaun mati, dipenuhi kematian.
"Della?kau baik-baik saja?" suara Pete membuyarkan
pikirannya. Daun-daun yang gemeresik hilang, diganti suara dayung
dan air yang memukul sisi kano.
"Ya. Aku baik-baik saja. Aku cuma... sedang berpikir." Ia
memaksakan diri tersenyum. Ia tahu jawabannya tidak meyakinkan.
"Semuanya akan beres," kata Pete. "Kau hampir sampai di
rumah."
Hampir sampai di rumah. Mungkin aku akan merasa lebih baik
begitu aku sampai di rumah, pikir Della.
Tapi ketika, kurang dari satu jam kemudian, ia membuka pintu
belakang rumah dan melihat ibunya yang sudah berdandan untuk ke
gereja tengah sarapan di meja dapur, ia merasa lumpuh karena rasa
takut.
Bagaimana Della menghadapi ibunya?
"Well?" tanya Mrs. O'Connor, setelah memiringkan cangkir
kopi ke mulutnya untuk menghirup tetesan terakhir. "Bagaimana
kemahnya? Kok cepat banget pulangnya."
"Ya, kami bangun pagi-pagi," Della berhasil menjawabnya. Ia
bertanya-tanya, apakah ibunya bisa melihat betapa gelisahnya dia.Mrs. O'Connor biasanya dapat membaca pikiran. Ia pandai membaca
mata dan ekspresi Della.
"Agaknya semalam kau kurang tidur." Ibunya geleng-geleng
kepala menandakan ia tidak senang.
"Aku tidur cuma sebentar," sahut Della. Ia melangkah ke lemari
es dan mengambil sekotak jus jeruk. Ia tiba-tiba ingin menangis. Ia
berharap kegiatan seperti mengambil jus jeruk untuk dirinya sendiri
akan membantunya mengendalikan diri.
Tapi bagaimana aku bisa mengendalikan diri? Aku membunuh
orang semalam!
Apakah ibunya melihat tangannya gemetar sewaktu
menuangkan jus ke dalam gelas? Tidak.
"Kurasa kau tidak mau ikut ke gereja," kata ibunya.
"Aku mau tidur. Rasanya aku bisa tidur seminggu nih," ujar
Della.
"Berkemahnya asyik?" tanya Mrs. O'Connor sambil berdiri dan
merapikan bajunya.
"Begitulah," kata Della. Ia meminum jus jeruknya dekat
wastafel, tetap membelakangi ibunya.
"Apa kau semalam benar-benar tidak tidur?" tanya Mrs.
O'Connor.
"Tidak. Tidak semalaman sih."
"Mau sarapan?"
"Tidak."
"Kau ngomong sama Gary?" Ibunya tahu Della benci kalau
ditanya-tanya soal pacar, tapi bukan berarti jadi batal bertanya."Tidak banyak." Della meminum separo jusnya, lalu membuang
sisanya ke wastafel.
"Aku kan cuma tanya," kata Mrs. O'Connor sambil mengangkat
bahu.
Tanya padaku apa aku membunuh seseorang tadi malam, pikir
Della.
"Kelihatannya kau kecapekan," kata ibunya. Ia mengerutkan
kening karena kuatir.
Aku akan ceritakan semuanya, Della memutuskan. Aku tidak
bisa menyimpannya terus. Aku tidak tahan lagi. "Mom, aku..."
"Yeah?" Ibunya sedang menuju ke pintu.
Della ragu-ragu.
"Ada apa, Della?"
"Sampai nanti," katanya.
Ibunya menutup pintu.
**********
Della tidur sampai siang. Ketika ia turun ke dapur sesaat
sebelum pukul empat, ibunya sedang keluar rumah. Ia membuat
sandwich tuna dan melahapnya dengan rakus, dibantu segelas Coke.
Ia merasa sedikit lebih baik. Tidur ternyata banyak membantu.
Sambil membawa semangkuk keripik kentang, ia kembali ke
kamarnya dan mengerjakan PR Tata Negara. Ia agak kaget karena
ternyata ia bisa berkonsentrasi ke bab yang sedang dibacanya. Ia
hanya satu-dua kali memikirkan cowok di jurang itu, setelah itu
bahkan seperti kenangan lama, seperti sesuatu yang sudah lama
terjadi. Sudah lama usai.Ketika ibunya pulang, Della sadar ia tidak punya keinginan lagi
untuk menceritakan kejadian itu. Selama makan malam ia bercerita
tentang acara berkemah itu, beberapa bagian dikarangnya sendiri. Ia
menceritakan tentang perang ZAP, tentang bagaimana enaknya hot
dog yang dipanggang di api unggun, bagaimana Ricky
menyembunyikan kano-kano mereka dan bagaimana mereka gelisah
karena ulahnya itu.
Aku mungkin bisa melupakannya, pikirnya. Dan melanjutkan
hidupku.
Ia mulai merasa yakin, tenang, hampir merasa nyaman, sampai
telepon berbunyi pada pukul setengah delapan. Ia mengangkatnya dan
mendengar suara Maia yang gemetar.
"Della, kau bisa datang ke sini? Aku tidak enak badan."
"Apa maksudmu? Kau sakit?"
"Tidak. Hanya saja?aku yakin orangtuaku curiga."
Tengkuk Della tiba-tiba jadi dingin. Otot-otot lehernya
menegang. "Maia, kau tidak cerita apa-apa pada mereka, kan?"
"Tidak, tentu tidak," jawab Maia cepat, suaranya tegang dan
nyaring. "Tentu tidak, Della. Tapi kayaknya mereka curiga...
maksudku, aku punya perasaan seperti itu. Dan aku tidak?
maksudku, aku tidak tahu berapa lama aku bisa..."
"Oke. Cobalah tenang," saran Della, tapi bukannya
menenangkan, nadanya malah kedengaran marah. "Aku segera
datang."
"Terima kasih, Della. Cepat ya."Della menutup telepon. Bukannya simpati, ia malah jadi kesal.
Baginya Maia seolah tidak mencoba mengatasinya sendiri. Yah,
mungkin ia mencoba. Mungkin ia sudah melakukan sebisanya.
Dari sudut tertentu, ia telah melibatkan Maia dalam kekacauan
ini. Maia bahkan tidak akan ikut menginap jika ia tidak mendesaknya.
Aku tidak boleh terus-menerus kesal padanya, Della
memutuskan. Aku akan menemuinya dan bicara sebentar supaya ia
lebih bersemangat dan merasa lebih baik. Bagaimanapun, itulah
gunanya teman.
Teman.
Apakah teman-temannya akan membelanya? Apakah mereka
akan tetap memegang rahasia demi dirinya?
Harus, tegas Della. Harus.
Ia mengenakan jeans bersih dan sweter tipis, menyisir
rambutnya sampai lurus dan licin, memakai lip gloss bening tipistipis, lalu berkeliling kamar mencari dompetnya. Tak ada di mejanya.
Juga tak ada di rak dekat pintu, tempat ia biasa menyimpannya.
Dompetku, pikirnya. Kapan aku terakhir memegangnya?
Apakah aku membawanya berkemah? Ya. Benda itu ada di ranselnya.
Della baru sadar ia belum membuka ranselnya. Ia
meletakkannya di dekat tempat tidur dan melupakannya begitu saja.
Tentu saja, ia memang ingin melupakannya. Kini, ketika ia
mengambil dan mengeluarkan isi ransel di atas tempat tidur, rasa takut
kembali menjalari tubuhnya. Suara gemeresik daun-daun kering
seakan keluar dari ransel itu.
Ia meletakkannya di lantai dan mencari-cari di antara pakaian
kusut dan perlengkapan mandi. Di mana sih dompetnya?Aku tahu dompet itu seharusnya ada di sini, pikirnya.
Tapi hilang.
Adakah yang mencurinya? Tidak. Itu tak mungkin.
Semua benda di dalam ransel terasa dingin. Ia telah membawa
pulang dinginnya Fear Island. Dan sekarang ia juga merasa dingin
sementara ia mengorek-ngorek lagi barang-barangnya. Tapi dompet
itu tetap tidak ditemukan.
Misterius sekali.
Ia memutuskan untuk pergi ke rumah Maia tanpa membawa
dompet. Maia tinggal hanya beberapa blok di daerah North Hills.
Della bilang pada ibunya bahwa ia ke sana untuk belajar, dan berjalan
keluar.
Malam itu hangat dan sedikit sejuk, kebalikan yang
menyenangkan dibandingkan malam sebelumnya. Di lapangan rumput
di depan sekelompok anak sedang bermain bisbol meskipun hari
mulai gelap. Beberapa rumah dari sana, Mrs. Kinley berteriak
memanggil anak laki-lakinya pulang, dan ia tidak diacuhkan sama
sekali.
North Hills merupakan kawasan yang tenang dan damai, tempat
tinggal paling menyenangkan di Shadyside. Karena alasan tertentu,
melihat anak-anak bermain bola, berjalan melewati rumah besar yang
sunyi, melewati lapangan rumput yang dirawat dengan baik, membuat
Della sedih. Ia merasa dirinya bukan lagi bagian dari dunia yang
tenang, damai, dan terhormat. Rahasianya membuat ia seperti orang
asing.
Stop, Della, ia mengingatkan diri sendiri. Stop sekarang juga.
Wajar kau menyesali diri sendiri sekarang ini. Tapi itu akan berlalu.Maia segera membuka pintu setelah Della menekan bel dan,
tanpa berkata sepatah pun, menarik Della ke kamarnya dan menutup
pintu.
Della tidak pernah suka dengan kamar Maia. Kamar itu seperti
kamar anak-anak, dengan tirai putih berenda di jendela, rak boneka,
dan boneka binatang di mana-mana.
"Maia?kau kusut banget!" teriak Della, dan segera ia
menyesali ucapannya. Hebat sekali caranya menghibur!
Tangis Maia meledak. "Aku terus menangis, lalu berhenti,
menangis lagi, lalu berhenti," katanya terisak. Ia menarik segenggam
tisu dari kotak di meja riasnya dan menutup wajahnya, mengeringkan
air matanya. Ketika ia menyingkirkan tisu itu, wajahnya merah.
Della merangkulnya. "Maia, semuanya pasti beres. Aku janji,"
katanya lembut.
"Kau sebelumnya juga sudah janji begitu," kata Maia.
Della tidak tahu harus bicara apa. "Apa yang kaukuatirkan?
Ceritakan padaku," pinta Della sambil membimbing Maia ke tempat
tidur. Maia tenggelam dalam penutup tempat tidur quilt berwarna abuabu dan pink. Della duduk di kursi abu-abu di seberang tempat tidur.
"Orangtuaku. Aku tahu mereka curiga."
"Bagaimana kau tahu? Mereka bilang apa?"
"Yah... sebenarnya nggak bilang apa-apa. Tapi pandangan
ibuku penuh curiga."
"Aku nggak heran," kata Della. "Kau acak-acakan begitu. Kau
cerita apa saja?""Tidak banyak. Cuma bahwa aku senang, aku tidak melewatkan
malam dengan pacaran di tenda cowok, dan itu bukan acara pesta gilagilaan seperti yang mereka bayangkan."
"Itu pasti," kata Della cemberut. "Kayaknya tindakanmu sudah
betul. Tadi kau tidur siang atau punya kegiatan lain?"
"Aku coba tidur, tapi tidak bisa," ratap Maia. "Aku selalu
melihat cowok itu terbaring di jurang."
"Kau perlu tidur," Della menasihati. "Kau akan merasa lebih
enak. Sungguh. Aku tidur hampir seharian. Dan aku merasa..."
