Ceritasilat Novel Online

Tapak Tangan Hantu 14

Tapak Tangan Hantu Karya Batara Bagian 14


mencintaimu!" Hek-i Hong-li membentak, marah karena akhir-akhir ini sang suheng atau suaminya itu
menyebut-nyebut lagi kakaknya nomor empat. Kalau sudah begini ia benci sekali kepada suaminya ini,
kemarahan cepat timbul. Maka ketika lagi-lagi suami atau suhengnya itu menyebut itu tiba-tiba
kemarahanpun meledak. Tapi suaminya ini tetap bersiteguh, merasa rendah diri.
"Aku bicara apa adanya, sumoi. Sudah sekian tahun kita menikah tapi tak ada keturunan juga. Aku
khawatir dosa......"
"Dosamu adalah kau selalu menyakiti aku. Kau mulai menyebut-nyebut orang lain, suheng. Kau
seakan tak menunjukkan cinta lagi kepadaku. Daripada kau menyerahkan aku kepada orang lain lebih baik
aku tetap sendiri!"
"Tapi sute lebih muda....."
"Tutup mulutmu, atau nanti kutampar!"
"Aku sudah tua, sumoi, terlalu tua. Aku teringat sute dan menyesal kepadamu...... plak-plak!" Hek-i
Hong-li berkelebat dan menampar suhengnya itu. Bibir sang suheng langsung pecah dan robek, darah
mengalir. Tapi ketika Hek-i Hong-li berapi-api dan berdiri membentak suhengnya maka wanita itu menuding
dan marah sekali.
"Suheng, tingkahmu benar-benar memuakkan. Kalau kau sudah tidak mencintai aku pergilah dari sini.
Pergi! Aku tak tak dapat menerima semua kata-katamu yang mulai menyakiti aku!"
Pendekar itu meraba mulutnya yang sobek. Ia terhuyung dan bangkit berdiri mengusap darah yang
masih mengalir itu, wajah sang isteri atau sang sumoi dipandangnya sedih. Lalu ketika ia mengangguk dan
maklum kebahagiaan tak didapat lagi, tiba-tiba ia teringat sumpahnya dulu maka pria ini menggigit bibir
menahan runtuhnya air mata.
"Sumoi, aku tetap menyayangimu, mencintaimu. Tapi apalah artinya berumah tangga kalau tak ada
keturunan di antara kita. Aku memberimu kesempatan untuk bertemu sute, aku akan menyuruhnya
menghibur di sini. Selamat tinggal dan maafkan aku."
Wanita itu menjerit. Suhengnya hendak memeluk dan mencium terakhir kali namun ia mengelak. Kaki
bergerak dan terlemparlah suhengnya oleh suatu tendangan amat dahsyat. Tubuh pendekar ini mencelat dan
keluar guha, berdebuk dan terbanting di dekat jurang di mana dulu ia terjun. Dan ketika Hek-i Hong-li
mengguguk dan berkelebat keluar guha, lari ke tempat lain maka sejak hari itu pasangan ini tak bertemu lagi
sampai mereka tua.
Pendekar itu ternyata mencari sutenya. Di suatu tempat akhirnya mereka bertemu. Tapi ketika
Bayangan Dewa ini menggeleng dan sendu maka sang sute menolak dan berkata.
"Kau pria aneh. Kau laki-laki yang tak dapat diikuti wanita, suheng. Kau lain dari yang lain. Mana
berani aku menemui sumoi dan menggantikan kedudukanmu sebagai suami. Tidak, kau seperti orang gilaKolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
338 saja, isteri sendiri diserahkan. Aku tak dapat menerima dan tak berani menerima. Mungkin bukan salahmu
untuk mandul, mungkin sumoi yang memang tak dapat memberikan anak!"
"Aku tidak berpikir begitu. Aku teringat sumpahku dulu, sute. Tentu ini gara-gara dosa yang tidak
kutepati itu. Aku lebih menyalahkan diriku sendiri!"
"Kau memang selalu memikirkan orang lain, gampang sekali menyalahkan diri sendiri. Baiklah
betapapun kau mendesakku tetap saja aku tak berani menggantikan kedudukanmu, suheng. Sumoi bukan
semacam mainan yang dapat dipindahtangankan. Ia manusia pula seperti kita!"
"Jadi kau tak menerimanya?"
"Tidak, sekali lagi tidak!"
Lalu ketika si Naga Berkabung tampak sedih dan susah akhirnya dua bersaudara itu memisahkan diri.
Pertemuan ini adalah pertemuan yang terakhir pula bagi suheng dan sute itu dan Sian-eng-jin menggelenggeleng kepala. Belum pernah ditemuinya pria seperti suhengnya itu, pengalah dan penyabar. Sebagai sesama
priapun dia merasa sulit mengikuti sepak terjang suhengnya itu. Satu yang harus diakui, suhengnya memang
benar-benar luar biasa, baik sebagai saudara maupun suami! Dan ketika sejak itu Ngo-cia Thian-it pecah
berantakan maka kabar terakhir memberitahukan bahwa mereka sudah mencapai tingkat amat tinggi dalam
bentuk samadhi di mana mereka tak dapat lagi turun dan bergerak bebas di bumi. Mereka sudah merupakan
manusia-manusia setengah dewa yang hidup di alam lain!
* * * "Demikianlah," kakek itu mengakhiri ceritanya, Sin Gak masih kelihatan termenung dan melayanglayang di alam cerita gurunya. "Kami berlima pecah berantakan, Sin Gak, dan kami masing-masing sudah
hampir tak berhubungan lagi. Sejak itu aku berpisah dengan suhengku dan Ngo-cia Thian-it tak pernah
muncul."
Anak ini terharu. Kisah panjang dari gurunya membuat ia begitu bengong dan duduk bagai arca. Tiga
hari tiga malam gurunya menceritakan peristiwa hebat itu, ia benar-benar bagai tersihir dan tidak bergeming.
Tapi ketika gurunya menepuk pundaknya dan ia sadar, wajah anak ini kembali seperti semula maka kakek itu
tersenyum kepadanya.
"Perpisahan memang menyakitkan, tapi selalu akan terjadi. Nah, bersiap-siaplah untuk menguasai
daerah ini, muridku, dan turun gununglah cari ayahmu itu. Aku harus pergi karena tugasku selesai." Sin Gak
adalah keturunan Si Golok Maut Sin Hauw. Seperti ayahnya yang pendiam dan keras hati iapun sudah dapat
menguasai dirinya lagi. Tadi ia tenggelam dalam duka dan kesedihan, sedih karena akan ditinggal gurunya.
Tapi begitu ia menggigit bibir dan menganggukkan kepala iapun sudah berlutut dan mencium lutut gurunya
itu. "Baiklah, teecu sudah mengerti. Teecu sudah mendengar semua ceritamu, suhu, teecu akan
mengingat-ingat itu. Kalau suhu hendak meninggalkan teecu silahkan, teecu akan mencari ayah teecu pula."
Kakek ini kagum. Bocah ini sudah berusia delapan belas tahun dan tubuhnya tegap, tidak begitu tinggi
dan bahkan agak pendek seperti ayahnya. Tapi mata yang mencorong bagai mata seekor harimau itu cukup
memberitahukan bahwa anak yang kini sudah menjadi pemuda itu bukan sembarang orang. Dia adalah
gemblengan satu di antara Ngo-cia Thian-it!
Sian-eng-jin tiba-tiba bangkit dan tertawa. "Anak baik, tahukah kau apa saja yang harus kau lakukan?
Cukupkah hanya dengan mencari ayahmu itu?"
"Mohon petunjuk kalau ada yang kurang, suhu. Tapi agaknya prinsip kebenaran harus selalu teecu
pegang teguh. Suhu.
"Benar, kau cerdik. Hampir dua puluh tahun aku menggemblengmu dan semua ilmu-ilmu Ngo-cia
Thian-it kau kuasai. Hati-hatilah mempergunakan itu karena aku masih akan mengamat-amatimu dari jauh.
Sekarang kau telah menguasai Pek-mo-sin-kang sebagai ilmu andalanku, ini ciri-ciri khusus murid Sian-engjin. Tapi karena kau memiliki pula ilmu-ilmu lain seperti Jin-seng-sut dan Hiat-sun-tai-hoat maka ingatlah
bahwa dua ilmu itu hanya boleh kau pergunakan bila menghadapi musuh setanding!"
Pemuda ini mengangguk. Jin-seng-sut (Ilmu Merobah Ujud) adalah semacam ilmu sihir berkekuatan
batin. Ilmu ini tak boleh dipergunakan apalagi untuk pamer, kalau benar-benar tidak perlu. Dan karena Hiat-Kolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
339 sun-tai-hoat (Ilmu Menghilang Di Balik Kabut Darah) juga bukan ilmu sembarangan karena suhunya
mempersiapkan itu untuk menghadapi Mo-hiat-hu-kut-tai-hoat yang dimiliki supeknya Mo-bin-jin maka
pemuda inipun mengangguk-angguk namun merasa heran kenapa ilmu itu seakan disiapkan apabila dia
menghadapi supeknya. "Teecu hendak bertanya sesuatu kalau boleh," katanya. "Apakah suhu tidak
keberatan dan suka menjawab."
"Kau hendak bertanya apa," kakek itu tersenyum. "Tanyalah, anak baik. Aku akan menjawab kalau
bisa kujawab."
"Tentang Hiat-sun-tai-hoat ini, kenapa suhu memberikan itu padahal bukankah supek Mo-bin-jin
sudah tak pernah muncul lagi!"
"Hm, itu?" kakek ini tertawa. "Hiat-sun-tai-hoat kuberikan semata untuk berjaga-jaga, muridku.
Supekmu Mo-bin-jin tak mungkin muncul karena kami sudah dilarang turun secara langsung. Ilmu itu
kuberikan hanya sebagai pelindung di kala diperlukan, seperti sediakan payung sebelum hujan."
"Itu saja?"
"Ya, itu saja."
Pemuda ini mengangguk. Sebenarnya Sin Gak hendak bertanya sesuatu yang mengganjal lagi,
jawaban gurunya terasa tidak memuaskan. Tapi karena bukan kebiasaannya untuk berpanjang lebar, anak ini
pendiam dan lebih banyak menahan diri akhirnya iapun tak bertanya lagi dan bersiap-siap. Gurunya hendak
pergi dan dia mengantar, tapi ketika gurunya tertawa dan menuding keluar ternyata ia disuruh menyiapkan
sebuah gubuk dari kumpulan awan putih.
"Aku akan pergi, tapi tak perlu diantar. Siapkan saja sebuah tempat tinggal dengan satu pintu. Tutup
pintunya kalau aku sudah masuk, tunggu tiga hari tiga malam."
"Suhu maksudkan Hu-pek-in-kiong (Istana Awan Putih)?"
"Ya, benar, Sin Gak. Siapkan itu tapi kali ini aku benar-benar akan pergi. Buat berdaun tunggal dan
tutup setelah masuk!
Sin Gak menarik napas dalam. Hu-pek-in-kiong adalah istilah saja bagi mereka karena maksud dari itu
adalah sebuah gubuk aneh dari bongkahan awan. Di puncak gunung mereka mendapatkan itu dan bahanbahannya banyak terdapat. Sin Gak sering membuatkan gurunya kalau gurunya ingin bersamadhi. Maka
ketika ia keluar dan di sebuah batu besar ia meraup dan mencomot awan-awan yang berseliweran,
menggenggamnya dan mereka menjadi semacam bongkahan salju maka dengan ini pemuda itu membuat
gubuk.
Aneh dan bakal membuat orang terheran-heran melihat perbuatan murid Sian-eng-jin ini. Sin Gak
begitu gampang meraup dan memoles dinding gubuk. Uap dingin di tangannya berobah seperti es, ditempel
dan disusun hingga terbentuklah sebuah dinding sederhana. Lalu ketika pemuda itu meneruskan
pekerjaannya keempat penjuru dan tiada hentinya tangannya menyambar dan melempar-lempar uap putih
setengah jam kemudian jadilah gubuk aneh dengan satu lubang di depan.
Pemuda itu menemui gurunya. "Sudah teecu siapkan," katanya. "Silakan suhu masuk dan katakan apa
yang kurang."
Kakek itu tertawa lebar, tak menyembunyikan kekaguman. "Tahukah kau bahwa pekerjaanmu ini sulit
bagi orang lain? Heh, merobah awan menjadi bongkahan salju tak dapat sembarang dilakukan orang lain, Sin
Gak. Kalau kau tak memiliki Pek-mo-in-kang jangan harap mampu. Barangkali sekarang kau mengerti
kenapa aku menyuruhmu begini. Kau sedang melatih dirimu sendiri agar ilmu itu kau kuasai. Dan setelah
kau menghirup tenaga mujijat Awan Iblis maka sinkangmu menjadi luar biasa dan apapun dapat kau
bekukan sesuka hatimu. Baiklah, aku masuk dan tutup pintunya!"
Sin Gak tiba-tiba menahan. "Tunggu dulu, apakah suhu tak memberi pesan lainnya lagi!"
"Cukup semua itu, Sin Gak. Kau ingat-ingat saja pesanku tadi. Hati-hati mempergunakan ilmumu dan
waspadalah terhadap murid Te-gak Mo-ki itu!"
Pemuda ini tertegun.
"Dan aku sudah pergi kalau bangunan ini pecah. Kau boleh turun gunung dan cari orang tuamu!"
Sin Gak berlutut. Tak dapat ditahan lagi mendadak tenggorokannya serasa tercekik, mata tiba-tibaKolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
340 basah dan iapun cepat-cepat menyembunyikan muka dengan berlutut. Dengan begitu ia dapat menahan
tangisnya. Dan ketika kakek itu masuk dan ia harus menutup bangunan aneh ini maka pemuda itu bergerak
dan sudah menutup Hu-pek-in-kiong ini. Jari-jarinya gemetar dan menggigil melakukan itu. Kali ini gurunya
tertutup rapat dan tak mampu bernapas, ia seakan "membunuh" gurunya sendiri. Tapi karena ia maklum
kesaktian gurunya dan sudah kehendak gurunya juga untuk bermoksa diri, lenyap bersama raga maka
pemuda itu menahan kuat-kuat semua tangis dan perasaan.
Pintu bangunan aneh itu akhirnya selesai. Tak ada lubang yang tersisa dan Sin Gak duduk di
depannya. Pemuda ini menggigil. Ini adalah peristiwa pertama kalinya yang membuat ia harus betul-betul
kuat. Biasanya gurunya hanya bersamadhi dan duduk di dalam dengan lubang pintu. Dengan begitu udara
dapat keluar masuk. Akan tetapi karena kali ini Hu-pek-in-kiong ditutup rapat dan tak ada udara masuk,
bangunan aneh itu benar-benar hampa udara dan dingin luar biasa maka hanya tokoh seperti Bayangan Dewa
ini yang mampu bertahan.
Sin Gak membuang segala pikiran dengan samadhi. Ia memusatkan semua perhatian pada titik hidung.
Pemuda ini tak menghiraukan lagi segala sesuatu. Dan ketika ia tenggelam dan lenyap ke alam lain maka
pemuda ini tak tahu berapa lama ia duduk mematung. Sin Gak sadar ketika sebuah suara dahsyat
menggelegar di belakangnya. Bangunan aneh itu runtuh. Dan ketika pemuda ini mencelat dan bangun berdiri
maka tiba-tiba tampak sesosok asap putih membubung ke langit. Bayangan gurunya!
Jilid XXIV
"SUHU!"
Menyeramkan melihat itu. Sesosok arwah, begitu kira-kira patut disebut melayang lurus ke langit biru.
Arwah atau mahluk halus ini jelas Sian-eng-jin yang memperlihatkan diri. Kakek itu tersenyum dan
melambaikan tangannya. Tapi ketika Sin Gak tertegun dengan mata terbelalak lebar, bulu tubuhnya berdiri
mendadak sosok putih atau arwah ini melesat cepat, lenyap.
"Suhu.....!"
Hilanglah kakek itu. Sian-eng-jin telah membawa raganya bersama-sama. Kakek itu moksa. Lalu
ketika Sin Gak sadar mendengar suara hiruk-pikuk, gemuruh maka puncak Awan Iblis mendadak runtuh.
Bergeraklah pemuda ini menyelamatkan diri. Batu-batu berguguran dan pohon-pohon roboh. Seakan
berbela sungkawa atas kepergian kakek itu maka puncak gunung bergetar. Aum dan jerit binatang hutan silih
berganti. Untuk beberapa saat Sin Gak dicekam ketegangan, ia tak tahu apa artinya itu. Tapi ketika suarasuara itu akhirnya lenyap dan sama sekali diam, Sin Gak memandang menggigil maka puncak biasa lagi dan
sebagai gantinya terdapatlah suasana damai nan tenang.
Teringatlah Sin Gak. Dulu gurunya itu pernah berkata bahwa di atas bumi segala mahluk selalu
berhubungan. Hanya karena masing-masing cara berkomunikasi sendiri maka manusia tak banyak
menangkap. Ini harus dimengerti dengan bahasa batin, bahasa kasih sayang. Maka ketika ia tertegun dan
berdiri mematung, batinnya bekerja maka segera ia mengerti bahwa Sian-thian-san atau Gunung Dewa
sedang menyatakan selamat tinggalnya kepada gurunya itu.
"Tahukah kau bahwa tumbuh-tumbuhan dan batupun dapat saling berbicara. Mereka berkomunikasi
dengan caranya sendiri, Sin Gak, cara aneh yang bagi kita asing. Tumbuh-tumbuhan misalnya, saling
berbicara lewat akar-akarnya. Sedang batu atau benda-benda mati lainnya umumnya bicara lewat warna yang
ada di tubuh mereka. Kita manusia tak dapat menangkapnya kecuali dengan bahasa batin, bahasa kasih
sayang. Dan kau belajarlah secara perlahan-lahan menangkap semua peristiwa ini. Bumi sesungguhnya
indah!"
Sin Gak mengangguk-angguk. Setelah ia menangkap isyarat suara-suara gemuruh itu maka iapun
mengerti. Tempat yang ditinggali gurunya ini menyatakan kesedihannya dengan cara aneh, bahasa mereka.
Lalu menarik napas dalam dan maklum tak mungkin gurunya kembali maka pemuda inipun berlutut dan
mencium bekas gurunya tinggal. Penghormatan terakhir.
"Baiklah, selamat jalan, suhu. Restuilah teecu dan mohon pamit."
Tak ada lagi yang dilakukan di situ. Setelah gurunya meninggalkan Sian-thian-san dan ia harus
mencari orang tuanya pemuda inipun tak mau diam. Sudah lama ia memiliki keinginan itu, ada rindu dan
rintih batin. Maka ketika Sin Gak berkemas dan menyambar buntalannya tiba-tiba pemuda inipun meloncatKolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
341 pergi.
Gerakannya begitu cepat hingga dengan beberapa lompatan saja sudah di bawah gunung. Jurang lebar
dilalui begitu mudah. Lalu ketika Sin Gak mengerahkan. kepandaiannya dan terbang seperti siluman, maka
bayang-bayang tubuhnya tak dapat diikuti lagi karena lenyap seperti iblis menyambar!
* * * Turun ke dunia ramai membuat Sin Gak terbengong-bengong. Bertahun-tahun hidup di gunung dan
sepi dari pergaulan membuat pemuda ini begitu gembira melihat hilir-mudik manusia dan keramaian lalu
lintas. Pertama-tama ia tiba di kota Ceng-kiang, sebuah kota pelabuhan. Dan ketika ia berhenti melihat
perahu hilir-mudik di sungai yang lebar, menghubungkan seberang sana dengan sebuah kota lain maka di
sini pemuda itu berhenti.
Beberapa lamanya ia terkagum-kagum. Perahu besar dan para hartawan kaya membuat ia bengong.
Mereka berpakaian indah-indah dan sutera mahal yang menempel itu membuat pemiliknya semakin
gemerlap dan tampak "wah". Dari kejauhan seakan penuh suka-cita dan serba gembira. Inilah kota
pelabuhan yang sibuk oleh kaum pedagang, jual beli ikan atau barter sutera-sutera mahal. Dan ketika tanpa
terasa Sin Gak mendekati tempat ini, berhenti dan berdiri di tepi sungai mendadak apa yang tidak tampak
dari kejauhan sekonyong-konyong muncul.
Mula-mula adalah kuli panggul yang terseok naik turun dari perahu satu ke perahu lain. Karung berat
di atas pundak mereka itu sarat hasil bumi. Lalu ketika keranjang-keranjang ikan juga dipikul dan masuk
keluar perahu maka di sisi lain orang-orang yang berpakaian indah itu tunjuk sana tunjuk sini diiring
bentakan-bentakan. Para majikan ini rata-rata dikelilingi empat lima orang pembantunya yang bersikap
sebagai anjing penjaga, sekaligus tukang pukul.
Sin Gak mengerutkan kening. Hal-hal begini masih baru baginya dan ia merasa sesuatu yang timpang.
Betapa beratnya para kuli-kuli panggul itu sementara sang majikan enak saja main perintah, Telunjuk tak
henti-heatinya menuding sementara yang bekerja mandi keringat. Tapi ketika seorang laki-laki tua kena
cambuk dan jeritan pecah di sini, Sin Gak menoleh maka ia terkejut karena di perahu yang lain seorang
manusia sedang mendera manusia lainnya.
"Anjing, manusia sampah! Bangun dan pikul lagi karung itu, tua bangka. Hutangmu belum lunas
meskipun hari ini kau bekerja penuh. Ayo, bangun dan pikul lagi atau cambukku menghajarmu..... tar-tar!"
Sin Gak menjadi sakit. Seorang kakek tua, terseok dan merintih-rintih dicambuk seorang tukang pukul
yang berdiri garang. Sebuah karung besar terguling di dekatnya dan kakek ini megap-megap. Ia rupanya
sakit, terbukti mukanya pucat sementara tubuh itupun menggigil. Sekali lihat Sin Gak tahu bahwa kakek ini
terserang demam. Maka ketika ia terkejut kakek itu didera lagi, menjerit dan roboh tahu-tahu ia bergerak dan
telah menangkap ujung cambuk itu.
"Jangan siksa orang tua atau aku menghajarmu. Lepaskan dan biarkan ia berdiri!
Tukang pukul ini terkejut. Ia akan menghajar lagi ketika ujung cambuk tahu-tahu tertangkap, pemuda
itu telah berada di belakangnya bagai iblis. Tapi membalik dan menjadi marah, sadar tiba-tiba tukang pukul
ini membentak menyodokkan sikunya ke ulu hati Sin Gak.
"Serahkan cambukku atau kau mampus!"
Sin Gak mendengus. Ia sudah merasa tak senang kepada tukang pukul yang dianggapnya kejam ini,
mendahului dan tahu-tahu mencengkeram dan mengangkat laki-laki itu. Lalu ketika ia melempar lawannya
ke kiri maka terdengar teriakan dan pekik kaget.
"Heiiiiiii........... byuurrrrr!"
Semua menoleh. Kejadian itu menarik perhatian kuli panggul dan para pedagang. Tukang pukul itu
terbanting dan masuk sungai, basah kuyup. Lalu ketika ia memaki-maki namun Sin Gak tak perduli,
menolong dan sudah mengangkat bangun kakek itu maka pemuda ini menyuruh kakek itu beristirahat.
"Kau sakit, tak seharusnya bekerja. Jangan memaksa diri dan biarlah kuselesaikan pekerjaanmu. Di
mana karung ini harus kuletakkan."
Kakek itu terbelalak. la batuk-batuk dan memang terserang demam, hanya karena terpaksa saja iaKolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
342 bekerja. Hutangnya telah banyak. Tapi ketika tukang pukul itu berenang menepi dan meloncat ke darat,
mencabut golok maka ia gemetar menuding belakang.
"Dia...... dia datang lagi. Awas, megang senjata tajam!"


Tapak Tangan Hantu Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sin Gak tak menoleh. Ia mendengar kesiur angin di belakang, tukang pukul itu membentak dan
menyerangnya lagi dengan cepat. Tapi ketika ia menggerakkan cambuk ke belakang dan terdengar ledakan
keras maka lelaki itu menjerit dan goloknya terlepas, jarinya berdarah.
"Aduh!"
Sin Gak sudah menyentuh kakek ini lagi. Untuk kedua kalinya ia menyuruh beristirahat, kakek itu
terbelalak dan takjub. Tapi ketika berkelebat tiga laki-laki lain dan itulah kawan dari tukang pukul pertama,
yang masih mengaduh dan bergulingan memegangi jarinya yang berdarah maka kakek ini kembali berseru,
"Anak muda, awas belakangmu!"
Sin Gak menjadi tak sabar. Ia membalik dan secepat itu mengayun cambuk rampasan, tiga lawannya
terkejut dan menangkis tapi golok mencelat. Lima jari mereka tersabet pecah. Lalu ketika mereka terjungkal
dan masuk sungai maka ke tiga-tiganya tercebur. Gerakan Sin Gak begitu cepat.
Sadarlah kakek ini bahwa pemuda di depannya bukan orang sembarangan. Saat itu terdengar jerit
seorang perempuan dan gadis manis berpakaian sederhana berlarian datang. Ia cucu kakek ini. Lalu
menubruk dan menjerit di pundak kakek ini gadis itu berteriak,
"Kong-kong, kau dihajar orang-orangnya Khe-wangwe lagi? Mereka tak mau tahu keadaanmu yang
sakit? Ah, kejam mereka itu, kong-kong. Biarlah kugantikan pekerjaanmu dan kau pulang!"
Kakek ini terhuyung diguncang-guncang. Gadis itu rupanya tak tahu kehadiran Sin Gak atau mungkin
tak melihat pemuda ini. Dia berlari dan langsung menubruk kakeknya. Tapi ketika kakek tersenyum dan
percaya kepada Sin Gak, keberaniannya bangkit maka ia mendorong cucunya itu berkata serak,
"Anak muda ini menolongku. Dialah yang melempar-lempar tukang pukul Khe-wangwe. Minggir dan
biar kuucapkan terima kasih dulu, Si Lan. Tanpa dia kakekmu sudah mampus!"
Gadis ini sadar. Ia melepaskan diri membalik memandang Sin Gak. Pemuda itu tenang-tenang saja
memandang kakeknya, wajahnya agak dingin sementara bibir itu tersenyum mengejek. Sebuah kebiasaan
bagi Sin Gak kalau ia mulai marah. Dan ketika kakek itu menjura mengucap terima kasih, empat tukang
pukul di sana sudah meloncat dan menyambar senjatanya kembali maka Sin Gak membuang cambuk
rampasan waspada akan bahaya di belakang. Kakek itu juga seakan tak perduli kepada tukang-tukang pukul
itu yang sudah bergerak dan mengangkat goloknya.
"Kongcu, kau agaknya seorang lihai yang suka membantu aku si tua ini. Terima kasih untuk
bantuanmu ini tapi pergilah karena orang-orangnya Khe-wangwe berjumlah banyak. Aku tak ingin kau
celaka, betapapun kau orang luar."
"Hm, aku bertanya di mana karung ini kutempatkan, lopek. Kau tak mungkin mengangkatnya lagi
karena sakit. Sebaiknya kaulah yang pergi dan jangan berhubungan lagi dengan orang-orang kejam itu."
"Aku masih berhutang, sudah kuambil uangnya....."
Sin Gak mengerutkan kening. Saat itu empat tukang pukul maju kembali, tidak mengeluarkan
bentakan karena kali ini menyerang secara diam-diam. Sin Gak tak menghiraukan itu karena tertegun
teringat kantungnya sendiri yang kosong. Selama hidup dengan gurunya tak pernah ia berkenalan dengan
uang. Maka ketika kakek itu berkata kesulitannya dan ia tak dapat menjawab, saat itulah tukang-tukang
pukul itu menusuk dan membacokkan goloknya dari belakang maka tiba-tiba cucu kakek itu menjerit namun
secepat kilat pemuda ini menggerakkan ujung bajunya ke belakang. Benda ini sudah menegang kaku seperti
lempengan baja.
"Kongcu, awas!"
Terdengar empat kali benturan nyaring. Empat golok di tangan tukang-tukang pukul itu patah,
pemiliknya berteriak tapi patahan golok membalik dan menyambar tuannya, menancap dan membuat mereka
terbanting karena patahan golok mengenai pundak dan paha, bahkan sebatang tembus di pipi. Dan ketika
empat orang itu roboh bergulingan menjerit keras, yang terakhir seketika pingsan maka gegerlah tempat itu
oleh kepandaian Sin Gak.Kolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
343 Namun saat itu berkelebat bayangan-bayangan lain. Kakek ini tiba-tiba pucat teringat sesuatu. Di tepi
sungai itu banyak terdapat tukang-tukang pukul lain yang marah menyaksikan rekannya dirobohkan seorang
pemuda. Mereka ini memiliki kesetiakawanan yang kuat. Maka ketika belasan bayangan meloncat maju dan
kakek ini berubah tiba-tiba ia menarik lengan Sin Gak dan cucunya.
"Si Lan, celaka. Kongcu ini akan dibunuh!"
Gadis itu menangis. Ia tersedu ditarik kakeknya, berlari dan memegang lengan Sin Gak tanpa sadar.
Tiba-tiba iapun mengkhawatirkan nasib pemuda ini. Sekarang semua orang memandang mereka, ada yang
khawatir namun ada juga yang mengejek. Sin Gak adalah pemuda asing di situ. Tapi ketika Sin Gak
melepaskan dirinya dan mendorong kakek itu, berseru agar kakek itu pergi maka pemuda ini sudah
membalik dan menyambut belasan orang tukang pukul itu. Rata-rata bertubuh tinggi tegap dengan kumis
terpilin.
"Lopek, kau pulang saja ke rumahmu. Agaknya tikus-tikus busuk ini tak mau sudah kalau belum
kuhajar!"
Belum habis suara ini tiba-tiba pemuda itu lenyap berkelebat ke depan. Sin Gak mulai marah dan
sepasang matanya yang mencorong menggetarkan siapapun. Enam belas orang mengepungnya dan siap
menyerang, tahu-tahu terpekik dan berte riak keras karena pemuda itu menyambar mereka. Bayangan putih
berkelebat ke kiri kanan, menampar dan mengebutkan ujung bajunyn dan tiba-tiba semua terlempar. Dan
ketika sekejap kemudian pemuda itu sudah berdiri lagi, berkacak pinggang maka enam belas tukang pukul
itu berdebuk di sekelilingnya menggeliat-geliat. Senjata mereka mencelat ke kiri kanan patah-patah!
Pucatlah semua orang memandang kejadian cepat ini. Para hartawan, kaum pedagang itu tiba-tiba
terbelalak dengan muka takjub. Begitu lihainya Sin Gak merobohkan semua tukang pukul. Tapi ketika
seorang di antaranya berlari dan terkekeh-kekeh, yang lain terkejut maka Sin Gak sudah berhadapan dengan
hartawan berpakaian mewah ini, membungkuk-bungkuk.
"Heh-heh, siauwhiap (pendekar muda) kiranya seorang pemuda yang benar-benar lihai. Aha, aku
kagum kepadamu, anak muda. Kau hebat dan luar biasa sekali. Aih, aku Koan-wangwe ingin menerimamu
sebagai pembantuku terpercaya. Bagaimana kalau kau tinggal di gedungku dan sebulan seratus tail. Cocok
untukmu yang gagah perkasa ini!"
"Tidak!" seorang yang lain tiba-tiba meloncat dan berlari menghampiri, kantung uangnya diayunayunkan. "Ikut aku saja, anak muda. Seratus lima puluh tail sebulan. Aku Gun-wangwe dapat menghargaimu
lebih tinggi!"
"Aku dua ratus tail!" orang ketiga meloncat dan terkekeh-kekeh, mukanya gemuk bulat. "Aku Buwangwe akan memberimu di atas mereka, anak muda. Berikut pelayan cantik yang melayani segala
keperluanmu!"
Riuhlah tempat itu oleh tawar-menawar. Kiranya tiga hartawan ini berebut mendapatkan Sin Gak
dengan saling memberikan imbalan menarik. Yang pertama tentu saja melotot karena dua saingannya tinggal
menumpang melulu, yang terakhir malah memberikan dua kali lipat daripada yang ia tawarkan. Tapi ketika
Sin Gak menggeleng dan tiga orang itu terkejut maka pemuda ini mendorong dan berkata,
"Aku tak ingin menjadi tukang pukul kalian, aku tak mau menghamba. Pergilah dan semua kutolak."
Tertegunlah tiga orang itu. Sin Gak keluar mendorong hartawan-hartawan ini menghampiri si kakek
tua. Kakek itu masih di situ bersama cucunya. Lalu ketika tiba-tiba kakek itu berlutut dan menangis maka ia
berkata bahwa kesulitannya masih belum habis.
"Aku tak dapat bekerja hari ini, tapi hutangku belum terbayar. Aku tak dapat pergi kalau kau juga
pergi, inkong. Majikanku tentu marah dan nanti aku didera lagi."
"Siapa majikanmu," Sin Gak membangunkan kakek ini. "Beritahukan kepadaku dan kuselesaikan
sekarang."
"Itulah..... " kakek ini menunjuk di sana. "Dialah Ek-wangwe, inkong, yang memberiku hutang lima
puluh tail!"
Hartawan ini menyelinap di balik kepala perahu. Dia adalah seorang laki-laki berkumis panjang
dengan mata sipit yang cepat menyembunyikan diri begitu ditunjuk. Sin Gak memandangnya dan ia gentar,
pucat. Tapi ketika Sin Gak berkelebat dan tak ada tukang pukulnya yang maju melindungi, semua sudahKolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
344 jerih terhadap kelihaian pemuda ini maka juragan itu terbata-bata ketika ditangkap.
"Am...... ampun. Aku tak akan mengganggu Lauw-lopek kalau kau menghendaki. Lep...... lepaskan
aku, anak muda. Hutangnya kubebaskan!"
Sin Gak lega, memang itulah maksudnya. Tapi sebelurn dia bicara tiba-tiba berkelebat bayangan
langsing yang tertawa mengejek.
"Apa artinya ini kalau semua orang di bebaskan begitu mudah. Heh, uang didapat bukan dengan cara
yang gampang, anak muda. Kalau kau berwatak adil bayar saja dengan uangmu, jangan memaksa orang
lain!"
Sin Gak mengerutkan kening. Di depannya telah berdiri seorang gadis cantik berpakaian hitam putih,
rambutnya dikepang dan sepasang alis yang terangkat itu membuat mukanya yang lonjong menjadi
memanjang. Pipinya kemerah-merahan sementara bola matanya dilindungi bulu mata yang hitam lentik,
rambutnyapun tebal dan lebat, diikat hiasan manik-manik yang membuat wajahnya menjadi begitu cantik
manis. Dan ketika ia tertegun tak mampu bicara, mata itu mengejeknya dengan tajam maka gadis itu bicara
lagi dengan lebih nyaring.
"Heh, aku bicara kepadamu, kenapa diam saja. Kalau kau memaksa Ek-wangwe membebaskan
hutangnya maka kau bersikap tak adil. Semua kuli panggul di sini bisa dengan mudah minta dibebaskan
pula. Nah, kalau ingin bersikap pendekar berbuatlah yang benar, bayar dengan uangmu dan jangan memaksa
orang lain. Itu gagah namanya!"
"Heh-heh, benar," tiga hartawan serentak berlari maju, kembali melihat kesempatan. "Kalau kau
seorang pendekar memang seharusnya begitu, siauwhiap. Kalau tidak maka perbuatanmu sama jahatnya.
Kaupun memaksa orang lain!"
"Dan aku siap memberikan lima puluh tailku kepadarnu, asal kau ikut aku!"
"Atau aku dua ratus kubayar di muka. He, gadis ini benar, anak muda. Kau harus bersikap adil dan
mengeluarkan kocekmu. Nih, bayarkan Ek-wangwe!"
Tiga orang itu berebut memberikan uangnya kepada Sin Gak. Cepat dan amat tangkas masing-masing
sudah mendahului yang lain, berebut tapi yang ketiga menang dulu. Kantung uangnya diberikan Sin Gak,
semua! Lalu ketika pemuda itu tertegun sementara si kakek terbeliak melebarkan mata, begitu mudahnya
pemuda itu mendapatkan begitu banyak uang maka Ek-wangwe tiba-tiba timbul keberaniannya merasa
dibela.
"Mereka semua ini benar, uangku adalah hasil jerih payah. Kalau kau mau mengganti rugi biarlah
kakek itu kubebaskan!"
Uang telah merobah sikap. Ek-wangwe yang tadinya ketakutan dan membebaskan begitu saja
mendadak mencabut lagi keputusannya sendiri begitu melihat kantung uang di tangan Sin Gak. Pemuda itu
telah menerima ratusan tail dari Koan-wangwe dan kawan-kawan, matanya tiba-tiba hijau kembali. Dan
ketika Sin Gak bingung mendengar itu, mata gadis cantik ini membangkitkan harga dirinya tiba-tiba pemuda
ini berada di persimpangan jalan dan bimbang.
Haruskah dia menerima uang itu? Tentu, kalau ingin menolong si kakek. Tapi kalau menerima ini
berarti harus menjadi pembantu seorang di antara majikan-majikan ini, tukang pukul! Tapi untunglah ketika
dia dalam kesulitan mendadak muncul seorang tosu bermuka ramah.
"Hiante (saudara muda), sebaiknya kembalikan saja semua uang itu kepada pemiliknya. Kau tak
mungkin harus menjadi tukang pukul juragan-juragan ini, jatuh martabatmu nanti. Biarlah pinto
menolongmu meminjamkan lima puluh tail dan kelak kapan-kapan dapat kau bayar kembali. Bukankah
enak?"
Tosu itu sudah mengeluarkan uangnya dan Sin Gak girang. Ini jalan tengah penolong dirinya, iapun
menerima itu dan melempar kembali kantung-kantung uang kepada tiga hartawan itu. Lalu ketika ia
menghadapi Ek-wangwe dan lepas dari kesulitan maka ia menyerahkan uang tosu itu sambil berkata,
"Aku telah membayar uangmu lunas, jangan ganggu kakek itu atau aku menghajarmu nanti. Nah,
terimalah dan urusan ini selesai!"
Ek-wangwe berseri mukanya. Ia menerima itu dan ngeloyor pergi, cepat menghilang setelah
mendapatkan kembali uangnya. Dan ketika tiga hartawan tertegun dan melotot kepada si tosu, lagi-lagiKolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
345 rencana mereka gagal maka tosu ini tenang-tenang saja berkata kepada Sin Gak.
"Sekarang urusannya selesai, marilah kita pergi dan sumpek rasanya di tengah-tengah kerumuman
banyak orang begini."
Sin Gak mengangguk. Ia tertarik dan berterima kasih kepada tosu bermuka ramah ini, diam-diam
berhutang sebuah kebaikan. Tapi ketika ia melangkah pergi mengikuti tosu itu tiba-tiba terdengar jerit dan
pekik kaget.
"Heiiii.......!"
Kiranya gadis baju hitam menyambar dan membawa lari kakek ini. Si Lan menjerit memanggil
kakeknya tapi gadis itu terkekeh lenyap. Gerakannya begitu cepat dan orang di kiri kanannya terpelanting.
Tapi ketika tosu itu berkelebat dan Sin Gak juga menjadi marah, di siang bolong ada orang menculik orang
maka pemuda itu juga berkelebat dan membentak.
"Apa yang kau lakukan ini!"
Gadis itu meluncur terus. Ginkangnya (iilmu meringankan tubuh) ternyata hebat bukan main dan tosu
di belakangnya terkejut, baru sekejap saja ia sudah tertinggal ratusan meter. Dan ketika tosu ini membentak
mempercepat larinya, Sin Gak tahu-tahu menyambar lewat dan melewati dirinya maka tosu itu semakin
kaget karena dua anak muda itu kiranya, melampaui kepandaiannya. Sama-sama lenyap seperti iblis!
"Heiii......!"
Sin Gak tak menoleh. Pemuda inipun terkejut oleh ginkang gadis di depan itu, mengerahkan
kepandaiannya dan melesat menyambar ke depan, sekejap sudah meninggalkan Ceng-kiang dan pemuda ini
melihat lawannya menuju bukit kapur. Banyak batu-batu besar di situ dan sejenak gadis ini menoleh,
terkekeh dan berjungkir balik lalu lenyap di batu-batu karang itu. Lalu ketika Sin Gak tertegun dan berhenti,
ada puluhan batu di situ maka ia mengepal tinju tak tahu lawan bersembunyi di mana.
Dan saat itu muncullah si tosu bermandi keringat, basah kuyup. "Mana gadis siluman itu. Hebat benar
ilmu lari cepatnya hingga pinto tak mampu mengejar!"
"Ia bersembunyi di sini," Sin Gak berkata. "Coba kau kitari sebelah kiri, totiang, aku sebelah kanan."
"Ia masih di sini?"
"Benar, di balik batu-batu karang itu. Awas rupanya bukan gadis baik-baik dan mari putari tempat
ini!" Sin Gak berkelebat tak mau banyak bicara lagi. Pada dasarnya pemuda ini memang pendiam dan tak
aneh karena ayah maupun mendiang kakeknya juga bukan orang yang banyak bicara. Mereka adalah orangorang serius dibesarkan dalam suasana serius pula, ketegangan demi ketegangan selalu mewarnai hidup
mereka. Maka ketika Sin Gak melompat ke kanan sementara tosu itu melompat ke kiri maka di sepasang
batu kembar yang tingginya hampir sama mendadak gadis itu muncul dan langsung menyerang.
"Aku di sini!"
Sin Gak mengelak. Ia telah mendengar angin sambaran pukulan dan waspada, meloncat ke kiri. Tapi
ketika gadis itu mengejar dan tangan yang lain menotok lehernya maka pemuda ini terkejut karena bunyi
mencicit menyertai serangan itu.
"Plak-dess!"
Gadis itu terpental namun berjungkir balik melayang turun. Sin Gak terhuyung dan diam-diam
berdesir, ada rasa panas pada ujung jari lawan ketika menotok. Tapi ketika ia bersiap lagi berdiri tegak, gadis
itu terkekeh maka ia sudah melompat dan menyerang lagi, menyambar bagai burung srikatan.
"Bagus, tak heran kalau kau sombong. Kau rupanya berkepandaian cukup, bocah, sebutkan namamu
agar kutahu lawan yang akan kurobohkan!"
"Aku tak ingin memperkenalkan diri, dan juga tak ingin tahu siapa kau. Aku datang untuk mencari
kakek itu, gadis siluman. Di mana kau sembunyikan dan serahkan padaku!" Sin Gak terkejut, lawan lenyap
berkelebatan sementara kakek tua tak ada di situ. Gadis ini sudah menyembunyikannya entah di mana dan
tentu saja dia marah. Lalu ketika ia mengelak dan menangkis serta membalas serangan maka pemuda inipun
mengeluarkan ginkangnya berkelebatan cepat. Dua bayangan putih dan hitam saling kejar menyilaukan
mata.Kolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
346 "Duk-plakk!"
Sin Gak tergetar dan untuk kesekian kalinya terkejut. Dalam adu pukulan dengan gadis ini selalu
masing-masing. terpental. Sinkang atau tenaga sakti gadis itu hebat juga. Dan ketika ia menjadi penasaran
dan mengerahkan Pek-mo-in-kangnya, Tenaga Awan Iblis maka gadis itu terpekik karena sekarang
terpelanting.
"Dukk!"
Sin Gak tersenyum. Setelah ia mengeluarkan kepandaian khususnya itu ternyata gadis ini tak kuat,
hawa dingin menyambar dan menggigit lawan. Tapi ketika gadis itu bergulingan meloncat bangun maka ia
tiba-tiba melengking meledakkan kedua ujung lengan bajunya.
"Bocah sombong, kau jangan gembira dulu!"
Sin Gak bertahan. Ia tetap mengerahkan tenaga saktinya ini ketika deru angin menyambar. Ujung
lengan baju gadis itu mengembang dan meniup bagai topan, cepat sekali menerjangnya. Dan ketika ia
menangkis tapi terpental, bahkan terdorong dan jatuh terpelanting maka Sin Gak terkejut bukan main merasa
dibalas.
"Desss!"
Pemuda ini bergulingan meloncat bangun. Sama seperti lawannya tadi ia terkejut dan berubah, lawan
tiba-tiba mengeluarkan kepandaian khususnya pula. Dan ketika ia terbelalak namun gadis itu terkekeh,
berkelebat dan kedua lengan baju sudah menyambar-nyambar lagi dengan amat hebatnya maka udara di situ
seakan dilanda badai dan tosu yang baru muncul di balik batu karang menjerit terlempar.
"Bresss!"
Sin Gak benar-benar kaget. Ia bergerak ke kiri kanan mendorong Pek-mo-in-kang, mengelak dan
menangkis namun ujung lengan baju itu seakan tiada hentinya meniupkan angin dahsyat. Kian lama kian
kuat hingga tosu di luar sana terbanting dan bergulingan berseru keras. Tosu ini baru saja datang ketika dua
anak muda itu saling bentak, melihat keduanya bergerak sama cepat dan kakek tua terduduk di sana,
terbelalak. Dan karena kakek itu selamat dan agaknya terheran-heran, sang tosu meloncat ke tempat Sin Gak
maka tahu-tahu ia menjerit didorong angin kebutan ujung baju itu. Gadis ini mengeluarkan Kian-kun-siu
alias Lengan Baju Sapu Jagad yang tak dikenal Sin Gak, ilmu khusus yang sebenarnya dimiliki Song-bunliong si Naga Berkabung!
"Des-dess!"
Untuk kesekian kalinya lagi Sin Gak tergetar dan terhuyung. Ia menjadi pucat dan marah namun juga
heran. Gadis lawannya ini ternyata benar-benar lihai! Maka ketika ia membentak dan menambah Pek-rno-inkangnya lagi, hampir setengah bagian maka barulah dia dapat menahan hembusan angin kuat dari pukulan
Sapu Jagad itu.
Gadis ini tertegun. Ia terbelalak ketika dari lengan pemuda itu menyambar angin pukulan lebih dingin.
Kian-kun-siu yang dilancarkannya mulai tertahan, perlahan tetapi pasti hembusan Sapu Jagadnya itu ditolak
pemuda ini dan lawan mulai tak bergeming. Dan ketika Sin Gak kembali tersenyum dan percaya diri,
marahlah gadis ini maka ia mengibaskan lengan bajunya di saat si tosu mencoba mendekati pertempuran
lagi, mungkin mau mengeroyok.
"Jangan sombong dan mengejek dulu. Lihat pukulanku dan jaga baik-baik, bocah gunung. Kau akan
mampus atau temanmu itu roboh!"
Benar saja, si tosu berteriak dan terlempar. Tidak seperti tadi ketika terbanting dan dapat bergulingan
adalah kali tosu ini berdebuk tak mampu bangun. Sejenak ia menggeliat lalu roboh tengkurap, pingsan. Lalu
ketika Sin Gak menjadi kaget dan marah melihat itu, gadis ini dianggapnya kejam maka serangan lebih
dahsyat menghantam dirinya membuat kuda-kudanya hampir terangkat!


Tapak Tangan Hantu Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ahhhh!" Sin Gak mengeluarkan seruan keras melepas Ban-kin-kang (Tenaga Selaksa Kati). Tenaga
ini membuat tubuhnya seberat gunung dan tak mampu digeser. Dan ketika gadis itu terkejut berkelebat ke
depan, Sin Gak menamparkan tangan kanannya maka Pek-mo-in-kang mendarat di pundak gadis itu.
"Plak!"
Gadis ini tak bergeming. Sama seperti Sin Gak iapun tak apa-apa menerima tamparan itu. Sin GakKolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
347 merasa betapa telapaknya seakan menyentuh arca, kokoh dan kuat dan telapaknyapun terasa pedas. Dan
ketika masing-masing sama terkejut dan kagum, gadis itu membentak dan menerjang lagi maka selanjutnya
Pek-mo-in-kang seakan tepukan ringan di tubuh gadis itu, sementara kebutan atau serangan. Sapu Jagad juga
tak mampu menggoyahkan kedua kaki Sin Gak yang kokoh bagai gunung.
"Des-dess!"
Dua-duanya melotot dan penasaran. Sin Gak menjadi heran dan juga kaget bahwa ilmu yang dipujipuji gurunya tak mempan menghadapi gadis ini. Ia tak tahu bahwa itulah Kim-kong-ciok (Ilmu Arca Emas)
yang pukulan apapun tak bakal sanggup merobohkan. Jangankan roboh, goyang saja tidak! Tapi ketika gadis
itu juga terkejut dan melengking-lengking, Kian-kun-siunya tak mampu menggeser kedudukan pemuda ini
maka masing-masing pihak mulai menambah kepandaiannya dan tiba-tiba gadis itu sudah beterbangan
seringan kapas tapi secepat halilintar ketika menyambar-nyambar.
"Bu-bian-kang (Ilmu Tanpa Bobot)!"
Sin Gak terkejut. Tak terasa ia menyebut ini setelah gadis itu lenyap menyambar-nyambar.
Gerakannya begitu cepat dan ringan tapi luar biasa sekali. begitu cepat hingga mata tak mampu mengikuti.
Namun karena ia juga memiliki ilmu ini dan berkelebat mengeluarkan seruan keras, lenyap mengimbangi
gadis itu maka gadis ini tersentak di antara bayangan Sin Gak.
"Kau...... kau juga memiliki Bu-bian-kang. Ah, kau pencuri!"
"Tidak, kaulah pencuri. He, dari mana kau dapat ilmu ini, gadis siluman. Serahkan padaku dan
beritahukan asal-usulmu!"
"Kaulah yang harus menerangkan asal-usulmu. Kau pencuri..... des-desss!" lalu ketika keduanya
terpental dan berjungkir balik maka dua orang muda ini sudah bertanding lagi dengan sengit. Sin Gak tak
menduga sama sekali bahwa ia bertemu dengan pewaris si Naga Berkabung. Ia tak tahu bahwa inilah saudara
seperguruannya dari lain pendidik. Gadis itu sesungguhnya adalah murid si Naga Berkabung, Bi Hong
namanya. Maka ketika mereka bertanding sengit dan masing-masing mulai marah dan menambah
kepandaiannya, Pek-mo-in-kang berhadapan dengan Kim-kong-ciok sementara pukulan-pukulan gadis itu
juga tak mampu membuat Sin Gak bergeming dengan ilmunya Ban-kin-kang akhirnya gadis ini melengking
tinggi menggetarkan kedua lengannya, rambut di kedua bahunya menegang kaku dan lurus bagai tombak.
"Kau atau aku yang roboh!"
Seruan ini mengejutkan Sin Gak. Ia juga siap-siap mengeluarkan ilmunya yang lain dalam usahanya
merobohkan gadis ini. Tak disangkanya baru turun gunung sudah berhadapan dengan lawan demikian
tangguh. Ia sungguh penasaran. Tapi ketika gadis itu mulai dulu dengan kedua lengan bergetar menegang,
juga rambut di kedua bahu itu terangkat bagai tombak tiba-tiba saja senjata aneh ini bercuit dan menyambar
matanya disusul bunyi berkeritik dari sepuluh kuku-kuku jari yang lentik runcing itu.
"Prat-dessss!"
Sin Gak terbanting dan kaget bukan main. Ia harus melempar tubuh oleh hebatnya serangan ini. Bunyi
berkeritik dari sepuluh kuku jari yang lentik itu mengeluarkan sinar-sinar putih, sinar ini pecah dan
membuatnya silau sementara rambut yang lurus kaku itu menusuk matanya. Kalau ia tidak melempar tubuh
kemungkinan celaka besar sekali, pandangannya silau. Maka ketika ia melempar tubuh bergulingan dan
gadis itu tampak girang, kali ini lawan dibuat terkejut maka ia mengejar namun saat itu si kakek tua
berteriak-teriak, meloncat di tengah pertempuran.
"Heii, berhenti. Nona, kongcu..... berhenti!"
Gadis ini terkejut. Si kakek tahu-tahu melompat dan masuk ke arena pertandingan, berteriak dan
mengebut-ngebutkan ke dua tangannya melerai mereka. Dan karena saat itu ia sedang mengejar Sin Gak,
pemuda ini bergulingan membanting tubuh maka terpaksa ia menarik serangannya dan sebagai gantinya ia
melempar serangannya itu ke batu karang di sebelah mereka.
"Prattt!"
Batu itu bergoyang-goyang. Si kakek terbelalak karena batu ini tiba-tiba berkerasak, roboh dan gugur.
Bagian dalamnya remuk seperti tepung. Dan ketika ia terguncang sementara Sin Gak sudah meloncat bangun
di sana, matanya berkilat maka kakek ini tiba-tiba menubruk gadis itu menangis tersedu-sedu.
"Jangan..... jangan bertempur. Jangan saling bunuh. Aku si tua sudah sehat dan obatmu benar-benarKolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
348 manjur, nona, demamku hilang. Kalian sudah sama-sama menolong aku dan jangan bertempur. Atau aku si
tua mati di sini dan sia-sia pertolongan kalian!"
Sin Gak tertegun. Gadis yang disangkanya menculik dan mencelakai kakek ini ternyata menolong dan
menyembuhkan kakek itu. Kakek ini tampak sehat dan memang sembuh, wajahnya tak pucat dan gemetaran
lagi. Dan ketika ia terbelalak memandang gadis itu, yang dipeluk dan tak dilepaskan si kakek akhirnya gadis
ini berkata tertawa mengejek Sin Gak.
"Baiklah, kami hanya main-main saja. Cucumu datang, orang tua. Lihat ia memanggil-manggilmu.
Aku tak akan menyerang dia lagi, asal dia tahu diri!"
Sin Gak terbakar. Saat itu datang cucu kakek ini berlari-lari, jatuh bangun dan berurai air mata dan
kakek ini tertegun. Si Lan, cucunya itu menangis tersedu-sedu memanggilnya. Gadis itu langsung menubruk
dan menciumi kakeknya berulang-ulang, kejadian ini membuat semua tertegun dan haru. Sin Gak juga
tersentuh. Tapi sementara kakek itu bertangisan dengan cucunya, gadis ini melepaskan diri mendadak ia
berkelebat dan lenyap.
Sin Gak melihat ini. Kakek dan cucunya itu tak tahu tapi ia mengikuti, membentak dan akan mengejar
tapi tosu di sana itu mengeluh. Ia dipanggil. Dan ketika pemuda ini bingung harus mendahulukan yang mana
maka gadis di sana itu sempat mencibirkan bibir tanda mengejek.
"Krekk!"
Sin Gak meremas hancur batu sekepalan tangan. Batu inipun menjadi bubuk tapi ia harus menahan
marah. Tosu itu harus dilihatnya dulu. Maka ketika ia melompat dan memeriksa tosu ini, yang siuman dan
baru sadar maka Sin Gak lega bahwa tosu itu tak terluka serius, hanya dahinya lecet terbarut batu.
"Mana...... mana gadis itu. Ia gadis siluman. Ah, bagaimana dengan kakek itu, anak muda. Apakah
selamat!"
"Kau memikirkan orang lain," Sin Gak kagum. "Dirimu sendiri babak-belur, totiang, tapi semuanya
selamat. Kakek itu sehat, tak apa-apa. Bangunlah dan lihat kiri kanan."
Tosu ini bangun, ditopang. Tapi ketika ia dapat berdiri sendiri dan meliuk-liukkan tubuh melemaskan
tulang maka ia lega dan melihat kakek dan cucunya itu, masih bertangis-tangisan.
"Pinto ingin melihat mereka, sebaiknya disuruh pulang atau mencari pekerjaan lain."
Sin Gak mengangguk. Ia setuju dan menahan langkahnya lagi mengejar gadis, berbaju hitam putih itu.
Diam-diam mencatat ini, lawan tangguh yang membuatnya penasaran. Tapi ketika kakek dan cucunya itu
melompat bangun, berlari dan berlutut di depan mereka maka kakek ini mendahului.
"Inkong, totiang, terima kasih untuk pertolongan kalian semua. Aku si tua tak dapat membalas
kebaikan ini. Biarlah Tuhan membalas budi kalian dan kami kakek dan cucu yang malang mendoakan setiap
hari!"
"Bangunlah," tosu itu menepuk perlahan. "Kau agaknya tak perlu lagi kembali ke kota, lopek. Bekas
majikanmu tentu masih mengancammu nanti. Carilah tempat lain dan bekerjalah di tempat lain pula. Kami
tak mungkin melindungi kalian sehari-hari."
"Benar, kami tahu. Tapi kami ingin mempersilakan kalian mampir sebentar di tempat kami, totiang,
sekedar minum teh dan ketela rebus. Kami harap ji-wi (kalian berdua) tak menolak!"
"Hm, aku masih ada urusan," tosu itu tersenyum. "Lain kali saja, lopek, terima kasih untuk
undanganmu."
"Kalau begitu siauw-inkong ini saja!"
"Aku juga ada perlu," Sin Gak menolak. "Terima kasih untuk kebaikanmu, lopek, sekarang aku pergi
dan hati-hati menjaga diri."
"Eh, nanti dulu!" kakek itu berseru. "Aku ada sebuah permohonan, siauw-inkong. Entahlah kau mau
mengabulkannya atau tidak!"
Sin Gak mengerutkan kening. Ia sudah, akan memutar tubuh ketika kakek ini tiba-tiba menahannya. Si
Lan gadis di sebelah itu memerah mukanya, menunduk. Lalu ketika ia bertanya apa permohonan kakek ituKolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
349 maka sedikit gugup kakek ini menunjuk cucunya.
"Aku..... aku ingin menyuruhnya mengabdi padamu, menjadi pelayanmu. Aku si tua merasa berat
menjaga cucuku yang sudah mulai dewasa ini. Bagaimana kalau ia kuserahkan padamu, siauw-inkong,
melayani segala kebutuhanmu. Ia pandai mencucikan pakaianmu dan masak. Ia rajin!"
"Hm!" Sin Gak semburat, wajahnya tiba-tiba juga memerah. "Aku pengelana yang biasa melayani
kebutuhanku sendiri, lopek, lagi pula aku orang miskin. Aku tak dapat membayarnya."
"Inkong tak perlu membayar, ia mengabdi cuma-cuma!"
"Tidak, aku tak dapat menerimanya, lopek, maaf. 'I'ak mungkin ia harus mengikuti aku seorang
pengelana, keluar masuk hutan."
Kakek itu mendesah, kecewa. Sang cucu tampak terisak menahan tangis, gadis itupun kecewa. Tapi
karena Sin Gak memang benar dan tak mungkin gadis itu ikut keluar masuk hutan, bagaimana jadinya,
akhirnya kakek ini mengangkat muka ketika tiba-tiba Sin Gak berkelebat menghilang, mengusir malu.
"Aku pergi, maaf!"
Kakek itu tertegun. Terdengar jerit kecil dan Si Lan menubruk kakeknya. Sesungguhnya gadis ini
mulai tertarik dan jatuh hati kepada Sin Gak. Ia suka. Tapi ketika Sin Gak berkelebat dan meninggalkan
mereka mendadak tosu di depan itu berseru dan berkelebat mengejar pula.
"He, tunggu aku, anak muda. Pinto masih ingin bicara!"
Sin Gak memperlambat larinya. Ia masih tak mau berhenti karena tak ingin di ganggu kakek itu,
sengaja mengurangi kecepatannya dan akhirnya si tosu menyusul. Kini mereka di luar bukit kapur itu, di
hutan kecil. Dan ketika Sin Gak benar-benar berhenti dan tosu itu mengusap keringat, terengah maka ia
menggelengkan kepala berseru kagum.
"Pinto harus mengejarmu setengah mati padahal kau perlahan-lahan saja berlari. Ah, kepandaianmu
hebat sekali, anak muda, pinto kagum. Pinto ingin memperkenalkan diri dan berkenalan lebih jauh. Pinto
adalah murid Kun-lun bernama Ke Ke Cinjin. Dan kau, siapakah kau, anak muda? Adakah sesuatu yang
dapat pinto tolong?"
Sin Gak menarik napas. Kalau saja ia tak berhutang kepada tosu ini gara-gara lima puluh tail mungkin
enggan ia bercakap-cakap. Tapi tosu ini ramah, apalagi dari Kun-lun. Dan kerena ia dengar tosu-tosu Kunlun adalah para pendekar yang rata-rata berwatak baik maka ia menjawab memberitahukan nama, sekedarnya
saja.
"Aku Sin Gak, kiranya totiang adalah murid Kun-lun. Hm, kalau kau ingin menolongku barangkali
dapat sedikit memberi petunjuk, totiang. Di manakah letak Hek-yan-pang dan ke mana aku harus pergi." Sin
Gak teringat tujuannya dan gurunya dulu pernah memberitahu ini. Ia memang harus mulai bertanya dan tosu
itu terkejut, memandangnya curiga dan aneh. Dan ketika pemuda ini merasa heran dan tak senang, sorot tosu
ini seakan menyembunyikan prasangka maka tiba-tiba tosu itu balik bertanya.
"Kau mencari Hek-yan-pang? Bolehkah pinto tahu maksud kedatanganmu?"
Pemuda ini menahan tak senang. "Haruskah kuberi tahu maksud pribadiku? Apakah totiang perlu
benar?"
"Maaf, pinto..... eh, Hek-yan-pang akhir-akhir ini dilanda peristiwa besar, anak muda. Dimusuhi
seorang jahat yang amat keji. Pinto ingin tahu karena jelek-jelek Hek-yan-pang memiliki hubungan pula
dengan Kun-lun. Seorang murid Kun-lun adalah menantu ketua Hek-yan-pang. Nah, barangkali tak ada
jeleknya kalau pinto bertanya karena pinto juga merasa bertanggung jawab atas keselamatan Hek yan-pang!"
Barulah Sin Gak mengerti. Ia tentu saja tak tahu peristiwa besar yang mengobrak-abrik perkumpulan
itu. Ia juga tak tahu bahwa seorang tokoh wanita Hek-yan-pang adalah murid perempuan Kun-lun. Maka
ketika ia menjadi mengerti dan rasa tak senangnya lenyap, justeru ia merasa menaruh kepentingan maka ia
mengangguk dan tersenyum.
"Kiranya totiang khawatir kalau aku adalah musuh Hek-yan-pang. Tidak, aku bukan musuh, totiang,
melainkan sahabat. Aku mencari seseorang di sana. Aku, hm....... mencari ayah ibuku."
Tosu ini terbelalak. "Mencari orang tua?"Kolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
350 "Ya, guruku mengatakan harus diawali dari Hek-yan-pang. Barangkali sekarang totiang dapat
membantuku di manakah letak Hek-yan-pang itu."
Tosu ini menarik napas panjang, lega. "Kalau begitu pinto tidak perlu khawatir, namun bagaimana
kalau kuantar."
"Aku ingin sendiri."
"Bersama pinto lebih cepat, Sin-hian-te, tak perlu khawatir!"
"Tidak, aku ingin sendiri. Aku tak ingin dengan siapapun atau aku dapat bertanya kepada orang lain!"
Kalahlah tosu ini. Ia melihat kekerasan hati yang luar biasa dari kata-kata anak muda ini. Kalau teman
bicaranya sudah menolak apapun tak bakal mau diterima. Maka ketika ia menghela napas dan menggeleng
kepala akhirnya ia memberi tahu,
"Baiklah, Hek-yan-pang berada di selatan dari sini, mungkin dua hari perjalanan. Kau dapat
menyusuri pegunungan Jing-san."
"Baiklah, terima kasih." Sin Gak menjadi gembira. "Dan rupanya sekarang kita harus berpisah,
totiang. Mengenai uang lima puluh tail itu, hm...... akan kubayar kelak. Kalau perlu menemuimu di Kunlun!"
"Tidak....... tidak, tak perlu dipikirkan itu. Pinto masih mempunyai lain, hiante, dan sebaiknya bawalah
bekal roti kering ini di perjalanan. Kau perlu makan!"
Sin Gak tertegun. Sang tosu sudah mengeluarkan buntalan kecilnya memberikannya kepadanya,
katanya roti kering. Dan karena tak enak menolak akhirnya pemuda ini menerima juga. Tosu itu berseri-seri.
"Terima kasih. Tak kulupa budi baikmu, totiang, dua kali aku merepotkanmu."
"Ha-ha, ini kewajiban pinto. Semua murid Kun-lun harus melakukan ini. Sudahlah, selamat berpisah,
Sin-hiante, sampai jumpa lagi!"
Tosu itu mendahului dan memutar tubuhnya. Ia berkelebat meninggalkan Sin Gak sementara pemuda
itu masih memegang buntalan kecil itu. Tapi ketika tosu itu lenyap dan Sin Gak menyimpan ini maka
pemuda itupun bergerak dan mulai menuju selatan.
-0- Tak banyak yang dijumpai Sin Gak dalam perjalanannya, betapapun akhirnya ia sampai juga di Hekyan-pang. Tapi karena tak mau diantar dan harus bertanya-tanya, barulah empat hari kemudian sampai maka
keluar dari hutan menghadapi pulau kecil di tengah danau luas itu pemuda ini tertegun.
Yang mula-mula dirasakan adalah kesunyian mencekam. Tak ada tanda-tanda kehidupan sebagaimana
layaknya sebuah perkumpulan. Ia berdiri di tepi danau itu memandang ke depan. Pulau di tengah itu sunyi.
Bangunan dan beberapa rumah kecilnya seakan merana tak berpenghuni. Ia ragu. Dan ketika ia berdebar
karena inilah tempat yang dicari, ia sudah berada di situ maka telinganya yang tajam mendengar suara
berkeresek dan gerakan-gerakan mencurigakan.
Sin Gak diam, pura-pura tak tahu. Kalau ada manusia di situ justeru kebetulan, ia dapat bertanya. Tapi
ketika melompat belasan bayangan dan tiba-tiba menyerangnya maka pemuda ini terkejut juga.
"Pemuda iblis, kau datang lagi ke sini? Mampuslah!"
Sin Gak terkejut. Tak disangkanya kedatangannya di situ justeru disambut bacokan senjata tajam.
Pedang dan tombak beronce menyambar. Tapi ketika ia berkelit dan menangkis semua ini, jerit wanita dan
laki-laki bercampur aduk maka tusukan dan bacokan itu terpental semua, bahkan tiga di antaranya terlepas.
"Plak-plak-plak!"
Jerit ini disusul seruan heran. Mereka, delapan belas laki-laki dan perempuan melihat siapa lawan
mereka ini. Sin Gak memutar tubuhnya dan telah menghadapi mereka ini. Lalu ketika semua orang itu
menuding dan gemetar melempar senjata mendadak semuanya berlari dan menjatuhkan diri berlutut.Kolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
351 "Sin-siauwhiap (pendekar muda Sin)!"
Sin Gak tercengang. Ia heran dan kaget bagaimana wanita dan laki-laki itu. mengenal dirinya. Dan
ketika ia tertegun maka mereka mengguguk dan memeluk kakinya.
"Aduh, kenapa baru sekarang kau datang, siauwhiap. Kenapa setelah tokoh-tokoh kami bepergian
semua. Aduh, kami harus mengalami derita berturut-turut!"
"Bangunlah," Sin Gak membangunkan seorang di antaranya. "Siapa kalian ini, bibi-bibi. Bagaimana
mengenal aku bukankah baru pertama ini kita bertemu."
"Eh!" wanita itu mengangkat mukanya. "Kita........ kita baru bertemu?"
"Benar!" satu di antara laki-laki itu berseru, mendadak melompat bangun. "Ia bukan si Naga
Pembunuh, Pin-cici. Pemuda ini lengkap tangannya. Ia tidak buntung!"
Terkejutlah semua wanita dan laki-laki itu. Mereka tiba-tiba memandang Sin Gak dengan kaget dan
melompat bangun. Tapi karena wajah Sin Gak bagai pinang dibelah dua dengan ayahnya, pemuda ini
memang mirip benar maka satu di antaranya tiba-tiba menggigil dan menuding.
"Kongcu........ kongcu apakah she Sin?"
"Benar, aku she Sin."
"Kalau begitu kongcu putera Sin Giam Liong si Naga Pembunuh? Kongcu mencari ayah kongcu itu?"
Berdebarlah dada Sin Gak. Ia tak tahu tentang ayah ibunya kecuali bahwa semua keterangan itu akan
didapat di Hek-yan-pang sini. Maka ketika tiba-tiba ia dituding dan ditanya apakah ia mencari ayahnya,
berdetaklah pemuda ini maka ia mengangguk.
"Benar."
"Ohh!" wanita itu mengguguk, menubruknya lagi. "Kalau begitu kau adalah Sin Gak, kongcu, kau
putera ayahmu Giam Liong. Wajahmu mirip benar dengannya, kau anak yang hilang itu!" lalu ketika Sin
Gak tersentak dan menggigil maka berhamburanlah orang-orang itu lagi kepadanya, memeluk.
"Benar, kau tentu Sin Gak. Kau putera ayahmu Giam Liong. Kalian bagai pinang dibelah dua!"
Pemuda ini terguncang. Setelah semua menyebut namanya maka yakinlah dia bahwa kedatangannya di
tempat yang tepat. Asal-usulnya memang di sini. Maka ketika ia tergetar dan menitikkan air mata, terbawa
oleh tangis dan sedu-sedan wanita-wanita ini maka pemuda itu hanyut dan sejenak tak mampu menguasai
diri. Dan saat itu tiba-tiba terdengar pekik dan gonggong srigala.
"Iblis itu datang!"
Berhamburanlah orang-orang memutar tubuh. Mereka yang tadi sesenggukan dan memeluk Sin Gak
tiba-tiba meloncat dan berlari ketakutan. Wanita dan laki-laki itu menjerit-jerit. Namun ketika muncul gigigigi menyeringai dari dalam hutan, disusul salak dan loncatan-loncatan panjang maka puluhan srigala
menubruk dan mengejar orang-orang ini.
"Aduh bret-bret-brett!"
Sin Gak terkejut. Tiga di antara wanita-wanita itu terpelanting dan digigit anjing-anjing liar itu,
berteriak dan berguling. namun mereka diserang yang lain. Ada tujuh ekor mengeroyok tiga wanita ini. Dan
ketika ia tersirap karena pakaian wanita itu robek-robek, kulitnya yang putih tipis terkuak berdarah maka
pemuda ini berkelebat dan tangannya langsung menampar kepala binatang-binatang itu.
"Pergilah!"
Tamparan Sin Gak adalah tamparan yang mengandung Pek-mo-in-kang. Jangankan anjing, kepala
kerbaupun pasti pecah. Maka ketika tujuh binatang itu menjerit dan terkapar maka tiga wanita itu dapat


Tapak Tangan Hantu Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bergulingan meloncat bangun namun tiba-tiba mereka terkekeh.
Sin Gak tak menyadari ini. Ia telah berkelebat lagi menghajar binatang-binatang yang lain, gonggong
dan salak riuh mereka menutup kekeh tiga wanita itu. Dan ketika berturut-turut ia merobohkan lagi belasan
yang lain dan para murid Hek-yan-pang bersorak gembira, sekejap binatang itu tinggal separoh mendadak
tiga wanita yang terbebas dari gigitan anjing-anjing liar ini menubruk Sin Gak dan menggigit lengan danKolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
352 kaki pemuda itu
"Heii!"
Sin Gak terkejut. Ia telah dikerubut dan digigit kaki dan lengannya. Wanita-wanita itu tiba-tiba saja
seolah menjadi srigala-srigala buas. Sin Gak tak tahu bahwa gigitan itu telah menyebarkan racun jahat ke
tubuh korban, menyalurkan atau menularkan hawa jahat dari sebuah ilmu hitam. Maka ketika ia digigit
namun untunglah Pek-mo-in-kang melindunginya, hawa dingin tenaga sakti itu membuat gigi para wanita itu
berkerutuk maka mereka menjerit dan roboh terbanting.
"Kres-kres-kres!"
Tiga wanita ini menggigil dan menggeliat-geliat. Mereka terkejut bertemu kulit dingin seperti es,
racun jahat tiba-tiba hancur dan lenyap. Dan ketika sisa srigala lari ketakutan memasuki hutan maka muridmurid Hek-yan-pang yang selamat ditolong pemuda ini sudah menolong rekan mereka yang pucat dan masih
kedinginan.
"Kenapa kau menyerangku," Sin Gak mernbentak. "Apakah kalian gila dan tidak tahu siapa lawan
siapa kawan!"
"Ampun.....!" tiga wanita itu berlutut, sadar kembali, menangis. "Kami tak tahu apa yang kami
lakukan, kongcu. Kami terkena gigitan binatang-binatang terkutuk itu. Kami kemasukan racun jahat!"
"Mereka tertular liur jahat srigala-srigala itu," seorang yang lain buru-buru menerangkan. "Kami
semua didera penderitaan panjang, kongcu. Ampunkan mereka karena sesungguhnya mereka tak tahu apa
yang mereka lakukan!"
"Hm, apa yang terjadi," Sin Gak terkejut.,"Mana pula ketua Hek-yan-pang karena bukankah kudengar
Ju-taihiap memimpin perkumpulan ini."
"Taihiap dan tuan muda sama-sama pergi, kami menunggu. Peristiwanya panjang dan marilah kongcu
kami antar ke tengah pulau itu. Di sana sajalah kita bicara dan awas musuh kembali datang."
Semua mengangguk. Beramai-ramai mereka mengajak Sin Gak dan daya tangkal pemuda ini terhadap
liur srigala membangkitkan harapan. Kiranya Pek-mo-in-kang mampu melenyapkan pengaruh hitam racun
jahat itu. Dan ketika Sin Gak mengangguk dan menuju pulau maka segera orang-orang ini mengambil
perahu yang disembunyikan di balik semak-semak belukar, meluncur dan tak kurang empat perahu
beriringan cepat. Sekali-sekali mereka masih menoleh ke belakang, gonggongan itu rupanya masih ditakuti.
Dan ketika mereka. sampai di seberang dan meloncat turun maka Sin Gak merasa adanya hawa seram yang
menyelubungi tempat ltu.
"Nanti dulu," pemuda ini mencari sesuatu. "Siapa dI antara kalian yang memiliki benang dan jarum
kecil, bibi. Aku butuh sepuluh jarum dan semeter benang
"Aku punya," satu di antaranya berseru, melepas ikat pinggang. "Tapi jarumnya hanya dua, kongcu.
Untuk apa dan apakah cukup!"
"Tak apa," Sin Gak menerima dan menyuruh mundur. "Tempat ini berbau amis seperti genangan
darah, kurasa ada hawa hitam di sini. Biar kubersihkan dulu dan minggirlah!"
Sin Gak adalah murid Sian-eng-jin si Bayangan Dewa. Di samping ilmu silat dan kepandaian lain
maka diapun diajar mengenal ilmu-ilmu hitam dan menangkalnya. Tanda-tanda ilmu hitam diberitahukan
pemuda ini dan Sin Gakpun mencium. Bau amis seperti genangan darah itu tak enak, lagi pula hawa
menyeramkan di atas Hek-yan-pang itu seakan mengurung dan mengepung dari segala penjuru. Maka ketika
ia harus membersihkan ini dan menenangkan murid-murid yang lain, ia mencium hawa jahat di situ tiba-tiba
pemuda ini melemparkan benang dan jarum ke barat dan timur pulau. Orang hanya melihat cahaya
berkelebat dan tahu-tahu terdapat semacam pagar cahaya di situ. Jarum itu sebagai tiang pancangnya. Lalu
ketika Sin Gak tersenyum dan menarik napas lega iapun menggerakkan tangan ke atas mengebut sisa-sisa
hawa hitam di atas kepala.
"Pergilah!"
Pria dan wanita terbelalak. Mereka mendengar ledakan dan bau amis hilang. Sebagai gantinya
bertiuplah hawa segar di situ. Lalu ketika pemuda ini mengangguk dan berjalan kembali maka ia berkata
bahwa siapapun tak dapat masuk atau keluar tanpa kehendaknya.Kolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
353 "Sebaiknya kalian di sini saja semua. Aku telah memasang pagar. Jangan coba-coba keluar kalau tidak
meminta ijin."
Tercenganglah semua orang. Mereka menjadi kagum namun dua di antaranya tiba-tiba saling
mengedip, ingin menguji. Maka ketika mereka bergerak ke kiri kanan menuju perahu tiba-tiba mereka
menjerit karena di tepi pulau kaki mereka tersengat jala cahaya bagai setrom tegangan tinggi.
"Aduh!"
Terkejutlah semua orang. Mereka yang mengantar Sin Gak menoleh, dua rekan mereka itu merontaronta namun aneh tak ada apa-apa yang melilit. Mereka ini seakan terjebak kawat berduri saja. Tapi ketika
Sin Gak berseru perlahan mengibaskan lengannya maka dua orang itu meloncat bangun lagi dan dapat
berdiri bebas.
"Am...... ampun. Kami hanya ingin menguji kesaktianmu, kongcu, ternyata benar. Kami tak dapat
keluar."
"Dan yang di luarpun tak dapat masuk," Sin Gak berkata dingin. "Sebaiknya jangan coba-coba
melanggar larangan, paman, atau aku membiarkan kalian."
Gentarlah semua orang. Sekarang mereka percaya dan kekagumanpun semakin meningkat. Dua kali
pemuda ini menunjukkan kepandaiannya. Dan ketika semua berjalan lagi dan menuju rumah paling besar,
tempat tinggal Ju-taihiap maka di sini semua orang berlutut.
"Mati hidup kami di tangan kongcu, biarlah hari ini kongcu memimpin kami sambil menunggu
datangnya ketua!"
"Hm, bangunlah," Sin Gak tak enak juga. "Aku datang bukan untuk melindungi siapapun, bibi,
melainkan mencari ayahku. Sekarang ceritakanlah tentang ini dan mana ayahku."
Semua orang menangis. Begitu masuk dan bersimpuh di rumah besar ini segera sedu-sedan dan tangis
mengguguk pecah. Rumah itu tak terawat lagi dan penuh sarang laba-laba. Sudah lima tahun ini rumah besar
ini tak berpenghuni. Maka ketika Sin Gak tertegun dan membiarkan tangis duka itu, maklum bahwa sesuatu
yang hebat terjadi maka sejenak kemudian Cu Pin, wanita tertua dari para murid ini bercerita.
Kiranya telah terjadi sesuatu yang mengguncangkan Hek-yan-pang. Teror demi teror dialami
perkumpulan ini, mulai dari datangnya Majikan Hutan Iblis itu sampai hilangnya Giok Cheng. Lalu ketika si
Naga Pembunuh datang berlumuran darah, luka-luka maka kejadian demi kejadian menghancurkan
keberanian anak-anak murid ini.
"Ketua kami Ju-taihiap terpaksa menyingkir, puteranya Han Han juga pergi. Dan karena teror demi
teror mengguncang kami maka Hek-yan-pang porak-poranda, kongcu. Tak ada yang mampu melawan
Majikan Hutan Iblis itu karena ia benar-benar sakti. Tak dapat dibunuh!"
"Hm, ceritakan secara urut, bagaimana itu. Biar kudengar dan harap kalian tenang. Dan bagaimana
pula dengan ayahku."
Wanita itu bercerita. Sejak terakhir kali Naga Pembunuh, datang luka-luka maka Ju-taihiap maupun
puteranya berdebar-debar. Kisah Giam Liong yang begitu mencekam membuat dua tokoh ini gelisah, bukan
takut melainkan cemas bagaimana di dunia ini ada mahluk seganas itu. Sepak terjangnya tak tertahankan dan
tokoh-tokoh kang-ouw roboh satu per satu. Mereka terkena Beng-jong-kwi-kang (Tenaga Setan Penembus
Roh) yang amat jahat itu, tunduk dan mengabdi Majikan Hutan Iblis ini. Dan karena lelaki itu memiliki
kepandaian luar biasa, sihir dan ilmu hitam maka di sini ketua Hek-yan-pang mati kutu dan kehabisan akal.
"Di sini hujin (nyonya) sendiri binasa, kami tak dapat berbuat apa-apa. Dan karena iblis itu terus
melakukan sepak terjangnya tak dapat dihalang-halangi maka Ju-taihiap meninggalkan kami menuju Lembah
Malaikat."
"Hm, di mana Lembah Malaikat itu, tempat siapa."
"Konon katanya tempat tinggal manusia dewa Bu-beng Sian-su. Ketua kami hendak meminta
petunjuk, kongcu, atau pertolongan."
"Dan ibuku?" Sin Gak menahan perasaannya. Sejak tadi kau tak pernah menyebut-nyebut ibuku, bibi.
Di mana dia apakah bersama ayah."
"Ah, Sin-hujin telah meninggal, dibunuh jahanam keparat ini. Ibumupun menjadi korban kebiadabanKolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
354 iblis ini, kongcu. Banyak di antara kita yang tewas terbunuh!"
Sin Gak memejamkan mata. Untunglah karena tak begitu kenal maka berita kematian ibunya ini
sebentar saja membuat perasaannya terkoyak, setelah itu Sin Gak tenang lagi. Namun ketika matanya
berkilat dan wajah itu memerah maka wanita ini pucat melanjutkan, gentar. Mata itu mencorong bagai naga
yang siap murka, menakutkan!
"Lalu bagaimana?" Sin Gak bertanya lagi, dingin. "Kenapa kau tak melanjutkan?"
"Maaf," wanita ini gemetar. "Apakah boleh kuteruskan, kongcu? Kau...... kau tampaknya marah!"
"Aku tidak marah kepada kalian, aku marah kepada iblis itu. Teruskanlah dan tenang-tenang sajalah."
Wanita itu mengangguk, menelan ludah. "Selebihnya adalah peristiwa menggegerkan, menantu Jutaihiap tak kembali ke sini......"
"Hm, bibi Tang Siu?"
"Benar, kongcu, sahabat dekat mendiang ibumu pula. Ia...... ia mencari anaknya Giok Cheng....!"
"Jadi Ju-taihiap mempunyai cucu perempuan?"
"Benar, dan kau dijodohkan kepadanya. Ah, betapa gembira kalau mereka mengetahui kau di sini,
kongcu, apalagi Giok Cheng di sini pula. Tentu ramai!"
Sin Gak terkejut. Untuk ini ia menjadi merah karena malu. Baru mengetahui sekelumit dirinya tibatiba terdengar juga berita perjodohan itu. Ia jengah. Tapi teringat gadis baju hitam putih mendadak ia
berdebar dan membayangkan sesuatu yang aneh. Manakah lebih cantik antara gadis itu dengan Giok Cheng?
Pantaskah Giok Cheng menjadi jodohnya? Jangan-jangan ilmu kepandaiannya rendah sekali, kalah jauh
dengan gadis baju hitam putih itu!
Sin Gak semburat. Ternyata di samping penasarannya yang belum terpuaskan sesungguhnya ia
menaruh kagum kepada gadis itu. Apalagi setelah mengetahui bahwa gadis yang disangkanya mencelakai
kakek tua itu ternyata malah mengobati. Ia merasa simpatik. Tapi karena mereka bermusuhan dan betapapun
ia merasa gadis itu sombong, apalagi bibir yang berjebi mengejek itu masih tak dapat dilupakannya maka
masih merasa panas dan marah. Akan diulangnya lagi pertandingan di antara mereka kelak!
"Kongcu berpikir apa?" tiba-tiba wanita itu bertanya. "Apakah mengenai cantik tidaknya calon
jodohmu? Ah, jangan khawatir, ia cantik dan gagah perkasa, kongcu. Konon katanya diambil murid oleh
nenek sakti Hek-i Hong-li!"
"Apa?" Sin Gak terkejut. "Hek-i Hong li?"
"Benar, begitu yang kami dengar. Dulu nenek ini datang dan meminta gadis itu menjadi muridnya.
Apakah kongcu kenal!"
Sin Gak tertegun. Kenal? Ah, tentu saja ia tahu nama itu. Nenek itu adalah sumoi gurunya sendiri, jadi
masih bibi gurunya. Jadi kalau Giok Cheng menjadi murid wanita itu maka masih termasuk sumoinya
sendiri. Tentu lihai! Dan ketika pemuda ini berdebar namun masih tertegun maka wanita itu meneruskan
ceritanya bahwa Hek-yan-pang terpaksa ditinggalkan pimpinannya setelah teror demi teror dari Majikan
Hutan Iblis itu.
"Dulu nenek sakti Hek-i Hong-li membuat gentar Majikan Hutan Iblis itu. Tapi entahlah, nenek itu tak mau
bertindak lanjut membunuh keparat ini. Ia masih berkeliaran. Dan sayangnya nona Giok Cheng juga belum
pernah datang sejak di ambil murid!"
Jilid XXV
"HM!" itu saja yang keluar dari mulut Sin Gak. "Lalu apa lagi?"
"Banyak, kongcu, tapi agaknya kau harus melihat sendiri. Kami para murid wanita menjadi ketakutan
kalau sudah tertangkap iblis itu. Ia kejam dan tak berperasaan!"
Sin Gak mencorong matanya. Ia sudah mendengar cukup banyak dan teringat pesan gurunya, bahwa ia
harus membela yang lemah membantu yang perlu ditolong. Setelah ia tiba di Hek-yan-pang dan mendengarKolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
355 kisah dirinya sesungguhnya ia merasa rindu dan ingin bertemu ayahnya itu. Jadi ia adalah putera Giam
Liong, si Naga Pembunuh. Dan berkerut kenapa ayahnya berjuluk seperti itu, ia merasa heran akhirnya ia
bertanya apa yang sebaiknya dilakukan di situ.
"Baiklah, sudah kudengar semua. Lalu bagaimana selanjutnya menurut bibi. Apakah kita mencari iblis
itu atau menunggu saja di sini."
"Kongcu sendiri bagaimana, kami menyerahkannya kepadamu!"
"Hm," Sin Gak berpikir sejenak. " sebenarnya aku pribadi hendak mencari dan menemukan ayahku,
bibi. Tapi karena jelek-jelek ia putera Hek-yan-pang baik kutunda maksudku dan kubela perkumpulan ini.
Aku akan mencari iblis itu!"
"Kalau begitu kami gembira, kongcu tak usah pergi!"
"Maksudmu?"
"Setiap bulan purnama iblis itu datang ke mari, kongcu, kami cerai-berai di saat ia datang. Ia dapat kau
temui karena pasti datang ke mari!"
"Begitukah? Baik, dan kapan bulan purnama itu, dan apa perlunya ia datang ke mari."
"Ia datang untuk memperkuat ilmu hitamnya, dan segerombolan srigala akan selalu menyertai!"
"Tapi siapa yang berani tinggal di pulau. Kami terutama wanita akan lari, kongcu. Ia menghisap dan
menyedot habis darah korbannya!
Sin Gak terkejut. ia memandang pembicara ini dan yang lain serentak menggigil, Cu Pin juga
mengangguk. Dan ketika pemuda itu bertanya lebih lanjut maka murid wanita Hek-yan-pang ini gemetar
bicara.
Ia mencari wanita dan menangkap seorang di antara kami. Kalau sudah tertangkap maka korban akan
digigit dan dihisap tengkuknya. Ia memperkuat ilmu hitamnya di saat bulan purnama, dan kami pasti
menyingkir sebelum hari itu!"
"Baiklah, benar-benar keji. Akan kulihat dan kuhadapi iblis itu, bibi, tak usah kalian takut. Sekarang
katakan berapa hari lagi saat bulan purnama itu."
"Empat hari lagi."
"Hm, cukup bagiku. Ada berapa wanita di sini dan kalian dekat-dekat saja denganku. Jangan pergi
jauh. Mulai hari ini aku akan menyiapkan sesuatu dan kalian tenang-tenang sajalah. Aku melindungi!"
Sin Gak bangkit dan bersinar-sinar. Akhirnya ia menyuruh orang-orang itu tenang dan minta mereka
membersihkan gedung itu. Ada tujuh wanita di situ termasuk Cu Pin, yang lain adalah laki-laki. Dan karena
pemuda ini telah membuat pagar gaib di mana orang tak dapat masuk atau keluar seenaknya, akhirnya di
ruangan itulah mereka berkumpul maka menunggu bulan purnama itu Sin Gak duduk bersila memperkuat
getaran batinnya sementara diam-diam di sudut utara ia memberikan celah agar Majikan Hutan Iblis itu
datang dan dapat masuk. Atau siapapun tak dapat mendekati pulau itu karena ia telah memasang Pat-gen-sinhoat-sut (Pagar Sihir Delapan Penjuru Bumi) yang amat kuat!
* * * Bulan purnama itu datang. Langit terlihat cerah dan menyenangkan di mana sinar bulan yang
keemasan menyapu permukaan bumi dengan amat indahnya. Bintang bertaburan merata dan jengkerik serta
binatang malam bernyanyi riang. Tak ada tanda-tanda bahwa malam akan berlangsung secara menyeramkan.
Yang terjadi justeru pemandangan indah yang penuh pesona, warna keemasan di pucuk-pucuk daun dan
angin sepoi lembut mengiring bagai musik ringan. Di saat seperti itu yang terasa adalah kedamaian dan rasa
bahagia, bersuasana romantis dan empat pasangan dari murid-murid Hek-yan-pang bahkan saling peluk dan
menghibur.
Malam memang terasa begitu indah sehingga pasangan-pasangan ini lupa bahwa di balik itu akan
terjadi sebuah tragedi. Mereka terbawa dan hanyut oleh gesekan lembut angin malam, terbuai warna
keemasan dari sinar bulan yang menyapu pucuk-pucuk dedaunan. Bahkan permukaan bumi sendiri terasaKolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
356 begitu segar dan indah. Dan karena mereka percaya akan kesaktian Sin Gak, pagar gaib yang disebarkannya
ke sekeliling pulau maka mereka merasa begitu aman karena selama beberapa hari ini mereka merasakan
ketenangan dan keamanan yang meyakinkan. Bahkan para srigala itu tak kedengaran suaranya lagi sejak
diusir dan dihajar Sin Gak.
Pat-gen-sin-hoat-sut memang ilmu gaib yang istimewa. Ilmu ini berdasarkan kekuatan batin untuk
melindungi diri, juga dapat untuk melindungi orang lain di balik sebuah bangunan. Sekali terpasang
orangpun tak dapat masuk, kecuali mereka yang memiliki kesaktian berimbang atau pemilik ilmu ini
melepaskan sebuah celah untuk dimasuki. Dan karena ilmu ini dapat menimbulkan ketenteraman dan rasa
aman bagi yang dilindungi, pelawan atau penghancur ilmu sirep maka orang yang berada di dalam ilmu ini
bagai berada di tengah taman istana yang sekelilingnya penuh pengawal. Berlindung di balik ilmu ini sama
dengan berlindung di sebuah istana yang dijaga berlapis-lapis. Semutpun tak dapat masuk!
Akan tetapi berkelebat sebuah bayangan. Empat pasangan lelaki-perempuan yang sedang berasyikmasyuk terbuai alam indah mendadak dikejutkan sebuah bentakan. Cu Pin, wanita Hek-yan-pang itu tahutahu berdiri di situ, di tengah taman bunga. Lalu ketika empat pasangan ini terkejut melompat bangun maka
wanita ini berseru bahwa siapapun tak boleh meninggalkan ruangan.
"Kalian tak tahu diri, siapa memerintahkan keluar. Ayo masuk dan berkumpul di dalam, jangan di
luar!"
"Kami merasa bahagia," satu dari empat orang itu berkata, membantah. "Malam ini suasana begini
romantis, enci. Bulan bersinar dengan amat indahnya. Kami tak takut karena ada Sin-kongcu di sini!"
"Tak tahu bahaya. Sudah kubilang bahwa siapapun tak boleh keluar, A-thai, tidak ingatkah kalian
bahwa kita tak boleh jauh-jauh dengan Sin-kongcu. Masuk, atau aku melapor ke dalam!" wanita itu
membentak.
"Baiklah, maaf. Kami hanya ingin menikmati sebuah suasana lain di malam bulan purnama ini. Kami
tentu saja tak membantah Sin-kongcu," dan masuk serta menggandeng pasangannya murid itupun tak banyak
bicara, disusul yang lain dan wanita itupun berkelebat mendahului. Malam itu memang suasana amat
menyejukkan dan nikmat sekali bagi pasangan-pasangan baru untuk bercengkerama, apalagi bagi mereka
yang sudah bertahun-tahun ini tak memperoleh ketenangan. Malam seperti itu rasanya tak ingin dilewatkan
begitu saja. Pengaruh Pat-gen-sin-hoat-sut demikian tinggi. Tapi karena Cu Pin adalah pimpinan di situ dan
semua harus tunduk, wanita inilah yang berkepandaian paling tinggi maka adik-adiknya menurut dan di
ruangan dalam itu berkumpul saudara-saudara yang lain memandang mereka.
Sin Gak, yang masih bersila tampak tenang di sudut. Empat hari ini pemuda itu tak membuka mata
dan membuat murid-murid kagum. Napas pemuda itu yang halus hampir tak kentara. Semacam hawa
menyejukkan keluar dari tubuh pemuda ini. Dan ketika empat pasangan itu masuk dan duduk bergandengan
mesra, memandang pemuda itu dengan wajah penuh kepercayaan maka Sin Gak sendiri merasakan sesuatu
yang mulai tidak wajar.
Mula-mula adalah tiupan angin dingin. Angin ini berkesiur lembut dan menyentuh bulu-bulu halus
sampai meremang. Orang tak akan merasa ketika tahu-tahu bulu di tubuhnya berdiri. Lalu ketika tiupan
angin dingin itu juga disusul hawa aneh yang membuat mata merasa kantuk, keinginan tidur tiba-tiba
merayap di situ maka para murid termasuk empat pasangan itu mulai menguap!
Tak ada yang sadar ini kecuali Cu Pin. Wanita itu, sebagai murid tertua Hek-yan-pang yang sudah


Tapak Tangan Hantu Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berkali-kali menerima serangan segera terkejut oleh tanda-tanda tidak wajar ini. Bulan purnama naik
semakin tinggi dan diam-diam wanita ini berdebar. Menurut kebiasaan, seperti yang sudah-sudah maka akan
terdengar gonggong srigala disusul raung dan lolong riuh. Kalau sudah begitu maka hatipun bakal dicekam
ketegangan. Siapapun menjadi seram. Namun karena tak ada lolongan riuh dan empat hari ini suara srigala
juga tak pernah kedengaran lagi, pagar yang dipasang Sin Gak benar-benar membangkitkan kepercayaan
maka wanita cantik berusia tigapuluhan tahun ini lega akan tetapi kesiur angin dingin itu membuatnya
gelisah. Apalagi ketika murid-murid di situ menguap dan jatuh tertidur.
"Kongcu!" Cu Pin berkelebat dan memanggil Sin Gak. Berturut-turut empat pasangan dan lain-lainnya
roboh. Kesiur angin lembut itu begitu menyejukkan hingga membuat bulu mata tertutup. Dalam keadaan
seperti itu nikmat benar rasanya tidur! Maka ketika wanita ini terkejut karena iapun tiba-tiba mengantuk, Sin
Gak diam saja tak bergerak akhirnya wanita ini terguncang dan menepuk bahu pemuda itu.
"Kongcu...!"
Sin Gak membuka mata. Aneh, bertemu dengan sepasang mata pemuda ini mendadak kantuk wanitaKolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
357 itu lenyap. Mata yang mencorong itu memasukkan tenaga sakti, dingin namun kuat dan justeru
membuyarkan hawa dingin pengaruh sirep. Sin Gak memang sengaja membuka bagian utara dari ilmunya
Pat-gen-sin-hoat-sut agar musuh dapat masuk, termasuk ilmu sirep berhawa dingin sejuk itu. Maka ketika ia
ditepuk dan Cu Pin hampir roboh, pemuda ini membuka mata maka dengan sepasang matanya itu ia
melenyapkan pengaruh sirep dan wanita itupun merasa segar kembali.
"Mereka....... mereka.......!" wanita ini masih menggigil, menuding. "Saudara-saudaraku yang lain
itu...... ah, mereka tertidur, kongcu. Musuh mulai datang!"
"Tenanglah," Sin Gak tersenyum, mengangguk. "Aku sudah tahu, bibi. Hanya katamu biasanya
didahului gonggongan srigala."
"Benar, tapi..... tapi ini tidak. Biasanya memang begitu, kongcu, srigala akan riuh rendah menakutkan
kita. Tapi pengaruh ilmu hitam mulai masuk. Aku merasakan itu!"
"Tenanglah, aku sengaja membuka satu lubang. Duduk dan bersamadhilah di situ, bibi. Pertahankan
kekuatanmu untuk tidak meninggalkan ruangan ini. Tutup dan tulikan telinga dan jangan dengarkan apaapa."
"Dan mereka itu?"
"Akan kusadarkan nanti, pada saatnya. Biarlah tidur dan menikmati mimpi indah."
Wanita ini terbelalak. Saat itulah berkesiur angin lebih dingin namun pemuda ini tenang-tenang saja.
Demikian tenang sikapnya hingga wanita ini malu sendiri. Ia begitu ketakutan. Dan ketika ia menarik napas
membuang ketegangan, Sin Gak menyuruhnya duduk akhirnya wanita itu bersila di belakang pemuda ini, tak
berani jauh!
"Aku takut, iblis itu lihai sekali!"
"Kalau begitu bibi boleh tidur, telanlah obat ini."
Cu Pin tertegun. Sin Gak memberinya sebuah pil hitam dan ia menerima, akan ditelan. Tapi ketika
teringat bahwa ia ingin tahu bagaimana pemuda itu menghancurkan lawan maka obat itu tak jadi ditelan dan
disimpannya saja.
"Aku...... aku tak akan takut. Biar kubangkitkan keberanian dan kulihat bagaimana kau mengalahkan
lawanmu!"
"Kalau begitu bibi duduk tenang, jangan melihat keluar dan tutup mata rapat-rapat. Tulikan telinga."
Wanita ini mengangguk. Ia sudah bersila dan memejamkan mata, keteganganpun tak dapat diatasinya
lagi. Ia mengigil. Dan ketika Sin Gak memejamkan matanya lagi dan duduk tak bergeming, bagai arca batu
adalah wanita ini tak keruan perasaannya dan berkali-kali membuka sepasang matanya keluar pintu, apalagi
ketika terdengar suara berkeresek dan muncullah sosok hitam di luar pintu.
"Ahhh!"
Wanita ini tak dapat menahan mulutnya. Ia mengeluarkan seruan kaget ketika di pintu itu, berdiri
bergoyang-goyang muncullah berjubah hitam berambut model kuda. Wajah itu memucat dingin namun
sepasang matanya mencorong hidup, bibir tersenyum mengejek dan wanita ini hampir menjerit. Namun
ketika tak dapat berteriak karena mulutnya serasa terkunci, Cu Pin hendak meloncat bangun namun kedua
kakinya melekat tak dapat ditarik maka terkekeh tanpa suara laki-laki itu melambai kepadanya.
"Ke sinilah," bisikan itu lembut namun serak. "Ke sinilah, Cu Pin. Tidakkah kau rindu kepadaku di
saat bulan purnama ini. BangkitIah, kita keluar."
Wanita itu meronta. Ia telah melanggar pantangan Sin Gak agar menutup mata dan menulikan telinga.
Pengaruh gaib dari sepasang mata iblis itu membetotnya, ia berteriak namun tak ada suara yang keluar. Dan
ketika mendadak kakinya dapat digerakkan namun ia melangkah maju, bergerak dan tersedot lambaian
tangan itu maka wanita ini menjerit-jerit namun tak ada suara yang keluar dari mulutnya.
"Tidak....... tidak.......!"
Akan tetapi. sepasang mata itu menguasainya. Bibir yang tersenyum melebar dan akhirnya tertawa
membuat wanita ini tiba-tiba hilang semangat. Dalam ketakutan yang hebat akhirnya wanita ini tak sadar.
Masuklah ia ke dalam ilmu hitam yang amat kuat. Dan ketika ia melangkah dan ditangkap laki-laki ini,Kolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
358 Majikan Hutan Iblis maka robohlah wanita itu didekapan sepasang lengan kokoh.
"Heh-heh, cantik dan manis. Kau masih menggairahkan hati lelaki, Cu Pin, marilah keluar dan kita
bercumbu di sana."
Wanita ini menurut saja. Akhirnya ia kehilangan kesadaran setelah semangat dan pikirannya
dicengkeram lawan. Wanita itu masuk dalam ilmu hitam yang amat kuat, begitu kuatnya hingga ia rebah di
pundak lelaki ini. Dan ketika di luar rumah Majikan Hutan Iblis ini terkekeh dan berhenti menatap bulan
yang bundar, mendorong dan melepaskan dirinya maka laki-laki itu bertanya apakah wanita itu
mencintainya.
"Kita akan melangsungkan cumbu rayu di bawah Dewi Bulan. Jawablah apakah kau mencintaiku atau
tidak."
"Aku....... aku mencintaimu......" wanita itu berdesah. "Aku rela menyerahkan diri di bawah Dewi
Bulan....!"
"Heh-heh, benarkah? Kalau begitu peluklah aku, cium aku!"
Wanita ini bergerak. Ia tadi memegang pundak lawannya dengan mata berkejap-kejap, mulut itu
terbuka dan desis aneh keluar tertahan. Cu Pin yang tampak seperti patung hidup ini berpandangan kosong,
ia benar-benar tak sadar akan dirinya itu. Namun ketika ia mengangguk dan merebahkan diri, memeluk dan
hendak mencium laki-laki itu mendadak terdengar bentakan dan bayangan Sin Gak.
"Bibi Cu Pin!"
Hebat bentakan itu. Sin Gak mengerahkan khikangnya hingga suaranya menggema dahsyat, hutan
tergetar dan pulau seakan roboh. Dan ketika pemuda itu menyambar dan menampar laki-laki ini, bergerak
begitu cepatnya maka wanita itu tahu-tahu sadar dan berada di tangan Sin Gak, sementara tangan yang lain
dari pemuda itu menampar atau menghantam kepala.
"Plakk!"
Laki-laki itu terpelanting dan berseru kaget. Bersamaan dengan ini terdengarlah gonggong dan raung
srigala, suaranya memekakkan telinga dan sadarlah para murid yang terkena sirep. Mereka ini terbius angin
dingin pembawa kantuk, meloncat dan berteriak namun sebenarnya bentakan dan suara pemuda itulah yang
membuyarkan segalanya. Srigala atau anjing-anjing liar yang dibungkam majikannya tak dapat menahan diri
lagi, mereka pecah dan lari berserabutan. Dan ketika hutan menjadi gaduh oleh lolong mereka, laki-laki itu
meloncat bangun maka Cu Pin gemetar di lengan kanan Sin Gak.
"Dia....... dia hendak membunuhku. Apa yang dia lakukan kepadaku!"
"Kau selamat. Kau tak menghiraukan kata-kataku tadi, bibi, jangan lihat dan dengarkan apapun di
tempat ini. Kau menjauhlah dan lihat saudara-saudaramu bangun semua. Jaga di sudut utara karena hanya
tempat itu yang mampu diterobos musuh!"
Terdengar lolong dan pekik dahsyat. Di bawah sinar bulan purnama, di balik bayang-bayang bintang
yang bertaburan di angkasa mendadak bergulung awan hitam berbukit-bukit. Awan ini muncul dari delapan
penjuru ketika laki-laki itu meledakkan tangannya. Dari telapaknya menyambar sinar biru mencuat tajam,
meledak dan muncullah awan-awan hitam itu. Lalu ketika awan-awan ini bergerak dan menutupi pulau,
bintang dan bulan tak mampu menembus kepekatannya maka menjeritlah murid-murid Hek-yan-pang karena
keadaan yang semula terang keemas-emasan mendadak menjadi hitam dan gelap gulita, apalagi lolong dan
raung itu semakin riuh!
Namun Sin Gak tak membiarkan semuanya ini terjadi. Maklum bahwa kekuatan sihir bekerja di atas
pulau mendadak iapun meledakkan tangannya. Dari telapaknya menyambar sinar putih bagai petir, meledak
dan menghantam awan bergulung-gulung itu hingga pecah. Dan ketika bintang dan bulan tampak menerangi
lagi, semakin benderang maka terdengar pekikan dan sesosok tubuh hitam mencelat menubruk pemuda ini.
"Kau kiranya jahanam usil itu. Mampuslah!"
Sin Gak tak mengelak. Raung dan lolong srigala memenuhi Hek-yan-pang. Di bawah permukaan
bintang dan bulan tampak moncong-moncong berenang di permukaan air, cepat dan menaiki pulau akan
tetapi bintang-binatang ini menjerit. Mereka terbentur pagar gaib Pat-gen-sin-hoat-sut, panas menyengat dan
semua mundur. Mereka yang nekat malah hangus, terbakar. Dan ketika sekejap kemudian binatang-binatang
ini menjadi panik, hanya mereka di bagian utara yang mampu menerobos masuk maka murid-murid Hek-Kolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
359 yan-pang menyambut dan berteriak-teriak. Di tangan mereka terdapat sebatang sapulidi yang mengeluarkan
hawa dingin berkeredap bagai memancarkan cahaya gaib. Senjata yang telah diberikan Sin Gak setelah
sebelumnya "diisi" kekuatan batin dan tenaga Pek-mo-in-kang.
"Prat-pratt!"
Binatang-binatang itu terjengkang. Aneh dan mengherankan binatang yang biasanya kebal dan tahan
bacokan senjata tajam itu kini berteriak dipukul sapulidi. Kulit mereka seketika pecah. Dan ketika binatang
itu tunggang-langgang meninggalkan lawannya, melolong-lolong maka Sin Gak sendiri membalik menerima
hantaman atau pukulan lawan.
"Dess!"
Dua orang ini bergoyang-goyang. Sin Gak yang mengerahkan sinkangnya dan membalik dengan cepat
menangkis dengan tepat pukulan lawannya itu. Bau amis menyambar namun ia meniup, telapaknya bertemu
telapak lawan. Tapi ketika lawan terkekeh dan maju lagi, membentak dan menggerak-gerakkan tangannya ke
angkasa maka langit menjadi gelap lagi oleh awan hitam bergulung-gulung.
"Heh-heh, luar biasa. Tapi kau akan mampus oleh pukulanku!"
Sin Gak terkejut. Sekali lagi ia cepat menggerakkan lengan ke atas. Ujung bajunya berkibar dan
meniup dahsyat. Dan ketika sekali lagi terdengar ledakan kuat, cahaya putih menyambar dari telapak pemuda
itu maka awan hitam terpental dan pecah lagi. Namun di saat itu lawan yang berkelebat di balik asap hitam
sudah berada di belakang Sin Gak mencengkeram dan hendak menghancurkan kepala pemuda ini.
"Kress-augh!"
Pek-mo-in-kang melindungi. Meskipun tak sempat berkelit dan dicengkeram dari belakang namun
pemuda ini sudah menutup semua aliran darah dengan cepat. Tubuh dan kulitnya mengeras, tidak sekedar
keras melainkan dingin, sedingin es. Maka ketika lawan terkejut berseru keras, kulit pemuda itu tak dapat
dihancurkannya maka Sin Gak menggerakkan kaki ke belakang dan tepat sekali ia menghantam
selangkangan lawan.
"Dess!"
Lawan terbanting dan bergulingan. Sin Gak terkejut karena lawan tak apa-apa, merasa daerah bawah
perut kosong. Dan maklum bahwa lawan menarik kemaluannya di bawah pusar, semacam kantong
penyelamat maka pemuda itu tak mau menunggu waktu lagi dan berkelebat mengejar. Lawan meledakkan
tangan dan membuat langit gelap gulita lagi.
"Ha-ha, kau hebat, tapi tak mungkin mengalahkan aku!"
Bintang dan bulan tertutup cahayanya lagi. Sin Gak menjadi gemas karena dua kali ia bekerja sia-sia.
Lawan kembali menutup tempat itu dengan awan hitam. Namun ketika ia membuang secabik kain membuat
langit kembali terang, bintang dan bulan menyorotkan cahayanya keemasan akhirnya lawan tak mampu lagi
melepas kekuatan hitamnya, selalu pecah dan meledak dihantam pemuda itu. Dan karena Sin Gak juga
bergerak dan menyerang lawan maka laki-laki jubah hitam ini memekik dan menjadi ganas.
"Plak-dukk!"
Dua-duanya terpental. Sin Gak mempergunakan Pek-mo-in-kangnya hingga lawan terkejut. Majikan
Hutan Iblis itu terdorong jauh ke belakang. Dan ketika lawan terbelalak dan melengking penasaran,
berkelebat dan menerjang lagi maka Sin Gak mengimbangi dan segera keduanya bertanding amat cepat,
pukul-memukul dan saling mengelak untuk akhirnya yang kelihatan hanya bayangan hitam dan putih.
Dengan Pek-mo-in-kangnya pemuda ini menolak semua pukulan, hawa dingin dari Pek-mo-in-kang itupun
semakin dingin saja. Dan ketika berkali-kali lawan terpental sementara Sin Gak hanya tergetar dan terhuyung
maka lawan melolong dan Sin Gak merasa seram.
"Plak-dukk!"
Untuk kesekian kalinya lagi dua lengan mereka bertemu. Kali ini, penasaran oleh kekuatan Pek-mo-inkang maka Majikan Hutan Iblis itu menggetarkan lengannya dua kali. Cairan berminyak tiba-tiba melumuri
permukaan kulitnya, licin dan terpeleset hingga Sin Gak terkejut karena lengan itu meluncur ditangkis kuat,
menyambar dan menuju dadanya hingga ia membentak berkelit mundur. Lalu ketika dengan lengan dan
tubuh yang licin itu lawan menyerang membuat tangkisan Sin Gak meleset maka terbeliaklah pemuda iniKolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
360 teringat cerita gurunya.
"Hek-be-kang!"
"Heh-heh!" lelaki itu tertawa. "Kau tahu? Bagus, ini betul Hek-be-kang, anak muda. Siapa kau dan
bagaimana kau dapat menandingi aku. Katakan sebelum kubunuh!"
Sin Gak mencorong matanya. Setelah ia yakin bahwa lawan memiliki Hek-be-kang maka iapun
maklum siapa yang ada di hadapannya ini. Murid Te-gak Mo-ki! Maka membentak berseru keras iapun
berkelebatan mengerahkan Bu-bian-kang alias Ilmu Tanpa Bobot.
"He!" lelaki itu terkejut. "Kau memiliki Bu-bian-kang? Keparat, siapa kau!"
Majikan Hutan Iblis inipun tak mau tinggal diam. Tadinya ia bergerak dan menangkis semua pukulan
Sin Gak mengandalkan Hek-be-kang, sia-sia dan Sin Gak menjadi marah karena pukulannya meleset. Tapi
begitu ia berkelebatan dengan Bu-bian-kang dan lawan menjadi terkejut, ia merobah serangannya dengan
tusukan ke mata atau lubang hidung maka tiga kali hampir saja pemuda itu berhasil dan membuat lawan
merasa kaget.
Akan tetapi Majikan Hutan Iblis ini memang bukan orang sembarangan. Membentak dan berkelit dari
tusukan-tusukan lawan iapun menggosok-gosok kedua tangannya. Cepat sekali kedua telapaknya menjadi
hitam. Lalu ketika ia meraung dan berseru keras maka telapak itu menyambar dan menghantam Sin Gak.
"Desss!"
Sin Gak bergoyang. Mo-seng-ciang (Pukulan Tapak Hantu) menyambar mukanya. ia menangkis dan
secepat itu lawan mencengkeram. Sepuluh jari mereka bertemu dan terdengar suara berkeratak. Pek-mo-inkang yang dingin bersambut dengan Tapak Tangan Hantu yang panas, bau amis menyambar dan hampir
pemuda ini muntah. Lawan tertawa bergelak dan bau mulut itulah yang amat busuk. Mulut itu seperti bau
bangkai. Namun ketika Sin Gak menutup hidungnya dan mengerahkan sinkang, saling dorong dan menatap
wajah maka pemuda ini berhadapan dengan seraut muka berkedok yang tipis berkerut dengan sepasang mata
berputaran ganas, kejam.
"Kau akan kubunuh, heh-heh...... kau akan kubunuh!"
Sin Gak tak mau menjawab. Bau busuk menyambar kuat namun ia menutup hidung. Lawan
dipandangnya mencorong dan sedetik laki-laki itu tertegun. Wajah pemuda itu dingin dan keras. Wajah itu
seperti Giam Liong. Dan ketika lelaki ini terkejut dan membelalakkan mata, barulah ia ingat maka ia
tertegun heran sekaligus mengingat-ingat sesuatu.
"Kau....... kau anak yang diambil kakek busuk Sian-eng-jin. Kau bocah itu!"
Sin Gak tersenyum dingin. Dalam adu tenaga itu ia merasa mendapat kekuatan, lawan rupanya
tercengang dan terkejut hingga berkurang tenaganya. Dan ketika ia tak menyia-nyiakan kesempatan dan
menambah tenaga, lawan berseru keras maka secepat kilat laki-laki jubah hitam itu menarik kedua tangannya
membanting tubuh bergulingan
"Kau Sin Gak....... desss!"
Pek-mo-in-kang menghajar tempat di mana laki-laki itu tadi berdiri. Demikian kuat pukulan ini hingga
tanah berlubang, laki-laki itu bergulingan meloncat bangun. Lalu ketika ia terbelalak dan seakan gentar,
teringat peristiwa belasan tahun lalu maka ia mengeluh dan mengeluarkan lolong panik, rendah dan
menyayat. Dan ketika Sin Gak masih tertegun heran mendadak laki-laki itu memutar tubuh meloncat pergi.
Srigala yang diserang anak-anak murid Hek-yan-pang juga berserabutan dan tunggang-langgang.
Akan tetapi terlihat sinar hitam panjang. Di bawah cahaya keemasan bulan bundar meledaklah suara
yang amat keras. Suara itu membuat srigala terpekik dan roboh, tujuh di antaranya terlempar dan mencelat
ke dalam telaga. Lalu ketika Majikan Hutan Iblis menoleh dan tampak terkejut maka tahu-tahu sesosok
tubuh langsing menyambar dan menyerang mukanya, disusul oleh bayangan merah yang mencegat larinya
pula.
"Kau iblis jahanam itu, mampuslah!"
Sin Gak tertegun. Seorang gadis cantik, tujuh atau delapan belas tahun menyerang laki-laki ini dengan
sebuah ikat pinggang hitam. Ikat pinggang itu panjang dan menyambar bagai ular, tahu-tahu sudah di depan
hidung. Tapi ketika laki-laki ini mengelak dan membuang mukanya maka senjata itu mengikuti di manaKolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
361 akhirnya ia menjadi marah dan menangkis.
"Tarr!"
Ujung bajunya robek. Terkejut dan melompat ke kiri akhirnya laki-laki ini mengelak dan menghindar
sana-sini. Gadis baju hijau itu sudah menyerangnya lagi dengan cepat. Ujung ikat pinggang itu meledakledak menyambar tubuhnya. Dan ketika ia menangkis dan gadis itu terhuyung maka ia membentak dan
melepas Mo-seng-ciangnya.
"Awas!" gadis baju merah berkelebat. Terkejut oleh pukulan itu gadis ini mengangkat kedua
lengannya, menangkis dan terpental dan saat itu Sin Gak berkelebat. Ia melihat sesuatu dirogoh lawan, di
sambitkan dan menyambarlah sinar-sinar hitam ke arah dua orang itu. Dan ketika Sin Gak membentak dan
menangkis paku-paku beracun ini, lengan baju pemuda itu dikebutkan maka Majikan Hutan Iblis terbelalak
dan mengumpat lalu memutar tubuh melarikan diri.
"Jangan lari!"
Sin Gak marah berseru keras. Ia telah sadar dan tidak menghiraukan lagi gadis baju merah dan hijau.
Ia telah membantu meruntuhkan paku-paku beracun itu. Tapi ketika lawan terkekeh dan melempar sesuatu
tiba-tiba meledaklah sebuah benda dan di tempat itu muncullah Majikan Hutan Iblis yang lain.
"Heh-heh, mana yang kau kejar, bocah. Dia atau aku!"
Sin Gak tertegun. Di depannya terdapat dua kembar yang sama. Satu ke arah timur sedang yang lain
ke utara. Dan karena yang timur lebih dekat maka pemuda inipun berkelebat dan menangkap pundak
lawannya.
"Berhenti!"
Akan tetapi lawannya lenyap. Sebagai gantinya tampaklah ikat rambut hitam, tertangkap di tangan
pemuda ini. Dan ketika Sin Gak terkejut dan sadar maka iapun membalik dan membuang hasil tangkapan itu.
"Keparat, kau penipu!"
Akan tetapi di mana-mana muncul Majikan Hutan Iblis Kembar. Dua gadis baju merah dan hijau yang
sadar pula akhirnya mengejar lawan. Mereka membentak dan menyerang laki-laki itu. Namun ketika bendabenda hitam menyambar mereka, meledak dan menjadi sosok seperti tuannya maka dua orang ini terkecoh


Tapak Tangan Hantu Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan yang mereka tangkap ternyata hanya sehelai daun atau potongan kain hitam. Sin Gak sadar dan terkejut
menuju arah utara, tempat inilah yang dibiarkannya kosong dan merupakan satu-satunya lubang terbuka.
Namun ketika di sini ia tak melihat lawannya lagi, iblis itu lenyap meninggalkan Hek-yan-pang maka
berkelebatlah bayangan baju merah dan hijau itu.
"Mana dia, mana jahanam keparat itu!" Sin Gak memutar tubuh. Di sini ia terpesona oleh hidung
mancung dan pipi kemerah-merahan gadis baju hijau. Di bawah sinar bulan tampak betapa cantik dan
gagahnya gadis ini, anak rambutnya menjuntai manis di dahi. Namun ketika ia tak menjawab dan berkelebat
bayangan-bayangan lain, Cu Pin dan murid-murid Hek-yan-pang maka wanita itu terbelalak memandang
gadis baju hijau ini.
"Kau....... kau Giok Cheng!"
Gadis ini terkejut. Cu Pin, wanita itu menjerit dan menubruk dirinya. Lalu ketika yang lain juga
terkejut dan berseru mengiyakan maka semua menjatuhkan diri berlutut dan memanggil gadis ini.
"Cheng-siocia (nona Cheng)......!"
Tertegunlah Sin Gak. Tiba-tiba ia berdebar keras memandang gadis baju hijau itu. Alangkah cantik
dan gagahnya gadis ini di bawah sinar bulan purnama, apalagi ikat pinggang hitam itu belum disimpannya
lagi. cantik dan gagah! Dan ketika ia berdebar karena inilah calon jodohnya, puteri dari pamannya Han Han
maka Cu Pin dan teman-temannya menangis sesenggukan, antara girang dan sedih.
"Siocia terlambat datang. Ayah ibumu...... kakekmu, ah..... mereka semua telah meninggalkan tempat
ini. Siocia. Hek-yan-pang sepi dan mati selama bertahun-tahun. Majikan Hutan Iblis itu menteror kami.
Untunglah Sin-kongcu ini datang membantu. Ia putera pamanmu Giam Liong!
Bukan hanya Giok Cheng yang terkejut. Gadis baju merah, yang sejak tadi tertegun dan mengerutkan
kening tiba-tiba mengeluarkan pandangan berapi. Wajah Sin Gak persis ayahnya. Dan karena ia bukan lain
adalah Su Giok, cucu Pek-lui-kong yang dulu diacuhkan Giam Liong maka gadis ini menjadi benci kepadaKolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
362 Sin Gak, bergerak dan tahu-tahu berkacak pinggang di depan pemuda itu.
"Hm, kau kiranya bocah yang hilang itu. Kau Sin Gak. Bagus, ada apa kau datang di tempat ini,
bocah. Apakah tenagamu dapat dipakai menyelamatkan Hek-yan-pang. Kau tak usah sombong, kalau kami
tak datang nyawamu telah terbang ke akherat. Pergilah mencari ayahmu dan jangan berlagak di rumah orang.
Giok Cheng telah datang, kau tak berhak lagi tinggal di sini!"
Sin Gak terkejut. Ia tentu saja tak tahu kemarahan gadis ini kepada ayahnya. Su Giok telah berusia dua
puluh tujuh tahun dan tampak keras serta galak. Di bawah gemblengan Hek-i Hong-li gadis ini semakin
galak saja, ia adalah suci (kakak seperguruan) Giok Cheng. Maka merasa berhak dan benci kepada Giam
Liong, sesungguhnya diam-diam gadis ini menaruh kekecewaan berat kepada si Naga Pembunuh itu maka
Sin Gak justeru terkejut dan merah mukanya. menoleh dan memandang gadis ini.
"Enci siapakah, kenapa bicara kasar dan tampak marah-marah kepadaku."
"Hm, aku Su Giok, suci Giok Cheng. Aku tak senang kepada ayahmu dan kepadamu, Sin Gak.
Ayahmu adalah orang sombong yang tentu tak jauh berbeda denganmu. Pergilah dan jangan di sini lagi,
Giok Cheng telah kembali ke Hek-yan-pang!"
Sekali lagi Sin Gak terkejut. Tiba-tiba mukanya menjadi dingin dan gelap. Ia tak menyangka bahwa
wanita ini adalah suci Giok Cheng, berarti murid Hek-i Hong-li pula. Dan merasa bahwa nenek itu bibi
gurunya, ia menaruh hormat maka iapun tertawa dingin dan kekagumannya kepada Giok Chengpun padam.
Kalau sucinya sombong tentu sumoinya juga sombong!
"Aku ke sini sebenarnya mencari ayahku, bukan hendak menumpang dan berlindung di Hek-yan-pang.
Kalau kau menganggap ayahku sombong tentu ada alasannya, Su Giok. Akupun dapat menganggapmu
sombong dengan sikap dan kata-katamu ini. Baiklah aku pergi dan jangan harap bertemu kalian lagi."
"Tunggu!" gadis itu membentak, Sin Gak sudah memutar tubuh. "Di mana aturan dan sopansantunmu, Sin Gak. Begitukah ayahmu mengajar. Berapa usiamu hingga enak saja kau menyebut namaku!"
"Hm," Sin Gak tertawa, dingin, matanya berkilat. "Orang dihormati bukan karena usia dan
kedudukannya, Su Giok, melainkan oleh sikap dan sepak terjangnya. Kau adalah murid bibi Hek-i Hong-li,
berarti aku suhengmu. Entah siapa yang tak tahu sopan santun kau ataukah aku!"
Gadis ini terkejut. Ia tentu saja tak tahu bahwa pemuda di depannya itu adalah murid Sian-eng-jin si
Bayangan Dewa. Gurunya adalah sumoi dari kakek sakti itu. Dan karena kakek itu adalah uwa gurunya,
supek maka tentu saja Sin Gak merupakan suhengnya. Pemuda itu lebih "tua" dilihat dari urutan perguruan!
"Kau..... kau siapa? Kau murid yang mana?"
"Aku tak perlu memberi tahu. Sekedar pemberitahuan ini cukup. Nah, sekarang pergi dan biarlah kita
tak usah bertemu lagi." Sin Gak memutar tubuhnya berkelebat pergi, tertawa dingin dan tak menghiraukan
tatapan kaget gadis baju merah itu dan Giok Cheng. Tapi begitu ia meloncat tiba-tiba Su Giok mengejarnya
dan mencengkeram bahunya.
"Kau jangan mengada-ada, tunjukkan kepandaianmu dan biar kulihat..... wut!"
Sin Gak mengelak. Dengan mudah ia berkelit, tak mau membalas. Tapi ketika dikejar dan gadis itu
Pedang Asmara 5 Ayat Ayat Cinta Karya Habiburrahman El Shirazy Api Di Bukit Menoreh 32

Cari Blog Ini