Ceritasilat Novel Online

Sang Pelarian 1

Super Thriller Sang Pelarian Karya Francine Pascal Bagian 1


Satu "Sebel deh kalau hari Senin," gerutu Jessica sambil membenahi
letak jaketnya. Ia mengibaskan rambut pirangnya yang berkilau ke
belakang sebelum menatap kakak kembarnya Elizabeth, dengan
tampang kecut.
"Siapa yang punya ide kerja di hari libur? Kalau bukan garagara kamu, mungkin aku sudah bersantai dengan Lila di Carmel,"
omelnya lagi.
Elizabeth hanya setengah mendengarkan protes adiknya. Senin
pagi selalu menjadi saat-saat paling sibuk di ruang berita, tempat
kedua gadis kembar itu magang sebagai asisten. Elizabeth ingin
membaca sejenak catatan untuk minggu depan sehingga dia siap
menerima tugas jurnalistik apa pun.
"Kamu sudah siap, Jess? Aku sudah janji pada Dan Week untuk
datang pagi-pagi," ajak Elizabeth.
Jessica masih asyik memulas matanya. "Liz," katanya lagi
dengan suara masih jengkel, "apa kata liburan musim panas nggak
berarti apa-apa untuk kamu? Kamu kan tahu, liburan musim panas
selalu jatuh di bulan Juli? Seharusnya kita bersantai dan senangsenang, bukannya sengsara mikirin kerjaan."Elizabeth tertawa geli. Sikap adik kembarnya terhadap
pekerjaan tampaknya tak berubah seperti musim.
Prinsip utama Jessica adalah mencari kepastian bahwa ia bisa
bersenang-senang ? dan walaupun pekerjaan sebagai asisten di The
Sweet Valley News begitu menyenangkan bagi Elizabeth, tapi justru
kebalikannya bagi Jessica. Ini hanya salah satu bukti, betapa tepat
julukan "serupa tapi tak sama" yang diberikan oleh kedua orang tua
serta kakak laki-laki mereka, Steven.
Sejauh menyangkut soal penampilan, teman-teman dekat
mereka pun sulit membedakan si kembar ini. Selisih umur mereka
hanya empat menit. Elizabeth lahir lebih dulu dari Jessica. Tinggi
badan keduanya sama-sama lima kaki enam inci dengan proporsi
ideal. Kecantikan mereka khas daerah California Selatan ? kulit
kecoklatan, rambut pirang sebahu, mata biru kehijauan seperti lautan
Pasifik. Keduanya memiliki lesung pipit yang muncul bila mereka
tersenyum. Dan perbedaan di antara keduanya hanyalah sebuah tahi
lalat kecil di bahu kiri Elizabeth.
Orang-orang yang agak cermat sebenarnya bisa membedakan
mereka dengan melihat cara mereka berpakaian. Jessica selalu
mengikuti mode terbaru mulai dari potongan rambut sampai baju.
Kalau ada yang sedang nge-trend, ia selalu berusaha mendahului
orang lain. Jessica selalu ingin jadi pusat perhatian di manapun dia
berada. Bahkan suasana ruang berita yang super sibuk pun tak
mengurangi selera berdandannya. Contohnya pagi ini. Dia melengkapi
gaun katun berpotongan ramping dengan sederet bros model terbaru
yang sedang digandrungi para remaja Sweet Valley. Rambutnya diikatke belakang dengan pita ungu. Elizabeth sendiri lebih suka pakaian
bergaya klasik.
Perbedaan keduanya dalam cara berpakaian hanya merupakan
contoh kecil dari perbedaan-perbedaan yang lebih menonjol di antara
mereka. Jessica selalu spontan dalam melakukan sesuatu sementara
Elizabeth penuh perencanaan untuk masa depan.
Elizabeth bercita-cita menjadi penulis, karenanya dia selalu
berusaha keras menyelesaikan tugas-tugas sekolah dengan baik,
termasuk kegiatan ekstra kurikuler sebagai penulis The Oracle, koran
SMA Sweet Valley.
Tak aneh kalau gagasan magang sebagai asisten di Sweet
Valley News muncul dari Elizabeth. Jessica melawan, tapi terpaksa
patuh. Batal sudah semua rencana seru ? dengan Lila Fowler
sahabatnya untuk berlibur musim panas dengan cara hura-hura di
Carmel atau nonton film sepuasnya.
Orang tua mereka, Pak dan Bu Wakefield yakin bahwa magang
kerja di musim panas ini akan bermanfaat bagi si kembar. Mereka
menjelaskan pada Jessica bahwa pekerjaan ini akan melatihnya
menjadi lebih bertanggung jawab dan disiplin membagi waktu.
"Sumpah, deh, Liz, magang kerja begini sama sengsaranya
dengan berkemah di gurun Sahara." keluh Jessica sambil
membubuhkan mascara.
"Kemarin kamu nggak merasa keberatan begitu tahu Seth juga
kerja di sini," Elizabeth mengingatkan adiknya.
Seth Miller adalah wartawan baru di The News, ia baru saja
lulus sekolah jurnalistik. Wajahnya memang tampan dengan
rambutnya yang hitam bergelombang dan mata hijau.Tapi Jessica tak pernah bisa terikat terlalu lama pada satu hal
saja. Termasuk pada satu laki-laki.
"Seth sebenarnya keren juga, tapi dia gila kerja, sih," dengus
Jessica. Ebukulawas.blogspot.com
Seth sanggup menulis cerita misteri selama berjam-jam dan
tampaknya terlalu sibuk untuk memperhatikan godaan-godaan Jessica.
Elizabeth menduga mungkin saja Seth menghindari Jessica
karena ada alasan lain di samping pekerjaannya yang memang banyak.
Tapi ia tak ingin memperkeruh suasana hati adiknya.
"Kolom beritanya nggak jelek-jelek amat, kan?" Elizabeth
mencoba mengalihkan pembicaraan. "Apalagi sekarang masyarakat
sedang gempar karena kasus Delluca."
Sekali lagi Jessica mengerang. "Kalau sampai dengar satu kata
lagi soal kasus DeLucca aku bisa muntah," komentarnya sambil
mencibir.
Diambilnya lip glos dan mulai memulas bibir.
"Sudah cukup susah punya Ayah pengacara. Sekarang Adam
tinggal di sini dan Steven mulai ikut-ikutan. Runyam deh kalau
obrolan di rumah soal hukum melulu!" Jessica mencibir.
"Ini kan sidang terpenting selama sepuluh tahun terakhir," sahut
Elizabeth tenang. "Kalau aku jadi kamu, aku akan lebih
memperhatikannya, Jess. Sebenarnya ?"
Jessica menutup kuping dengan kedua tangannya. "Sudahlah,
sudah," serunya. "Kita berangkat aja deh,Liz. Aku lebih suka di ruang
berita daripada harus mendengarkan seluk beluk pengadilan."
Elizabeth menggelengkan kepala sambil mengikuti adiknya
turun ke lantai bawah lalu menuju ke depan garasi. Bulan lalu, FrankDeLucca diadili di New York dengan tuduhan pembunuhan dan
serentetan usaha ilegal. Koran-koran memuat hasil persidangan serta
keputusasaan jaksa penuntut karena sulitnya menghadirkan saksi-saksi
yang dapat memberatkan tuduhan pada DeLucca.
DeLucca diberitakan sebagai salah satu gembong penjahat kelas
kakap. Ia dianggap bertanggung jawab atas pembunuhan yang tak
terhitung jumlahnya, spionase, perdagangan obat-obat terlarang, dan
perjudian.
DeLucca telah ditahan beberapa bulan setelah ditangkap di
Brooklyn atas tuduhan pembunuhan ? terhadap seorang pemuda
bernama Ray Underwood yang pernah bekerja padanya. Pemicu
masalah adalah karena Ray berusaha kembali ke jalan yang benar dan
bersedia bersaksi melawan DeLucca. Sejauh ini, penuntut belum
memperoleh bukti-bukti yang berarti dan saksi-saksi yang kuat untuk
mendakwa DeLucca.
Kasus DeLucca memang pelik. Walaupun polisi telah menahan
beberapa penjahat dikenal, tampaknya tak seorang pun yang bersedia
bersaksi melawan DeLucca. Para saksi yang dikumpulkan tiba-tiba
tutup mulut dan muncul desas-desus yang menyebutkan bahwa
mereka telah disuap atau ditekan oleh kaki tangan Frank DeLucca.
Ayah si kembar adalah pengacara sukses di Sweet Valley. Beliau
khawatir kalau Delucca akan dibebaskan dari rentetan kejahatan kelas
berat dan kriminalitas amoral akan berlanjut.
Sidang pengadilan DeLucca mendapat perhatian besar baik di
kantor The News maupun di rumah. Keluarga Wakefield sering
membicarakan peristiwa-peristiwa yang sedang hangat, dan sejak
Adam Maitland tinggal bersama mereka sepanjang musim panas ini,pembicaraan mereka makin hidup. Adam adalah teman kuliah Steven.
Selama liburan ini dia juga magang sebagai asisten di biro penasehat
hukum Wells & Wells. Keluarga Wakefield sudah akrab sekali dengan
Adam.
Musim panas yang lalu, Laurie Forbes, tunangan Adam
terbunuh secara sadis dan Adam dituduh sebagai pelakunya. Keluarga
Wakefield berusaha keras menolongnya. Kedua gadis kembar
Wakefield malah terlibat lebih jauh ? di luar dugaan mereka ?
sesudah Jessica secara tak sengaja menyaksikan pembunuh yang
sebenarnya sedang membuang jenazah Laurie Forbes.
Akibat peristiwa tersebut Jessica mengalami goncangan yang
cukup berat. Itu sebabnya Elizabeth mengerti mengapa adik
kembarnya tak begitu antusias terlibat dalam diskusi keluarga tentang
kasus DeLucca. "Cukup sudah urusanku dengan hukum, kejahatan dan
semua yang berhubungan dengan itu," kata Jessica minggu lalu.
Elizabeth menganggap Jessica terlalu menutup diri. Ia sampai
tak mau mengikuti ulasan berita TV tentang kasus itu.
Sedangkan Adam yang justru paling menderita waktu Laurie
terbunuh malah bersikap sebaliknya. Dia lebih bersungguh-sungguh
membaktikan dirinya kepada hukum dan marah pada sidang yang bisa
menyatakan seorang penjahat tidak bersalah karena kurangnya bukti
atau ketiadaan saksi. "Harus ada orang yang berani bersaksi demi
keadilan," katanya pada makan malam sebelumnya. Elizabeth
berharap pendapat Adam benar.
**********
Waktu sampai di kantor, Elizabeth dan Jessica langsung terlibat
dalam diskusi panas antara Seth Miller dan Dan Weeks, dua wartawantermuda di harian itu. Dan yang mendapat pujian atas liputannya
dalam kasus pembunuhan Laurie Forbes pada musim panas lalu kini
menjadi saingan Seth. Keduanya makin sering berdebat seperti pagi
ini. "Kamu pasti gila kalau menganggap para juri berani
menyatakan DeLucca bersalah," kata Dan pada Seth. "Orang waras
mana yang mau bersaksi sesudah ada kasus Underwood? DeLucca
pasti akan membunuhnya saat itu juga."
"Aku nggak percaya," bantah Seth berapi-api. "Kalau ada orang
yang punya bukti kejahatan De Lucca, dia pasti muncul."
Jessica memutar bola matanya. "Aku ke mejaku aja, deh,"
katanya pada Elizabeth.
Tiba-tiba Pak Robb, editor The News, keluar dari ruang
kerjanya bersama seorang gadis berumur sekitar tujuh belas tahun.
Rambutnya merah dan halus. Matanya coklat jernih dan wajahnya
berbintik-bintik. Ia memperhatikan si kembar dengan penasaran.
"Jessica, Elizabeth, kenalkan ini, Darcy Kaymen," kata Pak
Robb memperkenalkan. "Dia juga magang selama musim panas ini.
Tolong bantu dia mengenal kegiatan-kegiatan di sini."
Darcy menepis rambutnya ke belakang. "Saya pindahan dari
Ohio," katanya. "Ayahku kenal dengan pemilik harian ini, jadi aku
bisa magang di sini."
Ia tersenyum sombong ketika bersalaman. "Aku pecinta koran.
Kayaknya kantor ini cukup menantang." katanya.
Elizabeth tersenyum ramah pada gadis itu. "Nanti kuantar kamu
berkeliling ya, Darcy. Kalau perlu bantuanku, bilang saja, jangan
sungkan-sungkan.""Aku nggak akan minta bantuan banyak-banyak," sahut Darcy
angkuh. "Aku bisa cepat belajar, kok."
Pak Robb kembali ke kantornya. Sementara Seth memperkeras
suara radionya untuk mendengar berita pagi tentang jalannya
persidangan DeLucca.
"Oh, sidang DeLucca, ya?" tanya Darcy pada Seth Miller. "Kata
ayahku kecil kemungkinan menjebloskan DeLucca ke penjara.
Katanya ini cuma sandiwara media sehingga seolah-olah sistem
pengadilan kita benar-benar berjalan. Padahal kenyataannya sih, kata
ayah ?"
Jessica tak dapat menahan diri lagi. "Ayahmu kerja apa sih?"
tanya Jessica.
"Dia pengusaha," jawab Darcy. "Tapi beliau tahu soal hukum.
Ayah yakin sidang DeLucca nggak bakalan menghasilkan apa-apa!"
Seth memandang Darcy dengan lembut. "Yah, memang ada
yang berpendapat begitu, tapi aku tidak. Menurutku malah akan
muncul saksi sejati pada waktunya nanti."
Darcy tampak malu dan mulai gelisah. "Yah, mungkin kamu
benar," katanya cepat.
"Aku setuju dengan Darcy," potong Dan. "Lihat kan, Seth,
nggak ada yang berani ambil resiko jadi saksi melawan orang sekuat
DeLucca. Bunuh diri namanya! Tanpa saksi, jaksa dan hakim nggak
akan bisa membuktikan apa-apa. Ayah Darcy benar, pengadilan ini
nggak akan menghasilkan apa-apa."
"Kurasa apresiasiku tentang manusia lebih tinggi dari kamu,"
jawab Seth tenang.Elizabeth tak dapat diam lebih lama lagi. "Aku setuju dengan
Seth," katanya pelan. "Menurutku sebagian besar masyarakat benarbenar berani. Buktinya ?"
Dan Weeks tertawa. "Kedengarannya ada pengikut-pengikut
pribadi di ruang berita ini," ejeknya.
Darcy ikut tertawa sambil menutup mulut dengan tangan. Tibatiba Elizabeth merasa tak enak.
"Bukan begitu maksudku," katanya sedih. "Menurutku nggak
adil menyerang orang dengan sinis tanpa memberinya kesempatan
berpendapat."
Darcy yang merasa mendapat dukungan dari Dan tak bisa
menahan diri lagi. "Kata Ayahku orang nggak akan melakukan
sesuatu kalau nggak menguntungkan dirinya sendiri," katanya dengan
senyum penuh arti pada Elizabeth. "Kurasa kamu punya sudut
pandang yang berbeda," tambah Darcy.
Perasaan Elizabeth kacau. Mana mungkin suasana jadi tidak
menyenangkan begitu orang baru ini datang? Apakah ia telah
memancing kemarahan Darcy? Tampaknya Darcy sudah merasa tak
suka padanya ? walaupun mereka baru saja berkenalan!
Elizabeth masih ingin membantah Darcy tapi dia merasa
percuma. Bisa-bisa jadi debat kusir. "Sebaiknya aku kembali ke
mejaku. Banyak bahan yang harus diperiksa," katanya pada Seth.
Seth membungkuk dan menepuk tangan Elizabeth. "Jangan
takut jadi pembela kebenaran," kata Seth lembut. "Kurasa kamu benar,
Liz. Kita nggak bisa menghakimi masyarakat. Kalau ada satu saksi
yang melawan DeLucca, yang lain pasti menyusul."Elizabeth tetap merasa resah walau kata-kata Seth terdengar
tulus. Perasaannya tak enak memikirkan rasa takut dan egoisme
masyarakat seperti yang diyakini Dan Weeks dan Darcy. Dia hanya
berharap ada orang yang menunjukkan diri dan membuktikan bahwa
pendapat itu salah!
*************
"Ayo makan siang sama aku dan Darcy," Jessica merayu
kakaknya.
Sepanjang pagi ia menghabiskan satu jam waktunya untuk
membaca nomor-nomor lama majalah Vogue dan mencoba
bermacam-macam tata rambut terbaru di kamar mandi. Dia sudah
bosan berada di ruang berita. Jessica ingin mengajak Darcy ke coffee
shop di lantai pertama.
"Entahlah," kata Elizabeth ragu. "Rasanya Darcy nggak begitu
suka sama aku, Jess. Sikapnya tadi pagi nggak begitu ramah."
Yang dikatakan Elizabeth bukan tanpa alasan. Elizabeth telah
berusaha memperbaiki perdebatan tadi pagi dengan mendatangi meja
si kepala merah dengan maksud untuk mengenalnya lebih jauh.
Darcy menghindarinya. Setiap kali Elizabeth berusaha
membuka pembicaraan, Darcy pergi begitu saja. Elizabeth tak bisa
memperkirakan kenapa Darcy bersikap seperti itu. Tapi dia
menganggap lebih baik menghindar daripada mencari penyebabnya.
Jessica cemberut. "Kita nggak pernah menyukai orang yang
sama, Liz. Menurutku Darcy hebat! Tahu nggak? Dia sekolah di Ohio
College, Cliff Benjamin juga sekolah di sana!"


Super Thriller Sang Pelarian Karya Francine Pascal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Cliff Benyamin adalah penemuan baru Jessica ? seorang aktor
muda yang membintangi beberapa film remaja."Yah, aku mau makan di mejaku aja, deh," kata Elizabeth.
"Pergi aja sendiri, lebih baik aku di sini sambil menyelesaikan
pekerjaan."
Tampaknya Jessica tak puas. "Kamu nggak pernah suka pada
hal-hal yang menyenangkan," protesnya. "Sikapmu sama seperti
Jeffrey atau Enid Rollins."
Elizabeth tertawa. "Memangnya kenapa? Enid cewek paling
manis di dunia. Dan kamu tahu gimana istimewanya Jeffrey."
Jessica menyeringai. "Dia nggak bisa disebut istimewa. Terlalu
penurut. Lagipula dia sedang berkemah musim panas. Kamu nggak
boleh mengurung diri dan bekerja sepanjang musim panas. Ayolah,
Liz. Beri kesempatan untuk Darcy."
Elizabeth mengeluh. "Oke," katanya. "Aku ikut." Mungkin dia
agak tergesa-gesa menganggap Darcy Kaymen tak menyukainya.
Karena mereka akan berkerja bersama-sama seharusnya mereka
berusaha saling menyesuaikan diri.
Jessica berusaha menjaga kelancaran pembicaraan waktu
mereka bertiga meninggalkan ruang berita. "Ayo cari tempat lain.
Gimana kalau ke Box Tree Cafe?" usul Jessica. "Ini kan hari pertama
Darcy kerja, kita harus merayakannya."
Darcy tersenyum. "Ide bagus. Aku senang kamu mau
menunjukkan tempat-tempat di sini, Jessica." Dia tak memandang
Elizabeth. "Mungkin aku bisa kerasan karena ada kamu. Tadinya aku
takut liburan musim panasku ini bakalan membosankan. Waktu ayah
bilang aku harus cari kerja ..." Dia berhenti sejenak. "Koran! Apa ada
yang lebih membosankan dari itu?"Jessica tampak gembira. "Aku tahu maksudmu," katanya
bersimpati. "Kasihan kamu. Aku hampir nggak percaya, ayahmu
menyuruh cari kerja tanpa memberi kesempatan untuk bersenangsenang!"
Elizabeth mengeluh. Inilah yang dibutuhkan saudara kembarnya
? teman yang sama-sama tak menyukai pekerjaan di The News!
"Menurutku ini kerjaan hebat," kata Elizabeth tabah. "Para
editor benar-benar memberi kesempatan pada kita. Kita harus merasa
beruntung karena bisa mempelajari semua seluk beluk
persuratkabaran."
Darcy memandang Elizabeth seolah melihat orang gila. "Siapa
peduli sama pembuatan koran? Seandainya ayahku nggak kenal
pemiliknya, mungkin aku bisa kerja di toko baju atau di tempat asyik
lain. Bahkan bisa dapat potongan harga," tambahnya ketus.
Elizabeth tak mengatakan apa pun. Topik ini jelas-jelas tak akan
memperbaiki hubungan mereka!
Tapi Jessica benar-benar terpesona. "Oh, kamu juga suka baju,
ya? Kalau begitu nanti kukenalkan sama temanku, Lila Fowler!
Ayahnya pemilik perusahaan komputer. Lila boros banget soal baju!
Koleksinya model terbaru dari Eropa ? langsung dipesan setelah
membaca majalah Vogue. Nanti kamu kuajak ke mal, kita lihat tokotoko paling mahal di sana."
Darcy meringis. "Jessica, kamu hebat! Aku jadi senang ayahku
memaksa magang di sini. Kalau nggak, mana bisa kenal kamu dan
bakalan nggak tahu semuanya tentang kota ini!"
Jessica berseri-seri. Dia langsung membayangkan acara jalanjalan di Sweet Valley bersama Darcy Kaymen.Di sisi lain, Elizabeth mulai berpikir bahwa dia tak akan
mungkin berteman dengan Darcy. Si rambut merah ini telah
menganggapnya sebagai pengganggu berotak dangkal. Dan Elizabeth
tak suka pada keluhan Darcy karena menjadi asisten di The News.
Elizabeth sendiri merasa bahwa mereka sangat beruntung
karena diberi tanggung jawab, dan harus memanfaatkan kesempatan
langka ini.
Elizabeth memiliki kepekaan cepat mengenali karakter
seseorang setelah beberapa saat berkenalan. Perasaannya mengatakan
bahwa Darcy tak akan memberi banyak keuntungan di ruang berita
itu. Ia juga cemas kalau Darcy akan memberi pengaruh buruk
terhadap saudara kembarnya.
Yang terparah adalah ia dan Darcy mulai menebar bibit-bibit
ketidakcocokan. Selama makan siang itu obrolan hanya terjalin antara
Elizabeth dan Jessica, atau Jessica dengan si rambut merah. Darcy
benar-benar mengabaikan Elizabeth. Isi pembicaraan pun lebih
didominasi semangat serba hura-hura dan kemewahan Jessica
sehingga Elizabeth merasa seperti orang bodoh di situ.
Waktu Jessica ke kasir, Darcy memandang Elizabeth dengan
sinis. "Terima kasih makan siangnya ... pembangkang," katanya
dingin.
Elizabeth menggigit bibirnya. Permusuhan jelas sudah dimulai.
Mulai saat ini suasana kerja di ruang berita akan sangat berbeda!Dua
Hari Selasa sore, pak Wakefield membawa pulang makanan
Mexico, dan seluruh keluarga termasuk Adam, menyantapnya di
patio, teras belakang yang menghadap ke kolam renang. Udara di
musim panas sore itu terasa hangat, semua senang makan di luar
rumah. Bu Wakefield yang telah mengganti gaun ala pelautnya
dengan setelan celana yang nyaman. Beliau mengambil taco untuk
kedua kalinya.
"Seharusnya nggak boleh nambah," omelnya pada diri sendiri.
"Tapi rasanya enak sekali, sih!"
Steven tertawa. "Ibu kan belum segemuk si kembar ini, Ibu
masih bisa ikut tes peragawati!"
"Setuju," Adam membeo.
Wajah bu Wakefield memerah. Memang benar, dia masih
kelihatan muda dengan rambut pirang berpotongan pendek dan tubuh
yang ramping. Dan profesinya sebagai perancang ruang dalam sangat
menunjang penampilannya.
"Kata Darcy ada cara diet yang bisa mengurangi berat badan
empat kilo sebulan. Kita cukup makan anggur dan nasi," kata Jessica.
"Kuharap Darcy nggak cuma ngomong melulu dan mulai
mengerjakan tugas kantor," kata Elizabeth tajam."Jangan begitu dong, Liz. Dia kan baru seminggu di kantor,"
kata Jessica. "Dia sedang berusaha menyesuaikan diri."
"Siapa Darcy itu?" tanya Steven tertarik.
Steven, cowok berumur delapan belas tahun adalah kakak si
kembar yang sering menjadi penengah kalau kedua adiknya berdebat.
Dan dia sering berhasil dalam menjalankan peranan ini. Steven
berambut hitam dan ganteng, dia benar-benar mirip pak Wakefield.
"Dia asisten baru di kantor, Liz nggak suka karena dia berpihak
pada Dan Weeks. Kemarin Dan Weeks berdebat dengan Seth tentang
pengadilan DeLucca," kata Jessica sambil menjilat saus di jarinya.
Elizabeth meringis. "Darcy berusaha mendekati Dan," katanya.
"Dia cuma mengulang apa kata-kata ayahnya. Kurasa dia nggak punya
pendapat sendiri."
Bu Wakefield tampak terkejut. "Liz," tegurnya, "biasanya kamu
nggak terlalu cepat menilai orang. Apa kamu sudah berusaha
mengenalnya?"
Elizabeth mengangkat bahu. "Mungkin enggak. Tapi Jessica
benar ? aku nggak suka pendapatnya tentang pengadilan itu. Aku
benar-benar marah kalau ada yang mengatakan bahwa sidang itu cuma
sandiwara saja dan nggak ada orang yang berani bersaksi menentang
kekuasaan seseorang."
"Yah," kata pak Wakefield sambil menghela nafas, "sekarang
ini kayaknya anggapan itu dekat dengan kenyataan sebenarnya.
Lagipula, nggak ada bukti yang cukup kuat untuk menyeret DeLucca
ke penjara. Beberapa hari lagi persidangan akan selesai, dan kalau
nggak ada saksi yang maju ..." Beliau bersandar ke punggungkursinya. "Berat mengatakannya, Liz, tapi mungkin Darcy
memenangkan perdebatan ini."
Elizabeth merasakan pipinya memanas. "Yah, mungkin saya
terlalu idealis. Tapi saya yakin nanti ada saksi yang maju."
Adam membungkuk dan menepuk-nepuk tangan Elizabeth.
"Aku di pihakmu," katanya. "Waktu ditahan sebagai terdakwa
pembunuhan Laurie aku sempat memikirkan kemungkinanku
dipenjara. Kepercayaanku pada manusia hilang. Lalu ? waktu aku
sadar ada orang sepertimu yang mau menolong, bahwa hukuman
hanya untuk orang yang bersalah ..." suaranya menghilang.
"Yah, aku sadar di dunia ini masih ada orang yang berjuang
membela kebenaran."
"Sama saja," kata pak Wakefield pelan, "Frank DeLucca adalah
penguasa yang luar biasa, dan kupikir pembunuhan Ray Underwood
meninggalkan bekas dalam hati masyarakat. Aku kuatir nggak ada
yang cukup berani menjadi saksi."
Semuanya terdiam, dan Elizabeth menatap Adam yang juga
memandangnya dengan tak berdaya. Pembuktian terakhir dijadwalkan
hari kamis, dan kalau dalam waktu dua puluh delapan jam ini tak ada
yang maju sebagai saksi, maka Frank DeLucca akan bebas.
************
"Liz!" panggil Jessica dari kamarnya sambil menutup gagang
telepon dengan tangannya. Suaranya jengkel. "Ada telepon untuk
kamu ? dari Jeffrey."
Elizabeth bergegas mengangkat telepon di kamarnya sendiri
waktu Jessica berpesan, "Jangan lama-lama. Darcy janji mau
menghubungiku."Elizabeth mengabaikannya. Telepon interlokal dari pacarnya
lebih penting daripada telepon Darcy yang telah menelepon dua kali
sesore ini!
"Jeffrey," sapa Elizabeth hangat, "senang sekali kamu
menelepon. Hari ini aku kangen sekali sama kamu."
Jessica memutar matanya dan keluar dari kamar itu, Elizabeth
tertawa kecil.
"Apa yang lucu?" tanya Jeffrey.
"Jessica, tuh. Dia menyuguhkan senyumnya yang paling
menarik." Elizabeth menjatuhkan diri ke tempat tidur. "Cerita dong,
gimana perkemahannya?"
Jeffrey adalah seorang pemandu libur musim panas di teluk San
Francisco, beberapa jam jauhnya di Utara Sweet Valley. Suratnya
untuk Elizabeth berisi keluhan tentang lelucon para cowok di sana.
"Nggak banyak cerita. Minggu ini kami mengajar cara naik
kano," kata Jeffrey. "Rasanya hampir gila karena kangen sama kamu.
Nggak sabar lagi nunggu acara akhir pekan para orang tua, aku bisa
pulang menemui kamu. Tinggal tiga minggu lagi," tambahnya.
Elizabeth memainkan kabel telepon dengan jarinya. "Aku juga
kangen sama kamu," katanya. Kemudian dia menceritakan
pekerjaannya, termasuk kedatangan Darcy. "Jessica menganggap dia
hebat, tapi aku nggak yakin," Elizabeth mengutarakan pendapatnya.
"Dia ? entahlah, menurutku dia kacau dan suka memperalat orang.
Aku nggak cocok sama orang seperti itu."
"Kayaknya aku bisa menyimpulkan bahwa aku di pihakmu,"
kata Jeffrey, "bukan di pihak Jessica. Nggak usah pedulikan mereka,tetaplah kerja keras. Menurutku kamu dapat pengalaman bagus di
koran itu, dan itu yang paling penting."
Elizabeth tersenyum. "Kamu benar. Kenapa kamu selalu bisa
melihat masalah dengan bijaksana?"
"Karena aku memang bijaksana," kata Jeffrey sambil tertawa
kecil. "Jaga diri ya?" tambahnya. "Kayaknya kamu tegang."
Elizabeth menghela nafas. "Memang iya. Kayaknya aku terlalu
terbawa kasus DeLucca. Mulai sekarang mau kucoba konsentrasi dan
menikmati pekerjaan saja. Dan merindukanmu," tambahnya.
Rasanya sulit mengakhiri pembicaraan yang bagi Elizabeth
merupakan segalanya, ia sedih kalau harus meletakkan gagang
telepon.
Elizabeth dan Jeffrey telah berjanji saling menelepon selama
dua kali seminggu ? supaya tak kehilangan hubungan sepanjang
musim panas. Hubungan telepon dan surat membuat jarak di antara
mereka tak terasa begitu jauh. Nyatanya, setiap kali meletakkan
gagang telepon Elizabeth selalu memikirkan betapa beruntungnya
mereka. Mereka sangat cocok dan saling mengerti. Jeffrey selalu
dapat mengetahui bagaimana perasaan Elizabeth, dan malam ini
Jeffrey membantunya membuat keputusan untuk mengubah sikapnya.
Dia tak tahu bagaimana jadinya kalau tak ada Jeffrey ? dan dia tahu
Jeffrey pun merasakan hal yang sama.
Seperti diberi isyarat, Jessica menyerbu masuk begitu Elizabeth
meletakkan gagang telepon.
"Sudah? Gimana kabar Jeffrey?" tanya Jessica dalam satu
tarikan nafas.Elizabeth tersenyum. "Baik. Dia habis mengajar orang-orang
cara naik kano." Elizabeth merasa Jessica memandangnya dengan
penuh selidik.
Jessica mengernyit. "Kamu ini nggak bisa kupercaya, Liz. Ini
cowokmu yang kedua, dan sama-sama berjauhan. Apa kamu nggak
bosan? Kenapa nggak ikutan aku dan Darcy ke disko malam ini? Kata
Amy Sutton cowok-cowok keren dari SMA Greenwood mau datang
ke sana."
Elizabeth menggelengkan kepalanya. Dia benar-benar ingin
sendirian. Dia tak punya keinginan apa-apa selain meringkuk sambil
membaca novel ? atau menulis surat untuk Jeffrey. Jessica tak akan
bisa menerima hal itu karena Elizabeth baru saja menerima
teleponnya. Selain itu, bayangan akan bertemu Darcy Kaymen sudah
membuat Elizabeth merasa tak enak. Bertemu di tempat kerja pun
sudah berat rasanya!
"Yah, kamu tahu pendapatku tentang cinta jarak jauh," kata
Jessica sambil mengambil sikat rambut Elizabeth dan mulai menyisir
rambutnya. "Aku juga nggak tahu apa untungnya punya pacar tetap.
Kayaknya seperti memagari diri. Kalau Jeffrey di sini sih, lain
masalahnya. Tapi dia jauh di sana, mengajar cara naik kano ..." Jessica
menggeleng sedih. "Aku nggak suka kamu cuma duduk-duduk
menyia-nyiakan masa muda dan kecantikanmu," tambahnya dibuatbuat.
Elizabeth tertawa. Dia tahu adiknya akan heran kalau dia
mengatakan ingin menyendiri sore ini. "Percaya atau enggak, aku
benar-benar kangen sama Jeffrey. Mungkin ada baiknya juga kami
berjauhan selama beberapa waktu."Jessica meletakkan sikat rambut dan menoleh pada saudara
kembarnya. "Ada baiknya berjauhan dari dia? Sedih sekali. Kamu
mau putus dari dia?"
Elizabeth menggeram. "Jessica, kamu susah sekali mengerti.
Maksudku ada bagusnya pasangan kekasih berpisah sebentar. Aku
nggak punya pikiran 'putus' dari Jeffrey."
"Oh," kata Jessica kecewa. "Yah, kalau kamu berubah pikiran,
ayo ikut ke Beach Disco. Kamu harus tahu, Darcy mulai merasa
bahwa kamu nggak suka sama dia."
Mana mungkin Darcy mengatakan hal itu? Elizabeth merasa dia
sudah berusaha keras untuk bersikap ramah pada anak baru itu.
"Katakan, anggapannya keliru," katanya pelan sambil menahan
emosi. Apa pun yang terjadi, dia tak boleh bersikap kekanak-kanakan
terhadap Darcy Kaymen. Dia harus berusaha tetap ramah ? walaupun
jelas tak akan ada gunanya!
***********
Jessica dan Darcy sudah berangkat ke Beach Disco sekitar jam
sembilan, dan ternyata Elizabeth tak dapat berkonsentrasi pada apa
pun. Buku yang dibacanya sudah tak menarik lagi, dan akhirnya ia
menaruhnya lalu turun ke bawah untuk bergabung dengan orang
tuanya, Steven dan Adam yang sedang menonton film di televisi.
Kakaknya sedang menceritakan kilas balik cerita film itu ketika
tiba-tiba muncul siaran berita di layar.
"Sore ini menandai tersendatnya pengadilan atas tokoh
kejahatan dunia, Frank DeLucca," sang penyiar mengumumkan.
"Diberitahukan adanya seorang saksi yang mengejutkan yaitu seorang
dokter bernama William Ryan dari Manhattan yang akan bersaksimelawan DeLucca besok pagi. Ryan mengaku sudah lama merawat
Underwood, korban pembunuhan brutal yang dilakukan atas perintah


Super Thriller Sang Pelarian Karya Francine Pascal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

DeLucca. Berbagai sumber mengatakan bahwa ia punya bukti penting
untuk melawan terdakwa dan akan melakukan kesaksiannya besok
pagi. Laporan selengkapnya akan disajikan pada siaran berita jam
sebelas."
"Astaga!" teriak pak Wakefield. "Ini berarti kemenangan untuk
penuntut umum! Nggak bisa kupercaya."
Jantung Elizabeth berdebar lebih kencang. "Berarti DeLucca
bisa dituntut?"
Pak Wakefield menggeleng. "Tergantung pada bukti yang
diajukan Ryan. Memang ada kemungkinan DeLucca bisa
dipenjarakan, tapi kita belum bisa bilang apa-apa sekarang ini!"
"Lihat kan, Liz," Adam nimbrung, "kamu benar. Orang-orang
itu memang berani. Dr. Ryan mempertaruhkan hidupnya dengan
bersaksi begini."
"Coba bayangkan seperti apa suasana di rumah Dr. Ryan malam
ini!" kata bu Wakefield pelan. "Laki-laki yang berani," tambahnya.
"Jangan terlalu berharap," kata pak Wakefield memperingatkan.
"Kita belum tahu apa yang akan terjadi di akhir persidangan." Beliau
membungkuk dan menepuk-nepuk bahu Elizabeth. "Tapi Adam benar,
Liz. Yang terpenting, Dr. Ryan punya keberanian untuk bersaksi ?
seperti dugaanmu." Beliau memberikan senyum istimewa.
"Kepercayaanmu pada orang benar, Liz. Semoga kamu nggak
kehilangan nilai itu."
Elizabeth tak menjawab. Dia menduga-duga bagaimana rasanya
kalau mengetahui kejahatan seseorang seperti Frank DeLucca danharus memutuskan apakah harus bersaksi ? dan menghadapi
kemarahan DeLucca ? atau tetap diam dan membiarkannya bebas.
Elizabeth gembira sekaligus tegang karena akhirnya ada saksi
yang mengajukan diri. Dia berharap bukti yang diajukan Dr. Ryan
cukup kuat untuk menyeret DeLucca ke penjara sesuai dengan
perbuatannya.Tiga
"Ayo sini!" teriak Seth Miller saat makan siang hari Rabu.
"Sudah hampir siaran berita, nih! Aku pingin tahu gimana jalannya
persidangan hari ini!"
Elizabeth bergegas menghampiri meja Seth untuk melihat
pesawat TV kecil yang dibawa dari ruang media untuk menyaksikan
siaran berita. Elizabeth sama bernafsunya dengan Seth untuk
mendengar kesaksian Dr. Ryan. Dengan segera terbentuk kelompok
kecil di sekeliling televisi: Dan Weeks, Seth, Elizabeth, Jessica dan
Darcy, dan orang dari bagian setting, laki-laki kurus tinggi bernama
Paul, dan kepala editor, Stan Fisher.
Ruang berita itu hening waktu penyiar mengambil berkas
catatan. "Pagi ini," sang penyiar memulai pemberitaan, "menandai
terjadinya titik balik dalam pengadilan Frank DeLucca yang penuh
perdebatan. Tadi malam, seorang dokter dari Manhattan bernama
William Ryan menyatakan bahwa ia mempunyai bukti penting yang
akan digunakannya untuk bersaksi melawan DeLucca. Pagi ini Dr.
Ryan membuka kesaksiannya."
Elizabeth menyikut Jessica. "Hebat, kan?" bisiknya.
Darcy menatap Elizabeth dengan tajam. "Sssst," katanya
mencela. "Aku sedang mendengarkan, Liz."Elizabeth jengkel, tapi dia berusaha mengendalikan diri. Yang
penting sekarang menyimak apa yang dikatakan Dr. Ryan tadi pagi,
bukan ulah Darcy.
"Dr. William Ryan adalah seorang ahli penyakit dalam," lanjut
penyiar. "Di bawah pengawalan ketat dari polisi sejak dia
menghubungi polisi kemarin sore, Ryan mengaku telah merawat Ray
Underwood, pemuda yang terbunuh setelah berusaha menggiring
Frank DeLucca ke penjara. Menurut laporan Dr. Ryan, Underwood
telah menderita diabetes sejak berumur belasan tahun dan mendapat
terapi insulin dari Dr. Ryan. Selama enam tahun Dr. Ryan dan
Underwood bertemu secara teratur ? selama itulah Underwood
menyerahkan beberapa bukti hubungan DeLucca dengan jaringan
perdagangan obat bius internasional. Dalam kesaksian panjang yang
mengejutkan dan dilaksanakan di bawah sumpah pagi ini, Dr. Ryan
telah memberikan bukti yang tampaknya tak dapat disangkal bahwa
perintah pembunuhan atas Underwood berasal dari DeLucca."
Elizabeth tak dapat mempercayai pendengarannya. Akhirnya
DeLucca dapat dibuktikan bersalah dan dipenjarakan!
"Tampaknya Underwood takut DeLucca akan membunuhnya
sebelum ia berhasil mengungkapkan operasi DeLucca," lanjut si
penyiar. "Untuk melindungi diri, dia menulis pernyataan singkat,
menandatanganinya dan menyerahkannya pada Dr. Ryan pada
kunjungan perawatannya yang terakhir. Sampai saat ini Dr. Ryan
masih menyimpan surat pernyataan itu."
"Wow!" seru Seth.
Penyiar berdehem. "Pagi ini Dr. Ryan membacakan surat
pernyataan yang telah dianalisa dan dinyatakan sebagai tulisan tangansi korban, Ray Underwood. Pernyataan itu singkat dan padat. Di
dalamnya, Underwood menyatakan bahwa DeLucca dan dua orang
laki-laki ? yang tak ia ketahui namanya ? sebenarnya adalah kepala
jaringan obat bius internasional. Kesaksian Underwood tampaknya
menjadi bukti penting dari pengadilan ini."
"Hebat sekali," Elizabeth terperangah.
"Dr. Ryan telah menunjukkan sebuah bukti penting," si penyiar
melanjutkan. "Suasana di ruang sidang tegang. Setiap orang bertanyatanya pengaruh yang akan timbul setelah ada bukti-bukti baru yang
akan diserahkan pada juri besok sore."
Seth membungkuk di kursinya dan mematikan televisi,
wajahnya berseri-seri. "Horeee!" serunya.
Dan Weeks menyandarkan punggungnya di kursi, "Aku nggak
mau terpesona seperti kamu. Pikirkan, Seth. Orang seperti Frank
DeLucca punya kekuasaan besar. Kalau dia dipenjara, sindikat atau
jaringan obat terlarang akan terus beroperasi. Dia punya ratusan kaki
tangan."
Seth mengangkat bahu. "Mungkin benar begitu. Tapi semua
berubah setapak demi setapak. Ditangkapnya DeLucca akan menjadi
contoh bagi penjahat lain. Memang penjualan obat terlarang nggak
akan berhenti, tapi ini akan mengarah ke sana."
Dan menggeleng. "Dr. Ryan sendiri gimana? Berapa lama batas
waktu hidupnya? Seminggu? sebulan? Dia sedang masuk dalam daftar
hitam para penjahat di seluruh dunia."
Wajah Elizabeth pucat. "Apa yang akan terjadi pada Dr. Ryan?"
tanyanya. "Akan terbunuh ? seperti Ray Underwood?"Seth meletakkan tangannya di atas tangan Elizabeth. "Yang
paling mungkin adalah masuk ke program perlindungan pemerintah.
Dia akan diberi nama baru ? dan dikirim ke tempat yang jauh untuk
memulai hidup baru. Para penjahat tak mungkin menemukannya."
Elizabeth menatap Seth. Dia sama sekali tak bisa
membayangkan untuk berganti nama pindah ke tempat baru, dan tahu
bahwa hidupnya terancam bila ada orang yang mengetahui
identitasnya yang lama. Elizabeth menggigil. "Dr. Ryan benar-benar
berani."
Darcy mengeluarkan kikir kuku dari tasnya dan mulai
merapikan kukunya. "Aku tahu memang akan seperti ini jadinya,"
katanya keras. "Begitu kata Ayahku."
Elizabeth menggeleng. Darcy benar-benar tak masuk akal.
"Kukira ayahmu mengatakan bahwa DeLucca akan bebas begitu saja,"
Elizabeth tak dapat menahan lidahnya. "Kan beliau mengatakan
bahwa semua orang terlalu egois dan tak mau mempertaruhkan hidup
mereka dengan bersaksi melawan penjahat?"
Mata Darcy berkilat marah. "Kamu nggak tahu apa-apa soal
ayahku," berondongnya. Elizabeth merasa bahwa sebaiknya hal ini
dibiarkan berlalu. Mempermalukan Darcy di depan Seth dan Dan
bukan tindakan yang baik. Dari tampang Darcy, Elizabeth bisa
menebak bahwa gadis itu tak akan membiarkannya lolos begitu saja!
***********
"Nggak ada bagusnya mengomentari ayah Darcy," kata Jessica.
Dia dan Elizabeth berada di tempat mesin foto kopi menyelesaikan
foto kopi berkas laporan Dan untuk bahan pertemuan dengan Stan
Fisher jam tiga sore ini.Elizabeth mendengus. "Aku tahu. Entah apanya yang bikin aku
kesal, Jess. Kayaknya dia selalu cari muka pada Dan dan Seth. Dan
dia harus mengutip kata-kata ayahnya sejuta kali sehari!"
"Dia anak manis," Jessica bersikeras. "Tapi" ? dia
merendahkan suaranya ? "seharusnya kamu minta maaf atau berbaikbaik sama dia. Sesore ini dia sebal sekali sama kamu. Kenapa kamu
nggak berbasa-basi ke mejanya? Bilang aja kamu suka sama
sweaternya atau gimana."
Elizabeth mengernyit. "Aku nggak takut sama Darcy Kaymen.
Aku tahu, kamu suka sama dia, Jess. Tapi terus terang aku nggak
suka. Aku nggak punya niat minta maaf sama sekali."
Jessica menghela nafas. "Oke," katanya sambil memandang
Darcy dengan cemas.
Elizabeth tak menunggu sampai Jessica bicara lagi. Setelah
mengambil hasil foto kopi yang sudah diselesaikannya, dia kembali ke
mejanya dan mulai memeriksa artikel yang diberikan Dan, artikel
tentang ancaman pemogokan guru di kota tetangga Sweet Valley.
Tiba-tiba Darcy menghampiri meja Elizabeth sambil tersenyum
manis. "Itu artikel Dan, ya? Biar kubawakan," katanya menawarkan.
"Aku juga harus membawakan sesuatu untuk dia."
"Trims," kata Elizabeth kaget. "Aku masih harus memeriksa
paragraf terakhir."
"Oh, biar saja," kata Darcy sambil merebut kertas di tangan
Elizabeth. Ketika Elizabeth mau memprotes, Dan keluar dari
kantornya dan Darcy menghampirinya. Matanya tertuju pada kertas
Elizabeth."Ini, Dan," desah Darcy. "Sudah kusiapkan semua yang kamu
minta." Dia mengernyit sambil memandang kertas Elizabeth. "Dan ini
dari Elizabeth... tapi kupikir ? astaga," katanya berbalik pada
Elizabeth sambil tersenyum mencemooh. "Masa kamu mau
menyerahkan pekerjaan yang masih salah begini pada Dan? Kesalahan
di paragraf terakhir?"
"Kesalahan apa?" tanya Dan tertarik.
"Tapi, Darcy, aku memang belum selesai memeriksa ?" sela
Elizabeth.
Darcy menggeleng. "Ceroboh berarti boros, Liz. Kusangka
kamu sudah punya pengalaman jurnalistik. Seharusnya kamu tahu soal
beginian," omelnya.
Dan tampak senang. "Darcy benar, Liz. Ada beberapa koreksi
yang harus dibuat, di paragraf terakhir." Dan mengembalikan artikel
itu kepada Elizabeth yang merasa wajahnya merah padam. Kesalahan
itu memang kelihatan jelas, dan dia pasti akan melihatnya kalau Darcy
tak merampas kertas itu dari tangannya.
"Begini, Darcy," kata Elizabeth waktu Dan telah kembali ke
kantornya, "ini curang. Kamu tahu aku memang belum memeriksa
paragraf terakhir. Kenapa kamu mempermalukan aku di depan Dan?
Padahal seharusnya kamu kembalikan artikel itu supaya bisa
kuperiksa sampai selesai."
Darcy menyibakkan rambutnya ke belakang dengan tampang
sombong. "Kamu harus lebih hati-hati, Liz," katanya dingin. "Lagi
pula ini kan, kantor. Kita harus berprestasi sebaik mungkin." Setelah
berkata begitu dia pergi meninggalkan Elizabeth yang mendidih
marah."Kenapa kamu?" tanya Jessica sambil duduk di sebelah saudara
kembarnya.
Elizabeth menggeleng. "Kayak biasanya. Darcy benar-benar
ngerjain aku, Jess. Dia bikin aku kayak orang brengsek di depan Dan."
"Aku kan sudah menyuruhmu minta maaf" kata Jessica. "Darcy
bukan cewek sembarangan yang bisa kamu musuhi. Kenapa kamu
nggak mau minta maaf karena mengomentari ayahnya? Coba nanti
waktu makan siang, dia pasti mau memaafkan," tambahnya. "Dia
nggak tahan marah lama-lama."
"Memaafkan!" pekik Elizabeth. Dia menggeleng. "Kenapa aku
harus minta maaf, Jess? Aku nggak salah omong atau salah tindak."
Dia mengernyit. "Apa pun yang kukatakan atau kuperbuat nggak akan
bisa memperbaiki keadaan."
"Yah, aku nggak mau terjepit di tengah," kata Jessica, dia
bangkit dan beranjak pergi. Dia berhenti dan menoleh ke belakang
kepada kakaknya. "Tapi kalau aku jadi kamu, aku akan minta maaf."
Elizabeth mengernyit dan mengambil kertas foto kopi yang
sedang dikerjakannya. Ruang berita menjadi tak menyenangkan sejak
kedatangan Darcy Kaymen.
**********
"Hei," sapa Stan, saat itu jam lima, "kupikir kita perlu
merayakan runtuhnya kekuasaan DeLucca. Keluar minum Coke yuk?"
Dia menepuk-nepuk bahu Elizabeth. "Para asisten juga sudah kerja
keras minggu ini. Mungkin sekaranglah waktunya menunjukkan
penghargaan pada mereka. Gimana, teman-teman?"Dan serta Seth mengangguk setuju. Dan beberapa menit
kemudian Darcy, Elizabeth, Jessica, dan dua orang reporter muda
lainnya keluar dari kantor bersama Stan.
"Ayo ke Press Club," usul Stan sambil tersenyum. Press Club
adalah nama yang diberikan para pegawai The News untuk sebuah
restoran kecil yang terletak di sudut, tepat di seberang Western
Building di mana kantor berita itu berada. Rumah makan itu selalu
siap menghidangkan sandwich, minuman ringan dan kopi serta
merupakan tempat berkumpul yang paling disukai para pegawai
kantor berita itu.
Elizabeth merasa semangatnya tumbuh lagi waktu rombongan
mereka duduk di sebuah sudut yang nyaman. Dia tak perlu
memikirkan sikap Darcy begitu dalam. Lagi pula memang ada
beberapa perbedaan di antara para asisten, terutama di tempat yang
hingar bingar dan penuh tekanan seperti The News. Elizabeth hanya
perlu berlatih bagaimana bersikap santai dan tak terlalu peduli kalau
Darcy menyalahkannya ? atau bersikap tidak sopan. Yang terpenting
adalah Elizabeth mendapatkan pekerjaan yang diimpikannya.
"Ayo bersulang untuk para asisten," usul Dan waktu minuman
dingin disajikan.
Stan dan Seth mengangguk setuju. "Untuk tiga serangkai asisten
terbaik," kata Seth penuh persahabatan sambil mengangkat gelasnya.
Darcy pura-pura tersenyum malu. "Ini kesempatan luar biasa
untuk bisa bekerja bersama orang-orang seperti kalian," katanya
berapi-api. Elizabeth hanya menggeleng-geleng ketika ingat bahwa
Darcy pernah mengatakan ingin bekerja di toko pakaian."Aku pingin tahu kenapa kalian sangat tertarik pada dunia
jurnalistik," kata Dan sambil memandang Darcy.
Darcy tersenyum manis pada Dan. "Oh, aku selalu tertarik pada
berita-berita. Kata ayahku?" Dia mengernyit menatap Elizabeth,
"Kata ayahku, aku sering main pura-pura jadi wartawan padahal aku
belum bisa bicara." Darcy cekikikan. "Tentu saja, sekarang aku sudah
lebih bersungguh-sungguh. Aku benar-benar pingin berkarir di bidang
jurnalistik. Di Ohio aku jadi editor koran sekolah," katanya sambil
menunduk. Elizabeth bertanya-tanya dalam hati apakah Darcy
mengatakan hal sebenarnya.
"Tentu saja," Darcy melanjutkan sambil mengangkat matanya
dan memandang langsung kepada Eliza-beth sambil berpura-pura
tulus, "Pengalaman Liz benar-benar berbeda. Benar kamu penulis
kolom gosip di koran sekolahmu, Liz ?"
Elizabeth menelan ludah dengan marah. Dia cepat-cepat
meneguk minumannya untuk menenangkan diri. Pasti Jessica sudah
bercerita pada Darcy tentang kolom Mata dan Telinga, pikirnya. Tapi
licik sekali mengemukakannya di tempat ini! Elizabeth tidak malu
karena menjadi penulis kolom itu untuk The Oracle. Sebenarnya, dia
sangat menyukai kolom itu dan selalu mendapat kesenangan dari hasil
tulisannya. Dia yakin tak akan ada yang sakit hati karena tulisannya
dan kolom itu tetap bersifat menghibur.
Tapi karena kolomnya berbau gosip, maka Elizabeth tak ingin
menunjukkannya pada Dan atau Seth. Setelah ia magang sebagai


Super Thriller Sang Pelarian Karya Francine Pascal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

asisten pada kantor koran sesunguhnya, ia merasa kolom itu menjadi
seperti kenakalan remaja. Darcy mengetahuinya dan sekarang dia
sangat menikmati rasa malu yang ditanggung Elizabeth."Kolom gosip?" ulang Dan heran sambil memandang Elizabeth.
"Kamu nggak mirip orang yang mau kerja sebagai kolumnis gosip,
Liz."
"Bukan kolom gosip beneran, kok," kata Elizabeth. Dia tak
ingin Darcy puas melihat dia marah. "Itu artikel khusus yang diberi
judul 'Mata dan Telinga'." Dia menjelaskan seperti apa bentuk
kolomnya ditambah tugas-tugas penulisan lain bagi koran sekolahnya
? termasuk peliputan acara-acara penting lainnya ? tapi dia merasa
bingung dan jengah. Darcy tersenyum penuh kemenangan.
"Yah, nggak ada salahnya menulis kolom seperti itu," kata Seth
memberi dorongan. "Banyak orang mencela novel-novel misteriku.
Ada yang bilang kurang berbobot. Kukatakan pada mereka bahwa aku
merasa beruntung karena bisa merasa senang waktu sedang menulis."
Elizabeth tersenyum berterima kasih pada Seth, tapi dia tetap
merasa malu. Dia yakin Darcy tak pernah melakukan pekerjaan serius
untuk korannya di Ohio. Kalau memang dia kerja di sana, dia tak
perlu mempermalukan Elizabeth di depan semua wartawan lain!
Jessica menatap saudara kembarnya dengan tajam. Ekspresinya
memperingatkan Elizabeth untuk meminta maaf pada Darcy demi
menghindari hal-hal seperti ini. Tapi Elizabeth makin kehilangan
minat untuk meminta maaf pada Darcy Kaymen. Dia benar-benar
ingin Darcy tak meninggalkan Ohio!
***********
Pagi berikutnya si kembar terlambat berangkat ke kantor karena
menjelang berangkat Jessica bingung memilih baju yang mau
dipakainya. Jessica menyalakan radio dan mulai mencari saluran radio
yang menyiarkan musik rock. Siaran berita hampir mulai, dan waktuJessica membungkuk untuk mencari saluran lain, Elizabeth
mencegahnya, "Hei!" dan menyingkirkan tangan Jessica. "Jangan.
Aku mau dengar berita terakhir pengadilan DeLucca."
"Aku sudah muak sama pengadilan itu," omel Jessica sambil
bersandar kembali di kursinya.
"Setelah hampir dua belas jam melakukan perundingan, para
juri persidangan DeLucca akhirnya membuat keputusan," ungkap si
penyiar. "DeLucca terbukti bersalah atas sejumlah pembunuhan dan
usaha ilegal. Hukuman akan dijatuhkan dalam beberapa minggu.
Diharapkan dia akan menerima hukuman penjara seumur hidup tanpa
pembebasan bersyarat dan akan menghadapi tuntutan-tuntutan lain
sehubungan dengan perdagangan obat-obat terlarang."
"Dengar, kan?" tanya Elizabeth bahagia. "Wow, kamu jadi
benar-benar tahu gimana sebuah persidangan bisa begitu tak pasti.
Dua hari yang lalu kayaknya dia bakalan bebas."
Jessica tak tampak terkesan. "Sekarang boleh kuganti
salurannya?"
Elizabeth menelan kembali jawabannya. Bukan urusannya
kalau Jessica tak berminat pada masalah hukum! Tapi dia hampir tak
sabar segera sampai di tempat kerja dan berbagi kegembiraan dengan
Seth Miller.Empat
"Cewek satu itu bikin aku geregetar," protes Elizabeth pada
Jessica waktu memundurkan mobil Fiat Spider mereka di jalan masuk
ke garasi. Seminggu sudah berlalu, hari ini Kamis pagi, si kembar
sedang berangkat kerja. Elizabeth kehilangan kegembiraan dalam
mempersiapkan pekerjaannya karena harus berurusan dengan Darcy.
Peristiwa dengan Dan Weeks dan Darcy menjadi awal masalah
yang panjang. Tampaknya Darcy telah memutuskan untuk menekan
Elizabeth dengan strategi sederhana: membuat Elizabeth tampak
bodoh di mata para wartawan. Mula-mula Darcy menunjukkan bahwa
Elizabeth terlambat menyerahkan laporan harian minggu yang lalu
dan memperinci apa saja yang telah dikerjakannya pada jam-jam
kerja. Kemudian dia melaporkannya pada Stan Fisher. Berikutnya,
Darcy mengeluh tentang orang terakhir yang memakai mesin foto
kopi ? dan dia tahu orangnya adalah Elizabeth?yang membiarkan
baki kertas tersumbat. Orang itu ? Darcy tak tahu siapa ? telah
"meminjam" kamus dan membawanya keluar dari perpustakaan.
Darcy pura-pura kaget waktu Dan Weeks menemukan kamus itu di
meja Elizabeth yang mulai kelelahan dan tersinggung. Dia tak tahan
lagi.Jessica menyalakan radio. "Kupikir kamu dan Darcy memang
nggak sefaham," katanya tenang. "Aku belum pernah bertemu cewek
semanis Darcy. Dia merasa terancam olehmu, itu saja, kok. Kalau
kamu berusaha bikin dia merasa santai, mungkin dia mau bersikap
manis seperti padaku."
Elizabeth menggeram. "Sudahlah," katanya. "Nggak usah
dibicarakan lagi. Bikin aku uring-uringan saja."
************
Dan Weeks baru saja keluar dari kantornya waktu melihat
Darcy sedang duduk membaca majalah di mejanya.
"Darcy!" katanya sambil tersenyum. "Boleh minta tolong
nggak? Kalau kamu nggak terlalu sibuk, tolong ke coffee shop di
lantai bawah. Aku butuh kopi kental tapi sedang sibuk sekali."
Sambil menyembunyikan kekesalannya, Darcy meletakkan
majalahnya. Dia sedang asyik membaca artikel bagus di majalah
Ingenue kesukaannya tentang bagaimana mendapatkan dan
mempertahankan seorang laki-laki. Menurutnya, membelikan kopi
adalah tugas yang paling menyebalkan bagi seorang asisten. Benarbenar merendahkan martabat. "Boleh," katanya sambil memaksakan
diri tersenyum. "Kamu suka tanpa gula, ya?"
"Benar. Aku nggak suka campuran apa pun di kopiku," kata
Dan. "Trims, Darcy. Kamu baik sekali. Ini uangnya ? beli sesuatu
untuk kamu sendiri."
Darcy berusaha keras supaya terdengar senang waktu berjanji
akan cepat kembali. Kerjaan apa ini, pikirnya sebal sambil
memasukkan uang ke kantongnya dan berbelok di sudut, masuk kekoridor yang menuju ke bagian utama Western Building. Kenapa
musim panas ini dia harus jadi budak di ruang berita konyol ini?
Kemudian dia melihat Elizabeth sedang tekun membaca di
perpustakaan. Darcy menunduk sambil tersenyum penuh rahasia.
"Hei, Liz," katanya ramah.
Elizabeth menoleh penuh tanda tanya. "Oh ? hei, Darcy,"
katanya.
"Begini, aku baru saja bertemu Dan, dia minta aku beli kopi ?
tapi Stan memanggilku juga." Darcy menyerahkan selembar uang
kumal. "Bisa nggak kamu belikan kopi sebentar?"
Elizabeth memang keberatan, tapi dia tahu kalau Stan
memanggil salah satu asisten, maka asisten itu harus meninggalkan
pekerjaannya. Lagipula, pikir Elizabeth, mungkin Jessica benar.
Mungkin dia harus berusaha bersikap manis pada Darcy.
Menundukkannya dengan kehangatan! Dia tersenyum memikirkan hal
itu. "Dan maunya kopi seperti apa?" tanya Elizabeth.
"Pakai krim dan gula," kata Darcy. "Aku harus buru-buru, nih
? trims ya?" Dia melesat pergi sambil menekan tawanya. Dia ingin
melihat Elizabeth menyajikan kopi itu untuk Dan yang malang.
***********
Kedai kopi di Western Building terletak di lantai satu.
Tempatnya kecil, terang dan menyenangkan, tapi saat ini sedang
penuh sesak. Pagi ini Elizabeth harus antri sepuluh menit di antara
para pegawai yang ingin minum kopi dan makan kue. Waktu antri dia
melihat seorang cowok di belakang meja kasir. Dari caranya yanganeh waktu melayani dan menerima pembayaran, Elizabeth
menduganya pegawai baru.
Elizabeth terus menatap cowok itu. Dia keren dan sangat
menarik. Badannya jangkung ? kira-kira enam kaki ? rambutnya
gelap dan tebal, matanya berwarna cokelat muda dan berahang kuat.
Cowok itu tersenyum pada pembeli di depannya, dan Elizabeth
melihat lesung pipit di pipi kanannya. Elizabeth tertawa dalam hati.
Dia tak biasa memperhatikan cowok ? apalagi cowok yang tak
dikenalnya. Elizabeth begitu terpukau sehingga waktu sampai
gilirannya untuk memesan, ia merasa mukanya memerah.
"Hei," sapa cowok itu. "Mau pesan apa?"
Elizabeth tak tahan untuk berbasa-basi sebelum memesan.
"Kamu orang baru, ya? Aku belum pernah lihat kamu di sini."
Tak ada pembeli lain di belakang Elizabeth, dan cowok itu
tampaknya ingin istirahat sejenak. "Ya. Aku baru mulai," jawabnya
sambil tersenyum pada Elizabeth, lesung pipitnya muncul lagi.
"Wah, minggu pertama pasti susah kerja seperti ini," kata
Elizabeth bersimpati. "Terutama waktu seisi gedung tumpah ke sini,
semua minta kopi!"
"Oh, nggak apa-apa," kata si cowok. "Sebenarnya, aku lebih
suka sibuk seperti ini." Tampaknya dia malu karena berbincang
dengan Elizabeth yang justru makin berani.
"Namaku Elizabeth Wakefield," kata Elizabeth sambil
melempar senyum. "Orang-orang biasa memanggilku Liz. Aku
magang kerja sebagai asisten di lantai atas, kantor The News selama
musim panas ini. Aku sering ke sini beli kopi untuk para wartawan,
jadi mungkin kita bakalan sering bertemu.""Senang bertemu kamu, Liz," balasnya sambil mengulurkan
tangannya ke luar meja kasir untuk menjabat tangan Elizabeth.
"Namaku Eric. Eric Hankman. Aku baru saja pindah ke sini dengan
ayahku. Kami dari Ohio dan belum kenal banyak orang di sini.
Senang bertemu pelanggan yang punya waktu untuk ngobrol! Hari ini
orang-orang yang ke sini serba sibuk dan cuma sempat memesan aja."
Elizabeth tersenyum. "Selamat datang di Sweet Valley, Eric."
Selama beberapa saat hening. Eric memandang Elizabeth
seolah-olah ingin melanjutkan pembicaraan tapi tak tahu harus
mengatakan apa.
"Yah," kata Elizabeth enggan. "Kayaknya aku mau minta
kopinya sekarang."
"Satu kopi, segera," kata Eric resmi. "Dikasih apa?"
"Krim dan gula," kata Elizabeth. Dia memperhatikan Eric
menuangkan kopi sambil mencari alasan supaya bisa tetap di sittu dan
terus mengobrol.
"Jadi," kata Eric, dia kelihatan malu, "kamu sekolah di sekitar
sini?"
Elizabeth mengangguk. "Aku sekolah di SMA Sweet Valley.
Kamu sekolah di mana? Musim gugur ini kamu mau ke mana?"
"SMA Sweet Valley," kata Eric, dia tampak senang ?
kemudian malu karena tersenyum terlalu lebar. "Aku akan jadi kakak
kelasmu. Mungkin kamu bisa ... entahlah, mengajakku keliling kota.
Aku dan ayahku belum tahu banyak tentang California." Wajahnya
memerah dan Elizabeth merasa hatinya luluh. "Kalau kamu nggak
keberatan, tentu." tambah Eric cepat."Eric, aku senang kok, bisa mengantar kamu berkeliling Sweet
Valley," kata Elizabeth hangat. Dia mengulurkan uangnya dan
memandang penuh simpati melihat kekikukan Eric menangani mesin
kas. "Mau nggak coba pergi sama-sama sesudah kerja, kapan-kapan
nanti? Kutemui kamu di sini, atau kamu yang naik ke atas. Ke kantor
The News."
Eric tampak bahagia. "Boleh juga kedengarannya," katanya
sambil menyerahkan kantong kertas berisi gelas kopi kecil.
Elizabeth masih tetap tersenyum waktu meninggalkan kedai
kopi. Ramah juga dia, pikirnya. Elizabeth berkali-kali tersenyum
setiap kali terbayang wajah Eric yang bingung di depan mesin kasir.
Pasti senang bisa berkeliling Sweet Valley dengan Eric!
Lift penuh sesak, kalau naik lewat tangga akan butuh waktu
lima menit. Tapi akhirnya Elizabeth sampai di kantor Dan, kemudian
mengetuk pintunya dengan lembut.
"Dan? Ini kopi pesananmu," katanya sambil mengulurkan
kantong berisi gelas kopi.
Dan sedang menekuni kertas komputer yang tersebar di
mejanya. Dia tampak cemas dan kalut. "Oh ? Liz, trims," katanya
sambil menerima kantong kertas itu. "Kukira Darcy yang membeli,
tapi mungkin dia ada pekerjaan lain." Dia membuka kantong,
mengeluarkan gelas di dalamnya lalu membuka tutupnya. Keningnya
berkerut waktu memandang isi gelas.
"Ada apa?" tanya Elizabeth.
"Yah, sebenarnya aku alergi krim. Aku cuma bisa minum kopi
tanpa campuran apa-apa," kata Dan. Dengan kecewa ditaruhnya gelaskopi itu ke meja. "Nggak apa-apa. Liz. Aku mau turun dan beli
sendiri."
Elizabeth sudah hampir menjelaskan pesan Darcy yang
menyebut "krim dan gula", tiba-tiba dia sadar: Darcy sengaja
membodohinya. Sekali lagi Darcy berhasil.
Tapi Elizabeth tak ingin merendahkan dirinya setingkat dengan
Darcy dengan mengadukan kesalahan Darcy. "Maaf, Dan. Pasti aku
salah mengerti pada pesan Darcy," katanya tenang. "Biar aku ke
bawah lagi. Kamu kan sedang repot." Dia bergegas ke pintu. "Biar aku
saja," tambahnya waktu melihat Dan ingin protes.
"Oke, oke," kata Dan sambil tersenyum lalu kembali menekuni
kertas-kertasnya.
Elizabeth kembali ke ruang utama dengan marah. Darcy
Kaymen benar-benar keterlaluan! Cuma karena Elizabeth menjaga
agar tidak kelihatan kekanak-kanakan dan tidak profesional, maka ia
tak menceritakan pada Dan Weeks kenapa pesanannya jadi salah!
**********
"Hei!" panggil Eric. "Rupanya kamu nggak main-main waktu
bilang bakalan sering ke sini! Para wartawan itu pasti kecapekan dan
butuh banyak kopi."
Elizabeth tersenyum sedih. "Terus terang aja, aku ada masalah
dengan salah satu asisten. Dia tadi bilang wartawan itu minta kopi
dengan krim dan gula, ternyata dia minta kopi pahit." Dia menghela
nafas. "Ceritanya panjang ? dan konyol."
Eric tampak bersimpati. "Susah ya ? ada asisten yang berusaha
menjelekkan kamu." Tampaknya dia sudah bisa santai menghadapi
kesulitannya. "Aku juga pernah bermasalah seperti itu di sekolahkuyang lama. Aku jadi editor majalah sastra, salah satu penulisnya nggak
suka sama aku. Akhirnya kami jadi musuh bebuyutan di akhir tahun
ajaran."
Elizabeth memandangnya dengan tertarik. "Kamu penulis?"
tanyanya.
Lagi-lagi Eric tampak malu, ia mengangguk. "Aku penulis
puisi," katanya. "Bukan pekerjaan jantan, harus diakui."
Elizabeth menggeleng tak sabar. "Siapa peduli pada
kejantanan? Aku juga penulis," tambahnya sambil tersenyum pada
Eric. "Aku belum banyak nulis puisi, tapi aku sudah menulis beberapa
cerita pendek. Aku pingin baca karya-karyamu," kata Elizabeth.
Eric tersenyum. "Yah, puisi pertamaku akan dimuat di koran
musim gugur mendatang. Kalau kamu mau baca sekarang, kamu harus
tahan melihat tulisanku yang jelek. Aku nggak bisa mengetik!"
Elizabeth sudah lupa sama sekali soal kopi Dan. Dia tak
percaya bahwa puisi Eric Hankman diterbitkan ? atau akan
diterbitkan sebentar lagi! Selama beberapa menit mereka mengobrol
tentang penulisan kreatif, seperti teman lama. Elizabeth menceritakan
pekerjaannya di The Oracle dan usahanya untuk menjadi asisten
selama musim panas. Eric memandangnya dengan kagum.
"Aku juga pingin dapat pekerjaan sepeti kamu. Aku bosan
menuang kopi terus-terusan," katanya.
"Betul," kata Elizabeth sambil tersenyum, "tapi kami nggak
dibayar. Kami kerja untuk mendapat pengalaman, beli pita mesin
ketik pun nggak sanggup!"
Eric tertawa. "Kamu enak diajak ngobrol," katanya sambil
tersenyum. "Sudah lama aku nggak bisa santai."Waktu mengatakan hal itu, tampak kemurungan melintas di
wajahnya.
"Ada apa?" tanya Elizabeth.
Eric tampak agak tegang. "Enggak," katanya. Suaranya berubah
agak kasar. Untuk sesaat Elizabeth melihat sesuatu yang menakutkan


Super Thriller Sang Pelarian Karya Francine Pascal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

di wajah Eric.
Kemudian Eric mengalihkan pembicaraan. "Jangan sampai lupa
kopinya," katanya lembut sambil menyerahkan segelas kopi baru.
"Biar aku yang bayar. Simpan uangmu untuk beli pita mesin ketik."
Elizabeth berterima kasih dengan hangat. Dia baik sekali,
pikirnya sambil bergegas ke lift. Dan hebatnya, dia penulis puisi!
Elizabeth tak keberatan beli kopi dua kali karena dengan begitu
dia bisa bertemu Eric. Dia tersenyum mengingat jasa Darcy padanya!Lima
"Hei, teman-teman!" seru Darcy sambil bergegas ke sudut
perpustakaan di mana si kembar sedang menaruh kartu indeks telepon.
Hari ini Jumat pagi, Darcy baru saja lari dari lantai bawah untuk
membeli kopi. Pipinya memerah karena senang dan mata cokelatnya
berbinar. "Kalian, kalian harus lihat ?" dia kehabisan nafas. "Ada
cowok baru di coffee shop. Kalian sudah lihat? Dia benar-benar
cowok impian." Dia memeluk dirinya sendiri kesenangan. "Nggak
begitu cakep," katanya buru-buru menambahkan, "tapi ada yang
menarik pada dirinya ? menarik sekali." Matanya menerawang.
"Namanya Eric Hankman, dan kalian pasti nggak percaya pada
kebetulan ini. Dia juga dari Ohio, seperti aku!"
Jessica mengangkat kepalanya dengan penuh perhatian. "Aku
belum lihat," akunya. "Kamu sudah, Liz?"
Elizabeth pura-pura asyik bekerja. "Sudah," katanya tenang.
"Kemarin, waktu beli kopi untuk Dan." Dia menatap Darcy.
"Pesanannya salah, jadi aku harus ke sana dua kali."
Darcy tak mempedulikan komentar Elizabeth. "Dia cakep
banget kan?" sergahnya. Dia menghempaskan dirinya ke kursi di
sebelah Jessica. "Dia dari Shaker Heights, pinggiran Cleveland. Aku
dari Toledo. Jadi kami memang benar-benar nggak punya kenalanyang sama. Tapi tahun lalu sahabatku pindah ke Cleveland. Sampai di
rumah nanti aku mau menelepon dia, mungkin dia kenal Eric. " Darcy
gemetar karena senang. "Kucari semua yang berhubungan dengan dia.
Maafkan aku karena mengeluh harus bekerja di The News selama
musim panas ini. Setelah bertemu Eric, aku nggak mungkin merasa
bosan di sini. Aku mau menghabiskan waktu di coffee shop sesering
mungkin!"
Elizabeth mengernyit sambil menuliskan sebuah nomor telepon.
Dia tak dapat mempercayai apa yang dilakukan Darcy. Apakah Eric
menyukainya? Setelah berbincang dengan Eric selama beberapa saat,
dia tak dapat membayangkannya. Mana mungkin orang selembut Eric
bisa menyukai orang seperti Darcy?
Tapi Darcy jelas telah beraksi. "Kamu nggak akan percaya, aku
sudah punya informasi banyak untuk menggaet dia," bual Darcy.
"Coba, tanya apa aja tentang Eric Hankman."
Jessica lebih bersedia mengikuti permainan Darcy. "Berapa
umurnya?" tanya Jessica.
"Tujuh belas," kata Darcy cepat. "Ulang tahunnya bulan Mei.
Bintangnya Taurus," tambahnya penuh arti. "Keras kepala, jujur, sadar
diri. Orang paling setia kalau sudah menentukan pilihan," tambahnya
lagi dengan nada yang sama.
Elizabeth menutup buku telepon dengan keras. Tak mungkin
bekerja kalau Darcy mengoceh seperti ini.
Dan kenapa dia merasa agak jengkel ? bahkan marah ?
karena Darcy telah berhasil mengetahui kapan ulang tahun Eric?
"Ayolah," kata Darcy penuh kemenangan. "Tanya yang lain
lagi.""Hmm ? dia suka apa?" tanya Jessica. "Kalau dia kerja di
coffee shop berarti uangnya sedikit," tambahnya. "Dia punya mobil
nggak? Suka olah raga nggak? Pinter dansa nggak?"
Darcy terdiam. Jelas dia tak menanyakannya waktu
mewawancarai Eric. Tapi Darcy tak mau mengakuinya. "Oh, aku
yakin dia nggak terlalu perhitungan soal duit," katanya cepat, ia
tampak jengah. "Dia terlalu peka untuk masalah-masalah begituan,
Jess. Dia penulis puisi," tambahnya dengan mata penuh mimpi. "Aku
nggak bisa bayangin gimana kalau dia tulis puisi tentang aku."
Elizabeth menutup pulpennya. "Permisi," katanya sambil
bangkit. "Aku mau balik ke mejaku untuk menyelesaikan daftar ini.
Jess, kita sudah janji pada Seth mau melaporkannya cepat-cepat".
"Jangan pergi dulu!" pinta Darcy. "Aku kan baru mulai."
Elizabeth mengernyit. Dia sama sekali tak menyukai
pembicaraan ini. Aneh juga, ia merasa kecewa karena Eric juga
mengatakan bahwa ia seorang penulis puisi pada Darcy. Mungkin juga
Darcy memberondongnya dengan sekian banyak pertanyaan dan dia
tidak bisa menghindar. Dia cowok ramah, dan nggak ada alasan untuk
menyimpan informasi.
Semua sama saja, dia merasa aneh karenanya. Dia tak suka
membayangkan kemungkinan Eric mempercayai Darcy.
"Yang jelas, dia nggak punya kesukaan tertentu," lanjut Darcy.
"Hobinya banyak: naik sepeda, musik ? dia bisa main gitar dan bikin
lirik lagu ? jalan-jalan ..." dia memandang si kembar bergantian.
"Dia mimpi yang jadi kenyataan," tambahnya penuh kemenangan.
"Aku nggak akan menutupi kenyataan bahwa aku benar-benar jatuhcinta sama dia. Jadi jangan sampai kalian berusaha merebutnya,"
katanya memperingatkan.
Elizabeth hampir tak dapat mempercayai telinganya. "Kamu
sudah jatuh cinta?" dia tak dapat menahan pertanyaannya. "Padahal
baru sekali ngobrol?"
"Nggak perlu kencan berbulan-bulan untuk memastikan kita
jatuh cinta, Liz," Jessica berkeras. "Liz mengira sudah berpengalaman
karena dia sudah melekat dan nggak terpisahkan dengan Jeffrey,"
tambahnya pada Darcy.
Elizabeth sangat marah. Saat ini dia tak ingin membicarakan
Jeffrey ? terutama di depan Darcy. "Aku mau kembali ke mejaku,"
katanya ketus. Dia tak tahu kenapa jadi merasa tertekan dan
kehilangan kendali, tapi ia merasa lebih baik menghindari Darcy
sebelum terjadi pertengkaran.
Jessica ikut berdiri. "Aku mau ke bawah, mau lihat cowok yang
kalian bicarakan," katanya. "Kalau dia memang cakep, Darcy,
mungkin kamu harus bersaing dengan Wakefield!"
Elizabeth bergegas kembali ke mejanya. Sejak kedatangan
Darcy Kaymen, keadaan di kantor makin runyam.
Di luar dugaan, Darcy mengikutinya. "Aku nggak bisa
konsentrasi lagi," katanya gembira, ia duduk di kursi di dekat meja
Elizabeth. "Liz, kamu kan sudah pernah jatuh cinta. Apa perasaanmu
juga seperti ini waktu pertama kali bertemu Jeffrey?"
Hal yang paling tak diinginkannya saat ini adalah membeberkan
kenangan pribadinya pada Darcy Kaymen. "Nggak sama pada setiap
orang," katanya datar sambil membuka map kertasnya dan berusaha
menyibukkan diri."Aku mau ke bawah," kata Darcy. "Aku pingin minum teh, atau
yang lainnya. Kamu mau titip apa, Liz?"
Elizabeth menggeleng. "Nggak, trims," katanya kering.
Elizabeth sudah hampir asyik dengan pekerjaannya ketika
Jessica menyerbu masuk. Dia sangat gembira karena telah bertemu
dengan Eric Hankman. "Dia mengira aku ini kamu," lapornya. "Liz,
dia benar-benar ramah. Dia naksir kamu, ya? Kayaknya dia patah hati
waktu kubilang aku ini bukan kamu."
Tiba-tiba Elizabeth merasa muak membicarakan Eric Hankman.
"Aku belum ngomong apa-apa sama dia," katanya dingin. "Jessica,
aku pingin proyek kita ini selesai."
"Oke, oke!" seru Jessica. "Bagaimanapun," tambahnya, "dia
memang cakep, tapi bukan termasuk seleraku. Dia terlalu serius dan
terpelajar." Jessica menyeringai. "Tapi kamu harus lihat Darcy. Kuda
liar pun nggak bakalan bisa mengusir dia dari depan meja kasir."
Elizabeth tak menjawab. Dia menduga-duga apakah Eric juga
tertarik pada Darcy seperti Darcy terpesona padanya.
************
Jam lima tiga puluh sore itu, Elizabeth merasa kelelahan. Dia
ketinggalan jauh dalam proyek riset yang disiapkannya untuk Seth dan
Dan, dia sendiri merasa minggu ini produktifitasnya jauh dari yang
diharapkannya. Lagi pula, berkali-kali dia berbuat bodoh, dengan
bantuan Darcy tentu. Minggu depan dia harus bekerja lebih keras
untuk mengembalikan rasa percaya dirinya selama bekerja di The
News seperti sebelum Darcy datang.Untuk mengejar ketinggalannya, ia tidak pulang bersama
Jessica dan Darcy, dan tetap bekerja waktu para wartawan bersiapsiap pulang.
"Membakar energi malam, nih?" goda Seth. "Ayolah, Liz. Ini
Jumat malam, lho. Kamu nggak pingin pulang dan siap-siap keliling
kota dengan adik kembarmu?"
Elizabeth menggeleng. "Nggak. Sedang bersemangat aja, kok,"
katanya. "Aku sedang senang kerja."
"Yah, jangan sampai terlalu malam," Seth mengingatkannya
sambil tersenyum. "Paling telat sampai jam enam, mengerti?"
Elizabeth berjanji, dan pada jam enam dia merasa lapar dan
lelah. Ia menyingkirkan pekerjaannya dan turun ke lantai bawah.
Jessica telah pulang duluan membawa mobil Fiat jam lima tadi dan
Elizabeth harus melewati coffee shop untuk keluar dari pintu utama
menuju halte bus. Waktu melewati, dia melirik ke dalam sekilas, siapa
tahu Eric masih ada di sana. Tapi tempat itu kosong.
"Hei," sebuah suara yang dikenal menyapanya waktu dia
melangkah memasuki udara sore yang dingin. "Aku memang berharap
bisa pulang sama-sama kamu!" Itu suara Eric. Dia bersandar di
dinding bangunan dan tampak semanis yang diingat Elizabeth. Eric
tersenyum padanya. "Aku tahu adikmu yang bawa mobil karena tadi
dia dan Darcy mampir untuk pamitan," tambahnya. "Jadi, gimana
kalau kamu kuantar pulang?"
Elizabeth benar-benar senang bertemu Eric. "Trims," katanya
agak malu. "Asal nggak terlalu jauh dari rute pulangmu sendiri.
Ngomong-ngomong kamu tinggal di mana, sih?"Eric menyebutkan nama sebuah jalan, tapi Elizabeth tak
mengenalnya. Eric meyakinkan bahwa ia tak kerepotan mengantar
Elizabeth pulang.
"Akhir pekan begini Ayah dan Ibuku biasanya makan di luar
sampai malam," kata Eric.
"Sungguh? Apa pekerjaan ayahmu?"
"Oh ? dia pengusaha," kata Eric. "Ayo. Mobil Dodge tuaku
sudah menunggu di garasi."
Elizabeth tersenyum ketika melihat mobil itu. Ukurannya sangat
besar, dan tampaknya sudah berumur sekitar sepuluh tahun. "Kamu
naik ini dari Ohio?"
Mata Eric tampak muram. "Nggak. Mobilku kujual. Lalu aku
dapat mobil bekas ini."
"Kamu kangen Ohio ya?" tanya Elizabeth sambil naik ke kursi
penumpang.
Eric mengangkat bahu. "Nggak juga." Dia tampak tak terlalu
bersemangat membicarakan kota asalnya, dan Elizabeth heran
bagaimana Darcy bisa mengorek banyak keterangan dari dia.
"Darcy juga dari Ohio, kan?" lanjut Elizabeth.
Eric memutar kunci mobil. "Iya," katanya. "Itu kata Darcy.
Begini, Liz, apa kamu masih mau menemaniku ? jalan-jalan keliling
Sweet Valley?" Eric tersenyum pada Elizabeth, dan sekali lagi
Elizabeth memikirkan betapa manis tampang Eric waktu lesung
pipitnya muncul.
"Pasti. Kapan aja kamu mau," Elizabeth meyakinkan dia."Gimana kalau besok sore? Nanti kutraktir makan malam ?
kalau kamu nggak keberatan berkeliling naik kapal tua ini," kata Eric
malu.
Elizabeth tertawa. "Enggak. Kayaknya asyik. Tapi boleh nggak
aku minta sesuatu?"
Eric tampak waspada, dan Elizabeth heran kenapa tiba-tiba Eric
jadi tegang. "Apa itu?" tanya Eric, ia memundurkan mobil keluar
garasi.
"Mau nggak kamu bawakan puisimu besok pagi? Kamu juga
kubawakan tulisanku," kata Elizabeth.
Eric tersenyum, wajahnya kembali santai. "Boleh juga." Mereka
terdiam sesaat. "Tahu nggak, aku merasa beruntung sekali bertemu
kamu," kata Eric setelah beberapa saat lamanya. "Kamu tahu gimana
rasanya ? pindah dan segalanya. Kamu merasa seolah seluruh
hidupmu hancur dan semuanya berubah."
"Kenapa kamu pindah? Ayahmu dipindah tugas?" tanya
Elizabeth.
Bayangan gelap melintas di wajah Eric. "Iya," sergahnya.
"Apa ada kemungkinan kamu mengunjungi teman-teman
lamamu di Ohio? Atau mungkin mereka yang mau ke sini?" tanya
Elizabeth.
Eric menggeleng. "Bukan seperti itu. Sekali kamu pindah,
berarti pindah. Aku nggak mau terlalu mikirin itu," katanya kaku.
"Sekarang aku di sini, itu masalahnya." Eric tersenyum walau dengan
susah payah. "Aku senang bertemu kamu, Liz."
Elizabeth membalas senyumannya. "Aku juga senang bertemu
kamu," jawabnya.Elizabeth bersungguh-sungguh. Dia benar-benar ingin
melewatkan hari-hari yang akan datang bersama Eric. Dia hanya
berharap Darcy tak akan mengetahui hal ini!
**************
Elizabeth tak begitu memikirkan apakah dia akan menceritakan
rencananya dengan Eric pada Jessica. Sore itu Jeffrey menelepon.
Jessica sedang berada di rumah Darcy. Ketika telepon berdering,
Elizabeth baru saja selesai mandi dan baru akan membaca buku.
"Liz? Ini aku. Jeffrey," suara di telepon terdengar serak.
"Jeffrey!" Elizabeth sangat senang. Dia tak mengira Jeffrey
akan menelepon sore itu.
"Aku menelepon karena kangen sekali sama kamu," kata
Jeffrey. Suaranya terdengar sedih dan kesepian.
"Oh, Jeffrey, aku juga kangen sama kamu," kata Elizabeth.
"Rasanya kamu jauh sekali," sambung Jeffrey sendu lalu
terdiam. "Aku tadi sudah takut kamu sedang pergi," tambahnya.
"Maksudku, ini kan Jumat malam, begitulah."
Elizabeth tertawa. "Memangnya aku mau ke mana?" godanya.
"Aku tahu, kamu pasti menganggapku nggak masuk akal, tapi
aku merasa cemburu," kata Jeffrey. "Setiap kali memikirkan kamu dan
membayangkan para cowok yang menganggapmu secantik yang
kubayangkan... aku mulai cemburu, karena jauh dari kamu," kata Eric.
Elizabeth kaget mendengar kesedihan Jeffrey. Biasanya Jeffrey
tak pernah cemburuan ? apalagi tanpa alasan tertentu. Ketika
memikirkan Eric ia merasa pilu.
"Nggak perlu kuatir, cowok konyol," katanya memperingatkan.
"Ini memang Jumat malam, tahu nggak aku ngapain aja? Aku mandidan siap baca buku." Elizabeth tertawa kecil. "Ini bukan malam seram,
kok."
Jeffrey berdehem. Suaranya terdengar penuh emosi. "Aku tahu,
ini memang konyol. Aku berusaha menahan diri untuk nggak
menelepon kamu karena takut kesannya aku ini brengsek. Tapi aku
mau menyampaikan rasa cintaku padamu ? dan bahwa aku kangen
berat sama kamu."
Elizabeth merasakan gelombang kasih sayangnya pada Jeffrey.
"Aku juga kangen sama kamu," katanya lembut. "Aku pingin sekali
bertemu kamu malam ini, nggak cuma sekedar bicara lewat telepon."
"Yah ..." tampaknya Jeffrey segan memutuskan pembicaraan.
"Jaga dirimu, aku telepon lagi minggu depan. Oke?"
"Oke," kata Elizabeth lembut. Elizabeth diserang rasa sedih
yang aneh ketika meletakkan gagang telepon. Ia memutuskan untuk
tidak bercerita kepada Jessica ? atau siapa pun ? tentang rencananya
bersama Eric. Bukan karena ia merasa bersalah. Bagaimana pun, Eric
adalah teman barunya, dan dia melakukan hal yang paling wajar di
dunia: membawa Eric berkeliling kota.
Bagaimana pun, ia tak melihat manfaat apa pun dengan
menceritakannya pada Jessica. Kalau dia dan Eric akan bersahabat,
orang lain tak perlu tahu. Termasuk Jessica ? bahkan Jeffrey.Enam


Super Thriller Sang Pelarian Karya Francine Pascal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Oke," kata Elizabeth sambil menoleh dan tersenyum kepada
Eric. "Mau ke mana dulu?"
"Kan kamu pemandu wisatanya," kata Eric sambil duduk di
kursi penumpang mobil Fiat. "Kamu yang kasih tahu, apa yang harus
kulihat?"
Elizabeth berpikir sesaat. "Yah, tergantung maumu. Tur satu
jam, tur istimewa, atau tur sepanjang sore?"
"Oh," kata Eric cepat, "tentu saja yang istimewa. Aku pingin
melihat semua sudut di kota ini!"
Elizabeth tertawa dan mulai menghidupkan mesin mobil. Dia
menganggap acara jalan-jalan ini akan lebih mudah kalau dia yang
mengemudi, daripada dia harus menunjukkan arah pada Eric. Ide
jalan-jalan kali ini sangat bagus karena pada saat yang sama Jessica
telah mengundang Darcy ke rumah keluarga Wakefield. Kedua gadis
itu sangat penasaran dan ingin tahu ke mana Elizabeth pergi dan
kenapa dia harus membawa mobil. Elizabeth berbohong dan
mengatakan akan mengajak Enid Rollins ke pantai.
"Kalau begitu kita ambil rute utama dulu," katanya. "Kita naik
ke Miller's Point untuk melihat lembah secara keseluruhan. Gimana?"
Eric tersenyum. "Terserah kamu aja," katanya.Elizabeth membelokkan mobil Fiat merah itu ke pinggang
bukit. Dia tak habis-habisnya memandang wajah Eric yang manis.
Rambutnya yang gelap tersisir rapi dan dia mengenakan celana jin
belel dipadu dengan kemeja katun putih yang makin menegaskan
warna kulitnya yang kecokelatan. Ada sesuatu yang sangat memikat di
wajahnya ? agak misterius dan membuat Elizabeth ingin selalu
memandangnya.
"Inilah Miller's Point," kata Elizabeth sambil menghentikan
mobil di puncak tertinggi tempat melihat pemandangan di bukit itu.
"Tempat parkir seram," tambahnya sambil tersenyum, "tapi juga
memungkinkan kita melihat pemandangan hebat. Ayo keluar,
kutunjukkan pemandangannya padamu." Elizabeth mematikan mesin
dan mereka keluar dari mobil Fiat untuk melihat pemandangan yang
bisa membuat orang menahan nafas. Pemandangan ke arah kota, laut
Pasifik dan warna biru kehijauan yang gemerlap di kejauhan.
"Ya Tuhan, bagus sekali," gumam Eric sambil menatap laut.
Dia berbalik kepada Elizabeth dan tersenyum. "Mengingatkanku pada
warna matamu, kamu tahu?"
Elizabeth merasa pipinya memerah karena malu. "Lihat,"
katanya cepat sambil menunjuk. "Kamu bisa lihat kaki gunung di
sana. Aku suka pemandangan itu," tambahnya pelan. "Di sini tinggi
sekali ? jauh dari apa pun."
Sambil tetap menatap ke laut, Eric mengangguk. "Aku mengerti
maksudmu." Dia memasukkan tangannya ke kantong celana. "Kapankapan aku mau berperahu ke seberang," katanya lembut. "Bayangkan,
gimana rasanya berhari-hari sendirian, hanya bersama air yang
mengelilingi dirimu." Ebukulawas.blogspot.comElizabeth merinding. Suara Eric agak menakutkan.
"Memangnya kamu nggak kesepian nantinya?" tanyanya. "Kupikir
lebih baik mengajak teman."
Eric menggeleng. Wajahnya muram dan Elizabeth melihat
mukanya jadi galak.
"Siapa butuh teman?" tanyanya. "Kupikir lebih baik sendirian
aja ? hanya aku dan lautan."
Tiba-tiba Elizabeth merasa gelisah. Sebuah otot tampak tertarik
di pipi Eric dan dia ingat wajah Eric waktu tiba-tiba muram di kedai
kopi. Diakah penyebab kemarahan Eric? Tampaknya ada sesuatu yang
meresahkannya. "Yah," kata Elizabeth, "mungkin sekarang kita harus
turun ke kota."
Eric tersadar dari lamunannya. "Oke," katanya sambil
tersenyum kepada Elizabeth. Tapi sinar matanya masih tetap aneh.
Tampaknya Eric berusaha keras untuk bersikap santai dan
mengembalikan suasana menyenangkan. Tapi tampaknya usaha itu tak
berhasil sepenuhnya.
"Ceritakan lagi tentang dirimu," katanya waktu kembali ke
mobil. "Sejauh ini aku cuma tahu bahwa umurmu enam belas tahun,
suka menulis, dan punya saudara kembar bernama Jessica yang
membuatku sering bingung membedakannya." Suara Eric kembali
normal dan Elizabeth merasa agak tenang.
"Ada cara gampang untuk membedakan kami ? lihat di
pergelangan tangan kami. Jessica nggak pernah memakai arloji. Dia
memakai standar waktu yang disebut Steven, kakakku 'Waktu Standar
Jessica' ? yang berarti dia selalu terlambat sekitar sembilan puluh
sembilan persen dari waktu yang telah ditentukan."Eric tersenyum. "Kamu sendiri gimana? Aku yakin kamu nggak
pernah telat."
Elizabeth menghidupkan mesin. "Nggak selalu. Tapi karena
itulah ada istilah 'serupa tapi tak sama' dalam keluarga kami."
Elizabeth menjelaskan ketika Eric tampak kebingungan. "Aku dan
Jessica sangat berbeda sehingga orang-orang berharap dia akan
bersikap begini dan aku bersikap begitu. Kadang-kadang kami juga
nggak begitu berbeda seperti sangkaan orang."
"Berarti aku nggak bisa berharap kamu bisa selalu tepat
waktu?" goda Eric.
Elizabeth menggeleng, buntut kudanya yang pirang terayunayun. "Bukan itu. Cuma kadang-kadang aku merasa nggak bisa terlalu
serius dan bertanggung jawab seperti anggota keluargaku yang lain ?
kecuali Jessica."
"Aku mengerti maksudmu," kata Eric serius.
Elizabeth mengarahkan mobil ke sekolah. "Aku sudah cerita
tentang keluargaku," katanya. "Kalau keluargamu gimana? Kamu
belum cerita apa-apa tentang mereka."
Eric mengangkat bahu. "Nggak banyak yang bisa diceritakan.
Cuma ada aku dan Ayahku," kata Eric agak kasar. Elizabeth
menunggu penjelasan selanjutnya, tapi Eric tak mengatakan apa-apa.
Dia tampak berkonsentrasi pada mobil di depan waktu mereka
memasuki jalan di depan sekolah. Rahangnya terkatup rapat, dan
jarinya mengetuk-ngetuk dash-board dengan gugup.
Elizabeth memandang wajah Eric dari samping. Kenapa cowok
ini? Apa yang disembunyikannya? Dia terheran-heran sendiri. Tapi
ketika bicara, yang keluar dari mulutnya adalah "Ini SMA SweetValley. Aku yakin kamu sudah pernah melihat sebelumnya." Dia
selalu terkejut setiap kali melihat betapa sepi dan hening gedung dan
halaman jika tidak ada murid.
Eric mengangguk. "Gedungnya bagus. Aku pasti suka."
Elizabeth menatapnya selama beberapa saat. Dia benar-benar
merasa Eric orang yang aneh! Dia ingin tahu apa yang terjadi pada
ibunya, tapi ia takut mendesaknya. Tampaknya Eric tak ingin ditanyai.
Bagaimana pun, setelah melewatkan waktu sepanjang sore,
Elizabeth mulai memahami pola tingkah laku Eric. Sepanjang
pembicaraan berkisar tentang Elizabeth ? dan keluarganya, hobinya,
teman-temannya ? Eric bersikap terbuka, ramah, gembira, sering
bertanya dan berkomentar. Tapi waktu Elizabeth berusaha balik
bertanya, Eric langsung menutup diri. Elizabeth melihat ekspresi Eric
sesudah bertanya tentang hal-hal yang menyangkut dirinya. Wajahnya
jadi murung dan agak geram, dia menjadi tegang. Elizabeth hampir
merasa takut padanya. Setelah beberapa saat, Eric akan kembali
tenang ? manis, terbuka dan ramah.
Elizabeth tak tahu apa yang membuat Eric jadi begitu. Apakah
Eric memang pemalu atau sebenarnya menyembunyikan sesuatu
darinya?Atau dia mengalami trauma yang belum berhasil diatasinya?
"Lihat," kata Elizabeth setelah mereka melewati kota,
menengok pantai, melewati beberapa restoran terkenal, dan berhenti di
danau Secca. Sebuah danau kecil yang indah di sebuah taman yang
terletak beberapa mil jauhnya di luar kota, "di sinilah tur istimewa
berakhir. Gimana kalau kita keluar dan jalan-jalan? Atau mungkin
duduk-duduk di bawah pohon sambil bertukar karya tulis?""Usul kedua kayaknya bagus. Aku benar-benar pingin membaca
cerita pendekmu," kata Eric.
Elizabeth memarkir mobil dan mereka mengumpulkan buku
catatan masing-masing kemudian menuju ke tempat yang agak
tersembunyi di gerumbulan pohon di dekat danau. Beberapa saat
kemudian mereka terbenam dalam bacaan masing-masing. Elizabeth
telah memilihkan sebuah cerita pendek berjudul "Masa Depan" yang
berceritera tentang seorang gadis muda yang bekerja sebagai
pendamping dua orang wanita tua. Dalam cerita itu, si gadis muda,
Allison, belajar tentang keberanian dan kepercayaan dari kedua
bersaudara yang saling menyayangi itu. Ini adalah cerita terbaru dan
yang terbaik, menurut anggapan Elizabeth.
Eric memberikan dua puisi karyanya. Yang pertama berjudul
"Panen", dan bagi Elizabeth merupakan puisi paling pedih yang
pernah dibacanya. Puisi itu pendek, liriknya menggambarkan sebuah
ladang tandus di jantung daerah Barat. Akhir puisi itu begitu
menyayat sehingga Elizabeth hampir menangis dibuatnya.
Tiada bayangan burung gereja di sini,
berkas panen pun hampa dan musim panas berlalu
tanpa menyisakan kehangatan untuk bertahan dari dingin atau
lapar.
"Bagus sekali!" kata Elizabeth setelah selesai membaca. "Tapi
Eric, isinya sedih sekali."
Eric mengangguk. "Iya," katanya. "Benar-benar puisi sepi."
Elizabeth beralih ke puisi kedua yang berjudul "Pergi Darimu",
mata Elizabeth berkaca-kaca. Sebuah puisi perpisahan yang
menuangkan kepedihan si tokoh waktu meninggalkan rumah. Puisisatu stansa itu berkisah tentang seorang gadis, tapi Elizabeth takut
menyinggung perasaan Eric kalau menanyakan siapa gadis itu:
Mungkin demi cinta
selalu berarti merajam
dan bukan hanya luka, tapi kehancuran,
kala sadar
duka perpisahan
menghadang kita.
"Wow," kata Elizabeth sambil meletakkan puisi itu. "Eric, kamu
berbakat besar."
"Trims," kata Eric merendah. Elizabeth senang karena Eric tak
menyombongkan kemampuannya. Tapi Eric mengangkat tangan
meminta Elizabeth diam. "Aku pingin menyelesaikan membaca
ceritamu," katanya. "Kita bicarakan nanti."
Elizabeth menunggu dengan sabar sampai Eric selesai
membaca. Dia merasakan kegugupan yang aneh. Baru pertama kali ini
dia menunjukkan tulisannya kepada seseorang yang sebaya dengannya
dan juga sangat ia kagumi. Dia mulai gugup waktu Eric membaca,
cemas kalau ceritanya terlu singkat dan kekanak-kanakan.
"Wah," kata Eric sambil meletakkan naskah Elizabeth. Dia
tersenyum, "Cara penuturanmu bagus sekali, Liz. Benar-benar penuh
kekuatan."
Mereka duduk diam-diam selama beberapa menit sambil
memandangi danau.
"Boleh aku tanya sesuatu?" tanya Eric untung-untungan. "Apa
kamu percaya ? orang-orang seperti yang kamu gambarkan dalamceritamu itu ada? Kamu menganggap perempuan tua itu mau
mempertaruhkan nyawanya demi menyelamatkan adiknya?"
Elizabeth mengangguk. "Kamu nggak yakin ada orang seperti
itu?"
Eric menggeleng. "Kayaknya aku nggak percaya. Jangan salah
faham, Liz. Menurutku ceritamu indah, dan karyamu jadi bagus
karena karakter-karakternya sangat hidup. Hanya saja aku
menganggap orang-orang nggak terlalu pengasih. Aku melihat dunia
?" Dia menghela nafas. "Dalam bayanganku manusia itu selalu
mementingkan diri sendiri. Aku nggak percaya mereka mau bersusah
payah menolong orang lain."
Elizabeth tak dapat mempercayai keputusasaan yang
didengarnya dari mulut Eric. "Kurasa nggak begitu," katanya. "Lihat
saja masyarakat Sweet Valley! Sudah nggak terhitung lagi berapa kali
kulihat orang-orang bergabung untuk menolong orang yang
kesusahan." Elizabeth menceritakan keterlibatannya dalam karnaval
amal yang mengumpulkan uang untuk anak-anak terlantar dan
bantuan-bantuan yang diberikan oleh orang-orang yang dia mintai.
"Itu baru satu contoh. Tempat ini istimewa, orang-orang saling
menyayangi, Eric. Mungkin Ohio nggak seperti itu, tapi ?"
"Menurutku tempat seperti itu nggak ada," potong Eric.
Wajahnya kelihatan galak lagi dan Elizabeth merasakan ketegangan
merambati dirinya.
"Eric," pekiknya tertahan, "kamu kok jadi marah!"
Wajah Eric melunak. "Oh, Liz, maaf. Seharusnya aku nggak
bersikap sesinis ini sama kamu. Kamu cewek paling manis yang
pernah kukenal." Eric meletakkan tangannya di atas tangan Elizabeth."Aku nggak bermaksud mendebat cara pandangmu terhadap dunia.
Kamu beruntung sekali karena punya pandangan seperti itu terhadap
manusia lain."
Elizabeth menatapnya. "Kamu nggak percaya pada orang lain?"
gumamnya. "Kamu juga nggak percaya padaku?"
Eric menghela nafas dan memandang danau. "Ayah dan Ibuku
bercerai beberapa bulan yang lalu." katanya. "Sejak itu aku hidup
dengan Ayah. Kami menghadapi banyak masalah bersama, itu bukan
saat-saat yang mudah. Aku benar-benar nggak suka
membicarakannya. Kurasa pengalamanku itu yang membuatku resah
dalam menghadapi orang-orang di sekitarku. Kadang-kadang aku
berpikir lebih buruk dari yang kualami."
Elizabeth meraih tangan Eric dan meremasnya dengan lembut.
"Kuharap aku bisa meyakinkanmu untuk mempercayaiku,"
gumamnya. "Kuharap aku juga bisa memperlihatkan padamu bahwa
di sini banyak orang baik. Apa pun yang terjadi padamu di masa lalu
tak akan terulang di sini, Eric. Aku janji."
Eric tersenyum, tapi matanya tetap tampak menakutkan.
Aneh, cowok ini aneh, pikir Elizabeth. Dia menulis puisi yang
indah, dan tampaknya sangat perasa sehingga selalu terluka setiap kali
melihat kenyataan dunia!
Elizabeth berharap dapat membantu mengubah pandangan Eric
sehingga dapat menunjukkan bahwa lebih banyak orang baik dari
yang jahat. Tapi dia menganggap itu bukan tugas yang mudah.
***********"Coba kalau Fiat nggak dibawa Elizabeth. Aku pingin belanja,
nih," omel Jessica. "Darcy, kamu nggak bisa pinjam mobil orang
tuamu?"
Darcy yang sedang membukai salah satu buku tahunan milik
Jessica menggeleng. "Nggak bisa, kan sudah kubilang ? orang tuaku
sedang pergi. Hei, siapa cowok ini? Keren, lho."
Sepanjang sore ini Darcy dan Jessica menghabiskan waktu
dengan melihat-lihat buku tahunan SMA Sweet Valley. Walaupun
musim gugur yang akan d datang Darcy akan masuk ke sekolah
swasta, Whitehead Academy di kota tetangga Sweet Valley, Jessica
tetap menunjukkan cowok-cowok yang keren, cewek-cewek cantik
dan anak-anak yang harus dihindari sebisa mungkin.
"Itu Aaron Dallas. Dia memang cakep. Pemain soccer ? dia
joki hebat ? tapi sudah punya pacar. Kusangka kamu cuma
mengincar Eric Hankman."
Darcy mengangkat bahu. "Eric memang manis. Aku suka
menggoda dia, dan aku nggak keberatan kenal lebih dekat. Tapi
orangnya agak aneh, sih. Lagipula kenapa membatasi diri kalau baru
saja datang di kota ini? Kudengar Seth bilang pada Dan, ada
mahasiswa yang mau magang di kantor koran kita minggu depan ?
namanya Andy Sulivan. Dia mahasiswa tingkat dua di Stanford dan
dia akan jadi asisten Dan. Aku nggak akan menolak kencan dengan
mahasiswa Stanford," tambah Darcy dengan mata berkilau.
Mata Jessica juga gemerlap. Pikiran akan adanya muka baru
yang keren juga mempengaruhinya. Dia senang karena dia dan Darcy
berpandangan sama tentang cinta. Dia sangat mendukung sikap Darcy
untuk tidak membatasi diri hanya dengan satu cowok. "Kenapa kamumenganggap Eric aneh?" tanya Jessica kembali ke pembicaraan


Super Thriller Sang Pelarian Karya Francine Pascal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebelumnya. "Dia memang sempat bikin aku malu."
"Iya," kata Darcy setuju. "Kayaknya dia jadi gugup kalau kita
tanya masalah yang agak pribadi."
"Betul begitu," Jessica mengaku. "Mungkin memang begitu
gaya orang-orang dari daerah Barat bagian Tengah. Tapi kurasa kamu
bisa lebih banyak tahu tentang dia!"
Darcy menjentikkan jarinya. "Aku jadi ingat! Aku mau
menelepon Sue, temanku di Cleveland. Mau tanya apa dia punya
informasi tentang Eric." Dia memandang penuh hasrat pada telepon
Jessica. Boleh nggak pakai teleponmu? Aku pakai sistem colect call.
Sue kan anak orang kaya ? orang tuanya nggak akan keberatan."
"Boleh," kata Jessica. Dia ragu apakah Darcy diam-diam masih
menyukai Eric. Untuk apa menghabiskan waktu dengan mencari
informasi tentang orang yang tidak kamu minati?
Rupanya Darcy jenis cewek yang selalu ingin tahu segala
sesuatu tentang orang lain, Jessica memperingatkan diri sendiri waktu
si rambut merah memutar nomor telepon dan meminta hubungan
collect call kepada operator. Selama beberapa menit Darcy
memberikan rincian tentang Eric Hankman kepada temannya di
seberang sana.
"Dia nggak bilang mau masuk ke SMA mana, tapi setahuku dia
dari SMA Shaker Heights. Tingginya ? sekitar enam kaki ? rambut
cokelat tua. Namanya Eric Hankman," kata Darcy pada temannya.
Jessica memandang ke luar jendela sambil berharap Elizabeth pulang
membawa Fiat. Mana mungkin saudaranya menghabiskan waktu
begini lama dengan Enid Rollins. Keterlaluan!"Dia cakep banget, Sue. Tapi aku pingin tahu sebanyak
mungkin tentang dia. Misalnya, apa dia punya pacar di SMA Shaker
Heights? Latar belakang keluarganya? Kamu tahu aku ini gimana ?
aku mau tahu semuanya!"
Pasti Sue bicara panjang lebar karena selama lima menit Darcy
cuma mengangguk-angguk dan menjawab "Iya". Jessica benar-benar
bosan.
"Ayolah, Darcy. Kamu bisa bicara lagi nanti," desaknya.
Tapi Darcy bergeming, matanya melebar ketakutan. "Kamu
main-main! Kapan?" Tanyanya agak berteriak. "Ya Tuhan! Astaga!"
Mukanya memucat dan tak peduli pada Jessica yang jadi gelisah
karenanya. Serasa berabad-abad lamanya sampai akhirnya Darcy
meletakkan gagang telepon. "Wah, Sue nggak pernah dengar nama
Eric," katanya, "tapi dia mau mencarinya. Lalu ada kejadian seram
sejak aku pergi dari Ohio. Kira-kira dua minggu yang lalu di dekat
rumah Sue ada cewek terbunuh!" Darcy bercerita sambil menggigil.
"Ya Tuhan, Jess, kedengarannya mengerikan. Cewek itu sebaya
dengan kita." Darcy menutup muka dengan tangannya. "Cewek itu
ditemukan di tempat parkir kosong ? dicekik. Nggak ada yang tahu
siapa pembunuhnya."
"Kamu pasti main-main," kata Jessica. Matanya melebar. Dia
teringat peristiwa menakutkan waktu melihat sesosok mayat di tempat
parkir Western Building. Ia menggigil.
"Kata Sue, seluruh penduduk kota saling membantu. Cewek itu
murid sekolah model, semua orang mengenal dan menyukainya. Dia
benar-benar cantik. Sue nggak kenal, tapi kakaknya kenal ? mereka
sama-sama ikut les tari. Ngeri banget kan, Jess?"Jessica mengangguk. Untung kejadian itu jauh di Ohio sana.
"Ya, Tuhan," kata Darcy sambil menggeleng-geleng.
"Kejadiannya persis sebelum kami pindah ke sini."
Jessica menarik nafas dalam. "Tolong, Darcy. Kuminta jangan
bicarakan itu lagi."
Darcy merinding. "Oke, Jess. Aku janji nggak akan nyinggung
itu lagi." Dia diam selama beberapa menit.
"Tadi Sue bilang mau cari-cari informasi tentang Eric. Dia
memang nggak tahu apa-apa, tapi mungkin teman-teman kakaknya
ada yang tahu."
Jessica mengangguk. Dia tak memperhatikan kata-kata Darcy.
Dia hanya memikirkan satu hal ? cewek yang terbunuh di Ohio.
Di lain pihak, Darcy telah melupakannya dengan cepat. Dia
berjalan ke depan Jessica dan mulai menyisir rambutnya. "Kuharap
Andy orangnya keren," katanya. "Kalau memang cakep kamu mau
bantu aku mendekatinya?"
Jessica tertawa. "Eric gimana?"
"Eric juga," kata Darcy penuh tekanan. Matanya bersinar. "Aku
mau kenalan sama cowok cakep sebanyak mungkin. Dan aku pingin
kamu bantu aku!'Tujuh
Waktu Elizabeth bangun pada hari Minggu pagi, perasaannya
agak aneh. Seperti ada yang berbeda tapi ia tak tahu apa. Kemudian
benaknya dipenuh ingatan tentang peristiwa kemarin malam.
Sesudah mengobrol di danau Secca, dia dan Eric kembali ke
Sweet Valley untuk makan malam. Eric memaksa mentraktir
Elizabeth dan mereka pergi ke kedai pizza Guido. Mereka kelelahan
setelah melewatkan waktu berdua dan merasa sangat lega bersantai di
kedai pizza dan menjadi gembira lagi.
"Yang kusuka dari kamu, Elizabeth Wakefield, karena kamu
bisa diajak ngomong tentang apa aja," kata Eric waktu mereka selesai
makan.
"Di satu sisi kamu bisa sangat serius, tapi selera humormu juga
tinggi, dan kadang-kadang juga bisa konyol. Tahu nggak kamu, susah
menemukan orang yang punya paduan seperti itu?"
Tiba-tiba Elizabeth merasa malu. Cara Eric memandangnya
membuat dia merasa ... dia menyingkirkan pikiran itu dari benaknya.
Eric adalah teman barunya, dan hanya itu.
Elizabeth mengantar Eric pulang, dan sesaat, waktu Eric
berusaha melepas sabuk pengaman, Elizabeth mengira suasana akan
jadi canggung. Dia takut Eric akan menciumnya sebagai ucapanselamat malam. Tapi untung Eric hanya menoleh dengan wajah tulus.
"Ini hari terindah yang kualami setelah sekian lama," katanya. "Liz,
nggak bisa kukatakan betapa berharganya bagiku diperkenalkan pada
keindahan kota ini oleh orang seistimewa kamu."
"Trims, Eric. Aku juga senang," kata Elizabeth sambil
tersenyum.
"Boleh aku membalasnya? Aku pingin mengajakmu nonton
atau ke mana aja sepulang kerja."
Elizabeth tak dapat mengingkari rasa senangnya karena
berkesempatan melewatkan waktu bersama lagi. "Boleh aja," katanya
sambil tersenyum.
"Ada film James Bond yang baru. Kemarin aku lewat bioskop
waktu berangkat kerja. Mau nonton hari Senin malam? Kita beli
sandwich di coffe shop dulu sebelum nonton pertunjukan jam tujuh."
"Kayaknya bagus," kata Elizabeth.
Setelah itu Elizabeth pulang ke rumah dengan perasaan seperti
bermimpi. Dia belum pernah bertemu dengan orang seperti Eric.
Kelihatannya dia cerdas dan begitu perasa. Sekarang, saat berbaring di
tempat tidurnya, Elizabeth memikirkan puisi Eric yang berjudul
"Panen". Matanya berkaca-kaca membayangkan keputusasaan yang
tergambar dalam puisi itu.
Eric yang malang, pikirnya. Apakah karena keluarganya
tercerai berai dia jadi begitu sedih dan misterius?
Kemudian dia teringat pada puisi perpisahan Eric. Siapakah
gadis yang dimaksud dalam puisinya itu? Elizabeth bertanya-tanya.
Mengapa cinta harus "dihancurkan"? Ada sesuatu dalam puisi itu yang
mengganggu perasaannya walau ia tak dapat memastikannya....Tiba-tiba Jessica menyerbu masuk ke kamar Elizabeth, ia
memakai baju jogging sambil memegang Walkman. "Kamu sudah
bangun? Ke mana aja tadi malam? Aku terjebak di sini selama
beberapa jam menunggu mobil Fiat," protesnya. "Kalau Amy nggak
datang menyelamatkanku, aku bisa gila deh!" Dia memandang
kakaknya dengan curiga. "Kenapa kamu masih di tempat tidur? Tadi
malam kamu pulang jam berapa?"
Elizabeth tertawa ditanyai seperti itu. "Aku lama di tempat
Enid," katanya. Dia merasa tak enak karena membohongi Jessica. Tapi
dia telah memutuskan akan menyembunyikan persahabatannya
dengan Eric dan tak membiarkan adiknya terlibat apa pun!
Jessica mengernyitkan hidungnya. Baginya Enid Rollins adalah
cewek yang membosankan. Dia tak tahu apa yang membuat kakaknya
menyukai cewek itu. "Aku mau jogging," kata Jessica sambil
melakukan beberapa gerakan pemanasan dengan melipat lututnya.
"Mau bangun nggak, ikut aku?"
Elizabeth menggeleng. "Enggak," katanya. "Aku mau nulis
surat untuk Jeffrey."
Jessica menggeram kecil. "Tadinya kamu pergi seharian dengan
Enid ? sampai aku nggak kebagian memakai mobil ? lalu kamu
melewatkan hari Minggu secerah ini dengan menulis surat untuk
Jeffrey! Liz, aku nggak pernah bisa mengerti pendirianmu. Nggak
pernah!"
Elizabeth mentertawakan ejekan Jessica. Sesaat kemudian dia
sudah tak peduli apakah Jessica bisa mengerti atau tidak. Dia ingin
sendirian saja sehingga bisa merenungkan beberapa pokokpembicaraannya dengan Eric. Selain itu dia ingin merapikan arsipnya.
Ada beberapa cerita karyanya yang ingin diperlihatkan pada Eric.
***********
"Baiklah," bisik Darcy pada Jessica. Hari ini Senin pagi, mereka
berdua turun ke coffee shop berusaha mencari cara terbaik untuk
mendekati Eric.
"Kamu aja yang masuk dan bicara sama dia," kata Jessica
keberatan. "Kuberitahu apa yang harus kamu bicarakan. Bilang aja
kamu punya dua tiket pertandingan The Dodgers malam ini. Ajak dia
nonton. Gampang kan?"
Darcy mengernyit. "Kurasa nggak bisa begitu, deh. Dia terlalu
pemalu. Kayaknya lebih baik kalau aku juga kelihatan pemalu. Kamu
saja yang ke sana, bilang sama dia aku punya dua tiket dan pingin
mengajak teman. Berikan kesan bahwa aku suka sama dia tanpa
kelihatan bahwa aku mengejar dia."
"Oke," kata Jessica sambil menghela nafas, "tapi menurutku
sebaiknya kamu bicara sendiri sama dia."
Darcy menggeleng. "Percayalah, Jess. Aku tahu cowok macam
apa dia. Kutunggu kamu di ujung ruangan itu. Cepat temui aku kalau
kamu sudah bicara sama dia. Biasa-biasa aja, Jess. Jangan sampai aku
kelihatan seperti orang bego."
"Kuusahakan sebisaku," kata Jessica kering. Dibukanya pintu
coffee shop dan memasukinya. Eric mengangkat wajahnya dan
tersenyum lebar, kemudian dia tampak ragu dan melirik pergelangan
tangan Jessica."Oh ? Jessica," suaranya terdengar kecewa. "Tunggu sebentar.
Aku mau menyiapkan pesanan untuk lantai tiga." Dia mengisi sebuah
kotak karton dengan enam gelas kopi.
Jessica mengetukkan jarinya di meja counter. "Kayaknya kamu
sudah terbiasa dengan kerjaanmu." komentarnya. Dia benar-benar
ingin Darcy melakukan pendekatan ini sendiri. Dia tak suka berbasabasi membicarakan karcis pertandingan bola yang menyebalkan itu.
Terutama sejak ketertarikan Darcy menjadi-jadi. Tampaknya dia
tertarik pada semua cowok yang dilihatnya! Tapi Darcy kan teman
baru, katanya memperingatkan diri sendiri. Dan apa lagi gunanya
teman? Hanya inilah yang dapat dilakukannya untuk Darcy.
"Yah. Minggu lalu sibuk sekali, tapi sekarang aku sudah bisa
mengendalikan semuanya," kata Eric sambil tersenyum. "Ada yang
bisa kubantu?" tanyanya ketika kotak pesanan sudah tertata rapi.
"Nggak usah pesan, kamu pasti butuh kopi untuk salah satu wartawan
peminum kopi itu."
Jessica menggeleng. "Aku mau pesan jus jeruk. Untuk Darcy,"
katanya penuh arti. "Dasar cewek! Dia nggak mau berhenti kerja
untuk sarapan, tapi dia memang pekerja keras!" Ditelitinya reaksi Eric
dengan sudut matanya. Tapi ekspresi Eric tak berubah.
"Kayaknya orang-orang di atas sana bikin kalian sibuk,"
katanya biasa. "Aku tahu, kayaknya kakakmu kerja keras terus."
"Oh, Liz memang pekerja keras! Tapi Darcy... oke, terus terang
aku agak kuatir, Eric. Selama ini dia nggak pernah istirahat. Kamu
tahu, gimana rasanya pindah ke sini dari tempat jauh. Kamu juga dari
Ohio, kan?"
"Iya," kata Eric sambil mengambil jus jeruk dari lemari es.Jessica memukul keningnya sendiri. "Ya, ampun," teriaknya
pura-pura kaget. "Aku sampai lupa! Kurasa kalian punya banyak
bahan pembicaraan, kan?"
Eric memandang Jessica lebih dekat. "Yah, mungkin saja,"
katanya canggung.
"Kamu kan tahu," kata Jessica menyambung pembicaraan
sambil berjalan menyusuri meja mengikuti Eric yang sedang
menuangkan jus jeruk. "Tadi pagi ayah Darcy mengantar kami
berangkat kerja. Katanya beliau punya dua karcis pertandingan sepak
bola. Darcy belum pernah melihat permainan The Dodgers. Percaya
nggak?"
"Yah, masuk akal ? dia kan baru saja pindah ke sini," kata Eric
sama sekali tak terpancing.
"Tiketnya ada dua," Jessica melanjutkan. "Satu untuk Darcy,
satu untuk temannya. "
Eric menaikkan alisnya menunggu kata-kata Jessica.
"Pertandingannya malam ini," tambah Jessica penuh arti.
Eric memasukkan gelas jus ke dalam kantong kertas. "Ini dia,"
katanya, "enam puluh tiga sen, sudah ditambah pajak."
Jessica mengorek-ngorek tasnya selama beberapa saat. Kenapa
cowok ini sebenarnya? Apa dia harus menjelaskan lebih gamblang?
"Eric," katanya sambil menelan ludah. "Menurutku bagus juga
kalau Darcy bersantai ? setelah kerja keras seperti itu. Mungkin
kamu bisa menemani dia nonton pertandingan sepak bola nanti
malam."
"Aku?" Eric kelihatan kaget sekali."Iya, kamu," kata Jessica tegas. "Lagipula, kalian kan samasama orang baru di kota ini. Kalian sama-sama dari Ohio. Dan
mungkin kamu juga belum pernah melihat permainan The Dodgers.
Kan bagus kalau kalian berdua nonton sama-sama?"
Eric tampak malu. "Bagus juga, sih. Tapi aku sudah punya
rencana malam ini. Aku mau nonton film James Bond yang terbaru."
Jessica menggigit bibirnya. Rencananya gagal. Dia berharap
Darcy bisa menerima kenyataan, tapi ia merasa teman barunya itu
bukan jenis orang yang bisa menerima penolakan dengan lapang dada.
"Oke," katanya ringan sambil berharap wajahnya tak tampak
kecewa. "Mungkin lain kali. Trims jus jeruknya!"
Jessica sudah hampir setengah jalan menuju ruang utama ketika
Darcy mengejarnya. "Apa katanya? kamu sudah tanyai dia? Kamu
sudah bilang soal karcis itu? Udah deh, nggak usah cerita!" pekiknya
sambil menutup wajah dengan kedua tangannya. "Dia nggak suka
sama aku! Ketebak dari mukamu."
Jessica memilih kata-kata dengan hati-hati. "Dia nggak benci
kamu, Darcy. Jangan konyol, ah! Malam ini dia sibuk." Dia
menyerahkan jus jeruk pesanannya pada Darcy. "Dia mau nonton
film," tambahnya sambil menghindari pandangan Darcy.
Darcy mengerutkan kening. "Oke," katanya. "Jadi dia nggak
suka sama aku. Memangnya aku peduli!"
"Eh, tunggu dulu, Darcy," kata Jessica. "Mungkin kamu harus
memberi kesempatan lain. Kan kamu sendiri yang bilang dia itu
pemalu. Jadi kamu harus kenal baik dulu sama dia. Sementara itu kan
ada cowok baru, Andy."Darcy tetap tak terhibur. "Dia benci aku." keluhnya. "Kuberikan
kesempatan indah untuk lebih mendekatiku, tapi dia nggak mau
memanfaatkannya." Dia mengibaskan rambutnya. "Baik, dia pasti
berbalik. Lihat saja."
Jessica menekan tombol lift. "Aku yakin kamu benar," katanya.
Tapi melihat reaksi Eric dia tak sependapat. Tapi dia tak ingin Darcy
makin marah. Sesaat kemudian, seorang cowok tampan berambut
cokelat muda bergegas masuk ke dalam lift bersama mereka. Matanya
biru bercahaya, dan dalam blazer ala pelaut dan celana kecokelatan dia


Super Thriller Sang Pelarian Karya Francine Pascal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jelas tampak sebagai mahasiswa yang siap bekerja selama musim
panas.
Darcy nyaris menerkam cowok itu, dan Jessica harus
menyembunyikan kegembiraannya. "Lantai berapa?" tanya Darcy
genit.
"Lima," kata cowok itu sambil tersenyum.
"Lima?" Darcy berpura-pura menemukan suatu kebetulan yang
tak disangka-sangka. "Kami juga mau ke lantai lima. Mau ke kantor
The News ya?"
"Yah, memang begitu," jawab sang cowok sambil tetap
tersenyum. "Namaku Andy Sulivan. Aku akan magang kerja sebagai
asisten di koran The News selama musim panas ini."
Wajah Darcy cerah dan Jessica berusaha menyembunyikan
senyumnya. Dia tahu teman barunya akan cepat mengatasi
kekecewaannya atas Eric, bahkan lebih cepat dari yang
dibayangkannya.
"Kami juga magang di The News!" Darcy menjelaskan. Waktu
lift telah mencapai lantai lima Darcy telah menceritakan kepada Andytentang bagaimana senangnya ia bekerja di kantor surat kabar. Andy
tampak ramah tapi tetap menjaga jarak.
"Baik, kuharap bisa bertemu kalian lagi," katanya ketika mereka
sampai di kantor The News. "Aku harus menemui pak Robb dulu."
Darcy berseri?seri. "Jessica," katanya sambil meremas tangan
temannya dengan gembira. "Aku jatuh cinta! Dia ganteng sekali, ya?"
Jessica mengangguk. Kali ini dia tak menyinggung Eric. Lebih
baik dibiarkan saja, pikirnya.
Paling tidak Darcy tidak berlama-lama patah hati!
************
"Eric," kata Elizabeth dengan suara rendah. Sekarang jam
setengah tujuh dan mereka sedang berjalan bersama dari Western
Building sepanjang Main Street menuju bioskop Valley. "Apa aku
berkhayal? Tapi kayaknya ada orang mengikuti kita."
Wajah Eric memucat. "Orang mana?" tanyanya sambil
celingukan.
"Orang yang pakai setelan abu-abu," kata Elizabeth tetap
dengan suara rendah. Dia telah melihat bahwa orang bersetelan abuabu itu berhenti kalau mereka berhenti, kemudian ikut berjalan kalau
mereka berjalan.
"Kenapa dia mengikuti kita?" tanya Eric penasaran sambil
menengok ke belakang lewat bahunya. Dia berusaha tidak peduli tapi
jelas merasa kuatir. "Coba kita merunduk di pojok jalan, lalu lihat dia
mau apa."
Elizabeth mengangguk. Dia tidak yakin apa dia yang sinting
atau memang benar ada laki-laki berbaju abu-abu yang mencurigakan
tadi."Mungkin dia teman Darcy Kaymen," kata Eric gelisah, ia
tersenyum kaku. Mereka bersembunyi di sebuah sudut tersembunyi.
"Tadi dia minta ditemani nonton pertandingan sepak bola. Mungkin
dia marah karena aku sudah punya acara lain."
"Dia jalan terus," kata Elizabeth lega. "Mungkin aku cuma
ketakutan. Maaf, Eric."
"Kamu akan kujaga," kata Eric meyakinkan Elizabeth.
"Serahkan aja padaku." Setelah laki-laki itu pergi, Eric tampak
bernafsu melupakan kejadian tadi seolah-olah tak ada apa pun yang
terjadi.
Tapi Elizabeth merasa kejadian tadi sangat mengganggu
perasaan Eric. Waktu mereka meneruskan perjalanan ke bioskop,
berkali-kali Eric menengok ke belakang.
"Lagipula, siapa sih, yang mau mengikuti kita?" Canda
Elizabeth waktu mereka antri tiket. "Kita orang yang paling tidak
menarik di dunia."
Eric mengeluarkan dompet tanpa berkata-kata. Waktu Elizabeth
mendekat, dia melihat butir-butir keringat sebesar jagung di dahi Eric.
Cowok itu pucat dan jarinya gemetar.
Untuk kesekian kalinya Elizabeth bertanya-tanya kenapa Eric
begitu gugup. "Apa ada yang tahu kita ke sini malam ini?" tanya Eric.
Elizabeth ragu-ragu. Dia memang bermaksud merahasiakan
pertemuan mereka. Terutama karena ia tak ingin Jessica tahu. Dia tak
mau adik kembarnya menyalahartikan hubungannya dengan Eric. Dia
benar-benar cuma berteman dengan Eric ? tidak lebih. Dia tak ingin
Jessica mengolok-oloknya karena soal ini. "Nggak ada," gumamnya.Eric menelan ludah. "Biar pertemuan ini jadi rahasia kita
berdua, setuju?" kata Eric sambil memegang bahu Elizabeth.
"Persahabatan kita bakalan lebih istimewa kalau nggak ada yang tahu
bahwa kamu menemui aku. Kamu bisa menerima?"
Elizabeth kaget. Apakah Eric bisa membaca pikirannya?
"Tapi ? kenapa?" tanyanya keras. Memang dia lebih suka
kalau tak ada orang yang mengetahui pertemuan mereka. Tapi karena
Eric menginginkan hal yang sama dia menjadi penasaran. Apa alasan
Eric?
"Lebih romantis kalau seperti itu," kata Eric. Elizabeth tak
melihat wajahnya, tapi dia merasa ketegangan merambati tangannya.
Lebih romantis. Itukah yang membuatnya tak ingin seorang pun ?
termasuk Jeffrey ? tahu tentang pertemuannya dengan Eric
Hankman? Dia mulai ragu-ragu jangan-jangan Eric menginginkan
persahabatan mereka berkembang menjadi lebih serius.
**********
"Filmnya hebat!" kata Eric waktu mereka keluar dari bioskop
beberapa jam kemudian. "Aku memang butuh yang seperti ini.
Ketegangan yang menghapus masalah dari kepala kita!"
Masalah apa? Elizabeth bertanya-tanya. Tapi dia tak ingin
menekan Eric. Dia sangat tahu, Eric tidak suka diberi pertanyaan yang
bersifat pribadi. Bagaimanapun Elizabeth tetap berharap Eric dapat
bersikap terbuka padanya.
"Jalan-jalan ke pantai, yuk? Aku suka di dekat laut," kata Eric
tak sabaran.Elizabeth melirik jam tangannya. "Aku tadi pamit pergi sampai
jam sepuluh. Kalau mau jalan-jalan cuma ada waktu sebentar," kata
Elizabeth penuh penyesalan.
"Nggak apa-apa." Eric merengkuh bahu Elizabeth dan
menariknya lebih rapat, Elizabeth merasakan perutnya berdesir.
Sebenarnya menyenangkan karena bisa berdekatan, pikirnya.
Sentuhannya pun sudah membuatnya sesak nafas. Dan nafas Eric yang
hangat menyapu rambutnya ... tak dapat disangkal jantungnya
berdebaran. Dia hampir-hampir tak bisa bernafas waktu memandang
wajah Eric.
"Ah ? kita harus mengambil mobilmu," kata Elizabeth sambil
menjauh dan berjalan ke arah garasi Western Building. Dia tak
menyukai perasaannya sendiri. Ada apa ini? Katanya marah pada diri
sendiri. Bukankah dia mencintai Jeffrey? Kenapa dia berdebar karena
sentuhan cowok lain?
Mereka mengendarai mobil ke pantai sambil berdiam diri. Bagi
Elizabeth kediaman itu sangat menegangkan. Dia sedang memikirkan
berjuta-juta masalah. Bagaimana dengan Jeffrey? Apakah ini berarti
dia lebih menyukai kehadiran cowok lain? Bagaimana perasaannya
ketika tangan Eric menyentuhnya? Bibirnya serasa terbakar waktu
membayangkan bagaimana kalau ia mencium Eric. Dia merasa sangat
? bingung, tak menentu dan bersalah. Dan pada saat yang sama ia
juga merasakan kegembiraan karena berduaan dengan Eric menuju
pantai. Pikirannya sangat kacau. Ia berusaha keras berbincang dengan
Eric.
"Kamu sudah menulis puisi lagi?" tanya Elizabeth waktu mobil
telah terparkir dan mereka keluar dari mobil. Elizabeth sadar iamengajukan pertanyaan ini karena berusaha mengetahui pikiran dan
perasaan Eric. Secara diam-diam mereka memanfaatkan hasil karya
mereka ? puisi Eric dan cerita pendeknya ? sebagai alat penyaluran
emosi mereka. Ini adalah satu-satunya cara bertanya secara langsung
pada Eric tanpa membuatnya marah.
Eric terdiam beberapa saat. "Memang sudah ada yang baru,"
katanya. "Liz, kamu sudah pernah membaca puisi karya Petrarch?"
Elizabeth menggeleng. "Siapa dia? Maaf kalau aku sampai
nggak tahu tentang dia."
"Penulis puisi dari Italia. Dia hidup bertahun-tahun yang lalu ?
di abad ke empat belas. Dia banyak menulis puisi cinta yang indah,"
kata Eric lembut. "Dia bertemu dengan seorang gadis bernama Laura
dan benar-benar jatuh cinta padanya. Kemudian dia menulis rangkaian
puisi indah untuk gadis itu ? jumlahnya sampai tiga ratus enam puluh
enam. Dia menulis satu puisi sehari selama setahun ditambah satu
hari," kata Eric sambil termenung.
Elizabeth memandang bulan dan menggigil. Suasana pantai
sangat indah.
"Aku juga sudah menulis sebuah puisi cinta," kata Eric
kemudian. Dia menatap Elizabeth, matanya besar dan sendu.
Elizabeth merasa jantungnya berdebar. Dia ingin Eric berhenti
bicara. Kalau dia mengatakannya, hubungan serasi mereka akan
hancur. Sebab, Elizabeth akan terpaksa mengatakan hubungannya
dengan Jeffrey ? dan ia harus menjelaskan segala sesuatunya.
Dengan bentuk hubungan seperti sekarang ini, sebelum ada
yang dikatakan secara langsung masih ada sesuatu yang magis diantara mereka berdua. Sekarang, setelah menatap wajah Eric yang
ganteng dan kokoh dia tahu bagaimana perasaan Eric padanya.
"Ssstt," kata Elizabeth waktu Eric akan berbicara lagi. Ia
meletakkan jarinya di bibir Eric. Cowok itu mengecup jarinya.
"Banyak yang mau kukatakan padamu, Liz," protesnya.
Elizabeth menggeleng. "Jangan sekarang. Belum waktunya,"
bisik Elizabeth.
Dia sadar, hubungan manis mereka tak akan bertahan. Tapi dia
ingin mempertahankannya selama mungkin.
Elizabeth kembali merasa takut waktu memandang wajah Eric.
Bukan hanya karena timbulnya perasaan Eric yang tak diharapkannya.
Ada sesuatu yang membayang di wajah Eric... dia sendiri ingin
menangis karena sedih. Siapa cowok ini sebenarnya? Mengapa
pengaruhnya begitu besar? Dan mengapa ia begitu penuh rahasia?
Sebagian dari dirinya ingin mengenal Eric lebih jauh. Sebagian
lagi ingin bersikap tidak peduli. Dia hanya ingin di sana bersama Eric
selamanya.Delapan
Hari Selasa pagi ini Darcy sudah sampai di tempat kerja
setengah jam sebelum yang lain datang. Dia merapikan mejanya dan
menata kertas-kertas yang ada sehingga tampak banyak pekerjaan
sekaligus berkesan rapi. Pagi ini dia berusaha tampil istimewa dan
sudah tak sabar menunggu kedatangan Jessica. Dia ingin menanyakan
cara memikat Andy Sulivan. Dia sendiri punya beberapa gagasan tapi
menganggap tak ada salahnya meminta pendapat orang lain! Dia
sudah mencuri baca biodata Andy yang kebetulan tergeletak di meja
pak Robb. Tak heran, nilai karya tulisnya sesempurna penampilannya.
Selain bermain bola basket dia menjadi editor muda di koran kampus
Stanford. Dia juga telah menerima berbagai macam penghargaan dan
piagam untuk bidang olah raga, pendidikan dan penulisan. "Memang
cowok hebat," kata Darcy pada dirinya sendiri sambil tersenyum kecil.
Jessica sampai di kantor jam sembilan dan Darcy langsung
menyambutnya. "Ayo sini," pekiknya sambil menarik Jessica masuk
ke perpustakaan dan menutup pintunya rapat-rapat. "Kita harus
menyusun strategi. Jess, kamu harus bantu bikin rencana!"
"Rencana apa?" tanya Jessica sambil menguap. Pagi hari
memang merupakan waktu yang paling menyebalkan bagi Jessica."Rencana supaya Andy tertarik padaku. Maksudku, sebenarnya
aku tahu dia sudah memperhatikan aku," Darcy buru-buru meralat
kata-katanya. "Maksudku yakin bahwa aku yang paling cocok buat
dia."
Jessica tertawa. "Inikah cewek yang kemarin pingin nonton
sepak bola dengan Eric Hankman?" godanya.
Tapi Darcy tak mempan digoda. "Aku suka sama Eric," katanya
sambil cemberut. "Dan kalau bukan karena ada Andy, aku marah
sekali sama dia. Jess, seharusnya kamu lebih peka,"
"Maaf," kata Jessica sambil menyembunyikan kegembiraannya.
"Oke. Jadi apa rencana kita untuk menggiring Andy?" Matanya
berkilau. "Berkhayalkah aku atau memang aku ada sangkut pautnya
dengan masalah ini?"
Darcy memandang kaca pintu perpustakaan dengan gelisah.
"Dia di sana!" katanya. "Aku mau menawarkan diri belikan kopi.
Gimana?"
"Kedengarannya bagus juga." kata Jessica sambil tersenyum.
Andy yang malang, pikirnya. Dia nggak tahu akan tertimpa bencana!
"Gimana penampilanku?" Tanya Darcy gelisah, dia berputar
menunjukkan baju rajutan berwarna hijau yang dibelinya sepulang
dari kantor tadi malam.
Jessica menelitinya. "Kamu kelihatan hebat. Aku suka gaun
itu," jawabnya.
"Kamu yakin aku nggak kelihatan agak ? tahu nggak ?
merangsang?" tanya Darcy cemas.Lekuk tubuhnya memang bagus, tapi sejujurnya Jessica harus
mengakui si rambut merah itu memang seksi. "Kamu kelihatan
cantik," kata Jessica.
Darcy tersenyum. "Yah, doakan aku berhasil! Menurutku nggak
usah menawarkan kopi. Langsung aja kubawakan segelas lalu purapura itu cuma kebetulan," tambahnya sambil membuka pintu dan
mengintip ke luar. Ruangan tampak sepi dia bergegas ke koridor.
Darcy cepat-cepat menuju lift dan berpapasan dengan Elizabeth.
"Hai," sapa Elizabeth sambil tersenyum.
Darcy memandangnya diam-diam. "Permisi," katanya sambil
cepat-cepat meninggalkan Elizabeth menuju lift. Dia merasakan
pandangan Elizabeth mengikutinya, tapi dia tak peduli. Bagi Darcy,
Elizabeth orang yang terlalu serius. Dia ingin Elizabeth dapat bekerja
agak santai di kantor The News selama musim panas ini. Darcy tahu
bahwa Elizabeth ingin menjadi penulis profesional dan menganggap
pekerjaan magang ini sebagai pembuka jalan ke arah itu. Tapi
keseriusannya menyulitkan usaha Darcy untuk bersenang-senang; itu
sebabnya Darcy sering mempermainkan Elizabeth. Waktu Darcy
berbalik saat pintu lift menutup, ia tak kaget melihat tatapan Elizabeth
yang tampak terguncang dan tersinggung.
Coffee shop sedang kosong waktu Darcy masuk. Eric sedang
duduk di depan sebuah meja dan tampak sedang asyik menulis sesuatu
di buku tulis bersampul biru.
"Hai, Eric!" sapanya ceria. Dia duduk di seberang Eric. "Sedang
nggak terlalu sibuk, ya?" Darcy telah lupa bagaimana gantengnya
Eric. Sesaat dia merasa ragu ... Tapi tidak, Andy lebih menarik ?lebih dewasa. Bagaimanapun, dia merasa agak malu pada Eric. Dia
melemparkan tatapan menggoda hanya demi hubungan masa lalu.
"Enggak," kata Eric sambil tersenyum kaku dan menutup
bukunya. "Yang paling rame antara jam delapan dan sembilan.
Sesudah itu sepi lagi."
Darcy mempermainkan gelangnya. "Eric," katanya pura-pura
malu. "Aku agak kecewa waktu Jessica bilang kamu nggak bisa
menemaniku nonton pertandingan sepak bola tadi malam. Jadinya aku
mengajak rekan bisnis ayahku ? Ted McCathy. Kayaknya Ted suka
sekali sama aku," tambahnya dengan halus. Sebenarnya Darcy sama
sekali tak datang ke pertandingan itu.
"Kayaknya kamu senang," gumam Eric.
Darcy menatapnya. Perasaannya terluka karena Eric tak tampak
marah ? walaupun dia memang tertarik pada Andy. Dia ingin melihat
reaksi Eric kalau dia benar-benar berusaha. "Tapi aku memikirkanmu
semalaman," lanjutnya. Dia membungkuk ke depan dan
menyentuhkan ujung jarinya ke jari Eric.
Eric memandangnya waspada. "Eh ? kenapa?" tanya Eric
akhirnya.
"Apa maksudmu kenapa?" desak Darcy. "Eric, apa kamu nggak
sadar ?"
Sayang, pintu coffee shop terbuka dan seorang pembeli masuk.
Eric langsung berdiri dan tampak sangat bersyukur serta bergegas ke


Super Thriller Sang Pelarian Karya Francine Pascal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

counter. Darcy mengetuk-ngetukkan jarinya di meja sambil menunggu
Eric kembali. Dia sangat ingin membaca isi buku Eric sementara
pemiliknya tidak ada. Buku itu buku berspiral biasa. Nama dan alamat
Eric tertulis rapi di sampulnya. Dia baru akan membuka halamanpertama waktu Eric kambali secepat kilat dan merampas buku itu dari
tangan Darcy.
"Jangan!" bentaknya. Eric tampak malu karena sikapnya yang
berlebihan dan menambahkan dengan suara lebih lembut, "Maaf, ini
barang pribadi." Dia menggenggam buku itu erat-erat. "Aku menulis
puisi dan rasanya aneh kalau ada yang membacanya."
Mata Darcy bersinar. "Puisi apa? Puisi cinta?" tanyanya penuh
arti.
Wajah Eric memerah. "Semacam itulah," gumamnya. Dia
benar-benar tampak malu.
"Untuk siapa?" desak Darcy.
Eric menatapnya. "Eh ... yah, bukan siapa-siapa. Maksudku ?"
Eric bergeser dengan resah dan Darcy menyipitkan matanya.
"Pasti untuk seseorang kalau itu memang puisi cinta," tuduhnya.
Dia pura-pura tersenyum malu. "Untuk aku, ya?" desaknya.
Eric menggigit bibirnya dan terdiam selama beberapa saat.
"Yah," katanya sambil menelan ludah dengan susah payah. "Memang.
Tapi, Dar ?"
Darcy tak membiarkan Eric menyelesaikan kalimat. "Jangan
takut," tembaknya. Sekarang dia merasa kasihan pada Eric. Sebab
pada saat Eric menyadari perasaannya pada Darcy, dia justru telah
menemukan cowok lain!
Tiba-tiba Darcy merasa agak menyesal, tapi hanya sedikit.
Lagipula, memang seharusnya begitu, Eric harus merelakannya pergi.
Sementara ini Darcy ingin menikmati perhatian Eric. Mungkin dia
bisa memanfaatkan Eric untuk menarik perhatian Andy Sulivan
padanya!Pembeli lain masuk dan Eric menghampiri meja counter sambil
membawa bukunya. Tapi Darcy tak mau tertipu lagi karena sekarang
dia tahu ada puisi di buku itu ? puisi tentang dia! Dia mengawasi di
mana buku itu diletakkan dan menunggu sampai Eric asyik melayani
pembeli sebelum dia lari ke meja counter dan mengambil buku itu.
"Darcy!" teriak Eric. "Permisi," katanya pada sang pembeli,
"saya harus ?"
Tapi terlambat. Darcy sudah merobek halaman pertama. Bagian
pertama puisi itu ditulis dengan tulisan tangan Eric yang kecil-kecil
dan rapi. Puisi itu dimulai dengan "Untuk Dia ?" Darcy tak tahu
banyak tentang puisi, tapi dia tak peduli. Puisi tentang dia! Matanya
bersinar gembira.
"Aku tahu kamu memang mau memberikannya untukku,"
bisiknya penuh rahasia pada Eric. "Nanti kamu kutemui lagi, oke?
Bikin puisi lain untuk aku dan bawakan ke kantor ya? Oh, boleh, aku
minta kopinya? Kopi pahit aja, pisahkan krim dan gulanya."
Eric menatapnya dan tak bisa berbuat lain kecuali memberikan
permintaan Darcy. Dia tak bisa merebut puisi itu ? pembeli tadi
masih menunggunya. Eric mengambilkan kopi untuk Darcy yang
segera berjalan ke pintu sebelum Eric dapat mengejarnya. Puisi ? dan
kopi untuk Andy ? keduanya berada dalam genggamannya.
**********
"Nah," kata Darcy keras waktu sedang makan siang. Ia
mengamati sandwich isi daging dan keju yang diambil dari tasnya.
"Pepatah kuno itu benar. Cinta itu tidak merata seperti hujan tapi
tercurah di satu tempat. Tadinya aku nggak menyangka bakalanbertemu dengan cowok yang benar-benar mencintaiku. Sekarang Eric
dan Andy hampir bersaing memperebutkan aku!"
Elizabeth, Jessica dan Darcy sedang makan siang di ruang
perpustakaan. Pintu tertutup sehingga mereka bisa agak leluasa.
Elizabeth memandang Darcy dengan waspada. Apa maksudnya Eric
bersaing memperebutkannya?
Jessica menaikkan alis matanya. "Kamu main-main. Sejak
kapan? Kukira Eric ? kamu tahu, agak dingin."
"Tadinya begitu," kata Darcy. "Sebenarnya aku sudah hampir
menyerah pagi ini. Aku turun ke bawah beli kopi untuk Andy, Eric
sedang menulis sesuatu di buku catatannya. Aku cuma asal tanya aja,
apa itu." Darcy membungkuk dan merendahkan suaranya. "Kamu
nggak bakalan percaya! Dia sedang menulis puisi cinta. Aku masih
nggak menganggapnya penting. Tapi waktu kugoda, dia
mengatakannya. Puisi itu untukku!" Wajah Darcy berseri-seri. "Aku
berhasil merobek salah satu puisinya," tambahnya. "Mungkin lebih
baik kalau Andy menemukannya. Kamu pasti tahu akibatnya. Cowok
itu jadi tahu ada cowok lain yang naksir kamu. Nilaimu jadi naik
berjuta-juta kali dari sebelumnya."
Elizabeth meletakkan sandwich-nya. Selera makannya langsung
hilang.
Jessica tak dapat menyembunyikan kekagetannya. "Wow. Aku
benar-benar salah menilai," katanya. "Aku mau lihat puisinya."
Darcy mengeluarkan selembar kertas yang sekarang tampak
lusuh.Jessica membaca isinya dengan terpesona. "Aku nggak percaya!
Kemarin dia begitu ? tak peduli. Menurutmu apa yang terjadi
kemarin dan membuatnya berubah?"
Darcy mengangkat bahu. "Mungkin dia menyadari perasaannya
yang sebenarnya. Itu saja." Dia mengambil kembali puisi itu dan
memandangnya dengan puas. "Ini pembicaraan antara kita aja, lho!
Menurutku Eric ini aneh. Aku sudah pingin menelepon Sue lagi. Siapa
tahu dia sudah punya informasi tentang Eric. Bagaimanapun, aku
senang karena menguasai dia," katanya. "Dalam segala hal, Andy
lebih dari Eric." Darcy cekikikan. "Tapi aku harus mengaku, aku
bangga sekali!"
Elizabeth terperanjat. Sampai saat ini dia hanya mendengarkan
dengan diam-diam. Perasaannya makin lama makin kacau. Mana
mungkin Eric menulis puisi untuk Darcy? Elizabeth sangat heran,
jangan-jangan semua yang dikatakan Eric padanya cuma rayuan
gombal saja. Ia merasa sangat sedih.
"Boleh kulihat puisinya?" pintanya pada Darcy sambil menekan
suaranya setenang mungkin.
"Boleh," kata Darcy. "Tapi hati-hati. Ini barang berharga,"
tambah Darcy sambil mengulurkan puisi itu pada Elizabeth. "Jangan
sampai Eric tahu ini kuperlihatkan padamu. Dia sangat perasa dan
nggak mau ada orang membaca puisinya tanpa minta ijin dulu."
Elizabeth memandang Darcy tanpa bicara sepatah kata pun.
Diambilnya kertas itu. 'Untuk Dia', bacanya. Memang benar ini tulisan
tangan Eric.
Dia hampir tak dapat membaca kata-kata di bawahnya. Jadi Eric
benar-benar membuat puisi cinta untuk Darcy. Elizabeth merasalimbung. Mana mungkin Eric berbuat seperti ini? Bagaimana dengan
semua yang dikatakan Eric semalam? Apakah itu tak berarti apa-apa?
Dengan putus asa Elizabeth mengembalikan puisi itu.
"Permisi," katanya sambil berdiri. Dia tak tahan berada di dekat Darcy
dan dia tak peduli kalau wajahnya tak ramah.
Dia ingin menyendiri. Banyak yang harus dipikirkannya. Dan ia
tak mungkin melakukannya di depan Darcy, terutama saat ini!
**********
Pada hari Selasa sore, Elizabeth masih dibingungkan masalah
Eric. Hanya Eric yang dipikirkannya dan ia berusaha menghindari
cowok itu dengan mengambil pintu keluar lain sehingga tidak harus
melewati coffee shop dan bertemu dengan dia. Setiap kali
membayangkan Eric dengan Darcy dia merasa makin marah. Dan
bukan hanya karena itu saja. Dia marah terutama karena menghadapi
kenyataan bahwa perasaannya sendiri bereaksi begitu keras terhadap
masalah itu yang berarti dia mempunyai perasaan tertentu pada Eric.
Perasaan lebih dari sekedar teman.
Waktu makan malam Elizabeth masih merasa kacau, dan ia tak
berusaha menyembunyikannya.
"Sayang, bisa kamu ambilkan saladnya untuk ibu?" tanya bu
Wakefield.
Elizabeth mengeluh berat sambil berjalan ke dapur.
"Ada apa?" tanya ibunya.
"Nggak. Hari ini rasanya panjang sekali," kata Elizabeth. Dia
masih memikirkan puisi Eric, 'Untuk Dia'. Eric menulis puisi untuk
Darcy!"Ada apa, Liz?" tanya ibunya lagi dua puluh menit kemudian
ketika seluruh keluarga dan Adam makan malam bersama. "Kamu
belum makan apa-apa."
"Maaf, Bu. Makanannya enak. Saya cuma capek, mungkin."
Pak Wakefield memandangi putrinya dengan penuh perhatian.
"Liz, kamu kan berteman sama Eric Hankman sejak dia pindah ke sini
bersama Ayahnya? Ayah membantu pak Rich Hankman mengurus
sebuah kontrak bisnis dan katanya Eric sudah beberapa kali
menyinggung namamu."
Wajah Elizabeth memerah. Mengapa ayahnya harus
membicarakan Eric sekarang? Dia ingat pada kesepakatannya dengan
Eric untuk merahasiakan hubungan mereka. Tapi dia tak ingin
berbohong pada orang tuanya. Dia memutuskan untuk bersikap jujur.
"Bisa dibilang begitu. Kami saling menyapa dan ngobrol sedikit
di tempat kerja." Jessica menatapnya dari seberang meja. Kenyataan
bahwa Elizabeth punya hubungan khusus dengan Eric merupakan
berita baru baginya. Dari wajahnya, tampak sekali dia ingin tahu lebih
banyak lagi.
"Yah, kata pak Hankman, Eric sering memuji-muji kamu." Pak
Wakefield tersenyum padanya. "Dari cara pak Hankman menceritakan
Eric, kayaknya dia cowok yang baik. Pak Rich juga menarik," tambah
ayahnya sambil menoleh pada bu Wakefield. "Aku suka sama dia.
Serangan Hiu Martil 2 I Found A Treasure Karya Andyanstefi Naga Jawa Negeri Di Atap Langit 11

Cari Blog Ini