"Apa?"
"Aku merasa lebih baik. Sungguh. Kau tahu, apa yang terjadi
pada cowok itu kecelakaan."
"Aku tahu," kata Maia sambil menggosok hidungnya yang
beringus dengan tangan.
"Dia menyerangku. Jadi dia bukannya tidak bersalah."
"Ya, aku tahu," ulang Maia dengan gelisah.
"Dia jatuh dan mati. Jadi aku tidak sengaja membunuhnya. Itu
kecelakaan. Kau harus ingat itu. Kecelakaan."
"Aku tahu."
"Kalau begitu apa yang membuatmu begitu bingung, Maia?"
tanya Della dengan sabar.
"Bahwa... kita akan ditangkap. Semua orang akan tahu. Tentang
kecelakaan itu. Tentang kita pergi ke sana tanpa Mr. Abner...
pokoknya semuanya."
"Itu tidak benar," desak Della. "Baru berminggu-minggu atau
berbulan-bulan mayat itu ditemukan?itu pun jika pernah ditemukan.
Tidak ada yang mengaitkannya dengan kita."Maia mulai menangis lagi. Della perlu waktu lama untuk
menenangkannya. Mereka bicara lebih dari dua jam. Della berusaha
sebaik mungkin untuk meyakinkan Maia bahwa kehidupan mereka
akan segera kembali normal dan rahasia mereka tetap tersimpan rapi.
Mula-mula Della marah karena Maia jauh lebih bingung
dibanding dirinya sendiri. Bagaimanapun, Della yang diserang, ia pula
yang mendorong cowok itu, ia yang... membunuhnya.
Tapi memandang kamar berjumbai-jumbai penuh boneka, dan
berpikir tentang orangtua Maia yang ketat serta dominan, Della jadi
lebih pengertian. Maia tidak punya banyak kesempatan bertingkah
sebagai orang dewasa. Orangtuanya melakukan segala yang bisa
mereka lakukan agar ia tetap menjadi kanak-kanak.
Akhirnya Maia tampak lebih tenang. "Sekarang, tidurlah," kata
Della sambil menuju pintu kamar. "Kau akan merasa jauh lebih baik
besok. Aku yakin."
"Terima kasih, Della," kata Maia, tersenyum untuk pertama
kalinya. "Sori, aku tadi bikin sebal."
Della melambaikan tangan sambil mengucapkan selamat
malam. Ia menuruni tangga dan keluar rumah. Enak rasanya
menghirup udara segar. Kamar Maia panas dan sesak. Della terkejut
melihat trotoar yang basah. Pasti tadi hujan ketika ia di dalam rumah
Maia.
Ia melangkah cepat sepanjang jalan yang bercahaya karena
pantulan sinar lampu jalan di trotoar basah. Lapangan rumput yang
basah juga bercahaya, dan Della tiba-tiba merasa berjalan di planet
lain. Planet dengan sinar lembut hijau, basah bercahaya, dan yang
kesunyiannya menakutkan.Rumahnya gelap, hanya diterangi sinar kuning lampu teras.
Ibunya pasti tidur lebih awal. Ia membuka pintu kasa dan sesuatu
jatuh di kakinya.
Sebuah amplop.
Ia membungkuk dan mengambilnya. Diperiksanya amplop itu
di bawah cahaya kuning. Tak ada tulisan di bagian luarnya. Hanya
sebentuk noda hitam, mungkin cap jari, di pojok kanan bawah.
Ia merasakan sesuatu yang tidak rata.
Dibiarkannya pintu kasa menutup dan ia melangkah mundur.
Dimiringkannya amplop dan benda tidak rata itu jatuh ke tangannya.
Sebuah tengkorak perak kecil.
Tengkorak dari kalung yang tergantung di leher cowok itu?
Ia mengintip ke dalam amplop, dan melihat secarik kertas kecil.
Dengan tangan gemetar, ditariknya kertas itu.
Tampak sederet huruf cakar ayam yang ditulis dengan pensil.
Bunyinya: AKU TAHU APA YANG KAUPERBUAT.BAB 8
"PIKIRAN pertamaku adalah itu salah satu ulahmu, Ricky,"
kata Della sambil menyodok dada gemuknya dengan telunjuk.
Ricky menghindar mundur, tampak sangat sakit hati. "Tunggu
dulu, Della. Masa sih aku mau mengambil benda konyol seperti itu."


Fear Street Cukup Satu Malam The Overnight di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Maksudmu sekonyol memindahkan kano-kano itu?" sela Suki.
Mereka duduk tegang di ruang duduk Della, semua yang ikut
berkemah kecuali Pete, yang akan datang terlambat karena waktu
makan malam keluarganya memang lebih telat. Saat itu malam Selasa,
dua malam setelah Della menemukan tengkorak dan catatan yang
diselipkan di pintunya. Ibunya tengah bermain bridge di rumah
keluarga Garrison di ujung jalan.
Meskipun mereka tidak ingin kumpul, khususnya segera setelah
acara berkemah itu, keenam anggota Outdoors Club sadar mereka
tidak punya pilihan. Mereka tidak bisa mengabaikan amplop itu.
Mereka harus mencari tahu siapa yang meletakkannya di sana?dan
apa sebabnya.
"Benar nih, bukan kau pelakunya?" tuduh Suki pada Ricky.
Tatapannya jelas-jelas menunjukkan ketidaksukaannya.
"Jangan terlalu jahat pada Ricky," sela Gary. "Dia juga punya
perasaan.""Betul," kata Ricky, nyengir ke arah Gary. "Aku memang tidak
mengambil tengkorak dari leher mayat itu dan mengirimnya pada
Della."
"Lihat," kata Gary sambil berdiri dan merogoh saku jaketnya.
"Aku juga punya satu."
Ia mengeluarkan tengkorak perak yang sama.
"Gary?dari mana kaudapatkan benda itu?" tanya Della.
"Aku memeriksa kiriman surat setelah pulang sekolah kemarin
siang, dan ini ada di kotak suratku," kata Gary. Suki merebut
tengkorak itu untuk memeriksanya.
"Juga ada pesannya?" tanya Della.
"Tidak. Tidak ada pesan."
"Aneh ya," komentar Ricky.
"Dia sangat bijak, ya?" celoteh Suki.
"Diam, Suki!" teriak Ricky marah.
"Coba kalau berani menyuruhku diam," kata Suki cemberut. Ia
mengembalikan tengkorak itu pada Gary.
"Sudahlah. Kita harus tenang," kata Gary. "Kita tidak boleh
saling serang. Kita punya masalah serius. Siapa pun yang mengirim
tengkorak itu, berarti tahu alamat kita!"
Ruangan itu jadi sunyi. Della ngeri membayangkan ada orang
berdiri di teras depan rumahnya, membuka pintu kasa, dan
menyelipkan amplop itu. Ada orang berdiri tepat di depan pintu
depan. Ada orang melihat mereka malam itu di jurang. Ada orang
yang mengawasi mereka menutupi mayat itu dengan daun.
Lalu? Lalu orang ini, saksi kejahatan mereka, apa yang ia
lakukan? Menyingkirkan daun-daun yang menutupi mayat itu?Menarik tengkorak-tengkorak perak dari kalungnya? Mengirimkannya
pada Della dan Gary? Untuk apa?
"Apa ada lagi yang menerima benda seperti itu?" tanya Ricky.
"Aku tidak."
"Aku juga tidak," kata Suki
Maia menggelengkan kepala. Duduk di kursi empuk di pojok
dengan kaki ditekuk dan wajah membeku, ia belum bicara sepatah
pun. "Di mana Pete?" tanya Suki.
"Dia akan segera datang," jawab Della. "Tapi tadi siang dia
bilang tidak dapat kiriman apa pun."
"Mengapa hanya kami berdua?" Gary bertanya-tanya. Ia berdiri
dari tempat duduknya di samping Suki di sofa kulit, dan berjalan ke
jendela ruang duduk. "Mengapa hanya kami berdua?"
Ia tiba-tiba berhenti dan berbalik. "Hei?aku jadi ingat. Aku
kehilangan dompet. Apa ada lagi yang kehilangan dompet?"
"Aku," jawab Della, mengangkat tangannya seperti menjawab
pertanyaan di sekolah.
Teman-temannya yang lain hanya diam.
"Dompet itu kutaruh di ransel. Aku yakin itu," Della
menjelaskan sambil menghampiri Gary.
"Punyaku juga," kata Gary. "Mungkin itu menjelaskan mengapa
orang itu tahu alamat kita."
Della tiba-tiba ingat suara-suara yang didengarnya larut malam
itu di tempat berkemah, langkah-langkah kaki yang diikutinya.
Mungkin itu bukan rakun. Mungkin ada orang di sana, hanya beberapalangkah dari tempat ia tidur. Mungkin orang itu pergi ke tumpukan
ransel dan mencuri dua dompet itu.
Della memandang ke halaman rumput depan yang gelap. Orang
itu bisa jadi ada di situ sekarang ini, pikirnya. Cepat ia berjalan ke
samping jendela dan menutup tirainya.
"Kita harus lapor polisi," kata Gary tiba-tiba, menatap Della.
"Jangan!" teriak Maia. Itulah kata pertamanya malam itu.
"Tidak boleh! Maksudku, tidak bisa."
"Tapi, Maia...," bantah Gary.
"Risikonya besar. Orangtua kita takkan pernah percaya lagi
pada kita," teriak Maia, mencengkeram salah satu lengan kursi dengan
tegang. "Setiap orang di kota ini akan tahu bahwa..."
"Tapi orang ini tahu tempat tinggal kita!" balas Gary.
Dilemparkannya tengkorak perak itu tinggi-tinggi ke udara. Benda itu
menyentuh langit-langit dan jatuh di karpet berwarna beige di kaki
Maia.
"Gary, jangan emosi," kata Suki. Ia menepuk-nepuk bantal sofa
di sampingnya. "Duduklah. Mari kita pikirkan soal ini dengan tenang,
oke?"
Gary menggelengkan kepala. "Aku tenang kok," kilahnya. Tapi
ia kembali duduk di dekat Suki, membungkuk di sofa, meletakkan
kedua tangannya di atas lutut dan membunyikan buku-buku jarinya
keras-keras.
"Yeah, kau memang tenang," kata Suki. "Jadi menurutmu apa
yang dimaui orang itu?"
"Mana aku tahu," sahut Gary.
"Dia mau menakut-nakuti kita," kata Della."Tapi tidak supaya kita ditangkap polisi," tambah Suki. "Kalau
dia mau menyerahkan kita ke polisi, dia pasti sudah melakukannya,
bukan?"
"Mungkin," ujar Gary.
"Jika dia mau melapor, dia pasti sudah melakukannya," lanjut
Suki. "Tapi bukan itu yang dia mau. Dia ingin kita jadi gelisah, jadi
takut. Tapi kenapa ya?"
Gary mengangkat bahu.
"Cuma iseng, mungkin?"
"Mungkin."
"Bagaimana jika kita tidak gampang takut?" tanya Suki.
Bagaimana jika kita tidak takut, dan kita tidak lari ke polisi?
Bagaimana jika kita tidak peduli dengan tengkorak-tengkorak
brengsek itu? Mungkin dia akhirnya pergi begitu saja."
"Suki benar!" teriak Maia, mungkin pertama kalinya ia setuju
dengan Suki.
"Tapi kau lupa beberapa hal penting," sela Della, berdiri di
belakang sofa. "Mungkin dia bukan cuma ingin membuat kita takut.
Mungkin dia ingin memeras kita, atau semacam itu. Jika dia benarbenar melihat perbuatan kita di jurang itu, dia akan terus mengganggu
kita. Dia bisa memeras kita, memeras orangtua kita."
"Ya, tapi...," sanggah Suki.
"Biar aku selesaikan," desak Della sambil memukul lengan
sofa. "Ada lagi yang lebih penting. Lihat apa yang sudah dilakukan
orang ini. Dia memata-matai kita. Lalu dia menyingkirkan daun-daun
di atas mayat. Dia merampok, mencuri kalung mayat itu. Orang inimengerikan, orang aneh. Dia bisa melakukan apa pun. Kita bisa
bahaya."
"Tapi jika dia benar-benar ingin mencelakakan kita, ingin
melakukan sesuatu yang mengerikan, dia sudah punya kesempatan,"
bantah Suki. "Tapi dia cuma mengirimkan tengkorak kecil itu. Kupikir
itu tidak cukup untuk..."
Ketukan keras di pintu depan memotong kata-katanya.
"Itu pasti Pete," kata Della, cepat-cepat menyeberangi ruangan.
"Hai," sapanya sambil membuka pintu.
Namun tak ada orang di sana.
"Hei!" Dengan kaget ia membuka pintu kasa dan melangkah
keluar. Tak ada siapa pun. Ia kembali masuk, menutup pintu dan
menguncinya.
"Apakah aku salah dengar?" tanyanya. "Kalian juga dengar
ketukan itu, bukan?"
"Jangan-jangan orang itu. Jangan-jangan dia datang lagi," kata
Maia ketakutan. "Apa semua pintu dikunci?"
"Kurasa begitu," jawab Della. "Akan kuperiksa." Ia bergegas ke
dapur untuk memastikan pintu belakang terkunci. Lalu ia memeriksa
pintu-pintu kaca di ruang baca. Pintu-pintu itu tidak terkunci, jadi ia
berjuang untuk menguncinya. Mulanya sulit, tapi akhirnya ia berhasil.
Melalui kaca ia menatap halaman belakang yang gelap. Bulan
berwarna perak pucat muncul di atas atap merah garasi. Ditekannya
keningnya pada kaca yang sejuk itu.
Bayangan apa itu yang melintas di halaman mmput? Apakah itu
cuma imajinasinya? Tidak, Itu sungguhan.Ia menjauhi jendela dan bersandar pada tembok. Dengan hatihati ia menjulurkan kepala, mengintip ke luar.
Ternyata cuma seekor kucing.
Ia mengambil napas dalam-dalam dan mengembuskannya
pelan-pelan. Jantungnya berdegup. Tangannya tiba-tiba terasa dingin.
Tolol banget sih, pikirnya. Sama kucing saja takut.
Ia sadar teman-temannya pasti bertanya-tanya ke mana ia pergi.
Diceknya kunci pintu belakang sekali lagi sebelum ia kembali ke
koridor.
Ia sudah hampir sampai di ruang duduk ketika lagi-lagi
terdengar ketukan keras di pintu depan.BAB 9
"SIAPA itu?" tanya Della.
Tak ada jawaban.
Gary bergabung dengannya di koridor. "Siapa di sana?"
teriaknya.
Sunyi.
Menuruti kata hatinya, Gary memutar kunci dan menarik
pegangan pintu. "Tidak, Gary! Jangan!" teriak Della. Tapi terlambat.
Ia sudah membuka pintunya.
Tak ada orang di teras depan.
Gary mendorong pintu kasa hingga terbuka dan melangkah ke
luar. Di jalanan sebuah mobil dengan hanya satu lampunya yang
menyala berdecit di pojok jalan, dan melesat pergi dengan kecepatan
lebih dari lima puluh kilometer per jam. Ketika melewati lampu jalan,
Della melihat mobil itu dipenuhi para remaja.
Seharusnya kami begitu juga, pikirnya sedih, bermobil keliling Api Di Bukit Menoreh 33 10 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Petualangan Dikapal Pesiar 3

Cari Blog Ini