Ceritasilat Novel Online

Pahala Dan Murka 7

Pahala Dan Murka Karya Liang Ie Shen Bagian 7


berangkat ke sanp, biar kau belajar kenal dengan Cin-sam-kai Pit
To-hoan yang termashur itu!"
Akan terapi hati In Lui jadi terguncang oleh penuturun itu. ia
masih ragu.
"Apa kau sendiri membaca isi suratnya?" tanyanya kemudian.
"Tidak kaudengar tadi, ayah tidak mau memberitahukan padaku,
sahut Cui-hong. "Jika aku bisa membaca surat ini, sejak tadi aku
sudah mengerti duduknya perkara! Tetapi kini tidak usah membaca
surat ini akupun tahu bahwa apa yang ditulis dengan sendirinya
meminta bantuan Cin-sam-kai untuk membantumu."
Akan tetapi In Lui masih sangsi, pikirnya, Cio Eng sama sekali
tidak tahu bahwa Tan-hong adalah musuhku, sebaliknya dengan
mata-kupingku sendiri kulihat Cio Eng begitu menghormat pada
Thio Tan-liong seperti kaum hamba pada majikannya, mana bisa
dia menulis surat kepada Pit To-hoan untuk minta dia membunuh
Tan-hong? Tetapi bagaimana bunyi surat ini? Inilah yang sukar
diraba!
Di lain pihak Cui-hong menjadi heran melihat In Lui termenungmenung.
"Apa yang kaupikirkan, In-siangkong? tanyanya. "Ayah sudah
sebarkan Lok-lim-ci untukmu, pula sudah undang orang buat
balaskan sakit hatimu, masa kau masih tidak senang?"
"Sudah tentu senang sekali!" sahut In Lui dengan tertawa ewa.
"Cio-kohnio, apa ayahmu dan Cin-sam-kai Pit To-hoan itu
bersahabat karib?"
"Tidak, sebaliknya dia adalah lawan ayah!" sahut Cui-hong. "Dia
kasar dan sewenang-wenang, belum pernah kulihat orang lain yang
berani menghina ayahku seperti dia!"Pahala dan Murka - 10 30
Keterangan ini sungguh sama sekali di luar dugaan orang.
"Siapa bilang Pit To-hoan kasar dan tidak semena-mena?" teriak
Tiau-im.
"He, mengapa dia berani menghina ayahmu?" In Lui pun
bertanya.
"Jika begitu, kenapa ayahmu menulis surat ini padanya?" Sanbin ikut tanya.
Begitulah beramai-ramai ketiga orang itu tanya berbareng, tetapi
Cui-hong hanya tersenyum saja.
"Betul dia hina ayahku, tetapi justru ayahku sangat mengagumi
dia!" sahutnya kemudian "Katanya kenapa dia hina ayahku? Kalau
diceritakan kejadian itu sudah belasan tahun yang lalu!. Tatkala itu
aku berusia tujuh-delapan tahun, meski aku masih kecil dan tidak
tahu apa-apa, tetapi kejadian pada waktu itu aku masih ingat
dengan jelas. Pada suatu hari, di rumahku telah kedatangan seorang
pengemis bengis, diberi beras dia tak mau, di kasih uang juga
menolak, dia bilang ayahku harus membeli suatu barang mestika
padanya. Siapa pun tahu bahwa ayahku melakukan perdagangan
gelap batu permata di kalangan liek-to, maka centing kami
menyangka pengemis ini sengaja datang buat memeras, ada di
antaranya hendak pukul padanya, tak terduga sedikitpun pengemis
itu tidak bergerak dan centing yang hendak menghantamnya tahutahu terpental sejauh beberapa tombak, kemudian baru kutahu
bahwa yang dia pergunakan adalah ilmu ?Ciam-ih-sip-pat tiap? yang
lihai.
"Hari itu ayahku sedang mengajarkan aku membaca dau
menulis, ketika centing melaporkan ada seorang pengemis jahat
dan tak dikenal asal-usulnya datang mengacau, seketika juga muka
ayahku berubah pucat sekali, ia memberi tanda dan berkata,Pahala dan Murka - 10 31
"Baiklah, silakan dia masuk, sesudah masuk, siapa saja tidak boleh
melangkah masuk ruangan dalam sini, meski aku dibinasakan dia,
kalian juga tidak boleh masuki"
"Habis itu ayah suruh aku sembunyi ke kamar tidur dan jangan
keluar. Mendengar kata ayah ini aku menjadi ketakutan, tetapi aku
memang bandel, sesudah pengemis jahat itu masuk, aku
bersembunyi di pojok luar untuk mengintip.
"Pengemis jahat itu rupanya aneh luar biasa, rambutnya kusut
tak teratur, mukanya hitam hangus seperti pantat kuali, dengan
memegangi pentung pengemisnya dia mirip sekali seperti malaikat
maut yang bengis. Begitu dia masuk, ia lanias duduk di hadapan
ayahku, kedua mata yang aneh bersinar tajam memandangi ayahku,
sampai lama sekali mereka berdua tidak berbicara.
"Akhirnya terdengar ayahku menghela napas, ia masuk ke kamar
untuk mengeluarkan barang-barang mestikanya dan ditebarkan di
hadapan pengemis itu sambil berkata padanya, 'Pit-ya, inilah semua
kekayaanku telah berada di sini.?
"Akan tetapi pengemis itu tiba-tiba tertawa dingin, sekaligus ia
sapu batu mestika itu ke lantai dan menjawab, ?Hm, Hong-thian-lui,
masa kau masih pura-puta bodoh di hadapanku? Keluargaku turun
temurun sudah mencari sekian lamanya, sesudah beberapa puluh
tahun baru sekarang dapat kuselidiki betul-betul bahwa barang itu
berada padamu di sini, apa kau masih tidak mau
mengeluarkannya??
"Sahut ayahku,? Barang itu pun bukan milikmu, kenapa harus
diberikan padamu?? ? Karena jawaban ini, pengemis itu tertawa
dingin lagi. ?Hm, bukan milikku, lantas apa milikmu? Apa kau tahu
asal-usulnya? Berani kau bilang aku bukan pemiliknya?? demikian
debat pengemis itu.Pahala dan Murka - 10 32
"Belum pernah kulihat ada orang berani bicara kasar terhadap
ayahku seperti pengemis itu, sebaliknya ayahku malah bicara
kepadanya seperti orang memohon, kata ayah, ?Pusaka ini sekalipun
ada sangkut-pautnya denganmu, tetapi tak dapat juga dibilang
milikmu. Aku mendapat tugas dari orang lain, kekayaan boleh
hilang, tetapi barang ini harap Pit-ya suka lepas tangan saja!?
"Pengemis itu jadi tak sabar, ia terus berdiri, ?Hm, kekayaan,
kekayaan! Siapa ingin kekayaanmu? Barang itu mau kauberikan
atau tidak?? Jawab ayahku, ?Tidak!? Maka terdengar pula pengemis
itu tertawa dingin, segera ia putar pentungnya dengan cepat hingga
berupakan satu lingkaran, lalu ia berkata pula, ?Bagus. kalau sudah
terang tak mau kauserahkan, terpaksa aku harus belajar kenal saja
dengan kau punya Liap-in-kiam-hoat yang tiada bandingannya di
kolong langit ini!?
"Jika begitu, maafkan saja aku tidak sopan lagi," sahut ayah.
Habis itu iapun lolos pedang dan secara sengit menempur si
pengemis.
"Tatkala itu aku belum belajar Kiam hoat, kulihat ayah seperti
banteng terluka dan merangsak si pengemis, sinar pedangnya
menyambar cepat, jelas sekali ia melayani orang dengan mengadu
jiwa. Dengan senjata pentung pengemis itu segera terkurung di
bawah sinar pedangnya, namun aneh juga, si jembel ini masih bisa
bergerak leluasa, pentungnya diputar bagaikan ular melingkarlingkar kian kemari begitu capat gerak sanjata mereka hingga
pandanganku menjadi kabur dan kepala pusing.
"Sesudah agak lama mereka bertarung dengan sengit, namun
masih tetap belum tahu mana yang menang dan kalah. Mendadak
terdengar si pengemis membentak, ?Kau mau kasih atau tidak??
berbareng lantas terdengar pula suara ?bluk?, pentungnya telak kena
gebuk di pundak ayahku. ?Tidak kasih?, sahut ayahku, di luarPahala dan Murka - 10 33
perhitungan lawan kontan ia pun membalas dengan sekali tusukan
dan melukai pundak si pengemis. ?Bagus!? teriak pengemis itu,
pentungnya berputar, segera mereka saling labrak lebih bebat lagi.
"Selang tak lama, kembali terdengar suara ?plak" yang keras,
ketika pentung pengemis diayun, ayahku kena diserampang hingga
terjungkal jatuh, tetapi merintih sedikitpun tidak ayahku, begitu
merangkak bangun segera merangsak maju pula. Sekejap
kemudian, ia pun balas menusuk sekali lagi, si pengemis ini pun
serupa ayahku, bersuara sedikitpun tidak, ia bergebrak lagi terlebih
sengit.
"Sampai lama, di atas lantai sudah penuh noda darah, ayah
sudah berulang kali kena digebuk hingga jatuh bangun, batok
kepalanyapun lecet kena pentung, sungguhpun demikian, pengemis
itu belum menang juga, bukan saja rambutnya yang kusut seperti
rumput kering itu terpapas menjadi pendek oleh sinar pedang?
bahkan di atas tubuhnya sudah bertambah beberapa luka.
"Sampai akhirnya kedua orang sama otot lemas dan tenaga
habis, sesudah pengemis tua itu menggebuk sekali lagi pada ayahku
dengan kuat, begitu pula ayah menusuknya sekali, maka robohlah
keduanya di tanah dan tak sanggup merangkak bangun lagi. Aku
ketakutan sekali, semula tak berani aku bersuara, tapi kini aku
menangis, dalam pada itu ayah telah berguling-guling beberapa tali
di lantai, lalu sekuat tenaga ia berteriak, 'Baiklah, Pit-ya, barang itu
boleh kau ambil, aku mengaku kalah!"
"Ia berkata dengan suara terputus dan mengerikan, siapa duga
pengemis itu ternyata berubah pikiran tiba-tiba, katanya, ?Tidak,
tau tidak kalah. Kau setia pada tugasmu, sungguh seorang jantan
yang jarang kulihat selama hidup ini, pusaka ini biarlah sementara
boleh kausimpan di sini, aku takkan main paksa lagi. SelanjutnyaPahala dan Murka - 10 34
bila ketemukan kesukaran apa-apa dan perlu tukar barang pusaka
itu, asal kau buka mulut, pasti akan kulakukan sepenuh tenagaku.!"
"Habis berkata ia lantas merangkak bangun, ia balut lukanya,
pentung pengemisnya digunakan sebagai tongkat, dia berjalan pergi
dengan sempoyongan, sebaliknya ayah tak sanggup merangkak
bangun lagi, aku keluar dan berteriak baru ada kaum pelayan berani
masuk untuk menggotongnya ke tempat tidur. Setelah dirawat
hingga setengah bulan baru luka ayah sembuh, baru bisa jalan
segera ayah datang ke loteng penyimpan pusaka itu, di sana dengan
menghadapi lukisan itu ia menangis tersedu sendirian. Setiap hari
aku selalu berada disampingnya, hari itu diam-diam aku pun
menguntit ke sana, maka semua dapat kulihat. Waktu itu usiaku
masih kecil, maka tak berani kutanya, sesudah besar kini, kutanya
dia, ia pun tak mau menerangkan."
Mendengar Cui-hong menyebut lukisan, hati In Lui tergerak.
"Lukisan apa?" tanyanya cepat.
"Ialah lukisan yang kaulihat di atas loteng pada hari pernikahan
kita itu," sahut Cui-hong.
In Lui bersuara heran dan tak berkata lagi.
"Belakangan ayah sering bilang padaku bahwa si pengemis
bengis itu bukan orang jahat melainkan seorang pendekar aneh,"
tutur Cui-hong lebih lanjut "dari lagu kata ayah, agaknya ia sangat
kagum kepada si jembel itu. Tetapi justru aku tidak percaya bahwa
orang yang begitu kasar dan sembarang menghina ayahku itu,
kenapa bukan orang jahat?"
"Ayah melakukan perdagangan batu permata gelap di kalangan
hek-to, dengan sendirinya banyak bahaya yang dihadapinya, ada
beberapa kali ia mengalami kesulitan juga, dalam keadaan begitu ia
selalu bilang padaku mengenai pengemis bengis dahulu itu, ialahPahala dan Murka - 10 35
Cin-sam-kai Pit To-hoan, dia bilang bila urusan itu mendapat
bantuan dari Pit-ya, segalanya akan menjadi beres, meskipun
demikian ia hanya berkata di mulut saja, tetapi tak pernah
bersungguh minta bantuan padanya. Tetapi kini, In-siangkong, oleh
karena dirimu ayah sudi menulis surat padanya, ini dapat diduga
betapa dia sayang padamu daripada dirinya sendiri, malah jauh
lebih sayang daripadaku. Maka kini aku pun tak peduli lagi apakah
Pit To-hoan orang baik atau orang jahat, biar dia orang kosen atau
makhluk aneh asal dia mau ikut turun tangan membalaskan sakit
hatimu, aku akan senang dan puas, sekali-kali tidak perlu ingat lagi
pada kebusukan yang lama."
Dalam pada itu In Lui ternyata sedang berpikir, perkataan Cuihong seperti tidak didengarnya.
"Pit To-hoan ini bila kau bilang dia jahat memang tidak kepalang
jahatnya, tapi kalau kau bilang dia baik, dia juga sangat baik,"
demikian Tiau-im Hwesio menyambung cerita orang. "Dua puluh
tahun yang lalu aku pernah bertemu dengan dia, tatkala itu dia
serupa diriku, sama-sama menjadi Hwesio, dia belum piara rambut
kembali, juga belum pernah menjadi pengemis."
"Waktu itu aku baru tamat belajar dan mulai mengembara di
kangouw, aku adalah seorang Hwesio kelilingan. Tada suatu hari
aku sampai di Hongyang, daerah Soatang, tempat ini adalah
kampung halaman Thayco Hongte (kaisar pertama) Cu Goan-ciang,
terkenal sebagai daerah minus. Meski Hongyang terkenal sebagai
kampung halaman maha raja pertama, tetapi sedikitpun tidak
memperoleh keberuntungan, bahkan banyak penetapan pajak dan
eukai oleh kaisar yang sangat berat dan membikin rakyat hampir
tak bisa bernapas, ditambah pula tahun-tahun paceklik yang sangat
membikin sengsara, terpaksa penduduknya mengungsi mencari
hidup sendiri-sendiri.Pahala dan Murka - 10 36
"Tahun itu juga tahun paceklik, rumah penduduk di Hongyang
dari sepuluh ada sembilan yang kosong ditinggal pergi penghuninya
mengungsi, bencana alam itu sangat berat sekali. Sungguhpun
demikian, ternyata masih ada satu tempat mewah dan mentereng
yang hidup serba royal luar biasa, kaukira tempat apakah ini, yaitu
setuah biara!"
"Biara, bukankah biara tempat tinggal Hwesio?" tanya In Lui
heran.
"Betul, memang biara itu tempat kediaman Hwesio," kata Tiauim. "Tetapi Hwesio dalam biara itu tidak sama seperti Hwesio
macamku ini, mereka adalah Hwesio besar yang beruang dan
berpengaruh! Tidak perlu takut untuk bicara di sini, tentu kautahu
bahwa kaisar pertama pahala kita sekarang ini, Cu Goan-ciang,
pada masa mudanya pernah cukur rambut dan menjadi Hwesio,
dan dia justru menjadi Hwesio di biara itu. Sebenarnya itu hanya
biara kecil saja, tetapi setelah Cu Goan-ciang menjadi Hongte, biara
itu pun lantas dibangun secara besar-besaran hingga terkenal
sebagai sebuah biara besar di seluruh negeri. Oleh karena Hongte
pernah menjadi Hwesio di dalamnya, maka biara itu dinamakan
Hong-kat-si.
"Jika lantaran itu Hwesio penghuni biara itu lantas sewenangwanang dan malang-melintang, itu tak perlu dibicarakan lagi, tetapi
mereka sudah tak patuh pada larangan agama, juga tidak taat pada
peraturan suci, bahkan pada masa rakyat tertimpa bencana alam
itu, ternyata mereka telah melakukan pembelian secara besarbesaran atas anak gadis kaum pengungsi dan dipiara dalam biara
untuk kesenangan cabul mereka. Setiba di daerah Hongyang,
sepanjang jalan aku sudah mendengar percakapan para pengungsi
yang ramai membicarakan hasil penjualan anak-anak perempuan
mereka kepada pihak biara, ada yang bilang dapat lima ratus uang,Pahala dan Murka - 10 37
ada lagi yang bilang hanya dibayar tiga ratus, padahal baik lima
ratus sekalipun tidak cukup untuk ongkos hidup selama sepuluh
hari. Bahkan saking sengsara karena sudah tak sanggup memberi
makan pada anak-bini, ada pula yang minta-minta pihak biara mau
menerima anak perempuannya dengan cuma-cuma, gratis.
Mendengar cerita itu, seketika hatiku panas seperti dibakar, aku
tidak percaya bahwa di dunia ini ada biara sedemikian ini, Hwesio
begini, sekalipun Hwesio sontoloyo seperti aku pun merasa malu
oleh perbuatan mereka.
"Waktu itu umurku baru tiga puluhan, watakku jauh lebih keras
daripada sekarang, maka aku pun tak peduli Hong-kat-si apa segala,
dengan tongkatku segera aku masuk ke biara itu dan mencaci-maki
di depan ketua pengurusnya. Siapa duga hwesio di situ semua
pandai ilmu silat, lebih-lebih ketua pengurusnya adalah jagoan,
sekaligus seluruh hwesio dalam biara membanjir keluar terus


Pahala Dan Murka Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengeroyokku, aku hendak ditangkap hidup-hidup untuk
kemudian dibinasakan, sudah tentu aku tak menyerah mentahmentah, sesudah bertempur setengah hari dengan mereka, ada
beberapa di antaranya telah kukemplang mampus, tetapi apa pun
juga seorang diri sukar melawan jumlah banyak, akhirnya aku
kehabisan tenaga dan sangat payah, tampaknya dengan segera aku
akan mati dicincang mereka."
"Selagi aku kerepotan dan terancam bahaya tiba-tiba di luar
kedatangan seorang Hwesio pengembara, terdengar ia berseru, 'Ha,
bagus, di siang hari bolong dan di jaman damai ini, kalian kaum
penyakit agama Budha ini berani bikin celaka orang di sini?'
"Sambil berkata segera pula ia geraki tangannya dan melakukan
pembunuhan besar-besaran hingga mayat bergelimpangan dan
darah membasahi lantai, sampai akhirnya aku sendiri menjadi takPahala dan Murka - 10 38
tega, maka aku berkata padanya, 'Sudahlah, suheng, ampunilah
mereka!?
"Tetapi Hwesio itu menjawab, "Hwesio dari biara lain boleh
diampuni, tetapi biara ini tidak, Hwesio di biara ini sudah terlalu
kubenci! Jika kau merasa kasihan, biar aku sendiri yang turun
tangan." Habis berkata, sekali bacok seorang roboh pula, ternyata
tiada satu pun yang ditinggalkan hidup.
Di dalam biara Hong-kat-si itu tergantung sebuah lukisan yang
besarnya lebih tinggi dari manusia biasa, yakni gambar Beng-thayco Cu Goan-ciang, sungguh sangat menggelikan, di dalam biara
dihias potret Hongte, padahal Hongte dalam lukisan itu bukan
Hwesio yang gundul. Lalu Heesio pengembara tadi bergelak tertawa
di depan gambar Cu Goan-ciang itu, mendadak ia meludahi lukisan
itu dengan riaknya yang kental.
"Perbuatan ini adalah perbuatan tidak hormat yang tidak bisa
diampuni dan sangat mengejutkan orang, meski aku sangat benci
juga kepada pembesar negeri yang suka menindas dan menghisap
darah rakyat, tapi demi melihat kelakuannya yang begitu menghina
Hongte, dalam hatiku terkejut juga serta kuatir. Akan tetapi Hwesio
itu lantas berkata padaku, 'Jangan takut, sebelum Cu Goan-ciang
jadi Hongte, tidak lebih dia pun seperti kita, dia takut orang
menyebut dia pernah menjadi Hwesio tetapi aku malah benci
karena dia telah mencemarkan nama baik Hwesio. Kau berani
membunuh padri-padri cabul ini, kenapa kau tak berani membenci
Hongte keparat yang pernah menjadi Hwesio dan melindungi padri
padri cabul ini?'. Mungkin saking gemasnya, ia terus jambret
lukisan itu dari dinding terus dirobek-robek hingga hancur.
"Aku merasa seperti mendengarkan khotbah saja, aku tidak
kuatir lagi melainkan berkeplok tertawa senang, 'Bagus, sungguh
menyenangkan?, demikian kataku. Tetapi ia bilang lagi, ?BunuhPahala dan Murka - 10 39
orang memang senang, tetapi menolong orang sebaliknya agak
repot. Namun menjadi manusia janganlah mencari senang saja dan
takut susah."
"Dalam biara tersekap sekian banyak anak perempuan, orang tua
mereka sudah terpencar, ditambah lagi perjalanan kurang aman,
kalau mereka dilepaskan pergi begitu saja tentu akan sukar kembali
pada keluarga mereka, inilah suatu pekerjaan yang sulit."
"Maka Hwesio tadi lantas berkata lagi padaku, ?Menolong orang
hendaklah ditolong sampai tuntas, sepatutnya kita mencarikan
keluarga mereka. Memang tidak salah katanya, bunuh orang
memang gampang, tetapi menolong orang itulah yang sukar,
begitulah kira-kira makan tempo dua bulan baru kami selesai
mengirimkan perempuan itu kembali kepada keluarganya. Sedang
mengenai harta-benda biara Hong-kat-si itu dengan sendirinya
dibagikan pada kaum pengungsi, perbuatan ini adalah perbuatan
mulia untuk pertama kalinya yang kulakukan sejak aku turun
gunung, sungguh selama hidup ini takkan kulupakan."
(Bersambung Jilid ke 11)Pahala dan Murka - 11 0Pahala dan Murka - 11 1
PAHALA DAN MURKA
Oleh : gan k.l.
Jilid ke 11
ESUDAH berkumpul dengan Hvvesio itu lebih dari dua
bulan, watak kami dan cita-cita kami ternyata sangat
cocok, dalam hal ilmu lilat sesudah saling tukar pikiran
ternyata sembabat juga, maka kami lantas mengikat tali
persahabatan yang kekal Hwesio itu bukan lain adalah ?Cin-sam-kai?
Pit To-hoan sekarang ini, memangnya aku sudah rindu padanya,
sayang sejak perpisahan waktu itu, sampai sekarang belum pernah
bersua kembali."
Cerita ini didengarkan In Lui dengan penuh perhatian, Cerita
Tiau-im ini memang sangat menarik, tetapi Pit To-hoan yang
diceritakan itulah yang mencurigakan anak dara ini, waktu Tiau-im
bercerita tentang bagaimana Pil To-hoan meludahi potret Cu Coan
ciang tadi, ia sendiri jadi seperti melihat sungguh-sungguh sikap Pit
To-hoan pada waktu itu. Sebab apakah orang ini begitu benci pada
kaisar cakal-bakal dinasti Beng ini sungguh membikin orang tidak
habis mengerti. Mendadak In Lui teringat juga kepada Thio Tanhong, sikap pemuda ini juga penuh benci dan gemas bila menyebut
Cu Goan-ciang.
Teringat akan hal ini, seketika ia menjadi bingung hingga pikiran
semakin kusut.
"Tiau-im Taysu, kau bilang rindu padanya, maka sekali ini kau
pasti akan bertemu dengan dia," terdengar San-bin buka suara
dengan tertawa. "Seorang Pit To-hoan saja lebih dari cukup untuk
melayani bangsat cilik itu, apalagi kini ditambah dengan engkau
orang tua, meski dia menjelma menjadi tiga kepala enam tanganPahala dan Murka - 11 2
dan tumbuh sayap sekalipun sukar untuk kabur. Hahaha, Hiante,
dendammu pastiakan terbalas, di alam baka dapatlah Engkongmu
pejamkan mata dengan tenang."
Akan setapi In Lui hanya memandang ke depan dengan
terkesima dan tidak menjawab pertanyaan San-bin tadi, sampai
Tiau-im dan Cui-hong juga merasa heran.
Sementara itu hari sudah dekat lohor, mendadak Tiau-im
melompat bangun.
"Tinggal empat hari saja waktu yang dijanjiknn Pek-ma-suseng
itu, marilah kita berangkat sekarang," katanya.
Maka berturut-turut mereka berempat keluar dari istana bawah
tanah itu, waktu In Lui mendongak memandang udara, rasanya
seperti habis mimpi buruk saja.
Kuda putih Tiau-im Hwesio berlari paling cepat, menyusul di
belakangnya kuda merah In Lui, oleh karena itu sengaja Tiau-im
mengendorkan kudanya, ia jalan bergandeng dengan In Lui, Sanbin sengaja ditinggalkan jalan bersama Cui-hong di belakang,
walaupun rasa Cui-hong seribu kali tak senang, akan tetapi apa
daya, kudanya tak bisa menyusul kuda orang.
Pada sore harinya, sampailah mereka pada suatu kota kecil di
timur kabupaten Kin-koan, di sini mereka kesamplok dengan dua
rombongan orang, yakni rombongan Hwe-sian-tan Hek-cengcu dan
Na-cecu dari Him-ma-ce.
Tiau-im Hwesio dan Ciu San-bin sudah kenal mereka, maka ia
sudah saling menyapa dan bertanya, tahulah sama hendak menuju
ke pertemuan di rumah Cin-sam-kai Pit To-hoan. Maka rombongan
Tiau-im lantas bergabung dengan mereka dan memborong sebuah
penginapan yang paling besar. Tiau-im Hwesio minta tiga kamar
buat rombongannya, dia sendiri dan Ciu San-bin sekamar,Pahala dan Murka - 11 3
sebaliknya suruh Cui-hong dan In Lui masing-masing mengambil
satu kamar tersendiri, dibawah pandangan orang banyak, dengan
sendirinya Cui-hong tak berani menolak.
Malam itu In Lui gulang-guling tak bisa pulas, tiba tiba terdengar
pintu diketok pelahan.
"Siapa?" tanya In Lui.
"Aku!" ternyata suara sahutan lirih Cui-hong di luar.
Kuatir kalau gadis ini menerbitkan buah tertawaan orang
banyak, terpaksa In Lui bangun memakai baju dan ikat kepalanya,
habis itu baru ia buka pintu kamar. Maka tertampaklah Cui-hong
dengan air mata berlinang-linang segera menubruk ke
rangkulannya. Dengan pelahan In Lui memayangnya dan
didudukkan pada ranjangnya.
"Kenapakah kau?" tanyanya kemudian.
"In-siangkong," sahut Cui-hong dengan lirikan mata yang
menyesal dan gusar, "aku bukan orang yang tidak karuan, aku tak
tahan rasa gusar ini."
"Siapa yang bikin kau gusar?" tanya In Lui.
"Kau punya Susiok dan kau punya Giheng," kata Cui-heng,
"kenapa mereka selalu seperti sengaja hendak memisahkan kita,
hakikatnya mereka tidak menganggap aku sebagai isterimu. Apa
sebabnya mereka mencela aku tidak setimpal berjodoh denganmu
dan ingin memilihkan gadis lain bagimu?"
Saking geli In Lui jadi tertawa.
"Kenapa kaupikir sampai ke situ?" katanya. "Justru mereka
bermaksud baik."
Akan tetapi jawaban ini membikin Cui-hong tambah gemas.Pahala dan Murka - 11 4
"Bagus, kau pun membenarkan mereka," kata Cui-hong,
"mereka hendak pilihan gadis lain buat kau, itukah maksud baik"
Dalam hal apa aku melakukan sesuatu yang tak pantas sehingga kau
bermaksud menceraikan aku?"
Habis berkata, air matanya lantas berlinang-linang.
"Apa maksud ucapanmu ini? Makin omong makin jauh kau ini?"
sahut In Lui, agak repot juga dia oleh sikap gadis itu. "Bilakah aku
bilang hendak menceraikan kau?"
"Jika begitu, kenapa kau . . ."
Cui-hong hanya menyebut, "kau", berturut-turut, tapi malu dan
tak sanggup meneruskan.
Keruan In Lui serba salah, ia pikir pura-pura telah menjadi
sungguhan, lalu bagaimana baiknya sekarang."
"Sudahlah, coba dengarkan dulu, aku punya Giheng . . . ."
Baru ia berucap "Giheng" segera Cui-hong memotong dan
menyemprot, "Hm, kau punya Giheng, selalu kau sebut Giheng
segala, jika kau sebut lagi tentang Gihengmu, segera aku kembali
rumah untuk minta keadilan pada ayah buat putuskan siapa yang
benar dan salah. Hm, sebenarnya kau menikah dengan aku atau
kawin dengan Gihengmu? Hm, aku paling benci pada Gihengmu!"
Keruan semakin tak enak perasaan In Lui karena itu segera ia
hendak menerangkan duduk perkara yang sebenarnya kepada Cuihong.
Namun sebelum ia buka suara tiba-tiba di luar ada orang
berdehem disusul dengan suara Ciu San-bin yang sedang bertanya,
"Hiante, kau lagi bicara dengan siapa?"
Tentu saja In Lui seperti mendapatkan penolong, dengan segera
ia dorong pergi Cui-hong dan berkata. "Ciu-toako datang, lekas kauPahala dan Murka - 11 5
keluar, bersihkan air matamu, jangan dilihatnya hingga
ditertawakannya!"
Tetapi Cui hong menjadi gusar karena tambahan hal ini, tanpa
bicara lagi dia putar tubuh terus lari keluar, di luar dugaan ia
bertubrukan dengan Ciu San-bin yang sedang melangkah masuk,
saking gemasnya Cui-hong mendorong pemuda itu hingga hampir
jatuh terjungkal, ia berlari kembali ke kamarnya terus ambil selimut
dan menutup rapat kepalanya, ia menangis sendiri di dalam
selimut.
Sementara itu In Lui merasa sangat heran melihat malammalam Ciu San-bin datang mencarinya.
"Hianmoay," demikian ia dengar pemuda itu berkata padanya,
kita seperti keluarga sendiri saja, bila ada sesuatu tiada alangannya
kaubicara terus terang padaku. Adakah sesuatu soal yang perlu
dibereskan?"
"Ada, tidaklah kau lihat tingkah nona Cio padaku?" sahut In Lui
dengan tersenyum dengan hati terguncang juga oleh pertanyaan
orang yang tiba-tiba itu. "Dan itulah yang menjadi soalku yang
sukar dibereskan. Hal ini tidak dapat kuselesaikan, maka kuminta
bantuan Ciu-toako untuk menyelesaikan bagiku."
Karena ucapan ini, air muka San-bin rada berubah.
"Sebenarnya Cio Cui-hong adalah seorang nona baik, dengan
kaupun sangat setimpal," demikian In Lui meneruskan lagi, "Toako,
kau sudah jalan bersama dia, apakah tiada sedikitpun kesanmu
padanya?"
Air mula San-bin seketika berubah lebih buruk lagi, hatipun
cemburu mendengar kata-kata In Lui ini. Ia sangka gadis ini telah
penujui orang lain, maka ingin menjodohkan Cui-hong padanya.Pahala dan Murka - 11 6
Sebaliknya hati In Lui masih polos, sudah tentu tak diduganya
San-bin bisa berpikir sedemikian, ketika melihat perubahan air
muka orang, ia hanya tertegun heran saja.
"In-moay, tak perlu kau dustai aku lagi, terang ada soal lain yang
mengganjal hatimu," terdengar San-bin berkata pula.
"Apa maksudmu?" sahut In Lui mendongkol.
San-bin tidak lantas menjawab, ia pandang orang sekejap.
"Putera Thio Cong-ciu itu sepanjang jalan berdampingan
denganmu, sangat baik bukan dia terhadapmu?" tanyanya tiba-tiba.
"Ya, sangat baik!" sahut In Lui dengan tergagap.
"Tetapi ingat, dia adalah musuh besar keluargamu!" kata Sanbin "Hal ini tidak perlu kau peringatkan padaku, di atas surat darah
Engkongku tertulis cukup jelas." sahut In Lui.
"Apa yang dikatakannya?" tanya San-bin.
"Aku diharuskan membunuh bersih setiap anggota keluarga
Thio, tidak peduli dia tua atau muda, laki atau perempuan!" kata In
Lui. "Akan tetapi dia sangat baik terhadapmu!" San-bin bertanya
pula.
"Baik atau tidak baik sama saja, tak nanti kuingkari pesan
tinggalan Engkong," sahut In Lui dengan suara terputus-putus.
Semakin lama suara In Lui seperti berhenti di tenggorokannya,
jelas tertampak betapa perasaannya terhadap Thio Tan-hong,
keruan hati San-bin menjadi dingin separoh, tapi demi mendengar
In Lui menyatakan taat pada pesan tinggalan Engkongnya, ia punPahala dan Murka - 11 7
tidak kuatir lagi bahwa gadis ini akan menjadikan musuh sebagai
kawan.
Kini dilihatnya badan In Lui rada gemetar, matapun basah, ia jadi
tak tega, ia kasihan, sayang dan berduka pula. Dalam keadan
demikian ia ulur tangan hendak memegang lengan orang, di luar
dugaan sekonyong-konyong tangan sendiri terasa kesemutan,
berbareng itu di luar lantas terdengar suara teriakan Tiau-im
hwesio.
"Bagus, besar sekali nyalimu! Bangsat, aku berada di sini, kau
berani juga datang kemari!" demikian bentak Tiau-im.
Hati San-bin terguncang, cepat ia lolos golok terus melompat
keluar dan melayang ke atas wuwungan rumah.
Maka tertampaklah di bawah sinar bulan purnama ada seorang
Suseng atau pemuda sastrawan yang bermuka putih cakap, seperti
tertawa tetapi tidak tertawa sedang berdiri dengan tenangnya. Sanbin kenal orang ini, bukan lain adalah orang yang sengaja
disebarkan Lok-lim-ci untuk menangkapnya itu.
Sementara itu Na-cecu dan Hek-cengcu sudah unjuk diri juga,
mereka mendekam di ujung payon rumah.
"Aku tak sudi bergebrak dengan kaum muda, biar kuwakilkan
kalian pergi menaklukkan kuda putih itu, kalian hendaknya hatihati, jangan sampai dia lolos!" demikian seru Tiau-im Hwesio.


Pahala Dan Murka Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Adik Lui, lekas kemari," San-bin segera berseru memanggil In
Lui. Dalam pada itu Hek-cengcu, Hek Po-cong yang berjuluk Hwesin-tan atau peluru roket, nama julukan yang menandakan
wataknya yang berangasan, tanda diperintah segera dia ayun
tangannya menimpukkan tiga butir bola api yang menyamber ke
arah pemuda sastrawan itu.Pahala dan Murka - 11 8
Akan tetapi dengan enteng saja Suseng itu bisa berkelit
menghindari serangan itu, di lain pihak Na-cecu, Na Thian-sek,
sudah cabut senjatanya juga yang serupa "Poan-koan-pit" atau
potlot jaksa, sepanjang potlotnya segera bergerak dan menyamber
dari kanan kiri, begitu melompat maju segera ia menutuk cepat.
Namun Suseng itu tetap tidak lolos senjatanya, tangan kirinya
bergerak ke samping, tangan kanan segera menghantam, dengan
tipu serangan "tiang-ho-lo-jit" atau matahari terbenam di seberang
sungai, ia menyerang sembari hindarkan diri. Karena pukulan ini,
Na Thian-sek terpaksa melompat mundur dua tindak. Tetapi Ciu
San-bin lantas ambil alih kedudukan kawannya, dengan golok
segera ia membacok.
Nyata gerak tubuh Su-seng itu luar biasa cepatnya, dengan
sedikit berputar ia geser kesamping, berbaring jari tangannya terus
mengebas cepat, karena tidak berjaga akan serangan ini, seketika
pergelangan tangan San-bin kena disabet hingga kesakitan.
Syukur waktu itu In Lui sudah memburu keluar dari kamarnya,
pedang Pek-hun-pokiam diayun terus menusuk, ketika di bawah
sinar rembulan terlihat mata Tan hong seperti berkaca basah,
hampir saja In Lui tarik kembali senjatanya, tetapi akhirnya ia
mengertak gigi terus menusuk ke depan.
"Semuanya sudah kudengar tadi, apa memang begini kau benci
padaku?" terdengar Tan-hong berteriak.
Dalam pada itu Hek Po-cong kembali lepaskan peluru berapi lagi,
bertiga mereka lantas mengeroyok.
Namun sambil bersenandung Tan-hong tetap merangsak maju,
sesudah hindarkan tusukan In Lui tadi, ia papak Na Thian-sek dan
memukul muka orang, karena itu lekas Na Thian-sek mengegos,Pahala dan Murka - 11 9
namun kesempatan ini segera dipergunakan oleh Tan-hong untuk
melompat pergi.
"Lekas kejar!" seru San-bin.
Tanpa terasa, dalam keadaan agak linglung In Lui ikut mengejar
bersama orang banyak.
Thio Tan-hong dekap bibirnya dan bersuit, dia memanggil kuda
mestika Ciau-ya-sai-cu-ma, akan tetapi binatang tunggangannya ini
ternyata tidak kelihatan muncul, hanya di tempat sejauh satu li serta
terdengar suara ringkik kuda yang panjang.
Kiranya Tiau-im Hwesio dengan menunggang kuda putih sendiri
sedang mencegat kuda Tan Hong yang waktu itu hendak
mendatangi tuannya karena mendengar suitannya. Kedua kuda
putih itu ternyata sudah saling kenal, mereka sama meringkik
bersahutan, sekejap itu Ciau-ya-sai-cu-ma ternyata belum lari
kemari.
Karena itu kembali Tan-hong bersuit lagi, mendadak kuda
mestikanya berdiri tegak dengan kedua kaki belakang, tetapi Tiauim segera papaki kuda ini dengan sekali gablokan ke lehernya,
keruan binatang itu kena dihantam, berbareng dengan meringkik
kerai, tiba-tiba keempat kakinya bertekuk lutut dan jatuh ke tanah.
Melihat kudanya kena dihantam orang, Tan-hong ikut sakit
hatinya.
"Hwesio bangsat, berani kau lukai kudaku!" damperatnya.
Habis ini ia percepat gerak kedua tangannya, tetapi Na Thiansek, Hek Po-cong, Cui San-bin dan In Lui berempat masih terus
mengepungnya di tengah, sekejap itu ia menjadi repot dan tak
sempat melolos pedang, maka ia tak mampu menembus kepungan
musuh.Pahala dan Murka - 11 10
"Tanpa kudamu ini, coba lihat cara bagaimana kau akan lolos?"
demikian Tiau-im Hwesio mengejek dengan tertawa.
Di luar dugaannya, belum habis ia berkata mendadak kuda
tunggangan sendiri meringkik keras sekali, berbareng pula kedua
kaki depannya terangkat dan berdiri tegak, karena tidak menyangka
akan kejadian ini, hampir saja Tiau-im Ilwesio terbanting jatuh.
Kejadian ini memangnya luar biasa, kuda ini sudah sekian lama
tunduk pada Tiau-im Hwesto, sudah menurut sekali dan jinak,
tetapi kini mendadak membangkang, sungguh sama lekali tidak
diduga Tiau-im.
Ia tak tahu bahwa "Ciau-ya-sai-cu-ma" tunggangan Thio Tanhong bukan lain adalah anak kuda putih yang ditungganginya ini.
Oleh karena Thio Cong-ciu sangat sayang pada sang putra, maka
"Ciau-ya-sai-cu-ma" yang masih muda dan kuat itu diberikan
padanya. Kini Ciau-ya-sai-cu-ma kena dihantam oleh Tiau-im tadi,
kuda betina induknya menjadi gusar dengan melompat-lompat dan
berjingkrak-jingkrak, namun Hwesio tidak sampai terbanting jatuh,
segera pula binatang ini berlari ke depan seperti kesetanan.
Dalam keadaan demikian meski Tiau-im sangat tinggi ilmu
silatnya, tenaganya sebenarnya cukup kuat untuk menundukkan
kudanya, tapi karena sayang menggebuknya, dia terbawa lari oleh
kuda tunggangannya sendiri, seketika ia tak mampu mengendali
hingga sekejap saja telah dilarikan sejauh beberapa li.
Dalam pada itu kuda Ciau-ya-sai-cu ternyata sangat gagah dan
kuat sekali, sesudah kesakitan kena digebuk Tiau-im, sejenak
kemudian ia melompat bangun lagi sambil meringkik keras, habis
itu terus menerjang ke depan secepat terbang.
"Bagus, bagus!" seru Tan-hong dengan gelak tertawa demi
nampak kudanya yang hebat ini.Pahala dan Murka - 11 11
Di samping sana Na Thian-sek telah ayun kedua Poan-koanpitnya, Hek Po-cong pun menvabet dengan rayungnya dan Ciu Sanbin berbareng menabas juga dari arah yang sama, ketiga orang satu
tujuan, yakni hendak merintangi Tan-hong agar tak bisa
menunggang kudanya.
Namun Tan-hong tidak kehabisan akal, tiba-tiba ia ganti siasat,
begitu ia bergerak ia terjang ke jurusan yang dijaga In Lui.
Dengan mengertak gigi In Lui papaki pemuda ini dengan sekali
tusukan, namun ujung senjatanya hanya menyamber lewat di
samping Tan-hong, sementara itu dengan cepat luar biasa kuda
putih Ciau-ya-sai-cu sudah menerjang datang, karena kuatir
diseruduk binatang ini, terpaksa Ciu San-bin menyingkir ke
samping, kesempatan ini tidak disia-siakan Tan-hong, dengan sekali
lompat ia mencemplak ke atas kudanya.
Dengan cepat pula Hek Po-cong masih menyerang dengan
senjata rahasianya, lari kuda putih ini ternyata melebihi cepatnya
senjata rahasia, maka senjata rahasianya sama jatuh di belakang
kuda.
"Maafkan, tidak dapat kutinggal lebih lama, sampai bertemu tiga
hari lagi!" demikian dari jauh terdengar Pek-ma-suseng itu berseru,
pelahau suara tertawanya yang bercampur dengan derap kaki kuda
lenyap terbawa angin, sekejap pula orang dan kudanya sudah
menghilang dari pandangan mata.
Meski lawannya sudah pergi, In Lui masih berdiri terpaku
ditempatnya seperti patung Na Thian-sek, Hek Po cong dan Ciu Sanbin bertiga pun lesu.
Selang tak lama setelah Tiau-im Hwesio dapat menjinakkan
kembali kuda tunggangannya, dengan pelahan baru ia kembali.Pahala dan Murka - 11 12
"Sudahlah, malam ini kita telah terjungkal di tangan musuh,"
demikian katanya dengan tersenyum getir demi nampak keadaan
kawan-kawannya. "Mungkin tiga hari yang akan datang terpaksa
aku harus turun tangan pula."
Esok paginya, beramai-ramai mereka lantas berangkat bersama.
Setelah mengalami ribut-rib.it semalam, Cui-hong merasa gusar
dan berduka pula, karena itu dia tidak ajak bicara lagi pada In Lui.
Begitu pula Cui San-bin, sepanjang jalan ia berpikir terus, setelah
pertarungan semalam, ia pun tahu juga bahwa ilmu silat Tan-hong
sebenarnya jauh di atas In Lui, sungguh pun pemuda ini tahu In Lui
adalah musuhnya toh tidak sampai hati buat mencelakainya, ini
Suatu tanda bahwa kedua orang ini sudah terlibat dalam asmara.
Karenanya sepanjang jalan ia merasa kesal, maka ia pun tidak
merecoki In Lui lagi.
Sikap San-bin dan Cui-hong ini justru membikin In Lui bebas
dari godaan, tetapi rasa masgul dalam hati makin hari semakin
bertambah.
Tiga hari kemudian, tibalah mereka sampai di perkampungan
Hek-tok.
Perkampungan yang menjadi kediaman Pit To-hoan ini ternyata
dikitari gunung dan dilingkari sungai, keadaannya sangat strategis.
Segera Tiau-im Hwesio mendahului ke depan dan perkenalkan
diri hendak bertemu dengan tuan rumah. Dalam ruangan keluarga
Pit itu terlihat tidak sedikit berkumpul para orang gagah, semuanya
menunjuk sikap tidak sabar.
Tiau-im dan Pit To-hoan sudah lebih dua puluh tahun tidak
berjumpa, sudah tentu pertemuan kembali ini sangat
menggembirakan mereka dan saling mengutarakan rasa rindu
masing-masing.Pahala dan Murka - 11 13
Setelah para tamu ambil tempat duduknya sendiri-sendiri, tokoh
tokoh Lok-lim yang menerima undangan atas Lok-lim-ci untuk
menghadapi Thio Tan-hong itu sudah tak sabar, beramai mereka
tanya pada Ciu San-bin, mereka ingin mengetahui Pek-ma-suseng
yang hendak dilawan itu sebenarnya bagaimanakah asal-usulnya.
"Meski ayahmu belum kenal denganku, namun sudah lama kami
dengar namanya masing-masing," kata Pit To-hoan, maka dapat
dipastikan orang yang dia ingin menguber itu tentu penjahat yang
tidak dapat diampuni, melulu dari tingkah laku bangsat itu saja
sudah menunjukkan betapa licik dan kejinya, tidak kaujelaskan juga
aku akan melabrak dia."
Kemudian ketika tuan rumah ini memandang para tamunya, ia
dapatkan di antaranya hanya Cio Cui-hong saja satu-satunya orang
perempuan.
"Maafkan mungkin pandanganku sekarang sudah kurang tajam,
maka tidak mengetahui bahwa di antara kalangan Lok-lim kini telah
muncul orang tokoh wanita," dengan mengelus jenggotnya ia
berkata dengan tertawa.
"Nona ini adalah putri kesayangan Hong-thian-lui," Ciu San-bin
mewakilkan Cui hong menjawab.
Cui-hong lantas maju ke depan memberi hormat pada tuan
rumah, katanya dengan suara nyaring, "Ayah titip surat untuk
disampaikan pada paman."
"Haha, bagus lekali," sahut Pit To-hoan tertawa girang, "Jika ada
sesuatu yang Hong-thian-lui inginkan, terjun ke lautan api atau
masuk air mendidih pasti akan kulakukan juga, surat ini sudah lebih
sepuluh tahun kunantikan!"
Akan tetapi ia menjadi kecewa, air mukanya tiba-tiba berubah
setelah membaca isi surat. yang dimaksud.Pahala dan Murka - 11 14
Di sebelah sana hati In Lui pun sedang berdebar-debar, ia tidak
tahu bagaimanakah bunyi surat itu sebenarnya?
Sementara itu ia lihat Ciu-sam-kai Pit To-hoan sedang
mengulang baea surat itu dau diulangi pula sekali, kemudian baru
ia lipat suratnya dengan pelahan dan dimasukkan ke dalam baju.
Sebenarnya Cin San-bin hendak menjelaskan asal-usul Pek-masuseng atau si pemuda sastrawan berkuda putih itu. namun ia
kesamplok dahulu dengan sinar mata Pit To-hoan, dengan pelahan
tuan rumah mendahului buka suara.
"Tak perlu kaubicarakan dahulu, aku ada mendapat." katanya
sambil menggeser tatapannya ke arah In Lui.
"?Enghiong ini adalah murid keponakan Tiau-im Taysu dan anak
menantu Cio-loenghiong," segera San bin memperkenalkan
padanya.
"Ha, anak menantu Hong-thian-lui datang juga, sayang ia sendiri
tidak hadir!" ujar Pit To-hoan. "Mungkin perkara ini belum bisa
diselesaikan begitu saja."
Habis berkata mendadak kedua matanya terbelalak, ia
menengadah, mukanya yang hitam tadi tiba-tiba bersemu merah,
semua tokoh yang hadir itu sama tahan napas dan diam saja,
kemudian terdengar tuan rumah ini tertawa singkat satu kali, lalu
menggapai pada In Lui dan Cui-hong.
"Ikutlah padaku!" katanya, lalu ia tambahi pula. "Jika mendadak
Pek-ma-suseng itu datang menyerbu, Tiau-im Suheng hendaknya
wakilkan aku sementara melayani dia."
Meski Pit To hoan sudah lama kemhali ke masyarakat ramai,
namun ia masih tetap memanggil Tiau-im Hwesio sebagai Suheng
seperti panggilan dahulu ketika ia masih menjadi hwesio selama
sepuluh tahun.Pahala dan Murka - 11 15
Maka ikutlah In Lui dan Cui-hong di belakang Pit To-hoan masuk
ke dalam rumah yang belok sini dan tikung sana, akhirnya mereka
naik ke atas loteng kecil yang tergantung sebuah lukisan
pemandangan alam, ternyata mirip sekali dengan lukisan simpanan
Cio Eng, seperti digambar oleh seorang pelukis saja, hanya jauh
lebih kecil ukurannya jika dibandingkan dengan lukisan di rumah
Cio Eng itu.
Belum mereka ambil tempat duduk, tiba-tiba tertampak seorang
anak kecil berlari mendekati.
"Berikan padaku, ayah, berikan!" demikian pinta bocah ini
sambil menuding lukisan di dinding itu.
Bocah ini baru berumur 7-8 tahun, mukanya mungil, sangat
menarik dan menyenangkan,
Karena permintaan anak ini, Pit To hoan tersenyum sambil
mengelus jenggotnya, betul saja ia lantas menanggalkan lukisan itu
dari dinding dan dilemparkan kepada bocah itu.
"Nah, ambil!" katanya. "Hari ini sudah kulihat lukisan yang
tulen, barang tiruan ini tidak perlu lagi kuanggap sebagai mestika."
Dengan lukisan itu, si bocah tertawa senang sambil melompatlompat terus lari keluar, sudah sering ia minta lukisan ini kepada
sang ayah dan baru sekali ini berhasil.
Dengan mata menatap kepergian bocah tadi, kemudian dengan
tersenyum Pit To-hoan berkata kepada Cui-hong.
"Nona Cio, tahun itu ketika aku datang ke rumahmu, kaupun
sebesar dia tadi. Apa kau masih ingat?"
"Ya, waktu itu ayahku harus rebah di ranjang selama dua bulan,
mana bisa kulupakan peristiwa ini?" sahut Cui-hong.Pahala dan Murka - 11 16
"Ai, waktu itu aku memang agak terlalu bengis, sampai hari ini
apa engkau masih dendam dan benci padaku?" tanya Pit To-hoan
dengan menghela napas menyesal. "Apa ayahmu sudah ceritakan
padamu?"
"Ayah malah sedikit pun tidak dendam padamu," sahut Cuihong. "Hari ini bila dapat bantuanmu hingga berhasil membalaskan
sakit hati, aku sendiri pun akan berterima kasih padamu."
Karena kata-kata ini, Pit To-hoan menjadi heran.
"Balai sakit hati? Sakit hati apa yang hendak kaubalas?"
tanyanya.
"Aneh, bukankah dalam surat ayah telah dituturkan cukup
jelas?" sahut Cui-hong dengan heran. "Pek-ma-suseng itu adalah
musuh besar In-siangkong!"
"O, apa betul ?" tanya Pit To-hoan sambil memandang In Lui.
"Memang tidak salah apa yang dikatakan Cio-kohnio," sahut In
Lui dengan muka pucat. "Cuma urusan menuntut balas, aku tidak


Pahala Dan Murka Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ingin pinjam tenaga orang lain!"
"Bagus, itu namanya berjiwa besar!" ujar Pit To-hoan. "Sungguh
tidak pernah kuduga tersangkut banyak urusan di dalamnya, inilah
yang membikin serba salah padaku."
"Apa katamu? Tidak kauduga!" Cui-hong tidak mengerti. "Lantas
apa yang tertulis dalam surat ayahku?"
To-hoan tidak menjawab, ia hanya tersenyum tawar saja,
katanya dengan suara berat, "Aku undang kau ke sini memang
hendak kuceritakan suatu kisah padamu, kisah ini ayahmu sendiri
pun tidak lengkap mengetahuinya."
"Lama dan lama berselang ada teorang hwesio tua yang mahir
ilmu silat dan beragama tinggi. Kala itu bangsa lain berkuasa diPahala dan Murka - 11 17
tanah air kita, seluruh negeri dalam keadaan kacau-balau. Waktu
itu juga terdapat dua saudara angkat, kakak angkat adalah seorang
pedagang garam gelap dan adik angkatnya seorang pengemis cilik.
Kedua orang ini masing-masing mempunyai ambekan besar dan
bercita-cita setinggi langit, mereka ingin bikin pergerakan untuk
mengusir kaum penjajah, tetapi hwesio tua tadi ternyata
mendahului selangkah daripada mereka dan mengerek bendera
pemberontak di daerah barat sungai Hwai ...."
"Dan hwesio tua ini punya dua orang murid, kedua murid ini
ialah pedagang garam gelap yang menjadi kakak angkat dan si
pengemis sebagai adik angkat itu," tiba-tiba In Lui memotong
penuturan orang.
Karena timbrungan ini, sinar mata Pit To-hoan gemerdep, tetapi
segera ia tersenyum dan berkata pula, "Apa yang kau ketahui pun
tidak lengkap, hwesio tua itu bukan hanya punya dua orang murid
melainkan tiga murid. Cerita tidak lengkap yang kau ketahui ini kau
dengar dari siapa?"
"Terus terang, dia bukan lain daripada orang yang hendak kalian
lawan sekarang ini," sihut In Lui. "Sebenarnya ia hendak ceritakan
padaku tiga buah kisah, yang pertama awalnya sama seperti apa
yang kau tuturkan tadi, ceritanya yang kedua aku sendiri sudah tahu
dan cerita yang ketiga belum sempat dia tuturkan."
Tentu saja keterangan In Lui ini bikin Cui-hong terheran-heran,
dilihatnya Pit To-hoan ternyata mendengarkan dengan tenang dan
penuh perhatian tanpa berubah air mukanya, agaknya cerita ini
seperti sudah diduga sebelumnya.
"Nyatalah apa yang diketahuinya lebih banyak daripadaku,"
terdengar To-hoan menyambung, "apa yang hendak kuceritakan ini
mungkin hanya setengah dari ceritanya yang ketiga itu."Pahala dan Murka - 11 18
Karena percakapan mereka ini, wajah Cui-hong menjadi muram,
ia pelototi In Lui, agaknya ia menyesal kenapa si "dia" tidak pernah
menuturkan hal itu kepadanya.
"Karena cerita ini sudah dituturkan sebagian olehnya, akupun
tidak perlu lagi menyembunyikan nama-nama orang yang
bersangkutan," Pit To-koan melanjutkan. "Itu pedagang garam
gelap ialah Thio Su-seng dan si pengemis kecil itu ialah Cu Goanciang. Sedang hwesio tua itu adalah guru mereka yang bernama
Phang Eng-giok."
"Phang Eng-giok ini masih punya seorang anak murid lain yang
bernama Pit Leng-siu, orang ini banyak mempelajari kitab ilmu
militer dan banyak tipu akalnya, ia pernah menjelajah seluruh
negeri mengikuti Phang Eng-giok dan pernah menyamar macammacam orang, pernah juga menjadi hwesio dan juga pernah
menjadi pengemis."
"Pada sebelum Cu Goan-ciang menggabungkan diri ke dalam
?Ang-kin-kun? (laskar ikat kepala merah), pernah ia menjadi
pemimpin regu yang rendah di dalam pasukan pemberontak
gurunya. Mungkin hal ini oleh orang itu sudah diceritakan padamu.
Tatkala itu tentara Goan masih sangat besar kekuatannya, sedang
di antara para pemimpin pemberontak yang bergerak serentak itu
kekuatan pasukan Phang Eng-giok tidak begitu besar, maka
beberapa kali telah dikalahkan tentara Goan, kedudukannya sangat
berbahaya."
"Cu Goan-ciang itu ternyata memiliki ambisi yang sangat besar,
satu kali ketika pasukannya mengalami kekalahan dan terancam
bahaya, ia telah menjual gurunya sendiri pada musuh, sebaliknya ia
pura-pura menangis seperti orang baik-baik dan menghimpun sisa
kekuatan dari pengikut gurunya terus menggabungkan diri ke
dalam ?Ang-kin-kun? yang pada waktu itu berpengaruh besar. IaPahala dan Murka - 11 19
pikir hendak menggunakan Ang-kin-kun sebagai modal untuk
merebut kekuasaan di seluruh negeri."
"Cu Goan-ciang menyangka gurunya yang dijualnya pada musuh
itu pasti tak akan hidup lagi, padahal sang guru belum mati, sebab
pada waktu ia digiring menuju ke kota-raja, Pit Leng-siu telah
menguntit dari jauh dan berdaya upaya dengan berbagai jalan
hingga akhirnya berhasil menolong keluar sang guru dari bencana.
Tentang kejadiannya yang sangat berbelit-belit itu, di sini tidak
perlu kujelaskan."
"Tatkala itu daerah Tionggoan sudah merupakan medan
pertempuran yang kalut, karena Phang Eng-giok guru dan murid
tidak dapa. kembali lagi ke daerah Kanglam, maka mereka lantas
membentuk kekuatan lain dan berusaha bangkit kembali. Akan
tetapi di daerah utara merupakan pangkalan basis tentara Goan,
maka baru saja Phang Eng-giok dan Pit Leng-siu hendak angkat
senjata atau sudah keburu dikepung oleh tentara Goan."
"Dalam suatu pertempuran besar akhirnya Phang Eng-giok
terluka parah, sebelum ajalnya ia pesan pada Pit Leng-siu, katanya
"orang hidup tidak terluput dari kematian, kini aku bisa tewas di
medan pertempuran, hal ini jauh lebih berbahagia dari pada mati
dalam penjara musuh. Cuma aku masih punya satu urusan yang
belum kuselesaikan yang harus kau lanjutkan. Cu Goan-ciang
berbakat pemimpin dan pandai bersiasat, sebaliknya tak berbudi
dan berjiwa kotor, bukannya aku benci karena dia pernah menjual
diriku pada musuh tetapi aku memang tidak ingin dia menjadi
kaisar dan membikin susah rakyat jelata."
"Sejak kecil aku mengembara di dunia kangouw dan menjelajah
seluruh negeri, terhadap tempat-tempat penting di setiap gunung
atau sungai, di mana tempat yang bagus untuk menyerang atau
tempat yang perlu dijaga, semuanya sudah jelas sekali bagikuPahala dan Murka - 11 20
seperti melihat telapak tanganku sendiri saja, pernah kulukis
sebuah peta militer yang lengkap, siapa bisa mendapatkan peta ini,
siapa tentu akan merajai pula negeri ini."
"Boleh kau serahkan petaku ini kepada Thio Su-seng saja.
Setelah Pit Leng-siu mendapat pesan itu, segera ia kembali ke
daerah selatan tanpa menghiraukan bahaya yang harus
dihadapinya."
"Akan tetapi sayang, kedatangannya sudah terlambat. setibanya
di daerah Kanglam, kedudukan Cu Goan-ciang dan Thio Su-seng
sudah banyak berubah, Thio Su-seng waktu itu sudah terkurung di
suatu daerah kantung di Sohciu, tampaknya dengan segera akan
terbasmi oleh Cu Goan-ciang. Tetapi Thio Suseng tidak sudi mati
terkepung begitu saja, ia masih ingin melakukan sekali lagi
pertarungan penghabisan, ia telah tantang Cu Goan-ciang untuk
bertempur di sungai Tiangkang buat menentukan mati-hidupnya
masing-masing."
"Setibanya Pit Leng-siu ia lantas memberi nasihat agar
memelihara dahulu kekuatan untuk menerjang keluar dari
kepungan dan buron saja, dengan begitu masih ada harapan
membentuk kekuatan baru lagi. Akan tetapi dengan tertawa Thio
Su-seng menjawab, ?Mana boleh kuingkari janjiku pada si pengemis
kecil.? ? Dan malam itu juga ia lantas suruh seorang pelukis
melukiskan pemandangan alam kota Sohciu.
"Thio Su-seng suka pada permainan catur, malam itu secara
tenang masih minum arak dan main catur dengan Pit Leng-siu,
sampai hari sudah terang tanah, lukisan yang digambarpun selesai,
lukisan ini terang dan jelas sekali, setiap gunung, rumah, benteng
dan pagoda, semuanya terlukis di dalamnya."
"Kemudian Thio Su-seng menggabungkan harta benda yang dia
kumpulkan selama bertahun-tahun bersama peta yang sangat jelasPahala dan Murka - 11 21
dari gurunya itu dan disimpan pada suatu tempat yang sangat
dirahasiakan, ia beri tanda di atas lukisannya dan disertakan kepada
seorang kepercayaannya agar membawa putranya melarikan diri
malam itu juga."
"Pit Leng-siu sendiri sangat terharu melihat ketegasan Thio Suseng itu, ia pun tidak ingin meninggalkan benteng pertahanan yang
berbahaya itu, akhirnya sesudah pertempuran di Tiangkang, ia
malah mendahului Thio Su-seng tewas dalam pertempuran dahsyat
itu, iapun mempunyai seorang putra kecil yang berhasil lolos dalam
keadaan kacau itu dan beruntung bila selamat jiwanya."
"Tentang harta benda yang Thio Su-seng sembunyikan itu masih
tak seberapa, tetapi peta militer tinggalan gurunya itulah yang
merupakan mestika yang tidak ternilai harganya, jika ada orang
bisa memperolehnya, sungguh besar harapan ia bisa berebut dunia
ini dengan anak cucu Cu Goan-ciang."
Cerita ini sangat mengguncangkan hati Cui-hong hingga
perasaannya tidak tentram.
"Dan di manakah lukisan itu sekarang?" akhirnya ia tanya.
Tetapi baru selesai ia berkata, mendadak terdengar suara
mendesir, sebuah anak panah berapi biru tiba tiba menjulang ke
angkasa raya.
"Pek-ma-suseng datang lagi!" demikian segera ada suara
teriakan orang.
Namun hal ini tidak bikin kaget Pit To-hoan, ia hanya berdiri
dengan tenang saja.
"Lukisan itu justru berada di rumahmu, nona Cio." demikian ia
menjawab dengan bersenyum, "dan kini mungkin sudah berada di
tangan Pek-ma-suseng itu!"Pahala dan Murka - 11 22
Karena keterangan ini, Cui-hong jadi melongo.
"Isi surat ayahmu justru minta aku menemui Pek-ma-suseng
ini," terdengar Pit To-hoan menyambung lagi dengan tersenyum,
"ia bukan minta bantuanku akan sesuatu urusan, juga bukan minta
aku bantu membalaskan sakit hati. Sebaliknya semua urusan ia
pasrahkan padaku untuk menentukannya. Cuma ada beberapa hal
aku sendiri tidak jelas, sayang ayahmu tidak mau datang kemari
untuk menemuiku. Rupanya urusan hari ini akan sukar kuputuskan
begitu saja."
Sementara itu In Lui hanya terkesima saja, dalam pada itu
terdengarlah suara tertawa Tan-hong yang berkumandang dari
jauh dan segera mendekat.
"Hah, pemuda berkuda putih ini ternyata seorang menarik juga,
masih ada harganya kutemui!" ujar Pit To-hoan.
Habis ini dengan kedua tandan ia gandeng In Lui dan Cui-hong
dan diajak turun dari loteng itu.
Waktu itu ln Lui sudah tidak sabar lagi, hatinya seperti dibakar,
setibanya di luar, di antara suara teriakan pertarungan sengit
sungguh membikin hati orang berdebar-debar. Apabila ia awasi,
terlihatlah olehnya Tiau-im Hwesio sedang saling gebrak dengan
Thio Tan-hong.
Gwakang atau kekuatan fisik Tiau-im Hwesio judah berada di
tingkat puncaknya kesempurnaan, namanya sudah tersohor di
kalangan kangouw. Waktu itu para tokoh dan gembong kalangan
Lok-lim sudah berdiri dengan suatu garis mengepung dan sedang
menyaksikan kedua orang itu saling gebrak dengan sengit di tengah
kalangan, tongkat Tiau-im yang kasar besar itu diputar begitu
cepatnya hingga membawa sambaran angin menderu-deru.
sebaliknya gerak tubuh pemuda sastrawan ini ternyata sangat cepatPahala dan Murka - 11 23
dan enteng sekali, gaya pedangnya pun sangat cepat dan bersinar
menyilaukan, dt antara sambaran senjata pedang dan tongkat itu,
seketika sukar dibedakan siapa yang lebih kuat daa siapa yang lebih
lemah.
Setelah hampir setengah jam bertarung dengan sengit,
mendadak terdengar Tiau-im Hwesio menggertak sekali, tongkat
dipercepat dan susul menyusul menyabet dan menyerampang
dengan hebat bagai ular naga keluar dari gua dan sedang aduk
lautan. Karena itu Tan-hong kelihatan menarik pedangnya, dengan
langkah yang menuruti hitungan lukisan Pat-kwa, pemuda ini
tertampak main mundur ke belakang.
"Hah, Tiau-im Suheng punya Hok-mo-tiang-hoat (ilmu
permainan tongkat penakluk iblis) ternyata jauh telah maju,"
demikian kata Pit To-hoan dengan tersenyum. "Dan ilmu pedang
pemuda berkuda putih ini pun belum pernah kulihat selama hidup."
Sedang ia berkata, sementara kedua orang yang bertarung itu
sudah saling gebrak belasan jurus lagi, Tiau-im Hwesio masih terus
mendesak maju, namun mendadak terdengar suara "tiang" yang
nyaring dan keras, disusul dengan meneripatnya lelatu api, ternyata
tongkat Tiau-im telah gumpil terpapas oleh pedang lawan.
"Pedang bagus!" dalam kagetnya para gembong Lok-lim itu
berseru memuji.
Sekonyong-konyong Tiau-im Hwesio melompat ke atas,
berbareng ia mengentak tongkatnya hingga senjata yang kasar ini
berdiri tegak, ini adalah tipu lihai mematikan dari Hok-mo-tianghoal. ditambah pula keuletan latihan riau-im selama puluhan tahun
ini, secara menindak ia keluarkan tipu serangannya ini, seperti
menikam dan seperti menyabet pula, dalam sekejap saja ia kurung
Tan-hong dari atas-bawah dan kanan-kiri dengan rapat.Pahala dan Murka - 11 24
Saking kagetnya atas tipu serangan yang sangat lihai ini, tanpa
terasa In Lui menjerit, tetapi pada saat itu juga terdengar gelak
tertawa Tiau-im Hwesio dibarengi dengan mencelatnya pedang ke
udara, ternyata pokiam Tan-hong telah terlepas dari cekalannya.
Maka bersorak-sorailah para gembong Lok-lim itu, tiba-tiba pula
tertampak Tiau-im Hwesio menarik kembali tongkatnya dan segera
melompat keluar dari kalangan, sedang Tan-hong secepat burung
terbang melayang ke atas untuk menangkap kembali pedang yang
mencelat ke udara itu.
"Walaupun gurumu cukup menggemaskan, tetapi kau adalah
Siaupwe (tingkatan muda dari perguruan kita sendiri, mana boleh
kubikin susah anak kecil," demikian seru Tiau-im.
Karena itu keadaan menjadi gempar lagi, para gembong merasa
terheran-heran dan beramai-ramai mempercakapkan urusan ini.
"Hah, urusannya semakin lama semakin aneh dan ruwet,
mengapa Pek-ma-suseng ini tiba-tiba bisa menjadi kaum muda
perguruan Tiau-im Suheng?" kata Pit To-hoan dengan tertawa.
"Haha, tongkat tertabas dan pedang dihantam terlepas, mereka
Supek dan Sutit ternyata sama kuat. Haha, sungguh menarik!"
Sementara itu dengan tangan meraba senjatanya, dengan sikap
yang gagah Tan-hong buka suara dengan lantang, "Wanpwe Thio
Tan-hong datang kemari buat memenuhi janji, mohon Pitloenghiong suka tampil bertemu."
Dalam pada itu Hek-cengcu dan seorang ternama dari Taykoan
yang bernama Kong Tiong yang berwatak tidak sabar, tanpa
menungggu Pit To-hoan buka suara, segera mereka maju
mendahului yang lain, yang seorang memakai ruyung panjang dan
yang lain memegang tameng, ruyung menyabet dari bawah danPahala dan Murka - 11 25
tameng mengemplang dari atas kepala, berbareng kedua senjata
mereka ini menyerang Tan-hong dengan dahsyat.
Namun Tan-hong tetap berlaku tenang, ia lintangkan pedang di
depan dada, tubuhnya berputar cepat, sama sekali ia tidak balas
menyerang. Karena itu selagi llek-ccngcu dan Kong Tiong hendak


Pahala Dan Murka Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ganti tipu serangan mereka, sekonyong-konyong tertampak tubuh
Tan-hong berkelebat dan menerobos lewat di bawah senjata
mereka.
"Semua berhenti dulu! Thio-heng (saudara Thio), silakan ikut
padaku!" mendadak terdengar Pit To-hoan berteriak.
Suara seruan tuan rumah ini keras dan lantang hingga seluruh
hadirin terpengaruh dan diam seketika.
"Ya, tentu Cin-sam-kai sendiri yang hendak menjajalnya!"
demikian para gembong Lok-lim itu membatin.
Pit To-hoan lantas berjalan pergi dergan pelahan dan membawa
Thio Tan-hong ke taman bunga di belakang rumahnya, di antara
bukit-bukitan palsu dan kolam buatan yang terdapat dalam taman
itu, masih ada pula rumah gardu yang dibangun dengan megahnya,
di atas meja batu dalam gardu itu terdapat papan catur dengan biji
caturnya yang terserak, rupanya sebabak pertarungan catur yang
belum terselesaikan.
Segera pula Pit To-hoan menyuruh pelayannya menyediakan dua
poci arak.
"Panglima perang suka bercatur dan orang pandai gemar
menikmati lukisan indah, kesukaan ini tiada bedanya sepanjang
masa, apa Hengtay (saudara) ada hasrat juga buat bertanding
sebabak catur? Cuma sayang di tempatku ini tiada lukisan indah
yang bisa dinikmati!" demikian katanya.Pahala dan Murka - 11 26
"Kebetulan Wanpwe membawa segulung lukisan, meski bukan
buah tangan pelukis ternama, tetapi mungkin boleh juga untuk
dipandangnya," sahut Tan-hong dengan hormat dan tersenyum.
Habis ini lantas mengeluarkan lukisan raksasa yang diambilnya
dari rumah Cio Eng itu dan digantung tinggi di tengah gardu. Pit
To-hoan hanya melirik saja sekejap, tiba-tiba ia menghela napas
panjang.
"Ai, dahulu waktu lukisan ini dikerjakan, agaknya ada juga orang
yang bercatur dan minum arak," katanya kemudian dengan suara
pelahan. "Thio-heng, keluargamu berasal dari keturunan terpelajar,
silakan pegang biji putih."
Sudah tentu kelakuan mereka berdua ini sama sekali di luar
dugaan semua orang. Cara menyebarkan Lok-lim-ci biasanya
dilakukan oleh karena ada sesuatu urusan yang sangat genting dan
maha penting, tetapi sekarang mereka malah seenaknya saja
hendak main catur dan menikmati lukisan.
"Sutit ini selamanya belum pernah kukenal, dari mana Cin-samkai mengetahui dia keturunan keluarga terpelajar dan pandai
bercatur?" kata Tiau-im Hwesio dengan heran.
"Tentu saja dia tahu," tiba-tiba In Lui menjawabnya, "Bukankah
lukisan ini adalah pemandangan kota Sohciu?"
"He, belum pernah kau ke Sohciu, kenapa engkau tahu juga?"
kata Tiau-im pula terlebih heran,
"Tentu saja dia tahu," dengan sikap dingin Cui-hong menyeletuk
dari samping.
Sementara itu di tengah gardu kedua orang asyik minum arak
sambil bermain catur, para gembong hanya memandang saja dari
jauh dengan perasaan penuh tanda tanya.Pahala dan Murka - 11 27
Pada pertandingan catur itu, Pit To-hoan memegang biji hitam,
ia buka jalan lebih dahulu, dia mulai buka serangan dari kedua
sayap, akan tetapi langkah pertama yang Tan-hong lakukan
sebaliknya menduduki garis tengah.
Menurut kebiasaan, percaturan yang menduduki sayap luar lebih
menguntungkan dari pada mengambil jalan tengah yang gampang
diserang lawan.
Oleh karena itulah sejak mulai Pit To-hoan sudah
mempertahankan siasat dengan menduduki sayap luar. Tak terduga
Tan hong ternyata tidak sudi berebut tempat padanya melainkan
mengambil jalan sendiri melalui garis tengah.
"Hah, sifat Hengtai yang gagah sungguh seperti leluhurmu, apa
benar tidak sudi berebut sesuatu daerah tak berarti denganku?"
demikian Pit To-hoan memuji.
Habis ini, sesudah berpikir agak lama baru ia taruh biji caturnya
lagi, sebaliknya Tan-hong bermain dengan cepat, hampir boleh
dibilang tanpa berpikir ia taruh setiap biji caturnya.
Setelah percaturan ini berlangsung setengah jam, ternyata biji
catur di papan catur masih jarang-jarang dan sedikit saja, sedang
pada jidat Pit To-hoan sudah kelihatan berkeringat, mendadak ia
berdiri, dengan sebelah tangan ia mengaduk biji catur yang ada di
atas papan.
"Babak ini tidak dapat kupertahankan lagi" katanya kemudian
dengan lesu.
Tan-hong hanya bersenyum, lalu juga berdiri.
"Terima kasih engkau suka mengalah," sahutnya merendah.
Habis itu ia gulung lukisannya.Pahala dan Murka - 11 28
Kejadian ini membikin para gembong Lok-lim sana gempar lagi,
namun Pit To-hoan lantai ambil tindakan baru.
"Thio-heng," katanya tiba-tiba, "bukannya aku yang lebih tua
tidak tahu diri, tetapi karena sekian banyak sahabat telah
kauundang kemari, maka terpaksa mengikuti kebiasaaan dan harus
minta petunjuk beberapa jurus kiam-hoat padamu."
Sinar mata Tan-hong gemerdep tajam, agaknya kata-kata Pit Tohoan ini sama sekali di luar dugaannya, sungguhpun demikian ia
tetap tenang saja.
"Jika memang begitu, harap saja Pit-locianpwe suka mengalah
sedikit!" sahutnya kemudian dengan merendah.
Mendengar orang sudah terima tantangannya. Pit To-hoan
keluarkan sebatang pentung kayu dari pojok dinding sana.
"Hah, pentung pengemis ini masih bisa kupakai juga!" dengan
tertawa ia berkata lagiPentung yang digunakan Pit To-hoan ini terbuat dari Hangliong-bok, kayu penakluk naga, yang kerasnya melebihi besi.
Sementara itu Tan-hong sudah pasang kuda-kuda, To-hoan tahu
pemuda ini tidak mau buka serangan dahulu, maka ia pun tidak
sungkan-sungkan lagi, begitu pentung mengacung, sambil
memperingatkan datangnya serangan, sekaligus ia menyabet ke
pinjgang orang.
"Bagus!" sambut Tan-hong. Berbareng ia melompat dengan
cepat, maka pentung "Hang-liong-pang" itu menyamber lewat di
bawah kakinya.
Dan sebelum tubuhnya menurun, sinar pedang segera
mendahului berkelebat, dengan gerak tipu "pek-hong-koan-jit" atauPahala dan Murka - 11 29
pelangi putih menembus sinar matahari, segera ia balas menyerang
Pit To-hoan, mengincar bagian "hoa-kat-hiat" di atas kepalanya.
"Bagus!" Pit To-hoan berseru juga. Tiba-tiba toya menahan ke
bawah, dengan gerakan "peng-se-lok-gan" atau burung belibis
turun di pesisir, ke samping mengetok pergelangan tangan orang
dan dari depan menghantam kedut betis lawan, sekali gerakan tiga
macam serangan dilancarkan dengan hebat dan tepat sekali.
Tetapi mendadak Tan-hong menarik tubuhnya, ia menggeser
cepat mengikuti gerak senjata dan mendadak menyerang dengan
tipu "jit-goat-keng-thian" atau matahari dan rembulan meninggi di
angkasa, sinar pedang berkelebat dibarengi dengan melesatnya
tubuh, ia melayang lewat dengan cepat dan mematahkan semua
serangan Pit To-hoan.
"Kiam-hoat Thio-heng memang nyata tiada bandingannya di
jagat ini!" To-hoan memuji pula. Habis ini mendadak toyanya
membalik terus menyabet secepat kilat, tampaknya
Tan-hong sukar menghindarkan diri, tak terduga ia malah balas
menyerang lagi, gerak tubuhnya dan tipu serangannya begitu tepat
hingga dengan persis sudah bisa menerobos pergi di samping toya
musuh yang menyambar lewat, berbareng ia angkat pedangnya,
maka terbenturlah kedua senjata hiugga mengeluarkan suara
nyaring dan berciprat lelatu api.
Kejadian ini rupanya bikin kaget Pit To-hoan, cepat ia tarik
toyanya dan diperiksa, sekonyong-konyong pedang Tan-hong
menusuk lewat di samping lehernya, tetapi dengan miringkan
tubuhnya dan tegakkan toya pula, Pit To-hoan berputar tetus
menyabet lagi. Para tokoh Lok-lim sama tahan napas karena
serangan berbahaya tadi.Pahala dan Murka - 11 30
Berlainan dengan kawan-kawanya, Tiau-im Hwesio justru
merasa sangat heran, ia tahu bila tusukan Tan-hong tadi sedikit
menceng ke samping saja pasti akan mengenai sasarannya, akan
tetapi kenapa bisa luput, apa memang latihan Tan-hong yang belum
sempurna dan belum bisa menguasai senjatanya dengan baik?
Namun bagi Pit To-hoan sendiri, ia tahu bahwa orang sengaja
mengalah satu jurus tadi ketika ia periksa toyanya sendiri, ia lihat
masih baik-baik saja tanpa rusak.
"Haha, pedangmu dengan pentung pengemisku ini sama-sama
tidak rusak, tak perlu kuatir," katanya tertawa.
Ketika loyanya berputar lagi, segera mainkan senjatanya
sedemikian rupa sehingga hanya bayangan saja yang kelihatan,
terpaksa Tan-hong harus lawan orang dengan sepenuh perhatian,
ia merasa toya orang membawa semacam kekuatan yang sukar
dilukiskan dan begitu berat mendesak padanya.
Sebenarnya kalau soal kecepatan dan kegesitan Tan-hong lebih
unggul tetapi soal tenaga dalam Pit To-hoan lebih kuat, maka
setelah berpuluh jurus berlangsung pula, satu kali Tan-hong telah
inenabas dengan sepenuh tenaga tampaknya dengan segera
pedangnya pasti akan beradu dengan toya orang mendadak Pit Tohoan menyampuk ke samping hingga hampir Tan-hong jatuh
tersungkur, maka terdengar olehnya suara menderu, toya orang
melayang lewat di sebelah punggungnya, terpaksa Tan-hong
melompat pergi.
"Sayang!" demikian pikir dalam hati para gembong Lok-lim itu.
Sebaliknya Tiau-im Hwesio menjadi heran pula, dilihatnya
dengan jelas, apabila toya tadi sedikit ditekan ke bawah, tulang
punggung Tan-hong pasti akan remuk kena dihantam, tetapi Pit Tohoan ternyata tidak berbuat demikian, mungkinkah denganPahala dan Murka - 11 31
keuletan tuan rumah ini belum mampu menguasai senjatanya?
Demikian Tiau-im membatin.
Namun Tan-hong sudah mengerti juga bahwa orang telah
sengaja mengalah satu jurus, karena itu ia menjadi ragu dan selagi
ia hendak cari jalan untuk tanya maksud tujuan Pit To-hoan yang
sebenarnya, tiba-tiba terdengar tuan rumah ini tertawa terbahakbahak lagi, toyanya menyambar tiba pula.
"Haha, kiam-hoatmu memang hebat, sekarang aku boleh merasa
lega," tiba-tiba ia berkata dan toyanya menempel di atas pedang
Tan-hong yang diluruskan ke depan untuk menantikan
serangannya, tak terduga Pit To-hoan lantas menarik toyanya. maka
terasalah satu tenaga besar yang membetot, tanpa kuasa pedang
Tan-hong ikut tertarik naik hingga toya dan pedang berada tegak di
udara serupa jembatan, cara ini adalah kebiasaan Bu-lim sebagai
tanda dari lawan kini sudah menjadi kawan, keruan hal ini
membikin semua orang melongo, mereka saling pandang dengan
tidak mengerti.
Sementara itu dengan sinar mata yang tajam Pit To-hoan
menyapu pandang semua orang lalu dengan suara nyaring ia buka
suara pula.
"Thio-heng adalah sahabat turun temurun dengan keluarga
kami, urusan yang betapapun besarnya, hendaklah mengingat atas
mukaku ini, sukalah dibikin selesai saja!"
Habis itu ia tertawa terbahak-bahak, ia lemparkan pentungnya
ke tanah, dengan menggandeng tangan Tan-hong ia sendiri antar
pemuda ini keluar pintu.
Tentu saja di antara semua orang itu Ciu San-bin yang paling
penasaran, kedua matanya melotot, sedang tokoh Lok-lim lain juga
kurang senang, akan tetapi bila nampak sikap Pit To-hoan yangPahala dan Murka - 11 32
kereng, tuan rumah ini malah bergandeng tangan dengan Tan-hong
siapa orang lain sama sekali tidak dihiraukannya.
Cara yang dilakukan Pit To-hoan itu adalah cara mengantar
tamu yang paling hormat, meski orang lain merasa tidak senang,
tetapi karena tuan rumah yang mendampinginya dalam keadaan
demikian tiada seorang pun berani coba buka suara.
"Banyak terima kasih, paman," kata Tan-hong sambil
membungkuk setiba di luar pintu sementara kuda putihnya dengan
berjingkrak riang telah menantikan majikannya.
Ketika Tan-hong menyemplak ke atas kudanya sembari
bersanjak pula, tiba tiba sinar matanya kesamplok dengan sorot In
Lui, namun segera ia larikan juga kudanya secepat terbang, hanya
sekejap saja di antara suara sanjak yang menggema di angkasa raya,
kuda putihnya sudah berlari sejauh beberapa li.
Semula dengan terkesima Pit To-hoan masih memandang
kepergian orang, tapi tiba-tiba ia mengacungkan jari jempol dan
memuji.
"Sungguh gagah, nyata melebihi leluhurnya, tidak percuma Enggiok mewakilkan dia berjaga selama beberapa puluh tahun,"
katanya.
"Bagaimanakah asal usul pemuda berkuda putih ini
sebenarnya?" Na-cecu, Na Thian-sek coba tampil dan bertanya.
"Apakah Lok-lim-ci yang dikeluarkan atas nama Hong-thian-lui dan
Kim to-cecu hanya anak panah yang dilepaskan tanpa sebab."
Akan tetapi Pit To-hoan tidak menjawab, ia malah mengalihkan
pandangannya kepada Cui-hong.
"Nah, sekarang nona Cio tentu tahu jelas bukan?" katanya
dengan tersenyum. "Kakek guruku Phang hwesio telah
menurunkan tiga anak murid Murid yang kedua dengan jayaPahala dan Murka - 11 33
menjadi kaisar pertama tahta Beng dan murid yang pertama Thio
Su-seng tewas dalam pertempuran di Tiangkang, pemuda berkuda
putih ini adalah anak-cucunya, diantara ketiga saudara seperguruan
yang paling tak berguna adalah keluarga Pit kami ini, turun
temurun masih tetap melarat seperti semula saja.
"Apa artinya?" demikian para gembong itu bertanya karena
mereka belum pernah mendengar sejarah diri Pit To-hoan.
"Pemuda berkuda putih tadi adalah keturunan Thio Su-seng?
Apa pula hubungan pemuda ini dengan Hong-thian-lui?" demikian
beramai-ramai mereka bertanya lagi.
"Ya, mengertilah aku sekarang, agaknya Engkongku adalah
orang kepercayaan Thio Su-seng yang diserahi menjaga lukisan
itu," Cui-hong bertata juga dengan menghela napas. "Tetapi dia ini,
dia kan musuh besar In-siangkong!"
"Betul, oleh sebab itu juga aku bilang ada beberapa hal lain yang
aku tidak jelas, satu di antaranya ialah urusan ini," kata Pit To-hoan
lagi dengan berkerut kening. "Sedang dalam surat ayahmu itu pun
tidak disinggung urusan ini. In-siangkong, sebenarnya cara
bagaimanakah dia ikat permusuhan denganmu?"
Akan tetapi seketika In Lui tak sanggup menjawab, mukanya
pucat lesi, matanya basah, meski sudah sekian lama masih belum
juga bersuara, keruan semua orang menjadi heran.
"Marilah bicara di dalam saja," akhirnya To-hoan ajak tamunya
masuk ke rumah.
Sesudah berada di dalam dan ambil tempat duduknya masingmasing, lalu Pit To-hoan secara singkat menuturkan pula kisahnya.
"Ai, dahulu ketiga saudara angkat telah mengerek bendera
pemberontakan bersama, tetapi kemudian hanya satu orang saja
yang merajai jagat (jagat di sini dimaksudkan negeri Tiongkok saja).Pahala dan Murka - 11 34
Terus terang, dalam hatipun aku sangat penasaran," kata To-hoan


Pahala Dan Murka Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pula sambil menghela napas. "Menurut peraturan keluarga kami
yang sudah turun temurun, tiap-tiap anak lelaki harus mengalami
kehidupan hwesio selama sepuluh tahun dan menjadi pengemis
sepuluh tahun, dengari peraturan ini, kesatu, sebagai peringatan
pada tradisi leluhur, kedua, dengan begitu dapat pula mengembara
ke seluruh negeri sambil mencari tahu di mana adanya lukisan yang
besar sekali hubungannya dengan nasib negara itu agar supaya
dapat digunakan sebagai modal perlawanan yang menentukan
dengan anak-cucu Cu Goan-ciang. Akan tetapi sekarang tidak perlu
lagi kubuang tenaga dan pikiran, putraku pun tidak perlu menjalani
kewajiban menjadi hwesio dan pengemis lagi."
"Apa artinya kata-kata Pit-loenghiong ini? tanya Na-cecu yang
masih belum paham.
"Ya, sebab dahulu secara tak tahu diri aku masih terus mencari
dan ingin mendapatkan lukisan mestika itu agar bisa menguasai
negeri kita, tetapi sekarang hariku sudah rela dan menyerah kepada
Thio Tan-hong, lukisan itu sudah ketemukan majikannya yang
setimpal," tutur Pit To-hoan lagi. "Tidaklah kalian mendengar
sanjak yang dinyanyikan Tan-hong pada waktu perginya tadi? Lihat
saja betapa gagah dan betapa besar jiwanya, tanpa tanya juga tentu
orang akan tahu dia pasti akan menuruti petunjuk dalam lukisan itu
untuk menggali harta benda pendaman leluhurnya beserta peta
yang tidak terhingga nilainya itu dan mengerek bendera
pemberontakan, dengan demikian ia akan membangun kerajaannya
dan sekali lagi berebut kuasa dengan keluarga Cu!"
Sampai di sini Ciu San-bin tidak tahan lagi, tiba-tiba ia melompat
maju.
"Hm, bukan mustahil negeri kita ini sudah dia hadiahkan kepada
bangsa lain!" jengeknya dengan ketus.Pahala dan Murka - 11 35
"Apa katamu?" tanya To hoan dengan mata terbelalak.
"Apa engkau belum tahu, Pit-locianpwe?" sahut San-bin. "Ayah
pemuda berkuda putih ini menjabat sebagai wakil perdana menetri
di negeri Watze, sedang Watze sudah bersiap-siap hendak
menyerbu negeri kita dalam waktu singkat ini, seorang diri ia
masuk ke pedalaman sini, kalau bukan untuk menjadi mata-mata
musuh, apa lagi yang akan dilakukannya? Bahkan akan jauh lebih
berbahaya daripada menjadi mata-mata, coba pikir saja, apabila
sampai ia mendapatkan peta miiiter yang berharga itu, lantas
semua tempat penting dan berbahaya di seluruh negeti kita ini akan
diketahuinya, bila peta ini ia serahkan kepada kerajaan Watze dan
menyerbu masuk menurut petunjuk peta itu, cara bagaimana
bangsa kita sanggup melawannya?"
Penuturan ini sama sekali di luar dugaan Pit To-hoan, seketika
mukanya berubah hebat.
"Apa betul omonganmu?" tanyanya lagi.
?Sedikitpun tidak salah," sahut San-bin. "Dengan kehormatan
nama kami ayah dan anak yang berbendera Jit-goat-sian-ki yang
dikenal siapa pun di jagat ini, mana mungkin urusan sebesar ini
kami berdusta, Bahkan tentang dendam sedalam lautan Insiangkong ini, bukan lain juga disebablan pengkhianat Thio Congciu itu! Adik Lui, coba ceritakan saja kepada para Enghiong yang
hadir di sini."
Waktu itu In Lui sedang berduka, matanya sudah basah, kini
didesak lagi oleh San-bin, seketika ia menangis hingga bersuara,
maka tak mungkin dia sanggup bercerita.
"Jangan sedih, adik Lui," lekas San-bin menghiburnya, "pasti Pitlocianpwe dan para Enghiong yang ada di sini akan membelamu,
biarlah aku mewakilkanmu bercerita."Pahala dan Murka - 11 36
Habis ini ia lantas berkisah tentang bagaimana In Ceng angon
kuda di negeri Watze dan tewas di tengah jalan pada waktu hampir
masuk tanah air sendiri.
Karena cerita ini, dengan lemas Pit To-hoan bersandar pada
kursinya.
"Pantas keluarga kami sudah mencari ke mana-mana akan
keturunan Thio Su-seng dan sedikit pun tidak memperoleh
jejaknya, tak tahunya mereka jauh menyingkir ke tanah gurun,"
selang agak lama baru To-hoan buka suara.
Tiba-tiba ia berdiri.
"Dapatkah Thio Su-seng mempunyai anak cucu yang tak
berguna?" katanya kemudian dengan sengit hingga jenggotnya
yang panjang ikut bergerak. "Kalau melihat sifat dan kelakuan Thio
Tan-hong tadi, mana bisa dia jadi pengkhianat?"
"Ada ayah semacam itu, tentu menurun anak semacam itu pula,
mana bisa menentukan jiwa orang dengan melihat luarnya taja!"
sahut San-bin.
Karena jawaban ini seluruh muka Pit To-hoan berubah menjadi
merah padam, kedua matanya melotot dan berapi.
"Jika begitu, jadi aku yang salah?" katanya dengan suara keras.
Nampak orang naik darah, San-bin menjadi bungkam.
"Lotoako (saudaraku) , menurut pendapatku memang kau yang
salah," tiba-tiba dari samping Tiau-im Hwesio menyambung
pembicaraan orang, "memang betul Thio Cong-ciu adalah seorang
pengkhianat besar, aku sendiri pernah masuk ke negeri Watze dan
hampir celaka oleh perbuatannya."Pahala dan Murka - 11 37
Oleh karena kata-kata Tiau-im yang terus terang memastikan
kesalahannya ini. seketika Pit To-hoan seperti balon yang kempes,
ia menjadi lemas rasanya.
"Jadi aku yang salah? Betulkah aku yang salah?" ia bergumam
dengan menunduk.
Melihat orang sudah padam amarahnya, segera San-bin buka
suara lagi, "Pit-locianpwe, sekali ini mungkin karena engkau kurang
waspada. maka kena diperalat oleh pengkhianat itu. Jika diingat
Thio Tan-hong telah mengundang para Enghiong untuk berjumpa
di rumahmu sini, tentunya dalam perhitungannya engkau akan
dipergunakan sebagai tameng, dan supaya engkau akan menolong
dia, agar selanjutnya para Enghiong di kalangan Lok-lim tidak
mencari kesukaran lagi padanya."
"Hm, jika betul dia adalah pengkhianat, aku sendirilah yang akan
membinasakan dia," sahut Pit To-hoan menjengek. Ia berucap
dengan sinar mata berapi, mukanya beringas, tetapi mengandung
rasa sangsi.
Mendengar lagu suaranya seperti belum mau percaya betul,
selagi Ciu San-bin hendak bicara lagi, tiba-tiba ia lihat Pit To-hoan
berjalan keluar, lalu dengan suara keras ia panggil anak buahnya.
"Lekas pergi mencari kabar," demikian ia memberi perintah
kepada centingnya. "Orang yang dikirim tadi apa belum kembali?"
Habis ini lantas ia kembali ke ruangan tamu lagi, sesaat
kemudian mendadak ia berkata kepada para tamunya, "Kalau betul
begitu, agaknya segera ada bencana yang akan menimpa tempat
ini!"
"Bencana apakah itu?" demikian beramai para gembong Lok-lim
bertanya. "Kita berada di sini, soal apakah yang tak dapat kita pikul
bersama?"Pahala dan Murka - 11 38
"Rupanya kalian masih belum tahu bahwa keluargaku ini adalah
musuh besar raja Beng turun-temurun," Pit To-hoan menjelaskan.
"Dahulu semasa Cu Goan-ciang masih hidup, ia telah memberi
perintah rahasia harus membabat sampai akar-akarnya keturunan
keluarga Thio dan keluarga Pit kami. Bahwa keluargaku
mengharuskan anak-cucunya menjalani kaul sebagai hwesio dan
pengemis, kecuali kedua alasan yang telah kukatakan tadi, masih
ada satu sebab lain ialah dengan begitu buat menghindarkan
pencarian musuh. Syukur berkat perlindungan arwah nenekmoyang, selama beberapa keturunan hingga kini jejak kami belum
pernah ketahuan.
"Tetapi mungkin karena aku terlalu ceroboh kian kemari di
kalangan kangouw hingga mendatangkan sumber penyakit, maka
beberapa tahun yang lalu aku sudah mencium bau selalu dikuntit
dan diincar oleh alap-alap pemerintah, karenanya aku menyingkir
dan berdiam di perkampungan terpencil ini.
"Di luar dugaan, belasan hari yang lalu, dalam kampung ini
diketahui pula ada jejak orang asing, menurut laporan penduduk,
orang pendatang itu pernah tanya tentang asal-usulku, tidak perlu
disangsikan lagi pendatang-pendatang itu pastilah anjing pemburu
atau alap-alap pemerintah."
"Terus terang saja, dalam beberapa hari ini sebenarnya aku
sudah menentukan hendak pindah tempat tinggal, tetapi karena
Thio Tan-hong itu menunjuk hari ini akan bertemu dengan kalian
di rumahku, maka aku tertunda di sini. Jika sampai diketahui musuh
bahwa para gembong kalangan Lok-lim sedang berkumpul di
rumahku, lalu dikirimnya jago-jagonya menggerebek ke sini,
bukankah kita akan terjebak semuanya?"
Mendengar penuturan ini, kecurigaan para gembong itu semakin
menjadi.Pahala dan Murka - 11 39
"Mana bisa begitu kebetulan? Menurut pendapatku, tentunya
bangsat cilik kuda putih ini yang sengaja pasang jebakan atas diri
kita!" kata Hek Po-ceng yang pernah dikalahkan Tan-hong.
Namun Pit To-hoan diam saja.
"Memang ini sangat mencurigakan!" Na-cecu menimbrung juga.
"Anak-cucu Thio Su-seng mana bisa berdiri satu pihak dengan
pemerintah sekarang ini?" ujar Pit To-hoan kemudian.
"Kenapa tidak bisa?" debat Ciu San-bin. "Kalau Thio Cong-ciu
ayah dan anak bisa menjadi mata-mata bagi negeri Watze, tentu
pula ia bisa menjadi mata-mata pemerintah di sini. Orang yang
bermoral rendah semacam mereka itu, pekerjaan apakah yang tidak
mungkin mereka lakukan?"
(Bersambung Jilid ke 12)Pahala dan Murka - 12 0Pahala dan Murka - 12 1
PAHALA DAN MURKA
Oleh : gan k.l.
Jilid ke 12
EMENTARA ITU di seluruh negeri sudah banyak sekali
pemberontakan yang digerakan oleh para pahlawan, di
antaranya terdapat pasukan yang memakai tanda ikat
kepala merah yang berkekuatan paling besar, pemimpin pasukan
ikat kepala merah itu telah meninggal dua tahun yang lalu, maka
tempatnya telah diganti oleh seorang pahlawan muda yang gagah
berani, ia menyerang benteng pertahanan musuh dan banyak
merebut daerah-daerah kekuasaan, pengaruhnya menjalar sampai
di selatan Tiangkang.
"Ya, ya, Thio Cong-ciu memang ada hubungan surat menyurat
dengan pembesar dorna Ong Cin, hal ini pun kuketahui dengan
jelas," seru Tiau-im Hwesio.
Namun Pit To-hoan tetap tidak gampang percaya, ia elus
jenggotnya sambil termenung-menung.
"Sebenarnya aku tiada curiga apa-apa padanya, tetapi setelah
mendengar Ciu-hiantit menjelaskan asal-usulnya tadi, inilah yang
bikin bingung padaku untuk memutuskan mana yang benar," kata
Pit To-hoan sejenak kemudian. "Ai, kedua soal tercampur menjadi
satu, sungguh bikin orang menjadi ragu, jangan-jangan dia
memang memainkan tipu mengulur waktu untuk mencegah aku
pindah rumah, dengan demikian supaya alap-alap pemerintah ada
cukup waktu untuk menangkap kita ke sini? Ai, sungguh kenal
muka orang sukar kenal hatinya, apa sekali ini memang aku salah
lihat orang dan keliru dugaanku?"Pahala dan Murka - 12 2
Biasanya Pit To-hoan bisa berlaku tegas dan cepat ambil
tindakan, tetapi menghadapi urusan Thio Tan-hong inilah satusatunya persoalan yang sukar baginya mengambil keputusan.
Sementara itu Ciu San-bin tidak sabar lagi, ia mendongkol
melihat keraguan orang.
"Soal ini kenapa harus disangsikan, tentulah Thio Tan-hong itu
yang atur perangkap ini," teriaknya. "Maka lekaslah kita berunding
cara menghadapinya nanti!"
Oleh karena itulah para gembong itu lantas berunding, ada yang
bilang hantam saja bila pasukan tentara musuh berani datang, ada
yang mengusulkan lebih baik menghindari saja, setelah itu bisa
menyebarkan Lok-lim-ci agar semua kawan baik di utara maupun
selatan supaya memusuhi Thio Tan-hong, harus dibikin tiap-tiap
tapak selalu mendapat rintangan dan tidik bebas bergerak.
Pit To hoan menjadi serba susah, ia dengar para gembong itu
ramai-ramai berunding' apa yang dilontarkan mereka seluruhnya
tidak menguntungkan namanya Thio Tan-hong, hanya In Lui saja
yang diam duduk di sudut, matanya kelihatan basah berkaca, ia
sama sekali tidak ikut bicara.
Tentu saja Pit To-hoan tambah curiga, ia pikir, kalau dibilang ada
dendam, maka orang inilah yang paling dalam permusuhannya
dengan Thio Tan-hong, tetapi kenapa dia tidak ikut buka suara,
jangan-jangan di dalam hal ini terdapat sesuatu yang tidak
diketahui orang lain?
Sebenarnya Pit To-hoan ingin mendekati In Lui dan ajak bicara
padanya, tetapi suara orang di dalam rumah sangat gaduh hingga
suara siapa yang sedang bicara tak terdengar jelas lagi.Pahala dan Murka - 12 3
Pit To-hoan berkerut kening, tetapi sekonyong-konyong pula ia
dengar dari jauh ada suara ringkik kuda, lalu ada orang berteriak,
"He, bangsat cilik berkuda putih itu datang lagi!"
Sesaat kemudian, suara keleningan kuda kedengaran semakin
dekat, maka dengan cepat Pit To-hoan mendahului lari keluar pintu,
ia lihat seorang penunggang kuda secepat terbang sedang
mendatangi, ia kenal kuda itu adalah kuda putihnya Thio Tan-hong.
Setelah dekat, ia lihat wajah Tan-hong mengunjuk rasa kuatir
dan gugup, jidat pun penuh berkeringat, setelah melompat turun
dari kudanya, segera anak muda itu mendekati, Pit To-hoan dan
berkata dengan cepat, "Paman hendaklah lekas lari!"
Namun Pit To-hoan sambut orang dengan mata mendelik.
"Bagus, sandiwara apa lagi yang hendak kaupertunjukkan?"
demikian sahutnya dengan dingin.
Sudah tentu sambutan ini membikin Tan-hong tercengang
sejenak, air mukanya berubah hebat, tiba-tiba ia mendongak dan
tertawa terbahak-bahak.
"O, Tuhan, siapakah orangnya yang bisa menyelami pikiranku?"
lalu ia berkata, "Pit-ya, dalam keadaan demikian ini aku pun tidak
ingin banyak putar lidah supaya engkau mau percaya. Aku hanya
minta agar engkau lekas pergi, pasukan tentara sudah datang dan
tiada sepuluh li lagi dari sini!"
Sama sekali Pit To-hoan tak menduga tentara musuh bisa datang
begitu cepat, ia menjadi gusar, "Bagus, biarlah darahku berhambur
di tanah ini, supaya bisa menjadikan ...."
Dalam keadaan gusar sebenarnya Pit To-hoan hendak bilang
"supaya bisa menjadikan jasa besar bagimu", tapi waktu sekilas ia
melirik Tan-hong, tiba-tiba terlihat baju pemuda ini penuh
berlepotan darah, wajahnya penuh mengunjuk kuatir, sikapPahala dan Murka - 12 4
demikian ini jelas tidak pura-pura, maka apa yang hendak
dikatakannya urung terucap.
"Kira-kiia sepuluh li di luar pedusunan sana aku kebentrok
dengaa pasukan tentara yang menuju ke sini, berkat kudaku yang
cepat, setelah kubacok roboh dua orang beruntung bisa kuterjang
keluar buat menyampaikan berita ini padamu," terdengar Tan-hong
berkata lagi.
Di luar dugaan, mendadak terdengar letusan api, ternyata Hek
Po-ceng yang berjuluk "Hwe-sin-tan" atau peluru sakti berapi,
sebelum orangnya maju, senjata rahasianya peluru berapi itu segera
menyamber dahulu dengan meletuskan suara menyalanya api,


Pahala Dan Murka Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebatang anak panah yang berekor api segera mengarah ke muka
Thio Tan-hong.
Dalam pada itu, dengan cepat para gembong tadi berduyunduyun membanjir keluar, "Bangsat cilik, apa kauanggap kami ini
anak kecil umur tiga yang boleh kaupermainkan sesukanya,"
demikian Na-cecu dari Him-am-coan mendahului mendamperat.
Habis itu, tanpa membsri kesempatan kepada Tan-hong untuk
buka juara, empat atau lima orang lantas mengerubut maju.
"Bocah cilik, pandai putar lidah, siapa yang dapat kau dustai?"
demikian para gembong itu beramai-ramai membentak, "Lebih
dulu mampuskan dia saja, kemudian baru kita bunuh tentara
musuh!"
Begitulah mereka memastikan Tan-hong adalah komplotan
tentara musuh, serantak orang banyak lantas mengerubut maju dan
Tan-hong terkepung rapat di tengah.
Namun hanya sekali-dua gebrakan, segera terdengar suara
nyaring beberapa senjata yang mendekat segera kena ditabas
kutung oleh po-kiam Tan-hong.Pahala dan Murka - 12 5
"Lekas maju, layani dia dengan pokiam," teriak San-bin sambil
mendorong In Lui yang sementara itu masih terpaku.
Karena itu, tanpa kuasa In Lui lantas lolos pedang dan melompat
maju di antara para gembong Lok-lim itu, ia lihat baju putih Tanhong melambai-lambai karena pemuda ini sedang melompat ke sini
dan meloncat ke sana di antara hujan serangan musuh yang jauh
lebih banyak itu.
"Hai, kalian boleh periksa kudaku itu, jika aku komplotan tentara
pemerintah, masa kubiarkan kuda mestikaku itu menderita luka?"
Tan-hong berteriak dan berusaha meredakan keroyokan orang.
Betul juga pada paha Ciau-ya-sai-cu-ma telah menancap dua
anak panah, agaknya terluka pada waktu dikejar tentara musuh.
Tokoh kalangan Bu-lim umumnya sangat suka pada pokiam dan
kuda bagus, apalagi kuda seperti Ciau-ya-sai-cu-ma yang tiada
bandingannya ini, maka dapat diduga betapa sayang Tan-hong
kepada binatang tunggangannya ini. Karena hendak lekas kembali
memberi kabar, dia tidak sempat lagi mencabut dulu anak panah
yang menancap di paha kudanya, karena pikiran inilah, para
gembong yang mengeroyok Tan hong ada separoh yang telah
mengundurkan diri.
"Siapa tahu ini hanya tipu-muslihat belaka?" demikian Hek Poceng masih berteriak kurang percaya dan merangsak maju dengan
ruyungnya.
Tiba-tiba terdengar suara "krak" yang keras, ternyata ujung
ruyungnya kena dipapas sebagian lagi oleh pokiam Tan-hong.
"Lekas maju!" seru San-bin kepada In Lui.
Karenanya In Lui segera menerjang maju lagi, ia papak orang
dengan sekali tusukan dengan tipu "giok-li-tau-so" atau Si gadis ayuPahala dan Murka - 12 6
melempar tali, air muka Tan-hong tiba-tiba berubah pucat, atas
serangan ini sama sekali ia tidak balas menyerang, ia hanya berkelit.
Sebaliknya melihat kelakuannya ini, Hek Po-ceng malah
menyangka pemuda ini tentu berdosa, maka jeri menghadapi
keroyokan. Tanpa pikir lagi ia ayun ruyungnya terus menyerang
pula beruntun dengan tipu "swat-hoa-kap-teng" atau kembang salju
menutup kepala, menyusul "ko-su-boan-kin" atau pohon tua
melingkar akar.
Akan tetapi kembali terdengar suara "keletak" lagi, waktu Tanhong ayun pedangnya menyambut serangan orang, tahu-tahu
ruyung baja lawan ditabas putus menjadi dua bagian tinggal bagian
atas yang masih terpegang dan tak bisa digunakan lagi.
Sementara itu demi berhadapan dengan Tan-hong, In Lui seperti
orang linglung saja, tangannya terasa gemetar, pedang masih
bergerak seperti menusuk, tapi tidak jadi ditusukkan.
"Api sudah menjilat sampai di depan hidung, kalian tidak lekas
melarikan diri, untuk apa kalian masih terus mengerubuti aku?"
demikian Tan-bong berteriak.
"Cis, kau kira kami kena digertak dengan tentara musuh? Justru
kami ini dibesarkan di bawah senjata tentara pemerintah itu!"
damperat Na-cecu.
Segera ia memberi tanda, ia pimpin kawan-kawannya merubung
maju lagi.
Lekas Tan-hong pntar pedangnya, dengan satu lingkaran ia
tangkis semua senjata lawan yang sementara itu menyambar ke
arahnya.
"Itulah Kim-ih-wi (pasukan pengawal kerajaan berbaju sulam)
yang dikirim dari kota raja, apa kalian kira mereka pasukan tentaraPahala dan Murka - 12 7
biasa?" demikian segera ia berseru lagi. "Tampaknya ketiga tokoh
tertinggi dari kota-raja juga datang semua!"
Tiga tokoh tertinggi dari kotaraja yang dimaksudkan Thio Tanhong itu ialah komandan Kim-ih-wi yang bernama Thio Hong-hu.
lalu Si-wi (pengawal pribadi) Sri Baginda, Hoan Tiong, dan Wisu
atau jago pengawal istana Koan Ciong.
Ketiga orang ini dahulunya berasal dari kalangan Bu-lim juga,
kepandaian mereka lain daripada yang lain, nama mereka sudah
tersohor di seluruh negeri, maka mereka disebut sebagai tiga tokoh
tertinggi di kotaraja. Sudah tentu para gembong Lok-lim terengang
demi mendengar kata-kata Tan-hong tadi.
Sementara itu kuda putihnya sedang meringkik, mungkin
kesakitan lantaran luka yang dideritanya.
Karena dialangi Tiau-im Hwesio dengan tongkatnya dan tak
mampu menerobos lewat, maka suara ringkik kuda itu semakin
keras.
"Kuda putih ini gagah dan bagus sekali, larinya secepat angin,
tetapi masih bisa juga dilukai panah musuh, orang yang mampu
memanah kuda putih ini kalau bukan ketiga jago tertinggi kotaraja
tentu pula bukan sembarangan orang, apa yang dikatakan pemuda
sastrawan ini memang benar dan tidak dusta" demikian Pit To-hoan
berpikir di dalam hati.
Didengarnya Thio Tan-hong lagi berseru, "Di belakang Kim-ihwi masih ada lagi pasukan induk Han-lim-kun (pasukan kotaraja),
jika tujuan mereka hanya ingin menangkap Pit-ya, buat apa mereka
mengerahkan pasukan sebesar ini? Bukan mustahil pasukan besar
ini hendak menggempur pangkalan kalian, sedangkan kalian tidak
berada di tempat masing-masing, cara bagaimana anak buah kalian
akan menghadapi gempuran mereka?"Pahala dan Murka - 12 8
Uraian ini baru benar-benar menggemparkan para tokoh Loklim itu, seketika ada sebagian menarik diri dan mencemplak ke atas
kuda masing-masing serta mohon diri kepada Pit To-hoan terus
pulang ke pangkalan sendiri.
Ciu San-bin menjadi gusar, teriaknya, "Bangsat, bisa juga kau
putar lidah dan menakuti orang. Kau sendiri bukan komandan Hanlim-kun, dari mana kau tahu siasat perang mereka, kecuali kau
memang sekomplotan dengan mereka,"
Tan-hong menengadah dan terbahak-bahak, sekali pedangnya
berputar, dengan jurus "pat-hong-hong-ih" atau hujan angin
merata delapan penjuru, ia tangkis senjata Na Thian sik, Hek Poceng dan Ciu San-bin.
"Hahaha, percuma ayahmu terkenal sebagai panglima
pertahanan di tapal batas, kau sendiri seumpama tidak pernah
belajar siasat seharusnya juga mesti tahu mana yang penting dan
mana yang tidak, andaikan betul aku ini 'bangsat pengkhianat'
sebagaimana kaukatakan, sekarang ingin kutanya, apabila musuh
luar sudah datang, apakah kalian tetap akan mengurus diriku
seorang saja tanpa menghiraukan nasib negara dan bangsa?
Bukankan perbuatan kalian ini terlalu ceroboh dan teramat bodoh?"
Belum lagi habis uraian Tan-hong, kembali ada sebagian
pengeroyok itu bubar dan tinggal pergi.
Muka Ciu San-bin bertambah merah, tepaknya murka,
"Pangkalan kami tidak berada di sini, tidak perlu kukuatir akan
diserang pasukan kerajaan. Aku justru ingin belajar kenal dulu
dengan ilmu pedangmu. Ayolah adik Lui, maju saja!"
Dan begitu In Lui menangkiskan pedang Tan-hong, kontan Sanbin mendesak maju dan membacok dengan goloknya.Pahala dan Murka - 12 9
Tan-hong tersenyum, sedikit mengegos dan tangan mengebas,
"trang", tahu-tahu golok terlepas dari tangannya.
Semua itu dapat dilihat dan didengar oleh Pit To-hoan, diamdiam ia membatin, "Bilamana Thio Tan-hong mau turun tangan
sesungguh hati, andaikan tidak mati pasti juga Ciu San-bin akan
terluka parah. Kawanan Cecu yang mengerubutnya pasti juga akan
terpapas kutung senjatanya."
Dalam pada itu si kuda putih masih terus meringkik karena
teralang oleh Tiau-im Hwesio.
Cepat Pit To-hoan memburu ke sana dengan mulut berkecek
menyuarakan bujukan serupa seorang penjinak kuda.
Kuda putih itu memang sangat cerdik, rupanya ia tahu
pendatang ini tidak bermaksud jahat, segera ia berhenti berjingkrak
lagi.
Pelahan Pit To-hoan membelai bulu surinya, sekali tarik secepat
kila ia cabut kedua anak panah dan segera pula ia membubuhinya
obat luka.
Pit To-hoan adalah seorang tokoh kangouw kawakan, segala
pengetahuan umum kaum pengembara cukup dipahaminya,
menjinakkan kuda dan mengobati kuda sakit juga menjadi
keahliannya. Tentu saja perbuatannya disaksikan Tiau-im Hwesio
dengan melongo.
San-bin sudah menjemput kembali goloknya, bersama Na Thiansik dan lain-lain masih terus bertempur.
In Lui tidak memperlihatkan sesuatu perasaan, pedangnya tetap
bekerja sama dengan Ciu San-bin dan melancarkan serangan
gencar terhadap Thio Tan-hong.Pahala dan Murka - 12 10
Pada saat itulah tiba-tiba Pit To-hoan berseru, "Thio-heng,
kudamu datang, lekas kau pergi saja!"
San-bin terkejut, waktu ia memandang ke sana, dilihatnya Pit
To-hoan telah menarik minggir Tiau-im Hwesiodan membiarkan
kuda putih itu menerjang ke sini.
Cepat Hek Po-ceng berseru, "Hei, jangan! Tangkap harimau
sukar melepaskannya gampang, akhirnya hanya akan
mendatangkan kesulitan bagi kita sendiri. Untuk ini hendaknya Pitloenghiong berpikir lagi."
Tapi Pit To-hoan berseru pula, "Thio-heng, maksud baikmu hari
ini kuterima di dalam hati, luka kudamu tidak parah, boleh lekas
kau lari saja."
Dengan tercengang Na Thian-sik lantas berhenti bartempur. In
Lui juga melompat ke samping, sekalipun Ciu San-bm tepaksa juga
menyurut mundur beberapa langkah.
Tan hong tersenyum, katanya, "Paman Pit, tidak perlu
kaupikirkan diriku, lekas kalian menyelamatkan diri dulu."
"Aku bersama keluarga masih harus berbenah seperlunya, boleh
kau lari saja lebih dulu!" seru Pit To-hoan. "Eh, Na-cecu, Hekcengcu, dan Ciu hiantit, hendaknya kalian juga lekas lari. Urusan
Tltio Tan hong ini tidak perlu kalian urus lagi."
Tanpa bicara lagi Na Thian-sik segera cemplak ke atas kudanya
dan berangkat.
Hek Po-ceng masih berdiri melenggong di tempatnya, kelihatan
bingung. Ciu San-bin juga tampak ragu.
Selagi hendak bicara, sekonyong-knyong terdengar suara
gemuruh lari beribu ekor kuda membanjir tiba serupa air bah.
Menyusul lantas terdengar mendenging panah bersuara sertaPahala dan Murka - 12 11
teriakan gegap gempita yang mengguncangkan lembah
pegunungan.
Air muka Pit To-hoan berubah, cepat ia memberi pesan beberapa
patah kata kepada pembantu rumah tangganya, lalu berucap
dengan sedih, "Suruh kalian lekas lari tidak mau sekarang ingin lari
pun sudah sulit!"
Kampung ini dikelilingi bukit, pada jalan yang menanjak keatas
bukit sana tampak melayang tiba tiga sosok bayangan orang secepat
terbang, menyusul di belakangnya adalah puluhan penunggang
kuda yang membanjir masuk perkampungan melalui mulut lembah.
Meski muncul belakangan ketiga sosok bayangan itu, tapi
mereka tiba lebih dulu di perkampungan iui. Jika didengar dari
suara gemuruh kaki kuda di luar lembah sana, dapat dibayangkan
masih ada ribuan perajurit Han-lim-kun yang telah mengepung
rapat di luar kampung sana.
Sambil terbahak Pit To-hoan menyongsong ke depan, "Aha,
orang she Pit yang sudah tua bangka ini masakah tahan sekali
pukul, kenapa ketiga Taijin perlu berkunjung sendiri ke tempatku
ini, sungguh suatu kehormatan besar bagiku."
Ketiga orang pendatang ini, yang di tengah adalah seorang
perwira bermata besar dan beralis tebal, tanpa marah pun kelihatan
kereng. Dia inilah Thio Hong-hu, komandan pasukan Kim-ih-wi,
kungfu andalannya adalah Ngo-hou-toan-bun to, permainan golok
yang jarang ada bandingannya.
Temannya yang berada di sebelah kirinya bermuka hitam serupa
pantat kuali, bergodek kaku, dia Hoan Tiong, pengawal pribadi Sri
Baginda.Pahala dan Murka - 12 12
Dan yang di sebelah kanan itu bermuka kuning hangus, kedua
mata melotot serupa mata ikan mas, dia adalah jago pengawal
istana pilihan bernama Koan Ciong.
Hoan Tiong dan Pit To hoan pernah bertemu satu kali di dunia
kangouw pada belasan tahun yang lampau, maka ia mendahului
bersuara, "Pit-toaya, kami hanya melaksanakan tugas atas perintah
atasan, maka janganlah kau marah kepada kami. Mohon engkau
sudi meringankan langkah dan ikut berangkat bersama kami, pasti
kami jamin takkan membikin susah padamu."
Pit To-hoan menjengek, selagi dia hendak menjawab dengan
kata-kata tajam, tiba-tiba Thio Hong-hu bergelak tertawa dan
berseru, "Ah. Hoan-hiante, ucapanmu ini kan tidak ada gunanya.
Masakah kau remehkan Cin-sam-kai yang termasyhur itu,
memangnya dia tokoh macam apa sehingga perlu kau bujuk supaya
menyerah begitu saja? Akan lebih baik kalau kita bicara secara blakblakan saja."
"Nah, Pit-toaya, urusan hari ini tampaknya tidak boleh tidak
harus saling gebrak, maka boleh kau keluarkan senjatamu dan coba
memberi petunjuk beberapa jurus. Jika kau mampu lolos dari golok
mestikaku ini, maka urusan betapa besar pun kutanggung sendiri,
pasti akan kulepaskan kau pergi."
"Mengenai para sahabat Lok-lim yang hadir di sini boleh
dikatakan kebetulan bertemu di sini tanpa diundang, maka boleh
sekalian ikut turun tangan saja. Adapun sahabat lain yang bukan
orang Lok-lim pasti takkan kami ganggu, boleh silakan angkat kaki
saja."
Sekilas pandang, tiba-tiba ia menuding dengan goloknya dan
berkata, ?Eh, Siucai-toaya ini terhitung sahabat dari golongan
mana?"Pahala dan Murka - 12 13
Yang dimaksudkan ialah Thio Tan-hong. Anak muda itu tertatva,
jawabnya, "Kau ini komandan pasukan, dan aku adalah embahnya
komandan!"
Thio Hong-hu tergelak, "Haha, jika begitu, tidak boleh tidak kita
juga harus coba-coba!"
Dalam perjalanan tadi Koan Ciong berjalan paling depan, dia
yang memanah kuda putih, setelah melirik Tan-hong sekejap,
segera ia berteriak, "Aha, kiranya kaupun berada di sini! Bagus,


Pahala Dan Murka Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bagus sekali, kuda putih ini harus kau tinggalkan untukku."
Segera ia pentang busur dan hendak memanah.
Hoan Tiong sangat suka kepada kuda bagus, cepat ia berseru,
"Jangan memanahnya, Koan-hiante, lebih baik ditangkap hiduphidup saja."
Serentak ia memimpin anak buahnya memburu maju untuk
menangkap kuda.
Tapi baru saja mereka melangkah, mendadak terdengar suara
jeritan di sana sini, beberapa jago pengawal itu kesakitan siku
tangannya serupa tercocok oleh jarum, saking sakitnya sehingga
mencucurkan air mata.
"Eh, kiranya dapat juga kau gunakan Bwe-hoa-ciam," seru Koan
Ciong. "Baik, kalau menerima tanpa membalas kan tidak hormat.
Lihat panahku!"
Sekali bidik, secepat bintang meluncur anak panahnya
menyambar ke depan.
Tan-hong tidak berani menangkapnya dengan tangan kosong,
cepat ia mengegos ke samping.
Keras sekali daya luncur panah itu, langsung menyambar ke
depan Tiau-im Hwesio. Cepat Tiau-im putar tongkatnya, "cring",Pahala dan Murka - 12 14
lelatu api muncrat, panah itu mencelat beberapa tombak jauhnya
dan jatuh di sana.
Dengan gusar Tiau-im berseru, "Mari kita terjang keluar, Ciuhiantit!"
Langsung ia putar tongkatnya dan menerjang ke tengah pasukan
pengawal kerajaan itu.
Hoan Tiong bersenjata bandul bertangkai, ia papaki si hwesio
dan mengepruk dengan senjatanya yang berat. "Tiang", tongkat
Tiau-im terbentur ke samping, tangan Hoan Tiong sendiri juga
tergetar sakit dan senjata hampir terlepas dari cekalan.
Dalam pasukan pengawal itu Hoan Tiong terkenal sebagai jago
bertenaga raksasa, selelah bergebrak satu jurus dengan Tiau-im,
ternyata kedua sama kuatnya, segera mereka bertempur dengan
sengit.
Sambil bergelak Pit To-hoan juga lantas mengeluarkan
senjatanya, Hang-liong-pang, toya penakluk naga, teriaknya, "Thiotaijin, syukurlah engkau cukup menghargai diriku, marilah kita pun
coba-coba!"
"Bagus!" seru Thio Hong-hu dengan tertawa. "Boleh kita
mengikuti peraturan kang-ouw, mari kita bertempur satu lawan
satu. jika kau mampu menerobos lewat di bawah golokku, kan
sudah kujanjikan tadi, kutanggung tidak ada yang merintangi
kepergianmu."
Cara bicaranya ternyata sangat takabur, seakan-akan dia pasti
menang.
Keruan Pit To-hoan sangat gusar, sekali tongkat berputar, segera
ia mengemplang.Pahala dan Murka - 12 15
Cepat Thio Hong-hu menggeser ke samping, golok membalik
Amukan Pendekar Edan 2 Sebilah Pedang Seribu Romansa Pedang Bilah Bambu Karya Mike Simons Pusaka Gua Siluman 4

Cari Blog Ini