Ceritasilat Novel Online

Pahala Dan Murka 10

Pahala Dan Murka Karya Liang Ie Shen Bagian 10


aneh sambil menangkis, belum lagi kedua tangan beradu, lengan
baju dan rambut kedua orang sudah bergoyang tersambar oleh
angin pukulan masing-masing.
Thio Hong-hu tercengang, tak tersangka kedua orang telah
saling labrak lagi dengan tenaga dalam yang hebat. Dilihatnya
Ciamtai Biat-beng serupa singa gila, serangannya tanpa kenalPahala dan Murka - 15 27
ampun, sebaliknya si kakek aneh berputar dengan lincah,
mendadak ia membalik tubuh dan secepat kilat menghantam.
Ciamtai Biat-beng membentak, kedua tangan menangkis
berbareng, ?brak", tangan beradu tangan, tubuhnya yang gede itu
tergetar mencelat. Si kakek aneh juga tergetar mundur beberapa
tindak dengan sempoyongan.
"Sungguh Tai-lik-kim-kong-jiu yang hebat, marilah kita
berkawan, sudilah Anda memberitahukan namamu yang
terhormat?" seru Ciamtai Biat-beng dengan air muka berubah
merah.
Kakek itu kembali mendengus, "Ah, orang kampung mana berani
berkawan dengan orang besar?!"
Sekali melompat maju, kembali kakinya mendepak.
"Huh, kau kira kutakut padamu?" bentak Ciamtai Biat-beng
dengan gusar sambil mengegos dan balas menghantam lagi.
Mendadak si kakek ganti serangan lagi, jengeknya, "Semua
kepandaian Thian-ya Lo-koay akhirnya kau keluarkan juga!"
Kiranya guru Ciamtai Biat-beng bernama Siangkoan Thian-ya,
40 tahun yang lalu namanya sama termasyhur dengan kakek guru
In Lui, yaitu Hian-ki It-su. Sekarang si kakek berani menyebut nama
gurunya secara kasar, tentu saja Ciamtai Biat-beng sangat gusar,
segera ia pergencar serangannya. Meski sikap si kakek itu tampak
angkuh, tapi di dalam hati sesungguhnya tidak berani meremehkan
lawan, pertarungan kedua orang bertambah cepat, lingkaran
pertempuran bertambah luas, tanpa terasa para penonton sama
menyurut mundur terdesak oleh angin pukulan yang dahsyat.
Pertandingan antara Ciamtai Biat-beng dengan Thio Hong-hu
tadi sudah membuat para Busu sama seperti permainan anak kecil
saja.Pahala dan Murka - 15 28
Diam-diam In Lui merasa heran, dilihatnya Kim-kong-jiu si
kakek memang sangat hebat, konon di dunia ini hanya Toasupeknya
saja yang menguasai Tai-lik-kim kong-jiu, jangan-jangan kakek
inilah paman gurunya itu?
Di antara lima murid Hian-ki It-su, kecuali ayah In Lui yang mati
muda, empat orang lainnya masing-masing menguasai sejenis
kungfu khas, bicara tentang kepandaian secara umum memang
ilmu pedang murid ketiga Cia Thian-hoa terhitung paling kuat, tapi
jika soal keuletan harus diakui murid utama Tang Gak yang paling
sempurna.
In Lui berpikir pula, "Pernah kudengar dari Suhu bahwa
Toasupek dan Samsupek adalah jago serba bisa, baik ilmu silat
maupun ilmu surat, keduanya juga sama gagah dan tampan, jika
betul kakek ini Toasupek adanya, mengapa dia berbentuk seperti
kakek kampungan begini? Pula konon selama ini Toasupek
berkelana di daerah Tibet dan Mongol, mengapa mendadak bisa
muncul di kotaraja sini?
Tengah termenung, tiba-tiba dilihatnya keadaan kalangan
pertarungan sudah berubah pula.
Mendadak Ciamtai Biat-beng dan si kakek sama terpencar. Jika
tadi keduanya saling gebrak dengan cepat, sekarang keduanya
saling hantam dengan pelahan, namun setiap pukulan jelas
mengandung daya serang maut.
Thio Hong-hu dan lain-lain adalah tokoh ternama, mereka sama
tahu betapa gawatnya pertandingan ini. Tidak lama kemudian, di
atas kepala kedua orang kelihatan diliputi oleh uap tipis. Tentu saja
Thio Hong-hu merasa kuatir, bila pertarungan ini terus
berlangsung, akhirnya keduanya pasti akan celaka bersama. Tapi ia
pun tidak berdaya dan tidak mampu melarai.Pahala dan Murka - 15 29
Selama hidup Ciamtai Biat-beng belum pernah menemukan
lawan selihai ini, diam-diam ia pun rada gugup, wataknya memang
kurang sabar, meski disadari perubahan serangan sekarang besar
risikonya, tapi ia pun tidak mau bertahan secara bertele-tele begini.
Maka pada saat lawan berganti serangan, mendadak ia
melancarkan serangan balasan secara dahsyat, ia membentak,
kedua tangan menghantam berturut-turut dengan dahsyat. Akan
tetapi setiap kali pukulannya selalu tertolak balik oleh tenaga
pukulan lawan, tentu saja hal ini membuatnya terkesiap.
Selama malang melintang 20-an tahun, kecuali Cia Thian-hoa
yang pernah ditempurnya sama kuat, hanya kakek aneh ini saja
yang mampu menandinginya. Malahan tenaga dalam Cia Thian-hoa
rasanya masih kalah kuat dibandikan kakek ini, jangan-jangan
kakek ini pun sama dengan Cia Thian-hoa, juga murid musuh
bebuyutan guruku? Demikian diam-diam Ciamtai Biat-beng
membatin.
Guru Ciamtai Biat-beng, yaitu Siangkoan Thian-ya, dahulu saling
berebut menjadi ketua perserikatan dunia persilatan dengan Hianki It-su, keduanya bertanding selama tiga-hari-tiga-malam di
puncak Go-bi-san dan berakhir seri. Habis itu Siangkoan Thian-ya
lantas mengasingkan diri ke daerah Mongol dan menerima murid
serta mendirikan perguruan tersendiri.
Karena itulah Ciamtai Biat-beng merasa sangsi, tapi dalam
keadaan genting menghadapi pertarungan yang menentukan, mana
dia sempat mengajukan pertanyaan lagi.
Meski usia si kakek lebih tua belasan tahun daripada Ciamtai
Biat-beng, namun tenaga dalamnya seperti tidak habis-habisnya,
serangannya tidak mengendur, sebaliknya semakin gencar semakin
kuat.Pahala dan Murka - 15 30
Diam-diam Ciamtai Biat-beng mengeluh keadaan yang tidak
menguntungkan ini, unp yang mengepul di atas kepala masingmasing makin lama makin tebal.
Para Busu yang meyaksikan pertarungan ini ikut merasa tegang,
pikiran mereka pun bertentangan, kebanyakan di antara mereka
sama berharap si kakek aneh yang menang, dengan demikian
supaya jago silat daerah Tionggoan tidak kehilangan muka sama
sekali, mereka tidak tahu bahwa sebenarnya Ciamtai Biat-beng juga
bangsa Han.
Tapi melihat gelagatnya pertarungan ini sukar menentukan
kalah menang, bilamana pertandingan ini berakhir, salah satu pihak
kalau tidak mati pasti juga akan terluka parah. Dan kalau terjadi
sesuatu atas Ciamtai Biat-beng, akibatnya tentu sukar diramaikan.
Selagi semua orang serba susah, tiba-tiba tertampak si kakek
aneh tidak bergerak lagi, tangan kiri berputar setengah lingkaran
terus menyodok ke depan, waktu Ciamtai Biat-beng menangkis,
sekonyong-konyong tangan si kakek yang lain menghantam pula ke
depan, pukulan berantai ini membuat pertahanan Ciamtai Biatbeng yang rapat itu menjadi bobol.
In Lui sampai terkesima menyaksikan pertarungan mereka,
pikirnya, ''Kecuali Toasupek-ku siapa pula yang memiliki kekuatan
sehebat ini?"
Dalam pada itu mendadak pundak Ciamtai Biat-beng sedikit
mendak ke bawah, "bluk" terupa batang pohon pisang terpukul, dia
telah terkena pukulan si kakek.
?'Celaka!'? seru Thio Hong-hu, bersama beberapa Busu serentak
melompat maju.
Tapi dengan cepat sekali, begitu mendak ke bawah, sekaligus
tangan si kakek juga seperti tertarik dan tak sempat diangkatPahala dan Murka - 15 31
kembali, kesempatan ini ssgera digunakan Ciamtai Biat-beng untuk
balas menyerang, telapak tangannya terus menyabat ke pinggang
lawan.
Kakek aneh itu mendengus tertahan, mendadak ia melayang ke
aras melewati kepala para Busu, dalam sekejap saja lantas
menghilang melintasi pagar tembok.
Sekilas ln Lui merasa sorot mata si kakek melirik sekejap ke
arahnya, hatinya berdetak.
Sementara itu dua Busu yang memburu maju bermaksud
menolong Ciamtai Biat-beng yang disangkanya terluka, tak
tersangka Ciamtai Biat-beng lantas duduk bersila di lantai tanpa
bergerak, ketika kedua Busu itu hendak menjamahnya, mendadak
pundaknya bergoyang dan kedua tangan menolak, kontan kedua
Busu itu menjerit kagst dan tergetar mundur.
Cepat Thio Hong-hu mencegah Busu yang lain agar tidak
mengganggu Ciamtai Biat-beng lagi.
Kiranya pukulan si kakek aneh yang terakhir tadi telah
menggunakan tenaga raksasa yang tidak ada taranya, bila kena
dengan telak, andaikan tidak mati tentu juga Ciamtai Biat-beng
akan terluka parah. Untung dia memang sangat lihai dan sudah
kenyang pengalaman tempur, pada detik berbahaya ia mendakkan
tubuh, sebagian tenaga pukulan lawan dielakkan.
Kakek aneh itu pun tidak menyangka lawan sedemikian
tangguhnya, pukulannya ikut menyambar ke bawah dan tidak
sempat menarik kembali tangannya, maka iganya keserempet juga
oleh tabasan tangan musuh. Untung juga tenaga Ciamtai Biat-beng
terbagi waktu itu karena harus menangkis pukulan lawan, kalau
tidak si kakek sendiri pasti juga akan terluka parah umpama tidak
mati.Pahala dan Murka - 15 32
Walaupun begitu setelah dia meninggalkan tempat Thio Honghu, di luar sana ia pun tumpah darah dan harus istirahat seharian
di pondoknya baru pulih kesehatannya.
Begitulah Ciamtai Biat-beng juga mengalami gangguan tenaga
dalam dan tidak berani bersuara, ia duduk bersila untuk
mengumpulkan tenaga.
Sekilas pandang lalu Thio Hong-hu berkata kepada para Busu,
"Sudahlah, urusan sudah beres, bolehlah kalian pulang saja."
Sudah tentu hal ini kebetulan bagi para Busu, dengan demikian
mereka akan terhindar dari tanggung jawab bila terjadi sesuatu atas
diri Ciamtai Biat-beng. Maka berturut-turut mereka lantas mohon
diri. Hanya tinggal beberapa orang Busu saja yang kelihatan ada
maksud tertentu dan belum mau pergi.
In Lui tidak sabar menunggu lagi, baru saja ia hendak mendekati
Thio Hong-hu tiba-tiba dilihatnya dua orang Busu yang masih
tinggal di situ sama berseru terhadap Thio Hong-hu, "Hari masih
pagi, keadaan Ciamtai-ciangkun juga belum pulih, selain untuk
menemani Ciamtai-ciangkun di sini, kesempatan ini akan kami
gunakan untuk belajar kenal dengan kungfu Thio-taijin, kami
mohon Thio-taijin jangan sungkan untuk memberi petunjuk."
Melihat kedua Busu itu, diam-diam Thio Hong-hu merasa ragu.
Kiranya kedua Busu itu adalah jago kepercayaan Ong Beng,
Thykam yang berkuasa dalam bidang protokol negara.
Pada waktu kaisar yang sekarang masih putra makota, Ong Beng
pernah mengajar sekolah putra makota, maka sekarang dalam
kedudukannya sebagai kepala protokol istana, dia memegang juga
kekuasaan besar dan banyak membikin celaka pembesar negeri
yang setia dan jujur.Pahala dan Murka - 15 33
Kedua Busu kepercayaan Ong Beng ini adalah saudara kembar,
namanya Loh Bin dan Loh Liang. Senjata keturunan keluarga
mereka berbentuk tameng dan pedang, dengang senjata campuran
ini biasanya mengutamakan bertempur dari jarak dekat. Tapi
sekarang kedua Loh bersaudara ini justru membagi kedua makam
senjata itu, yang satu berpedang dan yang lain bertameng. Kalau
bertempur selalu maju berdua sekaligus, dengan sendirinya daya
tempur mereka pun tambah lihai.
Mereka tidak diundang oleh Thio Hong-hu, tapi mereka ikut
datang bersama Busu yang lain.
Karena itulah Thio Hong-hu lantas tahu kedua Loh bersaudara
ini tidak bermaksud baik. Maklumlah, sehabis mencmpur Giantai
Biat-beng, tenaga Thia Hong-hu dengan sendirinya banyak
berkurang. Akan tetapi di hadapan Ciantai Biat-beng tentu ia tidak
dapat mengemukakan alasannya untuk menolak tantangan kedua
Loh bersaudara itu.
Terpaksa ia menjawab dengan mendongkol, "Baiklah, jika kalian
berhasrat, terpaksa kuiringi kehendak kalian, hanya percobaan saja,
biarlah saling sentuh saja dan tidak perlu bergebrak terlalu serius."
"Tentu saja," ujar kedua Loh bersaudara. "Kalah atau menang
bukan soal bagi kita." Segera keduanya terpencar ke kanan dan kiri,
serentak mereka mengeluarkan senjata masing-masing, yaitu
pedang dan tameng.
Diam-diam In Lui gelisah, ia tidak tahu tanpa sebab kenapa mesti
bertanding apa segala. Tapi dirinya juga tamu, tentu saja tidak enak
untuk mencegah mereka, terpaksa ia menonton saja di samping.
Segera terlihat Thio Hong-hu melolos golok dan berkata,
"Baiklah, silakan mulai dahulu!"
"Thio-taijin saja silakan dulu," ujar Loh Bin.Pahala dan Murka - 15 34
Sudah tentu Thio Hong-hu tahu kedua lawan sudah siap
bertahan dan menyerang secara teratur, maka tanpa sungkan ia
berseru, "Maaf jika begitu!"
Sekali golok bergerak, dengan gerak keras segera ia hendak
memotong pergelangan tangan Loh Bin. "Trang", mendadak
tameng Loh Liang ditangkiskan.
Hal ini memang sudah diduga oleh Thio Hong-hu, maka begitu
golok membentur tameng, sewaktu golok terpental ke atas, serentak
ia sabatkan ke leher Loh Liang.
Tapi pedang Loh Bin lantas menabas juga ke bahu Thio Honghu, terpaksa Hong-hu menarik golok untuk menangkis.
Waktu Loh Liang memeriksa senjata sendiri, tamengnya
ternyata dekuk sedikit terbentur oleh golok lawan, keruan ia
terkesiap, semula ia mengira lawan sudah lelah setelah bertempur
melawan Ciamtai Biat-beng. siapa tahu tenaganya masih sekuat ini.
Ia tidak berani ayal lagi, segera ia putar tamengnya untuk
melindungi saudaranya agar dapat menyerang dengan leluasa.
Permainan pedang dan tameng keluarga Loh itu meliputi 62
jurus, kelihaiannya terletak pada tameng yang digunakan untuk
membentur senjata musuh, menindih dan sekaligus juga menabas,
baik untuk bertahan juga bagus untuk menyerang, caranya memang
lain daripada yang lain. Sedangkan pedang selalu berlindung di
bawah tameng untuk melancarkan serangan mendadak dari arah
yang tak kelihatan.
Jika dalam keadaan biasa jelas kedua Loh bersaudara ini bukan
tandingan Thio Hong-hu, tapi sekarang tenaga Thio Hong-hu sudah
banyak terbuang, debgan sendirinya daya serangnya kurang kuat,
apalagi ia ingin cepat menyelesaikan pertarungan ini dan mainPahala dan Murka - 15 35
serang melulu, dalam sekejap beberapa puluh jurus sudah
dilancarkan.
Siapa tahu kedua Loh bersaudara dapat bekerja sama dengan
sangat rapat, menyerang juga bertahan sehingga Thio Hong-hu
tidak berdaya, lambat laun tenaga pun tambah lemah.
Mendadak Loh Liang mengangkat tameng, dengan gerakan"Siok-lui hong-ting" atau geledek menghantam kepala, segera ia
mengepruk kepala Thio Hong-hu.
Hong-hu tahu tameng lawan sangat berat, hantaman ini
sedikitnya berbobot tujuh atau delapan ratus kati, dalam keadaan
tenaga sendiri sudah lemah, jelas sukar menahan serangan kuat ini,
terpaksa ia mengelak.
Tak terduga tameng Loh Liang terus membayanginya ke


Pahala Dan Murka Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

manapun dia berkelit, setiap tangkisan golok selalu dibentur dengan
keras, seketika Thio Hong hu terderak di bawah angin. Malahan
pedang Loh Bin juga menyerang dengan gencar dan bekerja sama
dengan tameng saudaranya, selalu mengincar tempat berbahaya di
tubuh Thio Hong-hu.
In Lui tidak tahu bahaya yang terkandung dalam pertarungan
itu, ia cuma heran pertarungan itu bertambah sengit dan bukan
pertandingan persahabatan 'agi.
Tiba-tiba terlihat Loh Liang berputar dengan cepat, tameng
menyabat pinggang lawan, cepat Thio Hong-hu menggeser ke
samping, berbareng golok pun balas menabas kedua kaki lawan.
Siapa tahu Loh Bin juga tidak tinggal diam, pedangnya menusuk
dari samping.
In Lui berteriak kaget, cepat sebuah Oh-tiap-piau diselentik ke
depan, tusukan Loh Bin itu tampaknya pasti akan menembus tubuh
Thio Hong-hu, tak terduga mendadak terdengar "tring", ujungPahala dan Murka - 15 36
pedang terbentur pian kupu-kupu yang disambitkan In Lui sehingga
mencong ke samping.
Tentu saja Loh Bin kaget, selagi dia hendak menegur, tiba-tiba
Ciamtai Biat-beng melompat bangun sambil berseru, "Aku memang
ingin bertempur lagi, jika kalian sudi tinggal di sini menemaniku,
sebagai tanda terima kasihku bolehlah kuiringi kalian bergerak
beberapa jurus. Silakan mundur dulu, Thio-taijin!"
Sembari berseru ia terus melompat maju, rupanya tenaganya
sudah pulih, sekali hantam tameng Loh Liang dibuatnya mencelat,
pedang Loh Bin juga kena dirampasnya dan dipatahkan menjadi
dua, selagi kedua Loh bersaudara tercengang, Ciamtai Biat-beng
terus menubruk maju lagi, satu tangan satu orang, Loh Bin dan Loh
Liang diangkatnya terus diputar, sekali bentak keduanya lantas
dilemparkan hingga jauh, kedua orang itu terbanting dengan keras
dan menjerit kesakitan untuk kemudian lantas tak sadarkan diri.
"Haha, selama hidupku pertempuran inilah yang paling
menyenangkan," seru Ciamtai Biat-beng sambil terbahak.
Ia mengangguk kepada In Lui, lalu memberi hormat kepada Thio
Hong-hu, katanya, "Maaf, aku harus mencari lagi si tua itu!"
Dengan langkah lebar ia terus meninggalkan rumah Thio Honghu. Cepat Hong-hu memeriksa keadaan kedua Loh bersaudara,
ternyata dua tulang iga Loh Bin terbanting patah, gigi depan Loh
Liang juga rompal terjatuh. Untung lemparan Ciamtai Biat-beng itu
tidak menggunakan tenaga bantingan yang kuat sehingga mereka
cuma terluka luar dan tidak membahayakan jiwanya.
Setelah Thio Hong-hu memberi obat luka seperlunya, dengan
meringis kesakitan keduanya lantas pulang dengan terseyat-seyot.
"Ai, sungguh tidak terduga," ujar Thio Hong-hu dengan gegetun.Pahala dan Murka - 15 37
"Tidak terduga apa ?" tanya In Lui.
"Selama ini aku tidak suka berhubungan dengan Ong Cin, kedua
orang ini adalah Busu kepercayaannya, tampaknya kejadian tadi
memang sengaja diatur oleh Ong Cin untuk menjatuhkan namaku,"
kata Hong-hu pula.
In Lui tidak menyangka kawanan Busu di kotaraja juga terbagi
menjadi berbagai golongan dan saling sirik, tapi dia mempunyai
urusan sendiri, maka ia tidak mau banyak bertanya.
Didengarnya Thio Hong-hu lagi bertanya,
"Eh. di manakah kawanmu Thio Tan-hong, Thio-siangkong itu?"
Muka In Lui menjadi merah, jawabnya, "Di Jing-liong-kiap kami
telah berpisah."
"Sayang," kata Hong-hu, "Jika kalian berada di sini, gabungan
pedang kalian berdua pasti dapat mengalahkan Ciamtai Biat-beng.
Selama tiga hari ini berturut dia menang sepuluh babak, untung
datang si kakek aneh itu telah mematahkan sedikit kegarangannya,
tapi keduanya sama terluka dan cuma sama kuat juga. Ai, sekali ini
pamor Busu kotaraja benar-benar runtuh habis-habisan."
"Tapi engkau kan tidak sampai dikalahkan Ciamtai Biat-beng,"
ujar In Lui dengan tertawa
"Untung kakek itu datang tepat pada waktunya, kalau tidak,
bukan saja kalah, mungkin jiwa pun akan melayang," ujar Hong-hu.
"Entah cara bagaimana munculnya kakek itu, sedemikian banyak
orang hadir ternyata tidak ada yang tahu kedatangannya. Ciamtai
Biat-beng juga aneh kelakuannya, jika tadi dia tidak ikut campur,
mungkin aku pun sukar terhindar dari maksud keji kedua Loh
bersaudara. Ai, sesungguhnya aku pun harus berterima kasih atas
sambitan Oh-tiap-piau tadi."Pahala dan Murka - 15 38
Karena ada urusan, In Lut tidak sabar untuk bicara hal-hal lain,
segera ia tanya, "Thio-taijin, kedatanganku ini sesungguhnya ada
suatu urusan perlu memohon bantuanmu."
"Urusan apa, silakan bicara."
"Bawahanmu perwira muda she In itu, kumohon dipertemukan
dengan dia," pinta In Lui.
Thio Hong-hu berkedip-kedip, tanyanya dengan heran "Apakah
kedatanganmu ke kota-raja hanya untuk urusan ini?"
"Betul," jawab In Lui.
"Antara dirimu dengan In-tongling ada hubungan famili apa,
mengapa tidak pernah kudengar ceritanya?"
"Hanya sama she saja, maka ingin belajar kenal" kata In Lui.
"Di dunia ini banyak orang sama she, alasannya tidak masuk
akal," demikian pikir Hong-hu.
Didengarnya In Lui berkata pula, "Bila Thio-taijin sibuk, mohon
memberitahukan alamatnya saja, akan kucari dia langsung."
Tiba-Tiba Thio Hong-hu tersenyum, katanya, "Urusan ini boleh
kita rundingkan nanti, marilah bicara di dalam saja."
Karena perlu keterangan, In Lui tidak berani mendesak lebih
lanjut, Ia ikut masuk di ruangan tamu. Thio Hong-hu menyuruh
pelayan membawakan teh, lalu minta maaf untuk ganti pakaian.
Rupanya setelah bertanding dengan Ciamtai Biat-beng tadi, baju
Thio Hong-hu terobek juga oleh sabatan tangan lawan.
Selesai Thio Hong-hu ganti baju dan keluar lagi, dengan tak
sabar In Lui lantas tanya, "Thio-taijin, sesungguhnya In-tongling itu
tinggal dimana ?"Pahala dan Murka - 15 39
Dengan tenang Hong-hu minum dulu seceguk teh, lalu
menjawab dengan tersenyum, "Rasanya sukar bagimu untuk
menemui In-tongling."
In Lui terkejut, "Hah, memangnya terjadi apa-apa atas dirinya?"
Rasa kuatirnya dengan sendirinya kelihatan pada air mukanya,
hal ini dapat dilihat oleh Thio Hong-hu. dengan tersenyum ia
menjawab, "Memang ada sesuatu kejadian di luar dugaan, tapi
kejadian ini tidak merugikan dia, soalnya dia dipenujui
Hongsiangsing (Sri Baginda) dan telah dipindah tugas ke dalam
istana sebagai pengawal pribadi sehingga tidak dapat keluar-masuk
lagi dengan bebas, makanya kubilang sukar untuk menemuinya."
"Wah, lantas bagaimana baiknya?" kata In Lui.
"Jika ingin kau temui dia, setengah bulan lagi mungkin ada
kesempatan."
"Mohon petunjuk," pinta In Lui.
"Setengah bulan lagi akan diselenggarakan ujian Bu-cong-goan,
Jianli-heng sudah mendaftarkan diri, mengingat ilmu silatnya yang
tinggi dan pengertiannya tentang siasat militer pun cukup dalam,
harapannya untuk terpilih sangat besar, bila dia terpilih, tentu
Hongsiang akan memberi sesuatu jabatan padanya serta
menganugrahi tempat tinggal lain, dengan begitu dia tidak perlu
lagi menjadi pengawal istana."
In Lui sangat kecewa, segera ia hendak mohon diri, tapi Thio
Hong-hu menahannya lagi untuk berbicara mengenai kejadian di
Jing-liong-kiap tempo hari, berulang ia memuji kehebatan Thio
Tan-hong yang banyak akalnya sehingga nama baik dan kedudukan
dirinya dengan putra Ciu Kian dapat dipertahankan.
Hati In Lui berdetak pula karena orang menyinggung Thio Tanhong, hal ini dapat dilihat juga oleh Hong-hu ia tambah heran, tiba-Pahala dan Murka - 15 40
tiba ia tanya, "Thio Tan-hong itu apakah betul putra Thio Congciu?"
"Betul," jawab In Lui.
"Wah, jika begitu sungguh serupa teratai yang tumbuh di tengah
pecomberan dan tidak ikut menjadi kotor," ujar Hong-hu. "Dari
tindak-tanduknya sesungguhnya dia seorang putra patriot sejati.
Sungguh aneh juga, dalam segala hal Jianli-heng harus dipuji, hanya
pandangannya terhadap Tan-hong terlampau rikuh dan sukar
berubah, dia membencinya sampai merasuk tulang sungsum."
Hati In Lui terasa pedih dan tidak dapat bicara.
Tiba-tiba Thio Hong-hu bertanya pula, "Engkau juga datang dari
Mongol?'?
'Waktu kecil pernah tinggal di sana."
"Jika begitu sejarah hidupmu tidak banyak berbeda dengan
Jianli-heng," ujar Hong-hu. "Apakah kautahu orang macam apakah
pangeran Mongol dan Ciamtai Biat-beng yang datang ini?"
"Belum genap berumur tujuh tahun aku sudah meninggalkan
Mongol, maka sangat sedikit pengetahuanku mengenai negeri
Mongol," jawab In Lui. "Untuk apakah Taijin mencari keterangan
mengenai kedua orang ini."
(Bersambung Jilid ke 16)Pahala dan Murka - 16 0Pahala dan Murka - 16 1
PAHALA DAN MURKA
Oleh : gan k.l.
Jilid ke 16
OALNYA ada suatu urusan yang mengherankan dan
sampai kini belum dapat diputuskan oleh pemerintah,"
tutur Hong-hu. "Pangeran Mongol itu bernama Aji,
jabatannya di negeri Watze adalah Citcing (mangku-bumi,
pelaksana pemerintahan), kekuasaannya di atas para pangeran,
hanya di bawah perdana menteri Yasan. Kedatangannya ini ingin
mengadakan perdamaian dengan negeri kita, untuk itu mereka
mengajukan tiga syarat. Pertama ratusan li diluar Gan-bun-koan
harus diakui sebagai wilayah kekuasaan mereka, Gan-bun-koan
dijadikan tapal batas kedua negara. Kedua. menukar kuda Mongol
dengan alat besi Tiongkok. Ketiga putri kerajaan diminta di
jodohkan dengan putra raja Watze yang bernama Totopua."
"Ih-taijin berusaha menolak ketiga syarat yang diajukan itu,
alasannya, sejengkal tanah negeri kita takkan diberikan kepada
siapapun. Bilamana Watze diberi alat besi, hal ini tentu akan
menambah kekuatan persenjataan mereka dan berarti akan
merupakan ancaman bagi negeri kita sendiri, maka tidak mungkin
dipenuhi. Mengenai lamaran terhadap Tuan Putti, meski hal ini
urusan rumah tangga keluarga kerajaan, tapi juga menyangkut
pamor negara dan bangsa, maka sebaiknya juga ditolak."
"Ih Kiam adalah menteri yang jujur dan setia, kenapa urusan ini
diherankan?" tanya In Lui.
"Ih Kiam berpendirian keras dan menolak perdamaian, dengan
sendirinya tidak mengherankan. Yang aneh adalah menteri dorna
semacam Ong Cin ternyata juga menentang perdamaian. Padahal
urusan Ong Cin diam-diam mengadakan kontak dengan pihakPahala dan Murka - 16 2
Watzo sudah kita dengar. Wilayah ratusan li di luar Gan-bun-koan
adalah daerah pengaruh Kim-to Ciu Kian dan terlepas dari perintah
kerajaan. Karena itulah Ong Cin sangat benci kepada Ciu Kian,
selama belasan tahun ini sering dia mengirim perintah rahasia
kepada panglima penjaga Gan-bun-koan agar bersekongkol dengan
pihak Watze untuk memberantas Ciu Kian. Maka sekali ini kami
mengira dia pasti akan sekalian mengambil hati orang Mongol dan
menyerahkan wilayah luar Gan-bun-koan kepada Watze, siapa tahu
dia juga menentang persetujuan ini. Pula, mengenai tukar menukar
alat baja negeri kita dengan kuda Mongol memang sudah lama
dilakukan oleh Ong Cin."
"Bisa jadi dia merasa berdosa atas perbuatannya yang lalu, maka
sekarang tidak berani lagi terang-terangan membantu pihak
musuh," kata In Lui.
"Manusia durjana seperti Ong Cin, urusan apapula yang tidak
berani dikerjakannya, apalagi begundalnya sudah memenuhi
pemerintahan pusat, sampai kaisar sendiri juga segan padanya,"
ujar Thio Hong-hu. "Apalagi Sri Baginda sekarang sangat takut
urusan, jika Ong Cin juga setuju berdamai dengan pihak Watze,
tentu persetujuan ini sudah ditanda tanganinya."
"Urusan pemerintahan memang tidak kupahami," kata In Lui.
"Tapi ada yang lebih aneh lagi, yaitu selain Ong Cin tidak setuju
damai, bahkan dia menyarankan agar utusan Mongol ini ditahan
saja, sebaliknya Ih Kiam tidak setuju pada usulnya ini. Padahal
selama ini Ong Cin diam-diam berhubungan dengan pihak Watze,
maka diam-diam semua orang merasa heran atas sikapnya yang
luar biasa ini."
Teringat kepada kakeknya yang diutus ke negeri Watze dan
ditahan di sana untuk mengangon kuda selama 20 tahun, tanpa
terasa In Lui menjadi penasaran, katanya, "Dua negeri bermusuhanPahala dan Murka - 16 3
juga tidak boleh membunuh utusan, juga tidak pantas menahan
utusan negeri lawan."
"Kupaham dalil ini, cuma usul menahan utusan juga datang dari
Ong Cin, inilah yang membuat orang tidak mengerti," kata Honghu. Setelah bicara sekian lama, cuaca sudah mulai gelap, Thio Honghu menyuruh pelayan menyediakan santapan dan bertanya kepada
In Lui, "In-siangkong tinggal di mana, kalau tidak keberatan,
bagaimana kalau pindah saja ke sini."
Mengingat dirinya sendiri adalah orang perempuan, tentu
banyak kurang leluasa, maka In Lui menolak undangan ini.
Diam-diam Thio Hong-hu merasa In Lui serupa anak perawan
pingitan saja dan tidak bebas seperti Thio Tan-hong.
Waktu makan, In Lui tanya lagi alamat Ih Kiam.
"Apakah engkau ingin menemui Ih-taijin?" tanya Hong-hu,
"Akhir-akhir ini beliau sangat sibuk, umpama dia mau menemuimu,
mungkin penjaga takkan mengizinkan permintaanmu."
Namun begitu ia tetap memberitahukan alamat Ih Kiam.
Selesai makan malam, In Lui lantas mohon diri.
Ketika mengantar ke luar pintu, Thio Hong-hu menyinggung
Thio Tan-hong lagi, katanya dengan tertawa, "Bilamana kawanmu
itu juga datang ke kotaraja sini, nanti kalau Jianli-heng sudah
terpilih menjadi Buconggoan, tentu akan kuundang mereka, aku
ingin menjadi juru damai bagi mereka. Dan engkau hendaknya juga
suka menjadi pendamping."
In Lui tertawa kecut, katanya, "Maksud baik Thio-taijin yang
simpatik sungguh harus dipuji. Terima kasih atas pelayananmu
tadi,"Pahala dan Murka - 16 4
Lalu ia mohon diri dan pulang ke tempat pondokan.
Semalam suntuk ini In Lui tidak dapat pulas, sebentar teringat
kepada Thio Tan-hong, lain saat memikirkan sang kakak.
Teringat dirinya cuma mempunyai satu-satunya kakak ini,
sekarang dirinya datang mencarinya dari tempat jauh, namun sang
kakak justru sudah dipindah menjadi jago pengawal di dalam istana.
Walaupun nanti kalau sang kakak terpilih menjadi Buconggoan
masih ada harapan untuk bertemu, tapi urusannya belum pasti,
bukan mustahil akan terjadi hal-hal yang tak terduga.
Diam-diam ia menyesali nasib sandiri yang sengsara, sampai
satu-satunya sanak keluarga sendiri juga sukar ditemuinya.
Teringat kepada sanak saudara, tiba-tiba teringat olehnya akan
Thio Tan-hong.
Meski Tan-hong bukan sanak saudaranya, tapi setiap kali In Lui


Pahala Dan Murka Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

teringat padanya, entah mengapa lantas timbul semacam rasa
akrab, ucapan Thio Hong-hu seakan mengiang kembali di lelinga.
Dari Thio Tan-hong lantas teringat pula akan Ih Kiam, ia
mengeluarkan surat Tan-hong yang minta supaya disampaikan
kepada Ih Kiam itu, melihat tulisan yang indah itu seolah-olah
melihat orangnya.
Terpikir olehnya, "Baru pertama kali ini Tan-hong masuk ke
pedalaman sini, mengapa dia kenal Ih Kiam dan menulis surat
perkenalan ini bagiku?"
Tapi mengingat cara kerja anak muda itu biasanya sangat cermat
dan pasti tidak akan salah, juga tidak pernah berdusta, tentu ada
alasannya dia menulis surat ini.
Lantas timbul juga keraguannya, "Bila kuminta bertemu dengan
Ih Kiam dan tidak diperbolehkan masuk oleh penjaga pintu, lalu
bagaimana? Apakah harus kuterjang masuk dengan kekerasanPahala dan Murka - 16 5
serupa kumasuk ke rumah Thio Hong-hu tadi? Padahal Ih Kiam
adalah seorang menteri, mana boleh sembarangan bertindak di
rumah pembesar tinggi begitu? Ah, biarlah kutemui dia malam hari
saja, dengan ginkangku rasanya tidak sulit bagiku untuk masuk ke
tempat tinggalnya."
Besoknya In Lui sudah cukup istirahat, malamnya, setelah
istirahat dan lewat tengah malam ia lantas ganti pakaian peranti
keluar malam dan diam-diam mengeluyur keluar hotel terus
menuju ke tempat tinggal Ih Kiam yang sudah diketahuinya pada
siang harinya.
Tempat tinggal Ih Kiam ternyata sebuah rumah biasa saja serupa
rumah penduduk umumnya, hanya lebih luas, di belakang ada
sebuah taman kecil.
Diam-diam In Lui gcgeiun, betapapun seorang pembesar jujur,
dari tempat tinggalnya saja sudah dapat menilai bagaimana
pribadinya.
Dengan enteng ia melayang ke atas rumah sehingga tertampak
jelas suasana sekelilingnya. Tertampak kamar di samping taman
sana ada jendela beruji kembangan dan diberi gorden sutera tipis,
kelihatan ada cahaya lampu di dalam kamar.
In Lui pikir tentu inilah kamar Ih Kiam, jika masih ada cahaya
lampu, tentu dia belum tidur.
Dengan langkah pelahan ia mendekati kamar orang, terdengar
ada suara percakapan di dalam, setelah didengarkan dengan
cermat, seketika jantung In Lui berdetak. Ternyata suara itu
dikenalnya sebagai suara Thio Tan-hong.
Apakah ini di dalam mimpi? Mengapa mendadak dia datang ke
sini?Pahala dan Murka - 16 6
Semalam baru saja ia mimpi si dia, sekarang mendengar
suaranya lagi, tapi rasanya tidak ingin menemuinya. Namun
betulkah tidak ingin menemuinya? Tidak, sesungguhnya betapa
hasratnya ingin melihatnya, walaupun cuma mengintipnya sekejap
saja.
Pelahan In Lui mendekati jendela dan mengintip, dari balik
jendela timbul dua sosok bayangan, satu di antaranya memang
betul Tan-hong adanya. Seketika In Lui tertegun.
Didengarnya Tan-hong lagi berkata, "Meski Totopua adalah raja
Watze, tapi kekuasaan militer berada di tangan Yasan. Selain itu Aji
juga memegang sebagian kekuasaan militer. Sebab itulah keadaan
negeri sesungguhnya terletak di tangan tiga orang. Sekali ini Ong
Cin berpendirian menahan Aji, kukira gagasan ini datang dari Yasan
yang ada hubungan rahasia dengan dia."
"Apa tujuannya?" tanya Ih Kiam.
"Pinjam golok membunuh orang, sekaligus melemahkan
kekuatan lawan," tutur Tan-hong, "Kutahu pribadi Yasan ini sangat
ambisius, biasanya suka anggap dirinya sebagai ahliwaris Jengis
Khan. Lambat atau cepat dia pasti akan merebut kekuasaan.
Sedangkan Aji lebih dekat dengan Totopua, jika dia tumpas Aji dulu,
tentu akan terbuka jalan lebih mudah baginya untuk merebut
kekuasaan kelak."
"Dari keterangan Anda, pikiranku jadi terbuka," ucap Ih Kiam
dengan gegetun. "Sungguh harus disesalkan, pemerintah kami
ternyata sedikit pun tidak tahu seluk-beluk pihak musah."
"Bila pihak Watze timbul huru-hara di bagian dalam, ini berarti
keuntungan bagi kerajaan Bing," kata Tan hong sambil tersenyum
getir dan memandang ke jendela.Pahala dan Murka - 16 7
Cepat In Lui mendak ke bawah, pikirnya, "Thio Tan-hong dan
raja Bing adalah musuh keturunan, tapi dia ternyata mau berpikir
bagi kepentingan raja Bing."
Didengarnya Tan-hong berkata pula, "Sebenarnya Ciamtai Biatbeng adalah bangsa Kan yang dilahirkan di negeri Watze, dia
berhubungan sangat baik dengan Aji, kemarin sudah kutemui dia
dan mohon dia membujuk ayahku agar mengutamakan kebenaran,
supaya ikut mendorong dan membakar agar kerajaan Watze terjadi
kekacauan di dalam."
"Dan ayahmu mau?" tanya Ih Kiam.
"Terus terang, beliau memang bercita-cita merebut bumi
kerajaan Bing ini, tapi dia juga tidak pernah lupa dirinya adalah
bangsa Han. Maka urusan ini akan berhasil atau gagal masih sukar
diramal."
"Mengapa Anda tidak pulang dan membujuk sendiri ayahmu?"
tanya Ih Kiam pula.
"Kedatanganku ke daerah pedalaman ini masih ada suatu urusan
penting, ingin kuambil sesuatu benda mestika yang menyangkut
nasib negara dan bangsa, sebab itulah aku tidak dapat segera
pulang."
"Mengharapkan pemberontakan di dalam Watze sandiri masih
belum dapat dipastikan, sebaliknya penyerbuan Watze ke sini
tampaknya sudah di ambang pintu, inilah yang menjadi soal."
"Wilayah Tiongkok beratus kali lebih luas daripada negeri Watze,
apabila rakyatnya dapat bersatu, musuh macam apa pun tidak perlu
ditakuti."
"Celakanya justru tidak ada persatuan."
"Di Tiongkok banyak panglima perang dan menteri bijaksana,
asalkan Taijin mau mempersatukan mereka, kuyakin semangatPahala dan Murka - 16 8
patriotik rakyat pasti akan terbangkit untuk menghadapi musuh
bersama."
"Anda sendiri seorang berbakat, mengapa engkau tidak sudi
berjuang bagi pemerintah?"
"Setiap orang mempunyai cita-cita sendiri, pula seorang lelaki
sejati dalam tugasnya membela negara dan bangsa tidak selalu
harus bekerja pada pemerintah."
Seketika Ih Kiam terdiam.
Tan-hong merasa ucapannya agak melampaui batas, cepat ia
menyambung lagi dengan tertawa, "Sudah barang tentu lain
soalnya Taijin yang merupakan soko guru pemerintah disini."
Dari luar In Lui dapat mengikuti percakapan mereka,
semangatnya pun tergugah demi mendengar uraian Tan-hong yang
berjiwa patriot itu. Selain heran ia pun bersyukur bahwa dirinya
ternyata tidak salah menilai anak muda itu, Tan-hong ternyata
benar pemuda yang berdarah panas. Seketika dirasakan
permusuhan kedua keluarga yang membikin susah keturunannya
sesungguhnya keterlaluan dan tidak ada artinya.
Terdengar Tan-hong berkata pula, "Dengan menyerempet
bahaya kumasuk ke kota-raja dan menghadapi Taijin, syukur Taijin
tidak menaruh curiga padaku dan menerimaku dengan baik.
Sungguh biarpun tubuhku hancur lebur pun sukar membalas
kebaikan Taijin ini. Malam sudah larut, Taijin perlu istirahat,
biarlah kumohon diri saja."
Ih Kiam termenung sejenak, katanya tiba-tiba, "Bilakah kita
bertemu lagi?"
"Bila perlu bertemu tentu akan kuhadap Taijin di sini," jawab
Tan-hong.Pahala dan Murka - 16 9
"Sungguh tidak nyana meski baru pertama kali kita bertemu,
namun terasa serupa sahabat lama saja," ujar Ih Kiam. "Bahwa pada
hari tua dapat kukenal sahabat seperti dirimu, sungguh bahagia
bagiku. Kutahu Thio-heng serba pandai, sekadar tanda mata sudilah
engkau menuliskan beberapa bait syair pada sebuah lukisan yang
baru kudapatkan ini."
"Mana berani kupamer tulis di depan Taijin, tapi bila Taijin
memang menghendakinya, baiklah aku menurut saja," jawab Tanhong.
Lalu terdengar suara goresan pensil di atas kertas dengan cepat,
jelas cara Tan-hong menulis sangat lancar dan kuat.
Lalu terdengar Ih Kiam mendeklamasikan syair yang ditulis Tanhong itu dengan suara yang mengharukan. Menyusul terdengar
Tan-hong mohon diri, Ih Kiam membuka pintu dan suara Tan-hong
melangkah keluar.
Dalam sekejap itu pikiran In Lui serasa sangat kusut, apakah
harus menemui pemuda itu atau tidak, seketika sukar diputuskan.
Didengarnya Tan-hong sudah melangkah keluar dan sedang
minta Ih Kiam jangan mengantar lebih jauh. Selagi In Lui hendak
melompat keluar untuk menemui anak muda itu, tiba-tiba angin
mendesir dari belakang, bagian pinggang seperti tertutuk sesuatu,
waktu In Lui meraba, ternyata pedang pusaka Jing-an-pokiam
pemberian gurunya telah di curi orang, hanya tersisa sarung pedang
saja.
Sungguh kejut In Lui tak terhingga, ia tidak berani bersuara
melainkan hendak menghantam ke belakang, tapi lengan segera
kesemutan, bayangan orang berkelebat di sampingnya, sia-sia In
Lui memiliki kepandaian tinggi, tahu-tahu hiat-to kelumpuhannya
sudah tertutuk orang, bahkan tubuhnya lantas dikepit orang terus
dibawa lari, ingin bersuara pun tidak dapat.Pahala dan Murka - 16 10
Hanya sayup-sayup teidengar suara Tan-hong berseru,
"Lepaskan dia, lepaskan dia! Eh, adik cilik, ternyata betul dirimu?!"
Agaknya Tan-hong terus mengejar dari belakang, namun
langkah orang itu sungguh cepat luar biasa, berada dalam kepitan
orang In Lui merasa seperti mengapung di udara. Padahal ginkang
Tan-hong sudah jarang ada bandingannya di dunia kangouw, tapi
orang ini terlebih cepat daripada Tan-hong, hanya sebentar saja
anak muda itu sudah tertinggal di belakang.
Kejut dan dongkol pula In Lui, namun tak berdaya. Tiba liba
terasa orang menepuk punggungnya sekali, lalu dirinya diturunkan
perlahan di atas tanah.
Seketika In Lui merasa darah berjalan lancar, anggota badan
dapat bergerak lagi dengan leluasa, sedang ia hendak umbar rasa
gemasnya, waktu mendongak, dilihatnya orang yang mengepitnya
ini ternyata tak-lain-tak-bukan ialah si kakek aneh yang kemarin
telah menghantam Ciamtai Biat-beng dengan Tai-lek-kim-kong-jiu
itu. Seketika In Lui menelan kembali caci maki yang hampir
dilontarkan itu. Dilihatnya si kakek sedang memainkan pedang
pusakanya lalu menatap In Lui dengan sorot mata tajam dan
bertanya, "Apakah gurumu ialah Hui-thian-liong-li Yap Eng-nng
dari Siau-han-san?"
In Lui mengiakan.
Si kakek menghela napas, katanya, "Sudah belasan tahun kami
tidak berjumpa, melihat pedang serupa melihat orangnya. Bahwa
dia mau memberikan Jing-an-pokiam kepadamu, agaknya dua hal
yang harus dikerjakannya kini sudah terlaksana dengan baik."
Seperti sudah diceritakan, belasan tahun yang lalu Hui-thianliong-li dan Cia Thian-hoa melanggar peraturan gurunya yangPahala dan Murka - 16 11
melarang mereka saling mengajarkan ilmu pedang masing-masing,
maka Hui-thian-liong-li dihukum bertapa 15 tabun di Siau-han-san
oleh Hian-ki Itsu serta diberi dua tugas dalam waktu 15 tahun itu.
Pertama, dia diharuskan meyakinkan dua jenis kungfu yang sangat
sulit dilatih. Kedua, harus mendidik seorang murid yang mahir
memainkan ilmu pedang Hian-ki-kiam-hoat.
Peristiwa ini pernah In Lui mendengar cerita gurunya. Sekarang
hal ini disinggung lagi oleh kakek ini, maka dia tidak sangsi lagi
terhadap pribadinya, cepat ia memberi hormat dan bertanya,
"Apakah Cianpwe ini Kim-kong-jiu Tang-toasupek adanya?"
Kakek aneh itu memang betul Tai-lik-kim-kong-jiu Tang Gak, dia
terbahak, "Haha. kau anak dara ini memang pintar juga. Kemarin
kulihat dirimu di tempat kediaman Thio Hong-hu dengan
menyandang pedang pusaka ini, hal ini sudah menarik perhatianku,
cuma engkau menyaru sebagai lelaki, maka tidak berani kusapa
dirimu. Ternyata benar juga kau ini murid keponakanku. Apakah
kau tahu sebab apa kularang kau turun tangan?"
"Oo?" In Lui bersuara bingung, sebab ia merasa tidak pernah
bermaksud turun tangan menyerang siapa pun.
"Tadi bukankah engkau bermaksud menyerang Thio Tan-hong
itu? Jika kau bunuh dia berarti salah besar tindakanmu," kata Tang
Gak. Ia Lui serba susah karena salah paham arang, tapi ia berlagak
pilon dan tanya pula, "Salah bagaimana?"
"Meski Thio Tan-hong itu putra Thio Cong-ciu, tapi dari tindaktanduk dan tutur katanya, dia adalah pemuda berjiwa patriot,
Kemarin sesudah aku bertempur dengan Ciamtai Biat-beng.
malamnya telah kuselidiki tempat pondokan pangeran Mongol,
kudengar Thio Tan-hong sedang bicara dengan Ciamtai Biat-beng,
kiranya mereka sedang berunding suatu urusan rahasia yang sangatPahala dan Murka - 16 12
penting, urusan ini tidak perlu kau ketahui, pokoknya urusan ini
menguntungkan negara kita. Sebab itulah tujuanku yang semula
hendak menghantam sekali lagi pada Ciamtai Biat-beng lantas
kubatalkan juga."
In Lui hanya tersenyum saja, sebab urusan ini memang sudah
diketahuinya.
Terdengar Tang Gak menyambung lagi, "Coba pikir, jika kau
bunuh dia, bukankah berbuat kesalahan besar. Pula, kungfumu
sesungguhnya juga bukan tandingannya. Eh, tentunya engkau
belum pernah melihat kepandaiannya bukan?"
"Pernah melihat sekadarnya," jawab In Lui.
"O, jika begitu engkau tambah salah lagi," ujar Tang Gak.
"Janganlah terdorong oleh rasa ingin menang seketika sehingga
lupa pada kekuatan sendiri. Eh, siapa namamu?"
"In Lui."
"Aha," seru Tang Gak. "Sengaja dicari sukar bertemu, tanpa
dicari malah berjumpa disini. Kiranya kau inilah adik perempuan In
Tiong, sungguh bagus sekali. Ah, pantas juga meski tahu bukan
tandingannya engkau tetap akan membunuh Thio Tan-hong."
Kembali In Lui serba susah untuk menjawab.
Terdengar Tang Gak melanjutkan, "Semalam kudengar Thio
Tan-hong menyatakan akan menemui Ih Kiam, maka aku pun ikut
kemari. Tapi dalam perjalanan aku terganggu oleh suatu urusan
kecil sehingga datang terlambat, setiba disini kulihat dia baru keluar
dan entah apa yang telah mereka bicarakan, apakah dapat kau
dengar?"
In Ltii tidak ingin banyak bicara, jawabnya singkat, "Aku pun
tidak jelas, yang kudengar cuma Watze dan Totopua segala, katanya
negeri Watze akan kacau sendiri dan entah apa lagi."Pahala dan Murka - 16 13
"Ah, betul kalau begitu," kata Tang Gak. "Konon In Tiong juga
berada disini, apakah kalian kakak beradik sudah berjumpa?"
"Koko sudah dipindah menjadi jago pengawal dalam istana,"
tutur In Lui.


Pahala Dan Murka Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tang Gak menghela napas, "Cita-cita anak ini tidak salah, tapi
jalan pikirannya bahwa untuk membalas sakit hati leluhur dan
membela negara harus berusaha mendapatkan pangkat dulu, jalan
pikiran ini tidak tepat."
"Ya. menteri dorna berkuasa, pembesar jujur tidak mendapatkan
tempat penyaluran yang tepat, ucapan Toasupek memang betul
juga."
Isi surat Tang Gak kepada Ciu Kian tempo hari juga pernah
berkata serupa ini, maka Tang Gak lantas berkata, "O, rupanya kau
pun membaca suratku itu. Sayang anak Tiong tidak paham dalil ini.
Jika begitu, agaknya sukar bagi kita untuk menemuinya."
"Setengah bulan lagi mungkin ada kesempatan," tutur In Lui,
latu ia memberitahukan apa yang dikatakan Thio Hong-hu itu.
"Kepulanganku ke sini secara mendadak juga ada suatu urusan
sangat penting dan mendesak yang harus kusampaikan kepada
kakek-gurumu, maka tidak sempat kukunjungi Kim-to Ciu Kiam
yang sudah lama kukagumi itu," tutur Tang Gak. "Waktu lalu di
kotaraja sini, sekalian kuselidiki berita tentang anak Tiong, maka
takdapat kutinggal lama di sini. Nanti bila bertemu dengan
kakakmu boleh sampaikan apa yang kubicarakan ini kepadanya."
In Lui mengangguk.
Lalu Tang Gak berkata lagi, "Jika kalian ingin menuntut balas
kepada keluarga Thio. menurut peraturan Bu-lim aku tidak boleh
ikut campur. Cuma Thio Tan-hong itu sudah jelas kaum pendekar
kita, bahkan permusuhan angkatan tua juga tidak ada sangkut-Pahala dan Murka - 16 14
pautnya dengan dia, kalau dapat dihapuskan hendaknya sudahi saja
permusuhan ini. Namun kakakmu adalah putra sulung, soal
menuntut balas harus kauturut kepada keputusannya Boleh kau
sampaikan perkataanku ini kepadanya supaya dipertimbangkan
olehnya."
Menurut peraturan Bu-lim, urusan permusuhan yang
menyangkut orang tua atau leluhur, biarpun guru dan orang yang
lebih tua hanya dapat membujuk saja dan takdapat memberi
perintah untuk merintanginya menuntut balas, sebab itulah Tang
Gak menyatakan pendiriannya itu.
Lalu Tang Gak menyambung lagi, "Mengenai Thio Cong-ciu itu
apakah orang baik atau busuk belum kuketahui. Sedang Thian-hoa
Sute terkurung di istana Mongol juga belum jelas kabar beritanya.
Kedatanganku ini untuk menemui Sucotnu adalah ingin memohon
beliau mempercepat masa hukuman gurumu agar lebih dini
dibebaskan."
"Saat ini mungkin Jisupek juga sudah berada di Siau-han-san,"
tutur In Lui, lalu ia menceritakan sekedarnya berita tentang Tiauim Hwesio.
"Haha, bagus!" seru Tang Gak tertawa. "Kami berempat saudara
seperguruan tampaknya akan bergerak secara besar-besar lagi di
tapal batas sana. Malahan Sucomu mungkin juga akan ikut terseret
turun gunung."
Hian-ki It-su sudah mengasingkan diri selama lebih 30 tahun,
sekali saja In Lui belum pernah melihat orang tua itu, pikirnya, "Jika
sampai Suco ikut terseret turun gunung, maka urusan ini pasti
sangat penting dan sukar diselesaikan."
Tapi urusan yang menyangkut orang tua tak enak
ditanyakannya.Pahala dan Murka - 16 15
Melihat malam sudah tambah larut, Tang Gak berkata, "Sudah
dekat fajar, pagi-pagi aku harus meninggalkan kotaraja. Kautinggal
di mana, aku tidak antar lagi."
"Tinggal di hotel," jawab In Lui. "Silakan Toasupek, selamat
jalan."
Saat itu mereka berdiri di tepi sebuah empang, di bawah cahaya
rembulan air berkilauan dan kelihatan dua bayangan orang.
Tiba-tiba Tang Gak menghela napas, katanya, "Belasan tahun
hidup merana di negeri es, sampai rambut ubanan seluruhnya. Ai,
sang waktu lewat dengan cepatnya. Bila mengingat waktu berpisah
dengan gurumu dahulu, ketika itu gurumu juga serupa dirimu
sekarang . . . ."
Tergerak hati In Lui, terpikir olehnya hubungan cinta antara
gurunya dengan Sam-supek, juga bingung terhadap ucapan Toasupeknya sekarang ini.
Waktu ia berpaling, ternyata sang paman guru sudah pergi jauh.
Segera In Lui memutar kembali ke arah tadi, ia tidak pulang ke
hotel melainkan berlari menuju ke rumah Ih Kiam. Waktu tiba di
tempat tujuan, terdengar kentungan berbunyi empat kali.
Dilihatnya cahaya lampu di kamar Ih Kiam masih menyala.
Tentu ?aja In Lui heran, "Eh, dia belum lagi tidur."
Pelahan ia mendekati pintu kamar dan mengetuk beberapa kali.
Segera Ih Kiam membuka pintu, sapanya dengan tersenyum,
"Silakan masuk, nona In, sudah lama kutunggu kedatanganmu."
In Lui menyamar sebagai lelaki, sepanjang jalan tidak diketahui
siapa pun, sekarang langsung Ih Kiam menyebutnya nona, hal ini
membuatnya terkesiap.Pahala dan Murka - 16 16
Dengan tersenyum Ih Kiam berkata pula, "Sebelumnya Thio
Tan-hong sudah menceritakan urusanmu kepadaku, baru sekarang
kau datang menemuiku."
Melihat sikapnya yang ramah ini. In Lui merasa seperti
berhadapan dengan orang tua sendiri, tanpa terasa air matanya
bercucuran, ia menyembah dengan berlutut di lantai.
Cepat Ih Kiam membangunkannya, katanya. "Pada waktu aku
ujian Hanlim (gelar kesusatraan) dahulu, kakekmu yang menjadi
pengujinya. Kalau sudi, bolehlah kusebut engkau sebagai Titli
(keponakan perempuan)."
Mendengar kakeknya disinggung, In Lui tambah berduka,
katanya dengan tersendat. "Cara bagaimana kematian kakek, apa
betul atas titah Hongsiang? Apa paman tahu duduknya perkara?"
Ih Kiam menyuruh in Lui duduk dulu dan menuangkan secangkir
teh panas, lalu berkata, "Tenanglah, dengarkan ceritaku. Pada tahun
kakekmu mengalami musibah, saat itu aku menjabat sebagai Pengpo-si-long (wakil menteri pertahanan), berita buruk kakekmu yang
meninggal di Gan-bun-koan membuatku dan para pembesar negeri
sama kaget dan duka. Semuanya merasa penasaran dan
menganggap kematian kakekmu itu tidak adil. Ada seorang menteri
yang tidak takut mati lantas mengajukan petisi untuk memprotes
kematian kakekmu yang penasaran itu dan memohon Hong-siang
merehabilitir nama baik kakekmu serta diberi anugrah yang layak.
"Setelah Sri Baginda menerima petisi itu, dengan tak acuh ia
menyatakan tidak tahu menahu tentang kematian kakekmu dan
berjanji akan mengusut perkara ini. Akan tetapi semua itu cuma
omong kosong belaka sebab yang berkuasa di belakang layar adalah
si orang kebiri Ong Cin. Akibat daripada petisi itu justru para
pembesar yang ikut mendukungnya sama menerima ganjaran
dipecat atau dipindah tugaskan, bahkan ada yang difitnah danPahala dan Murka - 16 17
dijatuhi hukuman mati. Waktu itu akupun dipindah dinas ke
Kangsai untuk menjadi bupati di sana."
"Sungguh manusia kebiri yang jahat." kata In Lui dengan gusar.
"Kiranya kakek adalah korban fitnahnya. Sebab apakah dia
membikin celaka kakek?"
"Kemudian baru kami tahu persoalannya," tutur Ih Kiam.
"Rupanya keparat Ong Cin itu sudah lama bersekongkol dengan
Yasan, sudah lama terjadi tukar menukar alat besi Tiongkok dengan
kuda Mongol dan telah banyak mengeduk keuntungan."
"Konon perdagangan ini dilakukan secara terbuka di negeri
Mongol, sebagai duta yang bertahan pada kesetiaannya selama 20
tahun, bilamana kakekmu jadi pulang, tentu beliau akan dihormati
dan disegani, mungkin Ong Cin kuatir kakekmu akan melaporkan
apa yang didengar dan dilihatnya di Mongol mengenai
persekongkolan Ong Cin dengan pihak Mongol, sebab itulah ia
turun tangan lebih dulu dengan membuat perintah palsu Sri
Baginda dan menjatuhkan hukuman mati kepada kakekmu."
Setelah mendengar cerita ini, In Lui jadi teringat kepada kejadian
dahulu ketika Thio Cong-ciu menyuruh Ciamtai Biat-beng memberi
tiga kantung sulam kepada kakeknya. Menurut cerita yang
didengarnya, di antara ketiga kantung itu ada yang berisi secarik
surat rahasia yang ditulis Ong Cin kepada Tofan (ayah Ya-san) dan
Thio Cong-ciu, yaitu surat rundingan tentang menukar kuda
Mongol dengan alat besi Tiongkok.
Menurut pesan yang disampaikan dalam kantung sulam itu, In
Ceng ditaksir akan ditangkap, maka Cia Thian-hoa disuruh masuk
ke kotaraja dan menyerahkan surat rahasia Ong Cin itu kepada Ih
Kiam untuk dilaporkan kaisar. Seperti diketahui, kejadian
selanjutnya adalah In Ceng selain tertawan, bahkan juga segeraPahala dan Murka - 16 18
dibunuh. Namun apa pun juga jelas pesan yang disampaikan Thio
Cong-ciu itu memang bertujuan baik.
Habis bertutur, Ih Kiam menghela aapai dan berkata, "Kasus Intaijin itu belum lagi dibersihkan, tapi beliau mempunyai seorang
cucu perempan sebaik dirimu, di alam baka pun tentu beliau dapat
memejamkan mata dengan tenang."
Teringat kepada kematian sang kakek yang mengenaskan,
timbul pula rasa murka In Lui, ia bertepuk tangan dan bersumpah.
"Bila tidak kucencang kawanan dorna itu, aku bersumpah takkan
menjadi manusia."
Ih Kiam menggeleng kepala, "Nona In, dalam keadaan sekarang
ini aku justru tidak setuju engkau menuntut balas."
"Apa maksud ucapan Ih-taijin ini?" tanya In Lui dengan
penasaran.
"Saat ini Ong Cin menguasai seluruh pemerintahan pusat, anak
buahnya tersebar dimana-mana, bahkan banyak di antara panglima
perang sekarang adalah anak angkatnya. Sekarang kita harus
mencurahkan segenap kekuatan untuk menghadapi serbuan Watze.
jika kita bertindak secara ceroboh, bisa jadi akan bikin urusan pokok
bertambah runyam."
In Lui pikir ucapan orang cukup beralasan, maka dia tidak bicara
lagi, hanya air mata yang bercucuran.
Pelahan Ih Kiam berdiri dan membuka daun jendela, katanya
pula dengan penuh arti, "Nah, hari sudah hampir pagi. Kau tinggal
di mana nona Lui?"
"Di hotel," jawab In Lui.
"Sendirian tinggal di hotel yang penghuninya bercampuraduk,
kaupun menyamar sebagai lelaki, kukira kurang leluasa bagimu.Pahala dan Murka - 16 19
Akau lebih baik pindah saja ke rumahku ini, di sini pun lebih mudah
mendapatkan berita."
"Jika demikian kehendak paman, tentu Titli tak perlu sungkan
lagi, sebentar setelah kuberbenah seperlunya segera pindah ke sini,"
ujar In Lui.
Pada saat itulah di kamar sebelah ada suara anak perempuan lagi
berseru, "Ayah, kembali semalaman engkau tidak tidur, bukan?"
Ih Kiam tertawa dan menjawab, "Segera tidur."
Lalu katanya kepada In Lui, "Nah, putriku sudah mendesak
supaya aku tidur. Lekas kau pindah ke sini. Sering karena
kesibukanku harus melembur sepanjang malam sehingga putriku
ini selalu kulalaikan."
Melihat kasih sayang mereka ayah dan anak. In Lui jadi teringat
kepada kakek dan ayahnya sendiri.
Segera In Lui kembali ke hotelnya dan membereskan
rekeningnya, lalu pindah ke rumah Ih Kiam.
Putri Ih Kiam bernama Ih Seng-cu, usianya baru sembilan tahun,
pintar lagi lincah. In Lui sendiri telah berdandan sebagai auak gadis
lagi, maka Seng-cu terus menerus memanggilnya sebagai Cici.
In Lui juga sangat suka kepada anak dara itu, dan begitulah ia
terus terus tinggal di situ.
Selama tinggal di rumah Ih Kiam itu diam-diam In Lui menaruh
suatu harapan, yaitu semoga Thio Tan-hong datang lagi menemui
Ih Kiam. Akan tetapi dengan cepat setengah bulan telah lalu dan
Tan-hong tidak pernah muncul lagi.
Mengenai pangeran Mongol dan Ciamtai Biat-beng, karena
perundingan gagal, mereka juga sudah pulang ke negerinya pada
hari keenam setelah In Lui pindah ke rumah Ih Kiam.Pahala dan Murka - 16 20
Kira-kira setengah bulan berdiam di rumah Ih Kiam, In Lui
teringat lepada cerita Thio Hong-hu tentang ujian Bu-cong-goan
yang akan di adakan itu, sering ia tanya keterangan kepada Ih Kiam.
Dengan tertawa Ih Kiam menghiburnya agar bersabar, asalkan
In Tiong ikut ujian, tentu akan diusahakan untuk mempertemukan
mereka.
"Apakah ujian sudah dimulai?" tanya In Lui.
"Baru ujian tingkat pertama, jumlah pengikutnya terlalu
banyak," tutur Ih Kiam. "Nanti akan kuselidiki ke bagian penguji
untuk mencari tahu bagaimana hasil kakakmu."
Selang lima hari lagi, mendadak Ih Kiam memanggil In Lui dan
berkata kepadanya dengan tertawa, "Apakah kau ingin bertemu
dengan kakakmu?"
"Ha, apa sekarang juga paman akan membawaku menemuinya?"
seru In Lui dengan melonjak kegirangan.
"Ya. cuma harus bikin rendah dirimu, yaitu supaya kau jadi
pengiringku dan akan kubawamu ke lapangan ujian sana," kata Ih
Kiam.
Tentu saja In Lui sangat senang, lekas ia berganti pakaian lelaki
lagi dan menyaru sebagai kacung Ih Kiam.
Kiranya hari ini adalah ujian babak terakhir, yaitu babak final
untuk memastikan siapa yang terpilih sekagai Bu-cong goan.
Ujian kepandaian silat ini meliputi bermacam ragamnya, baik
menunggang kuda dan memanah, juga mahir menggunakan
berbagai senjata.
Rupanya kaisar Ci-ki juga lagi iseng, maka dia sengaja memberi
perintah kepada komandan pasukan pengawal Kang Ciau-hai agarPahala dan Murka - 16 21
memasang panggung pertandingan di alun-alun, di sekelilingnya
dipasang pula panggung penonton.
Bahwa raja ingin menonton sendiri ujian silat itu, dengan
sendirinya para menteri dan pembesar lain juga ikut hadir.
Cara bertanding ini sudah diatur dengan baik oleh Kang Ciauhai, rupanya ada dua orang Sutenya juga ikut bertanding.
Di sekeliling alun-alun dijaga oleh pasukan pengawal, di tengah
alun-alun sudah terpasang lima buah panggung,
Ih Kiam bersama In Lui dan para pembesar ikut menonton di
panggung timur, kaisar dan pengiringnya serta para pangeran
menonton di panggung utama.
Diam diam Ih Kiam berbisik pada In Lui, "Lihat, itulah orang
yang berjubah merah bergambar naga dan di belakangnya berdiri
sebaris pengawal ialah Sri Baginda yang memerintah sekarang
Orang yang berdiri di sebelah kiri Hongsiang (Sri Baginda) itulah si
kebiri Ong Cin."
Dengan gemas In Lui memandang Ong Cin sekejap, diingatnya
baik baik wajah orang.
Para calon Bu-cong-goan yang masuk final itu berada di barak
sebelah panggung pertandingan. sebelum naik panggung tidak
dapat melihat suasana di atas panggung.
"Ujian tahun ini diselenggarakan dengan peraturan yang ketat,
kecuali mereka yang sudah berpanjkat, diperlukan lagi sponsor
yang berpangkat lebih tinggi, karena itulah Hong-siang merasa
aman untuk ikut menonton di sini," demikian tutur Ih Kiam.
Dalam pada itu terdengarlah suara tambur berbunyi,
pertandingan dimulai. Dengan tegang dan penuh perhatian In Lui


Pahala Dan Murka Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengikuti orang yang naik panggung untuk bertanding itu.Pahala dan Murka - 16 22
Berturut turut dua-tiga paiangan telah mengakhiri pertandingan
dan belum kelihatan munculnya sang kakak.
Ketika babak pertandingan keempat berakhir, pemenangnya
seorang lelaki tinggi besar berdiri di atas panggung dengan berseri.
Lalu terdengar pembawa acara berteriak di depan panggung, "Calon
nomor sembilan bernama Lim To-an dengan sponsor Li Sun dari
dinas personalia."
Dengan keterangan ini segera para penonton tahu Lim To-an ini
bukan perwira yang masih dinas aktif.
In Lui tercengang, dilihatnya seorang pemuda dengan membawa
kipas lempit melompat ke atas panggung. Meski kelihatan cakap,
tapi dia berlenggang-lengok serupa orang perempuan sehingga
lebih tepat dikatakan sebagai banci.
Kiranya orang ini adalah Lim To-an yang tempo hari pernah
melamar Giok Cui-hong dan telah dihajar oleh nona itu hingga
kabur.
Orang tinggi besar itu bernama Oh Tai-ging, seorang perwira
yang masih terhitung sanak famili menteri peperangan.
Segera Lim To-an memberi hormat dan berucap, "Harap Ohciangkun memberi petunjuk."
Diam-diam Oh Tai-ging menggerutu harus berhadapan dengan
orang banci, ia angkat senjatanya yang berbentuk sepasang ganden
dan membentak, "Petunjuk apa? Di sini adalah tempat berkelahi,
kaukira untuk main-main saja? Lekas keluarkan senjatamu!"
"Senjataku adalah kipas ini," jawab Lim To-an dengan suaranya
yang khas.
Oh Tai-ging menjadi gusar, tanpa bicara lagi gandennya lantas
menghantam.Pahala dan Murka - 16 23
Ia tidak tahu ilmu tiam-hiat Lim To-an sangat ganas dan jitu,
meski dia mainkan gandennya dengan kuat dan menyambar kian
kemari, namun tetap tidak dapat menahan serangan Lim To-an,
baru beberapa jurus terdenga lah suara gedebukan, tubuh Oh Taiging sebesar kerbau itu roboh di atas panggung, sekali depak Lim
To-an membuatnya terpental ke bawah panggung.
Kaisar Ci-tin sangat senang menyaksikan pertarungan menarik
itu, ia bersorak gembira.
"Babak berikutnya pasti tambah menarik, lihatlah Hongsiang,"
seru Ong Cin.
Maka terdengar pembawa acara berseru nomor sepuluh. Segera
seorang jago melompat ke atas panigung dengan membawa perisai.
Kiranya salah satu Loh bersaudara, yaitu Loh Liang yang
merupakan jago andalan Ong Gin.
Rupanya mereka bersaudara telah ikut bertanding juga, cuma
Loh Bin dalam babak penyisihan telah jatuh, hanya Loh Liang saja
yang masuk final.
Permainan perisai mestinya harus bergabung dengan pedang,
namun melulu perisai pun membuat Lim To-an agak kerepotan.
Loh Liang segera memutar perisainya sehinggga serupa sebuah
pintu angin yang membentang di depan tubuhnya, sama sekali
serangan Lim To-an tak bisa masuk.
Setelah berlangsung tiga puluhan jurus, Loh Liang sengaja
membuat suatu salah langkah dan memberi peluang untuk diserang
lawan. Benar juga segera Lim To-an menutul dengan kipasnya, tak
terduga, mendadak tameng Loh Liang menyambar balik dan "krek",
kipas Lim To-an tergetar patah.Pahala dan Murka - 16 24
Kehilangan kipas bagi Lim To-an serupa pengemis kehilangan
tongkat dan tak dapat berkutik lagi, untuk mencari selamat lekas ia
melompat turun panggung.
Ong Cin tertawa senang, kaisar juga bertepuk tangan.
Segera pembawa acara berseru lagi, "Nomor sebelas Soa Bu-ki
silakan naik panggung, sponsor wakil komandan Handim-kun Nyo
Wi!"
Kembali In Lui terkesiap, tak tersangka bandit yang berhati
kejam ini dan pernah gagal melamar Ciok Cui-hong ini sekarang
juga mencari jalan untuk mendapatkan pangkat.
Begitu melompat ke atas panggung, tanpa sungkan Soa Bu-ki
segera mengacungkan tangannya dan berseru, "Akan kugunakan
kedua telapak tangan untuk melayani perisaimu."
Dengan gusar perisai Loh Liang segera mengepruk sambil
membentak, "Baik, boleh coba kauterima!"
Perisai menyambar dengan membawa deru angin dahsyat,
kekuatannya paling sedikit ada tujuh ratus kati. Tapi Soa Bu-ki
sempat melompat ke samping, lalu balas menghantan satu kali.
Melihat telapak tangan Soa Bu-ki berwarna hitam, jelas itulah
kungfu Tok-soa-ciang (telapak tangan pasir berbisa) yang keji, Loh
Liang terkejut dan cepat menarik kembali tamengnya untuk
menjaga diri.
Dalam pada itu dengan cepat sekali tangan Soa Bu-ki yang lain
sempat menghantam pundak Loh Liang, dengan menjerit kontan
Loh Liang terguling ke bawah panggung.
Hanya dua-tiga kali gebrak saja Loh Liang sudah kecundang,
sungguh gemas Ong Cin tak terkatakan.Pahala dan Murka - 16 25
"Jangan gusar, Kongkong, babak berikutnya boleh lihat bocah itu
yang akan bergilir dihajar," kata Kang Ciau-hai dengan tertawa
kepada Ong Cin.
Terdengar pembawa acara lagi berteriak, "Nomor dua belas Liok
Tian-peng silakan naik panggung, sponsor Tay-lwe-congkoan Kang
Ciau-hai!"
Segera seorang lelaki bertubuh pendek kekar melompat ke atas
panggung, cambuk benang emas terbelit di pinggangnya, tapi
senjata ini tidak dilolosnya, katanya dengan tersenyum, "Tok-soaciangmu memang lihai, biarkan kuberi tiga kali serangan dulu, jika
aku menghindar boleh anggap saja aku yang kalah."
Selagi Soa Bu-ki melengak, didengarrya Liok Tian-peng terus
mendesak, "Ayolah serang, kenapa diam saja? Ini kan panggung
pertandingan, jika tidak mau berkelahi lekas enyah dari sini!"
Diam-diam Soa Bu-ki membatin, "Tok-soa-ciangku sangat lihai,
memangnya tubuhnya sudah terlatih hingga kebal racun? Tapi tidak
pernah kudengar ada orang menguasai ilmu kebal demikian."
Meski sangat gusar, namun dia tetap tenang saja, jengeknya,
"Tanganku ini berbisa, hendaknya Liok-ya hati-hati sedikit!"
Berbareng itu sebelah tangannya terus menghantam muka
lawan. Ia pikir tubuh terbungkus baju dan mungkin ada akal untuk
menahan serangan racun, tapi bagian muka terbuka, mustahil bisa
kebal racun?
Tak terduga Liok Tian-peng mendadak mendahului memotong
sikunya, keruan Soa Bu-ki kejangkitan, tangan pun terkulai ke
bawah. Tapi dia memang berhati keji, dengan nekat ia cengkeram
lagi iga lawan. Apabila cengkeramannya kena jajarannya, biarpun
tubuh baja juga tidak tahan.Pahala dan Murka - 16 26
In Lui terkesima menyaksikan pertarungan sengit itu, ia pikir
sekali ini mungkin Liok Tian-peng bisa celaka. Tak tersangka
mendadak Soa Bu-ki menjerit ngeri, tidak tampak Liok Tian-peng
bergerak, tahu-tahu Soa Bu-ki memegangi lengan patah dan
terguling ke bawah panggung.
Sungguh kejut In Lui tak terkatakan, yang diperlihatkan Lioh
Tian-peng itu adalah semacam lwekang "Ciam-ih-sip-pat-tiat" yang
jarang terlihat di dunia kangouw, lwekang yang dapat membuat
pihak penyerang memukul diri sendiri dengan tenaga yang
dikeluarkannya.
Diam-diam In Lui merasa sangsi, "Ada jago selihai ini. mungkin
kakak takkan berhasil menjadi Bu-cong-goan."
Kiranya Liok Tian-peng itu adalah Sute atau adik seperguruan
Kang Giau-hai. Ilmu silatnya setingkat dengan Kang Ciau-hai. Saat
itu dia sedang berseri-seri atas kemenangannya itu.
Tiba-tiba pembawa acara berteriak lagi, "Calon nomor 14 silakan
naik!"
Sekali lihat, kejut dan girang pula In Lui, orang ini tak-lain-takbukan adalah kakaknya, In Tiong.
Liok Tian-peng menyapa, "Ah, In-tongling juga ikut, silakan
siapkan senjata!"
In Tiong belum lama dinas dalam Han-lim-kun, tapi karena ilmu
silatnya tinggi, dengan sendirinya namanya cukup menonjol dan
hampir sejajar dengan tiga jago utama kota-raja.
Liok Tian-peng tidak berani meremehkan lawannya, segera ia
melepaskan cambuk benang emas yang melilit di pinggangnya, ia
pasang kuda-kuda dan siap tempur. Dia bersenjata cambuk terbuat
dari kulit harimau dipilin dengan rotan tua sehingga tidak mempan
ditabas senjata biasa, sungguh lihai luar biasa.Pahala dan Murka - 16 27
Sebaliknya In Tiong bersenjata golok baja, dalam hal senjata ia
sudah kalah. Dilihatnya Liok Tian-peng bersuara terus mnlancarkan
serangan, langsung cambuknya menyabat pinggang In Tiong
Sabatan ini secepat kilat, namun In Tiong tidak kalah cepatnya,
sekali berputar, secepat kitiran ia ikut berputar kesana menurut
arah sambaran cambuk. Tampaknya ujung cambuk akan melilit
tubuhnya, tapi ternyata selisih sekian jauhnya sehingga menyentuh
baju pun tidak.
Habis itu golok In Tiong lantas balas menabas.
Namun Liok Tian-peng memang cekatan, sambil menyurut
mundur cambuknya berputar dan menyabat lagi dua-tiga tali.
In Tiong terus melompat kian kemari di bawah bayangan
cambuk, setiap peluang digunakannya untuk balas menyerang.
Mendadak cambuk Liok Tian-peng menggeletar, ujung cambuk
menyambar pergelangan tangan In Tiong, bila terbelit, golok tentu
akan terlepas.
In Tiong membentak, tangan kiri menyodok ke depan sehingga
ujung cambuk yang lempeng itu tergetar ke samping, angin
pukulannya terus menyodok pula ke dada lawan. Inilah tenaga
raksasa Tai-lik-kim-kong-ciang yang lihai.
"Bagus!" teriak Liok Tian-peng, sedikit mengelak, sebelah
tangannya mendadak menutuk juga ke depan. Tapi sebelum beradu
tangan, kedua pihak sama ganti serangan lagi.
Nyata Ciam-ih-sip-pat-tiat Liok Tian-peng juga sangat lihai,
meski tak dapat mengatasi Tai-lik-kim-kong-jiu In Tiong, tapi
cukup kuat antuk menandinginya. Tiga kali In Tiong menghantam
selalu kena dipatahkannya, tentu saja anak muda ini pun terkejut.
Begitulah kedua pihak telah mengeluarkan segenap
kepandaiannya. Keduanya beradu lwekang, senjata dan ilmuPahala dan Murka - 16 28
pukulan, dan gabungan beberapa macam kungfu, asalkan salah satu
pihak kalah kuat seketika bisa tergetar mencelat ke bawah
panggung dan jiwa mungkin juga melayang.
Kaisar Ci-tin berulang bersorak gembira. Sedangkan hati In Lui
diam-diam berkuatir.
"Umpama pertandingan ini dimenangkan Koko, tentu juga dia
akan kehabisan tenaga, mustahil dia mampu menghadapi jago pada
babak berikutnya, jelas sukar baginya untuk menang dua babak
secara berturut-turut," demikian pikir nona itu.
Sudah ratusan jurus kedua orang saling gebrak dan kedua pihak
ternyata masih sama kuat, tentu saja kedua orang sama gelisah.
Ih Tiong bertekad harus menangkan pertandingan ini, maka
berulang ia melancarkan serangan berbahaya tanpa kenal ampun.
Liok Tian-peng terlebih sabar dan berpengalaman, ia tidak
terlalu ngoyo dan menghadapi serangan In Tiong dengan cermat.
Mendadak terlihat langkah In Tiong agak sampoyongan dan
terjebak ke tengah bayangan cambuk lawan, dengan golok di tangan
kanan dan pukulan tangan kiri ia menyerang dari tiga arah, tentu
saja serangan ini membawa risiko, jika gagal, ia sendiri yang akan
celaka, andaikan tidak mati juga akan terluka parah.
"Bagus!" teriak Liok Tian-peng sambil menyurutkan cambuknya
sehingga berputar dengan lingkaran pendek, ia hindarkan pukulan
orang sekaligus balas menyerang.
Serangan ini juga keji lagi berbahaya, hampir saja In Lui menjerit
kuatir.
Tiba-tiba terdengar Liok Tian-peng menjerit, belum jelas In Lui
melihat apa yang terjadi, tahu-tahu orang itu sudah membuang
cambuk dan jatuh terguling ke bawah panggung.Pahala dan Murka - 16 29
Kiranya tadi baru saja ia melancarkan serangan balasan,
mendadak pergelangan tangan terasa sakit seperti dicocok jarum.
Pertarungan di antara jago kelas tinggi mana boleh meleng
sedikit pun, untung dia cukup cepat menjatuhkan diri dan
menggelinding ke bawah panggung, kalau tidak dia pasti akan
binasa di bawah pukulan Tai-lik-kim-kong-jiu.
Diam diam Liok Tian-peng menggerutu, "Kurangajar, bocah ini
ternyata menggenggam am-gi (senjata gelap ), sungguh penasaran
aku kecundang cara begini."
Akan tetapi pertandingan itu tidak melarang orang
menggunakan am-gi, terpaksa ia tidak dapat bersuara. Padahal ia
tidak tahu bahwa jarum itu bukan tergenggam di tangan In Tiong
melainkan disambitkan orang lain.
Bukan cuma In Lui saja yang heran atas kejadian itu, In Tiong
sendiri yang berada di atas panggung juga melenggong.
Dalam pada itu terdengar pembawa acara lantai berteriak,
"Nomor 15 Thio Tan-hong silakan naik panggung! Sponsor
komandan Kim-ih-wi Thio Hong-hu!"
Mendengar nama itu, seketika In Lui melongo kaget.
Bahwa Thio Tan-hong juga ikut dalam pertandingan perebutan
Cu-cong-goan ini melawan kakaknya, hal ini sama sekali tidak
terduga oleh In Lui.
Dilihatnya Tan-hong berbaju putih dengan ikat kepala putih
pula, wajahnya yang cakap dengan tersenyum simpul melompat ke
atas pangung dengan gaya yang indah,
Belum lagi bertanding Tan-hong sudah mendapatkan tepuk
tangan, para penonton.Pahala dan Murka - 16 30
Kaisar Ci-tin juga memuji kegantengan Tan-hong, katanya
kepada Kang Ciau-hai, "Orang ini sepantasnya ikut ujian Bun-conggoan dan bukan pertandingan silat seperti ini."
Kang Ciau-hai hanya menjawab dengan samar-samar, tanpa
berkedip ia sedang menatap Tan-hong dengan perasaan sangsi.
Dilihatnya Tan-hong sedang memandang ke arah panggung
utama sana, sinar matanya yang tajam menyapu sekejap wajah sang
kaisar, tanpa terasa Ci-tin merinding, pikirnya, "Orang ini kelihatan
lemah lembut, mengapa sinar matanya segalak ini?"
Ia tidak tahu bahwa leluhur Thio Tan-hong adalah musuh
bebuyutan dan pernah berebut kerajaan dengan keluarga Cu
mereka.
Naiknya Tan-hong ke atas panggung pertandingan bukan saja di
luar dugaan In Lui, juga Ih Kiam dan In Tiong tidak menduga sama
sekali.
Pikir Ih Kiam, "Thio Tan-hong ini memang pemuda berbakat
luar biasa, sudah beberapa kali kuminta dia suka bekerja bagi
pemerintah dan aku bersedia menjamin dengan jiwa-ragaku. tapi
dia selalu menolak, mengapa sekarang dia malah ikut bertanding
Bu-cong-goan segala?"
In Tiong juga kejut dan heran, pikirnya, "Keparat ini jelas musuh
dari Watze, mengapa dia juga hendak berebut pangkat denganku."
Mestinya In Tiong hendak membongkar rahasia pribadi Tanhong di depan umum, tapi ia menjadi ragu mengingat yang menjadi
sponsor Tan-hong adalah Thio Hong-hu yang merupakan
atasannya. Maka meski merasa gemas dan dendam, terpaksa In


Pahala Dan Murka Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiong diam saja.Pahala dan Murka - 16 31
In Lui yang berkeringat dingin karena cemas, dilihatnya kedua
pemuda di atas punggung sudah mulai saling labrak, baru saja Tanhong liap tempur segera golok In Tiong menabas dari samping,
Serangan dahsyat ini dapat dihindarkan Tan-hong dengan
enteng, tentu saja In Tiong terkejut, serangan berikutnya semakin
tidak kenal ampun.
Tan-hong terpaksa mengeluarkan tenaga dalam supaya dapat
menahan tenaga pukulan lawan yang dahsyat itu, diam-diam ia pun
memuji Tai-lik-kim kong-jiu ajaran paman gurunya yang tidak
bernama kosong itu.
Tanpa ayal lagi ia lantas melolos pedang, pada saat golok pusaka
In Tiong membacok tiba, "sret", ia berkelit sambil balas menusuk
secara gesit.
"Bagus!" mau-tak-msu In Tiong memuji juga, cepat golok
berputar terus menabas pula.
In Tiong tahu pedang Tan-hong adalah senjata pusaka dan tidak
dapat dibandingi goloknya sendiri, kuatir tertabas putus bila beradu
senjata, maka selalu ia menyerang bagian bahaya di tubuh musuh
dan menghindar beradu senjata.
Terdengar Tan-hong bersuit panjang, sekali berputar, sinar
pedang berjangkit, liawa dingin terpancar, seluruh panggung
seakan-akan penuh bayangan anak muda itu, serupa berpuluh
orang berpedang menyerang dari berbagai penjuru.
In Tiong berdiri tegak dan tidak berani sembarangan menggeser,
tapi dia terus mengincar, begitu bayangan berkelebat segera
goloknya membacok, setiap jurus dilakukan dengan secepat kilat.
Sudah lebih 50 jurus berlalu dan kedua pihak tetap tiada yang
kalah atau menang.Pahala dan Murka - 16 32
Kaisar sangat senang menyaksikan pertarungan seru ini,
berulang ia berseru memuji bagus.
In Lu.i yang merasa cemas, dia kuatir Tan-hong akan melukai In
Tiong, juga takut Tan-hong dicelakai In Tiong.
Bagi pandangan orang lain, yang satu ilmu pedangnya sahgat
bagus, sedang yang lain ilmu goloknya sangat ganas, jadi sama kuat
dan sukar ditentukan kalah dan menang.
Namun bagi pandangan In Lui justru ada unggul asornya di
antara kedua orang itu. Dia pernah beberapa kali bergabung dengan
Thio Tan-hong menghadapi musuh, ia kenal di mana letak kelihaian
ilmu pedang anak muda itu. Tapi pertarungan sudah berlangsung
sekian lamanya dan belum lagi melancarkan serangan maut sejurus
pun, jelas Tan-hong sengaja mengalah.
Sebaliknya In Tiong telah mengeluarkan segenap kemampuannya dan tetap tak dapat mengalahkan lawan, dari sini dapatlah
dinilai pihak mana yang lebih kuat.
Tampaknya Ih Kiam juga merasa tegang menyaksikan
pertandingan itu, jelas ia pun berharap jangan sampai terjadi
sesuatu atas kedua anak muda itu.
In Tiong sendiri menjadi gelisah karena sudah mengeluarkan
segenap tenaga dan tetap takdapat mengalahkan lawan,
ketambahan lagi dia sudah menempur Liok Tian-peng tadi,
tenaganya sudah banyak terkuras, sekarang harus bertempur sengit
melawan Thio Tan-hong, maka setelah 70-an jurus, mulailah dia
kehabisan tenaga.
Sebaliknya Thio Tan-hong tetap bergerak dengan lincah, namun
dia selalu menyerang sedemikian rupa, tiba cukup mendesak lawan
saja dan tidak membikin In Tiong kelihatan kalah sehingga
tampaknya kedua orang tetap sama kuat.Pahala dan Murka - 16 33
Lama-lama In Tiong sendiri juga dapat merasakan pihak lawan
sengaja mengalah padanya, golok membacok dan menyusul terus
memukul beruntun tiga kali, dikeluarkannya kungfu khas
perguruannya, serangan golok sekaligus pukulan sehingga Tanhong terdesak mundur.
Mendadak in membalik tubuh dan mundur dengan menarik
golok.
Melihas kelakuan lawan, diam-diam Tan-hong merasa geli akan
tipu pancingan In Tiong ini, Tapi ia sengaja berlagak tidak tahu,
dengan pedang terangkat ia memburu maju.
Tak terduga kembali In Tiong membalik tubuh lagi dengan
gerakan "Yau-cu-hoan-sin" atau burung merpati memutar tubuh,,
tangan kiri terus terayun dan terdengarlah suara mendenging,
beberapa biji peluru beli terus menyambar dari berbagai jurusan,
semuaya mengincar hiat-to maut di tubuh Tan-hong.
Cara menyambitkan senjata rahasia ini adalah kepandaian khas
Hian-k! Yatsu, senjata rahasianya dapat berputar dan membelok
menuju sasaran. Keruan para penonton sama ternganga dan
merasa takjub.
Tiba-tiba terdengar suara "trang-tring" beberapa kali, suaranya
lirih, di bawah denging sambaran peluru besi itu hampir sukar
diketahui oleh para penonton akan suara itu. Namun In Tiong dapat
mendengarnya dengan jelas, dilihatnya peluruh besi yang
disambitkan itu sama rontok di atss panggung.
In Tiong adalah murid guru ternama, dengan sendirinya ia tahu
rontoknya peluru besi itu adalah karena hantaman senjata rahasia
yang disambitkan lawan. Dari suaranya yang lembut dapat
diketahui am-gi musuh tentu sebangsa jarum yang lembut, namun
disambitkan dengan keras sehingga dapat merontokkan peluru besiPahala dan Murka - 16 34
yang bobotnya berpuluh kali lebih berat daripada jarum. Dari sini
dapat dibayangkan betapa tenaga dalam lawan.
Tidak cuma itu saja, karena serangan senjata rahasia Tan hong
ini segera mengingatkan In Tiong kepada suatu kejadian aneh tadi,
Teringat olehnya waktu menempur Liok Tian-peng tadi pnda
serangan terakhir mestinya kedua pihak akan sama cedera, tapi
pada detik yang paling gmvat itu sekonyong-konyong Liok Tianpeng roboh secara ajaib, waktu itu In Tiong sendiri merasa bingung,
sekarung setelah mengetahui am-gi yang disambitkan Tan-hong,
hal ini segera membuatnya sadar akan kejadian tadi, kiranya Thio
Tan-hong pula yang telah membokong Liok Tian-peng.
Sungguh tak tersangka olehnya musuh yang dipandangnya tak
terampunkan ini justru diam-diam telah menolongnya.
Dalam sekejap itu In Tiong menjadi malu dan juga berterima
kasih tapi juga rada gemas dan mendongkol.
Selagi tidak tahu apa yang harus dilakukannya, tiba-tiba
terdengar Tan-hong berseru dengan tertawa, "Awas pedang!"
Mendadak sinar perak berkelebat, "sret", pedang Tan-hong
menusuk tiba.
Otomatis In Tiong mengelak dan balas membacok satu kali,
selagi ia ragu apakah dirinya harus mengundurkan diri atau tidak
tiba-tiba dirasakan sinar pedang lawan telah mengurung seluruh
tubuhnya, tampaknya lawan segera akan melancarkan serangan
mematikan,
Tentu saja In Tiong terkejut, adalah biasa bagi orang mahir ilmu
silat bila menghadapi bahaya pasti berusaha membela diri. Tanpa
pikir lagi ia putar golok dan sekuatnya menangkis dengan keras
lawan keras,Pahala dan Murka - 16 35
Tapi segera terdengar bisikan Tan-hong dengan suara tertahan,
"Jurus ini tidak tepat lekas ganti jurus lain!"
Tanpa pikir golok In Tiong berputar dan benar juga ia
melancarkan jurus serangan yang lebih lihai.
Lalu kelihatan Tan-hong seperti terdesak mundur, waktu In
Tiong membacok lagi, Tan-hong tampak tidak sanggup
menahannya, mendadak dengan suatu gerakan melompat
kebelakang, serupa layangan putus benang ia melayang turun ke
bawah panggung.
Jadi kalah atau menang sudah ketahuan, Thio Tan-hong yang
kalah.
Serentak para penonton sama bersorak-sorai memuji kegagahan
In Tiong. Kecuali In Lui, tiada orang lain yang tahu Tan-hong
sengaja mengalah.
Kiranya tujuan Thio Tan hong ikut dalam pertandingan ini justru
ingin membantu In Tiong lulus ujian Bu cong goan.
Tan-hong tahu kepala jago pengawal istana Kang Ciau-hai
sengaja menyuruh kedua Sutenya ikut bertanding, ilmu silat kedua
orang ini tidak di bawah In Tiong, selain itu masih ada beberapa
jago lain yang juga berkepandaian tidak rendah, menurut peraturan
pertandingan seorang harus berturut-turut menang dua babak baru
boleh istirahat, habis itu kudu bertanding lagi untuk mencapai final.
Jika begitu caranya bertanding, jelas In Tiong tidak ada harapan
akan menang, sebab itulah Tan-hong sengaja menyerempet bahaya
dan minta Thio Hong-hu menjadi sponsornya supaya dia dapat ikut
bertanding.
Dalam pertandingan penyisihan sebelumnya dia tidak satu
kelompok dengan In Tiong melainkan berkelompok dengan Loh Bin
dan lain-lain, semuanya telah disisihkan oleh Tan-hong sehinggaPahala dan Murka - 16 36
banyak mengurangi beban bagi In Tiong untuk maju ke babak final.
Sebelum gilirannya tadi Tan-hong juga telah membantu In Tiong
secara diam diam dengan mengalahkan Liok Tian-peng, habis itu
barulah ia naik panggung dan sengaja mengalah kepada In Tiong.
Dengan sendirinya maksud baik Tan-hong ini tidak diketahui Ih
Kiam maupun Thio Hong-hu.
Mimpi pun In Tiong tidak menyangka akan mendapatkan
kemenangan seperti ini, sementara itu sorak-sorai orang banyak
belum lagi mereda, In Tiong berdiri termangu di atas panggung
serupa orang linglung dengan pikiran bergolak sehingga lupa
meninggalkan panggung untuk minta istirahat.
Pada saat itulah mendadak dari panggung utama ada orang
membentak, "Tangkap penjahat itu!"
Mendengar bentakan itu barulah In Tiong dan In Lui tersadar
dari lamunannya, mereka melihat Kang Ciau-haiyang mendampingi
kaisar di panggung penonton depan sana telah berdiri di depan dan
menunjuk ke arah Thio Tan-hong serta memberi perintah
penangkapan.
Kiranya sesudah kedua paman guru Kang Ciau-hai, yaitu Thi-pikim-goan Liong Cin-hong dan Sam-hoa-kiam Hian-leng-cu
dikalahkan oleh gabungan pedang Tan-hong dan In Lui di Jingliong-kiap tempo hari, mereka lari kembali ke kotaraja dan
menceritakan bentuk muda-mudi itu kepada Kang Ciau-hai,
terlebih mengenai diri Thio Tan-hong dilukiskannya dengan sangat
jelas.
Meski sekarang kedua paman gurunya tidak ikut menonton
pertandingan, tapi demi nampak wajah Tan-hong segera timbul
rasa curiga Kang Ciau-hai, diam-diam ia menaruh perhatian.Pahala dan Murka - 16 37
Sekarang ia telah mengambil keputusan "lebih baik salah
tangkap daripada salah lepas", dengan kedudukannya sebagai
komandan jago pengawal di depan kaisar sendiri ia berani memberi
perintah penangkapan.
Suara sorak-sorai tadi seketika tersirap oleh bentakan Kang
Ciau-hai itu, selagi semua orang tidak tahu apa yang terjadi,
terdengarlah suara orang bergelak tertawa disertai orang menjerit.
Ternyata Tan-hong sudah menerjang sampai di pinggir lapangan
sana, sedang Kang Ciau-hai di atas panggung lantas terjungkal ke
bawah panggung. Kiranya di luar dugaan ia telah kena tersambit
oleh jarum Thio Tan-hong.
Keruan para Busu berteriak kaget dan sebagian memburu ke
sana. Terdengar Tan-hong bersuit panjang, kuda putih Ciau-ya-saicu-ma secepat terbang menyongsong sang majikan, sambil
terbahak Tan-hong mencemplak ke atas kuda, sekali pedang
berputar, anak panah yang berhamburan dari belakang
disampuknya jatuh.
Dengan tangkas kuda putih itu menerjang keluar lapangan itu
secepat terbang dan tidak dapat dirintangi siapa pun.
Tangan Ong Cin sampai gemetar, berulang ia berteriak, "Wah.
terlalu! Lekas panggil penanggungnya, Thio Hong-hu!"
Tiba-tiba kaisar Ci-tin berkata, "Nanti dulu, coba tanya dulu
kepada Kang Ciau-hai sesungguhnya bagaimana duduknya
perkara?"
Ilmu silat Kang Ciau-hai sangat tinggi, kini dia sudah dapat
mengerahkan tenaga dalam untuk melancarkan jalan darah, meski
bagian hiat-to tertusuk jarum dan harus disedot dengan besi
sembrani, tapi dengan pincang dapatlah ia berjalan ke atas
panggung lagi.Pahala dan Murka - 16 38
"Hai, kenapa kau?" tanya kaisar.
Betapapun Kang Ciau-hai harus menjaga gengsi, apalagi
biasanya dia selalu mencari alasan akan bertanding dengan Thio
Hong-hu yang terkenal sebagai jago nomor satu di kota-raja,
sekarang dia terjungkal di tangan seorang anak buah Thio Hong-hu,
betapapun ia tidak berani mengaku, terpaksa ia menjawab dengan
agak gelagapan, "O, karena terburu-buru ingin menangkap
penjahat, kurang hati-hati sehingga jatuh ke jeblos ke bawah
panggung."
"Apakah pemuda Thio Tan-hong itu penjahat?" tanya kaisar
dengan tertawa.
"Ya, dia pernah melukai komandan Han-lim-kun Thio Hong-hu
dan merampas tawanan penting, yaitu anak Ciu Kian yang khianat
itu, bukankah kejadian ini pernah dilaporkan Thio Hong-hu kepada
Hongsiang. Dan bandit perampas tawanan itu ialah Thjo Tan-hong
ini."
Tanpa pikir Kang Ciau-hai mengalihkan kesalahan kepada Thio
Hong-hu, juga ingin menutupi rasa malu kedua paman gurunya
pernah dikalahkan Thio Tan-hong, maka caranya bicara sebenarnya
rada janggal.
Ternyata kaisar juga tidak bodoh, ia terbahak-bahak dan berkata.
"Ai, Kang-congkoan sayang, kukira engkau telah salah lihat. Jika
Thio Tan-hong itu pernah membikin susah Thio Hong-hu, mustahil
Thio Hong-hu mau menjadi sponsornya? Kulihat meski Thio Tanhong itu dikalahkan ln-tongiing, jelas ilmu silatnya juga tidak
rendah, bahkan tampak gagah dan cakap, rasanya dapat digunakan
kepandaiannya. Cuma sayang dia telah lari digertak olehmu.
Hendaknya kau cari dia dan jangan menakuti dia lagi."
Diam-diam Thio Hong-hu berkeringat dingin, untung kaisar
tidak mengusut lebih lanjut urusan ini.Pahala dan Murka - 16 39
Setelah kacau sebentar, pertandingan dilanjutkan lagi. Berturut
In Tiong menang dua babak dan masuk final, maka sementara boleh
istirahat.
Sisa beberapa babak terus berjalan dan akhirnya keluar sebagai
pemenang dua babak, berturut-turut ialah orang bernama Hoan
Cun dia adalah saudara kandung Hoan Tiong yang terkenal sebagai
satu di antara tiga jago utama kotaraja.
Ilmu silat Hoan Cun adalah ajaran sang kakak, dengan
sendirinya selisih jauh dibandingkan In Tiong, maka pertandingan
baru belasan jurus dia sudah dipukul jatuh ke bawah panggung oleh
Tai-lik-kim-kong-jiu In Tiong.
Di tengah gemuruh sorak gembira orang banyak, kaisar sendiri
mengumumkan pertandingan berakhir dan segera melantik In
Tiong sebagai Bu-cong-goan.
Dengan sendirinya In Lui sangat senang, ia kembali ke tempat Ih
Kiam, dan menunggu selekasnya In Tiong akan mendapatkan
kedudukan baru dan pindah keluar istana, dengan begitu akan
ditemuinya untuk bersuka ria antara kakak dan adik.
Siapa tahu sudah beberapa hari ditunggu dan tetap tidak ada


Pahala Dan Murka Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kabar berita.
Bukan cuma In Lui saja yang gelisah, Ih Kiam juga heran.
Menurut aturan, setelah In Tiong terpilih sebagai Bu-cong-goan,
sedikitnya dia akan diberi pangkat setingkat Ciang-kun (panglima)
dan dianugrahi tempat kediaman, dan tidak perlu menjadi
pengawal lagi dalam istana. Anehnya sejauh ini belum ada
keputusan dan pengumuman dari raja, hal ini jarang terjadi.
Meski Ih Kiam adalah pembesar tinggi, namun urusan
menyangkut kebijaksanaan kaisar, tidak aneh baginya untuk
mengajukan pertanyaan.Pahala dan Murka - 16 40
Mengenai In Tiong, sesudah berhasil merebut Bu-cong-goan, dia
merasa seperti habis mimpi atau mabuk, ia menerima ucapan
selamat dari orang banyak, tapi tidak dapat tertawa.
Sebelum diberi jabatan baru, dia tetap menjadi pengawal istana
yang harus ikut bergiliran dinas.
Dia mendapat kamar pada sederetan rumah yang terletak antara
batas istana dan luar istana, disitulah para jago pengawal bertempat
tinggal.
(Bersambung Jilid ke 17)Pahala dan Murka - 17 0Pahala dan Murka - 17 1
PAHALA DAN MURKA
Oleh : gan k.l.
Jilid ke 17
EKEMBALI di kamar sendiri, In Tiong menutup pintu
kamar, banyak kawan sejawat datang hendak
mengucapkan selamat, tapi semua tak ditemuinya. Ada
kawan yang menyangka dia sok berlagak sesudah terpilih sebagai
Bu-cong-goan, ada yang menyangka dia terlalu lelah sehabis
bertanding dan perlu istirahat, jadi maklumlah kalau tidak mau
terima tamu.
Siapa pun tidak menyangka setelah menjadi Bu-cong-goan, hati
In Tiong justru merasa hampa dan tidak tentram, maka ia
mengurung diri di dalam kamar serta termenung.
Soalnya memang membuat hatinya tidak enak, orang lain tidak
tahu, tapi ia sendiri cukup jelas, yaitu Bu-cong-goan ini bukanlah
direbut berdasarkan kepandaian sendiri melainkan berkat Thio
Tan-hong yang sengaja mengalah kepadanya.
Bahwa dia harus menerima kemurahan hati "musuh", bukankah
ini merupakan penghinaan dan aib terbesar selama hidupnya?
Tapi apa daya, Bu-cong-goan sudah dipegangnya, apakah dia
harus menjelaskan duduknya perkara kepada Sri Baginda?
Begitulah selagi pikiran In Tiong bergolak tak menentu, makin
dipikir makin kesal, tiba-tiba Thaykam cilik datang memanggil,
"Thio-tongling, dipanggil Hongsiang!"
Kejut dan girang In Tiong cepat ia berdandan seperlunya, lalu
ikut Thaykam menyusuri serambi panjang ke kamar kerja kaisar di
Bun hoa tian.Pahala dan Murka - 17 2
Sinar lampu terang benderang di dalam, Hongsiang (Sri
Baginda) kelihatan sedang membaca sendirian. Melihat kedatangan
In Tiong, ia m-mberi tanda agar Thaykam mengundurkan diri. lalu
merapatkan pintu kamar dan berkata dengan tertawa, "Dengan
ilmu silatmu yang tinggi, dapatlah kau kalahkan semua seterumu,
sungguh harus kusampaikan selamat padamu."
Muka In Tiong merah jengah, jawabnya dengan tergegap, "Ah,
terima kasih atas pujian Hongsiang, biarpun tubuh hancur lebur
juga sukar membalas kebaikan Hongsiang ini."
Kaisar memandangnya sekejap, lalu bertanya, "Engkau asal
orang mana?"
In Tiong ragu sejenak, jawabnya, "Leluhur hamba berasal dari
Kaihong, propinsi Holam"
Berputar biji mata kaisar, kembali ia melirik In Tiong sekejap,
katanya tiba-tiba. "Jika demikian, engkau ternyata satu kampung
dan sama she dengan pembesar angkatan lalu, In Cing. Kau panggil
apa kepada In Cing?"
Hati In Tiong terasa pedih, seketika ia berlutut dan melapor,
"Duta Hongsiang yang dulu In Cing adalah kakek hamba."
Sebagai keturunan pembesar yang dituduh khianat, cukup lama
In Tiong merahasiakan asal-usulnya, kini ditanya langsung oleh
Hongsiang, ia tidak berani berdusta.
Dilihatnya air muka Hongsiang berubah seketika, katanya, "Inconggoan, apakah engkau dendam padaku?"
Hati In Tiong seperti disayat-sayat, katanya, "Kakek hamba
selama hidup berjuang bagi negara dan bangsa secara setia, untuk
itu mohon Hongsiang suka mengembalikan nama baik dan
kehormatan kakek hamba itu."Pahala dan Murka - 17 3
Bicara sampai di sini, tanpa terasa air matanya bercucuran.
Kaisar sebenarnya tidak menangis, tapi ia pun berlagak
mengusap air mata, katanya, "Kesetiaan kakekmu cukup kuketahui,
bahwa kakekmu dianugerahi kematian, itu bukanlah keputusanku
yang sesungguhnya"
In Tong melengak, tanpa terasa ia memandang sang kaisar.
"Cuma, jika kau ingin mencuci dosa kakekmu, untuk itu
diperlukan sementara waktu lagi," kata kaisar pula.
Kiranya raja ini bukanlah orang bodoh, cuma sejak kecil ia sudah
dibawah pengaruh Ong Cin, maka tidak berkuasa. Sering juga dia
ingin memegang sendiri kekuasaannya, cuma kaki tangan Ong Cin
sudah tersebar rata sehingga raja ini tidak berani sembarangan
bergerak. Ia ingin memupuk kekuatan dulu dan mengurangi
kekuasaan Ong Cin sedikit demi sedikit.
In Tiong memang berhati jujur dan setia, juga bermusuhan
dengan Ong Cin. pemuda inilah orang pilihan yang paling cocok
dijadikan orang kepercayaannya.
Setelah mendengar kaisar sendiri menyatakan keputusan
menghukum mati kakeknya berasal dari usul Ong Cin, seketika In
Tiong menangis sedih, serentak ia menyatakan kesetiaannya kepada
kaisar dan akan membantunya menumpas kawanan dorna.
Dengan tersenyum kaisar berkata pula, "Jika In-conggoan benarbenar setia padaku, hendaknya bersabar dulu sementara waktu,
belum waktunya sekarang kita bertindak, supaya tidak
mengejutkan mereka."
"Mohon Hongsiang memberi tugas ke tapal batas sebagai
komandan pasukan, bila perang berjangkit, setelah menggempur
mundur pasukan Watze, segera hamba akan pimpin pasukan
kembali ke kotaraja untuk menumpas kaum dorna," lapor In Tiong.Pahala dan Murka - 17 4
"Urusan ini hendaknya juga ditunda sementara," kata kaisar
dengan tersenyum.
Tentu saja In Tiong sangat kecewa, dilihatnya Hong-siang
menatapnya lagi dengan tajam, lalu bertanya dengan tertawa, "Itu
peserta ujian yang bertanding denganmu itu bernama Thio Tanhong bukan? Tampaknya boleh juga kepandaiannya."
Muka In Tiong terasa panas, lapornya kemudian, "Harap
Hongsiang maklum, ilmu silat Thio Tan-hong itu sesungguhnya
tidak di bawah hamba, gelar Bu-cong-goan ini sesungguhnya dia
sengaja mengalah padaku."
Sebelum ini hati In Tiong selalu merasa tertekan, sekarang
setelah bicara terus terang, perasaannya menjadi lapang malah.
Kaisar kelihatan terkesiap oleh keterangan itu, tiba-tiba ia
tertawa dan berkata, "Jujur juga kau, padahal tidak kau katakan juga
kelihatan."
Kembali In Tiong melenggong. pikirnya, "Hongsiang hidup
senang terisolasi di dalam istana, kukira dia tidak paham ilmu silat.
Tentang Thio Tan-hong mengalah satu jurus padaku, kuyakin tiada
seorang pun yang tahu kejadian itu. Mengapa Hongsiang bilang
dapat melihatnya?"
"Apakah kau tahu orang macam apakah Thio Tan-hong itu?"
tanya kaisar.
"Hamba memang hendak melaparkan kepada Hongsiang. Thio
Tan-hong itu sesungguhnya adalah putra wakil perdana menteri
kerajaan Wasze, Thio Cong-ciu, sekali ini dia menyusup ke
pedalaman sini, mungkin ada tujuan tidak baik."
"Oo, kiranya dia anak Thio Congciu," kaisar tampak melengak
juga.Pahala dan Murka - 17 5
"Mungkin Thio Hong-hu juga tidak tahu asal-usulnya," cepat In
Tiong menambahkan. "Hanya lantaran melihat ilmu silatnya tinggi,
maka Thio Hong-hu mencalonkan dia. Thio-tongling berhati setia,
mohon Hongsiang jangan mencurigai dia."
Karena persoalannya serba salah, terpaksa In Tiong bicara terus
terang. Setelah bicara lekas dia membela Thio Hong-hu.
"Yang tidak tahu takkan kusalahkan." ujar Hongsiang. "Bicara
tentang curiga, aku memang tidak mencurigai Thio Hong-hu . . . ."
"Tapi Thio Tan-hong sengaja memberikan Bu-cong-goan
kepadaku, tidaklah heran jika Hongsiang juga mencurigai hamba,
sebab sebenarnya dia adalah musuh bebuyutan keluarga hamba."
ujar In Tiong dengan hati tidak tentram.
Lalu iapun memperlihatkan surat berdarah tinggalan kakeknya.
Karenanya kaisar lantas tertawa, katanya, "Aku juga tidak
memcurigaimu, kutahu tindakan Thio Tan-hong itu cuma sengaja
menanam budi padamu agar kau lupakan sakit hati keluarga dan
dendam negara. Dengan sendirinya takkan kau masuk
perangkapnya "
Ucapan kaisar ini membuat hati In Tiong terhibur, rasa terima
kasihnya kepada Thio Tan-hong seketikapun buyar.
Didengarnya kaisar berkata pula, "Coba kemari, akan
kuperlihatkan sebuah lukisan padamu."
Kaisar menarik laci dan mengeluarkan sehelai lukisan, orang
dalam lukisan memakai jubah berlukis naga, wajahnya kereng.
Dengan suara rada gemetar kaisar berkata, "Coba kaulihat,
apakah Thio Tan-hong mirip orang ini atau tidak?"
In Tiong tercengang, waktu ia mengamati, tertampak raut wajah
orang dalam lukisan memang rada mirip Thio Tan-hong, cumaPahala dan Murka - 17 6
orang dalam gambar ini kelihatan lebih kasar, sedangkan Thio Tanhong cakap dan lembut.
Diam-diam In Tiong membatin, "Mungkinkah Thio Tan-hong
adalah keturunan raja?"
"Rada mirip bukan?" kembali kaisar bertanya.
"Ya . . . ya, rada mirip," sahut In Tiong dengan tergagap.
Tertampak air muka Hongsiang mendadak berubah, mendadak
ia menuding lukisan dan berkata, "Jadi mati pun engkau tidak rela
dan tetap menyuruh anak-cucumu berebut negara denganku?"
In Tiong merasa bingung, tanyanya, "Dia . . . dia siapa?"
"Hm, orang yang terlukis inilah Thio Suseng, keparat yang
mengaku dirinya sebagai raja Ciu," jengek kaisar. "Thio Cong-ciu
dan Thio Tan-hong adalah anak cucunya. Dia sengaja memberi
nama Cong-ciu (mengagungkan Ciu) kepada anaknya, jelas dia
tetap menjunjung gelar kerajaannya dan senantiasa menyuruh
anak-cucunya berusaha menumpas kerajaan Bing kami."
Bahwa Thio Tan-hong ternyata keturunan Thio Su-sing, baru
pertama kali ini In Tiong mengetahuinya, tentu saja hal ini sangat
di luar dugaannya, seketika ia tak dapat bersuara.
Hanya terpikir olehnya, "Pantas mereka ayah dan anak
sedemikian benci kepada kerajaan Beng, dari mana kaisar
mengetahui hal ini? Jika sudah tahu, kenapa Thio Tan-hong tidak
ditangkapnya di lapangan ujian kemarin "
Terdengar kaisar berkata pula, "Dahulu Thio Su-sing berebut
kekuasaan dengan leluhurku dan terjadi perang tanding di sungai
panjang (Yangtze). akhirnya dia kalah dan binasa. Konon sebelum
dia meninggal, dia telah menyimpan harta bendanya di suatu
tempat rahasia di Sohciu. Mendingan kalau cuma harta benda saja,Pahala dan Murka - 17 7
konon masih ada sehelai peta militer yang mencatat seluruh tempat
strategis di negeri ini, bila peta ini sampai tersiar di dunia ramai
tentu akan menimbulkan bahaya."
"Sebab itulah Thayco (cakal bakal kerajaan) meninggalkan pesan
harus menumpas keturunan keluarga Thio sampai ke akar-akarnya,
juga harus menemukan peta rahasia Thio Su-seng itu. dengan
begitu kerajaan Bing baru bisa aman tentram."
"Sekarang Thio Tan-hong telah meninggalkan kotaraja, kuduga
dia pasti menuju ke Sohciu untuk mencari harta pusakanya. Maka
akan kuberi seekor kuda pilihan padamu, hendaknya segera kau
berangkat ke Sohciu dan mengikuti jejak Thio Tan-hong, jangan kau
turun tangan sebelum dia menemukan harta pusaka dan peta
rahasianya, bila benda pusaka itu sudah ditemukannya baru kau
turun tangan membunuhnya, lalu membawa peta pusaka itu untuk
menemuiku."
In Tiong merinding dan tidak berani menjawab.
Terdengar kaisar berkata pula dengan tersenyum, "Sudah tentu,
untuk itu sudah kusiapkan tujuh jago kelas utama istana untuk
membantumu, kalian akan bergabung setiba di Sohciu, maka
jangan kau kuatir."
Mengingat meski kepandaian Thio Tan-hong jauh di atas dirinya,
tapi bila dibantu tujuh jago istana kelas tinggi tentu dapat
mengatasinya, maka dengan gembira In Tiong menerima tugas
rahasia itu.
Sebenarnya dari mana kaisar mengetahui asal-usul Thio Tanhong?
Kiranya sebelum ikut bertanding, lebih dulu sudah dipikirkan
Thio Tan-hong dengan baik cara bagaimana akan bertindak kalau
dirinya dikenali musuh.Pahala dan Murka - 17 8
Benar juga waktu bertanding dengan In Tiong itulah Kang Ciauhai telah membongkar asal-usulnya serta memberi perintah
penangkapan. Sembari melukai Kang Ciau-hai dengan jarum yang
lembut, sekaligus ia sambitkan secarik surat yang sudah disiapkan
ke dalam jubah kaisar.
Cara Tan-hong menyambitkan senjata rahasia memang sangat
bagus, bukan saja orang lain tidak tahu, bahkan kaisar sendiri tidak
merasakan sesuatu. Ketika sudah pulang ke istana dan membuka
jubah barulah ditemukan surat Tan-hong.
Isi surat Tan hong itu memberitahukan bahwa pihak Watze
selekasnya akan menyerbu ke pedalaman Tiongkok, kaisar diminta
dapat membedakan pembesar yang setia dan khianat serta
menghadapi serbuan dari luar. Dipaparkan pula bukti
persekongkolan antara Ong Cin dan kerajaan Watze, kaisar diminta
berjaga-jaga sebelumnya.
Juga dijelaskan oleh Tan-hong bahwa di antara dirinya dengan
kaisar sebenarnya ada permusuhan turun temurun, tapi kalau
kaisar bertekad akan menghadapi musuh dari luar, maka
permusuhan dapat dihapus. Lalu kaisar diberi nasihat agar jangan
membikin susah menteri setia dan jujur, kalau tidak, bilamana perlu
Tan-hong akan bertindak, adalah sangat mudah baginya untuk
memenggal kepala kaisar.
Isi surat itu cukup tegas dan juga simpatik, keras dan lunak
digunakan sekaligus, semua itu demi kebaikan negara dan bangsa.
Tak terduga kaisar menjadi kuatir, ia pikir kalau Thio Tan-hong
tidak dilenyapkan, selama itu keselamatannya tetap terancam. Lalu
teringat juga olehnya akan pesan tinggalan leluhur, ia yakin Thio
Tan-hong pasti keturunan Thio Su-seng, maka dalam surat
disebutkan ada permusuhan turun temurun antara mereka. Ia cobaPahala dan Murka - 17 9
mencocokkan wajah Tan-hong dengan gambar Thio Su-sing yang
tersimpan dalam istana dan ternyata memang rada mirip.
Tentu saja kaisar tambah takut, maka maksud baik Thio Tanhong itu tidak dihiraukannya sebaliknya ia menugaskan In Tiong
dan tujuh jago kelas tinggi menuju ke Sohciu untuk membunuh


Pahala Dan Murka Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Thio Tan-hong.
Begitulah, esok paginya In Tiong lantas meninggalkan kotaraja
secara rahasia, kuda pemberian kaisar meski tidak sebagus Ciau-yajai-cu-ma kepunyaan Tan-hong. tapi selisihnya juga tidak jauh.
Maka enam-tujuh hari kemudian dia sudah melintasi wilayah
Soatang dan Ho-pak serta memasuki daerah Kangsoh.
Hari itu dia sampai di Gokoan, sebuah kota tetangga Sohciu, dari
sini ke Sohciu hanya perjalanan kurang dari setengah hari.
Maka In Tiong mengendurkan lari kudanya sambil menikmati
pemandangan daerah Kanglam yang terkena?, indah permai.
Tidak lama kemudian, pandangan In Tiong tiba-tiba terbeliak, di
depan ada sebuah kolam yang membentang tenang di tepi jalan. Di
tepi kolam ada sebuah makam tua.
Sekilas pandang In Tiong melihat pada batu nisan itu tertulis:
"Kuburan Ciamtai Biat-beng".
Keruan ia terkejut, jelas Ciamtai Biat-beng adalah panglima
perkasa kerajaan Watze, bulan yang lalu berada di Peking, kenapa
di sini ada kuburannya?
Kuburan ini kelihatan tua dan berbentuk antik, jelas bukan
kuburan baru.
Selagi sangsi, tiba-tiba terlihat seorang anak gembala datang dari
tepi kolam sana dengan menongkrong di atas punggung kerbau
sambil membaca.Pahala dan Murka - 17 10
Seeera In Tiong menyapa, "Eh, engkoh cilik, tempat apakah ini
dan iri kuburan siapa?"
"Tampaknya Anda datang dari daerah lain," jawab anak gembala
itu dengan tertawa. "Dusun ini bernama kampung Ciamtai, danau
kecil ini pun bernama danau Ciamtai, dan makam ini adalah
kuburan cakal-bakal kami."
In Tiong tambah heran, "Apa, makam cikal-bakal kalian?"
"Anda kelihatan juga terpelajar, masakah siapa Ciamtai Biatbeng tidak pernah kau baca?" ujar anak gembala itu.
"Aha, betul, baru kuingat, kiranya cikal-bakal kalian adalah
Ciamtai Biat-beng pada jaman Cunciu yang terkenal sebagai
seorang murid Khonghucu itu."
"Betul, Anda memang seorang terpelajar," puji si kacung sambil
tinggal pergi dengan kerbaunya.
Pelahan In Tiong pun mengitari danau itu sambil memikirkan
urusan Ciamtai Biat-beng. Teringat waktu menyergap pangeran
Mongol, jelas Ciamtai Biat-beng tidak berniat jahat padanya meski
ilmu silatnya jauh di atasnya.
Lalu teringat pula olehnya waktu bertanding di rumah Thio
Hong-hu, disitu Ciamtai Biat-beng pun menolong Thio Hong-hu
dari serangan gelap musuh.
Hal-hal itu membuat In Tiong merasa sangsi, tapi lantas terpikir
pula, "Ah, Ciamtai di sini kan bukan Ciamtai di sana, buat apa
kupikirkan dia?"
Sementara itu sudah lohor, sang surya tepat di tengah langit,
hawa panas dan membuat orang kehausan.
Di daerah Kanglam, terutama wilayah Soh ciu dan Hangcio.
sepanjang jalan terdapat kedai minum di manamana. Jalan raya iniPahala dan Murka - 17 11
menembus dusun itu, sawah ladang di kedua tepi jalan ternyata
tiada digarap orang, kedai minum di pinggir jalan juga tiada sebuah
pun yang buka pintu.
Melihat keadaan demikian, In Tiong sangat heran, ia pikir
apakah kampung ini tidak berpenduduk lagi.
Terpaksa In Tiong meneruskan perjalanan lagi, mulut terasa
kering sekali, tiba-tiba di tepi jalan ada sebuah gardu minum,
seorang nenek menjual teh di situ.
"Sejauh ini baru menemukan tempat minum, boleh juga,"
gumam In Tiong dengan tersenyum.
Ia tambat kudanya dan masuk ke gardu itu.
"Ada tamu, anak Beng, tuangkan teh!" segera si nenek berseru.
Maka seorang gadis berusia 14-15 tahun muncul dengan
membawa teko dan menuangkan secangkir teh harum warna hijau.
Meski berbaju sederhana, namun wajah anak dara itu kelihatan
lumayan.
Diam-diam In Tiong mengakui daerah Kanglam memang serba
indah, bukan cuma alamnya saja yang ramai, juga gadisnya sama
cantik.
Karena iseng, ia coba tanya she dan nama si nenek.
"Penduduk dusun ini sama she Ciamtai." tutur nenek itu. "Maka
bolehlah engkau menyebutku Ciamtai-toanio saja."
Tengah pasang omong, tiba-tiba seorang penunggang kuda
berhenti di depan gardu, tanpa turun dari kudanya ia berteriak, "He,
nenek itu. kutanya padamu, adakah kemarin seorang Pek-maSuseng lalu di sini?"Pahala dan Murka - 17 12
In Tiong jadi terperanjat ketika mendengar orang menanyakan
"Pek-ma-Suseng' atau pemuda sastrawan berkuda putih, jelas yang
Kisah Sepasang Rajawali 11 Pendekar Gila 7 Titisan Dewi Kwan Im Into Dark 1

Cari Blog Ini