Ceritasilat Novel Online

Amukan Pendekar Edan 2

Amukan Pendekar Edan Serial Tujuh Manusia Harimau 8 Karya Motinggo Busye Bagian 2 "Ha" Koq bisa gitu?" "Aku sekarang kenyang. Aku jadi kenyang karena kamu temani aku berbicara, Maukah kau menemani saya bicara sampai malam?" "Tentu." "Aku ingin membicarakan tentang diriku yang malang." "Silahkan." "Maka jawablah pribahasaku ini. Dalam ilmu silat pribahasa adalah bagian dari jurus hati. Pernahkan kau dapat wejangan ini dari Gurumu?" "Ya. Dalam persilatan, salah bicara, nyawa melayang." "Nah, kalau begitu kau pernah tahu apa itu kembang," kata Harwati. "Kembang itu bunga," kata Dasa Laksana. "Bunga itu wangi." "Tentu. Putik bunga itu wangi," kata Dasa Laksana, "Lalu pernah pula kamu mengetahui kumbang?" Koleksi KANG ZUSI "Tentu. Kumbang itu nama binatang." "Jika aku kembang, tentu kau kumbang," kata Harwati. Mendengar itu bulu roma Dasa Laksana merinding. Tapidia lebih merinding sewaktu melihat mata Harwati yang menyorotkan binar birahinya yang kelihatannya bagai kilat di malam gelap. "Sebaiknya aku pergi mencari makanan," kata Dasa Laksana. "Kalau begitu aku tahu isi hatimu," kata Harwati. "Janganlah kita bicara hal Itu," kata Dasa Laksana. "Kau mengelak. Tanda ada gadis yang kau cintai!" tuding Harwati. "Aku hanya memegang amanat," kata Dasa Laksana. "Siapa yang memberimu amanat?" "Guruku. Amanat itu berat," kata Dasa Laksana. "Sekarang aku tahu. Bukankah gurumu adalah Ki Putih Kelabu?" dan Harwati langsung berubah jadi buas, berdiri tegap memegang dua pedang Surandar ditangannya. "Akan kutebas siapa yang menghalangikul," lalu pedang itu diadunya sehingga terdengar bunyi gemerincing yang dahsyat. Bahkan kilatan api. Serial Tujuh Manusia Harimau (8) - Episode 22 Amukan Pendekar Edan Dasa Laksana ketakutan! Tetapi dia tidak boleh menyerah, menipu, ataupun munafik oleh gertakan itu. Seorang pendekar pantang bertekuk lutut dengan gertakan. Dan sekiranya dia mau memilih jalan yang gampang, dia tentu bisa. Main gombal saja! Tetapi pantangan seorang pendekar justru bermain gombal. Karena itu ketika dua mata pedang bergemerincing mengancam lehernya, dia tetap Harwati dengan mata beringas. "Kamu mempunyai ilmu. Saya pun mempunyai ilmu!" kata Dasa Laksana. "Ayo keluarkan ilmumu," ujar Harwati. "Saya tidak akan menyerangmu!" "Ayoh serang! Mana ilmumu!" "Ilmu kami dimulai dengan perkataan. Aku hanya akan memperingatkanmu! Tapi ingat, jika kau mulai menyerangku, ilmuku adalah tindakan. Kau bertindak, akupun akan bertindak." Koleksi KANG ZUSI Sesungguhnva mereka bukan berdua. Ada seorang saksi yang baru turun dari punggung kuda melihat pertengkaran itu. Tiba-tiba sang saksi ini menyaksikan gemerincing pedang itu. Dan Harwati yang semula tegak lalu berubah bagai putaran roda pedati! Tubuhnya yang berputar bagai roda pedati itu bagai menggelinding menuju sasarannya. Dasa Laksana sudah mengatur nafas dengan dua tangan terjulur kedepan dengan telapak tangannya yang meratap. Gelindingan itu disambut oleh dua telapak tangan Dasa Laksana, sehingga memballah sang penggelindingi Dasa Laksana sendiri tercengang dengan keampuhannya mencobakan tangkisan tenaga dalamnya. Lalu dia berkelebat memutar arah, sehingga dia berada di samping ketika Harwati sekali lagi menyerang dengan tubuhnya yang menggelinding. Dari samping itulah Dasa Laksana mengeluarkan jurus harimau mengibaskan ekor. Harwati berhasil menjebak jurus itu sehingga kaki Dasa Laksana dengan tendangan kibasan ekor berhasil terkena jepitan kedua kaki Harwati. Sebelum Dasa jatuh terjungkal ke belakang, pedang di tangan kanan Harwati menebas ke arah leher, tetapi untung Dasa segera menundukkan kepala. Saksi yang menonton tegang, cepat membuang nafas karena dia kira leher Dasa Laksana akan terpenggal. Dia sebagai penonton sudah tak sabaran lagi untuk ikut terlibat. Tetapi kini dilihatnya Dasa Laksana sudah merebut pedang Surandar di tangan kiri Harwati. Tanpa ragu pedang Surandar itu berbalik mau menghantam ke kepala Harwati. Tapi ajaib! Pedang itu rupanya tak sudi menyakiti pemiliknya. Begitu mata pedang itu menghantam jidat Harwati, terdengarlah bunyi nyaring disertai api berkilat. Malah terlepas dari tangan Dasa Laksana. Keadaan Dasa Laksana berubah dalam situasi terancam. Dia mundur, dan mundurnya itu membuat Harwati cepat membabatnya, apalagi pedang tadi sudah kembali ke tangannya. Dua babatan kiri kanan yang ditangkis oleh Dasa Laksana dengan lompatan-lompatan ke atas itu adalah membahayakan. Sang saksi yang nonton di balik kudanya itu semakin tegang. Tiap Harwati membabat dilayani Dasa Laksana dengan melompat, hingga tebasan itu cuma mengenai angin di bawah telapak kaki. Tapi si penyaksi di balik kuda itu kuatir, apabila Dasa Laksana terus melakukan hati itu, daya lompatnya akan berkurang, dan pedang itu bisa membuntungkan kakinya. Maka dengan kekuatiran yang amat besar, sang penonton, dengan tak bisa sabar lagi menyaksikan bahaya itu, lalu berseru: "Rubah dengan jurus harimau terkepung! Jurus harimau terkepung!" Seruan ini didengar oleh Dasa Laksana. Semangatnya bergelora. Harwati juga mendengar. Beringasnya tambah buas. Dia sabetkan pedangnya untuk menebas kaki Dasa Laksana sebelum Dasa merubah jurus.dan ketika itu dengan tidak diduganya dia merasakan pedih pinggangnya diserang lawan lain dari belakang. Seperti kena kibasan ekor harimau. Harwati sempat berkelit menjungkir terkena sabetan lawan lainnya. Begitu dia bangkit berdiri untuk melayani dua lawan, dia merubah permainan. Dia cuma berdiri tegak tetapi mempermainkan jurus permainan pedang sebagai dinding berputar. Jurus ini berat bagi lawan, karena sifatnya tidak menyerang melainkan menjebak. "Kau minggir Dasa!" "Baik, Guru!" sahut Dasa Laksana minggir menuju kuda. Ya memang betul, penonton tadi memanglah Guru, Ki Putih Kelabu, yang tak akan tega melihat muridnya terancam mati konyol. Kini dengan melibatkan diri, pada sebenarnya dia bukan mau menghancurkan Harwati. Dia justru ingin menyumbangkan ilmu kepada putri almarhum sahabatnya ini! Koleksi KANG ZUSI Dengan suara mengaum dia menerjang dinding pedang berputar itu, tetapi harimau itu justru terjungkal ke belakang. Dia mengaum dan menerjang lagi dengan berhasil kali ini karena kedua-dua pedang itu terlempar ke udara. Harwati cepat melompat ke udara merebut dua pedangnya, lalu mendarat di tanah dengan hantaman dua mata pedangnya ke punggung harimau. Serial Tujuh Manusia Harimau (8) - Episode 23 Amukan Pendekar Edan Bukan punggung harimau itu yang terkena, melainkan tanah yang langsung berhamburan sementara tetakan dua pedang pada tanah itu membuat dua pedang itu membal ke udara bersama Harwati yang memegang dua gagangnya. Di udara Harwati mengadu dua mata pedang itu sehingga arah iatuhnya ke bumi menjauhkan jarak. Maka setiba di tanah, dengan dua kaki terbelesek masuk tanah hingga mata kaki, Harwati berdiri tegak kokoh dan berkata: "Baru aku tahu kamu itu Ki Putih Kelabu!" ... ini diucapkan setelah Ki Putih Kelabu menjelma jadi manusia kembali. "Betul, nak." "Aku bangga melawan Tuan." "Aku bukan mau menghabisi kamu. Cuma mau mengajarmu." "Yang penting aku tahu, bahwa kau begitu getol membayangi pertarungan saya melawan Dasa Laksana agar dia bisa kau pungut mantu! " "Jangan bertengkar denganku. Ayahmu dulu tidak pernah bertengkar denganku." Lalu tampak tanah menghambur ketika dua kaki Harwati mencuat ke atas, dan dalam sekebatan dua mata pedang menggedor bahu kiri dan bahu kanan Ki Putih Kelabu. Begitu berkelebat, sehingga Dasa Laksana kuatir gurunya akan tewas, padahal tidak. Gedoran mata pedang itu Justru membuat Ki Putih Kelabu seketika itu pula menjelma jadi harimau dan mengeluarkan jurus harimau melihat bangkai. Jurus ini berbahaya. Karena apabila sang Guru kurang mengatur perasaan, kepala Harwati bisa kena terkamnya. Maka dia cuma mengembangkan bunga-bunganya saja sekedar mengelak pedang itu sampai ke sasaran berbahaya, yaitu pada bagian nyali. Perkelahian itu boleh dikatakan ibarat Kucing mempermainkan Tikus. Ini membuat Harwati geram karena dirinya cuma dijadikan tikusnya, dan tidak memungkinkan dia mengambil inisiatip. Dia sadar, Ki Putih Kelabu hanya menginginkan dia jadi lelah. Karena itu Harwati mengadu lagi mata pedangnya dengan semangat edan. Tapi dia sudah lelah. Kesempatan terakhir hanyalah dengan cara menetakkan dua mata pedang ke bumi, agar dia membal ke udara. Dia membal ke udara, lalu mengayunkan dua kakinya ketika di udara itu, agar dia dapat melayang jauh dan jatuhnya di atas pohon. Harwati hinggap di pohon. Dari atas pohon itu terdengarlah ketawa edannya yang berderai-derai. Ketawa itulah yang membuat Ki Putih Kelabu menyingkir mendekati Dasa Laksana. Lalu berkata: "Kasihan dia. Sungguh aku mengasihani dia melebihi kasihanku pada Pita Loka." "Aku tak butuh dikasihani. Hayo jamah tubuhku ke sini!" rupanya ucapan Ki Putih Kelabu itu kedengaran sampai ke atas pohon itu. "Kalau kau tidak ke sini, aku yang ke sana!" teriak Harwati lagi dan kedengaranlah suara tertawanya yang berderai. Koleksi KANG ZUSI "Anakmu sudah membela Dasa Laksana. Kini kamu pun membela Dasa Laksana sehingga aku makin tahu bahwa kalian semua itu menjadi penghalang seluruh tujuan hidupku!" "Aku tak menghalangi tujuan hidupmu"nak. Aku cuma menghalangi agar muridku tidak mati konyol oleh pedang saktimu. Kuharap kau turun, supaya kau sudi mendengar wejanganku. Kau tidak berbapak lagi, aku ingin menggantikan kedudukan ayahmu untuk menasehatimu!" "Aku edaaaan! Pergiiiiii!" Teriakan itu bukan menimbulkan benci. Tapi menimbulkan belas kasihan. Sebab setelah berteriak begitu Harwati kedengaran menangis dengan isakan yang menghibakan hati. Ki Putih Ketabu menatap pada Dasa Laksana. Katanya: "Kau sudah tabah memegang teguh amanat guru. Bagaimana jika aku pertanyakan padamu, apakah kau bersimpati kepada dia?" "Maksud Tuan Guru, agar saya mencintai dia?" tanya Dasa Laksana. "Begitulah. Tapi itu bukan amanat. Itu hanya buah pikiran." "Tidak, Tuan Guru. Saya akan memilih amanat tuan yang pertama. Yaitu melanjutkan turunan tuan agar tercipta bibit unggul yang kuat dan baik. Jika saya mencintai dia, turunan saya akan kurang waras." "Tapi Pita Loka juga buta!" "Bedanya lain, Tuan Guru. Saya mencintai Pita Loka karena saya patuh dari awal. Tapi jika Tuan Guru punya buah pikiran agar saya mencintai Harwati, itu anda temukan di tengah jalan. Padahal perjalanan batin saya ini sudah agak jauh. Karena tadi itu cuma buah pikiran, bukannya amanat, saya hanya akan tunduk pada amanat." Sang Guru menguji dengan pertanyaan: "Tidak kau dengar isak tangisnya di atas itu?" "Saya mendengar. Tapi tidak tergoda. Dia edan," kata Dasa Laksana. "Itu bukan edan yang sesungguhnya. Dia edan karena itu bagian dari perjalanan tuntutan ilmunya," kata sang Guru, menguji lagi. Serial Tujuh Manusia Harimau (8) - Episode 24 Amukan Pendekar Edan Karena keasyikan memberi wejangan pada muridnya, Ki Putih Kelabu tercengang melihat pancaran api kuat bagai bola api menghambur dari pohon ke pohon lain dan pohon lain menuju tenggara. "Kasihan. la harus mengembara lagi," kata Ki Putih Kelabu. "Mungkin dia ke desa Meranti," kata Dasa Laksana. "Bagaimana dengan Pita Loka?" tanya Ki Dasa Laksana. "Saya kira dia masih akan mengembara lebih lama lagi." Koleksi KANG ZUSI "Saya mengucapkan selamat atas permainanmu. Tapi ingat, seorang pendekar tak boleh asyik dengan satu jurus permainan saja. Itu akan menguras tenaga, Setiap lompatan ke udara akan lebih menguras daya tahanmu ketimbang kau melakukan permainan bawah." "Lain kali akan saya ingat pesan Tuan Guru," ujar Dasa Laksana. "Kukira ada baiknya kau menemani perjalanan saya. Saya barusan saja menemui Nyi Tunggal Surya Mulih di padepokannya, Beliau tidak mewarisi ilmu suaminya. Tapi anjurannya sangat baik. Aku mesti menemukan beberapa harimau asal, pewaris syah tujuh harimau. Menurut Nyi Tunggal, tujuh manusia harimau harus mengadakan pertemuan. Banyak hal besar yang mesti dirembugkan." "Boleh saya mengetahui nama Tujuh Manusia Harimau itu, Tuan Guru?" tanya Dasa Laksana. "Boleh saja. Aku hanya akan menyebutkan nama yang aku ketahui. Sebab jumlah tujuh itu, yang hanya mengetahui cumalah Ki Tunggal dan pewarisnya. Pewarisnya inilah yang masih gelap bagi kami. Tapi beberapa nama seperti namaku, Ki Jengger, Ki Surya Pinanti, Ki Madu Prakasa, Ki Ca Hya, setidaknya merupakan lima harimau yang syah berdasar Kitab Tujuh yang aseli." "Ki Lading Ganda bukan salah seorang tujuh harimau?" "Ternyata ia bukan. Setelah jadi harimau syah, la suhu. Tak pernah terjadi seorang suhu menjadi gila seperti beliau. Tapi ia tabah," kata Ki Putih Kelabu. Lalu dia melompat ke punggung kuda. "Aku sebetulnya amat rindu bertemu muka dengan puteriku," ujar sang Guru ketika mereka mulai memacu kudanya. "Kita menuju ke pasenggerahan," ujar Ki Putih Kelabu. "Apa itu pasenggerahan?" tanya Dasa Laksana. "Pasenggerahan adalah tempat istirahat seorang suhu," ujar Ki Putih Kelabu, "Tapi penamaan itu cuma aku yang menggunakan. Kuberikan khusus pada Ki Ca Hya. Aku mendapat wangsit, bahwa puteriku Pita Loka sedang berguru pada beliau." Kuda itu semakin dipacu kencang. Ketika kuda itu melintas desa Meranti, Dasa Laksana sempat menoleh ke desa itu, siapa tahu ia mengetahui Harwati ada disitu. Ketika Dasa menoleh, Ki Putih Kelabu tahu. Beliau barkata: "Rupanya kau masih menaruh perhatian menengok desa itu." "Saya kuatir kalau kita kena jegal lagi oleh Harwati, Tuan." "Maksudmu bukannya kau mengkhawatirkan nasib pendekar edan itu?" tanya sang guru menjebak.Dasa Laksana hanya membungkam mulut, karena jika dia salah menjawab maka nilainya bisa dianggap rendah oleh Ki Guru. Memang Harwati terjaga dari tidurnya di ambin bambu ketika dia mendengar derap kaki kuda di lembah bawah. Koleksi KANG ZUSI Dia duduk, mengusutkan rambutnya lebih kusut lagi lalu ketawa menyeringai. Dia lalu berkata dengan hiba dengan air matanya yang bercucuran: "Akan beginikah nasibku selalu" Tidak akan pemah ada orang yang mencintaiku!" Airmatanya bercucuran, Lalu dia memegang dua pedangnya, dan mengadu mata dua pedang itu hingga bergemerincingan, Lalu berkumpullah penduduk Meranti itu seraya berseru: "Ayoh, pendekar! Mainkan ilmu edanmu lagil" "Ini edan! Ini edan!" kata Harwati mulai meloncat. Tingkah lakunya membuat penduduk Meranti terhibur dan tertawa. Tetapi setiap dia mengeluarkan jurus-jurus yang diminta, penduduk tak tahu airmatanya semakin banyak berhamburan. Dan itu membuatnya lemas. Dia menangis merengek macam anak kecil, lalu berjalan sempoyongan menuju nenek tua dan berkata: "Aku lapar, bu, Aku haus dan lapar. Kasihani aku, aku lapar, lapar, laparrrr." "Mari ke rumahku," ujar sang nenek. Tapl Harwati sudah meloncat lebih dahulu dan masuk ke rumah perempuan tua itu dan mengambil nasi yang sedang dijarang dalam kukusan. Asap mengepul, nasi itu hampir masak, tetapi sudah dikerumas oleh jari tangan pendekar edan itu, dengan lahap masuk ke mulutnya. Kemudian dia mengangkat gentong kecil berisi air. Mulut gentong yang lebar itu mengucurkan air ke mulut Harwati, tapi sekalian pula dengan itu pendekar edan sudah mandi.... Serial Tujuh Manusia Harimau (8) - Episode 25 Amukan Pendekar Edan Sementara itu, di tempat pertapaannya, di Lembah Tujuh Bidadari, Guru Gumara malam itu melihat tumpukan cahaya melingkar di sekitarnya. Lingkaran itu bundar Amukan Pendekar Edan Serial Tujuh Manusia Harimau 8 Karya Motinggo Busye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo sekali dengan garis tengah sekitar sepuluh meter. Ketika ia melihat ke langit, rupanya sinar cahaya itu tegak lurus ke atas, bertepatan dengan bintang Venus. Gumara memejamkan mata. Antara tidur dan tidak, dia menyaksikan dua ekor kuda dipacu penuh menuju ke satu padepokan yang rumah-rumahnya bersih dengan cat putih. la metihat seorang pendekar tua menyambut dua pendekar berkuda itu, Namun ia tidak jelas siapa mereka bertiga itu. Mereka tampak saling beramah tamah. Gumara lalu membuka mata. la belum puas. Tetapi sebelum dia mendapat jawaban firasat, terdengarlah suara hiruk pikuk. Ada suara teriakan minta tolong dari arah selatan. Gumara berdiri dengan sigap. Tampaknya suara teriakan itu semakin dahsyat. Lalu pendekar pendiam ini melompat sigap meninggalkan Lembah Tujuh Bidadari kearah pedukuhan. Sesungguhnya pedukuhan itu jauh letaknya. Tetapi karena lembah ini menampung suara, kedengarannya amat dekat. Gumara menempuh jarak itu dengan jurus lompatan demi lompatan harimau api. Bagai harimau api ia langsung mengaum ketika dia dapati enam orang anak-anak muda buntung sedang dicambuk oleh Dasa Laksana Buntung. Pakaian mereka aneh. Semua anak remaja itu mampu menangkis cambukan itu. Dasa Laksana Buntung tampaknya gawat juga oleh perlawanan mereka. Gumara hanya menonton sejenak membiarkan penduduk pedukuhan itu masih menjerit. Koleksi KANG ZUSI Ketika Dasa Laksana Buntung akan mencambuk anak paling remaja yang dikenal Gumara di Kumayan bernama Caruk Putih itu, Gumara berseru tegas : "Hentikan!" Dasa Laksana Buntung membalik. Begitu dia melihat Gumara, dia arahkan cambuknya dan sekelebatan cambuk itu memecut ke arah Gumara. Gumara memegang cambuk itu sebelum mengenai tubuhnya, lalu dalam sekebatan cambuk itu berbalik membuat Dasa Laksana Buntung terlempar ke udara. Caruk Putih berseru : "Pak Guru!" Lalu dia berlari memeluk Gumara. Anak-anak remaja buntung yang lainpun memeluk Gumara : Talago Biru, Agung Kifli, Abang Ijo, Aria Kuning, Sura Jingga yang kelihatannya mereka semua merasa rindu. Dasa Laksana Buntung bangkit, lalu berteriak: "Nyi Kembar! Tolong aku!" Nyi Kembar masih berpelukan dengan anak-anak buahnya, lelaki-lelaki tegap yang kesemuanya ketiduran karena bermabuk-mabuk semalam suntuk. Gumara masih memegang ujung tali cambuk. Anak-anak remaja buntung itu merasa heran mengapa Dasa Laksana Buntung dibiarkan saja berteriak-teriak. "Hajar dia. Tuan Guru!" seru Agung Kifli. "Aku ke sini cuma untuk menyelamatkan kalian. Hei, Pendekar Buntung. Sebaiknya tingkatkan dulu ilmu kau sebelum melawanku. Aku perintahkan sampai sepuluh hitungan agar kau pergi dari sini bersama sekutu setanmu!" "Nanti dulu! Aku mohon satu jawaban!" "Katakan padaku, di mana sekarang orang muda yang nenyamar memakai namaku?" "Dasa Laksana?" tanya Gumara. "Ya." "Apa perlunya denganku?" "Ada perlunya untukku. Dia pernah berguru kepadaku! Kuperintahkan agar dia menyamar belajar pada Ki Putih Kelabu. Tapi sepertinya dia berkhianat karena tidak kembali lagi." "Sungguh licik, kau! Kau suruh menyamar belajar pada Ki Putih Kelabu untuk apa?" "Untuk menculik Pita Loka di kemudian hari. Kau tahu, aku mencintai Pita Loka. Aku ingin ilmunya. Bukankah Pita Loka itu sainganmu" Musuhmu?" Gumara tersenyum. Katanya seraya menoleh pada Agung Kifli : "Ini, si pemain gitar dari Kumayan, sepupunya, akan lebih tahu." Agung Kifli berkata : "Guru Gumara ... saya pernah menjelaskan pada Ki Dasa Laksana Buntung ini ... bahwa tuanlah yang punya hak untuk jadi suami Ki Pita Loka. Bukan dia! Tapi kami selalu kena siksa bila menjelaskannya. Kenapa tuan tidak bunuh saja dia sekarang" Atau kami membunuhnya?" Mendengar itu Dasa Laksana Buntung menyembah-nyembah. Dia berlutut di tanah. Koleksi KANG ZUSI "Aku akan hitung sampai sepuluh. Lalu kau dan sekutumu enyah dari pedukuhan ini. Ini dukuh suci, penduduknya awam tak sudi melawan. Jangan kalian peras orangorang awam, karena do'a mereka akan langsung dikabulkan apabila kau berbuat kejam pada mereka. Satu... Dua...." Serial Tujuh Manusia Harimau (8) - Episode 26 Amukan Pendekar Edan Rupanya Nyi Kembar dan anak buahnya pun akhirnya mendengar ancaman itu. Sehingga, ketika Gumara sudah menghitung : "Tujuh ... delapan ...," dia segera memberi isyarat pada anak buahnya untuk segera kabur. "... Sembilan ... sepuluh!" seru Gumara dan membalik cambuk lalu melecut Dasa Laksana Buntung. Pendekar buntung itu melolong kesakitan. Gumara melemparkan kembali pecut cambuk itu pada Dasa Laksana. Sehingga Agung Kifli bertanya : "Kenapa Guru kembalikan?" "Itu senjatanya. Sebaiknya kita jangan memakai senjata lawan," ujar Gumara menjelaskan. Tak lama kemudian, hanya gumpalan debu yang beterbangan karena kuda-kuda pendekar bajingan itu berlomba cepat meninggalkan pedukuhan itu. Setelah mereka pergi, Gumara berkata pada rejama-remaja bertangan buntung itu : "Jangan kecil hati karena tangan kalian yang cacad. Juga jangan menganggap bersalah karena kalian pernah ikut jadi anak buah Dasa Laksana Buntung. Jangan! Semua pengalaman ada gunanya. Asal tahu batasnya. Aku pernah bermimpi, pada suatu malam kalian berkumpul di Lembah Bidadari untuk memulai ilmu Persilatan Sejati bersama Ki Pita Loka. Salahkah mimpi saya itu?" "Mimpi itu betul, Guru!" ujar Caruk Putih. "Dalam mimpi itu, Ki Pita Loka berkata, bahwa kalian semuanya kelak akan dikenal di kawasan persilatan sebagai ENAM PENDEKAR BUNTUNG. Salahkah mimpiku itu?" "Mimpi anda betul, Tuan Guru!" "Nah, kalau itu betul, apa yang sudah kalian jalani selama ini adalah bagian dari penggemblengan ilmu seperti yang tertera dalam Kitab Tujuh. Tapi harus kalian ingat. Banyak pendekar sesat sekarang ini, yang menggunakan anak-anak semuda kalian. Seperti halnya Dasa Laksana Buntung yang berdalih akan mendapatkan Kitab Tuiuh dengan menggunakan kalian sebagai tameng. Masih kalian ingat, dulu pernah menyerbu dan bikin kacau di Kumayan" Nah, sekarang aku ingin meluruskan jalan kalian atas kesesatan yang dibuat oleh Dasa Laksana Buntung. Mari ke Lembah Bidadari agar kalian bisa kulatih melanjutkan latihan yang diberi oleh Ki Pita Loka." "Di mana Ki Pita Loka sekarang ini, Guru?" "Aku tidak tahu. Yang pasti, dia sedang memperdalam ilmunya. Tentu dia akan berjumpa suatu kali dengan Nyi Kembar yang sudah bergabung dengan Dasa Laksana Buntung," ujar Guru Gumara. Lalu berangkatlah anak-anak muda itu mengikuti Guru Gumara menuju Lembah Bidadari untuk mendapatkan gemblengan baru. Koleksi KANG ZUSI Setiba di Lembah Bidadari, Agung Kifli bertanya pada Guru Gumara : "Tuan Guru, kenapa anda tidak bergabung saja dengan Ki Pita Loka?" "Sulit sekali. Saudari sepupumu itu seorang keras kepala. Dia tak sudi menyembuhkan penyakit gila adik tiriku Harwati. Hanya karena menduga-duga bahwa aku akan mencintai Harwati. Apa masuk akal saudara sedarah bisa jadi suamiistri?" "Tapi kami dengar Tuan Guru memang bukannya putra Ki Karat," kata Agung Kifli. "Darimana kau dengar?" "Ketika kami diperkenalkan dengan Ki Kembar. Aku menyebut nama Ki Pita Loka untuk menjelaskan dia sebagai saudara sepupuku. Lalu Dasa Laksana Buntung diberikan keterangan oleh Ki Kembar bahwa anda, Tuan Guru ... maaf, anda dikatakannya bukan kakak-beradik dengan Harwati. Malahan dia ramalkan anda akan menjadi suami Ki Harwati. Mana yang benar?" tanya Agung Kifli. "Yang benar adalah Harwati mencintaiku. la sulit melepaskan cintanya. la mencintaiku setengah mati. Aku adalah titisan darah Ki Karat. Dia pun titisan darah Ki Karat. Kalian sudah ditipu oleh rangkaian cerita palsu. Untuk membedakan yang benar dan yang palsu mudah saja. Kalian pernah ikut dengan gerombolan setan Dasa Laksana Buntung. Itu pengalaman hebat. Tapi apakah pengalaman itu tak lebih dari pengalaman merampok dan memperkosa wanita" Begitu juga dengan Nyi Kembar, istri Ki Kembar! Bukankah pendekar wanita ini menyukai berhubungan dengan anak-anak lelaki berusia muda" Ini suatu bukti bahwa ilmu Ki Kembar diwariskan secara sesat. Semua pengikutnya sesat. Dan karena itu semua ceritanya sesat dan palsu pula. la sengaja menyebar kisah palsu mengenaiku agar aku kawin dengan Hanwati dan tidak jadi memperistri Pita Loka. Tahu kalian, bahwa para pendekar sesat ketakutan apabila aku mengawini Pita Loka kelak akan melahirkan bibit turunan pendekar unggul" Itulah soalnya. Karena cerita persilatan tidak akan musnah dari bumi ini. Begitu pun turunan darahnya. Demi guru-guru terhormat sebelumku, ceritaku tak bohong," ujar Guru Gumara. Serial Tujuh Manusia Harimau (8) - Episode 27 Amukan Pendekar Edan Mendengar penjelasan itu, Agung Kifli maupun Caruk Putih terpana. Kedua anak remaja ini sering membicarakan kisah segitiga Guru Gumara, Ki Pita Loka maupun Ki Harwati. Caruk Putih bertanya pada Guru Gumara : "Jadi Ki Harwati tidak akan sembuh gilanya jika tidak diobati oleh Ki Pita Loka?" "Menurut Ki Jengger, salah seorang dari Harimau Tujuh memang begitulah. Sedangkan benda sakti pengobatnya adalah Intan Solaiman Permata Hijau. Ketika Pita Loka menolak mengobati kegilaan Harwati, dia buktikan penolakan itu dengan membuang intan sakti itu. Ke udara!" "Alangkah sayangnya," ujar Caruk Putih. "Tapi itu tak bisa disalahkan. Peperangan ada dua macam. Peperangan dengan senjata. Dan peperangan dengan mulut, yaitu fitnah. Kadangkala peperangan dengan fitnah ini justru bisa membunuh. Dia mempengaruhi akal manusia, sehingga kawan pun jadi lawan. Ki Kembar sudah mewarisi perang fitnah ini turun temurun. Mungkin yang terkena pengaruh kisah fitnah itu adalah Koleksi KANG ZUSI Pita Loka sendiri. Sehingga dia yakin aku ini bukan anak Ki Karat dan bisa kawin dengan Harwati. Maka dia buang intan sakti yang bisa menyembuhkan orang gila." "Kalau begitu bukankah Ki Pita Loka bisa diluruskan" Tangkap dia, lalu paksa dia!" kata Caruk Putih. Anjuran anak remaja itu membuat Guru Gumara tertawa kecil. "Tujuh Harimau harus bersatu! Saya sendiri mendengar bisik-bisik Nyi Kembar dengan anak buahnya beberapa hari yang lalu. Bahwa anda, Guru Gumara adalah salah seorang dari Tujuh Harimau. Dia juga mengatakan, Ki Pita Loka lawan berat. Karena dia pewaris dari salah sebrang Harimau Tujuh. Kalau Ki Pita Loka menolak anda, itu berarti dia belum lagi afdol untuk disebut salah satu Harimau Tujuh, bukan" Bukan?" "Dalam dunia persilatan, semua kemungkinan adalah mungkin. Tapi mungkin juga, dia masih dalam alam penggemblengan ilmu yang lebih tinggi. Memang usulmu baik. Enam harimau bersatu untuk menjinakkan Ki Pita Loka. Itu usul hebat. Tapi mungkin Pita Loka punya jalan sendiri karena dalam penggemblengan," kata Guru Gumara. "Lalu Tuan tentu tahu, di mana Ki Pita Loka sekarang ini," ujar Agung Kifli. "Karena kamu mendesak untuk saya jawab, akan saya Jawab sekarang: Dia sekarang berada dalam bimbingan Ki Ca Hya, salah seorang pendekar Harimau yang melawan musuhnya cuma dengan cahaya!" Anak-anak remaja itu tercengang. Caruk Putih bertanya: "Tuan Guru tidak memiliki ilmu itu" Bisa kami diberi?" "Itu ilmu tertinggi. Bahkan perang dijaman moderen ini kelak bukan lagi menggunakan peluru. Tapi perang cahaya," ujar Guru Gumara. "Ki Pita Loka sekarang ini di pedukuhan Ki Ca Hya?" tanya Agung Kifli dengan penuh semangat. Guru Gumara memejamkan mata sejenak. Dalam berpejam mata itu seakan-akan dia melihat suatu kejadian dahsyat. "Suatu kejadian dahsyat yang sulit kuceritakan," ujar Gumara. Kejadian dahsyat itu memanglah sedang terjadi. Rupanya, Ki Putih Kelabu menyuruh muridnya, Dasa Laksana, pulang ke Kumayan naik kuda. Karena Ki Putih Kelabu ingin menetap sementara di pedukuhan Ki Ca Hya menanti kembalinya puteri beliau tercinta, Pita Loka. Tapi Dasa Laksana singgah dulu di desa Meranti. Dia berharap bertemu dengan Harwati. Namun desa Meranti yang penduduknya cuma 97 orang itu sedang mengalami malapetaka. Dasa Laksana buntung bersama Nyi Kembar sudah membantai 41 orang. Sedangkan Harwati cuma berdiam diri saja, malahan dia seperti tak punya perasaan, tidur mengaeletak, mendengar jerit pekik penduduk yang panik itu. Malahan dia tertawa sembari tiduran. Ketika rumah nenek tua digeledah Nyi Kembar, lalu nenek tua itu berteriak, barulah Harwati dengan cekatan mengambil dua pedang Surandar dan menghambur menghantam pinggang Nyi Kembar. Dia mengamuk dahsyat. Nyi Kembar jungkir balik sekeluar dari rumah. Harwati mengejarnya dengan teriakan mengerikan. Dasa Laksana Buntung mencegatnya. Cambuknya menangkis pedang Surandar, dan membelit di gagang pedang Koleksi KANG ZUSI itu, dan dengan mudah membuat Harwati terjungkir, Namun pedang itu tidak lepas, sekali lagi dia harus hadapi dua kepungan pendekar setan. Harwati menjerit lantang sebelum dua pedang diarahkan ke pada dua kepala lawan. Tetapi lawan sudah menghambur ke udara. Harwati menekankan pedang ke bumi, dan menyusul lawan ke udara. Di udara dia terkena tubrukan dan jatuh ke bumi, Begitu dahsyat jatuhnya sampai tubuhnya memblesek masuk tanah hingga dengkulnya. Dan dia tak bisa berkutik dengan pedangnya. Dua kali pedang itu dia tetakkan ke bumi, baru kemudian tubuhnya keluar bagai air muncrat bersama muncratnya tanah! Serial Tujuh Manusia Harimau (8) - Episode 28 Amukan Pendekar Edan Ketika itu keadaan Harwati tetap saja sulit. Rupanya Dasa Laksana Buntung maupun Nyi Kembar menginginkan pedang Surandar yang sakti itu. Berkali-kali terjadi pergulatan di udara dengan kemampuan ilmu masing-masing. Yang beruntung adalah Nyi Kembar. Dengan menipu Harwati agar lebih lama lagi bertempur di udara, waktu Dasa Laksana Buntung gagal merebut pedang, Nyi Kembarlah yang merebutnya. Dia jatuh di bumi menanti jatuhnya Harwati yang sudah siap akan ditebasnya. Namun ketika dia akan ditebas sebuah keajaiban timbul. Seekor kuda menyeruduk dan seorang pendekar muda loncat dari kuda dan merebut pedang di tangan Nyi Kembar. Dasa Laksana Buntung berseru: "Hai, dia muridku!" Dasa Laksana menjawab: "Anda pendekar buntung yang keji! Aku bukan muridmu Aku musuhmu!" "Pengkhianat!" teriak Dasa Laksana Buntung yang melompati tubuh Dasa Laksana. Dasa Laksana tanpa ragu menebas pedang Surandar di tangannya. Si buntung berlumuran darah, dan ketika ia berusaha mundur untuk lari, satu tebasan lagi muncul dari belakang, kali ini dari Harwati. Dasa Laksana Buntung tersungkur. Dia sempat memaki: "Kamu mcngkhianati diriku." "Kamu mengotori kesucian persilatan!" bantah Dasa Laksana, yang dengan cekatan berbalik menguakkan kaki menangkis terjangan Nyi Kembar. Dasa Laksana yang buntung, yang hampir sekarat, masih juga berusaha menangkap kaki Dasa Laksana muda... dan pendekar muda ini tersungkur lalu kepalanya ditendang oleh Nyi Kembar. Tendangan itu jadi tidak ampuh sebab punggung Nyi Kembar dihantam pedang Surandar di tangan Harwati. Dasa Laksana bangkit. Dia melibat Dasa Laksana Buntung masih berusaha berdiri, ialu disabetnya pedang itu tepat mengenai leher. Kepala si buntung itu terpisah dari badan, dan kepala itu menggelinding. Harwati tertawa terbahak. Tapi Nyi Kembar menyergap lengannya ketika itu, dan pedang Surandar lepas karena cengkeraman tadi. Dasa Laksana, sang pendekar muda yang berubah beringas, menghantamkan pedangnya pada Nyi Kembar, Pedang beradu pedang. Tapi Dasa Laksana ingat keampuhan pedang itu, Ialu dia tetakkan ke bumi, sehingga ketika Nyi Kembar mengayunkan pedang mau menebas, Dasa Laksana sudah mengudara. Ketika Nyi Kembar mau menetakkan Koleksi KANG ZUSI pedang ke bumi, sebuah sergapan kepak bangau menerpa bahunya, sehingga Nyi Kembar tersungkur, jumpalitan, menabrak pohon rambutan dan pohon itu roboh bercerabut bersama akarnya. Makin seru terkena sergapan begitu, semakin tangguh tenaga dalam Nyi Kembar. Tiba-tiba saja muncul tiga pendekar lagi. Dua orang Ki Kembar yang sudah mati, dan satu lagi Nyi Kembar yang sudah mati! Nyi Kembar dibantu oleh tiga sosok roh halus! Nyi Kembar berteriak pada Harwati dan Dasa Laksana: "Nyawa kalian tinggal sejengkal. Serahkan pedang kembar Surandar itu! Itu milikku yang syah, yang dirampas oleh Ki Tunggal Surya Mulih!" "Kau berdusta," ujar Harwati. Dasa Laksana yang tadi sangat buas, kelihatan mulai bergidik. Harwati juga kebingungan menghadapi tambahan tiga sosok roh halus yang menjelma menjadi raga mengerikan. "Kalian berdua sudah diambang kematian," ancam Nyi Kembar, "Ilmuku dibantu oleh ruh suamiku dan ruh saudara kembarku beserta suaminya. Kini serahkan pedang Surandar itu sebelum kalian mati konyo!" Amukan Pendekar Edan Serial Tujuh Manusia Harimau 8 Karya Motinggo Busye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Jangan!" tiba-tiba muncul suara dari semak-semak. Dan muncullah Pita Loka dengan sebuah cambuk ditangannya. Ketika Nyi Kembar melompat, sebelum melompat bahkan Pita Loka sudah tahu bahwa dia akan menyerang Harwati. Cambuk asap itu menciptakan asap seketika itu juga, sebelum Nyi Kembar sampai ke sasaran, dan Harwati sudah mengelak ke samping sehingga Nyi Kembar tersungkur mencium tanah. Langsung saja tiga kali cambukan asap diarahkan Pita Loka pada tiga ruh pendekar setan, maka terdengarlah teriakan disertai api yang mengudara. Di udara tampak tiga bola api mengerikan, semakin jauh dan semakin jauh. Nyi Kembar tahu, bantuan ruh sudah gagal, dan dia buru-buru melarikan diri memasuki semak dan menemukan pasukannya di sana. Tak lama kemudian Nyi Kembar sudah melarikan diri bersama anak buahnya meninggalkan lembah itu. Bunyi telapak kaki kuda semakin menjauh dan menjauh. Dasa Laksana, yang merasa berhutang budi, menghampiri Pita Loka. Harwati melirik, lalu meludah. "Kepandaian anda melebihi Guru," ujar Dasa Laksana. Mendadak sebuah terjangan menghantam dada Pita Loka. Tapi Pita Loka cuma berdiri tegap, dan Harwati yang menendang malah jungkir balik ke belakang. Dasa Laksana heran dan berseru: "Jangan turutkan hawa nafsu anda!" Kini Harwati menerjang Dasa Laksana dan merebut kembali pedangnya Serial Tujuh Manusia Harimau (8) - Episode 29 Amukan Pendekar Edan Harwati sudah berdiri tegap dengan dua pedang Surandar. Pita Loka masih berdiri saja memegang cambuk asapnya. Dasa Laksana kebingungan. Juga kuatir jika dua pendekar wanita itu akan bertempur. Koleksi KANG ZUSI "Kuharap kalian berdua dapat menahan diri," kata Dasa Laksana. Perkataan itu dijawab Harwati dengan mengadu dua mata pedang Surandar yang menerbitkan kilatan api ketika pedang itu bergerincing satu dengan lainnya. Harwati ragu, pedangnya yang dia adu satu sama lain kemudian dia kembangkan keatas dan berteriak: "Aku tidak gila!" "Kau memang tidak gila," ujar Dasa Laksana, "Kau cuma tidak bisa menggunakan akalmu." Hanya Pita Loka yang masih berdiam diri. Batinnya kasihan melihat tingkah dan perkataan Harwati. Dia tergoda untuk merubah sikap. Dia ingat, bahwa alat penyembuh sakit gila Harwati hanyalah Permata Hijau Solaiman. Tapi permata itu sudah dia buang ke udara dulu. "Harwati, aku akan menyembuhkanmu. Tapi jangan ganggu perjalananku," kata Pita Loka. "Aku akan ikut anda, Pita Loka!" ujar Dasa Laksana. "Tidak. Kau jagalah Harwati. Dia perlu dikasihani!" "Aku tak perlu dijaga! Aku tak perlu dikasihanil" kata Harwati dan melihat Pita Loka berlalu. Dengan beringas Harwati menatap ke mata dua pedangnya. Dan dengan sekuat tenaga dia hantamkan dua mata pedangnva ke bumi. Dia mengudara, lalu tiba lagi di bumi dalam keadaan mencegat langkah Pita Loka. Pita Loka tenang dengan cambuk ditangannya. Lalu Dasa Laksana melompat cepat. Dia berdiri di tengah-tengah. Dia berhadapan dengan Harwati, lalu berhadapan lagi dengan Pita Loka. Kepada Pita Loka dia berkata: "Cepatlah cari obat penyembuh pendekar gila ini." Mendengar itu, dalam sekelebatan dua kali hantaman pedang Surandar menggebuk punggung Dasa Laksana, yang mengaum dua kali terkena gebukan itu. Auman itu mirip auman harimau. Hal ini membuat Harwati heran karena pedangnya tak mempan. Padahal, pada detik itu di pedukuhan Ki Ca Hya, Ki Putih Kelabu juga mengaum dua kali karena merasa terkena gebukan. Ki Ca Hya berkata: "Murid anda tersungkur, namun tidak luka dan mati." Dan memanglah Dasa Laksana tidak luka dan tidak mati. Tapi dia pingsan! Harwati sendiri malah mengira pendekar muda itu mati. Dia bertutut dan menangis: "Aku tak bermaksud untuk membunuhmu...," lalu dia menoleh lagi mau melihat Pita Loka, tetapi Pita Loka sudah tidak ada lagi. "Kau tidak mati, kan?" ujar Harwati ketika tubuh Dasa Laksana ditelentangkannya. "Hei, kau tidak mati kan?" "Aku masih hidup," ujar Dasa Laksana, seraya berdiri. "Aku tidak gila, bukan?" Koleksi KANG ZUSI "Kau tidak gila. Kau begini cantik. Kau dapat menjadi pendekar yang waras asal saja kau sudi menyisiri rambutmu," kata Dasa Laksana. Dengan mengucapkan kata-kata itu, sebetulnya Dasa Laksana bukanlah jatuh cinta. Jatuh cintanya pertama kali hanya kepada Pita Loka, ketika dia melihat vvajah yang begitu jelita, sesuai dengan yang diceritakan oleh guru pertamanya yang kini sudah mati terbunuh. Lalu dia menoleh kepada gurunya yang menganut ilmu sesat itu. Punggung itu terbelah. Dan kepalanya sudah tidak bersatu lagi dengan lehernya. Dasa Laksana terharu sejenak saja, agar tidak tergelincir pada sifat cengeng. "Maukah kau membantuku?" tanya Dasa Laksana pada Harwati. "Untuk anda sebagai pujaan hati saya, saya akan siap sedia." "Bantu aku menguburkan puluhan mayat tak berdosa ini. Juga mayat bekas guruku yang pertama," ujar Dasa Laksana. Dan bersama penduduk desa Meranti, dikuburlah 41 mayat penduduk dan juga mayat Dasa Laksana Buntung. Saat 41 mayat penduduk dimakamkan, tangisdan ratap kedengaran. Sehabis pemakaman, nenek tertua berkata: "Biarpun 41 jiwa sudah melayang, sebagai orang tertua saya mengucapkan syukur pada Tuhan dan kalian berdua. Kukira, orang jahat akan masih mengganggu ketentraman orang baik seperti kami. Kalian berdua orang baik. Apa salahnya kalian berdua tinggal bermukim di desa kami ini. Sebagai suami isteri. Menyambung keturunan. Sebagai pengawal hati kami agar kami tidak dikejar rasa takut." Harwati memandang pada Dasa Laksana. Dia berharap senyum. Dia berharap Dasa Laksana menjawab harapan penduduk desa Meranti itu. Serial Tujuh Manusia Harimau (8) - Episode 30 Amukan Pendekar Edan Tapi lain yang diharap, lain pula kenyataan. Dasa Laksana berbicara sangat hatihati: "Kalau memang sudah jodoh, tentu harapan Nenek menjadi kenvataan. Tetapi kami berdua sama-sama pendekar. Kami berdua ibarat bersaudara. Saya sendiri masih akan meneruskan perjalanan. Sebab Guru saya, Ki Putih Kelabu, memberi amanah agar saya kembali ke Kumayan. Kebetulan memang saya akan mampir ke Meranti sini, menengok keadaan dia apakah sehat. Rupanya terjadi malapetaka. Sehingga saya terlibat." "Jadi anda menolak permintaan Nenek?" tanya Harwati. "Saya hanya menjelaskan adanya saya di sini," kata Dasa Laksana. "Kalau kau tidak cinta pada saya, kenapa tidak berterus terang saja" Saya malu! Saya malu!" Pertemuan yang mestinya terjaga oleh keluhuran budi itu, lantas jadi berubah kacau. Harwati meloncat ke tengah-tengah upacara itu dengan membabi buta lalu mengacu-acukan dua pedang Surandarnya. Dan berteriak berkali-kali: "Aku benci padamu! Aku jijik padamu! Aku benci! Benci! Benciiii!" Koleksi KANG ZUSI Dasa Laksana menghadap! hal ini dengan tenang. Dia mendekati kudanya. Lalu memegang tali kendali kuda itu, menuntunnya dan berkata pada orang sedesa: "Maafkan saya. Karena saya sekedar singgah. Selamat tinggal." Harwati geram, Dua pedang Surandar ditangannya, seakan siap akan menebas kepala Dasa Laksana. Dengan teriak lantang dia ayunkan pedang itu ke kepala Dasa Laksana. Pedang itu membal disertai suara aum harimau yang keluar dari mulut Dasa Laksana. Dasa Laksana tersungkur, Serentak dengan itu, di pedukuhan Ki Ca Hya, Ki Putih Kelabu pun tersungkur. Dan Harwati semakin mengamuk! Dia tetakkan pedang Surandar ke bumi, dan tubuhnya menghambur ke udara bersama pedangnya. Di udara dia mengadu dua mata pedangnya, tampak cahaya api berkilat-kitat. "Jika kamu pergi juga, nyawamu akan melayang." "Aku memikul amanat guruku. Pendekar takkan berubah pendirian," kata Dasa Laksana. Bagai kilat pedang Surandar dua-duanya akan memenggal leher Dasa Laksana, yang segera menundukkan kepala menghindari. Tetapi, ketika itu pedang itu tetap memenggal leher, dan leher itu putus... yaitu leher kuda itu. Tubuh kuda itu menggelepar ketika leher itu putus. Dasa Laksana ingat pesan guru agar menjaga nafsu amarah. Dia tekan rasa dongkolnya, lain cepat menghambur melarikan diri meninggalkan desa Meranti. Dia terus berlari kencang menerobos semak belukar, mengibas penghalang, kadangkala jatuh jumpalitan. Namun dia merasa harus lari dan harus lari. Makin jauh larinya, semakin kuat tenaganya, kadang diseling oleh tenaga dalam ketika dia menerjang pohon besar dan pohon itu roboh. Dalam pelarian itu, Dasa Laksana mendadak berhenti, karena merasa tersesat. Dia mendengar dua orang sedang berbicara. Satu suara wanita, satu lagi suara pria. "Ki Jengger. Saya ke sini untuk meminta maaf karena saya pernah menghina hadiah sakti dari anda. Tuan tentu berkecil hati karena Intan Permata Hijau yang dapat menyembuhkan orang gila itu saya buang." "Ananda Pita Loka jangan mengira itu hadiah dari saya. Sesuai pesan Ki Tunggal Surya Mulih sebelum matinya, barang sakti itu memang milik Anda, Anda membuangnya, itu hak Anda!" "Tapi Ki Jenger. Saya minta bantuan anda untuk mencarinya!" "Itu milik Anda, anakku. Anda harus mencarinya sendiri." Lalu Ki Jengger bertanya: "Untuk apa bagimu barang sakti itu lagi?" "Untuk menyembuhkan Harwati," kata Pita Loka. "Suatu niat yang luhur. Nah, silahkan Anda cari sendiri," kata Ki Jengger. "Saya sudah mencarinya di Tujuh Bukit Sakti. Mungkin ia ada di sini," kata Pita Loka. Koleksi KANG ZUSI "Sudah pasti tidak. Tidak di sini," kata Ki Jengger. Pita Loka menarik nafas panjang. Dia lalu menghatur sembah dan berlalu dari situ. Tiba-tiba Dasa Laksana membuntutinya dari belakang. Dasa Laksana berusaha mengejar lebih cepat, namun sulit. Di tengah hutan belantara barulah dia berhasil mencegat. Pita Loka heran: "Kenapa Anda di sini?" "Untuk mengawal Tuan. Saya kuatir Tuan dihalangi musuh. Ini sesuai dengan pesan ayahanda Tuan. Bahwa saya akan mendampingi Anda, sebab beliau berkeinginan kita berdua melanjutkan keturunan beliau." Mata Pita Loka melotot. Dia berkata: "Tidak kau lihat mataku cuma satu" Tak sadar kau bahwa aku buta?" Serial Tujuh Manusia Harimau (8) - Episode 31 Amukan Pendekar Edan Memang jika dilihat dengan sebelah mata, tubuh Dasa Laksana gagah dan tegap sekali. Ketegapan itu memang mirip Gumara. Pita Loka lalu berkata dengan nada kasihan: "Aku hormati kemauan kerasmu untuk mengawalku. Tapi saya sekarang tidak membutuhkan pengawalanmu." "Anda memang keras hati," kata Dasa Laksana. "Dunia kita sama. Mungkin ilmu kita sumbernya sama. Tapi jalan kita berbeda," ujar Pita Loka. "Apa arti hidup ini bagi Anda" Pengasingan?" tanya Dasa Laksana. "Pengasingan atau bukan, itu urusanku sendiri!" "Tapi jawablah: Apa arti hidup ini bagi Anda" Jawablah!" Pita Loka melirik, lagi-lagi dia kasihan melihat pendekar tegap dan gagah sepertinya manusia lugu. "Arti hidup ini bagi saya adalah menyesuaikan gerak dengan hati. Dan menyesuaikan ucapan dengan hati," ujar Pita Loka. "Sungguh tinggi ilmu Anda," kata Dasa Laksana. "Tidak ada ilmu yang tinggi bagi siapa yang ingin menuntut ilmu. Tapi kamu sudah mencoba mengalami, sebagaimana semua pendekar mencoba mengalami. Sebaiknya kamu renungi." "Saya sudah merenungi. Keluh kesah ayah Anda, Ki Putih Kelabu tentang diri anda, pun sudah saya dengar. Saya tambah tidak mengerti, mengapa Anda seperti orang yang mengasingkan diri" Saya ingin mengawal anda, menemani, membantu anda dalam keadaan bagaimanapun! Tapi anda menghindar. Apakah Anda merasa saya ini lebih rendah?" "Tak ada yang rendah dan tak ada yang tinggi," kata Pita Loka. Dasa Laksana merasa diberi harapan. Lalu berkata: "Nah. semua sudah sesuai." "Sesuai" Sesuai berarti berimbang!" bantah Pita Loka. "Maksud Anda saya tidak dapat mengimbangi anda?" tanya Dasa Laksana. Koleksi KANG ZUSI "Kamu salah faham. Yang saya maksud seimbang adalah apabila apa yang dihati kamu, ada dalam hati saya. Apa yang ada di hati saya, ada di hati kamu" Nah kalau belum faham juga apa yang ada di hati kamu, tidak ada di hati saya. Mengerti kau?" Mendengar itu Dasa Laksana terperangah. Tapi dia juga bukan pendekar sembarangan. Karena ketabahannya dan keras hati dia bertekuk lutut, berguru pada Ki Putih Kelabu. "Sebelum ayahanda tuan - Ki Putih Kelabu - memberi bayangan bahwa saya digemblengnya untuk menjadi menantunya, saya sendiri sudah jatuh cinta pada tuan, pendekar Pita Loka yang terhormat!" "Cinta?" Pita Loka tersenyum geli. "Ya." "Kamu mencintai saya?" "Ya, saya mencintaimu, Pita Loka!" "Apa kamu tidak salah alamat?" "Tidak salah alamat, pendekar! " "Mungkin salah..." Dasa Laksana justru tambah bersemangat: "Jika Guru sudah memberikan fatwa bahwa anaknya akan dijodohkannya kepadaku, apa itu salah alamat?" Pita Loka tertawa runyam. Lalu berkata: "Darimana ayahku Ki putih Kelabu dapat menerka masa depanku sedangkan beliau bukan ahli ramal?" "Dari Kitab Tujuh," ujar Dasa Laksana. "Apa kata ramalan itu?" "Saya hanya diberi kesempatan membaca sebagian. Dan disitu saya baca, satu kalimat samar-samar, bahwa pendekar tempat menyan menyebar bau sa"at matahari terbenam yang janggutnya putih kelabu, suatu saat akan mendapatkan puteri yang berguru pada ahli silsilah dan sejarah, dan calon suaminya adalah pendatang dari negeri jauh. Bukankah saya ini pendatang?" "Pendatang itu ada dua. Sebagaimana Kitab Tujuh pun ada dua, yang satu palsu. Pendatang pertama adalah guru saya, Guru Gumara, dan pendatang lainnya adalah kamu.Kamu tinggal terka saja, hati saya pada kamu atau pada Guru Gumara." Dasa Laksana terperanjak. Dia jadi gugup. Dia heran dan bertanya: "Jadi anda masih mencintai Gumara?" "Cinta saya cuma satu kali," kata Pita Loka. "Jika Guru Gumara tidak mencintai anda?" "Cinta saya tetap satu kali" kata Pita Loka tegas. Koleksi KANG ZUSI "Itukah sebabnya anda tak membutuhkan bantuan saya?" "Sudah kamu jawab sendiri, bukan" Nah, jangan buntuti saya lagi," ujar Pita Loka yang dengan lugas melangkah meninggalkan Dasa Laksana. Buyarlah perasaan dan pikiran Dasa Laksana seketika itu juga. Dia yang dinilai jujur oleh gurunya, mendadak ingin membelot. Serial Tujuh Manusia Harimau (8) - Episode 32 Amukan Pendekar Edan Tetapi andaikata membelot ini dia lakukan, ini berarti dia mengkhianati Guru. Pembelotan adalah perbuatan keji. Yang terbaik adalah menanam budi. Lalu dia putuskan akan membuntuti terus perjalanan Pita Loka, kemana pun! Ketika perjalanan Pita Loka sampai ke pancuran Guha Duri, terbitlah perasaan birahi Dasa Laksana. Tapi lalu budi suci seorang pendekar menerangi otaknya, dan segera dibuangnya muka sewaktu Pita Loka menanggalkan pakaian. Memang ada kolam yang membuat Pita Loka menikmati air yang bersih itu santai berenang. Sehingga ia lupa bahwa senjatanya, cambuk asap, ditaruh begitu saja di atas daunan pohon kaca piring. Hati Dasa Laksana tergoda seketika. Dia sudah lolos membuang muka agar ilmunya tak kotor, tapi kini dia terperangkap lagi untuk mencuri senjata sakti itu. Untunglah sinar kesucian pendekar menerangi lagi otaknya. Kemudian dia telungkupkan tubuhnya diantara rumputan. Sampai tak sadar, karena lelah, dia ketiduran. Setelah Pita Loka berpakaian kembali, dia merasa haus senja itu. Dia panjat Amukan Pendekar Edan Serial Tujuh Manusia Harimau 8 Karya Motinggo Busye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo pohon kelapa. Dia ambil sebutir kelapa hijau. Lalu dipukulkannya sisi telapak tangannya hingga kelapa itu terbelah. Diminumnya airnya dan dinikmatinya dagingnya. Belahan kelapa itu kemudian dia buang ke satu tempat. Dari tempat itu tampak sosok berdiri. "Hai, kau lagi!" seru Pita Loka seraya ketawa. "Aku membuntutimu." "O, apa kau tak punya pekerjaan lain?" "Memang ada pekerjaan lain. Tapi aku kuatir anda diganggu dan membutuhkan bantuan." "Hah, sudahlah. Kau kerjakan pekerjaan lain saja. Percuma kau buntuti aku terus." "Aku mencintai Anda, Pendekar Cantik." "Kau harus menyebutku Pendekar Buta" "Biarpun Anda buta dua-duanya, anda tetap cantik!" ujar Dasa Laksana. "Harusnya kau berteman dengan Harwati. Sama-sama gilanya," ujar Pita Loka. Koleksi KANG ZUSI Ditatapnya mata Dasa Laksana dengan tatapan tegas lalu berkata; "Jangan kau buntuti perjalananku lagi." Dasa Laksana gemetar. Dia berdiri kaku kayak patung. Terpelongo sementara itu Pita Loka melecutkan cambuknya. Asap menebar ke sekeliling. Dan tidak tampak lagi kemana arah perginya Pita Loka di mata Dasa Laksana. Kali ini Dasa Laksana terhempas. Dia tidak putus asa, karena sikap putus asa adalah pantangannya para pendekar. Dia kesal dan jengkel. Karena itu dia terjang sebuah pohon jambu mete yang rendah sehingga tumbang. Dia belum puas lagi! Dia seruduk sebuah pohon karangani yang berdaun lebat dan batangnya ramping, Pohon itu roboh pula! Lalu karena kejengkelannya belum habis, dia melakukan jurus putar gasing sehingga semua pohonan kecil rebah dan roboh, sedang yang ditujunya sasaran terakhir adalah pohon pucung yang tinggi tegap itu: Bagai harimau melompat mau menerjang sasaran, Dasa Laksana mendaratnya serentak telapak kaki maupun telapak tangannya. Jelengurrr.... Pohon pucung itu tumbang dengan akarnya tercerabut, bagai runtuhnya sebuah tebing. Tubuh Dasa Laksana sendiri terlempar ke pucuk pohon pucung itu yang sudah mencium tanah. Di antara daun-daunan pucuk yang agak rimbun itu, tubuh Dasa Laksana tergeletak. Tergeletak tak bergerak lagi. Ya, dia bukannya mati. Tapi dia pingsan. Begitu meluap jengkelnya, sehingga tenaga yang merobohkan pohon pucung itu adalah puncak tenaga dari seluruh ilmu silat yang dimilikinya. Tak lama kemudian, hujan pun turun. Barulah Dasa Laksana sadar dari pingsannya terkena hujan yang membasahi tubuhnya. Tapi dia tidak menyingkir. Dia tergeletak menelentang, dengan kedua tangan melebar dan membiarkan tubuhnya basah kuyup bermandikan hujan. Setelah puas, baru dia berdiri. Dia melangkah sempoyongan di tengah hujan lebat itu. Dia terus melangkah tanpa peduli ke arah timur. Dia tembus hutan belantara yang lebat dalam hujan yang lebat. Anehnya, binatang-binatang buas bukan menerkamnya. Mereka malahan menyingkir seakan-akan melihat 'raja hutan' sedang lewat basah kuyup. Kemudian sampailah Dasa Laksana dalam keadaan masih basah kuyup itu ke sebuah gerbang desa. Gerbang itu putih bersih. Ini pertanda bahwa desa ini dimukimi oleh orang baikbalk. la melangkah terus, kemudian berteduh di sebuah warung. Dibukanya cincin emasnya, dan dia berkata pada penjaga warung: "Ini kekayaanku. Tukarkan dengan makanan dan minuman tuak Serial Tujuh Manusia Harimau (8) - Episode 33 Amukan Pendekar Edan Cincin emas yang diberikan Dasa Laksana itu ditolak. Ujar penjaga warung itu: "Kami di desa ini tidak biasa menambah kesusahan orang yang menderita." "Apa nama desa ini?" tanya Dasa Laksana. "Desa Tulus, Tuan. Apa Tuan pendekar pengembara?" tanya penjaga warung itu. "Ya. Saya sedang melacak jejak seorang pendekar." Koleksi KANG ZUSI "Pendekar jahat?" tanya penjaga warung. la menuangkan tuak ke mangkuk batok kelapa yang berukir. Dasa Laksana menenggak minuman itu, lalu menjawab: "Dia pendekar baik. Seorang gadis cantik dengan senjata cambuk." "O, dia itu. Saya melihatnya memasuki Biara Putih," ujarnya. Mendengar ujar itu, Dasa Laksana tak jadi meneguk lagi. "Engkau yakin?" "Saya yakin. Karena kami di sini mengenalnya," kata penjaga warung itu. "Kalau kau memang mengenalnya, coba sebutkan namanya." "Pendekar Pita Loka," sahutnya. Lega rasanya dada Dasa Laksana. Kalaulah dia tidak lapar dan haus, kalaulah tidak pula hujan lebat, mau rasanya dia ke Biara Putih itu. Setelah menenggak tuak semangkok lagi, dia bertanya : "Siapa Ketua desa ini?" "Rama Yogi," sahut orang itu. "Nama itu pernah kudengar dari Guruku. Beliau ahli tenaga dalam. Beliau menguasai ilmu Silat Delapan Bayangan. Betul dia?" tanya Dasa Laksana. "Tuan betul. Tapi sekarang ini beliau masih mati suri." "Mati suri?" Dasa Laksana ternganga. Karena mati suri adalah bagian dari kelanjutan persilatan tingkat tinggi. Artinya, seorang pendekar yang baik akan selalu mengalaminya dan ketika setelah mengalaminya seluruh gerak dan jurus persilatannya hanyalah 'diam'. "Kalau begitu aku akan makan dan menghabiskan minumanku dulu," ujar Dasa Laksana, yang langsung makan lahap dengan diseling minum tuak. Dia kemudian sudah memasuki Biara Putih itu. Sepi sekali. Cuma seorang pemuda remaja berkepala botak yang menyambutnya. "Tuan ingin menemui siapa?" tanya si botak. "Saya akan menemui tamu yang menjenguk Ketua," Kata Dasa Laksana. "Maksud Tuan menemui Pendekar Pita Loka?" tanya si botak. "Betul." "Sayang beliau tidak dapat ditemui. Beliau sedang bersemedhi, mengobati Ketua kami agar segera hidup kembali. Maksud saya, sadar dari mati surinya." "Lho, pendekar itu bisa mengobati?" tanya Dasa Laksana. "Dia sekedar mencoba mengobati. Dengan arus tenaga dalamnya yang di pindahkan. Tiap beliau lewat di sini, usaha itu selalu dicobanya," kata si botak. Makin jelas bagi Dasa Laksana, bahwa ilmu Pita Loka sudah begitu tinggi. Kobaran asmara semakin membakar diri pendekar muda itu. Oleh gejolak itu pulalah dia masuk sewaktu si botak Koleksi KANG ZUSI berlalu. Dia masuk saja. Tapi rupanya konsentrasi Pita Loka sudah demikian hebat, sehingga dia tidak mendengar sedikitpun langkah masuknya Dasa Laksana, Dasa Laksana duduk bersila di belakang pendekar wanita itu. Mendadak sontak, perhatian Dasa Laksana bercabang. Telinganya yang tajam mendengar suara geduru telapak kaki kuda. Dia tempelkan daun telinganya ke lantai marmer ruangan itu. Makin jelas! Mata Dasa Laksana segera terbumbuk pada cambuk sakti yang ditaruh dilantai, diujung dengkul Pita Loka. Segera dia samber cambuk itu. Dia menghambur meninggalkan ruangan itu, dan langsung keluar Biara! Konsentrasi Pita Loka secemilpun tak berubah! Dasa Laksana meredakan penduduk desa yang mulai kacau balau. Mereka mulai menjerit ketakutan setelah mendengar suara teriak-teriak pasukan penyerbu berkuda yang sudah diambang pintu desa. Melihat senjata kayu bulat sejenis toya yang diacu-acukan pasukan berkuda itu, Dasa Laksana tahu, ini adalah gerombolan pendekar setan yang dipimpin oleh Nyi Kembar! Pasti! Pasukan itu tak berani melewati pintu gerbang setelah Dasa Laksana melecutkan cambuk sakti ditangan kanannya. Asap mengepul. Dan Dasa Laksana mengancam: "Ini baru senjatanya yang menghadang kalian. Belum lagi orangnya. Sebaiknya kalian pergi." "Bunuh dia!" teriak Nyi Kembar dari atas kudanya, "Rebut senjatanya." Lima pendekar setan dengan tongkat bulat langsung meloncat mengepung Dasa Laksana. Dasa Laksana menggunakan tangkisan-tangkisan, dan sekali-sekali melecut cambuk dan asap pun mengepul. Namun dia kuwalahan. Serial Tujuh Manusia Harimau (8) - Episode 34 Amukan Pendekar Edan Dasa Laksana tambah terdesak. Dalam keadaan terdesak itu, satu sabetan toya dari atas kuda tepat mengenai siku tangan kanan Dasa sehingga cambuk sakti itu terlepas. Begitu melihat cambuk itu terlepas, Nyi Kembar meloncat dari punggung kuda, bagai terbang, menyambar cambuk itu, Cambuk itu sudah berada di tangan Nyi Kembar sekarang. Di tangan kirinya kini senjata toya! Ketika itulah Pita Loka tersentak dari semedhinya pula! Dasa Laksana mengamuk untuk merebut kembali cambuk itu. Satu tendangan kaki disertai pukulan toya tangan kiri Nyi Kembar, membuat Dasa Laksana terpelanting dan berputar bagai gasing. Dia sempat memanfaatkan putarannya untuk menerjang empat anak buah Nyi Kembar hingga keempat-empatnya menggelepar berpusing debu. Tapi Nyi Kembar lalu berseru: "Cepat pergi dari sini! Senjata ini lebih utama dari nyawa Dasa Laksana!" Ketika Nyi Kembar memutar kudanya untuk meninggalkan pintu gerbang Desa Tulus, sebanyak 23 orang anak buahnya yang selamat pun memutar haluan kudanya. Kuda-kuda itu meringkik karena dipaksa putar haluan. Kaki-kaki depan kuda itu mencuat terangkat ke atas. Koleksi KANG ZUSI Tiba-tiba ketika kuda siap dipacu dan komando akan diucapkan, terdengar bagai guntur suara menghadang: "Lewati dulu mayatku sebelum kalian kembali ke Bukit Kembar." "Ki Harwati...," Nyi Kembar berkata gugup. Nyi Kembar melecutkan cambuk sakti itu agar dia dilindungi tabir asap. Tapi cambuk itu berbunyi bagai petir namun tidak mengeluarkan asap. Dalam kegugupan itu Harwati menghambur ke udara dengan dua pedang Surandar berkilat. Pedang itu memenggal leher satu demi satu anak buah Nyi Kembar. Kepala-kepala itu secara fantastis bergelindingan di tanah disaput debu. Dan Nyi Kembar tambah kebingungan. Lebih bingung lagi setelah dia mau menghindar pedang malahan jatuh dari kuda. Cambuk itu dipecutnya lagi! Tapi asap tidak keluar. Dia tak tahu, di pintu gerbang dengan tegak tegap Pita Loka mengirimkan arus dingin ke cambuk miliknya agar asap tak muncul. Harwati cepat melompat jumpalitan seraya menebas satu demi satu leher lawannya, dengan tebasan tangan kiri dan tangan kanan, Darah mancur dari-tiap leher yang terpenggal. Nyi Kembar mendengar teriakan dari sisa anak buahnya yang menjadi panik: "Ibu...tolong saya!" Nyi Kembar melihat anaknya yang remaja, dua orang, Putera Puteri Kembar dalam keadaan gawat disiksa oleh Dasa Laksana dengan tendangan jurus gasingnya. Melihat anaknya kejepit dan terancam gawat, Nyi Kembar menghambur ke udara seraya memecutkan cambuknya. Ketika itu Harwati nrenetakkan dua mata pedang Surandarnya ke bumi, dan dia menyusul menghambur di udara dan ketika itu pulalah dua tangan Nyi Kembar disabet oleh dua pedang Surandar itu, pontong seketika! Cambuk sakti itu jatuh ke bumi, dan terciptalah asap tebal yang sebelumnya didahului bunyi macam petir. Kini Harwati harus bertempur dengan Nyi Kembar dalam gelap asap. Dia berhatihati memasang telinga. Di sinilah terjadi puncak adu tajam rasa, Nyi Kembar dengan dua tangannya yang buntung terpenggal, tentulah berusaha menyelamatkan diri. Ketika tiba-tiba dia dengar: "Jangan lari!" tau-tau Harwati sudah berdiri di hadapannya. Harwati dengan geram diantara tabir asap berkata: "Kini giliranmu dibunuh setelah kamu puas membunuh," dan dengan dua kelebatan kilat pedang, kepala Nyi Kembar lepas dari lehernya, lantas dia roboh... "Jangan bunuh anak-anak remaja itu," kata Harwati kepada Dasa Laksana yang siap mengayunkan dua gebrakan pukulan sisi lengan pada leher dua putera puteri remaja itu. "Pendekar yang membunuh remaja dikutuk Kerajaan Langit!" seru Harwati lagi. Lalu Harwati menuntun kuda dan menghampiri Putera Puteri Kembar, anak kandung Nyi Kembar dan Nyi Kembar. Dua remaja itu naik ke punggung kuda itu. Lalu Harwati menyepak pantat kuda itu dan dua remaja putera puteri itu pun hilang dalam kekaburan tirai asap yang belum sirna. Tak ada lagi yang bersisa. Seluruhnya mati, kecuali dua remaja yang diperkenankan pergi itu. Dasa Laksana menghela nafas dalam-dalam. Dia mencari-cari cambuk yang tadi jatuh, Tetapi cambuk itu sudah ditangan Pita Loka yang masih berdiri tegak. Harwati menatap Pita Loka. Pita Loka pun menatap Harwati. Harwati melakukan permainan dua pedang dengan bunyi gemerincing yang menimbulkan api. Tiba-tiba dia mendengar suara pekik Pita Loka: "Berhenti main silat gila itu!" Koleksi KANG ZUSI Serial Tujuh Manusia Harimau (8) - Episode 35 Amukan Pendekar Edan Mendengar teriak itu, Harwati berhenti bermain pedang. Dia berdiri tegak dengan sikap berang. "Siapa kau sebenarnya yang berani-berani mencegah sukacitaku?" "Kesini kau!" "Untuk apa?" tanya Harwati angkuh seraya mengadu dua pedangnya. "Aku akan menyembuhkan sakit gilamu!" seru Pita Loka. "Aku tidak butuh pertolonganmu! Aku lebih unggul dari kau!" Harwati menetakkan dua pedangnya ke bumi, sehingga dia membal ke udara dan ingin mendarat di bahu Pita Loka. Pita Loka cuma memutar badan sedikit agar tak terkena sentuhan kaki lawannya. Mereka berhadapan dalam jarak dekat. Harwati melempar pandang menghina: "Mukamu buruk! Matamu buta satu!" Pita Loka tetap tenang seraya semakin mengatur nafas longgar, longgar, dan longgar. Hal ini dirasakan arusnya oleh Harwati, Sehingga dia seperti merasa terkena arus listrik dalam jarak dekat itu, maka dia menjauh dan menjauh, Dalam jarak lima meter dia memaki: "Ayoh serang aku dengan cambuk asapmu itu!" Pita Loka diam. Harwati tambah sesumbar berteriak: "Ayohhhh!" Pita Loka tetap tegak berdiri. Dan Dasa Laksana, dalam keadaan ngeri, mulai mengangsur langkah mendekati Pita Loka. "Lelaki gagah! Kau tolol mencintai orang buta sebelah!" hina Harwati setelah melihat Dasa Laksana berdiri didekat Pita Loka. Harwati memperlihatkan permainan silat gila kembali. Dia menghambur ke udara, menebas pucuk-pucuk pohon kelapa dengan pedangnya, mendarat ditanah dan menetakkan dua mata pedangnya sehingga dia membal lagi, Pita Loka hanya berdiri tegak. "Biarkan dia, Ki Pita Loka," ujar Dasa Laksana. "Kau tak punya belas kasihan. Kau cegahlah dia main gila terus begitu! Mana sifat ksatria jantanmu, he murid ayahku?" tanya Pita Loka. Dasa Laksana menjawab: "Kalau aku mencegahnya berarti aku kasihan padanya. Aku kuatir dia mengira aku mencintainya!" "Jadi siapa lagi yang bisa kau cintai, pendekar muda?" tanya Pita Loka. "Saya hanya mencintai Tuan," ujar Dasa Laksana. Koleksi KANG ZUSI "Cis, aku benci mendengarnya," lalu Pita Loka berbalik masuk gerbang menuju Kuil Putih. Dasa Laksana terpengaruh oleh anjuran Pita Loka tadi. Dia jengkel melihat tingkah polah Harwati yang tambah edan itu. Banyak pucuk pohon kepala menjadi gundul karena tebasan pedangnya. "Berhentiiiii!" teriak Dasa Laksana. Dalam kegilaannya diudara itu, mendengar suara Dasa Laksana menyuruhnya berhenti, Harwati melayang ke arah Dasa Laksana berdiri, lalu jatuh ditanah dihadapannya! Bukan jatuh. Tapi ambruk. Kehabisan tenaga. Dengan nafas terengah-engah Harwati berkata: "Itulah sukacita yang kunantikan. Tolonglah aku! Gendonglah aku!" "Kau bisa jalan!" "Gendonglah aku! Beri aku minum! Aku Haus! Beri aku makan! Aku lapar. Kasihanilah aku! Cintailah aku!" suaranya serak. Keringatnya berleleran. Dasa Laksana menoleh pada tubuh yang menggeletak diujung kakinya. Tampak Harwati mendongak minta dikasihani. Airmatanya mengalir. Nafasnya sesak. Namun Dasa Laksana bertahan untuk tidak sudi menggendongnya. "Pita Lokaaaaaa!" teriak Harwati serak. Namun suaranya tak terdengar. Pita Loka sudah kembali bersila didepan tubuh Rama Yogi yang telentang di atas ranjang berukir dalam keadaan mati suri itu. "Sampai hati kamu dua kali menyakiti hatiku, Pita Lokaaaa!" dia berteriak serak Amukan Pendekar Edan Serial Tujuh Manusia Harimau 8 Karya Motinggo Busye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo dihadapan Dasa Laksana. "Dua kali...," suaranya tambah serak, nafasnya semakin sesak dan Dasa Laksana yang tetap tegak tiba-tiba kaget melihat Harwati terjengkang menggeletak. Dia dalam keadaan pingsan. Barulah Dasa Laksana menggendong pendekar gila yang pingsan itu. Barulah dia bawa tubuh merana itu ke warung. Dan berkata pada pemilik warung: "Ini cincin emasku. Sirami kepalanya dengan air dingin yang bersih. Kalau dia sadar, beri dia minum air kendi lebih dulu. Kalau dia minta tuak, baru beri. Kemudian beri dia makan. Aku akan menguburkan mayat-mayat itu!" "Tuan pendekar lupa. Ini cincin tuan, karena kami lebih suka menolong daripada menodong, Untuk itu tak perlu uang dan cincin emas," ujar si pemilik warung. Dasa Laksana malu, minta maaf, lalu mengubur mayat-mayat. Serial Tujuh Manusia Harimau (8) - Episode 36 Amukan Pendekar Edan Ketika Dasa Laksana selesai menguburkan mayat-mayat itu, dia kembali ke warung bersama penduduk Desa Tulus yang membantunya. Didapatinya Harwati masih dalam keadaan pingsan. Dia sendiri disuguhi minuman tuak bersama beberapa orang tadi. Belum selesai dia minum tuak dua mangkok, Harwati sadarkan dirinya. Dia kelihatan begitu Ietih dengan nada suara minta dikasihani: "Aku lapar dan aku haus. Beri aku makanan. Beri aku minuman." Koleksi KANG ZUSI Harwati duduk, dan seketika itu juga mangkok-mangkok batok yang belum diminum bahkan yang bersisa milik orang lain dalam sekelebatan disamber oleh Harwati dan dia menegak minuman itu semuanya, termasuk yang punya Dasa Laksana, sampai tetesan terakhir. "Tak ada makanan?" tanya Harwati, "Aku lapar! Lapar!" Lalu Harwati melihat dengan jelalatan pemilik warung memindahkan nasi dari kukusan ke cembung nesi. Dia tidak sabaran lagi. Dia langsung melompat dan merebut kukusan dan cembung nasi. Dan dia sikat habis nasi yang dicembung maupun yang dikukusan. "Kau telah membuat malu para pendekar," kata Dasa Laksana. "Aku?" Harwati keheranan. "Mestinya kau bertindak sopan santun. Penduduk desa Tulus ini punya kehalusan budi." "Aku haus. Aku lapar. Kamu marah" Kamu tidak senang" Kalau tidak senang mari keluar dan tunjukkan ilmumu!" suaranya lantang, menggentarkan. "Ilmumu tinggi! Tapi kesopananmu rendah," ujar Dasa Laksana. "Itu karena Anda sudah memiliki gadis manis perkasa Pita Loka itu. Apa kurangku dari pendekar buta itu, ha" Apa kurangku?" tantang Harwati. "Bedanya dia memiliki sifat kewanitaan. Dan kau lebih jantan dari pendekar pria. Perbedaan kecil, namun menentukan," kata Dasa Laksana. Karena terhina begitu, Harwati anehnya bukan marah kepada Dasa Laksana, tapi kejengkelannya larut lagi kepada Pita Loka. Dia gebrak meja! Dia bentak penjaga warung: "Hai! Kamu jadi saksi! Panggil pendekar Pita Loka sekarangjuga! Aku akan mengamuk!" Penjaga warung itu ketakutan. Harwati menggebrak meja lagi! Penjaga warung makin menggigil. Harwati membentak: "Mana dia! Mana dia, kataku! Kamu tidak melihat dia, ha" Kamu mau menyembunyikan dia" Apa kamu akan saya tebas dengan pedang ini, ha?" Harwati mengacukan pedangnya. Karena orang itu semakin ketakutan, seakan-akan menyembunyikan sesuatu, Harwati menempelkan pedang itu ke leher penjaga warung itu: "Ayoh, katakan dimana dia!" "Dia....dia...di Kuil Putih!" kata orang itu dengan napas sesak. "O, di sana dia ya?" kata Harwati dengan senyum sinis. Lirikan matanya yang liar itu kemudian menatapi seorang demi seorang yang ketakutan di warung itu, termasuk Dasa Laksana. Dasa Laksana bukannya takut pada Harwati. Tapi dia kuatir kalau pedang itu menggesek leher orang itu si leher bisa putus! "Sabarlah!" kata Dasa Laksana. "Apa" Sabar" Kamu kuatir aku akan menebas leher kekasihmu itu, ha?" bentak Harwati dengan nada beringas. Koleksi KANG ZUSI "Kau sudah merupakan pendekar besar. Tak ada yang mengalahkanmu di kawasan manapun. Kau sudah habisi pula nyawa pendekar Nyi Kembar," kata Dasa sengaja meneduhkan suasana. "Memang nyawa Nyi Kembar sudah aku habisi. Kini nyawa Pita Loka yang perlu aku habisi," kata Harwati garang. Dia gebrak meja itu lagi, sehingga mangkok-mangkok jadi buyar. Dia bersuara lantang: "Ayoh, panggil pendekar buta Pita Loka sekarang juga! Aku sudah haus darah!Akan aku habisi nyawanya!" Justru ketika suara lantang itu menggema, Pita Loka sedang lewat tak jauh dari warung itu, barusan keluar dari Biara Putih. Langkahnya terhenti. Dan dia dengar lagi suara lantang dari warung itu: "Panggil Pita Loka sekarang, kalau tidak leher kalian akan aku tebas!" Pita Loka dengan nada agung menjawab: "Akulah Pita Loka." Harwati meloncat keluar dari warung dengan dua pedang ditangan kiri dan kanan. Dia adu dua mata pedang itu dan bersesumbar: "Aku akan habisi nyawamu, Pita Loka!" "Jangan terburu nafsu!" "Aku kini amat bernafsu!" Pita Loka tenang. Harwati maju beberapa langkah. Penduduk desa bukannya menonton, tapi bertarian masuk rumah dan mengunci pintu Serial Tujuh Manusia Harimau (8) - Episode 37 Amukan Pendekar Edan Pita Loka menjaga jarak. Dia berdiri tegak seakan-akan tidak akan melawan. Tetapi dengan tenaga dalamnya, Pita Loka membakar pemafasannya dengan perlahan, lalu melalui kedua liang hidungnya dia kirim arus api suci sampai jarak tempat berdirinya Harwati, Harwati merasakan arus panas itu. Dia mundur selangkah, tetapi tetap menggertak dengan dua pedang Surandarnya. Bunyi gerincing pedang memekakkan telinga ketika dua pedang itu diadu secara mahir dan cepat. "Ayo maju kau, bajingan!" teriak Harwati. "Sebaiknya kau yang maju karena kau yang menantang!" Harwati jadi panas hati. Dia mainkan pedangnya lagi, lalu dengan cekatan dia hantamkan mata pedangnya ke bumi dan memballah dia ke udara dengan suara teriakan dahsyat. Tetapi Pita Loka cuma mengikuti tubuh perkasa yang ke udara itu dengan saluran arus api sucinya, sehingga ketika Harwati terjun dia berteriak: "Aduhhhh!" lalu mengalihkan loncatannya mundur ke belakang. Tapi tanpa dia ketahui sebagian dari bajunya sudah terkena api. Lalu dia berlompatan kesakitan kian kemari sampai api yang membakar pakaiannya itu padam. Ia belum puas. la maju beberapa langkah. Pita Loka menyiapkan cambuknya. Kali ini dia menghentikan saluran arus api sucinya. Dia biarkan sampai Harwati mendekat sampai pada jarak lima meter, baru dia sabet cambuknya yang seketika mengeluarkan asap. Agaknya sikapnya ini tidak ingin adu kekuatan secara langsung. Dia sepertinya Koleksi KANG ZUSI tahu kelebihan ilmunya serta kelemahan ilmu Harwati. Mungkin dalam diri pendekar ini ada sikap kasihan oleh ketinggian budinya. Harwati seperti mencari-cari diantara gumpalan asap itu dimana lawannya. Lalu dia kesal dan melakukan amukan pedangnya secara membabi buta. Pita Loka cuma berpindah-pindah tempat sedikitsedikit saja. Tapi pada satu saat secara mendadak wajah Pita Loka sudah berhadapan dengan wajah Harwati dalam beberapa inci saja. Harwati melotot kaget. Pita Loka kini perlahan mengirim arus api suci, sampai Harwati berteriak lalu menetakkan dua pedang ke bumi dan tubuhnya membal ke udara, dan pemandangan sekeliling gelap karena muka merasa terbakar, sampai kemudian dia ambruk di atas bubungan atap kuil putih dan berguling-gulingan diatap kuil itu kian kemari seraya menjerit-jerit. Pita Loka cepat melompat ke atas bubungan. Dia usap muka Harwati seketika itu juga, sampai kemudian Harwati merasa kehilangan rasa sakitnya. Laki membuka mata. Tapi begitu matanya dia buka, dia yang mengira Dasa Laksana yang membelai mukanya tadi lalu melihat Pita Loka. Dua pedangnya dia ayunkan, tertangkis oleh cambuk yang mengeluarkan asap, dan Pita Loka sudah jatuh dipermukaan tanah dengan lompatan mundur. Memang bagi Pita Loka, sabetan pedang tadi merupakan kejutan. Hingga ketika dia jatuh di bumi betul-betul dia kurang menguasai diri dan posisinya tidak menguntungkan ketika itu untuk segera bangun. Padahal Harwati dengan buas sudah melompat ke bawah dengan acuan pedang Surandar kiri kanan untuk memenggal leher Pita Loka. Tapi reaksi Pita Loka justru menjelang lehernya terkena pedang sudah menelungkup sehingga punggungnya yang terkena. Ketika itulah Pita Loka mengaum dahsyat bagai auman harimau. Tapi cuma aumannya saja yang berbunyi bagai aum harimau. Pita Loka sudah berdiri tapi dia membuang cambuknya ke samping. Jarijari tangannya mulai mempersiapkan satu jurus harimau siap menerkam. Kemudian dia melingkari langkah bagai harimau siap mengepung musuh. Harwati kebingungan dengan dua pedangnya. Sehingga ketika dia kebingungan itu, Pita Loka sudah menghambur menerkam bahu Harwati, dua-duanya, yang...menyebabkan Harwati pun mendadak mengaum dahsyat dengan suara auman harimau pula. Pedang Surandar dua-duanya entah kemana. Dia tidak menyadari diri lagi bahwa dia melayani permainan silat Pita Loka sebagai seekor harimau pula. Keduanya samasama mengaum dan bergumulan. Keduanya kadang saling terlepas satu dengan lainnya. Keduanya saling melangkah dalam jurus permainan yang hampir mirip. Yaitu lingkaran jurus jarum jam, yang putarannya satu sama lain berlawanan arah. Penduduk Desa Tulus yang kecut cuma dapat mengintip keheranan. Tapi Dasa Laksana malah tegang lalu keluar warung dan berteriak: "Jangan teruskan pertempuran! Kalian berdua satu gurul" Tetapi agaknva dua pendekar itu sudah berkonsentrasi penuh, hingga tak mendengar suara cegahan Dasa Laksana. Dua pendekar dengan silat jurus harimau itupun sama berhati-hati. Tetapi bagai dua jarum jam yang bertentangan arah itupun pada akhirnya sama ketemu arah dan dua-duanya melompat dengan auman sama saling bertubrukan tubuh tetapi cakar yang satu tak mengenai cakar yang lain karena sudah terlempar kebelakang waktu bertubrukan tubuh.... Serial Tujuh Manusia Harimau (8) - Episode 38 Amukan Pendekar Edan Pertarungan tanpa senjata itu berlangsung terus hingga matahari terbenam. Tenaga yang betapapun ampuhnya selama berjam-jam itu sudah terkuras. Sampai ketika hujan deras turun, kedua pendekar itu masih saja bertarung laksana dua ekor harimau lapar. Koleksi KANG ZUSI Ketika Harwati terhuyung-huyung man melompati Pita Loka, dia terpeleset. Kesempatan ini mau digunakan oleh Pita Loka untuk menerkamnya. Tapi dia sendiri pun terpeleset. Gerak Harwati untuk bangkit mulai lamban. Juga gerak Pita Loka ketika akan bangkit kelihatan lamban. Keduanya saling maju untuk bersiap mencakar. Tetapi dua-duanya jatuh terpeleset dalam detik yang bersamaan. Lalu dua-duanya jatuh tertelungkup. Dan sama-sama tak bergerak lagi. Dua-duanya diguyur oleh hujan yang semakin deras membasahi bumi desa Tulus. Ternyata. hujan bukan hanya membasahi desa Tulus, Seluruh bumi kawasan tujuh bukit persilatan diguyur hujan lebat. Juga di Lembah Tujuh Bidadari hujan semakin deras disaat malam akan tiba itu. Ketika itu. Guru Gumara yang sedang melatih enam remaja buntung tangan, terpaksa berteriak: "Latihan selesai!" "Semua masuk ke guha asrama," ujar Guru Gumara lagi. Anak-anak remaja buntung itu berlarian memasuki guha asrama itu. Sedangkan Guru Gumara memasuki guha yang khusus untuknya sendiri. Dalam basah kuyup. Guru Gumara melanjutkan membuat tikar pandannya, yang sudah jadi separoh. Anak-anak di guha asrama pun menjalin tikar pandannya. Gumara lelah melatih, lalu menggeletakkan tubuhnya di bagian tikar yang sudah dia anyam. Ternyata menjelang tidur dia mengulangi bisikan batinnya: "Wahai Guru, masih kotorkah diriku ini" Kenapa aku tidak diberi tamsil mimpi itu" Hanya perasaan firasat saja yang aku dapati. bahwa adik tiriku Harwati mungkin sedang bertarung dengan gadis yang aku kasihi, Pita Loka! Atau hatiku yang masih gelap?" Matanya sambil menggeletak itu menatap pelita kecil yang nyalanya tetap bagai tak bergerak. Bertepatan dengan padamnya pelita itu, mata Gumara tertutup. Dia sudah hanyut oleh tidur pulas. Dalam tidur itu Guru Gumara seperti merasakan hujan lebat yang belum berhenti. Memang dia melihat satu desa yang apik bersih, Sepertinya desa Tulus di kawasan Kuil Putih. Mimpi menggambarkan dua pendekar yang semakin lama semakin tegas dilihatnya mandi kuyup disirami hujan lebat. Dua-duanya makin tegas, bahwa itu adalah Pita Loka dan Harwati. Mereka sedang mencari senjata masing-masing. Bagi Gumara di mimpi ini sudah jelas, yang pertama menemukan senjata dua pedangnya sudahlah pasti Harwati. Juga yang kemudian menemukan cambuknya, adalah Pita Loka. Anehnya, mereka berdua seperti akan berduel! Berhadapan dalam jarak sekitar enam meter, kelihatannya mereka berdua muncul dengan tenaga baru. Secara serentak pula, dua-duanya langsung memulai senjatanya. Baik Pita Loka maupun Harwati. Harwati mengadu pedang serentak disertai bunyi petir, dan Pita Loka melecutkan pecut serentak bunyi petir pula, dan asap mengepul. Dan dua-duanya keheranan, serentak oleh susulan bunyi pedang cambuk, senjatasentala mereka sudah lepas dari tangan mereka, berganti oleh suara mereka yang sama mengaum dan serentak menghambur dengan cakaran. Guru Gumara terjaga dari mimpinya karena mendengar ada benda jatuh. Dia mengusap-usap kelopak matanya, karena tak jauh dan tikar anyamannya itu tampak dua pedang dan di dekatnya sebuah cambuk. Koleksi KANG ZUSI "O, Guru. Kalbuku kini sudah bersih!" dia gembira sekali karena mimpi itu langsung bertamsil. Hampir saja dia samber pedang-pedang Surandar dan cambuk asap sakti itu. Tak jadi. Karena mendengar suara wisik: "Jangan sentuh. Dua pedang itu untuk muridmu Caruk Putih dan Agung Kifli. Dan satu cambuk itu untuk remaia pendiamyang bernama Abang Ijo." "Lalu apa selanjutnya?" tanya Gumara. "Latihlah tiga muridmu itu secara khusus. Kelihatannya, pertempuran antara Pita Loka dan Harwati ini tidak akan habis-habisnya. Tapi sejak ini, engkau sendiri tidak diperkenankan melibatkan diri dalam pertarungan itu. Sebab jika engkau terlibat, salah satu diantara mereka akan menemui kematian, atau dua-duanya hancur lebur," demikian ujar wisik itu. "Tapi saya melatih Enam Pendekar Buntung ini untuk mendamaikan mereka atau menumpas salah satu dari mereka. Nama pendekar Harimau Yang Tujuh akan tercemar gara-gara ulah mereka," kata Guru Gumara. "Jangan membantah. Dan patuhi perintah," ujar sang wisik. "Boleh aku tahu, apa yang diperbuat dua pendekar keras kepala itu di Desa Tulus sekarang?" tanya Guru Gumara. "Lanjutan dari mimpimu itu," ujar bisikan itu Serial Tujuh Manusia Harimau (8) - Episode 39 Amukan Pendekar Edan Dan memang penduduk Desa Tulus sedang menyaksikan pertarungan hari ke-2. Bekas becek hujan semalam sepertinya ditakdirkan untuk membuat dua pendekar berhatihati dan tidak layak terburu nafsu. Tiba-tiba, kendati dengan sebelah mata, Pita Loka melihat adanya bekas cakaran pada punggung Harwati sewaktu Harwati mendapatkan jurus harimau balik menerkam. "Punggungmu luka menganga, Harwati!" ujar Pita Loka. "Aku tak peduli," kata Harwati geram. "Itu akan membuat kamu mati perlahan-lahan!" "Persetan! Ayoh, mari kita lanjutkan dan kamulah yang akan mati! Bukan aku, tapi kamu, kamu, kamu!" dengan serta merta dia menggeram dan mengibaskan Jurus harimau menampar dengan ekor. Yang menampar muka Pita Loka adalah kaki Harwati sehingga Pita Loka terpelantingdan bergulingan di lumpur... yang sekejap tampak oleh Harwati. Ketika Pita Loka akan mencoba berdiri, Harwati menggeledek ketawa: "Kamupun terkena cakaran di punggungmu!" Pita Loka terdongak kaget. Kini dia menyadari, bahwa tidak ada kelebihan dan ketinggian ilmunya terhadap Harwati. "Luka ini berbahaya, bagi kamu maupun bagi saya," ujar Pita Loka. "Aku kehilangan pedang-pedangku!" ujar Harwati. Koleksi KANG ZUSI "Aku bahkan kehilangan cambuk saktiku!" Tiba-tiba saja Harwati menyadari bahwa percakapan itu tidak berguna. "Kita berdua bisa sama-sama mati," kata Pita Loka memperingatkan. "Tidak perduli! Aku tetap akan menghabisi nyawamu terlebih dulu!" suara Harwati lantang, menyintakkan Dasa Laksana yang masih mengikuti buntut pertarungan yang ternyata belum juga berakhir. "Aku tetap akan mengamuk seperti macan tutul yang terluka," teriaknya lagi lalu menghambur menyerang Pita Loka dengan jurus serangan macan tutul dan ditangkis oleh Pita Loka dengan aum harimau yang membalikkan tubuh dan menangkis dengan Amukan Pendekar Edan Serial Tujuh Manusia Harimau 8 Karya Motinggo Busye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo kibasan ekor, yaitu kaki kirinya. Tubuh itu berputar dalam posisi berdiri di tanah yang licin, dan 'ekor' yang mengibas itu menangkis serangan Jurus macan tutul Harwati. "Kini aku bukan macan tutul lagi. Akulah pewaris harimau Kumayan, ilmu ayahku yang syah!" dan dia mengaum menghambur menerkam dada Pita Loka, tetapi Pita Loka cukup kokoh kakinya terbenam dilumpur, dan dia menerima terkaman jari pita Loka dengan jarinya pula. Telapak-telapak tangan kini beradu kuat. Jurus ini adalah Jurus tenaga dalam harimau tua, yang kebetulan mereka sama-sama menemukan jurus ini secara tidak sengaja. Kekuatan jurus telapak dan jari beradu begini tergantung dari pernafasan. Ketika Pita Loka mencoba mengirimkan arus api sucinya lewat kedua lubang hidungnya, arus itu memang keluar dengan dahsyat, dalam jarak dekat, namun... tidak membakar rambut atau wajah Harwati, Melihat hal itu Pita Loka ingin mendengar wisik sang Guru. Tetapi lalu dia ingat, bahwa dia sudah dilepas Ki Ca Hya untuk menemukan bentuk ilmunya sendiri. Ilmu itu hanya ditemukan sendiri lewat pengembaraan yang penuh tantangan. Seorang pendekar harus sering terlibat dalam berbagai pertarungan secara kongkret untuk mendapatkan jurus-jurus penemuan. Harwati mengaum dengan tekanan tenaga dalam sembari menjaga keseimbangan agar tubuh tidak jatuh di dasar telapak kaki bertanah licin. Pita Loka memperkuat jari-jarinya yang meremas jari-jari Pita Loka sembari menjaga posisi berdiri agar telapak kaki terbenam baik dalam pemukaan tanah. "Kau jahanam!" gerutu Harwati. "Kau edan," sahut Pita Loka dengan gerutu pula. "Kau buta sebelah. Kau gadis cacat!" "Betapapun hebat kita, kita berdua terancam bahaya maut. Luka kita sama menganga di punggung. Kau tentu letih dan lapar dan haus," kata Pita Loka. Harwati tiba-tiba merasa lapar dan haus. Memang itu betul dan mulai terasa menjalari tubuhnya. Ketika konsentrasinya terbelah dua itulah, dengan kekuatan remasan dan tenaga dalam serta posisi berdirinya yang mantap, dia banting tubuh Harwati hingga terjungkal ke tanah sedangkan dia sendiri ikut terbanting ke tanah masih dalam cengkeraman Harwati, tapi lepas oleh bantuan licinnya lumpur. Harwati menggelepar. Pita Loka meninggalkan Harwati buru-buru untuk memasuki kuil putih. Seluruh tubuhnya merasa seperti terbakar api. Dia memasuki ruang dimana Rama Yogi terbaring mati suri. Tetapi dia ingat sebuah botol yang berisi minyak tulang punggung harimau milik Raya Koleksi KANG ZUSI Rama Yogi untuk mengobati luka terkena taring harimau dan cakaran harimau yang sesungguhnya berbisa. Pelayan botak dipanggilnya: "Mari kau, Sakuntala!" Si remaja botak mendekatinya dan bertanya: "Apa saya bisa membantu?" "Polesi luka dipunggungku dengan minyak ini," ujar Pita Loka. Remaja botak Sakuntala memoles luka di punggung Pita Loka, lantas bertanya pada Sakuntala: "Berapa lama kami berdua bertarung, anak muda?" "Sepuluh malam sembilan hari," kata Sakuntala, "Kami penduduk sini menghitungnya." "Ha?" Pita Loka tidak percaya, sebab dia cuma merasa dua hari dua malam saja. "Sepuluh malam sembilan hari," kata Sakuntala botak lagi. Pita Loka tersenyum. "Tanpa dipoles minyak punggung harimau ini, berapa lama seorang yang terluka oleh cakaran harimau atau kena gigit taringnya?" "Pendekar lebih tau," ujar Sakuntala. "Saya bukan pura-pura tidak tahu. Kamu tentu lebih tahu." "Yang terkena bisa cakar dan taring harimau biasanya cuma bisa bertahan empatpuluh hari saja. Saya rasa penderitaan anda sudah 9 hari." "Kalau begitu, daya tahan pendekar Harwati cuma mampu 31 hari lagi. Saya kasihan dia akan mati dalam kegilaan. Semua cita-citanya tidak tercapai. Sedangkan saya harus melanjutkan petualangan untuk meningkatkan ilmu saya. Sebentar lagi saya akan pergi," kata Pita Loka. "Ah sayang. Rama Yogi belum lagi sadar dari mati surinya, tuan pendekar akan meninggalkan kami. Kami tentu akan diganggu lagi oleh pendekar edan itu setelah dia sadarkan diril" "Obati luka punggungnya itu dengan minyak ini," ujar Pita Loka. "Obati" Setelah dia sembuh dia akan bunuh kamil" kata remaja botak. "Kalau begitu, budimu belum begitu tinggi," ujar Pita Loka, kemudian dia duduk bersila di hadapan ranjang tempat berbaringnya Rama Yogi. "Engkau memang teladan kesabaran dan kebaikan, Rama. Engkau masih lama akan beristirahat," kata Pita Loka. Sakuntala botak, yang mendengar ucapan itu lalu mencu curkan airmata. Dia masih mengharap dengan ucapannya yang menggigilkan rasa haru: "Tuan pendekar akan meninggalkan kami. Kenapa Tuan pergi?" "Aku akan mencari permata hiiau Raja Solaimanku yang hilang. Cuma itu yang dapat menyembuhkan edannya Harwati. Tapi andaikata dalam 31 hari ini permata itu tidak didapatkan, dia akan mati," kata Pita Loka berlalu. Rupanya, percakapan itu didengar dan dilihat oleh Guru Gumara, kendati dalam jarak jauh antara Desa Tulus dengan Lembah Tujuh Bidadari. Seketika itu juga dia terkejut. Dia ingat, wisik yang Koleksi KANG ZUSI didengarnya sepuluh hari yang lalu. Bahwa pertarungan antara Pita Loka dan Harwati akan membawa korban: Salah satu mati, atau dua-duanya! Guru Gumara lupa, bahwa dia tak boleh ikut campur. Dia lupa itu! Lalu dia berseru: "Hai para pendekar buntung!Kalian perlu mendengar wejanganku." Enam pendekar remaja yang setiap orangnya bertangan satu itu, berkumpul di hadapan Sang Guru. Lalu Sang Guru memberi wejangan: "Baru saja aku menerima wangsit, bahwa saudara.tiriku Ki Harwati sedang dalam keadaan bahaya. Dia baru saja bertarung dengan Pita Loka. Pita Loka sudah mendapat kesembuhan diobati oleh minyak punggung harimau. Dia sudah berlalu dari sana, meninggalkan Harwati yang lukaluka dan diancam maut datam 31 hari ini. Jadi sekarang ini aku putuskan: Kalian akan kulatih siang malam selama 21 hari. Kita harus mengamankan Harwati dari bahaya maut, sebab aku dititipkan ayahku agar menjaga Harwati setelah beliau wafat. Amanat ini adalah bagian dari ilmuku, pendekar muda! Ayoh kita mulai mendalami latihan sekarang." Lalu muncul beberapa orang berkuda. Mereka menyapa anak-anak remaja yang sedang berlatih. Pemimpin mereka menanyakan Guru Gumara. Guru Gumara sedang bersemedi "Kalau begitu kami tinggalkan tujuh ekor kuda ini untuk kalian. Sebagai terima kasih dari Pedukuhan Bidadari atas bantuan kalian yang lalu," ujar pemimpin mereka seraya meninggalkan tujuh ekor kuda itu. Dan pamitan. Gumara masih mengadakan kontak wangsit melihat keadaan Desa Tulus. Dia melihat Harwati bangkit. Lalu mengamuk bagai harimau lapar. Dia masuk menerjang pintu setiap rumah lalu makan dan minum dengan edan. Tubuhnya merasa panas kena bisa cakaran kuku harimau Pita Loka dalam pertarungan sepuluh malam sembilan hari itu. Dia berteriak: "Mana Pita Loka! Jangan kalian sembunyikan! Aku akan membunuhnya dengan cakaran! Panas! Panas!" dan dia mengamuk terus dengan liar di desa Tulus itu. Penduduk mengkirik ketakutan. Mereka berharap Ketua mereka, Rama Yogi, segera sadarkan dirinya dari mati surinya. Mereka ngeri melihat Pendekar Edan Harwati yang mengobrak-abrik desanya dan berteriak: "Panas! Tubuhku panas! Mana Pita Loka! Aku akan koyak perutnya dengan cakaran kukuku ini!" TAMAT Pedang Kayu Harum 11 Pedang Siluman Darah 27 Takanata Iblis Nippon Cinta Bernoda Darah 3

Cari Blog Ini