Ceritasilat Novel Online

Mencari Busur Kumala 8

Mencari Busur Kumala Karya Batara Bagian 8


muda-mudi ini akan tetapi tangkisan pemuda tadi
menunjukkan kepadanya bahwa mereka ini bukan
main-main. Kini dibentak dan diserang gadis cantik itu,
24 ia menjadi marah maka ia pun mendengus dan
didorongkannya pukulan Katak Merah.
"Dukk!" Kui Yang terpental akan tetapi gadis ini
berjungkir balik, la telah membuang sisa pukulan dan
gadis itu menyambar lagi dengan cepat. Kedua
tangannya membentuk cakaran rajawali. Dari ujung
tangan itu keluar bunyi mencicit bagai ujung pedang.
Maka ketika ia terkejut namun juga gusar, membentak
dan mengerahkan Ang-mo-kangnya lagi maka kakek
ini berjongkok dan kedua lengannya menyambut
sepuluh jari gadis itu.
"Plak-plakk!"
Kui Yang tertolak akan tetapi kuku Jari gadis ini
menggurat Siang Lun Mogal. Kakek itu terkejut karena
ujung kuku yang tajam menembus kekebalannya,
padahal ketika dipanah tadi ia tak apa-apa, anak
panah malah runtuh dan patah. Maka ketika ia
menggereng dan selanjutnya gadis itu beterbangan
melengking-lengking, menyambar dan berkelebat an
bagai rajawali mematuk mangsa maka kakek ini
kerepotan dan diam-diam ia terkejut murid siapakah
sebenarnya dua muda-mudi ini.
25 "Jahanam, kaupun minta mampus. Kuhajar kau,
siluman betina. Kutelanjangi dan kucabik-cabik
pakaianmu nanti!"
"Tutup mulutmu, akulah yang akan menghajar
mu dan jangan sombong di depanku!"
Kui Yang mainkan silat Rajawali dan sebentar
kemudian sepasang lengannya mengelepak-ngelepak
bagai sayap burung besar itu. Dari kedua lengan ini
menyambar deru pukulan dahsyat dan Siang Lun
Mogal tertegun. Ia bergoyang-goyang! Akan tetapi
karena ia bukanlah tokoh tak bernama dan cepat ia
menggeram dan mempergunakan Jouw-sang-huiteng-nya maka kakek itupun menyambar dan
berkelebatan bagai garuda menyambut rajawali.
"Plak-plak-plak!" kelepak sayap Kui Yang
membuat gadis itu terpental akan tetapi ujung lengan
bajunya menampar hidung. Kakek itu berteriak
meskipun si gadis terpental. Dan ketika ia kaget dan
marah serta heran, terguncanglah kakek ini maka Kui
Yang berkelebatan kian cepat dan akhirnya bayangan
gadis itu lenyap menjadi bayangan merah yang
berputar demikian cepatnya. Gadis ini mengelilingi
kakek itu bagai seekor rajawali mengelilingi mangsa
nya. 26 "Haighh!" Siang Lun Mogal menjadi gusar
"Hebat ilmu meringankan tubuhmu, bocah, siapa
gurumu dan dari mana Kalian. Sebutkan atau aku
merobohkan musuh yang belum kukenal!"
"Tak perlu banyak mulut. Guruku adalah Siatiauw-eng-jin, kakek busuk, dan aku adalah puteri Koktaijin. Coba roboh kan aku dan lihat siapa yang
terkapar!"
"Sia-tiauw-eng-jin (Pemanah Rajawali)?" kakek
ini terkejut. "Kau tidak bohong?"
"Aku bukan pembohong dan orang yang suka
menggertak. Kau boleh percaya atau tidak aku tak
perduli. Mampus dan tebuslah dosamu... plak-plakplakk!" gadis itu menyerang amat cepat dan tiga kali
pukulannya hampir mengenai kakek ini, tentu saja
membuat kaget dan pengakuan bahwa gadis itu murid
si Pemanah Rajawali membuat Siang Lun Mogal
terkesiap. Tentu saja ia tahu nama itu, tokoh yang
sejajar dan mungkin setingkat di atas dirinya, tokoh
yang sama dengan Sin-kun-bu-tek yang ditakuti! Maka
ketika ia tergetar dan rasa kaget membuat tenaganya
lemah, ia terhuyung maka gadis itu sudah mengejar
nya dan kakek ini tiba-tiba berkemik dan ia terpaksa
27 mengeluarkan Hoat-lek-kim-ciong-konya bila tak ingin
pertandingan berlarut-larut.
"Dar!" tepukan tangan hijaunya tiba-tiba
meledak. Kakek itu membentak dan melempar
sesuatu dan mendadak ia berubah menjadi sepuluh
Siang Lun Mogal. Bersamaan itu sepuluh Siang Lun
Mogal ini beterbangan dan ganti mengelilingi Kui
Yang. Dan ketika gadis itu terkejut berseru keras, tadi
ia tertegun oleh tepukan asap hijau maka terdengar
lah kakek itu tertawa di balik serangannya.
"Ha-ha, sekarang kau tak dapat menyerang aku
lagi. Ada sepuluh Siang Lun Mogal, bocah, kau
terkepung!"
Akan tetapi Kui Yang tiba-tiba merogoh kantong
bajunya. Gadis itu melengking dan membentak dan
sekonyong-konyong
sepuluh panah tangan mendesing lewat jari-jarinya yang mungil. Panah itumenyambar dan menyerang sepuluh Siang Lun Mogal.
Akan tetapi ketika sembilan yang lain lenyap dan
terdengar kesiur di belakang punggung, itulah yang
asli maka Kang Hu tak dapat berdiam diri lagi melihat
temannya dalam bahaya.
"Awas!"
28 Pemuda ini meloncat dan ia mempergunakan
ginkang menyambar kakek itu. Dari belakang kakek ini
menampar tengkuk Kui Yang. Akan tetapi karena ia
menyambar dan kakek itu tahu kehebatan pemuda ini,
membalik dan menangkis maka selamatlah Kui Yang
dan kakek itu beradu tenaga dengan Kang Hu.
"Dukk!" dua-duanya tergetar dan Kang Hu
terhuyung. Sekali lagi pemuda ini pucat merasakan
hebatnya lawan. Kakek gundul ini memang bukan
sembarangan! Akan tetapi karena tak perlu ia takut
dan saat itu Kui Yang sendiri sudah melengking dan
membalikkan tubuhnya, menyambar kakek itu maka
Siang Lun Mogal menggereng ketika Kang Hu
berkelebat dan menyambarnya pula. Ia diserang dari
kiri kanan.
"Cabut gendewamu dan biarkan aku mainkan
anak panahku. Mainkan Eng-liap wan-sin-hoat, Yangmoi, kau di kiri aku di kanan!"
Gadis itu mengangguk, mencabut busur. Ia
memekik dan beterbangan menyambar kakek ini
sementara Kang Hu mengeluarkan sebatang anak
panah dari saku bajunya. Sebenarnya pemuda ini pun
juga memiliki sebatang busur akan tetapi
disembunyikannya di balik punggung. Ia tak akan
29 mengeluarkan senjata itu bila tak perlu benar. Dan
ketika ia menerjang dan menusukkan anak panahnya
ini, bercuit dan mendesing maka kakek itu menangkis
nya akan tetapi lengan kakek ini tergurat. Pinggiran
batang anak panah itu rupanya seperti pisau dan ada
kaitan pula di bawah ekornya.
"Augh, bret-plakk!"
Sang kakek terkejut. Lagi untuk kedua kali kakek
ini ditembus kekebalannya. Pemuda inipun tak kalah
berbahaya dengan gadis itu, yang tadi mengguratnya
dengan kuku jari. Maka ketika ia melotot dan menjadi
gusar, berjongkok dan membalas maka dua mudamudi itu sudah mengepungnya dari kiri kanan dan
senjata di tangan mereka mendesing dan menderuderu. Busur itu menghajar pecah batu besar di
belakang Siang Lun Mogal.
"Prakkk!"
Kakek itu semakin terkejut. Ia meraung dan
marah sekali dan berkemak-kemiklah mulutnya
membaca mantra. Dikeluarkannya lagi Hoat-lek-kimciong-ko. Dan ketika ia membentak hingga udara
tergetar, suaranya kuat penuh wibawa maka ia
menciptakan lagi dua puluh Siang Lun Mogal.
30 "Heii, lihat. Kalian masing-masing menghadapi
sepuluh Siang Lun Mogal!"
Kui Yang dan Kang Hu terkejut. Benar saja
sepuluh Siang Lun Mogal tiba-tiba berkelebatan dan
menyambar-nyambar di sekeliling mereka. Sepuluh
kakek lihai ini menyerang dari delapan penjuru. Akan
tetapi ketika Kiok Eng melengking dan mencelatlah
wanita itu, Kang Hu dan Kui Yang diserukan untuk
menutup telinga maka wanita itu menerjang dan
sepoci air kencing tiba-tiba disiramkan.
"Prat-prat-prat! Kau kakek busuk selalu
bermain ilmu hitam. Mampuslah, Siang Lun Mogal,
atau enyah dan jangan ganggu kami!"
Luar biasa, kakek itu tiba-tiba mengaduh. Ia
berteriak disiram air kencing Cit Kong dan mendadak
dua puluh Siang Lun Mogal lenyap. Yang ada ialah
kakek itu yang menggeliat di tanah, ia lemas dan
seakan kehabisan tenaga. Dan ketika kakek ini pucat
dan memaki-maki, tahulah dia bahwa Cit Kong
membocorkan rahasianya maka kakek itu
menyumpah dan bangkit melarikan diri. Memang
anak laki-laki itu tadi memberitahukan kepada ibunya
untuk melumpuhkan Hoat-lek-kim-ciong-ko dengan
air kencingnya. Ia kebetulan kebelet!
31 "Aku teringat kata-katanya sendiri di kala
hendak mengajarkan ilmu itu. Hoat-lek-kim-ciong-ko
lemah bila disiram air kencing, ibu. Aku kebetulan
ingin kencing dan kau tadahilah air kencingku!" begitu
Cit Kong bicara ketika sadar dan melihat pertandingan
di sana. Lengannya patah dibanting si kakek akan
tetapi selebihnya sehat. Ia tak apa-apa. Maka ketika
ibunya mengambil poci dan menadah air kencing
puteranya, buru-buru dan sedikit merah maka air
kencing itu akhirnya disiramkan ke tubuh Siang Lun
Mogal dan benar saja kakek itu ambruk, nggelosor dan
lunglai akan tetapi Kui Yang dan Kang Hu berbangkisbangkis. Air kencing ini nyiprat ke mana-mana dan dua
muda-mudi itu gelagapan. Mereka tak tahu air kencing
siapa, jangan-jangan Tan-hujin (Kiok Eng)! Maka ketika
mereka sungkan menyumpah sementara kakek itu
roboh dan bangkit lagi, tenaga seakan dilolosi dan
cepat meludah tiga kali maka kakek ini melarikan diri
dan gentarlah dia meneruskan pertandingan.
Rahasianya diketahui nyonya itu.
"Jahanam, terkutuk. Kau membocorkan rahasia
ku, Buci, kelak kucincang kau!"
Anak ini terkekeh. Ia bangun dengan lengan
sengkleh akan tetapi sang ibu berkelebat dan
mencegahnya. Tentu saja Kiok Eng tak berani
32 mengejar kakek itu dan lebih memberatkan
puteranya. Biarlah lain kali dicarinya kakek itu. Maka
ketika ia menolong puteranya dan cepat membalur
kan penyembuh tulang, membebat dan menyobek
sebagian bajunya sendiri maka Kui Yang dan Kang Hu
merah padam menghampiri wanita ini. Masingmasing saling lirik dan geli tapi juga mendongkol.
"Kencing Eng-cici sungguh manjur, iblis tua itu
terbirit-birit!"
"Apa, kencingku? Bukan, itu milik Cit Kong!"
Kiok Eng membalik dan semburat merah dan tentu
saja ia menangkis. Kui Yang melepas dongkolnya
dengan gurauan setengah menegur, tentu saja gadis
ini tak senang juga. Maka ketika tiba-tiba di jawab dan
anak itu tergelak, Cit Kong memang geli maka ia
berseru, "Eh, siapa bibi dan paman muda ini. Kencing itu
memang milikku, bukan milik ibu. Maaf kalau pesing
dan harap kalian maafkan aku yang masih kanakkanak!"
"Ah, kencingmukah?" Kang Hu tiba-tiba tertawa
bergelak pula. "Kalau begitu pantas, Cit Kong, ampuh
sekali. Pesing-pesing harum, dan Hoat-lek-kim-ciongko rupanya lumpuh terkena air kencing anak-anak!"
33 "Benar, dia sendiri pernah menceritakannya
kepadaku, dan sekarang telah kubuktikan. Ha-ha,
kakek itu terbirit-birit, paman. Lain kali kusimpan air
kencingku banyak-banyak dan kucekokkan mulutnya!"
Akan tetapi Kang Hu tak mendengarkan
gurauan terakhir ini. Ia terkejut dan heran bahwa
pelumpuh Hoat-lek-kim-ciong-ko diberitahukan anak
itu lewat kakek itu sendiri. Maka ketika ia bertanya
bagaimana bisa begitu, tentu saja pemuda ini tak tahu
maka Kiok Eng menerangkan,
"Ia bekas muridnya, bagaimana tidak tahu.
Terima kasih atas pertolongan kalian dan kami ibu dan
anak sungguh merasa bersyukur."
"Eh, siapakah mereka ini!" anak itu tak tahan.
"Kalian rupanya sudah mengenal baik, ibu. Siapakah
paman dan bibi ini. Atau enci?"
"Hush, mereka lebih patut sebagai adik ibu
daripada kakakmu. Ini adalah Kui Yang sedang itu Kang
Hu, Cit Kong, beri hormat dan ucapkan terima kasih
pula. Mereka adalah keluarga Kok-taijin dan Bugoanswe!"
Cit Kong memberi hormat. Tentu saja ia hanya
mempergunakan sebelah tangannya dan anggukan
kepala. Matanya bersinar-sinar dan jelas kagum
34 kepada muda-mudi ini. Akan tetapi karena ia tak
mengenal Kok-taijin maupun Bu-goanswe, ia masih
merah ketika itu maka ia bertanya siapakah itu dua
orang besar itu. Dan ibunya segera ingat.
"Kok-taijin dan Bu-goanswe adalah sahabat
kakekmu, mereka sudah pensiun. Akan tetapi karena
nama besar mereka cukup berpengaruh di istana
maka mereka tetap disebut seperti itu dan sri baginda
pun menaruh segan. Sudahlah biar kutanya mereka ini
bagaimana tiba-tiba datang, seingatku mereka inipun


Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghilang!"
Kui Yang tersenyum-senyum. Diam-diam tak
ada yang tahu betapa api cemburu tiba-tiba lenyap.
Bagaimana tidak, gadis itu menyangka milik Tanhujinlah yang tadi menyiprat di muka mereka, juga
Kang Hu. Dan karena pemuda itu adalah kekasihnya
dan siapa tak akan panas, meskipun tak sengaja maka
hal kecil ini lewat tanpa diketahui siapapun, bahkan
tidak oleh Kiok Eng!
"Ibumu terlalu membesar-besarkan. Ayahku
bukan apa-apa dibanding keluargamu, Cit Kong. Siapa
tak tahu kakekmu Fang-taihiap dan ibumu yang diberi
gelar pangkat oleh sri baginda. Kami tak berarti apaapa dibanding keluargamu tapi sudahlah tak usah kita
35 menyanjung puji. Justeru kami heran bagaimana kau
ditemukan dan bagaimana pula bertemu kakek iblis
itu!"
"Kami hendak mencari ayah!" anak itu tiba-tiba
berseru. "Tapi bertemu kakek itu di sini dan
sesungguhnya ia mengejar-ngejar aku!"
"Mengejar-ngejar dirimu?"
"Benar, hendak disuruh kembali ke Mongol,
akan tetapi kutolak!"
Kiok Eng maju bicara dan kini dialah yang
menceritakan itu. Segera dipeluknya kepala anaknya
itu dan dua muda-mudi itu melihat kasih sayang
seorang ibu. Diam-diam mereka saling lirik dan Yang
tiba-tiba memerah. Tentu seperti itulah kalau kelak ia
punya anak! Dan ketika gadis ini melengos dan
menghindarkan pandangan Kang Hu, ia mendengar
cerita itu maka tahulah dua muda-mudi ini akan kisah
penculikan Cit Kong.
"Dan kini puteraku telah kembali padaku. Aku
bersyukur, Kui Yang, berterima kasih sekali. Akan
tetapi karena sekarang ayahnya belum pulang dan
kami mencarinya maka kami tiba di sini dan malah
bertemu kalian. Sekarang bagaimana dengan kalian
karena seingatku kalian pun menghilang."
36 Dua muda-mudi itu menarik napas dalam dan
mereka tiba-tiba saling lirik kembali. Tentu saja Kiok
Eng tak menceritakan betapa pertengkarannya
dengan Tan Hong membuat Tan Hong meninggalkan
nya. Rumah tangga mereka nyaris pecah berentakan.
Dan ketika dua muda-mudi itu mengangguk-angguk
dan merasa paham, kakek Mongol itu kiranya menjadi
gara-gara maka mereka berkata bahwa ada tugas yang
mengharuskan mereka turun gunung.
"Suhu Sia-tiauw-eng-jin menyuruh kami ke Angbi-to (Pulau Alis Merah). Selama ini kami dididik dan
digemblengnya, Eng-cici, dan baru sekarang boleh
turun gunung. Kebetulan kami mendengar
pertempuran di sini dan kami lalu datang."
"Benar, dan tak kami sangka bertemu dengan
kakek jahat itu. Kalau kelak kami bertemu dengannya
lagi tentu tak akan sudah apalagi setelah mengetahui
kelemahan Hoat-lek-kim-ciong-ko!"
Kang Hu menimpali dan pemuda ini tertawa
menyambung temannya. Ia memang geli dan masih
teringat itu. Sekarang mudahlah menghadapi ilmu
sihir! Akan tetapi ketika Kiok Eng berkerut dan heran
ada apa di Ang-bi-to, pemuda itu menggeleng kan
37 kepala maka iapun menjawab bahwa iapun tak tahu
apa-apa. "Kami tidak tahu jelas. Kami hanya menjalankan
perintah suhu. Sekarang ke manakah Eng-cici hendak
pergi dan bagaimana kabar kakek kami berdua."
"Hm, aku tak tahu apa-apa. Kesibukanku
mencari Cit Kong membuat aku tak memperhatikan
yang lain-lain, Kang Hu. Maaf. Akan tetapi siapa itu
suhu kalian Sia-tiauw-eng-jin, aku tak pernah dengar!
"Suhu memang pengembara. Ia orang biasabiasa saja, Eng-cici, tak memiliki ketenaran. Akan
tetapi locianpwe Sin-kun bu-tek mengenalnya baik!"
Kui Yang seakan merendahkan diri namun kata-kata
terakhirnya itu jelas bernada bangga. Siapa tak tahu
Sin-kun-bu-tek (Malaikat Tanpa Tanding). Maka ketika
Kiok Eng terkejut dan mengangguk-angguk maka
wanita itu tersenyum dan berkata, ia telah melihat
kepandaian dua muda-mudi ini.
"Kalau begitu guru kalian bukan orang biasa.
Hanya orang-orang luar biasa yang dikenal Sin-kun-butek!"
"Ah, sudahlah, betapapun kami tak ingin
menyanjung diri. Sekarang ke mana kau hendak pergi,
38 Eng-cici, apakah bersama kami atau kau berjalan
sendiri."
"Eh, aku tak ingin mengganggu orang-orang
muda. Aku ada urusan sendiri. Karena aku hendak
mencari suamiku sementara kalian juga ada tugas
baiklah kita berpisah di sini. Sekali lagi terima kasih,
Kang Hu, terima kasih pula kepada Kui Yang dan
mudah-mudahan kita bertemu lagi. Aku akan mencari
suamiku ke Mo-san!"
Pemuda itu tersenyum dan memandang Kui
Yang. Gadis ini mengangguk dan balas memandang
kekasihnya itu. Selama beberapa tahun ini memang
hubungan mereka menjadi dekat sekali. Mereka bebas
akan tetapi Kang Hu adalah pemuda yang sopan. Dulu
ketika di Liang-san pun pemuda ini telah menunjukkan
sikapnya yang baik kepada Kui Yang, meskipun berdua
dan disuruh menjaga gunung. Maka ketika gadis itu
mengangguk dan berkata terima kasih kembali,
memberi tiga butir obat kepada Cit Kong untuk cepat
sembuh akhirnya dua muda-mudi ini berkelebat dan
Kiok Eng pun lalu meninggalkan tempat itu menerus
kan perjalanannya. Diam-diam ia mengumpat dan
mengutuk kakek itu yang mencelakai lengan
puteranya.
39 *** Mo-san cukup jauh dari Liang-san. Seminggu
melakukan perjalanan barulah wanita itu tiba di sini.
Dan ketika Kiok Eng berhenti dan memandang mulut
hutan, ia berdebar dan lupa-lupa ingat akan guha itu
maka Cit Kong mengajak beristirahat.
"Inikah kiranya tempat itu. Menyeramkan
sekali, ibu, pantas dengan namanya!"
Cit Kong mendesis dan Mo-san yang berarti
Gunung Iblis memang terasa menyeramkan. Hutan
begitu lebat sementara mulutnya terasa dingin. Di sini
sang ibu melepaskan puteranya dan Cit Kong mulai
sembuh. Paling tidak ia telah dapat menggerakkan
lengannya lebih baik, tulang yang patah itu mulai
menyambung. Dan ketika anak ini duduk dan ibunya
mengeluarkan bungkusan, roti kering dan arak jernih
maka Kiok Eng memilih bersembunyi di balik batu
besar agar tak terlihat orang.
"Benar inilah tempat di mana dulu aku
meninggalkan ayahmu. Waktu itu ia memanggilmanggilku, Kong-ji, akan tetapi tak kugubris. Sebaik
nya aku mencari seorang diri dan kau di sini. Tempat
itu gelap!"
"Ibu mau masuk sendirian?"
40 "Kurasa begitu, kau di sini. Kalau ada apa-apa
berteriaklah dan ibu segera keluar."
Anak ini mengangguk. Cit Kong bukanlah
penakut dan iapun memiliki Jouw-sang-hui-teng.
Kalau untuk kabur atau berlomba lari ia lebih dari
cukup. Orang biasa saja tak mungkin mengejarnya.
Dan karena sang ibu tahu kepandaian anaknya dan
sedikit tenang, dua hari dalam perjalanan terakhir Cit
Kong dapat berlari cepat mendampinginya maka Kiok
Eng merasa aman bila masuk seorang diri saja.
Begitulah, wanita ini akhirnya memasuki Mosan setelah perut sedikit kenyang oleh roti kering dan
arak putih. Cit Kong melebihi ketenangan ibunya dan
wanita ini kagum. Dikecupnya dahi puteranya itu. Dan
ketika ia berkelebat dan berpesan hati-hati, Cit Kong
mengangguk maka diam-diam anak ini membuntuti
ibunya pula dan ternyata ia tak mau berpeluk tangan!
"Hm, ibu aneh. Memangnya kenapa harus
seorang diri. Kalau ada bahaya kenapa tidak bersamasama? Menghadapi kakek gundul tak ada takut,
apalagi hanya hutan seperti ini!"
Anak itu berkelebat pula dan mudah baginya
mengikuti ibunya yang hati-hati memasuki hutan. Mosan adalah wilayah si Palu Besi Wee Yu. Meskipun ia
41 tak ta kut dan pernah menghajar kakek muka merah
itu akan tetapi kalau ada temannya yang lihai maka ia
tak boleh gegabah. Justeru kejadian lama
membuatnya berdebar. Hung-wangwe, keparat itu
mudah-mudahan tak di situ. Dan ketika ia terus masuk
dan menyibak tempat-tempat gerumbul tiba-tiba Kiok
Eng terpekik ketika mendadak seutas tali menjirat
kakinya dan... srat!, ia terbawa naik oleh sebuah jala
dan tertangkap bagai harimau hidup-hidup.
Wanita ini meronta-ronta. Jala itu terbuat dari
urat yang lentur dan amat kuat serta kenyal. Semakin
ditarik semakin merapat. Dan ketika ia menjadi pucat
dan marah, memaki-maki maka muncullah puteranya
berseru tertahan.
"Ibu...!"
Kiok Eng tertegun. Ia terkejut tak menyangka
puteranya di situ. Bagaimana Cit Kong di situ, padahal
bukankah disuruhnya diam di mulut hutan! Akan
tetapi ketika ia girang dan rasa gembiranya lebih dari
rasa marah, anaknya ini seperti bapaknya saja maka ia
berteriak agar Cit Kong memutuskan tali penjerat di
atas kepala.
"Jahanam, ibu terjebak. Putuskan ikatan di atas
kepala ini, Kong-ji, bagaimana kau datang!"
42 "Baik, aku akan membabatnya dan harap ibu
hati-hati. Awas!" anak ini meloncat ke atas dan Jouwsang-hui-teng dipergunakannya. Ternyata kepandaian
Siang Lun Mogal berguna juga. Dan ketika ia
membacok namun pengikat terdorong, ulet dan kuat
maka anak ini terkejut dan ia jatuh lagi ke bawah.
"Gagal," serunya. "Tali itu ulet dan kuat, ibu,
harus dibacok pisau!"
"Pergunakan api dan meloncat saja ke dahan.
Urat ini pasti putus!"
"Api?"
"Ya, letikkan dua batu kecil itu dan pasangkan
lilin!"
Cit Kong teringat. Dalam perjalanan ibunya
membawa lilin. Di kantongnya ada bekas semalam.
Maka ketika ia girang dan memukulkan dua batu
memantek api maka segera dipasangnya lilin dan...
hup, iapun telah berjungkir balik dan kini hinggap di
pohon. Cit Kong tak perlu lama di sini karena segera
disulutnya tali pengikat itu. Benar saja, talipun putus.
Dan ketika ibunya berdebuk dan terbanting di bawah
maka anak itupun berjungkir balik turun dan ibunya
43 kini dapat meloloskan diri. Kiok Eng menyumpahnyumpah.
"Jahanam, dianggapnya apa aku ini. Bedebah!"
"Hi-hi, mungkin harimau. Barangkali pemburu
yang memasangnya di sini, ibu, kebetulan. Sekarang
maafkan aku karena aku tak betah sendirian."
Kiok Eng memeluk dan mencium anaknya ini.
Justeru kedatangan Cit Kong menyelamatkan dirinya.
Ia terharu. Dan ketika apa boleh buat dibawanya
anaknya itu serta, Cit Kong gembira maka wanita ini
masuk lebih dalam dan tentu saja ia lebih berhati-hati
setelah peristiwa tadi. Kini tusuk kondenya dicabut
siapa tahu berguna nanti.
Akan tetapi hutan semakin gelap. Wanita ini
sudah lupa akan lika-liku di situ dan iapun hanya
mengandalkan perasaan saja. Dan ketika akhirnya
guha itu tak berhasil ditemukan sementara udara
sudah begitu gelap maka ia terpaksa berhenti dan
bersyukurlah dia bahwa selama itu tak ada gangguan
dari si Palu Besi atau anak buahnya. Paling tidak ia
akan merasa repot melindungi Cit Kong.
"Hm, untung hanya satu saja jebakan harimau
itu. Sebaiknya kita kembali ibu, besok dapat dilanjut
kan."
44 "Baik, akupun berpikir begitu. Mari kembali
dan... eh, mana petunjuk asal tadi!"
Cit Kong terkejut ketika ia dan ibunya tiba-tiba
kehilangan asal petunjuk. Tadi mereka memberi
tanda-tanda di pohon namun semua itu tiba-tiba
lenyap. Entah udara terlalu gelap atau ada orang
menghapusnya. Maka ketika ia tertegun sementara
ibunya bersungut marah, tentu saja tak tahu arah
maka nyonya ini meng ambil langkah serampangan
untuk kembali dan keluar hutan.
Akan tetapi celaka, udara mendadak gelapgulita. Ibu dan anak tak tahu betapa asap hitam tibatiba menyelimuti tempat itu. Dibantu oleh
keremangan senja asap ini memang tak kelihatan. Dan
ketika cepat sekali ia menaungi tempat itu, bau keras
menusuk hidung maka Kiok Eng terkejut ketika tibatiba ia seakan mengenal bau itu.
"Hung Ji Bak manusia keparat!" nyonya itu tibatiba membentak dan sadarlah dia akan bahaya. Benar,
kini dikenalnya bebauan itu, bau tembakau. Dan ketika
ia berbangkis dan mendadak pening maka Cit Kong
tiba-tiba roboh dan mengeluh. Dari delapan penjuru
tiba-tiba terdengar suara bergelak.
45 "Ha-ha, selamat datang. Kau sungguh berani
mati, Kiok Eng, akan tetapi mengagumkan. Selamat
datang dan selamat bertemu lagi. Ha-ha!"
Kiok Eng pucat. Sadarlah dia bahwa dirinya


Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terjebak, la mengira tenang-tenang saja padahal
dirinya diintai. Suara hartawan itu tak dilupakannya.
Dan ketika ia menjadi marah dan melengking tinggi,
Cit Kong roboh telungkup maka tawa lain menggetar
kan hutan dan kini si Palu Besi memperdengarkan
suaranya. Dua orang itu ternyata mengintai dan
bersembunyi bersama anak buah mereka.
"Bagus, kelenengan di tempat kami berbunyi.
Kiranya kau Tan-hujin, bagus sekali. Dan kali ini tak
mungkin kau lolos, ha-ha!"
Kiok Eng terhuyung jatuh. Ia pening dan mual
karena itulah Hong-sian-bai-hu (Bubuk Dewa
Pelumpuh Syaraf). Dulu iapun terjungkal oleh asap
bius ini milik Hung-wangwe. Keparat hartawan itu.
Akan tetapi ketika ia memaki dan mengeluh
terhuyung-huyung, puluhan obor tiba-tiba memenuhi
tempat itu mendadak wanita ini terguling dan ia
pingsan. Bubuk Pelumpuh Syaraf bekerja dan ia tak
kuat lagi.
"Bluk!"
46 Terdengar sorakan dan riuh yang ramai. Kiranya
hutan itu telah terkepung dan Palu Besi Wee Yuu
berada bersama Hung-wangwe. Lagi-lagi dua orang itu
menghadapi wanita ini. Akan tetapi ketika cahaya
obor mengusir gelap, tempat di mana Kiok Eng berada
belum begitu terang mendadak melesat bayangan
putih dan ibu serta anak tahu-tahu disambar hilang.
"Siap-siap!"
Orang-orang masih tak tahu. Bayangan ini
melesat dan melayang ke atas pohon untuk kemudian
terbang dan meloncat-loncat. Lompatannya panjang
dan amat mengejutkan. Sepuluh sampai dua puluh
meter dilalui. Dan karena ia menyambar dari ranting
satu ke ranting lain, ringan bak kecapung terbang
maka orang-orang terkejut ketika wanita dan
puteranya itu tak ada lagi.
"Hilang! Ia tak ada!"
"Eh, benar. Ia tak ada, Lo-hiap (jago tua).
Nyonya dan anak laki-laki itu lenyap!"
Dua bayangan berkelebat dan itulah kakek
muka merah Wee Yu dan hartawan she Hung. Kakek
hartawan ini menyembur-nyemburkan
asap tembakaunya dan ia telah memberi penawar kepada
sahabatnya dan orang-orang lain. Bubuk Pelumpuh
47 Syarat amatlah jahat. Maka ketika ia tertegun dan
kakek ini membelalakkan mata, kaget berseru heran
mendadak hartawan itu meloncat pergi dan buru-buru
menyelinap. Ia takut kalau nyonya itu pura-pura roboh
dan sebentar lagi datang membacoknya.
"Awas, hati-hati. Jangan-jangan ia di sekeliling
kita!"
Berhamburanlah orang-orang lain. Si Palu Besi
Wee Yu berseru pucat dan iapun buru-buru kabur.
Sepak terjang dan keganasan nyonya itu diingatnya
baik, betapa Pedang Kilat Wong Sin Kiam harus
kehilangan sebelah lengannya sementara si Kaki
Selatan terbabat lututnya. Putus! Maka ketika ia
berteriak dan cepat menyelinap kabur, berlindung
atau bersembunyi di balik punggung anak buahnya
maka serentak orang-orang ini berhamburan dan
sejenak mereka melarikan diri, bersembunyi!
Akan tetapi Tan-hujin tak tampak batang hidung
nya. Nyonya itu benar-benar tak kelihatan dan tentu
keluar kalau pura-pura pingsan. Nyonya itu rupanya
benar-benar hilang. Maka ketika kekagetan dan
keheranan bercampur menjadi satu, Palu Besi muncul
lagi maka kakek itu memerintahkan untuk memeriksa
dan menyelidiki tempat itu.
48 Akan tetapi tak dapat apa-apa. Siapa pun tak
melihat bayangan putih yang tadi melesat dan
menyambar ibu dan anak itu. Siapa menyangka bahwa
di balik itu ada iblis atau setan gentayangan. Maka
ketika kakek ini uring-uringan dan Hung-wangwe
gelisah juga, ia menetap dan tinggal di tempat ini sejak
dihajar Kiok Eng maka Palu Besi memerintahkan agar
seluruh hutan diperiksa, tidak hanya tempat itu.
"Tak mungkin ia lenyap, tak ada siluman di sini.
Cari dan temukan dan pasang jerat-jerat penangkap
binatang!"
Kiranya jerat di mulut hutan tadi adalah jerat
yang dipasang Palu Besi ini. Tali jerat dihubungkan ke
tempat tinggalnya dan bila seseorang tercekik maka
kelenengan akan berbunyi. Akhir-akhir ini seisi Mo-san
dibuat jengkel oleh sesuatu yang ganjil. Ransum dan
dendeng kering sering lenyap. Dan ketika uang dan
harta benda juga lenyap, simpanan Palu Besi banyak
yang raip maka kakek itu marah-marah dan seluruh
anak buahnya kena damprat.
Mula-mula seseorang dituduh, akan tetapi
bukan. Lalu ketika yang lain dituduh dan bukan pula
maka hampir seisi penghuni didakwa pemilik gunung
49 ini sampai ke pada selir-selirnya. Akan tetapi semua bu
kan! Karena itu Palu Besi memasang jerat. Ia merasa
aneh dan ganjil dan merasa ada seseorang yang
barangkali mengganggunya. Akan tetapi setelah
berbulan-bulan tak ada apa-apa sementara harta
bendanya terkuras habis maka gusarlah kakek itu dan
hari itu kelenengan di tempatnya berbunyi.
Kakek ini berharap besar. Cepat ia memerintah
kan orang melihat siapa yang datang, anak buah
disuruh. Akan tetapi ketika tiba laporan bahwa yang
datang adalah nyonya itu, Tan-hujin yang ganas maka
kakek ini gentar.
"Apa, wanita itu? Puteri Fang Fang?"
"Benar, Lo-hiap, dan seorang bocah lelaki. Akan
tetapi sekarang lepas dan masuk semakin dalam."
"Ah, awasi dan kepung rapat-rapat. Hati-hati,
dari jauh!"
Semua mengangguk. Sebenarnya mereka ngeri
namun perintah kakek itu tak boleh dibantah. Mereka
bisa dibunuh jika menolak. Maka ketika dengan hatihati di awasinya ibu dan anak, tak bergerak dan
bersembunyi jauh dari situ maka Kiok Eng tak tahu
50 bahwa kehadirannya sesungguhnya telah diketahui
anak buah si Palu Besi ini. Hanya mereka menjaga
jarak dan melaporkan kepada ketuanya. Dan Pa lu Besi
sendiri tentu saja segera menemui Hung-wangwe dan
membicarakan ada nya Kiok Eng.
"Kiok Eng, keparat betina itu? Ah, ada apa dia
datang, Wee Yu. Masa mencari kita!"
"Aku tak tahu, dan pikirku bukan. Ia telah
menghajar kita dulu dan tak mungkin mencari kita."
"Akan tetapi ia di sini, dan siapa pula bocah itu!"
"Mana kutahu? Sebaiknya kita ke sana juga,
wangwe, awasi dan lihat dari jauh. Hati-hati, dari jauh
saja!"
Dua orang ini lalu berkelebat dan mengawasi
nyonya itu. Tentu saja mereka menjaga jarak dan Palu
Besi diam-diam memerintahkan anak buahnya
menghapus guratan-guratan yang dilakukan nyonya
itu untuk pengenal balik. Inilah sebabnya kenapa Kiok
Eng tak menemukan tanda-tandanya. Dan ketika
malam semakin larut sementara Palu Besi begitu
berhati-hati, Hung-wangwe mulai bekerja maka asap
Hong-sian-bai-hunnya tak kentara melayang-layang di
permukaan malam yang gelap. Kiok Eng baru
menyadari setelah terlambat. Ia roboh dan pingsan.
51 Akan tetapi ketika tubuhnya disambar dan dibawa lari
seseorang, begitu pula Cit Kong maka terkejutlah Palu
Besi bahwa si nyonya lenyap bagai ditelan hantu.
Di mana sebenarnya nyonya ini. Kiok Eng masih
tak sadar ketika bayangan putih itu melayang turun di
balik semak gerumbul lebat. Sekali orang ini
menggerakkan tangannya maka terkuaklah sebuah
lubang gelap. Guha yang amat rapi tersembunyi di
situ. Dan ketika ia melompat dan menghilang ke dalam
maka orang ini memasang lampu minyak dan
tampaklah kini siapa dia.
Kiranya seorang laki-laki tua. Rambut dan
jenggotnya serba putih sementara pakaiannya terbuat
dari kain kasar. Hanya hebatnya kakek ini memiliki
sorot seperti anak muda. Di dalam gelap sepasang
matanya berkilau-kilauan, sungguh tiada ubahnya
sepasang mata kucing, atau harimau! Dan ketika
kulitnya juga halus tidak keriput, inilah keheranan
kedua maka giginya juga utuh dan kuat layaknya orang
muda. Kakek yang seperti pertapa ini tak pantas
sebagai pertapa. Gerak-geriknya gesit dan juga lincah
seperti anak muda!
Kini kakek itu meletakkan Kiok Eng dan Cit Kong
di pembaringan tipis terbuat dari rumput kering. Sinar
52 lampu minyak menerangi suram akan tetapi kakek itu
tertegun. Ia lebih banyak mengamat-amati wajah Cit
Kong daripada Kiok Eng.
Dan ketika ia berseru tertahan sang matanya
yang berkilat itu semakin berkilauan, cahaya
menyambar dari sepasang mata ini maka anak itulah
yang terlebih dahulu disadarkan daripada ibunya.
Usapan dan totokan membuat Cit Kong membuka
mata dan melompat bangun.
"Ibu!" yang pertama dipanggil adalah ibunya.
Cit Kong terkejut dan membentur mata berkilauan itu
dan iapun berseru tertahan. Anak ini mundur dan
ngeri. Mata itu seperti pedang! Akan tetapi ketika
mata ini tersenyum dan tiba-tiba basah, tahu-tahu ia
disambar dan diusap lembut maka ia ditanya apakah
ia anak ibunya.
"Itu ibumu? Kau siapa?"
Cit Kong tertegun. Ia malah mendorong mundur
dan tak tahu siapa kakek ini. Siapa tahu si Palu Besi!
Maka ketika ia membentak dan bertanya siapakah
kakek itu, apakah si jahat Wee Yu maka lawan
menggeleng. Anak itu tak menjawab pertanyaan
orang dan justeru balas bertanya.
53 "Bukan, aku Ho-tosu. Aku yang menolong dan
menyelamatkanmu, anak baik. Apakah ini ibumu dan
kau puteranya."
"Kau... kau yang menolongku?" Cit Kong
membelalakkan mata.
"Benar, akan tetapi tak usah dipikir. Kau belum
menjawab pertanyaanku apakah benar kau putera
wanita ini."
"Ah, terima kasih!" Cit Kong lagi-lagi tak
menjawab dan tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut.
"Terima kasih, totiang, terima kasih. Maafkan
kecurigaanku tadi karena kuanggap kau penghuni Mosan i-tu. Terima kasih dan benar ia ibuku!"
"Hm, siapa ibumu itu."
"Kiok Eng, puteri kakekku Fang Fang!
Akan tetapi anak ini kecele. Ia mengira kakek itu
terkejut akan tetapi sikapnya ternyata biasa-biasa
saja. Apakah orang ini tak mengenal kakeknya atau
kakek ini yang tak pernah turun gunung! Dan ketika ia
penasaran kenapa kakek itu tak terkejut, padahal
diam-diam ia ingin pamer maka ia didahului dan sudah
ditanya. Kepalanya diusap dan anehnya jari-jari kakek
itu gemetar.
54 "Kau, sekarang siapa namamu. Kalau begitu
siapa namamu!"
Cit Kong heran. Kakek ini seakan orang
ketakutan dan ia merasa aneh. Nama kakeknya tak
ditakuti akan tetapi menunggu namanya seakan kakek
itu diguncang kecemasan. Akan tetapi karena ia harus
menjawab dan disebutnya namanya maka iapun
berseru. "Aku Cit Kong, namaku Tan Cit Kong!
Luar biasa, kakek itu tiba-tiba menangis.
Matanya yang mencorong dan berkilat tajam itu
mendadak pudar. Air matanya bercucuran! Dan ketika
ia memejam dan roboh terduduk, Cit Kong terkejut
sekali maka kakek itu tersedak dan menangis seperti
orang sedih, atau mungkin girang!
"He, ada apa. Kenapa dengan dirimu, Hototiang. Apakah namaku seperti hantu!"
Kakek itu berubah. Tiba-tiba ia menghentikan
tangisnya dan bangun berdiri. Pipi dan wajah yang
basah itupun sudah di usapnya. Dan ketika kembali
sepasang matanya mencorong dan berkilat bagai naga
maka Cit Kong merasa seram karena kakek ini cepat
menangis dan cepat berhenti pula. Kini sikapnya
55 seolah tidak ada apa-apa dan biasa. Bagi Cit Kong
malah mengerikan!
"Kau, ada apa menangis. Ada apa dengan
namaku!"
(Bersambung jilid XIV)
56 COVER 1 =0= "MENCARI BUSUR KUMALA" =0=


Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Karya : Batara
Jilid XIV *** "TIDAK ada apa-apa. Akan tetapi kau... eh,
kapan kau bertemu ibumu? Sejak kapan kalian
berkumpul?"
Cit Kong heran, melengak. Ia tentu saja terkejut
dan heran dengan pertanyaan itu. Kakek ini
mengetahui dirinya, hilangnya! Akan tetapi ketika ia
tak menjawab dan kakek itu tersenyum maka ia
semakin terlongong-longong betapa kakek itu lebih
tahu lagi.
"Ya-ya, tak usah heran. Kalau namamu Cit Kong
berarti kaulah si anak hilang itu. Keluarga Liang-san
bukanlah keluarga tak terkenal, kau dicari dan semua
orang bingung. Nah, jawab sejak kapan berkumpul
dengan ibumu ini dan kenapa kalian ke mari."
Kini anak ini begitu herannya. Kalau kakek ini
serba tahu berarti sahabat Liang-san. Tak pelak lagi ia
3 berlutut dan bertanya siapa kakek itu, maksudnya
bagaimana kakek itu serba tahu dan apakah sahabat
kakeknya, Fang Fang. Akan tetapi ketika kakek ini
tertawa dan mengangkatnya bangun maka ia disuruh
tak usah banyak tanya.
"Aku sahabat atau bukan tak usah tahu, yang
jelas aku telah menyelamatkan dirimu dan ibumu.
Nah, sebentar lagi ibumu sadar, anak baik. Aku hendak
keluar sebentar dan jangan bicara macam-macam.
Kenalkan saja bahwa aku Ho-tosu."
"Totiang mau ke mana?"
"Keluar."
"Totiang mau apa."
"Eh, perlukah segala keperluanku kulaporkan?
Bertanya terlampau banyak adalah sebuah watak
buruk, bocah, bisa bawel. Aku tak perlu menjawab dan
lihat ibumu bangun!"
Benar saja, Kiok Eng membuka mata. Dan begitu
puteranya berseru maka kakek inipun lenyap.
"Ibu!"
Kiok Eng terkejut. Wanita ini melompat bangun
dan ia tentu saja berseru girang. Cit Kong masih
4 bersamanya. Akan tetapi teringat Hung-wangwe dan
Palu Besi, juga asap tembakau itu maka wanita ini
menyambar puteranya dan berseru, mata meliar ke
kiri kanan.
"Mana jahanam-jahanam itu, di mana kita!"
Cit Kong memaklumi ibunya. Anak ini minta
turun dan berkata bahwa mereka di tempat aman. Hotosu menolong. Dan ketika sang ibu terkejut dan
mengernyitkan kening, Cit Kong menoleh namun
kakek itu tak ada di tempat maka anak inipun bingung.
"Siapa itu Ho-tosu. Dan tempat ini, eh!" sang
nyonya kaget. "Ini guha di mana ayahmu dulu, Kongji. Itu bekas telapak Tangan Pedangku ketika
menyerang ayahmu dulu. Ini tempat itu!"
Cit Kong malah tertegun. Di bawah sinar lilin
ibunya melompat dan mengamati bekas-bekas
pukulan ketika dulu bertanding hebat. Ayahnya
didesak Tangan Pedang dan itulah guha ini. Sang ibu
terisak. Dan ketika ia malah girang bahwa inilah guha
itu, ibunya menangis mendadak wanita ini berkelebat
keluar dan Cit Kong terkejut.
"Aku mendengar suara orang!"
5 Akan tetapi tak ada siapa-siapa. Kiok Eng
berhenti dan melihat kegelapan akan tetapi tak ada
siapapun di situ, padahal jelas didengarnya helaan
napas panjang. Helaan itu serasa dekat akan tetapi tak
ada siapa-siapa, tak mungkin iblis! Dan ketika nyonya
ini terbelalak dan berubah pucat, Cit Kong berkelebat
menyusul ibu nya maka terlihat sinar merah di pohonpohon besar.
"Itu anak buah Hung-wangwe!" nyonya ini
berseru dan berkilat marah. "Kau ke dalam biar
kuhajar mereka, Kong-ji. Tadi mereka berbuat curang
merobohkan kita!"
Cit Kong terkejut. Ibunya meloncat dan sudah
memekik ke depan akan tetapi sebutir batu menotok
tenggorokan wanita ini. Jerit kemarahan itu lenyap.
Dan ketika batu kedua menyambar dan mengenai
pundak, robohlah wanita ini maka Kiok Eng mengeluh
dan Cit Kong tentu saja berkelebat menahan.
"Ibu!"
Wanita itu melotot. Tiba-tiba ia kehilangan
seluruh tenaga dan kaget serta heran bukan main. Ada
seseorang membokongnya dan membuatnya lumpuh.
Dan ketika ia ditahan puteranya dan seseorang
6 berdesir di samping kanan maka Ho tosu pertapa itu
berseru, lirih akan tetapi jelas.
"Ibumu masih lemah, baru saja sadar. Masuk
dan sembunyi di dalam, Cit Kong, biar kuusir orangorang itu."
Kiok Eng berusaha menoleh. Ia mengeluh ketika
ternyata lehernya kaku tak dapat digerakkan. Tahulah
dia bahwa pertapa inilah yang main gila. Akan tetapi
heran puteranya disebut namanya, Cit Kong seolah
dikenal baik maka ia menahan dongkol dibawa masuk.
Belum apa-apa di buat tak berdaya oleh seorang
konyol yang tak diketahui jelas!
Cit Kong girang. Memang ia melihat bahwa
banyak orang berkeliaran di situ dan sinar-sinar obor
semakin tinggi. Suara berisik mencari-cari ibunya dan
ia tentu saja cemas. Sungguh tak dikehendakinya bila
ibunya mengamuk. Musuh yang curang dan
berbahaya tidaklah boleh dibuat main-main. Maka
melompat dan membawa ibunya ke dalam, Ho-tosu
dipercayanya dan menggebah orang-orang itu maka
Kiok Eng mengumpat caci setelah urat gagunya agak
lemas lagi. Ia kini dapat mengeluarkan suara.
7 "Keparat, jahanam itu yang melumpuhkan aku.
Siapa dia dan bagaimana rupanya, Kong-ji. Ibu ingin
kenal!"
"Jahanam siapa," anak ini bingung. "Apakah
Hung-wangwe menyerangmu, ibu. Aku tak melihat
orang lain."
"Bodoh, tolol goblok! Ya pertapa itulah yang
menyerang ibumu, Kong-ji, ia licik dan berbuat curang.
Dialah yang kumaksud!"
"Ah, Ho-tosu menyerangmu?"
"Siapa lagi!"
"Akan tetapi ia bermaksud baik. Ia mungkin tak
ingin ibu mengamuk dan benar bahwa ibu baru sadar.
Racun bius melemahkan tenagamu."
"Goblok, kau jangan percaya omongannya dan
menelannya mentah-mentah. Sebentar lagi totokanku
bebas dan akan kulihat manusia sialan itu!"
Cit Kong malah khawatir. Ia membujuk ibunya
agar tidak marah-marah karena iapun setuju
perbuatan kakek itu. Kalau kakek itu menotok ibunya
tentu bermaksud baik, apalagi terdengar teriakanteriakan dan orang-orang itu berhamburan. Jerit atau
pekik menyebut setan riuh-rendah, tentu kakek itu
8 yang membuat ulah. Dan ketika semua sunyi dan api
obor padam, saat itulah ibunya bebas maka Kiok Eng
meloncat bangun dan langsung menyambar keluar.
"Ibu!"
Akan tetapi tak ada siapa-siapa. Cit Kong
mengejar dan menahan lengan ibunya ini dan tampak
betapa ibunya marah. Ibunya mencari-cari kakek itu.
Dan ketika tetap tak ada siapa-siapa dan ibunya
memaki maka ibunya membanting kaki.
"Mana Ho-tosu itu, mana dia. Dia harus
mempertanggungjawabkan perbuatannya!"
"Sabar dan jangan marah-marah. Hari sudah
gelap, ibu, masuk dan kembali saja ke guha. Kita
beristirahat."
"Aku ingin menyodok hidungnya. Ia mencegah
aku menghajar tikus-tikus busuk tadi!"
Akan tetapi Cit Kong menarik dan membawa
ibunya ke dalam guha. Berteriak dan memaki-maki di
luar adalah percuma, kakek itu tak ada. Dan ketika
malam itu Kiok Eng membiarkan puteranya menghibur
dan membujuk, memang ia marah sekali oleh
kelakuan Hung-wangwe tadi maka Cit Kong mengajak
9 ibunya tidur dan besok mencari orang-orang itu, juga
ayahnya. "Kita datang bukan untuk bermusuhan, kita
datang mencari jejak ayah. Kalau kau ingin melampias
kannya biarlah besok pagi, ibu, baru setelah itu
mengobrak-abrik isi hutan ini. Sekarang benarkah
guha ini yang ditempat ayah dan apakah ibu tidak
keliru."
Kiok Eng tertegun, menarik napas panjang. Tibatiba ia terisak dan melihat lagi sudut-sudut guha itu.
Tidak salah, inilah guha di mana dulu ia dan suaminya
tinggal. Bahkan di situ masih ada bekas-bekas bercinta
dulu, guratan ketika suaminya menyatakan cinta dan
mengajaknya bercumbu! Maka semburat dan
berdebar-debar, juga cemas dan gelisah agaknya
suaminya tak ada di situ, tanda-tanda itu tak ada
akhirnya wanita ini merebahkan tubuh di samping
puteranya yang sudah beristirahat lebih dulu. Cit Kong
tampaknya begitu tenang dan adem-ayem saja. Tak
memikirkan persoalan.
Angin sepoi meniup lembut. Udara dingin
terhalang dinding dan hangatnya api lilin
menyamankan tubuh. Tiba-tiba wanita ini mengantuk.
Cit Kong menguap dan jatuh tertidur. Dan ketika iapun
10 melayang-layang dan mengantuk pula, letih ingin
beristirahat tak terasa wanita ini menguap dan...
tertidur pula.
Kiok Eng bermimpi. Mula-mula ia mendengar
bisikan lembut dan suaminya tiba-tiba muncul. Ia
girang dan menubruk, tersedu-sedu. Dan ketika dalam
mimpi itu ia merangkul dan menciumi suaminya,
begitu sebaliknya maka suaminya menghisap air
matanya dan dengan lembut serta penuh kasih
berbisik bahwa ia tak perlu cemas lagi. Mereka sudah
bertemu. "Aku tak marah dan memaafkan semua
kejadian itu. Akupun salah dan ingin meminta maaf,
Eng-moi. Kita sudah berkumpul dan jangan berpisah
lagi."
"Benar, dan anak kita Cit Kong ditemukan. Ia
ada di sini, Hong-ko (kanda Hong). Lihat anak itu!"
"Aku tahu, aku sudah melihatnya. Dan aku
girang bahwa anak kita telah kembali."
Wanita itu menangis dan menciumi suaminya
lagi. Dalam haru dan bahagianya muncullah
kemanjaannya dulu. Ia minta disisipkan setangkai
bunga melati. Dan ketika suaminya tersenyum dan
memberikan itu, terhiaslah setangkai melati harum
11 maka bentakan-bentakan membuat nyonya ini
terkejut dan Cit Kong tiba-tiba membangunkannya.
Hung-wangwe dan orang-orangnya berada di luar
guha. "Ibu, kita dikepung!"
Kiok Eng mencelat kaget. Wanita ini bangun dan
tergagap dan ia terkejut sekali. Mimpi indahnya buyar.
Semuanya pecah berantakan. Akan tetapi ketika
dengan tak terasa ia memegang kepalanya, teringat
melati harum dalam mimpinya tadi tiba-tiba wanita ini
tertegun. Bunga itu ada di situ, tersisip di antara
rambutnya yang hitam gemuk, rambut yang terurai
dan entah bagaimana wajahnya bekas diciumi seperti
dalam mimpinya tadi! Dan ketika ia menjublak akan
tetapi segera merah, mungkin perbuatan jahanam Hotosu itu maka ia berkelebat dan sang anak kaget
tersentak.
"Ho-tosu manusia jahanam. Kau rupanya
mengganggu diriku!"
Akan tetapi di luar guha terdengar ribut-ribut.
Tiba-tiba terdengar dentang senjata beradu disusul
teriakan dan pekik kesakitan. Tubuh-tubuh terlempar
dan bayangan putih menyambar-nyambar, cepat dan
membentak serta menggebah orang-orang itu agar
12 segera pergi. Dan ketika Cit Kong tertegun sementara
sang ibu terbelalak, itulah kakek pertapa Ho-tosu yang
muncul melindungi guha maka Hung-wangwe
terbanting sementara Palu Besi terlempar dan
terjerembab. Kakek itu berulang-ulang menyuruh
pergi akan tetapi orang-orang ini keras kepala.
"Jangan masuk dan mengotori tempatku. Pergi
dan enyahlah kalian, tikus-tikus busuk. Pergi dan
jangan sampai kalian celaka!"
Akan tetapi orang-orang ini memang kerbau.
Mereka begitu dungu ketika dilempar dan tergulingguling. Kakek itu menggerakkan kedua lengannya dan
berkelebatan cepat dan setiap angin sambaran
membuat terpelanting. Hung-wangwe sendiri
berteriak dan terjengkang. Akan tetapi karena seorang
tua dan amat memandang rendah, bangkit dan
menyerang lagi maka orang-orang inipun tak tahu
malu. "Kami menemukan Tan-hujin (nyonya Tan) di
sini. Kau tua bangka rupanya hen dak mengangkangi
sendiri. He, mampus atau kau minggir, pertapa busuk.
Lihat dia keluar!"
Memang saat itu Kiok Eng berkelebat keluar.


Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Nyonya ini hendak marah kepada sang pertapa akan
13 tetapi tertegun. Gerakan kaki tangan dan juga ginkang
itu dikenalnya baik. Itulah ilmu-ilmu Liang-san.
Ginkang itu malah Sin-bian Gin-kang (Ilmu Kapas
Sakti)! Maka ketika menjublak dan malah terbelalak,
wanita ini kaget dan berdiri mematung maka Hungwangwe bergulingan mendekatinya dan tiba-tiba asap
beracun disemburkan dari ujung huncwe itu.
"Ibu, awas!"
Kiok Eng melempar tubuh ke kiri. Saat itu
totokan juga datang dan matahari pagi baru saja
menyambut. Kokok ayam hutanpun terdengar
nyaring, sayang bercampur dengan suara gaduh dan
pekik serta teriakan orang-orang itu. Dan ketika ia
membentak dan menampar huncwe itu, asap ditiup
dan buyar berentakan maka Palu Besi tergelak dan
kakek muka merah ini sudah mendapat aba-aba.
"Tangkap dan serang dia, biarkan tua bangka itu
dibunuh anak-anak kita!"
Kiok Eng marah. Ia baru saja meloncat bangun
ketika dikejar dan diserang lagi. Palu Besi mengayun
kan senjatanya yang dahsyat, menderu dan disusul
semburan asap tembakau yang mengandung obat
bius itu, Hong-sian-bai-hu. Maka menangkis dan
mengepretkan jarinya ke kiri kanan, berkelebat dan
14 meniup asap berbahaya segera dua orang itu
terpental akan tetapi Hung-wangwe memberi aba-aba
dan jala yang ulet serta lebar menyambar Kiok Eng,
belum lagi teriakannya ke pada yang lain agar
menangkap dan merobohkan Cit Kong.
"Jerat dan tangkap hidup-hidup bocah itu. Ia
sandera paling berharga!"
Akan tetapi Cit Kong mempergunakan Jouwsang-hui-tengnya. Bagai kijang atau anak lembu yang
gesit bocah ini mengelak, tentu saja tak mau ditangkap
dan ka kinya menendang. Dua kali ia menghantam
kepala lawan dan dua kali itu pula anak buah Palu Besi
berteriak. Tumit si bocah bagai palu godam. Akan
tetapi ketika menyambar jala lebar dan di sana sang
ibu menjerit maka Cit Kong kalah cepat dan... crep, ia
pun terbungkus dan meronta-ronta.
"Cit Kong!"
Dua batu kecil menyambar pemegang jala. Tibatiba dua orang itu menjerit ketika kepala mereka
terhantam, roboh dan berteriak sementara Kiok Eng
lega. Iapun baru saja melempar tubuh bergulingan
dari sergapan jala. Hung-wangwe dan orang-orangnya
ini curang. Dan ketika ia meloncat bangun sementara
puteranya sudah terbebas pula, keluar dan melempar
15 jala akhirnya wanita ini menyuruh puteranya
menyingkir di atas pohon. Cit Kong tak memiliki ilmu
silat kecuali ginkang-nya yang luar biasa itu.
Akan tetapi anak ini menggeleng. Cit Kong
marah dikeroyok kiri kanan, kebetulan sebuah golok
terlempar dan disambarnya golok itu, dibalik. Bagian
tajam di dalam sementara yang tumpul di luar. Lalu
berkelebatan dan menyambar-nyambar, apa yang
dulu dilakukannya terhadap para perampok terulang
lagi maka emak ini mengetok kepala orang-orang itu
dengan golok tumpul akan tetapi yang cukup
membuat orang-orang itu menjerit. Anak ini marah
dan siapa dapat mengejarnya kalau ia sudah berhatihati mengelak jala. Dan begitu ia membalas dan
menghajar orang-orang itu anak buah si Palu Besi
maka belasan orang menjadi korbannya dan Hungwangwe serta Palu Besi dihadapi ibunya yang sudah
mengamuk. Kiok Eng lega puteranya dapat menjaga
diri. "Bagus, kalian tikus-tikus busuk. Sekarang tak
ada ampun bagimu, Hung-wangwe. Mampuslah dan
terbang ke neraka!"
Hartawan ini melempar tubuh ke belakang. Ia
sudah menyemburkan asap tembakau akan tetapi
16 buyar dihantam pukulan nyonya itu. Kiam-ciang tibatiba menyambar dan ia berteriak. Leher bajunya
terbabat. Dan ketika ia bergulingan dan selamat,
mengeluarkan keringat dingin maka Kiok Eng
membalik dan bokongan Palu Besi disambut.
"Crangg!"
Tangan Pedang benar-benar seampuh pedang.
Palu Besi terpental dan kakek itu menjerit, untunglah
anak buahnya menyerang dan Kiok Eng menggerakkan
kaki. Dan ketika tiga orang menjerit dan terbanting,
patah pinggangnya maka Kiok Eng mengamuk dan
nyonya ini bagai seekor singa betina.
Di tempat lain terjadi seruan-seruan keras. Lima
puluh orang anak buah si Palu Besi yang tadinya
mengeroyok dan ingin merobohkan si pertapa
ternyata tunggang-langgang. Dua pimpinan mereka
meninggalkan mereka dengan menganggap nyonya
itu lebih berbahaya. Dengan jumlah lebih dari cukup
mereka diharapkan mampu mengatasi kakek yang
mula-mula mereka anggap ringan ini, tak perduli ke
pada teriakan atau seruan tosu itu agar pergi. Akan
tetapi begitu kakek itu menyambar-nyambar kian
cepat dan tiba-tiba tak dapat diikuti pandang mata
lagi, kagetlah orang-orang ini mendadak mereka
17 terangkat naik dan... terlempar tinggi keluar hutan.
Puluhan tombak.
"Pergi dan enyah kataku, atau nanti nyonya itu
membunuh kalian!"
Terkejutlah orang-orang ini. Mendadak mereka
bagai disapu angin topan dan senjata mencelat dari
tangan. Belum apa-apa mereka terangkat dan
terlempar. Dan ketika gedebak-gedebuk disusul keluh
dan rintih kesakitan, lima puluh orang ini disapu bersih
maka Hung-wangwe terkejut ketika tiba-tiba pundak
nya dicengkeram seseorang dan kakek itu melempar
nya jauh, tinggi melampaui belasan pohon.
"Pergi atau kalian semua terbunuh. Jangan
kotori tempatku dengan darah!"
Hartawan ini berteriak. Ia mendadak lumpuh
dan huncwe pun terlepas, tubuh di lempar terbang
dan jatuh di luar hutan, bukan main kagetnya. Dan
ketika Palu Besi menyusul dan orang-orang lainnya
lagi, termasuk mereka yang terluka atau patah-patah
maka guha tiba-tiba menjadi bersih dan tentu saja dua
pimpinan ini jerih dan gentar, tunggang-langgang dan
akhirnya melarikan diri!
Kini guha itu sudah tak ada siapa-siapa lagi.
Bagai dihempas angin badai orang-orang itu lenyap.
18 Kiok Eng terhuyung dan terbelalak memandang
pertapa ini karena iapun tiba-tiba tertotok, totokan
ringan akan tetapi cukup membuat tenaganya lenyap.
Ia lumpuh sekejap dan Kiam-ciangnya macet, itulah
sebabnya enak saja Ho-tosu ini melempar lawanlawannya hingga mereka selamat. Ia sudah siap
membunuh lawan-lawannya itu dengan kemarahan
menggelegak. Akan dibasmi dan dihancurkannya
mereka itu. Akan tetapi begitu ia terhuyung ketika
kakek ini menyambar, pundaknya ditepuk dan ia
lumpuh sekejap maka kini ia terbelalak memandang
pertapa itu karena tahu betapa hebatnya kakek ini. Ia
merasa beberapa tingkat di bawah!
"Kau... kau siapa! Kau tak membiarkan aku
membunuh tikus-tikus busuk itu!
Dua pasang mata berhadapan, Kiok Eng dengan
kemarahan yang ditahan-tahan sementara pertapa ini
dengan tatapan lembut akan tetapi mencorong. Kiok
Eng terkejut dan hampir meruntuhkan pandang ketika
tak kuat. Tatapan itu seperti tatapan ayahnya yang
penuh sinkang, bagai seekor naga sakti dan hanya
karena lembut maka ia mampu bertahan. Selebihnya
ia kalah jauh! Maka terkejut dan heran serta kaget,
akhirnya kemarahan lebih besar maka wanita itu
19 bertolak pinggang dan kini berkata lagi, menuding.
Betapapun nyonya ini tak puas dan memang galak.
"Kau tak menjawab pertanyaanku. Siapa kau
dan bagaimana kau memiliki pula ilmu-ilmu Liangsan!"
Aneh, pertapa ini tersenyum. Tiba-tiba ia
seperti tertawa akan tetapi juga mengejek. Dan ketika
sang nyonya menuding dan kian marah, ia tak
menjawab tiba-tiba kakek ini memutar tubuhnya
dan... melangkah pergi.
"Heii!" tentu saja Kiok Eng gusar. "Jawab
pertanyaanku, Ho-tosu. Kau siapa dan bagaimana
memiliki ilmu-ilmu Liang-san!"
Akan tetapi kakek ini terkekeh. Tiba-tiba ia
mempercepat langkahnya dan sang nyonya terkejut.
Ia menyambar dan sudah berkelebat akan tetapi
luput, cengkeramannya mengenai angin. Dan ketika
Kiok Eng membentak dan Cit Kong tentu saja berseru
khawatir, kakek ini tak perduli maka ia berlenggaklenggok dan tiba-tiba saja keluar hutan.
Kiok Eng memaki-maki dan geram namun tak
berhasil menangkap. Akibatnya nyonya ini mengerah
kan Sin-bian Ginkang akan tetapi kakek itu
mempergunakan pula ilmu meringankan tubuh itu.
20 Dan ketika sang nyonya terkejut dan menjadi
penasaran, berseru keras maka Cit Kong pun mengejar
ibunya dan berteriak-teriak.
"Ibu, jangan serang dan musuhi kakek itu. Ia
telah menolong kita!"
"Menolong apa, siapa yang ditolong. Ia
mempermainkan kita, Kong-ji, jahanam ini
mempermainkan kita. Lihat ia memiliki Sin-bian
Ginkang pula dan apa artinya ini kalau bukan
menghina kita!"
Cit Kong terkejut. Akhirnya ibunya dan dia harus
terbang mengerahkan ginkang. Kakek itu seakan
melangkah seenaknya saja akan tetapi tak pernah
tertangkap. Ibunya boleh memaki dan melengkinglengking namun kakek ini begitu mudah mengelak.
Bahu dan atau bagian belakang tubuhnya seakan
bermata. Dan ketika ibunya terkejut dan menjadi
semakin marah, tiga orang itu tiba-tiba berkejaran
keluar masuk hutan akhirnya Mo-san mereka
tinggalkan dan kini menuju Liang-san. Aneh!
"Ibu, berhenti dan tanya dia baik-baik. Kakek itu
bukan musuh!"
21 "Bedebah, omongan apa ini. Kita dibodohi dan
dipermainkannya, Kong-ji, selama ia masih kulihat
selama itu pula kuserang, kecuali kalau ia berhenti!"
Akibatnya anak ini berteriak-teriak. Cit Kong
akhirnya berseru kepada kakek itu agar berhenti. Ia
telah mengerahkan seluruh Jouw-sang-hui-tengnya
akan tetapi tak mampu menyusul pula. Jangankan
menyusul, berendeng saja tidak. Mereka tetap dalam
jarak yang sama dan sesungguhnya kalau kakek ini
mau mereka dapat ditinggalkan. Nyata, kakek ini
memang hebat. Dan ketika ia berteriak-teriak
sementara ibunya melengking-lengking, tak terasa
sehari penuh berkejar-kejaran maka Cit Kong dan
ibunya mandi keringat. Kakek pertapa itu tenangtenang saja dan sama sekali tak basah kuyup.
"Ho-totiang, berhenti dan kasihanilah ibuku.
Berhenti dan biarkan ia bertanya baik-baik!"
"Heh-heh, ibumu tak akan baik-baik. Ia galak
seperti singa betina, Cit Kong. Kalau ingin bertanya
langsung saja sambil berjalan. Aku mencari angin."
"Baik, kalau begitu perlahan sedikit, kami mandi
keringat. Ibu memburu napasnya!"
"Diam!" sang ibu membentak. "Aku masih kuat
dan tak ngos-ngosan, Kong-ji, sampai ke ujung dunia
22 pun kukejar. Ia sombong dan ingin pamer kepandaian
akan tetapi awas kalau bertemu kong-kong mu. Pasti
keok!"
Kakek itu tertawa-tawa. Ia tak perduli dan
benar-benar tak perduli dan tetap melangkahkan kaki
lebar-lebar. Kini mereka memasuki hutan kecil dan
sungai serta bukit-bukit batu dilalui. Sang surya
hampir tenggelam di ufuk barat akan tetapi nyonya itu
nekat. Kiok Eng memang marah bukan main. Dan
ketika hutan dimasuki lagi dan untuk kesekian kalinya
sang nyonya khawatir, ia takut kakek itu
menyembunyikan diri maka bentakannya diganda
kekeh geli pertapa ini.
"Kalau kau bukan penakut
menyembunyikan diri. Berhenti!"
jangan lari "Heh-heh, aku memang berhenti. Aku kasihan
kepada puteramu, hujin, kita memang harus
beristirahat. Aku tak akan lari dan percayalah tetap
berada di depanmu!"
Kiok Eng berseru kaget. Kakek itu tiba-tiba
lenyap dan ia berkelebat menyusul. Sayang udara
sudah menjadi gelap akan tetapi terdengar tawa geli.
Tawa itu berada di sebelah kiri dan nyonya ini
melompat. Namun ketika tak ada siapa-siapa dan
23 terdengar lagi tawa di sebelah kanan, dicari dan gagal
lagi akhirnya nyonya itu membanting kaki.
"Aku tetap di hutan ini, sampai besok. Setelah
ayam jantan berkokok barulah aku pergi."
Terpaksa wanita ini uring-uringan. Ia sampai
lupa kepada puteranya dan ketika anak itu terguling
dan roboh di depannya barulah Kiok Eng terkejut.
Betapapun Cit Kong masih anak-anak. Dan ketika
malam itu menginap di hutan dan Cit Kong mengeluh


Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

panjang pendek maka Kiok Eng terisak dan marah
serta mendongkol bukan main, percuma mencari.
Ayam jantan akhirnya berkokok. Ibu dan anak
sudah pulih tenaganya dan tawa itu terdengar lagi. Si
pertapa memberi tanda. Dan ketika Kiok Eng meloncat
bangun dan dilihatnya bayangan itu, si pertapa
berpakaian putih maka wanita ini menyambar
puteranya dan tak ayal mengejar lagi. Herannya arah
Liang-san yang dituju.
"Ho-tosu manusia busuk. Berhenti dan jangan
mempermainkan kami atau kau mampus!"
Kakek ini terkekeh saja. Ia melangkah lagi
sementara sang nyonya beterbangan cepat. Cit Kong
jatuh bangun. Dan ketika kembali kejar-kejaran itu
terjadi lagi, naik turun bukit akhirnya Cit Kong
24 mengeluh dan menganggap semuanya ini tiada guna.
Tiba-tiba ia mengingatkan ibunya bahwa mereka
sedang mencari sang ayah.
"Jangan perdulikan dan tinggalkan saja kakek
itu. Kita sedang mencari ayah, ibu, jauh lebih penting
mencari ayah daripada mengejar-ngejar orang!"
"Ha-ha, kalian mencari ayah? Uh, ayahmu
sudah mampus. Untuk apa dicari dan akulah satusatunya yang tahu!"
"Keparat!" Kiok Eng melengking. "Apa yang kau
tahu, kakek busuk. Jangan omong sembarangan dan
mengatakan suamiku mati!"
"Ha-ha, bagaimana tidak mati. Ia ngenas oleh
pukulanmu dulu. Kalau tubuhnya mampu maka
batinnya tidak kuat. Ia telah bertemu aku."
"Apa?"
"Heh-heh, tak usah menyesali dan biar saja.
Bukankah kau sudah tak mencintai suamimu itu, untuk
apa dicari!"
Kiok Eng kaget dan membentak. Tentu saja ia
marah sekali sekaligus kaget dan terheran-heran. Hotosu ini ternyata tahu kejadian dulu. Berarti suaminya
pernah bertemu dan jangan-jangan kakek ini lah
25 kuncinya. Maka memekik dan mengejar lagi, kakek itu
tertawa-tawa maka yang membuat ia paling terbakar
adalah ejekannya yang mengatakan ia tak cinta
suaminya lagi.
"Siapa bilang, bohong itu! Aku tetap mencintai
nya dan seumur hidup mencintai nya!"
"Bagus, dan untuk itu tak muncul bertahuntahun? Heh-heh, buktinya sungguh berbeda. Cinta
tidak seperti itu, hujin, meninggalkan suami dan
membiarkannya merana. Ia mati ngenas tapi sempat
meninggalkan pesan kepadaku."
"Pesan apa, kau rupanya banyak tahu. Berhenti
dan tunggu dulu, Ho-tosu. Sikapmu menggemaskan!"
Kiok Eng penasaran.
"Heh-heh, pesannya tak perlu kusampaikan,
percuma karena kau tak berubah. Mari mencari
keringat saja dan kalau kau berhasil menangkapku
biarlah kukatakan pesan itu."
Kiok Eng menjerit. Tentu saja ia merasa
dipermainkan dan kemarahannya bangkit lagi. Kakek
ini memang terlalu. Dan ketika ia mulai menyerang
dan melepaskan jarum-jarumnya, runtuh mengenai
punggung maka ia terkejut dengan muka merah
padam. 26 "Nah, suka berbuat curang lagi. Ini satu di
antaranya, hujin, suamimu tak suka tanganmu
telengas. Akan tetapi ia sudah mati, tak usah dicari.
Heh-heh!"
Kiok Eng marah bukan main. Ia mengejar dan
terus membentak sampai akhirnya sehari penuh
terlewati lagi. Kali ini kakek itu melemparkan buahbuahan kepada mereka akan tetapi ia tak mau
menerimanya. Hanya Cit Kong yang menangkap dan
memakannya. Kakek itu berlari di depan sambil terus
tertawa-tawa. Dan ketika nyonya ini gemetar dan
kembali senja menghadang, lelah lahir batin akhirnya
kakek itu lenyap lagi di sebuah hutan kecil. Tawa dan
sikapnya benar-benar membuat mendidih.
"Nah, cukup dulu, kau gemetaran. Salahmu
sendiri kalau tak mau menerima buah-buahanku tadi."
Nyonya ini ambruk. Ia lemas dan jengkel lalu
menangis. Kemarahan membuat pikirannya gelap. Ia
begitu kacau bahwa Tan Hong diberitakan tiada.
Sungguhkah suaminya mati. Maka tersedu dan akhir
nya mengguguk di situ, Cit Kong menghela napas maka
anak ini menghibur agar sang ibu tak terlalu sedih. Lain
anak lain ibu. Cit Kong malah bersimpati dan suka
kepada kakek itu.
27 "Sudahlah dan jangan dipikir lagi. Aku masih
memiliki sisa buah-buahan itu, ibu. Kupikir ia bukan
orang jahat. Isilah perutmu dan kucarikan minum."
Kiok Eng masih menangis. Ia terlampau
tersayat-sayat oleh bayangan Ho-tosu itu. Ia benarbenar ngeri kalau Tan Hong tewas oleh pukulannya.
Maka ketika puteranya pergi mencari air minum, ia
mengguguk-guguk akhirnya puteranya datang dan
membawa seguci air jernih. Wanita ini tertegun.
"Dari mana kaudapatkan itu. Apakah"
"Benar, Ho-tosu yang memberikannya. Lihat ia
begini baik, ibu, tak mungkin orang jahat. Minumlah
dan jangan dibuang."
Kalau saja tenggorokan tak betul-betul kering
dan ia lapar serta dahaga tentu dibantingnya guci air
itu. Ia tak mau menerima pemberian musuh. Akan
tetapi ketika puteranya mengingatkan bahwa besok
masih melanjutkan perjalanan lagi, dan justeru
semakin dekat ke Liang-san maka wanita ini menggigit
bibir dan menenggak habis air jernih itu. lapun
terpaksa menerima buah-buahan penangsel perut.
Betapapun ia harus memulihkan tenaga. Akan tetapi
begitu selesai iapun membanting hancur guci air itu.
"Prangg!"
28 Cit Kong menghela napas. Anak ini berkelebat
ke atas pohon dan seperti biasa ia pun merebahkan
diri. Ia pun letih dan ingin beristirahat. Dan ketika tak
lama kemudian menguap dan tidur, sikapnya begitu
tenang maka Kiok Eng tertegun dan tiba-tiba timbul
keinginannya menyelidiki di mana tosu itu. Akan
dicekik dan diinjaknya nanti kalau ketemu!
Wanita ini berkelebat. Liang-san tinggal sehari
lagi dan mudah-mudahan ayahnya di sana. Kalau ia tak
dapat merobohkan kakek ini biarlah ayahnya yang
menghadapi. Ingin dia tahu, sampai di mana hebatnya
kakek itu! Maka bergerak dan melondat dari pohon
yang satu ke pohon yang lain, kebetulan sinar bulan
dan bintang membantunya maka seluruh hutan kecil
itu sudah diperiksa. Akan tetapi bayangan tosu itu tak
ada. "Ehm!"
Kiok Eng terkesiap. Suara batuk itu mengejutkan
nya dan serentak ia menengok. Kakek itu di situ, di luar
hutan! Maka melayang turun dan merah padam, ia
malu dan marah maka wanita ini sudah berhadapan
dengan kakek itu yang kini tersenyum-senyum. Sinar
bulan menerangi mereka dan rambut keduanya
tersapu warna keemasan.
29 "Bagus!" nyonya ini langsung membentak. "Kau
di sini, Ho-tosu, sekarang katakan di mana suamiku
dan siapa kau sesungguhnya. Kau pencuri ilmu-ilmu
Liang-san!"
"Hm, heh-heh, untuk apa mencari suamimu.
Kau tak memperdulikannya, hujin, kau membiarkan
nya merana bertahun-tahun, suamimu mampus."
"Keparat!" Kiok Eng tiba-tiba menerjang.
"Kaulah yang mampus dan jangan main-main... wut!"
Tangan Pedangnya bergerak akan tetapi kakek ini
mengelak. Seperti biasa ia mempergunakan kelincah
annya bergerak ke kiri kanan. Apa yang diperlihatkan
adalah gerak langkah Liang-san pula. Dan ketika Kiok
Eng menjadi marah dan melengking nyaring, berkelebatlah dia mempergunakan Sin-bian Gin-kangnya
maka kakek itupun tertawa dan berkelebatan pula
mempergunakan ilmu yang sama, hal yang membuat
sang nyonya memekik gusar dan selanjutnya wanita
ini menyambar-nyambar. Ia benar-benar penasaran
dan marah sekali dengan tingkah laku kakek ini. Tosu
itu seakan merendahkannya. Maka ketika Im-biankun alias Silat Kapas Dingin menerjang disusul Pek-inkang (Tangan Awan Putih) dan ilmu-ilmu lain, juga
jarum dan segala yang berhamburan maka kakek itu
30 tertawa nyaring dan... iapun menangkis dengan Pekin-kang atau Im-bian-kun pula.
"Plak-plak-plak!"
Kiok Eng kaget bukan main. la terpental dan
hampir terjengkang begitu ditangkis lawan. Yang
membuat ia naik darah adalah balasan ilmu yang
sama. Pemilik asli kalah kuat dengan pencuri! Maka
melengking dan berkelebatan kian cepat, menyambar
dan menukik naik turun akhirnya wanita ini melepas
kan ikatan lehernya dan kini sapu tangan itu meledak
dan menjeletar-jeletar. Sungguh bak petir mengeri
kan. Akan tetapi mengejutkan. Lawanpun tiba-tiba
mengeluarkan sapu tangan lain berkembang sutera,
sapu tangan harum yang membuat Kiok Eng terpekik.
Itu adalah sapu tangannya dulu yang dibawa Tan
Hong. Sapu tangan miliknya! Maka menjerit dan kaget
serta marah sekali, kakek ini tak malu-malu membawa
saputangan wanita maka nyonya itu menerjang dan
serangan-serangannya menjadi kalap. Tosu ini
terkekeh-kekeh, tak perduli.
"Keparat, kau tak tahu malu. Itu milikku, Hotosu. Kau kakek hina-dina yang mencuri milik wanita!"
31 "Ha-ha-heh-heh! Sapu tangan ini kudapat dari
suamimu, hujin, ketika ia sekarat. Aku menyimpannya
karena barang bertuah. Konon kau bisa manja kalau
melihat saputangan ini."
"Manja hidungmu. Aku akan membunuhmu dan
mengantarmu ke akherat. Kembalikan atau kau
mampus... wut-tar-tar!" dua sapu tangan meledak di
udara dan Kiok Eng terjengkang. Ia terpekik dan
bergulingan akan tetapi kakek itu tak mengejar.
Dibiarkannya sang nyonya meloncat bangun dan
menyerang lagi. Dan ketika bentakan dan lengkingan
menjadi satu, sang kakek tiba-tiba terhuyung-huyung
maka Kiok Eng mendaratkan Kiam-ciangnya mengenai
tengkuk. "Plak!"
Kakek ini tak bergeming. Kiok Eng terkejut
karena lawan tertawa ringan, Tangan Pedangnya
malah membalik, hampir mengenai muka sendiri. Dan
ketika ia berseru keras menyerang lagi, sapu tangan
menyambar muka mendadak kakek itu mencengkeram dan kini dua orang itu saling betot.
"Bret!"
Kiok Eng kalah kuat. Tahu-tahu ia terbawa ke
depan dan dicium kakek itu, bukan main kagetnya.
32 Maka memekik dan menggerakkan tangan yang lain,
menghantam muka itu malah janggut dan sebagian
kumis Ho-tosu terenggut.
"Brett!"
Kali ini sang nyonya ternganga. Ia begitu mudah
melepas kumis janggut itu, benda-benda ini sudah
menempel di tangannya akan tetapi tak ada darah
keluar. Sebagai gantinya berdirilah seorang pemuda
berwajah tampan yang tersenyum-senyum kepada
nya, wajah yang amat dikenal. Dan ketika "kakek" ini
melepas rambut putih di atas kepala, membuang dan
ternyata hanya rambut palsu maka wanita itu menjerit
dan menubruk.
"Hong-ko!!"
Tangis dan sedu-sedan meledak. Di bawah sinar
bulan dan bintang yang berkedip-kedip itu mendadak
terjadi perobahan tak disangka. Ho-tosu lenyap dan
sebagai gantinya berdirilah Tan Hong. Memang
pemuda inilah yang menyamar dan merekatkan
rambut-rambut palsu. Ia sengaja hendak mencium
isterinya akan tetapi Kiok Eng menyambar, kumis dan
janggut palsunya terenggut. Dan ketika ia melepaskan
rambut yang lain dan lenyaplah bekas-bekas samaran,
Kiok Eng mengguguk dan memukul-mukul suaminya
33 ini maka pemuda itu mendekap dan selanjutnya
mencium bibir hangat itu. Bibir yang gemetaran dan
memaki-makinya.
"Kau... kau kurang ajar. Aku hampir mati dicium
Ho-tosu tadi, Hong-ko. Main-mainmu keterlaluan. Kau
membuatku tak keruan!"
"Maaf, aku mengujimu. Aku ingin tahu benar
kah kau mencari-cariku, Eng-moi Bukankah selama
bertahun-tahun ini kau tak pernah memperdulikan
aku."
"Akan tetapi kau terlalu. Kau mempermainkan
aku. Ah, kalau begitu kau pula yang menciumku dan
menyisipkan melati itu di rambutku. Kau... hu-hukk,
kurang ajar dan menggemaskan sekali. Ah ku hampir
mati kaku!" wanita ini memukul-mukul dan memaki
suaminya akan tetapi tiba-tiba tersedak. Mulut Tan
Hong menciumnya, segala puji lembut dan maaf


Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dibisikkan. Dan ketika wanita ini roboh sementara
bulan tersenyum di angkasa, Tan Hong menahan dan
membiarkan isterinya memukuli maka muncullah Cit
Kong yang terbangun oleh ribut-ribut itu. Anak ini
mendengar lengking ibunya dan suara pertandingan.
"Ibu...!"
34 Kiok Eng membalik. Wanita ini melepaskan diri
dan tiba-tiba menyambar puteranya. Ia masih basah
bercucuran akan tetapi tak dapat disangkal lagi dirinya
begitu bahagia. Anak dan suaminya telah berkumpul.
Jantung dan mutiara hati telah ketemu. Maka ketika
terkekeh dan menciumi puteranya itu, dibawanya
meloncat dan berlutut di depan sang suami maka ia
berseru bahwa itulah Tan Hong.
"Inilah ayahmu yang kita cari-cari itu. Berilah
hormat dan sebut dia ayah, Kong-ji. Inilah orang yang
kita cari-cari itu!"
Anak ini terbelalak, tertegun. Ia kaget bahwa di
bawah sinar bulan purnama di luar hutan itu
mendadak dirinya menemukan sang ayah. Mana Hotosu! Dan ketika ia bertemu pandang dengan
sepasang mata mencorong dan amat berpengaruh,
lembut namun serasa sudah dikenal maka Cit Kong
malah menjublak dan tak berkata-kata. Ia merasa
bingung karena pria ini seakan sudah dikenalnya!
"A... ayah!" akhirnya keluar juga suara itu akan
tetapi tenggorokan anak ini serasa kering. Ia betulbetul kaget dan heran bagaimana tiba-tiba terjadi
pertemuan itu. Betapapun ia mencari-cari Ho-tosu.
35 Dan ketika Tan Hong tertawa dan mengerti
kebingungan puteranya itu, terkekeh seperti Ho-tosu
maka anak ini terkejut.
"Ha-ha-heh-heh-heh. Kau mencari siapa, putera
ku. Ho-tosu di depanmu."
"Ayah!" anak ini tiba-tiba menjerit. "Kalau
begitu kau Ho-tosu. Ah!" dan ketika anak ini menubruk
dan memeluk ayahnya, inilah ayah kandungnya bukan
seperti raja Sabulai maka ia tersedu dan tiba-tiba
menangis di dada ayahnya itu. Girang dan bahagia
bukan main bahwa menemukan ayahnya yang sejati.
Kiok Eng bercucuran air mata pula. Wanita ini
masih belum dapat melupakan kejadian itu dan iapun
memeluk suami dan anaknya. Dua orang itu gantiberganti diciumi. Dan ketika Tan Hong menurunkan
puteranya sementara sang isteri menggandeng mesra,
tentu saja Kiok Eng tak marah-marah lagi maka
pemuda ini berkata bahwa semua itu sebagai batu
ujian. "Maafkan aku, ibumu terlalu keras. Bertahuntahun aku dibiarkannya, Kong-ji, akan tetapi kini aku
bahagia sekali bahwa dirimu telah ditemukan. Kapan
kalian bertemu dan bagaimana dapat bertemu."
36 "Ia dibawa Siang Lun Mogal," Kiok Eng menukas
dan tak sabar menerangkan. "Anak kita diculik kakek
jahanam itu, Hong-ko. Bagiku lebih baik diculik Hotosu daripada Siang Lun Mogal!"
"Siang Lun Mogal?" pemuda ini terkejut.
"Benar sekali, dan ia dibawa ke Mongol. Itulah
sebabnya tak pernah kita temukan karena memang
kita tak pernah keluar tembok besar. Kita selalu
mencari di daratan!"
Tan Hong mengeluarkan seruan tertahan. Tentu
saja pemuda ini terkejut dan tahu siapa kakek itu.
Akan tetapi menarik napas dan memuji nama Tuhan,
sikap nya begitu sareh maka Kiok Eng tertegun karena
suaminya ini seperti pendeta saja.
"Ih, aku tak mau sikapmu seperti pendeta
betulan (sungguhan). Kau tampak seperti kakek-kakek
dan alim!"
"Hm, hidup harus penuh disyukur. Ini nikmat
Tuhan, Eng-moi, kita berkumpul lagi. Betapapun kita
tak boleh lupa dan harus memuji nama-Nya."
"Bagus, lihat ayahmu sekarang. Ia benar-benar
mirip pertapa, Kong-ji, padahal dulu tidak begini. Dan
37 kepandaianmu, eh!" nyonya itu teringat. "Kau
sekarang luar biasa sekali, Hong-ko. Kau hebat se kali!"
"Hm, puji Tuhan. Aku menenggelamkan diri ke
dalam samadhi, Eng-moi, kalau sesuatu berhasil
kuperoleh maka semua adalah rahmat-Nya. Ini
kemurahan-Nya."
Kiok Eng terbelalak. Sekarang suaminya benarbenar seperti Ho-tosu dan mendadak ia khawatir.
Jangan-jangan...!
"Apa yang kau pikir?" mendadak ia di tanya.
"Aku, ah... tak apa-apa. Hanya sekarang ingin
beristirahat. Apakah kita tetap di sini saja dan kau tak
mengajak kami ke tempat yang baik!"
"Maaf, aku lupa. Kau betul, Eng-moi. Mari ke
tempatku dan di sana ada lubang besar!" Tan Hong
tertawa dan tiba-tiba iapun menyambar anak isterinya
ini. Dibawanya mereka ke sebuah pohon besar yang
tengahnya berlubang, pantas Kiok Eng tak
menemukan ini karena ia mencari di atas. Dan ketika
semua masuk dan Cit Kong pun gembira, ia pun kagum
akan kepandaian ayahnya ini maka malam itu mereka
bercakap tiada habisnya sampai akhirnya anak itu
tertidur. 38 Kini Kiok Eng memandang suaminya dan
pandang matanya menuntut sesuatu. Tan Hong
tergetar. Sinar mata itu penuh selidik. Akan tetapi
ketika ia bergerak dan memeluk isterinya ini,
mengusap Cit Kong agar tidur pulas maka malam itu
kekhawatiran Kiok Eng tak berbukti dan suaminya
mampu membahagiakannya lahir batin. Mereka
berenang dalam lautan cinta yang memabokkan. Dan
ketika menjelang pagi ia ditanya kenapa sikapnya
begitu aneh, kenapa pandang matanya bermakna
menuntut maka nyonya ini tersipu akan tetapi
menjawab. Burung berkicau akan tetapi ia malah
mengantuk.
"Aku khawatir kau tak bergairah lagi. Aku takut
dirimu benar-benar seperti pertapa, Hong-ko,
maksudku tak seperti dulu lagi."
"Dulu bagaimana?"
"Dulu ya dulu!"
"Aku tak jelas."
"Ih, aku malu!"
"Kalau begitu kau tak boleh tidur, aku akan
mengganggumu!" dan ketika Kiok Eng terkekeh dan
menggeliat digelitik suami, berbisik bahwa ia takut
39 suaminya tak "jantan" maka Tan Hong tergelak namun
isterinya menarik selimut. Ia berusaha menggoda akan
tetapi Cit Kong terbangun. Ribut-ribut itu mengganggu
nya. Dan ketika Kiok Eng menjadi geli dan bersuara
"sst" agar suami tak mengganggu, terbatuklah Tan
Hong ditanya puteranya maka pemuda ini pun purapura tidur namun diam-diam mengusap pinggul
isterinya dengan mesra!
Pagi itu perjalanan tak dilanjutkan. Kiok Eng
beristirahat dan Tan Hong pun melepas lelah.
Memang tak ada lagi yang buru-buru dikejar setelah
ini. Mereka telah berkumpul. Akan tetapi ketika
keesokannya mereka bergerak dan menuju Liang-san,
tertegun di kaki gunung maka sebuah pesan ditujukan
kepada mereka. Pesan sang kong-kong.
"Pergi dan lanjutkan perjalanan kalian ke Angbi-to. Ada yang penting!"
"Ang-bi-to (Pulau Alis Merah)?" tiba-tiba Cit
Kong berseru. "Di mana dan tempat apa itu, ayah. Jauh
atau dekat!"
"Hm," Tan Hong menjadi merah, akan tetapi
segera mengangguk-angguk. "Ang-bi-to adalah
tempat pengasingan, Kong-ji, pulau tempat
pembuangan."
40 "Apa yang dibuang? Sampah?"
"Tidak, manusia."
"Manusia? Aneh sekali, kenapa dibuang.
Apakah mereka kotor!"
"Hm, mereka memang orang-orang kotor.
Mereka lebih kotor daripada sampah, puteraku,
pembawa penyakit. Mereka orang-orang kutukan!"
Kiok Eng berkata dan puteranya meleletkan
lidah. Tentu saja Cit Kong tak tahu itu bahwa Ang-bi-to
adalah pembuangan orang-orang yang kena penyakit
kutukan dewa, mereka yang menyimpang dari
perilaku biasa alias kaum laki-laki yang bercinta
dengan sesama laki-laki. Anak ini masih terlalu kecil
mengenal itu. Maka ketika perjalanan dibelokkan dan
menuju Pulau Alis Merah, tentu saja berdebar dan
penuh tanda tanya maka keluarga kecil bahagia ini
merobah rencana dan kini Cit Kong di bawah
gemblengan langsung ayah ibunya sendiri, terutama
Tan Hong! Kiok Eng terkejut dan kagum bukan main
melihat kemajuan suaminya. Di sepanjang jalan ia pun
mendapat petunjuk-petunjuk. Bukan main, suaminya
dapat melayang-layang di atas tanah mempergunakan
Sin-bian Gin-kang itu. Suaminya bagai dewa saja. Dan
41 ketika betapa dengan tepukan perlahan saja suaminya
mampu menggetarkan gunung, inilah tingkat
kesaktian yang menyamai ayahnya sendiri maka
wanita itu merasa bukan apa-apa dan kagum serta
hormatnya tiba-tiba begitu tinggi. Apalagi sang suami
begitu bijak.
"Aku hanya kebetulan saja menemukan sari pati
hidup. Hidup ternyata untuk belajar, Eng-moi, apa saja
dan di mana saja. Dengan belajar kita akan menjadi
maju, dan dengan belajar kita semakin banyak tahu.
Akan tetapi semua ini berkat, Sang Penguasa atau
Sang Pemilik Tunggal masih di atas kita dan jauh di
atas segala-galanya. Kita tetap hamba!"
"Astaga, uraianmu bagai kakek pertapa saja.
Terangkan kepadaku inti pengetahuanmu itu, Hongko. Belajar bagaimana dan tentang apa!"
"Tentang apa saja, akan tetapi tak lepas dari tiga
hal. Pertama netral alias diri sendiri dan kedua dan
ketiga bersifat horisontal dan vertikal."
"Ah-ah, istilah apa ini. Asing bagiku!"
"Maksudku adalah begini. Kita tak terlepas dari
tiga lingkup besar yang mempengaruhi diri kita, bahwa
kita tak terlepas dari diri kita dan orang lain serta
Tuhan."
42 "Bagus, lanjutkan!"
"Bahwa kita selalu berkaitan dan berikatan
dengan tiga hal tadi..."
"Bagus, bagus. Lalu?"
"Ya itu, Eng-moi. Kita belajar tentang diri kita
sendiri dan yang di luar kita serta Tuhan. Bahwa ada
sesuatu yang ?di luar? dan ?di dalam?. Bahwa di atas
yang dua ini masih ada yang atas. Kita belajar tentang
diri kita lahir batin lalu dengan yang di luar lahir batin
pula. Dan untuk yang atas, ini yang paling berat sudah
dilakukan manusia lewat agama. Agama adalah
jembatan bagi kita secara vertikal (garis lurus)!"
"Ah-ah...!" Kiok Eng terbengong dan
terlongong-longong. "Dari mana kaudapatkan semua
itu, Hong-ko, apakah dari tapamu itu!"
"Hm, tapa adalah jenis perilaku diri. Tapa
hanyalah sebuah alat. Yang penting adalah kebersihan
batin, Eng-moi, kecerdasannya. Biar tapa seribu tahun
pun kalau tak bersih dan cerdas tak akan mencapai
semuanya itu. Aku hanya mendapat anugerah."
"Luar biasa, akan tetapi kau sudah seperti ini.
Ah, kelak akupun ingin bertapa, Hong-ko, aku juga
ingin seperti ini!"
43 "Mendapatkan kesaktian atau kesenangan?"
"Bukan, kebahagiaan. Aku merasa bahagia
mendengar petunjuk-petunjukmu ini."
Tan Hong tersenyum, menggenggam tangan
isterinya. Memang begitulah seharusnya orang bijak,
yang dicari bukan kesenangan
melainkan kebahagiaan. Kesenangan adalah kebahagiaannya
orang tolol, sementara kebahagiaan adalah
"kesenangannya" orang bijak. Maka bergerak dan
terus bercakap-cakap, semakin tahu semakin kagum
akhirnya mereka meninggalkan Liang-san yang kini
jauh di belakang.
*** Ang-bi-to memang benar adalah pulau
pembuangan. Pulau ini sekaligus pengasingan bagi
pembawa penyakit yang amat ganas itu. Rakyat tak
boleh berdekatan dengan penderita-penderita ini.
Akan tetapi karena semakin lama jumlah penderita
semakin banyak, pulau itu terasa kian sempit maka
kaisar menjadi khawatir dan belum ditemukannya
obat penawar membuat para pembantunya panik,
terutama Yok-ong (Raja Obat) dan Cung-taijin,
menteri kesehatan.
44 "Sepuluh tahun kalian bekerja, akan tetapi
belum juga berhasil. Bagaimana ini, taijin, juga Yokong. Korban terus bertambah dan aku tak mau
rakyatku habis!"
"Ampun...!" dua orang itu menggigil, menjatuh
kan diri berlutut. "Sementara ini sudah ada penangkal
daruratnya, sri baginda, akan tetapi mereka orangorang ceroboh. Sebenarnya sudah berkali-kali hamba


Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melakukan penyuluhan namun ada yang tak
menghiraukan. Itu kesalahan mereka!"
"Benar, balon karet itu sudah cukup aman.
Mereka banyak yang melepasnya, sri baginda. Salah
sendiri. Hamba juga sudah berkali-kali memperingat
kan akan tetapi beberapa di antaranya main api!"
"Hm, aku tak bicara balon karet atau apapun
namanya. Aku menghendaki obat penawar dan
penyakit ini lenyap!"
"Kami mengerti, akan tetapi..."
"Panggil Kiang-taijin, juga Poh-goanswe. Aku
ingin bicara!"
Dua orang itu terbirit-birit. Poh-goanswe adalah
jenderal pengganti Bu-goanswe dan jenderal ini cepat
datang. Sementara Kiang-taijin, menteri Gawat
45 Darurat juga berlari-lari. Dan ketika empat orang itu
berlutut dan menghormat di depan kaisar, titah atau
sabdanya bisa membawa celaka maka empat orang
yang sudah berkomplot ini serentak berseru.
Penjilatan segera terjadi.
"Hidup sri baginda yang mulia!"
Akan tetapi kaisar membentak dan menyuruh
empat orang itu bangun. Ia sebal melihat ini karena
tak juga membawa hasil. Poh-goanswe sudah
diperintahkannya mencari orang-orang pandai,
pertapa atau siapa saja untuk menolong rakyat.
Sedang Kiang-taijin menteri gawat daruratnya diminta
mencekal seseorang bernama Leiker, bangsa kulit
putih. Orang yang belum juga berhasil ditemukan.
"Kalian tahu apa yang ingin kubicarakan? Kalian
tahu tugas dan kegagalan kalian?"
"Ampun!" serentak dua orang itu berlutut.
"Kami tahu kesalahan kami, sri baginda, akan tetapi
maafkan kami karena orang-orang yang kami cari
belum ditemukan. Mereka orang-orang cerdik!"
"Hm, kau, bagaimana dengan Kiang-taijin!"
46 "Ampunilah hamba, sri baginda. Laki-laki kulit
putih itu belum hamba temukan. Ia bersembunyi
bagai ular berpindah-pindah sarang!"
"Dan Poh-goanswe?"
"Sudah banyak orang pandai hamba datangkan,
sri baginda, akan tetapi tak satupun yang sanggup!"
"Aku tak bertanya itu. Aku bertanya tentang
hilangnya Busur Kumala, sudah ditemukan atau
belum!"
"Belum..." jenderal ini menggigil, pucat. "Untuk
yang satu ini belum, sri baginda. Hamba... hamba
mohon waktu!"
"Sepuluh tahun waktu yang cukup. Aku tak bisa
bersabar lagi, goanswe, kuperpanjang setahun lagi
atau kau pergi. Dan Kiang-taijin!" kaisar membentak.
"Temukan orang itu karena ia sumber segala biang
penyakit!"
"Hamba terima perintah."
"Dan kalian berdua!" kaisar menuding Cungtaijin dan Yok-ong. "Setahun lagi harus beres
semuanya atau kalian menjadi orang-orang tak
berguna dan lebih baik mundur. Yok-ong sudah harus
menemukan obatnya bila Busur Kumala belum
47 terampas, sedang Cung-taijin harus mempergiat
penyuluhan dan jangan memikirkan diri sendiri saja!"
Cung-taijin bagai anjing melipat buntut. Tentu
saja ia mengangguk-angguk sementara Yok-ong
berkeringat dingin. Tugasnya terasa lebih berat
dibanding yang lain-lain. Kemampuannya sebagai Raja
Obat diuji habis-habisan, celaka kalau terakhir kalinya
ia tak mampu menunjukkan diri. Maka mengangguk
dan pergi terseok-seok, Cung-taijin mendata dan
mengumumkan rakyat agar gencar memakai baIon
karet maka rakyat terutama laki-laki menggerundel di
belakang. "Gila Cung-taijin itu. Ia menekan kita memakai
balon karet akan tetapi setiap kali harganya dinaikkan.
Sebungkus melebihi lima kati beras!"
"Benar, isterikupun mengomel. Uangku habis
hanya untuk membeli itu, padahal sumpah mati aku
tak pernah royal!"
"Atau kita harus bertapa?"
"Ha-ha!" tiba-tiba terdengar suara tawa berat.
"Bertapa yang satu itu lebih baik mati, Cung-hin. Aku
tak bakalan hidup disuruh bertapa. Jebol imanku
nanti!"
48 "Ah, juragan Sok. Dari mana kau datang tapi
dirimu lebih untung. Kau banyak uang!"
Seorang laki-laki tinggi besar muncul dan ia
menggandeng seorang wanita muda yang genit dan
tersenyum-senyum. Ini lah selir baru sang juragan, Sok
Pi, pedagang sutera dan minuman keras. Dan ketika ia
lewat dan meninggalkan warung, itulah tempat orangorang berkumpul maka yang lain berbisik dan iri serta
cemburu terhadap juragan itu. Ia tentu saja tak perlu
menghiraukan naiknya "balon karet".
"Hm, semua ini terpulang dari kita sendiri,"
seorang kakek tiba-tiba berkata sareh. "Kalau
kesenangan kita hanya untuk hal-hal merugikan tentu
semuanya tak membawa manfaat, kawan-kawan.
Kalau kalian merasa bersih tak usah beli itu, kenapa
diributkan. Benda itu hanya perlu bagi mereka yang
suka jajan."
"Benar, Cong-lopek tidak salah. Kalau kau
merasa bersih tak usah membeli itu, Mang-twako,
belikan beras untuk keluargamu saja dan jangan
hiraukan Cung-taijin!"
"Dan kau tetap bebas!"
"Akan tetapi hati-hati, bisa tambah anak. Haha!"
49 Yang lain terbahak dan seisi warung tiba-tiba
gemuruh. Pemiliknya yang tersenyum dan cepat
menyuruh isterinya pergi membuat nyonya warung
tersipu-sipu. Laki-laki memang begitu, suka jorok dan
bersikap kurang ajar. Dan ketika Cung-taijin membuat
tanggapan bermacam-macam di kalangan rakyatnya,
hari demi hari terus dilewatkan maka Ang-bi-to
bertambah juga dan belasan di antaranya mulai
meninggal. Penderitanya panik, termasuk tentu saja
keluarganya, kecuali sang isteri atau mereka yang
dikhianati.
"Huh, biarkan saja. Biar A-ceng mampus. Ia
pengobral dan pengkhianat cinta!"
"Akan tetapi ia pemuda yang rajin. Ia sanggup
mengerjakan sawah berbau-bau, Ui-ma. Ia memiliki
kelebihan juga di samping kelemahannya!"
"Aku tak perduli, kau ibunya. Uruslah sendiri
dan biar ia mampus!" seorang wanita keluar dari
sebuah rumah dan di dalam rumah itu terdengar
jeritan. Uwak Ceng yang menjadi ibunya melolong,
menantunya enak saja ngeloyor pergi. Dan ketika di
mana-mana keluarga yang ditinggalkan merasa susah,
terutama seperti nenek tua ini maka Ang-bi-to
menjadi tempat angker dan pulau ini dikenal sebagai
50 pulau menyeramkan. Masuk Ang-bi-to berarti masuk
ke alam maut!
Kota raja menjadi geger. Ternyata puteraputera hartawan atau bangsawan berjatuhan pula.
Mereka inilah yang lebih besar melakukan
penyelewengan dibanding si miskin. Mereka memiliki
uang dan segalanya. Dan ketika semua itu berawal dari
istana sementara penyakitnya sudah menyebar,
rakyat menjadi korban ikut terseret pula maka para
penderita yang menularkan penyakitnya menjadi
ngeri. Di samping mendapat sumpah-serapah juga
mereka ngeri mengalami kelumpuhan. Alam maut
terasa gelap dan serba menakutkan!
Akan tetapi di pagi itu Ang-bi-to mengalami
keanehan. Orang-orang kang-ouw alias mereka yang
berkecimpung di dunia persilatan berdatangan. Ada
kabar angin bahwa Busur Kumala di situ. Maka ketika
pagi itu berkelebat bayangan-bayangan asing, baik
yang tinggi kurus maupun yang gemuk pendek maka
pulau yang bia sanya ditakuti ini malah menjadi ramai.
Orang kang-ouw memang aneh!
Dan yang lebih menarik perhatian adalah
berderapnya sebuah kereta. Sais menghentikannya di
tepi pantai dan penghuninya keluar. Kereta ini
51 ditumpangi empat orang berpakaian indah dan satu di
antaranya gadis muda. Gadis ini berpakaian ungu dan
cantik jelita dan kehadirannya tentu saja membuat
terbelalak. Mata mereka yang bersembunyi ataupun
berada di pantai tak dapat dibuat pura-pura lagi. Gadis
ini cantik jelita dan berpakaian ketat, usianya tak lebih
dari delapan belas tahun akan tetapi gagang pedang di
belakang punggungnya membuat orang tak berani
main-main. Ia jelas gadis kang-ouw. Dan ketika tiga
yang lain adalah dua pemuda tinggi besar sementara
yang terakhir adalah seorang kakek berwajah garang,
codet atau sebuah luka kecil meng hias kening maka
saisnya merupakan laki-laki empat puluhan yang
menyimpan pula sebatang pedang di punggung. Lima
orang ini jelas gagah dan bukan sembarangan!
Kini gadis itu menebarkan pandangan. Ang-bi-to
adalah pulau di tengah laut dan cukup jauh dari pantai,
dapat terlihat akan tetapi merupakan sebuah garis
hitam panjang. Siapapun dapat melihat pulau itu akan
tetapi siapa memperdulikan Ang-bi-to. Pulau ini
sarang penyakit! Maka ketika pagi itu muncul kereta
ini disusul penumpangnya dan saisnya yang gesit,
beberapa orang kang-ouw tertegun dan masih
terpaku memandang gadis cantik jelita itu maka satu
di antara dua pemuda itu berkelebat dan tiba-tiba
52 menjura di depan seorang kakek berpakaian
sederhana, seakan nelayan atau orang hendak
mencari ikan. Jala dan pancing berada di tangannya.
"Maaf, benarkah pulau di depan adalah Ang-bito. Di mana kami dapat menyewa perahu dan siapa
yang dapat mengantar!"
"Hm, siapa kongcu (tuan muda). Aku pun orang
asing di sini dan tak tahu-menahu. Hanya itu betul
Ang-bi-to, selebihnya tak ada perahu yang
disewakan."
"Ah, begitukah? Akan tetapi bukankah ada
penjaga?"
"Heh-heh!" seorang lain tiba-tiba terkekeh dan
melompat cepat, disusul belasan orang lain
berpakaian kembang-kembang. "Kalau ingin perahu
dapat kuantar, kongcu. Berapa berani bayar dan apa
maksud kalian mendekati Ang-bi-to!"
Pemuda itu terkejut, tahu-tahu dikepung
delapan orang. Dan belum ia menja wab atau apa
mendadak satu di antaranya, yang berada di belakang
tiba-tiba menyambar kantung bajunya mengambil
pundi-pundi uang.
53 "Plak-plak!" akan tetapi pemuda ini bergerak
cepat dan tiba-tiba ia menangkis atau menampar
tangan jahil itu. Lawan menjerit dan terbanting
mengaduh-aduh, pergelangannya retak! Dan ketika
kawan-kawannya terkejut berseru keras, kakek itu
memberi aba-aba mendadak semuanya menyerang
dan pemuda itu dikeroyok.
"Kau keluarga Pak yang tentu sombong itu. Angbi-to milik kami dan siapa pun tak boleh masuk!"
Pemuda ini marah. Ia tiba-tiba diserang dan
berkelebatan ke sana ke mari. Lawan mencabut
tongkat mengemplangnya. Dan ketika ia menangkis
dan kedua lengannya menampar atau membacok ma
ka tongkat patah-patah dan kakek berbaju kembang
itu terkejut.
"Trak-trak-dess!"
Semua kaget. Belasan senjata patah-patah
sementara pemuda itu sudah berdiri tegak lagi. Kakek
lawannya mundur. Dan ketika ia bersiap akan tetapi
lawan bersuit panjang, mundur maka orang-orang
yang sesungguhnya dari Hwa-i Kai-pang (Perkumpulan
Pengemis Baju Kembang) ini berlarian.
"Ah, Pak-kongcu kiranya," kakek seperti nelayan
berseri dan menjura. "Kami tentu saja mendengar
54 namamu, kongcu, kalau begitu itu tentu ayahmu si
Tangan Kilat Pak-Ju!"
Pemuda ini mengusap keringat. Ia telah
menghalau orang-orang Hwa-i Kai-pang akan tetapi
kejadian ini membuat ia muram. Belum apa-apa
dihadang musuh. Maka tak menghiraukan dan ber
kelebat menemui ayahnya, Lui-ciang Pak-Ju dari
Propinsi Se-kiang maka pemuda ini berkata sebaiknya
dia mencari keluar dulu. Pantai tak ditemukan sebuah
perahu pun.
"Hm, tidak. Kita tunggu saja perahu dari pulau,
Han-ji, biar kau dan kakakmu tetap di sini. Hwa-i Kaipangcu pasti mendapat laporan. Kau bisa dihadang di
tengah jalan."
"Biar saja!" gadis itu tiba-tiba berseru. "Kalau
orang mencari penyakit biar kita hajar, ayah. Kalau
tadi aku yang diganggu maka pedangku yang bicara!"
"Kita tak bermaksud membuat ribut," kakek
gagah ini berkata tegas. "Kalau bisa dihindari lebih
baik dihindari, Lian-ji. (anak Lian). Urusan kita masih
banyak dan ibumu tentu menunggu di rumah."
"Akan tetapi musuh mencari gara-gara!"


Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

55 "Biarlah, yang penting bukan kita dan biar
kutunggu Cao-ciangkun saja. Kita pasti diantar!"
Satu keluarga itu akhirnya diam. Kusir atau sais
kereta disuruh menepikan kudanya dan rombongan
ini duduk di bawah pohon rindang. Ada sebatang
pohon kuat dan pendek cocok untuk berteduh.
Mereka dapat duduk di tonjolan akar besar. Dan ketika
orang-orang memandang keluarga ini akan tetapi
surut dan cepat menyingkir, kegagahan pemuda tinggi
besar tadi membuat keder maka gadis baju ungu yang
gagah dan galak ini bersandar di sebelah ayahnya.
Mereka menunggu perahu dari arah Ang-bi-to.
Tiba-tiba terdengar bentakan. Belasan anggauta
Hwa-i Kai-pang yang tadi dihajar mendadak datang
kembali. Mereka dipimpin seorang tinggi besar
bermuka pucat, usianya lima puluhan tahun dan di
tangannya tergenggam tongkat hitam. Kakek ini
adalah Hwa-i Kai-pangcu (pimpinan) sendiri dan dialah
yang membawahi anak buahnya langsung, mendapat
laporan dan menjaga tepi pantai sepanjang alur. Hwai Kai-pang tiba-tiba menyatakan wilayah itu adalah
kekuasaannya, siapapun tak boleh ke Pulau Alis merah
dan di tempat lain beberapa orang kena hajar. Maka
mendengar anak buahnya dirobohkan orang dan yang
merobohkan adalah keluarga Pak dari Se-kiang,
56 kebetulan sudah lama perkumpulan pengemis ini tak
suka kepada keluarga itu maka Hwa-i Kai-pangcu
muncul sendiri dan ia disertai empat sutenya yang
berkepandaian tinggi. Harap diketahui saja bahwa di
Propin si Hu-nan nama perkumpulan pengemis ini
ditakuti dan mereka biasa meminta sumbangan
sampai ke propinsi sebelah, ketemu batunya ketika
ditolak keluarga Pak yang sebenarnya merupakan
hartawan besar ini.
"Bagus, Lui-ciang (Tangan Kilat) Pak-Ju sendiri
yang kiranya berada di sini, dan puteramu telah
melukai seorang muridku. Ang-bi-to saat ini berada di
bawah kekuasaan kami, Lui-ciang Pak Ju, ini termasuk
propinsi Hu-nan bukannya Se-kiang!"
(Bersambung jilid XV.)
57 COVER 1 =0= "MENCARI BUSUR KUMALA" =0=
Karya : Batara
Jilid XV *** KAKEK ini bangkit berdiri, menghadapi lawan.
Dua laki-laki sama tinggi besar saling berhadapan dan
masing-masing mengeluarkan sinar mata berkilat.
Jago dari Se-kiang ini tentu saja mengenal baik si kakek
pengemis, diam-diam ia pun tak senang bahwa Hwa-i
Kai-pang melakukan pemerasan terhadap orangorang kaya, dengan dalih sumbangan. Maka ketika ia
bangkit dan langsung menghadapi ketua pengemis itu,
sinar matanya mencorong maka jago tua ini berkata,
tegas namun singkat.
"Aku di sini atas undangan Cao-ciangkun, dan
seingatku wilayah ini adalah ke kuasaan Cao-ciangkun
(panglima Cao). Entah sejak kapan kau menguasai
tempat ini, Hwa-i Kai-pangcu, akan tetapi akupun tak
perduli sampai tuan rumah yang mengundangku
kemari. Puteraku tak akan melukai orang lain apabila
3 anak buahmu tak mulai dulu. Minggir dan jangan
ganggu kami atau urusan bisa berlarut-larut."
"Sombong!" kakek itu gusar. "Kau tak dapat
mengusirku kalau tidak atas kehendakku sendiri,
orang she Pak. Aku tak perduli Cao-ciangkun karena
saat ini akulah yang berkuasa. Kami Hwa-i Kai-pang tak
memperkenankan orang lain ke Ang-bi-to dan kau
kembalilah baik-baik jika tak ingin mendapat
pelajaran!"
"Hm, kau mengancamku? Kau marah-marah
karena selama ini aku tak pernah menyumbang
perkumpulanmu? Bagus, kau menyembunyikan
kebencianmu berkedok Ang-bi-to, jangan kira aku tak
tahu penyebabnya dan kami keluarga Pak juga bukan
penakut."
"Serang dan tak perlu banyak bicara saja!" satu
di antara empat sute kakek ini tiba-tiba berkelebat,
tongkat di tangan menghantam kepala jago Se-kiang
itu. "Urusan tak akan selesai bila membuka mulut,
suheng. Biarlah kuberi dia pelajaran dan agar keluarga
Pak tak kurang ajar kepada kita!"
Akan tetapi kakek itu terkejut. Lui-ciang Pak-Ju
tiba-tiba menggerakkan tangannya menangkis dan
sinar putih berkelebat. Terdengar bunyi berdesing
4 ketika jago Se-kiang ini menggerakkan tangannya. Jarijarinya tiba-tiba berkerotok dan saat itu juga tongkat
bertemu jari. Dan ketika terdengar suara keras dan
tongkat patah, kakek pengemis berseru tertahan
maka ia terhuyung sementara jago tua itu tertawa
dingin. Semua terbelalak dan beberapa di antaranya
memandang kagum.
"Jangan coba-coba dan cepatlah tahu diri. Lihat
siapa yang mulai, Hwa-i Kai-pangcu, seperti itukah
cara anak buahmu menyerang orang. Akulah yang
akan memberikan pelajaran bagi siapapun yang
nekat!"
"Sombong!" dua
menerjang maju, satu
ruyung. "Mendorong
kemenangan, orang she
akan membela saudara!"
di kiri kanan mendadak
di antaranya memegang
saudara kami bukanlah
Pak, masih ada kami yang
Jago tua itu mengelak. Ia mundur selangkah dan
berkilat marah akan tetapi lawan mengejar. Dua
pengemis yang berkepandaian lebih tinggi merangsek.
Dan ketika masing-masing membentak dan mengayun
kan senjatanya, ruyung malah bercuit dan menyambar
pula gadis baju ungu maka Pek Lian, puteri jago tua itu
mencabut pedangnya.
5 "Keparat, siapa takuti orang-orang macam
kalian ini... cring-trangg!" bunga api berpijar dan
pengemis pemegang ruyung terpekik. Ruyungnya
terbabat, tinggal dua-pertiga. Dan ketika ia terbelalak
dan meloncat mundur, sang jago tua menyambut
lawan satunya maka ia berseru menangkis sambil
mengerahkan tenaga.
"Lian-ji, biarkan saja orang-orang ini merasakan
kelihaianku. Aku masih dapat mengatasi... krakk!"
tongkat itu juga patah dan si jago tua tidak hanya
berhenti di sini. Ia membuat lawan terkejut dan
terhuyung ke belakang akan tetapi jari-jarinya
menusuk ke depan, kilatan putih menyambar. Dan
ketika kilat atau cahaya ini mengenai bahu lawannya
itu, menjerit dan tak sempat mengelak maka
pengemis itu roboh dan pundak atau bahu kirinya
hangus. Pakaiannya terbakar.
"Aughh!"
Dapat dibayangkan tusukan Jari Kilat itu.
Pengemis ini bergulingan menyelamatkan diri dan ia
tentu saja berteriak. Tulang pundaknya seakan
hancur. Akan tetapi ketika Hwa-i Kai-pangcu
berkelebat dan menggerakkan tongkatnya menahan
sutenya, itulah adik nomor dua bernama Kong Ciok
6 maka ia menotok lembut dan sudah menghilangkan
rasa sakit. Sang su-te menggigil pucat namun ditolong
su-hengnya bangun.
"Hati-hati, orang she Pak itu rupanya bukan
omong kosong. Bagaimana keadaan mu, ji-te (adik
nomor dua), masih sakit atau ada yang retak. Kau
terlalu ceroboh dan maju tanpa perintahku."
"Maaf, ampunilah aku. Aku tak tahan oleh
kesombongannya, suheng. Ia... ia memang lihai. Akan
tetapi aku ingin maju kembali, aku tidak takut!"
"Hm, dia adalah lawanku. Kau putera-puterinya
saja dan siapkan anak buah kita mengurung, jangan
sampai lolos!"
"Kami tak akan melarikan diri!" gadis baju ungu
tiba-tiba melengking. "Kau dan anak buahmu kiranya
orang-orang curang Hwa-i Kai-pangcu, tak segan
melakukan kecurangan dan keroyokan. Lihat betapa
aku menghajar kalian tak perlu ayah turun tangan
sendiri!"
Akan tetapi jago tua Se-kiang tiba-tiba menahan
puterinya. Ia melihat betapa tiga puluh anggauta Hwai Kai-pang berlompatan memberi tanda. Sang ketua
telah mengangkat tongkat dan melepas perintah. Dan
karena terlalu berbahaya bagi puterinya untuk
7 menyambut begitu saja, ia kenal baik watak para
pengemis ini maka ia berseru kepada dua puteranya,
juga saisnya yang ternyata sudah mencabut pedang.
Keluarga Pak memang sesungguhnya keluarga gagah
perkasa, termasuk pelayan atau para pembantunya.
"Swi-ji, Han-ji, jangan kalian biarkan adik kalian
dikepung musuh. Lindungi dan adu punggung. Dan
kau, Hong-see, jaga tuan mudamu dari bokongan
musuh!"
Hong-see, sais ini mengangguk. Ia telah
mencabut pedangnya berdiri gagah di belakang para
majikannya itu. Tanpa diperintah lagi ia telah bersiapsiaga, sikap dan pandang matanya gagah. Dan ketika
Hwa-i Kai-pangcu menjadi marah betapa keluarga itu
tak kelihatan gentar, si jago tua maupun puteraputerinya betul-betul gagah maka iapun menerjang ke
depan menggerakkan tongkat hitamnya.
"Maju dan biarkan Lui-ciang Pak Ju kuhadapi
sendiri. Robohkan semua pengikutnya!"
Lima orang itu bergerak. Majikan dan saisnya
tahu-tahu berputar dan Lui-ciang Pak Ju sendiri tibatiba merendahkan tubuh. Ia membentak menyambut
tongkat hitam ketua. Dan ketika sinar putih melesat
berkeredep menyilaukan, Hwa-i Kai pangcu memekik
8 menyambarkan senjatanya maka kakek itupun
mengerahkan sinkang hingga tongkatnya bergetar dan
penuh tenaga sakti.
"Dukk!" lengan dan tongkat beradu sama keras
akan tetapi kakek pengemis terpental. Tongkatnya
memang tidak patah akan tetapi ia kalah kuat. Sinkang
atau tenaga sakti lawan lebih unggul. Maka ketika
kakek itu berjungkir balik dan kaget serta marah, Luiciang Pak Ju ternyata benar-benar hebat maka ia
menerjang lagi dan empat sutenya menubruk atau
menyerang tiga orang muda itu, dibantu para murid
hingga membuat si sais Hong-see membentak
melindungi tiga majikannya.
"Cring-tak-takk!"
Pertandingan menjadi ramai. Dua pemuda
berkelebat melindungi adik mereka di tengah namun
Pek Lian tak mau meing gantungkan diri. Iapun tak
suka diperlakukan seperti anak kecil. Dirinya sudah
cukup dewasa dan kepandaiannyapun tinggi. Maka
ketika pedang bergerak dan meliang king serta
berkelebatan, dua kakaknya bertangan kosong
mainkan Lui-ciang Sin-hoat (Silat Tangan Sakti) maka
dari lengan dua pemuda ini menyambar sinar putih
berkilauan seperti ayah mereka, tangan atau jari-jari
9 mereka menangkis dan sanggup meretakkan tongkat,
terutama milik para murid.
"Trak-trak-kraakk!" tongkat patah-patah dan
para murid menjerit. Ternyata dua pemuda ini begitu
lihai dan mereka-pun tidak berhenti di situ saja, maju
mundur dengan cepat beradu punggung. Pak Swi
maupun Pak Han bergerak isi-mengisi begitu
harmonis. Tangan mereka pun semakin berkilauan
mengeluarkan hawa panas. Dan ketika hawa ini
mendorong mundur siapapun yang tak tahan pukulan
Tangan Kilat, mendesing dan menderu-deru maka
empat sute Hwa-i Kai-pangcu terhenyak dan
penasaran serta marah bahwa dua pemuda ini tak
mampu mereka desak, bahkan merekalah yang sering
terhuyung dan menjauh tak tahan pukulan panas!
Akan tetapi mereka menang banyak. Mereka
berjumlah lebih dari tigapuluh orang sementara dua
pemuda itu hanya di bantu sang adik dan si sais.
Mereka tentu saja berseru lantang memberi aba-aba
lagi. Masa tigapuluh orang tak dapat me ngalahkan
empat orang, satu mengeroyok tujuh. Maka ketika
empat pengemis itu berkelebatan dan mereka mulai
sambar-menyambar menusuk dan mengemplang
akhirnya empat orang ini menjadi berbahaya apalagi
10 ketika serangan atau pukulan mereka selalu dari
belakang. "Licik, curang dan pengecut. Kalian beraninya
hanya dari belakang, pengemis-pengemis busuk,
berhadapanlah secara jantan dan jangan membokong
atau menyerang secara curang!"
"Biarlah, kau tetap di dalam. Mereka memang
bukan orang baik-baik, Lian-moi (adik Lian), tak usah
banyak bicara dan mari kita hajar!" Pak Swi, saudara
tertua menenangkan adiknya. Pak Lian memang gadis
yang mudah marah dan itu tidaklah menguntungkan.
Kemarahan hanya membu at kewaspadaan berkurang
apalagi dikero yok demikian banyak orang. Maka


Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bergerak dan terus melayani puluhan orang secara
berganti-ganti, berseru pada Pak Han agar adiknya
tetap memasang kewas padaan tinggi maka pemuda
itu menyuruh saisnya di dalam lingkaran pula. Kini sais
itu mencabut sebatang tombak pendek pula di tangan
kirinya. "Hamba menjaga bokongan musuh. Jangan
khawatir, jiwi-kongcu (tuan muda berdua), hambapun
menjaga siocia (nona)!"
"Akan tetapi masuk dan tetap di dalam
lingkaran. Kami akan bergerak melebar, paman Hong11
see. Berilah kami kesempatan mendapat ruang gerak
yang luas!"
Sais itu mengangguk. Rupanya ia tahu apa yang
akan dilakukan dua majikannya dengan kata-kata itu.
Iapun tetap menggerakkan kedua senjatanya
menghalau dan menangkis musuh, terutama para mu
rid Hwa-i Kai-pang yang begitu banyak. Dan ketika
benar saja ia masuk dan memberikan ruang gerak
yang lebih lebar, Pak Swi berseru bersama adiknya
tiba-tiba dua pemuda ini berkelebat dan menggerak
kan kedua lengannya dengan cepat, tubuh mereka
tiba-tiba lenyap.
"Augh-trak-trak-dess!"
Jeritan segera terdengar dan pekik atau suara
kesakitan disusul gedebuknya tubuh-tubuh pengemis.
Mereka tiba-tiba saja disambar cahaya putih
menyilaukan dan Lui-ciang atau Tangan Kilat
mengenai mereka. Pundak atau kulit tubuh hangus!
Dan ketika satu dari empat sute Hwa-i Kai-pangcu juga
terbanting dan merintih bergulingan, lehernya terluka
maka yang lain terkejut dan berubah, apalagi ketika
gadis baju ungu itu melengking dan menyambar pula
di belakang kakaknya.
12 "Bagus, kita bunuh dan bantai saja mereka...
erat-erat!" pedangnya memotong gumpalan daging
dan pemilik atau tuannya tentu saja berteriak. Dua
dari para murid terjengkang. Lengan dan bahu mereka
sompal. Dan ketika sepak terjang gadis itu semakin
ganas namun sang kakak berseru agar menahan diri,
para pengemis berubah mukanya maka mereka-pun
gentar apalagi ketika sang ketua berteriak memanggil
sutenya. Hwa-i Kai-pangcu ternyata terdesak dan
menerima pula pukulan Tangan Kilat.
"Dess-plakk!" pertandingan di sini juga tak kalah
seru dan ternyata pengemis itu kewalahan. Ia telah
menggerakkan tongkat hitamnya namun berkali-kali
terpental. Sinkang jago Se-kiang itu lebih kuat. Maka
ketika ia terhuyung dan mulai sering jatuh bangun, Luiciang Pak Ju i-ngin memberi pelajaran akhirnya kakek
pengemis yang pucat itu semakin pucat. Tongkat
Pedang Kunang Kunang 10 Pendekar Rajawali Sakti 214 Setan Gembel Wajah Baru 2

Cari Blog Ini