Ceritasilat Novel Online

Sang Pelarian 2

Super Thriller Sang Pelarian Karya Francine Pascal Bagian 2


Aku sudah mengundang mereka berdua datang ke sini hari Jumat
malam. Kita bikin acara barbeque di sini."
"Kedengarannya asyik juga," kata bu Wakefield.
"Apalagi kalau memang Liz berteman dengan Eric. Gimana
Liz? kamu setuju?""Boleh juga," gumam Elizabeth sambil menatap piringnya.
"Boleh."
Dia mendengarkan tanpa minat ketika ayahnya melanjutkan
cerita tentang pak Hankman, seorang pengusaha swasta yang ingin
mengembangkan usahanya dengan lebih baik di sini, di California.
Pak Wakefield yang biasanya tak pernah menangani kotrak bisnis
diminta menggantikan temannya yang sedang ke luar kota untuk
mengurus kontrak pak Hankman.
Elizabeth makan sambil melamun dan menganggap ayahnya
memilih waktu yang sangat tidak tepat untuk mengundang keluarga
Hankman sekarang. Mungkin Darcy harus diundang juga, pikirnya.
Rasanya ia tak sabar lagi menunggu acara makan malam selesai
sehingga dia bisa melarikan diri ke kamar dan menyendiri.
*********
"Oke," kata Jessica sambil membuka pintu kamar Elizabeth
tanpa mengetuk lebih dulu. "Kamu mau cerita sebenarnya ada apa?"
"Apa maksudmu?" kata Elizabeth. "Jess, sejak kapan kamu
masuk ke sini tanpa mengetuk dulu?"
"Sejak kapan kamu berhubungan dekat dengan cowok tanpa
cerita padaku?" tanya Jessica marah.
"Bukan begitu. Bukan apa-apa, kok. Eric cuma teman biasa,"
jawab Elizabeth panas.
"Tadinya kukira begitu. Jadi kenapa kamu jadi uring-uringan
sekarang ini? Memangnya kenapa kalau Ayah dan Ibu mengundang
Eric dan ayahnya ke acara barbeque?"
"Bukan masalah besar. Jess, tolong pergi sana. Aku lagi pingin
sendirian!" teriak Elizabeth.Jessica menatapnya. "Kamu tahu, Liz, kalau aku nggak
mengenal kamu pasti aku akan menganggapmu aneh dan mengerikan.
Kamu terlalu murung kalau memang 'hanya berteman biasa' dengan
Eric Hankman."
"Cukup, Jess," ancam Elizabeth. "Aku serius. Aku pingin
sendirian."
"Oke, oke," kata Jessica sambil mundur dan menutup pintu.
"Wah," tambahnya keras, "jadi kita lagi nggak cocok, nih!"
Elizabeth mengabaikan komentar itu. Dia menatap kosong ke
luar jendela dan bertanya-tanya kenapa dia sampai bersikap begitu
konyol.
Sebenarnya dia tahu sebabnya. Elizabeth merasa mulai jatuh
cinta pada Eric. Cinta itu telah pergi tanpa ia ketahui sebabnya. Sebab
lain adalah adanya pertentangan batin tentang perasaannya terhadap
Jeffrey.
Dan yang lebih buruk, Eric telah menulis puisi untuk Darcy.
Semua yang dikatakan Eric padanya kemarin malam rupanya cuma
rayuan gombal. Sulit baginya membayangkan bahwa Eric termasuk
jenis cowok yang tidak punya perasaan. Tapi mana mungkin Darcy
memperoleh puisi itu kalau bukan dari Eric sendiri?Sembilan
"Jessica!" teriak Darcy dengan mata besar karena gembira.
"Aku benar-benar harus bicara sama kamu. Ada tempat sepi
nggak?"
Hari itu Rabu pagi dan Jessica baru saja sampai di kantor The
News. Dilihatnya Darcy ? begitu gembira dan gelisah, lebih dari
biasanya ? sedang menunggunya di depan pintu.
"Boleh," kata Jessica. "Ayo ke perpustakaan dan tutup aja
pintunya."
Darcy menggeleng. "Masih kurang tersembunyi," katanya.
"Gimana kalau kita minta ijin pada Dan untuk ke coffee shop? Kita
cari tempat yang benar-benar aman."
"Ah, itu kan cuma alasanmu biar bisa berlama-lama di coffee
shop. Iya kan?" goda Jessica.
"Bukan! Ayolah, Jess," pinta Darcy.
Jessica mengalah dan keduanya segera menyelinap keluar.
"Hei!" panggil Seth yang melihat mereka waktu ia sendiri mau
masuk ke dalam. "Kalian nggak salah arah?"
"Ada urusan penting," teriak Jessica. "Sebentar aja, Seth!" Ia
mengangguk pada Darcy dan berkata sambil terengah-engah, "Darcy,
sebaiknya ini kabar bagus!""Begini, Jess," kata Darcy sambil mencengkeram lengan
Jessica, "aku sudah menelepon Sue semalam. Ada kejadian aneh, aku
harus menceritakannya pada seseorang. Ingat nggak waktu aku cerita
tentang pembunuhan cewek di Ohio?"
Jessica mengangguk. "Aku ingat. Memangnya kenapa?"
Mereka berdua berada di seberang jalan yang sibuk, tepat di
depan gedung Western Building. Darcy memberi tanda supaya Jessica
mengikutinya. Mereka masuk ke kantin di pojok jalan yang sedang
ramai pembeli. "Di sini pasti lebih aman." Darcy duduk di depan meja
kosong di sudut. Jessica ikut duduk dengan kebingungan.
"Cepat bilang, kenapa sih kamu begini misterius?" tanya
Jessica. "Sue bilang apa?"
"Begini," kata Darcy sambil merendahkan suaranya,
"tampaknya cewek yang terbunuh itu sudah sering pergi dengan
pembunuhnya. Seram banget. Kata Sue, nggak ada pembicaraan selain
pembunuhan itu di Ohio. Sekarang polisi sedang mencari-cari si
pembunuh, tapi katanya dia sudah kabur ke luar kota." Mata Darcy
melebar karena gembira. "Mereka nggak tahu di mana cowok itu. Dia
bisa ada di mana aja.
Jessica mengangkat bahu. "Ceritanya seram," katanya
mengakui, "tapi aku nggak melihat ?"
"Begini," kata Darcy yang kembali merendahkan suaranya
sambil melihat ke sekeliling untuk memastikan tak ada yang ikut
mendengar pembicaraan mereka. "Kata Sue, cewek itu dibunuh persis
empat hari sebelum Eric Hankman pindah ke Sweet Valley."
Jessica menatap Darcy dengan nanar. "Maksudmu ?""Dan," tambah Darcy sambil meletakkan tangannya di atas
meja dengan mata ketakutan, "ciri-ciri Eric persis dengan gambaran
yang diberikan polisi: umur tujuh belas tahun, rambut gelap, mata
cokelat muda, bersikap tertutup, tampangnya misterius ..."
Jessica tak mempercayai apa yang didengarnya. Dia menggigil
waktu ingat cerita Darcy tentang cewek yang terbunuh itu. "Apa lagi
yang kamu tahu tentang cowok itu?" tanya Jessica pelan, suaranya
tersekat.
"Nggak banyak," kata Darcy. "Kayaknya polisi Ohio
menghubungkan pembunuhan ini dengan kasus yang terjadi pada
musim gugur yang lalu. Polisi memperkirakan pembunuhnya seorang
psikopat, sakit jiwa. Dia mendekati cewek-cewek lalu membunuh
mereka." Darcy gemetar. "Ngeri sekali," erangnya. "Jess, kita harus
cari keterangan tentang Eric. Maksudku, segalanya."
Jessica mulai penasaran. "Eric memang agak aneh," bisiknya.
"Tatapannya sering aneh." Dia mencengkeram pinggiran meja. "Sue
bilang apa lagi?"
"Nggak ada lagi." Darcy menggeleng. "Banyak polisi yang
dikerahkan untuk menuntaskan masalah ini. Mereka takut pembunuh
itu beraksi lagi ? dalam waktu dekat!"
Jessica menyeringai. "Betul-betul mengerikan," katanya.
Walaupun sedang duduk di kantin yang terang benderang Jessica
merasakan perutnya tegang waktu membayangkan seperti apa wajah si
pembunuh. Dia menelan ludah. "Darcy, kamu nggak sungguhsungguh mengira Eric ?"
Mata Darcy melebar. "Aku cuma bilang," katanya dengan suara
rendah, "kita harus mengawasinya, Jess. Setiap kegiatannya. Dan kitasaling melaporkan hasil pengamatan kita kalau ada yang berubah dari
biasanya. Setuju?"
Jessica mengangguk. "Mungkin kita harus ceritakan pada orang
lain? Seperti ayahku, atau mungkin pak Rob?"
Darcy tampak tegang. "Nggak mungkin, Jess. Coba pikir! Kita
tahu Eric nggak bakalan bersikap aneh di depan kita. Dia juga nggak
tahu bahwa sebenarnya kita sudah tahu perbuatannya. Kita harus
bersikap wajar dan mengawasinya ? mulai sekarang."
Jessica mengangguk. "Baik," katanya. Tapi hal itu tidak benarbenar mempengaruhinya.
"Bagus!! Sekarang ingat, awasi setiap sikap anehnya, aku juga
akan mengawasi. Nanti kita bandingkan catatan-catatan kita."
Jessica berdiri. "Wah," katanya sambil menahan nafas. "Untung
kamu nggak nonton sepak bola sama dia Senin malam kemarin!"
Tiba-tiba dia terbelalak. "Aduh! Dia kan mau datang ke rumah besok
Jumat, makan malam bersama!" dia mencengkeram lengan Darcy.
Darcy tampak jengkel. "Jess, jangan berlebihan. Dia nggak
mungkin mondar-mandir bawa senjata ke mana-mana. Yang penting,
awasi dia. Bagus kalau dia mau ke rumahmu. Berarti kamu bisa benarbenar memperhatikan kelakuannya."
Jessica mengangguk. Mungkin Darcy benar. Tapi pada saat
yang sama, baru memikirkan Eric saja sudah membuatnya menggigil.
Bagaimana caranya berpura-pura bersikap biasa kalau dia bertemu
Eric di Western Building? Belum lagi menghadapi pertemuan Jumat
malam di rumah.
***********Dengan memaksakan diri, Elizabeth berhasil menghindari Eric
sepanjang hari Rabu ini. Tak terlalu sulit. Dia hanya perlu masuk ke
gedung lewat pintu samping dan terus bekerja sampai sore tanpa
berkunjung ke coffee shop.
Coba seandainya menghilangkan Eric dari benaknya semudah
menghindari pertemuan seperti ini!
Sejak melihat puisi Eric untuk Darcy, Elizabeth selalu merasa
galau. Ia sudah mulai yakin bahwa Eric benar-benar menyukainya dan
ia cewek yang istimewa buat Eric! Seharusnya dia cepat sadar.
Apalagi ia sudah melihat tanda-tanda aneh ? sikap Eric yang penuh
rahasia, tak pernah terbuka terhadapnya. Mengapa ia menganggapnya
Eric mempunyai trauma di masa kecilnya sehingga tak mau bersikap
terbuka pada cewek yang kurang akrab dengannya? Elizabeth merasa
sakit hati dan marah. Dia memutuskan menghindari Eric sampai bisa
melupakan semua yang terjadi.
Untung waktu Jessica mendesaknya pada hari Rabu malam,
Elizabeth bisa meyakinkan bahwa ia tak punya urusan dengan Eric.
"Bagus," kata Jessica lega. "Karena Darcy ?"
Elizabeth kehilangan kendali. "Begini, Jess," desis Elizabeth.
"Aku sudah berusaha bersabar, tapi aku benar-benar nggak suka sama
cewek itu. Aku nggak mau dengar apa-apa lagi tentang dia!" Elizabeth
membanting pintu sekuat tenaga.
Jauh di dalam hati, Elizabeth sadar bahwa sikap kasarnya
timbul karena sebenarnya ia sangat peduli pada Eric. Dia hanya tak
ingin mengakuinya pada siapa pun ? terutama pada Jessica. Jessica
telah mengetahui hubungannya dengan Eric dan Elizabeth ingin tetap
merahasiakannya!Tapi hari Kamis pagi, Seth meminta Elizabeth membeli kopi.
Elizabeth tak mungkin menghindar. Dia harus menghadapi Eric.
Untung ada beberapa pembeli di coffee shop dan Elizabeth
meminta segelas kopi sambil menghindari tatapan Eric.
"Aku sudah mencarimu ke mana-mana," Eric berbisik agar tak
terdengar orang lain. "Kemana aja kamu?"
"Ditambah donat," kata Elizabeth sambil tetap menghindari
mata Eric.
"Liz!" pekik Eric putus asa. Pembeli di belakang Elizabeth
terbatuk, dan Eric menghela nafas. Dia tak punya pilihan selain
menyiapkan pesanan Elizabeth sambil diam.
Tapi Elizabeth terlalu meremehkan Eric. Dia sedang berjalan ke
lift membawa kantong cokelat di tangannya waktu mendengar langkah
kaki mengikutinya.
Eric mengejarnya dengan wajah memerah karena kehabisan
nafas.
"Kenapa kamu menghindari aku?" tanyanya. Ia menatap
Elizabeth dengan pandangan terluka.
Elizabeth memandang Eric dengan dingin. "Nggak ada alasan
menghindari kamu," katanya. Dia cukup mengingat puisi di tangan
Darcy untuk menjaga ketegangan di mukanya.
"Aku terus-terusan mikirin kamu, Liz," kata Eric sedih.
"Kupikir kamu juga begitu. Sekarang aku berusaha bicara sama kamu,
tapi sikapmu seperti orang asing. Kamu pesan kopi seolah aku ini
bukan siapa-siapa. Ada apa, Liz? Kenapa kamu diam saja? Kalau aku
memang bikin kamu marah aku mau dengar kesalahanku langsung
dari kamu."Hati Elizabeth luluh. "Kamu benar, seharusnya aku langsung
membicarakannya sama kamu. Tapi aku malu. Sebenarnya aku juga
menyukaimu Eric." Elizabeth mengatakannya sambil tetap
menghindari tatapan Eric yang tak tertanggungkan olehnya.
"Aku sakit hati waktu Darcy menunjukkan puisi yang kamu
tulis untuk dia," lanjut Elizabeth.
Eric menatapnya. "Maksudmu ini gara-gara puisi itu?"
Elizabeth memandang Eric dengan marah. Jadi itu benar! "Puisi
itu," katanya sinis, "betul-betul mengacaukan hidupku, Eric. Kalau
saja aku tahu kamu menulis puisi pada setiap cewek yang kamu temui
?" kalimatnya terputus. Elizabeth menumpahkan perasaannya,tanpa
terkendali.
Eric memandangnya penuh permohonan. "Dengar, Liz. Puisi itu
bukan kutulis untuk Darcy. Aku bilang begitu padanya karena ?"
Sekarang giliran Eric yang terdiam dan kelihatan malu. "Kukira
karena aku nggak mau orang lain tahu bahwa puisi itu untuk kamu.
Sepertinya ? ini bagian dari rahasia kita." Eric menyentuh tangan
Elizabeth dengan harap-harap cemas. "Cobalah mengerti. Aku nggak
mengatakan pada Darcy puisi itu persisnya untuk siapa. Nggak
terpikir olehku dia bakalan menunjukkannya padamu! Kalau tahu
begitu ..."
Elizabeth menelan ludahnya dengan susah payah. "Jadi puisi itu
benar-benar untuk aku?" akhirnya dia sanggup berkata-kata.
Eric mengangguk. "Memang begitu, Liz."
Mereka berdua saling bertatapan dengan tegang. Kemudian
Elizabeth menunduk dan tersenyum. "Konyol sekali aku sampai
marah-marah begitu," gumamnya.Eric menggeleng. Sesaat matanya meredup. "Aku nggak
menyalahkan kamu," katanya. "Kalau kupikir- pikir ?" Eric diam
sesaat. "Liz, kalau ada orang lain dalam hidupmu, aku nggak tahu
harus bagaimana!" keluhnya.
Elizabeth menatapnya, ia didera rasa bersalah waktu mengerti
maksud Eric. Mengapa ia tak pernah memikirkan mungkin saja Eric
merasa seperti itu? Apa yang harus dilakukannya kalau Eric sampai
tahu tentang Jeffrey?
Sakit hati dan kemarahannya menghilang, dan sekarang dia
merasa sangat bingung. Dia sadar, dalam waktu dekat ia akan dapat
memastikan perasaannya terhadap Eric. Karena itu ia ingin
menceritakan keadaan sebenarnya tentang Jeffrey ? sebelum orang
lain mendahuluinya.
***********
Hari Jumat sore, pak Wakefield pulang ke rumah lebih awal
dari biasanya karena ingin membantu bu Wakefield menyiapkan
makanan. "Aku sudah menelepon Rich Hankman. Katanya dia akan
datang dengan anaknya sekitar jam setengah delapan," katanya sambil
mencium istrinya. "Oh ya, aku juga sudah mengundang keluarga
Beckwith. Nggak apa-apa kan, sayang?"
Keluarga Beckwith adalah tetangga keluarga Wakefield yang
sering diajak bersama dalam acara-acara keluarga seperti ini. Pak
Beckwith adalah agen asuransi yang bekerja di Western Building.
"Nggak apa-apa," kata bu Wakefield sambil menyiapkan adonan
hamburger.
Jessica mondar-mandir dan mengambil segenggam penuh


Super Thriller Sang Pelarian Karya Francine Pascal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keripik kentang. "Kapan tamunya datang? Aku sudah kelaparan!" Diabangga karena bisa pura-pura bicara seperti biasanya. Tak ada yang
tahu bahwa dia baru saja berbicara panjang lebar dengan Darcy.
Mereka membicarakan strategi dan menetapkan apa yang harus
diperhatikan Jessica dalam rangka mengawasi tingkah laku Eric.
Benar-benar aktris besar, puji Jessica pada diri sendiri. Kemudian ia
mengambil keripik kentang lagi.
Telepon berdering dan bu Wakefield memandang tangannya
yang kotor dengan tak berdaya. "Jess, tolong angkat teleponnya!"
Tapi perintah itu sebenarnya tidak perlu. Jessica sudah siap
mengangkat gagang telepon. "Oh, hei, Darcy," jawabnya.
"Dengar," bisik Darcy. "Maaf ya, tadi tingkahku seperti wabah
saja, tapi aku baru saja dapat telepon dari Sue. Katanya di koran ada
berita panjang tentang pembunuh itu." suara Darcy mengecil penuh
rahasia. "Apa dia sudah datang?"
"Belum," kata Jessica sambil melirik ibunya.
"Ingat, tingkah yang lain dari biasanya. Awasi dia seperti elang
mengawasi mangsanya," kata Darcy. "Terutama perhatikan perubahan
suasana hatinya yang dramatis. Menurut para ahli jiwa yang
menangani kasus ini, itulah ciri khas si pembunuh."
"Baik," kata Jessica sambil tetap mengawasi ibunya. Dia tak
ingin Elizabeth atau kedua orang tuanya tahu apa yang dilakukannya.
"Nanti kita bicarakan lagi," katanya.
Darcy terdengar gugup. "Hati-hati," katanya memperingatkan
sebelum memutuskan hubungan. Tubuh Jessica dirambati arus dingin.
Makin mendekati jam setengah delapan ? saat keluarga
Hankman akan datang ? Jessica makin gugup. Dia tetap
membayangkan peristiwa bagaimana kalau Eric marah dan berubahmenjadi seorang pembunuh gila. Makin dipikirkannya, makin yakin ia
bahwa memang Eric-lah pembunuh yang sedang dicari polisi Ohio.
Perasaan Eric memang mudah berubah, matanya kadang-kadang
berkilat geram... yang dapat dilakukan Jessica adalah duduk dengan
tenang bersama Steven dan Adam di luar, menunggu acara dimulai.
Keluarga Beckwith sudah datang. Jessica, Adam dan Steven
menemani mereka di patio sambil minum es teh sambil menunggu
kedatangan keluarga Hankman.
"Mana Liz?" tanya Steven.
Jessica mengernyit. Biasanya Liz tak memerlukan banyak
waktu untuk bersiap-siap makan malam. Jessica memutuskan mencari
kakaknya di kamar.
"Liz," katanya sambil berdiri di ambang pintu kamar mandi,
melihat saudaranya memoleskan mascara. "Kenapa kamu berdandan?"
"Aku nggak berdandan," kata Elizabeth menghindar. "Ini kan
baju lamaku, Jess."
Jessica mengernyit. "Kenapa kamu pakai makeup? Ini kan cuma
acara makan malam keluarga, Liz." Matanya menyipit. "Kuharap
kamu nggak berdandan untuk menarik perhatian Eric. Karena ?"
Elizabeth memotong kata-katanya. "Begini," katanya tenang,
"Aku nggak dandan untuk menarik perhatian siapa pun, cuma suka
aja. Sudahlah, Jess."
"Liz, ada sesuatu yang mau kukatakan tentang Eric," kata
Jessica sungguh-sungguh.
Tapi Elizabeth tak ingin mendengar. "Aku nggak mau dengar
kamu mengatakan satu kata pun tentang Eric," jeritnya. "Sungguh!"Jessica belum pernah mendengar suara kakaknya begitu keras,
dan dia sadar sebaiknya tak menyinggung masalah itu lagi.
"Berjanjilah bahwa kamu dan Eric nggak berteman ? bahwa kamu
nggak akan pergi ke mana pun sama dia atau melakukan sesuatu sama
dia," kata Jessica gelisah. Keselamatan kakaknya lebih penting dari
apa pun juga; dia rela Elizabeth marah padanya!
Jessica lega karena Elizabeth tersenyum. "Jessica, aku dan Eric
cuma saling menyapa di tempat kerja," katanya. "Dan akan tetap
seperti itu."
"Oke," kata Jessica lega. Ia berbalik dan turun ke ruang bawah.
Syukurlah, pikirnya. Dia hanya tak ingin Elizabeth jatuh ke pelukan
pembunuh gila! Sekarang pun sudah cukup runyam karena orang
tuanya mengundang pembunuh itu ke rumah mereka.
Elizabeth datang ke teras beberapa saat kemudian. Dia tampak
gugup ? mungkin karena percakapan mereka tadi.
"Minum es teh, sayang," kata Bu Wakefield.
Dengan sopan Elizabeth menyalami Pak dan Bu Beckwith dan
menuangkan teh sendiri. Ketika itulah bel pintu berdering dan
Elizabeth terlompat kaget, es tehnya tumpah membasahi roknya.
"Sial," omelnya.
"Biar Ibu yang buka, Liz. Santai aja," kata Bu Wakefield sambil
menepuk bahu Elizabeth. Jessica mengernyit memandang saudaranya.
Dia baru saja akan mengatakan sesuatu waktu teringat bahwa
perannya sore ini adalah mengawasi Eric, bukan saudaranya. Dan pak
Hankman bersama Eric muncul di patio mengikuti Bu Wakefield,
menunggu diperkenalkan.Jessica harus mengakui bahwa Eric sama sekali tidak mirip
pembunuh yang sakit jiwa. Eric mengenakan celana katun abu-abu
dipadu kemeja Polo berwarna pudar, dia tampak bahagia hadir di sini,
dan sedikit malu. Dia sama sekali tidak mirip pembunuh. Tapi
bukankah memang itu masalahnya? Dia cukup rapi dan punya harga
diri untuk membuat para cewek jatuh cinta padanya. Jessica merasa
ngeri.
"Oke, ayo berkenalan. Dan dan Andy Beckwith, ini Rich
Hankman dan anaknya Eric. Keluarga Beckwith adalah tetangga di
sebelah kami," kata Bu Wakefield sambil tersenyum.
"Senang berkenalan dengan Anda," kata pak Beckwith sambil
mengerutkan dahi. "Hmm," katanya lagi, "nama Anda tidak
mengingatkan saya pada siapa pun. Tapi saya tak pernah lupa wajah
orang," tambahnya. "Wajah Anda rasanya tidak asing untuk saya. Apa
kita pernah bertemu?"
"Rasanya tidak," kata pak Hankman sambil tersenyum sopan.
"Paling tidak, saya tidak ingat."
"Hankman, Hankman, Hankman," Pak Beckwith terus
bergumam. Dahinya berkerut. "Mungkin kebetulan Anda lulusan
Cornell?"
"Bukan," kata pak Hankman sopan, "Saya kuliah di Chicago.
Saya berasal dari daerah tengah wilayah Barat."
Saat itulah Eric menyentuh gelas teh di meja sebelahnya.
Mukanya berubah jadi ungu waktu minuman itu tumpah di lantai
teras.
"Astaga, maafkan saya," bisiknya.Bu Wakefield cepat-cepat menyeka tumpahan itu. "Jangan
takut," katanya meyakinkan Eric. "Kayaknya malam ini banyak gelas
terjatuh!"
Jessica menyipitkan matanya pada Eric. Jelas dia tak mau ada
pembicaraan tentang daerah Barat. Siapa yang bisa menyalahkannya?
Dia dan ayahnya tak akan mau membicarakan Ohio kalau memang
ada yang ingin dilupakan di sana.
"Yah, siapa yang mau makan hamburger duluan?" tanya Bu
Wakefield.
Steven mengacungkan tangannya. "Aku!" teriaknya, dan
semuanya tertawa. Walaupun umurnya sudah delapan belas tahun,
selera makan Steven masih seperti anak yang sedang tumbuh dan dia
jadi sering digoda karenanya.
Tak lama kemudian semuanya sudah mengambil makanan dan
duduk mengelilingi meja di teras rumah keluarga Wakefield. "Anda
sangat baik, mengundang kami datang ke sini," kata pak Hankman
sambil tersenyum hangat pada Bu Wakefield. "Rasanya berat jadi
orang baru di kota ini. Kami sangat menghargai keramahan kalian."
Jessica tak mempedulikan makanannya dan memandang Eric.
Dia dapat membayangkan betapa beratnya hal itu bagi Eric, kalau
memang dugaan Darcy benar.
"Ini kota yang ramah, Rich," kata pak Wakefield sambil
tersenyum. "Beri kesempatan pada kami dan anda akan segera
menginginkan kehidupan pribadimu kembali. Nggak ada orang yang
lebih ramah dari orang-orang sini."Pak Beckwith meletakkan hamburgernya. "Nggak enak rasanya
terus menerus menyebutkan ini, tapi rasanya saya mengenal Anda.
Tak terpikirkah di mana kira-kira kita pernah bertemu?"
"Tidak," kata pak Hankman tetap ramah sekaligus tegas yang
menunjukkan bahwa tak ada gunanya melanjutkan pembicaraan
tentang itu.
Jessica memusatkan perhatian. Inilah yang ditekankan Darcy
padanya! Jelas pak Hankman berusaha melindungi anaknya. Dia sama
sekali tak mau membicarakan masa lalu.
Tapi Pak Beckwith bertahan. "Coba kuingat-ingat,"
sambungnya. "Saya nggak pernah ke Chicago, jadi nggak mungkin.
Anda pernah punya urusan bisnis di daerah pantai Barat? Atau pernah
sekolah di sini atau pernah berkunjung ke sini sebelumnya?"
"Tidak," kata Pak Hankman. Tampaknya dia mulai gelisah.
"Mungkin anak-anak kita saling mengenal," kata Pak Beckwith
sambil terseyum pada Eric. "Saya punya anak laki-laki yang berumur
beberapa tahun lebih tua dari kamu. Dia kerja di San Fransisco musim
panas ini. Namanya Jack. Jack Beckwith. Pernah bertemu dia?"
"Tidak," kata Eric. Dia memandang ayahnya. Kini kedua anak
beranak itu tampak tegang dan gelisah.
Benar, pikir Jessica. Sekarang kamu ketakutan.Kalau Eric
dikenal, pak Hankman tak dapat memperkirakan apa yang akan
terjadi. Siapa yang ingin dikenal sebagai ayah seorang pembunuh?
Jessica menggigil.
"Kadang-kadang memang ada orang yang mirip, sayang," kata
Bu Beckwith sambil tersenyum.Semuanya memandang pak Hankman. Penampilan tampak
menarik di umurnya yang limapuluhan, agak tegap, berambut hitam
dan bercambang lebat.
Jessica mengalihkan perhatiannya kepada Eric. Dia tampak
lebih dari sekedar gugup. Dengan cemas dia terus menerus menengok
pada ayahnya dan gelisah waktu pak Beckwith menyelidik atau
menanyakan sesuatu langsung kepadanya.
Jessica berdebar-debar. Perutnya berdesir. Dia hampir tak dapat
memandang wajah Eric tanpa tercekik ketakutan. Dia tak sabar
menunggu keluarga Hankman pulang.
Dan dia memang tak perlu menunggu lama. Segera setelah
selesai makan, pak Hankman meminta maaf karena harus cepat-cepat
pulang. Eric tampak tidak enak badan dan sedih, dia segera berdiri
ketika ayahnya berdiri.
"Menyenangkan sekali," kata pak Hankman hangat sambil
menjabat tangan semua yang ada di situ. Dia berhenti sebentar di
depan pak Beckwith. "Senang bisa mengenal Anda, Dan. Mungkin
kita akan tahu kapan pernah bertemu." Dia tertawa, tapi bagi Jessica
tawanya terdengar tegang.
"Selamat malam," gumam Eric pada Elizabeth sambil meremas
tangannya.
Jessica menatap Eric penuh curiga. Untung wajah Elizabeth tak
menunjukkan emosi apa pun waktu Eric pergi. Dia pasti jujur ? tak
ada hubungan apa-apa antara mereka.
Tapi semua sama, Jessica tak menyukai cara Eric meremas
tangan Elizabeth. Eric orang yang berbahaya, jelas. Dan Jessica harusmemastikan bahwa Eric sama sekali tak punya hubungan apa-apa
dengan kakaknya.Sepuluh
Hari Sabtu pagi, Elizabeth bangun dengan perasaan bingung.
Dia hampir tak ingat lagi di manakah dia dan hari apakah sekarang.
Mimpinya semalam begitu membingungkan. Dalam mimpinya, ia
berusaha menelepon Jeffrey di tempat perkemahan, tapi justru
tersambung ke rumah Eric. Selama beberapa hari ini, sejak
mengetahui bahwa puisi untuk Darcy salah alamat, Elizabeth jadi
makin bingung. Waktu mengira Eric benar-benar menyukai Darcy, dia
sudah sangat resah. Dia tak mengira akan terjebak dalam situasi
seperti ini.
Dan Eric tetap belum mengetahui adanya Jeffrey dalam
hidupnya. Sudah beberapa kali Elizabeth bermaksud menyinggung
Jeffrey dalam pembicaraan mereka. Sekarang itu tak mungkin
dilakukan. Dia hanya mengatakan dengan ringan, "Ya, aku dan Jeffrey
..." atau "Kamu tahu, kata Jeffrey ..." Kemudian Eric akan bertanya
siapakah Jeffrey, dan dia tinggal menjelaskannya. Gampang sekali!
Masalahnya, kesempatan emas seperti itu tak pernah muncul.
Yang terjadi malah hal-hal yang rumit. Darcy membuatnya cemburu
dan dengan kekanak-kanakan dia menghindari Eric selama dua hari
penuh. Waktu kesalahpahaman dijernihkan, sudah jelas bahwa Eric
menyangka Elizabeth menyukainya. Sangat menyukainya. Kalautidak, mana mungkin Elizabeth begitu marah waktu menyangka Eric
menulis puisi untuk orang lain?
Jadi sekarang tampaknya konyol kalau tiba-tiba Elizabeth
"menyinggung" punya pacar yang sedang bekerja sebagai pemandu
perkemahan. Elizabeth benar-benar menghadapi masalah.
Bukan karena apa yang terjadi antara dia dengan Eric. Mereka
berdua belum saling mengutarakan isi hati secara langsung, dan
mereka pun baru saling berpegangan tangan. Tapi ikatan batin di
antara mereka sudah begitu kuat sampai Elizabeth pun tak sanggup
menahannya. Setiap kali Eric memandangnya, wajah Elizabeth
memerah karena membayangkan seandainya Eric memeluknya.
Waktu Eric bicara, Elizabeth memandang bibirnya dan
membayangkan bagaimana kalau berciuman dengannya. Dan
Elizabeth yakin Eric sudah akan menciumnya pada kesempatan
pertama mereka berduaan. Dan pada acara barbeque tadi malam,
Elizabeth tak sanggup memikirkan apa pun lagi. Dia cuma berharap
tak ada yang memperhatikan keanehan sikapnya.
Elizabeth tahu, dia sangat sulit mengambil keputusan. Pertama,
dia harus memberi tahu Eric tentang Jeffrey sebelum hubungan
mereka berlanjut lebih jauh. Rasanya itu tak adil, baik bagi Eric ?
maupun bagi Jeffrey.
Kemudian dia masih harus menghadapi perubahan perasaannya
terhadap Eric sehubungan dengan cintanya pada Jeffrey. Mereka
memang tak pernah saling berjanji untuk saling setia selama musim
panas ini. Tapi Elizabeth tahu bahwa mereka saling mengerti. Jeffrey
menulis surat dan meneleponnya secara tetap. Kalau sampai dia tahu
Elizabeth menyukai cowok lain, dia pasti hancur.Elizabeth akan membicarakan hal ini dengan mereka berdua ?
secepatnya.
***********
Sabtu pagi itu, Jessica sudah tak sabar lagi ingin mengunjungi
Darcy di rumahnya. Dia ingin menceriterakan tingkah laku Eric pada
acara barbeque. Tapi telepon terus berdering. Mula-mula Lila,
interlokal. Lalu Amy Sutton yang ingin berbicara dari hati ke hati.
Begitu selesai, ternyata Elizabeth perlu memakai mobil. Jessica tak
punya pilihan selain melompat ke atas sepedanya dan mengayuh pedal
ke rumah keluarga Kaymen. Tampaknya seperti bertahun-tahun
lamanya untuk tiba di rumah Darcy. Dia meninggalkan sepeda di luar
dan membunyikan bel.
"Hei," kata Darcy bergegas ke pintu. "Jess, senang kamu
datang! Aku nggak sabaran dengar ceritamu tentang acara tadi
malam." Darcy melihat ke sekeliling untuk memastikan ibunya tak ada
di dekat mereka. "Cepat! Kita ke kamarku," desisnya. "Kuberitahu
kabar dari Sue semalam."
Jessica bergegas menaiki tangga menuju kamar Darcy. Darcy
menutup pintu dan meletakkan jarinya di depan mulut. "Sssst," dia
memperingatkan. "Kita harus yakin ibuku nggak ada di sekitar sini."
Jessica mendengarkan dengan sabar ketika Darcy berusaha
mendengarkan suara langkah kaki ibunya.
"Aman," kata Darcy akhirnya. "Aku nggak mau ibuku tahu
bahwa kita berurusan dengan masalah berbahaya seperti ini."
Jessica duduk di ujung tempat tidur Darcy. "Ada apa? Sue
bilang apa?""Kamu dulu yang cerita, semalam gimana?" perintah Darcy.
"Kamu lihat ada yang aneh nggak pada Eric dan ayahnya? Gimana
sikap ayahnya? Apa mereka kelihatan gelisah atau aneh?"


Super Thriller Sang Pelarian Karya Francine Pascal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Yah," kata Jessica, "Ayah Eric memang agak resah. Tapi
mungkin itu gara-gara pak Beckwith, tetangga kami. Dia merasa kenal
ayah Eric entah di mana. Sebenarnya pak Beckwith orang baik, tapi
dia nggak mau mengalihkan topik pembicaraan. Kayaknya ayah Eric
nggak begitu senang, makanya dia dan Eric cepat-cepat pulang."
"Betul, kan? Jadi dia gugup waktu pak Beckwith menanyakan
identitasnya. Benar-benar seperti buku Agatha Christie," kata Darcy.
"Jess, sudah jelas. Keluarga Hankman berusaha menyembunyikan
sesuatu!"
"Yah, yang paling menakutkan memang Eric," Jessica
mengakui. "Dia gugup sekali." Jessica menceritakan bagaimana Eric
menumpahkan es teh. Wajah Darcy tampak penuh kemenangan.
"Sudah kubilang, kan! Mereka berusaha menyembunyikan
kenyataan bahwa mereka pindah ke sini untuk menghilangkan
identitas Eric. Sebenarnya dia bukan Eric, tapi Cristopher Wyeth."
"Christopher Wyeth?" ulang Jessica bengong. "Siapa dia?"
"Menurut Sue," kata Darcy sambil merendahkan suara dan
menatap tajam Jessica, "dialah tersangka dalam peristiwa pembunuhan
d iOhio .Umur tujuh belas tahun, rambut gelap, perasa dan tampak
cerdas. Asalnya dari Shaker Heights, Ohio," papar Darcy. "Tapi dia
sudah nggak di Ohio lagi. Dia menghilang, dan polisi tak tahu kemana
dia pergi."
Jessica merasa perutnya mulas. "Darcy, kamu nggak mainmain, kan? Kamu benar-benar mengira Eric adalah Chris Wyeth?""Yah, kuberi tahu satu hal lagi. Kurasa percuma kita dudukduduk di sini dan menunggu sampai tahu kebenarannya. Jess, kita
harus cepat bertindak untuk menyelidiki cowok ini!"
Jessica berpikir sesaat. "Gimana kalu kita ceritakan kecurigaan
kita pada orang lain? Misalnya, orang tua kita? atau pada polisi?
Kalau Eric memang Chris Wyeth, bisa-bisa kita terjerumus dalam
kesulitan!"
"Jangan," kata Darcy tegas. "Nanti jadi kacau. Jangan lapor
pada polisi sebelum punya bukti. Kita harus berusaha seolah semua
berjalan wajar. Sewajar mungkin. Jangan bilang apa-apa pada orang
lain sebelum kita sendiri yakin."
"Aku nggak suka cara ini," kata Jessica, ia menggigil. "Kalau
Eric memang berbahaya, aku nggak mau mikirin dia ada di sekitar
sini. Bisa saja dia bertemu cewek, mulai suka, lalu ..."
Darcy menggelengkan kepalanya keras-keras. "Aku pingin
memecahkan masalah ini sendiri," katanya. "Kita bisa jadi pahlawan,
dan Andy Sulivan bakalan memperhatikan aku ? benar-benar
memperhatikan." Dia menggeraikan rambutnya ke belakang. "Ayolah,
Jess. Pikir dulu. Kalau kita mengetahui sesuatu, kita harus
memanfaatkan kesempatan yang ada. Sekarang ini cuma kita yang
tahu adanya kemungkinan hubungan antara Chris Wyeth dan Eric
Hankman. Berarti, kita benar-benar bisa memecahkan masalah ini.
Percayalah. Kita nggak mungkin bilang apa-apa sebelum tahu lebih
banyak."
Jessica mengangguk enggan. "Oke," katanya. "Tapi kita harus
waspada. Kalau kita menduga dia akan mengencani cewek Sweet
Valley, kita harus cepat lapor polisi. Mau janji?"Darcy mengangguk. "Janji."
Jessica menghela nafas. "Baik. Aku akan tutup mulut. Tapi
gimana rencananya? Gimana caranya menyelidiki Eric atau siapa dia
sebenarnya?"
"Begini," kata Darcy, matanya bersinar. "Mula-mula kita harus
mendapatkan buku tulis Eric. Dia menulis puisi-puisinya di situ,
sekaligus menjadikannya sebagai buku harian. Aku sudah pernah
melihat dia menulis di buku itu di tempat kerja. Jess, kamu harus ke
rumah Eric dan mengambil buku tulisnya!"
"Mana mungkin?" tanya Jessica. "Mana mungkin dia
memberikan bukunya padaku?"
Darcy mengangkat bahu. "Aku nggak tahu. Pakailah
imajinasimu." Darcy berpikir selama beberapa menit kemudian
menjentikkan jarinya. "Aku tahu! Pura-puralah menjadi Liz! Bilang
aja kamu pingin membaca beberapa puisinya. Liz kan penulis juga.
Biasanya dia menulis apa? Aku nggak lahu, terserah kamu. Pokoknya
ambil buku itu dan bawa ke sini untuk kita periksa!"
**********
Jessica menarik nafas panjang sebelum menekan bel pintu
rumah keluarga Hankman. Dia berharap rencananya berhasil.
Jessica memakai baju milik Elizabeth yang tampaknya cocok
untuk suasana Sabtu sore: celana cokelat, kemeja katun dan sweater
katun yang diikat longgar ke sekeliling lehernya. Dia harus
menyelunduppkan benda-benda itu ke luar rumah dengan tas plastik
dan membawanya ke rumah Darcy, kemudian memakainya di sana. Ia
mengikat rambutnya menjadi buntut kuda dan menghapus make up
tipis di wajahnya. Sesudah itu dia menghapus cat kuku yang baru sajadioleskannya dua hari yang lalu menggunakan penghapus cat kuku
milik Darcy.
"Kamu mirip sekali sama dia!" cetus Darcy. "Persis sekali!"
"Tunggu," kata Jessica sambil mengernyit. "Boleh kupinjam
jam tanganmu?"
"Boleh." Darcy mengulurkan jam tangannya dan Jessica
mengenakannya.
"Oke," katanya. "Sudah lengkap."
Sekarang dia berdiri di teras depan rumah keluarga Hankman,
menunggu Eric membuka pintu. Rasanya berabad-abad sebelum Eric
muncul, tapi Jessica yakin itu karena dia gugup. Hal yang paling tak
diinginkannya di dunia ini adalah bertemu dengan Eric ? atau Christ
Wyeth lagi, atau siapa pun sebenarnya dia. Dia berharap tindakan
Darcy benar!
Akhirnya Eric membuka pintu. "Liz!" katanya sambil
tersenyum lebar. "Ayo masuk!"
Jessica menggoyangkan buntut kudanya. "Kuharap kamu nggak
marah karena aku nggak memberitahu dulu. Aku sedang bersepeda ke
rumah Enid, lalu tiba-tiba ingat kamu," dia berusaha tampak
bersungguh-sungguh. "Aku banyak memikirkan puisimu dan pingin
membacanya kalau boleh."
Eric mengajaknya masuk. "Kenapa kamu kikuk begini? Kamu
kan tahu aku senang bertemu kamu!"
Jessica menggigit bibirnya. "Ya ? eh ? mmm ?" Kenapa
Eric begitu senang bertemu dengannya? Perutnya berdesir karena
takut. Dia sangat ingin memperoleh buku itu dan pergi secepatnya."Eric, aku sudah memikirkan puisimu," katanya sewajar
mungkin. "Kurasa aku pingin belajar menulis dari kamu. Apa
mungkin kalau kupinjam bukumu sore ini? Aku pingin membaca
puisi-puisi terbarumu."
Eric tampak heran. "Apa kamu marah sama aku? Gara-gara
peristiwa tadi malam? Begini, kamu boleh baca puisiku kapan saja.
Tapi kenapa kamu kedengaran ? tahu kan ? kikuk?"
Jessica menatapnya. Seberapa jauh kakaknya mengenal cowok
ini? "Maaf," katanya gemetar. " Rasanya sedang nggak enak badan.
Kupikir ? kamu tahu, kalau aku bisa membaca puisimu seharian ..."
Dia memandang pintu dengan penuh keinginan. Tugasnya berat
sekali. Darcy akan membunuhnya. Telapak tangan Jessica berkeringat
dan dia mengusapkannya ke celana.
"Ini," kata Eric sambil mengulurkan buku tulisnya. Eric
tersenyum lembut penuh arti. "Kamu cukup sehat untuk keluar
denganku nanti malam? Mau bertemu di tempat yang lama?"
Bertemu? Di tempat yang lama? Jessica benar-benar kaget.
"Oh, ya, ya, tentu," gumamnya sambil memeluk buku itu erat-erat dan
melompat berdiri dengan gugup. "Coba kalau aku nggak harus ke
tempat Enid dulu," katanya sambil berusaha menunjukkan bahwa ia
enggan pergi walau sebenarnya ia tak sabar lagi ingin keluar dari
pintu. "Tapi aku sudah janji." Dia berjalan ke pintu depan.
"Liz, kamu nggak apa-apa? Kamu gelisah sekali," kata Eric
penuh perhatian.
Jessica memegang buku itu erat-erat. "Aku? Aku nggak gugup,"
gagapnya. Dirasakannya jantungnya berdebar. "Sampai bertemu, eh,sampai nanti malam," katanya tergesa. Dia melarikan diri sambil
memeluk buku Eric erat-erat.
Dia tak memikirkan buku itu lagi setelah selamat sampai di
luar. Elizabeth ? menemui Eric! Tapi di mana? Dan mengapa
Elizabeth berbohong padanya? Pikiran pertemuan saudaranya dengan
Eric ? atau Christ ? di suatu tempat sendirian, malam hari ...
membuat Jessica benar-benar ketakutan.
Dia harus bertindak untuk menghalangi saudara kembarnya.
Tapi apa? Bagaimana cara mengatakan pada Elizabeth tanpa harus
mengakui apa yang telah dia lakukan? Bahwa dia mengetahui
segalanya tentang Eric?
Jessica begitu panik sampai lupa memeriksa buku tulis yang
sangat berharga itu. Baginya buku itu tak menunjukkan
kecenderungan apa pun pada tindak kejahatan. Buku spiral biasa
bersampul biru yang dibubuhi nama dan alamat Eric di bagian dalam
sampul muka. Halaman-halaman belakang masih kosong. Bagian
depan terisi puisi-puisi dan kutipan puisi. Jessica tak mengerti
bagaimana Darcy berharap bisa mendapat petunjuk dari buku ini. Apa
yang dia cari? sebuah sumpah Eric yang menyatakan dirinya adalah
Christ Wyeth, seorang pembunuh, dan bukan hanya seorang pemuda
berumur tujuh belas tahun yang kebetulan suka menulis puisi? Jessica
mengangkat bahu. Ada yang lebih mencemaskan dari sekedar buku
catatan. Mereka harus mencemaskan Elizabeth.
Sambil menelan ludah dengan susah payah, Jessica menaruh
buku itu di keranjang sepeda dan mengayuhnya ke rumah Darcy.
Otaknya terus bekerja. Dia tak tahu harus berpikir apa. Dia tak tahu
apakah lebih baik tutup mulut tentang kecurigaan mereka ataumemegang janji untuk melapor pada polisi. Eric memang tertarik pada
seorang gadis di Sweet Valley, dan gadis itu adalah saudara
kembarnya sendiri, Elizabeth!
Bagaimanapun Jessica harus memperingatkan kakaknya. Dia
harus tahu apa yang dilakukan Elizabeth. Kakaknya tak boleh
menemui Eric nanti malam ? dan kapan pun!
Jessica berhenti di sudut jalan dan menurunkan salah satu
kakinya. Dia melihat sebuah sedan Mercedes hitam berbelok di
belakangnya. Tampaknya sangat pelan. Jessica menoleh ke kiri dan ke
kanan, lalu mengambil arah kanan dan menyusuri pinggiran jalan.
Jalan itu kosong dan hanya ada sedan Mercedes itu. Anehnya mobil
itu tetap berjalan pelan-pelan dan menjaga jarak dengan Jessica. Dia
melihat seorang laki-laki muda di jok depan yang tampaknya
mengawasinya. Jendelanya terbuka tapi Jessica tak dapat melihat
wajahnya dengan jelas.
Jantungnya berdebar keras. Ia mempercepat laju sepedanya,
menyeberang jalan dan tiba-tiba berbelok ke kiri.
Mobil itu ikut berbelok ke kanan.
Mulut Jessica sekering kapas. Dia mengayuh sepeda secepat
mungkin ke persimpangan jalan berikutnya dan melanggar lampu
merah, dia menoleh untuk melihat reaksi mobil itu. Tapi dia kecewa,
setelah menengok ke kiri dan kanan pengemudi mobil itu ikut
menerobos lampu merah. Jessica mempercepat kayuhannya dan mobil
itu ikut mempercepat jalannya.
"Hentikan, singkirkan mobil itu," erang Jessica. Tapi sedan
Mercedes itu sekarang berada di sampingnya. Dia benar-benar mulai
panik. Jantungnya berdebur kencang, ia menoleh untuk melihat apayang akan dilakukan mobil itu. Ia disalip kira-kira satu blok sebelum
sampai di rumah Darcy, lalu berhenti. Penumpangnya keluar. Jessica
terlalu takut untuk memperhatikan orang itu dengan teliti. Dia hanya
melihat orang itu berbaju bagus. Minyak wanginya berbau tajam dan
ada bau asap tembakau.
Laki-laki itu berjalan mengiringi sepeda Jessica. Jaraknya
terlalu dekat dan Jessica tak dapat menghindar lagi. Anehnya orang itu
langsung memegang stang sepedanya. Mata Jessica melebar karena
takut.
"Lepaskan," teriaknya dengan suara gemetar.
Orang itu menggoyang-goyang sepedanya dengan kasar.
"Dengar," katanya dengan suara rendah. "Kalau kamu menginginkan
yang terbaik, jangan temui pacarmu itu lagi. Kamu dengar?" Sambil
gemetar ketakutan, Jessica menutup muka dengan kedua tangannya.
"Pergi! " teriaknya.
Laki-laki itu mendorong dan menendang sepeda Jessica dengan
keras. Jessica terjatuh ke tanah, secara naluriah tangannya menahan
tubuhnya. Ia menjerit kesakitan dan melihat orang itu menyambar
buku tulis Eric.
"Hei!" teriaknya sambil langsung berdiri. "Kembalikan buku
itu!"
Terlambat. Orang itu lari kembali ke mobil, membuka pintu dan
melompat masuk. Mobil itu menderum kabur, meninggalkan Jessica
tergeletak di dekat sepedanya. Dia gemetar ketakutan. Apa maksud
laki-laki itu menyebut Eric sebagai 'pacarnya'? Siapakah kedua lakilaki itu?Dengan gemetar Jessica berdiri dan mengambil sepedanya. Dia
tak mengalami luka, tapi telapak tangannya terasa nyeri. Sepedanya
tidak rusak.
Tapi buku itu hilang.
"Dia menginginkan buku itu," gumam Jessica, matanya melebar
ketakutan. "Itu sebabnya dia menghentikanku ? untuk mengambil
buku Eric."
Sebenarnya apa isi buku itu, Jessica bertanya-tanya. Siapa
mereka?mengapa sangat menginginkan buku itu?
*************
"Wow," kata Darcy sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Benar-benar kacau, Jessica. Mereka pasti terlibat dalam
pembunuhan."
"Jadi apa isi buku itu?" tanya Jessica. "Sudah kubilang tadi, aku
sudah melihat isinya dan cuma ada kumpulan puisi. Aku nggak
mengerti. Kenapa orang menjatuhkan aku dari sepeda cuma untuk
merampas buku puisi?"
"Siapa yang tahu?" Darcy mondar-mandir di kamarnya. Jessica
sudah mulai tenang. Dia mengganti baju Elizabeth yang dipakainya
dengan bajunya sendiri. "Mungkin puisi itu semacam kode. Mungkin
orang tadi adalah detektif dan ingin mendapatkan benda-benda milik
Eric. Kamu tahu gimana para detektif itu. Ingat, kita belum pasti
sedang menghadapi apa. Kita harus siap menghadapi semua
kemungkinan."
Jessica mengangkat bahu. "Aku nggak mau ikut-ikutan lagi.
Aku sudah kapok. Aku cuma pingin memperingatkan Elizabeth
supaya nggak berhubungan dengan Eric lagi.""Kamu benar," kata Darcy sungguh-sungguh. "Kamu harus
langsung pulang ke rumah dan bilang pada Elizabeth bahwa dia nggak
boleh menemui Eric sendirian. Malam ini dan seterusnya. Kamu juga
boleh bilang bahwa aku memaafkannya karena merampas Eric."
"Aku masih menganggap kita perlu melaporkan masalah ini
pada orang lain," kata Jessica. "Urusannya sudah makin serius, Darcy.
Coba kalau kamu lihat tampang orang tadi. Serem banget! Jelas
mereka mengira aku punya hubungan khusus dengan Eric ? atau
mungkin Liz. Kamu mengerti bahwa kami sekarang terancam
bahaya?"
Darcy mengangguk. "Masalahnya kita nggak punya bukti cukup
untuk dilaporkan pada polisi. Semuanya baru perkiraan dan dugaan
saja. Kita mau bilang apa? Eric selalu gugup? Dia dari Ohio? Kita
perlu bukti lebih banyak."
"Kita kan bisa ceritakan kejadian barusan," teriak Jessica.
"Darcy, aku baru saja dikuntit orang dan dijatuhkan dari sepeda! Ada
sesuatu yang menakutkan di sini dan menurutku kita butuh bantuan!"
"Oke, tapi beri aku kesempatan untuk berakhir pekan," pinta
Darcy. "Aku janji, sesudah itu kita lapor polisi. Aku butuh waktu
sedikit lagi. Aku mau menelepon Sue. Ayo kita cari akal untuk
menyelidiki Eric sebelum memanggil polisi."
Jessica memasukkan pakaian Elizabeth ke dalam tasnya. "Oke,"


Super Thriller Sang Pelarian Karya Francine Pascal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

katanya. "Sebenarnya aku nggak peduli. Yang penting sekarang
memperingatkan Elizabeth." Jessica bergegas keluar dari kamar
Darcy.
"Mau kemana kamu?" teriak Darcy."Pulang," kata Jessica tegas. "Aku harus menemui Liz
secepatnya."
Darcy menatapnya. "Kamu mau bilang apa sama dia?"
"Sesuai kenyataan! Atau paling enggak kenyataan apa yang kita
ketahui," kata Jessica. Dia cepat-cepat turun ke lantai bawah dan
menghampiri sepedanya serta melemparkan tas plastik berisi pakaian
ke keranjang.
Satu hal yang pasti. Sikap Eric ... dan apa yang dikatakan lakilaki bermobil Mercedes tentang Eric, 'pacarnya' ... adalah bukti bahwa
Elizabeth tidak berterus terang kepadanya.
Jelas ada sesuatu antara Elizabeth dan Eric. Sekarang Jessica
hanya memikirkan satu masalah ... memastikan bahwa kakaknya akan
menjauhkan diri dari Eric.Sebelas
Jessica hampir tak menyapa ibunya waktu lari masuk ke rumah.
"Elizabeth di mana?" tanyanya sewajar mungkin supaya ibunya tidak
curiga.
Bu Wakefield tertawa. "Itu yang kamu sebut sapaan ramah
kepada ibu tercinta?" godanya.
Jessica tak sabar. "Bu, saya perlu bicara sama dia," katanya.
"Dia masih di atas?"
Bu Wakefield sedang membuat kue dan lebih memperhatikan
adonan daripada kecerewetan Jessica. "Mmmm," kata beliau sambil
mengambil sesendok penuh adonan untuk dicicipi. "Sayang, Elizabeth
sudah pergi sama Enid. Kayaknya tadi dia bilang mau ke pantai.
Bukan pantai di sini, entah pantai yang mana," jawab Bu Wakefield
sambil mengangkat bahu. "Ibu benar-benar lupa. Kenapa?" tambahnya
ingin tahu. " Ada masalah penting?"
Jessica jadi gugup. "Kapan dia pulang?" tanyanya gelisah.
"Besok," kata bu Wakefield sambil memperhatikan adonannya.
"Akhir-akhir ini kelihatannya dia agak sedih," tambahnya. "Kamu
perhatikan nggak? Ibu usulkan menghubungi Enid pagi ini. Menurut
Ibu sebaiknya dia menemui teman-temannya. Dia terlalu capek kerja.
Lagipula Jeffrey sedang berkemah...""Dia baru pulang besok." ulang Jessica ngeri.
Bu Wakefield mengangguk tenang. "Kebetulan Enid butuh
teman berakhir pekan. Ibunya ikut konferensi bisnis di New Mexico,
jadi dia sendirian di rumah. Elizabeth langsung menyiapkan baju dan
berangkat ke rumah Enid." Bu Wakefield meletakkan sendok yang
dipegangnya dan menatap Jessica. "Ada apa sayang? Kamu seperti
habis melihat hantu!"
"Oh, nggak apa-apa," gumam Jessica. Dirasakannya wajahnya
memucat. Kalau Elizabeth berakhir pekan dengan Enid, mana
mungkin dia bisa memperingatkan Elizabeth tentang Eric?
Dia harus mencari cara untuk mencegah Elizabeth
melaksanakan rencananya malam ini. "Saya pergi dulu, Bu."
gumamnya pada ibunya. Dia tak mempedulikan kecemasan yang
tampak di wajah bu Wakefield. Dia lari ke atas dan memutar nomor
telepon keluarga Rollins.
Telepon berdering sampai dua belas kali. Akhirnya Jessica
meletakkan teleponnya dengan kecewa. Keluarga Rollins tak punya
mesin penjawab telepon otomatis.
Bagaimana caranya melacak Elizabeth sebelum dia menemui
Eric ? atau Christ Wyeth, atau siapa pun dia?
Jessica terduduk di tempat tidurnya. Matanya melebar karena
cemas. Pikiran tentang Christ Wyeth terus mengganggu pikirannya.
Orangnya gampang marah, suasana hatinya gampang berubah. Dan
menurut perkiraan para ahli jiwa, dia akan segera beraksi lagi ?
segera."Elizabeth!" erangnya pelan. Dia harus mencari cara untuk
menyampaikan pesan ini pada kakaknya. Elizabeth bisa terancam
bahaya besar. Dan Jessica harus mencari cara melindunginya.
************
Jessica tak berminat pergi ke Dairy Burger bersama Darcy dan
teman-temannya dari SMA Sweet Valley. Sekarang sudah Sabtu sore.
Tadi dia dan Darcy telah berkeliling kota mencari Elizabeth dan Enid.
Mereka menemui teman-teman Jessica. Seperempat jam yang lalu
Amy Sutton memaksa dan mengajak mereka membeli milk Shake.
Jessica lelah dan bingung. Tujuan terakhir adalah ke rumah
keluarga Rollins dan meninggalkan surat untuk Elizabeth. Tapi dia tak
begitu menyukai ide itu. Bagaimana kalau Elizabeth tak menemukan
surat itu dan tetap menemui Eric?
Jessica memaksakan diri menuju ke tempat penjual hamburger
paling terkenal dan menjadi tempat berkumpul anak-anak muda itu.
Dia duduk bersama Darcy, Amy dan dua teman sekolah mereka,
Aaron Dallas dan Winston Egbert. Amy memperkenalkan Darcy yang
segera sibuk mengobrol dengan kedua cowok itu. Jessica sedang tak
berselera mengikuti pembicaraan hangat itu. Mereka membicarakan
kegiatan-kegiatan seru selama musim panas.
"Hei," kata Darcy tertahan pada Jessica. "Lihat, siapa itu!"
Jessica menoleh ke meja counter. Tampak Eric Hankman
sedang membawa sebuah baki dan melihat berkeliling. Perut Jessica
melilit.
Amy terbelalak. "Siapa itu? Cakep banget!"Darcy memandang Amy penuh celaan. "Aku juga menganggap
begitu ? tadinya!" katanya penuh prasangka. Sebelum Darcy sempat
bicara lagi, Eric telah melihat mereka dan datang untuk menyapa.
Aaron dan Winston sedang asyik mengobrol tentang sepak bola
dan terpaksa menghentikan pembicaraan untuk berkenalan. Eric baru
saja membeli hamburger dan kelihatannya sedang gembira.
"Boleh ikut bergabung?" tanyanya sambil menarik sebuah kursi.
Jessica dan Darcy saling bertatapan dengan gugup tapi tak
berusaha mencegahnya.
"Lupakan itu!" seru Aaron pada Winston. "Kalau ada Jeffrey,
kita punya kesempatan menjadi juara all State musim gugur ini!"
Jessica mengerutkan kening. Tatapan si rambut merah
mengatakan bahwa pikirannya sama dengan Jessica. Kalau memang
Eric tahu, seberapa jauh yang diketahuinya tentang hubungan
Elizabeth dan Jeffrey?
Tiba-tiba Jessica ikut bicara. Dia berusaha agar pembicaraan
tentang sepak bola ? dan Jeffrey French berhenti. "Sudah ada yang
nonton film James Bond yang baru?" tanyanya.
"Aku sudah," kata Eric sambil tersenyum. Dia menarik kursinya
merapat ke dinding sementara kedua cowok yang lain masih tetap
bicara tentang olah raga. "Coba perhatikan, permainan Jeffery
memang bagus, tapi nggak sebagus yang kamu bilang," sambung
Winston. Tampaknya mereka tak bisa dihentikan. Jessica sudah ingin
berteriak karena takut dan bingung.
"Sebaiknya kita nggak membicarakan masalah itu di depan
Jessica," kata Aaron bersimpati. Dia mengulurkan tangannya untuk
menyentuh rambut Jessica. "Kamu pingin pulang dan melapor padaLiz, kan? Kami tahu, kamu memang setia sama Liz. Kalau kamu
cerita sedikit aja tentang keburukan Jeffrey, dia bakalan memusuhi
kami selama berbulan-bulan."
Tiba-tiba pembicaraan terhenti waktu Eric menaruh minat pada
isi pembicaraan mereka. "Siapa sih, Jeffrey itu?" tanyanya datar.
Winston yang terkenal suka melucu pura-pura merasa ngeri.
"Apa? Kamu kenal si kembar ini tapi nggak kenal Jeffrey French?
Dialah sinar dalam kehidupan Elizabeth. Atau ? biasa disebut ?
kekasihnya."
"Dia pemain sepak bola handal," tambah Aaron.
Wajah Eric berubah. Seolah ada badai yang datang di tengah
musim panas. Dia meletakkan hamburgernya dan menelan dengan
susah payah. "Di mana dia sekarang?" tanyanya. Pengendalian dirinya
bagus, pikir Jessica. Tapi dilihatnya rahang Eric menegang.
"Dia sedang jadi pemandu perkemahan musim panas di negara
bagian Utara sana," kata Aaron. "Kamu bisa kenalan nanti kalau dia
sudah pulang. Dia cowok hebat. Berani taruhan kamu pasti suka sama
dia."
"Pasti," kata Eric tiba-tiba sambil mendorong kursinya ke
belakang, dia berdiri. Wajahnya tampak menyeramkan. Jantung
Jessica mulai berdebar-debar.
"Eric, mau kemana?" tanyanya.
Eric tak menjawab. Dia langsung meninggalkan Dairy Burger.
Wajahnya tampak marah dan tangannya terkepal.
Jessica memandang Darcy seolah kesakitan dan tak berdaya.
Inilah yang paling tidak mereka inginkan, situasi genting yang
berubah jadi bencana.Sebelum ada peristiwa ini pun sudah runyam. Sekarang Eric
punya alasan untuk marah pada Elizabeth. Dan hanya Tuhanlah yang
tahu apa yang akan dilakukan Eric Hankman bila cintanya berubah
jadi benci.
***********
Elizabeth melirik jam tangannya. Tidak ada perubahan ... dia
sudah menunggu. Rencananya dia akan bertemu dengan Eric di depan
Beach Disco jam delapan malam. Sekarang sudah jam sembilan
kurang sepuluh menit. Kalau janji dengan orang lain dia akan
menunggu dengan pertimbangan mungkin saja orang itu terlambat.
Tapi dia tahu, Eric selalu datang lebih awal.
Dia sudah menelepon rumah keluarga Hankman dari Beach
Disco tapi tak ada jawaban. Dia bertanya-tanya, di mana Eric?
Mengapa ia tak muncul malam ini?
Kekecewaannya meningkat mengingat dia memang sudah
menantikan pertemuan ini seharian tadi. Bersama Enid dia telah
melewatkan sore yang tenang. Mereka pergi ke pantai kesukaan Enid
yang jauhnya hampir satu jam dari Sweet Valley. Waktu berada di
dekat sahabatnya ia jadi sadar behwa akhir-akhir ini dia begitu
bingung dan tertekan. Setelah menuangkan perasaannya pada Enid ia
pun sadar bahwa gejolak emosinya tak bisa diabaikan begitu saja. Dia
benar-benar menyayangi Eric. Keraguannya lenyap waktu menantikan
saat pertemuan yang makin dekat. Akhirnya, dia hanya bisa
memikirkan kebahagiaannya. Berjam-jam ia menghabiskan waktu
untuk mempersiapkan diri di rumah Enid. Dan waktu berangkat, dia
benar-benar mengharapkan pertemuan itu. Waktu sadar Eric mungkintak akan muncul hatinya jadi pedih. Dia tak punya bayangan apa yang
sedang terjadi.
Sambil menghela nafas Elizabeth masuk ke mobil Fiatnya dan
mengemudikannya perlahan-lahan melewati jalanan yang berdebu.
Dic belum ingin pulang ke rumah Enid. Dia sangat kecewa dan
merasa tidak akan bisa senang walau berada di dekat sahabatnya. Dia
memutuskan berkeliling sebentar sebelum kembali ke rumah keluarga
Rollins.
Setelah beberapa menit menyusuri jalan sepanjang pantai,
Elizabeth mengerutkan kening waktu melirik kaca spion.
Berkhayalkah ia atau benar-benar ada mobil yang mengikutinya?
Dalam cahaya remang-remang dia merasa sulit menentukan jenis
mobil yang mengikutinya sejak meninggalkan Beach Disco.
Elizabeth mempercepat mobilnya sambil berbelok tajam ke
kanan pada tikungan berikutnya. Mobil itu tetap mengikuti.
Sambil menelan ludah, Elizabeth mendadak berbelok ke kiri.
Ban mobil Fiat itu berdecit waktu Elizabeth berputar di ujung jalan,
tapi mobil itu tetap mengikutinya. Elizabeth mulai panik. Dia
mengunci pintu mobil kemudian menarik nafas dalam-dalam lalu
berhenti di pinggir jalan. Mobil itu mengikutinya. Sekarang dia bisa
melihat bahwa itu adalah sebuah sedan berwarna biru tua. Mobil itu
berhenti di samping mobilnya, pengemudinya menurunkan jendela.
"Boleh saya bicara sebentar?" seorang laki-laki setengah baya
dan berkumis menyapanya. Setelannya yang berwarna gelap sangat
rapi, bagus dan mahal. Dia menunjukkan sesuatu pada Elizabeth
dengan gerakan yang biasa dilihat dalam film. Laki-laki itu
menunjukkan tanda pengenal FBI.Elizabeth tidak gugup, hanya heran. Mengapa ada agen FBI
yang ingin berbicara dengan dia? Mobil itu kemudian diparkir di
belakang mobilnya. Dengan gerakan efisien orang itu keluar dari
mobil dan menghampirinya.
"Nama saya Riordon," katanya. "Saya kira Anda bisa menjawab
Seberapa pertanyaan. Anda mengenal anak muda bernama Eric
Hankman?"
Elizabeth keheranan. "Kenapa? Saya memang kenal dia. Kami
berjanji bertemu malam ini, tapi dia..." Elizabeth terdiam dengan
wajah merah.
Laki-laki itu mengangguk tanpa ekspresi. "Dia tidak
menemuimu," gumamnya sambil menulis sesuatu. "Bagaimana kesan
Anda tentang dia? Ada yang aneh? Ada yang mencurigakan waktu
Anda bersama dia?"
"Tidak," kata Elizabeth sambil mengerutkan dahi. "Tidak. Tidak
ada sama sekali." Elizabeth menelan ludah. "Kenapa? Boleh saya tahu
kenapa Anda menanyakan itu?" Dia juga heran bagaimana agen itu
bisa menemukannya. Bagaimana dia bisa tahu Elizabeth berteman
dengan Eric. Mungkinkah orang ini telah mengikutinya ... mengikuti
mereka berdua selama beberapa waktu?
Agen itu diam. "Kami nggak bisa mengatakan apa-apa, nona.
Kami sedang mengecek bukti-bukti tertentu tentang Eric." Laki-laki
itu menelan ludahnya. "Kamu punya gambaran di mana bisa menemui
Eric?"
Elizabeth menggeleng dan jadi lebih bingung dari sebelumnya.
"Baik, terima kasih banyak," kata laki-laki itu sambil menutup
buku catatannya.Elizabeth memperhatikan laki-laki itu naik ke mobilnya sendiri.
Ada yang aneh. Tapi apa? Di mana Eric? Mengapa para agen FBI
menyelidikinya?
**********
"Kenapa agen FBI mengikuti Eric?" tanya Enid santai. Dia telah
mendengarkan cerita Elizabeth dengan tenang dan. sekarang mulai
menanyakan rinciannya dengan seksama. Kedua gadis itu duduk di
ruang keluarga di rumah Enid sambil minum Coke membicarakan
peristiwa malam itu.
"Pertanyaan bagus: aku nggak tahu. Tapi terus terang aku juga
nggak tahu banyak tentang Eric." kata Elizabeth dengan dahi berkerut.
"Aku tahu asalnya dari Ohio, orang tuanya baru saja bercerai, dan dia
harus mengatasi kenangan buruk. Yang lainnya... aku nggak tahu, dia
agak tertutup tentang masa lalunya. Kayaknya dia nggak suka
membicarakannya."
"Oke, kalau memang punya kenangan buruk masuk akal kalau
dia nggak mau menceritakannya. Tapi kita tetap nggak tahu kenapa
agen FBI mencari-carinya. Enid mengerutkan dahi sambil
menggeleng-gelengkan kepalanya. "Aneh sekali, harus kuakui itu.
Tapi kayaknya ada dua hal yang terpisah, Liz. Pertama, yang penting
gimana perasaanmu terhadap Eric. Kupikir sebaiknya kamu luruskan
perasaanmu terhadap Jeffrey lalu tanyailah dirimu sendiri apa yang
kamu harapkan dari dia. Yang kedua, bicaralah secara terbuka dengan
Eric, dan cari tahu apa yang diinginkannya. Misalnya, kenapa dia tega
membiarkanmu menunggu malam ini. Siapa yang tahu? Mungkin dia
juga mencemaskan perasaannya kepadamu. Mungkin dia sudah tahu
tentang Jeffrey, entah bagaimana caranya."Elizabeth tampak bingung. "Kuharap nggak begitu! Tapi kamu
benar, Enid. Aku harus sungguh-sungguh memikirkannya."
"Lalu," sambung Enid hangat. "Setelah tahu gimana perasaan
dan harapanmu, kamu harus menanyakan pada Eric. Mungkin dia tahu
mengapa ada orang membuntutinya."
Elizabeth mengangguk. Dia tahu Enid benar. Sekarang dia
hanya bisa mencari Eric. Mereka perlu berbicara, dan makin cepat
makin baik.
Tiba-tiba Enid menutup mulutnya. "Aduh," katanya tergagap.
"Liz, kamu pasti marah besar. Tadi ada surat buat kamu, aku lupa
memberikannya sampai sekarang!"
"Surat?" ulang Elizabeth heran.


Super Thriller Sang Pelarian Karya Francine Pascal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Enid mengangguk. "Kutemukan di bawah pintu waktu aku
pulang belanja makanan tadi sore. Kamu sudah pergi. Pasti nyelip di
karpet, jadi nggak kelihatan. Lagipula surat itu dari Jessica, bukan dari
Eric. Dia menulis namanya di luar. Tapi" ? Enid menghembuskan
nafas ? "kamu nggak bakalan percaya. Pasti tadi ditemukan Muffy
dan dimain mainin. Lihat sendiri, suratnya sudah robek. Kamu nggak
bakalan bisa membacanya." Muffy adalah kucing peliharaan keluarga
Rollins. Sejenis kucing lokal yang terkenal suka merusak.
Elizabeth menatap sobekan kertas yang susah dibaca itu.
Semula adalah surat dari adiknya. "Sudahlah," katanya berfilsafat.
"Apa pun isinya, aku yakin nggak begitu penting" Saat ini Elizabeth
terlalu mencemaskan Eric sehingga tak memikirkan Jessica. Dia
mondar-mandir di ruang duduk itu. "Akan kucoba menghubungi Eric.
Cepat atau lambat dia pasti pulang ke rumah. Betul kan?"Enid memandang temannya dengan penuh perhatian. "Liz,"
katanya setelah beberapa saat. "Aku punya ide. Gimana kalu besok
kita ke peristirahatan Bibiku di gunung? Kita pakai mobilku.
Kayaknya kamu capek sekali. Kurasa kamu perlu santai dan
merenungkan perasaanmu."
Elizabeth kelihatan bingung. "Eric gimana? Aku harus
menelepon dia dan cari tahu kenapa tadi malam dia nggak muncul."
Enid mengangkat bahu, "Biarkan saja sampai Senin nanti.
Menurutku kamu bisa berpikir di tempat yang tenang dan sepi."
Elizabeth tersenyum. "Kamu memang teman yang baik,"
katanya. "Mungkin memang enak kalau jauh dari masalah ini. Ayo
kita ke sana Enid. Kita berangkat pagi-pagi sekali.
"Bagus. Aku senang bisa mengatasi masalah," kata Enid tegas.
"Sementara itu, kita bisa tidur nyenyak malam ini."
Elizabeth mengangguk, tapi dia tak bisa melupakan bayangan
agen FBI itu. Mengapa agen itu membuntuti Eric?
*************
Jessica berjalan mondar-mandir di kamar Darcy, wajahnya
pucat dan matanya tampak kalut. "Aku heran kamu masih bisa
makan," erangnya sambil mengawasi Darcy memakan sekantong
kacang M & M. Darcy yang semalam terserang demam masih
mengenakan piyama ? dan sibuk makan apa saja yang dia temukan
untuk mengembalikan tenaganya. "Kamu sadar nggak? Mungkin
kakakku sedang terancam bahaya waktu kita bicara ini?"
"Dia baik-baik aja, bodoh. Dia piknik ke gunung sama Enid,"
Darcy menjelaskan. "Berarti dia nggak tertimpa apa-apa tadi malam,kan?" Darcy berhenti bicara untuk membersihkan hidungnya. "Sori,"
katanya serak. "Aku benar-benar sakit, nih."
Tadi malam Jessica benar-benar ketakutan dan baru tenang
waktu akhirnya Elizabeth menelepon untuk memberitahukan bahwa
hari Minggu pagi ia akan pergi ke gunung bersama Enid dan akan
pulang pada jam makan malam atau sesudahnya. Tapi dia masih
sangat bingung. Dia belum lega kalau belum bicara sendiri dengan
kakaknya.
Tampaknya Darcy lebih bisa menikmati misteri ini tanpa harus
ikut panik. Sejak terserang flu perhatiannya lebih tersita pada masalah
kesehatannya sendiri ? dia terus menerus mengukur suhu badan,
minum teh dan makan ? sambil mengatakan bahwa itulah cara
terbaik melawan flu. "Perhatikan, Jess," katanya sambil bersin.
"Semuanya masih terkendali. Selama kamu nggak panik kayaknya
nggak ada masalah."
"Aku mau bilang pada orang tuaku ? atau lapor polisi," kata
Jessica. "Darcy, kita sudah janji. Kita merahasiakan masalah ini
sampai Eric naksir cewek Sweet Valley. Sekarang sudah terjadi!
Kebetulan yang ditaksir kakakku. Kakak perempuanku satu-satunya,"
tambah Jessica penuh tekanan. "Kakak yang kusayangi. Jadi
menurutku kita telepon polisi ? sekarang juga."
Darcy bersin. "Tunggu sampai besok," pintanya. "Sebelum
kamu datang tadi aku menelepon Sue. Katanya dia mengirim foto kopi
koran yang berisi penjelasan polisi tentang buronan itu dengan pos
kilat. Dia mengirimkannya kemarin, jadi surat itu bakalan kita terima
besok." Darcy membersit hidungnya lagi. "Lagipula aku besok nggak
akan ke kantor, jadi bisa langsung menerima surat itu." Darcymemandang Jessica lekat-lekat. "Besok kita akan dapat bukti yang
kuat untuk melapor pada polisi. Kalau ciri-ciri Eric sesuai dengan
gambaran polisi, kita telepon polisi ? saat itu juga."
Ia menggigil. "Aku sudah cukup ngeri menghadapi dia. Kalau
ada bukti sedikit lagi, kuda liar pun nggak akan bisa menghalangiku
melapor pada polisi!"
Jessica memilin-milin rambut dengan jari tangannya. Dia takut
berangkat kerja besok, tapi dia sudah memutuskan tak akan
membiarkan kakaknya lepas dari pengamatannya. Tak akan
dibiarkannya sang kakak menemui Eric atau Christ atau siapa pun dia
walau satu menit pun. Hidup Elizabeth mungkin tergantung pada hal
itu! ***********
Pada hari Senin pagi, Darcy bangun dengan perasaan tak
menentu. Dia masih lemah karena flu, tapi selain itu dia merasa takut.
Seolah akan ada peristiwa yang mengerikan. Dia menelepon Dan
Weeks untuk menjelaskan bahwa dia tak bisa masuk kerja karena sakit
dan memintanya mengawasi Elizabeth. Tapi Darcy tahu
permintaannya sangat aneh. Dan pasti ingin tahu alasannya.
"Elizabeth sudah datang?" tanyanya. Sekarang sudah jam
sembilan, dia tahu Elizabeth suka datang pagi-pagi untuk memulai
tugas-tugasnya dalam minggu itu.
"Dia sudah datang setengah jam yang lalu. Tapi Seth memberi
tugas khusus ke Los Palmos. Kurasa dia nggak bakalan muncul di
kantor seharian ini.""Oh," kata Darcy Dia merasa lega. Berarti Elizabeth jauh dari
Eric ? paling tidak sampai ia memperoleh informasi yang dikirimkan
Sue. Walaupun begitu, rasa takutnya tak juga hilang. Makin tinggi
matahari, rasa takutnya menguat. Jam sepuluh tiga puluh, bel pintu
berbunyi. Darcy cepat-cepat turun ke bawah sambil tetap mengenakan
piamanya. Ternyata kiriman pos kilat dari Ohio.
"Darcy Kaymen?" tanya pak pos.
Darcy mengangguk. Jarinya gemetar waktu menerima amplop
dari pak pos. Dia tak sabar lagi membaca surat Sue. Jantungnya
berdebar kencang, mulutnya kering waktu melihat foto kopi sketsa
yang dibuat pelukis kepolisian. Gambaran itu diperoleh dari saksi
mata.
Gambar itu sangat mirip. Rambut gelap bergelombang, rahang
kuat, sepasang mata lebar dan agak misterius. Tangan Darcy gemetar
waktu mengamati gambar itu lebih dekat.
Tak salah lagi. Gambar itu memang mirip Eric Hankman.
Darcy lari ke atas. Dia harus berganti baju dan berangkat ke
kantor secepat mungkin. Dia harus memberitahukan hal ini pada
Jessica ? dan bagaimanapun mereka harus dapat menjumpai
Elizabeth. Darcy tahu, mereka tak bisa menanggung resiko lebih lama
lagi. Mereka harus memperingatkan Elizabeth dan kemudian menemui
polisi untuk melaporkan siapa yang mereka duga sebagai Christ
Wyeth.
***********
"Tapi dia nggak di kantor!" jerit Jessica, matanya yang biru
kehijauan melebar ketakutan."Aku tahu, aku tahu," jerit Darcy pula. Keduanya berada di
perpustakaan yang tertutup pintunya. Darcy gemetar karena terlalu
bersemangat. Jessica juga mulai gemetar.
"Maksudmu, Eric itu sebenarnya Christ Wyeth? Dia benarbenar seorang pembunuh?" Wajah Jessica pucat seputih kapas.
"Kayaknya sudah pasti begitu," kata Darcy dengan suara rendah
dan takut. Dia mengulurkan sketsa polisi pada Jessica.
Jessica mengerang. "Darcy, aku kan sudah bilang bahwa kita
harus lapor polisi! Gimana kalau Liz bertemu Eric sebelum kita
sempat memberi tahu siapa Eric sebenarnya?" Mata Jessica berkilatkilat ketakutan. "Ingat, sekarang Eric punya alasan untuk marah
padanya. Eric sudah tahu soal Jeffrey."
Darcy menggelengkan kepala. Mata hitamnya bersinar
ketakutan. "Kita nggak boleh membiarkannya, Jess. Bagaimana pun
kita harus menemukan Elizabeth sebelum keduluan Eric."
Jessica menatap Darcy dengan tak berdaya. Dia tak percaya bisa
merasa setakut ini. Dia berharap Elizabeth tetap bersama Seth, dan di
mana pun mereka, semoga jauh dari Eric.Dua belas
"Ada masalah, Liz?" tanya Seth pada Elizabeth. "Sudah tiga
kali kamu nggak dengar pertanyaanku."
Wajah Elizabeth memerah. "Maaf, Seth." gumamnya. "Aku
merasa agak capek karena acara akhir pekan kemarin. Itu aja, kok.
Janji deh, sesudah ini aku bakalan lebih konsentrasi."
Untuk menunjukkan kesungguhan kerjanya pada Seth,
Elizabeth mengambil buku catatan dari tas dan dengan bersemangat
mulai membuat catatan wawancara yang tadi dilakukan Seth. Mereka
ke Los Palmos untuk mewawancarai beberapa orang guru tentang
adanya kemungkinan pemogokan pada akhir musim panas ini.
Elizabeth tahu betapa penting perannya sebagai asisten bagi Seth dan
tetap memeriksa catatan wawancara agar Seth tak melewatkan satu
topik pun.
Tapi dia memang sedang tak bisa berkonsentrasi. Yang ada
dalam benaknya hanya Eric.
"Coba," kata Seth sambil melirik jam tangannya, "sudah hampir
jam empat. Hari ini panjang dan menyenangkan. Nggak ada yang
perlu dikerjakan lagi. Gimana kalau kamu kuantar pulang? Kita
selesaikan laporannya di kantor besok, waktu sudah segar lagi."Elizabeth menggeleng. "Nggak. Biar kucoba menulisnya nanti
Seth. Aku tahu, hari ini aku nggak begitu berguna. Gimana kalau aku
turun di kantor? Aku mau menyusun catatan kita lalu membuat konsep
dasar. Kamu bisa mengerjakan laporannya besok pagi-pagi sekali."
Seth tampak ragu-ragu. "Oke, kalau itu maumu," katanya. "Tapi
kita baru sampai di kantor kira-kira jam setengah lima. Kamu masih
mau kerja lebih dari jam itu?"
Elizabeth mengangguk dengan sungguh-sungguh. "Aku masih
mau kerja," katanya berkeras.
Jam lima, pikirnya. Persis waktu orang-orang pulang dan
meninggalkan Western Building. Kalau untung, dia bisa mencari Eric
dan melewatkan sisa waktu bersama.
Dia belum berjumpa Eric lagi sejak dibiarkan menunggu hari
Sabtu malam yang lalu. Sebenarnya dia sudah memperhitungkan
kemungkinan bisa berbicara dengan Eric hari ini waktu Seth
melihatnya di pintu dan langsung mengajaknya pergi ke Los Palmos.
Tiap menit berlalu bagai siksaan bagi Elizabeth. Ia berusaha mengerti
mengapa Eric menghindarinya. Ia pun tersiksa setiap kali memikirkan
bagaimana cara meyakinkan perasaannya pada Eric.
Yang jelas, di akhir pekan ini Elizabeth menghadapi kenyataan
bahwa ternyata perasaannya pada Eric begitu kuat. Sudah waktunya
mereka saling berterus terang. Elizabeth ingin menjelaskan
hubungannya dengan Jeffrey dan berharap bisa membuat keputusan
bersama tentang apa yang akan mereka lakukan. Tapi itu semua
tergantung pada sebuah pertanyaan besar yang belum terjawab:
apakah perasaan Eric sama dengan perasaannya? Kalau memang
begitu, mengapa Eric menghindarinya?Dalam perjalanan pulang, Seth berkata, "Liz, aku nggak minta
kamu cerita kalau memang ada yang mengganggu perasaanmu. Tapi
aku nggak keberatan mendengarkan kalau kamu memang butuh
bantuan. Gimana?"
Elizabeth melemparkan senyuman berterima kasih. "Hari ini
aku memang nggak ada gunanya," katanya meminta maaf. Elizabeth
ingin bisa mempercayai Seth, bahkan meminta nasehatnya. Tapi dia
tahu hal ini tidak pada tempatnya. Seth adalah bagian dari dunia kerja,
bukan kehidupan pribadinya. "Trims atas pengertianmu," tambahnya.
"Kamu betul-betul pingin kembali ke kantor?" tanya Seth penuh
perhatian. Mereka sudah sampai di Western Building.
Elizabeth mengangguk tegas. Dia benar-benar ingin
menyelamatkan diri dengan menyusun laporan wawancara. Dan dia
ingin mencari Eric. Sebenarnya dia sedang berpikir keras apakah
mungkin menemui Eric karena Darcy dan Jessica jelas melihatnya
turun dari mobil Seth.
***********
Mereka melihat kedatangan mobil Seth dari jendela di lantai
lima. Waktu melihat Elizabeth keluar mereka mulai melambailambaikan tangan dan memanggil namanya.
Tapi Elizabeth tak mempedulikannya. Dia langsung memasuki
gedung. Pikirannya hanya terpusat pada satu hal: menemui dan
mencari tahu bagaimana perasaan Eric Hankman sebenarnya.
"Eric?" panggil Elizabeth lembut. Coffee Shop itu sudah
kosong dan Eric sedang duduk di sudut ruangan. Ia sedang
mempermainkan penanya. Rahangnya tampak tegang dan matanya
berkilat-kilat.Wajahnya muram waktu melihat Elizabeth. Eric langsung
membuang muka.
"Eric, kenapa? Kamu nggak senang bertemu aku?" Elizabeth
menangis.
Eric menatap lantai tanpa ekspresi. "Kenapa aku harus merasa
senang?" sebuah otot tampak menonjol di rahangnya. Elizabeth
merasakan aliran dingin merambati tulang punggungnya.
"Eric, kita harus bicara, berdua," kata Elizabeth putus asa.
"Untuk apa?" teriak Eric. Ia menyeringai. "Apa gunanya?" Eric
menatap Elizabeth kemudian menarik tangannya agak kasar. "Oke,
kamu mau bicara? Bicaralah." Dia menarik Elizabeth keluar dari coffe
shop menuju teras. Eric setengah berlari dan mencengkeram tangan
Elizabeth sampai menyakitkan.
"Liz!" Elizabeth mendengar teriakan adik kembarnya. Jessica
melihat Eric dan Elizabeth meninggalkan coffee shop dan berusaha
mengikuti. Matanya melebar karena ketakutan.
Elizabeth menoleh untuk memandang adik kembarnya. Ada
sesuatu pada suara Jessica yang membuatnya berhenti berjalan. "Itu
adikku," katanya pada Eric. "Kayaknya dia bingung. Dia ... "
Wajah Eric tegang. "Jangan pedulikan dia," kata Eric kasar.
Lalu dia lari sambil menarik Elizabelh. Mereka berbelok ke sebuah
gang kecil di sudut bangunan dan merapat ke dinding sambil terengahengah. Jessica dan Darcy hampir sampai di tempat mereka dan
Elizabeth mendengar adiknya menangis. "Kita harus menemukan
Elizabeth!" Eric membekap mulut Elizabeth supaya tak bisa
memanggil mereka, dan tiba-tiba, walau tahu pikirannya tak masuk
akal, Elizabeth merasa ketakutan."Jangan," erangnya sambil berusaha menarik tangan Eric.
Eric hanya memandangnya. Matanya tampak redup. "Kamu
bilang mau membicarakan sesuatu," katanya pendek. "Yang jelas, Liz.
Kalau mau bicara, kita bicara berdua saja."
"Mana dia?" tanya Jessica. Dadanya sesak dan dia kehabisan
nafas. "Tadi kan dia lari ke arah sini?"
"Aku ? aku nggak tahu," kata Darcy tergagap. Mereka sudah
lari sampai ke ujung blok dan memandang ke sekelilingnya dengan
heran. Tidak ada tanda-tanda kehadiran Eric ? juga Elizabeth.
Tangis Jessica meledak. "Eric menculik Elizabeth," katanya
terisak-isak. "Darcy, Eric menangkap Elizabeth!" badan Jessica
gemetar. "Kita harus minta bantuan!"
Darcy mencengkeram tangannya. "Kita kembali ke kantor dan
memanggil polisi dari sana! Ayo!"
Jessica menatap Darcy yang lari kembali ke Western Building.
Dia tak ingin meninggalkan kakaknya bersama pembunuh maniak itu.
Tapi kemana Eric membawa Elizabeth? Di mana dia?
"Liz!" jeritnya. "L-i-i-z!"
Tak ada jawaban.
Sambil tetap terisak, Jessica lari mengejar Darcy. Keduanya
melesat memasuki pintu ke arah koridor utama tepat pada saat pak
Beckwith datang berlari-lari dengan wajah kelabu.


Super Thriller Sang Pelarian Karya Francine Pascal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tolong saya, nak!" teriaknya. "Ada anak tersedak di coffee
shop. Sudah kucoba bantuan pernafasan Heimlich tapi gagal. Kalau
nggak cepat ditolong dia bisa mati!"Tiga belas
Jessica menengok ke coffee shop dengan ketakutan. Seorang
anak laki-laki terbaring di lantai dan jelas kelihatan tak bisa bernafas.
Pak Beckwith yang tadi ada di sana waktu anak itu tersedak
cepat meraih lengan Jessica. "Cepat, kamu panggil ambulans dari
telepon umum. Cobalah minta bantuan, siapa tahu ada dokter di
sekitar sini."
Jessica merasa kakinya terpaku ke lantai. Dia ingin
menceritakan keadaan Elizabeth dan menjelaskan bahwa sementara
mereka berbicara ini hidup kakaknya juga sedang terancam. Tapi ia
tak sanggup mengatakan sepatah kata pun.
"Ayo!" teriak pak Beckwith waktu sadar Jessica hanya
terbengong-bengong.
Jessica bergegas ke pintu, jantungnya berdebar kencang.
Setelah sampai di luar, di tengah siraman cahaya dan hiruk pikuk lalu
lintas ... Jessica mempercepat larinya dan mencari telepon umum. Dia
sudah hampir meraih gagang telepon ketika pak Hankman muncul
dari Press Club. Jas hujannya tergantung di tangannya.
"Jessica, ada apa?" teriaknya. "Nggak ada apa-apa kan?"
Air mata Jessica bercucuran. "Enggak," katanya dengan suara
tersekat. Dia sudah hampir memberi penjelasan waktu melihat pakBeckwith keluar dari coffee shop di seberang jalan. "Tolong!" teriak
pak Beckwith. "Tolong?panggilkan polisi ? panggilkan ambulans.
Ada anak tersedak di coffee shop, dia hampir mati!"
Pak Hankman menatap Jessica.
"Betul?" tanyanya.
Jessica mengangguk, ia masih terlalu panik untuk bicara. Yang
diketahuinya adalah pak Hankman langsung lari ke gedung itu.
Jessica ikut lari mengejarnya dan hampir bertabrakan dengan
Eric yang akan kembali ke coffee shop.
"Ayah, jangan!" teriak Eric sambil berusaha menahan ayahnya.
Jessica tak dapat lagi membendung air mata ketakutan yang
ditahannya sejak tadi. "Mana kakakku?" teriaknya pada Eric. "Kamu
apakan kakakku?"
Eric menatap Jessica dengan pandangan hampa lalu menoleh
kepada ayahnya. "Ada apa di sini?" teriaknya.
Pak Hankman menatap putranya dengan penuh kecemasan.
"Ada anak kecil tersedak di sana, aku akan menolongnya," kata pak
Hankman. Setelah berkata begitu dia masuk ke coffee shop diikuti
Eric yang tampak ketakutan.
Saat itu Elizabeth muncul di sudut jalan, mukanya pucat.
"Lizzie!" teriak Jessica sambil memeluk kakaknya. "Oh, Liz! Syukur
kamu nggak apa-apa!"
"Memangnya kenapa?" tanya Elizabeth heran.
"Aku tadi lari ke sana-sini," kata Jessica sambil berusaha
mengatur nafasnya yang terengah-engah. "Aku mencari kamu. Kamu
tahu siapa Eric Hankman sebenarnya?"Elizabeth menatap adiknya. Tapi mereka tak sempat berbicara
karena saat itu terdengar jeritan pilu dari dalam coffee shop: Elizabeth
manarik tangan Jessica dan menuntunnya masuk.
"Tolong dia! Tolong anakku!" teriak seorang wanita waktu si
kembar bergabung dengan kerumunan orang di coffee shop. Wajah
anak itu tampak membiru dan menakutkan. "Dia tersedak roti karena
menggigit terlalu besar," ratap si ibu. "Tolong dia, tolong dia!"
Elizabeth menarik sebuah kursi untuk menenangkan dirinya
sendiri. Dia belum pernah melihat peristiwa menakutkan seperti itu.
"Aku nggak sanggup melihat," gumamnya sambil membuang muka.
"Kita butuh dokter! Tolong, tolonglah!" teriak si ibu waktu pak
Hankman berusaha mendekati anak yang terbaring tak berdaya.
Pak Hankman membungkuk di atas anak itu dan memeriksa
denyut nadinya. "Eric," katanya dengan suara tegang tapi terkendali.
"Ambilkan pisau yang paling tajam. Sedotan plastik dan handuk
bersih. Ajak ibu ini ke luar."
Eric lari ke belakang meja counter untuk mengambilkan
permintaan ayahnya. Ebukulawas.blogspot.com
"Mau apa dia?" gagap Jessica ketakutan.
"Dia mau mengoperasi anak itu," kata Darcy sambil mengamati
tindakan ayah Eric dengan perasaan campur aduk. "Mungkin ini yang
disebut tindakan tracheotomy. Lihat, dia membuka batang
tenggorokan supaya anak itu bisa bernafas."
Eric menarik sehelai taplak meja dan berusaha menjadikannya
sebagai tirai penutup, tapi si ibu tak mau meninggalkan anaknya. Ia
berlutut di samping Pak Hankman sambil memegang kepala si anak di
pangkuannya sementara pak Hankman membuat sebuah irisan dengangerakan ahli untuk membuat saluran udara di bawah bagian yang
tersumbat. Ia menggunakan sedotan untuk menahan irisan tetap
terbuka sampai dokter menggantikannya dengan tabung yang tepat di
rumah sakit. Ia menahan aliran darah dengan handuk. "Eric," katanya
dengan suara tetap tenang. "Sekarang kamu telepon Rumah Sakit
Fowler Memorial. Katakan kita sudah melakukan tindakan darurat
tracheotomy dan kondisi pasien stabil. Minta mereka kirim ambulan
secepatnya." Dia berlutut kembali sambil menghapus butiran keringat
dari keningnya.
"Dia bisa sembuh?" tanya si ibu ketakutan sambil menatap
wajah anaknya yang sudah tampak segar.
Dengan hati-hati pak Hankman mengatur handuk di sekeliling
leher anak itu. Ditepuknya pundak si ibu. Dada si anak tampak
terangkat ketika paru-parunya terisi udara.
Eric menunduk.
"Entah bagaimana cara saya berterima kasih," kata si ibu sambil
menghapus air matanya. "Tolong katakan siapa Anda supaya saya bisa
berterima kasih dengan lebih pantas setelah Timmy dirawat di rumah
sakit."
Pak Beckwith menatap pak Hankman. "Nggak bisa kupercaya,"
bisiknya. "Pantas aku merasa mengenalmu."
Pak Hankman memprotes dengan mengangkat tangannya.
"Jangan," katanya pelan. "Demi anakku..."
Tapi pak Beckwith terlalu gembira dan tak bisa menutup
mulutnya. "Kalian tahu siapa dia?" teriaknya bangga pada kerumunan
orang di coffee shop kecil itu."Ayo, Eric," teriak pak Hankman sambil meraih tangan
anaknya.
"Eric!" gumam Elizabeth sambil memandang pak Hankman
menarik Eric. "Eric, aku ikut! Kamu mau ke mana?"
Mereka terhalang kerumunan orang. Wajah Eric begitu sedih
dan pilu sehingga Elizabeth merasa hatinya tersayat.
"Itu Dr. Ryan!" kata pak Beckwith. "Aku nggak mengenalinya
sampai dia melakukan operasi pada anak itu. Tapi itulah dia. Dia yang
bersaksi menentang Frank DeLucca!"
Jessica dan Darcy saling berpandangan. "Maksud Anda ? Eric
bukan Chris Wyeth?" gumam Darcy lemah. "Tapi sketsa itu ..."
Elizabeth memandang pak Beckwith. "Bagaimana Anda bisa
tahu?" tanyanya. "Pak Hankman nggak mirip dengan Dr. Ryan sama
sekali. Rambutnya hitam dan berjanggut, juga lebih gemuk. Lagipula
?"
"Yah, sudah pasti nggak mirip," kata Pak Beckwith. "Memang
itulah tujuan program perlindungan saksi."
Elizabeth merasa dadanya sesak. Dia hampir tak bisa mengenali
perasaannya. Sebagian dari dirinya menyangkal kebenaran pernyataan
Pak Beckwith. Tapi sebagian lainnya hampir mengakui bahwa hal itu
benar. Pantas Eric begitu menutupi masa lalunya. Pantas dia sering
kelihatan sedih.
Elizabeth merasa kasihan pada mereka berdua. Pak Hankman
? Dr. Ryan ? telah mempertaruhkan penyamaran mereka berdua
dengan menyelamatkan anak kecil itu. Sebagai seorang dokter sejati
tentu saja ia tak dapat membiarkan anak itu kehabisan nafas sementara
ia bisa menolongnya.Tapi bagaimana sekarang setelah identitas mereka terungkap?
Elizabeth benar-benar tak ingin tahu. Dia takut pada kemungkinan
yang dapat terjadi. Bagaimana kalau mereka harus meninggalkan
Sweet Valley?
"Aku harus ikut mereka," gumamnya sambil berusaha
menembus kerumunan. Dia bahkan belum sempat memberitahukan
perasaannya pada Eric. Dia terlalu bingung mencari cara untuk
menceritakan hubungannya dengan Jeffrey. Dia sudah akan
mengungkapkan perasaannya waktu mendengar jeritan ketakutan dari
coffee shop. Eric langsung berbalik ke coffee shop untuk memberikan
bantuan sebelum Elizabeth sempat berkata apa-apa. Dan sekarang Eric
sudah pergi.
Jessica dan Darcy terlalu sibuk berbantah tentang sketsa polisi
dan bukti-bukti yang memberatkan Eric sehingga tak melihat
Elizabeth pergi. Tapi waktu Elizabeth hampir meninggalkan coffee
shop wajah Jessica langsung pucat. Ia meraih tangan Darcy.
Ambulans baru saja datang dan dua orang paramedis lari
membawa tandu untuk membawa si kecil Timothy ke rumah sakit.
Tapi bukan itu yang menarik perhatian Jessica. Seorang laki-laki
muda berpakaian setelan abu-abu berdiri di belakang coffee shop
selama pak Hankman melakukan operasi pada Timothy. Perut Jessica
melilit melihatnya. Laki-laki itu sedang mengikuti kakaknya yang
bergegas ke garasi mencari mobil Fiatnya.
"Darcy, sekarang lupakan masalah Chris Wyeth. Kita harus cari
bantuan. Mungkin Liz dalam bahaya ? dan yang ini bukan khayalan."
Laki-laki bersetelan abu-abu itulah yang mendorongnya dari
sepeda dan merampas buku puisi Eric!***********
Elizabeth mengemudikan mobilnya ke rumah keluarga
Hankman secepat mungkin. Yang dipikirkannya sekarang ini adalah
berusaha meyakinkan ayah Eric bahwa tidak ada resiko apa-apa
tinggal di Sweet Valley ? walau pun identitas mereka sudah
terungkap.
Pak Hankman membukakan pintu dan mempersilakan Liz
masuk. Ia tampak lesu dan cemas. Rumah itu berantakan. Pak
Hankman sibuk memasukkan arsip-arsip dari mejanya ke kopor di
atas meja kopi ruang tamu. Eric tampak mondar-mandir dan tampak
kacau balau.
"Liz!" teriaknya waktu melihat Elizabeth. Dia lari mendekat,
memeluk dan membenamkan wajahnya di rambut Elizabeth. "Senang
rasanya melihat kamu," gumamnya. "Maafkan aku karena berbohong
dan nggak berterus terang. Tapi memang harus begitu."
Elizabeth mulai menangis. "Betul begitu?" tanyanya sambil
menoleh pada pak Hankman.
Pak Hankman mengangguk penuh penyesalan. "Saya menyesal
sekali. Tampaknya saya menggiring keluarga saya dalam pelarian
tanpa akhir." Beliau tampak lelah dan matanya berkaca-kaca.
"Menurut rencana, kalau semua lancar beberapa bulan lagi istri dan
anak gadis saya akan bergabung ke sini. Sekarang tampaknya kami
nggak akan pernah bisa berkumpul lagi secara utuh." Pak Hankman
menghela nafas. "Waktu memberi kesaksian, saya tahu telah
melakukan langkah besar. Tapi saya tidak sadar pada akibat yang
mungkin terjadi pada anak dan istri saya." Beliau memandang Ericdengan sedih. "Waktu kami mulai menetap di sini, dan Eric mulai
punya kenalan ?"
"Tapi kenapa Anda harus pergi?" tangis Elizabeth. "Di sini
tidak ada yang akan menyakiti Anda. Sweet Valley lain!"
"Saya ingin bisa meyakini hal itu," kata pak Hankman.
Dipandangnya Elizabeth dengan penuh pengertian. "Kamu gadis baik,
Elizabeth. Kamu sangat berani dan sangat percaya bahwa semua orang
baik. Tapi harus kukatakan padamu bahwa Frank DeLucca punya
banyak teman di seluruh negara ini, bahkan di Sweet Valley. Temantemannya bersedia membayar jutaan dolar pada warga yang punya
informasi tentang keberadaan kami."
Tiba-tiba Elizabeth teringat pada laki-laki bermobil biru. "Tapi
ada orang-orang yang mengikuti untuk melindungi kalian kan?"
Eric tampak gemas. "Orang-orang itu bukan pelindung kami.
Mereka kaki tangan DeLucca. Ayah menduga orang-orang Ohio yang
memberi tahu bahwa kami pindah ke sini."
Ayah Eric mengangguk membenarkan. "Saya juga sangat ingin
bisa mempercayai kebaikan-kebaikan manusia. Saya tak ingin
menambah bahaya bagi kehidupan anak saya lebih dari ini." Pak
Hankman menepuk-nepuk bahu Elizabeth. "Saya tahu, ini pasti sulit
dimengerti. Mungkin lebih mirip film di TV. Saya menyesal harus
mengatakan bahwa ini semua benar-benar nyata. Sangat nyata. Satusatunya pilihan adalah meninggalkan Sweet Valley secepat mungkin."
"Tapi Anda nggak mengerti bagaimana Sweet Valley ini!" ratap
Elizabeth. "Semua orang di coffee shop menganggap Anda pahlawan.
Yang Anda lakukan tadi sangat berani. Bahkan dengan
mempertaruhkan terbongkarnya identitas Anda demi menyelamatkannyawa anak tadi menjadikan Anda lebih dari sekedar pahlawan.
Apakah Anda tak memperhitungkan bahwa masyarakat di sini akan
melindungi Anda?"
"Sudah kubilang, Yah. Liz adalah seorang idealis." kata Eric.
Suaranya terdengar sangat sedih.
"Aku juga tahu, Eric." pak Hankman menatap Elizabeth dengan
tajam. "Saya ingin bisa mempercayainya. Mungkin ada beberapa
orang yang menganggap saya sebagai pahlawan. Tapi jumlahnya
hanya beberapa gelintir dibandingkan yang bersikap tidak peduli dan
hanya berdiam diri menyaksikan orang lain berusaha menyakiti kami."
"Tapi di sini enggak begitu," kata Elizabeth memprotes. "Di
Sweet Valley bukan begitu!"
"Memang gampang jadi idealis kalau nggak tahu apa yang
dihadapi," kata Pak Hankman lesu. "Sejujurnya saya akui bahwa saya
yakin bahwa bersaksi melawan DeLucca adalah tindakan yang benar.
Setelah mendengar pernyataan dari korbannya, saya tak bisa tinggal
diam dan membiarkan Delucca bebas." Pak Hankman menjatuhkan
diri ke sofa sambil menutup muka dengan kedua tangannya. "Tapi
saya tak memperkirakan akibatnya bagi keluargaku. Beliau
memandang Eric dengan tak berdaya. "Saya tak akan bisa
mempercayai orang lagi," kata Pak Hankman akhirnya. "Saya rasa
sebagian memang punya maksud baik, tapi kalau harus melaksanakan
kebaikan itu sendiri, mereka tak mau mempertaruhkan
keselamatannya. Banyak yang bisa bersaksi melawan Delucca. Tapi
nggak ada yang mau."
"Tapi Anda mau bersaksi," kata Elizabeth dengan suara rendah
dan jernih. "Anda sendiri yang membuktikan bahwa teori itu salah.Anda harus percaya bahwa masih banyak orang yang berpendirian
seperti Anda."
Pak Hankman tak mempedulikan tanggapan Elizabeth. "Kami
harus berkemas," katanya sedih. "Aku berat mengatakan ini Eric, tapi
kita harus pergi secepatnya dari sini."
"Tapi gimana penghubung kita, Ayah?" tanya Eric. "Kan kita
harus menghubungi dia? Dia pasti tahu apa yang harus kita perbuat."
"Sekarang ini tergantung pada kita sendiri. Kita pergi dari
Sweet Valley malam ini! Kita nggak bisa apa-apa lagi. Sudah
terlambat."
Eric dan Elizabeth berpandangan dengan ketakutan.
"Aku tahu gimana rasanya meninggalkan segalanya," lanjut pak
Hankman. "Aku tahu kalian ingin bicara berdua," beliau mengambil
kopernya dan membawanya ke lantai atas. "Sebentar saja, ya?"
Eric berdehem ketika menatap Elizabeth.
"Aku nggak tahan," pekik Elizabeth. "Eric, jangan pergi! Jangan
pergi!" Dia menjatuhkan diri ke pelukan Eric. Air mata mengalir
membasahi pipinya. "Kita harus cari jalan, Eric. Pasti ada jalan
keluar."
Eric menggeleng. Matanya memancarkan kepedihan dan
kesakitan. "Liz, aku selalu takut hal ini akan terjadi. Waktu bertemu
kamu, aku tahu ini terlalu manis untuk menjadi kenyataan. Ada
sesuatu dalam dirimu." Eric menggeleng. "Aku tahu kedengarannya


Super Thriller Sang Pelarian Karya Francine Pascal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

aneh, tapi sesudah berkenalan aku merasa pertemuan ini seperti takdir,
atau semacam itu. Seolah kamu dan aku benar-benar saling
memperhatikan. Aku belum pernah merasakan seperti ini
sebelumnya."Elizabeth merasa lehernya seperti tercekik. "Eric," katanya
tergagap. Air matanya bercucuran. "Aku nggak akan tahan kalau
kamu pergi! Jangan pergi sekarang!"
Tapi mereka tak bisa melakukan apa pun. Elizabeth mendengar
langkah kaki pak Hankman yang sedang berkemas di lantai atas.
Tampaknya tak terhindarkan lagi. Eric akan meninggalkannya pada
saat ia menyadari perasaannya terhadap Eric. Dia akan pergi bersama
ayahnya untuk berganti nama dan identitas. Dan Eric Hankman yang
dicintainya akan lenyap begitu saja, seperti khayalan indah.
"Masih banyak yang harus kita bicarakan," kata Eric lembut.
"Aku masih belum tahu apa-apa tentang Jeffrey. Kamu mencintainya,
kan?"
Elizabeth menatap lantai. "Aku nggak bisa bilang tidak,"
katanya. "Atau iya. Terlalu gampang. Aku bingung sekali. Aku
mencintai Jeffrey sekaligus merasa jatuh cinta padamu. Mungkinkah
ada orang yang bisa mencintai dua orang sekaligus pada waktu
bersamaan? Aku nggak tahu harus berpikir bagaimana, Eric. Aku
belum pernah merasa seperti ini sebelumnya."
"Oh, Liz," kata Eric sambil memeluk Elizabeth lebih erat,
begitu eratnya sampai Elizabeth mengira Eric tak akan melepaskannya
lagi. "Kenapa aku harus bertemu denganmu sekarang ? waktu
semuanya sedang kacau balau dan tanpa harapan?"
"Kamu tahu," kata Elizabeth lemah sambil menghapus air
matanya. "Aku nggak tahu apa-apa tentang kamu. Bahkan aku nggak
tahu siapa namamu sebenarnya."
"Namaku Michael," kata Eric sambil mengusap air mata
Elizabeth dengan lembut. "Michael Ryan," bisik Elizabeth sambilmenggeleng. "Kamu mau pergi ke mana? Apa yang akan terjadi
nanti?"
"Yah, kalau bernasib baik kami akan bisa menemukan tempat
bersembunyi untuk enam bulan yang akan datang atau lebih. Ayah
tertekan karena merindukan ibu dan adikku. Aku tahu dia berusaha
cari jalan supaya kami bisa berkumpul lagi. Mungkin di Eropa lebih
aman."
Elizabeth menggigit bibirnya. "Dan kamu nggak boleh memberi
tahu siapa pun? Termasuk aku?"
Eric membungkuk dan membelai rambut Elizabeth. "Kamu tahu
jawabannya, Liz," jawabnya sedih. "Nggak usah dibicarakan lagi. Bisa
bikin runyam."
"Aku harus tanya," seru Elizabeth. "Nggak bisa kupercaya,
ayahmu turun bawa kopor dan kalian akan meninggalkan rumah ini
selamanya!" Elizabeth memandang sekelilingnya. "Kamu nggak bisa
pergi begitu saja," lanjutnya histeris. "Gimana rumah ini? Gimana
barang-barangnya?"
"Liz, itu nggak penting," Michael menatapnya tajam. "Kita
sudah belajar memperhitungkan dan memprioritaskan masalah.
Seperti ini." Sambil berkata begitu Michael membungkuk kepada
Elizabeth dan menyentuh bibir Elizabeth dengan jarinya. Perlahan
Elizabeth menutup matanya. Waktu Michael mendekatkan wajahnya,
air mata Elizabeth menderas. Nafas Michael sudah begitu dekat ketika
tiba-tiba pintu ditendang sampai terbuka dan menjatuhkan sesuatu
yang gemerincing ke lantai. Mereka berdua melompat dan
memandang pintu itu dengan ketakutan."Jangan bergerak." Seorang laki-laki bersetelan abu-abu
menendang pintu sekali lagi sehingga lebih terbuka. "Diam di situ,"
katanya sambil maju masuk ke rumah. Dua orang laki-laki lain
mengikutinya masuk ? dengan senjata yang ditodongkan pada
Elizabeth dan Michael.
Elizabeth merasa lehernya tersekat. Dia tak dapat mengalihkan
matanya dari laras senapan yang tertuju pada mereka. Dia mengenali
laki-laki bersetelan abu-abu sebagai orang yang mengikutinya
bersama Michael pada kencan pertama mereka. Dan salah satu dari
laki-laki bersenjata itu pernah memperkenalkan diri sebagai anggota
FBI. Perut Elizabeth terasa berdesir.
"Michael?" tanya pak Hankman tanpa curiga dari lantai atas.
"Coba ke sini sebentar, bantu ayah membereskan kopor!"
Elizabeth dan Michael bertatapan, mata mereka melebar. Lakilaki bersetelan abu-abu mendekati tangga. Sesaat Elizabeth mengira
dia akan benar-benar naik ke atas, menggantikan Michael. Tapi
ternyata dia hanya bicara dari anak tangga, suaranya tajam dan kejam.
"Lemparkan saja kopor itu ke bawah, Ryan," katanya. "Lalu
kamu juga turun dengan tangan ke atas. Kita harus bicara."
Dr. Ryan tak menjawab. Setelah beberapa saat berlalu dalam
ketegangan, kopor itu dijatuhkan dari atas tangga. Dr. Ryan juga turun
sambil melangkah pelan-pelan sekali. Dia menatap ketiga tamu itu
dengan perasaan campur aduk. Antara benci, marah dan penuh
kesabaran. Dia tak berkata sepatah kata pun.
"Kurasa kamu salah anggapan tentang kegunaan kopor ini,"
lanjut laki-laki itu mengejek. "Begitu kan, teman-teman?" tanyanyapada teman-temannya yang memegang senjata. Mereka mengangguk,
mata mereka terarah pada Dr. Ryan.
"Karena kebetulan," kata laki-laki itu lagi, "menurut kami,
kamu dan anakmu ? dan pacarnya yang cantik ini ? nggak akan
pergi ke mana-mana."
Setelah mengatakan itu dia menendang pintu hingga tertutup.
Keluarga Ryan dan Elizabeth terkurung di dalam bersamanya dan dua
orang bersenjata.Empat belas
Dr. Ryan terpaku. Tampaknya dia perlu waktu agak lama untuk
mengembalikan ketenangannya sehingga cukup berani menendang
kopornya yang masih berada di tengah tangga sehingga terguling ke
bawah. Tangannya tetap ke atas. Elizabeth masih dapat mendengar
suara-suara dari ruangan lain detak jam di dapur dan desis alat
pendingin udara. Semua tampak begitu tajam dan jelas sekaligus tidak
nyata. Yang dilihatnya begitu menakutkan sehingga dia merasa pusing
dan harus meraih sebuah kursi untuk menyangga tubuhnya.
Kedua orang bersenjata merunduk di ruang antara pintu depan
dan daerah terbuka menuju ke ruang duduk. Laki-laki bersetelan abuabu yang rupanya berperan jadi juru bicara berjalan mondar-mandir.
Matanya berpindah-pindah dari Michael, Dr. Ryan dan Elizabeth.
Setelah Dr. Ryan menendang kopornya, tidak ada reaksi dari mereka.
Semua berdiri diam kecuali si baju abu-abu yang tetap mondarmandir. Jam terdengar berdetak lebih nyaring. Elizabeth sadar ternyata
telah menahan nafasnya melihat adegan itu dan ketika ia
menghembuskannya sedikit demi sedikit, dia melihat buku-buku
jarinya memutih karena mencengkeram sandaran kursi dengan erat."Oke, Ryan," akhirnya laki-laki berbaju abu-abu itu bicara.
"Kurasa sekarang waktunya bicara. Tapi sebaiknya antara kita berdua
saja, bagaimana?"
Dr. Ryan menoleh memandang Michael. Tatapan matanya
begitu penuh cinta dan kasih sayang yang dalam. Elizabeth merasa
sangat sedih melihatnya. Matanya berkaca-kaca. "Michael," kata Dr.
Ryan lembut. "Tolong kamu naik ke lantai atas. Ajak Elizabeth ke
ruang belajar, tutup pintunya, ya? Jangan berbuat apa-apa sampai" ?
suaranya berubah kaku? "sampai orang ini memberi perintah."
Michael gemetar, mukanya mengeras karena sedih dan marah.
"Saya nggak akan meninggalkanmu, Ayah," akhirnya dia berkata.
Saat itulah Elizabeth melihat salah satu pribadi Dr. Ryan yaitu
kekerasan dan keberanian yang membuatnya sanggup bersaksi
melawan DeLucca dan menyelamatkan anak laki-laki yang tersedak di
coffee shop. Dr. Ryan menyuruh Micahel berdiri dan memberikan
tatapan minta dipatuhi. Michael menghela nafas panjang dan dengan
terengah ketakutan melintasi ruang tamu dengan tiga langkah
kemudian memeluk ayahnya.
"Naik ke atas," bentak laki-laki bersetelan abu-abu itu. "Sudahi
basa-basi cengeng itu. Bawa pacarmu."
Elizabeth terisak waktu Michael memegang tangannya dan
menariknya ke atas. Ia merasa kakinyalah yang menuntunnya. "Ayo,"
kata Michael sambil menarik tangannya. Tiba-tiba Elizabeth sadar
pada situasi yang menakutkan ini dan dia cepat-cepat lari di belakang
Michael.
Michael terduduk di sofa di kamar belajar sementara Elizabeth
duduk di sampingnya. Kepala Elizabeth tersandar di bahu Michael.Apa yang akan terjadi sekarang, Elizabeth bertanya-tanya dalam hati.
Tampaknya tak ada jalan keluar dari masalah ini.
Elizabeth menghembuskan nafas panjang kemudian tergagap
melihat kotak tanda bahaya kecil di dinding di belakang meja kopi.
"Michael, lihat! Ayahmu nggak memutus sistim tanda bahaya yang
dipasang penghuni rumah ini dulu! Tekan tombol merah itu, cepat!"
"Apa ini?" tanya Michael sambil menatap kotak itu dengan tak
bergairah.
Elizabeth cepat-cepat berdiri dan menekan tombol itu sekeras
mungkin.
"Ini yang disebut sistem keamanan antar tetangga. Kalau kamu
tekan tombolnya, tanda bahaya akan berbunyi di enam rumah lain di
wilayah ini dan terus terhubung ke ? kantor polisi. Nggak ada bunyi,
jadi penjahat di bawah nggak akan akan dengar apa-apa. Salah satu
tetangga akan menelepon dan mengatakan kode yang sudah disepakati
dengan ayahmu. Kalau ayahmu nggak bisa menyelesaikan kode itu,
mereka akan memeriksa keadaan di sini."
Michael memandang Elizabeth dengan tak percaya. "Aku nggak
yakin sistim keamanan antar tetangga ini bakalan bisa membantu
menyelesaikan masalah ini."
Elizabeth menekan tombol merah itu sekali lagi. "Nggak ada
ruginya, kan?" katanya. "Michael, apa kamu sama sekali nggak punya
kepercayaan kepada orang lain?"
Michael menggeleng. "Nggak. Malah menurutku orang-orang
yang disebut tetangga baik itu yang membocorkan informasi
keberadaan kami pada bandit-bandit di bawah. Mana mungkin mereka
tahu di mana rumah kami?"Elizabeth kaget. "Nggak ada yang memberitahu!" teriak
Elizabeth. "Michael, kamu nggak boleh mengikuti jalan pikiranmu
yang seperti itu!"
Michael mengangkat bahu. "Kalau begitu coba beri penjelasan
lain," katanya.
Elizabeth gemetar. Dia tak percaya ada orang yang mau
menyerahkan keluarga Ryan pada para penjahat itu. "Untuk apa
orang-orang melakukannya? Apa untungnya untuk mereka?"
"Uang," kata Michael datar. "Apa lagi? Kamu tahu berapa harga
kepala ayahku sekarang ini?" Michael menggigil. "Oh, Liz. Aku
nggak bisa diam di sini sementara ayahku dalam bahaya! Aku nggak
peduli apa kata mereka. Aku mau turun."
"Michael, jangan!" teriak Elizabeth sambil menarik tangannya.
Saat itulah telepon berdering, Elizabeth mencengkeram tangan
Michael keras-keras. "Berhasil!" teriaknya. "Michael, sistimnya
jalan!"
***********
Laki-laki bersetelan abu-abu memandang telepon yang
berdering lalu beralih pada Dr. Ryan. "Oke, Ryan. Angkat teleponnya
dan jawab dengan wajar, mengerti? Satu kata saja salah, kamu tahu
akibatnya. Juga pada anakmu. Kamu tahu, kalian kami biarkan hidup
karena masih ingin tahu apa saja yang kamu ketahui. Tapi kalau
terpaksa kami akan menghabisimu sekarang juga. Mengerti?"
Dr. Ryan mengangguk. Pada deringan ke tiga dia mengangkat
teleponnya. "Halo?" sapanya sambil menjaga ketenangan suaranya."Hankman, kamu nggak apa-apa?" terdengar suara pak
Applebaum yang tinggal persis di sebelahnya. "Kalau kamu memang
baik-baik saja, katakan sandi kita."
"Maaf," kata Dr. Ryan sambil menelan ludah, "Anda ingin
bicara dengan siapa?" matanya tetap tertuju pada laki-laki bersetelan
abu-abu yang menatapnya dengan curiga. "Oh, mungkin anda salah
sambung," tambahnya.
"Tenang, Hankman. Kami segera datang," teriak pak
Applebaum.
Elizabeth dan Michael mengendap-endap keluar dari kamar
belajar menuju koridor panjang yang menuju ke tangga. Mereka sudah
hampir sampai di lantai bawah ketika mendengar suara langkah kaki
di pintu depan. Mula-mula hanya langkah beberapa orang, lalu makin
banyak. Sebelum mereka tahu apa yang terjadi, pintu diterjang dari
luar sampai terbuka. Tahu-tahu ruang tamu sudah dipenuhi orang.
"Rampas senjata mereka!" teriak pak Applebaum. Pak Frank
Richman, salah seorang tetangga melumpuhkan salah satu penjahat
bersenjata itu dan Pak Simon yang tinggal di ujung jalan
melumpuhkan yang satunya. Elizabeth dan Michael lari membantu Dr.
Ryan yang sedang bergumul dengan laki-laki bersetelan abu-abu di
belakang sofa. Salah satu senjata berdenting di lantai dan Pak Frank
Richman merampasnya. Setelah satu perkelahian, pak Simon dan
salah seorang tetangga berhasil melumpuhkan penjahat bersenjata
yang kedua. Sekitar lebih dari dua belas tetangga lain bergegas datang
menanggapi tanda bahaya. Kedua orang bersenjata itu dikeroyok
sehingga terpaksa menyerahkan senjata ? tepat waktu dua pasukanmobil berhenti di depan rumah dengan sirene meraung-raung. Jessica,
Darcy dan pak Beckwith keluar dari salah satu mobil itu.
"Ada apa? Mana kakakku?" teriak Jessica sambil lari memasuki
ruang tamu. Ia berkeliling mencari kakaknya dengan kuatir.
"Jess!" teriak Elizabeth. Kedua gadis itu berangkulan, tertawa
dan menangis bersamaan. Ruang tamu keluarga Dr. Ryan jadi kacau
balau. Polisi meringkus ketiga penjahat. Dr. Ryan memukuli
punggung Pak Applebaum dengan gembira. Michael memeluk Pak
Simon dan Pak Frank Richman, sedangkan Pak Beckwith dan Darcy
memandang berkeliling dengan bingung.
"Ada apa sebenarnya?" tanya Darcy.
"Yah," kata Dr. Ryan sambil melepaskan kacamata dan
menyeka mata. "Yang jelas, hari ini aku belajar hal penting dari nona
Wakefield." Dia tersenyum lebar pada Elizabeth. "Aku belajar tentang
bagaimana bertetangga dengan baik di Sweet Valley."
Michael memeluk Elizabeth. "Bukan cuma Ayah yang dapat
pelajaran," bisiknya. "Kamu benar karena mau percaya pada orang
lain, Liz. Aku nggak akan melupakan kejadian hari ini. Selamanya."
Laki-laki bersetelan abu-abu berkata dengan marah. "Kalau aku
jadi kamu, aku nggak akan merasa terlalu bersyukur, Ryan. Sekarang
mereka bisa menangkap DeLucca. Tapi anggota kami banyak. Kamu
dan keluargamu nggak akan selamat. Kami akan tetap menemukanmu
di mana pun kamu bersembunyi."
Dr. Ryan mengenakan kacamatanya kembali. "Aku nggak kenal
kamu," katanya dingin. "Tapi aku punya satu fakta: jumlah kami lebih
banyak. Selama masih ada orang baik di dunia, orang-orang seperti
mereka" ? Dr. Ryan mengembangkan tangannya menunjuk paratetangganya yang berkumpul di ruangan itu? "keluargaku akan
selamat. Memang mungkin sulit, tapi kami akan melawan."
"Bagaimana kalian menemukan tempat kami?" tanya Michael.
"Kami punya orang di mana-mana. Kalian nggak akan bisa
menyembunyikan diri. Begitu kami tahu kamu di Sweet Valley,
gampang sekali mencari rumahmu. Dan kami nggak butuh ini lagi."
Orang itu melemparkan sebuah buku tulis biru kepada Michael ?
sudah koyak ? yang dikeluarkan dari balik jasnya.
Jessica tercekat. "Astaga, buku tulis itu!"
"Jangan takut," kata orang itu dengan kasar. "Itu nggak ada
gunanya untuk kami."
Michael mengambil buku itu dan menatapnya. Dia menoleh
pada Elizabeth. "Kukira kamu menyimpannya," katanya bingung.
Alis mata Elizabeth meninggi. "Aku? Untuk apa aku
menyimpannya?"
"Tapi kamu" ? Michael menggeleng ? "kamu ke sini dan
meminjamnya, ingat?"
"Lizzie, jangan marah," kata Jessica nimbrung.. "Aku yang
meminjamnya karena ?" dia memandang Darcy dengan tak berdaya.


Super Thriller Sang Pelarian Karya Francine Pascal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kamu saja yang bilang, Darcy."
"Kami merasa harus melindungimu dari Eric," Darcy
menjelaskan dengan tampang sedih. "Aku terus menerus menerima
informasi dari Sue, temanku yang membuatku mengira bahwa Eric"
? dia ragu-ragu ? "bahwa Eric sebenarnya adalah Christopher
Wyeth, tersangka pembunuhan yang kabur dari Ohio. Jadi aku dan
Jessica berusaha mengumpulkan bukti apakah Eric si buronan atau
tidak.""Kalian membuatku bingung," kata Dr. Ryan sambil
menggeleng-geleng.
Salah seorang polisi yang lebih tua ikut mendengarkan
pembicaraan mereka. "Chris Wyeth? Pembunuh para gadis di Ohio?
Dia sudah tertangkap tadi malam!" katanya menjelaskan.
Darcy menatap lantai dengan kikuk. "Kurasa Sue bukan sumber
informasi yang bisa dipercaya. Tapi Eric memang mirip dengan
pembunuh itu," tambahnya tanpa daya.
"Lalu buku catatan itu?" tanya Michael.
"Memang aku yang menyuruh Jessica pura-pura jadi Elizabeth
untuk meminjam buku itu dari kamu. Kami mengira bisa menyelidiki
dirimu dengan membaca buku itu."
"Tapi aku belum sempat membacanya," kata Jessica penuh
penyesalan. "Karena dia" ? Jessica menunjuk laki-laki bersetelan
abu-abu ? "dia mendorongku dari sepeda dan merampas buku itu."
Elizabeth mengerang. "Astaga. Kenapa nggak ada yang
memberi tahu aku."
"Oke. Yang penting kita semua selamat." kata Michael. Dia
menatap Darcy. "Kamu mengira aku seorang pembunuh?"
Wajah Darcy memerah. "Memang ? aku ? oh ? tadinya aku
nggak curiga! Aku menganggap kamu memang orang yang rapi.
Hanya saja ?"
Michael menggelengkan kepala. "Sudahlah," gumamnya.
"Kurasa akan ada banyak peristiwa terjadi di sini. Aku lebih suka
membiarkannya sebagai misteri."
Michael memeluk Elizabeth lebih erat."Oke, tolong beri jalan. Kami akan membawa orang-orang ini
ke markas," kata polisi itu.
Dr. Ryan mengawasi polisi menggiring para penjahat. Ketika
pintu depan tertutup lagi, beliau mengangkat tangannya.
"Mohon perhatian," katanya dengan suara keras dan lantang.
"Saya ingin berterima kasih atas pertolongan kalian semua. Kalian
menyelamatkan saya ? juga anak saya dan Elizabeth Wakefield.
Kalian sangat berani." Dia menarik nafas panjang. "Rasanya berat
meninggalkan kalian. Tapi saya dan Michael harus pergi ... secepat
mungkin, bahkan mungkin malam ini juga. Saya ingin kalian tahu
bahwa kami sangat tergerak atas semua yang kalian lakukan untuk
kami. Kalian juga mengingatkan bagaimana menjadi bagian suatu
masyarakat. Dr. Ryan menghapus air matanya. "Yang tersulit bagi
kami sekarang ini adalah bahwa kami tidak bisa menjadi bagian
masyarakat untuk waktu yang lama. Kami harus terus pindah dan
merubah penampilan dan identitas kami. Tapi malam ini kalian
mengingatkanku bahwa kita semua merupakan anggota masyarakat
besar, seperti apa pun penampilan dan nama kami. Kita semua adalah
umat manusia. Dan selama kita percaya pada adanya kebenaran, kita
semua berperang dalam perang yang sama."
Kata-katanya disambut dengan tepuk tangan gegap gempita.
Mata Michael berkaca-kaca karena terharu. "Ayahku memang hebat,"
gumamnya.
"Anaknya juga hebat," kata Elizabeth lembut sambil mencoba
menahan tangis sekuat mungkin.
Dr. Ryan mengatakan akan pergi malam ini juga. Mana
mungkin dia sanggup mengucapkan selamat berpisah pada Michael?Lima belas
Pada jam sembilan malam, rumah keluarga Ryan kembali
normal. Polisi dan para tetangga sudah pulang. Jessica kembali ke
rumah Darcy untuk menelepon Sue di Ohio dan memberitahu bahwa
Eric Hankman sama sekali bukan pembunuh.
Akhirnya hanya Elizabeth yang masih ada.
"Michael," kata Dr. Ryan sambil meletakkan tangan di bahu
anaknya. "Malam ini kita akan mendapat pengawalan penuh dari
polisi, jadi kita bisa berangkat ke bandara. Pesawat akan berangkat
dalam dua jam." Beliau memandang Elizabeth dengan kaku. "Saya
menyesal tidak memberi cukup waktu untuk saling mengucapkan
selamat berpisah untuk kalian berdua."
Elizabeth menelan ludahnya. "Yang terpenting kalian bisa
meninggalkan Sweet Valley dengan selamat," katanya sambil
berusaha bersikap tegar. Rasanya sulit membayangkan bahwa Michael
akan pergi dan sesudah itu mereka tak akan dapat saling berhubungan
melalui surat atau telepon. Michael benar-benar akan lenyap dari
hidupnya, selamanya.
Waktu Dr. Ryan meninggalkan ruangan itu Elizabeth mulai
mengungkapkan semua perasaannya. "Mana mungkin aku tahan tanpa
tahu apa kamu baik-baik saja?"Michael memeluknya erat-erat. "Kamu akan tahu. Suatu hari
nanti mungkin masalah ini akan terlupakan dan kami bisa keluar dari
persembunyian. Kamu tahu, yang pertama kali akan kulakukan adalah
kembali padamu."
Elizabeth tak dapat menahan air matanya lagi. "Oh, Michael,"
ratapnya sambil menyembunyikan muka di leher Michael.
Michael mendorongnya sedikit untuk memandang wajah
Elizabeth. "Aku nggak akan melupakanmu, Elizabeth." katanya
bersungguh-sungguh. "Ayahku benar. Kamu mengajarkan keberanian
kepada kami."
"Aku?" kata Elizabeth. "Tapi kalianlah yang berani."
"Maksudku keberanian untuk mempercayai orang," lanjut
Michael lembut. Ia menyentuh lembut bibir Elizabeth dengan jarinya.
"Seperti aku mempercayaimu," tambahnya.
Elizabeth tahu dia tak akan sanggup lagi menanggung
penderitaan hatinya. "Aku nggak tahu apa nanti bakalan sanggup
melihat kalian pergi," katanya. Suaranya bergetar.
"Kalau begitu, kamu saja yang pergi lebih dulu," kata Michael
lembut. "Ayo kuantar ke mobilmu."
Elizabeth mengikuti Michael ke pintu depan. Sebelum keluar
rumah, Michael mengambil buku kumpulan puisi yang dibuang oleh
laki-laki abu-abu tadi. "Seharusnya aku tahu kamu nggak bakalan
meminta buku ini," katanya malu. Ditatapnya Elizabeth dengan tajam.
"Kamu mau menyimpankannya?" tanyanya. "Lagipula ini memang
milikmu. Semua yang kutulis di dalamnya untuk kamu."
Elizabeth tercekat. "Tapi ini kumpulan puisimu. Jangan
Michael, aku nggak bisa menerimanya!""Aku pingin memberikan puisi-puisi ini untuk kamu, Liz.
Menjelang tidur, bacalah puisi terakhir. Puisi itu kutulis akhir pekan
yang lalu waktu aku memikirkan bahwa mungkin akan ada sesuatu
yang memisahkan kita. Puisi itu menggambarkan perasaanku
padamu."
Elizabeth mengangguk. "Akan kusimpan catatan ini. Tapi kamu
harus menerima balasan dariku."
"Oh, Liz," kata Michael sambil memeluk Elizabeth untuk
terakhir kalinya. "Kamu memberikan hal terindah di dunia ini. Kamu
membuatku kembali mempercayai manusia."
Elizabeth tak dapat menjawab kata-kata Michael. Tapi dia tahu
bahwa Michael mengetahui jawaban dari sinar matanya.
*********
"Rasanya nggak percaya!" teriak Jessica. Dia sedang berada di
ruang tamu keluarga Wakefield bersama Darcy. Mereka menunggu
kedatangan Elizabeth. "Kamu nggak malu karena menyangka Eric ?
atau Michael ? atau siapa pun dia ? sebagai pembunuh?"
"Itu bukan salahku," kata Darcy marah. "Aku cuma berusaha
melindungi Liz."
"Yah," kata Jessica murung. "Tapi gara-gara kamu kita jadi
kelihatan konyol di depan orang banyak. Makin kupikirkan makin
nggak masuk akal rasanya. Maksudku, Eric nggak mirip pembunuh.
Seharusnya aku tahu itu." Dia menatap Darcy dengan penuh tekanan.
"Lagipula, aku pernah jadi saksi pembunuhan ? atau tepatnya
peristiwa pembuangan mayat. Aku dikejar-kejar si pembunuh. Aku
tahu seperti apa tampang seorang pembunuh. Dan memang enggak
mirip Eric Hankman!""Memang hebat!" kata Darcy tersinggung. "Kenapa kamu
nggak bilang sejak dulu? Kamu sendiri sama curiganya dengan aku
Jess!"
Jessica mengerutkan kening. Dia mulai berpikir mungkin ia
salah menilai Darcy Kaymen. Bukannya minta maaf karena
membuatnya mendapat banyak masalah yang memalukan, Darcy
malah menunjukkan sikap bahwa semua itu hanya kesalahan kecil.
Jessica mengira setidaknya Darcy mau memperbaiki keadaan dengan
menawarkan diri mengerjakan tugas-tugas Jessica di kantor. Atau ada
hal lain sebagai penyesalan.
Tapi rupanya Darcy benar-benar tak tahu malu. Dia bahkan
nggak mau bersabar menunggu Elizabeth pulang. Katanya dia capek
dan pergi tepat waktu kedua orang tua Jessica pulang bersama Adam
dan Steven.
"Apakah kalian nggak mengkhawatirkan kami?" tanya Jessica
waktu mereka memasuki ruang keluarga. "Aku dan Lizzie sedang
dalam bahaya besar." Matanya membesar waktu berusaha
menceritakan apa yang terjadi tadi. "Coba tebak, kami di rumah siapa
malam ini? Rumah Dr. Ryan, orang yang bersaksi melawan
DeLucca!"
"Ya, dan kalian pergi ke planet Mars," ejek Steven sambil
meremas rambut Jessica.
"Jessica, apa maksudmu sebenarnya?" tanya bu Wakefield.
"Pak Hankman," kata Jessica tenang, "ternyata adalah Dr. Ryan
dan sama sekali bukan Pak Hankman. Anaknya yang kita kenal
sebagai Eric sebenarnya juga bukan," gumamnya hampir ditujukan
pada dirinya sendiri.Tak lama kemudian pintu depan terbuka, Elizabeth masuk ke
ruang tamu. Mukanya sembab bekas menangis. Dia mendekap buku
tulis biru di dadanya.
"Ada apa sayang ?" Bu Wakefield cepat-cepat menghampiri
dan memeluk putrinya. Elizabeth menjauh sambil menggeleng.
"Saya sedang pingin sendirian," katanya putus asa. Dan
sebelum ada yang sempat berkata sepatah kata pun, Elizabeth naik ke
atas, dan membanting pintu kamarnya.
***********
Semula Elizabeth tak ingin membaca buku Michael. Dia
berusaha tidur tapi selalu terbangun karena mimpi-mimpinya. Ia
menangis setiap kali teringat pada semua kenangan suka dan duka
yang dialaminya. Akhirnya dia tak tahan lagi dan menyalakan lampu.
Diambilnya buku tulis Michael dari meja kecil di samping tempat
tidurnya. Baru melihat tulisan Michael yang kecil-kecil saja sudah
membuatnya sedih. Dia bertanya-tanya di mana keluarga Ryan berada
saat ini. Terbang ke manakah mereka? Apakah mereka akan selamat?
Elizabeth menelan ludahnya dan berusaha bersikap tegar. Dia
telah berjanji pada Michael akan tetap mempercayai hal-hal terbaik ?
tentang manusia, tentang takdir ? dan akan percaya bahwa Michael
dan keluarganya akan selamat serta berkumpul kembali. Itu yang akan
dilakukannya setiap kali teringat pada Michael. Tapi rasanya itu sulit
sekali dilakukan.
Dia membuka halaman terakhir buku tulis itu, jari tangannya
gemetar. Puisi yang ditulis dengan rapi itu berjudul "Puisi
Perpisahan". Waktu mulai membaca, air mata Elizabeth bercucuran. Ia
tak dapat berkata-kata. Puisi itu sangat gamblang dan menyedihkan.Sambil membaca puisi itu Elizabeth merasa seolah Michael berada di
sampingnya dan membacakan kata-kata itu langsung padanya:
Puisi Perpisahan
Kita saling menyentuh
Dan kau beri arti bagi hidupku
Kusibak dunia baru
Dan kukatakan cintaku padamu ?
semua belum terpuaskan,
sahabatku.
Bagi duniamu
yang ceria dan penuh harapan
membuatku tak sanggup menanggung pilu saat mengucap
selamat berpisah.
Anggaplah itu tak penting bagi kita
Berjanjilah di mana pun aku berada
di situlah engkau ada
di mana tiada kata "selamat berpisah"
di mana kita kan "selalu" bersama
dan cinta kita adalah jembatan, penghubung,
penyambung, penyatu segalanya.
Elizabeth meletakkan buku tulis itu. Air mata mengalir di
wajahnya. Dia tak tahu apakah suatu saat akan menemukan tempatseperti yang digambarkan Michael. Yang dia tahu hanyalah bahwa ia
tak akan melupakan Michael sepanjang hidupnya.
***********
"Rasanya nggak percaya peristiwa itu baru terjadi hari Senin
yang lalu," kata Darcy. Saat itu Rabu pagi, dia sedang duduk di
mejanya di kantor The News. Ia melamunkan Christ Wyeth yang kini
ditahan tanpa jaminan.
"Yah," kata Jessica sambil menoleh untuk melihat reaksi
Elizabeth. "Rasanya sudah berabad-abad yang lalu."
Elizabeth tak menjawab. Kenangan itu tergambar jelas dalam
ingatannya sehingga dia hampir tak percaya bahwa waktu telah
berlalu dengan cepat sejak Michael dan ayahnya pergi.
"Aku pingin tahu, di mana Dr. Ryan sekarang," kata Darcy
tanpa menyadari bahwa hal itu bukan topik yang tepat untuk
dibicarakan di depan Elizabeth.
Tapi Elizabeth tampak tabah. "Kuharap mereka terhindar dari
pengejarnya seperti kejadian lalu," katanya dengan suara bergetar.
"Kuharap mereka selamat."
Setelah memulai, tampaknya Darcy siap berbicara panjang
tentang kehidupan pribadi Elizabeth. "Lalu kamu mau apa sama
Jeffrey, Liz?" tanya Darcy penuh minat. "Kamu mau cerita tentang
Eric?maksudku ? Michael?"
Elizabeth menatap Darcy. "Kurasa pertanyaanmu terlalu
pribadi," katanya tenang.
Jessica mendengarkan pembicaraan itu dengan penuh perhatian.
Sebenarnya dia sendiri sangat penasaran dan ingin menanyakan halyang sama. Tapi ia takut membicarakannya dan menunda sampai
Elizabeth tidak terlalu perasa lagi terhadap masalah itu.
"Aku cuma pingin tahu aja," kata Darcy cepat. "Kamu nggak
perlu kesal, Liz."
Elizabeth diam. Dia juga sadar bahwa hal itu harus
dibicarakannya dengan Jeffrey. Kekasihnya harus tahu bagaimana
perbedaan hidupnya akibat perasaannya terhadap Michael. Tapi dia
tak dapat memikirkannya sekarang. Masih terlalu dini, dan rasa sakit
akibat perpisahan itu masih sangat terasa.
Saat ini dia hanya perlu mengingat apa yang diajarkan keluarga
Ryan tentang keberanian. Dan itu berarti ia harus percaya bahwa
mereka akan selamat dan bahwa Michael juga sedang memikirkannya
dengan perasaan penuh kasih sama seperti yang dirasakannya waktu
memikirkan Michael.
"Kamu tahu," kata Jessica penuh pemikiran, "rasanya aneh
karena banyak kejadian menakutkan selama musim panas ini. Coba
pikir. Mula-mula kita terlibat dalam peristiwa pembuangan mayat
Laurie oleh Tom Winslow. Lalu beberapa minggu kemudian kita
ketakutan karena polisi menuduh Adam sebagai pembunuhnya.
Sesudah itu Pak Hankman dan anaknya muncul, dan ternyata mereka
adalah pahlawan negara yang sedang menyamar dan dikejar-kejar para
penjahat!" Jessica bersandar di kursi dan menatap langit-langit.


Super Thriller Sang Pelarian Karya Francine Pascal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kamu nggak menduga-duga kira-kira bakalan ada kejadian apa lagi?"
Darcy memandang Jessica dengan pandangan melecehkan.
"Aku sudah tahu mau ada apa nanti. Kita bakalan dapat tumpukan
tugas membosankan dari Dan, juga Seth."Jessica tak menanggapi komentar Darcy. Dia menganggap sikap
Darcy salah. Menurutnya, sampai saat ini Sweet Valley adalah tempat
yang menyenangkan. Dia menduga-duga misteri apa lagi yang akan
muncul sesudah ini. END
Pendekar Remaja 13 Rajawali Emas 46. Panah Cakra Neraka Lambang Naga Panji Naga Sakti 8

Cari Blog Ini