Girl Talk 10 Jatuh Cinta Bagian 2
Sabs berhenti sebentar. Ia memegang bola dengan kedua
tangannya. Bola diangkat sampai setinggi hidung lalu ia melangkah
maju ke depan dan melemparkan bolanya. Lucu juga cara Sabs
memegang bolanya. Seperti orang memegang ember air dan
menyiramkannya. Begitu bola menggelinding, ternyata bola tidak
meluncur dengan mulus. Sebaliknya melintir dan keluar dari jalur
sehingga hanya memukul jatuh tiga pin saja.
Semua tertawa melihatnya. Begitu pula Sabrina.
"Nggak apa-apa. Masih ada kesempatan...," ujarnya sombong
sambil mengambil bola yang secara otomatis kembali ke rak bola.
"Gayanya memang agak aneh," ujar Katie sambil
memperhatikan Sabrina yang kembali melempar bola dan kali ini
menjatuhkan empat buah pin. "Tapi harus kuakui, caranya boleh
juga!"
"Tujuh!" seru Sabs dengan bangga sambil, kembali ke tempat
duduknya. "Tunggu saja sampai pemanasan ini selesai, kalian takakan kuberi kesempatan untuk mengalahkanku!" ujarnya pada para
cowok.
"Wah...wah...aku jadi ngeri nih," Sam bergaya menggigil
ketakutan dan mengangkat tangannya tanda menyerah.
"Ya," sambung Jason, "kelihatannya kalian nggak perlu
pemanasan lagi deh. Kita langsung tanding saja!"
"Tunggu dulu!" tukas Randy, "Kalian kan sudah pemanasan.
Jadi kita pun harus mendapat kesempatan untuk melakukan
pemanasan. Lagipula aku dan Al belum sempat mencoba."
"Ya Al, sekarang giliranmu," ujar Katie dengan sabar setelah
aku mengambil bola. "Pusatkan pandanganmu pada ke sepuluh pin di
sana," Katie mencoba mengajarkanku, "lalu ayunkan tanganmu ke
belakang dengan lurus, sambil melangkah mendekati jalur bola.
Biarkan berat bola mengayunkan tanganmu ke depan dan lepaskan
bola jika sudah ada di depan tubuhmu."
Sambil mengingat-ingat instruksi Katie, kucoba untuk
mengikuti gerakannya tadi. Sayangnya aku tak berhasil dengan baik.
"Wah wah, lihatlah Allison, si bola nyasar!" seru Greg Loggins
dengan tawanya yang menjengkelkan.
"Diamlah Greg," Randy menepuk bahu Greg sambil meliriknya
dengan tajam.
"Kau pasti bisa melakukannya lebih baik Al," Katie mencoba
menghiburku.
"Ayolah Greg, jangan teriak-teriak begitu dong," ujar Nick
membela Allison, "Al kan sama sekali belum pernah main boling!"
"Lemparan awal yang tidak terlalu buruk Al," Katie mencoba
memberiku semangat, "cobalah sekali lagi.""Baiklah," sahutku berusaha kelihatan yakin.
Kutatap deretan pin di kejauhan dan pikiranku kupusatkan
sepenuhnya. Tapi kali ini jariku tersangkut di salah satu lubang bola
dan bolanya tak mau lepas dari cengkeramanku! Saat kucoba
melontarkannya, malah mental di udara dan jatuh dengan suara keras
ke jalur.
"Hei Al, kita lagi main boling, bukan main basket!" olok Sam.
"O ya? Kenapa nggak bilang dari tadi?" balasku berkelakar.
Kulihat bola menggelinding tanpa menyentuh pin sama sekali.
"Aku tahu, kami lupa memberitahukan sesuatu padamu Al,"
celetuk Sabs tiba-tiba.
"Apa?" TEENLITLAWAS.BLOGSPOT.COM
Kulihat Sabs melirik ke satu arah. Aku segera mengikuti arah
pandangan Sabs, dan kulihat Billy tengah berdiri di belakangku.
Tubuhnya yang tinggi nampak amat gagah dengan jeans hitam, kaos
putih dan jaket kulit coklatnya. Ia tersenyum melihatku kaget.
"Hai Allison," sapanya ramah.
"Uh...Hai..."
Kulihat Randy, Sabs, Katie dan semua cowok itu
memperhatikan Billy. Greg mendekatkan diri pada Jason dan
membisikkan sesuatu ke telinga Jason. Entah apa yang dikatakannya,
yang jelas kepala Jason pun mengangguk setelah Greg menyelesaikan
bisikannya.
"Lagi main sama teman-temanmu?" tanya Billy.
"Ya," sahutku, "ada yang kau kenal?"
"Aku sering melihat mereka di sekolah," ujarnya dengan nada
suara agak aneh."Kau sendirian atau...," tanyaku agak bingung mencari bahan
pembicaraan.
"Lagi nunggu temen," sahutnya, "aku janjian ketemu kakakku
di tempat ini. Tapi dia belum nongol-nongol juga."
Billy menatapku dengan tajam, seolah-olah ingin mengatakan
sesuatu padaku namun bingung untuk mengutarakannya. Lagipula
kami berdua jarang bertegur sapa kecuali dalam acara tentoring. Tapi
ngapain kita ngobrolin soal tentoring di tempat macam ini?
"Al, giliranmu sekarang," panggil Randy. Sabs, Katie, Jason,
Nick, Greg dan Sam masih terus memandangi Billy ketika aku
mengalihkan pandanganku dari Billy.
"Mh...teman-teman," ujarku memperkenalkan mereka,
"kenalkan, Billy Dixon."
"Hai! Aku Sabrina," tukas Sabs mendahului yang lain sambil
melambai centil. Sabs memang benar-benar bukan tipe cewek pemalu.
Kemudian semua anak memperkenalkan diri sambil bersalaman. Billy
menggumamkan namanya tiap kali berjabat tangan.
"Kapan mulainya nih?" tanya Greg dengan gaya menyebalkan.
Seolah-olah acara perkenalan itu mengganggunya.
"Aku kan masih punya satu kali kesempatan latihan," tukasku
sambil mengambil bolaku. Sabs kelihatan terkejut mendengar
ucapanku yang agak ketus pada Greg, dan kulihat Randy malah
tersenyum melihat ke?galak?anku. Kubalas senyum Randy dan
melangkah ke jalur bola. Billy ikut maju dan berdiri tepat di
belakangku. Berdekatan dengan Billy membuatku merasa deg-degan
sekaligus senang."Jaga agar pergelangan tanganmu mengarah tepat pada garis
tengah jalur," Billy memberi instruksi sambil memperbaiki posisi
tanganku sedikit, "sekarang, lakukanlah seperti yang tadi kau lakukan.
Lepaskan bola itu setelah kuberi tanda. Oke?"
"Oke," sahutku perlahan. Kukerahkan konsentrasiku untuk
menjaga posisi pergelangan tangan pada saat kuayunkan bola ke
belakang. Tiba-tiba kudengar Billy berseru.
"Lempar!"
Serta merta kulepaskan bola itu dan kulihat bola mendarat
mulus pada jalur dan menggelinding menghantam enam buah pin.
"Hebat Allison!" seru Sabs bersemangat.
"Lumayan," komentar Billy sambil nyengir, "kita akan jadi
pasangan yang serasi. Sekarang kita harus menjatuhkan empat pin
yang masih berdiri di sana."
"Wah...susah dong...," rengekku.Tapi sebetulnya, dalam hati
aku merasa amat bahagia. Akhirnya aku bisa main boling! Dan itu
karena pertolongan Billy! Aku bingung, jangan-jangan aku merasa
bahagia karena kehadiran Billy, bukan karena boling.
"Nggak susah kok," Billy berusaha meyakinkanku, "kita hanya
perlu menambah sedikit konsentrasi kali ini."
"Baiklah," sahutku sambil mengambil bola. Lagi-lagi Billy
membantu membetulkan posisi tanganku. Beberapa saat kemudian
dua buah pin jatuh.
"Sorry," ujar Billy, "kurang tepat. Kalau tidak pasti keempatnya
jatuh."
"Kurang tepat?" tanyaku heran, "Seumur hidup, baru kali ini
aku menjatuhkan delapan pin!"Billy tertawa mendengarnya. Kami berdua melangkah bersama
ke tempat duduk. "Lain kali pasti lebih baik," janjinya.
Lain kali? Apa itu berarti ia akan terus menemaniku main
boling hari ini? Tiba-tiba kudengar hatiku bernyanyi gembira. Padahal
kemarin aku begitu khawatir, Billy marah dan tak mau lagi bertegur
sapa denganku!
"Siap ya? Kita mulai. Oke?" tanya Sam setelah Randy
menyelesaikan latihannya.
"Oke," tukas Randy.
"Gimana kalau kita yang mencatat angka-angka kalian. Soalnya
aku khawatir kalian main curang saat kami lengah dan menambahkan
angka seenaknya," usul Katie sedikit menyindir.
"Silahkan," seru Sam, "tanpa main curang pun kalian pasti
kalah!"
"Kita lihat saja nanti," ujar Sabs sambil melirik jengkel ke arah
Sam, "kau duluan Katie. Berikutnya baru aku," tambah Sabs.
"Mewakili tim cowok, aku duluan," ujar Nick, "Greg, kau
giliran kedua. Berikutnya Jason dan Sam."
"Aku terakhir? Kalau begitu aku masih sempat makan kentang
goreng dan minum-minum dulu," ujar Sam sambil beranjak menuju
kantin kecil di sudut ruangan.
"Beliin aku juga dong!" seru Sabrina.
Nick dan Katie mengambil bola masing-masing. Dalam dua
lemparan, Nick menjatuhkan 9 pin dan mendapatkan angka 9. Katie
hanya memperoleh angka 7. Kurasa Katie masih sedikit tegang.
Berikutnya giliran Greg dan Sabs. Seperti biasanya, Sabs
melakukan lemparan gaya ?ember?nya. Melihat gaya Sabs, Gregtertawa terpingkal-pingkal sampai akhirnya bola itu menjatuhkan
kesepuluh pin sekaligus!
"Strikel" teriak Katie sambil melompat memeluk Sabs.
"Hebat Sabs!" puji Nick.
"Nick! Kau tak perlu memberi selamat dan semangat pada
lawan dong!" protes Greg dengan suara marah, sebelum melakukan
lemparan. Lemparan pertamanya keluar dari jalur. Greg kelihatan
malu dan marah sehingga kami semua tak tahan untuk tidak
menertawakannya. Lemparan kedua agak lumayan. Bola
menggelinding menjatuhkan dua buah pin saja. Hi...hi.
Ketika tiba giliranku, Billy membantuku mengarahkan posisi
tangan dan memberi aba-aba untuk melepas bola. Dalam dua
lemparan aku menjatuhkan 9 pin! Sabs melonjak-lonjak kegirangan
melihatnya. Jason hanya mendapat angka delapan. Artinya kami,
kelompok cewek, memimpin untuk sementara waktu ini. Ketika Sam
kembali dengan sebungkus kentang goreng, ia amat terkejut melihat
kedudukan angka.
"Billy nggak akan terus-terusan membantu Allison kan?" tanya
Greg seraya menunjuk Billy.
"Biarin deh. Al kan belum pernah main boling, jadi tak ada
salahnya dibantu," bela Nick. "Tak perlu dimasalahkan!"
Greg tidak menyahut, tapi aku dapat merasakan
kejengkelannya. Ia tidak suka melihat Billy membantuku. Terutama
karena sekarang kami dalam posisi menang.
Setelah lima lemparan, kami mengumpulkan 12 angka lebih
banyak dari regu cowok. Mereka mulai kelihatan gelisah, tapi semua
tetap menikmati pertandingan ini dengan gembira. Termasuk aku.Seusai lemparan ketujuh, para cowok hampir berhasil
menyamakan kedudukan. Tapi pada lemparan berikutnya, Greg telah
melakukan kesalahan lagi sehingga hanya mendapat 5 angka,
sementara Sabs mengumpulkan delapan angka. Ketika tiba giliranku,
kami memimpin 3 angka di atas para cowok. Seperti biasanya, Billy
mengikutiku ke depan jalur. Greg menatapnya tajam.
"Cukup! Cukup deh!" teriaknya gusar. "Allison nggak perlu
dibantu lagi!"
Kubalikkan tubuhku dan menatap Greg dengan heran.
"Emangnya kenapa sih?" tukas Randy tak kalah kerasnya.
"Mula-mula sih oke. Tapi kalau terus-terusan jelas mengganggu
pertandingan kita!" sahut Greg sambil melipat tangan di dada.
"Tenanglah Greg," ujar Sam, "kenapa diributin sih? Ini kan
cuma permainan aja...."
"Lagipula...," lanjut Greg tanpa mengacuhkan perkataan Sam,
"seingatku, kita nggak pernah mengundang Billy untuk datang ke
tempat ini. Kehadirannya cuma jadi gangguan belaka! Gangguan yang
menyebalkan!"
Kutatap Greg dengan mata membelalak dan rasa tak percaya.
Berani benar ia mengatakan hal itu pada Billy! Apa yang akan
diperbuat Billy? Sebelumnya, Greg sama sekali tidak jadi masalah
untukku, tapi kali ini aku benar-benar marah. Kutengok Billy. Kulihat
tangannya mengepal dan matanya yang biru berkilat marah. Aku harus
melakukan sesuatu sebelum Billy naik pitam. "Lagipula Billy main
curang...," lanjut Greg.
"Billy nggak pernah curang!" belaku, "Kau sendiri yang
curang!" tambahku sambil melangkah maju dan menunjuk Greg.Kusadari, jari telunjukku kelihatan gemetar, maka cepat-cepat
kuturun-kan.
"Apa kau bilang?" tanya Greg membentak.
"Aku bilang, kau curang karena tidak mematuhi peraturanperaturan boling yang tertulis di sini!" ujarku sambil menunjukkan
peraturan boling yang tertulis di bawah meja tempat menghitung
angka. "Peraturan nomer sembilan: Pemain yang melempar bola
melampaui garis terdepan harus didiskualisir! Dan tiap kali tiba
giliranmu, kakimu selalu melampaui garis terdepan itu! Kalau bukan
curang, apa namanya?" tantangku.
Billy maju selangkah mendekati Greg, mata birunya semakin
berkilat-kilat.
"Uh...," gumam Sabs cemas di belakangku.
Kubalikkan tubuhku dan kulihat manager arena boling ini
menghampiri kami. Pasti ia mendengar teriakan Greg. Aku tak ingin
Billy terlibat kesulitan, maka aku melangkah dan menyelip di antara
mereka berdua.
"Jangan diteruskan Billy," bisikku. "Nggak ada gunanya
bertengkar dengan orang macam dia."
Lalu aku kembali ke posisi melempar bola. Aku harus
menunjukkan pada Greg Loggins dan juga pada semua orang bahwa
aku bisa main boling kendati tanpa bantuan Billy. Semua diam dan
berdiri terpaku tatkala aku bersiap-siap melakukan lemparan.
Kuarahkan posisi tanganku dan kujaga konsentrasiku saat
mengayunkan dan melontarkan bola. Bola mendarat mulus dan
menggelinding tepat di garis tengah jalur dan akhirnya menghantam
jatuh ke sepuluh pin dengan suara keras.Strike! Jatuh semuanya! Lemparan strike-ku yang pertama!
Kudengar Randy, Katie dan Sabs bertepuk tangan dan bersoraksorak. Tapi orang yang paling ingin kudengar komentarnya saat itu
adalah Billy. Aku ingin berterima kasih atas pengarahannya. Tapi
ketika kubalikkan tubuhku, Billy sudah menghilang!BAGIAN TUJUH
Hari Senin, aku sengaja berangkat ke sekolah lebih awal agar
sempat membicarakan masalah Billy dengan Bu Staats. Sepanjang
minggu pikiran-pikiran tentang Billy terus menghantuiku. Akupun
khawatir Billy marah akibat ulah Greg di arena boling tempo hari.
Bu Staats setuju untuk segera mengadakan test kemampuan
membaca bagi Billy. Kemudian, seusai pelajaran bahasa Inggris,
beliau memanggilku ke mejanya. Katanya, beliau sudah mengatur
jadwal pertemuan Billy dengan seorang psikolog hari Selasa sepulang
sekolah. Dan menurut Bu Staats, memang sebaiknya akulah yang
mengabarkan hal ini pada Billy.
"Hei Al," sapa Sabs begitu kami berkumpul di kantin untuk
makan siang. "Ngobrol apa sama Bu Staats tadi? Tentang program
tentoring?"
"Kurang lebih begitulah," sahutku. "Kulaporkan apa yang
terjadi terhadap Billy. Ingat nggak, aku kan mengajak Billy belajar
bersama di rumahku Kamis lalu. Saat itu Charlie meminta Billy
membacakan beberapa kata dari buku pelajaran bahasa Inggris untuk
anak-anak. Dan Billy melakukan beberapa kesalahan dalam membaca
tulisan dari buku itu. Aku jadi heran. Apa anak ini buta huruf?"
Kuteguk susuku dan kulanjutkan ceritaku tentang pendapat Ibumengenai hal ini, "Jadi, sekarang Billy akan menjalani test
kemampuan membaca untuk mengetahui apakah ia memang
mempunyai kesulitan membaca."
Girl Talk 10 Jatuh Cinta di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Katie bersiul ngeri, "Fuih... Bayangkan, sudah kelas tujuh tapi
nggak bisa membaca!" serunya, "Kesulitan membaca macam apa sih?
Nggak buta huruf kan?"
"Nggak. Sebetulnya ada beberapa jenis kesulitan membaca,"
kucoba menjelaskan, "tapi kurasa Billy menderita jenis dyslexia.
Dyslexia pun ada bermacam-macam jenisnya. Tapi pada dasarnya,
Seseorang disebut menderita dyslexia jika apa yang dibaca lewat mata
menjadi kacau setelah diucapkan. Meskipun artinya sama tapi katanya berbeda."
"Ruwet amat...," komentar Randy. "Apakah Billy bisa
disembuhkan?"
"Entahlah. Aku pun tak tahu caranya," sahutku, "tapi yang
pasti, jika dugaan itu benar, maka Billy harus menjalani semacam
latihan membaca bersama seorang spesialis. Menurut Ibuku, mereka
harus segera melatih Billy untuk membaca dengan benar."
"Apakah kau akan tetap jadi mentornya?" tanya Katie.
"Entahlah," sahutku. Entah mengapa tiba-tiba pipiku terasa
panas. Aku tak pernah berniat untuk berhenti menjadi mentor Billy.
Sabrina mulai cekikikan. "Pasti kau akan terus jadi mentornya.
Soalnya menurutku...," Sabrina sengaja menghentikan kalimatnya
untuk membuatku penasaran.
"Menurutmu apa?" tanyaku bingung.
"Menurutku Billy naksir kamu lho!" seru Sabs.Kutatap Sabrina dengan rasa takjub. Mulutku ikut ternganga
saking kagetnya.
Sabrina malah menganggukkan kepalanya dan tersenyum.
"Kalau tidak, ngapain dia membantumu main boling hari Jum?at
lalu?"
"Lagipula sepanjang permainan ia terus menerus menatapmu,
Al," tambah Katie.
Aku begitu terkejut sehingga tak tahu harus mengatakan apa.
Apakah...apakah Billy benar-benar jatuh cinta padaku?
"Betapa romantisnya," Sabs menghela nafas. "Allison
menolong Billy dari kesulitannya di sekolah dan memberitahu semua
orang bahwa sebetulnya Billy adalah anak jenius yang punya kesulitan
membaca."
Sabs menghela nafas lagi dengan dramatis, "Persis seperti cerita
di film. Seorang prajurit jatuh cinta pada perawat yang
menyembuhkan luka-luka di kakinya. Tadinya perawat itu mengira
sang prajurit hanya merasa berhutang budi padanya. Namun akhirnya
sang prajurit bisa meyakinkan si perawat bahwa cintanya murni.
Mereka akhirnya menikah dan hidup bahagia selamanya."
Randy menatap Sabs sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Roman picisan...," komentarnya dengan raut iba. "Film macam itu
membuat otakmu jadi cengeng!"
Aku dan Katie bertukar pandang, lalu saling tertawa. Tapi
kemudian aku pun mulai memikirkan apa kata Sabs barusan. Dan
seketika itu pula tawaku terhenti. Benarkah Billy menyukaiku?
Rasanya sih enggak mungkin. Tapi kalaupun benar, tentu hanya
karena aku telah menjadi mentor dan membantunya."Apa pendapat Billy tentang hal ini?" tanya Katie setelah
berhasil mengontrol diri dan menghentikan tawanya.
"Mana aku tahu," ungkapku jujur. "Ia belum tahu sama sekali
tentang hal ini."
"Wah!" seru Randy tiba-tiba, "Pasti dia akan sedih setelah
mengetahui keadaan dirinya yang sebenarnya. Menurutmu gimana?"
"Mungkin sebaiknya kau biarkan salah satu guru yang
menyampaikan hal ini pada Billy," usul Katie sambil menatap serius
dengan mata birunya.
"Tidak mungkin. Aku dan Bu Staats sudah mengambil
keputusan. Sebaiknya aku sendiri yang menyampaikan hal ini pada
Billy," sahutku sambil menggelengkan kepala. "Lagipula aku memang
pingin ngomong langsung pada Billy." Itu memang salah satu sifatku.
Jika aku merasa bertanggung jawab atas sesuatu, maka bagiku
merupakan sebuah keharusan untuk menghadapinya sendiri dan tak
membiarkan orang lain campur tangan.
Randy menatapku kagum kemudian menggebrak meja dengan
keras.
"Ck...ck..ck..Al. Menurutku kau benar-benar berani!" puji
Sabrina ikut kagum.
"Menurutku sih lebih baik jangan kau yang mengatakannya,"
ujar Katie lagi, "tapi jika benar kau ingin mengatakannya secara
langsung, inilah saatnya." Ia lalu menunjuk ke satu arah di balik
kepala Sabrina. Aku menoleh mengikuti arah yang ditunjuknya.
Kulihat Billy sedang berdiri memegang nampan makanannya di
samping sebuah meja. Ia mengenakan celana coklat, kaos berkerah
tinggi warna putih, sepatu boot hitam dan jaket kulit coklatnya sepertibiasa. Tatapan mata kami bertemu dan kulihat ia tersenyum. Ujung
matanya berkerut sedikit, seperti biasanya jika ia tersenyum. Kubalas
senyumannya dan duduklah dia.
"Lihatlah!" pekik Sabs tertahan sambil diam-diam mengintip
Billy, "Ada kursi kosong di depan Billy. Al, sebaiknya kau hampiri
Billy sekarang untuk bicara."
"Haruskah sekarang?" aku ragu. Walaupun memang aku ingin
bicara dengannya sendiri, tapi aku tak yakin apakah ini saat yang
tepat. Aku sama sekali belum merencanakan apa yang akan
kukatakan.
"Ayolah Al," desak Sabs separuh membujuk, "menurutku kau
harus menghampirinya dan duduk bersamanya. Lagian mungkin dia
ingin kau datang ke tempatnya."
"Kali ini Sabs ada benarnya juga," Randy pun setuju, "sejak
tadi ia terus mencuri pandang ke arah kita. Dan sebagai cowok, mana
mungkin ia yang duluan menghampiri gerombolan cewek."
"Jangan lupa ceritakan yang lengkap ya Al," pinta Sabs.
Kulihat ketiga sahabatku menatapku dengan penuh harap.
Sebetulnya aku enggan bicara di tengah keramaian kantin ini. Menurut
perasaanku, semua tak akan berjalan lancar. Tapi mungkin saja
perasaanku salah. Soalnya ketiga temanku kelihatannya yakin seratus
persen aku akan berhasil. Perlahan aku berdiri dan menghampiri Billy
sambil berusaha keras mencari kalimat yang pas. Ketika aku tiba,
Billy langsung menengadah dan tersenyum menyambutku.
"Hai Allison," sapanya perlahan.
"Hai Billy," sahutku, "boleh nggak aku duduk di sini?"Senyumnya kian melebar dan matanya jadi berbinar. Belum
pernah kulihat bola matanya jadi sebiru ini. "Tentu saja boleh. Ada
apa?"
Aku duduk di kursi di hadapannya.
"Ada yang ingin kubicarakan denganmu," aku mulai bicara
sambil meremas-remas jariku untuk mengurangi ketegangan. Lidahku
serasa kelu dan aku pun tak berani menatap wajah Billy.
"Aku juga mau bicara padamu," kata Billy sambil mendekatkan
diri padaku, "tapi kamu saja duluan."
"Pertama, aku mau minta maaf soal ulah Greg Loggins di arena
boling tempo hari. Makasih ya karena kau sudah menolongku," ujarku
cepat-cepat.
"Soal kecil," sahut Billy seraya tersenyum. "Nggak perlu
berterima kasih segala."
Aku mendehem sejenak. "Kedua, aku ingin membicarakan soal
program tentoring kita."
"Oh," tiba-tiba senyum di bibirnya lenyap. "Ada apa?"
"Bukan khabar buruk kok," cepat-cepat aku meyakinkannya,
"sebenarnya, menurutku, kau tak membutuhkan seorang mentor. Kau
malah tidak perlu mengikuti program tentoring macam ini. Daya
ingatmu luar biasa dan dalam pelajaran matematik pun kau jauh lebih
pandai," kata-kata itu meluncur begitu saja tanpa dapat kuhentikan.
"Maksudmu apa sih?" tanyanya setelah aku selesai berbicara
panjang lebar.
Aku menelan ludah, kikuk. "Tapi kau punya satu masalah
Billy," aku ragu dan sejenak mencari kata-kata yang tepat agar tak
menyinggung perasaannya."Apa?" desak Billy. Ia menatapku dengan amat tajam, seolaholah mengancamku untuk tidak mengatakannya. Kutarik nafas
panjang. Cepat atau lambat toh aku memang harus mengatakannya.
"Masalah dalam membaca," ujarku akhirnya.
Billy menyandarkan diri pada sandaran kursi. Sesaat ia menoleh
ke kanan dan ke kiri sebelum akhirnya kembali menatapku dengan
geram. "Kan sudah kubilang, aku memang tidak suka membaca!"
ujarnya sinis dengan suara yang amat tajam.
"Waktu kau membantu Charlie membacakan beberapa kata,
kuperhatikan bahwa ada suatu pola kesalahan yang kau buat,"
kulanjutkan kalimatku dan berharap aku dapat menyelesaikannya.
"O ya? Aku memang membuat beberapa kesalahan. Lalu
kenapa?" tukas Billy marah. Matanya berkilat-kilat seperti api unggun
biru.
"Lalu aku mencari informasi dan bicara dengan Bu Staats. Dan
menurut kami, kau mempunyai kesulitan membaca," kutuntaskan
kalimatku dengan tergesa-gesa.
Billy menatapku dengan wajah memerah. Aku yakin sebentar
lagi ia akan berteriak marah. Tapi nyatanya tidak. Ia cuma duduk
beberapa saat tanpa mengucapkan sepatah katapun.
"Kukira kau beda dengan mereka...," ujarnya perlahan.
"Nyatanya sama saja. Kau pun mengira aku bodoh! Sama seperti
orang-orang lain!"
"Sama sekali tidak!" pekikku tertahan. Bagaimana mungkin
Billy jadi salah paham dan menuduhku seburuk itu? "Itu tidak benar.
Aku tahu kau anak yang pandai," aku terus ngotot, "itu sebabnya
kuminta Bu Staats mengatur jadwal test membaca untukmu besok,sepulang sekolah. Kalau kau memang menderita kesulitan membaca,
kan bisa tertolong dengan segera."
Tiba-tiba saja Billy melonjak dan berdiri. Wajahnya geram,
tangannya mengepal. "Aku tak butuh pertolonganmu, Allison Cloud,"
desisnya. "Tidak kau, tidak seorang pun! Aku juga tidak
membutuhkan test apa pun. Katakan pada Bu Staats untuk melupakan
soal test itu!"
Dibalikkannya tubuhnya dan melangkah meninggalkan aku. Di
sela langkahnya, ia berputar sesaat dan menatapku, "Sebelum kau ikut
campur, aku baik-baik saja. Dasar pengacau!" tukasnya dengan lirikan
geram, "Semoga kau puas sekarang!" Lalu lenyaplah ia di tengah
keramaian.
Beberapa saat aku duduk terpaku menatapnya sampai hilang
dari pandangan. Seandainya kuikuti kata hatiku dan menunggu saat
yang tepat untuk bicara, tentu hal ini tak akan terjadi. Barangkali aku
bisa mengatur kata-kata yang lebih tepat dan tidak membuatnya
tersinggung begini. Sekarang aku telah menghancurkan segalanya!
"Al?" ujar Randy perlahan. Aku menengadah. Ia tengah berdiri
di samping meja.
"Dia marah ya?" tanyanya sambil duduk di kursi yang tadi
diduduki Billy.
Kuanggukkan kepala dengan hati galau.
"Apa yang terjadi?" tanya Randy.
"Salah strategi," kataku. "Mestinya aku menunggu saat yang
tepat di mana aku siap dengan kata-kata yang pas. Sekarang ia
mengira aku menganggapnya bodoh!"Sejenak Randy pun ikut terdiam. "Lalu apa yang akan kau
lakukan sekarang?" tanya Randy akhirnya sambil menatapku.
"Yang akan kulakukan?"aku balik bertanya seraya mengangkat
bahu dan menggeleng pasrah, "Apa yang bisa kulakukan? Aku kan
tidak bisa memaksanya untuk ikut test?" Aku benar-benar merasa
kalah. Sekarang, Billy bahkan mungkin sama sekali tak akan pernah
dapat belajar membaca dengan benar.
"Jadi kau akan membiarkannya mengalahkanmu?" ujar Randy.
Kupandang Randy dengan kaget campur heran. Apa
maksudnya? "Ngomong sih gampang Rand," semburku tak tahan. Ia
tentu saja tidak merasakan apa yang kurasakan saat ini. Aku merasa
bersalah. Amat bersalah. Dengan menyakiti hati Billy dan
membuatnya tersinggung!
"Kau adalah mentornya," lanjut Randy perlahan, "kau tak boleh
menyerah dan mengalah begitu saja padanya. Kau harus membuatnya
mengerti, betapa pentingnya ketrampilan membaca dan betapa
pentingnya untuk mengikuti test membaca ini agar ia tertolong.
Semuanya tergantung padamu, Al."
Ketika aku akan menjawab sesuatu, tiba-tiba saja perkataan
Randy merasuk dalam benakku. Aku pun merenungkannya sesaat.
"Kurasa kau benar Randy," ujarku akhirnya sambil bangkit.
"Aku tak boleh menyerah begitu saja." Aku tak boleh membiarkan
Billy lari dari kenyataan ini. Tujuh tahun ia bersekolah tanpa bisa
membaca dengan benar. Billy harus memperbaiki dirinya dan aku
harus membantunya untuk tidak menyerah begitu saja.
"Aku yakin, Billy pasti dapat memperbaiki diri dan belajar
membaca dengan benar. Dan akan kubuktikan pada Billy bahwa akumampu!" lanjutku. "Pulang sekolah nanti, aku akan datang ke
rumahnya dan mengutarakan semua itu sampai ia mengerti!" janjiku
mantap.BAGIAN DELAPAN
Jam empat sorenya, aku sudah berdiri di muka pintu sebuah
rumah bernomer 312, Jalan Callahan Drive. Kukerahkan segenap
keberanianku untuk mengetuk pintu. Kutarik nafas dalam-dalam dan
terbelalak mataku menatap rumah Billy. Rumah berwarna kelabu itu
tampak kotor tidak terawat. Sebagian catnya sudah terkelupas di sanasini. Kuulurkan tanganku untuk menekan bel pintu, namun tak
terdengar suara apa-apa. Barangkali belnya rusak, pikirku. Maka
kulangkahkan kaki mendekati pintu dan mengintip sedikit dari kaca
jendela. Tampaklah kabel bel pintu yang sudah putus. Maka
kuputuskan untuk mengetuk pintu dan menunggu beberapa saat
sambil mempersiapkan diri. Bagaimanapun aku harus membujuk Billy
agar mau menjalani test membaca itu. Beberapa saat kemudian, pintu
pun terbuka. "Ya?" seorang cowok berambut pirang menyambutku
dengan ogah-ogahan. Pasti ini Tom, kakak Billy yang usianya 18
tahun.
Sebelum bicara, aku mendehem, "Ehem...apakah Billy ada di
rumah?" tanyaku perlahan. Bukannya aku takut, tapi aku agak
bingung menghadapi Tom. Soalnya menurut cerita Sabs, Tom dropout dari sekolah dan sekarang bekerja sebagai montir.Aku belum pernah bertemu dengan anak putus sekolah
sebelumnya.
"Ada," ujar Tom sambil menatapku dengan pandangan yang
lebih ramah. "Apa kita pernah ketemu?"
"Belum," tukasku. "Saya adalah mentor Billy di sekolah."
"Oh," sahutnya acuh tak acuh. "Dia ada di ruang bawah tanah.
Sorry ya, aku harus buru-buru pergi. Masuk saja sendiri."
Masuk Sendiri? Wah. Sebetulnya aku lebih suka bicara di teras
rumah saja. Randy selalu menggodaku sebagai cewek pengikut.
Soalnya aku lebih suka berada di tempat terbuka di mana orang-orang
bisa melihat kita dan sebaliknya. Aku benci ruangan tertutup, apalagi
yang tak berjendela. Dan ruang bawah tanah sudah tentu tak
berjendela.
Tom membuka pintu lebih lebar dan mempersilahkan aku
masuk. Kutarik nafas dalam lagi sebelum melangkah memasuki
rumah Billy. "Pintu kedua sebelah kanan dapur," ujar Tom sebelum
lari menyeberangi halaman rumahnya yang tak terawat itu.
Waduh...bisa-bisa aku nyasar ke ruangan lain nih, pikirku
cemas. Sesaat aku cuma celingukan memperhatikan keadaan rumah
Billy. Karpetnya sudah amat tua, berdebu dan banyak sobekan di
sana-sini. Sepatu-sepatu bergelimpangan di sepanjang jalan. Tiba-tiba
saja aku ingat bahwa Billy sudah tidak mempunyai ibu lagi. Pantas
rumahnya tak terawat.
"Billy," panggilku ragu. Kurasakan lantai yang kupijak bergetar
dan terdengar suara musik dari bawah tanah. Dengan musik sekeras
itu tak mungkin Billy mendengar suaraku. Aku tak punya pilihan lain,
kecuali turun ke sana.Hati-hati aku melangkah di antara sepatu-sepatu yang
Girl Talk 10 Jatuh Cinta di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berserakan, melewati ruang tamu yang ada di sebelah kiri.
Kusempatkan untuk mengintip sedikit. Ruang tamu itu jauh lebih
gawat lagi keadaannya. Begitu berantakan seolah-olah sudah
bertahun-tahun tidak dibersihkan. Tevenya nampak masih menyala,
hanya suaranya saja yang dikecilkan. Aku melangkah dan menabrak
meja kecil, menjatuhkan dua karton bekas popcorn dan beberapa
piring kotor. Koran dan majalah berserakan di mana-mana.
Secepat mungkin, kutinggalkan ruangan itu dan melangkah ke
dapur. Tempat cuci piring dipenuhi tumpukan piring kotor. Ketika aku
mendekat ke meja makan, kakiku menginjak serpihan gula yang
tumpah di lantai. Rasanya ingin sekali aku mengambil lap dan
membersihkan tumpahan gula yang mengotori lantai itu. Namun
sebaliknya aku justru berlari secepat mungkin ke arah pintu menuju
ruang bawah tanah. Aku harus ingat pada tujuanku yang sebenarnya.
Aku harus menjumpai Billy dan membujuknya agar mau mengikuti
test itu.
Kuketuk pintu ruang bawah tanah, tapi suara musik heavy metal
mengalahkan suara ketukanku. Tak seorangpun akan mendengarnya.
Kucoba mengetuknya sekali lagi meskipun aku yakin, tak mungkin
Billy mendengarnya. Namun aku masih terus berharap. Aku enggan
masuk ke ruang bawah tanah itu.
Untuk ketiga kali, kuketuk pintu sekeras mungkin, namun tetap
saja tak seorangpun muncul. Maka kuputuskan untuk membukanya
sendiri.
"Billy," panggilku sambil berharap ia dapat mendengar. Ketika
sampai di ujung anak tangga, aku terlonjak kaget. Ternyata Billy tidaksendirian! Sekurang-kurangnya ada enam atau tujuh cowok di ruangan
itu. Dan mereka semua kelihatannya jauh lebih dewasa. Mereka
mengenakan pakaian yang hampir sama. T-shirt dan jeans sobeksobek. Kukedipkan mataku bingung. Di mana gerangan Billy?
Seorang cowok yang tengah bermain kartu di sebuah meja
dekat tangga menolehkan kepalanya. Matanya yang kehijauan
terbelalak ketika melihat kehadiranku. Sambil menyibakkan rambut
coklatnya yang panjang, ia segera mematikan stereo set. Suasana
mendadak hening seketika.
Saat itu baru kulihat Billy. Ia berada di tengah, dekat sebuah
meja billiard. Sambil memegang stik billiard ia ternganga melihatku.
"Allison?" ujarnya kaget sambil melangkah maju mendekatiku,
"Ngapain kamu ke sini?"
Aku menghela nafas lega. Meskipun kaget, Billy tersenyum
menyambutku. Maka kubalas senyumnya.
"Allison?" tanya cowok yang lain sambil menatapku dengan
rasa tertarik. Cowok itu pasti Kevin, kakak Billy. Soalnya tampang
mereka mirip sekali, hampir seperti anak kembar. "Apa khabar
Allison?" sapanya sok akrab.
"Kenalkan, aku Kevin," ia memperkenalkan diri sambil berdiri
dari kursinya dan menyilahkanku duduk. "Kamu teman Billy ya?"
"Dia mentorku!" tukas Billy sambil mengetukkan stik
billiardnya ke lantai.
Sambil melangkah ke kursi yang disediakan Kevin, mataku
terus kuarahkan pada Billy. Billy, tolonglah aku, pintaku penuh harap
dalam hati. Tapi nyatanya Billy malah ikut menatapku denganpandangan yang mengerikan. Apa yang telah kulakukan? Mengapa
tiba-tiba ia jadi marah begitu?
Ragu-ragu, kucoba melontarkan senyum ke arahnya. Aku tahu,
Kevin adalah murid High School. Lalu kupalingkan kepalaku menatap
Billy lagi dengan pasrah. Aku benar-benar ingin bicara dengan Billy.
Tapi entah bagaimana harus memulainya. Begitu banyak anak ada
dalam ruangan ini.
"Mau minum?" seorang cowok berambut hitam menawarkan
sambil berdiri dari kursinya. "Mau yang panas atau dingin?"
Aku hanya mengangguk, tak tahu harus mengatakan apa.
"Dia bukan pacarmu kan?" tanya cowok berambut hitam itu
sambil mengambilkan sekaleng minuman dingin untukku.
"Bukan," sahut Billy dengan mata menyipit, menatapku tajam,
"pacar? Amit-amit...," diletakkannya stik billiardnya ke atas meja
billiard kemudian melipat tangannya di dada dengan angkuh.
Kenapa ia bersikap seperti ini? Setidaknya kan Billy bisa
menjelaskan pada mereka bahwa aku temannya. Dugaan Sabs sama
sekali meleset. Billy bahkan sama sekali tidak menyukaiku. Ia bahkan
tak sudi menganggapku sebagai teman. Sebaliknya ia kelihatan
memusuhiku.
Kurasakan mataku panas. Sedapat mungkin kucoba menahan air
mata yang hampir menetes.
"Namaku Joe," si cowok berambut hitam itu duduk di
hadapanku. "Dan ini DJ, serta Eric," ia memperkenalkan dua cowok
lain yang duduk di depan meja. Seorang cowok tertawa keras dari arah
meja billiard. "Oh, yang lagi main billiard sama Billy itu Psycho dan
yang satu lagi Ricky," Joe selesai memperkenalkan semua cowokyang ada di ruangan itu setelah menunjuk ke arah seorang cowok yang
tengah berbaring di sofa hijau muda.
"Hai...," gumamku perlahan sambil meneguk minumanku. Aku
ingin segera meninggalkan ruangan ini secepatnya. Aku merasa
seperti seekor burung yang kutulis dalam salah satu puisiku. Burung
itu terperangkap dalam sebuah gelas kaca. Walaupun ia masih dapat
melihat pepohonan dan alam raya, ia tak bisa membebaskan diri dari
gelas kaca itu. Burung itu hanya bisa menabrak dinding kaca dan jatuh
terjerembab ke dasar gelas. Yah, aku benar-benar merasa terjebak dan
yang kuinginkan adalah keluar secepatnya!
"Ngomong-ngomong, kamu udah kelas berapa Allison?" tanya
DJ sambil mendekatiku.
"Tujuh," Billy yang menjawab. Kutatap Billy dan ternyata Billy
pun tengah menatapku.
"Kita kan lagi ngobrol sama Allison, kau nggak perlu
menjawabnya Billy," protes Joe sambil menyibakkan rambut
panjangnya ke balik bahunya. "Mendingan kau teruskan main billiardmu..." Billy membuka mulutnya, seolah ingin mengucapkan sesuatu,
tapi urung. Ia malah mengambil kembali stik billiard-nya sambil
mendengus. "Yuk kita terusin Psycho," serunya. "Ayo!"
Psycho mengangguk, mengedipkan mata ke arahku dan kembali
main billiard bersama Billy.
"Jangan hiraukan adik kecilku Allison," ujar Kevin sambil
mengangkat kursi rotan kecil dari sampingku. "Dia emang suka uringuringan....""Ya. Dia emang aneh," Ricky ikut mengangguk dari sofa.
Dirapihkannya rambut pirangnya yang kelihatan kotor dan berantakan.
"Maklum, anak kecil kan emang belum stabil emosinya."
"Jadi, kau sudah kelas tujuh ya?" tanya Eric sambil mengocok
kartu. "Apakah si jelek Munson masih mengajar di situ?"
Aku mengangguk meskipun sebetulnya tak setuju dengan
julukan ?jelek? yang diberikannya untuk Bu Munson.
"Waktu kelas delapan, ia pernah mengajarku. Ia adalah guru
yang paling brengsek," timpal Joe.
"Eh Allison, kamu udah dengar belum?" kalimat DJ dipotong
oleh Joe.
"Jum?at depan ada pesta dansa anak-anak kelas sembilan."
"Ya," angguk Kevin melanjutkan, "kau mau datang?"
Mereka semua mengerubungiku. Kusibakkan kepang rambutku
ke belakang dan menatap kaleng minumanku dengan gugup. Belum
pernah aku dikerumuni begitu banyak cowok sekaligus. Belum pernah
aku diajak pergi oleh seorang cowok pun.
Tiba-tiba terdengar suara benturan keras yang menggema di
ruang bawah tanah itu. Aku terlonjak kaget.
"Hei!" teriak Psycho dari bawah meja billiard. "Hati-hati dong!
Kau hampir memukul kepalaku!"
Billy melirik Psycho dan bergeser ke sisi lain meja billiard.
Dibungkukkannya tubuhnya untuk mengangkat bola billiard yang
mental ke karpet.
"Kan sudah kubilang, Billy masih labil," gumam Ricky dari
sofa.Segera kumanfaatkan kesempatan itu untuk berdiri. Aku harus
keluar dari sini! Dari jarak jauh pun aku sudah dapat merasakan
ketidak-ramahan dan kekerasan Billy. Menurut Sabs, aku punya indra
keenam yang dapat menebak perasaan orang. Tapi aku tak
membutuhkan indra keenamku kali ini. Dengan mata biasa pun jelas
terlihat Billy tidak menyukai kehadiranku. Ia membenciku. Aku ingin
segera pulang!
"Lho? mau ke mana?" tanya Joe melihat aku berdiri. "Jangan
pulang dulu dong...," ujarnya seperti kecewa.
"Aku harus membantu Ibu menyiapkan makan malam,"
kilahku.
"Apa?" seru Kevin ikut kecewa. "Kau benar-benar harus
pulang?"
Tak dapat kupercaya, cowok-cowok itu kelihatan begitu kecewa
melihatku pamit. Kuharap Billy juga berharap aku tinggal lebih lama,
tapi nyatanya ia malah tak acuh sama sekali.
Kuanggukkan kepalaku. "Maaf. Tapi aku harus segera pulang
sekarang."
Aku mundur selangkah mendekati anak tangga.
"Kalau begitu, sampai ketemu lagi Allison," lambai DJ.
Setengah berlari, kunaiki tangga menuju dapur. Begitu tiba di
dapur, aku terpaku beberapa saat menenangkan nafasku yang
terengah-engah dan jantungku yang berdebar. Tiba-tiba kudengar
langkah kaki di belakangku. Ada yang mengikutiku! Aku segera
berlari menuju pintu keluar dan membukanya. Sayangnya, pintu agak
macet sehingga pada saat aku berhasil keluar, sebuah tangan mencekal
lenganku. Aku menyerah.Kubalikkan tubuhku dengan ketakutan. Ternyata....
"Billy," desisku antara lega dan ngeri saat kami bertatapan
dalam jarak yang agak dekat. Mata birunya berkilau tajam.
"Buru-buru Allison?" tanyanya sinis.
Air mata yang tadi berhasil kutahan, sekarang mendesak lagi
ingin keluar. Aku tahu, sebentar lagi aku pasti menangis, tapi hal itu
tak akan kulakukan di depan Billy Dixon!
"Lepaskan," ujarku perlahan sambil mengedipkan mata
memohon.
"Jangan pura-pura Allison," lanjut Billy, "senang kan dapat
teman-teman cowok baru? Kau tidak ingin turun lagi? Nggak usah
malu padaku. Terus terang saja...."
"Apa-apaan sih?" tanyaku bingung.
Billy benar-benar ngawur. Bagaimana mungkin ia menuduhku
ingin lebih lama berhandai-handai dengan teman-temannya di bawah?
Aku baru saja mengenal mereka. Dan lebih dari itu, aku merasa kikuk
dikerumuni demikian banyak cowok.
"Ngaku saja deh...," sindirnya dengan senyum mencemooh.
Aku tak tahan lagi. Billy telah bersikap amat kasar padaku dan
aku sama sekali tak mengerti apa sebabnya. Air mataku pun mulai
menetes di pipiku. Tidak begitu banyak, tapi aku tak dapat
mencegahnya lagi. Kutundukkan kepalaku, berharap agar Billy tidak
melihatnya. Kubiarkan air mataku menetes membasahi karpet rumah
Billy.
Beberapa saat Billy hanya terdiam sebelum akhirnya berbisik
perlahan, "Allison...."Diletakkannya tangannya pada daguku dan mengangkatnya.
Kulihat matanya kini tak lagi berkilat galak. Bola mata birunya
kelihatan amat lembut sekarang. Menatap Billy membuatku lupa akan
keinginanku untuk segera pulang ke rumah. Membuatku lupa akan
segala-galanya.
Namun tiba-tiba saja aku tersadar. Kulepaskan wajahku dari
tangannya, kubuka pintu dan melompat ke teras.
"Tinggalkan aku!" teriakku keras-keras. Aku terus berlari
secepat mungkin menuju jalan depan rumahnya, meskipun kudengar
Billy masih berteriak-teriak memanggil namaku.BAGIAN SEMBILAN
Billy menilpon Allison
BILLY : Hallo? Bisa bicara dengan Allison?
ALLISON : Saya sendiri.
BILLY : Allison, ini aku, Billy.
(Beberapa saat mereka saling berdiam diri)
BILLY : Jangan ditutup Allison. Aku tahu, kau pasti
sedang marah terhadapku. Tapi aku ingin minta
maaf tentang kejadian kemarin. Aku heran,
ngapain sih kamu datang ke rumahku. Aku minta
maaf atas sikapku yang tidak bersahabat.
ALLION : Ya. Kau amat...amat kasar Billy.
BILLY : Aku tahu. Tapi kemarin, aku merasa kau begitu
akrab dengan kakakku dan teman-temannya.
Tapi kemudian aku sadar, gadis seperti kamu
nggak mungkin bersikap genit seperti itu. Aku
telah salah mengerti....
ALLISON : Apa? Kau mengira aku bergenit-genit dengan
kakakmu?BILLY : Mungkin kedengarannya aneh ya? Maaf. Lagilagi aku cuma bisa bilang maaf. (Ia berhenti
sejenak) Kurasa...aku cemburu melihatnya.
ALLISON : Cemburu? Kamu ngomong apa sih?
BILLY : Mh...aku...aku nggak mau melihatmu bergaul,
bersahabat apalagi sampai naksir pada kakakku
atau cowok-cowok itu.
ALLISON : Mana mungkin? Aku kan baru kenal mereka.
BILLY : Aku tahu...aku tahu. Mh...tapi ma... maukah kau
nonton film bersamaku?
ALLISON : Apa? Pelan-pelan dong ngomongnya....
BILLY : Aku ingin mengajakmu nonton film. Hari Jum?at
kan ada pemutaran film di sekolah?
ALLISON : Hah?
BILLY : Terserah kamu sih. Kalau kamu keberatan, juga
nggak apa-apa. Aku cuma ingin minta maaf saja.
Sampai ketemu di sekolah nanti....
ALLISON : Tunggu! Eh...jangan ditutup dulu Billy. A...aku
mau pergi bersamamu. A...aku senang sekali kau
mengajakku.
BILLY : Kau benar-benar mau?
ALLISON : Kenapa tidak? Dan soal test itu....
(Billy tertawa)
BILLY : Kenapa kau masih mencemaskannya?
ALLISON : Tidak. Aku hanya ingih kau tahu bahwa
bagaimana pun hasil test itu, yang pasti telahmembuktikan bahwa selama ini kau bukan murid
yang bodoh.
BILLY : Terima kasih untuk perhatianmu Al. Kau telah
banyak membantuku.
ALLISON : Ah. Itu kan hanya....
BILLY : Apa pun yang kau katakan, aku ingin kau tahu
bahwa kau...bukan hanya wajahmu saja yang
cantik. Hatimu pun cantik.
ALLISON : A...aku....
BILLY : Kalau begitu kujemput kau jam setengah tujuh,
oke? ALLISON : Ya. Mh....
BILLY : Sampai ketemu Allison. Daah....
ALLISON : Sampai ketemu Billy.
Allison menilpon Randy
ALLISON : Hallo, ada Randy?
RANDY : Aku sendiri. Ada apa Al? Aku baru saja ingin
menilponmu tapi teleponmu bicara terus.
ALLISON : Ya. Billy barusan menilpon.
RANDY : Dan kalian berbicara demikian lama? Wah...pasti
pembicaraan yang serius!
ALLISON : Ya.
Girl Talk 10 Jatuh Cinta di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
RANDY : Kau kedengaran cemas. Apakah ia masih marah
padamu?
ALLISON : Bukan itu Randy. Ia mengajakku kencan!
RANDY : KENCAN! Wow...selamat ya Al!ALLISON : Selamat? Selamat apa? Randy, apa yang harus
kulakukan? Tiga hari lagi kami akan pergi
berkencan. Padahal aku belum pernah berkencan
dengan siapa pun sebelumnya. Aku takut nanti
tingkahku norak dan memalukan. Gimana kalo
sepanjang kencan aku cuma bisa diam aja? Apa
yang harus kulakukan? Aku tahu...aku harus
segera menilpon Billy dan membatalkannya....
RANDY : ALLISON! Tenanglah. Jangan panik gitu dong!
Semua akan berjalan lancar. Percayalah. Kau
masih punya waktu tiga hari untuk
mempersiapkan segalanya. Jangan khawatir....
ALLISON : Tapi Randy..
RANDY : Nggak ada tapi-tapian deh. Aku akan
membantumu mempersiapkan segala sesuatunya
untuk kencan pertamamu ini. Kurasa untuk
urusan ini sebaiknya kuhubungi Sabrina saja.
ALLISON : Tapi Randy....
RANDY : Al, di saat-saat seperti inilah kau dapat melihat
arti seorang sahabat. Jangan takut. Kami semua
akan menolongmu. Besok kita obrolin lagi ya?
Ciao!
ALLISON : Makasih Randy.
RANDY : Kembali!Randy menilpon Sabrina
SAM : Yap!
RANDY : Sam? Randy nih. Apa khabar?
SAM : Baik-baik aja. Ada apa nih?
RANDY : Ada Sabrina nggak?
SAM : Tunggu bentar ya....
SABRINA : Randy?
RANDY : Sabs? Lagi ngapain?
SABRINA : Lagi bengong. Untung kamu nelpon. Aku lagi
jenuh nih. Abis ngerjain pe-er matematik.
Kayaknya aku perlu istirahat sebentar.
RANDY : Kasihan. Udah berapa lama kau mengerjakan peer sampe kecapean begitu?
SABRINA : Yah...kira-kira sepuluh menit lah....
(Randy tertawa)
RANDY : Baru sepuluh menit? Eh Sabs, ada berita penting
nih. SABRINA : Penting? Ada apa? Apa yang terjadi?
RANDY : Tahu nggak, Billy Dixon ngajak Allison nonton
film bareng Jum?at malam nanti. Dan Allison
malah jadi ketakutan mendengar ajakan itu. Ia
ingin membatalkannya. Aneh ya? Tapi aku
belum pernah melihat Allison secemas ini. Kita
harus....
SABRINA : Billy ngajak Allison kencan? Wah! Sudah
kuduga... Billy memang naksir Allison. Lantas?RANDY : Sst...diam dulu dong. Aku kan belum selesai
bicara! Seperti sudah kubilang tadi, Al ingin
menolaknya. Soalnya ia belum pernah kencan
dengan siapa pun sebelumnya dan ia tak tahu apa
yang harus dilakukannya. Al kelihatan begitu
takut sampai-sampai ingin menilpon Billy untuk
membatalkannya.
SABRINA : Wah...jangan biarkan Al membatalkannya
Randy! Kita harus mencegahnya!
RANDY : Tentu saja tidak. Kita punya waktu tiga hari
untuk membantunya mempersiapkan diri untuk
kencan itu. Kau tahu sendiri kan, Allison selalu
ingin mempersiapkan segala sesuatu sebelum
melakukannya.
SABRINA : Kalau gitu kita akan melatihnya ?belajar
kencan?.
RANDY : Ya. Aku tahu, kau emang paling jago untuk
urusan macam ini. Gimana kalau kita diskusikan
besok?
SABRINA : Bagus sekali. Sekarang saja aku udah punya
beberapa gagasan....
RANDY : Bagus deh. Oh, coba kau telpon KaTie. Siapa
tahu dia punya ide-ide lain. Sekarang aku harus
bikin pe-er nih. Ciao.
SABRINA : Daaah Randy.Sabrina menilpon Katie
SABRINA : Hai Katie! Kau pasti nggak akan
mempercayainya! Aku saja masih belum
percaya. Benar-benar hebring!
KATIE : SABS! Kamu ngigau ya?
SABRINA : Billy Dixon ngajak Allison nonton film hari
Jum?at!
(Beberapa saat mereka saling berdiam diri)
KATIE : Allison teman kita? Allison Cloud?
SABRINA : Allison yang mana lagi? Tentu saja Allison
Cloud, sahabat kita. Nah sekarang terbukti kan,
dugaanku nggak salah. Billy memang naksir
Allison.
KATIE : Wah wah....
SABRINA : Seru kan? Tapi kita punya masalah nih. Menurut
Randy, Allison tidak berani menghadapi Billy.
Ini kan kencan pertama buat Allison. Dia
khawatir tingkahnya nanti norak dan
memalukan.
KATIE : Kenapa pusing-pusing? Yang penting ia harus
menjadi dirinya sendiri. Lagipula mereka berdua
kan bukan teman baru lagi. Sudah lama kenal.
SABRINA : Kamu gimana sih Katie. Kencan kan nggak sama
dengan acara tentoring! Menurut Randy, kita
harus membantu Al mempersiapkan diri, agar ia
merasa percaya diri.KATIE : Mempersiapkan sebuah kencan? Gimana
caranya?
SABRINA : Yah...menyiapkan bahan-bahan
pembicaraan. Juga gimana bersikap yang manis
selama kencan.
KATIE : Mana mungkin kita mempersiapkan bahan
obrolan. Kita kan nggak tahu apa yang akan
dibicarakan Billy?
SABRINA : Katie! Randy bilang kita harus menolong Al
untuk ?belajar kencan?, agar ia tak
membatalkannya!
KATIE : Yah...kalau menurut kalian begitu....
SABRINA : Tentu saja harus begitu! Sebetulnya ini sih
masalah sepele. Yang penting kita harus
menghapus rasa takutnya.
KATIE : Oke. Tapi menurutku semua akan berjalan lancar
jika Al bisa menjadi dirinya sendiri.
SABRINA : Jadi, besok kita akan mendiskusikannya, oke?
Eh ngomong-ngomong, aku mesti
menyelesaikan pe-er matematikaku nih. Baru
dua soal yang kukerjakan.
KATIE : Dua soal? Sabrina, kita kan harus menyelesaikan
soal nomer 1 sampai 25!
SABRINA : Iya., .iya. Aku juga tahu. Sampai besok ya!
KATIE : Sampai besok Sabs!
TEENLITLAWAS.BLOGSPOT.COMBAGIAN SEPULUH
"Apa yang terjadi dengan test membaca Billy, Al?" tanya
Randy hari Kamis sore. Kami berempat berada dalam kamar tidur
Sabs.
"O ya...," tambah Sabs yang tengah duduk di lantai. "Apa yang
terjadi?"
"Billy sudah menjalankannya kemarin," sahutku sambil
menyilangkan kaki.
"Itu sih kita sudah tahu," sahut Katie sambil ikut duduk di
samping Sabs. "Gimana hasilnya?"
"Dyslexia positif," ujarku.
"Tepat seperti dugaanmu kan?" tanya Randy sambil
melepaskan tali sepatu butnya dan melepaskannya di lantai. "Cukup
memuaskan kan?"
"Yah," anggukku perlahan, "hasil tes membuktikan bahwa
selama ini Billy bukannya bodoh."
"Lalu?" tanya Sabs penuh rasa ingin tahu, "Ngomong-ngomong
ada yang mau pop corn nggak? Aku lapar nih."
"Aku sih mau saja," sahut Randy, " apalagi kalau ada
minumnya sekalian.""Nah Al," lanjut Katie, "apa yang akan terjadi pada Billy
setelah tahu hasil test itu?"
"Ia harus mengikuti program rehabilitasi secara teratur untuk
memperbaikinya," kucoba menjelaskan.
"Hei, aku mau turun untuk membuat pop corn," sela Sabrina,
"kalian mau bantuin nggak?"
Aku lega begitu Sabs mengubah arah pembicaraan.
Kami bertiga turun mengikuti Sabs menuju dapur. Sabrina
meletakkan jagung pop corn ke dalam microwave dan kami semua
duduk di depan meja, menunggu.
"Sekarang tiba saatnya untuk membicarakan soal kencanmu
Al," ujar Sabs seraya meletakkan tangannya di atas meja dan
bertopang dagu.
Wah wah. Aku sendiri hampir melupakan soal kencanku
bersama Billy itu. Aku bertemu Billy di perpustakaan sehari setelah ia
menjalani testnya. Ada perasaan aneh saat berhadapan dengan Billy
setelah ia mengajakku kencan lewat pesawat telepon tempo hari. Dan
agaknya ia pun punya perasaan yang sama. Ia terus menunduk
menatap sepatunya. Tapi kemudian, ia mengucapkan kalimat yang
lucu sehingga kami berdua tertawa geli dan suasana kembali normal
seperti biasanya.
"Jam berapa ia akan menjemputmu?" tanya Katie sambil
membuka sebotol juice. Dituangkannya juice itu ke empat gelas.
"Atau kalian janjian ketemu di sekolah?"
"Sebetulnya dia akan menjemputku jam enam," sahutku,
"katanya ia mau mengajakku makan di Fitzie?s dulu.""Dia mengajakmu makan malam?" pekik Sabs bersemangat,
"Allison! Ini sih kencan yang serius! Pasti Billy benar-benar
menyukaimu!"
Mendengar hal itu aku menjadi sedikit kikuk. Dan Randy pun
menyadari hal itu. Disentuhnya bahuku perlahan. "Jangan cemas Al,"
bisiknya. "Kau pasti akan menikmatinya."
"Ya...tentu saja!" tukas Sabs tiba-tiba, "Billy kan bukan orang
asing bagimu. Semua akan berjalan lancar."
"Lagipula," timpal Katie, "kami akan mengajarkanmu cara
berkencan malam ini."
"Sekarang?" tanyaku heran. Rasanya ini bukan sebuah usul
yang baik. Haruskah seseorang ?belajar berkencan??
"Ide yang bagus!" Randy pun setuju. Ia bangkit berdiri. "Ayo
kita mulai aja sekarang."
"Eh nanti dulu. Kita mau ngapain sih?" tanyaku sedikit panik
dan malu.
"Begini," Sabs memulai acara ?belajar kencan? dengan gaya
seorang guru. Kutahan tawa yang hampir meledak melihat gaya Sabs.
"Kita akan memainkan sandiwara tentang kencanmu. Dan tentu saja
kau berperan sebagai dirimu sendiri."
"Main sandiwara?" tanyaku sedikit pusing. "Yap!" sahut
Randy, "Aku yang jadi Billy," Randy bersandar pada kursi,
menaikkan kakinya yang terbungkus stocking ke atas meja dan
tersenyum ?macho? ke arahku. Aku tak dapat lagi menahan tawaku.
"Katie akan menjadi pelayan dan Sabs yang jadi pelatihnya. Oke?"
Kuanggukkan kepala pada Randy."Nah sekarang bisa dimulai," Sabs mulai mengarahkan
sandiwara kencan ini. "Allison, kau duduk di hadapan Randy
eh...maksudku Billy. Katie, tolong keluarkan pop corn dan pura-pura
menyajikannya untuk mereka."
Katie memberi hormat pada Sabs. "Baik Tuan Besar
eh...maksudku Nyonya...." Kemudian Sabrina kembali memusatkan
perhatian pada kami berdua.
"Sekarang, kalian berdua seolah-olah baru memasuki ruangan
Fitzie?s dan duduk. Apa yang akan kalian bicarakan? Al, kau yang
mulai."
Kutatap Sabs dan Randy dengan bingung. Aku tak tahu apa
yang harus kukatakan. Tiba-tiba saja aku merasa panik. Dalam
suasana latihan saja aku tak tahu harus bicara apa, gimana kalau
kencan sungguhan nanti?
"Ayo dong Al," desak Sabrina, "katakanlah sesuatu. Jangan
kelamaan mikir. Kau kan bisa menanyakan soal hobby-nya. Cowok
paling suka menceritakan dirinya sendiri."
Aku mendehem sejenak dan melirik ke arah Randy. Randy
menganggukkan kepala sedikit. "Uh... Mh...Billy, gimana hasil
ulangan matematikamu hari ini?"
"Stop! Stop!" teriak Sabs sambil mendekati meja kami. "Jangan
ngomongin soal sekolah dong. Biarpun Billy anak yang pintar, belum
tentu ia senang membicarakan soal nilai ulangannya. Mulai lagi
deh...."
Aku terdiam, bingung mencari bahan obrolan lain. "Mh...Billy,
adikku Charlie menanyakan khabarmu.""Gimana sih. Saat menjemputmu nanti, pasti Billy akan ketemu
adikmu. Jadi ngapain kau ngomongin soal Charlie lagi?" tanya Katie
yang memegang semangkuk penuh pop corn.
"Katie benar Al," Randy setuju, "sorry, kau harus cari bahan
obrolan lain."
"Oke, oke. Sekarang kita mulai lagi dari awal," tukas Sabs
sambil menghela nafas.
"Kamu bisa main skateboard?" tanyaku sambil berusaha
mengingat-ingat salah satu hobby Billy. Randy tersenyum senang,
berarti pertanyaanku cukup bagus.
"Yah...kebetulan sekali aku memang..." Randy yang berpurapura menjadi Billy mulai menjawab, tapi tiba-tiba Sabs menyela.
"Stop! Stop!" tukasnya dengan dramatis, "Jangan tanya soal
itu!"
"Kenapa tidak?" tanya Randy seraya menatap Sabs dengan
heran, "Menurutku itu pertanyaan yang bagus sekali."
"Tentu saja pertanyaan itu bagus untukmu," sahut Sabs sambil
berputar-putar mengelilingi meja dengan wajah serius bagai sutradara
sungguhan. "Kebetulan kau memang bisa main skateboard. Kalau
Billy nggak bisa, gimana?"
Kalau memang Billy tidak bisa main skateboard lantas kenapa?
Aku pun ikut bingung jadinya. Setidak-tidaknya kan aku sudah bisa
memulai pembicaraan. Billy kan bisa menjelaskan bahwa ia tidak bisa
main skateboard lalu menceritakan hobbynya yang lain.
"O ya," ujar Randy tiba-tiba, "aku mengerti sekarang."
"Kau harus tahu bahwa harga diri bagi seorang cowok itu
penting sekali," celoteh Sabrina sok tahu."Kalian ini ngomong apa sih?" tanyaku dengan kepala pusing.
Aku benar-benar tidak mengerti arah pembicaraan mereka.
"Allison, mana ada cowok yang berani mengakui
kekurangannya?" sela Katie sambil meletakkan mangkuk pop corn ke
atas meja.
Girl Talk 10 Jatuh Cinta di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ooh...gitu ya?" desisku lugu. Memang, kadang-kadang sulit
bagi cowok untuk mengakui kelemahannya. Contohnya Billy. Ia malu
untuk mengakui ketidakmampuannya dalam membaca. Sekarang aku
mengerti.
"Oke, oke..." ujar Sabs sambil meraup segenggam pop corn dan
menyuapnya. "Kita akan mulai lagi dari awal. Jangan menanyakan
sesuatu yang tidak kau ketahui jawabannya Al. Salah-salah kau malah
akan membuatnya malu."
Lho? Kok aneh? Kalau aku sudah tahu jawabannya, kenapa aku
harus menanyakannya lagi? Acara kencan ini benar-benar
membingungkan dan ruwet untukku.
"Barangkali sebaiknya Billy yang mulai bicara duluan," usul
Randy. "Lagipula, kelihatannya Billy tipe cowok macam itu."
Sabrina terdiam sebentar. Mempertimbangkan usul Randy.
"Mungkin kau benar. Baiklah, Randy ups...maksudku Billy, kau
bicara lebih dulu."
Randy nyengir dan mengedipkan matanya ke arahku. "Allison,"
ia mulai bicara dengan suara berat seperti cowok, "apa pendapatmu
tentang si kembar Sabs dan Sam?"
Aku tertawa ngakak dan kudengar Katie pun ikut tertawa di
belakangku."Ayo dong. Serius dong...," Sabrina protes. "Jangan bercanda
melulu, ah!"
"Sorry Sabs," ujar Randy sambil menyeringai, lalu mendehem
dan menarik nafas dalam. Dibukanya mulutnya seolah siap
mengucapkan sesuatu. Tapi sebelum sepatah kata pun terlontar,
bahunya berguncang-guncang menahan tawa dan bibirnya kembali
tertutup menahan ledakan tawa.
Katie menghampiri dan ikut duduk di kursi. Ia tertawa terbahakbahak hingga tak kuat untuk berdiri. Kupejamkan mata, mencoba
untuk menahan diri dan tidak ikut tertawa. Aku khawatir Sabs marah
melihat ketidakseriusan kami. Tapi begitu kubuka kembali mataku,
kulihat Sabs tengah tertawa terpingkal-pingkal di lantai sambil
memegangi perutnya.
Saat itu, Sam, Nick dan Jason masuk ke dapur. "Ada apa sih?"
tanya Nick seraya melepaskan jaket dan menggantungkannya di
sandaran kursi makan.
Sam menatap adiknya dengan rasa ngeri campur curiga,
"Ngapain kamu duduk di lantai Sabs?"
Tawa kami pun semakin keras. Cowok-cowok itu saling
bertukar pandang dan menggeleng-gelengkan kepala dengan heran
sebelum pergi meninggalkan ruangan.
"Wah, hampir aku lupa!" seruku terkejut begitu melihat jam
dinding, "Aku harus tiba di rumah sebelum makan malam."
"Tapi kita harus latihan dulu," rengek Sabrina.
"Nggak usah khawatir Sabs," Randy mencoba menenangkan
Sabrina, "kencan Allison pasti berjalan lancar."Lalu Randy beralih padaku, "Jadilah dirimu sendiri Al. Selama
ini, Billy menyukaimu dan mengajakmu kencan karena kau adalah
Allison Cloud. Jangan mengubah citra dirimu."
Perkataan Randy benar-benar masuk akal, pikirku sepanjang
perjalanan pulang ke rumah. Kalau Billy tidak menyukai
kepribadianku, tak mungkin ia mengajakku pergi bersama. Dan tentu
saja ia tak mengharapkan aku berubah menjadi ?orang lain? saat
kencan pertama kami. Semua pasti akan berjalan lancar, bisikku
dalam hati. Tapi kalau memang semua akan berjalan lancar, kenapa
aku masih merasa tegang dan deg-degan ya?BAGIAN SEBELAS
Malam berikutnya, sekitar jam enam kurang lima menit, Ibu
memanggil dari bawah. "Allison! Billy sudah datang!"
Terlonjak aku mendengarnya. Billy datang lebih cepat dari
janjinya. Sambil menarik nafas dalam-dalam, kukeringkan telapak
tanganku yang basah oleh keringat ke celana panjangku. Sekali lagi
kusempatkan mematut diri di cermin.
Dengan cermat, aku berputar-putar di muka cermin dan
memperbaiki letak pakaianku. Malam ini aku mengenakan gaun
terusan dari bahan rajutan berwarna merah, hitam dan putih. Di bawah
gaun, kukenakan stocking putih dan sepatu pantofel hitam dari kulit
asli.
Sore tadi, Ibu baru saja membelikanku switer baru. Katanya,
khusus untuk acara kencan pertamaku malam ini. Switer cantik itu
terbuat dari bulu domba berwarna hitam. Rasanya lembut dan hangat
sekali. Lagipula amat serasi dengan gaun yang kukenakan. Kemudian
ganti kuamati wajahku. Ibu telah membantu menata rambutku. Kini
rambutku tergerai dengan indah ke punggungku. Kurasa
penampilanku cukup lumayan.
"Allison!" panggil Ibu lagi.Setelah melirik cermin untuk terakhir kali, kuambil jaketku lalu
turun. Kasihan juga Billy telah menunggu cukup lama.
Ketika tiba di bawah, kulihat Billy duduk di ruang tamu. Sesaat
aku menghentikan langkah dan terpaku di depan ruang tamu. Billy
kelihatan gagah sekali dengan kemeja biru bergaris abu-abu yang
serasi dengan warna bola matanya. Kali ini jeansnya tidak sobeksobek seperti biasanya. Dan ia pun mengenakan sepatu formal, bukan
sepatu olah raga. Malam ini Billy sengaja tampil rapih demi aku! Luar
biasa sekali!
Nenekku, Nooma, sedang bercakap-cakap dengan Billy. Dan
Billy kelihatan amat bersemangat mendengarkan pembicaraan
Nooma. Saat itu tiba-tiba Ibu muncul di sampingku.
"Anak laki-laki yang baik sekali Allison," bisik Ibu di
telingaku.
Kupeluk Ibu erat-erat kemudian mulai melangkah memasuki
ruang tamu setelah menarik nafas panjang.
Begitu melihatku, percakapan Billy dengan Nooma langsung
terhenti seketika. Billy mengalihkan perhatiannya padaku. Ia langsung
berdiri dan menghampiriku. Tiba-tiba ia berhenti dan tersipu
menyadari bahwa di ruangan itu masih ada orang lain selain kita
berdua.
"Selamat bersenang-senang," ujar Ibu sambil mengiringi
langkah kami ke pintu ke luar.
"Kau cantik sekali Allison," puji Billy dengan lembut begitu
kami tiba di serambi rumahku, "sungguh. Aku tidak bohong."Langkah kami terhenti. "Kau pun begitu," balasku tanpa dapat
menahan diri. Tiba-tiba kami berdua tertawa mendengar percakapan
yang amat resmi itu.
Selanjutnya kami berjalan berdampingan tanpa banyak bicara.
Aku amat menikmati ketenangan yang damai itu. Menurutku, kalau
kita bisa berdiam diri selama lebih dari sepuluh menit tanpa
kebingungan mencari obrolan, artinya kita akan menjadi sahabat
sejati. Dan aku senang mempunyai perasaan itu terhadap Billy.
Fitzie?s kelihatan amat ramai. Tak ada lagi meja dan kursi yang
kosong.
"Wah...maaf ya Allison," bisik Billy di telingaku begitu kami
berdua masuk ke restoran, "kelihatannya kita nggak akan
mendapatkan meja dan kursi sendiri nih. Harus gabung dengan anak
lain."
Entah kenapa, aku menjadi agak lega. Dengan demikian, aku
kan tidak perlu bingung mencari bahan obrolan.
"Tuh kakakku dan teman-temannya duduk di sana," tunjuk
Billy, "yuk kita ke sana. Siapa tahu masih ada tempat kosong buat
kita."
Billy menggandeng tanganku dan mengajakku menghampiri
meja kakaknya melewati keramaian. Saat hampir mendekati meja
Kevin, kulihat Stacy Hansen dan teman-temannya duduk di dekat
meja Kevin. Matanya langsung melotot lebar melihat kehadiranku
bersama Billy. Tatapannya langsung terhenti ke arah tangan kami
yang berpegangan erat. Lalu Stacy melirikku. Kucoba untuk
mengabaikannya dan menegakkan tubuhku. Aku tak perduli apa yangdipikirkan Stacy. Yang jelas aku bangga dapat hadir bersama Billy.
Barangkali Stacy iri melihatku.
"Hai Kevin," sapa Billy seraya mendorong kakaknya agar
menggeser dan memberikan tempat bagi kami, "geser dikit dong."
"Wah wah Billy!" sambut DJ sambil menatap kami dengan
heran, "Sepatu baru nih? Aku belum pernah lihat kau memakai sepatu
resmi begini?"
"Ada acara spesial rupanya," komentar Eric sambil menyeruput
vanila shake-nya.
Billy mengajakku duduk di bangku paling ujung, di
sampingnya. Ragu-ragu kucoba untuk tersenyum ke arah teman-teman
dan kakak Billy.
"Lho ini kan Allison!" seru Joe dengan senyum lebar, "Apa
khabar Al?"
Kevin bangun dari kursinya agar ada tempat duduk yang lebih
leluasa buat kami berdua. "Kok nggak bilang-bilang sih kalau mau
pergi sama Allison?" tanyanya.
Billy hanya mengangkat bahu seraya menggeser duduknya. Aku
pun ikut menggeser. Billy meraih tanganku dan menggenggamnya
seraya melirik ke arah teman-temannya.
"Oh...," ujar Ricky sambil mengembalikan botol saus tomat ke
tempatnya, "aku mengerti sekarang."
"Ada apa sih?" tanya Joe bingung. Kemudian ia menatap ke
arahku dan Billy. "Katamu Allison cuma sekedar mentormu di
sekolah?" .
"Aku bohong," sahut Billy singkat dan sederhana. Lalu
memesan menu.DJ menyodorkan kentang goreng ke arah kami berdua dan Eric
mulai mengganti topik pembicaraan. Dalam sekejap anak-anak itu
sudah berisik ngobrol sendiri-sendiri.
Setelah memesan makanan, Billy menyandarkan tubuhnya ke
belakang dan melingkarkan tangannya ke bahuku. Aku merasa aman
dalam posisi begini.
Waktu yang lamanya satu jam berjalan cepat seolah-olah baru
sepuluh menit aku dan Billy duduk di Fitzie?s. Billy mengajakku
untuk segera berangkat jika tidak mau terlambat menonton film.
Sambil terus menggandeng tanganku, Billy melemparkan uang ke
meja dan melambaikan tangan pada teman-temannya.
"Sampai ketemu lagi, Allison!" seru mereka mengantar
kepergian kami.
Sepanjang jalan menuju gedung sekolah, kami terus
bergandengan tangan. Kami sama sekali tidak bercakap-cakap sampai
tiba di tempat tujuan. Bergandengan tangan saja rasanya sudah amat
membahagiakan.
"Kau janji berkumpul dengan teman-temanmu di sini?" tanya
Billy sambil membukakan pintu untukku.
Aku mengangguk. Kami masuk ke ruang olah raga yang telah
disulap seperti bioskop kecil dan membeli karcis. Kulihat Sabrina
melambai dengan penuh semangat dari tengah ruangan. Ia menunjuk
ke arah dua kursi kosong di sebelahnya. Maka kuajak Billy ke tempat
yang telah disediakan Sabs untuk kami. Ruangan aula dipenuhi begitu
banyak anak-anak. Kami tiba tepat pada saat film pertama akan
diputar. Film kartun.Aku hampir tak percaya, betapa cepat adegan demi adegan
dalam film berlalu. Tahu-tahu film pertama sudah berakhir dan film
kedua segera dimulai. Sebetulnya aku tidak begitu suka film horor.
Tapi dengan kehadiran Billy di sampingku, rasanya aku tak perlu
khawatir. Setidaknya aku merasa aman jika melihat adegan-adegan
yang menyeramkan.
Tanpa terasa, akhirnya kedua film berakhir dan kami berdua
tengah berada dalam perjalanan pulang ke rumahku. Kulambaikan
tangan pada Randy, Katie dan Sabs. Kami berpisah di gerbang
sekolah.
"Teman-temanmu baik sekali," komentar Billy.
Aku sedikit terkejut mendengarnya.
"Tadinya kukira...."
"Tentu saja mereka baik," ujarku memotong perkataannya.
Billy menggenggam tanganku lebih erat dan mengayunkannya.
"Entahlah. Tadinya kukira mereka cuma sekumpulan anak-anak sok
tahu yang munafik dan gemar menarik perhatian guru," ujarnya ragu.
"Maksudmu?" tanyaku sambil pura-pura marah.
"Maaf Allison," sahut Billy serius, "jangan marah dong."
Aku tertawa. "Iya, aku cuma bercanda kok. Yang penting
sekarang kau sudah tahu yang sebenarnya."
Lantas kami pun hanyut dalam kesunyian lagi.
Waktu pun berlalu amat cepat. Beberapa detik kemudian kami
sudah tiba di serambi rumahku. Namun Billy belum juga melepaskan
tanganku dari genggamannya. Wajah kami berhadap-hadapan.
"Terima kasih kau mau menemaniku malam ini Allison,"
bisiknya dengan tatapan lembut."Aku juga," sahutku seraya menundukkan kepala.
"Hei," bisik Billy sambil mengangkat daguku dengan tangannya
perlahan, sehingga sekarang kami bertatapan. "Kau adalah teman
terbaik dan tercantik yang pernah kumiliki Allison," lanjutnya masih
dengan suara perlahan, "terima kasih untuk segalanya," kemudian ia
mendekatkan wajahnya ke wajahku dan mendaratkan kecupan di
pipiku. "Selamat malam."
Sebelum sempat mengucapkan apa-apa, Billy sudah
membalikkan tubuhnya dan melangkah turun dari serambi rumahku.
Terus melintasi halaman dan jalanan depan rumah. Kudengar ia
bersiul-siul gembira sementara aku masih berdiri terpaku di serambi
memandang kepergiannya. Billy menghentikan langkahnya sejenak
dan melambaikan tangan padaku. Aku hanya diam seolah kedua
kakiku terpaku di lantai teras. Billy Dixon telah mengecupku!
Mengecup pipiku! Kuraba pipiku dan masih kurasakan bekas kecupan
itu. Ya, Billy Dixon telah menciumku, di kedua belah pipiku! Sukar
dipercaya! Dan aku tak sabar lagi untuk segera menceritakan
pengalaman indah yang penuh kesan ini pada ketiga sahabatku.
Mereka pasti tak percaya!END
Penyamaran Raden Sanjaya 2 Joko Sableng Istana Lima Bidadari Anak Pendekar 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama