Pahala Dan Murka Karya Liang Ie Shen Bagian 4
orang menjadi kabur.
In Lui telah keluarkan gerak langkah "Coan-hoB-jiauw-su" yang
cepat, ia ikuti gerakan orang yang gesit hingga hampir ratusan
jurus. Diam-diam ia pikir, "Liap-hun-po-hoatnya memang luar
biasa, dengan apa yang ku pelajari masing-masing ada
keunggulannya sendiri-sendiri, cuma sayang latihannya masih jauh
dari pada matang."Pahala dan Murka - 5 36
Di lain pihak Cio Cui-hong melihat ilmu silat In Lui sedemikian
tinggi, orangnya ganteng lagi, sudah sejak tadi ia jatuh hati.
Tetapi dalam pertarungan seru itu, dilihat cara In Lui turun
tangan selalu sengaja mengalah padanya, rupanya sedang
mempermainkan dirinya, diam-diam ia berkata dalam hati, "Kalau
aku tidak unjuk sekali-dua jurus kepandainku yang lihai, kelak kalau
sudah menikah, tidakkah akan kau hina aku."
Cui-hong adalah nona yang suka menang, ia salah sangka In Lui
sengaja meremehkan dia, oleh karena itu segera ia ubah ilmu
pukulannya, segera ia lancarkan hantaman gencar, ia membelah
dengan telapak tangan dan menutuk dengan jari, di dalamnya
terseling pula gerak tipu "Liap-hun-kiam" yang lihai.
In Lui kaget oleh perubahan serangan orang yang hebat ini,
segera ia kumpulkan semangat, sekaligus ia sambut belasan kali
serangan cepat, ia pun keluarkan kungfu perguruannya yang lihai,
ia gunakan dasar ilmu pedang "Pek-pian-hian-ki" atau berubah
ratusan kali secara mujijat dan digunakan dalam pukulannya,
perubahannya cepat dan tidak menentu, tiba-tiba seperti
menyerang dari depan, tahu-tahu menghantam dari belakang,
dalam sekejap saja ia sudah berada di pihak yang menggempur dan
merangsak terus.
Nampak lawannya menyerang dengan hebat, Cio Cui-hong
berbalik merasa senang, pikirnya, "Ha, akhirnya kau terpaksa unjuk
kepandaian aslimu."
Dia tambah main aksi, dalam pertarungan sengit sekonyongkonyong ia menyerang dengan tipu berbahaya terus sengaja
menyelonong maju mepet tubuh In Lui, segera ia cengkeram urat
nadi pergelangan tangan orang. Dalam keadaan sangat dekat ini,
meski ilmu silat In Lui lebih tinggi daripada lawannya, namun sukar
juga baginya untuk mengelak.Pahala dan Murka - 5 37
Dalam keadaan terpaksa, tanpa pikir tiba-tiba ia angkat sebelah
Tangannya, ia sanggah tangan lawan ke atas, menyusul sebelah
tangan yang lain teras merangkul, dengan erat ia rangkul tubuh
Cui-hong sambil meremas bawah iganya, keruan gadis itu
merasakan badan menjadi lemas, tanpa kuasa ia roboh ke dalam
pelukan In Lui.
"Haya!" In Lui berseru kaget, tiba-tiba ia ingat bahwa dirinya kini
dalam penyamaran sebagai lelaki, seketika mukanya menjadi merah
jengah.
Ia dengar di bawah panggung gemuruh suara orang tertawa,
lekas ia tolak bahu orang dan melepaskan urat nadi Cui-hong yang
ditutuknya tadi, habis ini ia lantas menyurut mundur.
"Atas kemurahan hati nona yang suka mengalah, harap maafkan
kelancanganku!" dengan hormat ia berkata.
Cio Eng kelihatan tersenyum di bawah panggung dengan
mengelus jenggotnya, sebaliknya muka Se To tampak masam.
"Selamat Toako telah mendapatkan anak menantu bagus, Siaute
mohon diri saia," segera Sc To angkat kaki.
Kini Cio Eng pun tidak menahannya lagi, dengan tanda ia panggil
menghadap Koankehnya.
"Se-hiaote," katanya kemudian, "biar kuganti kerugianmu, ini
adalah sebungkus mutiara mestika jekedar ongkos perjalananmu,
mengenai kuda Ciau-ya-say-cu-ma itu memang bukan kuda biasa,
terpaksa silakan Hiante datang saja ke kandang kudaku untuk
memilih sepuluh ekor kuda yang paling bagus sebagai gantinya,
hendaklah Hiante suka memberi muka dan lepaskan barang
kawalannya."
Oleh karena tuturan Se To tadi, maka Cio Eng masih mengira In
Lui adalah seorang piausu.Pahala dan Murka - 5 38
Akan tetapi tawaran Ci Eng disambut dengan tertawa dingin oleh
Se To.
"Terima kasih atas pemberian Toako, namun sekadar biaya aku
masih punya, maka tidak berani serakah," sahutnya. "Cuma
menurut peraturan kalangan Hekto, meski Siaute sudah gagal
urusan barang kawalan ini, namun tidak berarti selesai sampai di
sini saja, untuk ini diharapkan Toako suka memaafkan."
Habis berkata, ia memberi hormat, lalu ia membawa putranya,
Se Buu-ki, meninggalkan perjamuan ini.
Cio Eng kurang senang, ia hanya suruh Koankeh mengantar
tamunya, ia sendiri lantas melompa t ke atas lui-tai.
Sementara itu Cui-hong lagi merah jengah di atas lui-tui,
nampak ayahnya naik ke atas, ia menunduk dan memainkan ujung
bajunya.
In Lui sendiripun tengah serba susah, ia tidak mengerti apa yang
harus diperbuatnya lagi.
"Haha, arus gelombang Tiangkang dari belakang selalu
mendorong ke depan, orang baru menggantikan orang lama, masih
muda dan gagah perkasa, sungguh hebat sekali," dengan bergelak
tertawa Cio Eng berseru.
Tadi waktu masih di bawah panggung dari Koankeh atau
pengurus rumah tangga Cio Eng sudah periksa kartu pemberian
selamat dari In Lui, maka sudah diketahui namanya.
"In-siangkong (tuan In), sehebat ini kepandaianmu, kenapa kau
terima menjadi piausu saja!" ia berkata lagi.
"Aku tidak menjadi piausu," sahut In Lui, "Hanya tempo hari
kebetulan berkenalan dengan seorang sahabat, aku telah bantu diaPahala dan Murka - 5 39
menghalaukan pembegal, tanpa sengaja mengikat permusuhan
dengan ayah dan anak orang she Se itu."
"O kiranya demikian," ujar Cio Eng lega setelah tahu duduknya
perkara. "Dan dirumahmu masih ada siapakah? Kau sudah
bertunangan belum?"
In Lui menjadi ragu oleh pertanyaan orang, seketika ia tak bisa
menjawab.
"Hanya ada seorang Koko (kakak lelaki), belum bertunangan,"
sahutnya kemudian.
Nampak sikap orang yang malu-malu, Cio Eng tertawa terbahakbahak.
"Haha, orang muda kalau bicara soal perjodohan lantas merasa
malu," ujarnya.
Keruan In Lui tambah kikuk.
"Kau telah menangkan sayembara ini, kini aku hendak kasih
sedikit hadiah," demikian Cio Eng berkata pula.
Lalu ia keluarkan sebuah cincin batu bermata biru safir yang
bersinar mengkilat.
"Ini adalah barang tinggalan ibu Hong-ji, kini kuberikan padamu
sebagai tanda mata," kata Cio Eeng.
"Kalau barang Cio-siocia, Wanpwe tak berani menerimanya."
sahut In Lui. Kembali Cio Eng bergelak tertawa.
"Haha, ini adalah barang tanda pertunangan, mengapa tidak
kauterima?"
"Wanpwe tidak berani." sahut, lagi InLui.
Cio Eng tarik muka karena jawaban ini.Pahala dan Murka - 5 40
"Apa kau cela anak perempuanku?" tanyanya dengan suara
rendah.
"Mana berani Wanpwe mencela Siocia, cuma urasan ini tak dapat
kuturut,"
"Sebab apa?" tanya Cio Eng gusar.
Waktu In Lui melirik, ia lihat Cui-hong sedang melipat ujung
baju, mukanya merah, mata terbelalak sedang menatapnya dan
basah berkaca. Hati In Lui jadi tergerak, tiba-tiba timbul suatu
pikirannya.
"Baiklah, biar kugunakan akal ?pindah bunga mencangkok
pohon?," demikian pikirnya.
Maka ia pura-pura menolak, "Soalnya belum minta izin orang
tua, mana berani mengikat pertunangan sendiri?"
"Dimana kakakmu sekarang?" tanya Cio Eng.
"Sejak kecil kami terpencar maka tidak tahu jejaknya sekarang,"
sahut In Lui,
Cio Eng bekerut kening, "Lalu kaumau minta izin siapa?"
tanyanya lagi.
"Ayah-bundaku sudah meninggal semua, aku punya seorang
Siokco dari persahabatan turun-temurun, ia anggap aku seperti
cucunya, urusan perjodohan ini harus kuminta izinnya dahulu," In
Lui menerangkan.
"Kau punya Siokco she apa dan namanya siapa, orang macam
apakah dia ini?"
"Namanya tidak enak kuterangkan di sini, tetapi dia adalah tokoh
terkemuka kalangan persilatan," sahut In Lui.
(Bersambung Jilid ke 6)Pahala dan Murka - 6 0Pahala dan Murka - 6 1
PAHALA DAN MURKA
Oleh : gan k.l.
Jilid ke 6
AHA, itulah gampang," kata Cio Eng pula dengan
tertawa, "Takoh terkemuka kalangan persilatan bila
dengar nama Hong-thian-lui Cio Eng disebut, sedikit
banyak dia akan menghargai diriku, perjodohanmu ini tidak perlu
kuatir lagi."
Karena itu, segera In Lui berlutut menyembah sambil memanggil
"Gak-hu taijin" atau bapak mertua yang terhormat.
Kemudian In Lui mengeluarkan setangkai bunga karang indah
dari bajunya.
"Dalam perjalanan tidak kubawa barang berharga apa-apa.
biarlah bunga karang ini sekadar sebagai tanda mata," katanya.
Kembali Cio Eng bergelak tertawa, ia serahkan bunga karang itu
pada putrinya, lalu tarik bangun In Lui dan berdiri ke tengah
panggung.
"Hadirin yang budiman, selanjutnya In-siangkong ini terhitung
setengah anakku, kelak bila bertemu di dunia kangouw, harap
kalian suka ikut melindunginya sedikit," dengan suara lantang ia
lantas umumkan hubungannya dengan In Lui di hadapan orong
banyak.
Beramai-ramai para tamu di bawah panggung lantas memberi
selamat lagi.
"Daripada pilih hari segala lebih baik hari ini juga. Aku sudah tua,
tidak perlu banyak repot, mumpung, para kawan berada di sini,
biarlah perjamuan ulang tahun ini sekaligus juga perjamuanPahala dan Murka - 6 2
pernikahan pula, agar kelak para kawan tidak perlu kian kemari,"
Cio Eug mengumumkan kehendaknya.
Keruan keadaan ramai lagi, para tamu sama bersorak-sorai.
"Bagus, bagus! Dua peristiwa bahagia terlaksana sekaligus!" seru
mereka. Habis ini lantas banyak yang merubung maju hendak ajak
minum In Lui.
"Usiaku masih terlalu muda, perjodohan ini lebih baik ditunda
dulu," ujar In Lui.
"Aku cuma bermaksud agar kau tinggal di sini, kalian menikah
siangan lebih baik," sahut Cio Eng.
Lalu tanpa banyak omong lagi ia suruh In Lu i dan Cui-hong
segera menjalankan upeara pernikahan di atas panggung.
"Haha, aku Hong-thian-lui memang suka bekerja secara cepat
dan terang-terangan, mencari mantu di atas lui-tai, menikah pula
di atas lui-tai. Haha, kan banyak menghemat biaya dan tenaga!"
katanya pula dengas tertawa lebar.
"Ini betul dongeng bagus kalangan Bu-lim!" sambut para tamu
dengan tertawa.
Begitulah sesudah In Lui menjalankan upacara, segera ia diajak
minum pula oleh para pengunjung.
Diam-diam In Lui mengeluh, ia tak berdaya melepaskan diri,
diajak minum pun tidak dapat menolak, dengan cepat ia sudah
habiskan belasan cawan. Diam-diain ia kumpulkan tenaga
dalamnya, ia desak keluar minuman keras itu, mendadak ia tumpah
hingga bau arak tersembur dari mulutnya, ia sempayongan hendak
roboh.
"Aai, In-siangkon telah mabuk!?? terdengar para tamu berseru.Pahala dan Murka - 6 3
Memangnya In Lui sudah rada sinting, maka sekalian iu purapura mabuk, ia goyangkan badan dan ambruk ke dalam pangkuan
Cui-hong.
"Ah, orang muda tidak biasa minum, tidak pakai kira-kira lagi,"
kata Cio Eag. "Hong-ji, bawa dia ke kamar."
Habis ini dengan tertawa ia berkata lagi, "Kebahagiaan berganda,
aku tua bangka jadi tak tahu diri lagi, marilah, habiskan secawan
pula!"
Begitulah setelah mencela In Lui, sebaliknya ia sendiri lantas ajak
minum para tamu.
In Lui lantas pejamkan matanya dan meletakkan kepalanya di
atas pundak Cui-hong. ia biarkan dirinya dipayang ke dalam kamar
dan ditidurkan tanpa buka pakaian lagi.
Semula ia hanya pura-pura tidur, tetapi lama-lama ia merasa
letih juga, tanpa terasa In Lui tertidur sungguhan.
Kemudian ketika ia mendusin dari tidurnya, ia lihat di dalam
kamar api lilin menyala dengan terang benderang, di luar kamar
tertampak cahaya bulan remang-remang, ternyata suasana sudah
jauh malam. Ia lihat pula Cui-hong duduk di tepi pembaringan,
gadis ini pun belum ganti pakaian dan siap melayani sang "suami"
dengan penuh kasih sayang.
"Kau sud ih sadar, Siangkong?" tanyanya dengan tersenyum
manis begitu nampak In Lui membuka mata. Habis ini ia tuang
secangkir teh kental dan berkata lagi, "Ini teh wangi buat hilangkan
rasa mabukmu, tidak perlu bangun, biar kumiumkan padamu."
Lantas dengan tangannya yang putih halus ia angkat tubuh In
Lui, ia tempelkan cangkir teh ke bibir sang "suami".Pahala dan Murka - 6 4
Sesudah In Lui menghirup teh itu, ia rasakan bau harum dan
sedap, ia menjadi banyas lebih segar.
Waktu ia amat-amati keadaan kamar, ternyata kamar ini
dipajang dengan indah dan mewah sekali, di tengah terletak sebuah
meja teh, di atas meja terdipat sebuah hiolo (tempat dupa) antik
yang berbentuk aneh, dari dalam hiolo asap dupa mengepul
memancarkan bau harum.
Melihat In Lui termangu mangu, Cui-hong menjadi geli.
"Menurut cerita ayah, hiotb ini asa! jaman Ciu-tiau (dinasti Ciu),
barang antik yang sukar dicari, tapi menurut pendapatku tiada
sesuatu yang istimewa, sedang meja teh kecil itu konon terbuat dari
kayu cendana wangi keluaran Lambai," demikian ia bercerita.
In Lui terperanjat oleh keterangan ini, hiolo dari jaman Ciu dan
kayu cendana wangi dari Lamhai, semua ini adalah barang yang
tiada ternilai harganya, tetapi oleh Cui-hong hanya ditaruh begitu
saja dalam kamar seperti tiada sesuatu yang luar biasa.
Waktu ia mengawasi lagi, tertampak masih banyak benda
berharga lain seperti bunga karang, batu pualam, jamrud, mutiara
dan batu permata lainnya, sedikitnya masih ada belasan macam
banyaknya, melulu sepotong bunga karang yang ditaruh di atas
meja sana tingginya lebih dua kaki, bunga karang yang In Lui
berikan sebagai tanda mata pertunangan boleh dikata tidak bisa
Pahala Dan Murka Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dibandingkannya.
In Lui menjadi heran dan curiga, pikirnya, "Meski Gio Eng ini
adalah pemimpin kalangan Bu lim, tetapi sepatutnya ia tidak kayaraya seperti ini."
"In-siangkoan, berusaha apakah keluargamu?" tiba-tiba Cuihong bertanya sambil bersandar di sampingnya.Pahala dan Murka - 6 5
"Sejak diriku masih kecil ayah-bundaku sudah meninggi semua,
menurut cerita, engkong pernah menjabat pembesar tinggi
kerajaan," tutur In Lui.
"In-siangkong, betulkah kau menyukai aku?" mendadak Cuihong tanya dengan sangsi.
"Rupamu cantik, ilmu silatmu pun tinggi, bukan cuma aku saja
suka padamu, lelaki mana pun kuyakin pasti menyukaimu," sahut
In Lui.
"Ha, apakah artinya ini?" tanya Cui-hong dengan melengak.
"Begini, aku mempunyai seorang saudara angkat, cakap dan
berkepandaian tinggi, segalanya melebihi aku," tutur In Lui lagi.
"Ada sangkut-paut apa antara saudara angkatmu denganku?"
ujar Cui-hong dengan alis menegak "Hm, tahulah aku, tadi kau
menampik pergi-datang, kiranya engkau memang tidak suka
menikah denganku."
In Lui tertegun, lekas ia berusaha menerangkan.
"Bukannya aku tidak suka padamu, dengarkan penuturanku
dulu, saudara angkatku itu . . ."
Tetapi sebelum ia menutur lebih jauh tahu-tahu Cui-hong
menangis tersedu-sedan.
"Kauanggap aku ini orang macam apa? Bila kaubicara lagi
tentang saudara angkatmu segala, segera kumati di hadapanmu!"
dengan gusar ia menjawab. "Jika tidak sudi, bilang saja terus terang!
Kutahu kalian bangsa putra bangsawan tentu saja memandang
rendah keluarga rakyat jelata seperti kami ini."
"Apa . . . apa maksudmu?" sahut lu Lui heran. "Aku sendiri tidak
tahu macam apa keluarga kalian ini."Pahala dan Murka - 6 6
"Hm, masa tidak kaulihat? Aku adalah putri seorang begal
besar!" kata Cui-hong,
In Lui tertawa.
"Itu bukan apa-apa, saudara angkatku itu seorang bandit yang
lebih besar!" katanya.
Keruan Cui-hong tambah marah.
"Terus menerus kaubicara tentang saudara angkatmu, apa
maksudmu?" damperatnya.
Nampak orang marah, tiba-tiba In Lui jadi teringat di malam
pengantin baru ini berbicara tentang lelaki lain dengan si dia
memang tidak cocok suasananya. Pikirnya pula, "Seumpama aku
hendak merangkapkan jodoh bagi paman San-bin juga tidak boleh
tErburu-buru."
"Sejak kecil kuikut ayah mengembara kian-kemari, entah sudah
berapa banyak orang yang melamar diriku," demikian terdengar
Cui-hong berkata pula. "Tetapi aku pernah bersumpah kalau bukan
orang yang kupenujui sendiri tidak nanti aku mau menikah?
Sebaliknya bda kupenujui dan orangnya tidak mau padaku, maka
tiada jalan lain bagiku daripada mati! Hari ini di atas lui-tai engkau
sudah berlaku sembrono padaku, kini setelah menikah aku tidak
kauanggap pula sebagai istrimu, apa engkau memang sengaja
menghina diriku?"
Sama sekali di luar dugaan In Lui bahwa watak sang "istri" bisa
begini keras, ia pikir Cui-hong belum pernah bertemu dengan Sanbin, dari mana bisa tahu dia suka atau tidak, maka tentang akalnya
"Ih-hoa-ciap-bok" atau pindahkan bunga mencangkok pohon, yakni
menggunakan dirinya untuk mewakili San-bin bertunangan, jadi
lebih tidak berani diterangkan kepada Cui-hong.Pahala dan Murka - 6 7
"Ayo bicara, kausudi mengaku aku sebagai istrimu tidak?"
kembali Gui-hong mendesak.
"Siapa bilang aku tidak anggap kau sebagai istri?" sahut In Lui
cepat. "Sudahlah, jangan kau menangis, dengan cara bagaimana
supaya kau merasa puas?"
"Kenapa engkau tidak bercumbuhan denganku?" demikian pikir
Cui-hong dalam hati. Sudah tentu hal ini tidak diucapkannya, hanya
air mukanya yang masih basah menjadi merah.
"Cici (kakak perempuan), berapa usiamu tahun ini?" dengan
tertawa In Lui tiba-tiba bertanya dengan tersenyum.
"Delapan belas", sahut Cui-hong.
"Kalau begitu kau setahun lebih tua daripadaku, aku memang
harus panggil kau sebagai cici, di sini Moaymoay (adik
perempuan)...."
"Hei, apa kau belum sadar dari mabukmu?" potong Cui-hong
dengan heran. "Bukankah sudah kukatakan aku tidak mempunyai
adik!"
In Lui menjadi kaget, teringat olehnya bahwa dirinya kini dalam
samaran sebagai lelaki, karenanya tanpa merasa ia tertawa geli
sendiri.
"Ya, rupanya aku yang pikun," katanya kemudian. "Cici, biarlah
aku menjadi adikmu saja, jika adikmu kurang pintar berbicara,
harap jangan kaumarah."
Habis itu In Lui meraba-raba pula tangan orang.
"Seperti anak kecil saja," ujar Cui-hong tertawa, "Baiklah, kau
harus menurut pada taci, lepaskan pakaianmu dan tidur. Coba lihat
sepatumu masih belum dicopot, seprei menjadi kotor semua!"Pahala dan Murka - 6 8
Tadi waktu In Lui tertidur tanpa buka pakaian, karena malu
sebagai pengantin baru, selama itu Cui-hong tidak berani
menyentuh padanya. Kini setelah berlangtung percakapan tadi,
mereka sudah lebih kenal, maka demi nampak In Lui belum lagi
bangun, kembali Cui-hong mengomelnya.
"Apa perlu taci bantu menggantikan pakaianmu?"
Habis berkata ia tertawa cekikikan, muka pun menjadi merah.
In Lui jadi serba susah, ia bingung untuk ambil sesuatu
keputusan. Syukur pada waktu itu juga terdengar di luar ada
pelayan mengetuk pintu.
"Apa tuan menantu sudah sadar dari mabuknya?" tanya si
dayang dari luar.
"Ya, sudah," sahut Cui-hong.
"Loya (tuan besar) minta Siocia bersama tuan menantu
menghadap beliau," tutur si pelayan pula.
"Hm, sampai aku sendiri lupa," ujar Cui Hong. Lalu pelahan ia
berkata kepada In Lui, "Adikku, bangunlah, tidak perlu ganti
pakaian lagi."
Keruan In Lui seperti terlepas dari kewajiban berat, ia singkap
selimut dan melompat bangun.
"Ganti seprei dan selimut yang bersih," segera Cui-hong pesan
pelayan setelah membuka pintu kamar.
Nampak di atas tempat tidur pengantin baru penuh bekas sepatu
dan kotor, diam diam si pelayan tertawa geli.
Begitulah Cui-hong lantas gandeng tangan In Lui dan membawa
lentera, mereka menuju ke depan, setelah melewati beberapa
tikungan, akhirnya mereka naik ke sebuah loteng besar.Pahala dan Murka - 6 9
Gedung bersusun itu bertingkat lima, Cui-hong bawa In Lui naik
ka tingkat teratas, di tengah ruangan loteng itu tertampak lebuah
meja bundar besar, di atas meja berserakan mutiara dan barang
mestika lain yaug tidak terhitung banyaknya. Tertampak pula Cio
Eng berduduk di tengah sana dan di kanan-kirinya berduduk empat
orang.
"Ha, kali ini akan tambah satu bagian baru, Hong-ji. Lui-ji. kalian
masing-masing pilih sebuah, sisanya baru diberikan kepada sobatsobat baik ini," terdengar Cio Eng berseru dengan tertawa begitu
melihat puteri dan "anak menantu" datang.
In Lui merasa bingung oleh kata-kata orang, tapi Cui-hong lantas
berkata. "Memang inilah peraturan lama kita, turut saja pada ayah,
pilihlah salah satu benda mestika di antaranya."
In Lui tidak menolak lagi, segera ia ambil sebuah singa kecil
terbuat dari batu pualau biru, Cui-hong pun ambil sebuah tusuk
kundai dari batu giok.
Waktu In Lui pandang sekitar kamar loteng ini, ia lihat pajangan
kamar ini cukup sederhana, kecuali di lain kamar ada sebuah peti
besi tidak ada lagi perabot lain, pula tiada pepajangan lagi, hanya di
atas dinding tergantung sebuah lukisan besar, lukisan itu
bergambar sebuah benteng kota yang besar dilingkari parit dan
dikelilingi gunung, di atasnya ada pula gardu dan rumah bersusun,
ada manusianya dan ada tamannya, tampaknya melukiskan sebuah
kota terkenal di daerah Kanglam daerah selatan sungai Yangce.
"Apa kausuka lukisan ini?" dengan tertawa Gio Eng bertanya
ketika melihat In Lui mengamat-amati lukisan itu. "Biarlah besok
akan kuceritakan kisah tentang lukisan ini. Kini kalian boleh
kembali saja."Pahala dan Murka - 6 10
In Lui dan Cui-hong menurut, mereka melangkah keluar kamar
loteng, dalam pada itu masih terdengar suara percakapan di atas
loteng.
"Sungguh sayang bahwa kali ini adalah jual-beli yang terakhir,"
terdengar seorang tamu lagi berkata.
Lalu terdengar Cio Eng bergelak tertawa.
"Di dunia ini mana ada bunga yang tak layu, usiaku kini sudah
lanjut, pekerjaapku sudah tidak bisa kuteruskan lagi," demikian
orang tua itu menyahut "Baiklah, kita lakukan menurut peraturan
lama, kalian boleh taksir harganya."
Mendengar percakapan ini, In Lui menjadi heran sekali, waktu ia
hendak mendengarkan lagi, namun Cui-hong keburu menariknya
turun ke bawah loteng.
Setiba di kamar pengantin baru, ternyata seprei dan selimut
sudah diganti semua, selimut berwarna coklat di atas seprei
sulaman berwarna merah darah, sudah tentu kelihatan indah sekali.
Sementara itu dari jauh terdengar kentongan ditabuh tanda
tengah malam.
"Eh, sudah tengah malam," demikian berkata.
"Ya, tetapi aku malah tidak mengantuk lagi," sahut In Lui. "Coba
terangkan, urutan apa yang dilakukan ayahmu tadi?"
"Ayah adalah seorang begal besar, tiap tahun ia hanya satu kali
keluar buat melakukan pekerjaannya dan tiada seorangpun di
kampung ini yang tahu," tutur Cui-hong. "Tiap-tiap kali pulang
sehabis pekerjaannya, selalu ia membiarkan aku pilih sejenis barang
mestika yang paling bagus, sesudah itu sisanya baru dijual."
In Lui merasa aneh oleh cerita ini.Pahala dan Murka - 6 11
"Barang gelap begitu bagaimana cara menjualnya"' tanyanya
heran.
"Dengan sendirinya ada orang yang melakukan perdagangan
ini," tutur Cui-hong pula, "Keempat lelaki tadi bukan lain adalah
orang yang hendak membeli barang mestikanya ayah, kabarnya
kepandaian mereka luar biasa, barang gelap yang diperoleh di utara
dijual mereka di selatan, dan barang rampokan di daerah selatan
dijual ke daerah utara, selamanya belum pernah mereka tertangkap.
Sedang uang yang diperoleh ayahku dan hasil penjualan itu
sebagian kecil ia tanam sebagai kekayaannya sendiri dan sebagian
besar dibuat membantu kawan-kawan miskin dari kalangan
kangouw."
"O, begitulah kiranya, pantas ayahmu terkenal sebagai orang
yang dermawan," ujar In Lui.
Cui Hong tersenyum.
Dalam pada itu terdengar kentongan ditabuh sekali lagi, suatu
tanda sang waktu telah lewat dengan cepat, dengan mata yang sayu
Cui-hong memandang In Lui.
"Apa kau hendak pasang omong denganku sampai pagi?"
katanya tertawa.
"Aku hendak tanya satu hal lagi, yaitu hal lukissn tadi?" sahut In
Lui. "Aku sendiri tidak tahu, selamanya ayah belum pernah bercerita
padaku," tutur Cui-liong. In terdiam sejenak, lalu ia menggabung
lagi, "Memang aku juga heran, apa saja selalu ayah bicarakan
padaku, hanya tentang lukisan itu belum pernah ia ceritakan."
Sementara itu di luar terdengar bunyi kentungan lagi.Pahala dan Murka - 6 12
"Masih adakah yang hendak kau tanyakan?" dengan tersenyum
Ci-hong bertanya.
In Lui jadi gelisah, ia peras otak agar bisa mendapatkan akal
untuk mengulur waktu, tetapi percuma, betapapun ia tidak dapat
pasang omong sepanjang malam, ia menjadi gugup.
"In-siangkong, betulkah engkau tidak mencela diriku?" dengan
suara lembut Cui-hong tanya lagi.
"Engkau kan taciku yang baik, kenapa aku mencela dirimu?"
sahut In Lui.
"Baiklah, kalau begitu boleh kita bicara lagi, besok, kau harus
tidur sekarang," dengan suara lembut Cui-hong mengajak.
"Ya memang sudah waktunya tidur," kata In Lui, tanganpun
meraba kancing baju, tapi tangannya hanya berhenti di pinggir
kancing baja saja dan tidak mencopotnya.
Selagi In Lui kehabisan akal, mendadak di luar terdengar riuh
ramai suara gembreng bercampur suara orang berteriak, "Tangkap
maling! Tangkap maling!"
Rumah Hong-thain-lui Cio Eug ternyata dikunjungi maling, hal
ini betul-betul lelucon yang tidak lucu!
Keruan para tamu yang bermalam di situ yang semuanya terdiri
dari orang gagah, begitu mendengar suara ramai-ramai, seketika
mereka keluar berduyun-duyun ikut mencari dan menangkap
maling.
"Wah, tidak bisa tidur lagi, maling itu tentu mengincar barang
mestika ayahmu," kata In Lui dengan tertawa.
Habis ini bersama Cui-hong ia lantai melompat keluar kamar,
mereka memburu ke loteng penyimpan barang mestika tadi.Pahala dan Murka - 6 13
Ginkang atau ilmu entengi tubuh In Lui bagus sekali, jauh di atas
semua orang, maka dalam sekejap saja ia telah melampaui para
centeng dan tetamu lain, bahkan Cui-hong juga tertinggal jauh di
belakang.
Cui Hong menjadi girang tercampur dongkol. Ia girang karena si
"dia" begitu giat membela urusan keluarganya, dongkolnya karena
meski ia berteriak-teriak, si "dia" tetap tidak gubris padanya dan
terus berlari ke depan.
Taman keluarga Cio itu sangat luas, sedang loteng penyimpan
mestika itu letaknya di sudut timur belakang, sekaligus In Lui lari
sampai di bawah loteng bersusun ini, waktu ia menoleh, dilihatnya
bayangan Cui Hong masih berada di atas atap rumah besar di depan
sana.
Tanpa ayal lagi segera In Lui lolos pedangnya, sekali enjot
tubuhnya ia melayang ke loteng tingkat dua. Di sini tiba-tiba
terdengar suara mencicit aneh seperti suara setan saja, di malam
gelap yang sunyi tentu saja suara ini membikin orang mengkirik.
"Bangsat kecil, pakai berlagak setan apa untuk menakuti orang?"
damperat In Lui,
Kemudian ia dengar suara aneh itu datang dari dalam, segera ia
menyalakan api dengan batu ketik, habis ini ia lantas menerobos
masuk ke dalam loteng dan menerjang ke tingkat lebih atas, di
baweli tangga yang menuju ke tingkat ketiga, ketika mendadak ia
mendongak, tiba-tiba ia lihat empat lelaki semuanya bergaya "Kimkeh-tok-lip" atau ayam etrias berdiri dengan satu kaki, secara
berbaris mereka berdiri di tangga loteng, sebelah kaki mereka
Pahala Dan Murka Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terangkat, agaknya tadi mereka sedang lari ke bawah dengan cepat,
tetapi mendadak terpaku oleh tutukan orang, mata mereka tampak
mendelik, tenggorakan mereka bersuara "krak-krok krak-krok",
yang lebih menakutkan lagi adalah air muka mereka yang telahPahala dan Murka - 6 14
berubah karena otot daging bagian muka telah kaku kencang hingga
tampaknya seperti setan iblis yang baru muncul dari neraka!
Seking kagetnya In Lui sampai menjerit.
Segera dengan sekali gerak pancingan ia mendaki tangga loteng
itu, ia putar pedang buat melindungi dirinya, terdengar olehnya
snara "krak-krok" tadi berbunyi lebih menyeramkan, karena itu,
begitu pedang menusuk, dengan cepat In Lui tarik kembali, teringat
olehnya bahwa keempat lelaki tegap ini dalam keadaan tak bisa
bergerak karena tertutuk urat nadinya, mereka ini kawan atau
lawan belum lagi jelas.
Dengan tabah In Lui lantas angkat obor untuk menerangi muka
orang, meski air muka mereka berubah, namun setelah diamati
masih dapat dikenali In Lui mereka bukan lain ialah keempat
saudagar yang berunding jual-beli batang gelap dengan Cio Eng
tadi.
Keempat saudagar ini berani melakukan perdagangan istimewa
semacam ini, dengan sendirinya ilmu silat mereka bukan kaum
lemah, akan tetapi pada saat mereka berlari turun dari tangga ini,
dalam sekejap kena ditutuk orang, tangga loteng itu cukup sempit,
pula satu orang menyerang empat orang, maka betapa tinggi dan
betapa cara orang itu turun tangan dapat dibayangkan.
"Ilmu tutukan yang lihai ini sungguh belum pernah kulihat,
entah dengan ilmu tutukan perguruanku akan berhasil atau tidak?"
demikian In Lui membatin.
Waktu kemudian ia periksa keadaan keempat orang itu, ia
menduga mungkin orang tertutuk hiat-to bagian "Moa-hiat" dan
"Ah-kiat" (urat nadi yang membikin kaku dan membikin bisu),
maka ia coba melapaskan kedua hiat-to tersebut, betul juga seketika
berhasil.Pahala dan Murka - 6 15
Segera terdengar keempat orang itu ber; teriak keras, mendadak
mereka jatuh terjungkal. Cepat In Lui melompat pergi, terdengarlah
suara gemerincing barang mestika jatuh berhamburan dari dalam
baju keempat orang itu.
In Lui tercengang, barang mestika yang dibawa keempat orang
ini harganya tidak terbatas dalam ratusan ribu tahil perak, jika
demikian maling yang membokong mereka ini jelas tujuan
kedatangannya bukan karena harta benda ini.
"Apa penjahatnya sudah pergi?" segera In Lui bentak bertanya.
Keempat orang ini ternyata tidak bisa menjawab, dengan sebelah
tangan mereka menahan dada dan tangan lain menuding ke atas
dengan napas terengah-engah, seketika tidak mampu berbicara apa
pun. Kiranya mereka berempat sebenarnya kena tertutuk urat nadi
bisu mereka, tetapi berkat jwekang mereka yang cukup sempurna,
secara paksa mereka kumpulkan tenaga dalam buat mendobrak.
Oleh sebab itulah dari tenggorokan mereka menerbitkan suara
"krak-krok" yang aneh, kemudian setelah jalan darah mereka
mengalir kembali dan tenaga mereka menerjang keluar secara
mendadak, mereka merasa tenggorokan panas sakit, tulang lemas
dan tubuh letih, seperti habis sembuh dari sakit keras, seketika
mereka tak sanggup bicara.
Dalam pada itu In Lui sudah kumpul semangat dan tabahkan
hati, ia menerobos keluar jendela, dengan sekali lompat ia melayang
lagi ke atas emper loteng tingkat keempat.
Tiba-tiba terdengar suara Gio Eng di tingkat paling atas, "Kami
ayah dan anak dua keturunan sudah menanti selama enam puluh
tahun, apa engkau tetap tidak sudi mengunjukkan wajah aslimu?"
Maka dengan cepat In Lui melompat ke atas lagi.Pahala dan Murka - 6 16
Dalam kamar loteng paling atas itu sinar lilin berkelap-kelip,
dengan ujung kakicya In Lui gantol pada emper rumah dan
mengintip ke dalam, dilihatnya bayangan seorang
membelakanginya sedang berkata dengan suara tertahan,
"Serahkan sini!"
In Lui merasa suara orang ini sudah dikenalnya, cuma entah di
mana!
Dalam pada itu tertampak pula Cio Eng menanggalkan lukisan
dari dinding dan digulung, sekonyong-konyong bayangan orang itu
mengulur kedua tangannya, tangan yang sebelah menerima lukisan
itu, tangan yang lain seperti menggaplok ke atas kepala Cio Eng.
Keruan In Lui terkejut, ia berteriak, berbareng ia terus melompat
ke atas.
Namun mendadak terdengar sambaran senjata rahasia dari
depan, cepat In Lui angkat pedang dan menangkis, ia rasakan
tenaga maha besar laksana petir menyambar kepala, lelatu meletik,
sungguhpun senjata rahasia orang kena terbentur hancur, tetapi
tubuh In Lui sendiri terguncang, ia terpeleset dan menginjak tempat
kosong, ia terjungkal ke bawah dari emper loteng paling atas itu.
Syukur kepandaian In Lui tidak lemah, sebelah kakinya masih
keburu menggantol lagi emperan rumah.
Dalam kegelapan tiba-tiba terdengar angin tajam menyambar
pula, senjata rahasia orang untuk kedua kalinya menyambar tiba
lagi, orang yang melepaskan senjata rahasia ini ternyata memakai
rara susul menyusul.
Namun In Lui cukup tangkas, diam-diam ia gunakan kepandaian
membikin berat tubuh, dengan kuat ia gantung tabuhnya di emper
rumah, sedang pedang menahas ke atas, lelatu kembali metetik lagi,Pahala dan Murka - 6 17
senjata rahasia terpecah belah pula dan hancur. Kiranya senjata
rahasia orang tidak lebih hanya sepotong batu.
Sehabis bikin remuk senjata rahasia batu ini, waktu In Lui
memandang ke atas, tiba-tiba terlihat Cio Eug melongok keluar.
"Siapa?" orang tua ini membentak. Akan tetapi demi mengenali
siapa orangnya, tiba-tiba lagu suaranya berubah, dengan terkejut ia
berseru, "He, Lui-ji, kiranya kau? Bukan urusanmu, lekas
menyingkir!"
Di lain pihak tidak kepalang terperanjat In Lui, dan juga merasa
bingung, kalau melihat gelagatnya tadi, terang penjahat itu hendak
merampas barang pusaka Cio Eng, tetapi mengapa orang tua ini
berbalik membantu musuh? Bahkan menyambitkan "Hui-hong-ciu"
atau batu belalang terbang buat membela orang?
Sementara itu di bawah loteng penyimpan barang pusaka itu
sudah penuh dengan bayangan orang, para tamu sama berkerumun
datang. Selagi In Lui hendak menyingkir, tiba-tiba terlihat Cio Eng
melompat keluar.
"Penjahat sudah lari oleh hantamanku, tiada apa-apa lagi, kalian
kembali saja ke tempat masing-masing!" demikian orang tua ini
berseru.
Mata In Lui sangat celi, tiba-tiba ia lihat bayangan orang tadi
sedang melayang keluar melalui jendela di belakang sana dengan
kecepatan luar biasa, tanpa pikir In lui putar tubuh terus mengudak,
ketika melayang ke emper rumah sebelah sana, namun bayangan
orangpun sudah melompat sampai di atas pagar tembok luar.
In Lui mengeluarkan kemahiran ginkangnya yang tinggi, secepat
terbang ia menyusul, ia lihat orang itu sedang melompat ke atas
pagar tembok itu, selagi mengapung di udara mendadak ia menoleh
sambil menggapai pada In Lui, orang itu memakai kedok hitam,Pahala dan Murka - 6 18
yang tertampak hanya sepasang matanya, karena tidak jelas, In Lui
masih terus mengejar.
Di luar pagar tembok itu adalah hutan yang lebat, dari dalam
hutan tiba-tiba berkumandang suara ringkik kuda, di bawah sinar
sang dewi malam yang remang-remang tertampak seekor kuda
putih berlari keluar.
Melihat kuda ini, kembali In Lui terkejut, kuda putih yang gagah
bagus ini bukan lain adalah binatang tunggangan si pemuda
sastrawan yang dijumapinya tempo hari!
In Lui melenggong, sama sekali ia tidak paham urusan irii. Sudah
jelas waktu pemuda sastrawan itu dijajal olehnya tempo hari, ia
tidak bisa ilmu silat, tetapi mengapa sekarang bisa datang ke sini
untuk mencuri pusaka? Orang yang berkedok tadi sebenarnya si
sastrawan atau bukan? Dan sebenarnya ingin mencuri pusaka atau
bukan juga tidak jelas. Namun barang berharga keempat saudagar
itu sama sekali tidak diambil, justru yang digondol melulu sebuah
lukisan saja? Apa mungkin harga lukisan itu melebihi mutiara
mestika dan batu permata yang tak ternilai jumlahnya itu? Ada pula
satu hal yang mencurigakan, ialah pemuda sastrawan itu usianya
hanya likuran tahun saja, kenapa tadi Cio Eng bilang sudah menanti
selama enam puluh tahun?
Begitulah berbagai pertanyaan timbul dalam benak In Lui, awan
curiga menyelimuti perasaannya.
Selagi In Lui termangu-mangu memikirkan hal tersebut, tibatifca terdengar dari belakang riuh ramai suara orang.
"Penjahat yang sudah lari tak perlu dikejar lagi, Lui-ji, kembali
saja!" terdengar Cio Eng berteriak padanya.
Keruan In Lui semakin curiga, ia lihat apa yang dilakukan Cio
Eng malam ini ternyata selalu melindungi penjahat saja. OrangPahala dan Murka - 6 19
muda memang suka tertarik oleh hal yang aneh, maka bukannya In
Lui menuruti seruan Cio Eng, sebaliknya ia melompat ke sana
dengan cepat, ia melayang keluar pagar tembok itu. Sampai di luar
sana tiba-tiba ia dengar pula suara kuda, waktu In Lui mengawasi,
seketika ia tambah heran!
Kuda berbulu coklat yang lari keluar dari hutan ini ternyata
bukan lain daripada kuda tunggangan In Lui sendiri, ia ingat betul
tadi kuda ini ditambat di depan perkampungan Hek-sek-ceng, entah
kenapa mendadak bisa berada dalam hutan sini?
Sementara itu orang berkedok tadi sudah cemplak ke atas
kudanya, tetapi ia tidak lantas melarikan kudanya, ia menoleh lagi
dan menggapai In Lui pula.
Sekali ini In Lui sudah melihat lebih jelas meski belum berani
menentukan, namun perawakan orang ini mirip sekali dengan
pemuda sastrawan itu.
Atas perbuatan orang yang berulang menggapai padanya, In Lui
menjadi aseran.
"Kurangajar, berulang kali kaupermainkan diriku?" ia memaki.
Segera ia cemplak ke atas kudanya, ia kepit kencang perut binatang
tunggangannya terus mengejar.
Kuda putih di depan larinya secapat terbang, sekejap mata saja
sudah menerjang keluar hutan In Lui mendengar di belakang ramai
suara derapan kaki kuda, ia tahu tentu Cio Eng membawa
pengiringnya sedang mengejar juga. Segera ia larikan kudanya
dengan kencang.
Kuda putih "Ciau-ya-say-cu-ma" sungguhpun binatang yang
jarang terdapat di kolong langit ini, bahkan kuda tunggangan In Lui
puu kuda perang Mongol pilihan, sadah tentu kuda keluaran Heksek-ceng tidak sanggup menyusul mereka. Tidak antara lama, keduaPahala dan Murka - 6 20
kuda yang kejar mengejar ini sudah berada di jalan raya Yangkiok
yang menuju ke kotaraja.
Orang berkedok itu melarikan kuda putih kira-kira setengah li
didepan In Lui, bila tertampak In Lui tidak bisa menyusulnya lalu ia
perlambat kudanya.
Tentu saja In Lui sangat mendongkol, pula terheran-heran, ia
menjadi lebih gopoh ingin bisa menyingkap teka-teki yang
membingungkan ini, ia tidak menghiraukan lagi bahaya apa yang
bakal dihadapinya, dengan kencang ia terus mengudak!
Begitulah di bawah sinar sang dewi malam mereka melarikan
kuda secepat terbang, yang satu di depan dan yang lain di belakang,
setelah ratusan li mereka udak-udakan, akhirnya rembulan sud ah
terbenam ke barat, fajar telah menyingsing, tanpa terasa hari sudah
pagi, sampai di tempat apa mereka kejar mengejar pun tidak
diketahui, yang tertampak hanya sebuah hutan lebat kembali
mengadang di depan mereka.
"Maaf aku mendahului!'' tiba-tiba orang berkedok itu berpaling
dan berseru.
Begitu kuda putihnya menerobos ke depan dengan cepat, hanya
sekejap saja sudah menghilang ke dalam rimba. Keruan In Lui
menjadi gusar.
"Kurangajar, sampai di ujung langit kau lari tetap juga akan
kukejar?" demikian teriak In Lui sambil keprak kudanya dan
mengudak terus.
Tetapi baru saja sampai di tepi hutan tiba-tiba terdengar ringkik
kuda putih itu disusul dengan suitan orang yang aneh dalam hutan!.
Cepat In Lui hentikan kudanya, tertampak olehnya kuda putih
tadi sedang lari mendatangi secepat terbang, sebaliknya
penunggangnya sudah tidak kelihatan lagi.Pahala dan Murka - 6 21
In Lui terkejut, pikirnya, "Ilmu silat orang berkedok itu tidak
sembarangan, apa mungkin dia kena disergap orang, hanya
kudanya saja yang lolos."
Sementara itu sesudah bunyi suitan aneh tadi, kini
berkumandang lagi suara gertakan dan teriakan. In Lui menjadi
heran, ia berpikir sekejap, habis ini segera melompat turun dan
kudanya, dengan ginkang atau ilmu entengkan tubuh yang tinggi ia
lompat ke atas pohon.
Dalam pada itu terlihat dari dalam hutan sudah menguber keluar
beberapa orang.
"Ai, sayang, sayang sekali! Kuda putih itu terlolos!" demikian
terdengar mereka berseru. "Eh, ada seekor kuda merah lainnya. Ah,
sayang sekali, sudah kabur juga!"
In Lui mengerti kuda merah yang disebut adalah kudanya, tetapi
kuda ini adalah kuda perang yang sudah terlatih, binatang ini
pandai menyembunyikan diri, bila kemudian tuannya memanggil,
segera ia akan lari kembali lagi. Oleh karenanya In Lui tidak merasa
kuatir. Ia gunakan gerak tubuh yang gesit dan cepat, dari satu pohon
ia melompat ke pohon lain, secara demikian, dalam sekejap saja ia
sudah berada dalam hutan yang rindang.
Ia dengar dalam hutan ada suara orang lebih dulu In Lui
menyembunyikan dirinya, kemudian baru mengintai ke bawah,
tertampak olehnya si pemuda sastrawan yang dilihatnya tempo hari
lagi menongkrong di atas sepotong batu besar, Kain kedoknya
sudah dilepaskan.
Di sekitarnya tertampak berdiri tujuh atau delapan orang yang
berperawakan macam-macam, ada yang tinggi, ada yang pendek,
ada yang kurus dan juga ada yang gemuk, di antaranya terdapat
pula Se To dan putranya, Se Bu-ki, kecuali mereka terdapat pulaPahala dan Murka - 6 22
seorang Tauto, yakni hwesio yang tidak cukur rambut (tidak
gundul), lalu ada pula seorang Tosu atau imam agama To berjubah
hijau. Rupa mereka aneh dan lain daripada yang lain, mereka inilah
yang paling menarik perhatian.
"Hm, sekalipun sangat licin, akhirnya kaupun tak bisa lari dari
genggamanku, apa kau masih menginginkan nyawamu?" demikian
terdengar Se To sedang mendamprat.
Terdengar pemuda sastrawan itu menjawab dengan setengah
bersajak sambil manggeleng-geleng kepala, "Semut saja ingin
hidup, jangankan manusia?"
"Kalau begitu, lekas kau panggil kudamu Ciau-ya-say-cu-ma!
Mengenai harta mestikamu kami tidak ambil, tetapi kuda itu sekalikali tidak boleh tidak harus kauserahkan!" bentak Se To.
Namun pemuda sastrawan ini menggeleng kepala.
"Kuda pusaka kan tunggangan bagus, mana boleh dengan begitu
Pahala Dan Murka Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
saja berganti tangan!" demikian ia menjawab.
"Hm, pengawalmu kini sudah menjadi tamu kesayangan di Heksek-ceng, kaukira siapa yang mampu menolongmu?" ejek Se To.
"Mana kautahu, itu dia, pengawalku sudah datang!" demikian si
pemuda sastrawan itu berseru sambil menuding ke jurusan In Lui.
Habis ini mendadak lagu suaranya berubah, ia terus berteriak, "Hai,
pengawalku, kenapa tidak lekas turun buat menolong tuanmu?"
In Lui menjadi kaget karena tempat sembunyinya tiba-tiba
terbongkar, ia pun gemas atas kenakalan orang, meski hati dongkol
mau-tak-mau ia melompat turun ke bawah. Nampak munculnya In
Lui secara sekonyong-konyong, muka si hwesio berambut berubah,
begitu ia ayun tangannya, seketika tiga buah senjata Piau
menyambar dengan cepat ke arah In Lui.Pahala dan Murka - 6 23
In Lui sendiri waktu itu masih terapung di udara dan belum
sempat cabut pedangnya, juga tak bisa berkelit, keadaannya sangat
terancam. Syukur tiba-tiba terdengar suara gemerincing nyaring
beruntun tiga kali, ketiga piau yang disambitkan tauto itu ternyata
jatuh ke tanah.
Sudah tentu si tauto terkejut, segera ia hendak merogoh senjata
rahasia lagi, namun keburu Se To menahannya.
"Nanti dulu, biarpun tumbuh sayap tidak nanti bocah ini bisa
kabur!" katanya dengan suara tertahan.
Habis ini Se To memberi tanda, beramai mereka lantas
mengepung In Lui di tengah.
Begitu mengenali pendatang ini adalah In Lui, Se Bu-ki menjadi
gemas lagi iri.
"Anak keparat, kau tidak mengeram di Hek-sek-ceng, tapi datang
ke sini untuk apa?" demikian segera ia memaki dengan tertawa
aneh, "Huh, betapa panjang tangan Hong-thian-lui juga tidak
mungkin diulur sampai ke sini untuk melindungimu!"
Habis ini, begitu ayun goloknya, segera ia hendak menubruk
maju, akan tetapi kembali Se To mencegah.
"He, kedatanganmu ini apakah atas suruhan Cio Eng?"
kemudian Se To menegur.
Kiranya Se To agak jeri pada Cio Eng, sebelum jelas urusannya
ia tidak berani sembarangan turun tangan.
Akan tetapi belum lagi In Lui menjawab pemuda sastrawan yang
masih menongkrong di atas batu tadi sudah tertawa terbahakbahak. Lalu ia mendahului menjawab, "He, apa kau tidak
mendengar perkataanku tadi? Akulah yang disuruh datang? Dia
adalah pengawalku, kalian hendak rampok harta bendaku, hendakPahala dan Murka - 6 24
membunuh nyawaku, sudah tentu ia tidak tinggal diam! Hai,
pengawal, kau sudah makan minum punyaku, kini aku ada alangan,
kenapa tidak lekas kausapu bersih mereka?"
Keruan Se To menjadi gusar.
"Betul-betul kau tiada sangaut-pautnya dengan Hong-thian-lui?"
tanyanya pula dengan membentak.
Dongkol sekali In Lui kepada pemuda sastrawan itu, tetapi dalam
keadaan demikian, tidak bisa tidak ia harus turun tangan membela
orang, segera ia hunus pedang pusakanya.
"Huh, Hong-thian-lui atau Hong-te-lui apa segala? Aku hanya
andalkan pedang di tanganku ini, datang pergi selalu seorang diri,
selamanya tidak sudi aku main sembunyi-sembunyi, tetapi suruh
orang lain yang tampil ke depan!"
Demikian ia mendamperat, tampaknya damperatan ini
ditujukan kepada kawanan penyatron itu, tetapi sebenarnya
memaki pemuda sastrawan itu.
Maka terdengar pemuda sastrawan itu bergelak tertawa lagi.
"Haha, bagus! Rasanya aku tidak salah pilih piausu ini, ternyata
pengawalku seorang pemberani!" serunya.
Sementara itu terdengar Se To lagi tertawa aneh.
''Baik, jika tiada sangkut-pautnya dengan Hong-thian-lui, ini
berarti sudah tiba ajalmu!" katanya.
Berbareng kedua telapak tangannya bergerak, susul menyusul ia
menghantam, Si hwesio berambut dan tosu berjubah hijaupun
merangsak maju, beramai mereka mengeroyok.
In Lui tidak gentar barang setapak pun menghadapi musuh yang
jauh lebih banyak, dengan gerakan "boan-liong-jiau-poh" atau ular
naga menggeser langkah, ia menyingkir ke samping, berbarengPahala dan Murka - 6 25
pedang pusakanya berkelebat, segera ia menusuk pundak Se To
bagian "hong-hu-hiat" dengan cepat.
Mendadak terdengar suara "trang", si tauto menyampuk dengan
goloknya, karena besarnya tenaga yang dikerahkan. In Lui
merasakan genggaman tangan kesakitan.
Mendadak dari samping sinar hijau berkelebat, imam berjubah
hijau tadi telah menusuk juga dengan pedangnya, Lekas In Lui
gunakan gerakan "koan-hoa-jiau-su" atau menyusur di antara
bunga dan mengitari pohon, ia berkelit ke samping dengan cepat,
sekalipun demikian, tahu-tahu ujung lengan bajunya terobek
sebagian oleh senjata lawan.
Di lain pihak sesudah golok si tauto saling bentur dengan pedang
In Lui, meski In Lui tergetar mundur, tidak urung golok si tauto
tergumpil juga.
Karena itulah segera ia berteriak, "Pedang bocah ini adalah
pokiam (pedang pusaka)!"
"Haha! bagus! Komplit, kuda baik dan pedang pusaka, semua
ada!" ujar tosu jubah hijau dengan tertawa senang.
Berbareng itu ia putar pedangnya terus memotong. In Lui angkat
pedang dan menyambut senjata lawan ini. Di luar dugaan dengan
cepat imam itu berganti gerak serangan, sampai di tengah jalan,
mendadak pedang berubah menusuk.
"Kena!" demikian bentaknya.
Akan tetapi betapa cepat tosu ini ganti serangan tetap masih
kalah cepat daripada perubahan serangan In Lui, dengan gerak tipu
"tian-to-im-yang" atau memutar balikan Im dan Yang, dengan cepat
In Lui putar pedang mendahului menusuk ke perut si imam.Pahala dan Murka - 6 26
"Kena!" iapun menggertak mengikuti gaya serangan yang
dilontarkan itu.
Kiam-hoat atau ilmu permainan pedang In Lui ini adalah satu di
antara kedua ilmu pedang ciptaan kakek gurunya, Hian-ki It-su,
kedua ilmu pedang itu yang satu disebut "Pek-pian-im-yang Hianki-kiam" dan yang lain bernama "Ban-liu-tiau-hay Goan-goankiam."
"Pek-pian-im-yang" atau beratus kali berubah Im dan Yang,
dinilai dari arti istilah ini saja sudah dapat diketahui tentu
mengutamakan gerak tipu yang aneh dan lihai, terutama tipu
serangan "Tian-to-im-yang" tadi adalah tipu serangan yarig paling
hebat di antaranya. Karena itu In Lui menduga lawannya pasti akan
kena tertusuk.
Di luar dugaan tusukannya ternyata mengenai tempat kosong,
sebaliknya dari samping golok si tauto sudah menyambar lagi!
Sungguhpun si imam bisa berkelit dengan cepat, namun tidak
urung tali sutera ikat jubahnya teriris putus juga oleh pedang In Lui
yang tajam hingga tosu ini berkeringat dingin saking kagetnya.
Dengan tipu serangan yang lihai tapi luput mengenai musuh, In
Lui sendiri pun terkejut, sementara itu dengan berkelit dan
melompat ia tangkis golok si tauto, sekaligus hindarkan
cengkeraman Se To. Di lain pihak si tosu jubah hijau lantas
merangsak maju lagi.
"Tidak bisa tangkap hidup, mati pun boleh! Ayo maju bersama,
cencang saja anak keparat ini!" demikian Se Bu-ki berteriak
menghasut.
Ia pimpin begundalnya terus kepung In Lui dengan rapat.
Memangnya Se To dan tosu jubah hijau ilmu silatnya jauh lebih
tinggi lagi, dengan sepasang golok paderi dan sebatang pedangPahala dan Murka - 6 27
mereka bekerja sama dengan rapat sekali hingga In Lui tidak dapat
memainkan kiam-hoat dengan leluasa.
Makin lama makin sempit lingkaran kepungan terhadap In Lui,
Se Bu-ki benci padanya karena orang merebut buah hatinya, Cio
Cui-hong, maka di bawah lindungan golok dan pedang kawannya,
segera ia menerjang paling berani ke depan.
Dalam pertarungan sengit ini, suatu kali senjata dan pukulan si
tatito, tosu dan Se To dilancarkan berbareng, tapi dengan gerak tipu
"lek-hoa-hong-kau" atau sekuat tenaga menggali parit, In Lui coba
mempertahankan diri.
Di samping Se Bu-ki telah incar baik-baik suatu kesempatan,
dengan segera goloknya, "Kui-thau-to", golok yang berukiran
kepala setan segera membacok, sedang begundalnya yang memakai
"Kau-lian-cio" atau tombak berkait seperti arit, segera menusuk
pula dari samping lain.
Keruan In Lui kerepotan, ia bukan manusia yang punya tiga
kepala dan enam tangan, sudah tentu ia tidak bisa melayani
serangan yang datang dari berbagai jurusan, untuk melawan
senjata dan pukulan si tauto, tosu dan Se To saja ia sudah payah,
apa lagi kini ditambah dengan serangan golok Se Bu-ki dan tombak
begundalnya yang mengancam berbareng, terang sekali tidak
mungkin bisa In Lui hindarkan.
Se Bu-ki terlalu benci pada In Lui yang dianggap saingan cinta,
maka bacokannya dilancarkan dengan sepenuh tenaga.
Namun sebelum bacokannya mengenai sasarannya, mendadak
pergelangan tangannya merasa kesakitan seperti tertusuk jarum, ia
menjerit, golok Kui-thau-to pun terlepas dari cekalannya, sinar
mengkilap berkelebat dan membawa sambaran angin tajam,Pahala dan Murka - 6 28
dengan cepat senjata yang terlepas ini terbang lewat di samping
leher In Lui. Keruan ia terkejut.
Di pihak lain tertampak pula begundal Se Bu-ki yang memakai
tombak arit tadi pun menjerit, senjatanya menggait balik hingga
memakan tuannya sendiri, kontan orang ini jatuh tersungkur dan
tak bisa berkutik lagi.
Kiranya tangannya mendadak juga kesakitan seperti kena
tertusuk jarum, karena itu tombak yang dipegang menikung balik,
senjata tombak arit ini kalau menikung lantas mengarit, oleh karena
itu, bukan saja In Lui tidak terluka, sebaliknya dada orang itu sendiri
tergait hingga kulit daging terkoyak sebagian.
In Lui memang cepat dan cerdik, begitu pihak musuh dalam
keadaan terkejut, dengan segera ia menerobos keluar dari lowongan
yang tadi ditempati Se Bu-ki.
"Ha, bagus, bagus sekali, pengawalku! Senjata rahasia yang
kauhamburkan ini memang tidak jelek!" tiba-tiba si pemuda
sastrawan berseru dengan gelak tertawa.
Mendadak In Lui tersadar oleh kata kata pemuda itu, hatinya
tergerak, pikirnya, "Jumlah musuh jauh lebih banyak, mau-tak-mau
aku harus menggunakan senjata rahasia!"
Karena itulah pada suatu kesempatan lain segera ia meraup
segenggam senjata rahasia "Bwe-hoa-oh-tiap-piau" dan segera
dihamburkan ke arah musuh.
Belum lama In Lui muncul di dunia kang-ouw, tapi ia sudah
mendapatkan julukan "San-hoa-lihiap" atau pendekar wanita
penyebar bunga, nama yang bagus dan enak didengar, dengan
sendirinya senjata rahasia Oh-tiap-piau ini luar biasa lihainya, maka
terdengarlah segera suara gemerincing yang riuh, menyusul
terdengar suara jeritan ramai, kecuali si tauto, si tosu dan Se ToPahala dan Murka - 6 29
masih bisa menghindarkan diri dari serangan senjata rahasia,
selebihnya kawanan bandit itu kena dipukul roboh semua.
Si tauto atau hwesio berambut dan tosu berjubah hijau ini adalah
jagoan tinggi dari kalangan hek-to, kalangan hitam atau golongan
begal, bandit atau perampok, yang diundang oleh Se To, mereka
menjadi kaget dan ragu oleh kejadian luar biasa ini, mereka sangsi
apakah yang melepaskan senjata rahasia tadi In Lui atau bukan?
Sebab kalau perbuatan In Lui, di bawah kepungan yang rapat
masih bisa melepaskan senjata rahasia tanpa diketahui musuhnya,
maka kepandaiannya ini betul-betul sangat mengejutkan, tetapi jika
bukan In Lui yang melepaskan, maka jago yang membantunya
secara diam-diam jelas adalah musuh maha tangguh. Karena
pikiran demikian inilah, tiga lawan kuat yang mengerubuti In Lui
ini diam-diam merasa jeri.
Begitulah kemudian lantas terdengar tauto itu berteriak pada
kawannya, "Siong-sek To-heng, kau jaga dia, Se-cecu harap rebut
pokiamnya, aku akan periksa keadaan dahulu!."
Demikian ia bermaksud memeriksa siapakah gerangan yang
membokong tadi. Tetapi sebelum ia berbuat, mendadak terdengar
suara mendesir halus, tahu-tahu tangan tauto ini pun merasa
kesakitan seperti tertusuk jarum.
Di antara mereka bertiga, si tosu berjubah hijau ini ilmu silatnya
paling tinggi, begitu ia perhatikan sekitarnya, segera tertampak
olehnya si pemuda sastrawan yang menongkrong di atas batu besar
itu sedikit bergerak tubuhnya.
"Suheng, kambing itulah yang mengacau!" demikian segera ia
berteriak.Pahala dan Murka - 6 30
Habis ini, begitu pedangnya bergerak, secepat burung terbang
menyusur hutan, ia melayang lewat samping In Lui terus
menerkam si pemuda sastrawan.
"Aduh! Tolong! Tolooong!" tiba-tiba pemuda sastrawan itu
menjerit, badan pun kelihatan gemetar.
Si Imam berjubah hijau ini bernama Siong-sek Tojin, murid
angkatan kedua Bu-tong-pai yang disegani, ilmu pedang Bu-tongpai yang meliputi tujuh puluh dua jurus, "Lian-hoan-toat-bengkiam" terkenal di kolong langit, tusukannya tadi begitu cepat, tetapi
tahu-tahu menerobos di bawah bahu sasarannya, bahkan lain
bajunya saja tidak menyenggol.
Namun Kiam-hoat atau ilmu pedang Siong-sek Tojin bergerak
berantai, susul menyusul, satu serangan diikuti dengan serangan
yang lain tiada berhenti-henti, maka dalam sekejap saja beruntun ia
sudah melancarkan tujuh kali tusukan.
Karena serangan yang bertubi-tubi itu, si pemuda sastrawan
berteriak minta lolong sambil berjingkrak-jingkrak, tampaknya ia
kelabakan dan kalang kabut, tapi tiap-tiap serangan ternyata selalu
dihindari dengan tepat pada waktunva, biarpun sinar pedang
bergulung-gulung menyambar kian kemari, namun sedikitpun
tidak bisa melukainya, serupa orang sedang bergurau saja.
Di pihak lain, sesudah Siong-sek Tojin melompat keluar
kalangan, meski daya tekan musuh menjadi enteng, namun In Lui
tidak menjadi unggul, ia masih harus menghadapi si tauto yang
bertenaga raksasa dengan goloknya yang antap, pula "Tok-se-ciang"
Se To, selapakan pasir berbisa yang lihai, harus dijaga juga, maka
sesudah melawan sekuat tenaga, keadaan hanya setanding atau
sama kuat saja.Pahala dan Murka - 6 31
Ketika terdengar si pemuda sassrawan berulang-ulang lagi
berteriak minta tolong, ia terkejut, pikirnya, "Jangan-jangan aku
salah lihat orang, pemuda sastrawan ini memang betul-betul tidak
paham ilmu silat?"
Demikianlah karena menggunakan pikiran, hanya sedikit
meleng ini hampir saja ia kena dibacok oleh golok si tauto.
Namun begitu, sakilas lirik tadi In Lui juga dapat melihat gerakgerik si pemuda sastrawan yang lain daripada yang lain, tidak
kepalang dongkol In Lui.
"Kurangajar, sungguh kurangajar pemuda sastrawan ini, kubela
dia dan mengadu jiwa bertempur dengan musuh, tetapi ia berbalik
sengaja mempermainkan aku. Hm, biarlah sesudah urusan ini beres
tidak nanti kugubris padanya lagi!" demikian pikirnya dengan
Pahala Dan Murka Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gemas.
Kalau In Lui naik darah oleh karena merasa dipermainkan si
pemuda sastrawan, ia tidak tahu bahwa Siong-sek Tojin lebih-lebih
hebat dipermainkan pemuda itu hingga tosn ini tidak kepalang
murkanya.
Siong-sek Tojin telah menyerang orang dengan cepat, tusukan
satu lebih hebat daripada tusukan yang lain dan terus menerus,
adan tetapi selalu tidak mengenai sasarannya.
Pemuda sastrawan itu masih berteriak, "Tolong! Tolong!"
Kemudian ia tertawa terbahak-bahak, "Hahaha! Kiranya kau
sedang bermain dengar aku. Haha! senang betul! .... Satu, dua, ti . .
. tiga, em . . . em . . . empat . . . delapan, sembilan . . . dua belas, tiga
belas . . . sem . .. sembilan belas, dua puluh . . . ."
Begitulah, jika si tojin menusuk satu kali, ia pun menghitung satu
kali, maka dalam sekejap saja ia telah menghitung sampai dua puluh
kali.Pahala dan Murka - 6 32
Di sebelah sana Se Bu-ki yang terkena tusukan jarum, lukanya
tidak parah, waktu itu ia sudah merangkak bangun, ia jemput
goloknya dan berindap-indap mendekati belakang orang waktu si
pemuda asyik menghitung sambil berkelit dan tidak memandang ke
jurusan lain, kesempatan ini segera dipergunakan oleh Se Bu-ki
untuk mendadak melompat maju terus membacok dari belakang.
Di luar perhitungannya, tahu-tahu pemuda sastrawan itu
membaliki telapak tangannya, "plok", tidak menceng juga tidak
meleset, dengan tepat sekali batang hidung Se Bu-ki kena ditonjok
hingga keluar kecapnya.
"Monyong!" terdengar si pemuda sastrawan memaki, "Telah
kuselamatkan jiwamu, kini berbalik kau hendak habisi nyawaku?
Hm, kalau tidak dihajar tentu kau tidak tahu rasa, di rumah kau
pernah dihajar tidak? Memangnya Se-lojat (bangsat tua)
mengajarkan kau membalas budi dengan cara begini?"
Karena kata-kata pemuda sastrawan ini, Se To, Se Bu-ki dan In
Lui bertiga baru tahu duduknya perkara. Kiranya pada malam itu
Se Bu-ki dan Oh Lo-ji mendatangi kelenteng bobrok itu, sebenarnya
ia bisa tewas di bawah pokiam In Lui, tetapi diam-diam ia ditolong
orang dengan sentata rahasia yang mengenai tangan In Lui hingga
tusukan In Lui menceng, karena itu juga baru Se Bu-ki bisa kabur
dengan selamat.
Kejadian itu pernah Bu-ki ceritakan kepada ayahnya, namun
mereka hanya menerka sini dan menyangka sana, tapi sama sekali
tidak pernah menyangka justru pemuda sastrawan inilah
penolongnya itu!
Karena itulah maka Se To jadi melenggong, sementara itu In Lui
lagi menyerang, gaya serangan pedangnya cepat luar biasa, seketika
kopiah di atas kepala Se To tertabas menjadi dua.Pahala dan Murka - 6 33
Se To menjadi gusar, pikirnya. "Anakku hendak membegal harta
mestika dan kuda pusakanya, sebaliknya ia telah membantunya
secara diam-diam. Masa di jagat ini terdapat hal demikian?"
Segera kesepuluh jarinya diulur terus mencakar ke muka In Lui.
sebaliknya si tauto juga disamber oleh ujung pedang In Lui hingga
hampir saja ia terluka. Kedua orang ini tergolong jagoan tinggi
kalangan hek-to, mereka sudah biasa malang-melintang, kapan
mereka pernah dihina dan dipecundangi orang seperti ini?
Dalam keadaan murka, mereka tidak menghiraukan kata-kata
pemuda sastrawan tadi, mereka anggap In Lui masih terlalu muda
dan tenaga lemah, mereka terus merangsak dengan kalap, mereka
bermaksud merobohkan In Lui dahulu baru kemudian melawan si
pemuda sastrawan bersama.
Karena gempuran lawan yang hebat, terpaksa In Lui harus
menjaga depan dan menangkis ke belakang hingga agak kerepotan
hampir saja ia tidak sempat bernapas lagi.
Dalam pertarungan sengit ini, ia pun tidak sempat memandang
si pemuda sastrawan lagi. Hanya masih terdengar beruntun orang
terus menghitung, . .tiga-lima . . .tiga-delapan, tiga .. . tiga-sembilan,
. . . empat-dua . . . emnat-delapan, empat-jembilan, lima puluh. Nah,
cukup, kiam-hoat bagus dari Bu-tong-pai sudah cukup kuterima!
Aku tiada tempo lagi buat bermain denganmu!"
Dan begitu suara pemuda itu berhenti, mendadak terdengar
Siong-sek Tojin meraung gusar, kiranya dalam sekejap mata saja
pedang Siong-sek Tojin telah kena direbut si pemuda sastrawan.
Di sebelah sana waktu itu In Lui lagi kelabakan, baru saja ia
hindarkan diri dari pukulan Se To yang mengarah dadanya, kembali
golok si lauto membacok lagi dari depan. Dengan tipu ??To-kwa-culiam" atau menggulung kembali kerai mutiara, In Lui mendahuluiPahala dan Murka - 6 34
menabas, namun dengan cepat si tauto telah miringkan senjatanya,
begitu putar tangannya, dengan punggung golok berbalik
membentur.
Tipu gerakan ini sangat aneh, belum sampat In Lui ganli gerak
serangan, mendadak terlihat sinar putih kehijauan telah
menyambar, berbareng itu terdengar suara "sret", lelatu api pun
bercipratan, disusul dengan suara bentakan si pemuda sastrawan,
"Kau keledai gundul yang jahat, biar kutinggalkan sedikit tanda di
tubuhmu!"
Sedetik kemudian terdengar tauto itu menjerit ngeri, bersama Se
To segera putar tubuh terus angkat langkah seribu alias kabut
terbirit-birit.
Kiranya pada waktu sekejap itu saja si pemuda sudah
menggunakan gerak tipu yang cepat luar biasa, sekonyong-konyong
ia melayang tiba, dengan kutungan pedang yang direbut dari Siongsek Tojin dia tebas golok si tauto. Batang pedang Siong-sek Tojin
sebenarnya lebih tipis dari pada batang golok, menurut logika,
dengan beradunya pedang dan golok ini seharusnya pedang yang
kalah, akan tetapi kini keadaan sebaliknya, hanya sekali memotong
dengan pelaban pemuda itu telah putuskan golok si tauto.
Jika pedang itu adalah pedang pusaka tentu tidak perlu dibuat
heran, tetapi justru pedang Siong-sek Tojin ini tidak lebih hanya
pedang biasa saja. Maka dapat dibayangkan betapa besar dan lihai
tenaga dalam pemuda sastrawan yang sangat mengejutkan ini,
ssumpaina pemuda sastrawan itu tidak sekalian tabas sebelah daun
kuping si tauto pasti juga si tauto dan Se To akan lari tunggang
langgang.
Begitulah, sesudah kedua musuh kabur sipat kuping, pemuda
sastrawan itu tertawa terbahak-bahak.Pahala dan Murka - 6 35
"Haha, incar harta orang dan hendak merenggut nyawa orang,
inilah perbuatan tidak berbudi. Tidak bisa mengukur tenaga sendiri
inilah tidak cerdik, tidak berbudi lagi tidak cerdik, kan cuma bikin
onar dan berbuat jahat belaka? Ini kukembalikan pedangmu, pulang
saja melatih diri sepuluh tahun lagi!" serunya sambil melemparkan
pedang rampasan kepada Siong-sek Tojin.
Kiam-hoat atau ilmu pedang Bu-tong-pai sebenarnya sangat
hebat tetapi di antara anak muridnya banyak yang berwatak
congkak dan tinggi hati lebih-lebih Siong-sek Tojin ini sok ikut
campur urusan orang lain, oleh sebab itu meski ia bukan orang
gagah dari kalangan hek-to, namun begitu Se To mengajaknya
bersama-sama merampok harta pusaka, segera ia ikut serta.
Tak terduga beruntun ia serang orang beberapa puluh tusukan,
namun ujung baju pemuda sastrawan itu saja tidak tersenggol,
ditambah lagi diejek dan diolok-olok pemuda itu, sudah tentu
menjadi cemas dan tak beiani berlagak gagah lagi, ia sambut pedang
yang dilemparkan itu dengan lesu.
"Tiarap tinggalkan namamu," ia masih tanya lagi dengan suara
berat.
"Hah, apa kau ingin menuntut balas padaku kelak?" tanya si
pemuda dengan tertawa.
"Mana aku berani," sahut Siong-sek Tojin.
"Kalau tak berani, untuk apa bertanya," ujar si pemuda. "Kau
tidak berani bermusuhan denganku, sebaliknya aku tidak ingin
bersobat denganmu, kawan bukan lawan pun bukan, lalu untuk apa
lagi saling mengenalkan nama segala?"
Karena debat yang lucu-lucu benar ini, Siong-sek Tojin menjadi
bungkam dan tak bisa menjawab, akhirnya ia hanya tarik napas
panjang saja, kemudian dengan hati panas dan penasaranPahala dan Murka - 6 36
mendadak ia tekuk pedang sendiri hingga patah menjadi dua, habis
ini tanpa bicara lagi ia membalik tubuh terus keluar dari hutan itu,
ia bersumpah selama hidup ini tidak akan memakai senjata pedang
lagi.
Nampak kelakuan orang, kembali si pemuda bergelak tertawa.
"Baiklah, sekarang semuanya enyah saja dari sini!" katanya
kemudian.
Habis ini ia berlari mengitar, kakinya bekerja cepat, ia
menendang kemari dan mendepak sana-sini, dalam sekejap saja
kawanan bandit yang terguling oleh senjata rahasia In Lui karena
jalan darah mereka tertutuk. sesudah disenggol oleh kaki pemuda
itu seketika jalan darah mereka lancar kembali dan bisa bergerak
lagi.
Di sebelah sana In Lui tidak kepalang terperanjat dan herannya,
ilmu menutuk jalan darah dengan Oh-tiap-piau sebenarnya adalah
suatu kepandaian khas, tetapi sekarang hanya sekali gerakan
tangan dan kaki si pemuda sastrawan itu, tutukannya segera
dipunahkan, inilah yang membuatnya heran.
Sambil memunahkan tutukan kawanan bandit itu, pemuda itu
bersuara dengan tertawa, "Haha, tadi malam kau telah punahkan
ilmu tutukanku, sekarang akupun memunahkan kepandaianmu ini,
keadaan satu-satu, siapapun tidak perlu rugi."
Keruan In Lui mendongkol, tetapi ia menjadi lebih tidak
mengerti ketika tertampak olehnya cara si pemuda itu melepaskan
tutukannya, tampaknya mirip sekali dengan apa yang dikuasainya
tetapi seperti juga bukan dari satu sumber yang sama.
Sementara itu dalam sekejap saja jalan darah kawanan bandit itu
sudah terlepas semua, segera mereka lari terbirit-birit, hanya Se Bu-Pahala dan Murka - 6 37
ki saja sendirian masih mematung di tengah kalangan dan masih
belum kabur.
Tadi Se Bu-ki telah merasakan tempelengan pemuda itu, kini
melihat pemuda sastrawan ini malah menolong semua
begundalnya, tiba-tiba ia mendekati orang, ia memberi hormat,
katanya, "Kau pernah menolong jiwaku dan menempeleng sekali
padaku, di kemudian hari aku pun akan mengampuni jiwamu sekali
dan membayar kembali tempelenganmu tadi."
Kata-kata ini ternyata tidak bikin si pemuda menjadi gusar,
bahkan ia tertawa lagi.
"Aku pernah menolong jiwamu karena kupandang atas muka Seloyat (bangsat tua she Se), maka tidak perlu kau bandit cilik ini ikut
menerima budiku, maka untuk mengampuni jiwaku tidak perlu
kaulakukan, tetapi bila hendak membayar kembali sekali
tempelengan padaku, hal ini akan kutunggu padamu," sahut
pemuda itu, "Cuma kau terlebih tidak becus dibandingkan Siongsek To-jin, kau harus belajar lagi dua puluh tahun. Nah, sekarang
enyahlah lekas!"
Se Bu-ki ini berjiwa sempit, karena jawaban ini, ia melototi si
pemuda dan In Lui. habis ini segera ia bertindak pergi menyusul
begundalnya.
Nampak kawanan bandit itu sudah pergi semua, tiba-tiba
pemuda sastrawan itu goyang-goyang kepala dan menghela napas
sambil menengadah.
"Percuma saja dunia seluas ini, tetapi siapakah pahlawan sejati
di Sinciu (Tiongkok) ini? Ayah dan anak she Se itu ada sedikit nama
juga di kalangan hek-to, siapa tahu mereka juga rendah
martabatnya," demikian ia menggumam seperti sedang bersajak
dengan perasaan kosong dan kecewa.Pahala dan Murka - 6 38
Sebenarnya In Lui akan bertindak pergi, tapi demi mendengar
suara helaan napas dan gumamnya, ia urung melangkahkan
kakinya, ia coba melirik orang, dengan suara keras ia tegur orang,
"Hm, bagaimana kalau Kim-to-cecu di luar Gan-bun-koan? Apa dia
tidak terhitung sebagai pahlawan sejati?"
Air muka pemuda itu rada berubah, tetapi ia lantas tersenyum
untuk menutupi sikapnya ini.
"Kim-to-cecu dengan sendirinya tidak bisa disamakan dengan
Se-keh-hucu (ayah dan anak she Se), tetapi kalau dikatakan dia
adalah pahlawan sejati, rasanya juga belum bisa!" sahutnya
kemudian sambil goyang kepala lagi.
"Huh, memangnya di jagat ini hanya kau sendiri yang terhitung
pahlawan sejati!" jengek In Lui dengan gemas.
Habis ini segera ia menerobos keluar hutan itu dengan perasaan
gusar. Tetapi baru dua-tiga langkah sekonyong-konyong bayangan
orang berkelebat mengadang di depannya.
"Adik cilik, jangan kesusu pergi dulu, kubilang kaulah betul-betul
seorang pahlawan sejati," terdengar pemuda itu berkata dengan
tertawa.
In Lui berusaha mengegos ke kiri dan mengelak ke kanan, ia
gunakan beberapa gerak tubuh yang berlainan, tetapi selalu
dirintangi si pemuda.
Keruan muka In Lui tambah merah.
"Kenapa kau rintangi aku?" damperatnya. Habis ini tanpa
hiraukan orang mengadang di depan segera ia menerjang maju.
Mendadak sebelah tangan pemuda sastrawan menolak ke
dadanya dengan maksud hendak mematahkan gaya lompatannyaPahala dan Murka - 6 39
dan untuk merintanginya, tak tahunya perbuatannya ini membikin
In Lui jadi lebih gemas dengan mata mendelik.
"Kau . . . kau berani menghina ..."
Sebenarnya In Lui hendak bilang "menghina nonamu", tetapi
kata-kata "nona" tiba-tiba ditelannya kembali, sebagai gantinya
pedang mendadak menabas.
Sama sekali tidak diduga pemuda itu bahwa gerak tangannya
akan membikin In Lui sedemikian gusarnya, karena itu, sebelum
jarinya menempel tubuh orang, dengan bingung ia melompat
mundur untuk hindarkan serangan orang.
Tetapi segera pula ia dengar In Lui menjerit dan sempoyongan
ke depan, kiranya karena terlalu kuat mengeluarkan tenaga, tangan
yang diayunkan tadi jadi keseleo.
"Mari kusembuhkan kau," kata si pemuda.
"Tidak perlu kau urus diriku," sahut In Lui masih gusar.
Habis ini ia pegang tangan sendiri dan ditekan ke bawah dengan
kuat hingga tulang yang keseleo pulih kembali, ia putar tubuh ke
jurusan lain, ia gulung lengan bajunya dan membubuhi obat gosok
untuk jatuh dan keseleo, kemudian ia bermaksud lari ke depan pula,
namun tiba-tiba terasa badan lemas lunglai, kiranya setelah
bertempur setengah harian tenaganya telah habis terkuras.
Dalam keadaan demikian, pemuda sastrawan itu mendekatinya
lagi, lalu ia memberi hormat.
"Kuminta maaf, adik cilik," katanya, "hatimu bersih dan jujur,
suka menolong kesukaran orang lain, betul-betul berjiwa luhur dan
berhati mulia, selama aku berkelana, sepanjang pengalamanku
hanya kau saja yang pantas dijadikan sahabat. Watakku memangPahala dan Murka - 6 40
suka terus terang, maka kalau ada sesuatu yang menyinggung
perasaanmu, harap suka dilupakan saja."
Dari dekat kedua bola mata pemuda yang bening dan mencorong
terang menatap lekat badan In Lui, keruan gadis ini menjadi merah
jengah, ia merasa pada diri pemuda ini terdapat semacam sifat
keagungan yang membikin orang tunduk.
"Kalau begitu kenapa kau memaki Kim-to-cecu?" akhirnya In Lui
Pahala Dan Murka Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tanya dengan kepala menunduk.
"Maklumlah orang yang kaukagumi belum tentu kukagumi juga,
untuk apa mesti memaksakan orang sependapat denganmu!" sahut
si pemuda dengan tertawa. "Aku pun tidak memaki dia, sudah tentu
Kim-to-cecu juga mempunyai sifat-sifat yang harus dihormati,
cuma saja ... ah, sudahlah terlalu panjang kalau diuraikan, lebih baik
tak usah saja."
Karena kata-kata orang ini, hati In Lui tergerak.
"Apa kau datang dari luar Gan-bun-koan?" tiba-tiba ia tanya.
Si pemuda tidak menjawab, ia hanya menengadah sambil
tertawa,
"Kapu-kapu yang terapung di atas air tak berdaya, orang yang
terombang-ambing di kang-ouw hendaknya jangan kau tanya!"
terdengar ia bergumam seperti bersajak.
(Bersambung Jilid ke 7)Pahala dan Murka - 7 0Pahala dan Murka - 7 1
PAHALA DAN MURKA
Oleh : gan k.l.
Jilid ke 7
AHA, itulah gampang," kata Cio Eng pula dengan
tertawa, "Takoh terkemuka kalangan persilatan bila
dengar nama Hong-thian-lui Cio Eng disebut, sedikit
banyak dia akan menghargai diriku, perjodohanmu ini tidak perlu
kuatir lagi."
Lalu ia tertawa lagi, tertawa yang penuh rasa sunyi.
"Orang ini agaknya mempunyai riwayat hidup yang memilukan
serupa diriku." demikian pikir In Lui, "Riwayatku yang
menyedihkan tak boleh diketahui orang lain, kenapa sekarang aku
tanya urusan orang lain malah?"
Karena pikiran ini, tiba-tiba timbul rasa simpatiknya pada orang
yang senasib.
"Baiklah, kalau begitu aku takkan marah lagi padamu, dan kita
boleh berpisah saja," katanya kemudian.
Tiba-tiba si pemuda tertawa pula.
"Adik cilik," katanya, "hari ini engkau telah menjadi pengawalku,
seharusnya aku suguh kau minum secawan arak. Sekali ini kau
terima hadiah ataj jasamu, aku takkan bilang kau makan gratis
lagi."
Sejauh ini In Lui sudah biasa mendengar lagak lagu orang yang
suka bergurau, maka kata-kata ini tidak membuatnya marah lagi.
"Di dalam hutan yang sunyi ini dari mana terdapat arak?"
tanyanya kemudian sesudah berpikir sejenak.Pahala dan Murka - 7 2
Pemuda itu tidak menjawab, ia dekap bibir dan bersuit, maka
terdengarlah suara ringkik kuda di luar hutan sana saling sahut,
sebentar kemudian tertampak dua ekor kuda berlari datang dengan
cepat, kuda yang di depan adalah kuda putih milik pemuda
sastrawan ini dan yang dibelakang adalah kuda merah milik In Lui.
"Haha, mereka malah sudah mengikat persahabatan lebih dulu,"
ujar si pemuda dengan tertawa riang.
Sesudah kuda putih datang di sampingnya, dari punggung kuda
ini ia turunkan sebuah kantung kulit, dikeluarkannya sebuah bulibuli bercat merah, lalu disodorkan kepada In Lui.
"Kau tentu sudah letih oleh peretempuran tadi, silakan minum
dulu," katanya.
In Lui tidak menolak, ia terima buli-buli itu dan minum seceguk
isinya, tiba-tiba ia berkerut dahi.
"Ah, kiranya betul kau datang dari Mongol!" katanya tiba-tiba.
Kiranya arak ini adalah arak susu kuda yang khusus hanya
terdapat di Mongol, rasanya rada kecut, tetapi keras, pada waktu In
Lui masih kecil sering ia dan ayahnya minum arak ini, In Lui lebih
suka minum arak yang mengandung rasa manis dia tidak suka arak
yang keras alkoholnya seperti arak susu kuda yang lasanya kecut
ini, maka begitu terasa olehnya ia lantas ingat padi minuman keras
ini. Mendengar ucapan In Lui, tiba-tiba pemuda sastrawan itu
memandangnya dengan sinar mata tajam.
"Dan kaupun datang dari Mongol bukan?" sahutnya kemudian.
"Melihat sifatmu yang lembut, kau lebih mirip pemuda yang datang
dari daerah Kanglam yang berpemandangan alam indah."Pahala dan Murka - 7 3
Karena pujian ini, ln Lui menjadi senang, ia hanya tersenyum.
"Hidup terlunta tanpa tempat menetap, untuk apa tanya tempat
kedatangan orang, kau tak perlu tanya diriku, akupun tidak tanya
padamu, sekali ini akulah yang salah tanya," ujar pemuda itu tibatiba dengan tertawa.
Dalam pada itu timbul rasa ingin tahu dalam hati In Lui, tanpa
tertahan kembali ia tanya lagi. "Kedua orang asing yang
mengejarmu malam itu, apakah mereka menghendaki supaya
kaupulang?"
Pemuda itu tidak menjawab, ia hanya tersenyum sambil
menenggak araknya.
"Negeri Watze selekasnya akan perang dengan Tiongkok, engkau
adalah kesatria bangsa Han, maka engkau melarikan diri dari negeri
asing itu?" kembali In Lui buka suara, ia tidak langsung bertanya,
tapi seperti bicara pada diri sendiri.
Terdengar pemuda itu tertawa getir, ia masih terus menenggak
araknya dan membiarkan In Lui menerka sendiri.
Melihat orang tidak menjawab, In Lui mendongak
memandangnya, di antara sinar mata gadis ini penuh mengandung
tanda tanya.
"Jika kedua orang asing itu mengejar dan hendak
menangkapmu, kenapa kaubantu aku membunuh seorang di
antaranya dan sebaliknya menolong pula seorang lainnya?" kembali
In Lui bertanya.
Pemuda itu minum lagi araknya seceguk, habis ini tibat-tiba ia
bukan suara dengan tertawa, "Kau memang suka tanya ini dan itu,
adik cilik! Tahukah kau siapa orang yang kutolong itu?"
"Dia anak murid Ciamtai Biat-beng." sahut In Lui tanpa pikir.Pahala dan Murka - 7 4
Pemuda itu pandang In Lui sekejap, agaknya ia heran juga In Lui
dapat menjawab begitu cepat.
"Yang mati itu adalah jago pengawal andalan Tofan," katanya
kemudian dengan pelahan sambil tersenyum hambar, habis ini ia
bungkam lagi seribu bahasa.
Keruan In Lui tambah heran dan sangsi, pikirnya, "Ciamtai Biatbeng adalah jagoan paling diandalkan di bawah Thio Cong-ciu,
murid Ciamtai Biat-beng dengan sendirinya berarti pula orangnya
Thio Cong-ciu, sedang jago yang terbunuh itu adalah jago andalan
Tofan, Thio Cong-ciu dan Tofan adalah perdana menteri dan wakil
perdana menteri kerajaan Watze, apakah bedanya di antara
mereka? Kenapa ia membunuh jago andalan Tofan, sebaliknya
melepaskan anak buah Thio Cong-ciu?"
Dalam herannya ia ingin tanya lagi, tapi demi nampak si pemuda
masih terus minum arak sendiri, ia tahu percuma saja bertanya,
sebab tentu tidak akan terjawab.
"Ah, hanya tinggal sedikit," kata pemuda itu tiba-tiba sambil
mengocak buli-bulinya, lalu ia minum beberapa kali lagi. Dari air
mukanya tertampak rasa sayang akan minumannya ini.
"Betapa baiknya arak ini? Di daerah Tiongkok sana di manamana terdapat arak enak, masa kaukuatir tak bisa minum lagi?"
ujar In Lui tertawa.
"Ya, manusia yang meninggalkan kampung halaman adalah
sampah, tetapi barang yang meninggalkan tempat asalnya justru
berharga. Karenanya aku merasa sayang atas arak ini," sahut
pemuda itu dengan gegetun.
Habis ini ia angkat buli-bulinya itu dan ditempelkan ke ujung
hidung, ia mencium bau arak itu dengan bernafsu.Pahala dan Murka - 7 5
Melihat sikap pemuda ini, tiba-tiba InLui teringat pada masa
kecilnya. Waktu ia baru berusia tujuh tahun dan untuk pertaina
kalinya kembali ke tanah air bersama Engkongnya dahulu, sampai
di luar Gan-bun-koan, Engkongnya telah meraup secomot tanah
dan dengan penuh rasa sayang mencium tanah itu, sikap
Engkongnya tatkala itu sama seperti sikap pemuda sekarang ini.
"Apa kau bukan bangsa Han?" tanpa terasa In Lui bertanya tibatiba.
Karena pertanyaan ini, pemuda sastrawan itu merasa heran.
"Apa kaulihat aku tidak mirip bangsa Han?" balasnya bertanya.
Pemuda sastrawan ini beralis tebal dan bermata bening,
wajahnya cakap sekali, jangankan di negeri Mongol sukar dicari
seorang semacam ini, biarpun di daerah Kanglam yang terkenal
dengan pemuda-pemudanya yang tampan pun jarang diketemukan
bandingannya. Karena itulah, setelah In Lui pandang orang sekejap,
mukanya menjadi merah jengah.
"Sekalipun kau mati dan menjadi abu, engkau tetap adalah
bangsa Han," katanya kemudian.
Habis berkata tiba-tiba ia merasa kelepasan mulut. Sebaliknya
pemuda itu terbeliak matanya.
"Betul, betul ucapanmu!" sahutnya lantang.
"Sekalipun aku menjadi abu masih tetap juga bangsa Tiongkok!
Marilah kita minum arak!"
Habis berkata, ia cabut sumbat buli-buli terus menuangkan arak
Mongol itu ke dalam mulutnya.
Nampak kelakuan pemuda ini, mau-tak-mau In Lui tertawa geli.Pahala dan Murka - 7 6
"Caramu minum serupa cara kerbau minum, dalam beberapa
ceguk sudah kaukeringkan arakmu, apa tidak merasa sayang?"
ujarnya.
Setelah menenggak lagi araknya, si pemuda mengerling dengan
mata yang sayu sepat, tertampak sekali akan pengaruh arak pada
wajahnya.
"Ha, hari ini adalah hari yang paling menggembirakan, harus
kuminum sepuas-puasnya," katanya kemudian dengan bergelaktawa lagi.
"Apa yang kaugembirakan?" tanya In Lui.
"Pertama, aku telah mendapatkan kawan seperti dirimu, kedua
karena aku telah mendapatkan mestika yang tak ternilai harganya."
sahut pemuda itu. "Marilah, adik cilik, mari kita ininum arak sambil
menikmati lukisan bagus!"
Habis ini ia lantas mengeluarkan gulungan lukisan itu dari
kantung kulitnya, ia beber lukisan itu dan digantungkan pada dahan
pohon.
"Lihat, bukankah ini benda mestika yang lukar dicari
bandingannya?" serunya kemudian.
In Lui dilahirkan dalam keluarga terpelajar. Engkongnya adalah
pembesar negeri tingkat menteri, seorang duta besar berkuasa
penuh dari kerajaan, ayahnya juga belajar sastra dan kemudian
baru belajar silat, seorang terpelajar yang kenyang segala kitab
bacaan, karena itu sejak kecil In Lui terpengaruh oleh keturunan ini,
ia pun paham ilmu sastra dengan seni budayanya.
Lukisan yang diperlihatkan si pemuda itu adalah lukisan raksasa
yang terpajang di kamar loteng penyimpan mestika Cio Eng.
Semalam In Lui belum lagi sempat menikmati lukisan ini, kini
setelah dipandang dari dekat, ia lihat gambar pada lukisan ini yangPahala dan Murka - 7 7
inti sasarannya berupa gunung, sungai, bentcnpj pohon dan orang,
semuanya digambar dengan sangat teliti dan nyata sekali, sudah
tentu lukisan ini lahir dari tangan pelukis yang pandai, tetapi
tampaknya lukisan ini hanya mementingkan keadaan nyata dan
bukan khayalan, jika dibandingkan lukisan panorama pelukis jaman
kuno, jelas jauh untuk bisa memadainya.
''Pemuda sastrawan ini tampaknya terpelajar, tapi
kemampuannya menilai lukisan ternyata tidak terhitung pandai,"
demikian diam-diam In Lui menertawai orang.
Sementara itu pemuda sastrawan itu telah menenggak habis
araknya, ia berkata pula dengan tertawa, "Kau tidak tahu letak
kebagusan lukisan ini bukan?"
Habis ini ia mendekati lukisan itu dan merabanya, ia melihat dan
mengamat-amati lagi, tiba-tiba ia bernyanyi dengan suara keras.
Lagu yang dinyanyikannya itu memuji keindahan alam daerah
Sohciu dan Hangciu, dengan hati pedih terkenang akan tanah
tumpah darah dengan penuh penyesalan. Ia menyanyi dengan nada
yang mengharukan.
"Orang kuno bilang bernyanyi sebagai menangis, suara
nyanyiannya ini malah jauh lebih mengharukan daripada
menangis!" demikian In Lui membatin dalam hati.
Tak terduga, sehabis menyanyi, betul-betul pemuda itu
menangis sedih, menangis keras hingga hutan seakan-akan
tergetar, daun pohon sama rontok dan burung terbang terkejut.
Melihat cara menangis orang, In Lui menjadi bingung, ia tidak
mengerti darimana datangnya kesedihan orang dan mengapa
menangis sedemikian rupa?
Masih terus pemuda itu menangis, keruan In Lui ikut kusut
pikirannya, tetapi orang adalah pemuda yang belum dikenalnya, iaPahala dan Murka - 7 8
hendak menghiburnya, terasa tak leluasa, jika ditinggalkan saja,
terasa kurang sopan juga. Sementara itu semakin menangis pemuda
itu semakin berduka, sampai akhirnya In Lui ikut pilu dan tanpa
terasa ikut menangis.
Karena ikut menangisnya In Lui ini, pemuda itu meliriknya
sekejap, tiba-tiba ia mengusap air mata dengan lengan bajunya, dan
berhenti menangis. Habis ini mendadak ia mendongak dan tertawa
terbahak-bahak.
"Cis, kau mabuk? Sebentar menangis sebentar tertawa, apa yang
kauributkan?" tegur In Lui mendongkol.
"Haha. kaupun sudah mabuk, sama-sama," pemuda itu
menjawab sembari menudingnya.
Waktu In Lui menunduk, ia lihat baju sendiripun basah dengan
air mata. Tanpa sesuatu sebab ia telah ikut menangis, betul-betul
tak keruan juntrungannya, ia jadi tertawa geli juga.
Kemudian pemuda itu tertawa lagi, lalu berseru setengah
bersajak.
"Seperti latah juga seperti pendekar memang lelaki ternama, bisa
menangis dan bisa menyanyi melampaui adat biasa. Waktu
menangis harus menangis, waktu tertawa boleh tertawa, kenapa
harus berlagak dan pura-pura. Kita sama-sama manusia yang
berperasaan, menangis atau tertawa tidak perlu dibuat heran!"
Sembari bersajak sambil menggulung kembali lukisannya itu.
Lalu ia sambung lagi, "Sungai Tiangkang mengalir ke timur
sepanjang masa, berkuda menetap di negeri asing belum terkabul
cita-citaku, berpaling kembali selama enam puluh tahun nian, di
daerah Kanglam dan di gurun utara ada berapa orangkah yang
sedih?"Pahala dan Murka - 7 9
Hati In Lui tergerak mendengar bagian terakhir sajak orang,
pikirnya, "Tadi malam waktu pemuda lastrawan ini mengambil
lukisan ke Hek-sek-ceng, Cio Eng mengatakan sudah menunggu dia
selama enam puluh tahun, kini pemuda ini bilang lagi 'berpaling
kembali selama enam puluh tahun?, jumlah tahun yang mereka
sebut cocok satu sama lain, sebenarnya teka-teki apakah yang
tersembunyi di dalam hal ini? Jangankan si pemuda ini baru berusia
dua puluhan tahun, sekalipun Cio Eng juga baru saja merayakan
ulang tahunnya yang ke-60, lalu kata-kata enam puluh tahun ini apa
artinya?"
Begitulah In Lui tidak paham meski ia berusaha menyelaminya!
Sementara itu ia dengar si pemuda berkata pula dengan suara
perlahan.
"Hari ini boleh dikatakan puas tertawa dan puas pula menangis,
Pahala Dan Murka Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
cuma sayang arak sudah tiada lagi."
Mendadak ia lemparkan buli-bulinya hingga hancur.
Meski kelakuan pemuda sastrawan ini membikin In Lui
terheran-heran, tetapi terasa juga oleh gadis ini pada diri si pemuda
terdapat semacam daya tarik yang besar.
Waktu In Lui mendongak, ia lihat sang surya sudah menggeser
ke barat.
"Sudahlah, kita sekarang boleh berpisah saja," katanya
kemudian.
Habis berkata, entah mengapa ia sendiri merasakan juga
semacam rasa berat yang sukar dijelaskan.
"Kau hendak ke mana, apa hendak kembali ke Hek-sek-ceng?"
tanya pemuda itu.
"Tak perlu kauurus," sahut In Lui.Pahala dan Murka - 7 10
"Apa yang kaulakukan semalam sudah kuketahui seluruhnya!"
kata si pemuda pula dengan tertawa.
In Lui jadi teringat pada kejadian malam pengantin barunya,
keruan ia merah jengah.
"Siocia keluarga Cio itu memang cantik, ilmu silatnya pun tinggi.
Adik cilik, kenapa kautampik ini dan tolak itu tidak mau menikah
dengan dia?" tanya lagi si pemuda.
"Aku mau ini-itu peduli apa denganmu?" sahut In Lui dengan
mulut menjengkit.
Pemuda sastrawan itu tertawa.
"Kalau semalam aku tidak bikin onar, tentu kau takbisa
melepaskan diri dari Hek-sek-ceng, kenapa kau tidak mengucapkan
terima kasih padaku?" katanya pula dengan tertawa.
Karena seloroh orang ini, akhirnya In Lui tertawa geli juga.
"Ya, kaum kesatria kita memang jangan sampai terjerumus
dalam lembah percintaan, imanmu yang teguh itu sangat
kukagumi." ujar pemuda itu.
Kembali air muka In Lui berubah merah, ia kuatir kalau-kalau si
pemuda meneruskan pula pembicaraannya, bisa jadi dirinya akan
ketahuan jenis aslinya, maka ia tidak ajak bicara lagi, segera ia
cemplak kuda dan cepat dilarikan. Tak terduga baru saja ia keluar
dari hutan itu, segera terdengar di belakang riuh ramai suara
keleningan kuda, kuda putih si pemuda sastrawan ternyata sudah
menyusul tiba.
"Adik cilik, masih ada sesuatu yang hendak kubicarakan," seru
pemuda itu.
"Katakanlah," sahut In Lui sambil menahan kudanya dan
menoleh.Pahala dan Murka - 7 11
Pemuda itu tidak lantas berkata, ia keprak kudanya hingga
sejajar dengan In Lui. Kemudian dengan tertawa baru ia berkata
lagi.
"Di daerah Soasai ini besar pengaruh Cio Eig dan Se To, kau
berjalan seorang diri, kalau tidak disusul oleh Cio Eng dan dibawa
kembali ke Hek-sek ong untuk menjadi menantunya, tentu pula kau
akan ditangkap ayah dan anak she Se itu untuk disiksa, tidakkah
lebih baik kita jalan bersama saja, biar sekarang aku yang menjadi
pengawalmu!"
Setelah In Lui pikir, masuk di akal juga kata-kata orang. Tetapi
sebelum ia menyahut, terdengar si pemuda bertanya lagi.
"Kau hendak ke mana?"
"Ke Pakkia," sahut In Lui.
"Hah, kalau begitu kebetulan sekali, aku pun hendak menuju ke
Pakkia, marilah kita saling sebut sebagai saudara saja," kata pemuda
itu. "Sampai kini aku belum lagi tahu namamu, cara bagaimana
memanggilmu? Apa harus kupanggil dirimu sebagai Koko
(kakak)?" ujar In Lui dengan tertawa.
"Aku she Thio dan bernama Tan-hong, Tan-nya dari Tan-sim
yang berarti setia, dan Hong pohon Hong (trembesi)," pemuda itu
memperkenalkan diri.
"Ha, nama yang indah." kata In Lui tertawa. Cuma di negeri
Mongol tidak ada pohon Hong, mengapa kau pakai nama ini?"
"Dan kau, Hiante (adik), siapa namamu?" balas si pemuda.
"Aku She In, namaku hanya satu, Lui, yang berarti "kuncup
bunga," menerangkan In Lui.
Mendengar nama orang, pemuda itu pun tertawa.Pahala dan Murka - 7 12
"Hah, nama yang bagus juga, hanya sedikit berbau perempuan,
di negeri asing selamanya penuh timbunan salju, susah sekali
melihat kuncup bunga."
"Dari mana kautahu aku datang dari negeri asing?" tanya In Lui.
"Sederhana saja," ujar si pemuda, "begitu kaucicipi arakku
segera kaukenal asal-usul arakku, itu kan sama halnya
pemberitahuanmu padaku asal-usul kedatanganmu?"
Betul juga In Lui ingat tadi ia pernah mengatakan demikian,
tanpa tertahan ia ketawa geli. Tetapi kalau ia selami lebih mendalam
perkataan pemuda sastrawan ini, agaknya apa yang diketahuinya
tidak terbatas melulu ini saja, karenanya ia merasa kurang tentram
pula.
Begitulah kemudian mereka lantas menempuh perjalanan
bersama. Thio Tan-hong banyak bicara dengan penuh humor,
pengetahuannya ternyata sangat luas, baik ilmu falak, maupun ilmu
bumi, lebih-lebih ilmu sastra dan seni budaya, juga dalam hal ilmu
silat, ternyata tiada sesuatu yang tidak diketahuinya. Keruan In Lui
menjadi ketarik, ia dengarkan apa yang dibicarakan orang, hingga
lambaut-laun ia lupa dirinya harus berjaga supaya tidak kentara
asal-usul sendiri.
Mereka berjalan terus, tanpa terasa hari pun sudah magrib.
"Di depan sana ada sebuah kota kecil, marilah kita bermalam di
sana," ajak Tan-hong sembari menuding dengan cambuknya.
Segera pula mereka melarikan kuda dengan repat, dalam sekejap
saja mereka sudah sampai di kota itu dan mendapatkan sebuah
hotel.
"Sediakan untuk kami sebuah kamar besar sebelah selatan,"
segera Tan-hong pesan kamar,Pahala dan Murka - 7 13
"Kami minta dua kamar di selatan," demikian cepat In Lui
menyambung ucapan kawannya.
Keruan si kasir hotel menjadi bingung.
"Sebenarnya minta satu atau dua kamar?"
tanyanya dengan garuk-garuk kepala.
"Dua, dua buah!" sahut In Lui cepat.
Tetapi si kasir hotel masih sangsi-sangsi, ia pandang si pemuda
sastrawan.
"Baiklah, dua kamar pun boleh," kata Tan-hong kemudian
dengan tersenyum.
"Dan orangnya hanya kalian berdua saja?" tanya kasir hotel.
"Ya, memangnya hanya kami berdua," sahut Tan Hong.
Tentu saja kasir hotel itu tidak habis mengerti kenapa dua orang
perlu dua kamar, akan tetapi lebih banyak kamar yang disewa
berarti pendapatan bertambah dan menguntungkan baginya,
dengan sendirinya ia tidak banyak tanya lagi, dengan senang ia
antar In Lui dan Tan-hong memeriksa kamar yang dipesan.
"Hiante," kata Tan-hong dengan tersenyum sesudah mereka
mendapatkan kamar masing-masing, "bukannya aku pelit akan
beberapa tahil perak, tetapi kita berdua bukankah lebih baik kalau
tinggal sekamar kan bisa bicara lebih asyik? Kenapa harus pesan
dua?"
"Ya, agaknya kakak belum tahu, selama aku pantang tidur
sekamar dengan orang," sahut In Lui.
"Haha, pantas, makanya di Hek-sek-ceng kau tidak mau tidur
bersama Cio-siocia!" ujar Tan-hong dengan gelak tertawa.Pahala dan Murka - 7 14
Muka In Lui menjadi merah jengah lagi, lekas ia selingi kata-kata
lain untuk mengalihkan seloroh orang. Namun pemuda sastrawan
ini pun tidak banyak tanya lagi, sehabis bersantap malam, mereka
lantas masuk tidur ke kamar sendiri-sendiri.
Dalam hati In Lui merasa tidak aman, maka ia palang pintunya
dan tutup rapat jendelanya, ia tidur tanpa buka pakaian. Bila
teringat akan gerak-gerik si pemuda sastrawan itu ia semakin tak
tentram dan tak berani pejamkan mata.
Dalam pada itu ia dengar di luar kentongan sudah ditabuh tanda
tengah malam, dalam hotel ini sunyi senyap, lambat-laun pikiran
yang tegang mengendur, diam-diam In Lui tertawai diri sendiri,
"Meski pemuda sastrawan ini berlaku sangat bebas, namun
kelihatanya bukan kaum manusia yang rendah."
In Lui sudah terlalu letih, sudah dua malam ia tidak tidur
nyenyak, kini setelah perasaannya rada lega, seketika ia terpulas.
Entah sudah berapa lama ia tidur, dalam keadaan samar-samar
ia seperti melihat pemuda sastrawan ini mendekati ranjangnya,
pemuda ini memandang padanya sambil tersenyum, tanpa pikir In
Lut menusuk dengan pedangnya, pemuda itu berteriak sekali,
badanpun berlumuran darah.
Dalam kagetnya In Lui menjerit dan terjaga dari tidurnya, segera
pula terdengar olehnya suara "biang" yang keras di luar jendela
dibarengi dengan seruan Thio Tan-hong, "Hiante, lekas kemari!"
In Lui kucek-kucek matanya yang masih sepat, ia dengar suara
seruan Tan-hong itu penuh rasa terkejut, ia menjadi sangsi apakah
dirinya bukan dalam mimpi, akan tetapi segera suara teriakan Tanhong terdengar lagi, disusul pula suara ringkik kuda yang seram.
Dengan sekali loncat segera In Lui berbangkit dari
pembaringannya, memangnya ia tidur tanpa buka baju, maka tidakPahala dan Murka - 7 15
banyak buang waktu ia lantas buka pintu kamar terus keluar, di
sana terlihat Tan-hong sudah menantinya di atas atap rumah.
"Kuda mestika kita dicuri orang, mari lekas
kejar, lekas!" pemuda itu berseru sambil menggapai padanya.
Perlu diketahui bahwa kuda Thio Tan-hong, "Ciau-ya-sai-cu-ma"
dan kuda merah In Lui "Hong-cang-ma" yang biasa dipakai di
medan perang, semuanya adalah kuda terkenal yang sudah banyak
berpengalaman dalam peperangan, kalau hanya orang biasa saja
sekali-sekali tidak nanti berani mendekati binatang itu, lebih-lebih
kuda putih Tan-hong itu, wataknya keras dan tenaganya besar,
kecuali majikan sendiri, siapa saja tiada yang bisa memerintahnya.
Oleh sebab itulah Tan-hong berani taruh semua harta mestikanya
di atas badan kudanya tanpa kuatir sesuatu.
Sama sekali tidak terduga olehnya bahwa kedua kuda pusaka
mereka ini ternyata bisa dicuri orang juga, maka dapat dibayangkan
pencuri kudanya kalau bukan maling terpandai dan licin, tentu
adalah orang yang berilmu silat maha tinggi.
Dalam keadaan demikian, sungguh pun ilmu silat Thio Tan-hong
sendiri sangat tinggi dan nyalinya besar pula, tidak urung ia rada
gugup dan agak tegang juga.
"Apa masih bisa menyusul mereka?" tanya In Lui begitu
melompat keatas rumah.
"Kuda kita, tidak gampang dilarikan begitu saja oleh pencurinya,
kita pasti dapat menyusul mereka," sahut Tari-hong,
Habis ini ia merogoh keluar sepotong uang perak terus
dilemparkan ke dalam hotel sebagai pembayaran sewa kamar. Saat
itulah pengurus hotel baru terjaga hingga keadaan kacau-balau.Pahala dan Murka - 7 16
"Itu uang sewa kamar ada di lantai," seru Thio Tan-hong pula,
berbareng ia melayang pergi sejauh beberapa tombak.
Dengan kencang In Lui susul di belakang pemuda ini, mereka
mengikuti suara ringkiknya kuda yang terdengar di depan, dalam
sekejap saja tanpa terasa mereka sudah mcngudak sampai di luar
kota, di bawah sinar bulan yang remang-remang mereka lihat kuda
merah berada di depan dan kuda putih di belakang, kedua binatang
ini sedang berjingkrak dan meringkik, rupanya mereka tidak mau
melangkah dan meronta-ronta buat melepaskan diri dari kekangan
pencurinya.
Di bawah sinar bulan yang remang dan sinar bintang yang jarang
masih tertampak cukup jelas, kedua pencuri kuda itu semuanya
berpakaian biru tua pakai kedok penutup muka pula, tangan
mereka memegang dupa yang menyala dan meletikkan lelatu api
hingga menyolok sekali di waktu malam, api dupa itu terus menerus
diselomotkan kc badan kuda, karena kesakitan, binatang
tunggangan itu berjingkrak dan meronta buat melepaskan diri,
namun kaki kedua pencuri kuda mengempit kencang hingga kuda
tak mampu umbar kebuasannya, dalam keadaan terpaksa dan
kesakitan karena selomotan api dupa, kedua ekor kuda itu lari ke
depan secepat terbang. Tan-hong dan In Lui sudah mengeluarkan
kepandaian lari cepat dengan ilmu entengi tubuh dan tetap takbisa
menyusulnya.
Ketika mendengar suara ringkik kuda mereka yang
mengharukan seakan-akan minta tolong, hati si pemuda dan In Lui
menjadi pedih sekali bagaikan disayat.
Sementara itu kuda Ciau-ya-sai-cu-ma juga mendengar suara
majikannya lagi menyusul di belakang, ia meronta semakin hebat,
karena itu pencuri kudanya lantas menyelomoti binatang ini dengan
api dupanya.Pahala dan Murka - 7 17
Thio Tan-hong menjadi gusar, ia meraung sekali, menyusul ia
melesat maju sejauh beberapa tombak, ia ayun sebelah tangannya,
tertampaklah sinar putih berbintik-bintik berhamburan ke depan
mengarah si pencuri kuda.
Namun kawanan maling kuda ini seperti tumbuh mata di
belakang kepala, begitu senjata rahasia menyambar dekat,
mendadak mereka menjungkir menyusup ke bawah perut kuda.
Serangan Tan-hong ini hanya diarahkan pada orangnya dan tidak
pada kudanya, ia terlalu sayang atas kudanya sendiri, sebab itulah
beberapa puluh senjata rahasia jarumnya mengenai tempat kosong
semua.
Karena sakit diselomot api dupa, kedua kuda bagus itu masih
terus berlari dan akhirnya naik ke atas suatu bukit, sudah tentu Tanhong dan In Lui tidak putus asa, mereka mengudak terlebih
kencang.
Pada saat itu juga, tiba tiba terdengar kedua maling kuda
bergelak tertawa, suaranya nyaring merdu, rasanya seperti suara
kaum wanita. Keruan In Lui tercengang. Sementara itu diantara
pepohonan di atas bukit itu tertampak ada sinar api yang berkelapkelip dan bergerak, sebentar menyala dan lain saat menghilang
padam, di atas bukit itu ternyata penuh kuburan, suasana sangat
menyeramkan. Sampai di sini, tanpa terasa In Lui mengkirik, bulu
roma sama berdiri.
Sebaliknya pada waktu itu juga tiba-tiba Tan-hong tertawa
terbahak-bahak. "Haha, mana ada wanita cantik mau jadi maling
dan malam-malam bertetangga dengan setan? Ayo kembalikan
kudaku, aku tidak sudi bergebrak dengan kaum wanita."
Habis ini bersama In Lui mereka memburu ke atas bukit.Pahala dan Murka - 7 18
"Nyali pencuri barang pusaka ini cukup besar juga!" tiba-tiba
terdengar suara perkataan seorang dengan suara halus.
Waktu In Lui mengawasi, sekonyong-konyong tertampak kedua
kuda mereka berjingkrak dengan kedua kaki depan terangkat tinggi
ke atas, yang satu depan dan yang lain belakang, kedua binatang ini
berdiri berbaris di atas bukit itu, tapi tidak meringkik lagi, pula tidak
bergerak, karena itu tampaknya menjadi lebih aneh dan luar biasa
di tengah malam remang. Saking kagetnya In Lui sampai menjerit.
"Hah, kiranya kalian ini sengaja mengacau!" terdengar Tan-hong
menjengek dengan tertawa dingin.
Setelah In Lui menenangkan diri dan menegasi lagi, maka
tertampaklah di atas bukit berderet-deret berdiri pula empat lelaki,
Pahala Dan Murka Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
masing-masing mengangkat sebelah kaki dengan gaya seperti
hendak turun dari tangga loteng, sikap mereka kaku, tidak
bergerak, mirip patung.
Keempat lelaki ini ternyata bukan lain adalah keempat saudagar
emas-intan dan harta mestika yang melakukan perdagangan
dengan Cio Eng itu, cara mereka berdiri sekarang ini persis seperti
malam itu setelah mereka tertutuk oleh Thio Tan-hong di tangga
loteng.
In Lui merasa lega demi mengenali orang. Ia tahu di kalangan
kangouw terdapat semacam maling kuda yang pandai, meski kuda
yang menjadi sasarannya tengah berlari kesetanan, namun
mendadak maling kuda ini bisa menutuk jalan darah sesuatu tempat
di tubuh kuda hingga seketika tak bisa berkutik lagi laksana ditutuk
dengan ilmu Tiam-hiat.
Agaknya keempat saudagar besar ini semalam mengalami
kekalahan, maka malam ini mereka sengaja mencari balas terhadap
kedua kuda ini. Meski sikap mereka yang kaku ini tampak seram,Pahala dan Murka - 7 19
namun In Lui tahu mereka bukan setan iblis, maka ia tidak sekaget
tadi lagi.
''Semalam telah kulepaskan tutukan kalian, kini mengapa kalian
berbalik mencuri binatang tungganganku?" segera In Lui tampil ke
depan dan menegur keempat lelaki itu.
Akan tetapi yang ditegur itu ternyata tidak menjawab, mereka
masih tetap kaku dan bungkam.
"Apa para tamu sudah datang? Bawalah mereka masuk ke
kuburan!" tiba-tiba terdengar suara perkataan orang. Suara ini
aneh sekali kedengarannya, seperti keluar dari bawah tanah, lagu
suaranya berat, seperti sangat jauh, tetapi juga seperti sangat dekat.
In Lui terkejut, ia kenal ilmu kepandaian "thoan-im-jip-pit" atau
mengirim gelombang sjara masuk ke ruangan yang rapat, kalau
bukan orang yang sudah tinggi sekali lwekangnya sukar sekali
untuk menyakinkan ilmu kepandaian semacam ini. Ia menyadari
musuh yang harus dihadapinya malam ini meski bukan sebangsa
setan atau jin segala, tetapi agaknya akan lebih menakutkan
daridada bangsa setan iblis.
Sesudah berkumandang suara perkataan tadi, mendadak dari
bawah batu karang yang berserakan tak teratur itu muncul dua
orang perempuan berpakaian biru tua mulus, mereka memakai
kudung yang membungkus rapat muka, yang tertampak hanya dua
pasang mata-bola mereka yang mengerling jernih bersinar, biji
mata mereka berwarna biru, jelas sekali mereka bukan wanita
bangsa Han.
"Silakan masuk!" kedua wanita ini berkata sambil memberi
hormat dengan setengah berlutut.
"Lepaskan dulu kuda kami," sahut Tan-hong.Pahala dan Murka - 7 20
"Jangan kuatir, majikan kami tentu akan mengaturnya sendiri,
harap kalian jangan gusarf sebab kalau tidak demikian, tidak nanti
bisa memancing kalian kemari," tutur kedua wanita itu.
Mendengar laju suara mereka yang halui dan cukup sopan,
segera pula In Lui ikut bicara "Siapakah tuanmu?".
Perempuan yang di depan tiba-tiba menoleh sambil tertawa
"O..ya, aku lupa akan peraturan yang berlaku di kalangan lok-limdi
Tiongkok sini," katanya. "Ji-so (kakak ipar) berikan kartu undangan
kepada mereka-"
Keruan perintah ini, wanita di belakangnya lantas menyodorkan
dua keping tulang tengkorak, melihat barang tanda pengenal ini,
seketika air muka Thio Tan-hong berubah.
In Lui tahu juga perubahan wajah kawannya ini, tetapi ia sendiri
sengaja berlagak tenang.
"Hebat juga kartu undangan ini," demikian katanya pura-pura
tidak tahu.
Kedua perempuan itu tersenyum, lalu mereka menunjuk jalan di
depan dan dukuti In Lui dan Thio Tan-hong.
"Lekas kaularikan diri, tuan mereka adalah Oh-pek Mako!" tibatiba Tan-hong mengisiki In Lui.
"Oh-pek Mako?" In Lui heran mendengar nama ini dan
mengulangi kata-kata itu.
Segera teringat olehnya nama ini pernah diceritakan oleh Ciu
San-bin, bahwa mereka adalah dua makhluk aneh yang paling
ditakuti di kalangan kangouw sekarang ini. Konon ayah mereka
asalnya adalah saudagar bangsa Hindu yang berdagang ke Tibet,
dari lawatannya saudagar Hindu ini telah mengambil gadis Tibet
sebagai istri dan dari perkawinan ini dilahirkan dua anak laki-lakiPahala dan Murka - 7 21
kembar yang berwajah aneh sekali, yakni seorang bermuka hitam
dau yang lain bermuka putih.
Dalam bahasa Hindu kuno "mako" berarti jin atau iblis, oleh
sebab itu sanak-kadang mereka lantas menamakan anak kembar ini
sebagai "mako", si kakak "Oh-mako" atau iblis hitam dan si adik
"Pek-mako" atau iblis putih.
Ayah Mako hitam-putih ini memang ahli silat ternama dari
negeri Hindu, karenanya kedua Mako hitam-putih ini diwarisi ilmu
silat ala Hindu, mereka belajar pula bermacam ragam ilmu
perkelahian cara Tibet dan Mongol, karena itu juga maka ilmu silat
mereka sangat luas dan aneh.
Sesudah kedua Mako ini berumur belasan tahun, mereka
meninggalkan Tibet dan mengembara kc seluruh daerah Tiongkok,
kemudian mereka beristrikan gadis hartawan bangsa Persi yang
menetap di Kwi-ciu (Kanton), sebab itulah maka sekeluarga mereka
paham dalam beberapa macam bahasa, baik bahasa Hindu,
Tionghoa, Persi, maupun Tibet dan juga bahasa Mongol, semuanya
mereka dapat bicara dengan lancar.
Segenap anggota keluarga mereka tidak mempunyai tempat
tinggal yang tetap, di berbagai tempat terdapat rumah mereka,
mereka pun selalu membawa barang-barang mestika dan harta
pusaka yang tak ternilai harganya, jika ada begal besar atau bandit
Api Di Bukit Menoreh 2 Anak Bajang Menggiring Angin Karya Sindhunata Ledakan Dendam 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama