Sweet Valley Twins Super Chiller Topeng Terkutuk Bagian 1
Satu "Pumpkin bells, pumpkin bells, pumpkin all the way!" Hari itu
adalah hari Jumat pagi di bulan Oktober dan Elizabeth Wakefield
sedang bernyanyi gembira sambil berjalan ke sekolah. "Oh labu, apa
yang akan membuat ceria untuk Halloween hari ini."
Saudara kembarnya, Jessica, melotot kepadanya. "Sejujurnya,
Lizzie," jawabnya dengan mendesah. "Bisakah kamu berpikir dengan
akal sehatmu?"
Elizabeth tersenyum. "Kalau kamu tidak suka yang itu,
bagaimana kalau ini: O pohon labu, o pohon labu, indahnya cabang
pohonmu."
"Jelek," jawab Jessica dengan merengut. "Pohon labu tidak
punya cabang pohon."
"Kamu benar," Elizabeth mengaku. "Bagaimana kalau ini: O
pohon labu, O pohon labu, Aku trick-or-treat seperti Frankenstein?"
Jessica mengerang. Kadang-kadang Elizabeth terlalu kekanakkanakan! Tiba-tiba ritme melintas di kepalanya. "O pohon labu, O
pohon labu," ia berpuisi, untuk memastikan agar ia tidak menyanyikan
kata tersebut, "bawalah saudaraku yang masih muda ini." Ia tertawa
dan berlari."Apa yang menarik dari Halloween?" tanya Elizabeth sambil
mencoba untuk menyusul. "Aku kira kamu suka."
"Ya, tentu saja aku suka," jawab Jessica sambil menunggu
kembarannya." Tapi yang aku suka adalah Halloween." Matanya
bersinar ketika ia berpikir kesitu. "Kamu tahu. Halloween yang
menyeramkan, mengerikan." Ia menurunkan nada bicaranya sampai
tingkat yang paling menyeramkan. "'Bulan purnama'?Jessica
menunjuk ke langit?dan serigala-serigala mengaum: Auuuuu!" Ia
mengangkat ranselnya. "Hantu, setan dan nenek sihir? dan juga
termasuk orang yang berjalan dengan kertas tua dan dengan rongga
mata yang sudah berlubang," tambahnya dengan cepat, sebelum
Elizabeth berkata sesuatu.
"Aku juga suka yang seperti itu," jawab Elizabeth. "Tapi apa
salahnya dengan labu dan nyanyian-nyanyian?"
Jessica menatap kembarannya dan berkeluh. "Jangan-jangan
kamu juga suka main tukar-tukaran apel."
Elizabeth tampak terkejut. "Tentu saja aku suka. Semua juga
suka, kan?"
Jessica berbalik dan mulai berjalan lagi. "Ya ampun. Aku tak
akan main tukaran apel walaupun kamu bayar. Itu mainan anak-anak."
Ia memutar-mutarkan matanya. "Memangnya berapa sih umurmu,
tujuh tahun?"
"Kamu kan tahu umurku berapa, aku 12 tahun," jawab
Elizabeth. "Dan aku ingat kamu juga suka main tukar-tukaran apel?"
"Itu bertahun-tahun yang lalu," potong Jessica.
"Tidak!" Elizabeth menatap Jessica dengan terkejut. "Itu baru
tahun lalu."Jessica merengut. "Oh ya, tapi beda dengan tahun ini,"
jawabnya dengan cepat, matanya mengedip.
Elizabeth tertawa. "Untuk sebagian orang, itu mungkin."
"Untuk lebih pasti. Aku tahu seseorang yang tidak pernah
berubah," jawab Jessica. "Kamu!"
Jessica menatap lembut kakaknya, sama persis seperti dirinya.
Mereka berdua duduk di kelas enam Sweet Valley, mempunyai
rambut panjang dan pirang, mata biru kehijauan dan lesung pipit di
pipi kirinya. Tapi Jessica selalu heran oleh perbedaan sifat mereka
berdua.
Elizabeth seorang yang pendiam dan serius serta selalu berkata
lembut pada semua orang bahkan kepada kakaknya, Steven.
Walaupun ia suka berkumpul dengan teman dan keluarganya, ia
banyak menghabiskan waktunya dengan membaca dan bekerja di
koran sekolah, The Sweet Valley Sixers. Sebaliknya, Jessica suka
dengan gosip, mode dan teman. Ia sangat ingin menjadi pusat
perhatian dan ia merasa dirinya matang dan dewasa. Ia menyayangi
kakak kembarnya lebih dari segalanya, tapi kadang-kadang Jessica
suka berpikir, Elizabeth itu bertingkah laku kekanak-kanakan. Seperti
sekarang ini.
"Aku bermimpi menjadi sebuah labu kuning..."
Elizabeth bernyanyi ketika mereka melewati sebuah rumah
dengan sebuah labu besar dipajang di depannya.
"Hentikan! Kamu memalukan aku!" kata Jessica sambil
mencolek kakaknya.
Elizabeth tertawa. "Tak ada orang lain di sini kecuali kita.""Aaron kadang-kadang lewat sini," Jessica berkata penuh arti.
Ia berbicara tentang Aaron Dallas, salah satu cowok paling ganteng di
kelas enam dan Jessica adalah pacarnya.
"Ya, kalau kamu lihat Aaron, aku akan tutup mulut," kata
Elizabeth kepada Jessica. Ia mulai menyanyi lagi. "Halloween
sebentar lagi! Labu-labu mulai berisi! Tolonglah untuk?"
"Aaron datang!" bisik Jessica. "Jangan menyanyi lagi!"
Elizabeth berhenti menyanyi dan mengikuti tatapan Jessica.
"Dimana, Jess ?" tanyanya dengan curiga.
"Tak ada dimana-mana," jawab Jessica sambil tertawa. "Aku
hanya ingin tahu apa kamu mau berhenti bernyanyi bila kukatakan hal
itu kepadamu."
"Oh, sangat lucu, Jess!" Elizabeth berpura-pura mengayunkan
ranselnya ke arah Jessica, yang melompat dekat di sampingnya.
Elizabeth sangat mudah untuk dibohongi, pikir Jessica. Itu akan
sangat membantu untuk menguji janji-janjinya!
"Kamu tahu kan," lanjut Elizabeth sambil menggeleng, "suatu
hari nanti aku akan berhenti mempercayai semua perkataanmu lalu
apa yang akan terjadi?"
Jessica mengejek. "Itu tak akan pernah terjadi," jawabnya
dengan yakin ketika mereka sampai di gerbang sekolah.
"Jangan terlalu yakin," kata Elizabeth sambil tertawa. "Hei
kamu sudah mempersiapkan kostum untuk Halloween belum?
Waktunya tinggal seminggu lagi."
"Belum banyak." jawabnya enteng."Ingat tidak ketika kita jadi monster laut berkepala dua?"
Elizabeth berkata dengan mata berbinar. "Kita membuat ekor
panjangnya dari bubur kertas berkanji dan mencat hijau wajah kita?"
Jessica menghentikan jalannya. "Aku tak percaya kamu
mengungkapkan ide tua itu lagi," jawabnya dengan pelan, takut kalau
ada yang mendengar. "Maksudku berbicara tentang kostum cacat itu."
Elizabeth menghampiri kembarannya. "Apa maksudmu cacat?"
tanyanya dengan muka masam. "Semua orang berkata bahwa itu
adalah kostum terbagus yang pernah mereka lihat."
Jessica menarik napas berat. Kadang-kadang ia suka heran
melihat Elizabeth bisa sangat pintar sekaligus sangat bodoh pada saat
yang bersamaan. "Itulah sebenarnya maksud yang ingin kukatakan,
Lizzie," jawabnya dengan suara kedewasaan. "Aku sudah kelas enam
sekarang. Aku bukan anak kecil lagi. Dan aku tidak ingin orang-orang
memanggilku 'iiiih imut-imut deh!'" Ia menirukan suara tetangga
sebelahnya, yang selalu memberi apel dan sikat gigi kepada trick-ortreaters.
Elizabeth tertawa tapi wajahnya kembali serius. "Kita baru
melakukannya dua tahun yang lalu, Jess. Maksudku?"
"Dua tahun yang lalu?" jawab Jessica dengan tiba-tiba. "Tidak
mungkin!" Ia melekukkan bibirnya dan memutar matanya. "Kita
seperti, seperti anak kelas satu. Paling tidak!"
"Tidak," jawab Elizabeth pelan. "Itu waktu kita kelas empat.
Aku ingat sebab pada waktu itu?"
"Baik, baik, kelas empat," potong Jessica, merasa bahwa
Elizabeth mungkin benar. "Peduli amat, pokoknya aku tidak akan
memakai kostum monster laut itu lagi, titik."Bagaimanapun juga. Ia berbicara sembari melipat kedua
tangannya, bagaimana aku bisa bergandengan tangan dengan Aaron
pada malam Halloween kalau aku selalu menempel dengan
saudaraku?
Elizabeth mengangkat bahunya. "Baiklah," katanya. "Kita tidak
perlu memakai monster laut itu lagi. Tapi bagaimana kalau kita
memakai?"
Jessica menggeleng cepat. "Tidak, tidak dan tidak," jawabnya
dengan tegas.
"Aku bahkan belum bicara tentang apa yang mau dipakai," jelas
Elizabeth.
"Begini, Lizzie," ujar Jessica dengan sabar. "Pokoknya aku
tidak akan mau memakai kostum kembar lagi. Seperti?" ia mencari
kata yang tepat? "Seperti kekanak-kanakan."
Elizabeth cemberut. "Apa kamu tidak mau mendengar ideku?"
"Yah, sudah bel!" Jessica berkata cepat, tepat ketika bel
berbunyi. Ia bergegas menaiki tangga sekolah mendahului Elizabeth,
mencoba untuk tidak melihat kekecewaan di wajah Elizabeth.
**********
"Malam menyeramkan, malam menakutkan!" Maria Slater
bersenandung ketika ia dan Elizabeth menuju ke meja kafetaria
langganannya untuk makan siang.
Elizabeth memainkan alisnya. Entah apa yang akan terjadi
selanjutnya? Aha! "Halloween itu sangat menakutkan!" ia bernyanyi
kembali."Bagus!" Maria menggeser bakinya tepat disamping temannya
Amy Sutton. "Ada nenek sihir mengendarai sapu ijuk?"
senandungnya.
"Sebaiknya beri dia tempat yang luas!" tambah Amy. Elizabeth
bertepuk tangan dan mata Amy membesar. "Aku tidak berpikir
demikian," bisiknya. "Aku hanya membuka mulut dan?kata itu
langsung keluar begitu saja."
"Halloween akan lakukan itu untukmu," kata Maria dengan
senyum. "Sekarang yang kita butuhkan adalah baris terakhir." Ia mulai
menggaruk kepalanya.
"Bagaimana kalau ini?" tanya Elizabeth. Ia baru saja mendapat
ide. "Setan-setan membuat tulangmu gemetar!" ia bernyanyi dan
Maria dan Amy bergabung: "Setan-setan membuat tulangmu
gemetar." Ebukulawas.blogspot.com
"Kalian tahu. Aku pikir kita ini sebenarnya berbakat, lho," kata
Amy dengan antusias. "Kita harus menulisnya sekarang."
Maria menyeruput jusnya. "Ide bagus. Hei, Elizabeth,
bagaimana kalau kamu masukkan beberapa lagu Halloween kita di
koran The Sweet Valley Sixers?"
Elizabeth menggelengkan kepalanya. "Aku tidak punya waktu."
"Aku juga," kata Amy. "Lucu juga?sepertinya waktu kita
masih kecil, kita selalu merencanakan hari Valentine atau yang lain
dengan matang. Tapi sekarang kita selalu menundanya sampai saatsaat terakhir."
"Ya, aku rasa merencanakan kostum tidak seseru waktu dulu,"
kata Elizabeth yang tidak bisa menyembunyikan rasa kecewanya."Ada apa, Elizabeth?" tanya Amy, menunjukkan
kepeduliannya.
"Ah, enggak apa-apa kok." jawabnya enteng "Hanya saja?"
"Ceritakan pada kami," kata Maria sambil melahap
sandwichnya.
Elizabeth memainkan jarinya ke rambutnya dan mengambil
napas panjang. "Aku ingin menggabungkan kostumku dengan
Jessica," jelasnya. "Kamu tahu kan, seperti tahun lalu ketika kami jadi
monster laut berkepala dua dan dua tahun yang lalu ketika kami jadi
sepasang sepatu tennis?"
Amy mengangguk. "Itu kan bagus. Kalian kelihatan kompak
satu sama lain."
"Tapi tahun ini, Jessica tidak mau lagi yang seperti itu. Ia bilang
hal itu kekanak-kanakan."
"Kekanak-kanakkan!" tegas Maria. "Apa yang kekanakkanakkan dari sepasang sepatu tenis?"
"Aku rasa merknya Weeboks," ujar Elizabeth sambil
mengingat-ingat.
"Ya, kamu bisa membuatnya jadi Nike atau malah Air Jordan,"
usul Maria. "Aku bertaruh Jessica tidak sungguh-sungguh berfikir itu
kekanak-kanakkan. Aku rasa ia hanya ingin dekat-dekat dengan Aaron
Dallas?tanpa ada kamu di sampingnya."
"Ya, mungkin?" Elizabeth memulai, ketika sebuah pikiran
melintasi kepalanya. "Hei! Mungkin kita bertiga bisa melakukan
sesuatu bersama-sama! Maksudku kalian kan belum ada rencana
untuk melakukan sesuatu," sambarnya dengan cepat. "Kalau kalian
pikir itu merupakan ide yang bagus.""Aku rasa itu ide yang bagus!" teriak Amy.
"Maria mengangguk girang. "Apa yang akan kita lakukan?"
tanyanya. "Kamu punya ide enggak?"
"Mmm, Aku sedang berpikir menjadi sebuah komputer," ujar
Elizabeth. "Aku berpikir Jessica menjadi monitornya dan aku menjadi
keyboardnya dan seutas kabel terentang diantara kita."
Maria tertawa. "Bagaimanapun juga, aku rasa dia bukanlah
satu-satunya orang di dunia ini yang senang berkostum komputer."
"Betul juga," aku Elizabeth. "Bagaimanapun juga itu kan adalah
ide dari dua orang dan kita ini bertiga, jadi kita harus berpikir yang
lain."
Amy kelihatan sedang berpikir. "Apa ya yang biasa mereka
katakan pada Superman?" tanyanya. "Bagaimana dia memerangi
kejahatan yang tak pernah berakhir untuk kebenaran, keadilan dan
dengan cara Amerika? Jadikan saja kebenaran, keadilan dan dengan
cara Amerika!"
Maria menggelengkan kepalanya. "Orang-orang akan berpikir
keras untuk mengenali kita," katanya. "Bagaimana kalau Tweedeldee,
Tweedledum dan Tweedledumber?" matanya langsung berbinar.
"Pasti dari Alice in Wonderland?" tanya Amy dengan tertawa.
"Aku suka itu!"
"Aku tidak tahu," Elizabeth keberatan. Ia menaruh garpunya.
"Ide tweedledumber itu kedengarannya agak-agak kasar."
Maria melipat bibirnya. "Aku tidak berpikir demikian, tapi aku
rasa kamu benar. Bisakah kamu pikirkan yang lain?"
Elizabeth mengunyah kentang gorengnya sambil berpikir.
"Mmm mungkin kita bertiga bisa bergabung menjadi satu kostum?bukan tiga kostum jadi satu tapi satu kostum yang terbagi menjadi tiga
bagian. Bagaimana kalau?" Sebuah ide mulai terbentuk di kepalanya.
"Kamu tahu kan kaca-kaca di department store yang punya tiga sisi?"
tanyanya. Amy mengangguk. "Bagaimana kalau seperti itu? Kalau
kita punya kertas timah yang besar dan kita berjalan berdampingan?"
Maria kelihatan ragu. "Apa tidak sulit untuk selalu berjalan
bersamaan?" tanyanya. "Dan bagaimana untuk kepalanya?"
"Oh iya, kepalanya," gumam Elizabeth, sambil mengambil kue
dari nampan. "Aku rasa itu enggak akan berhasil, deh."
"Aku tahu!" seru Maria. "Bagaimana kalau kita buat kostum
tiang totem? Masing-masing membuat topeng. Lalu kamu naik di atas
punggungku, Elizabeth." Suara Maria makin bersemangat. "Lalu Amy
naik di atas punggung Elizabeth dan?"
"Dan Amy langsung jatuh tersungkur!" sambung Amy dengan
tertawa. "Kamu tidak kuat untuk menahan kami berdua, Maria."
Elizabeth menyeruput susunya. "Bagaimana kalau kita
bergantian saja untuk jadi bawahnya."
Amy menggelengkan kepalanya. "Percayalah padaku. Aku
adalah anggota Booster Squad. Kami tidak pernah membuat tumpukan
sampai lebih dari dua orang. Terlalu berat untuk yang di bawah dan
terlalu tinggi untuk yang di atas." Ia melihat jamnya. "Waduuh! Sudah
hampir bel."
Maria berdiri dan mulai menumpuk piringnya di atas nampan.
"Kalau begitu marilah kita pikirkan terus jalan keluarnya. Elizabeth
kamu masih ingat pesta nanti malam, kan?"
"Bagaimana bisa lupa?" Elizabeth menjawab dangan nada
gembira. Nyatanya dia sadar dengan kejadian tadi, dia lupa akansegalanya. Ia dan Jessica rencananya akan mengadakan malam pesta
piyama pra-Halloween di rumahnya malam ini dan semua teman
Sweet Valley Twins Super Chiller Topeng Terkutuk di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mereka akan datang. "Bagaimana kalau kalian tunggu aku di gerbang
sehabis sekolah dan kita pulang bersama ke rumahku?"
"Boleh-boleh aja deh?kita kan The Tree Musketeers!" ujar
Amy dengan tertawa.
"Hey, kita bisa aja jadi Tiga Tikus Buta Halloween!" usul Maria
dengan semangat.
"Atau Tiga Babi Cilik," sambung Elizabeth. Bel berbunyi tapi
tidak seorangpun dari mereka beranjak ke kelasnya.
"Bagaimana kalau Tiga Beruang, seperti cerita Goldilocks?"
Maria tertawa ketika melontarkan idenya.
"Tidak, tidak, tidak, aku sudah punya ide," potong Amy. "Kita
bisa jadi Tiga Anak Kucing? kamu tahu kan, itu lho salah satu
kucing yang kehilangan sarung tangan."
"Enggak usah susah-susah," Elizabeth menyela. "Jadi sarung
tangannya aja!"
Maria tertawa, saat itu juga bel berdering.
"Kita harus cepat-cepat pergi," ujar Amy. "Kalau tidak buruburu bisa-bisa kena hukuman karena terlambat masuk kelas."Dua
"Terakhir kali yang datang kerumahku adalah labu busuk!"
Jessica menangis di depan teman-temannya yang juga anggota
Klub Unicorn sehabis pulang sekolah siang itu. Klub Unicorn adalah
sekumpulan gadis-gadis yang merasa dirinya tercantik dan terpopuler
di Sweet Valley Middle School dan Jessica senang sekali bisa
bergabung dengan mereka.
"Betul Jessica, itu sangat muda," Janet Howell berkata. Ia
adalah anak kelas delapan dan ketua dari Klub Unicorn dan ia juga
mengira dirinya yang paling berpengalaman di Sweet Valley Middle
School. Tapi Jessica tahu bahwa Janet sebenarnya mengejar-ngejar
dirinya dan juga gadis-gadis lainnya.
Jessica menoleh ke pundaknya. "Sebaiknya cepat-cepat, Lila!"
ia memanggil Lila Fowler.
Lila menarik napas panjang sambil berjalan pelan. "Aku tak
bisa berlari," jelasnya. "Anjuran dokter."
Jessica melambatkan lajunya. Lila dikenal pandai
mendramatisir keadaan, tapi masih belum pasti juga. "Anjuran
Dokter? Kenapa?" ia ingin sekali tahu.
Lila memutar bola matanya dan menjejakkan kaki kirinya
dengan hati-hati. "Oh dia tidak tahu pasti," jawabnya sambil meringisketika menaruh kakinya. "Apapun itu penyakitnya, pasti serius. Aku
mungkin?ah?ow?tidak bisa berjalan lagi."
"Wah itu buruk sekali," Mandy Miller berkata, mukanya
berkerut menandakan kepedulian.Lila melangkah lagi sambil
berpegangan. "Sudah berapa lama penyakit ini kamu derita?"
"Oh, sudah beberapa bulan," Lila memberitahunya. "Aku hanya
tidak ingin membebani kalian dengan masalahku." ia berjalan tertatih
hingga menyusul Jessica.
Sejak kapan? Jessica bertanya pada dirinya. Kamu selalu
menceritakan semua masalahmu. Mengapa kali ini tidak? Dan juga,
mengapa kamu tidak berjalan seperti itu ketika meninggalkan sekolah
"Bagaimana dengan pelajaran seluncur indahmu Lila?" Ellen
Riteman bertanya, "Maksudku, kalau kamu tak bisa berjalan?"
"Oh, seluncur indah?" Lila tertawa, sambil menyeret kakinya.
"Seluncur indah itu bukan masalah. Cuma berjalan saja yang aku tidak
bisa."
Jessica menangkap pandangan Mandy. Gadis-gadis itu tertawa
satu sama lain. Jessica sedang mau bertanya pada Lila tentang cara
jalannya yang misterius ketika Janet berbicara.
"Hei, Jessica, siapa yang punya tempat ini?" Janet menoleh ke
sebuah bangunan yang mereka lewati.
"Itu disebut rumah tua Luna," Jessica memberitahu temantemannya. Ia menyentuh pagar berkarat yang mengelilingi bangunan
itu. Jessica memberanikan dirinya. "Sepertinya tempat ini cocok buat
pesta Halloween, benar kan?"
"Tidak mau," Janet berkata. "Bukan saja menyeramkan, tapi
juga sudah mau runtuh."Lila tertawa. "Lihat catnya yang sudah terkelupas,"ujarnya.
"Aku bertaruh terakhir kali bangunan ini di cat sekitar 500 tahun yang
lalu. Ini mengingatkan aku. Apa kalian semua sudah pernah melihat
cat baru di kamarku?"
"Maksudmu yang kuning belang-belang itu?" Jessica bertanya.
Lila memutar matanya. "Itu bulan kemarin. Ayah memanggil
tukang-tukang cat itu kembali. Sekarang cat kamarku menjadi bintikbintik ungu polka." Ayah Lila adalah salah satu orang terkaya di
Sweet Valley dan ia selalu memberikan Lila apa yang ia inginkan.
"Berapa kali kamarmu dicat tahun ini, Lila?" Mary penasaran.
"Tiga kali, sejak Tahun Baru," jawab Lila dengan muka
gembira. Ia melangkah mendekati Jessica untuk memperoleh
pandangan yang jelas ke rumah tua Luna. "Aku rasa bintik-bintik
ungu polka belum bisa memperbaiki tempat ini," tambahnya.
Sebelum Jessica menunjukkan bahwa Lila dapat berjalan
normal sekarang, ia melihat sesuatu yang sangat menakutkan.
Elizabeth, Amy dan Maria datang menghampiri mereka sambil
bernyanyi. "Hei, trick-or-treaters bernyanyi!" dengarnya.
Jessica menunduk Mengapa Elizabeth selalu saja
mempermalukanku di depan teman-teman?
Janet menggulung bibirnya. "Apa kita tahan dengan mereka
sepanjang malam?" pintanya sambil menunjuk pada Elizabeth.
"Tidak apa-apa, Jessica," ujar Lila. "Maksudku, seberapa
kekanak-kanakannya sih mereka?"
"Cukup kekanak-kanakan, saya bilang sih," jawab Janet sambil
berdecak pinggang."Hai, teman-teman!" Maria memanggil sambil ia, Amy dan
Elizabeth bergabung dengan Unicorn.
"Hai." Jessica terpaksa senyum. "Kita baru saja mengamati
rumah tua Luna ini sebelum pulang," ujarnya, berharap agar Elizabeth
dan temannya melupakan lagu-lagu tersebut.
"Coba kalian lihat warnanya," ujar Ellen sambil membuka
matanya lebar-lebar. "Sangat menyeramkan."
"Benar." tambah Lila. "Siapapun yang tinggal di sana pasti
memerlukan seorang dekorator handal."
"Bicara mengenai warna," lanjut Ellen, "apakah kalian
memperhatikan warna sweater ungu baruku, ternyata cocok dengan
rambutku?" ia membersihkan sweater dengan jarinya.
"Bagus sekali," jawab Amy, sambil bertukar pandangan pada
Elizabeth.
"Tak heran mereka memanggilnya rumah tua Luna!" seru Janet.
"Kamu harus gila terlebih dahulu untuk tinggal di sini. Lihatlah
pemotong rumput karatan itu. Aku rasa mereka tidak pernah
memasukkannya ke dalam kalau hujan."
"Wanita yang pernah tinggal di sini pernah disangka penyihir,"
Jessica menambahkan.
"Jessica," sahut Elizabeth mengingatkan.
"Seorang nenek sihir?" ujar Janet dengan terkejut.
"Apa benar?" Mata Mandy membesar.
"Benar," sahut Jessica dengan yakin, karena senang semua
orang mendengarkannya. "Kamu bisa perhatikan, tak banyak anjing
liar di daerah ini. Orang bilang ia memakannya?lalu menyihirnya
jadi permen.""Jessica!" seru Elizabeth. "Siapa yang bilang?"
"Apa lagi yang ia lakukan?" Janet langsung memotong.
Jessica kelihatan misterius. Mmm, Apa lagi ya? "Kadangkadang orang-orang bilang mereka suka mendengar jeritan-jeritan
yang datang dari rumah itu pada malam hari," tambahnya, sambil
merendahkan suaranya. "Mereka bilang ia suka menculik anak-anak
kecil sehabis gelap dan menawannya di bawah tanah."
"Jessica!" Elizabeth berseru kali ini lebih keras.
"Ih mengerikan!" sahut Ellen "Ayo ceritakan lagi."
Mata Jessica berkilat-kilat "Mmm?"
"Tunggu sebentar," Elizabeth menatap Jessica. Tangannya
dilipat ke dada. "Siapa yang bilang semua ini? Siapa yang dengar
teriakan? dan anak siapa yang hilang di daerah ini, lagipula?"
Jessica menggigit bibirnya. "Mmmm?"
"Kamu sama sekali tidak tahu kan wanita yang tinggal di sini,
ya kan?" sahut Elizabeth, menantangnya.
"Tentu saja," Jessica menjawab. Dia mulai memainkan jarinya
"Pertama, ini rumah kepunyaannya. Kedua, dia tidak punya cukup
uang untuk memperbaiki rumahnya dan dia juga tidak punya pikiran
untuk memasukkan pemotong rumput itu ke dalam?"
Ellen tertawa. "Itu yang Ketiga!" Ia mengangkat jarinya dengan
bangga.
"Maksudku bukan itu dan kamu tahu itu!" Elizabeth berkata
dengan kesal. "Perlu kalian ketahui, wanita itu sangat baik." Ia
menatap Janet "Dan juga tempat itu dinamai Luna bukan karena gila
atau sinting."
"Ya, Sorry deh," sahut Janet sambil memutar bola matanya."Luna berarti lain," lanjut Elizabeth. "Itu dari bahasa Latin atau
Yunani atau Ibrani; atau yang lain lah. Dan itu artinya?ada
hubungannya dengan bintang, aku rasa."
Jessica mengambil napas. Tentu saja ia tahu bahwa Elizabethlah
yang benar. Elizabeth selalu benar. Tapi kadang-kadang dia agak
terlalu?ya, agak terlalu baik. Lagipula siapa yang peduli jika mereka
menertawakan sejumlah wanita tua? "Ayolah, teman-teman," sahutnya
kepada teman-temannya ketika ia mulai berlari menyusuri blok
menuju rumahnya. "Ayo."
Kali ini Jessica memperhatikan, semua anggota Unicorn lari
bersama-samanya-termasuk Lila.
Elizabeth memperhatikan Unicorn lari sambil bermuka masam.
"Aku pikir Jessica itu adalah yang terbaik," ia berkata pada temantemannya, "tapi bisa-bisanya ia berteman dengan gadis-gadis sok, apa
yang ia cari dari gadis-gadis yang?"
"Agak-agak kejam," Amy menyelesaikannya. "Apa kamu pikir
Jessica hanya mengarang saja tentang wanita yang tinggal di sini."
"Tentu saja," tegas Elizabeth. "Ia hanya pamer saja pada temantemannya."
Tapi tetap saja ia tak dapat menyembunyikan ketakutannya
ketika melihat tempat tua tersebut. Catnya berantakan dan atapnya
bolong-bolong.
"Mmm, bisakah kita pergi ke tempatmu, Elizabeth?" tanya
Maria.
"Baik," Elizabeth setuju. Ia melihat dari rumah itu dan
memperhatikan bulan di langit tepat di atas atap dari rumah tua
tersebut.Aneh, pikir Elizabeth. Ia mengedipkan matanya. Apa dia
sedang melihat sesuatu?
"Elizabeth!" Maria melambaikan tangan tepat di depan
mukanya.
Elizabeth tertawa. "Maaf, aku rasa aku sedang melamun
sebentar. Maksudku, kamu lihat tidak?"
"Lihat apa?" Amy kebingungan.
Elizabeth menunjuk langsung ke bulan "Lihat Bulan."
"Ya benar, ada bulan di atas sana," sahut Amy. "Bulan separo
yang bagus. Memangnya kenapa?"
"Itu seperti?" Elizabeth memulai. "Seperti?" Apa sebenarnya
yang ia lihat? Ia mencoba lagi. "Seperti bulan yang tiba-tiba
berangsur-angsur penuh," jawabnya sambil berpikir kembali.
"Kayaknya normal-normal aja deh," Amy memberitahukannya
sambil menatap bulan lagi.
"Ya. Sepertinya sudah kembali normal seperti tadi," Maria
setuju.
"Nah, Sekarang sudah benar-benar normal," Elizabeth
meyakinkan. "Tapi beberapa menit yang lalu tidak seperti ini. Kamu
tidak memperhatikan?"
"Tidak." Amy menatap curiga pada Elizabeth. "Kamu baik-baik
saja kan Elizabeth?"
"Baik," Elizabeth menjawab dengan keras kepala. "Itu
berangsur-angsur membesar tepat sebelum ada angin dingin?" Ia
mempelajari wajah teman-temannya. "Kamu tahu tentang angin itu
kan?"
Dengan pelan mereka menggelengkan kepala.Elizabeth menatap Maria kemudian Amy. Dengan curiga
mereka menatap bulan itu sekali lagi.
Baik, sekarang sudah normal, pikirnya.Tapi ada yang aneh
sesaat tadi, dan aku tahu itu!
Tapi mengapa Amy dan Maria tidak tahu apa yang aku
bicarakan?Tiga
"Pesta piyama adalah yang terbaik," sahut Jessica dengan
gembira beberapa jam kemudian. Ia sedang duduk di ruang keluarga
Wakefield, dikelilingi beberapa kotak es krim yang telah kosong dan
yang tersisa adalah beberapa botol minuman root beer. "Apa masih
ada kue yang tersisa?"
"Ada sedikit." Elizabeth menyodorkan piring kue dan Jessica
mengambil kue coklat chip tersebut.
"Aku sedang memikirkan kostum Halloween yang bagus," ujar
Mandy. "Aku punya banyak ide, tapi tak satupun ada yang cocok.
Bagaimana dengan kalian?"
Jessica menelan kuenya. Ia baru saja menemukan ide tadi siang
dan dia menunggu waktu yang tepat untuk mengatakannya. Dan
kelihatannya agak susah untuk mengatakannya! "Mmmm?"
"Tebak aku akan jadi apa nanti," potong Lila.
Ah sial, pikir Jessica dengan kesal. Dia selalu menyerobot.
"Apakah lebih besar dari kotak roti?" tanyanya sambil menggerutu.
Lila menolehkan pandangannya. "Yang serius dong, Jessica,"
ujarnya. "Ada tebakan lain?"
Elizabeth mengangkat bahunya. "Kamu akan menjadi seorang
penari."Lila menepuk kepalanya dengan tangan. "Sedikit lagi!"
sahutnya dengan didramatisir. "Kamu pasti punya tebakan atau
sesuatu. Tapi itu belum benar. Ada yang lain?"
"Mmm jadi mayoret?" tebak Jessica penasaran.
"Uh-uh." Lila menggelengkan kepalanya. "Enggak ada apa-apa
di tanganku."
"Perenang indah?" tebak Mary.
"Bicara tentang renang," potong Janet, "ramalan bintangku pagi
ini mengatakan bahwa aku ini sehalus dan secantik ikan tropis."
"Bukan, bukan perenang," jawab Lila tanpa menghiraukan
Janet. Matanya berbinar. "Tapi paling tidak dia biasa di air." Ia
menunjuk kakinya dan tertawa.
Jessica menjentikkan jarinya. "Peseluncur indah!"
"Benar!" Lila kegirangan. "Tebakan bagus, Jessica."
Jessica tersenyum. Ia tidak merasa bahwa ia telah menebak
dengan mudah karena ia juga berencana untuk menjadi peseluncur
indah. Tidak tahunya Lila telah mencuri idenya!
Janet memutar bola matanya. "Lagipula, sebagai ikan tropis
yang terindah dan terhalus akan membuatku mendapat banyak
perhatian bulan ini."
"Sekarang, tebak peseluncur indah mana yang akan aku pakai?"
Lila mengambil alih pembicaraan.
"Ya ampun, memangnya ada berapa banyak?" potong Janet.
"Aku akan dapat perhatian dari pengagum rahasia yang akan?"
"Ingat Kelly Ireland?" potong Lila lagi."Kelly Ireland?" Jessica langsung duduk. Siapa yang tidak ingat
Kelly Ireland, peraih medali emas Olimpiade tahun lalu? "Kamu akan
trick-or-treater sebagai Kelly Ireland?"
"Ayah sudah membelikan kostumnya," sahut Lila sambil
tertawa.
"Kostumnya?" Jessica tidak percaya pada apa yang
didengarnya. Beberapa kali ia lihat kostumnya di TV. "Kamu
bercanda ya?"
Lila menggeleng dengan muka sombong.
Sweet Valley Twins Super Chiller Topeng Terkutuk di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kamu akan jadi apa nanti, Jess?" tanya Elizabeth penasaran.
"Ah, enggak tahu," jawabnya sambil menyilangkan jarinya di
punggung. Ia tidak akan menjadi peseluncur indah lagi, dan itu pasti!
Bagaimana dia bisa bersaing dengan Kelly Ireland? "Aku tahu apa
yang kita lakukan sekarang!" sahutnya tiba-tiba. "Mari kita mengontak
arwah di alam lain!"
"Itu ide yang bagus!" sahut Mary.
Bahkan Janet kelihatan senang. "Mari kita lakukan!"
**********
"Ini akan mengasyikkan," ramal Elizabeth sembari meletakkan
sebatang lilin di tengah-tengah lantai.
"Dimana kita duduk?" tanya Mandy.
"Dimana saja, selama tidak ada yang main curang," kata Amy
sambil melihat Lila.
"Hei, jangan lihat aku seperti itu dong," protes Lila.
Elizabeth tertawa. "Tidak ada yang menuduh kamu, Lila. Yang
terbaik adalah membuat semua orang berpegangan tangan.""Belum cukup," protes Ellen. "Seharusnya kita berpegangan
tangan dan kaki. Atau orang-orang di sini akan membuat keributan
dengan menabrakkan kaki mereka ketika lampu padam. "Ia melipat
badannya seperti kue kering. "Lihat?" katanya. "Duduklah seperti ini."
Elizabeth mengangkat alisnya. "Itu sepertinya sulit, Ellen,"
jawabnya. "Lagipula, aku pikir itu akan merusak kesenangan.
Mengapa tidak mempercayai satu sama lain saja?"
"Percaya satu sama lain?" Ellen memberikan pandangan
kosong, seperti dia tidak pernah mendengar kata itu sebelumnya.
Elizabeth merasa senang bahwa dia tidak bergabung dengan
Unicorn. "Marilah bergandeng tangan," sarannya lagi, ia bergandeng
tangan dengan Amy dan Maria.
Jessica meraih tangan Mandy, tapi ia merasa ragu. "Bagaimana
kalau ada yang berbicara? Bagaimana kita memastikan mereka benarbenar berbicara dengan arwah dan bukannya melawak?"
"Itu mudah," kata Mary Wallace. "Lihat saja, jika arwah yang
berbicara, mulutnya tak akan bergerak."
"Apa iya?" Elizabeth belum pernah mendengar hal tersebut, tapi
hal itu kedengarannya tidak mengada-ada. "Nah ayolah, lagipula tidak
ada yang main curang, bukan?"
"Saya tidak yakin benar," gumam Jessica, tapi ia memegang
tangan Lila. "Nyalakan lilinnya, Lizzie!"
Elizabeth melepaskan tangan temannya dan menyulut lilin. Lalu
ia mematikan lampu. Ruangan itu terasa menyeramkan dalam gelap.
"Tutup mata kalian, teman," ujarnya sambil mengambil tempat di
lingkaran."Bagaimana cara memulainya?" seseorang bertanya. Elizabeth
mengira itu Mary Wallace tapi ia tidak tahu pasti.
"Mari kita tanya pada arwah sebuah pertanyaan," usul Elizabeth
dengan percaya diri.
"Aku punya ide." Itu Janet, Elizabeth berkata pada dirinya. "Oh
dunia arwah," lanjut Janet dengan suara yang dinyanyikan, "kirim
kami pesan dari dimensi lain."
"Dimensi lain apaan?" Elizabeth mendengar pertanyaan Lila.
"Jangan bodoh," sahut Janet. "Itu lho, tempat tinggal para
arwah. Aku dapat. Oh dunia arwah," ia mulai berjampi-jampi lagi
dengan suara nyanyian, "Marilah kita dengar suara tembakan yang
membunuh Abraham Lincoln!"
"Ah, kejam!" Elizabeth mendengar gumaman Amy.
"Jessica, tutup matamu," perintah Janet.
"Mataku sudah tertutup," kata Jessica. "Tapi aku kira kamu
tidak tahu, karena matamu juga tertutup, kan?"
Elizabeth menahan ketawanya. Ia meremas tangan Maria dan
Maria juga balik meremas. Sesungguhnya duduk di sana itu
mengasyikkan? meskipun sebenarnya dunia arwah itu tidak ada.
"Arwah, kau di sana?" tanya Janet.
Seketika itu Ellen menarik napas. "Aku mendengarnya!" ia
menangis. "Aku mendengar bunyi tembakan yang membunuh
Abraham Lincoln!"
"Aku juga mendengarnya," bisik Tamara Chase.
Elizabeth membuka matanya. Ia tidak mendengar ada
tembakan."Aku mendengar dua tembakan!" ujar Lila sambil menahan
napas, menelan ludah dan bernapas berat.
"Memangnya ada dua tembakan yang membunuh Lincoln?"
tanya Maria, sambil melepaskan genggaman tangan Elizabeth dan
melihat ke Lila.
"Aku dengar tiga," sahut Janet dengan bangga, saat itu juga
semua gadis membuka mata dan melepaskan genggaman tangan. "Itu
hanya menunjukkan bahwa ada orang yang peka terhadap dunia arwah
dan ada pula yang tidak." Dia menatap tajam pada Jessica.
"Paling tidak aku dengar satu tembakan," sahut Jessica sambil
melipat tangannya. "Aku ini juga peka dengan dunia arwah seperti
yang lainnya."
Elizabeth mengambil napas. "Ayolah teman-teman. Mari kita
coba lagi." Ia memegang tangan Maria. "Kali ini kita konsentrasikan
pikiran kita pada sesuatu. Aku tahu. Oh Arwah!" ujarnya sambil
menutup mata. "Apakah ada seseorang yang terbunuh di tempat ini?"
"Kamu kan tahu, tidak ada orang yang terbunuh di sini, Lizzie,"
sahut Jessica.
"Itu bisa saja terjadi sebelum Sweet Valley terbentuk," jelas
Maria. "Mari kita tunggu dan lihat."
Ruangan tersebut menjadi sunyi. Elizabeth mencoba untuk
mendengar pesan yang datang dari dunia arwah, tapi tidak terdengar
apa-apa. Ia baru saja ingin mengusulkan yang lain ketika tiba-tiba ia
mendengar suara asing.
"Ini aku?ini aku?" suara itu berkata.
"Siapa ini?" tanya Elizabeth, jantungnya berdetak keras.
"Ini aku. Aku terbunuh di sini sebelum ada Sweet Valley?""Siapa namamu," Elizabeth bertanya, sambil menggenggam erat
tangan Amy.
"Namaku?" Suara itu sepertinya terkejut. "Mmm, Kelly
Ireland!"
Elizabeth membuka matanya. "Baiklah, aku kira ada yang tidak
serius dalam hal ini."
"Ya benar, siapa sih orangnya?" tanya Janet dengan tidak sabar.
"Semua orang tahu Kelly Ireland belum mati."
"Oh iya, aku lupa tentang itu," jawab Ellen tersenyum.
"Ellen!" bentak Jessica dan Lila
Ellen mulai tertawa. "Kena kamu! Aku tahu pasti! Aku kerjain
kamu tadi, benar kan?"
Pipi Jessica memerah. "Lain kali kalau mau melawak, Ellen,
cobalah untuk tidak menggerakkan bibirmu."
"Dan juga pikirlah nama yang cocok," tambah Elizabeth. Tapi
ia tidak sanggup menahan tawanya. "Oke, kita putuskan sekarang.
Mau serius?tanpa lawakan?atau tidak sama sekali. Yang mana yang
kita pilih?"
"Ayo kita serius," jawab Amy. Mandy dan Mary mengangguk.
"Semua setuju?" tanya Elizabeth. Semua orang mengangkat
tangan.
"Baiklah." Elizabeth meraih tangan Maria lagi. "Tak ada
lelucon lagi kali ini."
"Arwah, kau ada di sana?" tanya Janet beberapa menit
kemudian.
Jessica memastikan diri untuk menutup matanya rapat-rapat.
Dia tidak mau orang-orang menuduhnya curang. Dia mendengarkandengan hati-hati, tapi suara yang ia dengar hanyalah suara napas
Mandy dan Lila disampingnya.
"Ini tidak berhasil." Ia mendengar seseorang berbicara. Sangat
susah untuk menebaknya dengan mata tertutup, tapi Jessica menduga
bahwa itu adalah Tamara.
"Ssst!" Jessica mencoba untuk mensunyikan suasana. Saat-saat
berikutnya terdengar sepi.
"Saudara-saudaraku..."
Siapa itu? Jessica belum pernah mendengar suara itu
sebelumnya. Dalam benaknya ia berusaha untuk mencocokkan suara
itu dengan suara di pesta. Bukan Amy, bukan Mary, bukan Mandy,
juga bukan Lila...
"Saudaraku, berhati-hatilah!" Suara itu terdengar tajam dan
mempunyai aksen asing. Bukan Janet, Jessica berkata pada dirinya.
Dan pasti juga bukan Elizabeth! Jessica mulai gugup. Ia membuka
satu mata dan rrtelihat sekeliling
"Siapa yang bicara?" Itu adalah suara Ellen.
"Ssst!" Suara tadi mulai berkata. "Hati-hatilah, saudaraku.
Berhati-hatilah terhadap setan yang akan merasuki dirimu."
Saudara? Mata Jessica terbuka lebar. Ia dan Elizabeth satusatunyalah yang merupakan saudara pada pesta itu. Apakah yang
dimaksud arwah itu mereka?
"Tutup matamu, Jessica," perintah Janet. Jessica menatap
wajahnya. Mata Janet juga terbuka juga. Tapi sebelum ia dapat
mengatakannya, suara misterius itu mulai berkata lagi. "Sebuah setan
jahat akan mengubah seorang teman menjadi musuh.""Pasti Mandy, Jessica mulai menyadarinya. Ia menjatuhkan
tangan temannya dan menatap wajahnya. Itu dia, suara itu datang dari
mulut Mandy, tapi itu bukan suara Mandy. Suaranya bukan seperti itu,
pikir Jessica, rasa mual di bagian perutnya. Ia mendekatkan diri pada
Mandy.
Mulut Mandy terbuka. Tapi bibirnya tidak bergerak sama
sekali.
"Hati-hatilah terhadap terbitnya bulan," lanjut suara tersebut,
"dan jaga saudaramu. Kalau tidak, hidupmu akan berakhir dengan
tragis. Waspadalah!" mulut Mandy mengatup. Matanya masih
tertutup.
Saudara? Jessica berpikir kembali, jahat? Tragis?
Ia melihat ke seberang lingkaran ke arah Elizabeth. Tunggu
dulu. Api dari lilin di tengah lingkaran mulai membesar. Jessica
mengosok matanya karena takjub. Saat ia melihatnya, api tersebut
mulai pindah ke langit-langit dan berubah menjadi sebuah bulan
purnama. Bulan! Jessica berkedip karena tidak percaya pada apa yang
sedang dilihatnya. Pada saat yang sama, ia merasakan angin dingin.
Pasti ada jendela yang terbuka, pikirnya?lalu api lilin tersebut
padam.
"Baiklah, siapa yang coba main-main?" perintah Janet.
Dengan cepat Jessica berdiri dari lingkaran dan menyalakan
lampu. "Kamu lihat tidak?" tanyanya dengan suara gemetar. "Kamu
lihat tidak lilin tadi?"
"Ya, padam," jawab Tamara. "Ada orang bego yang meniupnya,
mungkin.""Bukan," sahutnya pelan, mencoba untuk mencari kata yang
tepat. "Itu karena angin. Masa kamu tidak merasakannya?"
Ellen dan Janet bertukar pandang. "Angin apa?" tanya Janet.
"Ayolah Jessica, mengapa kau selalu cari perhatian sih?"
"Benar, Jessica," tambah Lila. "Angin apaan! Paling-paling itu
badai?badai yang bernama Jessica Wakefield."
"Apa yang akan kamu pikirkan lagi, Jessica?" tambah Tamara.
Jessica merasakan pipinya memanas. Ia memutuskan untuk
tidak menceritakan api lilin yang membesar dan berubah menjadi
sebuah bulan purnama.
Ia menelan ludah dan menghadap Mandy. "Apa yang kamu
maksudkan tentang Saudara?" tanyanya.
Mandy menunduk ke lantai. Tiba-tiba Jessica merasakan
mukanya pucat. "Aku?" Mandy menelan ludah. "Aku tak tahu. Aku
rasa?aku tak ingat."
Jessica mulai sadar. "Itu pasti maksudnya untuk aku dan
Elizabeth. Hanya kamilah satu-satunya yang saudara di sini." Ia
melihat kembarannya. "Kira-kira maksudnya apa, Lizzie?" tanyanya.
"Setan macam apa yang arwah itu maksudkan?"
Elizabeth tertawa dan melempar kaos kaki kepada saudaranya
itu. "Ayolah, Jess," sahutnya sambil tertawa. "Itu adalah lelucon yang
bagus, tapi Mandy sebenarnya hanya bercanda, benar kan Mandy?"
"Mmm, ya benar," jawab Mandy, tersenyum lemah.
Jessica menatap Mandy sekali lagi. Kelihatannya ia tidak
bercanda sama sekali, ia berkata pada dirinya. Lagipula Mandy adalah
seorang aktris dan dia juga suka melawak seperti ini.Lagipula, keadaannya jadi kurang menyeramkan di kamar yang
terang. Jessica mungkin hanya melihat sesuatu.
Maksudku, sebuah lilin menjadi sebuah bulan purnama?yang
benar saja.
Jessica tertawa kecil dan menggelengkan kepalanya. "Akting
yang bagus, Mandy," ia berbicara pada temannya.Empat
"Kamu tahu tidak bahwa Sirius itu adalah bintang yang paling
terang di langit?" Steven Wakefield, kakak saudara kembar yang
berumur 14 tahun, bertanya di Sabtu siang. Ia, Elizabeth dan Jessica
sedang duduk-duduk di meja dapur sambil makan siang.
Elizabeth menggigit sandwichnya. Semua yang hadir di pesta
piyama tadi malam telah pulang dan dia masih saja memikirkan
tentang kostum Halloweennya. "Mmm, tidak, aku tidak tahu,"
jawabnya. Apalagi ya, yang terbagi menjadi tiga bagian? Tanyanya
dalam hati. Apakah tiga kacang polong dalam buahnya? Atau tukang
daging, tukang roti dan pembuat lilin?
Steven merengutkan mukanya di seberang meja. "Dan apa
kamu juga tahu bahwa Alpha Centauri adalah bintang terdekat dengan
kita? Selain matahari tentunya."
"He-eh." Elizabeth mengunyah makanannya dengan serius.
Tiga peraih medali emas? Tiga ayam Perancis, dari natal carol?
"Apa benar?" desak Steven.
"Hah?" Elizabeth mengedipkan matanya pada kakaknya.
"Aku tanya, apakah Alpha Centauri itu bintang terdekat ke
bumi selain matahari dan bulan?""Oh." Elizabeth mengambil napas. Sepertinya Steven selalu
membicarakan tentang bintang sejak minggu lalu. "Tidak, Steven.
Aku tidak tahu." la mengalihkan pandangannya berharap agar Steven
tidak bertanya macam-macam lagi.
"Aku tahu itu," kata Jessica.
Elizabeth melihat ke atas, mencoba untuk tak tertawa. "Oh, ya?"
"Ya," jawab Jessica dengan bangga. "Aku tahu bahwa Alpha
Centauri adalah bintang terdekat ke bumi selain matahari dan bulan."
Ia melihat ke Steven dan mengetuk kepalanya. "Aku bertaruh pasti
cacing-cacing pun tahu."
Steven mengerutkan mukanya lagi, lalu menatap Elizabeth
sambil mengunyah sandwichnya dengan serius, "apkkhds betgdlh
sadfd msjk?"
"Apaan?" Sahut Elizabeth.
Steven menelan makanannya. "Kataku, apa kamu tahu bahwa
Beetelgeuse itu adalah raksasa merah?"
"Beetlejuice bukan raksasa merah," jawab Jessica dengan
lantang sebelum Elizabeth sempat menjawab.
"Beetlejuice itu adalah tokoh kartun."
"Yang aku maksud bukan Beetlejuice yang itu," ujar Steven.
"Yang aku maksud bintang Beetlegeuse. Kamu tahu kan. Bintang di
langit?"
"Ya, maaf deh," sahut Jessica.
Steven mendengus dan mengalihkan pandangannya ke
Elizabeth. "Bagaimana denganmu, Elizabeth? Kamu tahu tidak?"Elizabeth mengeluh lagi. "Tidak, Steven, aku tidak tahu,"
jawabnya. "Apa kamu sedang mengambil kursus Astronomi atau
semacamnya?"
"Ya." Steven mengangkat selembar kertas di atas meja di
samping piringnya. "Ini adalah peta bintang," ujarnya bangga. "Ini
menunjukkan semua bintang yang ada di Utara Hemisphere dan
seluruh konstelasi." Ia melirik Jessica. "Konstelasi itu adalah
kumpulan bintang-bintang, kalau misalnya ada yang belum tahu."
Jessica memutar matanya. "Aku tahu itu."
Sweet Valley Twins Super Chiller Topeng Terkutuk di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Seperti konstelasi di sini adalah Cassiopeia," lanjut Steven,
sambil menunjuk suatu tempat di peta. "Wanita di Kursi." Mau tahu
bagaimana ia dapatkan namanya?"
Elizabeth melihat dengan tegas ke peta Steven. Biasanya, ia
senang belajar seperti ini, tapi kali ini ia lebih tertarik untuk
memikirkan kostum Elalloween daripada belajar tentang bintang.
Kecuali... "Hei, kamu tahu tidak adakah bintang yang terbagi menjadi
tiga bagian?" ia bertanya pada Steven dengan hasrat yang menggebugebu. Mungkin Amy, Maria dan aku bisa jadi sebuah konstelasi,
pikirnya.
"Mungkin, Sabuk Orion," jawab Steven sambil menunjukkan
Elizabeth tiga Bintang yang berdampingan di peta.
"Orion itu pemburu, jadi?"
"Siapa yang peduli?" Jessica memotong sambil meraup
sejumlah kripik kentang. "Sandwich itu isinya apa, ya?"
"Jessica?" mulai Elizabeth. Ia sangat benci apabila saudaranya
kejam pada setiap orang?bahkan Steven, yang menurutnya tidak
layak untuk dibegitukan.Tapi Steven tidak begitu memperhatikan. "Salami," jawabnya.
"Dan peanut butter, black olives, acar"? ia melihat ke langit-langit?
"dan selembar daun selada supaya aku bisa bilang pada Ibu bahwa aku
telah makan sayuran hari ini. Sudah cukup belum?" Ia mendorong
dagunya dan menatap Jessica.
"Apa, tidak pakai mustard?" Jessica terkejut.
Steven menjentikkan jarinya. "Oh, iya, mustard juga. Aku
lupa."
"Jadi hanya Sabuk Orion yang jadi bagian dari konstelasi?"
Elizabeth mencoba mengalihkan pembicaraan ke bintang. Ia memaku
pandangannya ke peta.
"Betul," jawab Steven. "Orion punya berlusin-lusin bintang,
termasuk beetleguese. Tiga dari mereka membentuk Sabuk Orion.
Tapi mereka tidak berjalan sendiri-sendiri melainkan satu-kesatuan."
"Aku tahu sekarang." Elizabeth mengangguk. Ia harus meminta
bantuan ke Steven. Kedengarannya Steven tahu banyak tentang ini.
"Ada lagi yang lain, tidak?"
"Kenapa sih kamu mau tahu, Lizzie?" tanya Jessica.
Elizabeth mengangkat bahu. "Aku hanya berpikir tentang
kostum Halloween yang bisa aku, Maria dan Amy pakai?semenjak
seseorang di sini tidak mau bergabung denganku," tambahnya dengan
lantang.
Jessica memerah mukanya. "Ya, benar."
Steven merapikan rambutnya. "Mmm, aku cari lagi kalau kamu
mau," ujarnya pada Elizabeth, "tapi aku rasa akan sulit untuk
menemukannya. Kebanyakan konstelasi memerlukan enam atau tujuh
bintang paling sedikit. Kalau kamu belum mempunyai bintangsebanyak itu, akan sulit bagi mereka untuk digambar. Tahu kan
maksudku?"
Elizabeth mengangguk. "Aku rasa iya, terima kasih." Ia
menyedot susunya. "Sebenarnya aku punya pertanyaan lain untukmu,
Steven," sahutnya, "karena kau tahu banyak tentang bintang."
Steven memperbaiki duduknya. "Tentu, apa yang ingin kamu
ketahui?"
"Apa yang dimaksud dengan Luna, sebenarnya?" Elizabeth
terus memikirkannya sepanjang pagi.
"Luna?" ulang Steven. "Itu gampang. Artinya bulan. Ada
pertanyaan lain sebelum aku minta bayaran?"
Bulan, Elizabeth berpikir. Tiba-tiba ingatannya tentang bulan
yang tiba-tiba berangsur-angsur penuh terlintas lagi dibenaknya. "Saya
punya satu pertanyaan lagi," tanyanya pelan.
"Tentu." Steven duduk kembali dan menghabiskan sisa
susunya.
"Kapan akan terjadi bulan purnama lagi?" Elizabeth bertanya
dengan gugup. Di dalam pikirannya ia terbayang bulan setengah yang
berangsur-angsur jadi bulan purnama. Mudah-mudahan bulan
purnama adalah tadi malam harapnya.
"Gampang lagi." Steven menarik secarik kertas dari balik peta
bintangnya. "Daftar ini selalu memantau perkembangan bulan."
Elizabeth bergeser untuk melihat jelas. "Sekarang ini, bulan
berangsur-angsur penuh tiap hari, kan?"
Elizabeth mempelajari daftar tersebut. Setiap hari satu lingkaran
dan setiap lingkaran Steven mewarnai satu bagian. Di bagian pertama
daftar itu, warnanya menandakan itu bulan sabit. Sedangkan yangkemarin tepat setengahnya diwarnai. "Jadi yang kemarin itu bulan
setengah," sahutnya.
"Ho-oh." Steven menatapnya. "Bulan itu akan membesar hari
demi hari sampai purnama. Itu akan terjadi enam hari lagi. Jumat.
Halloween." Dia tertawa lebar. "Hati-hati terhadap vampir."
"Dan?" Elizabeth berpikir sebentar. "Lalu mulai mengecil
lagi?"
"Yap." Steven mengangguk.
"Baru aku tahu sekarang," ujar Elizabeth, walaupun masih
bingung. Kalau bulan purnama itu datang ketika Halloween, lalu yang
kulihat kemarin itu apa?
* * *********
"Sayang sekali Elizabeth harus pergi ke toko obat," sahut
Steven 10 menit kemudian. Dengan giginya ia membuka pembungkus
plastik kue kering. "Aku baru saja mau memberitahukan tentang
bintang-bintang. Hei, Jess!" Ia melihat kembali peta bintang itu dan
matanya berbinar. "Kamu tahu tidak di sisi lain dari equator tepatnya
di Southern Hemisphere, bintang-bintang yang kau lihat itu berbeda?
Bukankah itu menarik?"
"Ya, menarik," tanggap Jessica. Sebenarnya bintang-bintang itu
bukan kesukaannya, tapi ada sesuatu yang ingin ia ketahui. "Dengar,
Steven, apa kamu pernah dengar tentang bulan yang muncul di tempat
yang tidak kamu harapkan?"
Steven bertanya dengan nada serius. "Apa yang kamu maksud?"
Jessica mengambil napas panjang. "Apa kamu pikir itu yang
biasa disebut ilusi benda? Atau apa memang benar-benar terjadi?""Ilusi mata," jawab Steven tertawa. "Tidak, itu tak mungkin
terjadi. Bulan hanya muncul pada satu tempat, dan jika muncul pada
tempat yang lain, itu namanya ilusi mata." Ia meremas pembungkus
kue tersebut dan melemparkannya ke tempat sampah. "Atau mungkin
kamu hanya mengada-ada."
"Enak saja!" seru Jessica, tapi mengapa dia tidak dapat
melupakan bulan tersebut. Ia selalu ingat tentang ucapan Mandy: Hatihatilah terhadap kemunculan bulan. Apa maksudnya? Mengapa hari
ini tentang bulan selalu dibicarakan? Tiba-tiba Jessica teringat tentang
rumah tua yang menyeramkan di ujung blok.
"Lagipula, mengapa rumah tua di ujung blok itu dinamai
Luna?"
Steven memberikan pandangannya. "Karena orang-orang yang
tinggal di situ semuanya makhluk asing," jawabnya. "Apa kamu tidak
pernah lihat orang-orang bulan yang berjalan dengan antena
kecilnya?"
Jessica mengerang sambil menaruh piringnya di cucian piring.
Aku ingin mengirimnya ke bulan!
Paling tidak dia meyakinkan aku bahwa kejadian tadi malam
adalah merupakan ilusi mata.
Harus itu, ujarnya pada dirinya ketika meninggalkan ruangan.
Enggak mungkin ada kejadian yang lain.
Tapi tetap saja dia kurang yakin.
*************
Elizabeth mempercepat langkahnya menuju mal. Ia berharap
agar dapat menemukan ide kostum dari toko-toko di sana. Ia jugaberharap agar dapat berpikir sebentar tentang apa yang dikatakan
Steven kepadanya.
Dia kurang jelas, sahutnya sendiri. Tapi ia mengerti tentang satu
hal. Malam tadi bukan bulan purnama.
Yang berarti?apa? Matanya mungkin telah menipunya. Itu
pasti, jawabannya.
Ketika ia melewati tempat Luna, ia memperhatikan anjing yang
sedang duduk di trotoar. "Halo anjing manis," sapanya. Anjing itu
berdiri dan mengibaskan ekornya. "Lucu sekali rupamu!" ujarnya.
Warna anjing itu hitam kecuali mukanya yang berwarna oranye.
Seperti warna bola basket, pikirnya.
Anjing itu mendekatinya sambil mengibaskan ekor.
"Kamu pendiam, ya?" tanya Elizabeth pada anjing itu sambil
mendekat dan mengulurkan tangannya. "Sini, manis!" katanya sambil
membuat suara dengan lidahnya.
Akhirnya dia tahu mengapa anjing itu tidak menggonggong?
anjing itu sedang menggigit sesuatu. "Apa yang ingin kamu berikan?"
tanyanya sambil bergeser ke sisi anjing itu. Anjing itu membuka
mulutnya dan menjatuhkan sesuatu di kaki Elizabeth. Ia berjongkok
untuk mengambilnya.
"Aneh," sahutnya. Itu adalah sebuah topeng.
Sebuah topeng yang sudah kumal, pikir Elizabeth dengan
sedikit merinding. Ia memperhatikan dengan seksama topeng yang
tergeletak di trotoar itu. Itu merupakan topeng tengkorak, yang paling
mengerikan yang pernah Elizabeth lihat. Berwarna hijau kekuningan,penuh luka di pipinya dan giginya tersebar tidak merata, seakan-akan
tertawa.
Elizabeth sangat menyukainya.
"Dimana kamu dapatkan ini, manis?" Elizabeth mengelus
kepala anjing itu dengan tangannya, tapi pandangannya tidak lepas
dari topeng yang menyeramkan itu. "Apakah ini punyamu?" tanyanya.
Anjing itu mengedipkan matanya.
Dibelakang anjing itu, sebuah bulan oranye kekuningan mulai
terbit, lebih dari setengah. Dan sekilas Elizabeth mengira muka anjing
itu sama seperti bentuk bulan dibelakangnya?hanya saja lebih bundar
dan lebih penuh.
Elizabeth menggelengkan kepalanya. Dibandingkan dengan
topeng itu, bulan tampak tidak terlalu menarik. "Bisakah aku miliki?"
ia bertanya pada anjing itu. Anjing itu hanya merengek dan
meringkalkan badannya ketika angin dingin bertiup ke trotoar.
"Apakah artinya ya?" Sambil mengalihkan angin dingin itu. Ia
meraih dan menyentuh topeng itu. Dari dekat, topeng itu kelihatan
lebih seram?dan lebih menarik. Ia merenggangkan karetnya, untuk
melihat luka-lukanya, dan setiap tulang-tulang setannya.
Sehabis itu, anjing itu berdiri dan mulai berlari.
"Kembali! Kembali!" panggil Elizabeth. "Sini manis!" siulnya,
tapi anjing itu seperti tidak mendengar. Anjing itu menerobos masuk
pagar rumah tua Luna tersebut dan menghilang.
Elizabeth terkejut, dan melihat topeng itu lagi. Ia merasa
sungkan untuk mengambilnya?bagaimana kalau ini punya
seseorang? Tapi tidak ada orang di sini dan lagipula agak susah untukmenemukan pemiliknya. Ini takdir pikirnya. Topeng ini ditujukan
untukku, untuk Halloween.
Dia melupakan Amy dan Maria. Tubuhnya bergetar karena
kesenangan ketika ia tertawa dengan topeng mengerikan itu.
Ini akan jadi Halloween terbaik yang pernah aku alami!Lima
Siang itu, Jessica melihat daftar kostum Halloween yang akan
dipakainya. Lagi-lagi "peseluncur indah" terlintas di benaknya.
"Harus sesuatu yang indah," gumamnya. Dengan pensil dia
mencoret kata "Setan" dan "Nenek Sihir". Aku harus memakai sesuatu
yang bisa melebihi Lila, pikirnya. Dan juga sesuatu yang bisa
mengejutkan Aaron!
Ia melihat satu persatu daftarnya. "Malaikat?" gumamnya.
Mungkin. Dengan sesuatu yang gemerlapan dan lingkaran kepala
selebar satu mil. Ia berhenti sejenak dan menaruh tanda tanya di
samping kata "Malaikat." Bagaimana kalau Putri Duyung? tanyanya
dalam batin. Mmm, mungkin saja. Putri Duyung yang paling canggih.
Dalam pikirannya, Jessica dapat melihat Lila sedang cemburu
ketika Aaron datang menghampiri Jessica pada malam Haloween. Ia
akan berkostum seperti?mmm?penyanyi Rock. Tidak-tidak, pemain
basket. Tidak, jawabnya dalam batin sambil tertawa, Ia akan memakai
tuxedo?semacam orang yang memakai tuxedo kemana mereka pergi
Ia berharap agar Aaron tidak berpikir untuk menjadi badut pada
Halloween nanti. Atau monster laut.
Jessica menutup matanya sambil membayangkan Aaron yang
ganteng mengenakan tuxedo dan menggandeng tangannya padamalam Halloween. "Kostummu adalah yang terbagus, Jessica," ia
akan mengucapkannya dengan manis dan mesra. "Yang penting lebih
indah dari punya Lila," ujarnya sambil tersenyum.
Lila akan protes, tentunya, ujar Jessica dalam batinnya. "Tapi
Aaron, kostumku adalah kostum Kelly Ireland yang asli!" sahutnya
menirukan mimik suara Lila. Lalu Aaron akan merengut dan
mengeluh? dengan tampan, tentunya?dan berkata, "Lalu, itu
memang lebih cocok dipakai Kelly Ireland daripada dipakai olehmu,
sayang." Dia akan berkata "sayang," benarkah? tanya Jessica dalam
dirinya. Ya.
Jessica tertawa lebar. Lalu aku akan berkata, "Selamat ber-trickor-treating, Lila. Mudah-mudahan kamu tidak tergelincir!" Aaron dan
aku akan bergandengan tangan dan berjalan sambil ber-trick-ortreating di lingkunganku, lalu berhenti dan berpandangan satu sama
lain, lalu?
Ups. Jessica mengambil napas dan duduk lagi di kursinya. Jika dia
sebagai putri duyung, bagaimana dia akan berjalan? Melompat kesana
kemari kan tidak romantis namanya. Dengan goresan pensilnya,
Jessica mencoret kata "Putri Duyung" dari daftarnya.
Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu. "Masuk!" panggil Jessica,
sambil menggeser daftarnya dan menyimpannya.
Pintu lalu terbuka dan muncul sebuah muka yang
menyeramkan.
Jessica berteriak histeris. Ia menutup mukanya dengan tangan,
tapi bayangan itu belum hilang? tertawa, gigi yang rusak, luka-lukamenyeramkan dan warna hitam dan biru bercampur dengan warna
darah merah yang berceceran. "Jauhkan itu dariku!" teriaknya.
"Tentu saja kamu takut," suara di balik topeng itu menyahut.
Suaranya seperti Elizabeth, pikir Jessica dengan terkejut. Agak
takut-takut, ia membuka satu mata dan membuka jarinya untuk dapat
melihat tubuh saudaranya di bawah wajah tengkorak jelek itu. Hanya
sebuah topeng pikirnya. Fhuu! Ia membuka jarinya lebih lebar. Ia
masih merasakan darahnya mengalir di kepalanya.
"Topeng yang bagus," ujar Jessica pelan. Ia membuka
tangannya dan mencoba untuk tertawa. Ugh, jawabnya sendiri.
Topeng itu merupakan topeng paling menjijikkan yang pernah aku
lihat?ya, paling tidak untuk waktu yang lama.
Elizabeth berbicara lagi dari balik topengnya. "Aku senang kita
membatalkan monster laut bobrok itu," ujarnya, berkata "monster
laut" sepertinya kostum itu adalah racun. "Rencana yang paling
goblok yang pernah diucapkan. Sangat-sangat bobrok."
Jessica menatap saudaranya. Aku tarik kembali, pikirnya
Kedengarannya bukan Elizabeth. Kapan terakhir kali Elizabeth
berkata goblok dan bobrok? mengerutkan dahinya, Jessica berkata.
"Apa betul ini kamu?"
"Tentu saja, kunyuk."
Tentu saja kunyuk? pikir Jessica, sambil mengingat-ingat pesta
semalam. Tadi malam, Mandy yang berbicara tapi sebenarnya bukan.
Sekarang ini Elizabeth, tapi ini bukan Elizabeth. Jessica menjamah
wajah saudaranya. Mungkin jika ia dapat melihat sekilas wajah
saudaranya daripada topeng menyeramkan itu, ia dapat?"Singkirkan tanganmu itu!" Suara Elizabeth terdengar nyaring.
Dengan terkejut, Jessica menarik tangannya kembali. "Elizabeth,
kamu tak pernah berbicara seperti itu," ia berbisik kepada dirinya
sendiri.
Elizabeth tertawa, "Ya, benar," jawabnya dengan ketus. "Kamu
lakukan apa yang kamu mau untuk Halloween. Aku senang memakai
topeng ini. Ini lebih keren. Lebih keren dari pada monster laut tolol
Sweet Valley Twins Super Chiller Topeng Terkutuk di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
itu."
Ia berbicara persis seperti aku, Jessica mulai sadar sambil
menutup mulutnya. Ia berbicara persis seperti aku, ketika aku sedang
marah! Ia memaksa untuk tertawa. "Oke, Lizzie," ia berbicara lantang.
"Aku rasa kadang-kadang aku juga berbicara demikian. Bagaimana
kalau kau lepaskan topeng itu dan berhenti bercanda?"
"Bercanda?" Suara Elizabeth meninggi. "Apa yang membuatmu
berpikir aku sedang bercanda?"
Jessica mundur selangkah. "Maksudku?" Ia memulai.
"Maksudku, maksudku," ejek Elizabeth. Ia melipat tangannya.
"Topeng ini akan membuat setiap orang berharap mereka ada di
rumahnya pada malam Halloween." Dan ia berbalik pergi, suaranya
bergema di sepanjang lorong.
Jessica menutup telinganya ketika melihat saudaranya berjalan
menuju kamar tidurnya. Apa yang telah terjadi. Kelihatannya itu
bukan Elizabeth sama sekali!
***********
Cari pegangan, kata Jessica pada dirinya sendiri sepuluh menit
kemudian, ketika ia merebahkan dirinya ke tempat tidur. Topeng itu
tidak begitu menyeramkan, ia menutup matanya, supaya ia bisamelihatnya di pikirannya lagi. Tawanya, warnanya, luka-lukanya...
Tentu saja itu menyeramkan, putusnya. Tapi tidak menakutkan. Tentu
tidak, tidak untukku!
Dan tentang perilaku Elizabeth?ya, Jessica memikirkan itu
juga. Mungkin aku tidak mengerti sebagian dari ucapan Elizabeth
karena terhalang oleh topengnya. Dan itu menjelaskan mengapa
suaranya aneh! Jessica menutup mulutnya dengan jari sehingga hanya
tinggal sebuah lubang udara kecil di sela-sela jarinya. "Halloween
adalah liburan favoritku, ujarnya, tapi yang keluar adalah "Pak Owin
sudahlah giliran papiku." Atau yang mirip-mirip seperti itu lah.
Lagipula, suara yang keluar itu bukan suaranya.
Jessica menarik napas lega. Tak ada yang perlu dikhawatirkan.
Tapi ia memutuskan untuk menemui Steven untuk bertanya
apakah dia melihat sesuatu yang janggal pada Elizabeth?untuk
berjaga-jaga.
"Lihat," Steven berkata pada Jessica ketika ia sedang menuju ke
kamar kakaknya. "Kamu bisa melihat apapun di angkasa kalau sudah
gelap." Dia bergeser sambil memberikan teleskop itu pada Jessica.
Jessica mengeluh pelan. "Aku ke sini bukan untuk melihat
bintang, Steven, aku ke sini untuk bertanya apakah kamu melihat
sesuatu yang janggal pada Elizabeth."
"Uh-uh" jawab Steven, sambil meraih teleskopnya dari mata
Jessica. Jessica mundur selangkah.
"Ini serius, Steven, aku hanya ingin tahu?"
"Tunggu sebentar, tunggu sebentar!" jawab Steven, sambil
memotong. "Kamu akan melihat pemandangan indah dari bulan dalambeberapa detik, ini sangat menakjubkan! Tunggu... tunggu... tunggu...
sekarang!"
Steven mendorong lensanya pada Jessica. Ia melihat melalui itu,
tapi ia tidak melihat apa-apa. "Sedikit ke kiri," katanya sambil
memegang teleskop dan menariknya mendekati dia. "Tidak, kejauhan
sedikit?"
"Hei, lihat dong!" sahut Jessica tidak sabar. Sambil menarik
napas panjang, ia mengintip teleskop itu. Tiba-tiba Ia merasa
berdebar, lalu ia sadar. Itu hanya sebuah bulan ujarnya sendiri. Kamu
sudah melihat bulan jutaan kali, tenang saja!
Tapi tetap saja ia gugup.
Sinar terang bersinar dari lensa. "Itu dia," bisiknya, mencoba
untuk menstabilkan teleskop itu.
"Seperti bulan setengah penuh, benar?"
"Setengah lebih sedikit," jawab Steven. "Malam ini benar-benar
menakjubkan, bukan?"
"Uh-uh," Jessica mengangguk. Bulan itu tampak indah. Bulan
itu berwarna kekuningan. Jessica mendekat.
Apa itu?
Lewat matanya, bulan itu mulai berangsur-angsur penuh.
Pertama-tama pelan lalu mulai cepat, setengah bagian yang hilang
mulai terisi penuh sampai menjadi bulan purnama. "Seperti yang
dilakukan api lilin tadi malam," gumamnya sambil menahan napas.
"Ada apa?" Steven menatapnya dengan curiga.
Jessica menaruh teleskop itu dan melihat keluar jendela. Itu dia
bulannya?bulan yang sama, setengah lebih sedikit yang dia lihatbeberapa menit lalu. Bulan itu tidak membesar sama sekali, ujarnya
pada dirinya sambil mencela. Ia baru saja melihat sesuatu.
Steven mengambil teleskopnya darinya. "Ada apa? Ada
makhluk asing yang menakutkanmu?"
"Tentu saja bukan," ujarnya, sambil memutar matanya. "Tapi,
mmm, apa betul, bulan tidak bisa membesar dari setengah menjadi
penuh dalam waktu cepat?" Ia menjentikkan jarinya.
Steven tertawa. "Tentu saja tidak. Apa kamu tidak mendengar
waktu aku jelaskan pada Elizabeth tadi?"
"Enggak juga," jawab Jessica jujur.
"Sudah kuduga," kata Steven. "Baiklah, bulan mengitari bumi,
jadi kadang-kadang bulan segaris dengan bumi dan matahari dan
kadang kadang itu tidak..."
Jessica berkeluh dan duduk di ranjang Steven. Itu sepertinya
adalah awal bahwa ia akan duduk lama di situ.
**********
"Lizzie?" sapa Jessica lima belas menit kemudian sambil
mengetok pintu saudaranya dengan halus.
"Masuk!"
Suara Elizabeth persis seperti yang dulu, pikir Jessica dengan
gembira. Aku pasti telah mengada-ada tadi.
Jessica membuka pintu dan terkejut. Di atas tempat tidur
Elizabeth ada topeng tersebut, sangat mengerikan. Bahkan topeng itu
lebih menyeramkan dari yang diingat Jessica.
"Darimana kau dapatkan ini," tunjuk Jessica pada topeng itu,
takut untuk menyentuhnya. Ia mengangkat bantal Elizabeth dan
menaruhnya di atas topeng itu."Sangat bagus, kan?" kata Elizabeth dengan senyum.
"Ya, bisa dibilang begitu," sahutnya meringis.
Elizabeth mengangkat bantal itu dan melihat topeng itu lagi.
"Oh, Jess, ini benar-benar menakjubkan!" Dengan cepat Elizabeth
menceritakan tentang anjing hitam kecil dengan muka oranye yang
menjatuhkan topeng itu di trotoar dan menghilang. Dia mengambil
topeng itu dan mencobanya. "Topeng ini sungguh keren. Halloween
kali ini pasti akan sangat meriah?aku sudah tak sabar lagi!"
Jessica merengut. "Tapi? apakah tidak sebaiknya kau cari
pemiliknya dan mengembalikannya?"
Elizabeth menatap saudaranya. "Mengapa aku harus
melakukannya?"
"Karena itu tindakan terbaik," jawab Jessica pelan, menyadari
bahwa suaranya menyerupai Elizabeth?paling tidak seperti yang
Elizabeth suka katakan. Ia selalu menyuruhku untuk melakukan yang
terbaik untuk banyak orang?bahkan kalau itu tidak baik untukku,
pikir Jessica.
Elizabeth mendekap topeng itu di dadanya dengan erat.
"Tidak," ujarnya. "Topeng ini milikku"
Jessica melebarkan matanya. "Tapi itu pasti milik seseorang,
mungkin saja pemilik anjing itu."
"Anjing itu tidak punya majikan," bantahnya, sambil mendekap
erat topeng itu.
"Bagaimana kamu tahu?"
Elizabeth mengangkat bahunya. "Topeng itu mungkin hanyut.
Aku tahu kok.""Lalu mungkin anjing itu mencurinya dari serambi seseorang,"
Jessica mencoba memojokkan.
"Tidak," kata Elizabeth tegas.
Jessica berkeluh. "Ayolah Lizzie," dia berbicara dengan nada
putus asa. "Lagipula Topeng itu bukanlah sesuatu yang kamu ingin
pakai pada Halloween nanti. Bagaimana kalau kau sangkutkan topeng
itu di pagar di rumah tua Luna supaya pemiliknya dapat mengambil
kembali?"
"Tidak!" Elizabeth menatap tajam Jessica.
Jessica mengernyitkan dahinya. Aku rasa dia sangat menyukai
topeng itu, pikirnya sambil melihat ke karet kuning kehijauan itu.
Selera Elizabeth memang aneh.
"Ya, sampai jumpa, buaya," kata Jessica menggunakan salah
satu ekspresi yang suka mereka pakai waktu kecil. Ia menunggu
Elizabeth untuk tersenyum dan berkata, "Sampai jumpa, buaya darat."
Tapi Elizabeth tidak menjawab. "Uh-uh," serunya dengan
pikiran kosong. Ia melemaskan genggamannya pada topeng lalu mulai
mencobanya lagi.
Jessica menatap lama saudaranya, lalu berjalan balik ke
kamarnya. Lucu, pikirnya. Kita masih saling bicara seperti tadi. Hanya
saja?
Hanya saja, biasanya Elizabethlah yang meyakinkan aku supaya
berbuat adil dan jujur, tapi hari ini malah sebaliknya!
Lagipula rumah ini belum sepi, gumam Jessica.
Hanya saja Elizabeth berubah menjadi? bagian buruk dari
diriku.Enam
"Mmm, lasagna," kata Jessica dengan senangnya sambil duduk
di kursi dapur pada Minggu malam.
Ibu Wakefield tersenyum. "Kita makan kalau Elizabeth sudah
turun."
"Mau kupanggilkan?" tawar Steven. Dia berdiri dari kursinya
dan melompat ke tangga. "Elizabeth!" teriaknya keras.
"Ouw!" ujar Jessica sambil menutup telinganya. "Suaranya
makin jelek dari biasanya kalau ia berteriak."
"Makan malam!" teriaknya lebih keras.
"Aku rasa ia belum tuli untuk mendengarmu," kata Pak
Wakefield sambil menaikkan nada bicaranya. "Mengapa kamu tidak
duduk saja dan menceritakan kejadian hari ini."
Steven tertawa dan kembali ke kursinya. "Sebenarnya, aku
membuat sesuatu yang menarik hari ini? serentetan percobaan."
"Percobaan matahari?" tanya Pak Wakefield.
"Jangan tanya," Jessica menyela. "Nanti kita akan di sini
sepanjang malam!"
"Jessica," bu Wakefield memperingatkan.
"Maaf," gumam Jessica."Kamu tidak akan mengerti, lagipula," kata Steven sambil
melambaikan tangan pada adiknya itu. "Ini sangat rumit. Murni
pengetahuan. Pengetahuan SMA, bukan pengetahuan bayi yang kau
dapat di kelas enam."
"Ya, benar," jawab Jessica acuh tak acuh. "Aku bertaruh, aku
akan mengerti semuanya. Coba saja."
"Baik," ujar Steven tersenyum. "Sepertinya akan terjadi gerhana
bulan pada malam Halloween. Kamu tahu apa itu, kan. Otak Besar?"
"Tentu saja aku tahu," jawab Jessica meskipun ia sebenarnya
tidak tahu. "Itu seperti bulan yang tiba-tiba menghilang?atau yang
sejenisnya." jawabnya meringis. "Benar kan, Otak Kecil?"
"Hentikan, kalian berdua," kata Pak Wakefield. Ia melihat
jamnya. "Sebaiknya aku sendiri yang ke atas. Lagipula apa yang ia
lakukan di atas sana?"
"Tak tahu," jawab Jessica. Ia tidak banyak melihat Elizabeth
sepanjang hari, pikirnya.
Pak Wakefield bangkit dan menaiki tangga. "Elizabeth!"
panggilnya. Jessica melompat. Ayahnya bersuara dua kali lebih keras
dari Steven. "Makan malam!"
"Baik, kamu kenal bumi dan matahari, kan?" Steven berkata
pada Jessica, seakan-akan tanpa gangguan. "Kamu juga tahu bulan."
Ia mengatur piring, gelas dan serbetnya menjadi satu garis. "Biasanya
letak bulan di sini"?Ia memindahkan gelasnya?"Jadi matahari dapat
mengenainya, tak ada masalah. Kamu mengerti sajauh ini?"
"Uh-uh," Jessica berbohong.
"Yang benar?" Steven menatap curiga.
"Ya, benar," jawab Jessica."Kalau ketika bumi berada tepat di tengah-tengah bulan dan
matahari." Ia memindahkan serbetnya. "Lalu apa yang akan terjadi?"
Jessica tersenyum. "Lalu semua orang yang berinisial S. W.
akan meninggalkan bumi dan tinggal di matahari," jawabnya antusias.
"Ayolah, Steven, aku akan menolongmu berkemas."
"Lucu sekali," katanya dingin. "Bukan itu, bumi akan
menghalangi cahaya matahari ke bulan sehingga bulan itu
menghilang. Itu namanya gerhana bulan."
"Aku lebih suka dengan ide," Jessica berkata kepadanya.
"Benar, kan?" ujar Steven. "Kamu sebenarnya tidak mengerti.
Kenapa kamu tidak mau mengakui bahwa pelajaran sekolahmu itu
pelajaran untuk bayi?"
"Baiklah," Jessica setuju. "Ilmu pengetahuan yang aku pelajari
di sekolah adalah untuk bayi." Ia mengalihkan pandangan ke Ibunya.
"Bisakah kita mulai makan, aku lapar."
Ibu Wakefield mengerut. "Ia sudah bangun atau belum, Ned?
Katakan padanya kita tak bisa menunggu lebih lama lagi."
"Elizabeth,'' kata Pak Wakefield, "Kalau kamu tidak?" Ia
menatap isterinya. "Ia bilang akan segera datang."
"Akhirnya," kata Steven.
"Lucu," Pak Wakefield berkata sambil bergabung dengan yang
lain. "Suaranya agak-agak bergumam. Mungkin ia akan turun dengan
membawa sesuatu."
Jessica terpekur.Gumam? pikirnya. Itu hanya berarti satu hal.
Di belakangnya, pintu dapur terbuka. Jessica langsung menjerit
karena terkejut dan menutup satu matanya dari topeng itu."Ya Tuhan!" Pak Wakefield berkata sambil menegakkan
duduknya.
"Ampuni kami, ampuni kami!" Ibu Wakefield memohon. Ia
menaruh tangannya di kepala dan menutup matanya.
Steven menguap. "Dia benar-benar turun dengan sesuatu,"
jawabnya kalem. "Topeng yang bagus, dimana kau mendapatkannya?"
Jessica melihat sekeliling. Orangtuanya tidak takut?benarkah?
Ternyata tidak, pikirnya. Dan Steven juga tidak takut.
Ia mengibaskan rambutnya dan menatap langsung ke topeng itu.
Kalau Steven saja tidak takut, aku juga tidak!
"Ups, aku lupa dengan lasagnanya!" kata Ibu Wakefield. Ia
melihat sekeliling meja. "Apa ada yang mau mengambilnya ke meja?"
Jessica melihat Elizabeth, yang selalu menolong. Tapi dari balik
topengnya, ia tidak berkata apa-apa.
Jessica menggigit bibirnya dan menghampiri ibunya. "Akan
saya ambilkan," tawarnya sambil berdiri dan berjalan menuju meja'
dapur.
"Terima kasih, Jessica," Ibu Wakefield berkata sambil terkejut.
"Hati-hati, pancinya masih panas."
Jessica meraih dua tentengan panci dan mulai membawanya ke
meja makan. Ketika ia mendekati kembarannya, kaki Elizabeth
menghalangi langkahnya. Lalu yang terjadi adalah kakinya tersandung
dan jatuh.
Splat! Lasagna itu tumpah ke lantai dan Jessica mendarat
dengan lututnya dekat meja makan.
"Jessica! Kamu baik-baik saja?" Ibu Wakefield bertanya sambil
berdiri dan menghampiri Jessica."Mmm, aku rasa ya," jawabnya bingung. "Tapi aku membuat
semuanya berantakan."
Pak Wakefield mendorong kursi ke tempatnya. "Aku akan
mengambil tissu kamar mandi. Jangan khawatir, Jess. Saya akan
kembali."
"Sebaiknya bawa juga vakuum cleaner," kata Steven pada
Ayahnya sambil memperhatikan keadaan. "Buruk sekali keadaannya.
Hei kamu baik-baik saja, kan?" Ia menghampiri Jessica.
"Aku baik-baik saja," jawab Jessica ketika mendengar suara
Sweet Valley Twins Super Chiller Topeng Terkutuk di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang ia tidak pernah ingin dengar seumur hidupnya.
Sebuah tertawaan yang gila?dan datang dari belakang topeng
Elizabeth.
Jessica menghampiri kembarannya. "Apa kamu? apa kamu
mentertawakan saya?" bisiknya pelan.
Tapi Elizabeth hanya tertawa lebih keras.
***********
"Sepeda roda tiga? Kamu Gila?" Amy melihat dengan hati-hati
pada Maria. Ia tidak terlihat gila, pikirnya sendiri. Ya, siapa yang tahu.
Maria tersenyum kembali. Mereka sedang duduk-duduk di
kamar keluarga Amy pada Minggu malam. "Tidak, aku serius, kok,"
jawabnya. "Aku rasa kita bisa menjadi rodanya. Kita semua akan
memakai sepatu roda."
Amy memainkan rambutnya. "Jadi kita seperti, roda-roda?"
"Benar," Maria tertawa. "Tiga pasang sepatu roda, tiga roda.
Lalu kita buat sadel dan rangkanya."
"Dari apa?" tanya Amy.Maria mengangkat bahunya. "Pipa Cardboard, atau
semacamnyalah. Nanti kita pikirkan. Asalkan kita terkait satu sama
lain seperti sepeda roda tiga."
"Aku tidak tahu?" kata Amy dengan curiga.
"Kita juga memerlukan setang sepeda," sambung Maria.
"Pokoknya siapa yang di depan akan membawanya. Dan kita mungkin
akan membuatnya dari pipa Cardboard juga."
"Atau memakai bagian atas sepeda statis Ayahku?" tanya Amy.
"Tentu, jika ia izinkan," ujar Maria. "Lalu kita hanya meluncur
di jalan dengan waktu yang tepat. "Kita akan membuat jadwal latihan.
Akan seperti the Boosters."
Pelan-pelan, senyum tersungging di wajah Amy. "Aku suka
itu!" katanya senang. "Mari kita telepon Elizabeth dan?"
"Tunggu-tunggu!" Maria memotong. "Kamu belum mendengar
yang lebih seru lagi. Apa yang biasanya orang katakan pada malam
Halloween?"
Amy merengut. "Trick-or-treat."
"Kita tidak," kata Maria. "Kita bilang"? ia berhenti sejenak?
"trike-or-treat."
Amy tertawa. "Aku suka itu!" katanya sambil memeluk Maria.
"Sekarang aku akan memanggil Elizabeth." Ia bergegas ke telepon.
"Kamu pikir ia akan menyukainya?" tanya Maria.
"Pasti." Amy mendengar suara telepon berbunyi, lalu sebuah
suara tak asing?dengan suara pelan? bergumam. "Halo Elizabeth,
ini aku, Amy." ia berbicara pada mikrofon.
"Oh, ya?""Kita punya ide untuk Halloween," lanjut Amy sambil
memutuskan untuk mengabaikan sapaan Elizabeth. "Bagaimana kalau
ini: Kita akan menjadi sepeda roda tiga!"
Elizabeth mendengus. "Apa?"
Amy merengut. "Sepeda roda tiga. Kamu tahu kan yaitu sesuatu
yang?"
"Aku tahu sepeda roda tiga itu apa," ejek Elizabeth. "Apa kamu
sudah gila atau apa? Dari semua kostum Halloween yang paling
bodoh, paling kekanak-kanakkan dan paling jelek, yang satu ini pasti
meraih juara satu."
Dada Amy sesak. "Tapi Elizabeth?"
"Tapi Elizabeth," Elizabeth meniru suaranya. "Mengapa kita
tidak berkostum kursi tinggi selagi kita sedang duduk di atasnya?
Keluar dari kehidupanku, Amy! Keluar dari kehidupanku!" Terdengar
bunyi klik. Amy menggelengkan kepala dan menutup teleponnya.
"Kenapa tadi?" tanya Maria.
Amy menggigit bibirnya. "Kedengarannya bukan Elizabeth
sama sekali," ujarnya dengan suara pelan dan sumbang. "Ia langsung
mencampakkan ide sepeda roda tiga lalu berkata ?ia berkata, 'Keluar
dari kehidupanku, Amy!"'
"Apa?" seru Maria. Lalu menggelengkan kepala. "Kamu
benar?kedengarannya bukan suara Elizabeth dan aku berani bertaruh.
Aku bertaruh bahwa itu adalah Jessica yang sedang bercanda." Ia
mengernyitkan dahinya. "Candaan yang tidak lucu."
Amy menaikkan alisnya. "Kamu pikir begitu?" jawabnya penuh
harap.Maria mengangguk. "Aku tidak akan tertipu lagi," ujarnya.
"Sini, berikan teleponnya."
Amy memberikan teleponnya dengan merasa sedikit lega.
"Halo, Mrs. Wakefield?" Maria berkata melalui mikrofon. "Ini
Maria Slater. Bagaimana keadaan Anda?" Ia mendengarkan sejenak.
"Mmm, Amy dan saya baru menelepon, dan kita ingin tahu?apa
mungkin tadi kita berbicara dengan Jessica, bukan dengan Elizabeth?"
Amy mendekatkan dirinya untuk mendengar jawaban Ibu
Wakefield.
"Oh, tidak," Ia mendengar Ibu Wakefield menjawab. "Itu
memang Elizabeth. Aku barusan melihatnya berbicara di telepon
beberapa menit yang lalu."
Jantung Amy terasa berhenti. "Oh," kata Maria. "Kalau begitu,
terima kasih."
"Kalau kedengarannya bukan ELizabeth, mungkin karena
topeng yang ia kenakan," kata Ibu Wakefield.
"Topeng?" tanya Maria.
"Ia memakai topeng di sekitar rumah selama liburan dan itu
membuat suaranya jadi aneh," jelas Ibu Wakefield.
"Ok, Ibu Wakefield," kata Maria. "Terima kasih." Ia menutup
teleponnya dan menatap Amy.
"Aku tidak melihat?ini sangat aneh," ujar Amy dengan gugup.
"Elizabeth belum pernah bicara seperti itu padaku. Ia tidak pernah
berbicara seperti itu pada semua orang." Ia melihat Maria dengan
pasrah, dan berdoa agar mendapatkan suatu penjelasan yang masuk
akal.Tapi Maria hanya menggelengkan kepalanya, pandangan yang
kebingungan tersirat di wajahnya. "Ini benar-benar aneh. Dan sangatsangat jahat."
************
Elizabeth duduk di tempat tidurnya sambil mencari kosakata
barunya. Ia menjatuhkan topengnya disampingnya di atas lantai.
Telinganya terasa nyeri dan ia sedang mengelusnya. Seperti aku
sedang menekannya pada telepon, pikirnya. Ia tertawa. Tapi itu tidak
mungkin. Tidak ada yang meneleponku sepanjang hari.
"Lapar," Elizabeth membaca dari daftarnya. Ia tahu betul kata
itu. Itu adalah kata favoritnya Steven. Ia menulis, "Sangat-sangat
lapar!" pada kolom arti.
Satelah beberapa saat, ia mengisi kolom "Kalimat": "Kakakku
selalu berkata ia lapar?bahkan setelah makan malam Thanksgiving!"
Elizabeth tersenyum. Bicara tentang makan malam, aku sudah
makan belum, ya? ia mengira-ngira. Ini agak aneh. Ia tidak ingat
sudah makan atau belum, tapi ia tidak terlalu lapar.
Ia melihat sekilas di daftar kosakata. "Lunar," bacanya. Entah
mengapa tubuhnya bergetar ketika ia membacanya. Itu artinya "ada
hubungannya dengan bulan," pikir Elizabeth, sambil mengingat-ingat
apa yang Steven katakan. Ia mulai menulisnya ketika tiba-tiba ada
ketukan di pintu.
"Masuk!" panggilnya jelas.
Jessica berjalan masuk. "Hai, Jess!" ujar Elizabeth sambil
menyediakan tempat di ranjang di samping dirinya.
Tapi Jessica tetap berdiri. "Elizabeth," katanya. "Apa kau marah
padaku?" Ia mengangkat alisnya dan menatap langsung kembarannya.Elizabeth tesenyum. "Enggak salah," candanya. "Mengapa?
Apa yang kamu lakukan?"
"Kamu yakin?" Jessica menatap tajam pada Elizabeth dan
Elizabeth mulai gugup. "Kamu tidak marah karena sweatermu aku
tumpahi es krim?"
Elizabeth tertawa dan meraih tangan kembarannya. "Tentu
tidak, Jess! Itu berminggu-minggu yang lalu, kan?"
Jessica tertawa sedikit, tapi ia tidak meraih tangan saudaranya.
"Dan ini juga bukan tentang bandana yang aku hilangkan?" tanyanya,
sambil mengelus dagunya.
"Kamu menghilangkan salah satu bandanaku?" Itu merupakan
berita bagi Elizabeth. "Jangan takut, aku tidak akan mencabik-cabik
tubuhmu gara-gara benda murahan itu."
"Bagus," jawab Jessica. Ia menenangkan dirinya sejenak dan
melangkah mendekat. "Dan ini juga bukan karena aku mengolok-olok
wanita tua di rumah tua Luna?"
Untuk alasan yang tidak masuk akal, jantung Elizabeth mulai
berdetak tak teratur. "Bukan, bukan seperti itu," katanya, menatap
tajam saudaranya. "Maksudku, itu memang bukan perbuatan yang
baik, tapi aku tidak marah padamu atau pada yang lain."
Jessica tertawa meringis. Ia mendekat dan memeluk Elizabeth.
"Bagus," ujarnya. "Aku benar-benar lega."
Elizabeth membalas pelukannya sambil merasa linglung. "Mau
memberitahuku tentang apa ini sebenarnya?" tanyanya dengan
penasaran.
"Ah, tidak," kata Jessica. Ia berjalan mendekati pintu. "Aku
hanya lega kau sudah kembali."Kembali? Elizabeth bertanya pada dirinya. Kembali darimana?
Ia menggelengkan kepalanya dan kembali ke PR- nya.
**********
Itu merupakan percakapan yang bagus, Jessica berkata pada
dirinya sambil berjalan menjauhi kamar Elizabeth. Ia merasa lebih
enak. Semua kengerian yang ia rasakan telah hilang sirna.
Di depan pintu ia berhenti sejenak untuk melihat saudaranya,
yang selalu terpaku pada pekerjaannya dalam pose yang ia lihat
berjuta-juta kalinya. Jessica bernapas lega.
Lalu ia melihat topeng di lantai, dan ia merasakan darahnya
mengalir dari wajahnya.
Aku tahu ini tidak mungkin, ujar Jessica dalam hati sambil
bergidik. Tapi aku berani bersumpah bahwa topeng itu baru saja
tersenyum padaku!Tujuh
"Aku akan siap sebentar lagi, Lizzie!" teriak Jessica sambil
dengan kesal menyisir rambutnya. Shh, pikirnya, sepertinya setiap
Senin pagi selalu saja sama. Betapapun kerasnya aku berusaha, tetap
saja aku terlambat berangkat sekolah.
Jessica meluncur ke tangga. "Maaf," katanya pada Elizabeth
sambil agak kehabisan napas. "Sekarang aku benar-benar siap ?
kayaknya."
Elizabeth bersandar pada pintu depan, sebuah ekspresi senang
pada wajahnya. "Kalau kamu benar-benar siap, Jess, di mana
ranselmu?"
"Ranselku?" Jessica terkejut, sambil memutar tubuhnya. "Aku
pasti meninggalkannya di atas! Tunggu sebentar, Lizzie. Aku akan
kembali?aku janji!"
Jessica melompati 2 anak tangga sekaligus. Ranselnya tidak
diketemukan dimana-mana. Di bawah ranjang, mungkin, ia berkata
pada dirinya. Sambil berlutut, ia memeriksanya.Uh. Beberapa T-Shirt
tua, satu-dua kaus kaki, beberapa gulungan tissue, sebuah majalah
fashion yang tak pernah dilihatnya beberapa minggu?tapi tak ada
ransel."Jessica!" suara Elizabeth melengking dari bawah. "Cepatlah
sedikit, aku tak mau terlambat!"
"Sedang aku cari?benar kok!" teriak Jessica balik. Ia
menyingkirkan rambut yang jatuh ke matanya. Aku senang Elizabeth
bersuara seperti biasanya lagi, pikirnya sambil memeriksa kloset.
Tetap tak ada ransel.
Di mana ya? Ia mengira-ngira. Mungkin di bawah, lagi? Jessica
bergegas turun. "Dua puluh detik lagi, Lizzie!" teriaknya sambil
melewati saudaranya. "Di sana?aku bersumpah."
Ransel itu tidak ada di serambi kaca. Juga tidak ada di ruang
keluarga, ruang makan, atau kamar mandi. Jessica berlari lagi ke atas
untuk mengecek kamarnya lagi. Kalau tidak ada di sini, ia berkata
dengan geram, Aku akan?aku akan?
Dan benar. "Oh demi Tuhan!" Jessica bergumam, meraih
ranselnya dari meja. Ia berlari kebawah. Paling tidak aku mendapat
sedikit olahraga, katanya pada dirinya.
Jessica melihat dengan seksama ke tangga dan ke serambi
depan. Di sana ia berhenti sebentar.
Elizabeth sudah tidak ada.
Jessica melihat sekeliling dengan bingung. "Lizzie?"
panggilnya. Mungkin ia ada di kamar mandi?
Steven mengulurkan kepalanya dari Sudut ruang makan. Ia
menyuap sesendok penuh sereal ke dalam mulutnya.. "Ia sudah pergi,"
katanya dengan mulut penuh.
"Hah?" Jessica melongok padanya.Steven menelan makanannya. "Aku bilang sudah pergi.
Meninggalkan pintu beberapa menit yang lalu ketika kau ada di atas.
Membanting pintu lagi. Kamu tidak dengar?"
Elizabeth membanting pintu? "T-tidak," jawabnya
kebingungan.
Steven mengangguk. "Bagus. Asal ia tidak merusak teleskopku.
Kalau ia merusaknya sehingga aku tidak bisa melihat gerhana bulan
pada malam Jumat, aku remukkan dia." Ia melahap satu suap sereal
lagi dan mulai mengunyahnya.
Jessica merasa takut. "Steven, kamu benar-benar melihatnya
pergi?"
Steven memutar matanya. "Apa aku pernah berbohong!"
dengusnya. "Ia baru saja berdiri di sini, lalu dari kantongnya
mengeluarkan topeng yang ia pakai waktu itu?"
Jessica menahan napas.
"?Lalu tiba-tiba Bumm!" lanjut Steven sambil menelan
serealnya. "Dan Aku bersumpah Jessica, bila saudaramu merusak
teleskopku, aku akan?"
Tapi Jessica sudah berada di luar.
Jessica berlari sekuat tenaga. Di mana kau, Lizzie? pikirnya
gugup sambil memilin tali ranselnya. Ia menegangkan matanya.
Elizabeth tidak kelihatan di mana-mana.
Ketika Jessica sampai di rumah tua Luna, ia merasa angin
dingin di udara. Lucu, pikirnya, Ketika aku pergi masih hangat.
Ada sebuah cahaya yang bersinar di jendela loteng rumah itu.
Jessica memperhatikan bahwa jendela loteng itu berbentuk bulan
sabit.Tapi ia tidak punya waktu untuk memperhatikan jendela yang
berbentuk bulan. Yang ia tahu adalah ia harus mengejar Elizabeth.
Jessica melingkari sudut. Kali ini udara terasa hangat kembali.
Di ujung sana terlihat sosok yang paling di kenalnya. "Lizzie!"
panggilnya. "Tunggu!"
Elizabeth terus berjalan, bahkan menolehpun tidak. "Lizzie!"
panggil Jessica lagi, ada nada memohon dalam suaranya. Ia
menyeberangi jalan tanpa menghiraukan ada mobil yang mengerem
tepat di depannya. "Elizabeth!"
Dengan cepat, Jessica menahan saudaranya tepat di ujung blok.
Ia melihat wajah saudaranya tertutup oleh topeng setan itu.
"Kenapa kamu tidak menunggu?" kata Jessica, dengan napas
tersengal. "Dan mengapa kamu memakai benda mengerikan itu?"
"Karena aku suka," jawab Elizabeth, suaranya bergumam.
"Memangnya kenapa? Kamu ada masalah dengan itu?" Ia berjalan
semakin cepat.
"Tapi?" Ketika Jessica ingin mengejar, kakinya terantuk batu
trotoar. Ia kehilangan keseimbangan dan menubruk Elizabeth. Dengan
cepat ia meraih untuk menangkap saudaranya dan
menyeimbangkannya. "Oh, maaf, Lizzie," ujarnya. "Maaf."
Suara Elizabeth terdengar kejam dan penuh dengki. "Tidak ada
maaf bagimu." Ia menaikkan dagunya dan terus berjalan.
Tak ada maaf bagimu? Jessica merasa pipinya merah karena
terkejut. Elizabeth tidak pernah berkata seperti itu sebelumnya, ia
berkata pada dirinya. Tidak pernah! Bahkan lelucon sekalipun!"Lizzie?" katanya, air matanya mulai menetes. Ia
Sweet Valley Twins Super Chiller Topeng Terkutuk di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menghapusnya dan meraih tangan saudaranya, tapi Elizabeth
melepaskannya dengan kejam.
"Cengeng kamu," lanjut Elizabeth. "Kamu sama buruknya
dengan Amy. Tidak, aku tarik kembali," tambahnya sambil
menggelengkan kepala.
"Apa?benar?" Jessica bertanya dengan suara kecil, penuh
pengharapan.
"Kau lebih buruk." Tertuju pada Jessica, kata-kata Elizabeth
seperti penjara besi mengelilingi hatinya. "Kau bahkan lebih buruk
dari Amy Sutton."
Dari Amy? pikir Jessica tidak percaya. Anak-anak yang lain
kadang-kadang suka mempermainkan Amy. Jessica sendiri juga suka
ikut-ikutan. Tapi tidak dengan Elizabeth. Tidak pernah! Jessica mulai
berbicara. "Lizzie, apa yang kamu katakan? Amy adalah?Amy
adalah temanmu?"
"Belajar bahasa Inggris," ucap Elizabeth dingin. Mereka telah
sampai di gerbang sekolah. "Ikutilah nasehatku, Jessica," lanjutnya.
"Berhentilah jadi anak cengeng!"
Ia membuka pintu dan langsung berjalan. Ketika Jessica
mencoba untuk mengikutinya, Elizabeth mendorong pintu itu dengan
kuat. Pintu itu terayun dan menutup dua inchi di hadapan hidung
Jessica.
Jessica terpaku. Dan ketika air mata mulai menetes, Jessica
tidak berusaha untuk menghapusnya.
***********"Hai, teman-taman," Elizabeth berkata riang pada waktu makan
siang ketika ia mendekati meja yang ditempati Amy dan Maria. Ia
telah meninggalkan ranselnya dengan topeng di dalam lokernya.
"Hai," Maria melihat sebentar, kemudian menatap Amy.
Elizabeth menaruh nampannya dengan tertawa. "Hanya itu yang
kudapat, hanya 'Hai'?" candanya. "Bagaimana kalau 'Oh, hebat! Ini
Elizabeth'?" ia membuka karton susunya.
Maria menaikkan alisnya pada Amy dan berbalik pada
Elizabeth. "Kita enggak berharap akan bertemu kamu di sini,"
jawabnya pelan.
Elizabeth menatap Maria dengan terkejut. "Bukankah aku selalu
duduk di sini?"
"Setelah tadi malam, kita tidak yakin kamu mau," Amy berkata
sedih.
Elizabeth mengeluarkan sandwichnya dan menatap temantemannya. "Setelah tadi malam? Apa yang kamu bicarakan?"
"Mmm, setelah ditelepon," Amy memulainya sambil memutarmutar jarinya pada rambutnya. Ia hening dan melihat Maria untuk
meminta pertolongan.
"Telepon apaan?" Elizabeth sangat was-was. Ia mendorong
nampannya dan memperhatikan wajah Amy.
"Telepon yang kami buat untukmu tadi malam." Amy berkata
sendu memalingkan dari mata Elizabeth. "Ketika kamu menjawab dan
berkata?" Ia meneguk.
"Kamu meneleponku tadi malam?" Elizabeth mencoba berpikir
kembali. Ia merebahkan dagunya pada tangannya. "Aku rasa tidak,"
ujarnya pelan. Bagaimanapun juga, sangat sulit untuk dipercaya, tapiia tidak ingat bahwa Amy meneleponnya. "Apa benar? Kamu benarbenar berbicara denganku?"
Maria berkeluh dan tersenyum. "Itu dia jawaban kita, Amy,"
ujarnya. Semua anggota tubuhnya terasa rileks ketika ia berpaling
pada temannya. "Itu pasti Jessica."
Pelan-pelan, Amy menaikkan wajahnya. "Itu pasti." Ia memberi
Elizabeth senyum manis. "Aku lega."
Elizabeth masih bingung. "Coba katakan padaku apa yang
terjadi, teman-teman," pintanya. "Percakapan ini terlalu cepat
untukku."
"Kami menelepon rumahmu tadi malam," jelas Amy, "dan
Jessica menjawab sambil berpura-pura menjadi dirimu." Ia
menyeruput susunya. "Kami punya ide untuk kostum Halloween, tapi
Jessica berkata kasar pada kami."
"Kata kasar?" Elizabeth bermuka masam. "Seperti apa?"
Wajah Amy memerah. "Well?" mulainya.
Maria mengangkat bahunya. "Hanya berkata kasar, itu saja,"
selanya. "Dan yang paling hebat adalah ia mencoba meyakinkan
ibumu bahwa itu adalah kamu."
"Benarkah?" Elizabeth terkejut. "Sepertinya itu bukan Jessica
sama sekali."
"Ya, pikir saja begini," Maria berkata. "Bisa Jessica yang
melakukannya. Atau kamu yang kerasukan roh jahat." Ia tersenyum
mengejek. "Apa kamu kerasukan?"
"Tentu tidak," jawab Elizabeth dengan berpikir."Aku rasa tidak," lanjut Maria. Matanya berbinar. "Jadi
Jessicalah yang bertanggung jawab. Percayalah." Ia menggigit makan
siangnya.
Elizabeth gelisah dengan sedotannya. "Jessica mungkin berpikir
itu lucu," ujarnya, merasa marah dan kesal. "Tapi perbuatan itu benarbenar nakal." Ia menggelengkan kepalanya. "Kadang-kadang ia suka
keterlaluan."
"Bilang padanya sepulang sekolah." usul Amy. "Kita akan ada
dibelakangmu."
"Aku akan melakukannya," Elizabeth berkata. Tegang pikirnya.
Aku harap Jessica tidak berbuat trik kejam seperti itu.
Aneh sekali aku tidak mendengar telepon berdering tadi malam,
pikirnya sambil menyeruput susunya. Kamu akan berpikir aku ingat
hal itu?benar kan ?
Tapi ia tidak berkata apa-apa.
Di seberang kafetaria, Jessica bertatapan dengan Elizabeth dan
tersenyum. Bagus, pikirnya. Ia telah melepas topengnya dan sekarang
berbicara pada Amy. Ia mungkin sedang bercanda hari ini. Kalau aku
ke sana sekarang, kita akan tertawa lebar tentang bagusnya akting dia.
Jessica berdiri dan mengangkat nampannya.
"Sampai nanti, ya," ucapnya pada teman-temannya. Mereka
sedang duduk di Unicorner, meja resmi klub Unicorn.
"Kita masih punya limabelas menit," Lila berkata padanya.
"Dan kamu tidak pernah memberitahu kita apa yang kamu pakai pada
Halloween."
"Hmmm," Jessica bergumam tak karuan, sambil memandang ke
seberang kafetaria. "Oh iya, Halloween. Mmm, ini kejutan?kamuharus tunggu dan lihat." Dan dia bergegas pergi ke meja Elizabeth
sebelum teman-temannya bicara yang lain.
"Hai, Lizzie," sapanya sambil berusaha menepuk pundak
saudaranya.
Tapi Elizabeth menjauhinya.
"Pergi dari sini, Jessica," kata Maria dingin.
Jessica merasa terkejut. "Pergi dari sini?" ulangnya.
"Bagaimana bisa?" Ia berpikir kembali bagaimana Elizabeth telah
menjelek-jelekkan Amy tadi pagi. Apa aku jadi gila? tanyanya sendiri
sambil melihat mereka berdua duduk seperti teman dekat. Atau ada
orang lain yang jadi gila?
"Setelah permintaan maaf yang kau tarik," celetuk Elizabeth,
"Aku heran mengapa kau berani mengucapkan hal seperti itu."
"Kamu benar-benar kejam," kata Amy melipat tangannya di
hadapannya.
"Aku bahkan tak tahu apa yang sedang terjadi!" ucap Jessica
meninggikan nada bicaranya. "Apa yang kamu bicarakan."
Elizabeth menatapnya sebentar. "Kamu tidak tahu?" katanya.
Lalu ia berkeluh dan membalikkan badan pada Jessica. Amy dan
Maria berbuat yang sama.
"Ya sudah," Jessica berkata pada akhirnya. "Aku rasa kita akan
bertemu lagi." Ia berjalan cepat menuju pintu kafetaria. Bagus ujarnya
pada dirinya. Jadi aku berbuat lelucon pada mereka, dan bahkan aku
tidak tahu apa itu!
"Aku senang ia sudah pergi," Amy berkata dengan lega sambil
melihat Jessica meninggalkan kafetaria.Elizabeth mengernyitkan dahinya. "Aku tak tahu, Amy,"
ujarnya. "Sepertinya ia tidak tahu apa yang sedang kita bicarakan."
Maria mendengus. "Itu hanya sandiwara," ucapnya tegas. "Itu
pasti. Ingat yang dikatakan Mandy pada pesta piyama?"
"Kamu tak ambil serius, kan?" Elizabeth berseru.
"Tentu tidak," Maria berkata dengan senyum. "Tapi Jessica iya,
kamu tidak ingat? Dan aku tidak akan membuat lelucon untuk melihat
apakah ia dapat membuatnya menjadi kenyataan. Ingat kan?" Ia
berbicara dengan suara rendah menirukan apa yang didengar di pesta.
"Saudaraku berhati-hatilah!" ulangnya. "Lalu ada sesuatu tentang
seorang teman menjadi musuh."
"'Sebuah setan akan mengubah teman menjadi musuh,'" kutip
Elizabeth sambil terkejut. Agak aneh bagaimana ia dapat mengingat
kata-kata Mandy dengan tepat.
"Apalah." Maria melempar tissu bekas ke nampannya.
"Lagipula, dengarkan ide bagus yang akan kita pakai pada
Halloween." Dengan cepat ia menjelaskan tentang ide sepeda roda
tiga. "Bagaimana menurutmu? Kamu akan bergabung kan?"
Elizabeth mengangguk. "Kedengarannya bagus," jawabnya,
"tapi aku mempunyai topeng yang akan kupakai untuk kostum?"
Maria melambaikan tangan. "Kan tidak ada alasan untuk tidak
memakai topeng menjadi bagian dari sepeda roda tiga. Benar Amy?"
Amy mengangkat bahu. "Kenapa tidak?" Elizabeth
mengangguk. "Baiklah," ujarnya. "Aku akan memikirkannya lagi."
Tapi ia tahu ia tidak akan mau. Tidak jadi soal betapa hebatnya ide
sepeda roda tiga tersebut atau Amy dan Maria bergantung padanya. Iatidak ingin menjadi bagian dari sepeda roda tiga. Ia hanya ingin
memakai topengnya.Delapan
Ini bernar-benar gila, Jessica berkata pada dirinya di hari Senin
sehabis sekolah. Tidak ada yang masuk akal lagi. Aku harus bicara
pada Elizabeth. Ia berjalan keluar gerbang dan berdiri sejenak sambil
melihat sekeliling untuk mencari saudaranya.
"Kalau aku bisa menemukannya dan berbicara dengannya,"
Jessica bergumam sendiri, "aku akan bertanya padanya tentang
lelucon yang harus aku mainkan pada Amy dan Maria, dan aku juga
akan mengatakan bahwa aku tidak suka tingkahnya, hanya itu saja,
dan?"
Suara dari belakang menyelanya. "Tingkah laku siapa yang
tidak kamu suka?"
Dengan terkejut Jessica melihat sekeliling dan melihat dirinya
berhadapan dengan Mandy Miller. "Oh, hai, Mandy," ucapnya sambil
memaksa untuk tersenyum.
"Ayolah Jessica. Kamu bisa ceritakan padaku."
Suara Mandy mendadak rendah. "Yang mana yang kamu
bicarakan: Janet atau Lila? Mereka berdua juga mengesalkanku. Apa
kamu percaya apa yang dikatakan Lila pada Mary Wallace?"
"Lila?" ulang Jessica seperti ia tidak pernah mendengar nama
itu sebelumnya.Mandy mengerut. "Dia kan yang sedang kamu bicarakan?" Ia
menjauhi Jessica. "Tentu saja, jika kamu tak mau cerita?" Ia
mengangkat bahunya.
"Oh, bukan, bukan itu," kata Jessica cepat. Lalu ia bernapas
panjang. Ia tahu kalau ada seseorang yang ingin ia percayai, maka
orang itu adalah Mandy. "Sebenarnya ini tentang Elizabeth."
"Elizabeth?" Mandy memiringkan kepalanya ke samping dan
menatap tajam Jessica. "Elizabeth yang sedang kamu bicarakan?"
Jessica mengangguk. "Ia sedang berlagak seperti?seperti agak
buruk."
Mandy mendengus. "Elizabeth? Buruk? Aku harus dengar ini."
"Aku tidak bercanda," kata Jessica serius. "Ini seperti ia?ia?"
Ia mencoba mengucapkan kata yang tepat. "Ia seperti kerasukan
setan."
"Setan?" Mandy bertolak pinggang. "Kita sedang bicara tentang
Elizabeth, benar?"
"Tunggu sebentar!" Jessica sedang berpikir sesuatu. "Ingat
ketika di permainan hantu, Mandy?" tanyanya sambil cepat-cepat
mengeluarkan kata-katanya. Mandy kelihatan bingung. "Permainan
Hantu," Jessica mengulang karena tak sabar. "Kamu tahu kan, yang
kita mainkan pada Jumat malam?"
Apa baru tiga hari yang lalu? "Ketika kamu berkata tentang
sebuah setan akan datang pada kehidupan kami?"
"Apa yang kamu bicarakan?" tanya Mandy.
Ia tidak ingat, Jessica berkata sendiri. Perasaan takut mulai
mengalir di tubuhnya. Tetap saja tak membuatnya berhenti bicara.
"Kamu berkata di permainan hantu bahwa ada sesuatu yang jahat akanterjadi antara dua saudara. Ya, kamu benar," tambahnya tegas, ketika
Mandy membuka mulut karena keberatan. "Kamu berkata tentang
suatu setan yang mengubah teman menjadi musuh, itu adalah katakatamu dan memang betul terjadi! Saudaraku berubah menjadi
musuhku, dan aku tidak tahu sebabnya!" Tiba-tiba Jessica sadar dia
sedang berteriak. Ia menunduk ke bawah dan melihat bahwa
tangannya telah mengepal.
Mandy mundur. "Terserah kamu, Jessica. Dengar, aku sudah
terlambat untuk?aku hanya terlambat. Mmm, sampai jumpa." Ia
berlari tanpa melihat ke belakang.
"Kamu memang mengatakannya, tahu," Jessica bicara pelan
ketika melihat Mandy berbelok di pojokan. "Kamu benar-benar
mengatakannya."
Ia ingat bahwa bibir Mandy tidak bergerak malam itu. Atau
paling tidak tubuhmu yang berkata, tambahnya sendiri.
***********
"Lizzie! Tunggu!" Jessica sampai lelah menunggu Elizabeth di
jalanan sekolah. Ia mulai berjalan pulang lalu menemukan
kembarannya di depannya.
Ia pasti meninggalkan sekolah lewat pintu belakang. Aku heran
mengapa ia tidak lewat pintu depan, seperti biasa? Jessica bertanya
sendirian sambil berusaha untuk menyusul. Elizabeth tidak berbalik.
"Hei! Elizabeth Wakefield!" teriak Jessica sedikit keras.
Ternyata berhasil. Elizabeth berbalik dan Jessica merasa lega
bahwa Elizabeth tak memakai topeng tengkoraknya. "Aku telah
mencari kamu ke mana-mana," Jessica berkata dengan mengejekketika ia telah berada di sampingnya. "Dengar Lizzie, kita harus
bicara."
"Tentang apa?" tanya Elizabeth. Ia mengayunkan ranselnya dari
punggungnya dan menutup retsleting salah satu kantongnya sambil
berjalan.
"Aku rasa kamu tahu," kata Jessica. "Ini karena kau secara luar
biasa telah menjadi kejam beberapa hari yang lalu." Jessica sadar
bahwa suaranya sedikit menghardik tapi ia tidak tahan lagi. "Kamu
tahu kalau kamu sedikit kejam?" tambahnya. "Kalau ada yang kamu
pikirkan, Lizzie, kita bisa?"
Jessica terperanjat ketika kembarannya mengeluarkan topeng
itu dan memakainya.
Suara jelek itu menggelegar dari belakang topeng. Jessica
terkejut. "Kamu pikir kamu mau pergi ke mana?" bentak Elizabeth.
Jessica menelan berat. "Pulang," jawabnya pelan.
"Kenapa kamu tidak pergi ke salah satu pertemuan klub
bodohmu?" kata Elizabeth nakal. "Maksudku, apa ada orang yang
bilang padamu bahwa 'unicorn' itu adalah nama yang sangat bodoh
untuk sebuah klub? Apa yang kamu lakukan? Duduk-duduk terus dan
makan kue seharian? Yii-ha!" Ia memukul kakinya seperti keledai.
Mulut Jessica terbuka. "Elizabeth!"
"Oh, jangan beritahu," lanjut Elizabeth berpura-pura menguap.
"Kamu hanya tidak diundang, teman-temanmu sedang mengadakan
pesta tanpamu. Mereka muak denganmu, itu saja." Dari topengnya,
Jessica melihat bahwa mata Elizabeth sedang menatapnya?tapi entah
kenapa mata itu tidak kelihatan seperti mata Elizabeth. "Atau mungkin
mereka sedang meminjam baju-bajumu. Benar, kan?" lanjut Elizabeth."Aku?" Jessica memulai. Ia melihat saudaranya dengan
ketakutan. Ini seperti Mandy pada pesta piyama, pikirnya sendiri.
Sweet Valley Twins Super Chiller Topeng Terkutuk di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bukan hanya matanya, tapi juga suara. Tak ada satupun yang mirip
dia! Ia hampir saja ingin memeriksa apakah bibir Elizabeth bergerak
atau tidak. Tapi ia tidak berani.
"Aku?" cobanya lagi.
"Seperti jawaban orang idiot," ucap Elizabeth sambil mengetuk
kepalanya. Dengan satu siku, ia mendorong Jessica dari trotoar.
"Menyingkir dari sini, pecundang!"
Pecundang! Jessica naik pitam. "Kamu jangan berbicara padaku
seperti itu!" ucapnya. Lalu sebelum dia tahu apa yang ia pikirkan,
Jessica meraih topeng itu dari muka Elizabeth dan membuangnya ke
tanah. Jari-jarinya bergetar aneh ketika ia menyentuhnya. Hampir
seperti kejutan listrik.
"Apa yang kamu laku?" kata Elizabeth. Lalu wajahnya mulai
melembut. Ia mengambil napas panjang dan tersenyum. "Apa yang
terjadi, Jess?" tanyanya lembut.
Jessica merasa lemah dan bingung. "Kamu tadi bersikap kejam
padaku, Elizabeth," jawabnya dengan suara kecil sambil
memperhatikan saudaranya. Apa sekarang kamu Elizabeth? ia ingin
bertanya. Apa kamu makhluk yang lain? "Aku?aku tidak suka kalau
kamu kejam terhadapku."
"Oh, Jess," kata Elizabeth. "Aku minta maaf." Ia mengulurkan
tangan dan meraih tangan saudaranya. "Maafkan aku jika menyakiti
perasaanmu."
Jessica berusaha tersenyum walaupun kedua matanya penuh
dengan air mata. "Tolong?tolong jangan panggil aku seperti itu lagi.""Tidak akan," kata Elizabeth. "Aku berjanji." katanya sambil
tersenyum. "Aku memanggilmu apa lagi?"
Jessica terkejut. Ia tidak tahu mengapa dia minta maaf, ujarnya
pada diri sendiri. Sepertinya dia sudah lupa.
Atau ia tidak pernah tahu.
Tapi Jessica tidak ingin untuk menjelaskannya? ia ingin
melupakan semuanya sendiri. "Ayo, Lizzie," katanya sambil
menggandeng saudaranya pulang sebelum Elizabeth mengambil
topeng itu. "Ayolah, kita bisa membuat kue coklat chip atau yang lain,
oke?"
"Tentu," kata Elizabeth. Tapi pikirannya terpecah. Jessica
berbalik sebentar dan melihat Elizabeth di selokan?mengambil
topeng itu dan menaruhnya di dalam ranselnya.
"Oke, aku sudah siap," ucapnya dengan jelas, berdiri lalu
tertawa pada Jessica. "Ayo!"
Tapi Jessica berdiri membatu. Ketika Elizabeth bernapas ceria
di sampingnya, ia memperhatikan bulan yang baru terbit di cakrawala.
Sudah hampir penuh, pikir Jessica dengan ngeri. Bulan itu juga aneh,
berwarna merah.
Suatu saat, kata-kata Mandy di permainan hantu teringat
kembali. "Hati-hatilah pada saat kenaikan bulan," ia mengulang suara
yang berkata, "dan awasilah saudaramu."
Aku sedang mencobanya! pikirnya putus asa. Aku benar-benar
sedang mencobanya.
Tapi aku tidak tahu apakah aku berbuat hal yang benar.
**************
"Bukan Main!"Di atas, di kamar tidurnya, Steven mengintip dengan
teleskopnya. "Aku akan jadi terkenal," gumamnya. "Terkenal dengan
huruf depan T!" Ia meneropong melalui lensanya. Terlihatlah di sana,
mengabur tapi sedikit masih jelas: bulan yang berwarna merah darah
berada di cakrawala.
Aku tidak pernah melihat ini sebelumnya, Steven berkata pada
dirinya dengan senang. Aku bertaruh tidak ada yang menemukannya.
Guru astronominya, Bu Nicholas akan terkesima dengan
penemuannya!
Mereka mungkin akan memberiku hadiah Nobel, pikir Steven
sambil meraih tabel bulannya. Sambil bersiul sendiri, ia menemukan
spidol merah tua dan mencobanya di ujung kertas. Belum cukup,
pikirnya sambil memperhatikan warna merah. Tidak cukup berdarah.
Untuk memastikan, ia mengintip teleskopnya lagi. Benar-benar belum
cukup berdarah.
Mungkin apabila ia menambahkan coklat? Steven mengambil
spidol coklat dan menimpanya di atas warna merah. Cukup bagus.
Memakai warna merahnya lagi, ia memulai mewarnai lingkaran untuk
hari Senin.
Tentu saja ini agak aneh, pikirnya. Ia memalingkan matanya
pada dua baris pertama di tabelnya. Setiap bulan digambar dengan
warna kuning, atau keputihan, atau oranye. Tidak satupun yang
berwarna merah darah. Ya, aku akan memberitahu Bu Nicholas pada
kelas astronomi berikut, ia memutuskan. Mungkin aku tidak akan
mendapat hadiah Nobel, tapi ia akan memberiku nilai A pada
pelajarannya. Steven mengeraskan suara CD Johny Buck dan memulai
mewarnai seiring musik itu.Tiba-tiba terdengar ketukan di pintu.
Steven mengeluh. "Masuk," teriaknya. Jessica masuk ke
kamarnya, dengan ekspresi khawatir di wajahnya. "Steven, bisa bicara
denganmu beberapa saat?" pintanya.
Steven berkeluh. "Mmm, aku rasa. Maksudku, aku bertaruh
pemenang hadiah Nobel tidak pernah terganggu pada saat
mengerjakan proyek ilmiahnya, tapi aku rasa ini memungkinkan
karena kamu ingin nasehat yang brilian tentang sesuatu, lagipula?"
"Steven," potong Jessica. "Aku hanya ingin tahu?" katanya
sambil menatap lantai.
"Biar aku tebak," ujar Steven. "Kamu sedang jatuh cinta pada
pemuda yang tidak sesempurna aku dan kamu ingin tahu bagaimana
mendapatkan cintanya."
Jessica menggeleng. "Tidak."
"Baiklah," lanjut Steven. "Kamu menginginkan aku untuk
memberimu kuliah sains agar kamu bisa sebrilian aku." Ia duduk dan
tertawa.
Jessica memutar matanya. "Kamu tidak selucu yang kau
pikirkan, Steven."
Hmmf. "Kamu benar," jawab Steven. "Ternyata aku lebih lucu."
"Ha ha," ujar Jessica terpaksa. "Dengar, Steven, yang aku ingin
tahu adalah?" ia berhenti lagi dan mengigit bibirnya.
"Dengar, Jessica," katanya dengan sabar, "kalau kamu tidak
punya sesuatu yang ingin dibicarakan, mengapa kamu tidak pergi?
Aku punya berton-ton PR untuk kelas astronomiku, oke?"Wajah Jessica mulai kelihatan serius. "Itulah yang ingin aku
bicarakan," ucapnya dengan tiba-tiba. "Apa mungkin bulan kelihatan
berwarna merah darah?"
Steven terkejut. Jadi Jessica sudah melihatnya juga. Ia harus
mengakuinya, bahwa ia tidak suka dengan ide tentang orang lain,
terutama saudara perempuannya, membuat penemuan yang sama. Ia
tidak ingin adiknya itu disebut-sebut pintar atau sejenisnya. "Tentu
saja itu mungkin," ucapnya dengan berat. "Terjadi setiap saat."
Jessica berbinar. "Apa benar?" tanyanya. "Maksudku, aku tidak
pernah melihat hal itu sebelumnya."
"Percayalah padaku," kata Steven serius, "Itu sering terjadi.
Sangat sering. Tentu saja kamu harus tahu persis di mana
mencarinya."
"Oh," Jessica mengangguk pelan. "Oke, itu masuk akal, Steven.
Terima kasih."
"Kapan saja." Steven bersandar kembali dan menutup matanya.
"Kamu tahu, kan?aku selalu menolong."
"Ya, benar," jawab Jessica sambil membersitkan hidungnya.
Mata Steven melotot. "Aku selalu menolong! Hanya saja kamu
harus mendekati aku dengan cara yang benar, itu saja. Katakan saja,
'Steven, sayangku dan kakakku yang baik, maukah kamu menolongku
dengan persoalan ini di mana aku terlalu bodoh untuk bisa kumengerti
sendiri?' lalu kamu akan mendapatkan jawabannya, aku janji."
Jessica meringis. "Enak aja!"
"Elizabeth selalu melakukannya," Steven berargumen."Ia tidak akan." Wajah Jessica berubah serius. "Omong-omong,
Steven apakah kamu memperhatikan perubahan pada Elizabeth akhirakhir ini?"
"Perubahan?" Steven penasaran.
"Ya, perubahan," kata Jessica sambil menatapnya. "Seperti agak
lebih baik atau agak lebih kejam." Ia menelan ludahnya. "Atau yang
lain."
Steven mengangkat bahunya. "Untuk apa kamu tanyakan?"
tanyanya. "Elizabeth adalah Elizabeth, titik. Ia selalu jadi Elizabeth
dan ia akan selalu jadi Elizabeth." keluhnya. "Jangan salah kata. Tidak
ada yang menentangnya, tapi bisa kamu bayangkan menjadi Elizabeth
selamanya." Ia bergetar dan melihat daftar bulannya. "Lagipula, aku
terlalu sibuk dengan astronomiku untuk memperhatikan sesuatu
seperti itu. Hei kamu ingin melihat sesuatu yang sangat hebat?" Ia
berdiri dan berjalan ke pojok kamarnya. "Aku membuat ini, sebuah
model yang bagus dari bulan."
"Tidak, terima kasih," kata Jessica pelan, sambil berjalan ke
pintu.
"Apa?" Steven terkejut. "Bagaimana kamu bisa berkata tidak?"
"Sebenarnya mudah," kata Jessica dari pintu.
Steven melipat tangannya. "Yah, kamu akan menyesal kalau
aku jadi terkenal. Aku bisa melihat beritanya di koran sekarang:
'Saudara Perempuan dari Ilmuwan Hebat Tidak Pernah
Memperhatikan Eksperimen Kakaknya."
Jessica tertawa terbahak. "Kenapa kamu tidak mencoba untuk
lulus kelas sembilan dulu?" sarannya sambil meninggalkan pintu.
"Kamu akan menyesal!" teriak Steven.Ia mengambil spidol coklatnya dan menyelesaikan mewarnai
tabel bulannya. Warna coklat dan merah tercampur rata. Hampir
sempurna, pikirnya sambil mengembalikan tutupnya. Terlihat cukup
berdarah!
Dan dibandingkan dengan tabel-tabel yang lain, hal itu terlihat
aneh.
Tiba-tiba, ketika ia melihat daftar warna merah darahnya,
Steven menjadi bingung. Setahunya, tidak pernah terlihat bulan
berwarna seperti itu.
Lalu, apa yang membuatnya berwarna merah malam ini?Sembilan
Jessica memeriksa isi tas belanjanya. Hari itu adalah hari Senin
sore dan ia sedang berjalan pulang ke rumah dari mal. "Mari kita
lihat," gumamnya, "dua pisau pahat, handuk kamar mandi, dan,"?
dimana, ya??"sebuah paket stiker Halloween." Aneh, tapi pasti bisa
untuk tipuan.
Lagipula, Elizabeth selalu suka memahat labu. Setiap bulan
Oktober sebelumnya, Jessica dan Elizabeth selalu memahat labunya
beberapa hari sebelum Halloween. Ketika mereka kecil, Jessica ingat,
mereka membutuhkan bantuan dari orangtuanya, tapi akhir-akhir ini,
mereka selalu membuatnya sendiri. Jessica meringis ketika mengingat
bentuk labu yang mereka buat: yang mereka beri spagetti untuk
rambutnya (sampai para burung memakannya), yang mempunyai luka
ungu di lehernya, yang mempunyai kelereng bercahaya yang mereka
pinjam dari Steven untuk matanya.
Jessica telah mengira dirinya terlalu tua dan terlalu dewasa
untuk memahat labu tahun ini. Tapi kalau itu untuk menolong
Elizabeth, mungkin akan berguna!
"Ada orang di rumah?" teriak Jessica sambil menaruh
belanjaannya di meja dapur. Lalu ia ingat bahwa orangtuanya sedang
pergi malam ini dan Steven sedang bermain basket.Jessica menyalakan radio dan mengeluarkan pisau pahat dari
bungkusnya. Ia mengharapkan Elizabeth muncul ketika segalanya
telah siap.
Jessica menggulung lengan bajunya dan menggelar koran di
meja dapur. Sambil menghentakkan kakinya seirama dengan musik, ia
menaruh labu yang mereka beli minggu lalu di atas koran-koran.
Dengan terkejut, Jessica merasa bahwa ia sedang menanti-nantikan
acara ritual memahat labu. Mungkin ini kekanak-kanakan, pikirnya
sendiri, tapi tidak ada yang akan berkata begitu pada Janet!
Jessica memperhatikan labu di depannya. Yang kiri ternyata
lebih besar dan lebih bundar. Ia membalikkan labu itu. Yang kanan
ternyata mempunyai permukaan yang lembek di bagian bawahnya.
Biar Elizabeth memperoleh yang kiri, putus Jessica sambil
membalikkan labu itu kembali.
Tiba-tiba terdengar suara di pintu. "Elizabeth?" tanya Jessica
tegang. "Apakah kamu?" Ia menaruh handuk kertas di antara labu itu
dan segera ke pojok.
"Siapa yang ingin tahu?" terdengar suara sumbang.
Elizabeth berjalan ke dapur, topeng itu melekat erat di
wajahnya. Hati Jessica mulai tidak tenang, tapi ia berusaha agar tetap
ceria. "Lihat, Lizzie!" serunya sambil tersenyum lebar pada
saudaranya. "Aku sudah mempersiapkan labu. Mungkin kita bisa
menyanyikan lagu-lagu tentang labu sambil memahat?"
"Lagu jelek itu?" tanya Elizabeth dengan ketus. "Aku tidak akan
menyanyikan lagu-lagu bodoh seperti itu lagi."
Jessica menatap saudaranya. "Tapi minggu lalu?""Dan aku juga tidak akan memikirkan tentang musik anakanak," kata Elizabeth sambil mematikan radio.
"Mmm?benar. Itu memang lagu bodoh," kata Jessica dengan
suara gemetar. Ia bergantian menatap labu itu. "Yang kiri itu
punyamu. Mengapa tidak kamu ambil pisau dan mulai memahatnya?"
"Apa kamu gila?" Elizabeth tertawa. "Maksudku, dari segala
macam tindakan kekanak-kanakan dan tindakan bodoh yang telah
kamu lakukan. Apa ini lelucon atau apa?"
Perut Jessica mulai sakit. Ia merasa Elizabeth telah menusukkan
pisau pahat itu ke dalam hatinya. Tapi ia tetap memegang pisaunya
jauh dari saudaranya, dan tidak mau menyerah. Ambillah, pikirnya.
Ambillah! Mari kita memahat labu itu seperti saat-saat dulu, ketika
semuanya masih baik-baik saja! Sambil menutup matanya, ia
mencoba mengirim pesan ke otak Elizabeth. Mari menjadi terdengar
teman lagi, pikirnya sambil berkonsentrasi penuh. Jangan kejam,
Lizzie. Tolong, jangan jadi kejam!
Pintu terbanting. Jessica membuka matanya. Elizabeth sudah
tak ada lagi dalam pandangannya.
"Jangan menunggu aku!" suara Elizabeth terdengar dari pintu.
Terdengar tawa histeris dan Jessica mendengar Elizabeth membuka
pintu depan. "Kalau Ayah dan Ibu membiarkan bayi seperti kamu
untuk bangun sampai jam setengah tujuh, itulah jadinya!" tambah
Elizabeth sebelum membanting pintu.
Dengan mata penuh air mata, Jessica menyelesaikan memahat
labunya. Ia duduk kembali dan memeriksa pekerjaannya. Matanya
lebar dan bundar, dengan bentuk oval kecil di bawahnyamelambangkan air mata. Mulutnya terpahat ke bawah di sudutnya dan
labu itu diletakkan sejajar dengan punya Elizabeth.
Apa yang terjadi denganmu, Elizabeth? pikir Jessica, pasti ia
akan menangis sebentar lagi. Apa yang terjadi pada saudara yang aku
kenal dan aku sayangi selam 12 tahun? Sepertinya gadis yang ada di
tubuh Elizabeth bukanlah Elizabeth samasekali.
Aku bahkan tidak tahu siapa dia, pikir Jessica, sambil
mengedipkan air matanya. Ia melihat labu kepunyaan Elizabeth. Ia
ingin Elizabeth memahatnya. Elizabeth benar-benar kosong seperti
labu di sebelah sana. Aku bahkan tidak dapat melihat wajahnya!
Jessica menarik napas panjang, menghapus air matanya dan membawa
labunya ke teras depan.
Hari sudah sangat gelap dan mata Jessica membutuhkan waktu
untuk beradaptasi. Lalu ia menaruh labu itu dengan hati-hati pada rel
teras. Labu ini akan membutuhkan lilin, pikirnya sendiri. Ide tersebut
menggembirakannya. Ia berlari untuk mengambil lilin dan korek api.
Sambil membuka tutup labunya, ia menaruh lilin dan menyalakannya.
Ya, itu lebih baik. Api mulai menyala dan berwarna kuning dari dalam
labu itu. Muka sedihnya seperti berkurang dengan nyala api kuning di
dalamnya?
Tunggu sebentar.
Sweet Valley Twins Super Chiller Topeng Terkutuk di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dengan adanya nyala lilin di dalamnya, labu itu seperti bulan
purnama.
Jessica menutup matanya dan menggelengkan kepalanya. Tidak
mungkin. Ia tertawa. Ya benar, bulan purnama! Hari-hari terakhir ini
ia telah melihat banyak bulan dalam hidupnya.
Pelan-pelan ia membuka satu matanya.Labu itu benar-benar seperti bulan.
Jessica meniup lilinnya. Labu itu jadi tampak sangat sedih, tapi
paling tidak sudah bukan berbentuk bulan lagi. "Hati-hati pada saat
naiknya bulan," ingat Jessica. "Dan awasilah saudara perempuanmu."
Demi tuhan, apa yang telah Mandy bicarakan?
Jessica mendengar langkah kaki dari trotoar. Ia termenung di
malam hari. Elizabeth! "Jessica?" terdengar suara yang paling
dikenalnya.
Jessica mengintip untuk melihat lebih jelas. Bagus, pikirnya.
Tidak ada topeng. "Lizzie?" duganya. "Coba lihat ini?"
"Apa?" Elizabeth melompati tangga teras dua kali. Tapi ketika
ia melihat sekeliling teras, mulutnya terbuka lebar. "Oh, Jess!"
serunya. "Kamu memahat labumu dan tidak menungguku! Kita selalu
melakukannya bersama!"
Jessica hanya bisa termenung. "Tapi?aku?tapi?" ia
berbicara dengan gagap.
Elizabeth menatapnya dengan kecewa sambil menunggu Jessica
melanjutkan kata-katanya.
"Aku ingin memahat labu itu bersamamu, tapi beberapa saat
yang lalu kamu?kamu?" Jessica memutusnya. Ia tidak
menginginkan untuk mengulang perkataan Elizabeth padanya.
Mata Elizabeth terlihat kebingungan dan benci. "Aku, apa?"
tanyanya dengan suara terpecah. "Apa yang aku lakukan beberapa saat
yang lalu?"
Ia benar-benar tidak ingat, kata Jessica sendiri sambil ketakutan.
Ia benar-benar tidak ingat kejadian beberapa jam yang lalu ketika?Ketika ia sedang memakai topeng. Pada saat itu, Jessica melihat
topeng pada kantong saudaranya. Topeng itu meracuninya, Ia
menyadarinya secara tiba-tiba. Topeng itu membuatnya menjadi setan
ketika ia memakainya dan ketika ia melepasnya, ia lupa tentang
segalanya saat ia sedang memakainya.
Jessica menyeberangi teras dan memeluk saudaranya. "Aku
minta maaf," ucapnya pelan. "Aku hanya?tidak sedang berpikir, itu
saja." Ia memberi saudaranya sebuah pelukan.
Kisah Pedang Di Sungai Es 4 The Last Demigods Karya Mrseven07 Dibatasi Dua Kamar 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama