Pahala Dan Murka Karya Liang Ie Shen Bagian 16
Tapi pada hari kedua keadaannya tambah linglung sehingga
tidak tahu sebab apa dia berada sendirian di pegunungan sunyi ini.
Tetumbuhan atau padas yang dilihatnya menimbulkan khayalan
bayangan In Lui, suara desir angin dirasakan seperti suara si nona
yang sedang memanggilnya. Tapi suara panggilan itu mendadak
berubah bunyi "blang", bunyi pintu yang ditutup dengan keras.
Selamanya Tan-hong takkan melupakan suara itu, suara itu
seperti mengejarnya, ia tidak berani turun ke bawah gunung
melainkan berlari ke atas gunung tanpa arah tujuan, seakan-akan
dengan demikian akan bebas dari suara itu dan meninggil-kan
dunia yang menjemukan di bawah gunung itu.
Petang hari kedua ia sampai di puncak gunung dan berhenti di
situ, ia merasa lapar dan dahaga baru teringat olehnya rangsum
yang dibawanya sudah habis termakan pada hari pertama dan
selama hari kedua ini dia tidak makan apa pun.
Lapar membuatnya rada sadar, teringat olehnya perlu mencari
makanan, waktu ia menengadah terlihat di atas gunung situ ada
sebuah rumah batu dan sayup-sayup mengepulkan asap dapur.
Tak diketahui Tan-hong bahwa rumah batu ini adalah tempat
kediaman musuh besar gurunya, yaitu Siangkoan Thian-ya.
Yang terpikir olehnya sekarang hanya mencari makanan, segera
ia lari ke sana dan mendorong pintu. Dalam khayalnya pintu ini
berubah lagi menjadi pintu rumah orang tua In Lui, si nona seperti
sudah menanti di balik pintu.
Entah dari mana timbulnya tenaga, mendadak ia menghantam
pintu dua kali, "blang-blang", pintu batu itu tergetar terbuka.Pahala dan Murka - 25 19
Tiba-tiba terdengar orang terkekeh aneh di dalam rumah, "Hehe,
siapa begitu berani merusak pintu rumahku?"
Suara orang itu tajam melengking menusuk telinga, Tan-hong
terkejut, suara tertawa yang seram ini dibandingkan suara tertawa
In Lui boleh dikatakan serupa bunyi burung hantu dengan kicau
burung kenari.
"Ah, adik cilik tidak berada di sini, untuk apa kudatang kemari?"
seketika pikiran Tan-hong berubah linglung lagi sehingga lupa lapar
pula.
Dalam sekejap itu tiba-tiba beberapa sosok bayangan menerjang
ke arahnya, secara naluri Tan-hong mengerahkan tenaga dalamnya
untuk melawan, dahm ruangan gelap itu ia keluarkan ilmu tiamhiat yang lihai, terdengarlah suara gedebukan beberapa kali,
beberapa sosok bayangan itu sama menggeletak tak bisa berkutik.
Pada saat itulah pintu sebuah ruangan dalam terpentang,
muncul pula sesosok bayangan, belum tiba orangnya angin
pukulannya sudah menyambar, seketika Tan-hong merasa bumi
berputar dan langit ambruk, ia jatuh dan tidak sadar.
Beberapa orang yang tertutuk roboh oleh Tan-hong itu adalah
pelayan Siangkoan Thian-ya dan ia sendiri baru keluar dari ruangan
itu. Ilmu silat Siangkoan Thian-ya tiada taranya, terkenal pula
sebagai "gembong iblis," selama berpuluh tahun mengasingkan diri
di pegunungan ini, orang persilatan umumnya tidak berani lalu di
dekat tempat tinggalnya, tak terduga sekarang Thio Tan-hong
berani merusak pintunya.
Semula Siangkoan Thian-ya mengira pendatang ini adalah Hianki It-su, tapi segera terpikir olehnya dengan kedudukan Hian-ki
tidak nanti dia bertindak sekeras ini.Pahala dan Murka - 25 20
Dengan heran ia melancarkan lt-ci-sian (tenaga-jari sakti) dari
jauh sehingga Tan-hong dirobohkan, lalu ia menyalakan lampu,
ingin dilihatnya orang macam apakah pendatang ini berani main
gila padanya.
Dan setelah melihat jelas yang menggeletak di situ ternyata
seorang pemuda cakap, tentu saja Siangkoan Thian-ya terheranheran. Wajah Tan-hong kelihatan pucat kurus, serupa orang sakit,
tampaknya baru berumur 20-an.
Pengetahuan Siangkoan Thian-ya sangat luas, berbagai ilmu
dikuasainya, baik ilmu pengobatan, ilmu nujum, ilmu perbintangan
dan lain-lain hampir semuanya dipahaminya. Maka melihat
keadaan Tan-hong itu ia tahu tentu ada sesuatu yang tidak beres. Ia
coba periksa nadi Thio Tan-hong, sekali pegang, seketika Siangkoan
Thian-ya terheran-heran lagi.
Maklumlah, It-ci-sian adalah ilmu andalannya yang sudah
mencapai tingkatan paling sempurna, yang ditutuk juga bagian Nuimoa-hiat di bawah iga Tan-hong, menurut akal, jalan darah di
sekitar tempat itu pasti akan terganggu dan denyut nadinya juga
akan terhambat. Tapi sekarang denyut nadi Tan-hong ternyata
normal, hanya fisiknya kelihatan agak lemah, setiap orang yang
paham ilmu pengobatan tentu akan tahu kelemahan fisik ini adalah
akibat lapar dan bukan akibat tertutuknya tadi.
Dengan sendirinya Siangkoan Thian-ya merasa sangsi, "Aneh,
meski dia tertutuk roboh, tapi tiada mengalami cedera apa pun,
entah apa sebabnya? Apakah mungkin di dunia ini terdapat
semacam lwekang ajaib yang tidak kukenal?"
Sama sekali tak terduga olehnya bahwa di dunia ini memang ada
semacam lwekang mujizat, yaitu inti lwekang tinggalan Panghwesio, lwekang yang dipelajari Siangkoan Thian-ya memangPahala dan Murka - 25 21
menyimpang daripada cara biasa dan sangat lihai, tapi justru tidak
semurni lwekang ajaran Pang-hwesio itu.
Maka meski tenaga Tan-hong jauh di bawah Siangkoan Thianya, tapi ketika ia tertutuk dari jauh, secara otomatis ia sempat
mengerahkan tenaga dalam untuk melawan, maka meski dia jatuh
pingsan, namun tidak mengalami sesuatu cedera.
Selain itu Siangkoan Thian-ya juga heran pemuda yang masih
muda belia dan juga dalam keadaan kelaparan ini, ternyata sekali
gebrak mampu merobohkan keempat pelayannya, kepandaian ini
tidak mungkin dapat dilakukan kalau tidak ada latihan selama duatiga puluh tahun, apakah mungkin anak muda ini sudah berlatih
kungfu sejak masih berada dalam rahim ibunya?
Sekonyong-konyong terpikir olehnya jangan-jangan anak muda
ini murid Hian-ki Itsu, tapi lantas teringat biarpun murid Hian-ki
It-su, dalam usia semuda ini tidak nanti menguasai lwekang setinggi
ini, apalagi caranya menahan tutukan It-ci-sian tampaknya juga
bukan kungfu aliran Hian-ki It-su.
Sungguh Siangkoan Thian-ya tidak habis mengerti mengapa bisa
begitu. Meski dia terkenal sebagai "gembong iblis", tapi dia juga
mempunyai perasaan "sayang bakat", segera ia menutuk sadar Tanhong.
Keadaan Tan-hong masih samar-samar, mata pun tidak
terpentang, ia tidak tahu apa yang telah dilakukannya, begitu ada
perasaan segera ia berteriak, "Adik cilik! Adik cilik!"
Siangkoan Thian-ya menuangkan secangkir teh dan ditaruh di
tepi mulut Tan-hong, didengarnya anak muda itu berkaok pula, "Ah,
adik cilik, engkau tidak suka tuak susu kuda, aku pun tidak mau
minum tuak ini."Pahala dan Murka - 25 22
Diam-diam Siangkoan Thian-ya membatin, "Pikiran orang ini
kacau, pantas denyut nadinya terasa kurang beres."
Ia coba berkata, "Baiklah, jika kamu tidak mau minum tuak susu
kuda, boleh minum anggur saja."
Lalu ia ambilkan semangkuk susu untuk menggantikan teh tadi.
Dalam keadaan kurang sadar Tan-hong minum semangkuk susu,
lalu berteriak pula, "Adik cilik, hehe, sungguh adik cilik yang baik.
Sekarang aku sudah masuk kemari, engkau takkan mengusirku lagi,
bukan?"
Mendadak ia jatuhkan diri dan mendengkur, Rupanya saking
letihnya ia terpulas.
Entah mengapa, Siangkoan Thian-ya merasa anak muda ini
sangat mencocoki seleranya, ia pikir, "Setelah minum semangkuk
susu, andaikan tidak makan barang lain juga tahan sehari dua hari."
Segera ia angkat Tan-hong ke kamarnya dan ditidurkan di atas
dipan yang biasanya digunakan tidur siang olehnya.
Waktu Tan-hong mendusin, sementara itu sudah lewat lohor
hari kedua, ia merasa ruangan berbau harum, waktu membuka
mata, tertampak cahaya matahari menembus masuk melalui
jendela, di ambang jendela ada sebuah pot bunga anggrek, di
samping jendela ada pigura yang bertuliskan sanjak yang berbunyi:
"Budi dan benci tak terlupakan, apalagi dikau. Cinta murni timbul
dari hati yang suci!"
Indah sekali pajangan di dalam kamar, di dinding ada sebuah
lukisan yaug bergambar hutan bambu, di tengah hutan berdiri
seorang gadis berbaju warna lembayung dengan alis lentik dan
wajah cantik, serupa lagi tertawa dan seperti juga sedang marah.
Tergerak hati Tan-hong, ia merasa gadis dalam lukisan ini
seperti pernah dikenalnya.Pahala dan Murka - 25 23
Ia coba merenungkan sanjak tadi, tiba-tiba bayangan In Lui
seperti timbul di depan mata, gadis dalam lukisan seperti berubah
menjadi In Lui dan seakan-akan melompat keluar dari dalam
lukisan, tapi hanya sekejap lantas menghilang pula.
Tanpa terasa Tan-hong bergumam dengan tertawa, "Hah, di
jagat ini mana ada gadis lain yang melebihi adik cilik, betapa cantik
gadis di dalam lukisan juga sukar menandingi secuil adik cilikku."
Di luar sadarnya ia mengambil pit dan kertas lalu mulai melukis
sehelai demi sehelai, yang dilukis adalah potret In Lui, ada In Lui
yang kelihatan malu-malu, ada yang lagi tersenyum dan ada pula
yang setengah marah, juga ada yang kelihatan kasihan dan berbagai
sikap yang lain.
Semua itu belum memuaskan, ia melukis pula In Lui yang sedang
melarikan kudanya bersama dirinya, lalu diberi syair yang memuji
suasana yang asyik itu.
Selesai melukis dan menulis, ia buang pit sambil tertawa
panjang, tapi mendadak menangis ter-guguk-guguk.
Pada saat itulah ia merasa pundaknya ditepuk orang. Waktu
menengadah, terlihat seorang kakek dengan rambut ubanan, meski
wajah kelihatan buas, namun sorot matanya menampilkan rasa
simpatik dan penuh perhatian terhadap nasibnya.
"Siapa kau? Mengapa menangis?" demikian kakek itu
menegurnya dengan tersenyum.
"Dan engkau sendiri siapa? Dan kenapa engkau tertawa?" jawab
Tan-hong.
Kakek itu tergelak, katanya, "Haha, tak tersangka di jagat ini
terdapat dua orang gendeng seperti kita ini!"Pahala dan Murka - 25 24
Begitulah kedua orahg saling tatap, sebentar menangis dan lain
saat sama tertawa pula.
"Semalam berulang kau panggil adik cilik, memangnya di mana
adik cilikmu?" tanya si kakek kemudian.
Tan-hong tidak menggubrisnya, ia ambil belasan gambar In Lui
yang dilukiskan tadi dan dipandang satu persatu, lalu menangis
sedih pula.
"Hah, inikah adik cilikmu?" seru si kakek dengan terbahak,
"Huh, berani melotot pada adik cilikku, hm, harus kuhajar kakek
konyol semacammu ini," teriak Tan-hong, sebelah tangannya lantas
menampar.
Mendadak jari telunjuk si kakek menegak dan menutuk pelahan,
seketika tenaga pukulan Tan-hong buyar tertutuk dan lemas serupa
balon gembos, kembali Tan-hong menangis terhadap sebuah
lukisan In Lui, "O, kularang orang melotot padamu, mengapa
engkau berbalik melotot padaku?"
Kiranya yang dipandangnya adalah lukisan In Lui yang sedang
marah.
Si kakek menghela napas, gumamnya, "Beberapa puluh tahun
yang lalu, bilamana ada orang berani memandang sekejap saja
kepada Ci-lan tentu juga akan kuhajar dia."
Dalam sekejap itu anak muda di depannya seakan-akan berubah
serupa dirinya pada masa lampau, tanpa terasa ia tanya, "Sebab apa
adik cilikmu meninggalkanmu?"
Tan-hong melototi orang sekejap, jawabnya, "Semua sudah kau
ketahui, untuk apa pula tanya padaku."
"He, kenapa?" tanya si kakek dengan heran.Pahala dan Murka - 25 25
"Kan sudah kau tulis, bukankah itu tulisanmu?" kata Tan-hong
sambil menunjuk sanjak hiasan jendela tadi. "Jika engkau tidak tahu
urusanku dengan In Lui, cara bagaimana dapat kau tulis sanjak
seperti ini?"
Ucapan Tan-hong ini membuat si kakek melenggong, seketika ia
melongo seperti orang linglung, pikirnya, "Ah, kiranya cinta dan
rindu setiap orang sama saja."
Mendadak ia menepuk paha dan berteriak dengan tertawa,
"Haha, 30 tahun yang lalu aku, 30 tahun kemudian kau. Haha, kau
dan aku, sama-sama, biarlah orang yang edan kasmaran di dunia
ini merasa senasib dan menangis bersama!" Belum habis ucapannya
segera ia berdekapan dengan Tan-hong dan menangis bersama.
Tangis mereka sungguh menggetar lembah pegunungan dan
membuat para pelayan saling pandang dengan bingung, semuanya
heran, semula mereka menyangka Siangkoan Thian-ya pasti akan
membunuh anak muda itu, siapa duga mereka serupa sahabat karib
saja, begitu bertemu lantas tertawa dan menangis bersama.
Sudah lama beberapa pelayan itu bekerja bagi Siangkoan Thianya, meski mereka kenal watak sang majikan yang suka gusar dan
senang tidak menentu, tapi tidak pernah berbuat aneh seperti
sekarang.
Sesudah kedua orang puas menangis, tiba-tiba si kakek
berteriak, "Haha, tangis kita hari ini sungguh sangat
menyenangkan. Hah, selama 30 tahun ini aku menahan rasa kesal
dan baru hari ini bertemu dengan orang senasib, hahaha!" Suara
tangisnya berubah menjadi tertawa, tanpa terasa Tan-hong juga
ikut tertawa, dan karena habis menangis, hati yang kesal banyak
lebih lega, benaknya mulai jernih kembali, tanpa terasa ia tanya,
"He, kenapa aku berada di sini?"Pahala dan Murka - 25 26
"Ya, memang hendak kutanya padamu, mengapa kau sampai di
sini?" kata si kakek dengan tertawa.
Tan-hong memeras otak dan berusaha mengingat-ingat kembali
dan tetap tidak ingat mengapa dirinya bisa berada di sini, ia cuma
ingat hubungan cinta antara dirinya dengan In Lui, teringat kepada
rumah In Lui yang terletak di selatan lembah gunung ini, dirinya
seperti ditutupi pintu, lalu menuju ke sini dengan maksud mencari
kakek ini untuk menuturkan kesusahannya.
Maka Tan-hong lantas bercerita mengenai cinta kasih dirinya
dengan In Lui serta mengalami berbagai rintangan, ia bercerita
sepotong-sepotong tanpa teratur, ada yang terbalik urutannya, ada
yang terlompat untuk kemudian ditambah lagi.
Tentu saja si kakek rada bingung, ia tanya, "Ajaran siapa ilmu
silatmu dan gadismu itu?"
"Aku dan dia adalah saudara seperguruan, tentang guru kami . .
. siapa guruku dan . . . . dan siapa gurunya? . . . . " begitulah Tanhong terus mengingat-ingat pula, tapi tetap tidak ingat.
"Apakah pernah kau dengar nama Hian-ki It-su?" tanya si kakek
tiba-tiba.
Mendadak Tan-hong mengeplak kepala sen diri dan berseru,
"Aha, betul, aku ingat, memang Suco (kakek guru) kami bernama
Hian-ki It-su, dia kakek guruku, juga kakek guru In Lui. Beliau
menurunkan dua jurus ilmu pedang yang diajarkan secara terpisah,
orang yang belajar hanya diperbolehkan memahami ilmu pedang
yang dilatihnya dan dilarang mempelajari lagi ilmu pedang
Pahala Dan Murka Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
timpalannya. Meski cuma curi belajar sejurus saja akan dihukum
kurungan selama 12 tahnn. Aku belajar ilmu silat di kotaraja Watze,
aku . . , aku belajar pada siapa? Ah, aku tidak tahu . . . Tapi gabunganPahala dan Murka - 25 27
ilmu pedang kami sungguh tidak ada tandingannya, haha, tidak ada
bandingannya!"
Air muka si kakek tampak berubah, lalu tertawa, pikirnya, "Anak
muda ini sungguh teramat parah penyakit gilanya, sudah istirahat
sehari semalam pikirannya masih linglung begini. Jika dia cucumurid Hian-ki It-su, mana bisa pula belajar ilmu silat di kotaraja
Watze? Kekasihnya tentu lebih muda daripada dia, masa bisa
dihukum kurungan 12 tahun lantaran mencuri belajar ilmu
pedangnya, bukankah sekarang seharusnya sudah setengah baya?
Di dunia ini mana ada ilmu pedang gabungan yang tidak ada
tandingannya? Kan cuma mengigau belaka anak muda ini?"
Ia terdiam sejenak, lalu terpikir pula, "Jika dia mengaku sebagai
murid Hian-ki It-su mungkin masih dapat dipercaya, sebab cucumurid Hian-ki It-su masa mampu menahan tutukanku kemarin?
Mungkin gurunya seorang tokoh kosen dunia persilatan yang tidak
mau dikenal umum, bisa jadi ia pernah mendengar nama Hian-ki
It-su, lalu dalam keadaan linglung ia menyebut Hiang-ki sebagai
kakek gurunya."
Sama sekali tak terduga oleh Siangkoan Thian-ya bahwa apa
yang dikatakan Thio Tan-hong itu justru hal yang sesungguhnya,
hanya ingatannya kabur, uraiannya kurang jelas. Yang
dimaksudkan dihukum kurung 12 tahun adalah guru In Lui, tapi
menimbulkan salah paham Siangkoan Thian-ya yang dimaksudkan
anak mda itu adalah In Lui, ditambah lagi kungfu yang dikeluarkan
Tan-hong kemarin jelas bukan aliran Hian-ki It-su, maka Siangkoan
Thian-ya tambah tidak percaya.
Habis bertutur tadi, lalu Tan-hong bertanya, "Dan engkau siapa?
Mengapa tinggal di sini? Apakah karena engkau juga ditinggal oleh
adik-cilik-mu?"Pahala dan Murka - 25 28
"Betul," jawab Siangkoan Thian-ya. "Adik cilikku lebih suka
mengurung diri di tengah hutan bambu dan tidak mau menemuiku
di pegunungan bersalju ini. O, saudara cilik, biarlah kuceritakan
sebuah kisah padamu . . . . "
"30 tahun yang lalu, ada seorang bandit terkenal di kalangan loklim dan seorang pendekar pedang kosen di dunia persilatan,"
demikian Siang-koan Thian-ya melanjutkan. "Kedua orang sama
membual sebagai tiada tandingan di dunia, sesungguhnya juga
bukan membual, sebab mereka memang benar tidak ada tandingan
di dunia, sebaliknya gabungan dua macam ilmu pedang tanpa
tandingan di dunia yang kaukatakan tadi hanya omong kosong
belaka."
"Lantas sebenarnya siapa di antara mereka yang benar tidak ada
tandingannya?" tanya Tan-hong.
"Sampai sekarang pun tidak tahu," kata si kakek alias Siangkoan
Thian-ya. "Jika kau mau tahu, boleh tinggal lebih lama beberapa
hari di sini. Kau-tahu kedua orang yang sok anggap dirinya tiada
tandingan di dunia itu justru sama-sama mencintai seorang
perempuan yang juga menganggap dirinya tidak ada tandingan di
dunia. Perempuan ini lebih sering bertengkar dengan si bandit
daripada bersenda gurau, mungkin dia anggap si bandit kurang
terhormat, maka dia lebih sering mencari dan mengajak bicara
dengan si pendekar pedang meski watak mereka sebenarnya tidak
cocok satu sama lain.
"Ai, pendekar pedang itu sungguh busuk, lantaran dia
berlawanan dengan si bandit, maka dia sengaja menyiksa batin
perempuan itu, dengan demikian secara tidak langsung ia ingin
membikin hati si bandit berduka. Dalam marahnya si bandit lantas
menantang si pendekar untuk bertanding di puncak Go-bi-san,
selama tiga-hari-tiga-malam mereka bertempur dan tetap sukarPahala dan Murka - 25 29
menentukan kalah dan menang. Akhirnya mereka berjanji untuk
bertanding lagi 30 tahun kemudian, dan batas waktu 30 tahun itu
segera akan tiba dalam beberapa hari ini.
"Setelah bertanding di puncak Go-bi-san, si bandit terus cuci
tangan dan tidak perlu melakukan kejahatan lagi, ia mengasingkan
diri di daerah perbatasan Mongol, sebenarnya sebagai seorang
ksatria dia juga menghargai ksatria, maka ada maksudnya
menyerahkan anak perempuan itu kepada si pendekar. Tapi, hm,
pendekar itu justru teramat busuk."
"Teramat busuk bagaimana?" tanya Tan-hong.
"Sehabis bertanding, pendekar itu lantas meninggalkan anak
perempuan itu, betapapun dia tak mau menggubrisnya sehingga
perempuan itu menangis sedih dan menyingkir sendirian ke suatu
hutan bambu."
"Ai, pendekar pedang itu memang salah, mana dia boleh
meninggalkan seorang yang cinta padanya," kata Tan-hong.
Ia tidak tahu pendekar pedang yang dimaksud si kakek ialah
kakek gurunya, yaitu Hian-ki It-su, dan si bandit adalah Siangkoan
Thian-ya sendiri, sedangkan si anak perempuan adalah si nenek
yang tempo hari pernah dilihatnya di hutan bambu itu, namanya
Siau Im-lan, anggrek yang selalu menghiasi kamar Siangkoan
Thian-ya justru digunakan kenangan kepada bekas kekasihnya itu.
Cuma apa yang diceritakan Siangkoan Thian-ya itu ada sebagian
tidak jujur. Bahwa Siangkoan Thian-ya cinta kepada Siau Im-lan
memang betul, sedangkan Hian-ki It-su tidak pernah mencintainya.
Watak mereka berdua tidak cocok juga betul, tapi sebab utama
bukan lantaran bersaing rebut kekasih.Pahala dan Murka - 25 30
Pada waktu mudanya Siau Im-lan sangat tinggi ilmu silatnya,
orangnya juga cantik, maka ada semacam angan-angannya yang
aneh, yaitu ingin menaklukan setiap ksatria di dunia ini.
Sebenarnya dia tidak menyukai Siangkoan Thian-ya, tapi
lantaran Siangkoan Thian-ya yang tergila-gila padanya, hal ini
sangat memuaskan rasa ingin menangnya. Justru Hian-ki It-su tidak
suka kepada perangainya itu, maka dia menjauhi dia. Tapi dia
malahan berusaha memikat Hiat-ki It-su.
Karena rasa ingin menang dan kepuasan sendiri itu makin lama
makin keras, akhirnya ia menghendaki kedua orang yang
menganggap diri tidak ada bandingan di dunia itu mati demi dia,
sedikitnya agar keduanya duel gara-gara dia. Maka secara sengaja
atau tidak sengaja ia membuat pertentangan di antara kedua orang
supaya terjadi duel.
Karena Siangkoan Thian-ya memang cinta padanya, dengan
sendirinya mudah terjebak, sebaliknya Hian-ki It-su sedapatnya
berusaha menghindarinya, tapi didesak terus menerus oleh
Siangkoan Thian-ya, pula ia tidak suka mengolok-olok Siau Im-lan
di hadapan Siangkoan Thian-ya dan membongkar maksud kejinya,
akibatnya dia menelan pil pahit dan sulit untuk menjelaskan, karena
kepepet, akhirnya terjadi pertarungan tiga-hari-tiga-malam di
puncak Go-bi-san.
Sehabis pertarungan itu, Hian-ki It-su merasa setiap perempuan
di dunia ini adalah bibit penyakit. Wataknya lantas banyak berubah,
terhadap Siau Im-lan semakin tidak dihiraukannya, bahkan
menolak untuk bertemu dan selalu menghindarinya serupa
berhadapan dengan binatang berbisa.
Karena dorongan hasrat ingin menaklukkan itu berbalik
mengakibatkan dua tokoh kosen itu meninggalkan dia, denganPahala dan Murka - 25 31
sendirinya kehormatan Siau Im-lan merasa terpukul, sebab itulah
ia pun menghilang dari dunia kangomv.
Tan-hong tidak tahu seluk-beluk urusan itu, ia hanya merasa
seorang tidak pantas meninggalkan orang yang mencintainya,
serupa halnya In Lui tidak seharusnya meninggalkan dia. Sebab
itulah ia mendukung nada ucapan Siangkoan Thian-ya dan
mencaci-maki si pendekar pedang yang diceritakan itu.
Bicara punya bicara, kedua orang merasa cocok satu sama lain.
Siangkoan Thian-ya lantas menahan dia tinggal di rumahnya dan
menyuruhnya menyembuhkan penyakit linglung dengan lwekang
sendiri, diharapkannya setelah tetirah beberapa hari tentu Tanhong akan sehat kembali.
Setelah ditinggalkan sendiri, mendadak Tan-hong teringat
kepada kisah pertarungan di puncak Go-bi-san itu rasanya sebelum
ini pernah didengarnya. Tapi demi dipikirkan lagi toh tidak teringat
lagi, hanya lamat-lamat dirasakan satu di antara kedua orang yang
bertanding itu mempunyai hubungan yang erat dengan dirinya.
Siangkoan Thian-ya memang luas pengetahuannya,
kesusastraan dau menggubah syair juga pernah dipelajarinya, maka
setiap hari ia suka masuk ke kamar dan mengobrol sebentar dengan
Thio Tan-hong. Kedua orang yang sama mengaku edan kasmaran
sering sama menangis bila bicara hal yang membuat berduka, dan
bila bicara hal yang menggembirakan mereka lantas tertawa.
Kehidupan begitu terus berlangsung hingga beberapa hari, hati
Tan-hong yang terpukul itu mulai sembuh, pikirannya sudah jauh
lebih jernih daripada waktu datangnya.
Suatu hari ia sedang termenung di dalam kamar, tiba-tiba
teringat olehnya gurunya berjanji dengan dia untuk naik ke atasPahala dan Murka - 25 32
gunung ini untuk menemui seorang "gembong iblis", siapa nama
iblis itu seketika tidak teringat.
Ia sangat girang, segera ia bermaksud keluar untuk mencari
Siangkoan Thian-ya daa minta ke terangan adakah di atas gunung
ini "gembong iblis" yang berkepandaian tinggi. Pada saat itulah
tiba-tiba terdengar Siangkoan Thian-ya sedang bicara di luar
dengan suara keras, agaknya lagi marah-marah kepada seorang.
Suara Siangkoan Thian-ya sedang membentak, "Oh Mong-fu,
kau berani datang menemuiku lagi?'' Lalu suara seorang setengah
baya menjawab, "Sejak meninggalkan perguruan, tidak pernah
kulupakan budi kebaikan Suhu. It-ci-sian ajaran Suhu juga
senantiasa kulatih terlebih tekun, mohon Suhu mengizinkan murid
kembali ke dalam perguruan."
"Barangsiapa meyakinkan kungfu ini, selama hidup dilarang
kawin, tapi kamu justru melanggar pantangan tersebut, mana dapat
kuterima lagi dirimu," kata Siangkoan Thian-ya. "Dan bila kamu
tidak mampu meyakinkan kungfu tinggi dan tidak dapat
menandingi murid Hian-ki It-su, kau cuma membikin malu
perguruan saja."
"Selanjutnya murid bersumpah takkan timbul uafsu berahi lagi
dan siap menebus dosa dengan berjasa," kata orang itu.
"Kamu berjasa apa?" tanya Siangkoan Thian-ya.
"Murid berhasil mendapatkan rahasia ilmu silat Hian-ki It-su,"
tutur orang itu.
"Rahasia apa, coba ceritakan," suaranya hambar, namun jelas
terangsang rasa ingin tahunya.
"Murid sudah pernah bergebrak sekali dengan murid Hian-ki Itsu di luar Gan-bun-koan," tutur orang itu. "Mereka ternyata tidakPahala dan Murka - 25 33
banyak lebih kuat daripadaku, hanya saja mereka menguasi
semacam kungfu yang sangat lihai . . . ."
"Kungfu apa, masa melebihi It-ci-sian ajaranku?" tanya
Siangkoan Thian-ya tak sabar.
"Kungfu mereka itu tidak sejenis dengan It-ci-sian, tapi mereka
menguasi semacam ilmu pedang yang sekaligus dimainkan dua
orang, gabungan kedua pedang mereka menjadi maha lihai dan
sukar ditandingi."
"Hah, gabungan dua pedang?", seru Siangkoan Thian-ya kaget.
"Jadi benar ada ilmu pedang dimainkan dua orang sekaligus, aku
justru tidak percaya bahwa ilmu pedang mereka tidak ada
tandingannya di dunia."
Suaranya penuh rasa kejut dan heran. Tan-hong juga merasa
heran, seketika dirasakan seperti tersingkap selapis kabut yang
menutupi benaknya, timbul pikirannya, "Aha, Hian-ki It-su adalah
kakek guruku, gabungan ilmu pedang itu adalah ilmu pedang
andalanku dengan In Lui. Ya, betul kiranya kakek inilah si gembong
iblis yang hendak ditemui oleh guruku itu."
Segera teringat juga olehnya kejadian beberapa hari ini, pikirnya,
"Kiranya sudah beberapa hari kutinggal bersama iblis tua ini, tapi
tampaknya iblis ini juga tidak begitu jahat dan menakutkan? Entah
mengapa Suco bermusuhan deugan dia? Ah, jangan-jangan kisah
cinta yang diuraikannya dan kedua tokoh yang menganggap dirinya
tidak ada bandingan di dunia itu adalah Suco dan iblis ini sendiri?"
Otak Tan-hong sebenarnya cerdas, sekarang pikirannya sudah
mulai jernih kembali dan apa yang diduganya ini ternyata tidak
salah.Pahala dan Murka - 25 34
Selagi ia hendak merenung lebih lanjut, tiba-tiba terdengar di
luar Siangkoan Thian-ya sedang mendamperat lagi, "Siapa yang
mengajakmu ke atas gunung, apakah si budak Im-lan?"
"Betul, memang Sumoay," jawab orang itu. "Hendaknya Suhu
jangan kuatir, tidak nanti kami bicara tentang perjodohan dan
perkawinan lagi." Dengan suara bengis Siangkoan Thian-ya
memaki, "Sebelum menemuiku kalian telah saling bertemu dulu, ini
pun sudah melanggar peraturan, masa kamu tidak tahu? Sekarang
kuberi hukuman kurungan di kamar gelap untuk merenungkan
kesalahanmu, tanpa perintahku dilarang meninggalkan tempat.-?
Meski mendamperat dengan bengis, namun jelas sudah
mengizinkan dia masuk kembali ke perguruan, keruan Oh Mong-fu
sangat senang, cepat ia menyembah dan mengucapkan terima
kasih.
Selesai menjatuhkan hukuman kurungan terhadap Oh Mong-fu,
lalu Siangkoan Thian-ya memberi pesan kepada pelayan, "Sekarang
aku pun akan berlatih di kamar gelap, kecuali kedatangan anak
murid Hian-ki It-su, kalau tidak dilarang menggangguku."
Habis itu, keadaan lantas sunyi senyap.
Makin dipikir Tan-hong semakin penasaran bagi lelaki yang
disebut Oh Mong-fu itu, bahwa iblis tua itu pernah gagal bercinta,
sekarang anak murid sendiri dilarang bicara tentang cinta segala,
sungguh tidak adil.
Dasar wataknya suka membela keadilan, segera ia keluar dari
kamar dan tanya seorang pelayan di mana orang tadi dikurung.
Pelayan tahu Tan-hong adalah sahabat sang majikan yang paling
akrab, meski tidak jelas asal-usulnya, namun tidak berani menolak
pertanyaannya.Pahala dan Murka - 25 35
Segera pelayan membawa Tan-hong ke kamar tempat Oh Mongfu dikurung, ia mengetuk pintu dan berkata, "Seorang sahabat Suhu
datang menjengukmu, inilah kesempatan baik bagimu, ada
kesukaran apa boleh kauminta tolong kepada tuan tamu ini untuk
mohonkan ampun kepada Suhu." Mendengar keterangan si
pelayan, diam-diam Oh Mong-fu terkejut dan heran, ia pikir betapa
tinggi kedudukan Suhu, kecuali Hian-ki It-su saja di dunia ini sudah
jarang ada orang yang dapat menandinginya, siapa pula yang cocok
untuk disebut sebagai sahabat karib Suhu? Malahan dari nada
pelayan, agaknya seorang sahabat yang di-suka dan dihormati sang
guru.
Waktu pintu kamar dibukanya, segera Tan-hong melangkah ke
dalam serta menutup kembali pintu kamar, setelah tahu siapa
pendatang ini, se ketika Oh Mong-fu melenggong.
"Hei, kau . ,. kau, . . bukankah engkau Thio Tan-hong, murid Cia
Thian-hoa?" seru Oh Mong-fu dengan suara rada gemetar,
Mendadak Tan-hong mengeplak kepala sendiri, teriaknya sambil
terbahak, "Aha, betul, guruku bernama Cia Thian-hoa dan Cia
Thian-hoa memang guruku."
Melihat kelakuan anak muda itu lain daripada biasanya, seperti
orang kehilangan ingatan, ketika mendadak disebut orang, seketika
Pahala Dan Murka Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menimbulkan rasa kejut dan girangnya, seperti habis tersadar dari
mimpi.
Maka ia coba tanya pula, "Antara kita ada permusuhan, kamu
adalah musuhku, tahu tidak?"
"Betul, kalian memang musuh kami, haha, ingatlah aku
sekarang, malahan kita pernah bergebrak dua kali, yang sekali di
atas gunung dan yang sekali lagi di luar Gan-bun-koan."Pahala dan Murka - 25 36
Walaupun daya ingatnya sudah mulai pulih, namun samarsamar masih dirasakan sebabnya dia bergebrak dengan Oh Mongfu agaknya bukan cuma urusan permusuhan perguruan saja.
"Mengapa kau datang ke sini?" Oh Mong-fu lantas menegur lagi.
"Aha, mengapa kudatang kemari?" gumam Tan-hong, mendadak
ia tanya, "Eh, apakah engkau tidak punya perasaan, mengapa kau
tinggalkan Sumoaymu?
Ucapan Tan-hong yang sinting itu menyentuh perasaan Oh
Mong-fu, jawabnya dengan suara keras, "Siapa bilang kutinggalkan
dia?"
"Habis mengapa engkau tidak berani bicara tentang perkawinan
dengan dia?"
"Kau tahu apa?" jawab Oh Mong-fu. "Soalnya untuk berlatih
kungfu perguruan kami ini harus mempertahankan kesucian tubuh,
begitu menikah, kungfu pun sukar terlatih dengan baik."
"Halia, mana ada dalil aneh seperti itu," seru Tan-hong dengan
tertawa. "Ya, kecuali kungfu yang kau latih itu bukan dari aliran
yang baik. Nah, akan kuperlihatkan padamu supaya tambah
pengetahuanmu."
Segera ia mengeluarkan kitab pusaka dan berkata pula, "Ini,
kuberi pinjam kitab ini, boleh kau latih lagi dengan lwekang ajaran
kitab ini sebagai dasar, bila Siangkoan tua tetap melarang kalian
menikah, boleh perlihatkan kitab ini kepadanya, dan kalau dia
masih juga ngotot melarang kalian kawin, biar nanti kuhajar dia
bagimu supaya dia kapok."
Memang sudah lama Oh Mong-fu ingin mendapatkan kitab
pusaka itu, tentu saja ia sangat girang, apalagi dilihatnya Tan-hong
dalam keadaan linglung, ia kuatir pula orang akan batalkan niatnya
memberi kitab itu, maka cepat ia menjawab. "Baik, baik. BanyakPahala dan Murka - 25 37
terima kasih atas kebaikanmu. Lekas kau kembali ke kamar agar
tidak dimarahi Suhu."
Tan-hong terbahak-bahak dan pulang ke kamarnya, bila ia
merenungkan lagi kejadian dulu, ia merasa masih kabur, tanpa
terasa ia tertidur lagi.
Entah berselang berapa lama, ketika tiba-tiba dari luar
berkumandang suara benturan senjata, serentak Tan-hong
melompat bangun dan lari ke luar.
Semua pelayan tiada kelihatan lagi, waktu ia buka kamar gelap
sana Oh Mong-fu juga sudah menghilang. Ia terus keluar sana,
dilihatnya di bawah pohon sana ada seorang lelaki dan seorang
perempuan dengan pedang sedang bertempur dengan Siangkoan
Thian-ya. Yang lelaki jelas adalah gurunya, yaitu Cia Thian-hoa,
yang perempuan segera teringat juga olehnya. Yaitu guru In Lui.
Yap Eng-eng adanya.
Oh Mong-fu dan beberapa pelayan tampak berdiri di samping,
Cia Thian-hoa dan Hui-thian Liong-li juga melihat Tan-hong
mendadak lari keluar dari rumah batu itu, tentu saja mereka terheran-heran.
Tentu saja Tan-hong terkesiap, gumamnya, "Ah, kiranya dia
memang betul musuh besar kami."
Ia berdiri di samping dan menonton pertarung-an sengit dan
dengan termangu bingung.
Sementara ito-Cia Thian-hoa dan Yap Eng-eng sedang
mengerubut lawan dengan serangan dahsyat, setiap jurus serangan
sukar diduga dan aneka perubahannya, cara kerja sama pun tidak
ada taranya.Pahala dan Murka - 25 38
Tan-hong yang sudah paham seluk-beluk ilmu pedang gabungan
itu merasa kabur pandangannya, apalagi Oh Mong-fu dan lain-lain,
mereka sama melongo.
Namun ilmu silat Siangkoan Thian-ya benar-benar maha tinggi
dan sudah mencapai tingkatan yang sukar diukur, dengan tangan
kosong ia hadapi serangan ke dua pedang dan setiap kali masih
lempat balas menyerang.
Tampaknya dia terkurung rapat oleh sinar pedang dan
terombang-ambing serupa sebuah perahu yang sedang bergolak di
tengah ombak, na mun Tan-hong dapat melihat jelas betapa hebat
ilmu pedang gabungan itu selalu dapat dipatahkan dengan ringan
dan mudah, dibandingkan si nenek di hutan bambu itu, kepandaian
Siangkoan Thian-ya jelas entah berlipat berapa kali lebih tinggi.
Diam-diam Tan-hong berkuatir bagi sang guru.
Ia tidak tahu Siangkoan Thian-ya sendiri juga terkejut, baru
sekarang ia percaya apa yang di-tatakan Thio Tan-hong memang
bukan omong kosong, di dunia ini ternyata ada ilmu pedai g sehebat
ini, kalau bukan kepandaian sendiri sudah mencapai puncaknya,
mustahil takkan terjungkal sejak tadi, diam-diam ia pikir, "Jika
kedua murid Hian-ki saja selihai ini, apalagi gurunya."
Mau-tak-mau Siangkoan Thian-ya merasa kagum terhadap
Hian-ki It-su.
Selagi pertarungan bertambah sengit itulah tiba-tiba Cia Thianhoa dan Yap Eng-eng melihat kemunculan Thio Tan-hong diri
tempat tinggal Siangkoan Thian-ya, keruan mereka melengak,
memangnya mereka sudah terdesak di bawah angin, karena sedikit
meleng itulah semakin memberi peluang bagi Siangkoan Thian-ya
untuk melancarkan tiga kali pukulan dahsyat, kedua orang itu
terdesak mundur beberapa tindak.Pahala dan Murka - 25 39
"Thio Tan-hong," teriak Siangkoan Thian-ya mendadak,
"kiranya kaupun anak murid Hian-ki It-su. Baiklah, boleh kaupun
maju sekalian!"
Kini pikiran Thio Tan-hong sudah benar-benar jernih kembali,
teringat olehnya sang guru mengajaknya bersama In Lui ke
pegunungan ini untuk menghadapi iblis tua ini, tapi lantaran
pikirannya baru saja pulih, betapapun ia masih rada bingung.
Masih dirasakan watak Siangkoan Thian-ya agak cocok dengan
dirinya dan tidak mirip seorang "iblis" jahat, tiba-tiba terpikir
olehnya, "Kisah yang dituturkan olehnya menyangkut seorang
pendekar pedang yang tidak setia, apakah yang dimaksudkan
adalah kakek guru?"
Dan ketika mendengar teriakan Siangkoan Thian-ya tadi, segera
Tan-hong meraba pedang dengan ragu dan tidak dapat menjawab.
Melihat keadaan Tan-hong yang linglung itu, Oh Mong-fu
mendekatinya dan menepuk pundaknya sambil berkata, "Eh, boleh
kita juga bertanding sendiri. Terima kasih atas kebaikanmu
meminjamkan kitab kepadaku."
Maksud Oh Mong-fu cukup baik, yaitu kuatir Thio Tan-hong
tidak mampu menandingi serangan gurunya, maka sengaja
menantangnya bertanding supaya Tan-hong tidak jadi ikut
mengerubuti Siangkoan Thian-ya.
Tak tersangka Tan-hong lantas menjawab, "Tanpa sebab untuk
apa aku bertanding denganmu? Hei, asalnya gurumu itu pendekar
pedang atau menjadi bandit?"
Ucapan Tan-hong yang tak keruan jentrung-annya membuat Oh
Mong-fu melenggong. Selagi Tan-hong hendak tanya pula,
sekonyong-konyong dari belakang gunung sana berkumandangPahala dan Murka - 25 40
suara nyaring benturan senjata, tampak dua lelaki dan seorang
perempuan sedang bertempur sambil bergerak ke sini.
Sesudah agak dekat, terlihat lelaki yang berkepala gundul adalah
Tiau-im Hwesio, yang ber -wajah kelam dan berambut kusut adalah
Cin-sam-kai Pit To-hoan, mereka tercecar oleh seorang perempuan
berpedang, jelas mereka kewalahan dengan napas terengah.
Kiranya tempo hari ketika bertemu di luar Gan-bun-koan, Tiauim Hwesio meragukan kesetiaan Cia Thian-hoa dan takluk kepada
Watze, maka begitu bertemu lantas melabraknya.
Namun dia tidak mampu menyusul Cia Thiau-hoa, selagi ia
mencari kian kemari di padang rumput yang luas, kebetulan ia
bertemu dengan Cin-sam-kai Pit To-hoan, lebih dulu mereka berdua
mengacau ke istana Yasian, kemudian mereka ditemukan Tang Gak
dan diberi penjelasan tentang maksud tujuan Cia Thian-hoa.
Barulah Tiau-im Hwesio tahu telah terjadi salah paham, tentu
saja ia sangat menyesal, Tang Gak menyuruh mereka menuju ke
pegunungan Tangra menurut waktunya, mereka tiba lebih belakang
daripada Cia Thian-hoa dan Yap Eng-eng, waktu mendaki gunung
kepergok Kim-kau-siancu Lim Sian-im yang juga baru pulang untuk
menjenguk sang guru. Sekali tanya-jawab tidak cocok, pertarungan
sengit lantas terjadi Di antara murid Siangkoan Thian-ya, ilmu silat
Kim-kau-siancu terhitung paling tinggi, kira-kira setingkat dengan
Cia Thian-hoa dan Yap Eng-eng, sebaliknya jauh lebih kuat daripada
Tiau-im Hwe-sio, dengan pedang di tangan kanan dan gaetan d|
tangan kiri, serangan lihai terus menghujani Tiau-im Hwesio, meski
dibantu oleh Cin-sam-kai Pit To-hoan ternyata keduanya tetap
kalah kuat.
"Apakah kalian anak murid Hian-ki It-su?" teriak Siangkoan
Thian-ya melihat kemunculan mereka itu. "Baik, boleh maju
seluruhnya, coba kerubut diriku, asalkan dapat bertahan sama kuatPahala dan Murka - 25 41
maka kurela mengalah kepada si tua Hian-ki untuk menjadi Bu-limbengcu (ketua perserikatan dunia persilatan)."
Sekaligus Lim Sian-im melancarkan tiga kali serangan gaetan
dan dua kali pedang sehingga Pit To-hoan dan Tiau-im Hwesio
hanya sanggup menangkis dan tidak mampu balas menyerang.
Dengan tertawa Lim Sian-im berkata, "Kedua orang dogol ini
tidak perlu dipikirkan Suhu, sebentar juga akan kubereskan
mereka."
Tiau-im dan Pit To-hoan sama berwatak keras, menjadi murka,
serentak mereka menerjang maju pula, Tapi mendadak terlihat
ThioTan-hong mendekati mereka dan menatapnya dengan
terkesima, sikapnya tampik janggal, sembari bergumam lagi, "Ini
Jisupek, ya, Jisupek .... "
"Apa yang kaulakukan, Tan-hong?" teriak Pit To-hoan. "Masa
tidak kau kenal kami lagi? Aku Pit ...."
"Aha, betul, engkau Cin-sam-kai Pit To-hoan!" teriak Tan-hong
sambil mengeplak kepala sendiri.
"Tan-hong, aku sudah tahu maksud tujuan gurumu, tentang
perbuatanmu yang berani padaku dulu tidak kupersoalkan lagi,"
kata Tiau-im Hwesio, "Ayo, kenapa tidak lekas kau bantu gurumu?"
Saat itu Tan-hong sedang memeras otak dan berpikir keras,
"Apakah maksud guruku seperti apa yang dikatakannya?"
Lamat-lamat teringat olehnya sang guru tinggal di sebuah
gedung di kotaraja Watze, di rumah itu ada sebuah taman luas, di
situlah gurunya mengajarkan ilmu pedang padanya.
Samar-samar dia mulai teringat kepada asal-usul sendiri,
teringat kepada peperangan antara Watze dan kerajaan Beng, dia
terut memeras otak mengikuti garis ingatannya itu.Pahala dan Murka - 25 42
Pada saat itulah terdengar suara "tring-trang" yang nyaring,
sekilas lirik dilihatnya Siangkoan Thian-ya sedang mengebaskan
lengan bajunya sehingga kedua pedang Cia Thian-hoa dan Yap Engeng terkebut dan saling bentur sendiri, daya serang mereka seketika
kacau balau.
Tiau-im Hwesio berteriak kuatir, "Ayo Tan-hong, lekas maju
sana!"
Ia sendiri lantas mengangkat tongkat dan bermaksud menerjang
ke sana, tapi segera ia teralang oleh pedang dan gaetan Kim-kausiancu.
Mendadak Tan-hong tanya, "Jisupek, kakek guru dulu bandit
atau pendekar pedang?"
Saking dongkolnya Tiau-im Hwesio membentak sambil
berjingkrak, "Apa kamu sudah gila?!"
Tan-hong masih ragu sambil memegang pedang, pada saat itulah
tiba-tiba dari pengkolan sana muncul lagi dua orang. Sekali
pandang dan mengenali siapa mereka, seketika hati Tan-hong
tergetar dan darah bergolak.
Ternyata yang muncul itu adalah seorang gadis memayang
seorang kakek berkaki pincang, siapa lagi mereka kalau bukan In
Lui dan ayahnya.
Tan-hong sangsi apakah dirinya bukan dalam mimpi, tanpa
terasa ia berteriak, "Adik cilik! Adik cilik!"
Dilihatnya wajah In Lui rada pucat, air mata mengembeng di
ujung matanya, sorot matanya seperti memandang ke arahnya,
namun bibir terkancing rapat tanpa bersuara.
Ayah In Lui membawa tongkat, dengan langkah pincang ia naik
ke atas gunung, dengan sinar mata tajam ia memandang Tan-hongPahala dan Murka - 25 43
sekejap dengan penuh benci dan dendam. Seketika Tan-hong
menggigil.
Mendadak Tiau-im Hwesio berseru, "Hei, siapa kau? Ahli,
bukankah engkau In-sute? Engkau ternyata tidak meninggal!"
Segera ia melompat ke sana, In Ting dirangkulnya, kedua orang
saling dekap dan menangis. In Lui berdiri di samping, berulang ia
pun mengusap air mata, waktu beradu pandang dengan Tan-hong
cepat ia berpaling ke arah lain.
Watak Tiau-im sangat berangasan, namun penuh rasa
persaudaraan, ia rangkul In Ting dengan terharu, katanya, "Sepuluh
tahun berpisah, kenapa engkau menjadi begini?"
Sebenarnya usia Tiau-im Hwesio lebih tua beberapa tahun
daripada In Ting, tapi rambut In Ting sekarang sudah ubanan, muka
pucat kurus, tampaknya menjadi jauh lebih tua malah daripada
Tiau-im.
Terus menerus Tiau-im bertanya ini dan itu kiranya dari
penuturan putrinya In Ting mendapat tahu saudara
seperguruannya berjanji akan bertemu dipuncak gunung ini.
Meski ia pun tahu Tan-hong akan ikut hadir, tapi demi menemui
saudara seperguruan, tanpa kenal kesulitan ia minta In Lui
membawanya ke sini.
Selama, belasan hari ini mereka ayah dan anak sedapatnya
menghindari bicara tentang keluarga Thio. Sejak kejadian tempo
hari In Ting tahu cinta putrinya terhadap Thio Tan-hong sangat
mendalam meski waktu itu ia marah-marah, sesudah itu satu kata
pun dia tidak pernah mengungkatnya lagi dan juga tidak mengomeli
si nona.
Tapi dari sikap sang ayah In Lui tahu selama hidup ini tidak ada
lagi harapan untuk berkumpul dengan Thio Tan-hong. SetelahPahala dan Murka - 25 44
berhadapan sekarang, hatinya sungguh hancur luluh, sebagian
berduka atas nasib sang ayah, sebagian lagi juga meratapi nasib
sendiri yang malang.
(Bersambung Jilid ke 26)Pahala dan Murka - 26 0Pahala dan Murka - 26 1
PAHALA DAN MURKA
Oleh : gan k.l.
Jilid ke 26
ELAGI In Lui berduka, tiba-tiba terdengar dering
beradunya senjata, tertampak lengan baju Siangkoan
Thian-ya mengembas kian kemari, kembali pedang
Thian-hoa dan Eng-eng tersampuk hingga saling bentur.
Padahal daya serang gabungan kedua pedang itu terletak pada
kerja samanya yang rapat, setiap jurus serangan tidak boleh kacau
sedikit pun, tapi sekarang dipaksa oleh lengan baju Siangkoan
Thian-ya dengan tenaga dalam yang maha dahsyat sehingga gerak
Pahala Dan Murka Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pedang mereka menjadi kacau, seketika mereka sendiri terancam
bahaya.
Ketika mendengar teriakan kuatir Tiau-im Hwesio tadi dan
melihat kecemasan sang guru, mendadak In Lui melompat ke atas
sambil melolos pedang, langsung ia menerjang ke tengah kalangan.
"Lekas mundur!" teriak Yap Eng-eng.
Lengan baju Siangkoan Thian-ya lantas mengebut sambil
membentak, "Anak dara, apakah kaupun ingin bikin ramai?"
Melihat lawannya masih muda belia, kebutan Siangkoan Thianya itu cuma menggunakan tiga bagian tenaga saja. Sementara itu
pedang Yap Eng-eng yang terkebut ke samping itu terus menabrak
pedang In Lui, Seketika nona itu merasa tangan sakit pegal, pedang
hampir saja terlepas.
Pada saat itulah tiba-tiba sinar pedang berkelebat, Thio Tanhong telah menerjang ke tengah kalangan.Pahala dan Murka - 26 2
"Hehe, kaupun ingin coba-coba?" sambut Siangkoan Thian-ya
dengan terkekeh.
Waktu itu pedang Cia Thian-hoa sedang menahas dari samping,
lengan baju kiri Siangkoan Thian-ya cepat mengebut, belum lagi
lengan baju kanan bekerja pula, "bret", tahu-tahu sebagian lengan
bajunya terpapas oleh pedang Thio Tan-hong.
Padahal kungfu anak muda itu tidak lebih tinggi daripada
gurunya, dibandingkan Siangkoan Thian-ya terlebih jauh
selisihnya, mengapa dia mampu memapas lengan baju lawan
tangguh itu?
Kiranya kebutan lengan baju Siangkoan Thian-ya yang sedang
ditujukan untuk membelit pedang In Lui tadi hanya menggunakan
tiga bagian tenaga saja. Kedua, sekaligus dia sedang menghadapi Cia
Thian-ya. Ketiga, pedang Tan-hong itu sangat tajam, dapat
memotong besi serupa merajang sayur sehingga di luar
perhitungan lawan dapatlah ia memapas lengan bajunya.
Tentu saja Siangkoan Thian-ya terkejut, dengan sepenuh tenaga
kedua lengan bajunya lantas berputar sehingga keempat pedang
lawan terguncang saling bentur dan menerbitkan suara nyaring.
"Pedang bagus!" puji Siangkoan Thian-ya.
Mendadak pedang Thio Tan-hong dan In Lui bekerja sama, yang
satu menyerang dengan jurus ??Liu-sing-kan-goat" atau bintang
meluncur menyusul rembulan, yang lain segera menggunakan jurus
serangan "Pek-hong-koan-jit" atau pelangi menembus cahaya
matahari, yang satu mengincar muka lawan, yang lain menusuk
dada.
Terpaksa Siongkoan Thian-ya menyurut mundur, berbareng
lengan bajunya mengebas, menyusul ia balas menghantam tiga kaliPahala dan Murka - 26 3
dengan ringan, gerak serangannya aneh, namun membawa tenaga
yang kuat.
Tan-hong tidak berani menghadapinya dengan keras, cepat ia
mengelak ke samping, kesempatan itu digunakan Siangkoan Thianya untuk berputar sehingga serangan gabungan pedang Cia Thianya dan Yap Eng-eng dipatahkan.
Pertarungan memuncak menjadi sengit, keempat pedang
pasangan Cia Thian-hoa dan pasangan Thio Tan-hong tetap bekerja
sama dengan sangat rapat sehingga terjalin selapis cahaya dan
Siangkoan Thian-ya seakan-akan terkurung rapat di tengah.
Dengan tenang Siangkoan Thian-ya menghadapi kerubutan
keempat orang, ia pun balas menyerang dengan kebutan lengan
baju atau pukulan dahsyat, semuanya merupakan kungfu yang
ampuh sehingga sukar ditentukan pihak mana lebih unggul atau
asor.
Tiau-im Hwesio sampai lupa bicara lagi, ia pegang In Ting yang
lemah itu dan mengikuti pertarungan sengit yang hebat itu.
Oh Mong-fu dan Lim Sian-im juga melongo menyaksikan
pertandingan luar biasa ini, tanpa terasa kedua orang saling
berpegangan tangan.
Selagi mereka asyik menonton, pada saat ke tegangan
memuncak, mendadak terdengar suara orang. Waktu Oh Mong-fu
menoleh, terlihat seorang tua berusia lima puluhan dan berdandan
serupa kakek udik sedang berlari tiba dengan membawa sesuatu.
Oh Mong-fu terkejut, sebab dikenalnya orang ini adalah murid
pertama Hian-ki It-su, yaitu Kim-kong-jiu Tang Gak.
Di antara anak murid Hian-ki It-su, kalau bicara tentang
kekuatan, Tang Gak terhitung nomor satu.Pahala dan Murka - 26 4
Belum lagi Oh Mong-fu melihat jelas barang apa yang dibawa
Tang Gak itu, ia sangka kedatangan orang tentu akan ikut
mengeroyok gurunya, dengan sendirinya ia kuatir gurunya akan
kewalahan bila ketambahan seorang lawan tangguh lagi.
Maka ketika Tang Gak melompat lewat di sebelahnya, tanpa pikir
Oh Mong-fu melancarkan suatu pukulan dahsyat dibarengi dengan
tenaga jari sakti It-ci-sian.
"Jangan sembrono!" bentak Tang Gak.
Pada detik yang sama Oh Mong-fu merasa Lim Sian-im juga
menariknya sekali. Belum lagi Oh Mong-fu bertindak lain, kedua
tangan sudah beradu, karena getaran tenaga Kim-kong-jiu yang
dilancarkan Tang Gak, kontan ia terpental setombak jauhnya.
Terlihat Tang Gak tetap berlari ke depan, mendadak ia bertekuk
sebelah lutut dan berseru lantang, "Atas perintah guruku, terimalah
hormat Tecu!"
Kiranya yang dibawa Tang Gak itu adalah kotak kehormatan
Hian-ki It-su.
Menurut peraturan kangouw, orang yang datang dengan
membawa kotak kehormatan dan diutus oleh seorang tokoh besar
macam Hian-ki It-su, adalah tidak sopan bila Oh Mong-fu
merintanginya, malahan Siaugkoan Thian-ya harus menyambut
dengan hormat terhadap kotak tanda pengenal itu. Cuma Siangkoan
Thian-ya sendiri sedang menghadapi kerubutan empat pedang,
mana dia sempat mengurus kedatangan Tang Gak.
Tak terduga, tiba-tiba terdengar Siangkoan Thian-ya berseru
dengan tertawa, "Hahaha, jangan banyak adat!"
Berbareng kedua lengan bajunya berkibaran, mendadak kedua
tangannya terjulur dari balik lengan baju, dalam sekejap saja ia
menutuk empat kali terhadap Cia Thian-hoa berempat. InilahPahala dan Murka - 26 5
tenaga jari sakti andalannya, tanpa terasa Cia Thian-hoa berempat
sama menyurut mundur satu tindak.
Kesempatan itu segera digunakan Siangkoan Thian-ya untuk
melompat ke atas, kedua lengan baju mengebut, dalam sekejap itu
kotak kehormatan yang dibawa Tang Gak itu telah digulung
olehnya.
Keruan Tang Gak terperanjat. Jurus yang diperlihatkan
Siangkoan Thian-ya ini sungguh sangat indah dan sukar
dibayangkan. Segera Tang Gak memberi hormat lagi. Baru saja ia
menyingkir ke samping, tiba-tiba terdengar Oh Mong-fu dan Lim
Sian-im sama menjerit, kiranya pedang Thio Tan-hong telah
menyambar tiba dan tepat menusuk pundak Siangkoan Thian-ya.
Kiranya Thio Tan-hong sudah sangat apal teori ilmu silat yang
tercantum dalam kitab pusaka temuannya itu, maka segala macam
kungfu sekali dilihatnya lantas diketahui dengan jelas.
Tadi dari samping sudah diikutinya berbagai kungfu yang
dikeluarkan Siangkoan Thian-ya untuk mengatasi pedang
gabungan Cia Thian-hoa dan Yap Eng-cng, sedikit banyak sudah
dapat dirabanya di mana letak kelihaian kungfu lawan itu, setelah
ia sendiri juga sempat menyambut serangannya satu kali, ia terlebih
jelas cara bagaimana harus menghadapi tokoh maha lihai ini.
Cuma saja lantaran lwekang sendiri memang selisih jauh
dibandingkan lawan, kalau tidak tentu sejak tadi ia melancarkan
serangan balasan.
Sekarang Siangkoan Thian-ya berani menerima kotak
kehormatan yang disodorkan Tang Gak di samping harus
menghadapi keempat pengerubutnya, namun sedikit peluang saja
segera digunakan oleh Thio Tan-hong untuk menusuk pundaknya
dengan pedang.Pahala dan Murka - 26 6
Gabungan kedua pedang memang dapat bekerja sama dengan
rapi, begitu pedang Tan-hong bergerak, hampir berbareng pedang
In Lui juga bekerja, "sret", ia pun menusuk Koh-cing-hiat di sisi
pundak Siangkoan Thian-ya yang lain.
Koh-cing-hiat terletak di dekat tulang pundak, merupakan
bagian lemah di tubuh manusia, bila tertutuk, kalau parah bisa cacat
selama hidup, kalau ringan juga akan membuat orangnya lumpuh.
Melihat keberhasilan muridnya, Cia Thian-hoa sangat girang,
bersama Yap Eng-eng cepat mereka pun menyerang dan bermaksud
memaksa Siangkoan Thian-ya mengakui keunggulan mereka.
Tak terduga kungfu Siangkoan Thian-ya memang sudah
mencapai taraf yang sempurna, baru saja ujung pedang Tan-hong
menyentuh pundaknya, tiba-tiba anak muda itu merasa pundak
orang mendak kebawah, bahkan timbul semacam tenaga tarikan
yang kuat, pedangnya seakan-akan melengket dan sukar ditarik
kembali.
Terpaksa Tan-hong menusuk terlebih kuat, namun tempat yang
tersentuh pedang terasa lunak, menembus baju orang saja tidak
bisa. Waktu ia melirik In Lui, anak dara itu pun mengalami kejadian
yang sama, pedangnya juga serupa melengket pada sisi pundak
Siangkoan Thian-ya yang lain.
Cia Thian-hoa dan Yap Eng-eng belum mengetahui perubahan
kejadian ini, mereka bergirang melihat muridnya berhasil, serentak
pedang mereka bekerja juga, dengan sendirinya daya serangan
mereka terlebih kuat daripada Tan-hong dan In Lui. Cahaya pedang
berkelebat, langsung mereka rne-nabas pinggang lawan.
"Bagus!" teriak Siangkoan Thian-ya, kedua lengan bajunya
mengebut, kontan kedua pedang Cia Thian-hoa dan Yap Eng-eng
terbelit dan serangan mereka terpatahkan.Pahala dan Murka - 26 7
Dengan demikian kedua pihak menjadi saling bertahan,
Siangkoan Thian-ya harus menggunakan kedua sisi pundak untuk
menyambut kedua pedang Thio Tan-hong dan In Lui, dan kedua
lengan baju digunakan menahan pedang Cia Thian-hoa dan Yap
Eng-eng, dengan lwekang seorang melawan daya serangan empat
pedang lawan.
Dalam keadaan begini, biarpun kungfu Siang-koan Thian-ya
sudah mencapai tingkatan yang tidak ada taranya juga terasa berat.
Sebaliknya keempat pedang Cia Thian-hoa dan lain-lain juga sukar
terlepas oleh daya lengket Siangkoan Thian-ya.
Keadaan ini sungguh sangat berbahaya, barangsiapa sedikit
meleng saja tentu akan mendatangkan maut.
Anak murid kedua pihak sama melongo kuatir menyaksikan
pertarungan sengit itu, namun tidak ada orang memiliki kungfu
setinggi itu untuk melerai.
Selagi keadaan tambah tegang, tiba-tiba terlihat Siangkoan
Thian-ya menyurut mundur satu tindak dan miringkan pundak
kanan ke bawah, tubuh In Lui rada tertarik dan ujung pedangnya
bergetar.
Cepat Thian-hoa dan Eng-eng menambah tenaga tekanan
mereka, air muka mereka tampak sangat prihatin, jelas mereka
telah mengerahkan segenap tenaga.
In Ting sampai bersuara kuatir bagi putri kesayangannya.
Pada detik berbahaya itulah sekonyong-konyong terdengar gelak
tertawa orang menggema lembah pegunungan, tahu-tahu di tengah
kalangan bertambah seorang kakek.
Wajah kakek itu agak kurus, rambut alisnya sudah putih semua,
namun air mukanya merah segar serupa anak kecil. Meski yangPahala dan Murka - 26 8
hadir di situ semuanya jago kelas tinggi, tapi tidak ada yang tahu
dari mana munculnya kakek ini secara mendadak.
Kakek ini tak-Iain-tak-bukan ialah Hian-ki It-su, tentu saja Tiauim Hwesio dan In Ting sangat girang, baru saja mereka memanggil
Suhu, dengan tertawa Hian-ki It-su lantas menegur Siangkoan
Thian-ya, "Eh, sahabat lama, buat apa marah terhadap orang
muda?"
Ia membawa kebut bulu, mendadak ia mengebut empat kali pada
tiap-tiap pedang, terdengar suara "creng-cring" empat kali,
keempat pedang sama terpental lepas dari daya lengket lawan.
"Jangan kalian bersikap kasar terhadap kaum Cianpwe, lekas
minggir dan tunggu perintahku!" bentak Hian-ki It-su.
Kelima orang yang bertempur itu sama terbebas dari beban
berat. Kiranya pada detik paling gawat tadi, In Lui yang paling
lemah sudah hampir tidak tahan oleh daya lengket Siangkoan
Thian-ya, tapi kesempatan itu digunakan Cia Thian-hoa dan Yap
Eng-eng untuk mendesak lawan dan mereka bisa di atas angin.
Dalam keadaan demikian, apabila Hian-ki It-su tidak muncul,
sangat mungkin kedua pihak akan hancur bersama.
Siangkoan Thian-ya menghela napas, katanya, "Bertemu lagi
setelah berpisah 30 tahun, ternyata benar engkau sudah berhasil
meyakinkan kungfu maha tinggi. Jika muridmu saja sehebat ini,
apalagi gurunya. Maka gelar Bu-lim-bengcu tak perlu lagi aku
bersaing denganmu."
"Ah, kenapa Saudara merendah hati, kalau dibicarakan, akulah
yang harus mengaku kalah," kata Hian-ki It-su.
Ucapan ini bukan untuk basa-basi belaka, tapi timbul dari lubuk
hatinya yang murni. Maklumlah, selama hidup Hian-ki It-su
bersusah payah menciptakan ilmu pedang gabungan dua orang iniPahala dan Murka - 26 9
dan mengira dirinya tidak ada tandingan di dunia, siapa tahu
sekarang gabungan pedang Cia Thian-hoa dan Yap Eng-eng justru
dapat dikunci oleh lawan, dan perlu dibantu Tan-hong dan In Lui
baru mereka mampu menandinginya dengan sama kuat, sebab
itulah Hian-ki It-su juga benar-benar kagum padanya.
Selagi kedua orang sama menyatakan rasa kagum masingmasing, tiba-tiba terdengar suitan nyaring, dalam sekejap saja di
tengah kalangan bertambah lagi seorang.
Waktu Tan-hong mengawasi, kiranya pendatang ini adalah si
nenek yang dilihatnya di hutan bambu itu.
Dalam sekejap itu air muka Siangkoan Thian-ya kelihatan
berubah hebat.
"Oya, siapa di antara kalian ini pendekar pedang dan si bandit?"
tiba-tiba Tan-hong mengajukan pertanyaan.
Thian-hoa terkejut, ia heran anak muda yang pintar dan sopan,
ini mengapa bicara sekasar ini? Ia lihat Tan-hong seperti orang
kehilangan ingatan, tentu saja ia heran dan juga kuatir.
Terdengar Siangkoan Thian-ya sedang berdendang syair cinta
sambil menjawab pertanyaan Tan-hong, "Siapa bandit dan siapa
pendekar, kalau tidak bertarung tentu tidak saling kenal, biarlah
kuminta maaf dulu di sini!"
Mendadak ia merangkap telapak tangan di depan dada, diamdiam mengerahkan tenaga pada kesepuluh jarinya dan
mengeluarkan It-ci-sian-kang yang maha lihai.
Kiranya meski Siangkoan Thian-ya sudah menyadari
kesalahannya masa lampau, namun rasa ingin menangnya masih
belum lenyap sama sekali, ketika tiba-tiba melihat orang yang
disukainya 30 tahun yang lalu mendadak muncul dan memandang
pihak lawan dengan kasih mesra, tentu saja ia merasa kecut,Pahala dan Murka - 26 10
seketika rasa ingin unggul timbul lagi dan hendak bertanding
dengan Hian-ki It-su.
Hian-Ui tersenyum, ia balas hormat orang dengan cara yang
sama, dua arus tenaga tak kelihatan berbenturan, lengan baju
Siangkoan Thian-ya menggelembung, Hian-ki sendiri tergeliat,
katanya, "Kepandaian Anda memang nomor satu di dunia, sungguh
Pahala Dan Murka Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
aku mengaku kalah!"
Habis berkata segera ia putar tubuh dan hendak tinggal pergi.
Orang lain tidak melihat jelas apa yang terjadi, tapi si nenek dan
Siangkoan Thian-ya cukup mengerti, yaitu Hian-ki It-su sengaja
mengalah satu jurus baginya.
Tadi Siangkoan Thian-ya menyerang dulu dengan tenaga jari
sakti, tapi kena dipatahkan oleh Hian-ki It-su, malahan tenaganya
mendampar dan membuat lengan baju Siangkoan Thian-ya
menggelembung, lalu terlihat Hian-ki tergeliat seperti kalah kuat,
padahal dia sengaja berbuat demikian.
Tapi sebelum Hian-ki melangkah pergi, mendadak si nenek
melompat maju, tongkat bambunya menggaet sehingga lengan baju
Hian-ki It-su terkait.
"Aku sudah mengaku kalah, untuk apa kau-tahan diriku lagi?"
ucap Hian-ki It-su dengan tersenyum kecut.
"Hian-ki tua, aku tidak mau terima kebaikanmu ini," seru
Siangkoan Thian-ya. "Yang pantas angkat kaki dari sini ialah diriku,
hendaknya kau-tinggal di sini dan semoga kau jaga dia sebaikbaiknya."
Tapi si nenek lantas bertindak pula sehingga Siangkoan Thianya tidak jadi pergi, kata si nenek dengan tertawa, "Kalian tidak perlu
pergi semua. Bicara tentang ilmu silat kalian juga sama-samaPahala dan Murka - 26 11
nomor satu di dunia. Kalian tidak perlu bertengkar dan tidak perlu
saling mengalah lagi."
Ucapan si nenek memang tidak membela salah satu pihak
melainkan bicara setulus hati. Maklumlah, sudah sekian lama
Siangkoan Thian-ya bertempur melawan Cia Thian-hoa berempat,
dengan sendirinya tenaga sudah banyak terkuras, kalau tidak, It-cisian-kang yang dilatihnya tentu mampu menghadapi Kim-kongciang andalan Hian-ki It-su sehingga bagaimana kesudahannya
sukar diramalkan Hian-ki It-su membatin, "Justru gara-gara
perbuatanmu yang sengaja mengadu domba kami, kalau tidak
masakah kami mau cari susah sendiri?"
Didengarnya si nenek berucap pula, "Dalam sekejap saja 30
tahun sudah lalu, kita bertiga sudah sama-sama tua. Pertengkaran
pada waktu muda kalau direnungkan sekarang sungguh lucu. Hidup
manusia bisa berapa lama? Kalau terus ribut lagi tentu akan
ditertawai yang muda. Ikatan yang ruwet waktu muda tentunya
dapat dibuka sekarang. Kakak Hian-ki dan adik Siangkoan,
selanjutnya kita bertiga jangan berpisah lagi, marilah kita berusaha
mendidik yang muda demi kejayaan nusa dan bangsa."
Mendengar ucapan orang yang tulus itu, hati Hian-ki It-su
tergerak, rasa jemu padanya selama 30 tahun ini seketika buyar.
Perasaan Siangkoan Thian-ya juga tidak kurang terharunya,
terutama mendengar panggilan "kakak" dan "adik" yang mesra itu
serupa si anak dara Siau Im-lan masa lampau, ia juga berpikir, '?Apa
yang dikatakannya ternyata jauh lebih tuntas daripadaku. Sengketa
masa muda seharusnya sekarang tidak perlu dipersoalkan lagi."
Ia paham yang dimaksudkan si nenek alias Siau Im-lan itu adalah
cinta segi tiga mereka masa lampau, sekarang mereka sama kakek
dan nenek, tentu tidak akan bicara tentang perkawinan segala,
dengan demikian bila mereka bertiga berkumpul sebagai sahabatPahala dan Murka - 26 12
dan sama-sama mempelajari ilmu silat yang lebih tinggi tanpa
membedakan ini dan itu, hubungan baik demikian tentu lain
daripada yang lain.
Rupanya setelah 30 tahun tirakat di tengah hutan bambu dan
mengalami berbagai guncangan batin, semula Siau Im-lan sangat
benci dan dendam terhadap Hian-ki It-su di samping merasa
kecewa terhadap Siangkoan Thian-ya. Akhirnya terpikir olehnya
sengketa asmara itu berpangkal pada kehendaknya yang
berlebihan.
Ketika batas waktu 30 tahun hampir tiba sesuai janji
pertarungan antara Hian-ki It-su dan Siangkoan Thian-ya, rasa
menyesalnya bertambah kuat, tergugah perasaannya tidak pantas
lantaran dirinya sehingga berakibat dua tokoh kosen dunia
persilatan menjadi bermusuhan selama hidup, maka buru-buru ia
menyusul ke sini dan sempat menyaksikan antara kedua seteru itu
saling bicara dengan rendah hati, hal ini semakin membuatnya
terharu, sebab itulah timbul tekadnya akan melarai permusuhan
mereka.
Begitulah selagi pikiran Siangkoan Thian-ya bergolak hebat,
tiba-tiba Lim Sian-im mendekatinya dan melapor, "Suhu, mohon
diperiksa dulu Oh-sute, keadaannya agak lain daripada biasanya.'?
Waktu Siangkoan Thian-ya melirik ke sana, terlihat Oh Mong-fu lagi
duduk bersila di tanah, uap tipis mengepul di atas kepalanya.
Siangkoan Thian-ya terkejut, tapi segera timbul rasa herannya,
katanya, "Kiranya dia terkena pukulan Kim-kong-ciang."
Dengan gugup cepat Tang Gak melapor Hian-ki It-su dengan
hormat, "Tecu telah melukai dia ketika mempersembahkan kotak
kehormatan tadi, biarlah Tecu bantu memulihkan tenaga dalamnya
dengan segenap kemampuanku."Pahala dan Murka - 26 13
Hian-ki It-su menggeleng kepala, katanya tiba-tiba, "Siangkoan
tua, sekali ini aku benar-benar menyerah padamu. Tak tersangka
lwekang muridmu pun sehebat ini, yang dikuasainya itulah lwekang kelas tinggi sejati, dibandingkanku, apa yang kupahami boleh
dikatakan tidak ada artinya lagi." Ucapan Hian-ki ini membuat anak
murid kedua pihak sama melenggong heran, sebab mereka tidak
tahu kungfu hebat apa yang dimaksudkan.
Dengan tersenyum getir Siaugkoan Thian-ya menjawab, "Jika
kepandaianmu kau katakan tidak ada artinya, apalagi
kepandaianku?"
Pelahan ia mendekati Oh Mong-fu dan coba memegang nadinya,
begitu merasakan denyut nadi, seketika air mukanya menunjuk rasa
terheran-heran.
Maklumlah, tenaga pukulan Kim-kon-ciang bukan main lihainya,
tadi Oh Mong-fu telah menangkisnya, dengan lwekangnya,
sedikitnya perlu tujuh hari kemudian baru lukanya akan sembuh.
Tapi sekarang ketika Siangkoan Thian-ya memegang nadinya,
terasa jalan darahnya lancar normal dan hampir pulih seluruhnya
seperti sediakala.
Siaugkoan Thian-ya coba memeriksa terlebih cermat,
diketahuinya lwekang yang dikerahkan Oh Mong-fu itu ternyata
bukan seperti apa yang diajarkannya, bukan karena lwekang Oh
Mong-fu bertambah kuat melainkan karena cara penyalurannya
sangat jitu sehingga luka getaran tenaga pukulan Kim-kong-ciang
dengan cepat dapat disembuhkan, hal ini sungguh sukar untuk
dimengerti.
Mendadak Siangkoan Thian-ya menepuk punggung Oh Mong-fu
sambil membentak, "Bangun!"Pahala dan Murka - 26 14
Seketika Oh Mong-fu melompat bangun, gerak-geriknya sudah
pulih seperti biasa.
Kiranya Siangkoan Thian-ya telah bantu me nyembuhkau
muridnya seketika dengan tenaga dalam sendiri, lalu ia tanya,
"Orang kosen mana yang telah memberi petunjuk padamu? Boleh
kau angkat guru lain yang lebih pandai dan tidak perlu kembali lagi
ke perguruan lama."
Oh Mong-fu menjadi gugup, cepat ia menyembah dan melapor,
"Tecu telah menggunakan kungfu aliran lain, mohon Suhu memberi
ampun. Namun Tecu tidak pernah mendapatkan sesuatu petunjuk
dari orang lain."
Siangkoan Thian-ya mendengus, "Hm, tanpa petunjuk orang
lain, memangnya kau pandai dengan sendirinya?!"
Tiba-tiba Thio Tan-hong tampil ke muka, lebih dulu ia memberi
hormat kepada kakek guru, yaitu Hian-ki It-su.
"Ini murid siapa?" tanya Hian-ki.
"Murid Tecu," tutur Cia Thian-hoa.
Hian-ki It-su tertawa, "Haha, muridmu ternyata jauh lebih hebat
daripada muridku. Hasil yang akan dicapainya kelak bukan saja di
atas kalian, bahkan aku pun sukar menimpali dia."
Kejut dan girang Cia Thian-hoa, katanya, "Ah, Suhu terlampau
memujinya."
Setelah memberi hormat kepada sang kakek guru, lalu Tan-hong
memberi hormat pula kepada Siangkoan Thian-ya, katanya, "Kau
tahu siapa yang memberi petunjuk kepada muridmu itu?"
"Oo, siapa?" tanya Thian-ya.
"Orang itu sudah almarhum ratusan tahun yang lalu," tutur Tanhong.Pahala dan Murka - 26 15
"Omong kosong!" dengus Siangkoan Thian-ya. lalu katanya
terhadap Hian-ki It-su. "Cucu muridmu ini berdiam tujuh hari di
kamarku, sudah kuperiksa nadinya, tampaknya dia sakit ingatan,
pikirannya belum jernih, rasanya perlu kau beri pengobatan
padanya."
Mendadak Tan-hong terbahak, "Haha, siapa bilang aku sakit
ingatan, aku pun tidak linglung. Kutahu engkau yang linglung
kasmaran, 30 tahun yang lalu engkau adalah seorang bandit. Tapi
engkau cuma memikirkan urusan cinta sendiri dan tidak mau tahu
mati-hidup muridmu, engkau berkeras memencarkan cinta mereka.
Karena aku ikut penasaran bagi mereka, maka sengaja kuminta
tokoh almarhum itu memberi petunjuk kungfu padanya."
Ucapan Tan-hong ini kembali membuat semua orang
terperanjat, tak terduga Tan-hong berani bersikap kasar terhadap
Siangkoan Thiau-ya.
Namun Hian-ki It-su tidak bicara lagi, agaknya dia sedang
merenungkan sesuatu dan tidak anggap uraian Tan-hong itu
sebagai bualan belaka.
Hati Siangkoan Thian-ya tergerak juga, katanya tiba-tiba,
"Mong-fu, apa yang dikatakannya apakah betul?"
"Ya, memang betul," jawab Oh Mong-fu. lalu ia mengeluarkan
kitab pusaka itu.
Siangkoan Thiau-ya menerima kitab itu, terbaca di atas sampul
kitab tertulis empat huruf "Hian-kang-pit-koat" (pelajaran lwekang
mujizat), di pojok bawah kitab ada nama "Pang Eng-giok."
"Nah, apakah aku dusta padamu?" kata Tan-hong pula dengan
tertawa. "Bukankah orang ini sudah almarhum dan pernah menjadi
guru dua orang raja? Boleh kau periksa isi kitab itu, coba apakahPahala dan Murka - 26 16
engkau masih berkeras melarang muridmu untuk kawin jika ingin
menyakinkan It-ci-sian kebanggaanmu itu?"
"Hah, kiranya kitab tinggalan Pang-hwesio ini berada padamu?"
Siangkoan Thian-ya menegas dengan kaget. "Jadi engkau yang
meminjamkan kepada Mong-fu?"
Tau-hong hanya tersenyum tanpa menjawab, mendadak ia
berdendang membawakan syair cinta yang memuji semua kekasih
di dunia ini semoga menjadi pasangan bahagia.
Perasaan Siangkoan Thian-ya terguncang dan terharu pula,
nyata demi untuk membahagiakan cinta Oh Mong-fu dan Lim Sianim yang tidak terkabul Tan-hong rela meminjamkan kitab pusaka
itu kepada Oh Mong-fu, sungguh maksud baiknya yang luhur itu
harus dipuji.
Dalam sekejap itu segala suka-duka percintaan masa lampau
yang pernah membuat butek pikirannya kini menjadi buyar, tibatiba ia tertawa dan berseru, "Haha, adik cilik, engkau memang
hebat."
Lalu dengan sikap kereng ia berkata kepada Oh Mong-fu dan Lim
Sian-im, "Baiklah, kalian adalah muridku yang baik, sudah puluhan
tahun kubikin susah kalian, sekarang kucabut larangan kawin
muridku, rumah batu ini pun kutinggalkan untuk kalian."
Tentu saja Oh Mong-fu dan Lim Sian-im kegirangan, cepat
keduanya berlutut dan memberi hormat serta mengucapkan terima
kasih.
"Seharusnya kalian berterima kasih kepadanya," kata Siangkoan
Thian-ya dengan tertawa.
Saking senangnya, tanpa pikirkan umur dan tingkatan lagi, Oh
Mong-fu lantas menjura kepada Thio Tan-hong serta
mengembalikan kitab pusaka itu.Pahala dan Murka - 26 17
Siangkoan Thian-ya menengadah dan terbahak, katanya,
"Selama hidupnya entah sudah mengalami beberapa ratus kali
pertarungan besar atau kecil, tapi pertarungan tadi yang paling
memuaskan. Meski gelar jago nomor satu di dunia tidak jadi
kudapatkan, namun budi dan benci serta segala dosa sudah
terhapus. Saudara Hian-ki, kini sudah tiba saatnya kita harus angkat
kaki."
Tiba-tiba ia berpaling ke bawah gunung, lalu berkata kepada Oh
Mong-fu, "Wah, Toasuheng-mu juga datang, sungguh tepat pada
waktunya kedatangannya."
Pada waktu itu Ciamtai Biat-beng memang kelihatan muncul di
atas gunung, ketika dilihatnya sang guru berdiri berjajar dengan
Hian-ki It-su, ia melongo heran.
Kedatangannya sebenarnya atas permintaan Thio Cong-ciu,
yaitu kuatir Tan-hong akan dicederai oleh Siangkoan Thiau-ya,
maka Ciamtai Biat-beng diminta menyelamatkan anak muda itu.
Tapi melihat gelagatnya sekarang, jelas kedua pihak sudah ada
perdamaian, tentu saja legalah hatinya.
Waktu ia pandang ke sana, tertampak Oh Mong-fu yang pernah
dipecat itu juga saling berpegang tangan dengan Lim Sian-im dan
berdiri di samping sang guru dengan mesranya, tentu saja Biat-beng
bertambah heran.
Sejak kecil Tan-hong berkumpul dengan Ciamtai Biat-beng,
pikiran Tan-hong sekarang juga sudah pulih tujuh-delapan bagian,
maka begitu melihat Biat-beng, segera segala kejadian masa
kecilnya teringat kembali, terkenang pula asal-usul sendiri dan
urusan keluarga dan negara. Segera ia memburu maju dan berkata,
"Ciamtai-ciangkun, ayahku baik-baik bukan?"
"Ya, beliau berharap engkau lekas pulang," kata Biat-beng.Pahala dan Murka - 26 18
"O, kalian sudah saling kenal?" tanya Siangkoan Thian-ya.
"Lapor Suhu," tutur Biat-beng. "Dia inilah majikan mudaku."
Siangkoan Tliian-ya tergelak, "?Hahaha, Hian-ki tua, coba lihat,
anak murid kita ternyata sudah lama berkumpul, untuk apalagi kita
saling bertengkar?"
Siangkoan Thian-ya lantas memanggil Ciamtai Biat-beng ke
dekatnya dan berkata, "Sudah kuputuskan untuk meninggalkan
tempat ini. Sudah lama Sian-im mendampingiku, maka rumah batu
ini akan kutinggalkan untuk dia, biarlah dia kumpul bersama Mongfu di sini. Mulai sekarang, kuangkat dirimu sebagai pejabat ketua
perguruan kita, hendaknya kau awasi para sutemu berlatih dengan
lebih giat."
Dengan terharu Lim Sian-im berkata, "Suhu, tinggal saja di sini,
biarlah kami meladeni engkau sekadar membalas budimu."
Siangkoan Thian-ya tertawa, "Tiga puluh tahun yang lalu
lantaran aku tidak dapat mengalahkan Hian-ki tua sehingga kabur
mengasingkan diri ke sini. Sekarang semua urusan itu sudah
kulupakan, kalau tidak segera pulang saja ke negeri asal mau apa
lagi tinggal di sini? Sekarang kamu sudah punya teman, aku sendiri
kan juga perlu dua orang teman tua?!"
Lim Sian-im dan Oh Mong-fu lantas berlutut, begitu pula Ciamtai
Biat-beng, mereka sama mengucapkan terima kasih atas budi sang
guru selama ini.
"Tampaknya aku pun perlu meninggalkan sedikit pesan," kata
Hian-ki It-su.
la memanggil semua muridnya ke depannya, lalu berkata, "Tang
Gak lebih tua dan berwatak sabar, juga paling lama ikut padaku,
Pahala Dan Murka Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
selanjutnya urusan perguruan kita kuserahkan padanya. Thian-hoa
dan Eng-eng paling tinggi bakatnya, keduanya sama mendapatkanPahala dan Murka - 26 19
setengah bagian ilmu pedang kebanggaanku, selanjutnya kuizinkan
kalian saling mengajar, pedang boleh berbaur orangnya juga boleh
berjodoh. Minta saja Tang Gak menjadi wali perkawinan kalian."
Cia Thian-hoa dan Yap Eng-eng sangat gembira karena cita-cita
selama berpuluh tahun, kini terkabul. Tapi di depan orang muda,
tidak enak bagi mereka untuk bicara terus terang, mereka cuma
saling pandang dengan tersenyum bahagia.
Tang Gak lantas mengucapkan selamat kepada sute dan
sumoaynya, hatinya sangat senang, tapi juga rada kecut. Soalnya ia
sendiri sebenarnya juga menaksir sang sumoay, hanya saja ia tahu
cinta sumoaynya itu condong kepada Thian-hoa, maka selama ini
belum pernah ia perlihatkan perasaan sendiri.
Terdengar Hian-ki It-su berkata pula, "In Ting paling singkat
berada di dalam perguruan, kungfunya juga belum sempurna,
pribadinya banyak mengalami pula berbagai musibah, jika ada
urusanku yang belum terselesaikan, maka urusan itu adalah
mengenai pribadi In Ting. Maka setelah kuperai hendaknya kalian
menjaganya dengan baik. Anak Gak, boleh kau ajarkan inti lwekang
perguruan kita kepadanya, asalkan dia mau berlatih dengan tekun,
kuyakin akan mencapai sukses juga kelak."
In Ting terharu dan menangis sedih.
Tan-hong merasa tidak enak hati, ia tidak berani lagi
memandang In Lui.
"Akhirnya Sute dapat berjumpa pula dengan putrinya dengan
selamat, sekarang diberi pula segala kebaikan Suhu, habis getir
datanglah manis, tidak perlu lagi bersedih," kata Tang Gak, Hian-ki
membelai rambut In Lui, katanya, "Kamu mempunyai seorang putri
secantik dan berbakti seperti ini, hidupmu jauh lebih beruntung
daripadaku. Manusia hidup, asalkan meraba hati nurani sendiriPahala dan Murka - 26 20
merasa tidak ada sesuatu dosa salahan, maka dapatlah hidup
senang dan mati gembira. Meski pengalamanmu cukup pahit, tapi
sekarang awan mendung sudah buyar, hari depanmu yang cerah
sedang menanti, tidak perlu lagi menangis."
In Ting lantas berhenti menangis, meski merasakan kehangatan
perguruan, namun rasa sedih dan penasarannya belum lenyap sama
sekali. Teringat putra musuh justru menjadi murid keponakan
sendiri, bahkan merupakan orang yang dipuji sang guru, jelas
dendam ini tak dapat lagi terbalas, malahan tidak enak untuk
dibicarakan di hadapan para suheng.
Terdengar Hian-ki It-su sedang berkata pula dengan tertawa,
"Yang menggembirakan kita adalah angkatan muda kita semakin
kuat daripada angkatan tua, murid Thian-hoa kelak pasti akan
mengembangkan kejayaan perguruan kita, hendaknya kalian
mendidiknya dengan baik."
Sementara itu sang surya sudah hampir terbenam, senja sudah
tiba, si nenek memutar tongkat bambunya dan berkata, "Sudahlah,
tinggalkan urusan duniawi, lepas dari segala persoalan. Kenapa
kalian masih terus bicara tidak habis-habis?"
Siangkoan Thian-ya tertawa, serunya, "Bagus, ucapan yang
tepat! Marilah Hian-ki tua. sudah waktunya kita angkat kaki!"
Hian-ki It-su memberi salam kepada anak muridnya, sambil
berdendang pergilah mereka bertiga, dalam waktu sekejap saja
sudah menghilang di remang senja.
Diam-diam Tang Gak menghela napas, Ciamtai Biat-beng juga
terharu. Tak tersangka dua seteru bebuyutan dapat damai secepat
dan semudah itu. kalau dipikir, di dunia ini memang banyak
sengketa yang timbul hanya karena persoalan kecil yang tak berarti.Pahala dan Murka - 26 21
Waktu ia berpaling, dilihatnya Thio Tan-hong masih berlutut di
sebelah sana mengantar kepergian sang kakek guru tadi, dengan
pandangan seperti orang linglung sedang menatap ke depan sana.
Ciamtai Biat-beng terkejut, ia mendekatinya dan menariknya
bangun, tanyanya lirih, "He, engkau kenapa?"
Hati Tan-hong sedang sedih sekali, ia menyaksikan Oh Mong-fu
berpasangan dengan Lim Sian-im, guru sendiri berpasangan
dengan guru In Lui, hanya kekasih sendiri justru dekat di mata tapi
jauh di hati, dapat dipandang tapi tak dapat diraih, serupa di tengah
mereka terpisah oleh selapis pengalang yang tidak kelihatan.
Berulang Ciamtai Biat-beng tanya padanya, namun Tan-hong
hanya menggeleng kepala dan memandang ke depan seperti orang
linglung.
Dalam sekejap itu In Lui juga sangat berduka, dilihatnya sorot
mata Thio Tan-hong pelahan bergeser menuju ke arahnya, betapa
sedih dan sesal, betapa kasih sayang pancaran sinar mata itu.
Waktu ia menoleh, dilihatnya sorot mata sang ayah juga sedang
menatap padanya, betapa pula dendam dan benci, betapa pedih dan
duka sorot mata ayahnya ini. Wajah sang ayah yang kurus pucat itu
pelahan membesar dan mengalingi halangan Thio Tan-hong.
Pada waktu beradu pandang dengan Thio Tan-hong tadi hampir
saja In Lui berteriak, tapi ia dapat menahan perasaannya, cepat ia
menghindari sorot mata Tan-hong dan juga mengelak tatapan sang
ayah.
Kedua orang itu adalah orang yang paling dicintainya, ia tidak
tega membuat duka hati kedua orang itu, namun ia pun tidak dapat
tidak membuat mereka berdua, ia telan air mata sendiri, ia tidak
berani lagi memandang kedua orang yang paling dikasih dan
dicintainya itu.Pahala dan Murka - 26 22
Ia tidak berani membayangkan betapa perasaan kedua orang itu,
akan tetapi hatinya sendiri sudah hancur luluh lebih dulu.
Menghadapi adegan demikian, tidak perlu dijelaskan juga semua
orang mengerti.
Cia Thian-hoa dan Yap Eng-eng sama menunduk, persoalan budi
dan benci demikian, biar pun orang dekat sebagai guru dan murid
juga tidak tahu cara bagaimana melarainya.
Angin meniup dingin, Tan-hong dan In Lui berdiri berhadapan
tanpa bicara, keduanya sama haru dan pedih.
Ciamtai Biat-beng menggeleng kepala dan menghela napas
pelahan, tiba-tiba ia membisiki Tan-hong, "Jika negara saja dapat
kau buang, masa seorang perempuan tidak dapat kau lepaskan?"
Tergetar hati Tan-hong, tanyanya, "Apa katamu?"
"Leluhur menaruh harapan agar engkau dapat mengembangkan
kejayaan kerajaan Ciu, tapi engkau membela tanah airmu agar tidak
dicaplok negeri asing, dengan menempuh berbagai bahaya dan
susah payah engkau rela mempersembahkan pusaka dan
menyerahkan peta rahasia demi untuk menyelamatkan kerajaan
Beng. Kalau singgasana saja dapat kau tinggalkan, masa urusan
cinta dan dendam tak dapat kau buang?"
Tan-hong melenggong, katanya, "Kupandang singgasana raja
serupa kotoran . . ."
"Maka lekas kau pulang ke negeri leluhur," sambung Ciamtai
Biat-beng.
Air muka Tan-hong berubah cepat, dari pucat berubah merah.
Meski ucapan Ciamtai Biat-beng itu tidak keras, namun serupa
bunyi geledek yang menggetar kalbunya.Pahala dan Murka - 26 23
Dalam sekejap itu terkenang olehnya dari jauh di gurun utara
menuju ke kanglam, lalu dari kang-lam kembali lagi ke utara,
selama itu ia banyak mengalami berbagai kesulitan dan semua itu
untuk apa? Bukankah demi tercapainya cita-cita, demi
menyelamatkan negeri Tiongkok agar dapat berdamai selamanya
dengan Watze, agar hidup berdampingan secara damai dengan
sekeliling negeri tetangga. Dan cita-cita itu sekarang sudah hampir
menjadi kenyataan, mana boleh dirinya menjadi patah semangat
malah sekarang?
Tan-hong sebenarnya sangat pintar dan cerdas, sangat pandai
membedakan antara yang benar dan salah. Setelah berpikir begitu,
seketika darah panas bergolak dalam rongga dadanya dan sukar me
nguasai diri, pikirannya lantas jernih kembali, ia mengertak gigi,
katanya, "Ciamtai-ciangkun. terima kasih atas kedatanganmu ini,
marilah kita berangkat sekarang juga!"
Lalu ia memberi hormat kepada sang guru dan para paman guru,
sorot matanya melirik In Lui sekilas, lalu putar tubuh dan
melangkah pergi.
Dari belakang terdengar suara hela napas Cia Thian-hoa dan Yap
Eng-eng. In Lui duduk lemas di tanah, air mata tak dapat mengalir
lagi.
Untung juga Tan-hong tidak berani menoleh, jika menoleh, asal
memandang sekejap saja kepada In Lui, bisa jadi keduanya akan
saling rangkul dan menangis serta tidak tega untuk berpisah lagi.
Ketika Tan-hong dan Ciamtai Biat-beng turun sampai di kaki
gunung, cuaca pun sudah gelap, bintang mulai berkelip di
cakrawala. Mereka lantas minta mondok di rumah pemburu di
bawah gunung.Pahala dan Murka - 26 24
Esoknya Thio Tan-hong mendapatkan kembali Ciau-ya-sai-cuma di kaki gunung. Kuda itu sungguh kuda mestika, hampir sepuluh
hari Tan-hong berada di atas gunung, selama itu pula kuda merah
itu mencari makan sendiri dan menunggu kembalinya majikan
tanpa meninggalkan tempat semula. Dan begitu melihat
kemunculan sang majikan, Ituda itu segera berjingkrak dan
meringkik senang.
Tan-hong merangkul leher kuda itu dan membelai bulu surinya,
terkenang olehnya waktu rae -nunggang kuda bersama In Lui, tanpa
terasa ia mencucurkan air mata pula.
"Dengan kuda sebagus ini, tidak perlu sampai sepuluh hari kita
dapat mencapai ibukota," kata Ciamtai Biat-beng.
"Bagaimana keadaan ibukota akhir-akhir ini?" tanya Tan-hong.
"Dari luar tampaknya aman dan tentram, padahal serupa
kesunyian sebelum badai," tutur Biat-beng.
"Kenapa begitu?" tanya Tan-hong.
"Aji aktif mengadakan kontak dengan berbagai kepala kelompok
suku dan bermaksud memberontak. Yasian juga buru-buru ingin
mengadakan perjanjian damai dengan Tiongkok," tutur Ciamtai
Biat-beng. "Pada waktu kutinggalkan ibukota, kabarnya pihak
kerajaan Beng sudah mengirim misi perdamaian ke Watze. Semoga
utusan ini akan tiba sebelum terjadi huru-hara, kalau tidak kukira
bisa terjadi perubahan."
"Dan bagaimana dengan ayahku?" tanya Tan-hong.
"Dia sudah minta berhenti dari kedudukannya dan sekarang
sedang menantikan kedatangan utusan Beng."
"Ayah belum mengambil keputusan akan pulang ke negeri
leluhur?"Pahala dan Murka - 26 25
Ciamtai Biat-beng menggeleng, "Sekarang tiada seorang pun
berani membujuknya. Ia tinggal di ibukota Watze, meski resminya
dia tidak punya kedudukan lagi, namun Yasian tetap tidak rela
melepaskan dia pergi begitu saja. Kalau tinggal lebih lama lagi di
situ, bukan mustahil akan timbul bahaya. Tampaknya hanya engkau
saja yang dapat membujuk dia."
Keterangan ini membuat Tan-hong merasa malu karena akhirakhir ini dirinya seperti orang linglung sehingga hampir bikin
runyam urusan yang lebih penting. Segera ia cemplak ke atas
kudanya dan dibedal secepatnya.
Sepanjang jalan Ciamtai Biat-beng tidak berani lagi berbicara
tentang In Lui.
Perjalanan mereka sangat cepat, waktu lohor mereka lewat di
selat selatan pegunungan Tangra.
tempat bermukim suku Olo. Belasan hari yang lalu Tan-hong dan
In Lui pernah menemui kepala suku di situ, sebagian penggembala
di padang rumput situ juga masih mengenalnya, dari jauh mereka
sama menegur sapa dengan dia. Namun Tan-hong tetap membedal
kudanya secepat terbang sehingga terpaksa Ciamtai Biat-beng
menyusulnya dengan susah payah.
"Tan-hong, banyak juga kenalan dan sahabat mu di sini?!" kata
Biat-beng dengan tertawa.
Tan-hong diam saja tanpa menjawab.
Tiba-tiba terdengar suara ringkik kuda, tahu -tahu Ciau-ya-saicu-ma yang ditunggangi Tan-hong itu mengendurkan larinya
sambil menjawab dengan ringkikan juga.
Waktu Tan-hong berpaling, dilihatnya di samping sebuah rumah
bobrok di tepi jalan sana, pada sebatang pohon kering tertambat
kuda merah In Lui.Pahala dan Murka - 26 26
Kiranya saat itu mereka berlalu di rumah In Lui. Rupanya karena
In Lui harus inemayang ayahnya ke atas gunung, tidak leluasa
menunggang kuda, maka kuda merah itu ditinggalkan di situ.
Begitulah kedua ekor kuda itu saling meringkik sambil
berjingkrak-jingkrak.
Tentu saja Ciamtai Biat-beng heran, katanya dengan tertawa,
"Rumah siapakah ini? Tak tersangka pemilik rumah ini juga
mempunyai seekor kuda mestika sebagus ini. Eh, Tan-hong,
mengapa . . . mengapa kudamu . . .."
Selagi ia hendak tanya mengapa kudanya serupa kenal lama kuda
orang, tiba-tiba dilihatnya air muka Tan-hong berubah pucat dati
air mata berlinang, karena kaget, Ciamtai Biat-beng tidak
melanjutkan ucapannya.
Terdengar Tan-hong menghela napas, lalu menengadah dan
bersenandung pedih.
Pada saat itulah dari dalam rumah bobrok itu tersiar suara
orang, agaknya pemilik rumah hendak memburu keluar.
Mendadak Tan-hong mencambuk kudanya dengan keras. Sudah
lama kuda merah ini mendampingi Tan-hong dan belum pernah
dihajar sekeras ini. Keruan kuda itu kaget, langsung membedal ke
depan secepat terbang sehingga Ciamtai Biat-beng tertinggal jauh
di belakang.
Biat-beng menggeleng kepala dan berseru, "Hei, Tan-hong, jika
hatimu kesal, kenapa kaujadikan kuda sebagai pelampias?"
Sekali kuda merah itu membedal, dalam waktu singkat belasan
li sudah dilaluinya. Waktu Ciamtai Biat-beng menyusul tiba,
dilihatnya Tan-liong sudah berhenti di depan sebuah kedai minum
di tepi jalan.Pahala dan Murka - 26 27
Meski sudah biasa melihat kelakuan Tan-hong yang aneh, tapi
tingkah-lakunya yang luar biasa sekarang membuat Biat-beng
merasa kuatir, setelah berhenti lantas tanya, "Tan-hong, ada apa
kau jadi begini?"
"Mari, kita minum sepuasnya di sini," seru Tan-hong.
"Tapi kita masih harus melanjutkan perjalanan." ujar Biat-beng.
"Mumpung di sini tersedia arak, biarlah kita minum sepuasnya,
kalau mabuk baru meneruskan perjalanan. Ciamtai-ciangkun.
kenapa hari ini kau-pun kurang tegas?"
Tanpa omong lagi ia seret Ciamtai Biat-beng ke dalam kedai dan
berteriak, "Hai, adakah arak susu kuda di sini?"
Arak susu kuda adalah minuman murah di daerah Mongol.
Pemilik kedai menjawab dengan mendelik, "Arak susu kuda
tersedia cukup, kau mau minum berapa banyak, bayar dulu!"
"Bawakan enam-tujuh kati!" teriak Tan-hong sambil
melemparkan sepotong uang perak, "Ini uangnya, jangan banyak
omong, kenapa pakai mendelik segala, kau kira aku tidak sanggup
bayar?!"
Pemilik kedai terkejut, cepat ia ganti sikap ramah, ia sangka Tanhong sudah minum mabuk lebih dulu di tempat lain.
Arak susu kuda sulingan kedai minum ini ternyata mempunyai
cita rasa kecut dan agak sepat. Sehabis minum dua ceguk Ciamtai
Pahala Dan Murka Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Biat-beng lantas berkerut kening.
Sebaliknya Tan-hong terus menenggak habis lima-enam
mangkuk besar dan berulang menyatakan arak enak, sorot matanya
yang sudah agak mabuk itu seakan-akan muncul bayangan In Lui.
Teringat oleh Tan-hong pada waktu mula-mula berkenalan dengan
In Lui, ketika itu ia pun minum satu buli-buli arak susu kuda danPahala dan Murka - 26 28
menangis sambil bernyanyi segala. Kini terkenang lagi kejadian
dulu, namun si nona sudah meninggalkannya, maka hatinya keml
ali diliputi rasa pedih yang tak terhingga.
Ciamtai Biat-beng hanya minum beberapa ceguk saja, sebaliknya
tujuh kati arak itu sudah hampir habis diminum sendirian oleh Tanhong. Ber ulang Biat-beng mendesak anak muda itu berhenti
minum dan lekas berangkat saja.
Tan-hong tersenyum getir dan menaruh mangkuk arak, tiba-tiba
di luar kedai terdengar suara ringkik kuda, lalu ada orang berseru,
"Eh, Cui-hong, coba lihat, bukankah ini kuda Tan-hong yang
bernama Ciau-ya-sai-cu-ma itu?"
Segera tertampak seorang lelaki dan seorang perempuan
melangkah masuk dengan cepat. Yang lelaki ternyata Ciu San-bin
dan di belakangnya mengikut Ciok Cui-hong.
Segera Ciu San-bin menegur, "Tan-hong, wah susah benar
kucari dirimu, tak tersangka bertemu di sini."
Cui-hong lantas bersuara heran, "Eh, di manakah enci In Lui?
Mengapa kalian tidak ada bersama?"
Namun Tan-hong serupa orang linglung, sempoyongan dan
membawakan syair cinta.
Cui-hong mengira anak muda itu mengolok-olok kisah cintanya
dahulu, yaitu ketika ia salah sangka In Lui sebagai pemuda dan jatuh
cinta padanya.
Muka Cui-hong menjadi merah, ia mengomel, "Hus, orang
mencarimu karena ada urusan penting, kenapa kamu mengoceh
tidak keruan?"
Tan-hong terkesiap, rasa mabuknya hilang beberapa bagian, ia
tanya, "Cara bagaimana kalian dapat mencariku ke sini?"Pahala dan Murka - 26 29
"Kami sudah mendatangi rumah enci In Lui dan bertemu dengan
bibi. Kiranya engkau bertengkar dengan enci In Lui, bibi bilang
semula kamu datang bersama enci Lui ke rumahnya, tapi kemudian
kau pergi sendirian. Ia menceritakan pula enci Lui telah pergi
bersama ayahnya beberapa hari yang lalu, kukira mereka keluar
mencarimu."
"Pantas pada waktu lalu di rumahnya tadi kudengar ada orang
bicara di dalam rumahnya, kiranya kalian berada di sana," ucap
Tan-hong.
"Kami juga baru sampai di sana, baru duduk sebentar lantas
terdengar suara ringkik kudamu, waktu kami memburu keluar
kalian sudah pergi jauh," tutur Cui-hong. "Cepat kami menyusul
kemari dan sampai di sini baru bertemu. Eh, aku ingin tanya
padamu, umpama ada selisih paham antara enci Lui denganmu kan
harus tahu sopan santun juga, masa lalu di rumah orang tidak
mampir? Bibi In sungguh harus dikasihani, harus kau-jenguk dia."
Mendadak air muka Tan-hong berubah dan menunduk diam.
Tentu saja Cui-hong heran, katanya, "Watak enci Lui sangat
ramah, tentu engkau yang salah, maka dia keki padamu. Urusan
apakah, coba ceritakan, biar nanti kumintakan maaf bagimu." Habis
berucap ia tertawa terkikik-kikik. Ciamtai Biat-beng lantas menyela,
"Sudahlah, bicara urusan penting saja dulu. Engkau lupa
memberitahukan, dari siapa kalian mengetahui tempat tinggal ibu
In Lui."
"Yaug kukatakan kan juga urusan penting?!" ujar Cui-hong
dengan tertawa, tiba-tiba dilihatnya wajah Tan-hong tambah pucat
dan masih termenung-menung serupa orang linglung, ia terkejut
dan tidak meneruskan ucapannya.Pahala dan Murka - 26 30
Maka Ciu San-bin lantas menukas, "Beng-tiau (kerajaan Beng)
sudah mengirim utusan untuk merundingkan perdamaian dengan
Watze."
"Hal ini sudah kuketahui," kata Biat-beng. "Coba terka, siapa
utusan yang dikirim kemari?" kata San-bin pula.
Sementara itu pikiran Tan-hong sudah agak tenang, mendadak
ia menyela, "Siapa?"
"Ialah kakak In Lui," tutur San-bin. Tan-hong melenggong,
teringat olehnya selama ln Tiong tetap bermusuhan padanya,
dengan ke datangannya urusan sendiri dengan In Lui semakin
gawat jadinya.
"Eh, ada apa? Masa engkau tidak gembira?" tanya Cui-hong.
"Tentu saja aku gembira," kata Tan-hong. "In Tiong yang dikirim
kemari sebagai duta, segalanya tentu akan berlangsung dengan
baik."
Ucapan Tan-hong memang benar timbul dari lubuk hatinya.
Maklumlah, kakek In Tiong dulu juga diutus ke Watze, akibatnya
ditawan dan dipaksa mengangon kuda dan mengalami berbagai
penderitaan. Sekarang Tiongkok mulai bangun dan bertambah
kuat, lalu In Tiong yang diutus menjadi duta, hal ini sungguh
menggembirakan dan membanggakan.
Apalagi In Tiong memang berjiwa patriot, pintar dan cekatan
melebihi sang kakek, dia diangkat menjadi duta, hal ini
menandakan Ih Kiam cukup bijaksana dan pintar memakai tenaga
orang yang cakap.
Meski Tan-hong sangat menyesali salah paham In Tiong
terhadap dirinya yang sukar diselesaikan itu, namun urusan ini
adalah urusan pribadi, betapapun ia tetap gembira dan merasa In
Tiong adalah pilihan yang tepat untuk menjadi duta perdamaian.Pahala dan Murka - 26 31
"Waktu In Tiong lewat Gan-bun-koan, pernah dia bertemu
dengan kami," demikian Ciu San-bin bertutur pula, "Dia yang minta
padaku agar menyampaikan berita kepada ibunya, dan
mengundang orang tua itu ke kotaraja Watze untuk bertemu
dengan dia. Tak tersangka ayahnya juga masih hidup, menurut
cerita bibi, ia ingin menunggu pulangnya In Lui, lalu sekeluarga
akan berangkat ke ibukota dan tidak perlu lagi ditemani kami."
Mendengar nama In Lui, tergetar juga hati Tan-hong.
San-bin meliriknya sekejap, katanya pula, "In Tiong membawa
pengiring 18 jago pengawal istana, selain itu ada lagi beberapa
orang perempuan."
"Aneh, anggota rombongannya juga ada orang perempuan?"
Ciamtai Biat-beng menegas.
"Ya, kabarnya di antaranya adalah adik perempuanmu yang
bernama Ciamtai Keng-beng itu," tutur San-bin dengan tertawa.
"Aha, kiranya dia ikut datang," seru Biat-beng deDgan senang.
"Mungkin pamanku menyuruh Keng-beng datang kemari untuk
memapak ku-pulang ke sana."
"Memang betul." ucap San-bin. "Kami mengucapkan selamat
padamu, selekasnya kalian dapatlah pulang ke negeri leluhur."
Diam-diam Biat-beng berpikir tentu Keng-beng merasa tidak
leluasa ikut kemari sendirian bersama In Tiong, maka sengaja
membawa beberapa teman orang perempuan agar tidak menjadi
bahan pembicaraan orang. Tampaknya Tan-hong sedang kesal, jika
Keng-beng dijodohkan dia akan merupakan pasangan yang
setimpal.
Tengah berpikir, terdengar San-bin berkata pula, "Mereka
adalah utusan resmi Beng-tiau, sepanjang jalan tentu disambut
dengan upacara, paling cepat setiap hari mereka hanya menempuhPahala dan Murka - 26 32
50-60 li saja, bisa jadi belasan hari lagi .rombongan mereka baru
akan sampai di ibukota Watze, nvaka aku menjadi rada kuatir bagi
mereka."
"Memangnya kenapa?" tanya Tan-hong.
"Setelah peperangan usai, di mana.-mana berjangkit orang jahat,
tokoh kalangan hitam sama menonjol. Meski In Tiong membawa 18
jago pengawal istana juga harus -waspada agar tidak terjadi sesuatu
di luar dugaan. Sebelum melintasi Gan bun-koan pihak kami ikut
membantu sehingga perjalanannya aman tanpa gangguan. Tapi
sesudah keluar Gan-bun-koan, tentu kami tak dapat banyak
membantu lagi."
"Tapi kedatangan utusan Beng ini kan atas undangan Yasian, jika
utusan Beng mengalami sesuatu di wilayah Watze, tentu dia harus
ikut bertanggung jawab," ujar Biat-beng.
"Meski betul begitu, namun Yasian licik dan l.cin dan sukar
diraba isi hatinya yang sebenarnya," kata San-bin. "Apalagi keadaan
dalam Watze sedang mengalami perpecahan, belum tentu semua
orang mau tunduk kepada perintah Yasian, terutama kaum bandit
dan tokoh penjahat di sini. Maka sebaiknya kita harus berjaga-jaga
segala kemungkinan, untuk itulah ingin kami berunding dengan
kalian, apakah perlu kita kirim beberapa orang untuk menyongsong
kedatangan mereka?" Sejak tadi Tan-hong diam saja, sampai di sini
mendadak ia berseru, "Ciu-toako dan Ciok-cici, kuhormati kalian
satu mangkuk arak!"
Ia angkat mangkuknya dan menenggak habis isinya.
Ciu San-bin dan Gok, Cui-hong hanya memandangi kelakuannya
itu. Dilihatnya sehabis minum Tan-hong lantas membuang
mangkuknya sambil berseru, "Ciu-toako, kuda kami lebih cepat,Pahala dan Murka - 26 33
biarlah kami berangkai lebih dulu. Jangan kalian kuatir, kujamin intoako alan tiba di ibukota Watze dengan selamat."
Segera ia melompat ke sana mencemplak ke atas kudanya, sekali
kuda itu meringkik langsung membedal pergi secepat terbang.
Kuda Ciamtai Biat-beng adalah kuda pilihan juga, namun sukar
menyusul Tan-hong, apalagi kuda Ciu San-bin dan Ciok Cui-hong.
Tiga hari kemudian Thio Tan-hong sudah pulang sampai di
ibukota Watze, terlihat orang berlalu lalang dongan ramai di jalan
kota, tampaknya ramai berebut membeli barang keperluan seharihari. Rupanya penduduk mendengar kabar selentingan ada
kemungkinan terjadi perang saudara antara Aji dan Yasian, maka
penduduk sibuk menyimpan bahan makanan dan keperluan seharihari.
Diam-diara Tan-hong merasa menyesal, ia pikir bilamana dunia
ini aman dan damai tanpa perang, betapa bahagia umat
manusianya. Terpikir pula olehnya, "Suasana perang tampaknya
bertambah genting. Yasian menjadi terburu-buru ingin mengikat
perdamaian dengan pihak Tiongkok. Tampaknya nasib In Tiong
jauh lebih beruntung daripada kakeknya, sekali ini tentu dia akan
menunaikan tugasnya dengan sukses dan dapat menanda tangarii
perjanjian damai serta membawa pulang raja tua mereka."
Tidak lama kemudian sampailah ia di rumah, segera beberapa
centing menyambut kedatangannya dan menyapa, "Siauya, engkau
baru sekarang pulang, setiap hari Loya senantiasa mengharapkan
kedatanganmu. Sudah sekian hari Loya berbaring di tempat tidur
dan berulang menyuruh orang keluar mencari Siauya."
Tan-hong terkejut, cepat ia lari ke kamar tidur sang ayah.
Terlihat ayahnya sedang duduk sendirian di depan meja dan lagi
menulis. Ketika mendengar suara, oraug tua itu lantas tanya,Pahala dan Murka - 26 34
"Siapa??? Tan-hong menghela napas lega, jawabnya, "Aku ayah,
anak sudah pulang. Ayah tidak apa-apa bukan??? Thio Cong-ciu
menoleh, tanyanya, "Dan di mana Ciamtai-ciangkun?"
"Kudanya lebih lambat, mungkin esok pagi baru akan sampai di
rumah," tutur Tan-hong "Dari cerita para centing, katanya ayah
kurang sehat. Sakit apakah? Dan apakah sudah panggil tabib?"
"Syukurlah kamu selalu ingat padaku," kata Cong-ciu. "Tidak apaapa, penyakit biasa, mungkin karena pengaruh cuaca, akhir-akhir
ini hiljan beberapa hari, kemarin dulu baru mulai terang, rupanya
penyakit encok lututku lantas 'kumat."
"Mengapa ayah tidak panggil tabib?" tanya Tan-hong.
"Baru akan kuceritakan padamu," ucap Cong-ciu dengan
tertawa. "Beberapa catatan yang terdapat dalam buku tinggalan
Pang-hwesio yang kaubawa pulang itu sungguh sangat berguna.
Rupanya di situ ada catatan tentang penyembuhan sakit encok.
Menurut keterangan, umpama kaki atau tangan cacat juga dapat
disembuhkan dengan tusuk jarum."
"Dan apakah ayah sudah mencobanya dengan tusuk jarum?"
tanya Tan-hong.
Cong-ciu berdiri dan coba melangkah kian kemari, lalu menjulur
kaki dan menendang beberapa kali, katanya, "Baru kemarin kucoba
dengan cara penyembuhan tersebut, kusuruh orang menusuk
jarum telapak kakiku dan hari ini benar-benar aku dapat berjalan."
"Wah, begitu mujarab, sungguh hebat," seru Tan-hong.
"Rasanya kitab itu harus kubaca lagi dan perlu kupelajari dengan
baik."
"Pang-hwesio adalah imam negara kerajaan Ciu Raya kita," tutur
Cong-ciu. "Beliau pernah menjadi guru dua orang raja padaPahala dan Murka - 26 35
jamannya, pengetahuannya sangat luas, tentu saja hasil karyanya
lain daripada yang lain, memang harus kau-pclnjari dengan baik."
Segera ia ambilkan kitab yang dimaksud dan diserahkan kepada
Tan-hong dan suruh anak muda itu duduk di samping, habis minum
teh, dengan tertawa Cong-ciu berkata lagi, "Kabarnya utusan Bong
sudah hampir tiba, hatiku merasa lega. Entah siapa utusan yang
dikirim kemari. Bilamana orangnya sehebat mendiang In Cing
dahulu, tentu segala urusan bisa beres."
Bicara sampai di sini, suaranya menjadi rada gemetar.
Tan-hong tahu ayahnya terkenang kepada kejadian dahulu dan
merasa menyesal, dalam sekejap itu bayangan In Tiong yang kurus
dan pincang itu seakan-akan terbayang dal.im benaknya. Lalu
terbayang juga watak In Tiong yang keras serta bayangan In Lui
yang harus dikasihani.
"Meski ayah juga ingin menyelesaikan permusuhan masa
lampau, tapi entah cara bagaimana urusan ini bisa diakhiri?"
demikian pikir Tan-hong.
"Apa yang kaupikirkan, Tan-hong?" tanya Cong-ciu.
Anak muda itu tertawa, "Ah, tidak ada, anak sedang mendugaduga siapa kiranya utusan yang dikirim kerajaan Beng itu?" Semula
ia hendak memberitahukan tentang In Tiong yang diangkat menjadi
duta kerajaan Beng itu, tapi setelah dipikir tentang dendam
keluarga In terhadap keluarga Thio, mungkin masih sulit untuk
mendapatkan saling pengertian, jika dikatakan terus terang kepada
sang ayah tentu akan menambah rasa dukanya dan semakin
menyesal. Sebab itulah ia urung bicara.
Kedua anak dan ayah sama terdiam sejenak, tiba-tiba Tan-hong
berkata pula, "Ayah, apakah pendirianmu tetap tidak berubah?"Pahala dan Murka - 26 36
Dengan sendirinya Cong-ciu tahu apa yang dimaksudkan,
jawabnya dengan tersenyum getir, "Bila utusan Beng itu sudah
datang, bolehlah kau ikut pulang negeri leluhur bersama dia. Tapi
kamu dilarang menjadi pembesar kerajaan Beng."
"Dan ayah sendiri bagaimana?" tanya Tan-hong.
'"Selama hidupku ini mungkin cuma dalam mimpi saja dapat
pulang ke kanglam. Sudahlah, urusan ini tidak perlu kau sebut lagi."
Tan-hong merinding, dirasakan firasat tidak enak. Jika sang ayah
sudah putus asa seperti ini, sukar dibayangkan tindakan nekat apa
yang akan dilakukannya.
Sekilas dapat dilihatnya secarik kertas dengan tulisan yang
belum lagi kering tintanya, itulah syair merindukan kampung
halaman, akan tetapi menyesal karena keadaan yang tidak
mengizinkan untuk pulang. Cuma syair itu belum selesai ditulis,
mungkin karena terputus oleh kedatangannya tadi.
Melihat betapa runtuh semangat sang ayah, diam-diam Tanhong menghela napas, ingin bicara, tapi urung.
Pahala Dan Murka Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Malam itu berulang Thio Cong-ciu bermimpi beberapa kali,
dalam mimpinya ia merasa seperti sudah pulang lagi ke daerah
kanglam . . . Waktu mendusin paginya, rindu akan kampung
halaman tambah keras, rasa dukanya juga tambah besar.
Tiba-tiba terdengar pintu kamar diketuk, cen-tirg datang
melaporkan bahwa Ciamtai-ciangkun dan tuan muda ingin
bertemu.
Segera Cong-ciu bangun dan memakai baju lalu keluar kamar.
Terlihat Ciamtai Biat-beng sudah menanti di situ, di sampingnya
berdiri Thio Tan-hong.Pahala dan Murka - 26 37
"Engkau sudah pulang, Ciamtai-ciangkun?" sapa Cong-ciu.
"Tan-hong masih muda dan tidak tahu urusan, umpama dia
terburu-buru ingin menemui aku juga tidak perlu tergesa-gesa.
Kudanya lebih cepat sehingga engkau ditinggalkan, sungguh tidak
pantas."
Kecut perasaan Tan-hong, ia membatin, "0, ayah, engkau tidak
tahu sebabnya terburu-buru ingin kujumpai ayah justru lantaran
ingin lekas-lekas pergi pula."
"Lapor Cukong," tutur Ciamtai Biat-hcng. "Kougcu bermaksud
pergi ke selatan bersamaku dan akan berangkat dengan segera,
maka kami ingin mohon diri kepada Cukong."
Thio Cong-ciu terkejut, "Hah, apa katamu? Kalian baru pulang
dan segera akan berangkat lagi?"
"Kabarnya utusan Beng-tiau sudah masuk Watze, kami
bermaksud menyambut kedatangannya," tutur Biat-beng.
"Apakah kau kenal utusan Beng-tiau itu?" tanya Cong-ciu.
Karena sebelumnya sudah dipesan oleh Tan-hong, maka Ciamtai
Biat-beng menggeleng dan menjawab, "Meski hamba tidak kenal,
tapi ketika Kongcu pulang dahulu dan hamba ikut utusan Watze ke
Tiongkok, pernah kami mendapat pelayanan Ih Kiam dengan baik.
Kabarnya utusan ini adalah pilihan Ih Kiam sendiri sebagai
penghormatan selayaknya kami menyambut kedatangan utusannya
agar di tengah jalan tidak terjadi bahaya."
Selagi bicara, dilihatnya mala Tan-hong me-ngembeng air mata.
Ciamtai Biat-beng tahu perasaan majikan nuda itu, justru lantaran
majikan muda itulah untuk pertama kalinya ia berdusta kepada
cukong atau majikannya.
Pelahan Thio Cong-ciu berdiri sambil mengelus jenggotnya yang
putih, katanya dengan menyesal, "Aku sudah tua dan tidak dapatPahala dan Murka - 26 38
mencurahkan tenaga lagi bagi negeri leluhur, kalian masih muda
dan punya cita-cita yang tinggi. Baiklah, kalian boleh berangkat!"
Air mata Tan-hong menitik, meski biasanya dirasakan antara
dirinya dan sang ayah ada jurang, pemisah, tapi dalam sekejap ini
rasanya ada kontak perasaan antara mereka.
Tan-hong merangkul sang ayah dan berucap, "Jaga dirimu baikbaik, ayah!"
Lalu ia membalik tubuh dan melangkah keluar. Begitulah
bersama Ciamtai Biat-beng mereka terus berangkat dengan
terburu-buru.
Jika mereka gelisah dan memburu ke selatan untuk menyambut
kedatangan utusan Beng-tiau.
Begitu pula utusan Beng-tiau, yaitu In Tiong, juga gelisah dan
ingin lekas sampai di ibukota Watze untuk bertemu dengan mereka.
Rombongan In Tiong meninggalkan Peking pada hari kedua
setelah tahun baru. Sampai sekarang sudah lebih sebulan mereka
Pendekar Kembar 7 Naga Pembunuh Lanjutan Golok Maut Karya Batara Tuan Tanah Kedawung 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama